Bab 64
Eng Kouw |
Mendengar suara guru mereka, keempat murid
itu tercengang.
Kwee Ceng berlompat seraya
berseru: “Aku ingat sekarang! Ketika malam itu Oey Tocu
meniup seruling, Ciu
Toako tak kuat menahan hatinya,
kemudian aku mendengar dia membacakan syairnya itu. Ialah: ‘Empat buah perkakas
tenun…… maka tenunan burung wanyoh bakal terbang perpasangan…… sayang, belum
lagi tua, tetapi kepala sudah putih…… Gelombang musim semi, rumput hijau,
dimusim dingin, di dalam tempat tersembunyi, saling berhadapan baju merah……” Ia
menepuk paha kanannya, ia kata pula: “Tidak salah! Ketika itu aku heran sekali.
Di dalam segala-gala, Ciu Toako
lebih menang daripada aku tetapi selagi aku tidak terganggu serulingnya Oey Tocu, ia
sendiri kelabakan, tak kuat ia mempertahankan diri, tidak tahunya dia dapat
mengingat peristiwa lama itu hingga pemusatan pikirannya menjadi kacau. Pantaslah dia mencaci orang perempuan! Kau tahu, Yong-jie, dia sampai menasihati aku
untuk aku jangan baik dengan kau……”
“Hm, Loo Boan Tong!” kata si nona mendongkol.
“Lihat kalau nanti aku bertemu padanya, akan aku jewer kupingnya!” Mendadak ia
tertawa dan menambahkan: “Ketika
di Lim-an aku telah menggodai dia,
aku telah mengatakan tidak ada wanita yang akansudi menikah padanya, agaknya
dia mendongkol, rupanya itu pun disebabkan peristiwa itu.”
“Maka ketika aku mendengar Eng Kouw membacakan
itu, aku seperti telah pernah mendengarnya,” kata pula Kwee Ceng,
“Hanya itu waktu, biar bagaimana aku memikirkannya, tidak juga aku ingat. Eh,
Yong-jie, mengapa Eng
Kouw pun mengetahui syair itu?”
Ditanya begitu, si nona menghela napas.
“Karena Eng
Kouw ialah Kui-hui,” sahutnya.
Di antara si tukang
pancing berempat, adalah si pelajar yang sudah menduga lima atau enam bagian, maka juga tiga yang
lainnya menjadi heran, semua mengawasi guru mereka.
“Kau
sangat pintar, Nona,” kata It Teng Taysu dengan perlahan, “Tidak kecewa kau menjadi
putrinya saudara Yok. Lauw Kui-hui itu mempunyai nama kecil, ialah Eng. Aku pun
mulanya tidak mengetahui itu. Itu waktu aku telah melemparkan sapu tangan kepadanya,
lantas aku tidak melihat pula padanya. Karena aku berduka sekali, aku tidak memperdulikan
lagi urusan negara, aku menungkuli diri dengan setiap hari melatih ilmu silat.”
“Supee, itu waktu di dalam hatimu kau sangat
mencinta dia,” kata Oey
Yong. “Kau tapinya tidak
mengetahui. Kalau tidak, tidak nanti kau menjadi tidak gembira……”
“Nona!” berkata si pelajar berempat. Mereka ini tidak senang nona ini berani bicara demikian macam terhadap guru
mereka.
“Apa? Apakah aku salah omong?” Oey Yong
balik menanya. “Supee, salahkah aku?” Air mukanya It Teng Taysu suram. Ia berkata:
“Selama itu lebih dari setengah tahun
tidak pernah aku panggil Lauw Kui-hui datang
menghadap, akan tetapi di dalam impian, sering aku bertemu dengannya. Demikian
pada suatu malam, habis memimpikan dia, tidak dapat aku melawan niat hatiku,
aku mengambil putusan untuk melihat padanya.
Aku tidak memberitahukan niatku kepada
thaykam atau dayang, aku pergi sendirian dengan diam-diam. Aku ingin
menyaksikan apa yang dia kerjakan. Ketika aku tiba di wuwungan kamarnya, aku
mendengar suara anak kecil menangis keluar dari kamarnya itu. Ah……! Malam itu
salju turun banyak dan angin pun dingin sekali, tetapi di atas genting itu aku
berdiri lama sekali, sampai fajar, barulah aku turun dan kembali ke kamarku.
Habis itu aku mendapat sakit berat.”
Oey Yong heran. Seorang raja,
dan di tengah malam buta rata, untuk selirnya, telah mesti menyiksa diri secara
begitu.
Sekarang barulah keempat murid itu ketahui
kenapa guru mereka - ketika itu ialah junjungan mereka - yang tubuhnya demikian
tangguh, telah mendapat sakit yang berat itu.
“Lauw Kui-hui telah mendapat anak, tidakkah
itu bagus?” Oey
Yong tanya
pula.
“Supee, kenapa kau tidak menjadi
gembira?””Anak tolol, anak itu ialah anaknya Ciu Suheng.”
“Ciu Suheng
pun telah pergi sedari siang-siang, apakah dia telah datang pula secara diam-diam
menemui kui-hui?”
“Tidak. Apakah kau belum pernah dengar orang
menyebutnya kandungan sepuluh bulan?”
Si nona itu agaknya sadar.
“Ah, aku mengerti sekarang!” katanya. “Pasti
anak itu terlahir mirip Loo Boan Tong, kupingnya lebar dan hidungnya mancung,
kalau tidak, mana kau ketahui dialah anaknya Loo Boan Tong!”
“Itulah bukannya. Sudah satu tahun lebih aku
tidak mendekati kui-hui, maka itu anak itu pasti bukan anakku.”
Oey Yong berdiam, urusan itu
gelap untuknya.
“Aku jatuh sakit hingga setengah tahun
lebih,” kata It Teng kemudian, “Setelah sembuh, aku tidak suka memikirkan pula
urusan itu. Kemudian lewat dua tahun lebih, pada suatu malam, selagi aku
bersemedhi di dalam kamarku, mendadak Lauw Kui-hui datang, dia menyingkap
gorden dan nerobos masuk, Thaykam dan dua siewi yang menjaga di luar pintu
mencegah, tetapi mereka kena dihajar. Ketika aku menoleh, aku melihat kui-hui
menggendong anaknya itu. Aku mendapatkan dia bermuka pucat, dengan lantas dia
bertekuk lutut di depanku dan menangis menggerung-gerung, sambil mengangguk-angguk,
dia kata: ‘Aku mohon belas kasihan hongya, supaya anak ini dikasih ampun. ‘”
“Aku berbangkit, akan melihat anak itu. Dia
bermuka merah, napasnya memburu.
Ketika aku menggendong dan memeriksa, aku
mendapatkan tulang iganya patah lima
biji. Kui-hui masih menangis, ia kata: ‘Hongya aku bersalah, aku harus mati,
tetapi aku mohon anak ini diberi ampun.’ Aku tanya,
anak itu kenapa. Dia mengangguk-angguk terus, dia tidak menjawab aku hanya
tetap mohon aku mengampuni anaknya itu. ‘Mohon hongya mengampuni dia,’ katanya
ketika aku menanya pula, hingga aku menjadi heran sekali. ‘Kalau hongya
menghendaki kematianku, aku tidak penasaran hanya ini anak, ini anak……’”
“‘Siapa yang menghadiahkan kematian padamu?!’
Aku tanya pula. Sebenarnya kenapa anak ini
terluka?”
“Kui-hui mengangkat kepalanya, ia mengawasi
aku. ‘Apakah bukan hongya yang menitahkan siewi untuk menghajar mati anak ini?’
Dia tanya. Aku menjadi heran. Mesti ada
apa-apa pada kejadian itu. ‘Jadi dia dilukai oleh siewi?’ Aku tanya.
‘Budak yang mana yang begitu bernyali besar?’ Dia terkejut. ‘Oh, jadi bukannya
hongya yang menitahkan? Kalau begitu, anak ini bakal ketolongan……!’ Habis
berkata begitu dia pingsan.”
“Aku heran sekali, aku pun merasa kasihan
melihat keadaannya kui-hui itu. Aku mengangkat dia bangun, direbahkan di
pembaringan. Selang sekian lama, baru dia sadar. Dia lantas menangis,
sembari dia menuturkan duduknya kejadian. Katanya, dia lagi menepuk-nepuk anaknya untuk ditiduri,
mendadak dari luar jendela berlompat masuk satu orang, ialah satu siewi yang
mukanya bertopeng, anaknya lantas dirampas dan diangkat, dihajar punggungnya.
Kui-hui kaget, dia mencegah. Siewi itu menolak kui-hui, lagi sekali dia
menghajar anak itu, kemudian dia tertawa dan berlompat pergi. Kui-hui tidak
mengejar, ke satu siewi itu kosen sekali, kedua dia menyangka siewi itu diperintah
olehku. Itulah sebabnya kui-hui lantas membawa anaknya itu datang padaku, untuk
minta ampun. Aku menjadi semakin heran. Aku memeriksa teliti anak itu, aku
tidak mendapat tahu dia terlukakan pukulan ilmu silat apa. Aku mendapatkan ada
otot anak itu yang putus. Aku lantas pergi ke kamar kui-hui, untuk melakukan
pemeriksaan, sebab aku percaya si penjahat bukan sembarang orang. Kemudian di
atas genteng aku melihat tapak kaki. Aku lantas kata pada kui-hui: ‘Penjahat
itu lihay sekali, terutama ilmunya enteng tubuh. Di
dalam negeri Tali ini, kecuali aku, tidak ada orang yang kedua yang lihay
sebagai dia.’ Kui-hui menjadi kaget, ia berkata; ‘Mustahilkah dia? Perlu apa
dia membinasakan anaknya sendiri?’ Berkata begitu, mukanya menjadi pucat
seperti muka mayat.”
Oey Yong terkejut.
“Tidak nanti Loo Boan Tong berbuat
demikian……” katanya perlahan.
“Ketika itu aku justru menduga pada Ciu Suheng,”
berkata It Teng Taysu, “Kecuali dia, tidak ada orang yang segagah dia. Aku pun
menduga, mungkin dia berbuat begitu sebab dia tidak sudi mempunyai anak itu,
yang bakal membikin dia malu. Ketika kui-hui mendengar
dugaanku itu, ia malu dan cemas, ia kaget. Mendadak ia kata: ‘Tidak, pasti bukan dianya!
Suara tertawanya orang itu bukan suara tertawanya.’ Aku berkata: ‘Kau sedang
kaget dan ketakutan, mungkin kau kurang jelas?’ Tapi ia berkeras, ia kata:
‘Suara tertawanya orang itu aku akan ingat
buat selama-lamanya, meski aku menjadi setan, tidak nanti aku lupa! Bukan,
bukannya dia!’”
Mendengar itu, semua orang menggigil
sendirinya tanpa merasa.
Kwee Ceng dan Oey Yong
lantas membayangi roman Eng Kouw ketika si nyonya mengertak gigi.
“Mendengar perkataannya kui-hui, aku jadi
percaya,” It Teng bercerita pula. “Hanya aku tidak bisa menerka si penjahat.
Dia begitu kosen, kenapa dia hendak membinasakan seorang anak kecil? Aku sampai
menduga-duga kepada murid-muridnya Cinjin umpama Ma Giok, Khu Cie
Kee dan lainnya. Mungkin mereka
hendak melindungi nama baik partai mereka maka mereka melakukan perjalanan jauh
guna melakukan pembunuhan itu……”
Kwee Ceng hendak membuka
mulutnya atau ia mengurungkan itu. Ia tidak seberani Oey Yong,
yang tak takut memotong pembicaraan orang suci itu.
“Kau hendak membilang apa?” It Teng Taysu
menanya kapan ia melihat orang batal bicara.
“Ma Totiang,
Khu Totiang dan lainnya itu adalah orang-orang
suci dan gagah, tidak nanti mereka melakukan perbuatan serendah itu,” Kwee Ceng
bilang.
“Ong Cie It itu pernah aku menemuinya di Hoa
San, dia memang seorang laki-laki,”
kata It Teng, “Tentang yang lainnya, aku
tidak tahu. Memang, kalau benar mereka, dengan satu hajaran saja mereka dapat
membinasakan anak itu, maka kenapa mereka menghajar hanya setengah mati?”
Sembari bicara, pendeta ini sembari berpikir.
Sudah belasan tahun, ia masih belum dapat memecahkan keragu-raguannya itu.
Ruang itu menjadi sunyi sekali.
“Baiklah, nanti aku menuturkan terus,”
katanya kemudian.
Tiba-tiba Oey Yong
berlompat.
“Tidak salah lagi, dia pastilah Auwyang Hong!”
katanya.
“Belakangan aku juga pernah menduga dia,”
kata It Teng, “Hanya kemudian aku berpikir juga, mustahil dia yang berada jauh
di wilayah Barat, sedang dia juga bertubuh tinggi dan besar. Menurut kui-hui,
si orang jahat ada terlebih kate dan
kecil dari kebanyakan orang.”
“Benar-benar heran,” kata si nona.
“Ketika itu aku sangsi memikirkan anak itu,”
It Teng berkata pula. “Dia terlukakan tak lebih hebat daripada lukamu, nona,
hanya dia masih kecil sekali, tubuhnya sangat lemah, maka untuk mengobati dia,
aku mesti mengorbankan tenaga dalamku. Aku jadi bersangsi sebab aku tahu, di
dalam rapat yang kedua di gunung Hoa San nanti, pastiaku tidak dapat turut
mengambil bagian. Beberapa kali aku hendak menampik, aku gagal. Aku gagal. Aku
kasihan melihat Kui-hui, yang menangis saja. Ah, benarlah kata Ong Cinjin
bahwa kitab itu bisa mendatangkan kegaduhan dan mencelakai banyak orang.
Buktinya aku sendiri, karena memikirkan kitab itu, aku menjadi lain dari
biasanya.
Lama aku berpikir, baru aku
mengambil keputusan untuk mengobati anak itu. Selama aku berpikir itu, aku
merasa akulah seorang hina dina mirip
dengan binatang. Aku pun masih tidak dapat mengubah kelakuanku meskipun aku
sudah mengambil keputusan itu, aku menganggapnya aku menolong lantaran tidak
bisa menolak permohonan sangat dari Lauw Kui-hui.”
“Supee, aku membilang kau sangat mencinta
dia, sedikit pun kau tidak salah,” berkata Oey Yong.
It Teng seperti tidak mendengar perkataan si
nona, dia berkata terus: “Ketika Kui-hui mendengar jawabanku, dia girang sampai
dia pingsan. Lehih dulu aku uruti dia, untuk menyadarkannya, baru aku menolongi
anaknya itu. Aku menguruti bocah itu dengan Sian
Thian Kang. Ketika aku membuka otonya, aku
terkejut. Oto itu memakai sulaman sepasang burung wanyoh serta syairnya itu.
Oto itu terbuat dari sapu tangan yang Ciu Suheng
dulu hari melemparkannya kepadanya. Selagi aku terbengong, kui-hui rupanya melihat
sikapku itu. Maka ia mengertak gigi, ia mengeluarkan pisau belati,
yang ia tujukan ke dadanya. Ia kata, ‘Hongya, aku tidak ingin hidup pula di dunia,
maka itu aku memohon belas kasihanmu, kau tolongilah anak ini. Aku menukar dia
dengan jiwaku, nanti di lain dunia, aku akan menjadi anjing dan kuda guna
membalas budimu ini.’
Lantas ia menikam dadanya.”
Semua orang terkejut, meski mereka tahu Lauw
Kui-hui toh masih hidup. Itulah sebab hebatnya suasana yang diciptakan
penuturannya It Teng Taysu. Pendeta ini bercerita
terus, tapi sekarang ia seperti berbicara seorang diri. Ia kata: “Segera aku
mencegah perbuatan Kui-hui dengan merampas pisau belatinya itu. Aku berlaku cepat
tetapi toh dadanya tergores juga sedikit hingga dia mengucurkan darah. Karena
aku khawatir dia nanti mencoba membunuh diri lagi, aku totok jalan darah di
tangan dan kakinya hingga dia tidak dapat bergerak. Habis membalut lukanya, aku
kasih di duduk di kursi, untukberistirahat. Dia tidak membilang apa-apa, dia
cuma mengawasi aku, matanya menunjuki kedukaannya yang sangat. Aku pun berdiam
saja. Maka di situ Cuma terdengar suara napasnya si anak kecil,
napas yang mendesak. Mendengar
napas bocah itu, aku jadi ingat segala kejadian yang telah berlalu. Aku ingat bagaimana mulanya dia masuk ke istana, bagaimana aku mengajari
dia silat. Aku
menyayangi padanya dan dia selalu menghormati aku, dia agak jeri, dengan teliti dia merawat aku, belum pernah dia
membantah, hanya bahwa dia tidak pernah mencintai aku, inilah aku tidak tahu,
baru aku menginsyafinya setelah datang itu hari yang dia jatuh hati kepada CiuSuheng.
Demikian sifatnya kalau seorang wanita mencintai seorang pria. Dia bengong
mengawasi sapu tangannya itu, dia bengong mengawasi Ciu Suheng
berlalu untuk selamanya. Sinar matanya itu
membuat aku tidak tentram tidur dan tidak bernapsu dahar. Sekarang aku melihat
pula sinar matanya itu, sekarang disaat dari hancurnya hatinya pula. Cuma
sekarang bukan untuk kekasihnya, hanya untuk anaknya.”
It Teng berdiam sejenak.
“Seorang laki-laki diperhina demikian, tidak
dapat apapula aku seorang raja! Maka itu, mengingat demikian, hatiku menjadi
panas. Dengan tiba-tiba aku menendang bangku gadis di depanku hingga bangku itu
rusak. Ketika kemudian aku menoleh pada kui-hui, aku terkejut, aku melengak.
‘Eh, rambut…… rambutmu itu kenapa?’ Aku tanya dia. Dia seperti tidak
mendengar perkataanku, dia terus mengawasi anaknya. Dulu-dulu aku tidak mengerti
orang mempunyai sinar mata demikian itu, sekarang baru aku menginsyafinya.
Berapa besar dia harus dikasihani. Dia rupanya telah mengerti yang aku tidak
sudi menolongi anaknya itu, maka selama dia masih hidup, ingin dia memandang
anaknya itu, makin lama makin baik. Aku mengambil kaca, aku bawa itu kepadanya.
‘Lihat rambutmu,’ aku kata padanya. Dalam tempo yang sangat pendek itu, dia
seperti menjadi lebih tua beberapa puluh tahun, sedang dia sebenarnya baru berumur
sembilan belas tahun. Disebabkan kaget, takut, berduka, menyesal,
penasaran, putus harapan, mendadak ramhutnya
itu berubah menjadi uban!”
“Dia
tidak memperhatikan sedikit juga roman atau rambutnya itu. Dia menyangka aku pakai
kaca untuk menghalangi dia mengawasi anaknya itu. Dia kata padaku, ‘Angkat kaca
itu.’ Dia bicara tegas sekali, dia seperti lupa akulah raja ialah junjungannya.
Aku menjadi heran. Aku tahu dia biasanya sangat menyayangi paras mukanya. Aku menyingkirkan
kaca, maka terus dia mengawasi anaknya itu. Ah, kalau dia ada seribu arwahnya,
tentulah dia serahkan semua itu kepada anaknya, asal anaknya itu hidup.
Aku mengerti bagaimana perasaannya itu. Dia
ingin mati untuk anaknya itu.”
Kwee Ceng dan Oey Yong
saling mengawasi. Di dalam hatinya,
mereka saling mengatakan: “Kalau aku pun menampak kesukaran seperti itu, apakah
kau juga dapat mengawasi aku demikian rupa?” Tanpa merasa mereka saling
menyodorkan tangan,untuk saling memegang erat-erat, hati mereka berdenyutan,
tubuh mereka dirasai hangat.
“Sebenarnya aku merasa tidak tega,” It Teng
kemudian melanjuti ceritanya, “Aku berniat menolongi anak itu, apa mau, sapu
tangan itu tetap berada di dadanya. Itulah sulaman sepasang burung wanyoh, yang
saling menyenderkan leher mereka.
Kepalanya burung itu putih. Itulah lambang
untuk hidup bersama hingga di hari tua.
Maka kenapakah, sebelum tua tetapi rambut
sudah putih terlebih dulu? Maka melihat rambut putihnya itu, dengan sendirinya
aku mengeluarkan keringat dingin. Mendadak hatiku menjadi keras hati. Aku kata
padanya: ‘Baiklah, kamu boleh menjadi tua bersama, biarlah aku bersia-sia
sendiri di istana sunyi ini tetap sebagai kaisar! Dialah anak kamu berdua, kenapa aku mesti mengorbankan diri
untuk menolong menghidupi dia?’ Dia memandang aku. Itulah pandangannya yang
terakhir. Pada mata itu tertampak sinar kedukaan, penasaran,
permusuhan. Semenjak
itu, dia tidak pernah melihat aku lagi.
Sebaliknya aku, tidak dapat melupakan sinar
mata itu. Dia kata dengan dingin. ‘Kau lepaskan aku, aku hendak menggendong
anakku!’ Perkataannya itu mirip firman, membuatnya orang susah membantahnya.
Maka aku membebaskan dia dari totokan.
Dia menggendong anaknya itu. Anak itu pasti
terluka parah hingga tidak dapat ia menangis, mukanya bersinar gelap, matanya
mengawasi ibunya, mungkin ia minta ditolongi. Aku sendiri sejenak itu, aku
tidak mempunyai rasa kasihan sedikit juga. Aku hanya melihat, rambut hitamnya
berubah menjadi putih. Mungkin itulah perasaan belaka. Lalu aku mendengar dia
berkata halus pada anaknya: ‘Anak, ibumu tidak mempunyai kepandaian untuk
menolongi kau, ibumu tidak dapat membiarkan kau tersiksa lebih lama, maka, anak
kau tidurlah biar nyenyak…… Tidur, anak tidur, untuk selama-lamanya jangan kau
mendusin pula!’ Aku mendengar dia bernyanyi perlahan, menyanyikan lagu
mengeloni anak tidur. Sedap nyanyiannya itu…… Ya, begini, nah kau dengarlah!”
Orang heran. Si pendeta mengatakan demikian tetapi di situ tidak ada terdengar suara
nyanyian. Mereka
saling mengawasi, mereka terkejut.
“Suhu!” kata si pelajar. “Kau telah bicara
terlalu banyak, kau lelah, baiklah kau beristirahat.”
It Teng seperti tidak mendengar. Dia berkata
pula: “Anak itu bersenyum. Hanya sejenak, saking sakitnya, dia bergelisah.
Lantas ibunya berkata pula padanya halus sekali: ‘Jantung hatiku, kau tidurlah,
nanti lenyap semua rasa sakitmu, sedikit juga tidak sakit lagi……’
Sekonyong-konyong terdengar suara menumblas dan pisau belati telahnancap di
dadanya!”
Oey Yong kaget hingga ia
menjerit, kedua tangannya memeluk lengannya Kwee Ceng.
Si pelajar berempat pun kaget tidak
terhingga, muka mereka menjadi pucat.
Hebat penuturannya It Teng itu, yang
sebaliknya berbicara terus: “Aku kaget, aku terhuyung, terus aku jatuh ke
lantai. Dalam keadaan lapat-lapat aku tidak tahu memikir apa. Aku banya ingat
dia berbangkit dengan perlahan-lahan, dengan perlahan dia kata:
‘Akhirnya akan ada satu hari yang aku, dengan
pisau belatiku ini, nanti menumblas ulu hatimu.’ Dia menunjuk pada gelang
kumala di tangannya, dia kata pula: ‘Inilah gelang yang di hari aku masuk ke
istana kau memberikan kepadaku. Kau tunggu saja, di itu hari yang gelang kumala
ini aku kembalikan padamu, maka itu hari juga pisau belati ini akan turut
datang.’”
Sambil berkata begitu, It Teng putar gelang
itu di jari tangannya. Ia bersenyum.
“Inilah gelang kumala itu,” katanya. “Aku
telah menantikan belasan tahun ini hari tibalah harinya itu!”
“Supee, dia membunuh sendiri anaknya, ada apa
sangkutannya itu dengan kau?”
Oey Yong tanya. “Pula dia telah mencelakai kau dengan racun,
maka meskipun ada permusuhan dulu hari itu, bukankah itu sudah impas? Biarlah,
sebentar di kaki gunung, akan kami menyuruh dia pergi, supaya dia jangan datang
mengganggu pula……”
Tepat selagi si nona berkata itu, satu kacung
hweeshio datang masuk.
“Suhu,” katanya, “Dari kaki gunung ada lagi
yang mengantarkan ini……”
Dengan kedua tangannya, kacung itu
menyerahkan sebuah bungkusan kecil.
It Teng menyambuti, untuk terus dibuka. Untuk
kagetnya semua orang, hingga mereka berseru, itulah sehelai oto bersulamkan
burung wanyoh, sulaman burungnya hidup sekali, cuma suteranya sudah berubah kuning.
Di antara kedua ekor burung itu ada
satu liang bekas tusukan pisau, di samping liang ada bagian yang hitam, sisa darah.
It Teng meletaki oto itu di lantai, ia
bengong mengawasi. Sekian lama ia berdiam, romannya berduka, lalu dia berkata:
“Inilah sulaman burung wanyoh yang mau terbang berpasangan. Hm, mau terbang
berpasangan, tetapi akhirnya menjadi impian belaka.
Dia menggendong anaknya,
dia berlompat keluar jendela, sembari berlalu dia tertawa keras dan lama.
Setibanya di luar, dia lompat naik ke atas genting, sekejap saja dia lenyap. Aku menjadi tidak
dahar dan tidak minum, tiga hari tiga malam aku memikirkannya. Diakhirnya aku
sadar, maka itu, aku mewariskan mahkota kepada anakku yang sulung, aku sendiri
lantas masuk menjadi pendeta.” Dia menunjuk empat muridnya, akan menambahkan:
“Mereka ini lama telah mengikuti aku, mereka tidak suka berpisahan, maka mereka
turut aku pergi ke Inlam
Barat, ke kuil Liong Coan
Sie.
Mulanya selama tiga tahun pertama, mereka
membantu putraku memerintah. Mereka membantu dengan bergiliran. Kemudian,
setelah putraku sudah mengerti tugasnya, dan justru telah terjadi itu peristiwa
di Tay Soat San di mana Auwyang Hong melukai muridku ini, kita lantas pindah ke
mari. Sejak itu kita tidak kembali ke
Tali. Hatiku keras, aku tidak suka menolong anak itu, maka itu selanjutnya,
sampai belasan tahun hingga sekarang ini, siang dan malam, aku merasa hatiku
tidak tenang. Aku memikir untuk lebih banyak menolongi orang, guna menebus
dosaku yang besar itu. Mereka ini tidak mengetahui kesengsaraan hatiku, mereka
selalu mencegah. Ah, taruh kata aku dapat menolong selaksa jiwa, anak itu toh
tetap mati. Kalau bukan aku membayarnya dengan jiwaku sendiri, mana dosa itu
dapat ditebus? Maka setiap hari aku menanti-nanti kabar dari Eng Kouw,
menanti dia membawa pisau belatinya untuk menumblas dadaku. Aku tadinya
berkhawatir dia tak keburu datang, nanti aku mati terlebih dulu, kalau begitu, hebat
untukku. Tapi bagus, sekarang temponya telah tiba, harapanku bakal terkabul.
Ah, sebenarnya, buat apa dia menaruh racun di
dalam obat Kiu Hoa Giok Louw Wan?
Kalau aku tahu, dia bakal segera datang, tak
usah suteeku menolongi aku menyingkirkan racun itu.”
Oey Yong tapinya tidak
senang.
“Perempuan itu jahat!” ia kata sengit.
“Rupanya dia telah ketahui tempat kediaman supee ini, karena khawatir tidak
bisa melawan, dia menantikan ketikanya yang baik, maka kebetulan sekali aku
terlukakan Khiu
Cian Jin,
dia sambar ketika ini dia pakai aku sebagai perkakas. Pantas dia menunjuki aku
tempat supee. Dia rupanya memikir untuklebih dulu membikin habis tenaga supee,
baru dia mau turun tangan sendiri. Akumenyesal yang diriku kena dipermainkan
dia! Supee, kenapa gambarnya Auwyang
Hong itu bisa berada di tangannya?
Ada apa
hubungannya dia dengan gambar itu?”
It Teng mengambil sebuah kitab dari atas
mejanya dan membalik lembarannya. Ia berkata. “Gambar ini mempunyai lelakon
seperti ini. Di sebuah kota di India ada seorang raja yang sujud. Pada
suatu hari seekor burung dara terbang kepadanya meminta perlindungan. Burung dara itu dikejar
seekor elang. Burung ini meminta burung dara itu, katanya, kalau tidak, dia
bakal mati kelaparan. Sulit untuk raja itu, sebab menolong yang satu berarti
mencelakai yang lain. Maka akhirnya ia mengambil pisau dan memotong dagingnya
sendiri. Si burung elang meminta daging raja yang sama beratnya seperti burung
dara itu, maka daging itu ditimbang. Kenyataannya burung dara itu berat luar biasa,
daging raja tidak cukup kendati ia sudah memotong seluruh anggota tubuhnya.
Ketika raja menimbangkan tubuhnya juga, maka
bergoyanglah bumi, langit bergembira, bidadari-bidadari menyebar bunga,
harumlah semua jalan, maka juga naga langit dan setan-setan yang berada di
udara pada menghela napas dan berkata: ‘Siancay, siancay.
Kegagahan sebagai ini, sungguh belum pernah
ada!’”
Itulah dongeng tetapi demikian rupa It Teng
menuturnya, semua orang jadi tergerak hatinya.
“Sekarang aku mengerti, supee,” berkata Oey Yong.
“Dia khawatir supee tidak suka menolong mengobati aku, dia sengaja menunjuki
gambar itu untuk membikin hati supee tertarik.”
“Benar begitu,” kata It Teng bersenyum.
“Ketika dulu hari itu dia meninggalkan Tali, tentu hatinya gusar dan penasaran,
tentu dia mencari orang gagah, entah bagaimana, dia bertemu sama Auwyang Hong. Pasti Auwyang
Hong mengetahui maksud orang maka
ia menolong melukis gambar itu. Kitab ini tersiar luas di Wilayah Barat
danAuwyang Hong adalah orang sana,
tentu dia mengetahuinya dengan baik.”
“Sungguh jahat!” kata Oey Yong
sengit. “Si bisa bangkotan menggunai Eng Kouw dan Eng Kouw
menggunai aku, ini dia akal jahat meminjam golok membunuh lain orang!”
“Jangan kau gusar,” berkata It Teng menghela
napas. “Umpama kata dia tidak bertemu sama kau, mesti dia akan melukakan orang,
yang dia menyuruhnya datang ke mari
meminta aku menolonginya. Cumalah, siapa tidak mempunyai kepandaian, tidak dapat
dia datang ke mari. Sudah lama Auwyang Hong
melukis gambar ini, maka itu rencananya pasti telah diatur semenjak sepuluh
tahun yang lampau. Bukankah ini pun semacam jodoh?”
“Benar, supee. Tapi ia masih mempunyai satu
maksud lain, yang lebih penting daripada urusannya dengan supee ini.”
It Teng heran. “Apakah itu?” ia tanya.
“Loo Boan Tong kena dikurung ayahku di Tho
Hoa To, dia hendak pergi menolongi,” si nona menerangkan. Ia menerangkan
bagaimana Eng
Kouw mencoba mempelajari
Kie-bun-sut, supaya bisa memasuki Tho Hoa To.
Kemudian ia menambahkan;
“Kemudian Eng
Kouw ketahui, ia belajar lagi
seratus tahun juga tidak nanti ia dapat melawan ayahku, maka justru ia melihat
aku terluka, lantas ia……”
Mendengar itu It Teng tertawa panjang, lalu
ia berbangkit.
“Sudah, sudah!” katanya. “Segala apa terjadi
secara kebetulan, maka sekarang
tentulah dia puas!” Ia berpaling kepada empat
muridnya, untuk memerintah: “Pergi kamu menyambut dengan baik pada Lauw
Kui-hui! Eh, bukan! Kamu menyambut Eng Kouw,
kau ajak dia datang kemari. Sedikit juga kamu tidak boleh berlaku tidak hormat kepadanya.”
Tanpa berjanji, keempat murid itu menekuk
lutut mendekam akan menangismenggerung-gerung. “Suhu!” kata mereka.
It Teng Taysu
menghela napas. Ia kata: “Kamu telah mengikuti aku untuk banyak tahun,
mungkinkah kamu masih belum tahu hati gurumu?” Ia menoleh kepada Kwee Ceng dan Oey Yong,
untuk mengatakan; “Aku hendak meminta sesuatu kepada kamu.”
“Titahkan saja, supee,” menyahut si anak
muda.
“Bagus!” kata pendeta itu, “Sekarang pergilah
kamu turun gunung. Seumurku, aku banyak berhutang kepada Eng Kouw,
maka itu kalau di belakang hari dia menemui sesuatu bahaya, aku minta dengan
memandang aku si pendeta tua, haraplah kamu membantui dia secara sungguh-sungguh.
Umpama kata kamu dapat merangkap jodoh dia dengan jodoh Ciu Suheng,
aku akan lebih-lebih lagi bersyukur.”
Dua muda-mudi itu tercengang, mereka saling
mengawasi. Bukankah
Eng Kouw
datang untuk menuntut balas? Dengan perbuatannya ini, bukan saja It Teng
menutup pintu bagi siapa yang hendak menuntut balas untuknya, dia pula mau
membalas kejahatan dengan kebaikan.
Menampak dua orang itu berdiam, It Teng
bertanya; “Apakah permintaanku si pendeta tua ini sulit untuk kamu
menjawabnya?”
Oey Yong masih bersangsi
tetapi ia menjawab: “Kalau supee minta begitu, baiklah, kami menerima baik.” Ia
lantas menarik ujung baju Kwee
Ceng, untuk diajak sama-sama memberi
hormat, guna meminta diri.
“Kamu tak usah bertemu muka sama Eng Kouw,”
It Teng kata pula. “Maka pergilah kamu turun dari
gunung belakang.”
Oey Yong menyahuti, ia tarik Kwee Ceng
untuk diajak pergi.
Keempat murid itu melihat wajah si nona
tenang saja, diam-diam mereka mencaci nona itu tidak berbudi, sebab mereka
anggap nona itu tidak memikirkan keselamatannya orang yang telah menolongi dia.
Kwee Ceng mengikuti tanpa
bicara. Ia tidak percaya Oey
Yong demikian tidakberbudi. Ia
percaya si nona ada punya maksud lain. Ketika mereka sampai di mulut pintu, si
nona lantas berbisik padanya, atas mana ia mengangguk-angguk, terus ia
bertindak kembali, tindakannya perlahan.
It Teng berkata pada pemuda itu; “Kau jujur
dan setia, di belakang hari kau pasti akan berhasil melakukan sesuatu yang
besar. Maka itu, urusan Eng
Kouw pun aku perserahkan padamu.”
Kwee Ceng menyahuti baik, akan
tetapi berbareng dengan itu, dengan mendadak sekali, dengan kesebatannya yang
luar biasa, ia menyambar lengannya si pendeta bangsa India di sisi It Teng Taysu,
menyusul mana tangan kiri menotok dua jalan darah hoa-kay dan thian-cu dari
pendeta itu, hingga si pendeta tak dapat berkutik dalam detik itu juga.
Kejadian ini membikin si pelajar berempat
menjadi sangat kaget dan heran.
“He, kau bikin apa?” mereka menegur.
Tindakannya Kwee Ceng belum selesai. Ia
tidak memberikan penyahutan kepada empat orang itu, sebaliknya tangan kirinya
lantas menyambar ke pundaknya It Teng Taysu.
Menampak sambaran itu, It Teng menggeraki
tangan kanannya, gesit luar biasa, ia menyambut tangan kiri si anak muda, untuk
ditangkap.
Kwee Ceng menjadi kaget dan
heran. Ia tidak menyangka pendeta itu masih bisa menghindarkan
diri dari sambarannya. Itulah
kepandaian dahsyat, yang ia baru pernah menyaksikannya. Hanya ia mendapat
kenyataan, ketika kedua tangan saling membentur, tenaganya si pendeta lemah
sekali, maka ia lantas memutar tangannya untuk membalas menangkap. Berbareng
dengan itu, dengan tangan kanannya, Kwee Ceng menggunai jurus “Naga sakti
menggoyang ekor”, guna memukul mundur si pengail dan si tukang kayu, yang
menyerang ia dari samping. Sebab kedua murid pendeta itu, dalam kagetnya, sudah
lantas menerjang, untuk menolongi guru mereka.
Mereka ini cuma bisa maju satu kali saja,
lantas mereka dibikin tidak berdaya. Si anak muda meneruskan menotok dua jalan
darah mereka, hong-bwee dan ceng-ciok.
Ketika itu Oey Yong
juga sudah turun tangan. Dengan tongkatnya ia
mendesak mundur si petani sampai di muka pintu.
Si pelajar menjadi kelabakan.
“Berhenti, berhenti!” ia berseru
berulang-ulang. “Mari kita bicara
dulu!”
Si petani menjadi seperti kalap, dia
berkelahi nekat sekali, hendak dia merangsak, akan tetapi dia dirintangi
tongkat kaum Pengemis, saban-saban kena dipaksa mundur pula.
Kwee Ceng sekarang menerjang
keluar dari kamar suci, dia paksa memukul mundur kepada si pengail, si tukang
kayu dan si pelajar juga, hingga mereka ini terpaksa mundur setindak demi
setindak.
Oey Yong dalam melayani si
petani telah menotok ke arah alis
lawannya itu. Petani itu terkejut, dia berteriak, dengan terpaksa dia berkelit
sambil berlenggak sambil berlompat juga.
“Bagus!” berseru si nona selagi orang mundur,
lalu dengan sebat ia menutup pintu.
Sekarang ia tertawa haha-hihi dan mengatakan:
“Tuan-tuan, tahan, hendak aku bicara!”
Si tukang kayu dan si tukang pancing telah
menangkis serangannya Kwee
Ceng, mereka merasakan tangan
mereka sakit, mereka terhuyung mundur beberapa tindak, meski begitu, ketika si
anak muda maju, mereka pun maju pula dengan berbareng, guna melawan terus. Di dalam keadaan seperti itu, mereka tidak kenal
takut.
Kwee Ceng telah mendengar
suara kawannya, ia berhenti untuk melayani terlebih jauh, cepat-cepat ia
menarik pulang tangannya, sembari memberi hormat, ia kata;
“Maaf! Maaf!”
Keempat murid It Teng menjadi heran dan
melengak karenanya.
Oey Yong segera berkata;
“Kami telah menerima budi guru kamu, budi yang besar sekali, sekarang guru kamu
berada dalam bahaya cara bagaimana
kami bisa berpeluk tangan menonton saja? Maafkan perbuatan kami ini ada
berhubung sama maksud kami untuk memberi pertolongan.”
Si pelajar menjura.
“Musuh majikan kami itu ialah majikan kami
juga,” ia berkata. “Di antara kita
orang ada tingkat tinggi dan rendah, karena itu, kalau majikan kami yang wanita
itu datang ke mari, kami tidak berani
turun tangan terhadapnya. Juga guru kami, karena kematiannya sang putra selama
belasan tahun, tidak tentram hatinya, maka itu kalau sebentar Lauw Kui-hui
datang, jangan kata memangnya telah lenyap kepandaiannya, walaupun ia masih
gagah, ia tentu bakal mandah dibunuh Lauw Kui-hui. Maka hal itu sangat menyulitkan
kami, kami tidak berdaya. Dari itu nona, jikalau kamu bisa menunjuki jalan keluar
kepada kami, meski tubuh kami hancur lebur, tidak nanti kami melupakan budimu yang
besar itu.”
Melihat orang bicara demikian
sungguh-sungguh, Oey
Yong tidak mau bergurau pula.
“Kami mulanya mengharap bantuannya si orang India yang
menjadi paman guru kamu,” ia berkata, “Kami tidak menyangka, dia sebenarnya
tidak mengerti ilmu silat, karena itu sekarang aku mesti menukar siasat. Tindakan ini luar biasa, besar bahayanya. Umpama kata kita berhasil, di belakang
hari tidak bakal ada ancaman bahaya lagi, Eng Kouw
sangat licin, kepandaiannya juga tinggi, dari itu aku masih berkhawatir. Aku
bodoh, aku tidak dapat memikir lain jalan lagi……”
Si pelajar berempat mengawasi.
“Ingin kami mendengar keterangan nona,” kata
si pelajar.
Oey Yong menggeraki alisnya
yang bagus, terus ia memberikan keterangannya, mendengar mana, keempat muridnya
It Teng saling mengawasi, hingga sekian lama mereka tidak dapat membuka suara.
Ketika sang lohor tiba, dengan
perlahan-lahan, sang Batara
Surya turun ke belakang gunung.
Tinggal angin gunung, yang masih meniup-niup, membuatnya bergoyang-goyang
pepohonan di depan kuil. Juga daun-daun kering di pengempang mengasih dengar
suaranya yang halus. Tinggallah sinar layung, yang membuatnya puncak gunung
berbayang, rebah bagaikan satu raksasa……
Si tukang pancing berempat duduk bersila di
ujungnya jembatan batu, mata mereka diarahkan ke ujung lain dari jembatan itu.
Hati mereka masing-masing tidak tentram.
Lama mereka menanti, sampai sang
magrib tiba. Beberapa ekor gagak terbang dengan suaranya yang berisik, terbang
pergi ke selat gunung.
Masih di ujung jembatan sana tak nampak siapa juga.
“Mudah-mudahan Lauw Kui-hui mengubah
pikirannya,” berkata si tukang pancing di dalam hatinya. “Di
dalam hal ini, suhu tidak dapat dipersalahkan. Biarlah dia tak datang untuk
selama-lamanya……”
“Lauw Kui-hui sangat cerdik, tentulah ia
sekarang lagi memikirkan akal muslihatnya,” si tukang kayu berpikir lain.
Si petani adalah yang paling tak sabaran.
“Biarlah dia datang lebih siang, supaya
urusan pun beres lebih siang!” pikirnya. “Biar bahaya biar rejeki, biar baik
biar jahat, biarlah lekas ada keputusannya! Dikatakan datang, dia tidak datang,
apa itu tidak membikin orang bergelisah?”
Si pelajar sebaliknya pikir; “Makin lambat
dia datang, makin berbahaya ancaman bencananya. Sebenarnya soal sulit sekali……”
Sebetulnya pelajar ini pintar dan pandai
berpikir, belasan tahun dia menjadi perdana menteri negara Tali, pernah dia
menghadapi banyak perkara besar dan peperangan juga, tetapi belum pernah dia
menghadapi saat tegang sebagai ini. Maka dia jadi berpikir keras, apapula
ketika itu, cuaca jadi semakin gelap, di tempat jauh di sana, tak nampak suatu apa, kecuali suara
yang menyeramkan dari si burung malam, si kokok beluk atau burung hantu. Tidak
heran kalau kemudian dia ingat kepada dongeng semasa ia kecil.
“Si kucing malam bersembunyi di tempat gelap,
dia mencuri alisnya beberapa orang, alis
yang dapat dia menghitungnya dengan tepat, maka umur dia itu tak menanti sampai
fajar……”
Dengan si kucing malam dimaksudkan si burung
hantu. Dan cerita itu dongeng belaka,
akan tetapi karena teringatnya di waktu sore, dalam suasana seperti itu, mau atau
tidak, bulu roma menjadi terbangun sendirinya. Hebat pengaruhnya suara si
burung hantu itu……
“Mungkinkah suhu tidak bakal lobos dari
takdirnya ini, dan ia mesti mati di tangannya seorang wanita?” si pelajar
berpikir.
“Nah, dia datang ‘tu!” mendadak terdengar
suara si tukang kayu, suaranya perlahan dan bergemetar.
Benar saja, di atas jembatan, terlihat
berkelebatnya satu tubuh manusia. Tiba di bagian liang
atau ceglokan, dengan pesat bayangan itu berlompat. Dia begitu gesit hingga si
pelajar berempat menjadi heran, hingga mereka berpikir: “Ketika dia
belajarsilat pada suhu, kita sudah mewariskan kepandaian suhu, kenapa sekarang
dia menjadi terlebih lihay daripadaku? Selama belasan tahun ini, di mana ia
meyakinkan ilmu silatnya itu?”
Selagi orang itu mendatangi bagaikan
bayangan, si pelajar berempat lantas bangun untuk berdiri, segera mereka
memecah diri ke kedua sisi.
Cepat sekali orang itu telah tiba. Dia mengenakan pakaian hitam, cuaca pun gelap, tetapi dia dapat lantas
dikenal. Memang
dialah Lauw Kui-hui, selir yang dicintai Toan Hongya.
Maka lantas mereka itu memberi hormat sambil mengucapkan: “Siauwjin menghadap
Nio-nio!”
Mereka menyebut diri: “siauwjin”, hamba yang
rendah dan memanggil nyonya itu dengan Nio-nio, sebutan mulia untuk seorang
permaisuri.
“Hm!” Eng Kouw
mengasih dengar suaranya, sedang matanya menyapu empat orang itu.
“Apakah Nio-nio
itu?” katanya bengis. “Lauw kui-hui sudah lama mati! Aku ialah Eng Kouw.
Hai, yang mulia Perdana
Menteri, yang mulia Jenderal Besar,
yang mula Laksamana dan Pemimpin dari Pasukan Gielimkun,
kiranya kamu semua ada di sini!
Aku menyangka Sri Baginda benar-benar sudah melupai dunia,
dia menjadi pendeta, siapa tahu dia justru bersembunyi di sini, dia tetap masih
menjadi kaisar yang berbahagia!”
Hati empat orang itu berdenyutan. Suara
kui-hui sangat tak enak terdengarnya.
“Sekarang ini Sri baginda bukan lagi seperti
Sri Baginda dulu hari,” berkata si pelajar, si bekas perdana menteri yang mulia
itu, “Kalau Nio-nio melihat padanya, pasti Nio-nio tidak
bakal mengenalinya.”
“Hai, masih kamu menyebut Nio-nio!” membentak
Eng Kouw, “Apakah kamu hendak mengejek aku?
Apa perlunya kamu hendak memberi hormat padaku sampai aku mati?”
Keempat orang itu saling melirik, lantas
mereka bangun berdiri.
“Hambamu yang rendah mengharap kesehatan
Nio-nio,” kata mereka.
Eng Kouw mengangkat
tangannya.
“Hongya menitahkan kamu memegat aku, perlu
apa ini segala macam adat istiadat?” katanya. “Jikalau kamu hendak turun
tangan, lekas kamu menggeraki tangan kamu!
Kamu raja dan menteri setahulah kamu telah
mencelakai berapa banyak rakyat negeri, maka terhadap aku, seorang wanita,
perlu apa kamu masih berpura-pura?”
“Raja kami mencintai rakyatnya seperti dia
mencintai anaknya sendiri,” berkata si pelajar, “Dia sangat bijaksana dan mulia
hatinya, jangan kata mencelakai orang yang tidak bersalah dosa, sekalipun
seorang penjahat besar, dia masih menyayanginya!
Mustahilkab Nio-nio tidak ketahui itu?”
Muka Eng Kouw menjadi merah.
“Beranikah kamu main gila terhadap aku?” dia
menanya bengis.
“Hambamu tidak berani……”
“Kamu menyebut hambamu, sebenarnya di antara
kita mana ada lagi raja dan menterinya?” kata Eng Kouw.
“Sekarang aku hendak menemui Toan Tie Hin, kamu hendak memberi jalan atau
tidak?”
Toan Tie Hin itu ialah namanya Toan Hongya
alias It Teng Taysu. Si pelajar berempat mengetahui itu tetapi mereka tidak
pernah berani menyebut itu, maka itu terkesiap hati mereka akan mendengar Eng Kouw
menyebutnya seenaknya saja.
Si petani yang asalnya adalah komandan
Gielimkun, pasukan raja, menjadi habis sabar. Dia kata dengan keras; “Siapa
satu hari pernah menjadi raja, dia agung seumur hidupnya, maka mengapa kau
mengucap kata-kata tidak karuan?”
Eng Kouw tertawa panjang,
tanpa membilang suatu apa, ia berlompat maju.
Keempat orang itu mengulur tangan mereka,
untuk memegat. Mereka pikir:
“Meskipun dia libay, mustahil kita tidak
dapat merintangi dia? Biarnya kita melanggar titah Sri
Baginda, karena terpaksa, kita
tidak bisa berbuat lain……”
Eng Kouw tidak menggunai
kedua tangannya, baik untuk mendorong mereka dapat atau untuk meninju, dia maju
terus, bersedia akan membenturkan tubuhnya kepada mereka itu!
Si tukang kayu terkejut. Tentu sekali ia
tidak berani membiarkan tubuhnya ditubruk, itu artinya mereka saling membentur
tubuh. Maka ia berkelit ke samping, sebelah tangannya diulur, guna menyambar ke
pundak si nyonya, bekas junjungannya itu. Ia menyambar dengan cepat, ia juga menggunai tenaga, akan tetapi ketika
tangannya mengenai sasarannya, ia heran. Ia menjambak sesuatu yang lunak dan licin, ia
gagal mencekuk si nyonya.
Justru itu si petani dan tukang pancing,
sambil berseru, menyerang dari kiri dan kanan!
Eng Kouw tidak menangkis, ia
hanya berkelit. Ia mendak, lalu ia molos bagaikan ular licin di bawahan
tangan kedua penyerangnya itu. Berbareng dengan itu, si tukang pancing mendapat cium bau
yang harum sekali, hingga ia terkejut, hingga lekas-lekas ia menggeser
incarannya, khawatir nanti mengenai tubuh nyonya itu.
“Bagaimana he?” membentak si petani, gusar.
Dengan sepuluh jarinya yang kuat, ia menyambar ke pinggang selir raja itu.
“Jangan kurang ajar!” membentak si tukang
kayu.
Si petani tidak menghiraukan bentakan itu, ia
meluncurkan terus tangannya, hingga ia mengenakan sasarannya, hanya untuk
herannya, ia membentur sesuatu yang licin, hingga ia tidak dapat mencengkeram!
Demikian dengan ilmu lindungnya, Eng Kouw
meloloskan diri dari rintangannya tiga bekas menterinya itu, maka sekarang
tahulah ia mereka tidak dapat mencegah padanya. Karena ini, ia lantas membalas, sebelah tangannya melayang kepada si
petani.
Melihat demikian, si pelajar menyerang dengan
totokannya, ke lengan bekas selir itu, tetapi ini junjungan wanita tidak
memperdulikannya, bahkan dia juga mengeluarkan jari tangannya, memapaki totokan
itu, hingga tangan mereka bentrok seketika.
Bukan main kagetnya si pelajar, hingga dia
berseru. Bentrokan itu membikin dia merasa sangat sakit, tubuhnya pun lantas
roboh terbanting.
Si tukang kayu dan si tukang pancing
berlompat, guna menolongi kawannya itu.
Si petani dengan kepalannya, menyerang Lauw
Kui-hui, untuk merintangi nyonya itu nanti menyusuli serangannya kepada
kawannya yang roboh itu. Tangannya ini keras bagaikan besi.
Eng Kouw hendak menguji
kepandaiannya yang ia ciptakan sendiri selama hidup menyendiri di rawa lumpur
hitam, ia tidak menyingkir dari serangan itu. Sikapnya ini membikin kaget
penyerangnya. Karena si petani pikir, kalau ia mengenakan sasarannya, tentulah
hancur lebur batok kepalanya kui-hui itu. Ia lantas menarik pulang, tetapi
dengan begitu kepalannya itu mengarah juga hidung Eng Kouw!
Nyonya itu berkelit dengan cepat, kepalan
lewat di depan hidungnya, mengenakan pipi si nyonya. Justru ia terkejut, justru
tangannya dapat kena ditangkap. Ia kaget dan berontak, atau lantas ia merasakan
tangannya sakit, sebab tangan itu kena dibikin patah! Ia mengertak gigi, tanpa
menghiraukan tangan patah itu, dengan tangan kanannya, ia segera menotok ke
ceglokan sikut.
Si pelajar berempat telah mendapat pelajaran
baik dari guru mereka, meski belum mereka mewariskan ilmu silat It Yang Cie,
buat di dunia kangouw, sudah jarang tandingan mereka, maka mereka tidak
menyangka pada diri Eng
Kouw mereka seperti membentur
batu. Tentu sekali, saking kerasnya niatnya menuntut balas, si nyonya pun mempelajari
senjata rahasia yang berupa jarum emas. Ia mengambil
dasar dari gerakan menyulam. Telunjuk kanannya dipakaikan gelang seperti cincin emas,
pada cincin itu ada tiga batang jarumnya yang dipakaikan racun. Demikian sambil
tertawa dingin, ia menyambut si petani.
Bagaikan orang yang menusuki diri pada jarum,
demikian si petani. Begitu tangannya ketusuk, begitu ia menjerit, begitu juga
tubuhnya roboh seperti si pelajar tadi!
“Hm, paduka congkoan!” Eng Kouw
tertawa dingin. Ia lantas nerobos maju.
“Nio-nio, tahan!” berseru si tukang pancing.
Eng Kouw memutar tubuhnya.
“Kau mau apa?” ia menanya dingin.
Sekarang si nyonya sudah tiba di depan
pengempang. Pengempang itu dipisahkan dengan rumah suci dengan sebuah jembatan
batu yang kecil dan ia sudah berada di kepala jembatan. Ia mengawasi dengan
roman dan sinar mata bengis, di dalam gelap, sinar matanya itu nampak nyata.
Maka terkejutlah si tukang pancing melihat sinar mata itu, hingga ia tidak
berani menerjang.
“Yang mulia perdana
menteri dan yang mulia congkoan berdua telah terkena jarumku. Cit Ciat
Ciam, maka di kolong langit ini sudah
tidak ada orang yang dapat menolong mereka!” kata Eng Kouw dingin. Habis
berkata begitu, ia memutar pula tubuhnya, tanpa menanti jawaban, ia berjalan
maju, perlahan tindakannya, tidak ia berpaling pula. Nyata ia tidak khawatir
yang orang nanti menyerang dengan membokong kepadanya.
Jembatan batu yang kecil itu cuma
seperjalanan kira duapuluh tindak, ketika si nyonya hampir sampai di ujung
penghabisan, di sana
dari tempat yang gelap muncul satu orang, muncul secara tiba-tiba, hanya dia
segera memberi hormat seraya berkata:
“Adakah cianpwee baik-baik saja?”
Eng Kouw terkejut. Ia berkata di dalam hatinya: “Ini orang muncul secara tiba-tiba begini! Kenapa aku tidak
mengetahui dari siang-siang? Jikalau dia menurunkan tangan jahat, pastilah aku
telah terbinasa atau sedikitnya terluka……”
Maka ia lantas mengawasi. Ia melihat seorang
dengan tubuh tinggi dan dada lebar, alisnya gompiok, matanya besar. Ia pun
lantas mengenali Kwee
Ceng, si anak muda yang ia berikan
petunjuk untuk datang ke gunung ini.
“Apakah lukanya si nona kecil sudah sembuh?”
ia menanya.
“Terima kasih untuk petunjuk cianpwee,”
menyahut si anak muda sambil menjura.
“Lukanya sumoayku syukur telah diobati sembuh
oleh It Teng Taysu.”
“Hm! Kenapa dia tidak datang sendiri
menghaturkan terima kasih padaku?” Eng Kouw tanya, sembari berkata, ia bertindak maju.
Kwee Ceng berdiri di ujung
jembatan, ia tahu orang hendak menerobos tak perduli ia bakal terbentur.
“Cianpwee, silahkan kembali!” ia berkata
cepat.
Eng Kouw tidak
menghiraukannya, ia maju terus. Bahkan dengan menggunai Nie-ciu-kang, ilmu
silat “Lindung”, ia nerobos ke samping kiri si anak muda.
Kwee Ceng pernah menempur
nyonya ini di rawa lumpur hitam, di rumah si nyonya, ia tidak menyangka orang
ada selicin demikian, dalam heran dan kagetnya itu, ia berlompat, lantas ia menyerang dengan tangan
kirinya, yang dilancarkan ke belakang.
Ia telah menggunai ilmu silat Kong Beng
Kun ajarannya Ciu Pek Thong.
Eng Kouw sudah melewati si
anak muda ketika ia terkejut atas berkesiurnya angin kepalan, halus tetapi
keras. Untuk menolong diri seharusnya ia mundur pula, akan tetapi ia telah
berkeputusan pasti, untuknya ada maju tidak ada mundur, maka juga, ia tahu apa
yang ia mesti lakukan.
“Hati-hati!” Kwee Ceng
berteriak. Atau mendadak ia merasakan ada tubuh wanita yang halus yang menubruk
lengannya, selagi ia kaget, kakinya telah kena digaet si nyonya, hingga tidak
ampun lagi, keduanya jatuh ke arah pengempang.
Selagi tubuhnya belum jatuh ke air, tangan
kiri Eng Kouw dilewatkan di bawahan ketiak kanan Kwee Ceng,
diangkat ke atas, ke belakang leher, terus ke pundak kiri si anak muda, untuk
dipakai mencekek tenggorokan anak muda itu, untuk itu ia menggunakan dua
jerijinya jempol dan tengah. Inilah ilmu silat “Siauw-kim-na” atau “Tangkapan
kecil” jurus “Memencet tenggorokan menutup napas”. Kalau orang kena terpencet, ia bisa lantas putus napasnya.
Kwee Ceng merasakan gerakan
tangan orang itu, ia terperanjat. Ia tahu yang ia terancam
bahaya. Dengan
lantas ia membela diri. Ia juga menggeraki tangan kanannya ke arah lehernya si
nyonya, hanya ia bukan mengarah tenggorokan hanya belakang leher, sebab ia
menggunai tipu serupa untuk bagian belakang, sedang Eng Kouw
untuk bagian depan.
Eng Kouw lantas merasa akan
gerakannya pihak lawan. Ia pun tahu lihaynya pencetan itu, maka ia berdaya
untuk menghindarkannya.
Jembatan itu tidak tinggi, jaraknya ke muka
air dekat sekali, meski begitu, sebelum tubuh dua orang itu tercebur, mereka
sudah saling menyerang atau membela diri.
Diakhirnya, “Byur!” maka keduanya jatuh ke
air!
Empang itu dalam kira dua kaki, di situ ada
lumpurnya, maka setelah berada di dalam pengempang, keduanya kerendam air
sebatas dada.
Eng Kouw licik sekali. Dengan tangan kiri ia merogoh ke dalam air, ia mengambil lumpur, dengan itu
ia lantas menghajar mukanya si anak muda.
Kwee Ceng terkejut, ia
berkelit.
Di dalam bergerak di
lumpur, itulah keistimewaannya si nyonya. Sudah belasan tahun ia berlatih di
rawa lumpur, maka juga tubuhnya dapat bergerak dengan lincah sekali, mirip
dengan lindung. Kalau di darat dia licin, di air terlebih lagi. Ini juga sebabnya ia berhasil menubruk si anak muda, untuk mereka kecebur
bersama. Ia percaya, dengan bertempur di air, dapat ia melewati anak muda ini.
Di dalam air, Kwee Ceng
kalah gesit. Rugi untuknya, ia juga tidak berani menyerang melukai nyonya itu.
Karena ia cuma bertujuan merintangi si nyonya. Maka lekas juga ia terdesak. Berulang-ulang ia diserang dengan lumpur, hingga ia selalu mesti main
berkelit. Akhirnya
ia gelagapan, ketika ada juga lumpur yang menimpa mukanya sebelum ia sempat
berkelit, ia cuma bisa menutup matanya. Sambil membela diri dengan sebelah tangan, dengan tangan yang lain
ia singkirkan tanah basah itu. Ia telah diajari Kanglam Liok
Koay, kalau terkena senjata
rahasia, jangan sekali kehilangan ketabahan, kalau kita gugup atau bingung,
leluasa musuh mengulangi serangannya.
Maka itu, ia membela diri sambil menyerang
beruntun tiga kali.
Eng Kouw yang pintar
menyingkir dari setiap serangan itu, ia berlompat naik ke darat, dari itu
ketika kemudian Kwee
Ceng sudah bisa membuka matanya,
ia tengah lari menuju ke dalam kuil. Di
dalam hatinya ia kata: “Sungguh hebat! Kalau tidak ada pengempang, tidak nanti
aku dapat mengundurkan bocah tolol itu. Rupanya Thian
ada besertaku, supaya aku berhasil menuntut balas……”
Segera juga ia sampai di depan pintu. Ia
mengajukan sebelah tangannya, akan menolak daun pintu.
“Blak!” demikian satu suara nyaring dan pintu
terbuka dengan gampang. Ia menjadi terkejut bahna herannya. Tentu sekali ia
berkhawatir nanti ada musuh bersembunyi, maka ia tidak lantas maju terus untuk
masuk, ia hanya berdiri diam sambil memasang mata.
Kuil itu sunyi senyap. Karena itu baru ia
bertindak masuk.
Di pendopo ada api
pelita, menyorotkan roman agung dari patung sang Buddha
yang dipuja di situ. Ia lantas berlutut memberi
hormatnya, ia memuji agar ia dibantu melaksanakan pembalasannya. Tengah ia memuji,
tiba-tiba ia mendengar suara tertawa perlahan dan geli di sebelah belakangnya.
Ia terkejut. Segera ia bersiap membela diri, ialah dengan tangan kiri ia
menyampok ke belakang, dengan tangan kanan ia menekan tikar untuk berlompat
bangun sambil memutar tubuhnya.
“Bagus!” ia mendengar
pula satu suara, kali ini pujian untuk lompatannya yang lincah itu. Ia mengenali suaranya
seorang nona. Ketika ia sudah mengawasi - karena ia pun tidak diserang - segera
ia melihat tegas siapa nona itu, ialah Oey Yong!
Nona Oey mengenakan baju
hijau dengan ikat pinggang merah, gelang rambutnya yang terbuat dari emas
berkeredep berkilauan. Pada wajahnya yang cantik terlihat senyuman manis. Sedang tangannya mencekal Lek-tiok-thung, tongkat
keramat dari Kay
Pang, Partai Pengemis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar