Jumat, 16 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 53


Kongsun Lik-oh

Kembalinya Pendekar Rajawali 53



Keruan Kongsun Lik-oh menjerit kaget, syukur sebelah tangannya sempat menahan pada batu karang, sekuatnya ia meloncat ke atas, pula Yo Ko telah bantu menahan punggungnya sehingga dapat-lah si nona tertolong ke atas.
Tapi karena selingan itu, buaya terakhir tadi sudah berada di samping Yo Ko, mulutnya terpentang lebar terus menggigit pundak anak muda itu.
Dalam keadaan begitu Yo Ko tidak sempat memukul atau menendangnya lagi, walaupun dapat melompat untuk menghindar tapi bila mulut buaya yang lebar itu terkatup, bukan mustahil badan Kongsun Lik-oh yang akan menjadi mangsanya, Tiada jalan lain, terpaksa kedua tangan Yo Ko bekerja sekaligus, ia pentang mulut buaya itu se-kuatnya, mendadak ia menggertak keras dan mengerahkan tenaga, terdengarlah suara “kletak” moncong buaya yang panjang itu sempal dan robek, seketikapun mati.
Walaupun sudah membinasakan buaya buas itu, namun Yo Ko sendiripun berkeringat dingin.
“Kau tidak cidera bukan?” tanya Lik-oh kuatir.
“Tidak,” jawab Yo Ko, hatinya sedikit terguncang mendengar suara si nona yang halus dan penuh simpatik itu.
Karena terlalu kuat mengeluarkan tenaga, kedua lengan sendiri terasa rada sakit.
Memandangi bangkai buaya yang menggeletak diatas batu karang itu, dalam hati Kongsun Lik-oh sangat kagum, katanya: “Dengan bertangan kosong cara bagaimana engkau dapat membinasakan dia? Dalam kegelapan engkau ternyata dapat melihatnya dengan jelas.”
“Cukup lama kutinggal di kuburan kuno bersama Kokoh, asal ada sedikit sinar terang saja dapatlah aku melihatnya,” kata Yo Ko. Teringat kuburan kuno dan Siao-liong-li, tanpa terasa ia menghela napas, mendadak seluruh badan kesakitan tak tertahankan ia menjerit sekerasnya.
Dua ekor buaya sebenarnya sedang merambat ke atas karang, karena jeritan Yo Ko yang menyeramkan itu, buaya2 itu kaget dan melompat kembali ke dalam kolam.
Cepat Kongsun Lik-oh memegangi lengan Yo Ko, tangan yang lain mengusap pelahan dahi anak muda itu dengan harapan akan dapat mengurangi rasa sakitnya.
Yo Ko menyadari tubuhnya sendiri yang keracunan itu, sekalipun tidak terjeblos ke dalam sumur di bawah tanah ini juga hidupnya takkan lama, menurut ceritera Kongsun Kokcu itu, katanya akan menderita selama 36 hari baru mati, namun rasa sakit yang sukar ditahan ini, asal kumat beberapa kali lagi terpaksa aku akan membunuh diri saja.
Tapi sesudah ku mati, nona ini akan kehilangan teman dan pelindung, bukankah harus dikasihani ? padahal beradanya dia di sini adalah disebabkan membela diriku, Ya, apapun penderitaanku aku harus bertahan dan tetap hidup, semoga Kokcu itu mempunyai perasaan sebagai ayah dan akhirnya berubah pikiran dan mau menolong puterinya keluar dari sini Karena memikirkan Kongsun Lik-oh, sementara melupakan Siao-liong-li sehingga rasa sakitnya segera mereda. Katanya kemudian: “Nona Kongsun jangan kuatir, kuyakin ayahmu pasti akan menolong kau nanti. Dia cuma benci padaku
seorang, terhadapmu dia tentu sayang, kini pasti menyesali.”
Dengan air mata berlinang Kongsun Lik-oh berkata: “Ketika ibuku masih hidup memang ayah sangat sayang padaku. Tapi setelah ibu meninggal makin hari makin dinginlah ayah terhadapku Na-mun kutahu dalam… dalam hatinya tidaklah… tidaklah benci padaku.” - ia berhenti sejenak dan teringat kepada macam-macam kejadian aneh, tiba-tiba ia berkata puIa: “Nyo-toako, bila kupikir sekarang rasa2nya ayah sebenarnya takut padaku.”
“Mengapa dia bisa takut padamu? Sungguh aneh.” Ujar Yo Ko.
“Memang begitulah,” kata Lik-oh “Dahulu selalu kurasakan gerak-gerik ayah kurang wajar apabila bertemu denganku, seakan-akan di dalam hatinya tersimpan sesuatu rahasia dan kuatir diketahui olehku.”
Walaupun sudah lama Lik-oh merasa heran atas sikap ayahnya itu, tapi setiap kali bila memikirkan hal itu, selalu ia anggap mungkin ayahnya merasa sedih karena wafatnya ibunya sehingga perangainya juga rada berubah, Tapi terceburnya dia ke dalam kolam buaya ini jelas perangkap
yang telah diatur ayahnya.
Ketika ayahnya menggeser ketiga anglo di kamar obat itu, jelas itulah pesawat rahasianya. Kalau dikatakan ayah Cuma dendam kepada Yo Ko dan harus membunuhnya, maka anak muda ini sudah terkena racun bunga cinta, asalkan tidak diberi obat penawar tentu dia akan binasa, apalagi dia terjeblos ke dalam kolam buaya, lantas apa sebabnya ayah mesti mendorong diriku pula ke dalam kolam ini? Tenaga dorongannya yang keras itu jelas tiada lagi punya perasaan seorang ayah terhadap anak perempuannya.
Begitulah makin dipikir makin sedih hatinya, tapi dalam hati iapun semakin jelas duduknya perkara, semua tindak dan kata sang ayah dahulu yang membingungkan dan sering dianggapnya aneh, kalau terpikir sekarang jelas semua itu disebabkan oleh rasa “takut”, cuma apa sebabnya seorang ayah bisa merasa takut terhadap puteri kandungnya sendiri inilah yang sukar dipahami.
Dalam pada itu di dalam kolam sedang terjadi hiruk pikuk, kawanan buaya sedang pesta pori mengganyang bangkai buaya yang dibunuh Yo Ko tadi sehingga tiada seekorpun yang menyerang ke atas karang.
Melihat si nona termangu-mangu, Yo Ko bertanya: “Apakah mungkin ada sesuatu rahasia ayahmu yang dipergoki olehmu tanpa sengaja?”
“Tidak,” jawab Lik-oh sambil menggeleng “Tindak tanduk ayah sangat kereng dan tertib, cara menyelesaikan sesuatu urusan juga adil dan bijaksana sehingga setiap orang sangat hormat dan segan padanya. Tindakannya terhadap dirimu memang tidak baik, tapi biasanya beliau tidak pernah berbuat hal-hal kurang wajar.”
Karena tidak tahu seluk beluk keadaan Cui-sian-kok di masa Ialu, dengan sendirinya Yo Ko lebih-lebih tidak dapat ikut memecahkan persoalan yang dipikirkan si nona.
Kolam buaya itu berada di bawah tanah yang sangat dalam, dinginnya menyerupai gua es, apalagi kedua orang basah kuyup, tentu saja, rasa dinginnya merasuk tulang. Bagi Yo Ko yang sudah pernah berlatih Lwekang dengan tidur didipan batu kemala di kuburan kuno tempat Siao liong-fif itu, sedikit rasa dingin ini tidaklah menjadi soal, tapi Kongsun Lik-oh jelas tidak tahan, ia menggigil kedinginan dan meringkuk dalam pelukan NyoKo untuk mencari hangat Yo Ko pikir jiwa anak perempuan ini dalam bahaya, dalam hati tentu merasa sedih dan takut pula, maka ia sengaja berkelekar untuk menyenangkan hati Lik-oh, dilihatnya kawanan buaya sedang merebut pangan di dalam kolam secara ganas dan menyeramkan maka dengan tertawa ia berkata: “Nona Kongsun, jika nanti kita mati semua, pada jelmaan hidup yang akan datang kau ingin menjelma menjadi apa? Kalau buaya yang buruk ini, terang aku tidak mau.” Lik-oh tersenyum dan menjawab: “Jika begita boleh kau menjelma menjadi bunga Cui-sian saja, harum lagi cantik dan disukai setiap orang.”
“Hanya engkau yang sesuai menjelma menjadi bunga.” ujar Yo Ko dengan tertawa, “Kalau aku umpama menjelma menjadi bunga juga paling-paling menjadi bunga terompet atau bunga tahi sapi.”
Kongsun Lik-oh terkekeh geli, katanya: “Kalau Giam-lo ong (raja akhirat) suruh kau menjelma menjadi bunga cinta, kau mau tidak?”
Yo Ko terdiam dan tidak menjawab, diam-diam ia merasa gemas, pikirnya: “Sebenarnya gabungan ilmu pedangku dengan Kokoh pasti akan dapat menusukkan Kokcu bangsat itu, konyolnya justeru Kokoh tertusuk oleh duri bunga cinta dikamar senjata itu, sedangkan Giok-li-kiam-hoat justeru harus dimainkan oleh dua orang yang bersatu hati dengan penuh rasa mesra baru nampak daya kerjanya. Ai, agaknya memang sudah takdir dan apa daya, Hanya Kokoh entah berada di mana sekarang.
Teringat kepada Siao-licng-li, tiba-tiba luka-di berbagai tempat tubuhnya menjadi kesakitan lagi.
Melihat anak muda itu diam saja, Kongsun Lik-oh tahu seharusnya dirinya jangan menyebut lagi bunga cinta, maka cepat ia menyimpangkan pokok bicara, katanya: “Nyo-toako, engkau dapat melihat buaya, tapi pandanganku terasa gelap dan tidak melihat apa-apa”
“Moncong kawanan buaya itu sangat buruk, lebih baik jangan kau melihatnya. “ujar Yo Ko tertawa sambil menepuk pelahan bahu si nona sebagai tanda simpatiknya, Tak terduga kalau tanganya menyentuh badan yang halus licin tanpa baju, rupanya Kongsun Lik-oh telah membuka pakaiannya ketika ayahnya menuduh dia mencuri obat sehingga yang dia pakai hanya tinggal kutang saja, dengan sendirinya dari pundak hingga lengan tiada tertutup oleh sesuatu.
Yo Ko terkejut dan cepat menarik kembali tangannya, Lik-oh membayangkan keadaan dirinya tentu telah dapat dilihat seluruhnya oleh anak muda yang sanggup melihat sesuatu di tempat gelap itu, betapapun ia menjadi malu.
Kalau tadi mereka saling meringkuk menjadi satu ketika berusaha menghalau kawanan buaya tanpa memikirkan soal lelaki dan perempuan, kini yang satu menarik kembali tangannya dan yang lain merasa malu, keadaan menjadi serba kikuk malah.
Yo Ko menggeser rada jauh berduduknya dan menanggalkan baju sendiri untuk diselampirkan pada tubuh si nona. Waktu membuka baju ia menjadi teringat kepada Siao-liong-li dan juga terbayang si Thia Eng yang telah menjahitkan bajunya itu, terpikir pula Liok Bu - siang yang rela mati baginya itu, ia menjadi gegetun takdapat membalas budi kebaikan nona2 itu.
Kongsun Lik-oh lantas memakai baju Yo Ko itu dan mengikat tali pinggangnya, tiba-tiba ia merasa dalam saku baju Yo Ko itu ada suatu bungkus kecil, segera ia merogohnya keluar dan diserahkan kepada yang empunya, katanya: “Apakah ini? Apakah kau takkan menggunakannya?”
Yo Ko menerimanya dan berkata dengan heran: “Barang apakah ini?”
“Kan barang di dalam sakumu, masakah kau malah tanya padaku?” ujar Lik-oh dengan heran.
Waktu Yo Ko mengamati, kiranya adalah suatu bungkusan kecil dari kain kasar warna biru yang selamanya belum pernah diIihatnya. Segera ia membukanya, mendadak pandangannya terbeliak, ternyata bungkusan itu berisi empat macam barang, di antaranya sebilah belati kecil, pada gagang belati itu terbingkai sebutir mutiara sebesar biji buah kelengkeng yang mengeluarkan sinar.
“Hei!” seru Lik-oh sambil mencomot sebuah botol kecil warna hijau dalam bungkusan itu: “lnilah Coat-ceng-tan!”
Terkejut dan girang pula Yo Ko, tanyanya : “lnikah Coat-ceng-tan yang dapat menyembuhkan racun bunga cinta itu?”
“Ya, sampai lama sekali aku mencarinya di kamar obat ayah dan tidak menemukannya, mengapa malah sudah diambil olehmu?” jawab Lik - oh kegirangan.
“Cara bagaimana kau mengambilnya ? Kanapa tidak kau minum saja? Ah, barangkali kau tidak tahu bahwa inilah Coat-ceng-tan yang kita cari itu?”
Yo Ko meng-garuk-garuk kepala, katanya: “Memangnya sama sekali aku tidak… tidak tahu, botol… botol obat ini mengapa bisa berada didalam saku bajuku, sungguh aneh.”
Berkat cahaya yang terpantul dari belati yang mengkilat itu, dapat pula Kongsun Lik-oh mehhat benda-benda dekatnya, terlihat isi bungkusan itu kecuali belati dan Coat-ceng-tan masih ada pula secarik kertas dan setengah potong Lengci (sejenis obat tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat seperti kolesom dsb.”
Tergerak pikiran Lik-oh, katanya: “He, potongan Lengci itu jelas dipetik oleh Lo-wan-tong itu.”
“Lo-wan-tong? Kau tidak keliru?” kata Yo Ko.
“Ya, pasti dia,” jawab Lik-oh. “Kamar penyimpan Lengci dibawah pengurusanku, Lengci ini jelas-jelas berasal dari sana, waktu Lo-wan-tong mengobrak-abrik sini, membakar kitab dan lukisan, mencuri pedang, merusak anglo dan memetik Lengci, semua adalah perbuatannya.”
“Ya, ya tahulah aku!” tiba-tiba Yo Ko berseru menyadari duduknya perkara.
“Ada apa?” tanya Lik-oh.
“Sekarang kutahu Ciu-locianpwe itulah yang menaruh bungkusan kecil ini ke dalam bajuku,” kata Yo Ko. Sekarang iapun tahu sesungguhnya Ciu Pek-tong bermaksud membantunya secara diam-diam,maka dari sebutan “Lo-wan-tong” telah digantinya dengan sebutan “Ciulocianpwe”
Kongsun Lik-oh juga mulai paham persoalannya, ia tanya: “Dia yang menyerahkan padamu?”
“Tidak,” sahut Yo Ko. “Tokoh Ba-Iim yang jenaka ini sungguh sukar dijajaki tindak tanduknya Dia telah mengambil gunting dan kedokku di luar tahuku, malahan akupun tidak tahu sama sekali kalau dia juga menaruh bungkusan kecil ini dalam bajuku, Ai, sungguh kepandaianku teramat jauh kalau dibandingkan orang tua itu.”
“Agaknya memang begitulah” kata Likoh, “Ketika ayah menuduh dia mencuri dan suruh dia mengembalikan barangnya, namun Lowantong itu telah mem… membuka baju di depan orang banyak dan memang tidak membekal sesuatu benda apapun.”
“Dia membuka baju dan telanjang bulat sehingga Kokcu juga kena dikelabuhi, kiranya bungkusan, ini sudah dia alihkan ke dalam bajuku,” kata Yo Ko dengan tertawa.
Lik-oh membuka gabus tutup botol itu, dengan hati-hati ia menuang obat pada telapak tangannya ternyata Cuma tertuang keluar satu butir pil yang berbentuk persegi seperti dadu, warnanya hitam mulus, baunya amis dan busuk.
Pada umumnya obat pil tentu berbentuk bundar agar mudah meminumnya, jika obat kapsul tentu juga berbentuk lonjong, tapi pil berbentuk persegi begini sungguh tidak pernah dilihat oleh Yo Ko. ia coba mengambilnya dari tangan si nona dan diamat-amatinya.
“Kemudian Kongsun Lik-oh meng-goyak2 botol itu, lalu dituang pula serta di-ketok2 pada telapak tangahnya, namun ternyata tiada isinya lagi.
“Sudah kosong, hanya satu biji ini melulu,” katanya.
“Lekas engkau meminumnya, bisa runyam kalau sampai jatuh ke kolam.”
Selagi Yo Ko hendak memasukkan pil itu ke mulut, ia jadi merandek mendengar si nona menyatakan obat itu cuma sata biji melulu, segera ia menegas: “Mengapa isi botol cuma satu biji? Masih ada tidak di tempat ayahmu?”
“Justeru cuma ada satu biji ini, maka sangat berharga, kalau tidak, buat apa ayah marah-marah padaku,” kata Lik-oh.
Yo Ko terkejut, katanya: “Jika begitu, dengan cara bagaimana ayahmu akan menolong Kokohku yang sekujur badan tercocok duri bunga cinta itu?”
“Pernah kudengar ceritera Toasuhengku, katanya pil ini mestinya dua biji, tapi entah mengapa kemudian cuma sisa satu biji ini saja,” tutur Lik-oh, “Bahkan resep pembuatan obat ini sudah bilang, “ayahku sendiripun tidak tahu, sebab itu Toasuheng memberi peringatan agar waspada dan jangan sampai terkena racun duri bunga itu”
“Wah, jika begitu, kenapa ayahmu belum datang menolong kau,” seru Yo Ko gegetun.
Kongsun Lik-oh cukup cerdas, ia paham isi hati anak muda itu, melihat Yo Ko mengembalikan lagi pil itu ke dalam botol, dengan menghela napas pelahan ia berkata: “Yo-toako, sedemikian cintamu terhadap nona Liong, masakan ayahku tidak tahu diri? Kutahu, engkau bukan mengharapkan ayahku datang menolong diriku, lebih dari itu engkau justru mengharapkan kubawa serta Coat-ceng-tan ini ke atas sana untuk menyelamatkan jiwa nona Liong.”
Karena isi hatinya dengan tepat dikatai, Yo Ko tersenyum dan berkata pula: “Seumpama racun di dalam tubuhku dapat disembuhkan, tapi sukar juga bagiku untuk hidup di kolam buaya ini, dengan sendiri nya lebih penting menolong jiwa Kokohku saja,”
Lik-oh tahu tiada gunanya membujuk anak muda itu meminum pil itu, diam-diam ia menyesal tadi telanjur bicara terus terang tentang satu-satunya pil itu, segera ia berkata pula.
“Meski Lengci ini tak dapat menawar racun, tepi sangat berpaedah bagi kesehatan tubuh, lekas kau memakannya saja.”
Yo Ko mengiakan ia memotong Lengci itu menjadi dua, ia sendiri makan sebagian, sebagian lagi dijejalkan ke mulut Lik-oh dan berkata: “Entah kapan baru ayahmu akan datang menolong kau, maka kaupun makan sepotong Lengci ini untuk menghalau hawa dingin.”
Melihat kesungguhan hati anak muda itu, Lik-oh tidak tega menolaknya, segera ia membuka mulut dan makan potongan Lengci itu.
Umur Lengci itu ada ratusan tahun, setelah makan Lengci, seketika kedua orang merasakan badan segar dan hangat, semangat terbangkit segera dan pikiranpun ferang, Tiba-tiba Lik-oh berkata: “Setelah Coat-ceng-tan ini dicuri Lo-wan-tong, jelas ayah sudah tahu juga, janjinya menyembuhkan kau hanya sekadar menipu nona Liong, bahkan memaksa aku menyerahkan obat ini juga cuma pura-pura saja.”
Sebenarnya sudah sejak tadi hal ini terpikir oleh Yo Ko, cuma dia tidak ingin menambah rasa sedih si nona, maka belum dibeberkannya. Kini hal itu terucap dari Lik-oh sendiri, maka iapun berkata: “Setelah kau dilepaskan ayahmu, kelak kau perlu hati-hati, paling baik kalau berusaha meninggalkan tempatnya ini.”
“O, agaknya kau tidak kenal pribadi ayah,” ujar Lik-oh.
“Sekali dia telah mendorong aku ke kolam buaya ini, betapapun dia takkan melepaskan aku lagi, Nyo-toako, masakah engkau melarang aku mati bersama kau di sini?”
Selagi Yo Ko hendak menghiburnya lagi, tiba-tiba seekor buaya merambat lagi ke atas karang dan sebelah kakinya tepat meraih kertas yang jatuh dari bungkusan kecil tadi, Tergerak hati Yo Ko, katanya: “Coba kita lihat apa yang tertulis di kertas itu.” — Segera ia angkat belatinya dan menusukannya pada bagian antara kedua mata buaya, “bles”, dengan mudah saja belati itu menembus kulit buaya yang keras dan tebal itu. Ternyata belati itu adalah senjata mestika yang sangat tajam.
Buaya itu berkelojotan beberapa kali dan terguling ke dalam kolam serta binasa.
“Kita mempunyai belati ini, maka celakalah bagi kawanan buaya itu”, ujar Yo Ko dengan girang, Pelahan ia ambil kertas yang sudah rada basab itu, belati yang dipegangnya itu dipepetkan pada kertas, dari pantulan cahaya mutiara digagang belati itu dapatlah terbaca tulisan di atas kertas-itu.
Tapi setelah mereka mengamati, satu huruf saja tidak tertampak, yang ada cuma lukisan menyerupai pemandangan alam, ada rumahnya, ada bukitnya dan sebagainya.
Yo Ko merasa lukisan yang berupa corat-coret itu tiada sesuatu yang menarik, maka kertas itu ditaruhnya lagi ke atas karang, Tapi Kongsun Lik-oh yang ikut membaca itu mendadak berkata : “lni adalah denah bangunan perkampungan Cui-sian-kok kita ini, lihatlah, inilah sungai kecil ketika kalian datang ke sini, yang ini ruangan depan, ini kamar senjata, itu kamar obat dan…” sembari bicara si nona juga menunjukkan bagian peta yang dimaksud itu.
“He, lihat ini, lihat!” tiba-tiba Yo Ko berseru heran sambil menunjuk kolam besar yang terlukis di bawah kamar obat itu.
“Ya, inilah kolam buaya dan… ah, malahan ada jalan tembusannya di sini” kata Lik-oh.
Menurut peta itu, ditepi kolam buaya terlukis sebuah tembusan, seketika mereka bersemangat, cepat Yo Ko mengambil peta itu dan dicocokkan dengan keadaan disekitar kolam, katanya kemudian:
“Jika apa yang terlukis dalam peta ini tidak bohong, maka selewatnya jalan tembus ini, di sana tentu ada lagi jalan keluarnya, Cuma…”
“Di sinilah letak keanehannya,” sambung Lik-oh. “Jalan tembus ini terlukis menyerong ke bawah, padahal kolam buaya ini sudah jauh di bawah tanah, menyerong turun lagi, lalu menembus ke mana?”
Setelah mereka mengamati lagi peta itu, jalan tembus yang dilukis itupun berhenti sampai di tepi kertas sehingga tidak diketahui menembus ke mana akhirnya.
“Apakah soal kolam buaya ini pernah kau dengar dari ayahmu atau Toasuhengmu?” tanya Yo Ko.
Lik-oh menggeleng, jawabnya: “Sampai sekarang baru kuketahui di bawah kamar obat terdapat makhluk buas sebanyak ini, mungkin Toasuheng sendiripun tidak mengetahui”
Yo Ko mengamati keadaan sekeliling, terlihat di depan sana ada segulung bayangan yang kelam, agaknya di situlah terletak mulut jalan tembusan yang dimaksudkan itu, Cuma jaraknya agak jauh sehingga tidak kelihatan dengan jelas, ia menjadi sangsi jangan-jangan di lorong itu terdapat makhluk buas lainnya dan bukan mustahil jauh lebih berbahaya daripada kawanan buaya ini.
Tapi daripada duduk menanti ajal ada lebih baik kalau menyerempet bahaya, asalkan nona Kongsun dapat diselamatkan keluar dari sini dan dapat mengantar pil ini kepada Kokoh, maka tercapailah sudah cita-citaku.
Segera ia menyerahkan belati ke tangan Lik-oh dan berkata: “Coba kulihat ke seberang sana.” Sekali loncat, tahu- tahu ia sudah melayang ke tengah kolam.
Lik-oh menjerit kaget, tertampak sebelah kaki Yo Ko menginjak bangkai buaya yang masih mengambang di kolam itu dan sekali Ioncat lagi, kaki yang Iain, menutul punggung seekor buaya, ketika toaya itu ambles ke bawah air, namun Yo Ko juga sudah melayang sampai di seberang, ia berdiri mepet dinding karang, sebelah tangannya coba meraba kesana terasa kosong, segera ia berseru: “Ya, memang betul inilah jalannya-”
Ginkang Kongsun Lik-oh tidak setinggi Yo Ko, ia tak berani melompat ke sana menurut cara anak muda itu.
Yo Ko pikir kalau melompat kembali ke sana untuk menggendong si nona kesini, karena bobot tubuh kedua orang bertambah berat, tentu gerak geriknya tidak leluasa dan juga sukar menggunakan: buaya sebagai batu loncatan.
Tapi urusan sudah telanjur, segera ia berseru: “Nona Kongsun, coba kau lemparkan bajuku itu ke sini setelah kau celup air.”
Walaupun tidak tahu apa maksud tujuannya tapi Lik-oh melakukan juga permintaan anak muda. itu, ia menanggalkan baju Yo Ko yang dipakainya itu, dan dicelup ke dalam kolam, lalu ia gulung2 dan berseru: “lni terimalah!” Sekuatnya ia lantas-menyambitkan gulungan baju basah itu ke seberang.
Setelah menerima baju itu, segera Yo Ko melompat ke sisi sana dan berdiri pada suatu tempat dekukan dinding karang, tangan kiri memegang kencang pada sebuah tonjolan karang, tangan kanan terus memutar bajunya yang sudah dibasahi dan diluruskan menjadi sepotong tali besar, serunya. “Coba kau memperhatikan suaranya!”
Segera ia menyabetkan bajunya ke depan terus ditarik kembang “bluk”, bajunya basah itu tepat memukul pada mulut lorong itu, berturut ia berbuat begitu tiga kali, lalu bertanya: “Sudah jelas letak mulut gua ini?”
Dari suara “bluk-bluk” tadi Lik-oh membedakan arah dan jauh dekat tempatnya, segera ia menjawab: “Ya, kutahu jelas.”
“Sekarang melompatlah dan pegang ujung baju yang kuayunkan ini, akan kulemparkan kau keseberang sana,” kata Yo Ko.
Sehabis Lik-oh memandang ke sana, tapi keadaan di sana tetap gelap kelam, ia rada takut dan berkata: “Aku… aku tak…”
“Jangan takut,” kata Yo Ko dengan tertawa.
“Jika kau gagal memegang ujung baju dan tcrjebfos keko!am, segera kuterjun, ke sana untuk menolong kau, Kalau tadi saja kira tidak takut pada kawanan buaya itu, apalagi sekarang sudah mempunyai belati mestika ini, kenapa takut?”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar