Kembalinya Pendekar Rajawali 19
Tinggi
sekali ilmu silat orang itu hingga meski Siao-liong-li berlaku sangat gesit dan
enteng, namun selalu terkurung di dalam angin pukulan orang dan hanya bertahan
sebisanya saja.
“Suhu,
jangan kuatir, kubantu kau !” demikian segera Yo Ko berseru sambil melompat
maju.
Tetapi
sesudah sampai di samping kedua orang dan melihat muka Iaki2 itu, tanpa terasa
Yo Ko menjadi kesima, orang itu ternyata penuh berewok yang pendek kaku seperti
sikat kawat,hingga mukanya se-akan2 kulit landak, siapa lagi dia kalau bukan
ayah angkatnya yang sudah lama berpisah, Auwyang Hong !
“Berhenti,
orang sendiri semua, jangan berkelahi lagi!” teriak Yo Ko.
Siao-liong-li
tertegun mendengar seruan Yo Ko ini, ia pikir lelaki gila bermuka berewok ini
mana bisa orangnya sendiri ? Dan karena sedikit melengnya ini, secepat kilat
Auwyang Hong telah mengirim serangan yang mengarah muka Siao-liong-li dengan
kekuatan luar biasa.
Kaget
sekali Yo Ko, lekas ia melompat maju hendak memisah, tetapi Siao-liong-li sudah
keburu angkat tangannya buat menangkis hingga kedua tangan mereka jadi saling
dorong.
Yo
Ko tahu tenaga gurunya masih jauh tak bisa menandingi ayah angkatnya, kalau
bertahan lama, tentu akan terluka dalam, karena itu, segera ia ulur lima
jarinya dan menyabet pelahan ke lengan Auwyang Hong, ini adalah ilmu “jiu-hun-ngo-hian”
atau tangan mengebut lima senar, kepandaian yang baru dipelajarinya dari kitab
Kiu im-cin-keng.
Meski
ilmu itu belum matang dilatihnya, namun datangnya cepat dan tempatnya jitu,
maka tiba2 Auwyang Hong merasakan lengannya rada bui hingga tenaganya hilang.
Setiap
kesempatan selalu digunakan Siao-liong-li dengan cepat sekali, begitu ia merasa
daya tekanan musuh menjadi kendur, segera pula ia balas menghantam. Dalam
keadaan begitu Auwyang Hong yang seluruh tubuhnya tak bertenaga hanya ditutuI
pelahan saja pasti akan terluka parah.
Syukur
Yo Ko menyelak lagi, ia putar tangannya terus cekal lengan Siao-liong-li,
berbareng ia nyelip ke-tengah2 kedua orang itu.
“Berhentilah
kalian berdua, semuanya orang sendiri,” demikian dengan tertawa ia berkata
pula.
Dilain
pihak Auwyang Hong masih belum mengenali Yo Ko, ia hanya merasa ilmu silat
pemuda ini terlalu aneh dan sangat tinggi se-kali2 tidak boleh dipandang
enteng. Maka dengan gusar dia membentak : “Siapa kau ? Orang sendiri apa ?”
Yo
Ko sudah kenal kelakuan Auwyang Hong yang linglung dan gila2an, ia kuatir orang
betuI2 lupa padanya, maka segera iapun berseru memanggil: “Akulah, ayah !
Anakmu sendiri apa kau tak kenal lagi ?”
Kata2
Yo Ko ini membawa lagu suara yang mengguncangkan perasaan, seketika Auwyang Hong
tercengang, ia tarik tangan si Yo Ko, ia putar muka pemuda ini ke arah sinar
bulan, kemudian baru dikenalnya memang betul dia ini anak angkatnya sendiri
yang selama beberapa tahun ini telah dicarinya kian kemari karena perawakan Yo
Ko kini sudah tumbuh tinggi pula ilmu silatnya hebat, maka semula tak
dikenalnya.
Dasar
Auwyang Hong juga seorang yang suka umbar perasaannya, seketika juga dia
rangkul Yo Ko sambil ber-teriak2: “O, anakku, sudah lama sekali aku mencari kau
!”
BegituIah
kedua orang itu saling rangkul dan sama mengulurkan air mata.
Kiranya
sejak Auwyang Hong berpisah dengan Yo Ko di kelenteng bobrok di daerah Kanglam
dahulu, di mana dia sembunyi di dalam genta raksasa untuk menghindari pencarian
Kwa Tin-ok Setelah dia menjalankan ilmu saktinya untuk menyembuhkan luka
dalamnya selama tujuh hari tujuh malam, akhirnya lukanya telah pulih kembali,
ya Iuka2 luar yang babak-belur karena dihajar Kwa Tin-ok itu seketika masih
belum sembuh.
Sesudah
dia angkat genta raksasa itu dan keluar, ia merawat lukanya lagi selama dua
puluhan hari di dalam hotel, habis ini kesehatannya baru pulih seluruhnya,
Karena dia pernah berjanji pada Yo Ko bahwa tidak peduli ke mana bocah ini
pergi, ke sana juga akan dicarinya, tetapi sudah sebulan, bumi begitu luas, ke
mana dia bisa mencari jejaknya.
Auwyang
Hong pikir bocah ini tentu telah pergi ke Tho-hoa-to, turuti wataknya yang suka
berlaku cepat, maka segera juga ia cari satu perahu kecil dan berlayar ke pulau
itu. ia tahu juga dirinya se-kali2 bukan tandingan Kwe Ceng beserta isterinya,
Oey Yong, apalagi ditambah seorang Oey Yok-su, ayah Oey Yong (tentang kepergian
Oey Yok-su dari pulau itu tak diketahui Auwyang Hong), sekalipun kepandaiannya
sekali lipat lebih tinggi lagi juga tidak ungkuIan melawan ketiga orang itu.
Oleh
sebab itulah ia tunggu malam tiba batu berani mendarat, siang hari ia sembunyi
di dalam gua pegunungan pulau itu, kalau malam baru diam2 kelayapan keluar
dengan harapan bisa ketemukan Yo Ko.
Meski
secara hati2 sekali dia sembunyi selama lebih dua tahun tanpa berani keluar
selangkah pun di waktu siang hari toh tetap tak diketemukan kabar beritanya Yo
Ko. Kemudian pada suatu malam, secara kebetulan ia dengar percakapan diantara
Bu Siu-bun dan Bu Tun-si berdua saudara, ia baru tahu bahwa Yo Ko sudah dikirim
oleh Kwe Ceng kepada Coan-cin-kau untuk belajar silat.
Tentu
saja Auwyang Hong sangat girang memperoleh kabar itu, malam itu juga dia
tinggalkan pulau itu dan memburu ke Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san. Siapa
duga tatkala itu Yo Ko sudah bikin ribut dengan imam2 Coan-cin-kau dan sudah
masuk ke Hoat-su-jin-bong.
Peristiwa
itu oleh Coan-cin-kau dianggap sebagai suatu noda besar yang sangat memalukan,
maka seluruh imam Coan-cin-kau tiada satupun yang mau bicara, meski Auwyang
Hong sudah berusaha dengan segala daya-upaya untuk mencari tahu toh tetap tiada
satu kabarpun yang dia peroleh.
Selama
beberapa tahun seluruh gunung Cong-lam-san boleh dikatakan sudah dijelajahi
oleh kaki Auwyang Hong, siapa tahu Yo Ko justru bersembunyi di bawah tanah
gunung itu dan sedang melatih ilmu sakti secara giat.
Sangat
kebetulan juga malam itu, ketika Auwyang Hong lalu di lembah gunung, mendadak
dilihatnya ada satu gadis berbaju putih mulus sedang menghela napas sambil
duduk tepekur mengidapi bulan.
“Hai,
di manakah anakku ? Kau lihat dia tidak ?” demikian dengan kelakuan kasar dan
gila Auwyang Hong telah menegur.
Gadis
itu adalah Siao-liong-li, memangnya dia sedang kesal ia menjadi tambah sebal
demi melihat seorang gila menegur padanya, maka dia hanya melotot saja dan tak
digubrisnya.
Tak
terduga Auwyang Hong tiba2 melompat maju, ia pegang lengan Siao-liong-li dan
membentak pula: “He, dimanakah anakku ?”
Siao-liong-li
menjadi kaget demi merasakan tenaga cengkeraman orang yang sangat kuat, nyata
ilmu silat orang tinggi luar biasa dan belum pernah dilihatnya seumur hidup,
sekalipun jago paling lihay dari Coan-cin-kau juga masih jauh di bawahnya.
Dalam
terkejutnya itu, lekas2 ia lepaskan diri dengan Kim-na-jiu-hoat (ilmu cara
menawan dan memegang) yang lihay.
Dengan
sekali pegang tadi Auwyang Hong mengira lawan pasti akan terpegang kencang,
siapa tahu dengan gampang saja orang bisa mengelakkan diri, dasar dia memang
linglung, iapun tidak tanya2 lagi, segera sebelah tangannya menyerang pula, dan
begitulah tanpa sebab musabab mereka berdua lantas saling labrak
Kembali
tadi Karena sudah beberapa tahun berpisah, maka Yo Ko dan Auwyang Hong lantas
saling menceritakan rasa kangennya masing2 selama ini, pikiran Auwyang Hong
masih tetap setengah jernih dan setengah butek, kejadian yang lalu sudah tak
banyak lagi yang bisa diceritakan, terhadap cerita Yo Ko iapun tak begitu
mengerti, yang dia tahu hanya selama beberapa tahun ini Yo Ko telah belajar
silat pada Siao-liong-Ii.
Meski
usianya sudah lanjut toh Auwyang Hong masih bersifat kanak2, segera dia bilang
lagi: “llmu kepandaiannya tidak bisa mengungkuli aku, untuk apa belajar
padanya, biar aku sendiri yang mengajar kau.”
Baiknya
watak Siao-liong-li dingin saja, maka ia tidak merecoki urusan ini, meski
dengar, ia hanya tersenyum saja terus menyingkir pergi.
Sebaliknya
Yo Ko menjadi rikuh terhadap Siao-liong-li. “Tetapi Suhu sanggat baik terhadap
diriku, ayah !” demikian Iekas2 ia jelaskan.
Tiba2
Auwyang Hong menjadi cemburu, “Dia baik, apa aku tidak ?” teriaknya.
“Baik,
kaupun baik,” sahut Yo Ko cepat dan tertawa, “Di dunia ini hanya kalian berdua
saja yang baik terhadap diriku.”
Karena
itu, dengan memegangi tangan Yo Ko, Auwyang Hong menyengir.
“Ilmu
silat yang kau pelajari sebenarnya tidak jelek juga,” katanya kemudian, “cuma
sayang dua macam ilmu paling hebat di dunia ini tak kau pelajari satupun.”
“llmu
apakah itu,” tanya Yo Ko. Se-konyong2 Auwyang Hong tarik muka, alisnya yang
tebal se-akan2 menegak.
“Percuma
kau sebagai seorang berilmu silat, sampai dua ilmu sakti di jagat ini saja tak
kan kenal, lalu apa gunanya kau angkat dia sebagai guru ?” bentaknya tiba-tiba.
Nampak
orang sebentar girang sebentar marah, hati Yo Ko bukan menjadi takut,
sebaliknya ia merasa sedih, “Nyata penyakit ayah sudah terlalu mendalam, entah
kapan baru bisa sembuh kembali ?” demikian ia berpikir.
Dalam
pada itu tiba2 terdengar Auwyang Hong bergelak ketawa.
“Ha,
ini biar ayah mengajar kau,” katanya, “Kedua macam ilmu mujijat itu yalah
Ha-mo-kang dan Kiu-im-cin-keng. Semasa kecilmu, pernah ku ajarkan kau sedikit
penuntunnya dasar, sekarang coba kau berjungkir dan berlatih di hadapanku !”
Memang
sejak masuk kuburan kuno itu, sudah lama Yo Ko tidak berlatih lagi ilmu
menjungkir dengan kepala di bawah itu, kini diingatkan kembali tentu saja
dengan senang hati ia menurut.
Dahulu
semasih di Tho-hoa-to saja Yo Ko sudah berlatih dengan masak sekali, kini
ditambah lagi Lwekangnya telah tinggi sekali, keruan seperti macan tumbuh sayap
saja, ia bisa berputar kayun secepat kitiran dengan kepala menjungkir dibawah.
“Bagus,
bagus ! Segera kuajarkan kau pula seluruh intisari yang paling hebat!” seru
Auwyang Hong kegirangan.
Habis
ini betul saja dia lantas geraki kaki dan tangannya, ia mencerocos tiada
hentinya, dia tidak urus apakah Yo Ko bisa ingat seluruhnya atau tidak, tetapi
sejak mulai ia terus menutur seperti mitraliur.
Di
Iain pihak setelah mendengar beberapa kali ajaran Auwyang Hong itu, hati Yo Ko
mendadak tergerak, ia merasa setiap kata, setiap istilah ternyata luas sekali
artinya, seketika mana bisa paham begitu banyak, terpaksa ia gunakan ketajaman
otaknya untuk mengingatnya dengan paksa.
Sesudah
Auwyang Hong mencerocos tak lama, tiba2 ia tepuk tangan dan berseru pula : “He,
celaka, jangan2 si budak cilik itu ikut mencuri dengar !”
Segera
pula ia pergi ke belakang pohon sana, ia dekati Siao-liong-li dan bilang
padanya: “Eh, budak cilik, aku sedang mengajarkan ilmu kepandaian kepada
anakku, jangan kau mencuri dengar.”
“Macam
apakah kepandaianmu itu ? Siapa pingin mendengarkan ?” sahut Siao-liong-Ii
dengan sikap dingin saja.
Sejenak
Auwyang Hong tertegun oleh jawaban orang.
“Baik,
kalau begitu kau menyingkir yang jauh,” katanya kemudian,
Tetapi
sama sekali siao-liong-li tidak gubris padanya, ia masih bersandar pada batang
pohon besar itu. “Hm, kenapa aku harus turut perintahmu ? jika aku suka pergi
segera aku akan pergi, kalau tidak suka, tak nanti aku pergi,” demikian
sahutnya ketus.
Keruan
Auwyang Hong gusar hingga rambut alisnya se-akan2 berdiri, ia ulur tangan
hendak mencakar muka Siao-liong-li. Tetapi Siao-liong-li masih tidak gubris
padanya, bahkan dia pura2 tidak tahu atas serangan orang.
Tentu
saja dengan cepat jari tangan Auwyang Hong menyelonong ke mukanya, tetapi
sesudah dekat, tiba2 Auwyang Hong mendapatkan pikiran lain. “Ah, dia kan Suhu
anakku, tidak baik kalau aku melukai dia, Tetapi seketika akupun tak bisa
berbuat apa2 jika dia tak mau menyingkir pergi,” demikian ia membatin
Karena
itu, segera tangan yang dia ulur itu ditarik lagi kembali.
“Baiklah,
kalau begitu kami saja yang menyingkir tetapi kau jangan mengintip, ya ?”
kata-nya.
Siao-Iiong-li
pikir meski orang ini sangat tinggi ilmu silatnya, tetapi orangnya dogol, maka
iapun malas buat meladeninya, ia malah berpaling ke jurusan lain dan tak
menjawab.
Siapa
tahu begitu dia melengos, mendadak punggungnya terasa kesemutan. Kiranya
Auwyang Hong tiba2 telah ulur tangan dan menutuk sekali pada Hiat-to di
punggungnya, Oleh karena gerak tangannya terlalu cepat dan aneh, pula sama
sekali Siao-liong-li tidak me-nyangka2, ketika dia kaget dan bermaksud tutup
jalan darahnya buat menolak tutukan orang, namun sudah terlambat, seketika
setengah badannya bagian atas terasa tak bebas lagi. Bahkan menyusul Auwyang
Hong menambahi pula sekali tutukan di pinggangnya.
“Nah,
budak cilik, jangan kau kuatir, sebentar saja sesudah selesai aku ajarkan ilmu
pada anakku, segera aku datang melepaskan kau,” demikian terdengar Auwyang Hong
berkata dengan tertawa sambil berjalan pergi.
Tatkala
itu Yo Ko sedang mengingat2 Ha-mo-kang dan Kiu-im-cm-keng yang diajarkan oleh
ayah angkatnya tadi, ia merasa apa yang diajarkan dari Cin-keng atau kitab asli
itu, bukan saja berlainan dengan apa yang terukir di kamar batu oleh Ong
Tiong-yang, bahkan seluruhnya berlawanan dan terbalik, maka ia sedang peras
otaknya untuk menyelaminya lebih mendalam hingga sedikitpun dia tak mengetahui
sang guru kena diserang Auwyang Hong.
“Marilah
kita menyingkir kesana, jangan sampai didengar oleh Suhu-mu.” demikian kata
Auwyang Hong sambil tarik tangan Yo Ko.
Tetapi
Yo Ko cukup kenal tabiatnya Siao-liong-li yang aneh dan menyendiri jangan kata
tidak nanti si gadis ini sudi mencuri dengar, sekali pun dipertontonkan di
hadapannya, belum tentu dia mau lihat dan pasti dia akan menyingkir juga.
Tetapi
karena pikiran ayah angkatnya dalam keadaan kurang waras, iapun merasa tidak
perlu banyak berdebat, segera ia ikut pergi.
Sementara
itu karena kena ditutuk jalan darahnya, dengan lemas Siao-liong-li telah
terkulai di tanah, sungguh tidak kepalang rasa mengkalnya pula geli, ia pikir
ilmu silatnya sendiri meski sudah terlatih masak dan bagus, namun apapun juga
masih kekurangan pengalaman menghadapi musuh, sehingga sudah kena dibokong oleh
Li Bok-chiu, kini mengalami pembokongan lagi oleh makhluk aneh si berewok ini.
Maka
diam2 ia kumpulkan tenaga sakti dari apa yang dia pelajari dalam Kiu-im-cin-keng,
yakni “Kay-hiat-pi-koat”, rahasia caranya melepaskan tutukan, ia sedot napasnya
da1am2 terus menggem-pur aliran jalan darahnya.
Tetapi
aneh, susudah dua kali dia ulangi, bukan saja Hiat-to yang tertutuk itu tidak
menjadi lancar dan terbuka, bahkan bertambah pegal dan linu, Keruan saja tidak
kepalang terkejutnya oleh kejadian yang tak dimengerti ini.
Kiranya
cara tutukan Auwyang Hong itu justru berlawanan dengan jalan darah biasa, sebab
memang dia melatih Kiu-im-cin-keng secara terbalik kini Siao-liong-li pakai
cara biasa untuk melepaskan diri, dengan sendirinya bukan menjadi kendor,
sebaliknya bertambah kencang dan makin rapat. Dan karena sudah coba dan dicoba
lagi masih belum berhasil, bahkan bertambah sakit, akhirnya Siao-liong-li tak
berani coba2 lagi.
Terpikir
pula olehnya nanti sehabis si gila ini selesai mengajarkan ilmu pada Yo Ko.
dengan sendirinya dia akan kembali buat menolongnya, biasanya Siao-liong-li
memang tidak suka banyak pikiran, maka kini iapun tidak menjadi kuatir atau
gugup, ia malah ter-mangu2 sambil menengadah untuk memandang bintang2 yang
tinggi di langit, hingga lapat2 akhirnya ia tertidur.
Entah
sudah berapa lama ia terpulas, ketika terasa kelopak matanya pelahan2 seperti
tergosok sesuatu, ia terjaga dari tidurnya, ia coba buka matanya, Biasanya
dalam kegelapan Siao-liong-li bisa pandang sesuatu seperti di siang hari,
tetapi kini sedikitpun ternyata tak dilihatnya, kiranya kedua matanya telah
kena ditutup orang dengan selapis kain.
Luar
biasa kaget Siao-liong-li sekali ini, malah menyusul ini segera terasa pula ada
orang memeluk dirinya, Diwaktu memeluk, mula-mula orang ini agaknya rada2
takut, tetapi belakangan lambat laun menjadi tabah dan pelahan2 menjadi berani
Dalam
kagetnya itu niat Siao-Iiong-Ii hendak berteriak, Tetapi percuma sebab mulutnya
susah dipentang karena tutukannya Auwyang Hong tadi. Segera pula, ia merasa
orang itu berani mencium pipinya.
SemuIa
Siao-iiong-ii menyangka Auwyang Hong yang mendadak telah pakai kekerasan hendak
perkosa dirinya, tetapi ketika muka orang itu menyentuh pipinya, ia merasa muka
orang halus licin saja tanpa berewok seperti Auwyang Hong, Hatinya terguncang
juga, rasa terkejutnya tadi pe-lahan2 pun hilang, maklum Siao-liong-li sendiri
pun muda, dalam hati iai pikir tentu ini perbuatan si Yo Ko.
Dalam
pada itu ia merasa kelakuan orang itu mulai tidak sopan, tangan meraba sini dan
menarik sana,
“Kurangajar,
si Yo Ko ini !” demikian diam-diam Siao-liong-li mengelak
Tetapi
karena tubuhnya sedikitpun tak bisa berkutik, maka tiada jalan lain ia serahkan
diri apa yang hendak diperbuat orang, Hanya tidak karuan rasa dalam hatinya, ia
terkejut girang, malu dan rada-rada sakit.
Sementara
itu di sebelah sana Auwyang Hong sedang asyik memberi pelajaran ilmu silatnya
pada Yo Ko. ia menjadi senang demi nampak bakat Yo Ko sangat pintar, sedikit
diberitahu saja, lanjutannya dengan sendirinya dipahami Oleh karena itulah,
makin mengajar Auwyang Hong semakin bersemangat hingga fajar menyingsing
barulah selesai pokok2 kedua ilmu mujijat itu diajarkan
“Ayah,
pernah juga kupelajari Kiu-im-cin-keng, tetapi kenapa berlainan sekali dengan
apa yang kau uraikan ini ?” tanya Yo Ko kemudian sesudah diulangi dan diapalkan
pula pelajaran yang baru diperolehnya.
“Apa
? Pernah kau pelajari ? Ah, bohong, kecuali ajaranku ini, mana ada lagi
Kiu-im-cin-keng lain ?” sahut Auwyang Hong membentak.
“Tetapi
betul, seperti cara melatih melemaskan otot dan kuatkan tulang, menurut kau,
langkah ketiga harus sedot napas dan jalankan darah ke arah atas. Tetapi Suhu
sebaliknya bilang napas harus dipusatkan di perut dan darah dilancarkan ke
bawah,” kata Yo Ko.
“Mana
bisa begitu, salah, salah…” teriak Auwyang Hong sambil geleng kepala, tetapi
baru sampai di sini tiba2 ia berhenti ia memikir sejenak, lalu disambungnya
lagi: “He, ehm, nanti dulu…”
Habis
ini ia coba melakukan apa yang dikatakan Yo Ko tadi, betul saja seluruh
badannya dirasakan sangat nyaman dan segar, ternyata sangat berbeda dengan
caranya sendiri.
Sudah
tentu tak pernah dia pikir bahwa dahulu dia telah dipermainkan Kwe Ceng atas
suruhan Ang Chit-kong (salah satu gurunya Kwe Ceng) telah menuliskan kitab
palsu Kiu-im-cin-keng yang telah diubah sana sini dan diputar-balik tak keruan
untuk kemudian baru diserahkan padanya, dengan sendirinya hasil dari apa yang
dilatihnya menjadi terjungkir-balik juga dan berlawanan dengan intisari
Kiu-im-cin-keng yang asIi.
BegituIah,
maka Auwyang Hong menjadi bingung, pikirannya kacau lagi.
“He,
kenapa bisa begini ? Ah, mana bisa ? sebenarnya aku yang salah atau dia yang
keliru ? Ah, mana bisa, mana bisa jadi begini ?” demikianlah Auwyang Hong
mengomel sendiri tiada hentinya.
Yo
Ko menjadi kaget melihat kelakuan orang yang tak beres ini. “Ayah, ayah !” ia
coba memanggil beberapa kali, tetapi tiada sahutan yang dia peroleh, Yo Ko
menjadi kuatir penyakit ayah angkatnya ini kumat lagi.
Sedang
ia terkejut itu, tiba2 terdengar olehnya suara gemerisik diantara semak2 rumput
sana, berbareng itu dilihatnya berkelebatnya bayangan orang, lapat2 diantara
semak2 itu tertampak pula sebagian dari ujung jubah imam yang ke-kuning2-an.
Tempat
ini sebenarnya sunyi senyap dan terpencil kenapa sekarang bisa didatangi orang
luar ? pula kelakuan orang itu celingukan tidak beres, terang tidak mengandung
maksud baik Demikianlah Yo Ko menjadi curiga, maka dengan langkah cepat segera
ia memburu ke sana.
Namun
dengan cepat orang itu sudah kabur ke jurusan sana, kalau melihat bagian
belakangnya, nyata seorang Tojin atau imam.
“Hai,
siapa kau ?” segera Yo Ko membentak. “Hayo, berhenti ! Apa kerjamu disini ?”
Sambil
berteriak, dengan Ginkang yang tinggi segera Yo Ko mengudak.
Dilain
pihak demi mendengar suara bentakan Yo Ko, imam itu semakin percepat larinya,
Tetapi mana sanggup dia balapan lari dengan Yo Ko, hanya sedikit “tancap gas”
saja tahu2 Yo Ko sudah melompat sampai di belakangnya, begitu pundaknya dia
cekal dan diputar balik, seketika Yo Ko menjadi heran, sebab imam ini dapat
dikenalnya bukan dari pada In Ci-peng, itu murid Khu Ju-ki dari Coan-cin-kau.
Yo
Ko semakin tak mengerti ketika dilihatnya pakaian In Ci-peng kusut tak teratur,
mukanya sebentar merah dan sebentar pucat.
“He,
katakan, kerja apa kau di sini ?” Yo Ko menegur lagi.
In
Ci-peng terhitung salah satu jago utama dari anak murid Coan-cin-kau angkatan
ketiga, ilmu silatnya tinggi, tindak tanduknya biasanya juga cukup gagah,
tetapi entah mengapa, kini sama sekali berubah lain, kena di-bentak2 Yo Ko
tadi, kelihatan dia menjadi gugup hingga tak sanggup bicara.
Melihat
orang tetap tak menjawab meski beberapa kali ia mengulangi pertanyaannya,
keruan Yo Ko tambah tidak mengerti Tetapi segera teringat olehnya dahulu In
Ci-peng pernah menanam budi atas dirinya ketika dia melarikan diri dari
Tiong-yang-kiong. Oleh karenanya ia tak tega untuk membentak lebih lanjut lagi.
“Baiklah,
kalau tiada apa2, bolehlah kau pergi !” demikian katanya kemudian sambil
melepaskan In Ci-peng.
Keruan
saja In Ci-peng seperti terlepas dari genggaman elmaut, sambil menoleh beberapa
kali memandang Yo Ko, segera ia lari pergi dengan langkah cepat dan ketakutan
seperti orang berdosa.
“Sungguh
menggelikan kelakuan imam ini.” demikian diam2 Yo Ko tertawai orang.
Lalu
ia menuju ke gubuk mereka, tetapi diantara semak2 di depan gubuk sana tiba2
dilihatnya kedua kaki Siao-liong-Ii melonjor keluar tanpa bergerak sedikitpun,
agaknya seperti tertidur nyenyak.
“Kokoh,
Kokoh !” Yo Ko coba memanggil.
Akan
tetapi tiada jawaban. ia berjongkok dan menyingkap semak2 yang lebat itu, maka
terlihat Siao-liong-li rebah terlentang di tanah, sedang kedua matanya tertutup
oleh selapis kain biru.
Rada
kaget juga Yo Ko melihat keadaan sang guru lekas2 ia melepaskan ikatan kain
biru dari muka orang, dilihatnya wajah dan sorot mata berlainan sekali dengan
biasanya, kedua pipinya pun bersemu merah seperti ke-malu2an.
“Kokoh,
siapakah yang ikat kain ini atas dirimu ?” tanya Yo Ko kemudian.
Namun
Siao-liong-li tak menjawab, hanya sorot matanya tertampak mengandung maksud
mengomelinya.
Melihat
tubuh orang seperti lemas lunglai, agaknya seperti tertutuk jalan darahnya oleh
orang, Yo Ko coba menariknya, betul juga sama sekali Siao-liong-li tak bisa
bergerak.
Yo
Ko memang pintar, melihat keadaan orang, segera dapat diterka apa
sebab-musababnya, “Tentu dia ditutuk ayah angkatku dengan Tiam-hiat-hoat yang
terbalik, kalau tidak, dengan kepandaian Kokoh, Tiam-hiat-hoat yang lebih lihay
sekalipun dapat dibukanya sendiri,” demikian pikirnya.
Maka
dengan cara yang telah dipelajarinya dari Auwyang Hong tadi, lantas Yo Ko
membukakan Hiat-to Siao-liong-li yang tertutuk itu.
Siapa
tahu, waktu tertutuk tubuh Siao-liong-li oleh Yo Ko, toh Siao-liong-li tetap lemah
lunglai dan meringkuk di dalam pangkuan Yo Ko seperti seluruh tubuhnya tidak
bertulang lagi.
“Kokoh,”
kata Yo Ko dengan suara halus sambil pegang lengan orang, “kelakuan ayah
angkatku memang tak genah, maka jangan kau sesalkan dia.”
“Kau
sendiri yang tak genah, Tak malu, masih kau bilang orang Iain!” sahut
Siao-liong-li tiba2 secara samar2 dan menyembunyikan mukanya ke dalam pangkuan
pemuda itu.
Melihat
kelakuan sang guru semakin aneh dan berbeda sekali dengan se-hari2nya, Yo Ko
mulai bingung.
“Kokoh,
ak… aku…” demikian kata2-nya menjadi tak lancar.
“Masih
kau panggil aku Kokoh ?” omel Siao-liong-li tiba2 sambil mendongak.
Keruan
saja Yo Ko semakin bingung dan gugup.
“He,
tidak panggil kau Kokoh, lalu panggil apa ? Apa panggil Suhu saja ?” sahutnya
heran.
“Kau
perlakukan aku cara begitu, mana bisa lagi aku menjadi gurumu ?” kata
Siao-liong-li dengan senyum malu-malu.
“Aku
? Aku kenapa ?” Yo Ko tambah tak mengerti.
Tetapi
Siao-liong-li tak menjawab lagi, ia gulung lengan bajunya, maka tertampaklah
tangannya yang berkulit putih “bersih seperti salju.
“Lihat!”
katanya dengan wajah ke-malu2an sambil menunjuk lengannya yang putih mulus itu.
Ternyata andeng2 merah “Siu-kiong-seh” yang dahulu terdapat di lengannya itu
kini sudah hilang tanpa bekas.
Tetapi
Yo Ko masih bingung, ia cakar2 kuping dan garuk2 kepala.
“Kokoh,
apakah artinya ini ?” demikian katanya.
“Dengarkan,
tidak boleh lagi kau panggil aku Kokoh,” ujar Siao-liong-li setengah mengomel
Dan demi dilihatnya wajah Yo Ko penuh mengunjuk bingung, entah mengapa hati
gadis ini tiba2 timbul rasa cinta mesra yang tak terkatakan.
“Ahliwaris
Ko-bong-pay kita selamanya turun-temurun adalah gadis yang suci bersih,”
kemudian dengan suara pelahan Siao-liong-li berkata pula.
“Oleh
sebab itu Suhu telah menisik setitik andeng2 merah itu di tanganku, Tetapi
semalam… semalam kau perlakukan aku begitu, mana bisa lagi andeng2 merah itu
tinggal di atas tanganku ?”
“Aku
perlakukan kau apa semalam ?” tanya Hyo Ko rapat dan bingung.
Muka
Siao-liong-li menjadi merah jengah.
“Sudahlah,
tak perlu dibicarakan lagi,” sahutnya kemudian, dan sesudah sejenak pula,
dengan pelahan ia berkata lagi: “DahuIu aku takut2 untuk turun gunung, tetapi
kini sudah lain, tidak perduli ke mana kau pergi, dengan rela aku akan
mengikuti kau.”
“Bagus
sekali, Kokoh, kalau begitu!” seru Yo Ko girang
“He,
kenapa kau masih memanggil aku Ko-koh ?” tegur Siao-liong-li dengan wajah
sungguh2, “Apa kau tidak dengan hati murni terhadap diriku ?”
Karena
Yo Ko tidak menjawab, akhirnya Siao-liong-Ii menjadi tak sabar lagi “Sebenarnya
kau anggap diriku ini apamu ?” tanyanya dengan suara gemetar.
“Kau
adalah guruku, kau sayang padaku, aku sudah bersumpah bahwa selama hidupku ini
pasti menghormati kau dan suka padamu,” demikian dengan sungguh2 dan tulus Yo
Ko menjawab.
“Apa
kau tidak anggap aku sebagai isterimu?” teriak Siao-liong-li tak tahan.
Sungguh
hal ini belum pernah terlintas dalam pikiran Yo Ko, kini mendadak ditanya
orang, keruan ia kelabakan dan tak mengerti cara bagaimana harus menjawabnya.
“Ti…
tidak, tak mungkin kau adalah isteriku, mana aku cakap ?” demikian sahutnya
kemudian dengan tak lancar, “Tetapi kau adalah Suhu, adalah Kokoh-ku”.
Tidak
kepalang gusarnya Siao-liong-li mendengar jawaban ini hingga seluruh tubuhnya
gemetar, mendadak darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
“Kokoh,
Kokoh !” Yo Ko ber-teriak2 bingung melihat keadaan orang.
Mendengar
orang terus-menerus masih panggil demikian padanya, dengan sorot mata yang
gemas tiba2 Siao-liong-li angkat telapak tangannya terus hendak digablokkan ke
kepala Yo Ko. Tetapi, pe-lahan2, sorot matanya dari gemas dan menyesal tadi
berubah menjadi benci dan dendam, lalu dari benci dan dendam berganti lagi
menjadi sayang dan kasihan.
“Baiklah
kalau begitu, selanjutnya jangan kau bertemu dengan aku lagi,” dengan menghela
napas panjang akhirnya ia berkata dengan lirih dan lemah.
Habis
berkata, ia kebas lengan bajunya yang panjang terus putar tubuh dan lari pergi
dengan cepat turun ke bawah gunung.
“Kokoh,
Kokoh! Ke mana kau ? Akut ikut bersama kau !” Yo Ko ber-teriak2.
“Jika
kau ketemu lagi dengan aku, mungkin sulit ku ampuni jiwamu,” sahut
Siao-liong-li tiba2 sambil menoleh.
Dalam
bingungnya Yo Ko semakin tak tahu apa yang harus dilakukannya. Karena
tertegunnya ini, sementara bayangan Siao-liong-li sudah menghilang diantara
jalan pegunungan yang menurun itu. Sungguh tidak kepalang berdukanya Yo Ko
hingga dia menangis ter-gerung2.
Sungguh
tidak dimengerti olehnya sebab apakah dia membikin gurunya begitu marah hingga
kelakuannya begitu aneh. Kenapa sang guru bilang mau jadi isterinya, pula
melarang dia memanggil Kokoh lagi padanya ? Semua ini membuatnya bingung.
“Ya,
tentu urusan ini ada hubungannya dengan ayah angkatku, pasti dia yang bikin
marah Suhu.” demikian akhirnya Yo Ko menarik kesimpulan sesudah berpikir lama.
Lalu
ia pergi ke dekat Auwyang Hong lagi, di sana ia lihat orang tua ini sedang
berdiri tegak dengan kedua matanya terbelalak tanpa berkedip.
“Ayah,
sebab apakah kau membikin marah guruku ?” segera Yo Ko bertanya.
Akan
tetapi Auwyang Hong tidak menjawab, hanya terdengar mulutnya menggumam sendiri:
“Kiu-im-cin-keng, Kiu-im-cin-keng !”
“He,
kenapa kau tutuk jalan darah guruku hingga bikin dia begitu marah ?” kembali Yo
Ko tanya lagi.
Namun
Auwyang Hong tetap tak menjawab, ia berkata seorang diri pula: “Sebenarnya
harus dijalankan ke atas atau ditekan ke bawah ?”
“He,
ayah,” teriak Yo Ko akhirnya, ia menjadi tak sabar, “aku tanya kau tentang
Suhu, katakanlah, apa yang telah kau lakukan terhadap dia?”
“Siapa
gurumu ? Siapa aku ? siapakah Auwyang Hong ?” tiba2 Auwyang Hong ber-teriak2
sendiri.
Melihat
penyakit gila orang kumat lagi, Yo Ko jadi kuatir tercampur kasihan.
“Ayah,
tentu kau sudah letih, marilah mengaso ke dalam gubuk,” ajaknya kemudian.
Tetapi
mendadak Auwyang Hong berjumpalitan dan tahu2 tubuhnya sudah menjungkir sambil
ber-teriak2 : “Siapakah aku ini ? siapakah aku ini ? Dimanakah Auwyang Hong ?”
Berbareng
itu kedua tangannya bergerak tak keruan, tubuhnya yang menjungkir pun berputar
cepat, dengan kepala di bawah secepat angin Auwyang Hong ber-lari2 ke bawah
gunung.
“Ayah,
ayah!” dalam bingungnya Yo Ko coba menarik orang.
Siapa
duga mendadak Auwyang Hong memancal dengan sebelah kakinya dan dengan tepat
mengenai rahang Yo Ko, Depakan ini sedikitpun ternyata tak kenal ampun hingga
Yo Ko tak tahan berdiri tegak lagi, ia jatuh terjengkang.
Ketika
dia berdiri lagi, sementara itu Auwyang Hong sudah pergi jauh dan sekejap saja
lantas menghilang dari pandangan.
Dengan
terkesima Yo Ko terpaku di tempatnya, entah perasaan apa waktu itu yang dia
rasakan. Suasana sekelilingnya se-akan2 sunyi senyap, sayup2 hanya diselingi
oleh suara berkicaunya burung.
“Kokoh
! Ayah ! Kokoh ! Ayah !” akhirnya Yo Ko ber-teriak2 seorang diri.
Sudah
tentu tiada sesuatu sahutan dari kedua orang yang dipanggil itu, yang ada hanya
suaranya sendiri yang berkumandang balik dari lembah pegunungan yang luas itu.
Dalam
keadaan demikian Yo Ko menjadi putus asa, perasaannya se-akan2 hancur.
Maklumlah, selama beberapa tahun ini boleh dikatakan tak pernah dia berpisah
dengan Siao-liong-li, hubungan mereka begitu rapat bagai ibu dan anak, kini
mendadak tanpa diketahui apa sebabnya orang pergi begitu saja, sudah tentu
tidak keruan rasa hatinya.
Dalam
putus asanya itu dan memang perasaan halus Yo Ko lain dari pada orang biasa,
maka hampiri saja dia mau bunuh diri. Syukur dia masih bisa berpikir panjang,
lapat2 timbul semacam harapan bahwa gurunya yang pergi mendadak itu mungkin
akan kembali juga secara mendadak.
Meski
Kokoh dibikin marah ayah angkatnya, namun dirinya toh tiada berbuat sesuatu
kesalahan, tentu sang guru akan kembali lagi mencari padanya, begitulah dia
pikir.
Tentu
saja malam itu ia lewatkan sendirian dengan tak bisa tidur, beberapa kali, asal
terdengar sesuatu suara gemerisik, segera ia melompat bangun menyangka
Siao-liong-li yang kembali, ia berteriak dan me-manggil2 dan berlari keluar,
namun setiap kali selalu ia kecewa dan cemas.
Begitulah
dia sibuk semalam suntuk merindukan Siao-liong-li sampai fajar menyingsing.
“Jika
Suhu tidak mau kembali, biarlah aku yang pergi mencari dia,” tiba2 terpikir
olehnya, “Asal bisa ketemukan dia, tidak peduli bagaimana dia akan menghajar
atau mendamperat aku, yang pasti aku tak akan berpisah lagi dengan dia.”
Berpikir
sampai di sini, tanpa terasa ketabahannya banyak bertambah. Segera ia bebenah
seperlunya, ia bugkus pakaian sendiri dan milik Siao-liong-li kedalam sepotong
kain, ia gendong di punggungnya lalu dengan langkah lebar ia turun ke bawah
gunung.
Sepanjang
jalan ia coba menanya penduduk di tepi jalan apakah ada melihat seorang nona
putih yang cantik lewat di situ, Tetapi beruntun ia tanya beberapa orang,
semuanya hanya goyang kepala menyatakan tak tahu.
Karena
itu, akhirnya Yo Ko menjadi gopoh, dengan sendirinya cara bertanya kemudian
menjadi kurang sopan, Dan para penduduk yang ditanya itu sebaliknya mendongkol
juga melihat pemuda seperti Yo Ko ini selalu mencari tahu tentang nona cantik
segala, dengan sendirinya lalu ada orang yang ingin tahu untuk apa dia cari dan
siapa nona ayu itu, pernah apakah dengan dia.
Sebaliknya
Yo Ko jadi marah2 oleh pertanyaan kembali itu. “ltu kau tak perlu urus, aku
hanya ingin tahu kau melihat dia lewat di sini tidak ?” demikian dalam gusarnya
Yo Ko tak sadar kata2nya ini halus atau tidak.”
Sedang
orang yang ditanya tentu saja marah juga melihat sikap Yo Ko ini, syukur setelah
terjadi ribut2, dari samping seorang tua telah memisah, lalu orang tua ini
menunjuk ke satu jalanan kecil di jurusan timur dan berkata pada Yo Ko:
“Semalam
aku melihat satu gadis secantik bidadari menuju ke arah timur, tadinya aku
menyangka dia itu Koan-im-po-sat (Budha Satwa) yang menjelma, siapa tahu dia
kenalan baik saudara…”
Mendengar
kabar ini, tidak menanti orang selesai bicara, Iekas2 Yo Ko menghaturkan
terimakasih terus memburu ke jalan kecil menurut arah yang ditunjuk itu.
Tetapi
begitu ia mungkur, orang banyak tertawa ramai, Kiranya karena kelakuan Yo Ko
yang tak punya sopan santun, maka orang tua tadi sengaja mempermainkan dia.
Namun
Yo Ko sama sekali tak tahu kalau dirinya telah didustai orang, ia masih memburu
ke jurusan itu dengan cepat, Lewat tak lama, tiba2 didepan terdapat simpang
jalan tiga jurusan, ia menjadi bingung ke arah mana harus dia tempuh.
“Biasanya
Kokoh tak suka tempat ramai, tentu dia pilih jalanan kecil yang sepi,” demikian
Yo Ko pikir sendiri, Habis ini lantas dipilihnya jalanan kecil yang membelok ke
kiri.
Siapa
duga jalanan kecil ini makin Iama makin lebar dan sesudah menikung beberapa
kali, akhirnya malah menembus satu jalan raya.
Waktu
itu hari sudah magrib, Yo Ko sendiri sudah sehari semalam tak makan tak minum,
perutnya sudah keruyukan, dilihatnya di depan sana rumah ber-deret2 dan gedung
ber-jajar2, nyata ada satu kota yang cukup ramai.
Cepat
Yo Ko menuju ke kota dan masuk sebuah hotel (pada umumnya hotel merangkap
restoran), lalu ia menggembor minta disediakan daharan.
Tak
lama pelayan sudah antar santapan sederhana ke hadapan Yo Ko, tetapi baru
beberapa kali sumpitan saja anak muda ini tak punya napsu maka lagi, karena
merasa kesal, tenggorokannya penjadi seret dan tak bisa menelan.
“Meski
hari sudah mulai gelap, tapi lebih baik lekas aku pergi mencari Kokoh saja,
bila malam ini dibiarkan lewat, untuk selanjutnya mungkin sukar bertemu lagi,”
demikian pikir Yo Ko. Oleh karenanya segera ia taruh mangkok nasinya dan
memanggil pelayan.”
“Aku
ingin tanya kau, pelayan,” kata anak muda ini sesudah petugas itu datang.
“Boleh
saja, tuan, katakanlah ! Apakah karena santapan ini tidak cocok dengan lidah
tuan, biarlah hamba membuatkan yang lain, tuan suka masakan apakah ?” demikian
sahut si pelayan mencerocos.
“Tidak,
aku tidak maksudkan makanan,” kata Yo Ko sambil goyang2 tangannya “Tetapi aku
ingin tanya, apakah kau melihat seorang gadis jelita berbaju putih lewat di
sini ?”
“Baju
putih ?” si pelayan menggumam sendiri “He, apakah nona itu sedang berkabung ?
Ada keluarganya yang meninggal bukan ?”
Begitulah
si pelayan mencerocos tak keruan dari menyimpang dari pertanyaan orang, Keruan
Yo Ko sangat mendongkol.
“Aku
hanya tanya kau, lihat atau tidak ?” mengulanginya lagi.
“Wanita
sih memang ada, juga orang pakai baju putih”
“Dan
menuju ke arah mana ?” tanya Yo Ko cepat dan girang.
“Tetapi
sudah hampir setengah hari dia lewat tadi!” sahut pelayan itu. Habis ini tiba2
ia pelahankan suaranya seperti kuatir didengar orang, lalu menyambung lagi:
“Adalah lebih baik jangan pergi mencari dia !”
Merasa
mendapatkan jejak Kokoh yang dicari, dalam girangnya Yo Ko terkejut pula
mendengar perkataan orang itu, “Se… sebab apa ?” tanyanya dengan suara rada
gemetar
“Coba
aku tanya dahulu, tuan tahu bahwa wanita itu pandai silat ?” tiba2 pelayan itu
menanya.
“Kenapa
aku tak tahu ?” demikian Yo Ko membatin, Maka dengan cepat ia menjawab :
“Su-dah tentu tahu, dia memang pandai silat.”
“Nah,
kalau begitu untuk apa kau mencari dia ? Bukankah sangat berbahaya ?” kata si
pelayan pula.
“Sebab
apakah sebenarnya ?” Yo Ko menjadi bingung.
“Coba
terangkan dulu, pernah apakah gadis baju putih itu dengan tuan ?” tanya si
pelayan.
Yo
Ko mengerti kalau tidak sekadar menerangkan, agaknya orang tak mau ceritakan ke
mana perginya Siao-liong-li, maka terpaksa ia menjawab: “Dia adalah Enci-ku,
aku sedang cari dia.”
Mendengar
jawaban ini, seketika pelayan itu berubah sangat hormat pada Yo Ko, Tetapi
hanya sekejap saja, sebab segera si pelayan geleng2 kepala “Tidak, tidak sama
!” katanya tiba2.
Bukan
main mendongkolnya Yo Ko oleh kelakuan si pelayan, saking gopohnya sekali
jamberet dia cengkeram baju orang.
“Sebenarnya
kau mau katakan tidak ?” bentaknya gusar.
Melihat
Yo Ko naik darah, mendadak si pelayan me-lelet2 Iidahnya.
“Persis,
persis ! Kalau begini baru sama !” demikian katanya.
“Kurangajar,
apa2an ini sebentar sama sebentar tidak sama, apa maksudmu ?” damperat Yo Ko.
“Le
lepaskan dahulu, siauya (tuan mu-da), leherku tercekik.,.he he… aku tak bisa
buka suara,” sahut si pelayan dengan suara ter-putus2.
Melihat
rupa orang dasarnya memang ceriwis, percuma saja meski pakai kekerasan, maka Yo
Ko lantas lepaskan tangannya.
“Siauya,”
tutur si pelayan kemudian sesudah berdehem beberapa kali, “aku bilang tidak
sama, soalnya karena perempuan… eh, Enci-mu itu, tampaknya lebih cakap dan
lebih muda daripada kau, pantasnya dia mirip adikmu dan bukan kakak. Aku bilang
sama, sebab kalian berdua sama2 berwatak keras, sama2 bertabiat suka angkat
senjata dan main kepalan.”
Yo
Ko tertawa oleh cerita itu.
“Apakah
Enci-ku telah berkelahi dengan orang ?” tanyanya kemudian.
“Betapa
tidak ?” sahut pelayan itu, “Tidak hanya berkelahi, bahkan telah melukai orang.
Coba lihat itu !” - Berbareng ia menunjuk beberapa bekas bacokan senjata tajam
di bawah meja, lalu dengan muka ber-seri2 ia sambung pula : “Walau kejadian
tadi itu sunguh berbahaya, memang kepandaian Enci-mu sangat hebat, hanya sekali
ta-bas saja sebelah kuping Toya (tuan imam) itu lantas kena di-irisnya.”
“Apa
katamu ? Toya apa ?” tanya Yo Ko terkejut.
“Ya,
dia itu…” baru berkata sampai disini, se-konyong2 muka si pelayan berubah
hebat, seketika ia mengkeret terus mengeluyur pergi.
Yo
Ko memang luar biasa cerdiknya, melihat kelakuan si pelayan tadi, ia tak
menegur juga tak menyusulnya, sebaliknya ia angkat mangkok nasi-nya tadi terus
menyumpit daharannya lagi, Pada saat lain, terlihatlah olehnya ada dua Tojin
muda masuk ke dalam hotel.
Usia
kedua imam ini kira 26-27 tahun saja, jubah pertapaan mereka bersih dan rajin
sekali, mereka ambil tempat duduk pada meja disamping Yo Ko. Lalu imam yang beralis
tebal panjang tiada hentinya berteriak2 mendesak diantari arak dan daharan.
Dengan
muka ber-seri si pelayan lekas2 meladeni kedua tetamunya itu, pada suatu
kesempatan ia mengedipi matanya pada Yo Ko sambil mulutnya merot2 ke jurusan
kedua imam itu.
Yo
Ko pura2 tidak tahu, ia masih terus menyumpit santapannya dengan asyik, Kini
dia betul2 merasa lapar, apalagi kabar Siao-liong-Ii sudah diperoleh, hatinya
menjadi lega dan gembira, maka tanpa terasa beberapa kali isi mangkoknya telah
ditambah dan dilangsir ke dalam perutnya.
Baiknya
pakaian Yo Ko memang sederhana, apalagi sudah sehari semalam ia susul
Siao-liong-li hingga seluruh badannya penuh debu dan mukanya kotor, oleh sebab
itu kedua imam tadi sama sekali tidak perhatikan padanya melainkan asyik ber-cakap2
sendiri dengan suara pelahan.
Sebaliknya
Yo Ko semakin pura2, ia kecap2 mulutnya dan mainkan lidahnya, dia sengaja makan
begitu rupa hingga mengeluarkan suara keras, habis itu ia angkat semangkok
wedang panas dan diseruput dengan bernapsu, akan tetapi telinganya justru dia
pasang, untuk mendengarkan apa yang sedang dipercakapkan kedua Tojin atau imam
itu.
“Bi-sute,
menurut pendapatmu, malam ini Han-cecu dan Tan-lokunsu bakal datang tidak ?”
demikian ia dengar imam yang beralis tebal tadi sedang berkata.
Imam
satunya lagi bermulut Iebar, suaranya kasar serak dan terdengar dia menjawab:
“Kedua orang ini adalah laki2 gagah perkasa yang bersahabat kental dengan
Thio-susiok, kalau Thio-susiok sudah mengundangnya, tidak boleh tidak mereka
pasti akan datang.”
Yo
Ko terkesiap hatinya demi mendengar orang menyinggung nama “Thio-susiok”.
pikirnya dalam hati: “Jangan2 Thio-susiok yang mereka maksudkan adalah guruku
yang dahulu, Thio Ci-keng ?”
Ia
jadi curiga kenapa kedua imam ini belum pernah dilihatnya di Tiong-yang-kiong,
ketika ia melirik dan mengamat-amati orang, ternyata tiada yang dia kenal.
“Boleh
jadi karena jauhnya perjalanan, dia tak keburu datang” demikian imam alis tebal
tadi berkata lagi.
“He,
Ki-suheng, kau ini memang suka takut ini dan kuatir itu,” demikian sahut imam
she Bi tadi, “Hanya seorang perempuan saja, berapa besarkah kemampuannya.”
“Ya,
sudahlah, marilah minum, jangan dibicarakan lagi,” begitulah imam she Ki
memotong.
Kemudian
ia memanggil pelayan hotel dan minta disediakan satu kamar kelas satu, nyata
mereka juga bermalam disini.
Sementara
itu Yo Ko sedang memikirkan isi percakapan kedua imam tadi, ia dapat meraba
tentu orang bermaksud cari setori pada Suhu-nya, mungkin disebabkan ada kawan
kecundang, maka “Thio-susiok” tampil kemuka untuk mengundang seseorang she Han
dan seorang she Tan sebagai bala bantuan, kalau terus kintil kedua imam ini,
tentunya akan bisa bertemu dengan Suhu.
Berpikir
akan ini, hati Yo Ko menjadi gembira sekali, Sudah jelas kedua imam ini adalah
musuh gurunya, tapi dengan petunjuk mereka nanti akan ketemukan sang guru, maka
terhadap mereka ternyata tiada timbul perasaan benci, ia tunggu sesudah kedua
imam itu masuk kamar mereka, kemudian ia sendiripun minta disediakan sebuah
kamar di sebelah kamar imam2 itu.
“Siauya,
baiklah kau hati2 sedikit, Enci-mu telah iris kuping seorang Toya, tentu mereka
akan menuntut balas,” demikian si pelayan membisiki Yo Ko ketika datang ke
kamarnya membawakan lampu.
“Sungguh
aku tidak mengerti, Enci-ku biasanya sangat sabar, kenapa mendadak dia bisa
me-ngiris kuping orang ?” kata Yo Ko dengan suara lirih.
“Terhadap
kau tentu saja baik, tetapi terhadap orang lain mungkin tidak menjadi baik,”
kata si pelayan pula dengan suara yang di-bikin2 “Enci-mu tadi sedang bersantap
disini dan Toya yang sial itu duduk di sebelahnya, hanya disebabkan Toya itu
melirik beberapa kali pada kaki Enci-mu, siapa tahu Enci-mu lantas naik darah
terus lolos senjata dan melabrak orang.”
BegituIah
si pelayan mencerocos terus, dan masih hendak dilanjutkannya, namun Yo Ko sudah
mendengar lampu di kamar sebelah telah disirapkan, maka cepat ia memberi tanda
agar si pelayan tak perlu cerita lagi.
“Kurangajar,
tentu imam busuk itu terus-menerus mengincar Kokoh karena kecantikannya hingga
akhirnya Kokoh menjadi marah,” demikian Yo Ko menggerutu sendiri setelah
pelayan itu pergi.
Habis
ini segera iapun padamkan lampunya, malam ini ia memang tidak ingin tidur lagi,
ia hanya duduk sambil pasang kuping untuk mengikuti sesuatu gerak-gerik di
kamar sebelah.
BegituIah
Yo Ko berjaga sampai tengah malam, tiba2 didengarnya pelataran luar bersuara
keresek dua kali, menyusul seperti ada orang melompat masuk ke bagian dalam
melintasi pagar tembok. Habis itu jendela kamar sebelah terdengar dibuka dan
imam yang she Ki itu membuka suara : “Apakah Han dan Tan berdua ?”
“Ya,”
terdengar suara sahutan seorang yang berada di pelataran sana.
“Silakan
masuklah!” demikian kata imam she Ki lagi.
Menyusul
itu pintu kamar pelahan dibuka, lampu telah dinyalakan juga.
Tentu
saja Yo Ko sangat tertarik, ia kumpulkan seluruh perhatiannya untuk
mendengarkan percakapan mereka berempat itu.
“Tecu
Ki Jing-hi dan Bi Jing-hian memberi hormat pada Han-cecu dan Tan-lokunso,”
terdengar imam she Ki bersuara pula.
Mendengar
nama kedua imam itu, diam2 Yo Ko membatin: “Ternyata mereka bukan orang dari
Tiong-yang-kiong, tetapi nama mereka memakai urut2an Jing, mereka terhitung
juga orang dari Coan-cin-pay.”
“Begitu
kami terima undangan Thio-susiok kalian, segera kami memburu kesini,” terdengar
suara sahutan yang tajam “Apakah betul perempuan hina itu sangat sulit dilawan
?”
“Sungguh
memalukan untuk diceritakan,” demikian kata Ki Jing-si lagi, “Dari golongan
kami sudah ada dua anak murid yang ber-turut2 dilukai perempuan hina-dina itu.”
“Sebenarnya
dari aliran manakah ilmu silat perempuan itu ?” tanya orang yang bersuara tajam
tadi.
“Thio-susiok
bilang dia adalah ahli waris dari Ko-bong-pay, oleh sebab itu, meski usianya
masih muda, namun kepandaiannya sesungguhnya sangat hebat,” sahut Ki Jing-si.
Diam2
Yo Ko menjengek demi mendengar orang sebut “Ko-bong-pay.”
“Ko-bong-pay
apakah ?” rupanya orang yang bersuara tajam itu tak mengerti.
“Menurut
Thio-susiok, orang dari golongan mereka itu selamanya jarang sekali
berkecimpung di kalangan Kangouw, sebab itu nama mereka tidak terkenal dalam
Bu-lim, pantas kalau Han-cecu tidak kenal,” demikian sahut Ki Jing-si.
“O,
kalau begitu, agaknya tiada perlu dipandang berat,” kata orang yang dipanggil
Han-cecu itu. “Dan di mana besok harus bertemu ? Pihak lawan mendatangkan
berapa orang ?”
“Thio-susiok
telah janji dengan wanita itu untuk bertemu besok lohor di lembah Cay-long-kok
yang 40 li jauhnya dari sini ke jurusan barat, di sana kedua pihak akan
menentukan siapa yang unggul dan siapa yang asor,” Ki Jing-si menjelaskan.
“Soal
pihak lawan ada berapa orang, itulah aku tidak tahu. Tetapi kalau sudah ada
Han-cecu dan Tan-lokunsu yang membantu kami, tak perlu lagi kita takut meski
mereka berkawan banyak.”
Lalu
terdengar suara seorang tua berkata : “Baiklah kalau begitu, kami pasti datang
tepat besok lohor, Marilah, Han-laute, kita pergi.”
Lalu
Ki Jing-si mengantar tetamunya keluar kamar, sampai di depan pintu, dengan
suara bisik2 terdengar ia pesan orang: “Tidak jauh ke Tiong-yang-kiong, urusan
kita akan bertanding dengan orang se-kali2 jangan sampai diketahui Ma, Khu dan
Ong (maksudnya Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it), kalau sampai konangan, pasti
kita akan didamperat habis2an.”
Han-cecu
bergelak ketawa oleh pesan itu. “Kalian takut pada Ma Giok dan Khu Ju-ki imam2
tua itu, kami sebaliknya tidak berada dibawah perintahnya,” demikian katanya.
“Sudahlah,
jangan kau kuatir,” demikian Tan-lokunsu menjelak, “pasti kami tidak
membocorkan rahasia ini.”
Mendengar
percakapan terakhir mereka ini, diam2 Yo Ko membatin, kiranya mereka hendak
keroyok Kokoh dan para imam tua sebangsa Ma Giok itu tiada yang mengetahui.
Meski Yo Ko tidak berkesan baik pada Coan-cin-kau, tetapi bila mengingat Ma
Giok dan Khu Ju-ki toh tidak jelek juga terhadap dirinya, karenanya terhadap
kedua imam tua itu dia tidak dendam, hanya kepada Hek Tay-thong yang
membinasakan Sun-popoh itulah dia telah ambil keputusan kelak pasti akan
menuntut balas.
Dalam
pada itu keempat orang yang diluar itu sesudah berunding dengan suara pelahan
lagi, kemudian Han-cecu dan Tan-lokunsu pergi dengan melompati pagar tembok
lagi, Ki Jing-si dan Bi Jing-hian mengantar juga keluar, keadaan menjadi sepi.
Tiba2
pikiran Yo Ko tergerak, segera ia buka pintu pelahan, dengan cepat ia
menyelinap masuk kamar kedua imam di sebelah itu,
Ia
lihat di atas pembaringan kamar itu terletak dua buntalan, ia ambil satu
bungkusan itu dan merogoh isinya, kiranya di dalam ada uang perak sekira 20
tahil.
“Ha,
kebetulan, memangnya aku lagi kekurangan duit,” demikian pikir Yo Ko, Lalu ia
pin-dahkan uang perak itu kedalam sakunya sendiri.
Ia
lihat lain bungkusan rada panjang, kiranya berisi dua batang pedang, sengaja Yo
Ko lolos pedang itu satu per satu dan dengan tekanan tenaga berat ia patahkan
garan pedang lalu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya dan dibungkus lagi
dengan rapi.
Selagi
ia hendak keluar kembali, tiba2 pikirannya tergerak pula, ia lepas kolor dan
buka celana terus kencingi kasur di kolong selimut kedua imam itu hingga basah
kuyup.
Sementara
itu ia dengar di luar ada suara orang melompati pagar, ia tahu tentu kedua imam
itu telah kembali, dapat diketahuinya pula bahwa ilmu entengkan tubuh kedua
imam itu ternyata biasa saja, sebab tak mampu sekali lompat melintasi pagar
tembok, melainkan harus tancapkan kaki dahulu di atas pagar untuk kemudian baru
loncat turun.
Lekas2
Yo Ko menyelusup kembali ke kamarnya sendiri, ia tutup pintu kamarnya dengan
pelahan, nyata sama sekali kedua imam itu tak merasa bahwa mereka sedang
diincar orang, sesudah di kamarnya sendiri, Yo Ko pasang kuping ke dinding
kamar untuk mendengarkan gerak-gerik dan suara2 apa yang bakal terjadi di kamar
sebelah.
Ia
dengar kedua imam itu masih berembuk dengan suara rendah, agaknya mereka cukup
yakin bakal menang akan pertarungan besok, maka sembari bicara merekapun buka
baju dan naik pembaringan untuk tidur.
Tetapi
baru saja Bi Jing-hian memasukkan kakinya ke dalam selimut, mendadak ia
berteriak: “He, apa ini basah2 becek di dalam selimut ? Ai, baunya! He,
Ki-suheng, sudah tua, kenapa kau masih ngompol ?”
“Apa?
Ngompol?” sahut Ki Jing-si bingung, Tetapi segera pula ia sendiri ikut
berteriak: “He, ya, darimanakah kucing keparat yang kencing di sini ?”
“Kencing
kucing mana bisa begini banyak,” ujar Bi Jing-hian.
“Ya,
memang aneh,” kata Ki Jing-sin habis ini tibal ia berteriak pula : “He,
dimanakah uang perak kita ?”
BegituIah
seluruh kamar menjadi geger dan kacau-balau, kedua imam ini sibuk mencari uang
perak mereka, Sudah tentu mereka tidak bakal menemukannya.
Diam2
Yo Ko sangat senang dan merasa geli, sementara itu ia dengar Bi Jing-hian
sedang ber-teriak2 lagi. “He, pelayan, pelayan ! Apakah hotelmu ini hotel
perampok, mengapa tengah malam buta mencuri uang tamu ?”
Karena
suara ribut2 ini, pelayan hotel datang menanyakan sambil masih kucek2 matanya
yang sepat.
Tak
terduga segera Bi Jing-hian pegang baju dada si pelayan dan menuduh hotel ini
adalah hotel perampok, kenapa malam2 gasak uang tetamu.
Tentu
saja si pelayan tak mau terima tuduhan itu, terdengar dia berteriak penasaran,
dengan sendirinya pegawai hotel lainnya dimulai dari tukang api sampai pada
kuasa hotel lantas terjaga semua dari tidur mereka dan merubung datang,
menyusul pula para tetamu lainpun be-runtun2 ikut terbangun dan be-ramai2
datang menonton keributan itu. Dan diantara mereka terdapat pula si nakal, Yo
Ko.
Begitulah
dengan menahan perasaan geli Yo Ko melihat pelayan hotel itu sedang “main
pidato”, dasar pelayan ini memang ceriwis pula pandai bicara, maka Bi Jing-hian
dan Ki Jing-si berdua telah terdesak oleh debatannya hingga tak sanggup berkata
lagi.
Dari
malu Bi Jing-hian menjadi gusar, begitu ayun tangannya, kontan ia persen si
pelayan dengan sekali tamparan. Keruan pelayan itu menjadi kalap tanpa pikir
lagi ia menubruk maju hendak adu jiwa. Namun sebelum dia datang dekat, menyusul
kaki Bi Jing-hian sudah melayang, ia tambahi si pelayan dengan sekali tendangan
hingga pelayan itu terjungkal.
Melihat
imam ini tanpa sebab memukul orang, keruan pegawai2 hotel lainnya sama solider,
mereka berteriak dan be-ramai2 merangsang maju hendak mengeroyok.
Sudah
tentu beberapa orang yang tak masuk hitungan ini se-kali2 bukan tandingan kedua
imam itu, hanya sekejap saja, baik kuasa hotel, tukang api dan Iain2nya telah
mendapat hajaran malah.
Senang
sekali Yo Ko menyaksikan peristiwa hasil perbuatannya itu, dengan geli ia
kembali ke kamarnya sendiri untuk tidur lagi, ia tidak pusingkan apa yang
terjadi lebih lanjut dari lelakon di luar itu.
Besoknya,
selagi Yo Ko sarapan pagi, dilihatnya si pelayan yang ceriwis itu sedang
mendatangi dan menyapa padanya, mukanya tampak babak-belur dan hidung bengkak,
meski demikian toh pelayan ini masih tiada hentinya mencaci maki tentang
kejadian semalam.
“Mana
kedua imam bangsat itu ?” dengan tertawa Yo Ko coba bertanya.
“Hm,
memang imam bangsat keparat, sudah pukul orang, masih gegares percuma dan
tinggal gratis, habis itu lantas angkat kaki,” demikian kata si pelayan dengan
marah2. “Hm, hari ini pasti akan kulaporkan ke Tiong-yang-kiong, biasanya imam2
di Cong-lam-san ini semuanya sopan-santun, entah darimana mendadak bisa muncul
imam bangsat liar seperti mereka ini.”
Yo
Ko tidak ketarik lagi oleh obrolan orang, segera ia bereskan rekening hotel dan
menanya jalan yang menuju ke Cay-long-kok atau lembah srigala, kesanalah dia
lantas pergi.
Tidak
antara lama Yo Ko sudah menempuh perjalanan sejauh dua puluhan li, Cay-long-kok
atau “lembah srigala” itu sudah tidak jauh lagi di depan, cuaca waktu itu
agaknya masih pagi, maka keadaan sepi-sepi saja.
“Biarlah
aku sembunyi dahulu dan menyaksikan cara bagaimana Kokoh bereskan kawanan
pengganas itu, paling baik kalau Kokoh seketika tak bisa mengenali aku,”
demikian diam2 Yo Ko berpikir.
Segera
pula teringat olehnya tempo hari pernah menyamar sebagai anak gunung dan telah
berhasil mengingusi Ang Ling-po, teringat akan ini hati Yo Ko menjadi geli, ia
ambil keputusan hendak meniru cara itu sekali lagi, segera dia mendatangi satu
rumah petani, ia longak-longok ke sana ke sini, tiada seorang pun yang dia
lihat, di kandang hewan di belakang rumah itu ia lihat ada seekor sapi jantan
yang besar yang rupanya sedang mengamuk, binatang ini sedang tunduk kepala dan
gunakan tanduknya untuk menyongkel dan menumbuk pagar kayu yang melingkarinya,
begitu keras tumbukannya hingga terdengar suara gedubrakan yang tiada
henti2nya.
Nampak
adanya sapi jantan besar ini, tiba2 Yo Ko mendapatkan satu pikiran. “He, kenapa
aku tidak menyamar sebagai penggembala sapi saja, biar Kokoh melihat diriku
juga pasti tak kenal aku lagi.” demikian keputusannya.
Begitulah
diam2 Yo Ko lantas melompat masuk ke dalam rumah, ia cari barang lain yang
sekiranya cocok baginya, akhirnya dapatlah dia ambil sepasang baju petani yang
sudah robek, ia ganti pakai sepatu rumput pula dan poles mukanya dengan lumpur
agar kelihatan kotor dan lebih mirip bocah angon, habis ini ia mendekati
kandang sapi tadi.
Di
dinding kandang dapat dilihatnya pula tergantung sebuah caping dan sebatang
suling, kedua ini memang barang yang biasa suka dipakai oleh anak gembala.
Keruan Yo Ko sangat girang, ia pikir penyamarannya sekali ini pasti akan
menjadi mirip sangat Karena itu tanpa pikir lagi ia pakai caping yang diketemukannya
itu, ia ambil seutas tali rumput pula dan dipakai sebagai ikat pinggang, lalu
suling bambu itu ia selipkan di pinggangnya dan kemudian dia membuka pintu
kandang sapi.
Sementara
itu sapi jantan raksasa itu sedang mengamuk, binatang ini jadi lebih beringas
lagi ketika melihat ada orang membuka pintu kandang, tanpa ayal lagi segera ia
pentang kaki terus menerjang keluar hendak menyeruduk Yo Ko.
Namun
Yo Ko sudah siap sedia, dengan telapak tangan kiri ia tahan kepala sapi jantan
(atau banteng) itu, di lain saat ia sudah meloncat ke atas punggung binatang
itu.
Sapi
ini ternyata sangat tinggi dan besar, bulunya panjang dan tanduknya lancip
tajam, tampaknya sangat perkasa sekali, maka dengan sekali terjang sekejap saja
sudah menyelonong sampai di jalan besar dengan Yo Ko masih menunggang di atas
punggungnya.
Rupanya
sapi jantan ini sedang birahi, maka wataknya menjadi beringas luar biasa, tiada
hentinya ia me-loncat2 dan ber-jingkrak2 dengan maksud hendak banting Yo Ko ke
bawah. Akan tetapi mana begitu gampang Yo Ko bisa dibikin terperosot dari
tempatnya, bahkan ia menjadi senang oleh kelakuan si binatang.
“Ha,
rupanya kau minta digebuk,” dengan tertawa Yo Ko membentak. Habis ini ia angkat
telapak tangan dan dengan pinggiran telapak tangan ia hantam pundak sapi itu
dengan pelahan.
Kalaupun
pukulan ini hanya memakan sedikit tenaga saja, namun bagi sapi itu sudah tak
tertahan rasa sakitnya, keempat kakinya seketika lemas dan hampiri mendoprok
tekuk lutut, tentu saja binatang ini tak mau menyerah begitu saja, masih
melompat dan hendak mengamuk lagi, tak terduga kembali Yo Ko beri persen sekali
potong lagi dengan telapak tangan.
Dan
begitulah seterusnya, sesudah merasakan belasan kali gebukan seperti itu,
akhirnya sapi jantan itu menjadi kapok dan tak berani ngotot lagi.
Kemudian
Yo Ko mencoba jojoh kiri leher binatang itu dengan jari tangannya, segera sapi
itu membelok ke kanan dan bila menjojoh sebelah kanan lantas dia menikung ke
kiri, kalau diketok pantatnya, segera ia lari ke depan, dan jika digebuk depan
pundaknya, sapi ini lantas mundur ke belakang, nyata binatang yang tadinya liar
itu kini sudah menjadi jinak dan dapat dikendalikan menurut keinginannya.
Bukan
maki girang Yo Ko, dengan keras ia tepuk pantat sapi itu, maka larilah binatang
itu ke depan seperti kesetanan, begitu cepat larinya hingga boleh dikatakan
tidak kalah dengan kuda pacuan yang paling bagus. Maka sebentar saja sesudah
menyusuri sebuah rimba lebat, sampailah Yo Ko di suatu lembah gunung yang
sekitarnya dilingkungi oleh bukit2 yang menghijau permai.
Melihat
keindahan alam tempat ini, diami Yo Ko heran kenapa lembah sebagus ini diberi
nama “lembah srigala” yang sama sekali tidak tepat dengan keadaannya. Kemudiari
iapun giring sapi jantan tadi ke lereng bukit yang terdekat biar makan rumput
sendiri Yo Ko sengaja pura2 tidur dengan merebah di tanah rumput dengan hati
ber-debar2 ia menantikan ketika sang surya sudah menggeser sampai di tengah
langit, tetapi keadaan masih tenang dan sepi nyenyak, hanya kadang2 terdengar
suara menguaknya sapi jantan itu.
Tengah
Yo Ko bertambah gelisah mendadak didengarnya di mulut lembah sana sayup2
berkumandang beberapa kali suara tepukan tangan, menyusul di belakang bukit
sebelah selatan pun membalas beberapa kali. Maka tahulah Yo Ko sudah tiba
waktunya, ia tetap rebah di tanah rumput yang miring itu, sebelah kakinya
sengaja dia tumpangkan keatas kaki yang lain, capingnya untuk tutupi kaki yang
menumpang dan sebagian mukanya, maka yang kelihatan hanya kaki kanan saja yang
menjulur lurus.
Selang
tak lama, tertampaklah dari mulut lembah sana mendatangi tiga orang Tojin, Dua
diantaranya ternyata sudah Yo Ko kenal di hotel semalam, yakni Ki Jing-si dan
Bi Jing-hian, sedang seorang lagi berumur sekira setengah abad, perawakannya
pendek buntek, agaknya ialah apa yang mereka sebut sebagai “Thio-susiok” itu.
Melihat
“Thio-susiok” yang dimaksudkan orang bukan Thio Ci-keng yang diduga semula,
dalam hatinya timbul semacam perasaan aneh, entah rasa kecewa atau rasa syukur
karena orang itu lain guru silat tua she Tan.
Habis
ketiga imam ini, lalu dari lereng bukit sana muncul lagi dua orang, yang satu
berperawakan kekar, agaknya dia inilah Han-cecu, Dan yang lain bersilat tua she
Tan.
Meski
kelima orang ini sudah datang dekat dan sudah berhadapan pula, namun mereka
hanyasaling kiongchiu (merangkap kedua tangan saling memberi hormat), tiada
satupun yang buka suara, hanya terus berbaris sejajar dan menghadap ke barat.
Ketika
selintas Thio-susiok mendongak memandang matahari hingga sinar terang menyorot
mukanya, dari samping Yo Ko dapat melihatnya lebih jelas, ternyata imam tua ini
bermuka kuning, sikapnya tenang sekali dan ber-sungguh2, sedikitpun tidak punya
perasaan memandang enteng bakal lawannya nanti.
Pada
saat itulah, dari mulut lembah sana pula sayup2 terdengar suara menderapnya kaki
binatang yang makin mendekat, ketika kemudian sesosok bayangan putih berkelebat
maka tertampaklah seekor keledai hitam dengan membawa seorang gadis berbaju
putih sedang mendatangi dengan cepat.
“Ah,
dia bukan Kokoh !” hati Yo Ko seketika lemas demi melihat siapa yang mendatangi
ini. “Apakah dia ini juga bala bantuan mereka ?” demikian ia pikir dan berharap
demikian pula.
Sementara
gadis berbaju putih tadi dengan cepat sudah makin mendekat, sesudah berjarak
antara 78 tombak dari kelima orang yang duluan tadi, tiba2 ia tahan keledainya,
dengan sorot mata yang dingin tetapi tajam ia pandang sekejap pada mereka, dari
muka si gadis nyata tertampak sikap yang memandang hina dan seperti hakikat-nya
tiada harganya mengajak bicara mereka.
Rupanya
Ki Jing-si sudah tak sabar, segera ia berteriak : “Orang she Liok, nyata kau
cukup tabah untuk memenuhi janji ini, maka boleh sekalian kau suruh keluar saja
semua pembantumu !”
Namun
gadis itu tidak menjawab, ia hanya menjengek sekali dengan tertawa dingin,
Berbareng itu, “sret”, entah darimana datangnya, tahu2 ia telah lolos keluar
sebilah golok melengkung yang kecil dan tipis laksana bulan sabit dengan
memancarkan sinar putih ke-hijau2an dan menyilaukan mata.
“lni,
kami seluruhnya ada lima orang, dan pembantumu ada berapa dan kapan datangnya,
kami tak sabar lagi buat tunggu lebih lama,” demikian kata Ki Jing-sj pula
memandang.
“lnilah
pembantuku yang utama !” sahut gadis itu tiba2 sambil mengayun golok tipisnya
tadi.
Begitu
tipis dan agaknya saking tajamnya hingga begitu golok diputar, seketika udara
di atas kepala gadis itu seperti digenangi oleh lingkaran sinar putih dan
mengeluarkan suara mendenging yang nyaring tajam.
Karena
jawaban tadi, enam orang termasuk Yo Ko - yang lain semuanya menjadi
terperanjat.
Kelima
orang di sana terkejut oleh sebab seorang gadis seperti dia ini ternyata begitu
besar nyalinya, tanpa mengajak barang seorang pembantupun berani mengadakan
pertandingan silat dengan lima jago tinggi. Sedang Yo Ko sebaliknya terperanjat
bercampur kecewa, mula2 dia yakin bahwa Siao-liong-Ii pasti akan diketemukannya
di sini, siapa tahu apa yang disebut “si gadis cantik berbaju putih” itu
ternyata adalah seorang nona lain.
Saking
masgulnya, seketika dada Yo Ko se-akan2 menjadi sesak, perasaannya yang mudah
terguncang itu tak terkendalikan lagi, tiba2 ia meng-gerung2 menangis keras.
Mendengar
suara tangisan Yo Ko yang mendadak ini, keenam orang itupun terkejut, tapi
sesudah mereka tahu yang menangis adalah seorang bocah gembala yang mungkin
karena ketakutan melihat ada orang hendak berkelahi, maka mereka pun tidak
mengambil perhatian kepadanya.
Sementara
itu terdengar Ki Jing-si telah buka suara sambil menunjuk Han-cecu: “lni
Wi-cin-lam-pak Han-cecu, yang ini adalah Tan-lokunsu, tertua dari
Ho-siok-sam-hiong, dan ini adalah Liong-kim-kiam Tio Put-hoan, Tio-totiang !”
Demikian
Ki Jing-si memperkenalkan ketiga jagonya kepada gadis itu, ia mengira sesudah
orang mendengar nama ketiga kawannya itu, tentu akan menjadi jeri dan mundur
teratur. Siapa tahu gadis itu anggap saja seperti tidak mendengar dan tidak
menggubris, ia hanya mengerling orang dengan sorot mata yang tajam dingin, ia
anggap kelima orang di hadapannya seperti barang2 sepele belaka
“Karena
kau hanya datang seorang diri, kami pun tak mau bergebrak dengan kau,” terdengar
Tio Put-hoan angkat bicara, “Maka kami beri kau tempo sepuluh hari, sepuluh
hari kemudian kau boleh ajak empat orang pembantu dan datang lagi bertemu
kesini.”
“Aku
sudah bilang ada pembantuku,” sahut gadis itu sambil ayun2 golok-sabitnya lagi.
“untuk melayani kalian sebangsa gentong nasi dan guci arak ini masakah perlu
pakai bantuan orang ?” . Keruan Tio Put-hoan menjadi gusar.
“Kau
anak dara ini sungguh keterlaluan…”
Sebenarnya
ia hendak mendamperat orang, syukur sebelum diucapkan ia masih bisa menahan api
amarahnya dan menanya pula: “Kau sebenarnya orang Ko-bong-pay atau bukan ?”
“Kalau
betul mau apa dan kalau bukan ada apa ?” sahut gadis itu ketus. “Hayo, imam tua
hidung kerbau, katakan lekas, kau berani tidak bergebrak dengan nonamu ?”
Tio
Put-hoan sudah rada berumur, maka orangnya cukup bisa kendalikan diri, ia lihat
orang meski seorang diri, tetapi bukannya jeri, bahkan menantang, maka ia
kuatir kalau2 sebelumnya si gadis telah atur perangkap dengan menyembunyikan
bala bantuan.
Oleh
sebab itulah lantas dijawabnya: “Nona, aku ingin tanya kau dahulu. Tanpa alasan
kau telah lukai anak murid golongan kami, sebenarnya disebabkan urusan apakah ?
jika kesalahannya terletak pada pihak kami, tanpa segan2 pasti aku akan minta
maaf pada gurumu. Tetapi kalau nona tak bisa mengatakan sesuatu alasannya, hm,
jangan kau sesalkan kami kurang sopan.”
“Sudah
tentu disebabkan kedua hidung kerbau golonganmu itu yang kurang ajar, maka
kuberi sedikit hajaran pada mereka,” sahut gadis itu dengan tertawa mengejek,
“Kalau tidak, di jagat ini tidak sedikit terdapat sebangsa kutu busuk, kenapa
harus hidung mereka yang ku-iris ?”
Mendengar
jawaban yang semakin ketus dan bersifat menantang ini, Tio Put-hoan menjadi
lebih ragu2 terhadap kemampuan lawannya,
Dalam
pada itu meski usia Tan-lokunsu sudah lanjut, namun tabiatnya ternyata
berangasan.
“Eeeh,
bicara dengan kaum Cianpwe, kenana tidak turun dari keledaimu ?” demikian
segera ia menyerobot maju dan cari2 persoalan. Menyusul itu tahu2 ia sudah
berada di depan binatang tunggangan orang dan ulur tangannya buat menarik
lengan kanan si gadis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar