Jumat, 09 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 19



Kembalinya Pendekar Rajawali 19

Tinggi sekali ilmu silat orang itu hingga meski Siao-liong-li berlaku sangat gesit dan enteng, namun selalu terkurung di dalam angin pukulan orang dan hanya bertahan sebisanya saja.
“Suhu, jangan kuatir, kubantu kau !” demikian segera Yo Ko berseru sambil melompat maju.
Tetapi sesudah sampai di samping kedua orang dan melihat muka Iaki2 itu, tanpa terasa Yo Ko menjadi kesima, orang itu ternyata penuh berewok yang pendek kaku seperti sikat kawat,hingga mukanya se-akan2 kulit landak, siapa lagi dia kalau bukan ayah angkatnya yang sudah lama berpisah, Auwyang Hong !
“Berhenti, orang sendiri semua, jangan berkelahi lagi!” teriak Yo Ko.
Siao-liong-li tertegun mendengar seruan Yo Ko ini, ia pikir lelaki gila bermuka berewok ini mana bisa orangnya sendiri ? Dan karena sedikit melengnya ini, secepat kilat Auwyang Hong telah mengirim serangan yang mengarah muka Siao-liong-li dengan kekuatan luar biasa.
Kaget sekali Yo Ko, lekas ia melompat maju hendak memisah, tetapi Siao-liong-li sudah keburu angkat tangannya buat menangkis hingga kedua tangan mereka jadi saling dorong.
Yo Ko tahu tenaga gurunya masih jauh tak bisa menandingi ayah angkatnya, kalau bertahan lama, tentu akan terluka dalam, karena itu, segera ia ulur lima jarinya dan menyabet pelahan ke lengan Auwyang Hong, ini adalah ilmu “jiu-hun-ngo-hian” atau tangan mengebut lima senar, kepandaian yang baru dipelajarinya dari kitab Kiu im-cin-keng.
Meski ilmu itu belum matang dilatihnya, namun datangnya cepat dan tempatnya jitu, maka tiba2 Auwyang Hong merasakan lengannya rada bui hingga tenaganya hilang.
Setiap kesempatan selalu digunakan Siao-liong-li dengan cepat sekali, begitu ia merasa daya tekanan musuh menjadi kendur, segera pula ia balas menghantam. Dalam keadaan begitu Auwyang Hong yang seluruh tubuhnya tak bertenaga hanya ditutuI pelahan saja pasti akan terluka parah.
Syukur Yo Ko menyelak lagi, ia putar tangannya terus cekal lengan Siao-liong-li, berbareng ia nyelip ke-tengah2 kedua orang itu.
“Berhentilah kalian berdua, semuanya orang sendiri,” demikian dengan tertawa ia berkata pula.
Dilain pihak Auwyang Hong masih belum mengenali Yo Ko, ia hanya merasa ilmu silat pemuda ini terlalu aneh dan sangat tinggi se-kali2 tidak boleh dipandang enteng. Maka dengan gusar dia membentak : “Siapa kau ? Orang sendiri apa ?”
Yo Ko sudah kenal kelakuan Auwyang Hong yang linglung dan gila2an, ia kuatir orang betuI2 lupa padanya, maka segera iapun berseru memanggil: “Akulah, ayah ! Anakmu sendiri apa kau tak kenal lagi ?”
Kata2 Yo Ko ini membawa lagu suara yang mengguncangkan perasaan, seketika Auwyang Hong tercengang, ia tarik tangan si Yo Ko, ia putar muka pemuda ini ke arah sinar bulan, kemudian baru dikenalnya memang betul dia ini anak angkatnya sendiri yang selama beberapa tahun ini telah dicarinya kian kemari karena perawakan Yo Ko kini sudah tumbuh tinggi pula ilmu silatnya hebat, maka semula tak dikenalnya.
Dasar Auwyang Hong juga seorang yang suka umbar perasaannya, seketika juga dia rangkul Yo Ko sambil ber-teriak2: “O, anakku, sudah lama sekali aku mencari kau !”
BegituIah kedua orang itu saling rangkul dan sama mengulurkan air mata.
Kiranya sejak Auwyang Hong berpisah dengan Yo Ko di kelenteng bobrok di daerah Kanglam dahulu, di mana dia sembunyi di dalam genta raksasa untuk menghindari pencarian Kwa Tin-ok Setelah dia menjalankan ilmu saktinya untuk menyembuhkan luka dalamnya selama tujuh hari tujuh malam, akhirnya lukanya telah pulih kembali, ya Iuka2 luar yang babak-belur karena dihajar Kwa Tin-ok itu seketika masih belum sembuh.
Sesudah dia angkat genta raksasa itu dan keluar, ia merawat lukanya lagi selama dua puluhan hari di dalam hotel, habis ini kesehatannya baru pulih seluruhnya, Karena dia pernah berjanji pada Yo Ko bahwa tidak peduli ke mana bocah ini pergi, ke sana juga akan dicarinya, tetapi sudah sebulan, bumi begitu luas, ke mana dia bisa mencari jejaknya.
Auwyang Hong pikir bocah ini tentu telah pergi ke Tho-hoa-to, turuti wataknya yang suka berlaku cepat, maka segera juga ia cari satu perahu kecil dan berlayar ke pulau itu. ia tahu juga dirinya se-kali2 bukan tandingan Kwe Ceng beserta isterinya, Oey Yong, apalagi ditambah seorang Oey Yok-su, ayah Oey Yong (tentang kepergian Oey Yok-su dari pulau itu tak diketahui Auwyang Hong), sekalipun kepandaiannya sekali lipat lebih tinggi lagi juga tidak ungkuIan melawan ketiga orang itu.
Oleh sebab itulah ia tunggu malam tiba batu berani mendarat, siang hari ia sembunyi di dalam gua pegunungan pulau itu, kalau malam baru diam2 kelayapan keluar dengan harapan bisa ketemukan Yo Ko.
Meski secara hati2 sekali dia sembunyi selama lebih dua tahun tanpa berani keluar selangkah pun di waktu siang hari toh tetap tak diketemukan kabar beritanya Yo Ko. Kemudian pada suatu malam, secara kebetulan ia dengar percakapan diantara Bu Siu-bun dan Bu Tun-si berdua saudara, ia baru tahu bahwa Yo Ko sudah dikirim oleh Kwe Ceng kepada Coan-cin-kau untuk belajar silat.
Tentu saja Auwyang Hong sangat girang memperoleh kabar itu, malam itu juga dia tinggalkan pulau itu dan memburu ke Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san. Siapa duga tatkala itu Yo Ko sudah bikin ribut dengan imam2 Coan-cin-kau dan sudah masuk ke Hoat-su-jin-bong.
Peristiwa itu oleh Coan-cin-kau dianggap sebagai suatu noda besar yang sangat memalukan, maka seluruh imam Coan-cin-kau tiada satupun yang mau bicara, meski Auwyang Hong sudah berusaha dengan segala daya-upaya untuk mencari tahu toh tetap tiada satu kabarpun yang dia peroleh.
Selama beberapa tahun seluruh gunung Cong-lam-san boleh dikatakan sudah dijelajahi oleh kaki Auwyang Hong, siapa tahu Yo Ko justru bersembunyi di bawah tanah gunung itu dan sedang melatih ilmu sakti secara giat.
Sangat kebetulan juga malam itu, ketika Auwyang Hong lalu di lembah gunung, mendadak dilihatnya ada satu gadis berbaju putih mulus sedang menghela napas sambil duduk tepekur mengidapi bulan.
“Hai, di manakah anakku ? Kau lihat dia tidak ?” demikian dengan kelakuan kasar dan gila Auwyang Hong telah menegur.
Gadis itu adalah Siao-liong-li, memangnya dia sedang kesal ia menjadi tambah sebal demi melihat seorang gila menegur padanya, maka dia hanya melotot saja dan tak digubrisnya.
Tak terduga Auwyang Hong tiba2 melompat maju, ia pegang lengan Siao-liong-li dan membentak pula: “He, dimanakah anakku ?”
Siao-liong-li menjadi kaget demi merasakan tenaga cengkeraman orang yang sangat kuat, nyata ilmu silat orang tinggi luar biasa dan belum pernah dilihatnya seumur hidup, sekalipun jago paling lihay dari Coan-cin-kau juga masih jauh di bawahnya.
Dalam terkejutnya itu, lekas2 ia lepaskan diri dengan Kim-na-jiu-hoat (ilmu cara menawan dan memegang) yang lihay.
Dengan sekali pegang tadi Auwyang Hong mengira lawan pasti akan terpegang kencang, siapa tahu dengan gampang saja orang bisa mengelakkan diri, dasar dia memang linglung, iapun tidak tanya2 lagi, segera sebelah tangannya menyerang pula, dan begitulah tanpa sebab musabab mereka berdua lantas saling labrak
Kembali tadi Karena sudah beberapa tahun berpisah, maka Yo Ko dan Auwyang Hong lantas saling menceritakan rasa kangennya masing2 selama ini, pikiran Auwyang Hong masih tetap setengah jernih dan setengah butek, kejadian yang lalu sudah tak banyak lagi yang bisa diceritakan, terhadap cerita Yo Ko iapun tak begitu mengerti, yang dia tahu hanya selama beberapa tahun ini Yo Ko telah belajar silat pada Siao-liong-Ii.
Meski usianya sudah lanjut toh Auwyang Hong masih bersifat kanak2, segera dia bilang lagi: “llmu kepandaiannya tidak bisa mengungkuli aku, untuk apa belajar padanya, biar aku sendiri yang mengajar kau.”
Baiknya watak Siao-liong-li dingin saja, maka ia tidak merecoki urusan ini, meski dengar, ia hanya tersenyum saja terus menyingkir pergi.
Sebaliknya Yo Ko menjadi rikuh terhadap Siao-liong-li. “Tetapi Suhu sanggat baik terhadap diriku, ayah !” demikian Iekas2 ia jelaskan.
Tiba2 Auwyang Hong menjadi cemburu, “Dia baik, apa aku tidak ?” teriaknya.
“Baik, kaupun baik,” sahut Yo Ko cepat dan tertawa, “Di dunia ini hanya kalian berdua saja yang baik terhadap diriku.”
Karena itu, dengan memegangi tangan Yo Ko, Auwyang Hong menyengir.
“Ilmu silat yang kau pelajari sebenarnya tidak jelek juga,” katanya kemudian, “cuma sayang dua macam ilmu paling hebat di dunia ini tak kau pelajari satupun.”
“llmu apakah itu,” tanya Yo Ko. Se-konyong2 Auwyang Hong tarik muka, alisnya yang tebal se-akan2 menegak.
“Percuma kau sebagai seorang berilmu silat, sampai dua ilmu sakti di jagat ini saja tak kan kenal, lalu apa gunanya kau angkat dia sebagai guru ?” bentaknya tiba-tiba.
Nampak orang sebentar girang sebentar marah, hati Yo Ko bukan menjadi takut, sebaliknya ia merasa sedih, “Nyata penyakit ayah sudah terlalu mendalam, entah kapan baru bisa sembuh kembali ?” demikian ia berpikir.
Dalam pada itu tiba2 terdengar Auwyang Hong bergelak ketawa.
“Ha, ini biar ayah mengajar kau,” katanya, “Kedua macam ilmu mujijat itu yalah Ha-mo-kang dan Kiu-im-cin-keng. Semasa kecilmu, pernah ku ajarkan kau sedikit penuntunnya dasar, sekarang coba kau berjungkir dan berlatih di hadapanku !”
Memang sejak masuk kuburan kuno itu, sudah lama Yo Ko tidak berlatih lagi ilmu menjungkir dengan kepala di bawah itu, kini diingatkan kembali tentu saja dengan senang hati ia menurut.
Dahulu semasih di Tho-hoa-to saja Yo Ko sudah berlatih dengan masak sekali, kini ditambah lagi Lwekangnya telah tinggi sekali, keruan seperti macan tumbuh sayap saja, ia bisa berputar kayun secepat kitiran dengan kepala menjungkir dibawah.
“Bagus, bagus ! Segera kuajarkan kau pula seluruh intisari yang paling hebat!” seru Auwyang Hong kegirangan.
Habis ini betul saja dia lantas geraki kaki dan tangannya, ia mencerocos tiada hentinya, dia tidak urus apakah Yo Ko bisa ingat seluruhnya atau tidak, tetapi sejak mulai ia terus menutur seperti mitraliur.
Di Iain pihak setelah mendengar beberapa kali ajaran Auwyang Hong itu, hati Yo Ko mendadak tergerak, ia merasa setiap kata, setiap istilah ternyata luas sekali artinya, seketika mana bisa paham begitu banyak, terpaksa ia gunakan ketajaman otaknya untuk mengingatnya dengan paksa.
Sesudah Auwyang Hong mencerocos tak lama, tiba2 ia tepuk tangan dan berseru pula : “He, celaka, jangan2 si budak cilik itu ikut mencuri dengar !”
Segera pula ia pergi ke belakang pohon sana, ia dekati Siao-liong-li dan bilang padanya: “Eh, budak cilik, aku sedang mengajarkan ilmu kepandaian kepada anakku, jangan kau mencuri dengar.”
“Macam apakah kepandaianmu itu ? Siapa pingin mendengarkan ?” sahut Siao-liong-Ii dengan sikap dingin saja.
Sejenak Auwyang Hong tertegun oleh jawaban orang.
“Baik, kalau begitu kau menyingkir yang jauh,” katanya kemudian,
Tetapi sama sekali siao-liong-li tidak gubris padanya, ia masih bersandar pada batang pohon besar itu. “Hm, kenapa aku harus turut perintahmu ? jika aku suka pergi segera aku akan pergi, kalau tidak suka, tak nanti aku pergi,” demikian sahutnya ketus.
Keruan Auwyang Hong gusar hingga rambut alisnya se-akan2 berdiri, ia ulur tangan hendak mencakar muka Siao-liong-li. Tetapi Siao-liong-li masih tidak gubris padanya, bahkan dia pura2 tidak tahu atas serangan orang.
Tentu saja dengan cepat jari tangan Auwyang Hong menyelonong ke mukanya, tetapi sesudah dekat, tiba2 Auwyang Hong mendapatkan pikiran lain. “Ah, dia kan Suhu anakku, tidak baik kalau aku melukai dia, Tetapi seketika akupun tak bisa berbuat apa2 jika dia tak mau menyingkir pergi,” demikian ia membatin
Karena itu, segera tangan yang dia ulur itu ditarik lagi kembali.
“Baiklah, kalau begitu kami saja yang menyingkir tetapi kau jangan mengintip, ya ?” kata-nya.
Siao-Iiong-li pikir meski orang ini sangat tinggi ilmu silatnya, tetapi orangnya dogol, maka iapun malas buat meladeninya, ia malah berpaling ke jurusan lain dan tak menjawab.
Siapa tahu begitu dia melengos, mendadak punggungnya terasa kesemutan. Kiranya Auwyang Hong tiba2 telah ulur tangan dan menutuk sekali pada Hiat-to di punggungnya, Oleh karena gerak tangannya terlalu cepat dan aneh, pula sama sekali Siao-liong-li tidak me-nyangka2, ketika dia kaget dan bermaksud tutup jalan darahnya buat menolak tutukan orang, namun sudah terlambat, seketika setengah badannya bagian atas terasa tak bebas lagi. Bahkan menyusul Auwyang Hong menambahi pula sekali tutukan di pinggangnya.
“Nah, budak cilik, jangan kau kuatir, sebentar saja sesudah selesai aku ajarkan ilmu pada anakku, segera aku datang melepaskan kau,” demikian terdengar Auwyang Hong berkata dengan tertawa sambil berjalan pergi.
Tatkala itu Yo Ko sedang mengingat2 Ha-mo-kang dan Kiu-im-cm-keng yang diajarkan oleh ayah angkatnya tadi, ia merasa apa yang diajarkan dari Cin-keng atau kitab asli itu, bukan saja berlainan dengan apa yang terukir di kamar batu oleh Ong Tiong-yang, bahkan seluruhnya berlawanan dan terbalik, maka ia sedang peras otaknya untuk menyelaminya lebih mendalam hingga sedikitpun dia tak mengetahui sang guru kena diserang Auwyang Hong.
“Marilah kita menyingkir kesana, jangan sampai didengar oleh Suhu-mu.” demikian kata Auwyang Hong sambil tarik tangan Yo Ko.
Tetapi Yo Ko cukup kenal tabiatnya Siao-liong-li yang aneh dan menyendiri jangan kata tidak nanti si gadis ini sudi mencuri dengar, sekali pun dipertontonkan di hadapannya, belum tentu dia mau lihat dan pasti dia akan menyingkir juga.
Tetapi karena pikiran ayah angkatnya dalam keadaan kurang waras, iapun merasa tidak perlu banyak berdebat, segera ia ikut pergi.
Sementara itu karena kena ditutuk jalan darahnya, dengan lemas Siao-liong-li telah terkulai di tanah, sungguh tidak kepalang rasa mengkalnya pula geli, ia pikir ilmu silatnya sendiri meski sudah terlatih masak dan bagus, namun apapun juga masih kekurangan pengalaman menghadapi musuh, sehingga sudah kena dibokong oleh Li Bok-chiu, kini mengalami pembokongan lagi oleh makhluk aneh si berewok ini.
Maka diam2 ia kumpulkan tenaga sakti dari apa yang dia pelajari dalam Kiu-im-cin-keng, yakni “Kay-hiat-pi-koat”, rahasia caranya melepaskan tutukan, ia sedot napasnya da1am2 terus menggem-pur aliran jalan darahnya.
Tetapi aneh, susudah dua kali dia ulangi, bukan saja Hiat-to yang tertutuk itu tidak menjadi lancar dan terbuka, bahkan bertambah pegal dan linu, Keruan saja tidak kepalang terkejutnya oleh kejadian yang tak dimengerti ini.
Kiranya cara tutukan Auwyang Hong itu justru berlawanan dengan jalan darah biasa, sebab memang dia melatih Kiu-im-cin-keng secara terbalik kini Siao-liong-li pakai cara biasa untuk melepaskan diri, dengan sendirinya bukan menjadi kendor, sebaliknya bertambah kencang dan makin rapat. Dan karena sudah coba dan dicoba lagi masih belum berhasil, bahkan bertambah sakit, akhirnya Siao-liong-li tak berani coba2 lagi.
Terpikir pula olehnya nanti sehabis si gila ini selesai mengajarkan ilmu pada Yo Ko. dengan sendirinya dia akan kembali buat menolongnya, biasanya Siao-liong-li memang tidak suka banyak pikiran, maka kini iapun tidak menjadi kuatir atau gugup, ia malah ter-mangu2 sambil menengadah untuk memandang bintang2 yang tinggi di langit, hingga lapat2 akhirnya ia tertidur.
Entah sudah berapa lama ia terpulas, ketika terasa kelopak matanya pelahan2 seperti tergosok sesuatu, ia terjaga dari tidurnya, ia coba buka matanya, Biasanya dalam kegelapan Siao-liong-li bisa pandang sesuatu seperti di siang hari, tetapi kini sedikitpun ternyata tak dilihatnya, kiranya kedua matanya telah kena ditutup orang dengan selapis kain.
Luar biasa kaget Siao-liong-li sekali ini, malah menyusul ini segera terasa pula ada orang memeluk dirinya, Diwaktu memeluk, mula-mula orang ini agaknya rada2 takut, tetapi belakangan lambat laun menjadi tabah dan pelahan2 menjadi berani
Dalam kagetnya itu niat Siao-Iiong-Ii hendak berteriak, Tetapi percuma sebab mulutnya susah dipentang karena tutukannya Auwyang Hong tadi. Segera pula, ia merasa orang itu berani mencium pipinya.
SemuIa Siao-iiong-ii menyangka Auwyang Hong yang mendadak telah pakai kekerasan hendak perkosa dirinya, tetapi ketika muka orang itu menyentuh pipinya, ia merasa muka orang halus licin saja tanpa berewok seperti Auwyang Hong, Hatinya terguncang juga, rasa terkejutnya tadi pe-lahan2 pun hilang, maklum Siao-liong-li sendiri pun muda, dalam hati iai pikir tentu ini perbuatan si Yo Ko.
Dalam pada itu ia merasa kelakuan orang itu mulai tidak sopan, tangan meraba sini dan menarik sana,
“Kurangajar, si Yo Ko ini !” demikian diam-diam Siao-liong-li mengelak
Tetapi karena tubuhnya sedikitpun tak bisa berkutik, maka tiada jalan lain ia serahkan diri apa yang hendak diperbuat orang, Hanya tidak karuan rasa dalam hatinya, ia terkejut girang, malu dan rada-rada sakit.
Sementara itu di sebelah sana Auwyang Hong sedang asyik memberi pelajaran ilmu silatnya pada Yo Ko. ia menjadi senang demi nampak bakat Yo Ko sangat pintar, sedikit diberitahu saja, lanjutannya dengan sendirinya dipahami Oleh karena itulah, makin mengajar Auwyang Hong semakin bersemangat hingga fajar menyingsing barulah selesai pokok2 kedua ilmu mujijat itu diajarkan
“Ayah, pernah juga kupelajari Kiu-im-cin-keng, tetapi kenapa berlainan sekali dengan apa yang kau uraikan ini ?” tanya Yo Ko kemudian sesudah diulangi dan diapalkan pula pelajaran yang baru diperolehnya.
“Apa ? Pernah kau pelajari ? Ah, bohong, kecuali ajaranku ini, mana ada lagi Kiu-im-cin-keng lain ?” sahut Auwyang Hong membentak.
“Tetapi betul, seperti cara melatih melemaskan otot dan kuatkan tulang, menurut kau, langkah ketiga harus sedot napas dan jalankan darah ke arah atas. Tetapi Suhu sebaliknya bilang napas harus dipusatkan di perut dan darah dilancarkan ke bawah,” kata Yo Ko.
“Mana bisa begitu, salah, salah…” teriak Auwyang Hong sambil geleng kepala, tetapi baru sampai di sini tiba2 ia berhenti ia memikir sejenak, lalu disambungnya lagi: “He, ehm, nanti dulu…”
Habis ini ia coba melakukan apa yang dikatakan Yo Ko tadi, betul saja seluruh badannya dirasakan sangat nyaman dan segar, ternyata sangat berbeda dengan caranya sendiri.
Sudah tentu tak pernah dia pikir bahwa dahulu dia telah dipermainkan Kwe Ceng atas suruhan Ang Chit-kong (salah satu gurunya Kwe Ceng) telah menuliskan kitab palsu Kiu-im-cin-keng yang telah diubah sana sini dan diputar-balik tak keruan untuk kemudian baru diserahkan padanya, dengan sendirinya hasil dari apa yang dilatihnya menjadi terjungkir-balik juga dan berlawanan dengan intisari Kiu-im-cin-keng yang asIi.
BegituIah, maka Auwyang Hong menjadi bingung, pikirannya kacau lagi.
“He, kenapa bisa begini ? Ah, mana bisa ? sebenarnya aku yang salah atau dia yang keliru ? Ah, mana bisa, mana bisa jadi begini ?” demikianlah Auwyang Hong mengomel sendiri tiada hentinya.
Yo Ko menjadi kaget melihat kelakuan orang yang tak beres ini. “Ayah, ayah !” ia coba memanggil beberapa kali, tetapi tiada sahutan yang dia peroleh, Yo Ko menjadi kuatir penyakit ayah angkatnya ini kumat lagi.
Sedang ia terkejut itu, tiba2 terdengar olehnya suara gemerisik diantara semak2 rumput sana, berbareng itu dilihatnya berkelebatnya bayangan orang, lapat2 diantara semak2 itu tertampak pula sebagian dari ujung jubah imam yang ke-kuning2-an.
Tempat ini sebenarnya sunyi senyap dan terpencil kenapa sekarang bisa didatangi orang luar ? pula kelakuan orang itu celingukan tidak beres, terang tidak mengandung maksud baik Demikianlah Yo Ko menjadi curiga, maka dengan langkah cepat segera ia memburu ke sana.
Namun dengan cepat orang itu sudah kabur ke jurusan sana, kalau melihat bagian belakangnya, nyata seorang Tojin atau imam.
“Hai, siapa kau ?” segera Yo Ko membentak. “Hayo, berhenti ! Apa kerjamu disini ?”
Sambil berteriak, dengan Ginkang yang tinggi segera Yo Ko mengudak.
Dilain pihak demi mendengar suara bentakan Yo Ko, imam itu semakin percepat larinya, Tetapi mana sanggup dia balapan lari dengan Yo Ko, hanya sedikit “tancap gas” saja tahu2 Yo Ko sudah melompat sampai di belakangnya, begitu pundaknya dia cekal dan diputar balik, seketika Yo Ko menjadi heran, sebab imam ini dapat dikenalnya bukan dari pada In Ci-peng, itu murid Khu Ju-ki dari Coan-cin-kau.
Yo Ko semakin tak mengerti ketika dilihatnya pakaian In Ci-peng kusut tak teratur, mukanya sebentar merah dan sebentar pucat.
“He, katakan, kerja apa kau di sini ?” Yo Ko menegur lagi.
In Ci-peng terhitung salah satu jago utama dari anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, ilmu silatnya tinggi, tindak tanduknya biasanya juga cukup gagah, tetapi entah mengapa, kini sama sekali berubah lain, kena di-bentak2 Yo Ko tadi, kelihatan dia menjadi gugup hingga tak sanggup bicara.
Melihat orang tetap tak menjawab meski beberapa kali ia mengulangi pertanyaannya, keruan Yo Ko tambah tidak mengerti Tetapi segera teringat olehnya dahulu In Ci-peng pernah menanam budi atas dirinya ketika dia melarikan diri dari Tiong-yang-kiong. Oleh karenanya ia tak tega untuk membentak lebih lanjut lagi.
“Baiklah, kalau tiada apa2, bolehlah kau pergi !” demikian katanya kemudian sambil melepaskan In Ci-peng.
Keruan saja In Ci-peng seperti terlepas dari genggaman elmaut, sambil menoleh beberapa kali memandang Yo Ko, segera ia lari pergi dengan langkah cepat dan ketakutan seperti orang berdosa.
“Sungguh menggelikan kelakuan imam ini.” demikian diam2 Yo Ko tertawai orang.
Lalu ia menuju ke gubuk mereka, tetapi diantara semak2 di depan gubuk sana tiba2 dilihatnya kedua kaki Siao-liong-Ii melonjor keluar tanpa bergerak sedikitpun, agaknya seperti tertidur nyenyak.
“Kokoh, Kokoh !” Yo Ko coba memanggil.
Akan tetapi tiada jawaban. ia berjongkok dan menyingkap semak2 yang lebat itu, maka terlihat Siao-liong-li rebah terlentang di tanah, sedang kedua matanya tertutup oleh selapis kain biru.
Rada kaget juga Yo Ko melihat keadaan sang guru lekas2 ia melepaskan ikatan kain biru dari muka orang, dilihatnya wajah dan sorot mata berlainan sekali dengan biasanya, kedua pipinya pun bersemu merah seperti ke-malu2an.
“Kokoh, siapakah yang ikat kain ini atas dirimu ?” tanya Yo Ko kemudian.
Namun Siao-liong-li tak menjawab, hanya sorot matanya tertampak mengandung maksud mengomelinya.
Melihat tubuh orang seperti lemas lunglai, agaknya seperti tertutuk jalan darahnya oleh orang, Yo Ko coba menariknya, betul juga sama sekali Siao-liong-li tak bisa bergerak.
Yo Ko memang pintar, melihat keadaan orang, segera dapat diterka apa sebab-musababnya, “Tentu dia ditutuk ayah angkatku dengan Tiam-hiat-hoat yang terbalik, kalau tidak, dengan kepandaian Kokoh, Tiam-hiat-hoat yang lebih lihay sekalipun dapat dibukanya sendiri,” demikian pikirnya.
Maka dengan cara yang telah dipelajarinya dari Auwyang Hong tadi, lantas Yo Ko membukakan Hiat-to Siao-liong-li yang tertutuk itu.
Siapa tahu, waktu tertutuk tubuh Siao-liong-li oleh Yo Ko, toh Siao-liong-li tetap lemah lunglai dan meringkuk di dalam pangkuan Yo Ko seperti seluruh tubuhnya tidak bertulang lagi.
“Kokoh,” kata Yo Ko dengan suara halus sambil pegang lengan orang, “kelakuan ayah angkatku memang tak genah, maka jangan kau sesalkan dia.”
“Kau sendiri yang tak genah, Tak malu, masih kau bilang orang Iain!” sahut Siao-liong-li tiba2 secara samar2 dan menyembunyikan mukanya ke dalam pangkuan pemuda itu.
Melihat kelakuan sang guru semakin aneh dan berbeda sekali dengan se-hari2nya, Yo Ko mulai bingung.
“Kokoh, ak… aku…” demikian kata2-nya menjadi tak lancar.
“Masih kau panggil aku Kokoh ?” omel Siao-liong-li tiba2 sambil mendongak.
Keruan saja Yo Ko semakin bingung dan gugup.
“He, tidak panggil kau Kokoh, lalu panggil apa ? Apa panggil Suhu saja ?” sahutnya heran.
“Kau perlakukan aku cara begitu, mana bisa lagi aku menjadi gurumu ?” kata Siao-liong-li dengan senyum malu-malu.
“Aku ? Aku kenapa ?” Yo Ko tambah tak mengerti.
Tetapi Siao-liong-li tak menjawab lagi, ia gulung lengan bajunya, maka tertampaklah tangannya yang berkulit putih “bersih seperti salju.
“Lihat!” katanya dengan wajah ke-malu2an sambil menunjuk lengannya yang putih mulus itu. Ternyata andeng2 merah “Siu-kiong-seh” yang dahulu terdapat di lengannya itu kini sudah hilang tanpa bekas.
Tetapi Yo Ko masih bingung, ia cakar2 kuping dan garuk2 kepala.
“Kokoh, apakah artinya ini ?” demikian katanya.
“Dengarkan, tidak boleh lagi kau panggil aku Kokoh,” ujar Siao-liong-li setengah mengomel Dan demi dilihatnya wajah Yo Ko penuh mengunjuk bingung, entah mengapa hati gadis ini tiba2 timbul rasa cinta mesra yang tak terkatakan.
“Ahliwaris Ko-bong-pay kita selamanya turun-temurun adalah gadis yang suci bersih,” kemudian dengan suara pelahan Siao-liong-li berkata pula.
“Oleh sebab itu Suhu telah menisik setitik andeng2 merah itu di tanganku, Tetapi semalam… semalam kau perlakukan aku begitu, mana bisa lagi andeng2 merah itu tinggal di atas tanganku ?”
“Aku perlakukan kau apa semalam ?” tanya Hyo Ko rapat dan bingung.
Muka Siao-liong-li menjadi merah jengah.
“Sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi,” sahutnya kemudian, dan sesudah sejenak pula, dengan pelahan ia berkata lagi: “DahuIu aku takut2 untuk turun gunung, tetapi kini sudah lain, tidak perduli ke mana kau pergi, dengan rela aku akan mengikuti kau.”
“Bagus sekali, Kokoh, kalau begitu!” seru Yo Ko girang
“He, kenapa kau masih memanggil aku Ko-koh ?” tegur Siao-liong-li dengan wajah sungguh2, “Apa kau tidak dengan hati murni terhadap diriku ?”
Karena Yo Ko tidak menjawab, akhirnya Siao-liong-Ii menjadi tak sabar lagi “Sebenarnya kau anggap diriku ini apamu ?” tanyanya dengan suara gemetar.
“Kau adalah guruku, kau sayang padaku, aku sudah bersumpah bahwa selama hidupku ini pasti menghormati kau dan suka padamu,” demikian dengan sungguh2 dan tulus Yo Ko menjawab.
“Apa kau tidak anggap aku sebagai isterimu?” teriak Siao-liong-li tak tahan.
Sungguh hal ini belum pernah terlintas dalam pikiran Yo Ko, kini mendadak ditanya orang, keruan ia kelabakan dan tak mengerti cara bagaimana harus menjawabnya.
“Ti… tidak, tak mungkin kau adalah isteriku, mana aku cakap ?” demikian sahutnya kemudian dengan tak lancar, “Tetapi kau adalah Suhu, adalah Kokoh-ku”.
Tidak kepalang gusarnya Siao-liong-li mendengar jawaban ini hingga seluruh tubuhnya gemetar, mendadak darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
“Kokoh, Kokoh !” Yo Ko ber-teriak2 bingung melihat keadaan orang.
Mendengar orang terus-menerus masih panggil demikian padanya, dengan sorot mata yang gemas tiba2 Siao-liong-li angkat telapak tangannya terus hendak digablokkan ke kepala Yo Ko. Tetapi, pe-lahan2, sorot matanya dari gemas dan menyesal tadi berubah menjadi benci dan dendam, lalu dari benci dan dendam berganti lagi menjadi sayang dan kasihan.
“Baiklah kalau begitu, selanjutnya jangan kau bertemu dengan aku lagi,” dengan menghela napas panjang akhirnya ia berkata dengan lirih dan lemah.
Habis berkata, ia kebas lengan bajunya yang panjang terus putar tubuh dan lari pergi dengan cepat turun ke bawah gunung.
“Kokoh, Kokoh! Ke mana kau ? Akut ikut bersama kau !” Yo Ko ber-teriak2.
“Jika kau ketemu lagi dengan aku, mungkin sulit ku ampuni jiwamu,” sahut Siao-liong-li tiba2 sambil menoleh.
Dalam bingungnya Yo Ko semakin tak tahu apa yang harus dilakukannya. Karena tertegunnya ini, sementara bayangan Siao-liong-li sudah menghilang diantara jalan pegunungan yang menurun itu. Sungguh tidak kepalang berdukanya Yo Ko hingga dia menangis ter-gerung2.
Sungguh tidak dimengerti olehnya sebab apakah dia membikin gurunya begitu marah hingga kelakuannya begitu aneh. Kenapa sang guru bilang mau jadi isterinya, pula melarang dia memanggil Kokoh lagi padanya ? Semua ini membuatnya bingung.
“Ya, tentu urusan ini ada hubungannya dengan ayah angkatku, pasti dia yang bikin marah Suhu.” demikian akhirnya Yo Ko menarik kesimpulan sesudah berpikir lama.
Lalu ia pergi ke dekat Auwyang Hong lagi, di sana ia lihat orang tua ini sedang berdiri tegak dengan kedua matanya terbelalak tanpa berkedip.
“Ayah, sebab apakah kau membikin marah guruku ?” segera Yo Ko bertanya.
Akan tetapi Auwyang Hong tidak menjawab, hanya terdengar mulutnya menggumam sendiri: “Kiu-im-cin-keng, Kiu-im-cin-keng !”
“He, kenapa kau tutuk jalan darah guruku hingga bikin dia begitu marah ?” kembali Yo Ko tanya lagi.
Namun Auwyang Hong tetap tak menjawab, ia berkata seorang diri pula: “Sebenarnya harus dijalankan ke atas atau ditekan ke bawah ?”
“He, ayah,” teriak Yo Ko akhirnya, ia menjadi tak sabar, “aku tanya kau tentang Suhu, katakanlah, apa yang telah kau lakukan terhadap dia?”
“Siapa gurumu ? Siapa aku ? siapakah Auwyang Hong ?” tiba2 Auwyang Hong ber-teriak2 sendiri.
Melihat penyakit gila orang kumat lagi, Yo Ko jadi kuatir tercampur kasihan.
“Ayah, tentu kau sudah letih, marilah mengaso ke dalam gubuk,” ajaknya kemudian.
Tetapi mendadak Auwyang Hong berjumpalitan dan tahu2 tubuhnya sudah menjungkir sambil ber-teriak2 : “Siapakah aku ini ? siapakah aku ini ? Dimanakah Auwyang Hong ?”
Berbareng itu kedua tangannya bergerak tak keruan, tubuhnya yang menjungkir pun berputar cepat, dengan kepala di bawah secepat angin Auwyang Hong ber-lari2 ke bawah gunung.
“Ayah, ayah!” dalam bingungnya Yo Ko coba menarik orang.
Siapa duga mendadak Auwyang Hong memancal dengan sebelah kakinya dan dengan tepat mengenai rahang Yo Ko, Depakan ini sedikitpun ternyata tak kenal ampun hingga Yo Ko tak tahan berdiri tegak lagi, ia jatuh terjengkang.
Ketika dia berdiri lagi, sementara itu Auwyang Hong sudah pergi jauh dan sekejap saja lantas menghilang dari pandangan.
Dengan terkesima Yo Ko terpaku di tempatnya, entah perasaan apa waktu itu yang dia rasakan. Suasana sekelilingnya se-akan2 sunyi senyap, sayup2 hanya diselingi oleh suara berkicaunya burung.
“Kokoh ! Ayah ! Kokoh ! Ayah !” akhirnya Yo Ko ber-teriak2 seorang diri.
Sudah tentu tiada sesuatu sahutan dari kedua orang yang dipanggil itu, yang ada hanya suaranya sendiri yang berkumandang balik dari lembah pegunungan yang luas itu.
Dalam keadaan demikian Yo Ko menjadi putus asa, perasaannya se-akan2 hancur. Maklumlah, selama beberapa tahun ini boleh dikatakan tak pernah dia berpisah dengan Siao-liong-li, hubungan mereka begitu rapat bagai ibu dan anak, kini mendadak tanpa diketahui apa sebabnya orang pergi begitu saja, sudah tentu tidak keruan rasa hatinya.
Dalam putus asanya itu dan memang perasaan halus Yo Ko lain dari pada orang biasa, maka hampiri saja dia mau bunuh diri. Syukur dia masih bisa berpikir panjang, lapat2 timbul semacam harapan bahwa gurunya yang pergi mendadak itu mungkin akan kembali juga secara mendadak.
Meski Kokoh dibikin marah ayah angkatnya, namun dirinya toh tiada berbuat sesuatu kesalahan, tentu sang guru akan kembali lagi mencari padanya, begitulah dia pikir.
Tentu saja malam itu ia lewatkan sendirian dengan tak bisa tidur, beberapa kali, asal terdengar sesuatu suara gemerisik, segera ia melompat bangun menyangka Siao-liong-li yang kembali, ia berteriak dan me-manggil2 dan berlari keluar, namun setiap kali selalu ia kecewa dan cemas.
Begitulah dia sibuk semalam suntuk merindukan Siao-liong-li sampai fajar menyingsing.
“Jika Suhu tidak mau kembali, biarlah aku yang pergi mencari dia,” tiba2 terpikir olehnya, “Asal bisa ketemukan dia, tidak peduli bagaimana dia akan menghajar atau mendamperat aku, yang pasti aku tak akan berpisah lagi dengan dia.”
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ketabahannya banyak bertambah. Segera ia bebenah seperlunya, ia bugkus pakaian sendiri dan milik Siao-liong-li kedalam sepotong kain, ia gendong di punggungnya lalu dengan langkah lebar ia turun ke bawah gunung.
Sepanjang jalan ia coba menanya penduduk di tepi jalan apakah ada melihat seorang nona putih yang cantik lewat di situ, Tetapi beruntun ia tanya beberapa orang, semuanya hanya goyang kepala menyatakan tak tahu.
Karena itu, akhirnya Yo Ko menjadi gopoh, dengan sendirinya cara bertanya kemudian menjadi kurang sopan, Dan para penduduk yang ditanya itu sebaliknya mendongkol juga melihat pemuda seperti Yo Ko ini selalu mencari tahu tentang nona cantik segala, dengan sendirinya lalu ada orang yang ingin tahu untuk apa dia cari dan siapa nona ayu itu, pernah apakah dengan dia.
Sebaliknya Yo Ko jadi marah2 oleh pertanyaan kembali itu. “ltu kau tak perlu urus, aku hanya ingin tahu kau melihat dia lewat di sini tidak ?” demikian dalam gusarnya Yo Ko tak sadar kata2nya ini halus atau tidak.”
Sedang orang yang ditanya tentu saja marah juga melihat sikap Yo Ko ini, syukur setelah terjadi ribut2, dari samping seorang tua telah memisah, lalu orang tua ini menunjuk ke satu jalanan kecil di jurusan timur dan berkata pada Yo Ko:
“Semalam aku melihat satu gadis secantik bidadari menuju ke arah timur, tadinya aku menyangka dia itu Koan-im-po-sat (Budha Satwa) yang menjelma, siapa tahu dia kenalan baik saudara…”
Mendengar kabar ini, tidak menanti orang selesai bicara, Iekas2 Yo Ko menghaturkan terimakasih terus memburu ke jalan kecil menurut arah yang ditunjuk itu.
Tetapi begitu ia mungkur, orang banyak tertawa ramai, Kiranya karena kelakuan Yo Ko yang tak punya sopan santun, maka orang tua tadi sengaja mempermainkan dia.
Namun Yo Ko sama sekali tak tahu kalau dirinya telah didustai orang, ia masih memburu ke jurusan itu dengan cepat, Lewat tak lama, tiba2 didepan terdapat simpang jalan tiga jurusan, ia menjadi bingung ke arah mana harus dia tempuh.
“Biasanya Kokoh tak suka tempat ramai, tentu dia pilih jalanan kecil yang sepi,” demikian Yo Ko pikir sendiri, Habis ini lantas dipilihnya jalanan kecil yang membelok ke kiri.
Siapa duga jalanan kecil ini makin Iama makin lebar dan sesudah menikung beberapa kali, akhirnya malah menembus satu jalan raya.
Waktu itu hari sudah magrib, Yo Ko sendiri sudah sehari semalam tak makan tak minum, perutnya sudah keruyukan, dilihatnya di depan sana rumah ber-deret2 dan gedung ber-jajar2, nyata ada satu kota yang cukup ramai.
Cepat Yo Ko menuju ke kota dan masuk sebuah hotel (pada umumnya hotel merangkap restoran), lalu ia menggembor minta disediakan daharan.
Tak lama pelayan sudah antar santapan sederhana ke hadapan Yo Ko, tetapi baru beberapa kali sumpitan saja anak muda ini tak punya napsu maka lagi, karena merasa kesal, tenggorokannya penjadi seret dan tak bisa menelan.
“Meski hari sudah mulai gelap, tapi lebih baik lekas aku pergi mencari Kokoh saja, bila malam ini dibiarkan lewat, untuk selanjutnya mungkin sukar bertemu lagi,” demikian pikir Yo Ko. Oleh karenanya segera ia taruh mangkok nasinya dan memanggil pelayan.”
“Aku ingin tanya kau, pelayan,” kata anak muda ini sesudah petugas itu datang.
“Boleh saja, tuan, katakanlah ! Apakah karena santapan ini tidak cocok dengan lidah tuan, biarlah hamba membuatkan yang lain, tuan suka masakan apakah ?” demikian sahut si pelayan mencerocos.
“Tidak, aku tidak maksudkan makanan,” kata Yo Ko sambil goyang2 tangannya “Tetapi aku ingin tanya, apakah kau melihat seorang gadis jelita berbaju putih lewat di sini ?”
“Baju putih ?” si pelayan menggumam sendiri “He, apakah nona itu sedang berkabung ? Ada keluarganya yang meninggal bukan ?”
Begitulah si pelayan mencerocos tak keruan dari menyimpang dari pertanyaan orang, Keruan Yo Ko sangat mendongkol.
“Aku hanya tanya kau, lihat atau tidak ?” mengulanginya lagi.
“Wanita sih memang ada, juga orang pakai baju putih”
“Dan menuju ke arah mana ?” tanya Yo Ko cepat dan girang.
“Tetapi sudah hampir setengah hari dia lewat tadi!” sahut pelayan itu. Habis ini tiba2 ia pelahankan suaranya seperti kuatir didengar orang, lalu menyambung lagi: “Adalah lebih baik jangan pergi mencari dia !”
Merasa mendapatkan jejak Kokoh yang dicari, dalam girangnya Yo Ko terkejut pula mendengar perkataan orang itu, “Se… sebab apa ?” tanyanya dengan suara rada gemetar
“Coba aku tanya dahulu, tuan tahu bahwa wanita itu pandai silat ?” tiba2 pelayan itu menanya.
“Kenapa aku tak tahu ?” demikian Yo Ko membatin, Maka dengan cepat ia menjawab : “Su-dah tentu tahu, dia memang pandai silat.”
“Nah, kalau begitu untuk apa kau mencari dia ? Bukankah sangat berbahaya ?” kata si pelayan pula.
“Sebab apakah sebenarnya ?” Yo Ko menjadi bingung.
“Coba terangkan dulu, pernah apakah gadis baju putih itu dengan tuan ?” tanya si pelayan.
Yo Ko mengerti kalau tidak sekadar menerangkan, agaknya orang tak mau ceritakan ke mana perginya Siao-liong-li, maka terpaksa ia menjawab: “Dia adalah Enci-ku, aku sedang cari dia.”
Mendengar jawaban ini, seketika pelayan itu berubah sangat hormat pada Yo Ko, Tetapi hanya sekejap saja, sebab segera si pelayan geleng2 kepala “Tidak, tidak sama !” katanya tiba2.
Bukan main mendongkolnya Yo Ko oleh kelakuan si pelayan, saking gopohnya sekali jamberet dia cengkeram baju orang.
“Sebenarnya kau mau katakan tidak ?” bentaknya gusar.
Melihat Yo Ko naik darah, mendadak si pelayan me-lelet2 Iidahnya.
“Persis, persis ! Kalau begini baru sama !” demikian katanya.
“Kurangajar, apa2an ini sebentar sama sebentar tidak sama, apa maksudmu ?” damperat Yo Ko.
“Le lepaskan dahulu, siauya (tuan mu-da), leherku tercekik.,.he he… aku tak bisa buka suara,” sahut si pelayan dengan suara ter-putus2.
Melihat rupa orang dasarnya memang ceriwis, percuma saja meski pakai kekerasan, maka Yo Ko lantas lepaskan tangannya.
“Siauya,” tutur si pelayan kemudian sesudah berdehem beberapa kali, “aku bilang tidak sama, soalnya karena perempuan… eh, Enci-mu itu, tampaknya lebih cakap dan lebih muda daripada kau, pantasnya dia mirip adikmu dan bukan kakak. Aku bilang sama, sebab kalian berdua sama2 berwatak keras, sama2 bertabiat suka angkat senjata dan main kepalan.”
Yo Ko tertawa oleh cerita itu.
“Apakah Enci-ku telah berkelahi dengan orang ?” tanyanya kemudian.
“Betapa tidak ?” sahut pelayan itu, “Tidak hanya berkelahi, bahkan telah melukai orang. Coba lihat itu !” - Berbareng ia menunjuk beberapa bekas bacokan senjata tajam di bawah meja, lalu dengan muka ber-seri2 ia sambung pula : “Walau kejadian tadi itu sunguh berbahaya, memang kepandaian Enci-mu sangat hebat, hanya sekali ta-bas saja sebelah kuping Toya (tuan imam) itu lantas kena di-irisnya.”
“Apa katamu ? Toya apa ?” tanya Yo Ko terkejut.
“Ya, dia itu…” baru berkata sampai disini, se-konyong2 muka si pelayan berubah hebat, seketika ia mengkeret terus mengeluyur pergi.
Yo Ko memang luar biasa cerdiknya, melihat kelakuan si pelayan tadi, ia tak menegur juga tak menyusulnya, sebaliknya ia angkat mangkok nasi-nya tadi terus menyumpit daharannya lagi, Pada saat lain, terlihatlah olehnya ada dua Tojin muda masuk ke dalam hotel.
Usia kedua imam ini kira 26-27 tahun saja, jubah pertapaan mereka bersih dan rajin sekali, mereka ambil tempat duduk pada meja disamping Yo Ko. Lalu imam yang beralis tebal panjang tiada hentinya berteriak2 mendesak diantari arak dan daharan.
Dengan muka ber-seri si pelayan lekas2 meladeni kedua tetamunya itu, pada suatu kesempatan ia mengedipi matanya pada Yo Ko sambil mulutnya merot2 ke jurusan kedua imam itu.
Yo Ko pura2 tidak tahu, ia masih terus menyumpit santapannya dengan asyik, Kini dia betul2 merasa lapar, apalagi kabar Siao-liong-Ii sudah diperoleh, hatinya menjadi lega dan gembira, maka tanpa terasa beberapa kali isi mangkoknya telah ditambah dan dilangsir ke dalam perutnya.
Baiknya pakaian Yo Ko memang sederhana, apalagi sudah sehari semalam ia susul Siao-liong-li hingga seluruh badannya penuh debu dan mukanya kotor, oleh sebab itu kedua imam tadi sama sekali tidak perhatikan padanya melainkan asyik ber-cakap2 sendiri dengan suara pelahan.
Sebaliknya Yo Ko semakin pura2, ia kecap2 mulutnya dan mainkan lidahnya, dia sengaja makan begitu rupa hingga mengeluarkan suara keras, habis itu ia angkat semangkok wedang panas dan diseruput dengan bernapsu, akan tetapi telinganya justru dia pasang, untuk mendengarkan apa yang sedang dipercakapkan kedua Tojin atau imam itu.
“Bi-sute, menurut pendapatmu, malam ini Han-cecu dan Tan-lokunsu bakal datang tidak ?” demikian ia dengar imam yang beralis tebal tadi sedang berkata.
Imam satunya lagi bermulut Iebar, suaranya kasar serak dan terdengar dia menjawab: “Kedua orang ini adalah laki2 gagah perkasa yang bersahabat kental dengan Thio-susiok, kalau Thio-susiok sudah mengundangnya, tidak boleh tidak mereka pasti akan datang.”
Yo Ko terkesiap hatinya demi mendengar orang menyinggung nama “Thio-susiok”. pikirnya dalam hati: “Jangan2 Thio-susiok yang mereka maksudkan adalah guruku yang dahulu, Thio Ci-keng ?”
Ia jadi curiga kenapa kedua imam ini belum pernah dilihatnya di Tiong-yang-kiong, ketika ia melirik dan mengamat-amati orang, ternyata tiada yang dia kenal.
“Boleh jadi karena jauhnya perjalanan, dia tak keburu datang” demikian imam alis tebal tadi berkata lagi.
“He, Ki-suheng, kau ini memang suka takut ini dan kuatir itu,” demikian sahut imam she Bi tadi, “Hanya seorang perempuan saja, berapa besarkah kemampuannya.”
“Ya, sudahlah, marilah minum, jangan dibicarakan lagi,” begitulah imam she Ki memotong.
Kemudian ia memanggil pelayan hotel dan minta disediakan satu kamar kelas satu, nyata mereka juga bermalam disini.
Sementara itu Yo Ko sedang memikirkan isi percakapan kedua imam tadi, ia dapat meraba tentu orang bermaksud cari setori pada Suhu-nya, mungkin disebabkan ada kawan kecundang, maka “Thio-susiok” tampil kemuka untuk mengundang seseorang she Han dan seorang she Tan sebagai bala bantuan, kalau terus kintil kedua imam ini, tentunya akan bisa bertemu dengan Suhu.
Berpikir akan ini, hati Yo Ko menjadi gembira sekali, Sudah jelas kedua imam ini adalah musuh gurunya, tapi dengan petunjuk mereka nanti akan ketemukan sang guru, maka terhadap mereka ternyata tiada timbul perasaan benci, ia tunggu sesudah kedua imam itu masuk kamar mereka, kemudian ia sendiripun minta disediakan sebuah kamar di sebelah kamar imam2 itu.
“Siauya, baiklah kau hati2 sedikit, Enci-mu telah iris kuping seorang Toya, tentu mereka akan menuntut balas,” demikian si pelayan membisiki Yo Ko ketika datang ke kamarnya membawakan lampu.
“Sungguh aku tidak mengerti, Enci-ku biasanya sangat sabar, kenapa mendadak dia bisa me-ngiris kuping orang ?” kata Yo Ko dengan suara lirih.
“Terhadap kau tentu saja baik, tetapi terhadap orang lain mungkin tidak menjadi baik,” kata si pelayan pula dengan suara yang di-bikin2 “Enci-mu tadi sedang bersantap disini dan Toya yang sial itu duduk di sebelahnya, hanya disebabkan Toya itu melirik beberapa kali pada kaki Enci-mu, siapa tahu Enci-mu lantas naik darah terus lolos senjata dan melabrak orang.”
BegituIah si pelayan mencerocos terus, dan masih hendak dilanjutkannya, namun Yo Ko sudah mendengar lampu di kamar sebelah telah disirapkan, maka cepat ia memberi tanda agar si pelayan tak perlu cerita lagi.
“Kurangajar, tentu imam busuk itu terus-menerus mengincar Kokoh karena kecantikannya hingga akhirnya Kokoh menjadi marah,” demikian Yo Ko menggerutu sendiri setelah pelayan itu pergi.
Habis ini segera iapun padamkan lampunya, malam ini ia memang tidak ingin tidur lagi, ia hanya duduk sambil pasang kuping untuk mengikuti sesuatu gerak-gerik di kamar sebelah.
BegituIah Yo Ko berjaga sampai tengah malam, tiba2 didengarnya pelataran luar bersuara keresek dua kali, menyusul seperti ada orang melompat masuk ke bagian dalam melintasi pagar tembok. Habis itu jendela kamar sebelah terdengar dibuka dan imam yang she Ki itu membuka suara : “Apakah Han dan Tan berdua ?”
“Ya,” terdengar suara sahutan seorang yang berada di pelataran sana.
“Silakan masuklah!” demikian kata imam she Ki lagi.
Menyusul itu pintu kamar pelahan dibuka, lampu telah dinyalakan juga.
Tentu saja Yo Ko sangat tertarik, ia kumpulkan seluruh perhatiannya untuk mendengarkan percakapan mereka berempat itu.
“Tecu Ki Jing-hi dan Bi Jing-hian memberi hormat pada Han-cecu dan Tan-lokunso,” terdengar imam she Ki bersuara pula.
Mendengar nama kedua imam itu, diam2 Yo Ko membatin: “Ternyata mereka bukan orang dari Tiong-yang-kiong, tetapi nama mereka memakai urut2an Jing, mereka terhitung juga orang dari Coan-cin-pay.”
“Begitu kami terima undangan Thio-susiok kalian, segera kami memburu kesini,” terdengar suara sahutan yang tajam “Apakah betul perempuan hina itu sangat sulit dilawan ?”
“Sungguh memalukan untuk diceritakan,” demikian kata Ki Jing-si lagi, “Dari golongan kami sudah ada dua anak murid yang ber-turut2 dilukai perempuan hina-dina itu.”
“Sebenarnya dari aliran manakah ilmu silat perempuan itu ?” tanya orang yang bersuara tajam tadi.
“Thio-susiok bilang dia adalah ahli waris dari Ko-bong-pay, oleh sebab itu, meski usianya masih muda, namun kepandaiannya sesungguhnya sangat hebat,” sahut Ki Jing-si.
Diam2 Yo Ko menjengek demi mendengar orang sebut “Ko-bong-pay.”
“Ko-bong-pay apakah ?” rupanya orang yang bersuara tajam itu tak mengerti.
“Menurut Thio-susiok, orang dari golongan mereka itu selamanya jarang sekali berkecimpung di kalangan Kangouw, sebab itu nama mereka tidak terkenal dalam Bu-lim, pantas kalau Han-cecu tidak kenal,” demikian sahut Ki Jing-si.
“O, kalau begitu, agaknya tiada perlu dipandang berat,” kata orang yang dipanggil Han-cecu itu. “Dan di mana besok harus bertemu ? Pihak lawan mendatangkan berapa orang ?”
“Thio-susiok telah janji dengan wanita itu untuk bertemu besok lohor di lembah Cay-long-kok yang 40 li jauhnya dari sini ke jurusan barat, di sana kedua pihak akan menentukan siapa yang unggul dan siapa yang asor,” Ki Jing-si menjelaskan.
“Soal pihak lawan ada berapa orang, itulah aku tidak tahu. Tetapi kalau sudah ada Han-cecu dan Tan-lokunsu yang membantu kami, tak perlu lagi kita takut meski mereka berkawan banyak.”
Lalu terdengar suara seorang tua berkata : “Baiklah kalau begitu, kami pasti datang tepat besok lohor, Marilah, Han-laute, kita pergi.”
Lalu Ki Jing-si mengantar tetamunya keluar kamar, sampai di depan pintu, dengan suara bisik2 terdengar ia pesan orang: “Tidak jauh ke Tiong-yang-kiong, urusan kita akan bertanding dengan orang se-kali2 jangan sampai diketahui Ma, Khu dan Ong (maksudnya Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it), kalau sampai konangan, pasti kita akan didamperat habis2an.”
Han-cecu bergelak ketawa oleh pesan itu. “Kalian takut pada Ma Giok dan Khu Ju-ki imam2 tua itu, kami sebaliknya tidak berada dibawah perintahnya,” demikian katanya.
“Sudahlah, jangan kau kuatir,” demikian Tan-lokunsu menjelak, “pasti kami tidak membocorkan rahasia ini.”
Mendengar percakapan terakhir mereka ini, diam2 Yo Ko membatin, kiranya mereka hendak keroyok Kokoh dan para imam tua sebangsa Ma Giok itu tiada yang mengetahui. Meski Yo Ko tidak berkesan baik pada Coan-cin-kau, tetapi bila mengingat Ma Giok dan Khu Ju-ki toh tidak jelek juga terhadap dirinya, karenanya terhadap kedua imam tua itu dia tidak dendam, hanya kepada Hek Tay-thong yang membinasakan Sun-popoh itulah dia telah ambil keputusan kelak pasti akan menuntut balas.
Dalam pada itu keempat orang yang diluar itu sesudah berunding dengan suara pelahan lagi, kemudian Han-cecu dan Tan-lokunsu pergi dengan melompati pagar tembok lagi, Ki Jing-si dan Bi Jing-hian mengantar juga keluar, keadaan menjadi sepi.
Tiba2 pikiran Yo Ko tergerak, segera ia buka pintu pelahan, dengan cepat ia menyelinap masuk kamar kedua imam di sebelah itu,
Ia lihat di atas pembaringan kamar itu terletak dua buntalan, ia ambil satu bungkusan itu dan merogoh isinya, kiranya di dalam ada uang perak sekira 20 tahil.
“Ha, kebetulan, memangnya aku lagi kekurangan duit,” demikian pikir Yo Ko, Lalu ia pin-dahkan uang perak itu kedalam sakunya sendiri.
Ia lihat lain bungkusan rada panjang, kiranya berisi dua batang pedang, sengaja Yo Ko lolos pedang itu satu per satu dan dengan tekanan tenaga berat ia patahkan garan pedang lalu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya dan dibungkus lagi dengan rapi.
Selagi ia hendak keluar kembali, tiba2 pikirannya tergerak pula, ia lepas kolor dan buka celana terus kencingi kasur di kolong selimut kedua imam itu hingga basah kuyup.
Sementara itu ia dengar di luar ada suara orang melompati pagar, ia tahu tentu kedua imam itu telah kembali, dapat diketahuinya pula bahwa ilmu entengkan tubuh kedua imam itu ternyata biasa saja, sebab tak mampu sekali lompat melintasi pagar tembok, melainkan harus tancapkan kaki dahulu di atas pagar untuk kemudian baru loncat turun.
Lekas2 Yo Ko menyelusup kembali ke kamarnya sendiri, ia tutup pintu kamarnya dengan pelahan, nyata sama sekali kedua imam itu tak merasa bahwa mereka sedang diincar orang, sesudah di kamarnya sendiri, Yo Ko pasang kuping ke dinding kamar untuk mendengarkan gerak-gerik dan suara2 apa yang bakal terjadi di kamar sebelah.
Ia dengar kedua imam itu masih berembuk dengan suara rendah, agaknya mereka cukup yakin bakal menang akan pertarungan besok, maka sembari bicara merekapun buka baju dan naik pembaringan untuk tidur.
Tetapi baru saja Bi Jing-hian memasukkan kakinya ke dalam selimut, mendadak ia berteriak: “He, apa ini basah2 becek di dalam selimut ? Ai, baunya! He, Ki-suheng, sudah tua, kenapa kau masih ngompol ?”
“Apa? Ngompol?” sahut Ki Jing-si bingung, Tetapi segera pula ia sendiri ikut berteriak: “He, ya, darimanakah kucing keparat yang kencing di sini ?”
“Kencing kucing mana bisa begini banyak,” ujar Bi Jing-hian.
“Ya, memang aneh,” kata Ki Jing-sin habis ini tibal ia berteriak pula : “He, dimanakah uang perak kita ?”
BegituIah seluruh kamar menjadi geger dan kacau-balau, kedua imam ini sibuk mencari uang perak mereka, Sudah tentu mereka tidak bakal menemukannya.
Diam2 Yo Ko sangat senang dan merasa geli, sementara itu ia dengar Bi Jing-hian sedang ber-teriak2 lagi. “He, pelayan, pelayan ! Apakah hotelmu ini hotel perampok, mengapa tengah malam buta mencuri uang tamu ?”
Karena suara ribut2 ini, pelayan hotel datang menanyakan sambil masih kucek2 matanya yang sepat.
Tak terduga segera Bi Jing-hian pegang baju dada si pelayan dan menuduh hotel ini adalah hotel perampok, kenapa malam2 gasak uang tetamu.
Tentu saja si pelayan tak mau terima tuduhan itu, terdengar dia berteriak penasaran, dengan sendirinya pegawai hotel lainnya dimulai dari tukang api sampai pada kuasa hotel lantas terjaga semua dari tidur mereka dan merubung datang, menyusul pula para tetamu lainpun be-runtun2 ikut terbangun dan be-ramai2 datang menonton keributan itu. Dan diantara mereka terdapat pula si nakal, Yo Ko.
Begitulah dengan menahan perasaan geli Yo Ko melihat pelayan hotel itu sedang “main pidato”, dasar pelayan ini memang ceriwis pula pandai bicara, maka Bi Jing-hian dan Ki Jing-si berdua telah terdesak oleh debatannya hingga tak sanggup berkata lagi.
Dari malu Bi Jing-hian menjadi gusar, begitu ayun tangannya, kontan ia persen si pelayan dengan sekali tamparan. Keruan pelayan itu menjadi kalap tanpa pikir lagi ia menubruk maju hendak adu jiwa. Namun sebelum dia datang dekat, menyusul kaki Bi Jing-hian sudah melayang, ia tambahi si pelayan dengan sekali tendangan hingga pelayan itu terjungkal.
Melihat imam ini tanpa sebab memukul orang, keruan pegawai2 hotel lainnya sama solider, mereka berteriak dan be-ramai2 merangsang maju hendak mengeroyok.
Sudah tentu beberapa orang yang tak masuk hitungan ini se-kali2 bukan tandingan kedua imam itu, hanya sekejap saja, baik kuasa hotel, tukang api dan Iain2nya telah mendapat hajaran malah.
Senang sekali Yo Ko menyaksikan peristiwa hasil perbuatannya itu, dengan geli ia kembali ke kamarnya sendiri untuk tidur lagi, ia tidak pusingkan apa yang terjadi lebih lanjut dari lelakon di luar itu.
Besoknya, selagi Yo Ko sarapan pagi, dilihatnya si pelayan yang ceriwis itu sedang mendatangi dan menyapa padanya, mukanya tampak babak-belur dan hidung bengkak, meski demikian toh pelayan ini masih tiada hentinya mencaci maki tentang kejadian semalam.
“Mana kedua imam bangsat itu ?” dengan tertawa Yo Ko coba bertanya.
“Hm, memang imam bangsat keparat, sudah pukul orang, masih gegares percuma dan tinggal gratis, habis itu lantas angkat kaki,” demikian kata si pelayan dengan marah2. “Hm, hari ini pasti akan kulaporkan ke Tiong-yang-kiong, biasanya imam2 di Cong-lam-san ini semuanya sopan-santun, entah darimana mendadak bisa muncul imam bangsat liar seperti mereka ini.”
Yo Ko tidak ketarik lagi oleh obrolan orang, segera ia bereskan rekening hotel dan menanya jalan yang menuju ke Cay-long-kok atau lembah srigala, kesanalah dia lantas pergi.
Tidak antara lama Yo Ko sudah menempuh perjalanan sejauh dua puluhan li, Cay-long-kok atau “lembah srigala” itu sudah tidak jauh lagi di depan, cuaca waktu itu agaknya masih pagi, maka keadaan sepi-sepi saja.
“Biarlah aku sembunyi dahulu dan menyaksikan cara bagaimana Kokoh bereskan kawanan pengganas itu, paling baik kalau Kokoh seketika tak bisa mengenali aku,” demikian diam2 Yo Ko berpikir.
Segera pula teringat olehnya tempo hari pernah menyamar sebagai anak gunung dan telah berhasil mengingusi Ang Ling-po, teringat akan ini hati Yo Ko menjadi geli, ia ambil keputusan hendak meniru cara itu sekali lagi, segera dia mendatangi satu rumah petani, ia longak-longok ke sana ke sini, tiada seorang pun yang dia lihat, di kandang hewan di belakang rumah itu ia lihat ada seekor sapi jantan yang besar yang rupanya sedang mengamuk, binatang ini sedang tunduk kepala dan gunakan tanduknya untuk menyongkel dan menumbuk pagar kayu yang melingkarinya, begitu keras tumbukannya hingga terdengar suara gedubrakan yang tiada henti2nya.
Nampak adanya sapi jantan besar ini, tiba2 Yo Ko mendapatkan satu pikiran. “He, kenapa aku tidak menyamar sebagai penggembala sapi saja, biar Kokoh melihat diriku juga pasti tak kenal aku lagi.” demikian keputusannya.
Begitulah diam2 Yo Ko lantas melompat masuk ke dalam rumah, ia cari barang lain yang sekiranya cocok baginya, akhirnya dapatlah dia ambil sepasang baju petani yang sudah robek, ia ganti pakai sepatu rumput pula dan poles mukanya dengan lumpur agar kelihatan kotor dan lebih mirip bocah angon, habis ini ia mendekati kandang sapi tadi.
Di dinding kandang dapat dilihatnya pula tergantung sebuah caping dan sebatang suling, kedua ini memang barang yang biasa suka dipakai oleh anak gembala. Keruan Yo Ko sangat girang, ia pikir penyamarannya sekali ini pasti akan menjadi mirip sangat Karena itu tanpa pikir lagi ia pakai caping yang diketemukannya itu, ia ambil seutas tali rumput pula dan dipakai sebagai ikat pinggang, lalu suling bambu itu ia selipkan di pinggangnya dan kemudian dia membuka pintu kandang sapi.
Sementara itu sapi jantan raksasa itu sedang mengamuk, binatang ini jadi lebih beringas lagi ketika melihat ada orang membuka pintu kandang, tanpa ayal lagi segera ia pentang kaki terus menerjang keluar hendak menyeruduk Yo Ko.
Namun Yo Ko sudah siap sedia, dengan telapak tangan kiri ia tahan kepala sapi jantan (atau banteng) itu, di lain saat ia sudah meloncat ke atas punggung binatang itu.
Sapi ini ternyata sangat tinggi dan besar, bulunya panjang dan tanduknya lancip tajam, tampaknya sangat perkasa sekali, maka dengan sekali terjang sekejap saja sudah menyelonong sampai di jalan besar dengan Yo Ko masih menunggang di atas punggungnya.
Rupanya sapi jantan ini sedang birahi, maka wataknya menjadi beringas luar biasa, tiada hentinya ia me-loncat2 dan ber-jingkrak2 dengan maksud hendak banting Yo Ko ke bawah. Akan tetapi mana begitu gampang Yo Ko bisa dibikin terperosot dari tempatnya, bahkan ia menjadi senang oleh kelakuan si binatang.
“Ha, rupanya kau minta digebuk,” dengan tertawa Yo Ko membentak. Habis ini ia angkat telapak tangan dan dengan pinggiran telapak tangan ia hantam pundak sapi itu dengan pelahan.
Kalaupun pukulan ini hanya memakan sedikit tenaga saja, namun bagi sapi itu sudah tak tertahan rasa sakitnya, keempat kakinya seketika lemas dan hampiri mendoprok tekuk lutut, tentu saja binatang ini tak mau menyerah begitu saja, masih melompat dan hendak mengamuk lagi, tak terduga kembali Yo Ko beri persen sekali potong lagi dengan telapak tangan.
Dan begitulah seterusnya, sesudah merasakan belasan kali gebukan seperti itu, akhirnya sapi jantan itu menjadi kapok dan tak berani ngotot lagi.
Kemudian Yo Ko mencoba jojoh kiri leher binatang itu dengan jari tangannya, segera sapi itu membelok ke kanan dan bila menjojoh sebelah kanan lantas dia menikung ke kiri, kalau diketok pantatnya, segera ia lari ke depan, dan jika digebuk depan pundaknya, sapi ini lantas mundur ke belakang, nyata binatang yang tadinya liar itu kini sudah menjadi jinak dan dapat dikendalikan menurut keinginannya.
Bukan maki girang Yo Ko, dengan keras ia tepuk pantat sapi itu, maka larilah binatang itu ke depan seperti kesetanan, begitu cepat larinya hingga boleh dikatakan tidak kalah dengan kuda pacuan yang paling bagus. Maka sebentar saja sesudah menyusuri sebuah rimba lebat, sampailah Yo Ko di suatu lembah gunung yang sekitarnya dilingkungi oleh bukit2 yang menghijau permai.
Melihat keindahan alam tempat ini, diami Yo Ko heran kenapa lembah sebagus ini diberi nama “lembah srigala” yang sama sekali tidak tepat dengan keadaannya. Kemudiari iapun giring sapi jantan tadi ke lereng bukit yang terdekat biar makan rumput sendiri Yo Ko sengaja pura2 tidur dengan merebah di tanah rumput dengan hati ber-debar2 ia menantikan ketika sang surya sudah menggeser sampai di tengah langit, tetapi keadaan masih tenang dan sepi nyenyak, hanya kadang2 terdengar suara menguaknya sapi jantan itu.
Tengah Yo Ko bertambah gelisah mendadak didengarnya di mulut lembah sana sayup2 berkumandang beberapa kali suara tepukan tangan, menyusul di belakang bukit sebelah selatan pun membalas beberapa kali. Maka tahulah Yo Ko sudah tiba waktunya, ia tetap rebah di tanah rumput yang miring itu, sebelah kakinya sengaja dia tumpangkan keatas kaki yang lain, capingnya untuk tutupi kaki yang menumpang dan sebagian mukanya, maka yang kelihatan hanya kaki kanan saja yang menjulur lurus.
Selang tak lama, tertampaklah dari mulut lembah sana mendatangi tiga orang Tojin, Dua diantaranya ternyata sudah Yo Ko kenal di hotel semalam, yakni Ki Jing-si dan Bi Jing-hian, sedang seorang lagi berumur sekira setengah abad, perawakannya pendek buntek, agaknya ialah apa yang mereka sebut sebagai “Thio-susiok” itu.
Melihat “Thio-susiok” yang dimaksudkan orang bukan Thio Ci-keng yang diduga semula, dalam hatinya timbul semacam perasaan aneh, entah rasa kecewa atau rasa syukur karena orang itu lain guru silat tua she Tan.
Habis ketiga imam ini, lalu dari lereng bukit sana muncul lagi dua orang, yang satu berperawakan kekar, agaknya dia inilah Han-cecu, Dan yang lain bersilat tua she Tan.
Meski kelima orang ini sudah datang dekat dan sudah berhadapan pula, namun mereka hanyasaling kiongchiu (merangkap kedua tangan saling memberi hormat), tiada satupun yang buka suara, hanya terus berbaris sejajar dan menghadap ke barat.
Ketika selintas Thio-susiok mendongak memandang matahari hingga sinar terang menyorot mukanya, dari samping Yo Ko dapat melihatnya lebih jelas, ternyata imam tua ini bermuka kuning, sikapnya tenang sekali dan ber-sungguh2, sedikitpun tidak punya perasaan memandang enteng bakal lawannya nanti.
Pada saat itulah, dari mulut lembah sana pula sayup2 terdengar suara menderapnya kaki binatang yang makin mendekat, ketika kemudian sesosok bayangan putih berkelebat maka tertampaklah seekor keledai hitam dengan membawa seorang gadis berbaju putih sedang mendatangi dengan cepat.
“Ah, dia bukan Kokoh !” hati Yo Ko seketika lemas demi melihat siapa yang mendatangi ini. “Apakah dia ini juga bala bantuan mereka ?” demikian ia pikir dan berharap demikian pula.
Sementara gadis berbaju putih tadi dengan cepat sudah makin mendekat, sesudah berjarak antara 78 tombak dari kelima orang yang duluan tadi, tiba2 ia tahan keledainya, dengan sorot mata yang dingin tetapi tajam ia pandang sekejap pada mereka, dari muka si gadis nyata tertampak sikap yang memandang hina dan seperti hakikat-nya tiada harganya mengajak bicara mereka.
Rupanya Ki Jing-si sudah tak sabar, segera ia berteriak : “Orang she Liok, nyata kau cukup tabah untuk memenuhi janji ini, maka boleh sekalian kau suruh keluar saja semua pembantumu !”
Namun gadis itu tidak menjawab, ia hanya menjengek sekali dengan tertawa dingin, Berbareng itu, “sret”, entah darimana datangnya, tahu2 ia telah lolos keluar sebilah golok melengkung yang kecil dan tipis laksana bulan sabit dengan memancarkan sinar putih ke-hijau2an dan menyilaukan mata.
“lni, kami seluruhnya ada lima orang, dan pembantumu ada berapa dan kapan datangnya, kami tak sabar lagi buat tunggu lebih lama,” demikian kata Ki Jing-sj pula memandang.
“lnilah pembantuku yang utama !” sahut gadis itu tiba2 sambil mengayun golok tipisnya tadi.
Begitu tipis dan agaknya saking tajamnya hingga begitu golok diputar, seketika udara di atas kepala gadis itu seperti digenangi oleh lingkaran sinar putih dan mengeluarkan suara mendenging yang nyaring tajam.
Karena jawaban tadi, enam orang termasuk Yo Ko - yang lain semuanya menjadi terperanjat.
Kelima orang di sana terkejut oleh sebab seorang gadis seperti dia ini ternyata begitu besar nyalinya, tanpa mengajak barang seorang pembantupun berani mengadakan pertandingan silat dengan lima jago tinggi. Sedang Yo Ko sebaliknya terperanjat bercampur kecewa, mula2 dia yakin bahwa Siao-liong-Ii pasti akan diketemukannya di sini, siapa tahu apa yang disebut “si gadis cantik berbaju putih” itu ternyata adalah seorang nona lain.
Saking masgulnya, seketika dada Yo Ko se-akan2 menjadi sesak, perasaannya yang mudah terguncang itu tak terkendalikan lagi, tiba2 ia meng-gerung2 menangis keras.
Mendengar suara tangisan Yo Ko yang mendadak ini, keenam orang itupun terkejut, tapi sesudah mereka tahu yang menangis adalah seorang bocah gembala yang mungkin karena ketakutan melihat ada orang hendak berkelahi, maka mereka pun tidak mengambil perhatian kepadanya.
Sementara itu terdengar Ki Jing-si telah buka suara sambil menunjuk Han-cecu: “lni Wi-cin-lam-pak Han-cecu, yang ini adalah Tan-lokunsu, tertua dari Ho-siok-sam-hiong, dan ini adalah Liong-kim-kiam Tio Put-hoan, Tio-totiang !”
Demikian Ki Jing-si memperkenalkan ketiga jagonya kepada gadis itu, ia mengira sesudah orang mendengar nama ketiga kawannya itu, tentu akan menjadi jeri dan mundur teratur. Siapa tahu gadis itu anggap saja seperti tidak mendengar dan tidak menggubris, ia hanya mengerling orang dengan sorot mata yang tajam dingin, ia anggap kelima orang di hadapannya seperti barang2 sepele belaka
“Karena kau hanya datang seorang diri, kami pun tak mau bergebrak dengan kau,” terdengar Tio Put-hoan angkat bicara, “Maka kami beri kau tempo sepuluh hari, sepuluh hari kemudian kau boleh ajak empat orang pembantu dan datang lagi bertemu kesini.”
“Aku sudah bilang ada pembantuku,” sahut gadis itu sambil ayun2 golok-sabitnya lagi. “untuk melayani kalian sebangsa gentong nasi dan guci arak ini masakah perlu pakai bantuan orang ?” . Keruan Tio Put-hoan menjadi gusar.
“Kau anak dara ini sungguh keterlaluan…”
Sebenarnya ia hendak mendamperat orang, syukur sebelum diucapkan ia masih bisa menahan api amarahnya dan menanya pula: “Kau sebenarnya orang Ko-bong-pay atau bukan ?”
“Kalau betul mau apa dan kalau bukan ada apa ?” sahut gadis itu ketus. “Hayo, imam tua hidung kerbau, katakan lekas, kau berani tidak bergebrak dengan nonamu ?”
Tio Put-hoan sudah rada berumur, maka orangnya cukup bisa kendalikan diri, ia lihat orang meski seorang diri, tetapi bukannya jeri, bahkan menantang, maka ia kuatir kalau2 sebelumnya si gadis telah atur perangkap dengan menyembunyikan bala bantuan.
Oleh sebab itulah lantas dijawabnya: “Nona, aku ingin tanya kau dahulu. Tanpa alasan kau telah lukai anak murid golongan kami, sebenarnya disebabkan urusan apakah ? jika kesalahannya terletak pada pihak kami, tanpa segan2 pasti aku akan minta maaf pada gurumu. Tetapi kalau nona tak bisa mengatakan sesuatu alasannya, hm, jangan kau sesalkan kami kurang sopan.”
“Sudah tentu disebabkan kedua hidung kerbau golonganmu itu yang kurang ajar, maka kuberi sedikit hajaran pada mereka,” sahut gadis itu dengan tertawa mengejek, “Kalau tidak, di jagat ini tidak sedikit terdapat sebangsa kutu busuk, kenapa harus hidung mereka yang ku-iris ?”
Mendengar jawaban yang semakin ketus dan bersifat menantang ini, Tio Put-hoan menjadi lebih ragu2 terhadap kemampuan lawannya,
Dalam pada itu meski usia Tan-lokunsu sudah lanjut, namun tabiatnya ternyata berangasan.
“Eeeh, bicara dengan kaum Cianpwe, kenana tidak turun dari keledaimu ?” demikian segera ia menyerobot maju dan cari2 persoalan. Menyusul itu tahu2 ia sudah berada di depan binatang tunggangan orang dan ulur tangannya buat menarik lengan kanan si gadis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar