Kembalinya Pendekar Rajawali 12
Tak
tahunya cianpwe itu menjadi gusar malah, katanya: “Baik, memang kau tidak niat
bertarung dengan aku, kau anggap aku ini orang macam apa?” - Tetapi kata
Sian-su : “Daripada bertanding secara kasar, tidakkah lebih baik bertanding
secara halus ?” - jawab orang itu: “Begitupun boleh, jika aku kalah, selamanya
tidak akan kutemui kau lagi, dengan demikian biar kau merasa tenang dan senang”
Tetapi
Sian-su balas menanya : “Dan jika kau yang menang, lalu apa yang kau inginkan
?” - Karena pertanyaan guruku itu, cianpwe wanita itu menjadi merah mukanya, ia
menjadi gelagapan tak bisa menjawab, akhirnya dengan kertak gigi ia menjawab :
“Jika aku me-nang, kau punya kuburan Hoat-su-jin-bong ini harus serahkan untuk
aku tinggal.”
Syarat
ini bikin Sian-su menjadi serba susah, harus diketahui sekali tinggal dia sudah
delapan tahun mendiami kuburan kuno itu, tidak sedikit tinggalan karya
jeri-payahnya, kini jika begitu saja direbut orang, inilah yang dia sayangkan,
tapi Sian-su membatin kepandaiannya masih sedikit lebih tinggi daripada orang,
ia pikir terpaksa harus kalahkan dia agar kelak tidak banyak rewel dan di-goda
tiada habisnya, maka ia lantas tanya.
Cara
bagaimana akan bertanding, “Hari ini kita sudah sama2 letih, biarlah besok
malam kita tentukan siapa yang menang atau kalah,” demikian sahut Cianpwe itu.
“Besok
malamnya, kembali kedua orang bersua lagi di sini, Kata orang itu: “Sebelum
kita bertanding, kita harus sama2 bersumpah dahulu.” jawab guruku: “Bersumpah
apa lagi ?”
“Begini,”
kata cianpwe itu,” jika kau bisa mengalahkan aku, segera juga aku bunuh diri di
sini, dengan begitu pasti tidak akan bertemu dengan kau lagi, sebaliknya jika
aku yang menang, kau harus sucikan diri, terserah kau mau menjadi Hwesio atau
menjadi Tosu. Tapi tidak peduli jadi Hwesio atau Tosu, kau harus mendirikan
kuil di atas gunung ini dan mengawani aku selama sepuluh tahun.” Dalam hati
mendiang guruku mengerti bahwa dengan syarat itu, dirinya disuruh menjadi
Hwesio atau Tosu, itu berarti selama hidupnya diharuskan tidak beristri
“Tetapi
buat apa aku harus menangkan kau hingga memaksa kau bunuh diri ? Dan kalau aku
harus mengawani kau sepuluh tahun di atas gunung ini, hal inipun sulit,”
demikianlah pikir guruku, Oleh karenanya ia menjadi ragu2 tidak bisa menjawab.
“Kemudian
cianpwe itu lantas berkata pula: “Pertandingan secara halus kita ini sangat
mudah begini, kau gunakan jari tanganmu untuk mengukir beberapa tulisan di atas
batu ini, demikian pula akupun mengukirnya beberapa huruf, lalu kita lihat
tulisan siapa yang lebih baik, itulah dia yang menang.”
Mendengar
cara ini, Sian-su tercengang, katanya : “Menulis di atas batu dengan jari
tangan ?”
“Ya,
itu namanya bertanding ilmu tenaga jari, kita boleh lihat siapa yang mengukir
lebih dalam.” - Namun Sian-su geleng2 kepala saja, jawabnya kemudian: “Aku toh
bukan dewa, mana sanggup aku mengukir tulisan di atas batu dengan jari tangan
?” -
“Tetapi
kalau aku bisa, apa kau mau mengaku kalah ?” tanya orang itu. Dalam keadaan
demikian Sian-su jadi di pojokkan pada keadaan yang serba susah, maju salah,
mundurpun keliru, Tetapi kemudian ia pikir dijagad ini pasti tidak mungkin ada
orang yang sanggup mengukir tulisan di atas batu dengan jari tangan, kebetulan
urusan ini bisa di selesaikan sampai disini, dengan demikian pertandingan ini
dapat dianggap tidak pernah ada, maka ia lantas berkata:
“Sudah
tentu jika kau bisa, aku lantas ngaku kalah, Tetapi kalau kaupun tak bisa, kita
boleh anggap seri, tiada yang menang dan tiada yang kalah, selanjutnya kita pun
tidak perlu bertanding lagi.”
Karena
itu, tiba2 orang itu tertawa dengan rasa pedih : “Bagus, kalau begitu sudah
pasti kau akan jadi Tosu,” demikian katanya sambil dengan tangan kiri me-raba2
sejenak di atas batu, habis ini ia ulur jari telunjuk tangan kanan terus
menggores di atas batu itu.
“Sian-su
menjadi ternganga ketika menyaksikan debu, batu itu bertebaran, betul saja
orang telah menulis sehuruf demi sehuruf, dalam kagetnya sampai tak sanggup ia
bicara lagi, Dan tulisan yang terukir dengan tangan itu bukan lain adalah
bagian depan dari syair ini.
“Tentu
saja Sian-su menjadi lesu dan terima kalah, ia tidak bisa bicara lagi, besoknya
dia lantas sucikan diri menjadi Tosu, dia mendirikan sebuah kuil kecil di dekat
kuburan itu, dan itu adalah Tiong-yang-kiong yang asli.”
Kwe
Ceng jadi ter-herah2 oleh cerita itu, waktu ia merabanya lebih terang, betul
saja memang tulisan di atas batu itu bukannya ditatah, juga bukan ukiran,
melainkan betul2 digores dengan jari tangan.
“Kalau
begitu, ilmu kepandaian dalam hal tenaga jari cianpwe itu sesungguhnya sangat
mengejutkan orang,” katanya kemudian.
Karena
ucapannya ini, tiba2 Khu Ju-ki mendongak dan ketawa ter-bahak2.
“Ceng-ji,
kejadian ini bisa mengelabui mendiang guruku, bisa menipu aku, juga bisa menipu
kau, tetapi kalau waktu itu isterimu berada disini, pasti tidak bisa mengelabui
matanya,” demikian katanya.
Kwe
Ceng menjadi lebih heran hingga kedua matanya terpentang lebar.
“Apa?
Apa didalam hal ini terdapat sesuatu yang tidak beres?” tanyanya.
“Sudah
tentu, hal itu tak perlu dikatakan lagi,” sahut Khu Ju-ki. “Coba kau pikir,
pada jaman ini, kalau soal tenaga jari, siapa jago yang nomor satu?”
“Sudah
tentu ialah Toan Hong-ya, It-teng Taysu punya It-yang-ci,” kata Kwe Ceng.
“Nah,
dengan tenaga jari It-teng Taysu saja, sekalipun di atas kayu, belum tentu dia
mampu menulis sesuka hatinya, apa lagi di atas batu? Lebih2 lagi orang lain?”
ujar Khu Ju-ki, “Karena itu juga sesudah Sian-su menjadi imam, terhadap
kejadian itu ia masih terus memikirnya dengan tidak habis mengerti. Belakangan
dia telah berjumpa dengan bapak mertuamu, Oey Yok-su Cianpwe, secara tak
langsung guruku telah menyinggung kejadian itu, setelah Ui-tocu berpikir sebentar,
kemudian ia bergelak ketawa, katanya: “Kepandaian itu akupun bisa. Cuma
sekarang aku belum melatihnya, sebulan lagi pasti aku datang kembali kesini,”
Habis
berkata, dengan ter-bahak2 ia lantas mohon diri dari guruku.
“Betul
saja sebulan kemudian Ui-tocu telah datang lagi, lalu bersama Sian-su mereka
datang ke sini memeriksa batu ini. Tadinya syair yang ditulis cianpwe wanita
itu sebenarnya masih belum selesai, baru bagian depan yang maksudnya
menghendaki Sian-su tirakat saja meniru caranya Thio Liang di jaman ahala Han.
Sesudah Ui-tocu pakai tangan kiri me-raba2 rada lama di atas batu, kemudian ia
ulur tangan kanan terus menulis di atas batu, dia telah menyambung syair
cianpwe wanita yang masih belum selesai itu yang artinya menghormat dan memuji
diri guruku.
“Melihat
jari tangan mertuamu bisa menulis diatas batu, sama halnya seperti dahulu
dilakukan cianpwe wanita itu, Sian-su menjadi lebih2 heran dan terkejut,
pikirnya dalam hati: ilmu silat Oey Yok-su jelas masih kalah setingkat di
bawahku, kenapa diapun memiliki tenaga jari yang begini lihay?”
Begitulah
sesaat itu guruku merasa tidak habis mengerti - Mendadak, iapun ulur jari
tangannya menutul ke atas batu itu, sungguh aneh, batu itu ternyata lantas
berlubang oleh tusukan jarinya, Tempatnya disini, coba kau boleh merabanya”
Berbareng
itu Khu Ju-ki tarik tangan Kwe Ceng ke suatu tempat di tepi batu itu, Ketika
Kwe Ceng meraba dan dapatkan satu lubang kecil, ia coba masukkan jari
telunjuknya, betul saja seperti cetakan, persis dapat dimasuki jarinya, Tetapi
Kwe Ceng masih sangsi, ia pikir jangan2 batu cadas ini memang lunak dan
berlainan dengan batu umumnya, maka coba2 ia gunakan tenaga jarinya dan dikorek
dengan keras, namun yang dia rasakan kesakitan belaka, sebaliknya batu itu
sedikitpun tidak bergerak.
Khu
Ju-ki tertawa berbahak-bahak.
“Memang,
kalau kau tentu tak akan mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik kejadian
ini,” demikian katanya kemudian. “Kiranya sebelum tangan cianpwe wanita itu
menulis di atas batu, lebih dulu ia telah raba2 agak lama di atas batu dengan
sebelah tangannya yang lain, tangan yang buat me-raba2 itu menggenggam
“Hoa-sek-tan (obat penglebur batu), ia telah bikin permukaan batu itu menjadi
lunak dan dalam waktu sekira setengah jam, permukaan batu tidak akan mengeras
kembali. Rahasia ini rupanya dapat dipecahkan oleh Ui-tocu, ia bilang sebulan
buat melatih kepandaian itu kepada guruku, sebenarnya ia turun gunung untuk
mengumpulkan obat buat bikin “Hoa-sek-tan”, habis itu baru ia datang lagi dan
menirukan cara orang menulis di atas batu.”
Kwe
Ceng menjadi kagum sekali atas kecerdasan bapak mertuanya itu. Tiba2 ia menjadi
ingat orang tua itu telah lama tinggalkan Tho-hoa-to, ia menjadi rindu terhadap
Oey Yok-su. Sudah tentu Khu Ju-ki tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Kwe Ceng,
maka ia telah menyambung lagi ceritanya.
“Ketika
mula2 Sian-su menjadi Tosu, perasaannya sebenarnya sangat tertekan, tetapi
setelah banyak membaca kitab2 ajaran To (Tao), akhirnya ia menjadi pandai dan
menginsafi segala apa di dunia ini tergantung jodoh dan tidak, maka iapun lebih
mendalam lagi mempelajari ilmu agama kita untuk lebih mengembangkannya.
Kalau
dipikir, jika bukan gara2 pancingan itu cianpwe wanita, mungkin dijagat ini
tidak bakal terdapat Coan-cin-kau, aku Khu Ju-ki tentu pula tidak bisa seperti
hari ini dan kau Kwe Ceng lebih2 tidak diketahui akan berada di mana.”
Kwe
Ceng angguk2 membenarkan ucapan itu.
“Entah
cara bagaimana harus menyebut nama Licianpwe (wanita tingkatan tua) itu, apa
dia masih hidup kini ?” tanyanya kemudian.
“Kecuali
guruku sendiri, dijagat ini tiada orang lain lagi yang mengetahui nama aslinya,
sedang Sian-su pun tidak pernah katakan pada orang,” sahut Ju-ki. “Jauh sebelum
terjadi Hoa-san-lun-kiam yang pertama kali cianpwe itu sudah meninggal kalau
tidak, dengan ilmu silatnya yang tinggi serta wataknya yang tinggi hati itu,
mana mungkin dia tidak ikut serta dalam pertandingan Hoa-san itu.”
“Dan
entah dia meninggalkan keturunan tidak?” ujar Kwe Ceng.
Tiba2
Khu Ju-ki menghela napas panjang.
“Soalnya
justru terletak disini,” katanya kemudian, “Seumur hidup Locianpwe itu tidak
pernah menerima murid, dia hanya punya satu dayang yang selalu mendampingi dan
melayani segala keperluannya, kedua orang ini tinggal bersama di dalam kuburan
kuno itu, selama belasan tahun ternyata tidak pernah melangkah keluar dan
seluruh ilmu silat Locianpwe itupun diturunkan semua pada dayangnya, Dayangnya
ini biasanya tidak pernah injakkan kakinya dikalangan Kangouw, di kalangan
Bu-lim pun jarang yang kenal dia, tetapi ia malah mempunyai dua orang murid,
yang besar she Li, mungkin kau pernah mendengar namanya, di kalangan Kangouw
orang menyebut dia Jik-lian Sian-cu Li Bok-chiu.”
“Ah,
kiranya dia ini,” seru Kwe Ceng mendadak “Perempuan ini keji sekali, kiranya
asalnya dari sini.”
“Kau
pernah ketemu dia ?” tanya Khu Ju-ki.
“Ya,
beberapa bulan yang lalu pernah bergebrak sekali dengan dia di daerah Kanglam,
ilmu silatnya memang sangat hebat,” sahut Kwe Ceng.
“Dan
kau telah melukai dia ?” tanya Ju-ki lagi.
“Tidak,”
jawab Kwe Ceng menggoyang kepala “Tapi dia yang turun tangan keji dan bunuh
beberapa orang sekaligus, kelakuannya memang terlalu ganas dan keji, kalau
dibandingkan Tang-si (Si-mayat tembaga) Bwe Ciau-hong dahulu, mungkin melebihi
jahatnya,”
“Lebih
baik kalau kau tidak melukai dia, kalau tidak, tentu akan banyak menimbulkan
kesulitan saja,” ujar Khu Ju-ki. “Dan dia punya Sumoay she Liong…”
“Ha,
kiranya wanita she Liong itu ?” potong Kwe Ceng dengan hati terkesiap.
Mendengar
lagu suara Kwe Ceng ini, air muka Khu Ju-ki rada berubah juga.
“Kenapa
? Apa kau pernah lihat dia ? Apa telah terjadi sesuatu ?” tanyanya cepat.
“Tidak,
Tecu tidak pernah bertemu dia,” sahut Kwe Ceng demi nampak wajah Khu Ju-ki rada
aneh, “Cuma waktu aku naik gunung tadi, para To-yu di sini ber-ulang2 memaki
aku sebagai maling cabul, pula bilang kedatanganku ini disebabkan oleh wanita
she Liong itu, keruan aku sendiri menjadi bingung.”
Khu
Ju-ki bergelak ketawa pula setelah tahu duduknya perkara, Tetapi segera ia
menghela napas pula.
“Ya,
rupanya memang Tiong-yang-kiong harus mengalami bencana seperti hari ini,”
katanya kemudian “Kalau bukannya kejadian2 yang menimbulkan salah paham itu,
bukan saja Pak-tau-tin besar yang berjaga di luar pasti dapat menahan datangnya
kawanan penyatron itu, bahkan kaupun bisa lebih cepat sampai di atas gunung,
dan tentu pula Hek-sute tidak sampai kena dilukai musuh.”
Melihat
air muka Kwe Ceng penuh mengunjuk rasa bingung, maka Khu Ju-ki lantas
menerangkan lagi.
“Hari
ini adalah ulang tahun ke-20 dari si nona she Liong itu,” demikian ia kata.
“Oh,
ulang tahunnya yang ke-20?” mengulang Kwe Ceng. Tetapi ulang tahun ke-20
seorang wanita kenapa bisa menimbulkan malapetaka bagi Coan-cin-kau, dalam
hatinya masih tetap tidak mengerti barang sedikitpun.”
“Gadis
she Liong bernama apa sudah tentu orang luar tiada yang tahu, cuma kawanan
pendatang itu pada menyebut dia Siao-liong-li (gadis cilik she Liong), maka
kitapun boleh menyebutnya dengan nama ini,” sambung Khu Ju-ki. “Pada suatu
malam dua puluh tahun yang lalu, di luar Tiong-yang-kiong kita mendadak terdengar
suara tangisan bayi, tentu saja para kawan dalam istana merasa heran, ketika
mereka pergi melihatnya, kiranya di luar pintu terdapat satu buntalan yang
membungkus satu orok dan terletak di lantai.
“Sudah
tentu para kawan menjadi bingung karena semua orang yang tinggal di
Tiong-yang-kiong ini adalah imam, semua lelaki, mana bisa memelihara seorang
orok sedemikian ini, akan tetapi sebagai imam yang berdasarkan welas-asih tidak
bisa tinggal diam, Selagi serba susah itu, tiba2 dari belakang gunung muncul
seorang wanita setengah umur, sesudah menyapa lalu ia bilang: “Bayi ini sungguh
kasihan, biarlah aku yang memeliharanya !”"
“Tatkala
itu kami tiada tinggal di istana, para kawan menjadi girang demi mendengar
wanita itu suka menerima orok itu tanpa syarat, maka segera orok itu diserahkan
padanya. Belakangan sesudah Ma-suheng dan aku pulang, mereka telah ceritakan
kejadian itu dan menjelaskan rupa serta dandanan wanita setengah umur itu, maka
tahulah kami dia ialah itu dayang yang tinggal di dalam kuburan Dia pernah
beberapa kali melihat kami dari Coan-cin-chit-cu, cuma selamanya tidak pernah
pasang omong.
Maski
kedua keluarga boleh dibilang tetangga dekat, tapi karena persengketaan orang
tua, maka seperti tidak kenal saja, selamanya tidak pernah saling berhubungan
Dan setelah kami dengar cerita itu, kamipun tidak perhatikan urusan itu dalam
hati.
“Belakangan
setelah muridnya si Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu turun gunung, orang ini
berhati kejam, ilmu silatnya justru sangat tinggi, maka dunia Kangouw telah
morat-marit oleh perbuatannya yang menggemparkan. Beberapa kali Coan-cin-kau
mengadakan sidang dan bermaksud memberi hajaran padanya, namun selalu teringat
pada wanita tua dalam kuburan itu hingga selama itu belum pernah turun tangan,
Kami lantas tulis surat yang panjang lebar dengan ramah dan di kirim kedalam
kuburan.” Akan tetapi, surat itu seperti batu yang tenggelam ke dalam laut,
selamanya tidak pernah terima balasan, sebaliknya terhadap kelakuan Li Bok-chiu
masih tetap dibiarkan, sedikitpun tidak mengurusnya.
“Kira2
lewat sepuluh tahun lagi, tiba-tiba diluar kuburan itu kami lihat dipasang kain
putih di antara semak2 yang tumbuh lebat, kami lantas tahu itu To-yu (kawan
se-agama) telah meninggal, maka kami berenam (tatkala itu Coan-cin-chit-cu
sudah kehilangan Tam Ju-toan yang tewas ditangan Auwyang Hong, cerita ini pada
kesempatan lain akan disajikan) lantas melayat ke kuburan itu. Tapi baru
selesai kami menjalankan penghormatan tiba2 di dalam semak2 lebat itu keluar
satu gadis cilik yang umurnya antara sepuluh tahun, ia membalas hormat kami dan
menyatakan terima kasih.
Katanya
pula: “Sewaktu Suhu hendak mangkat, beliau telah pesan Tecu menyampaikan kepada
para Totiang bahwa orang itu (maksudnya Li Bok-chiu) yang banyak melakukan
kejahatan, Suhu sendiri ada jalan buat hajar dia, maka diharap kalian tak perlu
kuatir”
Habis
berkata, ia putar tubuh dan masuk kembali ke dalam kuburan, sebenarnya kami
ingin menanya lebih jauh, namun sudah tidak keburu lagi, Sian-su sendiri pernah
meninggalkan pesan bahwa siapa saja dilarang melangkah barang selangkahpun ke
pintu kuburan itu. Hanya dalam hati saja kami merasa heran, sebab To-yu itu
sudah mati, dengan cara apa lagi yang dia tinggalkan untuk menghajar muridnya ?
“Kami
melihat gadis cilik itu sebatang-kara dan harus dikasihani kami lantas
berdaya-upaya buat membantunya, kami coba mengirim sedikit makanan padanya,
tetapi aneh, tiap2 kali selalu ditolaknya kembali.
Tampaknya
dara cilik ini wataknya juga aneh serupa dengan Cosu (kakek guru) dan Suhu-nya.
Belakangan oleh karena kami banyak urusan dan jarang tinggal di rumah, lalu
kabar berita tentang nona kecil inipun sedikit sekali terdengar lagi.
Dan
entah mengapa, tiba2 Li Bok-chiu pun menghilang dari kalangan Kangouw dan tidak
cari gara2 1agi. Kami mengira To-yu itu memang benar mempunyai akal bagus buat
bikin takut muridnya, maka diam2 kami sangat kagum padanya.
“Lalu
kembali lewat beberapa tahun lagi, itulah kejadian tiga tahun yang baru lampau,
tatkala itu aku dan Ong-sute (Ong Ju-it) ada urusan harus pergi ke daerah
barat, di sana kami tinggal di rumah seorang pendekar terkemuka dan mendengar
suatu kabar yang sangat mengejutkan Katanya tiga tahun lagi, semua kaum setan
iblis dan golongan agama liar akan berkumpul di Cong-lam-san untuk melakukan
sesuatu.
Cong-lam-san
adalah pangkalan Coan-cin-kau, mereka berani naik ke sini sudah tentu tujuannya
hendak menyatroni golongan agama kita, mana boleh kita tidak berjaga2? Tetapi
aku dan Ong-sute masih kuatir kabar itu tidak benar, kami selidiki pula melalui
pihak ketiga, tapi nyata hal itu bukan bikinan belaka dan memang sungguh2.
Cuma
maksud tujuan mereka ke Cong-lam-san ternyata bukan menyatroni agama kita,
melainkan mempunyai maksud tertentu terhadap Siao-liong-Ii yang tinggal di
dalam kuburan kuno itu.”
Kwe
Ceng menjadi heran oleh cerita ini.
“Dia
hanya satu dara cilik yang selamanya tidak pernah keluar pintu pula, kenapa
para penyatron itu bisa ikat permusuhan dan taruh dendam padanya?” tanyanya
dengan tidak mengerti
“Memang
apa sebab musabab yang sebenarnya di belakang layar itu, kita adalah orang
luar, maka tidak begitu jelas,” sahut Khu Ju-ki. “Tetapi dasar Ong-sute paling
suka cari tahu, dia telah menyelidiki ke mana2, akhirnya diketahui bahwa
peristiwa itu sengaja diusik dan dikobarkan oleh Siao-liong-li punya suci
(kakak seperguruan perempuan) sendiri.”
“Ha,
Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu?” sela Kwe Ceng heran.
“Ya,
tidak salah,” kata Khu Ju-ki. “Katanya sesudah Suhu mereka mengajarkan ilmu
silat beberapa tahun pada Li Bok-chiu, kemudian dapat dilihatnya bahwa jiwa
perempuan itu tidak baik, maka dengan alasan sudah tamat belajar, Li Bok-chiu
lantas disuruh turun gunung.
“Diwaktu
gurunya masih hidup, meski Li Bok-chiu sudah banyak melakukan kejahatan, namun
masih rada jeri, tapi sesudah gurunya mati, ia lantas pakai kedok hendak melayat
buat serbu ke dalam kuburan itu, ia bermaksud usir sang Sumoay dan mengangkangi
semua benda mestika yang tersimpan di dalamnya.
Tak
tahunya, di dalam kuburan itu ternyata banyak terpasang alat2 rahasia jebakan
yang aneh2 dan bagus, meski Li Bok-chiu cukup lihay, namun setelah banting
tulang akhirnya dia bisa menembus dua lapis pintu kuburan itu, di depan pintu
lapisan ketiga dia melihat ada sepucuk surat tinggalan Suhu padanya.
Kiranya
gurunya sebelumnya sudah menduga akan kedatangannya, Maka dalam surat wasiat
itu tertulis bahwa pada tahun ini, bulan dan hari itu adalah genap ulang tahun
ke-20 Sumoay-nya, pada saat itu Sumoay ini akan turun gunung buat mencari
ayah-bunda kandungnya, maka kalau bersua di kalangan Kangouw, hendaklah dia
mengingat hubungan seperguruan suka banyak memberi bantuan dan perlindungan.
Dalam
surat wasiat itu dipesan pula agar dia suka perbaiki kelakuannya yang jahat,
kalau tidak, akhirnya pasti akan menelan akibat perbuatannya sendiri.
“Tak
terduga, bukannya Li Bok-chiu insaf, bahkan ia sangat gusar oleh isi surat sang
guru itu, segera ia serbu masuk ke dalam pintu lapisan ke-tiga, tetapi disini
ia telah terjebak oleh jarum berbisa yang memang sudah dipasang sebelumnya oleh
gurunya, kalau bukan Siao-liong-li memberi obat dan menyembuhkan lukanya,
mungkin seketika itu juga jiwanya sudah melayang.
Karena
itu ia baru kenal lihaynya kuburan itu, terpaksa ia keluar kembali dan turun
gunung. Tetapi kalau hanya begitu saja, mana dia terima? Belakangan kembali
beberapa kali dia menyerbu kuburan itu,tiap2 kali selalu dia menderita
kecelakaan, Bahkan penghabisan kalinya ia malah bergebrak dengan Sumoay-nya.
Tatkala itu usia Siao-liong-li baru 16 atau 17 tahun saja, namun ilmu silatnya
ternyata sudah jauh di atas kakak seperguruannya ini, kalau bukan sengaja dia
bermurah hati, untuk melayangkan jiwa Li Bok-chiu mungkin bukan soal sulit….”
“Kejadian
itu mungkin disebabkan berita yang tersiar di kalangan Kangouw itu kurang
benar,” tiba2 Kwe Ceng memotong cerita orang.
“Kenapa
kau tahu?” tanya Ju-ki.
“Tecu
sendiri sudah pernah mengetahui kepandaian Li Bok-chiu,” sahut Kwe Ceng. “llmu
silat perempuan ini sesungguhnya ada bagian unggulnya yang tersendiri, kalau
umur Siao-liong-li belum ada 20 tahun, betapa bagus lagi ilmu silatnya kukira
susah juga buat menangkan dia.”
“Cerita
itu Ong-sute mendengar dari salah seorang kawannya dari Kay-pang, soal
Siao-liang-li mengalahkan Li Bok-chiu, apa itu benar atau tidak, karena waktu
itu toh tiada orang ketiga yang melihatnya, sudah tentu tiada seorangpun yang
tahu dengan pasti, cuma di kalangan Kangouw memang tersiar cerita itu,” ujar
Khu Ju-ki.
“Dan
karena itulah, hati Li Bok-chiu semakin dendam, ia tahu Suhunya telah pilih
kasih dan menurunkan ilmu silat yang lebih lihay pada sang Sumoay, Maka ia
sengaja menyiarkan kabar bahwa pada nanti tahun ini, bulan dan hari itu,
Siao-liong-li dari kuburan “Hoat-su-jin-bong” akan mengadakan sayembara buat
memilih jodoh.
Bahkan
dia tambahi pula bahwa siapa saja yang bisa menangkan Siao-liong-li, bukan saja
Siao-liong-li akan menyerahkan diri-nya, bahkan semua harta mestika dalam
kuburan itu, kitab2 ilmu silat dan macam2 lagi akan di-hadiahkan seluruhnya
pula.
Para
penyatron itu sebenarnya tidak mengetahui siapa dan macam apakah Siao-liong-li
itu, tetapi Li Bok-chiu justru sengaja bikin propaganda, katanya dia punya
sumoay masih jauh lebih cantik dari pada dia.
Seperti
kau sendiri sudah lihat, kecantikan Jik-lian-sian-cu itu jarang ada
bandingannya di kalangan Bu-lim, sekalipun puteri bangsawan atau gadis hartawan
juga tak bisa menandingi dia.”
Mendengar
orang memuji kecantikannya Li Bok-chiu, dalam hati Kwe Ceng diam2 berkata:
“Begitu saja kenapa harus heran? Aku punya Yong-ji saja sudah beratus kali
lebih ayu dari pada dia.”
Padahal
ini hanya pendapat pribadi Kwe Ceng saja yang tentu memuji isterinya sendiri.
Memang, kalau bicara tentang kecantikan, keluwesan, Oey Yong memang jauh lebih
unggul tetapi kalau soal gaya, sebaliknya Li Bok-chiu lebih menarik.
“Dan
justru memang tidak sedikit manusia serong di kalangan Kangouw yang terpikat
oleh kecantikan Li Bok-chiu, cuma, kesatu karena usianya sudah tidak muda lagi,
kedua, disebabkan pula tangannya yang gapah dan tidak kenal ampun, maka tidak
sembarang orang berani “sir” padanya, ” demikian sambung Khu Ju-ki pula.
“Dan
kini demi mendengar bahwa Li Bok-chiu mempunyai Sumoay yang maha cantik, bahkan
secara te-rang2an mengadakan sayembara untuk mencari jodoh, keruan saja,
siapapun pingin coba2 peruntungan?”
Sampai
disini, maka mengertikah Kwe Ceng akan duduknya perkara sebenarnya.
“O,
jadi para pendatang ini hendak meminang?” katanya kemudian, “Pantas makanya
para To-heng disini pada mencaci maki padaku sebagai maling cabul segala.”
Ju-ki
ketawa ter-hahak2 oleh penuturan Kwe Ceng ini.
“Begitulah,
maka setelah aku dan Ong-sute mendapat berita itu, kami pikir meski
Siao-liong-li dengan kami hanya sekedar kenal saja, tetapi hubungan tetangga
dekat, pula pergaulan orang tua kedua belah pihakpun lain dari pada yang lain.
Laginya para siluman dan maling cabul itu jika betul2 berani mengeluruk kesini,
ini berarti pula sama sekali tidak pandang sebelah mata pada Coan-cin-kau,
apakah kami bisa antapi begitu saja orang malang-melintang di atas gunung
Cong-lam-san kita ? Oleh sebab itulah, lantas kami undang semua jago
Coan-cin-kau dari berbagai angkatan, sepuluh hari sebelumnya kami sudah
berkumpul di Tiong-yang-kiong.
Di
samping kami giat berlatih Pak-tau-tin-hoat, kami mengirim surat pula pada
Siao-liong-li di dalam kuburan untuk memperingatkan dia agar ber-jaga2. Siapa
duga, surat kami itu tetap seperti batu tenggelam di samudera raya saja,
Siao-liong-li sama sekali tidak menggubris kemauan baik kami itu.”
“Jangan2
dia sudah tiada di dalam kuburan itu lagi,” ujar Kwe Ceng.
“Tidak,
setiap hari kami memandangnya dari jauh di atas gunung, masih tetap kami lihat
ada asap dapur yang mengepul keluar dari kuburan,” sahut Khu Ju-ki. “Kau boleh
lihat itu, di sebelah sana itu !” - sembari berkata ia tunjukkan dengan jarinya
ke arah barat.
Waktu
Kwe Ceng memandang menurut arah yang ditunjuk, ia lihat sebelah barat gunung
lebat dan rindang, tanah seluas belasan li yang tertampak hanya hutan belaka,
iapun tidak tahu dimana letak “Hoat-su-jin-bong” yang dimaksudkan itu.
“Dan
sesudah kami berunding, kami ambil keputusan akan wakilkan Siao-liong-li buat
menghadapi musuh,” kata Khu Ju-ki lagi. “Kami kirim orang pergi mencari berita,
lima hari sebelumnya, para penyelidik itu telah kembali semua dan betul saja
diperoleh kabar bahwa tidak sedikit kawanan penjahat yang bernyali besar hendak
naik Cong-lam-san untuk ikut sayembara dan melamar Siao-liong-li.
Ada
beberapa di antaranya yang keder terhadap Tiong-yang-kiong yang letaknya
berdekatan, mereka telah mundur teratur, tetapi selebihnya karena mendapat
dukungan dua orang pentolan besar, mereka telah ambil kepastian naik ke sini.
Mereka
telah berjanji berkumpul di kuil di bawah gunung itu dan memakai tanda tepukan
tangan pada pilar batu itu. Dan karena tidak sengaja kau telah tepuk pilar batu
itu, pula kau unjuk kepandaianmu yang cukup mengejutkan pantas kalau para cucu
muridku itu menjadi geger dan salah sangka padamu.
“Tentang
kedua pentolan iblis itu kalau dibicarakan memang cukup besar juga nama mereka,
cuma selama ini mereka tidak menginjakkan kaki ke daerah Tionggoan, kaupun
sudah belasan tahun menetap di Tho-hoa-to, maka kau tidak kenal mereka, itu
putera bangsawan adalah Pangeran dari Monggol, katanya masih anak-cucu
keturunan lurus Jengis Khan. selamanya dia tinggal di tanah barat, entah dapat
ajaran dari pendekar mana, meski umurnya masih muda, namun sudah berhasil
meyakinkan ilmu silat yang tinggi dan mengejutkan.
Orang
menyebut dia Pangeran Hotu. Kau pernah tinggal lama di tanah gurun itu, pula
sangat dekat pergaulanmu dengan bangsawan Monggol, apa kau ingat akan asal-usul
orang ini?”
“Pangeran
Hotu, pangeran Hotu ?” demikian Kwe Ceng komat-kamit mengulangi beberapa kali
nama itu, iapun mengenangkan kembali wajah putera bangsawan yang cakap itu,
tetapi sama sekali dia tidak ingat anak keturunan siapakah dia ini. ia hanya
merasa sikap putera bangsawan ini memang agung, diantara mata-alisnya pun
mengunjuk sikap2 yang angker berwibawa, ia cukup kenal Jengis Khan dengan
keempat puteranya, rupa keem-pat putera Jengis Khan itu sama sekali tiada yang
sama dengan Pangeran Hotu ini.
“Ya,
mungkin dia hanya sengaja menaikkan harga diri saja dan membual”, kata Khu
Ju-ki pula, “Tetapi permulaan tahun ini, begitu dia datang di daerah Tionggoan,
sekaligus ia melukai Ho-lam-sam-hiong (tiga jagoan dari Holam), belakangan di
Kamsiok seorang diri dia bunuh pula Lanciu-chit-pa (tujuh buaya darat dari
Langciu), karena itu, namanya seketika terpandang tinggi dan berkumandang,
tetapi kami sama sekali tidak duga bahwa dia justru bisa ikut dalam urusan
Siao-liong-li ini.
“Sedang
tokoh lain lagi adalah paderi Tibet, dia adalah Ciangkau (penjabat ketua agama)
dari sekte Bitcong di Tibet, namanya Darba, dia memang sudah lama terkenal
kalau dihitung dia masih sama tingkatannya dengan aku. Dia adalah Hwesio,
dengan sendirinya tujuan kedatangannya ini bukan buat melamar Siao-liong-Ii,
maka maksudnya kalau bukan memamerkan kepandaian dan menggemilangkan namanya,
tentunya dia mengincar harta mestika yang tersimpan dalam kuburan milik
mendiang guruku itu, bukan, mustail tujuannya meliputi kedua2nya tadi.
“Sedang
para penyatron yang lain itu, karena tampilnya kedua orang tadi, mereka sudah
tiada pikiran buat melamar puIa, mereka pikir asal bisa ikut serbu ke atas
gunung dan membongkar kuburan kuno, sedikit banyak tentu mereka bisa membagi
rejeki, oleh karena ituIah, hari ini yang naik ke Cong-lam-san ternyata
berjumlah ratusan orang banyaknya. Sebenarnya Pak-tau-tin yang kami pasang itu
masih bisa menahan seluruh penyatron kelas rendahan itu di bawah gunung,
sekalipun tidak bisa tangkap hidup2 mereka, sedikitnya tidak nanti mereka mampu
mendekati Tiong-yang-kiong.
Tetapi
rupanya memang Coan-cin-kau kita harus mengalami malapetaka ini hingga terjadi
salah paham atas dirimu, ya, apa yang perlu dikatakan lagi ?”
Kwe
Ceng menjadi sangat menyesal oleh kejadian itu, ia ingin mengucapkan beberapa
kata yang bersifat mohon maaf, Tetapi dengan tertawa Khu Ju-ki sudah keburu
mencegahnya.
“Tidak
perlu kau menyesal benda2 yang musna itu hanya barang2 di luar tubuh, jiwa raga
sendiri saja tidak perlu dibuat sayang, kenapa harus urus lagi bendai di luar
tubuh itu ?” katanya pula, “Kau sudah latih Lwekang selama belasan tahun,
apakah sedikit pengertian ini saja kau belum paham?”
Kwe
Ceng tersenyum, ia mengiakan kata-kata orang.
“Begitulah,
selagi kau dikerubuti Pak-tau-tin dengan seluruh kekuatannya tadi, di lain
pihak kedua pentolan iblis itu berkesempatan membawa begundalnya menyerbu
sampai di depan Tiong-yang-kiong. Begitu datang mereka lantas kobarkan api,
ketika Hek-sute mendahului maju melabrak pangeran Hotu, rupanya dia terlalu
pandang enteng pihak musuh, pula ilmu silat Hotu memang berlainan dari pada
orang biasa dan sangat aneh, karena sedikit lengah, Hek-sute kena sekali
pukulannya di dada.
Dengan
sendirinya lekas2 kami pasang barisan bintang2 untuk melindunginya. Tetapi
karena kekurangan tenaga Hek-sute, anak murid yang menggantikan tempatnya masih
selisih jauh kepandaiannya, maka daya tekanan barisan kita sukar dikerahkan
seluruhnya. Coba, kalau kau tidak datang tepat pada waktunya, mungkin hari ini
Coan-cin-kau sudah dihancurkan orang.
“Kini
kalau diingat lagi, bila kau tidak ke sini, sungguhpun para penyatron tingkat
rendahan pun tidak mampu naik ke atas, tetapi untuk menahan Pangeran Hotu dan
Darba berdua jelas juga tidak bisa. Kedua orang ini kalau bahu-membahu menempur
Pak-tau-tin kita, walaupun kami belum pasti dikalahkan, tapi sukar juga
memperoleh kemenangan…”
Bercerita
sampai disini, tiba2 terdengar suara bunyi “hauuuuh hauuuh hauuuuuh” di jurusan
barat, mendadak ada orang membunyikan tanduk Suara tiupan tanduk itu begitu
seram, sayup2 seperti mengandung maksud bunuh membunuh dan seperti suatu
tantangan yang ditujukan pada seorang.
“Binatang,
binatang !” mendadak Khu Ju-ki memaki dengan gusar, Sambil memandang ke rimba
di sebelah barat gunung, ia berkata pula pada Kwe Ceng: “Ceng-ji, bangsat itu
telah adakan perjanjian sepuluh tahun dengan kau, ia mengira dalam sepuluh
tahun ini dapat berbuat sewenang-wenang sesukanya, dengan demikian supaya kau
tidak bebas ikut campur urusannya, tetapi di bumi ini mana ada persoalan yang
begini mudah. Mari, kita ke sana !”
“Apakah
pangeran Hotu itukah ?” tanya Kwe Ceng.
“Siapa
lagi kalau bukan dia,” sahut Ju-ki. “Dia justru sedang menantang
Siao-liong-Ii!”
Sembari
berkata, iapun bertindak cepat turun gunung, Tanpa ayal lagi segera Kwe Ceng
menyusul di belakangnya.
Setelah
beberapa li mereka tempuh, terdengarlah oleh mereka suara bunyi tanduk tadi
di-sebul semakin keras, diantara suara “hu-hu” itu bahkan masih terseling pula
suara “ting-ting-ting” yang nyaring dari bunyi keleningan suara keleningan ini
menunjukkan tanda bahwa itu padri Tibet Darba pun sudah ikut turun tangan.
Khu
Ju-ki menjadi gusar oleh kelakuan kedua orang itu. “Hm, dua jago terkemuka
sama2 menghina seorang gadis cilik, sungguh tidak tahu malu,” demikian
damperatnya pula.
Sambil
berkata, kakinya pun tidak pernah kendor, ia lari makin cepat, maka sekejap
kemudian mereka sudah sampai di pinggang gunung, Dari sini setelah membelok
satu tebing lagi, maka tertampaklah oleh Kwe Ceng di depan sana tumbuh sebuah
hutan, di luar hutan itu berdiri beberapa puluh orang yang beraneka macam
potongannya, ada yang tinggi, besar, pendek atau gemuk, jelas kelihatan mereka
bukan lain adalah kawanan penyatron yang menyerbu Tiong-yang-kiong tadi.
Karena
itu, Khu Ju-ki dan Kwe Ceng tidak lantas unjukkan diri, mereka sembunyi dulu di
belakang dinding batu itu untuk melihat gelagat.
Sementara
tertampak Pangeran Hotu bersama Darba berdiri sejajar, yang satu meniup tanduk
dan yang lain menabuh keleningan, suaranya teratur dan sahut menyahut,
maksudnya memancing keluar Siao-liong-li yang mereka inginkan.
Tetapi
meski sudah lama mereka ribut2 sendiri di dalam hutan itu masih tetap sunyi
tiada suara yang membalas.
Sebab
itu, Hotu meletakkan alat tiupnya, lalu dengan suara lantang ia berteriak: “Aku
adalah Pangeran Hotu dari Monggol, dengan hormat aku menghaturkan selamat
berulang tahun kepada Siao-liong-li!”.
Baru
habis ia berkata, tiba2 dari dalam hutan bergema tiga kali suara
“creng-creng-creng”, mungkin itulah jawaban Siao-liong-li dengan menabuh Khim
(semacam alat musik, kecapi).
Pangeran
Hotu menjadi senang karena dirinya digubris, Maka dia lantas buka suara pula:
“Menurut kabar, nona Liong telah sesumbar hendak mengadakan sayembara pada hari
ini untuk memilih jodoh, karena itu, aku yang bodoh sengaja datang meminta
petunjuk, harap nona Liong tidak segan2 memberi tuntunan !”
Diluar
dugaannya, mendadak suara Khim tadi berbunyi keras dan tinggi nadanya, agaknya
tanda merasa gusar. Meski para penyatron itu tidak paham tentang seni suara,
tetapi mendengar suara Khim yang lain itu, merekapun tahu itu adalah tanda
sedang mengusir tetamu.
Akan
tetapi Hotu ternyata belum mau sudah, dengan ketawa dia pentang mulut lagi:
“Keluargaku
cukup mampu, wajahku pun tidak jelek, lamaranku ini rasanya belum merendahkan
dirimu, nona Liong sendiri adalah gadis pendekar di jaman ini, kiranya
engkaupun tidak perlu kikuk2.”
Dan
baru selesai ia bicara, mendadak suara Khim berubah menjadi santar dan cepat,
lapat2 seperti mengandung arti mendamperat. Begitu hebat suara tahunan Khim
itu, sehingga bagi yang mendengarkan terasa sangat tidak enak sekali beberapa
orang diantara kawanan penyatron itu sam pai menutup kuping tak berani
mendengarkan lagi.
Karena
itu, Hotu pandang sekejap pada Darba, paderi Tibet itu meng-angguk2. Maka Hotu
lantas berseru lagi: “Jika nona sudah tidak mau unjuk diri, terpaksa aku
mengundang secara kekerasan”
Habis
berkata, sekali ia memberi tanda pada para begundalnya, segera ia mendahului
masuk ke hutan lebat itu dengan langkah lebar, tindakannya ini segera diikuti
kawan2nya secara be-ramai2. Dalam hati mereka memikir: “Sampai Coan-cin-kau
yang terhitung golongan paling lihay dikalangan Bu-lim saja tak sanggup menahan
kami, apa lagi hanya seorang Siao-liong-li, apa yang dia bisa berbuat ?”
Karena
kuatir didahului kawan yang lain, mereka jadi saling berebut di depan agar bisa
lebih cepat mendapat bagian rejeki harta mestika dalam kuburan kuno itu.
Melihat
musuh sudah bertindak lekas Khu Ju-ki melompat keluar dari tempat sembunyinya
dan berseru: “Hai, tempat ini adalah tempat keramat mendiang guruku Tiong-yang
Cinjin, lekas kalian mundur kembali!”
Mendengar
suara teriakan itu, semua orang itu rada terkesiap juga, akan tetapi toh
langkah mereka tidak pernah berhenti, mereka masih terus menyerbu ke dalam
hutan.
“Ceng-ji,
hayo turun tangan saja !” ajak Khu Ju-ki pada Kwe Ceng, ia menjadi gusar akan
perbuatan kawanan bandit itu.
Tetapi
baru mereka akan menyusul masuk ke dalam hutan yang lebat itu, mendadak
terdengar suara teriakan dan jeritan para penyatron itu, tahu-tahu mereka
berlari kembali seperti kesetanan. Karuan Khu Ju-ki dan Kwe Ceng ter-heran2,
sementara itu terlihat beberapa puluh orang sudah berlari keluar seperti
terbang cepatnya, dan mati-matian menyusul Hotu dan Darba pun berlari keluar
dengan langkah lebar, keadaan mereka yang menyedihkan itu, dibanding sewaktu
mereka di-gempur mundur dari Tiong-yong-kiong oleh Kwe Ceng tadi entah berapa
kali lipat lebih hebat.
Diam2
Khu Ju-ki dan Kwe Ceng menjadi bingung, mereka heran dengan ilmu kepandaian
apakah Siao-liong-Ii mampu mengusir kawanan penyatron ini ?
Tetapi
pikiran mereka itu hanya timbul sekilas saja, sebab tiba2 terdengar suara
“ngaung-ngaung-ngaung” yang riuh ramai suara mendengung itu tadinya masih jauh,
tapi sebentar saja sudah mendekat, di bawah sinar rembulan yang remang2 itu
tertampak segumpal benda abu2 entah binatang apa dengan cepat terbang keluar
dari dalam hutan dan sedang mengudak di atas kepala para penyerbu itu.
Kwe
Ceng menjadi heran oleh kejadian ini. “Apakah itu ?” tanyanya.
Akan
tetapi Khu Ju-ki sendiri tidak tahu, ia geleng kepala tidak menjawab, dengan
mata tidak berkesip ia pandang ke depan terus, ia lihat diantara petualang2 itu
ada beberapa yang lambat larinya, kepala mereka segera disamber gerombolan
binatang tadi, habis itu, beberapa petualang itu seketika jatuh terguling,
mereka men-jerit2 sambil dekap kepala, tampaknya rasa sakitnya sukar ditahan.
“He,
tawon, kenapa warna putih ?” seru Kwe Ceng terkejut sesudah kemudian mengenali
binatang terbang itu.
Selagi
ia berkata, gerombolan tawon putih itu kembali sudah membikin terguling
beberapa orang lagi dengan antupannya. Dalam sekejap saja di rimba raya itu
terdapat belasan orang yang bergelimpangan sambil men-jerit2 kesakitan dengan
suara yang mengerikan.
“Aneh,
diantup tawon, seumpama memang sakit, seharusnya tidak sampai begitu jahat,
apakah mungkin antupan tawon putih ini luar biasa lihaynya ?” demikian Kwe Ceng
ber-tanya2 dalam hati
Dalam
pada itu ia lihat bayangan abu2 tadi masih menyamber kian kemari, seperti
sesosok asap tebal saja yang menyembur dengan cepat, gerombolan tawon putih itu
mendadak menyamber dari depan Khu Ju-ki.
Melihat
datangnya gerombolan tawon putih ini begitu ganas dan hebat, agaknya sukar
ditahan, maka Kwe Ceng berpikir hendak menyingkir tetapi tidak demikian dengan
Khu Ju-ki, tiba2 imam Coan-cin-kau ini mengumpulkan napasnya, sekali pentang
mulut ia terus meniup dengan sekuatnya.
Gerombolan
tawon itu sebenarnya sangat cepat terbangnya, ketika mendadak terasa tiupan
angin yang keras memapak dari depan, keruan daya serbuan mereka tertahan, dan
ketika Khu Ju-ki untuk kedua kalinya menyebul pula, kembali angin santar
menyarnber lagi
Kwe
Ceng dapat mengikuti cara itu dengan baik, maka iapun meniru dengan menyebulkan
ha-wanya dengan keras, ia gabungkan kekuatan angin tiupannya dengan tiupan Khu
Ju-ki. Keruan saja kekuatan angin ini menjadi sangat kuat, rombongan tawon
putih jadi tak tahan hingga beberapa ratus tawon yang paling depan terpaksa
menggeser arah dan menyamber lewat disamping kedua orang ini terus mengudak
Hotu dan Darba Iagi.
Belasan
petualang yang bergelimpangan di tanah itu makin ngeri jeritan mereka, saking
menderitanya sampai mereka me-ratap2 dan me-rintih2, berteriak bapak dan
memanggil ibu, malahan ada yang minta2 ampun, “Kami berbuat salah, mohon dewi
Siao-liong-li suka ampuni jiwa kami!” demikian mereka memohon.
Diam2
Kwe Ceng menjadi heran oleh kelakuan para petualang ini, “0rang2 ini tergolong
manusia yang tak kenal takut di kalangan Ka-ngouw, sekalipun sebelah lengan
atau sebelah kaki mereka ditabas kutung, belum tentu mereka mau merintih
kesakitan dan meminta ampun, kenapa antup tawon sekecil ini saja ternyata
begini lihay ?” demikian ia pikir.
Sementara
itu ia dengar suara tabuhan Khim berkumandang pula dari dalam rimba raya itu,
menyusul mana dari pucuk pohon yang rindang itu tertampak mengepul keluar asap
putih yang tipis2, segera Khu Ju-ki dan Kwe Ceng mencium bau wangi bunga yang
sedap sekali. Selang tak lama, suara “ngung-ngung-ngung” tadi dari jauh kembali
mendekat lagi, rombongan tawon putih itu dami mencium bau wangi telah terbang
kembali ke dalam rimba, kiranya Siao-liong-li sengaja bakar dupa untuk menarik
kembali pasukan tawonnya, Meski sudah dua puluh tahun Khu Ju-ki menjadi
tetangga Siao-liong-li, tapi selamanya tidak pernah mengetahui bahwa gadis
jelita ini ternyata memiliki kepandaian begini tinggi, ia menjadi kagum dan
ketarik.
“Kalau
sebelumnya tahu tetangga cantik kita ini begini besar kesaktiannya,
Coan-cin-kau kita tentunya tidak perlu banyak urusan lagi,” demikian ia kata.
Ucapan
ini sebenarnya dia tujukan pada Kwe Ceng, suaranya tidak keras, Tetapi aneh,
Siao-liong-li yang berada dalam rimba itu seperti mengetahui maksudnya itu,
tiba2 suara Khim tadi berubah menjadi lunak dan merdu yang mengandung maksud
pernyataan terima kasih.
“Hahaha,
hendaklah nona jangan pakai adat istiadat lagi,” kata Khu Ju-ki dengan suara
lantang sambil bergelak ketawa” Khu Ju-ki bersama anak murid Kwe Ceng, dengan
hormat mengucapkan selamat atas ulang tahun nona.”
Atas
ucapan ini, tiba2 suara Khim itu berbunyi “creng-creng” dua kali lagi, habis
ini lantas berhenti, suara lenyap, keadaan pun kembali sunyi.
Dalam
pada itu mendengar jeritan dan teriakan orang2 yang bergelimpangan di tanah
itu, hati Kwe Ceng menjadi kasihan.
“Totiang,
Cara bagaimana kita bisa tolong orang2 ini ?” ia coba tanya Khu Ju-ki.
“ltu
tidak perlu,” sahut Ju-ki. “Liong-kohnio (nona Liong) sendiri tentu bisa
bereskan sendiri Marilah kita pergi saja.”
Begitulah,
maka mereka lantas kembali ke arahnya sendiri, sepanjang jalan Kwe Ceng
ceritakan pula secara ringkas mengenai diri Yo Ko. Mendengar kisah-derita bocah
yang mengharukan itu, Khu Ju-ki telah menghela napas panjang.
“Memangnya
patriot seperti pamanmu Nyo Thi-sim itu, mana boleh terputus keturunan ?”
demikian katanya kemudian, “Kau tak usah kuatir, pasti aku akan lakukan sepenuh
tenagaku untuk mendidik anak itu dengan baik.”
Tentu
saja Kwe Ceng sangat girang oleh kesanggupan itu, di tengah jalan juga ia
lantas menjura menghaturkan terima kasihnya.
“Tadi
kau cerita bahwa ada orang menyelundup ke Tho-hoa-to untuk membuat peta
rahasia, pula terdapat anak murid Kay-pang yang tersangkut di dalamnya,
sebenarnya ada urusan apakah ?” kemudian Khu Ju-ki bertanya lagi
“Totiang
mungkin masih ingat didalam Kay-pang itu terdapat seorang murid murtad yang
disebut Peng-tianglo ?” kata Kwe Ceng.
“Aha,
kiranya dia itu,” sahut Ju-ki. “Sungguh tidak kecil nyali orang ini, apa
mungkin dia berani cari gara2 ke pulaumu Tho-hoa-to ?”
“Sesudah
aku tukar pikiran dengan Yong-ji, dia bilang kalau hanya Peng-tianglo seorang
diri saja, tidak nanti dia berani main gila, tentu di belakangnya masih ada
orang lain lagi yang menjadi tulang punggungnya,” ujar Kwe Ceng.
“Tetapi
dengan ilmu kepandaian Yong-ji sekarang ini, ditambah keadaan pulau yang diatur
sedemikian itu, jika ada orang berani coba main gila ke sana, maka orang itu
sesungguhnya sudah bosan hidup, urusan ini kau justru boleh tak usah kuatir,”
kata Khu Ju-ki.
Kwe
Ceng mengangguk setuju dengan kata2 orang.
Begitulah
sambil ber-cakap2 kemudian mereka tiba kembali di depan Tiong-yang-kiong yang
sudah runtuh itu, tatkala itu hari sudah terang, para imam sedang sibuk
membersihkan reruntuhan puing, ada pula yang sedang tebang kayu untuk membangun
tempat meneduh darurat.
Kemudian
Khu Ju-ki mengumpulkan semua Tosu Coan-cin-kau itu, ia perkenalkan Kwe Ceng
kepada mereka.
“Dia
adalah murid Ong-sute, namanya Thio Ci-keng,” demikian Khu Ju-ki perkenalkan
pada Kwe Ceng imam berjenggot panjang yang pernah memimpin Pak-tau-tin di bawah
gunung buat merintangi dirinya itu. “Tentang kepandaian, di antara murid angkatan
ketiga dia terhitung yang paling tinggi, maka boleh suruh dia saja yang memberi
pelajaran pada Ko-ji.”
Kwe
Ceng sudah pernah bergebrak dengan Thio Ci-keng, ia tahu ilmu silatnya memang
betul hebat, maka dalam hati ia sangat girang, segera dia perintahkan Yo Ko
menjalankan penghormatan angkat guru pada Thio Ci-keng.
Habis
itu Kwe Ceng tinggal beberapa hari lagi di Cong-lam-san, iapun pesan wanti2
pada Yo Ko agar belajar dengan giat, kemudian baru dia mohon diri kembali ke
Tho-hoa-to.
Apabila
teringat oleh Khu Ju-ki pada waktu memberi pelajaran silat pada Nyo Khong (ayah
Yo Ko) dahuIu, dia membiarkan Nyo Khong tinggal di dalam istana kerajaan Kim
dengan segala kemewahan dan kejayaan hidupnya, sehingga membuat suatu kesalahan
yang maha besar, maka ia pikir sekali ini Yo Ko harus dilakukan pengawasan yang
keras dan diberikan pelajaran se-baik2-nya supaya anak ini tidak sampai
terjerumus menuju jalan yang sama dengan mendiang ayahnya.
Karena
itu, dia lantas panggil menghadap Yo Ko, dengan kata2 pedas dan suara bengis
dia memberi petuah harus turut ajaran guru, tidak boleh malas dan teledor
sedikitpun.
Untuk
tinggal di Cong-lam-san saja sebenarnya Yo Ko sudah merasa tak betah, apalagi
kini kena didamperat habis2an, sudah tentu sukar dijelaskan perasaannya, dengan
menahan melelenya air mata dia mengiakan saja, tetapi begitu Khu Ju-ki pergi,
tak tertahan lagi ia lantas menangis sedih.
“Kenapa
? Apa Co-su-ya salah mengatai kau ?” tiba2 dari belakang seorang menegur
pada-nya.
Yo
Ko kaget, lekas2 ia usap air matanya dan menoleh, ia lihat orang yang berdiri
di belakangnya itu bukan lain adalah Suhunya sendiri, Thio Ci-keng. Maka lekas2
tangannya dia luruskan dan menjawab dengan hormat: “Bukan ?”
“Kalau
begitu, kenapa kau menangis ?” tanya Thio Ci-keng pula.
“Tecu
terkenang pada Kwe-pepek, maka hati menjadi sedih,” sahut Yo Ko.
Tadi
terang2an Thio Ci-keng mendengar paman gurunya, Khu Ju-ki, dengan suara bengis
memberi pesan pada Yo Ko, tapi sekarang anak ini justru pakai alasan terkenang
pada Kwe Ceng, tentu saja dalam hati ia semakin kurang senang, pikirnya: “Anak
sekecil ini tabiatnya sudah begini licin, kalau tidak diberi hukuman yang
berat, nanti kalau sudah besar mana bisa dibina lagi?”
Oleh
karena itu, dengan menarik muka ia lantas membentak: “Hm, terhadap Suhu sendiri,
kau berani berdusta ?”
Karena
Yo Ko menyaksikan sendiri para imam Coan-cin-kau ini kena dihajar hingga
tunggang-langgang oleh Kwe Ceng, ia lihat pula Khu Ju-ki dan lain2 kena
dilabrak hingga kerepotan oleh Hotu dan Darba dengan begundalnya, semua itu berkat
bantuan Kwe Ceng baru mereka bisa terhindar dari bahaya, maka dalam hati dia
sudah yakin bahwa ilmu silat para imam ini biasa saja dan tiada yang dapat
dikagumi. Terhadap Khu Ju-ki saja dia tidak kagum, apalagi terhadap Thio
Ci-keng ?
Memang
hal ini adalah kesalahan Kwe Ceng yang telah berbuat teledor, dia tidak
menjelaskan dahulu pada Yo Ko bahwa Coan-cin-kau adalah sumber asli ilmu silat,
dahulu ilmu silat Ong Tiong-yang telah diakui sebagai nomor satu di muka bumi
ini, tiada satu jago pun dari golongan lain yang mampu melawannya.
Sedang
Kwe Ceng bisanya kalahkan para imam itu, soalnya karena imam2 itu belum
terlatih sampai dipuncaknya ilmu, sekaIi2 bukan ilmu silat Cona-cin-kau yang
tak berguna, Oleh karena kekurangan penjelasan dari Kwe Ceng inilah hingga
mengakibatkan peristiwa2 yang banyak terjadi di kemudian hari.
Begitulah,
ketika Yo Ko melihat gurunya marah, dalam hati ia pikir: “Aku angkat guru
padamu sebenarnya karena terpaksa, sekalipun kelak aku bisa belajar sepandai
kau, tetapi apa gunanya kalau cuma sepandai itu saja ? Untuk apa sekarang kau
berlagak galak ?”
Oleh
karena pikiran yang memandang hina orang ini, maka Yo Ko telah berpaling
kesamping, ia tidak menjawab Thio Ci-keng tadi.
Tentu
saja Ci-keng menjadi gusar !
“Aku
tanya kau, kenapa kau tidak menjawab?” ia membentak pula dengan suara yang
lebih keras.
“Suhu
ingin aku menjawab apa, segera akan kujawab apa,” demikian sahut Yo Ko dengan
bandel.
Mendengar
kata2 yang ketus ini, amarah Thio Ci-peng tak bisa ditahan lagi, tangannya
terus me-nampar, “plak”, seketika pipi Yo Ko merah bengap.
Yo
Ko menjerit dan menangis, mendadak ia angkat kaki terus lari pergi.
Akan
tetapi dengan cepat Ci-keng dapat menjambretnya, “Hendak kemana kau?” tanyanya.
“Lepaskan
aku, tidak sudi aku belajar silat padamu lagi,” teriak Yo Ko.
Tentu
saja Ci-keng bertambah panas hatinya.
“Anak
haram, kau bilang apa?” bentaknya.
Namun
Yo Ko sudah pepet, ia menjadi nekat
“lmam
busuk, imam anjing, boleh kau pukul mati aku saja !” demikian segera ia balas
mencaci maki.
Di
jaman feodal dulu, hubungan antara guru dan murid dipandang penting sekali, di
kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, hubungan guru dan murid dipandang
seperti ayah dan anak saja, sekalipun sang guru hendak hukum mati muridnya,
yang menjadi muridpun tak berani membantah.
Kini
Yo Ko sebaliknya berani mencaci maki gurunya, sungguh ini suatu perbuatan
murtad yang terkutuk yang selamanya jarang terlihat dan terdengar.
Karena
itu, dalam gusarnya, muka Ci-keng menjadi merah padam, ia angkat tangannya
terus hendak menempeleng lagi.
Diluar
dugaannya, se-konyong2 Yo Ko melompat maju terus merangkul lengannya yang
terangkat itu, bahkan bocah ini pentang mulutnya menggigit sini sana hingga
akhirnya jari Thio Ci-keng kena digigit dengan kencang.
Kiranya
sejak Yo Ko mendapat ajaran rahasia ilmu silat dari Auyang Hong, meski dia
berlatih tidak teratur, tapi soal Lwekang sedikit banyak dia sudah punya
landasan, Dalam keadaan marah, Thio Ci-keng menganggap Yo Ko hanya satu anak
kecil, maka sedikitpun dia tidak ber-jaga2 hingga kena dirangkul dan dicokot,
dia ternyata tak sanggup lepaskan gigitan Yo Ko meski dia sudah kipat2kan
lengannya.
Justru
jari tangan adalah anggota badan orang yang paling lemah, sakitnya paling susah
di-tahan, Dalam kesakitan Ci-keng angkat sebelah tangan yang Iain terus
menggebuk pundak Yo Ko dengan keras.
“Kau
cari mampus ? Hajo, lepas !” ia membentak lagi.
Akan
tetapi Yo Ko dilahirkan dengan watak yang keras dan tidak kenal apa artinya
takut, apa lagi kini dalam keadaan murka dan nekad, sekali pun dibawah ancaman
senjata belum tentu dia mau lepaskan begitu saja.
Tetapi
karena digebuk pundaknya hingga terasa kesakitan, gigitannya semakin tambah
kuat, maka terdengarlah suara “kletak”, tulang jari kena digigit patah.
Dalam
keadaan demikian, Thio Ci-keng tak bisa pikir panjang lagi, ia ayun tinjunya
terus me-ngetok dengan gemas ke atas batok kepala Yo Ko dipentangnya, jari
telunjuk tangan kanannya barulah bisa ditarik keluar dari mulut kecil yang
masih terkatup kencang itu.
Maka
tertampaklah tangannya berlumuran darah, tulang jarinya sudah patah, meski dia
bisa gunakan obat luka untuk menyambung tulang jari, tapi sejak itu jarinya
tidak bertenaga lagi, dengan sendirinya ilmu silatnya lantas banyak terhalang,
Dalam sengitnya, tak tahan lagi Ci-keng tambahi pula beberapa kali tendangan ke
tubuh Yo Ko yang sudah menggeletak di tanah itu.
Kemudian
Ci-keng robek sedikit kain baju untuk membalut luka jarinya, waktu dia
memeriksa sekelilingnya, untung tiada orang lain, ia pikir kalau kejadian ini
sampai dilihat orang luar dan disiarkan ke kalangan Kangouw, pasti dia akan
kehilangan muka, Lalu dia ambil satu ember air dingin dan disiram ke muka Yo
Ko.
Tetapi
setelah sadar, kembali Yo Ko menyeruduk maju lagi sambil menghantam
kalang-kabut bagai banteng ketaton.
“Binatang,
apa betul2 kau tidak ingin hidup lagi ?” bentak Thio Ci-keng sambil jamberet
dada Yo Ko.
Akan
tetapi Yo Ko tetap tidak mau menyerah
“Kau
bangsat, imam anjing, imam busuk, kau sendiri yang binatang !” balasnya memaki.
Karena
tak tahan gusarnya oleh caci-maki balasan ini, kembali Thio Ci-keng ayun
tangannya memberikan sekali tamparan pula, sekarang dia sudah ber-jaga2, jika
Yo Ko berani balas menghantam tentu takkan bisa mendekatinya, Maka dalam
sekejap saja Yo Ko telah ditendang beberapa kali hingga jungkir-balik dan
jatuh-bangun.
Dalam
keadaan demikian, jika Thio Ci-peng mau melukai Yo Ko, sebenarnya dengan
gampang saja bisa dia lakukan, namun apapun juga anak ini adalah muridnya
sendiri, jika gunakan pukulan berat, kemudian kalau ditanya para paman guru dan
Suhu, cara bagaimana harus menjawabnya ?
Sebaliknya
Yo Ko masih terus menggeluti orang dengan ngawur dan nekat meski tubuhnya
beberapa kali kena digenjot Ci-keng, rasanya juga tidak kepalang sakitnya,
tetapi sedikitpun dia pantang mundur.
Akhirnya
Thio Ci-keng menjadi kewalahan sendiri, meski ia masih pukul dan tendang Yo Ko
yang masih terus menyeruduk secara membabi-buta, tetapi dalam hati tidak
kepalang menyesalnya, ia lihat bocah ini meski tubuhnya sudah babak-belur,
tetapi makin lama malah semakin berani sampai akhirnya, karena tiada jalan
lain, ia tutuk Hiat-to di bahu Yo Ko dan membuatnya tidak berkutik lagi
Yo
Ko menggeletak di tanah, tetapi diantara sinar matanya jelas kelihatan penuh
mengandung rasa murka.
“Kau
murid murtad ini, sekarang kau menyerah tidak ?” kata Thio Ci-keng.
Akan
tetapi Yo Ko hanya menjawab dengan mata melotot, sedikitpun dia tidak unjuk
rasa takluk.
Ci-keng
duduk di atas sepotong batu, napas nya empas-empis, Kalau dia bertanding dengan
jagoan tinggi, meski berlangsung satu jam atau tiga perempat jam, se-kali2
tidak akan memburu, kini kaki-tangannya tidak capek, tetapi dalam hati luar
biasa gusarnya hingga dia tak bisa berdiri.
Begitulah
guru dan murid ini saling mendelik berhadapan seketika itu Ci-keng menjadi
kehabisan akal, ia tidak tahu cara bagaimana agar mendapatkan jalan yang baik
untuk membereskan perkara anak binal ini.
Selagi
ia merasa kesal, tiba2 terdengar suara genta ditabuh keras, ia kenal itu adalah
tanda panggilan Ciangkau mereka, Ma Giok, yang sedang mengumpulkan semua anak
murid Coan-cin-kau. Keruan Ci-keng terkejut.
“Jika
kau tidak bandel lagi, aku lantas bebaskan kau,” katanya pada Yo Ko, Habis ini
ia lantas menutuk pula buat lancarkan jalan darah orang.
Siapa
tahu, begitu Yo Ko melompat bangun, segera ia hendak menyeruduk maju lagi.
“Aku
sudah tidak pukul kau, kau mau apalagi ?” dengan gusar Ci-keng membentak.
“Tapi
selanjutnya kau pukul aku tidak ?” tanya Yo Ko.
Sementara
suara genta tadi terdengar ditabuh makin riuh, Ci-keng tak berani ayal,
terpaksa ia menjawab : “Jika kau berlaku baik2, kenapa aku harus pukul kau ?”
“”Baiklah
kalau begitu, Suhu,” kata Yo Ko. “Kau tidak pukul aku, aku lantas panggil kau
Suhu, tetapi sekali kau pukul aku, selamanya tidak nanti aku mau mengaku kau
sebagai guru Iagi.”
Ci-keng
tersenyum getir oleh kepala batu si bocah ini.
“Ciangkau
sedang memanggil para anak murid, mari lekas ikut ke sana,” katanya kemudian.
Tetapi
demi melihat baju Yo Ko sudah robek dan kumal, mukanya pun babak belur, Ci-keng
kuatir kalau ditanya orang, maka dia bersihkan tubuh Yo Ko, habis ini ia tarik
tangan bocah ini terus berlari ke depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh itu.
Sementara
itu tempat bekas Tiong-yang-kiong oleh para imam Coan-cin-kau sudah didirikan
belasan buah rumah atap alang2, ketika Ci-keng dan Yo Ko sampai di sana, para
imam yang lain sudah berbaris berdiri di sana dengan teratur, sedang Ma Giok,
Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bertiga kelihatan berduduk menghadap keluar.
Kemudian
Ma Giok menepuk tangan sekali, seketika keadaan menjadi sunyi senyap, para imam
tak berani berisik lagi.
“Kita
telah terima berita dari Tiang-seng cinjin dan Jing-ceng Sanjin yang dikirim
dari Soasay, katanya urusan di sana sangat sulit diselesaikan, maka Tiang-jun
Cinjin dan Giok-yang Cinjin (Khu Ju-ki dan Ong Ju-it) berdua hari ini juga akan
berangkat membantu ke sana, untuk itu mereka perlu membawa serta sepuluh anak
murid,” demikian dengan suara lantang Ma Giok berpidato,
Karena
pengumuman ini, para imam banyak yang saling pandang, ada yang kaget dan heran,
ada pula yang murka.
Kemudian
dengan suara keras Khu Ju-ki lantas menyebut nama sepuluh anak murid
Coan-cin-kau, ia pesan: “Lekas masing2 menyiapkan apa yang perlu, supaya besok
pagi2 bisa lantas ikut berangkat. Yang 1ain2 bolehlah bubar sekarang !”
Sesudah
itu, maka suara berisik segera terdengar iagi, para imam itu sama
mempercakapkan tentang urusan penting itu yang ternyata ada hubungannya dengan
Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu.
Tengah
mereka saling berunding, Khu Ju-ki sendiri telah mendekati Thio Ci-keng dan
berkata padanya: “Sebenarnya aku hendak bawa serta kau, tetapi karena kuatir
pelajaran Ko-ji terhalang, maka sekali ini tidak perlu kau ikut pergi!”
Habis
ini sekilas tertampak olehnya muka Yo Ko babak-belur dan matang-biru, tentu
saja ia kaget.
“He,
kenapa kau ? Dengan siapa kau telah berkelahi ?” tanyanya cepat.
Keruan
Thio Ci-keng kerupekan, ia gugup sekali, ia kuatir kalau2 Yo Ko menceritakan
apa yang terjadi dengan terus terang, tentu paman gurunya ini akan mendamperat
habis2an padanya, maka lekas2 ia mengedipi mata memberi tanda pada Yo Ko agar
jangan bilang.
Akan
tetapi Yo Ko sudah mengambil keputusannya sendiri, waktu melihat Ci-keng
kerupekan, ia pura2 tidak tahu, dia sengaja bicara dengan tidak jelas dan tidak
menjawab pertanyaan orang, Dengan sendirinya Khu Ju-ki menjadi gusar.
“Siapakah
yang berani pukul kau sedemikian rupa ? Hayo katakan, sebenarnya siapa yang
salah ? Lekas bilang !” bentaknya Ju-ki lagi.
Mendengar
suara Khu Ju-ki yang makin bengis ini, dalam hati Ci-keng semakin ketakutan.
“Bukan
berkelahi, tetapi Tecu sendiri jatuh kesandung dan tergelincir ke jurang,”
sahut Yo Ko kemudian.
Sudah
tentu Khu Ju-ki tidak gampang percaya.
“Kau
bohong, tanpa sebab kenapa bisa jatuh kesandung?” desaknya lagi.
“Tadi
Co-su-ya telah ajar Tecu agar belajar secara giat…”
“Ya,
kenapa ?” sela Khu Ju-ki.
“Dan
sesudah Co-su-ya pergi, Tecu pikir memang benar apa yang Co-su-ya ajarkan itu,”
demikian Yo Ko menyambung, “maka selanjutnya Tecu pasti akan giat belajar
supaya lekas maju, dengan begitu baru tidak mengecewakan harapan Co-su-ya.”
Dengar
obrolan Yo Ko ini, lambat laun air muka Khu Ju-ki berubah tenang kembali, ia
bersuara sekali lagi tanda membenarkan.
“Tapi
siapa duga mendadak datang seekor anjing gila,” demikian sambung Yo Ko lagi,
“tiba2 anjing gila itu menubruk ke arah Tecu sambil mencakar dan menggigit
serabutan, Tecu balas tendang dan hantam untuk mengusir anjing gila itu, tetapi
makin lama anjing gila itu semakin ganas. Karena Tecu takut kena digigit, maka
terpaksa angkat langkah seribu, dan karena kurang hati2, Tecu telah tergelincir
ke jurang, Syukur Suhu keburu datang hingga aku dapat ditolongnya.”
Atas
keterangan ini Khu Ju-ki masih setengah percaya dan separoh sangsi, ia coba
pandang Thio Ci-keng, maksudnya bertanya apa yang dituturkan Yo Ko itu betul
atau tidak ?
Dalam
hati tidak kepalang gusar Thio Ci-keng, ia sedang membatin: “Bagus, kau anak
busuk ini berani mencaci maki aku sebagai anjing gila?”
Akan
tetapi karena keadaan terdesak, ia tak berani menyangkal pembohongan Yo Ko tadi
maka terpaksa ia mengangguk dan menjawab : “Yar memang Tecu yang menolongnya.”
Karena
kepastian ini barulah Khu Ju-ki mau percaya.
“Sesudah
aku berangkat, kau harus ajarkan ilmu dasar aliran kita padanya dengan
sesungguh hati, tiap2 sepuluh hari Ma-supek akan mengadakan pemeriksaan ulang
untuk memberi petunjuk tempat2 yang penting,” demikian ia memberi pesan pula
sebelum melangkah pergi.
Dalam
hati Ci-keng sebenarnya seribu kali tidak rela, tetapi kata2 sang paman gurunya
ini, mana ia berani membantah, terpaksa ia mengangguk mengiakan.
Sebaliknya
Yo Ko merasa sangat senang karena berhasil paksa gurunya menyerah dengan
mengaku diri sebagai anjing gila, maka apa yang dikatakan Khu Ju-ki tadi boleh
dikatakan tiada yang dia dengar.
Begitu
Khu Ju-ki bertindak pergi beberapa puluh langkah Thio Ci-keng tak bisa menahan
api amarahnya yang membara, tanpa pikir segera tangannya diangkat terus hendak
menghantam batok kepala Yo Ko.
“Khu-suco
!” cepat Yo Ko memanggil Khu Ju-ki sebelum tangan orang mampir di kepalanya.
Mendengar
teriakan ini, Khu Ju-ki menoleh dengan bingung, “Apa apa ?” tanyanya.
Dalam
pada itu tangan Ci-keng masih terangkat ke atas, karena menolehnya sang paman
guru, tak berani ia menabok terus, keruan lagaknya menjadi kikuk dan serba
salah, terpaksa ia pura2 meng-garuk2 rambut di pelipisnya.
Sedang
Yo Ko lantas berlari pada Khu Ju-ki, katanya “Co-su-ya, nanti kalau kau pergi,
karena tiada yang melindungi aku, banyak Supek dan susiok di sini akan
menggebuki aku.”
Tentu
saja pengaduan ini bikin Khu Ju-ki menarik muka. “Ngaco-belo, mana bisa terjadi
begitu !” bentaknya.
Akan
tetapi meski di luarnya dia bersikap bengis, dalam hati sebenarnya Khu Ju-ki
orangnya welas-asih, tiba2 ia jadi teringat Yo Ko memang sudah piatu dan harus
dikasihani, maka segera ia pesan lagi dengan suara keras: “Ci-keng, kau harus
menjaga bocah ini dengan baik, jika terjadi apa2 atas dirinya, sekembaliku
hanya kau yang kumintai pertanggungan jawab.”
Terpaksa,
kembali Ci-keng menyanggupi lagi.
Begitulah,
petang harinya sehabis bersantap malam, dengan perasaan masih kebat-kebit
kuatir dihajar gurunya lagi, Yo Ko datang di ruangan tempat sang Suhu, sesudah
berhadapan dengan Ci-keng, ia memanggil dengan tangan lurus ke bawah: “Suhu !”
Tatkala
itu adalah waktunya mengajarkan ilmu silat, Thio Ci-keng duduk semadi di pembaringannya,
sejak tadi ia sudah ber-pikir2: “Anak ini begini nakal, kalau kini tidak
dikendalikan dengan baik, kelak kalau ilmu silatnya sudah tinggi, siapa lagi
yang sanggup pengaruhi dia ? Akan tetapi Khu-supek dan Suhu justru perintahkan
aku mengajarkan ilmu silat padanya, jika aku tidak mengajarkan, hal ini tak
boleh jadi pula.”
Begitulah
lama ia pikir dan masih belum ambil sesuatu keputusan, ketika melihat datangnya
Yo Ko yang seperti takut2, tapi sinar matanya mengerling terang, wajahnya
seperti ketawa tetapi tidak ketawa, keruan lagak Yo Ko ini semakin bikin marah
padanya.
“Ah,
ada satu akal,” tiba2 tergerak pikirannya, “sementara ini sedikitpun dia belum
paham akan ilmu kepandaian golongan sendiri, asal aku melulu mengajarkan dia
istilah2nya, tetapi caranya berlatih sedikitpun tidak kukatakan padanya, dengan
demikian meski beratus kali dia ingat akan istilah2 ilmu Lwekang yang aku
ajarkan juga tiada gunanya. Dan kalau, Suhu dan para Supek menanyakan, aku
boleh pakai alasan bahwa dia sendiri I yang tidak mau giat belajar.”
Begitulah,
setelah ambil ketetapan ini, lalu dengan tersenyum dan suara halus ia
memanggil: “Ko-ji, maju sini!”
“Kau
akan pukul aku tidak ?” tanya Yo Ko ragu-ragu.
“Aku
akan ajarkan ilmu padamu, untuk apa pukul kau ?” sahut Ci-keng.
Nampak
sikap orang yang berubah ramah tamah ini, hal ini sama sekali tak Yo Ko duga.
Maka dengan pelahan ia melangkah maju, hanya dalam hati ia tetap waspada dan
ber-jaga2 akan segala kemungkinan, ia kuatir kalau orang pakai tipu muslihat
Sudah
tentu kelakuan bocah ini dapat dilihat Thio Ci-keng, namun ia pura2 tidak tahu,
“llmu
kepandain Coan-cin-kau kita harus dilatih mulai dari dalam sampai keluar,
berbeda sekali dengan ilmu Gwa-keh yang melatihnya justru dari luar kedalam,”
demikian kemudian ia berkata, “Dan kini aku akan ajarkan intisari ilmu kita
padamu, kau harus meng-ingat2nya dengan baik”
Habis
ini dia lantas uraikan istilah kunci berlatih Lwekang dari Coan-cin-kau pada Yo
Ko.
Dasar
kecerdasan Yo Ko memang melebihi orang biasa, meski hanya mendengarkan sekali
saja, namun dia sudah bisa ingat betul Dia juga berpikir sendiri: “Suhu terang
benci dan marah padaku, mana bisa dia ajarkan aku ilmu kepandaian sejati ?
Jangan2 dia sengaja ajarkan aku dengan segala istilah2 palsu yang tak berguna
?”
Oleh
karena itulah, lewat tak lama, ia pura2 lupa apa yang diajarkan padanya tadi,
ia meminta petunjuk lagi pada Thio Ci-keng. Namun Ci-keng dapat mengulangi lagi
sama seperti semula.
Besoknya,
ketika Yo Ko pura2 tanya pula, ia dengar Ci-keng menguraikan lagi tetap sama
dengan yang kemarin, barulah dia mau percaya ajaran bukanlah palsu, Sebab kalau
palsu atau bikinan belaka, be-runtun2 menyebut tiga kali pasti tidak sama tiap2
kata atau istilahnya.
Begitulah,
ber-turut2 sudah lewat sepuluh hari, selama itu Ci-keng hanya ajarkan istilah
kosong saja pada Yo Ko, tetapi cara atau praktek belajarnya sama sekali tidak
diajarkannya.
Pada
hari kesepuluh Ci-keng membawa Yo Ko pergi menemui Ma Giok dan melaporkan bahwa
dia sudah mengajarkan bocah itu dengan dasar2 ilmu silatnya bahkan dia suruh Yo
Ko membaca diluar kepala dihadapan Ciangkau Co-su-ya. Melihat Yo Ko betul2
membaca diluar kepala dengan tepat, satu huruf saja tiada yang salah, keruan Ma
Giok menjadi senang, berulang kali ia puji anak ini memang pintar.
Ma
Giok adalah seorang imam berilmu dan tidak suka berpikir kearah yang jelek,
dengan sendirinya dia tidak menyangka akan tipu muslihat Thio Ci-keng.
Begitulah,
sang tempo berlalu dengan cepat, sekejap mata saja beberapa bulan sudah lalu.
Selama ini, Yo Ko boleh dikatakan sudah kenyang mengapal istilah2 Lwekang yang
diajarkan Thio Ci-keng, akan tetapi prakteknya sedikitpun belum pernah
diajarnya, maka soal ilmu silat hakekatnya dia masih sama saja seperti mula2
naik gunung, Tetapi Yo Ko pintar luar biasa, mana bisa dia tidak tahu bahwa
kepandainya terhalang ? Hanya dalam belasan hari saja dia lantas tahu bahwa
gurunya sengaja mempermainkan dirinya, tetapi kalau orang tak mau memberi
pelajaran, iapun tak berdaya, terpaksa ia harus menunggu kembalinya Khu Ju-ki
untuk melaporkan padanya.
Tetapi
tunggu sampai sekian lama, belum juga Khu Ju-ki kembali Meski usia Yo Ko masih
kecil, tetapi dia pintar membawa diri, kalau dalam hati rasa bencinya terhadap
Suhu semakin hebat dan makin menjadi, sebaliknya diluar dia justru bertambah
menghormat dan menurut.
Diam2
Thio Ci-keng menjadi senang melihat tipu muslihatnya berhasil, katanya dalam
hati: “Hm, kau berani membangkang terhadap guru, lihat saja, akhirnya siapa
yang rugi ?”
Sementara
itu tibalah waktunya akhir tahun, menurut kebiasaan Coan-cin-kau yang turun
temurun sejak Ong Tiong-yang, tiap2 tahun, tiga hari sebelum tahun baru, para
anak murid harus mengadakan pertandingan besar dari ilmu silat yang mereka
latih, dengan demikian untuk mengetahui sampai dimana kemajuan masing2.
Dan
karena temponya sudah dekat, maka para anak murid Coan-cin-kau itu kelihatan
sibuk sekali berlatih diri siang dan malam.
Hari
itu adalah sepuluh hari sebelum tiba hari pertandingan, para anak murid
Coan-cin-kau biasanya pada membagi diri dalam kelompok2 kecil untuk saling
latih, ini disebut “repetisi”, Begitu pula, hari itu Thio Ci-keng dan Cui
Ci-hong cs. yang menjadi muridnya Ong Ju-it telah berkumpul disuatu lapangan di
sebelah timur untuk berlatih,
Oleh
karena Ong Ju-it tiada di rumah, dengan sendirinya urusan diserahkan dibawah
pimpinan murid yang tertua, ialah Thio Ci-keng. Di samping sana anak murid
angkatan keempat sedang sibuk sendiri, ada yang terlatih ilmu pukulan, ada yang
main senjata atau pertunjukan Lwekang mereka.
Ada
pula yang melepaskan Am-gi atau senjata rahasia, semua ini diunjukkan dihadapan
Thio Ci-keng untuk diberi penilaian siapa diantaranya yang paling bagus.
Apa
yang disebut anak murid angkatan ke-empat itu yalah seangkatan dengan Yo Ko.
Oleh karena Coan-cin-kau didirikan oleh Ong Tiong-yang, maka dia adalah
cakal-bakalnya, sedang Ma Giok bertujuh yang disebut Coan-cin-chit-cu itu
adalah muridnya Ong Tiong-yang, mereka disebut anak murid angkatan kedua: Thio
Ci-keng, In Ci-peng, Cui Ci-hong dan Nyo Khong, mendiang ayah Yo Ko, mereka
adalah murid Coan-cin-chit-cu, maka disebut angkatan ketiga: akhirnya
tingkatannya Yo Ko inilah yang disebut angkatan keempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar