Kamis, 08 November 2012

Sin Tiauw hiap Lu 12



Kembalinya Pendekar Rajawali 12

Tak tahunya cianpwe itu menjadi gusar malah, katanya: “Baik, memang kau tidak niat bertarung dengan aku, kau anggap aku ini orang macam apa?” - Tetapi kata Sian-su : “Daripada bertanding secara kasar, tidakkah lebih baik bertanding secara halus ?” - jawab orang itu: “Begitupun boleh, jika aku kalah, selamanya tidak akan kutemui kau lagi, dengan demikian biar kau merasa tenang dan senang”
Tetapi Sian-su balas menanya : “Dan jika kau yang menang, lalu apa yang kau inginkan ?” - Karena pertanyaan guruku itu, cianpwe wanita itu menjadi merah mukanya, ia menjadi gelagapan tak bisa menjawab, akhirnya dengan kertak gigi ia menjawab : “Jika aku me-nang, kau punya kuburan Hoat-su-jin-bong ini harus serahkan untuk aku tinggal.”
Syarat ini bikin Sian-su menjadi serba susah, harus diketahui sekali tinggal dia sudah delapan tahun mendiami kuburan kuno itu, tidak sedikit tinggalan karya jeri-payahnya, kini jika begitu saja direbut orang, inilah yang dia sayangkan, tapi Sian-su membatin kepandaiannya masih sedikit lebih tinggi daripada orang, ia pikir terpaksa harus kalahkan dia agar kelak tidak banyak rewel dan di-goda tiada habisnya, maka ia lantas tanya.
Cara bagaimana akan bertanding, “Hari ini kita sudah sama2 letih, biarlah besok malam kita tentukan siapa yang menang atau kalah,” demikian sahut Cianpwe itu.
“Besok malamnya, kembali kedua orang bersua lagi di sini, Kata orang itu: “Sebelum kita bertanding, kita harus sama2 bersumpah dahulu.” jawab guruku: “Bersumpah apa lagi ?”
“Begini,” kata cianpwe itu,” jika kau bisa mengalahkan aku, segera juga aku bunuh diri di sini, dengan begitu pasti tidak akan bertemu dengan kau lagi, sebaliknya jika aku yang menang, kau harus sucikan diri, terserah kau mau menjadi Hwesio atau menjadi Tosu. Tapi tidak peduli jadi Hwesio atau Tosu, kau harus mendirikan kuil di atas gunung ini dan mengawani aku selama sepuluh tahun.” Dalam hati mendiang guruku mengerti bahwa dengan syarat itu, dirinya disuruh menjadi Hwesio atau Tosu, itu berarti selama hidupnya diharuskan tidak beristri
“Tetapi buat apa aku harus menangkan kau hingga memaksa kau bunuh diri ? Dan kalau aku harus mengawani kau sepuluh tahun di atas gunung ini, hal inipun sulit,” demikianlah pikir guruku, Oleh karenanya ia menjadi ragu2 tidak bisa menjawab.
“Kemudian cianpwe itu lantas berkata pula: “Pertandingan secara halus kita ini sangat mudah begini, kau gunakan jari tanganmu untuk mengukir beberapa tulisan di atas batu ini, demikian pula akupun mengukirnya beberapa huruf, lalu kita lihat tulisan siapa yang lebih baik, itulah dia yang menang.”
Mendengar cara ini, Sian-su tercengang, katanya : “Menulis di atas batu dengan jari tangan ?”
“Ya, itu namanya bertanding ilmu tenaga jari, kita boleh lihat siapa yang mengukir lebih dalam.” - Namun Sian-su geleng2 kepala saja, jawabnya kemudian: “Aku toh bukan dewa, mana sanggup aku mengukir tulisan di atas batu dengan jari tangan ?” -
“Tetapi kalau aku bisa, apa kau mau mengaku kalah ?” tanya orang itu. Dalam keadaan demikian Sian-su jadi di pojokkan pada keadaan yang serba susah, maju salah, mundurpun keliru, Tetapi kemudian ia pikir dijagad ini pasti tidak mungkin ada orang yang sanggup mengukir tulisan di atas batu dengan jari tangan, kebetulan urusan ini bisa di selesaikan sampai disini, dengan demikian pertandingan ini dapat dianggap tidak pernah ada, maka ia lantas berkata:
“Sudah tentu jika kau bisa, aku lantas ngaku kalah, Tetapi kalau kaupun tak bisa, kita boleh anggap seri, tiada yang menang dan tiada yang kalah, selanjutnya kita pun tidak perlu bertanding lagi.”
Karena itu, tiba2 orang itu tertawa dengan rasa pedih : “Bagus, kalau begitu sudah pasti kau akan jadi Tosu,” demikian katanya sambil dengan tangan kiri me-raba2 sejenak di atas batu, habis ini ia ulur jari telunjuk tangan kanan terus menggores di atas batu itu.
“Sian-su menjadi ternganga ketika menyaksikan debu, batu itu bertebaran, betul saja orang telah menulis sehuruf demi sehuruf, dalam kagetnya sampai tak sanggup ia bicara lagi, Dan tulisan yang terukir dengan tangan itu bukan lain adalah bagian depan dari syair ini.
“Tentu saja Sian-su menjadi lesu dan terima kalah, ia tidak bisa bicara lagi, besoknya dia lantas sucikan diri menjadi Tosu, dia mendirikan sebuah kuil kecil di dekat kuburan itu, dan itu adalah Tiong-yang-kiong yang asli.”
Kwe Ceng jadi ter-herah2 oleh cerita itu, waktu ia merabanya lebih terang, betul saja memang tulisan di atas batu itu bukannya ditatah, juga bukan ukiran, melainkan betul2 digores dengan jari tangan.
“Kalau begitu, ilmu kepandaian dalam hal tenaga jari cianpwe itu sesungguhnya sangat mengejutkan orang,” katanya kemudian.
Karena ucapannya ini, tiba2 Khu Ju-ki mendongak dan ketawa ter-bahak2.
“Ceng-ji, kejadian ini bisa mengelabui mendiang guruku, bisa menipu aku, juga bisa menipu kau, tetapi kalau waktu itu isterimu berada disini, pasti tidak bisa mengelabui matanya,” demikian katanya.
Kwe Ceng menjadi lebih heran hingga kedua matanya terpentang lebar.
“Apa? Apa didalam hal ini terdapat sesuatu yang tidak beres?” tanyanya.
“Sudah tentu, hal itu tak perlu dikatakan lagi,” sahut Khu Ju-ki. “Coba kau pikir, pada jaman ini, kalau soal tenaga jari, siapa jago yang nomor satu?”
“Sudah tentu ialah Toan Hong-ya, It-teng Taysu punya It-yang-ci,” kata Kwe Ceng.
“Nah, dengan tenaga jari It-teng Taysu saja, sekalipun di atas kayu, belum tentu dia mampu menulis sesuka hatinya, apa lagi di atas batu? Lebih2 lagi orang lain?” ujar Khu Ju-ki, “Karena itu juga sesudah Sian-su menjadi imam, terhadap kejadian itu ia masih terus memikirnya dengan tidak habis mengerti. Belakangan dia telah berjumpa dengan bapak mertuamu, Oey Yok-su Cianpwe, secara tak langsung guruku telah menyinggung kejadian itu, setelah Ui-tocu berpikir sebentar, kemudian ia bergelak ketawa, katanya: “Kepandaian itu akupun bisa. Cuma sekarang aku belum melatihnya, sebulan lagi pasti aku datang kembali kesini,”
Habis berkata, dengan ter-bahak2 ia lantas mohon diri dari guruku.
“Betul saja sebulan kemudian Ui-tocu telah datang lagi, lalu bersama Sian-su mereka datang ke sini memeriksa batu ini. Tadinya syair yang ditulis cianpwe wanita itu sebenarnya masih belum selesai, baru bagian depan yang maksudnya menghendaki Sian-su tirakat saja meniru caranya Thio Liang di jaman ahala Han. Sesudah Ui-tocu pakai tangan kiri me-raba2 rada lama di atas batu, kemudian ia ulur tangan kanan terus menulis di atas batu, dia telah menyambung syair cianpwe wanita yang masih belum selesai itu yang artinya menghormat dan memuji diri guruku.
“Melihat jari tangan mertuamu bisa menulis diatas batu, sama halnya seperti dahulu dilakukan cianpwe wanita itu, Sian-su menjadi lebih2 heran dan terkejut, pikirnya dalam hati: ilmu silat Oey Yok-su jelas masih kalah setingkat di bawahku, kenapa diapun memiliki tenaga jari yang begini lihay?”
Begitulah sesaat itu guruku merasa tidak habis mengerti - Mendadak, iapun ulur jari tangannya menutul ke atas batu itu, sungguh aneh, batu itu ternyata lantas berlubang oleh tusukan jarinya, Tempatnya disini, coba kau boleh merabanya”
Berbareng itu Khu Ju-ki tarik tangan Kwe Ceng ke suatu tempat di tepi batu itu, Ketika Kwe Ceng meraba dan dapatkan satu lubang kecil, ia coba masukkan jari telunjuknya, betul saja seperti cetakan, persis dapat dimasuki jarinya, Tetapi Kwe Ceng masih sangsi, ia pikir jangan2 batu cadas ini memang lunak dan berlainan dengan batu umumnya, maka coba2 ia gunakan tenaga jarinya dan dikorek dengan keras, namun yang dia rasakan kesakitan belaka, sebaliknya batu itu sedikitpun tidak bergerak.
Khu Ju-ki tertawa berbahak-bahak.
“Memang, kalau kau tentu tak akan mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik kejadian ini,” demikian katanya kemudian. “Kiranya sebelum tangan cianpwe wanita itu menulis di atas batu, lebih dulu ia telah raba2 agak lama di atas batu dengan sebelah tangannya yang lain, tangan yang buat me-raba2 itu menggenggam “Hoa-sek-tan (obat penglebur batu), ia telah bikin permukaan batu itu menjadi lunak dan dalam waktu sekira setengah jam, permukaan batu tidak akan mengeras kembali. Rahasia ini rupanya dapat dipecahkan oleh Ui-tocu, ia bilang sebulan buat melatih kepandaian itu kepada guruku, sebenarnya ia turun gunung untuk mengumpulkan obat buat bikin “Hoa-sek-tan”, habis itu baru ia datang lagi dan menirukan cara orang menulis di atas batu.”
Kwe Ceng menjadi kagum sekali atas kecerdasan bapak mertuanya itu. Tiba2 ia menjadi ingat orang tua itu telah lama tinggalkan Tho-hoa-to, ia menjadi rindu terhadap Oey Yok-su. Sudah tentu Khu Ju-ki tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Kwe Ceng, maka ia telah menyambung lagi ceritanya.
“Ketika mula2 Sian-su menjadi Tosu, perasaannya sebenarnya sangat tertekan, tetapi setelah banyak membaca kitab2 ajaran To (Tao), akhirnya ia menjadi pandai dan menginsafi segala apa di dunia ini tergantung jodoh dan tidak, maka iapun lebih mendalam lagi mempelajari ilmu agama kita untuk lebih mengembangkannya.
Kalau dipikir, jika bukan gara2 pancingan itu cianpwe wanita, mungkin dijagat ini tidak bakal terdapat Coan-cin-kau, aku Khu Ju-ki tentu pula tidak bisa seperti hari ini dan kau Kwe Ceng lebih2 tidak diketahui akan berada di mana.”
Kwe Ceng angguk2 membenarkan ucapan itu.
“Entah cara bagaimana harus menyebut nama Licianpwe (wanita tingkatan tua) itu, apa dia masih hidup kini ?” tanyanya kemudian.
“Kecuali guruku sendiri, dijagat ini tiada orang lain lagi yang mengetahui nama aslinya, sedang Sian-su pun tidak pernah katakan pada orang,” sahut Ju-ki. “Jauh sebelum terjadi Hoa-san-lun-kiam yang pertama kali cianpwe itu sudah meninggal kalau tidak, dengan ilmu silatnya yang tinggi serta wataknya yang tinggi hati itu, mana mungkin dia tidak ikut serta dalam pertandingan Hoa-san itu.”
“Dan entah dia meninggalkan keturunan tidak?” ujar Kwe Ceng.
Tiba2 Khu Ju-ki menghela napas panjang.
“Soalnya justru terletak disini,” katanya kemudian, “Seumur hidup Locianpwe itu tidak pernah menerima murid, dia hanya punya satu dayang yang selalu mendampingi dan melayani segala keperluannya, kedua orang ini tinggal bersama di dalam kuburan kuno itu, selama belasan tahun ternyata tidak pernah melangkah keluar dan seluruh ilmu silat Locianpwe itupun diturunkan semua pada dayangnya, Dayangnya ini biasanya tidak pernah injakkan kakinya dikalangan Kangouw, di kalangan Bu-lim pun jarang yang kenal dia, tetapi ia malah mempunyai dua orang murid, yang besar she Li, mungkin kau pernah mendengar namanya, di kalangan Kangouw orang menyebut dia Jik-lian Sian-cu Li Bok-chiu.”
“Ah, kiranya dia ini,” seru Kwe Ceng mendadak “Perempuan ini keji sekali, kiranya asalnya dari sini.”
“Kau pernah ketemu dia ?” tanya Khu Ju-ki.
“Ya, beberapa bulan yang lalu pernah bergebrak sekali dengan dia di daerah Kanglam, ilmu silatnya memang sangat hebat,” sahut Kwe Ceng.
“Dan kau telah melukai dia ?” tanya Ju-ki lagi.
“Tidak,” jawab Kwe Ceng menggoyang kepala “Tapi dia yang turun tangan keji dan bunuh beberapa orang sekaligus, kelakuannya memang terlalu ganas dan keji, kalau dibandingkan Tang-si (Si-mayat tembaga) Bwe Ciau-hong dahulu, mungkin melebihi jahatnya,”
“Lebih baik kalau kau tidak melukai dia, kalau tidak, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan saja,” ujar Khu Ju-ki. “Dan dia punya Sumoay she Liong…”
“Ha, kiranya wanita she Liong itu ?” potong Kwe Ceng dengan hati terkesiap.
Mendengar lagu suara Kwe Ceng ini, air muka Khu Ju-ki rada berubah juga.
“Kenapa ? Apa kau pernah lihat dia ? Apa telah terjadi sesuatu ?” tanyanya cepat.
“Tidak, Tecu tidak pernah bertemu dia,” sahut Kwe Ceng demi nampak wajah Khu Ju-ki rada aneh, “Cuma waktu aku naik gunung tadi, para To-yu di sini ber-ulang2 memaki aku sebagai maling cabul, pula bilang kedatanganku ini disebabkan oleh wanita she Liong itu, keruan aku sendiri menjadi bingung.”
Khu Ju-ki bergelak ketawa pula setelah tahu duduknya perkara, Tetapi segera ia menghela napas pula.
“Ya, rupanya memang Tiong-yang-kiong harus mengalami bencana seperti hari ini,” katanya kemudian “Kalau bukannya kejadian2 yang menimbulkan salah paham itu, bukan saja Pak-tau-tin besar yang berjaga di luar pasti dapat menahan datangnya kawanan penyatron itu, bahkan kaupun bisa lebih cepat sampai di atas gunung, dan tentu pula Hek-sute tidak sampai kena dilukai musuh.”
Melihat air muka Kwe Ceng penuh mengunjuk rasa bingung, maka Khu Ju-ki lantas menerangkan lagi.
“Hari ini adalah ulang tahun ke-20 dari si nona she Liong itu,” demikian ia kata.
“Oh, ulang tahunnya yang ke-20?” mengulang Kwe Ceng. Tetapi ulang tahun ke-20 seorang wanita kenapa bisa menimbulkan malapetaka bagi Coan-cin-kau, dalam hatinya masih tetap tidak mengerti barang sedikitpun.”
“Gadis she Liong bernama apa sudah tentu orang luar tiada yang tahu, cuma kawanan pendatang itu pada menyebut dia Siao-liong-li (gadis cilik she Liong), maka kitapun boleh menyebutnya dengan nama ini,” sambung Khu Ju-ki. “Pada suatu malam dua puluh tahun yang lalu, di luar Tiong-yang-kiong kita mendadak terdengar suara tangisan bayi, tentu saja para kawan dalam istana merasa heran, ketika mereka pergi melihatnya, kiranya di luar pintu terdapat satu buntalan yang membungkus satu orok dan terletak di lantai.
“Sudah tentu para kawan menjadi bingung karena semua orang yang tinggal di Tiong-yang-kiong ini adalah imam, semua lelaki, mana bisa memelihara seorang orok sedemikian ini, akan tetapi sebagai imam yang berdasarkan welas-asih tidak bisa tinggal diam, Selagi serba susah itu, tiba2 dari belakang gunung muncul seorang wanita setengah umur, sesudah menyapa lalu ia bilang: “Bayi ini sungguh kasihan, biarlah aku yang memeliharanya !”"
“Tatkala itu kami tiada tinggal di istana, para kawan menjadi girang demi mendengar wanita itu suka menerima orok itu tanpa syarat, maka segera orok itu diserahkan padanya. Belakangan sesudah Ma-suheng dan aku pulang, mereka telah ceritakan kejadian itu dan menjelaskan rupa serta dandanan wanita setengah umur itu, maka tahulah kami dia ialah itu dayang yang tinggal di dalam kuburan Dia pernah beberapa kali melihat kami dari Coan-cin-chit-cu, cuma selamanya tidak pernah pasang omong.
Maski kedua keluarga boleh dibilang tetangga dekat, tapi karena persengketaan orang tua, maka seperti tidak kenal saja, selamanya tidak pernah saling berhubungan Dan setelah kami dengar cerita itu, kamipun tidak perhatikan urusan itu dalam hati.
“Belakangan setelah muridnya si Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu turun gunung, orang ini berhati kejam, ilmu silatnya justru sangat tinggi, maka dunia Kangouw telah morat-marit oleh perbuatannya yang menggemparkan. Beberapa kali Coan-cin-kau mengadakan sidang dan bermaksud memberi hajaran padanya, namun selalu teringat pada wanita tua dalam kuburan itu hingga selama itu belum pernah turun tangan, Kami lantas tulis surat yang panjang lebar dengan ramah dan di kirim kedalam kuburan.” Akan tetapi, surat itu seperti batu yang tenggelam ke dalam laut, selamanya tidak pernah terima balasan, sebaliknya terhadap kelakuan Li Bok-chiu masih tetap dibiarkan, sedikitpun tidak mengurusnya.
“Kira2 lewat sepuluh tahun lagi, tiba-tiba diluar kuburan itu kami lihat dipasang kain putih di antara semak2 yang tumbuh lebat, kami lantas tahu itu To-yu (kawan se-agama) telah meninggal, maka kami berenam (tatkala itu Coan-cin-chit-cu sudah kehilangan Tam Ju-toan yang tewas ditangan Auwyang Hong, cerita ini pada kesempatan lain akan disajikan) lantas melayat ke kuburan itu. Tapi baru selesai kami menjalankan penghormatan tiba2 di dalam semak2 lebat itu keluar satu gadis cilik yang umurnya antara sepuluh tahun, ia membalas hormat kami dan menyatakan terima kasih.
Katanya pula: “Sewaktu Suhu hendak mangkat, beliau telah pesan Tecu menyampaikan kepada para Totiang bahwa orang itu (maksudnya Li Bok-chiu) yang banyak melakukan kejahatan, Suhu sendiri ada jalan buat hajar dia, maka diharap kalian tak perlu kuatir”
Habis berkata, ia putar tubuh dan masuk kembali ke dalam kuburan, sebenarnya kami ingin menanya lebih jauh, namun sudah tidak keburu lagi, Sian-su sendiri pernah meninggalkan pesan bahwa siapa saja dilarang melangkah barang selangkahpun ke pintu kuburan itu. Hanya dalam hati saja kami merasa heran, sebab To-yu itu sudah mati, dengan cara apa lagi yang dia tinggalkan untuk menghajar muridnya ?
“Kami melihat gadis cilik itu sebatang-kara dan harus dikasihani kami lantas berdaya-upaya buat membantunya, kami coba mengirim sedikit makanan padanya, tetapi aneh, tiap2 kali selalu ditolaknya kembali.
Tampaknya dara cilik ini wataknya juga aneh serupa dengan Cosu (kakek guru) dan Suhu-nya. Belakangan oleh karena kami banyak urusan dan jarang tinggal di rumah, lalu kabar berita tentang nona kecil inipun sedikit sekali terdengar lagi.
Dan entah mengapa, tiba2 Li Bok-chiu pun menghilang dari kalangan Kangouw dan tidak cari gara2 1agi. Kami mengira To-yu itu memang benar mempunyai akal bagus buat bikin takut muridnya, maka diam2 kami sangat kagum padanya.
“Lalu kembali lewat beberapa tahun lagi, itulah kejadian tiga tahun yang baru lampau, tatkala itu aku dan Ong-sute (Ong Ju-it) ada urusan harus pergi ke daerah barat, di sana kami tinggal di rumah seorang pendekar terkemuka dan mendengar suatu kabar yang sangat mengejutkan Katanya tiga tahun lagi, semua kaum setan iblis dan golongan agama liar akan berkumpul di Cong-lam-san untuk melakukan sesuatu.
Cong-lam-san adalah pangkalan Coan-cin-kau, mereka berani naik ke sini sudah tentu tujuannya hendak menyatroni golongan agama kita, mana boleh kita tidak berjaga2? Tetapi aku dan Ong-sute masih kuatir kabar itu tidak benar, kami selidiki pula melalui pihak ketiga, tapi nyata hal itu bukan bikinan belaka dan memang sungguh2.
Cuma maksud tujuan mereka ke Cong-lam-san ternyata bukan menyatroni agama kita, melainkan mempunyai maksud tertentu terhadap Siao-liong-Ii yang tinggal di dalam kuburan kuno itu.”
Kwe Ceng menjadi heran oleh cerita ini.
“Dia hanya satu dara cilik yang selamanya tidak pernah keluar pintu pula, kenapa para penyatron itu bisa ikat permusuhan dan taruh dendam padanya?” tanyanya dengan tidak mengerti
“Memang apa sebab musabab yang sebenarnya di belakang layar itu, kita adalah orang luar, maka tidak begitu jelas,” sahut Khu Ju-ki. “Tetapi dasar Ong-sute paling suka cari tahu, dia telah menyelidiki ke mana2, akhirnya diketahui bahwa peristiwa itu sengaja diusik dan dikobarkan oleh Siao-liong-li punya suci (kakak seperguruan perempuan) sendiri.”
“Ha, Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu?” sela Kwe Ceng heran.
“Ya, tidak salah,” kata Khu Ju-ki. “Katanya sesudah Suhu mereka mengajarkan ilmu silat beberapa tahun pada Li Bok-chiu, kemudian dapat dilihatnya bahwa jiwa perempuan itu tidak baik, maka dengan alasan sudah tamat belajar, Li Bok-chiu lantas disuruh turun gunung.
“Diwaktu gurunya masih hidup, meski Li Bok-chiu sudah banyak melakukan kejahatan, namun masih rada jeri, tapi sesudah gurunya mati, ia lantas pakai kedok hendak melayat buat serbu ke dalam kuburan itu, ia bermaksud usir sang Sumoay dan mengangkangi semua benda mestika yang tersimpan di dalamnya.
Tak tahunya, di dalam kuburan itu ternyata banyak terpasang alat2 rahasia jebakan yang aneh2 dan bagus, meski Li Bok-chiu cukup lihay, namun setelah banting tulang akhirnya dia bisa menembus dua lapis pintu kuburan itu, di depan pintu lapisan ketiga dia melihat ada sepucuk surat tinggalan Suhu padanya.
Kiranya gurunya sebelumnya sudah menduga akan kedatangannya, Maka dalam surat wasiat itu tertulis bahwa pada tahun ini, bulan dan hari itu adalah genap ulang tahun ke-20 Sumoay-nya, pada saat itu Sumoay ini akan turun gunung buat mencari ayah-bunda kandungnya, maka kalau bersua di kalangan Kangouw, hendaklah dia mengingat hubungan seperguruan suka banyak memberi bantuan dan perlindungan.
Dalam surat wasiat itu dipesan pula agar dia suka perbaiki kelakuannya yang jahat, kalau tidak, akhirnya pasti akan menelan akibat perbuatannya sendiri.
“Tak terduga, bukannya Li Bok-chiu insaf, bahkan ia sangat gusar oleh isi surat sang guru itu, segera ia serbu masuk ke dalam pintu lapisan ke-tiga, tetapi disini ia telah terjebak oleh jarum berbisa yang memang sudah dipasang sebelumnya oleh gurunya, kalau bukan Siao-liong-li memberi obat dan menyembuhkan lukanya, mungkin seketika itu juga jiwanya sudah melayang.
Karena itu ia baru kenal lihaynya kuburan itu, terpaksa ia keluar kembali dan turun gunung. Tetapi kalau hanya begitu saja, mana dia terima? Belakangan kembali beberapa kali dia menyerbu kuburan itu,tiap2 kali selalu dia menderita kecelakaan, Bahkan penghabisan kalinya ia malah bergebrak dengan Sumoay-nya. Tatkala itu usia Siao-liong-li baru 16 atau 17 tahun saja, namun ilmu silatnya ternyata sudah jauh di atas kakak seperguruannya ini, kalau bukan sengaja dia bermurah hati, untuk melayangkan jiwa Li Bok-chiu mungkin bukan soal sulit….”
“Kejadian itu mungkin disebabkan berita yang tersiar di kalangan Kangouw itu kurang benar,” tiba2 Kwe Ceng memotong cerita orang.
“Kenapa kau tahu?” tanya Ju-ki.
“Tecu sendiri sudah pernah mengetahui kepandaian Li Bok-chiu,” sahut Kwe Ceng. “llmu silat perempuan ini sesungguhnya ada bagian unggulnya yang tersendiri, kalau umur Siao-liong-li belum ada 20 tahun, betapa bagus lagi ilmu silatnya kukira susah juga buat menangkan dia.”
“Cerita itu Ong-sute mendengar dari salah seorang kawannya dari Kay-pang, soal Siao-liang-li mengalahkan Li Bok-chiu, apa itu benar atau tidak, karena waktu itu toh tiada orang ketiga yang melihatnya, sudah tentu tiada seorangpun yang tahu dengan pasti, cuma di kalangan Kangouw memang tersiar cerita itu,” ujar Khu Ju-ki.
“Dan karena itulah, hati Li Bok-chiu semakin dendam, ia tahu Suhunya telah pilih kasih dan menurunkan ilmu silat yang lebih lihay pada sang Sumoay, Maka ia sengaja menyiarkan kabar bahwa pada nanti tahun ini, bulan dan hari itu, Siao-liong-li dari kuburan “Hoat-su-jin-bong” akan mengadakan sayembara buat memilih jodoh.
Bahkan dia tambahi pula bahwa siapa saja yang bisa menangkan Siao-liong-li, bukan saja Siao-liong-li akan menyerahkan diri-nya, bahkan semua harta mestika dalam kuburan itu, kitab2 ilmu silat dan macam2 lagi akan di-hadiahkan seluruhnya pula.
Para penyatron itu sebenarnya tidak mengetahui siapa dan macam apakah Siao-liong-li itu, tetapi Li Bok-chiu justru sengaja bikin propaganda, katanya dia punya sumoay masih jauh lebih cantik dari pada dia.
Seperti kau sendiri sudah lihat, kecantikan Jik-lian-sian-cu itu jarang ada bandingannya di kalangan Bu-lim, sekalipun puteri bangsawan atau gadis hartawan juga tak bisa menandingi dia.”
Mendengar orang memuji kecantikannya Li Bok-chiu, dalam hati Kwe Ceng diam2 berkata: “Begitu saja kenapa harus heran? Aku punya Yong-ji saja sudah beratus kali lebih ayu dari pada dia.”
Padahal ini hanya pendapat pribadi Kwe Ceng saja yang tentu memuji isterinya sendiri. Memang, kalau bicara tentang kecantikan, keluwesan, Oey Yong memang jauh lebih unggul tetapi kalau soal gaya, sebaliknya Li Bok-chiu lebih menarik.
“Dan justru memang tidak sedikit manusia serong di kalangan Kangouw yang terpikat oleh kecantikan Li Bok-chiu, cuma, kesatu karena usianya sudah tidak muda lagi, kedua, disebabkan pula tangannya yang gapah dan tidak kenal ampun, maka tidak sembarang orang berani “sir” padanya, ” demikian sambung Khu Ju-ki pula.
“Dan kini demi mendengar bahwa Li Bok-chiu mempunyai Sumoay yang maha cantik, bahkan secara te-rang2an mengadakan sayembara untuk mencari jodoh, keruan saja, siapapun pingin coba2 peruntungan?”
Sampai disini, maka mengertikah Kwe Ceng akan duduknya perkara sebenarnya.
“O, jadi para pendatang ini hendak meminang?” katanya kemudian, “Pantas makanya para To-heng disini pada mencaci maki padaku sebagai maling cabul segala.”
Ju-ki ketawa ter-hahak2 oleh penuturan Kwe Ceng ini.
“Begitulah, maka setelah aku dan Ong-sute mendapat berita itu, kami pikir meski Siao-liong-li dengan kami hanya sekedar kenal saja, tetapi hubungan tetangga dekat, pula pergaulan orang tua kedua belah pihakpun lain dari pada yang lain. Laginya para siluman dan maling cabul itu jika betul2 berani mengeluruk kesini, ini berarti pula sama sekali tidak pandang sebelah mata pada Coan-cin-kau, apakah kami bisa antapi begitu saja orang malang-melintang di atas gunung Cong-lam-san kita ? Oleh sebab itulah, lantas kami undang semua jago Coan-cin-kau dari berbagai angkatan, sepuluh hari sebelumnya kami sudah berkumpul di Tiong-yang-kiong.
Di samping kami giat berlatih Pak-tau-tin-hoat, kami mengirim surat pula pada Siao-liong-li di dalam kuburan untuk memperingatkan dia agar ber-jaga2. Siapa duga, surat kami itu tetap seperti batu tenggelam di samudera raya saja, Siao-liong-li sama sekali tidak menggubris kemauan baik kami itu.”
“Jangan2 dia sudah tiada di dalam kuburan itu lagi,” ujar Kwe Ceng.
“Tidak, setiap hari kami memandangnya dari jauh di atas gunung, masih tetap kami lihat ada asap dapur yang mengepul keluar dari kuburan,” sahut Khu Ju-ki. “Kau boleh lihat itu, di sebelah sana itu !” - sembari berkata ia tunjukkan dengan jarinya ke arah barat.
Waktu Kwe Ceng memandang menurut arah yang ditunjuk, ia lihat sebelah barat gunung lebat dan rindang, tanah seluas belasan li yang tertampak hanya hutan belaka, iapun tidak tahu dimana letak “Hoat-su-jin-bong” yang dimaksudkan itu.
“Dan sesudah kami berunding, kami ambil keputusan akan wakilkan Siao-liong-li buat menghadapi musuh,” kata Khu Ju-ki lagi. “Kami kirim orang pergi mencari berita, lima hari sebelumnya, para penyelidik itu telah kembali semua dan betul saja diperoleh kabar bahwa tidak sedikit kawanan penjahat yang bernyali besar hendak naik Cong-lam-san untuk ikut sayembara dan melamar Siao-liong-li.
Ada beberapa di antaranya yang keder terhadap Tiong-yang-kiong yang letaknya berdekatan, mereka telah mundur teratur, tetapi selebihnya karena mendapat dukungan dua orang pentolan besar, mereka telah ambil kepastian naik ke sini.
Mereka telah berjanji berkumpul di kuil di bawah gunung itu dan memakai tanda tepukan tangan pada pilar batu itu. Dan karena tidak sengaja kau telah tepuk pilar batu itu, pula kau unjuk kepandaianmu yang cukup mengejutkan pantas kalau para cucu muridku itu menjadi geger dan salah sangka padamu.
“Tentang kedua pentolan iblis itu kalau dibicarakan memang cukup besar juga nama mereka, cuma selama ini mereka tidak menginjakkan kaki ke daerah Tionggoan, kaupun sudah belasan tahun menetap di Tho-hoa-to, maka kau tidak kenal mereka, itu putera bangsawan adalah Pangeran dari Monggol, katanya masih anak-cucu keturunan lurus Jengis Khan. selamanya dia tinggal di tanah barat, entah dapat ajaran dari pendekar mana, meski umurnya masih muda, namun sudah berhasil meyakinkan ilmu silat yang tinggi dan mengejutkan.
Orang menyebut dia Pangeran Hotu. Kau pernah tinggal lama di tanah gurun itu, pula sangat dekat pergaulanmu dengan bangsawan Monggol, apa kau ingat akan asal-usul orang ini?”
“Pangeran Hotu, pangeran Hotu ?” demikian Kwe Ceng komat-kamit mengulangi beberapa kali nama itu, iapun mengenangkan kembali wajah putera bangsawan yang cakap itu, tetapi sama sekali dia tidak ingat anak keturunan siapakah dia ini. ia hanya merasa sikap putera bangsawan ini memang agung, diantara mata-alisnya pun mengunjuk sikap2 yang angker berwibawa, ia cukup kenal Jengis Khan dengan keempat puteranya, rupa keem-pat putera Jengis Khan itu sama sekali tiada yang sama dengan Pangeran Hotu ini.
“Ya, mungkin dia hanya sengaja menaikkan harga diri saja dan membual”, kata Khu Ju-ki pula, “Tetapi permulaan tahun ini, begitu dia datang di daerah Tionggoan, sekaligus ia melukai Ho-lam-sam-hiong (tiga jagoan dari Holam), belakangan di Kamsiok seorang diri dia bunuh pula Lanciu-chit-pa (tujuh buaya darat dari Langciu), karena itu, namanya seketika terpandang tinggi dan berkumandang, tetapi kami sama sekali tidak duga bahwa dia justru bisa ikut dalam urusan Siao-liong-li ini.
“Sedang tokoh lain lagi adalah paderi Tibet, dia adalah Ciangkau (penjabat ketua agama) dari sekte Bitcong di Tibet, namanya Darba, dia memang sudah lama terkenal kalau dihitung dia masih sama tingkatannya dengan aku. Dia adalah Hwesio, dengan sendirinya tujuan kedatangannya ini bukan buat melamar Siao-liong-Ii, maka maksudnya kalau bukan memamerkan kepandaian dan menggemilangkan namanya, tentunya dia mengincar harta mestika yang tersimpan dalam kuburan milik mendiang guruku itu, bukan, mustail tujuannya meliputi kedua2nya tadi.
“Sedang para penyatron yang lain itu, karena tampilnya kedua orang tadi, mereka sudah tiada pikiran buat melamar puIa, mereka pikir asal bisa ikut serbu ke atas gunung dan membongkar kuburan kuno, sedikit banyak tentu mereka bisa membagi rejeki, oleh karena ituIah, hari ini yang naik ke Cong-lam-san ternyata berjumlah ratusan orang banyaknya. Sebenarnya Pak-tau-tin yang kami pasang itu masih bisa menahan seluruh penyatron kelas rendahan itu di bawah gunung, sekalipun tidak bisa tangkap hidup2 mereka, sedikitnya tidak nanti mereka mampu mendekati Tiong-yang-kiong.
Tetapi rupanya memang Coan-cin-kau kita harus mengalami malapetaka ini hingga terjadi salah paham atas dirimu, ya, apa yang perlu dikatakan lagi ?”
Kwe Ceng menjadi sangat menyesal oleh kejadian itu, ia ingin mengucapkan beberapa kata yang bersifat mohon maaf, Tetapi dengan tertawa Khu Ju-ki sudah keburu mencegahnya.
“Tidak perlu kau menyesal benda2 yang musna itu hanya barang2 di luar tubuh, jiwa raga sendiri saja tidak perlu dibuat sayang, kenapa harus urus lagi bendai di luar tubuh itu ?” katanya pula, “Kau sudah latih Lwekang selama belasan tahun, apakah sedikit pengertian ini saja kau belum paham?”
Kwe Ceng tersenyum, ia mengiakan kata-kata orang.
“Begitulah, selagi kau dikerubuti Pak-tau-tin dengan seluruh kekuatannya tadi, di lain pihak kedua pentolan iblis itu berkesempatan membawa begundalnya menyerbu sampai di depan Tiong-yang-kiong. Begitu datang mereka lantas kobarkan api, ketika Hek-sute mendahului maju melabrak pangeran Hotu, rupanya dia terlalu pandang enteng pihak musuh, pula ilmu silat Hotu memang berlainan dari pada orang biasa dan sangat aneh, karena sedikit lengah, Hek-sute kena sekali pukulannya di dada.
Dengan sendirinya lekas2 kami pasang barisan bintang2 untuk melindunginya. Tetapi karena kekurangan tenaga Hek-sute, anak murid yang menggantikan tempatnya masih selisih jauh kepandaiannya, maka daya tekanan barisan kita sukar dikerahkan seluruhnya. Coba, kalau kau tidak datang tepat pada waktunya, mungkin hari ini Coan-cin-kau sudah dihancurkan orang.
“Kini kalau diingat lagi, bila kau tidak ke sini, sungguhpun para penyatron tingkat rendahan pun tidak mampu naik ke atas, tetapi untuk menahan Pangeran Hotu dan Darba berdua jelas juga tidak bisa. Kedua orang ini kalau bahu-membahu menempur Pak-tau-tin kita, walaupun kami belum pasti dikalahkan, tapi sukar juga memperoleh kemenangan…”
Bercerita sampai disini, tiba2 terdengar suara bunyi “hauuuuh hauuuh hauuuuuh” di jurusan barat, mendadak ada orang membunyikan tanduk Suara tiupan tanduk itu begitu seram, sayup2 seperti mengandung maksud bunuh membunuh dan seperti suatu tantangan yang ditujukan pada seorang.
“Binatang, binatang !” mendadak Khu Ju-ki memaki dengan gusar, Sambil memandang ke rimba di sebelah barat gunung, ia berkata pula pada Kwe Ceng: “Ceng-ji, bangsat itu telah adakan perjanjian sepuluh tahun dengan kau, ia mengira dalam sepuluh tahun ini dapat berbuat sewenang-wenang sesukanya, dengan demikian supaya kau tidak bebas ikut campur urusannya, tetapi di bumi ini mana ada persoalan yang begini mudah. Mari, kita ke sana !”
“Apakah pangeran Hotu itukah ?” tanya Kwe Ceng.
“Siapa lagi kalau bukan dia,” sahut Ju-ki. “Dia justru sedang menantang Siao-liong-Ii!”
Sembari berkata, iapun bertindak cepat turun gunung, Tanpa ayal lagi segera Kwe Ceng menyusul di belakangnya.
Setelah beberapa li mereka tempuh, terdengarlah oleh mereka suara bunyi tanduk tadi di-sebul semakin keras, diantara suara “hu-hu” itu bahkan masih terseling pula suara “ting-ting-ting” yang nyaring dari bunyi keleningan suara keleningan ini menunjukkan tanda bahwa itu padri Tibet Darba pun sudah ikut turun tangan.
Khu Ju-ki menjadi gusar oleh kelakuan kedua orang itu. “Hm, dua jago terkemuka sama2 menghina seorang gadis cilik, sungguh tidak tahu malu,” demikian damperatnya pula.
Sambil berkata, kakinya pun tidak pernah kendor, ia lari makin cepat, maka sekejap kemudian mereka sudah sampai di pinggang gunung, Dari sini setelah membelok satu tebing lagi, maka tertampaklah oleh Kwe Ceng di depan sana tumbuh sebuah hutan, di luar hutan itu berdiri beberapa puluh orang yang beraneka macam potongannya, ada yang tinggi, besar, pendek atau gemuk, jelas kelihatan mereka bukan lain adalah kawanan penyatron yang menyerbu Tiong-yang-kiong tadi.
Karena itu, Khu Ju-ki dan Kwe Ceng tidak lantas unjukkan diri, mereka sembunyi dulu di belakang dinding batu itu untuk melihat gelagat.
Sementara tertampak Pangeran Hotu bersama Darba berdiri sejajar, yang satu meniup tanduk dan yang lain menabuh keleningan, suaranya teratur dan sahut menyahut, maksudnya memancing keluar Siao-liong-li yang mereka inginkan.
Tetapi meski sudah lama mereka ribut2 sendiri di dalam hutan itu masih tetap sunyi tiada suara yang membalas.
Sebab itu, Hotu meletakkan alat tiupnya, lalu dengan suara lantang ia berteriak: “Aku adalah Pangeran Hotu dari Monggol, dengan hormat aku menghaturkan selamat berulang tahun kepada Siao-liong-li!”.
Baru habis ia berkata, tiba2 dari dalam hutan bergema tiga kali suara “creng-creng-creng”, mungkin itulah jawaban Siao-liong-li dengan menabuh Khim (semacam alat musik, kecapi).
Pangeran Hotu menjadi senang karena dirinya digubris, Maka dia lantas buka suara pula: “Menurut kabar, nona Liong telah sesumbar hendak mengadakan sayembara pada hari ini untuk memilih jodoh, karena itu, aku yang bodoh sengaja datang meminta petunjuk, harap nona Liong tidak segan2 memberi tuntunan !”
Diluar dugaannya, mendadak suara Khim tadi berbunyi keras dan tinggi nadanya, agaknya tanda merasa gusar. Meski para penyatron itu tidak paham tentang seni suara, tetapi mendengar suara Khim yang lain itu, merekapun tahu itu adalah tanda sedang mengusir tetamu.
Akan tetapi Hotu ternyata belum mau sudah, dengan ketawa dia pentang mulut lagi:
“Keluargaku cukup mampu, wajahku pun tidak jelek, lamaranku ini rasanya belum merendahkan dirimu, nona Liong sendiri adalah gadis pendekar di jaman ini, kiranya engkaupun tidak perlu kikuk2.”
Dan baru selesai ia bicara, mendadak suara Khim berubah menjadi santar dan cepat, lapat2 seperti mengandung arti mendamperat. Begitu hebat suara tahunan Khim itu, sehingga bagi yang mendengarkan terasa sangat tidak enak sekali beberapa orang diantara kawanan penyatron itu sam pai menutup kuping tak berani mendengarkan lagi.
Karena itu, Hotu pandang sekejap pada Darba, paderi Tibet itu meng-angguk2. Maka Hotu lantas berseru lagi: “Jika nona sudah tidak mau unjuk diri, terpaksa aku mengundang secara kekerasan”
Habis berkata, sekali ia memberi tanda pada para begundalnya, segera ia mendahului masuk ke hutan lebat itu dengan langkah lebar, tindakannya ini segera diikuti kawan2nya secara be-ramai2. Dalam hati mereka memikir: “Sampai Coan-cin-kau yang terhitung golongan paling lihay dikalangan Bu-lim saja tak sanggup menahan kami, apa lagi hanya seorang Siao-liong-li, apa yang dia bisa berbuat ?”
Karena kuatir didahului kawan yang lain, mereka jadi saling berebut di depan agar bisa lebih cepat mendapat bagian rejeki harta mestika dalam kuburan kuno itu.
Melihat musuh sudah bertindak lekas Khu Ju-ki melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berseru: “Hai, tempat ini adalah tempat keramat mendiang guruku Tiong-yang Cinjin, lekas kalian mundur kembali!”
Mendengar suara teriakan itu, semua orang itu rada terkesiap juga, akan tetapi toh langkah mereka tidak pernah berhenti, mereka masih terus menyerbu ke dalam hutan.
“Ceng-ji, hayo turun tangan saja !” ajak Khu Ju-ki pada Kwe Ceng, ia menjadi gusar akan perbuatan kawanan bandit itu.
Tetapi baru mereka akan menyusul masuk ke dalam hutan yang lebat itu, mendadak terdengar suara teriakan dan jeritan para penyatron itu, tahu-tahu mereka berlari kembali seperti kesetanan. Karuan Khu Ju-ki dan Kwe Ceng ter-heran2, sementara itu terlihat beberapa puluh orang sudah berlari keluar seperti terbang cepatnya, dan mati-matian menyusul Hotu dan Darba pun berlari keluar dengan langkah lebar, keadaan mereka yang menyedihkan itu, dibanding sewaktu mereka di-gempur mundur dari Tiong-yong-kiong oleh Kwe Ceng tadi entah berapa kali lipat lebih hebat.
Diam2 Khu Ju-ki dan Kwe Ceng menjadi bingung, mereka heran dengan ilmu kepandaian apakah Siao-liong-Ii mampu mengusir kawanan penyatron ini ?
Tetapi pikiran mereka itu hanya timbul sekilas saja, sebab tiba2 terdengar suara “ngaung-ngaung-ngaung” yang riuh ramai suara mendengung itu tadinya masih jauh, tapi sebentar saja sudah mendekat, di bawah sinar rembulan yang remang2 itu tertampak segumpal benda abu2 entah binatang apa dengan cepat terbang keluar dari dalam hutan dan sedang mengudak di atas kepala para penyerbu itu.
Kwe Ceng menjadi heran oleh kejadian ini. “Apakah itu ?” tanyanya.
Akan tetapi Khu Ju-ki sendiri tidak tahu, ia geleng kepala tidak menjawab, dengan mata tidak berkesip ia pandang ke depan terus, ia lihat diantara petualang2 itu ada beberapa yang lambat larinya, kepala mereka segera disamber gerombolan binatang tadi, habis itu, beberapa petualang itu seketika jatuh terguling, mereka men-jerit2 sambil dekap kepala, tampaknya rasa sakitnya sukar ditahan.
“He, tawon, kenapa warna putih ?” seru Kwe Ceng terkejut sesudah kemudian mengenali binatang terbang itu.
Selagi ia berkata, gerombolan tawon putih itu kembali sudah membikin terguling beberapa orang lagi dengan antupannya. Dalam sekejap saja di rimba raya itu terdapat belasan orang yang bergelimpangan sambil men-jerit2 kesakitan dengan suara yang mengerikan.
“Aneh, diantup tawon, seumpama memang sakit, seharusnya tidak sampai begitu jahat, apakah mungkin antupan tawon putih ini luar biasa lihaynya ?” demikian Kwe Ceng ber-tanya2 dalam hati
Dalam pada itu ia lihat bayangan abu2 tadi masih menyamber kian kemari, seperti sesosok asap tebal saja yang menyembur dengan cepat, gerombolan tawon putih itu mendadak menyamber dari depan Khu Ju-ki.
Melihat datangnya gerombolan tawon putih ini begitu ganas dan hebat, agaknya sukar ditahan, maka Kwe Ceng berpikir hendak menyingkir tetapi tidak demikian dengan Khu Ju-ki, tiba2 imam Coan-cin-kau ini mengumpulkan napasnya, sekali pentang mulut ia terus meniup dengan sekuatnya.
Gerombolan tawon itu sebenarnya sangat cepat terbangnya, ketika mendadak terasa tiupan angin yang keras memapak dari depan, keruan daya serbuan mereka tertahan, dan ketika Khu Ju-ki untuk kedua kalinya menyebul pula, kembali angin santar menyarnber lagi
Kwe Ceng dapat mengikuti cara itu dengan baik, maka iapun meniru dengan menyebulkan ha-wanya dengan keras, ia gabungkan kekuatan angin tiupannya dengan tiupan Khu Ju-ki. Keruan saja kekuatan angin ini menjadi sangat kuat, rombongan tawon putih jadi tak tahan hingga beberapa ratus tawon yang paling depan terpaksa menggeser arah dan menyamber lewat disamping kedua orang ini terus mengudak Hotu dan Darba Iagi.
Belasan petualang yang bergelimpangan di tanah itu makin ngeri jeritan mereka, saking menderitanya sampai mereka me-ratap2 dan me-rintih2, berteriak bapak dan memanggil ibu, malahan ada yang minta2 ampun, “Kami berbuat salah, mohon dewi Siao-liong-li suka ampuni jiwa kami!” demikian mereka memohon.
Diam2 Kwe Ceng menjadi heran oleh kelakuan para petualang ini, “0rang2 ini tergolong manusia yang tak kenal takut di kalangan Ka-ngouw, sekalipun sebelah lengan atau sebelah kaki mereka ditabas kutung, belum tentu mereka mau merintih kesakitan dan meminta ampun, kenapa antup tawon sekecil ini saja ternyata begini lihay ?” demikian ia pikir.
Sementara itu ia dengar suara tabuhan Khim berkumandang pula dari dalam rimba raya itu, menyusul mana dari pucuk pohon yang rindang itu tertampak mengepul keluar asap putih yang tipis2, segera Khu Ju-ki dan Kwe Ceng mencium bau wangi bunga yang sedap sekali. Selang tak lama, suara “ngung-ngung-ngung” tadi dari jauh kembali mendekat lagi, rombongan tawon putih itu dami mencium bau wangi telah terbang kembali ke dalam rimba, kiranya Siao-liong-li sengaja bakar dupa untuk menarik kembali pasukan tawonnya, Meski sudah dua puluh tahun Khu Ju-ki menjadi tetangga Siao-liong-li, tapi selamanya tidak pernah mengetahui bahwa gadis jelita ini ternyata memiliki kepandaian begini tinggi, ia menjadi kagum dan ketarik.
“Kalau sebelumnya tahu tetangga cantik kita ini begini besar kesaktiannya, Coan-cin-kau kita tentunya tidak perlu banyak urusan lagi,” demikian ia kata.
Ucapan ini sebenarnya dia tujukan pada Kwe Ceng, suaranya tidak keras, Tetapi aneh, Siao-liong-li yang berada dalam rimba itu seperti mengetahui maksudnya itu, tiba2 suara Khim tadi berubah menjadi lunak dan merdu yang mengandung maksud pernyataan terima kasih.
“Hahaha, hendaklah nona jangan pakai adat istiadat lagi,” kata Khu Ju-ki dengan suara lantang sambil bergelak ketawa” Khu Ju-ki bersama anak murid Kwe Ceng, dengan hormat mengucapkan selamat atas ulang tahun nona.”
Atas ucapan ini, tiba2 suara Khim itu berbunyi “creng-creng” dua kali lagi, habis ini lantas berhenti, suara lenyap, keadaan pun kembali sunyi.
Dalam pada itu mendengar jeritan dan teriakan orang2 yang bergelimpangan di tanah itu, hati Kwe Ceng menjadi kasihan.
“Totiang, Cara bagaimana kita bisa tolong orang2 ini ?” ia coba tanya Khu Ju-ki.
“ltu tidak perlu,” sahut Ju-ki. “Liong-kohnio (nona Liong) sendiri tentu bisa bereskan sendiri Marilah kita pergi saja.”
Begitulah, maka mereka lantas kembali ke arahnya sendiri, sepanjang jalan Kwe Ceng ceritakan pula secara ringkas mengenai diri Yo Ko. Mendengar kisah-derita bocah yang mengharukan itu, Khu Ju-ki telah menghela napas panjang.
“Memangnya patriot seperti pamanmu Nyo Thi-sim itu, mana boleh terputus keturunan ?” demikian katanya kemudian, “Kau tak usah kuatir, pasti aku akan lakukan sepenuh tenagaku untuk mendidik anak itu dengan baik.”
Tentu saja Kwe Ceng sangat girang oleh kesanggupan itu, di tengah jalan juga ia lantas menjura menghaturkan terima kasihnya.
“Tadi kau cerita bahwa ada orang menyelundup ke Tho-hoa-to untuk membuat peta rahasia, pula terdapat anak murid Kay-pang yang tersangkut di dalamnya, sebenarnya ada urusan apakah ?” kemudian Khu Ju-ki bertanya lagi
“Totiang mungkin masih ingat didalam Kay-pang itu terdapat seorang murid murtad yang disebut Peng-tianglo ?” kata Kwe Ceng.
“Aha, kiranya dia itu,” sahut Ju-ki. “Sungguh tidak kecil nyali orang ini, apa mungkin dia berani cari gara2 ke pulaumu Tho-hoa-to ?”
“Sesudah aku tukar pikiran dengan Yong-ji, dia bilang kalau hanya Peng-tianglo seorang diri saja, tidak nanti dia berani main gila, tentu di belakangnya masih ada orang lain lagi yang menjadi tulang punggungnya,” ujar Kwe Ceng.
“Tetapi dengan ilmu kepandaian Yong-ji sekarang ini, ditambah keadaan pulau yang diatur sedemikian itu, jika ada orang berani coba main gila ke sana, maka orang itu sesungguhnya sudah bosan hidup, urusan ini kau justru boleh tak usah kuatir,” kata Khu Ju-ki.
Kwe Ceng mengangguk setuju dengan kata2 orang.
Begitulah sambil ber-cakap2 kemudian mereka tiba kembali di depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh itu, tatkala itu hari sudah terang, para imam sedang sibuk membersihkan reruntuhan puing, ada pula yang sedang tebang kayu untuk membangun tempat meneduh darurat.
Kemudian Khu Ju-ki mengumpulkan semua Tosu Coan-cin-kau itu, ia perkenalkan Kwe Ceng kepada mereka.
“Dia adalah murid Ong-sute, namanya Thio Ci-keng,” demikian Khu Ju-ki perkenalkan pada Kwe Ceng imam berjenggot panjang yang pernah memimpin Pak-tau-tin di bawah gunung buat merintangi dirinya itu. “Tentang kepandaian, di antara murid angkatan ketiga dia terhitung yang paling tinggi, maka boleh suruh dia saja yang memberi pelajaran pada Ko-ji.”
Kwe Ceng sudah pernah bergebrak dengan Thio Ci-keng, ia tahu ilmu silatnya memang betul hebat, maka dalam hati ia sangat girang, segera dia perintahkan Yo Ko menjalankan penghormatan angkat guru pada Thio Ci-keng.
Habis itu Kwe Ceng tinggal beberapa hari lagi di Cong-lam-san, iapun pesan wanti2 pada Yo Ko agar belajar dengan giat, kemudian baru dia mohon diri kembali ke Tho-hoa-to.
Apabila teringat oleh Khu Ju-ki pada waktu memberi pelajaran silat pada Nyo Khong (ayah Yo Ko) dahuIu, dia membiarkan Nyo Khong tinggal di dalam istana kerajaan Kim dengan segala kemewahan dan kejayaan hidupnya, sehingga membuat suatu kesalahan yang maha besar, maka ia pikir sekali ini Yo Ko harus dilakukan pengawasan yang keras dan diberikan pelajaran se-baik2-nya supaya anak ini tidak sampai terjerumus menuju jalan yang sama dengan mendiang ayahnya.
Karena itu, dia lantas panggil menghadap Yo Ko, dengan kata2 pedas dan suara bengis dia memberi petuah harus turut ajaran guru, tidak boleh malas dan teledor sedikitpun.
Untuk tinggal di Cong-lam-san saja sebenarnya Yo Ko sudah merasa tak betah, apalagi kini kena didamperat habis2an, sudah tentu sukar dijelaskan perasaannya, dengan menahan melelenya air mata dia mengiakan saja, tetapi begitu Khu Ju-ki pergi, tak tertahan lagi ia lantas menangis sedih.
“Kenapa ? Apa Co-su-ya salah mengatai kau ?” tiba2 dari belakang seorang menegur pada-nya.
Yo Ko kaget, lekas2 ia usap air matanya dan menoleh, ia lihat orang yang berdiri di belakangnya itu bukan lain adalah Suhunya sendiri, Thio Ci-keng. Maka lekas2 tangannya dia luruskan dan menjawab dengan hormat: “Bukan ?”
“Kalau begitu, kenapa kau menangis ?” tanya Thio Ci-keng pula.
“Tecu terkenang pada Kwe-pepek, maka hati menjadi sedih,” sahut Yo Ko.
Tadi terang2an Thio Ci-keng mendengar paman gurunya, Khu Ju-ki, dengan suara bengis memberi pesan pada Yo Ko, tapi sekarang anak ini justru pakai alasan terkenang pada Kwe Ceng, tentu saja dalam hati ia semakin kurang senang, pikirnya: “Anak sekecil ini tabiatnya sudah begini licin, kalau tidak diberi hukuman yang berat, nanti kalau sudah besar mana bisa dibina lagi?”
Oleh karena itu, dengan menarik muka ia lantas membentak: “Hm, terhadap Suhu sendiri, kau berani berdusta ?”
Karena Yo Ko menyaksikan sendiri para imam Coan-cin-kau ini kena dihajar hingga tunggang-langgang oleh Kwe Ceng, ia lihat pula Khu Ju-ki dan lain2 kena dilabrak hingga kerepotan oleh Hotu dan Darba dengan begundalnya, semua itu berkat bantuan Kwe Ceng baru mereka bisa terhindar dari bahaya, maka dalam hati dia sudah yakin bahwa ilmu silat para imam ini biasa saja dan tiada yang dapat dikagumi. Terhadap Khu Ju-ki saja dia tidak kagum, apalagi terhadap Thio Ci-keng ?
Memang hal ini adalah kesalahan Kwe Ceng yang telah berbuat teledor, dia tidak menjelaskan dahulu pada Yo Ko bahwa Coan-cin-kau adalah sumber asli ilmu silat, dahulu ilmu silat Ong Tiong-yang telah diakui sebagai nomor satu di muka bumi ini, tiada satu jago pun dari golongan lain yang mampu melawannya.
Sedang Kwe Ceng bisanya kalahkan para imam itu, soalnya karena imam2 itu belum terlatih sampai dipuncaknya ilmu, sekaIi2 bukan ilmu silat Cona-cin-kau yang tak berguna, Oleh karena kekurangan penjelasan dari Kwe Ceng inilah hingga mengakibatkan peristiwa2 yang banyak terjadi di kemudian hari.
Begitulah, ketika Yo Ko melihat gurunya marah, dalam hati ia pikir: “Aku angkat guru padamu sebenarnya karena terpaksa, sekalipun kelak aku bisa belajar sepandai kau, tetapi apa gunanya kalau cuma sepandai itu saja ? Untuk apa sekarang kau berlagak galak ?”
Oleh karena pikiran yang memandang hina orang ini, maka Yo Ko telah berpaling kesamping, ia tidak menjawab Thio Ci-keng tadi.
Tentu saja Ci-keng menjadi gusar !
“Aku tanya kau, kenapa kau tidak menjawab?” ia membentak pula dengan suara yang lebih keras.
“Suhu ingin aku menjawab apa, segera akan kujawab apa,” demikian sahut Yo Ko dengan bandel.
Mendengar kata2 yang ketus ini, amarah Thio Ci-peng tak bisa ditahan lagi, tangannya terus me-nampar, “plak”, seketika pipi Yo Ko merah bengap.
Yo Ko menjerit dan menangis, mendadak ia angkat kaki terus lari pergi.
Akan tetapi dengan cepat Ci-keng dapat menjambretnya, “Hendak kemana kau?” tanyanya.
“Lepaskan aku, tidak sudi aku belajar silat padamu lagi,” teriak Yo Ko.
Tentu saja Ci-keng bertambah panas hatinya.
“Anak haram, kau bilang apa?” bentaknya.
Namun Yo Ko sudah pepet, ia menjadi nekat
“lmam busuk, imam anjing, boleh kau pukul mati aku saja !” demikian segera ia balas mencaci maki.
Di jaman feodal dulu, hubungan antara guru dan murid dipandang penting sekali, di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, hubungan guru dan murid dipandang seperti ayah dan anak saja, sekalipun sang guru hendak hukum mati muridnya, yang menjadi muridpun tak berani membantah.
Kini Yo Ko sebaliknya berani mencaci maki gurunya, sungguh ini suatu perbuatan murtad yang terkutuk yang selamanya jarang terlihat dan terdengar.
Karena itu, dalam gusarnya, muka Ci-keng menjadi merah padam, ia angkat tangannya terus hendak menempeleng lagi.
Diluar dugaannya, se-konyong2 Yo Ko melompat maju terus merangkul lengannya yang terangkat itu, bahkan bocah ini pentang mulutnya menggigit sini sana hingga akhirnya jari Thio Ci-keng kena digigit dengan kencang.
Kiranya sejak Yo Ko mendapat ajaran rahasia ilmu silat dari Auyang Hong, meski dia berlatih tidak teratur, tapi soal Lwekang sedikit banyak dia sudah punya landasan, Dalam keadaan marah, Thio Ci-keng menganggap Yo Ko hanya satu anak kecil, maka sedikitpun dia tidak ber-jaga2 hingga kena dirangkul dan dicokot, dia ternyata tak sanggup lepaskan gigitan Yo Ko meski dia sudah kipat2kan lengannya.
Justru jari tangan adalah anggota badan orang yang paling lemah, sakitnya paling susah di-tahan, Dalam kesakitan Ci-keng angkat sebelah tangan yang Iain terus menggebuk pundak Yo Ko dengan keras.
“Kau cari mampus ? Hajo, lepas !” ia membentak lagi.
Akan tetapi Yo Ko dilahirkan dengan watak yang keras dan tidak kenal apa artinya takut, apa lagi kini dalam keadaan murka dan nekad, sekali pun dibawah ancaman senjata belum tentu dia mau lepaskan begitu saja.
Tetapi karena digebuk pundaknya hingga terasa kesakitan, gigitannya semakin tambah kuat, maka terdengarlah suara “kletak”, tulang jari kena digigit patah.
Dalam keadaan demikian, Thio Ci-keng tak bisa pikir panjang lagi, ia ayun tinjunya terus me-ngetok dengan gemas ke atas batok kepala Yo Ko dipentangnya, jari telunjuk tangan kanannya barulah bisa ditarik keluar dari mulut kecil yang masih terkatup kencang itu.
Maka tertampaklah tangannya berlumuran darah, tulang jarinya sudah patah, meski dia bisa gunakan obat luka untuk menyambung tulang jari, tapi sejak itu jarinya tidak bertenaga lagi, dengan sendirinya ilmu silatnya lantas banyak terhalang, Dalam sengitnya, tak tahan lagi Ci-keng tambahi pula beberapa kali tendangan ke tubuh Yo Ko yang sudah menggeletak di tanah itu.
Kemudian Ci-keng robek sedikit kain baju untuk membalut luka jarinya, waktu dia memeriksa sekelilingnya, untung tiada orang lain, ia pikir kalau kejadian ini sampai dilihat orang luar dan disiarkan ke kalangan Kangouw, pasti dia akan kehilangan muka, Lalu dia ambil satu ember air dingin dan disiram ke muka Yo Ko.
Tetapi setelah sadar, kembali Yo Ko menyeruduk maju lagi sambil menghantam kalang-kabut bagai banteng ketaton.
“Binatang, apa betul2 kau tidak ingin hidup lagi ?” bentak Thio Ci-keng sambil jamberet dada Yo Ko.
Akan tetapi Yo Ko tetap tidak mau menyerah
“Kau bangsat, imam anjing, imam busuk, kau sendiri yang binatang !” balasnya memaki.
Karena tak tahan gusarnya oleh caci-maki balasan ini, kembali Thio Ci-keng ayun tangannya memberikan sekali tamparan pula, sekarang dia sudah ber-jaga2, jika Yo Ko berani balas menghantam tentu takkan bisa mendekatinya, Maka dalam sekejap saja Yo Ko telah ditendang beberapa kali hingga jungkir-balik dan jatuh-bangun.
Dalam keadaan demikian, jika Thio Ci-peng mau melukai Yo Ko, sebenarnya dengan gampang saja bisa dia lakukan, namun apapun juga anak ini adalah muridnya sendiri, jika gunakan pukulan berat, kemudian kalau ditanya para paman guru dan Suhu, cara bagaimana harus menjawabnya ?
Sebaliknya Yo Ko masih terus menggeluti orang dengan ngawur dan nekat meski tubuhnya beberapa kali kena digenjot Ci-keng, rasanya juga tidak kepalang sakitnya, tetapi sedikitpun dia pantang mundur.
Akhirnya Thio Ci-keng menjadi kewalahan sendiri, meski ia masih pukul dan tendang Yo Ko yang masih terus menyeruduk secara membabi-buta, tetapi dalam hati tidak kepalang menyesalnya, ia lihat bocah ini meski tubuhnya sudah babak-belur, tetapi makin lama malah semakin berani sampai akhirnya, karena tiada jalan lain, ia tutuk Hiat-to di bahu Yo Ko dan membuatnya tidak berkutik lagi
Yo Ko menggeletak di tanah, tetapi diantara sinar matanya jelas kelihatan penuh mengandung rasa murka.
“Kau murid murtad ini, sekarang kau menyerah tidak ?” kata Thio Ci-keng.
Akan tetapi Yo Ko hanya menjawab dengan mata melotot, sedikitpun dia tidak unjuk rasa takluk.
Ci-keng duduk di atas sepotong batu, napas nya empas-empis, Kalau dia bertanding dengan jagoan tinggi, meski berlangsung satu jam atau tiga perempat jam, se-kali2 tidak akan memburu, kini kaki-tangannya tidak capek, tetapi dalam hati luar biasa gusarnya hingga dia tak bisa berdiri.
Begitulah guru dan murid ini saling mendelik berhadapan seketika itu Ci-keng menjadi kehabisan akal, ia tidak tahu cara bagaimana agar mendapatkan jalan yang baik untuk membereskan perkara anak binal ini.
Selagi ia merasa kesal, tiba2 terdengar suara genta ditabuh keras, ia kenal itu adalah tanda panggilan Ciangkau mereka, Ma Giok, yang sedang mengumpulkan semua anak murid Coan-cin-kau. Keruan Ci-keng terkejut.
“Jika kau tidak bandel lagi, aku lantas bebaskan kau,” katanya pada Yo Ko, Habis ini ia lantas menutuk pula buat lancarkan jalan darah orang.
Siapa tahu, begitu Yo Ko melompat bangun, segera ia hendak menyeruduk maju lagi.
“Aku sudah tidak pukul kau, kau mau apalagi ?” dengan gusar Ci-keng membentak.
“Tapi selanjutnya kau pukul aku tidak ?” tanya Yo Ko.
Sementara suara genta tadi terdengar ditabuh makin riuh, Ci-keng tak berani ayal, terpaksa ia menjawab : “Jika kau berlaku baik2, kenapa aku harus pukul kau ?”
“”Baiklah kalau begitu, Suhu,” kata Yo Ko. “Kau tidak pukul aku, aku lantas panggil kau Suhu, tetapi sekali kau pukul aku, selamanya tidak nanti aku mau mengaku kau sebagai guru Iagi.”
Ci-keng tersenyum getir oleh kepala batu si bocah ini.
“Ciangkau sedang memanggil para anak murid, mari lekas ikut ke sana,” katanya kemudian.
Tetapi demi melihat baju Yo Ko sudah robek dan kumal, mukanya pun babak belur, Ci-keng kuatir kalau ditanya orang, maka dia bersihkan tubuh Yo Ko, habis ini ia tarik tangan bocah ini terus berlari ke depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh itu.
Sementara itu tempat bekas Tiong-yang-kiong oleh para imam Coan-cin-kau sudah didirikan belasan buah rumah atap alang2, ketika Ci-keng dan Yo Ko sampai di sana, para imam yang lain sudah berbaris berdiri di sana dengan teratur, sedang Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bertiga kelihatan berduduk menghadap keluar.
Kemudian Ma Giok menepuk tangan sekali, seketika keadaan menjadi sunyi senyap, para imam tak berani berisik lagi.
“Kita telah terima berita dari Tiang-seng cinjin dan Jing-ceng Sanjin yang dikirim dari Soasay, katanya urusan di sana sangat sulit diselesaikan, maka Tiang-jun Cinjin dan Giok-yang Cinjin (Khu Ju-ki dan Ong Ju-it) berdua hari ini juga akan berangkat membantu ke sana, untuk itu mereka perlu membawa serta sepuluh anak murid,” demikian dengan suara lantang Ma Giok berpidato,
Karena pengumuman ini, para imam banyak yang saling pandang, ada yang kaget dan heran, ada pula yang murka.
Kemudian dengan suara keras Khu Ju-ki lantas menyebut nama sepuluh anak murid Coan-cin-kau, ia pesan: “Lekas masing2 menyiapkan apa yang perlu, supaya besok pagi2 bisa lantas ikut berangkat. Yang 1ain2 bolehlah bubar sekarang !”
Sesudah itu, maka suara berisik segera terdengar iagi, para imam itu sama mempercakapkan tentang urusan penting itu yang ternyata ada hubungannya dengan Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu.
Tengah mereka saling berunding, Khu Ju-ki sendiri telah mendekati Thio Ci-keng dan berkata padanya: “Sebenarnya aku hendak bawa serta kau, tetapi karena kuatir pelajaran Ko-ji terhalang, maka sekali ini tidak perlu kau ikut pergi!”
Habis ini sekilas tertampak olehnya muka Yo Ko babak-belur dan matang-biru, tentu saja ia kaget.
“He, kenapa kau ? Dengan siapa kau telah berkelahi ?” tanyanya cepat.
Keruan Thio Ci-keng kerupekan, ia gugup sekali, ia kuatir kalau2 Yo Ko menceritakan apa yang terjadi dengan terus terang, tentu paman gurunya ini akan mendamperat habis2an padanya, maka lekas2 ia mengedipi mata memberi tanda pada Yo Ko agar jangan bilang.
Akan tetapi Yo Ko sudah mengambil keputusannya sendiri, waktu melihat Ci-keng kerupekan, ia pura2 tidak tahu, dia sengaja bicara dengan tidak jelas dan tidak menjawab pertanyaan orang, Dengan sendirinya Khu Ju-ki menjadi gusar.
“Siapakah yang berani pukul kau sedemikian rupa ? Hayo katakan, sebenarnya siapa yang salah ? Lekas bilang !” bentaknya Ju-ki lagi.
Mendengar suara Khu Ju-ki yang makin bengis ini, dalam hati Ci-keng semakin ketakutan.
“Bukan berkelahi, tetapi Tecu sendiri jatuh kesandung dan tergelincir ke jurang,” sahut Yo Ko kemudian.
Sudah tentu Khu Ju-ki tidak gampang percaya.
“Kau bohong, tanpa sebab kenapa bisa jatuh kesandung?” desaknya lagi.
“Tadi Co-su-ya telah ajar Tecu agar belajar secara giat…”
“Ya, kenapa ?” sela Khu Ju-ki.
“Dan sesudah Co-su-ya pergi, Tecu pikir memang benar apa yang Co-su-ya ajarkan itu,” demikian Yo Ko menyambung, “maka selanjutnya Tecu pasti akan giat belajar supaya lekas maju, dengan begitu baru tidak mengecewakan harapan Co-su-ya.”
Dengar obrolan Yo Ko ini, lambat laun air muka Khu Ju-ki berubah tenang kembali, ia bersuara sekali lagi tanda membenarkan.
“Tapi siapa duga mendadak datang seekor anjing gila,” demikian sambung Yo Ko lagi, “tiba2 anjing gila itu menubruk ke arah Tecu sambil mencakar dan menggigit serabutan, Tecu balas tendang dan hantam untuk mengusir anjing gila itu, tetapi makin lama anjing gila itu semakin ganas. Karena Tecu takut kena digigit, maka terpaksa angkat langkah seribu, dan karena kurang hati2, Tecu telah tergelincir ke jurang, Syukur Suhu keburu datang hingga aku dapat ditolongnya.”
Atas keterangan ini Khu Ju-ki masih setengah percaya dan separoh sangsi, ia coba pandang Thio Ci-keng, maksudnya bertanya apa yang dituturkan Yo Ko itu betul atau tidak ?
Dalam hati tidak kepalang gusar Thio Ci-keng, ia sedang membatin: “Bagus, kau anak busuk ini berani mencaci maki aku sebagai anjing gila?”
Akan tetapi karena keadaan terdesak, ia tak berani menyangkal pembohongan Yo Ko tadi maka terpaksa ia mengangguk dan menjawab : “Yar memang Tecu yang menolongnya.”
Karena kepastian ini barulah Khu Ju-ki mau percaya.
“Sesudah aku berangkat, kau harus ajarkan ilmu dasar aliran kita padanya dengan sesungguh hati, tiap2 sepuluh hari Ma-supek akan mengadakan pemeriksaan ulang untuk memberi petunjuk tempat2 yang penting,” demikian ia memberi pesan pula sebelum melangkah pergi.
Dalam hati Ci-keng sebenarnya seribu kali tidak rela, tetapi kata2 sang paman gurunya ini, mana ia berani membantah, terpaksa ia mengangguk mengiakan.
Sebaliknya Yo Ko merasa sangat senang karena berhasil paksa gurunya menyerah dengan mengaku diri sebagai anjing gila, maka apa yang dikatakan Khu Ju-ki tadi boleh dikatakan tiada yang dia dengar.
Begitu Khu Ju-ki bertindak pergi beberapa puluh langkah Thio Ci-keng tak bisa menahan api amarahnya yang membara, tanpa pikir segera tangannya diangkat terus hendak menghantam batok kepala Yo Ko.
“Khu-suco !” cepat Yo Ko memanggil Khu Ju-ki sebelum tangan orang mampir di kepalanya.
Mendengar teriakan ini, Khu Ju-ki menoleh dengan bingung, “Apa apa ?” tanyanya.
Dalam pada itu tangan Ci-keng masih terangkat ke atas, karena menolehnya sang paman guru, tak berani ia menabok terus, keruan lagaknya menjadi kikuk dan serba salah, terpaksa ia pura2 meng-garuk2 rambut di pelipisnya.
Sedang Yo Ko lantas berlari pada Khu Ju-ki, katanya “Co-su-ya, nanti kalau kau pergi, karena tiada yang melindungi aku, banyak Supek dan susiok di sini akan menggebuki aku.”
Tentu saja pengaduan ini bikin Khu Ju-ki menarik muka. “Ngaco-belo, mana bisa terjadi begitu !” bentaknya.
Akan tetapi meski di luarnya dia bersikap bengis, dalam hati sebenarnya Khu Ju-ki orangnya welas-asih, tiba2 ia jadi teringat Yo Ko memang sudah piatu dan harus dikasihani, maka segera ia pesan lagi dengan suara keras: “Ci-keng, kau harus menjaga bocah ini dengan baik, jika terjadi apa2 atas dirinya, sekembaliku hanya kau yang kumintai pertanggungan jawab.”
Terpaksa, kembali Ci-keng menyanggupi lagi.
Begitulah, petang harinya sehabis bersantap malam, dengan perasaan masih kebat-kebit kuatir dihajar gurunya lagi, Yo Ko datang di ruangan tempat sang Suhu, sesudah berhadapan dengan Ci-keng, ia memanggil dengan tangan lurus ke bawah: “Suhu !”
Tatkala itu adalah waktunya mengajarkan ilmu silat, Thio Ci-keng duduk semadi di pembaringannya, sejak tadi ia sudah ber-pikir2: “Anak ini begini nakal, kalau kini tidak dikendalikan dengan baik, kelak kalau ilmu silatnya sudah tinggi, siapa lagi yang sanggup pengaruhi dia ? Akan tetapi Khu-supek dan Suhu justru perintahkan aku mengajarkan ilmu silat padanya, jika aku tidak mengajarkan, hal ini tak boleh jadi pula.”
Begitulah lama ia pikir dan masih belum ambil sesuatu keputusan, ketika melihat datangnya Yo Ko yang seperti takut2, tapi sinar matanya mengerling terang, wajahnya seperti ketawa tetapi tidak ketawa, keruan lagak Yo Ko ini semakin bikin marah padanya.
“Ah, ada satu akal,” tiba2 tergerak pikirannya, “sementara ini sedikitpun dia belum paham akan ilmu kepandaian golongan sendiri, asal aku melulu mengajarkan dia istilah2nya, tetapi caranya berlatih sedikitpun tidak kukatakan padanya, dengan demikian meski beratus kali dia ingat akan istilah2 ilmu Lwekang yang aku ajarkan juga tiada gunanya. Dan kalau, Suhu dan para Supek menanyakan, aku boleh pakai alasan bahwa dia sendiri I yang tidak mau giat belajar.”
Begitulah, setelah ambil ketetapan ini, lalu dengan tersenyum dan suara halus ia memanggil: “Ko-ji, maju sini!”
“Kau akan pukul aku tidak ?” tanya Yo Ko ragu-ragu.
“Aku akan ajarkan ilmu padamu, untuk apa pukul kau ?” sahut Ci-keng.
Nampak sikap orang yang berubah ramah tamah ini, hal ini sama sekali tak Yo Ko duga. Maka dengan pelahan ia melangkah maju, hanya dalam hati ia tetap waspada dan ber-jaga2 akan segala kemungkinan, ia kuatir kalau orang pakai tipu muslihat
Sudah tentu kelakuan bocah ini dapat dilihat Thio Ci-keng, namun ia pura2 tidak tahu,
“llmu kepandain Coan-cin-kau kita harus dilatih mulai dari dalam sampai keluar, berbeda sekali dengan ilmu Gwa-keh yang melatihnya justru dari luar kedalam,” demikian kemudian ia berkata, “Dan kini aku akan ajarkan intisari ilmu kita padamu, kau harus meng-ingat2nya dengan baik”
Habis ini dia lantas uraikan istilah kunci berlatih Lwekang dari Coan-cin-kau pada Yo Ko.
Dasar kecerdasan Yo Ko memang melebihi orang biasa, meski hanya mendengarkan sekali saja, namun dia sudah bisa ingat betul Dia juga berpikir sendiri: “Suhu terang benci dan marah padaku, mana bisa dia ajarkan aku ilmu kepandaian sejati ? Jangan2 dia sengaja ajarkan aku dengan segala istilah2 palsu yang tak berguna ?”
Oleh karena itulah, lewat tak lama, ia pura2 lupa apa yang diajarkan padanya tadi, ia meminta petunjuk lagi pada Thio Ci-keng. Namun Ci-keng dapat mengulangi lagi sama seperti semula.
Besoknya, ketika Yo Ko pura2 tanya pula, ia dengar Ci-keng menguraikan lagi tetap sama dengan yang kemarin, barulah dia mau percaya ajaran bukanlah palsu, Sebab kalau palsu atau bikinan belaka, be-runtun2 menyebut tiga kali pasti tidak sama tiap2 kata atau istilahnya.
Begitulah, ber-turut2 sudah lewat sepuluh hari, selama itu Ci-keng hanya ajarkan istilah kosong saja pada Yo Ko, tetapi cara atau praktek belajarnya sama sekali tidak diajarkannya.
Pada hari kesepuluh Ci-keng membawa Yo Ko pergi menemui Ma Giok dan melaporkan bahwa dia sudah mengajarkan bocah itu dengan dasar2 ilmu silatnya bahkan dia suruh Yo Ko membaca diluar kepala dihadapan Ciangkau Co-su-ya. Melihat Yo Ko betul2 membaca diluar kepala dengan tepat, satu huruf saja tiada yang salah, keruan Ma Giok menjadi senang, berulang kali ia puji anak ini memang pintar.
Ma Giok adalah seorang imam berilmu dan tidak suka berpikir kearah yang jelek, dengan sendirinya dia tidak menyangka akan tipu muslihat Thio Ci-keng.
Begitulah, sang tempo berlalu dengan cepat, sekejap mata saja beberapa bulan sudah lalu. Selama ini, Yo Ko boleh dikatakan sudah kenyang mengapal istilah2 Lwekang yang diajarkan Thio Ci-keng, akan tetapi prakteknya sedikitpun belum pernah diajarnya, maka soal ilmu silat hakekatnya dia masih sama saja seperti mula2 naik gunung, Tetapi Yo Ko pintar luar biasa, mana bisa dia tidak tahu bahwa kepandainya terhalang ? Hanya dalam belasan hari saja dia lantas tahu bahwa gurunya sengaja mempermainkan dirinya, tetapi kalau orang tak mau memberi pelajaran, iapun tak berdaya, terpaksa ia harus menunggu kembalinya Khu Ju-ki untuk melaporkan padanya.
Tetapi tunggu sampai sekian lama, belum juga Khu Ju-ki kembali Meski usia Yo Ko masih kecil, tetapi dia pintar membawa diri, kalau dalam hati rasa bencinya terhadap Suhu semakin hebat dan makin menjadi, sebaliknya diluar dia justru bertambah menghormat dan menurut.
Diam2 Thio Ci-keng menjadi senang melihat tipu muslihatnya berhasil, katanya dalam hati: “Hm, kau berani membangkang terhadap guru, lihat saja, akhirnya siapa yang rugi ?”
Sementara itu tibalah waktunya akhir tahun, menurut kebiasaan Coan-cin-kau yang turun temurun sejak Ong Tiong-yang, tiap2 tahun, tiga hari sebelum tahun baru, para anak murid harus mengadakan pertandingan besar dari ilmu silat yang mereka latih, dengan demikian untuk mengetahui sampai dimana kemajuan masing2.
Dan karena temponya sudah dekat, maka para anak murid Coan-cin-kau itu kelihatan sibuk sekali berlatih diri siang dan malam.
Hari itu adalah sepuluh hari sebelum tiba hari pertandingan, para anak murid Coan-cin-kau biasanya pada membagi diri dalam kelompok2 kecil untuk saling latih, ini disebut “repetisi”, Begitu pula, hari itu Thio Ci-keng dan Cui Ci-hong cs. yang menjadi muridnya Ong Ju-it telah berkumpul disuatu lapangan di sebelah timur untuk berlatih,
Oleh karena Ong Ju-it tiada di rumah, dengan sendirinya urusan diserahkan dibawah pimpinan murid yang tertua, ialah Thio Ci-keng. Di samping sana anak murid angkatan keempat sedang sibuk sendiri, ada yang terlatih ilmu pukulan, ada yang main senjata atau pertunjukan Lwekang mereka.
Ada pula yang melepaskan Am-gi atau senjata rahasia, semua ini diunjukkan dihadapan Thio Ci-keng untuk diberi penilaian siapa diantaranya yang paling bagus.
Apa yang disebut anak murid angkatan ke-empat itu yalah seangkatan dengan Yo Ko. Oleh karena Coan-cin-kau didirikan oleh Ong Tiong-yang, maka dia adalah cakal-bakalnya, sedang Ma Giok bertujuh yang disebut Coan-cin-chit-cu itu adalah muridnya Ong Tiong-yang, mereka disebut anak murid angkatan kedua: Thio Ci-keng, In Ci-peng, Cui Ci-hong dan Nyo Khong, mendiang ayah Yo Ko, mereka adalah murid Coan-cin-chit-cu, maka disebut angkatan ketiga: akhirnya tingkatannya Yo Ko inilah yang disebut angkatan keempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar