Minggu, 18 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 62



Kembalinya Pendekar Rajawali 62



“Baiklah, jika begitu kuharap kau akan berhasil, tentang janji anugrah pasti kupenuhi” kata Kubilai.
Yo Ko mengucapkan terima kasih, Baru saja ia hendak berangkat bersama Siao-b’ong-li, sekilas dilihatnya Kim-lun
Hoat-ong, Siausiang-cu dan lain-lain menghunjuk rasa kurang senang, segera terpikir oleh Yo Ko bahwa orang-orang itu tentu kuatir kalau gelar “jago nomor satu” itu akan direbutnya karena berhasil membunuh Kwe Ceng, untuk itu orang-orang itu pasti akan menjegalnya supaya usahanya gagal. Maka Yo Ko lantas berkata pula kepada Kubilai: “Ada sesuatu pula ingin kutegaskan kepada Yang Mulia.”
“Urusan apa, katakan saja,” jawab Kubilai.
“Maksudku membunuh Kwe Ceng hanya demi membalas sakit hati pribadiku,” tutur Yo Ko. “selain itu juga kepalanya kuperlukan untuk menukar obat penolong jiwa Kokohku, Maka kalau usahaku berhasil berkat doa restu Ongya, namun gelar jago nomor satu itu sama sekali tak berani kuterima.”
“Apa sebabnya? “tanya Kubilai heran.
“Betapapun kepandaianku belum dapat dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang hadir di sini ini, mana kuberani mengaku sebagai jago nomor satu?” kata Yo Ko.
“Sebab itulah Ongya harus terima dulu permohonanku ini barulah kuberani melaksanakan tugas”
Karena Yo Ko bicara dengan sungguh-sungguh dan tegas, pula melihat sikap Siau-siang-cu dan yang lain itu, diam-diam Kubilai juga dapat menerka apa yang menjadi pertimbangan anak muda itu, maka berkatalah dia: “Baiklah, setiap orang memang mempunyai cita2 sendiri, jika begitu kehendakmu akupun tidak ingin memaksakan.”
Segera Yo Ko memohon diri dan berangkat bersama Siao-liong-li. Ditengah jalan mereka membuang topi dan mantel bulu yang mereka pakai sehingga dandanan sekarang adalah bangsa.
Sampai dibawah benteng kota hari sudah menjelang magrib, terlihat pintu gerbang benteng tertutup rapat, di atas benteng satu regu prajurit sedang ronda kian kemari.”
“Hei, aku bernama Yo Ko dan ingin bertemu dengan Kwe toaya, Kwe Ceng,” teriak Yo Ko.
Ketika mendengar suaranya, perwira yang dinas jaga coba melongok ke bawah dan melihat Yo Ko cuma bersama dengan seorang perempuan, ia percaya pasti bukan musuh yang sengaja hendak menyusup ke kota, segera ia melaporkan hal itu kepada Kwe Ceng.
Tidak lama kemudian dua pemuda muncul diatas benteng dan melongok keluar, seorang lantas bersuara: “Oh, kiranya Yo-toako, apakah cuma kalian berdua?”
Kiranya kedua pemuda itu adalah Bu Tun-it-dan Bu Siu-bun. Dengan tertawa Yo Ko lantas meryawabr “Eh, kiranya Bu jiko, Apakah Kwe-pepek ada di situ?”
“Ada, silahkan masuk saja” Jawab Siu Bun.
Segera ia memberi perintah agar membukakan pintu benteng dan menurunkan jembatan untuk menyambut datangnya Yo Ko dan Siao-liong li Kedua saudara Bu membawa Yo Ko ke sebuah rumah besar, dengan wajah berseri Kwe Ceng menerima kedatangan mereka, lebih dulu Kwe Ceng memberi hormat kepada Siao-liong-li lalu menarik tangan Yo Ko, katanya dengan tertawa girang: “Ko-ji, kedatangan kalian sangat kebetulan, Musuh sedang menyerang kota, kedatangan kalian berarti bantuan yang dapat diandalkan bagiku, sungguh bahagia sekali segenap penduduk kota ini.”
Siao-liong-li adalah guru Yo Ko, maka Kwe Ceng menghormatinya sebagai angkatan yang sama dengan ramah ia menyilakan dia masuk kedalam rumah, terhadap Yo Ko iapun sangat sayang dan menggandeng tangannya. Ketika teringat bahwa orang yang menggandeng tangannya ini adalah pembunuh ayahnya, sungguh tidak kepalang gemas hati Yo Ko, kalau bisa sekali tusuk akan dibinasakannya. Cuma jeri kepada kelihaian Kwe Ceng, maka tidak berani sembarangan bergerak, dengan air mukanya yang gembira, iapun menanyakan kesehatan sang paman dan tidak lupa pula menanyakan Oey Yong.
Lantaran rasa dendamnya sebegitu jauh ia tidak memberi sembah hormat kepada Kwe Ceng. Namun Kwe Ceng memang orang baik, sedikitpun ia tidak memperhatikan tata adat begitu.
Sampai di ruangan besar, Yo Ko hendak menemui Oey Yong ke dalam, namun Kwe Ceng telah mencegahnya, katanya: “Bibimu sudah hampir melahirkan, beberapa hari akhir2 ini kesehatannya ada terganggu, boleh kau menemuinya lain hari saja.”
Diam-diam Yo Ko bergirang, ia justeru kuatir akan kecerdikan Oey Yong, bukan mustahil maksud kedatangannya ini akan diketahuinya, kalau bibi itu sedang sakit, maka kebetulan baginya.
Tengah bicara, datanglah utusan panglima kota yaitu Lu Bun-hoan, yang mengundang Kwe Ceng untuk menghadiri perjamuan merayakan kemenangan yang tadi.
Namun Kwe Ceng telah menolak undangan itu dengan alasan dia sendiri lagi menerima tamu, sudah tentu utusan panglima itu sangat heran, dilihatnya usia Yo Ko masih muda dan tiada sesuatu yang luar biasa, entah mengapa justru anak ini mendapat perhatian Kwe Ceng sebesar itu sehingga menolak undangan sang panglima hanya untuk melayani anak muda itu, Terpaksa utusan itu pulang melaporkan hal itu kepada Lu Bun-hoan.
Kwe Ceng lantas mengadakan perjamuan sederhana di rumah sendiri untuk merayakan kedatangan Yo Ko dan Siao-liong-li, ikut hadir di meja perjamuan adalah Cu Cu-liu, Loh Yu-kah, kedua saudara Bu, Kwe Hu dan lainnya.
Berulang-ulang Cu Cu-liu mengucapkan terima kasih pada Yo Ko yang pernah menolongnya dgn memaki pangeran Hotu dari Mongol itu menyerahkan obar penawar sehingga Cu Cu-liu terbebas dari renggutan maut.
Sikap Kwe Hu ternyata tawar saja terhadap Yo Ko, ia cuma memanggil sekali, lalu tidak bicara pula. Dalam perjamuan itu alis si nona kelihatan terkerot seperti dirundung
suatu persoaIan. Kedua saudara Bu juga, selalu menghindari adu pandang dengan Yo Ko, ketiga orang juga tidak berbicara sejak awal hingga berakhirnya perjamuan.
Sebaliknya Loh Yu-kah dan Cu Cu-liu sangat gembira ria dan. asyik ngobrol tentang kemenangan gemilang atas pasukan Mongol siangnya.
Waktu perjamuan selesai, sementara itu sudah lewat tengah malam. Kwe Ceng menyuruh Kwe Hu mengawani Siao liong-li tidur sekamar, ia sendiri menarik Yo Ko untuk tidur bersama satu ranjang.
Ketika akan pergi Siao-liong-li sempat melirik sekejap pada Yo Ko dan agar anak muda itu ber-hati-hati. Yo Ko kuatir rahasianya diketahui orang, cepat ia berpaling dan tidak berani menatap Siaoliong-li
Kwe Ceng menggandeng Yo Ko ke kamar tidurnya, berulang-ulang ia memuji anak muda itu melawan Kim-lun Hoat-ong di barisan batu-batu itu dan berhasil menyelamatkan Oey Yong, Kwe Hu serta kedua saudara Bu. Habis itu ia lantas tanya pengalaman Yo Ko setelah berpisah.
Teringat kejadian tempo hari, diam-diam Yo Ko menyesal telah menolong Oey Yong dengan matian apabila sudah mengetahui Oey Yong adalah musuhnya ia kuatir kalau banyak bicara mungkin rahasia tujuannya akan diketahui Kwe Ceng, maka tentang pertemuannya dengan Thia Eng, Liok Bo-siang,
Sah Kho dan Oey Yok-su tak diceritakannya, ia hanya mengaku merawat lukanya di pegunungan sunyi, kemudian bertemu dengan Kokoh, lalu bersama ke sini untuk mencari paman.
Sembari membuka baju dan mapan tidur, Kwe Ceng berkata: “Ko-ji, saat ini musuh sudah berada di depan mata, keadaan Song Raya kita benar-benar berbahaya, seperti telur di ujung tanduk. Siangyang adalah perisai bagi tanah air kita, kalau kota ini jatuh, mungkin ber-juta2 rakyat kita akan
menjadi budak orang Mongol. Dengan mataku sendiri kulihat keganasan orang MongoI, sungguh darahku menjadi mendidih menyaksikan kekejaman musuh itu….”
Segera Yo Ko teringat juga keganasan perajurit Mongol yang dilihatnya sepanjang perjalanan, saking gusarnya iapun mengertak gigi.
“Kaum kita belajar silat dengan sepenuh tenaga, walaupun tujuannya ingin berbuat kebajikan dan membela kaum kecil, namun ini hanya sebagian kecil saja daripada tugas kita yang sebenarnya,” kata Kwe Ceng pula, “Sebabnya orang Kangouw menyebut aku “Kwe-tayhiap”, kukira bukan disebabkan.
kepandaianku yang tinggi melainkan menghormati diriku yang berjuang mati-matian demi negara dan rakyat.
Namun aku sendiri merasa tenagaku seorang teramat kecil dan belum dapat membebaskan rakyat dari kesengsaraan
sesungguhnya aku malu untuk disebut “Tayhiap”, Kau masih muda, kepintaranmu dan kecerdasanmu berlipat ganda daripadaku, hari depanmu pasti cemerlang dan tentu jauh melebihi diriku. Hanya kuharap kau selalu ingat kepada pesanku ini: “Demi negara dan rakyat, itulah tugas utama kita”, Semoga kelak namamu termashur dan menjadi seorang Tayhiap (pendekar besar) sejati yang dihormati segenap rakyat jelata.
Uraian Kwe Ceng itu sangat mengena di lubuk hati Yo Ko, dilihatnya Kwe Ceng bicara dengan sungguh-sungguh, simpatik, tapi juga kereng, meski jelas dia adalah musuh yang membunuh ayahnya, tapi tanpa terasa timbul juga rasa hormat dan segannya. Segera ia menjawab: “Kwe-pepek, jika engkau sudah meninggal aku pasti akan ingat selalu perkataanmu ini.”
Sudah tentu Kwe Ceng tak mengira bahwa malam ini juga si Yo Ko akan membunuhnya, dengan rasa sayang ia membelai kepala anak muda itu dan berkata pula “Ya, memang, berjuang sampai titik darah penghabisan kalau negara kita runtuh, jiwa pamanmu ini jelas juga takkan tertinggal lagi. Baiklah, sudah jauh malam, marilah tidur.
Kabarnya Kubilai sangat pandai mengatur pasukan, kemunduran pasukannya tadi mungkin cuma siasat belaka, dalam beberapa hari ini pasti akan ada pertempuran dahsyat, kau perlu kumpulkan dan memupuk semangat untuk memperlihatkan segenap kepandaianmu di medan perang.”
Yo Ko mengiakan saja, lalu membuka baju dan mapan tidur. Belati yang dibawanya dari Coat-ceng-kok itu diam-diam diselipkan nya di pinggang, ia pikir biar ilmu silatmu beratus kali lebih tinggi, kalau sudah tertidur, sekali tikam dengan belati ini, masakah kau mampu mengelak?
Karena siangnya bertempur sengit, maka Kwe Ceng rada lelah, begitu menempel bantal dia terus terpulas. Sebaliknya Yo Ko bergolak-golik tak dapat tidur. Dia tidur di bagian dalam, didengarnya pernapasan Kwe Ceng sangat teratur, tarikan dan hembusan napasnya terselang agak lama, diam-diam ia kagum terhadap Lwekang sang paman yang hebat itu.
Agak lama kemudian, suasana terasa hening, hanya dari jauh terdengar suara peronda sedang melakukan tugasnya pelahan Yo Ko berduduk dan meraba belatinya, ia pikir kalau dia sudah kutikam mati, segera kupergi membunuh Oey Yong pula, rasanya membereskan seorang wanita hamil tak terlalu sulit, selesai semuanya segera bersama Kokoh kembali ke Coat-ceng-kok untuk mengambil setengah biji obat itu.
Kemudian kami akan mengasingkan diri di kuburan kuno itu untuk menikmati kebahagiaan hidup dan takkan peduli apakah dunia ini akan menjadi milik Song atau direbut Mongol.
Begitulah hatinya sangat senang berpikir sampai di sini, Tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang anak kecil di rumah tetangga sana,menyusul suata sang ibu sedang meminang anaknya, suara tangis anak itupun mulai mereda dan kemudian sunyi senyap pula.
Seketika hati Yo Ko tergetar, mendadak teringat olehnya apa yang dilihatnya di perjalanan tempo hari, di mana seorang Busu Mongol telah menyudet perut seorang bayi dan diangkat ke udara seperti sundukan satai, bayi itu tidak lantas mati, tapi masih dapat menjerit ngeri.
Segera terpikir olehnya: “Untuk membunuh Kwe Ceng sekarang bagiku sangat mudah. Tapi kalau dia mati, kota ini takkan dapat dipertahankan lagi dan beribu-ribu anak kecil dalam kota ini tentu akan menjadi mangsa keganasan perajurit Mongol. Aku sendiri berhasil membalas dendam, tapi akibatnya jiwa rakyat jelata yang tak terhitung banyaknya akan menjadi korban, apakah perbuatanku ini dapat dipuji?”
Tapi lantas terpikir pula: “Kalau tidak kubunuh dia, tentu pula Kiu Jian-jio tak mau memberikan obatnya padaku dan kalau aku mati pasti juga Kokoh tak dapat hidup lagi,” Betapa mendalam cintanya kepada Siao-liong-li boleh dikatakan tiada taranya, karena itulah menjadi nekat: “Sudahlah, biar peduli amat dengan jiwa rakyat Siangyang dan negara segala, ketika aku menderita sengsara, selain Kokoh seorang siapa lagi yang pernah menaruh belas kasihan padaku? Orang lain tidak pernah sayang padaku, buat apa aku mesti sayang pada orang lain?”
Begitulah ia lantas angkat belati nya. tenaga dikumpulkan pada tangan itu, ujung belati mengincar tepat pada dada Kwe Cing.
Lilin di dalam kamar itu sudah dipadamkan tapi Yo Ko sudah biasa melihat dalam kegelapan, waktu belatinya akan ditusukan, sekilas ia memandang wajah Kwe Ceng, dilihatnya air muka paman sangat tenang, wajah seorang welas asih dan berbudi.
Belati sudah tergenggam di tangan Yo Ko, tapi ia ragu-ragu untuk turun tangan mengingat keselamatan laksaan jiwa bangsa Han yang akan menjadi korban keganasan serdadu Mongol yang kejam itu.
Kwe Ceng malam itu tidurnya sangat nyenyak. Tiba-tiba terbayang pula dalam benak Yo Ko semua kejadian di masa lampau, betapa kasih sayang paman padanya waktu tinggal di Tho-hoa-to dan tanpa mengenal lelah sang paman mengantarnya ke Cong-lam-san untuk belajar siIat, malahan berniat menjodohkan puteri tunggalnya kepadanya.
Tanpa terasa timbul pikirannya: “Selamanya Kwe pepek bertindak jujur dan terus terang, beliau adalah seorang tua yang baik budi, Pribadi seperti dia ini seharusnya tidak mungkin mencelakai ayahku, Apakah mungkin Sah Koh yang tidak waras itu sembarangan omong? Kalau saja tikaman ini
jadi kulaksanakan dan mungkin ternyata salah membunuh orang baik, bnkankah dosaku sukar lagi diampuni? Wah, nanti dulu kukira urutan ini harus kuselidiki dulu.
Perlahan-lahan ia lantas menyimpan kembali belatinya, ia coba merenungkan pula satu demi satu kejadian di masa lalu sejak dia bertemu dengan Kwe Ceng dan Oey Yong.
Teringat olehnya sikap Oey Yong yang kurang simpati padanya, beberapa kali dipergoki suami isteri ku sedang membicarakan sesuatu soal apa-apa, tapi pokok pembicaraan lantas dihentikan begitu dia muncul. Kalau dipikir, tentu ada sesuatu diantara suami isteri itu sengaja dirahasiakannya.
lngat pula sang bibi resminya menerimanya sebagai murid, tapi yang diajarkan hanya membaca dan menulis, sedikitpun tidak diajarkan silat. Apakah keramahan paman Kwe kepadaku itu bukan lantaran dia telah mencelakai ayahku dan hatinya merasa tidak tenteram, maka sengaja membaiki aku sekedar menenangkan hatinya yang merasa berdosa itu?
Begitulah Yo Ko terus bergulang-guling tak dapat pulas.
Dalam pada itu Kwe Ceng masih tidur dengan nyenyaknya, namun pada suatu ketika itu, dapat mengetahui pernapasan Yo Ko yang rada memburu itu mendadak ia membuka mata dan bertanya: “Ada apa, Ko-ji? kau tak dapat tidur?”
Badan Yo Ko rada bergetar, jawabnya: “Oh tidak apa-apa”
“Kalau kau tidak biasa tidur bersama orang lain, bolehlah kutidur di meja saja,” kata Kwe Ceng dengan tertawa.
“Wah, tidak, tidak apa-apa” sahut Yo Ko cepat
“Baiklah, jika begitu lekas tidur.” ujar Kwe Ceng. “Orang belajar silat harus mengutamakan menenangkan batin dan memusatkan pikiran.”
Yo Ka mengiakan. Akan tetapi pikirannya tetap bergoIak akhirnya ia tidak tahan dan bertanya: “Kwe-pepek, dahulu waktu kau mengantar diriku ke Cong lam-san,- sampai kuil dikaki gunung itu pernah kutanyakan sesuatu padamu, apakah paman masih ingat?”
Hati Kwe Ceng terkesiap, jawabnya: “Ya, ada apa?”
“Tatkala mana Kwe-pepek marah-marah dan menghantam sebuah pilar batu sehingga menimbulkan salah paham para
Tosu hari Coan-cin-kau, apakah paman masih ingat persoalanku yang kutanyakan itu?”
“Ya, kalau tidak salah kau tanyai cara bagaimana meninggalnya ayahmu,”
Dengan tatapan tajam Yo Ko berkata pula. “Waktu yang kutanyakan padamu adalah siapa kah yang membunuh ayahku.”
“Darimana kau mengetahui bahwa ayahmu di bunuh orang?” kata Kwe Ceng.
“Memangnya ayahku meninggal secara baik-baik?” tanya Yo Ko dengan suara agak serak.
Kwe Ceng terdiam sejenak, ia menghela napas panjang, lalu berkata pula: “Ayahmu meninggal secara menyedihkan, akan tetapi tiada siapapun yang membunuhnya, dia sendirilah yang membunuh dirinya sendiri”
Mendadak Yo Ko bangun berduduk, dengan perasaan yang sangat terangsang ia berkata: “Tidak Kwe-pepek dusta padaku, mana mungkin di dunia ini ada orang membunuh dirinya sendiri? seumpama ayahku membunuh diri, tentu juga ada orang-lain yang menyebabkan kematiannya.”
Kwe Ceng menjadi berduka dan meneteskan air mata, katanya pelahan: “Anak Ko, kakekmu dan ayahku adalah saudara angkat, ayahmu dan diriku juga mengikat persaudaraan. Kalau ayahmu mati secara penasaran masakah aku tidak berusaha membalas dendam baginya?”
Tubuh Yo Ko rada gemetar, saking menahan perasaannya hampir saja ia berucap: “Kau sendiri yang membunuh ayahku dengan sendirinya kau tidak mungkin membalaskan dendamnya.”
Tapi ia tahu sekali ucapannya itu dikeluarkan tentu Kwe Cing akan waspada dan selanjutnya pasti sukar hendak membunuhnya. Maka Yo Ko hanya diam saja, lalu tidak bicara lagi.
“Persoalan ayahmu sebenarnya sangat banyak lika-likunya dan sukar diceritakan dalam waktu singkat.” kata Kwe Ceng pula. “Dahulu waktu kau bertanya, karena kupikir usiamu masih terlalu muda dan belum dapat memahami sebab musababnya dengan jelas, lantaran itulah aku tidak mau menjelaskan padamu, sekarang kau sudah dewasa, sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang Jahat, maka setelah orang MongoI dipukul mundur, biarlah nanti kuceritakan dari awal hingga akhir.” jeIasnya. Habis berkata ia terus membalik dan tidur lagi.
Yo Ko cukup kenal perangai sang paman yang tegas itu, sekali dia bilang satu, tidak mungkin berubah menjadi dua, Tapi ia menjadi ragu-ragu lagi dan memaki dirinya sendiri: “Wahai, Yo Ko, biasanya kau bertindak sesuatu selalu tegas dan berani, mengapa sekarang kau bimbang dan takut-takut ?
Apakah kau jeri terhadap ilmu silatnya yang lihay? Bukan saja kesempatan bagus malam ini kau sia-sia kan, besok bila Ui Yong mengetahui maksud tujuanmu mungkin Kokohmu akan
ikut menjadi korban.
Teringat kepada Siao liong li, seketika ia bersemangat lagi, ia meraba pula belatinya, belati yang menempel kulit perutnya itu serasa panas oleh suhu badannya. Baru saja ia hendak mencabut belatinya, tiba-tiba terdengar daun jendela diketok orang tiga tali dengan sangat pelahan.
“Cepat Yo Ko pura-pura tidur, sedangkan Kwe Ceng, lantas terjaga bangun berduduk serta bertanya “Apakah Yong-ji di situ? Ada urusan apa?”
Namun suara di luar jendela lantas berhenti, Kwe Ceng terus berbangkit, dilihatnya Yo Ko tertidur nyenyak, ia pikir anak muda itu baru saja pulas, sebaiknya jangan diganggu lagi. perlahan-lahan ia lantas membuka pintu kamar dan keluar, diiihatnya Oey Yong sedang menunggunya di serambi sana, Kwe Ceng mendekati sang isteri dan bertanya dengan suara tertahan “Ada urusan apa?”
Oey Yong tidak menjawabnya, ia menarik tangan suaminya ke halaman belakang, setelah memandang sekelilingnya, habis itu baru berkata: “Percakapanmu dengan Ko-ji sudah kudengar semua. Dia mengandung maksud buruk, apakah kau tidak tahu?”
Kwe Ceng terkejut “Apa? Dia bermaksud buruk bagaimana?” ia menegas.
“Dari ucapannya itu, tampaknya dia mencurigai kita berdua yang membunuh ayahnya,” tutur Oey Yong.
“Ya bisa jadi dia curiga,” Ujar Kwe Ceng sambil menggeleng, “tapi aku sudah berjanji akan menceritakan sebab musabab kematian ayahnya.”
“Memangnya kau benar-benar akan menceritakan padanya tanpa menutupi sesuatu apapun ?” tanyanya.
“Begitu mengenaskan kematian ayahnya, selama ini akupun selalu merasa bersalah,” kata Kwe Ceng, “Meski adik Yo Khong tersesat ke jalan yang salah, tapi kita juga tidak berusaha menyadarkan dia dan tidak berdaya menyelamatkan dia.”
“Hmm orang macam begitu masakah ada harganya dibantu?” jengek Oey Yong, “Malahan aku justeru menyesal tidak membunuhnya sedini mungkin, kalau tidak masakah beberapa gurumu itu sampai tewas di Thoa hoa-to gara-gara perbuatannya?”
Teringat kepada peristiwa yang mengenaskan itu, tanpa terasa Kwe Ceng menghela napas panjang
“Dari anak Hu kudengar kedatangan Ko-ji ini kelihatan agak aneh, katanya pula kau tidur sekamar dengan dia, Aku menjadi kuatir terjadi sesuatu, maka sejak tadi aku sudah mengawasi di luar jendela. Kukira sebaiknya jangan tidur bersamanya, harus diketahui bahwa hati manusia sukar dijajaki, pula ayahnya… meninggal akibat keracunan karena memukul bahuku. “
“Yong-ji, itupun tidak dapat dikatakan kau yang mencelakai dia.” ujar Kwe Ceng.
“Walau kita memang ada maksud membunuhnya, akhirnya dia juga mati akibat diriku, maka soal kita sendiri yang turun tangan membunuhnya atau bukan menjadi tidak penting lagi.” kata Oey Yong.
Kwe Ceng berpikir sejenak, katanya kemudian “Betul juga ucapanmu. Kalau begitu sementara ini takkan kuceritakan terus terang padanya, Yong ji, sudah jauh malam, lekas kembali ke kamarmu dan mengaso, besok malam biar kupindah tidur ke-markas saja.”
Biasanya Kwe Ging memang menuruti segala nasehat Oey Yong, soalnya ia tahu kecerdasan dan pengetahuan sang isteri memang berkali lipat lebih pintar daripada dirinya, dugaannya selalu tepat, perhitungannya tak pernah meleset, meski ia tidak percaya bahwa Yo Ko bermaksud jahat kepada-nya, tapi sang isteri sudah bilang begitu, maka ia lantas menurut saja.
Segera Kwe Ceng memayang sang isteri kembali ke kamarnya, katanya: “Kukira selekasnya Hu-ji dinikahkan saja dengan Ko-ji agar selesailah persoalan kita ini.”
“Aku sendiripun bingung menghadapi urusan ini!” ujar Oey Yong sambil menghela napas. “Kakak Cing, dalam hatiku hanya ada engkau seorang begitu pula dalam hatimu sama ada aku, akan tetapi puteri kita itu ternyata tidak seperti kau, juga tak seperti aku, dalam hatinya justeru sekaligus terisi dua kekasih yang sukar dibedakan mana yang harus dipilih, inilah yang membuat kita sebagai ayah-bundanya serba susah.”
“Dua kekasih” yang dimaksud Oey Yong bukan lain daripada Bu Tun-si dan Bu Siu-bun. Kedua anak muda ini sama jatuh cinta kepada Kwe Hu. sebaliknya Kwe hu juga tidak pilih kasih terhadap kedua saudara Bu-itu.
Waktu masih kecil memang tidak menjadi soal, tetapi ketiganya kini sudah dewasa, persoalan cinta segi tiga inipun menjadi semakin rumit dan serba sulit.
Menurut pikiran Kwe Ceng, dia ingin menjodohkan, puterinya kepada Yo Ko dan, untuk kedua saudara Bu akan dicarikan gadis lain yang setimpal. Namun pikiran Oey Yong terlebih cermat, ia tahu banyak kesulitan dalam persoalan jodoh ini. Kendatipun dia sangat pintar, menghadapi soal rumit inipun dia merasa bingung dan tak berdaya.
Begitulah Kwe Ceng mengantar isterinya ke dalam kamar, setelah berbaring dan menyelimutinya, ia duduk di tepi ranjang sambil menggenggam tangan sang isteri dengan tersenyum bahagia. Selama sebulan ini keduanya sama sibuk urusan tugas, suami-isteri jarang berkumpul dengan tenang, sekarang keduanya berhadapan tanpa bicara, namun terasa sangat tenang.
Oey Yong memegangi tangan Kwe Ceng dan digosok-gosokkannya pada pipi sendiri, lalu berkata dengan suara lirih: “Engkoh Cing, anak kita yang kedua ini bolehlah kau berikan suatu nama yang baik.”
“Kau tahu aku tidak sanggup, mengapa kau menggoda aku,” jawab Kwe Ceng dengan tertawa.
“Kau selalu mengatakan dirimu tidak sanggup apa-apa, padahal, engkoh Cing, lelaki diseluruh jagat ini tiada keduanya yang mampu melebihi kau,” kata Oey Yong dengan mesra dan sungguh-sungguh
Kwe Ceng menunduk dan mencium pelahan muka sang isteri katanya: “Kalau anak laki-laki kita beri sama Boh-to saja, tapi bila perempuan….” Dia berpikir sejenak, lalu menyambung “Kau saja yang memberikan namanya.”
“Saat ini kita sedang mempertahankan kota Siang yang ini menghadapi serbuan orang MongoI, karena anak dilahirkan di sini, maka kita beri nama Yang saja, agar kelak kalau sudah besar anak ini akan selalu ingat bahwa dia dilahirkan di kota yang sedang berkecamuk peperangan.”
“Bagus, diharap saja anak perempuan ini tidak senakal Tacinya, sudah begitu besar masih membikin repot orang tua saja,” ujar Kwe Ceng.
“Kafau cuma repot sih tidak jadi soal.” ujar Oey Yong dengan tersenyum, “justeru dia…. .ahhh aku malah berharap anak ini adalah laki-laki saja”
Kwe Ceng meraba-raba tangan sang isteri dan ber-kata: “Anak laki-laki atau anak perempuan kan sama saja?
Sudahlah, lekas tidur, jangan berpikir macam-macam” Setelah menyelimuti sang isteri dan memadamkan lilin, lalu Kwe Ceng kembali ke kamarnya, dilihatnya Yo Ko masih tidur dengan lelapnya, di-dengarnya bunyi kentongan tiga kali, segera ia naik tempat tidur lagi.
Tak diketahuinya bahwa percakapan mereka suami-isteri dihalaman tadi telah dapat didengar semua oleh Yo Ko yang sembunyi di balik pintu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar