Kembalinya Pendekar Rajawali 62
“Baiklah, jika begitu kuharap kau akan
berhasil, tentang janji anugrah pasti kupenuhi” kata Kubilai.
Yo Ko mengucapkan terima kasih, Baru saja ia
hendak berangkat bersama Siao-b’ong-li, sekilas dilihatnya Kim-lun
Hoat-ong, Siausiang-cu dan lain-lain
menghunjuk rasa kurang senang, segera terpikir oleh Yo Ko bahwa orang-orang itu
tentu kuatir kalau gelar “jago nomor satu” itu akan direbutnya karena berhasil
membunuh Kwe Ceng, untuk itu orang-orang itu pasti akan menjegalnya supaya
usahanya gagal. Maka Yo Ko lantas berkata pula kepada Kubilai: “Ada sesuatu
pula ingin kutegaskan kepada Yang Mulia.”
“Urusan apa, katakan saja,” jawab Kubilai.
“Maksudku membunuh Kwe Ceng hanya demi membalas
sakit hati pribadiku,” tutur Yo Ko. “selain itu juga kepalanya kuperlukan untuk
menukar obat penolong jiwa Kokohku, Maka kalau usahaku berhasil berkat doa
restu Ongya, namun gelar jago nomor satu itu sama sekali tak berani kuterima.”
“Apa sebabnya? “tanya Kubilai heran.
“Betapapun kepandaianku belum dapat
dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang hadir di sini ini, mana kuberani mengaku
sebagai jago nomor satu?” kata Yo Ko.
“Sebab itulah Ongya harus terima dulu
permohonanku ini barulah kuberani melaksanakan tugas”
Karena Yo Ko bicara dengan sungguh-sungguh
dan tegas, pula melihat sikap Siau-siang-cu dan yang lain itu, diam-diam
Kubilai juga dapat menerka apa yang menjadi pertimbangan anak muda itu, maka
berkatalah dia: “Baiklah, setiap orang memang mempunyai cita2 sendiri, jika
begitu kehendakmu akupun tidak ingin memaksakan.”
Segera Yo Ko memohon diri dan berangkat
bersama Siao-liong-li. Ditengah jalan mereka membuang topi dan mantel bulu yang
mereka pakai sehingga dandanan sekarang adalah bangsa.
Sampai dibawah benteng kota hari sudah
menjelang magrib, terlihat pintu gerbang benteng tertutup rapat, di atas
benteng satu regu prajurit sedang ronda kian kemari.”
“Hei, aku bernama Yo Ko dan ingin bertemu
dengan Kwe toaya, Kwe Ceng,” teriak Yo Ko.
Ketika mendengar suaranya, perwira yang dinas
jaga coba melongok ke bawah dan melihat Yo Ko cuma bersama dengan seorang
perempuan, ia percaya pasti bukan musuh yang sengaja hendak menyusup ke kota,
segera ia melaporkan hal itu kepada Kwe Ceng.
Tidak lama kemudian dua pemuda muncul diatas
benteng dan melongok keluar, seorang lantas bersuara: “Oh, kiranya Yo-toako,
apakah cuma kalian berdua?”
Kiranya kedua pemuda itu adalah Bu Tun-it-dan
Bu Siu-bun. Dengan tertawa Yo Ko lantas meryawabr “Eh, kiranya Bu jiko, Apakah
Kwe-pepek ada di situ?”
“Ada, silahkan masuk saja” Jawab Siu Bun.
Segera ia memberi perintah agar membukakan
pintu benteng dan menurunkan jembatan untuk menyambut datangnya Yo Ko dan
Siao-liong li Kedua saudara Bu membawa Yo Ko ke sebuah rumah besar, dengan
wajah berseri Kwe Ceng menerima kedatangan mereka, lebih dulu Kwe Ceng memberi
hormat kepada Siao-liong-li lalu menarik tangan Yo Ko, katanya dengan tertawa
girang: “Ko-ji, kedatangan kalian sangat kebetulan, Musuh sedang menyerang
kota, kedatangan kalian berarti bantuan yang dapat diandalkan bagiku, sungguh
bahagia sekali segenap penduduk kota ini.”
Siao-liong-li adalah guru Yo Ko, maka Kwe
Ceng menghormatinya sebagai angkatan yang sama dengan ramah ia menyilakan dia
masuk kedalam rumah, terhadap Yo Ko iapun sangat sayang dan menggandeng
tangannya. Ketika teringat bahwa orang yang menggandeng tangannya ini adalah
pembunuh ayahnya, sungguh tidak kepalang gemas hati Yo Ko, kalau bisa sekali
tusuk akan dibinasakannya. Cuma jeri kepada kelihaian Kwe Ceng, maka tidak
berani sembarangan bergerak, dengan air mukanya yang gembira, iapun menanyakan
kesehatan sang paman dan tidak lupa pula menanyakan Oey Yong.
Lantaran rasa dendamnya sebegitu jauh ia
tidak memberi sembah hormat kepada Kwe Ceng. Namun Kwe Ceng memang orang baik,
sedikitpun ia tidak memperhatikan tata adat begitu.
Sampai di ruangan besar, Yo Ko hendak menemui
Oey Yong ke dalam, namun Kwe Ceng telah mencegahnya, katanya: “Bibimu sudah
hampir melahirkan, beberapa hari akhir2 ini kesehatannya ada terganggu, boleh
kau menemuinya lain hari saja.”
Diam-diam Yo Ko bergirang, ia justeru kuatir
akan kecerdikan Oey Yong, bukan mustahil maksud kedatangannya ini akan
diketahuinya, kalau bibi itu sedang sakit, maka kebetulan baginya.
Tengah bicara, datanglah utusan panglima kota
yaitu Lu Bun-hoan, yang mengundang Kwe Ceng untuk menghadiri perjamuan
merayakan kemenangan yang tadi.
Namun Kwe Ceng telah menolak undangan itu
dengan alasan dia sendiri lagi menerima tamu, sudah tentu utusan panglima itu
sangat heran, dilihatnya usia Yo Ko masih muda dan tiada sesuatu yang luar
biasa, entah mengapa justru anak ini mendapat perhatian Kwe Ceng sebesar itu
sehingga menolak undangan sang panglima hanya untuk melayani anak muda itu,
Terpaksa utusan itu pulang melaporkan hal itu kepada Lu Bun-hoan.
Kwe Ceng lantas mengadakan perjamuan
sederhana di rumah sendiri untuk merayakan kedatangan Yo Ko dan Siao-liong-li,
ikut hadir di meja perjamuan adalah Cu Cu-liu, Loh Yu-kah, kedua saudara Bu,
Kwe Hu dan lainnya.
Berulang-ulang Cu Cu-liu mengucapkan terima
kasih pada Yo Ko yang pernah menolongnya dgn memaki pangeran Hotu dari Mongol
itu menyerahkan obar penawar sehingga Cu Cu-liu terbebas dari renggutan maut.
Sikap Kwe Hu ternyata tawar saja terhadap Yo
Ko, ia cuma memanggil sekali, lalu tidak bicara pula. Dalam perjamuan itu alis
si nona kelihatan terkerot seperti dirundung
suatu persoaIan. Kedua saudara Bu juga,
selalu menghindari adu pandang dengan Yo Ko, ketiga orang juga tidak berbicara
sejak awal hingga berakhirnya perjamuan.
Sebaliknya Loh Yu-kah dan Cu Cu-liu sangat
gembira ria dan. asyik ngobrol tentang kemenangan gemilang atas pasukan Mongol
siangnya.
Waktu perjamuan selesai, sementara itu sudah
lewat tengah malam. Kwe Ceng menyuruh Kwe Hu mengawani Siao liong-li tidur
sekamar, ia sendiri menarik Yo Ko untuk tidur bersama satu ranjang.
Ketika akan pergi Siao-liong-li sempat
melirik sekejap pada Yo Ko dan agar anak muda itu ber-hati-hati. Yo Ko kuatir
rahasianya diketahui orang, cepat ia berpaling dan tidak berani menatap
Siaoliong-li
Kwe Ceng menggandeng Yo Ko ke kamar tidurnya,
berulang-ulang ia memuji anak muda itu melawan Kim-lun Hoat-ong di barisan
batu-batu itu dan berhasil menyelamatkan Oey Yong, Kwe Hu serta kedua saudara
Bu. Habis itu ia lantas tanya pengalaman Yo Ko setelah berpisah.
Teringat kejadian tempo hari, diam-diam Yo Ko
menyesal telah menolong Oey Yong dengan matian apabila sudah mengetahui Oey
Yong adalah musuhnya ia kuatir kalau banyak bicara mungkin rahasia tujuannya
akan diketahui Kwe Ceng, maka tentang pertemuannya dengan Thia Eng, Liok
Bo-siang,
Sah Kho dan Oey Yok-su tak diceritakannya, ia
hanya mengaku merawat lukanya di pegunungan sunyi, kemudian bertemu dengan
Kokoh, lalu bersama ke sini untuk mencari paman.
Sembari membuka baju dan mapan tidur, Kwe
Ceng berkata: “Ko-ji, saat ini musuh sudah berada di depan mata, keadaan Song
Raya kita benar-benar berbahaya, seperti telur di ujung tanduk. Siangyang
adalah perisai bagi tanah air kita, kalau kota ini jatuh, mungkin ber-juta2
rakyat kita akan
menjadi budak orang Mongol. Dengan mataku
sendiri kulihat keganasan orang MongoI, sungguh darahku menjadi mendidih
menyaksikan kekejaman musuh itu….”
Segera Yo Ko teringat juga keganasan
perajurit Mongol yang dilihatnya sepanjang perjalanan, saking gusarnya iapun
mengertak gigi.
“Kaum kita belajar silat dengan sepenuh
tenaga, walaupun tujuannya ingin berbuat kebajikan dan membela kaum kecil,
namun ini hanya sebagian kecil saja daripada tugas kita yang sebenarnya,” kata
Kwe Ceng pula, “Sebabnya orang Kangouw menyebut aku “Kwe-tayhiap”, kukira bukan
disebabkan.
kepandaianku yang tinggi melainkan
menghormati diriku yang berjuang mati-matian demi negara dan rakyat.
Namun aku sendiri merasa tenagaku seorang
teramat kecil dan belum dapat membebaskan rakyat dari kesengsaraan
sesungguhnya aku malu untuk disebut
“Tayhiap”, Kau masih muda, kepintaranmu dan kecerdasanmu berlipat ganda
daripadaku, hari depanmu pasti cemerlang dan tentu jauh melebihi diriku. Hanya
kuharap kau selalu ingat kepada pesanku ini: “Demi negara dan rakyat, itulah
tugas utama kita”, Semoga kelak namamu termashur dan menjadi seorang Tayhiap
(pendekar besar) sejati yang dihormati segenap rakyat jelata.
Uraian Kwe Ceng itu sangat mengena di lubuk
hati Yo Ko, dilihatnya Kwe Ceng bicara dengan sungguh-sungguh, simpatik, tapi juga
kereng, meski jelas dia adalah musuh yang membunuh ayahnya, tapi tanpa terasa
timbul juga rasa hormat dan segannya. Segera ia menjawab: “Kwe-pepek, jika
engkau sudah meninggal aku pasti akan ingat selalu perkataanmu ini.”
Sudah tentu Kwe Ceng tak mengira bahwa malam
ini juga si Yo Ko akan membunuhnya, dengan rasa sayang ia membelai kepala anak
muda itu dan berkata pula “Ya, memang, berjuang sampai titik darah penghabisan
kalau negara kita runtuh, jiwa pamanmu ini jelas juga takkan tertinggal lagi.
Baiklah, sudah jauh malam, marilah tidur.
Kabarnya Kubilai sangat pandai mengatur
pasukan, kemunduran pasukannya tadi mungkin cuma siasat belaka, dalam beberapa
hari ini pasti akan ada pertempuran dahsyat, kau perlu kumpulkan dan memupuk
semangat untuk memperlihatkan segenap kepandaianmu di medan perang.”
Yo Ko mengiakan saja, lalu membuka baju dan
mapan tidur. Belati yang dibawanya dari Coat-ceng-kok itu diam-diam diselipkan
nya di pinggang, ia pikir biar ilmu silatmu beratus kali lebih tinggi, kalau
sudah tertidur, sekali tikam dengan belati ini, masakah kau mampu mengelak?
Karena siangnya bertempur sengit, maka Kwe
Ceng rada lelah, begitu menempel bantal dia terus terpulas. Sebaliknya Yo Ko
bergolak-golik tak dapat tidur. Dia tidur di bagian dalam, didengarnya
pernapasan Kwe Ceng sangat teratur, tarikan dan hembusan napasnya terselang
agak lama, diam-diam ia kagum terhadap Lwekang sang paman yang hebat itu.
Agak lama kemudian, suasana terasa hening,
hanya dari jauh terdengar suara peronda sedang melakukan tugasnya pelahan Yo Ko
berduduk dan meraba belatinya, ia pikir kalau dia sudah kutikam mati, segera
kupergi membunuh Oey Yong pula, rasanya membereskan seorang wanita hamil tak
terlalu sulit, selesai semuanya segera bersama Kokoh kembali ke Coat-ceng-kok
untuk mengambil setengah biji obat itu.
Kemudian kami akan mengasingkan diri di
kuburan kuno itu untuk menikmati kebahagiaan hidup dan takkan peduli apakah
dunia ini akan menjadi milik Song atau direbut Mongol.
Begitulah hatinya sangat senang berpikir
sampai di sini, Tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang anak kecil di rumah
tetangga sana,menyusul suata sang ibu sedang meminang anaknya, suara tangis
anak itupun mulai mereda dan kemudian sunyi senyap pula.
Seketika hati Yo Ko tergetar, mendadak
teringat olehnya apa yang dilihatnya di perjalanan tempo hari, di mana seorang
Busu Mongol telah menyudet perut seorang bayi dan diangkat ke udara seperti
sundukan satai, bayi itu tidak lantas mati, tapi masih dapat menjerit ngeri.
Segera terpikir olehnya: “Untuk membunuh Kwe
Ceng sekarang bagiku sangat mudah. Tapi kalau dia mati, kota ini takkan dapat
dipertahankan lagi dan beribu-ribu anak kecil dalam kota ini tentu akan menjadi
mangsa keganasan perajurit Mongol. Aku sendiri berhasil membalas dendam, tapi
akibatnya jiwa rakyat jelata yang tak terhitung banyaknya akan menjadi korban,
apakah perbuatanku ini dapat dipuji?”
Tapi lantas terpikir pula: “Kalau tidak
kubunuh dia, tentu pula Kiu Jian-jio tak mau memberikan obatnya padaku dan
kalau aku mati pasti juga Kokoh tak dapat hidup lagi,” Betapa mendalam cintanya
kepada Siao-liong-li boleh dikatakan tiada taranya, karena itulah menjadi
nekat: “Sudahlah, biar peduli amat dengan jiwa rakyat Siangyang dan negara
segala, ketika aku menderita sengsara, selain Kokoh seorang siapa lagi yang
pernah menaruh belas kasihan padaku? Orang lain tidak pernah sayang padaku,
buat apa aku mesti sayang pada orang lain?”
Begitulah ia lantas angkat belati nya. tenaga
dikumpulkan pada tangan itu, ujung belati mengincar tepat pada dada Kwe Cing.
Lilin di dalam kamar itu sudah dipadamkan
tapi Yo Ko sudah biasa melihat dalam kegelapan, waktu belatinya akan ditusukan,
sekilas ia memandang wajah Kwe Ceng, dilihatnya air muka paman sangat tenang,
wajah seorang welas asih dan berbudi.
Belati sudah tergenggam di tangan Yo Ko, tapi
ia ragu-ragu untuk turun tangan mengingat keselamatan laksaan jiwa bangsa Han
yang akan menjadi korban keganasan serdadu Mongol yang kejam itu.
Kwe Ceng malam itu tidurnya sangat nyenyak.
Tiba-tiba terbayang pula dalam benak Yo Ko semua kejadian di masa lampau,
betapa kasih sayang paman padanya waktu tinggal di Tho-hoa-to dan tanpa
mengenal lelah sang paman mengantarnya ke Cong-lam-san untuk belajar siIat,
malahan berniat menjodohkan puteri tunggalnya kepadanya.
Tanpa terasa timbul pikirannya: “Selamanya
Kwe pepek bertindak jujur dan terus terang, beliau adalah seorang tua yang baik
budi, Pribadi seperti dia ini seharusnya tidak mungkin mencelakai ayahku,
Apakah mungkin Sah Koh yang tidak waras itu sembarangan omong? Kalau saja tikaman
ini
jadi kulaksanakan dan mungkin ternyata salah
membunuh orang baik, bnkankah dosaku sukar lagi diampuni? Wah, nanti dulu
kukira urutan ini harus kuselidiki dulu.
Perlahan-lahan ia lantas menyimpan kembali
belatinya, ia coba merenungkan pula satu demi satu kejadian di masa lalu sejak
dia bertemu dengan Kwe Ceng dan Oey Yong.
Teringat olehnya sikap Oey Yong yang kurang
simpati padanya, beberapa kali dipergoki suami isteri ku sedang membicarakan
sesuatu soal apa-apa, tapi pokok pembicaraan lantas dihentikan begitu dia
muncul. Kalau dipikir, tentu ada sesuatu diantara suami isteri itu sengaja
dirahasiakannya.
lngat pula sang bibi resminya menerimanya
sebagai murid, tapi yang diajarkan hanya membaca dan menulis, sedikitpun tidak
diajarkan silat. Apakah keramahan paman Kwe kepadaku itu bukan lantaran dia
telah mencelakai ayahku dan hatinya merasa tidak tenteram, maka sengaja
membaiki aku sekedar menenangkan hatinya yang merasa berdosa itu?
Begitulah Yo Ko terus bergulang-guling tak
dapat pulas.
Dalam pada itu Kwe Ceng masih tidur dengan
nyenyaknya, namun pada suatu ketika itu, dapat mengetahui pernapasan Yo Ko yang
rada memburu itu mendadak ia membuka mata dan bertanya: “Ada apa, Ko-ji? kau
tak dapat tidur?”
Badan Yo Ko rada bergetar, jawabnya: “Oh
tidak apa-apa”
“Kalau kau tidak biasa tidur bersama orang
lain, bolehlah kutidur di meja saja,” kata Kwe Ceng dengan tertawa.
“Wah, tidak, tidak apa-apa” sahut Yo Ko cepat
“Baiklah, jika begitu lekas tidur.” ujar Kwe
Ceng. “Orang belajar silat harus mengutamakan menenangkan batin dan memusatkan
pikiran.”
Yo Ka mengiakan. Akan tetapi pikirannya tetap
bergoIak akhirnya ia tidak tahan dan bertanya: “Kwe-pepek, dahulu waktu kau
mengantar diriku ke Cong lam-san,- sampai kuil dikaki gunung itu pernah
kutanyakan sesuatu padamu, apakah paman masih ingat?”
Hati Kwe Ceng terkesiap, jawabnya: “Ya, ada
apa?”
“Tatkala mana Kwe-pepek marah-marah dan
menghantam sebuah pilar batu sehingga menimbulkan salah paham para
Tosu hari Coan-cin-kau, apakah paman masih
ingat persoalanku yang kutanyakan itu?”
“Ya, kalau tidak salah kau tanyai cara
bagaimana meninggalnya ayahmu,”
Dengan tatapan tajam Yo Ko berkata pula.
“Waktu yang kutanyakan padamu adalah siapa kah yang membunuh ayahku.”
“Darimana kau mengetahui bahwa ayahmu di
bunuh orang?” kata Kwe Ceng.
“Memangnya ayahku meninggal secara
baik-baik?” tanya Yo Ko dengan suara agak serak.
Kwe Ceng terdiam sejenak, ia menghela napas
panjang, lalu berkata pula: “Ayahmu meninggal secara menyedihkan, akan tetapi
tiada siapapun yang membunuhnya, dia sendirilah yang membunuh dirinya sendiri”
Mendadak Yo Ko bangun berduduk, dengan
perasaan yang sangat terangsang ia berkata: “Tidak Kwe-pepek dusta padaku, mana
mungkin di dunia ini ada orang membunuh dirinya sendiri? seumpama ayahku
membunuh diri, tentu juga ada orang-lain yang menyebabkan kematiannya.”
Kwe Ceng menjadi berduka dan meneteskan air
mata, katanya pelahan: “Anak Ko, kakekmu dan ayahku adalah saudara angkat,
ayahmu dan diriku juga mengikat persaudaraan. Kalau ayahmu mati secara
penasaran masakah aku tidak berusaha membalas dendam baginya?”
Tubuh Yo Ko rada gemetar, saking menahan
perasaannya hampir saja ia berucap: “Kau sendiri yang membunuh ayahku dengan
sendirinya kau tidak mungkin membalaskan dendamnya.”
Tapi ia tahu sekali ucapannya itu dikeluarkan
tentu Kwe Cing akan waspada dan selanjutnya pasti sukar hendak membunuhnya.
Maka Yo Ko hanya diam saja, lalu tidak bicara lagi.
“Persoalan ayahmu sebenarnya sangat banyak
lika-likunya dan sukar diceritakan dalam waktu singkat.” kata Kwe Ceng pula. “Dahulu
waktu kau bertanya, karena kupikir usiamu masih terlalu muda dan belum dapat
memahami sebab musababnya dengan jelas, lantaran itulah aku tidak mau
menjelaskan padamu, sekarang kau sudah dewasa, sudah dapat membedakan mana yang
baik dan mana yang Jahat, maka setelah orang MongoI dipukul mundur, biarlah
nanti kuceritakan dari awal hingga akhir.” jeIasnya. Habis berkata ia terus
membalik dan tidur lagi.
Yo Ko cukup kenal perangai sang paman yang
tegas itu, sekali dia bilang satu, tidak mungkin berubah menjadi dua, Tapi ia
menjadi ragu-ragu lagi dan memaki dirinya sendiri: “Wahai, Yo Ko, biasanya kau
bertindak sesuatu selalu tegas dan berani, mengapa sekarang kau bimbang dan
takut-takut ?
Apakah kau jeri terhadap ilmu silatnya yang
lihay? Bukan saja kesempatan bagus malam ini kau sia-sia kan, besok bila Ui
Yong mengetahui maksud tujuanmu mungkin Kokohmu akan
ikut menjadi korban.
Teringat kepada Siao liong li, seketika ia
bersemangat lagi, ia meraba pula belatinya, belati yang menempel kulit perutnya
itu serasa panas oleh suhu badannya. Baru saja ia hendak mencabut belatinya,
tiba-tiba terdengar daun jendela diketok orang tiga tali dengan sangat pelahan.
“Cepat Yo Ko pura-pura tidur, sedangkan Kwe
Ceng, lantas terjaga bangun berduduk serta bertanya “Apakah Yong-ji di situ?
Ada urusan apa?”
Namun suara di luar jendela lantas berhenti,
Kwe Ceng terus berbangkit, dilihatnya Yo Ko tertidur nyenyak, ia pikir anak
muda itu baru saja pulas, sebaiknya jangan diganggu lagi. perlahan-lahan ia
lantas membuka pintu kamar dan keluar, diiihatnya Oey Yong sedang menunggunya
di serambi sana, Kwe Ceng mendekati sang isteri dan bertanya dengan suara
tertahan “Ada urusan apa?”
Oey Yong tidak menjawabnya, ia menarik tangan
suaminya ke halaman belakang, setelah memandang sekelilingnya, habis itu baru
berkata: “Percakapanmu dengan Ko-ji sudah kudengar semua. Dia mengandung maksud
buruk, apakah kau tidak tahu?”
Kwe Ceng terkejut “Apa? Dia bermaksud buruk
bagaimana?” ia menegas.
“Dari ucapannya itu, tampaknya dia mencurigai
kita berdua yang membunuh ayahnya,” tutur Oey Yong.
“Ya bisa jadi dia curiga,” Ujar Kwe Ceng
sambil menggeleng, “tapi aku sudah berjanji akan menceritakan sebab musabab
kematian ayahnya.”
“Memangnya kau benar-benar akan menceritakan
padanya tanpa menutupi sesuatu apapun ?” tanyanya.
“Begitu mengenaskan kematian ayahnya, selama
ini akupun selalu merasa bersalah,” kata Kwe Ceng, “Meski adik Yo Khong
tersesat ke jalan yang salah, tapi kita juga tidak berusaha menyadarkan dia dan
tidak berdaya menyelamatkan dia.”
“Hmm orang macam begitu masakah ada harganya
dibantu?” jengek Oey Yong, “Malahan aku justeru menyesal tidak membunuhnya
sedini mungkin, kalau tidak masakah beberapa gurumu itu sampai tewas di Thoa
hoa-to gara-gara perbuatannya?”
Teringat kepada peristiwa yang mengenaskan
itu, tanpa terasa Kwe Ceng menghela napas panjang
“Dari anak Hu kudengar kedatangan Ko-ji ini
kelihatan agak aneh, katanya pula kau tidur sekamar dengan dia, Aku menjadi
kuatir terjadi sesuatu, maka sejak tadi aku sudah mengawasi di luar jendela. Kukira
sebaiknya jangan tidur bersamanya, harus diketahui bahwa hati manusia sukar
dijajaki, pula ayahnya… meninggal akibat keracunan karena memukul bahuku. “
“Yong-ji, itupun tidak dapat dikatakan kau
yang mencelakai dia.” ujar Kwe Ceng.
“Walau kita memang ada maksud membunuhnya,
akhirnya dia juga mati akibat diriku, maka soal kita sendiri yang turun tangan
membunuhnya atau bukan menjadi tidak penting lagi.” kata Oey Yong.
Kwe Ceng berpikir sejenak, katanya kemudian
“Betul juga ucapanmu. Kalau begitu sementara ini takkan kuceritakan terus
terang padanya, Yong ji, sudah jauh malam, lekas kembali ke kamarmu dan
mengaso, besok malam biar kupindah tidur ke-markas saja.”
Biasanya Kwe Ging memang menuruti segala
nasehat Oey Yong, soalnya ia tahu kecerdasan dan pengetahuan sang isteri memang
berkali lipat lebih pintar daripada dirinya, dugaannya selalu tepat,
perhitungannya tak pernah meleset, meski ia tidak percaya bahwa Yo Ko bermaksud
jahat kepada-nya, tapi sang isteri sudah bilang begitu, maka ia lantas menurut
saja.
Segera Kwe Ceng memayang sang isteri kembali
ke kamarnya, katanya: “Kukira selekasnya Hu-ji dinikahkan saja dengan Ko-ji
agar selesailah persoalan kita ini.”
“Aku sendiripun bingung menghadapi urusan
ini!” ujar Oey Yong sambil menghela napas. “Kakak Cing, dalam hatiku hanya ada
engkau seorang begitu pula dalam hatimu sama ada aku, akan tetapi puteri kita
itu ternyata tidak seperti kau, juga tak seperti aku, dalam hatinya justeru
sekaligus terisi dua kekasih yang sukar dibedakan mana yang harus dipilih,
inilah yang membuat kita sebagai ayah-bundanya serba susah.”
“Dua kekasih” yang dimaksud Oey Yong bukan
lain daripada Bu Tun-si dan Bu Siu-bun. Kedua anak muda ini sama jatuh cinta
kepada Kwe Hu. sebaliknya Kwe hu juga tidak pilih kasih terhadap kedua saudara
Bu-itu.
Waktu masih kecil memang tidak menjadi soal,
tetapi ketiganya kini sudah dewasa, persoalan cinta segi tiga inipun menjadi
semakin rumit dan serba sulit.
Menurut pikiran Kwe Ceng, dia ingin
menjodohkan, puterinya kepada Yo Ko dan, untuk kedua saudara Bu akan dicarikan
gadis lain yang setimpal. Namun pikiran Oey Yong terlebih cermat, ia tahu
banyak kesulitan dalam persoalan jodoh ini. Kendatipun dia sangat pintar,
menghadapi soal rumit inipun dia merasa bingung dan tak berdaya.
Begitulah Kwe Ceng mengantar isterinya ke
dalam kamar, setelah berbaring dan menyelimutinya, ia duduk di tepi ranjang
sambil menggenggam tangan sang isteri dengan tersenyum bahagia. Selama sebulan
ini keduanya sama sibuk urusan tugas, suami-isteri jarang berkumpul dengan tenang,
sekarang keduanya berhadapan tanpa bicara, namun terasa sangat tenang.
Oey Yong memegangi tangan Kwe Ceng dan
digosok-gosokkannya pada pipi sendiri, lalu berkata dengan suara lirih: “Engkoh
Cing, anak kita yang kedua ini bolehlah kau berikan suatu nama yang baik.”
“Kau tahu aku tidak sanggup, mengapa kau
menggoda aku,” jawab Kwe Ceng dengan tertawa.
“Kau selalu mengatakan dirimu tidak sanggup
apa-apa, padahal, engkoh Cing, lelaki diseluruh jagat ini tiada keduanya yang
mampu melebihi kau,” kata Oey Yong dengan mesra dan sungguh-sungguh
Kwe Ceng menunduk dan mencium pelahan muka
sang isteri katanya: “Kalau anak laki-laki kita beri sama Boh-to saja, tapi
bila perempuan….” Dia berpikir sejenak, lalu menyambung “Kau saja yang
memberikan namanya.”
“Saat ini kita sedang mempertahankan kota
Siang yang ini menghadapi serbuan orang MongoI, karena anak dilahirkan di sini,
maka kita beri nama Yang saja, agar kelak kalau sudah besar anak ini akan
selalu ingat bahwa dia dilahirkan di kota yang sedang berkecamuk peperangan.”
“Bagus, diharap saja anak perempuan ini tidak
senakal Tacinya, sudah begitu besar masih membikin repot orang tua saja,” ujar
Kwe Ceng.
“Kafau cuma repot sih tidak jadi soal.” ujar
Oey Yong dengan tersenyum, “justeru dia…. .ahhh aku malah berharap anak ini
adalah laki-laki saja”
Kwe Ceng meraba-raba tangan sang isteri dan
ber-kata: “Anak laki-laki atau anak perempuan kan sama saja?
Sudahlah, lekas tidur, jangan berpikir
macam-macam” Setelah menyelimuti sang isteri dan memadamkan lilin, lalu Kwe Ceng
kembali ke kamarnya, dilihatnya Yo Ko masih tidur dengan lelapnya, di-dengarnya
bunyi kentongan tiga kali, segera ia naik tempat tidur lagi.
Tak diketahuinya bahwa percakapan mereka
suami-isteri dihalaman tadi telah dapat didengar semua oleh Yo Ko yang sembunyi
di balik pintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar