Kembalinya Pendekar Rajawali 22
Yo Ko tidak menjawab, ia tak berani membuang
tempo
lagi, segera ia pecut bokong keledai mereka
maka binatang ini
lantas kabur ke depan dengan cepat.
Pada umumnya jalan pedusunan memang sempit,
sebuah
joli besar dengan digotong delapan orang
dengan sendirinya
memenuhi jalan, kedua sampingnya sudah tentu
tiada
lowongan lagi, kini nampak ada keledai
berlari memapak dari
depan, keruan pengiring-pengiring kemanten
itu menjadi
ribut, mereka berteriak dan membentak dengan
maksud
menyuruh penunggang keledai menahan tali
kendalinya.
Tetapi bukannya Yo Ko menahan keledainya.
bahkan ia
mengempit semakin kencang hingga lari
binatang itu
bertambah cepat, maka sekejap saja sudah
menerjang sampai
di depan pengiring kemanten itu.
Dengan sendirinya mereka tidak tinggal diam,
segera ada
dua lelaki kekar menyerobot maju hendak
menarik tali kendali
keledai supaya jangan menubruk joIi pengantin
yang
digotong.
Mendadak Yo Ko ayun cambuknya, dengan tepat
ujung
cambuk itu melilit betis kedua lelaki itu,
ketika Yo Ko menarik
dan diulur lagi, maka kedua orang itu lantas
terlempar ke
pinggir jalan.
“Sekarang aku mau menyamar jadi pengantin !”
demikian
katanya pada Bu-siang. Habis ini mendadak ia
mendoyong ke
depan, ketika sebelah tangannya mengulur,
tahu-tahu
pengantin laki-laki yang menunggang seekor
kuda putih itu
kena dicengkeramnya.
Pengantin laki-laki itu usianya antara 17-18
tahun,
badannya lengkap memakai baju pengantin baru,
di atas
kepalanya tertancap hiasan bunga-bunga emas,
kini
mendadak kena dicengkeram oleh Yo Ko, keruan
bukan main
kagetnya.
Bukan begitu saja, bahkan Yo Ko sengaja
lemparkan
tubuh pengantin laki-laki itu ke udara
setinggi dua tombak
lebih, ketika jatuh ke bawah, di
tengah-tengah ramai suara
jeritan orang banyak tahu-tahu Yo Ko ulur
tangannya dan
menangkapnya lagi pengantin laki-laki itu,
Pengiring-pengiring pengantin itu seluruhnya
hampir tiga
puluhan orang, sebagian besar bertubuh tinggi
besar dan
kekar kuat, tetapi melihat ketangkasan Yo Ko,
pula pengintin
laki-laki jatuh dalam cengkeraman orang,
tentu saja mereka
ketakutan dan tiada yang berani maju.
Seorang diantara mereka rupanya lebih banyak
merasakan
asam garam, ia menduga Yo Ko pasti begal
besar, maka
dengan cepat ia lantas tampil ke depan.
“Mohon “Tay Ong” suka ampuni pengantin-nya,”
demikian
pintanya sambil memberi hormat, “Berapa
banyak kiranya
“Tay Ong” perlu pakai ongkos, pasti kami
turut perintah
dengan baik.”
“Hihi, nona Liok, kenapa mereka panggil aku
“Tay Ong” !
(raja besar, sebutan bagi pembegal) ? Aku kan
tidak she Ong
?” kata Yo Ko pada Bu-siang dengan tertawa.
“Sudahlah, jangan main gila Iagi, aku seperti
sudah
mendengar suara keleningan keledai tunggangan
Suhu,” sahut
Bu-siang.
Yo Ko kaget oleh jawaban itu, ia coba pasang
kuping,
betul saja sayup-sayup terdengar suara
berkumandangnya
keleningan
Kiranya Li Bok-chiu suka unggulkan ilmu
silatnya yang
tiada tandingannya di seluruh Kang ouw, maka
setiap tindak
tanduknya selalu main gertak dahulu, misalnya
sebelum dia
bunuh sasarannya, lebih dulu ia memberi tanda
cap tangan
berdarah di rumah orang itu, tiap cap
tangannya berarti
jumlah jiwa yang akan dibunuh dan sama sekali
tak gentar
meski lawannya mengundang pembantu atau
melarikan diri
meninggalkan rumah, sedang keledai belang
yang dia
tunggangi sengaja dia pasangi tiga belas
keleningan emas
pada lehernya, suara keleningan ini bisa
berkumandang jauh
sampai beberapa li, belum tiba orangnya,
suara keleningannya
sudah terdengar lebih dulu, dengan demikian
supaya musuh
sebelum lihat mukanya tapi lebih dulu sudah
ketakutan
setengah mati
“Sungguh cepat sekali datangnya,” begitulah
Yo Ko
berpikir, Tetapi ia masih berlagak bodoh atas
peringatan Bu-
siang tadi: “Keleningan ? Keleningan apa
maksudmu ? Apa
keleningan tukang jual jamu, kenapa aku tak
mendengarnya
?”
Habis ini, dengan sikap mengancam ia
berpaling dan
berkata pada orang tua tadi: “Kalian harus
turut perintahku
dengan begitu aku lantas bebaskan dia, kalau
tidak, hm…”
mendadak ia lemparkan pengantin laki-laki
tadi ke udara lagi
Rupanya saking ketakutan, pengantin laki-laki
itu sampai
menjerit dan menangis tergerung-gerung.
Sedang si orang tua
tadipun terus-menerus memberi hormat sambil
memohon :
“Ya, ya, pasti kami turut segala perintah Tay
Ong”
“Dia adalah biniku,” kata Yo Ko tiba-tiba
sambil tuding
Bu-siang, “la lihat kalian main sembahyang
jadi pengantin
segala, maka diapun ketarik dan ingin
main-main juga.”
“Apa kau bilang, Tolol ?” damperat Bu-siang
dari samping.
Akan tetapi Yo Ko tak mengurusnya, ia
meneruskan
pembicaraannya tadi: “Maka kalian lekas copot
pakaian
pengantin perempuan itu dan biarkan dipakai
dia, akupun
main menjadi pengantin lelaki.”
Keruan para pengiring kemanten itu menjadi
bingung
hingga saling pandang, sungguh mereka tidak
mengerti
mengapa pembegal di tengah jalan ini
tiba-tiba ingin main
kemanten-mantenan. Waktu mereka awasi Yo Ko
dan Liok
Bu-siang, yang satu pemuda cakap dan yang
lain gadis jelita,
kalau dibilang sepasang suami isteri,
memangnya sangat mirip
juga.
Selagi kejadian itu berlangsung, tiba-tiba Yo
Ko dengar
suara keleningan sudah semakin dekat,
lekas-lekas ia lompat
turun dari keledainya dan membiarkan Bu-siang
yang
menjaganya, ia sendiri lantas pergi ke - joli
kemanten, tiba-
tiba ia tarik tirai joli dan tarik keluar
pengantin perempuannya.
Tentu saja pengantin itu kaget hingga
menjerit tetapi
mukanya pakai kerudung kain merah, maka tak
diketahuinya
apa yang terjadi sesungguhnya.
Di lain pihak Yo Ko tidak berhenti begitu
saja, sekalian ia
tarik pula kain penutup muka orang, maka
tertampaklah muka
pengantin perempuan itu yang bundar bak bulan
purnama,
badan tampak montok pula.
“Ha, sungguh ayu kemantinnya,” demikian Yo Ko
menggoda pula tertawa, bahkan ia towel pipi
orang dengan
jarinya, Dalam ketakutannya pengantin
perempuan itu malah
menjadi bungkam tak berani berkutik
sedikitpun.
“Jika ingin kuampuni jiwanya, lekas kau tukar
pakaian
biniku itu dengan pakaian kemantin-mu,” Yo Ko
mengancam
lagi sambil tarik tubuh perempuan itu dan
diangkat ke atas.
Sementara Bu-siang mendengar juga suara
keleningan
keledai belang gurunya sudah tambah dekat
lagi datangnya, ia
mendelik pada Yo Ko ketika mendengar
kata-kata Yo Ko
tadi, pikirnya: “Si Tolol ini sungguh tak
kenal tebalnya bumi
dan tingginya langit, sudah dalam keadaan
demikian masih
terus bergurau ?”
Dalam pada itu didengarnya juga suara si
orang tua tadi
sedang mendesak kawan-kawannya : “Lekas tukar
pakai
pengantin padanya !”
Maka dengan gugup para pengiring lantas
lepaskan
pakaian pengantin dengan perlengkapannya dari
gadis tadi
dan dikenakan pada Liok Bu-siang.
Di sebelah sana Yo Ko tidak perlu bantuan
lagi, ia sendiri
lantas mencopot topi pakaian kemantin
laki-laki tadi terus
dipakainya sendiri.
“Nah, isteriku yang baik, sekarang masuklah
ke dalam
joIi,” demikian ia berkata pada Bu-siang
sesudah selesai
penyamarannya.
Tetapi Bu-siang menyuruh pengantin perempuan
tadi
masuk dulu ke joli, ia sendiri lantas duduk
dipangkuan orang,
habis itu tirai joli baru ia tutup.
Semetara itu sebenarnya Yo Ko masih ingin
ganti
sepatunya dulu, tetapi sudah tak keburu lagi,
suara keleningan
sudah berada di tikungan jalan sana.
“Lekas menuju ke arah tenggara, lekas tiup
dan tabuh
lagi!” segera ia memberi perintah, berbareng
ini iapun
melompat ke atas kuda putih yang dipakai
kemantin Laki-laki
tadi.
Karena sepasang kemantin baru sudah berada
dalam
cengkeraman kawanan “penjahat”, tentu saja
para pengiring
itu tak berani membantah, segera mereka tabuh
gembreng
dan meniup trompet lagi hingga keadaan
berubah riuh ramai
Dan baru saja joli itu putar kembali ke jalan
lain, belum
ada belasan tombak ditempuh atau suara
keleningan sudah
berbunyi dengan kencang di belakang mereka,
dua keledai
belang dengan langkah cepat telah memburu
datang.
Hati Bu-siang berdebar-debar keras demi
mendengar
suara keleningan yang sudah berada di
belakang itu, ia pikir
bisa tidaknya lolos dari elmaut hanya
tergantung sedetik ini
saja, maka dengan penuh perhatian ia
dengarkan gerak-gerik
yang terjadi di luar joli.
Di lain pihak Yo Ko yang menyamar sebagai
pengantin
laki-laki, ia pura-pura malu dengan kepala
menunduk.
“Hai, kalian melihat satu gadis pincang lewat
disini tidak ?”
demikian terdengar Ang Ling-po bertanya.
“Ti… tidak !” sahut si orang tua tadi dengan
suara tak
lancar.
“Apa tidak melihat seorang gadis jelita menunggang
keledai lewat sini ?” tanya Ang Ling-po lagi.
“Tidak,” sahut orang tua itu tetap.
Karena itu, Li Bok-chiu berdua lantas keprak
keledai
mereka melampaui iring-iringan kemantin itu
dan kabur ke
depan dengan cepat.
Tetapi hanya sebentar saja tiba-tiba Li
Bok-chiu dan Ang
Ling-po telah putar balik kembali, sesudah
dekat joli,
mendadak Li Bok-chiu ayun kebutnya, dengan
ekor ketat ia lilit
kain tirai joIi terus ditarik pelahan, maka
terdengarnya suara
memberebet, sebagian tirai itu telah robek.
Terkejut sekali Yo Ko oleh kejadian itu, ia
larikan kudanya
mendekati joli, ia tunggu apabila Li Bok-chiu
ayun ketatnya
untuk kedua kalinya, dengan segera ia akan
turun tangan buat
menolong orang.
Siapa duga Li Bok-chiu tidak geraki tangannya
kgi, ia
hanya melongok sekejap ke dalam joli, lalu
dengan tertawa ia
berkata: “Hah, kemantin-nya sungguh cantik !”
- Habis ini ia
menoleh dan berkata pula kepada Yo Ko : “He,
rejekimu
sungguh tidak jelek !”
Tetapi dengan cepat Yo Ko telah menunduk, tak
berani ia
kesamplok pandang dengan orang. .
Lalu terdengar pula suara keteprak-keteprak
kaki binatang,
Li Bok-chiu berdua telah pergi lagi.
Keruan Yo Ko terheran-heran oleh kejadian
itu. “Aneh,
kenapa dengan begitu saja ia lepaskan nona
Liok ?” demikian
pikirnya tidak habis mengerti.
Waktu ia melongok juga ke dalam joli, ia
lihat si kemantin
perempuan asli mukanya pucat lesi saking
ketakutan dan
badannya gemetaran pula, sedang Liok Bu-siang
ternyata tak
diketahui ke mana perginya, Keruan saja Yo Ko
bertambah
heran.
“He, nona Liok, dimanakah kau ?” segera ia
berseru
memanggil.
“Aku sudah hilang,” terdengar suara sahutan
li gadis
dengan tertawa.
Ketika kain panjang yang dipakai pengantin
perempuan itu
tersingkap, tahu-tahu Bu-siang muncul dari
bawah, kiranya ia
sembunyi di bawah kain panjang pengantin
perempuan itu.
Nyata nona ini memang cerdik, ia cukup kenal
sang guru
yang biasanya berlaku sangat teliti dan tidak
gampang diingusi
meski barang yang kecil saja, ia menduga
selewatnya sang
guru, tentu sebentar akan balik kembali oleh
karena itu ia
telah sembunyi lebih dulu.
“Nah, boleh kau menjadi kemanten perempuan
dengan
tenang, naik joli bukankah jauh lebih enak
daripada
menunggang keledai ?” kata Yo Ko.
Bu-siang memanggut tanda setuju, lalu ia
berkata juga
pada si kemanten perempuan itu : “Kau
berdesakan di sini dan
membikin aku sum-pek, lekas kau enjah
keluar!”
Karena terpaksa, mau-tak-mau perempuan itu
menurut, ia
turun joli dan ganti menunggang keledai yang
tadinya dipakai
Yo Ko itu.
Begitulah iring-iringan itu melanjutkan
perjalanan, setelah
belasan li dilalui pula, cuaca pelahan mulai
gelap.
Dengan tiada hentinya si orang tua tadi
memohon pada
Yo Ko agar suka bebaskan tawanan nya supaya
tidak bikin
kacau waktu upacara mereka, Tetapi Yo Ko
masih belum
mau sudah, ia mendongkol oleh kerewelan
orang.
“Apa yang kau cerewetkan terus ?” demikian ia
mendamperat, tetapi baru sekecap saja,
tiba-tiba dilihatnya
ada bayangan orang berkelebat di pinggir
jalan, ada dua
orang dengan tangkas cepat telah lari masuk
hutan.
Yo Ko menjadi curiga, ia tarik tali kendali
kudanya dan
memburu dengan cepat, lapat-lapat dapat
dilihatnya bayangan
kedua orang itu berbaju compang-camping
dengan dandanan
sebagai kaum pengemis.
“Jangan-jangan orang Kay-pang sudah
mengetahui
penyamaranku dan menyiapkan orang di depan
sana ?”
demikian pikir Yo Ko sambil tahan kudanya,
“Tetapi urusan
sudah terlanjur, terpaksa harus diteruskan
sampai akhirnya.”
Tidak lama kemudian joli kemanten itupun
sudah
menyusul datang, karena sebagian tirai joli
sudah terobek oleh
kebut li Bok-chiu, maka Bu-siang melongok
keluar dan tanya
Yo Ko : “Apa kau melihat sesuatu ?”
Yo Ko tidak memberi penjelasan sebaliknya ia
berkata
menyimpang: “Sebagai temanten, layaknya kau
menangis,
sekalipun hatimu seribu kali ingin kawin,
seharusnya kau
menangis tak mau meninggalkan rumah, mana ada
temanten
perempuan di jagat ini tak malu seperti kau
ini ?”
Bu-siang pun seorang gadis yang sangat
pintar, demi
mendengar kata-kata orang seakan-akan bilang
sasarannya
sudah diketahui orang, maka dengan pelahan ia
mengomel
sekali, lalu tidak membuka para pula.
Setelah berjalan tak lama, jalan pegunungan
di depan
mulai sempit dan menanjak hingga sangat susah
ditempuh,
para pengiring kemanten itu sudah dalam
keadaan letih, tapi
karena kuatir betapa marah Yo Ko, maka mereka
tak berani
mengunjuk rasa dongkol.
Tak lama lagi sang dewi malam mulai menongol
di ufuk
timur, burung gagak dengan suara yang serak
terbang di
udara kembali ke sarangnya.
Sepasang temanten yang kini menjadi tawanan
Yo Ko itu
selamanya belum pernah bertemu muka, kini
yang lelaki
melihat yang perempuan mengunjuk rasa
takut-takut namun
tak menutupi paras yang cantik, sedang yang
perempuan
memandang si lelaki yang juga cakap, kedua
orang itu
disamping merasa kuatir, diam-diam pun merasa
girang.
Begitulah sedang mereka melanjutkan
perjalanan, tiba-tiba
dari balik bukit sana terdengar suara
berdendang belasan
orang lagi melagukan : “Nona cilik berbuatlah
murah hati,
berikanlah sedekah sebelah kuping dan sebuah
hidung !”
Mendengar suara nyanyian itu, seketika muka
Bu-siang
berubah, “Ha, kiranya keempat pengemis itu
bersembunyi di
sini,” demikian pikirnya.”
Sesudah joli kemanten itu melintasi bukit,
tertampaklah di
depan sana menanti tiga pengemis yang
berperawakan tinggi
jangkung, sama sekali berlainan dengan keempat
pengemis
yang dilihatnya siang tadi.
Waktu Yo Ko meneliti kantong goni yang berada
di
pundak ketiga pengemis itu, ia lihat
masing-masing
menggendong tujuh buah, “Tentu ketiga
pengemis tujuh
kantong ini jauh lebih lihay dari pada empat
orang yang
berenam kantong itu, tampaknya tidak bisa
tidak harus turun
tangan sungguh-sungguh” pikirnya.
Dalam pada itu karena sudah letih dan sedang
uring-
uringan, keruan para pengiring kemanten itu
menjadi lebih
mendongkol demi nampak ketiga pengemis itu
mengadang di
tengah jalan, segera ada diantaranya ayun
cambuk menyabet
kepala salah satu pengemis itu.
“Hai, lekas enyah, lekas minggir !” demikian
bentak
mereka.
Akan tetapi pengemis itu tidak berkelit,
hanya sekali tarik
pucuk cambuk terus dibetot, maka tidak ampun
lagi orang
yang menyabet itu jatuh ngusruk ke depan
seperti anjing
menubruk tahi. Melihat kawan mereka
dijungkalkan, kalau
dalam keadaan biasa, tentu ramai-ramai para
pengiring itu
akan mengerubut maju, tetapi kini mereka
sedang ketakutan
karena sudah dihajar Yo Ko tadi, mereka pikir
ketiga
pengemis ini tentu juga sekomplotan dengan
pembegal ini,
maka tiada seorang pun yang berani maju,
sebaliknya malah
pada menyurut mundur.
“Selamat dan bahagialah nona, kami tukang
minta-minta
ini ingin mohon diberi persen beberapa duit,”
demikian salah
satu pengemis itu membuka suara dengan
lantang,
“Tolol,” kata Bu-siang pada Yo Ko, “aku
terluka dan tak
bisa turun tangan sendiri, kau saja wakilkan
aku enyahkan
mereka.”
“Baik,” sahut Yo Ko tanpa rewel. Habis ini
kudanya lantas
dilarikan ke depan terus membentak: “He, hari
ini adalah hari
baikku sedang kalian pengemisl ini jangan
banyak cerewet,
lekas pergi dari sini!”
Karena dibentak, salah satu pengemis itu
mengamat-amati
Yo Ko, namun mereka tak dapat meraba siapakah
gerangan
pemuda yang berani membentak-bentak mereka
ini.
Kiranya keempat pengemis kentong enam yang
tertutuk
oleh duri tulang ikan itu, semuanya menyangka
Bu-siang yang
menyerang mereka, maka sama sekali mereka tak
sebut-sebut
tentang Yo Ko pada paman-paman guru mereka,
yakni ketiga
pengemis kantong tujuh ini.
Dalam pada itu, salah seorang pengemis itu
tiba-tiba
angkat tangannya, karena itu kuda yang
ditunggangi Yo Ko
menjadi kaget hingga berdiri dengan kaki
belakang, Yo Ko
pura-pura terperosot dari kuda dan terbanting
jatuh dengan
keras-keras, dan sampai lama tak sanggup
bangun.
“Ha, kiranya orang ini memang pengantin
laki-lakinya,”
pikir ketiga pengemis itu demi menyaksikan
jatuhnya Yo Ko
itu.
Kay-pang sebenarnya adalah perkumpulan kaum
jembel
yang selamanya membela keadilan kaum lemah
dan
memberantas kaum penindas, sebabnya mereka
bermusuhan
dengan Liok Bu-siang adalah karena gadis ini
tanpa sebab
telah melukai orang mereka.
Kini melihat Yo Ko tak pandai silat, malahan
telah jatuh
terbanting dengan berat? rasa mereka menjadi
menyesal, satu
diantara pengemis itu telah menariknya
bangun.
“Ai, kalian ini terlalu…” demikian Yo Ko
pura-pura
mengomel, “minta ya minta, kenapa biki kaget
binatang
tungganganku?”
Sambil berkata iapun rogoh keluar tiga mata
uang dan
diberikan kepada pengemis-pengemis itu,
Mengingat
peraturan Kay-pang, ketiga pengemis itu
terima pemberian itu
dan menghaturkan terima kasih.
“Nah, kau suruh aku bereskan mereka, sekarang
sudah
kuIakukan,” dengan menyengir kemudian Yo Ko
berkata
pada Liok Bu-siang.
“Hm, untuk apa kau berlagak tolol padaku?”
omel Bu-
siang.
Tetapi Yo Ko hanya mengia saja dan mundur
kepinggk
jalan sambil mengebut debu yang berada di
badannya.
“Sebenarnya kalian inginkan apa ?” dengan
sikap dingin
kemudian Bu-siang tegur ketiga pengemis itu,
karena orang
masih menghadang di tengah jalan.
“Anak murid golongan kami bilang nona adalah
jago dari
Ko-bong-pay, karena kagum, maka kami ingin
minta petunjuk
beberapa gebrakan dari nona,” sahut satu
diantaranya.
“Aku dalam keadaan terluka, cara bagaimana
bisa
bergebrak dengan kalian ?” kata Bu-siang.
“Jika betul-betul
kalian penasaran, bolehlah tetapkan harinya,
nanti kalau
lukaku sudah sembuh, pasti ku datang minta
pengajaran
kalian, Kalian bertiga adalah jago dari
Kay-pang, kini sengaja
hendak mengeroyok satu gadis yang sedang luka
parah,
apakah ini terhitung orang gagah perkasa ?”
Dengan kedudukan yang cukup tinggi ketiga
pengemis itu,
mereka jadi terdesak oleh debat Bu-siang ini.
“Baiklah, nanti kalau lukamu sudah sembuh,
kami cari kau
lagi,” kata pengemis yang kedua.
“Nanti dulu,” tiba-tiba pengemis yang ketiga
berpikir lain:
“Dimanakah lukamu ? Apa betul atau pura-pura,
kami harus
periksa dulu, kalau benar kau terluka, hari
ini kami boleh
ampuni kau.”
Ia berkata begitu karena tak diketahuinya
luka Bu-siang
berada di bagian dadanya, maka tidak sengaja
ingin
mengetahui tempat luka ini, tapi bagi
Bu-siang seketika
mukanya menjadi merah, iapun menjadi gusar
hingga untuk
sesaat tak bisa bicara.
“Hm, orang Kangouw bilang sahabat-sahabat
dari Kay-
pang semuanya ksatria sejati, siapa tahu
semuanya adalah
manusia-sia yang tak kenal malu,” kemudian
Bu-siang
mendamperat.
Mendengar nama baik perkumpulan mereka
dihina, air
muka ketiga pengemis itu berubah semua, satu
diantaranya
yang berwatak berangasan segera melompat
maju, dan
hendak tarik Bu-siang keluar dari jolinya.
“Eeeeh, nanti duIu, nanti dulu !” tiba-tiba
Yo Ko menyela
demi dilihatnya keadaan sudah mendesak
“Kalian minta duit,
bukankah aku sudah memberi tadi, kenapa
sekarang masih
merecoki biniku ?”
Sembari berkata iapun maju menghadang di
depan joli,
lalu ia sambung lagi, “Tampaknya kalian meski
pengemis, tapi
tampangmu gagah, potonganmu pun banyak
rejeki, kelak
banyak harapan akan menjadi orang kaya atau
orang
berpangkat, kenapa sekarang berani goda
biniku dan
melakukan perbuatan-perbuatan rendah seperti
bajingan ini ?”
Teguran ini membikin ketiga pengemis menjadi
tercengang hingga mereka tak bisa menjawab.
“Kau menyingkir, kami hanya ingin belajar
kenal dengan
ilmu silatnya dari Ko-bong-pay, siapa yang
melakukan
perbuatan rendah ?” sahut si pengemis yang
berangasan tadi
Sambil berkata, berbareng ia mendorong Yo Ko.
“Haya !” Yo Ko berteriak dan pura-pura jatuh
ke tepi
jalan.
Dalam perserikatan kaum pengemis itu ada
peraturan
yang melarang bergebrak dengan orang yang tak
mahir ilmu
silat, Sungguh tak terduga oleh pengemis itu
bahwa
“pengantin laki-laki” ini ternyata begitu tak
becus. hanya sekali
dorong pelahan saja sudah terbanting jatuh,
kalau terbanting
luka, tentu bakal terima hukuman berat dari perkumpulan,
dua
kawannya pun tidak terluput dari tanggung
jawab ini.
Karena itu mereka terkejut, lekas-lekas
mereka memburu
maju buat bangunkan orang, sebaliknya Yo Ko
sengaja
menjerit kesakitan Karena hari sudah gelap
waktu itu, maka
pengemis itupun tak jelas apa betul-betul
orang terluka - atau
tidak.
“Ai, kalian bertiga inipun orang tolol,
biniku baru jadi
pengantin dan masih malu-malu. mana mau dia
bicara dengan
orang yang tak dikenalnya,” demikian sambil
berteriak-teriak
sakit masih Yo Ko berkata lagi, “Begini saja,
pelajaran
apakah yang kalian inginkan ? Coba katakan
padaku, nanti
aku yang bicara dengan biniku yang baru ini.
habis itu nanti
kuberitahukan lagi pada kalian bukankah baik
begitu ?”
Melihat macam Yo Ko yang dibilang tolol toh
tidak tolol,
akhirnya mereka tak sabar Iagi.
“Kau mau menyingkir tidak ?” pengemis yang
berwatak
keras tadi membentak pula.
Akan tetapi Yo Ko sengaja pentang kedua
tangannya
malah.
“Tidak, kalian hendak hina biniku, itulah
jangan harap,”
sahutnya dengan suara keras.
“Nona Liok,” kata pengemis yang lain, “kau
pakai si tolol
ini sebagai tamengmu, apa dia bisa merintangi
kami ? Lekas
kau berterus terang saja, apa yang hendak kau
katakan !”
“Eh, darimana kaupun tahu namaku si Tolol?
Sungguh
aneh bin ajaib !” tukas Yo Ko tiba-tiba
dengan lagak heran.
Tetapi pengemis yang berangasan tadi tak
gubris padanya,
ia masih berteriak pada Liok Bu-siang: “Kami
tidak ingin
belajar lain, cukup asal belajar kenal dengan
tipu seranganmu
dengan golok membacok punggung itu saja,
apakah nama
tipu serangan itu?”
Bu-siang tahu juga bahwa dengan caranya Yo Ko
menggoda mereka itu, sukar juga urusan ini
diselesaikan,
karena itu dalam hati sedang memikirkan
sesuatu jalan
meloloskan diri, ketika mendengar orang
menanya lagi, tanpa
terasa ia telah menjawab : “Namanya
“Tiau-siang-pay-gwe”,
ada apakah ?”
“Ya, betul, namanya “Tiau-sian-pay-gwe”,
begini gerak
goloknya, bet, lantas kena bacok di
punggungmu,” tiba-tiba
Yo Ko menyambung sambil mulutnya “bat-bet,
bat-bet”,
tangan pun mendadak memotong ke belakang
pundak orang
“plok”, dengan pinggiran telapak tangan ia
hantam punggung
pengemis itu.
Keruan saja ketiga pengemis itu sangat
terkejut oleh gerak
serangan Yo Ko, berbareng mereka melompat
mundur.
“Ha, kiranya orang ini pura-pura menyamar
sebagai
pengantin untuk mempermainkan kami,” demikian
pikir
mereka.
Walaupun tak banyak tenaga yang dikeluarkan
Yo Ko,
namun punggung pengemis itupun terasa sakit.
“Bagus, anak keparat, kau pura-pura tolol
Mari, mari sini,
biar kubelajar kenal dulu dengan kepandaianmu
yang tinggi,”
segera pengemis itu berteriak-teriak
menantang, berbareng
tongkat diketokkan ke tanah hingga
menerbitkan suara
nyaring keras.
“Tadi kau bilang ingin belajar pada biniku,
kenapa
sekarang hendak belajar kenal padaku ?” sahut
Yo Ko
berlagak bodoh.
“Belajar kenal dengan kau pun sama saja,”
kata pengemis
itu dengan gusar.
“Wah, bisa celaka, aku tak bisa apa-apa,”
ujar Yo Ko,
habis ini ia berpaling dan tanya Bu-siang :
“Bini cilik yang baik,
menurut kau, apa yang harus kuajarkan
padanya?”
Kini Bu-siang sudah tidak ragu-ragu lagi akan
si Yo Ko
yang pasti memiliki ilmu silat yang sangat
tinggi, kalau tidak,
mana berani ia cengar cengir berlagak bodoh
menggoda
ketiga jago Kay-pang ini? Tetapi karena belum
kenal aliran
ilmu silat orang, maka sekenanya ia menjawab
pula: “Kau
unjuk sekali lagi jurus Tiau-sian-pay-gwe !”
“Baik !” sahut Yo Ko, berbareng ini,
tiba-tiba ia
membungkuk ke depan, tangan mengulur, “plok”,
dengan tipu
“Tiau-sian-pay-gwe” atau Tiau-sian menyembah
rembulan,
kembali ia gebuli sekali lagi punggung si
jembel itu.
Melihat serangan Yo Ko, semua orang bertambah
kaget
dan heran pula, Terang Yo Ko berdiri
berhadapan dengan
lawan dan sama sekali tak menggeser
selangkahpun tetapi
hanya sedikit membungkuk dan tangan mengulur,
tahu-tahu
tangannya berhasil menggebuk punggung orang,
sungguh
ilmu pukulan yang sangat aneh dan
mengherankan.
Bukan saja orang-orang itu heran, bahkan
Bu-siang pun
tergetar hatinya. “Bukankah ilmu pukulannya
ini adalah aliran
Ko-bong-pay kami, kenapa diapun bisa ?”
demikian ia
bertanya dalam hati.
Dengan ragu segera ia berkata lagi: “Coba
sekali Iagi,
sekarang jurus “Se-si-hong-sim !”
“Baik !” sambut Yo Ko cepat.
Ketika tinjunya menyodok ke depan, dengan
tepat kena
pukul ulu hati lawan, itulah tipu serangan
“Se-si-hong-sim”
atau Se Si meraba dada.
Karena genjotan itu, maka terasalah oleh
pengemis itu
didorong suatu kekuatan yang maha besar
hingga tubuhnya
mencelat pergi sejauh lebih setombak, anehnya
disana ia bisa
berdiri dengan tegak, tempat yang terkena
pukulan pun tidak
terasa sakit.
Walaupun begitu, kedua pengemis yang lain
segera
menerjang maju berbareng.
“Haya, celaka, bini cilik, tak sanggup aku
melawan
mereka, lekas ajarkan tipu padaku,” Yo Ko
berteriak-teriak.
“Ciau-kun-jut-sat, Moa-koh-hian-siu !”
tiba-tiba Bu-siang
menyebut dua nama tipu serangan.
Maka dengan cepat Yo Ko ulur tangan diri,
lima jarinya
menjentik berbareng seperti orang menabuh
Pi-peh dan lima
jari itu juga dengan tepat kena menyentil
tubuh pengemis
sebelah kanan memang betul itulah tipu
“Ciau-kun-jut-sat”
atai Ciau-kun keluar negeri MenyusuI mana,
tubuhnya tiba-
tiba mengegos ke samping, ia hindarkan
tendangan si
pengemis sebelah kiri yang sementara itu
sudah melayang,
sedangkan kedua kepalan telah disodokkan ke
atas, “plak”,
dengan jitu sekali dagu pengemis sebelah kiri
itupun kena
ditonjok.
“lni “Moa-koh-hian-siu”, betul tidak ?”
teriak “Yo Ko,
Karena tak ada niat buat celakai pengemis
itu, maka tenaga
hantamannya tadipun tidak keras.
Begitulah ber-turut-urut Yo Ko telah unjuk
empat kali
serangan dan tiap-tiap tipu serangan adalah
“Bi-li-hoat” “dari
Ko-bong-pay,
Ko-bong-pay dimulai sejak cakal-bakalnya, ya
itu Lim Tiao-
eng, selamanya hanya terima murid wanita dan
tidak lelaki,
Lim Tiao-eng telah ciptakan ilmu pukulan yang
disebut “Bi-li-
kun-hoat” atau ilmu pukulan gadis ayu, maka
tiap-tiap tipu
serangannya diberi nama dengan mengambil
nama-nama
wanita cantik jaman purbakala, waktu ilmu
pukulan itu
dimainkan, orangnya lemah gemulai gayanya
indah luar biasa.
Sebab Siao-Iiong-li sudah melanggar kebiasaan
menerima
murid wanita dan telah terima Yo Ko sebagai
murid, dengan
sendirinya “Bi-li-kun-hoat” itupun diajarkan
padanya, Tetapi
Yo Ko merasa tipu-tipu serangan itu meski
lihay, namun
gayanya selalu kiyat-kiyut, tidak pantas
dilakukan orang Ielaki,
maka waktu ia melatih ilmu pukulan itu, ia
sendiri telah
tambahi dengan tenaga besar dan gaya kaum
lelaki, dari gaya
yang lemah gemulai itu ia rubah menjadi gaya
lelaki yang
gagah perkasa, walaupun gayanya lain, tetapi
intilnya masih
tetap.
Begitulah, sesudah kena diserang Yo Ko dengan
cara-
cara yang sukar dimengarti, ketiga pengemis
yang terhitung
jago kelas tinggi dari Kay-pang itu masih
belum mau
menyerah begitu saja, sekali bersuit
berbareng mereka
mengerubut maju Iagi.
“Haya, celaka, bini cilik, sekali ini kau
bisa menjadi janda!”
teriak Yo Ko sambil berkelit ke sana kemari.
Bu-siang terkikik geli oleh teriakan itu,
“Thian-sun-cit-kim!”
tiba-tiba ia menyebut satu nama tipu serangan
lagi.
Tanpa pikir Yo Ko mengayun tangan kanan ke
kiri dan
tangan kiri menyodok ke kanan, ia bergaya
seperti orang
memintal, sesuai dengan nama tipu
“Thian-sun-cit-kim” atau
Thian-sun memintal sutera, maka sekaligus
pundak kedua
pengemis itu kena dihantam semua.
“Bun-kun-taog-lo, Kui-hui-cui-ciu!” kembali
Bu-siang
menyebut dua nama Iagi.
Eh, betul juga, si Yo Ko lantas angkat tangan
seperti
menuang arak dan ketok ke atas kepala si
pengemis yang
bertabiat berangasan itu, menyusul tubuhnya
terhuyung-
huyung dan miring ke kiri, maka perut si
pengemis yang lain
dengan tepat kena ditumbuk oleh pundak
kanannya. itulah
tipu-tipu “Bun-kun-tang-lo” dan
“Kui-hui-cui-ciu” atau Bun-kun
mengipas anglo dan Kui-hui mabuk arak.
Terkejut dan gusar pula ketiga pengemis itu,
mereka telah
keluarkan ilmu silat seluruhnya, tapi
sedikitpun tak bisa
menghantam orang, sebaliknya lawannya bebas
mengayun
tangan atau melayangkan kakinya, ke mana
dipukulnya, di
situ tentu kena, meski tak sakit tempat yang
kena serangan,
namun luar biasa anehnya.
Kemudian berulang-ulang Bu-siang menyebut
lagi
beberapa tipu serangan yang satu per satu
dilakukan Yo Ko
lagi dengan betul. Sungguh kagum sekali Liok
Bu-siang oleh
kepandaian “si ToIol”, Segera timbul juga
kejadiannya untuk
permainkan “si Tolol”, ia lihat Yo Ko waktu
itu sedang ulur
kepalan menghantam ke depan, mendadak ia
berteriak : “Cek-
thian-sui-liam !”
Menurut keadaan Yo Ko waktu itu sekali-kali
tidak
mungkin bisa memakai tipu serangan yang
disebut itu, tetapi
betapa tinggi Lwekang Yo Ko sekarang, bisa
saja dilakukan
tipu apa yang orang inginkan,
sekonyong-konyong tubuhnya
menubruk ke depan, kedua tangannya memotong
ke bawah
dengan gaya seperti menurunnya kerai, tidak
salah lagi ini
memang tipu “Cek-tbian-sui-Iiam” atau Bu
Cek-thian
menurunkan kerai.
Sebelum itu sebenarnya ketiga pengemis itu
lagi
menubruk maju karena melihat ada kesempatan,
siapa tahu
oleh tubrukan Yo Ko ini, mereka terbalik
terdesak mundur
beberapa langkah.
Luar biasa heran dan senangnya Liok Bu-siang
oleh
kemahiran “si Tolol” ini, kembali ia berseru
: “lt-siau-cing-kok
!”
“lt-siau-cing-kok” atau sekali tertawa
meruntuhkan negara,
inilah satu tipu pilihan Bu-siang sendiri
yang tak pernah ada
dalam pelajaran “Bi-li-kun-hoat”, sebab meski
wanita cantik
dengan senyum dan tawanya bisa meruntuhkan
suatu negara:
tapi mana dapat digunakan untuk bergebrak dengan
pihak
lawan ?
Akan tetapi disinilah Yo Ko unjuk
kemahirannya, sesudah
tertegun sedetik karena nama tipu yang aneh
itu, namun
segera ia menengadah dan tertawa:
“hahaha…hehehehe…
huhuhu… hohoho… hahahaha !”
Sungguh aneh sekali suara tertawanya ini, ternyata
Nyo
Ko telah keluarkan Lwekang yang paling tinggi
dari “Kiu-im-
cin-keng” yang dilatihnya walau latihannya
belum bisa dibilang
masak dan belum dapat dipakai untuk melawan
jago kelas
wahid, tetapi ketiga pengemis itu hanya anak
murid Kay-pnng
kelas dua-tiga saja, ketika mendengar suara
ketawa yang
aneh itu, tak tahan lagi telinga mereka
seakan-akan pekak dan
kepala pusing, mereka terhuyung-huyung untuk
kemudian
terguling’jatuh semua saking tak tahan.
Bukan saja tiga pengemis itu, bahkan Bu-siang
ikut
terkena juga akbiatnya, iapun merasa pusing
hingga hampir
jatuh semaput, lekas-lekas ia pegang
erat-erat tiang joiij
sementara itu di bagian luar keadaan sudah
kacau balau,
suara jeritan dan gedubrakan bercampur aduk,
para pengiring
kemanten dan kedua penganten baru itu sudah
jatuh terguling
semua karena tak tahan oleh suara tertawa Yo
Ko.
Setelah Yo Ko hentikan tertawanya, dengan
cepat ketiga
pengemis itu melompat bangun, tanpa berpaling
lagi segera
mereka angkat kaki.
Dan sesudah mengaso lagi tak lama, kemudian
iring-
iringan joli penganten itu melanjutkan
perjalanan agi,
terhadap Yo Ko kini para pengiring itu
menganggapnya
seperti malaikat dewata saja, tiada
seorangpun yang berani
membangkang lagi.
Menjelang tengah malam, barulah mereka sampai
di satu
kota, di situlah Yo Ko membubarkan para
pengiring
kemanten itu, ia dan Bu-siang antas
mendapatkan sebuah
hotel untuk menginap.”
Waktu mereka hendak bersantap dulu, baru saja
mereka
duduk, tiba-tiba Yo Ko melihat di depan pintu
ada
berkelebatnya bayangan orang, satu orang
telah longak-
longok ke dalam dan demi nampak Yo Ko dan
Bu-siang,
cepat orang itu meng-eret dan putar pergi.
Yo Ko jadi curiga, dengan cepat ia menyusul
keluar,
maka tertampaklah olehnya di pelataran hotel
sana berdiri dua
Tojin atau imam. Begitu melihat Yo Ko keluar,
segera kedua
imam itu menubruk maju ke arahnya.
Kedua imam itu dapat dikenali Yo Ko sebagai
Tio Put-
hoan dan Ki Jing-si yang pernah saling labrak
dengan Liok Bu-
siang di lembah Srigala tempo hari.
“He, ada apakah kalian marah padaku ?”
|nikian Yo Ko
heran karena orang menubruk ke jurusannya, ia
berdiri tegak
saja tanpa gubris mereka.
Tak terduga tujuan kedua imam itu ternyata
bukan diri
Yo Ko, tiba-tiba mereka mengegos lewat di
sampingnya terus
melompat ke depan Bu-siang.
Akan tetapi sebelum terjadi sesuatu, pada
saat itu juga,
tiba-tiba terdengar suara keleningan yang
nyaring.
Suara kelenengan ini datangnya mendadak dan
tahu-tahu
sudah berada dalam jarak yang dekal sekali.
Muka kedua Tosu
itu berubah hebat demi mendengar suara kelenengan,
sesudah saling pandang sekejap, segera mereka
lari kembali
ke kamar yang berada di sebelah barat sana,
dengan keraj
mereka gabrukan daun pintu dan dikunci rapat
untuk
kemudian tak berani keluar lagi.
“Ha, imam-imam busuk ini tentu pernah
merasakan pahit
getir tangannya Li Bok-chiu, makanya mereka
begitu takut
padanya,” diam-diam Yo Ko membatin.
“Suhu sudah datang, bagaimana baiknya, Tolol
?” dengan
suara tertahan Bu-siang menanya Rupanya iapun
berkuatir.
“Bagaimana baiknya ?”
Dan selagi ia hendak pondong si gadis,
mendadak suara
kelenengan tadi sudah berhenti di depan
“pintu hotel”
Betul saja lantas terdengar suara Li Bok-chi
sedang
berkata: “Ling-po, kau menjaga atas wuwungan
rumah !”
Terdengar Ang Ling-po menyahut sekali, dengan
cepat
sang murid melompat ke atas.
Menyusul terdengar lagi suara kasir hotel
yang berkata:
“Sian-koan, engkau orang tua.. aduh… Aku…”
Suara si kasir hotel ternyata terputus sampai
di situ saja,
sebab orangnya mendadak terguling ke lantai
dan jiwanya
sudah melayang.
Kiranya Li Bok-chiu paling benci bila orang
menyebut kata-
kata “tua” di hadapannya, apalagi orang
terang-terangan
katakan dia “orang tua”, keruan tanpa ampun
lagi, sekali
kebutnya menyabet, seketika jiwa kasir hotel
itu melayang.
“Ada seorang nona pincang tinggal di sini
tidak ?” lalu Li
Bok-chiu tanya pelayan hotel.
Tetapi pelayan itu sudah ketakutan melihat
keganasannya.
“Aku… aku…” demikian sahutnya tak terang.
Li Bok-chiu menjadi tak sabar, sekali dorong
ia sengkelit
pelayan itu hingga cium tanah, habis ini lantas
terdengar
suara “bang” yang keras, pintu kamar pertama
di sebelah
barat itu didobraknya hingga terpentang,
itulah kamar para
imam.
“lnilah kesempatan untuk melarikan diri
melalui pintu
belakang, meski akan dipergoki Ang Ling-po,
tetapi aku tak
takut padanya,” diam-diam Yo Ko terpikir.
Karena itu,
dengan suara lirih ia berkata pada Liok
Bu-siang: “Bini cilik,
lekas ikut aku melarikan diri”
Si gadis pelototi Yo Ko karena orang berulang
kali panggil
“bini cilik” padanya, tetapi ia berdiri juga,
ia pikir sekali ini
kalau bisa selamat pula, betul-betul Tuhan
yang
melindungiNya.
Pada saat itu juga, dari pojok ruangan hotel,
itu satu
tetamu telah berdiri, waktu ia jalan melalui
samping Yo Ko
dan Bu-siang, tiba-tiba dengan suara tertahan
ia berkata :
“Aku pancing dia pergi, lekas cari jalan buat
selamatkan diri.”
Orang ini sejak tadi duduk di satu meja di
pojok yang rada
gelap, maka Yo Ko dan Bu-siang sama sekali
tak perhatikan
muka orang, Kini waktu bicara mukanya pun
berpaling ke
jurusan lain, baru selesai bicara, dengan
cepat orangnya
sudah melangkah keluar, hanya potongan
belakangnya yang
tertampak jelas bahwa perawakannya tidak
tinggi, malahan
lebih pendek sedikit dari pada Liok Bu-siang,
baju yang
dipakainya berwarna hijau dan rada kebesaran.
Dengan tipu akal apa pula Yo Ko menolong
Bu-siang dan
ngelabui Li Bok-chiu ?
Jago-jago Kaypang mana pula yang akan membuat
perhitungan terhadap mereka ?”
Tentu saja Yo Ko dan Bu-siang terkejut oleh
kata-kata
orang tadi, sedang mereka bingung, mendadak
terdengar
suara kelenengan keledai berbunyi riuh terus
menjauh menuju
ke utara.
“Suhu, ada orang mencuri keledai kita !”
terdengar Ang
Ling-po berteriak.
Dengan cepat pula satu bayangan berkelebat
dari dalam
kamar tadi, Li Bok-chiu melayang keluar terus
mengudak ke
arah perginya si pencuri keledai.
“Lekas kita lari!” segera Bu-siang mengajak.
Akan tetapi Yo Ko berpandangan lain, ia
pikir: “llmu
entengkan tubuh Li Bok-chiu cepat luar biasa,
tentu segera
orang tadi akan dicandaknya dan segera pula
ia bisa balik
kembali. Kalau aku pondong nona pincang ini,
karena tak bisa
cepat berlari, sukar juga buat meloloskan
diri.”
Mendadak ia mendapat akal, dengan cepat kamar
pertama
di sebelah barat sana dimasukinya.
Di kamar itu ia lihat Tio Put-hoan dan Ki
Jing-si dalam
keadaan ketakutan sedang duduk di atas
pembaringan. Tahu
keadaan mendesak tanpa menunggu kedua imam
itu
bersuara, dengan cepat Yo Ko menubruk maju,
sekali ia
tutuk roboh kedua orang itu.
“Bini cilik, masuk sini!” teriaknya pada
Bu-siang.
Tanpa pikir lagi si gadis menurut, pintu
kamar dengan
cepat dirapatkan kembali oleh Yo Ko.
“Lekas copot pakaian !” katanya pula.
Apa kau bilang, Tolol ?” Bu-siang mengomel
dengan muka
merah jengah.
“Terserah ksu mau copot pakaian tidak, tetapi
aku sendiri
akan mencopot!” sahut Yo Ko sambil melepaskan
baju
luarnya, menyusul jubah Tosu yang dipakai Tio
Put-hoan telah
dia lucuti dan dikenakan sendiri, malahan
kopiah orang ia
samber, dan dipakainya pula.
Nampak perbuatan Yo Ko ini, segera Bu-siang
mengerti,
“Baiklah, kita menyamar sebagai Tosu buat
mengelabui Suhu,”
katanya kemudian.
Habis itu bajunya sendiri lantas hendak
dibukanya, tetapi
mukanya menjadi merah pula, tiba-tiba ia
depak Ki Jing-si
sekali sambil mendamperat: “Pejamkan matamu,
imam
keparat !”
Meski badan kedua imam itu tertutuk dan tak
bisa
berkutik, namun pancaindera mereka masih bisa
bekerja
biasa, maka mata lantas mereka pejamkan mana
berani
mereka mengintip tubuh Liok Bu-siang ?
“Tolol, kaupun berpaling ke sana,” kata
Bu-siang pula pada
Yo Ko.
“Takut apa ? Waktu aku sambung tulangmu,
bukankah
aku sudah melihatnya,” sahut Yo Ko dengan
tertawa.
Tetapi sesudah berkata, segera Yo Ko merasa
kata-
katanya itu terlalu bambungan, maka ia
menjadi rikuh.
Di lain pihak Bu-siang menjadi marah, “plek”,
kontan ia
baliki telapak tangannya dan tempeleng orang.
Sebenarnya sedikit menunduk saja Yo Ko bisa
hindarkan
tamparan itu, tetapi dalam keadaan linglung,
ia tak
menghindar hingga pukulan itu kena pipi
kirinya dengan
antap. Kiranya mendadak Yo Ko teringat pada
Siao-liong-li
karena mimik wajah Liok Bu-siang yang sedang
marah-marah
itu, maka ia menjadi ternganga diam.
Sebaliknya Bu-siang menyangka pukulannya
tentu
mengenai tempat kosong, siapa tahu justru
tepat kena
sasarannya dengan keras, mau-tak-mau iapun
tertegun.
“Sakit tidak, Tolol ? Makanya jangan
ngaco-belo dan
ngoceh semaunya,” katanya kemudian dengan
tersenyum.
Yo Ko tidak menjawab, ia raba-raba pipinya
sendiri yang
panas pedas itu, lalu berpaling ke jurusan
lain.
“Coba lihat, aku mirip imam kecil tidak ?”
tanya Bu-siang
dengan tertawa sesudah jubah pertapaan orang
dikenakannya.
“Tak kelihatan, manaku tahu,” sahut Yo Ko.
“Balik sini, Tolol,” omel si gadis.
Kefika Yo Ko berpaling kembali, ia lihat
jubah itu terlalu
besar dipakai Bu-siang, tapi makin
menunjukkan betapa
ramping tubuh Bu-siang.
Selagi Yo Ko hendak buka suara,
sekonyong-konyong
terdengar Bu-siang menjerit tertahan sambil
menuding ke atas
pembaringan.
Eh, kurangajar, kiranya dari dalam selimut di
atas
pembaringan itu kelihatan menongol satu
kepala imam yang
dapat Yo Ko kenali sebagai Bi Jing-hian, imam
yang tertabas
tangannya oleh Bu- siang di lembah Srigala
itu. Rupanya ia
rebah di atas pembaringan karena lukanya,
tadi waktu melihat
Bu-siang, dalam takutnya ia telah mengkeret
ke dalam selimut
Karena Yo Ko dan si gadis sedang sibuk
menukar pakaian,
maka tak memperhatikan kalau di situ masih
ada satu imam
lagi.
“Dia… dia…” demikian dengan suara samar-samar
Bu-
siang hendak bicara, sebenarnya ia hendak
bilang: “dia
mengintip aku tukar pakaian”, tetapi tak enak
diucapkannya.
Pada saat itu juga, kembali suara kelenengan
keledai
belang milik Li Bok-chiu terdengar lagi.
Yo Ko tahu iblis perempuan itu kembali lagi,
tiba-tiba
tergerak kecerdasannya, ia tarik Bi Jing-hian
yang meringkuk
di dalam selimut itu, dengan sekali cekal dan
tarik itu
berbareng ia sudah tutuk jalan darah orang,
lalu ia buka
rongga pembaringan dan masukkan imam sial itu
ke dalam.
Hendaklah diketahui bahwa balai-balai atau
pembaringan
yang biasa digunakan di daerah utara itu
terbuat dari tanah
liat dan dibawahnya berlubang, karena daerah
utara hawa
sangat dingin, maka rongga balai-balai itu
dinyalakan api
unggun untuk memanaskan badan bagi yang rebah
di
atasnya. Tetapi waktu itu bukan musim dingin,
di bawah
kolong balai-balai itu tak ada api,
sungguhpun begitu di
dalamnya hitam gelap penuh debu arang, keruan
Bi Jing-hian
seluruh muka dan kepalanya berubah menjadi
hitam.
Sementara itu suara keleningan tadi sudah
berhenti. Li
Bok-chiu telah sampai di depan hotel.
“Naiklah ke atas balai-
balai,” kata Yo Ko pada Bu-siang.
“Tak mau, sudah digunakan imam busuk itu,
“tentu kotor
dan bau.” sahut si gadis.
“Jika tak mau, terserah kau !” ujar Yo Ko,
Sembari berkata, tangan pun bekerja, Tio
Put-hoan telah
dijebloskan pula kedalam koIong, sebaliknya
tutukan Ki Jing-si
malah dia lepaskan.
Di lain pihak, walaupun merasa selimut bekas
terpakai itu
kotor dan bau, namun bila ingat kekejian
gurunya yang tak
kenal ampun, terpaksa Bu-siang merangkak ke
atas balai-
balai, ia tiduran dengan muka menghadap ke
bagian dalam
dan baru saja ia rebah, pintu kamar sudah
ditendang Li Bok-
chiu, untuk kedua kalinya iblis ini melakukan
penggeledahan.
Di sebelah sana Yo Ko pura-pura memegangi
sebuah
cangkir dan dengan kepala tunduk sedang
minum, padahal
sebelah tangannya ia tekan punggung Ki
Jing-si pada Hiat-to
yang mematikan hingga imam ini tak berani
berkutik.
Melihat isi kamar itu masih tetap tiga imam,
pula melihat
wajah Li Jing-si pucat lesi seperti mayat dan
dalam ketakutan
maka Li Bok-chiu hanya tersenyum, lalu
pergilah dia
menggeledah ke kamar yang Iain.
Tadi waktu pertama kali Li Bok-chiu
menggeledah wajah
ketiga imam itu sudah jelas dilihatnya, sebab
ia kuatir Liok Bu-
siang, ganti pakaian dan menyamar, maka waktu
menggeledah lagi untuk kedua kalinya, ia
tidak memeriksa
pun dengan teliti, karena sedikit lengahnya
ini ia kena
dikelabuhi oleh Yo Ko.
Malam itu Li Bok-chiu dan Ang Ling-po berdua
telah obrak-
abrik seluruh kota itu hingga setiap rumah
merasa terganggu
sebaliknya dengan aman sentausa Yo Ko merebah
di balai-
balai berendeng dengan Liok Bu-siang,
alangkah senangnya
dia waktu mencium bau harum yang menggiurkan
dari si
gadis.
Pikiran Bu-siang sendiripun timbul tenggelam
seperti
mendamparnya ombak, ia rebah tanpa berani
bergerak
sedikitpun, ia pikir kalau si ToIol ini
dibilang goblok, nyatanya
pintar tiada bandingannya, dikatakan dia
pintar, sebaliknya
kelakuannya agak-agakan, sungguh aneh orang
ini ia rada
kikuk juga karena bertiduran berendeng dengan
pemuda,
tetapi sampai lama sedikitpun tiada sesuatu
gerak-gerik dari
Yo Ko, barulah ia merasa lega hingga akhirnya
ia terpulas.
Besok paginya Yo Ko mendusin lebih dulu, ia
lihat Ki Jing-
si masih menggeros mendekam di atas meja,
sedang Bu-siang
dengan napasnya yarig pelahan kelihatan masih
nyenyak juga,
kedua pipi gadis ini semu merah, bibirnya
mungil tanpa terasa
jantung Yo Ko memukul keras.
“Jika perlahan-lahan aku mencium dia sekali,
tentu dia tak
akan tahu,” demikian ia pikir.
Dasar Yo Ko baru injak dewasa, walaupun tiada
maksud
jahat yang terkandung padanya, namun ingin
juga mengecup
sekali bibir si gadis yang merah mungil itu.
Maka dengan hati-
hati ia menjulurkan kepalanya, bau harum yang
teruar dari
badan si gadis membikin Yo Ko makin lupa
daratan.
Tetapi baru saja kedua bibir hampir
bersentuh, sekonyong-
konyong Yo Ko merasakan punggungnya tertimpuk
sesuatu
Am-gi atau senjata gelap, Luar biasa kaget Yo
Ko hingga ia
meloncat bangun.
Sebenarnya dengan kepandaian Yo Ko sekarang,
segala
macam senjata rahasia pasti akan diketahuinya
sebelum
mendekati, tetapi tadi ia sedang lupa daratan
hingga
pikirannya kabur, maka tak heran senjata
rahasia orang bisa
mengenai punggungnya.
BegituIah, waktu ia meloncat kaget, segera
dapat
dilihatnya sebuah wajah sekilas melintas di
balik lubang
jendela, Wajah itu aneih luar biasa, seperti
manusia tapi
bukan manusia, dibilang setan pun bukan
setan.
Dalam herannya Yo Ko menguber keluar, namun
tiada
satu bayangan yang dia dapatkan
“jangan-jangan ini tipu
pancingan belaka ?” tiba-tiba terpikir
olehnya.
Ketika ia kembali ke kamar dan periksa
senjata rahasia
tadi, ia lihat di atas lantai hanya terdapat
segelintir kertas
saja, ia menjemputnya dan diperiksa, ternyata
di atas kertas
yang dilinting itu tertulis sesuatu.
Waktu itu Bu-siang sudah terjaga bangun, ia
pun
mendekati Yo Ko untuk melihat isi surat itu,
Maka
tertampaklah apa yang tertulis itu berbunyi”.
“Kalau berani
kurangajar, segera jiwamu melayang !”
Seperti diketahui sehari sebelumnya ada satu
anak petani
menghantarkan seikat bunga pada Liok Bu-siang
dengan
secarik surat pengantar yang memberi
peringatan, bahwa
gurunya segera tiba dan gadis ini disuruh
lekas sembunyi.
Gaya tulisan surat itu ternyata mirip dengan
tulisan yang
sekarang ini.
Heran sekali Yo Ko tercampur malu demi
membaca kata-
kata surat itu, pikirnya: “Kiranya diam-diam
ada jagoan tinggi
sedang melindungi dia, semalam kalau aku
melakukan sesuatu
yang tak pantas, bukankah…” Berpikir sampai
disini, tanpa
terasa seluruh mukanya merah semua.
“Hm, tolol busuk, kau didamperat Kokohmu
bukan ?”
tanya Bu-siang.
“He, ya, jangan-jangan memang Kokoh ?” terkesiap
hati
Yo Ko. Tetapi lantas teringat lagi olehnya :
“Ah, tak mungkin,
muka orang itu luar biasa aneh-nya, bukan
lelaki juga tidak
perempuan, seperti manusia, tapi juga bukan
setan, terang
bedanya seperti langit dan bumi dengan Kokoh,
apapula
tulisan ini pun bukan tulisan tangan Kokoh !”
Pada saat itu juga suara kelenengan keledai
belang Li Bok-
chiu berkumandang lagi dan menuju ke arah
barat laut
Rupanya karena kitab “Ngo-tok-pit-toan”
(kitab pelajaran
“panca-bisa”) digondoI Liok Bu-siang, kitab
itu belum
didapatkan kembali, selama itu pula ia tak
tenteram, maka
selama beberapa hari ini Li Bok-chiu boleh
dikatakan tidur tak
nyenyak dan makan tak enak, meski hari masih
sangat pagi,
dengan keledainya ia telah berangkat mencari
Liok Bu-siang.
“Kalau kembalinya ke sana tak ketemukan kau,
pasti dia
akan balik ke sini puIa,” kata Yo Ko. “Cuma
sayang kau
terluka parah dan tak boleh terguncang keras,
kalau tidak, kita
bisa menunggang dua ekor kuda dan kabur
secepat-
cepatnya”.
“Bukankah kau sendiri tak luka, kenapa tak
kau curi kuda
dan kabur sekaligus sehari semalam?” Bu-siang
mengomel
Melihat orang marah, Yo Ko menjadi senang, ia
sengaja
memancing pula: “Kalau bukan kau yang mohon
diantar ke
Kanglam, mana aku mau menghadapi bahaya ini.”
“Kalau begitu, bolehlah kau pergi, Tolol,
melihat macammu
saja aku lantas marah, biar lebih baik aku
mati saja,” sahut
Bu-siang.
“Wah, jika kau mati, akulah yang rugi,” kata
Yo Ko
tertawa.
Tetapi kuatir si gadis betul naik darah
hingga tulangnya
yang sudah tersambung itu patah lagi, maka
tak digodanya
lebih jauh, ia ke kantor hotel dan pinjam
tinta bak, dengan
bahan tulis ini ia campur air baskom yang
akan dibuat cuci
muka Bu-Siang, mendadak Yo Ko celup tangannya
pada air
baskom dan dengan cepat diusapkan ke muka si
gadis.
Sama sekali Bu-siang tak berjaga-jaga kalau
orang akan
berbuat begitu, lekas-lekas ia keluarkan
saputangan buat
bersihkan air kotor itu sambil tiada pentinya
ia mendamperat
“si Tolol”. Dalam pada itu dilihatnya Yo Ko
sendiripun
menggosok tangannya kekolong balai-balai yang
penuh arang
itu, lalu ia campur dengan lak dan dipoles
pada mukanya
sendiri, karena itu, wajahnya yang tadinya
ganteng, kini
berubah menjadi jelek.
Bu-siang adalah gadis pintar dan cerdas,
nampak kelakuan
Yo Ko itu, segera iapun mendusin. “Ah, memang
betul meski
aku sudah salin pakaian-kaum imam, tetapi
mukaku masih
bisa dikenalnya, kalau tersusul Suhu, mana
bisa mengelabui
matanya ?”
Maka tak sangsi-sangsi lagi air bak tadi ia
poles, rata di
mukanya, dasar anak gadis memang suka akan
kecantikan,
meski poles muka dengan air bak, toh masih
dilakukannya
seperti biasa kalau bersolek dengan bedak dan
gincu.
Selesai kedua orang menyamar, Yo Ko ulur
kakinya dan
menendang ke kolong balai-balai buat lepaskan
Hiat-to kedua
imam yang dia tutuk itu.
Menyaksikan caranya Yo Ko melepaskan tutukan
orang,
tanpa lihat sedikitpun, hanya kakinya
menendang beberapa
kali sekenanva, lalu kedua imam itu bisa
bersuara dan
bergerak lagi, sungguh tidak kepalang kagum
Bu-siang. “Si
Tolol ini berpuluh kali lebih tinggi kepandaiannya
dari pada
aku,” demikian ia betul-betul menyerah kini.
Walaupun begitu, mukanya sama sekali tak
mengunjuk
sesuatu tanda bahkan ia masih memaki-maki
orang “tolol”.
Sementara luka Bu-siang sudah baikan, ia
sudah bisa
menunggang keledai sendiri dengan jaIan
pelahan, karena tak
ingin setunggangan lagi dengan Yo Ko, maka
masing-masing
lalu mengambil seekor keledai sendiri dan
melanjutkan
perjalanan ke tenggara, Apabik letih, mereka
mengaso, lalu
meneruskan lagi menunggang keledai.
Siapakah gerangan orang yang telah dua kali
kirim surat
itu ?” begitulah sepanjang jalan Ko selalu
ber-tanya-tanya
dalam hati. “Hai, Tolol, kenapa kau diam saja
tak bicara?”
tiba-tiba Bu-siang menegur. Waktu itu memang
Yo Ko lagi
termenung-menung, karena teguran orang,
mendadak ia ingat
sesuatu, “Ai, celaka, sungguh aku terlalu
ceroboh!” ia
berteriak.
“Memangnya kau ceroboh, siapa yang bilang kau
pintar!”
kata si gadis.
“Kita sudah menyamar dan ganti rupa, tetapi
semua ini
telah dilihat ketiga Tojin itu, kalau dia
lapor pada gurumu,
bukankah kita bakal celaka ?” ujar Yo Ko.
Bu-siang tertawa geli oleh pikiran orang ini.
“Tiga imam
busuk itu sudah mendahului kabur ke depan
sana, mana
berani dia tinggal di sana menunggu datangnya
Suhu,”
sahutnya kemudian. “Kau termenung-menung saja
seperti
orang gendeng sejak tadi, masakah mereka
sudah mendahului
di depan sana kau tak melihatnya?”
“Oh !” kata Yo Ko sambil tertawa ke arah
Bu-siang.
Gadis itu menjadi bingung oleh tertawaan itu
yang
tampaknya mengandung arti yang dalam.
Pada saat itu mendadak keledai yang
ditungganginya itu
meringkik keras, Waktu Bu-siang menoleh, ia
lihat di tikungan
jalan sana sudah berdiri Iima pengemis,
mereka berdiri
berjajar merintangi jalannya,
Mata Yo Ko sangat jeli, sekilas saja dapat
dilihatnya
dibalik jalan sana ada dua orang lain yang
mengkeret kembali
sesudah melongok sekejap kedua orang itu
bukan lain adalah
Tio Put-hoan dan Ki Jing-si.
“Ah, kiranya tiga imam busuk itu telah
beritahu orang Kay-
pang mengenai penyamaran kami sebagai Tojin.”
demikian
segera ia jadi terang duduknya perkara.
Karena itu, ia lantas melompat turun dari
keledainya dan
memapak maju.
“Tuan-tuan besar pengemis, kalian minta-minta
di delapan
penjuru, maka hari ini mohon kalian suka
menderma pada
kami,” segera Yo Ko buka suara dahulu.
“Hm, sekalipun kalian cukur gundul menjadi
Hwesio,
jangan harap bisa mengelabui mata-telinga
kami,” satu
diantara pengemis-pengemis itu menyahut,
suaranya keras
bagai genta, “Sudahlah, jangan berlagak bodoh
lagi, baiknya
terus terang saja dan ikut kami pergi
menghadap Pangcu
(ketua perserikatan).”
Mendengar orang menyebut Pangcu, diam Yo Ko
memikir: “Menurut cerita Kokoh, Pangcu dari
Kay-pang
bernama Kiu-ci-sin-kay Ang Chit kong, betapa
tinggi ilmu
silatnya orang tak mampu merabanya, walaupun
Kokoh sendiri
tak pernah tinggalkan kuburan kuno, tapi
pernah juga Sui
popoh bercerita padanya, agaknya Pangcu
mereka ini sangat
lihay, kalau betul-betul ada disini, rasanya
susah buat loloskan
diri lagi”
Kedua pengemis yang mencegat di jalan
seberang ini
adalah murid berkantong delapan dari
Kay-pang, menjadi
ragu-ragu melihat Yo Ko dan Liok Bu-siang
hanya anak-anak
muda yang belum genap 20 tahun usianya, tapi
bisa kalahkan
empat murid Kay-pang dari kantong enam dan
tiga murid
kantong tujuh.
Begitulah, sedang kedua belah pihak sama-sama
ragu-
ragu, tiba-tiba suara kelenengan nyaring
berkumandang lagi
dari jurusan barat laut, suaranya begitu
tajam dan riuh
menusuk telinga.
“Celaka, sekali ini bisa celaka,” demikian
Bu-siang pikir,
“Meski aku sudah ganti rupa dan tukar corak,
tapi justru
dirintangi kedua pengemis setan ini kalau
rahasia penyamaran
kami dibongkar olehnya, cara bagaimana aku
bisa lolos dari
tangab Suhu yang kejam ? Ai, betul-betul
sial.”
Bukannya Bu-siang sesalkan dirinya sendiri
yang tanpa
sebab melukai anak murid Kay-pang hingga
menanam bibit
permusuhan, kini ia malah salahkan orang
Kay-pang yang
merintangi dia. Memang anak gadis
kadang-kadang lebih suka
menyalahkan orang lain daripada koreksi diri
sendiri, ditambah
pula tabiat Bu-siang memang aneh hingga apa
yang
diperbuatnya dianggapnya pasti betul dan apa
yang dilakukan
orang tentu salah.
Dalam pada itu, sekejap saja suara kelenengan
Li Bok-chiu
sudah tambah dekat,
“Terang aku bukan tandingan Li Bok-chiu itu,
tiada jalan
lain lagi kecuali terjang ke depan saja,”
pikir Yo Ko.
Sungguhpun dalam hati ia berkuatir, tapi pada
lahirnya ia
masih bisa berlaku tenang.
“Haha, kalau kalian tak sudi memberi sedekah
itupun tak
apalah, harap memberi jalan saja,” ia berkata
lagi pada kedua
pengemis tadi dengan lagak setengah tolol.
Habis berkata,
dengan langkah lebar iapun jalan ke depan.
Melihat tindakan orang yang enteng dan
seperti tak paham
ilmu silat sedikitpun kedua pengemis itu
mengulur tangan
kanan hendak jambret Yo Ko.
Namun Yo Ko sudah siap, tiba-tiba telapak
tangannya
mendorong maju, maka beradunya tiga tangan
tak
terhindarkan lagi, hanya sekali gebrak,
ketiga-tiganya sama-
sama tergetar mundur semua.
Kiranya murid Kay-pang kantong delapan itu
sudah punya
keuletan latihan beberapa puluh tahun, tenaga
dalam mereka
begitu hebat dan jarang ada tandingan lagi di
kalangan
Kangouw, kalau melulu soal keuletan, boleh
dikatakan puluhan
kali lebih kuat dari Yo Ko. Cuma hal
kebagusan dan
keanehan gerak serangan, hal ini berbalik
jauh di bawah
pemuda kita.
Oleh sebab itulah, dengan pinjam tenaga
pukulan orang
untuk memukul balik, Yo Ko dapat patahkan
tenaga pukulan
orang tadi tetapi untuk menerjang lewat
begitu saja juga
sukar baginya, Karenanya, ketiga orang
sama-sama terkejut.
Pada saat itu juga Li Bok-chiu dan Ang Lmg-po
sudah
datang dekat.
“Hai, pengemis, imam cilik, kalian melihat
seorang gadis
pincang lewat disini tidak ?” segera Ang
Ling-po berteriak
tanya.
Kedudukan kedua pengemis itu di kalangan
Bulim
tergolong tinggi tentu saja mereka mendongkol
oleh cara
tanya Ang Ling-po, cuma terikat oleh
peraturan Kay-pang
yang keras yang melarang sianak muridnya
berkelahi dengan
orang dalam persoalan kecil, maka mereka
menyahut juga
dengatt pendek : “Tak melihat!”
Namun mata Li Bok-chiu sangat tajam, ia lihat
perawakan
kedua Tosu muda ini seperti pernah dilihatnya
entah di mana,
maka timbul rasa curiganya.
Dalam pada itu dilihatnya pula keempat orang
itu sedang
berhadapan dalam keadaan siap hendak saling
labrak, maka
diambilnya keputusan akan menonton
perkelahian itu,
pertama ia ingin menyaksikan sampai dimanakah
ilmu silat
anak murid Kay-pang, kedua ingin tahu juga
dari aliran
manakah kedua Tosu cilik itu.
Di lain pihak Yo Ko pun sedang pikir karena
datangnya
iblis perempuan itu, waktu ia melirik, ia
lihat wajah orang
mengunjuk senyum dan hendak menyaksikan
perkelahian
tiba-tiba pikirannya tergerak : “Ah, begini,
tentu akan hilang
rasa curiganya.”
Lalu didekatnya Ang Ling-po, ia memanggut
memberi
salam, Karena itu, Ang ting-po membalas
hormat orang.
“Siauto (imam kecil) kebetulan lewat disini
dan tanpa
sebab dicegat kedua pengemis galak ini serta
ditantang
berkelahi” demikian kata Yo Ko, “Tetapi
Siauto tidak
membawa senjata, maka tolong Tosu (kawan
dalam agama
toa) sudilah memberi pinjam pedangmu.”
Melihat muka orang benjal-benjol sangat
jelek, tetapi budi
bahasanya sopan, ditambah lagi orang
mengemukakan
agama, maka Ang Ling-po merasa tak enak buat
menolak
permintaan orang pedang lantas dilolosnya, ia
berpaling dulu
pada gurunya, waktu melihat Li Bok-chiu
mengangguk maka
disodorkan pedangnya kepada Yo Ko..
“Terima kasih sebelumnya,” kata Yo Ko pula
sambil
terima senjata orang, “dan bila Siauto tak
ungkulan, masih
mengharap Tosu memandang pada sesama agama
kita,
sudilah memberi bantuan sedikit”
Ang Ling-po mengkerut kening oleh ceriwis-nya
Njo Ko, ia
hanya menjengek sekali dan tidak menjawab.
Sementara itu Yo Ko sudah putar balik kesana,
dengan
suara keras ia berkata pula pada Bu-siang:
“Hai Sute, kau
saksikan kutempur mereka dan tak usah ikut
turun tangan,
biar pengemis-pengemis Kay-pang ini
berkenalan dengan ilmu
kepandaian anak murid Coan-cin-pay kita.”
“Ha, kiranya kedua imam cilik ini adalah
orang Coan-cin-
kau,” Li Bok-chiu terkesiap mendengar Yo Ko
ngaku sebagai
anak murid Coan-cin-kau, “Tetapi biasanya
hubungan Coan-
cin-kau dan Kay-pang sangat baik, kenapa
sekarang saling
labrak ?”
Dalam pada itu kuatir kalau kedua pengemis
itu berteriak-
teriak menyingkap rahasianya Bu-siang, dengan
cepat Yo Ko
lantas merangsang maju.
“Hayo, majulah Iekas, biar aku seorang diri
lawan kalian
berdua”, segera ia menantang.
Mendengar kata-kata Yo Ko semakin temberang,
hati Bu-
siang menjadi kuatir.
“Si Tolol ini sudah menyamar sebagai Tosu,
masa berani
mengaku dari Coan-cin-kau,” demikian pikir
gadis itu. “la tak
tahu bahwa guruku entah sudah berapa puluh
kali berkelahi
dengan imam-imam Coan-cin-kau, ilmu silat
Coan-cin-pay
mana yang tak dikenalnya? sungguh kelewat
berani dia
memalsukan nama orang lain.”
Di sebelah sana, demi mendengar Yo Ko mengaku
sebagai anak murid “Coan-cin”, seketika juga
kedua pengemis
itu terkejut, berbareng mereka membentak
tanya: “Apa betul-
betul kau anak murid Coan-cin? Kau dan dia…”
Tak nanti Yo Ko memberi kesempatan pada
mereka
untuk menyebut Liok Bu-siang, maka sebelum
selesai
perkataan orang, secepat kilat pedangnya menusuk,
sekaligus
ia mengarah perut kedua pengemis itu, dan itu
memang betul
adalah tipu serangan dari
“TIong-yang-kiam-hoat” yang tulen.
Sebenarnya dengan kedudukan mereka yang
tinggi di
kalangan Bu-lim, kedua pengemis itu tidak
nanti mau tempur
Yo Ko dengan dua lawan satu, akan tetapi
serangan Yo Ko
ini datangnya terlalu cepat dan aneh,
mau-tak-mau mereka
berdua harus angkat tongkat untuk
menangkisnya. Nyata,
tongkat mereka yang tadinya tak menarik
perhatian itu,
kiranya terbikin dari besi
Tetapi baru saja mereka angkat tongkat,
tahu-tahu
pedang Yo Ko sudah menerobos lewat melalui
sela-sela
tongkat mereka dan masih terus menusuk ke
dada kedua
orang itu.
Sama sekali tak diduga kedua pengemis itu
bahwa ilmu
pedang orang bisa begitu cepat, terpaksa
mereka mundur ke
belakang.
Tetapi Yo Ko sedikitpun tak kenal ampun, ia
mendesak
terus setiap detik hingga sekejap saja sudah
menusuk 18 kali,
bahkan tiap-tiap tusukan sekaligus membagi
dua jurusan puIa,
yakni mengarah lawan yang berjumlah dua
orang. itu adalah
ilmu silat Coan-cin-pay yang paling hebat
yang disebut “lt-gi-
hoa-sam-jing” atau satu menjelma menjadi
tiga, bila sudah
terlatih sampai tingkat yang paling hebat,
maka sekali
serangan bisa berubah menjadi tiga tipu
gerakan, dengan
begitu, seorang sama dengan tiga orang maju
berbareng.
Begitulah, maka tiap-tiap Yo Ko menusuk,
saban2 kedua
pengemis itu dipaksa mundur, sekali saja
ternyata tak mampu
mereka balas menyerang.
Nampak betapa bagus Kiam-hoat imam cilik ini,
diam-diam
Li Bok-chiu terperanjat katanva dalam hati:
“Pantas nama
Coan-cin-kau disegani di seluruh jagat, sebab
anak muridnya
memang semuanya pilihan, kepandaian orang ini
kalau
sepuluh tahun lagi pasti aku sendiri tak bisa
menandinginya,
Tampaknya jabatan Ciangkau (ketua)
Coan-cin-kau kelak pasti
akan jatuh di tangan orang ini.”
Jika Li Bok-chiu saja begitu kagum pada
kepandaian Nyo
Ko, maka jangan ditanya lagi Ang Ling-po dan
Liok Bu-siang,
mereka berdua Iebih2 terpesona dan ternganga.
Dalam pada itu Yo Ko sendiri sedang berpikir:
“Jika
sedikit aku main kendur, pasti mereka akan
buka suara, dan
kalau mereka pentang mulut pasti banyak
celaka dari pada
selamatnya.”
Karena itulah sesudah 18 jurus
“Tiong-yang-kiam-hoat”
habis dimainkan, dengan cepat Kiam-hoatnya
berubah, tiba-
tiba ia memutar ke belakang kedua lawannya
dan kembali
pedangnya menusuk lagi sekali-dua-gerakan,
terpaksa kedua
pengemis itu membalik tubuh dengan cepat
untuk menangkis,
namun sebelum tongkat mereka menyentuh
pedang, tiba-tiba
Yo Ko sudah melesat pergi, lagi-lagi ia
mengitar ke belakang
orang dan kembali menusuk pula, bila kedua
orang itu
memutar menangkis, segera Yo Ko menggeser ke
belakang
mereka lagi.
Kiranya Yo Ko insaf bila melulu mengandalkan
keuletan,
jangan kata satu lawan dua, melawan seorang
pengemis itu
saja tak nanti bisa menandinginya, oleh sebab
itu, ia sengaja
main putar dengan Ginkang untuk mengitari
kedua lawannya.
Cara Yo Ko memutar dan menggeser ini, bagi
tiap-tiap
anak murid Coan-cin-kau yang sudah cukup
matang memang
diwajibkan melatih Ginkang semacam ini untuk
kelak
digunakan dalam barisan bintang-bintang
“Thian-keng-pak-
tau-tin”. Hanya saja sekarang Yo Ko
kombinasikan cara
bernapasnya dengan inti pelajaran “Giok-li
sim-keng” yang
dilatihnya.
Harus diketahui bahwa Ginkang atau ilmu
entengkan
badan dari Ko-bong-pay adalah ilmu yang tiada
bandingannya,
oleh sebab itulah kecepatan Yo Ko memutar dan
berganti
tempat sekali-kali tak bisa diikuti oleh
kedua jago Kay-pang
itu, yang kelihatan hanya bayangan Yo Ko yang
berlari
secepat kilat dengan sinar mengkilap menyamber
Karena tusukan pedangnya yang silih bergilir.
Dalam
keadaan demikian, bila Yo Ko sungguh-sungguh
hendak
celakai jiwa kedua pengemis itu, sekalipun
berjumlah dua
puluh orang juga gampang saja dibunuhnya
semua.
Tentu saja kedua orang itu kewalahan, sembari
ikut
memutar cepat, mereka berusaha ayun tongkat
untuk
melindungi tempat-tempat bahaya di tubuh
sendiri, kini
mereka sudah tak pikirkan buat tangkis
serangan orang lagi,
mereka hanya berusaha melindungi diri sendiri
sepenuh
tenaga dan terserah nasib.
Dengan begitu, setelah ratusan kali berputar
cepat,
akhirnya kedua pengemis itu kepalanya menjadi
puyeng dan
mata berkunang-kunang, tindakan merekapun
mulai
sempoyongan, tampaknya sudah akan jatuh
semaput.
“Hai, kawan dari Kay-pang,” tiba-tiba Li
Bok-chiu berseru
dengan tertawa, “nih, kuajarkan satu akal,
kalian punggung
berdempetan punggung, dengan begitu tak perlu
lagi ikut
putar-putar.
Karena peringatan ini, kedua pengemis itu
sangat girang,
dengan segera mereka akan turut akal itu.
“Celaka, jika mereka berbuat begitu, tentu
aku akan
kalah,” pikir Yo Ko.
Maka sebelum kedua lawannya berganti tempat,
mendadak ia ganti siasatnya, ia tidak geser
lagi, melainkan
pedangnya sekali serang-dua-gerakan, ia tusuk
punggung
kedua orang.
Merasa angin santar menyamber dari belakang,
tak
sempat kedua pengemis itu menangkis, terpaksa
mereka
melompat maju, tak terduga, baru saja kakinya
menginjak
tanah, kembali tusukan orang sudah tiba pula,
keruan saja
tidak kepalang kaget kedua pengemis itu,
tanpa pikir lagi
mereka angkat kaki terus lari ke depan
seperti diudak setan.
Siapa duga ujung pedang Yo Ko bagaikan
bayangan saja
yang selalu melengket dengan tubuh mereka,
tidak peduli
mereka berlari betapa cepatnya, senantiasa Yo
Ko geraki
pedangnya di belakang mereka, bila sedikit lambat
saja
mereka melangkah, segera daging di punggung
mereka terasa
sakit-tertusuk ujung senjata.
Merekapun tahu kini bahwa tiada maksud Yo Ko
buat
membunuh, kalau tidak, asal tangan pemuda ini
sedikit diulur
lebih panjang saja, pasti punggung mereka
akan tertembus
oleh ujung pedang walaupun begitu, sedikitpun
mereka tak
berani berhenti dan masih berlari kesetanan.
Ketiga orang yang udak-udakan ini memiliki
ilmu
entengkan badan yang sangat tinggi, maka
sekejap saja
mereka sudah berlari beberapa li, hingga Li
Bok-chiu
ditinggalkan jauh di belakang.
Ketika itulah mendadak Yo Ko tambah “gas”
sedikit, tahu-
tahu ia sudah mendahului di depan kedua
pengemis itu.
“Eeeeeh, kenapa buru-buru, perlahan-lahan
sedikit, jangan
jatuh kesandung !” demikian dengan menyengir
ia hadang di
depan orang.
Tanpa berjanji kedua pengemis itu mengemplang
berbareng dengan tongkat mereka, namun sekali
meraup,
dengan tangan kiri Yo Ko dapat menangkap
sebuah tongkat
orang, berbareng itu pedang di tangan kanan
ia tempelkan
tongkat yang satu dari didorong sedikit ke
kiri hingga dengan
tepat dua tongkat sekaligus kena dicekal pula
olehnya.
Tahu gelagat jelek, lekas-lekas kedua
pengemis itu
berusaha membetot sekuatnya, Tapi Yo Ko cukup
cerdik, ia
tahu keuletannya masih belum memadat kedua
pengemis itu,
tentu saja ia tak mau betot2an dengan orang,
dengan pedang
sekonyong-konyong ia membabat mengikuti
batang tongkat
yang lempeng itu, dalam keadaan demikian,
jika kedua
pengemis itu tidak lepas tangan, delapan jari
mereka pasti
akan tertabas kutung.
Karena itu, terpaksa mereka lepaskan senjata
dan
melompat ke belakang, habis ini dengan mata
melotot mereka
pandang Yo Ko dengan gusar, sikap merekapun
kikuk dan
serba salah, hendak tempur orang tak
ungkulan, kalau lari
rasanya merendahkan derajat.
Dalam pada itu terdengar Yo Ko berkata pada
mereka:
“Kami dengan perkumpulan kalian biasanya
bersahabat
hendaklah kalian jangan percaya omongan yang
sengaja
mengadu-domba. Siapa yang utang harus bayar,
bukankah
Jik-lian-sian-cu Li Bok-chtu dari Ko-bong-pay
itu berada di
sana, kalian berdua kenapa tidak mencari
padanya saja ?”
Kedua pengemis itu tak kenal Li Bok-chiu,
tetapi cukup
tahu betapa lihay iblis perempuan itu, karena
itu, mereka
terkesiap demi mendengar penuturan Yo Ko.
“Apa betul katamu ?” sahut mereka bersama.
“Buat apa aku berdusta,” kata Yo Ko. “Justru
Siauto
sendiri kepepet oleh desakan iblis itu, maka
tadi telah
bergebrak dengan kalian berdua,” Berkata
sampai disini,
dengan laku sangat hormat dikembalikannya
tongkat2
rampasannya tadi dan disambungnya pula:
“Jik-lian-sian-uu
itu selalu membawa benda-benda pertandaannya
yang
terkenal di seluruh jagat, masakah kalian
tidak mengenalnya
?”
“Aha, tak salah lagi,” kata salah satu
pengemis itu, “la
membawa kebut keledai belangnya pakai
kelenengan emas,
bukankah dia itu yang memakai baju kuning
tadi ?”
“Betul-betul,” sahut Yo Ko tertawa, “Dan nona
yang
melukai anak murid perkumpulan kalian dengan
golok
melengkung itu, bukan lain adalah muridnya Li
Bok-chiu…”
sampai disitu mendadak ia berhenti dan
pura-pura memikir
sejenak lalu dilanjutkannya : “Cuma saja,
jangan-jangan… ah,
sulit, sulit…”
“Jangan-jangan apa ?” tanya si pengemis yang
berwatak
aseran.
“Ah, sulit, sulit,” kata Yo Ko lagi.
“Sulit apa ?” kembali pengemis itu mendesak.
“Coba pikir saja, Li Bok-chiu itu malang
melintang di jagat
ini dan siapa di kalangan Kangouw yang tidak
pecah nyalinya
bila mendengar namanya,” demikian sahut Yo
Ko.
“Sungguhpun golonganmu sangat lihay, tapi
terang tiada
satupun yang bisa menandinginya. Sebab yang
melukai
kawanmu itu adalah muridnya, maka baiknya
kalian anggap
sial saja.”
Karena, kata-kata yang bersifat memancing
pengemis itu
dibikin murka hingga berteriak-teriak.
“Hm, peduli dia setan iblis, hari ini pasti
kami tempur dia,”
demikian teriaknya sambil tarik tongkatnya terus
hendak lari
kembali ke tempat tadi.
Syukur pengemis yang satu bisa berlaku
tenang, ia pikir,
melawan seorang bocah ini saja kami berdua
tak ungkulan,
apalagi hendak perang tanding dengan
Jik-lian-sian-cu, apa itu
bukan berarti menghantarkan jiwa belaka ?
Karena itu, segera ia tarik tangan kawannya
dan
mencegah: “Tak perlu buru-buru marilah kita
kembali dulu
buat berunding lebih jauh.” - Habis ini ia
rangkap tangan
memberi hormat pada Yo Ko sambil tanya :
“Dapatkah
mengetahui nama Toyu (sahabat dalam agama)
yang
terhormat?”
“Siauto she Sat dan bernama Hua-cu,” sahut Yo
Ko.
“Sampai ketemu lagi.”
Habis berkata, iapun mohon diri dan balik ke
jurusan tadi.
“”Sat Hua-cu, Sat Hua-cu ? Aneh sekali nama
ini, kenapa
tak pernah kudengar, dengan usianya yang masih
begitu
muda, ilmu silatnya ternyata sudah sangat
hebat.”
Begitulah kedua pengemis itu menggumam
mengulangi
nama palsu Yo Ko yang mengherankan Tetapi
sesaat
kemudian, mendadak satu diantaranya
berjingkrak sambil
mencaci maki: “Ku-rangajar, jahanam, keparat!.”
“Ada apakah ?” tanya kawannya.
“Bukankah dia mengaku bernama Sat Hua-cu ?
itu artinya
Sat-hua-cu (menyembelih pengemis)!
Kurangajar, kita
dicucimaki olehnya tanpa merasa !”
Karena itu, ke-dua2nya lantas mengumpat Yo
Ko, namun
demikian merekapun tak berani mencari orang
lagi buat bikin
perhitungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar