Sabtu, 10 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 22



Kembalinya Pendekar Rajawali 22

Yo Ko tidak menjawab, ia tak berani membuang tempo
lagi, segera ia pecut bokong keledai mereka maka binatang ini
lantas kabur ke depan dengan cepat.
Pada umumnya jalan pedusunan memang sempit, sebuah
joli besar dengan digotong delapan orang dengan sendirinya
memenuhi jalan, kedua sampingnya sudah tentu tiada
lowongan lagi, kini nampak ada keledai berlari memapak dari
depan, keruan pengiring-pengiring kemanten itu menjadi
ribut, mereka berteriak dan membentak dengan maksud
menyuruh penunggang keledai menahan tali kendalinya.
Tetapi bukannya Yo Ko menahan keledainya. bahkan ia
mengempit semakin kencang hingga lari binatang itu
bertambah cepat, maka sekejap saja sudah menerjang sampai
di depan pengiring kemanten itu.
Dengan sendirinya mereka tidak tinggal diam, segera ada
dua lelaki kekar menyerobot maju hendak menarik tali kendali
keledai supaya jangan menubruk joIi pengantin yang
digotong.
Mendadak Yo Ko ayun cambuknya, dengan tepat ujung
cambuk itu melilit betis kedua lelaki itu, ketika Yo Ko menarik
dan diulur lagi, maka kedua orang itu lantas terlempar ke
pinggir jalan.
“Sekarang aku mau menyamar jadi pengantin !” demikian
katanya pada Bu-siang. Habis ini mendadak ia mendoyong ke
depan, ketika sebelah tangannya mengulur, tahu-tahu
pengantin laki-laki yang menunggang seekor kuda putih itu
kena dicengkeramnya.
Pengantin laki-laki itu usianya antara 17-18 tahun,
badannya lengkap memakai baju pengantin baru, di atas
kepalanya tertancap hiasan bunga-bunga emas, kini
mendadak kena dicengkeram oleh Yo Ko, keruan bukan main
kagetnya.
Bukan begitu saja, bahkan Yo Ko sengaja lemparkan
tubuh pengantin laki-laki itu ke udara setinggi dua tombak
lebih, ketika jatuh ke bawah, di tengah-tengah ramai suara
jeritan orang banyak tahu-tahu Yo Ko ulur tangannya dan
menangkapnya lagi pengantin laki-laki itu,
Pengiring-pengiring pengantin itu seluruhnya hampir tiga
puluhan orang, sebagian besar bertubuh tinggi besar dan
kekar kuat, tetapi melihat ketangkasan Yo Ko, pula pengintin
laki-laki jatuh dalam cengkeraman orang, tentu saja mereka
ketakutan dan tiada yang berani maju.
Seorang diantara mereka rupanya lebih banyak merasakan
asam garam, ia menduga Yo Ko pasti begal besar, maka
dengan cepat ia lantas tampil ke depan.
“Mohon “Tay Ong” suka ampuni pengantin-nya,” demikian
pintanya sambil memberi hormat, “Berapa banyak kiranya
“Tay Ong” perlu pakai ongkos, pasti kami turut perintah
dengan baik.”
“Hihi, nona Liok, kenapa mereka panggil aku “Tay Ong” !
(raja besar, sebutan bagi pembegal) ? Aku kan tidak she Ong
?” kata Yo Ko pada Bu-siang dengan tertawa.
“Sudahlah, jangan main gila Iagi, aku seperti sudah
mendengar suara keleningan keledai tunggangan Suhu,” sahut
Bu-siang.
Yo Ko kaget oleh jawaban itu, ia coba pasang kuping,
betul saja sayup-sayup terdengar suara berkumandangnya
keleningan
Kiranya Li Bok-chiu suka unggulkan ilmu silatnya yang
tiada tandingannya di seluruh Kang ouw, maka setiap tindak
tanduknya selalu main gertak dahulu, misalnya sebelum dia
bunuh sasarannya, lebih dulu ia memberi tanda cap tangan
berdarah di rumah orang itu, tiap cap tangannya berarti
jumlah jiwa yang akan dibunuh dan sama sekali tak gentar
meski lawannya mengundang pembantu atau melarikan diri
meninggalkan rumah, sedang keledai belang yang dia
tunggangi sengaja dia pasangi tiga belas keleningan emas
pada lehernya, suara keleningan ini bisa berkumandang jauh
sampai beberapa li, belum tiba orangnya, suara keleningannya
sudah terdengar lebih dulu, dengan demikian supaya musuh
sebelum lihat mukanya tapi lebih dulu sudah ketakutan
setengah mati
“Sungguh cepat sekali datangnya,” begitulah Yo Ko
berpikir, Tetapi ia masih berlagak bodoh atas peringatan Bu-
siang tadi: “Keleningan ? Keleningan apa maksudmu ? Apa
keleningan tukang jual jamu, kenapa aku tak mendengarnya
?”
Habis ini, dengan sikap mengancam ia berpaling dan
berkata pada orang tua tadi: “Kalian harus turut perintahku
dengan begitu aku lantas bebaskan dia, kalau tidak, hm…”
mendadak ia lemparkan pengantin laki-laki tadi ke udara lagi
Rupanya saking ketakutan, pengantin laki-laki itu sampai
menjerit dan menangis tergerung-gerung. Sedang si orang tua
tadipun terus-menerus memberi hormat sambil memohon :
“Ya, ya, pasti kami turut segala perintah Tay Ong”
“Dia adalah biniku,” kata Yo Ko tiba-tiba sambil tuding
Bu-siang, “la lihat kalian main sembahyang jadi pengantin
segala, maka diapun ketarik dan ingin main-main juga.”
“Apa kau bilang, Tolol ?” damperat Bu-siang dari samping.
Akan tetapi Yo Ko tak mengurusnya, ia meneruskan
pembicaraannya tadi: “Maka kalian lekas copot pakaian
pengantin perempuan itu dan biarkan dipakai dia, akupun
main menjadi pengantin lelaki.”
Keruan para pengiring kemanten itu menjadi bingung
hingga saling pandang, sungguh mereka tidak mengerti
mengapa pembegal di tengah jalan ini tiba-tiba ingin main
kemanten-mantenan. Waktu mereka awasi Yo Ko dan Liok
Bu-siang, yang satu pemuda cakap dan yang lain gadis jelita,
kalau dibilang sepasang suami isteri, memangnya sangat mirip
juga.
Selagi kejadian itu berlangsung, tiba-tiba Yo Ko dengar
suara keleningan sudah semakin dekat, lekas-lekas ia lompat
turun dari keledainya dan membiarkan Bu-siang yang
menjaganya, ia sendiri lantas pergi ke - joli kemanten, tiba-
tiba ia tarik tirai joli dan tarik keluar pengantin perempuannya.


Tentu saja pengantin itu kaget hingga menjerit tetapi
mukanya pakai kerudung kain merah, maka tak diketahuinya
apa yang terjadi sesungguhnya.
Di lain pihak Yo Ko tidak berhenti begitu saja, sekalian ia
tarik pula kain penutup muka orang, maka tertampaklah muka
pengantin perempuan itu yang bundar bak bulan purnama,
badan tampak montok pula.
“Ha, sungguh ayu kemantinnya,” demikian Yo Ko
menggoda pula tertawa, bahkan ia towel pipi orang dengan
jarinya, Dalam ketakutannya pengantin perempuan itu malah
menjadi bungkam tak berani berkutik sedikitpun.
“Jika ingin kuampuni jiwanya, lekas kau tukar pakaian
biniku itu dengan pakaian kemantin-mu,” Yo Ko mengancam
lagi sambil tarik tubuh perempuan itu dan diangkat ke atas.
Sementara Bu-siang mendengar juga suara keleningan
keledai belang gurunya sudah tambah dekat lagi datangnya, ia
mendelik pada Yo Ko ketika mendengar kata-kata Yo Ko
tadi, pikirnya: “Si Tolol ini sungguh tak kenal tebalnya bumi
dan tingginya langit, sudah dalam keadaan demikian masih
terus bergurau ?”
Dalam pada itu didengarnya juga suara si orang tua tadi
sedang mendesak kawan-kawannya : “Lekas tukar pakai
pengantin padanya !”
Maka dengan gugup para pengiring lantas lepaskan
pakaian pengantin dengan perlengkapannya dari gadis tadi
dan dikenakan pada Liok Bu-siang.
Di sebelah sana Yo Ko tidak perlu bantuan lagi, ia sendiri
lantas mencopot topi pakaian kemantin laki-laki tadi terus
dipakainya sendiri.
“Nah, isteriku yang baik, sekarang masuklah ke dalam
joIi,” demikian ia berkata pada Bu-siang sesudah selesai
penyamarannya.
Tetapi Bu-siang menyuruh pengantin perempuan tadi
masuk dulu ke joli, ia sendiri lantas duduk dipangkuan orang,
habis itu tirai joli baru ia tutup.
Semetara itu sebenarnya Yo Ko masih ingin ganti
sepatunya dulu, tetapi sudah tak keburu lagi, suara keleningan
sudah berada di tikungan jalan sana.
“Lekas menuju ke arah tenggara, lekas tiup dan tabuh
lagi!” segera ia memberi perintah, berbareng ini iapun
melompat ke atas kuda putih yang dipakai kemantin Laki-laki
tadi.
Karena sepasang kemantin baru sudah berada dalam
cengkeraman kawanan “penjahat”, tentu saja para pengiring
itu tak berani membantah, segera mereka tabuh gembreng
dan meniup trompet lagi hingga keadaan berubah riuh ramai
Dan baru saja joli itu putar kembali ke jalan lain, belum
ada belasan tombak ditempuh atau suara keleningan sudah
berbunyi dengan kencang di belakang mereka, dua keledai
belang dengan langkah cepat telah memburu datang.
Hati Bu-siang berdebar-debar keras demi mendengar
suara keleningan yang sudah berada di belakang itu, ia pikir
bisa tidaknya lolos dari elmaut hanya tergantung sedetik ini
saja, maka dengan penuh perhatian ia dengarkan gerak-gerik
yang terjadi di luar joli.
Di lain pihak Yo Ko yang menyamar sebagai pengantin
laki-laki, ia pura-pura malu dengan kepala menunduk.
“Hai, kalian melihat satu gadis pincang lewat disini tidak ?”
demikian terdengar Ang Ling-po bertanya.
“Ti… tidak !” sahut si orang tua tadi dengan suara tak
lancar.
“Apa tidak melihat seorang gadis jelita menunggang
keledai lewat sini ?” tanya Ang Ling-po lagi.
“Tidak,” sahut orang tua itu tetap.
Karena itu, Li Bok-chiu berdua lantas keprak keledai
mereka melampaui iring-iringan kemantin itu dan kabur ke
depan dengan cepat.
Tetapi hanya sebentar saja tiba-tiba Li Bok-chiu dan Ang
Ling-po telah putar balik kembali, sesudah dekat joli,
mendadak Li Bok-chiu ayun kebutnya, dengan ekor ketat ia lilit
kain tirai joIi terus ditarik pelahan, maka terdengarnya suara
memberebet, sebagian tirai itu telah robek.
Terkejut sekali Yo Ko oleh kejadian itu, ia larikan kudanya
mendekati joli, ia tunggu apabila Li Bok-chiu ayun ketatnya
untuk kedua kalinya, dengan segera ia akan turun tangan buat
menolong orang.
Siapa duga Li Bok-chiu tidak geraki tangannya kgi, ia
hanya melongok sekejap ke dalam joli, lalu dengan tertawa ia
berkata: “Hah, kemantin-nya sungguh cantik !” - Habis ini ia
menoleh dan berkata pula kepada Yo Ko : “He, rejekimu
sungguh tidak jelek !”
Tetapi dengan cepat Yo Ko telah menunduk, tak berani ia
kesamplok pandang dengan orang. .
Lalu terdengar pula suara keteprak-keteprak kaki binatang,
Li Bok-chiu berdua telah pergi lagi.
Keruan Yo Ko terheran-heran oleh kejadian itu. “Aneh,
kenapa dengan begitu saja ia lepaskan nona Liok ?” demikian
pikirnya tidak habis mengerti.
Waktu ia melongok juga ke dalam joli, ia lihat si kemantin
perempuan asli mukanya pucat lesi saking ketakutan dan
badannya gemetaran pula, sedang Liok Bu-siang ternyata tak
diketahui ke mana perginya, Keruan saja Yo Ko bertambah
heran.
“He, nona Liok, dimanakah kau ?” segera ia berseru
memanggil.
“Aku sudah hilang,” terdengar suara sahutan li gadis
dengan tertawa.
Ketika kain panjang yang dipakai pengantin perempuan itu
tersingkap, tahu-tahu Bu-siang muncul dari bawah, kiranya ia
sembunyi di bawah kain panjang pengantin perempuan itu.
Nyata nona ini memang cerdik, ia cukup kenal sang guru
yang biasanya berlaku sangat teliti dan tidak gampang diingusi
meski barang yang kecil saja, ia menduga selewatnya sang
guru, tentu sebentar akan balik kembali oleh karena itu ia
telah sembunyi lebih dulu.
“Nah, boleh kau menjadi kemanten perempuan dengan
tenang, naik joli bukankah jauh lebih enak daripada
menunggang keledai ?” kata Yo Ko.
Bu-siang memanggut tanda setuju, lalu ia berkata juga
pada si kemanten perempuan itu : “Kau berdesakan di sini dan
membikin aku sum-pek, lekas kau enjah keluar!”
Karena terpaksa, mau-tak-mau perempuan itu menurut, ia
turun joli dan ganti menunggang keledai yang tadinya dipakai
Yo Ko itu.
Begitulah iring-iringan itu melanjutkan perjalanan, setelah
belasan li dilalui pula, cuaca pelahan mulai gelap.
Dengan tiada hentinya si orang tua tadi memohon pada
Yo Ko agar suka bebaskan tawanan nya supaya tidak bikin
kacau waktu upacara mereka, Tetapi Yo Ko masih belum
mau sudah, ia mendongkol oleh kerewelan orang.
“Apa yang kau cerewetkan terus ?” demikian ia
mendamperat, tetapi baru sekecap saja, tiba-tiba dilihatnya
ada bayangan orang berkelebat di pinggir jalan, ada dua
orang dengan tangkas cepat telah lari masuk hutan.
Yo Ko menjadi curiga, ia tarik tali kendali kudanya dan
memburu dengan cepat, lapat-lapat dapat dilihatnya bayangan
kedua orang itu berbaju compang-camping dengan dandanan
sebagai kaum pengemis.
“Jangan-jangan orang Kay-pang sudah mengetahui
penyamaranku dan menyiapkan orang di depan sana ?”
demikian pikir Yo Ko sambil tahan kudanya, “Tetapi urusan
sudah terlanjur, terpaksa harus diteruskan sampai akhirnya.”
Tidak lama kemudian joli kemanten itupun sudah
menyusul datang, karena sebagian tirai joli sudah terobek oleh
kebut li Bok-chiu, maka Bu-siang melongok keluar dan tanya
Yo Ko : “Apa kau melihat sesuatu ?”
Yo Ko tidak memberi penjelasan sebaliknya ia berkata
menyimpang: “Sebagai temanten, layaknya kau menangis,
sekalipun hatimu seribu kali ingin kawin, seharusnya kau
menangis tak mau meninggalkan rumah, mana ada temanten
perempuan di jagat ini tak malu seperti kau ini ?”
Bu-siang pun seorang gadis yang sangat pintar, demi
mendengar kata-kata orang seakan-akan bilang sasarannya
sudah diketahui orang, maka dengan pelahan ia mengomel
sekali, lalu tidak membuka para pula.
Setelah berjalan tak lama, jalan pegunungan di depan
mulai sempit dan menanjak hingga sangat susah ditempuh,
para pengiring kemanten itu sudah dalam keadaan letih, tapi
karena kuatir betapa marah Yo Ko, maka mereka tak berani
mengunjuk rasa dongkol.
Tak lama lagi sang dewi malam mulai menongol di ufuk
timur, burung gagak dengan suara yang serak terbang di
udara kembali ke sarangnya.
Sepasang temanten yang kini menjadi tawanan Yo Ko itu
selamanya belum pernah bertemu muka, kini yang lelaki
melihat yang perempuan mengunjuk rasa takut-takut namun
tak menutupi paras yang cantik, sedang yang perempuan
memandang si lelaki yang juga cakap, kedua orang itu
disamping merasa kuatir, diam-diam pun merasa girang.
Begitulah sedang mereka melanjutkan perjalanan, tiba-tiba
dari balik bukit sana terdengar suara berdendang belasan
orang lagi melagukan : “Nona cilik berbuatlah murah hati,
berikanlah sedekah sebelah kuping dan sebuah hidung !”
Mendengar suara nyanyian itu, seketika muka Bu-siang
berubah, “Ha, kiranya keempat pengemis itu bersembunyi di
sini,” demikian pikirnya.”
Sesudah joli kemanten itu melintasi bukit, tertampaklah di
depan sana menanti tiga pengemis yang berperawakan tinggi
jangkung, sama sekali berlainan dengan keempat pengemis
yang dilihatnya siang tadi.
Waktu Yo Ko meneliti kantong goni yang berada di
pundak ketiga pengemis itu, ia lihat masing-masing
menggendong tujuh buah, “Tentu ketiga pengemis tujuh
kantong ini jauh lebih lihay dari pada empat orang yang
berenam kantong itu, tampaknya tidak bisa tidak harus turun
tangan sungguh-sungguh” pikirnya.
Dalam pada itu karena sudah letih dan sedang uring-
uringan, keruan para pengiring kemanten itu menjadi lebih
mendongkol demi nampak ketiga pengemis itu mengadang di
tengah jalan, segera ada diantaranya ayun cambuk menyabet
kepala salah satu pengemis itu.
“Hai, lekas enyah, lekas minggir !” demikian bentak
mereka.
Akan tetapi pengemis itu tidak berkelit, hanya sekali tarik
pucuk cambuk terus dibetot, maka tidak ampun lagi orang
yang menyabet itu jatuh ngusruk ke depan seperti anjing
menubruk tahi. Melihat kawan mereka dijungkalkan, kalau
dalam keadaan biasa, tentu ramai-ramai para pengiring itu
akan mengerubut maju, tetapi kini mereka sedang ketakutan
karena sudah dihajar Yo Ko tadi, mereka pikir ketiga
pengemis ini tentu juga sekomplotan dengan pembegal ini,
maka tiada seorang pun yang berani maju, sebaliknya malah
pada menyurut mundur.
“Selamat dan bahagialah nona, kami tukang minta-minta
ini ingin mohon diberi persen beberapa duit,” demikian salah
satu pengemis itu membuka suara dengan lantang,
“Tolol,” kata Bu-siang pada Yo Ko, “aku terluka dan tak
bisa turun tangan sendiri, kau saja wakilkan aku enyahkan
mereka.”
“Baik,” sahut Yo Ko tanpa rewel. Habis ini kudanya lantas
dilarikan ke depan terus membentak: “He, hari ini adalah hari
baikku sedang kalian pengemisl ini jangan banyak cerewet,
lekas pergi dari sini!”
Karena dibentak, salah satu pengemis itu mengamat-amati
Yo Ko, namun mereka tak dapat meraba siapakah gerangan
pemuda yang berani membentak-bentak mereka ini.
Kiranya keempat pengemis kentong enam yang tertutuk
oleh duri tulang ikan itu, semuanya menyangka Bu-siang yang
menyerang mereka, maka sama sekali mereka tak sebut-sebut
tentang Yo Ko pada paman-paman guru mereka, yakni ketiga
pengemis kantong tujuh ini.
Dalam pada itu, salah seorang pengemis itu tiba-tiba
angkat tangannya, karena itu kuda yang ditunggangi Yo Ko
menjadi kaget hingga berdiri dengan kaki belakang, Yo Ko
pura-pura terperosot dari kuda dan terbanting jatuh dengan
keras-keras, dan sampai lama tak sanggup bangun.
“Ha, kiranya orang ini memang pengantin laki-lakinya,”
pikir ketiga pengemis itu demi menyaksikan jatuhnya Yo Ko
itu.
Kay-pang sebenarnya adalah perkumpulan kaum jembel
yang selamanya membela keadilan kaum lemah dan
memberantas kaum penindas, sebabnya mereka bermusuhan
dengan Liok Bu-siang adalah karena gadis ini tanpa sebab
telah melukai orang mereka.
Kini melihat Yo Ko tak pandai silat, malahan telah jatuh
terbanting dengan berat? rasa mereka menjadi menyesal, satu
diantara pengemis itu telah menariknya bangun.
“Ai, kalian ini terlalu…” demikian Yo Ko pura-pura
mengomel, “minta ya minta, kenapa biki kaget binatang
tungganganku?”
Sambil berkata iapun rogoh keluar tiga mata uang dan
diberikan kepada pengemis-pengemis itu, Mengingat
peraturan Kay-pang, ketiga pengemis itu terima pemberian itu
dan menghaturkan terima kasih.
“Nah, kau suruh aku bereskan mereka, sekarang sudah
kuIakukan,” dengan menyengir kemudian Yo Ko berkata
pada Liok Bu-siang.
“Hm, untuk apa kau berlagak tolol padaku?” omel Bu-
siang.
Tetapi Yo Ko hanya mengia saja dan mundur kepinggk
jalan sambil mengebut debu yang berada di badannya.
“Sebenarnya kalian inginkan apa ?” dengan sikap dingin
kemudian Bu-siang tegur ketiga pengemis itu, karena orang
masih menghadang di tengah jalan.
“Anak murid golongan kami bilang nona adalah jago dari
Ko-bong-pay, karena kagum, maka kami ingin minta petunjuk
beberapa gebrakan dari nona,” sahut satu diantaranya.
“Aku dalam keadaan terluka, cara bagaimana bisa
bergebrak dengan kalian ?” kata Bu-siang. “Jika betul-betul
kalian penasaran, bolehlah tetapkan harinya, nanti kalau
lukaku sudah sembuh, pasti ku datang minta pengajaran
kalian, Kalian bertiga adalah jago dari Kay-pang, kini sengaja
hendak mengeroyok satu gadis yang sedang luka parah,
apakah ini terhitung orang gagah perkasa ?”
Dengan kedudukan yang cukup tinggi ketiga pengemis itu,
mereka jadi terdesak oleh debat Bu-siang ini.
“Baiklah, nanti kalau lukamu sudah sembuh, kami cari kau
lagi,” kata pengemis yang kedua.
“Nanti dulu,” tiba-tiba pengemis yang ketiga berpikir lain:
“Dimanakah lukamu ? Apa betul atau pura-pura, kami harus
periksa dulu, kalau benar kau terluka, hari ini kami boleh
ampuni kau.”
Ia berkata begitu karena tak diketahuinya luka Bu-siang
berada di bagian dadanya, maka tidak sengaja ingin
mengetahui tempat luka ini, tapi bagi Bu-siang seketika
mukanya menjadi merah, iapun menjadi gusar hingga untuk
sesaat tak bisa bicara.
“Hm, orang Kangouw bilang sahabat-sahabat dari Kay-
pang semuanya ksatria sejati, siapa tahu semuanya adalah
manusia-sia yang tak kenal malu,” kemudian Bu-siang
mendamperat.
Mendengar nama baik perkumpulan mereka dihina, air
muka ketiga pengemis itu berubah semua, satu diantaranya
yang berwatak berangasan segera melompat maju, dan
hendak tarik Bu-siang keluar dari jolinya.
“Eeeeh, nanti duIu, nanti dulu !” tiba-tiba Yo Ko menyela
demi dilihatnya keadaan sudah mendesak “Kalian minta duit,
bukankah aku sudah memberi tadi, kenapa sekarang masih
merecoki biniku ?”
Sembari berkata iapun maju menghadang di depan joli,
lalu ia sambung lagi, “Tampaknya kalian meski pengemis, tapi
tampangmu gagah, potonganmu pun banyak rejeki, kelak
banyak harapan akan menjadi orang kaya atau orang
berpangkat, kenapa sekarang berani goda biniku dan
melakukan perbuatan-perbuatan rendah seperti bajingan ini ?”
Teguran ini membikin ketiga pengemis menjadi
tercengang hingga mereka tak bisa menjawab.
“Kau menyingkir, kami hanya ingin belajar kenal dengan
ilmu silatnya dari Ko-bong-pay, siapa yang melakukan
perbuatan rendah ?” sahut si pengemis yang berangasan tadi
Sambil berkata, berbareng ia mendorong Yo Ko.
“Haya !” Yo Ko berteriak dan pura-pura jatuh ke tepi
jalan.
Dalam perserikatan kaum pengemis itu ada peraturan
yang melarang bergebrak dengan orang yang tak mahir ilmu
silat, Sungguh tak terduga oleh pengemis itu bahwa
“pengantin laki-laki” ini ternyata begitu tak becus. hanya sekali
dorong pelahan saja sudah terbanting jatuh, kalau terbanting
luka, tentu bakal terima hukuman berat dari perkumpulan, dua
kawannya pun tidak terluput dari tanggung jawab ini.
Karena itu mereka terkejut, lekas-lekas mereka memburu
maju buat bangunkan orang, sebaliknya Yo Ko sengaja
menjerit kesakitan Karena hari sudah gelap waktu itu, maka
pengemis itupun tak jelas apa betul-betul orang terluka - atau
tidak.
“Ai, kalian bertiga inipun orang tolol, biniku baru jadi
pengantin dan masih malu-malu. mana mau dia bicara dengan
orang yang tak dikenalnya,” demikian sambil berteriak-teriak
sakit masih Yo Ko berkata lagi, “Begini saja, pelajaran
apakah yang kalian inginkan ? Coba katakan padaku, nanti
aku yang bicara dengan biniku yang baru ini. habis itu nanti
kuberitahukan lagi pada kalian bukankah baik begitu ?”
Melihat macam Yo Ko yang dibilang tolol toh tidak tolol,
akhirnya mereka tak sabar Iagi.
“Kau mau menyingkir tidak ?” pengemis yang berwatak
keras tadi membentak pula.
Akan tetapi Yo Ko sengaja pentang kedua tangannya
malah.
“Tidak, kalian hendak hina biniku, itulah jangan harap,”
sahutnya dengan suara keras.
“Nona Liok,” kata pengemis yang lain, “kau pakai si tolol
ini sebagai tamengmu, apa dia bisa merintangi kami ? Lekas
kau berterus terang saja, apa yang hendak kau katakan !”
“Eh, darimana kaupun tahu namaku si Tolol? Sungguh
aneh bin ajaib !” tukas Yo Ko tiba-tiba dengan lagak heran.
Tetapi pengemis yang berangasan tadi tak gubris padanya,
ia masih berteriak pada Liok Bu-siang: “Kami tidak ingin
belajar lain, cukup asal belajar kenal dengan tipu seranganmu
dengan golok membacok punggung itu saja, apakah nama
tipu serangan itu?”
Bu-siang tahu juga bahwa dengan caranya Yo Ko
menggoda mereka itu, sukar juga urusan ini diselesaikan,
karena itu dalam hati sedang memikirkan sesuatu jalan
meloloskan diri, ketika mendengar orang menanya lagi, tanpa
terasa ia telah menjawab : “Namanya “Tiau-siang-pay-gwe”,
ada apakah ?”
“Ya, betul, namanya “Tiau-sian-pay-gwe”, begini gerak
goloknya, bet, lantas kena bacok di punggungmu,” tiba-tiba
Yo Ko menyambung sambil mulutnya “bat-bet, bat-bet”,
tangan pun mendadak memotong ke belakang pundak orang
“plok”, dengan pinggiran telapak tangan ia hantam punggung
pengemis itu.
Keruan saja ketiga pengemis itu sangat terkejut oleh gerak
serangan Yo Ko, berbareng mereka melompat mundur.
“Ha, kiranya orang ini pura-pura menyamar sebagai
pengantin untuk mempermainkan kami,” demikian pikir
mereka.
Walaupun tak banyak tenaga yang dikeluarkan Yo Ko,
namun punggung pengemis itupun terasa sakit.
“Bagus, anak keparat, kau pura-pura tolol Mari, mari sini,
biar kubelajar kenal dulu dengan kepandaianmu yang tinggi,”
segera pengemis itu berteriak-teriak menantang, berbareng
tongkat diketokkan ke tanah hingga menerbitkan suara
nyaring keras.
“Tadi kau bilang ingin belajar pada biniku, kenapa
sekarang hendak belajar kenal padaku ?” sahut Yo Ko
berlagak bodoh.
“Belajar kenal dengan kau pun sama saja,” kata pengemis
itu dengan gusar.
“Wah, bisa celaka, aku tak bisa apa-apa,” ujar Yo Ko,
habis ini ia berpaling dan tanya Bu-siang : “Bini cilik yang baik,
menurut kau, apa yang harus kuajarkan padanya?”
Kini Bu-siang sudah tidak ragu-ragu lagi akan si Yo Ko
yang pasti memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, kalau tidak,
mana berani ia cengar cengir berlagak bodoh menggoda
ketiga jago Kay-pang ini? Tetapi karena belum kenal aliran
ilmu silat orang, maka sekenanya ia menjawab pula: “Kau
unjuk sekali lagi jurus Tiau-sian-pay-gwe !”
“Baik !” sahut Yo Ko, berbareng ini, tiba-tiba ia
membungkuk ke depan, tangan mengulur, “plok”, dengan tipu
“Tiau-sian-pay-gwe” atau Tiau-sian menyembah rembulan,
kembali ia gebuli sekali lagi punggung si jembel itu.
Melihat serangan Yo Ko, semua orang bertambah kaget
dan heran pula, Terang Yo Ko berdiri berhadapan dengan
lawan dan sama sekali tak menggeser selangkahpun tetapi
hanya sedikit membungkuk dan tangan mengulur, tahu-tahu
tangannya berhasil menggebuk punggung orang, sungguh
ilmu pukulan yang sangat aneh dan mengherankan.
Bukan saja orang-orang itu heran, bahkan Bu-siang pun
tergetar hatinya. “Bukankah ilmu pukulannya ini adalah aliran
Ko-bong-pay kami, kenapa diapun bisa ?” demikian ia
bertanya dalam hati.
Dengan ragu segera ia berkata lagi: “Coba sekali Iagi,
sekarang jurus “Se-si-hong-sim !”
“Baik !” sambut Yo Ko cepat.
Ketika tinjunya menyodok ke depan, dengan tepat kena
pukul ulu hati lawan, itulah tipu serangan “Se-si-hong-sim”
atau Se Si meraba dada.
Karena genjotan itu, maka terasalah oleh pengemis itu
didorong suatu kekuatan yang maha besar hingga tubuhnya
mencelat pergi sejauh lebih setombak, anehnya disana ia bisa
berdiri dengan tegak, tempat yang terkena pukulan pun tidak
terasa sakit.
Walaupun begitu, kedua pengemis yang lain segera
menerjang maju berbareng.
“Haya, celaka, bini cilik, tak sanggup aku melawan
mereka, lekas ajarkan tipu padaku,” Yo Ko berteriak-teriak.
“Ciau-kun-jut-sat, Moa-koh-hian-siu !” tiba-tiba Bu-siang
menyebut dua nama tipu serangan.
Maka dengan cepat Yo Ko ulur tangan diri, lima jarinya
menjentik berbareng seperti orang menabuh Pi-peh dan lima
jari itu juga dengan tepat kena menyentil tubuh pengemis
sebelah kanan memang betul itulah tipu “Ciau-kun-jut-sat”
atai Ciau-kun keluar negeri MenyusuI mana, tubuhnya tiba-
tiba mengegos ke samping, ia hindarkan tendangan si
pengemis sebelah kiri yang sementara itu sudah melayang,
sedangkan kedua kepalan telah disodokkan ke atas, “plak”,
dengan jitu sekali dagu pengemis sebelah kiri itupun kena
ditonjok.
“lni “Moa-koh-hian-siu”, betul tidak ?” teriak “Yo Ko,
Karena tak ada niat buat celakai pengemis itu, maka tenaga
hantamannya tadipun tidak keras.
Begitulah ber-turut-urut Yo Ko telah unjuk empat kali
serangan dan tiap-tiap tipu serangan adalah “Bi-li-hoat” “dari
Ko-bong-pay,
Ko-bong-pay dimulai sejak cakal-bakalnya, ya itu Lim Tiao-
eng, selamanya hanya terima murid wanita dan tidak lelaki,
Lim Tiao-eng telah ciptakan ilmu pukulan yang disebut “Bi-li-
kun-hoat” atau ilmu pukulan gadis ayu, maka tiap-tiap tipu
serangannya diberi nama dengan mengambil nama-nama
wanita cantik jaman purbakala, waktu ilmu pukulan itu
dimainkan, orangnya lemah gemulai gayanya indah luar biasa.
Sebab Siao-Iiong-li sudah melanggar kebiasaan menerima
murid wanita dan telah terima Yo Ko sebagai murid, dengan
sendirinya “Bi-li-kun-hoat” itupun diajarkan padanya, Tetapi
Yo Ko merasa tipu-tipu serangan itu meski lihay, namun
gayanya selalu kiyat-kiyut, tidak pantas dilakukan orang Ielaki,
maka waktu ia melatih ilmu pukulan itu, ia sendiri telah
tambahi dengan tenaga besar dan gaya kaum lelaki, dari gaya
yang lemah gemulai itu ia rubah menjadi gaya lelaki yang
gagah perkasa, walaupun gayanya lain, tetapi intilnya masih
tetap.
Begitulah, sesudah kena diserang Yo Ko dengan cara-
cara yang sukar dimengarti, ketiga pengemis yang terhitung
jago kelas tinggi dari Kay-pang itu masih belum mau
menyerah begitu saja, sekali bersuit berbareng mereka
mengerubut maju Iagi.
“Haya, celaka, bini cilik, sekali ini kau bisa menjadi janda!”
teriak Yo Ko sambil berkelit ke sana kemari.
Bu-siang terkikik geli oleh teriakan itu, “Thian-sun-cit-kim!”
tiba-tiba ia menyebut satu nama tipu serangan lagi.
Tanpa pikir Yo Ko mengayun tangan kanan ke kiri dan
tangan kiri menyodok ke kanan, ia bergaya seperti orang
memintal, sesuai dengan nama tipu “Thian-sun-cit-kim” atau
Thian-sun memintal sutera, maka sekaligus pundak kedua
pengemis itu kena dihantam semua.
“Bun-kun-taog-lo, Kui-hui-cui-ciu!” kembali Bu-siang
menyebut dua nama Iagi.
Eh, betul juga, si Yo Ko lantas angkat tangan seperti
menuang arak dan ketok ke atas kepala si pengemis yang
bertabiat berangasan itu, menyusul tubuhnya terhuyung-
huyung dan miring ke kiri, maka perut si pengemis yang lain
dengan tepat kena ditumbuk oleh pundak kanannya. itulah
tipu-tipu “Bun-kun-tang-lo” dan “Kui-hui-cui-ciu” atau Bun-kun
mengipas anglo dan Kui-hui mabuk arak.
Terkejut dan gusar pula ketiga pengemis itu, mereka telah
keluarkan ilmu silat seluruhnya, tapi sedikitpun tak bisa
menghantam orang, sebaliknya lawannya bebas mengayun
tangan atau melayangkan kakinya, ke mana dipukulnya, di
situ tentu kena, meski tak sakit tempat yang kena serangan,
namun luar biasa anehnya.
Kemudian berulang-ulang Bu-siang menyebut lagi
beberapa tipu serangan yang satu per satu dilakukan Yo Ko
lagi dengan betul. Sungguh kagum sekali Liok Bu-siang oleh
kepandaian “si ToIol”, Segera timbul juga kejadiannya untuk
permainkan “si Tolol”, ia lihat Yo Ko waktu itu sedang ulur
kepalan menghantam ke depan, mendadak ia berteriak : “Cek-
thian-sui-liam !”
Menurut keadaan Yo Ko waktu itu sekali-kali tidak
mungkin bisa memakai tipu serangan yang disebut itu, tetapi
betapa tinggi Lwekang Yo Ko sekarang, bisa saja dilakukan
tipu apa yang orang inginkan, sekonyong-konyong tubuhnya
menubruk ke depan, kedua tangannya memotong ke bawah
dengan gaya seperti menurunnya kerai, tidak salah lagi ini
memang tipu “Cek-tbian-sui-Iiam” atau Bu Cek-thian
menurunkan kerai.
Sebelum itu sebenarnya ketiga pengemis itu lagi
menubruk maju karena melihat ada kesempatan, siapa tahu
oleh tubrukan Yo Ko ini, mereka terbalik terdesak mundur
beberapa langkah.
Luar biasa heran dan senangnya Liok Bu-siang oleh
kemahiran “si Tolol” ini, kembali ia berseru : “lt-siau-cing-kok
!”
“lt-siau-cing-kok” atau sekali tertawa meruntuhkan negara,
inilah satu tipu pilihan Bu-siang sendiri yang tak pernah ada
dalam pelajaran “Bi-li-kun-hoat”, sebab meski wanita cantik
dengan senyum dan tawanya bisa meruntuhkan suatu negara:
tapi mana dapat digunakan untuk bergebrak dengan pihak
lawan ?
Akan tetapi disinilah Yo Ko unjuk kemahirannya, sesudah
tertegun sedetik karena nama tipu yang aneh itu, namun
segera ia menengadah dan tertawa: “hahaha…hehehehe…
huhuhu… hohoho… hahahaha !”
Sungguh aneh sekali suara tertawanya ini, ternyata Nyo
Ko telah keluarkan Lwekang yang paling tinggi dari “Kiu-im-
cin-keng” yang dilatihnya walau latihannya belum bisa dibilang
masak dan belum dapat dipakai untuk melawan jago kelas
wahid, tetapi ketiga pengemis itu hanya anak murid Kay-pnng
kelas dua-tiga saja, ketika mendengar suara ketawa yang
aneh itu, tak tahan lagi telinga mereka seakan-akan pekak dan
kepala pusing, mereka terhuyung-huyung untuk kemudian
terguling’jatuh semua saking tak tahan.
Bukan saja tiga pengemis itu, bahkan Bu-siang ikut
terkena juga akbiatnya, iapun merasa pusing hingga hampir
jatuh semaput, lekas-lekas ia pegang erat-erat tiang joiij
sementara itu di bagian luar keadaan sudah kacau balau,
suara jeritan dan gedubrakan bercampur aduk, para pengiring
kemanten dan kedua penganten baru itu sudah jatuh terguling
semua karena tak tahan oleh suara tertawa Yo Ko.
Setelah Yo Ko hentikan tertawanya, dengan cepat ketiga
pengemis itu melompat bangun, tanpa berpaling lagi segera
mereka angkat kaki.
Dan sesudah mengaso lagi tak lama, kemudian iring-
iringan joli penganten itu melanjutkan perjalanan agi,
terhadap Yo Ko kini para pengiring itu menganggapnya
seperti malaikat dewata saja, tiada seorangpun yang berani
membangkang lagi.
Menjelang tengah malam, barulah mereka sampai di satu
kota, di situlah Yo Ko membubarkan para pengiring
kemanten itu, ia dan Bu-siang antas mendapatkan sebuah
hotel untuk menginap.”
Waktu mereka hendak bersantap dulu, baru saja mereka
duduk, tiba-tiba Yo Ko melihat di depan pintu ada
berkelebatnya bayangan orang, satu orang telah longak-
longok ke dalam dan demi nampak Yo Ko dan Bu-siang,
cepat orang itu meng-eret dan putar pergi.
Yo Ko jadi curiga, dengan cepat ia menyusul keluar,
maka tertampaklah olehnya di pelataran hotel sana berdiri dua
Tojin atau imam. Begitu melihat Yo Ko keluar, segera kedua
imam itu menubruk maju ke arahnya.
Kedua imam itu dapat dikenali Yo Ko sebagai Tio Put-
hoan dan Ki Jing-si yang pernah saling labrak dengan Liok Bu-
siang di lembah Srigala tempo hari.
“He, ada apakah kalian marah padaku ?” |nikian Yo Ko
heran karena orang menubruk ke jurusannya, ia berdiri tegak
saja tanpa gubris mereka.
Tak terduga tujuan kedua imam itu ternyata bukan diri
Yo Ko, tiba-tiba mereka mengegos lewat di sampingnya terus
melompat ke depan Bu-siang.
Akan tetapi sebelum terjadi sesuatu, pada saat itu juga,
tiba-tiba terdengar suara keleningan yang nyaring.
Suara kelenengan ini datangnya mendadak dan tahu-tahu
sudah berada dalam jarak yang dekal sekali. Muka kedua Tosu
itu berubah hebat demi mendengar suara kelenengan,
sesudah saling pandang sekejap, segera mereka lari kembali
ke kamar yang berada di sebelah barat sana, dengan keraj
mereka gabrukan daun pintu dan dikunci rapat untuk
kemudian tak berani keluar lagi.
“Ha, imam-imam busuk ini tentu pernah merasakan pahit
getir tangannya Li Bok-chiu, makanya mereka begitu takut
padanya,” diam-diam Yo Ko membatin.
“Suhu sudah datang, bagaimana baiknya, Tolol ?” dengan
suara tertahan Bu-siang menanya Rupanya iapun berkuatir.
“Bagaimana baiknya ?”
Dan selagi ia hendak pondong si gadis, mendadak suara
kelenengan tadi sudah berhenti di depan “pintu hotel”
Betul saja lantas terdengar suara Li Bok-chi sedang
berkata: “Ling-po, kau menjaga atas wuwungan rumah !”
Terdengar Ang Ling-po menyahut sekali, dengan cepat
sang murid melompat ke atas.
Menyusul terdengar lagi suara kasir hotel yang berkata:
“Sian-koan, engkau orang tua.. aduh… Aku…”
Suara si kasir hotel ternyata terputus sampai di situ saja,
sebab orangnya mendadak terguling ke lantai dan jiwanya
sudah melayang.
Kiranya Li Bok-chiu paling benci bila orang menyebut kata-
kata “tua” di hadapannya, apalagi orang terang-terangan
katakan dia “orang tua”, keruan tanpa ampun lagi, sekali
kebutnya menyabet, seketika jiwa kasir hotel itu melayang.
“Ada seorang nona pincang tinggal di sini tidak ?” lalu Li
Bok-chiu tanya pelayan hotel.
Tetapi pelayan itu sudah ketakutan melihat keganasannya.
“Aku… aku…” demikian sahutnya tak terang.
Li Bok-chiu menjadi tak sabar, sekali dorong ia sengkelit
pelayan itu hingga cium tanah, habis ini lantas terdengar
suara “bang” yang keras, pintu kamar pertama di sebelah
barat itu didobraknya hingga terpentang, itulah kamar para
imam.
“lnilah kesempatan untuk melarikan diri melalui pintu
belakang, meski akan dipergoki Ang Ling-po, tetapi aku tak
takut padanya,” diam-diam Yo Ko terpikir. Karena itu,
dengan suara lirih ia berkata pada Liok Bu-siang: “Bini cilik,
lekas ikut aku melarikan diri”
Si gadis pelototi Yo Ko karena orang berulang kali panggil
“bini cilik” padanya, tetapi ia berdiri juga, ia pikir sekali ini
kalau bisa selamat pula, betul-betul Tuhan yang
melindungiNya.
Pada saat itu juga, dari pojok ruangan hotel, itu satu
tetamu telah berdiri, waktu ia jalan melalui samping Yo Ko
dan Bu-siang, tiba-tiba dengan suara tertahan ia berkata :
“Aku pancing dia pergi, lekas cari jalan buat selamatkan diri.”
Orang ini sejak tadi duduk di satu meja di pojok yang rada
gelap, maka Yo Ko dan Bu-siang sama sekali tak perhatikan
muka orang, Kini waktu bicara mukanya pun berpaling ke
jurusan lain, baru selesai bicara, dengan cepat orangnya
sudah melangkah keluar, hanya potongan belakangnya yang
tertampak jelas bahwa perawakannya tidak tinggi, malahan
lebih pendek sedikit dari pada Liok Bu-siang, baju yang
dipakainya berwarna hijau dan rada kebesaran.
Dengan tipu akal apa pula Yo Ko menolong Bu-siang dan
ngelabui Li Bok-chiu ?
Jago-jago Kaypang mana pula yang akan membuat
perhitungan terhadap mereka ?”
Tentu saja Yo Ko dan Bu-siang terkejut oleh kata-kata
orang tadi, sedang mereka bingung, mendadak terdengar
suara kelenengan keledai berbunyi riuh terus menjauh menuju
ke utara.
“Suhu, ada orang mencuri keledai kita !” terdengar Ang
Ling-po berteriak.
Dengan cepat pula satu bayangan berkelebat dari dalam
kamar tadi, Li Bok-chiu melayang keluar terus mengudak ke
arah perginya si pencuri keledai.
“Lekas kita lari!” segera Bu-siang mengajak.
Akan tetapi Yo Ko berpandangan lain, ia pikir: “llmu
entengkan tubuh Li Bok-chiu cepat luar biasa, tentu segera
orang tadi akan dicandaknya dan segera pula ia bisa balik
kembali. Kalau aku pondong nona pincang ini, karena tak bisa
cepat berlari, sukar juga buat meloloskan diri.”
Mendadak ia mendapat akal, dengan cepat kamar pertama
di sebelah barat sana dimasukinya.
Di kamar itu ia lihat Tio Put-hoan dan Ki Jing-si dalam
keadaan ketakutan sedang duduk di atas pembaringan. Tahu
keadaan mendesak tanpa menunggu kedua imam itu
bersuara, dengan cepat Yo Ko menubruk maju, sekali ia
tutuk roboh kedua orang itu.
“Bini cilik, masuk sini!” teriaknya pada Bu-siang.
Tanpa pikir lagi si gadis menurut, pintu kamar dengan
cepat dirapatkan kembali oleh Yo Ko.
“Lekas copot pakaian !” katanya pula.
Apa kau bilang, Tolol ?” Bu-siang mengomel dengan muka
merah jengah.
“Terserah ksu mau copot pakaian tidak, tetapi aku sendiri
akan mencopot!” sahut Yo Ko sambil melepaskan baju
luarnya, menyusul jubah Tosu yang dipakai Tio Put-hoan telah
dia lucuti dan dikenakan sendiri, malahan kopiah orang ia
samber, dan dipakainya pula.
Nampak perbuatan Yo Ko ini, segera Bu-siang mengerti,
“Baiklah, kita menyamar sebagai Tosu buat mengelabui Suhu,”
katanya kemudian.
Habis itu bajunya sendiri lantas hendak dibukanya, tetapi
mukanya menjadi merah pula, tiba-tiba ia depak Ki Jing-si
sekali sambil mendamperat: “Pejamkan matamu, imam
keparat !”
Meski badan kedua imam itu tertutuk dan tak bisa
berkutik, namun pancaindera mereka masih bisa bekerja
biasa, maka mata lantas mereka pejamkan mana berani
mereka mengintip tubuh Liok Bu-siang ?
“Tolol, kaupun berpaling ke sana,” kata Bu-siang pula pada
Yo Ko.
“Takut apa ? Waktu aku sambung tulangmu, bukankah
aku sudah melihatnya,” sahut Yo Ko dengan tertawa.
Tetapi sesudah berkata, segera Yo Ko merasa kata-
katanya itu terlalu bambungan, maka ia menjadi rikuh.
Di lain pihak Bu-siang menjadi marah, “plek”, kontan ia
baliki telapak tangannya dan tempeleng orang.
Sebenarnya sedikit menunduk saja Yo Ko bisa hindarkan
tamparan itu, tetapi dalam keadaan linglung, ia tak
menghindar hingga pukulan itu kena pipi kirinya dengan
antap. Kiranya mendadak Yo Ko teringat pada Siao-liong-li
karena mimik wajah Liok Bu-siang yang sedang marah-marah
itu, maka ia menjadi ternganga diam.
Sebaliknya Bu-siang menyangka pukulannya tentu
mengenai tempat kosong, siapa tahu justru tepat kena
sasarannya dengan keras, mau-tak-mau iapun tertegun.
“Sakit tidak, Tolol ? Makanya jangan ngaco-belo dan
ngoceh semaunya,” katanya kemudian dengan tersenyum.
Yo Ko tidak menjawab, ia raba-raba pipinya sendiri yang
panas pedas itu, lalu berpaling ke jurusan lain.
“Coba lihat, aku mirip imam kecil tidak ?” tanya Bu-siang
dengan tertawa sesudah jubah pertapaan orang
dikenakannya.
“Tak kelihatan, manaku tahu,” sahut Yo Ko.
“Balik sini, Tolol,” omel si gadis.
Kefika Yo Ko berpaling kembali, ia lihat jubah itu terlalu
besar dipakai Bu-siang, tapi makin menunjukkan betapa
ramping tubuh Bu-siang.
Selagi Yo Ko hendak buka suara, sekonyong-konyong
terdengar Bu-siang menjerit tertahan sambil menuding ke atas
pembaringan.
Eh, kurangajar, kiranya dari dalam selimut di atas
pembaringan itu kelihatan menongol satu kepala imam yang
dapat Yo Ko kenali sebagai Bi Jing-hian, imam yang tertabas
tangannya oleh Bu- siang di lembah Srigala itu. Rupanya ia
rebah di atas pembaringan karena lukanya, tadi waktu melihat
Bu-siang, dalam takutnya ia telah mengkeret ke dalam selimut
Karena Yo Ko dan si gadis sedang sibuk menukar pakaian,
maka tak memperhatikan kalau di situ masih ada satu imam
lagi.
“Dia… dia…” demikian dengan suara samar-samar Bu-
siang hendak bicara, sebenarnya ia hendak bilang: “dia
mengintip aku tukar pakaian”, tetapi tak enak diucapkannya.
Pada saat itu juga, kembali suara kelenengan keledai
belang milik Li Bok-chiu terdengar lagi.
Yo Ko tahu iblis perempuan itu kembali lagi, tiba-tiba
tergerak kecerdasannya, ia tarik Bi Jing-hian yang meringkuk
di dalam selimut itu, dengan sekali cekal dan tarik itu
berbareng ia sudah tutuk jalan darah orang, lalu ia buka
rongga pembaringan dan masukkan imam sial itu ke dalam.
Hendaklah diketahui bahwa balai-balai atau pembaringan
yang biasa digunakan di daerah utara itu terbuat dari tanah
liat dan dibawahnya berlubang, karena daerah utara hawa
sangat dingin, maka rongga balai-balai itu dinyalakan api
unggun untuk memanaskan badan bagi yang rebah di
atasnya. Tetapi waktu itu bukan musim dingin, di bawah
kolong balai-balai itu tak ada api, sungguhpun begitu di
dalamnya hitam gelap penuh debu arang, keruan Bi Jing-hian
seluruh muka dan kepalanya berubah menjadi hitam.
Sementara itu suara keleningan tadi sudah berhenti. Li
Bok-chiu telah sampai di depan hotel. “Naiklah ke atas balai-
balai,” kata Yo Ko pada Bu-siang.
“Tak mau, sudah digunakan imam busuk itu, “tentu kotor
dan bau.” sahut si gadis.
“Jika tak mau, terserah kau !” ujar Yo Ko,
Sembari berkata, tangan pun bekerja, Tio Put-hoan telah
dijebloskan pula kedalam koIong, sebaliknya tutukan Ki Jing-si
malah dia lepaskan.
Di lain pihak, walaupun merasa selimut bekas terpakai itu
kotor dan bau, namun bila ingat kekejian gurunya yang tak
kenal ampun, terpaksa Bu-siang merangkak ke atas balai-
balai, ia tiduran dengan muka menghadap ke bagian dalam
dan baru saja ia rebah, pintu kamar sudah ditendang Li Bok-
chiu, untuk kedua kalinya iblis ini melakukan penggeledahan.
Di sebelah sana Yo Ko pura-pura memegangi sebuah
cangkir dan dengan kepala tunduk sedang minum, padahal
sebelah tangannya ia tekan punggung Ki Jing-si pada Hiat-to
yang mematikan hingga imam ini tak berani berkutik.
Melihat isi kamar itu masih tetap tiga imam, pula melihat
wajah Li Jing-si pucat lesi seperti mayat dan dalam ketakutan
maka Li Bok-chiu hanya tersenyum, lalu pergilah dia
menggeledah ke kamar yang Iain.
Tadi waktu pertama kali Li Bok-chiu menggeledah wajah
ketiga imam itu sudah jelas dilihatnya, sebab ia kuatir Liok Bu-
siang, ganti pakaian dan menyamar, maka waktu
menggeledah lagi untuk kedua kalinya, ia tidak memeriksa
pun dengan teliti, karena sedikit lengahnya ini ia kena
dikelabuhi oleh Yo Ko.
Malam itu Li Bok-chiu dan Ang Ling-po berdua telah obrak-
abrik seluruh kota itu hingga setiap rumah merasa terganggu
sebaliknya dengan aman sentausa Yo Ko merebah di balai-
balai berendeng dengan Liok Bu-siang, alangkah senangnya
dia waktu mencium bau harum yang menggiurkan dari si
gadis.
Pikiran Bu-siang sendiripun timbul tenggelam seperti
mendamparnya ombak, ia rebah tanpa berani bergerak
sedikitpun, ia pikir kalau si ToIol ini dibilang goblok, nyatanya
pintar tiada bandingannya, dikatakan dia pintar, sebaliknya
kelakuannya agak-agakan, sungguh aneh orang ini ia rada
kikuk juga karena bertiduran berendeng dengan pemuda,
tetapi sampai lama sedikitpun tiada sesuatu gerak-gerik dari
Yo Ko, barulah ia merasa lega hingga akhirnya ia terpulas.
Besok paginya Yo Ko mendusin lebih dulu, ia lihat Ki Jing-
si masih menggeros mendekam di atas meja, sedang Bu-siang
dengan napasnya yarig pelahan kelihatan masih nyenyak juga,
kedua pipi gadis ini semu merah, bibirnya mungil tanpa terasa
jantung Yo Ko memukul keras.
“Jika perlahan-lahan aku mencium dia sekali, tentu dia tak
akan tahu,” demikian ia pikir.
Dasar Yo Ko baru injak dewasa, walaupun tiada maksud
jahat yang terkandung padanya, namun ingin juga mengecup
sekali bibir si gadis yang merah mungil itu. Maka dengan hati-
hati ia menjulurkan kepalanya, bau harum yang teruar dari
badan si gadis membikin Yo Ko makin lupa daratan.
Tetapi baru saja kedua bibir hampir bersentuh, sekonyong-
konyong Yo Ko merasakan punggungnya tertimpuk sesuatu
Am-gi atau senjata gelap, Luar biasa kaget Yo Ko hingga ia
meloncat bangun.
Sebenarnya dengan kepandaian Yo Ko sekarang, segala
macam senjata rahasia pasti akan diketahuinya sebelum
mendekati, tetapi tadi ia sedang lupa daratan hingga
pikirannya kabur, maka tak heran senjata rahasia orang bisa
mengenai punggungnya.
BegituIah, waktu ia meloncat kaget, segera dapat
dilihatnya sebuah wajah sekilas melintas di balik lubang
jendela, Wajah itu aneih luar biasa, seperti manusia tapi
bukan manusia, dibilang setan pun bukan setan.
Dalam herannya Yo Ko menguber keluar, namun tiada
satu bayangan yang dia dapatkan “jangan-jangan ini tipu
pancingan belaka ?” tiba-tiba terpikir olehnya.
Ketika ia kembali ke kamar dan periksa senjata rahasia
tadi, ia lihat di atas lantai hanya terdapat segelintir kertas
saja, ia menjemputnya dan diperiksa, ternyata di atas kertas
yang dilinting itu tertulis sesuatu.
Waktu itu Bu-siang sudah terjaga bangun, ia pun
mendekati Yo Ko untuk melihat isi surat itu, Maka
tertampaklah apa yang tertulis itu berbunyi”. “Kalau berani
kurangajar, segera jiwamu melayang !”
Seperti diketahui sehari sebelumnya ada satu anak petani
menghantarkan seikat bunga pada Liok Bu-siang dengan
secarik surat pengantar yang memberi peringatan, bahwa
gurunya segera tiba dan gadis ini disuruh lekas sembunyi.
Gaya tulisan surat itu ternyata mirip dengan tulisan yang
sekarang ini.
Heran sekali Yo Ko tercampur malu demi membaca kata-
kata surat itu, pikirnya: “Kiranya diam-diam ada jagoan tinggi
sedang melindungi dia, semalam kalau aku melakukan sesuatu
yang tak pantas, bukankah…” Berpikir sampai disini, tanpa
terasa seluruh mukanya merah semua.
“Hm, tolol busuk, kau didamperat Kokohmu bukan ?”
tanya Bu-siang.
“He, ya, jangan-jangan memang Kokoh ?” terkesiap hati
Yo Ko. Tetapi lantas teringat lagi olehnya : “Ah, tak mungkin,
muka orang itu luar biasa aneh-nya, bukan lelaki juga tidak
perempuan, seperti manusia, tapi juga bukan setan, terang
bedanya seperti langit dan bumi dengan Kokoh, apapula
tulisan ini pun bukan tulisan tangan Kokoh !”
Pada saat itu juga suara kelenengan keledai belang Li Bok-
chiu berkumandang lagi dan menuju ke arah barat laut
Rupanya karena kitab “Ngo-tok-pit-toan” (kitab pelajaran
“panca-bisa”) digondoI Liok Bu-siang, kitab itu belum
didapatkan kembali, selama itu pula ia tak tenteram, maka
selama beberapa hari ini Li Bok-chiu boleh dikatakan tidur tak
nyenyak dan makan tak enak, meski hari masih sangat pagi,
dengan keledainya ia telah berangkat mencari Liok Bu-siang.
“Kalau kembalinya ke sana tak ketemukan kau, pasti dia
akan balik ke sini puIa,” kata Yo Ko. “Cuma sayang kau
terluka parah dan tak boleh terguncang keras, kalau tidak, kita
bisa menunggang dua ekor kuda dan kabur secepat-
cepatnya”.
“Bukankah kau sendiri tak luka, kenapa tak kau curi kuda
dan kabur sekaligus sehari semalam?” Bu-siang mengomel
Melihat orang marah, Yo Ko menjadi senang, ia sengaja
memancing pula: “Kalau bukan kau yang mohon diantar ke
Kanglam, mana aku mau menghadapi bahaya ini.”
“Kalau begitu, bolehlah kau pergi, Tolol, melihat macammu
saja aku lantas marah, biar lebih baik aku mati saja,” sahut
Bu-siang.
“Wah, jika kau mati, akulah yang rugi,” kata Yo Ko
tertawa.
Tetapi kuatir si gadis betul naik darah hingga tulangnya
yang sudah tersambung itu patah lagi, maka tak digodanya
lebih jauh, ia ke kantor hotel dan pinjam tinta bak, dengan
bahan tulis ini ia campur air baskom yang akan dibuat cuci
muka Bu-Siang, mendadak Yo Ko celup tangannya pada air
baskom dan dengan cepat diusapkan ke muka si gadis.
Sama sekali Bu-siang tak berjaga-jaga kalau orang akan
berbuat begitu, lekas-lekas ia keluarkan saputangan buat
bersihkan air kotor itu sambil tiada pentinya ia mendamperat
“si Tolol”. Dalam pada itu dilihatnya Yo Ko sendiripun
menggosok tangannya kekolong balai-balai yang penuh arang
itu, lalu ia campur dengan lak dan dipoles pada mukanya
sendiri, karena itu, wajahnya yang tadinya ganteng, kini
berubah menjadi jelek.
Bu-siang adalah gadis pintar dan cerdas, nampak kelakuan
Yo Ko itu, segera iapun mendusin. “Ah, memang betul meski
aku sudah salin pakaian-kaum imam, tetapi mukaku masih
bisa dikenalnya, kalau tersusul Suhu, mana bisa mengelabui
matanya ?”
Maka tak sangsi-sangsi lagi air bak tadi ia poles, rata di
mukanya, dasar anak gadis memang suka akan kecantikan,
meski poles muka dengan air bak, toh masih dilakukannya
seperti biasa kalau bersolek dengan bedak dan gincu.
Selesai kedua orang menyamar, Yo Ko ulur kakinya dan
menendang ke kolong balai-balai buat lepaskan Hiat-to kedua
imam yang dia tutuk itu.
Menyaksikan caranya Yo Ko melepaskan tutukan orang,
tanpa lihat sedikitpun, hanya kakinya menendang beberapa
kali sekenanva, lalu kedua imam itu bisa bersuara dan
bergerak lagi, sungguh tidak kepalang kagum Bu-siang. “Si
Tolol ini berpuluh kali lebih tinggi kepandaiannya dari pada
aku,” demikian ia betul-betul menyerah kini.
Walaupun begitu, mukanya sama sekali tak mengunjuk
sesuatu tanda bahkan ia masih memaki-maki orang “tolol”.
Sementara luka Bu-siang sudah baikan, ia sudah bisa
menunggang keledai sendiri dengan jaIan pelahan, karena tak
ingin setunggangan lagi dengan Yo Ko, maka masing-masing
lalu mengambil seekor keledai sendiri dan melanjutkan
perjalanan ke tenggara, Apabik letih, mereka mengaso, lalu
meneruskan lagi menunggang keledai.
Siapakah gerangan orang yang telah dua kali kirim surat
itu ?” begitulah sepanjang jalan Ko selalu ber-tanya-tanya
dalam hati. “Hai, Tolol, kenapa kau diam saja tak bicara?”
tiba-tiba Bu-siang menegur. Waktu itu memang Yo Ko lagi
termenung-menung, karena teguran orang, mendadak ia ingat
sesuatu, “Ai, celaka, sungguh aku terlalu ceroboh!” ia
berteriak.
“Memangnya kau ceroboh, siapa yang bilang kau pintar!”
kata si gadis.
“Kita sudah menyamar dan ganti rupa, tetapi semua ini
telah dilihat ketiga Tojin itu, kalau dia lapor pada gurumu,
bukankah kita bakal celaka ?” ujar Yo Ko.
Bu-siang tertawa geli oleh pikiran orang ini. “Tiga imam
busuk itu sudah mendahului kabur ke depan sana, mana
berani dia tinggal di sana menunggu datangnya Suhu,”
sahutnya kemudian. “Kau termenung-menung saja seperti
orang gendeng sejak tadi, masakah mereka sudah mendahului
di depan sana kau tak melihatnya?”
“Oh !” kata Yo Ko sambil tertawa ke arah Bu-siang.
Gadis itu menjadi bingung oleh tertawaan itu yang
tampaknya mengandung arti yang dalam.
Pada saat itu mendadak keledai yang ditungganginya itu
meringkik keras, Waktu Bu-siang menoleh, ia lihat di tikungan
jalan sana sudah berdiri Iima pengemis, mereka berdiri
berjajar merintangi jalannya,
Mata Yo Ko sangat jeli, sekilas saja dapat dilihatnya
dibalik jalan sana ada dua orang lain yang mengkeret kembali
sesudah melongok sekejap kedua orang itu bukan lain adalah
Tio Put-hoan dan Ki Jing-si.
“Ah, kiranya tiga imam busuk itu telah beritahu orang Kay-
pang mengenai penyamaran kami sebagai Tojin.” demikian
segera ia jadi terang duduknya perkara.
Karena itu, ia lantas melompat turun dari keledainya dan
memapak maju.
“Tuan-tuan besar pengemis, kalian minta-minta di delapan
penjuru, maka hari ini mohon kalian suka menderma pada
kami,” segera Yo Ko buka suara dahulu.
“Hm, sekalipun kalian cukur gundul menjadi Hwesio,
jangan harap bisa mengelabui mata-telinga kami,” satu
diantara pengemis-pengemis itu menyahut, suaranya keras
bagai genta, “Sudahlah, jangan berlagak bodoh lagi, baiknya
terus terang saja dan ikut kami pergi menghadap Pangcu
(ketua perserikatan).”
Mendengar orang menyebut Pangcu, diam Yo Ko
memikir: “Menurut cerita Kokoh, Pangcu dari Kay-pang
bernama Kiu-ci-sin-kay Ang Chit kong, betapa tinggi ilmu
silatnya orang tak mampu merabanya, walaupun Kokoh sendiri
tak pernah tinggalkan kuburan kuno, tapi pernah juga Sui
popoh bercerita padanya, agaknya Pangcu mereka ini sangat
lihay, kalau betul-betul ada disini, rasanya susah buat loloskan
diri lagi”
Kedua pengemis yang mencegat di jalan seberang ini
adalah murid berkantong delapan dari Kay-pang, menjadi
ragu-ragu melihat Yo Ko dan Liok Bu-siang hanya anak-anak
muda yang belum genap 20 tahun usianya, tapi bisa kalahkan
empat murid Kay-pang dari kantong enam dan tiga murid
kantong tujuh.
Begitulah, sedang kedua belah pihak sama-sama ragu-
ragu, tiba-tiba suara kelenengan nyaring berkumandang lagi
dari jurusan barat laut, suaranya begitu tajam dan riuh
menusuk telinga.
“Celaka, sekali ini bisa celaka,” demikian Bu-siang pikir,
“Meski aku sudah ganti rupa dan tukar corak, tapi justru
dirintangi kedua pengemis setan ini kalau rahasia penyamaran
kami dibongkar olehnya, cara bagaimana aku bisa lolos dari
tangab Suhu yang kejam ? Ai, betul-betul sial.”
Bukannya Bu-siang sesalkan dirinya sendiri yang tanpa
sebab melukai anak murid Kay-pang hingga menanam bibit
permusuhan, kini ia malah salahkan orang Kay-pang yang
merintangi dia. Memang anak gadis kadang-kadang lebih suka
menyalahkan orang lain daripada koreksi diri sendiri, ditambah
pula tabiat Bu-siang memang aneh hingga apa yang
diperbuatnya dianggapnya pasti betul dan apa yang dilakukan
orang tentu salah.
Dalam pada itu, sekejap saja suara kelenengan Li Bok-chiu
sudah tambah dekat,
“Terang aku bukan tandingan Li Bok-chiu itu, tiada jalan
lain lagi kecuali terjang ke depan saja,” pikir Yo Ko.
Sungguhpun dalam hati ia berkuatir, tapi pada lahirnya ia
masih bisa berlaku tenang.
“Haha, kalau kalian tak sudi memberi sedekah itupun tak
apalah, harap memberi jalan saja,” ia berkata lagi pada kedua
pengemis tadi dengan lagak setengah tolol. Habis berkata,
dengan langkah lebar iapun jalan ke depan.
Melihat tindakan orang yang enteng dan seperti tak paham
ilmu silat sedikitpun kedua pengemis itu mengulur tangan
kanan hendak jambret Yo Ko.
Namun Yo Ko sudah siap, tiba-tiba telapak tangannya
mendorong maju, maka beradunya tiga tangan tak
terhindarkan lagi, hanya sekali gebrak, ketiga-tiganya sama-
sama tergetar mundur semua.
Kiranya murid Kay-pang kantong delapan itu sudah punya
keuletan latihan beberapa puluh tahun, tenaga dalam mereka
begitu hebat dan jarang ada tandingan lagi di kalangan
Kangouw, kalau melulu soal keuletan, boleh dikatakan puluhan
kali lebih kuat dari Yo Ko. Cuma hal kebagusan dan
keanehan gerak serangan, hal ini berbalik jauh di bawah
pemuda kita.
Oleh sebab itulah, dengan pinjam tenaga pukulan orang
untuk memukul balik, Yo Ko dapat patahkan tenaga pukulan
orang tadi tetapi untuk menerjang lewat begitu saja juga
sukar baginya, Karenanya, ketiga orang sama-sama terkejut.
Pada saat itu juga Li Bok-chiu dan Ang Lmg-po sudah
datang dekat.
“Hai, pengemis, imam cilik, kalian melihat seorang gadis
pincang lewat disini tidak ?” segera Ang Ling-po berteriak
tanya.
Kedudukan kedua pengemis itu di kalangan Bulim
tergolong tinggi tentu saja mereka mendongkol oleh cara
tanya Ang Ling-po, cuma terikat oleh peraturan Kay-pang
yang keras yang melarang sianak muridnya berkelahi dengan
orang dalam persoalan kecil, maka mereka menyahut juga
dengatt pendek : “Tak melihat!”
Namun mata Li Bok-chiu sangat tajam, ia lihat perawakan
kedua Tosu muda ini seperti pernah dilihatnya entah di mana,
maka timbul rasa curiganya.
Dalam pada itu dilihatnya pula keempat orang itu sedang
berhadapan dalam keadaan siap hendak saling labrak, maka
diambilnya keputusan akan menonton perkelahian itu,
pertama ia ingin menyaksikan sampai dimanakah ilmu silat
anak murid Kay-pang, kedua ingin tahu juga dari aliran
manakah kedua Tosu cilik itu.
Di lain pihak Yo Ko pun sedang pikir karena datangnya
iblis perempuan itu, waktu ia melirik, ia lihat wajah orang
mengunjuk senyum dan hendak menyaksikan perkelahian
tiba-tiba pikirannya tergerak : “Ah, begini, tentu akan hilang
rasa curiganya.”
Lalu didekatnya Ang Ling-po, ia memanggut memberi
salam, Karena itu, Ang ting-po membalas hormat orang.
“Siauto (imam kecil) kebetulan lewat disini dan tanpa
sebab dicegat kedua pengemis galak ini serta ditantang
berkelahi” demikian kata Yo Ko, “Tetapi Siauto tidak
membawa senjata, maka tolong Tosu (kawan dalam agama
toa) sudilah memberi pinjam pedangmu.”
Melihat muka orang benjal-benjol sangat jelek, tetapi budi
bahasanya sopan, ditambah lagi orang mengemukakan
agama, maka Ang Ling-po merasa tak enak buat menolak
permintaan orang pedang lantas dilolosnya, ia berpaling dulu
pada gurunya, waktu melihat Li Bok-chiu mengangguk maka
disodorkan pedangnya kepada Yo Ko..
“Terima kasih sebelumnya,” kata Yo Ko pula sambil
terima senjata orang, “dan bila Siauto tak ungkulan, masih
mengharap Tosu memandang pada sesama agama kita,
sudilah memberi bantuan sedikit”
Ang Ling-po mengkerut kening oleh ceriwis-nya Njo Ko, ia
hanya menjengek sekali dan tidak menjawab.
Sementara itu Yo Ko sudah putar balik kesana, dengan
suara keras ia berkata pula pada Bu-siang: “Hai Sute, kau
saksikan kutempur mereka dan tak usah ikut turun tangan,
biar pengemis-pengemis Kay-pang ini berkenalan dengan ilmu
kepandaian anak murid Coan-cin-pay kita.”
“Ha, kiranya kedua imam cilik ini adalah orang Coan-cin-
kau,” Li Bok-chiu terkesiap mendengar Yo Ko ngaku sebagai
anak murid Coan-cin-kau, “Tetapi biasanya hubungan Coan-
cin-kau dan Kay-pang sangat baik, kenapa sekarang saling
labrak ?”
Dalam pada itu kuatir kalau kedua pengemis itu berteriak-
teriak menyingkap rahasianya Bu-siang, dengan cepat Yo Ko
lantas merangsang maju.
“Hayo, majulah Iekas, biar aku seorang diri lawan kalian
berdua”, segera ia menantang.
Mendengar kata-kata Yo Ko semakin temberang, hati Bu-
siang menjadi kuatir.
“Si Tolol ini sudah menyamar sebagai Tosu, masa berani
mengaku dari Coan-cin-kau,” demikian pikir gadis itu. “la tak
tahu bahwa guruku entah sudah berapa puluh kali berkelahi
dengan imam-imam Coan-cin-kau, ilmu silat Coan-cin-pay
mana yang tak dikenalnya? sungguh kelewat berani dia
memalsukan nama orang lain.”
Di sebelah sana, demi mendengar Yo Ko mengaku
sebagai anak murid “Coan-cin”, seketika juga kedua pengemis
itu terkejut, berbareng mereka membentak tanya: “Apa betul-
betul kau anak murid Coan-cin? Kau dan dia…”
Tak nanti Yo Ko memberi kesempatan pada mereka
untuk menyebut Liok Bu-siang, maka sebelum selesai
perkataan orang, secepat kilat pedangnya menusuk, sekaligus
ia mengarah perut kedua pengemis itu, dan itu memang betul
adalah tipu serangan dari “TIong-yang-kiam-hoat” yang tulen.
Sebenarnya dengan kedudukan mereka yang tinggi di
kalangan Bu-lim, kedua pengemis itu tidak nanti mau tempur
Yo Ko dengan dua lawan satu, akan tetapi serangan Yo Ko
ini datangnya terlalu cepat dan aneh, mau-tak-mau mereka
berdua harus angkat tongkat untuk menangkisnya. Nyata,
tongkat mereka yang tadinya tak menarik perhatian itu,
kiranya terbikin dari besi
Tetapi baru saja mereka angkat tongkat, tahu-tahu
pedang Yo Ko sudah menerobos lewat melalui sela-sela
tongkat mereka dan masih terus menusuk ke dada kedua
orang itu.
Sama sekali tak diduga kedua pengemis itu bahwa ilmu
pedang orang bisa begitu cepat, terpaksa mereka mundur ke
belakang.
Tetapi Yo Ko sedikitpun tak kenal ampun, ia mendesak
terus setiap detik hingga sekejap saja sudah menusuk 18 kali,
bahkan tiap-tiap tusukan sekaligus membagi dua jurusan puIa,
yakni mengarah lawan yang berjumlah dua orang. itu adalah
ilmu silat Coan-cin-pay yang paling hebat yang disebut “lt-gi-
hoa-sam-jing” atau satu menjelma menjadi tiga, bila sudah
terlatih sampai tingkat yang paling hebat, maka sekali
serangan bisa berubah menjadi tiga tipu gerakan, dengan
begitu, seorang sama dengan tiga orang maju berbareng.
Begitulah, maka tiap-tiap Yo Ko menusuk, saban2 kedua
pengemis itu dipaksa mundur, sekali saja ternyata tak mampu
mereka balas menyerang.
Nampak betapa bagus Kiam-hoat imam cilik ini, diam-diam
Li Bok-chiu terperanjat katanva dalam hati: “Pantas nama
Coan-cin-kau disegani di seluruh jagat, sebab anak muridnya
memang semuanya pilihan, kepandaian orang ini kalau
sepuluh tahun lagi pasti aku sendiri tak bisa menandinginya,
Tampaknya jabatan Ciangkau (ketua) Coan-cin-kau kelak pasti
akan jatuh di tangan orang ini.”
Jika Li Bok-chiu saja begitu kagum pada kepandaian Nyo
Ko, maka jangan ditanya lagi Ang Ling-po dan Liok Bu-siang,
mereka berdua Iebih2 terpesona dan ternganga.
Dalam pada itu Yo Ko sendiri sedang berpikir: “Jika
sedikit aku main kendur, pasti mereka akan buka suara, dan
kalau mereka pentang mulut pasti banyak celaka dari pada
selamatnya.”
Karena itulah sesudah 18 jurus “Tiong-yang-kiam-hoat”
habis dimainkan, dengan cepat Kiam-hoatnya berubah, tiba-
tiba ia memutar ke belakang kedua lawannya dan kembali
pedangnya menusuk lagi sekali-dua-gerakan, terpaksa kedua
pengemis itu membalik tubuh dengan cepat untuk menangkis,
namun sebelum tongkat mereka menyentuh pedang, tiba-tiba
Yo Ko sudah melesat pergi, lagi-lagi ia mengitar ke belakang
orang dan kembali menusuk pula, bila kedua orang itu
memutar menangkis, segera Yo Ko menggeser ke belakang
mereka lagi.
Kiranya Yo Ko insaf bila melulu mengandalkan keuletan,
jangan kata satu lawan dua, melawan seorang pengemis itu
saja tak nanti bisa menandinginya, oleh sebab itu, ia sengaja
main putar dengan Ginkang untuk mengitari kedua lawannya.
Cara Yo Ko memutar dan menggeser ini, bagi tiap-tiap
anak murid Coan-cin-kau yang sudah cukup matang memang
diwajibkan melatih Ginkang semacam ini untuk kelak
digunakan dalam barisan bintang-bintang “Thian-keng-pak-
tau-tin”. Hanya saja sekarang Yo Ko kombinasikan cara
bernapasnya dengan inti pelajaran “Giok-li sim-keng” yang
dilatihnya.
Harus diketahui bahwa Ginkang atau ilmu entengkan
badan dari Ko-bong-pay adalah ilmu yang tiada bandingannya,
oleh sebab itulah kecepatan Yo Ko memutar dan berganti
tempat sekali-kali tak bisa diikuti oleh kedua jago Kay-pang
itu, yang kelihatan hanya bayangan Yo Ko yang berlari
secepat kilat dengan sinar mengkilap menyamber
Karena tusukan pedangnya yang silih bergilir. Dalam
keadaan demikian, bila Yo Ko sungguh-sungguh hendak
celakai jiwa kedua pengemis itu, sekalipun berjumlah dua
puluh orang juga gampang saja dibunuhnya semua.
Tentu saja kedua orang itu kewalahan, sembari ikut
memutar cepat, mereka berusaha ayun tongkat untuk
melindungi tempat-tempat bahaya di tubuh sendiri, kini
mereka sudah tak pikirkan buat tangkis serangan orang lagi,
mereka hanya berusaha melindungi diri sendiri sepenuh
tenaga dan terserah nasib.
Dengan begitu, setelah ratusan kali berputar cepat,
akhirnya kedua pengemis itu kepalanya menjadi puyeng dan
mata berkunang-kunang, tindakan merekapun mulai
sempoyongan, tampaknya sudah akan jatuh semaput.
“Hai, kawan dari Kay-pang,” tiba-tiba Li Bok-chiu berseru
dengan tertawa, “nih, kuajarkan satu akal, kalian punggung
berdempetan punggung, dengan begitu tak perlu lagi ikut
putar-putar.
Karena peringatan ini, kedua pengemis itu sangat girang,
dengan segera mereka akan turut akal itu.
“Celaka, jika mereka berbuat begitu, tentu aku akan
kalah,” pikir Yo Ko.
Maka sebelum kedua lawannya berganti tempat,
mendadak ia ganti siasatnya, ia tidak geser lagi, melainkan
pedangnya sekali serang-dua-gerakan, ia tusuk punggung
kedua orang.
Merasa angin santar menyamber dari belakang, tak
sempat kedua pengemis itu menangkis, terpaksa mereka
melompat maju, tak terduga, baru saja kakinya menginjak
tanah, kembali tusukan orang sudah tiba pula, keruan saja
tidak kepalang kaget kedua pengemis itu, tanpa pikir lagi
mereka angkat kaki terus lari ke depan seperti diudak setan.
Siapa duga ujung pedang Yo Ko bagaikan bayangan saja
yang selalu melengket dengan tubuh mereka, tidak peduli
mereka berlari betapa cepatnya, senantiasa Yo Ko geraki
pedangnya di belakang mereka, bila sedikit lambat saja
mereka melangkah, segera daging di punggung mereka terasa
sakit-tertusuk ujung senjata.
Merekapun tahu kini bahwa tiada maksud Yo Ko buat
membunuh, kalau tidak, asal tangan pemuda ini sedikit diulur
lebih panjang saja, pasti punggung mereka akan tertembus
oleh ujung pedang walaupun begitu, sedikitpun mereka tak
berani berhenti dan masih berlari kesetanan.
Ketiga orang yang udak-udakan ini memiliki ilmu
entengkan badan yang sangat tinggi, maka sekejap saja
mereka sudah berlari beberapa li, hingga Li Bok-chiu
ditinggalkan jauh di belakang.
Ketika itulah mendadak Yo Ko tambah “gas” sedikit, tahu-
tahu ia sudah mendahului di depan kedua pengemis itu.
“Eeeeeh, kenapa buru-buru, perlahan-lahan sedikit, jangan
jatuh kesandung !” demikian dengan menyengir ia hadang di
depan orang.
Tanpa berjanji kedua pengemis itu mengemplang
berbareng dengan tongkat mereka, namun sekali meraup,
dengan tangan kiri Yo Ko dapat menangkap sebuah tongkat
orang, berbareng itu pedang di tangan kanan ia tempelkan
tongkat yang satu dari didorong sedikit ke kiri hingga dengan
tepat dua tongkat sekaligus kena dicekal pula olehnya.
Tahu gelagat jelek, lekas-lekas kedua pengemis itu
berusaha membetot sekuatnya, Tapi Yo Ko cukup cerdik, ia
tahu keuletannya masih belum memadat kedua pengemis itu,
tentu saja ia tak mau betot2an dengan orang, dengan pedang
sekonyong-konyong ia membabat mengikuti batang tongkat
yang lempeng itu, dalam keadaan demikian, jika kedua
pengemis itu tidak lepas tangan, delapan jari mereka pasti
akan tertabas kutung.
Karena itu, terpaksa mereka lepaskan senjata dan
melompat ke belakang, habis ini dengan mata melotot mereka
pandang Yo Ko dengan gusar, sikap merekapun kikuk dan
serba salah, hendak tempur orang tak ungkulan, kalau lari
rasanya merendahkan derajat.
Dalam pada itu terdengar Yo Ko berkata pada mereka:
“Kami dengan perkumpulan kalian biasanya bersahabat
hendaklah kalian jangan percaya omongan yang sengaja
mengadu-domba. Siapa yang utang harus bayar, bukankah
Jik-lian-sian-cu Li Bok-chtu dari Ko-bong-pay itu berada di
sana, kalian berdua kenapa tidak mencari padanya saja ?”
Kedua pengemis itu tak kenal Li Bok-chiu, tetapi cukup
tahu betapa lihay iblis perempuan itu, karena itu, mereka
terkesiap demi mendengar penuturan Yo Ko.
“Apa betul katamu ?” sahut mereka bersama.
“Buat apa aku berdusta,” kata Yo Ko. “Justru Siauto
sendiri kepepet oleh desakan iblis itu, maka tadi telah
bergebrak dengan kalian berdua,” Berkata sampai disini,
dengan laku sangat hormat dikembalikannya tongkat2
rampasannya tadi dan disambungnya pula: “Jik-lian-sian-uu
itu selalu membawa benda-benda pertandaannya yang
terkenal di seluruh jagat, masakah kalian tidak mengenalnya
?”
“Aha, tak salah lagi,” kata salah satu pengemis itu, “la
membawa kebut keledai belangnya pakai kelenengan emas,
bukankah dia itu yang memakai baju kuning tadi ?”
“Betul-betul,” sahut Yo Ko tertawa, “Dan nona yang
melukai anak murid perkumpulan kalian dengan golok
melengkung itu, bukan lain adalah muridnya Li Bok-chiu…”
sampai disitu mendadak ia berhenti dan pura-pura memikir
sejenak lalu dilanjutkannya : “Cuma saja, jangan-jangan… ah,
sulit, sulit…”
“Jangan-jangan apa ?” tanya si pengemis yang berwatak
aseran.
“Ah, sulit, sulit,” kata Yo Ko lagi.
“Sulit apa ?” kembali pengemis itu mendesak.
“Coba pikir saja, Li Bok-chiu itu malang melintang di jagat
ini dan siapa di kalangan Kangouw yang tidak pecah nyalinya
bila mendengar namanya,” demikian sahut Yo Ko.
“Sungguhpun golonganmu sangat lihay, tapi terang tiada
satupun yang bisa menandinginya. Sebab yang melukai
kawanmu itu adalah muridnya, maka baiknya kalian anggap
sial saja.”
Karena, kata-kata yang bersifat memancing pengemis itu
dibikin murka hingga berteriak-teriak.
“Hm, peduli dia setan iblis, hari ini pasti kami tempur dia,”
demikian teriaknya sambil tarik tongkatnya terus hendak lari
kembali ke tempat tadi.
Syukur pengemis yang satu bisa berlaku tenang, ia pikir,
melawan seorang bocah ini saja kami berdua tak ungkulan,
apalagi hendak perang tanding dengan Jik-lian-sian-cu, apa itu
bukan berarti menghantarkan jiwa belaka ?
Karena itu, segera ia tarik tangan kawannya dan
mencegah: “Tak perlu buru-buru marilah kita kembali dulu
buat berunding lebih jauh.” - Habis ini ia rangkap tangan
memberi hormat pada Yo Ko sambil tanya : “Dapatkah
mengetahui nama Toyu (sahabat dalam agama) yang
terhormat?”
“Siauto she Sat dan bernama Hua-cu,” sahut Yo Ko.
“Sampai ketemu lagi.”
Habis berkata, iapun mohon diri dan balik ke jurusan tadi.
“”Sat Hua-cu, Sat Hua-cu ? Aneh sekali nama ini, kenapa
tak pernah kudengar, dengan usianya yang masih begitu
muda, ilmu silatnya ternyata sudah sangat hebat.”
Begitulah kedua pengemis itu menggumam mengulangi
nama palsu Yo Ko yang mengherankan Tetapi sesaat
kemudian, mendadak satu diantaranya berjingkrak sambil
mencaci maki: “Ku-rangajar, jahanam, keparat!.”
“Ada apakah ?” tanya kawannya.
“Bukankah dia mengaku bernama Sat Hua-cu ? itu artinya
Sat-hua-cu (menyembelih pengemis)! Kurangajar, kita
dicucimaki olehnya tanpa merasa !”
Karena itu, ke-dua2nya lantas mengumpat Yo Ko, namun
demikian merekapun tak berani mencari orang lagi buat bikin
perhitungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar