Kembalinya Pendekar Rajawali 18
“Kokoh,
kenapakah kau ?” segera ia tanya.
“Mari
sini, Ko-ji,” panggil Siao-liong-li dengan suara halus.
Yo
Ko menurut, ia mendekatinya.
“Ko-ji,
kau suka tidak padaku ?” tanya Siao-liong-li tiba2 dengan suara rendah sambil
memegang tangan Yo Ko dan di-gosok2an ke pipinya sendiri.
Karena
tangannya menempel pipi orang, Yo Ko merasakan muka Siao-liong-li sepanas
dibakar keruan ia kaget dan kuatir.
“Ko
kokoh, ap… apa dadamu sangat sakit ?” tanyanya dengan suara gemetar.
“O,
tidak, sebaliknya rasa hatiku enak seka-li,” sahut Siao-liong-li dengan
tertawa, “Ko-ji, aku sudah hampir mati, coba katakanlah apakah betul2 kau
sangat suka padaku ?”
“Tentu
saja, di dunia ini melainkan kau saja seorang yang baik terhadap diriku,” sahut
Yo Ko cepat.
“Tetapi
bila ada seorang gadis lain yang sangat baik, ya, baik sekali terhadap kau,
bisa tidak kau suka padanya ?” kata Siao-liong-li lagi.
“Siapa
saja yang baik padaku, tentu aku perlakukan dia dengan baik pula,” sahut Yo Ko.
Se-konyong2
Yo Ko merasakan tangan Siao Iiong-li yang menggenggamnya itu gemetar beberapa
kali, habis ini mendadak berubah menjadi dingin bagai es, waktu Yo Ko memandang
muka orang, ia lihat pipi Siao-liong-li yang tadinya merah dadu kini sudah
kembali pucat lesi seperti tadi lagi.
Keruan
Yo Ko sangat terkejut.
“Apakah
aku salah omong, Kokoh ?” tanyanya kuatir.
“Apabila
kau masih suka pada gadis lain di dunia ini, maka janganlah kau suka lagi
padaku,” kata Siao-liong-li.
Yo
Ko tertegun, tetapi segera ia dapatkan pikiran lain.
“Kokoh,
tidak seberapa hari lagi kita akan mati mana ada gadis lain lagi yang bisa suka
padaku,” katanya kemudian dengan tertawa.
Karena
ucapan inilah, Siao-liong-li ketawa juga.
“Ya,
benar2 aku sudah pikun,” katanya, “Cu-ma aku tetap ingin mendengar kau
bersumpah di hadapanku.”
“Sumpah
apakah ?” tanya Yo Ko.
“Aku
ingin kau mengucapkan bahwa kau hanya menyukai aku satu orang, apabila kau
berubah pikiran dan suka lagi pada orang lain, maka kau harus dibunuh olehku.”
kata Sio-liong-li tiba2.
Nyata
meski Siao-Iiong-li sudah berusia dua puluhan tahun, tetapi selama hidupnya
dilewatkan di dalam kuburan kuno ini, maka kelakuannya masih ke-kanak2an dan
suka terang2an, sedikitpun dia tidak bersikap malu2 seperti gadis umumnya,
makanya tanpa tedeng aling2 ia minta sumpah setia dari Yo Ko,
“Jangan
kata selamanya tidak bakal terjadi hal demikian, seandainya memang aku berlaku
tidak baik dan tidak turut pada perkataanmu kau hendak membunuh akupun
kuterima,” demikian Yo Ko menyahut dengan tertawa, Habis ini betul juga ia
lantas mengucapkan sumpah: “Tecu Yo Ko selama hidup ini hanya menyukai Kokoh
seorang saja, apabila aku berubah pikiran, tidak usah Kokoh membunuh aku,
begitu melihat muka Kokoh, segera Tecu bunuh diri sendiri”
Senang
sekali hati Siao-liong-li mendengar sumpah ini, “Bagus sekali apa yang kau
katakan, dengan demikian aku tak perlu kuatir lagi,” katanya kemudian dengan
menghela napas lega, ia genggam tangan Yo Ko kencang2. Maka terasalah oleh Yo
Ko ada semacam hawa hangat menembus ke tubuhnya melalui tangan orang.
“Ko-ji,
sungguh aku ini orang tidak baik,” kata Siao-Iiong-li pula.
“Tidak,
kau sangat baik,” Yo Ko membetulkan kata2 orang.
“Tidak,”
kata Sio-liong-li sambil geleng kepala, “dahuIu aku terlalu kejam terhadap kau,
mula2 aku hendak usir kau, syukur Sun-popoh menahan kau, jika waktu itu aku
tidak usir kau, tentunya Sun-popoh tak akan mati juga !”
Berkata
sampai disini, tak tertahan lagi air mata Siao-liong-li mengucur keluar.
Sejak
umur lima Siao-liong-li mulai melatih diri sampai kini, selama itu tak pernah
lagi dia menangis dan mengalirkan air mata, tetapi kini ia telah menangis,
seketika perasaan hatinya tergoncang hebat, ruas tulang seluruh tubuhnya
se-akan2 berkeretakan hingga sebagian tenaga latihannya menjadi buyar.
Kaget
sekali Yo Ko melihat keadaan Siao-liong-li yang hebat itu.
“He,
Kokoh, Kokoh !” teriaknya kuatir, justru pada saat genting itu, tiba2 terdengar
suara “krekat-kreket” beberapa kali, ternyata pintu batu mulai terpentang
didorong orang, menyusul mana terlihat Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah
melangkah masuk.
Kiranya
Li Bok-chiu yang terkurung di dalam kuburan itu telah berusaha keras untuk
loloskan diri. ia pikir meski batu Toan-liong-ciok itu sudah menutup, tetapi
daripada duduk terpekur menanti kematian, lebih baik berusaha mencari hidup.
Oleh karena itu nyalinya menjadi besar, ia tidak jeri lagi pada alat2 perangkap
yang lihay di dalam kuburan itu, dengan berani ia lantas terjang terus hingga
beberapa ruangan akhirnya dapat ditembus dan tibalah sampai di kamarnya
Sun-popoh.
Nampak
munculnya orang secara mendadak, lekas2 Yo Ko tampil ke depan mengalingi
Siao-liong-li.
“Kau
mau apa lagi ?” teriaknya sengit.
“Kau
menyingkir ada yang hendak kukatakan pada Sumoay,” kata Li Bok-chiu.
Tetapi
kuatir orang pakai tipu muslihat dan gurunya nanti dicelakai, Yo Ko tetap tak
mau menyingkir
“Apa
yang hendak kau katakan boleh katakan saja di situ,” sahutnya kemudian.
Melihat
kebandelan pemuda ini, dengan mata melotot Li Bok-chiu pandang sejenak pada Yo
Ko.
“Lelaki
semacam kau ini sungguh jarang terdapat di dunia ini,” akhirnya ia berkata
dengan menghela napas.
“Suci,
kau bilang apa tentang dia ?” tanya Siao-liong-li tiba2 sambil turun dari
pembaringannya. “Dia baik atau tidak ?”
“Sumoay,
selamanya kau tak pernah turun gunung, maka kau tidak kenal hati manusia di
dunia ini yang kejam dan palsu,” sahut Li Bok-chiu. “Orang yang berbudi luhur
dan berhati setia seperti dia ini, boleh dikatakan di seluruh jagat ini sukar
dicari bandingannya.”
Rupanya
Siao-liong-li sangat senang dan terhibur oleh kata2 sang Suci. “Kalau begitu, seorang
seperti dia ini suka mati bersama aku, hidupku ini terasa tidak penasaran
lagi,” katanya dengan pelahan.
“Sebenarnya
pernah apakah dia dengan kau, Sumoay ? Apa kau sudah mengawini dia ?” tanya Li
Bok-chiu lagi.
“Tidak,
dia adalah muridku, dia bilang aku sangat baik padanya. Tetapi sebenarnya baik
atau tidak, aku sendiripun tidak tahu,” sahut Siao-liong-li.
Sudah
tentu Li Bok-chiu sangat heran oleh jawaban ini.
“Aku
tidak percaya,” ujarnya sambil geleng kepala,
Habis
ini se-konyong2 ia menarik tangan kanan Siao-liong-li, ia gulung lengan baju
orang, maka tertampaklah olehnya di atas kulit yang putih bersih bagai salju
itu terdapat satu titik merah, tidak salah lagi itu adalah “Siu-kiong-seh” yang
ditisik guru mereka pada mula2 masuk perguruan golongan Ko-bong-pay.
“Siu-kiong-seh”
atau andeng2 cecak, menurut cerita kuno dibuat dengan cara demikian: setelah
cecak dipelihara dan diberi makanan obat2an khusus sebangsa “Cuseh” sebanyak
tujuh kali bertu-rut-turut sehingga akhirnya seluruh badan binatang cecak ini
berubah merah darah, lalu cecak ini dibunuh dan darah merah itu diambil untuk
di-tisikan pada tubuh kaum wanita, apabila wanita ini masih bertubuh perawan,
maka selama itu Siu-kuong-seh” atau andeng2 merah buatan ini akan tetap tinggal
di tempatnya, tetapi bila wanita itu sudah melanggar kesuciannya, maka andeng2
merah segera lenyap. Cara ini di jaman kuno konon dipakai untuk menjaga
perjinahan.
Begitulah,
oleh karena itu demi nampak “Siu-kiong-seh” atau andeng2 merah itu masih tetap
di tangan Siao-liong-li, mau-tak-mau diam2 Li Bok-chiu sangat kagum atas
prilaku kedua orang yang tinggal berdampingan di dalam kuburan ini ternyata
bisa menjaga diri dalam batas2 kesopanan hingga Siao-Iiong-li masih tetap putih
bersih bertubuh perawan.
Lalu
Li Bok-chiu sendiri menggulung lengan bajunya juga, maka tertampak pula
tangannya terdapat juga setitik merah segar yang menyolok sekali, sungguh
menarik sekali dua lengan yang putih mulus itu berjajar menjadi satu, hanya
saja Li Bok-chiu mempertahankan diri dan tetap bertubuh suci disebabkan karena
terpaksa, sebaliknya sang sumoay ternyata ada lelaki yang rela membelanya,
kalau dipikir, yang beruntung dan yang malang, nyata bedanya seperti langit dan
bumi.
Berpikir
sampai di sini, tak tahan lagi Li Bok-chiu menghela napas panjang.
“Tadi
kau bilang ada yang hendak dikatakan padaku, nah, katakanlah lekas,” terdengar
Siao-liong-li memecahkan kesunyian
Semula
Li Bok-chiu hendak menghina dan membikin malu Siao-liong-Ii karena bergendak
dengan lelaki dan merusak nama baik perguruan, namun demi melihat Siu-kiong-seh
sang Sumoay masih belum lenyap, ia berbalik bungkam.
“Sumoay,
kedatanganku ialah untuk minta maaf padamu,” akhirnya ia berkata sesudah
merenung sejenak.
Tentu
saja hal ini sama sekali tak diduga Siao-liong-Ii, ia cukup kenal watak sang
Suci yang sombong dan angkuh, tidak nanti dia mau tunduk pada orang lain, siapa
tahu kini bisa buka mulut minta maaf padanya, ia menjadi ragu2 apa orang tiada
maksud2 tertentu. Karenanya dengan dingin2 saja ia menjawab:
“Kau
lakukan urusanmu dan aku kerjakan urusanku masing2 tentu anggap diri sendiri
yang betul tidak perlu kau minta maaf segala.”
“Sumoay,
dengarlah kataku,” kata Li Bok-chiu, “kita yang menjadi wanita ini, selama
hidup paling beruntung yalah bila mempunyai seorang kekasih yang berhati tulus,
Nasibku sendiri jelek, itu sudah tak perlu dibicarakan lagi, tetapi pemuda ini
begini baik terhadapmu, maka boleh dikatakan kau tidak kekurangan apa2 lagi
hidupmu ini,”
Siao-Iiong-Ii
tersenyum senang oleh kata-kata sang Suci,
,”Ya,
sesungguhnya akupun sangat suka padanya,” katanya kemudian. “Selamanya dia tak
akan-mengingkari aku, aku yakin benar”.
Rasa
hati Li Bok-chiu menjadi lebih pedih oleh keterangan Siao-liong-li itu.
“Kalau
begitu seharusnya kau turun gunung saja untuk hidup baru yang menggembirakan,
hen-daklah diketahui, usiamu masih muda, hari depan-mu yang bahagia masih tidak
habis2nya.”
Siao-liong-li
mendongak, ia ter-menung2.
“Ya,
memang, cuma sayang kini sudah terlambat,” akhirnya ia berkata.
“Sebab
apa ?” tanya Li Bok-chiu cepat.
“Bukankah
Toan-Iiong-ciok itu sudah menutup, sekalipun Suhu hidup kembali, juga tak
mungkin bisa keluar,” sahut Siao-Iiong-li.
Bukan
buatan rasa kecewa Li Bok-chiu oleh jawaban orang, ia sengaja merendah diri dan
me-muji2 orang dengan putar lidah, memangnya ia berharap bisa menimbulkan
keinginan Siao-liong-li untuk mencari hidup, dengan apa yang dikenal
Siao-liong-li keadaan kuburan kuno ini tentu dapat mencari satu jalan keluar,
siapa tahu akhirnya tetap putus asa.
Karena
itu, tanpa terasa napsu membunuhnya mendadak timbul, begitu tangannya diangkat,
segera ia menghantam ke atas kepala Siao-liong-li.
Sejak
tadi Yo Ko mendengarkan percakapan mereka disamping dengan bingung, ketika
tiba2 melihat Li Bok-chiu menyerang, dalam gugup dan kuatirnya, otomatis ia
berjongkok lalu berteriak “kok” sekali, kedua telapak tangannya didorong pula
ke depan.
Ternyata
yang dilontarkan ini adalah Ha-mo-kang yang lihay yang dipelajarinya dari
Auwyang Hong itu.
Waktu
itu pukulan Li Bok-chiu sudah sampai di tengah jalan, ketika mendadak terasa
olehnya ada samberan angin pukulan yang keras dari samping, lekas2 ia putar
tangannya buat menangkis. Tak terduga tenaga dorongan Yo Ko ternyata kuat luar
biasa, begitu hebat sampai tubuhnya kena didorong ke belakang, maka terdengarlah
suara “blek” yang keras, punggung Li Bok-chiu tertumbuk dinding batu, percuma
saja dia memiliki ilmu silat yang tinggi tidak urung ia merasakan tulang
punggungnya tidak kepalang sakitnya.
Keruan
Li Bok-chiu menjadi murka, sekonyong-konyong ia gosok2 kedua telapak
tangan-nya, seketika seluruh kamar timbul semacam bau amis. Nyata ia telah
keluarkan “Jik-Iian-sin-ciang”,
Di
lain pihak Siao-Iiong-li tahu serangan Yo Ko tadi hanya secara kebetulan saja
berhasil setelah sang Suci melontarkan “Jik-lian-sin-ciang”, maka sukar dilawan
lagi meski mereka berdua mengeroyoknya bersama. Karena itu, segera ia tarik
lagi tangan Yo Ko, dengan cepat pula mereka menyelinap keluar pintu kamar.”
Namun
gerak tubuh Li Bok-chiu secepat kilat, tidak nanti dia biarkan kedua orang itu
melarikan diri kembali sebelah tangannya telah memukul.
Siapa
tahu, baru saja tangannya sampai di tengah jalan, tahu2 pipi kiri sendiri
merasakan sekali tempelengan meski tamparan ini tidak sakit, namun suaranya
terdengar jelas, ia dengar pula Siao-Iiong-li berseru: “lnilah Giok-li-sim-keng
yang hendak kau pelajari nah, rasakan dahulu !”
Dalam
tertegunnya lagi2 li Bok-chiu merasakan tangan orang telah mampir pula di pipi
ka-nannya, ia kenal ilmu Giok-li-sim-keng luar biasa lihaynya, kini menyaksikan
sendiri gerak pukulan Siao-liong-li begitu cepat, pula datangnya pukulan tidak
diketahui arahnya, maka ia menjadi jeri terpaksa ia saksikan sang Sumoay masuk
kamar lain dengan bergandengan tangan Yo Ko, lalu pintu kamar lain itu tertutup
rapat lagi.
Seperginya
orang, Li Bok-chiu masih terkesima sendiri ia me-raba2 kedua belah pipinya,
katanya dalam hati: “Beruntung pukulannya tadi sengaja bermurah hati jika
digunakan tenaga keras, tentu jiwaku sudah melayang”
Nyata
tidak diketahuinya bahwa ilmu Giok-li-sim-keng itu masih belum jadi terlatih
oleh Siao-liong-li, meski pukulannya sudah mahir, namun belum bertenaga dan tak
dapat melukai orang,
Sementara
itu di kamar lain Yo Ko sedang senang sekali karena melihat gurunya dengan
gampang saja telah hajar Li Bok-chiu dengan dua kali tempelengan.
“Kokoh,
sungguh tidak nyana ilmu kepandaian Giok-li-sim-keng itu bisa begitu bagus…”
Tetapi
belum habis ia berkata, se-konyong2 dilihatnya Siao-liong-li dalam keadaan
gemetar, tampaknya seperti tak sanggup menguasai diri lagi, keruan Yo Ko kaget,
cepat ia berteriak: “Kenapakah kau, Kokoh ?”
“A…
aku… di… dingin…” sahut Siao-liong-li sambil menggigil.
Kiranya
tadi karena dia menyerang orang dua kali, meski tenaga yang dikeluarkannya
sangat enteng, namun yang dipakai adalah tenaga dalam. Padahal dia baru sembuh
dari luka berat, kesehatannya belum pulih seluruhnya, kini mendadak terganggu
lagi, tentu saja tidak sedikit resikonya.
Selama
hidupnya dia melatih diri di atas ranjang batu pualam yang dingin itu, dasarnya
menjadi terlatih dingin sekali, kini daya tahannya telah hilang, keruan
seketika Siao-liong-li seperti terjerumus ke dalam lembah es, ia merasakan
dingin luar biasa sampai menusuk tulang sumsum, giginya tiada hentinya pada
berkerutukan.
“Celaka,
bagaimana baiknya ini ?” dalam gugupnya Yo Ko hanya ber-teriak2 tak berdaya.
Begitu
rupa ia lihat Siao-liong-li kedinginan hingga tibal teringat sesuatu olehnya,
lekas2 dia lepaskan buntalan yang menggemblok di punggungnya, ia keluarkan baju
kapas tinggalan Sun-popoh dan dengan cepat dikemulkan atas badan Siao-liong-li.
Karena
tambahan baju kapas ini, mula2 Siao-liong-li merasa rada hangat, tetapi
sebentar saja hawa hangat baju kapas itu menjadi hilang pula dikalahkan rasa
dingin yang timbul dari dalam tu-buhnya, kembali ia menggigil terus.
Dalam
gugupnya, tanpa pikir lagi Yo Ko peluk orang kencang2, ia pikir dengan hawa
hangat badan sendiri dapat bantu menghalau rasa dingin orang.
Tetapi
sebentar saja Yo Ko rasa tubuh Siao-liong-li semakin menjadi dingin, ia sendiri
seperti ketularan hingga lambat laun iapun tak tahan.
“Ko-ji,
lepaskan !” teriak Siao-liong-li tiba2.
“Tidak,
Kokoh, jangan kuatir, aku peluk kau, tentu kau akan baikan,” sahut Yo Ko.
Namun
rasa dingin Siao-liong-li sukar ditahan pula, dengan kertak gigi ia bertahan
sedapat-nya, tiba2 ia meronta-ronta, kedua tangannya menjambret dan menarik
sekenanya, karena itu mendadak terdengar suara “brebet”, tahu2 kain baju kapas
tinggalan Sun-popoh itu robek tertarik, di bawah sinar lilin tiba2 tertampak
diantara robekan baju itu ada sepotong kain putih pula dan lapat2 di atasnya
seperti tertulis sesuatu.
Dasar
Yo Ko memang sangat cerdik, tiba2 teringat olehnya kelakuan Sun-popoh pada saat
orang tua ini mendekati ajalnya, tetapi seperti maha penting baju kapas ini
diserahkan padanya, mungkin tidak melulu untuk tanda mata saja, melainkan di
dalamnya masih mengandung maksud2 lain.
Maka
dengan cepat Yo Ko tarik keluar kain putih itu, betul saja ia lihat di atas
kain itu tertulis 16 huruf yang maksudnya:
“GURU
BESAR TIONG-YANG MENINGGALKAN ILMU KEPANDAIAN. PERIKSA LUKISANNYA DAN PELAJARI
JARI TANGANNYA”
Sebenarnya
Yo Ko lagi kehabisan akal dan tak berdaya menghadapi keadaan Siao-liong-li yang
kedinginan itu, kini mendadak membaca enam belas huruf ini, seketika seperti
sebuah perahu yang terombang-ambing di samudera raya dalam kegelapan dan
sekonyong-konyong melihat mercu suar.
Dalam
girangnya ia rangkul Siao-liong-li terlebih kencang lagi, “Marilah Kokoh, kita
pergi melihat gambarnya Tiong-yang Cosu,” demikian ajaknya.
Tetapi
Siao-liong-li seperti tidak mendengar kata2nya, kedua matanya tertampak
terpejam rapat.
Terpaksa
Yo Ko melompat turun, dengan memondong Siao-liong-li, dengan gugup dan bingung
ia berlari ke ruangan depan sana,. Dalam hati diam2 ia berdo’a: “Semoga Li
Bok-chiu beriba jangan berada di sana.”
Begitulah,
dengan pelahan sekali ia dorong pintu, ia lihat keadaan gelap gulita, syukur Li
Bok chiu berdua tidak berada disitu, ia dudukan Siao-liong-li pada satu kursi,
lalu ia menyalakan lilin dan pergi memeriksa gambar yang melukiskan pribadi Ong
Tiong-yang itu.
Tempo
hari waktu Yo Ko menjalankan upacara pengangkatan guru pada Siao-liong-li,
pernah dia diperintahkan meludahi lukisan ini Sejak itu, sering juga ia
melihatnya lagi, tetapi selamanya tidak merasa ada sesuatu yang aneh atas lukisan
itu, Kini teringat olehnya kata2 tentang “pelajari jari tangannya” maka dengan
teliti ia coba periksa jari tangan Ong Tiong-yang dalam lukisan itu yang sedang
menuding. Gambar itu melukiskan tangan kiri orang berada di depan tubuh yang
mungkur, dengan sendirinya tidak kelihatan jari-nya, hanya tangan kanan yang
menuding miring ke ujung atas, Meski sudah dia lihat dan lihat lagi, tetap tak
bisa dimengerti dimana letak rahasianya.
Selagi
ia hendak memeriksa lebih cermat, ketika ia menoleh, dilihatnya Siao-liong-li
pe!ahan2 sedang mendatangi dengan berpegangan kursi, lekas2 Yo Ko memayangnya.
Kemudian
Siao-liong-li ikut memeriksa lukisan itu, lama sekali keadaan menjadi sunyi.
“Jika
badanku baik2 saja, mungkin rahasianya dapat kuselidiki lebih mendalam,” kata
Siao-liong-li sesudah agak lama, “tetapi kini… kini matakupun terasa menjadi
buram…”
Segera
Yo Ko melompat ke atas, ia tanggalkan lukusan itu dan ditaruh ke depan
Siao-liong-li Maka diperiksanyalah lebih teliti oleh Siao-liong-li.
Ia
lihat guratan2 pada jari lukisan Ong Tiong-yang itu memang digores dengan jelek
dan kasar, berbeda sekali dengan goresan pada bagian lain, kecuali ini, tiada
lagi sesuatu yang menimbulkan pertanyaan.
Karena
belum juga ketemukan rahasianya, Yo Ko ambil Cektay (tancapkan lilin) dan
didekatkan Siao-liong-li agar bisa melihat lebih jelas,
“Sudahlah,
tak perlu lihat lagi ” kata Siao-liong-li tiba2, tetapi belum habis bicara,
se-konyong2 badannya gemetar lagi, karena itu cek-tay yang dipegang Yo Ko
tergentak hingga minyak lilin yang lumer tercecer di atas lukisan.
Siao-liong-li
terkejut.
“Ai,
aku telah bikin kotor lukisan ini!” katanya dengan menyesal
“Tak
apa, toh tiada sesuatu yang aneh,” ujar Yo Ko.
Habis
ini ia payang Siao-liong-li duduk kembali ke kursi. Selang tak lama, minyak
lilin tadi sudah kering, Yo Ko coba merhbersihkannya dengan kukunya.
Di
luar dugaan, sehabis kertas gambar itu ketetesan minyak lilin, kini menjadi
tembus dan kelihatan terang, lapat2 jari tangan gambar itu seperti tertulis
huruf2 “dua… tiga dan lain2″
Hati
Yo Ko tergerak, ia memeriksanya lebih dekat lagi, kiranya jari tangan yang
sedang menuding dalam lukisan itu, di samping goresan yang Iembut itu penuh
tertulis pula huruf kecil, tetapi tulisan2 ini terlalu halus, kecuali beberapa
huruf sederhana yang dapat dilinatnya, selebihnya sukar dibaca pula.
“Kokoh,
lihat ini!” dalam girangnya segera Yo Ko berteriak, berbareng ia pindahkan
lukisan itu dan lilin ke hadapan Siao-liong-li.
Selama
hidup Siao-liong-li dilewatkan dalam kuburan kuno yang gelap gulita ini, maka
pandangan matanya sangat tajam, melihat barang di tempat gelap dianggapnya
seperti siang hari saja, maka sesudah diperiksanya dua kali, akhirnya dia
mendongak, mukanya mengunjuk senyuman tetapi bukan senyuman, sikapnya sangat
aneh.
“Kokoh,
apakah kata tu1isan2 itu ?” tanya Yo Ko tak sabar
“Kiranya
sesudah Cosu-popoh meninggal, Ong Tiong-yang telah masuk lagi ke dalam kuburan
kuno ini,” sahut Siao-liong-li sambil menghela napas.
“Untuk
apa dia kembali ?” tanya Yo Ko pula.
“Dia
datang lagi buat ziarah Cosu-popoh,” kata Siao-liong-li “Dan disini dilihatnya
Giok-li-sim-keng tinggalan Cosu-popoh yang diukir diatas langit2an kamar ini
yang ternyata dapat memecahkan semua tipu silat Coan-cin-kau, karenanya ia
telah tinggalkan tulisan di atas lukisan ini, dia bilang apa yang dipecahkan
Cosu-popoh itu hanya kepandaian2 kasar yang tak berarti dari Coan-cin-kau, bagi
ilmu paling tinggi dari Coan-cin-pay yang dipahaminya, Giok-li-sim-keng inipun
tidak akan berarti lagi!”
“Cis,
imam tua ini membual,” kata Yo Ko tiba2 meng-olok2, “ya, toh Cosu-popoh sudah
meninggal, maka dia boleh omong sesukanya.”
“Tetapi
dia bilang lagi dalam tulisannya ini bahwa di suatu kamar lain lagi dia juga
tinggalkan pula ilmu cara memecahkan Giok-li-sim-keng. kelak kalau ada yang
punya jodoh, tentu akan tahu bila sudah melihatnya,” kata Siao-liong-li.
Hati
muda Yo Ko jadi tertarik oleh keterangan ini.
“Ayoh,
Kokoh, kita pergi melihatnya,” ajaknya.
“Baik
juga pergi melihatnya,” sahut Siao-liong-li, “seumur hidupku tinggal di sini,
belum pernah kumengetahui masih ada kamar batu sebagaimana dikatakan ini.”
Tapi
ketika dia membaca pula, tiba2 ia geleng2 kepala dan menyatakan aneh.
“Aku
tak percaya,” katanya kemudian sesudah lewat sejenak.
“Akupun
tidak,” sambung Yo Ko, “kebagusan Giok-li-sim-keng” tiada taranya, betapapun
tinggi kepandaiannya se-kali2 tidak nanti mampu memecahkannya.”
“Bukan
itu maksudku,” ujar Siao-liong-li. “Kamar batu yang dikatakan Ong Tiong-yang
itu terang sekali adalah tempat di mana terletak peti mati Cosu-popoh, darimana
lagi ada kamar batu lain ?”
“Marilah
Kokoh, toh tiada halangannya kita memeriksanya,” pinta Yo Ko.
Kini
Siao-liong-li tidak begitu garang lagi terhadap Yo Ko, meski tubuhnya
sebenarnya sangat letih, namun ia paksakan diri buat turuti permintaan pemuda
itu.
“Baiklah”,
sahutnya kemudian dengan senyuman manis,
Maka
pergilah mereka menuju kamar peti mati itu.
Menghadapi
dua peti mati yang masih kosong itu, tiba2 timbul pikiran aneh dalam hati
Siao-liong-Ii. “Dalam kuburan kini ada empat orang, lalu cara bagaimana harus
mengisi dua peti mati batu ini?” demikian katanya.
“Kita
tidur dalam satu peti dan biar kedua perempuan jahat itu pakai yang satu,” ujar
Yo Ko.
Apa
yang dikatakan Yo Ko ini timbul dari hatinya yang murni, sedikitpun dia tidak
berpikir yang tidak2, tetapi muka Siao-liong-li tiba2 menjadi merah jengah.
“Tetapi
kalau kita mati dahulu, kedua perempuan jahat itu pasti tidak perbolehkan kita
tinggal bersama, tentu mereka akan pisahkan tubuh kita sejauh mungkin,” ujar
Siao-liong-li dengan suara rendah.
BetuI
juga pikir Yo Ko, karena ini ia se-akan2 membayangkan sehabis dirinya dan sang
guru mati dan mayatnya lagi dihina dan dirusak oleh Li Bok-chiu bersama Ang
Ling-po, tanpa terasa ia menjadi gusar luar biasa.
“Kokoh,
kita harus bunuh dahulu mereka berdua !” teriaknya tiba-tiba.
“Tetapi
sayang, kita tak mampu mengalahkan mereka,” sahut Siao-liong-li menghela napas.
Sesudah
melatih lwekang tenaga Yo Ko sudah luar biasa hebatnya, tanpa susah dia dorong
dan balikkan tutup peti mati itu.
“Ya,
jika kita dapat mempelajari ilmu silat tinggalan Ong Tiong-yang itu, mungkin
kita bisa menangkan mereka,” kata Yo Ko sesudah berpikir.
Siao
liong-Ii tertawa oleh pikiran orang ini.
“Seumpama
betul2 ada ilmu silat yang begitu lihay, apakah dapat dipelajari dalam setahun
setengah saja ?” katanya, “Sedangkan rangsum kita paling banyak hanya cukup
untuk beberapa hari.”
Tentu
saja kembali Yo Ko putus asa. Melihat wajah orang mengunjuk kecawa, hati
Siao-liong-li jadi tak tega.
“Ko-ji,”
katanya lagi, “menurut apa yang dikatakan Ong Tiong-yang, untuk datang ke kamar
batu yang dia sebut diharuskan memindahkan jenazah Cosu-popoh, dan ini yang
kuatirkan jangan2 inilah tipu muslihat Ong Tiong-yang, tujuannya agar kita
masuk perangkap.”
Dasar
perasaan Yo Ko memang gampang terguncang, maka segera ia mencaci-maki orang:
“Ya, betul, imam hidung kerbau ini mana mungkin punya maksud baik ?”
Ketika
dilihatnya Siao-liog-Ii mengunjuk rasa sangsi, segera ia menanya pula: “Kenapa
lagi, Kokoh ?”
“Tetapi
menurut cerita Sun-popoh, sebenarnya Ong Tiong-yang sangat baik sekali terhadap
Cosu-popoh,” sahut Siao-liong-li. “Cuma disebabkan watak Cosu-popoh terlalu
aneh, maka hubungan mereka menjadi retak, jika begini soalnya, agaknya tidak
nanti sesudah Cosu-popoh mati, lalu dia datang lagi buat- menganiaya padanya.”
Setelah
dia pikir lagi, tiba2 ia ambil keputusan.
“Ko-ji,
mati kita buka tutup peti matinya !” ajaknya kemudian
Habis
ini, bersama Yo Ko mereka menarik sekuatnya untuk membuka tutup peti batu itu.
Waktu
membuka peti mati, mula2 Yo Ko menyangka pasti akan terhembus bau busuk mayat
dari dalamnya, maka sebelumnya dia sudah siap2 menahan napas, Siapa tahu begitu
tutupnya terpentang, bukannya bau busuk lagi yang dia cium, melainkan bau wangi
semerbak yang teruar keluar, walaupun ia tahan napas dan tidak menyedot namun
terasa juga bau harum itu.
Sebagai
seorang yang sudah melatih Lwekang, maka tenaga Yo Ko sudah beberapa kali lipat
dari orang biasa, ketika sedikit ia gunakan tenaga, tutup peti batu itu sudah
kena dibaliknya ke atas tanah, ketika dia pandang ke dalam peti, mendadak ia
sendiri terkejut
“He,
Kokoh, dalamnya kosong!” teriaknya cepat.
Betul
juga, waktu Siao-liong-li melongok ke dalam peti, ia dapatkan peti batu itu
kosong-blong, di dalamnya hanya terdapat dua mangkok porselen yang masing2
berisi setengah mangkok minyak gemuk, bau harum itu agaknya teruar dari minyak
gemuk ini.
“Aneh,
lalu di manakah jenazah Cosu-po-poh!?” Siao-liong-li menggumam sendiri “Jika
begini, tampaknya apa yang dikatakan Ong Tiong yang bukannya dusta.”
“Jangan2
kamar batu yang disebut imam tua itu yalah peti batu ini ?” kata Yo Ko.
“Bukan
begitu maksudnya,” sahut Siao-liong-li tersenyum,
Dia
sudah lama tinggal dalam kuburan kuno ini, maka dia mahir sekali tentang segala
macam alat2 rahasia, ia coba memeriksa teliti peti batu itu sejenak, lalu
terdengar ia berkata lagi: “Alas peti ini bisa dibuka.”
Tentu
saja Yo Ko sangat girang.
“Ah,
tahulah aku sekarang, itu adalah pintu yang menuju ke kamar batu itu,” serunya.
Habis
ini, tanpa diperintah segera ia melompat masuk ke dalam peti mati itu, ia
keluarkan dahulu kedua mangkok berisi minyak wangi itu, lalu ia me-raba2
seluruh peti, betul juga, akhirnya diketemukan satu tempat dekuk yang bisa
dipegang, dengan kencang ia tarik ke atas sekuatnya, tetapi sedikitpun ternyata
tidak bergerak
“Putar
dulu ke kiri, baru ditarik ke atas,” kata Siao-liong-li.
Yo
Ko menurut, ia putar lalu ditarik, betul saja lantas terdengar suara “krak”
yang keras, satu papan batu telah kena ditarik naik,
“Kokoh,
berhasil sudah !” serunya girang.
“Jangan
kesusu dahulu. duduklah sebentar, biar bau apek di dalam gua teruar keluar baru
kita masuk,” ujar Siao-liong-li.
Dalam
keadaan demikian Yo Ko menjadi tidak sabar, hanya sebentar saja dia sudah
tanya. “Bagaimana Kokoh, apa sudah cukup ?”
“Ai,
orang tak sabar seperti kau ini sukar dimengerti bisa tahan mengawani aku
beberapa tahun,” ujar Siao-liong-li dengan menghela napas.
Habis
berkata, pelahan2 ia berdiri, ia angkat cektay dan turun ke bawah melalui peti
batu itu, sesudah melalui satu lorong di bawah tanah yang sempit dan membelok
lagi dua kali, betul saja akhirnya mereka sampai di satu kamar batu.
Kamar
batu itu ternyata tiada sesuatu yang sepesial, waktu mereka sama2 mendongak ke
atas, maka tertampaklah oleh mereka di langit2an kamar itu penuh tertulis
huruf2 dan tanda2, sedang ujung paling kanan tertuliskan empat huruf besar :
“Kiu-im-cin-keng”.
Siao-liong-li
dan Yo Ko tidak mengerti bahwa “Kiu-im-cin-keng” adalah suatu kitab ilmu silat
paling tinggi di seluruh kolong langit, tetapi sesudah mereka melihat tulisan
serta tanda2 itu, mereka merasakan tiada terbilang bagusnya intisari yang
terkandung di dalamnya, seketikapun mereka tak bisa memahami seluruhnya.
“Sekalipun
ilmu kepandaian ini dapat mengalahkan Giok-li-sim-keng, namun kitapun tak
keburu lagi mempelajarinya,” ujar Siao-Iiong-li.
Karena
itu Yo Ko menjadi kecewa dan putus asa lagi, sebenarnya ia tidak mau melihat
lagi, tak disengaja, sekilas mendadak terlihat olehnya pada ujung barat langit2
kamar itu terlukis satu yang tampaknya tiada hubungannya dengan ilmu silat.
Oleh karena tertarik, kembali ia kumpulkan perhatian memandang lebih jauh,
agaknya gambar itu seperti sebuah peta.
“Kokoh,
apakah itu ?” katanya kemudian pada Siao-liong-li.
Siao-liong-li
berpaling, ia pandang menurut arah yang ditunjuk, tiba2 ia pandang peta itu
dengan ter-mangu2, tubuhnya sedikitpun tidak bergerak Lama dan lama sekali
masih tetap tidak bergerak
Akhirnya
Yo Ko sendiri menjadi ngeri, ia coba tarik2 lengan baju orang dan menanya :
Ko-koh, kenapakah kau ?”
Tetapi
Siao-liong-li masih tetap memandang dengan terkesima, kira2 lewat beberapa
lama, mendadak ia mendeprok terduduk, ia menangis ter-guguk2 bersandar di tubuh
Yo Ko.
“Apakah
badanmu sakit lagi, Kokoh?” pemuda itu tanya dengan bingung.
“Bukan,
bu… bukan,” sahut Siao-liong-li tersenggak-sengguk, Selang tak lama lalu dia
sambung lagi: “Ki… kita kini bisa keluar sudah.”
Keruan
bukan buatan rasa girang Yo Ko, seketika ia ber-jingkrak2.
“Betulkah
katamu ?” teriaknya gembira, Dengan masih mengembeng air mata Siao-liong-li
mengangguk2. Tentu saja Yo Ko semakin ber-girangan.
“Dan
kenapa engkau malah menangis ?” tanyanya kemudian.
“Entah,
akupun tak tahu, mungkin terlalu bergirang,” sahut Siao-liong-li tersenyum
manis dalam menangisnya, “Ko-ji, dahulu tak pernah aku gentar mati, sebab seumur
hidupku toh pasti akan tinggal di dalam kuburan ini, mati sekarang atau mati
kelak toh tiada bedanya ? Tetapi aneh, dalam beberapa hari ini selalu timbul
pikiran ingin pergi me-lihat2nya keluar,”
“Marilah
Kokoh, kita keluar bersama, aku nanti petik bunga untukmu, tangkap jangkrik
buat kau, mau tidak ?” kata Yo Ko sambil tarik kencang tangan orang.
Nyata
meski usia Yo Ko sudah menanjak, namun pikirannya masih tetap kanak2.
Sebaliknya
Siao-liong-li selamanya tidak pernah bermain dengan anak lain, kini mendengar
cerita Yo Ko yang menarik dan begitu bernapsu, ia sendiripun merasa senang.
Dalam
keadaan buntu mendadak kedua orang ini mendapatkan jalan hidup, mereka menjadi
lupa daratan, bukannya mereka lantas cari jalan keluarnya itu, sebaliknya
mereka duduk bersandaran pundak, mereka bercerita tentang aneka macam permainan
kanak2, makin cerita Yo Ko semakin bernapsu hingga akhirnya Siao-liong-li lupa
letih dan lupa capek, tetapi apapun juga ia habis luka parah, sesudah setengah
jam mendengarkan cerita, akhirnya ia tak tahan lagi, tanpa berasa ia terpulas
bersandaran di pundak Yo Ko.
Sesudah
bercerita sendiri dan mendapatkan orang tidak tanya-jawab seperti semula, waktu
Yo Ko menoleh, ia lihat Siao-liong-li sudah menggeros, nona itu ternyata sudah
tertidur.
Oleh
karena tekanan batinnya sudah lapang, akhirnya Yo Ko sendiri merasa letih,
kemudian iapun terpulas.
Keadaan
itu entah lewat berapa lama, ketika mendadak Yo Ko merasakan pinggangnya sakit
linu, “jiau-yao-hiat” di pinggangnya tahu2 kena di| tutuk orang sekali, Dalam
kagetnya ia terjaga dari tidurnya, selagi ia hendak melompat bangun buat
melawan, tahu2 tengkuknya telah kena dicekal orang dengan kencang hingga Yo Ko
tak mampu berkutik.
Waktu
Yo Ko sedikit melengos, ia lihat Li Bok-chiu dan Ang Iing-po berdua sudah
berdiri di samping dengan ter-tawa2, sebaliknya gurunya, Siao-liong-li, sudah
kena ditutuk orang juga hingga tak berdaya.
Kiranya
Yo Ko dan Siao-Iiong-li berdua sama sekali tak punya pengalaman Kangouw yang
selalu harus waspada terhadap musuh dan berjaga-jaga diri, dalam girangnya
mereka ternyata lupa daratan hingga tutup peti batu tadi belum mereka tutup
kembali: karena itulah kemudian dapat diketahui Li Bhok chiu bahwa di bawah
tanah ini masih terdapat kamar lagi dan berhasil dia menyergapnya selagi mereka
tertidur.
“Ha,
bagus, bagus, kiranya disini masih terdapat tempat seenak ini, kalian berdua
lantas bersembunyi untuk senang2 sendiri,” demikian Li Bok-chiu mengejek
“Sumoay, cara bagaimanakah, keluarnya dari sini, tentu kau mengetahuinya, jika
kau masih merahasiakannya, jangan kau sesalkan Enci-mu berlaku kejam nanti.”
Namun
Siao-liong-li sama sekali tak gentar oleh gertakan orang.
“Jangan
kata memang aku tak tahu, seumpama tahupun tak sudi kukatakan padamu.” sahutnya
ketus.
Li
Bok-chiu cukup kenal watak sang Sumoay yang kepala batu, sekalipun Suhu mereka
dahulu suka mengalah juga padanya, maka bila menggunakan kekerasan, pasti tak
bethasil, tetapi dalam keadaan demikian, soalnya menyangkut ma-ti-hidupnya,
bagaimanapun juga dia harus memaksa sang Sumoay.
Karena
itu, segera ia keluarkan dua jarum Peng-pek-sin-ciam, ia lemparkan jarum2 itu
ke lantai hingga mengeluarkan suara gemerincing yang halus.
“Awas,
jika aku menghitung dari satu sampai sepuluh dan kau masih belum bicara,
terpaksa kusuruh kau mengicipi rasanya jarum perak ini,” demikian ia mengancam.
Namun
Siao-liong-Ii tetap tak menjawab, bahkan ia pejamkan matanya dan tidak gubris
gertakan orang.
“Satu…
dua… tiga… empat…” demikian Li Bok-chiu mulai menghitung.
“Jika
Kokoh kenal jalan keluarnya, kenapa kami tidak melarikan diri sejak tadi,
sebaliknya masih tinggal di sini ?” tiba2 Yo Ko membentak.
“Hm,
pandai juga kau bicara,” jengek Li Bok-chiu, “Aku sudah mempelajari keadaan
tempat ini, aku taksir tentu ada jalan keluar yang dirahasiakan kalian bermaksud
tidur dahulu, sesudah semangat pulih, bukankah kalian lantas angkat kaki ?”
Lalu ia menyambung perhitungannya lagi:
“lima…
enam… tujuh… delapan… sembilan…”
Sampai
di sini ia berhenti sejenak, ia coba peringatkan orang lagi : “Sumoay, apa
betul2 tak mau kau katakan ?”
Pada
saat itu juga, tiba2 di lorong bawaf itu meniup angin dingin yang menghembus
masuk hingga lilin yang dipegang Ang Ling-po tersirap.
“Hmmm,
aku masih ngantuk, jangan kau bikin ribut lagi,” kata Siao-liong-li tiba2 dia
sengaja menguap keras.
“Baiklah,
Peng-pek-ciam ini adalah warisan Cosu-popoh kita sendiri, maka jangan kau sesal
kan aku, kini aku sudah menghitung sampai sepuluh,” demikian kata Li Bok-chiu.
Sembari
berkata, ia gunakan ujung jarum peraknya yang berbisa jahat itu menggosok
sekali “Ciang-tay-hiat” di punggung Yo Ko, menyusul “Hian-ki-hiat” di dada
Siao-liong-li ia gosok sekali juga dengan cara yang sama.
Walaupun
biasanya sifat Siao-liong-li sangat dingin dan tenang, tetapi kini tidak urung
ia merasa ngeri juga, sebab racun jarum perak ini pe-Iahan2 akan merembes masuk
melalui jalan darah di pinggangnya itu dan lambat laun merata ke seluruh tubuh,
tatkala itu akan terasa seluruh tubuh se-akan2 ribuan semut menggerogoti tulang
sumsum dan be-ribu2 bisul tumbuh di seluruh badan, dalam keadaan demikian
rasanya tiada yang lebih lihay daripada siksaan ini.
Sebenarnya
Siao-liong-li punya obat pemunah racunnya, sebab asalnya jarum berbisa ini dari
perguruannya sendiri, tetapi kini Hiat-to kena ditutuk orang dan tak mampu
berkutik, cara bagaimana ia bisa berdaya buat menolong diri sendiri?
Di
lain pihak Li Bok-chiu memang keji juga kejam, sesudah gosok jarum berbisa itu
di atas badan orang, ia terus duduk di samping untuk menantikan bekerjanya
racun jarumnya, ia pikir orang tentu akan bicara terus terang.
Selang
tak lama, aliran darah di tubuh Siao-liong-li dan Yo Ko berjalan tambah cepat,
pelahan-lahan pun terasa panas, Siao-liong-li tahu racun mulai bekerja, tidak
Iama lagi tentu akan merembet lagi lebih dalam, Akan tetapi kini ia djustru
merasakan enak yang tak terkatakan.
“Kokoh,
jangan kau katakan rahasia keluar kuburan ini pada mereka, kedua perempuan
jahat5 itu betapapun tidak boleh lepas begitu saja,” dengan suara pelahan Yo Ko
bisiki Siao-liong-li.
“Ya,”
sahut nona itu.
Teringat
tentang rahasia jalan keluar kuburan itu, tanpa terasa ia menengadah dan
memandang ke langit-langitan kamar yang terdapat peta bumi itu.
Kiranya
dahulu demi mengetahui Lim Tiao-eng telah meninggal dunia di dalam kuburan itu,
walaupun dia sudah bersumpah tidak akan memasuki lagi, akhirnya Ong Tiong-yang
masuk lagi ke kuburan itu secara diam2 melalui jalan rahasia, Teringat oleh Ong
Tiong-yang betapa cintanya Lim Tiao-eng kepada dirinya dan suka-duka mereka
semasa mudanya, maka menangislah Cosu dari Coan-cin-kau itu di hadapan jenazah
bekas kekasihnya itu.
Setelah
puas menangis seorang diri dan sesudah melihat untuk penghabisan kalinya wajah
kekasihnya yang sudah tak bernyawa, kemudian Ong Tiong-yang memeriksa lagi
keadaan kuburan raksasa buah karyanya itu, di situ bukan saja ia melihat gambar
dirinya sendiri yang dilukis oleh Lim Tiao-eng, bahkan dia dapatkan pula
ukir2an di langit2an kamar yang ditinggalkan kekasihnya itu, ketika
diketahuinya betapa bagus dan betapa hebat ilmu kepandaian yang terkandung dalam
Giok-li-sim-keng, setiap gerakan dan setiap tipu pukulan ternyata merupakan
lawan dan khusus anti ilmu silat Coan-cin-pay, dalam kagetnya muka Ong
Tiong-yang menjadi pucat, lekas2 ia keluar dari kuburan itu.
Lalu
seorang diri dia tirakat di puncak gunung, selama tiga tahun selangkahpun tidak
turun gunung, dengan memusatkan pikirannya dia mempelajari cara2 untuk
memecahkan ilmu Giok-li-sim-keng itu, namun demikian, hasilnya terlalu kecil,
bagaimanapun juga dia tak mendapatkan semacam ilmu yang sempurna untuk
mengalahkannya. Dalam putus asanya, terhadap kecerdikan dan kepintaran Lim
Tiao-eng ia menjadi sangat kagum, lalu ia terima menyerah dan tidak melanjutkan
pelajarannya lagi.
Siapa
tahu belasan tahun kemudian, karena adanya “Hoa-san-lun-kiam” atau pertandingan
pedang di atas Hoa-san, di mana Ong Tiong-yang telah keluar sebagai juara dan
dapat merebut kitab tertinggi dari ilmu silat, yaitu “Kiu-im cin-keng”..
sebenarnya dia sudah bersumpah tidak akan berlatih ilmu yang terdapat di dalam
kitab itu, tetapi terdorong oleh rasa ingin tahu, tidak urung ia balik-balik
halaman kitab itu dan membacanya.
ilmu
silat Ong Tiong-yang waktu itu sudah diakui sebagai juara dunia, dengan
sendirinya inti sari dari apa yang tertulis di dalam Kiu-im-cin-keng itu dengan
gampang saja dapat dia pahami, hanya sepuluh hari saja seluruhnya sudah dapat
dia selami dengan baik, ia tertawa panjang sambil menengadah lalu masuk lagi ke
Hoat-su-jin-bong, di langit2 kamar batu yang paling dirahasiakannya telah dia
ukir bagian penting dari Kiu-im-cin-keng dan satu per satu dia tunjuk cara2
untuk mematahkan ilmu Giok-li-sim-keng. Kemudian pada jari tangan lukisan
dirinya itu dia tinggalkan pula beberapa baris tulisan, dia bilang jika
keturunan Lim Tiao-eng ada jodoh, biarlah orang itu mengetahui bahwa ilmu silat
dari pendiri Coan-cin-kau itu. Sekali-kali tidak bisa dikalahkan
Giok-li-sim-keng dengan begitu saja.
Sesudah
Ong Tiong-yang keluar lagi dari kuburan, ia coba memenangkan pula bekas tulisan
dengan jari yang dilakukan Lim Tiao-eng di atas batu gunung Cong-lam-san,
terpikir lagi olehnya kata2 yang ditinggalkan di atas lukisan yang terlalu
halus itu, belum pasti orang keturunan Ko-bong-pay dapat melihatnya, tetapi
kalau ditunjukkan secara terang2an, apakah itu bukan berarti kitab Kiu-im-tin-keng
yang hebat itu sengaja dia siarkan pada umum ?
Tengah
ia ter-menung2, tiba2 terdengar olehnya ada suara orang perempuan sedang
menangis dengan sedih sekali, ia coba mendekatinya dan ditanya, kiranya wanita
itu she Sun, dahulu jiwanya pernah ditolong Lim Tiao-eng, maka kini sengaja
naik gunung hendak menemuinya, demi mengetahui Lim Tiao-eng sudah meninggal, ia
bermaksud masuk kuburan buat sembahyang, namun jalan masuknya tidak
diketemukan.
Ong
Tiong-yang telah tunjuk cara memasuki Hoat-su-jin-bong itu dan pesan pula: “Aku
memberi enambelas huruf, hendaklah kau ingat2 dengan baik, tetapi jangan
dibocorkan pada orang lain, Kelak bila dekat hari tuamu baru boleh kau
beritahukan tuan rumah dari kuburan kuno itu.”
Wanita
she Sun itu menghaturkan terima kasih dan ingat baik2 ke-16 huruf itu dan
kemudian berziarah ke dalam Hoat-su-jin-bong, belakangan ia diterima oleh
dayang Lim Tiao-eng yang kemudian menjadi gurunya Siao-liong-li untuk tinggal
terus di dalam kuburan, dia inilah lalu dikenal sebagai Sun-popoh.
Enambelas
huruf tinggalan Ong Tiong-yang itu kemudian oleh Sun-popoh telah ditulis di
atas secarik kain putih dan dijahit dalam baju kapasnya dan pada saat sebelum
ajalnya baju kapasnya telah dia berikan pada Yo Ko, 16 huruf itu yang berarti:
“Guru besar Tiong-yang, meninggalkan ilmu kepandaian, periksa lukisannya dan
pelajari jari tangannya,”.
Tetapi
karena bakat Sun-popoh tidak pintar, maka terhadap enam-belas huruf itu tidak
pernah dia selidiki hingga tidak mengetahui rahasia yang terpendam di dalam kamar
batu itu, Sedang mengenai peta bumi rahasia yang terukir di atas langit-langit
kamar itu memeng sudah ada sejak kuburan kuno ini dibangun muIa2, hal ini
malahan Lim Tiao-eng sendiripun tidak mengetahuinya.
Begitulah
ketika Siao-liong-li dapat melihatnya, maka segera dia menjadi jelas jalan
rahasia untuk keluar dari kuburan itu, hanya sayang jalan darahnya ditutuk Li
Bok-chiu, sekalipun sudah mendapatkan jalan hidup toh percuma juga, ia menjadi
menyesal kenapa tadi tidak lantas melarikan diri bersama Yo Ko, sebaliknya
malah duduk2 saja untuk mengobrol segala permainan anak2 yang tak berguna.
Lambat-laun
seluruh badannya menjadi makin panas, ia memandang lagi beberapa kali peta bumi
itu, ia menghela napas panjang, pandangan matanya beralih lagi pada tulisan
pelajaran Kiu-im-cin-keng yang berada di sebelah peta bumi itu.
Mendadak
matanya jadi terbelalak seperti sinar kilat yang mendadak berkelebat tiba2
dapat dilihatnya ada empat huruf yang bertuliskan “Kay-hiat-pit-koat” atau
kunci rahasia membuka jalan darah. seketika hatinya tergerak, ia coba
mengamat-amati beberapa kali lagi pelajaran ilmu itu. keruan bukan buatan
senangnya, saking girangnya hampir2 saja dia berteriak.
Kiranya
ilmu itu telah menjelaskan cara2 untuk melancarkan jalan darahnya sendiri,
sebenarnya bagi seorang yang melatih Kiu-im-cin-keng, ilmu silatnya pasti juga
sudah mencapai tingkatan kelas wahid dan se-kali2 tidak nanti kena ditutuk
orang, tetapi dalam keadaan kepepet seperti Siao-liong-li sekarang ini, ilmu
ini justru merupakan bintang penolong baginya.
Tetapi
bila terpikir lagi olehnya meski bisa melepaskan diri dari tutukan toh tak
lebih ungkuIan daripada sang Suci, bukankah percuma juga? Karenanya dia lantas
baca lagi lebih cermat tulisan2 di atas kamar itu, ia bermaksud mencari lagi semacam
ilmu silat yang praktis, yang begitu dipelajari segera dapat dipergunakan dan
sekaligus bisa mengalahkan Li Bok-chiu.
Tetapi
meski dia ulangi membaca dari awal sampai akhir dan dari akhir kembali ke awal
sampai dua kali ulangan, ia dapatkan meski ilmu yang-paling gampang dipelajari
sedikitnya juga harus makan beberapa puluh hari baru bisa jadi.
Dalam
keadaan putus harapan itu, tiba2 ia merasakan tubuh Yo Ko yang bersandaran
dengan tubuhnya itu rada2 gemetar, agaknya racun jarum perak sudah merembes masuk,
pada saat genting ini, tiba2 pikirannya menjadi jauh lebih tajam dari biasanya,
tergerak pikirannya dan dapat diperoleh sesuatu akal bagus, dengan cepat ia
menengadah lagi, ia apalkan baik2 “Kay-hiat-pi-koat” dan “Pi-gi-pit-koat”,
yakni dua macam ilmu membuka jalan darah dan menutup jalan pernapasan, lalu
dengan apa yang dia apalkan ini dia bisikkan ke telinga Yo Ko untuk mengajarkan
pemuda ini.
Dasar
Yo Ko memang sangat pintar, sedikit diberi petunjuk saja dia lantas mengerti,
diberi tahu awalnya, segera ia paham lanjutannya.
“Nah,
sekarang kita membuka jalan darah dahulu,” kata Siao-Iiong-li kemudian dengan
pelahan.
Yo
Ko manggut2 sebagai tanda mengerti.
Dalam
pada itu seluruh kamar dalam keadaan gelap gulita, Li Bok-chiu berdua hanya
menanti bila Siao-liong-li dan Yo Ko tidak tahan oleh serangan racun dalam
badannya, tentu dengan sendirinya akan mengatakan rahasia jalan keluar kuburan
itu, sudah tentu tidak dia duga bahwa mereka justru sedang main gila secara
diam-diam.
Begitulah,
maka Siao-liong-li dan Yo Ko telah menuruti petunjuk Ong Tiong-yang pada
ukiran2 itu, diam2 mereka menjalankan darah menurut ajaran “Kay-hiat-pit-koat”.
Memangnya Lwekang mereka berdua sudah cukup kuat, maka hanya sebentar saja dua
tempat Hiat-to yang tertutuk tadi sudah berhasil mereka Iepaskan.
Lalu
Siao-liong-li ulur tangan pelahan2 ke dalam bajunya, ia ambil dua pil penawar
racun jarum itu, lebih dulu ia jejalkan sebutir ke mulut Yo Ko, kemudian ia
sendiri telan sebutir.
Meski
perbuatannya ini dilakukan dengan sangat pelahan dan hati2, tapi Li Bok-chiu
mana bisa dikelabui, segera hal ini dapat diketahuinya.
“Apa
yang kau lakukan ?” bentaknya tiba2 terus melompat maju.
Namun
Siao-liong-li sudah siap sedia, segera ia papaki orang dengan sekali gablokan,
ini adalah ilmu silat tertinggi dari Giok-li-sim-keng, pundak Li Bok-chiu tahu2
telah kena hantam sekali walau pun hanya pelahan.
Sungguh
tidak pernah Li Bok-chiu duga bahwa sang Sumoay ini ternyata mampu melepaskan
Hiat-to sendiri, dalam kagetnya kena pukulan itu, lekas2 ia melompat mundur
lagi.
“Suci,
kami hendak keluar, kau mau ikut keluar tidak ?” demikian Siao-liong-li berkata
padanya.
Li
Bok-chiu menjadi mati kutu menghadapi sang Sumoay, biasanya ia suka unggulkan
ilmu silatnya sendiri yang tiada tandingannya di seluruh jagat, pula
kecantikannya susah dicari lawannya, siapa tahu kini bisa dipermainkan oleh
sang sumoay yang masih muda-belia dan belum pernah kenal muka jagat itu, keruan
tidak kepalang gusar dan dongkolnya.
Akan
tetapi karena kepepet, ia kuatir bila sampai sang Sumoay menjadi marah, mungkin
sungguh2 dirinya tidak dibawa keluar, hal ini berarti dirinya bakal celaka,
karena itu ia tak berani berlaku kasar, ia pikir paling penting keluar dulu
dari kuburan ini, ilmu silat sendiri toh lebih tinggi daripada Sumoaynya, nanti
kalau sudah di luar, tidak sukar untuk bikin perhitungan dengan dia.
Maka
Li Bok-chiu coba menahan amarahnya, dengan tertawa ia coba membujuk: “Nah,
beginilah baru betul2 seorang Sumoay yang baik, biarlah aku minta maaf padamu
dan bawalah aku keluar dari sini !”
“Tetapi
Kokoh bilang, hanya satu orang saja diantara kalian berdua yang bisa ikut, maka
katakan saja, bawa kau atau bawa muridmu itu ?” sahut Yo Ko tiba2.
Nyata
Yo Ko ini sangat licin, melihat ada kesempatan, segera ia berusaha memecah-belah
antara guru dan murid itu.
“Anak
keparat, tutup bacotmu !” damperat Li Bok-chiu gusar.
Kata2
Yo Ko tadi sebenarnya belum dipahami Siao-Iiong-li, tetapi selamanya ia membela
pendirian pemuda itu, maka segera ia menyambung: “Ya, memang, aku hanya dapat
membawa seorang saja, tidak bisa lebih ?”
“Nah,
apa kataku,” ujar Yo Ko dengan tertawa. “Supek, menurut pendapatku, biarkan
Suci saja yang ikut kami keluar, kau toh sudah tua, sudah hidup cukup lama
bukan ?”
Sungguh
tidak kepalang gusar Li Bok-chiu hingga dadanya se-akan2 meledak, namun soalnya
menyangkut mati hidupnya, maka sedapat mungkin ia coba menahan api amarahnya,
ia bungkam dan tidak menjawab lagi.
“Baiklah,
sekarang kita berangkat,” kata Yo Ko. “Kokoh jalan di depan sebagai penuntun
jalan, aku nomor dua, dan siapa yang berada paling belakang, dia yang tak akan
bisa keluar.”
Maka
tahulah sekarang Siao-liong-Ii maksud kata2 Yo Ko, karena itu, ia tersenyum
manis, lalu dengan gandeng tangan Yo Ko mereka mendahului keluar dari kamar
batu itu.
Saat
itu juga, Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah sama2 berlari menyusul sehingga
kedua orang ini berdesakan di ambang pintu, mereka berebutan lebih dahulu,
mereka takut kalau benar2 Siao-liong-li menggerakkan alat perangkap rahasia
sehingga ada seorang diantara mereka yang tertutup di bagian dalam.
“Berani
kau berebutan dengan aku ?” bentak Li Bok-chiu menjadi gusar, Berbareng sebelah
tangannya telah cekal pula pundak Ang Ling-po.
Walaupun
keadaan sangat berbahaya, namun Ang Ling-po kenal watak gurunya yang tidak
segan turun tangan kejam, jika dirinya tidak mengalah, pasti segera terbinasa
di tangan gurunya sendiri, maka terpaksa ia mundur selangkah dan mempersilahkan
Li Bok-chiu jalan di depan, sudah tentu dengan perasaan mendongkol tetapi takut
pula.
Begitulah,
maka dengan rapat Li Bok-chiu mengintil di belakang Yo Ko, sedikitpun tak
berani ketinggalan jauh, ia merasa jalan yang ditempuh Siao-liong-li itu
seperti belok ke sini dan putar ke sana, makin jauh makin menurun ke bawah,
sementara itu kakinya terasa pula menginjak tempat becek, dalam hati dia
mengerti telah berada diluat kuburan kuno itu, hanya saja dalam kegelapan itu,
remang2 cuma kelihatan di mana2 jalannya selalu me-lingkar2 dan ber-putar2.
Tak
lama jalanan menjadi aneh pula, kini menurun lurus, syukur ilmu silat keempat
orang cukup tinggi, maka mereka tiada yang sampai ter-peleset, jika orang Iain,
tentu sejak tadi sudah jatuh keserimpet.
“Cong-lam-san
ini memang tidak terlalu tinggi, dengan jalan cara begini, tidak lama tentu
sudah berada di bawah gunung, apakah kami kini sudah berada di dalam perut
gunung ?” demikian diam2 Li Bok-chiu berpikir sendiri.
Sesudah
jalan menurun agak lama, akhirnya jalanan mulai lapang, hanya rasa basah itu
semakin banyak hingga akhirnya terdengar suara gemerciknya air, lalu betis
merekapun terendam dalam air.
Tidak
hanya begitu, makin jauh air makin dalam, dari betis bertambah sampai paha,
dari paha terus perut dan pe-lahan2 naik lagi sampai setinggi dada.
“ltu
Pi-gi-pit-koat (rahasia menutup jalan napas) apa sudah kau apalkan dengan baik
?” dengan suara pelahan Siao-liong-li tanya Yo Ko.
“lngat,”
sahut Yo Ko lirih.
“Baik,”
ujar Siao-liong-li. “Dan sebentar lagi kau tutup jalan napasmu, jangan sampai
kemasukan air.”
“Ya,
engkau sendiri juga harus hati2, Kokoh,” kata Yo Ko,
Siao-liong-li
angguk2.
Sedang
mereka bicara, air di bawah itu sudah merembes sampai di tenggorokan. Keruan
yang paling kaget adalah Li Bok-chiu, ia menjadi bingung pula.
“Sumoay,
apa kau bisa berenang ?” teriaknya kuatir.
“Selamanya
aku hidup di dalam kuburan, mana bisa berenang ?” sahut Siao-liong-li.
Mendengar
jawaban ini, hati Li Bok-chiu rada lega, ia melangkah maju lagi, tak terduga
air mendadak mendampar sampai mulutnya, Dalam kagetnya lekas2 ia mundur ke
belakang.
Tetapi
pada saat itu juga Siao-liong-li dan Yo Ko malahan terus menyelam ke dalam air.
Dalam
keadaan demikian, sungguhpun di depan sana sudah menanti gunung golok atau
lautan pedang, terpaksa Li Bok-chiu juga menerjang maju. Dalam pada itu,
mendadak ia merasakan baju di pungungnya tiba2 menjadi kencang, kiranya tangan
Ang Ling-po telah menjamberetnya. Li Bok-chiu menjadi dongkol, diri sendiri
saja dalam keadaan bahaya, apalagi diganduli seorang, ia coba meronta
sekuatnya, namun tak bisa terlepas.
Maklumlah,
seorang yang tak bisa berenang, bila kelelap di dalam air, tentu orang itu akan
bergolak sebisanya dan bila ada sesuatu benda sampai terpegang, maka sampai
mati sekalipun tidak bakal dilepaskannya, Begitulah halnya dengan Ang Ling-po
sekarang.
Dengan
bergandengan tangan Siao-Iiong-li bersama Yo Ko menyelam ke bawah air,
sementara Li Bok-chiu menyekal kencang tangan Yo Ko, sedang Ang Ling-po tetap
menjambret baju, punggungnya, matipun tidak dilepaskan.
Tatkala
itu suara menggerujuknya air sudah terdengar sangat keras, walaupun ini adalah
sungai di bawah tanah, namun suara yang berkumandang keras itu cukup
mengejutkan orang, Dan karena terdampat oleh arus ait yang keras, Li Bok-chiu
dan Ang ling-po berdua menjadi terapung ke atas.
Meskipun
ilmu silat Li Bok-chiu sangat bagus, tetapi dalam keadaan demikian ia menjadi
gugup dan bingung, ia ulur tangan menjamberet dan menarik serabutan, mendadak
berhasil disentuhnya sesuatu, keruan saja ia pegang dengan kencang, matipun
tidak dilepaskannya.
Kiranya
itu adalah tangan kiri Yo Ko tatkala itu Yo Ko sedang menahan napas dan sedang
melangkah maju setindak demi setindak di dalam air dengan menggandeng tangan
Siao-liong-li, kini mendadak dipegang Li Bok-chiu, lekas2 ia pakai
Kim-na-jiu-hoat untuk melepaskan diri. Akan tetapi sekali Li Bok-chiu sudah
pegang, mana mau dilepaskan pula, meski air dingin terus-menerus masuk ke mulut
dan hidungnya, bahkan sampai jatuh” pingsan juga masih dipegangnya erat2 tangan
Yo Ko itu.
Beberapa
kali Yo Ko coba kipatkan lengannya terlepas, tetapi tidak berhasil Karena
kuatir terlalu banyak buang tenaga hingga air masuk perutnya, akhirnya iapun
membiarkan lengannya dipegang orang.
Begitulah
secara bererotan seperti kereta gandengan mereka berempat jalan terus di dasar
sungai, sesudah agak lama, akhirnya terasa sesak juga napas Siao-liong-li dan
Yo Ko, mereka mulai tak tahan hingga perut merekapun kenyang minum air.
Syukur
lambat laun arus air mulai reda, keadaan tanahpun makin tinggi, tidak lama
kemudian mereka dapat menongol ke permukaan air. Mereka berjalan terus, makin
jauh keadaan di depan sana bertambah terang, akhirnya merekapun keluar melalui
sebuah gua gunung.
Bukan
main rasa letih Siao-Iiong-li dan Yo Ko, boleh dikatakan tenaga mereka sudah
habis, apalagi terendam lama di dalam air, maka lebih dulu mereka kumpulkan
tenaga untuk memuntahkan air dalam perut yang kembung itu, kemudian mereka
merebah di tanah dengan napas terempas-empis.
Tatkala
itu dengan kencang tangan Li Bok-chiu ternyata masih pegang erat2 di lengan Yo
Ko, jari tangannya harus dipentang satu per satu oleh Siao-liong-Ii barulah
bisa terlepas.
Lalu
Siao-liong-li menutuk Hiat-to di bahu Li Bok-chiu dan muridnya, habis ini baru
taruh mereka di atas satu batu, dengan demikian air di dalam perut mereka
pe-lahan2 mengalir keluar
Selang
agak lama, dengan mengeluarkan suara serak Li Bok-chiu mendusin dahulu, tiba2
sinar matahari menjilaukan matanya, sekarang dia betul2 sudah di alam terbuka,
bila ingat tadi terkurung di dalam kuburan kuno itu dan terancam berbagai macam
bahaya, mau-ta-mau ia merasa ngeri pula, kini meski separuh tubuhnya bagian
atas dalam keadaan lumpuh karena ditutuk Siao-liong-Ii, namun hatinya malah
jauh lebih lega daripada tadinya.
Tidak
antara lama Ang Ling-po pun tersadar juga, tetapi karena ditutuk jalan
darahnya, tangannya sudah tak bertenaga lagi, maka sebelah tangannya masih
terletak di atas punggung Suhunya.
Cara
menutuk Siao-liong-li sekali ini hanya dapat dilepaskan dengan
“Kay-hiat-pit-koat” seperti ajaran Kiu-im-cin-keng yang ditinggalkan Ong
Tiong-yang itu atau ditolong oleh kaum ahli, hila tidak harus tunggu 7 X 7 = 49
hari lagi baru bisa sembuh sendiri
“Sekarang
kau boleh pergi, Suci!” demikian kemudian Siao-liong-li berkata pada Li
Bok-chiu.
Walaupun
kedua tangan Li Bok-chiu dan Ang Ling-po sudah lumpuh, tetapi setengah badan
bagian bawah masih baik2 saja dan bisa bergerak seperti biasa, karena itu
dengan bungkam guru dan murid itu saling pandang sekejap, entah rasa girang
atau gusar dalam hati mereka waktu itu, lalu pergilah mereka ber-iring2an.
Menghadapi
alam semesta dengan pemandangan yang indah permai itu, sungguh tidak terbilang
rasa girang Yo Ko.
“Kokoh,
bagus tidak pemandangan sekitar ini ?” tanya Yo Ko,
Tetapi
Siao-liong-li tak menjawab, ia hanya bersenyum simpul.
Bila
teringat oleh mereka kejadian selama beberapa hari ini rasa mereka seperti
menjelma lagi di dunia Iain.
Malam
itu mereka berdua tidur seadanya dibawah pohon yang rindang. Kiranya gua gunung
ini sudah berada di bawah Cong-lam-san, hanya tempatnya sangat sepi dan
terpencil.
Besok
paginya, sehabis mereka buang air, racun yang mengalir dalam tubuh mereka
ternyata sudah ikut lenyap, Kalau menuruti Yo Ko, segera pemuda ini ajak pergi
pesiar, tetapi selamanya Siao-liong-li belum pernah berkenalan dengan dunia
fana, entah mengapa, ia menjadi takut2.
“Tidak,
kita harus melatih dulu Giok-Ii-sim-keng hingga selesai,” kata Siao-liong-li.
Betul
juga, pikir Yo Ko, ia menurut, memang kalau berada di tempat ramai dan banyak
orang, untuk melatih Giok-li-sim-keng dengan mencopot pakaian bersama gurunya
sesungguhnya tak pantas dipandang Maka mereka lantas mencari dan mendapatkan
satu tempat semak2 yang lebat sekali, malam itu juga mereka lantas mulai
melatih diri lagi dengan di-aling2i oleh semak2 rumput bunga itu.
Begitulah
mereka lantas mendirikan gubuk, mereka meneruskan latihan ilmu di gunung sunyi
ini, siang mereka tidur dan malam hari berlatih dengan giat, sekejap saja
beberapa bulan sudah lalu tanpa sesuatu kejadian, Mula2 Siao-liong-li
mendahului berhasil dengan ilmunya, lewat sebulan lagi Yo Ko pun menyusul
selesai dengan sangat memuaskan.
Meski
begitu mereka berdua masih mengulangi lagi, nyata tiada sesuatu lagi yang
kurang, karena itu Yo Ko lagi2 bicara tentang pesiar sebagai kesenangan hidup
manusia.
Tetapi
bagi Siao-liong-li, hidup secara aman tenteram seperti sekarang ini rasanya di
dunia ini sudah tiada lagi yang melebihi. namun dilihatnya Yo Ko selalu suka
pada keramaian, tampaknya sukar untuk tinggal di gunung sunyi untuk selamanya.
“Ko-ji”,
akhirnya ia berkata, “meski ilmu silat kita sudah berbeda jauh dari pada
dahulu, tetapi kalau dibandingkan dengan kau punya paman dan bibi Kwe kira2
bagaimana ?”
“Tentu
saja kita masih jauh ketinggalan,” jawab Yo Ko.
“Kalau
begitu, kau punya paman Kwe sudah turunkan kepandaiannya pada puterinya dan
kedua saudara Bu, kalau kelak saling bertemu lagi, tetap kita akan dihina
mereka,” kata Siao-liong-li pula.
Mendengar
kata2 ini, seketika Yo Ko menjadi gusar.
“Kokoh,
jika mereka berani hina diriku lagi, mana bisa aku menyerah mentah2 ?”
teriaknya melonjak bangun.
“Tetapi
kau tak dapat menandingi mereka, bisa apa kau ?” ujar Siao-liong-Ii.
“Jika
begitu, kau bantu aku, Kokoh,” kata Yo Ko.
“Akupun
tak bisa menangkan kau punya paman Kwe, percuma saja,” sahut Siao-1iong-1i.
Yo
Ko tak bisa buka suara lagi, ia menunduk dengan bungkam, ia coba pikirkan cara bagaimana
harus menghadapinya kelak.
“Sudahlah,
demi Kwe-pepek, aku takkan berkelahi dengan mereka,” katanya kemudian sesudah
merenung sebentar.
“Tetapi
kalau mereka tidak mau lepaskan dirimu, bagaimana ?” kata Siao-liong-li lagi.
“Biar
aku menghindari mereka saja,” sahut Yo Ko. “Betapapun juga dengan mereka aku
toh tiada permusuhan apa2, Tidak nanti mereka sampai incar jiwaku.”
“Sudah
tentu, bagaimanapun mereka toh besar hubungannya dengan kau,” kata
Siao-liong-li sambil menghela napas, “Cuma orang2 di Tho-hoan to itu bukan
sanak dan bukan kadangku.”
Dengar
kata2 orang yang terakhir ini, hati Yo Ko jadi tertekan
“Kokoh,
apa kau maksudkan mereka bakal menghina kau ?” tanyanya ragu2.
“Ya,
kalau sampai mereka tahu aku telah rebut anak murid Coan-cin-kau dan Tho-hoa-to,
mana bisa mereka antapi dirimu begitu saja,,” sahut Siao-liong-Ii.
“Jangan
kuatir, Kokoh!” teriak Yo Ko tiba-tiba. “Tak peduli siapa saja yang berani
menyenggol seujung rambutmu, pasti aku akan adu jiwa dengan dia.”
“Tetapi
sayang kita tak punya modal untuk mengadu jiwa itu,” sahut Siao-liong-li.
Yo
Ko adalah anak yang sangat cerdik, demi mendengar kata2 gurunya ini, maka
tahulah dia akan maksud orang.
“Kokoh,”
katanya lagi dengan bersenyum, “kalau kita berhasil melatih baik2 ilmu yang
ditingalkan Ong Tiong-yang itu, pasti kita akan dapat kalahkan orang2
Tho-hoa-to itu, bukan ?”
Tiba2
alis Siao-Iiong-li bergerak, ia tertawa,
“Tentu
saja, memangnya orang2 di Tho-hoa-to itu punya tiga kepala dan berenam tangan
?” sahutnya kemudian.
Dan
oleh karena percakapan mereka inilah, Yo Ko telah tinggal setahun lebih lama
dengan Siao-liong-li di lembah pegunungan ini.
Dalam
setahun ini, baik Lwekang maupun Gwakang mereka berdua telah mencapai kemajuan
pesat, sering kali mereka berdua mengambil tangkai2 bunga terus saling serang
menyerang dan gempur-menggempur untuk melatih diri di lembah gunung, Tangkai
bungai itu sebenarnya adalah benda yang lemas saja, tetapi berada di tangan
mereka berdua yang sudah memiliki Lwekang kelas wahid, maka serupa saja seperti
golok tajam atau pedang pusaka.
Pada
suatu hari, sehabis berlatih, Siao-liong-li kelihatan bermuka muram durja,
nyata hatinya tak senang. Nampak perubahan wajah orang ini, terus-menerus Yo Ko
berusaha menghiburnya agar tertawa, namun tetap Siao-liong-Ii bungkam tanpa
ber-kata2.
Yo
Ko menjadi bingung, ia kehabisan akal, Setelah pikir pergi-datang, akhirnya ia
menduga tentu karena ilmu tinggalan Ong Tiong-yang yang mereka latih sudah
berakhir, maka Siao-Iiong-li merasa berat kalau ditinggalkan dirinya,
sebaliknya untuk menahannya juga tiada alasan, oleh karena itu menjadi kesal
hatinya.
“Kokoh,
jika engkau tak ingin aku turun gunung, biar kita tinggal di sini saja untuk
selamanya,” demikian dikatakannya kemudian
Keruan
saja Siao-liong-Ii menjadi girang karena memang itulah yang menjadikan kesal
pikirannya.
“Baik
sekali…” demikian serunya, tetapi baru sepatah dua kata dia ucapkan, mendadak
ia berhenti, ia mengerti pula apa yang dikatakan Yo Ko itu sukar dilaksanakan,
sungguhpun Yo Ko terpaksa tinggal terus disitu, tentu pula hati pemuda itu
tidak gembira, Maka dengan suara lirih ia lanjutkan: “Sudahlah, kita bicarakan
besok saja,”
Malam
itu Siao-liong-Ii tiada napsu makan, ia kembali ke gubugnya sendiri untuk
tidur.
Gubuk
yang mereka dirikan di bawah pohon besar itu ada dua, Melihat gurunya kesal,
maka Yo Ko ikut muram, ia duduk sendirian di depan gubuk sendiri dengan
ter-mangu2, lama sekali baru dia masuk tidur.
Sampai
tengah malam, se-konyong2 ia terjaga bangun oleh suara deru angin yang santar,
suara angin yang lain dari pada jang lain, Keruan ia kaget, lekas2 ia pasang
kuping lebih cermat, akhirnya dapat dikenali itu adalah angin pukulan orang
yang sedang saling berhantam.
Lekas2
Yo Ko menerobos keluar dari gubuknya, ia lari ke gubuk Siao-liong-li, dari luar
segera ia memanggil dengan suara pelahan: “Kokoh, Kokoh, kau dengar tidak ?”
Waktu
itu menderunya angin pukulan telah bertambah keras, sepantasnya Siao-liong-li
mendengar juga, tetapi aneh, dalam gubuk tidak terde” ngar sesuatu suara
sahutan, Yo Ko memanggil dua kali lagi dan masih tetap sunyi, akhirnya ia tak
sabar, ia dorong pintu dan melongok ke dalam, tetapi yang dia dapatkan hanya
dipan yang kosong, ternyata gurunya sudah menghilang.
Dalam
kejutnya Yo Ko berlari menuju ke tempat dimana datangnya suara angin pukulan,
setelah belasan tombak dia lari, meski orang yang sedang saling labrak itu
belum kelihatan, namun dari angin pukulannya Yo Ko dapat membedakan satu
diantaranya bukan lain adalah gurunya, jakni Siao-liong-li. Tetapi lawannya
ternyata terlebih hebat angin pukulannya, agaknya kepandaiannya masih diatas
gurunya.
Yo
Ko percepat larinya, Ginkang atau ilmu entengkan tubuhnya kini sudah terlatih
masak, jauh berlainan daripada dulu, maka sekejap saja lereng gunung itu sudah
dilintasinya, tertampaklah olehnya di bawah sinar bulan yang remang2 itu
Siao-liong-li yang berbaju putih mulus sedang bertempur melawan seorang laki2
yang bertubuh tinggi besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar