Jumat, 09 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 18



Kembalinya Pendekar Rajawali 18

“Kokoh, kenapakah kau ?” segera ia tanya.
“Mari sini, Ko-ji,” panggil Siao-liong-li dengan suara halus.
Yo Ko menurut, ia mendekatinya.
“Ko-ji, kau suka tidak padaku ?” tanya Siao-liong-li tiba2 dengan suara rendah sambil memegang tangan Yo Ko dan di-gosok2an ke pipinya sendiri.
Karena tangannya menempel pipi orang, Yo Ko merasakan muka Siao-liong-li sepanas dibakar keruan ia kaget dan kuatir.
“Ko kokoh, ap… apa dadamu sangat sakit ?” tanyanya dengan suara gemetar.
“O, tidak, sebaliknya rasa hatiku enak seka-li,” sahut Siao-liong-li dengan tertawa, “Ko-ji, aku sudah hampir mati, coba katakanlah apakah betul2 kau sangat suka padaku ?”
“Tentu saja, di dunia ini melainkan kau saja seorang yang baik terhadap diriku,” sahut Yo Ko cepat.
“Tetapi bila ada seorang gadis lain yang sangat baik, ya, baik sekali terhadap kau, bisa tidak kau suka padanya ?” kata Siao-liong-li lagi.
“Siapa saja yang baik padaku, tentu aku perlakukan dia dengan baik pula,” sahut Yo Ko.
Se-konyong2 Yo Ko merasakan tangan Siao Iiong-li yang menggenggamnya itu gemetar beberapa kali, habis ini mendadak berubah menjadi dingin bagai es, waktu Yo Ko memandang muka orang, ia lihat pipi Siao-liong-li yang tadinya merah dadu kini sudah kembali pucat lesi seperti tadi lagi.
Keruan Yo Ko sangat terkejut.
“Apakah aku salah omong, Kokoh ?” tanyanya kuatir.
“Apabila kau masih suka pada gadis lain di dunia ini, maka janganlah kau suka lagi padaku,” kata Siao-liong-li.
Yo Ko tertegun, tetapi segera ia dapatkan pikiran lain.
“Kokoh, tidak seberapa hari lagi kita akan mati mana ada gadis lain lagi yang bisa suka padaku,” katanya kemudian dengan tertawa.
Karena ucapan inilah, Siao-liong-li ketawa juga.
“Ya, benar2 aku sudah pikun,” katanya, “Cu-ma aku tetap ingin mendengar kau bersumpah di hadapanku.”
“Sumpah apakah ?” tanya Yo Ko.
“Aku ingin kau mengucapkan bahwa kau hanya menyukai aku satu orang, apabila kau berubah pikiran dan suka lagi pada orang lain, maka kau harus dibunuh olehku.” kata Sio-liong-li tiba2.
Nyata meski Siao-Iiong-li sudah berusia dua puluhan tahun, tetapi selama hidupnya dilewatkan di dalam kuburan kuno ini, maka kelakuannya masih ke-kanak2an dan suka terang2an, sedikitpun dia tidak bersikap malu2 seperti gadis umumnya, makanya tanpa tedeng aling2 ia minta sumpah setia dari Yo Ko,
“Jangan kata selamanya tidak bakal terjadi hal demikian, seandainya memang aku berlaku tidak baik dan tidak turut pada perkataanmu kau hendak membunuh akupun kuterima,” demikian Yo Ko menyahut dengan tertawa, Habis ini betul juga ia lantas mengucapkan sumpah: “Tecu Yo Ko selama hidup ini hanya menyukai Kokoh seorang saja, apabila aku berubah pikiran, tidak usah Kokoh membunuh aku, begitu melihat muka Kokoh, segera Tecu bunuh diri sendiri”
Senang sekali hati Siao-liong-li mendengar sumpah ini, “Bagus sekali apa yang kau katakan, dengan demikian aku tak perlu kuatir lagi,” katanya kemudian dengan menghela napas lega, ia genggam tangan Yo Ko kencang2. Maka terasalah oleh Yo Ko ada semacam hawa hangat menembus ke tubuhnya melalui tangan orang.
“Ko-ji, sungguh aku ini orang tidak baik,” kata Siao-Iiong-li pula.
“Tidak, kau sangat baik,” Yo Ko membetulkan kata2 orang.
“Tidak,” kata Sio-liong-li sambil geleng kepala, “dahuIu aku terlalu kejam terhadap kau, mula2 aku hendak usir kau, syukur Sun-popoh menahan kau, jika waktu itu aku tidak usir kau, tentunya Sun-popoh tak akan mati juga !”
Berkata sampai disini, tak tertahan lagi air mata Siao-liong-li mengucur keluar.
Sejak umur lima Siao-liong-li mulai melatih diri sampai kini, selama itu tak pernah lagi dia menangis dan mengalirkan air mata, tetapi kini ia telah menangis, seketika perasaan hatinya tergoncang hebat, ruas tulang seluruh tubuhnya se-akan2 berkeretakan hingga sebagian tenaga latihannya menjadi buyar.
Kaget sekali Yo Ko melihat keadaan Siao-liong-li yang hebat itu.
“He, Kokoh, Kokoh !” teriaknya kuatir, justru pada saat genting itu, tiba2 terdengar suara “krekat-kreket” beberapa kali, ternyata pintu batu mulai terpentang didorong orang, menyusul mana terlihat Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah melangkah masuk.
Kiranya Li Bok-chiu yang terkurung di dalam kuburan itu telah berusaha keras untuk loloskan diri. ia pikir meski batu Toan-liong-ciok itu sudah menutup, tetapi daripada duduk terpekur menanti kematian, lebih baik berusaha mencari hidup. Oleh karena itu nyalinya menjadi besar, ia tidak jeri lagi pada alat2 perangkap yang lihay di dalam kuburan itu, dengan berani ia lantas terjang terus hingga beberapa ruangan akhirnya dapat ditembus dan tibalah sampai di kamarnya Sun-popoh.
Nampak munculnya orang secara mendadak, lekas2 Yo Ko tampil ke depan mengalingi Siao-liong-li.
“Kau mau apa lagi ?” teriaknya sengit.
“Kau menyingkir ada yang hendak kukatakan pada Sumoay,” kata Li Bok-chiu.
Tetapi kuatir orang pakai tipu muslihat dan gurunya nanti dicelakai, Yo Ko tetap tak mau menyingkir
“Apa yang hendak kau katakan boleh katakan saja di situ,” sahutnya kemudian.
Melihat kebandelan pemuda ini, dengan mata melotot Li Bok-chiu pandang sejenak pada Yo Ko.
“Lelaki semacam kau ini sungguh jarang terdapat di dunia ini,” akhirnya ia berkata dengan menghela napas.
“Suci, kau bilang apa tentang dia ?” tanya Siao-liong-li tiba2 sambil turun dari pembaringannya. “Dia baik atau tidak ?”
“Sumoay, selamanya kau tak pernah turun gunung, maka kau tidak kenal hati manusia di dunia ini yang kejam dan palsu,” sahut Li Bok-chiu. “Orang yang berbudi luhur dan berhati setia seperti dia ini, boleh dikatakan di seluruh jagat ini sukar dicari bandingannya.”
Rupanya Siao-liong-li sangat senang dan terhibur oleh kata2 sang Suci. “Kalau begitu, seorang seperti dia ini suka mati bersama aku, hidupku ini terasa tidak penasaran lagi,” katanya dengan pelahan.
“Sebenarnya pernah apakah dia dengan kau, Sumoay ? Apa kau sudah mengawini dia ?” tanya Li Bok-chiu lagi.
“Tidak, dia adalah muridku, dia bilang aku sangat baik padanya. Tetapi sebenarnya baik atau tidak, aku sendiripun tidak tahu,” sahut Siao-liong-li.
Sudah tentu Li Bok-chiu sangat heran oleh jawaban ini.
“Aku tidak percaya,” ujarnya sambil geleng kepala,
Habis ini se-konyong2 ia menarik tangan kanan Siao-liong-li, ia gulung lengan baju orang, maka tertampaklah olehnya di atas kulit yang putih bersih bagai salju itu terdapat satu titik merah, tidak salah lagi itu adalah “Siu-kiong-seh” yang ditisik guru mereka pada mula2 masuk perguruan golongan Ko-bong-pay.
“Siu-kiong-seh” atau andeng2 cecak, menurut cerita kuno dibuat dengan cara demikian: setelah cecak dipelihara dan diberi makanan obat2an khusus sebangsa “Cuseh” sebanyak tujuh kali bertu-rut-turut sehingga akhirnya seluruh badan binatang cecak ini berubah merah darah, lalu cecak ini dibunuh dan darah merah itu diambil untuk di-tisikan pada tubuh kaum wanita, apabila wanita ini masih bertubuh perawan, maka selama itu Siu-kuong-seh” atau andeng2 merah buatan ini akan tetap tinggal di tempatnya, tetapi bila wanita itu sudah melanggar kesuciannya, maka andeng2 merah segera lenyap. Cara ini di jaman kuno konon dipakai untuk menjaga perjinahan.
Begitulah, oleh karena itu demi nampak “Siu-kiong-seh” atau andeng2 merah itu masih tetap di tangan Siao-liong-li, mau-tak-mau diam2 Li Bok-chiu sangat kagum atas prilaku kedua orang yang tinggal berdampingan di dalam kuburan ini ternyata bisa menjaga diri dalam batas2 kesopanan hingga Siao-Iiong-li masih tetap putih bersih bertubuh perawan.
Lalu Li Bok-chiu sendiri menggulung lengan bajunya juga, maka tertampak pula tangannya terdapat juga setitik merah segar yang menyolok sekali, sungguh menarik sekali dua lengan yang putih mulus itu berjajar menjadi satu, hanya saja Li Bok-chiu mempertahankan diri dan tetap bertubuh suci disebabkan karena terpaksa, sebaliknya sang sumoay ternyata ada lelaki yang rela membelanya, kalau dipikir, yang beruntung dan yang malang, nyata bedanya seperti langit dan bumi.
Berpikir sampai di sini, tak tahan lagi Li Bok-chiu menghela napas panjang.
“Tadi kau bilang ada yang hendak dikatakan padaku, nah, katakanlah lekas,” terdengar Siao-liong-li memecahkan kesunyian
Semula Li Bok-chiu hendak menghina dan membikin malu Siao-liong-Ii karena bergendak dengan lelaki dan merusak nama baik perguruan, namun demi melihat Siu-kiong-seh sang Sumoay masih belum lenyap, ia berbalik bungkam.
“Sumoay, kedatanganku ialah untuk minta maaf padamu,” akhirnya ia berkata sesudah merenung sejenak.
Tentu saja hal ini sama sekali tak diduga Siao-liong-Ii, ia cukup kenal watak sang Suci yang sombong dan angkuh, tidak nanti dia mau tunduk pada orang lain, siapa tahu kini bisa buka mulut minta maaf padanya, ia menjadi ragu2 apa orang tiada maksud2 tertentu. Karenanya dengan dingin2 saja ia menjawab:
“Kau lakukan urusanmu dan aku kerjakan urusanku masing2 tentu anggap diri sendiri yang betul tidak perlu kau minta maaf segala.”
“Sumoay, dengarlah kataku,” kata Li Bok-chiu, “kita yang menjadi wanita ini, selama hidup paling beruntung yalah bila mempunyai seorang kekasih yang berhati tulus, Nasibku sendiri jelek, itu sudah tak perlu dibicarakan lagi, tetapi pemuda ini begini baik terhadapmu, maka boleh dikatakan kau tidak kekurangan apa2 lagi hidupmu ini,”
Siao-Iiong-Ii tersenyum senang oleh kata-kata sang Suci,
,”Ya, sesungguhnya akupun sangat suka padanya,” katanya kemudian. “Selamanya dia tak akan-mengingkari aku, aku yakin benar”.
Rasa hati Li Bok-chiu menjadi lebih pedih oleh keterangan Siao-liong-li itu.
“Kalau begitu seharusnya kau turun gunung saja untuk hidup baru yang menggembirakan, hen-daklah diketahui, usiamu masih muda, hari depan-mu yang bahagia masih tidak habis2nya.”
Siao-liong-li mendongak, ia ter-menung2.
“Ya, memang, cuma sayang kini sudah terlambat,” akhirnya ia berkata.
“Sebab apa ?” tanya Li Bok-chiu cepat.
“Bukankah Toan-Iiong-ciok itu sudah menutup, sekalipun Suhu hidup kembali, juga tak mungkin bisa keluar,” sahut Siao-Iiong-li.
Bukan buatan rasa kecewa Li Bok-chiu oleh jawaban orang, ia sengaja merendah diri dan me-muji2 orang dengan putar lidah, memangnya ia berharap bisa menimbulkan keinginan Siao-liong-li untuk mencari hidup, dengan apa yang dikenal Siao-liong-li keadaan kuburan kuno ini tentu dapat mencari satu jalan keluar, siapa tahu akhirnya tetap putus asa.
Karena itu, tanpa terasa napsu membunuhnya mendadak timbul, begitu tangannya diangkat, segera ia menghantam ke atas kepala Siao-liong-li.
Sejak tadi Yo Ko mendengarkan percakapan mereka disamping dengan bingung, ketika tiba2 melihat Li Bok-chiu menyerang, dalam gugup dan kuatirnya, otomatis ia berjongkok lalu berteriak “kok” sekali, kedua telapak tangannya didorong pula ke depan.
Ternyata yang dilontarkan ini adalah Ha-mo-kang yang lihay yang dipelajarinya dari Auwyang Hong itu.
Waktu itu pukulan Li Bok-chiu sudah sampai di tengah jalan, ketika mendadak terasa olehnya ada samberan angin pukulan yang keras dari samping, lekas2 ia putar tangannya buat menangkis. Tak terduga tenaga dorongan Yo Ko ternyata kuat luar biasa, begitu hebat sampai tubuhnya kena didorong ke belakang, maka terdengarlah suara “blek” yang keras, punggung Li Bok-chiu tertumbuk dinding batu, percuma saja dia memiliki ilmu silat yang tinggi tidak urung ia merasakan tulang punggungnya tidak kepalang sakitnya.
Keruan Li Bok-chiu menjadi murka, sekonyong-konyong ia gosok2 kedua telapak tangan-nya, seketika seluruh kamar timbul semacam bau amis. Nyata ia telah keluarkan “Jik-Iian-sin-ciang”,
Di lain pihak Siao-Iiong-li tahu serangan Yo Ko tadi hanya secara kebetulan saja berhasil setelah sang Suci melontarkan “Jik-lian-sin-ciang”, maka sukar dilawan lagi meski mereka berdua mengeroyoknya bersama. Karena itu, segera ia tarik lagi tangan Yo Ko, dengan cepat pula mereka menyelinap keluar pintu kamar.”
Namun gerak tubuh Li Bok-chiu secepat kilat, tidak nanti dia biarkan kedua orang itu melarikan diri kembali sebelah tangannya telah memukul.
Siapa tahu, baru saja tangannya sampai di tengah jalan, tahu2 pipi kiri sendiri merasakan sekali tempelengan meski tamparan ini tidak sakit, namun suaranya terdengar jelas, ia dengar pula Siao-Iiong-li berseru: “lnilah Giok-li-sim-keng yang hendak kau pelajari nah, rasakan dahulu !”
Dalam tertegunnya lagi2 li Bok-chiu merasakan tangan orang telah mampir pula di pipi ka-nannya, ia kenal ilmu Giok-li-sim-keng luar biasa lihaynya, kini menyaksikan sendiri gerak pukulan Siao-liong-li begitu cepat, pula datangnya pukulan tidak diketahui arahnya, maka ia menjadi jeri terpaksa ia saksikan sang Sumoay masuk kamar lain dengan bergandengan tangan Yo Ko, lalu pintu kamar lain itu tertutup rapat lagi.
Seperginya orang, Li Bok-chiu masih terkesima sendiri ia me-raba2 kedua belah pipinya, katanya dalam hati: “Beruntung pukulannya tadi sengaja bermurah hati jika digunakan tenaga keras, tentu jiwaku sudah melayang”
Nyata tidak diketahuinya bahwa ilmu Giok-li-sim-keng itu masih belum jadi terlatih oleh Siao-liong-li, meski pukulannya sudah mahir, namun belum bertenaga dan tak dapat melukai orang,
Sementara itu di kamar lain Yo Ko sedang senang sekali karena melihat gurunya dengan gampang saja telah hajar Li Bok-chiu dengan dua kali tempelengan.
“Kokoh, sungguh tidak nyana ilmu kepandaian Giok-li-sim-keng itu bisa begitu bagus…”
Tetapi belum habis ia berkata, se-konyong2 dilihatnya Siao-liong-li dalam keadaan gemetar, tampaknya seperti tak sanggup menguasai diri lagi, keruan Yo Ko kaget, cepat ia berteriak: “Kenapakah kau, Kokoh ?”
“A… aku… di… dingin…” sahut Siao-liong-li sambil menggigil.
Kiranya tadi karena dia menyerang orang dua kali, meski tenaga yang dikeluarkannya sangat enteng, namun yang dipakai adalah tenaga dalam. Padahal dia baru sembuh dari luka berat, kesehatannya belum pulih seluruhnya, kini mendadak terganggu lagi, tentu saja tidak sedikit resikonya.
Selama hidupnya dia melatih diri di atas ranjang batu pualam yang dingin itu, dasarnya menjadi terlatih dingin sekali, kini daya tahannya telah hilang, keruan seketika Siao-liong-li seperti terjerumus ke dalam lembah es, ia merasakan dingin luar biasa sampai menusuk tulang sumsum, giginya tiada hentinya pada berkerutukan.
“Celaka, bagaimana baiknya ini ?” dalam gugupnya Yo Ko hanya ber-teriak2 tak berdaya.
Begitu rupa ia lihat Siao-liong-li kedinginan hingga tibal teringat sesuatu olehnya, lekas2 dia lepaskan buntalan yang menggemblok di punggungnya, ia keluarkan baju kapas tinggalan Sun-popoh dan dengan cepat dikemulkan atas badan Siao-liong-li.
Karena tambahan baju kapas ini, mula2 Siao-liong-li merasa rada hangat, tetapi sebentar saja hawa hangat baju kapas itu menjadi hilang pula dikalahkan rasa dingin yang timbul dari dalam tu-buhnya, kembali ia menggigil terus.
Dalam gugupnya, tanpa pikir lagi Yo Ko peluk orang kencang2, ia pikir dengan hawa hangat badan sendiri dapat bantu menghalau rasa dingin orang.
Tetapi sebentar saja Yo Ko rasa tubuh Siao-liong-li semakin menjadi dingin, ia sendiri seperti ketularan hingga lambat laun iapun tak tahan.
“Ko-ji, lepaskan !” teriak Siao-liong-li tiba2.
“Tidak, Kokoh, jangan kuatir, aku peluk kau, tentu kau akan baikan,” sahut Yo Ko.
Namun rasa dingin Siao-liong-li sukar ditahan pula, dengan kertak gigi ia bertahan sedapat-nya, tiba2 ia meronta-ronta, kedua tangannya menjambret dan menarik sekenanya, karena itu mendadak terdengar suara “brebet”, tahu2 kain baju kapas tinggalan Sun-popoh itu robek tertarik, di bawah sinar lilin tiba2 tertampak diantara robekan baju itu ada sepotong kain putih pula dan lapat2 di atasnya seperti tertulis sesuatu.
Dasar Yo Ko memang sangat cerdik, tiba2 teringat olehnya kelakuan Sun-popoh pada saat orang tua ini mendekati ajalnya, tetapi seperti maha penting baju kapas ini diserahkan padanya, mungkin tidak melulu untuk tanda mata saja, melainkan di dalamnya masih mengandung maksud2 lain.
Maka dengan cepat Yo Ko tarik keluar kain putih itu, betul saja ia lihat di atas kain itu tertulis 16 huruf yang maksudnya:
“GURU BESAR TIONG-YANG MENINGGALKAN ILMU KEPANDAIAN. PERIKSA LUKISANNYA DAN PELAJARI JARI TANGANNYA”
Sebenarnya Yo Ko lagi kehabisan akal dan tak berdaya menghadapi keadaan Siao-liong-li yang kedinginan itu, kini mendadak membaca enam belas huruf ini, seketika seperti sebuah perahu yang terombang-ambing di samudera raya dalam kegelapan dan sekonyong-konyong melihat mercu suar.
Dalam girangnya ia rangkul Siao-liong-li terlebih kencang lagi, “Marilah Kokoh, kita pergi melihat gambarnya Tiong-yang Cosu,” demikian ajaknya.
Tetapi Siao-liong-li seperti tidak mendengar kata2nya, kedua matanya tertampak terpejam rapat.
Terpaksa Yo Ko melompat turun, dengan memondong Siao-liong-li, dengan gugup dan bingung ia berlari ke ruangan depan sana,. Dalam hati diam2 ia berdo’a: “Semoga Li Bok-chiu beriba jangan berada di sana.”
Begitulah, dengan pelahan sekali ia dorong pintu, ia lihat keadaan gelap gulita, syukur Li Bok chiu berdua tidak berada disitu, ia dudukan Siao-liong-li pada satu kursi, lalu ia menyalakan lilin dan pergi memeriksa gambar yang melukiskan pribadi Ong Tiong-yang itu.
Tempo hari waktu Yo Ko menjalankan upacara pengangkatan guru pada Siao-liong-li, pernah dia diperintahkan meludahi lukisan ini Sejak itu, sering juga ia melihatnya lagi, tetapi selamanya tidak merasa ada sesuatu yang aneh atas lukisan itu, Kini teringat olehnya kata2 tentang “pelajari jari tangannya” maka dengan teliti ia coba periksa jari tangan Ong Tiong-yang dalam lukisan itu yang sedang menuding. Gambar itu melukiskan tangan kiri orang berada di depan tubuh yang mungkur, dengan sendirinya tidak kelihatan jari-nya, hanya tangan kanan yang menuding miring ke ujung atas, Meski sudah dia lihat dan lihat lagi, tetap tak bisa dimengerti dimana letak rahasianya.
Selagi ia hendak memeriksa lebih cermat, ketika ia menoleh, dilihatnya Siao-liong-li pe!ahan2 sedang mendatangi dengan berpegangan kursi, lekas2 Yo Ko memayangnya.
Kemudian Siao-liong-li ikut memeriksa lukisan itu, lama sekali keadaan menjadi sunyi.
“Jika badanku baik2 saja, mungkin rahasianya dapat kuselidiki lebih mendalam,” kata Siao-liong-li sesudah agak lama, “tetapi kini… kini matakupun terasa menjadi buram…”
Segera Yo Ko melompat ke atas, ia tanggalkan lukusan itu dan ditaruh ke depan Siao-liong-li Maka diperiksanyalah lebih teliti oleh Siao-liong-li.
Ia lihat guratan2 pada jari lukisan Ong Tiong-yang itu memang digores dengan jelek dan kasar, berbeda sekali dengan goresan pada bagian lain, kecuali ini, tiada lagi sesuatu yang menimbulkan pertanyaan.
Karena belum juga ketemukan rahasianya, Yo Ko ambil Cektay (tancapkan lilin) dan didekatkan Siao-liong-li agar bisa melihat lebih jelas,
“Sudahlah, tak perlu lihat lagi ” kata Siao-liong-li tiba2, tetapi belum habis bicara, se-konyong2 badannya gemetar lagi, karena itu cek-tay yang dipegang Yo Ko tergentak hingga minyak lilin yang lumer tercecer di atas lukisan.
Siao-liong-li terkejut.
“Ai, aku telah bikin kotor lukisan ini!” katanya dengan menyesal
“Tak apa, toh tiada sesuatu yang aneh,” ujar Yo Ko.
Habis ini ia payang Siao-liong-li duduk kembali ke kursi. Selang tak lama, minyak lilin tadi sudah kering, Yo Ko coba merhbersihkannya dengan kukunya.
Di luar dugaan, sehabis kertas gambar itu ketetesan minyak lilin, kini menjadi tembus dan kelihatan terang, lapat2 jari tangan gambar itu seperti tertulis huruf2 “dua… tiga dan lain2″
Hati Yo Ko tergerak, ia memeriksanya lebih dekat lagi, kiranya jari tangan yang sedang menuding dalam lukisan itu, di samping goresan yang Iembut itu penuh tertulis pula huruf kecil, tetapi tulisan2 ini terlalu halus, kecuali beberapa huruf sederhana yang dapat dilinatnya, selebihnya sukar dibaca pula.
“Kokoh, lihat ini!” dalam girangnya segera Yo Ko berteriak, berbareng ia pindahkan lukisan itu dan lilin ke hadapan Siao-liong-li.
Selama hidup Siao-liong-li dilewatkan dalam kuburan kuno yang gelap gulita ini, maka pandangan matanya sangat tajam, melihat barang di tempat gelap dianggapnya seperti siang hari saja, maka sesudah diperiksanya dua kali, akhirnya dia mendongak, mukanya mengunjuk senyuman tetapi bukan senyuman, sikapnya sangat aneh.
“Kokoh, apakah kata tu1isan2 itu ?” tanya Yo Ko tak sabar
“Kiranya sesudah Cosu-popoh meninggal, Ong Tiong-yang telah masuk lagi ke dalam kuburan kuno ini,” sahut Siao-liong-li sambil menghela napas.
“Untuk apa dia kembali ?” tanya Yo Ko pula.
“Dia datang lagi buat ziarah Cosu-popoh,” kata Siao-liong-li “Dan disini dilihatnya Giok-li-sim-keng tinggalan Cosu-popoh yang diukir diatas langit2an kamar ini yang ternyata dapat memecahkan semua tipu silat Coan-cin-kau, karenanya ia telah tinggalkan tulisan di atas lukisan ini, dia bilang apa yang dipecahkan Cosu-popoh itu hanya kepandaian2 kasar yang tak berarti dari Coan-cin-kau, bagi ilmu paling tinggi dari Coan-cin-pay yang dipahaminya, Giok-li-sim-keng inipun tidak akan berarti lagi!”
“Cis, imam tua ini membual,” kata Yo Ko tiba2 meng-olok2, “ya, toh Cosu-popoh sudah meninggal, maka dia boleh omong sesukanya.”
“Tetapi dia bilang lagi dalam tulisannya ini bahwa di suatu kamar lain lagi dia juga tinggalkan pula ilmu cara memecahkan Giok-li-sim-keng. kelak kalau ada yang punya jodoh, tentu akan tahu bila sudah melihatnya,” kata Siao-liong-li.
Hati muda Yo Ko jadi tertarik oleh keterangan ini.
“Ayoh, Kokoh, kita pergi melihatnya,” ajaknya.
“Baik juga pergi melihatnya,” sahut Siao-liong-li, “seumur hidupku tinggal di sini, belum pernah kumengetahui masih ada kamar batu sebagaimana dikatakan ini.”
Tapi ketika dia membaca pula, tiba2 ia geleng2 kepala dan menyatakan aneh.
“Aku tak percaya,” katanya kemudian sesudah lewat sejenak.
“Akupun tidak,” sambung Yo Ko, “kebagusan Giok-li-sim-keng” tiada taranya, betapapun tinggi kepandaiannya se-kali2 tidak nanti mampu memecahkannya.”
“Bukan itu maksudku,” ujar Siao-liong-li. “Kamar batu yang dikatakan Ong Tiong-yang itu terang sekali adalah tempat di mana terletak peti mati Cosu-popoh, darimana lagi ada kamar batu lain ?”
“Marilah Kokoh, toh tiada halangannya kita memeriksanya,” pinta Yo Ko.
Kini Siao-liong-li tidak begitu garang lagi terhadap Yo Ko, meski tubuhnya sebenarnya sangat letih, namun ia paksakan diri buat turuti permintaan pemuda itu.
“Baiklah”, sahutnya kemudian dengan senyuman manis,
Maka pergilah mereka menuju kamar peti mati itu.
Menghadapi dua peti mati yang masih kosong itu, tiba2 timbul pikiran aneh dalam hati Siao-liong-Ii. “Dalam kuburan kini ada empat orang, lalu cara bagaimana harus mengisi dua peti mati batu ini?” demikian katanya.
“Kita tidur dalam satu peti dan biar kedua perempuan jahat itu pakai yang satu,” ujar Yo Ko.
Apa yang dikatakan Yo Ko ini timbul dari hatinya yang murni, sedikitpun dia tidak berpikir yang tidak2, tetapi muka Siao-liong-li tiba2 menjadi merah jengah.
“Tetapi kalau kita mati dahulu, kedua perempuan jahat itu pasti tidak perbolehkan kita tinggal bersama, tentu mereka akan pisahkan tubuh kita sejauh mungkin,” ujar Siao-liong-li dengan suara rendah.
BetuI juga pikir Yo Ko, karena ini ia se-akan2 membayangkan sehabis dirinya dan sang guru mati dan mayatnya lagi dihina dan dirusak oleh Li Bok-chiu bersama Ang Ling-po, tanpa terasa ia menjadi gusar luar biasa.
“Kokoh, kita harus bunuh dahulu mereka berdua !” teriaknya tiba-tiba.
“Tetapi sayang, kita tak mampu mengalahkan mereka,” sahut Siao-liong-li menghela napas.
Sesudah melatih lwekang tenaga Yo Ko sudah luar biasa hebatnya, tanpa susah dia dorong dan balikkan tutup peti mati itu.
“Ya, jika kita dapat mempelajari ilmu silat tinggalan Ong Tiong-yang itu, mungkin kita bisa menangkan mereka,” kata Yo Ko sesudah berpikir.
Siao liong-Ii tertawa oleh pikiran orang ini.
“Seumpama betul2 ada ilmu silat yang begitu lihay, apakah dapat dipelajari dalam setahun setengah saja ?” katanya, “Sedangkan rangsum kita paling banyak hanya cukup untuk beberapa hari.”
Tentu saja kembali Yo Ko putus asa. Melihat wajah orang mengunjuk kecawa, hati Siao-liong-li jadi tak tega.
“Ko-ji,” katanya lagi, “menurut apa yang dikatakan Ong Tiong-yang, untuk datang ke kamar batu yang dia sebut diharuskan memindahkan jenazah Cosu-popoh, dan ini yang kuatirkan jangan2 inilah tipu muslihat Ong Tiong-yang, tujuannya agar kita masuk perangkap.”
Dasar perasaan Yo Ko memang gampang terguncang, maka segera ia mencaci-maki orang: “Ya, betul, imam hidung kerbau ini mana mungkin punya maksud baik ?”
Ketika dilihatnya Siao-liog-Ii mengunjuk rasa sangsi, segera ia menanya pula: “Kenapa lagi, Kokoh ?”
“Tetapi menurut cerita Sun-popoh, sebenarnya Ong Tiong-yang sangat baik sekali terhadap Cosu-popoh,” sahut Siao-liong-li. “Cuma disebabkan watak Cosu-popoh terlalu aneh, maka hubungan mereka menjadi retak, jika begini soalnya, agaknya tidak nanti sesudah Cosu-popoh mati, lalu dia datang lagi buat- menganiaya padanya.”
Setelah dia pikir lagi, tiba2 ia ambil keputusan.
“Ko-ji, mati kita buka tutup peti matinya !” ajaknya kemudian
Habis ini, bersama Yo Ko mereka menarik sekuatnya untuk membuka tutup peti batu itu.
Waktu membuka peti mati, mula2 Yo Ko menyangka pasti akan terhembus bau busuk mayat dari dalamnya, maka sebelumnya dia sudah siap2 menahan napas, Siapa tahu begitu tutupnya terpentang, bukannya bau busuk lagi yang dia cium, melainkan bau wangi semerbak yang teruar keluar, walaupun ia tahan napas dan tidak menyedot namun terasa juga bau harum itu.
Sebagai seorang yang sudah melatih Lwekang, maka tenaga Yo Ko sudah beberapa kali lipat dari orang biasa, ketika sedikit ia gunakan tenaga, tutup peti batu itu sudah kena dibaliknya ke atas tanah, ketika dia pandang ke dalam peti, mendadak ia sendiri terkejut
“He, Kokoh, dalamnya kosong!” teriaknya cepat.
Betul juga, waktu Siao-liong-li melongok ke dalam peti, ia dapatkan peti batu itu kosong-blong, di dalamnya hanya terdapat dua mangkok porselen yang masing2 berisi setengah mangkok minyak gemuk, bau harum itu agaknya teruar dari minyak gemuk ini.
“Aneh, lalu di manakah jenazah Cosu-po-poh!?” Siao-liong-li menggumam sendiri “Jika begini, tampaknya apa yang dikatakan Ong Tiong yang bukannya dusta.”
“Jangan2 kamar batu yang disebut imam tua itu yalah peti batu ini ?” kata Yo Ko.
“Bukan begitu maksudnya,” sahut Siao-liong-li tersenyum,
Dia sudah lama tinggal dalam kuburan kuno ini, maka dia mahir sekali tentang segala macam alat2 rahasia, ia coba memeriksa teliti peti batu itu sejenak, lalu terdengar ia berkata lagi: “Alas peti ini bisa dibuka.”
Tentu saja Yo Ko sangat girang.
“Ah, tahulah aku sekarang, itu adalah pintu yang menuju ke kamar batu itu,” serunya.
Habis ini, tanpa diperintah segera ia melompat masuk ke dalam peti mati itu, ia keluarkan dahulu kedua mangkok berisi minyak wangi itu, lalu ia me-raba2 seluruh peti, betul juga, akhirnya diketemukan satu tempat dekuk yang bisa dipegang, dengan kencang ia tarik ke atas sekuatnya, tetapi sedikitpun ternyata tidak bergerak
“Putar dulu ke kiri, baru ditarik ke atas,” kata Siao-liong-li.
Yo Ko menurut, ia putar lalu ditarik, betul saja lantas terdengar suara “krak” yang keras, satu papan batu telah kena ditarik naik,
“Kokoh, berhasil sudah !” serunya girang.
“Jangan kesusu dahulu. duduklah sebentar, biar bau apek di dalam gua teruar keluar baru kita masuk,” ujar Siao-liong-li.
Dalam keadaan demikian Yo Ko menjadi tidak sabar, hanya sebentar saja dia sudah tanya. “Bagaimana Kokoh, apa sudah cukup ?”
“Ai, orang tak sabar seperti kau ini sukar dimengerti bisa tahan mengawani aku beberapa tahun,” ujar Siao-liong-li dengan menghela napas.
Habis berkata, pelahan2 ia berdiri, ia angkat cektay dan turun ke bawah melalui peti batu itu, sesudah melalui satu lorong di bawah tanah yang sempit dan membelok lagi dua kali, betul saja akhirnya mereka sampai di satu kamar batu.
Kamar batu itu ternyata tiada sesuatu yang sepesial, waktu mereka sama2 mendongak ke atas, maka tertampaklah oleh mereka di langit2an kamar itu penuh tertulis huruf2 dan tanda2, sedang ujung paling kanan tertuliskan empat huruf besar : “Kiu-im-cin-keng”.
Siao-liong-li dan Yo Ko tidak mengerti bahwa “Kiu-im-cin-keng” adalah suatu kitab ilmu silat paling tinggi di seluruh kolong langit, tetapi sesudah mereka melihat tulisan serta tanda2 itu, mereka merasakan tiada terbilang bagusnya intisari yang terkandung di dalamnya, seketikapun mereka tak bisa memahami seluruhnya.
“Sekalipun ilmu kepandaian ini dapat mengalahkan Giok-li-sim-keng, namun kitapun tak keburu lagi mempelajarinya,” ujar Siao-Iiong-li.
Karena itu Yo Ko menjadi kecewa dan putus asa lagi, sebenarnya ia tidak mau melihat lagi, tak disengaja, sekilas mendadak terlihat olehnya pada ujung barat langit2 kamar itu terlukis satu yang tampaknya tiada hubungannya dengan ilmu silat. Oleh karena tertarik, kembali ia kumpulkan perhatian memandang lebih jauh, agaknya gambar itu seperti sebuah peta.
“Kokoh, apakah itu ?” katanya kemudian pada Siao-liong-li.
Siao-liong-li berpaling, ia pandang menurut arah yang ditunjuk, tiba2 ia pandang peta itu dengan ter-mangu2, tubuhnya sedikitpun tidak bergerak Lama dan lama sekali masih tetap tidak bergerak
Akhirnya Yo Ko sendiri menjadi ngeri, ia coba tarik2 lengan baju orang dan menanya : Ko-koh, kenapakah kau ?”
Tetapi Siao-liong-li masih tetap memandang dengan terkesima, kira2 lewat beberapa lama, mendadak ia mendeprok terduduk, ia menangis ter-guguk2 bersandar di tubuh Yo Ko.
“Apakah badanmu sakit lagi, Kokoh?” pemuda itu tanya dengan bingung.
“Bukan, bu… bukan,” sahut Siao-liong-li tersenggak-sengguk, Selang tak lama lalu dia sambung lagi: “Ki… kita kini bisa keluar sudah.”
Keruan bukan buatan rasa girang Yo Ko, seketika ia ber-jingkrak2.
“Betulkah katamu ?” teriaknya gembira, Dengan masih mengembeng air mata Siao-liong-li mengangguk2. Tentu saja Yo Ko semakin ber-girangan.
“Dan kenapa engkau malah menangis ?” tanyanya kemudian.
“Entah, akupun tak tahu, mungkin terlalu bergirang,” sahut Siao-liong-li tersenyum manis dalam menangisnya, “Ko-ji, dahulu tak pernah aku gentar mati, sebab seumur hidupku toh pasti akan tinggal di dalam kuburan ini, mati sekarang atau mati kelak toh tiada bedanya ? Tetapi aneh, dalam beberapa hari ini selalu timbul pikiran ingin pergi me-lihat2nya keluar,”
“Marilah Kokoh, kita keluar bersama, aku nanti petik bunga untukmu, tangkap jangkrik buat kau, mau tidak ?” kata Yo Ko sambil tarik kencang tangan orang.
Nyata meski usia Yo Ko sudah menanjak, namun pikirannya masih tetap kanak2.
Sebaliknya Siao-liong-li selamanya tidak pernah bermain dengan anak lain, kini mendengar cerita Yo Ko yang menarik dan begitu bernapsu, ia sendiripun merasa senang.
Dalam keadaan buntu mendadak kedua orang ini mendapatkan jalan hidup, mereka menjadi lupa daratan, bukannya mereka lantas cari jalan keluarnya itu, sebaliknya mereka duduk bersandaran pundak, mereka bercerita tentang aneka macam permainan kanak2, makin cerita Yo Ko semakin bernapsu hingga akhirnya Siao-liong-li lupa letih dan lupa capek, tetapi apapun juga ia habis luka parah, sesudah setengah jam mendengarkan cerita, akhirnya ia tak tahan lagi, tanpa berasa ia terpulas bersandaran di pundak Yo Ko.
Sesudah bercerita sendiri dan mendapatkan orang tidak tanya-jawab seperti semula, waktu Yo Ko menoleh, ia lihat Siao-liong-li sudah menggeros, nona itu ternyata sudah tertidur.
Oleh karena tekanan batinnya sudah lapang, akhirnya Yo Ko sendiri merasa letih, kemudian iapun terpulas.
Keadaan itu entah lewat berapa lama, ketika mendadak Yo Ko merasakan pinggangnya sakit linu, “jiau-yao-hiat” di pinggangnya tahu2 kena di| tutuk orang sekali, Dalam kagetnya ia terjaga dari tidurnya, selagi ia hendak melompat bangun buat melawan, tahu2 tengkuknya telah kena dicekal orang dengan kencang hingga Yo Ko tak mampu berkutik.
Waktu Yo Ko sedikit melengos, ia lihat Li Bok-chiu dan Ang Iing-po berdua sudah berdiri di samping dengan ter-tawa2, sebaliknya gurunya, Siao-liong-li, sudah kena ditutuk orang juga hingga tak berdaya.
Kiranya Yo Ko dan Siao-Iiong-li berdua sama sekali tak punya pengalaman Kangouw yang selalu harus waspada terhadap musuh dan berjaga-jaga diri, dalam girangnya mereka ternyata lupa daratan hingga tutup peti batu tadi belum mereka tutup kembali: karena itulah kemudian dapat diketahui Li Bhok chiu bahwa di bawah tanah ini masih terdapat kamar lagi dan berhasil dia menyergapnya selagi mereka tertidur.
“Ha, bagus, bagus, kiranya disini masih terdapat tempat seenak ini, kalian berdua lantas bersembunyi untuk senang2 sendiri,” demikian Li Bok-chiu mengejek “Sumoay, cara bagaimanakah, keluarnya dari sini, tentu kau mengetahuinya, jika kau masih merahasiakannya, jangan kau sesalkan Enci-mu berlaku kejam nanti.”
Namun Siao-liong-li sama sekali tak gentar oleh gertakan orang.
“Jangan kata memang aku tak tahu, seumpama tahupun tak sudi kukatakan padamu.” sahutnya ketus.
Li Bok-chiu cukup kenal watak sang Sumoay yang kepala batu, sekalipun Suhu mereka dahulu suka mengalah juga padanya, maka bila menggunakan kekerasan, pasti tak bethasil, tetapi dalam keadaan demikian, soalnya menyangkut ma-ti-hidupnya, bagaimanapun juga dia harus memaksa sang Sumoay.
Karena itu, segera ia keluarkan dua jarum Peng-pek-sin-ciam, ia lemparkan jarum2 itu ke lantai hingga mengeluarkan suara gemerincing yang halus.
“Awas, jika aku menghitung dari satu sampai sepuluh dan kau masih belum bicara, terpaksa kusuruh kau mengicipi rasanya jarum perak ini,” demikian ia mengancam.
Namun Siao-liong-Ii tetap tak menjawab, bahkan ia pejamkan matanya dan tidak gubris gertakan orang.
“Satu… dua… tiga… empat…” demikian Li Bok-chiu mulai menghitung.
“Jika Kokoh kenal jalan keluarnya, kenapa kami tidak melarikan diri sejak tadi, sebaliknya masih tinggal di sini ?” tiba2 Yo Ko membentak.
“Hm, pandai juga kau bicara,” jengek Li Bok-chiu, “Aku sudah mempelajari keadaan tempat ini, aku taksir tentu ada jalan keluar yang dirahasiakan kalian bermaksud tidur dahulu, sesudah semangat pulih, bukankah kalian lantas angkat kaki ?” Lalu ia menyambung perhitungannya lagi:
“lima… enam… tujuh… delapan… sembilan…”
Sampai di sini ia berhenti sejenak, ia coba peringatkan orang lagi : “Sumoay, apa betul2 tak mau kau katakan ?”
Pada saat itu juga, tiba2 di lorong bawaf itu meniup angin dingin yang menghembus masuk hingga lilin yang dipegang Ang Ling-po tersirap.
“Hmmm, aku masih ngantuk, jangan kau bikin ribut lagi,” kata Siao-liong-li tiba2 dia sengaja menguap keras.
“Baiklah, Peng-pek-ciam ini adalah warisan Cosu-popoh kita sendiri, maka jangan kau sesal kan aku, kini aku sudah menghitung sampai sepuluh,” demikian kata Li Bok-chiu.
Sembari berkata, ia gunakan ujung jarum peraknya yang berbisa jahat itu menggosok sekali “Ciang-tay-hiat” di punggung Yo Ko, menyusul “Hian-ki-hiat” di dada Siao-liong-li ia gosok sekali juga dengan cara yang sama.
Walaupun biasanya sifat Siao-liong-li sangat dingin dan tenang, tetapi kini tidak urung ia merasa ngeri juga, sebab racun jarum perak ini pe-Iahan2 akan merembes masuk melalui jalan darah di pinggangnya itu dan lambat laun merata ke seluruh tubuh, tatkala itu akan terasa seluruh tubuh se-akan2 ribuan semut menggerogoti tulang sumsum dan be-ribu2 bisul tumbuh di seluruh badan, dalam keadaan demikian rasanya tiada yang lebih lihay daripada siksaan ini.
Sebenarnya Siao-liong-li punya obat pemunah racunnya, sebab asalnya jarum berbisa ini dari perguruannya sendiri, tetapi kini Hiat-to kena ditutuk orang dan tak mampu berkutik, cara bagaimana ia bisa berdaya buat menolong diri sendiri?
Di lain pihak Li Bok-chiu memang keji juga kejam, sesudah gosok jarum berbisa itu di atas badan orang, ia terus duduk di samping untuk menantikan bekerjanya racun jarumnya, ia pikir orang tentu akan bicara terus terang.
Selang tak lama, aliran darah di tubuh Siao-liong-li dan Yo Ko berjalan tambah cepat, pelahan-lahan pun terasa panas, Siao-liong-li tahu racun mulai bekerja, tidak Iama lagi tentu akan merembet lagi lebih dalam, Akan tetapi kini ia djustru merasakan enak yang tak terkatakan.
“Kokoh, jangan kau katakan rahasia keluar kuburan ini pada mereka, kedua perempuan jahat5 itu betapapun tidak boleh lepas begitu saja,” dengan suara pelahan Yo Ko bisiki Siao-liong-li.
“Ya,” sahut nona itu.
Teringat tentang rahasia jalan keluar kuburan itu, tanpa terasa ia menengadah dan memandang ke langit-langitan kamar yang terdapat peta bumi itu.
Kiranya dahulu demi mengetahui Lim Tiao-eng telah meninggal dunia di dalam kuburan itu, walaupun dia sudah bersumpah tidak akan memasuki lagi, akhirnya Ong Tiong-yang masuk lagi ke kuburan itu secara diam2 melalui jalan rahasia, Teringat oleh Ong Tiong-yang betapa cintanya Lim Tiao-eng kepada dirinya dan suka-duka mereka semasa mudanya, maka menangislah Cosu dari Coan-cin-kau itu di hadapan jenazah bekas kekasihnya itu.
Setelah puas menangis seorang diri dan sesudah melihat untuk penghabisan kalinya wajah kekasihnya yang sudah tak bernyawa, kemudian Ong Tiong-yang memeriksa lagi keadaan kuburan raksasa buah karyanya itu, di situ bukan saja ia melihat gambar dirinya sendiri yang dilukis oleh Lim Tiao-eng, bahkan dia dapatkan pula ukir2an di langit2an kamar yang ditinggalkan kekasihnya itu, ketika diketahuinya betapa bagus dan betapa hebat ilmu kepandaian yang terkandung dalam Giok-li-sim-keng, setiap gerakan dan setiap tipu pukulan ternyata merupakan lawan dan khusus anti ilmu silat Coan-cin-pay, dalam kagetnya muka Ong Tiong-yang menjadi pucat, lekas2 ia keluar dari kuburan itu.
Lalu seorang diri dia tirakat di puncak gunung, selama tiga tahun selangkahpun tidak turun gunung, dengan memusatkan pikirannya dia mempelajari cara2 untuk memecahkan ilmu Giok-li-sim-keng itu, namun demikian, hasilnya terlalu kecil, bagaimanapun juga dia tak mendapatkan semacam ilmu yang sempurna untuk mengalahkannya. Dalam putus asanya, terhadap kecerdikan dan kepintaran Lim Tiao-eng ia menjadi sangat kagum, lalu ia terima menyerah dan tidak melanjutkan pelajarannya lagi.
Siapa tahu belasan tahun kemudian, karena adanya “Hoa-san-lun-kiam” atau pertandingan pedang di atas Hoa-san, di mana Ong Tiong-yang telah keluar sebagai juara dan dapat merebut kitab tertinggi dari ilmu silat, yaitu “Kiu-im cin-keng”.. sebenarnya dia sudah bersumpah tidak akan berlatih ilmu yang terdapat di dalam kitab itu, tetapi terdorong oleh rasa ingin tahu, tidak urung ia balik-balik halaman kitab itu dan membacanya.
ilmu silat Ong Tiong-yang waktu itu sudah diakui sebagai juara dunia, dengan sendirinya inti sari dari apa yang tertulis di dalam Kiu-im-cin-keng itu dengan gampang saja dapat dia pahami, hanya sepuluh hari saja seluruhnya sudah dapat dia selami dengan baik, ia tertawa panjang sambil menengadah lalu masuk lagi ke Hoat-su-jin-bong, di langit2 kamar batu yang paling dirahasiakannya telah dia ukir bagian penting dari Kiu-im-cin-keng dan satu per satu dia tunjuk cara2 untuk mematahkan ilmu Giok-li-sim-keng. Kemudian pada jari tangan lukisan dirinya itu dia tinggalkan pula beberapa baris tulisan, dia bilang jika keturunan Lim Tiao-eng ada jodoh, biarlah orang itu mengetahui bahwa ilmu silat dari pendiri Coan-cin-kau itu. Sekali-kali tidak bisa dikalahkan Giok-li-sim-keng dengan begitu saja.
Sesudah Ong Tiong-yang keluar lagi dari kuburan, ia coba memenangkan pula bekas tulisan dengan jari yang dilakukan Lim Tiao-eng di atas batu gunung Cong-lam-san, terpikir lagi olehnya kata2 yang ditinggalkan di atas lukisan yang terlalu halus itu, belum pasti orang keturunan Ko-bong-pay dapat melihatnya, tetapi kalau ditunjukkan secara terang2an, apakah itu bukan berarti kitab Kiu-im-tin-keng yang hebat itu sengaja dia siarkan pada umum ?
Tengah ia ter-menung2, tiba2 terdengar olehnya ada suara orang perempuan sedang menangis dengan sedih sekali, ia coba mendekatinya dan ditanya, kiranya wanita itu she Sun, dahulu jiwanya pernah ditolong Lim Tiao-eng, maka kini sengaja naik gunung hendak menemuinya, demi mengetahui Lim Tiao-eng sudah meninggal, ia bermaksud masuk kuburan buat sembahyang, namun jalan masuknya tidak diketemukan.
Ong Tiong-yang telah tunjuk cara memasuki Hoat-su-jin-bong itu dan pesan pula: “Aku memberi enambelas huruf, hendaklah kau ingat2 dengan baik, tetapi jangan dibocorkan pada orang lain, Kelak bila dekat hari tuamu baru boleh kau beritahukan tuan rumah dari kuburan kuno itu.”
Wanita she Sun itu menghaturkan terima kasih dan ingat baik2 ke-16 huruf itu dan kemudian berziarah ke dalam Hoat-su-jin-bong, belakangan ia diterima oleh dayang Lim Tiao-eng yang kemudian menjadi gurunya Siao-liong-li untuk tinggal terus di dalam kuburan, dia inilah lalu dikenal sebagai Sun-popoh.
Enambelas huruf tinggalan Ong Tiong-yang itu kemudian oleh Sun-popoh telah ditulis di atas secarik kain putih dan dijahit dalam baju kapasnya dan pada saat sebelum ajalnya baju kapasnya telah dia berikan pada Yo Ko, 16 huruf itu yang berarti: “Guru besar Tiong-yang, meninggalkan ilmu kepandaian, periksa lukisannya dan pelajari jari tangannya,”.
Tetapi karena bakat Sun-popoh tidak pintar, maka terhadap enam-belas huruf itu tidak pernah dia selidiki hingga tidak mengetahui rahasia yang terpendam di dalam kamar batu itu, Sedang mengenai peta bumi rahasia yang terukir di atas langit-langit kamar itu memeng sudah ada sejak kuburan kuno ini dibangun muIa2, hal ini malahan Lim Tiao-eng sendiripun tidak mengetahuinya.
Begitulah ketika Siao-liong-li dapat melihatnya, maka segera dia menjadi jelas jalan rahasia untuk keluar dari kuburan itu, hanya sayang jalan darahnya ditutuk Li Bok-chiu, sekalipun sudah mendapatkan jalan hidup toh percuma juga, ia menjadi menyesal kenapa tadi tidak lantas melarikan diri bersama Yo Ko, sebaliknya malah duduk2 saja untuk mengobrol segala permainan anak2 yang tak berguna.
Lambat-laun seluruh badannya menjadi makin panas, ia memandang lagi beberapa kali peta bumi itu, ia menghela napas panjang, pandangan matanya beralih lagi pada tulisan pelajaran Kiu-im-cin-keng yang berada di sebelah peta bumi itu.
Mendadak matanya jadi terbelalak seperti sinar kilat yang mendadak berkelebat tiba2 dapat dilihatnya ada empat huruf yang bertuliskan “Kay-hiat-pit-koat” atau kunci rahasia membuka jalan darah. seketika hatinya tergerak, ia coba mengamat-amati beberapa kali lagi pelajaran ilmu itu. keruan bukan buatan senangnya, saking girangnya hampir2 saja dia berteriak.
Kiranya ilmu itu telah menjelaskan cara2 untuk melancarkan jalan darahnya sendiri, sebenarnya bagi seorang yang melatih Kiu-im-cin-keng, ilmu silatnya pasti juga sudah mencapai tingkatan kelas wahid dan se-kali2 tidak nanti kena ditutuk orang, tetapi dalam keadaan kepepet seperti Siao-liong-li sekarang ini, ilmu ini justru merupakan bintang penolong baginya.
Tetapi bila terpikir lagi olehnya meski bisa melepaskan diri dari tutukan toh tak lebih ungkuIan daripada sang Suci, bukankah percuma juga? Karenanya dia lantas baca lagi lebih cermat tulisan2 di atas kamar itu, ia bermaksud mencari lagi semacam ilmu silat yang praktis, yang begitu dipelajari segera dapat dipergunakan dan sekaligus bisa mengalahkan Li Bok-chiu.
Tetapi meski dia ulangi membaca dari awal sampai akhir dan dari akhir kembali ke awal sampai dua kali ulangan, ia dapatkan meski ilmu yang-paling gampang dipelajari sedikitnya juga harus makan beberapa puluh hari baru bisa jadi.
Dalam keadaan putus harapan itu, tiba2 ia merasakan tubuh Yo Ko yang bersandaran dengan tubuhnya itu rada2 gemetar, agaknya racun jarum perak sudah merembes masuk, pada saat genting ini, tiba2 pikirannya menjadi jauh lebih tajam dari biasanya, tergerak pikirannya dan dapat diperoleh sesuatu akal bagus, dengan cepat ia menengadah lagi, ia apalkan baik2 “Kay-hiat-pi-koat” dan “Pi-gi-pit-koat”, yakni dua macam ilmu membuka jalan darah dan menutup jalan pernapasan, lalu dengan apa yang dia apalkan ini dia bisikkan ke telinga Yo Ko untuk mengajarkan pemuda ini.
Dasar Yo Ko memang sangat pintar, sedikit diberi petunjuk saja dia lantas mengerti, diberi tahu awalnya, segera ia paham lanjutannya.
“Nah, sekarang kita membuka jalan darah dahulu,” kata Siao-Iiong-li kemudian dengan pelahan.
Yo Ko manggut2 sebagai tanda mengerti.
Dalam pada itu seluruh kamar dalam keadaan gelap gulita, Li Bok-chiu berdua hanya menanti bila Siao-liong-li dan Yo Ko tidak tahan oleh serangan racun dalam badannya, tentu dengan sendirinya akan mengatakan rahasia jalan keluar kuburan itu, sudah tentu tidak dia duga bahwa mereka justru sedang main gila secara diam-diam.
Begitulah, maka Siao-liong-li dan Yo Ko telah menuruti petunjuk Ong Tiong-yang pada ukiran2 itu, diam2 mereka menjalankan darah menurut ajaran “Kay-hiat-pit-koat”. Memangnya Lwekang mereka berdua sudah cukup kuat, maka hanya sebentar saja dua tempat Hiat-to yang tertutuk tadi sudah berhasil mereka Iepaskan.
Lalu Siao-liong-li ulur tangan pelahan2 ke dalam bajunya, ia ambil dua pil penawar racun jarum itu, lebih dulu ia jejalkan sebutir ke mulut Yo Ko, kemudian ia sendiri telan sebutir.
Meski perbuatannya ini dilakukan dengan sangat pelahan dan hati2, tapi Li Bok-chiu mana bisa dikelabui, segera hal ini dapat diketahuinya.
“Apa yang kau lakukan ?” bentaknya tiba2 terus melompat maju.
Namun Siao-liong-li sudah siap sedia, segera ia papaki orang dengan sekali gablokan, ini adalah ilmu silat tertinggi dari Giok-li-sim-keng, pundak Li Bok-chiu tahu2 telah kena hantam sekali walau pun hanya pelahan.
Sungguh tidak pernah Li Bok-chiu duga bahwa sang Sumoay ini ternyata mampu melepaskan Hiat-to sendiri, dalam kagetnya kena pukulan itu, lekas2 ia melompat mundur lagi.
“Suci, kami hendak keluar, kau mau ikut keluar tidak ?” demikian Siao-liong-li berkata padanya.
Li Bok-chiu menjadi mati kutu menghadapi sang Sumoay, biasanya ia suka unggulkan ilmu silatnya sendiri yang tiada tandingannya di seluruh jagat, pula kecantikannya susah dicari lawannya, siapa tahu kini bisa dipermainkan oleh sang sumoay yang masih muda-belia dan belum pernah kenal muka jagat itu, keruan tidak kepalang gusar dan dongkolnya.
Akan tetapi karena kepepet, ia kuatir bila sampai sang Sumoay menjadi marah, mungkin sungguh2 dirinya tidak dibawa keluar, hal ini berarti dirinya bakal celaka, karena itu ia tak berani berlaku kasar, ia pikir paling penting keluar dulu dari kuburan ini, ilmu silat sendiri toh lebih tinggi daripada Sumoaynya, nanti kalau sudah di luar, tidak sukar untuk bikin perhitungan dengan dia.
Maka Li Bok-chiu coba menahan amarahnya, dengan tertawa ia coba membujuk: “Nah, beginilah baru betul2 seorang Sumoay yang baik, biarlah aku minta maaf padamu dan bawalah aku keluar dari sini !”
“Tetapi Kokoh bilang, hanya satu orang saja diantara kalian berdua yang bisa ikut, maka katakan saja, bawa kau atau bawa muridmu itu ?” sahut Yo Ko tiba2.
Nyata Yo Ko ini sangat licin, melihat ada kesempatan, segera ia berusaha memecah-belah antara guru dan murid itu.
“Anak keparat, tutup bacotmu !” damperat Li Bok-chiu gusar.
Kata2 Yo Ko tadi sebenarnya belum dipahami Siao-Iiong-li, tetapi selamanya ia membela pendirian pemuda itu, maka segera ia menyambung: “Ya, memang, aku hanya dapat membawa seorang saja, tidak bisa lebih ?”
“Nah, apa kataku,” ujar Yo Ko dengan tertawa. “Supek, menurut pendapatku, biarkan Suci saja yang ikut kami keluar, kau toh sudah tua, sudah hidup cukup lama bukan ?”
Sungguh tidak kepalang gusar Li Bok-chiu hingga dadanya se-akan2 meledak, namun soalnya menyangkut mati hidupnya, maka sedapat mungkin ia coba menahan api amarahnya, ia bungkam dan tidak menjawab lagi.
“Baiklah, sekarang kita berangkat,” kata Yo Ko. “Kokoh jalan di depan sebagai penuntun jalan, aku nomor dua, dan siapa yang berada paling belakang, dia yang tak akan bisa keluar.”
Maka tahulah sekarang Siao-liong-Ii maksud kata2 Yo Ko, karena itu, ia tersenyum manis, lalu dengan gandeng tangan Yo Ko mereka mendahului keluar dari kamar batu itu.
Saat itu juga, Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah sama2 berlari menyusul sehingga kedua orang ini berdesakan di ambang pintu, mereka berebutan lebih dahulu, mereka takut kalau benar2 Siao-liong-li menggerakkan alat perangkap rahasia sehingga ada seorang diantara mereka yang tertutup di bagian dalam.
“Berani kau berebutan dengan aku ?” bentak Li Bok-chiu menjadi gusar, Berbareng sebelah tangannya telah cekal pula pundak Ang Ling-po.
Walaupun keadaan sangat berbahaya, namun Ang Ling-po kenal watak gurunya yang tidak segan turun tangan kejam, jika dirinya tidak mengalah, pasti segera terbinasa di tangan gurunya sendiri, maka terpaksa ia mundur selangkah dan mempersilahkan Li Bok-chiu jalan di depan, sudah tentu dengan perasaan mendongkol tetapi takut pula.
Begitulah, maka dengan rapat Li Bok-chiu mengintil di belakang Yo Ko, sedikitpun tak berani ketinggalan jauh, ia merasa jalan yang ditempuh Siao-liong-li itu seperti belok ke sini dan putar ke sana, makin jauh makin menurun ke bawah, sementara itu kakinya terasa pula menginjak tempat becek, dalam hati dia mengerti telah berada diluat kuburan kuno itu, hanya saja dalam kegelapan itu, remang2 cuma kelihatan di mana2 jalannya selalu me-lingkar2 dan ber-putar2.
Tak lama jalanan menjadi aneh pula, kini menurun lurus, syukur ilmu silat keempat orang cukup tinggi, maka mereka tiada yang sampai ter-peleset, jika orang Iain, tentu sejak tadi sudah jatuh keserimpet.
“Cong-lam-san ini memang tidak terlalu tinggi, dengan jalan cara begini, tidak lama tentu sudah berada di bawah gunung, apakah kami kini sudah berada di dalam perut gunung ?” demikian diam2 Li Bok-chiu berpikir sendiri.
Sesudah jalan menurun agak lama, akhirnya jalanan mulai lapang, hanya rasa basah itu semakin banyak hingga akhirnya terdengar suara gemerciknya air, lalu betis merekapun terendam dalam air.
Tidak hanya begitu, makin jauh air makin dalam, dari betis bertambah sampai paha, dari paha terus perut dan pe-lahan2 naik lagi sampai setinggi dada.
“ltu Pi-gi-pit-koat (rahasia menutup jalan napas) apa sudah kau apalkan dengan baik ?” dengan suara pelahan Siao-liong-li tanya Yo Ko.
“lngat,” sahut Yo Ko lirih.
“Baik,” ujar Siao-liong-li. “Dan sebentar lagi kau tutup jalan napasmu, jangan sampai kemasukan air.”
“Ya, engkau sendiri juga harus hati2, Kokoh,” kata Yo Ko,
Siao-liong-li angguk2.
Sedang mereka bicara, air di bawah itu sudah merembes sampai di tenggorokan. Keruan yang paling kaget adalah Li Bok-chiu, ia menjadi bingung pula.
“Sumoay, apa kau bisa berenang ?” teriaknya kuatir.
“Selamanya aku hidup di dalam kuburan, mana bisa berenang ?” sahut Siao-liong-li.
Mendengar jawaban ini, hati Li Bok-chiu rada lega, ia melangkah maju lagi, tak terduga air mendadak mendampar sampai mulutnya, Dalam kagetnya lekas2 ia mundur ke belakang.
Tetapi pada saat itu juga Siao-liong-li dan Yo Ko malahan terus menyelam ke dalam air.
Dalam keadaan demikian, sungguhpun di depan sana sudah menanti gunung golok atau lautan pedang, terpaksa Li Bok-chiu juga menerjang maju. Dalam pada itu, mendadak ia merasakan baju di pungungnya tiba2 menjadi kencang, kiranya tangan Ang Ling-po telah menjamberetnya. Li Bok-chiu menjadi dongkol, diri sendiri saja dalam keadaan bahaya, apalagi diganduli seorang, ia coba meronta sekuatnya, namun tak bisa terlepas.
Maklumlah, seorang yang tak bisa berenang, bila kelelap di dalam air, tentu orang itu akan bergolak sebisanya dan bila ada sesuatu benda sampai terpegang, maka sampai mati sekalipun tidak bakal dilepaskannya, Begitulah halnya dengan Ang Ling-po sekarang.
Dengan bergandengan tangan Siao-Iiong-li bersama Yo Ko menyelam ke bawah air, sementara Li Bok-chiu menyekal kencang tangan Yo Ko, sedang Ang Ling-po tetap menjambret baju, punggungnya, matipun tidak dilepaskan.
Tatkala itu suara menggerujuknya air sudah terdengar sangat keras, walaupun ini adalah sungai di bawah tanah, namun suara yang berkumandang keras itu cukup mengejutkan orang, Dan karena terdampat oleh arus ait yang keras, Li Bok-chiu dan Ang ling-po berdua menjadi terapung ke atas.
Meskipun ilmu silat Li Bok-chiu sangat bagus, tetapi dalam keadaan demikian ia menjadi gugup dan bingung, ia ulur tangan menjamberet dan menarik serabutan, mendadak berhasil disentuhnya sesuatu, keruan saja ia pegang dengan kencang, matipun tidak dilepaskannya.
Kiranya itu adalah tangan kiri Yo Ko tatkala itu Yo Ko sedang menahan napas dan sedang melangkah maju setindak demi setindak di dalam air dengan menggandeng tangan Siao-liong-li, kini mendadak dipegang Li Bok-chiu, lekas2 ia pakai Kim-na-jiu-hoat untuk melepaskan diri. Akan tetapi sekali Li Bok-chiu sudah pegang, mana mau dilepaskan pula, meski air dingin terus-menerus masuk ke mulut dan hidungnya, bahkan sampai jatuh” pingsan juga masih dipegangnya erat2 tangan Yo Ko itu.
Beberapa kali Yo Ko coba kipatkan lengannya terlepas, tetapi tidak berhasil Karena kuatir terlalu banyak buang tenaga hingga air masuk perutnya, akhirnya iapun membiarkan lengannya dipegang orang.
Begitulah secara bererotan seperti kereta gandengan mereka berempat jalan terus di dasar sungai, sesudah agak lama, akhirnya terasa sesak juga napas Siao-liong-li dan Yo Ko, mereka mulai tak tahan hingga perut merekapun kenyang minum air.
Syukur lambat laun arus air mulai reda, keadaan tanahpun makin tinggi, tidak lama kemudian mereka dapat menongol ke permukaan air. Mereka berjalan terus, makin jauh keadaan di depan sana bertambah terang, akhirnya merekapun keluar melalui sebuah gua gunung.
Bukan main rasa letih Siao-Iiong-li dan Yo Ko, boleh dikatakan tenaga mereka sudah habis, apalagi terendam lama di dalam air, maka lebih dulu mereka kumpulkan tenaga untuk memuntahkan air dalam perut yang kembung itu, kemudian mereka merebah di tanah dengan napas terempas-empis.
Tatkala itu dengan kencang tangan Li Bok-chiu ternyata masih pegang erat2 di lengan Yo Ko, jari tangannya harus dipentang satu per satu oleh Siao-liong-Ii barulah bisa terlepas.
Lalu Siao-liong-li menutuk Hiat-to di bahu Li Bok-chiu dan muridnya, habis ini baru taruh mereka di atas satu batu, dengan demikian air di dalam perut mereka pe-lahan2 mengalir keluar
Selang agak lama, dengan mengeluarkan suara serak Li Bok-chiu mendusin dahulu, tiba2 sinar matahari menjilaukan matanya, sekarang dia betul2 sudah di alam terbuka, bila ingat tadi terkurung di dalam kuburan kuno itu dan terancam berbagai macam bahaya, mau-ta-mau ia merasa ngeri pula, kini meski separuh tubuhnya bagian atas dalam keadaan lumpuh karena ditutuk Siao-liong-Ii, namun hatinya malah jauh lebih lega daripada tadinya.
Tidak antara lama Ang Ling-po pun tersadar juga, tetapi karena ditutuk jalan darahnya, tangannya sudah tak bertenaga lagi, maka sebelah tangannya masih terletak di atas punggung Suhunya.
Cara menutuk Siao-liong-li sekali ini hanya dapat dilepaskan dengan “Kay-hiat-pit-koat” seperti ajaran Kiu-im-cin-keng yang ditinggalkan Ong Tiong-yang itu atau ditolong oleh kaum ahli, hila tidak harus tunggu 7 X 7 = 49 hari lagi baru bisa sembuh sendiri
“Sekarang kau boleh pergi, Suci!” demikian kemudian Siao-liong-li berkata pada Li Bok-chiu.
Walaupun kedua tangan Li Bok-chiu dan Ang Ling-po sudah lumpuh, tetapi setengah badan bagian bawah masih baik2 saja dan bisa bergerak seperti biasa, karena itu dengan bungkam guru dan murid itu saling pandang sekejap, entah rasa girang atau gusar dalam hati mereka waktu itu, lalu pergilah mereka ber-iring2an.
Menghadapi alam semesta dengan pemandangan yang indah permai itu, sungguh tidak terbilang rasa girang Yo Ko.
“Kokoh, bagus tidak pemandangan sekitar ini ?” tanya Yo Ko,
Tetapi Siao-liong-li tak menjawab, ia hanya bersenyum simpul.
Bila teringat oleh mereka kejadian selama beberapa hari ini rasa mereka seperti menjelma lagi di dunia Iain.
Malam itu mereka berdua tidur seadanya dibawah pohon yang rindang. Kiranya gua gunung ini sudah berada di bawah Cong-lam-san, hanya tempatnya sangat sepi dan terpencil.
Besok paginya, sehabis mereka buang air, racun yang mengalir dalam tubuh mereka ternyata sudah ikut lenyap, Kalau menuruti Yo Ko, segera pemuda ini ajak pergi pesiar, tetapi selamanya Siao-liong-li belum pernah berkenalan dengan dunia fana, entah mengapa, ia menjadi takut2.
“Tidak, kita harus melatih dulu Giok-Ii-sim-keng hingga selesai,” kata Siao-liong-li.
Betul juga, pikir Yo Ko, ia menurut, memang kalau berada di tempat ramai dan banyak orang, untuk melatih Giok-li-sim-keng dengan mencopot pakaian bersama gurunya sesungguhnya tak pantas dipandang Maka mereka lantas mencari dan mendapatkan satu tempat semak2 yang lebat sekali, malam itu juga mereka lantas mulai melatih diri lagi dengan di-aling2i oleh semak2 rumput bunga itu.
Begitulah mereka lantas mendirikan gubuk, mereka meneruskan latihan ilmu di gunung sunyi ini, siang mereka tidur dan malam hari berlatih dengan giat, sekejap saja beberapa bulan sudah lalu tanpa sesuatu kejadian, Mula2 Siao-liong-li mendahului berhasil dengan ilmunya, lewat sebulan lagi Yo Ko pun menyusul selesai dengan sangat memuaskan.
Meski begitu mereka berdua masih mengulangi lagi, nyata tiada sesuatu lagi yang kurang, karena itu Yo Ko lagi2 bicara tentang pesiar sebagai kesenangan hidup manusia.
Tetapi bagi Siao-liong-li, hidup secara aman tenteram seperti sekarang ini rasanya di dunia ini sudah tiada lagi yang melebihi. namun dilihatnya Yo Ko selalu suka pada keramaian, tampaknya sukar untuk tinggal di gunung sunyi untuk selamanya.
“Ko-ji”, akhirnya ia berkata, “meski ilmu silat kita sudah berbeda jauh dari pada dahulu, tetapi kalau dibandingkan dengan kau punya paman dan bibi Kwe kira2 bagaimana ?”
“Tentu saja kita masih jauh ketinggalan,” jawab Yo Ko.
“Kalau begitu, kau punya paman Kwe sudah turunkan kepandaiannya pada puterinya dan kedua saudara Bu, kalau kelak saling bertemu lagi, tetap kita akan dihina mereka,” kata Siao-liong-li pula.
Mendengar kata2 ini, seketika Yo Ko menjadi gusar.
“Kokoh, jika mereka berani hina diriku lagi, mana bisa aku menyerah mentah2 ?” teriaknya melonjak bangun.
“Tetapi kau tak dapat menandingi mereka, bisa apa kau ?” ujar Siao-liong-Ii.
“Jika begitu, kau bantu aku, Kokoh,” kata Yo Ko.
“Akupun tak bisa menangkan kau punya paman Kwe, percuma saja,” sahut Siao-1iong-1i.
Yo Ko tak bisa buka suara lagi, ia menunduk dengan bungkam, ia coba pikirkan cara bagaimana harus menghadapinya kelak.
“Sudahlah, demi Kwe-pepek, aku takkan berkelahi dengan mereka,” katanya kemudian sesudah merenung sebentar.
“Tetapi kalau mereka tidak mau lepaskan dirimu, bagaimana ?” kata Siao-liong-li lagi.
“Biar aku menghindari mereka saja,” sahut Yo Ko. “Betapapun juga dengan mereka aku toh tiada permusuhan apa2, Tidak nanti mereka sampai incar jiwaku.”
“Sudah tentu, bagaimanapun mereka toh besar hubungannya dengan kau,” kata Siao-liong-li sambil menghela napas, “Cuma orang2 di Tho-hoan to itu bukan sanak dan bukan kadangku.”
Dengar kata2 orang yang terakhir ini, hati Yo Ko jadi tertekan
“Kokoh, apa kau maksudkan mereka bakal menghina kau ?” tanyanya ragu2.
“Ya, kalau sampai mereka tahu aku telah rebut anak murid Coan-cin-kau dan Tho-hoa-to, mana bisa mereka antapi dirimu begitu saja,,” sahut Siao-liong-Ii.
“Jangan kuatir, Kokoh!” teriak Yo Ko tiba-tiba. “Tak peduli siapa saja yang berani menyenggol seujung rambutmu, pasti aku akan adu jiwa dengan dia.”
“Tetapi sayang kita tak punya modal untuk mengadu jiwa itu,” sahut Siao-liong-li.
Yo Ko adalah anak yang sangat cerdik, demi mendengar kata2 gurunya ini, maka tahulah dia akan maksud orang.
“Kokoh,” katanya lagi dengan bersenyum, “kalau kita berhasil melatih baik2 ilmu yang ditingalkan Ong Tiong-yang itu, pasti kita akan dapat kalahkan orang2 Tho-hoa-to itu, bukan ?”
Tiba2 alis Siao-Iiong-li bergerak, ia tertawa,
“Tentu saja, memangnya orang2 di Tho-hoa-to itu punya tiga kepala dan berenam tangan ?” sahutnya kemudian.
Dan oleh karena percakapan mereka inilah, Yo Ko telah tinggal setahun lebih lama dengan Siao-liong-li di lembah pegunungan ini.
Dalam setahun ini, baik Lwekang maupun Gwakang mereka berdua telah mencapai kemajuan pesat, sering kali mereka berdua mengambil tangkai2 bunga terus saling serang menyerang dan gempur-menggempur untuk melatih diri di lembah gunung, Tangkai bungai itu sebenarnya adalah benda yang lemas saja, tetapi berada di tangan mereka berdua yang sudah memiliki Lwekang kelas wahid, maka serupa saja seperti golok tajam atau pedang pusaka.
Pada suatu hari, sehabis berlatih, Siao-liong-li kelihatan bermuka muram durja, nyata hatinya tak senang. Nampak perubahan wajah orang ini, terus-menerus Yo Ko berusaha menghiburnya agar tertawa, namun tetap Siao-liong-Ii bungkam tanpa ber-kata2.
Yo Ko menjadi bingung, ia kehabisan akal, Setelah pikir pergi-datang, akhirnya ia menduga tentu karena ilmu tinggalan Ong Tiong-yang yang mereka latih sudah berakhir, maka Siao-Iiong-li merasa berat kalau ditinggalkan dirinya, sebaliknya untuk menahannya juga tiada alasan, oleh karena itu menjadi kesal hatinya.
“Kokoh, jika engkau tak ingin aku turun gunung, biar kita tinggal di sini saja untuk selamanya,” demikian dikatakannya kemudian
Keruan saja Siao-liong-Ii menjadi girang karena memang itulah yang menjadikan kesal pikirannya.
“Baik sekali…” demikian serunya, tetapi baru sepatah dua kata dia ucapkan, mendadak ia berhenti, ia mengerti pula apa yang dikatakan Yo Ko itu sukar dilaksanakan, sungguhpun Yo Ko terpaksa tinggal terus disitu, tentu pula hati pemuda itu tidak gembira, Maka dengan suara lirih ia lanjutkan: “Sudahlah, kita bicarakan besok saja,”
Malam itu Siao-liong-Ii tiada napsu makan, ia kembali ke gubugnya sendiri untuk tidur.
Gubuk yang mereka dirikan di bawah pohon besar itu ada dua, Melihat gurunya kesal, maka Yo Ko ikut muram, ia duduk sendirian di depan gubuk sendiri dengan ter-mangu2, lama sekali baru dia masuk tidur.
Sampai tengah malam, se-konyong2 ia terjaga bangun oleh suara deru angin yang santar, suara angin yang lain dari pada jang lain, Keruan ia kaget, lekas2 ia pasang kuping lebih cermat, akhirnya dapat dikenali itu adalah angin pukulan orang yang sedang saling berhantam.
Lekas2 Yo Ko menerobos keluar dari gubuknya, ia lari ke gubuk Siao-liong-li, dari luar segera ia memanggil dengan suara pelahan: “Kokoh, Kokoh, kau dengar tidak ?”
Waktu itu menderunya angin pukulan telah bertambah keras, sepantasnya Siao-liong-li mendengar juga, tetapi aneh, dalam gubuk tidak terde” ngar sesuatu suara sahutan, Yo Ko memanggil dua kali lagi dan masih tetap sunyi, akhirnya ia tak sabar, ia dorong pintu dan melongok ke dalam, tetapi yang dia dapatkan hanya dipan yang kosong, ternyata gurunya sudah menghilang.
Dalam kejutnya Yo Ko berlari menuju ke tempat dimana datangnya suara angin pukulan, setelah belasan tombak dia lari, meski orang yang sedang saling labrak itu belum kelihatan, namun dari angin pukulannya Yo Ko dapat membedakan satu diantaranya bukan lain adalah gurunya, jakni Siao-liong-li. Tetapi lawannya ternyata terlebih hebat angin pukulannya, agaknya kepandaiannya masih diatas gurunya.
Yo Ko percepat larinya, Ginkang atau ilmu entengkan tubuhnya kini sudah terlatih masak, jauh berlainan daripada dulu, maka sekejap saja lereng gunung itu sudah dilintasinya, tertampaklah olehnya di bawah sinar bulan yang remang2 itu Siao-liong-li yang berbaju putih mulus sedang bertempur melawan seorang laki2 yang bertubuh tinggi besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar