Kembalinya Pendekar Rajawali 23
Di lain pihak Yo Ko sedang tertawa geli
sendiri. Kuatir
keselamatan Bu-siang terjadi sesuatu,
lekas-lekas ia kembali
ke tempat tadi, di sana ia lihat Bu-siang
sedang longak-longok
ke arahnya di atas keledainya, tampaknya si
gadis kuatir luar
biasa. Tetapi demi melihat Yo Ko sudah
kembali, mukanya
berubah girang, lekas-lekas ia keprak
keledainya memapaki.
“Tolol, bagus ya kau, aku ditinggalkan
sendirian,” dengan
suara tertahan ia mengomeli Yo Ko.
Tetapi pemuda ini tak menjawabnya melainkan
tersenyum
saja, lalu pedang yang dia pinjam dari Ang
Ling-po tadi
disodorkan kembali kepada pemiliknya sambil
memberi hormat
dan menyatakan terima kasih.
Setelah senjata itu diterima kembali Ang
Ling-po, selagi
Yo Ko hendak putar tubuh, sekonyong-konyong
Li Bok-chiu
berkata : “Nanti dulu!”
Kiranya karena melihat ilmu silat Yo Ko
sangat bagus, ia
pikir kalau orang ini dibiarkan hidup, kelak
pasti akan bikin
susah dirinya saja, ada baiknya mumpung
ilmu-silatnya masih
belum memadai dirinya, sekarang juga dibunuh
kan beres
urusannya, ?
Tetapi betapa cerdiknya Yo Ko, begitu
mendengar orang
berkata “nanti du!u”, segera diketahuinya
keadaan bakal
runyam, lekas-lekas pedang yang dia serahkan
di tangan Ang
Ling-po itu dilepaskan.
Sebenarnya Li Bok-chiu hendak pancing orang
agar
bergebrak padanya, dengan begitu sekali
ke-but akan
dibunuhnya Yo Ko, tetapi kini Yo Ko sudah tak
bersenjata,
dengan kedudukan Li Bok-chiu, tidak nanti ia
sudi mencelakai
orang dengan senjatanya.
“Kau ini murid siapa di antara
Coan-cin-chit-cu itu?”
tanyanya kemudian sembari tancapkan ke-butnya
ke baju
Iehernya.
“Aku adalah murid Ong Tiong-yang cinjin,”
sahut Yo Ko
tertawa.
Seperti diketahui sebenarnya Yo Ko adalah
murid Tio Ci-
keng dan cucu murid Coan-cin Ghit-cu, tetapi
terhadap imam-
imam Coan-cin-kau itu ia sudah mendapat kesan
jelek, dalam
hati sedikitpun imam-imam itu tak
dihormatinya lagi,
walaupun Khu Ju-ki tidak jelek terhadap
dirinya, namun waktu
berkumpulnya dengan imam tua itu terlalu
singkat, maka
sedikit kebaikan itu sudah habis ludes
tertutup oleh kesan2
jelek yang dia dapat dari Tio Ci-keng dan Hek
Tay-thong,
sebab itulah ia, tak sudi mengaku sebagai
muridnya Ci-keng.
Tetapi sewaktu berdiam di dalam kuburan kuno,
ia telah
melatih inti ilmu “Kiu-im-cin-keng” yang
diukir Ong Tiong-yang
dahulu, maka bila dia mengatakan anak
murid-cakal bakal
Coan-cin-kau itu, sebenarnya juga tidak
berlebihan.”
Sebenarnya kalau menurut umur Yo Ko, pa-ling
banyak
hanya sesuai menjadi murid tingkatannya Tio
Ci-keng dan In
Ci-peng, tapi melihat ilmu silatnya tidak
lemah, maka Li Bok-
chiu telah tanya dia murid siapa diantara
Coan-cin Chit-cu,
yaitu tujuh imam utama murid Ong Tiong-yang,
dengan
pertanyaan ini sebetulnya sudah meninggikan
diri Yo Ko,
kalau pemuda ini menjawab salah satu nama
umpamanya Khu
Ju-ki atau Ong Ju-it, pasti Li Bok-chiu dapat
mempercainya.
Siapa tahu hati muda Yo Ko masih belum
hilang, ia tak
sudi lebih rendah tingkatannya daripada Hek
Tay-thong yang
telah membunuh Sun-popoh yang dicintainya
itu, maka nama
Ong Tiong-yang sengaja ditonjolkan olehnya.
Padahal Ong Tiong-yang adalah cakal bakal
Coan-cin-kau,
semua orang Bu-lim tahu kalau dia hanya
mempunyai tujuh
orang murid yaitu seperti apa yang disebut
“Coan-cin Chit-cu”
itu, sewaktu Yo Ko lahir malahan Tiong-yang
cinjin sudah
lama meninggal dunia.
Begitulah, maka Li Bok-chiu menjadi sangsi
“Hm, kau
imam cilik ini sungguh tak kenal tebalnya
bumi dan tingginya
langit, rupanya kau tak kenal aku ini siapa,
maka berani main
gila dengan aku,” demikian ia pikir, Tetapi
lantas teringat lagi
olehnya: “Namun imam-imam Coan-cin-kau
sekali-kali tak
nanti berani main gila dengan nama Cosuya
mereka. Kalau dia
ini bukan anak murid Coan-cin, mengapa
tipu-tipu ilmu
silatnya tadi jelas adalah keluaran
Coan-cin-pay ?”
Melihat orang mengkerut kening sedang
ber-pikir, Yo Ko
kuatir nanti dikenali Ang Ling-po yang dahulu
pernah
dikibulinya dengan menyamar sebagai anak
gembala, maka
tak berani ia tinggal lama2, ia pikir paling
perlu kabut dulu,
Maka dengan cepat ia cemplak ke atas
keledainya tetus
hendak dilarikan
“Turun dulu, ada yang hendak kutanyakan
padamu”
demikian kata Li Bok-chiu.
“Tak perlu kau bicara juga, aku sudah tahu
apa yg hendak
kau tanyakan,” sahut Yo Ko tiba-tiba.
“Bukankah kau hendak tanya apa aku melihat
seorang
gadis pincang atau tidak? Dan tahu tidak
kitab yang
dibawanya itu, bukan?”
Li Bok-chiu terkejut mengapa orang tahu akal
maksud
hatinya, Namun dengan adem saja ia menyahut:
“Ya, kau
sungguh pintar. Kemanakah kitab itu dibawanya
?”
“Tadi waktu aku dan Suteku ini beristirahat
di tepi jalan,
kami melihat gadis pincang itu saling gebrak
dengan tiga
pengemis,” sahut Yo Ko dengan karangannya.
“Satu diantara
pengemis itu terkena timpukan goloknya yang
melengkung,
walaupun demikian, karena masih ada dua
pengemis yang
lain, maka gadis itu tak ungkulan, akhirnya
ia tertawan”
Biasanya Li Bok-chiu selalu berlaku tenang,
tetapi kini
mendengar Liok Bu-siang tertawan
pengemis-pengemis dari
Kay-pang, sedang pada gadis itu membekal
“Ngo-tok-pit-toan”
yang tentu akan terjatuh di tangan mereka
juga, ingat akan
hal ini mau-tak-mau mukanya mengunjuk rasa
kuatir juga.
Melihat obrolannya berhasil, keruan Yo Ko
sengaja obral
ceritanya yang ditambah dan di bumbu2i pula,
ia bilang: “Dan
sesudah tertawan, seorang pengemis telah
geledah keluar
satu kitab dari badan gadis pincang itu, tapi
karena nona itu
tak mau menyerahkannya, maka pengemis itu
telah persen dia
dengan sekali tamparan.”
Mendengar dirinya dibuat buIan2an mengobrol
tidak
kepalang mendongkolnya Bu-siang, lebih-lebih
Yo Ko bilang
dirinya ditempeleng oleh pengemis, maka
dengan gemas ia
mendeliki Yo Ko, sedang dalam hati ia
berkata: “Bagus, kau
tolol ini, berani kau fitnah diriku, lihat
saja kelak kalau aku
tidak hajar kau?”
Di lain pihak si Yo Ko ternyata sangat jahil,
ia tahu betul-
betul hati si gadis waktu itu pasti sangat
ketakutan karena
berhadapan dengan gurunya yang kejam, tapi ia
justru
sengaja menanya padanya: “Betul tidak, Sute?
Bukankah itu
sangat menggemaskan orang ? Bukankah nona itu
telah
dipegang sini dan diraba sana oleh beberapa
pengemis itu,
betul tidak?”
Bukan buatan dongkolnya Bu-siang, tapi ia tak
berani
membantah, terpaksa ia mengiakan sambil
kepala menunduk.
Tengah berbicara, tiba-tiba terdengar suara
derapan kuda
yang ramai, menyusul muncul sepasukan tentara
dari balik
bukit sana dengan persenjataan lengkap dan
berbaris sangat
rapi, kiranya adalah pasukan tentara Mongol.
Tatkala itu negeri Kim dari Manchu sudah
dibasmi oleh
bangsa Mongol, maka daerah utara sungai
seluruhnya berada
dibawah pemerintahan Mongol.
Sudah tentu Li Bok-chiu tidak pandang sebelah
mata pada
pasukan tentara itu, tetapi karena tujuannya
ingin lekas
mendapatkan jejaknya Bu siang, maka ia tak
ingin banyak
cecok lagi dengan pihak lain, ia menyingkir
ke tepi jalan untuk
menghindari pasukan tentara itu.
Sejenak kemudian, di bawah derapan kuda yang
riuh dan
mengepulnya debu yang tinggi, ratusan serdadu
yang
mengiringi seorang pembesar Mongol telah
dapat lewat
disamping mereka. pembesar itu berdandan
sebagai pembesar
sipil, tetapi kepandaiannya menunggang kuda
ternyata sangat
bagus, meski wajahnya tak kelihatan jelas,
namun sikapnya di
waktu melarikan kudanya ternyata sangat gagah
dan perkasa.
Menunggu setelah pasukan itu lewat, kemudian
Li Bok-
chiu angkat kebutnya buat membersihkan debu
yang
mengotori bajunya.
Tiap-tiap kali kebutnya mengebas, tiap-tiap
kali juga
jantung Bu-siang memukul keras, Ya harus
diketahui, bila
kebut itu bukan dibuat membersihkan debu melainkan
jatuh
diatas kepala orang, maka tak perlu
disangsikan lagi kepala
sasarannya itu seketika pasti pecah
berantakan.
“Lalu bagaimana?” Li Bok-chiu tanya lagi.
“Lalu pergilah pengemis-pengemis itu menuju
ke utara
dengan membawa nona itu,” sahut Yo Ko menuding
ke
utara, “Aku dengar, katanya mereka pergi ke
Ciong-koan.”
“Em, bagus, terima kasih,” Li Bok-chiu
memanggil dan
tersenyum. “Aku she Li bernama Bok-chiu,
orang Kangouw
menyebut aku Jik-lian-sian-cu, tetapi ada
juga yang panggil
aku Jik-lian- mo-tau (iblis ular belang
rantai), pernah tidak kau
mendengar namaku ?”
“Tak pernah.” sahut Yo Ko menggeleng kepala,
“Nona,
kau begini cantik pantasnya kau disebut
Sian-cu (dewi), mana
boleh dipanggil Mo-tau (iblis)?”
Memang dengan paras Li Bok-chiu yang cantik, meski
umurnya sudah lebih setengah abad, tapi
karena lwekangnya
sudah terlatih tinggi, maka kulitnya yang
putih halus tanpa
keriput sedikitpun kalau dipandang laksana
wanita berumur 30
tahun saja.
Selama hidup Li Bok-chiu memang sangat bangga
atas
kecantikannya, kini mendengar Yo Ko
memujinya, dengan
sendirinya ia sangat senang.
“Kau berani main gila dengan aku, sebenarnya
kau harus
diberi rasa sedikit,” katanya kemudian sambil
goyangi
kebutnya, “Tetapi mengingat kau pintar
bicara, biarlah aku
melulu gunakan kebut ini untuk hajar kau,”
“Ah, jangan, jangan, mana bisa tanpa sebab
Siauto
bergebrak dengan kaum Siaupwe (tingkatan
muda),” sahut
Yo Ko geleng kepala.
“Hm, ajalmu sudah di depan mata, masih berani
kau main
gila. Cara bagaimana kau anggap aku ini kaum Siaupwe?”
damperat Bok-chiu.
“Guruku Tiong-yang cinjin setingkat dengan
nenek gurumu
Lim-popoh, bukankah aku setingkat lebih
tinggi dari kau?”
kata Yo Ko.
Gusar sekali Li Bok-chiu oleh jawaban itu,
tetapi ia tetap
tersenyum saja dan berpaling kepada Ang Ling-po:
“Pinjamkan lagi pedangmu padanya.”
“Eh, tak boleh jadi, tak…. boleh jadi…” ia
berteriak sambil
goyangl tangannya, akan tetapi di sebelah
sana Ang Ling-po
sudah cabut pedang-nya, maka terdengarlah
suara “kraak”,
yang terpegang di tangannya melulu garan
pedang saja,
sedang mata pedangnya masih ketinggalan di
dalam
sarungnya.
Sesaat Ang Ling-po tercengang, tetapi segera
ia mendusin
bahwa itu adalah perbuatan Yo Ko tadi yang
secara diam-
diam telah bikin patah garan pedang sewaktu
mengembalikan
padanya, kini mendadak dicabut, dengan
sendirinya lantas
terpisah menjadi dua.
Keruan saja berubah hebat air muka Li
Bok-chiu.
“Nah, memangnya aku tak bisa bergebrak dengan
kaum
Siaupwe, tapi kau memaksa hendaki saling
gebrak dengan
aku,” ujar Yo Ko, “Baiklah begini saja,
dengan tangan kosong
aku sambut tiga kali serangan kebutmu, Kita
berjanji yang
terang, hanya tiga gebrakan saja, selewatnya
tiga gebrakan,
asal kau sanggup bertahan, aku lantai
lepaskan kau pergi.
Tetapi sehabis itu, kaupun tak boleh recoki
aku terus.”
Kiranya dalam hati Yo Ko tahu dalam keadaan
demikian
tak bisa tidak harus saling gebrak tetapi
bila bergebrak
sungguh-sungguh, dirinya masih bukan
tandingan Li Bok-chiu,
maka sengaja ia berlagak orang tua, pura-pura
sebagai kaum
Locianpwe ditambah pula kata-kata yang tajam,
asal Li Bok-
chj berjanji hanya bergebrak tiga jurus saja
dan tidak lebih.
Li Bok-chiu bukan orang bodoh, dengan
sendirinya iapun
tahu maksud tujuan orang, cuma ia pikir
masakah bocah ini
sanggup terima tiga kali seranganku ? Sebab itulah
iapun tidak
banyak bicara, segera ia buka serangan sambil
berseru:
“Bagus, Locianpwe, berikanlah petunjuk pada
Siau-pwe.”
“Ah, tak berani…” sambut Yo Ko.
Maka berkelebatlah bayangan orang, sekitarnya
penuh
dengan bayangan kebut, Li Bok-chiu telah serang
dengan tipu
“bu-khong-put-jin” (tiada lubang yang tak
dimasuki) yang
mengarah setiap tempat maut di tubuh Iawan,
meski hanya
sekali gerakan, sebenarnya luar biasa
perubahannya dan
berbareng mengincar 36 Hiat-to di tubuh Yo
Ko.
Li Bok-chiu melihat Yo Ko melawan anggota
Kay-pang
kantong delapan tadi dengan Kiam-hoat yang
sangat bagus,
tampaknya memang bukan lawan lemah, dalam
tiga gebrakan
hendak merobohkan dia, agaknya tidak gampang
juga oleh
sebab itu, sekali serang segera digunakannya
tipu yang paling
dibanggakan selama hidupnya, yakni yang
disebut “Sam-bu-
put-jiu” atau serangan tiga serangkai “aksara
tidak”
Kaget sekali Yo Ko oleh serangan yang sangat
aneh itu,
begitu hebat tipu serangan itu hingga boleh
dikatakan tak
tertahankan lagi kalau berkelit ke kiri,
pasti Hiat-to di kanan
akan tersabet dan begitu pula sebaliknya,
dalam kepepetnya
itu mendadak, ia berjumpalitan dan
menjungkir.
Dengan cepat dikeluarkannya ilmu mujija
ajaran Auwyang
Hong dahulu itu, ia menjalankan darahnya
secara terbalik dan
tutup rapat semua Hiat-to di tubuhnya,
walaupun segera
terasa ke-36 Hiat-to rada kesemutan
berbareng, namun
segera pula tidak berhalangan, Bahkan
tubuhnya yang
memutar cepat itu tiba-tiba balas menendang
sekali.
Heran sekali Li Bok-chiu, dengan jelas ia
sudah berhasil
tutuk Hiat-to orang, siapa duga masih bisa Yo
Ko balas
menyerang, Karena itu, menyusul tipu serangan
kedua
dilontarkan lagi, tipu ini disebut
“Bu-so-put-ci” (tiada sesuatu
yang tak didatangi), yang diarah adalah 72
tempat Hiat-to di
seluruh badan lawan.
Akan tetapi mendadak Yo Ko malah mengukir
tangan
kirinya, dengan jarinya segera ia jojoh
“wi-tiong-hiat” di lutut
kanan Li Bok-chiu.
Keruan Li Bok-chiu bertambah heran,
lekas-lekas a
berkelit, menyusul segera serangan ke tiga
“Bu-so-put-wi”
(tiada sesuatu yang tak diperbuatnya).
Serangan ini tidak lagi
menutuk Hiat-to, melainkan mengincar mata,
tenggorokan
perut dan bagian belakangan yang lemah, oleh
sebab itu
disebut tipu Bu-so-put-wi” atau “tiada
sesuatu yang tak di-
perbuatnya”, yang berarti mendekati cara-cara
yang rendah
dan kotor.
Cuma diwaktu Li Bok-chiu lontarkan serangan
itu, ia lupa
bahwa di dunia ini ternyata ada orang yang
berkelahi secara
menjungkir seperti Yo Ko ini, maka
serangannya yang
dilontarkan secara tergesa-gesa itu bagian
mata yang diarah
lantas mengenai telapak kaki Yo Ko,
tenggorokan yang
diserang berbalik kena betis, begitu pula
perut, yang kena
pahanya, selangkangan yang diserang, yang
kena dadanya,
maka sedikitpun tidak membawa hasil yang
diharapkan.
Sungguh tidak kepalang kejut Li Bok-chiu
sekali ini, selama
hidupnya entah berapa banyak pertempuran
besar yang
pernah dia hadapi, malahan orang yang ilmu
silatnya lebih
tinggipun pernah dilawannya, segala
tindak-tanduknya selalu
diperhitungkannya dengan teliti sebelumnya,
tapi kini sama
sekali tak terpikir olehnya, seorang imam
cilik ternyata
memiliki ilmu silat yang sukar dijajaki.
Karena sedikit tertegunnya itu, mendadak Yo
Ko mengap
mulutnya, tahu-tahu buntut kebutnya kena
dicokot kencang,
lalu pemuda itupun membalik, berdiri kembali.
Bahkan sedikit
Yo Ko menarik, tiba-tiba tangan Li Bok-chiu
terguncang
hingga kebutnya kena dirampas olehnya.
Hendaklah diketahui bahwa tenaga mana saja
dari
anggota badan manusia tiada yang bisa lebih
kuat daripada
gigi, dengan gigi orang biasa sanggup kertak
pecah sesuatu
benda yang keras sebaliknya betapa kuat
tangan seseorang
tak bisa membikin remuk dengan remasan
tangannya, Oleh
sebab itulah, meski tenaga dalam Yo Ko masih
jauh di bawah
Li Bok-chiu, namun dengan giginya yang
menggigit ujung
kebut, senjata kebanggaan Li Bok-chiu ini
ternyata kena
direbutnya.
Kejadian yang sama sekali tak terduga ini
membikin Ang
Ling-po dan Liok Bu-siang sama menjerit
kaget.
Sebaliknya meski Li Bok-chiu terkejut juga
namun
sedikitpun ia tak gentar, ketika telapak
tangannya ia gosok,
dengan “Jik-Iian-sin-cianJ atau pukulan sakti
ular belang,
segera ia memburu maju buat merebut kembali
kebutnya.
Tetapi baru saja pukulannya hendak
dilontarkan mendadak
ia berteriak: “He, kiranya kau! Di-manakah
gurumu?”
Kiranya muka Yo Ko yang tadinya terpoles
dengan debu
arang, setelah dia berjungkir dan berputar
tanpa sengaja debu
arang mukanya itu tergesut hilang sebagian
hingga wajah
aslinya dapat dikenali orang.
“He, dia adalah Sumoay, Suhu!” mendadak Ang
Ling-po
berteriak juga, sebab waktu itupun Liok
Bu-siang dapat
dikenaIinya.
Namun Yo Ko bertindak cepat sekali, kakinya
sedikit
mengenjot, keledai Li Bok-chiu diceng-klaknya
dan terus
dilarikan, bahkan sekalian tangan kirinya
menjentik, sebuah
“Giok-hong-ciam” jarum tawon putih) telah
ditimpukkan dan
dengan jitu masuk di kepala keledainya Ang
Ling-po.
Dalam murkanya, tanpa pikir lagi Li Bok-chiu
lantas
menguber, sekuat tenaga ia melayang ke depan
dan tubruk si
Yo Ko dari belakang.
Lekas-lekas Yo Ko meloncat dan tinggalkan
binatang
tunggangan itu, garan kebut rampasannya tadi
dia gunakan
untuk ketok kepala keledai itu hingga pecah
dan otak
berhamburan.
“Hayo, lekas, bini cilik, lekas lari ikut
lakimu !” Yo Ko
berteriak-teriak pula sambil turunkan
tubuhnya di atas
keledainya, lalu kebut rampasannya digunakan
menyabet
serabutan ke belakang untuk menahan uberan Li
Bok-chiu.
Di sebelah sana, tanpa menunggu perintah
lagi, Liok Bu-
siang telah keprak keledainya dilarikan
secepatnya.
Sebenarnya dengan Ginkang Li Bok-chiu, dalam
satu-dua li
saja dia pasti dapat menyusul binatang
tunggangan orang,
cuma tadi ia sudah merasakan tipu serangan
aneh dari Yo Ko
hingga hatinya rada jeri maka tak berani ia
terlalu mendesak
melainkan dengan “Kim-na-jm-hoat” ia rebut
kembali
kebutnya saja.
Di pihak lain, keledai Ang Ling-po yang
kepalanya
tertimpuk jarum tawon putih yang sangat
lembut itu,
mendadak binatang ini berjingkrak terus
menyeruduk ke arah
Li Bok-chiu, bahkan pentang mulut hendak
menggigit.
“Hai, Ling-po, ada apakah?” bentak Li
Bok-chiu.
“Binatang ini menjadi gila,” sahut Ling-po
sambil tarik tali
kendali sekuat tenaga hingga seluruh mulut
keledai itu penuh
darah.
Sejenak kemudian sekonyong-konyong keledai
itu menjadi
lemas, terguling mati.
“Kita kejar saja, Suhu!” seru Ang Ling-po
melompat
bangun.
Tetapi waktu itu Yo Ko dan Bu-siang sudah
berlari pergi
hampir satu li jauhnya, hendak mengejar pun
tak bisa
menyandak lagi.
Sesudah melarikan keledai mereka
sekeras-keras-nya,
kemudian Yo Ko dan Bu-siang berpaling, namun
tak
tertampak bayangan Li Bok-chiu yang mengejar.
“ToIol, dadaku sangat sakit, tak tahan lagi
aku,” seru Bu-
siang. . Yo Ko tidak menjawab, ia melompat
turun dan
mendekam ke tanah untuk mendengarkan tetapi
tiada suara
derapan kuda yang didengarnya.
“Tak perlu takut lagi, kita lanjutkan lengan
perlahan-lahan
saja,” ujarnya.
Habis itu, mereka melanjutkan perjalanan
dengan
berendeng.
Tetapi hanya sebentar saja, karena kuatir
disusul Li Bok-
chiu, kembali mereka keprak keledai dan
dilarikan pula,
Begitulah, sebentar cepat dan lain saat alon2
hingga haripun
sudah magrib.
“Bini cilik, jika kau ingin selamat,
hendaklah kau tahan
sakit dan lari terus semalaman ini,” kata Yo
Ko.
“Ngaco-belo! Awas, kalau aku tidak iris
lidah-mu?”
damperat Bu-siang karena terus-menerus Yo Ko
sebut “bini”
padanya,
Yo Ko melelet-lelet lidah, tetapi ia berkata
lagi: “Hanya
sayang binatang-binatang ini sudah terlalu
letih, kalau
semalam berlari terus mungkin akan mampus di
tengah jalan.”
Dalam pada itu haripun mulai gelap, mendadak
terdengar
di depan sana ada suara meringkiknya kuda.
“Haha, itu dia, marilah kita tukar kuda ke
sana!” seru Nyo
Ko girang.
Segera mereka kencangkan lari keledai lagi
lewat
beberapa li, tertampaklah di depan sana ada
sebuah
perkampungan dan di bagian luar tertambat
ratusan ekor
kuda. Kiranya pasulcan berkuda Mongol yang
dilihat mereka
siang tadi berhenti di sini.
“Kau tunggu di sini, biar aku masuk ke
kampung sana
menyelidiki keadaan dulu,” kata Yo Ko
Lalu ia turun dari keledainya dan masuk
sendiri ke
perkampungan itu, Pada jendela sebuah gedung besar
dilihatnya ada sinar lampu, dengan cepat Yo
Ko menyelinap
ke sana, ia mengintip melalui jendela itu, ia
lihat seorang
pembesar MongoI sedang berduduk di dalam
dengan
mungkur.
Tiba-tiba tergerak pikiran Yo Ko, “He,
daripada tukar
kuda, tidakkah lebih baik tukar orang saja,”
demikian pikirnya.
Tidak antara lama, ia lihat pembesar Mongol
itu berdiri,
lalu berjalan mondar-mandir di dalam kamar.
Umur pembesar ini ternyata masih sangat muda,
hanya
likuran saja, tetapi sikap dan tidak
tanduknya ternyata sangat
kereng, tampaknya pangkatnya tidak rendah.
Yo Ko menunggu pada waktu pembesar itu
mungkur lagi,
dengan pelahan ia dorong daun jendela, lalu
melompatlah dia
ke dalam terus ulur jari buat tutuk punggung
orang.
Siapa duga, begitu mendengar ada suara angin
menyamber dari belakang, secepat kilat
pembesar itu
melangkah maju, dengan sendirinya tutukan Yo
Ko menjadi
luput, kesempatan itu telah dipergunakan
pembesar itu untuk
mengayun tangan kirinya buat menangkis,
menyusul mana
iapun putar tubuh dan sepuluh jari tangannya
laksana kaitan-
lantas mencakar ke muka Yo Ko, ternyata yang
dipakai
adalah tipu serangan yang lihay dari “Tay
lik-eng-jiau-kang”
atau ilmu cakar elang bertenaga raksasa.
Rada terkejut juga Yo Ko, sungguh tak nyana
bahwa
seorang pembesar Mongol ternyata memiliki
ilmu silat begitu
tinggi Karena itu, sedikit mengegos iapun
berkelit
menghindarkan cakaran tadi.
BeruIang kali pembesar Mongol itu
mencengkeram lagi,
tetapi selalu dapat dielakkan Yo Ko.
Biasanya pembesar Mongol itu sangat bangga
atas ilmu
silatnya yang hebat karena sejak kecil
mendapat pelajaran
guru pandai dari golongan Eng-jiau-bun. Siapa
duga, begitu
bergebrak dengan Yo Ko, sama sekali ia tak
bisa berbuat
apa-apa.
Sementara itu Yo Ko melihat lawan mencakarnya
lagi
secara tak kenal ampun, cepat ia melompat ke
atas, dengan
kedua tangannya ia tahan atas pundak orang
sambil
menggertak “Duduk saja!”
Tiba-tiba pembesar itu merasakan kekuatan
yang maha
besar menekan dari atas, ia tak bisa tahan
lagi, kedua lututnya
terasa lemas hingga akhirnya, ia duduk
terkulai di lantai,
dadanya terasakan sumpek, darah serasa akan
menyembur
keluar.
Tetapi kemudian Yo Ko remas2 dua kali di
bawah
bahunya, tiba-tiba pembesar itu merasa
dadanya lapang
kembali dan bisa bernapas lancar, tanpa ayal
lagi segera ia
melompat bangun, dengan tercengang ia
memandangi Nyo
Ko.
“Siapakah kau? Ada keperluan apa kedatanganmu
ini?”
tanyanya kemudian ternyata bahasa Han yang
diucapkannya
bagus dan lancar sekali, tiada ubahnya
seperti bangsa Han
asli.
“Kau bernama siapa? jabatan apa yang kau
pangku?”
berbalik Yo Ko menanya dengan tertawa.
Pembesar itu melotot dengan gusar, segera
hendak
dilabrak pula si Yo Ko.
Tetapi Yo Ko tak gubris padanya, ia malahan
mendahului
ambil tempat duduk pada kursi yang tadinya
dipakai pembesar
itu. Ketika pembesar itu menyerang beberapa
kali, namun
selalu dipatahkan oleh Yo Ko tanpa banyak
buang te-naga.
“Hai, pundakmu sudah terluka, baiknya kau
jangan banyak
keluarkan tenaga,” kata Yo Ko tiba-tiba.
“Ha, apa? Terluka?” tanya pembesar itu kaget.
Ketika pundak kiri diraba, ia merasa ada satu
tempat yang
rada jarem sakit, lekas-lekas ia raba sebelah
yang lain, sama
saja terasa sakit pegal, kalau tak disentuh
sedikitpun tidak
terasa, tetapi bila ditekan dengan jari,
segera terasa ada
sesuatu yang sangat lembut yang menusuk
sampai ke tulang
sungsum.
Kaget sekali pembesar itu, dengan cepat ia
robek bajunya,
waktu ia melirik, ia lihat di atas pundak
kirinya terdapat titik
merah yang kecil sekali, begitu pula sebelah
pundak yang lain.
Segera iapun sadar bahwa ketika Yo Ko menahan
pundaknya tadi, diam-diam pada tangannya
tergenggam
senjata rahasia hingga dirinya telah
dikibuli.
“Am-gi apa yang kau pakai? Berbisa atau tidak
?” cepat ia
membentak dengan gusar tercampur kuatir.
Tetapi Yo Ko tersenyum saja.
“Kau belajar silat, kenapa sedikit
pengetahuan umum itu
saja tak mengerti,” sahutnya kemudian “Kalau
Am-gi besar tak
beracun, maka Am-gi kecil dengan sendirinya
berbisa.”
Dalam hati pembesar itu sembilan bagian
percaya atas
kata-kata ini, namun demikian, ia mengharap
juga kata-kata
itu bohong belaka, maka air mukanya lantas
tertampak
mengunjuk setengah percaya setengah sangsi.
“Pundakmu sudah terkena jarum saktiku, racun
itu akan
meluas setiap hari, kira-kira enam hari
sesudah racunnya
menyerang jantung, maka jiwamu tak tertolong
Iagi,”
demikian kata Yo Ko sembari memainkan sebuah
pensil di
atas meja.
Watak pembesar itu ternyata sangat keras
kepala,
sungguhpun dalam hati ia mengharapkan
pertolongan orang,
namun tak sudi diucapkannya.
“Jika begitu, biarlah tuan besarmu mati
bersama dengan
kau,” mendadak ia membentak Iagi. Habis ini,
sekali bergerak,
segera Yo Ko hendak ditubruknya pula.
Namun sebelum ia bertindak, tiba-tiba di luar
ada suara
bentakan orang yang keras: “Hai Yalu Cin,
pembesar anjing
dari Mongol, berpalinglah ke sini!”
Mendengar namanya disebut pembesar itu
menoleh,
segera pula sinar putih yang gemerlapan
beruntun-runtun
menyamber masuk melalui jendela.
Hujan Am-gi atau senjata gelap itu
dihamburkan dengan
kuat lagi terlalu banyak jumlahnya, dalam
keadaan demikian,
meski pembesar itupun tidak lemah, namun
seketika itu mana
sanggup menyambut hujan Am-gi yang begitu
banyak?
Sebenarnya tiada maksud Yo Ko buat menolong
pembesar Mongol yang bernama Yalu Cin ini,
karena
dilihatnya senjata rahasia begitu banyak menghambur
masuk,
tiba-tiba ia keluarkan ilmu
“Boan-thian-hoa-uh” (hujan gerimis
memenuhi langit), sesuatu ilmu dari
Giok-li-sim-keng yang
dilatihnya, ia menangkap ke kanan dan
membentuk ke kiri,
sekejap saja senjata2 rahasia yang tertangkap
olehnya telah
ditimpuk kembali maka terdengarlah suara
gemerincing
nyaring dan ramai belasan macam senjata
rahasia telah
memenuhi meja dan lantai
“Kepandaian bagus, semoga kelak kita bertemu
lagi,
dapatlah mengetahui nama saudara?” terdengar
suara
pertanyaan seorang lelaki di luar jendela.
“Aku adalah kaum yang tak terpandang, maka
tak punya
nama dan tiada she,” sahut Yo Ko.
Karena jawaban ini, terdengar lagi suara
jengekan seorang
lain di luar.
“Marilah pergi!” kata orang ketiga, sekali
ini suara orang
perempuan.
Habis itu, lantas terdengar suara tindakan
kaki yang
pelahan sekali di atas rumah, ketiga orang
itu sudah pergi
melintasi pagar rumah.
Tadi waktu Yo Ko bergebrak dengan Yalu Cin
hingga
sama-sama mencurahkan seluruh perhatian, maka
tiada yang
mendengar bahwa ada orang laki lagi mengintip
di samping,
hal ini menandakan pula ilmu entengkan tubuh
ketiga orang
itupun sangat hebat.
Meski pembesar Mongol bernama Yali Cin itu
sudah
ditolong jiwanya oleh Yo Ko, tetapi ketika
pundaknya terasa
sakit, ia menjadi gusar pula karena telah
dikibuli Yo Ko tadi,
mendadak senjata2 rahasia yang berserakan
itu, ia samber
terus ditumpukkan ke arah Yo Ko.
Menghamburnya senjata2 rahasia “dari luar
jendela tadi
dilakukan oleh tiga orang bersama, kepandaian
menimpuk pun
jauh lebih tinggi dari pada Yali Cin, untuk
itu saja Yo Ko
sanggup menangkap dan membenturnya kembali,
apalagi kini
Yali Cin menimpuk dengan satu per satu, mana
bisa
serangannya mengenai Yo Ko, malahan satu per
satu telah
ditangkap olehnya tanpa luput satupun.
“Awas!” seru Yo Ko kemudian.
Ketika tangannya mengayun, tahu-tahu beberapa
puluh
senjata rahasia yang ditangkapnya itu
dihamburkan kembali
Melihat datangnya senjata rahasia itu
mengarah dari
kanan-kiri maupun atas atau bawah, walaupun
berkelit atau
mengegos pasti akan terkena juga beberapa
diantaranya,
tentu saja Yali Cin terkejut, dalam keadaan
kepepet,
mendadak ia melompat mundur, maka
terdengarlah suara
“blang” yang keras, punggungnya menumbuk
dinding dengan
keras, Lalu terdengar suara bertok-tok riuh,
beberapa puluh
senjata rahasia itu telah mengenai dinding
semua.
Suara gemerutuk di atas dinding itu ternyata
sangat aneh
dan berlainan satu sama lain, karena-senjata2
rahasia itu
memang beraneka macamnya, Dalam kagetnya itu,
lekas-
lekas Yali Cin melompat ke samping Iagi, ketika
ia berpaling
memandang ke dinding, mau-tak-mau ia
ternganga saking
herannya.
Ternyata beberapa puluh senjata rahasia itu
ambles
semua ke dalam dinding, jarak dengan tubuhnya
tadi hanya
selisih beberapa senti saja, hingga potongan
badannya
seakan-akan terlukis di atas dinding itu,
sedang tubuhnya
seujung rambutpun tak terluka, bahkan baju
pun tak terobek
barang sedikitpun
Dalam kaget dan herannya, tak tertahan lagi
Yali Cin
kagum luar biasa, tiba-tiba ia jatuhkan diri
dan berlutut
memberi hormat pada Yo Ko.
“Terimalah hormatku, Enghiong, hari ini aku
betul-betul
menyerah padamu,” demikian katanya.
Sungguhpun ilmu silat Yo Ko sangat tinggi
tetapi selama
hidupnya itu biasanya selalu dimaki dan
didamperat orang,
sampai Liok Bu-siang yang berulang kali ditolong
olehnya juga
selalu berlaku sangat bengis padanya tanpa
mau mengalah
sedikitpun kini mendadak ada orang menjura
padanya dan
menyatakan takluk betul-betul. tentu saja
hati mudanya
menjadi girang luar biasa, saking senangnya
ia tertawa
terbahak-bahak.
“Dapatkah mengetahui nama Enghiong yang
mulia?” tanya
Yali Cin.
“Aku bernama Yo Ko, dan kau apakah bernama
Yali Cin?
jabatan apa yang kau pangku di MongoI?” sahut
Yo Ko.
Kiranya pembesar muda ini adalah putera Yali
Cu-cay,
perdana menteri kerajaan Mongol! Yali Cu-cay
telah banyak
membantu Jengis Khan dan puteranya membangun
kerajaan
Mongol yang namanya disegani sampai di daerah
barat itu,
jadinya sungguh sangat besar, sebab itulah
meski umur Yali
Cin masih muda, namun berkat jasa sang
banyak, ia telah
diangkat menjadi Keng-Iiat-su di HoIam,
keberangkatannya
sekarang ini menuju ke HoIam untuk memangku
jabatan.
BegituIah ia telah ceritakan apa yang
sebenarnya.
Meski ilmu silat Yo Ko tinggi, tapi terhadap
segala nama
jabatan itu sama sekali tak dimengertinya, maka
ia hanya
angguk-angguk saja dan bilang bagus.
“Hekoan (aku pembesar rendah) entah sebab apa
telah
membikin marah Nyo-enghiong? Kalau ada
sesuatu, harap
Nyo-enghiong suka katakan terus terang,” kata
Yali Cin.
“Tak ada apa-apa yang bikin marah,” sahut Nyo
to sambil
ketawa.
Habis ini, mendadak ia meloncat keluar
melalui jendela
terus menghilang. Keruan saja Yali Cin kaget.
“Nyo-enghiong…” ia berteriak sambil memburu
ke pinggir
jendela, namun bayangan Yo Ko sudah tak
kelihatan
“Aneh, orang ini pergi-dataag secara
tiba-tiba saja,
padahal tubuhku sudah terkena jarum
beracunnya, lalu
bagaimana baiknya ?” Yali Cin menjadi
ragu-ragu.
Tetapi baru sejenak ia termenung-menung,
mendadak
daun jendela bergerak, tahu-tahu Yo Ko sudah
kembali lagi,
malahan di dalam kamar kini sudah bertambah
dengan satu
orang.
“Ah, kau telah kembali!” seru Yali Cin
girang.
“Dia adalah biniku, lekas kau menjura
padanya!” kata Nyo
Ko tiba-tiba sambil menunjuk Liok Bu-siang.
“Apa kau bilang?” bentak Bu-siang gusar
berbareng itu,
kontan ia tampar muka Yo Ko.
Sebenarnya kalau Yo Ko menghindar dengan
gampang
saja hal itu bisa dilakukannya, Tetapi entah
mengapa, ia
merasa lebih senang menerima tamparan atau
dicaci maki si
gadis. Oleh sebah itulah, sama sekali ia
tidak berkelit maka
“plok” pipinya telah merasakan tamparan itu
hingga pana
pedas.
Yali Cin tak tahu kalau kelakuan kedua orang
itu sudah
biasa begitu, ia mengira ilmu silat Bu siang
tentu lebih tinggi
dari pada Yo Ko, maka dengan terpesona ia
pandang orang
dan tak berani bersuara.
“Kau sudah terkena racun jarumku, tapi
sementara masih
belum sampai mampus,” kata Yo Ko kemudian
sembari elus-
elus pipinya, “Asal kau dengar kataku dan
menurut, pasti aku
akan menyembuhkan kau.”
“Hekoan biasanya paling kagum terhadap kaum
Enghiong,
hari ini bisa berkenalan dengan Nyo enghiong,
sekalipun
Hekoan tak bakal hidup lagi, rasanya pun
rela,” sahut Yali Cin.
“Haha,” Yo Ko tertawa senang karena orang
pintar
menjilat, “tidak nyana, kau terhitung juga
seorang gagah
berani. Baiklah, sekarang juga ku sembuhkan
kau.” , Habis itu,
ia keluarkan sebuah batu sembrani dan
menyedot keluar dua
jarum tawon putih orang menancap di pundak
orang itu dan
dibubuhi obat pula.
Selamanya belum pernah Bu-siang melihat
Giok-hong-ciam
atau jarum tawon putih itu, kini nampak
bentuk jarum itu
selembut rambut, ia menjadi heran dan tidak
habis mengarti
benda seringan itu kenapa bisa dipakai
sebagai senjata
rahasia?
Karena itu, rasa kagumnya pada Yo Ko pun
tanpa terasa
bertambah setingkat pula, walaupun begitu, di
mulutnya ia
sengaja ber-olok-olok, katanya: “Hm, pakai
senjata rahasia
begitu, tiada sedikitpun semangat jantan, apa
tak kuatir
ditertawakan orang?”
Tetapi Yo Ko hanya tersenyum, ia tidak bantah
kata-kata
orang, sebaliknya ia berpaling dan berkata
pada Yali Cin:
“Kami berdua ingin mengabdi padamu.”
Yali Cin terkejut “Ah, Nyo-enghiong suka
berkelakar saja,
ada apakah. silakan berkata terus siang
saja,” sahutnya
kemudian
“Aku tak berkelakar, tapi sungguh-sungguh,
kami ingin
menjadi pengawalmu,” kata Yo Ko pula.
“Eh, kiranya kedua orang ini ingin cari
pangkat dan
kedudukan,” demikian pikir Yali Cin. Karena
itu segera
sikapnya berubah lain, sebab disangkanya
orang tentu
membutuhkan bantuannya maka dengan
sungguh-sungguh
dia lantas berkata: “Enghiong sesudah belajar
silat memang
harus diabdikan kerajaan, hal ini memang
jalan yang tepat.”
“Kau telah salah tangkap maksudku,” ujar Yo
Ko dengan
tertawa, “Kami bukan hendak mencari pangkat
kami sedang
dikejar oleh musuh yang sangat lihay
sepanjang jalan, karena
kami tak ungkulan melawannya, maka ingin
menyamar
sebagai pengawalmu untuk menghindarinya
sementara.”
Yali Cin sangat kecewa sebab dugaannya salah,
mukanya
segera berubah lagi dan tak berani berlagak…”
“Ah, kalian suka merendah diri saja, masakah
seorang
musuh perlu ditakuti?” katanya dengan
tertawa, “Tetapi kalau
mereka berjumlah banyak, Hekoan dapat kirim
pasukan dan
menangkap mereka untuk diserahkan padamu.”
“Aku saja tak bisa menandingi dia, sebaiknya
tak perlu kau
ikut repot,” sahut Yo Ko. “Lekas kau perintah
pelayanmu
mengambilkan pakaian agar kami bisa
menyamar.”
Yali Cin tak berani membantah, ia perintah
pengawalnya
mengambilkan pakaian yang diminta dan silakan
Yo Ko dan
Bu-siang salin ke kamar lain.
Sesudah tukar pakaian, waktu Bu-siang
bercermin, nyata
ia telah berubah menjadi perwira muda bangsa
Mongol yang
cakap.
Besok paginya berangkatlah mereka ikut
rombongan
pasukan tentara itu, Yo Ko dan Bu-siang
masing-masing
digotong dengan sebuah Joli mentereng,
sebaliknya Yali Cin
malah menunggang kuda.
Sebelum lohor, terdengarlah suara kelenengan
nyaring
dari jauh, tapi sekejap saja suara itu sudah
lewat melampaui
rombongan mereka, Tentu saja Bu-siang sangat
girang,
pikirnya: “Sungguh nikmat sekali merawat luka
di dalam joli
ini, biarlah aku digotong mereka sampai
daerah Kanglam saja”
Dua hari kemudian, suara kelenengan keledai
yang sangat
ditakuti itu sudah tak terdengar lagi,
agaknya Li Bok-chiu
sudah mengejar terus ke desa dan tidak
kembali pula. Begitu
juga para Tojin dan anggota Kay-pang yang
ingin menuntut
balas pada Liok Bu-siang pun tidak menemukan
jejaknya.
Pada hari ketiga, sampailah mereka di
Liong-Se, satu kota
persimpangan jalan yang penting dan ramai.
Sehabis bersantap malam, iseng2 Yali Cin
mendatangi
kamarnya Yo Ko untuk meminta petunjuk tentang
ilmu silat.
Dasar Yali Cin ini pandai bicara, ia sengaja
menyanjung
dan mengumpak Yo Ko setinggi langit, maka
untuk jasa itu
Yo Ko telah memberikan sekali dua petunjuk
padanya,
walaupun hanya dasar-dasar yang tidak
berarti, tapi bagi Yali
Cin sudah tterupakan pelajaran yang tak pernah
didengarnya,
tentu saja tidak sedikit faedah baginya.
Selagi Yali Cin
mencurahkan seluruh perhatiannya mendengarkan
“kuliah”
Yo Ko, tiba-tiba datanglah seorang
pengawalnya melapor
bahwa dari orang-tuanya di kotataja ada
mengirim utusan
baginya.
“Baiklah, segera aku datang,” sahut Yali Cin
girang,
Sedang ia hendak mohon diri pada Nyq Ko,
mendadak ia
timbul pikirannya: “Ah, kenapa aku tidak
menerima kurir
pengantar surat itu M hadapannya, dengan
begitu bisa
menandakan akuj tidak pandang dia sebagai
orang asing, dan
cara dia” mengajarkan ilmu silatnya padaku
tentu akan ber-
sungguh-sungguh juga.”
Segera pengawalnya diberi perintah: “Panggil
dia
menghadap padaku di sini.”
Pengawal itu merasa aneh oleh karena perintah
itu, “Ma…
mana…” demikian dengan samar-samar ia hendak
menjelaskan
Namun Yali Cin lantas lambaikan tangannya dan
bilang
lagi: “Tak apa, bawalah dia ke sini!”
“Tetapi Lotayjin sendiri yang…” kata si
pengawal pula.
“Ah, kau hanya banyak omong saja,” sela Yali
Cin tak
sabar, “Lekas pergi….”
Belum habis ia bicara, tahu-tahu tirai kamar
tersingkap
dan masuklah seorang dengan tertawa.
“Anak Cin, tentu kau tak menduga akan diri
ku, bukan ?”
demikian kata orang itu segera.
Girang dan kejut Yali Cin demi mengenali
siapa adanya
orang itu, Lekas-lekas ia berlari memapak dan
menyembah.
“Ah, kiranya Ayah…”
“Ya, memang aku sendiri yang datang,” potong
orang itu.
Kiranya orang ini memang bukan lain adalah
ayah Yali Cin,
itu perdana menteri negeri Mongol Yali
Cu-cay.
Mendengar Yali Cin panggil orang itu sebagai
ayah, Yo Ko
tak tahu bahwa orang adalah Perdana Menteri
yang sangat
berkuasa di negeri Mongol, ia lihat alis
jenggot orang sudah
putih, wajahnya alim menandakan seorang yang
beribadat,
mau-tak-mau dalam hati Yo Ko timbul juga
semacam
perasaan menghormat.
Dan baru saja orang itu berduduk, dari luar
kembali masuk
lagi dua orang terus memberi hormat pada Yali
Cin dan
menyebutnya sebagai “Toa-ko.”
Kedua orang ini yang satu laki-laki dan yang
lain wanita.
Yang lelaki berumur antara 25-26 tahun,
sedang usia yang
perempuan kira-kira sebaya dengan Yo Ko.
“Ah, Ji-te dan Sam-moay, kalian pun ikut
datang!” sapa
Yali Cin kepada muda-mudi itu dengan girang.
Pemuda itu adalah putera Yali Cu-cay kedua,
namanya Yali
Ce, dan puterinya bernama Yali Yen. perawakan
Yali Ce kurus
jangkung, tetapi sikapnya gagah dan wajahnya
cakap, Yali
Yen pun berpotongan ramping tinggi, tampaknya
mereka
sekeluarga memang berketurunan perawakan
tinggi.
Meskipun perawakan Yali Yen tinggi, namun
wajahnya
masih membawa sifat kanak-anak, dibilang
cantik, sebenarnya
tak begitu cantik, tetapi di antara
senyumannya terdapat juga
semacam gayfa yang menggiurkan.
“Ayah, keberangkatanmu dari kotaraja,
sedikitpun anak
tidak mengetahui.” sementara itu Yali Cin
berkata pula.
“Ya,” Yali Cu-cay mengangguk “karena ada
suatu urusan
besar, kalau bukan aku sendiri yang
memimpinnya, betapapun
rasa hatiku tak lega.”
“Sambil berkata, pandangannya telah merata Yo
Ko
beserta para pengawal yang berada di situ,
maksudnya agar
mereka diperintahkan menyingkir.
Tentu saja Yali Cin menjadi serba salah,
seharusnya ia
mengibaskan tangan menyuruh para pengawalnya
pergi, tapi
Yo Ko adalah orang yang tak boleh
dipersamakan dengan
bawahannya, karena itu, sikapnya menjadi
kikuk dan ragu-
ragu.
Namun Yo Ko cukup tahu diri, dengan tersenyum
ia
mengundurkan diri atas kemauan sendiri.
“Siapakah dia tadi?” tanya Yali Cu-cay pada
Yali Cin segera
sesudah Yo Ko menyingkir.
“Kenalan baru yang bertemu di tengah jalan
tadi,” sahut
Yali Cin samar-samar untuk menghindari
kehilangan pamor di
hadapan adik2nya, “Ada urusan penting apakah
sebenarnya,
sampai ayah berangkat sendiri ke selatan?”
Yali Cu-cay menghela napas atas pertanyaan
sang putera.
“Ya, pertama-tama untuk menghindari bahaya,
kedua
demi keutuhan negeri kita yang sudah tertanam
kukuh oleh
cakal-bakal kita itu,” sahutnya kemudian.
Yali Cin terdiam karena jawaban itu, ia
saling pandang
sekejap dengan adik2nya, wajah mereka pun
mengunjuk rasa
duka.
Kiranya sesudah cakal-bakal negeri Mongol,
Jengis Khan
wafat, putera kedua, Gotai menggantikan tahta,
setelah Gotai
meninggal, kedudukan-nya diganti oleh
puteranya yang
pendek umur, tatkala pemerintahan dikuasai
permaisuri dan
karena permaisuri main konco2an dan percaya
pada
sekelompok kecil orang, banyak pembesar lama
dan panglima
yang berjasa malah tergencet hingga suasana
pemerintahan
sangat kacau.
Yali Cu-cay adalah pembesar tiga angkatan
sejak Jengis
Khan dan berjasa besar sebagai orang yang
ikut membangun
kerajaan Mongol, karena itu setiap permaisuri
membuat
kesalahan, ia suka memberi kritik secara jujur.
Tetapi
permaisuri menjadi kurang senang karena
tindak tanduknya
selalu dirintangi.
Sudah tentu Yali Cu-cay juga insaf bahwa
keselamatannya
dengan sendirinya selalu terancam, tetapi
demi kepentingan
negara yang dahulu ikut didirikannya dengan
susah payah, ia
telah berpikir siang dan malam untuk mencari
jalan keluar
yang paling baik
Suatu malam sesudah dia baca kitak
“Cu-ti-thong-kam”
karangan Suma Kong dari ahala Song, mendadak
tergerak
pikirannya, ia mendapatkan satu akal bagus.
Besok paginya
dalam sidang ia mengajukan usul agar dirinya
diutus ke
daerah Ho-lam untuk menenteramkan keadaan di
sana yang
sedang bergolak.
Dengan sendirinya usul itu sangat cocok
dengan keinginan
permaisuri yang sudah lama bermaksud
menyingkirkan dia,
maka diutuslah Yali Cu-cay ke Holam dengan
kuasa penuh.
Yali Cu-cay mengadakan perundingan dengan
para
sahabat lama dan akalnya ternyata disetujui
dan didukung
dengan suara bulat oleh kawan-kawan lama itu.
Kiranya akal yang Yali Cu-cay rencanakan itu
yalah pada
suatu saat permaisuri hendak dirobohkan dan
mengangkat
raja baru, yakni meniru cara apa yang terjadi
pada jamannya
Bu-cek-thian dari ahala Tong.
Mula-mula ia mengusulkan dirinya di utus ke
Holam dan
disetujui permaisuri tetapi di sana ia
menghimpun pasukan
dan panglima2 yang perkasa, setelah kekuasaan
militer
berada di tangannya, segera ia mengangkat
raja baru dan
mendesak permaisuri mengundurkan diri.
Tatkala itu calon
raja yang mereka dukungi adalah cucu Jengis
Khan, putera
Dule yang bernama Monka.
Begitulah, dengan suara pelahan Yali Cu-cay
ceritakan
rencananya pada sang putera. Yali Cin merasa
girang dan
kuatir, sebab kalau rencana itu terlaksana,
dengan sendirinya
mereka berjasa besar, sebaliknya kalau gagal,
itu berarti
bahaya bagi kehancuran keluarga mereka.
Selagi mereka berempat sedang berunding
secara rahasia,
waktu itu juga Yo Ko sedang duduk semadi di
kamar Liok Bu-
siang dengan memusatkan pendengarannya
mengikuti
pembicaraan Yali Cu-cay berempat.
Bagi orang yang sudah tinggi Lwekang yang
dilatihnya,
penglihatan dan pendengaran atas sesuatu
selalu lebih tajam
dari pada orang biasa.
Oleh sebab itulah, meski kamar di mana Yo Ko
dan Bu-
siang berada masih diseling dengan sebuah
ruangan lain,
suara bicara Yali Cu-cay pun sangat perlahan,
bagi Liok Bu-
siang sedikitpun tak kedengaran, tapi untuk
Yo Ko sebaliknya
dapat didengar dengan jeIas.
Walaupun apa yang dibicarakan keempat orang
itu adalah
rahasia pemerintahan Mongol dan tiada sangkut
pautnya
dengan Yo Ko, namun uraian Yali Cu-cay itu
sangat menarik,
Nyo-Ko jadi ingin mendengarkan terus.
“Hai, ToloI, kenapa kau bersemadi di sini.”.
tegur Bu-
siang. sesudah menunggu dan melihat orang
hingga sekian
lama tak bergerak.
Tetapi saat itu justru Yo Ko lagi
pusatkan-perhatiannya
untuk mendengarkan pembicaraan orang,
terhadap kata-kata
Bu-siang itu sebaliknya malah tak
didengarnya.
Sesudah ulangi lagi tegurannya dan masih
tiada jawaban,
akhirnya Bu-siang menjadi marah.
“Hai, Tolol, kau mau bicara dengan aku
tidak?” omelnya.
Karena Yo Ko tetap tidak menyahut, ia
bermaksud
mengitik2nya, tapi sekonyong-konyong Yo
Ko-melompat
bangun.
“Ssssttt, diluar ada orang mengintip,”
katanya, tiba-tiba
dengan suara mendesis.
Akan tetapi sedikitpun Bu-siang tidak
mendengar sesuatu
suara yang mencurigakan.
“Kau mau dustai aku?” sahut si gadis dengan
suara
rendah.
“Bukan di sini, tetapi di rumah yang sana”
kata Yo Ko.
Namun Bu-siang lebih-lebih tak percaya, ia
tersenyum
sambil mengomel: “Tolol!”
“Ssst, jangan-jangan gurumu yang mencari
kemari lekas
jkita sembunyi dahulu,” dengan suara bisik Yo
Ko
peringatkan pula sembari tarik-tarik baju
nona.
Mendengar gurunya di-sebut-sebut, mau tak mau
Bu-siang
menurut, ia ikut Yo Ko mendekam di luar
jendela untuk
mengintai
Tiba-tiba Yo Ko menuding ke arah barat waktu
Bu-siang
mendongak, betul saja dilihatnya dari atas
rumah yang agak
jauh sana mendekam sesosok bayangan orang,
Tatkala itu
tiada sinar bulan hingga malam gelap gulita,
kalau tidak
memandang dengan seluruh perhatian, memang
sukar untuk
membedakan apakah itu bayangan orang atau
bukan.
Baru sekaranglah Bu-siang mau menyerah,
alangkah
kagumnya pada “si Tolol” yang tak di-mengerti
cara
bagaimana bisa mengetahui datangnya orang
itu?
“Bukan Suhu,” katanya kemudian pada Yo Ko.
Sebab ia
tahu gurunya sangat tinggi hati, baju peranti
jalan malam
yang dipakainya kalau bukan berwarna kuning
langsat tentu
berwarna putih mulus, sama sekali tak mau
mengenakan
pakaian hitam.
Belum selesai ia berkata, mendadak orang
berbaju hitam
itu melompat ke sana dan sekejap saja sudah
melintasi tiga
deret rumah, sampai di luar jendela kamar di
mana terdapat
ayah dan anak keluarga Yali, segera sebelah
kakinya
melayang, ia depak terpentang daun
jendelanya, lalu dengan
senjata “Liu-yap-to” (golok bentuk sempit
panjang dan sedikit
melengkung) terhunus, dengan cepat sekali ia
melompat
masuk.
“Yali Cu-cay, hari ini biarlah aku mati
bersama kau,”
terdengar orang itu berteriak. Waktu
menyaksikan gerak
tubuh orang itu yang cepat, tetapi bergaya
lemas, Yo Ko
menduga tentu seorang perempuan. Ketika
mendengat suara
teriakannya, ia menjadi terang memang suara
kaum wanita.
“Ha, ilmu silat orang itu jauh di atas Yali
Cin, jiwa orang
tua berjenggot putih itu sukar dipertahankan
lagi,” demikian
terpikir olehnya.
“Lekas kita pergi melihatnya,” ajaknya pada
Bu-siang.
Dengan cepat mereka lantas menyusup ke sana,
dari luar
jendela mereka melihat Yali Cin sementara itu
sudah angkat
sebuah bangku sebagai senjata untuk menempui
wanita
berbaju hitam itu.
Ilmu permainan golok wanita baju hitam itu
bagus sekali,
golok Liu-yap-to yang dia pakai pun tajam
luar biasa, hanya
beberapa kali bacokan, empat kaki bangku itu
sudah tertabas
kutung.
“Lekas Iari, ayah !” teriak Yali Cin insaf
tak bisa
menandingi orang. Habis ini ia berteriak
pula. “Mana
orangnya, maju lekas!”
Karena teriakan ini wanita itu kuatir kalau
bala bantuan
membanjir datang dan tentu tak leluasa lagi
bagi tujuannya,
maka sebelah kakinya mendadak menendang gerak
kakinya
cepat, sekali tanpa kelihatan, karena tak
berjaga-jaga dengan
tepat Yali Cin tertendang pinggangnya dan
roboh
menggelongsor.
Kesempatan itu tak di-sia-siakan oleh wanita
muda itu,
begitu menyerobot maju, ia angkat goloknya
terus membacok
kepala Yali Cu-cay.
“Celaka!” teriak Yo Ko di dalam hati.
Segera ia siapkan segenggam Giok-hong-ciam
atau jarum
tawon putih dan selagi hendak disambitkan
tangan si nona
yang memegang senjata, tiba-tiba puteri Yali
Cu-cay, Yali Yen
yang berdiri di samping itu mendahului
membentak: “Jangan
sembrono!”
Berbareng itu sebelah tangannya menghantam ke
muka
nona baju hitam itu dan tangan yang lain
diulur buat merebut
senjata orang.
Gerak serangan ini sungguh tepat sekali,
terpaksa nona itu
harus mengegos menghindari hantaman, namun
tidak urung
pergelangan tangan yang memegang senjata kena
dipegang
Yali Yen, walaupun demikian, secara sebat
sekali kakinya
lantas melayang, Karena tendangan yang
mengarah tempat
berbahaya ini, Yali Yen dipaksa lepaskan
tangan dan
melompat mundur, karena inilah Liu-yap-to
gadis itu tidak
sampai kena direbut.
Melihat gebrakan kedua nona itu sama sebat
dan sama
lihay, dalam hati Yo Ko menjadi heran sekali.
sementara itu,
sekejap saja kedua gadis itu sudah saling
gebrak belasan jurus
bergantian.
Waktu itu juga, dari luar telah membanjir
masuk belasan
orang pengawal karena teriakan Yali Cin tadi,
demi melihat
kedua nona itu sedang bertarung dengan
sengitnya, mereka
hendak maju membantu.
“Nanti dulu,” tiba-tiba Yali Ce mencegah
mereka.
“Samsiocia (puteri ketiga) tidak perlu
bantuan kalian”
Di lain pihak, sesudah menyaksikan ilmu silat
kedua nona
itu, Yo Ko menoleh dan berkata pada Liok
Bu-siang: “Bini
cilik, kepandaian kedua orang itu lebih
tinggi dari pada kau.”
Bu-siang menjadi gusar karena orang menyebut
lagi “bini”
padanya, begitu tangan diangkat kontan ia
hendak tempeleng
orang. “Ssstt, jangan ribut, lebih baik
menonton perkelahian
saja,” kata Yo Ko pelahan dengan tertawa
sambil
mengelakkan diri.
Sebenarnya ilmu silat kedua nona itu kalau
dibilang lebih
tinggi dari pada Liok Bu-siang juga belum
tentu tepat Cuma
kedua nona itu memang mendapatkan didikan
guru pandai
kalau dibandingkan Yali Cin, terang jauh
lebih tinggi.
Begitulah maka Yali Cu-cay dan Yali Cin tidak
kepalang
heran dan terperanjat, sebab sama sekali
mereka belum
pernah tahu Yali Yen berlatih silat, siapa
tahu si gadis memiliki
ilmu silat yang begitu bagus, saking herannya
hingga mereka
ternganga.
Tak Iama lagi, karena Yali Yen tak
bersenjata, beberapa
kali ia hendak rebut golok orang, namun tak
berhasil
sebaliknya ia malah terdesak melompat sini
dan berkelit ke
sana tanpa bisa membalas.
“Sam-moay, biarkan aku yang mencobanya, kata
Yali Ce
tiba-tiba, Berbareng ini mendadak ia menyela
maju, dengan
tangan kanan melulu, beruntun2 tiga kali
memukul
“Baik, coba kau bagaimana,” sahut Yali Yen
setelah
mundur ke pinggir.
Tadi waktu Yali Yen bergebrak dengan gadis
baju hitam
itu, Yo Ko hanya bersenyum dan menonton
pertarungan itu
dengan sikap dingin, tetapi kini begitu Yali
Ce turun tangan,
hanya tiga kali serangan saja sudah bikin
hatinya terkesiap.
Ia lihat tangan kiri Yali Ce bertolak
pinggang, sama sekali
tak ikut bergerak, melulu tangan kanan saja
yang digunakan
buat melawan nona baju hitam itu, kakinya pun
tidak pernah
menggeser barang selangkahpun secara tenang
dan
seenaknya mencari kesempatan buat rebut golok
lawan, tipu
gerakannya sangat aneh, bahkan tempat dan
waktu yang
digunakannya pun jitu sekali, sungguh suatu
ilmu kepandaian
yang lain daripada yang lain.
Tentu saja Yo Ko terheran-heran. “Mengapa
orang ini
begini lihay?” demikian pikirnya.
“Tolol, kepandaian orang ini jauh melebihi
kau!” Bu-siang
balas mengejek si Yo Ko.
Namun Yo Ko sedang tercengang, maka tak
didengarnya
apa yang dikatakan si nona.
“Sam-moay, lihatlah yang jelas,” terdengar
Yali Ce berkata
pada adiknya sambil melayani si gadis baju
hitam. “Kalau aku
tepuk dia punya “pi-su-hiat”, tentu dia akan
menghindar
mundur ke samping, menyusul aku lantas pegang
dia punya
“ki-kut-hiat”, mau-tak-mau dia harus angkat
golok-nya buat
membacok. Pada saat itulah kita harus turun
tangan secara
cepat dan dapatlah merebut senjatanya.”
“Cis, belum tentu bisa begitu gampang,”
damperat gadis
baju hitam dengan gusar.
“Tetapi memang begitulah, lihatlah ini,” kata
Yali Ce.
sambil berkata, betul juga ia hantam
“pi-sui-hiat” si gadis.
Pukulan ini tampaknya seperti menceng dan
miring, tetapi
justru mengurung rapat segala jalan mundur
lawannya, hanya
pada ujung belakang kiri sedikit ke samping
itulah ada
peluang, karena si gadis hendak hindarkan
pukulan itu,
terpaksa ia mundur miring ke samping sana.
Yali Ce angguk-angguk suatu tanda pukulannya
membawa
hasil, menyusul betul juga ia ulur tangan
hendak pegang “Ki-
kut-hiat” lawan.
Sebenarnya dalam hati si gadis itu sudah
memperingatkan
dirinya sendiri agar “sekali-kali jangan
angkat golok balas
membacok” seperti apa yang direncanakan Yali
Ce. Akan
tetapi keadaan pada waktu itu sangat
berbahaya, jalan lain
memang tidak ada kecuali angkat goloknya buat
balas
membacok yang merupakan satu-satu-nya gerak
tipu yang
jitu.
Karena itulah, tanpa bisa pikir banyak,
segera goloknya
mengayun, ia balas menyerang.
“Nah, begitu bukan?” dengan sungguh-sungguh
Yali Ce
berkata.
Mendengar perkataannya ini, semua orang
menduga pasti
Yali Ce akan ulur tangan buat merebut senjata
si gadis, siapa
tahu tangan kanannya malah dia tarik kembali
dan
dimasukkan ke dalam lengan baju.
Maka luputlah bacokan gadis baju hitam itu,
sebaliknya ia
lihat kedua tangan orang malah bersedakap
seenaknya,
keruan saja ia rada tertegun.
Pada saat itu juga, sekonyong-konyong Yali Ce
ulur tangan
kanan lagi dengan dua jari ia menjepit
punggung golok si
gadis dan sedikit diangkat ke atas, karena
itu, gadis itu tak
mampu pegang kencang senjatanya hingga kena
direbut
orang secara mentah-mentah.
Menyaksikan pertunjukan ilmu sakti itu,
seketika semua
orang terkesima, menyusul suara sorak sorai
memecah
kesunyian memuji kepandaian Yali Ce tadi.
“Nah, sekarang iapun tak bersenjata,” kata
Yali Ce pada
adik perempuannya sambil melangkah mundur,
“kau maju lagi
menjajal dia, tabah sedikit dan hati-hati
terhadap tendangan
kilatnya.”
Karena goloknya direbut orang, wajah gadis
baju hitam itu
kelihatan muram, untuk sejenak terpaku di
tempat.
Semua orang menjadi heran oleh kelakuannya,
mereka
pikir: “Kalau Jikongcu (tuan muda kedua)
tidak menangkap dia
sekaligus, terang maksudnya sengaja
membebaskan dia lari,
tapi dia justru tak mau kabur, lalu apa
kehendaknya?”
Dalam pada itu, karena kata-kata abangnya
tadi, Yali Yen
telah tampil ke depan lagi.
“Wanyen Peng, berulang kali kami telah ampuni
kau, tapi
kau selalu merecoki kami, apa sampai hari ini
kau masih
belum mau mengakhiri maksudmu itu?” begitulah
kata Yali
Yen pada gadis baju hitam itu.
Mendengar nama yang disebut Yali Yen,
diam-diam Nyo
Ko sangat heran oleh nama beberapa orang yang
aneh itu.
Nyata, karena masih muda dan cetek
pengalamannya, Nyo
Ko tak tahu bahwa “Yali” adalah nama keluarga
kerajaan
negeri Liau, sedang “Wan-yen”, adalah nama
keluarga
kerajaan negeri Kim, beberapa orang yang
berada di dalam
kamar itu memang keturunan bangsawan kedua
negeri itu.
Cuma tatkala itu negeri Liau sudah ditelan
kerajaan Kim,
dan negeri Kim telah dicaplok pula oleh
Mongol. Oleh sebab
itu, baik Yali maupun Wan-yen, semuanya
adalah keluarga
raja2 yang sudah musnah negerinya.
Begitulah Wanyen Peng ternyata tak menjawab
kata-kata
Yali Yen tadi, ia masih menunduk dan
termenung-menung.
“Baiklah, jika kau memang ingin tentukan
unggul dan asor
dengan aku, marilah kita mulai lagi,” kata
Yali Yen kemudian.
Berbareng itu, melompat maju terus menjotos
susul-menyusul
dua kaIi.
“Kembalikan golokku itu,” serunya tiba-tiba
dengan nada
suara memelas.
Yali Yen tertegun karena permintaan itu,
katanya dalam
hati: “Kakakku sengaja rebut senjata mu agar
kau bergebrak
rangan kosong dengan aku, kenapa sekarang kau
malah minta
kembali senjatamu ?”
Walaupun begitu, karena wataknya memang
berbudi,
maka iapun tidak menolak “Baiklah”, demikian
sahutnya, Habis
itu, dari tangan abangnya ia ambil golok
Liu-yap-to itu dan
dilemparkan pada Wanyen Peng.
“Sam-siocia, kaupun gunakan senjata,” kata
seorang
pengawal sambil menyerahkan goloknya.
“Tak perlu,” sahut Yali Yen. Tetapi setelah
dipikir lagi,
segera ia menambahkan: “Baiklah, dengan
tangan kosong aku
memang bukan tandinganmu biarlah kita
bertanding golok.”
Lalu golok pengawal tadi diterimanya, walau
pun beratnya
sedikit terasa antap, namun boleh juga
sekedar dipakai.
Di lain pihak setelah terima kembali
senjatanya sendiri,
muka Wanyen Peng tampak putih pucat, dengan
tangan kiri
memegang golok, tangan kanan menuding Yali
Cu-cay dan
berkata: “YaIi Cu-cay, kau telah bantu orang
Mongol dan
tewaskan ayah-bundaku, selama hidupku ini
terang aku tak
sanggup menuntut batas lagi padamu, Biarlah
kita bikin
perhitungan nanti diakhirat saja !”
Begitu selesai bicara, mendadak golok di
tangan itu terus
menggorok ke lehernya sendiri.
Waktu mendengar kata-kata si gadis tadi
dengan sorot
matanya yang guram, seketika hati Yo Ko memukul
keras,
dadapun terasa sesak dan tanpa tertahan
berseru : “Kokoh !”
Pada saat ia berseru itulah Wanyen Peng telah
angkat
goloknya hendak membunuh diri. Namun gerak
tangan Yali Ce
cepat tiada bandingan-nya, ketika tubuhnya
sedikit
mendoyong dan tangannya menjulur, dengan dua
jari saja ia
berhasil merebut golok si gadis, bahkan
orangnya ditutuk pula
hingga tak bisa berkutik.
“Baik-baik saja begini, kenapa lantas
berpikiran pendek?”
demikian katanya.
Terjadinya beberapa peristiwa tadi, yakni
Wanyen Peng
hendak menggorok leher sendiri dan Yali Ce
merebut
senjatanya dengan jepitan jarinya, semuanya
terjadi dalam
sekejap saja, ketika dapat melihat jelas oleh
semua orang,
sementara itu golok si gadis sudah berpindah
ke tangan Yali
Ce Iagi.
Karena itulah, seketika ramai suara jeritan
kaget dari
orang banyak hingga seruan “Kokoh” yang
diucapkan Yo Ko
itu tidak diperhatikan orang sebaliknya Liok
Bu-siang yang
berada di samping nya dapat mendengar dengan
terang.
“Apa kau sebut dia? ia adalah kokohmu?”
“tanyanya
dengan suara tertahan.
“Bukan……bukan!” sahut Yo Ko cepat.
Kitanya tadi waktu Yo Ko nampak sorot mata
Wanyen
Peng yang menunjuk perasaan penuh sunyi dan
hampa,
seperti sudah putus asa, hal ini mirip sekali
dengan sorot mata
Siao-liong-li dahulu sewaktu hendak berpisah
dengan dia itu.
Dan karena melihat sorot mata orang itu tadi,
tanpa terasa
Yo Ko terkesima seperti orang ling-lung
hingga lupa dirinya
berada di mana pada waktu itu.
Melihat keadaan Yo Ko yang aneh itu, Bu siang
tak
menanya lebih lanjut, sebaliknya ia dengar di
dalam sana Yali
Cu-cay sedang buka suara dengan pelahan.
“Nona Wanyen, sudah tiga kali kau hendak
membunuh
aku, tetapi setiap kali selalu gagal,”
demikian kata orang tua
itu. “Dalam persoalan ini, sebagai perdana
menteri negara
Mongol, akulah yang musnahkan tanah airmu dan
membunuh
ayah-bundamu. Tetapi sebaliknya apa kau tahu
siapa lagi
yang telah “bunuh leluhurku dan menghancurkan
negeriku?”
“Aku tak tahu,” sahut Wanyen Peng.
“Baiklah kuterangkan,” tutur Yali Cu-cay,
“Leluhurku
adalah keluarga raja Liau dan negeri Liau
kami itu telah
dimusnahkan oleh negeri Kim bangsamu,
Keturunan Yali dari
keluarga kami itu habis dibunuh oleh keluarga
Wan-yen kalian
hingga tidak seberapa gelintir orang yang
ketinggalan.
Karena itu, pada waktu muda akupun bersumpah
buat
tuntut balas sakit hati ini, karenanya aku
telah bantu raja
Mongol menghancurkan negaramu Kim. Ai, cara
balas-
membalas ini entah akan berakhir kapan ?”
Pada waktu mengucapkan kata-kata terakhir
itu, Yali Cu-
cay mendongak memandang keluar jendela,
terbayang
olehnya beratus bahkan beribu jiwa yang telah
melayang
akibat saling bunuh-membunuh tanpa ada
habisnya itu.
Sewaktu mendengarkan tadi, tiba-tiba Wanyen
Peng gigit
bibirnya hingga beberapa giginya yang putih
bersih bagai
mutiara tertampak jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar