Sabtu, 10 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 23



Kembalinya Pendekar Rajawali 23

Di lain pihak Yo Ko sedang tertawa geli sendiri. Kuatir
keselamatan Bu-siang terjadi sesuatu, lekas-lekas ia kembali
ke tempat tadi, di sana ia lihat Bu-siang sedang longak-longok
ke arahnya di atas keledainya, tampaknya si gadis kuatir luar
biasa. Tetapi demi melihat Yo Ko sudah kembali, mukanya
berubah girang, lekas-lekas ia keprak keledainya memapaki.
“Tolol, bagus ya kau, aku ditinggalkan sendirian,” dengan
suara tertahan ia mengomeli Yo Ko.
Tetapi pemuda ini tak menjawabnya melainkan tersenyum
saja, lalu pedang yang dia pinjam dari Ang Ling-po tadi
disodorkan kembali kepada pemiliknya sambil memberi hormat
dan menyatakan terima kasih.
Setelah senjata itu diterima kembali Ang Ling-po, selagi
Yo Ko hendak putar tubuh, sekonyong-konyong Li Bok-chiu
berkata : “Nanti dulu!”
Kiranya karena melihat ilmu silat Yo Ko sangat bagus, ia
pikir kalau orang ini dibiarkan hidup, kelak pasti akan bikin
susah dirinya saja, ada baiknya mumpung ilmu-silatnya masih
belum memadai dirinya, sekarang juga dibunuh kan beres
urusannya, ?
Tetapi betapa cerdiknya Yo Ko, begitu mendengar orang
berkata “nanti du!u”, segera diketahuinya keadaan bakal
runyam, lekas-lekas pedang yang dia serahkan di tangan Ang
Ling-po itu dilepaskan.
Sebenarnya Li Bok-chiu hendak pancing orang agar
bergebrak padanya, dengan begitu sekali ke-but akan
dibunuhnya Yo Ko, tetapi kini Yo Ko sudah tak bersenjata,
dengan kedudukan Li Bok-chiu, tidak nanti ia sudi mencelakai
orang dengan senjatanya.
“Kau ini murid siapa di antara Coan-cin-chit-cu itu?”
tanyanya kemudian sembari tancapkan ke-butnya ke baju
Iehernya.
“Aku adalah murid Ong Tiong-yang cinjin,” sahut Yo Ko
tertawa.
Seperti diketahui sebenarnya Yo Ko adalah murid Tio Ci-
keng dan cucu murid Coan-cin Ghit-cu, tetapi terhadap imam-
imam Coan-cin-kau itu ia sudah mendapat kesan jelek, dalam
hati sedikitpun imam-imam itu tak dihormatinya lagi,
walaupun Khu Ju-ki tidak jelek terhadap dirinya, namun waktu
berkumpulnya dengan imam tua itu terlalu singkat, maka
sedikit kebaikan itu sudah habis ludes tertutup oleh kesan2
jelek yang dia dapat dari Tio Ci-keng dan Hek Tay-thong,
sebab itulah ia, tak sudi mengaku sebagai muridnya Ci-keng.
Tetapi sewaktu berdiam di dalam kuburan kuno, ia telah
melatih inti ilmu “Kiu-im-cin-keng” yang diukir Ong Tiong-yang
dahulu, maka bila dia mengatakan anak murid-cakal bakal
Coan-cin-kau itu, sebenarnya juga tidak berlebihan.”
Sebenarnya kalau menurut umur Yo Ko, pa-ling banyak
hanya sesuai menjadi murid tingkatannya Tio Ci-keng dan In
Ci-peng, tapi melihat ilmu silatnya tidak lemah, maka Li Bok-
chiu telah tanya dia murid siapa diantara Coan-cin Chit-cu,
yaitu tujuh imam utama murid Ong Tiong-yang, dengan
pertanyaan ini sebetulnya sudah meninggikan diri Yo Ko,
kalau pemuda ini menjawab salah satu nama umpamanya Khu
Ju-ki atau Ong Ju-it, pasti Li Bok-chiu dapat mempercainya.
Siapa tahu hati muda Yo Ko masih belum hilang, ia tak
sudi lebih rendah tingkatannya daripada Hek Tay-thong yang
telah membunuh Sun-popoh yang dicintainya itu, maka nama
Ong Tiong-yang sengaja ditonjolkan olehnya.
Padahal Ong Tiong-yang adalah cakal bakal Coan-cin-kau,
semua orang Bu-lim tahu kalau dia hanya mempunyai tujuh
orang murid yaitu seperti apa yang disebut “Coan-cin Chit-cu”
itu, sewaktu Yo Ko lahir malahan Tiong-yang cinjin sudah
lama meninggal dunia.
Begitulah, maka Li Bok-chiu menjadi sangsi “Hm, kau
imam cilik ini sungguh tak kenal tebalnya bumi dan tingginya
langit, rupanya kau tak kenal aku ini siapa, maka berani main
gila dengan aku,” demikian ia pikir, Tetapi lantas teringat lagi
olehnya: “Namun imam-imam Coan-cin-kau sekali-kali tak
nanti berani main gila dengan nama Cosuya mereka. Kalau dia
ini bukan anak murid Coan-cin, mengapa tipu-tipu ilmu
silatnya tadi jelas adalah keluaran Coan-cin-pay ?”
Melihat orang mengkerut kening sedang ber-pikir, Yo Ko
kuatir nanti dikenali Ang Ling-po yang dahulu pernah
dikibulinya dengan menyamar sebagai anak gembala, maka
tak berani ia tinggal lama2, ia pikir paling perlu kabut dulu,
Maka dengan cepat ia cemplak ke atas keledainya tetus
hendak dilarikan
“Turun dulu, ada yang hendak kutanyakan padamu”
demikian kata Li Bok-chiu.
“Tak perlu kau bicara juga, aku sudah tahu apa yg hendak
kau tanyakan,” sahut Yo Ko tiba-tiba.
“Bukankah kau hendak tanya apa aku melihat seorang
gadis pincang atau tidak? Dan tahu tidak kitab yang
dibawanya itu, bukan?”
Li Bok-chiu terkejut mengapa orang tahu akal maksud
hatinya, Namun dengan adem saja ia menyahut: “Ya, kau
sungguh pintar. Kemanakah kitab itu dibawanya ?”
“Tadi waktu aku dan Suteku ini beristirahat di tepi jalan,
kami melihat gadis pincang itu saling gebrak dengan tiga
pengemis,” sahut Yo Ko dengan karangannya. “Satu diantara
pengemis itu terkena timpukan goloknya yang melengkung,
walaupun demikian, karena masih ada dua pengemis yang
lain, maka gadis itu tak ungkulan, akhirnya ia tertawan”
Biasanya Li Bok-chiu selalu berlaku tenang, tetapi kini
mendengar Liok Bu-siang tertawan pengemis-pengemis dari
Kay-pang, sedang pada gadis itu membekal “Ngo-tok-pit-toan”
yang tentu akan terjatuh di tangan mereka juga, ingat akan
hal ini mau-tak-mau mukanya mengunjuk rasa kuatir juga.
Melihat obrolannya berhasil, keruan Yo Ko sengaja obral
ceritanya yang ditambah dan di bumbu2i pula, ia bilang: “Dan
sesudah tertawan, seorang pengemis telah geledah keluar
satu kitab dari badan gadis pincang itu, tapi karena nona itu
tak mau menyerahkannya, maka pengemis itu telah persen dia
dengan sekali tamparan.”
Mendengar dirinya dibuat buIan2an mengobrol tidak
kepalang mendongkolnya Bu-siang, lebih-lebih Yo Ko bilang
dirinya ditempeleng oleh pengemis, maka dengan gemas ia
mendeliki Yo Ko, sedang dalam hati ia berkata: “Bagus, kau
tolol ini, berani kau fitnah diriku, lihat saja kelak kalau aku
tidak hajar kau?”
Di lain pihak si Yo Ko ternyata sangat jahil, ia tahu betul-
betul hati si gadis waktu itu pasti sangat ketakutan karena
berhadapan dengan gurunya yang kejam, tapi ia justru
sengaja menanya padanya: “Betul tidak, Sute? Bukankah itu
sangat menggemaskan orang ? Bukankah nona itu telah
dipegang sini dan diraba sana oleh beberapa pengemis itu,
betul tidak?”
Bukan buatan dongkolnya Bu-siang, tapi ia tak berani
membantah, terpaksa ia mengiakan sambil kepala menunduk.
Tengah berbicara, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda
yang ramai, menyusul muncul sepasukan tentara dari balik
bukit sana dengan persenjataan lengkap dan berbaris sangat
rapi, kiranya adalah pasukan tentara Mongol.
Tatkala itu negeri Kim dari Manchu sudah dibasmi oleh
bangsa Mongol, maka daerah utara sungai seluruhnya berada
dibawah pemerintahan Mongol.
Sudah tentu Li Bok-chiu tidak pandang sebelah mata pada
pasukan tentara itu, tetapi karena tujuannya ingin lekas
mendapatkan jejaknya Bu siang, maka ia tak ingin banyak
cecok lagi dengan pihak lain, ia menyingkir ke tepi jalan untuk
menghindari pasukan tentara itu.
Sejenak kemudian, di bawah derapan kuda yang riuh dan
mengepulnya debu yang tinggi, ratusan serdadu yang
mengiringi seorang pembesar Mongol telah dapat lewat
disamping mereka. pembesar itu berdandan sebagai pembesar
sipil, tetapi kepandaiannya menunggang kuda ternyata sangat
bagus, meski wajahnya tak kelihatan jelas, namun sikapnya di
waktu melarikan kudanya ternyata sangat gagah dan perkasa.
Menunggu setelah pasukan itu lewat, kemudian Li Bok-
chiu angkat kebutnya buat membersihkan debu yang
mengotori bajunya.
Tiap-tiap kali kebutnya mengebas, tiap-tiap kali juga
jantung Bu-siang memukul keras, Ya harus diketahui, bila
kebut itu bukan dibuat membersihkan debu melainkan jatuh
diatas kepala orang, maka tak perlu disangsikan lagi kepala
sasarannya itu seketika pasti pecah berantakan.
“Lalu bagaimana?” Li Bok-chiu tanya lagi.
“Lalu pergilah pengemis-pengemis itu menuju ke utara
dengan membawa nona itu,” sahut Yo Ko menuding ke
utara, “Aku dengar, katanya mereka pergi ke Ciong-koan.”
“Em, bagus, terima kasih,” Li Bok-chiu memanggil dan
tersenyum. “Aku she Li bernama Bok-chiu, orang Kangouw
menyebut aku Jik-lian-sian-cu, tetapi ada juga yang panggil
aku Jik-lian- mo-tau (iblis ular belang rantai), pernah tidak kau
mendengar namaku ?”
“Tak pernah.” sahut Yo Ko menggeleng kepala, “Nona,
kau begini cantik pantasnya kau disebut Sian-cu (dewi), mana
boleh dipanggil Mo-tau (iblis)?”
Memang dengan paras Li Bok-chiu yang cantik, meski
umurnya sudah lebih setengah abad, tapi karena lwekangnya
sudah terlatih tinggi, maka kulitnya yang putih halus tanpa
keriput sedikitpun kalau dipandang laksana wanita berumur 30
tahun saja.
Selama hidup Li Bok-chiu memang sangat bangga atas
kecantikannya, kini mendengar Yo Ko memujinya, dengan
sendirinya ia sangat senang.
“Kau berani main gila dengan aku, sebenarnya kau harus
diberi rasa sedikit,” katanya kemudian sambil goyangi
kebutnya, “Tetapi mengingat kau pintar bicara, biarlah aku
melulu gunakan kebut ini untuk hajar kau,”
“Ah, jangan, jangan, mana bisa tanpa sebab Siauto
bergebrak dengan kaum Siaupwe (tingkatan muda),” sahut
Yo Ko geleng kepala.
“Hm, ajalmu sudah di depan mata, masih berani kau main
gila. Cara bagaimana kau anggap aku ini kaum Siaupwe?”
damperat Bok-chiu.
“Guruku Tiong-yang cinjin setingkat dengan nenek gurumu
Lim-popoh, bukankah aku setingkat lebih tinggi dari kau?”
kata Yo Ko.
Gusar sekali Li Bok-chiu oleh jawaban itu, tetapi ia tetap
tersenyum saja dan berpaling kepada Ang Ling-po:
“Pinjamkan lagi pedangmu padanya.”
“Eh, tak boleh jadi, tak…. boleh jadi…” ia berteriak sambil
goyangl tangannya, akan tetapi di sebelah sana Ang Ling-po
sudah cabut pedang-nya, maka terdengarlah suara “kraak”,
yang terpegang di tangannya melulu garan pedang saja,
sedang mata pedangnya masih ketinggalan di dalam
sarungnya.
Sesaat Ang Ling-po tercengang, tetapi segera ia mendusin
bahwa itu adalah perbuatan Yo Ko tadi yang secara diam-
diam telah bikin patah garan pedang sewaktu mengembalikan
padanya, kini mendadak dicabut, dengan sendirinya lantas
terpisah menjadi dua.
Keruan saja berubah hebat air muka Li Bok-chiu.
“Nah, memangnya aku tak bisa bergebrak dengan kaum
Siaupwe, tapi kau memaksa hendaki saling gebrak dengan
aku,” ujar Yo Ko, “Baiklah begini saja, dengan tangan kosong
aku sambut tiga kali serangan kebutmu, Kita berjanji yang
terang, hanya tiga gebrakan saja, selewatnya tiga gebrakan,
asal kau sanggup bertahan, aku lantai lepaskan kau pergi.
Tetapi sehabis itu, kaupun tak boleh recoki aku terus.”
Kiranya dalam hati Yo Ko tahu dalam keadaan demikian
tak bisa tidak harus saling gebrak tetapi bila bergebrak
sungguh-sungguh, dirinya masih bukan tandingan Li Bok-chiu,
maka sengaja ia berlagak orang tua, pura-pura sebagai kaum
Locianpwe ditambah pula kata-kata yang tajam, asal Li Bok-
chj berjanji hanya bergebrak tiga jurus saja dan tidak lebih.
Li Bok-chiu bukan orang bodoh, dengan sendirinya iapun
tahu maksud tujuan orang, cuma ia pikir masakah bocah ini
sanggup terima tiga kali seranganku ? Sebab itulah iapun tidak
banyak bicara, segera ia buka serangan sambil berseru:
“Bagus, Locianpwe, berikanlah petunjuk pada Siau-pwe.”
“Ah, tak berani…” sambut Yo Ko.
Maka berkelebatlah bayangan orang, sekitarnya penuh
dengan bayangan kebut, Li Bok-chiu telah serang dengan tipu
“bu-khong-put-jin” (tiada lubang yang tak dimasuki) yang
mengarah setiap tempat maut di tubuh Iawan, meski hanya
sekali gerakan, sebenarnya luar biasa perubahannya dan
berbareng mengincar 36 Hiat-to di tubuh Yo Ko.
Li Bok-chiu melihat Yo Ko melawan anggota Kay-pang
kantong delapan tadi dengan Kiam-hoat yang sangat bagus,
tampaknya memang bukan lawan lemah, dalam tiga gebrakan
hendak merobohkan dia, agaknya tidak gampang juga oleh
sebab itu, sekali serang segera digunakannya tipu yang paling
dibanggakan selama hidupnya, yakni yang disebut “Sam-bu-
put-jiu” atau serangan tiga serangkai “aksara tidak”
Kaget sekali Yo Ko oleh serangan yang sangat aneh itu,
begitu hebat tipu serangan itu hingga boleh dikatakan tak
tertahankan lagi kalau berkelit ke kiri, pasti Hiat-to di kanan
akan tersabet dan begitu pula sebaliknya, dalam kepepetnya
itu mendadak, ia berjumpalitan dan menjungkir.
Dengan cepat dikeluarkannya ilmu mujija ajaran Auwyang
Hong dahulu itu, ia menjalankan darahnya secara terbalik dan
tutup rapat semua Hiat-to di tubuhnya, walaupun segera
terasa ke-36 Hiat-to rada kesemutan berbareng, namun
segera pula tidak berhalangan, Bahkan tubuhnya yang
memutar cepat itu tiba-tiba balas menendang sekali.
Heran sekali Li Bok-chiu, dengan jelas ia sudah berhasil
tutuk Hiat-to orang, siapa duga masih bisa Yo Ko balas
menyerang, Karena itu, menyusul tipu serangan kedua
dilontarkan lagi, tipu ini disebut “Bu-so-put-ci” (tiada sesuatu
yang tak didatangi), yang diarah adalah 72 tempat Hiat-to di
seluruh badan lawan.
Akan tetapi mendadak Yo Ko malah mengukir tangan
kirinya, dengan jarinya segera ia jojoh “wi-tiong-hiat” di lutut
kanan Li Bok-chiu.
Keruan Li Bok-chiu bertambah heran, lekas-lekas a
berkelit, menyusul segera serangan ke tiga “Bu-so-put-wi”
(tiada sesuatu yang tak diperbuatnya). Serangan ini tidak lagi
menutuk Hiat-to, melainkan mengincar mata, tenggorokan
perut dan bagian belakangan yang lemah, oleh sebab itu
disebut tipu Bu-so-put-wi” atau “tiada sesuatu yang tak di-
perbuatnya”, yang berarti mendekati cara-cara yang rendah
dan kotor.
Cuma diwaktu Li Bok-chiu lontarkan serangan itu, ia lupa
bahwa di dunia ini ternyata ada orang yang berkelahi secara
menjungkir seperti Yo Ko ini, maka serangannya yang
dilontarkan secara tergesa-gesa itu bagian mata yang diarah
lantas mengenai telapak kaki Yo Ko, tenggorokan yang
diserang berbalik kena betis, begitu pula perut, yang kena
pahanya, selangkangan yang diserang, yang kena dadanya,
maka sedikitpun tidak membawa hasil yang diharapkan.
Sungguh tidak kepalang kejut Li Bok-chiu sekali ini, selama
hidupnya entah berapa banyak pertempuran besar yang
pernah dia hadapi, malahan orang yang ilmu silatnya lebih
tinggipun pernah dilawannya, segala tindak-tanduknya selalu
diperhitungkannya dengan teliti sebelumnya, tapi kini sama
sekali tak terpikir olehnya, seorang imam cilik ternyata
memiliki ilmu silat yang sukar dijajaki.
Karena sedikit tertegunnya itu, mendadak Yo Ko mengap
mulutnya, tahu-tahu buntut kebutnya kena dicokot kencang,
lalu pemuda itupun membalik, berdiri kembali. Bahkan sedikit
Yo Ko menarik, tiba-tiba tangan Li Bok-chiu terguncang
hingga kebutnya kena dirampas olehnya.
Hendaklah diketahui bahwa tenaga mana saja dari
anggota badan manusia tiada yang bisa lebih kuat daripada
gigi, dengan gigi orang biasa sanggup kertak pecah sesuatu
benda yang keras sebaliknya betapa kuat tangan seseorang
tak bisa membikin remuk dengan remasan tangannya, Oleh
sebab itulah, meski tenaga dalam Yo Ko masih jauh di bawah
Li Bok-chiu, namun dengan giginya yang menggigit ujung
kebut, senjata kebanggaan Li Bok-chiu ini ternyata kena
direbutnya.
Kejadian yang sama sekali tak terduga ini membikin Ang
Ling-po dan Liok Bu-siang sama menjerit kaget.
Sebaliknya meski Li Bok-chiu terkejut juga namun
sedikitpun ia tak gentar, ketika telapak tangannya ia gosok,
dengan “Jik-Iian-sin-cianJ atau pukulan sakti ular belang,
segera ia memburu maju buat merebut kembali kebutnya.
Tetapi baru saja pukulannya hendak dilontarkan mendadak
ia berteriak: “He, kiranya kau! Di-manakah gurumu?”
Kiranya muka Yo Ko yang tadinya terpoles dengan debu
arang, setelah dia berjungkir dan berputar tanpa sengaja debu
arang mukanya itu tergesut hilang sebagian hingga wajah
aslinya dapat dikenali orang.
“He, dia adalah Sumoay, Suhu!” mendadak Ang Ling-po
berteriak juga, sebab waktu itupun Liok Bu-siang dapat
dikenaIinya.
Namun Yo Ko bertindak cepat sekali, kakinya sedikit
mengenjot, keledai Li Bok-chiu diceng-klaknya dan terus
dilarikan, bahkan sekalian tangan kirinya menjentik, sebuah
“Giok-hong-ciam” jarum tawon putih) telah ditimpukkan dan
dengan jitu masuk di kepala keledainya Ang Ling-po.
Dalam murkanya, tanpa pikir lagi Li Bok-chiu lantas
menguber, sekuat tenaga ia melayang ke depan dan tubruk si
Yo Ko dari belakang.
Lekas-lekas Yo Ko meloncat dan tinggalkan binatang
tunggangan itu, garan kebut rampasannya tadi dia gunakan
untuk ketok kepala keledai itu hingga pecah dan otak
berhamburan.
“Hayo, lekas, bini cilik, lekas lari ikut lakimu !” Yo Ko
berteriak-teriak pula sambil turunkan tubuhnya di atas
keledainya, lalu kebut rampasannya digunakan menyabet
serabutan ke belakang untuk menahan uberan Li Bok-chiu.
Di sebelah sana, tanpa menunggu perintah lagi, Liok Bu-
siang telah keprak keledainya dilarikan secepatnya.
Sebenarnya dengan Ginkang Li Bok-chiu, dalam satu-dua li
saja dia pasti dapat menyusul binatang tunggangan orang,
cuma tadi ia sudah merasakan tipu serangan aneh dari Yo Ko
hingga hatinya rada jeri maka tak berani ia terlalu mendesak
melainkan dengan “Kim-na-jm-hoat” ia rebut kembali
kebutnya saja.
Di pihak lain, keledai Ang Ling-po yang kepalanya
tertimpuk jarum tawon putih yang sangat lembut itu,
mendadak binatang ini berjingkrak terus menyeruduk ke arah
Li Bok-chiu, bahkan pentang mulut hendak menggigit.
“Hai, Ling-po, ada apakah?” bentak Li Bok-chiu.
“Binatang ini menjadi gila,” sahut Ling-po sambil tarik tali
kendali sekuat tenaga hingga seluruh mulut keledai itu penuh
darah.
Sejenak kemudian sekonyong-konyong keledai itu menjadi
lemas, terguling mati.
“Kita kejar saja, Suhu!” seru Ang Ling-po melompat
bangun.
Tetapi waktu itu Yo Ko dan Bu-siang sudah berlari pergi
hampir satu li jauhnya, hendak mengejar pun tak bisa
menyandak lagi.
Sesudah melarikan keledai mereka sekeras-keras-nya,
kemudian Yo Ko dan Bu-siang berpaling, namun tak
tertampak bayangan Li Bok-chiu yang mengejar.
“ToIol, dadaku sangat sakit, tak tahan lagi aku,” seru Bu-
siang. . Yo Ko tidak menjawab, ia melompat turun dan
mendekam ke tanah untuk mendengarkan tetapi tiada suara
derapan kuda yang didengarnya.
“Tak perlu takut lagi, kita lanjutkan lengan perlahan-lahan
saja,” ujarnya.
Habis itu, mereka melanjutkan perjalanan dengan
berendeng.
Tetapi hanya sebentar saja, karena kuatir disusul Li Bok-
chiu, kembali mereka keprak keledai dan dilarikan pula,
Begitulah, sebentar cepat dan lain saat alon2 hingga haripun
sudah magrib.
“Bini cilik, jika kau ingin selamat, hendaklah kau tahan
sakit dan lari terus semalaman ini,” kata Yo Ko.
“Ngaco-belo! Awas, kalau aku tidak iris lidah-mu?”
damperat Bu-siang karena terus-menerus Yo Ko sebut “bini”
padanya,
Yo Ko melelet-lelet lidah, tetapi ia berkata lagi: “Hanya
sayang binatang-binatang ini sudah terlalu letih, kalau
semalam berlari terus mungkin akan mampus di tengah jalan.”
Dalam pada itu haripun mulai gelap, mendadak terdengar
di depan sana ada suara meringkiknya kuda.
“Haha, itu dia, marilah kita tukar kuda ke sana!” seru Nyo
Ko girang.
Segera mereka kencangkan lari keledai lagi lewat
beberapa li, tertampaklah di depan sana ada sebuah
perkampungan dan di bagian luar tertambat ratusan ekor
kuda. Kiranya pasulcan berkuda Mongol yang dilihat mereka
siang tadi berhenti di sini.
“Kau tunggu di sini, biar aku masuk ke kampung sana
menyelidiki keadaan dulu,” kata Yo Ko
Lalu ia turun dari keledainya dan masuk sendiri ke
perkampungan itu, Pada jendela sebuah gedung besar
dilihatnya ada sinar lampu, dengan cepat Yo Ko menyelinap
ke sana, ia mengintip melalui jendela itu, ia lihat seorang
pembesar MongoI sedang berduduk di dalam dengan
mungkur.
Tiba-tiba tergerak pikiran Yo Ko, “He, daripada tukar
kuda, tidakkah lebih baik tukar orang saja,” demikian pikirnya.
Tidak antara lama, ia lihat pembesar Mongol itu berdiri,
lalu berjalan mondar-mandir di dalam kamar.
Umur pembesar ini ternyata masih sangat muda, hanya
likuran saja, tetapi sikap dan tidak tanduknya ternyata sangat
kereng, tampaknya pangkatnya tidak rendah.
Yo Ko menunggu pada waktu pembesar itu mungkur lagi,
dengan pelahan ia dorong daun jendela, lalu melompatlah dia
ke dalam terus ulur jari buat tutuk punggung orang.
Siapa duga, begitu mendengar ada suara angin
menyamber dari belakang, secepat kilat pembesar itu
melangkah maju, dengan sendirinya tutukan Yo Ko menjadi
luput, kesempatan itu telah dipergunakan pembesar itu untuk
mengayun tangan kirinya buat menangkis, menyusul mana
iapun putar tubuh dan sepuluh jari tangannya laksana kaitan-
lantas mencakar ke muka Yo Ko, ternyata yang dipakai
adalah tipu serangan yang lihay dari “Tay lik-eng-jiau-kang”
atau ilmu cakar elang bertenaga raksasa.
Rada terkejut juga Yo Ko, sungguh tak nyana bahwa
seorang pembesar Mongol ternyata memiliki ilmu silat begitu
tinggi Karena itu, sedikit mengegos iapun berkelit
menghindarkan cakaran tadi.
BeruIang kali pembesar Mongol itu mencengkeram lagi,
tetapi selalu dapat dielakkan Yo Ko.
Biasanya pembesar Mongol itu sangat bangga atas ilmu
silatnya yang hebat karena sejak kecil mendapat pelajaran
guru pandai dari golongan Eng-jiau-bun. Siapa duga, begitu
bergebrak dengan Yo Ko, sama sekali ia tak bisa berbuat
apa-apa.
Sementara itu Yo Ko melihat lawan mencakarnya lagi
secara tak kenal ampun, cepat ia melompat ke atas, dengan
kedua tangannya ia tahan atas pundak orang sambil
menggertak “Duduk saja!”
Tiba-tiba pembesar itu merasakan kekuatan yang maha
besar menekan dari atas, ia tak bisa tahan lagi, kedua lututnya
terasa lemas hingga akhirnya, ia duduk terkulai di lantai,
dadanya terasakan sumpek, darah serasa akan menyembur
keluar.
Tetapi kemudian Yo Ko remas2 dua kali di bawah
bahunya, tiba-tiba pembesar itu merasa dadanya lapang
kembali dan bisa bernapas lancar, tanpa ayal lagi segera ia
melompat bangun, dengan tercengang ia memandangi Nyo
Ko.
“Siapakah kau? Ada keperluan apa kedatanganmu ini?”
tanyanya kemudian ternyata bahasa Han yang diucapkannya
bagus dan lancar sekali, tiada ubahnya seperti bangsa Han
asli.
“Kau bernama siapa? jabatan apa yang kau pangku?”
berbalik Yo Ko menanya dengan tertawa.
Pembesar itu melotot dengan gusar, segera hendak
dilabrak pula si Yo Ko.
Tetapi Yo Ko tak gubris padanya, ia malahan mendahului
ambil tempat duduk pada kursi yang tadinya dipakai pembesar
itu. Ketika pembesar itu menyerang beberapa kali, namun
selalu dipatahkan oleh Yo Ko tanpa banyak buang te-naga.
“Hai, pundakmu sudah terluka, baiknya kau jangan banyak
keluarkan tenaga,” kata Yo Ko tiba-tiba.
“Ha, apa? Terluka?” tanya pembesar itu kaget.
Ketika pundak kiri diraba, ia merasa ada satu tempat yang
rada jarem sakit, lekas-lekas ia raba sebelah yang lain, sama
saja terasa sakit pegal, kalau tak disentuh sedikitpun tidak
terasa, tetapi bila ditekan dengan jari, segera terasa ada
sesuatu yang sangat lembut yang menusuk sampai ke tulang
sungsum.
Kaget sekali pembesar itu, dengan cepat ia robek bajunya,
waktu ia melirik, ia lihat di atas pundak kirinya terdapat titik
merah yang kecil sekali, begitu pula sebelah pundak yang lain.
Segera iapun sadar bahwa ketika Yo Ko menahan
pundaknya tadi, diam-diam pada tangannya tergenggam
senjata rahasia hingga dirinya telah dikibuli.
“Am-gi apa yang kau pakai? Berbisa atau tidak ?” cepat ia
membentak dengan gusar tercampur kuatir.
Tetapi Yo Ko tersenyum saja.
“Kau belajar silat, kenapa sedikit pengetahuan umum itu
saja tak mengerti,” sahutnya kemudian “Kalau Am-gi besar tak
beracun, maka Am-gi kecil dengan sendirinya berbisa.”
Dalam hati pembesar itu sembilan bagian percaya atas
kata-kata ini, namun demikian, ia mengharap juga kata-kata
itu bohong belaka, maka air mukanya lantas tertampak
mengunjuk setengah percaya setengah sangsi.
“Pundakmu sudah terkena jarum saktiku, racun itu akan
meluas setiap hari, kira-kira enam hari sesudah racunnya
menyerang jantung, maka jiwamu tak tertolong Iagi,”
demikian kata Yo Ko sembari memainkan sebuah pensil di
atas meja.
Watak pembesar itu ternyata sangat keras kepala,
sungguhpun dalam hati ia mengharapkan pertolongan orang,
namun tak sudi diucapkannya.
“Jika begitu, biarlah tuan besarmu mati bersama dengan
kau,” mendadak ia membentak Iagi. Habis ini, sekali bergerak,
segera Yo Ko hendak ditubruknya pula.
Namun sebelum ia bertindak, tiba-tiba di luar ada suara
bentakan orang yang keras: “Hai Yalu Cin, pembesar anjing
dari Mongol, berpalinglah ke sini!”
Mendengar namanya disebut pembesar itu menoleh,
segera pula sinar putih yang gemerlapan beruntun-runtun
menyamber masuk melalui jendela.
Hujan Am-gi atau senjata gelap itu dihamburkan dengan
kuat lagi terlalu banyak jumlahnya, dalam keadaan demikian,
meski pembesar itupun tidak lemah, namun seketika itu mana
sanggup menyambut hujan Am-gi yang begitu banyak?
Sebenarnya tiada maksud Yo Ko buat menolong
pembesar Mongol yang bernama Yalu Cin ini, karena
dilihatnya senjata rahasia begitu banyak menghambur masuk,
tiba-tiba ia keluarkan ilmu “Boan-thian-hoa-uh” (hujan gerimis
memenuhi langit), sesuatu ilmu dari Giok-li-sim-keng yang
dilatihnya, ia menangkap ke kanan dan membentuk ke kiri,
sekejap saja senjata2 rahasia yang tertangkap olehnya telah
ditimpuk kembali maka terdengarlah suara gemerincing
nyaring dan ramai belasan macam senjata rahasia telah
memenuhi meja dan lantai
“Kepandaian bagus, semoga kelak kita bertemu lagi,
dapatlah mengetahui nama saudara?” terdengar suara
pertanyaan seorang lelaki di luar jendela.
“Aku adalah kaum yang tak terpandang, maka tak punya
nama dan tiada she,” sahut Yo Ko.
Karena jawaban ini, terdengar lagi suara jengekan seorang
lain di luar.
“Marilah pergi!” kata orang ketiga, sekali ini suara orang
perempuan.
Habis itu, lantas terdengar suara tindakan kaki yang
pelahan sekali di atas rumah, ketiga orang itu sudah pergi
melintasi pagar rumah.
Tadi waktu Yo Ko bergebrak dengan Yalu Cin hingga
sama-sama mencurahkan seluruh perhatian, maka tiada yang
mendengar bahwa ada orang laki lagi mengintip di samping,
hal ini menandakan pula ilmu entengkan tubuh ketiga orang
itupun sangat hebat.
Meski pembesar Mongol bernama Yali Cin itu sudah
ditolong jiwanya oleh Yo Ko, tetapi ketika pundaknya terasa
sakit, ia menjadi gusar pula karena telah dikibuli Yo Ko tadi,
mendadak senjata2 rahasia yang berserakan itu, ia samber
terus ditumpukkan ke arah Yo Ko.
Menghamburnya senjata2 rahasia “dari luar jendela tadi
dilakukan oleh tiga orang bersama, kepandaian menimpuk pun
jauh lebih tinggi dari pada Yali Cin, untuk itu saja Yo Ko
sanggup menangkap dan membenturnya kembali, apalagi kini
Yali Cin menimpuk dengan satu per satu, mana bisa
serangannya mengenai Yo Ko, malahan satu per satu telah
ditangkap olehnya tanpa luput satupun.
“Awas!” seru Yo Ko kemudian.
Ketika tangannya mengayun, tahu-tahu beberapa puluh
senjata rahasia yang ditangkapnya itu dihamburkan kembali
Melihat datangnya senjata rahasia itu mengarah dari
kanan-kiri maupun atas atau bawah, walaupun berkelit atau
mengegos pasti akan terkena juga beberapa diantaranya,
tentu saja Yali Cin terkejut, dalam keadaan kepepet,
mendadak ia melompat mundur, maka terdengarlah suara
“blang” yang keras, punggungnya menumbuk dinding dengan
keras, Lalu terdengar suara bertok-tok riuh, beberapa puluh
senjata rahasia itu telah mengenai dinding semua.
Suara gemerutuk di atas dinding itu ternyata sangat aneh
dan berlainan satu sama lain, karena-senjata2 rahasia itu
memang beraneka macamnya, Dalam kagetnya itu, lekas-
lekas Yali Cin melompat ke samping Iagi, ketika ia berpaling
memandang ke dinding, mau-tak-mau ia ternganga saking
herannya.
Ternyata beberapa puluh senjata rahasia itu ambles
semua ke dalam dinding, jarak dengan tubuhnya tadi hanya
selisih beberapa senti saja, hingga potongan badannya
seakan-akan terlukis di atas dinding itu, sedang tubuhnya
seujung rambutpun tak terluka, bahkan baju pun tak terobek
barang sedikitpun
Dalam kaget dan herannya, tak tertahan lagi Yali Cin
kagum luar biasa, tiba-tiba ia jatuhkan diri dan berlutut
memberi hormat pada Yo Ko.
“Terimalah hormatku, Enghiong, hari ini aku betul-betul
menyerah padamu,” demikian katanya.
Sungguhpun ilmu silat Yo Ko sangat tinggi tetapi selama
hidupnya itu biasanya selalu dimaki dan didamperat orang,
sampai Liok Bu-siang yang berulang kali ditolong olehnya juga
selalu berlaku sangat bengis padanya tanpa mau mengalah
sedikitpun kini mendadak ada orang menjura padanya dan
menyatakan takluk betul-betul. tentu saja hati mudanya
menjadi girang luar biasa, saking senangnya ia tertawa
terbahak-bahak.
“Dapatkah mengetahui nama Enghiong yang mulia?” tanya
Yali Cin.
“Aku bernama Yo Ko, dan kau apakah bernama Yali Cin?
jabatan apa yang kau pangku di MongoI?” sahut Yo Ko.
Kiranya pembesar muda ini adalah putera Yali Cu-cay,
perdana menteri kerajaan Mongol! Yali Cu-cay telah banyak
membantu Jengis Khan dan puteranya membangun kerajaan
Mongol yang namanya disegani sampai di daerah barat itu,
jadinya sungguh sangat besar, sebab itulah meski umur Yali
Cin masih muda, namun berkat jasa sang banyak, ia telah
diangkat menjadi Keng-Iiat-su di HoIam, keberangkatannya
sekarang ini menuju ke HoIam untuk memangku jabatan.
BegituIah ia telah ceritakan apa yang sebenarnya.
Meski ilmu silat Yo Ko tinggi, tapi terhadap segala nama
jabatan itu sama sekali tak dimengertinya, maka ia hanya
angguk-angguk saja dan bilang bagus.
“Hekoan (aku pembesar rendah) entah sebab apa telah
membikin marah Nyo-enghiong? Kalau ada sesuatu, harap
Nyo-enghiong suka katakan terus terang,” kata Yali Cin.
“Tak ada apa-apa yang bikin marah,” sahut Nyo to sambil
ketawa.
Habis ini, mendadak ia meloncat keluar melalui jendela
terus menghilang. Keruan saja Yali Cin kaget.
“Nyo-enghiong…” ia berteriak sambil memburu ke pinggir
jendela, namun bayangan Yo Ko sudah tak kelihatan
“Aneh, orang ini pergi-dataag secara tiba-tiba saja,
padahal tubuhku sudah terkena jarum beracunnya, lalu
bagaimana baiknya ?” Yali Cin menjadi ragu-ragu.
Tetapi baru sejenak ia termenung-menung, mendadak
daun jendela bergerak, tahu-tahu Yo Ko sudah kembali lagi,
malahan di dalam kamar kini sudah bertambah dengan satu
orang.
“Ah, kau telah kembali!” seru Yali Cin girang.
“Dia adalah biniku, lekas kau menjura padanya!” kata Nyo
Ko tiba-tiba sambil menunjuk Liok Bu-siang.
“Apa kau bilang?” bentak Bu-siang gusar berbareng itu,
kontan ia tampar muka Yo Ko.
Sebenarnya kalau Yo Ko menghindar dengan gampang
saja hal itu bisa dilakukannya, Tetapi entah mengapa, ia
merasa lebih senang menerima tamparan atau dicaci maki si
gadis. Oleh sebah itulah, sama sekali ia tidak berkelit maka
“plok” pipinya telah merasakan tamparan itu hingga pana
pedas.
Yali Cin tak tahu kalau kelakuan kedua orang itu sudah
biasa begitu, ia mengira ilmu silat Bu siang tentu lebih tinggi
dari pada Yo Ko, maka dengan terpesona ia pandang orang
dan tak berani bersuara.
“Kau sudah terkena racun jarumku, tapi sementara masih
belum sampai mampus,” kata Yo Ko kemudian sembari elus-
elus pipinya, “Asal kau dengar kataku dan menurut, pasti aku
akan menyembuhkan kau.”
“Hekoan biasanya paling kagum terhadap kaum Enghiong,
hari ini bisa berkenalan dengan Nyo enghiong, sekalipun
Hekoan tak bakal hidup lagi, rasanya pun rela,” sahut Yali Cin.
“Haha,” Yo Ko tertawa senang karena orang pintar
menjilat, “tidak nyana, kau terhitung juga seorang gagah
berani. Baiklah, sekarang juga ku sembuhkan kau.” , Habis itu,
ia keluarkan sebuah batu sembrani dan menyedot keluar dua
jarum tawon putih orang menancap di pundak orang itu dan
dibubuhi obat pula.
Selamanya belum pernah Bu-siang melihat Giok-hong-ciam
atau jarum tawon putih itu, kini nampak bentuk jarum itu
selembut rambut, ia menjadi heran dan tidak habis mengarti
benda seringan itu kenapa bisa dipakai sebagai senjata
rahasia?
Karena itu, rasa kagumnya pada Yo Ko pun tanpa terasa
bertambah setingkat pula, walaupun begitu, di mulutnya ia
sengaja ber-olok-olok, katanya: “Hm, pakai senjata rahasia
begitu, tiada sedikitpun semangat jantan, apa tak kuatir
ditertawakan orang?”
Tetapi Yo Ko hanya tersenyum, ia tidak bantah kata-kata
orang, sebaliknya ia berpaling dan berkata pada Yali Cin:
“Kami berdua ingin mengabdi padamu.”
Yali Cin terkejut “Ah, Nyo-enghiong suka berkelakar saja,
ada apakah. silakan berkata terus siang saja,” sahutnya
kemudian
“Aku tak berkelakar, tapi sungguh-sungguh, kami ingin
menjadi pengawalmu,” kata Yo Ko pula.
“Eh, kiranya kedua orang ini ingin cari pangkat dan
kedudukan,” demikian pikir Yali Cin. Karena itu segera
sikapnya berubah lain, sebab disangkanya orang tentu
membutuhkan bantuannya maka dengan sungguh-sungguh
dia lantas berkata: “Enghiong sesudah belajar silat memang
harus diabdikan kerajaan, hal ini memang jalan yang tepat.”
“Kau telah salah tangkap maksudku,” ujar Yo Ko dengan
tertawa, “Kami bukan hendak mencari pangkat kami sedang
dikejar oleh musuh yang sangat lihay sepanjang jalan, karena
kami tak ungkulan melawannya, maka ingin menyamar
sebagai pengawalmu untuk menghindarinya sementara.”
Yali Cin sangat kecewa sebab dugaannya salah, mukanya
segera berubah lagi dan tak berani berlagak…”
“Ah, kalian suka merendah diri saja, masakah seorang
musuh perlu ditakuti?” katanya dengan tertawa, “Tetapi kalau
mereka berjumlah banyak, Hekoan dapat kirim pasukan dan
menangkap mereka untuk diserahkan padamu.”
“Aku saja tak bisa menandingi dia, sebaiknya tak perlu kau
ikut repot,” sahut Yo Ko. “Lekas kau perintah pelayanmu
mengambilkan pakaian agar kami bisa menyamar.”
Yali Cin tak berani membantah, ia perintah pengawalnya
mengambilkan pakaian yang diminta dan silakan Yo Ko dan
Bu-siang salin ke kamar lain.
Sesudah tukar pakaian, waktu Bu-siang bercermin, nyata
ia telah berubah menjadi perwira muda bangsa Mongol yang
cakap.
Besok paginya berangkatlah mereka ikut rombongan
pasukan tentara itu, Yo Ko dan Bu-siang masing-masing
digotong dengan sebuah Joli mentereng, sebaliknya Yali Cin
malah menunggang kuda.
Sebelum lohor, terdengarlah suara kelenengan nyaring
dari jauh, tapi sekejap saja suara itu sudah lewat melampaui
rombongan mereka, Tentu saja Bu-siang sangat girang,
pikirnya: “Sungguh nikmat sekali merawat luka di dalam joli
ini, biarlah aku digotong mereka sampai daerah Kanglam saja”
Dua hari kemudian, suara kelenengan keledai yang sangat
ditakuti itu sudah tak terdengar lagi, agaknya Li Bok-chiu
sudah mengejar terus ke desa dan tidak kembali pula. Begitu
juga para Tojin dan anggota Kay-pang yang ingin menuntut
balas pada Liok Bu-siang pun tidak menemukan jejaknya.
Pada hari ketiga, sampailah mereka di Liong-Se, satu kota
persimpangan jalan yang penting dan ramai.
Sehabis bersantap malam, iseng2 Yali Cin mendatangi
kamarnya Yo Ko untuk meminta petunjuk tentang ilmu silat.
Dasar Yali Cin ini pandai bicara, ia sengaja menyanjung
dan mengumpak Yo Ko setinggi langit, maka untuk jasa itu
Yo Ko telah memberikan sekali dua petunjuk padanya,
walaupun hanya dasar-dasar yang tidak berarti, tapi bagi Yali
Cin sudah tterupakan pelajaran yang tak pernah didengarnya,
tentu saja tidak sedikit faedah baginya. Selagi Yali Cin
mencurahkan seluruh perhatiannya mendengarkan “kuliah”
Yo Ko, tiba-tiba datanglah seorang pengawalnya melapor
bahwa dari orang-tuanya di kotataja ada mengirim utusan
baginya.
“Baiklah, segera aku datang,” sahut Yali Cin girang,
Sedang ia hendak mohon diri pada Nyq Ko, mendadak ia
timbul pikirannya: “Ah, kenapa aku tidak menerima kurir
pengantar surat itu M hadapannya, dengan begitu bisa
menandakan akuj tidak pandang dia sebagai orang asing, dan
cara dia” mengajarkan ilmu silatnya padaku tentu akan ber-
sungguh-sungguh juga.”
Segera pengawalnya diberi perintah: “Panggil dia
menghadap padaku di sini.”
Pengawal itu merasa aneh oleh karena perintah itu, “Ma…
mana…” demikian dengan samar-samar ia hendak
menjelaskan
Namun Yali Cin lantas lambaikan tangannya dan bilang
lagi: “Tak apa, bawalah dia ke sini!”
“Tetapi Lotayjin sendiri yang…” kata si pengawal pula.
“Ah, kau hanya banyak omong saja,” sela Yali Cin tak
sabar, “Lekas pergi….”
Belum habis ia bicara, tahu-tahu tirai kamar tersingkap
dan masuklah seorang dengan tertawa.
“Anak Cin, tentu kau tak menduga akan diri ku, bukan ?”
demikian kata orang itu segera.
Girang dan kejut Yali Cin demi mengenali siapa adanya
orang itu, Lekas-lekas ia berlari memapak dan menyembah.
“Ah, kiranya Ayah…”
“Ya, memang aku sendiri yang datang,” potong orang itu.
Kiranya orang ini memang bukan lain adalah ayah Yali Cin,
itu perdana menteri negeri Mongol Yali Cu-cay.
Mendengar Yali Cin panggil orang itu sebagai ayah, Yo Ko
tak tahu bahwa orang adalah Perdana Menteri yang sangat
berkuasa di negeri Mongol, ia lihat alis jenggot orang sudah
putih, wajahnya alim menandakan seorang yang beribadat,
mau-tak-mau dalam hati Yo Ko timbul juga semacam
perasaan menghormat.
Dan baru saja orang itu berduduk, dari luar kembali masuk
lagi dua orang terus memberi hormat pada Yali Cin dan
menyebutnya sebagai “Toa-ko.”
Kedua orang ini yang satu laki-laki dan yang lain wanita.
Yang lelaki berumur antara 25-26 tahun, sedang usia yang
perempuan kira-kira sebaya dengan Yo Ko.
“Ah, Ji-te dan Sam-moay, kalian pun ikut datang!” sapa
Yali Cin kepada muda-mudi itu dengan girang.
Pemuda itu adalah putera Yali Cu-cay kedua, namanya Yali
Ce, dan puterinya bernama Yali Yen. perawakan Yali Ce kurus
jangkung, tetapi sikapnya gagah dan wajahnya cakap, Yali
Yen pun berpotongan ramping tinggi, tampaknya mereka
sekeluarga memang berketurunan perawakan tinggi.
Meskipun perawakan Yali Yen tinggi, namun wajahnya
masih membawa sifat kanak-anak, dibilang cantik, sebenarnya
tak begitu cantik, tetapi di antara senyumannya terdapat juga
semacam gayfa yang menggiurkan.
“Ayah, keberangkatanmu dari kotaraja, sedikitpun anak
tidak mengetahui.” sementara itu Yali Cin berkata pula.
“Ya,” Yali Cu-cay mengangguk “karena ada suatu urusan
besar, kalau bukan aku sendiri yang memimpinnya, betapapun
rasa hatiku tak lega.”
“Sambil berkata, pandangannya telah merata Yo Ko
beserta para pengawal yang berada di situ, maksudnya agar
mereka diperintahkan menyingkir.
Tentu saja Yali Cin menjadi serba salah, seharusnya ia
mengibaskan tangan menyuruh para pengawalnya pergi, tapi
Yo Ko adalah orang yang tak boleh dipersamakan dengan
bawahannya, karena itu, sikapnya menjadi kikuk dan ragu-
ragu.
Namun Yo Ko cukup tahu diri, dengan tersenyum ia
mengundurkan diri atas kemauan sendiri.
“Siapakah dia tadi?” tanya Yali Cu-cay pada Yali Cin segera
sesudah Yo Ko menyingkir.
“Kenalan baru yang bertemu di tengah jalan tadi,” sahut
Yali Cin samar-samar untuk menghindari kehilangan pamor di
hadapan adik2nya, “Ada urusan penting apakah sebenarnya,
sampai ayah berangkat sendiri ke selatan?”
Yali Cu-cay menghela napas atas pertanyaan sang putera.
“Ya, pertama-tama untuk menghindari bahaya, kedua
demi keutuhan negeri kita yang sudah tertanam kukuh oleh
cakal-bakal kita itu,” sahutnya kemudian.
Yali Cin terdiam karena jawaban itu, ia saling pandang
sekejap dengan adik2nya, wajah mereka pun mengunjuk rasa
duka.
Kiranya sesudah cakal-bakal negeri Mongol, Jengis Khan
wafat, putera kedua, Gotai menggantikan tahta, setelah Gotai
meninggal, kedudukan-nya diganti oleh puteranya yang
pendek umur, tatkala pemerintahan dikuasai permaisuri dan
karena permaisuri main konco2an dan percaya pada
sekelompok kecil orang, banyak pembesar lama dan panglima
yang berjasa malah tergencet hingga suasana pemerintahan
sangat kacau.
Yali Cu-cay adalah pembesar tiga angkatan sejak Jengis
Khan dan berjasa besar sebagai orang yang ikut membangun
kerajaan Mongol, karena itu setiap permaisuri membuat
kesalahan, ia suka memberi kritik secara jujur. Tetapi
permaisuri menjadi kurang senang karena tindak tanduknya
selalu dirintangi.
Sudah tentu Yali Cu-cay juga insaf bahwa keselamatannya
dengan sendirinya selalu terancam, tetapi demi kepentingan
negara yang dahulu ikut didirikannya dengan susah payah, ia
telah berpikir siang dan malam untuk mencari jalan keluar
yang paling baik
Suatu malam sesudah dia baca kitak “Cu-ti-thong-kam”
karangan Suma Kong dari ahala Song, mendadak tergerak
pikirannya, ia mendapatkan satu akal bagus. Besok paginya
dalam sidang ia mengajukan usul agar dirinya diutus ke
daerah Ho-lam untuk menenteramkan keadaan di sana yang
sedang bergolak.
Dengan sendirinya usul itu sangat cocok dengan keinginan
permaisuri yang sudah lama bermaksud menyingkirkan dia,
maka diutuslah Yali Cu-cay ke Holam dengan kuasa penuh.
Yali Cu-cay mengadakan perundingan dengan para
sahabat lama dan akalnya ternyata disetujui dan didukung
dengan suara bulat oleh kawan-kawan lama itu.
Kiranya akal yang Yali Cu-cay rencanakan itu yalah pada
suatu saat permaisuri hendak dirobohkan dan mengangkat
raja baru, yakni meniru cara apa yang terjadi pada jamannya
Bu-cek-thian dari ahala Tong.
Mula-mula ia mengusulkan dirinya di utus ke Holam dan
disetujui permaisuri tetapi di sana ia menghimpun pasukan
dan panglima2 yang perkasa, setelah kekuasaan militer
berada di tangannya, segera ia mengangkat raja baru dan
mendesak permaisuri mengundurkan diri. Tatkala itu calon
raja yang mereka dukungi adalah cucu Jengis Khan, putera
Dule yang bernama Monka.
Begitulah, dengan suara pelahan Yali Cu-cay ceritakan
rencananya pada sang putera. Yali Cin merasa girang dan
kuatir, sebab kalau rencana itu terlaksana, dengan sendirinya
mereka berjasa besar, sebaliknya kalau gagal, itu berarti
bahaya bagi kehancuran keluarga mereka.
Selagi mereka berempat sedang berunding secara rahasia,
waktu itu juga Yo Ko sedang duduk semadi di kamar Liok Bu-
siang dengan memusatkan pendengarannya mengikuti
pembicaraan Yali Cu-cay berempat.
Bagi orang yang sudah tinggi Lwekang yang dilatihnya,
penglihatan dan pendengaran atas sesuatu selalu lebih tajam
dari pada orang biasa.
Oleh sebab itulah, meski kamar di mana Yo Ko dan Bu-
siang berada masih diseling dengan sebuah ruangan lain,
suara bicara Yali Cu-cay pun sangat perlahan, bagi Liok Bu-
siang sedikitpun tak kedengaran, tapi untuk Yo Ko sebaliknya
dapat didengar dengan jeIas.
Walaupun apa yang dibicarakan keempat orang itu adalah
rahasia pemerintahan Mongol dan tiada sangkut pautnya
dengan Yo Ko, namun uraian Yali Cu-cay itu sangat menarik,
Nyo-Ko jadi ingin mendengarkan terus.
“Hai, ToloI, kenapa kau bersemadi di sini.”. tegur Bu-
siang. sesudah menunggu dan melihat orang hingga sekian
lama tak bergerak.
Tetapi saat itu justru Yo Ko lagi pusatkan-perhatiannya
untuk mendengarkan pembicaraan orang, terhadap kata-kata
Bu-siang itu sebaliknya malah tak didengarnya.
Sesudah ulangi lagi tegurannya dan masih tiada jawaban,
akhirnya Bu-siang menjadi marah.
“Hai, Tolol, kau mau bicara dengan aku tidak?” omelnya.
Karena Yo Ko tetap tidak menyahut, ia bermaksud
mengitik2nya, tapi sekonyong-konyong Yo Ko-melompat
bangun.
“Ssssttt, diluar ada orang mengintip,” katanya, tiba-tiba
dengan suara mendesis.
Akan tetapi sedikitpun Bu-siang tidak mendengar sesuatu
suara yang mencurigakan.
“Kau mau dustai aku?” sahut si gadis dengan suara
rendah.
“Bukan di sini, tetapi di rumah yang sana” kata Yo Ko.
Namun Bu-siang lebih-lebih tak percaya, ia tersenyum
sambil mengomel: “Tolol!”
“Ssst, jangan-jangan gurumu yang mencari kemari lekas
jkita sembunyi dahulu,” dengan suara bisik Yo Ko
peringatkan pula sembari tarik-tarik baju nona.
Mendengar gurunya di-sebut-sebut, mau tak mau Bu-siang
menurut, ia ikut Yo Ko mendekam di luar jendela untuk
mengintai
Tiba-tiba Yo Ko menuding ke arah barat waktu Bu-siang
mendongak, betul saja dilihatnya dari atas rumah yang agak
jauh sana mendekam sesosok bayangan orang, Tatkala itu
tiada sinar bulan hingga malam gelap gulita, kalau tidak
memandang dengan seluruh perhatian, memang sukar untuk
membedakan apakah itu bayangan orang atau bukan.
Baru sekaranglah Bu-siang mau menyerah, alangkah
kagumnya pada “si Tolol” yang tak di-mengerti cara
bagaimana bisa mengetahui datangnya orang itu?
“Bukan Suhu,” katanya kemudian pada Yo Ko. Sebab ia
tahu gurunya sangat tinggi hati, baju peranti jalan malam
yang dipakainya kalau bukan berwarna kuning langsat tentu
berwarna putih mulus, sama sekali tak mau mengenakan
pakaian hitam.
Belum selesai ia berkata, mendadak orang berbaju hitam
itu melompat ke sana dan sekejap saja sudah melintasi tiga
deret rumah, sampai di luar jendela kamar di mana terdapat
ayah dan anak keluarga Yali, segera sebelah kakinya
melayang, ia depak terpentang daun jendelanya, lalu dengan
senjata “Liu-yap-to” (golok bentuk sempit panjang dan sedikit
melengkung) terhunus, dengan cepat sekali ia melompat
masuk.
“Yali Cu-cay, hari ini biarlah aku mati bersama kau,”
terdengar orang itu berteriak. Waktu menyaksikan gerak
tubuh orang itu yang cepat, tetapi bergaya lemas, Yo Ko
menduga tentu seorang perempuan. Ketika mendengat suara
teriakannya, ia menjadi terang memang suara kaum wanita.
“Ha, ilmu silat orang itu jauh di atas Yali Cin, jiwa orang
tua berjenggot putih itu sukar dipertahankan lagi,” demikian
terpikir olehnya.
“Lekas kita pergi melihatnya,” ajaknya pada Bu-siang.
Dengan cepat mereka lantas menyusup ke sana, dari luar
jendela mereka melihat Yali Cin sementara itu sudah angkat
sebuah bangku sebagai senjata untuk menempui wanita
berbaju hitam itu.
Ilmu permainan golok wanita baju hitam itu bagus sekali,
golok Liu-yap-to yang dia pakai pun tajam luar biasa, hanya
beberapa kali bacokan, empat kaki bangku itu sudah tertabas
kutung.
“Lekas Iari, ayah !” teriak Yali Cin insaf tak bisa
menandingi orang. Habis ini ia berteriak pula. “Mana
orangnya, maju lekas!”
Karena teriakan ini wanita itu kuatir kalau bala bantuan
membanjir datang dan tentu tak leluasa lagi bagi tujuannya,
maka sebelah kakinya mendadak menendang gerak kakinya
cepat, sekali tanpa kelihatan, karena tak berjaga-jaga dengan
tepat Yali Cin tertendang pinggangnya dan roboh
menggelongsor.
Kesempatan itu tak di-sia-siakan oleh wanita muda itu,
begitu menyerobot maju, ia angkat goloknya terus membacok
kepala Yali Cu-cay.
“Celaka!” teriak Yo Ko di dalam hati.
Segera ia siapkan segenggam Giok-hong-ciam atau jarum
tawon putih dan selagi hendak disambitkan tangan si nona
yang memegang senjata, tiba-tiba puteri Yali Cu-cay, Yali Yen
yang berdiri di samping itu mendahului membentak: “Jangan
sembrono!”
Berbareng itu sebelah tangannya menghantam ke muka
nona baju hitam itu dan tangan yang lain diulur buat merebut
senjata orang.
Gerak serangan ini sungguh tepat sekali, terpaksa nona itu
harus mengegos menghindari hantaman, namun tidak urung
pergelangan tangan yang memegang senjata kena dipegang
Yali Yen, walaupun demikian, secara sebat sekali kakinya
lantas melayang, Karena tendangan yang mengarah tempat
berbahaya ini, Yali Yen dipaksa lepaskan tangan dan
melompat mundur, karena inilah Liu-yap-to gadis itu tidak
sampai kena direbut.
Melihat gebrakan kedua nona itu sama sebat dan sama
lihay, dalam hati Yo Ko menjadi heran sekali. sementara itu,
sekejap saja kedua gadis itu sudah saling gebrak belasan jurus
bergantian.
Waktu itu juga, dari luar telah membanjir masuk belasan
orang pengawal karena teriakan Yali Cin tadi, demi melihat
kedua nona itu sedang bertarung dengan sengitnya, mereka
hendak maju membantu.
“Nanti dulu,” tiba-tiba Yali Ce mencegah mereka.
“Samsiocia (puteri ketiga) tidak perlu bantuan kalian”
Di lain pihak, sesudah menyaksikan ilmu silat kedua nona
itu, Yo Ko menoleh dan berkata pada Liok Bu-siang: “Bini
cilik, kepandaian kedua orang itu lebih tinggi dari pada kau.”
Bu-siang menjadi gusar karena orang menyebut lagi “bini”
padanya, begitu tangan diangkat kontan ia hendak tempeleng
orang. “Ssstt, jangan ribut, lebih baik menonton perkelahian
saja,” kata Yo Ko pelahan dengan tertawa sambil
mengelakkan diri.
Sebenarnya ilmu silat kedua nona itu kalau dibilang lebih
tinggi dari pada Liok Bu-siang juga belum tentu tepat Cuma
kedua nona itu memang mendapatkan didikan guru pandai
kalau dibandingkan Yali Cin, terang jauh lebih tinggi.
Begitulah maka Yali Cu-cay dan Yali Cin tidak kepalang
heran dan terperanjat, sebab sama sekali mereka belum
pernah tahu Yali Yen berlatih silat, siapa tahu si gadis memiliki
ilmu silat yang begitu bagus, saking herannya hingga mereka
ternganga.
Tak Iama lagi, karena Yali Yen tak bersenjata, beberapa
kali ia hendak rebut golok orang, namun tak berhasil
sebaliknya ia malah terdesak melompat sini dan berkelit ke
sana tanpa bisa membalas.
“Sam-moay, biarkan aku yang mencobanya, kata Yali Ce
tiba-tiba, Berbareng ini mendadak ia menyela maju, dengan
tangan kanan melulu, beruntun2 tiga kali memukul
“Baik, coba kau bagaimana,” sahut Yali Yen setelah
mundur ke pinggir.
Tadi waktu Yali Yen bergebrak dengan gadis baju hitam
itu, Yo Ko hanya bersenyum dan menonton pertarungan itu
dengan sikap dingin, tetapi kini begitu Yali Ce turun tangan,
hanya tiga kali serangan saja sudah bikin hatinya terkesiap.
Ia lihat tangan kiri Yali Ce bertolak pinggang, sama sekali
tak ikut bergerak, melulu tangan kanan saja yang digunakan
buat melawan nona baju hitam itu, kakinya pun tidak pernah
menggeser barang selangkahpun secara tenang dan
seenaknya mencari kesempatan buat rebut golok lawan, tipu
gerakannya sangat aneh, bahkan tempat dan waktu yang
digunakannya pun jitu sekali, sungguh suatu ilmu kepandaian
yang lain daripada yang lain.
Tentu saja Yo Ko terheran-heran. “Mengapa orang ini
begini lihay?” demikian pikirnya.
“Tolol, kepandaian orang ini jauh melebihi kau!” Bu-siang
balas mengejek si Yo Ko.
Namun Yo Ko sedang tercengang, maka tak didengarnya
apa yang dikatakan si nona.
“Sam-moay, lihatlah yang jelas,” terdengar Yali Ce berkata
pada adiknya sambil melayani si gadis baju hitam. “Kalau aku
tepuk dia punya “pi-su-hiat”, tentu dia akan menghindar
mundur ke samping, menyusul aku lantas pegang dia punya
“ki-kut-hiat”, mau-tak-mau dia harus angkat golok-nya buat
membacok. Pada saat itulah kita harus turun tangan secara
cepat dan dapatlah merebut senjatanya.”
“Cis, belum tentu bisa begitu gampang,” damperat gadis
baju hitam dengan gusar.
“Tetapi memang begitulah, lihatlah ini,” kata Yali Ce.
sambil berkata, betul juga ia hantam “pi-sui-hiat” si gadis.
Pukulan ini tampaknya seperti menceng dan miring, tetapi
justru mengurung rapat segala jalan mundur lawannya, hanya
pada ujung belakang kiri sedikit ke samping itulah ada
peluang, karena si gadis hendak hindarkan pukulan itu,
terpaksa ia mundur miring ke samping sana.
Yali Ce angguk-angguk suatu tanda pukulannya membawa
hasil, menyusul betul juga ia ulur tangan hendak pegang “Ki-
kut-hiat” lawan.
Sebenarnya dalam hati si gadis itu sudah memperingatkan
dirinya sendiri agar “sekali-kali jangan angkat golok balas
membacok” seperti apa yang direncanakan Yali Ce. Akan
tetapi keadaan pada waktu itu sangat berbahaya, jalan lain
memang tidak ada kecuali angkat goloknya buat balas
membacok yang merupakan satu-satu-nya gerak tipu yang
jitu.
Karena itulah, tanpa bisa pikir banyak, segera goloknya
mengayun, ia balas menyerang.
“Nah, begitu bukan?” dengan sungguh-sungguh Yali Ce
berkata.
Mendengar perkataannya ini, semua orang menduga pasti
Yali Ce akan ulur tangan buat merebut senjata si gadis, siapa
tahu tangan kanannya malah dia tarik kembali dan
dimasukkan ke dalam lengan baju.
Maka luputlah bacokan gadis baju hitam itu, sebaliknya ia
lihat kedua tangan orang malah bersedakap seenaknya,
keruan saja ia rada tertegun.
Pada saat itu juga, sekonyong-konyong Yali Ce ulur tangan
kanan lagi dengan dua jari ia menjepit punggung golok si
gadis dan sedikit diangkat ke atas, karena itu, gadis itu tak
mampu pegang kencang senjatanya hingga kena direbut
orang secara mentah-mentah.
Menyaksikan pertunjukan ilmu sakti itu, seketika semua
orang terkesima, menyusul suara sorak sorai memecah
kesunyian memuji kepandaian Yali Ce tadi.
“Nah, sekarang iapun tak bersenjata,” kata Yali Ce pada
adik perempuannya sambil melangkah mundur, “kau maju lagi
menjajal dia, tabah sedikit dan hati-hati terhadap tendangan
kilatnya.”


Karena goloknya direbut orang, wajah gadis baju hitam itu
kelihatan muram, untuk sejenak terpaku di tempat.
Semua orang menjadi heran oleh kelakuannya, mereka
pikir: “Kalau Jikongcu (tuan muda kedua) tidak menangkap dia
sekaligus, terang maksudnya sengaja membebaskan dia lari,
tapi dia justru tak mau kabur, lalu apa kehendaknya?”
Dalam pada itu, karena kata-kata abangnya tadi, Yali Yen
telah tampil ke depan lagi.
“Wanyen Peng, berulang kali kami telah ampuni kau, tapi
kau selalu merecoki kami, apa sampai hari ini kau masih
belum mau mengakhiri maksudmu itu?” begitulah kata Yali
Yen pada gadis baju hitam itu.
Mendengar nama yang disebut Yali Yen, diam-diam Nyo
Ko sangat heran oleh nama beberapa orang yang aneh itu.
Nyata, karena masih muda dan cetek pengalamannya, Nyo
Ko tak tahu bahwa “Yali” adalah nama keluarga kerajaan
negeri Liau, sedang “Wan-yen”, adalah nama keluarga
kerajaan negeri Kim, beberapa orang yang berada di dalam
kamar itu memang keturunan bangsawan kedua negeri itu.
Cuma tatkala itu negeri Liau sudah ditelan kerajaan Kim,
dan negeri Kim telah dicaplok pula oleh Mongol. Oleh sebab
itu, baik Yali maupun Wan-yen, semuanya adalah keluarga
raja2 yang sudah musnah negerinya.
Begitulah Wanyen Peng ternyata tak menjawab kata-kata
Yali Yen tadi, ia masih menunduk dan termenung-menung.
“Baiklah, jika kau memang ingin tentukan unggul dan asor
dengan aku, marilah kita mulai lagi,” kata Yali Yen kemudian.
Berbareng itu, melompat maju terus menjotos susul-menyusul
dua kaIi.
“Kembalikan golokku itu,” serunya tiba-tiba dengan nada
suara memelas.
Yali Yen tertegun karena permintaan itu, katanya dalam
hati: “Kakakku sengaja rebut senjata mu agar kau bergebrak
rangan kosong dengan aku, kenapa sekarang kau malah minta
kembali senjatamu ?”
Walaupun begitu, karena wataknya memang berbudi,
maka iapun tidak menolak “Baiklah”, demikian sahutnya, Habis
itu, dari tangan abangnya ia ambil golok Liu-yap-to itu dan
dilemparkan pada Wanyen Peng.
“Sam-siocia, kaupun gunakan senjata,” kata seorang
pengawal sambil menyerahkan goloknya.
“Tak perlu,” sahut Yali Yen. Tetapi setelah dipikir lagi,
segera ia menambahkan: “Baiklah, dengan tangan kosong aku
memang bukan tandinganmu biarlah kita bertanding golok.”
Lalu golok pengawal tadi diterimanya, walau pun beratnya
sedikit terasa antap, namun boleh juga sekedar dipakai.
Di lain pihak setelah terima kembali senjatanya sendiri,
muka Wanyen Peng tampak putih pucat, dengan tangan kiri
memegang golok, tangan kanan menuding Yali Cu-cay dan
berkata: “YaIi Cu-cay, kau telah bantu orang Mongol dan
tewaskan ayah-bundaku, selama hidupku ini terang aku tak
sanggup menuntut batas lagi padamu, Biarlah kita bikin
perhitungan nanti diakhirat saja !”
Begitu selesai bicara, mendadak golok di tangan itu terus
menggorok ke lehernya sendiri.
Waktu mendengar kata-kata si gadis tadi dengan sorot
matanya yang guram, seketika hati Yo Ko memukul keras,
dadapun terasa sesak dan tanpa tertahan berseru : “Kokoh !”
Pada saat ia berseru itulah Wanyen Peng telah angkat
goloknya hendak membunuh diri. Namun gerak tangan Yali Ce
cepat tiada bandingan-nya, ketika tubuhnya sedikit
mendoyong dan tangannya menjulur, dengan dua jari saja ia
berhasil merebut golok si gadis, bahkan orangnya ditutuk pula
hingga tak bisa berkutik.
“Baik-baik saja begini, kenapa lantas berpikiran pendek?”
demikian katanya.
Terjadinya beberapa peristiwa tadi, yakni Wanyen Peng
hendak menggorok leher sendiri dan Yali Ce merebut
senjatanya dengan jepitan jarinya, semuanya terjadi dalam
sekejap saja, ketika dapat melihat jelas oleh semua orang,
sementara itu golok si gadis sudah berpindah ke tangan Yali
Ce Iagi.
Karena itulah, seketika ramai suara jeritan kaget dari
orang banyak hingga seruan “Kokoh” yang diucapkan Yo Ko
itu tidak diperhatikan orang sebaliknya Liok Bu-siang yang
berada di samping nya dapat mendengar dengan terang.
“Apa kau sebut dia? ia adalah kokohmu?” “tanyanya
dengan suara tertahan.
“Bukan……bukan!” sahut Yo Ko cepat.
Kitanya tadi waktu Yo Ko nampak sorot mata Wanyen
Peng yang menunjuk perasaan penuh sunyi dan hampa,
seperti sudah putus asa, hal ini mirip sekali dengan sorot mata
Siao-liong-li dahulu sewaktu hendak berpisah dengan dia itu.
Dan karena melihat sorot mata orang itu tadi, tanpa terasa
Yo Ko terkesima seperti orang ling-lung hingga lupa dirinya
berada di mana pada waktu itu.
Melihat keadaan Yo Ko yang aneh itu, Bu siang tak
menanya lebih lanjut, sebaliknya ia dengar di dalam sana Yali
Cu-cay sedang buka suara dengan pelahan.
“Nona Wanyen, sudah tiga kali kau hendak membunuh
aku, tetapi setiap kali selalu gagal,” demikian kata orang tua
itu. “Dalam persoalan ini, sebagai perdana menteri negara
Mongol, akulah yang musnahkan tanah airmu dan membunuh
ayah-bundamu. Tetapi sebaliknya apa kau tahu siapa lagi
yang telah “bunuh leluhurku dan menghancurkan negeriku?”
“Aku tak tahu,” sahut Wanyen Peng.
“Baiklah kuterangkan,” tutur Yali Cu-cay, “Leluhurku
adalah keluarga raja Liau dan negeri Liau kami itu telah
dimusnahkan oleh negeri Kim bangsamu, Keturunan Yali dari
keluarga kami itu habis dibunuh oleh keluarga Wan-yen kalian
hingga tidak seberapa gelintir orang yang ketinggalan.
Karena itu, pada waktu muda akupun bersumpah buat
tuntut balas sakit hati ini, karenanya aku telah bantu raja
Mongol menghancurkan negaramu Kim. Ai, cara balas-
membalas ini entah akan berakhir kapan ?”
Pada waktu mengucapkan kata-kata terakhir itu, Yali Cu-
cay mendongak memandang keluar jendela, terbayang
olehnya beratus bahkan beribu jiwa yang telah melayang
akibat saling bunuh-membunuh tanpa ada habisnya itu.
Sewaktu mendengarkan tadi, tiba-tiba Wanyen Peng gigit
bibirnya hingga beberapa giginya yang putih bersih bagai
mutiara tertampak jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar