Kamis, 15 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 45



Kembalinya Pendekar Rajawali 45

Kelihatan tongkat si kakek sudah dekat dengan kaki kursi, mendadak tangan kiri Siau-siang-cu menjulur ke bawah, ternyata tongkat itu hendak dipegangnya. Malahan sekaligus gunting di tangan lain terus menyamber ke depan untuk menggunting jenggot lawan yang panjang itu.
Tidak kepalang gusar Hoan It-ong karena merasa orang terlalu meremehkan dirinya, cepat ia miringkan kepalanya hingga jenggotnya yang panjang itu melayang ke samping dan tongkatnya tetap dipukulkan ke tangan Siau-siang-cu yang hendak menangkap senjatanya itu, serangan ini dengan tepat mengenai telapak tangan, serentak semua orang bersuara kaget dan berbangkit.
Hoan It-ong menduga tangan orang pasti akan patah kena dihantamnya, tak tahunya ketika menyentak sasarannya, rasanya tongkat seperti menghantam air, lunak dan enteng, ia
sadar keadaan bisa runyam, cepat ia menarik kembali tongkatnya, namun sudah terlambat, tongkat sudah tergenggam kencang oleh tangan Siau-siang-cu.
Segera Hoan It-ong merasakan pula lawan sedang membetot, segera ia dorong sekalian tongkatnya ke depan, Tongkat itu amat panjang, maka dorongannya itu sangat kuat, tampaknya Siau-siang-cu pasti akan terdesak meninggalkan kursinya jika tidak mau roboh terjungkal.
Tak terduga sedikit Siau-siang-cu kencangkan pantatnya, serentak orang berikut kursinya meloncat lagi ke samping, seketika dorongan tongkat Hoan It-ong tidak mencapai sasarannya, sedangkan pegangan Siau-siang-cu pada tongkatnya juga lantas dilepaskan.
Cepat Hoan It-ong memutar tongkatnya yang panjang itu dan kembali menyabet ke kepala lawan, Agaknya Siau-siang-cu sengaja hendak pamer kepandaiannya kembali orang bersama kursinya meloncat setingginya dan melayang lewat di atas samberan tongkat musuh.
Melihat gerakannya yang aneh lagi gesit itu, meski duduk di atas kursi, tapi tiada bedanya seperti orang berdiri saja, tanpa terasa semua orang sama bersorak memuji.
Hoan It-ong tak berani ceroboh lagi menghadapi lawan yang lihay itu, ia putar tongkatnya sedemikian cepat, ia pikir untuk menghantam tubuh orang jelas sukar, kalau dapat menghancurkan kursinya rasanya lebih baik. Karena itu tongkatnya terus mengincar untuk menyabet kursi lawan.
Siapa tahu ilmu silat Siau-siang-cu sungguh maha sakti, gunting di tangan kanan terus mengincar jenggot lawan, sedangkan tangan kiri selalu berusaha hendak merampas tongkat baja. Kedua orang terus berkisar kian kemari diruangan tamu yang luas itu, dalam sekejap saja berpuluh jurus sudah berlangsung, tampaknya kedua orang sama kuat dan belum ada yang lebih unggul, tapi Siau-siang-cu yang tetap berduduk saja di kursinya, serangan Hoat It-ong ternyata disepelekan olehnya.
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong dan lainnya terkejut, mereka tidak mengira Siau-siang-cu yang lebih mirip mayat hidup itu ternyata memiliki kepandaian sehebat ini.

Setelah belasan jurus lagi, tongkat Hoan It-ong masih terus mengincar dan menyabet kursi lawan, terdengar suara kaki kursi yang mengetok lantai riuh ramai tiada hentinya dan makin lama makin cepat.
Mendadak sang Kokcu berseru kepada Hoan It-ong: “Jangan hantam kursinya, kau pasti bukan tandingannya !”
Hoan It-ong melengak, tapi segera ia menyadari peringatan sang guru, ia pikir: “Ya, dia duduk di atas kursi barulah aku sanggup menandingi dia dengan sama kuat, apabila kursinya hancur dan dia berdiri di tanah, mungkin dalam beberapa jurus saja jenggotku pasti sudah terpotong oleh guntingnya.”
Cepat ia ganti permainan tongkatnya dan diputar semakin cepat sehingga tubuhnya yang pendek itu seolah-olah terbungkus oleh sinar tongkat, sedangkan di luar gulungan sinar perak itu adalah sesosok bayangan orang yang mirip mayat hidup sedang berlompatan, pemandangan demikian menjadi sangat aneh dan menarik Rupanya sang Kokcu tahu Siau-siang-cu sengaja hendak mempermainkan lawannya, kalau berlangsung lagi, sebentar Hoan It-ong pasti akan kecundang.
Segera ia berbangkit dan melangkah maju, katanya: “lt-ong, kau bukan tandingan orang kosen ini, mundur saja kau !”
Karena perintah sang guru itu, Hoan It-ong mengiakan dengan suara keras, tongkatnya ditarik dan segera ia hendak mengundurkan diri.
Tak terduga Siau-siang-cu terus berteriak: “Tidak boleh !
Tidak boleh !” - Mendadak tubuhnya melayang maju meninggalkan kursinya terus menubruk ke atas batang tongkat.
Terdengarlah suara “krak” yang keras, kursi terhantam hancur oleh ujung tongkat Hoan It-hong, namun berbareng itu batang tongkat juga kena ditahan ke bawah oleh tangan kiri Siau-siang-cu terus diinjak dengan kaki kiri, menyusul gunting raksasa di tangan kanan terbuka, jenggot Hoan liong yang panjang legam itu sudah terjepit pada mata guntingnya, sekali gunting dikasipkan, tanpa ampun jenggot yang indah menarik itu pasti akan putus.
Tak tahunya jenggot panjang yang dipelihara Hoan It-ong
itu sesungguhnya juga semacam senjata yang maha lihay,
daya gunanya serupa dengan ruyung, cambuk dan sebagainya, Terlihat sedikit Hoan It-ong menggeleng kepalanya, serentak jenggotnya yang panjang itu terus menguntir dan terlepas dari mata gunting, malahan sempat pula balas melilit gunting lawan, menyusul kepalanya mendongak ke belakang, dengan tenaga maha kuat ia membetot untuk rebut gunting musuh.
“Haya, cebol tua, jenggotmu sungguh lihay, kagum sekali aku !” seru Siau-siang-cu sambil bertahan sekuatnya.
Begitulah jadinya jenggot seorang membelit pada gunting dengan kencang, sebaliknya seorang lain menahan batang tongkat dengan sebelah kaki dan tangan, seketika keduanya sukar melepaskan diri.
“Haha ! Menarik ! Menarik !” seru Siau-siang-cu dengan tertawa gembira.
Pada saat itulah sekonyong-konyong berkelebat sesosok bayangan orang, cepat luar biasa seorang telah menerjang masuk, sekaligus kedua tangannya menghantam punggung
Siau-siang-cu.
“Siapa itu?” bentak sang Kokcu.
Sergapan yang cepat dan ganas itu tampaknya pasti akan kena pada sasarannya, Namun kembali Siau-siang-cu memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa, tangan kirinya membalik ke belakang, dengan mudah saja ia telah dapat mematahkan tenaga pukulan musuh yang menyerangnya itu.
“Keparat, jahanam !” teriak penyergap itu dengan gusar “Biar kuadu jiwa dengan kau !”
Waktu Yo Ko dan lainnya mengawasi penyergap ini, mereka menjadi kaget dan heran, “He, Siau-siang-cu !” seru mereka berbareng.
Kiranya penyergap ini juga Siau-siang-cu yang sudah mereka kenal itu, mengapa dia bisa berubah menjadi dua dan sebab apa dia menyergap pada dirinya sendiri yang kembar itu? seketika mereka menjadi bingung.
Setelah diamat-amati pula, orang yang lagi bergelut dengan Hoan It-ong itu memang jelas memakai dandanan Siau-siang-cu, pakaiannya, sepatunya dan topinya, semuanya persis, tapi wajahnya ternyata berbeda daripada wajah asli Siau-siang-cu meski air mukanya juga kaku pucat sebagai mayat sebaliknya wajah orang yang datang belakangan itu persis dengan Siau-siang-cu yang sudah mereka kenal hanya baju yang dipakainya berwarna hijau seperti seragam yang dipakai orang-orang di Cui-sian-kok ini.

Yo Ko dan Kim-lun Hoat-ong sama-sama dapat berpikir cepat, sejenak saja mereka sudah dapat menerka apa yang terjadi sebenarnya.
Sementara itu Siau-siang-cu yang berbaju hijau tua dengan kedua tangan yang kurus laksana cakar itu kembali mencengkeram lagi ke punggung Siau-siang-cu yang memegang gunting sambil berteriak: “Keparat ! Main curang, jago macam apa kau?”
Hoan It-ong heran dan kejut juga meski mendapatkan bala bantuan, walau orang mengenakan seragam hijau, tapi mukanya tak dikenal sementara ia mundur ke pinggir dan menyaksikan kedua orang yang menyerupai mayat hidup itu saling labrak dengan serunya.
Kini Yo Ko sudah dapat menduga bahwa orang yang memegang gunting itu pasti telah mencuri kedok kulit manusia pemberian Thia Eng tempo hari dan dipakainya, lalu ganti pakaian Siau-siang-cu dan sengaja mengacau ke ruangan ini soalnya wajah Siau-siang-cu memang kaku seperti orang mati, maka sejak mula tiada orang yang memperhatikannya.
Setelah mengamat-amati sekian lama dan dapat mengenali gaya ilmu silat orang bergunting itu, segera Yo Ko berseru : “Hai, Ciu Pek-thong, kembalikan kedok dan guntingku !” - Berbareng ia melompat maju untuk merebut gunting.
Kiranya orang itu memang betul Ciu Pek-thong adanya, Dia tertawan oleh keempat murid Cin-sian-kok dengan jaring ikan, Meski wataknya nakal dan jahil, tapi ilmunya memang maha sakti, sedikit meleng saja keempat orang itu segera Ciu Pek-thong berhasil lolos dengan membobol jaring, akibatnya sang Kokcu menghukum keempat orang itu dengan hukum panggang.
Ciu Pek-thong tidak lantas kabur, dia sembunyi di suatu tempat, dia memang sengaja hendak mengobrak-abrik lembah sunyi itu. Tapi segera dia lihat Yo Ko berenam juga datang ke situ, Malamnya dia melakukan sergapan, Siau-siang-cu diculiknya hingga tak bisa berkutik, lalu dipindahkan ke luar rumah dan dilucuti pakaiannya untuk dipakai sendiri.
Karena Ginkangnya maha sakti, pergi datang tanpa suara dan tak meninggalkan bekas, maka dalam tidurnya Siau-siang-cu kena dikerjai, bahkan Kim-lun Hoat-ong dan lainnya juga tidak mengetahui akan kejadian itu.
Setelah mengganti pakaian Siau-sian cu, lalu Ciu Pek-thong masuk lagi ke rumah itu dan tidur di sisi Yo Ko, kesempatan itu digunakan pula untuk menggerayangi rangsel pemuda itu, gunting dan kedok kulit dapat dicurinya. Esoknya ternyata semua orang juga belum menyadari akan perbuatan Ciu Pek-thong itu.
Sudah tentu Siau-siang-cu berusaha melepaskan diri dari tutukan Ciu Pek-ehong, tapi lantaran ilmu Tiam-hiat yang digunakan Ciu Pek-thong itu sangat lihay, sampai tiga-empat jam kemudian barulah Siau-siang-cu berhasil melancarkan jalan darah dan dapat bergerak kembali sementara itu tubuhnya hanya memakai baju dan celana dalam saja, sudah tentu dia sangat dongkol dan murka. Ketika kebetulan seorang murid Cui-sian-kok lewat di situ, secepat kilat ia merobohkannya dan merampas bajunya untuk dipakai, lalu memburu ke rumah batu yang besar itu.
Pada saat itu dilihatnya Ciu Pek-thong dengan memakai bajunya sendiri sedang bertempur sengit dengan Hoan It-ong, dengan murka ia terus menerjang maju, sekaligus ia ingin membinasakan Ciu-Pek-thong dengan pukulannya yang dahsyat, beberapa jurus kemudian lalu Yo Ko juga ikut maju mengeroyok.
Tapi Ciu Pek-thong mempunyai kepandaian khas yang dilatihnya ketika dia disekap di Tho hoa-to dahulu oleh Oey Yok-su, yaitu dua tangan memainkan silat yang berbeda, Maka dengan tangan kiri ia layani Yo Ko, sedang tangan kanan dengan gunting ia lawan Siau-siang-cu, guntingnya sebentar terbuka dan sebentar terkatup, betapapun Siau-siang-cu tidak berani sembarangan mendekat.
Maklumlah, gunting itu amat besar, kalau mata gunting terbuka, jaraknya hampir setengah meter, kalau saja leher tergunting, mustahil kepala takkan berpisah dengan tuannya, Karenanya, meski Siau-siang-cu sangat murka, tapi iapun tidak berani sembarangan melancarkan serangan.
Dalam pada itu sang Kokcu masih terus mengikuti pertarungan sengit itu. Sudah turun temurun Kokcu itu menetap di lembah sunyi ini, ilmu silat keluarganya juga turun-temurun semakin hebat.
Pada umumnya ada kebiasaan buruk dalam dunia persilatan, lantaran kuatir muridnya kelak berkhianat atau murtad, maka seringkali sang guru menyimpan beberapa jurus rahasia untuk menjaga kemungkinan penghianatan murid.
Karena itu, beberapa keturunan saja ilmu silatnya semakin berkurang dan akhirnya habis sama sekali.
Ciri demikian tak berlaku dalam ilmu silat keturunan. Sang ayah mengajarkan kepada anak atau sang kakek mengajarkan kepada cucu pasti takkan menahan jurus simpanan, malahan setelah beberapa keturunan seringkali timbul satu-dua angkatan yang berbakat dan pintar menciptakan jurus baru sehingga satu turunan lebih hebat daripada angkatan yang lebih tua.
Begitulah dengan Kokcu ini, ilmu silatnya kini boleh dikatakan jauh lebih lihay daripada leluhurnya, ia yakin bila dirinya keluar lembah, ilmu silatnya pasti dapat menjagoi dunia.
Siapa duga lembah yang aman tenteram ini mendadak kedatangan Ciu Pek-thong sehingga suasana menjadi kacau balau, ia sudah kagum ketika menyaksikan pertarungan Ciu Pek-thong dengan Hoan It-ong, kini melihat anak tua nakal itu menempur dua orang dengan dua tangan yang bermain silat dengan cara yang berbeda, malahan sedikitpun tidak tampak lebih lemah dari kedua Iawannya, sungguh sang Kokcu menjadi kagum tak terhingga.
Dilihatnya pula ilmu silat Siau-siang-cu sangat ganas, serangannya tak kenal ampun. sedangkan gerak-gcrik Yo Ko tenang halus dan tenang, tapi tidak kurang lihaynya. Diam-diam Kokcu itu harus mengakui bahwa dunia seluas ini ternyata tidak sedikit terdapat orang kosen.
Segera ia berdiri dengan suara lantang ia berkata : “Harap kalian bertiga suka berhenti dulu !”.
Berbareng Yo Ko dan Siau-siang-cu melompat mundur,” Ciu Pek-thong lantas menanggalkan kedok kulit, berikut guntingnya terus dilemparkan kepada Yo Ko sambil berkata: “Permainanku sudah cukup, aku hendak pergi saja!”
Sekali mengenjot kaki seperti anak panah cepatnya dia terus meloncat ke atas belandar rumah..


Karena kedoknya ditanggalkan, dengan sendirinya wajah aslinya lantas kelihatan. Keruan gemparlah para anak murid Cui-sian-kok setelah mengenali siapa dia.
“Ayah, orang tua inilah !” seru Kongsun Lik-oh.
Sementara itu Ciu Pek-thong sedang bergelak tertawa sambil duduk mengangkang di atas belandar.
Tinggi belandar rumah itu sedikitnya lima-enam, meter dari permukaan tanah, biarpun di ruangan itu tidak sedikit terdapat tokoh terkemuka, terasa sukar juga kalau ingin sekali lompat mencapai belandar itu.
Hoan It-ong adalah murid pertama Cui-sian-kok, usianya bahkan lebih tua daripada sang guru, dalam hal ilmu silat, kecuali sang Kokcu dialah terhitung nomor satu, Kini berulang dia dipermainkan oleh Ciu Pek-thong, tentu saja dia murka.
walaupun tubuhnya cebol, tapi dia mahir memanjat sekali lompat ia rangkul erat-erat tiang ruangan itu terus memanjat ke atas segesit kera..
Dasar watak Ciu Pek-thong paling suka cari gara-gara, dia paling senang kalau ada orang mau main gila dengan dia, maka ia menjadi gembira melihat Hoan It-ong memanjat keatas, belum lagi kakek cebol itu mencapai belandar, lebih dulu ia sudah menjulurkan tangannya untuk menariknya ke atas.
Sudah tentu Hoan It-ong tidak tahu tujuan Ciu Pek-thong sebenarnya baik, melihat tangan orang menjulur, segera ia menutuk Tay-leng-hiat pada pergelangan tangannya.
Namun ilmu silat Ciu Pek-thong sudah mencapai tingkatan yang maha sakti sedikit merasakan sesuatu, segera ia menutuk Hiat-to yang hendak ditutuk itu dan mengendorkan urat dagingnya, Karena itu tusukan Hoan It-ong itu laksana mengenai kapas yang lunak, cepat ia menarik kembali tangannya…”
Tapi Ciu Pek-thong sempat membaliki tangannya dan menepuk sekali pada tangan Hoan It-ong sambil berseru: “Keplok ami-ami! Kakak makan nasi adik cebol minta isteri!”
Dengan murka Hoan It-ong menggelengkan kepalanya, jenggotnya yang panjang itu terus menyabet ke dada lawan, Mendengat samberan angin yang keras itu, Ciu Pek-thong tahu betapa lihaynya jenggot lawan, cepat ia melompat mundur, dengan tangan kiri berpegangan pada belandar, tubuhnya bergantungan seperti anak sedang main ayunan.
Siau-siang-cu yakin Hoan It-ong pasti bukan tandingan anak tua nakal itu, sekalipun dirinya ikut mengerubut juga sukar mengaIahkannya. Segera ia berpaling kepada Nimo Singh dan Be Kong-co, katanya: “Saudara Singh dan Be, tua bangka ini tidak memandang sebelah mata kepada kita berenam sungguh keterlaluan !”
Watak Nimo Singh paling berangasan dan tidak tahan dibakar, sedangkan pikiran Be Kong-co sangat sederhana dan tidak dapat menimbang antara baik dan buruk, demi mendengar rombongannya berenam tidak dipandang sebelah mata, serentak mereka menjadi gusar dan melompat ke atas untuk menangkap kaki Ciu Pek-thong.
Namun dengan jenaka Ciu Pek-thong mengayun kakinya untuk menggoda, tapi sebenarnya menendang dengan tepat ke arah yang mematikan pada tangan Nimo Singh dan Be Kong-co sehingga gagal total usaha kedua orang itu.
“ln-heng, apakah kau sendiri hanya mau menonton saja?” jengek Siau-siang-cu terhadap In Kik-si tersenyum dan menjawab : “Baiklah, siakan Siau-heng maju lebih dulu, segera aku menyusul !”
Siau-siang-cu bersuit aneh menyeramkan, mendadak ia melompat ke atas, kedua kakinya tidak nampak tnemekuk, tubuhnya kaku lurus, kedua tangan juga menjulur lempeng keatas terus mencengkeram ke perut Ciu Pek-thong, gaya ilmu silat yang diperlihatkannya ini ternyata tiada ubahnya seperti mayat hidup.
Melihat tibanya serangan, cepat Ciu Pek-thong mengerutkan tubuhnya, tangan kiri berganti tangan kanan dan tetap bergelantungan di belandar.
Serangan Siau-siangcu menjadi luput, ia tak dapat berhenti diudara, terpaksa anjlok ke bawah.
Siapa saja kalau jatuh ke bawah dari ketinggian begitu tentu kedua kakinya akan menekuk agar tidak keseleo dan terluka, tapi gaya Siau-siang-cu sungguh istimewa, seluruh tubuhnya tetap, kaku seperti sepotong kayu saja, begitu kaki menyentuh lantai, “tok”, kembali ia meloncat lagi ke atas.
Begitulah, jadinya Hoan It-ong merangkul pada tiang dan mengayun jenggotnya untuk menyerang, sedangkan Siau-siang-cu, Nimo Singh dan Be Kong-co bertiga berloncatan naik turun bergantian menyerang dari bawah ke atas.
“Si tua ini sungguh luar biasa, biar akupun ikut bikin ramai!” kata In Kik-si, tangannya merogoh saku sejenak kemudian tertampaklah sinar kemilauan menyilaukan mata, tahu-tahu tangan In Kik-si sudah bertambah sebuah ruyung lemas yang terbuat dari benang emas dan perak penuh bertaburkan batu permata pula.
Sebenarnya tokoh selihay In Kik-si, melulu bertangan kosong saja sudah jarang ada tandingannya, ruyung bertaburkan batu permata demikian tidak lebih hanya pameran akan kekayaannya saja.
Ia pikir untuk menyerang Ciu Pek-thong yang berada tinggi di atas itu jelas tidak mudah, maka dengan ruyungnya itu ia coba menyerang bagian bawah lawan.
Yo Ko tertarik” oleh pertarungan lucu ini, ia-pikir dengan kepandaian kelima orang itu ternyata tidak mampu mengalahkan seorang Lo-wan-tong, kalau aku tidak dapat menang dengan cara istimewa tentu takkan membikin takluk orang Iain.
Setelah berpikir begitu, segera ia memakai kedoknya yang tipis itu, menirukan gaya Siau-siang-cu yang mengatakan itu, ia jemput tongkat baja Hoat It-ong tadi sekali tongkat itu menahan dilantai, tubuhnya terus mengapung ke atas.
Panjang tongkat itu dua meteran, ditambah loncatannya, maka tubuh Yo Ko kini hampir sama tingginya dengan Ciu Pek-thong yang bergelantungan di belandar itu.
“Awas gunting, Lo-wantong” seru Yo Ko samibil mengarahkan guntingnya untuk memotong jenggot Ciu Pek- thong.”
Bukannya marah, sebaliknya Ciu Pek-thong malah senang akan serangan itu, ia miringkan kepalanya untuk menghindari guntingan itu dan berseru : “Bagus sekali caramu ini, adik cilik!”
“Lo-wan-tong, aku kan tidak bersalah pada-mu, mengapa kau main gila dengan aku ?” kata Yo Ko.
“Ada ubi ada tales, diberi harus membalas !” jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa, “Kau kan tidak rugi, mungkin mendapat untung malahan tidak tahu.”
“Ada ubi ada talas apa maksudmu ?” tanyanya.
“Kelak kau tentu akan tahu sendiri sekarang tidak perlu banyak omong,” jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa, sementara itu ruyung “in Kik-si sedang menyamber ke arahnya, segera sebelah tangannya meraup untuk menangkapnya.
Namun ruyung In Kik-si yang lemas itu terus membelit untuk menghantam punggung tangannya, sedangkan tubuhnya telah anjlok ke bawah.
Dalam pada itu jenggot Hoan it ong yang panjang juga telah menyabet tiba, kini Hoan It-ong juga bergelantungan pada belandar, kedua tangannya memegang belandar itu, melulu jenggotnya saja yang digunakan menyerang musuh.
“Eh kiranya jenggotmu sebanyak ini pula daya gunanya,” ujar Ciu Pek-thong tertawa, iapun menirukan cara orang dan mengayunkan jenggot sendiri ke arah lawan. Tapi panjang jenggotnya tiada separuh panjang jenggot Hoan It-ong, pula tak pernah berlatih akan kegunaannya sebagai senjata, dengan sendirinya sabetan jenggotnya ini tidak berguna, “sret”, pipinya malah kena tersabet oleh jenggot lawan sehingga terasa panas pedas kesakitan, untung lwekangnya sangat tinggi kalau tidak pasti akan kelengar seketika dan terbanting ke bawah.
walaupun merasakan pil pahit, tapi lo wan tong tidak menjadi gusar, sebaliknya malah timbul rasa laparnya kepada Hoan It-ong, katanya: “jenggot panjang, sungguh lihay kau, jenggotku tak dapat menandingi jenggotmu, sudahlah, kita tak perlu bertanding lagi !”
Tapi Hoan It-ong ternyata tidak mau kompromi, kembali jenggotnya menyabet pula, Kini Ciu Pek-thong tak berani melawannya lagi dengan jenggot, segera ia melancarkan gaya pukulan “Khong-beng-kun” angin pukulannya yang keras membikin jenggot Hoan It-ong terpencar dan melayang kesamping, kebetulan saat itu Be Kong-co lagi meloncat ke atas untuk menyerang Ciu Pek-thong, maka jenggot Hoan It-ong tepat menyabet pada muka Be Kong-co.
Cepat Be Kong-co pejamkan mata, muka terasa gatal pedas pula, dalam keadaan mata tertutup Be Kong-co memegang sekenanya sehingga jenggot Hoan It-ong itu kena dicengkeramnya.
Sebenarnya jenggot Hoan It-ong dapat melilit seperti barang hidup, tapi lantaran tenaga pukulan Ciu Pek-tiong tadi, Hoan It-ong tak dapat mengendalikan lagi jenggotnya, sehingga kena dipegang Be Kong-co, dalam kagetnya cepat Hoan It-ong membetot sekuatnya, tapi Be Kong-co juga menarik sekencangnya ketika tubuhnya anjlog ke bawah sehingga kedua orang akhirnya terbanting ke tanah.
Tubuh Be Kong-co segede kerbau, kulit kasar daging tebal,
dia tidak teriak merasakan sakit, Tubuh Hoan It-ong tepat
terbanting menindih badan Be Kong-co, ia menjadi gusar dan
membentak : “He, apa-apaan kau? Lekas lepaskan jenggo!”
Duduk diatas berlandar, Cui Pek-thong mempermainkan lawan-lawan yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia pesilatan secara lucu dan nakal.
“Bantingan itu tidak dirasakan oleh Be Kong-co, tapi perutnya terinjak oleh Hoan It-ong, rasanya tentu tidak enak, ia menjadi gusar juga dan batas membentak : “Aku justeru tidak mau lepas, kau mau apa?” - Berbareng itu tangannya terus memutar sehingga jenggot orang malahan melilit beberapa kali lagi pada tangannya.
Dengan gemas Hoan It-ong terus memukul ke muka lawan, Be Kong-co cepat miringkan kepalanya tak terduga pukulan Hoan It-ong itu cuma pura-pura saja, kepalan lain mendadak menyamber tiba, “plok”, dengan tepat hidung Be Kong-co kera ditonjok sehingga berdarah, Sambil berkaok-kaok kesakitan Be Kong-co juga balas menjotos satu kali.
Bicara tentang ilmu silat sebenarnya Hoan It-ong jauh lebih tinggj, celakanya jenggotnya terlilit pada tangan lawan sehingga kepalanya tidak leluasa bergerak, karena itu jotosan Be Kong-co juga tepat mengenai tulang pipinya dan matang biru.
Begitulah yang satu tinggi dan yang lain pendek lantas
main baku hantam, meski tubuh Hoan It-ong menindih di atas, tapi tetap sukar meloloskan diri dari betotan lawan yang terus menarik kencang jenggotnya itu. Melihat suasana kacau balau, rombongannya berenam ternyata tidak dapat berkutik menghadapi seorang anak tua nakal, betapapun terasa memalukan maka Kim-lun Hoat-ong tidak dapat tinggal diam Iagi, segera ia mengeluarkan dua buah gelang, satu perak dan satu lagi tembaga, sekaligus kedua gelang. atau roda itu disambitkan dari kanan kiri dan
menerbitkan suara mendenging.
“Barang apa ini?” kata Ciu Pek-thong, ia tidak tahu lihaynya senjata orang, maka tangannya terus meraih dan bermaksud menangkapnya.
Betapapun Yo Ko menaruh simpatik kepada Ciu Pek-
thong yang polos itu, cepat ia memperingatkan: “Hei, jangan
dipegang!” Berbareng pula ia lemparkan tongkat baja yang
dipegangnya itu ke atas, Maka terdengarlah suara
gemerantang nyaring, tongkat baja yang panjang itu tertumbuk hingga terpental ke sudut ruangan sana, sebaliknya arah gelang tembaga yg terbentur itu tidak berubah dan masih tetap berputar menyamber ke atas be-landar.
Baru sekarang Ciu Peh-thong tahu si Hwesio besar ini tidak boleh diremehkan, ia pikir kalau dikerubuti jelas dirinya sukar melayani Segera ia berjumpalitan turun ke bawah dan berseru: “Maaf, Lo-wan-tong tak dapat menemani lebih lama, besok saja kita main-main lagi.” Habis berkata ia terus berlari ke pintu ruangan tamu, tapi dilihatnya empat orang berseragam hijau telah mengadangnya
di situ dengan mementang sebuah jaring ikan.
Ciu Pek-thong sudah merasakan lihaynya jaring begitu, cepat ia membelok ke kanan dan bermaksud menerobos keluar melalui iendela, tapi bayangan hijau lantas berkelebat, kembali sebuah jaring merintangi jalannya.
Setelah melompat kembali ke tengah ruangan, Ciu Pek-thong melihat keempat penjuru sudah terentang oleh jaring ikan sehingga jalan lolosnya menjadi buntu. Segera ia melompat lagi ke atas belandar, dengan hantaman dari jauh ia bikin atap rumah berlubang besar. maksudnya hendak menerobos keluar melalui lubang itu, tapi baru saja ia mendongak, dilihatnya di atas juga sudah terpasang sebuah jaring ikan.
Terpaksa ia melompat turun ke bawah, katanya dengan tertawa sambil menuding si Kokcu: “He, untuk apakah kau menahan diriku di sini? Setiap hari melulu minum air tawar dan makan beras mentah, memangnya Lo-wan-tong dapat kau piara sampai tua?”
Kokcu itu menjawab dengan dingin : “Asalkan kau tinggalkan kitab dan obat yang kau ambil itu, segera kau boleh pergi dari sini”
Ciu Pek-thong menjadi heran, katanya : “Untuk apa kuambil kitab dan obatmu segala ? seumpama mampu berlatih sehingga selihay kau juga aku tidak kepingin.”
Sang Kokcu melangkah pelahan ke tengah ruangan, ia kebut-kebut debu pada baju sendiri, lalu berkata : “Jika sekarang bukan hari bahagiaku, tentu aku akan minta petunjuk beberapa jurus padamu, sebaiknya kau tinggalkan barang yang kau ambil itu dan kau boleh pergi dengan bebas.”
Dengan gusar Ciu Pek-thong berteriak: “Jadi kau tetap menuduh aku mencuri barangmu? Huh, memangnya apa barangmu yang berharga sehingga aku perlu mencurinya ?
Ini, boleh kau periksa!” Sembari bicara dengan cepat ia terus membuka baju sendiri sepotong demi sepotong, dalam sekejap saja sudah telanjang bulat.
Berulang sang Kokcu membentak agar Ciu Pek-thong menghentikan perbuatannya, tapi anak tua nakal itu tidak  ambil pusing, ia pentang dan membaliki baju celananya, memang benar tiada sesuatu benda apapun juga.
Sudah tentu anak murid perempuan yang hadir di situ menjadi kikuk dan sama berpaling ke jurusan lain. Kelakuan Ciu Pek-thong ini sungguh sama sekali tak terduga oleh sang Kokcu, iapun ragu apakah benar Ciu Pek-thong tidak mencuri barangnya yang hilang itu, padahal barang-barang itu besar sangkut-pautnya dengan Cui-sian-kok ini.
Selagi sang Kokcu termenung sangsi tiba-tiba Ciu Pek-thong bertepuk tangan dan berseru: “He, usiamu sudah cukup tua, mengapa kau tidak tahu harga diri ngomong sesukanya,
berbuat seenak sendiri di depan umum melakukan hal memalukan begini sungguh menggelikan.”
Ucapan itu sebenarnya lebih tepat ditujukan kepada Ciu Pek-thong sendiri tapi justeru dia mendahului omong, keruan Kongsun Kokcu itu dibuat serba salah dan takdapat membuka suara, Ketika melihat Hoan It-ong dan Be Kong-co masih bergumul di lantai, segera ia membentaknya agar lekas berdiri.
Padahal bukanlah Hoan It-ong tidak mau melepaskan diri soalnya jenggotnya teriilit di tangan Be Kong-co dan sukar melepaskan diri.
Dalam pada itu sambil mengernyitkan dahinya Kongsun Kokcu menuding Ciu Pek-thong dan mendamperatnya. “Kukira yang tidak tahu malu adalah kau sendiri !”
“Memangnya aku kenapa ?” jawab Ciu Pek-thong, “Aku dilahirkan dengan bugil, sekarang aku telanjang bulat, putih bersih, apanya yang salah? sebaliknya kau sudah tua dan masih ingin mengawini seorang perawan muda sebagai isteri, hehe, sungguh mentertawakan !”
Ucapan ini laksana palu besar yang menghantam dada Kongsun Kokcu itu, seketika mukanya yang kuning itu bersemu merah dan tak dapat menjawab.
Mendadak Ciu Pek-thong berteriak : “Haya, celaka ! Tidak pakai baju, bisa masuk angin nih !” - Berbareng ia terus menerjang keluar.
Ketika mendadak melihat bayangan orang berkelebat ke arahnya, empat murid berbaju hijau yang siap di dekat pintu itu cepat bergerak dan membentang jaring, sekaligus jaring terus menutup ke atas kepala orang, Terasa sasarannya berontak di dalam jala, maka cepat keempat orang itu mengikat kencang empat ujung jaring dan diseret ke depan sang Kokcu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar