Kembalinya Pendekar Rajawali 45
Kelihatan tongkat si kakek sudah dekat dengan
kaki kursi, mendadak tangan kiri Siau-siang-cu menjulur ke bawah, ternyata
tongkat itu hendak dipegangnya. Malahan sekaligus gunting di tangan lain terus
menyamber ke depan untuk menggunting jenggot lawan yang panjang itu.
Tidak kepalang gusar Hoan It-ong karena
merasa orang terlalu meremehkan dirinya, cepat ia miringkan kepalanya hingga
jenggotnya yang panjang itu melayang ke samping dan tongkatnya tetap dipukulkan
ke tangan Siau-siang-cu yang hendak menangkap senjatanya itu, serangan ini
dengan tepat mengenai telapak tangan, serentak semua orang bersuara kaget dan
berbangkit.
Hoan It-ong menduga tangan orang pasti akan
patah kena dihantamnya, tak tahunya ketika menyentak sasarannya, rasanya
tongkat seperti menghantam air, lunak dan enteng, ia
sadar keadaan bisa runyam, cepat ia menarik
kembali tongkatnya, namun sudah terlambat, tongkat sudah tergenggam kencang
oleh tangan Siau-siang-cu.
Segera Hoan It-ong merasakan pula lawan
sedang membetot, segera ia dorong sekalian tongkatnya ke depan, Tongkat itu
amat panjang, maka dorongannya itu sangat kuat, tampaknya Siau-siang-cu pasti
akan terdesak meninggalkan kursinya jika tidak mau roboh terjungkal.
Tak terduga sedikit Siau-siang-cu kencangkan
pantatnya, serentak orang berikut kursinya meloncat lagi ke samping, seketika
dorongan tongkat Hoan It-ong tidak mencapai sasarannya, sedangkan pegangan
Siau-siang-cu pada tongkatnya juga lantas dilepaskan.
Cepat Hoan It-ong memutar tongkatnya yang
panjang itu dan kembali menyabet ke kepala lawan, Agaknya Siau-siang-cu sengaja
hendak pamer kepandaiannya kembali orang bersama kursinya meloncat setingginya
dan melayang lewat di atas samberan tongkat musuh.
Melihat gerakannya yang aneh lagi gesit itu,
meski duduk di atas kursi, tapi tiada bedanya seperti orang berdiri saja, tanpa
terasa semua orang sama bersorak memuji.
Hoan It-ong tak berani ceroboh lagi
menghadapi lawan yang lihay itu, ia putar tongkatnya sedemikian cepat, ia pikir
untuk menghantam tubuh orang jelas sukar, kalau dapat menghancurkan kursinya
rasanya lebih baik. Karena itu tongkatnya terus mengincar untuk menyabet kursi
lawan.
Siapa tahu ilmu silat Siau-siang-cu sungguh
maha sakti, gunting di tangan kanan terus mengincar jenggot lawan, sedangkan
tangan kiri selalu berusaha hendak merampas tongkat baja. Kedua orang terus
berkisar kian kemari diruangan tamu yang luas itu, dalam sekejap saja berpuluh
jurus sudah berlangsung, tampaknya kedua orang sama kuat dan belum ada yang
lebih unggul, tapi Siau-siang-cu yang tetap berduduk saja di kursinya, serangan
Hoat It-ong ternyata disepelekan olehnya.
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong dan lainnya terkejut,
mereka tidak mengira Siau-siang-cu yang lebih mirip mayat hidup itu ternyata
memiliki kepandaian sehebat ini.
Setelah belasan jurus lagi, tongkat Hoan
It-ong masih terus mengincar dan menyabet kursi lawan, terdengar suara kaki
kursi yang mengetok lantai riuh ramai tiada hentinya dan makin lama makin
cepat.
Mendadak sang Kokcu berseru kepada Hoan
It-ong: “Jangan hantam kursinya, kau pasti bukan tandingannya !”
Hoan It-ong melengak, tapi segera ia
menyadari peringatan sang guru, ia pikir: “Ya, dia duduk di atas kursi barulah
aku sanggup menandingi dia dengan sama kuat, apabila kursinya hancur dan dia
berdiri di tanah, mungkin dalam beberapa jurus saja jenggotku pasti sudah
terpotong oleh guntingnya.”
Cepat ia ganti permainan tongkatnya dan
diputar semakin cepat sehingga tubuhnya yang pendek itu seolah-olah terbungkus
oleh sinar tongkat, sedangkan di luar gulungan sinar perak itu adalah sesosok
bayangan orang yang mirip mayat hidup sedang berlompatan, pemandangan demikian
menjadi sangat aneh dan menarik Rupanya sang Kokcu tahu Siau-siang-cu sengaja
hendak mempermainkan lawannya, kalau berlangsung lagi, sebentar Hoan It-ong
pasti akan kecundang.
Segera ia berbangkit dan melangkah maju,
katanya: “lt-ong, kau bukan tandingan orang kosen ini, mundur saja kau !”
Karena perintah sang guru itu, Hoan It-ong
mengiakan dengan suara keras, tongkatnya ditarik dan segera ia hendak
mengundurkan diri.
Tak terduga Siau-siang-cu terus berteriak:
“Tidak boleh !
Tidak boleh !” - Mendadak tubuhnya melayang
maju meninggalkan kursinya terus menubruk ke atas batang tongkat.
Terdengarlah suara “krak” yang keras, kursi
terhantam hancur oleh ujung tongkat Hoan It-hong, namun berbareng itu batang
tongkat juga kena ditahan ke bawah oleh tangan kiri Siau-siang-cu terus diinjak
dengan kaki kiri, menyusul gunting raksasa di tangan kanan terbuka, jenggot
Hoan liong yang panjang legam itu sudah terjepit pada mata guntingnya, sekali
gunting dikasipkan, tanpa ampun jenggot yang indah menarik itu pasti akan
putus.
Tak tahunya jenggot panjang yang dipelihara
Hoan It-ong
itu sesungguhnya juga semacam senjata yang
maha lihay,
daya gunanya serupa dengan ruyung, cambuk dan
sebagainya, Terlihat sedikit Hoan It-ong menggeleng kepalanya, serentak
jenggotnya yang panjang itu terus menguntir dan terlepas dari mata gunting,
malahan sempat pula balas melilit gunting lawan, menyusul kepalanya mendongak
ke belakang, dengan tenaga maha kuat ia membetot untuk rebut gunting musuh.
“Haya, cebol tua, jenggotmu sungguh lihay,
kagum sekali aku !” seru Siau-siang-cu sambil bertahan sekuatnya.
Begitulah jadinya jenggot seorang membelit
pada gunting dengan kencang, sebaliknya seorang lain menahan batang tongkat
dengan sebelah kaki dan tangan, seketika keduanya sukar melepaskan diri.
“Haha ! Menarik ! Menarik !” seru
Siau-siang-cu dengan tertawa gembira.
Pada saat itulah sekonyong-konyong berkelebat
sesosok bayangan orang, cepat luar biasa seorang telah menerjang masuk,
sekaligus kedua tangannya menghantam punggung
Siau-siang-cu.
“Siapa itu?” bentak sang Kokcu.
Sergapan yang cepat dan ganas itu tampaknya
pasti akan kena pada sasarannya, Namun kembali Siau-siang-cu memperlihatkan
kepandaiannya yang luar biasa, tangan kirinya membalik ke belakang, dengan
mudah saja ia telah dapat mematahkan tenaga pukulan musuh yang menyerangnya
itu.
“Keparat, jahanam !” teriak penyergap itu
dengan gusar “Biar kuadu jiwa dengan kau !”
Waktu Yo Ko dan lainnya mengawasi penyergap
ini, mereka menjadi kaget dan heran, “He, Siau-siang-cu !” seru mereka
berbareng.
Kiranya penyergap ini juga Siau-siang-cu yang
sudah mereka kenal itu, mengapa dia bisa berubah menjadi dua dan sebab apa dia
menyergap pada dirinya sendiri yang kembar itu? seketika mereka menjadi
bingung.
Setelah diamat-amati pula, orang yang lagi
bergelut dengan Hoan It-ong itu memang jelas memakai dandanan Siau-siang-cu,
pakaiannya, sepatunya dan topinya, semuanya persis, tapi wajahnya ternyata
berbeda daripada wajah asli Siau-siang-cu meski air mukanya juga kaku pucat
sebagai mayat sebaliknya wajah orang yang datang belakangan itu persis dengan
Siau-siang-cu yang sudah mereka kenal hanya baju yang dipakainya berwarna hijau
seperti seragam yang dipakai orang-orang di Cui-sian-kok ini.
Yo Ko dan Kim-lun Hoat-ong sama-sama dapat
berpikir cepat, sejenak saja mereka sudah dapat menerka apa yang terjadi
sebenarnya.
Sementara itu Siau-siang-cu yang berbaju
hijau tua dengan kedua tangan yang kurus laksana cakar itu kembali mencengkeram
lagi ke punggung Siau-siang-cu yang memegang gunting sambil berteriak: “Keparat
! Main curang, jago macam apa kau?”
Hoan It-ong heran dan kejut juga meski
mendapatkan bala bantuan, walau orang mengenakan seragam hijau, tapi mukanya
tak dikenal sementara ia mundur ke pinggir dan menyaksikan kedua orang yang
menyerupai mayat hidup itu saling labrak dengan serunya.
Kini Yo Ko sudah dapat menduga bahwa orang
yang memegang gunting itu pasti telah mencuri kedok kulit manusia pemberian
Thia Eng tempo hari dan dipakainya, lalu ganti pakaian Siau-siang-cu dan
sengaja mengacau ke ruangan ini soalnya wajah Siau-siang-cu memang kaku seperti
orang mati, maka sejak mula tiada orang yang memperhatikannya.
Setelah mengamat-amati sekian lama dan dapat
mengenali gaya ilmu silat orang bergunting itu, segera Yo Ko berseru : “Hai,
Ciu Pek-thong, kembalikan kedok dan guntingku !” - Berbareng ia melompat maju
untuk merebut gunting.
Kiranya orang itu memang betul Ciu Pek-thong
adanya, Dia tertawan oleh keempat murid Cin-sian-kok dengan jaring ikan, Meski
wataknya nakal dan jahil, tapi ilmunya memang maha sakti, sedikit meleng saja
keempat orang itu segera Ciu Pek-thong berhasil lolos dengan membobol jaring,
akibatnya sang Kokcu menghukum keempat orang itu dengan hukum panggang.
Ciu Pek-thong tidak lantas kabur, dia
sembunyi di suatu tempat, dia memang sengaja hendak mengobrak-abrik lembah
sunyi itu. Tapi segera dia lihat Yo Ko berenam juga datang ke situ, Malamnya
dia melakukan sergapan, Siau-siang-cu diculiknya hingga tak bisa berkutik, lalu
dipindahkan ke luar rumah dan dilucuti pakaiannya untuk dipakai sendiri.
Karena Ginkangnya maha sakti, pergi datang
tanpa suara dan tak meninggalkan bekas, maka dalam tidurnya Siau-siang-cu kena
dikerjai, bahkan Kim-lun Hoat-ong dan lainnya juga tidak mengetahui akan
kejadian itu.
Setelah mengganti pakaian Siau-sian cu, lalu
Ciu Pek-thong masuk lagi ke rumah itu dan tidur di sisi Yo Ko, kesempatan itu
digunakan pula untuk menggerayangi rangsel pemuda itu, gunting dan kedok kulit
dapat dicurinya. Esoknya ternyata semua orang juga belum menyadari akan
perbuatan Ciu Pek-thong itu.
Sudah tentu Siau-siang-cu berusaha melepaskan
diri dari tutukan Ciu Pek-ehong, tapi lantaran ilmu Tiam-hiat yang digunakan
Ciu Pek-thong itu sangat lihay, sampai tiga-empat jam kemudian barulah
Siau-siang-cu berhasil melancarkan jalan darah dan dapat bergerak kembali
sementara itu tubuhnya hanya memakai baju dan celana dalam saja, sudah tentu
dia sangat dongkol dan murka. Ketika kebetulan seorang murid Cui-sian-kok lewat
di situ, secepat kilat ia merobohkannya dan merampas bajunya untuk dipakai,
lalu memburu ke rumah batu yang besar itu.
Pada saat itu dilihatnya Ciu Pek-thong dengan
memakai bajunya sendiri sedang bertempur sengit dengan Hoan It-ong, dengan
murka ia terus menerjang maju, sekaligus ia ingin membinasakan Ciu-Pek-thong
dengan pukulannya yang dahsyat, beberapa jurus kemudian lalu Yo Ko juga ikut
maju mengeroyok.
Tapi Ciu Pek-thong mempunyai kepandaian khas
yang dilatihnya ketika dia disekap di Tho hoa-to dahulu oleh Oey Yok-su, yaitu
dua tangan memainkan silat yang berbeda, Maka dengan tangan kiri ia layani Yo
Ko, sedang tangan kanan dengan gunting ia lawan Siau-siang-cu, guntingnya
sebentar terbuka dan sebentar terkatup, betapapun Siau-siang-cu tidak berani
sembarangan mendekat.
Maklumlah, gunting itu amat besar, kalau mata
gunting terbuka, jaraknya hampir setengah meter, kalau saja leher tergunting,
mustahil kepala takkan berpisah dengan tuannya, Karenanya, meski Siau-siang-cu
sangat murka, tapi iapun tidak berani sembarangan melancarkan serangan.
Dalam pada itu sang Kokcu masih terus
mengikuti pertarungan sengit itu. Sudah turun temurun Kokcu itu menetap di
lembah sunyi ini, ilmu silat keluarganya juga turun-temurun semakin hebat.
Pada umumnya ada kebiasaan buruk dalam dunia
persilatan, lantaran kuatir muridnya kelak berkhianat atau murtad, maka
seringkali sang guru menyimpan beberapa jurus rahasia untuk menjaga kemungkinan
penghianatan murid.
Karena itu, beberapa keturunan saja ilmu
silatnya semakin berkurang dan akhirnya habis sama sekali.
Ciri demikian tak berlaku dalam ilmu silat
keturunan. Sang ayah mengajarkan kepada anak atau sang kakek mengajarkan kepada
cucu pasti takkan menahan jurus simpanan, malahan setelah beberapa keturunan
seringkali timbul satu-dua angkatan yang berbakat dan pintar menciptakan jurus
baru sehingga satu turunan lebih hebat daripada angkatan yang lebih tua.
Begitulah dengan Kokcu ini, ilmu silatnya
kini boleh dikatakan jauh lebih lihay daripada leluhurnya, ia yakin bila
dirinya keluar lembah, ilmu silatnya pasti dapat menjagoi dunia.
Siapa duga lembah yang aman tenteram ini
mendadak kedatangan Ciu Pek-thong sehingga suasana menjadi kacau balau, ia
sudah kagum ketika menyaksikan pertarungan Ciu Pek-thong dengan Hoan It-ong,
kini melihat anak tua nakal itu menempur dua orang dengan dua tangan yang
bermain silat dengan cara yang berbeda, malahan sedikitpun tidak tampak lebih
lemah dari kedua Iawannya, sungguh sang Kokcu menjadi kagum tak terhingga.
Dilihatnya pula ilmu silat Siau-siang-cu
sangat ganas, serangannya tak kenal ampun. sedangkan gerak-gcrik Yo Ko tenang
halus dan tenang, tapi tidak kurang lihaynya. Diam-diam Kokcu itu harus
mengakui bahwa dunia seluas ini ternyata tidak sedikit terdapat orang kosen.
Segera ia berdiri dengan suara lantang ia
berkata : “Harap kalian bertiga suka berhenti dulu !”.
Berbareng Yo Ko dan Siau-siang-cu melompat mundur,”
Ciu Pek-thong lantas menanggalkan kedok kulit, berikut guntingnya terus
dilemparkan kepada Yo Ko sambil berkata: “Permainanku sudah cukup, aku hendak
pergi saja!”
Sekali mengenjot kaki seperti anak panah
cepatnya dia terus meloncat ke atas belandar rumah..
Karena kedoknya ditanggalkan, dengan
sendirinya wajah aslinya lantas kelihatan. Keruan gemparlah para anak murid
Cui-sian-kok setelah mengenali siapa dia.
“Ayah, orang tua inilah !” seru Kongsun
Lik-oh.
Sementara itu Ciu Pek-thong sedang bergelak
tertawa sambil duduk mengangkang di atas belandar.
Tinggi belandar rumah itu sedikitnya
lima-enam, meter dari permukaan tanah, biarpun di ruangan itu tidak sedikit
terdapat tokoh terkemuka, terasa sukar juga kalau ingin sekali lompat mencapai
belandar itu.
Hoan It-ong adalah murid pertama
Cui-sian-kok, usianya bahkan lebih tua daripada sang guru, dalam hal ilmu
silat, kecuali sang Kokcu dialah terhitung nomor satu, Kini berulang dia
dipermainkan oleh Ciu Pek-thong, tentu saja dia murka.
walaupun tubuhnya cebol, tapi dia mahir
memanjat sekali lompat ia rangkul erat-erat tiang ruangan itu terus memanjat ke
atas segesit kera..
Dasar watak Ciu Pek-thong paling suka cari
gara-gara, dia paling senang kalau ada orang mau main gila dengan dia, maka ia
menjadi gembira melihat Hoan It-ong memanjat keatas, belum lagi kakek cebol itu
mencapai belandar, lebih dulu ia sudah menjulurkan tangannya untuk menariknya
ke atas.
Sudah tentu Hoan It-ong tidak tahu tujuan Ciu
Pek-thong sebenarnya baik, melihat tangan orang menjulur, segera ia menutuk
Tay-leng-hiat pada pergelangan tangannya.
Namun ilmu silat Ciu Pek-thong sudah mencapai
tingkatan yang maha sakti sedikit merasakan sesuatu, segera ia menutuk Hiat-to
yang hendak ditutuk itu dan mengendorkan urat dagingnya, Karena itu tusukan
Hoan It-ong itu laksana mengenai kapas yang lunak, cepat ia menarik kembali
tangannya…”
Tapi Ciu Pek-thong sempat membaliki tangannya
dan menepuk sekali pada tangan Hoan It-ong sambil berseru: “Keplok ami-ami!
Kakak makan nasi adik cebol minta isteri!”
Dengan murka Hoan It-ong menggelengkan
kepalanya, jenggotnya yang panjang itu terus menyabet ke dada lawan, Mendengat
samberan angin yang keras itu, Ciu Pek-thong tahu betapa lihaynya jenggot
lawan, cepat ia melompat mundur, dengan tangan kiri berpegangan pada belandar,
tubuhnya bergantungan seperti anak sedang main ayunan.
Siau-siang-cu yakin Hoan It-ong pasti bukan
tandingan anak tua nakal itu, sekalipun dirinya ikut mengerubut juga sukar
mengaIahkannya. Segera ia berpaling kepada Nimo Singh dan Be Kong-co, katanya:
“Saudara Singh dan Be, tua bangka ini tidak memandang sebelah mata kepada kita
berenam sungguh keterlaluan !”
Watak Nimo Singh paling berangasan dan tidak
tahan dibakar, sedangkan pikiran Be Kong-co sangat sederhana dan tidak dapat
menimbang antara baik dan buruk, demi mendengar rombongannya berenam tidak
dipandang sebelah mata, serentak mereka menjadi gusar dan melompat ke atas
untuk menangkap kaki Ciu Pek-thong.
Namun dengan jenaka Ciu Pek-thong mengayun
kakinya untuk menggoda, tapi sebenarnya menendang dengan tepat ke arah yang
mematikan pada tangan Nimo Singh dan Be Kong-co sehingga gagal total usaha
kedua orang itu.
“ln-heng, apakah kau sendiri hanya mau
menonton saja?” jengek Siau-siang-cu terhadap In Kik-si tersenyum dan menjawab
: “Baiklah, siakan Siau-heng maju lebih dulu, segera aku menyusul !”
Siau-siang-cu bersuit aneh menyeramkan,
mendadak ia melompat ke atas, kedua kakinya tidak nampak tnemekuk, tubuhnya
kaku lurus, kedua tangan juga menjulur lempeng keatas terus mencengkeram ke
perut Ciu Pek-thong, gaya ilmu silat yang diperlihatkannya ini ternyata tiada
ubahnya seperti mayat hidup.
Melihat tibanya serangan, cepat Ciu Pek-thong
mengerutkan tubuhnya, tangan kiri berganti tangan kanan dan tetap
bergelantungan di belandar.
Serangan Siau-siangcu menjadi luput, ia tak
dapat berhenti diudara, terpaksa anjlok ke bawah.
Siapa saja kalau jatuh ke bawah dari
ketinggian begitu tentu kedua kakinya akan menekuk agar tidak keseleo dan
terluka, tapi gaya Siau-siang-cu sungguh istimewa, seluruh tubuhnya tetap, kaku
seperti sepotong kayu saja, begitu kaki menyentuh lantai, “tok”, kembali ia
meloncat lagi ke atas.
Begitulah, jadinya Hoan It-ong merangkul pada
tiang dan mengayun jenggotnya untuk menyerang, sedangkan Siau-siang-cu, Nimo
Singh dan Be Kong-co bertiga berloncatan naik turun bergantian menyerang dari
bawah ke atas.
“Si tua ini sungguh luar biasa, biar akupun
ikut bikin ramai!” kata In Kik-si, tangannya merogoh saku sejenak kemudian
tertampaklah sinar kemilauan menyilaukan mata, tahu-tahu tangan In Kik-si sudah
bertambah sebuah ruyung lemas yang terbuat dari benang emas dan perak penuh
bertaburkan batu permata pula.
Sebenarnya tokoh selihay In Kik-si, melulu
bertangan kosong saja sudah jarang ada tandingannya, ruyung bertaburkan batu
permata demikian tidak lebih hanya pameran akan kekayaannya saja.
Ia pikir untuk menyerang Ciu Pek-thong yang
berada tinggi di atas itu jelas tidak mudah, maka dengan ruyungnya itu ia coba
menyerang bagian bawah lawan.
Yo Ko tertarik” oleh pertarungan lucu ini,
ia-pikir dengan kepandaian kelima orang itu ternyata tidak mampu mengalahkan
seorang Lo-wan-tong, kalau aku tidak dapat menang dengan cara istimewa tentu
takkan membikin takluk orang Iain.
Setelah berpikir begitu, segera ia memakai
kedoknya yang tipis itu, menirukan gaya Siau-siang-cu yang mengatakan itu, ia
jemput tongkat baja Hoat It-ong tadi sekali tongkat itu menahan dilantai,
tubuhnya terus mengapung ke atas.
Panjang tongkat itu dua meteran, ditambah
loncatannya, maka tubuh Yo Ko kini hampir sama tingginya dengan Ciu Pek-thong
yang bergelantungan di belandar itu.
“Awas gunting, Lo-wantong” seru Yo Ko samibil
mengarahkan guntingnya untuk memotong jenggot Ciu Pek- thong.”
Bukannya marah, sebaliknya Ciu Pek-thong
malah senang akan serangan itu, ia miringkan kepalanya untuk menghindari
guntingan itu dan berseru : “Bagus sekali caramu ini, adik cilik!”
“Lo-wan-tong, aku kan tidak bersalah pada-mu,
mengapa kau main gila dengan aku ?” kata Yo Ko.
“Ada ubi ada tales, diberi harus membalas !”
jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa, “Kau kan tidak rugi, mungkin mendapat
untung malahan tidak tahu.”
“Ada ubi ada talas apa maksudmu ?” tanyanya.
“Kelak kau tentu akan tahu sendiri sekarang
tidak perlu banyak omong,” jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa, sementara itu
ruyung “in Kik-si sedang menyamber ke arahnya, segera sebelah tangannya meraup
untuk menangkapnya.
Namun ruyung In Kik-si yang lemas itu terus
membelit untuk menghantam punggung tangannya, sedangkan tubuhnya telah anjlok
ke bawah.
Dalam pada itu jenggot Hoan it ong yang
panjang juga telah menyabet tiba, kini Hoan It-ong juga bergelantungan pada
belandar, kedua tangannya memegang belandar itu, melulu jenggotnya saja yang
digunakan menyerang musuh.
“Eh kiranya jenggotmu sebanyak ini pula daya
gunanya,” ujar Ciu Pek-thong tertawa, iapun menirukan cara orang dan
mengayunkan jenggot sendiri ke arah lawan. Tapi panjang jenggotnya tiada
separuh panjang jenggot Hoan It-ong, pula tak pernah berlatih akan kegunaannya
sebagai senjata, dengan sendirinya sabetan jenggotnya ini tidak berguna,
“sret”, pipinya malah kena tersabet oleh jenggot lawan sehingga terasa panas
pedas kesakitan, untung lwekangnya sangat tinggi kalau tidak pasti akan
kelengar seketika dan terbanting ke bawah.
walaupun merasakan pil pahit, tapi lo wan
tong tidak menjadi gusar, sebaliknya malah timbul rasa laparnya kepada Hoan
It-ong, katanya: “jenggot panjang, sungguh lihay kau, jenggotku tak dapat
menandingi jenggotmu, sudahlah, kita tak perlu bertanding lagi !”
Tapi Hoan It-ong ternyata tidak mau kompromi,
kembali jenggotnya menyabet pula, Kini Ciu Pek-thong tak berani melawannya lagi
dengan jenggot, segera ia melancarkan gaya pukulan “Khong-beng-kun” angin
pukulannya yang keras membikin jenggot Hoan It-ong terpencar dan melayang
kesamping, kebetulan saat itu Be Kong-co lagi meloncat ke atas untuk menyerang
Ciu Pek-thong, maka jenggot Hoan It-ong tepat menyabet pada muka Be Kong-co.
Cepat Be Kong-co pejamkan mata, muka terasa
gatal pedas pula, dalam keadaan mata tertutup Be Kong-co memegang sekenanya
sehingga jenggot Hoan It-ong itu kena dicengkeramnya.
Sebenarnya jenggot Hoan It-ong dapat melilit
seperti barang hidup, tapi lantaran tenaga pukulan Ciu Pek-tiong tadi, Hoan
It-ong tak dapat mengendalikan lagi jenggotnya, sehingga kena dipegang Be
Kong-co, dalam kagetnya cepat Hoan It-ong membetot sekuatnya, tapi Be Kong-co
juga menarik sekencangnya ketika tubuhnya anjlog ke bawah sehingga kedua orang
akhirnya terbanting ke tanah.
Tubuh Be Kong-co segede kerbau, kulit kasar
daging tebal,
dia tidak teriak merasakan sakit, Tubuh Hoan
It-ong tepat
terbanting menindih badan Be Kong-co, ia
menjadi gusar dan
membentak : “He, apa-apaan kau? Lekas
lepaskan jenggo!”
Duduk diatas berlandar, Cui Pek-thong
mempermainkan lawan-lawan yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia pesilatan secara
lucu dan nakal.
“Bantingan itu tidak dirasakan oleh Be
Kong-co, tapi perutnya terinjak oleh Hoan It-ong, rasanya tentu tidak enak, ia
menjadi gusar juga dan batas membentak : “Aku justeru tidak mau lepas, kau mau
apa?” - Berbareng itu tangannya terus memutar sehingga jenggot orang malahan
melilit beberapa kali lagi pada tangannya.
Dengan gemas Hoan It-ong terus memukul ke
muka lawan, Be Kong-co cepat miringkan kepalanya tak terduga pukulan Hoan
It-ong itu cuma pura-pura saja, kepalan lain mendadak menyamber tiba, “plok”,
dengan tepat hidung Be Kong-co kera ditonjok sehingga berdarah, Sambil
berkaok-kaok kesakitan Be Kong-co juga balas menjotos satu kali.
Bicara tentang ilmu silat sebenarnya Hoan
It-ong jauh lebih tinggj, celakanya jenggotnya terlilit pada tangan lawan
sehingga kepalanya tidak leluasa bergerak, karena itu jotosan Be Kong-co juga
tepat mengenai tulang pipinya dan matang biru.
Begitulah yang satu tinggi dan yang lain
pendek lantas
main baku hantam, meski tubuh Hoan It-ong
menindih di atas, tapi tetap sukar meloloskan diri dari betotan lawan yang
terus menarik kencang jenggotnya itu. Melihat suasana kacau balau, rombongannya
berenam ternyata tidak dapat berkutik menghadapi seorang anak tua nakal,
betapapun terasa memalukan maka Kim-lun Hoat-ong tidak dapat tinggal diam Iagi,
segera ia mengeluarkan dua buah gelang, satu perak dan satu lagi tembaga,
sekaligus kedua gelang. atau roda itu disambitkan dari kanan kiri dan
menerbitkan suara mendenging.
“Barang apa ini?” kata Ciu Pek-thong, ia tidak
tahu lihaynya senjata orang, maka tangannya terus meraih dan bermaksud
menangkapnya.
Betapapun Yo Ko menaruh simpatik kepada Ciu
Pek-
thong yang polos itu, cepat ia
memperingatkan: “Hei, jangan
dipegang!” Berbareng pula ia lemparkan
tongkat baja yang
dipegangnya itu ke atas, Maka terdengarlah
suara
gemerantang nyaring, tongkat baja yang
panjang itu tertumbuk hingga terpental ke sudut ruangan sana, sebaliknya arah
gelang tembaga yg terbentur itu tidak berubah dan masih tetap berputar
menyamber ke atas be-landar.
Baru sekarang Ciu Peh-thong tahu si Hwesio
besar ini tidak boleh diremehkan, ia pikir kalau dikerubuti jelas dirinya sukar
melayani Segera ia berjumpalitan turun ke bawah dan berseru: “Maaf, Lo-wan-tong
tak dapat menemani lebih lama, besok saja kita main-main lagi.” Habis berkata
ia terus berlari ke pintu ruangan tamu, tapi dilihatnya empat orang berseragam
hijau telah mengadangnya
di situ dengan mementang sebuah jaring ikan.
Ciu Pek-thong sudah merasakan lihaynya jaring
begitu, cepat ia membelok ke kanan dan bermaksud menerobos keluar melalui
iendela, tapi bayangan hijau lantas berkelebat, kembali sebuah jaring
merintangi jalannya.
Setelah melompat kembali ke tengah ruangan,
Ciu Pek-thong melihat keempat penjuru sudah terentang oleh jaring ikan sehingga
jalan lolosnya menjadi buntu. Segera ia melompat lagi ke atas belandar, dengan
hantaman dari jauh ia bikin atap rumah berlubang besar. maksudnya hendak
menerobos keluar melalui lubang itu, tapi baru saja ia mendongak, dilihatnya di
atas juga sudah terpasang sebuah jaring ikan.
Terpaksa ia melompat turun ke bawah, katanya
dengan tertawa sambil menuding si Kokcu: “He, untuk apakah kau menahan diriku
di sini? Setiap hari melulu minum air tawar dan makan beras mentah, memangnya
Lo-wan-tong dapat kau piara sampai tua?”
Kokcu itu menjawab dengan dingin : “Asalkan
kau tinggalkan kitab dan obat yang kau ambil itu, segera kau boleh pergi dari
sini”
Ciu Pek-thong menjadi heran, katanya : “Untuk
apa kuambil kitab dan obatmu segala ? seumpama mampu berlatih sehingga selihay
kau juga aku tidak kepingin.”
Sang Kokcu melangkah pelahan ke tengah
ruangan, ia kebut-kebut debu pada baju sendiri, lalu berkata : “Jika sekarang
bukan hari bahagiaku, tentu aku akan minta petunjuk beberapa jurus padamu,
sebaiknya kau tinggalkan barang yang kau ambil itu dan kau boleh pergi dengan
bebas.”
Dengan gusar Ciu Pek-thong berteriak: “Jadi
kau tetap menuduh aku mencuri barangmu? Huh, memangnya apa barangmu yang
berharga sehingga aku perlu mencurinya ?
Ini, boleh kau periksa!” Sembari bicara
dengan cepat ia terus membuka baju sendiri sepotong demi sepotong, dalam
sekejap saja sudah telanjang bulat.
Berulang sang Kokcu membentak agar Ciu
Pek-thong menghentikan perbuatannya, tapi anak tua nakal itu tidak ambil
pusing, ia pentang dan membaliki baju celananya, memang benar tiada sesuatu
benda apapun juga.
Sudah tentu anak murid perempuan yang hadir
di situ menjadi kikuk dan sama berpaling ke jurusan lain. Kelakuan Ciu
Pek-thong ini sungguh sama sekali tak terduga oleh sang Kokcu, iapun ragu apakah
benar Ciu Pek-thong tidak mencuri barangnya yang hilang itu, padahal
barang-barang itu besar sangkut-pautnya dengan Cui-sian-kok ini.
Selagi sang Kokcu termenung sangsi tiba-tiba
Ciu Pek-thong bertepuk tangan dan berseru: “He, usiamu sudah cukup tua, mengapa
kau tidak tahu harga diri ngomong sesukanya,
berbuat seenak sendiri di depan umum
melakukan hal memalukan begini sungguh menggelikan.”
Ucapan itu sebenarnya lebih tepat ditujukan
kepada Ciu Pek-thong sendiri tapi justeru dia mendahului omong, keruan Kongsun
Kokcu itu dibuat serba salah dan takdapat membuka suara, Ketika melihat Hoan
It-ong dan Be Kong-co masih bergumul di lantai, segera ia membentaknya agar
lekas berdiri.
Padahal bukanlah Hoan It-ong tidak mau
melepaskan diri soalnya jenggotnya teriilit di tangan Be Kong-co dan sukar
melepaskan diri.
Dalam pada itu sambil mengernyitkan dahinya
Kongsun Kokcu menuding Ciu Pek-thong dan mendamperatnya. “Kukira yang tidak
tahu malu adalah kau sendiri !”
“Memangnya aku kenapa ?” jawab Ciu Pek-thong,
“Aku dilahirkan dengan bugil, sekarang aku telanjang bulat, putih bersih,
apanya yang salah? sebaliknya kau sudah tua dan masih ingin mengawini seorang
perawan muda sebagai isteri, hehe, sungguh mentertawakan !”
Ucapan ini laksana palu besar yang menghantam
dada Kongsun Kokcu itu, seketika mukanya yang kuning itu bersemu merah dan tak
dapat menjawab.
Mendadak Ciu Pek-thong berteriak : “Haya,
celaka ! Tidak pakai baju, bisa masuk angin nih !” - Berbareng ia terus
menerjang keluar.
Ketika mendadak melihat bayangan orang
berkelebat ke arahnya, empat murid berbaju hijau yang siap di dekat pintu itu
cepat bergerak dan membentang jaring, sekaligus jaring terus menutup ke atas
kepala orang, Terasa sasarannya berontak di dalam jala, maka cepat keempat
orang itu mengikat kencang empat ujung jaring dan diseret ke depan sang Kokcu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar