Kembalinya Pendekar Rajawali 30
Meski Hotu tak kenal lihaynya It-yang-ci,
tetapi sedikitnya
ia masih paham setiap huruf dalam karangan
“Pang-hian-ling-
pi”, maka sebelum alat tulis orang bergerak,
ia sudah bisa
menduga ke mana goresan dan coretan hendak
dilakukan,
dengan begitu ia bisa menjaga diri secara
rapat dan belum
tertampak tanda-tanda bakal kalah.
“Bagus!” seru Cu-liu demi nampak kepandaian
Hotu
memang tinggi “Dan sekarang datanglah
“Chau-su”, awas
sedikit!”
Habis ini mendadak ia copot kopiahnya terus
dilempar ke
lantai, lalu iapun berlari cepat ke sana
kemari hingga lengan
bajunya yang besar lebat ikut beterbangan,
tipu-tipu serangan
yang dilontarkan juga secara bebas di luar
aturan.
Karena itu, tampaknya ia menjadi seperti
orang linglung,
seperti orang mabuk dan bagai orang
keranjingan padahal pit-
nya menggores terus sambung menyambung tak
berhenti
bagai ular laga yang me-lingkar-lingkar.
“Mak, apa dia sudah gendeng?” tiba-tiba Kwe
Hu menanya
lagi.
“Ehm,” jawab Oey Yong acuh tak acuh, “Kalau
tambahi
minum arak tiga cawan, tentu gaya tulisannya
akan lebih
bagus.”
Habis berkata, ia angkat poci arak terus
menuangi penuh2
secawan
“Cu-toako,” teriak Oey Yong, “”silakan minum
tiga cawan
buat menambah semangatmu.”
Berbareng itu, tangan kirinya memegang cawan,
dengan
jari kanan mendadak ia menyentil cawan itu,
maka
tertampaklah cawan arak itu terbang ke depan
dengan
antengnya, itu adalah ilmu tenaga jari sakti
ajaran ayah Ui
Yong yang tak ada bandingannya.
Mendadak Cu-liu tutul sekali pit-nya hingga
Hotu terdesak
mundur, pada saat itu pula cawan arak itu
disambernya terus
ditenggak habis, menyusui mana Oey Yong sudah
menyentilkan
cawan kedua dan ketiga beruntun-runtun.
Alangkah gusarnya Pangeran Hotu melihat kedua
orang itu
main suguhkan arak dalam keadaan bertempur,
sama sekali
tak pandang sebelah mata atas dirinya, segera
ia bermaksud
sampuk jatuh cawan arak orang, tetapi diwaktu
Oey Yong
menyentilkan cawannya tadi, selalu ia iringi
gaya coretan pit-
nya Cu-liu dan selalu menerobos di tempat
luang, maka sama
sekali Hotu tak mampu menyampuknya.
“Banyak terima kasih,” seru Cu-liu sesudah
keringkan tiga
cawan arak “Sungguh tenaga jari sakti yang
hebat!”
“Kau juga. Sweih-tiap yang tajam sekali!”
balas Oey Yong
memuji dengan tertawa.
Cu-liu tertawa senang, dalam hati iapun kagum
sekali
terhadap kepintaran Oey Yong, hanya sekali
lihat saja sudah
dapat mengetahui ilmu silat ciptaannya yang
terlatih selama
belasan tahun ini.
Di lain pihak sejak tadi Kim-lun Hoat-ong
mengikuti juga
pertarungan itu dengan cermat, melihat
muridnya lambat laun
mulai terdesak di bawah angin, mendadak ia
berseru:
“Akuskintel mimoasten, cilcialci!”
Semua orang menjadi bingung, tiada yang paham
apa arti
bahasa Tibet yang diucapkan itu. sebaliknya
Pangeran Hotu
tahu bahwa gurunya sedang memperingatkan agar
jangan
mau bertahan saja, tetapi harus main serobot
ikut menyerang
dan keras lawan keras dengan ilmu “Hong-hong
siok-lui-kang”
atau ilmu badai menderu dan petir menyamber.
Karena peringatan itu, Hotu bersuit panjang,
diantara
suaranya itu seakan-akan membawa suara topan
dan guntur
yang gemuruh, berbareng kipasnya menyabet dan
lengan baju
mengebas hingga menerbitkan samberan angin
keras, secepat
kilat ia tubruk Cu Cu-liu.
Begitu keras tenaga pukulan dan samberan
angin yang
dikeluarkan serangan Hotu hingga semua orang
yang
menonton lambat-laun terdesak minggir sedang
mulut Hotu
masih tiada hentinya membentak-bentak dengan
gelegar
untuk menambah semangat.
Kiranya ilmu yang disebut
“Hong-liong-siok-lui-kang” ini
memang mengutamakan bentakan2 dan gertakan2
keras
sebagai salah satu cara mengalahkan musuh
yang lihay.
Namun Cu-liu gesit luar basa, ia melompat
kian kemari
dengan bebas dan tak gentar, kekuatan mereka
ternyata
sembabat.
Begitulah, setelah ratusan jurus lewat,
mendadak Cu-liu
ubah lagi gaya menulisnya, tiba-tiba gerak
tangannya menjadi
lamban, coretan pit-nya seperti menjadi
sempit dan kaku.
Sebaliknya Hotu masih terus gunakan ilmu
Hong-hong-
siok-lui-kang” untuk melawan, cuma tenaga
lawannya makin
bertambah kuat, terpaksa iapun kerahkan
seluruh tenaga pada
kipasnya, suara bentakan2 dan geramannya juga
semakin
hebat.
Karena itu, penonton2 yang sedikit rendah,
ilmu silatnya
menjadi tak tahan berdiri terlalu dekat,
setindak demi setindak
mereka terpaksa mundur terus ke belakang.
Sementara itu, ketika Oey Yong berpaling, ia
lihat Yo Ko
sedang duduk berendeng dengan Siao-liong-li
di samping
sebuah tiang ruangan rumah itu, Meski jarak
mereka tidak
lebih setombak dari kalangan pertempuran,
namun mereka
masih tetap bercakap-cakap dengan asyiknya,
terhadap
pertarungan sengit di samping ternyata tak
diperhatikannya
sama sekali, bahkan angin pukulan yang
diterbitkan oleh Hotu
juga sedikitpun tak mengganggu mereka, hanya
ujung baju
Siao-liong-li saja yang kelihatan rada
bergoyang-goyang
tertiup angin, tetapi gadis ini tetap seperti
anggap sepele saja,
dengan wajah penuh rasa cinta asmara ia
sedang memandang
Yo Ko dengan mesra.
Makin dilihat, Oey Yong menjadi semakin
heran, sampai
akhirnya ia menjadi lebih banyak memandang si
Yo Ko dan
Siao-liong-li berdua dari pada memperhatikan
pertarungan
antara Hotu dan Cu-liu.
“Tampaknya anak dara ini memiliki ilmu silat
yang maha
tinggi, sedang Ko-ji begitu rapat hubungannya
dengan dia,
entah dia anak murid siapakah ?” demikian ia
membatin.
Begitulah, Siao-liong-li dalam pandangan Oey
Yong masih
dianggap anak dara saja, padahal waktu itu
umur Siao-liong-li
sudah lebih 20 tahun, cuma karena sejak kecil
ia dibesarkan di
dalam kuburan kuno yang tak tertembus sinar
matahari, maka
kulit badannya menjadi halus luar biasa.
Lwekangnya juga tinggi, maka tampaknya
menjadi
sepandan nona yang berumur 17-18 tahun.
Sebenarnya kalau Siao-liong-li tidak
ketemukan Yo Ko
dan turut ajaran gurunya melatih diri tanpa
sesuatu gangguan
perasaan, bukan saja umur 100 tahun pasti
bisa dicapainya,
bahkan kalau sudah berumur seabad, badan dan
wajahnya
serupa saja dengan orang yang berumur 50-an.
Oleh sebab itulah, dalam pandangan Oey Yong
tampaknya
Siao-liong-li malah lebih muda daripada Yo
Ko, sedang
gerak-geriknya, wajahnya yang polos dan masih
ke-kanak-
anakan malahan lebih nyata kelihatan
dibanding Kwe Hu,
pantas kalau Siao-liong-li disangkanya masih
anak dara cilik.
Dalam pada itu, goresan pit Cu-liu makin lama
makin
lambat, tetapi bertambah kuat, diam-diam Hotu
terkejut dan
mulai kewalahan.
“Mamipami, kushis !” tiba-tiba Kim-lun
Hoat-ong
membentak.
Meski apa yang dikatakan itu tiada yang
paham, namun
suara bentakannya itu terlalu keras hingga
memekak telinga.
Mendengar Kim-lun Hoat-ong berulang kali
memberi
petunjuk pada muridnya, akhirnya Cu-liu
menjadi gopoh juga,
ia pikir kalau orang berganti permainannya
lagi, pertandingan
ini harus berlangsung sampai kapan?
Sekonyong-konyong ia mendahului ganti
corat-coret
tulisannya, kini gayanya tidak seperti orang
menulis lagi
melainkan seperti orang sedang menatah
sesuatu di atas batu.
Gaya ini agaknya sekarang dapat dipahami Kwe
Hu.
“Mak, apakah Cu-pepek lagi mengukir tulisan
?” demikian
ia tanya sang ibu lagi.
“Ha, agaknya anakku toh tidak terlalu
bo-doh,” sahut Ui
Yong tertawa, “Permainan Cu-pepek ini memang
tulisan tatah
“Ciok-ko-bun” (tulisan batu), ini adalah
tulisan di atas batu di
jaman Chunchiu. Coba kau perhatikan, kenal
tidak huruf apa
yang sedang ditatah Cu-pepe?”
Waktu Kwe Hu memperhatikan menurut gaya
goresan pit-
nya Cu-Iiu, ia lihat setiap huruf kelihatan
melingkar dan lebih
mirip sebuah gambar, satu huruf saja tak
dikenalnya.
“Ya, ini adalah tulisan gambar dari jaman
purbakala,
jangankan kau, aku sendiripun tak kenal,”
kata Oey Yong
kemudian dengan tertawa.
“Haha, apalagi si tolol orang Mongol itu,
sudah tentu ia
lebih-lebih tak paham,” sorak Kwe Hu sembari
bertepuk
tangan, “Mak, lihatlah, bukankah dia sudah
mandi keringat
dan kerupukan tak keruan.”
Nyata, memang terhadap tulisan gambar jaman
kuno ini,
Hotu hanya paham satu-dua huruf saja, Dan
karena tak
mengetahui huruf apa yang bakal ditulis
Cu-liu, dengan
sendirinya Hotu tak bisa berjaga-jaga lebih
dahulu, keruan
saja seketika ia terdesak.
Sebaliknya makin lama gaya tulisan Cu-liu
semakin beraksi
dan bertambah kuat terutama daya tekanan
It-yang-ci yang
dikombinasikan itu. Suatu ketika Hotu
mengibas kipasnya ke
depan dan sedikit terlambat menarik kembali,
tahu-tahu Cu-liu
sudah menutulkan pit-nya, seketika di atas
kipasnya telah
bertambah dengan satu huruf besar.
Ketika Hotu memeriksa tulisan itu, ia menjadi
bingung.
“Apakah ini huruf “Bong”?” tanyanya tak
paham.
“Bukan,” sahut Cu-liu tertawa. “lni adalah
huruf “ni” !”
Menyusul mana pit-nya menggores lagi, kembali
kipas
orang kena ditulis pula satu huruf.
“Dan ini huruf “goat” tentunya?” kata Hotu.
“Salah,” ujar Cu-liu menggoyang kepala, “ltu
adalah huruf
“goan” !”
Hotu menjadi lesu dan kewalahan, ia goyangi
kipasnya
dengan maksud menghindari ujung pit orang
supaya jangan
menulis lagi, siapa tahu justru Cu-liu
mendadak memukul
dengan tangan kirinya yang kosong, dan ketika
Hotu
menangkis, pada kesempatan itu Cu-liu telah
ulur pit-nya lagi
dan Kembali tambahi dua huruf di atas
kipasnya.
Sekali ini benar-benar Hotu kenal kedua huruf
itu.
“Eh ini adalah “ban-ih” bukan!” serunya
tiba-tiba.
“Haha, memang betul “ni-goar-ban-ih” !” sahut
Cu-liu
dengan gelak tertawa.
Memangnya para kesatria yang hadir ini
semuanya benci
pada penjajahan bangsa Mongol yang secara
kejam
membunuh rakyat tak berdosa, kini mendengar
Cu-liu memaki
Hotu “ni-goan-ban-ih” atau “kau adalah bangsa
biadab”,
keruan suara sorak sorai bergemuruh seketika.
Hotu memang sudah kewalahan melayani daya
serangan
orang dengan ilmu “lt-yang-su-ci”, kini
mendengar lagi sorak
sorai para kesatria itu, tentut saja
semangatnya semakin
kacau, selagi ia pikir paling selamat angkat
kaki saja,
sekonyong-konyong, lututnya terasa kesemutan
kaku, kiranya
sudah kena ditutuk Cu-liu dengan gagang
pit-nya.
Betapapun juga Hotu adalah anak murid tokoh
terkemuka,
ketika terasa lututnya lemas dan segera bakal
berlutut ke
hadapan orang, ia pikir jika sampai berlutut
pamornya pasti
akan lenyap, maka sekuatnya ia coba tarik
napas panjang2
menembus Hiat-to lututnya itu, habis ini ia
bermaksud
melompat pergi dan mengaku kalah, siapa tahu,
gerakan pit
Cu-liu ternyata secepat kilat, menyusul ia
sudah menutuk lagi,
ia gunakan pit sebagai jari dan pakai gagang
pit untuk
menyerang secara berantai dengan ilmu
It-yang-ci, maka tak
mungkin lagi Hotu bisa menangkisnya, akhirnya
iapun jadi
berlutut hingga saking malunya mukanya merah
padam.
Karena itu, gemuruh lagi suara sorak sorai
para kesatria.
“Akalmu telah berhasil,” kata Kwe Ceng pada
sang isteri, Ui
Yong tersenyum gembira.
Disamping sana, melihat Susiok mereka begitu
hebat
dengan ilmu It-yang-cinya, Bu-si Hengte juga
kagum luar
biasa, meski ilmu jari sakti itu sudah mereka
pelajari juga,
namun kekuatannya terang berbeda seperti
langit dan bumi
dibanding sang paman guru, Saking kagumnya
segera mereka
hendak berseru memuji, tapi mendadak
terdengar suara
jeritan ngeri Cu Cu-liu, dengan cepat Bu-si
Hengte menoleh,
tiba-tiba Susiok mereka sudah menggeletak di
lantai dengan
kedua kakinya berkelejetan.
Perubahan yang luar biasa dan cepat ini bikin
semua orang
ikut kaget.
Kiranya tadi sesudah Hotu dikalahkan, Cu-liu
yang baik
budi bermaksud memunahkan tutukan-nya atas
Hotu, sebab
tutukan It-yang-ci ajaran It-teng Taysu itu
berlainan dengan
ilmu Tiam-hiat biasa dan orang lain sukar
menolongnya, maka
ia telah memijat beberapa kali bagian iga
Hotu untuk
menjalankan darahnya.
Siapa tahu justru hatinya yang berbudi ini
mengakibatkan
marabahaya bagi dirinya sendiri, ketika
Hiat-tonya lancar
kembali, sekonyong-konyong timbul maksud
jahat Hotu, ia
pura-pura merintih sakit, sesudah berdin,
mendadak ia tekan
alat rahasia pada kipasnya hingga empat buah
paku berbisa
menyambar keluar dan menancap semua di atas
badan Cu-liu.
Sebenarnya pertandingan diantara jago silat,
kalau salah
satu pihak sudah terkalahkan tentunya tak
boleh turun tangan
lagi, apalagi di bawah pandangan orang begitu
banyak, siapa
yang menduga Hotu mendadak akan membokong ?
Jika Am-gi atau senjata rahasia itu
dilepaskan Hotu waktu
bertanding, sekalipun paku berbisa itu
tersembunyi diantara
ruji2 kipasnya, dapat dipastikan tidak nanti
Cu-liu bisa
dicelakainya. Tetapi kini Cu-liu lagi
memunahkan Hiat-to yang
ditutuknya, jaraknya tidak lebih dari satu
kaki, dalam keadaan
demikian sungguhpun kepandaian Cu-liu
setinggi langit juga
sukar menghindarkan pcmbokongan Hotu itu.
Hebatnya keempat paku berbisa itu adalah
rendaman
dengan lendir beracun semacam ular jahat yang
hidup di
daerah Tibet, lihay luar biasa kerjanya racun
itu. Begitu
terkena paku itu, seketika Cu-liu merasakan
seluruh badannya
sakit dan gatal luar biasa, saking tak tahan
ia bergulung-
gulung di lantai
Tentu saja gusar sekali para kesatria
tercampur terkejut,
beramai-ramai mereka menuding Hotu sambil
mencaci maki
atas perbuatannya yang keji dan tak kenal
malu itu.
Namun Hotu tidak kurang alasan.
“Siau-ong dari kalah menjadikannya kemenangan
kenapa
harus malu?” demikian katanya dengan ketawa,
“Toh sebelum
bertanding kita tidak berjanji tak boleh
menggunakan Am-gi.
jika tadi Cu-heng ini menggunakan Am-gi dan
merobohkan
Siau-ong dulu, tentu juga aku akan terima
kalah dan pasrah
nasib.”
Meski merasa alasan Hotu ini terlalu
di-cari-cari saja, tetapi
seketika semua orang juga tiada jalan buat
mendebatnya.
Dalam pada itu cepat sekali Kwe Ceng telah
maju
membangunkan Cu-Iiu, ia lihat empat buah paku
kecil lembut
itu menancap empat segi di atas dadanya,
wajah Cu-liu seperti
tertawa, tetapi bukan tertawa, Kwe Ceng tahu
racun paku itu
sangat aneh, maka lekas-lekas ia tutuk dulu
tiga tempat Hiat-
to orang sebagai pertolongan pertama untuk
melambatkan
jalannya darah dan menutup nadinya agar hawa
racun tidak
merembes ke dalam.
“Bagaimana baiknya, Yong-ji?” tanyanya kepada
sang
isteri.
Oey Yong tak menjawab, ia mengkerut kening,
ia tahu kalau
hendak memunahkan racun paku ini harus minta
obat pada
Hotu atau Kim-lun Hoat-ong, tetapi cara
begaimana merebut
obat pemunahnya, inilah yang seketika
membikin dia tak
berdaya.
Di samping lain, demi nampak sang Sute
terluka oleh
racun jahat, si Nelayan menjadi kuatir dan
murka, tanpa pikir
lagi ia kencangkan bajunya terus hendak
melompat maju buat
melabrak Hotu.
Syukur sebelum ia bertindak keburu dicegah
Oey Yong yang
bisa berpikir panjang, ia pertimbangkan
kedudukan pihak
sendiri dan pihak lawan secara
keseluruhannya, ia pikir pihak
lawan sudah menang sebabak, kalau si Hi-jin
(nelayan)
Suheng ini maju melawan Darba, soal menang
atau kalah
sungguh sukar diduga, karena itulah ia minta
si Nelayan suka
bersabar.
“Kenapa?” tanya si Nelayan.
Namun Oey Yong tidak menjawab, sungguhpun ia
adalah
wanita yang pintar luar biasa dengan tipu
akalnya yang
beraneka macamnya, tetapi sesudah mengalami
kekalahan
dalam babak pertama, untuk kedua babak
selanjutnya
betapapun juga telah membikin dia serba
sulit.
Di lain pihak setelah merobohkan Cu-liu
dengan akal licik,
Hotu berseri-seri berdiri di tengah kalangan
sambil matanya
menjalang ke sana ke mari dengan lagak yang
mentang2
sudah menang.
Tiba-tiba dilihatnya Siao-liong-li dan Yo Ko
sedang
pasang omong dengan asyiknya sambil tangan
bergandeng
tangan seperti sama sekali tak pandang
sebelah mata
padanya, keruan hati Hotu menjadi panas.
“Binatang cilik, berdiri!” bentaknya mendadak
sambil
menuding Yo Ko dengan kipasnya.
Akan tetapi tatkala itu seluruh perhatian Yo
Ko lagi
tercurahkan pada Siao-liong-li seorang, ia
merasa dunia ini
meski luas, namun tiada sesuatu urusan lain
yang bisa
membagi pikirannya waktu itu, Oleh karenanya,
meski
pertarungan Hotu lawan Cu-liu tadi begitu
seru dan gempar,
namun semua itu seperti tak dilihat dan tak
didengar olehnya.
Selama beberapa tahun Yo Ko tinggal di dalam
kuburan
kuno itu dengan Siao-liong-li, sesungguhnya
ia tak tahu bahwa
dirinya sudah begitu mendalam mencintai si
gadis dan
mengikat sehidup semati, Hari itu waktu
Siao-liong-li bertanya
apa mau memperisterikan dia atau tidak, karena
pertanyaan
itu diajukan secara mendadak dan hal mana
selamanya belum
pernah terbayang dalam benaknya, maka ia
menjadi bingung
tak bisa menjawab. Belakangan sesudah
Siao-liong-li
menghilang, ia menjadi menyesal tak kepalang,
pada saat
itulah dalam hati beratus kali ia berkata:
“Mau, tentu saja aku
mau. sekalipun aku harus mati, pasti aku
inginkan Kokoh
menjadi isteriku.”
Cinta asmara antara Yo Ko dan Siao-Iiong-li
timbulnya
memang dalam keadaan tak terasa antara kedua
muda-mudi
itu, setelah saling berpisah barulah perasaan
itu membakar
dan sukar ditahan, Iebih2 Siao-liong-li yang
sejak kecil telah
mengekang diri dalam hal perasaan dan napsu,
tidak punya
pikiran senang juga tak pernah marah, tetapi
perasaan cinta
yang berasal dari pembawaan itu siapapun sukar
menghindarinya, maka ketika mendadak jatuh
cinta pada Nyo
Ko, perasaan itu menjadi lebih hangat
berpuluh kali daripada
orang biasa.
Yo Ko sendiri tak pernah kenal takut, sedang
Siao-liong-li
sedikitpun tak kenal segala macam tatakrama
umum, ia pikir
kalau aku jatuh cinta, aku boleh main cinta,
mau senang boleh
senang, ada sangkut paut apa dengan orang
lain?
Begitulah cara berpikir kedua muda-mudi itu,
yang satu
tak peduli, yang lain tak mau mengerti, meski
berada di
tengah-tengah ribuan orang yang sedang asyik
menyaksikan
pertarungan sengit itu, mereka pasang omong
sendiri dengan
mesra.
Bentakan Hotu tadi oleh si Yo Ko masih tetap
tak
didengarnya, Keruan saja Hotu semakin murka,
segera ia
hendak mendamperat lagi ketika tiba-tiba
terdengar Kim-iun
Hoat-ong berseru pula dalam bahasa Tibet
dengan maksud
bahwa pihak sendiri sudah menangkan satu
babak, maka
babak kedua boleh diteruskan saja.
Sebab itu, Hotu melotot sekali pada Yo Ko,
habis ini
iapun undurkan diri ke mejanya sambil
berteriak: “Pihak kami
sudah menang satu babak, untuk babak kedua
ini yang maju
adalah suhengku Darba, dan pihak kalian siapa
yang akan
maju?”
Dalam pada itu segerapun Darba melangkah ke
tengah,
dari kasa (jubah padri) merahnya ia
mengeluarkan semacam
senjata.
Nampak senjata Darba yang hebat ini,
diam-diam semua
orang terperanjat. Kiranya senjata yang dia
pakai adalah
sebatang gada besar yang disebut
“Kim-kong-hang-mo-cu”
(penggada penakluk iblis) yang biasa dikenal
sebagai senjata
Hou-hoat Cuncia dalam agama Budha.
Hang-mo-cu senjata Darba ini panjangnya
kira-kira empat
kaki, pangkal gada itu sebesar mulut mangkok,
batang
gadanya mengkilap seperti terbikin dari emas
murni, maka
dapat dibayangkan bobot senjata ini pasti
jauh lebih berat dari
pada terbikin dari besi baja.
Sesudah berada di tengah kalangan, Darba
merangkap
tangannya menjalankan penghormatan pada semua
orang,
lalu gadanya dia lemparkan ke atas, maka
terdengarlah suara
gedombrangan yang keras, jatuhnya gada itu
telah bikin
beberapa ubin -besar ruangan pendopo itu
pecah berantakan
bahkan batang gada itu ambles hampir separuh
ke dalam
tanah.
Dengan mengunjuk gertakan ini, dapat
diketahui betapa
hebat berat gada itu, sungguh tidak nyana
bahwa seorang
Hwesio yang kurus kering seperti Darba
ternyata kuat
menggunakan senjata seberat itu, maka dapat
dibayangkan
betapa hebat tenaga pukulannya.
“Cing-koko sudah tentu bisa taklukkan Hwesio
kasar ini,
cuma babak ketiga nanti kalau Hoat-ong turun
tangan sendiri
dan pihak kita tiada yang sanggup melawannya,
maka
pertandingan ini pasti kalah.” demikian Oey
Yong berpikir
“Tetapi, biarlah aku tempur Hwesio ini dengan
akal saja.”
Habis ini, begitu angkat tongkat bambunya
Pak-kau-pang,
pentung pemukul anjing, segera ia bermaksud
maju.
“Jangan… jangan,” lekas-lekas Kwe Ceng
mencegah
“Kesehatanmu terganggu, mana bisa kau
bergebrak dengan
orang?”
Sebenarnya Oey Yong sendiri juga tidak yakin
pasti akan
menang, jika sampai babak kedua ini kalah
lagi, maka babak
ketiga tidak perlu diteruskan pula, karena
itu ia menjadi ragu-
ragu.
“Ui-pangcu, biar aku melayani padri jahat
ini,” Tiba-tiba
Tiam-jong Hi-un atau si Nelayan Pertapa murid
pertama It-
teng Taysu, telah menyelak maju.
Nyata sejak sutenya terkena jarum berbisa
musuh hingga
mengenaskan sekali penderitaannya, si Nelayan
ini sudah tak
sabar lagi dan ingin bisa membalas dendam
itu.
Sesungguhnya Oey Yong juga sedang kerupukan
tak
berdaya, ia pikir tiada jalan lain lagi
kecuali adu kekuatan
sebisanya, kalau si Nelayan mi bisa menangkan
padri Tibet,
nanti Cing-koko masih bisa keras lawan keras
untuk
menentukan rrenang dan kalah dengan Kim-lun
Hoat-ong.
“Baiklah, kalau begitu Suheng hendaklah
hati-hati,”
demikian katanya kemudian.
Dalam pada itu Bu-si Hengte sudah siapkan
kedua batang
penggayu baja yang merupakan senjata Supek
mereka, ketika
dengar Oey Yong pertahankan orang maju,
dengan cepat
sepasang penggayu itu lantas diangsurkan
kepada Tiam-gong
Ki-un.
Dengan mengempit penggayu itu, majulah nian
atau si
Nelayan Pertana ini, tetapi ia tidak lantas
menyerang, dengan
muka yang merah menyala ia kelilingi Darba
sekali putaran.
Keruan Darba menjadi bingung, ia tidak tahu
apa-apaan
maksud orang ini, ia lihat si Nelayan
mengitar, maka iapun
ikut memutar
Mendadak si Nelayan menggertak sekali, kedua
penggayunya diputar terus mengepruk ke atas
kepala musuh.
Namun cepat sekali gerak tubuh Darba, sekali
angkat
tangannya, gada emas telah dia tangkiskan,
Maka
terdengarlah suara nyaring keras beradunya
senjata gada dan
penggayu, begitu hebat suaranya hingga anak
telinga semua
orang seakan-akan pekak.
Seketika tangan kedua belah pihak sama-sama
terasa
pedas karena beradunya senjata itu, mereka
pun sama-sama
tahu telah ketemukan lawan yang bertenaga
raksasa, karena
itu mereka sama-sama melompat mundur.
Tiba-tiba Darba berkata sekali dalam bahasa
tibet, karena
tak paham apa yang diucapkan, si nelayan
balas memaki
orang dengan bahasa daerah Tay-li, kedua
orang sama-sama
tak mengerti kata-kata pihak lawan, Mendadak
mereka saling
menubruk maju lagi, senjata masing-masing
bergerak dan
kembali suara nyaring keras terdengar.
Pertarungan seru sekali ini berlainan lagi
dengan cara
pertandingan Cu-liu melawan Hotu tadi yang
dilakukan secara
“halus”, Kini boleh dikatakan keras lawan
keras, masing-
masing sama ketemukan tandingan dan saling
labrak dengan
Gwakang yang lihay, saking serunya
pertarungan ini hingga
membikin penonton lain sama berdebar-debar
dan pada
terkejut.
Sebagai anak murid It-teng Taysu yang
kerjanya sehari-
hari hanya menggayu perahu hilir mudik
melawan arus air
hingga kedua lengannya terlatih kuat dengan
otot2 kelihatan
menonjol. Dan karena wataknya yang polos
sederhana, maka
biasanya si Nelayan sangat disukai It-teng
Taysu, cuma
bakatnya kurang baik. Lwekangnya tidak
gampang terlatih
seperti Cu Cu-liu yang cerdas, namun soal
Gwakang
sebaliknya lihay luar biasa.
Kini ia tempur Darba dengan gunakan Gwakang
untuk
saling labrak, hal ini kebetulan cocok dengan
kemahirannya,
maka tertampaklah sepasang penggayunya
terputar dan
merangsak terus secara hebat.
kedua penggayu itu setiap batang beratnya
lebih 50 kati,
tetapi ia bisa mengangkatnya seperti barang
enteng saja bagai
orang biasa menggunakan senjata ringan.
Sebenarnya Darba sangat mengagulkan tenaga
raksasanya yang tiada bandingan, siapa duga
kini ia justru
ketemukan seorang “raksasa” juga, bukan saja
tenaga
lawannya besar, malahan tipu serangannya juga
aneh dan
hebat.
Karena itu iapun tak berani ayal, ia putar
Kim-kong-cu
atau gada emasnya untuk menandingi penggayu
orang, kedua
orang sama-sama banyak me-rangsak daripada
menjaga diri
saja.
Tadi waktu Cu-liu melawan Hotu, para kesatria
yang
menyaksikan pertandingan itu sudah banyak
yang menyingkir
mundur karena samberan angin yang terlalu
kuat, kini lebih-
lebih lagi, tiga senjata berat saling beradu,
jangankan tak
tahan akan angin pukulannya, sekalipun suara
benturan gada
dan penggayu yang nyaring menusuk itupun
terasa sukar
ditahan. Karena itu banyak diantaranya tekap
kuping mereka
dengan tangan untuk menyaksikan pertandingan
itu.
Manusia yang bertenaga begitu besar seperti
Tiam-jong
Hi-un ini sesungguhnya jarang diketemukan
apalagi orang
yang memiliki tenaga besar yang seimbang
diantara kedua
tangannya serta seimbang pula dengan ilmu
silat yang
dipahami lalu bertempur dengan mati-matian,
hal ini lebih-
lebih susah diketemukan.
Saking serunya pertempuran itu, sampai Kwe Ceng
dan Ui
Yong juga ikut berkeringat.
“Yong-ji, bagaimana, apa kita ada harapan
menang?”
tanya Kwe Ceng.
“Sekarang masih belum kelihatan,” sahut Oey
Yong.
Padahal Kwe Ceng bukannya tidak tahu saat ini
masih
sukar membeda2kan kalah dan menang, tetapi ia
akan merasa
lega dan terhibur apabila bisa mendengar
jawaban sang isteri
yang menyatakan si Nelayan bakal menang.
Ketika berpuluh jurus sudah lewat, tenaga
kedua orang itu
ternyata sedikitpun tak berkurang sebaliknya
semangat
mereka bertambah menyala2, setiap kali
Tiam-jong Hi-un
menghantam dengan penggayunya, selalu diikuti
dengan
bentakan dan teriakan untuk menambah daya
serangannya.
“Kau bilang apa?” tiba-tiba Darba menanya.
Ia berkata dengan basa Tibet, sudah tentu
Hi-un tidak
paham, karena itu iapun balas menanya: “Kau
berkata apa?”
Dengan sendirinya Darba juga tak menyaru
ucapan orang,
maka terjadilah cacimaki tak keruan diantara
kedua orang itu
sambil senjata mereka beterbangan menyamber
hingga meja
kursi pecah berantakan tak peduli barang apa
saja, asal
terkena hantaman gada atau penggayu, maka
dapat
dipastikan barang itu akan hancur luluh,
malahan banyak yang
kuatir kalau-kalau senjata mereka akan
menghantam tiang
rumah hingga gedung itu akan ambruk
karenanya.
Di lain pihak Kim-lun Hoat-ong dan pangeran
Hotu tidak
urung juga terperanjat diam-diam. tampaknya
kalau
pertarungan sengit itu diteruskan sekalipun
Darba nanti bisa
menang, namun sedikitpun tidak terhindar dari
luka parah.
Tetapi dalam keadaan pertarungan seru itu,
seketika sukar
hendak memberhentikannya!
Pertarungan mati-matian itu makin lama
semakin hebat,
kedua orang sama meloncat ke sini dan
melompat ke sana
sambil menghantam dibarengi dengan suara
bentakan.
Mendadak terdengar suara menggelegar keras,
kedua orang
sama-sama membentak. lalu ke-dua2nya
sama-sama
melompat mundur.
Kiranya penggayu si Nelayan yang kanan telah
membentur
keras dengan gada emas orang karena keduanya
sama-sama
memakai tenaga penuh, batang penggayu itu
juga sedikit
lebih kecil dan tidak sekukuh gada, maka
penggayu itu telah
patah menjadi dua. Kutungan penggayu itu
mencelat terbang
dan terjatuh di hadapan Siao-liong-li hingga
mengeluarkan
suara nyaring.
Tatkala itu Siao-liong-li sedang bicara
dengan Yo Ko
dengan asyiknya, sedikitpun ia tidak
perhatikan bahwa ada
sepotong besi penggayu jatuh di depannya,
ketika kepingan
besi itu menindih jari kakinya, dalam
kagetnya ia menjerit
terus meloncat bangun.
Oleh karena jeritan Siao-liong-li ini barulah
Yo Ko ikut
tersadar.
“Apa kau terluka?” tanyanya cepat dan kuatir.
Siao-liong-li tak menjawab, ia hanya meraba
jari kakinya
sembari mengunjuk rasa sakit.
Tentu saja Yo Ko menjadi gusar, segera ia
membalik
tubuh hendak mencari siapa gerangan berani
bikin sakit jari
kaki Siao-liong-li tetapi begitu ia
berpaling, ia lihat Tiam-jong
Hi-tm dengan memegang penggayu patah sedang
bertengkar
dengan Darba dan masih ingin melanjutkan
pertempuran itu
dengan sebuah penggayu saja.
Naman Darba terus meng-geleng-geleng kepala,
ia tak
mau teruskan pertandingan itu lagi nyata ia
tahu tenaga
raksasa musuh dengan dirinya adalah
setali-tiga-wang alias
sama kuat, kalau bertanding terus dirinya
sukar memperoleh
kemenangan kini dalam hal senjata ia sudah
lebih unggul,
maka pertandingan ini boleh dihitung atas
kemenangannya.
“Nah, dalam tiga bahak pertandingan pihak
kami sudah
menang dua babak, maka Bu-lim Beng-cu (ketua
serikat dunia
persilatan) ini dengan sendirinya jatuh atas
diri guruku,”
demikian dengan suara lantang segera Hotu
berdiri dan bicara
lagi. “Maka para….”
Tetapi belum habis ia berkata, mendadak Yo Ko
menyela
dan menegur si Nelayan : “Hai, kenapa kau
pukul Kokoh-ku
dengan penggayumu?”
“Aku… aku ti…” demikian si Nelayan itu
menjadi tergagap.
“Kau telan menyakiti kakinya lekas kau minta
maaf
padanya,” kata Yo Ko lagi.
Nampak orang hanya seorang bocah, si Nelayan
anggap
Yo Ko hanya mengoceh semaunya saja, maka
tidak
digubrisnya.
Tak terduga, mendadak Yo Ko ulur tangannya
dan tahu-
tahu penggayu patah itu sudah kena
di-rebutnya. “lekas kau
minta maaf pada Kokoh-kui” seru Yo Ko pula.
Dalam pada itu bukan buatan rasa
mendongkolnya Hotu
oleh karena pembicaraannya tadi di-bikin
terputus oleh Nyo
Ko.
“Binntang cilik, lekas minggir !” demikian ia
membentak.
“Binatang cilik memaki siapa?” sahut Yo Ko
tiba-tiba
sembari ayun penggayu patah itu dan
menghantam.
Mendengar Yo Ko balas tanya “binatang cilik
memaki
siapa”, tanpa pikir Hotu terus menjawab :
“Binatang cilik
memaki kau !”
Nyata ia telah terjebak, ia tidak tahu bahwa
anak-anak di
daerah selatan suka menggunakan jeratan
kata-kata itu untuk
mengadu mulut, kalau lengah sedikit, dengan
sendirinya
lantas tertipu.
Karena itu, maka tertawalah Yo Ko
terbahak-bahak.
“Hahaha, betul, betul, binatang cilik yang
memaki aku,”
demikian katanya geli.
Suasana di ruangan pendopo itu sebenarnya
sedang
tegang, tetapi karena dikacau oleh majunya Yo
Ko ini,
seketika para kesatria itu ikut ketawa.
Tentu saja Hotu bertambah gusar, begitu kipas
lempitnya
dipentang, segera ia sabet ke atas kepala Yo
Ko.
Para kesatria yang hadir di situ semuanya
berhati mulia,
tadi mereka sudah menyaksikan ilmu silat Hotu
yang sangat
lihay, maka dapat diduga bila kipasnya ini
betul-betul
berkenalan dengan kepala Yo Ko, kalau tidak
mampus
sedikitnya pemuda ini akan terluka parah,
Karena itulah
beramai-ramai mereka telah berteriak-teriak :
“Jangan
berkelahi dengan anak kecil, tak tahu malu,
besar melawan
kecil !”
Di samping sana secepat terbang Kwe Ceng juga
sudah
melompat maju, selagi tangannya benak merebut
kipasnya
Hotu, tahu-tahu Yo Ko telah unduk kepala dan
dengan
gampang saja menerobos di bawah tangan Hotu,
malahan
ketika penggayu patah itu ia tarik, dengan
gaya “sian” atau
menyerempet, suatu gaya istimewa dari
Pak-kau-pang-hoat,
tiba-tiba ia menjegal kaki Hotu dengan
penggayu patah itu.
Karena tak menduga-duga, dengan tepat Hote
kesandung,
ia terhuyung-huyung dan hampir-hampir
terguling jatuh,
untung ilmu silatnya memang tinggi luar
biasa, tubuh yang
sudah kehilangan itnbangan itu secara paksa
ia enjot
sekuatnya ke atas untuk kemudian turun ke
bawah lagi
dengan tegak
“Bagaimana, Ko-ji.” “tanya Kwe Ceng kuatir
dan
tercengang atas kejadian itu.
“Tak apa-apa”, sahut Yo Ko tertawa, “la
pandang rendah
Ang Chit kong punya Pak-kau-pang-hoat, maka
aku lantas
banting dia dengan gerak tipu
Pak-kau-pang-hoat, biar dia
kapok.”
Heran sekali Kwe Ceng mendengar jawaban itu.
“Aneh, darimana kau bisa Pak-kau-pang hoat?”
tanyanya.
“Tadi waktu Loh-pangcu berkelahi dengan dia,
begitu lihat
aku lantas berhasil mempelajarinya,” demikian
Yo Ko
membohong.
Kwe Ceng sendiri bakatnya terlalu puntul,
tetapi ia percaya
tidak sedikit orang pandai di jagat ini, maka
terhadap kata-
kata si Yo Ko ia hanya setengah percaya
setengah sangsi-
sangsi.
Di lain pihak Hotu yang kena disandung sekali
oleh Yo Ko
ia kira dirinya sendiri yang kurang hati-hati
hingga kejegal
sama sekali tak dipikirnya bahwa pemuda yang
usianya belum
ada 20 tahun bisa memiliki ilmu silat begitu
tinggi, ia pikir
urusan paling penting sekarang yalah merebut
Beng-cu,
setelah soal ini selesai barulah bocah ini
akan dibereskannya
pula. Maka dengan langkah lebar segera ia mendekati
Kwe
Cing.
“Kwe-tayhiap,” demikian katanya lantang,
“pertandingan,
hari ini sudah terang dimenangkan pihak kami,
maka guruku
Kim-lun Hoat-ong sejak kini adalah Beng-cu
dunia persilatan
apakah masih ada yang belum mau menyerah?”
Sebelum selesai ia bicara, diam-diam Yo Ko
mendatangi
belakangnya, tiba-tiba pengayu ia sodokkan
pula, ia keluarkan
salah satu tipu Pak-kau-pang-hoat dan
mendadak jojoh
bohong orang.
Tetapi betapa hebat kepandaian Hotu, masakah
ia kena
dibokong orang dari belakang? Cuma ilmu pentung
pemukul
anjing itu memang bagus tiada bandingannya,
sungguhpun ia
tahu dibokong, tetapi hendak berkelit
ternyata sama sekali tak
dapat, maka terdengarlah suara “blek”, dengan
tepat
pantatnya kena disodok oleh pengayunya Yo Ko.
sekalipun
Lwekangnya sudah sangat tinggi, tapi pantat
adalah tempat
yang banyak dagingnya tidak urung ia
kesakitan juga,
ditambah kejadian itu tak tersangka-sangka,
sebab ia kira
pasti bisa menghindarinya. tapi justru kena
disodok, maka
tanpa terasa ia berteriak.
“Hm, manusia macam apa kau? Aku justru tidak
menyerah
!” demikian terdengar Yo Ko menjengek
Karena kejadian itu, para kesatria itu ter
heran2 dan
merasa geli pula, mereka pikir pemuda ini
bukan saja nakal,
orangnya pun pemberani.
Pangeran Mongol ini ternyata dua kali kena
di-kibuli.
Sampai di sini Hotu tak bisa tinggal diam
lagi, tetapi ia
masih belum anggap Yo Ko sebagai lawan, hanya
tangannya
mendadak menampar ke belakang dengan maksud
hendak
tempeleng bocah ini untuk lampiaskan rasa
mendongkolnya.
Tetapi waktu itu Kwe Ceng berdiri di
samping-nya, sudah
tentu ia tidak biarkan Yo Ko dihantam.
mendadak ia angkat
tangannya terus cekal telapak tangan Hotu
sambil berkata:
“Kenapa kau main-main dengan anak muda?”
Seketika Hotu rasakan separah badannya kaku
kesemutan,
dalam gusarnya iapun sangat terkejut.
Dalam pada itu Yo Ko tidak sia-siakan
kesempatan itu, ia
ayun penggayunya lagi terus gebuk pula pantat
orang sambil
berteriak-teriak: “Binatang cilik tak dengar
kata, biar bapak
hajar pantatmu !”
“Ko-ji lekas undurkan diri, jangan main gila
lagi,” cepat
Kwe Ceng bentak si Yo Ko.
Para kesatria kembaii terpingkal-pingkal
karena ke-lakuan
Yo Ko itu. sebaliknya para begundal dari
Mongol beramai-
ramai pada berteriak-teriak.
“Apa? Dua keroyok satu maunya?”
“Hm, tak malu !”
“Apa minta pertandingan diulang kembali,
bukan?”
Begitulah mereka mengejek riuh rendah, karena
itu Kwe
Cing tertegun, lalu iapun lepaskan tangan
Hotu.
Sementara itu mata Oey Yong memang sangat
jeli itu, ketika
dilihatnya Yo Ko menyandung orang dan
menjojoh lagi
sekali, gaya serangannya memang betul-betul
tipu bagus dari
Pak-kau-pang-hoat, keruan saja ia curiga.
“Darimanakah ia dapat mencuri belajar
Pak-kau-pang-
hoat? Apakah mungkin ia telah mengintip waktu
aku
mengajarkan pada Loh Yu-ka? Tetapi setiap
kali sebelumnya
pasti kuperiksa dulu sekitar tempat itu, mana
bisa ia
mengelabuhi mataku?” demikian Oey Yong tidak
habis mengarti.
Tetapi segera iapun berseru : “Cing-koko,
coba kau ke
sini!”
Kwe Ceng menurut, ia kembali ke samping sang
isteri, tapi
kuatir akan keselamatannya Yo Ko, maka
pandangannya
tidak pernah meninggalkan diri pemuda itu dan
Hotu, ia lihat
pangeran Mongol itu telah merangsang maju
lagi dan
menyerang Yo Ko dengan hebat.
Tetapi Yo Ko benar-benar jahil, sembari
berkelit ia masih
terus berteriak : “Hantam pantatmu, hantam
pantatmu !”
Dan betul juga, selalu ia ayun penggayunya
menggebuk
pantat orang, cuma waktu itu Hotu sudah
keluarkan
kepandaiannya, dengan sendirinya tak bisa
lagi kena
sasarannya, setiap pukulannya selalu mengenai
tempat
kosong.
Kalau Hotu ingin pukul kepala Yo Ko dengan
kipasnya,
sebaliknya Yo Ko ayun penggayunya hendak
gebuk pantat
Hotu, kedua orang lalu uber-uber-an di tengah
ruangan
pendopo itu siapapun tiada yang bisa pukul
yang lain.
Mula-mula semua orang merasa heran dan anggap
lucu,
tetapi sesudah menyaksikan kedua orang
uber-uberan
beberapa lingkaran, akhirnya semuanya
terkejut ternyata Nyo
Ko yang bajunya compang camping, usianya pun
masih muda,
tetapi langkahnya sangat enteng,
gerak-geriknya gesit,
hakikatnya tidak kalah cepat daripada Hotu,
Beberapa kali
Hotu mengejar maju hendak pukul, tetapi
dengan sigap dan
bagus selalu dapat dihindarkan Yo Ko.
Tiam-jong Hi-un dan Darba sebenarnya masih
saling
melotot dengan senjata terhunus. yang siap
menerjang maju
lagi buat bertanding dan yang lain siap sedia
dengan penuh
perhatian untuk menjaga serbuan musuh yang
mendadak,
tetapi nampak Hotu tak bisa berkutik melawan
seorang anak
muda yang tak terkenal semuanya menjadi
heran, yang satu
tertawa lebar dan yang lain mengomel terus
dalam bahasa
Tibet yang tak dimengerti.
Sesudah Yo Ko dan Hotu ubek2an beberapa kali
lagi,
lambat laun dapat juga Hotu mengetahui
Ginkang atau ilmu
entengkan tubuhnya Yo Ko sangat hebat, kalau
terus main
hadapan lari boleh jadi akhirnya ia sendiri
akan terjungkal.
Karena itu mendadak ia terus putar balik
dengan tangan kiri ia
pegang penggayu orang dan kipas ditangan-yang
lain segera
menutuk kaki Yo Ko pada tempat
“goan-riau-hiat”.
Dengan serangan ini, caranya bukan lagi
sekedar hajaran
pada anak nakal saja, tetapi tipu serangan
antara jagoan
sungguh-sungguh.
Namun Yo Ko tidak gampang diarah, meski
usianya kecil,
tapi nyalinya cukup besar, ia lihat lawannya
mengeluarkan
ilmu silat yang hebat, ia tak mau lawan orang
berhadapan ia
berkelit hindarkan tutukan tadi, menyusul
dengan ayun
penggayunya ia masih terus berteriak-teriak :
“Bapak pukul
pantatmu !”
Dengan caranya Yo Ko mempermainkan lawannya
ini,
sebenarnya kepandaiannya harus berlipat ganda
lebih tinggi
dari orang barulah “sip”, meski Yo Ko tidak
sedikit pelajari
ilmu silat yang paIing bagus dan tinggi,
tetapi soal keuletan ia
masih belum bisa menimpali Hotu, dengan
caranya menggoda
orang itu sebenarnya bisa berabe.
Tetapi karena kelakuannya yang jenaka itu,
semua orang
yang menonton sama bergelak ketawa, dan karena
tertawa
orang banyak inilah Hotu malah dibikin
bingung hingga
pikirannya tak tenang, ia betul-betul kuatir
pantatnya kena
digebuk lagi di hadapan para kesatria itu,
hal ini berarti akan
menghilangkan pamornya, maka seluruh
perhatiannya
dicurahkan untuk menghindarkan diri hingga
lupa untuk
memutarkan serangan balasan, dengan demikian
barulah Nyo
Ko tidak mengalami bahaya.
Sampai disini Ui Vong sudah dapat melihat
bahwa Yo Ko
pasti pernah mendapat ajaran dari orang
kosen,
pengalamannya pasti lain dari pada yang lain,
ilmu silatnya
tentu susah diukur. Ia pikir biarkan bocah
ini kacaukan pihak
musuh, mungkin untuk sementara masih bisa
pertahankan
kedudukan sendiri yang sudah kalah dua babak
tadi.
Maka dengan suara keras ia lantas berseru :
“Ko-ji, coba
kau bertanding secara baik-baik dengan toako
ini, kulihat
sekali-kali dia bukan tandinganmu !”
Karena seruan itu, segera Yo Ko berhenti
“Hayo, berani
kau?” katanya segera sambil me lelet2 lidah
mengejek serta
tuding hidung Hotu.
Namun Hotu sangat licin, ia pikir pihaknya
sudah menang
dua babak beruntun-runtun, kedudukan Beng-cu
sudah terang
dapat direbutnya, kenapa perlu cari gara-gara
lain ?
Maka ia lantas menjawab : “Binatang cilik kau
begini
nakal, pasti akan kuhajar kau, cuma tak perlu
buru-buru, kita
minta Bu-lim Beng-cu Kim-lun Hoat-ong memberi
petua dan
kita semua akan menurut segala perintahnya.”
Tetapi dengan riuh para kesatria sama
membangkang
hingga suaranya sangat berisik.
“Kita tadi sudah berjanji siapa yang
menangkan dua babak
dialah yang mendapatkan sebutan Beng-cu, nah,
janji tadi
dianggap kata-kata manasi atau bukan ?”
dengan suara keras
segera Hotu berteriak.
Seketika para kesatria menjadi bungkam, meski
kemenangan musuh yang pertama tadi dilakukan
dengan cara
licik dan babak kedua baru sampai pada
senjata patah, tapi
kalau menyangkal kekalahan itu, sebagai
kesatria rasanya
juga sungkan, maka mereka- terpaksa tak bisa
menjawab.
“Kenapa Hwesio tua ini bisa menjadi Bu-lim
Beng-cu,
kulihat dia tidak cocok” kata Yo Ko
tiba-tiba.
“Siapa guru bocah ini, lekas dipanggil dan
diberi hajaran,
kalau masih terus mengacau disini, jangan
sesalkan aku tidak
bermurah hati padanya !” teriak Hotu dengan
gusar.
“Haha, justru guruku barulah cocok untuk di-
angkat
menjadi Bu-lim Beng-cu, gurumu sih punya
kepandaian apa?”
kata Yo Ko lagi dengan tertawa.
“Siapa gurumu, silakan maju buat belajar
kenal” sahut Hotu.
Nyata ia sudah kenal kepandaian Yo Ko tidak
rendah, ia pikir guru orang pasti seorang tokoh besar, maka dia gunakan kata-kata
“silakan”
Tetapi Yo Ko tidak menjawab, sebaliknya ia
tanya lagi:
“Perebutan Bu-lim Beng-cu hari ini, bukankah
setiap murid boleh mewakilkan sang guru?”
“Ya”, sahut Hotu. “Maka tadi kami sudah
menangkan dua babak dari tiga babak, dengan sendirinya guruku adalah Beng-cu.”
“Baiklah, anggap benar kau telah menangkan
mereka, tetapi apa gunanya ? Murid guruku toh belum pernah kau kalahkan,” kata
Yo Ko.
“Siapa dia murid gurumu?” tanya Hotu.
“Goblok.” sahut Yo Ko ter-kakah2. “Murid
guruku dengan sendirinya ialah aku ini!”
Mendengar banyolan ini, para
kesatria kembali bergelak ketawa lagi.
“Nah, sekarang kita juga bertanding dalam
tiga babak, kalau kalian menang dua babak lagi, barulah aku mau ngaku Hwesio
tua itu sebagai Beng-cu,” dengan tertawa Yo Ko berkata pula. Tetapi kalau aku
yang menang dua babak, maaf, sebutan Bu-lim Beng-cu itu tidak bisa lain kecuali
guruku yang mendudukinya.”
Mendengar kata-kata Yo Ko ini, semua orang
pikir jangan-jangan gurunya memang betul seorang tokoh ternama dan sengaja
datang buat merebut gelar Bu-lim Beng-cu dengan Ang Chit-kong dan Kim-lun
Hoat-ong, tetapi peduli siapa gurunya, se-tidak-tidaknya toh bangsa Han
daripada Beng-cu kena direbut oleh imam negara bangsa Mongol.
Karena itu, segera semua orang berseru
menyokongnya.
“Ya, ya, betul! Coba kau menangkan dua babak
lagi!”
“Memang tepat apa yang dikatakan engkoh cilik
ini!”
“Jagoan Tionggoan memangnya sangat banyak,
secara beruntung kau menang dua babak, apanya yang perlu dibuat heran ?”
Diam-diam Hotu memikirkan akal, ia menduga
dua jago tertinggi pihak musuh sudah dikalahkan kalau maju dua lagi juga tak
perlu takut, kuatirnya kalau orang main giliran, dua kalah segera maju lagi
dua.
Sebab itu, lantas ia jawab: “Gurumu hendak
berebut kedudukan Beng-cu ini, memangnya boleh juga, cuma orang gagah di jagat
ini entah berapa ribu banyaknya, kalau harus bertanding sebabak dan sebabak lagi, lalu
harus bertanding sampai ka-pan?”
“Kalau orang lain yang menjadi Beng-cu, pasti
guruku tak ambil pusing, soalnya asal dia lihat gurumu itu, hatinya lantas gemas”
sahut Yo Ko.
“Siapakah gurumu, apa dia,ada disini?” tanya
Hotu.
“Dia orang tua sekarang
juga btrada di depan matamu,” sahut Yo Ko tertawa, Lalu ia menoleh pada
Siao-liong-Ii:
“Hai, Kokoh, dia menanyakanmu!”
Siao-liong-li menyahut sekali, iapun
angguk-angguk kepada Hotu.
Mula-mula para kesatria tercengang, tetapi
segera mereka terbahak-bahak lagi, sebab wajah Siao-Iiong-li yang cantik molek,
usianya tampaknya malah lebih muda daripada Yo Ko, mana bisa menjadi guru-nya?
jelas Yo Ko sengaja bergurau untuk goda Hotu.
Hanya Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Thio Ci-keng
dan In Ci-peng yang tahu bahwa apa yang dikatakan Yo Ko itu memang betul”
Oey Yong sendiri meski menduga ilmu silat Yo
Ko pernah dapat ajaran dari orang kosen, tetapi apun tak percaya bahwa gadis
lemah lembut sebaik Sieo-liong-Ii ini bisa menjadi gurunya ? Dan dengan sendirinya Hotu lebih-lebih tak percaya, ia menjadi gusar.
“Siau-wan-tong (anak kecil nakal) ngaco-belo”
demikian bentaknya. “Hari ini para kesatria berkumpul semua di sini, masih
banyak urusan-urusan besar yang akan diselesaikan mana boleh kau mengacau terus
di sini? Lekas kau enyah pergi!”
Tetapi Yo Ko tak gubris orang, ia berkata
lagi: “Ha, gurumu hitam lagi jelek, kalau bicara lurak-kelurak tak ada orang
tahu, Coba kau lihat guruku cantik, begini manis, kalau dia yang menjadi Bu-lim
Beng-cu, bukankah jauh lebih baik daripada gurumu si Hwesio hitam pelontos
itu?”
Terhadap urusan keduniawian sama sekali
Siao-liong-li tak pahami tapi demi mendengar Yo Ko memuji kecantikannya tiba-tiba
hatinya menjadi senang dan bersenyum, betul saja ia bertambah cantik bagai
bunga mawar yang baru saja mekar.
Melihat cara Yo Ko mempermainkan musuh
semakin berani semua orang pada merasa senang dan bersyukur, tetapi ada juga
yang diam-diam berkuatir kalau-kalau mendadak Hotu turun tangan keji
Betul saja, digoda sedemikian rupa, Hotu tak
tahan lagi.
“Dengarlah para Enghiong seluruh jagat, kalau
Siau-ong bunuh anak nakal ini, itu adalah salah dia sendiri dan jangan salahkan
Siau-ong !” demikian ia berteriak.
Habis ini, kipasnya
mengebas segera kepala Yo Ko hendak dihantamnya.
Tak terduga mendadak Yo Ko juga berlaga
seperti Iawan, ia busungkan dada dan pelembungkan perut terus berteriak juga:
“Dengarlah para Enghiong seluruh jagat, kalau Siau-wan-tong (anak nakal) bunuh
pangeran ini, itu adalah salah dia sendiri dan jangan salahkan Siau-wan-tong!”
Dan di bawah suara tertawaan orang yang
gemuruh, mendadak iapun ayun penggayunya terus menyabet ke pantat Hotu.
Lekas-lekas Hotu mengegos, lalu kipasnya
menutuk pula dari samping, sebelah tangannya dengan cepat juga menghantam batok
kepala Iawan, serangan kipas hanya pancingan, tetapi hantaman telapak tangannya
yang hebat, pukulan ini digunakan sepenuh tenaganya, niatnya memang ingin
hancurkan batok kepala Yo Ko.
Namun si Yo Ko cukup sigap, sekali berkelit
sekalian ia tarik sebuah meja terus didorong ke depan, maka terdengarlah suara
“blang” yang keras, pukulan Hotu itu mengenai meja hingga remukan kayu
berceceran, meja itu sempal separuh
Melihat betapa hebat tenaga pukulannya, para
ksatria mau-tak-mau sama melelet lidah.
Sementara itu Hotu telah
tendang pergi meja tadi, menyusul ia berangsang maju lagi.
Nampak hantaman orang tadi begitu lihay, Yo
Ko juga tak berani pandang enteng pula, ia ayun penggayu patah dan keluarkan
Pak-kau-pang-toat buat tempur orang.
Tipu-tipu Pak-kau-pang-hoat itu sudah
dipelajari Yo Ko seluruhnya dan Ang Chit-kong, cara perubahannya dan inti rahasianya
telah diperolehnya pula dari Oey Yong sewaktu orang mengajar Loh Yu-ka, dasar
Yo Ko cerdas dan pintar, begitu kedua hajaran itu digabung, ternyata ilmu
permainan tentung dapat digunakannya dengan leluasa dan teratur.
Cuma sayang penggayu itu sedikit berat, pula
patah sebagian, pemakaiannya kurang leluasa, maka sesudah belasan jurus ia kena
dikurung diantara kipas dan telapak tangan Hotu.
Melihat tipu permainan Yo Ko memang
benar-benar ajaran asli Pak-kau-pang-hoat meski cara memainkannya belum masak
dan tipu serangannya kurang tajam, tetapi gerak-geriknya sedikitpun tak salah
maka tahulah Oey Yong tentu senjata yang orang cocok, segera ia maju ke tengah,
ia ulur pentung bambunya menyela di tengah-tengah kedua orang.
“Ko-ji, kalau pukul anjing harus gunakan
pentung pemukul anjing, nah, biar pentungku ini kupinjamkan, kalau selesai kau hajar
anjing galak ini harus segera kau kembalikan,” demikian kata Oey Yong.
Pak-kau-pang atau pentung pemukul anjing
adalah senjata pusaka Kay-pang yang tak dapat di gunakan orang lain kecuali Pang-cu
sendiri, maka lebih dulu Oey Yong kemukakan syaratnya hanya memberi pinjam
saja.
Tentu saja Yo Ko sangat girang, cepat ia
sambut pentung bambu itu.
“Paksa dia keluarkan obat pemunah,” tiba Oey
Yong bisiki telinganya.
Yo Ko tidak perhatikan pertarungan antar Hotu
melawan Cu Cu-liu, tadi maka ia tak mengerti obat penawar apa itu, selagi ia
hendak tanya atau dengan cepat, Hotu sudah memukul pula dari depan.
Namun Pak-kau-pang atau pentung pemukul
anjing telah Yo Ko angkat ke atas terus menutuk ke perut orang.
Pentung bambu itu sangat keras lagi ulet
dengan Pak-kau-pang untuk main Pak-kau-pang hoat, dengan sendirinya sangat
cocok dan leluasa tentu saja daya tekanan Yo Ko bertambah lipat.
Sebenarnya Hotu sedang hantam kepala orang
tetapi demi nampak pentung orang menjojoh perutnya di tempat “koan-goan-hiat”
di bawah pusar, tempat ini adalah urat nadi yang mematikan, bocah semuda ini
ternyata begitu jitu mengarah Hiat-to, mau-tak mau Hotu menjadi kaget.
Sudah beberapa kali ia bergebrak dengan Yo Ko
sejak tadi tetapi karena marahnya ia tidak pandang berat bocah ini, kini nampak
caranya menutuk begitu jitu barulah ia pandang orang betul-betul lawan yang
tangguh, ia tak berani ayal lagi, segera ia tarik tangan melindungi perut dan
baliki kipas buat menutupi dadanya.
Tidak sedikit tokoh silat terkemuka yang ikut
menonton di samping, demi melihat Hotu keluar kan gerak tipu itu untuk melindungi
diri dan terang mulai jeri terhadap Yo Ko, semuanya semakin menjadi heran.
“Nanti duIu,” “tiba-tiba Yo Ko berhentikan
serangannya.
“Siau-wan-tong tidak mau bergebrak percuma
dengan orang, kita harus pakai taruhan.”
“Baik,” sahut Hotu, “Kalau kau kalah, kau
harus menjura tiga kali padaku dan memanggil Yaya (engkong) tiga kali”. .
“Panggil apa?” tanya Yo
Ko tiba-tiba pura-pura tak dengar.
Nyata ia keluarkan jebakan lagi - yang biasa
di-gunakan anak nakal di daerah Kanglam, jebakan semacam ini dikeluarkan secara mendadak, bagi orang yang
tak tahu sangat gampang tertipu.
Hotu sendiri dibesarkan di daerah Mongol dan
Tibet yang biasa bergaul dengan orang-orang yang polos dan sederhana, dengan
sendirinya ia tak kenal cara kenakalan anak-anak-daerah Kanglam, maka seenaknya
saja ia lantas menjawab :
“Panggil Yaya !”
“Em, cucu baik, coba panggil lagi sekali!”,
tiba-tiba Yo Ko menyahut.
Karena itu Hotu menjadi merah mukanya, ia
insaf telah “tertipu lagi, dengan murka kipas dan telapak tangannya segera
menyerang pula dengan hebat.
“Kalau kau kalah, kau harus berikan obat
penawar padaku,” demikian kata si Yo Ko sembari tangkis setiap serangan orang.
“Aku” kalah padamu?” teriak Hotu gusar. “Hm,
jangan kau mimpi, binatang cilik !”
“Binatang cilik memaki siapa?” mendadak Yo Ko
membentak sambil angkat pentungnya.
“Binatang cilik memaki…” untung Hotu sempat
mengerem, kata-kata “kau” belum sampai tercetus dari mulutnya mendadak ia ingat
dan kata-kata terakhir itu ditelannya kembali mentah-mentah.
“Haha, sekarang kau sudah pintar, ya !” ejek
Yo Ko tertawa.
Meski kata-katanya masih terus membanyol,
tetapi tangkisannya makin lama semakin berat dan sulit.
Maklumlah pangeran Hotu adalah murid
kesayangan Kim-lun Hoat-ong dan mendapat pelajaran ilmu silat kaum Lama dari
Tibet, kalau dia bisa bergebrak be-ratus2 jurus dengan murid It-teng Tay-su
yang paling kuat, Cu Cu-liu, maka betapa tinggi keuletannya sudah tentu Yo Ko
tak bisa menimpaIinya.
Kalau mula-mula Yo Ko bisa permainkan orang
itu karena Hotu dibikin naik darah dengan akal liciknya yang nakal, tetapi kini
bergebrak dengan sungguh-sungguh, hanya beberapa puluh jurus saja lantas
kelihatan Yo Ko terdesak di bawah angin.
Sungguhpun begitu, melihat bocah semuda ini
bisa bertahan begitu lama melawan Hotu, para kesatria sangat kagum dan sama
memujinya setinggi langit mereka pada bertanya anak murid siapakah pemuda itu?
Dalam pada itu melihat lawannya sudah mulai
terdesak, pukulan-pukulan Hotu semakin diperkuat Menurut aturan, dengan
Pak-kau-pang-hoat lihay yang Yo Ko mainkan itu, seharusnya ia bisa menangkan
musuh, tetapi ilmu permainan tongkat itu ia dapatkan cara-caranya dari Ang
Chit-kong, sedang mengenai inti permainannya baru saja ia dengar dari Oey Yong,
kini ia gabungkan ajaran kedua orang itu untuk melawan musuh dengan baik, tapi
kalau mendadak hendak keluarkan daya tekanan yang tiada tandingan dari
Pang-hoat itu, dengan sendirinya masih belum dapat Maka tak lama lagi, akhirnya
Yo Ko mulai kewalahan.
Sejak tadi Kwe Hu dan Bu-si Hengte ikut
menyaksikan pertarungan itu, mula-mula mereka tidak menduga bahwa Nyo Ko berani
tampil ke muka, Bu-si Hengte angap Yo Ko tolol dan berani mati, pasti akan tahu
rasa oleh hajaran musuh, tetapi Kwe Hu justru membantah mereka dan bilang Yo Ko
seorang pemberani serta cerdik.
Tentu saja kedua saudara Bu itu merasa
cemburu. Mula-mula mereka merasa lega ketika melihat datangnya Siao- liong-li
yang begitu rapat dan hangat dengan Yo Ko, tetapi belakangan Yo Ko panggil
Siao-liong-li sebagai “Suhu”, walaupun belum tahu benar atau tidak, namun
perasaan kedua pemuda ini menjadi berat lagi. Kini melihat Yo Ko kena didesak
Hotu hingga kalang ,kabut, merekah tahu tidak seharusnya bergirang, tetapi
aneh, dalam hati mereka justru mengharap Yo Ko bisa dihajar orang
sekeras-kerasnya.
Begitulah perasaan Bu-si Hengte yang kusut,
sebentar senang lain saat muram, dalam sekejap saja sudah beberapa kali berubah
perasaan.
Kwe Hu sendiri meski tak tertarik oleh Yo Ko,
tetapi iapun tidak membenci, ia anggap orang tak perlu dipikirkan meski ayahnya
bilang dirinya hendak dijodohkan pada pemuda itu, tetapi ia percaya akhirnya
urusan ini pasti tak jadi, demi dilihatnya ilmu silat Yo Ko bukan main
hebatnya, hal ini juga membuatnya terheran-heran, ketika dilihatnya Yo Ko akan kalah,
ia ikut berkuatir atas diri pemuda ini.
Dalam pada itu Yo Ko
juga sadar dalam sepuluh jurus lagi pasti dirinya akan terjungkal dihantam
musuh.
Selagi berbahaya, tiba-tiba dilihatnya
Siao-liong-li sedang memperhatikan dirinya sembari bersandar pada tiang rumah, tampaknya
setiap saat juga gadis ini akan turun tangan buat membantu. Yo Ko tergerak pikirannya, mendadak pentungnya
menyabet, habis ini tubuhnya terus mencelat pergi, ia melompat lewat di atas
kaki Siao-liong-li yang duduk bersandarkan tiang itu.
“Lari ke mana?” bentak Hotu sambil mengudak.
Tak terduga sedikit Siao-liong-li angkat
kedua kakinya, Kaki kanan menendang “kun-lun-hiat” di mata kaki kanan Hotu,
sedang ujung kaki kiri mengarah pula “Yong-coan-hiat” di kakinya yang kiri.
Memangnya ilmu silat Hotu memang sangat
hebat, batu sedikit kala Siao-liong-li menjengkit, sebelum orang tak memperhatikan
atau dia sudah tahu orang hendak serang dirinya dengan tipu yang sangat lihay.
Dalam sibuknya itu ia sempat gunakan gerakan
“wan-yan-Iian-goan-tui atau tendangan berantai yang mengapung di udara, dengan
demikian barulah serangan Siao-liong-Ii yang tak kelihatan itu dapat
dihindarkannya.
Yo Ko sendiri sewaktu melompat lewat kaki
Siao-lioag-li sudah menduga bakal terjadi peristiwa itu, maka tidak menunggu
musuhnya turun, pentung bambunya terus menyodok lagi.
Tetapi dengan kipasnya Hotu tahan ujung
pentung orang terus melompat ke samping, ia berdiri jauh dari Siao-liong-li dan
memandang beberapa kali pada gadis ini, pikirnya:
“Daerah Tionggoan nyata memang banyak orang
pandai, hanya kedua muda-mudi ini saja, kenapa ilmu silatnya begini hebat?”
Dalam pada itu dengan menggunakan keuntungan kejadian
itu, segera Yo Ko melontarkan tipu-tipu serangan Pak-kau-pang-hoat, beruntun ia
keluarkan tiga serangan yang mematikan hingga Hotu kececar kalang kabut dan
terpaksa bertahan sekuatnya, siapa tahu serangan keempat Yo Ko tak bisa lagi
menggunakan kebagusan Pang-hoat itu hingga sedikit terlambat gerakannya,
kesempatan ini digunakan Hotu untuk melakukan serangan balasan, maka kembali Yo
Ko terdesak di pihak asor lagi.
Bagi orang yang tak kenal Pak-kau-patig-hoat
tak menjadi soal, tetapi Oey Yong merasa sayang akan kelambatan Yo Ko itu,
segera ia menembang: “Putar pentung cepat pakai gerakan bagus, hantam anjing
galak dari samping tanpa menoleh”
Apa yang diuraikan Oey Yong ini adalah
istilah Pak-kau-pang-hoat yang sangat dalam artinya, Yo Ko belum pernah mendapatkan
petunjuk-petunjuk dari orang pandai, ia tak tahu cara bagaimana dan kapan tipu
serangan itu harus dilontarkan tetapi demi mendengar uraian Oey Yong, betul
saja pentungnya segera menyamber dan menyodok dengan cepat.
Gerak serangannya sangat aneh, namun Yo Ko
sendiri belum tahu bagaimana hasilnya, siapa tahu, dengan tepat pentungnya
justru memapaki kipas Hotu yang waktu itu lagi mengebas hingga terpaksa Hotu
Lekas-lekas meloncat pergi menghindarkan diri.
“Bagaimana cara pukul anjing kelabakan yang
meloncati dinding? Hantam pantat anjing dan gebuk ekornya!” kembali Oey Yong
menembang pula.
Harus diketahui Pang-hoat turun temurun dari
Kay-pang ini, diantara kaum pengemis dengan sendirian tiada cendekia, atau terpelajar maka kata-katanya sudah tentu
biasa saja, orang lain-lain mengira setelah Oey Yong itu digunakan memaki musuh
sebagai anjing, tak tahunya justru Yo Ko lagi diberi petunjuk.
“Pak-kau-pang-hoat itu meski dibilang tak
“diturunkan pada orang luar kecuali Pangcu, tetapi pertama Yo Ko mahir sendiri,
kedua, pertandingan ini besar hubungannya dengan nasib negara dan harus
dimenangkan maka Oey Yong tidak pikirkan batas peraturan Kay-pang lagi, ia
masih terus mengutarakan istiiah2 Pang-hoat untuk memberi petunjuk pada Yo Ko
disesuaikan dengan keadaan masing-masing yang lagi saling labrak itu.
Dan karena setiap uraiannya adalah intisari
yang tepat, ditambah Yo Ko memang cerdik, beberapa kali berhasil, maka iapun
tidak sangsi lagi, begitu dengar kata Oey Yong, segera dilontarkan tipu
serangannya.
Daya kekuatan Pak-kau-pang-hoat ini memang
nyata luar biasa hebatnya, percuma saja Hotu memiliki ilmu silat tinggi, ia
terdesak hingga main putar terus oleh ancaman pentung bambunya Yo Ko tanpa bisa
membalas.
Karena itu, tampaknya dua-tiga gebrak lagi
pasti Hotu akan jatuh kalah, dengan mata terpentang lebar-lebar para kesatria
itu menjadi girang luar biasa tercampur kagum.
“Nanti du!u!” teriak Hotu
mendadak sambil desak Yo Ko mundur setindak.
“Ada apa? Sudah ngaku kalah?” kata Yo Ko
tertawa.
“Kau bilang berebut Beng-cu untuk gurumu
kenapa yang kau pakai adalah ilmu silatnya Ang Chit-kong?” sahut Hotu dingin, mukanya muram gelap. Dan kalau bilang
berebut Beng-cu untuk Ang Chit-kong, bukankah tadi sudah terjadi bertanding dua
babak sebenarnya kau sengaja main kelit dan ngawur atau ada maksud lain?”
Betul juga pikir Oey Yong, kata-kata orang
memang susah didebat, selagi hendak main pokrol2an untuk membantah orang,
mendadak Yo Ko membuka suara.
“Ya, apa-yang kau katakan sekali ini masih
terhitung masuk akal” demikian sahut Yo Ko, “Pang-hoat ini memang ajaran
Suhuku, sekalipun mengalahkan kau agaknya kaupun belum mau takluk. Kalau kau
mau berkenalan dengan ilmu silat perguruanku, hal inipun tidak susah. Kalau aku
tadi pinjam ilmu silat aliran lain sebab aku takut kau akan lebih celaka jika
aku keluarkan kepandaian perguruanku sendiri.”
Kiranya demi mendengar teguran Hotu, segera
Yo Ko ingat kalau menangkan orang dengan Pak-kau-pang-hoat, kepandaian Kokoh
mana bisa dikenal orang? Dan bukankah Kokoh akan mengomeli aku lupa pada
kebaikannya?
Padahal pikiran Siao-liong-li polos, dalam
hatinya penuh rasa hangat dan manis madu terhadap Yo Ko, asal bisa pandang si
pemuda rasanya sudah puas dan tidak terpikir lagi segala urusan lain, baik Yo
Ko menang atau kalah juga boleh, segalanya tak dianggap penting olehnya,
apalagi soal ilmu silat yang digunakan itu, apakah itu diberi petunjuk Ui Yong
atau tidak, hal ini lebih-lebih tak di-perhatikannya.
Dan karena jawaban Yo Ko tadi, diam-diam Hotu
membatin: “Bagus, kalau kau tak menggunakan Pak-kau-pang-hoat, dalam sepuluh
jurus juga aku nanti cabut njawamu.”
Maka dengan tertawa dingin iapun berkatalah:
“Baiklah kalau begitu, aku ingin belajar kenal dengan ilmu silat perguruanmu
yang hebat” ilmu kepandaian yang paling apal dan paling bagus yang dilatih Yo
Ko dalam kuburan kuno itu adalah Kiam-hoat, dengan sendirinya ia lawan orang
dengan kemahirannya ini.
“Diantara Tuan-tuan siapa yang sudi memberi
pinjam sebatang pedang ?” demikian segera ia berkata terhadap para kesatria.
Antara hadirin sebanyak ribuan orang itu
sedikitnya ada dua ratusan yang membawa pedang, maka beramai-ramai mereka sama
menyahut dan ingin memberi pinjam.
“Kau pakai pedang ini saja!” kata Sun Put-ji
tiba-tiba sambil melompat maju dan angsurkan pedangnya yang bersinar mengkilap
tajam.
Nyata meski Hek Tay-thong dan Sun Put-ji
sangat marah terhadap khianatnya Yo Ko pada Coan-cin-kau mereka, tetapi kini
melihat si pemuda melawan musuh sepenuh tenaga dan membela nama negara,
seketika juga mereka kesamping-kan urusan pribadi itu dan Sun Put-ji lantas
angsurkan pedang pusakanya pemberian mendiang gu-runya, Ong Tiong-yang.
Melihat pedang itu begitu bagus, Yo Ko menduga
pasti pedang wasiat yang bisa potong emas dan rajang batu, kalau dipakai
melawan Hotu tentu tidak sedikit keuntungannya, Tetapi ketika dilihatnya jubah
imam yang dipakai Sun Put-ji, seketika teringat olehnya hinaan dan penderitaan
yang pernah dia rasakan di Tiong-yang-kiong dulu dan terbayang juga kematian
Sun-popoh di bawah tangan Hek Tay-thong, mendadak matanya mendelik pedang itu
tak diterimanya, sebaliknya dari tangan
seorang murid Kay-pang ia ambil sebatang pedang tua hitam karatan.
“Biarlah kupinjam pedang Toako ini,” demikian
ia berkata.
Tentu saja Sun Put-ji serba salah hingga
terpaku di tempatnya. sungguh tidak kepalang amarahnya, dengan maksud baik ia
pinjamkan pedangnya tetapi orang berbalik begitu kurangajar, baiknya ia bisa
kuasai dirinya, ia merasa tidak enak cekcok sendiri selagi musuh luar berada di
depan mata, maka dengan menahan amarahnya ia kembali lagi ke tempatnya tadi.
Sikap Yo Ko tadi juga terlalu keras, terlalu
menyolok ia unjukkan perasaannya. sebenarnya kesempatan itu dapat dipergunakannya
untuk memperbaiki hubungannya dengan Coan-cin-kau, tetapi lantaran tindakannya
itu, hubungan mereka semakin menjadi renggang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar