Minggu, 11 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 30



Kembalinya Pendekar Rajawali 30

Meski Hotu tak kenal lihaynya It-yang-ci, tetapi sedikitnya
ia masih paham setiap huruf dalam karangan “Pang-hian-ling-
pi”, maka sebelum alat tulis orang bergerak, ia sudah bisa
menduga ke mana goresan dan coretan hendak dilakukan,
dengan begitu ia bisa menjaga diri secara rapat dan belum
tertampak tanda-tanda bakal kalah.
“Bagus!” seru Cu-liu demi nampak kepandaian Hotu
memang tinggi “Dan sekarang datanglah “Chau-su”, awas
sedikit!”
Habis ini mendadak ia copot kopiahnya terus dilempar ke
lantai, lalu iapun berlari cepat ke sana kemari hingga lengan
bajunya yang besar lebat ikut beterbangan, tipu-tipu serangan
yang dilontarkan juga secara bebas di luar aturan.
Karena itu, tampaknya ia menjadi seperti orang linglung,
seperti orang mabuk dan bagai orang keranjingan padahal pit-
nya menggores terus sambung menyambung tak berhenti
bagai ular laga yang me-lingkar-lingkar.
“Mak, apa dia sudah gendeng?” tiba-tiba Kwe Hu menanya
lagi.
“Ehm,” jawab Oey Yong acuh tak acuh, “Kalau tambahi
minum arak tiga cawan, tentu gaya tulisannya akan lebih
bagus.”
Habis berkata, ia angkat poci arak terus menuangi penuh2
secawan
“Cu-toako,” teriak Oey Yong, “”silakan minum tiga cawan
buat menambah semangatmu.”
Berbareng itu, tangan kirinya memegang cawan, dengan
jari kanan mendadak ia menyentil cawan itu, maka
tertampaklah cawan arak itu terbang ke depan dengan
antengnya, itu adalah ilmu tenaga jari sakti ajaran ayah Ui
Yong yang tak ada bandingannya.
Mendadak Cu-liu tutul sekali pit-nya hingga Hotu terdesak
mundur, pada saat itu pula cawan arak itu disambernya terus
ditenggak habis, menyusui mana Oey Yong sudah menyentilkan
cawan kedua dan ketiga beruntun-runtun.
Alangkah gusarnya Pangeran Hotu melihat kedua orang itu
main suguhkan arak dalam keadaan bertempur, sama sekali
tak pandang sebelah mata atas dirinya, segera ia bermaksud
sampuk jatuh cawan arak orang, tetapi diwaktu Oey Yong
menyentilkan cawannya tadi, selalu ia iringi gaya coretan pit-
nya Cu-liu dan selalu menerobos di tempat luang, maka sama
sekali Hotu tak mampu menyampuknya.
“Banyak terima kasih,” seru Cu-liu sesudah keringkan tiga
cawan arak “Sungguh tenaga jari sakti yang hebat!”
“Kau juga. Sweih-tiap yang tajam sekali!” balas Oey Yong
memuji dengan tertawa.
Cu-liu tertawa senang, dalam hati iapun kagum sekali
terhadap kepintaran Oey Yong, hanya sekali lihat saja sudah
dapat mengetahui ilmu silat ciptaannya yang terlatih selama
belasan tahun ini.
Di lain pihak sejak tadi Kim-lun Hoat-ong mengikuti juga
pertarungan itu dengan cermat, melihat muridnya lambat laun
mulai terdesak di bawah angin, mendadak ia berseru:
“Akuskintel mimoasten, cilcialci!”

Semua orang menjadi bingung, tiada yang paham apa arti
bahasa Tibet yang diucapkan itu. sebaliknya Pangeran Hotu
tahu bahwa gurunya sedang memperingatkan agar jangan
mau bertahan saja, tetapi harus main serobot ikut menyerang
dan keras lawan keras dengan ilmu “Hong-hong siok-lui-kang”
atau ilmu badai menderu dan petir menyamber.
Karena peringatan itu, Hotu bersuit panjang, diantara
suaranya itu seakan-akan membawa suara topan dan guntur
yang gemuruh, berbareng kipasnya menyabet dan lengan baju
mengebas hingga menerbitkan samberan angin keras, secepat
kilat ia tubruk Cu Cu-liu.
Begitu keras tenaga pukulan dan samberan angin yang
dikeluarkan serangan Hotu hingga semua orang yang
menonton lambat-laun terdesak minggir sedang mulut Hotu
masih tiada hentinya membentak-bentak dengan gelegar
untuk menambah semangat.
Kiranya ilmu yang disebut “Hong-liong-siok-lui-kang” ini
memang mengutamakan bentakan2 dan gertakan2 keras
sebagai salah satu cara mengalahkan musuh yang lihay.
Namun Cu-liu gesit luar basa, ia melompat kian kemari
dengan bebas dan tak gentar, kekuatan mereka ternyata
sembabat.
Begitulah, setelah ratusan jurus lewat, mendadak Cu-liu
ubah lagi gaya menulisnya, tiba-tiba gerak tangannya menjadi
lamban, coretan pit-nya seperti menjadi sempit dan kaku.
Sebaliknya Hotu masih terus gunakan ilmu Hong-hong-
siok-lui-kang” untuk melawan, cuma tenaga lawannya makin
bertambah kuat, terpaksa iapun kerahkan seluruh tenaga pada
kipasnya, suara bentakan2 dan geramannya juga semakin
hebat.
Karena itu, penonton2 yang sedikit rendah, ilmu silatnya
menjadi tak tahan berdiri terlalu dekat, setindak demi setindak
mereka terpaksa mundur terus ke belakang.
Sementara itu, ketika Oey Yong berpaling, ia lihat Yo Ko
sedang duduk berendeng dengan Siao-liong-li di samping
sebuah tiang ruangan rumah itu, Meski jarak mereka tidak
lebih setombak dari kalangan pertempuran, namun mereka
masih tetap bercakap-cakap dengan asyiknya, terhadap
pertarungan sengit di samping ternyata tak diperhatikannya
sama sekali, bahkan angin pukulan yang diterbitkan oleh Hotu
juga sedikitpun tak mengganggu mereka, hanya ujung baju
Siao-liong-li saja yang kelihatan rada bergoyang-goyang
tertiup angin, tetapi gadis ini tetap seperti anggap sepele saja,
dengan wajah penuh rasa cinta asmara ia sedang memandang
Yo Ko dengan mesra.
Makin dilihat, Oey Yong menjadi semakin heran, sampai
akhirnya ia menjadi lebih banyak memandang si Yo Ko dan
Siao-liong-li berdua dari pada memperhatikan pertarungan
antara Hotu dan Cu-liu.
“Tampaknya anak dara ini memiliki ilmu silat yang maha
tinggi, sedang Ko-ji begitu rapat hubungannya dengan dia,
entah dia anak murid siapakah ?” demikian ia membatin.
Begitulah, Siao-liong-li dalam pandangan Oey Yong masih
dianggap anak dara saja, padahal waktu itu umur Siao-liong-li
sudah lebih 20 tahun, cuma karena sejak kecil ia dibesarkan di
dalam kuburan kuno yang tak tertembus sinar matahari, maka
kulit badannya menjadi halus luar biasa.
Lwekangnya juga tinggi, maka tampaknya menjadi
sepandan nona yang berumur 17-18 tahun.
Sebenarnya kalau Siao-liong-li tidak ketemukan Yo Ko
dan turut ajaran gurunya melatih diri tanpa sesuatu gangguan
perasaan, bukan saja umur 100 tahun pasti bisa dicapainya,
bahkan kalau sudah berumur seabad, badan dan wajahnya
serupa saja dengan orang yang berumur 50-an.
Oleh sebab itulah, dalam pandangan Oey Yong tampaknya
Siao-liong-li malah lebih muda daripada Yo Ko, sedang
gerak-geriknya, wajahnya yang polos dan masih ke-kanak-
anakan malahan lebih nyata kelihatan dibanding Kwe Hu,
pantas kalau Siao-liong-li disangkanya masih anak dara cilik.
Dalam pada itu, goresan pit Cu-liu makin lama makin
lambat, tetapi bertambah kuat, diam-diam Hotu terkejut dan
mulai kewalahan.
“Mamipami, kushis !” tiba-tiba Kim-lun Hoat-ong
membentak.
Meski apa yang dikatakan itu tiada yang paham, namun
suara bentakannya itu terlalu keras hingga memekak telinga.
Mendengar Kim-lun Hoat-ong berulang kali memberi
petunjuk pada muridnya, akhirnya Cu-liu menjadi gopoh juga,
ia pikir kalau orang berganti permainannya lagi, pertandingan
ini harus berlangsung sampai kapan?
Sekonyong-konyong ia mendahului ganti corat-coret
tulisannya, kini gayanya tidak seperti orang menulis lagi
melainkan seperti orang sedang menatah sesuatu di atas batu.
Gaya ini agaknya sekarang dapat dipahami Kwe Hu.
“Mak, apakah Cu-pepek lagi mengukir tulisan ?” demikian
ia tanya sang ibu lagi.
“Ha, agaknya anakku toh tidak terlalu bo-doh,” sahut Ui
Yong tertawa, “Permainan Cu-pepek ini memang tulisan tatah
“Ciok-ko-bun” (tulisan batu), ini adalah tulisan di atas batu di
jaman Chunchiu. Coba kau perhatikan, kenal tidak huruf apa
yang sedang ditatah Cu-pepe?”
Waktu Kwe Hu memperhatikan menurut gaya goresan pit-
nya Cu-Iiu, ia lihat setiap huruf kelihatan melingkar dan lebih
mirip sebuah gambar, satu huruf saja tak dikenalnya.
“Ya, ini adalah tulisan gambar dari jaman purbakala,
jangankan kau, aku sendiripun tak kenal,” kata Oey Yong
kemudian dengan tertawa.
“Haha, apalagi si tolol orang Mongol itu, sudah tentu ia
lebih-lebih tak paham,” sorak Kwe Hu sembari bertepuk
tangan, “Mak, lihatlah, bukankah dia sudah mandi keringat
dan kerupukan tak keruan.”
Nyata, memang terhadap tulisan gambar jaman kuno ini,
Hotu hanya paham satu-dua huruf saja, Dan karena tak
mengetahui huruf apa yang bakal ditulis Cu-liu, dengan
sendirinya Hotu tak bisa berjaga-jaga lebih dahulu, keruan
saja seketika ia terdesak.
Sebaliknya makin lama gaya tulisan Cu-liu semakin beraksi
dan bertambah kuat terutama daya tekanan It-yang-ci yang
dikombinasikan itu. Suatu ketika Hotu mengibas kipasnya ke
depan dan sedikit terlambat menarik kembali, tahu-tahu Cu-liu
sudah menutulkan pit-nya, seketika di atas kipasnya telah
bertambah dengan satu huruf besar.
Ketika Hotu memeriksa tulisan itu, ia menjadi bingung.
“Apakah ini huruf “Bong”?” tanyanya tak paham.
“Bukan,” sahut Cu-liu tertawa. “lni adalah huruf “ni” !”
Menyusul mana pit-nya menggores lagi, kembali kipas
orang kena ditulis pula satu huruf.
“Dan ini huruf “goat” tentunya?” kata Hotu.
“Salah,” ujar Cu-liu menggoyang kepala, “ltu adalah huruf
“goan” !”
Hotu menjadi lesu dan kewalahan, ia goyangi kipasnya
dengan maksud menghindari ujung pit orang supaya jangan
menulis lagi, siapa tahu justru Cu-liu mendadak memukul
dengan tangan kirinya yang kosong, dan ketika Hotu
menangkis, pada kesempatan itu Cu-liu telah ulur pit-nya lagi
dan Kembali tambahi dua huruf di atas kipasnya.
Sekali ini benar-benar Hotu kenal kedua huruf itu.
“Eh ini adalah “ban-ih” bukan!” serunya tiba-tiba.
“Haha, memang betul “ni-goar-ban-ih” !” sahut Cu-liu
dengan gelak tertawa.
Memangnya para kesatria yang hadir ini semuanya benci
pada penjajahan bangsa Mongol yang secara kejam
membunuh rakyat tak berdosa, kini mendengar Cu-liu memaki
Hotu “ni-goan-ban-ih” atau “kau adalah bangsa biadab”,
keruan suara sorak sorai bergemuruh seketika.
Hotu memang sudah kewalahan melayani daya serangan
orang dengan ilmu “lt-yang-su-ci”, kini mendengar lagi sorak
sorai para kesatria itu, tentut saja semangatnya semakin
kacau, selagi ia pikir paling selamat angkat kaki saja,
sekonyong-konyong, lututnya terasa kesemutan kaku, kiranya
sudah kena ditutuk Cu-liu dengan gagang pit-nya.
Betapapun juga Hotu adalah anak murid tokoh terkemuka,
ketika terasa lututnya lemas dan segera bakal berlutut ke
hadapan orang, ia pikir jika sampai berlutut pamornya pasti
akan lenyap, maka sekuatnya ia coba tarik napas panjang2
menembus Hiat-to lututnya itu, habis ini ia bermaksud
melompat pergi dan mengaku kalah, siapa tahu, gerakan pit
Cu-liu ternyata secepat kilat, menyusul ia sudah menutuk lagi,
ia gunakan pit sebagai jari dan pakai gagang pit untuk
menyerang secara berantai dengan ilmu It-yang-ci, maka tak
mungkin lagi Hotu bisa menangkisnya, akhirnya iapun jadi
berlutut hingga saking malunya mukanya merah padam.
Karena itu, gemuruh lagi suara sorak sorai para kesatria.
“Akalmu telah berhasil,” kata Kwe Ceng pada sang isteri, Ui
Yong tersenyum gembira.
Disamping sana, melihat Susiok mereka begitu hebat
dengan ilmu It-yang-cinya, Bu-si Hengte juga kagum luar
biasa, meski ilmu jari sakti itu sudah mereka pelajari juga,
namun kekuatannya terang berbeda seperti langit dan bumi
dibanding sang paman guru, Saking kagumnya segera mereka
hendak berseru memuji, tapi mendadak terdengar suara
jeritan ngeri Cu Cu-liu, dengan cepat Bu-si Hengte menoleh,
tiba-tiba Susiok mereka sudah menggeletak di lantai dengan
kedua kakinya berkelejetan.
Perubahan yang luar biasa dan cepat ini bikin semua orang
ikut kaget.
Kiranya tadi sesudah Hotu dikalahkan, Cu-liu yang baik
budi bermaksud memunahkan tutukan-nya atas Hotu, sebab
tutukan It-yang-ci ajaran It-teng Taysu itu berlainan dengan
ilmu Tiam-hiat biasa dan orang lain sukar menolongnya, maka
ia telah memijat beberapa kali bagian iga Hotu untuk
menjalankan darahnya.
Siapa tahu justru hatinya yang berbudi ini mengakibatkan
marabahaya bagi dirinya sendiri, ketika Hiat-tonya lancar
kembali, sekonyong-konyong timbul maksud jahat Hotu, ia
pura-pura merintih sakit, sesudah berdin, mendadak ia tekan
alat rahasia pada kipasnya hingga empat buah paku berbisa
menyambar keluar dan menancap semua di atas badan Cu-liu.
Sebenarnya pertandingan diantara jago silat, kalau salah
satu pihak sudah terkalahkan tentunya tak boleh turun tangan
lagi, apalagi di bawah pandangan orang begitu banyak, siapa
yang menduga Hotu mendadak akan membokong ?
Jika Am-gi atau senjata rahasia itu dilepaskan Hotu waktu
bertanding, sekalipun paku berbisa itu tersembunyi diantara
ruji2 kipasnya, dapat dipastikan tidak nanti Cu-liu bisa
dicelakainya. Tetapi kini Cu-liu lagi memunahkan Hiat-to yang
ditutuknya, jaraknya tidak lebih dari satu kaki, dalam keadaan
demikian sungguhpun kepandaian Cu-liu setinggi langit juga
sukar menghindarkan pcmbokongan Hotu itu.
Hebatnya keempat paku berbisa itu adalah rendaman
dengan lendir beracun semacam ular jahat yang hidup di
daerah Tibet, lihay luar biasa kerjanya racun itu. Begitu
terkena paku itu, seketika Cu-liu merasakan seluruh badannya
sakit dan gatal luar biasa, saking tak tahan ia bergulung-
gulung di lantai
Tentu saja gusar sekali para kesatria tercampur terkejut,
beramai-ramai mereka menuding Hotu sambil mencaci maki
atas perbuatannya yang keji dan tak kenal malu itu.
Namun Hotu tidak kurang alasan.
“Siau-ong dari kalah menjadikannya kemenangan kenapa
harus malu?” demikian katanya dengan ketawa, “Toh sebelum
bertanding kita tidak berjanji tak boleh menggunakan Am-gi.
jika tadi Cu-heng ini menggunakan Am-gi dan merobohkan
Siau-ong dulu, tentu juga aku akan terima kalah dan pasrah
nasib.”
Meski merasa alasan Hotu ini terlalu di-cari-cari saja, tetapi
seketika semua orang juga tiada jalan buat mendebatnya.
Dalam pada itu cepat sekali Kwe Ceng telah maju
membangunkan Cu-Iiu, ia lihat empat buah paku kecil lembut
itu menancap empat segi di atas dadanya, wajah Cu-liu seperti
tertawa, tetapi bukan tertawa, Kwe Ceng tahu racun paku itu
sangat aneh, maka lekas-lekas ia tutuk dulu tiga tempat Hiat-
to orang sebagai pertolongan pertama untuk melambatkan
jalannya darah dan menutup nadinya agar hawa racun tidak
merembes ke dalam.
“Bagaimana baiknya, Yong-ji?” tanyanya kepada sang
isteri.
Oey Yong tak menjawab, ia mengkerut kening, ia tahu kalau
hendak memunahkan racun paku ini harus minta obat pada
Hotu atau Kim-lun Hoat-ong, tetapi cara begaimana merebut
obat pemunahnya, inilah yang seketika membikin dia tak
berdaya.
Di samping lain, demi nampak sang Sute terluka oleh
racun jahat, si Nelayan menjadi kuatir dan murka, tanpa pikir
lagi ia kencangkan bajunya terus hendak melompat maju buat
melabrak Hotu.
Syukur sebelum ia bertindak keburu dicegah Oey Yong yang
bisa berpikir panjang, ia pertimbangkan kedudukan pihak
sendiri dan pihak lawan secara keseluruhannya, ia pikir pihak
lawan sudah menang sebabak, kalau si Hi-jin (nelayan)
Suheng ini maju melawan Darba, soal menang atau kalah
sungguh sukar diduga, karena itulah ia minta si Nelayan suka
bersabar.
“Kenapa?” tanya si Nelayan.
Namun Oey Yong tidak menjawab, sungguhpun ia adalah
wanita yang pintar luar biasa dengan tipu akalnya yang
beraneka macamnya, tetapi sesudah mengalami kekalahan
dalam babak pertama, untuk kedua babak selanjutnya
betapapun juga telah membikin dia serba sulit.
Di lain pihak setelah merobohkan Cu-liu dengan akal licik,
Hotu berseri-seri berdiri di tengah kalangan sambil matanya
menjalang ke sana ke mari dengan lagak yang mentang2
sudah menang.
Tiba-tiba dilihatnya Siao-liong-li dan Yo Ko sedang
pasang omong dengan asyiknya sambil tangan bergandeng
tangan seperti sama sekali tak pandang sebelah mata
padanya, keruan hati Hotu menjadi panas.
“Binatang cilik, berdiri!” bentaknya mendadak sambil
menuding Yo Ko dengan kipasnya.
Akan tetapi tatkala itu seluruh perhatian Yo Ko lagi
tercurahkan pada Siao-liong-li seorang, ia merasa dunia ini
meski luas, namun tiada sesuatu urusan lain yang bisa
membagi pikirannya waktu itu, Oleh karenanya, meski
pertarungan Hotu lawan Cu-liu tadi begitu seru dan gempar,
namun semua itu seperti tak dilihat dan tak didengar olehnya.
Selama beberapa tahun Yo Ko tinggal di dalam kuburan
kuno itu dengan Siao-liong-li, sesungguhnya ia tak tahu bahwa
dirinya sudah begitu mendalam mencintai si gadis dan
mengikat sehidup semati, Hari itu waktu Siao-liong-li bertanya
apa mau memperisterikan dia atau tidak, karena pertanyaan
itu diajukan secara mendadak dan hal mana selamanya belum
pernah terbayang dalam benaknya, maka ia menjadi bingung
tak bisa menjawab. Belakangan sesudah Siao-liong-li
menghilang, ia menjadi menyesal tak kepalang, pada saat
itulah dalam hati beratus kali ia berkata: “Mau, tentu saja aku
mau. sekalipun aku harus mati, pasti aku inginkan Kokoh
menjadi isteriku.”
Cinta asmara antara Yo Ko dan Siao-Iiong-li timbulnya
memang dalam keadaan tak terasa antara kedua muda-mudi
itu, setelah saling berpisah barulah perasaan itu membakar
dan sukar ditahan, Iebih2 Siao-liong-li yang sejak kecil telah
mengekang diri dalam hal perasaan dan napsu, tidak punya
pikiran senang juga tak pernah marah, tetapi perasaan cinta
yang berasal dari pembawaan itu siapapun sukar
menghindarinya, maka ketika mendadak jatuh cinta pada Nyo
Ko, perasaan itu menjadi lebih hangat berpuluh kali daripada
orang biasa.
Yo Ko sendiri tak pernah kenal takut, sedang Siao-liong-li
sedikitpun tak kenal segala macam tatakrama umum, ia pikir
kalau aku jatuh cinta, aku boleh main cinta, mau senang boleh
senang, ada sangkut paut apa dengan orang lain?
Begitulah cara berpikir kedua muda-mudi itu, yang satu
tak peduli, yang lain tak mau mengerti, meski berada di
tengah-tengah ribuan orang yang sedang asyik menyaksikan
pertarungan sengit itu, mereka pasang omong sendiri dengan
mesra.
Bentakan Hotu tadi oleh si Yo Ko masih tetap tak
didengarnya, Keruan saja Hotu semakin murka, segera ia
hendak mendamperat lagi ketika tiba-tiba terdengar Kim-iun
Hoat-ong berseru pula dalam bahasa Tibet dengan maksud
bahwa pihak sendiri sudah menangkan satu babak, maka
babak kedua boleh diteruskan saja.
Sebab itu, Hotu melotot sekali pada Yo Ko, habis ini
iapun undurkan diri ke mejanya sambil berteriak: “Pihak kami
sudah menang satu babak, untuk babak kedua ini yang maju
adalah suhengku Darba, dan pihak kalian siapa yang akan
maju?”
Dalam pada itu segerapun Darba melangkah ke tengah,
dari kasa (jubah padri) merahnya ia mengeluarkan semacam
senjata.
Nampak senjata Darba yang hebat ini, diam-diam semua
orang terperanjat. Kiranya senjata yang dia pakai adalah
sebatang gada besar yang disebut “Kim-kong-hang-mo-cu”
(penggada penakluk iblis) yang biasa dikenal sebagai senjata
Hou-hoat Cuncia dalam agama Budha.
Hang-mo-cu senjata Darba ini panjangnya kira-kira empat
kaki, pangkal gada itu sebesar mulut mangkok, batang
gadanya mengkilap seperti terbikin dari emas murni, maka
dapat dibayangkan bobot senjata ini pasti jauh lebih berat dari
pada terbikin dari besi baja.
Sesudah berada di tengah kalangan, Darba merangkap
tangannya menjalankan penghormatan pada semua orang,
lalu gadanya dia lemparkan ke atas, maka terdengarlah suara
gedombrangan yang keras, jatuhnya gada itu telah bikin
beberapa ubin -besar ruangan pendopo itu pecah berantakan
bahkan batang gada itu ambles hampir separuh ke dalam
tanah.
Dengan mengunjuk gertakan ini, dapat diketahui betapa
hebat berat gada itu, sungguh tidak nyana bahwa seorang
Hwesio yang kurus kering seperti Darba ternyata kuat
menggunakan senjata seberat itu, maka dapat dibayangkan
betapa hebat tenaga pukulannya.
“Cing-koko sudah tentu bisa taklukkan Hwesio kasar ini,
cuma babak ketiga nanti kalau Hoat-ong turun tangan sendiri
dan pihak kita tiada yang sanggup melawannya, maka
pertandingan ini pasti kalah.” demikian Oey Yong berpikir
“Tetapi, biarlah aku tempur Hwesio ini dengan akal saja.”
Habis ini, begitu angkat tongkat bambunya Pak-kau-pang,
pentung pemukul anjing, segera ia bermaksud maju.
“Jangan… jangan,” lekas-lekas Kwe Ceng mencegah
“Kesehatanmu terganggu, mana bisa kau bergebrak dengan
orang?”
Sebenarnya Oey Yong sendiri juga tidak yakin pasti akan
menang, jika sampai babak kedua ini kalah lagi, maka babak
ketiga tidak perlu diteruskan pula, karena itu ia menjadi ragu-
ragu.
“Ui-pangcu, biar aku melayani padri jahat ini,” Tiba-tiba
Tiam-jong Hi-un atau si Nelayan Pertapa murid pertama It-
teng Taysu, telah menyelak maju.
Nyata sejak sutenya terkena jarum berbisa musuh hingga
mengenaskan sekali penderitaannya, si Nelayan ini sudah tak
sabar lagi dan ingin bisa membalas dendam itu.
Sesungguhnya Oey Yong juga sedang kerupukan tak
berdaya, ia pikir tiada jalan lain lagi kecuali adu kekuatan
sebisanya, kalau si Nelayan mi bisa menangkan padri Tibet,
nanti Cing-koko masih bisa keras lawan keras untuk
menentukan rrenang dan kalah dengan Kim-lun Hoat-ong.
“Baiklah, kalau begitu Suheng hendaklah hati-hati,”
demikian katanya kemudian.
Dalam pada itu Bu-si Hengte sudah siapkan kedua batang
penggayu baja yang merupakan senjata Supek mereka, ketika
dengar Oey Yong pertahankan orang maju, dengan cepat
sepasang penggayu itu lantas diangsurkan kepada Tiam-gong
Ki-un.
Dengan mengempit penggayu itu, majulah nian atau si
Nelayan Pertana ini, tetapi ia tidak lantas menyerang, dengan
muka yang merah menyala ia kelilingi Darba sekali putaran.
Keruan Darba menjadi bingung, ia tidak tahu apa-apaan
maksud orang ini, ia lihat si Nelayan mengitar, maka iapun
ikut memutar
Mendadak si Nelayan menggertak sekali, kedua
penggayunya diputar terus mengepruk ke atas kepala musuh.
Namun cepat sekali gerak tubuh Darba, sekali angkat
tangannya, gada emas telah dia tangkiskan, Maka
terdengarlah suara nyaring keras beradunya senjata gada dan
penggayu, begitu hebat suaranya hingga anak telinga semua
orang seakan-akan pekak.
Seketika tangan kedua belah pihak sama-sama terasa
pedas karena beradunya senjata itu, mereka pun sama-sama
tahu telah ketemukan lawan yang bertenaga raksasa, karena
itu mereka sama-sama melompat mundur.
Tiba-tiba Darba berkata sekali dalam bahasa tibet, karena
tak paham apa yang diucapkan, si nelayan balas memaki
orang dengan bahasa daerah Tay-li, kedua orang sama-sama
tak mengerti kata-kata pihak lawan, Mendadak mereka saling
menubruk maju lagi, senjata masing-masing bergerak dan
kembali suara nyaring keras terdengar.
Pertarungan seru sekali ini berlainan lagi dengan cara
pertandingan Cu-liu melawan Hotu tadi yang dilakukan secara
“halus”, Kini boleh dikatakan keras lawan keras, masing-
masing sama ketemukan tandingan dan saling labrak dengan
Gwakang yang lihay, saking serunya pertarungan ini hingga
membikin penonton lain sama berdebar-debar dan pada
terkejut.
Sebagai anak murid It-teng Taysu yang kerjanya sehari-
hari hanya menggayu perahu hilir mudik melawan arus air
hingga kedua lengannya terlatih kuat dengan otot2 kelihatan
menonjol. Dan karena wataknya yang polos sederhana, maka
biasanya si Nelayan sangat disukai It-teng Taysu, cuma
bakatnya kurang baik. Lwekangnya tidak gampang terlatih
seperti Cu Cu-liu yang cerdas, namun soal Gwakang
sebaliknya lihay luar biasa.
Kini ia tempur Darba dengan gunakan Gwakang untuk
saling labrak, hal ini kebetulan cocok dengan kemahirannya,
maka tertampaklah sepasang penggayunya terputar dan
merangsak terus secara hebat.
kedua penggayu itu setiap batang beratnya lebih 50 kati,
tetapi ia bisa mengangkatnya seperti barang enteng saja bagai
orang biasa menggunakan senjata ringan.
Sebenarnya Darba sangat mengagulkan tenaga
raksasanya yang tiada bandingan, siapa duga kini ia justru
ketemukan seorang “raksasa” juga, bukan saja tenaga
lawannya besar, malahan tipu serangannya juga aneh dan
hebat.
Karena itu iapun tak berani ayal, ia putar Kim-kong-cu
atau gada emasnya untuk menandingi penggayu orang, kedua
orang sama-sama banyak me-rangsak daripada menjaga diri
saja.
Tadi waktu Cu-liu melawan Hotu, para kesatria yang
menyaksikan pertandingan itu sudah banyak yang menyingkir
mundur karena samberan angin yang terlalu kuat, kini lebih-
lebih lagi, tiga senjata berat saling beradu, jangankan tak
tahan akan angin pukulannya, sekalipun suara benturan gada
dan penggayu yang nyaring menusuk itupun terasa sukar
ditahan. Karena itu banyak diantaranya tekap kuping mereka
dengan tangan untuk menyaksikan pertandingan itu.
Manusia yang bertenaga begitu besar seperti Tiam-jong
Hi-un ini sesungguhnya jarang diketemukan apalagi orang
yang memiliki tenaga besar yang seimbang diantara kedua
tangannya serta seimbang pula dengan ilmu silat yang
dipahami lalu bertempur dengan mati-matian, hal ini lebih-
lebih susah diketemukan.
Saking serunya pertempuran itu, sampai Kwe Ceng dan Ui
Yong juga ikut berkeringat.
“Yong-ji, bagaimana, apa kita ada harapan menang?”
tanya Kwe Ceng.
“Sekarang masih belum kelihatan,” sahut Oey Yong.
Padahal Kwe Ceng bukannya tidak tahu saat ini masih
sukar membeda2kan kalah dan menang, tetapi ia akan merasa
lega dan terhibur apabila bisa mendengar jawaban sang isteri
yang menyatakan si Nelayan bakal menang.
Ketika berpuluh jurus sudah lewat, tenaga kedua orang itu
ternyata sedikitpun tak berkurang sebaliknya semangat
mereka bertambah menyala2, setiap kali Tiam-jong Hi-un
menghantam dengan penggayunya, selalu diikuti dengan
bentakan dan teriakan untuk menambah daya serangannya.
“Kau bilang apa?” tiba-tiba Darba menanya.
Ia berkata dengan basa Tibet, sudah tentu Hi-un tidak
paham, karena itu iapun balas menanya: “Kau berkata apa?”
Dengan sendirinya Darba juga tak menyaru ucapan orang,
maka terjadilah cacimaki tak keruan diantara kedua orang itu
sambil senjata mereka beterbangan menyamber hingga meja
kursi pecah berantakan tak peduli barang apa saja, asal
terkena hantaman gada atau penggayu, maka dapat
dipastikan barang itu akan hancur luluh, malahan banyak yang
kuatir kalau-kalau senjata mereka akan menghantam tiang
rumah hingga gedung itu akan ambruk karenanya.
Di lain pihak Kim-lun Hoat-ong dan pangeran Hotu tidak
urung juga terperanjat diam-diam. tampaknya kalau
pertarungan sengit itu diteruskan sekalipun Darba nanti bisa
menang, namun sedikitpun tidak terhindar dari luka parah.
Tetapi dalam keadaan pertarungan seru itu, seketika sukar
hendak memberhentikannya!
Pertarungan mati-matian itu makin lama semakin hebat,
kedua orang sama meloncat ke sini dan melompat ke sana
sambil menghantam dibarengi dengan suara bentakan.
Mendadak terdengar suara menggelegar keras, kedua orang
sama-sama membentak. lalu ke-dua2nya sama-sama
melompat mundur.
Kiranya penggayu si Nelayan yang kanan telah membentur
keras dengan gada emas orang karena keduanya sama-sama
memakai tenaga penuh, batang penggayu itu juga sedikit
lebih kecil dan tidak sekukuh gada, maka penggayu itu telah
patah menjadi dua. Kutungan penggayu itu mencelat terbang
dan terjatuh di hadapan Siao-liong-li hingga mengeluarkan
suara nyaring.
Tatkala itu Siao-liong-li sedang bicara dengan Yo Ko
dengan asyiknya, sedikitpun ia tidak perhatikan bahwa ada
sepotong besi penggayu jatuh di depannya, ketika kepingan
besi itu menindih jari kakinya, dalam kagetnya ia menjerit
terus meloncat bangun.
Oleh karena jeritan Siao-liong-li ini barulah Yo Ko ikut
tersadar.
“Apa kau terluka?” tanyanya cepat dan kuatir.
Siao-liong-li tak menjawab, ia hanya meraba jari kakinya
sembari mengunjuk rasa sakit.
Tentu saja Yo Ko menjadi gusar, segera ia membalik
tubuh hendak mencari siapa gerangan berani bikin sakit jari
kaki Siao-liong-li tetapi begitu ia berpaling, ia lihat Tiam-jong
Hi-tm dengan memegang penggayu patah sedang bertengkar
dengan Darba dan masih ingin melanjutkan pertempuran itu
dengan sebuah penggayu saja.
Naman Darba terus meng-geleng-geleng kepala, ia tak
mau teruskan pertandingan itu lagi nyata ia tahu tenaga
raksasa musuh dengan dirinya adalah setali-tiga-wang alias
sama kuat, kalau bertanding terus dirinya sukar memperoleh
kemenangan kini dalam hal senjata ia sudah lebih unggul,
maka pertandingan ini boleh dihitung atas kemenangannya.
“Nah, dalam tiga bahak pertandingan pihak kami sudah
menang dua babak, maka Bu-lim Beng-cu (ketua serikat dunia
persilatan) ini dengan sendirinya jatuh atas diri guruku,”
demikian dengan suara lantang segera Hotu berdiri dan bicara
lagi. “Maka para….”
Tetapi belum habis ia berkata, mendadak Yo Ko menyela
dan menegur si Nelayan : “Hai, kenapa kau pukul Kokoh-ku
dengan penggayumu?”
“Aku… aku ti…” demikian si Nelayan itu menjadi tergagap.
“Kau telan menyakiti kakinya lekas kau minta maaf
padanya,” kata Yo Ko lagi.
Nampak orang hanya seorang bocah, si Nelayan anggap
Yo Ko hanya mengoceh semaunya saja, maka tidak
digubrisnya.
Tak terduga, mendadak Yo Ko ulur tangannya dan tahu-
tahu penggayu patah itu sudah kena di-rebutnya. “lekas kau
minta maaf pada Kokoh-kui” seru Yo Ko pula.
Dalam pada itu bukan buatan rasa mendongkolnya Hotu
oleh karena pembicaraannya tadi di-bikin terputus oleh Nyo
Ko.
“Binntang cilik, lekas minggir !” demikian ia membentak.
“Binatang cilik memaki siapa?” sahut Yo Ko tiba-tiba
sembari ayun penggayu patah itu dan menghantam.
Mendengar Yo Ko balas tanya “binatang cilik memaki
siapa”, tanpa pikir Hotu terus menjawab : “Binatang cilik
memaki kau !”
Nyata ia telah terjebak, ia tidak tahu bahwa anak-anak di
daerah selatan suka menggunakan jeratan kata-kata itu untuk
mengadu mulut, kalau lengah sedikit, dengan sendirinya
lantas tertipu.
Karena itu, maka tertawalah Yo Ko terbahak-bahak.
“Hahaha, betul, betul, binatang cilik yang memaki aku,”
demikian katanya geli.
Suasana di ruangan pendopo itu sebenarnya sedang
tegang, tetapi karena dikacau oleh majunya Yo Ko ini,
seketika para kesatria itu ikut ketawa.
Tentu saja Hotu bertambah gusar, begitu kipas lempitnya
dipentang, segera ia sabet ke atas kepala Yo Ko.
Para kesatria yang hadir di situ semuanya berhati mulia,
tadi mereka sudah menyaksikan ilmu silat Hotu yang sangat
lihay, maka dapat diduga bila kipasnya ini betul-betul
berkenalan dengan kepala Yo Ko, kalau tidak mampus
sedikitnya pemuda ini akan terluka parah, Karena itulah
beramai-ramai mereka telah berteriak-teriak : “Jangan
berkelahi dengan anak kecil, tak tahu malu, besar melawan
kecil !”
Di samping sana secepat terbang Kwe Ceng juga sudah
melompat maju, selagi tangannya benak merebut kipasnya
Hotu, tahu-tahu Yo Ko telah unduk kepala dan dengan
gampang saja menerobos di bawah tangan Hotu, malahan
ketika penggayu patah itu ia tarik, dengan gaya “sian” atau
menyerempet, suatu gaya istimewa dari Pak-kau-pang-hoat,
tiba-tiba ia menjegal kaki Hotu dengan penggayu patah itu.
Karena tak menduga-duga, dengan tepat Hote kesandung,
ia terhuyung-huyung dan hampir-hampir terguling jatuh,
untung ilmu silatnya memang tinggi luar biasa, tubuh yang
sudah kehilangan itnbangan itu secara paksa ia enjot
sekuatnya ke atas untuk kemudian turun ke bawah lagi
dengan tegak
“Bagaimana, Ko-ji.” “tanya Kwe Ceng kuatir dan
tercengang atas kejadian itu.
“Tak apa-apa”, sahut Yo Ko tertawa, “la pandang rendah
Ang Chit kong punya Pak-kau-pang-hoat, maka aku lantas
banting dia dengan gerak tipu Pak-kau-pang-hoat, biar dia
kapok.”
Heran sekali Kwe Ceng mendengar jawaban itu.
“Aneh, darimana kau bisa Pak-kau-pang hoat?” tanyanya.
“Tadi waktu Loh-pangcu berkelahi dengan dia, begitu lihat
aku lantas berhasil mempelajarinya,” demikian Yo Ko
membohong.
Kwe Ceng sendiri bakatnya terlalu puntul, tetapi ia percaya
tidak sedikit orang pandai di jagat ini, maka terhadap kata-
kata si Yo Ko ia hanya setengah percaya setengah sangsi-
sangsi.
Di lain pihak Hotu yang kena disandung sekali oleh Yo Ko
ia kira dirinya sendiri yang kurang hati-hati hingga kejegal
sama sekali tak dipikirnya bahwa pemuda yang usianya belum
ada 20 tahun bisa memiliki ilmu silat begitu tinggi, ia pikir
urusan paling penting sekarang yalah merebut Beng-cu,
setelah soal ini selesai barulah bocah ini akan dibereskannya
pula. Maka dengan langkah lebar segera ia mendekati Kwe
Cing.
“Kwe-tayhiap,” demikian katanya lantang, “pertandingan,
hari ini sudah terang dimenangkan pihak kami, maka guruku
Kim-lun Hoat-ong sejak kini adalah Beng-cu dunia persilatan
apakah masih ada yang belum mau menyerah?”
Sebelum selesai ia bicara, diam-diam Yo Ko mendatangi
belakangnya, tiba-tiba pengayu ia sodokkan pula, ia keluarkan
salah satu tipu Pak-kau-pang-hoat dan mendadak jojoh
bohong orang.
Tetapi betapa hebat kepandaian Hotu, masakah ia kena
dibokong orang dari belakang? Cuma ilmu pentung pemukul
anjing itu memang bagus tiada bandingannya, sungguhpun ia
tahu dibokong, tetapi hendak berkelit ternyata sama sekali tak
dapat, maka terdengarlah suara “blek”, dengan tepat
pantatnya kena disodok oleh pengayunya Yo Ko. sekalipun
Lwekangnya sudah sangat tinggi, tapi pantat adalah tempat
yang banyak dagingnya tidak urung ia kesakitan juga,
ditambah kejadian itu tak tersangka-sangka, sebab ia kira
pasti bisa menghindarinya. tapi justru kena disodok, maka
tanpa terasa ia berteriak.
“Hm, manusia macam apa kau? Aku justru tidak menyerah
!” demikian terdengar Yo Ko menjengek
Karena kejadian itu, para kesatria itu ter heran2 dan
merasa geli pula, mereka pikir pemuda ini bukan saja nakal,
orangnya pun pemberani.
Pangeran Mongol ini ternyata dua kali kena di-kibuli.
Sampai di sini Hotu tak bisa tinggal diam lagi, tetapi ia
masih belum anggap Yo Ko sebagai lawan, hanya tangannya
mendadak menampar ke belakang dengan maksud hendak
tempeleng bocah ini untuk lampiaskan rasa mendongkolnya.
Tetapi waktu itu Kwe Ceng berdiri di samping-nya, sudah
tentu ia tidak biarkan Yo Ko dihantam. mendadak ia angkat
tangannya terus cekal telapak tangan Hotu sambil berkata:
“Kenapa kau main-main dengan anak muda?”
Seketika Hotu rasakan separah badannya kaku kesemutan,
dalam gusarnya iapun sangat terkejut.
Dalam pada itu Yo Ko tidak sia-siakan kesempatan itu, ia
ayun penggayunya lagi terus gebuk pula pantat orang sambil
berteriak-teriak: “Binatang cilik tak dengar kata, biar bapak
hajar pantatmu !”
“Ko-ji lekas undurkan diri, jangan main gila lagi,” cepat
Kwe Ceng bentak si Yo Ko.
Para kesatria kembaii terpingkal-pingkal karena ke-lakuan
Yo Ko itu. sebaliknya para begundal dari Mongol beramai-
ramai pada berteriak-teriak.
“Apa? Dua keroyok satu maunya?”
“Hm, tak malu !”
“Apa minta pertandingan diulang kembali, bukan?”
Begitulah mereka mengejek riuh rendah, karena itu Kwe
Cing tertegun, lalu iapun lepaskan tangan Hotu.
Sementara itu mata Oey Yong memang sangat jeli itu, ketika
dilihatnya Yo Ko menyandung orang dan menjojoh lagi
sekali, gaya serangannya memang betul-betul tipu bagus dari
Pak-kau-pang-hoat, keruan saja ia curiga.
“Darimanakah ia dapat mencuri belajar Pak-kau-pang-
hoat? Apakah mungkin ia telah mengintip waktu aku
mengajarkan pada Loh Yu-ka? Tetapi setiap kali sebelumnya
pasti kuperiksa dulu sekitar tempat itu, mana bisa ia
mengelabuhi mataku?” demikian Oey Yong tidak habis mengarti.
Tetapi segera iapun berseru : “Cing-koko, coba kau ke
sini!”
Kwe Ceng menurut, ia kembali ke samping sang isteri, tapi
kuatir akan keselamatannya Yo Ko, maka pandangannya
tidak pernah meninggalkan diri pemuda itu dan Hotu, ia lihat
pangeran Mongol itu telah merangsang maju lagi dan
menyerang Yo Ko dengan hebat.
Tetapi Yo Ko benar-benar jahil, sembari berkelit ia masih
terus berteriak : “Hantam pantatmu, hantam pantatmu !”
Dan betul juga, selalu ia ayun penggayunya menggebuk
pantat orang, cuma waktu itu Hotu sudah keluarkan
kepandaiannya, dengan sendirinya tak bisa lagi kena
sasarannya, setiap pukulannya selalu mengenai tempat
kosong.
Kalau Hotu ingin pukul kepala Yo Ko dengan kipasnya,
sebaliknya Yo Ko ayun penggayunya hendak gebuk pantat
Hotu, kedua orang lalu uber-uber-an di tengah ruangan
pendopo itu siapapun tiada yang bisa pukul yang lain.
Mula-mula semua orang merasa heran dan anggap lucu,
tetapi sesudah menyaksikan kedua orang uber-uberan
beberapa lingkaran, akhirnya semuanya terkejut ternyata Nyo
Ko yang bajunya compang camping, usianya pun masih muda,
tetapi langkahnya sangat enteng, gerak-geriknya gesit,
hakikatnya tidak kalah cepat daripada Hotu, Beberapa kali
Hotu mengejar maju hendak pukul, tetapi dengan sigap dan
bagus selalu dapat dihindarkan Yo Ko.
Tiam-jong Hi-un dan Darba sebenarnya masih saling
melotot dengan senjata terhunus. yang siap menerjang maju
lagi buat bertanding dan yang lain siap sedia dengan penuh
perhatian untuk menjaga serbuan musuh yang mendadak,
tetapi nampak Hotu tak bisa berkutik melawan seorang anak
muda yang tak terkenal semuanya menjadi heran, yang satu
tertawa lebar dan yang lain mengomel terus dalam bahasa
Tibet yang tak dimengerti.
Sesudah Yo Ko dan Hotu ubek2an beberapa kali lagi,
lambat laun dapat juga Hotu mengetahui Ginkang atau ilmu
entengkan tubuhnya Yo Ko sangat hebat, kalau terus main
hadapan lari boleh jadi akhirnya ia sendiri akan terjungkal.
Karena itu mendadak ia terus putar balik dengan tangan kiri ia
pegang penggayu orang dan kipas ditangan-yang lain segera
menutuk kaki Yo Ko pada tempat “goan-riau-hiat”.
Dengan serangan ini, caranya bukan lagi sekedar hajaran
pada anak nakal saja, tetapi tipu serangan antara jagoan
sungguh-sungguh.
Namun Yo Ko tidak gampang diarah, meski usianya kecil,
tapi nyalinya cukup besar, ia lihat lawannya mengeluarkan
ilmu silat yang hebat, ia tak mau lawan orang berhadapan ia
berkelit hindarkan tutukan tadi, menyusul dengan ayun
penggayunya ia masih terus berteriak-teriak : “Bapak pukul
pantatmu !”
Dengan caranya Yo Ko mempermainkan lawannya ini,
sebenarnya kepandaiannya harus berlipat ganda lebih tinggi
dari orang barulah “sip”, meski Yo Ko tidak sedikit pelajari
ilmu silat yang paIing bagus dan tinggi, tetapi soal keuletan ia
masih belum bisa menimpali Hotu, dengan caranya menggoda
orang itu sebenarnya bisa berabe.
Tetapi karena kelakuannya yang jenaka itu, semua orang
yang menonton sama bergelak ketawa, dan karena tertawa
orang banyak inilah Hotu malah dibikin bingung hingga
pikirannya tak tenang, ia betul-betul kuatir pantatnya kena
digebuk lagi di hadapan para kesatria itu, hal ini berarti akan
menghilangkan pamornya, maka seluruh perhatiannya
dicurahkan untuk menghindarkan diri hingga lupa untuk
memutarkan serangan balasan, dengan demikian barulah Nyo
Ko tidak mengalami bahaya.
Sampai disini Ui Vong sudah dapat melihat bahwa Yo Ko
pasti pernah mendapat ajaran dari orang kosen,
pengalamannya pasti lain dari pada yang lain, ilmu silatnya
tentu susah diukur. Ia pikir biarkan bocah ini kacaukan pihak
musuh, mungkin untuk sementara masih bisa pertahankan
kedudukan sendiri yang sudah kalah dua babak tadi.
Maka dengan suara keras ia lantas berseru : “Ko-ji, coba
kau bertanding secara baik-baik dengan toako ini, kulihat
sekali-kali dia bukan tandinganmu !”
Karena seruan itu, segera Yo Ko berhenti “Hayo, berani
kau?” katanya segera sambil me lelet2 lidah mengejek serta
tuding hidung Hotu.
Namun Hotu sangat licin, ia pikir pihaknya sudah menang
dua babak beruntun-runtun, kedudukan Beng-cu sudah terang
dapat direbutnya, kenapa perlu cari gara-gara lain ?
Maka ia lantas menjawab : “Binatang cilik kau begini
nakal, pasti akan kuhajar kau, cuma tak perlu buru-buru, kita
minta Bu-lim Beng-cu Kim-lun Hoat-ong memberi petua dan
kita semua akan menurut segala perintahnya.”
Tetapi dengan riuh para kesatria sama membangkang
hingga suaranya sangat berisik.
“Kita tadi sudah berjanji siapa yang menangkan dua babak
dialah yang mendapatkan sebutan Beng-cu, nah, janji tadi
dianggap kata-kata manasi atau bukan ?” dengan suara keras
segera Hotu berteriak.
Seketika para kesatria menjadi bungkam, meski
kemenangan musuh yang pertama tadi dilakukan dengan cara
licik dan babak kedua baru sampai pada senjata patah, tapi
kalau menyangkal kekalahan itu, sebagai kesatria rasanya
juga sungkan, maka mereka- terpaksa tak bisa menjawab.
“Kenapa Hwesio tua ini bisa menjadi Bu-lim Beng-cu,
kulihat dia tidak cocok” kata Yo Ko tiba-tiba.
“Siapa guru bocah ini, lekas dipanggil dan diberi hajaran,
kalau masih terus mengacau disini, jangan sesalkan aku tidak
bermurah hati padanya !” teriak Hotu dengan gusar.
“Haha, justru guruku barulah cocok untuk di- angkat
menjadi Bu-lim Beng-cu, gurumu sih punya kepandaian apa?”
kata Yo Ko lagi dengan tertawa.
“Siapa gurumu, silakan maju buat belajar kenal” sahut Hotu.
Nyata ia sudah kenal kepandaian Yo Ko tidak rendah, ia pikir guru orang pasti seorang tokoh besar, maka dia gunakan kata-kata “silakan”
Tetapi Yo Ko tidak menjawab, sebaliknya ia tanya lagi:
“Perebutan Bu-lim Beng-cu hari ini, bukankah setiap murid boleh mewakilkan sang guru?”
“Ya”, sahut Hotu. “Maka tadi kami sudah menangkan dua babak dari tiga babak, dengan sendirinya guruku adalah Beng-cu.”
“Baiklah, anggap benar kau telah menangkan mereka, tetapi apa gunanya ? Murid guruku toh belum pernah kau kalahkan,” kata Yo Ko.
“Siapa dia murid gurumu?” tanya Hotu.
“Goblok.” sahut Yo Ko ter-kakah2. “Murid guruku dengan sendirinya ialah aku ini!”
Mendengar banyolan ini, para kesatria kembali bergelak ketawa lagi.
“Nah, sekarang kita juga bertanding dalam tiga babak, kalau kalian menang dua babak lagi, barulah aku mau ngaku Hwesio tua itu sebagai Beng-cu,” dengan tertawa Yo Ko berkata pula. Tetapi kalau aku yang menang dua babak, maaf, sebutan Bu-lim Beng-cu itu tidak bisa lain kecuali guruku yang mendudukinya.”
Mendengar kata-kata Yo Ko ini, semua orang pikir jangan-jangan gurunya memang betul seorang tokoh ternama dan sengaja datang buat merebut gelar Bu-lim Beng-cu dengan Ang Chit-kong dan Kim-lun Hoat-ong, tetapi peduli siapa gurunya, se-tidak-tidaknya toh bangsa Han daripada Beng-cu kena direbut oleh imam negara bangsa Mongol.
Karena itu, segera semua orang berseru menyokongnya.
“Ya, ya, betul! Coba kau menangkan dua babak lagi!”
“Memang tepat apa yang dikatakan engkoh cilik ini!”
“Jagoan Tionggoan memangnya sangat banyak, secara beruntung kau menang dua babak, apanya yang perlu dibuat heran ?”
Diam-diam Hotu memikirkan akal, ia menduga dua jago tertinggi pihak musuh sudah dikalahkan kalau maju dua lagi juga tak perlu takut, kuatirnya kalau orang main giliran, dua kalah segera maju lagi dua.
Sebab itu, lantas ia jawab: “Gurumu hendak berebut kedudukan Beng-cu ini, memangnya boleh juga, cuma orang gagah di jagat ini entah berapa ribu banyaknya, kalau harus  bertanding sebabak dan sebabak lagi, lalu harus bertanding sampai ka-pan?”
“Kalau orang lain yang menjadi Beng-cu, pasti guruku tak ambil pusing, soalnya asal dia lihat gurumu itu, hatinya lantas gemas” sahut Yo Ko.
“Siapakah gurumu, apa dia,ada disini?” tanya Hotu.
“Dia orang tua sekarang juga btrada di depan matamu,” sahut Yo Ko tertawa, Lalu ia menoleh pada Siao-liong-Ii:
“Hai, Kokoh, dia menanyakanmu!”
Siao-liong-li menyahut sekali, iapun angguk-angguk kepada Hotu.
Mula-mula para kesatria tercengang, tetapi segera mereka terbahak-bahak lagi, sebab wajah Siao-Iiong-li yang cantik molek, usianya tampaknya malah lebih muda daripada Yo Ko, mana bisa menjadi guru-nya? jelas Yo Ko sengaja bergurau untuk goda Hotu.
Hanya Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Thio Ci-keng dan In Ci-peng yang tahu bahwa apa yang dikatakan Yo Ko itu memang betul”
Oey Yong sendiri meski menduga ilmu silat Yo Ko pernah dapat ajaran dari orang kosen, tetapi apun tak percaya bahwa gadis lemah lembut sebaik Sieo-liong-Ii ini bisa menjadi gurunya ? Dan dengan sendirinya Hotu lebih-lebih tak percaya, ia menjadi gusar.
“Siau-wan-tong (anak kecil nakal) ngaco-belo” demikian bentaknya. “Hari ini para kesatria berkumpul semua di sini, masih banyak urusan-urusan besar yang akan diselesaikan mana boleh kau mengacau terus di sini? Lekas kau enyah pergi!”
Tetapi Yo Ko tak gubris orang, ia berkata lagi: “Ha, gurumu hitam lagi jelek, kalau bicara lurak-kelurak tak ada orang tahu, Coba kau lihat guruku cantik, begini manis, kalau dia yang menjadi Bu-lim Beng-cu, bukankah jauh lebih baik daripada gurumu si Hwesio hitam pelontos itu?”
Terhadap urusan keduniawian sama sekali Siao-liong-li tak pahami tapi demi mendengar Yo Ko memuji kecantikannya tiba-tiba hatinya menjadi senang dan bersenyum, betul saja ia bertambah cantik bagai bunga mawar yang baru saja mekar.
Melihat cara Yo Ko mempermainkan musuh semakin berani semua orang pada merasa senang dan bersyukur, tetapi ada juga yang diam-diam berkuatir kalau-kalau mendadak Hotu turun tangan keji
Betul saja, digoda sedemikian rupa, Hotu tak tahan lagi.
“Dengarlah para Enghiong seluruh jagat, kalau Siau-ong bunuh anak nakal ini, itu adalah salah dia sendiri dan jangan salahkan Siau-ong !” demikian ia berteriak.
Habis ini, kipasnya mengebas segera kepala Yo Ko hendak dihantamnya.
Tak terduga mendadak Yo Ko juga berlaga seperti Iawan, ia busungkan dada dan pelembungkan perut terus berteriak juga: “Dengarlah para Enghiong seluruh jagat, kalau Siau-wan-tong (anak nakal) bunuh pangeran ini, itu adalah salah dia sendiri dan jangan salahkan Siau-wan-tong!”
Dan di bawah suara tertawaan orang yang gemuruh, mendadak iapun ayun penggayunya terus menyabet ke pantat Hotu.
Lekas-lekas Hotu mengegos, lalu kipasnya menutuk pula dari samping, sebelah tangannya dengan cepat juga menghantam batok kepala Iawan, serangan kipas hanya pancingan, tetapi hantaman telapak tangannya yang hebat, pukulan ini digunakan sepenuh tenaganya, niatnya memang ingin hancurkan batok kepala Yo Ko.
Namun si Yo Ko cukup sigap, sekali berkelit sekalian ia tarik sebuah meja terus didorong ke depan, maka terdengarlah suara “blang” yang keras, pukulan Hotu itu mengenai meja hingga remukan kayu berceceran, meja itu sempal separuh
Melihat betapa hebat tenaga pukulannya, para ksatria mau-tak-mau sama melelet lidah.
Sementara itu Hotu telah tendang pergi meja tadi, menyusul ia berangsang maju lagi.
Nampak hantaman orang tadi begitu lihay, Yo Ko juga tak berani pandang enteng pula, ia ayun penggayu patah dan keluarkan Pak-kau-pang-toat buat tempur orang.
Tipu-tipu Pak-kau-pang-hoat itu sudah dipelajari Yo Ko seluruhnya dan Ang Chit-kong, cara perubahannya dan inti rahasianya telah diperolehnya pula dari Oey Yong sewaktu orang mengajar Loh Yu-ka, dasar Yo Ko cerdas dan pintar, begitu kedua hajaran itu digabung, ternyata ilmu permainan tentung dapat digunakannya dengan leluasa dan teratur.
Cuma sayang penggayu itu sedikit berat, pula patah sebagian, pemakaiannya kurang leluasa, maka sesudah belasan jurus ia kena dikurung diantara kipas dan telapak tangan Hotu.
Melihat tipu permainan Yo Ko memang benar-benar ajaran asli Pak-kau-pang-hoat meski cara memainkannya belum masak dan tipu serangannya kurang tajam, tetapi gerak-geriknya sedikitpun tak salah maka tahulah Oey Yong tentu senjata yang orang cocok, segera ia maju ke tengah, ia ulur pentung bambunya menyela di tengah-tengah kedua orang.
“Ko-ji, kalau pukul anjing harus gunakan pentung pemukul anjing, nah, biar pentungku ini kupinjamkan, kalau selesai kau hajar anjing galak ini harus segera kau kembalikan,” demikian kata Oey Yong.
Pak-kau-pang atau pentung pemukul anjing adalah senjata pusaka Kay-pang yang tak dapat di gunakan orang lain kecuali Pang-cu sendiri, maka lebih dulu Oey Yong kemukakan syaratnya hanya memberi pinjam saja.
Tentu saja Yo Ko sangat girang, cepat ia sambut pentung bambu itu.
“Paksa dia keluarkan obat pemunah,” tiba Oey Yong bisiki telinganya.
Yo Ko tidak perhatikan pertarungan antar Hotu melawan Cu Cu-liu, tadi maka ia tak mengerti obat penawar apa itu, selagi ia hendak tanya atau dengan cepat, Hotu sudah memukul pula dari depan.
Namun Pak-kau-pang atau pentung pemukul anjing telah Yo Ko angkat ke atas terus menutuk ke perut orang.
Pentung bambu itu sangat keras lagi ulet dengan Pak-kau-pang untuk main Pak-kau-pang hoat, dengan sendirinya sangat cocok dan leluasa tentu saja daya tekanan Yo Ko bertambah lipat.
Sebenarnya Hotu sedang hantam kepala orang tetapi demi nampak pentung orang menjojoh perutnya di tempat “koan-goan-hiat” di bawah pusar, tempat ini adalah urat nadi yang mematikan, bocah semuda ini ternyata begitu jitu mengarah Hiat-to, mau-tak mau Hotu menjadi kaget.
Sudah beberapa kali ia bergebrak dengan Yo Ko sejak tadi tetapi karena marahnya ia tidak pandang berat bocah ini, kini nampak caranya menutuk begitu jitu barulah ia pandang orang betul-betul lawan yang tangguh, ia tak berani ayal lagi, segera ia tarik tangan melindungi perut dan baliki kipas buat menutupi dadanya.
Tidak sedikit tokoh silat terkemuka yang ikut menonton di samping, demi melihat Hotu keluar kan gerak tipu itu untuk melindungi diri dan terang mulai jeri terhadap Yo Ko, semuanya semakin menjadi heran.
“Nanti duIu,” “tiba-tiba Yo Ko berhentikan serangannya.
“Siau-wan-tong tidak mau bergebrak percuma dengan orang, kita harus pakai taruhan.”
“Baik,” sahut Hotu, “Kalau kau kalah, kau harus menjura tiga kali padaku dan memanggil Yaya (engkong) tiga kali”. .
“Panggil apa?” tanya Yo Ko tiba-tiba pura-pura tak dengar.
Nyata ia keluarkan jebakan lagi - yang biasa di-gunakan anak nakal di daerah Kanglam, jebakan semacam ini  dikeluarkan secara mendadak, bagi orang yang tak tahu sangat gampang tertipu.
Hotu sendiri dibesarkan di daerah Mongol dan Tibet yang biasa bergaul dengan orang-orang yang polos dan sederhana, dengan sendirinya ia tak kenal cara kenakalan anak-anak-daerah Kanglam, maka seenaknya saja ia lantas menjawab :
“Panggil Yaya !”
“Em, cucu baik, coba panggil lagi sekali!”, tiba-tiba Yo Ko menyahut.
Karena itu Hotu menjadi merah mukanya, ia insaf telah “tertipu lagi, dengan murka kipas dan telapak tangannya segera menyerang pula dengan hebat.
“Kalau kau kalah, kau harus berikan obat penawar padaku,” demikian kata si Yo Ko sembari tangkis setiap serangan orang.
“Aku” kalah padamu?” teriak Hotu gusar. “Hm, jangan kau mimpi, binatang cilik !”
“Binatang cilik memaki siapa?” mendadak Yo Ko membentak sambil angkat pentungnya.
“Binatang cilik memaki…” untung Hotu sempat mengerem, kata-kata “kau” belum sampai tercetus dari mulutnya mendadak ia ingat dan kata-kata terakhir itu ditelannya kembali mentah-mentah.
“Haha, sekarang kau sudah pintar, ya !” ejek Yo Ko tertawa.
Meski kata-katanya masih terus membanyol, tetapi tangkisannya makin lama semakin berat dan sulit.
Maklumlah pangeran Hotu adalah murid kesayangan Kim-lun Hoat-ong dan mendapat pelajaran ilmu silat kaum Lama dari Tibet, kalau dia bisa bergebrak be-ratus2 jurus dengan murid It-teng Tay-su yang paling kuat, Cu Cu-liu, maka betapa tinggi keuletannya sudah tentu Yo Ko tak bisa menimpaIinya.
Kalau mula-mula Yo Ko bisa permainkan orang itu karena Hotu dibikin naik darah dengan akal liciknya yang nakal, tetapi kini bergebrak dengan sungguh-sungguh, hanya beberapa puluh jurus saja lantas kelihatan Yo Ko terdesak di bawah angin.
Sungguhpun begitu, melihat bocah semuda ini bisa bertahan begitu lama melawan Hotu, para kesatria sangat kagum dan sama memujinya setinggi langit mereka pada bertanya anak murid siapakah pemuda itu?
Dalam pada itu melihat lawannya sudah mulai terdesak, pukulan-pukulan Hotu semakin diperkuat Menurut aturan, dengan Pak-kau-pang-hoat lihay yang Yo Ko mainkan itu, seharusnya ia bisa menangkan musuh, tetapi ilmu permainan tongkat itu ia dapatkan cara-caranya dari Ang Chit-kong, sedang mengenai inti permainannya baru saja ia dengar dari Oey Yong, kini ia gabungkan ajaran kedua orang itu untuk melawan musuh dengan baik, tapi kalau mendadak hendak keluarkan daya tekanan yang tiada tandingan dari Pang-hoat itu, dengan sendirinya masih belum dapat Maka tak lama lagi, akhirnya Yo Ko mulai kewalahan.
Sejak tadi Kwe Hu dan Bu-si Hengte ikut menyaksikan pertarungan itu, mula-mula mereka tidak menduga bahwa Nyo Ko berani tampil ke muka, Bu-si Hengte angap Yo Ko tolol dan berani mati, pasti akan tahu rasa oleh hajaran musuh, tetapi Kwe Hu justru membantah mereka dan bilang Yo Ko seorang pemberani serta cerdik.
Tentu saja kedua saudara Bu itu merasa cemburu. Mula-mula mereka merasa lega ketika melihat datangnya Siao- liong-li yang begitu rapat dan hangat dengan Yo Ko, tetapi belakangan Yo Ko panggil Siao-liong-li sebagai “Suhu”, walaupun belum tahu benar atau tidak, namun perasaan kedua pemuda ini menjadi berat lagi. Kini melihat Yo Ko kena didesak Hotu hingga kalang ,kabut, merekah tahu tidak seharusnya bergirang, tetapi aneh, dalam hati mereka justru mengharap Yo Ko bisa dihajar orang sekeras-kerasnya.
Begitulah perasaan Bu-si Hengte yang kusut, sebentar senang lain saat muram, dalam sekejap saja sudah beberapa kali berubah perasaan.
Kwe Hu sendiri meski tak tertarik oleh Yo Ko, tetapi iapun tidak membenci, ia anggap orang tak perlu dipikirkan meski ayahnya bilang dirinya hendak dijodohkan pada pemuda itu, tetapi ia percaya akhirnya urusan ini pasti tak jadi, demi dilihatnya ilmu silat Yo Ko bukan main hebatnya, hal ini juga membuatnya terheran-heran, ketika dilihatnya Yo Ko akan kalah, ia ikut berkuatir atas diri pemuda ini.
Dalam pada itu Yo Ko juga sadar dalam sepuluh jurus lagi pasti dirinya akan terjungkal dihantam musuh.
Selagi berbahaya, tiba-tiba dilihatnya Siao-liong-li sedang memperhatikan dirinya sembari bersandar pada tiang rumah, tampaknya setiap saat juga gadis ini akan turun tangan buat  membantu. Yo Ko tergerak pikirannya, mendadak pentungnya menyabet, habis ini tubuhnya terus mencelat pergi, ia melompat lewat di atas kaki Siao-liong-li yang duduk bersandarkan tiang itu.
“Lari ke mana?” bentak Hotu sambil mengudak.
Tak terduga sedikit Siao-liong-li angkat kedua kakinya, Kaki kanan menendang “kun-lun-hiat” di mata kaki kanan Hotu, sedang ujung kaki kiri mengarah pula “Yong-coan-hiat” di kakinya yang kiri.
Memangnya ilmu silat Hotu memang sangat hebat, batu sedikit kala Siao-liong-li menjengkit, sebelum orang tak memperhatikan atau dia sudah tahu orang hendak serang dirinya dengan tipu yang sangat lihay.
Dalam sibuknya itu ia sempat gunakan gerakan “wan-yan-Iian-goan-tui atau tendangan berantai yang mengapung di udara, dengan demikian barulah serangan Siao-liong-Ii yang tak kelihatan itu dapat dihindarkannya.
Yo Ko sendiri sewaktu melompat lewat kaki Siao-lioag-li sudah menduga bakal terjadi peristiwa itu, maka tidak menunggu musuhnya turun, pentung bambunya terus menyodok lagi.
Tetapi dengan kipasnya Hotu tahan ujung pentung orang terus melompat ke samping, ia berdiri jauh dari Siao-liong-li dan memandang beberapa kali pada gadis ini, pikirnya:
“Daerah Tionggoan nyata memang banyak orang pandai, hanya kedua muda-mudi ini saja, kenapa ilmu silatnya begini hebat?”
Dalam pada itu dengan menggunakan keuntungan kejadian itu, segera Yo Ko melontarkan tipu-tipu serangan Pak-kau-pang-hoat, beruntun ia keluarkan tiga serangan yang mematikan hingga Hotu kececar kalang kabut dan terpaksa bertahan sekuatnya, siapa tahu serangan keempat Yo Ko tak bisa lagi menggunakan kebagusan Pang-hoat itu hingga sedikit terlambat gerakannya, kesempatan ini digunakan Hotu untuk melakukan serangan balasan, maka kembali Yo Ko terdesak di pihak asor lagi.
Bagi orang yang tak kenal Pak-kau-patig-hoat tak menjadi soal, tetapi Oey Yong merasa sayang akan kelambatan Yo Ko itu, segera ia menembang: “Putar pentung cepat pakai gerakan bagus, hantam anjing galak dari samping tanpa menoleh”
Apa yang diuraikan Oey Yong ini adalah istilah Pak-kau-pang-hoat yang sangat dalam artinya, Yo Ko belum pernah mendapatkan petunjuk-petunjuk dari orang pandai, ia tak tahu cara bagaimana dan kapan tipu serangan itu harus dilontarkan tetapi demi mendengar uraian Oey Yong, betul saja pentungnya segera menyamber dan menyodok dengan cepat.
Gerak serangannya sangat aneh, namun Yo Ko sendiri belum tahu bagaimana hasilnya, siapa tahu, dengan tepat pentungnya justru memapaki kipas Hotu yang waktu itu lagi mengebas hingga terpaksa Hotu Lekas-lekas meloncat pergi menghindarkan diri.
“Bagaimana cara pukul anjing kelabakan yang meloncati dinding? Hantam pantat anjing dan gebuk ekornya!” kembali Oey Yong menembang pula.
Harus diketahui Pang-hoat turun temurun dari Kay-pang ini, diantara kaum pengemis dengan sendirian tiada cendekia,  atau terpelajar maka kata-katanya sudah tentu biasa saja, orang lain-lain mengira setelah Oey Yong itu digunakan memaki musuh sebagai anjing, tak tahunya justru Yo Ko lagi diberi petunjuk.
“Pak-kau-pang-hoat itu meski dibilang tak “diturunkan pada orang luar kecuali Pangcu, tetapi pertama Yo Ko mahir sendiri, kedua, pertandingan ini besar hubungannya dengan nasib negara dan harus dimenangkan maka Oey Yong tidak pikirkan batas peraturan Kay-pang lagi, ia masih terus mengutarakan istiiah2 Pang-hoat untuk memberi petunjuk pada Yo Ko disesuaikan dengan keadaan masing-masing yang lagi saling labrak itu.
Dan karena setiap uraiannya adalah intisari yang tepat, ditambah Yo Ko memang cerdik, beberapa kali berhasil, maka iapun tidak sangsi lagi, begitu dengar kata Oey Yong, segera dilontarkan tipu serangannya.
Daya kekuatan Pak-kau-pang-hoat ini memang nyata luar biasa hebatnya, percuma saja Hotu memiliki ilmu silat tinggi, ia terdesak hingga main putar terus oleh ancaman pentung bambunya Yo Ko tanpa bisa membalas.
Karena itu, tampaknya dua-tiga gebrak lagi pasti Hotu akan jatuh kalah, dengan mata terpentang lebar-lebar para kesatria itu menjadi girang luar biasa tercampur kagum.
“Nanti du!u!” teriak Hotu mendadak sambil desak Yo Ko mundur setindak.
“Ada apa? Sudah ngaku kalah?” kata Yo Ko tertawa.
“Kau bilang berebut Beng-cu untuk gurumu kenapa yang kau pakai adalah ilmu silatnya Ang Chit-kong?” sahut Hotu  dingin, mukanya muram gelap. Dan kalau bilang berebut Beng-cu untuk Ang Chit-kong, bukankah tadi sudah terjadi bertanding dua babak sebenarnya kau sengaja main kelit dan ngawur atau ada maksud lain?”
Betul juga pikir Oey Yong, kata-kata orang memang susah didebat, selagi hendak main pokrol2an untuk membantah orang, mendadak Yo Ko membuka suara.
“Ya, apa-yang kau katakan sekali ini masih terhitung masuk akal” demikian sahut Yo Ko, “Pang-hoat ini memang ajaran Suhuku, sekalipun mengalahkan kau agaknya kaupun belum mau takluk. Kalau kau mau berkenalan dengan ilmu silat perguruanku, hal inipun tidak susah. Kalau aku tadi pinjam ilmu silat aliran lain sebab aku takut kau akan lebih celaka jika aku keluarkan kepandaian perguruanku sendiri.”
Kiranya demi mendengar teguran Hotu, segera Yo Ko ingat kalau menangkan orang dengan Pak-kau-pang-hoat, kepandaian Kokoh mana bisa dikenal orang? Dan bukankah Kokoh akan mengomeli aku lupa pada kebaikannya?
Padahal pikiran Siao-liong-li polos, dalam hatinya penuh rasa hangat dan manis madu terhadap Yo Ko, asal bisa pandang si pemuda rasanya sudah puas dan tidak terpikir lagi segala urusan lain, baik Yo Ko menang atau kalah juga boleh, segalanya tak dianggap penting olehnya, apalagi soal ilmu silat yang digunakan itu, apakah itu diberi petunjuk Ui Yong atau tidak, hal ini lebih-lebih tak di-perhatikannya.
Dan karena jawaban Yo Ko tadi, diam-diam Hotu membatin: “Bagus, kalau kau tak menggunakan Pak-kau-pang-hoat, dalam sepuluh jurus juga aku nanti cabut njawamu.”
Maka dengan tertawa dingin iapun berkatalah: “Baiklah kalau begitu, aku ingin belajar kenal dengan ilmu silat perguruanmu yang hebat” ilmu kepandaian yang paling apal dan paling bagus yang dilatih Yo Ko dalam kuburan kuno itu adalah Kiam-hoat, dengan sendirinya ia lawan orang dengan kemahirannya ini.
“Diantara Tuan-tuan siapa yang sudi memberi pinjam sebatang pedang ?” demikian segera ia berkata terhadap para kesatria.
Antara hadirin sebanyak ribuan orang itu sedikitnya ada dua ratusan yang membawa pedang, maka beramai-ramai mereka sama menyahut dan ingin memberi pinjam.
“Kau pakai pedang ini saja!” kata Sun Put-ji tiba-tiba sambil melompat maju dan angsurkan pedangnya yang bersinar mengkilap tajam.
Nyata meski Hek Tay-thong dan Sun Put-ji sangat marah terhadap khianatnya Yo Ko pada Coan-cin-kau mereka, tetapi kini melihat si pemuda melawan musuh sepenuh tenaga dan membela nama negara, seketika juga mereka kesamping-kan urusan pribadi itu dan Sun Put-ji lantas angsurkan pedang pusakanya pemberian mendiang gu-runya, Ong Tiong-yang.
Melihat pedang itu begitu bagus, Yo Ko menduga pasti pedang wasiat yang bisa potong emas dan rajang batu, kalau dipakai melawan Hotu tentu tidak sedikit keuntungannya, Tetapi ketika dilihatnya jubah imam yang dipakai Sun Put-ji, seketika teringat olehnya hinaan dan penderitaan yang pernah dia rasakan di Tiong-yang-kiong dulu dan terbayang juga kematian Sun-popoh di bawah tangan Hek Tay-thong, mendadak matanya mendelik pedang itu tak diterimanya,  sebaliknya dari tangan seorang murid Kay-pang ia ambil sebatang pedang tua hitam karatan.
“Biarlah kupinjam pedang Toako ini,” demikian ia berkata.
Tentu saja Sun Put-ji serba salah hingga terpaku di tempatnya. sungguh tidak kepalang amarahnya, dengan maksud baik ia pinjamkan pedangnya tetapi orang berbalik begitu kurangajar, baiknya ia bisa kuasai dirinya, ia merasa tidak enak cekcok sendiri selagi musuh luar berada di depan mata, maka dengan menahan amarahnya ia kembali lagi ke tempatnya tadi.
Sikap Yo Ko tadi juga terlalu keras, terlalu menyolok ia unjukkan perasaannya. sebenarnya kesempatan itu dapat dipergunakannya untuk memperbaiki hubungannya dengan Coan-cin-kau, tetapi lantaran tindakannya itu, hubungan mereka semakin menjadi renggang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar