Jumat, 09 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 17



Kembalinya Pendekar Rajawali 17

“BetuIkah, Sian-koh ? Kau, tidak dusta ?” tanyanya.
“Buat apa dusta !” ujar Ling-po.
“Baiklah, jika memang kau tak takut setan, segera kubawa kau pergi ke kuburan raksasa itu,” kata Yo Ko. “Cuma kalau setannya keluar, kau harus mengusirnya, ya !”
Girang sekali Ang Ling-po mendengar si tolol kenal jalan ke kuburan itu, “Kau kenal jalannya ? Baiklah, lekas bawa aku ke sana !” sahutnya cepat.
Kuatir orang curiga, Yo Ko sengaja mengoceh lagi, ia minta Ang Ling-po harus janji akan membunuh setan bila muncul. Karena itu, berulang kali Ling-po bersumpah dan suruh dia jangan kuatir.
“Beberapa tahun yang lalu.” demikian kata Yo Ko pula, “aku pernah mengangon domba ke samping kuburan raksasa itu, di sana aku tertidur, waktu mendusin, ternyata sudah tengah malam, Dengan mata kepalaku sendiri kulihat satu setan perempuan berbaju putih menongol keluar dari kuburan itu, saking takutnya aku lari ter-birit2 hingga di tengah jalan aku jatuh kesandung, kepalaku sampai bocor dan luka, lihat ini, di sini masih ada bekasnya.”
Sambil berkata Yo Ko sengaja mendekati Ang Ling-po agar orang suka meraba kepalanya, Meski Yo Ko masih pelonco, namun terasa juga badan -Ang Ling-po sangat wangi, kalau bisa berdekatan, rasanya sangat sedap dan enak, maka kini sengaja ia gunakan kesempatan untuk akali orang, kepalanya dimiringkan ke dekat mulut orang.
“Tolol!” dengan tertawa Ang Ling-po mengomel karena kelakuan Yo Ko itu, Lalu sekenanya ia meraba kepalanya, tetapi toh tidak terasa ada sesuatu belang bekas luka, namun iapun tidak pedulikan, segera ia mendesak lagi: “Lekas bawa aku ke sana !”
Maka tanpa bicara lagi Yo Ko menggandeng tangan orang dan diajak keluar dari semak2 belukar itu dan memutar menuju jalan yang menembus ke kuburan kuno.
Waktu itu sudah dekat tengah malam, Dengan memegangi tangan orang, terasa oleh Yo Ko tangan Ang Ling-po ini sangat halus dan empuk, pula hangat Diam2 Yo Ko menjadi heran. “Kokoh dan dia sama2 wanita, tapi tangan yang satu kenapa dingin seperti es, sedang tangan yang ini begini hangat ?” demikian pikirnya dengan tak mengerti.
Karena tak tahan, tanpa terasa ia gunakan tenaga sedikit dan me-remas2 tangan orang yang halus itu beberapa kali.
Jika orang Bu-lim ada yang berani main gila seperti kelakuan Yo Ko ini, sudah sejak tadi pasti Ang Ling-po lolos pedangnya dan bikin jiwanya melayang, Tetapi, pertama karena dia anggap Yo Ko betul2 seorang bebal, pula melihat wajahnya yang tampan dan gagah, dalam hati Ang Ling-po mau-tak-mau rada suka juga, maka iapun tidak menjadi gusar, Hanya dalam hati ia berpikir: “Si tolol ini ternyata tidak seluruhnya tolol, nyata ia tahu juga akan kecantikanku.”
Dengan membawa orang ke kuburan kuno itu, sekali ini Yo Ko tidak pura2 lagi, maka tidak seberapa lama ia sudah membawa Ang Ling-po sampai di tempat tujuannya.
Waktu Yo Ko lari keluar kuburan kuno itu, karena takutnya dia belum sempat menutup kembali pintunya, kini batu yang dipakai sebagai daun pintu ternyata masih menggeletak di samping dan belum ditutup kembali, Sesaat hati Yo Ko menjadi ber-debar2, diam2 ia berdo’a: “Harap saja Kokoh belum mati, supaya aku bisa berjumpa dengan dia sekali lagi.”
Karena sudah tak sabar, ia tidak permainkan Ang Ling-po pula, ia berkata padanya: “Sian-koh, kubawa kau masuk ke sana untuk bunuh setan, tetapi jangan kau biarkan setannya menelan diriku.” - Habis berkata segera ia melangkah dulu ke dalam kuburan yang aneh.
Melihat Yo Ko tiba2 menjadi berani, diam2 Ling-po merasa heran, pikirnya: “Sungguh si tolol ini mendadak besar nyalinya ?” Maka iapun tak sempat berpikir panjang lagi, segera ia kintil di belakang Yo Ko, pedang disiapkan di tangan untuk menjaga segala kemungkinan
Dari gurunya Ang Ling-po mendengar, katanya jalan di dalam Hoat-su-jin-bong itu belak-belok dan ber-putar2, asal salah jalan selangkah saja segera jiwa bisa melayang, Tapi tanpa pikir Yo Ko ternyata berani melangkah sesukanya dengan cepat ia memutar ke timur dan membelok ke barat, di sini ia dorong sebuah pintu dan masuk nanti dia tarik sebuah batu besar lagi, tampaknya sudah apal luar biasa.
Diam2 Ang Ling-po mulai curiga, “Jangan2 Suhu yang mendustai aku karena kuatir aku masuk ke sini sendiri ?” demikian batinnya.
Dalam pada itu, sekejap saja Yo Ko sudah membawa Ang Ling-po masuk ke kamarnya Siao-liong-li yang terletak di tengah2 kuburan itu.
Pelahan Yo Ko mendorong pintu kamar, ia coba pasang kuping, tapi tidak terdengar suara sedikitpun, sebenarnya ia hendak memanggil Ko-koh, tetapi urung ketika teringat olehnya bahwa Ang Ling-po berada di sampingnya, maka dengan suara pelahan ia berkata padanya : “Sudah sampai !”
Sekalipun ilmu silat Ang Ling-po tinggi dan nyalinya besar, tetapi sesudah berada di tengah2 kuburan raksasa, bagaimanapun juga hatinya kebat-kebit, maka demi mendengar perkataan Yo Ko, segera ia ketik batu api dan menyalakan lilin yang berada di atas meja. Kemudian tertampaklah olehnya ada seorang gadis berbaju putih sedang rebah tenang tanpa bergerak sedikitpun.
Memang sudah diduga juga olehnya bahwa di dalam kuburan ini dia akan bertemu dengan Susiok atau paman gurunya, Siao-liong-li, tetapi sama sekali tak tersangka Siao-liong-li sedang tidur se-enaknya saja di atas ranjangnya se-akan2 tak gentar dengan bahaya apa yang akan menimpa juga tidak pandang sebelah mata padanya.
Karena itu, Ang Ling-po tak berani ayal, ia melintang pedangnya di depan dada sebagai penghormatan lalu ia buka suara : “Tecu Ang Ling-po mohon bertemu Susiok !”
Hati Yo Ko memukul keras seperti mau melompat keluar dari dadanya, dengan mulut melongo ia curahkan seluruh perhatiannya untuk melihat gerak-gerik Siao-liong-li, tetapi sedikitpun Siao-liong-li tidak bergerak, sudah kma sekali baru terdengar ia menyahut dengan suara yang pelahan tetapi orangnya masih rebah menghadap tembok
Sejak mulai Ang Ling-po berkata sampai Siao-liong-li menyahut, selama itu Yo Ko menunggu dengan luar biasa gopohnya, bisa2 ia ingin menubruk maju dan merangkul Suhunya buat menangis se-puas2nya.
Kemudian setelah mendengar Siao-liong-li bersuara, hatinya baru merasa lega seperti sebuah batu besar yang menindih tiba2 dapat di angkat, dalam girangnya ia tak sanggup menguasai perasaannya lagi, menangislah dia tersedu-sedu, Keruan Ang Ling-po sangat heran.
“He, ada apa, Sah Thio ?” ia tanya.
“Hu huk… aku takut,” sahut Yo Ko terguguk-guguk
Dalam pada itu Siao-liong-li telah berpaling dengan pelahan.
“Tak usah kau takut,” katanya tiba2 dengan suara lemah, “tadi aku sudah mati satu kali, rasanya sedikitpun tidak menderita.”
Terperanjat sekali Ang Ling-po ketika mendadak melihat wajah Siao-Iiong-li yang begitu cantik tiada taranya, tetapi mukanya pucat lesi tanpa berdarah, “Ternyata di dunia ini ada wanita sedemikian molek seperti dia ini.” demikian pikirnya, Karenanya seketika ia merasa dirinya sendiri menjadi jelek.
“Tecu Ang Ling-po, menghadap Susiok di sini,” ia berkata pula.
“Dan dimanakah Suci (kakak guru perempuan) ? juga datangkah dia ?” dengan pelahan Siao-liong-li menanya.
“Suhu suruh Tecu ke sini dulu buat menyampaikan salam hormat pada Susiok,” sahut Ang Ling-po.
“Lekas kau keluar saja, jangankan kau, sekalipun gurumu tidak diperkenankan masuk ke sini,” ujar Siao-liong-Ii.
Melihat muka Siao-iiong-!i yang mirip orang sakit, pula baju di dadanya penuh noda darah, cara bicaranya ter-putus2 dan napasnya memburu, terang sekali orang terluka parah, keruan Ang Ling-po menjadi berani, rasa kebat-kebitnya tadi seketika hilang sebagian besar.
“Dan dimanakah Sun-popoh ?” ia coba tanya lagi.
“Sudah lama dia meninggal, lekas kau keluar saja,” sahut Siao-liong-li.
Ang Ling-po tambah lega demi mendengar Sun-popoh sudah mati, diam2 ia bergirang dan berpikir : “Sungguh sangat kebetulan dan rupanya memang ada jodoh, tak terduga aku Ang Ling-po ternyata bisa menjadi ahliwaris Hoat-su-jin-bong ini.”
Tampaknya jiwa Siao-liong-li sudah tinggal sesaat saja, Ang Ling-po kuatir orang mendadak mati hingga tiada orang Iain lagi yang mengetahui di mana tersimpannya kitab “Giok-li-sim-keng”, maka cepat2 ia buka suara pula.
“Susiok,” demikian ia memanggil “Suhu suruh Tecu ke sini buat mohon kitab Giok-li-sim-keng, Harap engkau suka serahkan padaku dan Tecu segera mengobati lukamu.”
Selama ini hati Siao-liong-li selalu dalam keadaan tenang tenteram, semua cita-rasanya sudah terbuang jauh dan terlupa, tetapi kini setelah menderita luka, ilmu kepandaian yang dilatihnya sudah ludes semua, hakikatnya ia sudah tak punya kekuatan untuk menguasai perasaan sendiri, maka demi mendengar apa yang dikatakan Ang Ling-po,
Dalam gugup dan gusarnya, tiba2 matanya mendelik terus jatuh pingsan, secepat kilat Ang Ling-po telah memburu maju, ia pijat sekali “Jin-tiong-hiat” di atas bibir orang, maka secara pelahan Siao-liong-li telah siu-man kembali.
“Kalian guru dan murid lebih baik jangan berpikir secara muluk2, di manakah Suciku ? Lekas kau suruh dia ke sini ada sesuatu hendak ku katakan padanya,” kata Siao-liong-li kemudian dengan gusar.
Tetapi Ang Ling-po tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin, lalu dari bajunya ia keluarkan dua buah jarum perak yang panjang.
“Susiok, kau tentu kenal sepasang jarum ini,” katanya mengancam, “jika tak mau kau bicara, jangan kau sesalkan aku berlaku kurangajar.”
Melihat orang mendadak unjuk senjata, Yo Ko kenal itu adalah Peng-pek-gin-ciam yang pernah dipakai Li Bok-chiu untuk membunuh orang, ia sendiri tanpa sengaja pernah memegangnya hingga terkena racunnya yang sangat jahat, maka ia cukup tahu betapa lihaynya jarum perak itu.
Di lain pihak, sudah tentu Siao-liong-li terlebih kenal betapa lihay dan keji senjata perguruannya sendiri, masih mendingan bila orangnya segera mati setelah tertusuk jarum perak berbisa itu, yang paling ngeri kalau jarum itu dipakai menggosok beberapa kali di tempat jalan darah yang bisa bikin kaku kesemutan, segera seluruh tubuh orang akan terasa gatal pegal laksana be-ribu2 semut merubung dan menggigit kian kemari diantara tulang sungsum. Dalam keadaan demikian, si pende-rita itu boleh dikata ingin hidup tak bisa dan minta mati pun tak dapat
Karena itulah, ketika melihat Ang Ling-po pegang jarum peraknya sambil digerakkan beberapa kali, lalu maju mendekatinya, saking kuatir hampir2 Siao-Iiong-li jatuh kelengar lagi.
Nampak keadaan sudah genting, Yo Ko tak bisa tinggal diam lagi, tiba2 ia berteriak : “Sian-koh, di sana ada setan, hiiih, aku takut!”
Sembari berteriak, segera Yo Ko berlari mendekati orang terus merangkulnya, seketika tangan merangkul punggung orang, tanpa ayal segera ia menutuk dua kali tempat “Ko-ceng-hiat” dan Jiau-yao-hiat”.
Sungguh mimpi pun Ang Ling-po tak pernah menduga bahwa Thio si tolol ini ternyata memiliki kepandaian silat yang tinggi, selagi ia hendak men-damperat, tahu2 seluruh tubuhnya sudah terasa Iumpuh, seketika ia sendiri roboh ke lantai.
Kuatir kalau2 orang mampu melancarkan jalan darah sendiri, Yo Ko menambahi pula menutuk sekali lagi di tempat “ki-kut-hiat”. yakni tulang punggung yang besar. Dengan demikian orang tak nanti bisa berkutik lagi.
“Kokoh, perempuan ini sangat jahat, bagaimana kalau aku tusuk dia beberapa kali dengan jarum peraknya, supaya senjata makan tuannya ?” dengan ketawa Yo Ko tanya Siao-liong-li.
Sambil berkata betul juga Yo Ko lantas membungkus jari tangannya dengan ujung bajunya, lalu ia jemput jarum perak Ang Ling-po tadi.
Meski badan Ang Ling-po lumpuh tak bisa berkutik, tetapi setiap perkataan Yo Ko dapat dia dengar dengan terang, apalagi dia lihat Yo Ko telah jemput jarumnya tadi dan sambil tertawa sedang memandang padanya, keruan tidak kepalang terkejutnya hingga semangat serasa terbang meninggalkan raganya, ia ingin buka suara buat minta ampun, tetapi sayang, mulutnya tak berkuasa, terpaksa ia hanya mengunjuk maksud minta ampun melalui sinar matanya yang redup dan harus dikasihani itu.
“Ko-ji, pergilah kau menutup pintu untuk menjaga agar Suci tidak masuk kemari,” demikian Siao-liong-li berkata pada Yo Ko.
“Baik,” sahut Yo Ko.
Segera ia hendak melakukan perintah itu. Tetapi baru saja ia putar tubuh, se-konyong2 ia di-kejutkan oleh satu suara seorang perempuan yang sangat genit merdu di belakangnya.
“Baik2kah kau, Sumoay? - Sudah sejak tadi aku masuk ke sini”, demikian kata suara itu tiba2.
Sungguh bukan buatan kaget Yo Ko, cepat ia berpaling, maka tertampaklah olehnya di bawah sorot sinar lilin, di ambang pintu kamar sudah berdiri seorang To-koh setengah umur, raut mukanya potongan daun sirih, pipinya putih bersemu merah, sayang matanya buta sebelah. Siapa lagi dia kalau bukan Jik-lian-siancu Li Bok-chiu yang sebelah matanya kena ditotol buta oleh burung merahnya sendiri dahulu.
Dari manakah Li Bok-chiu bisa muncul di situ secara tiba-tiba ?
Kiranya sewaktu Ang Ling-po selalu menanyakan jalan ke Hoat-su-jin-bong kepadanya, sejak mula Li Bok-chiu sudah menduga pasti anak muridnya ini secara diam2 akan pergi mencuri kitab Giok-li-sim-keng, maka sengaja dia peralat muridnya ini ia sengaja mengirim Ang Ling-po pergi membunuh seorang musuh di Tiang-an, padahal ini adalah siasat Li Bok-chiu agar dengan demikian Ang Ling-po ada kesempatan buat pergi ke kuburan kuno itu, sedang ia sendiri diam2 menguntit di belakang sang murid.
Maka pertemuan antar Ang Ling-po dan Yo Ko, lalu masuk ke kuburan dan cara bagaimana muridnya itu memaksa Siao-liong-li menyerahkan kitab Giok-li-sim-keng, semua kejadian itu dapat disaksikannya dengan mata kepala sendiri.
Cuma karena gerak tubuhnya sangat gesit dan cepat maka Ang Ling-po dan Yo Ko tiada yang merasa sedikitpun dan baru sekarang inilah, karena dianggap sudah tiba waktunya, maka dia lantas unjukkan diri.
Pandangan Li Bok-chiu ternyata sangat tajam, meski kejadiannya sudah lewat beberapa tahun, pula Yo Ko sudah tumbuh besar, namun dia masih tetap mengenali pemuda ini adalah anak yang menggunakan burung merahnya untuk menotol sebelah biji matanya sehingga buta.
Kejadian itu senantiasa dianggap oleh Li Bok-chiu sebagai suatu peristiwa yang menyakitkan hati, kini demi saling bertemu lagi, tentu saja ia sangat gusar.
Akan tetapi sebelum Li Bok-chiu sempat bertindak sesuatu, se-konyong2 Siao-liong-li telah bangun.
“Suci!” serunya tiba2, kembali darah segar menyembur dari mulutnya.
“Siapa dia ini ?” dengan sikap dingin Li Bok-chiu bertanya tanpa menghiraukkn keadaan sang Sumoay yang payah, “Tidakkah kau tahu larangan Cosu-popoh bahwa dalam kuburan ini tidak boleh diinjak kaum laki2 busuk barang selangkahpun dan kenapa kau berani ijinkan dia tinggal di sini?”
Mendadak Siao-liong-li ter-batuk2 hebat, ia tak sanggup menjawab teguran sang Suci.
Nampak keadaan Siao-liong-li, tanpa disuruh segera Yo Ko maju menghadang ke depan buat melindunginya.
“Dia adalah aku punya Kokoh, urusan disini tidak perlu kau ikut campur !” dengan suara lantang ia wakilkan Siao-liong-li menjawab.
“Hm, bagus kau Sah Thio, kau betul2 pandai berlagak bodoh !” sindir Li Bok-chiu. Habis ini, mendadak kebut yang dia pegang bergerak, susul menyusul ia menyerang tiga kali.
Walaupun tiga serangan itu dilontarkan susul-menyusul, namun datangnya kepada sasarannya se-akan2 berbareng saja saatnya.
Tipu serangan cepat itu memang termasuk tipu serangan yang paling lihay dari ilmu silat Ko-bong-pay, bagi jago silat golongan lain tidak kenal kebagusan tipu2 serangan itu, begitu maju, seketika pasti akan dihantam hingga otot putus dan tulang patah.
Akan tetapi Yo Ko sendiri sudah matang dan apal terhadap semua ilmu silat Ko-bong-pay, walaupun belum bisa dibandingkan keuletan Li Bok-chiu yang sudah terlatih, namun untuk menghindari tiga kali serangan yang disebut “sam-yan-tau-lim” (tiga burung sriti menyusup masuk rimba) itu masih bisa dilakukannya dengan gampang.
Dan karena serangan yang lihay itu luput mengenai sasarannya, tentu saja Li Bok-chiu sangat kaget, ia masih ragu2 akan pemuda yang berhadapan dengan dirinya sekarang ini, dengan sebelah matanya ia coba melirik tajam, akan tepi jelas pemuda ini adalah anak yang dahulu dijumpainya di Oh-ciu di daerah Kanglam itu, kenapa berpisah beberapa tahu saja ilmu silatnya sudah maju begitu pesat?
Apalagi melihat cara bergeraknya buat menghindari serangannya tadi ternyata adalah ilmu silat dari perguruan sendiri keruan hal ini makin menambah rasa curiganya.
“Sumoay, ada hubungan apakah antara kau dengan bangsat cilik ini ?” dengan suara bengis segera ia membentak Siao-liong-li
Kuatir, muntah darah lagi, Siao-liong-li tak berani buka suara keras, hanya dengan pelahan ia bilang pada Yo Ko: “Ko-ji, lekas memberi hormat pada Supek (paman guru).”
“Cis, paman guru macam apa ini ?” Yo Ko berbalik meng-olok2.
“Ko-ji, coba tempelkan kupingmu ke sini, ada yang hendak kukatakan,” kata Siao-liong-li pula.
Tentu saja Yo Ko rada penasaran karena dia mengira Siao-liong-li akan bujuk dirinya buat menjura pada Li Bok-chiu. walaupun demikian, terpaksa ia menurut juga, ia tempelkan kupingnya ke mulut Siao-liong-li.
“Di pojok kaki ranjang ini terdapat satu papan batu yang menonjol,” demikian dengan suara lembut seperti bunyi nyamuk Siao-liong-li berkata, “lekas kau melompat turun dan dongkel sekuatnya papan batu itu.”
Dalam pada itu, melihat cara mereka bisik2, Li Bok-chiu mengira juga Siao-liong-li sedang pesan sang murid agar menjura padanya untuk minta ampun, apalagi orang2 yang berada di hadapannya ini yang satu terang terluka parah dan yang lain hanya satu bocah angkatan muda, tentu saja tiada yang dia pikirkan.
Li Bok-chiu sendiri justru lagi peras otak untuk mendapatkan akal bagus agar bisa memaksa sang Sumoay menyerahkan Giok-li-sim-keng tinggalan guru mereka.
Sementara itu atas kisikan Siao-liong-li tadi, terlihat Yo Ko meng-angguk2, Lalu dengan suara lantang ia berkata : “Baiklah, Tecu memberi hormat pada Supek !”
Sambil berkata ia lantas melompat turun dari ranjang, dan ketika tangannya meraba ke pojok ranjang yang di bawah sana, betul saja tangannya menyentuh sepotong batu yang menonjol, tanpa ayal lagi segera ia tarik dengan seluruh tenaganya maka terdengarlah suara “kreeek” yang berat, mendadak ranjang batu itu ambles ke bawah.
Dengan sendirinya Li Bok-chiu terperanjat oleh kejadian mendadak itu, ia tahu dalam kuburan kuno di mana2 terpasang perangkap rahasia, mendiang gurunya telah pilih kasih dan dirinya telah dikelabui, sebaliknya semua rahasia itu telah diturunkan kepada sang Sumoay. Karenanya, tanpa pikir lagi segera ia melesat maju, dengan sekali jamberet ia hendak cengkeram Siao-liong-li.
Tatkala itu Siao-liong-li sedikitpun tak punya tenaga buat menangkis jambereten itu, meski ranjang batunya mendadak ambles ke bawah, tetapi karena Li Bok-chiu cepat mengetahui dan mengambil tindakan kilat pula, cara turun tangannya pun sebat luar biasa, maka dengan jamberetannya itu tampaknya segera Siao-liong-li akan ditarik kembali mentah-mentah.
Keruan saja Yo Ko kaget, sekuat tenaga ia tangkiskan sebelah tangannya, maka terdengarlah suara “crat” sekali, tiba2 lengannya terasa kesakitan kiranya lengan kirinya dan lengan kanan Siao-liong-li ber-sama2 telah terkena kuku jari Li Bok-chiu hingga menusuk masuk daging.
MenyusuI mana matanya tiba2 menjadi gelap, lalu terdengarlah suara gedebukan yang keras dua kali, kiranya ranjang batu mereka telah anjlok sampai ruangan dibawah tanah, sedang papan batu di bagian atas secara otomatis telah menutup sendiri, seketika Siao-liong-li dan Yo Ko kena dipisahkan dengan Li Bok-chiu dan Ang Ling-po, yang satu pihak terpotong di bagian atas dan yang lain berada di bawah.
“Coba kau meraba dinding di mana terdapat sebuah bola batu, kau putar tiga kali ke kiri lalu empat kali ke kanan,” kata Siao-liong-li kemudian.
Yo Ko menurut, ia melompat turun dari ranjang batu, ia me-raba2 dalam kegelapan, betul saja ia dapatkan sebuah batu bundar, ia menuruti petunjuk Siao-liong-li tadi, diputarnya ke kiri dan kanan, maka terdengarlah suara “kerkak-kerkek” beberapa kali, tiba2 tubuhnya terasa terguncang.
Kiranya ruangan di bawah tanah dimana mereka berada itu dibangun tergantung, karena alat rahasianya tergerak, segera ruangan ini bergeser pindah tempat, Dengan demikian sekalipun kini Li Bok-chiu berhasil menyerbu ke bawah juga tak akan mendapatkan jejak mereka lagi.
“Untuk sementara ini boleh dikata kita sudah lolos dari tangan jahat kedua orang tadi,” kata Siao-liong-li dengan menghela napas lega.
Dalam pada itu remang2 Yo Ko melihat di dalam ruangan itu seperti terdapat benda2 sebangsa meja kursi, secara geremet didekatinya meja itu, ia ambil ketikan api dan menyalakan lilin yang ada di atas meja.
Tetapi setelah lilin menyala, tanpa tertahan ia terkejut, sebab terlihat olehnya separoh bajunya sudah basah kuyup oleh darah, sedang luka diatas lengan yang terkena cakaran tadi masih terus mengalirkan darah segar.
Waktu ia periksa keadaan Siao-liong-li ia lihat di lengannya juga terdapat goresan yang cukup parah oleh cakaran kuku Li Bok-chiu tadi, hanya Siao-liong-li sudah terlalu banyak mengeluarkan darah, maka darah yang merembes keluar dari luka cakaran ini cuma sedikit.
“Ko-ji,” kata Siao-liong-li lagi menghela napas, “aku sudah kekurangan darah, susahlah untuk menyembuhkan luka dengan menjalankan Lwekang sendiri, Tetapi sekalipun aku tak terluka, kita berdua juga tak mampu menandingi aku punya Suci.
Belum habis bicara, mendadak Yo Ko melompat naik ke atas ranjang batu pula.
Kiranya tadi waktu Yo Ko mendengar Siao-liong-li bilang kekurangan darah, mendadak otaknya yang cerdas itu tergerak, sebelum orang habis bicara ia sudah melompat ke atas ranjang, ia tempelkan luka pada lengannya sendiri dengan luka di lengan Siao-liong-li hingga dempet menjadi satu, dengan cara demikian ia bermaksud menyalurkan darahnya sendiri kepada nona itu.
Akan tetapi mengalirnya darah dari lengannya ternyata tidak dapat dikendalikan oleh keinginan hatinya, meski darah masih mancur keluar dari lengannya, namun tidak dapat menyalur masuk ke otot darahnya Siao-liong-li.
“Ko-ji, usahamu ini hanya sia2 saja, sekalipun kau dapat menolong diriku, tapi jiwamu sendiri bukankah akan melayang malah,” dengan menghela napas Siao-liog-li berkata.
Tetapi Yo Ko tidak menghiraukan kata2 orang, sebaliknya ia semakin kuatir karena melihat darah merembes keluar dari celah2 lengan mereka yang berdempetan itu, nyata usahanya memang tidak berhasil.
Tiba2 ia jadi teringat pada Lwekang yang dipelajari dari Auwyang Hong, ilmu itu memaksa aliran darah menjadi terbalik, kenapa tidak dicobanya ?
Karena itu, segera ia baliki tubuhnya, ia menjungkir dengan kepala menahan di atas ranjang batu, ia jalankan ilmu Kiu-im-sin-kang yang terbalik ajaran Auwyang Hong itu, betul saja jalannya darah menjadi terdesak oleh semacam hawa yang dia keluarkan sehingga ber-angsur2 secara teratur bisa mengalir masuk ke dalam badan Siao-liong-li.
Sebenarnya seluruh badan Siao-liong-li sudah terasa dingin bagai es, tetapi aneh, tiba2 ia merasakan ada aliran darah hangat yang merembes masuk ke dalam tubuhnya, Tiba2 terpikir olehnya hal ini kurang baik, segera ia niat memberontak.
Diluar dugaan. sebelumnya Yo Ko sudah memperhitungkan akan reaksinya ini, lebih dulu ia sudah ulur jarinya dan menutuk Hiat-to Siao-liong-li sehingga tak bisa berkutik.
“Transfusi darah” yang dilakukan Yo Ko ini kira2 berjalan beberapa saat, akhirnya Yo Ko sendiri merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang, ia mengarti tidak sanggup bertahan lebih lama lagi, maka barulah dia duduk kembali seperti biasa, ia balut luka mereka berdua dan melepaskan tutukannya tadi atas diri Siao-liong-li
Dengan terkesima Siao-liong-li memandang Yo Ko hingga lama, akhirnya ia menghela napas pelahan, iapun tidak ber-kata2 lagi melainkan melakukan semadi sendiri untuk memulihkan kekuatannya.
Malam itu mereka berdua masing2 memulihkan diri sendiri2. Kalau Yo Ko bersemadi untuk memulihkan rasa letih karena kehilangan darahnya, adalah Siao-liong-li sesudah mendapatkan transfusi darah dari Yo Ko, semangatnya ternyata banyak bertambah segar, ia telah menjalankan darah baru yang hangat itu ke seluruh tubuhnya hingga beberapa kali, lewat dua-tiga jam, ia mengarti jiwanya tidak berhalangan lagi, maka waktu ia membuka matanya, ia tersenyum kepada Yo Ko.
Sebenarnya pipi Siao-liong-li selalu putih pucat, tetapi kini tiba2 Yo Ko melihat ada semu merah pada kedua belah pipinya sehingga tertampak lebih cantik.
“Ha, Kokoh, kau sudah baik,” seru Yo Ko girang.
Siao-liong-li angguk2 dan selagi hendak buka suara, mendadak terdengar suara letikan api, kiranya lilin yang dipasang itu sudah tersulut habis, keruan seketika seluruh ruangan menjadi gelap guIita.
Karena itu, luar biasa rasa senangnya Yo Ko, tetapi toh dia tidak tahu cara bagaimana harus berbicara.
“Marilah kita pergi ke kamarnya Sun-popoh, ada sesuatu akan kukatakan padamu,” kata Siao-liong-li kemudian.
“Apa kau tidak letih ?” tanya Yo Ko.
“Tidak apa2 !” sahut Siao-liong-li.
Habis itu ia menarik beberapa kali pada pesawat rahasia yang terpasang di dinding batu, segera terasa dinding itu bergerak, lalu terbentanglah sebuah pintu, jalan baru ini sudah tak dikenal lagi oleh Yo Ko, tetapi Siao-liong-li mengajaknya memutar kian kemari beberapa kali dalam suasana gelap itu, akhirnya tiba juga mereka di kamarnya Sun-popoh dahulu.
Waktu Siao-liong-li menyalakan lilin lagi, dia lantas gulung pakaian Yo Ko hingga berupa satu buntalan, ia bungkus pula sepasang sarung tangan benang emas miliknya ke dalam buntalan baju itu. perbuatan Siao-liong-li ini disaksikan Yo Ko dengan terkesima karena heran.
“Kokoh, apa yang kau lakukan ?” tanyanya tak mengerti.
Siao-liong-li tak menjawab, ia malah ambil lagi dua botol besar madu tawon dan masukkan ke dalam buntalan pula.
“He, kita akan meninggalkan kuburan kuno ini bukan, Kokoh ?” tanya Yo Ko tiba2 dengan girang.
“Pergilah saja kau, kutahu kau adalah anak baik, terhadap diriku kaupun berlaku sangat baik,” ujar Siao-liong-li.
Luar biasa terperanjatnya Yo Ko.
“Dan kau sendiri, Kokoh ?” tanyanya cepat.
“Aku sudah bersumpah selama hidupku ini tidak akan keluar lagi dari kuburan ini,” sahut Siao-liong-li.
Melihat orang berkata dengan sungguh2, lagu suaranya pun sangat tegas, terang tidak bisa di-bantah, oleh karenanya Yo Ko tak berani bicara lebih banyak.
Akan tetapi karena soalnya terlalu penting, akhirnya ia beranikan diri buat buka suara lagi:
“Kokoh, jika kau tak pergi, akupun tak mau pergi, biarlah aku mengawani kau disini.”
“Suci-ku menunggui kita di mulut kuburan dan headak paksa aku menyerahkan Giok-li-sim-keng,” kata Siao-liong-li pula, “Sedang ilmu kepandaianku tidak bisa menandingi dia, maka pasti tak bisa lolos, bukan ?”
“Ya”, sahut Yo Ko.
“Dan rangsum yang tertinggal di sini, aku kira paling tahan hanya dua puluhan hari saja, umpama bisa makan sedikit madu tawon, paling lama tidak lebih juga sebulan, dan sesudah sebulan, lalu bagaimana baiknya ?”
“Kita terjang keluar saja,” sahut Yo Ko sesudah tertegun sejenak “Walaupun kita tak bisa mengalahkan Supek, tapi belum tentu kita tak mampu menyelamatkan jiwa kita.”
“Susah,” kata Siao-liong li dengan menggeleng kepala, “jika kau kenal ilmu kepandaian dan tabiat Supek, tentu kau akan tahu sekali2 kita tak mampu menyelamatkan diri. Apabila sampai tertangkap, tatkala itu tidak hanya akan mengalami siksaan dan hinaan, bahkan diwaktu akan mati terlebih susah lagi penderitaan badaniah kita.”
“Jika begitu, bukankah seorang diri akan lebih2 tak mampu lari,” ujar Yo Ko.
“ltulah soal lain.” sahut Siao-liong-li “Aku ke bagian dalam kuburan, pada kesempatan itulah kau lantas melarikan diri Sebelummu lantas kau pindahkan batu besar di sebelah kiri pintu kuburan dan tarik alat rahasia di dalamnya, menyusul itu segera ada dua batu raksasa akan anjlok turun dan menutup rapat pintu kuburan untuk selama-lamanya.”
Yo Ko semakin terkejut oleh cerita orang.
“Dan Kokoh tahu akan ja!an2 rahasia lain dan bisa keluar sendiri, bukan?” tanyanya cepat.
“Tidak,” sahut Sio-liong-li sambil geleng kepala pula, “Dahulu waktu Cikal-bakal Coan-cin-kau, Ong Tiong-yang mendirikan Hoat-su-jin-bong ini, ia tahu dirinya selalu dikejar dan diincar oleh raja Kim, oleh sebab itu ia sengaja atur kuburan ini dan taruh dua batu raksasa yang berlaksa kati beratnya, ia tunggu bila dirinya kepepet dan tak sanggup melawan musuh yang jauh lebih banyak, segera ia akan lepaskan batu raksasa itu untuk menutup dirinya didalam kuburan, dengan demikian sampai matipun ia tidak mau takluk pada musuh.
Akan tetapi karena selama itu musuh2nya tiada satupun yang sanggup melawan ilmu silat Ong Tiong-yang yang tinggi, maka kedua batu raksasa ini selamanya belum pernah terpakai. Dan sewaktu Ong Tiong-yang harus menyerahkan kuburan kuno ini kepada Cosu-popoh, ia telah memberitahukan juga semua alat rahasia yang dia”atut di dalam kuburan hingga akhirnya turun temurun sampai pada diriku.”
“Tetapi Kokoh, mati atau hidup aku tetap akan berada di dampingmu.” dengan air mata ber-linang2 Yo Ko berkata pula.
“Apa gunanya kau mengikuti diriku terus ?” kata Siao-liong-li. “Kau bilang di dunia luar sana indah sekali, maka pergilah kau bermain sepuasnya, nanti kalau kau sudah berhasil melatih cinkeng sampai sempurna, maka tiada satupun diantara imam2 busuk Coan-cin-kau itu yang berani cari gara2 lagi padamu, Tatkala itu kau tentu bisa malang melintang di seluruh jagat, bukankah itu sangat menyenangkan ?”
Akan tetapi Yo Ko ternyata tidak tergoyah oleh bujukan itu, tiba2 ia menubruk maju dan merangkul tubuh Siao-liong-li sambil menangis tersedu-sedan.
“Kokoh, di jagat ini hanya kau saja seorang yang sangat baik terhadapku,” demikian katanya cemas, “Jika kau tak hidup lagi, pasti seumur hidupku tak akan merasa senang.”
Sebenarnya watak Siao-liong-li selalu dingin dan lenyap dari segala macam perasaan, apa yang dia ucapkan pun selalu tegas dan tidak bisa ditarik kembali pula.
Tetapi aneh, entah mengapa, sesudah mendengar kata2 Yo Ko yang diucapkan dengan setengah meratap ini, tanpa tertahan darah dalam tubuhnya se-akan2 bergolak, dalam pilunya hampir2 ia meneteskan air mata.
Tapi segera ia terkejut, teringat olehnya apa yang pernah dipesan wanti2 oleh mendiang gurunya sewaktu hendak mangkat bahwa ilmu yang dilatihnya itu adalah semacam ilmu rohaniah yang harus menghilangkan segala cita rasa serta napsu, bila sampai mengalirkan air mata karena seseorang hingga menggoncangkan perasaan, bukan saja ilmu silatnya akan punah, bahkan membahayakan jiwa sendiri pula.
Teringat oleh pesan sang guru itu, segera Siao-liong-li mendorong pergi Yo Ko, lalu dengan lagu suara dingin ia berkata pula: “Apa yang aku katakan kau harus menurut, kau berani adu mulut dengan aku ?”
Melihat orang kembali berubah sungguh2 dan keren, Yo Ko tak berani buka suara lagi.
Segera Siao-liong-li ikat buntalan yang sudah disiapkan itu dan diikat pada punggung Yo Ko, ia ambilkan sebatang pedang yang tergantung di dinding.
“lni ambil, sebentar bila aku katakan pergi, segera juga kau harus angkat kaki, begitu keluar dari kuburan ini, seketika juga kau lepaskan batu raksasa penutup pintu itu,” dengan suara bengis Siao-Iiong-li memesan sambil menyerahkan pedang tadi.
“lngat, Supek-mu teramat lihay, kesempatan sedetik saja bila ayal akan segera hilang, maka kau mau turut tidak perkataanku ini ?”
“Aku menurut,” sahut Yo Ko dengan suara berat.
“Jika kau tidak melakukan apa yang aku katakan, di alam baka sekalipun aku akan benci padamu,” kata Siao-liong-Ii pula. “Dan sekarang marilah berangkat !”
Habis berkata, ia tarik tangan Yo Ko dan membuka pintu untuk keluar ke ruangan semula.
DahuIu Yo Ko pernah menyentuh tangan Siao-liong-li yang selamanya terasa dingin bagai es, tetapi kini demi tangannya dipegang orang pula, tiba2 ia merasa tangan Siao-Iiong-li sebentar dingin dan sebentar lagi hangat, ternyata berlainan sekali dengan biasanya.
Tetapi karena perasaannya sedang bergoIak, maka urusan inipun tidak sempat dia pikirkan lagi, ia hanya ikut Siao-Iiong-li keluar kembali.
Sambil meraba satu dinding batu Siao-liong-li berpesan lagi pada Yo Ko: “Di dalam kamar inilah mereka berada, sebentar bila aku pancing menyingkir Suci, segera kau terjang keluar melalui pintu ujung barat-laut, Bila Ang Ling-po mengejar kau, boleh kau lukai dia dengan Giok-hong-soa (pasir tawon putih).”
Yo Ko tidak menjawab sebab perasaannya tidak kepalang kusutnya, ia hanya mengangguk saja.
Giok-hong-soa atau pasir tawon putih yang disebut Siao-liong-li itu adalah Am-gi atau senjata gelap Ko-bong-pay yang khas, Dahulu Lim Tiao-eng disegani di kalangan Bu-lim disebabkan dia memiliki dua macam Am-gi yang sangat lihay, satu diantaranya adalah Peng-pek-gin-ciam yang dipakai Li Bok-chiu itu dan yang lain adalah Giok-hong-soa ini.
Bentuk Giok-hong-soa ini segi enam dan terbikin dari pasir emas yang digembleng pula dengan racun tawon putih, meski bentuknya kecil lembut, tetapi karena terbuat dari emas yang berat, maka waktu dihamburkan dapat mencapai jarak jauh. Tetapi karena Am-gi ini terlalu keji, maka selamanya jarang digunakan Lim Tiao-eng.
Guru Siao-liong-li tahu akan jiwa Li Bok-chiu yang tidak gampang dikendalikan dan tidak sudi tinggal selamanya di dalam kuburan, maka yang diturunkan kepadanya hanya Peng-pek-gin-ciam, sedang Giok-hong-soa tidak diajarkan padanya.
Begitulah, maka setelah Siao-liong-li tenangkan semangatnya, segera ia menekan suatu alat rahasia di atas dinding batu, menyusul terdengarlah suara “krak-krak” beberapa kali, ternyata dinding batu itu telah menggeser terbuka sendiri Dan begitu dinding melekah, tanpa ayal Siao-liong-li ayun selendang suteranya, sekaligus ia serang kedua lawannya, Li Bok-chiu dan Ang Ling-po, serangannya cepat dan orangnya ikut melayang maju juga dengan gesit.
Tatkala itu Li Bok-chiu sudah dapat melepaskan tutukan Hiat-to pada tubuh Ang Ling-po, ia telah damperat muridnya ini yang tak becus sampai kena diingusi satu “anak kemarin”
Habis itu guru dan murid berdua ini telah meraba keadaan dalam kuburan kuno itu hingga akhirnya tujuh atau delapan kamar sudah dapat dibobolkan dan masih hendak masuk lebih dalam lagi.
Tentu saja mereka menjadi kaget ketika mendadak nampak Siao-liong-li malah menyerbu ke-luar, Lekas2 Li Bok-chiu ayun senjata kebut untuk menangkis serangan selendang sutera orang.
Kebut dan selendang sutera semuanya adalah benda yang lemas, kini lemas lawan lemas, namun Li Bok-chiu terlebih ulet, maka begitu kedua senjata saling beradu, seketika selendeng sutera Siao-liong-li menggulung balik.
Tetapi Siao-liong-li tidak andalkan serangan tadi saja, ketika ujung selendang membalik, sebelah ujung yang lain segera menyamber maju pula, sekejap mata saja ia sudah melontarkan beberapa kali serangan, begitu lemas saja penampilan selendangnya hingga se-akan2 sedang menari.
Dalam kagetnya tadi Li Bok-chiu menjadi dongkol pula, “Nyata Suhu memang tak adil, bila kah dia pernah mengajarkan kepandaian padaku seperti Sumoay ini ?” demikian ia membatin.
Akan tetapi karena ia menaksir masih sanggup menandingi sang Sumoay, maka sementara tipu serangan mematikan belum dia lontarkan, sebaliknya ia justru mengulur tempo hendak menyaksikan ilmu silat lihay apa yang telah diajarkan kepada Siao-liong-li oleh gurunya.
Dilain pihak Ang Ling-po ternyata tidak tinggal diam.
Selama hidup ia sangat bangga atas dirinya yang pintar dan cerdik, siapa tahu hari ini bisa terjungkal dibawah tangan satu “anak kemarin”, bahkan dirinya telah dipermainkan setengah harian oleh orang yang berlagak tolol dan untuk ini sedikitpun dirinya ternyata tidak mengetahui, keruan saja tidak kepalang gemasnya.
Dalam pada itu ia lihat sang Suhu dengan sengitnya sedang menempur sang Susiok, maka kesempatan ini hendak dia gunakan untuk balas dendam.
“Hayo, Sah Thio, kau keparat ini betul2 kurangajar,” demikian segera ia bentak Yo Ko dengan suara garang, Habis ini ia lolos sepasang pedangnya sambil melangkah maju, lalu ia membentak lagi : “lni lihat, akan ku iris batang hidung-mu !”
Nampak orang cukup kalap, terpaksa Yo Ko harus angkat pedang buat menangkis.
Sebenarnya kalau dalam keadaan biasa, turuti adat Yo Ko, tentu dia akan keluarkan kata2 sindiran untuk menggoda orang, tetapi kini kare-teringat dirinya bakal berpisah dengan Siao-liong-li, maka matanya telah basah mengembeng air hingga pandangannya menjadi remang2, karena itu atas serangan orang ia hanya menangkis asal menangkis saja, sama sekali ia tidak melakukan serangan balasan.
Di pihak sana setelah Ang Ling-po melontarkan beberapa kali serangan, meski tidak bisa melukai Yo Ko, namun melihat gerak tangan orang seperti tak bertenaga, ia menyangka kepandaian bocah ini hanya sekian saja, keruan ia tambah gemas dan penasaran kena diingusi orang.
Sementara itu setelah saling gebrak belasan jurus antara Li Bok-chiu dan Siao-Iiong-li, mendadak yang tersebut duluan itu putar kebutnya hingga selendang sutera Siao-liong-li kena terlibat.
“Sumoay, lihatlah kepandaian Suci-mu ini,” kata Li Bok-chiu.
Habis berkata, se-konyong2 ia getarkan kebutnya dengan tenaga dalam karena itu, selendang sutera lawannya segera terputus menjadi dua.
Ilmu kepandaian yang diunjukkan Li Bok-chiu ini memang lihay luar biasa, Biasanya dalam pertarungan senjata tajam melawan senjata tajam, untuk mematahkan senjata lawan saja sangat sulit, apalagi kini baik kebut maupun selendang tergoIong benda2 yang lemas, tetapi Li Bok-chiu toh sanggup membetot putus selendang sutera itu, sungguh hal ini berpuluh kali lipat lebih sukar daripada mematahkan senjata tajam yang keras.
Sungguhpun demikian, namun Siao-liong-Ii sedikitpun tidak menjadi jeri oleh kepandaian orang.
“Hm, sekalipun kepandaianmu bagus, kau mau apa lagi ?” sambutnya dingin, Berbareng itu tiba2 ia gunakan separoh selendangnya yang terputus itu untuk menyerang, sekali dia ayun, tahu2 ujung kebut Li Bok-chiu kena terlilit juga, menyusul ini ujung selendang yang lain segera menyamber dan melilit pula garan kebut yang terbikin dari kayu, ketika yang satu ditarik ke kiri dan yang lain di-betot ke kanan, maka terdengarlah suara “pletak”, nyata kebut Li Bok-chiu juga telah kena dipatahkan.
Kalau mempersoalkan kekuatan, serangan balasan Siao-liong-li ini memang belum bisa melebihi tenaga betotan Li Bok-chiu yang memutuskan selendang dengan tenaga getaran tadi, tetapi tepatnya, kesebatannya mengeluarkan serangan balasan cukup membikin Li Bok-chiu tak berdaya.
Begitulah, maka Li Bok-chiu rada terperanjat juga oleh serangan kilat tadi, namun segera ia buang garan kebut yang patah itu, lalu dengan tangan kosong merangsang maju hendak merebut selendang Siao-liong-li.
Karenanya Siao-Iiong-li di desak hingga terus mundur ke belakang.
Setelah belasan jurus berlalu lagi, akhirnya Siao-liong li telah mundur sampai di dekat dinding batu sebelah timur, tampaknya untuk mundur lebih jauh sudah tidak mungkin lagi.
Dalam keadaan demikian, mendadak ia baliki sebelah tangannya terus menekan pada tembok batu sambit berteriak: “Ko-ji, lekas pergi !”
Berbareng dengan itu terdengarlah suara “krak” yang keras, ternyata di ujung barat-daya sana telah terbuka satu lobang, Sungguh terkejut sekali Li Bok-chiu, dengan cepat ia putar tubuh hendak merintangi larinya Yo Ko. Akan terapi Siao-liong-li lidak membiarkan lawannya sempat memutar, ia buang selendang suteranya, dengan kedua tangannya, sekaligus ia menyerang dengan tipu2 yang mematikan.
Karena terpaksa, dengan sendirinya Li Bok-chiu memutar balik untuk menangkis serangan itu.
“Ayo, Ko-ji, lekas kau berangkat !” teriak Siao-Iiong-li pula.
Semula Yo Ko agak ragu2, ia coba memandang Siao-liong-li, namun segera dia insaf bahwa urusan ini tak mungkin bisa ditarik kembali Iagi.
“Kokoh, pergilah aku !” demikian teriaknya segera. berbareng ia ayun pedang dan susul menyusul menyerang tiga kali, semuanya ia arahkan ke muka Ang Ling-po.
Oleh karena tadi Ang Ling-po melihat gerak pedang Yo Ko tak bertenaga, maka sama sekali dia tak duga bahwa mendadak Yo Ko bisa melontarkan serangan berbahaya ini, dalam keadaan kepepet, terpaksa ia melompat mundur ke belakang.
Karena kesempatan inilah, begitu Yo Ko geraki tubuhnya, tahu2 ia sudah menyerobot keluar pintu gua tadi, namun demikian, ia masih coba menoleh hendak memandang lagi pada Siao-liong-li untuk penghabisan kalinya.
Sebenarnya kalau dia tidak menoleh buat memandang, tetapi terus pergi begitu saja, kelak entah betapa banyak kesulitan akan terhindar dan berkurang dengan macam2 godaan, tetapi karena Yo Ko dilahirkan dengan watak dan perasaan yang penuh kemanusiaan, meski berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, toh ia masih ingin memandang sekali lagi pada Siao-liong-Ii.
Justru oleh karena pandangan inilah, seumur hidup Yo Ko lantas berubah juga nasibnya.
Siao-liong-li melawan kakak seperguruan sendiri dengan sama2 bertangan kosong, kalau hanya beberapa puluh jurus saja belum tentu dia akan dikalahkan, tapi oleh karena kepergian Yo Ko yang bayangan tubuhnya berkelebat keluar pintu, tiba2 teringat oleh Siao-liong-li bahwa dengan perginya Yo Ko ini mereka tak akan bersua lagi untuk se-lama2nya, maka dadanya tiba2 se-akan2 menjadi sesak, matanya pun menjadi sepat dan ingin meneteskan air mata.
Selama hidup Siao-liong-li tidak pernah terguncang perasaan murninya, siapa tahu hari ini saja sudah dua kali ia hampir menangis, keruan seketika ia tersadar dan luar biasa terkejutnya, justru pertandingan diantara jago silat sedikitpun pantang teledor, sedikit tertegunnya tadi yang sejenak saja telah digunakan Li Bok-chiu dengan baik, se-konyong2 ia berhasil mencengkeram “hwe-cong-hiat” pergelangan tangan Siao-liong-li, menyusul ini sebelah kakinya menjegal, keruan saja Siao-liong-li tak sanggup berdiri tegak, ia kena dirobohkan ke lantai.
Pada saat robohnya Siao-liong-li itulah, saat itu juga Yo Ko tepat sedang menoleh memandangnya, Dengan sendirinya luar biasa kagetnya demi dilihatnya sang guru hendak dicelakai Li Bok-chiu, darahnya seketika mendidih, dalam keadaan demikian, sekalipun langit ambruk atau bumi terbalik juga tidak dia hiraukan lagi.
“Jangan mencelakai Kokoh !” demikian ia berteriak Berbareng ini ia menubruk masuk kembali, dari belakang segera ia merangkul pinggang Li Bok-chiu dengan kencang.
Tipu serangan Yo Ko ini betul2 “diluar kamus silat”, sama sekali tidak terdapat dalam teori persilatan golongan manapun, hanya saking kuatirnya Yo Ko tidak pikirkan apakah rangkulannya ini masuk akal atau tidak, yang dia pikir hanya menolong Siao-liong-li saja.
Sebaliknya karena Li Bok-chiu hanya memikir hendak tawan Siao-liong-li, maka se-kali2 tak diduganya bahwa Yo Ko yang sudah kabur keluar itu bisa masuk kembali, bahkan terus menubruk punggungnya, karena tak ter-sangka2, maka pinggangnya seketika kena terangkul kencang dan tak dapat dilepaskan meski dia coba me-ronta2.
Walaupun tindak-tanduk Li Bok-chiu biasanya sangat kejam dan tidak suka terikat oleh segala adat-istiadat umum, namun tubuhnya yang suci bersih senantiasa dia jaga baik2, oleh sebab itu, meski sudah beberapa puluh tahun berkelana di dunia Kangouw toh dia masih tetap bertubuh perawan, tetapi kini mendadak dirangkul Yo Ko se-kencang2nya, seketika terasa olehnya semacam hawa hangat kaum lelaki se-akan2 menembus punggungnya terus masuk ke lubuk hatinya, tanpa tertahan seluruh badannya menjadi lemas tak bertenaga, mukanyapun berubah merah.
Dahulu waktu di daerah Kanglam sebelah matanya sampai kena ditotol buta oleh burung merahnya Yo Ko, soalnya juga disebabkan oleh rangkulan Yo Ko, tatkala itu Yo Ko masih kecil, namun toh sudah memiliki bau laki2 umumnya yang khas, siapa tahu kejadian mana kini bisa terulang lagi, apa pula kini Yo Ko sudah berupa pemuda, maka hawa hangat yang mengalir keluar dari tubuhnya itu lebih2 menggoncangkan perasaan kaum wanita.
Oleh karena rangkulan Yo Ko inilah, tangan Li Bok-chiu yang mencekal pergelangan Siao-liong-li lantas menjadi kendor, sudah tentu kesempatan ini tidak di-sia2kan Siao-liong-li, seketika ia baliki tangannya dan bergantian menekan urat nadi tangan orang, namun di lain pihak ujung senjata Ang Ling-po sudah menempel juga di punggung Yo Ko.
Tatkala itu Siao-liong-li sudah terebah di lantai ketika dilihatnya Yo Ko terancam bahaya, segera ia menggulingkan tubuhnya ke kiri, sekaligus ia tarik Li Bok-chiu serta Yo Ko ke samping, dengan demikian tusukan Ang Ling-po menjadi mengenai tempat kosong,
“Ko-ji, lekas berangkat !” bentak Siao-liong-li sesudah melompat bangun.
Akan tetapi sekali ini Yo Ko ternyata tidak turut perintahnya ia masih merangkul pinggang orang kencang-kencang.
“Tidak, Kokoh, kau saja yang pergi, aku menyikap dia begini, tidak nanti dia bisa lolos,” teriak Yo Ko.
Di lain pihak, dalam sekejap itu pikiran Li Bok-chiu sudah berputar belasan kali, sebentar ia insaf keadaan sangat membahayakan dirinya, terpaksa dia harus kumpulkan tenaga dalam untuk melepaskan diri dari pelukan orang, tetapi lain saat terasakan olehnya berada dalam pelukan Yo Ko, rasanya begitu enak, begitu meresap hingga sukar dilukiskan.
Keruan saja Siao-Iiong-li ter-heran2, ia pikir ilmu silat sang Suci begitu tinggi, kenapa bisa ditaklukkan Yo Ko hingga tak mampu berkutik ?
Dalam pada itu dilihatnya Ang Ling-po telah angkat pedangnya hendak menusuk Yo Ko lagi. “Perempuan ini kurangajar terhadap diriku tadi, harus kuhajar adat padanya,” demikian ia pikir dengan lekas.
Karena itu, tiba2 kedua jarinya menyentil ke batang pedang Ang Ling-po yang kiri, begitu hebat selentikan ini hingga pedangnya mendadak meloncat terus membentur pedang Ang Ling-po di tangan kanan dengan mengeluarkan suara nyaring Keruan Ang Ling-po terkejut, kedua tangannya pun linu oleh karena tenaga benturan tadi sehingga sepasang pedangnya terjatuh ke lantai, saking kaya sampai Ang Ling-po berkeringat dingin, pula ia melompat mundur.
Dan oleh karena saling beradunya kedua pedang tadi sehingga mencipratkan lelatu api, maka sekilas terlihat oleh Li Bok-chiu bahwa diantara sinar mata sang Sumoay seperti mengunjuk semacam perasaan aneh dan sedang memandang padanya dengan dingin.
Karena itu, tanpa terasa Li Bok-chiu jadi malu juga, “Anak busuk, apa kau minta mampus ?” damperatnya segera, Berbareng ini kedua lengannya tiba2 bekerja, yang satu meronta dan yang lain melepas, maka berhasil dia loloskan diri dari pelukan Yo Ko yang “mesra”, bahkan menyusul telapak tangannya terus memukul ke arah Siao- liong-li
Dengan sendirinya Siao-liong-li menangkis, tetapi segera terasa olehnya tenaga pukulan sang Suci terlalu hebat, terlalu kuat, ia sendiri baru sembuh dari luka parah. dadanya kini menjadi sakit lagi oleh karena getaran pukulan orang.
Dalam pada itu, dilihatnya Yo Ko merangkak bangun dan kembali menubruk maju hendak membantu dirinya pula, Karuan ia sangat mendongkol
“Ko-ji, apa betul2 kau tidak mau turut perkataanku ?” bentaknya.
“Apa saja yang bibi katakan akan kuturut, hanya sekali ini saja aku tak mau turut,” sahut Yo Ko tiba2, “O, Kokoh yang baik, biarlah aku mati-hidup bersama saja dengan kau.”
Mendengar lagu suara orang begitu tulus dan begitu sungguh2, kembali hati murni Siao-Iiong-li” terguncang lagi.
Sementara ia lihat Li Bok-chiu kembali melontarkan sekali gablokan pula, ia insaf kepandaian sendiri kini banyak terganggu, pukulan keras ini se-kali2 tak dapat ditangkisnya, tanpa pikir segera ia melompat ke samping, berbareng ini ia samber tubuh Yo Ko terus melarikan diri keluar dari lubang pintu tadi.
Namun Li Bok-chiu tidak tinggal diam, segera ia menyusul di belakang orang dan ulur tangan hendak menjambret punggung Yo Ko, “Jangan lari!” demikian bentaknya pula.
Tetapi Siao-liong-li sudah siap, tiba2 ia baliki tangannya dan berhamburlah segenggam pasir tawon putih dengan cepat ke arah Li Bok-chiu.
Begitu lihay Giok-hong-soa atau pasir tawon putih itu hingga se-akan2 tak bersuara, tetapi tahu2 sudah menyamber tiba, Namun betapapun juga Li Bok-chju terhitung sesama guru dengan Siao-liong-li, dia kenal betapa lihaynya Am-gi ini, ketika mendadak hidungnya mengendus bau manis dan harum madu tawon, dalam kagetnya sekonyong-konyong ia mengayun tubuhnya sendiri ke belakang, karena perbuatannya ini sama sekali tak ter-duga2, maka Ang Ling-po yang membuntut dibelakang sang guru kena tertumbuk hingga ke-dua-duanya jatuh terjungkal.
Dalam pada itu terdengarlah suara “cring-cring” nyaring halus, kiranya belasan butir pasir tawon putih itu telah kena menyambit dinding batu, menyusul terdengar pula suara “krekat-kre-ket” dua kali, nyata Siao-liong-li sudah lari keluar kamar batu dengan menggondol Yo Ko, alat perangkap rahasia dikerahkan, maka kembali pintu gua tersumbat rapat pula.
Sesudah meloloskan diri keluar kuburan itu bersama gurunya, Yo Ko tidak kepalang girang-nya, ia menghisap hawa segar beberapa kali di alam terbuka itu.
“Kokoh, sekarang biar kuturunkan batu raksasa itu, agar dua wanita jahat itu mampus di dalam kuburan,” katanja kemudian pada Siao-liong-li, habis ini lantas ia hendak pergi mencari alat rahasianya.
Diluar dugaan Siao-liong-li telah goyang2 kepala atas usulnya tadi.
“Nanti dulu, tunggu kalau aku sudah masuk pula ke dalam,” katanya tiba2.
Keruan Yo Ko terkejut
“He, kenapa mau masuk lagi ?” tanyanya cepat.
“Ya, Suhu sudah pesan aku menjaga baik2 kuburan ini, maka se-kali2 tidak boleh aku mem-biarkannya dikangkangi orang lain,” kata Siao-liong-li.
“Jika kita tutup rapat pintu kuburan, mereka kan tidak bakal hidup lebih lama lagi,” ujar Yo Ko.
“Ya, tetapi akupun tidak bisa masuk kemba-li,” sahut Siao-liong-li. “Apa yang dikatakan Suhu tak berani kubantah, Hm, tidak seperti kau !” -Habis berkata, dengan sengit ia pelototi Yo Ko sekejap.
Seketika hati Yo Ko terkesiap, darahnya segera bergolak lagi, tiba2 ia pegang lengan Siao-liong-li dan berkata: “Baiklah Kokoh, aku pasti turut segala perkataanmu.”
Mendengar kata2 Yo Ko yang diucapkan dengan mesra ini, Siao-liong-li sedapat mungkin menahan perasaan hatinya, tak berani dia terguncang lagi, maka sepatah-katapun ia tidak menyahut, ia kipatkan tangan orang terus masuk kembali ke dalam kuburan kuno itu.
“Nah, lekaslah kau turunkan batu penutupnya !” katanya kemudian sambil berdiri mungkur, ia sengaja membelakangi Yo Ko yang masih berdiri di luar kuburan, ia kuatir kalau dirinya tak sanggup menguasai perasaan sendiri, maka dia tak mau memandang pemuda itu lagi.
Di lain pihak Yo Ko sendiripun diam2 sudah ambil suatu keputusan, ia sedot dalam2 hawa segar alam terbuka itu, waktu ia menengadah, ia lihat cakrawala penuh bertaburan dengan bintang2 yang berkelap-kelip, “lnilah untuk penghabisan kalinya aku memandang langit dan bintang,” katanya di dalam hati.
Kemudian ia mendekati sebelah kiri pilar kuburan itu, ia turuti apa yang pernah Siao-liong-li tunjuk padanya, dengan kuat ia geser pilar batu itu, betul saja di bawahnya terdapat sepotong batu lagi yang berbentuk bundar, maka dipegangnya batu bulat itu terus ditarik sekuat tenaganya.
Oleh karena tarikan itu, batu bundar itu terlepas hingga berwujut satu lubang, menyusul dari dalam lubang itu pe-lahan2 mengalir keluar pasir halus seperti mata air yang mengalir keluar dari sumbernya, maka tertampaklah dua batu raksasa di atas kuburan pe-lahan2 mulai menurun.
“Kedua potong batu raksasa ini beratnya beratus ribu kati, dahulu waktu Ong Tiong-yang membangun kuburan ini, untuk memasang batu2 ini saja diperlukan tenaga ratusan orang secara gotong-royong, kini kalau sampai pintu kuburan tersumbat rapat oleh batu raksasa ini, maka dapat dipastikan Li Bok-chiu, Siao-liong-li dan Ang Ling-po selama hidup tidak bakal bisa keluar kembali.
Menyadari akibatnya apabila batu raksasa itu merapat, tak tertahan lagi air mata Siao-liong-li bercucuran, mendadak dia menoleh.
Dalam pada itu batu raksasa itu kira2 tinggal dua kaki lagi hampir sampai di tanah, se-konyong2 dengan gerak tipu “giok-li-tau-so” (si gadis ayu melempar tali), secepat kilat Yo Ko menerobos masuk lagi ke dalam kuburan melalui lubang selebar dua kaki itu secepat anak panah terlepas dari busurnya.
Siao-liong-li menjerit kaget oleh perbuatan Yo Ko yang tak terduga itu. sementara itu Yo Ko sudah berdiri tegak lagi di hadapannya.
“Kokoh, kini kau tak bisa mengusir aku lagi,” kata bocah ini dengan tertawa.
Baru habis berkata, tiba2 terdengar dua kali suara keras, kiranya kedua batu raksasa itu sudah membentur tanah hingga kuburan itu tertutup rapat.
Dalam kagetnya tadi segera Siao-liong-li merasakan kegirangan yang tak terhingga pula, saking hebat guncangan perasaannya, hampir2 saja ia jatuh pingsan lagi, dengan badan lemas ia bersandar pada dinding batu, napasnya ter-sengal2.
“Baiklah, biar kita mati bersama di suatu tempat,” katanya kemudian sesudah agak lama, Habis ini ia gandeng tangan Yo Ko dan masuk ke ruangan dalam.
Tatkala mana Li Bok-chiu berdua sedang berusaha hendak membuka pintu kamar yang tertutup rapat itu, tetapi belum berhasil, keruan mereka kaget ketika melihat Siao-liong-li dan Yo Ko mendadak muncul kembali, segera pula mereka kegirangan begitu bergerak, segera Li Bok-chiu melompat ke belakang Siao-liong-li dan Yo Ko dengan tujuan memotong jalan mundur mereka.
Namun demikian, sikapnya Siao-liong-li tetap tenang saja.
“Suci, marilah kubawa kau ke suatu tempat,” katanya tiba2 dengan dingin.
Karena ajakan ini, Li Bok-chiu berbalik ragu2, ia tak menjawab, hanya dalam hati ia membatin: “Di dalam kuburan ini penuh terpasang perangkap rahasia, jangan aku sampai kena dikibuli.”
“Aku hendak bawa kau berziarah ke depan abu Suhu, jika kau tak mau pergi, terserahlah !” kata Siao-liong-li pula.
“Jangan kau coba gunakan nama Suhu untuk menipu aku,” sahut Li Bok-chiu.
Siao-liong-li tersenyum dingin oleh jawaban orang, iapun tidak ber-kata2 lagi, tetapi lantas berjalan menuju ke pintu sambil masih gandeng tangan Yo Ko.
Lagu suara dan tingkah laku Siao-liong-li seperti membawa semacam keangkeran yang tak bisa dibantah orang, maka Li Bok-chiu berdua pun lantas mengikut di belakangnya, cuma senantiasa ia berlaku waspada, sedikitpun tak berani lengah.
Meski diikuti orang dari belakang, namun Siao-liong-li masih terus jalan ke depan dengan gandeng tangan Yo Ko, sama sekali dia tak pikir kalau sang Suci mungkin akan membokong dirinya, ia terus masuk ke kamar peti mati batu itu.
Meski Li Bok-chiu sudah pernah tinggal di dalam kuburan kuno ini, namun kamar makam ini ternyata belum dikenalnya, teringat olehnya budi mendiang gurunya yang telah mendidiknya, dalam hatinya mula2 rada pilu juga, tetapi bila teringat pula sang guru yang berat sebelah, pilih kasih pada sesama murinya, dari rasa duka seketika berubah menjadi gusar, dan karena ini dia tidak berlutut dan menyembah pada abu makam guru-nya.
“Hubungan kami antara guru dan murid sudah lama terputus, untuk apa membawa aku ke sini ?” dengan marah segera ia damperat Siao-liong-li.
“Bukankah disini masih ada dua peti mati kosong, yang satu disediakan untuk kau dan yang lain buat aku,” kata Siao-liong-li kemudian dengan tawar saja, “Sebab inilah aku ingin tanya dulu padamu, kau suka peti yang mana, boleh kau pilih sesukamu.”
Ia berkata sambil menuding pada kedua peti batu yang masih kosong itu.
Keruan saja tidak kepalang gusar Li Bok-chiu.
“Kurangajar, berani kau permainkan aku ?” bentaknya murka, sekali pukul tahu2 telapak tangannya telah menuju dada Siao-liong-li.
Begitu cepat pukulan ini hingga tampaknya dengan segera tangannya akan mampir di dada orang, namun Siao-liong-li ternyata masih diam2 saja, sedikitpun ia tidak berusaha menangkis atau mengelakkan diri, keruan berbalik Li Bok-chiu sendiri tertegun, “Jika kena, pasti dia mampus seketika,” pikir Li Bok-chiu diam2, dan karena orang masih tetap tidak menangkis, tiba2 telapak tangannya yang tinggal beberapa senti di depan dada Siao-liong-li itu mendadak dia tarik kembali mentah-mentah.
Di lain pihak Siao-liong-li ternyata masih tenang2 saja meski setiap saat jiwanya terancam bahaya. “Suci, Toan-liong-ciok pintu kuburan sudah menutup rapat!” demikian katanya.
“Ha ?” seru Li Bok-chiu kaget, seketika mukanya menjadi pucat lesi pula.
Ya, meskipun tidak semua perangkap rahasia di dalam kuburan ini dia dikenalinya, namun “Toan-liong-ciok” atau batu-pemotong-naga, yaitu kedua batu raksasa penutup pintu kuburan tadi, cukup dikenalnya sebagai satu jalan paling lihay pada saat terakhir, dahulu batu raksasa itu disediakan gurunya untuk men-jaga2 bila kedatangan musuh tangguh yang tak bisa dilawan, maka batu itu dapat dipakai sebagai benteng pertahanan siapa tahu dirinya kini justru kena ditutup rapat di dalam kuburan oleh sang Sumoay.
“Kau tahu jalan ke… keluar lain, bukan ?” tanyanya kemudian dengen suara ter-putus2.
“Kau sendiri cukup tahu, apabila Toan-liong-ciok sudah menutup, maka pintu kuburan tidak nanti bisa dibuka lagi,” kata Siao-liong-li dingin.
“Kau bohong !” teriak Li Bok-chiu tiba2 dengan bengis sambil janmbret dada orang.
Walaupun diperlakukan secara kasar, tetap Siao-liong-li tidak melawan atau menjadi marah.
“Nah, di sanalah Giok-li-sim-keng yang ditinggalkan Suhu itu, kau ingin membacanya, pergilah baca sesukamu,” kata Siao-liong-li lagi tetap tenang.” Aku sendiri menanti disini bersama Ko-ji, mau kau bunuh, boleh kau lakukan, tetapi bila kau ingin keluar dari sini, itulah kukira tidak mungkin lagi!”
Nampak sikap orang, tangan Li Bok-chiu yang menjambret baju dada Siao-liong-li pe-lahan2 menjadi kendur dan lurus ke bawah lagi, dengan penuh perhatian ia coba awasi orang, lihat wajah Siao-liong-li mengunjuk sikap yang acuh tak acuh, maka percayalah dia se-kali2 sang Sumoay tidak ber-dusta.
“Baik juga, biar kubunuh dahulu kalian berdua !” katanya tiba2, pikirannya mendadak berubah. Berbareng ini sebelah telapak tangannya dia pukulkan ke muka Siao-liong-li.
Diluar dugaannya, se-konyong2 Yo Ko melompat maju terus menghadang di hadapan Siao-liong-li.
“Mau bunuh, bunuh saja diriku !” demikian teriaknya pula.
Karena ini, telapak tangan Li Bok-chiu berubah arah menuju dada Yo Ko, namun sesudah dekat, sesaat masih dia tahan dan tidak dipukulkan terus, dengan sorot mata gemas ia pandang marah ini
“Lagi2 begini rupa kau membela dia, apa kau memang sudah rela mati untuk dia ?” tanyanya kemudian
“Ya !” sahut Yo Ko dengan suara lantang.
Atas jawaban ini, secepat kilat tahu2 Li Bok-chiu sudah dapat merampas pedang Yo Ko yang terselip di ikat pinggangnya itu, dengan senjata rampasan ini segera ditodongkannya ke tenggorokan anak itu.
“Aku hanya perlu bunuh seorang saja,” kata Li Bok-chiu. “Coba kau katakan sekali lagi, kau yang mati atau dia saja yang mati ?”
Yo Ko tidak menjawab, ia pandang Siao-liong-li sambil tertawa, Nyata tatkala itu mereka berdua ini sudah tak menghiraukan mati-hidup lagi, tidak peduli Li Bok-chiu akan membunuh mereka dengan cara bagaimana, yang jelas mereka tidak akan menggubrisnya.
Nampak kelakuan Yo Ko dan Siao-liong-li ini, tiba2 Li Bok-chiu menghela napas panjang, pedangnya dilemparkan ke lantai.
“Sudahlah, Sumoay, sumpahmu sudah batal, kau boleh bebas keluar dari sini,” katanya dengan suara lemah.
Sebab apakah tiba2 Li Bok-chiu berkata demikian ? Kiranya Ko-bong-pay yang didirikan Lim Tiao-eng ini, karena dahulu dia mencintai Ong Tiong-yang secara sepihak dan tidak terbalas, dalam dukanya maka Lim Tiao-eng telah menetapkan satu peraturan perguruan yang keras, yalah barang siapa yang menjadi ahliwaris golongan Ko-bong-pay ini harus bersumpah untuk selama hidup akan menetap di dalam kuburan kuno dan seumur hidup tidak akan turun dari Cong-lam-san, Tetapi ada suatu kekecualian, yakni apabila ada seorang pemuda dengan rela dan tulus hati bersedia mati untuknya, maka sumpah seumur hidup tidak akan turun gunung itu menjadi batal.
Hanya saja hal ini se-kali2 tidak boleh diketahui lebih dulu oleh si lelaki itu. Sebab Lim Tiao-eng anggap kaum laki2 di seluruh jagat ini semuanya berhati palsu, tidak nanti ada laki2 yang rela mati untuk seorang perempuan, bila betul2 ada orangnya, maka anak murid keturunannya boleh mengikuti lelaki itu turun gunung.
Li Bok-chiu sendiri lebih dulu masuk perguruan daripada Siao-liong-li, seharusnya dialah yang menjadi ahliwaris Ko-bong-pay, tetapi karena dia tak mau bersumpah untuk tidak turun gunung, maka akhirnya Siao-liong-li yang diangkat sebagai ahliwaris Ko-bong-pay.
Melihat Yo Ko begitu tulus dan setia pada Siao-liong-li, tanpa terasa dari kagum, iri, terasa menjadi benci pula, teringat oleh Li Bok-chiu dahulu Liok Tian-goan telah ingkar janji dan patahkan hatinya, maka tiba2 ia beringas lagi.
“Ya, Sumoay, kau sungguh beruntung sekali,” teriaknya mendadak, habis ini ia samber pedang yang jatuh tadi terus ditusukkan ke tenggorokan Yo Ko.
Melihat tusukan orang sekali ini benar2 keji dan sungguhan, dalam keadaan berbahaya, tidak bisa tidak Siao-liong-li harus menolong Yo Ko.
belasan butir Giok-hong-soa segera dia hamburkan lagi.
Lekas2 Li Bok-chiu enjot kakinya, ia meloncat ke atas untuk menghindari serangan pasir berbisa itu. Tetapi kesempatan ini kembali dipergunakan Siao-liong-li dengan baik, ia tarik Yo Ko dan berlari lagi ke pintu dengan cepat.
“Suci, sumpahku batal atau tidak perlu dipikirkan pendek kata kita berempat rupanya sudah pasti akan mati bersama di dalam kuburan ini,” demikian Siao-liong-li masih berpaling dan berseru pada Li Bok-chiu, “Aku tak ingin melihat rupamu lagi, biarlah kita mati sendiri2 saja.”
Sembari berkata, ia raba pada ujung dinding, lalu turun lagi pintu batu, kembali mereka berempat di-pisah2kan pula.
Dalam pada itu, saking tergoncangnya perasaan Siao-liong-li seketika sukar melangkah lagi, Iekas2 Yo Ko memayangnya dan dibawa mengaso ke kamarnya Sun-popoh.
Yo Ko menuang dua cangkir madu tawon, ia serahkan secangkir pada Siao-liong-li dan dia sendiri minum secangkir.
“Ko-ji, coba katakan, mengapa kau rela mati untuk aku ?” tanya Siao-liong-li kemudian sambil menghela napas pelahan.
“Ya, di dunia ini melainkan kau saja yang sangat baik padaku, mengapa aku tidak mau mati untukmu ?” sahut Yo Ko tegas.
Mendengar jawaban yang pasti ini, Siao-liong-li berbalik terdiam.
“Jika tahu begini sebelumnya, kitapun tidak perlu lagi kembali ke dalam kuburan untuk mati bersama mereka,” katanya sesudah lewat sejenak.
“Kokoh, apa kita tak bisa berdaya untuk keluar ?” tanya Yo Ko.
“Nyata kau tidak tahu betapa kuat bangunan kuburan ini” sahut Siao-liong-li “Sungguhpun kepandaianku sepuluh kali lebih tinggi lagi juga tak mampu keluar.”
Mengerti jawaban orang ini bukan omong kosong belaka, Yo Ko menjadi putus asa dan menghela napas.
“Kau menyesal bukan ?” tanya Siao-liong-li.
“Tidak, tidak,” sahut Yo Ko cepat dan pasti “sedikitnya di sini aku berada bersama kau, padahal di luar sana tiada seorangpun yang sayang padaku lagi.”
Dahulu Siao-liong-li telah melarang Yo Ko membilang “kau sayang padaku” segala, karenanya sejak itu Yo Ko tak pernah mengucapkannya lagi, tetapi kini perasaannya sudah berubah, maka demi mendengar ucapan itu, sebaliknya terasalah semacam perasaan yang hangat dan mesra.
“Kalau begitu, kenapa kau menghela napas ?” ia tanya lagi.
“Kokoh, aku pikir apabila kita bisa sama2 turun gunung, di dunia luar sana banyak sekali hal2 yang menarik, pula kau selalu mendampingi aku, siapapun tentu tiada berani menghina aku lagi,” sahut Yo Ko.
Hati Siao-liong-li sebenarnya bersih dan tenang, sebab sejak bayi dia tinggal di dalam kuburan kuno ini selamanya sang guru dan Sun-popo tidak pernah bercerita tentang keadaan di dunia luar, dengan sendirinya hal semacam itupun tidak pernah dia bayangkan, tetapi kini di-sebut2 Yo Ko, tanpa tertahan perasaannya menjadi bergolak dan susah ditekan.
Siao-liong-li merasa darah hangat di dadanya serasa mendidih dan membanjir ke atas, ia berniat kumpulkan Lwekangnya buat mengatasi namun toh tetap tidak menjadi tenang, diam2 ia heran dan terkejut, ia merasa seumur hidupnya belum pernah mengalami pergolakan serupa ini, ia pikir tentu hal ini disebabkan sehabis terluka parah, maka tenaga dalam sukar dipulihkan kembali.
Nyata dia tidak tahu disebabkan dalam tubuhnya sudah banyak mengalir darahnya Yo Ko yang panas, keadaan sudah jauh berbeda dengan wataknya dahulu yang tenang dan dingin selalu, oleh karena itu gangguan2 tenaga dan berbagai macam pikiran se-konyong2 lantas membanjir.
Ia coba bersemadi di atas dipan, tetapi rasanya tetap gelisah, begitu kusut pikirannya, dia lantas mondar-mandir dalam kamar itu, tetapi semakin jalan rasanya semakin sumpek dan langkahnya juga semakin cepat hingga akhirnya dia ber-Iari2 sendirian.
Melihat kedua pipi orang semu merah dan sikapnya berobah aneh, Yo Ko luar biasa heran-nya, belum pernah dia melihat kelakuan Siao-liong-li seperti sekarang ini semenjak mereka berkenalan.
Setelah ber-lari2 sebentar, kemudian Siao-liong-li duduk lagi di atas pembaringan, ia coba pandang Yo Ko, ia lihat wajah pemuda ini cakap, tapi penuh rasa kuatir atas dirinya, tibal hatinya tergerak, ia pikir: “Toh aku sudah mau mati, begitu juga dia, Lalu buat apa lagi urus segala soal guru dan murid atau bibi dan kemenakan ? jika dia mau peluk aku, pasti aku tidak akan menolak dan biarkan dia peluk aku se-kencang2nya.”
Dalam pada itu Yo Ko sedang mengamat-amati juga pada Siao-liong-li, ia lihat mata orang seperti sedang bicara, dadanya naik-turun dengan napas rnemburu, ia sangka sang guru kambuh lagi luka dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar