Minggu, 18 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 57



Kembalinya Pendekar Rajawali 57

Mengalami naik turun beberapa kali di lorong sumur itu, Lik-oh seperti bercanda saja dengan maut, keruan ia pingsan saking ketakutan.
Cepat Yo Ko menutuk Hiat-to Hoan It-ong agar kakek cebol itu tidak dapat berkutik, habis itu barulah dia tolong Lik-oh, ia pijat Jin-tiong-hiat (antara atas bibir dan bawah hidung) nona itu, tidak Iama nona itupun siuman.
Perlahan-lahan Lik-oh membuka matanya, ia tidak tahu lagi dirinya berada dimana sekarang, di bawah sinar bulan samar-samar dilihatnya Yo Ko berdiri di depannya dan sedang memandangnya dengan tersenyum simpul.
Tanpa tahan ia terus menubruk ke dalam pelukan pemuda itu sambil berseru: “O, Nyo-toako, apakah kita sudah berada di akhirat?”
Sambil merangkul si cantik, dengan tertawa Yo Ko menjawab: “Ya, kita sudah mati semua,”
Mendengar ucapan Yo Ko itu mengandung nada kelakar, cepat Lik-oh mendongak untuk memandang muka pemuda itu, tapi segera dilihatnya pula sang ibu sedang menatap padanya
dengan senyum2 aneh, ia menjadi jengah dan cepat melepaskan diri dari pelukan Yo Ko.
Betapapun Yo Ko sangat kagumi terhadap Kiu Jian-jio yang lumpuh itu tapi dapat mengatasi Hoan-It-ong untuk menyelamatkan jiwanya, segera ia bertanya: “Dengan cara bagaimana tadi engkau membikin kakek cebol ini mati kutu?”.
Kiu Jian-jio tersenyum dan angkat sebelah tangannya, kiranya yang dipegangnya ada sepotong batu kecil yang  ujungnya runcing. Karena kepandaian Kongsun Ci adalah ajaran Kiu Jian-jio sendiri, sedangkan Hoan It-ong adalah murid Kongsun Ci, maka tidak heran kalau Hoan It-ong dibikin mati kutu oleh ancaman Kiu Jian-jio walaupun sebenarnya nenek itu tak bertenaga sama sekali.
Kini yang terpikir oleh Yo Ko hanya keselamatan Siao-liong-li saja, sedangkan Kongsun Lik-oh dan Kiu Jian-jio sudah berada di tempat yang aman, Hoan It-ong juga sudah dibuatnya tak berkutik, segera ia berkata: “Harap kalian berdua menunggu sebentar, aku perlu mengantarkan Coat-ceng-tan lebih dulu.”
Kiu Jian-jio menjadi heran, tanyanya: “Coat-ceng-tan apa? Kau juga punya?”
“Ya, lihatlah ini, bukankah ini Coat-eeng-tan tulen?” jawab Yo Ko. Lalu ia mengeluarkan botol kecil dan menuang pil yang berbentuk persegi itu.
Setelah mengambilnya dan diendus beberapa kali, Kiu Jian-jio berkata: “Betul, inilah Coat-ceng tan, Mengapa obat ini bisa berada padamu? Kau sendiri terkena racun bunga cinta, mengapa pula kau tidak meminumnya sendiri?”
“Soal ini cukup panjang untuk diceritakan.” ujar Yo Ko, “nanti setelah kuantarkan obat ini akan kuceritakan kepada  Locianpwe.” Habis itu ia terima kembali obat itu terus hendak melangkah pergi.
Sedih dan prihatin pula hati Lik-oh, dengan perasaan hampa ia berkata: “Nyo-toako, kalau ayahku merintangi kau, kukira kau harus mencari suatu akal yang baik.”
“Kembali ayah!” bentak Kiu Jian-jio, “Jika kau memanggjl dia ayah lagi, selanjutnya kau jangan memanggil ibu padaku,”
“Kuantar obat untuk menyembuhkan Kokoh yang keracunan itu, tentu Kongsun Kokcu takkan merintangiku,” ujar Yo Ko.
“Tapi kalau dia menjebak dengan cara lain?” kata Lik-oh pula.
“Apa boleh buat, terpaksa kubertindak menurut keadaan,” jawab Yo Ko.
Kiu Jian-jio menjadi curiga melihat tekad Yo Ko itu, segera ia bertanya: “Jadi kau perlu menemui Kongsun Ci, begitu?”
Yo Ko mengatakan tanpa sangsi.
“Baik, aku ikut kesana, mungkin dapat kubantu kau apabila perlu,” kata Kiu Jian-jio
Maksud tujuan Yo Ko hanya ingin menyelamatkan Siao-liong-ii belaka dan tidak pernah memikirkan urusan Jain, sekarang mendengar Kiu Jian-jio ingin ikut, mendadak timbul
setitik cahaya dalam benaknya, pikirnya: “Kalau saja isteri pertama Kokcu bangsat muncul mendadak, masakah dia dapat menikahi Kokoh lagi?”
Sungguh girangnya tak terkatakan, Tapi tiba-tiba teringat puia: “Coat-ceng-tan hanya ada satu biji, meski dapat menyelamatkan jiwa Kokoh, diriku tetap tak terhindar dari
kematian.” - Berpikir demikian, seketika ia menjadi sedih pula.
Melihat air muka Yo Ko sebentar gembira dan lain saat sedih, Lik-oh menjadi bingung, apalagi ayah-ibunya sebentar lagi bakal bertemu kembali dan entah bagaimana jadinya nanti, sungguh kacau benar pikirannya.
Sebaliknya Kiu Jian-jio tampak sangat senang dan bersemangat, ia berseru: “Hayo anak Lik, lekas gendong aku ke sana!”
“Kukira ibu perlu mandi dulu dan berganti pakaian,” ujar Lik-oh.
Sesungguhnya dia cuma takut menyaksikan adegan pertemuan kembali ayah-bundanya nanti, maka maksudnya sengaja mengulur tempo belaka.
Kiu Jian-jio menjadi gusar, omelnya: “Memangnya bajuku hancur dan badanku kotor begini karena perbuatan siapa? Apakah…” Sampai disini, tiba-tiba teringat olehnya dahulu Toako Kiu Jian-li sering menyamar menjadi Jiko Kiu Jian-yim untuk menggertak orang di dunia Kangouw dan tidak sedikit tokoh persilatan yang mengkerut kena di-gertaknya.
Kini diri sendiri dalam keadaan lumpuh dan pasti bukan tandingan Kongsun Ci, sekalipun nanti berhadapan juga sakit hati sukar terbalas, jalan satu-satunya hanya menyaru sebagai Jiko untuk menggertak Kongsun Ci, biar nyalinya pecah dan ketakutan setengah mati, habis itu barulah kuturun tangan menurut gelagat nanti, untungnya Kongsun Ci tidak pernah kenal Jiko, pula mengira diriku sudah mati di dalam gua bawah tanah itu, dia pasti tidak curiga.
Begitulah diam-diam Kiu Jian-jio merencanakan cara menundukkan Kongsun Ci nanti, Tapi segera berpikir pula :”Sekian tahun menjadi isterinya, masakah dia akan pangling padaku?”
Melihat si nenek termangu-mangu ragu Yo Ko dapat menerka sebagian apa yang dipikirkan orang tua itu, katanya kemudian: “Apakah engkau takut dikenali Kongsun Ci? Haha, jangan kuatir aku mempunyai sesuatu barang mestika.”
Segera ia mengeluarkan kedok kulit dan dipakai pada mukanya sendiri, benar saja wajahnya lantas berubah sama sekali, seram menakutkan tanpa emosi.
Kau Jian -jio sangat girang, cepat ia terima kedok kulit tipis itu, katanya: “Anak Lik, kau mendekati belakang perkampungan dan sembunyi dihutan sana, lalu kau menyusup kesana mengambilkan sehelai baju coklat serta sebuah kipas bulu, jangan lupa.”
Lik-oh mengiakan, lalu ia berjongkok dan menggendong sang ibu
Waktu Yo Ko memandang sekeiilingnya, kiranya mereka berada di atas bukit yang dikelilingi hutan yang lebat, perkampungan Cui-sinkouw tampak remang-remang di sebelah bukit sana.
Sambil menghela napas Kiu Jian - jio berkata “Bukit ini bernama Le-kui-hong (bukit hantu) konon dipuncak bukit ini sering ada hantu yang mengganggu orang, maka biasanya tiada orang berani naik ke sini. Tak tersangka bahwa kelahiranku kembali didunia ini justeru berada di bukit-ini.”
Segera Yo Ko membentak Hoan It-ong untuk mengorek keterangannya: “Lekas katakan, untuk apa kau datang kesini?”
Meski berada dalam cengkeraman musuh, sedikitpun Hoan It - ong tidak gentar, ia balas membentak: ” Tidak perlu banyak omong, lekas kau bunuh saja diriku!”
“Kongsun Kokcu yang mengirim kau kesini, bukan?” desak pula Yo Ko.
“Benar.” jawab Hoan It-ong dengan gusar, “Suhu memerintahkan aku memeriksa sekitar bukit ini untuk menjaga penyusupan musuh ke sini, Ternyata dugaan beliau tidak meleset, memang betul ada orang sedang main gila disini,”
Sembari bicara ia terus mengawasi Kiu Jian-jio, ia heran siapakah nenek botak ini, mengapa nona Kongsun memanggil ibu padanya?
Maklumlah usia Hoan It-ong memang jauh lebih tua dari pada Kiu Jiang-jio dan Kongsun Ci, dia sudah mahir ilmu silat sebelum berguru pada Kongsun Ci, waktu masuk perguruan ia tidak pernah bertemu dengan Kiu Jian-jio karena sudah dijebloskan ke dalam gua bawah tanah oleh Kongsun Ci. Tapi dari percakapan Yo Ko bertiga Hoan It-ong yakin mereka pasti akan memusuhi sang guru.
Kiu Jian-jio menjadi gusar, dari nada ucapan Hoan It-ong dapat diketahuinya kakek cebol itu jelas sangat setia kepada Kongsun Ci, segera ia berseru kepada Yo Ko: “Lekas binasakan dia daripada menanggung risiko dikemudian hari.”
Yo Ko menoleh, dilihatnya Hoan It-ong tidak gentar menghadapi kemungkinan dibunuhnya, diam-diam ia kagum akan sikapnya yang jantan itu, iapun tidak ingin membantah keinginan Kiu Jian-jio, maka katanya kepada Lik-oh: “Nona Kongsun, boleh kau gendong ibumu turun dulu ke sana, segera aku menyusul setelah kubereskan si cebol ini.”
Kongsun Lik-oh kenal pribadinya Toa-suheng-nya yang baik itu, ia tidak tega melihat Hoan It-ong mati konyol, maka ia mohon ampun: “Yo-toako…”
“Lekas berangkat… lekas!” mendadak Kiu Jian-jio menyentaknya dengan gusar, “Apa yang kukatakan selalu kau bantah, percuma punya anak perempuan seperti kau.”
Lik-oh tak berani bicara Iagi, cepat ia menggendong sang ibu dan turun dari bukit itu.
Yo Ko mendekati Hoan It-ong dan membuka Hiat-to bagian lengan yang ditutuknya tadi, lalu berkata dengan suara tertahan: “Hoan-heng, Hiat-to pada kakimu yang kututuk tadi akan buyar dengan sendirinya setelah lewat 6 jam, selamanya kita tidak ada permusuhan apapun, aku tidak ingin mencelakai kau,” Habis berkata ia terus menyusul Lik-oh dengan Ginkangnya yang tinggi.
Sebenarnya Hoan It-ong sudah pejamkan mata dan menunggu ajal, sama sekali ia tidak menduga Yo Ko akan berlaku begitu baik padanya, seketika ia melenggong kesima dan memandangi bayangan ketiga orang menghilang dibalik pepohonan yang kelam sana.
Setelah menyusuInya, Yo Ko merasa langkah Lik-oh terlalu lambat, segera ia berkata: “Kiu-locianpwe, biar aku saja yang menggendong engkau.”
Tadinya Lik-oh merasa kuatir antara Yo Ko dan ibunya sering tidak cocok dalam pembicaraan kini pemuda itu menyatakan mau menggendong sang ibu, tentu saja Lik-oh sangat girang, katanya: “Wah, bikin susah kau saja.”
“Dengan susah payah aku mengandung sepuluh bulan barulah melahirkan anak perempuan secantik ini, sekarang tanpa kau minta sudah kuberikan padamu, masakah menggendong sebentar bakal mertua juga enggan?” demikian omel Kiu Jian-jio.
Yo Ko melengak dengan perasaan kikuk, ia merasa tidak enak untuk menanggapi ucapan orang tua itu, Segera ia mengangkat tubuh Kiu Jian-jio ke punggung sendiri, lalu dibawanya berlari secepat terbang ke bawah bukit.
Kiu Jian-yim, yaitu kakak kedua Kiu Jian-Jio yang menjabat ketua Thi-cio-pang dahulu terkenal dengan julukan Thi-cio-cui-siang-biau, sitelapak tangan besi melayang di permukaan air, julukan yang menggambarkan kelihayan Ginkangnya. Dahulu dia pernah berkelahi dengan Ciu Pek-thong secara maraton dimulai dari daerah Tionggoan sampai ke wilayah barat dekat Tibet, Tokoh yang berkepandaian tinggi seperti Lo-wan-tong saja sukar menyusulnya.
Sedangkan Kanghu (kepandaian silat-Kungfu) Kiu Jian-jio adalah ajaran sang kakak, Ginkangnya juga kelas satu, tapi sekarang berada di punggung Kyo Ko, rasanya pemuda itu berlari sedemikian cepat dan mantap langkahnya seolah-olah kaki tidak menempel tanah, mau-tak-mau Kiu Jian-jio sangat kagum dan heran puIa, ia pikir Ginkang anak muda ini jelas tidak sama dengan Ginkang perguruanku sebagaimana ilmu pukulan yang pernah ia mainkan kemarin, namun jelas kepandaiannya tidak dibawah kanghu Thi-cio-pang dan sama sekali tidak boleh diremehkan.
Tadinya Kiu Jian jio merasa rugi kalau anak perempuannya mendapatkan suami seperti Yo Ko, soalnya puterinya sudah suka, ia merasa apa boleh buat. Tapi sekarang ia mulai merasakan bakal menantu ini sedikitpun tidak merendahkan harga diri anak perempuannya.
BegituIah hanya sebentar saja Yo Ko sudah membawa Kiu Jian-jio sampai dibawah bukit, waktu ia menoleh, tertampak Lik-oh masih tertinggal di pinggang bukit, sejenak kemudian barulah nona itu dapat menyusulnya dan kelihatan napas memburu dan dahi berkeringat.
Dengan hati-hati mereka bertiga memutar ke belakang perkampungan Cui-sian-kok, Lik-oh tidak berani masuk ke sana melainkan pergi kepada seorang tetangga untuk meminjam baju buat dipakai sendiri, selain itu iapun meminjam baju dan kipas yang diperlukan sang ibu.
Kiu Jian-jio mengembalikan bajunya kepada Yo Ko, lalu memakai kedok kulit serta memakai baju coklat, dengan tangan memegang kipas serta dipayang Yo Ko dan Lik-oh di kanan-kiri, menujulah mereka ke pintu gerbang perkampungan.
Waktu memasuki pintu itu, pikiran ketiga orang sama-sama bergolak hebat, sudah belasan tahun Kiu Jian-jio meninggalkan perkampungan ini dan sekarang berkunjung lagi ke sini, sungguh sukar dilukiskan perasaannya pada waktu itu.
Terlihat pintu gerbang perkampungan itu ada beberapa pasang lampu kerudung warna merah yang sangat besar, jelas itulah pajangan pada rumah yang sedang berpesta perkawinan, suara tetabuhan juga terdengar berkumandang dari ruangan pendopo sana.
Ketika para centeng melihat Kiu Jian-jio dan Yo Ko, mereka sama melengak bingung, Tapi lantaran mereka didampingi Kongsun Lik-oh, dengan sendirinya para centeng itu tak berani merintanginya.
Langsung mereka masuk ke ruangan pendopo yang penuh dengan tetamu dan dalam suasana riang gembira itu.
Kelihatan Kongsun Ci memakai baju merah dan berdandan sebagai pengantin laki-laki berdiri di sebelah kiri Di sebelah kanan pengantin perempuan bertopi bertabur mutiara dan kembang goyang, meski wajahnya tidak kelihatan karena memakai kerudung, tapi dilihat dari perawakannya yang ramping, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li?
Sekonyong-konyong sinar api berkelebat menyusul terdengar suara letusan beberapa kali, suara mercon.
“Tiba saat bahagia, pengantin baru disilakan bersembahyang!” demikian pembawa upacara berseru.
Pada waktu itulah mendadak Kiu Jian-jio bergelak tertawa, suaranya menggetar hingga genting rumah sama berkelotek, cahaya lilin juga berguncang, Menyusul ia berseru lantang: “pengantin baru bersembahyang, pengantin lama lantas bagaimana?”
Meski urat kaki tangannya sudah putus, namun Lwekangnya sama sekali belum punah, apalagi selama belasan tahun ia tekun berlatih dalam gua bawah tanah tanpa terganggu, maka hasil latihan belasan tahun itu boleh dikatakan satu kali lipat lebih kuat daripada latihan orang biasa.
Maka suara seruannya itu sungguh keras luar biasa sehingga anak telinga semua orang serasa mendenging, suasana menjadi suram, sebagian besar lilin yang memenuhi sudut2 ruangan itu sama padam.
Semua orang terkejut dan berpaling ke sana, Kongsun Ci juga kaget mendengar suara bentakan hebat itu, ia menjadi bingung dan waswas. Ketika nampak Yo Ko dan anak perempuannya muncul di situ tanpa kekurangan sesuatu mendampingi orang berkedok yang aneh itu.
“Siapakah saudara?” segera Kongsun Ci membentak. Kiu Jian-jio sengaja membikin serak suaranya dan menjengek: “Hm, aku adalah sanak pamilimu yang terdekat, masakah kau pura-pura tidak kenal padaku?”
Kim-lun Hoat-ong, In Kik-si, Siau-siang-cu dan lain-lain juga sama tertarik oleh suara Kiu Jian-jio yang hebat itu, mereka tahu orang aneh ini pasti bukan sembarang orang, serentak mereka memusatkan perhatian.
Melihat Kiu Jian-jio memakai baju coklat dan membawa kipas, dandanannya persis seperti Kiu-Jian-yim yang pernah diceritakan oleh isterinya dahulu, Namun ia merasa janggal bahwa Kiu Jian-yim bisa mendadak datang ke sini.
Tampaknya kedatangan orang tidak bermaksud baik, diam-diam ia siap siaga, Dengan dingin iapun berkata pula: “Selamanya kita tidak kenal, mengapa kau mengaku sanak pamiliku segala? Sungguh menggelikan!”
Di antara hadirin itu In Kik-si paling paham kisah dunia persilatan di masa lampau, melihat dandanan Kiu Jian-jio itu, seketika pikirannya tergerak, legera iabertanya: “Apakah tuan ini Thi-cio-cui-siang-biau Kiu Jian-yim, Kiu-locianpwe?”
Kiu Jian-jio sengaja terbahak-bahak dan menggoyang-goyang kipasnya, lalu menjawab: “Hahahaha! Kukira orang yang kenal diriku sudah mati semua, kiranya masih sisa seorang kau ini!”
Kongsun Ci tenang saja, katanya kemudian: “Apakah betul saudara ini Kiu Jian-yim? Hah, kukira tiruan belaka!”
Kiu Jian-jio terkejut akan kecerdikan orang, ia menjadi ragu pula jangan-jangan penyamarannya itu telah diketahui
Maka ia cuma mendengus saja tanpa menjawab.
Sementara itu Yo Ko tidak pedulikan permainan apa yang sedang terjadi pada bekas suami isteri itu, ia menyerobot kesamping Siao-liong-li, dengan tangan kanan membawa Coat-ceng-tan, tangan kiri-terus menyingkap kerudung muka si nona sambil berseru : “Kokoh, lekas buka mulut -mu!”
Jantung Siao-liong-li berdebar juga ketika mendadak nampak Yo Ko berada di depannya, WHe, engkau betul sudah sembuh!” serunya girang bercampur kejut.
Kini Siao-liong-Ii sudah tahu betapa keji hati Kongsun Ci serta tindak tanduknya yang tidak baik, sebabnya dia menyanggupi akan menjadi istrinya hanya demi menyelamatkan jiwa Yo Ko saja, kini nampak anak muda itu muncul mendadak, disangkanya Kongsun Ci benar pegang janji telah menyembuhkan racun dalam tubuh Yo Ko.
Dalam pada itu Yo Ko terus menyodorkan Coat-ceng-tan kemulut Siao-ttoog-li sambil berseru: “Lekas telan !”
Siao-liong-li tidak tahu barang apa yang di -suruh makan itu, namun dia menurut dan menelannya ke dalam perut, Segera terasa suatu arus hawa segar langsung menyusup kedalam perut.
“He kau berikan dia, kau sendiri lantas bagaimana ?” seru Lik-oh kuatir.
Seketika Siao-liong-li paham duduknya, perkara, tanyanya dengan kaget: “Jadi kau sendiri belum pernah minum obat penawarnya?”
Yo Ko tersenyum saja tanpa menjawabnya, sementara itu ruangan pendopo sedang kacau baIau. Mestinya Kongsun Ci hendak mencegah pendekatan Yo Ko dengan Siaoliong-li, tapi iapun jeri pada tokoh berkedok yang aneh itu, sebelum tahu siapakah lawannya ia tak berani sembarangan bertindak.
Dalam pada itu Yo Ko lantas menanggalkan topi pengantin Siaoliongli dan di-robek2, lalu nona itu digandeng ke samping ruangan, katanya: “Kokoh, Kokcu bangsat itu bakal ketemu batunya, marilah kita menonton permainan yang menarik saja.
Hati Siao-liong li sendiri merasa kacau, ia menggelendot di tubuh Yo Ko dan tidak tahu apa yang harus diucapkan.
Yang paling senang melihat kedatangan Yo Ko adalah si dogol Be Kong-co, ia tidak ambil pusing anak muda itu sedang asyik masyuk dengan Siao-liong-li dan sepantasnya jangan diganggu, ia justeru mendekati mereka serta bertanya ini dan itu tanpa habis-habis Pada 20-an tahun yang lalu In Kik-si sudah dengar nama Kiu Jian-yim yang termashur dan disegani setiap orang Bu-lim, kini melihat Lwe-kangnya memang sangat tinggi, diam-diam ia ingin berkenalan dengan dia, segera ia melangkah maju dan memberi hormat, sapanya: “Hari ini adalah hari bahagia Kongsun Kokcu, apakah Kiu-locianpwe hadir untuk minum arak bahagia pernikahannya ini?”
“Apakah kau tahu dia pernah apa dengan aku?” jawab Kiu Jian-jio sambil menuding Kongsun Ci.
In Kik-si menggeIeng. “Tidak tahu, justeru Cayhe ingin minta penjelasan,” katanya.
“Coba kau suruh dia katakan sendiri,” ujar Kiu Jianjio.
“Apakah kau betul-betul Thi-cio-ciu-siang-biau?” terdengar Kongsun Ci menegas pula, Mendadak ia bertepuk tangan dan berkata kepada seorang muridnya “Ambilkan kotak surat yang tertaruh di rak sebelah timur dikamar tulisku!”
Dalam keadaan bingung Likoh menarik sebuah kursi untuk berduduk ibunya.
Kongsun Ci sangat heran anak perempuannya dan Yo Ko yang di jerumuskannya ke dalam kolam buaya itu ternyata tidak mati, malahan sekarang muncul lagi dengan seorang yang mengaku sebagai Kiu Jian-yim.
Tidak lama muridnya telah membawakan kotak surat yang diminta, Kongsun Ci membuka kotak itu dan mengeluarkan sepucuk surat, katanya dengan dingin: “Beberapa tahun yang lalu pernah kuterima surat dari Kiu Jian-yim, kalau benar engkau Kiu Jian-yim, maka surat inilah yang palsu.”
Kiu Jian-jio terkejut, pikirnya: “Sejak Jiko bertengkar dengan aku, selama itu tak pernah memberi kabar, mengapa dia bilang menerima surat dari Jiko? Dan entah apa yang dikatakan didalam suratnya itu.”
Karena itu segera ia berseru: “Huh, bila kupernah menulis surat padamu? Benar-benar omong kosong belaka!”
Dari logat bicaranya, tiba-tiba Kongsun Ci teringat kepada seorang, ia terkejut, seketika keringat dingin membasahi punggungnya. Tapi segera ia berpikir pula. “Ah, tidak mungkin. Dia sudah mati di gua bawah tanah itu, tulang belulangnya sekalipun sudah lapuk, manabisa hidup lagi? Tapi orang ini sebenarnya siapa?”
Segera iapun membentang surat tadi dan di bacanya dengan suara lantang: “Kepada adik Ci dan adik Jio, sejak Toako tewas di tangan Kwe Ceng dan Oey Yong di Thi-cio-hong….”
Mendengar kalimat pertama isi surat itu, seketika hati Kiu Jian-jio menjadi pedih dan berduka, bentaknya cepat: “Apa katamu? Siapa bilang Toakoku sudah mati?” selamanya dia berhubungan paling akrab dengan Kiu Jian-li, kini mendadak mendengar berita kematiannya, dengan sendirinya ia sangat sedih, tubuhnya gemetar dan suarapun berubah, mau-tak-mau keluar juga suara kewanitaannya.
Kongsun Ci sangat cerdik, begitu yakin orang yang dihadapinya ini adalah perempuan meski dalam hatinya bertambah kejut dan waswas, namun iapun tambah yakin orang pasti bukan Kiu Jian-yim, Maka iapun meneruskan membaca isi surat tadi: “kakakmu ini merasa menyesal telah berselisih paham dengan kau sehingga selama ini kita tak pernah berkumpul. Kini kakak sudah disadarkan oleh It-teng Taysu, golok jagal sudah kubuang, kakak telah tunduk pada ajaran Budha. Pada hari tua sekarang sering terkenang olehku betapa senangnya ketika kita berkumpul dahulu, Mudah2-an saja kalian hidup bahagia dan banyak rejeki….”
Sembari mengikuti bunyi isi surat itu, diam-diam Kiu Jian-jio meneteskan air mata, setelah surat itu habis di baca Kongsun Ci, ia tidak dapat menahan tangisnya lagi, segera ia berteriak : “O, Toako dan Jiko, tahukah kalian betapa penderitaanku ini! ” mendadak iapun menanggalkan kedoknya dan membentak :”Kongsun Ci, masih kenal tidak padaku ?”
Suara bentakan yang menggelegar ini seketika membikin sebagian api lilin padam lagi, sisa api lilin yang lain juga terguncang goyang dan suram, pada saat itulah mendadak wajah seorang nenek2 yang bengis muncul di hadapan semua orang.
Seketika mereka terkejut, siapapun tidak berani bersuara, suasana menjadi sunyi senyap, hati setiap orang ikut berdebar-debar Sekonyong-konyong seorang budak tua yang berdiri dipojok sana berlari-lari maju sambil berseru: “Cubo,” Cubo (majikan perempuan, Cukong - majikan Iaki-Iaki), kiranya engkau masih segar bugar!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar