Kembalinya Pendekar Rajawali 57
Mengalami naik turun beberapa kali di lorong
sumur itu, Lik-oh seperti bercanda saja dengan maut, keruan ia pingsan saking
ketakutan.
Cepat Yo Ko menutuk Hiat-to Hoan It-ong agar
kakek cebol itu tidak dapat berkutik, habis itu barulah dia tolong Lik-oh, ia
pijat Jin-tiong-hiat (antara atas bibir dan bawah hidung) nona itu, tidak Iama
nona itupun siuman.
Perlahan-lahan Lik-oh membuka matanya, ia
tidak tahu lagi dirinya berada dimana sekarang, di bawah sinar bulan
samar-samar dilihatnya Yo Ko berdiri di depannya dan sedang memandangnya dengan
tersenyum simpul.
Tanpa tahan ia terus menubruk ke dalam
pelukan pemuda itu sambil berseru: “O, Nyo-toako, apakah kita sudah berada di
akhirat?”
Sambil merangkul si cantik, dengan tertawa Yo
Ko menjawab: “Ya, kita sudah mati semua,”
Mendengar ucapan Yo Ko itu mengandung nada
kelakar, cepat Lik-oh mendongak untuk memandang muka pemuda itu, tapi segera
dilihatnya pula sang ibu sedang menatap padanya
dengan senyum2 aneh, ia menjadi jengah dan
cepat melepaskan diri dari pelukan Yo Ko.
Betapapun Yo Ko sangat kagumi terhadap Kiu
Jian-jio yang lumpuh itu tapi dapat mengatasi Hoan-It-ong untuk menyelamatkan
jiwanya, segera ia bertanya: “Dengan cara bagaimana tadi engkau membikin kakek
cebol ini mati kutu?”.
Kiu Jian-jio tersenyum dan angkat sebelah
tangannya, kiranya yang dipegangnya ada sepotong batu kecil yang ujungnya
runcing. Karena kepandaian Kongsun Ci adalah ajaran Kiu Jian-jio sendiri,
sedangkan Hoan It-ong adalah murid Kongsun Ci, maka tidak heran kalau Hoan
It-ong dibikin mati kutu oleh ancaman Kiu Jian-jio walaupun sebenarnya nenek
itu tak bertenaga sama sekali.
Kini yang terpikir oleh Yo Ko hanya
keselamatan Siao-liong-li saja, sedangkan Kongsun Lik-oh dan Kiu Jian-jio sudah
berada di tempat yang aman, Hoan It-ong juga sudah dibuatnya tak berkutik,
segera ia berkata: “Harap kalian berdua menunggu sebentar, aku perlu mengantarkan
Coat-ceng-tan lebih dulu.”
Kiu Jian-jio menjadi heran, tanyanya:
“Coat-ceng-tan apa? Kau juga punya?”
“Ya, lihatlah ini, bukankah ini Coat-eeng-tan
tulen?” jawab Yo Ko. Lalu ia mengeluarkan botol kecil dan menuang pil yang
berbentuk persegi itu.
Setelah mengambilnya dan diendus beberapa
kali, Kiu Jian-jio berkata: “Betul, inilah Coat-ceng tan, Mengapa obat ini bisa
berada padamu? Kau sendiri terkena racun bunga cinta, mengapa pula kau tidak
meminumnya sendiri?”
“Soal ini cukup panjang untuk diceritakan.”
ujar Yo Ko, “nanti setelah kuantarkan obat ini akan kuceritakan kepada
Locianpwe.” Habis itu ia terima kembali obat itu terus hendak melangkah pergi.
Sedih dan prihatin pula hati Lik-oh, dengan
perasaan hampa ia berkata: “Nyo-toako, kalau ayahku merintangi kau, kukira kau
harus mencari suatu akal yang baik.”
“Kembali ayah!” bentak Kiu Jian-jio, “Jika
kau memanggjl dia ayah lagi, selanjutnya kau jangan memanggil ibu padaku,”
“Kuantar obat untuk menyembuhkan Kokoh yang
keracunan itu, tentu Kongsun Kokcu takkan merintangiku,” ujar Yo Ko.
“Tapi kalau dia menjebak dengan cara lain?”
kata Lik-oh pula.
“Apa boleh buat, terpaksa kubertindak menurut
keadaan,” jawab Yo Ko.
Kiu Jian-jio menjadi curiga melihat tekad Yo
Ko itu, segera ia bertanya: “Jadi kau perlu menemui Kongsun Ci, begitu?”
Yo Ko mengatakan tanpa sangsi.
“Baik, aku ikut kesana, mungkin dapat kubantu
kau apabila perlu,” kata Kiu Jian-jio
Maksud tujuan Yo Ko hanya ingin menyelamatkan
Siao-liong-ii belaka dan tidak pernah memikirkan urusan Jain, sekarang
mendengar Kiu Jian-jio ingin ikut, mendadak timbul
setitik cahaya dalam benaknya, pikirnya:
“Kalau saja isteri pertama Kokcu bangsat muncul mendadak, masakah dia dapat
menikahi Kokoh lagi?”
Sungguh girangnya tak terkatakan, Tapi
tiba-tiba teringat puia: “Coat-ceng-tan hanya ada satu biji, meski dapat
menyelamatkan jiwa Kokoh, diriku tetap tak terhindar dari
kematian.” - Berpikir demikian, seketika ia
menjadi sedih pula.
Melihat air muka Yo Ko sebentar gembira dan
lain saat sedih, Lik-oh menjadi bingung, apalagi ayah-ibunya sebentar lagi
bakal bertemu kembali dan entah bagaimana jadinya nanti, sungguh kacau benar
pikirannya.
Sebaliknya Kiu Jian-jio tampak sangat senang
dan bersemangat, ia berseru: “Hayo anak Lik, lekas gendong aku ke sana!”
“Kukira ibu perlu mandi dulu dan berganti
pakaian,” ujar Lik-oh.
Sesungguhnya dia cuma takut menyaksikan
adegan pertemuan kembali ayah-bundanya nanti, maka maksudnya sengaja mengulur
tempo belaka.
Kiu Jian-jio menjadi gusar, omelnya:
“Memangnya bajuku hancur dan badanku kotor begini karena perbuatan siapa?
Apakah…” Sampai disini, tiba-tiba teringat olehnya dahulu Toako Kiu Jian-li
sering menyamar menjadi Jiko Kiu Jian-yim untuk menggertak orang di dunia
Kangouw dan tidak sedikit tokoh persilatan yang mengkerut kena di-gertaknya.
Kini diri sendiri dalam keadaan lumpuh dan
pasti bukan tandingan Kongsun Ci, sekalipun nanti berhadapan juga sakit hati
sukar terbalas, jalan satu-satunya hanya menyaru sebagai Jiko untuk menggertak
Kongsun Ci, biar nyalinya pecah dan ketakutan setengah mati, habis itu barulah
kuturun tangan menurut gelagat nanti, untungnya Kongsun Ci tidak pernah kenal
Jiko, pula mengira diriku sudah mati di dalam gua bawah tanah itu, dia pasti
tidak curiga.
Begitulah diam-diam Kiu Jian-jio merencanakan
cara menundukkan Kongsun Ci nanti, Tapi segera berpikir pula :”Sekian tahun
menjadi isterinya, masakah dia akan pangling padaku?”
Melihat si nenek termangu-mangu ragu Yo Ko
dapat menerka sebagian apa yang dipikirkan orang tua itu, katanya kemudian:
“Apakah engkau takut dikenali Kongsun Ci? Haha, jangan kuatir aku mempunyai
sesuatu barang mestika.”
Segera ia mengeluarkan kedok kulit dan
dipakai pada mukanya sendiri, benar saja wajahnya lantas berubah sama sekali,
seram menakutkan tanpa emosi.
Kau Jian -jio sangat girang, cepat ia terima
kedok kulit tipis itu, katanya: “Anak Lik, kau mendekati belakang perkampungan
dan sembunyi dihutan sana, lalu kau menyusup kesana mengambilkan sehelai baju
coklat serta sebuah kipas bulu, jangan lupa.”
Lik-oh mengiakan, lalu ia berjongkok dan
menggendong sang ibu
Waktu Yo Ko memandang sekeiilingnya, kiranya
mereka berada di atas bukit yang dikelilingi hutan yang lebat, perkampungan
Cui-sinkouw tampak remang-remang di sebelah bukit sana.
Sambil menghela napas Kiu Jian - jio berkata “Bukit
ini bernama Le-kui-hong (bukit hantu) konon dipuncak bukit ini sering ada hantu
yang mengganggu orang, maka biasanya tiada orang berani naik ke sini. Tak
tersangka bahwa kelahiranku kembali didunia ini justeru berada di bukit-ini.”
Segera Yo Ko membentak Hoan It-ong untuk
mengorek keterangannya: “Lekas katakan, untuk apa kau datang kesini?”
Meski berada dalam cengkeraman musuh,
sedikitpun Hoan It - ong tidak gentar, ia balas membentak: ” Tidak perlu banyak
omong, lekas kau bunuh saja diriku!”
“Kongsun Kokcu yang mengirim kau kesini,
bukan?” desak pula Yo Ko.
“Benar.” jawab Hoan It-ong dengan gusar,
“Suhu memerintahkan aku memeriksa sekitar bukit ini untuk menjaga penyusupan
musuh ke sini, Ternyata dugaan beliau tidak meleset, memang betul ada orang sedang
main gila disini,”
Sembari bicara ia terus mengawasi Kiu
Jian-jio, ia heran siapakah nenek botak ini, mengapa nona Kongsun memanggil ibu
padanya?
Maklumlah usia Hoan It-ong memang jauh lebih
tua dari pada Kiu Jiang-jio dan Kongsun Ci, dia sudah mahir ilmu silat sebelum
berguru pada Kongsun Ci, waktu masuk perguruan ia tidak pernah bertemu dengan
Kiu Jian-jio karena sudah dijebloskan ke dalam gua bawah tanah oleh Kongsun Ci.
Tapi dari percakapan Yo Ko bertiga Hoan It-ong yakin mereka pasti akan memusuhi
sang guru.
Kiu Jian-jio menjadi gusar, dari nada ucapan
Hoan It-ong dapat diketahuinya kakek cebol itu jelas sangat setia kepada
Kongsun Ci, segera ia berseru kepada Yo Ko: “Lekas binasakan dia daripada
menanggung risiko dikemudian hari.”
Yo Ko menoleh, dilihatnya Hoan It-ong tidak
gentar menghadapi kemungkinan dibunuhnya, diam-diam ia kagum akan sikapnya yang
jantan itu, iapun tidak ingin membantah keinginan Kiu Jian-jio, maka katanya
kepada Lik-oh: “Nona Kongsun, boleh kau gendong ibumu turun dulu ke sana,
segera aku menyusul setelah kubereskan si cebol ini.”
Kongsun Lik-oh kenal pribadinya
Toa-suheng-nya yang baik itu, ia tidak tega melihat Hoan It-ong mati konyol,
maka ia mohon ampun: “Yo-toako…”
“Lekas berangkat… lekas!” mendadak Kiu
Jian-jio menyentaknya dengan gusar, “Apa yang kukatakan selalu kau bantah,
percuma punya anak perempuan seperti kau.”
Lik-oh tak berani bicara Iagi, cepat ia
menggendong sang ibu dan turun dari bukit itu.
Yo Ko mendekati Hoan It-ong dan membuka
Hiat-to bagian lengan yang ditutuknya tadi, lalu berkata dengan suara tertahan:
“Hoan-heng, Hiat-to pada kakimu yang kututuk tadi akan buyar dengan sendirinya
setelah lewat 6 jam, selamanya kita tidak ada permusuhan apapun, aku tidak
ingin mencelakai kau,” Habis berkata ia terus menyusul Lik-oh dengan Ginkangnya
yang tinggi.
Sebenarnya Hoan It-ong sudah pejamkan mata
dan menunggu ajal, sama sekali ia tidak menduga Yo Ko akan berlaku begitu baik
padanya, seketika ia melenggong kesima dan memandangi bayangan ketiga orang
menghilang dibalik pepohonan yang kelam sana.
Setelah menyusuInya, Yo Ko merasa langkah
Lik-oh terlalu lambat, segera ia berkata: “Kiu-locianpwe, biar aku saja yang
menggendong engkau.”
Tadinya Lik-oh merasa kuatir antara Yo Ko dan
ibunya sering tidak cocok dalam pembicaraan kini pemuda itu menyatakan mau
menggendong sang ibu, tentu saja Lik-oh sangat girang, katanya: “Wah, bikin
susah kau saja.”
“Dengan susah payah aku mengandung sepuluh
bulan barulah melahirkan anak perempuan secantik ini, sekarang tanpa kau minta
sudah kuberikan padamu, masakah menggendong sebentar bakal mertua juga enggan?”
demikian omel Kiu Jian-jio.
Yo Ko melengak dengan perasaan kikuk, ia
merasa tidak enak untuk menanggapi ucapan orang tua itu, Segera ia mengangkat
tubuh Kiu Jian-jio ke punggung sendiri, lalu dibawanya berlari secepat terbang
ke bawah bukit.
Kiu Jian-yim, yaitu kakak kedua Kiu Jian-Jio
yang menjabat ketua Thi-cio-pang dahulu terkenal dengan julukan
Thi-cio-cui-siang-biau, sitelapak tangan besi melayang di permukaan air,
julukan yang menggambarkan kelihayan Ginkangnya. Dahulu dia pernah berkelahi
dengan Ciu Pek-thong secara maraton dimulai dari daerah Tionggoan sampai ke
wilayah barat dekat Tibet, Tokoh yang berkepandaian tinggi seperti Lo-wan-tong
saja sukar menyusulnya.
Sedangkan Kanghu (kepandaian silat-Kungfu)
Kiu Jian-jio adalah ajaran sang kakak, Ginkangnya juga kelas satu, tapi
sekarang berada di punggung Kyo Ko, rasanya pemuda itu berlari sedemikian cepat
dan mantap langkahnya seolah-olah kaki tidak menempel tanah, mau-tak-mau Kiu
Jian-jio sangat kagum dan heran puIa, ia pikir Ginkang anak muda ini jelas
tidak sama dengan Ginkang perguruanku sebagaimana ilmu pukulan yang pernah ia
mainkan kemarin, namun jelas kepandaiannya tidak dibawah kanghu Thi-cio-pang
dan sama sekali tidak boleh diremehkan.
Tadinya Kiu Jian jio merasa rugi kalau anak
perempuannya mendapatkan suami seperti Yo Ko, soalnya puterinya sudah suka, ia
merasa apa boleh buat. Tapi sekarang ia mulai merasakan bakal menantu ini
sedikitpun tidak merendahkan harga diri anak perempuannya.
BegituIah hanya sebentar saja Yo Ko sudah
membawa Kiu Jian-jio sampai dibawah bukit, waktu ia menoleh, tertampak Lik-oh
masih tertinggal di pinggang bukit, sejenak kemudian barulah nona itu dapat
menyusulnya dan kelihatan napas memburu dan dahi berkeringat.
Dengan hati-hati mereka bertiga memutar ke
belakang perkampungan Cui-sian-kok, Lik-oh tidak berani masuk ke sana melainkan
pergi kepada seorang tetangga untuk meminjam baju buat dipakai sendiri, selain
itu iapun meminjam baju dan kipas yang diperlukan sang ibu.
Kiu Jian-jio mengembalikan bajunya kepada Yo
Ko, lalu memakai kedok kulit serta memakai baju coklat, dengan tangan memegang
kipas serta dipayang Yo Ko dan Lik-oh di kanan-kiri, menujulah mereka ke pintu
gerbang perkampungan.
Waktu memasuki pintu itu, pikiran ketiga
orang sama-sama bergolak hebat, sudah belasan tahun Kiu Jian-jio meninggalkan
perkampungan ini dan sekarang berkunjung lagi ke sini, sungguh sukar dilukiskan
perasaannya pada waktu itu.
Terlihat pintu gerbang perkampungan itu ada
beberapa pasang lampu kerudung warna merah yang sangat besar, jelas itulah
pajangan pada rumah yang sedang berpesta perkawinan, suara tetabuhan juga
terdengar berkumandang dari ruangan pendopo sana.
Ketika para centeng melihat Kiu Jian-jio dan
Yo Ko, mereka sama melengak bingung, Tapi lantaran mereka didampingi Kongsun
Lik-oh, dengan sendirinya para centeng itu tak berani merintanginya.
Langsung mereka masuk ke ruangan pendopo yang
penuh dengan tetamu dan dalam suasana riang gembira itu.
Kelihatan Kongsun Ci memakai baju merah dan
berdandan sebagai pengantin laki-laki berdiri di sebelah kiri Di sebelah kanan
pengantin perempuan bertopi bertabur mutiara dan kembang goyang, meski wajahnya
tidak kelihatan karena memakai kerudung, tapi dilihat dari perawakannya yang
ramping, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li?
Sekonyong-konyong sinar api berkelebat
menyusul terdengar suara letusan beberapa kali, suara mercon.
“Tiba saat bahagia, pengantin baru disilakan
bersembahyang!” demikian pembawa upacara berseru.
Pada waktu itulah mendadak Kiu Jian-jio
bergelak tertawa, suaranya menggetar hingga genting rumah sama berkelotek,
cahaya lilin juga berguncang, Menyusul ia berseru lantang: “pengantin baru
bersembahyang, pengantin lama lantas bagaimana?”
Meski urat kaki tangannya sudah putus, namun
Lwekangnya sama sekali belum punah, apalagi selama belasan tahun ia tekun
berlatih dalam gua bawah tanah tanpa terganggu, maka hasil latihan belasan
tahun itu boleh dikatakan satu kali lipat lebih kuat daripada latihan orang
biasa.
Maka suara seruannya itu sungguh keras luar
biasa sehingga anak telinga semua orang serasa mendenging, suasana menjadi
suram, sebagian besar lilin yang memenuhi sudut2 ruangan itu sama padam.
Semua orang terkejut dan berpaling ke sana,
Kongsun Ci juga kaget mendengar suara bentakan hebat itu, ia menjadi bingung
dan waswas. Ketika nampak Yo Ko dan anak perempuannya muncul di situ tanpa
kekurangan sesuatu mendampingi orang berkedok yang aneh itu.
“Siapakah saudara?” segera Kongsun Ci
membentak. Kiu Jian-jio sengaja membikin serak suaranya dan menjengek: “Hm, aku
adalah sanak pamilimu yang terdekat, masakah kau pura-pura tidak kenal padaku?”
Kim-lun Hoat-ong, In Kik-si, Siau-siang-cu
dan lain-lain juga sama tertarik oleh suara Kiu Jian-jio yang hebat itu, mereka
tahu orang aneh ini pasti bukan sembarang orang, serentak mereka memusatkan
perhatian.
Melihat Kiu Jian-jio memakai baju coklat dan
membawa kipas, dandanannya persis seperti Kiu-Jian-yim yang pernah diceritakan
oleh isterinya dahulu, Namun ia merasa janggal bahwa Kiu Jian-yim bisa mendadak
datang ke sini.
Tampaknya kedatangan orang tidak bermaksud
baik, diam-diam ia siap siaga, Dengan dingin iapun berkata pula: “Selamanya
kita tidak kenal, mengapa kau mengaku sanak pamiliku segala? Sungguh menggelikan!”
Di antara hadirin itu In Kik-si paling paham
kisah dunia persilatan di masa lampau, melihat dandanan Kiu Jian-jio itu,
seketika pikirannya tergerak, legera iabertanya: “Apakah tuan ini
Thi-cio-cui-siang-biau Kiu Jian-yim, Kiu-locianpwe?”
Kiu Jian-jio sengaja terbahak-bahak dan
menggoyang-goyang kipasnya, lalu menjawab: “Hahahaha! Kukira orang yang kenal
diriku sudah mati semua, kiranya masih sisa seorang kau ini!”
Kongsun Ci tenang saja, katanya kemudian:
“Apakah betul saudara ini Kiu Jian-yim? Hah, kukira tiruan belaka!”
Kiu Jian-jio terkejut akan kecerdikan orang,
ia menjadi ragu pula jangan-jangan penyamarannya itu telah diketahui
Maka ia cuma mendengus saja tanpa menjawab.
Sementara itu Yo Ko tidak pedulikan permainan
apa yang sedang terjadi pada bekas suami isteri itu, ia menyerobot kesamping
Siao-liong-li, dengan tangan kanan membawa Coat-ceng-tan, tangan kiri-terus
menyingkap kerudung muka si nona sambil berseru : “Kokoh, lekas buka mulut
-mu!”
Jantung Siao-liong-li berdebar juga ketika
mendadak nampak Yo Ko berada di depannya, WHe, engkau betul sudah sembuh!”
serunya girang bercampur kejut.
Kini Siao-liong-Ii sudah tahu betapa keji
hati Kongsun Ci serta tindak tanduknya yang tidak baik, sebabnya dia
menyanggupi akan menjadi istrinya hanya demi menyelamatkan jiwa Yo Ko saja,
kini nampak anak muda itu muncul mendadak, disangkanya Kongsun Ci benar pegang
janji telah menyembuhkan racun dalam tubuh Yo Ko.
Dalam pada itu Yo Ko terus menyodorkan
Coat-ceng-tan kemulut Siao-ttoog-li sambil berseru: “Lekas telan !”
Siao-liong-li tidak tahu barang apa yang di
-suruh makan itu, namun dia menurut dan menelannya ke dalam perut, Segera
terasa suatu arus hawa segar langsung menyusup kedalam perut.
“He kau berikan dia, kau sendiri lantas
bagaimana ?” seru Lik-oh kuatir.
Seketika Siao-liong-li paham duduknya,
perkara, tanyanya dengan kaget: “Jadi kau sendiri belum pernah minum obat
penawarnya?”
Yo Ko tersenyum saja tanpa menjawabnya,
sementara itu ruangan pendopo sedang kacau baIau. Mestinya Kongsun Ci hendak
mencegah pendekatan Yo Ko dengan Siaoliong-li, tapi iapun jeri pada tokoh
berkedok yang aneh itu, sebelum tahu siapakah lawannya ia tak berani
sembarangan bertindak.
Dalam pada itu Yo Ko lantas menanggalkan topi
pengantin Siaoliongli dan di-robek2, lalu nona itu digandeng ke samping
ruangan, katanya: “Kokoh, Kokcu bangsat itu bakal ketemu batunya, marilah kita
menonton permainan yang menarik saja.
Hati Siao-liong li sendiri merasa kacau, ia
menggelendot di tubuh Yo Ko dan tidak tahu apa yang harus diucapkan.
Yang paling senang melihat kedatangan Yo Ko
adalah si dogol Be Kong-co, ia tidak ambil pusing anak muda itu sedang asyik
masyuk dengan Siao-liong-li dan sepantasnya jangan diganggu, ia justeru
mendekati mereka serta bertanya ini dan itu tanpa habis-habis Pada 20-an tahun
yang lalu In Kik-si sudah dengar nama Kiu Jian-yim yang termashur dan disegani
setiap orang Bu-lim, kini melihat Lwe-kangnya memang sangat tinggi, diam-diam
ia ingin berkenalan dengan dia, segera ia melangkah maju dan memberi hormat,
sapanya: “Hari ini adalah hari bahagia Kongsun Kokcu, apakah Kiu-locianpwe
hadir untuk minum arak bahagia pernikahannya ini?”
“Apakah kau tahu dia pernah apa dengan aku?”
jawab Kiu Jian-jio sambil menuding Kongsun Ci.
In Kik-si menggeIeng. “Tidak tahu, justeru
Cayhe ingin minta penjelasan,” katanya.
“Coba kau suruh dia katakan sendiri,” ujar
Kiu Jianjio.
“Apakah kau betul-betul
Thi-cio-ciu-siang-biau?” terdengar Kongsun Ci menegas pula, Mendadak ia
bertepuk tangan dan berkata kepada seorang muridnya “Ambilkan kotak surat yang
tertaruh di rak sebelah timur dikamar tulisku!”
Dalam keadaan bingung Likoh menarik sebuah
kursi untuk berduduk ibunya.
Kongsun Ci sangat heran anak perempuannya dan
Yo Ko yang di jerumuskannya ke dalam kolam buaya itu ternyata tidak mati,
malahan sekarang muncul lagi dengan seorang yang mengaku sebagai Kiu Jian-yim.
Tidak lama muridnya telah membawakan kotak
surat yang diminta, Kongsun Ci membuka kotak itu dan mengeluarkan sepucuk
surat, katanya dengan dingin: “Beberapa tahun yang lalu pernah kuterima surat
dari Kiu Jian-yim, kalau benar engkau Kiu Jian-yim, maka surat inilah yang
palsu.”
Kiu Jian-jio terkejut, pikirnya: “Sejak Jiko
bertengkar dengan aku, selama itu tak pernah memberi kabar, mengapa dia bilang
menerima surat dari Jiko? Dan entah apa yang dikatakan didalam suratnya itu.”
Karena itu segera ia berseru: “Huh, bila
kupernah menulis surat padamu? Benar-benar omong kosong belaka!”
Dari logat bicaranya, tiba-tiba Kongsun Ci
teringat kepada seorang, ia terkejut, seketika keringat dingin membasahi
punggungnya. Tapi segera ia berpikir pula. “Ah, tidak mungkin. Dia sudah mati
di gua bawah tanah itu, tulang belulangnya sekalipun sudah lapuk, manabisa
hidup lagi? Tapi orang ini sebenarnya siapa?”
Segera iapun membentang surat tadi dan di
bacanya dengan suara lantang: “Kepada adik Ci dan adik Jio, sejak Toako tewas
di tangan Kwe Ceng dan Oey Yong di Thi-cio-hong….”
Mendengar kalimat pertama isi surat itu,
seketika hati Kiu Jian-jio menjadi pedih dan berduka, bentaknya cepat: “Apa
katamu? Siapa bilang Toakoku sudah mati?” selamanya dia berhubungan paling
akrab dengan Kiu Jian-li, kini mendadak mendengar berita kematiannya, dengan
sendirinya ia sangat sedih, tubuhnya gemetar dan suarapun berubah, mau-tak-mau
keluar juga suara kewanitaannya.
Kongsun Ci sangat cerdik, begitu yakin orang
yang dihadapinya ini adalah perempuan meski dalam hatinya bertambah kejut dan
waswas, namun iapun tambah yakin orang pasti bukan Kiu Jian-yim, Maka iapun
meneruskan membaca isi surat tadi: “kakakmu ini merasa menyesal telah
berselisih paham dengan kau sehingga selama ini kita tak pernah berkumpul. Kini
kakak sudah disadarkan oleh It-teng Taysu, golok jagal sudah kubuang, kakak
telah tunduk pada ajaran Budha. Pada hari tua sekarang sering terkenang olehku
betapa senangnya ketika kita berkumpul dahulu, Mudah2-an saja kalian hidup
bahagia dan banyak rejeki….”
Sembari mengikuti bunyi isi surat itu,
diam-diam Kiu Jian-jio meneteskan air mata, setelah surat itu habis di baca
Kongsun Ci, ia tidak dapat menahan tangisnya lagi, segera ia berteriak : “O,
Toako dan Jiko, tahukah kalian betapa penderitaanku ini! ” mendadak iapun
menanggalkan kedoknya dan membentak :”Kongsun Ci, masih kenal tidak padaku ?”
Suara bentakan yang menggelegar ini seketika
membikin sebagian api lilin padam lagi, sisa api lilin yang lain juga
terguncang goyang dan suram, pada saat itulah mendadak wajah seorang nenek2
yang bengis muncul di hadapan semua orang.
Seketika mereka terkejut, siapapun tidak
berani bersuara, suasana menjadi sunyi senyap, hati setiap orang ikut
berdebar-debar Sekonyong-konyong seorang budak tua yang berdiri dipojok sana
berlari-lari maju sambil berseru: “Cubo,” Cubo (majikan perempuan, Cukong -
majikan Iaki-Iaki), kiranya engkau masih segar bugar!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar