Senin, 12 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 31



Kembalinya Pendekar Rajawali 31


Di lain pihak ketika melihat Yo Ko tidak terima Pokiam, sebaliknya ambil pedang bejat yang sudah karatan, hati Hotu terkesiap dan bertambah jeri, sebab seorang yang ilmu silatnya sudah sampai puncaknya, setiap gerakan, setiap  tindakan sudah cukup untuk melukai orang dan tak perlu lagi dengan senjata tajam, maka ia pikir apa orang betul-betul begitu temberang, cukup menggunakan sebatang pedang karatan saja?..
Segera iapun pantang kipas lempitnya, ia-kebas2 beberapa kali dan segera hendak membuka suara menantang.” Tiba-tiba dengan ujung pedang Yo Ko menuding empat huruf di atas kipasnya yang ditulis Cu Cu-liu itu.
“Haha, kau adalah bangsa biadab, semua orang sudah tahu, tak perlu kau pamer.” demikian ejek Yo Ko tertawa. Muka Hotu menjadi merah, “cret”, mendadak kipasnya ia lempit kembali hingga berwujud sebuah pentung pendek, terus saja ia tutuk pelahan ke “koh-cing-hiat” di pundak Nyo Ko, berbareng telapak tangan kiripun memukul dengan tenaga penuh. Selama beberapa tahun Nyo-Ko giat berlatih dalam kuburan kuno, semua inti pokok dari ilmu silat aliran Ko-bong-pay itu telan dipelajarinya: ilmu silat Giok-li-sim-keng ciptaan Lim Tiao-eng yang dilatihnya sendirian dalam kuburan kuno, sampai Ong Tiong-yang, itu jago silat yang diakui nomor satu di seluruh jagat juga kalah padanya, baru kemudian sesudah Ong Tiong-yang mendapatkan “Kiu-im-cin-keng”, Lim Tiao-eng dapat dikalahkannya lagi.
Setelah Lim Tiao-eng ciptakan ilmu silatnya itu iapun tidak pernah keluar lagi dari kuburan, belakangan hanya diturunkan pada dayang kepercayaannya dan dayangnya itu menurunkannya pada Siao-liong-Ii, ketiga perempuan ini bukan saja tak pernah berpijak di kalangan Bu-lim, bahkan Cong lam-san pun tak pernah turun selangkahpun. Meski Li Bok-chiu adalah Suci atau kakak seperguruan Siao-liong-li, tetapi gurunya sudah keburu tahu jiwanya yang busuk, maka ilmu silat yang paling tinggi belum diturunkan padanya.
Kini Yo Ko keluarkan ilmu silat Ko-bong-pay yang tiada tandingannya itu, diantara para hadirin yang berkumpul dari segala golongan dan segala aliran itu, kecuali Siao-liong-li sendiri ternyata tiada seorangpun yang kenal Kiam-hoat apa yang dimainkan Yo Ko itu.
Pencipta ilmu silat yang hebat ini asalnya seorang wanita, pula dua keturunan muridnya juga wanita semua, mau-tak-mau gayanya menjadi lemah-lembut dan kurang ganas. Begitu juga ketika Siao-liong-li ajarkan gerak tipunya pada Yo Ko, gerak-geriknya membawa gaya perempuan yang lemah gemulai Tetapi setelah Yo Ko dapat memahami seluruhnya, ia telah ubah semua gaya wanita itu hingga lebih gesit dan lebih cekatan.
Dasar Ginkang dari Ko-bong-pay memang tiada taranya, maka tertampaklah Yo Ko lari mengitari ruapgan dengan cepat, belum selesai tipu yang satu, serangan kedua sudah menyusul lagi ke sana pedangnya mengarah, tahu-tahu orangnya pun sudah sampai, baru belasan jurus dari Kiam-hoat–nya yang hebat itu dilontarkan, para kesatria itu tiada satupun yang tak kagum.
Sebenarnya ilmu silat kipas pangeran Hotu terhitung juga satu keistimewaan dalam dunia silat, cara-cara menyerangnya juga mengutamakan kelemasan dan kegesitan, tetapi kini kebentur Ginkang dari Ko-bong-pay yang hebat, nyatalah sedikitpun ia tak bisa berkutik ditambah lagi kipasnya kena ditulis empat huruf oleh Cu Cu-liu dan tadi telah diolok-olok Yo Ko, maka tak berani lagi dipentang, hingga karena itu ilmu silat kipasnya kena dikorting lagi.
Di sebelah sana, setelah tahu ilmu silat Yo Ko ternyata begitu lihay, Bu-si Hengte menjadi mati kutu, bersama Kwe Hu, enam mata terpentang lebar-lebar dan tak bisa bicara lagi.
Diantara para penonton itu, orang yang paling girang rasanya tiada lain daripada Kwe Ceng, sungguh tak diduganya bahwa putera adik angkatnya yang sudah almarhum itu bisa melatih silat sebegitu tinggi sampai ia sendiri tak mengetahui dari aliran mana, bila teringat hubungan keluarga Yo Ko dan Kwe, tanpa terasa, ia menjadi terharu bercampur girang.
Waktu Oey Yong melirik sang suami dan melihat matanya rada merah, sedang ujung mulutnya tersungging senyuman, ia tahu akan pikiran sang suami, maka tangan Kwe Ceng digenggamnya erat-erat.
Merasa tak ungkulan, Hotu menjadi gelisah sekali, ia pikir kalau hari ini terjungkal di tangan bocah ini, maka namanya boleh dikatakan terhanyut seluruhnya, jangan lagi hendak menjagoi Bu-lim?
Dalam pada itu dilihatnya Yo Ko telah menyerang pula, sekali tusuk mengarah tiga tempat bagian atas, kalau dia melompat berkelit itu berarti jatuh di bawah angin, maka tak dihiraukan lagi akan oIok2 orang, segera kipasnya dipentang untuk tangkis tiga tusukan orang, berbareng itu ia meng-gertak2, iapun balas menyerang dengan “Hong hong-siok-lui-kang” (ilmu angin badai dan petir kilat), ia kebas lengan baju dari kiri dan kipas dari kanan menerbitkan angin santar, sedang mulutnya terus meng-gertak2 keras seorang jagoan Bu-lim menandingi pemuda tak terkenal ternyata terpaksa harus keluarkan ilmu kepandaian terakhirnya untuk membela diri, seumpama akhirinya menang pasti juga akan kehilangan pamor, Akan tetapi asal tak kalah saja Hotu sudah terima, mana bisa dipikir yang Iain-lain.
Maka sembari membentak-bentak, serangan-serangannya juga semakin ganas, sebaliknya Yo Ko berlaku tenang saja dengan sikapnya yang gagah menarik, memangnya ilmu pedang “Bi-li-kiam-hoat” atau ilmu pedang si gadis ayu mengutamakan gaya manis, kini dibentak2 Hotu tentu saja semakin menambah kehalusan dan keindahannya.
Tetapi karena Yo Ko hanya mengutamakan gaya serangannya yang indah, dalam hal daya tekanan menjadi sukar dilontarkan seluruhnya, sebaliknya Hotu sudah nekat, makin tempur makin kalap dan tidak sayang buat adu jiwa, karenanya lambat laun Yo Ko jadi payah sendiri.
Melihat cara pertarungan itu, Kwe Ceng dan Oey Yong yang ilmu silatnya sangat tinggi lantas tahu Yo Ko bakal kecundang, maka alis mereka terkerut semakin rapat, lebih-lebih ketika dilihatnya angin pukulan Hotu semakin keras dan tambah cepat, diam-diam mereka kuatir.
Tak terduga mendadak Yo Ko ayun pedang-nya, lalu terdengar ia berseru : “Awas, aku akan melepas Am-gi!”
Tadi Hotu telah robohkan Gu-liu dengan pakunya yang berbisa, kini demi mendengar peringatan Yo Ko, ia sangka pedang orang juga sama seperti kipas lempitnya yang di dalamnya tersembunyi Am-gi atau senjata rahasia, kalau tadi ia menang dengan cara yang licik, maka kini tidak bisa salahkan lawan kalau cara itu ditiru, Karena itu, ketika dilihatnya Yo Ko ayun pedangnya, lekas ia melompat ke kiri.
Siapa tahu gerak tangan Yo Ko hanya palsu belaka, sebaliknya pedangnya terus menusuk, mana ada bayangan senjata rahasia yang dikatakannya ?
Tahu tertipu, Hotu menjadi gusar, ia mendamperat:
“Binatang cilik !”
“Binatang cilik memaki siapa ?” tanya Yo Ko.
Tetapi Hotu sudah pintar sekarang ia tidak menjawab, hanya serangannya bertambah gencar.
“Awas senjata rahasia !” kembali Yo Ko berseru sembari ayun tangan kirinya.
Dengan cepat Hotu melompat ke kanan, di sangkarnya sekali ini benar-benar orang menghamburkan Am-gi, siapa tahu pedang Yo Ko justru menusuk dari kanan secepat kilat, lekas-lekas ia membungkuk dan mengkeret tubuh, ujung pedang orang tahu-tahu menyamber lewat di bahunya jaraknya tidak lebih hanya satu-dua senti saja.
Tusukan itu sangat berbahaya dan cukup keji, tetapi karena tak kena sasarannya, para kesatria itu sama berteriak :
“Sayang !” sebaliknya para Bu su atau jago silat Mongol pada bersyukur.
Meski Hotu bisa lolos dari “lubang jarum”, namun tidak urung keringat dingin sudah membasahi tubuhnya.
“Awas Am-gi !” lagi-lagi ia dengar Yo Ko berseru dengan tertawa sembari ayun tangan kiri.
Sekali ini tak digubrisnya, Hotu terus ayun tangan memapaki orang, betul juga kembali lawannya mengapusi belaka.
Karena gagal tipunya, mendadak Yo Ko menubruk maju, untuk kesekian kalinya ia ayun tangan lagi dan memperingatkan pula dengan tertawa : “Awas Am-gi!”
“Bin…” belum sampai suku kata pertama ini diucapkan atau mendadak pandangan Hotu menjadi silau, tahu-tahu sinar perak gemerdep menyamber dari depan.
Sekali ini jaraknya sudah terlalu dekat, lagi pula ia sama sekali tak berjaga-jaga sesudah beberapa kali kena diapusi, maka tiada jalan lain kecuali melompat ke atas, tetapi tahu-tahu kakinya terasa sakit tertusuk, beberapa benda kecil lembut sudah menancap di kakinya.
Tertipunya ini persis mirip dengan caranya melukai Cu-liu dengan akal licik tadi, tetapi dipikirnya- senjata orang hanya lembut kecil, meski kena tentunya tidak besar alangannja, dalam gusarnya Hotu menjadi kalap, kipasnya menutul dan tangannya memukul hebat dengan tujuan mematikan Yo Ko seketika.
Tahu serangannya sudah berhasil, mana mau Yo Ko terlibat dalam pertarungan lagi, ia putar pedangnya menjaga diri dengan rapat.
“Hahaha, sayang dengan ilmu silatmu setinggi ini, kini harus terbinasa di sini, sungguh sayang, sayang sekali!” demikian Yo Ko tertawa terbahak-bahak.
Sedang Hotu hendak merangsang maju, sekonyong-konyong pahanya terasa kaku dan gatal seperti kena digigit nyamuk besar saja, ia coba menahan rasa gatal itu buat tetap melontarkan serangannya, siapa tahu tempat yang kaku gatal itu cepat sekali bertambah hebat.
“Celaka, Am-gi binatang cilik ini berbisa” seketika ia terkejut Baru terpikir demikian atau rasa gatal pahanya sudah tak bisa ditahan lagi, saking tak tahan tanpa menghiraukan ada musuh besar berada di depan mata, kipas ia lempar dan tangan diulur untuk meng-garuk-garuk tempat yang gatal itu.
“Kalau tak digatuk masih mendingan, sekali digaruk, celaka tigabelas, rasa gatal-geli seketika meresap sampai tuIang-sungsum.” saking tak tahan ia berteriak-teriak dan berkaok-kaok sembari bergulingan di ruangan pendopo.
Hendaklah diketahui bahwa racun Giok-hong” atau atau jarum tawon putih yang sakti dari Ko bong-pay itu jarang dilihat dan didengar di jagat ini, terkena sebuah saja tak tahan, apa lagi kini terkena beberapa buah?
Saking lembutnya Giok-hong-tiam itu, waktu Yo Ko menyerang, sebagian besar para kesatria itu tak tahu, hanya mendadak terlihat Hotu jatuh ber-guling2 hingga tak mengerti kepandaian apa yang digunakan Yo Ko untuk merobohkan lawannya.
Sementara paderi Tibet si Darba telah lari maju, ia angkat sang Sute dan diserahkan pada gurunya, habis ini ia putar balik dan berkata pada Yo Ko: “Anak kecil mari aku coba- coba kau !” -sambil berkata gada emas segerapun menyerampang ke pinggang Yo Ko.
Gada itu sangat berat dan begitu menyamber lantas menerbitkan sinar emas, maka betapa besar tenaga dan betapa cepat gerak tangan Darba dapat dikira-kirakan.
Namun Yo Ko tidak berkelit ia berdiri tegak, hanya pinggangnya mendadak menekuk ke dalam dan dengan tepat gada orang menyamber lewat di depan perutnya.
Siapa tahu Darba memang hebat gerak tangan-nya, begitu gada tak kena sasaran, mendadak senjata itu ia tahan ditengah jalan, dari menyerampang tadi tiba-tiba berubah menyodok ke depan, ke perut Yo Ko.
Perubahan serangan ini sama sekali di luar dugaan semua orang, Yo Ko sendiri juga terkejut lekas-lekas ia tahan pedangnya ke atas gada orang dan tubuhnya lantas mencelat ke atas dengan meminjam tenaga lawan.
Sekali sodok tak kena, tanpa menunggu turunnya Yo Ko, dengan kencang Darba sudah menghantam lagi, tetapi lagi-lagi Yo Ko menahan ke atas padanya dan untuk kedua kalinya mencelat ke atas,
“Lari ke mana ?” bentak Darba sengit Menyusul gada emasnya mengemplang pula.
Dengan tubuh terapung di udara, dengan sendirinya Yo Ko tak leluasa buat bergerak, nampak keadaan sangat berbahaya, terpaksa ia keluarkan gerakan untung2an, mendadak ia tangkap ujung gada orang, berbareng itu pedangnya terus memotong lurus ke bawah mengikuti batang gada itu.
Dengan cara ini, kalau tenaganya tak banyak selisih dengan Darba, tiada jalan lain bagi Darba kecuali lepaskan gadanya. Tetapi kini tenaga Darba berkali lipat lebih kuat dari pada Yo Ko, ketika sekuatnya ia menarik, dengan cepat Darba melompat mundur.
Melihat Ginkang Yo Ko begitu tinggi, gerak-geriknva gesit, tiba-tiba Darba menanya: “Tidak jelek kepandaian anak kecil, siapakah yang mengajarkan kau?”
Ia berkata dalam bahasa Tibet, sudah tentu sepatah kata saja Yo Ko tak paham, ia menyangka orang lagi memaki dirinya, maka iapun menirukan suara orang, iapun ucapkan apa yang dikatakan Darba.
Dasar pembawaan Yo Ko memang pintar, beberapa kata-kata Tibet itu diucapkannya dengan fasih sekali susunannya juga tiada yang terbalik sedikitpun, maka dalam pendengaran Darba kata-kata Yo Ko itu menjadi: “Tidak jelek kepandaian anak kecil, siapakah yang mengajarkan kau?”
Oleh karena itu, tanpa pikir Darba menjawab. “Suhuku ialah Kim-lun Hoat-ong. Aku bukan anak kecil, kau harus panggil aku Hwesio besar.”
Dengan sendirinya Yo Ko tak mengerti pula. Tapi sedikitpun ia tak mau diakal, ia pikir: “Pendeknya tak peduli kau mencaci maki aku dengan kata-kata yang paling keji, asal aku kembali mangkok penuh, maka tidaklah kalah dalam cacimaki Meski kau gunakan bahasa asing memaki aku anjing babi, binatang, kontan bulat akupun maki kau ahjing, babi binatang.”
Maka ia dengarkan kata-kata orang dengan cermat, begitu orang selesai bicara, dengan lagu suara yang sama dalam bahasa Tibet iapun berkata: “Suhuku ialah Kim-lun Hoat-ong.
Aku bukan anak kecil, kau harus panggil aku Hwesio besar.”
Keruan saja Darba terheran-heran, dengan kepala miring-iring ia mengamat-amati orang dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan, ia pikir, aneh, terang kau ini anak kecil, kenapa bilang Hwesio besar! Dan kenapa bilang gurumu juga Kim-lun Hoat-ong?
Segera ia berkata lagi: “Aku adalah murid angkatan pertama Hoat-ong, dan kau angkatan berapa ?”
Kontan Yo Ko juga menjawab : “Aku adalah murid angkatan pertama Hoat-ong, dan kau angkatan ke berapa ?”
Supaya diketahui bahwa dalam ajaran agama Lama di Tibet, biasanya terdapat apa yang disebut “reinkarnasi” atau penjelmaan kembali. Tatkala itu Dalai dan Pancen Lama belum ada, tetapi kepercayaan tentang menitis kembali biasanya sangat dipuja oleh setiap pemeluk agama Lama.
Kebetulan waktu mudanya Kim-lun Hoat-ong pernah menerima seorang murid, murid ini mati sebelum umur 20 tahun, Darba dan Hotu belum pernah kenal Suheng itu, hal ini cuma sekadar diketahui saja.
Kini mendengar apa yang dikatakan Yo Ko tadi, Darba mengira Yo Ko betul-betul reinkarnasi Suhengnya, ia pikir kalau orang bukan anak sakti yang menitis dengan membawa kepandaian, mana mungkin pemuda seperti ini memiliki ilmu silat begini tinggi ? Lagipula dia adalah pemuda Han, kenapa fasih bicara bahasa Tibet?
Karena itulah, ia terus ngira2 mengamat-amati orang sambil kepala miring-iring, makin dilihat makin sama dan semakin percaya, sampai akhirnya mendadak ia lemparkan gada emasnya terus berlutut menyembah2 pada Yo Ko.
Kelakuan Darba ini sungguh membikin Yo Ko terheran- heran, ia pikir apa Hwesio ini tak ungkulan cacimaki dan kini terima tunduk mengaku kalah padaku? Dan bagi penonton yang banyak itu keruan saja terlebih heran luar biasa. Lucunya semua tak paham dan tidak diketahui tanya jawab dalam bahasa “Mikuluk - kikiluluk” antara Yo Ko dengan Darba tadi Dalam pada itu yang paling terang duduknya perkara rasanya hanya Kim-lun Hoat-ong, ia- tahu Darba terlalu polos hingga kena ditipu Yo Ko.
“Darba,” segera ia buka suara, “ia bukan titisan Suhengmu, lekas bangun dan bertanding dengan dia,”
“Suhu,” seru Darba sambil meloncat bangun terkejut, “aku lihat ia pasti Toa-suheng, kalau tidak, umur semuda ini mana bisa mempunyai kepandaian seperti ini?”
“Toa-suhengmu jauh lebih kuat ilmu silatnya dari pada kau, sebaliknya bocah ini sekali-kali dibawahmu,” kata Kim-lun Hoat-ong.
Tetapi Darba geleng-geleng kepala, tetap tak mau percaya.
Kim-lun Hoat-ong kenal watak muridnya ini teramat lurus, untuk memberi penjelasan seketika juga tak bisa terang, maka ia katakan pula: “Jika kau tak percaya, kau jajal dia tentu lantas tahu.”
Terhadap apa yang dikatakan sang Suhu biasanya Darba percaya bagai malaikat dewata, kalau dia bilang Yo Ko- bukan inkarnasi Toa-suheng tentunya memang bukan, Tetapi umur semuda ini memiliki ilmu silat begitu hebat, hal ini membikin Darba tak bisa tidak percaya, tetapi ia turut juga perintah sang guru dan bertanding pula untuk menjajal kepandaian asli orang, ia ingin lihat siapa yang menang dan siapa kalah dengan begitu soalnya lantas bisa diputus.
Maka lebih dulu ia angkat tangan dan berkata pada Yo Ko: “Baiklah, biar kucoba ilmu silatmu tulen atau palsu, kita tentukan berdasarkan menang dan kalah ini,”
Melihat Darba berdiri lalu “kilakiluk” entah berkata apa lagi, hanya sikapnya sangat menghormat Yo Ko sangka orang telah ucapkan beberapa patah kata yang sopan, maka tanpa merubah sedikitpun ia tirukan lagu suara orang dan mengulangi mengucapkan sekali lagi Tentu saja dalam pendengaran Darba menjadi “Baiklah, biar kucoba ilmu silatmu, tulen atau palsu, kita tentukan berdasarkan menang atau kalah ini” - Maka Darba juga lantas menjawab-”Harap kau berlaku murah hati.” Segera Yo Ko tiru dan menyahut: “Harap kau berlaku murah hati,”
Melihat kedua orang itu mengoceh terus dalam bahasa Tibet, Kwe Hu jadi heran, ia mendekati Oey Yong dan tanya sang ibu: “Mak, apa yang mereka percakapkan?”
Sejak tadi Oey Yong sudah mengetahui Yo Ko hanya menirukan lagu suara orang secara komplit dan untuk main- main saja sebagai orang muda umum-nya, kenapa mendadak Darba sembah2 padanya hal inipun membikin dia bingung tak habis mengerti.
Maka ketika ditanya puterinya, ia menjawab singkat saja:
“O, Yo-koko hanya berkelakar saja dengan dia.”
Belum habis ia berkata, mendadak dilihatnya Darba angkat gada terus mengemplang ke arah Yo Ko.
Darba anggap sebelumnya sudah dikatakan hendak menjajal tentunya lawan sudah siap sedia, sebaliknya melihat sikap orang tadi ramah dan menghormat Yo Ko tidak menduga orang akan mendadak melakukan serangan, maka pukulan itu hampir-hampir saja kena kepalanya, untung sempat ia melompat ke belakang.
Tetapi segera ia merangsang maju lagi terus menusuk tiga kali susul menyusul. Darba sendiri sudah punya rasa jeri, ia kuatir Yo Ko sudah lama, ikut gurunya, ilmu silatnya tentu lain daripada yang lain, maka ia berjaga rapat tanpa berani ayal.
Sesudah beberapa jurus lagi, Yo Ko tahu lawan hanya menjaga diri saja tanpa menyerang, meski tak mengerti maksud tujuan orang, tapi kebetulan baginya untuk melancarkan serangan-serangan, tanpa sungkan-sungkan lagi ia tusuk sini dan bacok sana, ilmu pedang “si gadis ayu” menjadi lebih indah gayanya dan menarik.
Akhirnya Kim-lun Hoat-ong menjadi tak sabar, ia membentak: “Darba, lekas kau balas hantam, ia bukan Toa-suhengmu !”
Sebenarnya kepandaian Darba masih di atas Yo Ko, Cuma merasa takut, ilmu silatnya lantas surut separoh, sebaliknya Yo Ko bisa keluarkan seluruh kemahirannya, jadi yang satu makin menyerang makin hebat dan jitu, sebaliknya yang lain makin takut dan makin mengkeret.
“Balas serang segera !” bentak Hoat-ong mendadak, ia telah gusar.
Bentakannya begitu keras hingga telinga semua orang seakan-akan pekak. Begitu juga Darba menjadi jeri, ia tak berani membantah lagi, begitu Kim-kong-cu atau gada emas diputar, segera ia balas menghujam serangan.
Dengan hantaman balasan ini betul juga Yo Ko terdesak hingga berkelit terus, lubang kelemahannya perlahan-lahan mulai kentara. Ketika melihat gerak pedang Yo Ko sedikit lengah, cepat sekali Darba mengemplang, karena tak sempat hindarkan diri, terpaksa Yo Ko menangkis dan terjadi benturan keras kedua senjata.
Sebenarnya beradunya senjata kedua pihak diwaktu bertanding adalah soal biasa saja, tetapi gada Darba terlalu antap, maka selalu Yo Ko putar pedangnya tak berani membentur senjata orang, kini mendadak kesamplok, terasalah segera suatu tenaga yang maha besar menindihnya
hingga lengannya sakit linu, “krak”, mendadak pedangnya patah menjadi dua.
“Aku yang menang!” teriak Darba segera sembari undurkan diri.
“Aku yang menang!” mendadak Yo Ko tirukan orang dalam basa Tibet, Berbareng itu separuh pedang patah itu ditimpukkan sekalian pada Darba.
Keruan Darba tertegun, pikirnya: “Kenapa dia yang menang? Apa tipunya tadi hanya pancingan belaka ?”
Sementara itu dengan tangan, kosong Yo Ko merangsak maju lagi, maka Darba tak berani ayal ia putar gadanya rapat melindungi tubuhnya.
Dahulu waktu ikut Siao liong li belajar ilmu pukulan dengan tangan kosong di dalam kuburan kuno itu, sampai tingkat terakhir ia diharuskan pentang kedua telapak tangan buat tahan terbangnya 9X9 81 ekor burung gereja hingga tiada seekor pun yang lolos.
Ilmu pukulan itu adalah ciptaan Lim Tiao-eng dan selamanya belum pernah dikenal di dunia ramai, kini Yo Ko telah mainkan di hadapan umum, nyata daya tekanannya memang luar biasa,” meski bertangan kosong, tetapi jauh lebih kuat daripada tadi ia memakai pedang. Kalau Darba putar gadanya begitu hebat hingga membawa samberan angin tinggi menerobos kian kemari di antara ruangan.
Sebaliknya Yo Ko gunakan Ginkang yang sangat tinggi menerobos kian kemari diantara ruangan senjata orang, walaupun tampaknya sangat berbahaya tetapi gada emas orang tetap tak mampu menyenggolnya seujung rambutpun sebaliknya ia bisa mencengkeram, menarik, membeset dan macam-macam gerak serangan lain bercampurkan “tang-hok- mi-cin atau ilmu pukulan halus penahan burung gereja, ia terus menyerang dengan cepat.
Tak lama lagi, tenaga raksasa Darba semakin tambah, sebaliknya lari Yo Ko juga semakin cepat dan enteng, Nyatalah sekarang, paedah yang dia peroleh daripada kegunaannya berlatih di atas ranjang-batu pualam di dalam kuburan kuno itu kini telah kentara semua.
Di sebelah sana sejak tadi Siao-liong li duduk bersandarkan tiang menyaksikan pertarungan kedua orang itu dengan tersenyum-simpul, demi nampak sudah lama Yo Ko masih belum menang, tiba-tiba dari bajunya ia keluarkan sepasang kaos tangan putih yang tipis dan lemas.
“Ko-ji, sambut ini.” serunya pada Yo Ko,” berbareng itu ia lemparkan kaos tangan itu ke tengah kalangan Kaos tangan Siao-liong-li ini adalah rajutan benang emas putih yang sangat halus dan ulet, meski lemas dan tipis, tapi tidak mempan segala macam senjata, Melihat berkelebatnya kaos tangan itu di udara, air muka Hek Tay-thong mendadak berubah.
Seperti diketahui, ketika saling gebrak di Tiohg-yang-kiong dulu, dengan kaos tangan ini pernah Siao-liong-li patahkan pedang Hek Tay-thong hingga ia terdesak dan hampir saja gorok leher sendiri, sebab itu demi nampak kaos tangan seketika kejadian dulu terbayang lagi olehnya.
Dalam pada itu dengan cepat kaos tangan itu sudah disambut Yo Ko, ia mundur selangkah dan cepat pakai kaos tangan itu, ketika kemudian ia mengegol pinggang bagai wanita, maka dimainkan-lah “Bi-Ii-kun-hoat” atau ilmu pukulan si gadis ayu yang paling hebat dan paling indah gayanya dari Ko-bong-pay itu.
Setiap gerak-gerik ilmu pukulan ini meniru kan gaya seorang wanita ayu dari jaman purbakala, bila dilakukan kaum lelaki, sebenarnya kurang pantas, tetapi waktu dilatih Yo Ko, setiap gayanya sudah diubahnya, meski nama-nama tipu gerakan masih tetap, namun gerak-geriknya dari lemah gemulai sudah berubah menjadi gagah luwes.
Dengan demikian, para penonton menjadi lebih tidak mengerti, tiba-tiba dilihatnya Yo Ko berlari cepat, kadang-kadang berdiri tegak, sekejap saja sikapnya berubah lagi.
Harus diketahui bahwa jiwa kaum wanita memang banyak ragamnya dan cepat pula berobahnya, lebih-lebih wanita ternama, tertawanya, di waktu suka atau duka, semuanya lebih-lebih sukar di-duga.
Karena itu, sekali digunakan tipu “Hong giok-kik-koh” (Ang Hong-giok memukul genderang), kedua tangan Yo Ko cepat menghantam, dengan sendirinya Darba angkat gadanya menangkis tetapi cepat sekali Yo Ko sudah ganti tipu “Hong-hut-ya-ping” (Hong-hut minggat malam-malam), di luar dugaan orang ia terus menubruk maju.
Ketika Darba menyabet gadanya dari samping, mendadak Yo Ko gunakan gaya “Lok-cu-tui-lau” (Lok-tu jatuh dari loteng), tahu-tahu ia menubruk bagian bawah musuh. Darba terkejut, ia tidak mengerti tipu serangan orang mengapa begini aneh perubahannya dan susah diraba ? Maka lekas-lekas ia melompat buat hindarkan hantaman tangan orang yang telah memotong dari kiri lagi.
Tak terduga Yo Ko lantas menepuk tangan beberapa kali dan susul-menyusul menggablok kedepan, kiranya ini adalah gaya “Bun-gwe-kui-han atau Bun-gwe kembali ke negeri Han yang berirama musik Ohka, seluruhnya meliputi 18 kali tepukan.
Setiap gerakan Yo Ko semuanya ada asal-usulnya sejarah, Darba adalah paderi Tibet, sudah tentu ia tat paham kisah kuno negeri Tionggoan, ia diserang ke atas dan ke bawah, tiba-tiba dari timur, tahu-tahu dari barat hingga ia kelabakan.
Tangan Yo Ko memakai kaos benang emas, maka bila ada kesempatan segera ia menubruk maju hendak rebut gada Darba, paderi ini terdesak hingga berkaok-kaok dan kalang kabut.
Dengan sendirinya para pahlawan lain sangat girang, mereka pada berseru memberi semangat pada Yo Ko.
Kim-lun Hoat-ong tahu ilmu silat muridnya berada di atas pemuda ini, cuma berhati jeri, maka selalu kena didahului lawan dan terdesak di bawah angin.
“Gunakan Bu-siang-tay-lik-cu-hoat!” bentaknya tiba-tiba.
“Baik,” sahut Darba menurut. Mendadak gadanya ia pegang dengan kedua tangan terus diayun cepat.
Waktu gada diputar dengan sebelah tangan saja sudah hebat sekali tenaga raksasanya, kini ditambah tenaga kedua tangan sekaligus, keruan suara samberan angin sampai menderu-deru.
“Bu-siang-tay-lik-cu-hoat” atau ilmu gada bertenaga raksasa ini, tipu serangannya sangat sederhana, hanya menyerampang” delapan jurus dan menghantam delapan kali,
seluruhnya hanya 2 X 8 - 16 jurus, tetapi 16 jurus ini bisa boIak-balik di-ulangi, maka Yo Ko terdesak menyingkir jauh-jauh, jangankan menghadapi secara keras lawan keras, untuk menahan angin gada saja susah.
Di sebelah sana, sejak penggayu besinya patah tadi, Tiam jong Hi-un, masih terus merasa penasaran tapi kini setelah menyaksikan “Bu-siang-tay-lik-cu-hoat”. orang yang luar biasa ini ia pikir ilmu permainan penggayu sendiri sesungguhnya tiada tipu-tipu serangan” yang begini keras dan begini kuat. maka mau-tak-mau ia kagum juga.
Setelah berlangsung lama pertarungan itu, lilin yang menyala di ruangan pendopo itu sudah ada 7-8 batang yang sirap tersamber angin gada. Yo Ko hanya andalkan Ginkang untuk melompat kian kemari asalkan bisa hindarkan diri harapannya asal tak kena dihantam gada orang, mana sempat lagi ia balas menyerang ?
Karena itu, para pahlawan Tionggoan menjadi bungkam, sebaliknya berganti para jago Mongol yang sorak-sorai.
Melihat ilmu pukulan “Bi-li-kun-hoat” sukar memperoleh kemenangan, sedang musuh mendesak terlalu kencang, terpaksa Yo Ko main mundur terus hingga akhirnya terdesak sampai ujung ruangan, ia hendak ganti tipu gerakan, namun tak bebas lagi gerak-geriknya di tempat sempit itu. ilmu permainan gada Darba ini memangnya beberapa bagian bersifat kalap, setelah Darba mengamuk, ia lupa apakah orang di depannya ini mungkin reinkamasi suhengnya atau bukan, waktu melihat Yo Ko terdesak di pojok ruangan hingga tiga jurusan sudah terkurung, mendadak ia membentak : “Mampus kau !” Berbareng itu gada-nya menyabet dari samping, maka terdengarlah suara gemuruh dan debu pasir berhamburan, kiranya dinding ruangan itu kena dihantam hingga berlubang besar..
Pada saat berbahaya, syukur Yo Ko masih sempat melompat lewat di atas kepala orang, dalam seribu kerepotannya iru, ia tak lupa pula membalas kata-kata:
“Mampus kau!” dalam bahasa Tibet.
Gerak lompatannya ini adalah ilmu kepandaian dari “Kiu- im-cin-keng”, sejak huruf ukiran di langit ruangan kuburan tatoo itu dilihatnya bila senggang Yo Ko lantas melatihnya baik-baik, hanya tiada orang yang memberi petunjuk tambahan, maka apa yang dilatihnya tidak tahu apa betul atau salah.
Kini menghadapi musuh tangguh, sudah tentu tak berani sembarangan digunakan. Siapa tahu saat terancam elmaut itu, dengan sendirinya ia menggunakan ilmu sakti itu hingga jiwanya tertolong.
Semua orang menyangka hantaman Darba tadi pasti berhasil, maka sebelum serangan orang dilontarkan seluruhnya, secepat kilat Kwe Ceng melompat maju hendak hantam punggung orang, mendadak jubah merah berkelebat di depannya, tahu-tahu Kim-lun Hoat-ong memukulnya juga.
Kwe Ceng terkejut oleh serangan orang yang aneh dan cepat ini lekas-lekas ia gunakan tipu “Maa-liong-cay-dian” atau melihat naga di sawah, ia tangkis dulu serangan Kim-lun Hoat-ong. Keduanya memang tokoh terkemuka dunia persilatan, maka begitu kedua tangan beradu, ternyata sedikit suara saja tak ada, hanya tubuh masing-masing bergoncang semua, Kwe Cing mundur tiga tindak, sebaliknya Kim-lun Hoat-ong tetap berdiri tegak di tempatnya.
Kiranya tenaga Kim-lun Hoat-ong jauh lebih besar dari pada Kwe Ceng, latihannya juga lebih dalam, cuma ilmu pukulannya sebaliknya kalah bagus. Kwe Ceng melangkah mundur buat mengelak tenaga hantaman lawan supaya tidak terluka, sebaliknya Hoat-ong sambut tenaga orang sekuatnya dengan menahan rasa sakit di dada, maka masih tetap berdiri tegak di tempatnya.
Melulu soal gebrakan ini saja Kwe Ceng boleh dikatakan sudah kalah, tetapi kalau pertarungan dilanjutkan, siapa unggul atau asor masih belum tahu.
Tapi demi nampak Yo Ko sudah bisa patahkan serangan Darba tadi, kedua orang ini terhenyak, yang satu girang lega, yang lain menyesal dan merasa sayang, lalu merekapun mundur kembali Tokoh-tokoh seperti Kwe Ceng dan Kim-lun Hoat-ong juga menyangka Yo Ko pasti akan celaka maka yang satu hendak menolong dan yang lain hendak mencegah, siapa tahu Yo Ko ternyata punya tipu aneh, dari tempat luang yang sempit bisa meloloskan diri.
Dan sekali hantam tak kena, Darba tidak memutar lagi, sekalian gadanya terus mengayun ke belakang sekuatnya. Melihat serangan orang cepat luar biasa, otomatis Yo Ko lantas meloncat ke atas, maka melayang lewatlah gada Darba beberapa senti di bawah kakinya. Kembali gerak tipunya ini adalah ilmu silat dari “Kiu-im-cin-keng”
Keruan Oey Yong terheran-heran menyaksikan kepandaian Yo Ko ini. “Engkoh Cing, kenapa Ko-ji mahir Kiu-im-cin-keng juga? Apa kau yang ajarkan dia?” demikian ia tanya sang suami.
Nyata, ia sangka Kwe Ceng mengingat kebaikan persaudaraan dengan ayah Yo Ko, maka pada waktu antar bocah itu ke Cong-lam-san, ilmu sakti dari kitab pusaka itu telah diturunkan padanya.
“Tidak, kalau diajarkan padanya, tentu kuberitahukan kau,” sahut Kwe Ceng.
Oey Yong cukup kenal jiwa sang suami yang setia dan jujur, kepada orang lain saja bilang satu tetap satu, terhadap isteri sendiri sudah tentu lebih lebih jujur, Tetapi dilihatnya Yo Ko selalu melompat kian kemari buat berkelit, setiap kali ketemu bahaya, selalu gunakan ilmu kepandaian Cin-keng untuk melindungi diri.
Cuma terang ilmu itu belum terlatih baik, maka tidak bisa gunakan ilmu silat Cin-keng itu untuk balas menyerang dan menangkan orang, meski sementara jiwanya bisa selamat, namun tampaknya pasti kalah akhirnya.
Diam-diam Oey Yong menghela napas gegetun, pikirnya :
“Bakat Ko-ji sungguh luar biasa, kalau dia bisa ikut setahun atau setengah tahun padaku dan bisa mempelajari Pak-kau-pang-hoat dan ilmu silat dalam Cin-keng secara lengkap, mana bisa paderi Tibet ini menandinginya?”
Begitulah, selagi ia masgul, sekilas tiba-tiba dilihatnya Peng-tianglo, itu anggota pimpinan Kay-pang yang murtad, dengan pakaian bangsa Mongol mencampurkan diri di antara jago-jago Mongol dan wajahnya kelihatan berseri-seri.
Tiba-tiba tergerak kecerdasan Oey Yong, segera serunya:
“Koji Di-hun-tay-hoat! Ih-hun-tay-hoat!”
Kiranya dalam Kiu-im-cin-keng ada semacam ilmu yang disebut “lh-hun-tay-hoat”, yakni menggunakan tenaga pikiran untuk atasi musuh dan mendapatkan kemenangan, dasarnya tiada ubahnya seperti ilmu hipnotis pada jaman sekarang ini.
Dahulu Oey Yong pernah gunakan ilmu ini untuk taklukkan Harus diketahui bahwa ilmu “lh-hun-tay-hoat” ini melulu menggunakan pengaruh tenaga kejiwaan, kalau perasaan tak lawan tenang dan tetap, seringkali ilmu ini tidak berhasil, kalau tenaga dalam lawan lebih tinggi hingga sampai terpukul kembali, “pasti orang gunakan ilmu ini akan terpengaruh sendiri. Tapi Darba sudah bingung oleh ocehan Yo Ko dalam basa Tibet tadi, ia ragu-ragu orang adalah re-inkarnasi Suhengnya, maka dalam hatinya sudah timbul rasa jeri, dengan sendirinya pengaruh ilmu “Ih-hun-tay-hoat” juga lebih cepat hingga sekali coba Yo Ko telah berhasil.
Begitulah karena melihat Nya Ko mainkan Bi-li-kun-hoat yang lemah gemulai menirukan gerak-gerik wanita ayu, tahu-tahu ditirukan oleh Darba secara lucu, semua orang yang menyaksikan terheran-2 Kwe -Hu tak tahan, ia ketawa terpingkal-pingkal “Mak,” katanya pada sang ibu, “Nyo-koko punya kepandaian ini bagus sekali, kenapa tak kau ajarkan padaku?”
“Jika kau bisa Ih-hun-tay-hoat, tentu kau akan bikin geger dan akhirnya kau sendiri bisa celaka,” sahut Oey Yong. Lalu ia tarik tangan sang puteri dan berkata pula sungguh-sungguh:
“Tapi jangan kau anggap lucu, Nyo-koko justru lagi bertarung mati-matian dengan musuh, caranya ini jauh lebih berbahaya dari pada memakai senjata !”
Kwe Hu melelet lidah oleh penuturan itu, ia pandang pula si Yo Ko dan rasanya semakin ketarik, ia lihat bila Yo Ko tertawa, si Darba ikut tertawa, kalau Yo Ko gusar, Darba idem dito.
Karena itu iapun ikut-ikut menirukan mimik orang.
Siapa tahu “lh-hun-tay-hoat” ini memang lihay luar biasa, baru saja ia menirukan orang dua kali, segera perasaannya menjadi remang-remang dan semangatnya kabur, tanpa kuasa setindak demi setindak Kwe Hu melangkah ke tengah.
Kaget sekali Oey Yong melihat kelakuan puteri-nya, lekas-lekas ia jambret Kwe Hu erat-erat.
Tatkala itu jiwa Kwe Hu sudah dibawah pengaruh Yo Ko, ia coba meronta melepaskan diri dari pegangan sang ibu, baiknya ilmu silat Oey Yong sangat tinggi, pula tahu akan bahaya apa bila sampai Kwe Hu maju lebih dekat lagi, waktu sudah terlalu mendesak, tanpa ayal ia baliki tangan terus
pencet urat nadi tangan Kwe Hu dan diseretnya kembali mentah-mentah agar tidak nampak gerak-gerik Yo Ko.
Kwe Hu masih meronta2 beberapa kali, tapi pergelangan tangannya telah digenggam kencang hingga tak berkutik, pikirannya menjadi kabur dan akhirnya ia mendekam dalam pelukan sang ibu dan pulas.”
Di pihak Darba waktu itu sudah dipengaruhi Yo Ko seluruhnya, apa yang Yo Ko Iakukan, ditirukannya pula tanpa tawar, Melihat saatnya sudah tiba, mendadak Yo Ko gunakan tipu gerakan “Co-Leng-kwa-pi” atau Co Leng mengiris hidung, mendadak ia pukul batang hidungnya sendiri-susul-menyusul dengan dua tangan bergantian.
Kiranya jaman dahulu isteri seorang bernama Co Leng, ketika sang suami meninggal lantas mengiris batang hidung sebagai tanda setia tak mau kawin lagi.
Kini Yo Ko gunakan gerak tipu itu buat hantam hidungnya sendiri dengan pelahan, sudah tentu Darba tak tahu, mendadak iapun tirukan orang menghantam hidung sendiri sekeras-kerasnya. Dasar tenaganya luar biasa, setiap pukulannya bertenaga ratusan kati, maka habis belasan kali ia gebuk batang hidung sendiri, akhirnya-ia tak tahan hingga roboh pingsan.
Sungguh girang tidak kepalang para ksatria, mereka bersorak-sorai: “Hura, kita telah menangkan babak kedua !” -
“Nah, Bu-lim-Bencu sudah pasti di pihak kita !” — “Bangsa Mongol lekas enyah dari bumi Tiongkok dan jangan bikin malu disini!”
Dalam pada itu dua Bu-su bangsa MongoI telah melompat ke tengah dan menggotong mundur si Darba.
Melihat kedua muridnya terjungkal semua di bawah tangan pemuda ini, bahkan cara kalahnya sukar dimengerti, luar biasa mendongkol dan gusar Kim-Iun Hoat-ong, Cuma wajahnya tiada mengunjuk sesuatu tanda, “Hai, anak muda, siapa suhumu ?” segera ia membentak dari tempat duduknya. Kim-lun Hoat-ong ini seorang cendekia, ilmu silatnya tinggi, bakatnya baik dan luas pengetahuannya, ternyata fasih bicara basa Han.
“Suhuku ialah dia ini,” sahut Yo Ko tertawa sambil menunjuk Siao-liong-li “Nah, lekas kau menyembah pada Bu-lim Bengcu !”
Melihat Siao-liong-Ii cantik molek, bahkan usianya, seperti lebih muda daripada Yo Ko, tidak nanti Kim-lun Hoat-ong mau percaya dialah guru-nya, pikirnya: “Ah, bangsa Han  banyak tipu muslihatnya, jangan aku tertipu !”
Mendadak iapun berdiri, ketika terdengar suara gemerincing riuh, tahu-tahu dari bajunya ia keluarkan sebuah roda emas.
Roda emas ini terbuat dari emas murni dan di dalamnya terdapat 9 goteri, maka begitu tergoncang, segera keluar suara gemerincing yang membisingkan.
“Hm, kau adalah Bulim-Bengcu juga baik, asal kau sanggup terima sepuluh jurus roda emasku ini,” aku lantas akui kau sebagai Bu-lim Bengcu !” demikian kata Kim-lun Hoat-ong kemudian sambil tuding Siao-liong-li “Hi aneh katamu ini, aku sudah menang dua babak, menang dua dari tiga babak, kau sendiri sudah berjanji, kenapa sekarang pungkir janji?” kata Yo Ko tertawa.
“Aku hanya ingin jajal ilmu silatnya dan ingin tahu apa dia sesuai dengan jabatannya tidak,” sahut Kim-lun Hoat-ong dengan suara tertahan.
Siao-liong li masih terlalu hijau, ia tak tahu ilmu silat Kim-Iun Hoat-ong beraliran tersendiri dan sudah terlatih sampai tingkatan yang sangat mengejutkan, iapun tak tahu apa itu “Bu-lim Bengcu” segala, lebih-lebih tak pernah terpikir olehnya apa dirinya harus terima jabatan itu atau tidak, kini mendengar orang mau jajal ilmu kepandaiannya dan ingin tahu sanggup tidak terima 10 jurus roda emas orang, tanpa pikir segera iapun berdiri.
“Jika begitu, segera aku mencobanya,” demikian sahutnya tak arak “Tapi kalau kau tak mampu sambut 10 jurus – senjataku ini, lalu bagaimana?” tanya Kim-lun-Hoat-ong.
“Kalau tak mampu ya sudah, ada apa lagi?” sahut Siao-Iiong-li. Sejak kecil Siao-liong-li sudah melatih diri sedemikian rupa sehingga apa yang menjadi perasaannya, suka atau duka, sama sekali tidak kentara.
Segala hal selalu dianggapnya sepele, kini meski katanya rada Yo Ko, naraui tidak mendapatkan perhatian-nya. Para ksatria dan para Bu-su Mongol tak tahu bahwa itu adalah tabiat pembawaannya, tetapi melihat ia acuh tak acuh dan tidak pandang sebelah mata pada Kim-lun Hoat-ong, mereka malah menyangka ilmu silat Siao-liong-li benar-benar tinggi tak terkirakan.
Bahkan setelah menyaksikan Yo Ko kalahkan Darba dengan “lh-hun-tay-hoat”, ada orang yang menyangka Siao-liong-li bisa ilmu hitam dan mungkin pula siluman, maka suasana seketika menjadi berisik.
Kim-lun Hoat-ong sendiri kuatir juga bila Siao-liong-li benar-benar bisa gunakan ilmu sihir, maka mulutnya segera komat-kamit membaca mantera penolak sihir dalam basa Tibet.
Yo Ko dapat mendengar jelas di samping, ia sangka Hwesio gundul ini lagi maki sang guru dalam basa Tibet, maka ia ingat baik-baik setiap kata yang diucapkan orang.
Ketika Kim-lun Hoat-ong selesai membacakan mantera, begitu Kim-lun atau roda emas bergerak, kembali terbitlah suara gemerincing yang riuh nyaring.
“Hai, orang muda, lekas minggir, segera aku akan turun tangan,” bentaknya pada Yo Ko. Kata-kata ini diucapkannya dalam basa Han.
“Nanti dulu, nanti dulu,” kata Yo Ko tiba-tiba.
Lalu sekata demi sekata iapun mengucapkan mantera orang tadi.
Kebetulan waktu itu Darba mulai siuman, ia lihat sang Suhu memegang Kim-lun lagi, akan bergebrak dengan orang, sebaliknya didengarnya Yo Ko lagi membaca mantera dalam basa Tibet. mantera itu adalah ilmu rahasia perguruannya dan tidak nanti diturunkan pada orang luar, kalau Yo Ko bukan reinkarnasi Toa suheng-nya, darimana ia mahir mantera itu ?
“Karena pikiran itu, cepat sekali ia melompat bangun terus berlutut ke hadapan gurunya dan berseru: “Suhu, ia betul-betul jelmaan Toasuheng, sudilah engkau menerimanya kembali!”
“Ngaco-belo, kau tertipu olehnya masih belum tahu,” bentak Kim-lun Hoat-ong gusar.
“Tapi betul Suhu, hal ini betul tak salah lagi?” sahut Darba!.
Melihat Darba masih ngotot, Hoat-ong menjadi sengit dicekal saja punggung sang murid terus diIempar pergi tubuh Darba yang beratnya ratusan kati itu dilemparkan dengan enteng saja.
Semua orang menyaksikan Darba bertarung melawan Tiam-jong Hi-un dan Yo Ko dengan tenaga raksasanya tapi lemparan Hoat-ong ini nyata kepandaian yang berpuluh kali lebih kuat tampaknya Siao-liong-li yang gayanya lemah gemulai ini, jangankan bergebrak sepuluh jurus, mungkin kena dikebut sekali saja bisa mencelat roboh. Karena itu semua orang ikut berkuatir atas diri si gadis.
Tidak sedikit jago-jago Mongol yang sudah pernah saksikan ilmu sakti Kim-lun Hoat-ong yang boleh dikatakan tenaganya melebihi 9 ekor kerbau. Meski Siao-liong-li adalah
musuh mereka, tapi melihat parasnya yang jelita, sudah menjadi pembawaan manusia suka akan rupa cantik, maka semua orang sama-sama mengharap Hoat-ong jangan turun tangan.
Dalam pada itu, habis Yo Ko bacakan mantera, dengan pelahan ia bisiki Siao-liong-li: “Kokoh, hati-hati terhadap Hwesio ini.”
Di lain pihak demi mendengar Yo Ko bisa membaca mantera tanpa salah sekatapun, Kim-lun Hoat-ong amat kagum sekali “Orang muda, hebat kau,” ia memuji.
“Ya, Hwesio, kau juga hebat,” sahut Yo Ko.
“Hebat apa?” Kim-lun Hoat-ong melotot.
“Hebat karena kau cukup besar nyali untuk bergebrak dengan guruku,” kata Yo Ko. “la adalah reinkarnasi Budha, punya kesaktian setinggi langit mahir ilmu taklukkan naga dan
tundukkan harimau, maka sebaiknya kau ber-hati-hati !”
Kiranya Yo Ko sangat licin, ia tahu musuh terlalu lihay, ia sengaja membual agar orang rada selempang hingga tak berani turun tangan habis-habis-an, dengan demikian gurunya lantas Iebih gampang melawannya..
Siapa tahu Kim-lun Hoat-ong adalah seorang gagah perkasa yang jarang diketemukan dari Tibet, baik sastra maupun silat lengkap dipelajarinya, mana bisa ia tertipu begitu saja, “Awas, serangan pertama, lekas kau lolos senjata !” segera ia berseru.
Yo Ko telah copot sarung tangan dari benang emas halus itu dan masukkan sekalian pada tangan Siao-liong-li, lalu ia mundur ke belakang.
Siao-liong-li segera keluarkan sehelai selendang sutera putih terus diayun ke udara, pada ujung selendang sutera terikat sebuah bola emas kecil dan didalamnya berisi gotri,
ketika selendan itu bergerak, bola itu lantas berbunyi kelinting2 bagai keleningan.
Melihat senjata kedua orang sama-sama aneh, semua penonton menjadi tertarik, kalau senjata yang satu sangat panjang, adalah senjata yang laki sangat pendek, yang satu sangat keras, yang lain sangat lemas dan kebetulan kedua senjata masing-masing sama-sama bersuara gemerincing pula.
Roda emas yang digunakan sebagai senjata Kim-lun Hoat-ong itu adalah senjata aneh yang belum pernah dilihat para jago silat Tionggoan, tak peduli golok tumbak, pedang, toya atau lain-lain, asal kebentur Kim-lun atau roda emas sama sekali tak berdaya, asal Kim-lun Hoat-ong mencakup sekali dengan rodanya terus ditarik, maka senjata lawan pasti akan terlepas dari cekalan, maka orang yang bertempur dengan dia lewat satu jurus saja pasti segera kehilangan senjata. ia bilang agar Siao-liong-li sambut sepuluh jurus serangannya, sebenarnya sama sekali bukan omong besar,,kalau bukan melihat ilmu silat Yo Ko memang hebat, tidak nanti ia bilang 10 jurus. Hendaklah diketahui sejak ia keluar Tibet belum pernah ada seorang jago yang mampu terima tiga kali serangan roda emasnya.
Dalam pada itu Siao-liong-li telah ayun selendang suteranya, ia mendahului membuka serangan.
“Barang apakah ini?” ujar Hoat-ong melihat senjata lawannya itu. Segera dengan tangan kiri ia hendak tarik selendang itu, ia lihat kain selendang itu lemas dan hidup, ia tahu pasti banyak perubahannya, tapi ia sudah siap sedia, dengan tarikannya itu ia sudah jaga2 dari berbagai jurusan, tak perduli ke mana kain selendang berkelebat tidak nanti terlepas dari genggamannya.
Tak ia duga bola kecil di ujung selendang itu tiba-tiba “kelinting” berbunyi sekali terus mendal ke atas hendak ketok “tiong-cu-hiat” pada balik telapak tangannya.
Tapi cepat sekali Klm-lun Hoat-ong ganti gerak tangannya, ia baliki telapak tangan terus hendak tangkap pula bola kecil itu.
Kembali sedikit Siao-Iiong-li sendal tangannya, bola kecil itu memutar pula dari bawah ke atas hendak ketok “Hap-kok-hiat” di-tengah-tengah antara jari jempol dan telunjuk.
Tapi lagi-lagi Hoat-ong baliki tangannya, sekali ini ia gunakan kedua jarinya itu hendak jepit bola emas itu.
Namun Siao-liong-li juga sangat jeli, setiap perubahan musuh dapat dilihatnya jelas, sedikit ia ulur selendangnya, bola kecil itu malah menyelonong ke depan buat tutuk “kiok-tik-hiat” di sikut lawan.
Beberapa gebrakan itu betul-betul dilakukan dalam sekejap saja dan hanya terbatas diantara telapak tangan Kim-lun Hoat-ong yang bolak-balik, tiap kali Kim-lun Hoat-ong membaliki telapak tangan dan tiga kali Siao-liong-li sendal selendangnya, tapi masing-masing sudah saling gebrak lima jurus.
Yo Ko cukup terang menyaksikan pertarungan itu, maka dengan suara keras ia menghitung:
“Satu-dua-tiga-empat-lima..” nah, sudah lima jurus, tinggal lima jurus lagi !”
Padahal Kim-lun Hoat-ong bilang agar orang sambut 10 jurus maksudnya ialah menyambut 10 jurus serangannya, tapi Yo Ko main licik, ia hitung-serang-menyerang kedua belah pihak dan dihitung semua.
Meski Hoat-ong tahu bocah ini licik, tapi ia adalah seorang cakal bakal satu aliran tersendiri mana ia sudi tawar menawar soal itu dengan orang ? Segera ia sedikit geser sikutnya hingga bola Siao-liong-li tadi luput mengenai jalan darahnya, sebaliknya roda emasnya terus saja menyerang ke depan.
Siao-liong-li mendengar suara gemerincing riuh dan sinar emas berkelebat dari depan, tahu-tahu “roda emas” orang cepat luar biasa sudah berada di depan mukanya.
Kejadian ini sungguh tak terduga-duga, jangan kata hendak menangkis, untuk berkelit saja sudah telat, dalam keadaan bahaya, otomatis ia sendal kain selendangnya hingga melingkar dari samping, bola emasnya terus ketok “Hong-ti-hiat” di belakang kepala musuh, Tempat ini adalah urat nadi mematikan di tubuh manusia, betapapun tinggil ilmu silatnya asal kena dihantam pasti tak terjamin jiwanya, serangan ini sesungguhnya dilakukan terpaksa oleh Siao-liong-li, yakni dengan resiko gugur bersama untuk memaksa lawannya tarik kembali serangannya.
Betul saja Kim-lun Hoat-ong tak mau adu jiwa dengan orang, ia menunduk berkelit, karena menunduknya ini roda yang dia hantamkan ke depan menjadi sedikit lambat, kesempatan ini telah digunakan Siao-liong-li buat tarik kembali selendang-nya, terdengarlah klinting2 yang riuh, bola emas pada ujung selendangnya telah saling bentur dengan roda emas hingga tipu serangan Kim-lun Hoat-ong itu kena dielakkan.
Hanya sekejap itu saja keselamatan Siao-liong-li sudah bergulir dari hidup menuju jalan kematian dan dari mati kembali hidup, lekas-lekas ia gunakan Ginkang atau ilmu entengi tubuhnya melompat ke samping, saking gentarnya hingga wajahnya yang memang pucat itu terlebih pucat pula.
Padahal Kim lun Hoat-ong baru menyerang sekali namun di samping Yo Ko lantas berteriak-teriak: “…enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Nah, sudah cukup, guruku sudah bisa sambut sepuluh jurus, apalagi yang bisa kau katakan?”
Hanya beberapa gebrakan itu, Kim-lun Hoat-ong lantas tahu meski ilmu silat Siao-liong-li tinggi, tapi masih jauh belum bisa imbangi dirinya, kalau bertanding benar-benar, dalam 10 jurus pasti ia bisa kalahkan si gadis, yang paling menjemukan yalah Yo Ko terus mengacau di samping hingga pikirannya dibikin tak tenteram. ia pikir: “Biarkan pemuda ini ngaco-belo, asal aku perkencang seranganku dan kalahkan dulu anak perempuan ini, segala nya akan menjadi beres sendirinya.”
Tapi lagi-lagi Yo Ko berteriak-teriak : “Tak malu, sudah bilang 10 jurus, sekarang menyerang lagi. Sebelas, duabelas, tigabelas, empatbelas…”
Ia tak perduli berapa banyak kedua belah pihak sudah saling labrak tapi mulutnya mencerocos menghitung semaunya seperti mitralyur Siao-liong-li sendiri menjadi ketakutan sesudah sambut,
sejurus serangan musuh, betapapun ia tak berani lagi tahan serangan orang yang kedua dari depan, lekas-lekas keluarkan ilmu entengi tubuh yang dari Ko-bong-pay terus berlari cepat mengitari ruangan sambil selendang suteranya ikut bergulat dan bola emas berbunyi riuh hingga berwujut sesosok kabut putih diseling sinar emas.
Bunyi kelintang-kelinting dari bola emasnya itu kadang-kadang cepat dan tempo pelahan, mendadak lirih, tahu-tahu keras, ternyata tersusun., menjadi suatu irama lagu.
Diantara penonton itu ada yang paham seni suara, segera ada yang berteriak “He, ini adalah “Uh-ltat-ling-kiok” ciptaan Tong-beng-hong !”
Waktu yang lain memperhatikan, betul saja, sedikitpun tak meleset, malahan segera ada yang ikut-ikutan tepuk-tepuk tangan dan goyang-goyang kaki menuruti irama musik keleningan itu.
Kiranya Siao-liong-li wataknya suka seni musik, diwaktu iseng dalam kuburan kuno itu ia suka tabuh rebab menurut lagu tinggalan Cosu-popoh Lim Tiau-eng dan banyak mendapat kemajuan dalam jurusan ini. Belakangan waktu ia melatih bola emas dengan selendang sutera, ia dengar bola itu menerbitkan suara kelinting2 yang mendekati irama musik, dasar hati anak muda, di antara ilmu silatnya itu ia kombinasikan dengan irama musik!
Dari karena paduan ilmu silat dan musik ini, waktu dimainkan menjadi lebih luwes dan teratur.
Kini Siao-liong-Ii tahu lawan terlalu lihay, ia tak berani melawan dari depan, ia putar selendang suteranya cepat dan berlari kian kemari untuk menghindar!
Ginkang ajaran Ko-bong-pay adalah suatu di antara ilmu tertinggi dari Bu-lim yang tak bisa dicapai aliran silat lain,
Meski ilmu silat Kim-lun Hoat-ong jauh di atas Siao-liong-li, tapi selama hidup gadis ini-dilakukan dalam kuburan kuno dan melatih diri di tempat sempit, kini ia terus lari ke sana jemari sambil melompat dan berlari, ternyata sedikitpun Hoat-ong tak berdaya, ia dengar suara ting2 keleningan orang seakan-akan tersusun sifat lagu, tanpa tertahan hatinya tergerak ia pusatkan pikiran buat menyerang menuruti irama musik orang, lekas-lekas ia goyang roda emasnya hingga terbitkan suara gemerincing yang riuh.
Maka seketika dalam ruangan itu timbul paduan dua macam suara, kadang-kadang pelahan dan tiba-tiba keras, tempo-tempo tinggi nadanya, tahu-tahu rendah lagi, nyata mereka menjadi bertanding dalam irama musik jika suara keleningan Siao-liong-li nyaring merdu, kedengarannya membikin semangat menjadi segar, sebaliknya suara roda emas gemerantang keras bagai besi dipukul dan seperti golok dikikir, seperti babi disembelih dan mirip anjing dipentung, aneh luar biasa suara itu dan tak enak didengar. Yang satu ulem, yang lain berisik kedua pihak ternyata sama kuatnya.
Dalam pada itu Yo Ko masih terus mencerocos menghitung, kini sudah dihitungnya sampai:
“1005, 1006, 1007 …”
Tapi karena Siao liong-li tak berani bergebrak berhadapan dengan musuh, maka hakikatnya 10 jurus bagi Kim-lun Hoat-ong saja belum genap.
Lama2 Kim-lun Hoat-ong tidak sabar lagi, ia merasa dengan kedudukannya sebagai tokoh besar suatu aliran tersendiri sampai lama sekali masih belum bisa menangkan satu gadis jelita, kalau sampai berlarut-larut terus, sekalipun akhirnya menang, pasti tidak gemilang juga bagi kemenangannya, maka mendadak tangan kiri ia ulur kesamping, sedang roda emas tiba-tiba menghantam dari bawah ke atas.
Dalam keadaan bahaya, sekonyong-konyong Siao-liong-li ayun selendang suteranya hingga menerbitkan bayangan putih, tubuhnya cepat pula melompat. Tapi roda emas Kim-lun Hoat-ong mendadak. berputar balik terus menggubet kain selendangnya
Kalau senjata biasa pasti segera akan terebut olehnya, justru kain sutera ini lemas serta licin, maka dengan enteng tahu-tahu meluncur keluar lagi dari lubang rodanya.
“ltulah serangan kedua, dan kini yang ketiga !” bentak Hoat-ong tiba-tiba berbareng ia melangkah maju, roda emas mendadak terlepas dari tangannya terus menyamber ke arah Siao-liong-li.
Serangan luar biasa ini sama sekali diluar dugaan, maka terdengarlah suara mendenging yang memekak telinga, roda itu menyamber ke arah Siao-liong-li. Terkejut sekali gadis ini, lekas-lekas ia mendekam ke bawah sambil melompat mundur,
tahu-tahu sinar emas menyamber lewat depan mukanya membawa suara mendenging nyaring, begitu keras angin samberannya hingga kulit mukanya ikut terasa pedas.
Di bawah seruan kaget semua orang, tiba-tiba Hoat-ong turun tangan dan tepi roda itu didorong dengan telapak tangannya, seperti benda hidup saja tahu-tahu roda itu memutar balik terus menyusul ke arah Siao-liong-li.
Insaf kalau gaya putaran roda emas ini sangat keras, Siao-liong-li tak berani coba membelit dengan kain selendangnya, terpaksa ia berkelit kesamping.
“Ginkang bagus !” seru Hoat-ong setelah dua kali serangan tak berhasil cepat sekali ia menyerobot maju terus memotong pula tepi rodanya, habis itu beberapa kali pukulannya mencegat di depan Siao-liong-li pula, sebaliknya roda emas ini lantas putar kembali menghantam belakang kepala karena gaya potongan Hoat-ong tadi.
Meski terbangnya Kim-lun itu tak begitu cepat, tapi membawa suara gemerincing, maka tampaknya menjadi hebat luar biasa, pula sebelumnya Hoat-ong sudah menduga ke mana Siao-liong-Ii hendak berkelit, maka roda itu menjadi seperti tumbuh mata saja, setelah berputar sekali di udara, segera memburu sasarannya dari belakang.
Tahu akan bahaya mengancam, sekali meloncat dan berkelit Siao-liong-li keluarkan seluruh kemahirannya, siapa tahu mendadak Kim-lun Hoat-ong pentang tangan menghadang di depannya pula.
Melihat keadaan itu ditambah telinga seakan-akan pekak oleh suara mendengung roda emas, para ksatria itu sama terperanjat dan ikut berdebar-debar.
Nampak sang Kokoh terancam maut, tentu saja Yo Ko tak tinggal diam, mendadak ia samber gada yang ditinggalkan Darba di lantai itu terus meloncat ke atas sekuatnya, ia angkat gada itu dan-roda emas yang menyamber datang itu disodoknya, maka terdengarlah suara gemerantang yang keras, persis gada itu telah memasuki lubang roda itu, Cuma tenaga roda itu terlalu besar hingga kedua tangan Yo Ko tergetar lecet dan alirkan darah, orangnya berikut gada dan roda emas itupun terbanting semua ke lantai.
Sekilas Siao-liong-li melihat roda emas itu terpukul jatuh oleh Yo Ko, ancaman dari belakang sudah tak ada lagi, tapi waktu ia lagi meloncat mana bisa musuh di bagian depan itu dihindarinya?
Orang yang terancam bahaya seringkali timbul akal mendadak, tiba-tiba selendang suteranya ia sabet ke depan dan melilit satu tiang di sebelah barat terus ditariknya kuat-kuat, dengan tenaga ayunan itu tubuhnya lantas melayang ketiang rumah itu, dan dengan tepat sekali ia lolos dari lubang
jarum tenaga pukulan Kim-lun Hoat-ong yang maha hebat.
Sudah terang-terangan hampir berhasil serangannya siapa tahu kena dikacau lagi oleh Yo Ko, bukan saja musuh bisa menyelamatkan diri, bahka senjatanya yang malang melintang tanpa tandingan malah kena dipukul jatuh mentah-mentah ke lantai sungguh suatu pengalaman pahit yang selamanya tak pernah dialami Kim-lun Hoat-ong. Biasanya ia bisa berlaku tenang dan sabar, bisa berpikir biasanya.
Tapi kini sama sekali sudah lupa daratan, tidak tunggu sampai Yo Ko berbangkit, cepat sekali ia hantam pemuda ini dari jauh.
Meski pukulan ini dilakukan dari tempat sejauh setombak lebih, tapi angin pukulannya mengurung dari segala penjuru, sudah pasti sasarannya susah berkelit.
Menurut aturan, Hoat-ong adalah satu guru besar suatu aliran tersendiri lawannya angkatan lebih muda, pula sedang terbanting di lantai dan belum bangun, dengan serangannya ini sesungguhnya tidak sesuai dengan wataknya yang tinggi hati, tapi dalam keadaan murka, tanpa terpikir lagi oleh nya kesemua itu.
Syukur, sejak tadi pandangan Kwe Ceng tak pernah meninggalkan diri orang, begitu dilihatnya orang melototi Yo Ko dan sedikit angkat tangannya, segera ia tahu orang akan turun tangan keji, diam-diam ia bersiap-siap, tetapi biarpun ia menyerobot maju dan sekalipun dapat menangkis pukulan orang, namun tetap Yo Ko akan terluka.
Karena waktu sudah mendesak tanpa pikir lagi segera dengan tipu “hui-liong-cay-thian” atau naga terbang ke langit, ia meloncat ke atas dan hantam batok kepala Kim-lun Hoat-ong.
Dalam keadaan begitu, kalau Hoat-ong tidak tarik kembali pukulannya, meski ia bisa binasakan Yo Ko, tapi ia sendiripun akan melayang jiwanya dibawah Hang-liong-sip-pat-ciang orang yang maha lihay itu.
Karena itu terpaksa ia tarik kembali tenaga pukulannya tadi, sambil membentak ia alihkan telapak tangannya menyambut gablokan Kwe Ceng itu.
Inilah untuk kedua kalinya saling gebrak di antara dua guru besar ilmu silat itu. Kwe Ceng sendiri terapung di udara, tiada tempat yang bisa digunakan sandaran, tiada jalan lain ia pinjam tenaga pukulan orang terus berjumpalitan dan turun kembali ke belakang. sebaliknya Kim-lun Hoat-ong masih terus berdiri di tempatnya, tubuh tak bergoyang, kaki tak menggeser seperti tak terjadi sesuatu saja.
Ilmu silat Kwe Ceng yang hebat cukup dikenal Hek Tay thong, Sun Put-ji dan Tiam-jong Hi-un, maka demi nampak gebrakan itu, sungguh mereka menjadi terperanjat sekali, betapa tinggi kepandaian Kim-lun Hoat-ong sesungguhnya tak bisa mereka ukur.
Padahal melompat mundurnya Kwe Ceng itu otomatis telah mengelakkan tenaga pukulan orang, cara itu adalah cara yang betul dalam ilmu silat, sebaliknya Kim-lun Hoat-ong kena dikacau Yo Ko tadi hingga kehilangan muka, ia paksakan diri hendak pulihkan malunya itu, maka benar-benar ia telah sambut tenaga pukulan Kwe Ceng, hal ini berarti banyak melemahkan tenaga dalamnya, meski luarnya kelihatan unggul, sebenarnya dalamnya mendapat rugi.
Kedua tokoh itu berlainan ilmu kepandaian dan sama-sama gagah tiada bandingannya, kalau hanya beberapa gebrakan saja susah menentukan asor dan unggul, namun karena adu tenaga pukulan tadi, dada Kim-lun Hoat-ong rada sakit, baiknya pihak lawan mementingkan menolong orang dan tidak melanjutkan serangannya maka dengan cepat ia bisa tutup mulut rapat2 mengumpulkan tenaga untuk melancarkan dadanya yang sesak.
Di sebelah sana Yo Ko telah terhindar dari elmaut, begitu merangkak bangun segera ia lari ke samping Siao-liong-li dan saling menanya keadaan masing-masing, setelah tahu tida apa-apa, wajah mereka unjuk senyuman, tangan mereka saling genggam penuh gembira.
“Wahai, dengarkanlah para jago Mongol,” seru -Yo Ko tiba-tiba sambil menyanggah roda emas rampasannya di atas gada milik Darba itu, “senjata imam negara kalian sudah dapat
kurampas, apa kalian masih berani berkata lagi tentang Bu-lim Bengcu segala ? Baiknya kalian lekas enyah saja darisini.Tapi para Bu-su Mongol itu belum mau terima, sudah terang mereka saksikan Kim-lun Hoat-ong menangkan Siao-liong-li, tapi pihak lawan maju lagi seorang Yo Ko, bahkan maju pula seorang Kwe Ceng, Karena itu mereka pada berteriak-teriak mengejek.
“Hm, pihakmu main tiga lawan satu, tak kenal malu!” .
“Hoat-ong sendiri yang melemparkan roda emasnya, mana mungkin kau bocah ini bisa merebutnya?”
“Satu lawan satu, hayo kalau berani bertanding lagi, jangan pakai keroyokan”
“Betul.! Coba bertanding lagi kalau berani !”


Begitulah riuh ramai mereka berteriak-teriak, tapi semuanya dalam bahasa Mongol, maka para ksatria
Tionggoan tak satupun yang paham.
Sudah tentu diantaranya yang bisa berpikir tahu juga kalau soal ilmu silat sesungguhnya Kim-lun Hoat-ong masih diatas Siao-liong-Ii, tetapi sebutan Bu-lim Bengcu ini betapapun juga tidak boleh direbut seorang imam negara Mongol, hal ini bukan saja bikin malu kalangan Bu-lim daerah Tionggoan, pula berarti melemahkan perbawa sendiri di saat menghimpun kekuatan buat melawan musuh.
Maka diantara ksatria2 yang berdarah muda demi dengar jago-jago Mongol berteriak-teriak, merekapun balas mencacimaki dan pada lolos senjata, keadaan menjadi kacau panas dan tampaknya bakal bertempur ramai-ramai.
“Bagaimana, kau tetap tak ngaku kalah ?” seru Yo Ko pada Kim-lun Hoat-ong sambil angkat gadanya tinggi-tinggi dengan roda emas di pucuk gada itu. ” senjatamu saja sudah berada di tanganku, masih cukup tebal kulit mukamu untuk berlagak disini? Apa ada di jagat ini senjata seorang Bu-lim Bengcu kena dirampas orang ?”
Waktu itu Kiin-lun Hoat-ong lagi menjalankan tenaga dalamnya, apa yang dikatakan Yo Ko cukup jelas didengarnya cuma ia tak berani membuka suara untuk menjawab.
Kim Lun Hoat Ong
Melihat keadaan lawan, Yo Ko dapat meraba beberapa bagian, segera ia berteriak lagi: “Wahai para ksatria, dengarlah sekarang akan kutanyi dia lagi tiga kali, kalau Hoat-ong tidak menjawab, itu berarti mengaku kalah secara diam-diam.”
Nyata si Yo Ko sangat cerdik ia kuatir sebentar lagi Hoat-ong selesai menjalankan napasnya, maka tanpa berhenti ia menanya pula cepat: “Nah, bagaimana, kau ngaku kalah bukan? Bu-lim Bengcu bukan bagianmu lagi bukan? Kau bungkam terus berarti mengaku secara diam-diam bukan?”
Pada saat itu kebetulan Hoat-ong sudah selesai menghilangkan rasa sesak dadanya, selagi ia hendak jawab orang, begitu melihat bibirnya bergerak cepat Nyo-Ko mendahului buka suara lagi “Baiklah, jika kau sudah mengaku kalah, kamipun tak mau bikin susah kau, kalian ber-ramai-ramai boleh lekas enyah saja.
Habis itu, ia angkat tinggi2 gada dan roda emas rampasannya itu dan diserahkan pada Kwe Ceng, ia pikir kalau serahkan Suhu, kuatirnya Kim-lun Hoat-ong akan menjadi murka dan merebutnya, suhu tentu tak sanggup melawannya.
Di lain pihak alangkah gusarnya Kim-lun Hoat-ong hingga mukanya. merah padam, tapi ia gentar juga terhadap ilmu silat Kwe Ceng yang lihay, roda emas sudah jatuh ditangannya, kalau hendak merebutnya kembali rasanya belum tentu berhasil pula jumlah lawan terlalu banyak, kalau terjadi pertempuran besar, pihak Mongol pasti akan kalah habis-habisan. Agar tidak terima hinaan, terpaksa mundur teratur, kelak cari jalan lagi buat membalas.
Karena itu, dengan suara keras Hoat-ong lantas berkata: “Bangsa Han banyak tipu muslihat, menang dengan jumlah banyak, se-ka!i2 bukan “cara ksatria sejati, marilah ikut aku pergi saja.”
Habis berkata, ia memberi tanda dan para jago Mongol itupun mundur keluar rumah. Dari jauh Hoat-ong masih memberi hormat pada Kwe Ceng dan berkata: “Kwe-tayhiap, Oey-pangcu, tadi aku sudah belajar kenal ilmu kepandaian kalian yang hebat, Gunung selalu hijau, air sungai senantiasa mengalir, biarlah kita bersua pula kelak,”
Kwe Ceng orangnya jujur dan berbudi, maka sambil membungkuk membalas hormat iapun menjawab : “Ilmu silat Taysu sungguh hebat sekali, Cayhe kagum luar biasa. Senjata kalian bolehlah diambil kembali saja.”
Sembari berkata, roda emas dan gada emas itupun hendak disodorkannya.
Tapi Yo Ko lantas menyelak: “Kim-lun Hoat-ong, apa mukamu cukup tebal untuk menerimanya kembali ?”
Lekas-lekas Kwe Ceng membentak, tapi Kim-lun Hoat-ong sudah kebas lengan bajunya terus jalan pergi tanpa berpaling lagi.
Tiba-tiba Yo Ko ingat sesuatu. “Hai, muridmu Hotu terkena racun senjata rahasiaku, lekas kau serahkan obat penawar untuk tukar obatku,” ia berteriak.
Tetapi Hoat-ong yakin kepandaiannya cukup memahami ilmu pertabiban, segala racun apa saja, dapat disembuhkannya, ia benci terhadap kelicikan Yo Ko, maka kata-kata orang tak digubrisnya terus melangkah pergi.
Sementara Oey Yong melihat Cu-liu pejamkan mata dan pula bertidur, ia pikir di sini tidak sedikit terdapat ahli2 pemakai Am-gi berbisa, pasti ada diantaranya yang dapat menyembuhkan lukanya ini, maka melihat Kim-lun Hoat-ong tak mau terima ajakan Yo Ko untuk tukar obat penawar, ia pun tidak pikirkan lebih jauh, Tatkala itu seluruh Liok-keh ceng telah terbenam dilain suasana sorak sorai yang riuh rendah, semua memuji Yo Ko dan Siao-Iiong-li yang telah mengalahkan Kim-lun Hoat-ong dengan gemilang itu. Kedua muda-mudi ini dirubung beratus orang yang berisik mempersoalkan pertarungan tadi, ada yang bilang-cara Yo Komengalahkan Hotu betul-betul gunakan cara “senjata makan tuannya”, ada yang berkata Ginkang Siao-liong-Ii tiada taranya hingga dapat hindarkan diri dari udakan Kim-lun Hoat-ong yang hendak menghantamnya tadi, cuma mengenai “Ih-hun-tay-hoat” yang digunakan Yo Ko menangkan Darba hingga paderi Tibet itu dengan dan hantam dirinya sendiri, 9 dari 10 diantara mereka tiada satupun yang paham.
Kemudian perjamuan lantas diperbaharui, selama hidup Yo Ko selalu menderita hinaan, baru hari ini ia betul-betul melampiaskan deritanya itu dan unjuk keperkasaannya mendirikan pahala bagi dunia persilatan Tionggoan, maka tiada seorangpun yang tak menghormat padanya, dengan sendirinya amat girang hatinya.
Siao-liong-li suci bersih batinnya tak kenal sedikitpun tata pergaulan, ia lihat Yo Ko gembira, maka iapun ikut bergirang. Terhadap “gadis” ini Oey Yong juga sangat suka, ia tarik tangan orang dan menanya ini dan itu, ia minta Siao-liong-li duduk semeja di sampingnya.
Ketika melihat Yo Ko duduk diantara Tiam jong Hi-un dan Kwe Ceng, jaraknya terlalu jauh dari tempatnya, segera Siao-liong-li menggapai dan memanggil: “Ko-ji, kemari duduk disampingku sini!”
Namun Yo Ko sedikit banyak paham perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tadi waktu bertemu sesaat ia lupa daratan dan unjuk perasaan hatinya yang murni, tapi kini dibawah pandangan orang begitu banyak, jika masih unjuk perasaan mesra, rasanya rada kurang pantas, maka demi mendengar panggilan orang, tanpa tahan wajahnya sedikit merah, ia bersenyum tapi tak mendekati.
“Ko-ji, hayo, kenapa kau tak kemari?” kembali Siao-liong-li mendesak. “Biarlah aku duduk di sini saja, Kwe-pepek lagi bicara dengan aku,” sahut Yo Ko.
Tiba-tiba alis Siao-liong-li terkerut, “Aku ingin kau duduk ke sini,” katanya pula.
Tampak sikap orang yang kurang senang, hati Yo Ko terguncang hebat, ia merasa wajah orang yang rada marah itu betul-betul menggiurkan, sekalipun harus hancur lebur untuknya juga rela, Dahulu karena sifat Liok Bu-siang diwaktu marah rada mirip Siao-liong-li dan Yo Ko rela membela si gadis itu dari musuh ganas, bahkan melindunginya sejauh ribuan li, kini orang sesungguhnya sudah di depan mata, mana bisa ia membangkang lagi? Maka iapun berdirilah dan mendekati meja Siao-liong-li.
Melihat sikap kedua muda-mudi ini, diam-diam Oey Yong rada curiga, namun iapun perintahkan atur tempat duduknya Yo Ko.
“Ko-ji, ilmu silatmu yang hebat ini kau dapat belajar dari siapa?” kemudian Oey Yong tanya Yo Ko.
“Dia inilah guruku, kenapa Kwe-pekbo tak percaya” sahut Yp Ko sambil tunjuk Siao-liong-li.
Tapi Oey Yong sudah kenal kelicinan pemuda ini, bila dilihatnya wajah Siao-liong-li yang polos jujur, ia yakin orang tak nanti membohong, maka diapun berpaling dan tanya:
“Moaymoay, betulkah ilmu silatnya dipelajarinya dari kau?”
Siao liong li sangat senang atas pertanyaan orang. “Ya, memang, bagaimana, baik tidak ajaranku?” sahutnya segera. “Baik, baik sekali.” kata Oey Yong, “Moaymoay, Siapakah gurumu?”
“Guruku sudah meninggal lama,” sahut Siao-liong-li. Dan matanya tiba-tiba pula basah, hatinya berduka.
“Tolong tanya siapakah nama dan she gurumu yang terhormat itu ?” kembali Oey Yong menanya.
“Entah, Suhu ya Suhu,” sahut Siao-liong-li sambil geleng- geleng kepala.
Oey Yong sangka orang tak mau mengaku, memang adalah biasa kalau orang Bu-Iim pantang bicara soal perguruan sendiri Padahal guru Siao-liong-li adalah budak pelayan pribadi Lim Tiao-eng, selamanya hanya dikenal nama kecil sebagai pelayan, she dan nama asli memangnya ia tak tahu.
Dalam pada itu para kesatria dari berbagai aliran itu beruntun-runtun telah menyuguh arak pada Kwe Ceng, Oey Yong, Siao-liong-li dan Yo Ko sebagai penghormatan dan ucapan selamat karena telah mengalahkan musuh tangguh seperti Kim-lun Hoat-ong itu.
Biasanya Kwe Hu sangat dihormati orang berkat orang tuanya, tapi dibandingkan kini, keadaannya menjadi guram, kecuali Bu-si Hengte yang masih me-nyanjung2 padanya, tiada seorang lain yang perhatikan dia, Tentu saja gadis ini menjadi kesal “Toa-Bu-Koko, Siao-Bu Koko, jangan minum arak lagi, marilah kita jalan-jalan keluar saja,” ajaknya kemudian pada kedua saudara Bu itu.
Bu Tun-si dan Bu Siu-bun menyahut berbareng, lalu mereka bertigapun berbangkit Dan selagi mereka hendak keluar, tiba-tiba di dengarnya Kwe Ceng sedang memanggil:
“Hu-ji, mari sini!”
Waktu Kwe Hu menoleh, ia lihat sang ayah sudah pindah semeja dengan ibunya-dan lagi menggapai padanya dengan berseri-seri. Karena itu iapun mendekati kedua orang tuanya dan memanggil manja sambil bersandar di tubuh Oey Yong.
“Nah, dulu kau kuatir Ko-ji kurang baik kelakuannya dan bilang ilmu silatnya kurang tinggi hingga tak sesuai bagi Hu-ji, kini kau tidak bisa mencela lagi bukan?” demikian dengan tertawa Kwe Ceng berkata pada sang isteri: “la telah berjasa besar untuk para Enghiong dari Tionggoan sekarang, jangan kata tidak punya kesalahan, sekali pun ada apa-apa yang tak baik jasanya tadi jauh lebih besar untuk menutup kesalahannya itu.”
“Ya, sekali ini memang salah penglihatanku” sahut Oey Yong angguk-angguk tertawa, “baik ilmu silat maupun sifat Ko-Ji memang bagus semua, aku sendiripun amat suka padanya.”
Mendengar jawaban sang isteri yang merupakan kesanggupan perjodohan puterinya, Kwe Ceng sangat senang. “Liong kohnio.” katanya pada Siao liong li, mendiang ayah muridmu adalah saudara angkatku, Kedua keluarga Nyo dan Kwe turun temurun berhubungan baik, Cayhe melulu punya satu anak perempuan, soal wajah dan ilmu silat masih boleh juga…”
Begitulah dasar watak Kwe Ceng memang terus terang, apa yang hendak dikatakan lantas diucapkannya begitu saja.
“Hm coba, anak sendiri dipuji-puji, apa tak takut ditertawai adik Liong ?” sela Oey Yong tertawa.
Kwe Ceng ikut terbahak, lalu iapun menyambung lagi:
“Maka maksud Cayhe, hendak jodohkan puteriku ini pada muridmu, ayah-bundanya sudah wafat semua, urusan ini dengan sendirinya perlu minta keputusan Liong-kohnio, Dan kebetulan para ksatria berkumpul di sini, kita bisa minta dua Eng-hiong terkemuka sebagai comblang untuk menetapkan perjodohan ini, bagaimana ?”
Hendaklah diketahui pada jaman dulu soal perjodohan umumnya tergantung perintah orang tua dan berdasarkan perantara comblang, pihak muda-mudi yang bersangkutan malahan tak berkuasa ambil keputusan.
Begitulah habis berkata, dengan ketawa-ketawa Kwe Ceng memandang Yo Ko dan puteri sendiri, ia duga pasti Siao-liong-li akan terima perjodohan bagus itu. Tentu saja muka Kwe Hu merah jengah.
Ia sembunyikan mukanya ke pangkuan sang ibu.
Sebaliknya air muka Siao-liong-li rada berubah mendengar kata-kata Kwe Ceng tadi belum ia menjawab tiba-tiba Yo Ko sudah berdiri ia menjura dalam-dalam pada Kwe Ceng dan Oey Yong, lalu berkata: “Budi Kwe pepek dan Kwe-pekbo yang membesarkan aku dulu serta rasa sayang padaku ini, sekalipun hancur lebur tubuhku juga sukar membalasnya.
Tetapi keluargaku miskin, kepandaianku tak berarti sekali-kali tak berani memikirkan puteri bijaksana.”
Seketika Kwe Ceng tercengang, sungguh tak pernah diduganya bahwa dengan nama suami-isterinya yang tersohor di kolong langit, wajah dan silat puterinya juga tergolong kelas satu, apalagi ia sendiri yang buka mulut hendak menjodohkan-nya, siapa tahu orang malah menolak mentah-mentah.
Tapi ia lantas ingat tentu usia Yo Ko masih muda dan merasa malu, maka pura-pura menolaknya. Maka ia tertawa pula dan berkata: “Ko-ji kita bukan orang luar, urusan ini bersangkutan dengan seumur hidupmu tak perlu kau malu- malu.”
Tapi lagi-lagi Yo Ko menjura dan menjawab: “Kwe-pepek jika engkau ada perintah, ke lautan api atau masuk air mendidih, sedikitpun aku tak menolak, namun urusan perjodohan ini, betapapun tak berani ku menurut,”
Melihat pemuda ini bersikap sungguh-sungguh, alangkah herannya Kwe Ceng, ia pandang sang isteri dan berharap ikut menjelaskan persoalannya.
Oey Yong sesalkan sang suami terlalu lurus, tidak selidiki dulu lantas berkata terang-terangan dalam perjamuan terbuka hingga kebentur tembok sendiri.
Sudah dilihatnya sikap antara Yo Ko dan Siao liong-li yang sedang saling cinta, tapi mereka mengaku sebagai guru dan murid, apakah mungkin kedua orang ini telah tersesat dan berzinah? Tentang ini sesungguhnya ia tak berani percaya, ia pikir Yo Ko belum pasti seorang jantan sejati, tapi juga tak nanti melakukan perbuatan terkutuk dan rendah itu.
Harus diketahui orang pada ahala Song sangat pentingkan tata susila, tingkatan antara guru dan murid dipandang seperti raja dan hambanya, seperti ayah dan anak yang sekali-kali tak boleh berbuat sembarangan.
Walaupun Oey Yong bercuriga, namun urusan ini terlalu besar artinya, seketika iapun tak berani percaya, maka ia tanya Yo Ko: “Ko-ji, benarkah Liong-kohnio gurumu ?”
“Ya,” sahut Yo Ko pasti.
“Apakah kau angkat guru padanya dengan menjura dan menyembah?” tanya “Oey Yong lagi
“Ya,” jawab Yo Ko tegas, Mulutnya menjawab Oey Yong, tapi matanya memandang Siap-liong-li dengan penuh rasa kasih mesra, jangankan Oey Yong cerdik melebihi orang biasa, sekalipun orang lain juga dapat melihat bahwa antara kedua muda-mudi ini tentu mempunyai hubungan yang lain dari yang lain.
Namun Kwe Ceng belum juga paham maksud tujuan sang isteri ia pikir: “Bukankah sejak tadi ia bilang murid Liong- kohnio, ilmu silat mereka berdua terang juga sama, mana bisa dipalsukan lagi? Aku persoalkan perjodohan, kenapa adik Yong tanyakan perguruan dan alirannya? Em, ya, lebih dulu bocah ini masuk Coan-cin-pay, kemudian ganti angkat guru lain, meski hal ini tak baik, tapi urusannya gampang juga diselesaikan.”
Dalam pada itu melihat sikap Yo Ko terhadap Siao-liong-li, diam-diam Oey Yong terperanjat sekali, lekas-lekas ia kedipi sang suami dan berkata: “Sudahlah, umur Hu-ji masih kecil, soal perjodohannya kenapa harus ter-buru-buru? Hari ini para ksatria berkumpul disini, paling betul berunding dulu masalah negara yang besar, urusan pribadi sementara boleh kesampingkan dulu.”
Kwe Ceng pikir betul juga, maka jawabnja: “Ya, betul, hampir saja aku pentingkan urusan pribadi dan melupakan soal besar. Liong-kohnio, urusan perjodohan Ko-ji dan puteriku ini biarlah kita bicarakan lagi kelak.”
Siapa duga mendadak Siao-liong-Ii geleng-geleng kepala.
“Tidak, aku yang akan menjadi isteri Ko-ji, tak nanti ia menikahi anakmu,” sahutnya tiba-tiba.
Kata-kata itu diucapkan cukup keras dan terang, maka ada
ratusan hadirin di situ mendengarnya, keruan Kwe Ceng terperanjat, seketika ia berbangkit sungguh ia tak percaya pada telinga sendiri, namun bila dilihatnya Siao-liong-li memegangi tangan Yo Ko dengan sikap begitu hangat dan mesra, hal ini tak bisa pula tak mempercayainya.
“Ap…. apa katamu? Di… dia mu… muridmu bukan?” tanyanya cepat tak lancar.
“Ya,” sahut Siao-liong-li dengan tersenyum simpul “Dahulu aku mengajarkan ilmu silat padanya, tapi kepandaiannya kini sudah sama kuatnya dengan aku, ia sangat suka padaku dan akupun suka padanya, Dulu….” sampai di sini tiba-tiba ia pelahankan suaranya, meski gadis ini masih polos, namun sifat malu-malu anak perempuan adalah pembawaan, maka dengan lirih ia sambung: “…dulu, dulu kukira dia tak suka padaku dan tak mau aku menjadi isterinya, ak… aku menjadi sedih sekali, aku ingin mati saja lebih baik Tapi ha… hari ini barulah aku tahu ia cinta padaku sesungguh hati, ak… aku…”
Luar biasa penuturan Siao-liong-li yang keluar dari jiwa murninya ini hingga seketika beratus hadirin itu sama sunyi senyap mendengarkan kata-kata si gadis. Umumnya, sekalipun seorang gadis yang sedang terbakar api asmara, namun tak nanti mengumumkannya terang-terangan dihadapan orang banyak. Apalagi menutur pada orang luar yang bukan sanak keluarga sendiri Tapi Siao-liong-li terlalu bersih, ia tak kenal urusan umum, apa itu tata krama atau kebiasaan manusia, segalanya tak dipahaminya, apa dirasakan perlu dikatakannya segerapun dikatakan.
Sebaliknya Yo Ko sangat terharu melihat perasaan si gadis yang murni itu, tapi bila dilihatnya wajah orang lain nada unjuk rasa terkejut dan heran, ia menjadi kikuk dan tak bisa membenarkan pula, ia tahu Siao-liong-li terlalu hijau, sepantasnya tidak membicarakan urusan ini di tempat orang banyak, maka tangan orang lantas ditariknya, dengan suara halus iapun mengajak: “Marilah, Ko-koh, kita pergi saja !”
“Baik,” sahut Siao-liong-li. Lalu kedua muda-mudi inipun bertindak keluar berendeng.
Tatkala itu meski seluruh ruangan penuh berjubel dengan orang, namun dalam pandangan Siao liong-li seakan-akan Yo Ko seorang saja yang dilihatnya.
Kwe Ceng saling pandang bingung dengan Oey Yong, tidak sedikit peristiwa aneh dan berbahaya yang pernah mereka alami selama hidup, tapi kejadian di depan mata sekarang ini sungguh tak pernah mereka duga, seketika merekapun tidak tahu bagaimana harus bertindak.
Pada waktu Siao-liong-li dan Yo Ko sudah hampir melangkah keluar ruangan pendopo itu, mendadak Oey Yong meneriakinya: “Liong-kohnio, kau adalah Bu-lim Bengcu yang dihormat dan dipandang sebagai suri teladan semua orang, maka urusan ini hendaklah kau pikirkan lebih masak.”
Tiba-tiba Siao-liong-li menoleh sambil tersenyum manis, sahutnya: “Aku tak sanggup menjadi Bu-lim Bengcu segala, kalau cici suka bolehlah kau ambil saja jabatan itu.”
“Tidak, bila kau mau menolak, maka serahkan “saja pada ksatria angkatan tua Ang-lopangcu,” kata Oey Yong.
Bu-lim Bengcu adalah gelar kehormatan yang amat agungnya, dalam dunia persilatan, tapi sedikitpun tak terpikir oleh Siao-liong-li, ia menjawab pula sekenanya: “Terserahlah kau, pendeknya aku tidak kepingin.”
Habis itu tangan Yo Ko ditariknya hendak berjalan keluar lagi.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat, dari tengah orang banyak tahu-tahu melompat keluar se-orang berjubah pertapaan dan tangan menghunus pedang, ia bukan lain dari pada imam Coan-cin-kau, Thio Ci-keng adanya.
“Yo Ko,” bentak Ci-keng mendadak dengan pedang melintang dan menghadang di ambang pinta “Kau durhaka dan mengkhianati perguruan, hal ini saja tak dibesarkan orang, kini kau berbuat lagi serendah binatang, apa kau masih punya muka untuk hidup di dunia ini? Asal aku Thio Ci-keng masih bisa bernapas, tidak nanti kubiarkan kau.” Yo Ko tak suka ribut-ribut dengan Ci-keng di depan orang banyak, maka dengan suara tertahan ia membentak “Menyingkir!”
“In-sute,” teriak Ci-keng pula, “coba kau maju, katakanlah malam itu di Cong-lam-san dengan mata kepala kita sendiri menyaksikan kedua orang ini telanjang bulat lagi berbuat apa?”
PeIahan2 Ci-peng berdiri dengan sedikit gemetar waktu ia angkat tangan kirinya, maka terlihatlah jari-jari kecil dan manis tangannya telah kutung semua, meski semua orang tak tahu maksud-nya mengunjuk tangan cacat ini, namun melihat tubuh Ci-peng yang gemetar dan bersikap aneh, orangpun dapat menduga pasti di dalamnya tersangkut sesuatu yang ganjil.
Seperti diketahui, malam itu Siao-liong-li dan Yo Ko sedang melatih Giok-li-sim-keng dalam semak-semak bunga dan dipergoki Ci-keng dan Ci-peng tanpa sengaja, tatkala mana Yo Ko telah paksa Ci-peng bersumpah agar tak bercerita pada orang kelima, siapa tahu hari ini orang telah menistanya di hadapan orang banyak, tentu saja luar biasa gusarnya Yo Ko.
“Kau telah bersumpah tak akan ceritakan pada orang kelima, apa kau lupa?” bentak Yo Ko segera.
Ci Keng terbahak-bahak oleh teguran ini “Ya. memang aku bersumpah tidak akan bercerita pada orang kelima.” Sahutnya keras, “tapi kini disini ada orang keenam, ketujuh, bahkan beratus dan beribu orang, dengan sendirinya sumpahku itu sudah batal. Kalian berdua berani berbuat, sudah tentu akupun boleh mengomongnya bukan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar