Senin, 26 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 92



“Kalau kukatakan, sungguh sangat memalukan harap Kwe-hujin jangan mentertawakan diriku.” kata Bok-chiu.
“Ah, mana kuberani,” ujar Oey Yong, Diam-diam ia bersiap kalau segera saling bergebrak, tapi sebelum menggunakan kekerasan iapun berusaha mencari akal untuk bisa merebut kembali puterinya itu.
Dalam pada itu terdengar Li Bok - chiu telah menjawabnya: “Sungguh malang juga perguruan Ko-bong-pay kami dan mungkin juga aku memang tidak becus mengajar Sumoayku, anak ini adalah puteri liong-sumoayku di luar nikah….”
Sudah tentu Oey Yong sangat heran mendengar keterangan ini, sudah jelas Siao-liong-li tidak pernah hamil, darimana bisa melahirkan di luar nikah? Padahal bayi ini jelas puteriku, apa maksud tujuannya.
Sebenarnya bukanlah Li Bok-chiu sengaja hendak membohongi Oey Yong, soalnya dia memang menyangka bayi itu adalah anak haram hasil hubungan Siao-liong li dengan Yo Ko.
Dia dendam pada mendiang gurunya karena dianggap pilih kasih, pada sang Sumoay dan menurunkan pusaka Giokli-sim-keng padanya. Sekarang kebetulan Oey Yong bertanya tentang bayi itu, maka dia sengaja hendak merusak nama baik Sumoaynya.
Begitulah Oey Yong lantas berkata pula: “Nona Liong tampaknya sopan dan suci, masakah berbuat sejauh itu, sungguh sukar dibayangkan Dan siapakah ayah anak ini?”
“Ayah anak ini?” Li Bok-cbiu mencgas. “Hah, kalau disebut akan lebih memalukan lagi, ialah murid Sumoayku, si Yo Ko.”
Meski Oey Yong pintar berlagak, tak urung mukanya menjadi merah juga dan merasa gusar, Maklumlah, kalau anaknya dianggap anak haram Siao-Iiong-Ii masih mendingan, tapi dikatakan ayah bayi itu ialah Yo Ko, ini berarti menghinanya.
Namun rasa gusar itu hanya sekilas saja terlintas dimukanya, segera ia tenang kembali dan berkata.
“Anak ini sungguh sangat menyenangkan. Eh, Li-totiang, bolehkah kupondong sebentar.” Segera ia mendekatinya sambil mulutnya berkecek2 untuk meminang anak bayi itu.
Sejak dapat merebut Kwe Yang, selama beberapa hari Li Bok-chiu tinggal di pegunungan yang sepi dan hidup gembira dengan momong bayi itu, setiap hari dia memeras susu macan tutul utk minuman si bayi.
Meski dia sudah banyak berbuat kejahatan tapi pembawaan setiap manusia pada umumnya tidaklah jahat, soalnya dia patah hati dalam cinta, dia menjadi benci kepada sesamanya dan sakit hati kepada kehidupan ini, wataknya berubah menjadi nyentrik, dari nyentrik berubah menjadi keji.
Tapi Kwe Yang itu memang bayi yang cantik menyenangkan sehingga mengetok hati keibuannya,
terkadang kalau dia merenung di tengah malam sunyi, terpikir
olehnya andaikan Siao-liong-li akan menukar bayi itu dengan Giok-li-sim-keng juga takkan diterimanya. sekarang Oey Yong dilihatnya hendak memondong si bayi, ia menjadi senang sebagaimana layaknya seorang ibu akan merasa gembira dan bangga kalau puteranya dipuji orang, maka tanpa pikir ia terus menyodorkan Kwe Yang.
Ketika tangan Oey Yong sudah menyentuh popok dari Kwe Yang, tanpa terasa air mukanya menampilkan rasa kasih sayang seorang ibu yang tiada taranya.
Sudah sekian lama siang dan malam ia memikirkan keselamatan anak perempuan ini, sekarang dia dapat menemukannya dan memondongnya, tentu saja girangnya tak terlukiskan.
Li Bok-chiu juga seorang yang maha pintar dan cerdik, melihat air muka Oey Yong luar biasa itu, seketika hatinya tergerak “Kalau dia cuma suka pada anak kecil dan ingin memondongnya, mengapa hatinya terguncang sedemikian rupa? Tentu dibalik hal ini ada sesuatu yang tidak beres. Karena itulah mendadak ia menarik kembali Kwe Yang yang sudah disodorkan itu, berbareng ia terus melompat mundur.
Baru saja kakinya menempel tanah dan hendak menegur apa kehendak Oey Yong sebenarnya, tiba-tiba Oey Yong sudah membayanginya melompat maju. Cepat Li Bok-chiu menyambutnya dengan karung yang dipanggulnya itu, seketika 20 kati beras dan satu kati garam berhamburan ke muka Oey Yong.
Sudah tentu sukar bagi Oey Yong untuk menghalau hujan beras dan garam itu, sebisanya dia meloncat ke atas sehingga beras-garam itu menyamber lewat di bawah kakinya. Pada kesempatan itu juga Li Bok -chiu lantas melompat mundur Iagi, kebutnya lantas disiapkan dan berkata dengan tertawa: “Kwe-hujin, apakah kau hendak merebut anak ini untuk Yo Ko?”

Pikiran Oey Yong dapat bekerja dengan cepat, sekejap itu dia sudah mengambil keputusan apa yang harus dilakukannya selanjutnya, kalau lawan sudah curiga, terpaksa harus memakai kekerasan untuk merebut kembali si Kwe Yang cilik itu.
Maka dengan tertawa ia menjawab: “Ah, aku cuma tertarik pada anak yang montok ini dan ingin memondong-nya, tapi kau ternyata tidak sudi dan terlalu merendahkan diriku.”
“Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin termashur di seluruh jagat, selamanya siaumoay sangat kagum, kini dapat menyaksikan sedikit gerak tubuhmu dan ternyata memang tidak bernama kosong.” kata Li Bok-chiu, “Tapi siaumoay masih ada urusan lain, biarlah kumohon diri saja.” - Rupanya dia kuatir kalau Kwe Ceng juga berada di sekitar situ, maka dia menjadi jeri, setelah bicara begitu segera ia hendak melangkah pergi.
Oey Yong lantas meloncat maju, selagi tubuhnya masih mengapung di udara, lebih dulu pentung bambu penggebuk anjing sudah dilolosnya dan begitu kaki menyentuh tanah, segera ia menutulkan pentungnya ke punggung Li Bok-chiu.
Diam-diam Li Bok-chiu mendongkol padahal bicaranya cukup ramah dan sungkan, kalau orang sudah mulai menyerangnya, terpaksa ia harus melayaninya. Cepat kebutnya menyabet ke belakang untuk menangkis pentung lawan, menyusul iapun balas menyerang satu kali, Pak-kau-pang-hoat memang sangat hebat dan cepat luar biasa, setelah beberapa jurus saja Li Bok-chiu sudah merasa kewalahan. Dasar ilmu silatnya memang lebih rendah sedikit daripada Oey Yong, apalagi sekarang dia memondong bayi, tentu saja gerak-geriknya lebih-lebih tidak leluasa.
 Dalam pada itu Oey Yong terus bergerak mengitarnya, pentungnya menyerang dengan lebih kencang hanya sekejap saja Li Bok-chiu sudah terdesak hingga kelabakan.
Namun Li Bok-chiu juga cerdik, melihat serangan pentung Oey Yong itu selalu menjauhi si bayi, maka tahulah dia akan kelemahan lawan, seperti juga waktu menempur Yo Ko, bayi ini malah menjadi perisai yang baik baginya. Dengan tertawa ia lantas berkata: “Kwe-hujin, jika engkau ingin menjajal kepandaianku kukira masih banyak kesempatan di lain waktu saja, kenapa mesti kau paksakan sekarang ini? Kalau sampai salah seorang antara kita salah tangan, bukankah anak yang menyenangkan ini akan menjadi korban?”
Melihat Li Bok-chiu mulai menggunakan anak itu sebagai tameng, Oey Yong menjadi ragu apakah orang memang benar-benar tidak tahu bayi itu adalah anakku atau cuma pura-pura saja? Karena pikiran ini segera ia sengaja memancingnya dengan berkata.
“Demi keselamatan anak ini, sudah belasan jurus kuberi kelonggaran padamu, kalau tidak lekas kau taruh anak itu, terpaksa aku tidak pedulikan mati-hidupnya lagi.” Sembari berkata pentungnya terus menutuk kaki kiri lawan.
Ketika Li Bok-chiu hendak menangkis dengan kebutnya, namun pentung Oey Yong lantas memutar ke atas untuk menjojoh dada orang. Tikaman ini cukup cepat lagi jitu, yang diarah justeru adalah tubuh si Kwe Yang kecil yang berada dalam pondongan Li Bok-chiu.
Kalau saja serangan ini mengenai sasarannya, sekalipun Li Bok chiu sendiri juga akan ikut terluka parah, apalagi Kwe Yang kecil itu, pasti jiwanya akan melayang seketika.
Namun Oey Yong benar-benar sudah menguasai pentungnya dengan sesuka hati, meski tampaknya ujung pentung sudah menempel popok bayi, tapi sedikitpun bayi itu tak terluka kalau pentung itu tidak disodorkan lebih maju lagi.
Tentu saja Li Bok-chiu tidak tahu, ia kuatirkan keselamatan si bayi, maka cepat ia melompat ke samping dan karena itu juga ia sendiripun tak terjaga, tahu-tahu kaki kirinya keserempet pentung dan hampir terjungkal setelah sempoyongan dan dapat berdiri tegak, lalu ia berpaling dan berkata: “Kwe-hujin, percuma saja kau terkenal sebagai pendekar berbudi, mengapa kau tega melukai seorang bayi, apa kau tidak malu?”
Melihat sikap orang tidaklah pura-pura, diam-diam Oey Yong bergirang karena orang terjebak oleh akalnya, dengan tertawa iapun menjawab: “Anak ini toh bukan bibit yang baik, buat apa dibiarkan hidup di dunia ini?”
Habis berkata ia terus menyerang pula dan sengaja mengincar Kwe Yang saja.
Dibawa lompat kian kemari oleh Li Bok-chiu, agaknya Kwe Yang kecil itu merasa tidak enak, mendadak ia menangis keras-keras.
Diam-diam Oey Yong merasa kasihan, tapi serangannya justeru bertambah kencang, kalau saja Li Bo-k-chiu tidak berusaha bertahan sekuatnya, tampaknya setiap jurus serangan Oey Yong bisa menewaskan bayi itu.
Li Bok-chiu menjadi serba susah, mendadak ia menangkis dengan kebutnya. lalu berseru: “Kwe-hujin, sebenarnya apa kehendakmu?”
Dengan tertawa Oey Yong menjawab: “Li-lotiang, kata orang, di dunia Kangouw saat ini hanya Li-totiang dan diriku saja tergolong tokoh wanita terkemuka, kebetulan kita bertemu di sini, bagaimana kalau kita coba-coba menentukan siapa yang lebih unggul.”
Diam-diam Li Bok-chiu mendongkol dengusnya: “Hm, kalau Kwe-hujin sudi memberi pengajaran, sungguh kebetulan bagiku.”
“Tapi kau membawa anak kecil itu, kalau ku-menang juga kurang berharga,” ujar Oey Yong “Sebaiknya kau taruh dulu bayi itu, lalu kita bertanding dengan segenap kemahiran masing-masing.”
Li Bok-chiu pikir ucapan Oey Yong itu ada benarnya juga, apalagi melihat cara menyerang Oey Yong tadi, tampaknya tidak kenal ampun sedikitpun terhadap anak sekecil itu. ia coba memandang sekelilingnya, terlihat di sebelah kanan sana ditengah-tengah beberapapohon besar ada tanah rumput yang tumbuh lebat - tanah rumput itu cocok sekali sebagai kasuran, segera ia membawa Kwe Yang ke sana dan ditaruh di atas rumput, lalu memutar balik dan berkata: “Baiklah, mari kita mulai!”
Setelah saling gebrak belasan jurus tadi: Oey Yong tahu kepandaian Li Bok-chiu seimbang dengan dirinya, kalau sekarang puterinya direbut kembali, untuk kabur juga sukar jika Li Bok chiu balas menyerang seperti perbuatan dirinya tadi, malahan kalau lengah sedikit saja mungkin Kwe Yang kecil itu bisa celaka, jalan paling baik hanya kalau mengalahkan Li Bok-chiu, membinasakan dia atau melukainya dengan parah, habis itu barulah puterinya itu dapat di rebut kembali dengan selamat.
Apalagi iblis ini sudah banyak berbuat kejahatan, kalau kubinasakan dia juga setimpal dengan perbuatannya, Berpikir begini, seketika timbui hasratnya membunuh Li Bok-chiu.
Sudah biasa Li Bok-chiu menjalankan keganasannya, segala cara keji juga tak segan digunakannya, dalam hal ini ia suka ukur orang lain dengan dirinya sendiri. Ketika dia melihat Oey Yong selalu melirik ke arah si bayi, timbul sangkaannya kalau Oey Yong sukar mengalahkan dia, bisa jadi memulai menyerang bayi itu untuk memencarkan perhatiannya. Sehab itulah ia terus mengadang di depan Oey Yong sehingga sukar juga bagi Oey Yong untuk merebut kembali puterinya itu.
Dalam sekejap itu Oey Yong juga sudah memikirkan beberapa macam akal, ia yakin setiap akalnya dapat membinasakan Li Bok-chiu, tapi betapapun juga akan membahayakan si Kwe Yang kecil, karena itulah ia menjadi ragu-ragu. Pikirnya: “Melihat sikap iblis ini, tampaknya dia sangat sayang pada anak Yang, andaikan sementara ini Yang-ji tak dapat kurebut kembali, tapi keselamatannya juga tidak perlu dikuatirkan maka sebaiknya aku jangan sembarangan bertindak agar tidak keliru mencelakai Yang-ji.”
Setelah berpikir lagi, Oey Yong lantas berkata. “Li-totiang, kepandaian kita berselisih tidak jauh dan sukar untuk menentukan kalah menang dalam waktu singkat. Dalam pertempuran kita nanti kalau mendadak ada binatang buas dan hendak makan anak itu, bukankah kita juga akan ikut terganggu. Kukira bayi kita bereskan saja dulu dan kitapun dapat bertempur sepuas-puasnya,” - Habis berkata ia memungut sepotong batu kecil terus diselentikkan kearah Kwe Yang dengan mengeluarkan suara mendesing.
Itulah ilmu silat tenaga jari sakti Tho-hoa-to yang terkenal, Li Bok-chiu sendiri pernah melihat Oey Yok-su memainkan ilmu ini, ia tahu tenaga selentikan ini luar biasa hebatnya. Maka cepat ia gunakan kebutnya untuk menyampuk sambil membentak “Apa alangannya bayi itu bagimu? Mengapa berulang kali kau ingin mencelakai dia?”
Diam-diam Oey Yong merasa geli, padahal cara menyelentik batu itu tampaknya lihay, tapi sebenarnya dia menggunakan gerakan memelintir, seumpama Li Bokchiu tidak menyampuknya juga batu itu akan mencelat ke samping bila menyentuh tubuh Kwe Yang takkan melukainya.
Tapi supaya Li Bok-chiu tidak curiga, Oey Yong sengaja mengolok-olok malah: “Hah, sedemikian sayang Li-totiang terhadap bocah ini, orang yang tidak tahu boleh jadi akan… akan mengira kau… haha…”
“Mengira aku apa, memangnya mengira dia anakku?”
damperat Li Bok-chiu dengan gusar, mukanya menjadi merah jengah pula.
“Kau adalah Tokoh (pendeta agama To/Tao, lelaki disebut Tosu dan wanita disebut Tokoh) dengan sendirinya tidak mungkin melahirkan anak, orang lain tentu mengira bocah ini adalah anak…anak adik perempuanmu,” ujar Oey Yong dengan tertawa, ia cukup licin, dalam adu mulut iapun tidak mau rugi, bahwasanya Kwe Yang dikatakan sebagai anak adik perempuan Li Bok-chiu, hal ini sama halnya dengan mengatakan Li Bok-chiu adalah anak Oey Yong dan Kwe Ceng, dia sengaja mengucap begini untuk membalas perkataan Li Bok-chiu tadi yang mengatakan bahwa Yo Ko adalah ayah Kwe Yang.
Sudah tentu Li Bok-chiu tidak tahu maksud Oey Yong, iapun tidak menaruh perhatian melainkan cuma mendengus saja, lalu berkata: “Baiklah, silakan Kwe-hujin mulai maju saja!”
“Kutahu kau selalu menguatirkan keselamatan bocah itu, di waktu bertempur tentu juga perhatianmu akan terpencar sekalipun kukalahkan kau juga kurang berharga,” kata Oey Yong. “Begini saja, akan kucari beberapa tali rotan untuk mengelilingi anak itu agar binatang buas tidak dapat mendekatinya, habis itu kita boleh bertempur sepuasnya.”
Habis berkata ia lantas mengeluarkan sebuah pisau kecil berangkai emas, ia memotong rotan2 yang banyak tumbuh di sekitar situ. Semula Li Bok-chiu merasa sangsi dan berjaga dengan rapat agar Oey Yong tidak menyerobot bayi itu, tapi kemudian dilihatnya orang melingkari rotan itu pada beberapa pohon di sekelilingnya Kwe Yang cilik, jaraknya cukup jauh, dengan demikian binatang buas memang teralang untuk mendekati bocah nu. Diam-diam ia mengakui akal Oey Yong yang baik itu.
Dilihatnya Oey Yong terus melingkari pohon-pohon itu dengan rotan sebaris demi, sebaris selapis demi selapis pula, makin lama makin banyak, tertampak pula wajah Oey Yong tersenyum aneh seperti orang bermaksud buruk, mau-tak-mau Li Bok-chiu menjadi kuatir, cepat ia berseru: “Sudahlah, cukup!”
“Baiklah jika kau bilang cukup,” kata Oey Yong dengan tertawa, “Nah, Li-totiang, kau pernah bertemu dengan ayahku, bukan?”
“Benar,” jawab Li Bok-chiu.
“Kudengar dari Yo Ko, katanya kau pernah menulis empat kalimat olok-olok terhadap ayahku beserta anak muridnya, apakah betul?” tanya Oey Yong.
Li Bok-chtu terkesiap, ia pikir kiranya untuk urusan inilah Oey Yong sengaja merecokinya sekarang, Dengan nada dingin iapun menjawab: “Ketika itu mereka berlima mengerubuti aku seorang, ini juga fakta.”
“Hm sekarang kita boleh satu lawan satu dan lihat saja nanti siapakah yang akan ditertawakan orang Kangouw?” jengek Oey Yong.
Dengan gusar Li Bok-chiu lantas membentak; “janganlah kau temberang, ilmu silat Tho-hoa-to sudah banyak kulihat, paling-paling juga begitu2 saja dan tiada sesuatu yang istimewa.”
“Huh, jangankan ilmu silat Tho-hoa-to, sekalipun bukan ilmu silatnya juga belum tentu kau mampu melayaninya,”
jengek Oey Yong pula, “Lihatlah, kalau kau mampu, coba saja keluarkan orok itu.
Diam-diam Li Bok-chiu terkejut “Apakah dia telah mencelakai anak itu?” Segera ia melompat ke sana, setelah melintasi sebaris lingkaran rotan itu dan membelok kekiri, tiba-tiba terlihat pagar rotan mengalang di depan, yang terbuka adalah jalan yang membelok ke kanan, tanpa pikir ia terus menyusur ke sana, terdengar suara Kwe Yang cilik sedang menangis, hatinya rada lega, tapi setelah membelok dan memutar lagi beberapa kali, aneh, tahu-tahu dia berputar keluar pagar rotan lagi. Keruan ia menjadi bingung, jelas dia terus memutar ke bagian dalam, mengapa sekarang berbalik berputar keluar?
Tanpa pikir lagi ia terus melompat pula ke bagian dalam pagar rotan itu, namun tali rotan berjari itu melingkar ke sana-sini secara serabutan, sedikit lena, “bret” ujung jubahnya terobek sebagian tercantol duri rotan itu, Maka ia tidak berani gegabah lagi, kini ia bertindak dengan lebih hati-2, baru saja ia mengamat-amati lingkaran2 rotan itu dengan lebih teliti, mendadak dilihatnya Oey Yong sudah berada di dalam pagar rotan dan sedang memondong si orok.
Kejadian ini sungguh membuatnya terkejut luar biasa, cepat ia berseru: “Hei, lepaskan anak itu!”
Segera ia menyusuri lingkaran pagar rotan itu dengan lebih cepat, lingkaran seluas beberapa meter persegi antara beberapa pohon itu ternyata sukar diterobosnya, dia berlari-lari ke kanan dan ke kiri, setelah maju kemudian memutar mundur lagi, setelah mengitar beberapa kali, akhirnya dia berada lagi di luar pagar rotan itu.
Sudah banyak pengalaman Li Bok-chiu, tapi belum pernah menemukan kejadian seaneh ini, ia menjadi heran apakah di dunia ini benar-benar ada “lingkaran setan”? Lalu cara bagaimana mengatasinya?
Selagi dia merasa bingung, dilihatnya Oey Yong telah menaruh kembali anak itu, lalu memutar ke sana dan membelok ke sini, dengan bebas dan seenaknya saja Oey Yong dapat keluar dari lingkaran pagar rotan itu.
Tiba-tiba Li Bok-chiu menyadari duduknya perkara, teringat olehnya kejadian malam itu ketika melawan Yo Ko, Thia Eng dan Liok Bu siang, keliga muda-mudi itu telah memasang gundukan tanah di luar gubuk mereka dan dirinya ternyata tidak mampu menyerang dari depan. Sekarang lingkaran rotan yang dibuat Oey Yong ini tentu juga berdasarkan ilmu hitung Kiu-kiong-pat-kwa khas Tho-hoa-to.
Setelah merenung sejenak, segera ia dapat mengambil keputusan harus menghalau musuh dulu, habis itu barulah menyingkirkan tali rotan itu satu persatu. Kalau sekarang, menerobos begitu saja dan musuh menyerang dari arah yang lebih menguntungkan tentu dirinya akan terjebak dan kalah.
Karena pikiran ini, segera ia melompat pergi beberapa meter jauhnya, ia malah sengaja menjauhi pagar rotan itu untuk mengawasi setiap gerik-gerik lawan, sementara ia tidak menghiraukan urusan Kwe Yang lagi.
Tadi Oey Yong sudah bergirang ketika melihat Li Bok-chiu tersesat di tengah lingkaran rotan, tapi mendadak terlihat iblis itu melompat pergi diam-diam iapun merasa kagum akan keputusan lawan yang cepat dan tegas itu.
Oleh karena keselamatan Kwe Yang sekarang sudah terjamin, ia tidak perlu membagi pikiran lagi, segera pentung bambunya bergerak, dengan jurus “An-kau-keb-tau (tahan kepala anjing mengangguk ke bawah), segera ia menyabet leher Li Bok-chiu.
Akan tetapi kebut Li Bok-chiu lantas melingkar ke batang pentung, “sret”, berbareng ujung kebut terus menyabet ke muka Oey Yong. BegituIah keduanya saling serang dengan cepat dan sama-sama mengeluarkan segenap kemampuan masing-masing, hanya sekejap saja mereka sudah bergebrak sepuluh kali.
Usia Li Bok-chiu lebih tua daripada Oey Yong, dengan sendirinya iapun lebih ulet, namun gerak serangan Pak-kau-pang-hoat lawan sungguh hebat sekali, bahwa dia mampu bertahan berpuluh jurus serangan Oey Yong boleh dikatakan jarang terjadi di dunia persilatan ia menyadari kalau berlangsung lebih lama lagi, tidak lebih dari sepuluh gebrakan pula dirinya pasti akan kalah.
Pentung bambu Oey Yong itu bukan senjata tajam, tapi setiap Hiat-to di tubuhnya selalu menjadi incaran, kalau tertutuk mustahil jiwanya tidak melayang?
Setelah menangkis beberapa jurus lagi, dahi li Bok-chiu sudah mulai berkeringat, sebisanya ia menyabet dua-tiga kali dengan kebutnya, habis itu ia terus melompat mundur dan berseru: “Pang - hoat Kwe-hujm memang hebat, aku mengaku kalah. Hanya saja ada sesuatu yang kutidak paham dan perlu minta penjelasanmu”
“Ah, masakah pakai penjelasan segala?” ujar Oey Yong dengan tertawa.
“Semua orang tahu ilmu permainan pentungmu ini adalah kepandaian khas Kiu-ci-sin-kay (pengemis sakti berjari sembilan) Ang Cit-kong, kalau ilmu silat Tho-hoa-to juga hebat, mengapa Kwe-hujin tidak belajar ilmu silat dari ayah sendiri, tapi malah belajar kepandaian orang lain?”
Oey Yong tahu maksud Li Bok-chiu, karena tidak dapat menandingi permainan pentungnya, maka sengaja mengolok-olok agar dia menggunakan ilmu silat lain. Maka ia lantas menjawab dengan tertawa: “Kalau kau sudah tahu Pang-boat ini adalah ajaran khas Kiu-ci-sin-kay, tentunya kaupun kenal nama ilmu permainan pentung ini.”
Li Bok-chiu hanya mendengus saja dengan muka cemberut tanpa menjawab..
Dengan tertawa Oey Yong lantas berkata pula: “permainan pentung ini disebut penggebuk anjing, maksudnya asal melihat anjing boleh gebuk saja, hanya inilah soalnya masakah perlu penjelasan pula?”
Melihat akalnya tidak berhasil menipu Oey Yong menggunakan ilmu silat lain, kalau adu mulut dirinya juga kalah, segera ia selipkan kebutnya pada tali pinggang, lalu menjengek: “Hm, di-mana-mana pengemis memang pintar me-rengek2, nyatanya sang pangcu juga pintar main mulut, baru sekarang aku kenal!” Habis ini ia terus menuju ke sana dan duduk di bawah pohon.
Kalau Li Bok-chiu mau mengaku kalah dan terus pergi, tentu inilah yang diharapkan Oey Yong, Tapi ibu itu ternyata cuma duduk saja di sana, setelah berpikir segera Oey Yong tahu maksudnya. jelas iblis itu merasa berat meninggalkan anak Yang yang mungil itu, kalau sekarang dirinya mengambil bocah itu, pasti Li Bok-chiu yang bergantian mengganggu-nya, dalam keadaan begitu tentu dirinya akan serba susah pula.
Tampaknya kalau Li Bok-chiu tidak dibinasakan atau dilukai, sekalipun anak Yang dapat ditemukan juga sukar membawanya pulang dengan selamat.
Segera ia mendekati Li Bok-chiu dengan langkah yang memakai hitung Pat-kwa, tampaknya mengarah ke kanan dan membelok lagi ke kiri tanpa sesuatu yang aneh, tapi kalau mendadak Li Bok-chiu berusaha kabur, tak peduli melompat ke arah manapun pasti sukar terhindar dari cegatan Oey Yong.
Begitulah pentung Oey Yong lantas menutul ke muka Li Bok chiu.
Li Bok-chiu menangkis dengan sebelah tangan sambil membentak: “Hah, sejak matinya Tan Hian-hong dan Bwe Ciau-hong, nyatanya Oey Yok-su memang benar tiada ahli waris lagi.”
Ucapan ini mengolok-olok pula mendiang murid Oey Yok-su yang berkelakuan jahat itu dan sekaligus juga menyindir Oey Yong yang cuma mampu menggunakan Pak-kau -pang-hoat dari Kay-pang melulu.
Padahal Giok-siau-kiam-hoat, ilmu pedang seruling kemala, kepandaian khas Tho-hoa-to juga sudah dilatih Oey Yong dengan baik, soalnya dia tidak membawa pedang, kalau pentung digunakan sebagai pedang, senjata yang dipakai tidak cocok, boleh jadi sukar mengalahkan lawan tangguh seperti Li Bok-chiu ini.
Karena itu ia hanya menjawab dengan tertawa: “Ya, memang brengsek juga beberapa murid busuk ayahku itu, mereka mana dapat dibandingkan dengan Li-totiang dan nona liong yang sama-sama suci bersih dari suatu perguruan.”
Li Bok-cbiu menjadi murka, mukanya yang putih itu berubah merah padam, begitu lengan bajunya mengebas, dua jarum berbisa segera menyamber perut Oey Yong.
Perlu diketahui bahwa Li Bok-chiu meski jahat dan membunuh orang tak terhitung banyaknya, tapi dia tetap bertubuh perawan suci bersih, dia anggap Siao-liong-li berbuat tidak baik, maka ia menjadi gusar mendengar Oey Yong mempersamakan dia dengan sang Sumoay dan segera menyerang dengan jarum berbisa yang keji.
Berdirinya Oey Yong dengan Li Bok-chiu kini sangat dekat, untuk mengelak jelas tidak keburu lagi, terpaksa ia memutar pentung bambu sekencangnya untuk menyampuk jatuh jarum-jarum berbisa itu. Syukur permainan pentungnya sudah dikuasainya sedemikian sempurna sehingga jarum yang kecil itu dapat di-tangkisnya, walaupun begitu ketika jarum itu menyamber lewat di mukanya, terendus juga bau amis yang memuakkan.

Selagi Oey Yong terkesiap, dilihatnya dua buah jarum musuh menyamber tiba pula. Cepat ia melengos ke samping sehingga jarum-jarum itu menyamber lewat di tepi telinganya.
Diam-diam ia menjadi kuatir kalau jarum-jarum yang beterbangan akan nyasar mengenai Kwe Yang, maka cepat ia berlari keluar hutan itu.
Segera Li Bok-chiu mengudaknya, ia sangka Oey Yong hanya mahir memainkan pentung bambu saja, ilmu silat jenis lain bukan tandingannya, maka begitu melompat keluar hutan ia lantas membentak: “Kalah menang belum jelas, mengapa kau hendak pergi begitu saja?”
Oey Yong memutar balik dan menghadapinya dengan tersenyum, Li Bok-chiu lantas mengolok-olok lagi: “Kwe-hujin, caramu menangkis jarumku tetap juga memakai pentungmu?”
Berbareng ia terus menubruk maju lagi.
Oey Yong pikir kalau pentung bambu tidak disimpan kembali, kalahpun Li Bok-chiu tetap merasa penasaran. Maka ia lantas menyelipkan pentung bambu pada tali pinggang, lalu menjawab dengan tertawa: “Baiklah, sudah lama kudengar
Ngo-tok-sin-ciang (pukulan sakti panca bisa) Li-totiang telah banyak membunuh orang, sekarang kucoba belajar kenal dengan ilmu pukulanmu itu.”
Li Bok chiu menjadi melengak malah, ia heran kalau orang sudah tahu betapa lihay ilmu pukulannya yang berbisa itu malah menantang bertanding pukulan, bukan mustahil dibalik ini ada sesuatu yang tidak beres. Tapi iapun tidak menjadi jeri, segera ia menjawab: “Baik, akupun ingin belajar Lok-eng-ciang-hoat dari Tho-hoa-to yang hebat.”
Dilihatnya Oey Yong melancarkan pukulannya, segera ia memapaknya dengan telapak tangan kiri, menyusul tangan kanannya juga menghantam pundak lawan, Kedua pukulan sekaligus ini cukup keras dan lihay, tampaknya tidak mudah bagi Oey Yong untuk menangkis.
Tak terduga ketika menghantam dengan tangan kanan, bahkan Li Bok-chiu tambahi pula dengan menyambitkan dua buah jarum berbisa ke bagian perut Oey Yong.
Sungguh lihay luar biasa antara pukulan itu disertai dengan jarum berbisa, pada umumnya orang tentu hanya berjaga terhadap pukulannya yang berbisa itu, siapa tahu kalau dari jarak sedekat itu menggunakan senjata rahasia, Sebab itulah banyak tokoh-tokoh terkenal kena dirobohkan olehnya.
Akan tetapi Oey Yong tidak menjadi gngup cepat ia tarik kembali pukulannya tadi untuk menangkis pukulan tangan kanan Li Bok-chiu, berbareng sebelah tangannya merogoh baju seperti hendak mengambil senjata rahasia buat balas menyerang.
Namun kelihatannya sudah terlambat, baru saja tangannya mau ditarik keluar dari bajunya, kedua jarum berbisa dari Li Bok-chiu sudah tinggal beberapa senti jauhnya di perutnya.
Dalam keadaan begitu, biarpun Oey Yong mempunyai kepandaian setinggi langit juga tidak sempat menghindar lagi, Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, dilihatnya dengan jelas jarum-jarum itu menembus baju dan menancap ke dalam tubuh Oey Yong.
“Aduuh!” Oey Yong menjerit sambil memegangi perutnya dan menungging, tapi mendadak tangan kirinya terus memukul juga ke dada Li Bok-chiu.
Pukulan Oey Yong sungguh sangat cepat dan di luar dugaan. “Bagus!” Li Bok-chiu berseru sambil mendoyongkan tubuhnya ke belakang, berbareng kedua tangannya juga lantas dipukulkan ke dada Oey Yong.
Ia yakin setelah Oey Yong terkena jarumnya, dengan cepat racun jarum itu pasti akan bekerja dan menjalar, maka pukulannya ini cuma berharap akan mendorong Oey Yong sejauhnya dan biarkan lawan mati keracunan.
Tak terduga, Oey Yong ternyata tidak berusaha menangkis kedua tangan Li Bok-chiu melainkan tubuh bagian atasnya tampak sedikit bergerak, Li Bok-chiu mengira mungkin badan Oey Yong mulai kaku setelah terkena jarumnya. Tapi ketika kedua tangannya menempel baju di dada lawan, mendadak kedua telapak tangannya terasa kesakitan seperti tercocok benda tajam sebangsa jarum.
Dalam kagetnya cepat Li Bok-chiu melompat mundur, waktu ia berikan kedua tangannya, terlihat di tengah kedua telapak tangan ada luka tusukan yang kecil, sekitar luka itu berwarna hitam, jelas itulah tanda terkena jarum berbisanya sendiri.
Keruan ia terkejut dan gusar pula, tapi juga bingung dan heran mengapa bisa terjadi begitu?
Segera dilihatnya Oey Yong telah mengeluarkan dua buah apel dari bajunya, pada kedua apel itu masing-masing tertancap jarum perak, Baru sekarang Li Bok-chiu tahu duduknya perkara, Kiranya di dalam baju UiYong tersimpan dua buah apel, yaitu sebagian apel yang dibelinya dan sempat dibawanya tadi.
Ketika Li Bok-chui menyambitkan jarum, Oey Yong tidak mengelak, tapi tangannya dimasukkan ke baju untuk menggeser apel ke tempat yang tepat menjadi sasaran jarum musuh. Habis itu Li Bok-chiu dipancingnya pula untuk memukul pada jarum yang menancap di buah apel.
Sesungguhnya Li Bok-chiu juga cerdik pandai tapi sekarang ia benar-2 rnati kutu menghadapi lawan yang banyak tipu akalnya seperti Oey Yong ini mau-tak-mau ia harus mengaku kalah, ia merogoh saku dengan maksud mengambil obat penawari tapi segera didengarnya angin keras menyamber tiba, kedua tangan Oey Yong telah menghantam ke mukanya.
Cepat menangkis dengan tangan kiri, tiba-tiba dilihatnya kelima jari tangan Oey Yong terbuka dari mengebut ke bagian iganya, kelima jari terbuka dengan gaya yang indah seperti bunga anggrek.
Hati Li Bok-chiu tergerak, ia pikir mungkin inilah Lan-hoa-hut-hiat-jtu (mengebut Hiat to dengan gaya bunga anggrek) yang terkenal itu, Cepat ia menangkis dan urung mengambil obat, dengan kuku jari ia coba mencakar jari musuh.
Oey Yong lantas menarik kembali tangannya, menyusul tangan lain dengan jari terbuka mengebut pula ke Hiat to di pundaknya, Habis itu jari merapat menjadi telapak tangan, segera Oey Yong memukul lagi dengan tangan satunya dan begitu seterusnya secara bergantian.
Muka Li Bok-chiu menjadi pucat, baru sekarang ia mengetahui ilmu sakti Tho-hoa-to memang benar-benar luar biasa jangankan dirinya sudah terkena racun, sekalipun dalam keadaan sehat juga bukan tandingan Oey Yong.
Begitulah ia ingin lekas-lekas meloloskan diri untuk mengambil obat penawar, tapi Oey Yong terus menyerangnya tanpa kendur sedikitpun Padahal racun jarumnya itu sangat lihay, sementara itu kadar racun sudah mulai menjalar dari lengannya ke atas, asalkan menjalar sampai ulu hati, maka binasalah dia tak tertolong Iagi.
Melihat wajah orang semakin pucat, gerakannya juga semakin lemah, Oey Yong tahu kalau menyerang lagi sebentar tentu lawan takkan tahan ia pikir kejahatan orang sudah lewat takaran, kalau sekarang mati oleh jarumnya sendiri juga pantas dan kebetulan dapat membalas sakit hati kematian ibu kedua Bu cilik.
Karena itulah ia menyerang lebih cepat tanpa kendur sedikitpun berbareng iapun jaga rapat agar tiada kesempatan bagi lawan untuk melancarkan serangan balasan.
Li Bok-chiu merasa lengannya mulai kaku pegal, sejenak kemudian rasa kaku itu sudah sampai ketiak, kini kedua tangannya sudah tidak mau menurut perintah lagi, Cepat ia berseru: “Berhenti dulu” Berbareng ia melompat ke samping, lalu berkata pula dengan putus asa.
“Kwe-hujin, selama hidupku membunuh orang tak terhitung banyaknya, memangnya tidak kuharapkan hidup sampai sekarang, mengadu tenaga maupun mengadu akal memang aku bukan tandinganmu kalau sekarang kumati ditangan mu juga tidak perlu penasaran Hanya saja aku ingin memohon sesuatu padamu, entah kau sudi menerima tidak?”
“Urusan apa?” tanya Oey Yong sambil mengawasi lawan, ia kuatir Li Bok-chiu sengaja mengulur waktu untuk mengambil obat penawar.
Namun terlihat kedua tangan Li Bok-chiu sudah kaku lurus melambai ke bawah, terdengar ia berkata: “Kwehujin, aku tidak akur dengan sumoayku tapi anak itu sungguh sangat menyenangkan maka kumohon kemurahan hatimu agar kau suka merawatnya dan jangan mencelakai jiwanya.”
Hati Oey Yong tergetar mendengar permohonan Li Bok-chiu yang diucapkan dengan hati tulus itu, sungguh tak tersangka olehnya bahwa iblis yang sudah menggunung kejahatannya itu mendekati ajal juga ternyata bisa mengeluarkan kasih sayangnya kepada seorang bayi, Maka iapun lantas menjawab: “Ayah-ibu anak ini bukanlah orang biasa, kalau diberikan hidup di dunia bisa jadi akan membikin susah saja padaku, maka lebih baik…”
“Kumohon kemurahan hatimu…” kembali Li Bok-chiu memohon.
Oey Yong sengaja hendak mencoba lagi, ia mendekati iblis itu dan mengebut Hiat-to yang membuatnya takbisa berkutik lagi, lalu merogoh bajunya serta mengeluarkan botol obat, lalu bertanya: “Apakah ini obat penawar racun jarummu itu?”
Tanpa pikir Li Bok-chiu mengiakan, Lalu Oey Yong berkata pula: “Dalam satu hari aku tak dapat membunuh dua orang, jika ingin kuampuni jiwamu, maka anak itu harus kubunuh-, sebaliknya kalau kau rela mati, jiwa anak itu dapat kuampuni.”
Sama sekali tak terpikir oleh Li Bok-chiu bahwa dia masih diberi kesempatan untuk hidup, tapi kalau minta Oey Yong membunuh saja anak itu terasa tidak tega, sebaliknya menggunakan jiwa sendiri untuk menukar jiwa anak itupun terasa tidak rela.
Dalam pada itu dilihatnya Oey Yong telah menuang sebutir obat dari botol dan diperlihatkan padanya, yang ditunggu hanyalah jawabannya saja. Karena itu ia menjadi nekat: “Baik, aku….”
Tapi Oey Yong ternyata sudah mempunyai pertimbangannya sendiri, ia lihat Li Bok-chiu ragu-ragu sekian lama, betapapun hal ini menandakan ada pertentangan batin dalam hati nurani iblis itu.
Bagaimanapun dia akan menjawab, melulu tentu pikiran bajik ini saja sudah pantas untuk mengampuni jiwanya, Bahwa dia sudah berlumuran darah dan penuh dosa, tentu kelak ada orang membinasakan dia.
Maka ia terus memotong ucapan Li Bok -chiu tadi dengan tertawa: “Li-totiang, sesungguhnya aku harus berterima kasih atas perhatianmu terhadap anak Yang.”
“Apa katamu? Anak Yang siapa?” tanya Li Bok-chiu dengan bingung.
“Ketahuilah bahwa anak ini she Kwe bernama Yang, dia adalah puteri Kwe-tayhiap dan diriku baru lahir dia sudah jatuh ke tangan nona Liong, entah cara bagaimana terjadinya sehingga engkau salah paham mengira dia itu puteri nona Liong. Berkat perawatanmu selama ini sehingga anak Yang tampak bertambah sehat dan kuat, sungguh aku merasa berterima kasih.” Habis berkata ia lantas memberi hormat dan menjejalkan obat yang dipegangnya itu ke mulut Li Bok-chiu, lalu bertanya: “Apakah cukup?”
“Racun itu sudah mulai menjalar harus kuminum tiga biji obat itu,” jawab Bok-chiu dengan cepat.
Segera Oey Yong menyuapi dua biji obat ke mulut Li Bok-chiu, ia pikir obat penawar ini mungkin ada gunanya kelak, maka tidak dikembalikan kepada iblis itu melainkan dimasukkan ke saku sendiri, lalu berkata dengan tertawa: “Setelah tiga jam Hiat-to yang kututuk akan punah sendiri dan kau dapat pergi sesukamu.”
Habis itu cepat ia berlari ke dalam hutan tempat ia menaruh Kwe Yang tadi, ia pikir “Sudah selang sekian lama, entah anak Hu sudah pergi belum, kalau dia sempat melihat adik perempuannya tentu dia akan sangat gembira.”
Cepat ia memutar masuk ke tengah pagar rotan. Akan tetapi setelah tiba di tempatnya seketika ia melongo kaget, sekujur badan lantas menggigil seperti kejeblos ke dalam liang es.
Kiranya lingkaran pagar rotan yang dibuatnya itu masih tetap utuh tanpa sesuatu tanda yang mencurigakan, namun bayangan Kwe Yang sudah tak tertampak lagi. Keruan jantungnya ber debar2 seperti mau rontok, sekalipun biasanya dia banyak tipu akalnya, sekarang ia menjadi bingung dan kelabakan sebisanya ia berusaha menenangkan diri: “Jangan gugup, tenang, tenang! Hanya sebentar saja aku bertempur dengan Li Bok-chiu di Iuar sana, anak Yang digondol orang, tentu orang itupun belum jauh perginya.”
Segera ia memanjat ke pucuk pohon yang paling tinggi disitu dan coba memandang sekeliling, Tanah di luar kota Siangyang cukup datar, dipandang dari pucuk pohon itu dapat mencapai belasan li jauhnya tapi ternyata tiada terlihat sesuatu tanda yang mencurigakan. sementara ini pasukan Mongol sudah mundur jauh ke utara, tanah datar yang luas ini tiada orang berlalu lalang, kalau saja ada seorang dan seekor kuda tentu akan kelihatan meski dalam jarak yang jauh.
Oey Yong pikir kalau pencuIik itu belum pergi jauh tentu masih berada di sekitar sini saja. Segera ia berusaha mencari di sekitar pagar rotan, ia berharap dapat menemukan sesuatu jejak pencuIik itu, Tapi keadaan tali rotan itu sedikitpun tiada tergeser atau rusak, hilangnya anak itu pasti bukan digondol oleh binatang buas dan sebagainya.
Padahal pagar rotan yang dilingkari menurut perhitungan tai tongpatkwa khas Tho-hoato itu, di dunia ini kecuali anak murid Tho-hoa-to sendiri tiada orang luar yang memahaminya, sekalipun tokoh sebesar macam Kim-lun Hoat-ong juga tak dapat bergerak bebas di tengah pagar rotan yang diaturnya-ini, apakah mungkin ayah sendiri yang datang?
Begitulah ia menjadi sangsi Mendadak ia menjerit-di dalam hati: “Ah, celaka!” Tiba-tiba teringat olehnya ketika kepergok Kim-lun Hoat ong beberapa waktu yang lalu, dalam keadaan kepepet ia telah mengatur barisan batu untuk menahan musuh, tatkala itu Yo Ko datang menolongnya, maka ia lantas menguraikan secara ringkas garis besar barisan batu yang diaturnya itu kepada anak muda itu.
Teringat kepada Yo Ko, seketika kepala Oey Yong menjadi pusing dan menambah rasa kuatirnya, Anak muda itu sangat pintar, diberitahu satu dapat dipahaminya tiga, walaupun hitungan Kiu-kiong-pat-kwa itu tidak mudah dipelajari dalam waktu singkat, tapi setelah tahu garis besarnya, untuk memecahkan pagar rotan itu tidaklah sulit.
“Anak Hu telah menabas kutung sebelah lengannya, sakit hatinya kepada keluarga Kwe semakin mendalam, sekali anak Yang jatuh ditangannya, maka pasti tamatlah jiwanya”
Begitulah Oey Yong menjadi sedih teringat kepada puteri yang baru lahir beberapa hari itu sudah akan mengalami nasib seburuk itu, tanpa terasa ia meneteskan air mata.
Namun Oey Yong sudah banyak pengalaman dan kenyang gemblengan, pintar lagi cerdik, dia bukan perempuan biasa yang tak berdaya bila sedang berduka. Setelah berpikir sejenak, cepat ia menghapus air mata, lalu mulai mencari lagi jejak datang perginya Yo Ko.
Akan tetapi aneh juga, di sekitar situ ternyata tiada sesuatu bekas kaki yang dapat ditemukan. Ia menjadi heran, biarpun Ginkang Yo Ko sudah maha tinggi, kalau menginjak ditanah pasti akan meninggalkan bekas, memangnya dia datang-pergi dengan terbang?
Dugaan Oey Yong ini ternyata cukup mendekati kebenaran, Kwe Yang memang telah dibawa pergi oleh Yo Ko dan datang perginya anak muda itu juga menyerupai terbang di udara.
Seperti telah diceritakan, malam itu Yo Ko menyaksikan Oey Yong menutuk tokoh Kwe Ceng dan menyuruh Kwe Hu pulang ke Tho-hoa-to, maka Yo Ko lantas menguntit dari kejauhan, lantaran merasa berat harus berpisah dengan puterinya, maka Oey Yong tidak memperhatikan penguntitan Yo Ko itu.
Ketika Oey Yong memergoki Li Bok-chiu, lalu kedua tokoh perempuan itu bertempur keluar hutan, diam-diam Yo Ko sudah merancang tindakan apa yang harus dilakukannya. Dia memanjat ke atas pohon besar dan meraih seutas rotan tua dan panjang, ujung rotan ia ikat pada dahan pohon, lalu ia menggandul pada tali rotan serta diayun ke tengah lingkaran pagar rotan yang dibuat Oey Yong untuk mengurung Kwe Yang cilik itu.
Kuatir kalau Oey Yong dan Li Bok-chiu akan segera masuk kembali ke hutan itu, maka Yo Ko lantas menggunakan kedua kakinya mengepit tubuh Kwe Yang kecil itu dan sekali ayun dia keluar lagi dari pagar rotan itu, Dilihatnya Oey Yong masih bertempur dengan Li Bok-chiu, cepat ia menyelinap keluar hutan dan kabur pergi Ginkang Yo Ko sekarang boleh dikatakan tiada tandingannya lagi di dunia ini, hanya sekejap saja sudah tiba kembali di kota kecil itu, dilihatnya Kwe Hu sedang celingukan sambil menuntun kuda merah menunggu kembalinya sang ibu. setelah dekat, mendadak Yo Ko terus mencemplak ke atas kuda merah itu dari belakang.
Keruan Kwe Hu terkejut, ia menoleh dan melihat yang menunggangi kuda merah ternyata Yo Ko adanya, ia menjerit kaget ia melihat Yo Ko menyeringai padanya, “sret” cepat ia melolos pedang Ci-wi-kiam yang lemas tajam milik Tokko Kiu-pay itu telah dirampas oleh Kwe Ceng, maka yang dibawa Kwe Hu sekarang cuma pedang biasa saja, kalau Yo Ko mau membinasakan dia boleh dikatakan teramat mudah, akan tetapi ketika melihat si nona ketakutan hingga muka pucat, Yo Ko hanya mendengus saja, lengan baju kanannya yang kosong itu terus dikebaskan dan membelit pedang Kwe Hu, tangan kirinya terus merebut tali kendati kuda, kedua kakinya mengepit kencang, terus saja kuda merah itu membedal cepat ke depan.
Kwe Hu terkesima menyaksikan perginya Nyo-Ko itu, ketika ia periksa pedang sendiri, ternyata batang pedangnya sudah bengkok seperti arit. Nyata tindakan Yo Ko tadi hanya sebagai “pamer kekuatan” saja, maksudnya ingin memberi tahu bahwa kalau dia mau, biarpun lengan kanannya sudah buntung, hanya sekali kebas lengan baju saja cukup membikin jiwanya melayang!
BegituIah Yo Ko melarikan kuda merah itu cepat ke utara dengan membawa Kwe Yang cilik, hanya sebentar saja berpuluh li sudah dilaluinya, sebab itulah ketika Oey Yong memandang dari pucuk pohon juga tidak melihat bayangannya.
Keadaan Yo Ko sekarang benar-benar serba susah dan sukar mengambil keputusan, mestinya iapun bermaksud menabas sebelah lengan Kwe Hu untuk membalas dendam, tapi sampai detik terakhir dia ternyata tidak tega turun tangan. ia coba memandang Kwe Yang cilik, bayi itu sedang tidur dengan lelapnya dan wajahnya yang cantik mungil.
Tiba-tiba timbul pikirannya: “Paman dan bibi Kwe kehilangan puterinya ini, biar kubawa pergi dan takkan kukembalikan mereka sebagai pembalasan dendamku, penderitaan batin mereka saat ini mungkin jauh melebihi aku.”
Sekaligus Yo Ko melarikan kudanya hingga dua tiga ratus li jauhnya, sepanjang jalan mulai banyak rumah penduduk, ia lantas meminta sedikit susu sapi atau susu kambing dari petani yang ditemukan untuk menyuapi Kwe Yang, Kini dia mempunyai kuda bagus, maka ia bertekat akan langsung pulang ke kuburan kuno untuk mencari Siao-liong-li.
Hanya beberapa hari saja ia sudah sampai di Cong-lam-san. Teringat kepada masa lalu, terharulah hati Yo Ko. Setiba di depan kuburan kuno, ia lihat batu nisan kuburan besar itu masih berdiri dengan tegaknya seperti dahulu. Tapi pintu kuburan sudah tertutup rapat ketika diserbu oleh Li Bok-chiu dahulu, untuk masuk ke dalam kuburan tiada jalan lagi selain melalui jalan di bawah tanah dan harus selulup ke dasar sungai.
Dengan kesaktian Yo Ko sekarang, menyelam air dan menyusun jalan bawah tanah itu tentu bukan soal lagi baginya, akan tetapi bagaimana dengan Kwe Yang, ia menjadi serba susah, kalau orok dibawa menyelam, jelas takkan tahan dan pasti mati.
Tapi bila teringat kalau Siao-liong-li berada dalam kuburan dan segera akan dapat bertemu dengan kekasihnya itu, ia menjadi tidak sabar lagi.
Segera ia menaruh Kwe Yang di dalam sebuah gua didekat kuburan itu, ia menguruki mulut gua dengan ranting kayu dan belukar kering, ia pikir baik Siao-liong-li dapat ditemukan dalam kuburan atau tidak, yang pasti dia akan segera keluar lagi untuk mengatur Kwe Yang.
Selesai memasang perintang di mulut gua, lalu ia memutar ke belakang kuburan, Tapi baru belasan langkah, tiba-tiba terdengar samar-samar beradunya senjatar terbawa desiran angin, ia terkesiap, ia yakin arahnya tepat Tiong-yang-kiong, ia menjadi ragu-ragu.
Pada saat lain tiba-tiba terdengar mendengungnya roda perak yang mencelat ke udara, segera ia mengenali roda itu adalah senjata khas milik Kim lun Hoat-ong.
Sekali ini Yo Ko tidak tahan akan rasa ingin tahunya, cepat ia mengeluarkan Ginkang dan lari ke tempat datangnya suara, yaitu Giokhi tong di belakang istana Tiong-yangkiong.
Pada saat itulah Siao-liong-li tergencet oleh pukulan dahsyat kei lima tokoh Coan-cin-kau dan roda emas Kim lun Hoat-ong sehingga terluka parah.
Kalau saja Yo Ko datang lebih dini sejenak tentu Siao-liong-li akan terhindar dari malapetaka itu. Tapi apa mau dikata lagi, segala apa memang tak dapat seluruhnya memenuhi kehendak manusia.
Nasib orang, suka-duka kehidupan manusia dan dengan segala segi2nya acapkali terjadi hanya karena selisih dalam sedetik itu saja.
Begitulah ketika mendadak Siao liong-li melihat sebelah lengan Yo Ko buntung, seketika ia lupa pada luka sendiri yang parah, dengan penuh perhatian dan kasih sayang ia menanyai sebab-sebab buntungnya lengan anak muda itu.
Dengan bersemangat Yo Ko berkata: “Kokoh, memang sudah kuduga, setelah lenganku buntung, kau tentu akan semakin sayang padaku.”
Siao-liong-li hanya tertawa manis saja dan tidak menjawab sebenarnya ia cuma ingin bertemu sekali lagi dengan Yo Ko sebelum ajalnya, kini angan-angan nya itu sudah tercapai, tiada lain lagi yang diharapkannya.
Kedua muda-mudi itu saling pandang dengan mesranya, perasaan mereka seperti terlebur menjadi satu, biarpun dikelilingi musuh-musuh tangguh, namun keduanya sama sekali tidak ambil pusing.
Melihat Yo Ko muncul tiba-tiba, Coan-cin-ngo-su merasa urusan ini tambah sukar diselesaikan Segera Khu Ju-ki berseru: “Tiong-yang-kiong adalah tempat suci dan keramat, sebenarnya apa maksud kalian mengacau ke sini?”
Dengan gusar Ong Ju-it juga ikut membentak.
“Nona Liong, meski Ko-bong-pay kalian dan Coan-cin-pay kami ada selisih paham, untuk itu kita dapat menyelesaikannya sendiri, mengapa kau sengaja mengundang orang-orang asing dan kaum perusuh ini hingga mencelakai anak murid kami sebanyak ini?”
Siao-liong-li terluka parah, mana dia dapat menjelaskan duduknya perkara dan berdebat dengan mereka.
Dengan pelahan Yo Ko mendukung pinggang Siao-liong-li dan berkata dengan suara halus: “Kokoh, marilah kita pulang ke kuburan kuno dan jangan urus orang-orang ini.”
“Lenganmu masih sakit tidak?” tanya Siaoliong-li.
Yo Ko menggeleng, jawabnya dengan tertawa: “Tidak, sudah lama sembuh.”
“Apakah racun bunga cinta ditubuhmu itu tidak kumat?” tanya pula si nona.
“Terkadang juga kumat, tapi tidak begitu lihay seperti dulu,” ujar Yo Ko.
Setelah dilukai Siao-liong-li, sejak tadi Ci-keng sembunyi dibelakang dan tak berani nongol, kemudian muncul Coan-cin-ngo-Cu keluar dari tempat menyepinya, ia menjadi kuatir kalau guru dan paman guru itu mengusut persoalannya, tentu jabatan ketua dirinya akan gagal dan bahkan akan dihukum berat.
Karena itu ia menjadi nekad, ia pikir keadaam ini harus dibakar lebih lanjut agar tambah kacau sehingga kelima orang tua itu tidak sempat mengurut persoalannya, dengan begitu barulah ada kesempatan baginya untuk menang kalau Kim-tun Hoat-ong dapat menumpas Coan-cin-ngocu akan lebih baik lagi baginya sehingga selamanya dia tidak perlu kuatir lagi.
Ci-keng tahu akan ilmu silat Yo Ko sudah jauh diatas dirinya, tapi kini melihat anak muda itu buntung sebelah lengannya, tangan kiri yang baik itu digunakan memegang Siao-liong-ii sehingga keadaannya itu hampir boleh dikatakan tak bisa berkutik kalau diserang.
Selama ini Ci-keng paling benci kepada bekas murid murtad ini, kini ada kesempatan baik, tentu tak dilalukan begitu saja. Segera ia mengedipi muridnya, yaitu Ceng-kong, lalu membentak: “Murid murtad Yo Ko, kedua Cosuya menanyai kau, mengapa kau diam saja?”
Yo Ko menoleh dan memandangnya dengan sorot mata penuh kebencian pikirnya: “Kokoh telah dilukai kalian para Tosu busuk ini, sementara ini takkan ku urus, kelak saja akan kubikin perhitungan dengan kalian.” ia memandang sekejap pula pada pihak Tosu Coan-cin-kau itu, lalu memayang Siao-liong-Ii dan melangkah pergi.
“Maju!” bentak Ci-keng, berbareng Ceng-kong terus menubruk maju dan menusuk pedang mereka di iga kanan Yo Ko.
Ci-keng adalah tokoh terkemuka dari angkatan ketiga Coan-cin-kau, meski ia sendiri terluka, tapi tidak begitu parah, sekarang ia menyerang ke bagian lengan Yo Ko yang buntung itu, yakin lawan pasti tidak mampu balas menyerang, tentu saja serangannya sangat berbahaya.
Meski Khu Ju-ki juga tidak senang atas sikap Yo Ko yang angkuh dan tidak menghormati orang tua itu, tapi mengingat pesan Kwe Ceng serta teringat kepada hubungan baik antara guru dan murid (ayah Yo Ko, Yo Khong dan Kwe Ceng adalah murid Khu Ju-ki), mau-tak-mau ia harus mencegah serangan Ci-keng yang lihay itu, cepat ia membentak: “Berhenti, Cikeng!”
Sedangkan si dogol Be Kong-co juga lantas berteriak-teriak memaki: “Huh, Tosu koparat tidak tahu malu, kenapa kau menusuk bagian lengan orang yang buntung?”
Akan tetapi di luar dugaan semua orang, mendadak tubuh Ceng-kong yang besar itu mencelat ke udara sambil berkaok-kaok, “blang”, dengan tepat Ceng-kong menumbuk tubuh Nimo Singh.
Dengan kepandaian Nimo Singh sebenarnya tubrukan Ceng-kong bukan soal baginya, tapi lantaran kedua kakinya sudah buntung dan menggunakan tongkat saja, dengan sendirinya tangannya tak dapat pula menolak, maka tumbukan itu membuat Nimo Singh jatuh terjungkal.
Tapi begitu punggungnya menempel tanah, seketika ia melompat bangun lagi menegak sebelah tongkatnya terus mengemplang sehingga punggung Ceng-kong terhantam dengan keras dan jatuh semaput.
Dalam pada itu tahu-tahu pedang Ci-keng juga terinjak oleh kaki Yo Ko, Ci-keng berusaha menarik sekuatnya hingga muka merah padam, tapi pedangnya tidak bergeming sedikitpun.
Kejadian ini berlangsung dengan cepat luar biasa, orang yang berkepandaian sedikit rendah hampir tidak tahu cara bagaimana Yo Ko mengatasi kedua penyerang itu. Tapi Kim-lun Hoatong, Siau siang-cu, In Kik si dan Coan-cin-ngo cu dapat melihatnya dengan jelas.
Rupanya waktu kedua pedang penyerangnya mendadak lengan baju kanan Yo Ko yang kosong itu mengebas dengan tenaga dahsyat sehingga tubuh Ceng-kong yang gemuk itu terlempar tinggi dan menumbuk Nimo Singh, sedangkan Ci-keng memang tidak dapat dipersamakan dengan muridnya itu, ketika mendadak merasa lengan baju orang menyambar dengan kuat, sebisanya ia menahan tubuhnya di tempat sehingga kebasan Yo Ko itu tidak dapat mengguncangnya.
Akan tetapi pedangnya yang terjulur itu lantas tertekan kebawah sehingga kena diinjak oleh kaki Yo Ko.
Karena sudah digembleng oleh arus air bah, dengan sendiri tenaga kaki Yo Ko luar biasa kuatnya, injakannya itu sungguh laksana tindihan gunung, meski Ci-keng berusaha menarik pedangnya sepenuh tenaga tetap tak bergoyang sama sekali “Tio-totiang,” kata Yo Ko dengan dingin, “dahulu di depan Kwe-tayhiap sudah kau katakan bukan lagi guruku, kenapa sekarang kau mengungkap soal guru dan murid! mengingat pernah kupanggil kau sebagai guru, biar kuampuni kau saja!” - Habis berkata, mendadak ia tarik kembali tenaga injakannya.
Padahal saat itu Ci keng sedang menarik sekuatnya, keruan tenaga tarikannya serentak terbetot kembali seluruhnya “blang”, dengan tepat gagang pedang menyodok dada sendiri, kontan ia muntah darah, pandangannya menjadi gelap dan jatuh terlentang.
Melihat itu, Ong Ju-it dan Lau Ju-hian lantai menyerang dari kanan kiri, tapi mendadak sesosok bayangan menerjang tiba dari samping, “trang-trang” kedua pedang sama terguncang pergi.
Kiranya yang menerjang tiba itu adalah Nimo Singh, dia ditubruk terjungkal oleh Ceng-kong walaupun Ceng-kong juga digebuknya hingga kelengar, tapi rasa gusarnya masih belum terlampias, ia pikir pangkal pokoknya adalah gara-gara Yo Ko, maka ia lantas menerjang maju lagi, tongkat kirinya menangkis kedua pedang kedua Tosu itu, tongkat kanan terus mengemplang ke kepala Yo Ko dan Siao-liong-li.
Saat itu Siao-liong-li sama sekali tak bertenaga, dengan lemas ia menggelendot di tubuh Yo Ko, sedangkan Yo Ko juga tahu kepandaian Nimo Singh tak dapat di samakan dengan Ci-keng dan Ceng-kong, bila mengebas dengan lengan baju saja mungkin sukar menghalau hantaman tongkat yang hebat itu. Maka cepat ia menggeser sedikit kekiri lengan baju kanan digunakan melibat pinggang Siao-liong-li yang ramping agar si nona menggelendot di sisi kanan dadanya, lalu tangan kiri di gunakan menarik Hian-tian-po-kiam, itu pedang pusaka tumpul dan berat terus di angkat ke atas.
Terdengar suara “bluk” yang keras, tangan Nimo Singh tergetar sakit, tongkat besinya mencelat ke udara dan jatuh ke belakang gua Giok-bi-tong sana.
Yo Ko sendiri juga kaget karena tidak mengira pedang tumpul milik Tokko Kiu-pay memiliki kekuatan begitu hebat dalam pada itu meski sebelah tangan Nimo Singh serasa kaku, tapi dasarnya memang tangkas dan nekat, ia mengerang terus meloncat ke atas dengan bantuan sebelah tongkatnya, menyusul tongkat itu terus menghantam pula ke bawah.
Kembali Yo Ko menangisnya dengan pedang tumpul itu.
ia pikir tadi sudah mencoba tenaga kekerasan, biarlah sekarang kucoba tenaga lunak, maka begitu menyentuh senjata musuh, pedangnya terus melengket dengan tongkat, kalau saja dia mau mengerahkan tenaganya, seketika Nimo Singh dapat dilemparkan, jika dibanting ke dinding karang, pasti tubuh Nimo Singh akan hancur.
Sebenarnya Yo Ko juga tidak kenal ampun lagi apabila mengingat Siao-liong-li telah dilukai sedemikian rupa, ia merasa manusia-sia jahat ini pantas dibinasakan semua.
Tapi ketika dia hendak mengerahkan tenaga, tiba-tiba dilihatnya tubuh Nimo Singh yang terapung di udara itu tidak mempunyai kaki lagi, ia menjadi teringat kepada dirinya sendiri yang juga buntung sebelah tangan.
Dasar hati nuraninya memang baik, tiba-tiba timbul rasa senasib nya, pedangnya tidak jadi dicungkit ke atas, sebaliknya terus ditekan ke bawah sehingga tongkat besi Nimo Singh itu menancap ke dalam tanah hampir separohnya.
Dengan masih memegangi tongkatnya Nimo Singh bermaksud mencabutnya, akan tetapi tangan kanan yang tergetar tadi masih kaku kesakitan sehingga sukar mangeiuarkan tenaga.
“Biarlah kuampuni jiwamu sekarang, apakah kau masih mempunyai muka buat tinggal lebih lama di Tionggoan?” jengek Yo Ko.
Muka Nimo Singh merah padam tak bisa menjawab selain berdiri melongo saja di tempatnya.
Walaupun kekalahan Nimo Singh secara luar biasa itu juga di luar dugaan Siau-siang-cu dan In Kik-si, tapi mereka tidak mengira bahwa cuma dalam sebulan saja kekuatan Yo Ko telah maju sepesat ini, mereka malah menyangka Nimo Singh yang tidak becus setelah kedua kakinya buntung. Segera In Kik-si memburu maju dan mencabutkan tongkat serta diserahkan kembali pada Nimo Singh.
Setelah menerima tongkat, segera Nimo Singh menahan tubuhnya lagi dan bermaksud melompat jauh menyingkir kesana, tak terduga rasa kaku lengannya ternyata belum hilang, baru saja menekan “bluk”, kembali ia jatuh terjungkal pula.
Siau-siang-cu adalah manusia yang culas, asal orang lain celaka, baik kawan ataupun lawan baginya bukan soal, yang pasti ia justeru merasa senang, ia pikir si cebol Hindu sekali ini pasti tamat riwayatnya, selekasnya Yo Ko yang sudah cacat badan ini kutangkap lebih dulu, inilah kesempatan baik untuk mencari jasa dan menyohorkan nama. Maka ia lantas
melompat maju dan berseru: “Hai, bocah she Yo, beberapa kali kau sudah mengacaukan pekerjaan Ongya, sekarang lekas kau ikut pergi saja.”
Mengingat luka Siao- liong-Ii yang parah, Yo Ko pikir kalau musuh-musuh ini tidak lekas dihalau tentu sebentar akan sukar menyelamatkan sang Kokoh, maka dengan suara pelahan ia coba tanya Siao liong-Ii: “Apakah kau kesakitan, Kokoh?”
“Mendingan, tidak begitu sakit,” jawab Siao- liong-li.
Yo Ko lantas menoleh kepada Siau-siang-cu dan berkata: “Baiklah maju!”
Siau-siang-cu menyeringai seram, katanya: “Ktu Cuma bertangan satu, kalau kukalahkan kau dengan dua tangan rasanya tidak adil.” Segera ia sisipkan tangan kirinya pada tali pinggang, tangan kanan memutar pentungnya dan berkata pula: “Akupun menggunakan sebelah tangan saja agar matipun kau takkan menyesali.”
Yo Ko ingin lekas menyelesaikan persoalan, ia tidak ingin banyak omong, mendadak pedang tumpul di tangan kiri terus mengarah lurus pinggang Siau-siang-cu.
Melihat pedang yang kasar kehitam-hitaman serta tumpul laksana sepotong besi tua saja, Siau-siang-cu percaya senjata ini tentu ada sesuatu yang istimewa, akan tetapi di mulut ia tetap menghina, ka-tanya, “Huh, darimana kau menemukan besi tua ini?” Habis berkata ia terus menghantarkan pentungnya pada pedang tumpul.
Tanpa menggoyangkan pedangnya, Yo Ko hanya mengerahkan tenaga saja ke batang pedang itu, maka terdengarlah suara “bluk” sekali, tahu-tahu pentung Siau-siang-cu itu patah menjadi beberapa potong dan mencelat betebaran.
“Celaka,” keluh Siau-siang-cu sambil mundur dengan cepat Akan tetapi Yo Ko tidak tinggal diam, pedangnya menjulur kedepan, ia sodok ke kanan satu kali dan pukul ke kiri satu kali, kontan kedua lengan Siau-siangcu patah semua.
Melihat gelagat jelek, cepat ln Kik-si menubruk maju sambil putar ruyungnya terus mengadang di depan Siau-siang-cu.
ln Kik-si adalah saudagar besar batu permata negeri Persia, dengan sendirinya pandangannya sangat tajam, terutama dalam hal ngekir benda mestika, ketika menyaksikan pedang Yo Ko itu menggetar terbang tongkat Nimo Singh tadi, dia sudah yakin pedang Yo Ko itu pasti benda mestika, dari warnanya yang aneh ia menaksir pedang itu mungkin terbuat dari besi murni yang jarang ditemukan Kemudian dilihatnya lagi pentung Siausiang-cu juga tergetar hingga patah menjadi beberapa potong, ia tambah yakin pedang itu pasti benda pusaka.
Pada umumnya In Kik-si tidak terlalu jahat, cuma sejak kecil ia telah berdagang intan permata, maka setiap kali melihat benda mestika yang aneh, tentu dia ketarik dan dengan segala jalan ia ingin memilikinya, apakah harus dibeli, ditipu atau kalau perlu direbut dan dicuri.
Pedang pusaka Yo Ko sekarang juga sangat menarik perhatiannya, seketika timbul keserakahannya ingin memiliki,
segera ia putar ruyungnya yang lemas itu terus membelit pedang lawan.
Yo Ko sendiri tidak terlalu benci pada In Kik-si karena sikapnya yang cukup ramah dan sopan, ketika melihat ruyung orang menyamber tiba, di atas ruyung tertampak penuh bertatahkan batu permata, maka ia lantas membiarkan pedangnya dibelit oleh ruyung orang, katanya: “ln-heng, selama ini kita tiada permusuhan apa-apa, sebaiknya lekas tarik kembali ruyungmu dan memberi jalan padaku, Ruyungmu penuh batu mestika, sungguh sayang kalau sampai rusak.”
“Apakah betul begitu?”, ujar In Kik-si dengan tertawa, sekuat nya ia terus membetot. Akan tetapi Yo Ko tetap berdiri tegak seperti tonggak tanpa bergeming sedikitpun In Kik-si menjadi penasaran, tapi iapun tahu kepandaian lawan sangat lihay, kalau tidak menggunakan akal tentu pedang mustika itu sukar direbut Dengan tertawa ia lantas berkata: “Kepandaian Yo-heng maju sepesat ini, sungguh harus diberi selamat dan menggembirakan, Siaute menyerah kalah” Sambil mengucap begitu, mendadak tangan lain mengeluarkan sebilah belati terus menikam ke dada Siao-liong-li.
Tujuan In Kik-si sebenarnya tidak hendak mencelakai nyawa Siao-liong li, soalnya ia tahu Yo Ko sangat memperhatikan si nona, kalau melihat nona itu terancam bahaya, tentu akan menolongnya mati-matian maka tikamannya pada Siao-liong-li sesungguhnya cuma gertakan belaka, dengan begitu dia akan berhasil merebut pedang pusaka Yo Ko.
Benar juga, Yo Ko menjadi kaget melihat Siao liong-li diserang, Pada saat itulah In Kik-si lantas membentak: “Lepas pedang!” Sekuatnya ia lantas membetot rayungaya untuk merampas pedang lawan.
Ternyata Yo Ko lantas menuruti kehendaknya dan melepaskan pedangnya, cuma sekalian di dorong ke depan, pedang panjang dan belati pendek, karena dorongan itu, jarak kedua orang bertambah jauh sehingga belati yang pendek itu tidak dapat mencapai tubuh Siao-liong-li. Rupanya karena kuatirnya Yo Ko telah mendorong pedangnya cukup keras sehingga membuat In Kik-si ter-huyung ke belakang, pedang yang berat itu berikut ruyung yang masih melibat itu terus menumbuk ke tubuh In Kiksi.
Meski Yo Ko juga tiada maksud melukai jiwa In Kik-si, tapi untuk menyelamatkan Siao-liong-li, tenaga dorongan yang dikeluarkannya tidak kepalang hebatnya, In Kik-si merasa seperti di tolak oleh tangan maha dahsyat, Sekuatnya dia mengerahkan tenaga dan mendorong ke depan namun begitu ia tetap tergentak mundar lagi beberapa langkah baru kemudian dapat berdiri tegak.
Mukanya berubah pucat, tampaknya tetap tersenyum, namun senyuman yang getir.
Kiranya In Kik-si merasa isi perutnya seakan-akan jungkir balik, seluruh urat nadinya serasa kacau balau, ia tidak berani sembarangan bergerak lagi dan juga tidak berani menggunakan tenaga, Yo Ko teIah melangkah maju dan mengambil kembali pedangnya, ketika ia angkat pedang itu, dibawah cahaya sang surya, pandangan semua orang menjadi silau, batu permata telah berhamburan berserakan.
Rupanya ketika kedua orang sama-sama mengerahkan tenaga, batu permata yang tertatah pada ruyung In Kik si itu telah tergetar hancur dan rontok.
Dibandingkan Nimo Singh dan Siau-siang-cu, pribadi In Kik-si terlebih baik, namun karena keserakahannya, luka yang dideritanya menjadi lebih parah daripada kedua kawannya itu.
Yo Ko gemas karena In Kik-si hendak menikam Siong- liong-li dengan belatinya, maka ia tidak perdulikan luka saudagar persi yang cukup berat itu, segera ia berseru: “Kim-lun Hoat-ong, utang-piutang kita perlu diselesaikan sekarang atau ditunda saja lain hari?”
Kim lun Hoat-ong sangat licik, dilihatnya Yo Ko ber-turut-urut mengalahkan Nimo Singh, Siau-siang-cu dan In Kik-si yang semuanya hanya berlangsung dalam sekali dua gebrak saja, betapa tinggi ilmu silat anak muda itu sungguh sukar diukur lagi.
Kalau dirinya juga memandangi sekarang, meski tidak sampai kalah seperti ketiga kawannya, tapi untuk menang rasanya juga tidak gampang.
Namun begitu berada di depan orang sebanyak ini, kalau dirinya kena di gertak begitu saja lantas pergi, betapapun ia ingin menjaga harga diri. ia pikir: “Bocah ini sudah buntung sebelah lengannya, meski tangan kirinya juga lihay, bagian kanan yang buntung pasti lemah, kalau kuserang saja bagian kanan. dia tentu juga menguatirkan keadaan Siao-liong-li, jika berlangsung agak lama, tentu pikirannya akan kacau.”
Setelah ambil keputusan demikian, ia lantas menyiapkan kelima rodanya, ia tahu pertarungan sekarang ini sesungguhnya mengenai mati-hidup dan dipuji atau terhina selamanya, sedikitpun tidak boleh gegabah.
Segera ia melangkah maju, dengan tertawa ia berkata: “Saudara Yo, kuucapkan selamat padamu atas penemuan istimewa yang kau dapatkan ini sehingga kau memiliki pedang sakti yang tiada tandingannya ini”
Siao liong li menggelendot dalam rangkulan Yo Ko, samar-samar ia melihat Kim-lun Hoat-ong telah maju dengan rodanya, ia pikir melulu tenaga Nyo-Ko seorang pasti tak dapat menandingi paderi itu, dengan suara pelahan ia lantas berkata: “Ko-ji, berikanlah pedang padaku, marilah kita binasakan dia dengan Giok-li-kiam-hoat kita.”
Yo Ko menjadi terharu, jawabnya: “Jangan kuatir Kokoh, aku sendiri mampu melayani dia.”
Siao-Iiong-li lantas cepat menggeser ke kanan sedikit agar dapat mengaling lebih banyak di depan Yo Ko. Sungguh terharu dan terima kasih pula Yo Ko, serunya: “Kokoh, sekarang kita menempur kawanan iblis ini. andaikan matipun kita tidak menyesal lagi.” - Segera pedangnya mengacung ke depan.
Hoat-ong tidak berani menghadapinya dari depan, cepat ia melompat mundur, menyusul lantas terdengar suara mendengung, roda timahnya telah menyamber. Waktu Yo Ko angkat pedangnya menabas, roda itu terus memutar kebelakangnya dan terbang kembali ke arah Hoat-ong sehingga tabasan Yo Ko mengenai tempat kosong.
Habis itu suara mendengung lantas bergemuruh dengan gemerdapnya sinar perak dan cahaya emas.
Hnta buah roda K,im-lun Hoat-ong telah dihamburkan sekaligus dari jurusan yang ber-beda2.
Kuatir menambah parah luka Siaoliong-li, Yo Ko tidak berani banyak bergerak, ia terus berdiri saja di tempatnya.
Ternyata hamburan kelima roda Kim-lun Hoat-ong itupun cuma serangan percobaan saja, setelah roda2 itu berputar sekeliling,lalu terbang kembali lagi ke tangan Hoat-ong.
Melihat Yo Ko tidak mau bergeser dari tempatnya, tahulah Hoat-ong akan jalan pikiran anak muda itu, ia menjadi girang dan yakin dirinya pasti akan berada pada pihak yang lebih menguntungkan kalau saja menyerang dari jauh dan terus berpisah tempat, dengan cara inipun dirinya pasti takkan kalah, Dengan kedudukan Kim-lun Hoat-ong sebenarnya tidak layak menempur Yo Ko yang cacat badan-serta harus melindungi seorang yang terluka parah. Namun Hoat-ong juga tahu kesempatan baik sekarang ini sukar dicari lagi dikemudian bari, kalau saja luka Siao-liong-ti sudah sembuh, dengan gabungan kedua muda-mudi itu jelas dirinya bukan tandingannya, andaikan Siao-liong-li tewas oleh luka-nya, sesudah Yo Ko tida mempunyai tanggungan lagi, dirinya juga bukan tandingan anak muda itu.
Sebab itulah ia bertekad harus membinasakan kedua muda-mudi itu sekarang mumpung ada kesempatan bagus, bahwa cara bertempur sekarang ini pantas dan adil atau tidak bukan soal baginya.
Keadaan demikian juga cukup dipahami semua orang, merekapun merasa Kim-lun Hoat-ong kurang terhormat menempur Yo Ko sekarang, segera si dogol Be Kong-co berteriak: “Hai, Hwesio gede, kau terhitung ksatria atau bukan? Kau tahu malu tidak?”
Akan tetapi Hoat-ong berlagak pilon saja, kelima rodanya tetap beterbangan pulang pergi dan kian kemari mengitari Yo Ko berdua, begitu roda2 itu ditangkap kembali segera disambitkan pula oleh Hoat-ong, terkadang tinggi mendadak bisa rebah, lain saat lurus ke depan, tapi tahu-tahu membelok lagi ke samping, suara yang ditimbulkan juga berbeda, ada yang mendengung keras, ada yang mendenging nyaring.
Sekonyong-konyong terdengar Be Kong-co menjerit kaget, kiranya sebuah roda mendadak menyamber dari samping terus membelok menyerempet kepalanya sehingga kulit kepalanya terkelupas sebagian berikat secomot rambutnya dan berdarah jatuh ke tanah. Roda itu cukup besar dan berat pula, tapi ketika mengupas kulit kepalanya seakan2 sebuah pisau cukur saja yang tipis, yang hebat adalah serempetan itu sedemikian tepatnya hingga tiba pas mengupas kulit berikut rambut saja, kalau lebiti tinggi sedikit tentu takkan mengupas kulit kepalan sebaliknya kalau kerendahan sedikit tentu jiwa Be Kong co sudah melayang, Semua orang sama melongo ngeri melihat kehebatan roda Kim-lun Hoat-ong itu.
Yo Ko menguatirkan keadaan Siao-liong-li, tambah lama tertahan di situ berarti berkurang pula kesempatan menyembuhkannya, segera kaki kirinya melangkah maju, tubuh Siao-liong-li dibawanya maju sedikit, menysul kaki kanan juga melangkah lagi.
“Awas”! tiba-tiba Kim-lun Hoat-ong berseru, tahu-tahu kelima rodanya bergabung menjadi satu dan terbagi menjadi dua baris terus menyamber dari depan kepada Yo Ko berdua.
Namun Yo Ko juga mengerahkan tenaga pada tangan kirinya, sedikit ujung pedangnya bergetar “trang trang-trang”, ketiga roda emas, tembaga dan besi kena dicungkit kesamping, menyusul pedangnya terus menghantam ke bawah, pandangan semua orang terasa silau, menyusul debu pasir lantas mengepul roda perak dan roda timah telah tertabas pecah menjadi dua oleh pedang Yo Ko dan jatuh ke tanah.
Pada saat itu juga Hoai-ong juga membentak sambil menubruk maju, tangan kirinya memotong miring ke tepi roda tembaga sedangkan roda emas dan besi terus ditangkapnya, menyusul lantas dihantamkan ke kepala Yo Ko.
Yo Ko tidak menangkis, sebaliknya pedang pusakanya terus menusuk lurus ke dada musuh, Pedang lebih panjang daripada roda, sebelum roda lawan sempat menghantam kepada Yo Ko, ujung pedang anak muda itu sudah mengancam dan cuma beberapa senti saja di depan dada Hoat-ong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar