Senin, 26 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 94




Kembalinya Pendekar Rajawali 94

Kini kedua orang sudah terikat menjadi suami-isteri, cita2 yang terkandung selama ini sudah terkabul merekapun sudah pulang di kediaman lama, selanjutnya tidak akan tersangkut pula dengan macam-macam suka-duka dan permusuhan di dunia fana, namun dalam hati kedua orang sama-sama merasa berduka dan sedih tak terkatakan.
Keduanya sama tahu bahwa luka Siao-liong-li teramat parah, sudah terkena hantaman roda Kim-lun Hoat ong, terkena pula pukulan gabungan Coan-cin-ngo-cu yang hebat itu, dengan tubuhnya yang lemah gemulai itu jelas tidak tahan.
Walaupun sebelumnya kedua orang sudah berulang2 memikirkan asalkan cita2 mereka terkabul dan dapat berkumpul kembali, sekalipun harus mati seketika juga rela.
Tapi setelah keduanya benar-benar sudah menikah dan berkumpul menjadi satu, rasanya menjadi berat sekali untuk berpisah dan mati.
Mereka sama-sama masih muda dengan kisah hidup yang menderita, selama ini belum pernah merasakan bahagianya orang hidup, kini mendadak mencapai cita2 paling utama orang hidup, tapi dengan segera mereka akan berpisah puIa.
Yo Ko termangu sejenak, ia ke kamar Sun-popoh dan membongkar tempat tidurnya untuk di pindahkan ke samping “dipan kemala dingin”, ia atur bantal kasurnya dengan baik dan membaringkan Siao-liong-li di situ.
Sisa bahan makanan sudah rusak, namun ber-botol2 madu tawon yang dikumpulkan Siao liong-li dahulu tetap baik, Nyo Ko menuang setengah mangkuk madu yang kental itu dan dicampur dengan air untuk diminumkan pada Siao-liong-li serta Kwe Yang cilik, habis itu ia sendiri juga minum satu mangkuk.
Ia coba memandang sekeliling kamar batu itu, pikirnya: “Aku harus bersemangat untuk menggirangkan hati Kokoh, kesedihanku tidak boleh kentara sedikitpun pada wajahku.”
Begitulah ia lantas mencari dua batang lilin yang paling besar serta dibungkusnya dengan kain merah, lalu disulutkan dan ditancapkan di atas meja, katanya dengan tertawa: “lnilah kamar pengantin kita dengan lilin bahagianya.”
Cahaya lilin menambah semaraknya kamar batu itu. Siao liong-li duduk di tempat tidurnya, terlihat tubuh sendiri penuh kotoran dan noda darah, dengan tersenyum ia berkata: “Macamku ini mana mirip pengantin baru!”
Tiba-tiba ia ingat sesuatu, katanya pu’a: “Ko-ji, coba kau ke kamarnya Lim-cosu dan bawa kemari peti berlapis emas itu.”
Meski pernah tinggal beberapa tahun di kuburan ini, tapi kamar bekas tempat tinggal Lim Tiau-eng tak berani dimasukinya, apalagi barang-barang tinggalannya, tentu saja tidak berani dijamahnya. Kini Siao-liong-li menyuruhnya, segera Yo Ko ke sana dan mengambilkan peti yang diminta itu.
Peti itu tidak terlalu berat, juga tidak digembok, tapi tepian peti dilapis emas dan banyak ukiran yang indah. “Menurut Sun-popoh, katanya peti ini berisi pakaian pengantin Lim-cosu, tapi kemudian beliau urung menikah, maka barang-barang inipun tidak jadi dipakai,” kata Siao-liongli.
Yo Ko mengiakan saja dan meletakkan peti itu di batu kemala dingin itu, setelah tutup peti di buka, benarlah di dalamnya tersimpan sebuah kopiah berukir burung Hong dengan hiasan mutiara, ada sepotong baju sulaman emas serta gaun sutera merah.
Semuanya terbuat dari bahan pilihan, meski sudah selang berpuluh tahun, tapi tampaknya masih seperti baru.
“Coba keluarkan isinya, ingin kulihat.” kata Siao-liong-li.
Yo Ko lantas mengeluarkan satu persatu isi peti itu, di bawah pakaian pengantin ternyata ada sebuah kotak rias dan sebuah kotak barang-barang perluasan Gincu dan pupur dalam kotak rias itu sudah kering, tapi minyak wanginya ternyata masih ada sisa setengah botol kecil.
Ketika kotak perhiasan dibuka, seketika pandangan mereka menjadi silau, macam-macam perhiasan yang jarang terlihat, ada tusuk kundai bermutiara, gelang kemala dan mutu manikam yang lain.
Biasanya Siao-liong-li dan Yo Ko jarang melihat benda-benda mestika seperti itu, merekapun tidak tahu betapa bernilainya barang-barang perhiasan itu, yang jelas mereka melihat barang-barang itu terbuat dengan sangat halus dan indah, maka merekapun sangat tertarik.
“Bagaimana kalau kubersolek menjadi pengantin baru?” ujar Siao-liong-li dengan tersenyum.
“Kau sudah terlalu lelah, mengasoJsipleBaf latti, bersoleklah besok,” kata Yo Ko.
Siao-liong-Ii menggeleng, katanya: “Tidak, inilah hari bahagia pernikahan kita, Aku suka menjadi pengantin baru, Tempo hari di Coat-ceng-kok itu Kongsun Ci ingin menikah dengan aku dan akupun urung berdandan sebagai pengantin baru.”
“Hah, masakah itu dapat dianggap menikah? itukan Cuma khayalan Kongsun Ci saja!” ujar Yo Ko dengan tersenyum Begitulah Siao-liong-li lantas mencampuri bedak dan Gincu dengan sedikit air dan mulailah bersolek menghadap cermin.
Selama hidup untuk pertama kali inilah dia memakai pupur dan gincu.
Air mukanya sebenarnya memang putih bersih dan tidak perlu berbedak lagi, cuma dia habis terluka parah, mukanya pucat pasi, setelah kedua pipinya diberi pupur dan sedikit gincu, sungguh kecantikannya sukar dilukiskan.
Ia berhenti sejenak, lalu menyisir rambut, katanya dengan gegetun: “Bicara menyisir rambut, sama sekali aku tidak bisa, Ko-ji, kau bisa tidak?”
“Akupun tidak bisa! Kukira engkau lebih cantik jika rambut tidak tersisir,” ujar Yo Ko.
“Apa ya?” Siao-liong-Ii tersenyum. ia lantas memakai anting2 dan gelang serta perhiasan kepala lainnya, di bawah cahaya lilin sungguh cantik molek tak terperikan. Dengan berseri-seri ia menoleh pada Yo Ko, maksudnya supaya dipuji beberapa patah kata oleh anak muda itu.
Tapi dilihatnya wajah Yo Ko ada bekas air mata, jelas anak muda itu sedang berduka, Siao-liong-li berusaha menahan perasaan dan anggap tidak tahu, dengan tersenyum ia bertanya pula: “Ko-ji, bagus tidak dandananku ini?”
“Ba… bagus sekali!” jawab Yo Ko dengan rada terguguk,
“lni kupasangkan kopiahnya.”
Segera ia angkat kopiah pengantin ke belakang si nona dan dipasang di atas kepalanya.
Dari bayangan cermin dapatlah Siao-liong-li melihat anak muda itu telah mengusap air matanya dengan lengan baju, ketika berada di belakangnya anak muda itu sengaja memperlihatkan wajah riang-nya serta berkata: “Selanjutnya kupanggil engkau “Niocu” (isteriku) atau tetap menyebut Kokoh padamu?”
Dalam hati Siao-Iiong-Ii membatin: “Masakah masih ada “selanjutnya” segala bagi kita? Akan tetapi ia berusaha memperlihatkan rasa gembiranya dan menjawab dengan tersenyum: “Rasanya tidak pantas jika tetap memanggil Kokoh. sebaliknya sebutan Niocu, Hujin dan sebagainya terasa agak ke-tua-an!”
“Baiklah, selanjutnya engkau memanggil Ko-ji padaku dan akan kupanggil Liong-ji padamu, jadinya adil, tiada yang rugi,” ujar Yo Ko dengan tertawa, “Kdak kalau sudah punya anak, lalu ganti panggilan: He, pakne bocah atau ibunya anak dan… dan kalau anak itu sudah besar dan beristeri atau bersuami “
Semu!a Siao liong-li hanya tersenyum saja mendengarkan ocehan Yo Ko yang ngalor-ngidul itu, akhirnya ia tidak tahan dan mendadak mendekam di atas peti dan menangis sedih.
Yo Ko tahu perasaan si nona, ia mendekati dan memeluknya, katanya dengan suara halus: “Liong-ji. kau tidak baik, buat apa kita pedulikan urusan selanjutnya, Yang jelas saat ini kau takkan mati dan akupun takkan mati, marilah kita bergembira ria, siapapun tidak perlu memikirkan urusan esok.”
Siao-Iiong li mengangkat kepalanya dan mengangguk dengan tersenyum.
“Lihatlah betapa indahnya sulaman burung Hong pada gaun pengantin ini,,biarlah kubantu kau mengenakannya.” kata Yo Ko pula, lalu ia menegakkan tubuh si nona dan bantu mengenakan pakaian pengantin merah itu.
Siao-liong-Ii mengusap air matanya dan pipinya diberi lagi sedikit pupur, dengan tersenyum bahagia ia lantas duduk di samping lilin merah.
Dalam pada itu Kwe Yang terbaring di ujung tempat tidur itupun mementang kedua biji matanya yang hitam itu sedang memandangi dengan penuh keheranan, Mungkin dalam hati kecilnya itupun merasakan dandanan Siao-liong-li itu sangat cantik dan menarik.
“Aku sudah selesai berdandan, cuma sayang di dalam peti ini tiada pakaian pengantin laki-laki. terpaksa kau harus begini saja,” ujar Siao-liong-li.
“Coba kucari lagi, mungkin ada barang-barang lain yang indah,” kata Yo Ko sembari membongkar isi peti yang lain dan dipindahkan ke atas tempat tidur, Melihat ada sebuah bunga-bungaan buatan emas, Siao liong-li lantas mengambilnya dan diselipkan di atas rambut Yo Ko.
“Ya, begini barulah mirip2 pengantin baru,” ujar Yo Ko dengan tertawa.
Ia terus membongkar isi peti itu, sampai di dasar peti, dilihatnya ada satu tumpuk surat yang diikat dengan benang merah, benang merah itu sudah luntur, sampul surat juga sudah kekuning-kuningan. “Ku-temukan surat-urat ini,” seru Yo Ko sambil mengangkat tumpukan surat itu.
“Coba dilihat surat apa itu?” kata Siao-Iiong-li.
Setelah ikatannya dilepas, Yo Ko melihat sampul surat pertama itu tertulis: “Kepada sayangku Lim Tiau-heng, pribadi!” dan pada sudut lain ada sebuah huruf “Say”. Surat-urat itu berjumlah lebih 20 pucuk, semuanya sama tertulis begitu.
Yo Ko tahu sebelum Ong Tiong-yang terikat menjadi Tosu, nama partikelirnya adalah “Say”, lengkapnya Ong Say, Dengan tertawa ia berkata : “Tampaknya surat-urat ini adalah surat cinta Ong-cosu kepada Lim-cosu kita, apakah boleh kita membacanya?”
Sejak kecil Siao-liong-li menghormati sang cakal bakal itu sebagai malaikat dewata, maka cepat ia menjawab: “Tidak, tidak boleh!”
Yo Ko tertawa dan mengikat kembali bundel surat itu, katanya kemudian:.”Kawanan Tosu Coan-cin-kau itu sungguh terlalu kolot, melihat kita menikah dihadapan lukisan Tiong-yang Cosu, lalu kita dianggap seperti berdosa dan tidak dapat diampuni.” Aku justeru tidak percaya bahwa Tiong-yang Cosu tidak mencintai Lim-cosu kita, Kalau saja kita perlihatkan surat-urat cinta Ong-cosu ini pasti kawanan Tosu tua itu akan meringis.”
Sembari berkata iapun memandangi Siao-liong li dan merasa berduka bagi Lim Tiau-eng. Pikirnya: “Lim-cosu hidup sunyi di dalam kuburan ini, tentunya beliau ingin sekali dapat memakai baju pengantin ini dan selalu gagal, jaai kami berdua ini ternyata jauh lebih beruntung daripada beliau.”
Tiba-tiba terdengar Siao-liong-li berkata: “Ya, kita memang lebih beruntung daripada Lim-cosu, tapi mengapa kau menjadi tidak gembira?”
Yo Ko mengiakan, mendadak iapun melengak dan bcrtanya: “He, kau tidak bicara, mengapa engkau mengetahui pikiranku?”
“Kalau tidak dapat mengetahui jalan pikiranmu mana sesuai untuk menjadi isterimu?” jawab Siao-liong-li dengan tertawa.
Yo Ko mendekatinya dan duduk ditepi tempat tidur, dengan lengan kiri ia merangkul Siau liong li, tak terbilang rasa gembira dan bahagia mereka, diharapkan semoga saat2 demikian ini takkan berubah selamanya, kekal abadi.
Sampai sekian lama keduanya guling peluk dan terdiam. Selang sebentar lagi, keduanya sama memandang pada bundel surat tadi dengan penuh pandang dengan tertawa, keduanya sama-sama menyorotkan sorot mata yang nakal.
Maklumlah, usia mereka masih sama-sama muda, sehingga belum hilang sifat anak-anak mereka, walaupun tahu tidak pantas membaca surat pribadri mendiang cakal bakal, tapi rasa ingin tahu sukarlah dibendung.
Tiba-tiba Yo Ko berkata: “Bagaimana kalau kita hanya membaca sepucuk saja? Pasti tidak membaca lebih dari itu.”
“Ya, akupun ingin sekali mengetahui isi surat-itu,” jawab Siao-liong-li. “Baiklah, kita hanya membaca sepucuk saja.”
Dengan girang Yo Ko lantas membuka ikatan bundle surat tadi. Siao-liong-li berkata pula: “Kalau isi surat itu membikin orang berduka, hendaknya kau jangan bersuara membacanya bagiku.”
Yo Ko mengiakan, ia coba mengambil sampul pertama dan dilolos keluar suratnya, lalu mulai membacanya: “Adik Eng, kemarin dulu pasukan kita bertempur dengan pasukan musuh dan mengalami kekalahan kecil dengan kerugian beberapa ratus orang…” ternyata isi surat itu memberitahukan-keadaan medan perang dan bagian akhir surat itu Ong Tiong-yang minta agar Lim Tiau-eng suka menjual sebagian harta benda untuk dijadikan perbekalan pasukan. Ber-turut-urut ia membaca lagi dua-tiga pucuk surat lain dan isinya hampir semuanya sama, yakni mengenai situasi medan perang belaka, hampir tidak pernah menyinggung urusan pribadi mereka.
Yo Ko menghela napas dan berkata pula: “Tiong-yang Cosu benar-benar seorang pahlawan teladan dan ksatria sejati, segenap jiwa raganya dicurahkan bagi perjuangan sehingga melupakan kepentingan pribadi, pantaslah kalau Lim-cosu menjadi dingin hatinya,”
“Tidak!” ujar Siao-liongIi. “Ketika menerima surat-urat ini, justeru Lim-cosu merasa sangat senang.”
“Darimana kau tahu?” tanya Yo Ko heran.
“Sudah tentu aku tidak tahu, aku cuma menafsirkan menurut hati sesama orang perempuan saja.” jawab Siao-liong-li. -”Coba kau, lihat isi surat itu, yang diuraikan selalu situasi medan perang yang makin genting, namun Ong cosu tetap tidak lupa menulis surat kepada Lim-cosu dalam keadaan yang gawat dan sulit itu, coba katakan, apakah itu tidak berarti senantiasa Ong-cosu terkenang kepada Lim-cosu?”
“Ya, benar, memang betul,” sahut Yo Ko sambil mengangguk Lalu ia membaca lagi surat yang lain. Surat
itupun mengabarkan pasukan yang dipimpin Ong Tiong-yang mengalami kekalahan lagi karena jumlah pasukan musuh jauh lebih besar. Selain itu pada akhir surat juga ditanyakan keadaan luka Lim Tiau-eng, meski singkat saja, tapi penuh simpatik dan perhatian

Siao-liong-li hanya tersenyum hambar, ia menyadari betapa parah lukanya sendiri, namun iapun tidak ingin membikin kecewa anak muda itu, katanya kemudian:
“Tampaknya surat-urat itu tiada yang menyangkut rahasia pribadi, boleh kau membacanya semua.”
Yo Ko lantas membuka lagi surat-urat yang lain, kebanyakan juga berceritera tentang pengalaman tempur di medan perang, tapi selanjutnya lebih sering lagi kalahnya sehingga nada Ong Tiong-yang semakin guram dan putus asa.
“isi surat ini cuma memerosotkan semangat orang saja, biarlah kita bicara urusan lain saja.”
“Eh, apa ini?” mendadak nada Yo Ko berubah menjadi bersemangat, tangan yang memegang surat itupun rada gemetar, lalu ia membacanya dengan suara lebih keras:
“kudengar di kutub utara yang maha dingin sana ada batu dengan nama Han-giok (kemala dingin), khasiatnya dapat menghilangkan penyakit lama dan menyembuhkan luka yang sukar diobati, untuk itu akan kuusahakan mendapatkannya bagi adik Eng…”
He, Liong-ji yang dimaksudkan ini apakah bukan Han-giokjoan (dipan kemala dingin) ini?”
Melihat wujih Yo Ko yang menampilkan rasa girang seperti orang yang putus asa mendadak menemukan titik sinar harapan itu, dengan suara gemetar Siau-liong-Ii pun menjawab: “Apakah… apakah… maksudmu kemala dingin ini dapat menyembuhkan lukaku ini-?”
“Akupun tidak tahu,” jawab Yo Ko. “Tapi Tiong-yang Cosu berkata demikian, tentu ada alasannya. Dan nyatanya kemala dingin ini kan sudah didapatkannya dan berada di sini?
Bukankah memang sudah menjadikannya menjadi dipan untuk tempat tidur? bukankah luka beliau yang parah itu akhirnya juga sembuh?”
Cepat-cepat Yo Ko membuka lagi surat yang lain dengan harapan kalau-kalau isi surat lain ada, yang menguraikan tentang cara penyembuhan dengan kemala dingin itu, tapi istilah “kemala dingin” ternyata tidak pernah disebut lagi kecuali di dalam surat tadi.”
Yo Ko mengikat kembali bundel surat itu dan ditaruh ke dalam pcti, lalu ia duduk termenung. Ia pikir kalau dipan kemala dingin itu memang mempunyai khasiat sehebat itu, tentu juga dapat menyembuhkan luka Siao-liong-li, hanya caranya saja yang belum di ketahui.
“He, apa yang kau renungkan?” tegur Siao-liong-li dengan tertawa.
“Sedang kupikirkan cara bagaimana menyembuhkan kau dengan dipan ini, apa harus dihancurkan dan dicampur dengan obat lain, entahlah!” gumam Yo Ko.
“Tentunya kau masih ingat pada Sun-popoh? Sekiranya dipan kemala dingin ini dapat menyembuhkan Iuka dalam yang parah, masakah Sun popoh tidak tahu?
Harapan Yo Ko yang tadinya berkobar2 itu seketika padam seperti di siram air dingin demi mendengar ucapan Siao liong-li itu.
Perlahan Siao liong-li membelai rambut Yo Ko, katanya dengan suara lembut “Ko-ji tidak perlu kau memikirkan lukaku, buat apa kau membikin susah sendiri? sekarang akan kuceritakan sesuatu mengenai guruku.”
Meski cukup lama tinggal bersama Siao-liong-li, tapi jarang sekali Yo Ko mendengar si nona bercerita tentang mendiang gurunya itu, maka cepat ia menanggapi “Ya,lekas ceritakan!”
“Tahukah kau sebab apa meninggalnya Suhuku?” Tanya Siao-Iiong-li.
Yo Ko menggeleng, Siao-Iiong-li lantas melanjutkan “Beliau menyepi di sini dan jarang keluar, tapi pada suatu ketika beliau pernah keluar menyelesaikan sesuatu urusan penting mengenai Suci sehingga kena dipedayai seorang jahat. Suhu tidak mau banyak urusan meski mengalami kesukaran. Siapa tahu orang jahat itu diberi hati justeru minta rempala, Suci diculiknya pula, sebenarnya kepandaian Suhu jauh melebihi orang jahat itu, cuma dalam hal Am-gi (senjata rahasia) saja orang jahat itu memang lebih lihay.
Suhuku adalah pelayan pribadi Lim-cosu, sifatnya ramah dan penurut, hatinya bajik dan jarang marah, tapi demi membela Suci, beliau terpaksa membuat dua macam senjata rahasia, yakni Giok-hong-kim-ciam (jarum emas tawon putih) dan Peng pok-gin-ciam (jarum perak inti es) yang berbisa itu, akhirnya Suci dapat direbut kembali setelah mengalahkan musuh.
Tapi dalam pertarungan itu Suhu juga terluka parah, walaupun bertahan sampai beberapa tahun, akhirnya juga tak-dapat disembuhkan, ilmu pukulan Panca Bisa andalan Suci itu adalah ajaran orang jahat itu, Suci (Li Bok-chiu) berkumpul sekian lama dengan orang itu sehingga tanpa terasa terpengaruh juga oleh sifat jahatnya. Lantaran ini, sampai meninggalnya Suhu tetap merasa sedih.”
Terkenang kepada gurunya yang berbudi itu, tanpa terasa hati Siao-liong-li menjadi terharu.
Pikiran Yo Ko sendiri terasa kusut, tadinya ia merasa menemukan titik harapan dapat menyembuhkan Siao-liong-li, tapi lantas tenggelam pula dalam kegelapan, ia pikir memang juga masuk diakal, andaikan dipan kemala dingin itu dapat menyembuhkan luka dalam yang parah, mengapa Sun-popoh dan guru Siao-liong-li itu tidak menggunakan untuk menyembuhkan diri mereka?”
Karena urusan sudah begini, ia pikir sebaiknya jangan dirisaukan lagi, akan lebih baik jika bicara hal-hal yang menyenangkan saja dengan si nona agar hatinya gembira.
Begitulah ia lantas berkata: “Jarum emas lebih lembut dan jarum perak lebih panjang, tapi menghadapi musuh ternyata jarum emas lebih berguna daripada jarum perak. Tampaknya kakek guru memang lebih sayang padamu, makanya jarum emas diajarkan padamu dan jarum perak diturunkan pada Li-supek.”
Siao-liong-li tersenyum, katanya: “Suhu memang sangat baik padaku, ya guru ya seperti ibu, kalau beliau mengetahui aku mendapatkan suami sebaik ini, entah betapa beliau akan bergirang.”
“Ah, juga belum tentu, beliau kan melarang anak muridnya menikah,” ujar Yo Ko.
“Tapi guruku sangat baik hati dan sayang padaku, mula-mula mungkin beliau tidak mengidzinkan, lama2 kalau melihat keteguhan hatiku, tentu beliau juga akan menuruti permintaanku,” kata Siao-liong-li.
“Hanya, hanya Li-suci saja yang berdosa kepada Suhu”.
“Bagaimana?” tanya Yo Ko.
“Waktu Suhu bertarung dengan orang jahat itu, sebenarnya orang itu sudah tertutuk oleh Suhu dan takbisa berkutik, siapa tahu secara diam-2 Suci telah membebaskan orang itu, rupanya Suci ingat kepada budi orang itu yang telah mengajarkan ilmu pukulan berbisa padanya. Setelah orang itu dapat bcrgerak, secara mendadak dia menyerang Suhu, karena tidak berjaga-jaga, maka Suhu terkena pukulannya.”
“Siapakah nama orang jahat itu? Dia mampu menandingi Suco (kakek guru), tenlu iapun tokoh silat terkemuka jaman ini.”
“Suhu tidak pernah memberitahukan nama orang itu padaku, Dia ingin hatiku bebas dari segala cita rasa dan tidak kenal suka duka dan budi atau dendam, menurut Suhu, kalau nama orang ini kuketahui, tentu akan kuingat selalu dan boleh jadi kelak akan kucari dan menuntut balas pudanya.”
“Ai. Suco sungguh orang baik budi,” ujar Yo Ko dengan gegetun.
Lalu Siao-Iiong-li berkata pula: “Setelah terluka, Suhu lantas berpindah kamar dan menjauhi dipan kemala dingin ini.
Menurut beliau, dingin akan mengalangi kemajuan ilmu Ko-bong-pay kita, maka bagus sekali jika menggunakan dipan kemala dingin ini untuk membantu berlatih Lwe-kang, akan tetapi orang yang terluka tentu tidak tahan.”
Melihat Siao-liong-li ada tanda-tanda lelah Yo Ko berkuta:
“Silakan tidur saja, akan kutunggui kau di sini.”
“Tidak, aku tidak lelah, malam ini kita tidak tidur,” jawab Siao-Iiong-li sambil pentang lebar-lebar matanya.
sesungguhnya dalam hati kecilnya berkuatir akan luka sendiri yang parah itu, kalau sampai tertidur dan untuk seterusnya tidak pernah mendusin lagi, itu berarti takkan bertemu lagi dengan Yo Ko selamanya, Karena itulah ia lantas menambahkan “Ajaklah aku bicara saja, Eh, kau sendiri tampaknya lelah?”
“Tidak, aku tidak lelah,” jawab Yo Ko menggeleng, “Jika tidak ingin tidur, bolehlah kau memejamkan mata untuk menghilangkan kantuk.”
Siao-liong-li mengiakan dan pelahan memejamkan matanya, lalu berkata dengan suara pelahan. “Suhu sering berkata padaku bahwa ada satu hal yang tidak dipahaminya sampai akhir hayatnya. Ko-ji, kau sangat pintar, coba ikut memikirkan soal ini.”
“Soal apa?” tanya Yo Ko
“Ketika orang jahat itu tertutuk oleh Suhu dengan ilmu Tiam-hiat khas ciptaan Lim-cosu, selama hidup Lim-cosu hanya diajarkan kepada Suhuku dan Suhuku tak mengajarkannya kepada Li-suci, entah cara bagaimana Li-suci dapat membukakan Hiat-to orang jahat yang tertutuk itu.”
“Mungkin waktu suco berlatih sendiri, di luar tahu beliau Li-suci telah mengintip dan mempelajarinya secara diam-diam,” kata Yo Ko.
“Tidak, tidak bisa, kau sendiripun tahu,” ujar Siao-long-li.
Yo Ko pikir ilmu Tiam-hiat perguruan sendiri memang sangat aneh dan ruwet, betapapun sukar-dipelajari dari mengintip. Selagi ia hendak bicara pu!a, terasa Siao-liong-li yang bersandar pada badannya itupun berdiam, napasnya terhembus halus, ternyata sudah tertidur.
Sambil termangu memandangi wajah si nona, pikiran Nyo Ko bergolak, selang tak lama, sebuah lilin telah padam karena sudah habis tersulut, tidak lama kemudian lilin kedua juga padam.
Tiba-tiba Yo Ko membayangkan kedua lilin itu seperti dirinya dan Siao-liong-li, setelah tersulut habis, akhirnya lantas padam, tamat
Selagi ter mangu2, didengarnya Siao liong li menghela napas panjang dan berkata: “Tidak, aku tidak mau mati, Ko ji, aku tidak mau mati! kita harus hidup terus, hidup untuk selamanya.”
“Benar, kita takkan mati, engkau pasti akan sehat kembali setelah istirahat beberapa hari lagi,” kata Yo Ko. “Bagaimana rasa dadamu sekarang?”
Tapi Siao-Iiong li tidak menjawab, rupanya ucapannya tadi hanya mengigau saja, Yo Ko coba meraba kening si nona, ternyata panas sekali, ia menjadi kuatir dan sedih pula.
pikirnya dalam hati: “Li-Bok-chiu yang jahatnya kelewat takaran sampai saat ini masih hidup segar bugar, sebaliknya Liong ji selama hidup tidak pernah berbuat sesuatu.apa yang merugikan orang lain kini sudah dekat dengan ajalnya. Oh, Thian yang maha kasih, dimanakah letak keadilanmu?”
Selamanya Yo Ko tidak gentar apapun juga, dalam keadaan tak berdaya, tanpa terasa ia geser tubuh Siao-liong-li ke sampingnya sendiri lantas-berlutut dan berdoa di dalam batin: “Thian yang welas asih semoga memberi berkah selamat kepada Liong-ji, untuk itu aku rela…. aku rela…” Pada hal untuk keselamatan Siao-liong-li, tiada- sesuatupun yang diragukannya untuk diperbuat guna menebus jiwa si nona.
BegituIah sedang dia berdoa dengan khidmat-nya, tiba-tiba terdengar Siao-liong-li berkata: “Ya benar Auyang Hong, Sun-popoh bilang pasti Auyang Hong adanya, Ko-ji, eh, Ko-ji, ke mana kau?” Sambil berseru mendadak iapun bangun berduduk.
Karena itu cepat Yo Ko kembali berduduk di samping si nona dan memegangi tangannya sambil berkata: “Aku berada di sini.”
DaIam tidurnya mendadak merasa kehilangan sandaran, seketika Siao-liong-li terjaga bangun, tapi ia menjadi girang dan lega, setelah melihat Yo Ko masih tetap berada di sampingnya.
“Jangan kuatir, aku takkan meninggalkan kau untuk se-lama2nya,” kata Yo Ko. ” seumpama kelak kita harus keluar dari kuburan kuno ini, aku akan tetap berjaga di sampingmu tanpa berpisah selangkahpun”:
Di dunia luar sana sesungguhnya memang jauh lebih bagus daripada tempat yang sunyi dan seram ini” ujar Siao Iiong-li, “Cuma aku lantas takut begitu berada di luar sana.”
“Kini kita tidak perlu takut lagi,” kata Nyo-Ko, “beberapa bulan pula bila kesehatanmu sudah pulih, kita berdua akan pergi ke selatan. Konon cuaca di sana selalu cerah dan pemandangan indah. Di sana kita tidak perlu lagi main senjata segala, kita akan bercocok tanam, berkebun dan beternak, kita juga akan punya anak banyak…”
Siao-liong-li juga membayangkan kehidupan yang indah itu, katanya: “Ya, selamanya - kita takkan main senjata segala, tiada orang memusuhi kita dan kitapun takkan berkelahi dengan orang lain, kita berkebun dan piara ayam, piara itik. Ai apabila aku boleh tetap hidup…”
Begitulah keduanya terdiam sejenak, meski berada di dalam kuburan kuno, tapi dua buah hati mereka selalu melayang jauh ke selatan yang alamnya indah permai itu, selamanya mereka belum pernah menginjak daerah selatan, tapi hidung serasa sudah mencium bau harum bunga dan telinga mendengar kicauan burung merdu.
Siao-liong-li benar-benar tidak tahan lagi, lapat-lapat ia hendak pulas pula, tapi sesungguhnya ia tidak ingin tidur, katanya: “Aku tidak ingin tidur, bicaralah padaku!”
“Tadi dalam tiduran kau mengigau tentang Auyang Hong, mengenai urusan apa itu?” tanya Yo Ko.
Seperti diketahui, waktu kecilnya Yo Ko pernah mengakui Auyang Hong sebagai ayah angkat, kemudian didengarnya dari orang Coan-cin-kau bahwa Auyang Hong itu berjuluk “Se-tok” (si racun barat), namanya sangat busuk di dunia persilatan malahan Tam Jutoan, salah satu dari tujuh tokoh Coan-cin-pay itu tewas di tangannya.
Kemudian Yo Ko masuk perguruan Ko-bong-pay dan tak berani lagi bicara mengenai Auyang Hong. sekarang dia sudah menikah dengan Siao-liong-li dan segala apapun boleh dibicarakan, maka iapun terheran-heran mendengar igauan Siao-liong-li tadi.

“Apakah aku menyebut Auyang Hong?” demikian jawab Siao-liong-li.
“Kau juga mengatakan bahwa Sun-popoh bilang pasti dia,” kata Yo Ko pula.
Baru sekarang Siao-liong-li teringat, katanya:
“Ah, ya, menurut Sun-popoh, katanya orang yang melukai Suhuku pasti Se-tok Auyang Hong, Katanya di dunia ini yang mampu melukai guruku boleh dikatakan dapat dihitung dengan jari, sedangkan ilmu pukulan keji seperti Ngo-toksin-ciang itu selain Auyang Hong pasti tiada orang lain yang sudi menggunakannya. Tapi sampai detik terakhir ajalnya guruku tetap tidak mau mengatakan penjahat yang melukainya itu.
Sun-popoh bertanya kepadanya apakah penyerang itu Auyang Hong adanya? Namun Suhu tetap menggeleng dan tersenyum saja, lalu menghembuskan napasnya yang penghabisan.”
“Auyang Hong adalah ayah angkatku,” kata Yo Ko kemudian.
“He apa betul? Mengapa aku tidak tahu?” seru Siao-liong-li heran.
Yo Ko lantas menceritakan pengalamannya dahulu ketika dia terkena racun jarum berbisa Li Bok chiu, berkat pertolongan Auyang Hong, dapatlah dia diselamatkan sebab itulah ia mengakui Auyang Hong sebagai ayah angkat, Akhirnya ia berkata pula: “Kini ayah angkatku sudah meninggal, Suco dan Sun-popoh juga sudah wafat, Tiong-yang Cosu pun sudah tak ada, segala budi dan dendam, suka dan duka sampai saatnya telah dihapus seluruhnya oleh Thian yang maha kuasa, Malahan sampai saat terakhir Suco tetap tidak mau menyebut nama ayah-angkatku. Ah, kiranya begitu!”
Melihat anak muda itu seperti mendadak menyadari kejadian sesuatu, cepat Siao-liong-li bertanya: “Kiranya begitu apa?”
“Tentang ayah angkatku tertutuk oleh Suco bukan Li-supek yang menolongnya, tapi dia membebaskan dirinya sendiri,” tutur Yo Ko.
“Membebaskan dirinya sendiri? Bagaimana bisa begitu?”
“Ayah angkatku memiliki semacam kepandaian khas, yakni dapat memutar balik jalan urat nadi seluruh tubuh, sekali urat nadi sudah terbalik, segenap Hiat-to juga berubah tempat, sekalipun ter-tutuk juga dapat melepaskan diri.”
“Di dunia ini masakah ada kepandaian seaneh ini, sungguh sukar dibayangkan.”
“lni akan kuperlihatkan padamu,” kata Yo Ko sambil berbangkit lalu ia berjungkir dengan kepala dibawah terus berputar beberapa kali sambil mengatur pernapasan.
Mendadak ia melompat bangun, ubun-ubun kepalanya terus ditumbukkan pada ujung meja di depan dipan sana.
“Hai, awas!” seru Siao-liong-li kuatir.
Hiat-to yang tepat di ubun-ubun kepala itu disebut “Pek-hwe-hiat” dan merupakan salah satu Hiat-to paling penting di tubuh manusia, Tapi meski tertumbuk ujung meja batu, ternyata sedikitpun Yo Ko tidak terluka dan sakit, malahan anak muda itu tetap berdiri tegak dan berkata dengan tertawa: “Lihatlah, sekali jalan urat nadi terbalik, seketika Pek-hwe-hiat juga berpindah tempat Kagum sekali Siao-liong-li, katanya dengan heran:
“Sungguh aneh, hanya dia yang mampu memikirkan kepandaian ini.”
Walaupun tidak terluka, tapi lantaran terlalu keras menggunakan tenaga, Yo Ko merasa rada pening juga kepalanya, tapi dalam keadaan samar-samar tiba-tiba ia seperti menemukan sesuatu yang maha penting, Cuma seketika sukar dikatakan urusan penting apa yang ditemukan itu.
Sampai sekian lama tetap sukar memecahkan persoalannya, ia menjadi kesal, ingin dikesampingkan tapi berat pula urusannya Akhjrnya ia cakar-cakar kepala sendiri dengan perasaan sangat masgul, katanya kemudian: “Liong-ji, ku-ingat sesuatu yang sangat penting, tapi tidak tahu apakah itu. Dapatkah kau membantu?”
Sebenarnya tidaklah masak diakal bahwa pikiran seseorang yang kusut dan tak dapat menyimpulkan sesuatu ditanyakan kepada orang lain. Tapi lantaran mereka berdua sudah berkumpul lama, sudah ada kontak batin yang mendalam, apa yang dipikirkan pihak lain biasanya dapat diterka sebagian besar. Maka Siao-Iiong-li lantas bertanya:
“Apakah urusan ini sangat penting.”
Yo Ko mengiakan Siao-liong-li menegas pula: “Apakah ada sangkut-pautnya dengan keadaan lukaku?”
“Benar, benar! Apakah itu? Urusan apa yang teringat olehku?”
“Tadi kau bicara tentang ayah-angkatmu Auyang Hong serta caranya memutar balik letak hiat-to, ada sangkut paut apakah soal ini dengan lukaku? Kan bukan dia yang melukai aku…”
Mendadak Yo Ko melonjak dan berteriak: “Aha, benar!”
Begitu keras teriakannya sehingga bergemalah kumandang suaranya dari kamar2 batu di kuburan kuno itu. Habis itu Nyo Ko terus pegang lengan Siao-liong-li dan berseru pula:
“Engkau tertolong, Liong-ji! Engkau tertolong! Hanya sekian saja ucapannya, saking girangnya air matapun berlinang-linang dan tak dapat melanjutkan ucapan-nya.
Melihat anak muda itu sedemikian gembiranya, Siao-liong-li juga ikut senang dan bangkit berduduk.
“Coba dengarkan Liong-ji,” kata Yo Ko kemudian, “kau terluka dan tak dapat menggunakan Lwekang dari perguruan kita sehingga sukar disembuhkan tapi engkau dapat memutar balik urat nadimu untuk penyembuhanmu dan dipan kemala dingin itu adalah alat pembantu yang ajaib.”
“Tapi… tapi aku masih belum paham!” sahut si nona dengan bingung.
“Bahwa Giok-li-sim-keng aslinya adalah Ci-im negatip, dingin), kebalikannya adalah Sun-yang (panas, positip),” tutur Yo Ko. “Ketika membicarakan kepandaian membalikkan urat nadi ayahku tadi samar-samar sudah kurasakan bahwa lukamu ini pasti tertolong. Cuma cara bagaimana menyembuhkannya yang masih membingungkanku. Akhirnya setelah ingat pada kemala dingin yang disebut dalam surat Tiong-yang Cosu barulah aku memahami persoalannya dengan jelas, sekarang jangan kita menunda lebih lama lagi, marilah… Marilah…”
Begitulah ia lantas pergi mencari beberapa ikat kayu bakar, lalu dibakar di pojok kamar, kemudian dia mengajarkan pengantar dasar ilmu membalikkan urat nadi itu kepada Siao-liong-li, si nona dibiarkan duduk, di atas dipan kemala dingin, ia sendiri duduk di samping api unggun, tangan kirinya menahan telapak tangan kanan Siao-liong-li.
“Akan kutarik hawa panas ini untuk menerobos-segenap Hiat-to di tubuhmu, sekuatnya engkau mengerahkan tenaga secara jalan terbalik, satu satu Hiat-to itu akan di terobos, kalau hawa panas itu sudah sampai ke dipan kemala dingin, maka keadaan lukamu menjadi berkurang pula parahnya.”
“Apakah akupun harus berjungkir dan berputar seperti kau tadi?.” tanya Siao-liong-li dengan tertawa.
“Sekarang belum perlu, nanti kalau sembilan Hiat-to besar sudah diterobos, cara berjungkir dan mengerahkan tenaga menjadi jauh lebih mudah,”
Siao-liong-li berkata pula dengan tertawa: “Untung kedua lenganmu tidak terkutung semua, nona Kwe itu ternyata tidak terlalu jelek.”
“Setelah mengalami detik2 maut tadi, mengenai buntungnya tangan bagi mereka sudah bukan soal lagi, makanya Siao-Iiong li menggunakan hal ini untuk bergurau.
Dengan tertawa Yo Ko menjawab: “Kalau tanganku buntung semua, masih ada dua kaki. Hanya kalau membantu menyembuhkan dengan telapak kaki, bau keringat kaki tentu memualkan kau.”
Sementara itu api unggun sudah mulai berkobar selagi Nyo Ko bersiap akan mengerahkan tenaga dalam dan mulai penyembuhannya-pada Siao-liong-ti, mendadak ia berteriak:
“Haya, hampir saja celaka!”
“Ada apa?” tanya Siao-liong-li
Yo Ko menuding Kwe Yang yang tertaruh di ujung tempat tidur sana dan berkata- “Kalau latihan kita sedangmemuncak pada titik yang genting dan mendadak setan cilik ini berkaok, kan segalanya bisa runyam?”
“Ya, sungguh berbahaya, hampir saja!” Siao-liong-Iipun bersyukur.
Maklumlah, orang yang asyik berlatih lwekang paling pantang akan gangguan dari luar, seperti dahulu ketika Siao-liong-li dan Yo Ko sedang berlatih Giok-li-sim-keng, tanpasengaja mereka telah terganggu oleh datangnya In Ci-peng dan Tio Ci-keng sehingga akibatnya hampir saja menewaskan Siao-Iiong-li.
Cepat Yo Ko mengaduk setengah mangkuk madu untuk Kwe Yang kecil, lalu membawanya ke suatu kamar yang agak jauh, pintu kamar itu ditutup pula sehingga jerit tangisnya takkan terdengar, Habis itu barulah ia kembali ke tempat semula dan berkata: “Seluruhnya Hiat-to penting di tubuhmu kukira dalam waktu tujuh hari sampai setengah bulan dapatlah diterobos seluruhnya, selama itu tentu sukar menghindari gangguan dari luar, tapi tempat ini sama sekali terpisah dengan dunia luar, sungguh suatu tempat yang sangat bagus.”
“Lukaku ini dipukul kawanan Tosu Coan-cin kau, tapi cakal bakal mereka yang membangun kuburan ini serta  menyediakan dipan kemala dingin ini bagiku sehingga kesehatanmu dapat dipulihkan, rasanya dosa dan jasa mereka dapatlah dianggap sama.”
“Dan bagaimana dengan Kim-lun Hoat-ong? Kita takkan ampuni dia,” kata Yo Ko.
“Asalkan aku tetap hidup, apalagi yang tak memuaskan kau?”
“Ya, benar juga ucapanmu,” kata Yo Ko sambil memegang tangan si nona yang putih halus itu, “Setelah kau sembuh, selanjutnya kita takkan berkelahi lagi dengan siapapun.”
“Kita akan pergi keselatan dan bercocok tanam di sana memiara ayam dan itik serta…” dia termenung sejenak, tiba-tiba terasa suatu bawa panas tersalur tiba melalui telapak tangannya, hatinya terkesiap cepat ia melancarkan jalan darah dan mulai berlatih sesuai ajaran Yo Ko.
Penyembuhan dengan cara membalikkan jalan darah dibantu dengan khasiat dipan kemala dingin itu ternyata sangat besar manfaatnya, Sudah tentu cara penyembuhan ini tidak dapat segera berhasil melainkan memerlukan ketekunan dan kesabaran
***
Kembali bercerita tentang Oey Yong, sesudah membuat Li Bok-chiu tak bisa berkutik, namun dilihatnya Kwe Yang cilik sudah tidak berada di tempatnya lagi, tentu saja dia kelabakan, ia coba membentak pada Li Bok-chiu dan bertanya:
“Kau main tipu muslihat keji apa, ke mana kau sembunyikan anakku?”
“Bukankah nona cilik itu terkurung baik-baik di tengah pagar rotan yang kau buat itu?” jawab Li Bok-chiu heran.
“Mana ada? Sudah lenyap!” kata Oey Yong, hampir saja ia:
menangis saking cemasnya.
Karena sudah sekian lama momong Kwe Yang, maka Li Bok-chiu juga sangat menyukai orok itu, iapun terkejut demi mendengar anak itu lenyap tercetus ucapannya: “Kalau bukan Yo Ko tentu-Kim lun Hoat-ong.”
“Apa maksudmu?” tanya Oey Yong.
Li Bok-chiu lantas menceritakan kejadian perebutan Kwe Yang antara dia, Yo Ko dan Kim-lun Hoat-ong tempo hari, dari cara Li Bok-chiu menguraikan itu jelas kelihatan dia sangat menguatirkan anak itu.
Kini Oey Yong percaya penuh hilangnya Kwe Yang itu memang di luar tahu Li Bok-chiu, segera ia membuat Hiat-to yang ditutuknya tadi, cuma pelahan ia ketuk Soan ki-hiat di dada orang, dengan demikian Li Bok-chiu dapat bergerak seperti biasa, tapi dalam waktu 12 jam dia belum kuat mencelakai orang lain.
Li Bok-chiu berbangkit dengan tersenyum getir dan membersihkan debu dibajunya, ialu berkata:
“Kalau jatuh di tangan Yo Ko rasanya tidak beralangan, kuatirnya kalau digondol lari si bangsat gundul Kim-lun Hoat-ong.”
“Apa sebabnya?” tanya Oey Yong, “Yo Ko sangat baik kepada anak itu, kuyakin dia takkan membikin celaka padanya, sebab itulah tadinya kukira orok itu adalah anaknya.”
Mendadak Li Bok-chiu berhenti, kuatir Oey Yong tersinggung dan marah lagi.
Tapi dalam hati Oey Yong justeru sedang memikir soal lain, ia sedang membayangkan betapa susah payahnya Yo Ko berusaha menempur Li Bok-chiu dan Kim-lun Hoat-ong demi menyelamatkan Kwe cilik, tapi dirinya dan Kwe Hu justeru salah sangka jelek padanya sehingga mengakibatkan sebelah lengan anak muda itu ditabas kutung oleh Kwe Hu.
Teringat itu, hati Oey Yong merasa sangat menyesal, pikirnya: “Ko-ji pernah menyelamatkan jiwa kakak Cing, menyelamatkan aku dan kedua Bu. sekarang dia menyelamatkan anak Yang, tapi… tapi lantaran pikiranku sudah menarik kesimpulan keburukan ayahnya dan menganggap “kacang tidak meninggalkan Ianjarannya”,
serigala tentu beranak serigala, maka selama ini aku tidak pernah percaya padanya, meski terkadang agak baik padanya, selang tak lama aku lantas memakinya lagi.
Ai percumalah diriku maha pintar dan cerdik, kalau bicara tentang kejujuran dan ketulusan terhadap orang lain mana aku dapat dibandingkan dengan kakak Cing.”

Melihat nyonya Kwe itu termangu dan mengembeng air mata, Li Bok-chiu menyangka orang sedang menguatirkan keselamatan anaknya, maka ia berusaha menghiburnya:
“Kwe-hujin, puterimu belum sebulan terlahir dan sudah mengalami bencana begini, namun tetap selamat tak kurang sesuatupun apa. Bayi mungil menyenangkan seperti dia itu, biarpun momok yang ditakuti orang macamku ini juga jatuh hati padanya, maka dapat dipahami kalau bayi itu mempunyai rejeki besar, Hendaknya kaupun berdoa saja bagi keselamatannya, marilah pergi mencari nya”
Oey Yong mengusap air mata, ia pikir ucapan Li Bok-chiu itu ada benarnya juga, maka ia lantas membuka lagi Hiat-to orang yang ditutuknya tadi dan berkata: “Terima kasih banyak bahwa kau suka pergi bersamaku untuk mencari puteriku itu.
Tapi kalau engkau ada urusan lain, biarlah kita berpisah saja aisini, sampai berjumpa pula kelak,”
“Urusan penting lain apa? Kalau ada urusan penting, kiranya tidak lebih penting daripada mencari anak itu. Eh, tunggu sebentar!” habis ini Li Bok-chiu terus menyusup lagi ke dalam gua di balik pepohonan sana untuk membuka tali pengikat kaki macan tutul.
Begitu merasa bebas, dengan meraung sekali macan tutul itu terus melompat pergi dengan cepat. Tentu saja Oey Yong heran. “Untuk apa kau menawan macan tutul itu?” tanyanya.
“Dia itulah mak inang puterimu,” tutur Li Bok-chiu dengan tertawan.
Baru sekarang Oey Yong paham, ia tersenyum, keduanya lantas kembali ke kota kecil itu untuk mencari jejak Yo Ko.
Setiba di sana, tertampak Kwe Hu sedang celingukan dan bingung. Nona itu menjadi girang melihat datangnya sang ibu, segera ia berseru: “lbu, adik dibawa…” belum habis ucapannya, ia kaget karena melihat yang mengikut di belakang sang ibu ternyata Li Bok-chiu adanya.
“Bibi Li akan bantu kita mencari adikmu,” tutur Oey Yong kemudian, “Bagaimana dengan adikmu?”
“Adik dibawa lari Yo Ko, malahan kuda merah kita juga dirampasnya.” jawab Kwe Hu.
“Lihatlah pedangku ini. Dengan kebasan lengan bajunya yang tak berlengan itu, segera pedangku jadi begini.”
“Hanya dengan lengan baju?” tanya Oey Yong dan Li Bok-chiu berbareng.
“Ya, sekali kebas saja pedang ini lantas bengkok, sungguh aneh, entah ilmu hitam apa yang berhasil dikuasainya pula,”
kata Kwe Hu.
Oey Yong dan Li Bok-chiu saling pandang sekejap dengan terkesiap.” Mereka tahu kalau, tenaga dalam seorang sudah terlatih sempurna, maka dengan sesuatu benda yang lunak pun dapat digunakan untuk menghantam benda lawan yang keras, untuk mencapai tingkatan itu sedikitnya juga perlu waktu beberapa puluh tahun kalau mendapatkan guru yang mahir, namun usia Yo Ko masih muda belia, masakah Lwekangnya sudah mencapai puncaknya seperti ini?”
Hati Oey Yong merasa lega juga ketika mengetahui Kwe Yang memang digondol oleh Yo Ko. sedangkan Li Bok-chiu berpikir tentang kehebatan Kang hu anak muda itu tentulah berkat ilmu yang diperolehnya dari Giok-li-sim-keng, kalau saja sekarang dirinya membantu Kwe-hujin merebut kembali puterinya, sebagai imbalannya tentu nyonya Kwe itupun mau membantunya rebut kembali kitab pusaka itu.
Bcgitutah setelah tanya arah perginya Yo Ko, kemudian
Oey Yong berkata pula kepada Kwe Hu: “Kaupun tidak perlu lagi pulang ke Tho-hoa-to marilah ikut pergi mencari Nyo-toako.”
Tentu saja Kwe Hu kegirangan dan mengiakan berulang2.
Tiba-tiba Oey Yong menarik muka dan berkata pula: “Kau harus bertemu dengan dia, tak peduIi dia mau-mengampuni kau  atau tidak, kaulah yang harus minta maaf padanya dengan setulus hati.”
“Tapi Kwe Hu tidak dapat menerima, katanya: “Mengapa begitu? Bukankah dia telah mencuik adik?”
Oey Yong lantas menceritakan secara ringkas apa yang didengarnya dari Li Bok-chiu, dan menambahkan “Kalau dia bermaksud jahat, mana bisa adikmu hidup sampai sekarang?
Lagi pula, dengan kebutan lengan bajunya itu, kalau saja yang diincar adalah kepalamu, coba bayangkan, bagaimana keadaanmu sekarang?”
Ngeri juga hati Kwe Hu mendengar ucapan sang ibu, ia pikir betul juga omongan ibunya, “tapi apakah benar Yo Ko sengaja bermurah hati padanya? Dasar anak manja, betapapun mulutnya tidak mau kalah, katanya pula: “Dia menggondol adik ke arah utara, tentu dia menuju ke Coat-ceng-kok.”
“Tidak, dia pasti pulang ke Cong-lam-san.” ujar Oey Yong.
Kwe Hu masih penasaran, jawabnya: “lbu selalu membantu dia saja, Padahal kalau dia bertujuan baik, untuk apa dia membawa adik ke Cong-Iam-san “
Oey Yong menghela napas katanya: “Kau dibesarkan bersama Nyotoako, ternyata kau masih belum kenal wataknya, selamanya dia bertinggi hati dan angkuh, tidak tahan dihina orang, Ketika mendadak kau mengutungkan lengannya, dia merasa tidak sampai hati hendak balas membuntungi lenganmu tapi iapun tidak rela kalau menyudahi begitu saja urusan ini, dia sengaja membawa pergi adikmu agar kita dibuatnya kelabakan dan bersedih.
Selang sementara waktu, kalau dongkolnya sudah mereda, kuyakin dia pasti akan mengembalikan adikmu itu, Nah, paham tidak sekarang?” Tegasnya.
“Karena kau memfitnah dia menculik adikmu, maka ia betul-betul lantas sengaja menculiknya.”
Oey Yong memang sangat cerdas dan pintar, setelah mendengarcerita Li Bok-chiu, jalan pikiran Yo Ko ternyata dapat diraba dan diukurnya dengan tepat padahal Siao-liong-li dan Kwe Ceng menganggap Yo Ko teramat baik, sebaliknya Li Bok-chiu dan Kwe Hu justeru menganggap anak muda itu terlampau busuk. Sampai saat ini, satu-satu-nya yang betul-betul memahami jalan pikiran dan watak Yo Ko ternyata hanya Oey Yong saja.
Begitulah akhirnya Kwe Hu tak berani bicara Iagi. Mereka lantas mendatangi warung makan semula untuk meminjam alat tulis, Oey Yong menulis suatu surat singkat dan memberi persen kepada pelayan agar segera mengirimkan surat itu kepada Kwe Ceng di Siangyang. Habis itu mereka bertiga lantas membeli kuda dan berangkatlah ke Cong-lam-san.
Kwe Hu tidak menyukai Li Bok-chiu, sepanjang jalan sikapnya dingin dan jarang bicara dengan dia.
Hari itu lewat lohor, tengah mereka melanjutkan perjalanan, tiba-tiba dari depan seorang penunggang kuda mendatangi secepat terbang
“Hei, itulah kuda merah kita….” seru Kwe Hu, belum habis ucapannya, penunggang kuda itu mendekat dan segera Kwe Hu melompat maju.
Kuda itu memang betul kuda Kwe Hu yang dirampas Nyo Ko itu, sebelum Kwe Hu meraih tali kendali, kuda merah itu sudah lantas-berhenti mendadak sambil berjingkrak dan meringkik kegirangan karena mengenali sang majikan.
Waktu Kwe Hu mengamati penunggangnya, kiranya seorang nona berbaju hitam yang pernah berjumpa satu kali dahulu waktu bersama mengeroyok Li Bok-chiu yaitu Wanyan Peng.
Rambut nona itu tampak kusut masai, wajahnya pucat, keadaannya mengenaskan.
“He, kenapa kau, Wanyan-taci?” tanya Kwe Hu cepat.
“Di sana, lekas…” jawab Wanyan Peng dengan suara terputus-putus sambil menuding ke belakang, mendadak tubuhnya tergeliat terus terperosot jatuh ke bawah kuda.
Cepat Kwe Hu melompat turun untuk membangunkan nona itu, ternyata Wanyan Peng sudah pingsan, pundaknya terluka dan merembes darah segar. Segera Kwe Hu membubuhi obat luka dan merobek kain baju untuk membalut lukanya sambil berkata kepada sang ibu: “iniiah Wayan-cici yang pernah kukatakan itu.” Habis berkata ia melotot sekali pada Li Bok-chiu.
Oey Yong pikir sebelum jatuh pingsan Wayan Peng sempat menuding ke sana, tentu di sana terjadi sesuatu dan mungkin ada kawannya yang masih perlu ditolong. Cepat ia suruh Kwe Hu memonong Wayan Peng ke atas kuda merah dan memberi pesan agar mengikutinya dari belakang. Habis ini ia memberi  tanda kepada Li Bok-chiu dan mengajaknya berlari ke arah utara dengan Ginkang mereka yang tinggi.
Sekaligus mereka berlari belasan li tanpa berhenti benar juga sayup-sayup terdengar suara beradunya senjata di lereng bukit sana. Mereka mempercepat langkah, setelah melintasi bukit itu, terlihatlah ada lima orang sedang bertempur sengit di suatu tanah datar di depan sana.
Dua di antara lima orang itu, adalah kedua saudara Bu, selain itu ada lagi seorang pemuda dan seorang pemudi yang tak dikenal, berempat sedang mengerubuti seorang lelaki setengah umur.
Meski empat mengeroyok satu, tapi tampaknya masih kewalahan, lebih banyak terserang daripada menyerang.
Tampaknya kedua, saudara Bu sudah terluka, hanya pemuda itu dengan pedangnya yang berputar dengan cepat hampir menangkis sebagian besar serangan lelaki setengah umur itu, di samping sana tampak menggeletak pula seorang berewok dan berlumuran darah, ternyata Bu Sam-thong adanya.
Yang aneh adalah senjata lelaki itu, tangan satu
menggunakan golok emas, tangan lain memainkan pedang panjang lentik warna hitam, gerak serangannya aneh, tapi luar biasa.
Oey Yong pikir kalau tidak lekas turun tangan, tentu kedua saudara Bu itu bisa celaka, Segera ia berkata kepada Li Bok-chiu: “Kedua anak muda itu adalah muridku.”
Li Bok-chiu hanya tersenyum saja, sudah tentu ia kenal kedua Bu cilik itu sebab ibu mereka terbunuh olehnya, ia lihat  ilmu silat lelaki setengah umur itu sangat tinggi, diam-diam ia terkejut, segera ia siapkan kebutnya dan berkata: “Marilah kita  maju bersama!”
Oey Yong juga keluarkan pentungnya, dua orang terus menerjang maju dari kanan-kiri, kebut Li Bok-chiu melayani pedang hitam lawan dan Oey Yong menghadapi golok emas musuh.
Leaki itu bukan lain daripada Kongsun Ci, ia terkejut juga ketika mendadak dua wanita setengah baya dan cantik mengerubutnya sekaligus. Terdengar Li Bok-chiu berseru:
“Satu!”
Ketika kebutnya menyabet lagi segera ia berseru pula:
“Dua!”
Rupanya diam-diam ia ingin berlomba dengan Oey Yong untuk mendahului menjatuhkan senjata lawan, Tapi meski dia sudah berteriak sampai hitungan ke sepuluh, ternyata Kongsun Ci masih tetap dapat menahan dan balas menyerang juga.
Anak muda yang berpedang tadi melihat ada kesempatan, ber-turut-urut ia terus menyerang tiga kali ke punggung Kongsun Ci, serangan-serangan lihay ini membuat Kongsun Ci rada kerepotan karena dia tidak mau menangkisnya, terpaksa ia melompat maju untuk melepaskan diri dari kerubutan itu.
la tahu kalau pertempuran dilanjutkan tentu dirinya akan celaka. mendadak kedua senjata sendiri ia adu hingga menguarkan suara mendenging dan bergaya hendak menerjang lagi.
Oey Yong dan Li Bok-chiu juga menyadari kelihayan lawan, mereka tidak berani gegabah dan siap bertahan. Tak terduga baru saja tubuh Kongsun Ci terangkat ke atas, ternyata tidak melompat maju melainkan menyurut mundur malah, hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah lari sampai diatas bukit.
Diam-diam Oey Yong dan Li Bok-chiu mengakui kclicinan orang itu dan tinggi pula ilmu silatnya, kalau saja kepergok satu lawan satu mungkin diri sendiri bukan tandingannya.
Dalam pada itu kedua saudara Bu lantas memberi hormat kepada sang ibu guru, sesudah itu mereka terus melotot kepada Li Bok-chiu dengan sikap memusuhi.
“Dendam Iama sementara ini kesampingkan dahulu,” kata Oey Yong.. “Luka ayahmu parah tidak? Eh, siapakah kedua anak muda ini? Wah, celaka, Lekas ikut aku ke sana, Li-cici!” – Habis berseru ia terus mendahului lari ke arah kedatangannya tadi.
Li Bok-chiu tidak paham maksud seruan Oey Yong itu, namun ia tetap ikut lari kesana sambil berteriak: “Ada apa?”
“Anak Hu,” jawab Oey Yong sambi lari, “Anak Hu kebetulan akan kepergok orang tadi.”
Begitulah mereka terus berlari sekencangnya, namun Kongsun Ci juga tidak kurang cepatnya, sementara itu ia sudah meninggalkan satu - dua li jauhnya. Baru saja Oey Yong berdua sampai di atas bukit, Kongsun Ci sendiri sudah berada di kaki bukit, tertampak Kwe Hu yang membawa Wanyan Peng dengan menunggang kuda merah itu sedang menanjak ke atas dengan pelahan.
“Awas, Hu-ji!” seru Oey Yong dari jauh, Belum lenyap suaranya mendadak kelihatan Kongsun Ci mencemplak ke atas  kuda merah, sekaligus Kwe Hu telah di bekuk olehnya, menyusul tali kendali kuda merah itu ditarik hendak dibelokkan ke sana.
“Oey Yong yang menjadi kuatir, harapannya kini hanya terletak pada kuda merah itu, cepat ia bersuit untuk mengundang kuda itu. Dasar kuda merah itu memang binatang cerdik, begitu mendengar suara panggilan sang majikan, terus saja kabur ke atas bukit secepat terbang.
Keruan Kongsun Ci terkejut, pikirnya: “Sungguh sial, masakah seekor kuda saja takdapat ku-kuasai?” Sekuatnya ia berusaha menarik tali kendali, tapi karena sentakan mendadak itu, kuda merah lantas berjingkrak dan meringkik.
Sebisanya Kongsun Ci berusaha memutar kuda itu ke arah lain,namun kuda merah itu lantas mendepak2 sambil mundur-mundur ke atas bukit malah.
Tentu saja Oey Yong bergirang, cepat ia memburu maju.
Merasa tidak sanggup mengatasi kebandelan kuda merah itu, sedangkan kedua lawan tangguh sudah memburu tiba, terpaksa Kongsun Ci menyimpan senjatanya, tangan yang satu ia kempit Kwe-Hu dan tangan lain mengempit Wanyan Peng, ia terus melompat turun dari kuda dan kabur dengan cepat.
Kongsun Ci sungguh lihay, biarpun membawa dua nona larinya tetap secepat terbang. Tapi Gin-kang Oey Yong dan Li Bok-chiu juga kelas wahid, tidak seberapa lama dapatlah mereka menyusul tiba. jaraknya tinggal belasan meter saja.
Sekonyong-konyong Kongsun Ci berhenti dan membalik tubuh sambil berkata: “Heh, kalau kupiting sekuatnya, kukira kedua anak perempuan cantik ini akan menghadapi Giam-lo-ong (raja akhirat).”
Oey Yong terkesiap, tanyanya kemudian: “Siapakah kau?
selamanya kita tidak kenal, mengapa kau menawan puteriku?”.
“O, inikah puterimu? jadi kau ini nyonya Wan-yan?” tanya Kongsun Ci dengan tertawa.
“Yang inilah puteriku,” kata Oey Yong sambil menunjuk Kwe Hu.
Kongsun Ci memandang sekejap pada KweHu, lalu memandang Oey Yong pula, dengan cengar-cengir lalu berkata:
“Wah, sangat cantik, ibu dan anak sama-sama cantiknya, sungguh cantik!”
Tentu saja Oey Yong sangat gusar, tapi apa daya, puterinya berada dalam cengkeraman musuh, terpaksa harus bersabar dan mencari akal.
Selagi hendak bicara pula, mendadak terdengar suara mendesir dari belakang, dua anak panah menyamber lewat di pipi kirinya dan langsung mengarah muka Kongsun Ci.
Kekuatan kedua anak panah itu sungguh luar biasa, suara mendesingnya sangat keras, dari suara mendesing panah itu hampir saja Oey Yong berteriak kegirangan, sebab disangkanya sang suami (Kwe-Cing) sudah tiba.
Maklumlah kemahiran memanah jarang dimiliki tokoh persilatan daerah Tionggoan, sedangkan jago panah Mongol  banyak yang tidak memiliki tenaga dalam yang kuat dan sukar mencapai jauh, maka dari suara mendesingnya panah yang keras tadi, Oey Yong merasa tiada orang lain lagi kecuali Kwe Cing yang mampu memanah sehebat itu.
Kongsun Ci itu juga maha lihay, kedua tangannya tak dapat digunakan menangkap anak panah yang menyambar tiba itu, mendadak ia membuka mulut dan menggigit tepat ujung panah pertama menyusul kepalanya sedikit menggeleng sehingga panah kedua dapat disampuk jatuh dengan panah yang digigitnya itu.
Oey Yong menjadi ragu, apakah sang suami yang memanah, sebab ia yakin jika Kwe Ceng yang-memanah dan musuh berani menggigit dengan mulutnya, mustahil tenggorokannya takkan tembus oleh anak panah itu.
Dalam pada itu terdengar pula suara mendesing ber turut-urut, sekaligus sembilan panah menyamber pula ke muka Kongsun Ci secara susul menyusul. Mau-tak-mau Kongsun Ci menjadi kelabakan terpaksa ia lepaskan kedua nona dan meloIos senjata untuk menangkis.
Selagi Oey Yong hendak menubruk maju untuk menyelamatkan puterinya, tahu-tahu sesosok bayangan telah menggelinding ke depan, Kwe Hu dirangkulnya terus berguling lagi ke samping, Tapi sebelum orang itu melompat bangun, tangan Kongsun Ci yang lain terus menghantam kepala orang itu.

Dalam keadaan masih telentang orang yang menolong Kwe Hu itu sempat menangkis dengan tangannya, “blang”, debu pasir berhamburan Kong-sun Ci berseru: “Bagus!”
Menyusul pukulan ke dua dilontarkan pula dengan lebih dahsyat.
Tampaknya orang itu sukar menangkis lagi, cepat Oey Yong mengulur pentung bambunya dan menangkiskan pukulan itu.
Merasa dirinya pasti takkan mampu menghadapi kerubutan orang banyak itu, Kongsun Ci tidak menyerang pula, ia terbahak dan melompat mundur terus melangkah pergi.
Gayanya indah, caranya tangkas pula dan ternyata tiada yang berani mengejarnya Iagi.
Setelah berbangkit, orang yang merangkul Kwe Hu tadi lantas melepaskan si nona, pinggang orang itu membawa busur, perawakannya tinggi dan bahunya lebar, segera Ui Yong mengenalinya scbapai pemuda yang berpedang tadi, ke-11 anak panah yang dibidikkan secara berantai itu tentu pula dilakukan oleh anak muda ini.
Meski tertawan Kongsun Ci, tapi Kwe Hu tidak mengalami luka, segera ia menyapa pemuda yang menolongnya itu dengan muka merah jengah: “Eh, kiranya Yalu-toako, terima kasih atas pertolonganmu! “
Dalam pada itu Bu Siu-bun dan nona satunya lagi sudah memburu tiba, hanya Bu Tun-si saja yang tinggal di sana menjaga ayahnya.Pantasnya Bu Siu-bun mesti memperkenalkan mereka, tapi dia ternyata tidak dapat menahan marah dan dendamnya, kedua matanya melotot benci kepada Li Bok-chiu dan lupa keadaan sekitarnya, dua kali Oey Yong memanggilnya juga tidak mendengar Kwe Hu lantas bicara pada sang ibu sambil menunjuk pemuda yang menolongnya itu: “Mak inilah Yalu-toako!” Lalu ia tuding pula nona yang datang bersama Bu Siu-bun dan menambahkan: “Dan ini Yalu-cici.”
“Oh, hebat benar kepandaian kalian berdua!” puji Oey Yong.
Kedua saudara Yalu itu mengucapkan kata-kata rendah hati sambil memberi hormat sedangkan Li Bok chiu berdiri menjauhi di sana tanpa urus orang-orang lain.
“Gaya ilmu silat kalian nampaknya dari Coan-cin-pay, entah kalian ini murid Coan-cin-jit-cu yang mana?” tanya Ui Yong pula, ia menyaksikan kepandaian Yalu Ce yang hebat, antara angkatan muda yang pernah dilihatnya, kecuali Yo Ko saja boIeh dikatakan tiada bandingannya lagi maka ia yakin Yalu Ce pasti bukan anak murid -Coan-cin-pay angkatan ketiga atau keempat.
Dengan rendah hati Yalu Yan berkata: “Kepandaianku sih ajaran kakak”
Oey Yong mengangguk dan memandang Yalu Ce.
Tampaknya Yalu Ce- merasa sungkan untuk menerangkan, jawabnya kemudian: “Pantasnya Wanpwe harus menjelaskan pertanyaan Cianpwe, cuma Suhu pernah memberi pesan agar jangan sekali-kali menyebut nama beliau, sebab itulah mohon Kwe-hujin sudi memaafkan.”
Semula Oey Yong terkesiap, ia heran mulai kapan Coan cin jit-cu memakai peraturan aneh yang melarang anak murid menyebut nama gurunya? Tapi cepat tergerak pikirannya, mendadak ia tertawa terpingkal-pingkal seperti teringat kepada sesuatu yang sangat lucu.
“He. apakah yang menggelikan engkau, bu” tanya Kwe Hu heran.
Akan tetapi Oey Yong tidak menjawab dan tetap tertawa Yalu Ce ternyata tidak tersinggung, malahan iapun tersenyum dan akhirnya berkata: “Kiranya Kwe-hujin, dapat menerkanya.”
Kwe Hu tetap bingung, waktu ia pandang Yalu Yan, nona itupun merasa tidak paham apa yang ditertawakan kedua orang itu.
Di samping sana Bu Siu-bun telah membalut luka Wanyan Peng yang menjadi pecah lagi karena ditawan dan dibanting pula oleh Kongsun Ci tadi.
“Bagaimana keadaan ayahmu Siu-bun?” tanya Oey Yong.
Belum Siu-bun menjawab, tiba-tiba Yalu Yan berseru terus berlari ke tempat-Bu Sam-thong menggeletak.
“Luka ayah terletak di paha kiri, terkena serangan tua bangka Kongsun itu,” tutur Siu-bun.
Oey Yong mengangguk lalu ia mendekati kuda merah dan mengelus bulu surinya yang panjang itu, katanya dengan terharu: “Oh, kudaku sayang, sungguh besar jasamu terhadap keluarga Kwe kami.”
Ternyata Bu Siu-bun tidak lagi bersikap akrab terhadap Kwe Hu, sebaliknya tampak sangat simpatik kepada Wanyan Peng, entah sengaja hendak membikin sirik Kwe Hu atau memang pemuda itu jatuh hati kepada Wanyan Peng, betapapun Oey Yong juga tidak sempat urus persoalan anak-anak muda itu, segera ia berlari ke tempat Bu Sam-thong untuk memeriksa keadaannya.
Melihat Oey Yong, Bu Sam-thong bermaksud berdiri, tapi karena kakinya terluka, tubuhnya menjadi sempoyongan, cepat Bu Tun-si dan Yalu Yan memegangi orang tua, ketika jadi kedua muda-mudi itu saling sentuh, keduanya saling pandang dan tersenyum penuh arti.
Diam-diam Oey Yong geli, pikirnya: “Rupanya ada satu pasangan lagi, padahal beberapa hari yang lalu kedua saudara Bu cilik itu baru berkelahi mati-matian berebut anak Hu tanpa menghiraukan hubungan baik saudara sekandung, sekarang setelah menemukan nona cantik lain, seketika segala kejadian yang lalu terlupa sama sekali”
Bahwasanya kedua saudara Bu jatuh hati kepada Kwe Hu sebenarnya bukanlah sesuatu yang aneh, soalnya mereka dibesarkan bersama di Tho-hoa-to, di pulau terpencil itu tiada anak perempuan lain, lama2 tentu saja menimbulkan bibit cinta antara mereka.
Tapi kemudian setelah mengetahui Kwe Hu ternyata tidak mencintai mereka, dengan sendirinya kedua Bu cilik itu sangat kecewa dan putus asa, hidup mereka terasa himpa dan tiada artinya, Tak terduga tidak iama kemudian mereka lantas ketemukan Yalu Yan dan Wanyan Peng, masing-masing ternyata rada cocok dengan kedua saudara Bu itu.
Kini mereka saling bertemu lagi, diam-diam kedua Bu cilik membandingkan Kwe Hu dengan buah hati mereka yang baru, Dan pameo “cinta buta” juga berlaku di sini, dalam anggapan mereka tentu segala sesuatu kekasihnya jauh lebih baik.
Sebenarnya kedua saudara Bu sudah bersumpah takkan menemui Kwe Hu lagi, tapi pertemuan ini terjadi mendadak dan kepergok, jadi bukan sengaja hendak bertemu, mereka anggap bukan melanggar sumpah.
Dalam hati Kwe Hu sendiri sedang membayangkan kejadian Yalu Ce menolongnya tadi, beberapa kali ia melirik anak muda yang gagah dan cakap itu, ia menjadi heran ilmu  silatnya ternyata begini hebat, dan anak muda itupun saling pandang dan tertawa geli, entah apa pula yang ditertawakan mereka.
Begitulah setelah memeriksa luka Bu Sam-thong dan ternyata tidak parah, Oey Yong merasa lega, mereka lantas ambil tempat duduk di batu karang dan saling menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah.
Kiranya tempo hari ketika Cu Cu-Iiu ikut paman gurunya, yaitu si paderi Hindu itu mencari obat ke Coat-ceng-kok, secara diam-diam Bu Sam-thong juga mengikut ke sana demi untuk membalas budi kebaikan Yo Ko.
Tapi baru saja sampai di luar kota, dilihatnya kedua puteranya juga keluar kota bersama, ia terkejut dan kuatir kalau kedua saudara sekandung itu akan duel pula, cepat ia menegur dan menanyai kedua puteranya itu, akhirnya baru diketahui bahwa kedua Bu cilik telah bersumpah takkan bertemu lagi dengan Kwe Hu, maka mereka tidak ingin tinggal lagi di Siangyang. Karena itulah mereka bertiga lantas menuju ke Coat-ceng-kok.
Tapi Coat-ceng-kok itu mirip suatu dunia lain, meski Nyo Ko telah memberitahukan keadaan tempat itu secara garis besar, tapi sungguh sukar menemukan jalan masuknya, Mereka ber-putar-putar kian kemari dan beberapa kali kesasar, akhirnya dapat juga menemukan mulut lembah itu.
Tak terduga paderi Hindu dan Cu Cu-liu berdua ternyata sudah tertawan oleh Kiu Jian-jio. Bcberapa kali Bu Sam-thong bertiga berusaha menolong mereka, tapi selalu gagal dan terpaksa keluar dari lembah itu dengan maksud pulang Siangyang untuk mencari bala bantuan, tak tahunya di tengah jalan mereka kepergok pula dengan Kongsun Ci, mereka  dituduh sengaja berkeliaran di lembah itu sehingga terjadilah pertarungan sengit.
Bu Sam-thong bukan tandingan Kongsun Ci dan kakinya tertusuk pedang, sebenarnya Kongsun Ci juga tidak bermaksud mencelakai jiwa mereka, dia ingin mengusir mereka saja dan melarang mereka datang lagi ke situ.
Justeru pada saat itu juga Yalu Ce dan Yalu Yan serta Wanyan Peng juga lewat di situ, Ketiga muda-mudi itu pernah bertemu satu kali dengan kedua Bu cilik, mereka lantas berhenti dan sapa menyapa.
Kongsun Ci baru saja gagal menikahi Siao-liong-li dan habis di usir sang isteri, dia sedang kesepian dan mendongkol tiba-tiba dilihatnya Wanyan Peng berwajah cantik, seketika timbul napsu jahatnya, mendadak ia turun tangan dan hendak menawan Wanyan Peng. Tentu saja kedua saudara Yalu dan kedua Bu cilik tidak tinggal diam, serentak mengerubut Kongsun Ci.
Kalau saja Bu Sam-thong tidak terluka lebih dulu, dengan gabungan mereka berenam mestinya dapat menandingi Kongsun Ci, kini yang dapat diandalkan hanya Yalu Ce saja, biarpun mereka main keroyok juga sukar menandingi musuh yang lihay itu.
Untunglah pada saat itu kuda merah yang-tempo hari dibawa Yo Ko dan dilepas di Cong-Iam-san itu kini telah lari pulang, Cepat Siu-bun mencegat kuda itu dan membiarkan Wanyan Peng kabur dengan menunggang kuda merah, tapi Wanyan Pcng telah bertemu dengan Oey Yong dan Li Bok-chiu dan akhirnya Kongsun Ci dihalau pergi.
Kemudian Oey Yong juga menceritakan secara ringkas tentang buntungnya lengan Yo Ko serta membawa lari Kwe Yang, Bu Sam-thong terkejut, cepat ia menjelaskan sebabnya Yo Ko mengaku telah bertunangan dengan Kwe Hu adalah ingin menolong kedua Bu cilik agar tidak saling membunuh antara saudara sendiri, siapa duga akibatnya malah membikin susah Yo Ko.
Dasar watak Bu Sam-thong memang keras dan pemberang, mengingat buntungnya Yo Ko itu adalah gara-gara kedua anaknya itu, makin dipikir makin marah, mendadak ia terus menuding Siu-bun dan Tun-si terus dicaci maki, kalau kakinya tidak terluka, bisa jadi ia terus mendekati kedua Bu cilik dan menggamparnya.
Saat itu Tun-si dan Siu-bun sedang asyik-bicara dengan Yalu Yan dan Wanyan Peng, tidak lama Kwe Hu dan Yalu Ce ikut bicara, usia keenam orang sebaya, tapi bahu membahu bertempur pula maka obrolan mereka menjadi bersemangat.
Siapa tahu mendadak Bu Sam-thong terus mencaci-maki, keruan Siu-bun dan Tun-si menjadi bingung, mereka tidak tahu apa sebabnya sang ayah mendadak marah, mereka sama melirik Yalu Yan dan Wanyan Peng, betapapun mereka merasa malu mendapatkan damperatan begitu di depan si nona jelita.
Apalagi kalau sampai sang ayah membongkar rahasia hubungan mereka dengan Kwe Hu, tentu akan membikin mereka tambah runyam.
Melihat keadaan serba kikuk, cepat Oey Yong menyela, katanya: “Sudahlah, hendaklah Bu-heng jangan gusar lagi, buntungnya tangan Yo Ko adalah karena kekurangajaran puteriku, tatkala mana kakak Cing juga sangat murka dan hampir saja tangan anak Hu juga dikutunginya.”
“Bagus, seharusnya begitu!” seru Bu Sam-thong.
Kwe Hu mendelik sekejap kepada orang tua yang sok tahu itu, kalau saja ibunya tidak di situ, mungkin dia sudah balas olok-olok Bu Sam-thong.
Oey Yong lantas berkata pula: “Bu-heng, sekarang urusannya sudah jelas, jadi kita telah salah menuduh si Nyo Ko. Paling penting sekarang kita harus menemukan Yo Ko dan minta maaf padanya.”
“Benar benar!” berulang-ulang Sam-thong menyatakan setuju.
“Selain itu kita harus pergi ke Coat-ceng-kok untuk menolong susiokmu dan Cu-toako. berbareng itu, kita akan memintakan obat penawar bagi Yo Ko. Cuma tidak diketahui mengapa Cu-toako sampai terkurung musuh dan bagaimana keadaannya sekarang?”.
“Susiok dan Sute tertawan oleh barisan jaring musuh dan sekarang terkurung di suatu kamar batu, tampaknya jiwa mereka tidak begitu menguatirkan,”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar