Kembalinya Pendekar Rajawali 94
Kini kedua orang sudah terikat menjadi
suami-isteri, cita2 yang terkandung selama ini sudah terkabul merekapun sudah pulang
di kediaman lama, selanjutnya tidak akan tersangkut pula dengan macam-macam
suka-duka dan permusuhan di dunia fana, namun dalam hati kedua orang sama-sama merasa
berduka dan sedih tak terkatakan.
Keduanya sama tahu bahwa luka Siao-liong-li
teramat parah, sudah terkena hantaman roda Kim-lun Hoat ong, terkena pula
pukulan gabungan Coan-cin-ngo-cu yang hebat itu, dengan tubuhnya yang lemah
gemulai itu jelas tidak tahan.
Walaupun sebelumnya kedua orang sudah
berulang2 memikirkan asalkan cita2 mereka terkabul dan dapat berkumpul kembali,
sekalipun harus mati seketika juga rela.
Tapi setelah keduanya benar-benar sudah
menikah dan berkumpul menjadi satu, rasanya menjadi berat sekali untuk berpisah
dan mati.
Mereka sama-sama masih muda dengan kisah
hidup yang menderita, selama ini belum pernah merasakan bahagianya orang hidup,
kini mendadak mencapai cita2 paling utama orang hidup, tapi dengan segera
mereka akan berpisah puIa.
Yo Ko termangu sejenak, ia ke kamar Sun-popoh
dan membongkar tempat tidurnya untuk di pindahkan ke samping “dipan kemala
dingin”, ia atur bantal kasurnya dengan baik dan membaringkan Siao-liong-li di
situ.
Sisa bahan makanan sudah rusak, namun
ber-botol2 madu tawon yang dikumpulkan Siao liong-li dahulu tetap baik, Nyo Ko
menuang setengah mangkuk madu yang kental itu dan dicampur dengan air untuk
diminumkan pada Siao-liong-li serta Kwe Yang cilik, habis itu ia sendiri juga
minum satu mangkuk.
Ia coba memandang sekeliling kamar batu itu,
pikirnya: “Aku harus bersemangat untuk menggirangkan hati Kokoh, kesedihanku
tidak boleh kentara sedikitpun pada wajahku.”
Begitulah ia lantas mencari dua batang lilin
yang paling besar serta dibungkusnya dengan kain merah, lalu disulutkan dan
ditancapkan di atas meja, katanya dengan tertawa: “lnilah kamar pengantin kita
dengan lilin bahagianya.”
Cahaya lilin menambah semaraknya kamar batu
itu. Siao liong-li duduk di tempat tidurnya, terlihat tubuh sendiri penuh kotoran
dan noda darah, dengan tersenyum ia berkata: “Macamku ini mana mirip pengantin
baru!”
Tiba-tiba ia ingat sesuatu, katanya pu’a:
“Ko-ji, coba kau ke kamarnya Lim-cosu dan bawa kemari peti berlapis emas itu.”
Meski pernah tinggal beberapa tahun di
kuburan ini, tapi kamar bekas tempat tinggal Lim Tiau-eng tak berani dimasukinya,
apalagi barang-barang tinggalannya, tentu saja tidak berani dijamahnya. Kini
Siao-liong-li menyuruhnya, segera Yo Ko ke sana dan mengambilkan peti yang
diminta itu.
Peti itu tidak terlalu berat, juga tidak
digembok, tapi tepian peti dilapis emas dan banyak ukiran yang indah. “Menurut Sun-popoh,
katanya peti ini berisi pakaian pengantin Lim-cosu, tapi kemudian beliau urung
menikah, maka barang-barang inipun tidak jadi dipakai,” kata Siao-liongli.
Yo Ko mengiakan saja dan meletakkan peti itu
di batu kemala dingin itu, setelah tutup peti di buka, benarlah di dalamnya
tersimpan sebuah kopiah berukir burung Hong dengan hiasan mutiara, ada sepotong
baju sulaman emas serta gaun sutera merah.
Semuanya terbuat dari bahan pilihan, meski
sudah selang berpuluh tahun, tapi tampaknya masih seperti baru.
“Coba keluarkan isinya, ingin kulihat.” kata
Siao-liong-li.
Yo Ko lantas mengeluarkan satu persatu isi
peti itu, di bawah pakaian pengantin ternyata ada sebuah kotak rias dan sebuah
kotak barang-barang perluasan Gincu dan pupur dalam kotak rias itu sudah
kering, tapi minyak wanginya ternyata masih ada sisa setengah botol kecil.
Ketika kotak perhiasan dibuka, seketika
pandangan mereka menjadi silau, macam-macam perhiasan yang jarang terlihat, ada
tusuk kundai bermutiara, gelang kemala dan mutu manikam yang lain.
Biasanya Siao-liong-li dan Yo Ko jarang
melihat benda-benda mestika seperti itu, merekapun tidak tahu betapa bernilainya
barang-barang perhiasan itu, yang jelas mereka melihat barang-barang itu
terbuat dengan sangat halus dan indah, maka merekapun sangat tertarik.
“Bagaimana kalau kubersolek menjadi pengantin
baru?” ujar Siao-liong-li dengan tersenyum.
“Kau sudah terlalu lelah, mengasoJsipleBaf
latti, bersoleklah besok,” kata Yo Ko.
Siao-liong-Ii menggeleng, katanya: “Tidak,
inilah hari bahagia pernikahan kita, Aku suka menjadi pengantin baru, Tempo
hari di Coat-ceng-kok itu Kongsun Ci ingin menikah dengan aku dan akupun urung
berdandan sebagai pengantin baru.”
“Hah, masakah itu dapat dianggap menikah?
itukan Cuma khayalan Kongsun Ci saja!” ujar Yo Ko dengan tersenyum Begitulah
Siao-liong-li lantas mencampuri bedak dan Gincu dengan sedikit air dan mulailah
bersolek menghadap cermin.
Selama hidup untuk pertama kali inilah dia
memakai pupur dan gincu.
Air mukanya sebenarnya memang putih bersih
dan tidak perlu berbedak lagi, cuma dia habis terluka parah, mukanya pucat
pasi, setelah kedua pipinya diberi pupur dan sedikit gincu, sungguh
kecantikannya sukar dilukiskan.
Ia berhenti sejenak, lalu menyisir rambut,
katanya dengan gegetun: “Bicara menyisir rambut, sama sekali aku tidak bisa, Ko-ji,
kau bisa tidak?”
“Akupun tidak bisa! Kukira engkau lebih
cantik jika rambut tidak tersisir,” ujar Yo Ko.
“Apa ya?” Siao-liong-Ii tersenyum. ia lantas
memakai anting2 dan gelang serta perhiasan kepala lainnya, di bawah cahaya
lilin sungguh cantik molek tak terperikan. Dengan berseri-seri ia menoleh pada
Yo Ko, maksudnya supaya dipuji beberapa patah kata oleh anak muda itu.
Tapi dilihatnya wajah Yo Ko ada bekas air
mata, jelas anak muda itu sedang berduka, Siao-liong-li berusaha menahan perasaan
dan anggap tidak tahu, dengan tersenyum ia bertanya pula: “Ko-ji, bagus tidak
dandananku ini?”
“Ba… bagus sekali!” jawab Yo Ko dengan rada
terguguk,
“lni kupasangkan kopiahnya.”
Segera ia angkat kopiah pengantin ke belakang
si nona dan dipasang di atas kepalanya.
Dari bayangan cermin dapatlah Siao-liong-li
melihat anak muda itu telah mengusap air matanya dengan lengan baju, ketika
berada di belakangnya anak muda itu sengaja memperlihatkan wajah riang-nya
serta berkata: “Selanjutnya kupanggil engkau “Niocu” (isteriku) atau tetap
menyebut Kokoh padamu?”
Dalam hati Siao-Iiong-Ii membatin: “Masakah
masih ada “selanjutnya” segala bagi kita? Akan tetapi ia berusaha memperlihatkan
rasa gembiranya dan menjawab dengan tersenyum: “Rasanya tidak pantas jika tetap
memanggil Kokoh. sebaliknya sebutan Niocu, Hujin dan sebagainya terasa agak
ke-tua-an!”
“Baiklah, selanjutnya engkau memanggil Ko-ji
padaku dan akan kupanggil Liong-ji padamu, jadinya adil, tiada yang rugi,” ujar
Yo Ko dengan tertawa, “Kdak kalau sudah punya anak, lalu ganti panggilan: He,
pakne bocah atau ibunya anak dan… dan kalau anak itu sudah besar dan beristeri
atau bersuami “
Semu!a Siao liong-li hanya tersenyum saja
mendengarkan ocehan Yo Ko yang ngalor-ngidul itu, akhirnya ia tidak tahan dan
mendadak mendekam di atas peti dan menangis sedih.
Yo Ko tahu perasaan si nona, ia mendekati dan
memeluknya, katanya dengan suara halus: “Liong-ji. kau tidak baik, buat apa
kita pedulikan urusan selanjutnya, Yang jelas saat ini kau takkan mati dan
akupun takkan mati, marilah kita bergembira ria, siapapun tidak perlu
memikirkan urusan esok.”
Siao-Iiong li mengangkat kepalanya dan
mengangguk dengan tersenyum.
“Lihatlah betapa indahnya sulaman burung Hong
pada gaun pengantin ini,,biarlah kubantu kau mengenakannya.” kata Yo Ko pula,
lalu ia menegakkan tubuh si nona dan bantu mengenakan pakaian pengantin merah
itu.
Siao-liong-Ii mengusap air matanya dan
pipinya diberi lagi sedikit pupur, dengan tersenyum bahagia ia lantas duduk di samping
lilin merah.
Dalam pada itu Kwe Yang terbaring di ujung
tempat tidur itupun mementang kedua biji matanya yang hitam itu sedang memandangi
dengan penuh keheranan, Mungkin dalam hati kecilnya itupun merasakan dandanan
Siao-liong-li itu sangat cantik dan menarik.
“Aku sudah selesai berdandan, cuma sayang di
dalam peti ini tiada pakaian pengantin laki-laki. terpaksa kau harus begini saja,”
ujar Siao-liong-li.
“Coba kucari lagi, mungkin ada barang-barang
lain yang indah,” kata Yo Ko sembari membongkar isi peti yang lain dan
dipindahkan ke atas tempat tidur, Melihat ada sebuah bunga-bungaan buatan emas,
Siao liong-li lantas mengambilnya dan diselipkan di atas rambut Yo Ko.
“Ya, begini barulah mirip2 pengantin baru,”
ujar Yo Ko dengan tertawa.
Ia terus membongkar isi peti itu, sampai di
dasar peti, dilihatnya ada satu tumpuk surat yang diikat dengan benang merah,
benang merah itu sudah luntur, sampul surat juga sudah kekuning-kuningan.
“Ku-temukan surat-urat ini,” seru Yo Ko sambil mengangkat tumpukan surat itu.
“Coba dilihat surat apa itu?” kata Siao-Iiong-li.
Setelah ikatannya dilepas, Yo Ko melihat
sampul surat pertama itu tertulis: “Kepada sayangku Lim Tiau-heng, pribadi!”
dan pada sudut lain ada sebuah huruf “Say”. Surat-urat itu berjumlah lebih 20
pucuk, semuanya sama tertulis begitu.
Yo Ko tahu sebelum Ong Tiong-yang terikat
menjadi Tosu, nama partikelirnya adalah “Say”, lengkapnya Ong Say, Dengan
tertawa ia berkata : “Tampaknya surat-urat ini adalah surat cinta Ong-cosu
kepada Lim-cosu kita, apakah boleh kita membacanya?”
Sejak kecil Siao-liong-li menghormati sang
cakal bakal itu sebagai malaikat dewata, maka cepat ia menjawab: “Tidak, tidak
boleh!”
Yo Ko tertawa dan mengikat kembali bundel
surat itu, katanya kemudian:.”Kawanan Tosu Coan-cin-kau itu sungguh terlalu
kolot, melihat kita menikah dihadapan lukisan Tiong-yang Cosu, lalu kita
dianggap seperti berdosa dan tidak dapat diampuni.” Aku justeru tidak percaya
bahwa Tiong-yang Cosu tidak mencintai Lim-cosu kita, Kalau saja kita
perlihatkan surat-urat cinta Ong-cosu ini pasti kawanan Tosu tua itu akan meringis.”
Sembari berkata iapun memandangi Siao-liong
li dan merasa berduka bagi Lim Tiau-eng. Pikirnya: “Lim-cosu hidup sunyi di
dalam kuburan ini, tentunya beliau ingin sekali dapat memakai baju pengantin
ini dan selalu gagal, jaai kami berdua ini ternyata jauh lebih beruntung
daripada beliau.”
Tiba-tiba terdengar Siao-liong-li berkata:
“Ya, kita memang lebih beruntung daripada Lim-cosu, tapi mengapa kau menjadi tidak
gembira?”
Yo Ko mengiakan, mendadak iapun melengak dan bcrtanya:
“He, kau tidak bicara, mengapa engkau mengetahui pikiranku?”
“Kalau tidak dapat mengetahui jalan pikiranmu
mana sesuai untuk menjadi isterimu?” jawab Siao-liong-li dengan tertawa.
Yo Ko mendekatinya dan duduk ditepi tempat
tidur, dengan lengan kiri ia merangkul Siau liong li, tak terbilang rasa
gembira dan bahagia mereka, diharapkan semoga saat2 demikian ini takkan berubah
selamanya, kekal abadi.
Sampai sekian lama keduanya guling peluk dan
terdiam. Selang sebentar lagi, keduanya sama memandang pada bundel surat tadi
dengan penuh pandang dengan tertawa, keduanya sama-sama menyorotkan sorot mata
yang nakal.
Maklumlah, usia mereka masih sama-sama muda, sehingga
belum hilang sifat anak-anak mereka, walaupun tahu tidak pantas membaca surat
pribadri mendiang cakal bakal, tapi rasa ingin tahu sukarlah dibendung.
Tiba-tiba Yo Ko berkata: “Bagaimana kalau
kita hanya membaca sepucuk saja? Pasti tidak membaca lebih dari itu.”
“Ya, akupun ingin sekali mengetahui isi
surat-itu,” jawab Siao-liong-li. “Baiklah, kita hanya membaca sepucuk saja.”
Dengan girang Yo Ko lantas membuka ikatan bundle
surat tadi. Siao-liong-li berkata pula: “Kalau isi surat itu membikin orang
berduka, hendaknya kau jangan bersuara membacanya bagiku.”
Yo Ko mengiakan, ia coba mengambil sampul
pertama dan dilolos keluar suratnya, lalu mulai membacanya: “Adik Eng, kemarin
dulu pasukan kita bertempur dengan pasukan musuh dan mengalami kekalahan kecil
dengan kerugian beberapa ratus orang…” ternyata isi surat itu memberitahukan-keadaan
medan perang dan bagian akhir surat itu Ong Tiong-yang minta agar Lim Tiau-eng
suka menjual sebagian harta benda untuk dijadikan perbekalan pasukan.
Ber-turut-urut ia membaca lagi dua-tiga pucuk surat lain dan isinya hampir
semuanya sama, yakni mengenai situasi medan perang belaka, hampir tidak pernah
menyinggung urusan pribadi mereka.
Yo Ko menghela napas dan berkata pula:
“Tiong-yang Cosu benar-benar seorang pahlawan teladan dan ksatria sejati,
segenap jiwa raganya dicurahkan bagi perjuangan sehingga melupakan kepentingan
pribadi, pantaslah kalau Lim-cosu menjadi dingin hatinya,”
“Tidak!” ujar Siao-liongIi. “Ketika menerima
surat-urat ini, justeru Lim-cosu merasa sangat senang.”
“Darimana kau tahu?” tanya Yo Ko heran.
“Sudah tentu aku tidak tahu, aku cuma
menafsirkan menurut hati sesama orang perempuan saja.” jawab Siao-liong-li.
-”Coba kau, lihat isi surat itu, yang diuraikan selalu situasi medan perang
yang makin genting, namun Ong cosu tetap tidak lupa menulis surat kepada
Lim-cosu dalam keadaan yang gawat dan sulit itu, coba katakan, apakah itu tidak
berarti senantiasa Ong-cosu terkenang kepada Lim-cosu?”
“Ya, benar, memang betul,” sahut Yo Ko sambil
mengangguk Lalu ia membaca lagi surat yang lain. Surat
itupun mengabarkan pasukan yang dipimpin Ong
Tiong-yang mengalami kekalahan lagi karena jumlah pasukan musuh jauh lebih
besar. Selain itu pada akhir surat juga ditanyakan keadaan luka Lim Tiau-eng,
meski singkat saja, tapi penuh simpatik dan perhatian
Siao-liong-li hanya tersenyum hambar, ia
menyadari betapa parah lukanya sendiri, namun iapun tidak ingin membikin kecewa
anak muda itu, katanya kemudian:
“Tampaknya surat-urat itu tiada yang
menyangkut rahasia pribadi, boleh kau membacanya semua.”
Yo Ko lantas membuka lagi surat-urat yang
lain, kebanyakan juga berceritera tentang pengalaman tempur di medan perang,
tapi selanjutnya lebih sering lagi kalahnya sehingga nada Ong Tiong-yang
semakin guram dan putus asa.
“isi surat ini cuma memerosotkan semangat
orang saja, biarlah kita bicara urusan lain saja.”
“Eh, apa ini?” mendadak nada Yo Ko berubah
menjadi bersemangat, tangan yang memegang surat itupun rada gemetar, lalu ia
membacanya dengan suara lebih keras:
“kudengar di kutub utara yang maha dingin
sana ada batu dengan nama Han-giok (kemala dingin), khasiatnya dapat menghilangkan
penyakit lama dan menyembuhkan luka yang sukar diobati, untuk itu akan
kuusahakan mendapatkannya bagi adik Eng…”
He, Liong-ji yang dimaksudkan ini apakah
bukan Han-giokjoan (dipan kemala dingin) ini?”
Melihat wujih Yo Ko yang menampilkan rasa
girang seperti orang yang putus asa mendadak menemukan titik sinar harapan itu,
dengan suara gemetar Siau-liong-Ii pun menjawab: “Apakah… apakah… maksudmu
kemala dingin ini dapat menyembuhkan lukaku ini-?”
“Akupun tidak tahu,” jawab Yo Ko. “Tapi
Tiong-yang Cosu berkata demikian, tentu ada alasannya. Dan nyatanya kemala
dingin ini kan sudah didapatkannya dan berada di sini?
Bukankah memang sudah menjadikannya menjadi
dipan untuk tempat tidur? bukankah luka beliau yang parah itu akhirnya juga
sembuh?”
Cepat-cepat Yo Ko membuka lagi surat yang
lain dengan harapan kalau-kalau isi surat lain ada, yang menguraikan tentang
cara penyembuhan dengan kemala dingin itu, tapi istilah “kemala dingin”
ternyata tidak pernah disebut lagi kecuali di dalam surat tadi.”
Yo Ko mengikat kembali bundel surat itu dan
ditaruh ke dalam pcti, lalu ia duduk termenung. Ia pikir kalau dipan kemala
dingin itu memang mempunyai khasiat sehebat itu, tentu juga dapat menyembuhkan
luka Siao-liong-li, hanya caranya saja yang belum di ketahui.
“He, apa yang kau renungkan?” tegur
Siao-liong-li dengan tertawa.
“Sedang kupikirkan cara bagaimana
menyembuhkan kau dengan dipan ini, apa harus dihancurkan dan dicampur dengan
obat lain, entahlah!” gumam Yo Ko.
“Tentunya kau masih ingat pada Sun-popoh?
Sekiranya dipan kemala dingin ini dapat menyembuhkan Iuka dalam yang parah,
masakah Sun popoh tidak tahu?
Harapan Yo Ko yang tadinya berkobar2 itu
seketika padam seperti di siram air dingin demi mendengar ucapan Siao liong-li
itu.
Perlahan Siao liong-li membelai rambut Yo Ko,
katanya dengan suara lembut “Ko-ji tidak perlu kau memikirkan lukaku, buat apa
kau membikin susah sendiri? sekarang akan kuceritakan sesuatu mengenai guruku.”
Meski cukup lama tinggal bersama
Siao-liong-li, tapi jarang sekali Yo Ko mendengar si nona bercerita tentang
mendiang gurunya itu, maka cepat ia menanggapi “Ya,lekas ceritakan!”
“Tahukah kau sebab apa meninggalnya Suhuku?” Tanya
Siao-Iiong-li.
Yo Ko menggeleng, Siao-Iiong-li lantas
melanjutkan “Beliau menyepi di sini dan jarang keluar, tapi pada suatu ketika
beliau pernah keluar menyelesaikan sesuatu urusan penting mengenai Suci
sehingga kena dipedayai seorang jahat. Suhu tidak mau banyak urusan meski
mengalami kesukaran. Siapa tahu orang jahat itu diberi hati justeru minta rempala,
Suci diculiknya pula, sebenarnya kepandaian Suhu jauh melebihi orang jahat itu,
cuma dalam hal Am-gi (senjata rahasia) saja orang jahat itu memang lebih lihay.
Suhuku adalah pelayan pribadi Lim-cosu,
sifatnya ramah dan penurut, hatinya bajik dan jarang marah, tapi demi membela
Suci, beliau terpaksa membuat dua macam senjata rahasia, yakni
Giok-hong-kim-ciam (jarum emas tawon putih) dan Peng pok-gin-ciam (jarum perak
inti es) yang berbisa itu, akhirnya Suci dapat direbut kembali setelah
mengalahkan musuh.
Tapi dalam pertarungan itu Suhu juga terluka
parah, walaupun bertahan sampai beberapa tahun, akhirnya juga tak-dapat
disembuhkan, ilmu pukulan Panca Bisa andalan Suci itu adalah ajaran orang jahat
itu, Suci (Li Bok-chiu) berkumpul sekian lama dengan orang itu sehingga tanpa terasa
terpengaruh juga oleh sifat jahatnya. Lantaran ini, sampai meninggalnya Suhu
tetap merasa sedih.”
Terkenang kepada gurunya yang berbudi itu,
tanpa terasa hati Siao-liong-li menjadi terharu.
Pikiran Yo Ko sendiri terasa kusut, tadinya
ia merasa menemukan titik harapan dapat menyembuhkan Siao-liong-li, tapi lantas
tenggelam pula dalam kegelapan, ia pikir memang juga masuk diakal, andaikan
dipan kemala dingin itu dapat menyembuhkan luka dalam yang parah, mengapa
Sun-popoh dan guru Siao-liong-li itu tidak menggunakan untuk menyembuhkan diri
mereka?”
Karena urusan sudah begini, ia pikir
sebaiknya jangan dirisaukan lagi, akan lebih baik jika bicara hal-hal yang menyenangkan
saja dengan si nona agar hatinya gembira.
Begitulah ia lantas berkata: “Jarum emas lebih
lembut dan jarum perak lebih panjang, tapi menghadapi musuh ternyata jarum emas
lebih berguna daripada jarum perak. Tampaknya kakek guru memang lebih sayang
padamu, makanya jarum emas diajarkan padamu dan jarum perak diturunkan pada Li-supek.”
Siao-liong-li tersenyum, katanya: “Suhu
memang sangat baik padaku, ya guru ya seperti ibu, kalau beliau mengetahui aku
mendapatkan suami sebaik ini, entah betapa beliau akan bergirang.”
“Ah, juga belum tentu, beliau kan melarang
anak muridnya menikah,” ujar Yo Ko.
“Tapi guruku sangat baik hati dan sayang
padaku, mula-mula mungkin beliau tidak mengidzinkan, lama2 kalau melihat keteguhan
hatiku, tentu beliau juga akan menuruti permintaanku,” kata Siao-liong-li.
“Hanya, hanya Li-suci saja yang berdosa
kepada Suhu”.
“Bagaimana?” tanya Yo Ko.
“Waktu Suhu bertarung dengan orang jahat itu,
sebenarnya orang itu sudah tertutuk oleh Suhu dan takbisa berkutik, siapa tahu
secara diam-2 Suci telah membebaskan orang itu, rupanya Suci ingat kepada budi
orang itu yang telah mengajarkan ilmu pukulan berbisa padanya. Setelah orang
itu dapat bcrgerak, secara mendadak dia menyerang Suhu, karena tidak
berjaga-jaga, maka Suhu terkena pukulannya.”
“Siapakah nama orang jahat itu? Dia mampu
menandingi Suco (kakek guru), tenlu iapun tokoh silat terkemuka jaman ini.”
“Suhu tidak pernah memberitahukan nama orang
itu padaku, Dia ingin hatiku bebas dari segala cita rasa dan tidak kenal suka
duka dan budi atau dendam, menurut Suhu, kalau nama orang ini kuketahui, tentu
akan kuingat selalu dan boleh jadi kelak akan kucari dan menuntut balas
pudanya.”
“Ai. Suco sungguh orang baik budi,” ujar Yo
Ko dengan gegetun.
Lalu Siao-Iiong-li berkata pula: “Setelah
terluka, Suhu lantas berpindah kamar dan menjauhi dipan kemala dingin ini.
Menurut beliau, dingin akan mengalangi
kemajuan ilmu Ko-bong-pay kita, maka bagus sekali jika menggunakan dipan kemala
dingin ini untuk membantu berlatih Lwe-kang, akan tetapi orang yang terluka
tentu tidak tahan.”
Melihat Siao-liong-li ada tanda-tanda lelah
Yo Ko berkuta:
“Silakan tidur saja, akan kutunggui kau di
sini.”
“Tidak, aku tidak lelah, malam ini kita tidak
tidur,” jawab Siao-Iiong-li sambil pentang lebar-lebar matanya.
sesungguhnya dalam hati kecilnya berkuatir
akan luka sendiri yang parah itu, kalau sampai tertidur dan untuk seterusnya tidak
pernah mendusin lagi, itu berarti takkan bertemu lagi dengan Yo Ko selamanya,
Karena itulah ia lantas menambahkan “Ajaklah aku bicara saja, Eh, kau sendiri tampaknya
lelah?”
“Tidak, aku tidak lelah,” jawab Yo Ko
menggeleng, “Jika tidak ingin tidur, bolehlah kau memejamkan mata untuk menghilangkan
kantuk.”
Siao-liong-li mengiakan dan pelahan
memejamkan matanya, lalu berkata dengan suara pelahan. “Suhu sering berkata
padaku bahwa ada satu hal yang tidak dipahaminya sampai akhir hayatnya. Ko-ji,
kau sangat pintar, coba ikut memikirkan soal ini.”
“Soal apa?” tanya
Yo Ko
“Ketika orang jahat itu tertutuk oleh Suhu
dengan ilmu Tiam-hiat khas ciptaan Lim-cosu, selama hidup Lim-cosu hanya
diajarkan kepada Suhuku dan Suhuku tak mengajarkannya kepada Li-suci, entah
cara bagaimana Li-suci dapat membukakan Hiat-to orang jahat yang tertutuk itu.”
“Mungkin waktu suco berlatih sendiri, di luar
tahu beliau Li-suci telah mengintip dan mempelajarinya secara diam-diam,” kata
Yo Ko.
“Tidak, tidak bisa, kau sendiripun tahu,”
ujar Siao-long-li.
Yo Ko pikir ilmu Tiam-hiat perguruan sendiri
memang sangat aneh dan ruwet, betapapun sukar-dipelajari dari mengintip. Selagi
ia hendak bicara pu!a, terasa Siao-liong-li yang bersandar pada badannya itupun
berdiam, napasnya terhembus halus, ternyata sudah tertidur.
Sambil termangu memandangi wajah si nona,
pikiran Nyo Ko bergolak, selang tak lama, sebuah lilin telah padam karena sudah
habis tersulut, tidak lama kemudian lilin kedua juga padam.
Tiba-tiba Yo Ko membayangkan kedua lilin itu
seperti dirinya dan Siao-liong-li, setelah tersulut habis, akhirnya lantas padam,
tamat
Selagi ter mangu2, didengarnya Siao liong li
menghela napas panjang dan berkata: “Tidak, aku tidak mau mati, Ko ji, aku
tidak mau mati! kita harus hidup terus, hidup untuk selamanya.”
“Benar, kita takkan mati, engkau pasti akan
sehat kembali setelah istirahat beberapa hari lagi,” kata Yo Ko. “Bagaimana rasa
dadamu sekarang?”
Tapi Siao-Iiong li tidak menjawab, rupanya
ucapannya tadi hanya mengigau saja, Yo Ko coba meraba kening si nona, ternyata
panas sekali, ia menjadi kuatir dan sedih pula.
pikirnya dalam hati: “Li-Bok-chiu yang
jahatnya kelewat takaran sampai saat ini masih hidup segar bugar, sebaliknya Liong
ji selama hidup tidak pernah berbuat sesuatu.apa yang merugikan orang lain kini
sudah dekat dengan ajalnya. Oh, Thian yang maha kasih, dimanakah letak
keadilanmu?”
Selamanya Yo Ko tidak gentar apapun juga,
dalam keadaan tak berdaya, tanpa terasa ia geser tubuh Siao-liong-li ke
sampingnya sendiri lantas-berlutut dan berdoa di dalam batin: “Thian yang welas
asih semoga memberi berkah selamat kepada Liong-ji, untuk itu aku rela…. aku
rela…” Pada hal untuk keselamatan Siao-liong-li, tiada- sesuatupun yang diragukannya
untuk diperbuat guna menebus jiwa si nona.
BegituIah sedang dia berdoa dengan
khidmat-nya, tiba-tiba terdengar Siao-liong-li berkata: “Ya benar Auyang Hong, Sun-popoh
bilang pasti Auyang Hong adanya, Ko-ji, eh, Ko-ji, ke mana kau?” Sambil berseru
mendadak iapun bangun berduduk.
Karena itu cepat Yo Ko kembali berduduk di
samping si nona dan memegangi tangannya sambil berkata: “Aku berada di sini.”
DaIam tidurnya mendadak merasa kehilangan
sandaran, seketika Siao-liong-li terjaga bangun, tapi ia menjadi girang dan
lega, setelah melihat Yo Ko masih tetap berada di sampingnya.
“Jangan kuatir, aku takkan meninggalkan kau
untuk se-lama2nya,” kata Yo Ko. ” seumpama kelak kita harus keluar dari kuburan
kuno ini, aku akan tetap berjaga di sampingmu tanpa berpisah selangkahpun”:
Di dunia luar sana sesungguhnya memang jauh
lebih bagus daripada tempat yang sunyi dan seram ini” ujar Siao Iiong-li, “Cuma
aku lantas takut begitu berada di luar sana.”
“Kini kita tidak perlu takut lagi,” kata
Nyo-Ko, “beberapa bulan pula bila kesehatanmu sudah pulih, kita berdua akan pergi
ke selatan. Konon cuaca di sana selalu cerah dan pemandangan indah. Di sana
kita tidak perlu lagi main senjata segala, kita akan bercocok tanam, berkebun
dan beternak, kita juga akan punya anak banyak…”
Siao-liong-li juga membayangkan kehidupan
yang indah itu, katanya: “Ya, selamanya - kita takkan main senjata segala,
tiada orang memusuhi kita dan kitapun takkan berkelahi dengan orang lain, kita
berkebun dan piara ayam, piara itik. Ai apabila aku boleh tetap hidup…”
Begitulah keduanya terdiam sejenak, meski
berada di dalam kuburan kuno, tapi dua buah hati mereka selalu melayang jauh ke
selatan yang alamnya indah permai itu, selamanya mereka belum pernah menginjak
daerah selatan, tapi hidung serasa sudah mencium bau harum bunga dan telinga
mendengar kicauan burung merdu.
Siao-liong-li benar-benar tidak tahan lagi,
lapat-lapat ia hendak pulas pula, tapi sesungguhnya ia tidak ingin tidur, katanya:
“Aku tidak ingin tidur, bicaralah padaku!”
“Tadi dalam tiduran kau mengigau tentang
Auyang Hong, mengenai urusan apa itu?” tanya Yo Ko.
Seperti diketahui, waktu kecilnya Yo Ko
pernah mengakui Auyang Hong sebagai ayah angkat, kemudian didengarnya dari
orang Coan-cin-kau bahwa Auyang Hong itu berjuluk “Se-tok” (si racun barat),
namanya sangat busuk di dunia persilatan malahan Tam Jutoan, salah satu dari
tujuh tokoh Coan-cin-pay itu tewas di tangannya.
Kemudian Yo Ko masuk perguruan Ko-bong-pay
dan tak berani lagi bicara mengenai Auyang Hong. sekarang dia sudah menikah
dengan Siao-liong-li dan segala apapun boleh dibicarakan, maka iapun
terheran-heran mendengar igauan Siao-liong-li tadi.
“Apakah aku menyebut Auyang Hong?” demikian
jawab Siao-liong-li.
“Kau juga mengatakan bahwa Sun-popoh bilang
pasti dia,” kata Yo Ko pula.
Baru sekarang Siao-liong-li teringat,
katanya:
“Ah, ya, menurut Sun-popoh, katanya orang
yang melukai Suhuku pasti Se-tok Auyang Hong, Katanya di dunia ini yang mampu
melukai guruku boleh dikatakan dapat dihitung dengan jari, sedangkan ilmu
pukulan keji seperti Ngo-toksin-ciang itu selain Auyang Hong pasti tiada orang
lain yang sudi menggunakannya. Tapi sampai detik terakhir ajalnya guruku tetap
tidak mau mengatakan penjahat yang melukainya itu.
Sun-popoh bertanya kepadanya apakah penyerang
itu Auyang Hong adanya? Namun Suhu tetap menggeleng dan tersenyum saja, lalu
menghembuskan napasnya yang penghabisan.”
“Auyang Hong adalah ayah angkatku,” kata Yo
Ko kemudian.
“He apa betul? Mengapa aku tidak tahu?” seru
Siao-liong-li heran.
Yo Ko lantas menceritakan pengalamannya
dahulu ketika dia terkena racun jarum berbisa Li Bok chiu, berkat pertolongan
Auyang Hong, dapatlah dia diselamatkan sebab itulah ia mengakui Auyang Hong
sebagai ayah angkat, Akhirnya ia berkata pula: “Kini ayah angkatku sudah
meninggal, Suco dan Sun-popoh juga sudah wafat, Tiong-yang Cosu pun sudah tak
ada, segala budi dan dendam, suka dan duka sampai saatnya telah dihapus
seluruhnya oleh Thian yang maha kuasa, Malahan sampai saat terakhir Suco tetap
tidak mau menyebut nama ayah-angkatku. Ah, kiranya begitu!”
Melihat anak muda itu seperti mendadak
menyadari kejadian sesuatu, cepat Siao-liong-li bertanya: “Kiranya begitu apa?”
“Tentang ayah angkatku tertutuk oleh Suco
bukan Li-supek yang menolongnya, tapi dia membebaskan dirinya sendiri,” tutur
Yo Ko.
“Membebaskan dirinya sendiri? Bagaimana bisa
begitu?”
“Ayah angkatku memiliki semacam kepandaian
khas, yakni dapat memutar balik jalan urat nadi seluruh tubuh, sekali urat nadi
sudah terbalik, segenap Hiat-to juga berubah tempat, sekalipun ter-tutuk juga
dapat melepaskan diri.”
“Di dunia ini masakah ada kepandaian seaneh
ini, sungguh sukar dibayangkan.”
“lni akan kuperlihatkan padamu,” kata Yo Ko
sambil berbangkit lalu ia berjungkir dengan kepala dibawah terus berputar
beberapa kali sambil mengatur pernapasan.
Mendadak ia melompat bangun, ubun-ubun
kepalanya terus ditumbukkan pada ujung meja di depan dipan sana.
“Hai, awas!” seru Siao-liong-li kuatir.
Hiat-to yang tepat di ubun-ubun kepala itu
disebut “Pek-hwe-hiat” dan merupakan salah satu Hiat-to paling penting di tubuh
manusia, Tapi meski tertumbuk ujung meja batu, ternyata sedikitpun Yo Ko tidak
terluka dan sakit, malahan anak muda itu tetap berdiri tegak dan berkata dengan
tertawa: “Lihatlah, sekali jalan urat nadi terbalik, seketika Pek-hwe-hiat juga
berpindah tempat Kagum sekali Siao-liong-li, katanya dengan heran:
“Sungguh aneh, hanya dia yang mampu
memikirkan kepandaian ini.”
Walaupun tidak terluka, tapi lantaran terlalu
keras menggunakan tenaga, Yo Ko merasa rada pening juga kepalanya, tapi dalam
keadaan samar-samar tiba-tiba ia seperti menemukan sesuatu yang maha penting,
Cuma seketika sukar dikatakan urusan penting apa yang ditemukan itu.
Sampai sekian lama tetap sukar memecahkan
persoalannya, ia menjadi kesal, ingin dikesampingkan tapi berat pula urusannya
Akhjrnya ia cakar-cakar kepala sendiri dengan perasaan sangat masgul, katanya
kemudian: “Liong-ji, ku-ingat sesuatu yang sangat penting, tapi tidak tahu
apakah itu. Dapatkah kau membantu?”
Sebenarnya tidaklah masak diakal bahwa
pikiran seseorang yang kusut dan tak dapat menyimpulkan sesuatu ditanyakan
kepada orang lain. Tapi lantaran mereka berdua sudah berkumpul lama, sudah ada
kontak batin yang mendalam, apa yang dipikirkan pihak lain biasanya dapat
diterka sebagian besar. Maka Siao-Iiong-li lantas bertanya:
“Apakah urusan ini sangat penting.”
Yo Ko mengiakan Siao-liong-li menegas pula:
“Apakah ada sangkut-pautnya dengan keadaan lukaku?”
“Benar, benar! Apakah itu? Urusan apa yang
teringat olehku?”
“Tadi kau bicara tentang ayah-angkatmu Auyang
Hong serta caranya memutar balik letak hiat-to, ada sangkut paut apakah soal
ini dengan lukaku? Kan bukan dia yang melukai aku…”
Mendadak Yo Ko melonjak dan berteriak: “Aha,
benar!”
Begitu keras teriakannya sehingga bergemalah
kumandang suaranya dari kamar2 batu di kuburan kuno itu. Habis itu Nyo Ko terus
pegang lengan Siao-liong-li dan berseru pula:
“Engkau tertolong, Liong-ji! Engkau
tertolong! Hanya sekian saja ucapannya, saking girangnya air matapun
berlinang-linang dan tak dapat melanjutkan ucapan-nya.
Melihat anak muda itu sedemikian gembiranya,
Siao-liong-li juga ikut senang dan bangkit berduduk.
“Coba dengarkan Liong-ji,” kata Yo Ko
kemudian, “kau terluka dan tak dapat menggunakan Lwekang dari perguruan kita
sehingga sukar disembuhkan tapi engkau dapat memutar balik urat nadimu untuk
penyembuhanmu dan dipan kemala dingin itu adalah alat pembantu yang ajaib.”
“Tapi… tapi aku masih belum paham!” sahut si
nona dengan bingung.
“Bahwa Giok-li-sim-keng aslinya adalah Ci-im
negatip, dingin), kebalikannya adalah Sun-yang (panas, positip),” tutur Yo Ko.
“Ketika membicarakan kepandaian membalikkan urat nadi ayahku tadi samar-samar
sudah kurasakan bahwa lukamu ini pasti tertolong. Cuma cara bagaimana
menyembuhkannya yang masih membingungkanku. Akhirnya setelah ingat pada kemala
dingin yang disebut dalam surat Tiong-yang Cosu barulah aku memahami
persoalannya dengan jelas, sekarang jangan kita menunda lebih lama lagi,
marilah… Marilah…”
Begitulah ia lantas pergi mencari beberapa
ikat kayu bakar, lalu dibakar di pojok kamar, kemudian dia mengajarkan
pengantar dasar ilmu membalikkan urat nadi itu kepada Siao-liong-li, si nona
dibiarkan duduk, di atas dipan kemala dingin, ia sendiri duduk di samping api
unggun, tangan kirinya menahan telapak tangan kanan Siao-liong-li.
“Akan kutarik hawa panas ini untuk
menerobos-segenap Hiat-to di tubuhmu, sekuatnya engkau mengerahkan tenaga
secara jalan terbalik, satu satu Hiat-to itu akan di terobos, kalau hawa panas
itu sudah sampai ke dipan kemala dingin, maka keadaan lukamu menjadi berkurang
pula parahnya.”
“Apakah akupun harus berjungkir dan berputar
seperti kau tadi?.” tanya Siao-liong-li dengan tertawa.
“Sekarang belum perlu, nanti kalau sembilan
Hiat-to besar sudah diterobos, cara berjungkir dan mengerahkan tenaga menjadi
jauh lebih mudah,”
Siao-liong-li berkata pula dengan tertawa:
“Untung kedua lenganmu tidak terkutung semua, nona Kwe itu ternyata tidak
terlalu jelek.”
“Setelah mengalami detik2 maut tadi, mengenai
buntungnya tangan bagi mereka sudah bukan soal lagi, makanya Siao-Iiong li
menggunakan hal ini untuk bergurau.
Dengan tertawa Yo Ko menjawab: “Kalau
tanganku buntung semua, masih ada dua kaki. Hanya kalau membantu menyembuhkan
dengan telapak kaki, bau keringat kaki tentu memualkan kau.”
Sementara itu api unggun sudah mulai berkobar
selagi Nyo Ko bersiap akan mengerahkan tenaga dalam dan mulai
penyembuhannya-pada Siao-liong-ti, mendadak ia berteriak:
“Haya, hampir saja celaka!”
“Ada apa?” tanya Siao-liong-li
Yo Ko menuding Kwe Yang yang tertaruh di
ujung tempat tidur sana dan berkata- “Kalau latihan kita sedangmemuncak pada
titik yang genting dan mendadak setan cilik ini berkaok, kan segalanya bisa
runyam?”
“Ya, sungguh berbahaya, hampir saja!”
Siao-liong-Iipun bersyukur.
Maklumlah, orang yang asyik berlatih lwekang
paling pantang akan gangguan dari luar, seperti dahulu ketika Siao-liong-li dan
Yo Ko sedang berlatih Giok-li-sim-keng, tanpasengaja mereka telah terganggu
oleh datangnya In Ci-peng dan Tio Ci-keng sehingga akibatnya hampir saja
menewaskan Siao-Iiong-li.
Cepat Yo Ko mengaduk setengah mangkuk madu
untuk Kwe Yang kecil, lalu membawanya ke suatu kamar yang agak jauh, pintu
kamar itu ditutup pula sehingga jerit tangisnya takkan terdengar, Habis itu
barulah ia kembali ke tempat semula dan berkata: “Seluruhnya Hiat-to penting di
tubuhmu kukira dalam waktu tujuh hari sampai setengah bulan dapatlah diterobos
seluruhnya, selama itu tentu sukar menghindari gangguan dari luar, tapi tempat
ini sama sekali terpisah dengan dunia luar, sungguh suatu tempat yang sangat
bagus.”
“Lukaku ini dipukul kawanan Tosu Coan-cin
kau, tapi cakal bakal mereka yang membangun kuburan ini serta menyediakan dipan kemala dingin ini bagiku
sehingga kesehatanmu dapat dipulihkan, rasanya dosa dan jasa mereka dapatlah
dianggap sama.”
“Dan bagaimana dengan Kim-lun Hoat-ong? Kita
takkan ampuni dia,” kata Yo Ko.
“Asalkan aku tetap hidup, apalagi yang tak
memuaskan kau?”
“Ya, benar juga ucapanmu,” kata Yo Ko sambil
memegang tangan si nona yang putih halus itu, “Setelah kau sembuh, selanjutnya
kita takkan berkelahi lagi dengan siapapun.”
“Kita akan pergi keselatan dan bercocok tanam
di sana memiara ayam dan itik serta…” dia termenung sejenak, tiba-tiba terasa
suatu bawa panas tersalur tiba melalui telapak tangannya, hatinya terkesiap
cepat ia melancarkan jalan darah dan mulai berlatih sesuai ajaran Yo Ko.
Penyembuhan dengan cara membalikkan jalan
darah dibantu dengan khasiat dipan kemala dingin itu ternyata sangat besar
manfaatnya, Sudah tentu cara penyembuhan ini tidak dapat segera berhasil
melainkan memerlukan ketekunan dan kesabaran
***
Kembali bercerita tentang Oey Yong, sesudah
membuat Li Bok-chiu tak bisa berkutik, namun dilihatnya Kwe Yang cilik sudah
tidak berada di tempatnya lagi, tentu saja dia kelabakan, ia coba membentak
pada Li Bok-chiu dan bertanya:
“Kau main tipu muslihat keji apa, ke mana kau
sembunyikan anakku?”
“Bukankah nona cilik itu terkurung baik-baik
di tengah pagar rotan yang kau buat itu?” jawab Li Bok-chiu heran.
“Mana ada? Sudah lenyap!” kata Oey Yong,
hampir saja ia:
menangis saking cemasnya.
Karena sudah sekian lama momong Kwe Yang,
maka Li Bok-chiu juga sangat menyukai orok itu, iapun terkejut demi mendengar
anak itu lenyap tercetus ucapannya: “Kalau bukan Yo Ko tentu-Kim lun Hoat-ong.”
“Apa maksudmu?” tanya Oey Yong.
Li Bok-chiu lantas menceritakan kejadian
perebutan Kwe Yang antara dia, Yo Ko dan Kim-lun Hoat-ong tempo hari, dari cara
Li Bok-chiu menguraikan itu jelas kelihatan dia sangat menguatirkan anak itu.
Kini Oey Yong percaya penuh hilangnya Kwe
Yang itu memang di luar tahu Li Bok-chiu, segera ia membuat Hiat-to yang
ditutuknya tadi, cuma pelahan ia ketuk Soan ki-hiat di dada orang, dengan
demikian Li Bok-chiu dapat bergerak seperti biasa, tapi dalam waktu 12 jam dia
belum kuat mencelakai orang lain.
Li Bok-chiu berbangkit dengan
tersenyum getir dan membersihkan debu dibajunya, ialu berkata:
“Kalau jatuh di tangan Yo Ko rasanya tidak
beralangan, kuatirnya kalau digondol lari si bangsat gundul Kim-lun Hoat-ong.”
“Apa sebabnya?” tanya
Oey Yong, “Yo Ko sangat baik kepada anak itu,
kuyakin dia takkan membikin celaka padanya, sebab itulah tadinya kukira orok
itu adalah anaknya.”
Mendadak Li Bok-chiu berhenti, kuatir Oey Yong
tersinggung dan marah lagi.
Tapi dalam hati Oey Yong justeru sedang
memikir soal lain, ia sedang membayangkan betapa susah payahnya Yo Ko berusaha
menempur Li Bok-chiu dan Kim-lun Hoat-ong demi menyelamatkan Kwe cilik, tapi
dirinya dan Kwe Hu justeru salah sangka jelek padanya sehingga mengakibatkan
sebelah lengan anak muda itu ditabas kutung oleh Kwe Hu.
Teringat itu, hati Oey Yong merasa sangat
menyesal, pikirnya: “Ko-ji pernah menyelamatkan jiwa kakak Cing, menyelamatkan
aku dan kedua Bu. sekarang dia menyelamatkan anak Yang, tapi… tapi lantaran
pikiranku sudah menarik kesimpulan keburukan ayahnya dan menganggap “kacang
tidak meninggalkan Ianjarannya”,
serigala tentu beranak serigala, maka selama
ini aku tidak pernah percaya padanya, meski terkadang agak baik padanya, selang
tak lama aku lantas memakinya lagi.
Ai percumalah diriku maha pintar dan cerdik,
kalau bicara tentang kejujuran dan ketulusan terhadap orang lain mana aku dapat
dibandingkan dengan kakak Cing.”
Melihat nyonya Kwe itu termangu dan
mengembeng air mata, Li Bok-chiu menyangka orang sedang menguatirkan
keselamatan anaknya, maka ia berusaha menghiburnya:
“Kwe-hujin, puterimu belum sebulan terlahir
dan sudah mengalami bencana begini, namun tetap selamat tak kurang sesuatupun
apa. Bayi mungil menyenangkan seperti dia itu, biarpun momok yang ditakuti
orang macamku ini juga jatuh hati padanya, maka dapat dipahami kalau bayi itu
mempunyai rejeki besar, Hendaknya kaupun berdoa saja bagi keselamatannya,
marilah pergi mencari nya”
Oey Yong mengusap air mata, ia pikir ucapan
Li Bok-chiu itu ada benarnya juga, maka ia lantas membuka lagi Hiat-to orang
yang ditutuknya tadi dan berkata: “Terima kasih banyak bahwa kau suka pergi
bersamaku untuk mencari puteriku itu.
Tapi kalau engkau ada urusan lain, biarlah
kita berpisah saja aisini, sampai berjumpa pula kelak,”
“Urusan penting lain apa? Kalau ada urusan
penting, kiranya tidak lebih penting daripada mencari anak itu. Eh, tunggu
sebentar!” habis ini Li Bok-chiu terus menyusup lagi ke dalam gua di balik
pepohonan sana untuk membuka tali pengikat kaki macan tutul.
Begitu merasa bebas, dengan meraung sekali
macan tutul itu terus melompat pergi dengan cepat. Tentu saja Oey Yong heran.
“Untuk apa kau menawan macan tutul itu?” tanyanya.
“Dia itulah mak inang puterimu,” tutur Li
Bok-chiu dengan tertawan.
Baru sekarang Oey Yong paham, ia tersenyum,
keduanya lantas kembali ke kota kecil itu untuk mencari jejak Yo Ko.
Setiba di sana, tertampak Kwe Hu sedang
celingukan dan bingung. Nona itu menjadi girang melihat datangnya sang ibu,
segera ia berseru: “lbu, adik dibawa…” belum habis ucapannya, ia kaget karena
melihat yang mengikut di belakang sang ibu ternyata Li Bok-chiu adanya.
“Bibi Li akan bantu kita mencari adikmu,”
tutur Oey Yong kemudian, “Bagaimana dengan adikmu?”
“Adik dibawa lari Yo Ko, malahan kuda merah
kita juga dirampasnya.” jawab Kwe Hu.
“Lihatlah pedangku ini. Dengan kebasan lengan
bajunya yang tak berlengan itu, segera pedangku jadi begini.”
“Hanya dengan lengan baju?” tanya Oey Yong
dan Li Bok-chiu berbareng.
“Ya, sekali kebas saja pedang ini lantas
bengkok, sungguh aneh, entah ilmu hitam apa yang berhasil dikuasainya pula,”
kata Kwe Hu.
Oey Yong dan Li Bok-chiu saling pandang
sekejap dengan terkesiap.” Mereka tahu kalau, tenaga dalam seorang sudah
terlatih sempurna, maka dengan sesuatu benda yang lunak pun dapat digunakan
untuk menghantam benda lawan yang keras, untuk mencapai tingkatan itu
sedikitnya juga perlu waktu beberapa puluh tahun kalau mendapatkan guru yang
mahir, namun usia Yo Ko masih muda belia, masakah Lwekangnya sudah mencapai
puncaknya seperti ini?”
Hati Oey Yong merasa lega juga ketika
mengetahui Kwe Yang memang digondol oleh Yo Ko. sedangkan Li Bok-chiu berpikir
tentang kehebatan Kang hu anak muda itu tentulah berkat ilmu yang diperolehnya
dari Giok-li-sim-keng, kalau saja sekarang dirinya membantu Kwe-hujin merebut
kembali puterinya, sebagai imbalannya tentu nyonya Kwe itupun mau membantunya
rebut kembali kitab pusaka itu.
Bcgitutah setelah tanya arah perginya Yo Ko,
kemudian
Oey Yong berkata pula kepada Kwe Hu: “Kaupun
tidak perlu lagi pulang ke Tho-hoa-to marilah ikut pergi mencari Nyo-toako.”
Tentu saja Kwe Hu kegirangan dan mengiakan
berulang2.
Tiba-tiba Oey Yong menarik muka dan berkata
pula: “Kau harus bertemu dengan dia, tak peduIi dia mau-mengampuni kau atau tidak, kaulah yang harus minta maaf
padanya dengan setulus hati.”
“Tapi Kwe Hu tidak dapat menerima, katanya:
“Mengapa begitu? Bukankah dia telah mencuik adik?”
Oey Yong lantas menceritakan secara ringkas
apa yang didengarnya dari Li Bok-chiu, dan menambahkan “Kalau dia bermaksud
jahat, mana bisa adikmu hidup sampai sekarang?
Lagi pula, dengan kebutan lengan bajunya itu,
kalau saja yang diincar adalah kepalamu, coba bayangkan, bagaimana keadaanmu
sekarang?”
Ngeri juga hati Kwe Hu mendengar ucapan sang
ibu, ia pikir betul juga omongan ibunya, “tapi apakah benar Yo Ko sengaja
bermurah hati padanya? Dasar anak manja, betapapun mulutnya tidak mau kalah,
katanya pula: “Dia menggondol adik ke arah utara, tentu dia menuju ke
Coat-ceng-kok.”
“Tidak, dia pasti pulang ke Cong-lam-san.”
ujar Oey Yong.
Kwe Hu masih penasaran, jawabnya: “lbu selalu
membantu dia saja, Padahal kalau dia bertujuan baik, untuk apa dia membawa adik
ke Cong-Iam-san “
Oey Yong menghela napas katanya: “Kau
dibesarkan bersama Nyotoako, ternyata kau masih belum kenal wataknya, selamanya
dia bertinggi hati dan angkuh, tidak tahan dihina orang, Ketika mendadak kau
mengutungkan lengannya, dia merasa tidak sampai hati hendak balas membuntungi
lenganmu tapi iapun tidak rela kalau menyudahi begitu saja urusan ini, dia
sengaja membawa pergi adikmu agar kita dibuatnya kelabakan dan bersedih.
Selang sementara waktu, kalau dongkolnya
sudah mereda, kuyakin dia pasti akan mengembalikan adikmu itu, Nah, paham tidak
sekarang?” Tegasnya.
“Karena kau memfitnah dia menculik adikmu,
maka ia betul-betul lantas sengaja menculiknya.”
Oey Yong memang sangat cerdas dan pintar,
setelah mendengarcerita Li Bok-chiu, jalan pikiran Yo Ko ternyata dapat diraba
dan diukurnya dengan tepat padahal Siao-liong-li dan Kwe Ceng menganggap Yo Ko
teramat baik, sebaliknya Li Bok-chiu dan Kwe Hu justeru menganggap anak muda
itu terlampau busuk. Sampai saat ini, satu-satu-nya yang betul-betul memahami
jalan pikiran dan watak Yo Ko ternyata hanya Oey Yong saja.
Begitulah akhirnya Kwe Hu tak berani bicara
Iagi. Mereka lantas mendatangi warung makan semula untuk meminjam alat tulis,
Oey Yong menulis suatu surat singkat dan memberi persen kepada pelayan agar
segera mengirimkan surat itu kepada Kwe Ceng di Siangyang. Habis itu mereka
bertiga lantas membeli kuda dan berangkatlah ke Cong-lam-san.
Kwe Hu tidak menyukai Li Bok-chiu, sepanjang
jalan sikapnya dingin dan jarang bicara dengan dia.
Hari itu lewat lohor, tengah mereka
melanjutkan perjalanan, tiba-tiba dari depan seorang penunggang kuda mendatangi
secepat terbang
“Hei, itulah kuda merah kita….” seru Kwe Hu,
belum habis ucapannya, penunggang kuda itu mendekat dan segera Kwe Hu melompat
maju.
Kuda itu memang betul kuda Kwe Hu yang
dirampas Nyo Ko itu, sebelum Kwe Hu meraih tali kendali, kuda merah itu sudah
lantas-berhenti mendadak sambil berjingkrak dan meringkik kegirangan karena
mengenali sang majikan.
Waktu Kwe Hu mengamati penunggangnya, kiranya
seorang nona berbaju hitam yang pernah berjumpa satu kali dahulu waktu bersama
mengeroyok Li Bok-chiu yaitu Wanyan Peng.
Rambut nona itu tampak kusut masai, wajahnya
pucat, keadaannya mengenaskan.
“He, kenapa kau, Wanyan-taci?” tanya Kwe Hu
cepat.
“Di sana, lekas…” jawab Wanyan Peng dengan
suara terputus-putus sambil menuding ke belakang, mendadak tubuhnya tergeliat
terus terperosot jatuh ke bawah kuda.
Cepat Kwe Hu melompat turun untuk
membangunkan nona itu, ternyata Wanyan
Peng sudah pingsan, pundaknya
terluka dan merembes darah segar. Segera Kwe Hu
membubuhi obat luka dan merobek kain baju untuk membalut lukanya sambil berkata
kepada sang ibu: “iniiah Wayan-cici yang pernah kukatakan itu.” Habis berkata ia melotot sekali pada Li Bok-chiu.
Oey Yong pikir sebelum jatuh
pingsan Wayan
Peng sempat menuding ke sana, tentu di sana terjadi sesuatu dan
mungkin ada kawannya yang masih perlu ditolong. Cepat ia suruh Kwe Hu memonong Wayan Peng
ke atas kuda merah dan memberi pesan agar mengikutinya dari belakang. Habis ini
ia memberi tanda kepada Li Bok-chiu
dan mengajaknya berlari ke arah utara dengan Ginkang mereka yang tinggi.
Sekaligus mereka berlari belasan li tanpa
berhenti benar juga sayup-sayup terdengar suara beradunya senjata di lereng
bukit sana.
Mereka mempercepat langkah, setelah melintasi bukit itu, terlihatlah ada lima orang sedang
bertempur sengit di suatu tanah datar di depan sana.
Dua di antara lima orang itu, adalah kedua saudara Bu,
selain itu ada lagi seorang pemuda dan seorang pemudi yang tak dikenal,
berempat sedang mengerubuti seorang lelaki setengah umur.
Meski empat mengeroyok satu, tapi tampaknya
masih kewalahan, lebih banyak terserang daripada menyerang.
Tampaknya kedua, saudara Bu sudah terluka,
hanya pemuda itu dengan pedangnya yang berputar dengan cepat hampir menangkis
sebagian besar serangan lelaki setengah umur itu, di samping sana tampak
menggeletak pula seorang berewok dan berlumuran darah, ternyata Bu Sam-thong
adanya.
Yang aneh adalah senjata lelaki itu, tangan
satu
menggunakan golok emas, tangan lain memainkan
pedang panjang lentik warna hitam, gerak serangannya aneh, tapi luar biasa.
Oey Yong pikir kalau tidak
lekas turun tangan, tentu kedua saudara Bu itu bisa celaka, Segera ia berkata
kepada Li Bok-chiu: “Kedua anak muda itu adalah
muridku.”
Li Bok-chiu hanya tersenyum saja, sudah tentu
ia kenal kedua Bu cilik itu sebab ibu mereka terbunuh olehnya, ia lihat ilmu silat lelaki setengah umur itu sangat
tinggi, diam-diam ia terkejut, segera ia siapkan kebutnya dan berkata: “Marilah
kita maju bersama!”
Oey Yong juga keluarkan pentungnya, dua orang
terus menerjang maju dari kanan-kiri, kebut Li Bok-chiu melayani pedang hitam
lawan dan Oey Yong menghadapi golok emas musuh.
Leaki itu bukan lain daripada Kongsun Ci, ia
terkejut juga ketika mendadak dua wanita setengah baya dan cantik mengerubutnya
sekaligus. Terdengar Li Bok-chiu berseru:
“Satu!”
Ketika kebutnya menyabet lagi segera ia
berseru pula:
“Dua!”
Rupanya diam-diam ia ingin berlomba dengan
Oey Yong untuk mendahului menjatuhkan senjata lawan, Tapi meski dia sudah
berteriak sampai hitungan ke sepuluh, ternyata Kongsun Ci masih tetap dapat
menahan dan balas menyerang juga.
Anak muda yang berpedang tadi melihat ada
kesempatan, ber-turut-urut ia terus menyerang tiga kali ke punggung Kongsun Ci,
serangan-serangan lihay ini membuat Kongsun Ci rada kerepotan karena dia tidak
mau menangkisnya, terpaksa ia melompat maju untuk melepaskan diri dari
kerubutan itu.
la tahu kalau pertempuran dilanjutkan tentu
dirinya akan celaka. mendadak kedua senjata sendiri ia adu hingga menguarkan
suara mendenging dan bergaya hendak menerjang lagi.
Oey Yong dan Li Bok-chiu juga menyadari
kelihayan lawan, mereka tidak berani gegabah dan siap bertahan. Tak terduga
baru saja tubuh Kongsun Ci terangkat ke atas, ternyata tidak melompat maju
melainkan menyurut mundur malah, hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah
lari sampai diatas bukit.
Diam-diam Oey Yong dan Li Bok-chiu mengakui
kclicinan orang itu dan tinggi pula ilmu silatnya, kalau saja kepergok satu
lawan satu mungkin diri sendiri bukan tandingannya.
Dalam pada itu kedua saudara Bu lantas
memberi hormat kepada sang ibu guru, sesudah itu mereka terus melotot kepada Li
Bok-chiu dengan sikap memusuhi.
“Dendam Iama sementara
ini kesampingkan dahulu,” kata Oey Yong.. “Luka ayahmu parah tidak? Eh,
siapakah kedua anak muda ini? Wah, celaka, Lekas ikut aku ke sana, Li-cici!” –
Habis berseru ia terus mendahului lari ke arah kedatangannya tadi.
Li Bok-chiu tidak paham
maksud seruan Oey Yong itu, namun ia tetap ikut lari kesana sambil berteriak:
“Ada apa?”
“Anak Hu,” jawab Oey
Yong sambi lari, “Anak Hu kebetulan akan kepergok orang tadi.”
Begitulah mereka terus
berlari sekencangnya, namun Kongsun Ci juga tidak kurang cepatnya, sementara
itu ia sudah meninggalkan satu - dua li jauhnya. Baru saja Oey Yong berdua
sampai di atas bukit, Kongsun Ci sendiri sudah berada di kaki bukit, tertampak
Kwe Hu yang membawa Wanyan Peng dengan menunggang kuda merah itu sedang menanjak
ke atas dengan pelahan.
“Awas, Hu-ji!” seru Oey
Yong dari jauh, Belum lenyap suaranya mendadak kelihatan Kongsun Ci mencemplak
ke atas kuda merah, sekaligus Kwe Hu
telah di bekuk olehnya, menyusul tali kendali kuda merah itu ditarik hendak
dibelokkan ke sana.
“Oey Yong yang menjadi
kuatir, harapannya kini hanya terletak pada kuda merah itu, cepat ia bersuit
untuk mengundang kuda itu. Dasar kuda merah itu memang binatang cerdik, begitu
mendengar suara panggilan sang majikan, terus saja kabur ke atas bukit secepat
terbang.
Keruan Kongsun Ci
terkejut, pikirnya: “Sungguh sial, masakah seekor kuda saja takdapat
ku-kuasai?” Sekuatnya ia berusaha menarik tali kendali, tapi karena sentakan
mendadak itu, kuda merah lantas berjingkrak dan meringkik.
Sebisanya Kongsun Ci
berusaha memutar kuda itu ke arah lain,namun kuda merah itu lantas mendepak2
sambil mundur-mundur ke atas bukit malah.
Tentu saja Oey Yong
bergirang, cepat ia memburu maju.
Merasa tidak sanggup mengatasi kebandelan
kuda merah itu, sedangkan kedua lawan tangguh sudah memburu tiba, terpaksa
Kongsun Ci menyimpan senjatanya, tangan yang satu ia kempit Kwe-Hu dan tangan
lain mengempit Wanyan Peng, ia terus melompat turun dari kuda dan kabur dengan
cepat.
Kongsun Ci sungguh lihay,
biarpun membawa dua nona larinya tetap secepat terbang. Tapi Gin-kang Oey Yong
dan Li Bok-chiu juga kelas wahid, tidak seberapa lama dapatlah mereka menyusul
tiba. jaraknya tinggal belasan meter saja.
Sekonyong-konyong Kongsun Ci berhenti dan
membalik tubuh sambil berkata: “Heh, kalau kupiting sekuatnya, kukira kedua
anak perempuan cantik ini akan menghadapi Giam-lo-ong (raja akhirat).”
Oey Yong terkesiap, tanyanya kemudian:
“Siapakah kau?
selamanya kita tidak kenal, mengapa kau
menawan puteriku?”.
“O, inikah puterimu? jadi kau ini nyonya
Wan-yan?” tanya Kongsun Ci dengan tertawa.
“Yang inilah puteriku,” kata Oey Yong sambil
menunjuk Kwe Hu.
Kongsun Ci memandang sekejap pada KweHu, lalu
memandang Oey Yong pula, dengan cengar-cengir lalu berkata:
“Wah, sangat cantik, ibu dan anak sama-sama
cantiknya, sungguh cantik!”
Tentu saja Oey Yong sangat gusar, tapi apa
daya, puterinya berada dalam cengkeraman musuh, terpaksa harus bersabar dan
mencari akal.
Selagi hendak bicara pula, mendadak terdengar
suara mendesir dari belakang, dua anak panah menyamber lewat di pipi kirinya
dan langsung mengarah muka Kongsun Ci.
Kekuatan kedua anak panah itu sungguh luar
biasa, suara mendesingnya sangat keras, dari suara mendesing panah itu hampir
saja Oey Yong berteriak kegirangan, sebab disangkanya sang suami (Kwe-Cing)
sudah tiba.
Maklumlah kemahiran memanah jarang dimiliki
tokoh persilatan daerah Tionggoan, sedangkan jago panah Mongol banyak yang tidak memiliki tenaga dalam yang
kuat dan sukar mencapai jauh, maka dari suara mendesingnya panah yang keras tadi,
Oey Yong merasa tiada orang lain lagi kecuali Kwe Cing yang mampu memanah
sehebat itu.
Kongsun Ci itu juga maha lihay, kedua
tangannya tak dapat digunakan menangkap anak panah yang menyambar tiba itu,
mendadak ia membuka mulut dan menggigit tepat ujung panah pertama menyusul
kepalanya sedikit menggeleng sehingga panah kedua dapat disampuk jatuh dengan
panah yang digigitnya itu.
Oey Yong menjadi ragu, apakah sang suami yang
memanah, sebab ia yakin jika Kwe Ceng yang-memanah dan musuh berani menggigit
dengan mulutnya, mustahil tenggorokannya takkan tembus oleh anak panah itu.
Dalam pada itu terdengar pula suara mendesing
ber turut-urut, sekaligus sembilan panah menyamber pula ke muka Kongsun Ci
secara susul menyusul. Mau-tak-mau Kongsun Ci
menjadi kelabakan terpaksa ia lepaskan kedua nona dan meloIos senjata untuk
menangkis.
Selagi Oey Yong hendak menubruk maju untuk
menyelamatkan puterinya, tahu-tahu sesosok bayangan telah menggelinding ke
depan, Kwe Hu dirangkulnya terus berguling lagi ke samping, Tapi sebelum orang
itu melompat bangun, tangan Kongsun Ci yang lain terus menghantam kepala orang
itu.
Dalam keadaan masih telentang orang yang
menolong Kwe Hu itu sempat menangkis dengan tangannya, “blang”, debu pasir
berhamburan Kong-sun Ci berseru: “Bagus!”
Menyusul pukulan ke dua dilontarkan pula
dengan lebih dahsyat.
Tampaknya orang itu sukar menangkis lagi,
cepat Oey Yong mengulur pentung bambunya dan menangkiskan pukulan itu.
Merasa dirinya pasti takkan mampu menghadapi
kerubutan orang banyak itu, Kongsun Ci tidak menyerang pula, ia terbahak dan
melompat mundur terus melangkah pergi.
Gayanya indah, caranya tangkas pula dan
ternyata tiada yang berani mengejarnya Iagi.
Setelah berbangkit, orang yang merangkul Kwe
Hu tadi lantas melepaskan si nona, pinggang orang itu membawa busur,
perawakannya tinggi dan bahunya lebar, segera Ui Yong mengenalinya scbapai
pemuda yang berpedang tadi, ke-11 anak panah yang dibidikkan secara berantai
itu tentu pula dilakukan oleh anak muda ini.
Meski tertawan Kongsun Ci, tapi Kwe Hu tidak
mengalami luka, segera ia menyapa pemuda yang menolongnya itu dengan muka merah
jengah: “Eh, kiranya Yalu-toako, terima kasih atas pertolonganmu! “
Dalam pada itu Bu Siu-bun dan nona satunya
lagi sudah memburu tiba, hanya Bu Tun-si saja yang tinggal di sana menjaga
ayahnya.Pantasnya Bu Siu-bun mesti memperkenalkan mereka, tapi dia ternyata
tidak dapat menahan marah dan dendamnya, kedua matanya melotot benci kepada Li
Bok-chiu dan lupa keadaan sekitarnya, dua kali Oey Yong memanggilnya juga tidak
mendengar Kwe Hu lantas bicara pada sang ibu sambil menunjuk pemuda yang
menolongnya itu: “Mak inilah Yalu-toako!” Lalu ia tuding pula nona yang datang
bersama Bu Siu-bun dan menambahkan: “Dan ini Yalu-cici.”
“Oh, hebat benar kepandaian kalian berdua!”
puji Oey Yong.
Kedua saudara Yalu itu mengucapkan kata-kata
rendah hati sambil memberi hormat sedangkan Li Bok
chiu berdiri menjauhi di sana
tanpa urus orang-orang lain.
“Gaya ilmu silat kalian nampaknya dari
Coan-cin-pay, entah kalian ini murid Coan-cin-jit-cu yang mana?” tanya Ui Yong
pula, ia menyaksikan kepandaian Yalu Ce yang hebat, antara angkatan muda yang
pernah dilihatnya, kecuali Yo Ko saja boIeh dikatakan tiada bandingannya lagi
maka ia yakin Yalu Ce pasti bukan anak murid -Coan-cin-pay angkatan ketiga atau
keempat.
Dengan rendah hati Yalu Yan berkata:
“Kepandaianku sih ajaran kakak”
Oey Yong mengangguk dan memandang Yalu Ce.
Tampaknya Yalu Ce- merasa sungkan untuk
menerangkan, jawabnya kemudian: “Pantasnya Wanpwe harus menjelaskan pertanyaan
Cianpwe, cuma Suhu pernah memberi pesan agar jangan sekali-kali menyebut nama
beliau, sebab itulah mohon Kwe-hujin sudi memaafkan.”
Semula Oey Yong terkesiap, ia heran mulai
kapan Coan cin jit-cu memakai peraturan aneh yang melarang anak murid menyebut
nama gurunya? Tapi cepat tergerak pikirannya, mendadak ia tertawa
terpingkal-pingkal seperti teringat kepada sesuatu yang sangat lucu.
“He. apakah yang menggelikan engkau, bu”
tanya Kwe Hu heran.
Akan tetapi Oey Yong tidak menjawab dan tetap
tertawa Yalu Ce ternyata tidak tersinggung, malahan iapun tersenyum dan
akhirnya berkata: “Kiranya Kwe-hujin, dapat menerkanya.”
Kwe Hu tetap bingung, waktu ia pandang Yalu
Yan, nona itupun merasa tidak paham apa yang ditertawakan kedua orang itu.
Di samping sana Bu Siu-bun telah
membalut luka Wanyan Peng yang menjadi pecah lagi karena ditawan dan dibanting
pula oleh Kongsun Ci tadi.
“Bagaimana keadaan ayahmu Siu-bun?” tanya Oey
Yong.
Belum Siu-bun menjawab, tiba-tiba Yalu Yan
berseru terus berlari ke tempat-Bu Sam-thong menggeletak.
“Luka ayah terletak di paha kiri, terkena
serangan tua bangka Kongsun itu,” tutur Siu-bun.
Oey Yong mengangguk lalu ia mendekati kuda
merah dan mengelus bulu surinya yang panjang itu, katanya dengan terharu: “Oh,
kudaku sayang, sungguh besar jasamu terhadap keluarga Kwe kami.”
Ternyata Bu Siu-bun tidak lagi bersikap akrab
terhadap Kwe Hu, sebaliknya tampak sangat simpatik kepada Wanyan Peng, entah
sengaja hendak membikin sirik Kwe Hu atau memang pemuda itu jatuh hati kepada
Wanyan Peng, betapapun Oey Yong juga tidak sempat urus persoalan anak-anak muda
itu, segera ia berlari ke tempat Bu Sam-thong untuk memeriksa keadaannya.
Melihat Oey Yong, Bu Sam-thong bermaksud
berdiri, tapi karena kakinya terluka, tubuhnya menjadi sempoyongan, cepat Bu
Tun-si dan Yalu Yan memegangi orang tua, ketika jadi kedua muda-mudi itu saling
sentuh, keduanya saling pandang dan tersenyum penuh arti.
Diam-diam Oey Yong geli, pikirnya: “Rupanya
ada satu pasangan lagi, padahal beberapa hari yang lalu kedua saudara Bu cilik
itu baru berkelahi mati-matian berebut anak Hu tanpa menghiraukan hubungan baik
saudara sekandung, sekarang setelah menemukan nona cantik lain, seketika segala
kejadian yang lalu terlupa sama sekali”
Bahwasanya kedua saudara Bu jatuh hati kepada
Kwe Hu sebenarnya bukanlah sesuatu yang aneh, soalnya mereka dibesarkan bersama
di Tho-hoa-to, di pulau terpencil itu tiada anak perempuan lain, lama2 tentu
saja menimbulkan bibit cinta antara mereka.
Tapi kemudian setelah mengetahui Kwe Hu
ternyata tidak mencintai mereka, dengan sendirinya kedua Bu cilik itu sangat
kecewa dan putus asa, hidup mereka terasa himpa dan tiada artinya, Tak terduga
tidak iama kemudian mereka lantas ketemukan Yalu Yan dan Wanyan Peng,
masing-masing ternyata rada cocok dengan kedua saudara Bu itu.
Kini mereka saling bertemu lagi, diam-diam
kedua Bu cilik membandingkan Kwe Hu dengan buah hati mereka yang baru, Dan
pameo “cinta buta” juga berlaku di sini, dalam anggapan mereka tentu segala
sesuatu kekasihnya jauh lebih baik.
Sebenarnya kedua saudara Bu sudah bersumpah
takkan menemui Kwe Hu lagi, tapi pertemuan ini terjadi mendadak dan kepergok,
jadi bukan sengaja hendak bertemu, mereka anggap bukan melanggar sumpah.
Dalam hati Kwe Hu sendiri sedang membayangkan
kejadian Yalu Ce menolongnya tadi, beberapa kali ia melirik anak muda yang
gagah dan cakap itu, ia menjadi heran ilmu
silatnya ternyata begini hebat, dan anak muda itupun saling pandang dan
tertawa geli, entah apa pula yang ditertawakan mereka.
Begitulah setelah memeriksa luka Bu Sam-thong
dan ternyata tidak parah, Oey Yong merasa lega, mereka lantas ambil tempat
duduk di batu karang dan saling menceritakan pengalaman masing-masing selama
berpisah.
Kiranya tempo hari ketika Cu Cu-Iiu ikut
paman gurunya, yaitu si paderi Hindu itu mencari obat ke Coat-ceng-kok, secara
diam-diam Bu Sam-thong juga mengikut ke sana demi untuk membalas budi kebaikan
Yo Ko.
Tapi baru saja sampai di luar kota,
dilihatnya kedua puteranya juga keluar kota bersama, ia terkejut dan kuatir
kalau kedua saudara sekandung itu akan duel pula, cepat ia menegur dan menanyai
kedua puteranya itu, akhirnya baru diketahui bahwa kedua Bu cilik telah
bersumpah takkan bertemu lagi dengan Kwe Hu, maka mereka tidak ingin tinggal
lagi di Siangyang. Karena itulah mereka bertiga lantas
menuju ke Coat-ceng-kok.
Tapi Coat-ceng-kok itu
mirip suatu dunia lain, meski Nyo Ko telah memberitahukan keadaan tempat itu
secara garis besar, tapi sungguh sukar menemukan jalan masuknya, Mereka
ber-putar-putar kian kemari dan beberapa kali kesasar, akhirnya dapat juga
menemukan mulut lembah itu.
Tak terduga paderi Hindu
dan Cu Cu-liu berdua ternyata sudah tertawan oleh Kiu Jian-jio. Bcberapa kali
Bu Sam-thong bertiga berusaha menolong mereka, tapi selalu gagal dan terpaksa
keluar dari lembah itu dengan maksud pulang Siangyang untuk mencari bala
bantuan, tak tahunya di tengah jalan mereka kepergok pula dengan Kongsun Ci,
mereka dituduh sengaja berkeliaran di
lembah itu sehingga terjadilah pertarungan sengit.
Bu Sam-thong bukan
tandingan Kongsun Ci dan kakinya tertusuk pedang, sebenarnya Kongsun Ci juga
tidak bermaksud mencelakai jiwa mereka, dia ingin mengusir mereka saja dan
melarang mereka datang lagi ke situ.
Justeru pada saat itu
juga Yalu Ce dan Yalu Yan serta Wanyan Peng juga lewat di situ, Ketiga muda-mudi
itu pernah bertemu satu kali dengan kedua Bu cilik, mereka lantas berhenti dan
sapa menyapa.
Kongsun Ci baru saja
gagal menikahi Siao-liong-li dan habis di usir sang isteri, dia sedang kesepian
dan mendongkol tiba-tiba dilihatnya Wanyan Peng berwajah cantik, seketika
timbul napsu jahatnya, mendadak ia turun tangan dan hendak menawan Wanyan Peng.
Tentu saja kedua saudara Yalu dan kedua Bu cilik tidak tinggal diam, serentak
mengerubut Kongsun Ci.
Kalau saja Bu Sam-thong
tidak terluka lebih dulu, dengan gabungan mereka berenam mestinya dapat
menandingi Kongsun Ci, kini yang dapat diandalkan hanya Yalu Ce saja, biarpun
mereka main keroyok juga sukar menandingi musuh yang lihay itu.
Untunglah pada saat itu
kuda merah yang-tempo hari dibawa Yo Ko dan dilepas di Cong-Iam-san itu kini
telah lari pulang, Cepat Siu-bun mencegat kuda itu dan membiarkan Wanyan Peng
kabur dengan menunggang kuda merah, tapi Wanyan Pcng telah bertemu dengan Oey
Yong dan Li Bok-chiu dan akhirnya Kongsun Ci dihalau pergi.
Kemudian Oey Yong juga
menceritakan secara ringkas tentang buntungnya lengan Yo Ko serta membawa lari
Kwe Yang, Bu Sam-thong terkejut, cepat ia menjelaskan sebabnya Yo Ko mengaku
telah bertunangan dengan Kwe Hu adalah ingin menolong kedua Bu cilik agar tidak
saling membunuh antara saudara sendiri, siapa duga akibatnya malah membikin
susah Yo Ko.
Dasar watak Bu Sam-thong
memang keras dan pemberang, mengingat buntungnya Yo Ko itu adalah gara-gara
kedua anaknya itu, makin dipikir makin marah, mendadak ia terus menuding Siu-bun
dan Tun-si terus dicaci maki, kalau kakinya tidak terluka, bisa jadi ia terus
mendekati kedua Bu cilik dan menggamparnya.
Saat itu Tun-si dan
Siu-bun sedang asyik-bicara dengan Yalu Yan dan Wanyan Peng, tidak lama Kwe Hu
dan Yalu Ce ikut bicara, usia keenam orang sebaya, tapi bahu membahu bertempur
pula maka obrolan mereka menjadi bersemangat.
Siapa tahu mendadak Bu
Sam-thong terus mencaci-maki, keruan Siu-bun dan Tun-si menjadi bingung, mereka
tidak tahu apa sebabnya sang ayah mendadak marah, mereka sama melirik Yalu Yan
dan Wanyan Peng, betapapun mereka merasa malu mendapatkan damperatan begitu di
depan si nona jelita.
Apalagi kalau sampai
sang ayah membongkar rahasia hubungan mereka dengan Kwe Hu, tentu akan membikin
mereka tambah runyam.
Melihat keadaan serba
kikuk, cepat Oey Yong menyela, katanya: “Sudahlah, hendaklah Bu-heng jangan
gusar lagi, buntungnya tangan Yo Ko adalah karena kekurangajaran puteriku,
tatkala mana kakak Cing juga sangat murka dan hampir saja tangan anak Hu juga
dikutunginya.”
“Bagus, seharusnya begitu!” seru Bu Sam-thong.
Kwe Hu mendelik sekejap
kepada orang tua yang sok tahu itu, kalau saja ibunya tidak di situ, mungkin
dia sudah balas olok-olok Bu
Sam-thong.
Oey Yong lantas berkata pula:
“Bu-heng, sekarang urusannya sudah jelas, jadi kita telah salah menuduh si Nyo
Ko. Paling penting sekarang kita harus menemukan Yo Ko dan minta maaf padanya.”
“Benar benar!” berulang-ulang Sam-thong
menyatakan setuju.
“Selain itu kita harus pergi ke Coat-ceng-kok
untuk menolong susiokmu dan Cu-toako. berbareng itu, kita akan memintakan obat
penawar bagi Yo Ko. Cuma tidak diketahui mengapa Cu-toako sampai terkurung
musuh dan bagaimana keadaannya sekarang?”.
“Susiok dan Sute tertawan oleh barisan jaring
musuh dan sekarang terkurung di suatu kamar batu, tampaknya jiwa mereka tidak
begitu menguatirkan,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar