Li Bok-chiu |
Kembalinya Pendekar Rajawali 39
Dilihatnya si pandai besi menghela napas
panjang, air matapun bercucuran dan menetes pada lempengan besi yang membara
itu sehingga terdengar suara mendesis terbakarnya butiran air. Melihat keadaan
itu, perasaan Li Bok-chiu ikut terharu juga, Tapi dalam sekejap saja pikirannya
sudah berubah dan kembali pada wataknya yang kejam, ia pikir pihak lawan telah
bertambah lagi seorang pembantu, tapi pandai besi ini cacad, betapapun
kepandaiannya juga terbatas.
Begitulah Li Bok-chiu lantas menjengek “Hm.,
Pang Bik-hong, selamat atas pertemuan kalian sesama saudara seperguruan !”
Memang betul pandai besi tua she Pang ini
adalah murid terkecil Oey Yok-su yang bernama Pang Bik-hong. Dahulu Tan
Hian-hong dan Bwe Ciau-hong melarikan diri dari Tho-hoa-to dengan menggondol
Kiu-im-sin-keng, tentu saja Oey Yok-su sangat murka, akibatnya semua
muridnya terkena getahnya, ia patahkan kaki para muridnya itu dan mengusir
mereka dari Tho-hoa-to.
Ki Leng-hong dan Liok Seng-hong dipatahkan
kedua kakinya, tapi Oey Yok-su paling sayang kepada murid terkecil yaitu Pang
Bik-hong, maka hanya kaki kiri saja yang dipatahkannya walaupun begitu Pang
Bik-hong tidak menjadi sakit hati kepada sang guru, ia merasa utang budi karena
jiwanya juga diselamatkan oleh gurunya itu, maka ia tidak dendam terhadap apa
yang dilakukan sang guru kepadanya itu, hanya saking berdukanya ia lantas
mengasingkan diri ke pedesaan ini dan sudah lebih 30 tahun tinggal di sini
sebagai pandai besi, sama sekali ia tidak berhubungan lagi dengan orang Kangouw
meskipun ilmu silatnya tak pernah dilakukannya.
Sebab itulah Liok Seng-hong dan kakak
seperguruannya yang lain mengira dia sudah meninggal Tak tersangka hari ini dia
dapat bertemu dengan Thia Eng dan mendengar berita tentang sang guru, saking
terharunya air matanya lantas bercucuran.
Sudah tentu Yo Ko dan Liok Bu-siang
kegirangan demi mengetahui si pandai besi she Pang ini adalah Suhengnya Thia
Eng, mereka yakin anak murid Oey Yok-su pasti bukan jago lemah dan itu berarti
pihaknya telah bertambah bala bantuan.
Tapi Li Bok-chiu telah menjengek pula: “Hm,
gurumu sudah mengusir kau, tapi kau masih terkenang padanya, sungguh aneh,
pokoknya begini, ketiga bocah ini akan kubunuh, sebaiknya kau jangan ikut
campur.”
“Meski aku pernah belajar silat, tapi selama
hidupku tak pernah berkelahi dengan siapapun, apalagi aku sudah cacat kaki,
untuk berkelahi juga tidak dapat,” ujar Pang Bik-hong, si pandai besi tua.
“Ya, memang begitulah, tidak perlu jiwamu
ikut dikorbankan,” kata Li Bok-chiu.
“Tidak,” tiba-tiba Pang Bik-hong menggeleng
kepala, “betapapun kau tak boleh mengganggu seujung rambut Sumoayku, beberapa
orang ini adalah teman Sumoayku, kaupun tidak boleh mengganggu mereka.”
Serentak timbul napsu keganasan Li Bok-chiu,
jengeknya: “Hehe, jika begitu kalian berempat boleh maju saja seluruhnya!” -
Habis berkata ia lantas berdiri dan siap menghadapi pertempuran.
Namun Pang Bik-hong tetap tenang saja
menggembleng besinya, dengan pelahan ia berkata: “Sudah lebih 30 tahun
kutinggalkan perguruan, ilmu silatku sudah lama kulupakan, sekarang aku harus
mengingat-ingatnya dahulu dan mengatur seperlunya.”
Li Bok-chiu bergelak tertawa, katanya:
“Sekian lamanya aku malang melintang di dunia ini, belum pernah kulihat orang
macam kau, di medan perang baru mengasah tombak, Pang Bik-hong, apa betul
selama hidupmu belum pernah bergebrak dengan orang?”
“Selamanya aku tak pernah bersalah kepada
siapapun, orang memukul atau memaki aku juga kubiarkan saja, dengan sendirinya
takkan terjadi perkelahian,” kata Pang Bik-hong.
“Hehe, anak murid Oey-losia benar-benar tak
becus semua dan memalukan,” ejek Li Bok-chiu.
“Li-totiang,” kata Pang Bik-hong, “kuharap
engkau jangan mengolok-olok guruku.”
“Hahaha, sudah lama orang tak mengakui kau
sebagai murid, tapi kau masih terus menyebutnya guru ini dan itu, memangnya kau
tidak malu?” jengek Li Bok-chiu pula.
Sambil menggembleng besinya, Pang Bik-hong
menjawab: “Selama hidupku penuh derita, di dunia ini hanya Suhu saja sanak
kadangku, jika aku tidak mengenangkan dan menghormati beliau, habis siapa yang
harus kupikirkan lagi?
Eh, Siau su-moay, apakah Suhu baik-baik
saja?”
“Beliau sangat baik,” jawab Thia Eng.
Seketika air muka Pang Bik-hong tampak
mengunjuk rasa girang. sementara itu besi yang di-gemblengnya itu sudah
membeku, pandai besi tua itu menanggamnya pula untuk dibakar lagi ke dalam
tungku. Tapi lantaran pikirannya sedang melayang, maka yang disodorkan ke dalam
tungku ternyata bukan besi yang sedang digembleng melainkan palu besar yang
dipegangnya itu.
Maka Li Bok-chiu tertawa mengejek puIa: “Pang
Bik-hong, boleh kau pikirkan kembali kepandaian ajaran gurumu dan tidak perlu
bingung.”
Pang Bik-hong tidak menanggapinya, ia
memandangi api tungku dengan terkesima, selang sejenak kembali ia memasukkan
pula tongkatnya ke dalam tungku.
“He, jangan keliru, itulah tongkatmu !” seru
Yo Ko dan Liok Bu-siang.
Tapi Pang Bik-hong tetap tidak menjawab dan
tetap menatapi api tungku. Aneh juga, tongkatnya ternyata tidak terbakar di
dalam tungku, sebaliknya lama-lama berubah merah membara, kiranya tongkatnya
adalah tongkat besi.
Selang tak Iama palu besar tadi juga terbakar
hingga merah, tapi tangannya yang memegangi palu dan tongkat itu ternyata tidak
merasakan panasnya besi yang membara itu.
Baru sekarang Li Bok-chiu mulai waspada, ia
menyadari pandai besi tua ini tidak boleh diremehkan, kuatir kalau orang
mendadak melancarkan serangan dan masuk perangkapnya, segera Li Bok-chiu
melompat keluar rumah dan berseru: “Pang Bik-hong, keluar sini!”
Sekali lompat Pang Bik-hong segera menyusul
keluar rumah, gerak-geriknya ternyata sangat cepat sedikitpun tidak kelihatan
tanda-tanda sebagai seorang cacat, Tongkatnya
yang merah membara itu ditancapkannya di
tanah, lalu berkata: “Li-to-tiang, kuharap jangan kau memaki guruku lagi juga
jangan membikin susah sumoayku, sudilah engkau mengampuni pandai besi tua macam
diriku ini!”
Sungguh heran Li Bok-chiu oleh sikap Pang
Bik-hong ini, masakah sudah maju di medan perang malah minta ampun kepada
lawan, Segera iapun menjawab: “Aku boleh mengampuni jiwamu, kalau kau takut
sebaiknya jangan ikut campur urusanku ini.”
“Jika begitu silakan kau membunuh diriku
dahulu !” jawab Pang Bik-hong dengan mengertak gigi, tubuhnya tampak gemetar,
agaknya disamping takut juga pantang mundur.
Li Bok-chiu angkat kebutnya terus menyabet
kepala lawan, Tapi Pang Bik-hong mengelak ke samping dengan gaya yang indah,
lantaran tangan gemetar, ia ternyata tidak berani balas rnenyerang,
Berturut tiga kali Li Bok-chiu menyerangnya
dan Pang Bik-hong selalu menghindarkan diri dengan gerakan yang indah dan
gesit, tapi tetap tidak berani balas menyerang.
Sementara itu Yo Ko bertiga ikut keluar dan
menonton disamping, mereka mencari kesempatan untuk maju membantu bila perlu.
Serangan, Li Bok-chiu semakin gencar, tapi
Pang Bik-hong memang belum pernah bertempur dengan orang, ditambah wataknya
memang ranah, betapapun serangannya tidak dapat dilontarkan.
Melihat gelagat jelek, Yo Ko pikir untuk
memancing semangat tempur tokoh yang berkepandaian tinggi ini tiada jalan lain
kecuali membuatnya marah, karena itu ia sengaja
berteriak: “Li Bok-chiu, mengapa kau memaki
Tho-hoat-tocu
manusia rendah, orang yang tidak berbudi dan
tidak tahu diri?”
Sudah tentu Li Bok-chiu sangat penasaran
karena merasa
tidak pernah berkata begitu. Namun ia tidak
menanggapi
ocehan Yo Ko itu, sebaliknya serangannya
bertambah
gencar.
Segera Yo Ko berseru pula: “Li Bok-chiu, kau
menuduh Thoa-hoa-tocu suka berzinah dengan isteri orang dan sering memperkosa
anak perempuan orang, memangnya kau pernah menyaksikannya sendiri? Kau memaki
beliau suka mengkhianati kawan dan menjual teman, apakah betul tuduhanmu itu?”
Sudah tentu Thia Eng merasa bingung,
sebaliknya Pang Bik-hong mengira apa yang dikatakan Yo Ko betul terjadi, ia
menjadi murka terhadap Li Bok-chiu, serentak timbul keberaniannya palu dan
tongkat bekerja sekaligus terus menghantam ke arah Li Bok-chiu dengan membawa
hawa panas.
Li Bok-chiu tak berani menyambut serangan
hebat ini, cepat ia melompat ke samping dan mencari peluang untuk balas
menyerang.
Segera Yo Ko berseru pula: “Li Bok-chiu, kau
memaki Tho-hoa-tocu sebagai manusia tidak tahu malu, kulihat kau sendiri yang
tidak kenal malu !”
Makin gusar Pang Bik-hong, palu dan
tongkatnya terus menghantam musuh dengan tangkas luar biasa, semula dia rada
kaku memainkan kedua macam senjatanya itu, tapi lambat-laun dia mulai biasa
dengan permainan ilmu silatnya.
Kalau bicara tentang keuletan, sebenarnya
selisih kedua orang tidak jauh, tapi Li Bok-chiu sudah lama malang melintang di
dunia Kangouw: entah sudah berapa banyak pertempuran yang di-alaminya,
pengetahuan dan pengalamannya entah berapa kali lebih banyak daripada Pang
Bik-hong, apalagi Pang Bik-hong cacat sebelah kaki, lama-2 tentu kewalahan dan
kalah.
Benar saja, setelah rasa murka Pang Bik-hong
rada mereda, semangat tempurnya menjadi kendur, lambat-laun ia mulai terdesak
di bawah angin. Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, mendadak kebutnya
menyabet ke dada lawan, Cepat Pang Bik-hong menangkis dengan palu, tapi ujung
kebut terus memutar dan melilit ujung palu.
Sebenarnya gerakan kebut itu adalah
kepandaian khas Li Bok-chiu yang biasanya sangat lihay untuk merampas senjata
musuh, asal ujung kebut sudah melilit terus dibetot maka senjata lawan pasti
akan terlepas dari cekalan..
Tak terduga mendadak terdengar suara mencicit
disertai kepulan asap yang berbau sangit, ternyata ujung kebutnya telah hangus
terbakar, jadinya Li Bok-chiu tidak berhasil merampas senjata lawan, sebaliknya
kehilangan senjatanya sendiri.
Namun Li Bok-chiu tidak menjadi bingung dan
gugup, ia buang tangkai kebutnya yang sudah gundul itu, kini dia menggunakan
ilmu pukulan andalannya, yaitu Ngo-tok-sin-ciang, pukulan sakti panca-bisa.
Meski ilmu pukulannya yang berbisa lima macam
itu sangat lihay, tapi untuk menggunakannya larus dilakukan dari jarak dekat,
sedangkan lawannya sekarang bersenjatakan palu dan tongkat yang panjang serta
diputar sedemikian kencangnya, tertampaklah di antara dua sosok bayangan orang
itu mengepulkan asap pula.
Kiranya jubah pertapaan Li Bok-chiu telah
bersentuhan dengan palu dan tongkat yang membara dan sebagian demi sebagian
terbakar, Keruaa tidak kepalang gusar Li Bok-chiu, sudah jelas dirinya pasti
menang, tapi justeru kewalahan dalam hal senjata, betapapun ia merasa penasaran
dan bertekad akan menghantam pandai besi tua itu dengan suatu pukulan maut
untuk melampiaskan rasa gemasnya.
Untuk pertama kalinya Pang Bik-hong bertempur
dengan orang, jika begitu maju lantas kalah, tentu semangat tempurnya akan
semakin surut, tapi sekarang dia berada diatas angin, tongkat dan palunya
dimainkan sedemikian lihaynya sehingga tiada peluang bagi Li Bok-chiu untuk
memukulnya, sebaliknya Li Bok-chiu sendiri beberapa kali hampir termakan oleh
palunya, kalau tidak cepat berkelit tentu tangannya sudah terbakar hangus.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Pang Bik-hong
berseru :
“Sudahlah, berhenti, aku tidak mau bertempur
lagi dengan kau ! Macam apa keadaanmu ini!” Habis itu ia terus melompat mundur.
Li Bok-chiu tertegun, ketika angin meniup
tiba, baju yang dipakainya sepotong demi sepotong terbang terbawa angin,
ternyata bajunya telah berlubang di sana sini kelihatan jelas kulit dagingnya
di bagian lengan, pundak dan dada.
Padahal tubuh Li Bok-chiu masih suci bersih,
masih tubuh perawan, keruan ia menjadi malu sekali baru saja ia hendak
melarikan diri mendadak dekat bokong terasa silir dingin, kiranya sepotong kain
baju bagian itu robek pula terbawa angin.
Melihat keadaan orang yang runyam dan konyol
itu, cepat Yo Ko tanggalkan baju sendiri terus dilemparkan sekuatnya ke
punggung Li Bok-chiu, Begitu kuat baju Yo Ko itu melayang ke depan sehingga
mirip seorang yang mendadak mendekap Li Bok-chiu dari belakang.
Cepat Li Bok-chiu memasukkan tangannya pada
lengan baju itu dan mengencangkannya dengan tali pinggang, Dalam keadaan
demikian, biarpun selama hidupnya sudah banyak mengalami pertempuran besar,
tidak urung ia menjadi serba salah, mukanya sebentar pucat dan sebentar merah,
pikirannya: “Jika kulanjutkan pertarungan ini, sebentar baju ini akan terbakar
lagi, Biarlah pil pahit ini kutelan saja sekarang, kelak akan kucari kesempatan
untuk menurut balas.”
Ia lantas mengangguk kepada Yo Ko sebagai
tanda terima kasih atas pemberian bajunya, lalu ia berpaling dan berkata kepada
Pang Bik-hong: “Caramu menggunakan senjata aneh ini ternyata sesuai benar
dengan jalan pikiran Oey-losia yang eksentrik itu, Coba katakan terus terang
menurut perasaanmu jika bertarung dengan kepandaian sejati, dapatkah kau
mengalahkan aku? Anak Oey-losia kalau bertempur satu lawan satu dengan aku,
apakah di antaranya bisa mengalahkan aku?”
Pada dasarnya Pang Bik-hong adalah orang yang
jujur dan polos, maka dengan terus terang ia menjawab: “Ya, jikalau kau tidak
kehilangan senjata andalanmu, lama-lama kau pasti akan mengalahkan aku.”
“Asal kau tahu saja” ujar Li Bok-chiu dengan
angkuh. “Dan apa yang kutulis tadi bahwa anak murid Tho-hoa-to kebanyakan
memang tidak becus menjadi tepat kan?”
Pang Bik-hong berpikir sejenak, lalu berkata
: “Tidak, anggapanmu itu tidak betul. Kalau saja keempat suhengku berada di
sini, salah seorang di antaranya pasti lebih kuat dari padamu. Tidak perlu
Tan-suheng atau Ki-suheng yang lihay, hanya Bwe-suci saja yang sesama kaum
wanita seperti kau, betapapun kau tak dapat mengalahkan dia.”
“Hm, orang sudah mati tak dapat dibuktikan,
apa gunanya dibicarakan” jengek Li Bok-chiu. “Yang jelas kepandaian Oey-losia
juga cuma begini saja, tadinya aku bermaksud menguji kepandaian puterinya yaitu
Kwe-hujin, tapi sekarang kukira tidak perlu lagi.” - Habis berkata ia terus
hendak melangkah pergi
“Nanti dulu!” tiba-tiba Yo Ko berseru.
“Ada apa?” jawab Li Bok-chiu dengan kurang
senang.
“Kau bilang kepandaian Tho-hoa-tocu hanya begini
saja, ucapanmu ini salah besar,” kata Yo Ko. “Pernah kudengar dari beliau bahwa
dia punya Giok-siau-kiam-hoat (permainkan seruling sebagai ilmu pedang) sudah
cukup untuk mematahkan permainan kebutmu.”
Lalu ia ambil sepotong besi dan
menggores-gores di atas tanah sambil memberi penjelasan misalnya Li Bok-chiu
menyerang begini segera akan ditangkis dengan begitu terus disusul dengan
serangan balasan begini dan seterusnya, dan dalam keadaan kepepet akhirnya kau
harus membuang kebutmu dan menyerah kalah.
Lebih jauh Yo Ko berkata: “Bicara tentang
Ngo-tok-ciang-hoat andailanmu, Tho-hoa-tocu sudah siap menghadapi seranganmu -
dengan kuku jarinya yang cukup panjang, setiap seranganmu akan “dipatahkan,
jika pukulanmu tetap diteruskannya, segera beliau menggunakan tenaga jari
sakti,
dengan kuku tajam akan menyelentik telapak
tanganmu dan bila kena, seketika tanganmu akan lumpuh, sedangkan beliau dapat
segera memotong kukunya dan terhindarlah dari penjalaran panca-bisa pukulanmu
itu.”
Keterangan Yo Ko itu membuat wajah Li
Bok-chiu sebentar pucat sebentar merah padam, sebab setiap kata pemuda itu
memang masuk di akal dan memang tepat benar untuk menghadapi serangannya.
Kemudian Yo Ko menambahkan: “Tho-hoa-tocu
sangat gusar akan ucapanmu yang kurangajar, cuma beliau adalah seorang tokoh
maha besar dan tidak sudi bergebrak sendiri dengan kau, beliau telah
mengajarkan semua kepandaian tadi kepadaku dan suruh aku membereskan kau, tapi
mengingat kau dan guruku ada hubungan saudara seperguruan maka aku telah
membeberkan kelihayan Tho-hoa-tocu kepadamu agar kelak bila kau bertemu dengan
anak muridnya ada lebih baik menghindari saja sejauhnya,”
Li Bok-chiu termangu sejenak, akhirnya ia
berkata dengan lesu: “Sudahlah!” - Segera ia memutar tubuh dan melangkah pergi,
dalam sekejap saja sudah menghilang di balik bukit sana.
Diam-diam Pang Bik-hong bersyukur melihat
musuh lihay itu sudah pergi, Padahal meski Oey Yok-su telah mengajarkan ilmunya
kepada Yo Ko, untuk bisa digunakan secara tepat dan mengalahkan musuh,
sedikitnya Yo Ko perlu berlatih setahun dua tahun, Tapi Li Bok-chiu ternyata
gentar dan takluk benar-benar lahir batin atas uraian Yo Ko tadi, sejak itu ia
tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata menghina terhadap Oey Yok-su.
Dengan kepergian Li Bok-chiu, rasanya yang
paling girang adalah Liok Bu-siang, maklumlah nona itu sudah lama berada di
bawah pengaruh iblis itu, mendengar suaranya saja ketakutan jangankan lagi
berhadapan dengan dia. Maka dia tidak habis kagum akan kecerdikan Yo Ko,
berulang ia memuji “si tolol” itu.
Selagi mereka hendak masuk lagi ke dalam
bengkel si pandai besi mendadak terdengar suara gemuruhnya orang banyak
disertai suara derapan lari kuda yang riuh.
Thia Eng terkejut Cepat Yo Ko berkata: “Coba
kupergi melihatnya!” - Segera ia mencemplak ke atas kudanya dan dilarikan ke
sana, setelah membelok ke balik bukit sana dan beberapa li kemudian sampailah
dia di jalan raya, Tertampak debu mengepul panji berkibaran, kiranya pasukan
Mongol sedang bergerak ke arah selatan.
Selamanya Yo Ko belum pernah menyaksikan
gerakan pasukan sebanyak itu, ia menjadi terkesima. Tiba-tiba dua perajurit
Mongol menyentaknya sambil menerjang ke arahnya : “Hei, kau lihat apa?”
Cepat Yo Ko memutar kudanya dan kabur, kedua
perajurit itu segera pentang busur dan melepaskan anak panah, Tapi sekali
meraup ke beIakang, dengan mudah saja dua batang anak panah itu sudah kena
ditangkap Yo Ko, ia merasa sam-beran anak panah itu cukup kuat, kalau saja
dirinya tidak mahir ilmu silat tentu sudah mati tertembus kedua panah itu.
Melihat Yo Ko mampu menangkap panah mereka,
kedua perajurit itu menjadi jeri terhadap kelihayan Yo Ko, mereka menahan kuda
dan memutar balik ke sana.
Yo Ko lantas kembali ke bengkel si pandai
besi dan menuturkan apa yang dilihatnya itu.
“Pasukan besar Mongol ternyata benar bergerak
keselatan, maka rakyat jelata bangsa Han kita kembali akan menderita,” kata
Pang Bik-hong dengan gegetun.
“Ya, ketangkasan menunggang kuda dan memanah
pasukan Mongol memang sukar dilawan oleh pasukan Song, malapetaka yang bakal
menimpa sungguh hebat,” ujar Yo Ko.
Pang Bik-hong berkata pula: “Yo-kongcu muda
usia, mengapa tidak pulang ke selatan untuk ikut berjuang melawan serbuan
musuh?”
Yo Ko melenggong sejenak jawabnya kemudian :
“Tidak, aku harus ke utara untuk mencari Kokoh, Begitu kuat pasukan Mongol,
hanya tenagaku seorang apa gunanya?”
“Tenaga seorang memang kecil, tapi kalau
tenaga orang banyak bergabung kan menjadi kuat,” kata Pang Bik-hong.
“Apabila setiap orang berpendirian seperti
Yo-kongcu, lalu siapa lagi yang mau berjuang demi bangsa dan tanah air?”
Walaupun merasa ucapan orang tidak salah,
tapi Yo Ko tetap merasa lebih penting mencari Siao-liong-li dahulu. Sejak kecil
ia hidup terlunta-lunta di daerah Kanglam dan sudah kenyang derita siksaan kaum
penguasa, ia merasa meski orang Mongol tampak kejam dan jahat, tapi kaisar Song
juga belum tentu manusia baik dan tidak perlu jual tenaga baginya.
Karena itu ia hanya tersenyum saja dan tidak
menanggapi ucapan Pang Bik-hong tadi.
Sctelah meringkaskan barang bawaannya dan
dipanggul, lalu Pang Bik-hong berkata kepada Thia Eng: “Sumoay, kelak bila
bertemu dengan Suhu, harap kau suka menyampaikan kepada beliau bahwa murid Pang
Bik-hong tidak pernah melupakan ajaran beliau, Kini aku akan menyusup ke tengah
pasukan Mongol, betapapun aku harus membinasakan
satu- dua panglimanya yang telah menyerbu tanah air kita ini.”
Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa
berpaling.
Seperginya Pang Bik-hong, mereka bertiga
masuk lagi ke dalam bengkel dan melihat Sah Koh terkulai di lantai, mereka
kaget dan cepat menggotongnya ke atas pembaringan.
Kelihatan muka Sah Koh merah padam, kedua
matanya melotot tak bersinar, jelas racun pukulan sakti Li Bik-chiu telah
bekerja pula.
Cepat Thia Eng memberi minum obat lagi dan Yo
Ko mengurut Hiat-tonya. Sah Koh terbeliak memandangi pemuda itu, mendadak air
mukanya mengunjuk rasa ketakutan dan
berteriak: “Saudara Yo, jangan kau minta
ganti nyawa padaku, bukan aku yang mencelakai kau…”
“Jangan takut, Suci,” bujuk Thia Eng dengan
suara halus, “dia takkan…”
Yo Ko pikir selagi pikiran Sah Koh dalam
keadaan linglung, kesempatan ini dapat digunakan untuk memaksanya memberi
keterangan Maka cepat ia cengkeram pergelangan tangan Sah Koh dan membentak
dengan bengis: “Jika bukan kau, habis siapa yang mencelakai diriku? Hayo lekas
mengaku jika tidak ingin kucekik mati kau untuk mengganti jiwaku!”
Dengan suara gemetar Sah Koh memohon “Jangan,
saudara Nyo, jangan, bukan aku!”
“Kau tetap tidak mau mengaku?” bentak Yo Ko
pula dengan gusar “Baik, biar kucekik mampus kau!” Berbareng sebelah tangannya
lantas mencengkeram tenggorokan Sah Koh sehingga perempuan itu menjerit
ketakutan.
Sudah tentu Thia Eng dan Liok Bu-siang sadar
tahu maksud tujuan Yo Ko, mereka sama mencegahnya dan meminta jangan merecoki
Sah Koh.
Tapi Yo Ko tidak menggubris dan menambahi
tenaga cekikannya, dengan lebih beringas ia membentak pula : “Aku adalah setan
saudara Yo, aku mati penasaran, tahukan kau?”
“Ya, ya, aku tahu,” jawab Sah Koh dengan
gemetar “Setelah kau mati, burung gagak memakan dagingmu.”
Perasaan Yo Ko seperti disayat sembilu,
tadinya ia Cuma mengira ayahnya mati secara tak wajar, siapa tahu sesudah mati
mayatnya tidak terkubur pula dengan baik, bahkan menjadi mangsa burung gagak,
maka ia tambah murka, dengan suara keras ia membentak pula: “Hayo lekas
katakan,
siapa yang membunuh diriku ?”
Dengan suara serak Sah Koh menjawab : “Kau
sendiri memukul Kokoh, pada badan Kokoh ada jarum berbisa, lalu kau mati.”
Duduk perkara kematian Yo Khong dahulu
terjadi secara kebetulan saja, Semula Auyang Hong menggunakan racun ular membinasakan
Lam Hi-jin (salah seorang Kanglam-jit-koay dan guru Kwe Ceng), waktu Lam Hi-jin
hampir mati, secara tak sadar ia menghantam pundak Oey Yong satu kali sehingga
darah beracun dari tangannya itu tertinggal di atas “baju landak” yang dipakai
Oey Yong, hal ini sama sekali diluar tahu Oey Yong sendiri.
Maka kemudian ketika Nyo Khong juga
menghantam pundak Oey Yong di suatu kelenteng di kota Kah-hin, kebetulan tempat
hantamannya itu adalah bagian tempat yang dihantam Lam Hi-jin. Sebab itulah Nyo
Khong mati keracunan oleh “duri baju landak!” berbisa yang dipakai Oey Yong
itu.
Begitulah Yo Ko berteriak menanya pula
“Kokoh? Siapa itu Kokoh?”
Karena cekikan Yo Ko yang tambah kencang,
hampir saja Sah Koh tidak dapat bernapas dan hampir kelenger, dengan suara
lemah ia menja-javvab : “”Kokoh ya Kokoh,”
“Kokoh she apa? Siapa namanya ?” desak Yo Ko.
“Aku… aku tak tahu, kau le… lepaskan aku!”
jawab Sah Koh dengan serak.
Melihat gelagat tidak enak, Liok Bu-siang
bermaksud menarik tangan Yo Ko. Tapi kini keadaan Yo Ko menyerupai orang yang
kehilangan akal sehat, sekuatnya ia mengipatkan tangannya, keruan Bu-siang tak
tahan, ia terlempar kebelakang dan tertumbuk pada dinding dengan rasa sakit
tidak kepalang.
Melihat Yo Ko yang biasanya ramah tamah itu
kini berubah seperti orang gila, Thia Eng menjadi ketakutan hingga kaki dan
tangan terasa lemas.
Yo Ko pikir kalau sekarang tak dapat
mengetahui nama pembunuh ayah, tentu dirinya bisa mati penasaran Maka berulang
ia tanya pula . “Siapa Kokohmu? Dia she Ki atau she
Bwe?” - ia pikir Sah Koh adalah putri Ki
Leng-hong, tentu Kokohnya (bibinya) juga she Ki, bisa jadi adalah Bwe Ciau-hong
yang dimaksudkan.
Maklumlah, Kwe Ceng dan Isterinya
memperlakukan dia seperti anaknya sendiri sejak kecil betapapun Yo Ko tak
berani membayangkan bahwa yang membinasakan ayahnya
itu adalah Oey Yong adanya.
Begitulah Sah Koh meronta-ronta berusaha
melepaskan diri dari cengkeraman Yo Ko. tapi karena Hiat-to bagian pergelangan
tangan juga terpegang pemuda itu, terpaksa ia
tidak mampu berkutik hanya berseru dengan
suara serak: “Kau minta ganti jiwa kepada Kokoh saja dan jangan mengganggu
diriku.”
“Kokoh berada di mana?” tanya Yo Ko pula,
“Entahlah, waktu aku dan Suhu berangkat, dia dan lakinya masih tinggal di pulau
sana,” jawab Sah Koh.
Mendengar keterangan yang cukup berarti ini,
seketika hati Yo Ko tergetar hebat dengan suara gemetar ia coba menegas :
“Kokoh memanggil Suhumu dengan sebutan apa?”
“Sudah tentu ayah, apa lagi?” jawab Sah Koh.
Serentak air muka Thia Eng dan Liok Bu-siang
juga berubah demi mendengar keterangan itu.
Kuatir salah, Yo Ko coba mengulangi lagi
pertanyaannya : “Jadi laki Kokohmu itu bernama Kwe Ceng?”
“Ya, masakah kau tidak tahu?” jawab Sah Koh
sambil memancal-mancalkan kakinya dan mendadak berteriak : “Tolong! ToIong!”
Kacau rasanya benak Yo Ko, sejak kecil ia
hidup sebatangkara, seketika terbayang kembali kisah deritanya dimasa lalu, ia
pikir kalau ayahnya tidak dibunuh orang, tentu ibunya tidak perlu hidup
sengsara dengan menangkap ular dan dengan sendirinya juga takkan mati tergigit
ular berbisa,
tentu pula dirinya juga tidak perlu hidup
merana.
Bila teringat pula kebaikan Kwe Ceng dan Oey
Yong waktu dirinya tinggal di Tho-hoa-to dahulu, sungguh sukar dipercaya bahwa
musuh pembunuh ayah itu adalah paman dan bibi itu.
Karena gejolak perasaannya itti,
cengkeramannya menjadi kendur, Sah Koh berteriak satu kali terus melompat
bangun.
Cepat Thia Eng mendekati Yo Ko dan
menghiburnya: “Suci memang tidak waras pikirannya hal ini kaupun tahu, maka apa
yang dikatakannya itu janganlah kau percaya.”
walaupun begitu katanya, namun dalam hati ia
percaya penuh apa yang diucapkan Sah Koh pasti benar adanya.
Ia lihat air muka Yo Ko sangat sedih dan
seperti tidak mendengar apa yang dikatakannya itu. Setelah termenung sejenak,
mendadak Yo Ko melompat keluar rumah dan
mencemplak ke atas kudanya yang kurus itu
terus dilarikan dengan cepat.
Dari belakang sayup-sayup terdengar seruan
Thia Eng dan Liok Bu-siang, tapi tak digubris lagi oleh Yo Ko, yang terpikir
oleh pemuda itu hanya: “Aku harus menuntut balas! Aku harus menuntut balas !”
Sekaligus ia larikan kudanya sampai ratusan
li jauhnya, ketika tiba-tiba merasa bibir rada perih dan sakit, ia coba
merabanya dan ternyata penuh darah. Kiranya saking sedih dan gusarnya, tanpa
sadar ia menggigit bibir sendiri hingga pecah dan berdarah.
Dasarnya Yo Ko memang benci kepada kehidupan
yang dianggapnya tidak adil ini, kini dirasakan dunia ini palsu belaka dan
tiada seorangpun yang baik, Bahwa bibi Kwe memang tidak begitu baik padaku, ini
sudah jelas, tapi paman Kwe, paman Kwe…
Maklumlah, selama ini dia sangat kagum dan
menghormat kepada Kwe Ceng, ia merasa ilmu silat dan kepribadian paman Kwe itu
sungguh lain daripada yang lain, lebih-lebih sang paman yang begitu baik hati
padanya, tapi sekarang ia merasa tertipu habis-habisan. Saking berdukanya ia
menjadi lemas, ia turun dari kuda dan duduk di tepi jalan, ia menangis
tergerung sambil mendekap kepala.
Sekali sudah menangis, maka sukar dibendung
lagi air matanya seakan-akan segala duka derita manusia hidup ini seluruhnya
berada dalam tangisnya itu.
Sebenarnya Yo Ko belum pernah melihat muka
ayahnya dan juga belum pernah mendengar kisah hidup sang ayah, tapi sejak kecil
ia mengkhayalkan sang ayah yang gagah ksatria itu, dalam lubuk hatinya ia
merasa sang ayah adalah manusia yang paling baik, yang paling sempurna di dunia
ini.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa semasa hidup
ayahnya adalah manusia yang kotor dan rendah, seorang pengkhianat terhadap
bangsa dan negara.
Begitulah Yo Ko terus menangis sampai sekian
lamanya, ketika tiba-tiba mendengar suara derapan kaki kuda, tertampak dari
utara mendatangi tiga empat penunggang kuda, dari dandanannya jelas adalah Busu
bangsa Mongol.
Busu paling depan memegang tumbak, pada ujung
tombaknya menusuk seorang bayi berumur dua tahunan, jadi seperti sujen satai
dan dianggapnya seperti permainan yang menarik.
Agaknya bayi itu belum mati terbukti masih
mengeluarkan suara tangisan yang lemah, Tapi busu Mongol itu malah bergelak
tertawa gembira. Ketika melihat Yo Ko merintangi jalan lalu mereka, segera
seorang di antaranya membentak.
“Hayo, minggir !” - Berbareng tumbaknya terus
menusuk ke arah Yo Ko.
Memangnya Yo Ko keki dan tak terlampiaskan
segera ia pegang ujung tumbak musuh terus dibetot, menyusul sebelah tangannya
terus menampar, kontan Busu yang terberosot dari kudanya itu mencelat beberapa
meter jauhnya dan mati dengan batok kepala pecah berantakan.
Keruan Busu yang lain menjadi ketakutan
melihat ketangkasan Yo Ko, mereka menjerit kaget terus memutar kuda dan kabur
seperti diuber setan “Plok”, bayi yang tersujen di ujung tumbak seorang Busu
tadi terjatuh di tepi jalan.
Cepat Yo Ko memondongnya, ia lihat bayi itu
adalah anak bangsa Han, gemuk lagi putih, tampaknya sangat menarik, Tapi ujung
tumbak Busu tadi telah menembus perutnya, walaupun seketika belum mati, tapi
tidak mungkin juga disembuhkan.
Bayi itu masih dapat mengeluarkan suara
tangisan lemah sambil memanggil “ibu” dengan suara lirih, Yo Ko sendiri lagi
berduka, ia bertambah sedih dan kasihan kepada bayi yang sedang sekarat itu,
kembali air matanya bercucuran. Melihat bayi itu dalam keadaan menderita,
terpaksa ia pukul bayi itu dengan pelahan untuk menewas-kannya, Lalu ia gunakan
tumbak Busu Mnngol tadi untuk menggali tanah, maksudnya hendak mengubur jenazah
bayi itu.
Tapi baru sebentar ia menggali, mendadak
terdengar suara gemuruh di kejauhan sana disertai debu mengepul tinggi, di
tengah suara terompet, pasukan besar Mongol tampak menerjang tiba dengan cepat.
Lekas Yo Ko jinjing tombaknya dan mencemplak
ke atas kudanya, meski kurus, tapi kudanya itu adalah kuda perang yang sudah
berpengalaman.
Maka sekali meringkik segera kuda itu
menerjang ke tengah pasukan Mongol Tumbak Yo Ko bekerja cepat, sekaligus ia
membinasakan beberapa perajurit musuh, tapi pasukan Mongol membanjir tak terhitung
jumlahnya, terpaksa Yo Ko membelokkan kudanya dan kabur ke tempat sepi. Dari
belakang ia dihujani anak panah, namun semuanya dapat disampuk jatuh oleh
tumbaknya.
Kuda kurus itu dapat berlari cepat sekali
hanya sekejap saja sudah meninggalkan kejaran musuh, tapi kuda itu masih terus
lari secepat terbang di ladang belukar, Tak lama haripun mulai gelap, Yo Ko
menahan kudanya dan coba memandang jauh sekelilingnya, tertampak semak belukar
tumbuk melebihi batas lutut, puncak gunung dikelilingi kabut tebal di kejauhan,
suasana sunyi senyap, bahkan suara burungpun tak terdengar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar