Kamis, 15 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 43



Kembalinya Pendekar Rajawali 43

Kim-lun Hoat-ong paling tenang dan pendiam, tanpa bicara iapun masuk ke situ. Sudah tentu Be Kong-co juga tidak mau ketinggalan tapi baru sampai di ambang pintu, sekonyong-konyong hawa panas terasa membakar, ia berseru: “Ah, lebih baik kucari angin saja di bawah pohon sana.” Habis itu ia terus berlari kebawah pohon dan duduk istirahat.
Kini tertinggal Yo Ko saja, baru saja dia mau masuk kerumah itu, mendadak si nona baju hijau tadi berkata padanya: “Jika tuan tamu ini takut panas, bagaimana kalau silakan berduduk istirahat di sana bersama tuan itu?”
Rupanya dia merasa terima kasih atas bantuan. Yo Ko tadi yang telah memadamkan api, pula melihat usianya masih muda, ia pikir Yo Ko pasti tidak mampu menahan hawa panas di dalam rumah yang mirip dipanggang itu.
Tak terduga Yo Ko tetap melangkah kesana, ia berpaling dengan tertawa dan berkata :” “Biarlah aku duduk sebentar di dalam, kalau tidak tahan tentu aku akan keluar,”
 Sesudah di dalam rumah, ia duduk di sebelah Kim-lun Hoat-ong, keempat lelaki-perempuan berseragam hijau itupun ikut masuk dan duduk di sisi Iain sebagai tuan rumah, seorang
di antaranya lantas bertanya: “Maaf, sekiranya boleh kami mengetahui nama tuan-tuan yang terhormat ?”
ln Kik-si paling lancar main mulut, dengan tersenyum ia memperkenalkan kelima orang ka-wannya, akhirnya ia berkata: “Cayhe sendiri bernama In Kik-si, berasal dari Persi, kepandaianku selain makan nasi adalah cari duit, berbeda dengan beberapa kavvanku ini, mereka memiliki ilmu sakti yang sukar kuterangkan.”
“Tempat kami ini bernama Cui-sian-kok, biasanya jarang dikunjungi orang luar,” kata orang tadi. “Maka kami merasa beruntung dapat kunjungan tuan-tuan sekarang. Entah tuan-tuan ini ada keperluan apa, sudilah kiranya memberitahu?”
“Kami melihat kalian meringkus Lo-wan-tong Ciu Pek-thong dan dibawa ke sini, karena rasa ingin tahu, maka kami telah ikut kesini tak terduga kami dapat menyaksikan peristiwa aneh pula di sini.” jawab In Kik-si.
Selama tanya jawab kedua orang itu, suhu panas di dalam rumah telah bertambah hebat, Nimo Singh dan Siau-siang-cu sudah lantas duduk bersila begitu mereka masuk ke dalam rumah, satu patah-katapun mereka tidak buka suara, soalnya lwekang yang mereka latih itu di kala mengerahkan tenaga sekali-kali tidak boleh membuka mulut.
Dalam pada itu, akhirnya In Kik-si sendiripun terengah-engah napasnya, suarapun terputus-putus. Rupanya Lwekang keempat orang baju hijau itu berbeda Lwekang orang lain, juga sudah biasa melawan hawa panas itu, meski kepandaian mereka terbatas, tapi masih sanggup bertahan. Maka orang pertama tadi berkata pula: “Jadi orang tua yang mengacau itu she Ciu? Pantas dia berjuluk Lo-wan-tong, nyatanya sudah tua masih nakal seperti anak kecil.”
“Apakah kalian juga sehaluan dengan si tua nakal itu?” tanya orang baju hijau kedua.
In Kik-si menjawab: “Kami… kami ti…. tidak…”
Melihat kawannya sudah megap-megap dan tidak sanggup melanjutkan ucapannya, cepat Kim-lun Hoat-ong menyambung: “Kami juga baru kenal dia tadi, bdleh dikatakan tiada hubungan apa-pun.”
Meski perkataan Kim-Iun Hoat-ong dapat diucapkan dengan lancar, tapi sebenarnya cukup makan tenaga, Diam-diam ia mendongkol terhadap Nimo Singh yang sejak tadi duduk diam saja, padahal gara-gara Nimo Singh yang sok aksi dan mendahului masuk rumah ini, kalau tidak, tentu mereka tidak perlu tersiksa, sekarang Nimo Singh duduk terpekur tanpa menggubris orang lain, kalau sebentar para teman tak sanggup membuka mulut, bukankah akan ditertawai pihak lawan ?
Karena rasa gemas itu, tanpa terasa Kim-lun Hoat-ong melotot kepada Nimo Singh, namun orang keling itu tetap pejam mata dan bersemadi tanpa ambil pusing.
Hanya Yo Ko saja ternyata dapat duduk dengan tenangnya, ia pernah tidur selama beberapa tahun di atas dipan kumala dingin yang terdapat di kuburan kuno itu, biarpun dalam keadaan tidur nyenyak tubuhnya secara otomatis telah biasa mengatur suhu yang berubah setiap waktu, maka untuk melawan hawa panas sekarang sedikitpun dia tidak merasa sulit.
Begitulah orang baju hijau pertama tadi membuka suara lagi: “Lo-wan-tong itu telah menyusup ke Cui-sian-kok kami ini dan membikin kacau…”.
“Membikin kacau bagaimana? Apakah benar dia telah membakar rumah, merobek kitab dan sebagainya seperti tuduhan kalian?” tukas Yo Ko.
Semua orang menjadi terheran-heran melihat Yo Ko masih sanggup membuka suara dengan lancar, sedikit tiada ubahnya seperti biasa, padahal pemuda ini juga sudah duduk sekian lamanya di dalam rumah batu yang panas ini. Karena itu semua orang sama memandang padanya, kecuali Nimo Sing yang masih tetap memejamkan mata dan tidak pusing terhadap kejadian di sekitarnya.
Terdengar orang baju hijau tadi menjawab pula: “Memang begitulah. Waktu itu aku diperintahkan guruku menunggui anglo yang menggembleng obat, entah cara bagaimana mendadak tua bangka itu menerobos masuk ke situ dan mengajak ngobrol padaku ke timur dan ke barat, dia mengajak main teka teki segala dan menantang taruhan padaku, sungguh sinting dia. Padahal aku sedang sibuk menunggui anglo yang sedang menyala, aku tidak sempat mengusir dia, terpaksa ku anggap tidak mendengar ocehannya, Tak terduga mendadak dia mengayun kakinya, anglo yang kutunggu itu telah ditendangnva hingga terguling.”
“Dan dia malah menyalahkan kau karena kau tidak menggubris dia, betul tidak ?” kata Yo Ko dengan tertawa.
“Benar, memang begitulah,” kata si nona baju hijau tadi,
“Waktu kudengar suara ribut, ku tahu telah terjadi keonaran, baru aku hendak meninggalkan kamar penyimpan Leng-ci-cau yang ku tunggui itu, mendadak kakek aneh itu sudah menerobos tiba, sekali pegang, kontan dia bedol dan dipatahkan menjadi dua sebatang Leng-ci-cau yang sudah berumur lebih 400 tahun.”
“Wah, Lo-wan-tong itu sungguh terlalu, sebatang Leng-ci-cau yang sudah hidup lebih 400 tahun. tentulah benda mestika yang perlu disayang” ujar Yo Ko sambil geleng kepala dengan tertawa.
“Padahal ayahku telah merencanakan Leng-ci-cau ini akan dimakan bersama ibu tiriku pada hari pernikahan mereka nanti, siapa tahu tua nakal telah membikin kacau semuanya itu, maka tidak perlu dijelaskan lagi apabila ayahku menjadi murka!” kata si nona baju hijau.
“Apa boleh kami mengetahui nama ayahmu yang terhormat?” tanya Yo Ko, “Tanpa sengaja kami menyusup ke  sini, tapi nama tuan rumah sampai saat ini belum diketahui sungguh terasa kurang sopan.”
Nona baju hijau itu tampak sangsi untuk menjawab, maka seorang lelaki baju hijau yang lain lantas berkata: “Sebelum diidzinkan Kokcu, maafkan jika kami tidak dapat memberi keterangan”
Yo Ko pikir orang-orang ini tentulah orang kosen yang hidup di dunianya sendiri maka tidaklah heran jika mereka tidak mau menjelaskan asal usul mereka. Maka ia lantas bertanya pula: “Dan kemudian bagaimana dengan Lo-wan-tong itu?”
Pada saat itulah terlihat In Kik-si berbangkit lalu melangkah cepat ke luar rumah dengan sempoyongan.
Rupanya orang Persi itu sudah tidak tahan lagi hawa panas.
Maka orang baju hijau, ketiga ikut bicara: “Orang tua she Ciu itu tidak mau kepalang tanggung, dia
menerobos lagi ke dalam kamar tulis guru kami dan merobek beberapa buah kitab pusaka, dalam pada itu kedua suhengku dan Sumoay ini telah memburu tiba, kami berempat akhirnya tetap tak dapat merintangi dia…”
Belum habis ucapannya, mendadak terlihat tubuh Siau-siang-cu melayang keluar rumah, dia tidak berdiri, tapi masih tetap duduk bersila. Gerakan tubuhnya yang gesit itu tanpa berdiri itu sungguh luar biasa.
Yo Ko tersenyum, lalu berkata pula: “Watak lo-wan-tong itu sungguh teramat aneh, ilmu silatnya juga sudah mencapai tingkatan yang sukar di ukur, pantas kalau kalian tak dapat menghalangi dia.”
“Malahan dia belum selesai, dia masuk lagi ke kamar senjata,” tutur orang kedua, “tapi lantaran di situ Cuma senjata melulu, dia terus menyalakan api sehingga lukisan dan seni tulisan yang bergantung di dinding semuanya terbakar.
Kami sibuk memadamkan api, peluang itu telah digunakan olehnya untuk kabur.”
“O, makanya kemudian kalian mengejarnya dan berhasil menawannya dengan jaring ikan,” kata Yo Ko.
Mendadak Kim-lun Hoat-ong juga berbangkit sambil menggeliat pinggang yang pegal, katanya dengan tertawa: “Adik cilik, akupun merasa tidak tahan lagi, perlu cari angin keluar saja, Kaupun jangan paksakan diri, racun api ini tidak boleh dibuat permainan” Habis berkata ia terus melangkah keluar dengan tenang.
Si nona baju hijau berkata. kepada Yo Ko: “Hampir semua tetamu telah keluar, kami berempat sesungguhnya juga tak tahan lagi, bagaimana kalau kita bicara di bawah pohon di luar sana?”
Yo Ko tersenyum dan mengiakan, lalu ia berdiri dan berkata kepada Nimo Singh: “He, saudara tua, kau mau keluar tidak?”.
Siapa duga Nimo Singh masih tetap pejam mata dan diam saja, waktu Yo Ko mendorong pelahan pundaknya, kontan Nimo Singh roboh di lantai Yo Ko tetkejut, cepat ia membangunkannya.
“Rupanya dia pingsan karena hawa yang teramat panas ini, setelah mendapat angin silir di luar tentu akan siuman kembali,” ujar si lelaki baju hijau pertama tadi.
Diam-diam Yo Ko merasa geli terhadap kemampuan dengan keling tua yang sok aksi itu, segera ia jinjing tubuh Nimo Singh yang kurus kecil itu dan dibawa keluar.
Begitulah semua orang lantas duduk mengitar di bawah pohon, keempat orang baju hijau itu tiada hentinya memuji kehebatan Lwekang si Yo Ko.
“Kami berempat harus bicara secara bergiliran,” setelah buka mulut harus mengerahkan tenaga untuk melawan suhu panas dan pembicaraan disambung oleh yang lain, tapi tuan Yo ini dapat sekaligus melayani pembicaraan kami berempat tanpa berhenti sungguh sangat mengagumkan tenaga
dalamnya yang Iihay,” demikian kata orang pertama tadi.
Tiba-tiba orang kedua menyambung: “Eh, Su-ko, aliran Lwekang tuan Yo ini tampaknya sangat mirip dengan ibu guru kita yang baru itu?”
Hati Yo Ko tergerak tanpa pikir ia terus tanya: “Siapakah ibu guru kalian ?” - Tapi segera ia menyadari ketidak sopanan pertanyaannya itu. ketika keempat orang baju hijau itu saling pandang dengan air muka yang aneh tanpa menjawab.
In Kik-si tahu Yo Ko merasa kikuk dan perlu dialihkan pokok- pembicaraan mereka, maka cepat ia menimbrung: “Sebenarnya sebab apakah Lo-wan-tong itu mengamuk, padahal tabiatnva tidaklah jelek meski kelakuannya memang nakal”
“Dia bilang usia ayahku sudah sebanyak itu, tapi masih ingin…” belum si nona baju hijau habis berbicara, mendadak kawannya yang pertama tadi menyambung: “Ah, Lo-wan-tong itu memang sinting, mana ucapannya dapat dipegang buntutnya, O, ya, kalian datang dari jauh, tentu sudah lapar, silakan dahar sekadarnya ke sana.”
“Bagus ! Bagus !” kontan Be Kong-co bersorak bicara makan, dia paling bernapsu. Sementara itu pernapasan Nimo Singh belum lagi lancar kembali dia terus angkat tubuh sang kawan yang kecil itu dan dikempit terus mendahului menuju ke arah yang ditunjuk lelaki baju hijau tadi.
Tempat bersantap juga sebuah rumah batu yang sederhana, tidak banyak alat perabotnya, tapi sangat luas.
Keempat orang baju hijau tadi masuk dapur sendiri untuk menyiapkan daharan, Tidak lama perjamuan lantas dimulai, meja penuh dengan sayur mentah dan buah-buahan belaka, tiada makanan dari daging atau ikan dan juga tiada satu pun yang dimasak.
Makan tanpa ikan daging bagi Be Kong-co jelas tidak menarik, maka ia menjadi kecewa melihat meja itu tiada sesuatu daharan enak selain sayur mentah dan buah-buahan.
“Di sini selamanya tidak kenal makanan berjiwa dan tidak pakai asap api, maka diharap tuan-tuan suka maklum,” kata orang pertama tadi.
“Masakah tidak pakai api segala ? Tadi kalian kan membakar rumah dengan api?” ujar Be Kong co… “Itu adalah cara hukuman Kokcu,” kata orang kedua.
Lalu lelaki baju hijau ketiga menyambung: “Silahkan dahar !” - Lalu ia ambilkan sebuah botol dan menuangkan setiap orang satu mangkoK air jernih.
Be Kong-co mengira disuguh arak, ia tidak makan daging juga tak jadi soal asalkan dapat minum arak. Tanpa pikir ia terus angkat mangkoknya dan ditenggak, tapi rasanya tawar, baru sekarang ia tahu isi mangkok itu adalah air. Dasar, wataknya memang kasar, segera ia berteriak: “He, majikan kalian itu sungguh kikir, masakah arak saja tidak disuguhkan kepada tamu.”
“Di lembah ini dilarang minum arak, peraturan ini sudah turun temurun selama beratus tahun, harap tuan tamu suka memaafkan,” kata orang pertama tadi.
Si nona baju hijau juga berkata: “Hanya dalam kitab saja kami pernah membaca tulisan arak, tapi sebenarnya bagaimana rasanya arak, selama hidup tak pernah kami lihat, Menurut tulisan dalam kitab, katanya arak dapat mengacaukan pikiran sehat, tentunya juga bukan barang baik”
Yo Ko dan lainnya adalah orang yang sudah biasa hidup bebas di dunia kangouw, mereka merasa kurang cocok dengan lagak lagu keempat orang itu, apalagi sejak mulai bicara tadi belum pernah tertampak air muka mereka mengunjuk senyum, walaupun juga tidak menjemukan, tapi boleh dikatakan tidak menarik. Karena itu mereka hanya makan nasi saja.
Celakanya nasi itupun mentah, yaitu beras yang digiling halus dan dicampur air melulu, tentu saja rasa katulnya sangat terasa sehingga sukar ditelan saja sekadar tangsal perut.
Hanya Be Kong co yang bertubuh besar kekar, setiap kali makan sedikitnya delapan sampai sembilan mangkok besar, tentu saja dia tidak puas akan suguhan itu, sambil makan nasi beras mentah itu ia terus menggerundel tiada hentinya.
Aneh juga, keempat orang baju hijau itu ternyata tidak ambil pusing terhadap gerundelan Be Kong-co, semula mereka masih minta maaf kepada tamunya, tapi kemudian merekapun tidak menanggapi apapun, mereka anggap makan nasi mentah dan minum air tawar adalah kehidupan yang wajar.
Selesai bersantap, Be Kong-co berkaok ingin pulang saja malam itu juga, tapi kelima orang kawannya merasa tertarik oleh macam-macam keanehan di lembab gunung ini, mereka sama ingin mencari tahu duduknya perkara, maka In Kik-si coba memberi pengertian- kepada Be Kong-co, katanya: “Be-heng, kita sudah datang di sini dan sepantasnya besok kita harus menemui Kokcu, mana boleh pulang begitu saja,”
“Tidak ada arak tidak daging, nasipun tidak keruan, aku merasa tersiksa di sini,” seru Be Kong-co pula.
Mendadak Siau-siang-cu menarik muka dan berkata:
“Semua orang bilang tinggal dulu di sini, kau sendiri ribut apa?”
Be Kong-co paling takut kepada Siau-siang-cu karena potongannya yang mirip mayat hidup itu, karena itu ia tidak berani mengomel lagi
Malamnya mereka berenam lantas tidur di dalam rumah batu itu, lantai batu dingin sekali, jangankan kasur dan selimut, bahkan tikar dan sejenisnya juga tidak ada sama sekali.
“Eh, Hwesio gede,” kata Nimo Singh kepada Kim-lun Hoat-ong, “kau adalah otak kita berenam, coba katakan, menurut pendapatmu orang macam apakah Kokcu ini? Apakah orang baik atau orang busuk, besok kita harus bersikap ramah tamah atau labrak dia habis-habisan?”
“Seperti juga kalian, aku sendiripun belum tahu bagaimana Kokcu mereka ini, biarlah besok kita bertindak menurut keadaan saja,” jawab Kim-lun Hoat-ong tertawa.
Dengan suara pelahan In Kik-si berkata: “Kepandaian keempat orang ini sudah begini bagus, dengan sendirinya sang Kokcu akan jauh lebih lihay. Besok kita harus selalu waspada, sedikit lengah bisa jadi kita berenam akan terkubur di sini.”
Tapi Be Kong-co masih terus menggerundel tentang makanan tak enak dan sebagainya, sama sekali ia tidak menghiraukan peringatan In Kik-si yang suka berpikir itu.
Maka Yo Ko sengaja menakuti Be Kong-co, katanya: “Besok kalau kau tidak bertindak hati-hati dan kena ditawan mereka, selamanya kau hanya akan merasakan air tawar dan sayur mentah belaka.”
Baru sekarang Be Kong-co terkejut dan cepat menjawab: “Baik, adik cilik, baiklah, aku akan menuruti kalian!”
Karena berada di tempat berbahaya, maka tidur mereka semalaman boleh dikatakan tidak nyenyak, hanya Be Kong-co saja yang dapat pulas, suara mendengkurnya begitu keras laksana guntur
Setelah bangun pagi-pagi, Yo Ko keluar rumah batu itu dan memandang sekelilingnya, semalam karena hari sudah gelap, maka keadaan setempat belum terlihat jelas.
Ternyata sekitar pepohonan menghijau permai dengan bunga mekar harum semerbak, sungguh suatu tempat dengan pemandangan alam yang indah.
Karena terpesona oleh pemandangan yang menarik itu, Yo Ko mengayunkan langkah ke depan, tertampak di tepi jalan bangau putih bergerombol dua-tiga sekalian di sana sini menjangan putih berkelompok, tupai dan kelinci berlari kian kemari tanpa menghiraukan manusia yang berlalu di situ.
Setelah membelok ke sana, terlihat si nona baju hijau kemarin itu sedang memetik bunga di tepi jalan, nampak Yo Ko, nona itu lantas menyapa: “Selamat pagi! Silakan sarapan!” - Sembari bicara ia lantas memetik dua tangkai bunga dan disodorkan kepada Yo Ko.
Tanpa ragu Yo Ko menerima bunga itu, ia ragu apakah mesti makan bunga ini sebagai sarapan pagi?
Melihat si nona mengeleteki kelopak bunga dan dimakan, Yo Ko meniru dan makan juga beberapa sayap kelopak bunga itu, ia merasa kelopak itu ada rasa manis yang sangat tipis, tapi dikunyah lebih jauh, terasa pula rasa sepat dan pahit, ia merasa tidak sopan kalau memuntahkan kembali kelopak bunga yang dimakannya itu, tapi untuk ditelan rasanya sukar pula masuk tenggorokan.
Ia coba mengamati pohon bunga itu, ternyata ranting daunnya penuh duri kecil, tapi warna kelopak bunga indah sekali, mirip bunga mawar tapi lebih harum, menyerupai melati tapi lebih cantik, entah apa nama bunga yang aneh ini.
“Bunga apakah ini, belum pernah kulihat,” tanya Yo Ko, “Namanya Bunga Cinta, memang jarang ada di dunia ini,” jawab si nona. “Enak tidak rasanya dirasakan?” ,
“Mula-mula terasa manis, tapi kemudian terasa pahit,” ujar Yo Ko sembari mengulur tangannya untuk memetik bunga lagi. Karena melihat ranting bunga itu berduri, maka dia memetik dengan sangat hati-hati.
Tak terduga, di balik kuntuman bunga yang hendak dipetik itu tersembunyi juga duri yang kecil itu dan jarinya terluka hingga meneteskan beberapa tetes darah segar.
Aneh juga, batang pohon bunga itu mirip kapas saja, begitu darah menetes di dahan pohon, seketika darah segar itu terisap lenyap tanpa bekas.
“Menurut cerita ayahku, bunga cinta ini paling suka kepada darah manusia,” tutur si nona baju hijau, “Dengan mengisap beberapa tetes darahmu ini, pasti bunganya akan mekar terlebih indah dan harum, Lembah ini bernama “Lembah Patah Hati”, tapi di sini justeru tumbuh bunga cinta sebanyak ini, aneh bukan ?”
Yo Ko merasa nama lembah itu sangat aneh, katanya: “Mengapa bernama lembah patah Hati, nama ini sungguh luar biasa.”
Nona baju hijau itu menggeleng, jawabnya: “Akupun tidak tahu apa maksudnya, nama ini sudah turun temurun, bisa jadi ayah, mengetahui asal-usul nama ini”
Sembari bicara mereka lantas berjalan berendeng ke depan, Hidung Yo Ko mengendus bau harum yang sedap, terlihat pula menjangan kecil yang berlari kian kemari di tepi jalan itu sangat menarik, hatinya menjadi lapang dan semangat segar, terpikir olehnya tiba-tiba : “Alangkah bahagianya apabila yang berjalan berendeng denganku sekarang ini adalah Kokoh, sungguh aku ingin tinggal selamanya di lembah sunyi ini.”
Baru berpikir sampai di sini, mendadak jari yang tertusuk duri bunga tadi terasa sakit nyeri sekali rasa sakit ini sangat aneh dan lihay, dada terasa seperti dipalu beberapa kali oleh orang, tanpa terasa ia menjerit tertahan dan cepat jari dimasukkan ke dalam mulut untuk dihisap.
“Terkenang kepada buah hatimu, bukan?” tanya si nona hambar.
Karena isi hatinya tepat dikatakan si nona, . muka Yo Ko menjadi merah, jawabnya: “Aneh, darimana kau mendapat tahu?”
“Bila anggota badan tertusuk oleh duri bunga cinta itu, selama tiga hari tiga malam tidak boleh timbul rasa rindu, kalau tidak tentu akan merasa sakit luar biasa,” tutur nona itu.
“Sungguh aneh, masakah di dunia ini terdapat hal aneh begini?” kata Yo Ko dengan heran.
“Kata ayahku, memang begitulah arti cinta, mula-mula terasa manis, tapi kemudian akan timbul terasa pahit getir, bahkan penuh duri, biarpun kau sudah berhati-hati juga tak terhindar akan terluka olehnya, Mungkin karena bunga ini memiliki beberapa segi Khas ini, makanya orang memberi nama begini,”
“Dan mengapa selama tiga hari tiga malam tidak boleh timbul rasa rindu asmara?” tanya Yo Ko. Betapapun dia masih muda belia, bicara mengenai “rindu asmara”, tanpa terasa mukanya merah lagi.
Tapi nona baju hijau sama sekali tidak terpengaruh dengan tenang ia berkata pula: “menurut ayah, duri bunga cinta ini berbisa, Umumnya setiap orang yang tergerak cinta berahinya, bukan saja jalan darahnya akan mengalir lebih cepat, bahkan di dalam darah akan timbul sesuatu unsur yang entah apa namanya, Biasanya racun duri bunga cinta ini tidak membahayakan, tapi begitu bertemu dengan unsur itu di dalam darah, seketika akan membuat orang kesakitan tidak kepalang.”
Yo Ko merasa cerita orang juga rada masuk diakal tapi ia masih setengah ragu. Kedua orang itu terus melangkah kedataran puncak yang terang benderang oleh sinar matahari pagi yang hangat, bunga cinta tampak mekar semarak, bahkan pohon bunga itu pun berbuah. Macam-macam warna buahnya, ada hijau, ada merah dan kombinasi merah dan hijau, malahan buahnya berbulu halus seperti bulu ulat.
“Aneh, bunga cinta itu sangat indah, mengapa buahnya begini jelek,” ujar Yo Ko.
“Buah bunga cinta ini tak dapat dimakan,” kata si nona, “rasa buahnya ada yang masam, ada yang pedas, malahan ada yang bau busuk dan memuakkan.”
“Masakah tiada yang manis sebagai madu?” ujar Yo Ko dengan tertawa.
Nona itu memandang sekejap padanya, lalu menjawab : “Ada sih memang ada, cuma sukar dibedakan dari kulit buahnya, ada yang rupanya buruk, tapi rasanya manis, tapi yang rupanya bagus tidak selalu pasti manis.”
Yo Ko pikir meski apa yang dikatakan si nona itu mengenai bunga cinta, tapi sebenarnyamengandung filsafat tentang asmara lelaki dan perempuan apakah rasa cinta itu memang mula-mula manis dan akhirnya pasti pahit getir ?
Apakah cinta kasih sepasang laki perempuan tentu akan berakhir dengan mimpi buruk daripada mimpi indah ?
Apakah rasa rindukan kepada Kokoh ini kelak juga akan…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar