Minggu, 18 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 61

Kembalinya Pendekar Rajawali 61

Maka ia lantas berkata: “Saudara Singh, kepandaianmu jauh lebih tinggi, silakan maju lebih dulu!”
Meski watak Nimo Singh sangat berangasan tapi dia bukan orang bodoh, segera ia tahu maksud Sing siang-cu. Tapi iapun merasa ilmu silat sendiri cukup tinggi, andaikan tidak dapat menang, rasanya juga takkan kalah, segera ia pegang sebuah batu padas yang besar, lalu berteriak.
“Baik, biar kucoba kelihayan kedua rodamu itu!” Berbareng batu padas yang diangkatnya itu terus dikeprukkan ke dada Kim-lun Hoat-ong.
Memangnya perawakan Nimo Singh pendek, sedangkan batu padas yang dipegangnya itu sangat besar dan tingginya melebihi dia malah, bobotnya sedikitnya ada tiga-empat ratus kati. Semua orang terkejut melihat dia menggunakan batu begitu sebagai senjata.
Kemarin waktu menahan panas di rumah batu itu Nimo Singh pernah pingsang tergarang, Kim-lun Hoat-ong pikir Lwekang orang cebol ini tidak seberapa kuat, tak terduga tenaganya ternyata sangat besar dan sanggup mengangkat batu raksasa itu untuk menghantamnya, ia merasa tidak menguntungkan keras lawan keras, cepat ia memutar ke samping, sedangkan roda tembaga di tangan kanan terus memukul ke punggung lawan.
Batu sebesar itu ternyata dapat diputar oleh Nimo Singh dengan enteng saja, segera ia menangkis dengan batu padas itu, Roda tembaga dan batu kebentur dan menerbitkan lelatu api disertai suara nyaring memekak telinga.
Lengan rada kesemutan diam-diam ia membatin: “llmu silat setan hitam ini rada aneh, harus kuhadapi dengan hati-hati. Tapi dia mengangkat batu sebesar itu, masakah dia dapat bertahan lama?”
Karena pikiran itu, segera ia putar kedua roda-nya dengan cepat sambil mengitari Nimo Singh dengan Ginkangnya. .
Setelah menolong bangun Be Kong co, Yo-Ko berdiri berjajar Siao-liong-li mengikuti pertaruhan seru itu, dilihatnya tenaga sakti “Nimo Singh beruang luar biasa, ilmu silatnya juga aneh, diam-diam mereka rada heran. Setelah berlangsung lagi sekian Iama, tenaga Nimo Singh sedikipun tidak berkurang, bahkan mendadak ia menggertak satu kali, batu padas raksasa itu terus dikeprakkanya ke dada Hoat-ong.
Betapapun lihaynya Kim-lun Hoat-ong juga tidak berani menahan samberan batu sebesar itu, cepat ia melompat kesamping. Tak terduga, tiba-tiba Nimo Singh juga ikut melayang maju, batu itu dapat disusulnya, kedua tangannya mendadak menghantam batu sehingga batu itu menggeser arah dan memburu ke jurusan Hoat-ong.
Daya samberan batu itu adalah sisa lemparan pertama ditambah lagi tenaga dorongan kedua kalinya sebab itu lebih hebat daripada samberan pertama kali tadi.
Bicara tentang ilmu silat sejati sebenarnya Kim-lun Hoat-ong memang di atas Nimo Singh, cuma tenaga raksasa melempar batu yang disebut “Sikya-hiat-siang-kang” (llmu Budha melempar gajah) ini memang luar biasa dan belum pernah dilihatnya seketika ia menjadi kelabakan, terpaksa ia melompat berkelit pula ketika batu itu menyambar tiba.
Selagi menang segera Nimo Singh mendesak lagi lebih lanjut, berkali-kali ia hantam batu itu sehingga daya sambernya bertambah hebat.
Hoat-ong pikir kalau pertarungan begitu terus, akhirnya dia pasti akan dikalahkan orang keling cebol itu kalau tidak lekas berdaya lain.
Begitulah sambil bertempur iapun memikirkan upaya cara berganti serangan untuk memperoleh kemenangan. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang riuh disusul dengan panji2 yang berkibar, serombongan orang berkuda tampak muncul di tempat ketinggian sana.
Nimo Singh dan Kim-lun Hoat-ong sedang bertarung dengan sengit dan tidak sempat memandang ke sana, tapi Yo Ko dan lain-lain sudah dapat melihat jelas rombongan itu adalah sepasukan tentera MongoI yang tangkas, di bawah panji besar yang berkibar itu berdiri seorang perwira muda berjubah kuning dan membawa busur.
“Hei, berhenti, berhenti!” mendadak perwira itu berseru sambil melarikan kudanya ke kalangan pertempuran Hoat-ong berdua. Siapa lagi dia kalau bukan pangeran Mongol, Kubilai.
Mendengar suara itu, Nimo Singh melompat maju lagi dan menghantam batu padas dengan kedua tangannya batu itu terus melayang ke sana dan jatuh ke bawah bukit dengan menerbitkan suara gemuruh.
Kubilai melompat turun dari kudanya, sebelah tangannya menarik Hoat-ong dan tangan lain menggandeng Nimo Singh, katanya dengan tertawa: “Kiranya kalian sedang berlatih disini, sungguh banyak menambah pengalamanku akan kelihaian kalian.”
Sudah tentu ia tahu kedua orang itu sedang bertempur mati-matian, tapi demi kehormatan kedua pihak, ia sengaja melerai.
“llmu silat saudara Singh sungguh hebat, bagus, bagus!” ujar Hoat-ong dengan tersenyum.
Dengan mendelik Nimo Singh menjawab: “Memangnya kukira Koksu nomer satu pasti luar biasa, kiranya cuma begini saja,Hm!” Hoat-ong menjadi gusar dan segera akan menanggapi pula, tapi Kubilai telah menyela: ” Wah, pemandangan di sini sungguh indah, harus di ramaikan dengan minum arak, Hayo, bawakan arak nya, biar kita minum tiga cawan bersama!”
Bangsa MongoI sudah biasa berkenalan di padang Iuas, makan minum di manapun tidak menjadi soal, Segera ada pengawal menghaturkan arak dan dendeng.
Kubilai memandang sekejap ke arah Siao-liong li, diam-diam ia terkesiap akan kecantikannya, Melihat Yo Ko berdiri sejajar dengan si nona dengan bergandengan tangan, tampaknya sangat mesra, segera ia tanya Yo Ko: “Siapakah nona ini?”
“lnilah nona Liong, guruku dan bakal isteriku,” jawab Yo Ko. Sejak pergulatan dengan maut di gua bawah tanah dan akhirnya selamat, maka watak Yo Ko menjadi semakin nyentrik, segala tata adat tidak terpikir olehnya, ia justeru ingin mengumumkan kepada dunia bahwa: inilah Yo Ko yang memperistrikan bekas gurunya.
Kalau bangsa Han memang sangat kolot dalam adat kekeluargaan, maka bangsa Mongol tidak begitu
mementingkan tata adat begitu, sebab itulah Kubilai tidak merasa heran pada ucapan Yo Ko, malahan bertambah rasa hormat dalam hatinya demi mendengar nona cantik itu pernah mengajarkan ilmu silat kepada Yo Ko.
Dengan tertawa ia ber-kata: “Yang laki gagah dan yang perempuan caritik, sungguh pasangan yang setimpal Bagus, bagus! Marilah kita habiskan semangkuk arak ini sebagai ucapan selamatku!” - Habis berkata, ia angkat mangkuk arak sendiri dan ditenggak hingga habis.
Kim-Iun Hoat-ong tersenyum, iapun habiskan mangkuknya. Dengan sendirinya yang lain-lain juga ikut  minum, malahan sekaligus Be Kong-co menghabiskan tiga mangkuk.
Sebenarnya Siao-liong-li tidak suka kepada orang Mongol, sekarang didengarnya pujian Kubilai bahwa perjodohannya dengan Yo Ko setimpal, betapapun ia menjadi kegirangan dan ikut minum semangkuk arak sehingga semakin menambah moleknya. Pikirnya: “Orang Han semuanya menganggap aku tidak boleh menikah dengan Koji, tapi pangeran Mongol ini justeru menyatakan bagus, tampaknya pandanan orang Mongol jauh lebih luas daripada orang Han.”
Karena itu diam-diam timbul hasratnya untuk membantu orang Mongol.
Dengan tertawa kemudian Kubilai berkata pula. “Kalian tidak pulang selama tiga hari, aku kuatir terjadi sesuatu.
soalnya situasi di Siangyang cukup genting sehingga aku tidak dapat selalu mendampingi kalian, tapi sudah kutinggalkan pesan di markas agar kalian diharap segera menuju garis depan di Siangyang apabila kalian sudah pulang. Kebetulan sekarang kita bertemu di sini, sungguh hatiku sangat lega,”
“Apakah gempuran pasukan kita atas Siangyang cukup Iancar?” tanya Hoat-ong.
“Sebenarnya panglima yang menjaga Siangyang, yaitu Lu Bun-hoan adalah seorang bodoh, yang kukuatiri hanyalah Kwe Cing seorang saja,” tutur Kubilai.
Hati Yo Ko tcrkesiap, cepat ia bertanya: “jadi Kwe Ceng memang berada di Siangyang? Kwe Ceng ini adalah pembunuh ayahku, jika boleh, maka kumohon diberi tugas untuk membunuhnya,”
“Memangnya begitulah maksud tujuan undanganku kepada para ksatria.” kata Kubilai dengan girang. “Cuma kabarnya ilmu silat Kwe Ceng itu tergolong nomor satu di seluruh Tinggoan, banyak pula orang kosen yang membantunya, beberapa kali pahlawan yang kusuruh membunuhnya mengalami kegagalan, ada yang tertangkap dan ada yang terbunuh. Sudah tentu kupercaya pada ketangkasan saudara Yo, tapi seorang diri terasa kurang kuat, maka maksudku kalau bisa para ksatria di sini sekaligus menyusup di Siangyang, dengan begitu kalian dapat turun tangan bersama. Asalkan orang she Kwe itu terbunuh, dengan mudah pula Siangyang akan dapat kita duduki.”
Serentak Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain-lain berdiri, kata mereka sambil menyilang tangan di depan dada.
“Kami siap mengikuti semua perintah Ongya dan bertempur sekuat tenaga.”
“Bagus, bagus!” seru Kubilai dengan girang, “Tak peduli siapa yang akan membunuh Kwe Ceng nanti, yang pasti setiap orang yang ikut pergi juga berjasa, Hanya orang yang membunuhnya itulah akan kuusulkan kepada Sri Baginda agar diberi gelar dan diangkat menjadi jago nomor satu dari kerajaan Mongol Raya kita.”
Gelar bangsawan sih tidak begitu menarik bagi Siao-siang-cu, Nimo Singh dan lain-lain, tapi sebutan “jago nomor satu kerajaan Monggol” adalah cita2 yang mereka harapkan, sebab dengan begitu namanya akan tersohor ke seluruh jagat.
Maklumlah waktu itu kerajaan Mongol lagi jaya2nya, wilayah kekuasaannya sangat luas dan belum ada bandingannya dalam sejarah, kecuali benua barat, waktu itu dua pertiga wilayah Tiongkok juga telah didudukinya, sebagai ukuran luasnya wilayah pendudukan kerajaan Mongol waktu itu dapat dilukiskan: perjalanan dari pusat pemerintah kerajaan ke empat penjuru wilayah pendudukannya diperlukan tempo satu tahun sekalipun dengas kuda yang paling cepat.
Karena itulah dapat dibayangkan betapa membamggakan gelar “jago nomor satu” itu bagi setiap manusia. Semua orang menjadi tertarik dan bersemangat setelah mendengar janji Kubilai itu.
Hanya Siao-liong li saja yang memandangi Yo Ko dengan rasa cinta yang tak terhingga, ia pikir sebutan dengan gelar bangsawan dan jago nomor satu segala, yang kuharapkan hanya semoga engkau dapat hidup terus.
BegituIah semua orang terus menenggak arak lagi beberapa mangkuk, lalu berangkat, Para Busu Mongol membawakan kuda dan Yo Ko, Siao-Iiong li serta Kim-lun Hoat-ong dan lain-lain sama naik ke atas kuda, mereka ikut di belakang Kubilai dan dilarikan cepat ke arah Siangyang.
Sepanjang jalan rumah penduduk hampir seluruhnya kosong melompong dan hangus terbakar, mayat bergelimpangan memenuhi jalan, Setiap berjumpa orang Han, tanpa kenal ampun prajurit Mongol melakukan pembunuhan.
Tidak kepalang gusar Yo Ko menyaksikan idaman itu, ia ingin mencegah perbuatan kejam itu, tapi segan terhadap Kubilai. Diam-diam ia hanya membatin: “Kawanan perajurit Mongol ini sungguh kejam dan menganggap bangsa Han kami lebih rendah daripada binatang. Nanti setelah kubunuh Kwe Cing dan Oey Yong, akupun akan membunuh beberapa perwira Mongol yang paling kejam untuk melampiaskan rasa dendamku.”
Kuda tunggangan mereka adalah kuda peran Mongol pilihan, maka beberapa hari kemudian merekapun sampailah di luar kota Siangyang, Sementara itu pertempuran pasukan kedua pihak sudah berlangsung sebulan lebih, di medan peran penuh senjata rusak dan darah berceceran sudah membeku, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pertempuran. Ketika pasukan Mongol diberitahu oleh kurir bahwa pangeran Kubilai datang sendiri di garis depan, para panglima perang segera menyambutnya. Kubilai menyatakan rasa penyesalannya karena kota Siang yang sudah sekian lama belum dapat diduduki, para panglima itu sama berlutut dan minta ampun, Kubilai terus keprak kudanya dan dilarikan kedepan dengan cepat. Para panglima itu tetap berlutut dan tidak berani bangun, semuanya merasa kebat-kebit.
Diam-diam Yo Ko sangat mengagumi wibawa Kubilai yang luar biasa itu, biasanya Kubilai sangat ramah tamah terhadap dirinya serta Kim-Iun Hoat-ong dan lain-lain, tapi menghadapi para panglimanya ternyata berubah menjadi sangat kereng dan disegani.
Sementara itu hari sudah terang, pasukan mendapatkan aba2 menyerang, seketika terjadilah hujan panah dan batu yang berhamburan ke benteng kota, menyusul tembok2 benteng banyak ditempeli tangga panjang, beramai-ramai perajurit Mongol berusaha manjat ke-atas benteng.
Akan tetapi penjagaan benteng juga kuat, beberapa perajurit Han memegangi kayu besar dan banyak tangga melangit itu didorong terpental dari tembok benteng.
Akhirnya ada beberapa ratus perajurit berhasil menyerbu ke atas benteng, sorak-sorai pasukan Mongol menggelegar setiap Pek-hu-tiang (komandan seratus orang, setingkat kapten) Mongol memimpin pasukannya merayap ke atas sebagai bala bantuan.
Mendadak terdengar suara genderang dipukul keras, sepasukan pemanah kerajaan Song muncul di balik tembok sana dapat menahan majunya pasukan Mongol, menyusul sepasukan lain dengan obor beramai-ramai membakar tangga panjang sehingga perajurit Mongol yang sedang merayap ke atas benteng sama jatuh terjungkal ke bawah.
Suasana menjadi gaduh, di tengah pertempuran dahsyat itu, tiba-tiba di atas benteng muncul sepasukan Laki-laki gagah perkasa bersenjata golok, tombak dan pedang, serentak pasukan Mongol yang berhasil menyerbu ke aras benteng itu disergapnya.
Pasukan laki-laki itu tidak memakai seragam pasukan Song ada yang berbaju hitam ringkas, ada yang berjubah panjang dengan warna yang berbeda, waktu bertempur juga tidak menuruti peraturan pasukan, namun semuanya sangat tangkas, jelas tiap-tiap orang itu memiliki ilmu silat yang terlatih.
Perajurit Mongol yang menyerbu ke atas benteng itu adalah perajurit pilihan yang sudah berpengalaman dan gagah berani, namun sama sekali bukan tandingan pasukan laki-laki itu, hanya beberapa gebrakan saja satu persatu mereka dapat dikalahkan dan terbunuh, ada yang menggeletak di atas benteng, ada yang terlempar ke bawah benteng.
Di antara pasukan laki-laki itu ada seorang setengah umur berjubah abu-abu kelihatan paling tangkas, tanpa bersenjata, tapi berlari kian kemari tanpa.tandingan, di situ pula musuh tercerai berani laksana harimau menyerbu ke tengah kawanan domba.
Kubilai mengawasi sendiri pertempuran itu, melihat betapa gagahnya lelaki setengah tua itu, ia menjadi kesima, katanya dengan gegetun: “Siapa di antara jago-jago di dunia ini ada yang lebih hebat daripada orang ini?”
Yo Ko berdiri di samping Kubilai, ia lantas berkata: “Apakah Ongya tahu siapakah dia?”
“Apa mungkin dia ini Kwe Ceng?” jawab Kubilai terkejut.
“Betul, memang dia,” kata Yo Ko.
Sementara itu beberapa ratus perajurit Mongol yang menyerbu ke atas benteng itu sudah terbunuh dan bersisa beberapa orang saja, hanya tiga orang Pik-hu-tiang dengan bertumbak dan membawa perisai masih terus bertempur dengan mati-matian.
Ban-hu-tiang (komandan selaksa orang, setingkat kolonel) yang memimpin pertempuran di bawah benteng kuatir didamperat Kubilai, cepat ia memerintah agar meniupkan tanduk dan memberi aba2 penyerbuan lagi, serentak pasukan Mongol menyerang dengan gagah berani untuk menyelamatkan ketiga Pek-hu-tiang.
Mendadak Kwe Ceng bersiul nyaring dan melangkah maju, ketika salah seorang Pek-hu-tiang menusuknya dengan tumbak, dengan tepat gagang tumbak kena dipegang Kwe Cing terus didorong ke depan, menyusul sebelah kakinya melayang dan tepat menendang pada perisai Pek-hu-tiang kedua, meski kedua Pek-hu-tiang itu sangat gagah, tapi sukar menahan tenaga sakti Kwe Ceng, seketika keduanya mencelat terjungkal ke bawah benteng dan binasa dengan kepala pecah dan tubuh remuk.
Pek-hu-tiang ketiga berusia lebih tua, rambutnya sudah ubanan, iapun insaf dirinya tak terluput dari kematian, tapi sekuatnya ia putar goloknya dan menyerang dengan kalap, Sekonyong-konyong Kwe Ceng menubruk maju, dengan tepat tangan lawan yang memegang golok itu kena dicengkeramnya, selagi ia hendak menyusuli dengan sekali hantaman untuk membinasakan Pek-hu-tiang itu, tiba-tiba ia melengak Pek-hu-tiang itupun dapat mengenali Kwi Cing cepat ia berseru: “He, engkau, Kim-to Hunji (menantu raja bergolok emas)!”
Kiranya Pek-hu-tiang ini adalah bekas anak buah Kwe Ceng ketika dahulu Kwe Ceng ikut Jengis Khan menyerbu ke wilayah barat Segera Kwe Ceng turun dari kuda dan berlari mendekati benteng, mereka menarik busur dan membidikan dua panah ke arah Kwe Ceng.
Kepandaian memanah kedua orang itu memang lihay, baru saja terdengar suara teriakan perajurit di atas benteng, tahu-tahu kedua panah itu sudah menyamber sampai di depan dada Kwe Ceng, tampaknya sukar lagi bagi Kwe Ceng untuk mengelak, tak terduga mendadak kedua tangan Kwe Ceng meraih, satu tangan satu panah telah kena dipegangnya menyusul kedua panah itu berbaIik- disambit ke musuh..
Belum lagi kedua jago pengawal Mongol tadi melihat jelas apakah Kwe Ceng jadi mati kena panah mereka atau tidak, mendadak kedua panah sudah menyamber tiba dan menembus dada mereka, kontan mereka binasa. Serentak terdengarlah, suara sorak gemuruh pasukan Song di atas benteng disertai bunyi genderang yang ber-talu2 sebagai tanda kemenangan.
Kubilai menjadi kesal dan memimpin pasukannya mundur ke tempat yang diperintahkan tadi, ditengah jalan tiba-tiba Yo Ko berkata: “Ongya tidak perlu masgul, biarlah sebentar Cayhe masuk ke kota sana untuk membunuh Kwe Ceng.”
“Tapi Kwe Ceng itu serba lihay, namanya memang bukan omong kosong belaka, kurasa rencanamu hendak membunuhnya rada sukar,” ujar Kubilai sambil menggeleng.
“Beberapa tahun pernah kutinggal di rumahnya, pula pernah menolong anggota keluarganya, dia pasti tidak curiga apapun padaku,” kata Yo Ko.
“Tadi kau berdiri di sampingku, mungkin sudah dilihat olehnya,” kata Kubilai pula.
“Sebelumnya sudah kupikirkan hal ini, maka tadi aku dan nona Liong memakai topi lebar untuk menutupi muka dan pakai mantei bulu puIa, dia pasti pangling padaku,” ujar Yo Ko.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar