Kembalinya Pendekar Rajawali 32
Peristiwa itu memangnya sangat kebetulan
saja, ketika tengah malam Ci-keng melihat kedua muda-mudi itu telanjang bulat
berada bersama dalam semak-semak, ia sangka orang telah berbuat kotor, siapa
tahu sesungguhnya orang lagi melatih ilmu yang tiada bandingannya itu. Dalam
gusarnya kini peristiwa itu disiarkannya, sebenarnya bukan maksudnya sengaja
hendak memfitnah.
Akibat kejadian malam itu, Siao-liong-li
sampai muntah darah saking gusar dan hampir-hampir jiwanya melayang, kini
mendengar Ci-keng berdebat model pokrol bambu. ia tak tahan lagi, cepat sekali
ia ulur tangan dan menekan pelahan ke dada Ci-keng seraya berkata: “Baiknya kau
jangan ngaco-belo ya !”
Sementara ini Giok-li-sim-keng yang
dilatihnya sudah jadi, gerak tangannya ini dilakukan tanpa suara dan tak
kelihatan, kebetulan juga Giok-li-sim-keng itu diciptakan sebagai lawan ilmu
silat Coan-cin-pay ketika Ci-keng hendak menangkis. Tak tahunya tangan
Siao-liong-li telah memutar lagi dan tetap meraba ke dadanya.
Sekali tangkis tak kena, luar biasa kejut
Ci-keng, namun begitu dadanya teraba tangan orang pun lantas ditarik kembali
dan tiada sesuatu perasaan apa-apa, maka iapun tidak ambil perhatian dengan
tertawa dingin ia coba mengolok-olok lagi:
“Ada
apa kau meraba tubuhku ? Aku toh bukan gend…”
Belum kata-kata “gendakmu” selesai diucapkan,
mendadak kedua matanya melotot kaku, seketika orangnya terkulai kedepan, nyata
ia sudah terluka dalam yang amat parah.
Melihat sang Sutit terluka, lekas-lekas Sun
Put-ji dan Hek Tay-thong memburu maju buat membangunkan, dilihatnya napas
Ci-keng memburu dan wajahnya merah padam bagai orang mabuk
“Bagus, kau Ko-bong-pay benar-benar hendak
memusuhi Coan-cin-kau kami,” teriak Sun Put-ji, segera pedangpun dilolosnya
lantas hendak melabrak Siao-liong-li.
Lekas-lekas Kwe Ceng melompat maju dan
menyela ditengah kedua pihak “Sudahlah, orang sendiri jangan cekcok,” ia coba
memisah. Lalu ia berkata juga pada Yo Ko: “Ko-ji,
kedua pihak sama-sama terhitung gurumu. Harap
kau minta mereka kembali ke tempat duduk masing-masing, ada apa-apa biarlah
kita pertimbangkan sebenarnya siapa yang salah.”
Akan tetapi Sino-liong-li sudah jemu dan
benci pada segala kepalsuan manusia dengan pengalaman2 sejak ia turun gunung,
maka tangan Yo Ko digandengnya dan mengajaknya lagi “Marilah kita pergi saja,
Ko-ji, selamanya jangan kita ketemu orang-orang ini pula !”
Yo Ko ikut bertindak pergi, tapi mendadak
pedang Sun Put-ji berkelebat ia menghadang pula dan membentak: “Hm, enak saja,
sudah melukai orang lantas hendak merat begitu saja?”
Melihat kedua pihak akan saling gebrak lagi
lekas-lekas Kwe Ceng berkata pula dengan sungguh-sungguh -”Ko-ji, segalanya
hendaklah kau pikir masak-masak dan jadilah orang baik-baik, jangan bikin susah
diri sendiri dan membikin busuk nama baikmu. Namamu Ko adalah aku yang memberi,
apa kau paham maksud huruf “Ko” itu?”
Tergetar Yo Ko oleh teguran itu, mendadak
terbayang olehnya banyak kejadian di masa kecil, teringat olehnya segala hinaan
yang pernah ia rasakan, pikirnya: “Aneh, mengapa namaku ini adalah pemberian
Kwe-pepek?”
“lbumu dulu tentu pernah ceritakan padamu kau
bernama “Ko” dan alias apa?” tegur Kwe Ceng pula bengis.
Maka ingatlah Yo Ko pernah dengat dari
ibunya, Cuma dulu usianya masih kecil, maka selamanya tiada orang memanggil
nama aliasnya hingga ia sendiri hampir lupa, “Nama aliasku “Kay-ci” sahutnya
kemudian.
“Benar,” kata Kwe Ceng. “Dan apa maksudnya
itu?” “Kwe-pepek maksudkan bila aku ada kesalahan (Ko) supaya bisa
memperbaikinya (Kay-ci),” sahut Yo Ko.
Karena itu lagu suara Kwe Ceng berubah
sedikit halus. “Ko-ji,” katanya pula, “manusia mana yang tak pernah salah (Ko),
tapi salah berani memperbaiki hal ini harus dipuji, ini adalah petua Nabi. Kini
kau tak menghormati guru, ini adalah kesalahan maha besar, hendaklah kau bisa
pikirkan secara baik-baik.”
“Kalau aku ada salah sudah tentu akan
kuperbaiki,” sahut Yo Ko.” Tetapi dia… dia…” ia tuding Ci-keng dan melanjutkan:
“dia pukul aku, dia menghina aku, menipu aku dan benci padaku, mana mau aku
mengakui dia sebagai guru? Aku dan “Liong-kokok suci bersih,
Thian menjadi saksi, aku menghormati dia,
kucinta padanya, apakah ini suatu kesalahan?”
Yo Ko mencerocos dengan lancar dan
bersemangat oleh rasa benarnya, kecerdasan dan bicaranya Kwe Ceng tak ungkuli
pemuda ini, sudah tentu ia menjadi gelagapan, Cuma perbuatan orang dirasakannya
salah, hanya seketika ia tak bisa menjelaskannya.
“Ko-ji,” sementara Oey Yong sudah maju juga,
“Kwe-pepek ingin kau berbuat baik, hal ini hendaklah kau mengerti” suaranya
halus.
Karena itu perasaan Yo Ko terguncang, iapun
lirihkan suara dan menyahut: “Ya, selamanya Kwe-pepek sangat baik padaku, hal
ini aku cukup tahu.” Karena terharunya, matanya merah dan hampir-hampir
meneteskan air mata.
“Maksudnya hanya berusaha menginsafkan kau,
sekali-kali jangan kau salah paham,” kata Oey Yong lagi.
“Tetapi aku justru tak paham, aku tak
mengerti kesalahan apakah yang kulakukan?” kata Yo Ko pula.
Tiba-tiba Oey Yong menarik muka, “Apa kau
benar-benar tak mengerti atau kau sengaja main gila dengan kami ?” tanyanya.
Yo Ko menjadi penasaran, ia pikir: “Jika
kalian baik-baik terhadapku dengan sendirinya aku pun balas dengan baik, tetapi
kalian ingin aku berbuat bagaimanakah ?”
Karena itu, ia gigit bibir dan tak menjawab.
“Baiklah, bila kau ingin aku bicara terus
terang, rasanya akupun tak perlu main teka-teki dengan kau,” kata Oey Yong,
“Liong-kokoh adalah Suhumu, itu berarti orang tua yang harus kau hormati, maka
tak boleh ada hubungan pribadi antara laki-laki-perempuan.”
Peraturan demikian itu bukannya Yo Ko tak
paham sama sekali seperti diri Siao-liong-li, cuma ia tak mengerti, sebab apa
hanya lantaran Kokoh pernah mengajarkan ilmu silat padanya lantas tak boleh
menjadi isterinya ? Kenapa hubungannya dengan Liong-kokoh yang suci bersih,
Kwe-pepek saja tak mau percaya? Berpikir sampai disini, tak tahan lagi iapun
naik darah.
Dasar Yo Ko seorang yang tak gentar terhadap
segala apa dan pantang kekerasan, sekali ia merasa
penasaran, ia menjadi lebih tak mau mengerti Segera, dengan
suara keras ia berkata lagi: “Dan perbuatan apa yang
kulakukan yang membikin susah kalian? Siapa yang pernah
kucelakai? Liong-kokoh pernah mengajarkan ilmu silat padaku,
aku justru ingin dia menjadi isteriku, kau boleh bacok aku,
boleh cincang aku, namun aku tetap ingin dia menjadi isteriku.”
Kata-katanya ini betul-betul membikin seluruh
hadirin terperanjat. Pada jaman Song orang sangat kukuh pada tata adat, mana
ada logika yang menyimpang 180 derajat dari peraturan itu? Selama hidup Kwe
Ceng sendiri paling menghormat pada guru, maka ia gusar tidak kepalang oleh
jawaban Yo Ko itu, cepat sekali ia melangkah maju, segera ia jamberet dada Yo
Ko.
Siao-liong-li terkejut segera ia menangkis,
Namun ilmu silat Kwe Ceng masih jauh di atasnya, apalagi dalam keadaan gusar,
seluruh tenaganya telah dikeluarkan semua, ketika sekali tarik terus dilemparkan,
tahu-tahu Siao-liong-li terlempar pergi setombak lebih dan turun kembali di
luar pintu menyusul mana sebelah tangan Kwe Ceng pegang
dada Nyo Ko tempat “Thian-tut-hiat” dan tangan lain diangkatnya tinggi2 sambil
membentak: “Binatang cilik, kenapa kau berani keluarkan kata-kata durhaka
semacam itu?”
Seluruh tenaga Yo Ko lenyap seketika oleh
karena cekalan Kwe Ceng itu, namun dalam hati sedikitpun ia tak takut “Kokoh
cinta padaku sepenuh hatinya, begitu pula aku terhadapnya,” katanya lantang,
“Kwe-pepek, kau mau bunuh aku boleh bunuhlah, tapi keputusanku ini tak akan
berubah selamanya.”
“Aku anggap kau seperti anakku sendiri, tidak
boleh kudiamkan kesalahanmu dan tak memperbaikinya,” kata Kwe Ceng.
“Aku tak salah, aku tidak melakukan sesuatu
yang buruk, aku tak pernah mencelakai orang lain!” jawab Yo Ko tegas, Tiga
kalimat itu diucapkannya dengan begitu kuat dan pasti.
Seketika hati para ksatria ikut terkesiap,
mereka merasa kata-kata Yo Ko ada bagian2 yang masuk di akal, umpama saja kalau
kedua muda-mudi ini tidak bilang-bilang pada orang lain, lalu hidup menyendiri
di dunia lain atau menjadi suami isteri di pulau terpencil misalnya, bukankah
tidak merugikan siapapun juga.
Tapi kalau berbuat semena-mena sesukanya
tanpa menghiraukan pedapat umum, ini pun tak bisa dibenarkan dan merupakan
sampah masyarakat persilatan.
Tapi berlainan pendapat Kwe Ceng daripada Yo
Ko, ketika telapak tangannya sudah diangkat, ia berkata dengan pedih : “Ko-ji,
betapa sayangku padamu, apakah kau mengerti? Aku lebih suka kau mati daripada
kau berbuat hal-hal tak baik, pahamkah kau?”
Karena kata-kata Kwe Ceng ini, Yo Ko tahu
bila tidak ganti lagu suara, sekali gablok pasti dirinya akan terpukul mati,
kadangkala pemuda ini licin dengan macam 2 tipu akalnya,
tapi kini ia justru keras kepala, maka dengan
tegas ia menjawab: “Aku yakin aku tidak bersalah, kalau Pepek tak percaya
biarlah kau pukul mati aku saja.”
Telapak tangan kiri Kwe Ceng sudah diangkat
tinggi2, asal sekali gablok ke atas batok kepala Yo Ko, mana bisa bernyawa pula?
Karena itu seketika para ksatria sunyi senyap tiada yang bersuara, semuanya
menatap tangan Kwe Ceng apakah jadi digablokkan atau tidak.
Sejurus telapak tangan Kwe Ceng tinggal
terangkat tinggi2, kembali ia pandang Yo Ko sekejap, ia lihat
bocah ini gigit kencang bibirnya dan alis terkerut rapat, parasnya begitu mirip
dengan mendiang ayahnya, Yo Khong.
Mendadak Kwe Ceng menghela napas panjang, ia
lepaskan jambretannya dan berkata: “Sudahlah, harap kau berpikir lebih masak.”
Habis itu iapun kembali ke tempat duduknya
tadi, sekejap saja ia tidak pandang Yo Ko pula, tampaknya ia begitu putus asa
dan habis harapan.
“Ko-ji, orang-orang ini begini kasar, jangan
kau peduli mereka, marilah kita pergi saja,” tiba-tiba Siao-liong-li menggapai
Yo Ko. Nyata sama sekali ia tidak tahu bahwa jiwa Yo Ko tadi sudah dalam saat
yang menentukan.
Dengan langkah lebar segera Yo Ko keluar
ruangan pendopo itu sambil bergandeng tangan Siao-liong-li, mereka mendapatkan
kuda mereka yang kurus itu dan segera menuntunnya berlalu.
Dengan mata terpentang Iebar2 para ksatria
mengikuti kepergian kedua muda-rnudi itu, ada yang memandang rendah, ada yang
kagum, ada yang gusar dan ada yang simpatik dan macam-macam perasaan yang tak
sama.
Begitulah berendeng Yo Ko bikin perjalanan
dengan Siao-liong-li, meski hari sudah jauh malam, tapi mata kedua orang ini
cukup terlatih, jalan di malam gelap mereka anggap seperti siang hari saja.
Sudah lama berpisah dan kini kedua muda-mudi
ini berdua kembali, betapa senang perasaan mereka tak perlu dilukiskan lagi,
segala apa yang terjadi tadi, pertempuran mati-matian, perdebatan dan caci
maki, semuanya sudah mereka lupakan.
Mereka berjalan terus tanpa bicam, akhirnya
sampai dibawah suatu pohon Yang-liu yang rindang, tanpa berjanji keduanya
mendekati dan duduk bersandarkan dahan pohon, lambat laun merekapun merasa
letih dan kemudian terpulas sendirinya.
Kuda kurus itu makan rumput hijau di kejauhan
dengan bebasnya, hanya kadang-kadang terdengar suara meringkiknya yang pelahan.
Setelah mendusin, hari sudah terang benderang,
kedua muda-mudi itu saling pandang dan tertawa.
“Ke mana kita sekarang, Kokoh?” tanya Yo Ko.
“Lebih baik kembali Ko-bong (kuburan kuno)
saja,” sahut Siao-liong-li sesudah merenung sejenak.
Nyata sejak ia turun gunung, ia merasa meski
dunia ramai ini sangat indah, tapi tetap tidak lebih merdeka daripada hidup
dalam kuburan kuno itu.
Yo Ko juga tahu jiwa Siao-liong-li terlalu
polos dan tidak cocok untuk bergaul dengan orang, ia pikir kalau selama hidup
ini bisa berdampingan dengan gadis ini, selebihnya tiada yang dia inginkan
lagi, dahulu ia suka kenangkan dunia luar yang ramai dan berharap bisa keluar
kuburan, tetapi sesudah berkelana sekian lama, kembali ia rindu pada kehidupan
yang aman tenteram dalam Ko-bong itu.
Begitulah kedua orang itupun balik ke utara,
sepanjang jalan mereka bicara dan menempuh jalan perlahan-lahan.
Yang satu tetap panggil “Ko-ji” dan yang lain
sebut “Kokoh”, mereka merasa sebutan itu adalah paling cocok dan wajar.
Sampai lohor, pembicaraan mereka sampai pada
ilmu silat Kim-lun Hoat-ong dan murid-muridnya yang lihay luar biasa.
“Ko-ji, pada bab terakhir dari
Giok-li-sim-keng selamanya belum pernah kita latih, apa kau masih ingat?”
tiba-tiba Siao-liong-li berkata.
“lngat, cuma berulang kali kita sudah pernah
coba memecahkannya dan selalu gagal, agaknya pasti ada yang salah,” sahut Yo
Ko.
“Sebenarnya akupun tak paham,” ujar
Siao-liong-li, “tetapi kemarin melihat imam wanita tua itu menggeraki
pedangnya, waktu itulah mengingat kan padaku akan sesuatu.”
Seketika Yo Ko paham juga bila teringat tipu
gerakan pedang yang digunakan Sun Put-ji kemarin, “Ya, ya,” segera ia
berteriak, “harus digunakan berbareng antara Giok-li-sim-keng dan ilmu silat
Coan-cin-pay, pantas kita sudah melatih kesana kemari masih belum berhasil.”
Kiranya dahulu cikal-bakal Ko-bong-pay, Lim
Tiao-eng, sangat ter-gila-gila pada Ong Tiong-yang,
waktu tinggal
sendiri dalam kuburan kuno ia ciptakan ilmu
silat Giok-li-sim-keng, namun terhadap Ong Tiong-yang masih tetap tidak pernah
lupa, maka sampai bab terakhir dari Giok-li-sim-keng yang dia tulis, timbul
khayalannya pada suatu hari kelak pasti bisa sejajar dengan jantung hatinya
menggempur musuh.
Oleh karena itu, ajaran ilmu pada bab
terakhir itu melukiskan seorang menggunakan ilmu dari Giok-li-sim-keng dan yang
lain memakai ilmu silat Coan-cin-pay untuk saling bahu-membahu menggempur
musuh.
Begitulah dari segala isi hati yang pernah
tumbuh dalam lubuk hati Lim Tiao-eng dahulu terhadap Ong Tiong-yang semuanya
telah disalurkan melalui bab tarakhir dari ilmu silat ciptaannya itu.
Waktu Siao-liong-li dan Yo Ko melatihnya
mula-mula, karena rasa cinta mereka belum bersemi maka tak mungkin mereka paham
jerih payah maksud hati Cosu-popoh mereka, lebih-lebih tidak bisa dimengerti
bahwa di antara mereka yang satu harus pakai ilmu silat perguruan sendiri dan
yang lain harus gunakan ilmu silat Coan-cin-pay yang sama sekali berlawanan
itu.
Kini sesudah sadar, segera kedua muda-mudi
itu jemput sebatang kayu dan sejurus demi sejurus merekapun mulai memecahkan
pelajaran yang sudah lama belum berhasil itu.
Dengan pelahan Siao-liong-li mainkan
Giok-li-sim-keng dan Yo Ko sebaliknya keluarkan Kiam-hoat Coan-cin-pay. Tetapi
baru beberapa jurus mereka pecahkan, kembali mereka menghadapi jalan buntu
karena satu dan lain tak cocok lagi.
Hendaklah tahu bahwa dahulu waktu Lim
Tiao-eng menciptakan ilmu pedang ini, dalam khayalannya ia berdiri sejajar
dengan Ong Tiong-yang menggempur musuh, maka setiap tipu gerakan selalu bekerja
sama dengan rapat, kini Yo Ko dan Siao-liong-li saling latih dengan tangkai
kayu mereka anggap masing-masing sebagai pihak lawan, waktu dimainkan dengan
sendirinya menyimpang dan tak cocok, meski mereka mengulanginya berkali-kali
tetap tidak betul.
“Apa mungkin kita sudah lupa, coba kita
kembali Ko-bong dulu baru nanti melatihnya lagi.” ujar Siao-liong-li
Selagi Yo Ko hendak menjawab, tiba-tiba
didengarnya dikejauhan ada suara derapan kuda, seorang penunggang secepat
terbang telah mendatangi. Kuda itu seluruhnya berbulu merah, penunggangnya juga
baju merah, hanya sekejap saja, orang dan tunggangannya bagai segumpal awan
merah sudah lewat di samping mereka, nyata itu adalah kuda “si merah”
tunggangan Oey Yong.
Yo Ko tak ingin bertemu dengan keluarga Kwe
Ceng yang hanya menimbulkan rasa kesal saja, maka ia ajak Siao-liong-li pilih
jalan kecil saja agar tidak kepergok dengan orang didepan sana.
Meski Siao-liong-li adalah Suhu, tapi kecuali
ilmu silat, urusan-urusan lain sama sekali ia tak paham, kalau Yo Ko bilang
pilih jalanan kecil, dengan sendirinya iapun menurut.
Malamnya kedua orang menginap di suatu hotel
kecil, Yo Ko tidur di atas ranjang dan Siao-liong-li masih tetap tidur diatas
tali yang digantung diantara dua belah dinding. Dalam hati kedua orang pasti
hendak bersuami isteri tetapi karena beberapa tahun didalam kuburan kuno selalu
tidur seperti demikian ini, sesudah bersua kembali mereka masih tetap tidur
cara lama dan melatih diri seperti dulu2, yang mereka pikir ialah buah hati
sudah berdampingan dan selanjutnya tak akan berpisah lagi, dalam hati mereka
sama-sama merasa girang dan terhibur tak terhingga.
Besok siangnya, tibalah mereka sampai di
suatu kota besar, kota itu penuh sesak dengan lalu lintas kereta kuda dan orang
jalan hingga suasana sangat ramai.
Yo Ko ajak Siao-Iiong-li dahar ke suatu
restoran, tapi baru saja mereka naik ke atas loteng. seketika Yo Ko tercengang,
ia lihat Oey Yong dan Bu-si Hengte juga sedang bersantap di situ.
Karena sudah telanjur bertemu, Yo Ko pikir
tak enak menyingkir maka ia maju memberi hormat dan menyapa.
“Kau melihat puteriku tidak?” demikian Oey
Yong bertanya dengan alis terkerut rapat dan muka muram sedih.
“Tidak, apa Hu-moay tidak bersama dengan
kau?” jawab Yo Ko.
Belum lagi Oey Yong menjawab atau terdengar
tangga loteng riuh ramai, beberapa orang telah naik ke atas, seorang yang jalan
paling depan berperawakan tinggi besar, siapa lagi dia kalau bukan Kim-Iun
Hoat-ong?
Yo Ko cukup jeli, ia tak bicara lagi dengan
Oey Yong, tapi cepat kembali ke samping Siao-Iiong-li dan membisikinya:
“Berpaling ke sana, jangan pandang mereka.”
Tapi betapa tajam sinar mata Kim-lun Hoat
ong, begitu naik ke atas, seketika semua orang di atas loteng sudah masuk dalam
pandangannya, maka terdengarlah ia tertawa-tawa dingin, dengan bebasnya ia
duduk menyanding suatu meja. Sebenarnya Yo Ko sudah berpaling ke arah lain,
mendadak ia dengar Oey Yong berseru: “Hu-ji!” ia terkesiap, tanpa terasa ia
menoIeh, maka terlihatlah Kwe Hu duduk semeja dengan Kim-lun Hoat-ong dengan
mata terbuka lebar lagi pandang sang ibu, cuma tak berani menyeberang ke sini.
Kiranya sehabis Kim-lun Hoat-ong dikalahkan
ia masih penasaran dan memikirkan daya upaya untuk tebus kekalahannya itu, di
samping itu Pengeran Hotu terkena jarum berbisa dan racunnya bekerja hebat,
segala obat penawar sudah digunakannya tanpa berhasil, karena itu lebih-lebih
menambah hasratnya hendak rebut obat, maka ia tak pergi jauh melainkan menunggu
kesempatan baik di sekitar Liok-keh-ceng.
Agaknya memang nasib Kwe Hu yang bakal
ketimpa malang, pagi-pagi ia sudah jalan-jalan dengan kuda merahnya dan
kebetulan kepergok Kim-lun Hoat-ong hingga diseret turun dari kudanya.
Beruntung kuda merah itu sangat cerdik, secepat terbang binatang itu lari
pulang dan mendengking pilu di hadapan sang majikan.
Kwe Ceng tahu sang puteri ketemukan bahaya,
keruan terkejut, segera mereka memencar mencari-nya. Meski Oey Yong sedang
mengandung, tapi kasih sayangnya pada sang puteri iapun naik kuda merahnya ikut
mencarinya dan hari ini lebih dulu bertemu dengan Bu-si Hengte di kota ini lalu berjumpa pula dengan Yo Ko berdua, siapa tahu
secara sangat kebetulan, kemudian Kim-lun Hoat-ong juga mendatangi restoran ini
dengan tawanannya: Kwe Hu.
Nampak puterinya itu, terkejut tercampur
girang Oey Yong, tapi sungguhpun ia banyak tipu akal, kini anak gadisnya jatuh
dibawah cengkeraman musuh, ia hanya memanggil sekali habis itu iapun tak bicara
lagi sepasang sumpit yang dia pegang itu menggores kian kemari di atas meja
sembari memikirkan tipu daya untuk menolong puterinya.
Sedang ia memikir, tiba-tiba terdengar
Kim-lun Hoat-ong berkata: “Ui-panglu, ini puteri kesayanganmu bukan? Tempo hari
kulihat ia menggelendot di pangkuanmu dengan manjanya, tampaknya sangat menarik
sekali.”
Oey Yong menjengek, ia tidak menjawab.
sebaliknya Bu Siu-bun lantas berdiri.
“Hm, percuma kau sebagai ketua suatu aliran
tersendiri, bertanding kalah, kini menganiaya anak gadis orang yang masih muda,
sungguh tak kenal malu?” bentak pemuda itu.
Namun Kim-lun Hoat-ong anggap kata-kata orang
bagai angin lalu saja dan tak menggubrisnya, kembali ia berkata pada Oey Yong:
“Oey-pangcu, kau suruh orangmu antarkan dulu obat penawar racun jarum berbisa
itu, kemudian kita boleh bertanding pula se-adil2nya untuk menentukan Bu-lim
Beng-cu sebenarnya menjadi bagian siapa.”
Oey Yong menjengek lagi, ia tetap tak
menjawab Dan kembali Bu Siu-bun berdiri lagi sambil berteriak-teriak : “Kau
bebaskan dulu nona Kwe dan kami lantas berikan obat, soal bertanding boleh
dirundingkan nanti.”
Oey Yong coba melirik Yo Ko dan
Siao-liong-li, dalam hati ia pikir: “Obat penawar ada pada kedua orang ini,
tapi Siu-ji seenaknya saja menjanjikan pada lawan, siapa tahu orang mau memberi
atau tidak.”
Sementara itu terdengar Kim-lun Hoat-ong
berkata lagi:
“Am-gi beracun di jagat ini apakah hanya
kalian yang punya?
Kalian melukai muridku dengan jarum berbisa,
akupun gunakan paku berbisa melukai puterimu. Kalian berikan obat penawarnya,
kamipun obati lukanya, Tapi soal bebaskan orang, inilah tak mudah.”
Melihat keadaan puterinya biasa saja,
tampaknya tidak terluka, namun kasih sayang ibu, betapa pun Oey Yong bingung
juga, Dan karena bingung, menjadikan kecerdasannya hilang hingga seketika sama
sekali tak berdaya.
Sementara itu tiada hentinya pelayan
mengantarkan daharan ke meja Kim-lun Hoat-ong, mereka makan minum
sepuas-puasnya sambil bicara dan bergurau dalam basa Tibet.
Kwe Hu duduk terpaku memandang sang ibu, mana
ada napsu makan barang sesumpit saja?
Hati Oey Yong bagai disayat-sayat, siapa
tahu, nasib malang memang biasanya tak menyendiri tiba-tiba perutnya terasa
melilit sakit.
Habis makan, kemudian Kim-lun Hoat-ong berbangkit dulu, tiba-tiba ia berkata pula: “Ui-pang-cu,
marilah ikut pergi sekalian dengan kami,”
Oey Yong terkejut tapi segera iapun insaf,
nyata orang bukan saja tak mau bebaskan puterinya, bahkan ia sendiripun hendak
“dibawa” pergi sekalian, Kini ia hanya sendirian tanpa didampingi sang suami,
Kwe Ceng, hanya ada Bu-si Hengte yang terang bukan tandingan orang, terpikir
akan ini, tak tertahan air mukanya berubah hebat
“Oey-pangcu,” kata lagi Kim-lun Hoat-ong,
“jangan takut kau adalah tokoh terkemuka Bu-lim daerah
Tionggoan, sudah tentu akan kami ladeni dengan hormat. Asal kedudukan Bu-lim
Beng-cu sudah selesai dirunding, seketika juga kami antarkan kembali ke selatan
dengan baik-baik,”
Kiranya begitu Kim-lun Hoat-ong lihat air
muka Oey Yong, segera ia bergirang dapat kesempatan bagus,
asal bisa menawan orang, tiada jalan lain, semua jago Tiooggoan pasti akan
menyerah, hal ini terang beratus kali lebih berharga daripada menawan Kwe Hu
saja.
Di lain pihak demi nampak ibu guru mereka
dihina, meski tahu bukan tandingan orang, namun Bu-si Hengte tak bisa diam
begitu saja, begitu pedang dilolos, segera mereka menghadang di depan ibu guru.
“Lekas loncat jendela melarikan diri,
beritahu Suhu agar datang menoIong.” Oey Yong bisiki kedua saudara Bu itu.
Tapi Bu-si Hengte pandang sekejap dulu
padanya, lalu pandang pula ke arah Kwe Hu, habis ini barulah lari ke jendela.
“Kenapa ragu-ragu?” diam-diam Oey Yong omeli
kedua anak muda itu.
Betul saja, sedikit terlambat itu menjadi tak
keburu lagi Mendadak Kim-lun Hoat-ong ulur tangan ke depan, satu tangan satu
punggung mereka dijamberet bagai elang mencengkeram kelinci
Dalam keadaan begitu Bu-si Hengte masih putar
pedang menusuk musuh, namun sama sekali Kim-lun Hoat-ong tak berkelit ia hanya
guncang sedikit tangannya hingga serangan kedua saudara Bu itu salah arah
semua, pedang Bu Tun-si menusuk Siu-bun dan pedang Siu-bun menusuk Tun-si.
Kaget sekali kedua Bu cilik itu, lekas-lekas
mereka lepas pedang hingga menerbitkan suara nyaring, dua pedang jatuh ke
lantai dan barulah selamat tak melukai mereka sendiri, ketika Kim-lun Hoat-ong
angkat tangannya, kedua pemuda itu dilemparkannya sejauh setombak lebih.
“Hm, lebih baik ikut pergi Hud-ya (tuan
Budha) saja,” kata Hoat-ong tertawa dingin, lalu ia berpaling pada Yo Ko dan
Siao-liong-li, katanya pula: “Kalian berdua tidak sejalan dengan Oey-pangcu,
bolehlah pergilah ke arah sendiri dan selanjutnya jangan ganggu urusan Hud-ya
lagi.”
Sebenarnya bukan Hoat-ong memberi “service
istimewa” pada mereka berdua, sebaliknya inilah
kelicikannya. Ia tahu Oey Yong, Siao-liong-li dan Yo Ko sangat lihay, meski
satu lawan satu tiada yang bisa menandingi dirinya, tapi kalau mereka
bergotong-royong menempurnya, itulah bisa berabe baginya, sekalipun pihaknya
akhirnya menang juga belum tentu akan bisa menawan Oey Yong. Sebab itulah ia
sengaja memecah belah mereka dulu agar satu sama Iain tidak saling bantu.
“Ko-ji, marilah kita pergi,” kata
Siao-liong-li pada Yo Ko, “Hwcsio tua ini sangat lihay, tak perlu kita cari
gara-gara bertempur padanya.”
Yo Ko menyahut baik, iapun bereskan rekening
makanan mereka dan berdiri menuju ke tangga loteng, ia pikir dengan kembalinya
ini ke kuburan kuno, boleh jadi untuk selamanya tak akan berjumpa pula dengan
Oey Yong, karena itu tanpa tertahan ia menoleh memandang sekejap pada sang
bibi.
Tapi karena menolehnya ini, ia lihat paras
Oey Yong pucat muram, sebelah tangannya memegang perut, jelas kelihatan lagi
menahan sakit.
Meski tindak-tanduk Yo Ko suka turuti
wataknya yang jahil, namun jiwanya justru dilahirkan berbudi dan setiakawan, ia
pikir Kwe-pepek dan Kwe-pekbo melarang aku bergaul dengan Kokoh, hal ini memang
agak terlalu, tapi sebenarnya mereka tiada maksud jahat padaku, hari ini
Kwe-pekbo ada
kesukaran, kenapa kutinggal pergi begini
saja?
Cuma musuh sungguh terlalu kuat, meski diriku
dan Kokoh maju berbareng juga belum pasti bisa melawan paderi Tibet ini, kalau
sudah terang tak bisa menolong Kwe-pekbo lagi, untuk apa jiwa ku sendiri dan
jiwa Kokoh ikut dikorbankan percuma? tidakkah lebih baik lekas pergi memberi
tahu Kwe-pepek agar lekas datang menolong saja.”
Berpikir begitu, Yo Ko lantas kedipi Oey
Yong. Maka tahulah Oey Yong pemuda ini hendak kirim kabar minta pertolongan
hatinya menjadi agak lega, pelahan sekali ia mengangguk.
Lalu dengan gandeng tangan Siao-liong-li lantas
Yo Ko hendak melangkah turun tangga loteng, tapi mendadak dilihatnya seorang
Busu Mongol mendekati Oey Yong dan membentaknya dengan kasar: “Hayo, jalan,
tunggu apa lagi?”
Segera pun tangan Oey Yong hendak ditariknya,
Nyata sang bibi dianggapnya seperti pesakitan saja.
Sudah behsan tahun Oey Yong menjabat pangcu
Kay-pang, betapa tinggi dan terhormat kedudukannya dalam Bu-lim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar