Senin, 26 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 83



Kembalinya Pendekar Rajawali 83

Kini dia bertaruh mencuri bendera dengan Ciu Pek thong dan juga bertemu dengan orang yang kemaruk menjadi ketua agama seperti Tio Ci-keng ini, maka diam-diam ia telah mengatur tipu muslihat kejii lebih dulu dia menaruh sebuah bendera di daiarrt gua itu, di dalam bendera terbungkus tiga ekor labah2 berbisa.
Labah2 panca warna itu sangat ganas, sekali menggigit dan merasakan darah, maka takkan dilepaskan sebelum kenyang mengisap darah korban-nya. Kadar racunnya juga sangat jahat dan tak dapat disembuhkan dengan obat, sekalipun Hoat-ong sendiri juga tidak mempunyai obat penawarnya.
Sebabnya dia tak berani selalu membawa labah2 itu adalah untuk menjaga segala kemungkinan kelengahan diri sendiri, sebab akibatnya sukar di bayangkan.
Tak tersangka sambitan tiga buah jarum Siao-liong-li itu dengan tepat telah mengenai sasarannya dan sekaligus juga telah menyelamatkan nyawa Ciu Pek thong. Soalnya begini: Giok-hong-ciam itu mengandung racun tawon putih, meski kadar racunnya tidak sejahat labah2 panca warna itu, tapi begitu tertusuk oleh jarum itu, sebelum ajalnya labah itu telah mengeluarkan serum penangkis racun.
Perlu diketahui bahwa berkat memiliki serum penangkis racun itu dalam tubuhnya, maka labah2 tidak sampai mati sendiri oleh racun yang terkandung dalam badannya itu.
Ketika serum anti racun itu menyemprot keluar dari mulut labah2 dan masuk dalam darah Ciu Pek-thong, hanya sebentar saja labah2 itu jatuh dan mati. Bayangkan saja, kalau racun labah2 itu juga cuma dapat ditawarkan olehnya sendiri dan lain cara pengobatan lain, tatkala itu belum ada cara pembuatan serum anti racun seperti jaman sekarang, dengan sendirinya juga tidak dapat mengambil serum anti racun itu dari tubuh labah2.
Untunglah Siao Iiong- li buru-buru ingin menolong Ciu Pek-thong, fmla seram melihat bentuk labah2 yang mengerikan itu, maka dia telah menggunakan senjata rahasianya yang halus itu, tapi justeru kebetulan telah menyelamatkan nyawa orang tua itu.
Setelah ketiga ekor labah2 itu jatuh ke tanah dan mati, melihat warnanya yang loreng2 itu, Siao-liong-li tetap merasa ngeri.
Ciu Pek-thong yang tadinya menggeletak kaku itu sekarang mendadak dapat menggerakkan tangan kirinya dan bertanya dengan suara pelahan: “Barang apakah yang menggigit aku, sungguh lihay amat.”
Tampaknya dia hendak bangun, tapi baru sedikit mengangkat badannya kembali ia jatuh terbaring lagi.
Siao-liong-li sangat girang melihat Ciu Pek-thong tidak mati, ia coba memeriksa sekitar gua dengan obor, ia merasa lega setelah tidak lagi menemukan labah2 berbisa seperti tadi, ia coba tanya: “Ciu-loyacu, engkau tidak mati kan?”
“Rasanya belum mati sama sekali, baru mati separoh dan hidup setengah, haha haha…”
Ciu Pek-thong ingin tertawa keras, tapi segera terasa kaki dan tangannya kaku kejang sehingga suara tertawanya kedengaran aneh.
Pada saat itulah tiba-tiba seorang bergelak tertawa di luar gua, suaranya keras menggetar telinga, lalu terdengar ucapannya: “He, Lo-wan-tong! Ongki itu sudah dapat kau curi belum? pertaruhan kita ini dimenangkan kau atau aku?” – jelas itulah suaranya Kim-lun Hoat-ong.
Cepat Siao-liong-li memadamkan api obor dengan tangannya yang memakai sarung benang mas yang tidak takut senjata tajam maupun api. sedangkan Ciu Pek-thong lantas berkata dengan suara lemah: “Permainan ini sudah jelas Lo-wan-thong yang kalah, bisa jadi jiwaku juga akan kuserahkan padamu. He, Hoat-ong busuk barang apakah labah2 yang kau sebarkan ini, sungguh jahat amat.”
Meski suaranya kedengaran lemah, tapi suara tertawa Hoat-ong yang keras ternyata tak dapat melenyapkan suara perkataannya itu. Keruan Hoat-ong terkejut, sudah jelas dia tergigit oleh labah2, tapi ternyata belum mati.
Dalam pada itu Ciu Pek-thong berkata pula. “Kau Tio Ci-keng si Tosu brengsek, kau makan dalam bela luar, terlalu, Boleh katakan kepada Khu supekmu, suruh dia bunuh saja kau!”
Tentu saja Ci-keng sangat ketakutan dan bersembunyi dibelakang Kim-lun Hoat-ong.
“Eh, Tosu she Tio ini sangat baik, malahan Ongya kami akan memohon pada Sri Baginda agar mengangkat dia menjadi ketua Coan-cin-kau,” kata Hoat-ong dengan-tertawa.
Ciu Pek-thong menjadi gusar, segera ia hendak mcndamperat pula, tapi racun labah2 itu sungguh luar biasa jahatnya, meski sebagian kadar racunnya sudah hilang, namun sedikit sisa saja sudah cukup membinasakan orang, untung tenaga dalam Ciu Pek-thong sangat kuat, tapi sedikit kendur saja tenaganya segera ia jatuh pingsan Iagi.
“Kim-lun Hoat-ong.” tiba-tiba Siao-liong-li ikut bicara, “Kau adalah mahaguru satu aliran tersendiri namun kau menggunakan makhluk berbisa begini apakah kau tidak malu?
Lekas keluarkan obat penawar untuk menyembuhkannya.”
Melihat Ciu Pek-thong jatuh pingsan, Hoat-ong mengira racun dalam tubuh orang tua itu telah bekerja dan orangnya mati, diam-diam ia sangat girang dan merasa tidak perlu lagi gentar terhadap Siao-liongli. Apalagi bila teringat ucapan Tio Ci-keng siang tadi yang mengatakan semua orang mengetahui dia pernah dikalahkan Siao-liong-li, maka sekarang dia bertekad akan menawan si nona untuk memperlihakan kemampuannya.
Mendadak tangan kiri Hoat-ong disodorkan sedangkan tangan kanan terus mencengkeram Siao liong li sambil berseru: “Ini obat penawarnya, terimalah kau.”
Siao-liong-li terkejut, cepat iapun bergerak, terdengar suara “tring” nyaring, selendang berkeleningan segera mengetok Hiat-to pergelangan tangan musuh.
“Hm, kalau aku sampai bergebrak ber-jurus-jurus dengan kau kan akan ditertawakan oleh Tosu she Tio itu,” demikian Hoat-ong membatin sambil menghindari serangan Siao-liong-li, menyusul iapun mengeluarkan sepasang rodanya, sekali digesekkan, terdengarlah suara nyaring mengilukan.
Cepat Siao-liong-li menarik balik tali sutera-nya setelah serangannya luput, segera ia menghantam pula Tay-cui-hiat di punggung lawan, serangan kedua ini sangat cepat dan ganas pula, tampaknya sukar untuk dielakkan.
Akan tetapi Hoat-ong terus meloncat ke atas sambil memuji: “Kepandaianmu ini sungguh jarang ada bandingannya di kalangan wanita.”
BegituIah kedua orang bertempur di lorong gua yang sempit itu, dalam sekejap saja belasan jurus sudah lalu, kalau Hoat-ong menyerang sekuatnya sebenarnya sukar bagi Siao-liong-li untuk menahan nya, tapi beberapa hari yang lalu Hoat-ong baru saja terluka oleh jarum berbisa, bahkan jiwanya hampir melayang, sekarang dilihatnya gaya ilmu silat Siao-liong-li serupa dengan Li Bok-chiu, malahan jurus serangannya terlebih bagus dan lihay daripada Li Bok-chiu, sudah tentu ia menjadi waswas dan tidak ingin kejeblos untuk kedua kalinya.
Sebab itulah hatinya sangat gelisah karena tak dapat mengalahkan lawan dengan cepat, tapi iapun tidak berani menyerang secara sembrono. Dalam kegelapan terdengarlah suara mendering benturan roda emas dan perak terseling oleh suara “tring-ting” genta kecil pada ujung senjata Siao-liong-li, bagi orang yang tidak tahu mungkin malah menyangka kedua orang sedang menabuh alat musik.
Ci-keng berdiri menonton dari tempat rada jauh, setiap kali mendengar suara nyaring benturan senjata, setiap kali pula jantungnya berdebar.
Teringat kematian sang Susiokco itu biarpun bukan direncanakan oleh dirinya, tapi apapun juga tak terlepas dari ikut tersangkut dosa membunuh orang tua demikian ini tiada ampun dalam dunia persilatan, kalau saja Hoat-ong dapat membunuh Siao liong-li tentu saja urusan menjadi beres seluruhnya, tapi kalau Siao-Iiong-li yang menang, akibatnya tentu bisa runyam.
Karena Hoat-ong tidak dapat menyerbu ke dalam gua, dengan sendirinya sukar pula baginya untuk mengalahkan Siao-liong-li, sebentar saja mereka sudah bergebrak beberapa puluh jurus dan tetap belum bisa dibedakan unggul dan asor.
Siao-liong-li menjadi gelisah dan kuatir, dilihatnya Ciu Pek-thong menggeletak tak bergerak sedikitpun, besar kemungkinan jiwanya akan melayang, pikirnya hendak menolongnya, tapi serangan Hoat-ong teramat gencar dan sukar menarik diri.
Pertarungan di tempat gelap itu sudah tentu lebih menguntungkan Siao-Iiong-li karena dia sudah lama hidup dikuburan kuno yang gelap itu.
Ketika dilihatnya Hoat-ong menyerang dari sisi kanan dan sebelah kirinya tak terjaga, cepat ia memutar tali sutera bergenta emas itu untuk mengetok iga kirinya, berbareng belasan jarum Giok-hong-ciam lantas dihamburkan.
Karena jaraknya teramat dekat, pula samberan jarum itu tak mengeluarkan suara, ketika Hoat-ong merasakan gelagat jelek, sementara itu jarak jarum sudah tinggal beberapa senti saja di depan tubuhnya.
Syukur ilmu silatnya memang maha tinggi, dalam detik berbahaya itu roda peraknya terus berputar dan tepat menggulung tali sutera bergenta Iawan, berbareng itu kedua kakinya terus memancar sekuat nya dia mengapung ke atas sehingga belasan jarum berbisa itu menyamber lewat dr bawah kakinya.
Dalam keadaan kepepet, saking kerasnya dia menggunakan tenaga, ketika tubuhnya mengapung ke atas, kedua tangannya juga ikut terangkat, maka sepasang roda berikut tali sutera bergenta milik Siao-liong-li itu juga ikut terbetot lepas dari cekalannya dan mencelat ke udara dengan
menerbitkan suara nyaring gemerincing..
Sebelum tubuh lawan turun kembali, segera Siao-liong-li menghamburkan pula segenggam Giok-hong-ciam. Dalam keadaan masih terapung di udara, betapapun tinggi ilmu silatnya juga sukar menghindari apalagi jaraknya sekarang juga sangat dekat, keadaannya menjadi terlebih bahaya daripada tadi.
Namun Hoat-ong benar-benar maha sakti, ketika meloncat ke atas tadi sudah terpikir olehnya kemungkinan pihak lawan akan menyusulkan serangan lagi, maka kedua tangannya sudah siap menarik baju sendiri, begitu dipentang, seketika jubahnya terobek menjadi dua bagian, pada saat itu juga jarum Siao-liong-li sudah menyamber tiba pula, namun kain baju yang dipegangnya lantas di-kebut2kan sehingga jarum- jarum berbisa itu tergulung seluruhnya ke dalam baju.
Sambil terbahak2 Hoat-ong tancap kakinya ke bawah dan melemparkan baju robek, tangan di ulurkan untuk menangkap sepasang roda yang baru jatuh dari atas. Dua kali dia lolos dari ancaman maut, semuanya berkat kehebatan ilmu silatnya dan juga kecerdikannya sehingga pada detik terakhir dia masih dapat menyelamatkan diri, malahan dengan begitu senjata Siao-liong-li dapat direbutnya.
Setelah unggul, segera Hoat-ong mengadang di mulut gua, katanya dengan tertawa: “Nah, nona Liong, masakah kau tidak lekas menyerah?”
Tapi dia masih kuatir kalau Siaoliongli memasang perangkap apa-apa di dalam gua, maka dia tidak berani menyerbu ke dalam, Dia tidak tahu bahwa saat itu Siao-liong-li justeru lagi kelabakan, senjatanya hilang, jarum juga sudah terpakai sebagian besar, kini tangannya cuma bersisa satu genggam jarum berbisa itu dan sembunyi di samping mulut gua.
Hoat-ong menunggu sebentar dan tidak nampak Sesuatu apa, tiba-tiba timbul akalnya, dia jemput kedua potong robekau bajunya tadi, lalu kedua rodanya dilemparkan ke dalam gua, selagi roda2 itu menggelinding, ia terus melompat dan berdiri di atas roda.
Tindakannya ini adalah untuk menjaga kemungkinan jarum berbisa di atas tanah, menyusul ia terus putar kain bajunya untuk melindungi tubuhnya, kira-kira dua-tiga meter di dalam gua, sebelah tangannya lantas meraih untuk menangkap lawan.
Robekan bajunya tercocok berpuluh jarum berbisa yang disambitkan Siao-liong-li tadi sehingga berubah menjadi semacam senjata yang lihay, dengan tertawa ia berkata: “Nah, nona Liong, boleh kau coba senjataku yang menyerupai kulit landak ini”
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong tangannya terasa kencang, ujung kain baju yang diputarnya itu mendadak terpegang oleh Siao liong-li. Maklumlah ia memakai sarung tangan benang emas yang tidak mempan ditabas senjata tajam, jangankan cuma kain baju yang penuh jarum, sekalipun pedang juga berani direbutnya.
Karena tak terduga2, dengan kaget cepat Hoat ong membetot sekuatnya, tapi sedikit merandek itu ia telah memberi kesempatan kepada Siao-liongli untuk menghamburkan genggaman jarumnya. Ti-dak kepalang kaget Hoat-ong, dalam keadaan kepepet timbul juga akalnya, sebisanya dia tarik tubuh Ciu Pek-thong yang menggeletak diatas tanah itu untuk digunakan sebagai tameng, menyusul ia terus melompat keluar gua dengan mandi keringat dingin dan napas terengah-engah, diam-diam ia bersyukur jiwanya dapat lolos dari lubang jarum.
Sementara itu berpuluh jarum berbisa Siao-Iiong-li telah menancap semua pada tubuh Ciu Pek-thong. Mau-tak-mau nona itu merasa menyesal karena orang yang sudah mati masih harus tersiksa oleh jarumnya itu.
Di luar dugaannya, tiba-tiba Ciu Pek-thong terus berteriak: “Aduh, sakitnya! Barang apalagi yang menggigit aku ini?”
Keruan Siao-liong-li kaget dan bergirang pula, cepat ia tanya: “He, Ciu Pek-thong, jadi kau belum mati?” Dasar nona yang masih polos dan tidak tahu tata kehidupan, sama sekali ia tidak paham cara bagaimana seharusnya memanggil seorang tua seperti Ciu Pek-thong, maka langsung saja ia sebut namanya.
Ciu Pek-thong lantas menjawab: “Tadi rasanya sudah mati dan sekarang telah hidup kembali. Entah matinya kurang beres atau hidupnya belum cukup?”
“Syukurlah kalau kau tidak mati,” ujar Siao-liong-li “Hoat-ong itu sangat ganas, aku tidak dapat menandingi dia.” Segera ia keluarkan batu sembrani untuk mencabuti jarum-jarum yang menancap di tubuh Ciu Pek-thong itu.
Ciu Pek-thong terus mencaci-maki: “Bangsat Hoat-ong itu sungguh pengecut, selagi aku mati belum siuman kembali, dia malah mencocoki aku dengan jarum sehalus ini.”
Dengan tersenyum Siaoliongli menjelaskan: “Ciu Pek- thong, akulah yang mencocoki kau dengan jarum ini.” Lalu secara ringkas ia ceriterakan pertarungan tadi, kemudian ditambahkan pula: “Jarumku ini berbisa, apakah kau kesakitan?”
“O, tidak, malahan rasanya sangat enak, coba kau cocoki aku lagi” jawab Ciu Pek-thong.
Sudah tentu Siao-liong-Ii mengira orang tua itu Cuma bergurau saja, ia lantas mengeluarkan satu botol porselen kecil dan berkata pula: “lni adalah madu tawon yang khusus dapat menyembuhkan racun jarumku ini, coba kau minum sedikit.”
“Tidak, tidak!” Ciu Pek - thong menggeleng. “Enak rasanya jika dicekoki oleh jarummu ini, rasanya jarum ini adalah lawan labah2 berbisa ini”
Siao-liong-li tidak sependapat, tapi orang tidak mau menerima, maka iapun tidak memaksa. ia pikir lwekang orang tua ini sukar diukur, racun labah2 itu saja tidak dapat membunuhnya, tentu juga takkan beralangan hanya terkena racun jarum tawon putih.
Padahal racun tawon meski cukup libay, tapi juga dapat digunakan menyembuhkan macam-macam penyakit seperti encok dan lain-lain, sebab itulah tiada peternak tawon yang mengidap penyakit encok, Namun Siao-Iiong-li dan Ciu Pek-thong tidak paham ilmu pengobatan, mereka tidak tahu racun dapat menawarkan racun, ternyata racun labah2 dalam tubuh Ciu Pek-thong telah banyak dipunahkan oleh racun jarum tawon Siao-liong-li itu.
Dari luar gua Kim-lun Hoat-ong dapat mendengar suara pembicaraan Ciu Pek-thong, terdengar suaranya penuh tenaga seperti orang sehat, tentu saja Hoat-ong kaget, ia pikir apakah orang ini memiliki tubuh malaikat sehingga tidak mempan segala macam racun?
Mumpung tenaga dalam orang ini belum pulih seluruhnya harus segera kubinasakan, kalau tidak kelak pasti akan mendatangkan bahaya besar. Akan tetapi sepasang rodanya sudah terlempar ke dalam gua, terpaksa ia putar tali sutera berkelening milik Siao-liong-li dan berseru: “Nona liong, ku pinjam saja senjatamu ini.” - Sekuatnya ia ayun tali sutera itu ke dalam gua.
Karena ilmu silatnya sudah mencapai tingkatan yang tiada tara-nya, segala jenis senjata dapat dimainkannya dengan sesuka hati, maka tali sutera itupun dapat digunakannya sebagai cambuk, bahkan sangat baik untuk menyerang dari jauh dan tidak perlu lagi kuatir disambit oleh jarum berbisa Siao-liong-li
Seketika timbul hati kanak-anak Siao-liong-li, iapun jemput roda emas dan perak milik Kim-lun Hoat-ong itu, “creng”, ia benturkan kedua roda dan menerbitkan suara nyaring, lalu berseru: “Baik, kita boleh bertukar senjata dan bertempur lagi.”
Tapi baru saja dia angkat kedua roda itu, ternyata bobotnya luar biasa, terlalu berat baginya untuk digunakan Rupanya roda emas itu terbuat dari emas murni, beratnya lebih 30 kati, terpaksa Siao-liong-li menarik kedua roda itu untnk menjaga di depan dada.
Hoat-ong melihat kesempatan baik, segera ia menubruk maju, tangannya terus meraih hendak merebut kedua roda itu. Tapi Siao Iiong-li lantas menyurut mundur satu langkah, berbareng roda perak yang lebih enteng itu terus disambitkan Sebenarnya sambitan roda perak ini cuma gertakan saja, pada saat lain segera iapun menghamburkan lagi berpuluh Giok-hong-ciam, jarum-jarum ini berasal dari tubuh Ciu Pek-thong yang dicabutnya sudah hilang kadar racunnya, andaikan tercocok juga tidak beralangan.
Tapi Hoat-ong sudah kapok, dia tidak berani menangkap roda perak melainkan terus melompat mundur ke atas sehingga terluput dari tancapan jarum-jarum itu.
Ciu Pek-thong bergelak tertawa dan berseru. “Bagus, kalau bangsat gundul itu berani mendekap boleh kau serang dia dengan jarum. sebentar kalau tenagaku sudah pulih, segera kukeluar, menangkapnya dan nanti kita gebuki pantatnya.”
“Tapi, ah, jarumku sudah habis sama sekali,” kata Siao-Iiong-li.
“Wah, kalau begitu bisa konyol,” ujar Ciu Pek-thong sambil garuk-garuk kepala.
Kedua orang, yang satu tua bangka dan yang lain muda jelita, mereka sama-sama lugu dan polos, sama sekali tidak punya pikiran buruk terhadap orang lain, apa yang mereka pikirkan, itu pula yang mereka ucapkan.
Sebaliknya Kim-lun Hoat-ong adalah manusia yang cerdik dan banyak tipu akal, hanya dia tidak kenal watak Ciu Pek-thong dan Siao liong-Ii, ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang yang mau berterus terang akan kelemahannya sendiri.
Menurut jalan pikirannya, kalau kedua orang itu mengatakan habis jarumnya, tentu adalah sebaliknya dan sengaja memancing dia mendekat untuk kemudian menyerangnya dengan cara yang tak terduga, Apalagi kalau ingat pada kedua kaki Nimo Singh yang sudah buntung itu akibat terkena jarum berbisa Li Bok-chiu, betapapun dia masih ngeri dan setiap tindakannya menjadi terlebih hati-hati….
Setelah berkutak-kutek sekian lama, lambat laun fajarpun menyingsing, Ciu Pek-thong duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendesak keluar sisa racun yang masih mengeram dalam tubuhnya.
Tapi racun labah2 itu sungguh ganas luar biasa, setiap kali ia mengerahkan tenaga tentu dada terasa sesak dan muak, sekujur badan juga terasa gatal pegal, kalau diam saja tanpa mengerahkan tenaga malah terasa aman, ia mencoba beberapa kali namun tetap begitu, akhirnya ia putus asa dan berkata: “racun labah2 ini rasanya sukar disembuhkan.”
Sudah tentu Hoat-ong yang mengintai di luar gua tidak tahu, kesukaran Ciu Pek-thong ini, sebaliknya ia menjadi kuatir melihat orang tua itu sedang menghimpun tenaga, Tiba-tiba timbul akalnya yang keji, segera ia mengeluarkan kotak yang berisi labah2 panca warna itu. Begitu tutup kotak dibuka, terlihatlah belasan ekor labah2 itu ber-gerak2 dengan warna warni yang menarik.
Hoat-ong mengambil satu jepitan terbuat dari tungu badak, dengan jepitan itu dijepitnya seutas benang labah2 dan dikibaskan pelahan, benang lipas itu membawa serta seekor labah2 loreng itu dan menempel pada dinding muIut gua sebelah kiri.
 Beberapa kali Hoat-ong berbuat dengan cara yang sama, ia lepaskan seluruh labah2 itu, setiap ekor labah2 membawa seutas benang lipas dan penuh menempel sekitar mulut gua..
Mungkin sudah lama labah2 itu tidak diberi makan dan tentu saja kelaparan dan perlu segera mencari mangsa, maka dalam waktu singkat saja kawanan labah2 ini lantas membuat sarang di mulut gua, hanya sebentar saja mulut gua itu sudah tertutup oleh bentangan belasan sarang labah2, kalau labah2 loreng itu sangat berbisa, tentu sarangnya itu juga berbisa, dengan demikian Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong menjadi terkurung di dalam gua.
Waktu kawanan labah2 itu membuat sarang, Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong sangat tertarik dan hanya menonton belaka tanpa peduli sampai akhirnya lubang gua yang cukup lebar itu penuh sarang labah2, sedangkan labah2 berbisa berwarna loreng pun merayap kian kemari.
“Sayang jarumku sudah habis, kalau tidak tentu akan kubersihkan semua,” ujar Siao-liong-li dengan suara tertahan.
Segera Ciu Pek-thong menjemput sepotong kayu dan bermaksud membobolkan sarang labah2 itu, tapi mendadak terlihat seekor kupu-kupu besar terbang mendekat dan tahu- tahu telah terperangkap oleh sarang labah2.
Seharusnya serangga yang terjebak sarang labah2 itu akan meronta-ronta dan sebisanya berusaha lari dengan membobol sarang labah2, tapi kupu-kupu yang besar ini seketika tak bisa bergerak lagi begitu lengket dengan benang sarang tabah2 itu.
Karena itulah cepat Siao-liong-li berseru kepada Ciu Pek-thong: “Awas, jangan mendekatinya, sarang labah2 itupun berbisa!”
Ciu Pek-thong terkejut, cepat ia mundur kembali, ia pikir tenaga sendiri sukar dipulihkan dalam waktu singkat, boleh juga berduduk lagi lebih lama di dalam gua ini. Tapi Siao-liong-li menjadi gelisah, ia tidak tahu keadaan yang serba tak bisa ini entah akan berlangsung hingga kapan, apalagi tidak diketahui sisa racun dalam tubuh orang tua ini apakah sudah terkuras bersih atau belum.
Karena itu ia lanH tas bertanya: “Ciu Pek-thong, caramu mengerahkan tenaga untuk menguras racun apakah cukup sehari semalam Iagi?”
Ciu Pek-thong menggeleng, jawabnya: “Wah, jangankan cuma sehari semalam, biarpun seratus hari seratus malam juga tak berguna.”
“Ah, lalu bagaimana baiknya?” kata Siao-Iiong-li kuatir.
“Kalau saja bangsat gundul itu mau mengantar rangsum kepada kita, apa jeleknya kalau kita tinggal beberapa tahun lagi di sini,” ujar Ciu Pek thong dengan tertawa.
Siao-liong-li menghela napas, katanya: “apabila Yo Ko berada di sini, sekalipun tinggal selamanya di sini juga aku mau.”
Ciu Pek-thong menjadi gusar, katanya: “Persetan dengan Yo Ko segala, memangnya orang seperti aku ini kurang menarik dibandingkan si Yo Ko itu? Apakah ilmu silatnya lebih tinggi daripadaku. Kurang apalagi jika aku yang menemani kau di sini?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar