Kembalinya Pendekar Rajawali 83
Kini dia bertaruh mencuri bendera dengan Ciu
Pek thong dan juga bertemu dengan orang yang kemaruk menjadi ketua agama
seperti Tio Ci-keng ini, maka diam-diam ia telah mengatur tipu muslihat kejii
lebih dulu dia menaruh sebuah bendera di daiarrt gua itu, di dalam bendera
terbungkus tiga ekor labah2 berbisa.
Labah2 panca warna itu sangat ganas, sekali
menggigit dan merasakan darah, maka takkan dilepaskan sebelum kenyang mengisap
darah korban-nya. Kadar racunnya juga sangat jahat dan tak dapat disembuhkan
dengan obat, sekalipun Hoat-ong sendiri juga tidak mempunyai obat penawarnya.
Sebabnya dia tak berani selalu membawa labah2
itu adalah untuk menjaga segala kemungkinan kelengahan diri sendiri, sebab
akibatnya sukar di bayangkan.
Tak tersangka sambitan tiga buah jarum
Siao-liong-li itu dengan tepat telah mengenai sasarannya dan sekaligus juga
telah menyelamatkan nyawa Ciu Pek thong. Soalnya begini: Giok-hong-ciam itu
mengandung racun tawon putih, meski kadar racunnya tidak sejahat labah2 panca
warna itu, tapi begitu tertusuk oleh jarum itu, sebelum ajalnya labah itu telah
mengeluarkan serum penangkis racun.
Perlu diketahui bahwa berkat memiliki serum
penangkis racun itu dalam tubuhnya, maka labah2 tidak sampai mati sendiri oleh
racun yang terkandung dalam badannya itu.
Ketika serum anti racun itu menyemprot keluar
dari mulut labah2 dan masuk dalam darah Ciu Pek-thong, hanya sebentar saja
labah2 itu jatuh dan mati. Bayangkan saja, kalau racun labah2 itu juga cuma
dapat ditawarkan olehnya sendiri dan lain cara pengobatan lain, tatkala itu
belum ada cara pembuatan serum anti racun seperti jaman sekarang, dengan
sendirinya juga tidak dapat mengambil serum anti racun itu dari tubuh labah2.
Untunglah Siao Iiong- li buru-buru ingin
menolong Ciu Pek-thong, fmla seram melihat bentuk labah2 yang mengerikan itu,
maka dia telah menggunakan senjata rahasianya yang halus itu, tapi justeru
kebetulan telah menyelamatkan nyawa orang tua itu.
Setelah ketiga ekor labah2 itu jatuh ke tanah
dan mati, melihat warnanya yang loreng2 itu, Siao-liong-li tetap merasa ngeri.
Ciu Pek-thong yang tadinya menggeletak kaku
itu sekarang mendadak dapat menggerakkan tangan kirinya dan bertanya dengan
suara pelahan: “Barang apakah yang menggigit aku, sungguh lihay amat.”
Tampaknya dia hendak bangun, tapi baru
sedikit mengangkat badannya kembali ia jatuh terbaring lagi.
Siao-liong-li sangat girang melihat Ciu
Pek-thong tidak mati, ia coba memeriksa sekitar gua dengan obor, ia merasa lega
setelah tidak lagi menemukan labah2 berbisa seperti tadi, ia coba tanya:
“Ciu-loyacu, engkau tidak mati kan?”
“Rasanya belum mati sama sekali, baru mati
separoh dan hidup setengah, haha haha…”
Ciu Pek-thong ingin tertawa keras, tapi
segera terasa kaki dan tangannya kaku kejang sehingga suara tertawanya
kedengaran aneh.
Pada saat itulah tiba-tiba seorang bergelak
tertawa di luar gua, suaranya keras menggetar telinga, lalu terdengar
ucapannya: “He, Lo-wan-tong! Ongki itu sudah dapat kau curi belum? pertaruhan
kita ini dimenangkan kau atau aku?” – jelas itulah suaranya Kim-lun Hoat-ong.
Cepat Siao-liong-li memadamkan api obor
dengan tangannya yang memakai sarung benang mas yang tidak takut senjata tajam
maupun api. sedangkan Ciu Pek-thong lantas berkata dengan suara lemah:
“Permainan ini sudah jelas Lo-wan-thong yang kalah, bisa jadi jiwaku juga akan
kuserahkan padamu. He, Hoat-ong busuk barang apakah labah2 yang kau sebarkan
ini, sungguh jahat amat.”
Meski suaranya kedengaran lemah, tapi suara
tertawa Hoat-ong yang keras ternyata tak dapat melenyapkan suara perkataannya
itu. Keruan Hoat-ong terkejut, sudah jelas dia tergigit oleh labah2, tapi
ternyata belum mati.
Dalam pada itu Ciu Pek-thong berkata pula.
“Kau Tio Ci-keng si Tosu brengsek, kau makan dalam bela luar, terlalu, Boleh
katakan kepada Khu supekmu, suruh dia bunuh saja kau!”
Tentu saja Ci-keng sangat ketakutan dan
bersembunyi dibelakang Kim-lun Hoat-ong.
“Eh, Tosu she Tio ini sangat baik, malahan
Ongya kami akan memohon pada Sri Baginda agar mengangkat dia menjadi ketua
Coan-cin-kau,” kata Hoat-ong dengan-tertawa.
Ciu Pek-thong menjadi gusar, segera ia hendak
mcndamperat pula, tapi racun labah2 itu sungguh luar biasa jahatnya, meski
sebagian kadar racunnya sudah hilang, namun sedikit sisa saja sudah cukup
membinasakan orang, untung tenaga dalam Ciu Pek-thong sangat kuat, tapi sedikit
kendur saja tenaganya segera ia jatuh pingsan Iagi.
“Kim-lun Hoat-ong.” tiba-tiba Siao-liong-li
ikut bicara, “Kau adalah mahaguru satu aliran tersendiri namun kau menggunakan
makhluk berbisa begini apakah kau tidak malu?
Lekas keluarkan obat penawar untuk
menyembuhkannya.”
Melihat Ciu Pek-thong jatuh pingsan, Hoat-ong
mengira racun dalam tubuh orang tua itu telah bekerja dan orangnya mati,
diam-diam ia sangat girang dan merasa tidak perlu lagi gentar terhadap
Siao-liongli. Apalagi bila teringat ucapan Tio Ci-keng siang tadi yang
mengatakan semua orang mengetahui dia pernah dikalahkan Siao-liong-li, maka
sekarang dia bertekad akan menawan si nona untuk memperlihakan kemampuannya.
Mendadak tangan kiri Hoat-ong disodorkan
sedangkan tangan kanan terus mencengkeram Siao liong li sambil berseru: “Ini
obat penawarnya, terimalah kau.”
Siao-liong-li terkejut, cepat iapun bergerak,
terdengar suara “tring” nyaring, selendang berkeleningan segera mengetok
Hiat-to pergelangan tangan musuh.
“Hm, kalau aku sampai bergebrak
ber-jurus-jurus dengan kau kan akan ditertawakan oleh Tosu she Tio itu,”
demikian Hoat-ong membatin sambil menghindari serangan Siao-liong-li, menyusul
iapun mengeluarkan sepasang rodanya, sekali digesekkan, terdengarlah suara
nyaring mengilukan.
Cepat Siao-liong-li menarik balik tali
sutera-nya setelah serangannya luput, segera ia menghantam pula Tay-cui-hiat di
punggung lawan, serangan kedua ini sangat cepat dan ganas pula, tampaknya sukar
untuk dielakkan.
Akan tetapi Hoat-ong terus meloncat ke atas
sambil memuji: “Kepandaianmu ini sungguh jarang ada bandingannya di kalangan
wanita.”
BegituIah kedua orang bertempur di lorong gua
yang sempit itu, dalam sekejap saja belasan jurus sudah lalu, kalau Hoat-ong
menyerang sekuatnya sebenarnya sukar bagi Siao-liong-li untuk menahan nya, tapi
beberapa hari yang lalu Hoat-ong baru saja terluka oleh jarum berbisa, bahkan
jiwanya hampir melayang, sekarang dilihatnya gaya ilmu silat Siao-liong-li
serupa dengan Li Bok-chiu, malahan jurus serangannya terlebih bagus dan lihay
daripada Li Bok-chiu, sudah tentu ia menjadi waswas dan tidak ingin kejeblos
untuk kedua kalinya.
Sebab itulah hatinya sangat gelisah karena
tak dapat mengalahkan lawan dengan cepat, tapi iapun tidak berani menyerang
secara sembrono. Dalam kegelapan terdengarlah suara mendering benturan roda
emas dan perak terseling oleh suara “tring-ting” genta kecil pada ujung senjata
Siao-liong-li, bagi orang yang tidak tahu mungkin malah menyangka kedua orang sedang
menabuh alat musik.
Ci-keng berdiri menonton dari tempat rada
jauh, setiap kali mendengar suara nyaring benturan senjata, setiap kali pula
jantungnya berdebar.
Teringat kematian sang Susiokco itu biarpun
bukan direncanakan oleh dirinya, tapi apapun juga tak terlepas dari ikut
tersangkut dosa membunuh orang tua demikian ini tiada ampun dalam dunia
persilatan, kalau saja Hoat-ong dapat membunuh Siao liong-li tentu saja urusan
menjadi beres seluruhnya, tapi kalau Siao-Iiong-li yang menang, akibatnya tentu
bisa runyam.
Karena Hoat-ong tidak dapat menyerbu ke dalam
gua, dengan sendirinya sukar pula baginya untuk mengalahkan Siao-liong-li,
sebentar saja mereka sudah bergebrak beberapa puluh jurus dan tetap belum bisa
dibedakan unggul dan asor.
Siao-liong-li menjadi gelisah dan kuatir,
dilihatnya Ciu Pek-thong menggeletak tak bergerak sedikitpun, besar kemungkinan
jiwanya akan melayang, pikirnya hendak menolongnya, tapi serangan Hoat-ong
teramat gencar dan sukar menarik diri.
Pertarungan di tempat gelap itu sudah tentu
lebih menguntungkan Siao-Iiong-li karena dia sudah lama hidup dikuburan kuno
yang gelap itu.
Ketika dilihatnya Hoat-ong menyerang dari
sisi kanan dan sebelah kirinya tak terjaga, cepat ia memutar tali sutera
bergenta emas itu untuk mengetok iga kirinya, berbareng belasan jarum
Giok-hong-ciam lantas dihamburkan.
Karena jaraknya teramat dekat, pula samberan
jarum itu tak mengeluarkan suara, ketika Hoat-ong merasakan gelagat jelek,
sementara itu jarak jarum sudah tinggal beberapa senti saja di depan tubuhnya.
Syukur ilmu silatnya memang maha tinggi,
dalam detik berbahaya itu roda peraknya terus berputar dan tepat menggulung
tali sutera bergenta Iawan, berbareng itu kedua kakinya terus memancar sekuat
nya dia mengapung ke atas sehingga belasan jarum berbisa itu menyamber lewat dr
bawah kakinya.
Dalam keadaan kepepet, saking kerasnya dia
menggunakan tenaga, ketika tubuhnya mengapung ke atas, kedua tangannya juga
ikut terangkat, maka sepasang roda berikut tali sutera bergenta milik
Siao-liong-li itu juga ikut terbetot lepas dari cekalannya dan mencelat ke
udara dengan
menerbitkan suara nyaring gemerincing..
Sebelum tubuh lawan turun kembali, segera
Siao-liong-li menghamburkan pula segenggam Giok-hong-ciam. Dalam keadaan masih
terapung di udara, betapapun tinggi ilmu silatnya juga sukar menghindari
apalagi jaraknya sekarang juga sangat dekat, keadaannya menjadi terlebih bahaya
daripada tadi.
Namun Hoat-ong benar-benar maha sakti, ketika
meloncat ke atas tadi sudah terpikir olehnya kemungkinan pihak lawan akan
menyusulkan serangan lagi, maka kedua tangannya sudah siap menarik baju
sendiri, begitu dipentang, seketika jubahnya terobek menjadi dua bagian, pada
saat itu juga jarum Siao-liong-li sudah menyamber tiba pula, namun kain baju
yang dipegangnya lantas di-kebut2kan sehingga jarum- jarum berbisa itu
tergulung seluruhnya ke dalam baju.
Sambil terbahak2 Hoat-ong tancap kakinya ke
bawah dan melemparkan baju robek, tangan di ulurkan untuk menangkap sepasang
roda yang baru jatuh dari atas. Dua kali dia lolos dari ancaman maut, semuanya
berkat kehebatan ilmu silatnya dan juga kecerdikannya sehingga pada detik
terakhir dia masih dapat menyelamatkan diri, malahan dengan begitu senjata
Siao-liong-li dapat direbutnya.
Setelah unggul, segera Hoat-ong mengadang di
mulut gua, katanya dengan tertawa: “Nah, nona Liong, masakah kau tidak lekas
menyerah?”
Tapi dia masih kuatir kalau Siaoliongli
memasang perangkap apa-apa di dalam gua, maka dia tidak berani menyerbu ke
dalam, Dia tidak tahu bahwa saat itu Siao-liong-li justeru lagi kelabakan,
senjatanya hilang, jarum juga sudah terpakai sebagian besar, kini tangannya
cuma bersisa satu genggam jarum berbisa itu dan sembunyi di samping mulut gua.
Hoat-ong menunggu sebentar dan tidak nampak
Sesuatu apa, tiba-tiba timbul akalnya, dia jemput kedua potong robekau bajunya
tadi, lalu kedua rodanya dilemparkan ke dalam gua, selagi roda2 itu
menggelinding, ia terus melompat dan berdiri di atas roda.
Tindakannya ini adalah untuk menjaga
kemungkinan jarum berbisa di atas tanah, menyusul ia terus putar kain bajunya
untuk melindungi tubuhnya, kira-kira dua-tiga meter di dalam gua, sebelah
tangannya lantas meraih untuk menangkap lawan.
Robekan bajunya tercocok berpuluh jarum
berbisa yang disambitkan Siao-liong-li tadi sehingga berubah menjadi semacam
senjata yang lihay, dengan tertawa ia berkata: “Nah, nona Liong, boleh kau coba
senjataku yang menyerupai kulit landak ini”
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong
tangannya terasa kencang, ujung kain baju yang diputarnya itu mendadak
terpegang oleh Siao liong-li. Maklumlah ia memakai sarung tangan benang emas
yang tidak mempan ditabas senjata tajam, jangankan cuma kain baju yang penuh
jarum, sekalipun pedang juga berani direbutnya.
Karena tak terduga2, dengan kaget cepat Hoat
ong membetot sekuatnya, tapi sedikit merandek itu ia telah memberi kesempatan
kepada Siao-liongli untuk menghamburkan genggaman jarumnya. Ti-dak kepalang
kaget Hoat-ong, dalam keadaan kepepet timbul juga akalnya, sebisanya dia tarik
tubuh Ciu Pek-thong yang menggeletak diatas tanah itu untuk digunakan sebagai
tameng, menyusul ia terus melompat keluar gua dengan mandi keringat dingin dan
napas terengah-engah, diam-diam ia bersyukur jiwanya dapat lolos dari lubang
jarum.
Sementara itu berpuluh jarum berbisa
Siao-Iiong-li telah menancap semua pada tubuh Ciu Pek-thong. Mau-tak-mau nona
itu merasa menyesal karena orang yang sudah mati masih harus tersiksa oleh
jarumnya itu.
Di luar dugaannya, tiba-tiba Ciu Pek-thong
terus berteriak: “Aduh, sakitnya! Barang apalagi yang menggigit aku ini?”
Keruan Siao-liong-li kaget dan bergirang
pula, cepat ia tanya: “He, Ciu Pek-thong, jadi kau belum mati?” Dasar nona yang
masih polos dan tidak tahu tata kehidupan, sama sekali ia tidak paham cara
bagaimana seharusnya memanggil seorang tua seperti Ciu Pek-thong, maka langsung
saja ia sebut namanya.
Ciu Pek-thong lantas menjawab: “Tadi rasanya
sudah mati dan sekarang telah hidup kembali. Entah matinya kurang beres atau
hidupnya belum cukup?”
“Syukurlah kalau kau tidak mati,” ujar
Siao-liong-li “Hoat-ong itu sangat ganas, aku tidak dapat menandingi dia.”
Segera ia keluarkan batu sembrani untuk mencabuti jarum-jarum yang menancap di
tubuh Ciu Pek-thong itu.
Ciu Pek-thong terus mencaci-maki: “Bangsat
Hoat-ong itu sungguh pengecut, selagi aku mati belum siuman kembali, dia malah
mencocoki aku dengan jarum sehalus ini.”
Dengan tersenyum Siaoliongli menjelaskan:
“Ciu Pek- thong, akulah yang mencocoki kau dengan jarum ini.” Lalu secara
ringkas ia ceriterakan pertarungan tadi, kemudian ditambahkan pula: “Jarumku ini
berbisa, apakah kau kesakitan?”
“O, tidak, malahan rasanya sangat enak, coba
kau cocoki aku lagi” jawab Ciu Pek-thong.
Sudah tentu Siao-liong-Ii mengira orang tua
itu Cuma bergurau saja, ia lantas mengeluarkan satu botol porselen kecil dan
berkata pula: “lni adalah madu tawon yang khusus dapat menyembuhkan racun
jarumku ini, coba kau minum sedikit.”
“Tidak, tidak!” Ciu Pek - thong menggeleng.
“Enak rasanya jika dicekoki oleh jarummu ini, rasanya jarum ini adalah lawan
labah2 berbisa ini”
Siao-liong-li tidak sependapat, tapi orang
tidak mau menerima, maka iapun tidak memaksa. ia pikir lwekang orang tua ini
sukar diukur, racun labah2 itu saja tidak dapat membunuhnya, tentu juga takkan
beralangan hanya terkena racun jarum tawon putih.
Padahal racun tawon meski cukup libay, tapi
juga dapat digunakan menyembuhkan macam-macam penyakit seperti encok dan
lain-lain, sebab itulah tiada peternak tawon yang mengidap penyakit encok,
Namun Siao-Iiong-li dan Ciu Pek-thong tidak paham ilmu pengobatan, mereka tidak
tahu racun dapat menawarkan racun, ternyata racun labah2 dalam tubuh Ciu
Pek-thong telah banyak dipunahkan oleh racun jarum tawon Siao-liong-li itu.
Dari luar gua Kim-lun Hoat-ong dapat
mendengar suara pembicaraan Ciu Pek-thong, terdengar suaranya penuh tenaga seperti
orang sehat, tentu saja Hoat-ong kaget, ia pikir apakah orang ini memiliki
tubuh malaikat sehingga tidak mempan segala macam racun?
Mumpung tenaga dalam orang ini belum pulih
seluruhnya harus segera kubinasakan, kalau tidak kelak pasti akan mendatangkan
bahaya besar. Akan tetapi sepasang rodanya sudah terlempar ke dalam gua,
terpaksa ia putar tali sutera berkelening milik Siao-liong-li dan berseru:
“Nona liong, ku pinjam saja senjatamu ini.” - Sekuatnya ia ayun tali sutera itu
ke dalam gua.
Karena ilmu silatnya sudah mencapai tingkatan
yang tiada tara-nya, segala jenis senjata dapat dimainkannya dengan sesuka
hati, maka tali sutera itupun dapat digunakannya sebagai cambuk, bahkan sangat
baik untuk menyerang dari jauh dan tidak perlu lagi kuatir disambit oleh jarum
berbisa Siao-liong-li
Seketika timbul hati kanak-anak
Siao-liong-li, iapun jemput roda emas dan perak milik Kim-lun Hoat-ong itu,
“creng”, ia benturkan kedua roda dan menerbitkan suara nyaring, lalu berseru:
“Baik, kita boleh bertukar senjata dan bertempur lagi.”
Tapi baru saja dia angkat kedua roda itu,
ternyata bobotnya luar biasa, terlalu berat baginya untuk digunakan Rupanya
roda emas itu terbuat dari emas murni, beratnya lebih 30 kati, terpaksa
Siao-liong-li menarik kedua roda itu untnk menjaga di depan dada.
Hoat-ong melihat kesempatan baik, segera ia
menubruk maju, tangannya terus meraih hendak merebut kedua roda itu. Tapi Siao
Iiong-li lantas menyurut mundur satu langkah, berbareng roda perak yang lebih
enteng itu terus disambitkan Sebenarnya sambitan roda perak ini cuma gertakan
saja, pada saat lain segera iapun menghamburkan lagi berpuluh Giok-hong-ciam,
jarum-jarum ini berasal dari tubuh Ciu Pek-thong yang dicabutnya sudah hilang
kadar racunnya, andaikan tercocok juga tidak beralangan.
Tapi Hoat-ong sudah kapok, dia tidak berani
menangkap roda perak melainkan terus melompat mundur ke atas sehingga terluput
dari tancapan jarum-jarum itu.
Ciu Pek-thong bergelak tertawa dan berseru.
“Bagus, kalau bangsat gundul itu berani mendekap boleh kau serang dia dengan
jarum. sebentar kalau tenagaku sudah pulih, segera kukeluar, menangkapnya dan
nanti kita gebuki pantatnya.”
“Tapi, ah, jarumku sudah habis sama sekali,”
kata Siao-Iiong-li.
“Wah, kalau begitu bisa konyol,” ujar Ciu
Pek-thong sambil garuk-garuk kepala.
Kedua orang, yang satu tua bangka dan yang
lain muda jelita, mereka sama-sama lugu dan polos, sama sekali tidak punya
pikiran buruk terhadap orang lain, apa yang mereka pikirkan, itu pula yang
mereka ucapkan.
Sebaliknya Kim-lun Hoat-ong adalah manusia
yang cerdik dan banyak tipu akal, hanya dia tidak kenal watak Ciu Pek-thong dan
Siao liong-Ii, ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang yang mau berterus
terang akan kelemahannya sendiri.
Menurut jalan pikirannya, kalau kedua orang
itu mengatakan habis jarumnya, tentu adalah sebaliknya dan sengaja memancing
dia mendekat untuk kemudian menyerangnya dengan cara yang tak terduga, Apalagi
kalau ingat pada kedua kaki Nimo Singh yang sudah buntung itu akibat terkena
jarum berbisa Li Bok-chiu, betapapun dia masih ngeri dan setiap tindakannya
menjadi terlebih hati-hati….
Setelah berkutak-kutek sekian lama, lambat
laun fajarpun menyingsing, Ciu Pek-thong duduk bersila dan mengerahkan tenaga
dalamnya untuk mendesak keluar sisa racun yang masih mengeram dalam tubuhnya.
Tapi racun labah2 itu sungguh ganas luar
biasa, setiap kali ia mengerahkan tenaga tentu dada terasa sesak dan muak,
sekujur badan juga terasa gatal pegal, kalau diam saja tanpa mengerahkan tenaga
malah terasa aman, ia mencoba beberapa kali namun tetap begitu, akhirnya ia
putus asa dan berkata: “racun labah2 ini rasanya sukar disembuhkan.”
Sudah tentu Hoat-ong yang mengintai di luar
gua tidak tahu, kesukaran Ciu Pek-thong ini, sebaliknya ia menjadi kuatir
melihat orang tua itu sedang menghimpun tenaga, Tiba-tiba timbul akalnya yang
keji, segera ia mengeluarkan kotak yang berisi labah2 panca warna itu. Begitu
tutup kotak dibuka, terlihatlah belasan ekor labah2 itu ber-gerak2 dengan warna
warni yang menarik.
Hoat-ong mengambil satu jepitan terbuat dari
tungu badak, dengan jepitan itu dijepitnya seutas benang labah2 dan dikibaskan
pelahan, benang lipas itu membawa serta seekor labah2 loreng itu dan menempel
pada dinding muIut gua sebelah kiri.
Beberapa kali Hoat-ong berbuat dengan
cara yang sama, ia lepaskan seluruh labah2 itu, setiap ekor labah2 membawa
seutas benang lipas dan penuh menempel sekitar mulut gua..
Mungkin sudah lama labah2 itu tidak diberi
makan dan tentu saja kelaparan dan perlu segera mencari mangsa, maka dalam
waktu singkat saja kawanan labah2 ini lantas membuat sarang di mulut gua, hanya
sebentar saja mulut gua itu sudah tertutup oleh bentangan belasan sarang
labah2, kalau labah2 loreng itu sangat berbisa, tentu sarangnya itu juga
berbisa, dengan demikian Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong menjadi terkurung di
dalam gua.
Waktu kawanan labah2 itu membuat sarang,
Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong sangat tertarik dan hanya menonton belaka tanpa
peduli sampai akhirnya lubang gua yang cukup lebar itu penuh sarang labah2,
sedangkan labah2 berbisa berwarna loreng pun merayap kian kemari.
“Sayang jarumku sudah habis, kalau tidak
tentu akan kubersihkan semua,” ujar Siao-liong-li dengan suara tertahan.
Segera Ciu Pek-thong menjemput sepotong kayu
dan bermaksud membobolkan sarang labah2 itu, tapi mendadak terlihat seekor
kupu-kupu besar terbang mendekat dan tahu- tahu telah terperangkap oleh sarang
labah2.
Seharusnya serangga yang terjebak sarang
labah2 itu akan meronta-ronta dan sebisanya berusaha lari dengan membobol
sarang labah2, tapi kupu-kupu yang besar ini seketika tak bisa bergerak lagi
begitu lengket dengan benang sarang tabah2 itu.
Karena itulah cepat Siao-liong-li berseru
kepada Ciu Pek-thong: “Awas, jangan mendekatinya, sarang labah2 itupun
berbisa!”
Ciu Pek-thong terkejut, cepat ia mundur
kembali, ia pikir tenaga sendiri sukar dipulihkan dalam waktu singkat, boleh
juga berduduk lagi lebih lama di dalam gua ini. Tapi Siao-liong-li menjadi
gelisah, ia tidak tahu keadaan yang serba tak bisa ini entah akan berlangsung
hingga kapan, apalagi tidak diketahui sisa racun dalam tubuh orang tua ini
apakah sudah terkuras bersih atau belum.
Karena itu ia lanH tas bertanya: “Ciu
Pek-thong, caramu mengerahkan tenaga untuk menguras racun apakah cukup sehari
semalam Iagi?”
Ciu Pek-thong menggeleng, jawabnya: “Wah,
jangankan cuma sehari semalam, biarpun seratus hari seratus malam juga tak
berguna.”
“Ah, lalu bagaimana baiknya?” kata
Siao-Iiong-li kuatir.
“Kalau saja bangsat gundul itu mau mengantar
rangsum kepada kita, apa jeleknya kalau kita tinggal beberapa tahun lagi di
sini,” ujar Ciu Pek thong dengan tertawa.
Siao-liong-li menghela napas, katanya:
“apabila Yo Ko berada di sini, sekalipun tinggal selamanya di sini juga aku
mau.”
Ciu Pek-thong menjadi gusar, katanya:
“Persetan dengan Yo Ko segala, memangnya orang seperti aku ini kurang menarik
dibandingkan si Yo Ko itu? Apakah ilmu silatnya lebih tinggi daripadaku. Kurang
apalagi jika aku yang menemani kau di sini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar