Minggu, 18 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 64



Kembalinya Pendekar Rajawali 64

Sebenarnya kepandaian Kwe Ceng dan Kim-lun Hoat-ong boleh dikatakan seimbang, tapi waktu kecilnya Kwe Ceng pernah mendapat pelajaran memanah dari Cepe, si pemanah sakti kesayangan Jengis Khan, ditambah tenaga dalam Kwe Cing sendiri maha kuat, maka kepandaiannya memanah
sungguh sukar dicari bandingannya di dunia ini, dengan sendirinya pula Kim-lun Hoat-ong bukan tandingannya. Ber-turut-urut tiga kali, panah pertama mematahkan panah lawan, panah kedua mematahkan busur dan panah ketiga segera dilepaskan pula dengan mengincar panji kebesaran Kubilai.
Panji itu sedang ber-kibar2 tertiup angin dan tampaknya sangat angker di tengah ber-ratus2 ribu perajurit itu, mendadak anak panah menyambar tiba dan tepat memutuskan tali panji itu, seketika panji kebesaran Kubilai itu melorot ke bawah dari tiangnya, serentak pula pasukan kedua pihak berteriak-teriak gemuruh.
Menyaksikan kelihayan Kwe Ceng itu, pula semangat tempur pasukan sendiri sudah runtuh, cepat Kubilai memberi perintah pasukan mundur.
Kwe Ceng berdiri di atas benteng dan menyaksikan pasukan Mongol mundur dengan teratur, dengan disiplin yang sangat kuat, sedikitpun tidak kacau, tanpa terasa ia menghela napas dan mengakui kehebatan pasukan Mongol yang sukar di tandingkan pasukan Song itu.
Teringat kepada situasi negara, ia menjadi sedih dan mengkerut kening.
Setelah mengundurkan pasukannya hingga ber-puluh li jauhnya, diam-diam Kubilai merenungkan pula akal menggempur Siangyang, ia pikir dengan adanya Kwe Ceng jelas kota itu sukar dibobolkan.
Melihat Kubilai termenung, Kim-lun Hoatong lantas berkata: “Yang Mulia menyaksikan sendiri kalau bocah she Yo itu tidak menolongnya, jelas jiwa Kwe Ceng sudah melayang di bawah panahku. Memang sudah kuduga bahwa bocah she Yo itu adalah manusia yang tak dapat dipercaya.
“Belum tentu begitu halnya,” ujar Kubilai. “Bisa jadi Yo Ko ingin membunuh sendiri orang she Kwe itu untuk membalas sakit hati ayahnya, maka ia tidak ingin musuhnya mati ditangan orang lain,”
Meski Kim-lun Hoat-ong tidak sependapat tapi iapun tidak berani membantah, terpaksa iapun menyatakan semoga begitulah hendaknya.
“Mundurnya pasukan Mongol sudah tentu membuat girang Lu Bu-hoan, ia mengadakan perjamuan besar pula untuk merayakan kemenangan itu. Sekali ini Yo Ko juga diundang sebagai tamu terhormat, semua orang sama memuji betapa gagah beraninya menolong Kwe Ceng itu. .
Kedua saudara Bu juga ikut hadir dalam pesta itu, melihat Yo Ko baru datang sudah lantas berjasa, mereka merasa iri.
Mereka menjadi kuatir pula setelah peristiwa ini Kwe Ceng akan semakin berniat menjodohkan anak perempuannya kepada Yo Ko, hati mereka menjadi kesal.
Selesai pesta itu, Oey Yong mengundang Yo Ko keruangan dalam untuk menemuinya, iapun memberi pujian dengan kata-kata halus.
“Ko-ji,” kata Kwe Ceng, “Tadi kau terlalu keras menggunakan tenaga, apakah dadamu sekarang terasa sakit?”
- Rupanya dia kuatir kalau Yo Ko akan tambah parah penyakitnya setelah semalam mengalami gangguan latihan Lwekang.
Kuatir Oey Yong akan mengusut lebih lanjut apa yang terjadi semalam, cepat Yo Ko menyatakan tidak apa-apa dan segera pula membelokkan pembicaraan, katanya: “Kwe-pepek, kepandaianmu memanjat dinding benteng itu sungguh luar biasa dan tiada bandingannya.”
“Sudah beberapa tahun aku tidak berlatih kepandaian itu sehingga gerak gerikku rada kaku, maka hampir terjadi malapetaka tadi,” ujar Kwe Ceng tersenyum. “Sungguh tidak nyana ilmu yang kupelajari dari Ma-toliang di Mongol dahulu dapat dimanfaatkan sekarang. Kalau kau suka, Hehehe kuajarkan ilmu itu padamu nanti.”
Oey Yong dapat melihat sikap Yo Ko yang kikuk, waktu bicara juga seperti sedang memikirkan sesuatu, meski semua orang menyaksikan anak muda itu menyelamatkan sang suami dengan sepenuh tenaga, tapi ia tetap waswas, katanya kemudian “Engkoh Cing, malam ini kurasa kurang enak badan, hendaklah kau suka menjaga di sini.”
Kwe Ceng lantas ingat pesan sang isteri, segera ia mengangguk setuju lalu katanya kepada Yo Ko: “Ko-ji, tentu kau sudan lelah, bolehlah kau kembali ke kamar untuk mengaso.”
Setelah kembali ke kamamya, Yo Ko duduk termenung menghadapi meja, sementara itu sudah dekat tengah malam, memandangi api lilin yang sebentar terang sebentar gelap itu, macam pikiran berkecamuk dalam benaknya.
Tiba-tiba terdengar suara ketokan pintu yang pelahan, suara Siao-liong-li mendesir di luar. “Belum tidur kau?”
Dengan girang Yo Ko lantas membuka pintu. Dilihatnya Siao-liong-li sudah berdiri di depan pintu dengan baju hijau pupus dan wajah berseri “Ada urusan apa, Kokoh?” tanya Yo Ko.
“Aku ingin menjenguk kau,” jawab Siao-liong-li dengan tertawa.
“Akupun merindukan kau,” ujar Yo Ko dengan suara lembut dan menggenggam tangan si nonar pelahan keduanya lantas ke taman bunga.
Tetumbuhan di taman bunga itu jarang-jarang saja, namun bunga sedap malam mekar semerbak me-ngasyikkan, Siao-liong-li memandang rembulan yang menghiasi cakrawala, katanya kemudian dengan suara lirih. “Apakah kau harus membunuhnya dengan tanganmu sendiri? Rasanya waktu sudah sangat mendesak.”
Cepat Yo Ko mendesis: “Ssst, jangan mempersoalkan ini, hati-hati dengan mata telinga yang tak kelihatan di sini.”
Siao-liong-li menatap anak muda itu dengan kesima, katanya kemudian: “Jika bulan sudah bulat nanti, maka tibalah batas waktu 18 hari.”
Sembilan hari sejak ia berpisah dengan Kiu-Jian-jio, kalau dalam satu-dua hari ini tak dapat membunuh Kwe Ceng dan Oey Yong, maka sukar kembali lagi ke Coa-cengkok sebelum racun dalam tubuhnya bekerja, ia menghela napas dan bersama Siao-Iiong-li mengambil tempat duduk pada sepotong batu besar. Keduanya berhadapan dengan bungkam, namun kasih mesra yang timbul dalam hati sukar dibendung, seketika keduanya melupakan urusan permusuhan dan pertempuran segala.
Lewat lama dan lama sekali, tampaknya sang dewi malam sudah mulai mendoyong ke barat, malam sunyi dengan hawa yang dingin, tiba-tiba di balik gunung-gunungan sana ada suara kaki orang, dua orang mendatangi cuma tidak kelihatan karena teraling oleh semak bunga, Terdengar suara seorang gadis berkata: “Jika kau mendesak aku lagi, lebih baik kau gorok leherku saja dengan pedangmu agar aku terhindar dari penderitaan.”
“Hm, hatimu bercabang, memangnya kau sangka aku tidak tahu?” terdengar seorang lelaki menjawab “Begitu bocah she Yo itu datang ke sini, segera ia pamer kepandaian didepan orang banyak, tentu saja segala sumpah setia dimasa lalu telah kau lupakan semua,”
Dari suara mereka itu jelas ialah Kwe Hu dan Bu Siau-huan berdua. Siao-liong-Ii mencebir kepada Yo Ko, maksudnya mencemoohkan anak muda itu yang digilai oleh gadis di mana saja dia berada.
Yo Ko tersenyum, ia tarik Siao-liong-li lebih rapat dengan dirinya dan memberi tanda agar jangan sampai bersuara, maksudnya akan mendengarkan lebih lanjut percakapan Kwe Hu berdua.
Tampaknya Kwe Hu menjadi marah setelah mendengar ucapan Bu Siu-bun tadi, dengan suara keras ia menjawab: “Jika begitu, anggaplah apa yang kita bicarakan dahulu cuma
omong kosong saja, Biarlah nanti kupergi sejauhnya, selamanya takkan bertemu dengan Yo Ko, kitapun takkan bertemu selamanya.”
Lalu terdengar suara kebasan baju, mungkin Bu Siu-bun ingin menarik lengan baju Kwe Hu, tapi nona itu telah mengebutkannya dengan keras.
Dengan suara marah Kwe Hu berkata pula: “Kenapa kau pegang2 segala? Orang datang atau tidak peduli apa dengan aku?” Andaikan ayah ibu menjodohkan aku kepadanya, biar matipun aku tidak mau menurut. Kalau ayah memaksa aku, segera aku minggat saja. Hm, sejak kecil si Yo Ko sombong meremehkan diriku hm, aku justeru tidak memandang sebelah mata padanya, Ayah selalu menganggap dia anak baik, hm, aku justeru anggap dia bukan manusia baik-baik.”
Dengan girang Bu Siu-bun lantas membumbui: “Benar, benar, bocah itu memang congkak dan mengira dunia ini dia punya, Adik Hu, anggaplah aku yang salah omong, harap engkau jangan marah. selanjutnya aku takkan sembarangan omong lagi, kalau berbuat begini lagi, biarlah aku menjelma menjadi…. menjadi kura2.” - Lalu ia bergaya seperti kura merangkak.
Dari nada ucapan Kwe Hu itu, meski omelannya pada Bu Siu-bun itu membuat anak muda itu bertambah menyembah di telapak kakinya, tapi hati nona itu tampaknya juga sayang padanya.
Terdengar Bu Siu-bun berkata pula: “Subo (ibu guru) paling sayang padamu, asalkan kau memohon bantuannya dan beliau berjanji takkan menjodohkan kau pada bocah she Yo itu, maka Suhu pasti tak dapat berbuat apa-apa”
“Hm, kau tahu apa” jengek Kwe Hu, “Meski ayah suka menuruti kehendak ibu, tapi kalau meng-hadapi urusan penting, biasanya ibu selalu mengikuti kemauan ayah.”
“Oh, langkah bahagiaku jika kaupun begitu” terdengar ucapan Bu Siu-bun dengan menghela napas.
Mendadak terdengar suara “plok” disertai jerit kesakitan Bu Siu-bun, serunya: “He, kenapa kau memukul aku?”
“Habis, mengapa kau bicara seenakmu?” omel Kwe Hu.
“Aku tidak sudi pada si Yo Ko, akupun takkan menjadi isteri monyong macammu ini.”
“Bagus, baru sekarang kau bicara blak2an kau tidak sudi menjadi isteriku, tapi lebih suka menjadi isteriku kakakku, ingin kukatakan… ingin kukatakan…” tapi saking gugupnya Bu Siu-bun tidak sanggup melanjutkan.
Tiba-tiba nada ucapan Kwe Hu berubah halus, katanya:
“Bu-jiko, kau baik padaku, ini sudah kau katakan beratus dan beribu kali dengan sendirinya kutahu perasaanmu yang sungguh-sungguh itu, Meski kakakmu tidak pernah menyatakan isi hatinya padaku, tapi akupun tahu dia jatuh hati padaku, Nah, jadi betapa sulitku menghadapi kalian ini, siapapun antara kalian kupilih, satu di antara kalian tentu akan kecewa dan berduka. Kau sayang padaku dan memanjakan diriku, tapi kau tidak pernah tahu betapa serba salahku menghadapi hal ini.”
Sejak kecil Bu Tun-si dan Bu Siu bun ditinggalkan ayah-bundanya, hubungan kakak beradik itu selamanya sangat baik, tapi akhir2 ini keduanya sama-sama jatuh cinta pada Kwe Hu sehingga- timbul perang dingin antara mereka.. Maka Bu Siu bun tidak enak bicara lagi demi Kwe Hu menyinggung tentang kakaknya itu. Karena gugup dan cemas air matapun berlinang2.
Kwe Hu ambil saputangan dan dilemparkan kepada anak muda itu, katanya pula dengan gegetun: “Bu-jiko, kita dibesarkan bersama, aku hargai kakakmu, tapi aku lebih cocok dengan tutur katamu, Terhadap kalian berdua sama sekali aku tidak membeda-bedakan, jika sekarang kau memaksa aku bicara terus terang, coba kalau kau yang menjadi aku, lalu cara bagaimana kau akan bicara?”
“Aku tidak tahu,” ujar Siu-bun. “Aku cuma ingin katakan padamu, kalau kau dipersunting orang lain, maka aku takkan hidup lagi.”
“Baiklah, malam ini sudah cukup. Siang tadi ayah bertempur mati-matian, tapi kita malah bicara hal yang tidak penting di sini, kalau diketahui ayah tentu kita akan diomeli.
Bu-jiko, ingin kukatakan bagimu, jikalau kau ingin memperoleh pujian dari-ibuku, mengapa kau tidak berjuang dan berjasa, sebaliknya setiap hari hanya merecoki diriku saja, bukankah kau akan dipandang enteng oleh ayah.”
“Benar!” seru Bu Siu-bun sambil melonjak. “Akan kubunuh Kubilai untuk membebaskan Siang-yang dari kepungan musuh, setelah berhasil masakah kau takkan terima lamaranku?”
“Jika begitu kau berjasa sebesar itu, andaikan aku tidak mau juga tidak bisa,” ujar Kwe Hu dengan tertawa, “Namun disekeliling Kubilai tidak sedikit pengawal2 lihay, melulu seorang Kim-lun Hoat-ong saja sukar dilawan, sebaiknya kau jangan berkhayal dan pergilah tidur saja.”
Akan tetapi Bu Siu-bun sudah mempunyai perhitungan sendiri, ia pandang pula wajah Kwe Hu yang molek itu, lalu berkata: “Baiklah. kaupun lekas tidur saja.” - ia melangkah pergi beberapa tindak tiba-tiba menoleh dan berkata pula: “Adik Hu malam ini kau mimpi atau tidak?”
“Mana aku tahu?” jawab Kwe Hu tertawa.
“Jika bermimpi, coba kau terka apa yang kau impikan?” tanya Siu bun. .
“Besar kemungkinan aku akan mimpi melihat seekor monyet kecil” ujar Kwe Ku dengan tersenyum.
Girang sekali Bu Siu-bun, ia tahu kata-kata “monyet” itu adalah kata olok-olok si nona padanya, Maka melangkah pergilah dia dengan setengah berjingkrak.
Siao-liong-Ii dan Yo Ko saling pandang dengan tersenyum mengikuti roman kedua muda-mudi itu. Betapapun mereka merasa bangga pada cinta sendiri yang sukar dibandingi oleh cinta kasih antara Bu Siu-bun dan Kwe Hu yang tidak menentu itu.
Setelah Siu-bun pergi, Kwe Hu berduduk sendirian sambil termenung memandangi rembulan. Selang agak lama, ia menghela napas panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar