Kembalinya Pendekar Rajawali 64
Sebenarnya kepandaian Kwe Ceng dan Kim-lun
Hoat-ong boleh dikatakan seimbang, tapi waktu kecilnya Kwe Ceng pernah mendapat
pelajaran memanah dari Cepe, si pemanah sakti kesayangan Jengis Khan, ditambah
tenaga dalam Kwe Cing sendiri maha kuat, maka kepandaiannya memanah
sungguh sukar dicari bandingannya di dunia
ini, dengan sendirinya pula Kim-lun Hoat-ong bukan tandingannya. Ber-turut-urut
tiga kali, panah pertama mematahkan panah lawan, panah kedua mematahkan busur
dan panah ketiga segera dilepaskan pula dengan mengincar panji kebesaran
Kubilai.
Panji itu sedang ber-kibar2 tertiup angin dan
tampaknya sangat angker di tengah ber-ratus2 ribu perajurit itu, mendadak anak
panah menyambar tiba dan tepat memutuskan tali panji itu, seketika panji
kebesaran Kubilai itu melorot ke bawah dari tiangnya, serentak pula pasukan
kedua pihak berteriak-teriak gemuruh.
Menyaksikan kelihayan Kwe Ceng itu, pula
semangat tempur pasukan sendiri sudah runtuh, cepat Kubilai memberi perintah
pasukan mundur.
Kwe Ceng berdiri di atas benteng dan
menyaksikan pasukan Mongol mundur dengan teratur, dengan disiplin yang sangat
kuat, sedikitpun tidak kacau, tanpa terasa ia menghela napas dan mengakui
kehebatan pasukan Mongol yang sukar di tandingkan pasukan Song itu.
Teringat kepada situasi negara, ia menjadi
sedih dan mengkerut kening.
Setelah mengundurkan pasukannya hingga
ber-puluh li jauhnya, diam-diam Kubilai merenungkan pula akal menggempur
Siangyang, ia pikir dengan adanya Kwe Ceng jelas kota itu sukar dibobolkan.
Melihat Kubilai termenung, Kim-lun Hoatong
lantas berkata: “Yang Mulia menyaksikan sendiri kalau bocah she Yo itu tidak
menolongnya, jelas jiwa Kwe Ceng sudah melayang di bawah panahku. Memang sudah
kuduga bahwa bocah she Yo itu adalah manusia yang tak dapat dipercaya.
“Belum tentu begitu halnya,” ujar Kubilai.
“Bisa jadi Yo Ko ingin membunuh sendiri orang she Kwe itu untuk membalas sakit
hati ayahnya, maka ia tidak ingin musuhnya mati ditangan orang lain,”
Meski Kim-lun Hoat-ong tidak sependapat tapi
iapun tidak berani membantah, terpaksa iapun menyatakan semoga begitulah
hendaknya.
“Mundurnya pasukan Mongol sudah tentu membuat
girang Lu Bu-hoan, ia mengadakan perjamuan besar pula untuk merayakan
kemenangan itu. Sekali ini Yo Ko juga diundang sebagai tamu terhormat, semua
orang sama memuji betapa gagah beraninya menolong Kwe Ceng itu. .
Kedua saudara Bu juga ikut hadir dalam pesta
itu, melihat Yo Ko baru datang sudah lantas berjasa, mereka merasa iri.
Mereka menjadi kuatir pula setelah peristiwa
ini Kwe Ceng akan semakin berniat menjodohkan anak perempuannya kepada Yo Ko,
hati mereka menjadi kesal.
Selesai pesta itu, Oey Yong mengundang Yo Ko
keruangan dalam untuk menemuinya, iapun memberi pujian dengan kata-kata halus.
“Ko-ji,” kata Kwe Ceng, “Tadi kau terlalu
keras menggunakan tenaga, apakah dadamu sekarang terasa sakit?”
- Rupanya dia kuatir kalau Yo Ko akan tambah
parah penyakitnya setelah semalam mengalami gangguan latihan Lwekang.
Kuatir Oey Yong akan mengusut lebih lanjut
apa yang terjadi semalam, cepat Yo Ko menyatakan tidak apa-apa dan segera pula
membelokkan pembicaraan, katanya: “Kwe-pepek, kepandaianmu memanjat dinding
benteng itu sungguh luar biasa dan tiada bandingannya.”
“Sudah beberapa tahun aku tidak berlatih
kepandaian itu sehingga gerak gerikku rada kaku, maka hampir terjadi malapetaka
tadi,” ujar Kwe Ceng tersenyum. “Sungguh tidak nyana ilmu yang kupelajari dari
Ma-toliang di Mongol dahulu dapat dimanfaatkan sekarang. Kalau kau suka, Hehehe
kuajarkan ilmu itu padamu nanti.”
Oey Yong dapat melihat sikap Yo Ko yang
kikuk, waktu bicara juga seperti sedang memikirkan sesuatu, meski semua orang
menyaksikan anak muda itu menyelamatkan sang suami dengan sepenuh tenaga, tapi
ia tetap waswas, katanya kemudian “Engkoh Cing, malam ini kurasa kurang enak
badan, hendaklah kau suka menjaga di sini.”
Kwe Ceng lantas ingat pesan sang isteri,
segera ia mengangguk setuju lalu katanya kepada Yo Ko: “Ko-ji, tentu kau sudan
lelah, bolehlah kau kembali ke kamar untuk mengaso.”
Setelah kembali ke kamamya, Yo Ko duduk
termenung menghadapi meja, sementara itu sudah dekat tengah malam, memandangi
api lilin yang sebentar terang sebentar gelap itu, macam pikiran berkecamuk
dalam benaknya.
Tiba-tiba terdengar suara ketokan pintu yang
pelahan, suara Siao-liong-li mendesir di luar. “Belum tidur kau?”
Dengan girang Yo Ko lantas membuka pintu.
Dilihatnya Siao-liong-li sudah berdiri di depan pintu dengan baju hijau pupus
dan wajah berseri “Ada urusan apa, Kokoh?” tanya Yo Ko.
“Aku ingin menjenguk kau,” jawab
Siao-liong-li dengan tertawa.
“Akupun merindukan kau,” ujar Yo Ko dengan
suara lembut dan menggenggam tangan si nonar pelahan keduanya lantas ke taman
bunga.
Tetumbuhan di taman bunga itu jarang-jarang
saja, namun bunga sedap malam mekar semerbak me-ngasyikkan, Siao-liong-li
memandang rembulan yang menghiasi cakrawala, katanya kemudian dengan suara
lirih. “Apakah kau harus membunuhnya dengan tanganmu sendiri? Rasanya waktu
sudah sangat mendesak.”
Cepat Yo Ko mendesis: “Ssst, jangan
mempersoalkan ini, hati-hati dengan mata telinga yang tak kelihatan di sini.”
Siao-liong-li menatap anak muda itu dengan
kesima, katanya kemudian: “Jika bulan sudah bulat nanti, maka tibalah batas
waktu 18 hari.”
Sembilan hari sejak ia berpisah dengan
Kiu-Jian-jio, kalau dalam satu-dua hari ini tak dapat membunuh Kwe Ceng dan Oey
Yong, maka sukar kembali lagi ke Coa-cengkok sebelum racun dalam tubuhnya
bekerja, ia menghela napas dan bersama Siao-Iiong-li mengambil tempat duduk
pada sepotong batu besar. Keduanya berhadapan dengan bungkam, namun kasih mesra
yang timbul dalam hati sukar dibendung, seketika keduanya melupakan urusan
permusuhan dan pertempuran segala.
Lewat lama dan lama sekali, tampaknya sang
dewi malam sudah mulai mendoyong ke barat, malam sunyi dengan hawa yang dingin,
tiba-tiba di balik gunung-gunungan sana ada suara kaki orang, dua orang
mendatangi cuma tidak kelihatan karena teraling oleh semak bunga, Terdengar
suara seorang gadis berkata: “Jika kau mendesak aku lagi, lebih baik kau gorok
leherku saja dengan pedangmu agar aku terhindar dari penderitaan.”
“Hm, hatimu bercabang, memangnya kau sangka
aku tidak tahu?” terdengar seorang lelaki menjawab “Begitu bocah she Yo itu
datang ke sini, segera ia pamer kepandaian didepan orang banyak, tentu saja
segala sumpah setia dimasa lalu telah kau lupakan semua,”
Dari suara mereka itu jelas ialah Kwe Hu dan
Bu Siau-huan berdua. Siao-liong-Ii mencebir kepada Yo Ko, maksudnya mencemoohkan
anak muda itu yang digilai oleh gadis di mana saja dia berada.
Yo Ko tersenyum, ia tarik Siao-liong-li lebih
rapat dengan dirinya dan memberi tanda agar jangan sampai bersuara, maksudnya
akan mendengarkan lebih lanjut percakapan Kwe Hu berdua.
Tampaknya Kwe Hu menjadi marah setelah
mendengar ucapan Bu Siu-bun tadi, dengan suara keras ia menjawab: “Jika begitu,
anggaplah apa yang kita bicarakan dahulu cuma
omong kosong saja, Biarlah nanti kupergi
sejauhnya, selamanya takkan bertemu dengan Yo Ko, kitapun takkan bertemu
selamanya.”
Lalu terdengar suara kebasan baju, mungkin Bu
Siu-bun ingin menarik lengan baju Kwe Hu, tapi nona itu telah mengebutkannya
dengan keras.
Dengan suara marah Kwe Hu berkata pula:
“Kenapa kau pegang2 segala? Orang datang atau tidak peduli apa dengan aku?”
Andaikan ayah ibu menjodohkan aku kepadanya, biar matipun aku tidak mau
menurut. Kalau ayah memaksa aku, segera aku minggat saja. Hm, sejak kecil si Yo
Ko sombong meremehkan diriku hm, aku justeru tidak memandang sebelah mata padanya,
Ayah selalu menganggap dia anak baik, hm, aku justeru anggap dia bukan manusia
baik-baik.”
Dengan girang Bu Siu-bun lantas membumbui:
“Benar, benar, bocah itu memang congkak dan mengira dunia ini dia punya, Adik
Hu, anggaplah aku yang salah omong, harap engkau jangan marah. selanjutnya aku
takkan sembarangan omong lagi, kalau berbuat begini lagi, biarlah aku menjelma
menjadi…. menjadi kura2.” - Lalu ia bergaya seperti kura merangkak.
Dari nada ucapan Kwe Hu itu, meski omelannya
pada Bu Siu-bun itu membuat anak muda itu bertambah menyembah di telapak
kakinya, tapi hati nona itu tampaknya juga sayang padanya.
Terdengar Bu Siu-bun berkata pula: “Subo (ibu
guru) paling sayang padamu, asalkan kau memohon bantuannya dan beliau berjanji
takkan menjodohkan kau pada bocah she Yo itu, maka Suhu pasti tak dapat berbuat
apa-apa”
“Hm, kau tahu apa” jengek Kwe Hu, “Meski ayah
suka menuruti kehendak ibu, tapi kalau meng-hadapi urusan penting, biasanya ibu
selalu mengikuti kemauan ayah.”
“Oh, langkah bahagiaku jika kaupun begitu”
terdengar ucapan Bu Siu-bun dengan menghela napas.
Mendadak terdengar suara “plok” disertai
jerit kesakitan Bu Siu-bun, serunya: “He, kenapa kau memukul aku?”
“Habis, mengapa kau bicara seenakmu?” omel
Kwe Hu.
“Aku tidak sudi pada si Yo Ko, akupun takkan
menjadi isteri monyong macammu ini.”
“Bagus, baru sekarang kau bicara blak2an kau
tidak sudi menjadi isteriku, tapi lebih suka menjadi isteriku kakakku, ingin
kukatakan… ingin kukatakan…” tapi saking gugupnya Bu Siu-bun tidak sanggup
melanjutkan.
Tiba-tiba nada ucapan Kwe Hu berubah halus,
katanya:
“Bu-jiko, kau baik padaku, ini sudah kau
katakan beratus dan beribu kali dengan sendirinya kutahu perasaanmu yang
sungguh-sungguh itu, Meski kakakmu tidak pernah menyatakan isi hatinya padaku,
tapi akupun tahu dia jatuh hati padaku, Nah, jadi betapa sulitku menghadapi
kalian ini, siapapun antara kalian kupilih, satu di antara kalian tentu akan
kecewa dan berduka. Kau sayang padaku dan memanjakan diriku, tapi kau tidak
pernah tahu betapa serba salahku menghadapi hal ini.”
Sejak kecil Bu Tun-si dan Bu Siu bun
ditinggalkan ayah-bundanya, hubungan kakak beradik itu selamanya sangat baik,
tapi akhir2 ini keduanya sama-sama jatuh cinta pada Kwe Hu sehingga- timbul
perang dingin antara mereka.. Maka Bu Siu bun tidak enak bicara lagi demi Kwe
Hu menyinggung tentang kakaknya itu. Karena gugup dan cemas air matapun
berlinang2.
Kwe Hu ambil saputangan dan dilemparkan
kepada anak muda itu, katanya pula dengan gegetun: “Bu-jiko, kita dibesarkan
bersama, aku hargai kakakmu, tapi aku lebih cocok dengan tutur katamu, Terhadap
kalian berdua sama sekali aku tidak membeda-bedakan, jika sekarang kau memaksa
aku bicara terus terang, coba kalau kau yang menjadi aku, lalu cara bagaimana
kau akan bicara?”
“Aku tidak tahu,” ujar Siu-bun. “Aku cuma
ingin katakan padamu, kalau kau dipersunting orang lain, maka aku takkan hidup
lagi.”
“Baiklah, malam ini sudah cukup. Siang tadi
ayah bertempur mati-matian, tapi kita malah bicara hal yang tidak penting di
sini, kalau diketahui ayah tentu kita akan diomeli.
Bu-jiko, ingin kukatakan bagimu, jikalau kau
ingin memperoleh pujian dari-ibuku, mengapa kau tidak berjuang dan berjasa,
sebaliknya setiap hari hanya merecoki diriku saja, bukankah kau akan dipandang
enteng oleh ayah.”
“Benar!” seru Bu Siu-bun sambil melonjak.
“Akan kubunuh Kubilai untuk membebaskan Siang-yang dari kepungan musuh, setelah
berhasil masakah kau takkan terima lamaranku?”
“Jika begitu kau berjasa sebesar itu,
andaikan aku tidak mau juga tidak bisa,” ujar Kwe Hu dengan tertawa, “Namun
disekeliling Kubilai tidak sedikit pengawal2 lihay, melulu seorang Kim-lun
Hoat-ong saja sukar dilawan, sebaiknya kau jangan berkhayal dan pergilah tidur
saja.”
Akan tetapi Bu Siu-bun sudah mempunyai
perhitungan sendiri, ia pandang pula wajah Kwe Hu yang molek itu, lalu berkata:
“Baiklah. kaupun lekas tidur saja.” - ia melangkah pergi beberapa tindak
tiba-tiba menoleh dan berkata pula: “Adik Hu malam ini kau mimpi atau tidak?”
“Mana aku tahu?” jawab Kwe Hu tertawa.
“Jika bermimpi, coba kau terka apa yang kau
impikan?” tanya Siu bun. .
“Besar kemungkinan aku akan mimpi melihat
seekor monyet kecil” ujar Kwe Ku dengan tersenyum.
Girang sekali Bu Siu-bun, ia tahu kata-kata
“monyet” itu adalah kata olok-olok si nona padanya, Maka melangkah pergilah dia
dengan setengah berjingkrak.
Siao-liong-Ii dan Yo Ko saling pandang dengan
tersenyum mengikuti roman kedua muda-mudi itu. Betapapun mereka merasa bangga
pada cinta sendiri yang sukar dibandingi oleh cinta kasih antara Bu Siu-bun dan
Kwe Hu yang tidak menentu itu.
Setelah Siu-bun pergi, Kwe Hu berduduk
sendirian sambil termenung memandangi rembulan. Selang agak lama, ia menghela
napas panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar