Kembalinya Pendekar Rajawali 95
“Jika
begitu biarlah kita mencari Yo Ko dahulu baru pergi ke Coat ceng-kok, dengan
kepandaiannya yang tinggi itu anak muda itu merupakan pembantu yang terkuat
apalagi obat penawar didapatkan segera bisa diminum olehnya dan tidak perlu
membuang waktu lagi,” kata Oey Yong.
“Benar, benar,” seru Sam-thong. “Cuma tidak
diketahui sekarang Yo Ko berada di mana?”
Sambil menuding kuda merah, Oey Yong
menjawab: “Kuda ini baru saja di pinjam si Yo Ko, kuda ini akan menjadi
petunjuk jalan, kita pasti dapat menemukan tempat tinggalnya.”
Bu Sam thong sangat girang,
serunya: “Untung
Kwe-hujin berada di sini, kalau
tidak, tentu aku akan kelabakan setengah mati tanpa berdaya.”
Oey Yong pikir kalau Bu
Sam-thong dan kedua puteranya ikut pergi, besar kemungkinan ketiga muda-mudi
yang lain juga akan ikut, akan terasa lebih aman jika ada pembantu lebih banyak
Segera ia berkata kepada Yalu
Ce: “Bagaimana kalau kalian juga
ikut bersama kami?”
Belum lagi Yalu Ce
menjawab, cepat Yalu
Yan mendahului bersorak: “Baiklah,
kakak, kita ikut pergi.”
Tanpa terasa Yalu Ce memandang sekejap kepada
Kwe Hu dan terlihat sorot mata nona itu juga memberi dorongan padanya, ketika
ia berpaling ke arah Wanyan Peng, nona itu juga tersenyum, maka iapun menjawab
dengan menghormat.
“Kami tunduk saja kepada pesan Bu-locianpwe
dan Kwe-hujin, kalau kami bisa, selalu mendapat petunjuk kalian, itulah yang
kami harapkan”
Oey Yong lantas berkata pula:
“Meski tidak banyak jumlah kita, tapi kita perlu juga seorang komandan sebagai
pimpinan.
Bu-heng, biarlah kami tunduk kepada
pimpinanmu dan takkan membantah perintahmu.”
Namun Bu Sam-thong lantas geleng kepala dan
menjawab: “Tidak, jelas seorang Kunsu (juru pikir) wanita seperti kau berada di
sini, siapa lagi yang berani main perintah segala? Sudah tentu mandat penuh
kuserahkan padamu.”
“Apa sudah betul pilihanmu?” Oey Yong
menegas dengan tertawa.
“Masakah aku bergurau?” jawab Sam-thong.
“Anak-anak sih tidak menjadi soaV, yang
kukuatirkan adalah kau. si tua ini tidak mau tunduk pada perintahku,” kata Oey Yong.
“Apa perintahmu, apa pula yang kulaksanakan,”
seru Sam-thong, “Sekalipun masuk lautan api atau terjun ke rawa mendidih juga
takkan kutolak.”
“Di
hadapan anak-anak muda ini, apa yang sudah kau katakan harus kau tepati,” ujar Oey Yong.
“Sudah tentu,” jawab Sam-thong dengan muka
merah padam “Memangnya kalau tiada orang lain pernah kuingkar janji?”
“Bagus! itulah yang kuinginkan darimu,” kata Oey Yong.
“Keberangkatan kita nntuk mencari Yo Ko,
meminta obat dan menolong kawan, semuanya harus dilakukan dengan cara gotong royong maka segala dendam sakit hati
dimasa- lampau untuk sementara ini harus dikesampingkan. Jadi maksudku,
Bu-heng, untuk sementara ini kalian sekali-kali tidak boleh merecoki Li Bok-chiu,
nanti kalau urusan sudah bcres, bolehlah kalian melabrak dia untuk menuntut
balas.”
Bu Sam-thong melengak, baru
sekarang ia tahu tujuan kata-kata Oey Yong
tadi hanya untuk memancing pernyataannya saja. Padahal Li
Bok-chiu adalah pembunuh
isterinya, sakit hati ini mana boleh dibiarkan?
Belum lagi Sam-thong menjawab, Oey Yong
membuka suara pula dengan lirih: “Bu-heng, kakimu terluka, sementara ini tentu
juga tak dapat berbuat banyak. Untuk menuntut balas kukira juga tidak perlu
terburu-buru saat ini juga.”
Terpaksa Bu Sam-thong berkata: “Baiklah, apa
yang kau katakan, apa yang kulakukan.”
Oey Yong lantas berseru
memanggil Li
Bok-chiu: “Li-cici marilah kita
berangkat!”
Begitulah kuda merah itu dibiarkan jalan di
depan dan mereka ikut dari belakang, Benar juga kuda itu ternyata menuju ke
arah Cong-lam-san.
Lantaran Bu Sam-thong dan Wanyan Peng
terluka dan tak dapat jalan cepat, setiap hari mereka cuma menempuh ratusan li
saja lantas istirahat. Diam-diam Li Bok-chiu waspada
menjaga segala kemungkinan, di waktu istirahat ia sengaja menjauhi semua orang.
Waktu menempuh perjalanan iapun mengintil dari kejauhan.
Sepanjang jalan yang paling gembira adalah ke
enam muda-mudi itu, mereka bicara dan bergurau dengan akrab sekali, Sejak kecil
kedua saudara Bu saling bersaing mencari muka pada Kwe Hu sehingga hubungan
mereka sedikit-banyak kurang baik, tapi sekarang masing-masing sudah menemukan
gadis idaman, kedua saudara menjadi sangat rukun dan sayang menyayang.
Tentu saja Bu Sam-thong sangat senang melihat
itu dan tambah terima kasihnya kepada Yo Ko yang telah menyelamatkan kedua Bu
cilik itu dari saling membunuh memperebutkan seorang gadis.
Suatu hari sampailah mereka di Cong-lam-san.
Oey Yong dan Bu Sam-thong membawa anak muda itu berkunjung kepada
Coan-cin-jit-cu di Tiong-yang-kiong. Li Bok-chiu berhenti jauh di luar istana
Coan-cin-pay dan menyatakan hendak menunggu saja di situ.
Dengan sendirinya Oey Yong tidak memaksa
karena tahu iblis itu bermusuhan dengan pihak Coan-cin-pay, rombongan mereka
lantas menuju Tiong-yangkiong. Ketika mendapat laporan, cepat Khu Ju-ki dan
lain-lain menyambut keluar.
Sesudah rombongan tamu disilakan masuk dan
berduduk di pendopo agung, baru saja mereka beramah-tamah sejenak, tiba-tiba di
ruangan belakang ada suara orang membentak2.
seketika Oey Yong mengenali suara orang itu,
segera ia berseru:
“Hai, Lo-wan-tong, lihatlah siapakah ini yang
datang?”
Selama beberapa hari ini memang Ciu Pek-thong
lagi sibuk mempelajari cara-cara- mengundang dan memimpin kawanan tawon putih,
Dasarnya memang pintar, tekun pula, maka sedikit-banyak sudah ada kemajuan,
saat itu dia sedang asyik dengan permainannya itu, ketika tiba-tiba didengarnya
orang memanggil julukannya, segera ia
kenal itulah suaranya Ui Yong.
“Aha, kiranya bininya adik angkatku yang
genit dan jahil itu telah datang!” sambil berteriak-teriak ia terus berlari ke
depan.
Serentak Yalu Ce memampak maju dan menyembah
kepada Ciu Pek-thong sambil mengucapkan doa selamat, Dengan tertawa Ciu
Pek-thong menjawab: “Sudahlah, lekas bangun. Kaupun selamat-selamat ya!”
Menyaksikan itu semua orang jadi
terheran-heran.
Sungguh tidak tersangka bahwa Yalu Ce adalah,
muridnya Ciu Pek-thong, padahal tingkah lakunya Anak Tua Nakal itu suka ugal2an
dan angin-anginan, tapi murid didiknya ternyata pintar dan tangkas, jujur-dan
sopan, sama sekali berbeda antara guru dan murid.
Khu Ju-ki dan lain-lain juga sangat senang
melihat sang Susiok sudah mempunyai ahli waris, beramai-ramai mereka lantas
mengucapkan selamat kepada Ciu Pek-thong. Baru sekarang juga Kwe Hu menyadari sebab
musababnya tempo hari sang ibu dan Yalu Ce saling pandang dengan bergelak
tertawa ketika anak muda itu tidak mau menerangkan siapa gurunya, rupanya waktu
itu Oey Yong sudah dapat menerka bahwa guru Yal-u Ce adalah si Anak Tua Nakal
Ciu Pek-thong.
Tengah ramai-ramai, mendadak di bawah gunung
ada suara terompet, itulah pemberitahuan para anak murid yang bertugas jaga
bahwa musuh datang menyerang secara besar-besaran.
Seketika air muka Khu Ju-ki berubah, ia tahu
pasti pasukan Mongol yang datang akibat kegagalan usaha Kim lun Hoat-ong dan
begundalnya menaklukkan Coan-cin-kau tempo hari.
Walaupun orang-orang Coan-cin-kau mahir ilmu
silat, tapi tidak mungkin bertempur secara terbuka melawan pasukan Mongol, maka
sebelumnya mereka sudah mengatur siasatnya, kalau perlu akan mundur teratur
dengan meninggalkan gunung.
Tugas ini sebenarnya adalah tanggung jawab Li
Ci-siang yang kini diangkat sebagai pejabat ketua menggantikan In Ci-peng yang
sudah meninggal itu. Tapi menghadapi suasana gawat ini, dengan sendirinya
pimpinan dipegang lagi oleh Coan-cin-ngo-cu.
Segera Khu Ju-ki berkata kepada Oey Yong
tentang keadaan genting dan menyesal tak dapat memenuhi kewajiban sebagai tuan
rumah terhadap tetamunya.
Dalam pada itu suara gemuruh serbuan pasukan
terdengar di bawah gunung, Rupanya pasukan Mongol menyerbu dari arah utara
gunung, sedangkan rombongan Oey Yong datang dari bagian selatan, selisihnya
cuma setengah jam saja.
“Oh jadi ada musuh datang? Hah, sangat
kebetulan.” Seru Ciu Pek-thong “Hayolah, anak Ce, inilah kesempatan baik bagimu
untuk memperlihatkan kepandaian ajaran gurumu ini kepada para Suheng di sini!”
Seperti anak kecil, apabila mempunyai barang
mainan kesayangannya, tentu suka pamer untuk mendapatkan pujian orang lain.
Begitu pula si Anak
Tua Nakal,
dia mempunyai seorang murid baik, tentu
iapun ingin membikin kagum orang Iain.”.
Kalau dahulu dia pesan Yalu Ce
agar jangan membocorkan nama gurunya, maksud tujuannya adalah untuk mengejutkan
dunia Kangouw saja agar semua orang kaget demi kemudian mengetahui Ciu
Pek-thong mempunyai seorang murid lihay.
Begitulah Khu Ju-ki lantas memberi laporan
sekadarnya kepada Ciu Pek-thong tentang siasatnya akan mengundurkan diri demi
untuk menjaga keutuhan Coan-cin-kau. Habis itu ia lantas memberi perintah agar
setiap orang membawa barang-barang keperluan dan meninggalkan gunung menurut
arah yang sudah ditentukan, ber-bondong-bondong anak murid Coan-cin-kau lantas
melaksanakan tugas masing-masing secara teratur.
“Khu-totiang,” kata Oey Yong kemudian, “cara
pengaturanmu sungguh hebat, kuyakin sedikit alangan ini pasti takkan menjadi
soal bagi kalian, Kelak Coan-cin-kau pasti akan bangkit kembali dan lebih jaya
daripada sekarang, Kedatangan kami ini adalah untuk mencari Yo Ko, maka
sekarang juga kami mohon diri.”
“Yo Ko?” Khu Ju-ki meIengak. “Apakah dia masih berada di pegunungan ini?”
“Ada seorang teman mengetahui tempat
kediamannya,”
ujar Oey Yong dengan tertawa. Habis itu ia
lantas berangkat dengan rombongannya menuju ke belakang Tiong-yang-kiong dan
kemudian menemukan Li Bok-chiu.
“Li-cici, sekarang silakan memberi petunjuk
cara masuk ke kuburan itu,” kata Oey Yong.
“Darimana kau mengetahui
dia pasti berada didalam kuburan?” jawab Bok-chiu.
“Seumpama Yo Ko tidak
berada di sana, Giok li-sim-keng pasti ada,” ujar Oey Yong.
Diam-diam Li Bok-chiu
terkesiap dan mengakui kelihayan nyonya Kwe itu, sampai2 isi hatinya ingin
mendapatkan kitab pusaka itupun dapat diterkanya dengan jitu.
Karena tujuannya toh
sudah diketahui orang, Li Bok-chiu lantas berkata sekalian secara
terang-terangan. “Baiklah, biar kita bicara di muka, kubantu kau menemukan
puterimu dan kau harus bantu aku merebut kitab pusaka perguruanku, Kau adalah
ketua Kay-pang, pendekar wanita yang termashur, kau harus pegang janji.”
“Tapi Yo Ko adalah
putera saudara angkat tuan Kwe kami, meski ada sedikit selisih paham dengan
kami, kalau sudah bertemu tentu segalanya dapat dijernihkan dan puteriku pasti
juga akan dikembalikan padaku jika memang betul anak itu berada padanya, Jadi
tak dapat dikatakan rebut berebut segala.”
“O, kalau begitu,
baiklah kita menuju ke arah masing-masing dan berpisah saja di sini,” habis ini
Li Bok chiu terus putar tubuh hendak pergi.
Oey Yong lantas
mengedipi Bu Siu-bun, “sret” si Bu cilik itu segera melolos pedang dan
membentak “Li Bok-chiu, hari ini jangan kau harap dapat meninggalkan
Cong-lam-san dengan hidup!”
Li Bok-chiu menyadari
keadaan sendiri yang kepepet, seorang Oey Yong saja sukar diiawan, apalagi ada
Bu Sam- thong dan anak muda yang cukup lihay itu. Biasanya iapun banyak tipu
akalnya, tapi menghadapi Oey Yong ia benar-benar menjadi bodoh dan mati kutu.
sedapatnya ia berlaku tenang dan berkata dengan dingin: “Kwe-hujin maha pintar,
kalau berada di sini, masakah Kwe-hujin kuatir tak-dapat menemukan dia dan
masakah perlu petunjuk jalan dariku?”
“Untuk mencari jalan
masuk kuburan kuno, terus terang aku tidak mampu,” jawab Ui Xong. “Tapi kalau
kami berdelapan orang secara sabar menunggu dan bergilir mengawasi sekitar
sini, akhirnya kami pasti akan pergoki mereka apabila Yo Ko dan nona Liong
benar-benar sembunyi di dalam kuburan kuno, masakah pada suatu hari mereka
tidak keluar untuk belanja keperluan hidup mereka?”
Ucapan ini dengan jelas
memojokkan Li Bok-chiu agar lebih baik menunjukkan jalannya, kalau tidak segera
akan dibunuhnya.
Li Bok-chiu menjadi
serba susah, apa yang di katakan Ui Yong itu memang masuk di akal, kalau mereka
menunggu saja di sekitar sini, akhirnya Yo Ko tentu juga akan keluar, Untuk
bertempur jelas dirinya bukan tandingan mereka yang berjumlah banyak, tapi
kalau memancing mereka masuk ke kuburan kuno itu. di tempat yang sudah
dikenalnya benar-benar itu tentu dapat mencari akal untuk membinasakan
musuh-musuh ini satu persatu, Begitulah ia lantas menjawab:
“Baiklah, apa mau
dikatakan lagi, aku toh tidak mampu menandingi kalian. Memangnya aku juga akan
mencari si bocah she Nyo itu? Marilah. kalian ikut padaku.”
Segera ia menyingkap
semak belukar dan menyusup ke tengah pepohonon yang lebat diikuti Oey Yong dan
lain-lain dari dekat karena kuatir dia melarikan diri mendadak Setelah menyusup ke sana dan menyusur sini, tidak lama
sampailah mereka di tepi sebuah sungai kecil.
Sudah lama Li Bok-chiu
bertekat hendak rebut Giok-li-sim-keng, tempo hari dia hampir mampus ketika
lolos keluar dari kuburan itu melalui dasar sungai, maklum dia memang tidak
mahir berenang dan menyelam.
Karena itu akhir2 ini
dia telah berlatih renang dan kini sudah siap. Berdiri di tepi sungai
berkatalah dia: “Pintu depan kuburan itu sudah tertutup, untuk membukanya
secara paksa di perlukan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan. Sedang pintu
belakangnya harus selulup melalui sungai ini. Nah, siapa di antara kalian yang
akan ikut aku masuk ke sana?”
Kwe Hu dan kedua saudara
Bu dibesarkan di Tho-hoa-to, setiap hari hampir selalu berkecimpung di tengah
gelombang laut, kepandaian berenang mereka dapat diandalkan, serentak mereka
bertiga menyatakan ikut, Bu Sam-thong juga bisa-berenang, maka iapun ingin ikut
serta.
Oey Yong tahu Li
Bok-chiu sangat keji, kalau mendadak dia menyerang dikuburan-kunb itu, pasti Bu
Sam-thong dan lain-lain tidak mampu melawannya, seharusnya dirinya sendiri ikut
mengawasi kesana, namun kesehatan sendiri yang baru melahirkan terasa tidak
sanggup bertahan menyelam lama di dalam air yang dingin.
Tengah ragu-ragu,
tiba-tiba Yalu Ce berkata: “Kwe pekbo boleh tunggu saja di sini, biar siautit
ikut paman Bu ke sana.”
“Kau mahir berenang?” tanya
Oey Yong girang.
“Berenang sih tidak begitu mahir, kalau
menyelam kukira boleh juga,” jawab Yalu Ce.
Dalam pada itu Li Bok-chiu sudah bebenah
seperlunya dan siap akan terjun ke dalam sungai, Oey Yong lantas mendekati Bu
Sam-thong dan memberi pesan agar hati-hati dan waspada, Begitulah Yalu Ce dan
Bu Sam-thong berlima lantas ikut Li Bok-chiu menyusun sungai itu.
Sungai di bawah tanah itu terkadang sempit
dan terkadang luas, arusnya juga kadang-kadang keras tempo-tempo lambat, Ada kalanya dasar sungai
sangat dalam hingga tinggi air melebihi kepala dan harus menyelam, tapi lain
saat air sungai berubah menjadi cetek cuma sebatas pinggang.
Setelah berjalan sekian lama, akhirnya mereka
sampai di lubang masuk ke kuburan itu. Li Bok-chiu
menarik batu penyumbat dan menerobos ke dalam, yang lain lantas ikut masuk
ber-turut-urut. Meski sekarang tidak terbenam lagi dalam air, tapi keadaan
gelap gulita, semua orang bergandengan tangan agar tidak terpencar dan
mengikuti Li Bok-chiu ke depan secara ber-liku-liku sehingga sukar lagi
membedakan arah.
Tidak lama kemudian terasa mulai menanjak,
tanah yang terpijak juga kering, Tiba-tiba terdengar suara berkeriutan, sebuah
pintu batu didorong oleh Li Bok-chiu, semua orang lantas ikut masuk ke situ.
“Di sini sudah berada di tengah-tengah
kuburan kuno, kita berhenti sebentar lalu pergi mencari Yo Ko,” kata Li
Bok-chiu.
Sejak memasuki kuburan itu itu selangkahpun
Bu Sam-thong dan Yalu Ce tidak tertinggal di belakang Li Bok-chiu, tapi keadaan
sangat gelap, terpaksa mereka hanya
mengandalkan indera pendengaran saja untuk menjaga segala kemungkinan.
Dalam kegelapan itu semua orang lantas
berdiam: Tiba-tiba Li Bok-chiu berkata pula: “Eh, kedua tanganku sudah
menggenggam Peng-pok-gin-ciam, kenapa kalian bertiga orang she Bu ini tidak mau
maju untuk merasakan enaknya jarum ini?”
Bu Sam-thong terkejut, sebelumnya
iapun tahu orang pasti mengandung maksud jahat, tapi tidak menyangkanya musuh
akan mulai bertindak sekarang ini. Mereka sudah pernah merasakan betapa
lihaynya jarum orang, betapapun mereka tidak berani gegabah.
Segera mereka pegang
senjata dan siap menangkis bila mendengar suara mendesingnya senjata rahasia.
Namun tempatnya terlalu sempit, jarum musuh hanya dapat dipukul ke tanah, kalau
di sampuk bisa jadi akan mengenai kawan sendiri.
Yalu Ce juga menyadari
keadaan sangat berbahaya, kalau sampai musuh sembarangan menyambitkan jarumnya,
pihak sendiri yang berlima ini pasti ada yang terluka atau binasa, jalan paling
baik harus melabraknya dari dekat agar orang tidak sempat menggunakan jarum
berbisanya.
Ternyata Kwe Hu juga
berpendapat sama seperti dia, jadi tanpa berjanji keduanya mendadak menubruk
bersama ke arah suara Li Bok-chiu.
Padahal setelah bicara
tadi, selagi orang-orang ter-kesiap, diam-diam Li Bok-chiu telah mundur ke tepi
pintu, Maka waktu Yalu Ce dan Kwe Hu menubruk tempat kosong, sebaliknya
tangan kedua orang saling berpegang sehingga Kwe Hu
menjerit kaget.
Kepandaian Yalu Ce lebih
tinggi, begitu memegang tangan yang halus serta mencium bau harum dan disertai
suara Kwe Hu, segera ia tahu apa yang terjadi.
Dalam pada itu terdengar
suara keriat-keriut bergesernya pintu, Yalu Ce dan Bu Sam-thong terus melompat
pula ke sana, terdengar suara mendesing, dua jarum perak telah menyamber tiba,
cepat mengelak, waktu mereka mendorong pintu, ternyata pintu itu sudah tertutup
rapat dan tak bergeming lagi.
Yalu Ce coba meraba
pintu batu itu, ternyata halus licin tiada sesuatu alat pegangan pintu, ia
berjalan merambat dinding sekeliling, ia menaksir ruangan itu kira-kira empat
persegi, dinding terbuat seluruhnya dari batu, ia coba mengetok dinding dengan
pedangnya, terdengar suara keras dan berat, jelas batu dinding itu sangat
tebal.
“Wah, bagaimana?
jangan-jangan kita akan mati terkurung di sini?” kata Kwe Hu dengan kuatir dan
hampir-hampir menangis.
“Jangan kuatir, kita
pasti akan menemukan jalannya,” cepat Yalu Ce menghiburnya “Apalagi Kwe-hujin
menunggu di luar, beliau pasti akan berdaya menolong kita.”
Habis berkata ia coba
meraba pula sekeliling kamar itu untuk mencari jalan keluar.
Li Bok-chiu sangat
girang setelah berhasil menyekap Bu Sam-thong berlima di kamar batu itu, ia
pikir setelah lawan- lawan itu dienyahkan, tentu akan lebih mudah untuk
menyergap Siao-liong-li dan Yo Ko.
Ia menyadari kalau
bertempur secara terang-terangan pasti bukan tandingan sang Sumoay, maka ia
harus menyergapnya secara mendadak. ia lantas menggenggam jarum berbisa, sepatu
ditanggalkannya, hanya dengan berkaos kaki saja ia melangkah ke depan dengan
pelahan.
Selama beberapa hari ini
Siao-Iiong-Ii, berduduk di depan kemala dingin itu menerima penyembuhan dari Yo
Ko dengan menerobos Hiat-to secara terbalik. Saat itu mereka sedang mengerahkan
segenap tenaga untuk menerobos Tam-tiong-hiat, Hiat-to penting yang terletak di
bagian dada, kalau Hiat-to ini sudah diterobos dengan lancar, maka berarti
delapan bagian lukanya sudah tersembuhkan, Akan tetapi Hiat-to ini memang
sangat gawat, salah sedikit saja akan menyebabkan kelumpuhan total, sebab itu
harus dilakukan dengan hati-hati dan sabar, sedikitpun tidak boleh gegabah.
Watak Siao-liong-li
memang sangat sabar, baginya bukan soal apakah penyembuhannya itu dapat
dirampungkan secepatnya atau berapa lama Iagi. Sebaliknya Yo Ko berwatak tidak
sabaran, dia berharap Siao-liong-li dapat lekas sembuh. Akari tetapi iapun tahu
bahayanya cara penyembuhan begitu, kalau ter-buru-buru napsu, bisa jadi
malah-runyam.
Begitulah Yo Ko merasa
denyut nadi Siao-liong-li terkadang keras dan lain saat lemah, meski tidak
stabil, tapi tiada tanda-tanda buruk, Diam-diam ia mengerahkan tenaga dan
mempercepat usahanya menyembuhkan si nona.
Dalam keadaan sunyi
senyap itulah, tiba-tiba dari jauh ada suara “tek” satu kali, suara itu sangat
lirih kalau saja Yo Ko tidak sedang memusatkan pikiran tentu tak mendengar
suara itu.
Apalagi kuburan kuno itu
terletak jauh di bawah tanah, kecuali suara pernapasan mereka bertiga (termasuk
Kwe Yang), sedikit kelainan suara tentu akan ketahuan.
Selang tak lama, suara
“tek” itu kembali berbunyi lagi sekali, kini jaraknya bertambah dekat, Yo Ko
tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres, tapi kuatir perhatian Siao-liong-li
terganggu dan membahayakan nona itu, maka ia sengaja berlagak tidak tahu.
Tak lama, lagi-lagi
suara itu berbunyi, kini terlebih dekat pula, Maka yakinlah Yo Ko bahwa ada
orang menyusup ke kuburan kuno itu, agaknya orang itu tidak berani menerobos
datang begitu saja dan sengaja merunduk maju dengan pelahan. ia pikir maksud
kedatangan orang ini pasti tidak baik, kalau orang mampu masuk ke situ, tentu
juga bukan sembarangan orang. Celakanya keadaan Siao-liong-li tidak boleh
terganggu ia menjadi serba susah.
“Tek”, ternyata suara
itu semakin mendekat Yo Ko menjadi bingung dan sukar menahan pi-kiranaya,
mendadak tangannya tergetar, suatu arus hawa panas tertolak balik, kiranya
Siao-liong-li juga terkejut oleh suara itu.
Lekas-lekas Yo Ko
menghimpun tenaga dan mendorong kembali tenaga dalam Siao-liong-li sambil
memberi isyarat agar si nona tenangkan diri.
Tatkala itu di luar
kuburan adalah siang hari, meski musim dingin, tapi sang surya sedang
memancarkan cahayanya di tengah
cakrawala, sebaliknya di dalam kuburan gelap gulita seperti tengah malam
belaka.
Terdengar suara tadi
semakin dekat lagi. Diam-diam Nyo Ko mengeluh, ia pikir sejak jalan masuk
kuburan itu tertutup rapat, di dunia ini hanya Li Bok-chiu dan Ang Leng-po saja
yang tahu jalan masuk melalui dasar sungai itu, maka dapat dipastikan yang
datang tentu satu diantara mereka.
Dengan kepandaian Yo Ko
sekarang sedikitpun tidak perlu takut biarpun Li Bok-chiu dan muridnya itu
datang semua sekaligus, Celakanya kedatangannya itu tidak lebih cepat dan tidak
lebih lambat, tapi justeru pada saat penting bagi keselamatan Siao-liong-li
ini, seketika Yo Ko menjadi bingung dan serba susah.
Selang sejenak, dengan
jelas Siao-liong-li juga dapat mendengar suara kedatangan musuh, iapun
buru-buru ingin menerobos Hiat-to sendiri yang penting itu, tapi karena
bingung, tenaganya menjadi kacau, terkadang lancar terkadang berontak, dada
sendiri menjadi sesak malah.
Pada saat itulah suara
tindakan seorang yang halus dan cepat menerobos masuk, menyusul terdengarlah
suara mendesirnya benda kecil, beberapa jarum telah menyamber tiba.
Waktu itu keadaan
Siao-liong-li dan Yo Ko mirip orang yang tak bisa ilmu silat saja, untungnya
mereka sudah siap, sedia sebelumnya, begitu melihat jarum musuh menyambar tiba,
serentak mereka mendoyong ke belakang tanpa melepaskan tangan mereka yang
saling menempel itu, jarum-jarum itu me-nyamber lewat di sisi mereka.
Li Bokchiu sendiri tidak
menyangka kedua orang sedang mencurahkan segenap perhatian untuk penyembuhkan
Siao-liong-Ii, kuatir kedua lawannya balas menyerang, maka begitu jarum
disambitkan segera ia melompat ke samping, Kalau saja dia tidak jeri kepada
lawannya dan segera menyusulkan lagi jarum-jarum lain, maka Yo Ko berdua pasti
celaka.
Ketajaman mata Li
Bok-chiu di tempat gelap jauh dibandingkan Yo Ko berdua, samar-samar ia cuma
melihat kedua muda-mudi itu duduk berjajar di Han-giok-jeng dipan kemala
dingin, ia menjadi kebat-kebit ketika sergapannya tidak mengenai sasarannya,
Tapi ia menjadi ragu-ragu pula ketika melihat lawan tidak berbangkit dan balas
menyerangnya. Cepat ia menggeser ke samping pintu dengan kebut siap di tangan,
lalu menegur “Hm, baik-baikkah kalian selama berpisah!”
“Apa kehendakmu?” tanya
Yo Ko.
“Masakah perlu tanya
lagi kehendakku disaat ini?” jawab Bok-chiu.
“Ah, Giok-Ii-sim-keng
yang kau inginkan bukan?” ujar Nyo Ko “Baiklah, memangnya kitab itupun tidak
berguna bagi kami yang ingin hidup tirakat di tempat ini. Nah, boleh kau ambil
saja.”
Sudah tentu Li Bok-chiu
setengah percaya dari setengah sangsi, katanya: “Mana? Bawa ke sini!”
Giok-li-sim-keng
tersimpan dalam buntalan SiaoIiong-li, dengan seodirinya mereka tidak dapat
menyodorkannya, “ltu berada dalam bungkusan di atas meja, ambil saja sendiri,”
demikian jawab Yo Ko
Li Bok-chiu tambah
curiga, pikirnya: “Aneh, mengapa mereka berubah penurut begini? Di dalam bungkusan itu
tentu ada sesuatu yang tidak beres. Apa barangkali dia sengaja memancing aku
lebih dekat, lalu mendadak menyerang dan mencegat jalan lariku” ..
Ia menyadari bukan tandingan Siao-liong-li,
maka segala sesuatu harus ditimbangnya dengan masak, ia coba mengawasi sang
Sumoay, terlihat sebelah tangannya mendempel dengan telapak tangan Yo Ko.
Seketika tergerak pikirannya: “Ah, rupanya tangan Yo Ko buntung dan parah, maka
perempuan hina ini sedang membantu menyembuhkannya dengan tenaga dalam sendiri.
Saat ini mereka sedang menghadapi detik genting, inilah kesempatan baik bagiku
untuk membinasakan mereka.”
Walaupun cuma betul separuh saja terkaannya,
namun rasa jerinya seketika lenyap, segera ia menubruk maju, kebutnya terus
menyabet kepala Siao-Iiong-li.
Dalam keadaan demikian kalau Siao-liong-li
mengangkat tangan untuk menangkis, serentak tenaga dalamnya akan terguncang dan
bisa binasa seketika dengan muntah darah, sebaliknya kalau serangan itu tidak
ditangkis, maka batok kepalanya juga pasti akan hancur.
Syukurlah pada saat itulah mendadak Yo Ko
membuka mulut dan meniup hawa ke muka Li Bok-chiu, sebenarnya tiupan hawa ini
sama sekali tidak bertenaga, tapi Li Bok-chiu tahu si Yo Ko banyak tipu
akalnya, ketika mendadak mukanya terasa hangat oleh hawa yang disebul anak muda
itu, ia kaget dan lekas melompat mundur, Ketika merasa muka tiada sesuatu
kelainan barulah ia tahu tertipu, segera ia mcmbentak: “Kau cari mampus ya.”
“”Eh, baju yang kupinjamkan padamu tempo hari
itu, apakah sekarang kau bawa untuk dikembalikan padaku?”
tanya Yo Ko dengan
tertawa.
Li Bok-chiu jadi teringat waktu bertempur
melawan Pang Bik-hong, pakaiannya terbakar oleh palu si pandai besi- tua yang
berapi itu, kalau Yo Ko tidak menanggalkan jubahnya untuk dia, maka pasti akan
telanjang dan malu, sepantasnya kalau mengingat pemberian jubah itu dahulu tidak
seharusnya dia mencelakai jiwa Yo Ko sekarang, tapi jika hatinya sedikit lunak,
bahaya dikemudian hari tentu sukar dibayangkan.
Segera ia menubruk maju, tangan kirinya
menghantam pula.
Dalam keadaan kepepet tiba-tiba Yo Ko
mendapat akal, sekonyong-konyong dia berjungkir dengan kedua kaki di atas dan
kepala di bawah, sekali kakinya memancal, sepatu dan kaos kaki lantas terlepas
serunya: “Liong-ji, pegang kakiku!” -
Berbareog itu sebelah tangannya terus
dipukulkan untuk memapak hantaman Li Bok-chiu tadi. Dalam pada itu
Siao-liong-li juga telah memegang kaki Yo Ko.
Meski Ngo-tok-sin-ciang yang lihay itu
diperoleh dari Auyang Hong, tapi ilmu menjungkir berasal dari Kiu-im-Cin-keng
yang merupakan kepandaian khas Auyang Hong ini tidak pernah dilihat Li-Bok-chiu,
ia terkejut menyaksikan perbuatan Yo Ko yang aneh itu, ia mengerahkan tenaga
sekuat-nya dan ingin membinasakan lawan selekasnya, seketika Yo Ko merasakan
arus hawa panas menerjang dari telapak tangan musuh, tergerak pikirannya, sama
sekali ia tidak menahan tenaga lawan itu, sebaliknya tenaga sendiri malah
ditambahkan pada tenaga musuh dan disalurkan seluruhnya ke tubuh Siao-liong-li.
Dengan demikian jadinya Li Bok-chiu
seakan-akan membantu Yo Ko menerobos Hiat-to dan urat nadi Siao-liong-li.
Walapun apa yang dipelajari Li Bok-chiu tidak seluas Yo Ko berdua, tapi bicara
tentang kekuatan sendiri, karena sudah berlatih berpuluh tahun lamanya, dengan
sendirinya bukan main lihaynya.
Siao-liong-li mendadak merasakan suatu arus
tenaga maha kuat menerjang tiba, Tam-tiong hiat seketika diterobos tembus,
napas terasa lancar, hawa panas yang tadinya macet di dada seketika tersalur ke
bagian perut, semangat terasa segar, serentak ia bersorak: “Aha, terima kasih,
Suci!” Segera ia melepaskan kaki Yo Ko dan melompat turun dari dipan kemala
dingin.
Tentu saja Li Bok-chiu melengak, Tadinya ia
mengira Siao liong-li yang sedang membantu menyembuhkan Yo Ko, sebab ituIah ia
mengerahkan tenaga sekuatnya dengan maksud merontokkan urat nadi Yo Ko, siapa
tahu tanpa sengaja malah telah membantu pihak lawan.
Yo Ko juga sangat girang, sekuatnya ia
menolak mundur musuh, lalu ia melompat bangun dan berdiri dengan kaki
telanjang, katanya dengan tertawa: “Kalau engkau tidak keburu datang
membantuku. sungguh sulit menerobos Tam-Tiong hiat Sumoay mu.”
Belum lagi Li Bok-chiu menja-wab, tiba-tiba
Siao liong-!i menjerit sambil memegangi ulu hatinya terus jatuh ke atas dipan
pula..
“He, ada apa?” tanya Yo Ko kuatir.
“Dia… dia… tangannya
beracun!” ucap Siao-liong-Ii dengan ter putus2.
Yo Ko sendiri juga
lantas merasakan kepala rada pusing, Rupanya tanpa disadarinya ketika tangan
beradu tangan tadi racun pukulan berbisa Li Bok-chiu telah menyalur ke tubuh
anak muda itu dan terus merembes pula ke tubuh Siao-liong-li.
“Serahkan obat
penawarnya!” bentak Yo Ko segera sambil angkat Hian-tiat-pokiam, pedang pusaka
yang maha berat itu.
Habis itu pedangnya
terus membacok “Trang”, Li Bok-chiu menangkis dengan kebutnya, akan tetapi
batang kebutnya yang terbuat dari baja itu kontan terkutung mendjadi dua, tangan
juga tergetar hingga lecet dan sakit.
Kebut yang pernah
merontokkan nyali tokoh dunia persilatan itu ternyata sekali tabas saja telah
dihancurkan lawan, sungguh kejadian ini membuatnya terkejut luar biasa,
lekas-lekas ia melompat keluar kamar batu itu.
Segera Yo Ko mengejar,
tampaknya sudah dekat dan baru pedangnya disodorkan ke depan dan Li Bok-chiu
pasti tidak dapat menangkisnya, siapa tahu racun yang sudah bersarang dalam
tubuhnya itu mendadak bekerja, matanya menjadi berkunang-kunang dan tangan terasa
lemas, “trang”, pedang jatuh ke tanah.
Li Bok-chiu tidak berani
berhenti, ia melompat jauh ke depan, habis itu baru menoleh, dilihatnya Yo Ko
terhuyung-huyung sambil berpegangan dinding, tampaknya sekuatnya sedang menahan
serangan racun dalam tubuh.
Merasa bukan tandingan
anak muda itu, Li-Bok-chiu tak berani mendekatinya, ia pikir tunggu saja
sementara, nanti kalau anak muda itu sudah roboh. barulah kudekati dia.
Tenggorokan Yo Ko terasa
kering, kepala, serasa mau pecah, sekuatnya ia kumpulkan tenaga pada tangan
kiri, kalau Li Bok-chiu mendekat, segera ia hendak membinasakannya dengan
sekali hantam. Tapi lawan, itu sungguh licik dan tetap berdiri di sana.
Akhirnya Yo Ko harus
ambil keputusan, ia pikir semakin lama tentu semakin meluas racun yang mengeram
di tubuhnya dan tambah menguntungkan pihak musuh, Sekuatnya ia menarik napas
segar, habis itu mendadak ia melompat balik ke sana dan merangkul pinggang
Siao-liong-li, dengan ujung pedang ia cungkit bungkusan di atas meja, lalu
melangkah keluar sambil membentak: “Minggir!” .
Melihat perbawa Yo Ko
itu, Li Bok-chiu ternyata tidak berani mengadangnya, Yang diharapkan Yo Ko
sekarang adalah mencari suatu kamar batu yang dapat ditutup rapat sehingga
untuk sementara Li Bok-chiu tidak mampu masuk mengganggu-nya, dengan begitu
mereka dapat berusaha mendesak keluar kadar racun yang berada dalam tubuhnya.
Cara mengusir racun ini
jauh lebih mudah daripada cara penyembuhan Siao-Iiong Ii tadi, waktu kecilnya
Yo Ko sudah pernah kena racun jarum Li Bok chiu dan mendapat pertolongan Auyang
Hong, sekarang kepandaiannya sedemikian tinggi, begitu pula Hiat-to
Siao-Iiong-li juga sudah lancar, tentu tidak sulit mengeluarkan racun dalam
tubuh asalkan tidak direcoki Li Bok-chiu.
Li Bok chiu juga tahu
maksud tujuan Yo Ko ketika melihat anak muda, itu menerjang keluar dengan
membopong Siao-liong li dengan sendirinya ia tidak membiarkan Yo Ko mencapai
tujuannya, cuma ia tidak berani mendekat dan menyerang, ia terus menguntit saja
dari belakang dalam jarak dua-tiga meter jauhnya.
Bila Yo Ko berhenti dan
menunggu dia mendekat, dia justeru berhenti juga dan menunggu.
Yo Ko merasa debar
jantungnya semakin keras dan tak sanggup bertahan lagi, dengan sempoyongan ia
berlari masuk sebuah kamar dan mendudukkan Siao liog- li di atas meja batu, ia
sendiri lantas terengah-engah sambil berpegang tepi meja tanpa menghiraukan Li
Bok-chiu tetap mengintil dibelakang.
Karena Li Bok chiu juga
pernah tinggal di dalam kuburan kuno ini, meski ketajamannya memandang di
tempat gelap tidak sebaik Yo Ko berdua, tapi iapun dapat melihat jelas bahwa di
kamar itu berjajar lima buah peti mati.
“Suhu benar-benar pilih
kasih, selamanya aku tidak diberitahu tempat-tempat rahasia seperti ini,
kiranya di sini ada lima buah peti mati,” demikian Li Bok-chiu berpikir, ia tidak
tahu bahwa kamar ini adalah makam guru dan kakek gurunya.
Selama hidup Li Bok-chiu
telah membunuh orang tak terbilang jumlahnya, maka tentang peti mati, mayat dan
sebagainya tidak membuatnya heran. Diam-diam iapun bergirang melihat keadaan Yo
Ko yang sudah payah itu, ia lantas menyindir “Hehe, tempat pilihanmu ini
sungguh bagus sekali sebagai kuburanmu.”
Pandangan Nyo Kb
sebenarnya sudah samar-samar, mendengar ucapan Li Bok-chiu itu, ia coba
meng-amat-amati kamar itu, ternyata tangannya bukan menahan di atas meja batu
segala melainkan sebuah peti mati batu, jadi Siao-liong-li juga berduduk di
atas peti batu.
Tanpa terasa ia merasa
ngeri, pikirnya: “Tempo hari Liong-ji ingin aku mati bersamanya di sini,
sekuatnya aku melarikan diri, siapa tahu akhirnya kami mati juga di sini,
mungkin memang sudah suratan nasib dan takdir ilahi.”
Keadaan Siao-liong-li
juga lemah dan setengah sadar, tapi samar-samar iapun mengetahui dirinya berada
di samping peti mati sang guru, Teringat bahwa dirinya sudah berdekatan dengan
gurunya, hatinya terasa lega, ia menghela napas panjang seakan-akan orang yang
pergi jauh baru pulang kampung halaman dengan aman.
Begitulah mereka bertiga
diam, seorang berdiri dan seorang berduduk, seorang lagi setengah bersandar
kecuali suara hembusan napas tiada terdengar suara lain di kamar batu itu.
“Andaikan aku dan
Liong-ji harus mati sekarang, sebisanya harus kucegah agar iblis ini tidak
mendapatkan kitab pusaka ini dan berbuat lebih jahat lagi dunia luar,” demikian
pikir Nyo Ko.
Tiba-tiba ia mendapat
satu akal, ia tahu di antara lima buah peti mati batu itu tiga diantaranya
sudah terisi, yaitu jenazah Lim Tiau-eng dan muridnya serta Sun-popoh, dua peti
lainnya masih kosong dan tersedia bagi Siao-liong-li dan Li Bok-chiu.
Tutup kedua peti mati
yang kosong itu belum dirapatkan dan masih terlihat celah selebar satu meteran.
mendadak Nyo Ko angkat pedangnya dan mencukil bungkusan berisi Giok-li-sim-keng
itu sehingga mencelat ke dalam satu peti yang kosong itu, berbareng iapun
membentak: “Hm, keparat betapapun kitab
pusaka ini takkan kuserahkan padamu, aduuh…” tiba-tiba ia menjerit terus roboh.
Li Bok-chiu terkejut dan
bergirang, ia kuatir jangan-jangan Yo Ko hendak memancingnya, maka dia menunggu
sejenak, ketika melihat anak muda itu sama sekali tidak bergerak lagi barulah
ia mendekatinya dan coba meraba mukanya, rasanya dingin dan jelas sudah mati.
“Hahaha, betapapun licik
dan licinmu, akhirnya kau mampus juga!” serunya kemudian sambil berbahak, lalu
ia mendekati peti batu dan menjulurkan tangan dengan maksud hendak mengambil
bungkusan yang terlempar ke dalam peti tadi.
Namun bungkusan itu oleh
Yo Ko ternyata dilemparkan ke ujung peti yang tertutup sana, Kebut Li Bok-chiu
sudah putus, kalau tidak tentu ujung kebut dapat digunakan untuk meraih
sebisanya ia mengulur tangan dan me raba-raba, namun hasilnya tetap nihil,
Akhirnya ia tidak sabar, ia terus menyusup ke dalam peti, dengan begitu barulah
bungkusan itu dapat dipegangnya.
Akan tetapi pada saat
itulah Yo Ko berbangkit tangan kirinya mendorong sekuatnya, kontan tutup peti
itu terus merapat, seketika Li Bok-chiu terkurung di dalam peti batu itu.
Kiranya jatuh dan
jeritan Yo Ko tadi cuma pura-pura saja, serentak ia nembikin ruwet denyut
nadinya sehingga mukanya menjadi dingin laksana orang mati. Padahal orang mati
sebagaimanapun tidak mungkin jasadnya lantas kaku dingin seketika, untuk itu
sedikitnya makan waktu setengah jam.
Tapi rupanya saking
girangnya Li Bok-chiu menjadi kurang teliti dan terjebak oleh akal Yo Ko.
Begitu Li Bok-chiu sudah
terpancing masuk peti dan ditutup rapat, segera Yo Ko menggunakan pedangnya
untuk menyungkit sekuatnya peti mati kosong satunya lagi untuk ditindihkan di
atasnya, dengan demikian, berat tutup ditambah peti batu sedikitnya setengah
ton, betapapun tak bisa keluar biarpun memiliki kepandaian setinggi langit.
Yo Ko sendiri sebenarnya
dalam keadaan payah hanya terdorong oleh tekad ingin bertahan sampai detik
terakhir, maka sekuatnya ia, mcncungkit peti batu tadi, habis itu ia
benar-benar kehabisan tenaga, pedang dilemparkan kelantai, dengan sempoyongan
ia mendekati Siao-liong-li, lebih dulu ia menggunakan ilmu ajaran Auyang Hong
dahulu untuk menguras keluar sebagian racun dalam tubuh sendiri, habis itu
barulah ia menempelkan tangan sendiri pada tangan Siao liong li untuk bantu
penyembuhan nona itu.
Sementara itu Kwe Hu dan Yalu Ce
berlima sedang kelabakan terkurung di kamar batu itu.
Mereka sama duduk dilantai tanpa berdaya,
semakin dipikir semakin mendongkol dan penasaran tiada hentinya Bu Sam-thong
mencaci maki Li
Bok chiu yang kejam itu.
Dalam keadaan gelisah, Kwe Hu
menjadi sebal mendengar makian Bu Sam-thong yang tiada berhenti itu, tanpa
pikir ia berkata padanya: “Bu-pepek kekejian perempuan she Li itu kan sudah lama kau
ketahui, apa gunanya sekarang kau mencaci maki dia?”
Bu Sam-thong melengak dan tak
bisa menjawab, sebaliknya Bu Siu-bun menjadi marah karena ayahnya diomeli si
nona, segera ia menanggapi “Kedatangan kita ke kuburan ini kan demi menolong adikmu, kalau tidak
beruntung mengalami kesukaran, biarlah
kita mati bersama saja, kenapa kau marah-marah segala…”
“Diam, adik Bun!” cepat Bu Tun-si menghardik
sehingga Siu-bun tidak melanjutkan ucapannya.
Ucapan Siu-bun itu sebenarnya cuma terdorong
oleh ingin membela sang ayah saja, begitu tercetus katanya itu, segera ia
sendiripun merasa heran. Padahal biasanya dia sangat penurut kepada Kwe Hu,
malahan se-dapat2nya ia ingin mengerjakan apapun bagi si nona, mana berani dia
berbantah dengan dia, siapa tahu sekarang dia ternyata berani menjawabnya
dengan sama kerasnya.
Kwe Hu juga melenggong karena tidak pernah
menyangka si Bu cilik berani berbantah dengan dia, ingin dia bicara lagi, tapi
rasanya tiada sesuatu alasan kuat yang dapat dikemukannya, Teringat bahwa
dirinya akan mati terkurung di kuburan kuno ini dan takkan bertemu lagi
selamanya dengan ayah bunda, ia menjadi sedih dan mcnangis.
Dalam kegelapan dan tidak dapat memandang
keadaan sekitarnya, tanpa terasa ia mendekap di atas sesuatu dan menangislah
dia terguguk-guguk.
Mendadak si nona menangis, Siu-bun merasa
tidak enak, katanya: “Baiklah, aku mengaku salah, biarlah kuminta maaf padamu.”
“Apa gunanya minta maaf!” jawab Kwe Hu
dan tangisnya semakin menjadi sekenanya ia tarik sepotong kain untuk mengusap
ingusnya, tapi mendadak disadarinya ternyata..dia mendekap di atas paha seorang
dan kain yang dibuat mengusap ingus itu kiranya ujung baju orang itu.
Dengan terkejut cepat Kwe Hu menegakkan
tubuhnya, dari persiapan Bu Sam-thong dan kedua anaknya tadi, jelas mereka
bertiga duduk di sebelah sana, hanya Yalu Ce saja yang berdiam tanpa bersuara,
jelas orang ini adalah dia.
Keruan Kwe Hu menjadi malu.
“Aku….aku….”, katanya dengan tersipu-sipu.
Pada saat itulah tiba-tiba Yalu Ce
berkata: “He, dengarkan, suara apakah itu?”
Waktu mereka pasang kuping yang cermat,
ternyata tiada mendengar sesuatu, Tapi Yalu Ce berkata pula: “Ehm, itukah suara
tangisan anak kecil, nona Kwe, pasti suara adikmu itu.”
Karena teraling oleh dinding batu, suara itu
sangat halus kalau bukan indera pendengaran Yalu Ce sangat tajam pasti tidak
mendengarnya. Cepat ia berbangkit dan melangkah ke sana, tapi suara itu lantas
terdengar Iemah, ia coba membalik ke sebelah lain, ternyata suara itu tambah
jelas, Segera ia menuju ke ujung sana, ia gunakan pedangnya untuk menusuk dan
mencungkil pelahan, terdengar suaranya agak lain.
agaknya dinding di situ rada tipis.
Segera ia menyimpan pedangnya, kedua
tangannya coba menahan di dinding batu itu dan didorongnya, namun tidak
bergeming sedikitpun. Ia coba ganti haluan, ia menarik “napas kuat-kuat, lalu
kedua tangan menolak pula, menyusul terus aipomir daya tarik dengan gaya
“lengket” mendadak “blang”
satu kali. sepotong batu kena ditarik lepas
oleh tenaga sedotan tangannya dan jatuh ke lantai.
Tentu saja Kwe Hu dan lain sangat girang,
sambil bersorak mereka terus memburu maju dan ikut menarik dan membongkar,
sebentar saja beberapa potong batu kena dilepaskan pula dan kini sebuah lubang
sudah cukup digunakan untuk menerobos. Ber-turut-urut mereka lantas menerobos
ke -sana, Kwe Hu terus mencari dengan mengikuti arah suara, akhirnya mereka
sampai di suatu kamar batu yang kecil, dalam kegelapan suara tangisan anak itu
terdengar sangat keras, cepat Kwe Hu mendorongnya.
Bayi itu memang betul Kwe Yang adanya, Demi
menyembuhkan Siao liong-li, pula harus menempur Li Bok-chiu, maka Yo Ko tidak
sempat menyuap orok itu, karena lapar, anak itu menangis sejadinya.
Kwe Hu berusaha meminang dan membujuki tapi
saking kelaparan, bukannya diam, sebaliknya tangis Kwe Yang semakin keras.
Akhirnya Kwe Hu menjadi tidak sabar dan
menyodorkan kepada Bu Sam-thong, katanya: “Paman Bu, coba kau memeriksanya
apakah ada sesuatu yang tidak beres.”
Dalam pada itu Yalu Ce sedang meraba-raba
ke-sana kemari, akhirnya di atas meja dapat ditemukan sebuah Caktay (tatakan
lilin), menyusul teraba pula batu api dan alat ketiknya, setelah membuat api
dan menyulut lilin, seketika pandangan semua orang terbeliak. setelah terkurung
di tempat gelap sekian lamanya, baru sekarang dada mereka merasa lapang oleh
cahaya terang.
Betapapun Bu Sam-thong adalah orang tua yang berpengalaman
dari suara tangisan Kwe Yang itu, ia tahu anak ini pasti merasa lapar,
Dilihatnya di atas meja ada setengah mangkuk air madu, pula sebuah sendok kayu
kecil, segera ia menyuapi anak itu
dengan air madu dengan sedikit2. Benar saja, begitu air masuk mulutnya, Kwe
Yang lantas berhenti menangis.
“Kalau nona Kwe cilik ini tidak menangis
kelaparan, mungkin kita akan mati semua di kamar batu itu,” ujar Yalu Ce
dengan tertawa.
“Segera kita pergi mencari jahanam Li Bok-chiu.”
kata Bu Sam-thong dengan penuh dendam.
Mereka masing-masing lantas memotong kaki
kunsi untuk digunakan sebagai obor, lalu menyusun Iorong2, setiap ada pengkolan
Bu Tun si lantas memberi tanda dengan ujung pedang agar nanti kembalinya tidak
tersesat.
Begitulah mereka terus mencari jejak Li Bok-chiu
dari sebuah ruangan ke ruangan yang lain. Rupanya dahulu Ong Tiong-yang gagal
memimpin pasukannya melawan pasukan Kim,
lalu dia dan anak buahnya membangun kuburan raksasa ini di lereng Cong-Iam-san
ini sebagai tempat tirakatnya.
Sudah tentu Yalu Ce
dan lain- sama terheran-heran melihat betapa luasnya kuburan ini, sungguh tak
tersangka bahwa dibawah sungai kecil itu terdapat bangunan raksasa begitu.
Ketika mereka sampai di kamar Siao-Iiong-li
tertampak kebut Li Bok-chiu yang putus itu berserakan di lantai, di samping
sana ada pula dua jarum perak milik Li Bok-chiu, Kwe Hu membungkus tangannya
dan menjemput jarum itu, katanya dengan tertawa: “Sebentar akupun gunakan jarum
berbisa ini untuk balas menusuk iblis keparat itu.”
Dalam pada itu Yo Ko sedang bantu mendesak
keluar racun dalam tubuh Siao-Iiong li, dari jari si nona telah merembes keluar
air hitam, asal setanakan nasi lagi mungkin usahanya, akan berhasil Pada saat
itulah tiba-tiba dari lorong sana ada suara undakan orang, seluruhnya ada lima
orang sedang mendatangi.
Diam-diam Yo Ko terkejut, dalam keadaan
genting begitu, andaikan diserang seorang Li Bok-chiu saja sukar melawannya,
apalagi sekarang musuh berjumlah lima orang.
Selagi bingung dan gelisah, mendadak terlihat
cahaya api berkelebat di kejauhan, kelima orang itu sudah semakin dekat.
Tanpa pikir Yo Ko rangkul Siao-liong-li dan
melompat masuk ke dalam peti batu yang menindih di atas Li Bok-chiu itu, lalu
ia menggeser sekuatnya tutup peti, hanya saja tidak dirapatkan agar nanti tidak
mengalami kesukaran jika hendak keluar.
Baru saja mereka
sembunyi di dalam peti batu, serentak Yalu Ce berlima lantas masuk juga ke
kamar itu. Mereka terkesiap melihat di kamar itu ditaruh lima buah peti mati,
samar-samar mereka merasakan hal ini sungguh teramat kebetulan, mereka berlima
dan jumlah peti mati di situ juga lima, sungguh alamat jelek.
Tanpa terasa Kwe Hu
bergumam: “Hm, kita berlima peti mati inipun lima!”
Yo Ko dan Siao-Iiong-Ii
dapat mendengar suara Kwe Hu itu, mereka sama heran bahwa yang datang ini di
antaranya ternyata nona Kwe ini.
Yalu Ce juga mendengar
di dalam peti itu ada suara napas orang, ia pikir pasti Li Bok-cbiu yang
sembunyi di situ, Segera ia memberi tanda agar kawannya mengelilingi peti itu.
Dari sela-sela peti yang
belum tertutup rapat itu samar-samar Kwe Hu dapat melihat ujung baju orang yang
sembunyi di dalamnya, ia yakin orang itu pasti Li Bok-chiu adanya, Dengan
tertawa ia lantas membentak: “lnilah senjata makan tuan!” Sekali ia dorong
tutup peti, berbareng dua buah jarum berbisa yang dijemputnya tadi terus
disambitkan kedalam.
Meski Yo Ko sembunyi di
dalam peti dengan merangkul Siao-liong-li, tapi tangan kirinya tetap menempel
tangan kanan nona itu dan berusaha menguras bersih racun melalui tubuhnya dalam
waktu singkat yang menentukan mati-hidup mereka itu.
Walaupun heran ketika
mendengar antara pendatang2, itu juga terdapat Kwe Hu, tapi hatinya merasa lega
juga karena yang datang itu bukan musuh.
Sudah tentu tak
disangkanya pula bahwa mendadak Kwe Hu akan menyerangnya, maka dengan diam saja
meneruskan penyembuhannya pada Siao liong-it dengan tekun, Siapa tahu Kwe Hu
justeru menyangka mereka sebagai Li Bok-chiu dan menyerang dengan jarum
berbisa. Karena jaraknya sangat dekat, di dalam peti itupun sukar bergerak
tiada peluang untuk menghindar, seketika Yo Ko berdua menjerit, jarum yang satu
mengenai paha kanan anak muda itu dan jarum lain mengenai bahu kiri
Siao-liong-Ii..
Setelah menyambitkan
jarum, hati Kwe Hu sangat senang, tapi mendadak terdengar suara jeritan lelaki
dan perempuan di dalam peti, seketika iapun menjerit kaget, Segera Yalu Ce
mendepak tutup peti itu hingga terjatuh ke tantai, dengan pelahan Yo Ko dan Siao-Iiong-Ii lantas
berdih, di bawah cahaya obor tertampak muka mereka pucat pasi dan saling
pandang dengan pedih.
Kwe Hu sendiri belum
menyadari kesalahan yang diperbuatnya sekali ini jauh lebih hebat daripada
mengutungi sebelah lengan Yo Ko, dia cuma merasa menyesal saja dan coba meminta
maaf, ka-tanya: “Nyo-toako dan Liong-cici, kiranya engkau yang berada di situ
sehingga kusalah melukai kalian, untunglah ibuku menyimpan obat mujarab penawar
racun jarum ini, dahulu dua ekor rajawaliku juga pernah terluka oleh jarum ini
dan dapat disembuhkan oleh ibuku.
Aneh juga, mengapa
kalian sembunyi di dalam peti? Tentu saja aku tidak menyangka akan kalian?”
Kiranya urusan
membuntungi lengan Yo Ko itu sudah selesai dengan dibengkokkan pedangnya oleh
oleh anak muda itu tempo hari, apalagi ayah bundanya juga sudah cukup
mencaci-makinya habis-habis an, maka dalam anggapan Kwe Hu: “Biarlah takkan
kusalahkan kau dan anggap beres persoalan ini.”
Demikianlah jalan
pikiran nona manja macam Kwe Hu ini, selama hidupnya selalu disanjung orang,
lantaran menghormati ayah-ibunya, maka orang lain juga suka menghormat dan
mengalah padanya, sebab itulah segala urusan yg terpikir selalu dirinya sendiri
yang diutamakan dan jarang memikirkan kepentingan orang lain, Dari nada
ucapannya tadi malahan akhirnya seakan-akan anggap salah sendiri Yo Ko berdua
yang sembunyi di dalam peti batu itu’sehingr: ga membuatnya kaget malah.
Mana dia mau tahu bahwa
tatkala terkena sambitan jarumnya itu, ketika itu kadar racun dalam tubuh
Siao-iiong-li justeru sedang mengalif keluar, tapi mendadak terguncang oleh
serangan dari luar sehingga seluruh racun itu mengalir balik merasuk segenap
Hiat-to di tubuh nona itu, dengan demikian sekalipun ada obat mujarab malaikat
dewata juga sukar menolongnya lagi.
Sesaat itu Siao-liong-Ii
merasa dadanya seperti kosong melompong, hampa dan linglung, ia menoleh dan
melihat sorot mata si Yo Ko penuh rasa duka, gemas dan penasaran, tubuhnya juga
gemetaran seakan-akan segenap siksa derita yang pernah dialami nya hendak
dilampiaskannya sekarang juga.
Siao-liong-li tidak tega
melihat kepedihan hati anak muda itu dan kuatir dia bertindak nekad, cepat ia
menghiburnya:
“Ko-ji, agaknya sudah
suratan nasib kita harus begini, janganlah kau salahkan, orang lain dan
bersedih.”
Lebih dulu ia mencabut
jarum di paha anak muda itu, lalu mencabut jarum yang menancap di bahu sendiri,
jarum berbisa itu berasal dari perguruannya dan berbeda daripada racun pukulan
berbisa ajaran Auyang Hong, jadi dapat disembuhkan dengan obat perguruan yang
selalu dibawanya.
Segera ia mengeluarkan
satu biji obat kepada Yo Ko, lalu ia sendiripun minum satu biji.
Hati Yo Ko tak
terperikan pedih dari gemas-nya, “berrrr”, ia menyemburkan obat penawar itu ke
tanah.
Kwe Hu jadi gusar,
serunya: “Aduh, besar amat lagakmu!,Memangnya aku sengaja hendak membikin
celaka kalian? Kan sudah kuminta maaf pada-mu, mengapa kau masih marah-marah
saja?”
Dari air muka Yo Ko yang
penuh rasa duka nestapa, lalu rasa gusarnya semakin memuncak serta menjemput
kembali pedangnya yang ke-hitam-hitaman itu, Bu Sam-thong tabu gelagat bisa
runyam, maka cepat ia menghibur anak muda itu:
“Janganlah marah adik
Nyo, soalnya kami berlima terkurung oleh iblis she Li itu di kamar batu sana
dan dengan susah payah akhirnya berhasil lolos, karena kecerobohan nona Kwe
sehingga dia…”
“Mengapa kau anggap aku
yang ceroboh?” sela Kwe Hu mendadak, “Salah siapa dia sembunyi di situ dan diam
saja, malahan kau sendiripun mengira dia Li Bok chiu:”
Bu Sam-thong menjadi serba salah, ia pandang
NyoKo dan pandang pula Kwe Hu dengan bingung.
Siao liong-li lantas mengeluarkan pula satu
butir obatnya, katanya dengan suara lembut: “Ko-ji, minumlah obat ini.
Masakah perkataanku juga tak-kan kau turut?”
Tanpa pikir Yo Ko lantas minum obat itui
Suara Siao-liong-Ii yang lembut dan penuh kasih sayang itu
mengingatkannya selama ber-hari-hari ini
mereka berdua senantiasa bergulat antara mati dan hidup, tapi akhirnya semua
harapannya telah buyar, sungguh sedihnya tak terkatakan, ia tidak tahan lagi,
ia mendekap di atas peti batu itu dan menangis keras-keras.
Bu Sam-thong dan lain-lain saling pandang
dengan bingung,- biasanya hati Yo Ko sangat terbukaj menghadapi urusan apapun
tidak mudah menyerah, mengapa sekarang cuma terkena sebuah jarum saja lantas
menangis sedih begitu?
Dengan pelahan Siao-”iong-li membelai rambut
Yo Ko, katanya: “Ko-ji, boleh kau suruh mereka itu pergi saja, aku tidak akan
kumpul bersama mereka.”
Selamanya Siao-liongli tidak pernah bicara
keras, kalimat “aku tidak suka berkumpul bersama mereka” sudah cukup
menunjukkan rasa jemu dan marahnya, Segera Yo Ko berbangkit dimulai dari Kwe
Hu, sorot matanya terus menyapu setiap orang itu, biarpun marah dan gemas, tapi
iapun tahu bahwa serangan Kwe Hu tadi sesungguhnya tidaklah sengaja, kecuali
ceroboh, rasanya tiada kesalahan lain, apalagi seumpama nona itu dibunuh juga
tak-dapat lagi menyelamatkan jiwa Siao-liong-li.
Begitulah Nya Ko berdiri dengan sinar mata
berapi dan menghunus pedang, mendadak pedangnya membacok sekuatnya, “trang”,
tahu-tahu peti batu yang dibuatnya sembunyi tadi telah ditabasnya menjadi dua
potong, bukan saja tenaganya maha kuat bacokannya itu, bahkan mengandung penuh
rasa duka dan marah, Yalu Ce dan lain-2 sama melenggong melihat betapa
dahsyatnya pedang Yo Ko itu, Padahal peti batu itu tebal dan kuat, tapi sekali
bacok saja pedang ke-hitam-hitaman itu ternyata mampu memotongnya, bahkan jauh
lebih mudah memotong sebuah peti mati kayu.
Melihat kelima orang itu saling pandang
dengan bingung Yo Ko lantas membentak dengan bengis.
“Untuk apa kalian datang ke sini?”
“Adik Nyo, kami ikut Kwe-hujin ke sini untuk
mencari kau,” jawab Sam-thong
“Hm, kalian ingin merebut kembali puterinya
betul tidak?” bentak Yo Ko pula dengan gusar.
“Demi anak kecil ini, kalian tega menewaskan
isteri kesayanganku.”
“lsteri kesayanganmu?” Sam-thong menegas, “O
ya, nona Liong ini! Dia terkena racun jarunr untung Kwe hujin mempunyai obat
penawarnya, beliau sedang menunggu diluar sana.”
“Huh, kalau ada Kwe-hujin lantas bisa apa?
Memangnya dia mempunyai kepandaian menghidupkan orang yang jelas pasti akan
mati?” jengek Yo Ko dengan gusar.
“Justeru gangguan kedatangan kalian serta
jarum berbisa tadi, kadar racun sudah mengeram di segenap Hiat-to penting
tubuhnya,”
Lantaran utang budi, maka Bu Sam-thong sangat
hormat dan segan kepada Yo Ko, biarpun didamperat juga diterimanya, ia
menggumam kaget: “Kadar racun telah mengeram di tubuhnya? Wah lantas bagaimana
baiknya?”
Ternyata Kwe Hu tidak menyadari kesalahannya.
sebaliknya ia menjadi marah karena ucapan Yo
Ko tadi kurang menghormat pada ibunya, dengan gusar ia lantas membentak:
“Memangnya salah apa ibuku padamu? Waktu kecil kau terluntang Iantung seperti
orang gelandangan, bukankah ibu yang membawa kau ke rumah, diberi makan dan
diberi baju, tapi kau justeru lupa budi dan tak tahu diri, malah mau menculik
adik perempuanku.”
Padahal sekarang iapun tahu jelas sebabnya
Kwe Yang berada di tangan Yo Ko bukanlah karena anak muda itu bermaksud jahat,
soalnya dia telah telanjur mengomel maka
segala apa yang dapat mencemoohkan Yo Ko lantas diucapkannya.
Yo Ko lantas mendengus pula: “Hm, memang aku
sengata lupa budi dan tidak tahu diri, kau menuduh kuculik adikmu, maka
benar-benar akan kuculik anak ini dan takkan kukembalikan selamanya, ingin
kulihat kau dapat mengapakan diriku?”
Karena ancaman itu, segera Kwe Hu memondong
adiknya dengan kencang, tangan lain memegang obor dan diacungkan ke depan, Bu
Sam-thong berseru: “Adik Nyo, jika isterimu keracunan, sebaiknya lekas berusaha
menolongnya “
“Tak berguna lagi, Bu-heng.” kata Yo Ko
dengan pedih, mendadak ia bersuit panjang,” lengan baju kanannya terus
mengebas.
Seketika Kwe Hu dan kedua saudara Bu
mera-sakan angin keras menyamber, muka mereka panas pedas seperti tcrsayat,
lima buah obor padam serentak dan keadaan menjadi gelap gulita.
“Celaka!” jerit Kwe Hu. Kuatir nona itu
dicelakai Yo Ko, cepat Yelu Ce menubruk maju, Tapi lantas terdengar pekik
tangis Kwe Yang, suaranya sudah berada di luar kamar sana.
Keruan semua orang terkejut, ketika mereka
menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu suara tangisan tadi sudah berada sejauh
ratusan meter, betapa cepat gerakan Yo Ko itu sungguh laksana hantu saja.
“Adik telah dirampas lagi olehnya,” seru Kwe
Hu cemas.
“Adik Nyo! Nona Liong!” berulang-ulang Bu
Sam, thong memanggil Akan tetapi tiada sesuatu jawaban.
“Lekas keluar, jangan sampai kita terkurung
di sini,” seru Yalu Ce.
Dengan gusar Bu Sam-thong berkata: “Adik Nyo
adalah orang berbudi, manabisa dia berbuat demikian,”
“Lebih baik lekas keluar, buat apa tinggal di
sini?” ujar Kwe Hu. Baru habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara “kxek-krek”
beberapa kali, suara itu timbul dari peti mati itu. Cuma teraling oleh tutup
peti sehingga suaranya kedengaran agak tersumbat dan seram.
“Ada setan!” teriak Kwe
Hu sambil memegangi tangan Yalu Ce.
Dengan jelas Bu
Sam-thong dan lain-lain juga mendengar suara itu keluar dari peti mati itu
seakan2 ada mayat hidup akan merangkak keluar, keruan mereka sama merinding.
Yalu Ce berbisik pada Bu
Sam-thong: “Bu-siok-siok, kau jaga di situ dan aku di sini, jika mayat hidup
itu keluar, serentak kita menghantam-nya, mustahil dia takkan hancur luluh.”
Berbareng itu ia tarik
Kwe Hu ke belakangnya agar tidak dicelakai setan yang mendadak muncul.
Pada saat itulah,
“blang”, terdengar suara keras, dari dalam peti mati mendadak melayang keluar
sesuatu, serentak Yalu Ce dan Bu Sam-thong memukulkan tangan-angan mereka, Tapi
begitu tangan menyentuh benda itu, berbareng mereka berseru: “Celaka!” -
Kiranya benda yang kena hantam itu
adalah sepotong batu, yaitu bantalan batu didalam peti mati itu.
Kontan bantal batu itu
hancur membentur peti batu, hampir pada saat yang sama sesuatu benda melayang
lewat puIa, baru saja Yalu Ce dan Bu Sam-thong hendak memukuI, namun benda itu
sudah melayang jauh ke sana, terdengar suara tertawa orang mengekek, lalu
lenyap dan sunyi kembali.
“He, Li Bok-chiu.” seru Sam-thong kaget.
“Bukan, tapi mayat hidup!” ujar Kwe Hu.
“Mana bisa Li Bok-chiu berada di dalam peti
mati ini.”.
Yalu Ce tidak ikut menanggapi, ia tidak
percaya di dunia ini ada setan segala, tapi bilang Li Bok-chiu rasanya juga
tidak masuk diakal Jelas Li Bok-chiu datang bersama mereka, sedangkan Yo Ko dan
Siao-liong-li sudah tinggal sekian lama di kuburan kuno ini, mana bisa terjadi
Li Bok-chiu sembunyi di dalam peti mati yang terletak di bawah tempat sembunyi
Nyo Ko tadi?
“Habis ke mana perginya Li Bok-chiu?” tanya
Bu Sam-thong.
“Banyak keanehan di dalam kuburan ini sebaiknya
lekas kita keluar saja,” ajak Yalu Ce.
“Bagaimana dengan adikku?” tanya Kwe Hu.
“lbumu banyak tipu dayanya tentu dia
mempunyai akal yang baik, marilah kita keluar ke sana dan minta petunjuknya,”
ujar Sam-thong.
Begitulah mereka lantas
mencari jalan keluar dengan melalui sungai itu. Tapi baru saja mereka muncul di
permukaan air, pemandangan yang mereka lihat adalah merah membara, pepohonan di
kanan kiri sungai ternyata sudah terbakar semua, hawa panas serasa membakar
muka mereka.
“lbu, ibu!” teriak Kwe Hu
kuatir, tapi tidak mendapatkan jawaban,
Sekonyong-konyong
sebatang pohon yang sudah terbakar roboh dan mengeluarkan suara gemuruh,
Melihat keadaan sangat berbahaya, cepat Yalu Ce menarik Kwe Hu dan berenang ke
hulu menjauhi tempat pohon roboh itu.
Tatkala itu adalah musim
kerirrg, pepohonan dan rerumputan mudah terbakar, di-mana-mana api me-ngamuk,
seluruh gunung sudah menjadi lautan api, Meski mereka terendam di dalam air
sungai, muka merekapun terasa panas tergarang oleh api yang berkobar dengan
hebat itu.
“Pasti pasukan Mongol yang gagal menyerang
Tiong-yang-kiong itu yang melampiaskan dendam dengan membakar Cong-lam-san
ini.” kata Bu Sam thong.
“lbu, ibu! Di mana kau?” teriak Kwe Hu pula
kuatir.
Tiba-tiba di kiri sungai sana ada bayangan
seorang perempuan sedang ber lompat2 kian kemari menghindari api.
Kwe Hu menjadi girang dan berseru: “lbu!” Tanpa pikir ia terus melompat keluar dari sungai dan memburu ke sana.
“He, awas!” seru Sam-thong. Mendadak dua
pohon besar roboh pula dan mengalingi pemandangan Bu Sam-thong.
Kwe Hu terus berlari ke sana, di bawah
gumpalan asap dan menerjang api. Karena ingin menemukan ibunya, maka tanpa
pikir ia memburu maju, sesudah dekat barulah ia merasa bayangan orang itu
menoleh dan ternyata Li Bok-chiu adanya. Keruan kejut Kwe Hu tak terkatakan.
Sebenarnya Li Bok-chiu benar-benar sudah
putus asa setelah tertutup di dalam peti batu itu dan di-tindih lagi peti
lainnya oleh Yo Ko. Tapi kemudian dalam gusarnya tanpa sengaja Yo Ko telan
membacok peti batu yang menindihnya itu hingga tutup peti bagian bawah juga
ikut retak terbacok. Li Bok chiu benar-benar lolos dari renggutan maut,
kesempatan itu tidak di-sia-siakan olehnya, lebih dulu ia melemparkan keluar
bantal batu, habis itu iapun melompat keluar Meski belum lama ia terkurung di
dalam peti mati itu, tapi rasanya orang akan mati sesak napas itu benar-benar
keadaan yang paling menderita dan paling mengenaskan dalam waktu yang singkat
itu pikirannya diliputi penuh rasa dendam, ia benci kepada setiap manusia yang
hidup di dunia ini, pikirnya:
“Setelah mati aku pasti menjadi hantu yang
jahat, akan kubinasakan Yo Ko, bunuh Siaoliong-li, Bu Sam-thong, Ui, Yong dan
lain-lain…”
Begitulah setiap orang akan dibunuhnya untuk
membalas sakit hatinya. Meski kemudian dia berhasil lolos dengan selamat meski
secara kebetulan, tapi rasa dendam dan bencinya tidak menjadi ber-kurang.
Kini mendadak Kwe Hu muncul sendiri
di-badapannya, ia menjadi girang dengan tersenyum ia menegurnya- “Eh kiranya
kau, nona Kwe! Api berkobar dengan hebatnya, kau harus hati-hati.”
Kwe Hu tidak menyangka orang akan bersikap
begini ramah padanya-, segera ia bertanya: “Apakah engkau melihat ibuku?”
Waktu Kwe Hu memandang ke arah yang di
tunjuk, mendadak Li Bck-chiu menubruk tiba, sekali tangannya bekerja, Hiat-to
di pinggang Kwe Hu sudah tertutuk olehnya, dengan tertawa Li Bok-chiu berkata:
“Sabarlah, kau tunggu saja di sini, segera ibumu akan datang.”
Sementara itu api berkobar semakin hebat dan
mendesak dari berbagai jurusan, kalau lebih lama di situ mungkin jiwa sendiripun
akan melayang, Karena itulah Li Bok-chiu lantas melompat ke sana dan berlari
cepat ke arah yang belum terjilat api.
Kwe Hu tergeletak tak bisa berkutik
menyaksikan kepergian Li Bok-chiu. Mendadak segumpal asap menyamber tiba,
napasnya menjadi sesak, ia terbatuk-batuk hebat.
Bu Sam-thong dan Yalu Ce berempat masih
berdiri di tengah sungai, muka dan kepala mereka penuh hangus, antara Kwe Hu
dan sungai kecil itu telah teraling oleh api yang berkobar dengan hebatnya.
Meski mereka mengetahui si nona berada dalam
bahaya, tapi jiwa mereka pasti akan ikut melayang kalau mereka memburu maju
untuk menoIongnya.
Dalam keadaan sesak napas dan rasa panas
seperti dipanggang, Kwe Hu hampir-hampir tak sadarkan diri Iagi.
Pada saat itulah tiba-tiba dari jurusan timur
sana ada suara
menderu-deru, waktu ia berpaling, dilihatnya sesosok bayangan seperti angin lesus saja
bergulung-gulung menyamber tiba.
Waktu Kwe Hu mengawasi, kiranya
bayangan itu adalah Yo Ko. Pemuda itu telah menanggalkan jubahnya yang basah
kuyup untuk membungkus Hiat-tiat-po-kiam, dengan tenaga dalam yang kuat ia
ayun-ayunkan pedang itu untuk menyingkirkan kobaran api.
Tadinya Kwe Hu bergirang karena ada
orang datang menolongnya, tapi setelah mengetahui orang itu adalah Nyo Ko,
seketika perasaannya seperti di-siram air dingin meski di luar tubuh panas
seperti dipanggang, Pikirnya: “Sudah dekat ajalku toh dia sengaja datang buat
menghina diriku.”
Betapa pun dia adalah
anak Kwe Ceng, dengan gemas ia melototi Yo Ko tanpa gentar,
Tak terduga, bagitu
sampai di samping Kwe Hu, segera Yo Ko membuka Hiat-to si nona ydog tertutuk
itu, pedangnya terus menusuk, tapi bukan menembus tubuhnya melainkan menerobos
lewat di pinggangnya, sekali bentak: “Awas!”
Tangan kirinya terus
mengayun sekuatnya ke sana, bobot pedang pusaka yang amat berat itu ditambah
tenaga dalamnya yang maha kuat, seketika Kwe Hu melayang ke udara seperti
terbang di awang2 dan melintasi belasan pohon besar yang terbakar, “plung”,
akhirnya ia jatuh ke dalam sungai.
Lekas-lekas Yaiu Ce
memburu maju untuk membangunkan Kwe Hu, tapi nona itu masih kepala pening dan
mata berkunang-kunang, ia serba runyam, entah senang entah sedih.
Kiranya setelah Yo Ko
dan Siao-liong-li keluar dari kuburan kuno itu dengan membawa Kwe Yang,
terlihat pasukan Mongol sedang membakar hutan di lereng Cong-lam-san itu. Sudah
ber-tahun-tahun mereka hidup disekitar hutan yang rindang itu, mereka menjadi
menyesal dan merasasayang menyaksikan kebakaran hebat itu, tapi pasukan Mongol
terlalu kuat dan sukar dilawan, terpaksa mereka tidak dapat berbuat sesuatu.
Yo Ko tidak tahu
Siao-liong-li sanggup bertahan berapa lama setelah racun bersarang dalam
segenap Hiat-to penting, segera ia mencari suatu gua-yang jauh dari tetumbuhan
untuk bersembunyi sementara, dari jauh mereka menyaksikan Kwe Hu dirobohkan Li
Bok-chiu dan tampaknya segera akan terbakar mati. Dengan gegetun Yo Ko berkata
kepada Siao-Iiong-li: “Liong-ji, nona itu telah membikin sengsara padaku dan
mencelakai kau pula, akhirnya dia mendapatkan ganjarannya yang setimpal seperti
sekarang ini.”
Dengan heran
Siao-liong-li memandang Yo Ko dengan sorot matanya yang tajam: “Ko-ji, masakah
kau tak pergi menolongnya?”
“Dia telah membikin
susah hingga begini, kalau tidak kubunuh dia sudah cukup baginya.” ujar Yo Ko
dengan gemas.
“Ah, kita sendiri tidak
beruntung, semua itu disebabkan suratan nasib, biarkan orang lain gembira dan
bahagia, kan lebih baik begitu?” ujar Siao-liong-li.
Walaupun di mulutnya Yo
Ko berkata begitu, tapi dalam hati merasa tidak tega ketika menyaksikan api
sudah menjalar sampai di dekat Kwe Hu, Akhirnya ia berkata dengan pedih:
“Baiklah, nasib kita yang buruk, nasib orang
lain yang beruntung!”
Segera ia membungkus pedang pusakanya dengan
jubah sendiri yang basah itu dan setelah melemparkan Kwe Hu ke sungai, dia
berlari kembali ke dekat Siao liong-li dengan baju dan rambut hangus, celananya
juga terbakar sebagian, malahan pahanya telah timbul gelembung2 air akibat
terbakar.
Siao-Iiong-li membawa Kwe Yang mundur ke
tempat yang lebih jauh dari hawa panas, lalu ia membelai rambut Yo Ko serta
membetulkan pakaiannya, tidak kepalang rasa bangganya mendapatkan seorang suami
ksatria dan gagah perkasa demikian ini, ia bersandar pada tubuh Yo Ko dengan
perasaan yang gembira dan bahagia.
Yo Ko merangkul pinggang Siao-liong li dan
memandangi dengan terkesima, si nona yang tersorot cahaya api itu bertambah
molek, sesaat itu mereka sama sekali melupakan segala duka derita di dunia ini.
Mereka berdua berada di tempat lebih tinggi,
Bu Sam-thong, Kwe Hu dan Yaiu Ce berlima yang berada di sungai itu memandang
dari balik api yang berkobar-kobar, tertampak pakaian kedua suami isteri itu
berkibar2 tertiup angin, sikapnya agung berwibawa laksana malaikat dewata. Biasanya Kwe Hu
suka memandang hina si Yo Ko, tapi sekarang ia menjadi malu diri.
Sejenak Yo Ko berdua berdiri, sambil
memandangi api yang mengamuk itu, Siao-Iiong-li berkata dengan gegetun:
“Setelah terbakar habis bersih, kelak kalau
pepohonan tumbuh lagi di sini, entah bagaimana wujudnya nanti?”
“Api yang dibakar pasukan Mongol ini mungkin merupakan
pesta bagi pernikahan kita,” ujar Yo Ko dengan tertawa, “Mari!ah
kita mengaso saja ke gua sebelah sana.”
Siao-liong-li mengiakan Keduanya lantas
ber-jalan ke balik gunung sana.
Tiba-tiba Bu Sam-tisong ingat sesuatu,
cepat ia berteriak: “Adik
Nyo Susiok
dan Cu-sute terkurung di Coat-ceng-kok, engkau mau menolong mereka tidak?”
Yo Ko rada melengak, ia
menggumam sendiri: “Peduli amat urusan orang lain.” Sambii berkata begitu ia
terus melangkah ke sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar