Senin, 26 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 95




Kembalinya Pendekar Rajawali 95

 “Jika begitu biarlah kita mencari Yo Ko dahulu baru pergi ke Coat ceng-kok, dengan kepandaiannya yang tinggi itu anak muda itu merupakan pembantu yang terkuat apalagi obat penawar didapatkan segera bisa diminum olehnya dan tidak perlu membuang waktu lagi,” kata Oey Yong.
“Benar, benar,” seru Sam-thong. “Cuma tidak diketahui sekarang Yo Ko berada di mana?”
Sambil menuding kuda merah, Oey Yong menjawab: “Kuda ini baru saja di pinjam si Yo Ko, kuda ini akan menjadi petunjuk jalan, kita pasti dapat menemukan tempat tinggalnya.”
Bu Sam thong sangat girang, serunya: “Untung Kwe-hujin berada di sini, kalau tidak, tentu aku akan kelabakan setengah mati tanpa berdaya.”
Oey Yong pikir kalau Bu Sam-thong dan kedua puteranya ikut pergi, besar kemungkinan ketiga muda-mudi yang lain juga akan ikut, akan terasa lebih aman jika ada pembantu lebih banyak Segera ia berkata kepada Yalu Ce: “Bagaimana kalau kalian juga ikut bersama kami?”
Belum lagi Yalu Ce menjawab, cepat Yalu Yan mendahului bersorak: “Baiklah, kakak, kita ikut pergi.”
Tanpa terasa Yalu Ce memandang sekejap kepada Kwe Hu dan terlihat sorot mata nona itu juga memberi dorongan padanya, ketika ia berpaling ke arah Wanyan Peng, nona itu juga tersenyum, maka iapun menjawab dengan menghormat.
“Kami tunduk saja kepada pesan Bu-locianpwe dan Kwe-hujin, kalau kami bisa, selalu mendapat petunjuk kalian, itulah yang kami harapkan”
Oey Yong lantas berkata pula: “Meski tidak banyak jumlah kita, tapi kita perlu juga seorang komandan sebagai pimpinan.
Bu-heng, biarlah kami tunduk kepada pimpinanmu dan takkan membantah perintahmu.”
Namun Bu Sam-thong lantas geleng kepala dan menjawab: “Tidak, jelas seorang Kunsu (juru pikir) wanita seperti kau berada di sini, siapa lagi yang berani main perintah segala? Sudah tentu mandat penuh kuserahkan padamu.”
“Apa sudah betul pilihanmu?” Oey Yong menegas dengan tertawa.
“Masakah aku bergurau?” jawab Sam-thong.
“Anak-anak sih tidak menjadi soaV, yang kukuatirkan adalah kau. si tua ini tidak mau tunduk pada perintahku,” kata Oey Yong.
“Apa perintahmu, apa pula yang kulaksanakan,” seru Sam-thong, “Sekalipun masuk lautan api atau terjun ke rawa mendidih juga takkan kutolak.”
“Di hadapan anak-anak muda ini, apa yang sudah kau katakan harus kau tepati,” ujar Oey Yong.
“Sudah tentu,” jawab Sam-thong dengan muka merah padam “Memangnya kalau tiada orang lain pernah kuingkar janji?”
“Bagus! itulah yang kuinginkan darimu,” kata Oey Yong.
“Keberangkatan kita nntuk mencari Yo Ko, meminta obat dan menolong kawan, semuanya harus dilakukan dengan cara gotong royong maka segala dendam sakit hati dimasa- lampau untuk sementara ini harus dikesampingkan. Jadi maksudku, Bu-heng, untuk sementara ini kalian sekali-kali tidak boleh merecoki Li Bok-chiu, nanti kalau urusan sudah bcres, bolehlah kalian melabrak dia untuk menuntut balas.”
Bu Sam-thong melengak, baru sekarang ia tahu tujuan kata-kata Oey Yong tadi hanya untuk memancing pernyataannya saja. Padahal Li Bok-chiu adalah pembunuh isterinya, sakit hati ini mana boleh dibiarkan?
Belum lagi Sam-thong menjawab, Oey Yong membuka suara pula dengan lirih: “Bu-heng, kakimu terluka, sementara ini tentu juga tak dapat berbuat banyak. Untuk menuntut balas kukira juga tidak perlu terburu-buru saat ini juga.”
Terpaksa Bu Sam-thong berkata: “Baiklah, apa yang kau katakan, apa yang kulakukan.”
Oey Yong lantas berseru memanggil Li Bok-chiu: “Li-cici marilah kita berangkat!”
Begitulah kuda merah itu dibiarkan jalan di depan dan mereka ikut dari belakang, Benar juga kuda itu ternyata menuju ke arah Cong-lam-san.
Lantaran Bu Sam-thong dan Wanyan Peng terluka dan tak dapat jalan cepat, setiap hari mereka cuma menempuh ratusan li saja lantas istirahat. Diam-diam Li Bok-chiu waspada menjaga segala kemungkinan, di waktu istirahat ia sengaja menjauhi semua orang. Waktu menempuh perjalanan iapun mengintil dari kejauhan.
Sepanjang jalan yang paling gembira adalah ke enam muda-mudi itu, mereka bicara dan bergurau dengan akrab sekali, Sejak kecil kedua saudara Bu saling bersaing mencari muka pada Kwe Hu sehingga hubungan mereka sedikit-banyak kurang baik, tapi sekarang masing-masing sudah menemukan gadis idaman, kedua saudara menjadi sangat rukun dan sayang menyayang.
Tentu saja Bu Sam-thong sangat senang melihat itu dan tambah terima kasihnya kepada Yo Ko yang telah menyelamatkan kedua Bu cilik itu dari saling membunuh memperebutkan seorang gadis.
Suatu hari sampailah mereka di Cong-lam-san. Oey Yong dan Bu Sam-thong membawa anak muda itu berkunjung kepada Coan-cin-jit-cu di Tiong-yang-kiong. Li Bok-chiu berhenti jauh di luar istana Coan-cin-pay dan menyatakan hendak menunggu saja di situ.
Dengan sendirinya Oey Yong tidak memaksa karena tahu iblis itu bermusuhan dengan pihak Coan-cin-pay, rombongan mereka lantas menuju Tiong-yangkiong. Ketika mendapat laporan, cepat Khu Ju-ki dan lain-lain menyambut keluar.
Sesudah rombongan tamu disilakan masuk dan berduduk di pendopo agung, baru saja mereka beramah-tamah sejenak, tiba-tiba di ruangan belakang ada suara orang membentak2.
seketika Oey Yong mengenali suara orang itu, segera ia berseru:
“Hai, Lo-wan-tong, lihatlah siapakah ini yang datang?”
Selama beberapa hari ini memang Ciu Pek-thong lagi sibuk mempelajari cara-cara- mengundang dan memimpin kawanan tawon putih, Dasarnya memang pintar, tekun pula, maka sedikit-banyak sudah ada kemajuan, saat itu dia sedang asyik dengan permainannya itu, ketika tiba-tiba didengarnya orang  memanggil julukannya, segera ia kenal itulah suaranya Ui Yong.
“Aha, kiranya bininya adik angkatku yang genit dan jahil itu telah datang!” sambil berteriak-teriak ia terus berlari ke depan.
Serentak Yalu Ce memampak maju dan menyembah kepada Ciu Pek-thong sambil mengucapkan doa selamat, Dengan tertawa Ciu Pek-thong menjawab: “Sudahlah, lekas bangun. Kaupun selamat-selamat ya!”
Menyaksikan itu semua orang jadi terheran-heran.
Sungguh tidak tersangka bahwa Yalu Ce adalah, muridnya Ciu Pek-thong, padahal tingkah lakunya Anak Tua Nakal itu suka ugal2an dan angin-anginan, tapi murid didiknya ternyata pintar dan tangkas, jujur-dan sopan, sama sekali berbeda antara guru dan murid.
Khu Ju-ki dan lain-lain juga sangat senang melihat sang Susiok sudah mempunyai ahli waris, beramai-ramai mereka lantas mengucapkan selamat kepada Ciu Pek-thong. Baru sekarang juga Kwe Hu menyadari sebab musababnya tempo hari sang ibu dan Yalu Ce saling pandang dengan bergelak tertawa ketika anak muda itu tidak mau menerangkan siapa gurunya, rupanya waktu itu Oey Yong sudah dapat menerka bahwa guru Yal-u Ce adalah si Anak Tua Nakal Ciu Pek-thong.
Tengah ramai-ramai, mendadak di bawah gunung ada suara terompet, itulah pemberitahuan para anak murid yang bertugas jaga bahwa musuh datang menyerang secara besar-besaran.
Seketika air muka Khu Ju-ki berubah, ia tahu pasti pasukan Mongol yang datang akibat kegagalan usaha Kim lun Hoat-ong dan begundalnya menaklukkan Coan-cin-kau tempo hari.
Walaupun orang-orang Coan-cin-kau mahir ilmu silat, tapi tidak mungkin bertempur secara terbuka melawan pasukan Mongol, maka sebelumnya mereka sudah mengatur siasatnya, kalau perlu akan mundur teratur dengan meninggalkan gunung.
Tugas ini sebenarnya adalah tanggung jawab Li Ci-siang yang kini diangkat sebagai pejabat ketua menggantikan In Ci-peng yang sudah meninggal itu. Tapi menghadapi suasana gawat ini, dengan sendirinya pimpinan dipegang lagi oleh Coan-cin-ngo-cu.
Segera Khu Ju-ki berkata kepada Oey Yong tentang keadaan genting dan menyesal tak dapat memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah terhadap tetamunya.
Dalam pada itu suara gemuruh serbuan pasukan terdengar di bawah gunung, Rupanya pasukan Mongol menyerbu dari arah utara gunung, sedangkan rombongan Oey Yong datang dari bagian selatan, selisihnya cuma setengah jam saja.
“Oh jadi ada musuh datang? Hah, sangat kebetulan.” Seru Ciu Pek-thong “Hayolah, anak Ce, inilah kesempatan baik bagimu untuk memperlihatkan kepandaian ajaran gurumu ini kepada para Suheng di sini!”
Seperti anak kecil, apabila mempunyai barang mainan kesayangannya, tentu suka pamer untuk mendapatkan pujian orang lain. Begitu pula si Anak Tua Nakal, dia mempunyai  seorang murid baik, tentu iapun ingin membikin kagum orang Iain.”.
Kalau dahulu dia pesan Yalu Ce agar jangan membocorkan nama gurunya, maksud tujuannya adalah untuk mengejutkan dunia Kangouw saja agar semua orang kaget demi kemudian mengetahui Ciu Pek-thong mempunyai seorang murid lihay.
Begitulah Khu Ju-ki lantas memberi laporan sekadarnya kepada Ciu Pek-thong tentang siasatnya akan mengundurkan diri demi untuk menjaga keutuhan Coan-cin-kau. Habis itu ia lantas memberi perintah agar setiap orang membawa barang-barang keperluan dan meninggalkan gunung menurut arah yang sudah ditentukan, ber-bondong-bondong anak murid Coan-cin-kau lantas melaksanakan tugas masing-masing secara teratur.
“Khu-totiang,” kata Oey Yong kemudian, “cara pengaturanmu sungguh hebat, kuyakin sedikit alangan ini pasti takkan menjadi soal bagi kalian, Kelak Coan-cin-kau pasti akan bangkit kembali dan lebih jaya daripada sekarang, Kedatangan kami ini adalah untuk mencari Yo Ko, maka sekarang juga kami mohon diri.”
“Yo Ko?” Khu Ju-ki meIengak. “Apakah dia masih berada di pegunungan ini?”
“Ada seorang teman mengetahui tempat kediamannya,”
ujar Oey Yong dengan tertawa. Habis itu ia lantas berangkat dengan rombongannya menuju ke belakang Tiong-yang-kiong dan kemudian menemukan Li Bok-chiu.
“Li-cici, sekarang silakan memberi petunjuk cara masuk ke kuburan itu,” kata Oey Yong.
“Darimana kau mengetahui dia pasti berada didalam kuburan?” jawab Bok-chiu.
“Seumpama Yo Ko tidak berada di sana, Giok li-sim-keng pasti ada,” ujar Oey Yong.
Diam-diam Li Bok-chiu terkesiap dan mengakui kelihayan nyonya Kwe itu, sampai2 isi hatinya ingin mendapatkan kitab pusaka itupun dapat diterkanya dengan jitu.
Karena tujuannya toh sudah diketahui orang, Li Bok-chiu lantas berkata sekalian secara terang-terangan. “Baiklah, biar kita bicara di muka, kubantu kau menemukan puterimu dan kau harus bantu aku merebut kitab pusaka perguruanku, Kau adalah ketua Kay-pang, pendekar wanita yang termashur, kau harus pegang janji.”
“Tapi Yo Ko adalah putera saudara angkat tuan Kwe kami, meski ada sedikit selisih paham dengan kami, kalau sudah bertemu tentu segalanya dapat dijernihkan dan puteriku pasti juga akan dikembalikan padaku jika memang betul anak itu berada padanya, Jadi tak dapat dikatakan rebut berebut segala.”
“O, kalau begitu, baiklah kita menuju ke arah masing-masing dan berpisah saja di sini,” habis ini Li Bok chiu terus putar tubuh hendak pergi.
Oey Yong lantas mengedipi Bu Siu-bun, “sret” si Bu cilik itu segera melolos pedang dan membentak “Li Bok-chiu, hari ini jangan kau harap dapat meninggalkan Cong-lam-san dengan hidup!”
Li Bok-chiu menyadari keadaan sendiri yang kepepet, seorang Oey Yong saja sukar diiawan, apalagi ada Bu Sam- thong dan anak muda yang cukup lihay itu. Biasanya iapun banyak tipu akalnya, tapi menghadapi Oey Yong ia benar-benar menjadi bodoh dan mati kutu. sedapatnya ia berlaku tenang dan berkata dengan dingin: “Kwe-hujin maha pintar, kalau berada di sini, masakah Kwe-hujin kuatir tak-dapat menemukan dia dan masakah perlu petunjuk jalan dariku?”
“Untuk mencari jalan masuk kuburan kuno, terus terang aku tidak mampu,” jawab Ui Xong. “Tapi kalau kami berdelapan orang secara sabar menunggu dan bergilir mengawasi sekitar sini, akhirnya kami pasti akan pergoki mereka apabila Yo Ko dan nona Liong benar-benar sembunyi di dalam kuburan kuno, masakah pada suatu hari mereka tidak keluar untuk belanja keperluan hidup mereka?”
Ucapan ini dengan jelas memojokkan Li Bok-chiu agar lebih baik menunjukkan jalannya, kalau tidak segera akan dibunuhnya.
Li Bok-chiu menjadi serba susah, apa yang di katakan Ui Yong itu memang masuk di akal, kalau mereka menunggu saja di sekitar sini, akhirnya Yo Ko tentu juga akan keluar, Untuk bertempur jelas dirinya bukan tandingan mereka yang berjumlah banyak, tapi kalau memancing mereka masuk ke kuburan kuno itu. di tempat yang sudah dikenalnya benar-benar itu tentu dapat mencari akal untuk membinasakan musuh-musuh ini satu persatu, Begitulah ia lantas menjawab:
“Baiklah, apa mau dikatakan lagi, aku toh tidak mampu menandingi kalian. Memangnya aku juga akan mencari si bocah she Nyo itu? Marilah. kalian ikut padaku.”
Segera ia menyingkap semak belukar dan menyusup ke tengah pepohonon yang lebat diikuti Oey Yong dan lain-lain dari dekat karena kuatir dia melarikan diri mendadak Setelah  menyusup ke sana dan menyusur sini, tidak lama sampailah mereka di tepi sebuah sungai kecil.
Sudah lama Li Bok-chiu bertekat hendak rebut Giok-li-sim-keng, tempo hari dia hampir mampus ketika lolos keluar dari kuburan itu melalui dasar sungai, maklum dia memang tidak mahir berenang dan menyelam.
Karena itu akhir2 ini dia telah berlatih renang dan kini sudah siap. Berdiri di tepi sungai berkatalah dia: “Pintu depan kuburan itu sudah tertutup, untuk membukanya secara paksa di perlukan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan. Sedang pintu belakangnya harus selulup melalui sungai ini. Nah, siapa di antara kalian yang akan ikut aku masuk ke sana?”
Kwe Hu dan kedua saudara Bu dibesarkan di Tho-hoa-to, setiap hari hampir selalu berkecimpung di tengah gelombang laut, kepandaian berenang mereka dapat diandalkan, serentak mereka bertiga menyatakan ikut, Bu Sam-thong juga bisa-berenang, maka iapun ingin ikut serta.

Oey Yong tahu Li Bok-chiu sangat keji, kalau mendadak dia menyerang dikuburan-kunb itu, pasti Bu Sam-thong dan lain-lain tidak mampu melawannya, seharusnya dirinya sendiri ikut mengawasi kesana, namun kesehatan sendiri yang baru melahirkan terasa tidak sanggup bertahan menyelam lama di dalam air yang dingin.
Tengah ragu-ragu, tiba-tiba Yalu Ce berkata: “Kwe pekbo boleh tunggu saja di sini, biar siautit ikut paman Bu ke sana.”
“Kau mahir berenang?” tanya Oey Yong girang.
“Berenang sih tidak begitu mahir, kalau menyelam kukira boleh juga,” jawab Yalu Ce.
Dalam pada itu Li Bok-chiu sudah bebenah seperlunya dan siap akan terjun ke dalam sungai, Oey Yong lantas mendekati Bu Sam-thong dan memberi pesan agar hati-hati dan waspada, Begitulah Yalu Ce dan Bu Sam-thong berlima lantas ikut Li Bok-chiu menyusun sungai itu.
Sungai di bawah tanah itu terkadang sempit dan terkadang luas, arusnya juga kadang-kadang keras tempo-tempo lambat, Ada kalanya dasar sungai sangat dalam hingga tinggi air melebihi kepala dan harus menyelam, tapi lain saat air sungai berubah menjadi cetek cuma sebatas pinggang.
Setelah berjalan sekian lama, akhirnya mereka sampai di lubang masuk ke kuburan itu. Li Bok-chiu menarik batu penyumbat dan menerobos ke dalam, yang lain lantas ikut masuk ber-turut-urut. Meski sekarang tidak terbenam lagi dalam air, tapi keadaan gelap gulita, semua orang bergandengan tangan agar tidak terpencar dan mengikuti Li Bok-chiu ke depan secara ber-liku-liku sehingga sukar lagi membedakan arah.
Tidak lama kemudian terasa mulai menanjak, tanah yang terpijak juga kering, Tiba-tiba terdengar suara berkeriutan, sebuah pintu batu didorong oleh Li Bok-chiu, semua orang lantas ikut masuk ke situ.
“Di sini sudah berada di tengah-tengah kuburan kuno, kita berhenti sebentar lalu pergi mencari Yo Ko,” kata Li Bok-chiu.
Sejak memasuki kuburan itu itu selangkahpun Bu Sam-thong dan Yalu Ce tidak tertinggal di belakang Li Bok-chiu, tapi keadaan sangat gelap, terpaksa mereka hanya  mengandalkan indera pendengaran saja untuk menjaga segala kemungkinan.
Dalam kegelapan itu semua orang lantas berdiam: Tiba-tiba Li Bok-chiu berkata pula: “Eh, kedua tanganku sudah menggenggam Peng-pok-gin-ciam, kenapa kalian bertiga orang she Bu ini tidak mau maju untuk merasakan enaknya jarum ini?”
Bu Sam-thong terkejut, sebelumnya iapun tahu orang pasti mengandung maksud jahat, tapi tidak menyangkanya musuh akan mulai bertindak sekarang ini. Mereka sudah pernah merasakan betapa lihaynya jarum orang, betapapun mereka tidak berani gegabah.
Segera mereka pegang senjata dan siap menangkis bila mendengar suara mendesingnya senjata rahasia. Namun tempatnya terlalu sempit, jarum musuh hanya dapat dipukul ke tanah, kalau di sampuk bisa jadi akan mengenai kawan sendiri.
Yalu Ce juga menyadari keadaan sangat berbahaya, kalau sampai musuh sembarangan menyambitkan jarumnya, pihak sendiri yang berlima ini pasti ada yang terluka atau binasa, jalan paling baik harus melabraknya dari dekat agar orang tidak sempat menggunakan jarum berbisanya.
Ternyata Kwe Hu juga berpendapat sama seperti dia, jadi tanpa berjanji keduanya mendadak menubruk bersama ke arah suara Li Bok-chiu.
Padahal setelah bicara tadi, selagi orang-orang ter-kesiap, diam-diam Li Bok-chiu telah mundur ke tepi pintu, Maka waktu Yalu Ce dan Kwe Hu menubruk tempat kosong, sebaliknya  tangan kedua orang saling berpegang sehingga Kwe Hu menjerit kaget.
Kepandaian Yalu Ce lebih tinggi, begitu memegang tangan yang halus serta mencium bau harum dan disertai suara Kwe Hu, segera ia tahu apa yang terjadi.
Dalam pada itu terdengar suara keriat-keriut bergesernya pintu, Yalu Ce dan Bu Sam-thong terus melompat pula ke sana, terdengar suara mendesing, dua jarum perak telah menyamber tiba, cepat mengelak, waktu mereka mendorong pintu, ternyata pintu itu sudah tertutup rapat dan tak bergeming lagi.
Yalu Ce coba meraba pintu batu itu, ternyata halus licin tiada sesuatu alat pegangan pintu, ia berjalan merambat dinding sekeliling, ia menaksir ruangan itu kira-kira empat persegi, dinding terbuat seluruhnya dari batu, ia coba mengetok dinding dengan pedangnya, terdengar suara keras dan berat, jelas batu dinding itu sangat tebal.
“Wah, bagaimana? jangan-jangan kita akan mati terkurung di sini?” kata Kwe Hu dengan kuatir dan hampir-hampir menangis.
“Jangan kuatir, kita pasti akan menemukan jalannya,” cepat Yalu Ce menghiburnya “Apalagi Kwe-hujin menunggu di luar, beliau pasti akan berdaya menolong kita.”
Habis berkata ia coba meraba pula sekeliling kamar itu untuk mencari jalan keluar.
Li Bok-chiu sangat girang setelah berhasil menyekap Bu Sam-thong berlima di kamar batu itu, ia pikir setelah lawan- lawan itu dienyahkan, tentu akan lebih mudah untuk menyergap Siao-liong-li dan Yo Ko.
Ia menyadari kalau bertempur secara terang-terangan pasti bukan tandingan sang Sumoay, maka ia harus menyergapnya secara mendadak. ia lantas menggenggam jarum berbisa, sepatu ditanggalkannya, hanya dengan berkaos kaki saja ia melangkah ke depan dengan pelahan.
Selama beberapa hari ini Siao-Iiong-Ii, berduduk di depan kemala dingin itu menerima penyembuhan dari Yo Ko dengan menerobos Hiat-to secara terbalik. Saat itu mereka sedang mengerahkan segenap tenaga untuk menerobos Tam-tiong-hiat, Hiat-to penting yang terletak di bagian dada, kalau Hiat-to ini sudah diterobos dengan lancar, maka berarti delapan bagian lukanya sudah tersembuhkan, Akan tetapi Hiat-to ini memang sangat gawat, salah sedikit saja akan menyebabkan kelumpuhan total, sebab itu harus dilakukan dengan hati-hati dan sabar, sedikitpun tidak boleh gegabah.
Watak Siao-liong-li memang sangat sabar, baginya bukan soal apakah penyembuhannya itu dapat dirampungkan secepatnya atau berapa lama Iagi. Sebaliknya Yo Ko berwatak tidak sabaran, dia berharap Siao-liong-li dapat lekas sembuh. Akari tetapi iapun tahu bahayanya cara penyembuhan begitu, kalau ter-buru-buru napsu, bisa jadi malah-runyam.
Begitulah Yo Ko merasa denyut nadi Siao-liong-li terkadang keras dan lain saat lemah, meski tidak stabil, tapi tiada tanda-tanda buruk, Diam-diam ia mengerahkan tenaga dan mempercepat usahanya menyembuhkan si nona.
Dalam keadaan sunyi senyap itulah, tiba-tiba dari jauh ada suara “tek” satu kali, suara itu sangat lirih kalau saja Yo Ko tidak sedang memusatkan pikiran tentu tak mendengar suara itu.
Apalagi kuburan kuno itu terletak jauh di bawah tanah, kecuali suara pernapasan mereka bertiga (termasuk Kwe Yang), sedikit kelainan suara tentu akan ketahuan.
Selang tak lama, suara “tek” itu kembali berbunyi lagi sekali, kini jaraknya bertambah dekat, Yo Ko tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres, tapi kuatir perhatian Siao-liong-li terganggu dan membahayakan nona itu, maka ia sengaja berlagak tidak tahu.
Tak lama, lagi-lagi suara itu berbunyi, kini terlebih dekat pula, Maka yakinlah Yo Ko bahwa ada orang menyusup ke kuburan kuno itu, agaknya orang itu tidak berani menerobos datang begitu saja dan sengaja merunduk maju dengan pelahan. ia pikir maksud kedatangan orang ini pasti tidak baik, kalau orang mampu masuk ke situ, tentu juga bukan sembarangan orang. Celakanya keadaan Siao-liong-li tidak boleh terganggu ia menjadi serba susah.
“Tek”, ternyata suara itu semakin mendekat Yo Ko menjadi bingung dan sukar menahan pi-kiranaya, mendadak tangannya tergetar, suatu arus hawa panas tertolak balik, kiranya Siao-liong-li juga terkejut oleh suara itu.
Lekas-lekas Yo Ko menghimpun tenaga dan mendorong kembali tenaga dalam Siao-liong-li sambil memberi isyarat agar si nona tenangkan diri.
Tatkala itu di luar kuburan adalah siang hari, meski musim dingin, tapi sang surya sedang memancarkan cahayanya di  tengah cakrawala, sebaliknya di dalam kuburan gelap gulita seperti tengah malam belaka.
Terdengar suara tadi semakin dekat lagi. Diam-diam Nyo Ko mengeluh, ia pikir sejak jalan masuk kuburan itu tertutup rapat, di dunia ini hanya Li Bok-chiu dan Ang Leng-po saja yang tahu jalan masuk melalui dasar sungai itu, maka dapat dipastikan yang datang tentu satu diantara mereka.
Dengan kepandaian Yo Ko sekarang sedikitpun tidak perlu takut biarpun Li Bok-chiu dan muridnya itu datang semua sekaligus, Celakanya kedatangannya itu tidak lebih cepat dan tidak lebih lambat, tapi justeru pada saat penting bagi keselamatan Siao-liong-li ini, seketika Yo Ko menjadi bingung dan serba susah.
Selang sejenak, dengan jelas Siao-liong-li juga dapat mendengar suara kedatangan musuh, iapun buru-buru ingin menerobos Hiat-to sendiri yang penting itu, tapi karena bingung, tenaganya menjadi kacau, terkadang lancar terkadang berontak, dada sendiri menjadi sesak malah.
Pada saat itulah suara tindakan seorang yang halus dan cepat menerobos masuk, menyusul terdengarlah suara mendesirnya benda kecil, beberapa jarum telah menyamber tiba.
Waktu itu keadaan Siao-liong-li dan Yo Ko mirip orang yang tak bisa ilmu silat saja, untungnya mereka sudah siap, sedia sebelumnya, begitu melihat jarum musuh menyambar tiba, serentak mereka mendoyong ke belakang tanpa melepaskan tangan mereka yang saling menempel itu, jarum-jarum itu me-nyamber lewat di sisi mereka.
Li Bokchiu sendiri tidak menyangka kedua orang sedang mencurahkan segenap perhatian untuk penyembuhkan Siao-liong-Ii, kuatir kedua lawannya balas menyerang, maka begitu jarum disambitkan segera ia melompat ke samping, Kalau saja dia tidak jeri kepada lawannya dan segera menyusulkan lagi jarum-jarum lain, maka Yo Ko berdua pasti celaka.
Ketajaman mata Li Bok-chiu di tempat gelap jauh dibandingkan Yo Ko berdua, samar-samar ia cuma melihat kedua muda-mudi itu duduk berjajar di Han-giok-jeng dipan kemala dingin, ia menjadi kebat-kebit ketika sergapannya tidak mengenai sasarannya, Tapi ia menjadi ragu-ragu pula ketika melihat lawan tidak berbangkit dan balas menyerangnya. Cepat ia menggeser ke samping pintu dengan kebut siap di tangan, lalu menegur “Hm, baik-baikkah kalian selama berpisah!”
“Apa kehendakmu?” tanya Yo Ko.
“Masakah perlu tanya lagi kehendakku disaat ini?” jawab Bok-chiu.
“Ah, Giok-Ii-sim-keng yang kau inginkan bukan?” ujar Nyo Ko “Baiklah, memangnya kitab itupun tidak berguna bagi kami yang ingin hidup tirakat di tempat ini. Nah, boleh kau ambil saja.”
Sudah tentu Li Bok-chiu setengah percaya dari setengah sangsi, katanya: “Mana? Bawa ke sini!”
Giok-li-sim-keng tersimpan dalam buntalan SiaoIiong-li, dengan seodirinya mereka tidak dapat menyodorkannya, “ltu berada dalam bungkusan di atas meja, ambil saja sendiri,” demikian jawab Yo Ko
Li Bok-chiu tambah curiga, pikirnya: “Aneh, mengapa mereka berubah penurut begini? Di dalam bungkusan itu tentu ada sesuatu yang tidak beres. Apa barangkali dia sengaja memancing aku lebih dekat, lalu mendadak menyerang dan mencegat jalan lariku” ..
Ia menyadari bukan tandingan Siao-liong-li, maka segala sesuatu harus ditimbangnya dengan masak, ia coba mengawasi sang Sumoay, terlihat sebelah tangannya mendempel dengan telapak tangan Yo Ko. Seketika tergerak pikirannya: “Ah, rupanya tangan Yo Ko buntung dan parah, maka perempuan hina ini sedang membantu menyembuhkannya dengan tenaga dalam sendiri. Saat ini mereka sedang menghadapi detik genting, inilah kesempatan baik bagiku untuk membinasakan mereka.”
Walaupun cuma betul separuh saja terkaannya, namun rasa jerinya seketika lenyap, segera ia menubruk maju, kebutnya terus menyabet kepala Siao-Iiong-li.
Dalam keadaan demikian kalau Siao-liong-li mengangkat tangan untuk menangkis, serentak tenaga dalamnya akan terguncang dan bisa binasa seketika dengan muntah darah, sebaliknya kalau serangan itu tidak ditangkis, maka batok kepalanya juga pasti akan hancur.
Syukurlah pada saat itulah mendadak Yo Ko membuka mulut dan meniup hawa ke muka Li Bok-chiu, sebenarnya tiupan hawa ini sama sekali tidak bertenaga, tapi Li Bok-chiu tahu si Yo Ko banyak tipu akalnya, ketika mendadak mukanya terasa hangat oleh hawa yang disebul anak muda itu, ia kaget dan lekas melompat mundur, Ketika merasa muka tiada sesuatu kelainan barulah ia tahu tertipu, segera ia mcmbentak: “Kau cari mampus ya.”
“”Eh, baju yang kupinjamkan padamu tempo hari itu, apakah sekarang kau bawa untuk dikembalikan padaku?”
tanya Yo Ko dengan tertawa.
Li Bok-chiu jadi teringat waktu bertempur melawan Pang Bik-hong, pakaiannya terbakar oleh palu si pandai besi- tua yang berapi itu, kalau Yo Ko tidak menanggalkan jubahnya untuk dia, maka pasti akan telanjang dan malu, sepantasnya kalau mengingat pemberian jubah itu dahulu tidak seharusnya dia mencelakai jiwa Yo Ko sekarang, tapi jika hatinya sedikit lunak, bahaya dikemudian hari tentu sukar dibayangkan.
Segera ia menubruk maju, tangan kirinya menghantam pula.
Dalam keadaan kepepet tiba-tiba Yo Ko mendapat akal, sekonyong-konyong dia berjungkir dengan kedua kaki di atas dan kepala di bawah, sekali kakinya memancal, sepatu dan kaos kaki lantas terlepas serunya: “Liong-ji, pegang kakiku!” -
Berbareog itu sebelah tangannya terus dipukulkan untuk memapak hantaman Li Bok-chiu tadi. Dalam pada itu Siao-liong-li juga telah memegang kaki Yo Ko.

Meski Ngo-tok-sin-ciang yang lihay itu diperoleh dari Auyang Hong, tapi ilmu menjungkir berasal dari Kiu-im-Cin-keng yang merupakan kepandaian khas Auyang Hong ini tidak pernah dilihat Li-Bok-chiu, ia terkejut menyaksikan perbuatan Yo Ko yang aneh itu, ia mengerahkan tenaga sekuat-nya dan ingin membinasakan lawan selekasnya, seketika Yo Ko merasakan arus hawa panas menerjang dari telapak tangan musuh, tergerak pikirannya, sama sekali ia tidak menahan tenaga lawan itu, sebaliknya tenaga sendiri malah ditambahkan pada tenaga musuh dan disalurkan seluruhnya ke tubuh Siao-liong-li.
Dengan demikian jadinya Li Bok-chiu seakan-akan membantu Yo Ko menerobos Hiat-to dan urat nadi Siao-liong-li. Walapun apa yang dipelajari Li Bok-chiu tidak seluas Yo Ko berdua, tapi bicara tentang kekuatan sendiri, karena sudah berlatih berpuluh tahun lamanya, dengan sendirinya bukan main lihaynya.
Siao-liong-li mendadak merasakan suatu arus tenaga maha kuat menerjang tiba, Tam-tiong hiat seketika diterobos tembus, napas terasa lancar, hawa panas yang tadinya macet di dada seketika tersalur ke bagian perut, semangat terasa segar, serentak ia bersorak: “Aha, terima kasih, Suci!” Segera ia melepaskan kaki Yo Ko dan melompat turun dari dipan kemala dingin.
Tentu saja Li Bok-chiu melengak, Tadinya ia mengira Siao liong-li yang sedang membantu menyembuhkan Yo Ko, sebab ituIah ia mengerahkan tenaga sekuatnya dengan maksud merontokkan urat nadi Yo Ko, siapa tahu tanpa sengaja malah telah membantu pihak lawan.
Yo Ko juga sangat girang, sekuatnya ia menolak mundur musuh, lalu ia melompat bangun dan berdiri dengan kaki telanjang, katanya dengan tertawa: “Kalau engkau tidak keburu datang membantuku. sungguh sulit menerobos Tam-Tiong hiat Sumoay mu.”
Belum lagi Li Bok-chiu menja-wab, tiba-tiba Siao liong-!i menjerit sambil memegangi ulu hatinya terus jatuh ke atas dipan pula..
“He, ada apa?” tanya Yo Ko kuatir.
“Dia… dia… tangannya beracun!” ucap Siao-liong-Ii dengan ter putus2.
Yo Ko sendiri juga lantas merasakan kepala rada pusing, Rupanya tanpa disadarinya ketika tangan beradu tangan tadi racun pukulan berbisa Li Bok-chiu telah menyalur ke tubuh anak muda itu dan terus merembes pula ke tubuh Siao-liong-li.
“Serahkan obat penawarnya!” bentak Yo Ko segera sambil angkat Hian-tiat-pokiam, pedang pusaka yang maha berat itu.
Habis itu pedangnya terus membacok “Trang”, Li Bok-chiu menangkis dengan kebutnya, akan tetapi batang kebutnya yang terbuat dari baja itu kontan terkutung mendjadi dua, tangan juga tergetar hingga lecet dan sakit.
Kebut yang pernah merontokkan nyali tokoh dunia persilatan itu ternyata sekali tabas saja telah dihancurkan lawan, sungguh kejadian ini membuatnya terkejut luar biasa, lekas-lekas ia melompat keluar kamar batu itu.
Segera Yo Ko mengejar, tampaknya sudah dekat dan baru pedangnya disodorkan ke depan dan Li Bok-chiu pasti tidak dapat menangkisnya, siapa tahu racun yang sudah bersarang dalam tubuhnya itu mendadak bekerja, matanya menjadi berkunang-kunang dan tangan terasa lemas, “trang”, pedang jatuh ke tanah.
Li Bok-chiu tidak berani berhenti, ia melompat jauh ke depan, habis itu baru menoleh, dilihatnya Yo Ko terhuyung-huyung sambil berpegangan dinding, tampaknya sekuatnya sedang menahan serangan racun dalam tubuh.
Merasa bukan tandingan anak muda itu, Li-Bok-chiu tak berani mendekatinya, ia pikir tunggu saja sementara, nanti kalau anak muda itu sudah roboh. barulah kudekati dia.
Tenggorokan Yo Ko terasa kering, kepala, serasa mau pecah, sekuatnya ia kumpulkan tenaga pada tangan kiri, kalau Li Bok-chiu mendekat, segera ia hendak membinasakannya dengan sekali hantam. Tapi lawan, itu sungguh licik dan tetap berdiri di sana.
Akhirnya Yo Ko harus ambil keputusan, ia pikir semakin lama tentu semakin meluas racun yang mengeram di tubuhnya dan tambah menguntungkan pihak musuh, Sekuatnya ia menarik napas segar, habis itu mendadak ia melompat balik ke sana dan merangkul pinggang Siao-liong-li, dengan ujung pedang ia cungkit bungkusan di atas meja, lalu melangkah keluar sambil membentak: “Minggir!” .
Melihat perbawa Yo Ko itu, Li Bok-chiu ternyata tidak berani mengadangnya, Yang diharapkan Yo Ko sekarang adalah mencari suatu kamar batu yang dapat ditutup rapat sehingga untuk sementara Li Bok-chiu tidak mampu masuk mengganggu-nya, dengan begitu mereka dapat berusaha mendesak keluar kadar racun yang berada dalam tubuhnya.
Cara mengusir racun ini jauh lebih mudah daripada cara penyembuhan Siao-Iiong Ii tadi, waktu kecilnya Yo Ko sudah pernah kena racun jarum Li Bok chiu dan mendapat pertolongan Auyang Hong, sekarang kepandaiannya sedemikian tinggi, begitu pula Hiat-to Siao-Iiong-li juga sudah lancar, tentu tidak sulit mengeluarkan racun dalam tubuh asalkan tidak direcoki Li Bok-chiu.
Li Bok chiu juga tahu maksud tujuan Yo Ko ketika melihat anak muda, itu menerjang keluar dengan membopong Siao-liong li dengan sendirinya ia tidak membiarkan Yo Ko mencapai tujuannya, cuma ia tidak berani mendekat dan menyerang, ia terus menguntit saja dari belakang dalam jarak dua-tiga meter jauhnya.
Bila Yo Ko berhenti dan menunggu dia mendekat, dia justeru berhenti juga dan menunggu.
Yo Ko merasa debar jantungnya semakin keras dan tak sanggup bertahan lagi, dengan sempoyongan ia berlari masuk sebuah kamar dan mendudukkan Siao liog- li di atas meja batu, ia sendiri lantas terengah-engah sambil berpegang tepi meja tanpa menghiraukan Li Bok-chiu tetap mengintil dibelakang.
Karena Li Bok chiu juga pernah tinggal di dalam kuburan kuno ini, meski ketajamannya memandang di tempat gelap tidak sebaik Yo Ko berdua, tapi iapun dapat melihat jelas bahwa di kamar itu berjajar lima buah peti mati.
“Suhu benar-benar pilih kasih, selamanya aku tidak diberitahu tempat-tempat rahasia seperti ini, kiranya di sini ada lima buah peti mati,” demikian Li Bok-chiu berpikir, ia tidak tahu bahwa kamar ini adalah makam guru dan kakek gurunya.
Selama hidup Li Bok-chiu telah membunuh orang tak terbilang jumlahnya, maka tentang peti mati, mayat dan sebagainya tidak membuatnya heran. Diam-diam iapun bergirang melihat keadaan Yo Ko yang sudah payah itu, ia lantas menyindir “Hehe, tempat pilihanmu ini sungguh bagus sekali sebagai kuburanmu.”
Pandangan Nyo Kb sebenarnya sudah samar-samar, mendengar ucapan Li Bok-chiu itu, ia coba meng-amat-amati kamar itu, ternyata tangannya bukan menahan di atas meja batu segala melainkan sebuah peti mati batu, jadi Siao-liong-li juga berduduk di atas peti batu.
Tanpa terasa ia merasa ngeri, pikirnya: “Tempo hari Liong-ji ingin aku mati bersamanya di sini, sekuatnya aku melarikan diri, siapa tahu akhirnya kami mati juga di sini, mungkin memang sudah suratan nasib dan takdir ilahi.”
Keadaan Siao-liong-li juga lemah dan setengah sadar, tapi samar-samar iapun mengetahui dirinya berada di samping peti mati sang guru, Teringat bahwa dirinya sudah berdekatan dengan gurunya, hatinya terasa lega, ia menghela napas panjang seakan-akan orang yang pergi jauh baru pulang kampung halaman dengan aman.
Begitulah mereka bertiga diam, seorang berdiri dan seorang berduduk, seorang lagi setengah bersandar kecuali suara hembusan napas tiada terdengar suara lain di kamar batu itu.
“Andaikan aku dan Liong-ji harus mati sekarang, sebisanya harus kucegah agar iblis ini tidak mendapatkan kitab pusaka ini dan berbuat lebih jahat lagi dunia luar,” demikian pikir Nyo Ko.
Tiba-tiba ia mendapat satu akal, ia tahu di antara lima buah peti mati batu itu tiga diantaranya sudah terisi, yaitu jenazah Lim Tiau-eng dan muridnya serta Sun-popoh, dua peti lainnya masih kosong dan tersedia bagi Siao-liong-li dan Li Bok-chiu.
Tutup kedua peti mati yang kosong itu belum dirapatkan dan masih terlihat celah selebar satu meteran. mendadak Nyo Ko angkat pedangnya dan mencukil bungkusan berisi Giok-li-sim-keng itu sehingga mencelat ke dalam satu peti yang kosong itu, berbareng iapun membentak: “Hm, keparat  betapapun kitab pusaka ini takkan kuserahkan padamu, aduuh…” tiba-tiba ia menjerit terus roboh.
Li Bok-chiu terkejut dan bergirang, ia kuatir jangan-jangan Yo Ko hendak memancingnya, maka dia menunggu sejenak, ketika melihat anak muda itu sama sekali tidak bergerak lagi barulah ia mendekatinya dan coba meraba mukanya, rasanya dingin dan jelas sudah mati.
“Hahaha, betapapun licik dan licinmu, akhirnya kau mampus juga!” serunya kemudian sambil berbahak, lalu ia mendekati peti batu dan menjulurkan tangan dengan maksud hendak mengambil bungkusan yang terlempar ke dalam peti tadi.
Namun bungkusan itu oleh Yo Ko ternyata dilemparkan ke ujung peti yang tertutup sana, Kebut Li Bok-chiu sudah putus, kalau tidak tentu ujung kebut dapat digunakan untuk meraih sebisanya ia mengulur tangan dan me raba-raba, namun hasilnya tetap nihil, Akhirnya ia tidak sabar, ia terus menyusup ke dalam peti, dengan begitu barulah bungkusan itu dapat dipegangnya.
Akan tetapi pada saat itulah Yo Ko berbangkit tangan kirinya mendorong sekuatnya, kontan tutup peti itu terus merapat, seketika Li Bok-chiu terkurung di dalam peti batu itu.
Kiranya jatuh dan jeritan Yo Ko tadi cuma pura-pura saja, serentak ia nembikin ruwet denyut nadinya sehingga mukanya menjadi dingin laksana orang mati. Padahal orang mati sebagaimanapun tidak mungkin jasadnya lantas kaku dingin seketika, untuk itu sedikitnya makan waktu setengah jam.
Tapi rupanya saking girangnya Li Bok-chiu menjadi kurang teliti dan terjebak oleh akal Yo Ko.
Begitu Li Bok-chiu sudah terpancing masuk peti dan ditutup rapat, segera Yo Ko menggunakan pedangnya untuk menyungkit sekuatnya peti mati kosong satunya lagi untuk ditindihkan di atasnya, dengan demikian, berat tutup ditambah peti batu sedikitnya setengah ton, betapapun tak bisa keluar biarpun memiliki kepandaian setinggi langit.
Yo Ko sendiri sebenarnya dalam keadaan payah hanya terdorong oleh tekad ingin bertahan sampai detik terakhir, maka sekuatnya ia, mcncungkit peti batu tadi, habis itu ia benar-benar kehabisan tenaga, pedang dilemparkan kelantai, dengan sempoyongan ia mendekati Siao-liong-li, lebih dulu ia menggunakan ilmu ajaran Auyang Hong dahulu untuk menguras keluar sebagian racun dalam tubuh sendiri, habis itu barulah ia menempelkan tangan sendiri pada tangan Siao liong li untuk bantu penyembuhan nona itu.
Sementara itu Kwe Hu dan Yalu Ce berlima sedang kelabakan terkurung di kamar batu itu.
Mereka sama duduk dilantai tanpa berdaya, semakin dipikir semakin mendongkol dan penasaran tiada hentinya Bu Sam-thong mencaci maki Li Bok chiu yang kejam itu.
Dalam keadaan gelisah, Kwe Hu menjadi sebal mendengar makian Bu Sam-thong yang tiada berhenti itu, tanpa pikir ia berkata padanya: “Bu-pepek kekejian perempuan she Li itu kan sudah lama kau ketahui, apa gunanya sekarang kau mencaci maki dia?”
Bu Sam-thong melengak dan tak bisa menjawab, sebaliknya Bu Siu-bun menjadi marah karena ayahnya diomeli si nona, segera ia menanggapi “Kedatangan kita ke kuburan ini kan demi menolong adikmu, kalau tidak beruntung  mengalami kesukaran, biarlah kita mati bersama saja, kenapa kau marah-marah segala…”
“Diam, adik Bun!” cepat Bu Tun-si menghardik sehingga Siu-bun tidak melanjutkan ucapannya.
Ucapan Siu-bun itu sebenarnya cuma terdorong oleh ingin membela sang ayah saja, begitu tercetus katanya itu, segera ia sendiripun merasa heran. Padahal biasanya dia sangat penurut kepada Kwe Hu, malahan se-dapat2nya ia ingin mengerjakan apapun bagi si nona, mana berani dia berbantah dengan dia, siapa tahu sekarang dia ternyata berani menjawabnya dengan sama kerasnya.
Kwe Hu juga melenggong karena tidak pernah menyangka si Bu cilik berani berbantah dengan dia, ingin dia bicara lagi, tapi rasanya tiada sesuatu alasan kuat yang dapat dikemukannya, Teringat bahwa dirinya akan mati terkurung di kuburan kuno ini dan takkan bertemu lagi selamanya dengan ayah bunda, ia menjadi sedih dan mcnangis.
Dalam kegelapan dan tidak dapat memandang keadaan sekitarnya, tanpa terasa ia mendekap di atas sesuatu dan menangislah dia terguguk-guguk.
Mendadak si nona menangis, Siu-bun merasa tidak enak, katanya: “Baiklah, aku mengaku salah, biarlah kuminta maaf padamu.”
“Apa gunanya minta maaf!” jawab Kwe Hu dan tangisnya semakin menjadi sekenanya ia tarik sepotong kain untuk mengusap ingusnya, tapi mendadak disadarinya ternyata..dia mendekap di atas paha seorang dan kain yang dibuat mengusap ingus itu kiranya ujung baju orang itu.
Dengan terkejut cepat Kwe Hu menegakkan tubuhnya, dari persiapan Bu Sam-thong dan kedua anaknya tadi, jelas mereka bertiga duduk di sebelah sana, hanya Yalu Ce saja yang berdiam tanpa bersuara, jelas orang ini adalah dia.
Keruan Kwe Hu menjadi malu. “Aku….aku….”, katanya dengan tersipu-sipu.
Pada saat itulah tiba-tiba Yalu Ce berkata: “He, dengarkan, suara apakah itu?”
Waktu mereka pasang kuping yang cermat, ternyata tiada mendengar sesuatu, Tapi Yalu Ce berkata pula: “Ehm, itukah suara tangisan anak kecil, nona Kwe, pasti suara adikmu itu.”
Karena teraling oleh dinding batu, suara itu sangat halus kalau bukan indera pendengaran Yalu Ce sangat tajam pasti tidak mendengarnya. Cepat ia berbangkit dan melangkah ke sana, tapi suara itu lantas terdengar Iemah, ia coba membalik ke sebelah lain, ternyata suara itu tambah jelas, Segera ia menuju ke ujung sana, ia gunakan pedangnya untuk menusuk dan mencungkil pelahan, terdengar suaranya agak lain.
agaknya dinding di situ rada tipis.
Segera ia menyimpan pedangnya, kedua tangannya coba menahan di dinding batu itu dan didorongnya, namun tidak bergeming sedikitpun. Ia coba ganti haluan, ia menarik “napas kuat-kuat, lalu kedua tangan menolak pula, menyusul terus aipomir daya tarik dengan gaya “lengket” mendadak “blang”
satu kali. sepotong batu kena ditarik lepas oleh tenaga sedotan tangannya dan jatuh ke lantai.
Tentu saja Kwe Hu dan lain sangat girang, sambil bersorak mereka terus memburu maju dan ikut menarik dan membongkar, sebentar saja beberapa potong batu kena dilepaskan pula dan kini sebuah lubang sudah cukup digunakan untuk menerobos. Ber-turut-urut mereka lantas menerobos ke -sana, Kwe Hu terus mencari dengan mengikuti arah suara, akhirnya mereka sampai di suatu kamar batu yang kecil, dalam kegelapan suara tangisan anak itu terdengar sangat keras, cepat Kwe Hu mendorongnya.
Bayi itu memang betul Kwe Yang adanya, Demi menyembuhkan Siao liong-li, pula harus menempur Li Bok-chiu, maka Yo Ko tidak sempat menyuap orok itu, karena lapar, anak itu menangis sejadinya.
Kwe Hu berusaha meminang dan membujuki tapi saking kelaparan, bukannya diam, sebaliknya tangis Kwe Yang semakin keras.
Akhirnya Kwe Hu menjadi tidak sabar dan menyodorkan kepada Bu Sam-thong, katanya: “Paman Bu, coba kau memeriksanya apakah ada sesuatu yang tidak beres.”
Dalam pada itu Yalu Ce sedang meraba-raba ke-sana kemari, akhirnya di atas meja dapat ditemukan sebuah Caktay (tatakan lilin), menyusul teraba pula batu api dan alat ketiknya, setelah membuat api dan menyulut lilin, seketika pandangan semua orang terbeliak. setelah terkurung di tempat gelap sekian lamanya, baru sekarang dada mereka merasa lapang oleh cahaya terang.

Betapapun Bu Sam-thong adalah orang tua yang berpengalaman dari suara tangisan Kwe Yang itu, ia tahu anak ini pasti merasa lapar, Dilihatnya di atas meja ada setengah mangkuk air madu, pula sebuah sendok kayu kecil, segera ia  menyuapi anak itu dengan air madu dengan sedikit2. Benar saja, begitu air masuk mulutnya, Kwe Yang lantas berhenti menangis.
“Kalau nona Kwe cilik ini tidak menangis kelaparan, mungkin kita akan mati semua di kamar batu itu,” ujar Yalu Ce dengan tertawa.
“Segera kita pergi mencari jahanam Li Bok-chiu.” kata Bu Sam-thong dengan penuh dendam.
Mereka masing-masing lantas memotong kaki kunsi untuk digunakan sebagai obor, lalu menyusun Iorong2, setiap ada pengkolan Bu Tun si lantas memberi tanda dengan ujung pedang agar nanti kembalinya tidak tersesat.
Begitulah mereka terus mencari jejak Li Bok-chiu dari sebuah ruangan ke ruangan yang lain. Rupanya dahulu Ong Tiong-yang gagal memimpin pasukannya melawan pasukan Kim, lalu dia dan anak buahnya membangun kuburan raksasa ini di lereng Cong-Iam-san ini sebagai tempat tirakatnya.
Sudah tentu Yalu Ce dan lain- sama terheran-heran melihat betapa luasnya kuburan ini, sungguh tak tersangka bahwa dibawah sungai kecil itu terdapat bangunan raksasa begitu.
Ketika mereka sampai di kamar Siao-Iiong-li tertampak kebut Li Bok-chiu yang putus itu berserakan di lantai, di samping sana ada pula dua jarum perak milik Li Bok-chiu, Kwe Hu membungkus tangannya dan menjemput jarum itu, katanya dengan tertawa: “Sebentar akupun gunakan jarum berbisa ini untuk balas menusuk iblis keparat itu.”
Dalam pada itu Yo Ko sedang bantu mendesak keluar racun dalam tubuh Siao-Iiong li, dari jari si nona telah merembes keluar air hitam, asal setanakan nasi lagi mungkin usahanya, akan berhasil Pada saat itulah tiba-tiba dari lorong sana ada suara undakan orang, seluruhnya ada lima orang sedang mendatangi.
Diam-diam Yo Ko terkejut, dalam keadaan genting begitu, andaikan diserang seorang Li Bok-chiu saja sukar melawannya, apalagi sekarang musuh berjumlah lima orang.
Selagi bingung dan gelisah, mendadak terlihat cahaya api berkelebat di kejauhan, kelima orang itu sudah semakin dekat.
Tanpa pikir Yo Ko rangkul Siao-liong-li dan melompat masuk ke dalam peti batu yang menindih di atas Li Bok-chiu itu, lalu ia menggeser sekuatnya tutup peti, hanya saja tidak dirapatkan agar nanti tidak mengalami kesukaran jika hendak keluar.
Baru saja mereka sembunyi di dalam peti batu, serentak Yalu Ce berlima lantas masuk juga ke kamar itu. Mereka terkesiap melihat di kamar itu ditaruh lima buah peti mati, samar-samar mereka merasakan hal ini sungguh teramat kebetulan, mereka berlima dan jumlah peti mati di situ juga lima, sungguh alamat jelek.
Tanpa terasa Kwe Hu bergumam: “Hm, kita berlima peti mati inipun lima!”
Yo Ko dan Siao-Iiong-Ii dapat mendengar suara Kwe Hu itu, mereka sama heran bahwa yang datang ini di antaranya ternyata nona Kwe ini.
Yalu Ce juga mendengar di dalam peti itu ada suara napas orang, ia pikir pasti Li Bok-cbiu yang sembunyi di situ, Segera ia memberi tanda agar kawannya mengelilingi peti itu.
Dari sela-sela peti yang belum tertutup rapat itu samar-samar Kwe Hu dapat melihat ujung baju orang yang sembunyi di dalamnya, ia yakin orang itu pasti Li Bok-chiu adanya, Dengan tertawa ia lantas membentak: “lnilah senjata makan tuan!” Sekali ia dorong tutup peti, berbareng dua buah jarum berbisa yang dijemputnya tadi terus disambitkan kedalam.
Meski Yo Ko sembunyi di dalam peti dengan merangkul Siao-liong-li, tapi tangan kirinya tetap menempel tangan kanan nona itu dan berusaha menguras bersih racun melalui tubuhnya dalam waktu singkat yang menentukan mati-hidup mereka itu.
Walaupun heran ketika mendengar antara pendatang2, itu juga terdapat Kwe Hu, tapi hatinya merasa lega juga karena yang datang itu bukan musuh.
Sudah tentu tak disangkanya pula bahwa mendadak Kwe Hu akan menyerangnya, maka dengan diam saja meneruskan penyembuhannya pada Siao liong-it dengan tekun, Siapa tahu Kwe Hu justeru menyangka mereka sebagai Li Bok-chiu dan menyerang dengan jarum berbisa. Karena jaraknya sangat dekat, di dalam peti itupun sukar bergerak tiada peluang untuk menghindar, seketika Yo Ko berdua menjerit, jarum yang satu mengenai paha kanan anak muda itu dan jarum lain mengenai bahu kiri Siao-liong-Ii..
Setelah menyambitkan jarum, hati Kwe Hu sangat senang, tapi mendadak terdengar suara jeritan lelaki dan perempuan di dalam peti, seketika iapun menjerit kaget, Segera Yalu Ce mendepak tutup peti itu hingga terjatuh ke tantai, dengan  pelahan Yo Ko dan Siao-Iiong-Ii lantas berdih, di bawah cahaya obor tertampak muka mereka pucat pasi dan saling pandang dengan pedih.
Kwe Hu sendiri belum menyadari kesalahan yang diperbuatnya sekali ini jauh lebih hebat daripada mengutungi sebelah lengan Yo Ko, dia cuma merasa menyesal saja dan coba meminta maaf, ka-tanya: “Nyo-toako dan Liong-cici, kiranya engkau yang berada di situ sehingga kusalah melukai kalian, untunglah ibuku menyimpan obat mujarab penawar racun jarum ini, dahulu dua ekor rajawaliku juga pernah terluka oleh jarum ini dan dapat disembuhkan oleh ibuku.
Aneh juga, mengapa kalian sembunyi di dalam peti? Tentu saja aku tidak menyangka akan kalian?”
Kiranya urusan membuntungi lengan Yo Ko itu sudah selesai dengan dibengkokkan pedangnya oleh oleh anak muda itu tempo hari, apalagi ayah bundanya juga sudah cukup mencaci-makinya habis-habis an, maka dalam anggapan Kwe Hu: “Biarlah takkan kusalahkan kau dan anggap beres persoalan ini.”
Demikianlah jalan pikiran nona manja macam Kwe Hu ini, selama hidupnya selalu disanjung orang, lantaran menghormati ayah-ibunya, maka orang lain juga suka menghormat dan mengalah padanya, sebab itulah segala urusan yg terpikir selalu dirinya sendiri yang diutamakan dan jarang memikirkan kepentingan orang lain, Dari nada ucapannya tadi malahan akhirnya seakan-akan anggap salah sendiri Yo Ko berdua yang sembunyi di dalam peti batu itu’sehingr: ga membuatnya kaget malah.
Mana dia mau tahu bahwa tatkala terkena sambitan jarumnya itu, ketika itu kadar racun dalam tubuh Siao-iiong-li justeru sedang mengalif keluar, tapi mendadak terguncang oleh serangan dari luar sehingga seluruh racun itu mengalir balik merasuk segenap Hiat-to di tubuh nona itu, dengan demikian sekalipun ada obat mujarab malaikat dewata juga sukar menolongnya lagi.
Sesaat itu Siao-liong-Ii merasa dadanya seperti kosong melompong, hampa dan linglung, ia menoleh dan melihat sorot mata si Yo Ko penuh rasa duka, gemas dan penasaran, tubuhnya juga gemetaran seakan-akan segenap siksa derita yang pernah dialami nya hendak dilampiaskannya sekarang juga.
Siao-liong-li tidak tega melihat kepedihan hati anak muda itu dan kuatir dia bertindak nekad, cepat ia menghiburnya:
“Ko-ji, agaknya sudah suratan nasib kita harus begini, janganlah kau salahkan, orang lain dan bersedih.”
Lebih dulu ia mencabut jarum di paha anak muda itu, lalu mencabut jarum yang menancap di bahu sendiri, jarum berbisa itu berasal dari perguruannya dan berbeda daripada racun pukulan berbisa ajaran Auyang Hong, jadi dapat disembuhkan dengan obat perguruan yang selalu dibawanya.
Segera ia mengeluarkan satu biji obat kepada Yo Ko, lalu ia sendiripun minum satu biji.
Hati Yo Ko tak terperikan pedih dari gemas-nya, “berrrr”, ia menyemburkan obat penawar itu ke tanah.
Kwe Hu jadi gusar, serunya: “Aduh, besar amat lagakmu!,Memangnya aku sengaja hendak membikin celaka kalian? Kan sudah kuminta maaf pada-mu, mengapa kau masih marah-marah saja?”
Dari air muka Yo Ko yang penuh rasa duka nestapa, lalu rasa gusarnya semakin memuncak serta menjemput kembali pedangnya yang ke-hitam-hitaman itu, Bu Sam-thong tabu gelagat bisa runyam, maka cepat ia menghibur anak muda itu:
“Janganlah marah adik Nyo, soalnya kami berlima terkurung oleh iblis she Li itu di kamar batu sana dan dengan susah payah akhirnya berhasil lolos, karena kecerobohan nona Kwe sehingga dia…”
“Mengapa kau anggap aku yang ceroboh?” sela Kwe Hu mendadak, “Salah siapa dia sembunyi di situ dan diam saja, malahan kau sendiripun mengira dia Li Bok chiu:”
Bu Sam-thong menjadi serba salah, ia pandang NyoKo dan pandang pula Kwe Hu dengan bingung.
Siao liong-li lantas mengeluarkan pula satu butir obatnya, katanya dengan suara lembut: “Ko-ji, minumlah obat ini.
Masakah perkataanku juga tak-kan kau turut?”
Tanpa pikir Yo Ko lantas minum obat itui Suara Siao-liong-Ii yang lembut dan penuh kasih sayang itu
mengingatkannya selama ber-hari-hari ini mereka berdua senantiasa bergulat antara mati dan hidup, tapi akhirnya semua harapannya telah buyar, sungguh sedihnya tak terkatakan, ia tidak tahan lagi, ia mendekap di atas peti batu itu dan menangis keras-keras.
Bu Sam-thong dan lain-lain saling pandang dengan bingung,- biasanya hati Yo Ko sangat terbukaj menghadapi urusan apapun tidak mudah menyerah, mengapa sekarang cuma terkena sebuah jarum saja lantas menangis sedih begitu?
Dengan pelahan Siao-”iong-li membelai rambut Yo Ko, katanya: “Ko-ji, boleh kau suruh mereka itu pergi saja, aku tidak akan kumpul bersama mereka.”
Selamanya Siao-liongli tidak pernah bicara keras, kalimat “aku tidak suka berkumpul bersama mereka” sudah cukup menunjukkan rasa jemu dan marahnya, Segera Yo Ko berbangkit dimulai dari Kwe Hu, sorot matanya terus menyapu setiap orang itu, biarpun marah dan gemas, tapi iapun tahu bahwa serangan Kwe Hu tadi sesungguhnya tidaklah sengaja, kecuali ceroboh, rasanya tiada kesalahan lain, apalagi seumpama nona itu dibunuh juga tak-dapat lagi menyelamatkan jiwa Siao-liong-li.
Begitulah Nya Ko berdiri dengan sinar mata berapi dan menghunus pedang, mendadak pedangnya membacok sekuatnya, “trang”, tahu-tahu peti batu yang dibuatnya sembunyi tadi telah ditabasnya menjadi dua potong, bukan saja tenaganya maha kuat bacokannya itu, bahkan mengandung penuh rasa duka dan marah, Yalu Ce dan lain-2 sama melenggong melihat betapa dahsyatnya pedang Yo Ko itu, Padahal peti batu itu tebal dan kuat, tapi sekali bacok saja pedang ke-hitam-hitaman itu ternyata mampu memotongnya, bahkan jauh lebih mudah memotong sebuah peti mati kayu.
Melihat kelima orang itu saling pandang dengan bingung Yo Ko lantas membentak dengan bengis.
“Untuk apa kalian datang ke sini?”
“Adik Nyo, kami ikut Kwe-hujin ke sini untuk mencari kau,” jawab Sam-thong
“Hm, kalian ingin merebut kembali puterinya betul tidak?” bentak Yo Ko pula dengan gusar.
“Demi anak kecil ini, kalian tega menewaskan isteri kesayanganku.”
“lsteri kesayanganmu?” Sam-thong menegas, “O ya, nona Liong ini! Dia terkena racun jarunr untung Kwe hujin mempunyai obat penawarnya, beliau sedang menunggu diluar sana.”
“Huh, kalau ada Kwe-hujin lantas bisa apa? Memangnya dia mempunyai kepandaian menghidupkan orang yang jelas pasti akan mati?” jengek Yo Ko dengan gusar.
“Justeru gangguan kedatangan kalian serta jarum berbisa tadi, kadar racun sudah mengeram di segenap Hiat-to penting tubuhnya,”
Lantaran utang budi, maka Bu Sam-thong sangat hormat dan segan kepada Yo Ko, biarpun didamperat juga diterimanya, ia menggumam kaget: “Kadar racun telah mengeram di tubuhnya? Wah lantas bagaimana baiknya?”
Ternyata Kwe Hu tidak menyadari kesalahannya.
sebaliknya ia menjadi marah karena ucapan Yo Ko tadi kurang menghormat pada ibunya, dengan gusar ia lantas membentak: “Memangnya salah apa ibuku padamu? Waktu kecil kau terluntang Iantung seperti orang gelandangan, bukankah ibu yang membawa kau ke rumah, diberi makan dan diberi baju, tapi kau justeru lupa budi dan tak tahu diri, malah mau menculik adik perempuanku.”
Padahal sekarang iapun tahu jelas sebabnya Kwe Yang berada di tangan Yo Ko bukanlah karena anak muda itu bermaksud jahat, soalnya dia telah telanjur mengomel maka  segala apa yang dapat mencemoohkan Yo Ko lantas diucapkannya.
Yo Ko lantas mendengus pula: “Hm, memang aku sengata lupa budi dan tidak tahu diri, kau menuduh kuculik adikmu, maka benar-benar akan kuculik anak ini dan takkan kukembalikan selamanya, ingin kulihat kau dapat mengapakan diriku?”
Karena ancaman itu, segera Kwe Hu memondong adiknya dengan kencang, tangan lain memegang obor dan diacungkan ke depan, Bu Sam-thong berseru: “Adik Nyo, jika isterimu keracunan, sebaiknya lekas berusaha menolongnya “
“Tak berguna lagi, Bu-heng.” kata Yo Ko dengan pedih, mendadak ia bersuit panjang,” lengan baju kanannya terus mengebas.
Seketika Kwe Hu dan kedua saudara Bu mera-sakan angin keras menyamber, muka mereka panas pedas seperti tcrsayat, lima buah obor padam serentak dan keadaan menjadi gelap gulita.
“Celaka!” jerit Kwe Hu. Kuatir nona itu dicelakai Yo Ko, cepat Yelu Ce menubruk maju, Tapi lantas terdengar pekik tangis Kwe Yang, suaranya sudah berada di luar kamar sana.
Keruan semua orang terkejut, ketika mereka menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu suara tangisan tadi sudah berada sejauh ratusan meter, betapa cepat gerakan Yo Ko itu sungguh laksana hantu saja.
“Adik telah dirampas lagi olehnya,” seru Kwe Hu cemas.
“Adik Nyo! Nona Liong!” berulang-ulang Bu Sam, thong memanggil Akan tetapi tiada sesuatu jawaban.
“Lekas keluar, jangan sampai kita terkurung di sini,” seru Yalu Ce.
Dengan gusar Bu Sam-thong berkata: “Adik Nyo adalah orang berbudi, manabisa dia berbuat demikian,”
“Lebih baik lekas keluar, buat apa tinggal di sini?” ujar Kwe Hu. Baru habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara “kxek-krek” beberapa kali, suara itu timbul dari peti mati itu. Cuma teraling oleh tutup peti sehingga suaranya kedengaran agak tersumbat dan seram.
“Ada setan!” teriak Kwe Hu sambil memegangi tangan Yalu Ce.

Dengan jelas Bu Sam-thong dan lain-lain juga mendengar suara itu keluar dari peti mati itu seakan2 ada mayat hidup akan merangkak keluar, keruan mereka sama merinding.
Yalu Ce berbisik pada Bu Sam-thong: “Bu-siok-siok, kau jaga di situ dan aku di sini, jika mayat hidup itu keluar, serentak kita menghantam-nya, mustahil dia takkan hancur luluh.”
Berbareng itu ia tarik Kwe Hu ke belakangnya agar tidak dicelakai setan yang mendadak muncul.
Pada saat itulah, “blang”, terdengar suara keras, dari dalam peti mati mendadak melayang keluar sesuatu, serentak Yalu Ce dan Bu Sam-thong memukulkan tangan-angan mereka, Tapi begitu tangan menyentuh benda itu, berbareng mereka berseru: “Celaka!” - Kiranya benda yang kena hantam  itu adalah sepotong batu, yaitu bantalan batu didalam peti mati itu.
Kontan bantal batu itu hancur membentur peti batu, hampir pada saat yang sama sesuatu benda melayang lewat puIa, baru saja Yalu Ce dan Bu Sam-thong hendak memukuI, namun benda itu sudah melayang jauh ke sana, terdengar suara tertawa orang mengekek, lalu lenyap dan sunyi kembali.
“He, Li Bok-chiu.” seru Sam-thong kaget.
“Bukan, tapi mayat hidup!” ujar Kwe Hu.
“Mana bisa Li Bok-chiu berada di dalam peti mati ini.”.
Yalu Ce tidak ikut menanggapi, ia tidak percaya di dunia ini ada setan segala, tapi bilang Li Bok-chiu rasanya juga tidak masuk diakal Jelas Li Bok-chiu datang bersama mereka, sedangkan Yo Ko dan Siao-liong-li sudah tinggal sekian lama di kuburan kuno ini, mana bisa terjadi Li Bok-chiu sembunyi di dalam peti mati yang terletak di bawah tempat sembunyi Nyo Ko tadi?
“Habis ke mana perginya Li Bok-chiu?” tanya Bu Sam-thong.
“Banyak keanehan di dalam kuburan ini sebaiknya lekas kita keluar saja,” ajak Yalu Ce.
“Bagaimana dengan adikku?” tanya Kwe Hu.
“lbumu banyak tipu dayanya tentu dia mempunyai akal yang baik, marilah kita keluar ke sana dan minta petunjuknya,” ujar Sam-thong.
Begitulah mereka lantas mencari jalan keluar dengan melalui sungai itu. Tapi baru saja mereka muncul di permukaan air, pemandangan yang mereka lihat adalah merah membara, pepohonan di kanan kiri sungai ternyata sudah terbakar semua, hawa panas serasa membakar muka mereka.
“lbu, ibu!” teriak Kwe Hu kuatir, tapi tidak mendapatkan jawaban,
Sekonyong-konyong sebatang pohon yang sudah terbakar roboh dan mengeluarkan suara gemuruh, Melihat keadaan sangat berbahaya, cepat Yalu Ce menarik Kwe Hu dan berenang ke hulu menjauhi tempat pohon roboh itu.
Tatkala itu adalah musim kerirrg, pepohonan dan rerumputan mudah terbakar, di-mana-mana api me-ngamuk, seluruh gunung sudah menjadi lautan api, Meski mereka terendam di dalam air sungai, muka merekapun terasa panas tergarang oleh api yang berkobar dengan hebat itu.
“Pasti pasukan Mongol yang gagal menyerang Tiong-yang-kiong itu yang melampiaskan dendam dengan membakar Cong-lam-san ini.” kata Bu Sam thong.
“lbu, ibu! Di mana kau?” teriak Kwe Hu pula kuatir.
Tiba-tiba di kiri sungai sana ada bayangan seorang perempuan sedang ber lompat2 kian kemari menghindari api.
Kwe Hu menjadi girang dan berseru: “lbu!” Tanpa pikir ia terus melompat keluar dari sungai dan memburu ke sana.
“He, awas!” seru Sam-thong. Mendadak dua pohon besar roboh pula dan mengalingi pemandangan Bu Sam-thong.
Kwe Hu terus berlari ke sana, di bawah gumpalan asap dan menerjang api. Karena ingin menemukan ibunya, maka tanpa pikir ia memburu maju, sesudah dekat barulah ia merasa bayangan orang itu menoleh dan ternyata Li Bok-chiu adanya. Keruan kejut Kwe Hu tak terkatakan.
Sebenarnya Li Bok-chiu benar-benar sudah putus asa setelah tertutup di dalam peti batu itu dan di-tindih lagi peti lainnya oleh Yo Ko. Tapi kemudian dalam gusarnya tanpa sengaja Yo Ko telan membacok peti batu yang menindihnya itu hingga tutup peti bagian bawah juga ikut retak terbacok. Li Bok chiu benar-benar lolos dari renggutan maut, kesempatan itu tidak di-sia-siakan olehnya, lebih dulu ia melemparkan keluar bantal batu, habis itu iapun melompat keluar Meski belum lama ia terkurung di dalam peti mati itu, tapi rasanya orang akan mati sesak napas itu benar-benar keadaan yang paling menderita dan paling mengenaskan dalam waktu yang singkat itu pikirannya diliputi penuh rasa dendam, ia benci kepada setiap manusia yang hidup di dunia ini, pikirnya:
“Setelah mati aku pasti menjadi hantu yang jahat, akan kubinasakan Yo Ko, bunuh Siaoliong-li, Bu Sam-thong, Ui, Yong dan lain-lain…”
Begitulah setiap orang akan dibunuhnya untuk membalas sakit hatinya. Meski kemudian dia berhasil lolos dengan selamat meski secara kebetulan, tapi rasa dendam dan bencinya tidak menjadi ber-kurang.
Kini mendadak Kwe Hu muncul sendiri di-badapannya, ia menjadi girang dengan tersenyum ia menegurnya- “Eh kiranya kau, nona Kwe! Api berkobar dengan hebatnya, kau harus hati-hati.”
Kwe Hu tidak menyangka orang akan bersikap begini ramah padanya-, segera ia bertanya: “Apakah engkau melihat ibuku?”
Waktu Kwe Hu memandang ke arah yang di tunjuk, mendadak Li Bck-chiu menubruk tiba, sekali tangannya bekerja, Hiat-to di pinggang Kwe Hu sudah tertutuk olehnya, dengan tertawa Li Bok-chiu berkata: “Sabarlah, kau tunggu saja di sini, segera ibumu akan datang.”
Sementara itu api berkobar semakin hebat dan mendesak dari berbagai jurusan, kalau lebih lama di situ mungkin jiwa sendiripun akan melayang, Karena itulah Li Bok-chiu lantas melompat ke sana dan berlari cepat ke arah yang belum terjilat api.
Kwe Hu tergeletak tak bisa berkutik menyaksikan kepergian Li Bok-chiu. Mendadak segumpal asap menyamber tiba, napasnya menjadi sesak, ia terbatuk-batuk hebat.
Bu Sam-thong dan Yalu Ce berempat masih berdiri di tengah sungai, muka dan kepala mereka penuh hangus, antara Kwe Hu dan sungai kecil itu telah teraling oleh api yang berkobar dengan hebatnya.
Meski mereka mengetahui si nona berada dalam bahaya, tapi jiwa mereka pasti akan ikut melayang kalau mereka memburu maju untuk menoIongnya.
Dalam keadaan sesak napas dan rasa panas seperti dipanggang, Kwe Hu hampir-hampir tak sadarkan diri Iagi.
Pada saat itulah tiba-tiba dari jurusan timur sana ada suara menderu-deru, waktu ia berpaling, dilihatnya sesosok  bayangan seperti angin lesus saja bergulung-gulung menyamber tiba.
Waktu Kwe Hu mengawasi, kiranya bayangan itu adalah Yo Ko. Pemuda itu telah menanggalkan jubahnya yang basah kuyup untuk membungkus Hiat-tiat-po-kiam, dengan tenaga dalam yang kuat ia ayun-ayunkan pedang itu untuk menyingkirkan kobaran api.
Tadinya Kwe Hu bergirang karena ada orang datang menolongnya, tapi setelah mengetahui orang itu adalah Nyo Ko, seketika perasaannya seperti di-siram air dingin meski di luar tubuh panas seperti dipanggang, Pikirnya: “Sudah dekat ajalku toh dia sengaja datang buat menghina diriku.”
Betapa pun dia adalah anak Kwe Ceng, dengan gemas ia melototi Yo Ko tanpa gentar,
Tak terduga, bagitu sampai di samping Kwe Hu, segera Yo Ko membuka Hiat-to si nona ydog tertutuk itu, pedangnya terus menusuk, tapi bukan menembus tubuhnya melainkan menerobos lewat di pinggangnya, sekali bentak: “Awas!”
Tangan kirinya terus mengayun sekuatnya ke sana, bobot pedang pusaka yang amat berat itu ditambah tenaga dalamnya yang maha kuat, seketika Kwe Hu melayang ke udara seperti terbang di awang2 dan melintasi belasan pohon besar yang terbakar, “plung”, akhirnya ia jatuh ke dalam sungai.
Lekas-lekas Yaiu Ce memburu maju untuk membangunkan Kwe Hu, tapi nona itu masih kepala pening dan mata berkunang-kunang, ia serba runyam, entah senang entah sedih.
Kiranya setelah Yo Ko dan Siao-liong-li keluar dari kuburan kuno itu dengan membawa Kwe Yang, terlihat pasukan Mongol sedang membakar hutan di lereng Cong-lam-san itu. Sudah ber-tahun-tahun mereka hidup disekitar hutan yang rindang itu, mereka menjadi menyesal dan merasasayang menyaksikan kebakaran hebat itu, tapi pasukan Mongol terlalu kuat dan sukar dilawan, terpaksa mereka tidak dapat berbuat sesuatu.
Yo Ko tidak tahu Siao-liong-li sanggup bertahan berapa lama setelah racun bersarang dalam segenap Hiat-to penting, segera ia mencari suatu gua-yang jauh dari tetumbuhan untuk bersembunyi sementara, dari jauh mereka menyaksikan Kwe Hu dirobohkan Li Bok-chiu dan tampaknya segera akan terbakar mati. Dengan gegetun Yo Ko berkata kepada Siao-Iiong-li: “Liong-ji, nona itu telah membikin sengsara padaku dan mencelakai kau pula, akhirnya dia mendapatkan ganjarannya yang setimpal seperti sekarang ini.”
Dengan heran Siao-liong-li memandang Yo Ko dengan sorot matanya yang tajam: “Ko-ji, masakah kau tak pergi menolongnya?”
“Dia telah membikin susah hingga begini, kalau tidak kubunuh dia sudah cukup baginya.” ujar Yo Ko dengan gemas.
“Ah, kita sendiri tidak beruntung, semua itu disebabkan suratan nasib, biarkan orang lain gembira dan bahagia, kan lebih baik begitu?” ujar Siao-liong-li.
Walaupun di mulutnya Yo Ko berkata begitu, tapi dalam hati merasa tidak tega ketika menyaksikan api sudah menjalar sampai di dekat Kwe Hu, Akhirnya ia berkata dengan pedih:
“Baiklah, nasib kita yang buruk, nasib orang lain yang beruntung!”
Segera ia membungkus pedang pusakanya dengan jubah sendiri yang basah itu dan setelah melemparkan Kwe Hu ke sungai, dia berlari kembali ke dekat Siao liong-li dengan baju dan rambut hangus, celananya juga terbakar sebagian, malahan pahanya telah timbul gelembung2 air akibat terbakar.
Siao-Iiong-li membawa Kwe Yang mundur ke tempat yang lebih jauh dari hawa panas, lalu ia membelai rambut Yo Ko serta membetulkan pakaiannya, tidak kepalang rasa bangganya mendapatkan seorang suami ksatria dan gagah perkasa demikian ini, ia bersandar pada tubuh Yo Ko dengan perasaan yang gembira dan bahagia.
Yo Ko merangkul pinggang Siao-liong li dan memandangi dengan terkesima, si nona yang tersorot cahaya api itu bertambah molek, sesaat itu mereka sama sekali melupakan segala duka derita di dunia ini.
Mereka berdua berada di tempat lebih tinggi, Bu Sam-thong, Kwe Hu dan Yaiu Ce berlima yang berada di sungai itu memandang dari balik api yang berkobar-kobar, tertampak pakaian kedua suami isteri itu berkibar2 tertiup angin, sikapnya agung berwibawa laksana malaikat dewata. Biasanya Kwe Hu suka memandang hina si Yo Ko, tapi sekarang ia menjadi malu diri.
Sejenak Yo Ko berdua berdiri, sambil memandangi api yang mengamuk itu, Siao-Iiong-li berkata dengan gegetun:
“Setelah terbakar habis bersih, kelak kalau pepohonan tumbuh lagi di sini, entah bagaimana wujudnya nanti?”
“Api yang dibakar pasukan Mongol ini mungkin merupakan pesta bagi pernikahan kita,” ujar Yo Ko dengan tertawa, “Mari!ah kita mengaso saja ke gua sebelah sana.”
Siao-liong-li mengiakan Keduanya lantas ber-jalan ke balik gunung sana. Tiba-tiba Bu Sam-tisong ingat sesuatu, cepat ia berteriak: “Adik Nyo Susiok dan Cu-sute terkurung di Coat-ceng-kok, engkau mau menolong mereka tidak?”
Yo Ko rada melengak, ia menggumam sendiri: “Peduli amat urusan orang lain.” Sambii berkata begitu ia terus melangkah ke sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar