Kembalinya Pendekar Rajawali 28
Tipu tendangan ini adalah pelajaran pertama
bagi orang
yang belajar ilmu silat Coan-cin pay, meski
cara
menyerangnya biasa saja tiada yang aneh, asal
sedikit paham
silat saja pasti dapat mematahkannya, Tetapi
lihaynya suatu
aliran ilmu silat letaknya justru pada tipu
serangan dasar
pertama yang dipelajarinya mula-mula, dari
sinilah baru
kemudian diikuti dengan perubahan2 lainnya
untuk
menangkan musuh.
Dengan tipu serangannya ini, terutama Ci-keng
sengaja
pertunjukkan pada Kwe Ceng dan Oey Yong
supaja kedua orang
ini tahu bahwa: Sekali pun aku tidak ajarkan
ilmu silat yang
tinggi pada-nya, masakan pelajaran dasar
pertama saja tak
mengajarkan padanya?
Sebaliknya demi nampak tendangan orang ini,
Yo Ko
tidak mengelakkan diri dengan gaya
“twe-ma-se” atau kuda-
kuda yang bergaya mundur, satu gerakan yang
tepat untuk
hindarkan tendangan “Thian-san-hui-toh”,
malahan mendadak
ia berteriak: “Aduh!”
Berbareng itu tangan kirinya lurus ke bawah
menahan di
depan perut yang hendak ditendang orang.
Melihat Yo Ko begitu berani tanpa hindarkan diri
juga
tidak berkelit, maka Ci-keng juga tidak
sungkan-sungkan lagi
segera tendangannya diayun ke de-pan, pada
saat ujung
kakinya tinggal beberapa senti dari perut Yo
Ko, di bawah
sinar pelita tiba-tiba dilihatnya pemuda ini
sedikit acungkan
jari jempol tangan kiri ke atas dan dengan
tepat mengincar
“Thay-kok-hiat” pada tungkak kakinya.
Jika tendangan ini dengan kuat diteruskan
niscaya
sebelum kakinya mengenai sasarannya dia
sendiri sudah kena
ditutuk dulu, dengan demikian, bukannya
pemuda itu menutuk
Hiat-tonya melainkan ia sendiri yang sodorkan
Hiat-tonya
untuk di-tutuk.
Ci-keng adalah jago utama dari anak murid
Coan-cin-pay
angkatan ketiga, dalam keadaan berbahaya itu
segera ia ubah
serangannya, ia membelokkan arah kakinya
hingga
tendangannya menyerempet lewat di samping Yo
Ko, dengan
demikian boleh dikatakan ia telah hindarkan
tutukan yang
berbahaya, namun tubuhnya toh menjadi
sempoyongan
hingga mukanya merah jengah.
Kwe Ceng dan Oey Yong berdiri di belakang Yo
Ko, mereka
tak melihat jari jempol yang di-acungkan
bocah ini, mereka
menyangka Ci-keng sengaja berlaku murah hati
dan tidak
menggunakan tipu lihay, sebaliknya Sun Put-ji
dan iri Ci-peng
dapat menyaksikannya dengan terang.
Ci-peng bungkam saja tak bersuara, sedang Sun
Put-ji
dengan segera berjingkrak, “Bagus kau!”
demikian teriaknya.
Dalam pada itu Ci-keng pun tidak berhenti
begitu saja,
tangan kirinya diajun, dengan cepat ia potong
ke pelipis kiri
Yo Ko, sekali ini ia menyerang dengan cara
teliti, telapak
tangan sampai tengah jalan baru mendadak ia
ganti arah,
tampaknya ia hantam pelipis kiri orang,
tetapi telapak
tangannya mendadak memotong ke leher sebelah
kanan.
Tak ia duga bahwa Yo Ko sudah masak sekali
mengapalkan Giok-li-sim-keng di luar kepala,
Sim-keng atau
kitab suci itu justru diciptakan untuk anti
ilmu silat Coan-cin-
pay. Dahulu setiap tipu serangan lihay dari
Ong Tiong-yang
tiada satupun yang dilewatkan Lim Tiaoeng
untuk
menciptakan sesuatu tipu gerakan buat
mematahkannya.
Melihat tangan kiri orang mengayun, dengan
segera Nyo
Ko merangkul kepalanya sendiri seperti orang
yang ketakutan
setengah mampus, sedangkan jari telunjuk kiri
diam-diam ia
sembunyikan dibawah lehernya sebelah kanan,
ia gunakan
tangan yang lain untuk menutupnya supaja tak
diketahui Ci-
keng.
Ketika hampir tiba telapak tangan Iawan,
mendadak Nyo
Ko kesampingkan sedikit tangan kanan-nya,
maka dengan
tepat sekali jari telunjuk kiri yang sudah
disiapkan itu telah
kena menutuk “ho-khe-hiat” tangan Ci-keng.
Kejadian inipun bukannya Yo Ko yang
menyerang, tetapi
Ci-keng sendiri yang mengantarkan tangannya
untuk ditutuk,
Yo Ko hanya menduga sebelumnya kemana
serangan orang
hendak ditujukan maka jarinya ia taruh dulu
di tempat yang
jitu.
Dan karena Hiat-to tangannya tertutuk,
seketika Ci-keng
merasa lengannya pegal linu, ia insaf terkena
akal licik orang,
dalam gusarnya iapun tak pikir panjang lagi,
dengan cepat ia
ayun kaki kiri terus menyerampang.
“Haya, celaka!” teriak Yo Ko pura-pura.
Mendadak ia sedikit tekuk lengan kirinya, ia
papak sikunya
ke bawah pinggangnya.
Dan begitu tendangan Ci-keng sampai,
tahu-tahu “Ciau-
hay-hiat” dan “Tha-ke-hiat” ditungkak kakinya
persis
mengenai ujung siku Yo Ko.
Tendangan ini dilakukan Ci-keng dengan gusar,
dengan
sendirinya kekuatannya sangat keras, dan
karena itu juga
tutukan Hiat-tonya itu menjadi sangat keras
pula, seketika
kakinya menjadi kaku dan tanpa berkuasa
orangnya terus
berlutut.
Melihat sang Sutit (murid keponakan) membikin
malu di
depan orang banyak, Lekas-lekas Sun Put-ji
jambret dan
diberdirikannya, ia tepuk punggung Ci-keng
buat melepaskan
tutukannya tadi.
Melihat sehat dan jitu sekali tindakan hitam
wanita ini,
terang kepandaiannya berpuluh kali lebih
tinggi dari Ci-keng,
Yo Ko menjadi jeri dan cepat mundur ke
samping.
Sungguhpun Sun Put-ji sudah lanjut usianya,
tetapi
wataknya ternyata sangat keras dan kaku, ia
lihat kepandaian
Yo Ko aneh luar biasa, sekalipun ia sendiri
ikut turun tangan
juga belum tentu bisa menang, maka segera ia
berseru :
“Hayo, pergi!”
Habis itu, tanpa permisi lagi ia kebas lengan
jubahnya,
sekali lompat, seperti burung saja ia
melayang keluar melalui
jendela terus naik kewuwungan rumah.
In Cie-peng seperti orang kehilangan semangat
ia hendak
memberi penjelasan pada Kwe Ceng, namun
Ci-keng sudah tak
sabar,
“Berkata apa lagi?” bentaknya gusar,
berbareng ini ia tarik
sang Sute terus melompat keluar melalui
jendela menyusul
Sun Put-ji.
Sebenarnya mata Kwe Ceng dan Oey Yong cukup
jeli dengan
sendirinya mereka tahu Ci-keng tadi telah
kena ditutuk Hiat-
tonya, cuma kelihatan Yo Ko tidak menggeraki
tangannya,
apa mungkin ada orang kosen yang membantunya
dari
samping?
Segera Kwe Ceng melongok keluar jendela,
tetapi tiada
seorangpun yang dilihatnya, Waktu Oey Yong
membalik, tiba-
tiba dilihatnya di bawah rak buku menonjol
keluar ujung
sepatu hijau yang dipakai Kwe Hu.
“Hayo, keluar Hu-ji, apa yang kau lakukan di
situ?”
serunya segera.
Dengan nakal Kwe Hu melompat keluar dari
tempat
sembunyinya sambil ketawa ngikik.
“Aku dan Bu-keh Koko sedang mencari buku
bacaan di
sini,” demikian ia coba beralasan.
Akan tetapi Oey Yong tidak gampang dibohongi,
ia tahu
tentu mereka sengaja mencuri dengar.
Di lain pihak Kwe Ceng yang berjiwa lurus
jujur selalu
mengukur orang lain dengan jiwanya sendiri
yang kesatria
sejati, ia sangka tadi Ci-keng mendadak tak
tega gunakan
pukulan yang mematikan dan pura-pura terkena
tutukan
untuk tinggalkan tempat ini. sebaliknya Oey
Yong sudah bisa
mem-bade pasti Yo Ko telah pakai tipu
muslihat cuma
berdirinya tadi di belakang Yo Ko hingga tak
dapat melihat
cara bagaimana pemuda itu geraki tangannya, pula
ia tidak
tahu bahwa di jagat ini ternyata masih ada
ilmu silat dari Giok-
li-sim-keng yang bisa menduga segala tipu apa
yang hendak
dilontarkan musuh hingga ilmu silat kaum
Coan-cin-pay
sedikitpun tak bisa berkutik maka seketikapun
ia tak habis
mengerti oleh kejadian tadi
Begitulah, selagi ia termenung-menung,
tiba-tiba ada anak
murid Kay-pang melaporkan kedatangan tamu
jauh, Sesudah
Oey Yong pandang Yo Ko sekejap, lalu bersama
Kwe Ceng
mereka pergi menyambut tetamu.
“Nyo-koko adalah teman memain kalian waktu
kecil, kalian
harus melayaninya baik-baik”, pesan Kwe Ceng
pada Bu-si
Hengte sebelum pergi.
Tetapi karena dahulu sudah tak akur dengan Yo
Ko, kini
melihat macam orang yang menjijikkan, Bu-si
Hengte semakin
pandang hina pemuda ini ia panggil seorang centing
dan
suruh mengatur tempat tidurnya Yo Ko, sedang
mereka asyik
bicara sendiri dengan Kwe Hu.
Sebaliknya Kwe Hu ternyata sangat aneh, ia
ketarik oleh
datangnya Yo Ko.
“Nyo-toako,” demikian ia tanya, “sebab apakah
gurumu
tak mau terima dirimu?”.
“Sebabnya terlalu banyak,” sahut Yo Ko,
“Pertama aku memang goblok dan malas,
kepandaian
yang Suhu ajarkan padaku selalu tak bisa
apal, pula aku tak
bisa pura-pura rendah, tak bisa menjilat dan
membaiki
orangnya Suhu…”
Mendengar kata-kata Yo Ko rada menusuk, pertama-
tama Bu Siu-bun yang tak tahan.
“Apa kau bilang?” bentaknya segera.
“Aku bilang diriku sendiri tak becus, maka
tidak disukai
Suhu,” sahut Yo Ko.
“Gurumu adalah Tosu dan tidak kawin, masakah
dia punya
anak?” ujar Kwe Hu sembari tertawa genit.
Melihat tertawa si gadis bagaikan sekuntum
bunga mawar
yang mendadak mekar berubah merah sedikit,
lekas-lekas ia
berpaling ke jurusan lain.
“Nyo-toako, baiklah kau pergi mengaso saja,
besok kita
bicara lagi,” kata Kwe Hu kemudian dengan
suara lembut.
Yo Ko mengiakan, ia ikut centing yang
melayaninya itu
dan pergi tidur, Dari belakang lapat-lapat
terdengar olehnya
suaranya Kwe Hu lagi Dan mengomel : “Aku suka
bicara
padanya, kalian peduli apa? ilmu silatnya
baik atau tidak, biar
kelak aku minta ayah ajarkan padanya.”
Nyata si nona sedang omeli Bu-si Hengte,
agaknya kedua
saudara Bu merasa cemburu karena si gadis
mengajak bicara
Yo Ko.
Besok paginya, sesudah Yo Ko sarapan, ia
lihat Kwe Hu
menyapa padanya di pekarangan depan, sedang
Bu-si Hengte
tampak longak-longok di samping sana.
Diam-diam Yo Ko tertawa geli, iapun mendekati
Kwe Hu
dan bertanya : “Kau mencari aku?”
“Ya,” sahut Kwe Hu tersenyum manis, “marilah
kita jalan-
jalan keluar, aku ingin tanya kau apa yang
kau lakukan selama
beberapa tahun ini.”
Yo Ko menjadi berduka mendengar orang
menyinggung
pengalamannya selama ini, ia pikir
pengalamannya selama ini
sungguh terlalu banyak untuk diceritakan pula
apa yang
terjadi itu mana bisa diceritakan padamu ?
Begitulah, Yo Ko dan Kwe Hu berjalan keluar,
waktu Nyo
Ko melirik, ia lihat Bo-si Hengte terus
mengikuti dari jauh. Kwe
Hu tahu, namun kedua anak muda itu tak
digubrisnya,
sebaliknya ia mencerocos menanyai Yo Ko.
Dasar Yo Ko memang pintar bicara, ia sengaja
obrol
segala apa yang tak penting, ia bum-bu2i pula
hingga Kwe Hu
dibikin senang dan ketawa ter-kikih2.
Dengan pelahan akhirnya mereka berdua sampai
di bawah
satu pohon Liu, tiba-tiba terdengar
me-ringkiknya kuda,
seekor kuda buduk kurus mendekati Yo Ko
sambil
menggosok-gosok moncongnya pada tubuh pemuda
ini,
tampaknya kasih sayang. sekali antara mereka.
Melihat kuda sejelek ini, tiba-tiba Bu-si
Hengte ketawa
terbahak-bahak sambil mendekati Kwe Hu dan Yo
Ko.
“Nyo-heng,” demikian Siu-bun berkata lebih
dulu, “kuda
mestikamu ini sungguh hebat amat, beruntung
kau dapat
memperolehnya. Bilakah kau pun mencarikan
seekor untuk
aku.”
“Kuda ini datang dari negeri Langka, mana
mampu kau
membelinya?” sela Bu Tun-si berlagak
sungguh-sungguh.
Mendengar orang menyebut kuda, tanpa terasa
Kwe Hu
memandang Yo Ko, lalu pandang lagi kuda jelek
itu, ia lihat
ke-dua2nya sama-sama kotor dan dekil, ia
tertawa geli juga.
Namun Yo Ko tak marah, sebaliknya ia pua
bergelak
ketawa.
“Haha, kudaku jelek, orangnya pun jelek,
sesungguhnya
memang jodoh yang setimpal,” demikian
katanya, “Dan
binatang tunggangan Bu-heng berdua tentunya
bagus luar
biasa?”
Apakah selanjutnya Yo Ko bisa hidup rukun
berdampingan
dengan Kwe Hu dan Bu-si Hengte ?
Kepada siapa Oey Yong akan turunkan jabatan
Pangcu
Kaypang? Kepada Yo Ko yang dicalonkan jadi
menantunya
oleh Kwe Ceng?
Jilid 18
“Kuda kami sesungguhnya tidak banyak lebih
bagus dari
kudamu yang buduk ini,” sahut Siu-bun.
“Tetapi kuda merah
Hu-moay (adik Hu) itulah baru kuda mestika
sungguh-
sungguh. Dahulu kau pernah tinggal di
Tho-hoa-to, tentu kau
sudah melihatnya.”
“O, kiranya Kwe-pepek telah memberikan kuda
merahnya
kepada gadisnya,” sahut Yo Ko.
Sembari bicara mereka berempat terus
berjalan.
“He, lihat, ibuku hendak pergi memberi
pelajaran Pang-
hoat (ilmu permainan pentung) lagi,”
tiba-tiba Kwe Hu berkata
sembari tunjuk ke arah barat.
Waktu Yo Ko menoleh, ia lihat Oey Yong
bersama seorang
pengemis tua sedang jalan berendeng menuju ke
lembah
gunung, tangan mereka sama-sama membawa
sebatang
pentung.
“Loh-tianglo sungguh terlalu goblok, sudah
sekian lamanya
ia belajar Pak-kau-pang-hoat masih juga belum
bisa,” ujar Bu
Siu-bun.
Mendengar kata-kata “Pak-kau-pang-hoat”,
seketika Nyo
Ko terkesiap hatinya, cuma lahirnya
sedikitpun ia tidak unjuk
sesuatu tanda, ia malah berpaling ke jurusan
lain pura-pura
sedang menikmati pemandangan alam yang indah.
“Pak-kau-pang-hoat adalah pusaka Kay-pang
yang hebat”,
demikian ia dengar Kwe Hu berkata lagi. “Kata
ibuku, Pang-
hoat ini luar biasa bagus-nya dan adalah
permainan yang
paling lihay dalam hal senjata di seluruh
jagat ini, dengan
sendirinya kepandaian sehebat ini tak bisa
dipelajari dalam
sepuluh hari atau setengah bulan saja, Kau
bilang dia goblok,
memangnya kau sendiri pintar?”
Siu-bun menjadi bungkam dan menyengir.
“Sayang kecuali Pangcu dari Kay-pang,
Pang-hoat ini tidak
diturunkan lagi kepada orang lain,” ujar Bu
Tun-si.
“Kelak kalau kau menjadi Pangcu dari
Kay-pang, dengan
sendirinya Loh-tianglo akan ajarkan padamu,”
sahut Kwe Hu.
“Pang-hoat ini ayahku saja tak bisa, rasanya
kaupun tak perlu
menyesal.”
“Dengan macam ku ini mana bisa menjadi Pangcu
Kay-
pang?” kata Tun-si “Hu-moay, coba katakan,
mengapa Subo
bisa pilih Loh-tianglo sebagai calon
penggantinya?”
“Selama beberapa tahun ini, hakikatnya ibuku
hanya
namanya saja Pangcu, padahal segala urusan
Kay-pang baik
besar atau kecil seluruhnya diserahkan pada
Loh-tianglo,”
sahut Kwe Hu. “Begitu banyak urusan Kay-pang
yang tetek
bengek, asal dengar saja ibuku sudah merasa
pusing, maka
dia bilang lebih baik suruh Loh-tianglo yang
menjadi Pangcu
saja sekalian ia tunggu nanti kalau
Loh-tianglo sudah paham
mempelajari Pak-kau-pang-hoat, lalu jabatan
Pangcu itupun
akan diserahkannya secara resmi.”
“Hu-moay,” kata Siu-bun lagi, “bagaimanakah
macamnya
Pak-kau-pang-hoat sebenarnya, kau pernah
melihat belum?”
“Belum pernah,” sahut Kvve Hu. Tetapi segera
ia bilang
lagi: “Eh, pernah.”
Habis ini ia jemput sebatang kayu, lalu ia
pukul pelahan ke
pundak Siau-bun dan menyambung lagi dengan
tertawa:
“Nah, begini!”
Keruan saja Siau-bun berjingkrak, “Bagus, kau
anggap aku
sebagai anjing, ya?” teriaknya, berbareng ia
pura-pura hendak
jamberet si gadis.
Dengan tertawa Kwe Hu lari menyingkir terus
diudak oleh
Siu-bun. Dan sesudah berputar, kedua orang
lalu kembali lagi
ketempat semula.
“Siao Bu-koko, jangan kau ribut lagi, aku
mempunyai
suatu gagasan sekarang,” dengan tertawa Kwe
Hu
mengatakan.
“Coba katakan,” ujar Siu-bun.
“Kita pergi mengintip, coba itu
Pak-kau-pang-hoat
sebenarnya apa macamnya,” Kwe Hu menerangkan.
Seketika Siu-bun menyatakan akur, sebaliknya
Tun-si
geleng-geleng kepala dan Yo Ko tak memberi
suara.
“Jangan, jika sampai konangan Subo, tentu
akan
didamperat habis-habisan,” kata Tun-si.
“Kau memang penakut, kita hanya melihat saja,
toh tidak
mencuri belajar,” debat Kwe Hu, “Lagipula,
iimu silat yang
begitu hebat dan tinggi apa hanya mengintip
begitu saja
lantas bisa?”
Karena diolok-olok, Tun-si hanya menyengir
saja dan tak
bisa menjawab.
“Kemarin bukankah kita juga mengintip di
kamar baca dan
ibuku mendamperat kau tidak ?” Kwe Hu
menambahi pula,
“Memang nyalimu terlalu kecil seperti tikus,
Siao Bu-koko,
mari kita berdua pergi.”
“Baik, baik, kau yang benar, aku ikut,” seru
Tun-si.
“Emangnya, ilmu silat kelas satu dari jagat
ini kau tak ingin
melihatnya?” dengan tertawa Kwe Hu mengomel
lagi.
Mereka bertiga memang sudah lama kagumi Pak-kau-
pang-hoat yang lihay, cuma macamnya apa,
selamanya belum
pernah lihat, Pernah Kwe Ceng ceritakan pada
mereka tentang
kejadian dulu dimana Oey Yong dengan
Pak-kau-pang-hoat
menaklukkan para kesatria dari Kay-pang
hingga berhasil
merebut kedudukan Pangcu, cerita ini bikin
ketiga muda-mudi
ini sangat terpesona.
Kini Kwe Hu mengusulkan pergi mengintip,
meski di mulut
Tun-si tak setuju, padahal dalam hati seribu
kali kepingin,
Cuma pemuda ini rada licin, sebelumnya ia
sengaja
tumpahkan tanggung jawab atas diri orang,
supaya bila
konangan Oey Yong takkan salahkan dia.
“Nyo-toako, marilah kaupun ikut bersama
kami.” demikian
Kwe Hu berkata lagi.
Tetapi Yo Ko pura-pura memandang jauh
seakan-akan
sedang memikirkan sesuata, apa yang dikatakan
si gadis
seperti tak didengarnya Waktu Kwe Hu
mengulangi tanya lagi
barulah Yo Ko menoIeh.
“Apa… apa? Ikut? Ke mana?” demikian ia tanya
pura-pura
tak mengerti.
“Tak usah kau tanya, asal ikut saja,” sahut
Kwe Hu.
“Hu-moay, buat apa dia ikut?” tiba-tiba
Tun-si mendadak.
“Toh dia tak akan mengerti, ia
ketolol-tololan begini, kalau
sampai menerbitkan suara, bukankah akan
konangan Subo
nanti?”
“Jangan kau kuatir, biar aku jaga dia,” ujar
Kwe Hu.
“Kalian berdua boleh jalan dulu, segera aku
dan Nyo-toako
menyusul. Kalau empat orang bersama tentu
lebih mudah
menerbitkan suara,”
Tentu saja Bu-si Hengte tak rela disuruh
jalan dahulu,
tetapi mereka cukup kenal wataknya Kwe Hu
yang tak bisa
dibantah, jika sedikit bikin marah dia,
tanggung selama
belasan hari kau tak digubrisnya apabila tidak
me-mohon2 dan
me-minta-minta hingga si gadis tertawa
senang.
Karena itu, terpaksa Bu-si Hengte berjalan
dahulu dengan
kurang senang.
“Kita putar ke belakang pohon besar di tepi
jalan itu, untuk
sementara ibu tentu tak akan mengetahui,”
demikian Kwe Hu
teriaki mereka.
Dari jauh Bu-si Hengte menyahut, lalu mereka
bertindak
cepat ke depan.
Maka kini tinggal Kwe Hu dan Yo Ko saja yang
jalan
berendeng, melihat baju pemuda ini
compang-camping tak
keruan, Kwe Hu berkata: “Nanti kuminta ibu
membikinkan kau
beberapa baju baru, sesudah kau berdandan,
tentu kau tak
akan begini jelek lagi,”
“Tidak, memang aku dilahirkan jelek,
berdandanpun tak
ada gunanya,” sahut Yo Ko geleng kepala.
Tiba-tiba Kvve Hu menghela napas pelahan.
“Sebab apa kau berkeluh-kesah?” tanya Yo Ko.
“Hatiku sangat masgul, apa kau tak tahu,”
sahut si gadis.
Melihat pipi si gadis bersemu merah, alisnya
lentik lembut,
betul-betul nona yang ayu luar biasa, kalau
melulu soal muka
saja, dibanding Liok Bu-siang, Wanyen Peng
dan Yali Yan,
boleh dikatakan Kwe Hu terlebih cantik, tanpa
tertahan hati si
Yo Ko rada terguncang.
“Aku tahu sebab apa hatimu kesal,” katanya
kemudian.
“Aneh, darimana kau tahu? Ah, kau membual
belaka!”
sahut Kwe Hu tertawa.
“Baiklah, bila aku jitu menerkanya, jangan
kau pungkir
ya?” ujar Yo Ko.
“Baik, coba kau terka,” kata Kwe Hu lagi
dengan
tersenyum manis.
“Kenapa susah2 membade,” kata Yo Ko kemudian,
“Kedua saudara Bu itu semuanya suka padamu,
semuanya
suka cari muka padamu, sebab itulah kau
menjadi serba susah
memilihnya.”
Hati Kwe Hu berdebar-debar karena isi hatinya
dengan jitu
kena dikatai.
Nyata memang soal yang menjadikan kesal
hatinya adalah
diri kedua saudara Bu itu. Urusan ini ia
sendiri tahu, ayah-
bundanya tahu, Bu-si Hengte tahu, sampai
kakek guru mereka
Kwa Tin-ok juga tahu, cuma urusan ini semua
merasa sukar
diucapkan maka semuanya hanya berpikir dalam
hati,
selamanya tak pernah menyinggung barang
sekecap urusan
ini.
Kini mendadak kena dikatai Yo Ko, tanpa
terasa muka
Kwe Hu menjadi merah jengah, tetapi terasa
senang pula dan
macam-macam perasaan lain.
“Ya, memang sukar dipilih,” demikian sambung
Yo Ko
lagi. “Yang satu pendiam, yang lain lincah,
yang satu pandai
main cinta, yang lain pintar cari muka, yang
satu dapat kau
percaya selama hidup, yang lain bisa
menghilangkan kesalmu,
Keduanya sama-sama cakap, ilmu silat tinggi,
sungguh
masing-masing ada kelebihan sendiri-sendiri,
cuma sayang,
aku seorang diri, mana bisa menikah dengan
dua lelaki ?”
Sebenarnya Kwe Hu sedang mendengarkan dengan
ternganga, ketika mendengar ucapan yang
terakhir itu, tiba-
tiba ia mengomelnya: “Ah, mulutmu selalu
usil, tak mau gubris
kau lagi.”
Melihat air muka orang, sejak tadi Yo Ko
sudah tahu
terkaannya pasti kena seluruhnya, maka ia
menembang
pelahan mengulangi kata-katanya tadi yang
terakhir.
Walaupun begitu, meski ia sudah ulangi
beberapa kali, si
gadis seperti sedang tenggelam pikirannya
sendiri dan tak
mendengarkan
“Nyo-toako,” katanya kemudian lewat sejenak,
“menurut
kau, Toa Bu-koko lebih baik atau Siao Bu-koko
yang baik?”
“Haha, kalau menurut aku, ke-dua2nya tidak
baik semua,”
sahut Yo Ko tiba-tiba.
“Sebab apa?” Kwe Hu tercengang.
“Ya, sebab kalau mereka baik, lalu aku Yo Ko
apa ada
harapan?” ujar Yo Ko dengan tertawa.
Nyata karena si Yo Ko sudah biasa menggoda
Liok Bu-
siang sepanjang jalan, padahal dalam hatinya
sedikitpun tak
punya pikiran serong, kini dalam keadaan
berkdakar dengan
Kwe Hu, tanpa terasa ia terlanjur omong,
kelepasan mulut.
Keruan seketika Kwe Hu tertegun, ia adalah
gadis aleman
yang biasanya sangat dimanjakan siapapun tak
ada yang
berani berkata sesuatu yang bersifat kotor
kepadanya, maka
iapun tidak tahu harus marah atau tidak oleh
apa yang
dikatakan Yo Ko tadi, tapi ia lantas tarik
muka dan
menyahut: “Jika kau tak mau bilang, boleh kau
tutup mulut,
siapa ingin bergurau dengan kau ? Hayo, lekas
kita ke sana.!”
Sembari berkata ia lantas keluarkan ilmu
entengi tubuh
dan berlari ke lereng gunung sana melalui
jalan kecil.
Karena “kebentur batu”, Yo Ko menjadi serba
kikuk, ia
pikir: “Buat apa aku menyelip di antara
mereka bertiga ? Lebih
baik aku pergi yang lain saja !”
Maka ia putar tubuh dan berjalan pelahan ke
arah lain,
dalam hati ia berpikir pula: “Bu-si Heng-te
boleh dikatakan
memandang nona Kwe seolah-olah bidadari saja
dan kuatir
kalau si gadis tak mau jadi isterinya.
Padahal kalau betul-betul
sudah menikah dan sepanjang hari harus temani
seorang
perempuan yang begini bandel dan manja,
akhirnya pasti akan
lebih banyak susah daripada senangnya.
Ha,.mereka sungguh
orang tolol, betul-betul menggelikan”,
BegituIah diam-diam Yo Ko tertawai orang,
padahal ia
tak tahu bahwa siapa saja kalau sudah jatuh
ke dalam jaring
asmara, maka sukar sekali untuk menarik diri,
sekalipun dia
orang pandai atau nabi juga sukar memecahkan
godaan
demikian ini.
Sementara itu Kwe Hu sudah berlari pergi, ia
menyangka
Yo Ko tentu akan menyusul dan minta maaf
padanya, siapa
duga sesudah ditunggu dan tunggu lagi masih
belum kelihatan
bayangan si Yo Ko, tiba-tiba ia berpikir
lain: “Ah, orang ini
tak bisa Ginkang, dengan sendirinya ia tak
dapat menyandak
aku.”
Segera ia putar balik ke jalan tadi, tapi
tiba-tiba dilihatnya
Yo Ko malah berjalan ke arah sana, keruan
saja ia merasa
heran.
“He, kenapa kau tak susul aku?” tanyanya
sambil berlari
ke depan Yo Ko.
“Kwe-kohnio, harap kau sampaikan
ayah-bundamu,
bilangkan aku sudah pergi,” sahut Yo Ko.
“Tanpa sebab kenapa kau hendak pergi ?” tanya
Kwe Hu
terkejut.
“Tak apa-apa, memangnya aku datang tidak
untuk apa-
apa, maka perginya juga tiada apa-apa.” sahut
Yo Ko adem.
Sebenarnya Kwe Hu suka ramai, meski dalam hati
tidak
pandang hormat pada Yo Ko, cuma ia merasa
pemuda ini
pandai berkelakar, dibandingkan Bu-si Hengte
terasa ada hal
baru yang menarik, maka sesungguhnya ia tidak
ingin orang
pergi begitu saja.
Maka ia berkata, “sudah sekian lamanya kita
tak berjumpa,
masih banyak yang ingin kutanyakan. Lagi
pula, malam ini
akan diadakan Eng-hiong-yan, dari segenap
penjuru tidak
sedikit Einghiong-Hohan (orang gagah dan para
kesatria) yang
datang berkumpul, masakah kau tak ingin
menambah
pengalamanmu?”
“Aku toh bukan Enghiong, kalau ikut hadir,
apa tidak akan
menjadi buah tertawaan para Eng-hiong yang
sungguhan itu?”
sahut Yo Ko tertawa.
“ltupun betul,” kata Kwe Hu. Dan sesudah
merenung
sebentar, kemudian ia sambung lagi : “Ya,
baiknya di rumah
Liok-pepek masih banyak orang tak bisa silat,
kau boleh ikut
empek Kasir dan para pengurus rumah makan
minum
bersama, bukankah sangat baik !”
Gusar sekali Yo Ko oleh kata-kata orang,
“Bagus, kau
anggap aku ini sebangsa orang yang rendahan
saja!” demikian
pikirnya dongkol.
Sebenarnya ia sudah pikir hendak pergi,
tetapi kini ia
malah balik pikiran, ia justru ingin lakukan
sesuatu untuk bikin
malu si gadis yang menyinggung perasaannya
ini.
Padahal Kwe Hu sejak kecil sangat dimanjakan
sama sekali
tak kenal akan pergaulan, beberapa kata-katanya
itupun tidak
sengaja hendak melukai hatinya, siapa tahu
watak Yo Ko
memang perasa, tanpa sengaja membikin marah
padanya.
Sebaliknya melihat Yo Ko sudah berubah
pikiran, Kwe Hu
menjadi senang.
“Marilah, lekas, jangan terlambat kalau ibu
datang lebih
dulu, tentu tak gampang lagi hendak
mengintip,” katanya
kemudian dengan tertawa.
Segera iapun mendahului lari lagi, sedang Yo
Ko
mengikuti dari belakang dengan pura-pura
bernapas empas-
empis, langkahnya berat hingga kelihatannya
sangat goblok.
Dengan susah payah akhirnya mereka tiba juga
di tempat
yang biasa Oey Yong mengajarkan Pang-hoat
pada Loh-tianglo
yang bernama Loh Yu-ka, sementara itu Bu-si
Hengte
kelihatan lagi Iongak-Iongok di atas pohon
sana.
Sekali lompat Kwe Hu mendahului panjat ke
atas pohon,
lalu ia ulur tangannya buat tarik Yo Ko.
Waktu tangan menyentuh tangan, Yo Ko
merasakan
tangan si gadis begitu halus empuk
seakan-akan tak
bertulang, tanya terasa hatinya terguncang
keras, Tetapi
segera ia pikir pula: “Ah, sekalipun kau
lebih cantik lagi juga
tak dapat mencapai separohnya Kokoh-ku
(maksudnya Siao-
Iiong-li).”
Tatkala itu ilmu silat Kwe Hu sudah ada
dasarnya yang
kuat, maka dengan enteng Yo Ko dapat
ditariknya ke atas
pohon.
“Apa ibuku belum datang?” dengan suara
tertahan ia
tanya.
“Sudah,” sahut Siu-bun menunjuk ke arah barat
“Loh-
tianglo sedang mainkan pentung di sana,
sedang Suhu dan
Subo berada di sana sedang pasang omong.”
selamanya Kwe Hu paling takut pada ayah-nya,
kini
mendengar Kwe Ceng juga datang, ia menjadi
kebat-kebit tak
enak, sementara ia lihat Loh Yu-ka seorang
diri dengan
sebatang pentung bambu sedang main sendiri,
ia menutul ke
timur dan menjojoh ke barat dengan pentung
bambunya, tipu-
tipu gerakannya tiada sesuatu yang
mengejutkan orang.
“Apakah ini yang disebut Pak-kau-pang-hoat?”
dengan
suara pelahan Kwe Hu menanya.
“Besar kemungkinan betul”, sahut Bu Tun-si.
“Tadi Subo
sedang memberi petunjuk-petunjuk padanya,
lalu Suhu
datang ada sesuatu hendak berunding dengan
Subo dan
mengajaknya menyingkir maka Loh-tianglo
seorang diri lantas
berlatih seperti itu.”
Sctelah Kwe Hu memandang lagi beberapa
gerakan
pengemis tua itu dan merasa semuanya biasa
saja tiada
sesuatu yang menarik, segera iapun berkata:
“Ah, Loh-tianglo
belum pandai main, rasanya tiada yang bisa
dilihat lagi,
marilah kita pergi saja.”
Tetapi lain halnya dengan pikiran Yo Ko, ia
lihat Pang-
hoat yang dimainkan Loh-tianglo itu
sedikitpun tidak berbeda
seperti apa yang pernah di-dapatnya dari Ang
Chit-kong
tempo hari di Hoa-san, ia cukup kenal betapa
hebat ilmu silat
ini, maka diam-diam ia mentertawai si gadis
yang tak tahu
apa-apa, tetapi berani bermulut besar.
Di lain pihak Bu-si Hengte yang selamanya
selalu menurut
apa yang dikatakan Kwe Hu, waktu mendengar si
gadis bilang
mau pergi, segera mereka pun ber-gegas2 hendak
lompat
turun, tetapi tiba-tiba mereka mendengar di
bawah pohon ada
suara tindakan orang, lalu terdengar suara
Kwe Ceng lagi
berkata : “Urusan jodoh Hu-ji sudah tentu tak
bisa diputuskan
secara ter-buru-buru, usia Ko-ji masih kecil,
kaupun tak dapat
mengalahkan sedikit kekeliruannya lalu
memastikan
keburukannya.”
Lantas terdengar Oey Yong menjawab : “Kau
pikirkan
hubungan turun temurun keluarga Kwe dan Nyo,
hal ini sudah
sepantasnya, Tetapi Yo Ko si bocah ini,
semakin kulihat,
rasaku semakin mirip ayahnya, mana aku rela
menjodohkan
Hu-ji pada-nya?”
Terkejut sekali mendengar percakapan suami
isteri ini,
baik Kwe Hu, Bu-si Hengte maupun Yo Ko, sama
sekali
mereka taktahu ada hubungan apa antara
keluarga Kwe dan
Nyo, lebih-lebih tak menduga bahwa Kwe Ceng ada
maksud
menjodohkan puterinya pada Yo Ko, Karena
percakapan
mereka itu ada hubungan erat sekali dengan
masing-masing,
maka empat muda-mudi itu tak jadi pergi
melainkan berdiam
di atas pohon.
“Ya, Nyo Khong-hengte tak beruntung terjeblos
ke dalam
istana pangeran negeri Kim hingga salah
bergaul dengan
orang jahat, akibatnya terjadilah drama yang
mengenaskan
dengan mayat tak utuh dan menjadi isi perut
gagak, kalau
sejak kecil ia dipelihara paman Nyo Thi-sim
sendiri, rasanya
pasti takkan terjadi seperti itu,” demikian
terdengar Kwe Ceng
berkata lagi.
“ltupun benar.” sahut Oey Yong rendah sambil
menghela
napas, Agaknya ia menjadi terbayang pada
kejadian ngeri
dahulu dengan matinya Nyo Khong, ayah Yo Ko.
Yo Ko sendiri selamanya tak tahu bagaimana
asal-usul
keluarganya, ia hanya tahu ayahnya meninggal
terlalu cepat,
sedang cara bagaimana matinya dan siapa
musuhnya, hal itu
sekalipun ibu kandungnya juga tak mau bilang
terus terang
padanya, Kini mendadak dengar Kwe Qng
menyinggung
ayahnya “terjeblos ke istana pangeran negeri
Kim dan bergaul
dengan orang jahat” lalu bilang lagi
“mayatnya tak utuh
hingga menjadi isi perut burung gagak” dll.,
seketika pemuda
ini merasa seperti disamber petir, seluruh
tubuhnya gemetar,
mukanya pucat pasi.
Waktu itu Kwe Hu kebetulan melirik Yo Ko,
demi melihat
wajah pemuda ini sedemikian rupa, Kwe Hu
sangat ketakutan,
ia kuatir pemuda ini mendadak terbanting
jatuh ke bawah
terus mati.
Dementara itu Kwe Ceng dan Oey Yong duduk
berendeng di
atas sebuah batu dan membelakangi pohon yang
dibuat
sembunyi empat muda-mudi itu, dengan meraba
tangan sang
isteri terdengar Kwe Ceng berkata pula:
“Sejak kau
mengandung anak kedua ini kesehatanmu sudah
jauh mundur
dari pada dulu, lekasan kau serahkan segala
urusan Kay-pang
pada Loh Yun-ka sekaligus, supaya kau dapat
merawat diri se-
baik-baiknya”.
“He, kiranya ibu akan punya anak lagi, ehm,
senang sekali
kalau aku tambah adik,” kata Kwe Hu dalam
hati, ia menjadi
girang sekali.
Dalam pada itu Oey Yong telah menjawab:
“Urusan Kay-
pang memangnya tak banyak kuperhatikan
sebaliknya urusan
perjodohan Hu-ji yang bikin aku tak
tenteram.”
“Jika Coan-cin-kau tak terima Koji, biarlah
aku sendiri yang
mengajar dia,” kata Kwe Ceng.
“Tampaknya pemuda ini sangat pintar, kelak
aku turunkan
seluruh kepandaianku padanya, dengan begitu
tak percumalah
aku angkat saudara dengan ayahnya.”
Kini baru tahulah Yo Ko bahwa Kwe Ceng
ternyata adalah
saudara angkat ayahnya sendiri kalau begitu,
“Kwe-pepek” ini
sesungguhnya mengandung arti yang besar
sekali Dan demi
mendengar Kwe Ceng begitu baik hati dan
berbudi pada
dirinya, hati Yo Ko sangat terharu, hampiri
ia meneteskan air
mata.
“Tetapi aku justru kuatir dia tersesat oleh
karena
pintarnya,” ujar Oey Yong menghela napas,
“sebab itu juga aku
hanya ajarkan membaca padanya dan tidak turunkan
ilmu silat
dengan harapan kelak dia akan menjadi seorang
yang
bijaksana dan pandai membeda-bedakan yang
salah dan yang
benar, supaya menjadi seorang lelaki sejati,
dengan begitu
sekalipun tak bisa ilmu silat juga aku akan
lega dan puas
menjodohkan Hu-ji padanya.”
“Ya, segala apa kau memang lebih pintar dari
aku, Yong-
ji,” sahut Kwe Ceng. “Apa yang kau pikirkan
selalu
berpandangan jauh, tetapi Hu-ji kita
sedemikian wataknya,
ilmu silatnya juga begitu, kalau dia
diharuskan mendampingi
seorang anak sekolahan yang lemah, coba pikir
apa dia tak
penasaran? Apa dia bisa menghormati Ko-ji
kelak? Menurut
hematku, suami isteri demikian ini pasti
susah akurnya.”
“Huh, tak malu,” kata Oey Yong tertawa,
“Emangnya kita
berdua bisa akur karena ilmu silatmu lebih unggul
dari aku?
Hayo, Kwe-tayhiap, marilah kita coba-coba !”
“Bagus, Ui pangcu, katakanlah apa yang kau
kehendaki,”
sahut Kwe Ceng tertawa.
Lalu terdengar suara “plok” sekali, mungkin
Oey Yong telah
tepok sekali tubuh Kwe Ceng, Selang tak lama,
lalu Oey Yong
berkata lagi.
“Ai, urusan ini sesungguhnya sukar diputuskan
seandainya
tanpa Ko-ji, urusan kedua saudara Bu saja
juga sulit
diselesaikan? Coba katakan, Toa Bu lebih baik
atau Siao Bu
lebih baik?”
Seketika hati Kwe Hu dan Bu-si Hengte
berdebar-debar.
Meski urusan ini tiada sangkut paut dengan Yo
Ko, tetapi
iapun ingin tahu bagaimana pendapat Kwe Ceng
terhadap
kedua saudara Bu itu.
Tetapi Kwe Ceng hanya menyahut lirih sekali,
selang sekian
Iama masih tiada jawabannya.
“Urusan kecil belum bisa kelihatan,” demikian
kemudian
terdengar ia menyahut, “harus tunggu
menghadapi urusan
besar, baik atau busuk, barulah bisa
diketahui.” - Habis ini
perkataannya berubah menjadi lemah lembut dan
menyambung lagi: “Baiklah usia Hu-ji masih
kecil, lewat
beberapa tahun lagi masih belum terlambat,
boleh jadi pada
waktu itu dapat diputuskan dengan ca.ra yang
lebih baik dan
kita yang menjadi orang tua tak perlu lagi
ribut Kau mengajar
Loh-tianglo dan tentu banyak keluarkan
tenaga, beberapa hari
ini aku selalu melihat napasmu tak lancar,
aku sampai
kuatirkan kesehatanmu sekarang biarlah
kupergi mencari Ko-ji
buat ajak bicara sedikit padanya.” -Habis
berkata iapun
bertindak pergi.
Sesudah Oey Yong atur pernapasannya sejenak,
kemudian
ia panggil Loh-tianglo lagi dan memberi
petunjuk Pak-kau-
pang-hoat.
Tatkala itu Loh Yu-ka sudah selesai memainkan
36
gerakan Pak-kau-pang-hoat, cuma dimana dan
cara
bagaimana menggunakan inti kebagusan ilmu
silat itulah
belum dipahaminya. Maka dengan sabar dan
telaten Oey Yong
memberi penjelasan padanya sejurus demi
sejurus.
Tipu serangan Pak-kau-pang-hoat ini memang
bagus,
Iebih2 kunci yang diuraikan Oey Yong ini
terlebih hebat luar
biasa, kalau tidak, hanya sebatang pentung
bambu hijau yang
kecil mana bisa menjadi pusaka Kay-pang ?
Sudah hampir sebulan Oey Yong turunkan tipu
gerakan ilmu
pentung pemukul anjing itu pada Loh Yu-ka,
kini ia
menerangkan pula kunnya dan perubahan2nya
sampai
berulang kali dan suruh mengingatnya
baik-baik.
Kwe Hu dan Bu-si Hertgte tak paham Pang-hoat
segala,
maka mereka merasa tak tertarik mereka tidak
tahu tentang
perubahan2 ilmu silat yang hebat itu, maka
beberapa kali
mereka sudah ingin berosot turun pohon, namun
kuatir
konangan Oey Yong, maka mereka
mengharap-harap lekas Ui
Yong selesai mengertikan istiIah2nya dan
lekas pergi bersama
Loh Yu-ka.
Siapa tahu Oey Yong bermaksud malam ini juga
menyerahkan jabatan Pangcu pada Loh Yu-ka
dalam
perjamuan “Eng-hiong-yan”, maka ia ingin
turunkan
seluruhnya baik istilah maupun permainannya
kepada Loh Yu-
ka, sekalipun masih belum paham, kelak masih
bisa diberi
petunjuk lagi, cuma menurut peraturan
Kay-pang turun-
temurun, Pang-cu baru waktu menerima jabatan
harus sudah
bisa memainkan Pak-kau-pang-hoat, oleh sebab
itu sedapat
mungkin Oey Yong ingin turunkan apa mestinya,
maka sudah
lebih satu jam masih belum juga selesai
menguraikannya.
Dasar Loh Yu-ka ini juga bakatnya kurang
ditambah
usianya sudah lanjut, daya ingatannya sudah
mundur,
seketika mana bisa mengingat begitu banyak
ajaran yang
diberikan itu? Meski Oey Yong sudah
bolak-balik mengulangi,
masih belum juga diingatnya semua.
Baiknya Oey Yong sudah lama berdampingan
dengan
seorang suami yang bakatnya tak tinggi, ia
sudah biasa
dengan orang yang kurang tajan otaknya, maka
kebebalan
Loh Yu-ka tidak menjadikan amarahnya.
Celakanya ia dibatasi
oleh peraturan perkumpulan yang mengharuskan
inti Pang
hoat itu diturunkan secara lisan dan
sekali-kali tak boleh
secara tertulis, kalau boleh, sesungguhnya ia
bisa menulisnya
dan dibaca sendiri oleh Loh Yu-ka sampai
apal, hal ini pasti
akan hemat tidak sedikit tenaganya.
Dalam pada itu yang paling beruntung rasanya
adalah Nyo
Ko.
Seperti diketahui, tempo hari waktu Ang Chit
kong
bertanding dengan Auwyang Hong di Hoa san,
pada saat
terakhir pernah mengajarkan setiap tipu
berikut perubahannya
pada Yo Ko dan disuruh mempertunjukkannya
pada
Auwyang Hong, hanya kunci diwaktu menghadapi
musuh saja
yang belum dijelaskan. Siapa tahu, secara
kebetulan sekali di
sini Yo Ko justru bisa mendengar kekurangan
itu dari
mulutnya Oey Yong yang lagi mengajarkannya
pada Loh Yu-ka.
Sudah tentu bakat Yo Ko beratus kali lebih
tinggi dari Loh
Yu-ka, hanya tiga kali ia dengar, satu kata
saja tak bisa
dilupakan lagi oleh pemuda ini, sebaliknya
Loh Yu-ka masih
bolak-balik mengulangi dan masih tetap salah.
Setelah hamil untuk kedua kalinya, mungkin
karena terlalu
sibuk menurunkan Pak-kau-pang-hoat pada Loh
Yu-ka,
akhirnya Oey Yong merasa letih juga, ia coba
bersandar pada
baru sambil pejamkan mata untuk mengumpulkan
semangat.
“Hu-ji, Si-ji, Bun-ji, Ko-ji, semuanya turun
sini!” mendadak
ia berseru.
Tentu saja Kwe Hu berempat sangat kaget,
mereka heran
mengapa orang diam-diam saja, tetapi
sebenarnya sudah tahu
mereka sembunyi di atas pohon.
“Kau sungguh hebat, Mak! Segala apa tak bisa
membohongi kau!” demikian Kwe Hu berkata tertawa.
Berbareng itu, dengan gerakan
“Ling-yan-tau-lim” atau
burung walet menerobos Hutan, dengan enteng
sekali ia
meloncat ke hadapan sang ibu.
Menyusul Bu-si Hengte juga ikut melompat
turun, hanya
Yo Ko saja yang merangkak turun dengan
pelahan.
“Hm, hanya sedikit kepandaianmu ini berani
mengintip?”
sahut Oey Yong menjengek “Jika menghadapi
kalian beberapa
setan cilik saja tak tahu, apalagi kalau
merantau Kangouw,
bukankah tidak sampai setengah hari sudah
terjebak musuh?”
Kwe Hu menjadi kikuk, tetapi ia tahu sang ibu
biasanya
sangat manjakan dirinya maka iapun tidak
takut didamperat,
sebaliknya ia maju dan berkata lagi dengan
tertawa:
“Mak, sengaja aku ajak mereka datang ke sini
untuk
melihat Pak-kau-pang-hcat yang disegani di
seluruh jagat itu,
siapa tahu apa yang dimainkan Loh-Lianglo itu
sedikitpun tak
menarik Coba, jika permainanmu tentu sangat
menarik.”
Oey Yong tertawa, betul juga segera ia ambil
pentung
bambu dari Loh Yu-ka.
“Baik, lihatlah aku bikin anjing cilik
terjungkal” katanya
sambil ulurkan pentung bambu ke arah Kwe Hu.
Segera Kwe Hu perhatikan bagian bawah, ia
tunggu bila
pentung menyamber, segera ia akan melompat ke
atas supaya
tidak kesandung.
Dalam pada itu Oey Yong telah geraki pentung
bambunya,
lekas-2 Kwe Hu melompat siapa tahu baru setengah
kaki
meninggalkan tanah, dengan tepat kena disabet
pentung itu
dan dengan enteng ia jatuh menggeletak.
“Tidak, tidak mau aku, itu salahku sendiri,”
teriak Kwe Hu
aleman sambil melompat bangun.
“Baiklah, coba, kau ingin cara bagaimana?”
kata Oey Yong
tertawa.
Segera si gadis pasang kuda-kuda dengan kuat,
habis itu
ia berseru pada Bu-si Hengte. “Toa Bu-koko
dan Siao Bu-koko,
kalian berdua berdiri di sampingku sini, juga
pasang kuda-
kuda yang kukuh.”
Busi Hengte menurut, mereka berdiri dengan
kuda-kuda
yang kuat, Kwe Hu pentang tangannya saling
gantol dengan
tangan kedua pemuda itu, dengan tenaga mereka
bertiga,
sungguh sangat kukuh tampaknya.
“Mak, sekarang tak takut lagi, kecuali ayah
punya Hang-
liong-sip-pat-ciang barulah bisa bikin kami
bergerak,” kata
Kvve Hu.
Oey Yong tak menjawab, ia tersenyum, habis
ini mendadak
pentungnya menyapu ke muka tiga orang itu
dengan kcncang.
Karena kuatir muka mereka yang habis menjadi
babak
belur, lekas-lekas ketiga-tiga-nya mendoyong
ke belakang
buat berkelit dengan demikian kuda-kuda
mereka menjadi
kendur. Tanpa ayal lagi pentung Oey Yong
berputar kembali dan
menyereet kaki ketiga orang, karena tak kuat
lagi kuda-
kudanya, mereka bertiga jatuh menubruk tanah
semua, ilmu
silat mereka cukup hebat, maka baru jatuh
segera mereka
melompat bangun dengan gaya yang manis.
“Mak, caramu ini hanya tipuan saja, aku tak
mau,” kata
Kwe Hu lagi.
“Memangnya,” ujar Oey Yong, “apa yang aku
ajarkan pada
Loh-tianglo tadi, tipu manakah yang pakai
tenaga sungguh-
sungguh? Kau bilang gerakanku ini hanya
tipuan. memang
tidak salah, dalam ilmu silat, 9 dari 10
bagian memang akal
belaka, asal bisa robohkan lawan, itu berarti
sudah menang.
Hanya ilmu Han-liong-sip-pat-ciang ayahmu
itulah betul-betul
silat sejati yang berani main keras lawan keras
tanpa pakai
akal. Tetapi untuk melatih sampai tingkat
itu, di jagat ini
terdapat berapa orang?”
Kata-kata ini membikin Yo Ko diam-diam
memanggut,
sebaliknya Kwe Hu bertiga meski mengerti toh
mereka belum
paham di mana letak intisari penjelasan itu.
“Pak-kau-pang-hoat ini adalah ilmu silat
paling aneh, ia
tercipta secara tersendiri dan tiada
hubungannya dengan
silat2 aliran lain,” kata Oey Yong lagi,
“Kalau melulu belajar tipu
gerakannya tanpa mengerti inti rahasianya,
maka percumalah
meski belajar selama hidup, Maka selanjutnya
kalau aku lagi
ajarkan ilmu silat lain, sebelum dapat ijinku
jangan sekali-kali
mengintip lagi, tahu?”
Berulang Kwe Hu mengiakan, tapi dengan
tertawa segera
ia bilang lagi: “Ah, buat apa aku mengintip
kepandaian ibu,
apa mungkin engkau tak mengajarkan padaku
kelak?”
Oey Yong terlalu sayang pada gadisnya ini,
maka ia hanya
tepuk pelahan bebokong Kwe Hu.
“Hayo, pergi bermain lagi dengan Bu-keh
Ko-ko,” katanya
kemudian “dengan tertawa, “Ko-ji, aku ingin
bicara sedikit
dengan kau, Loh-tianglo, kau ulangi saja
sendiri, kalau masih
ada yang Iupa, kelak akan kuajarkan lagi.”
Maka Loh Yu-ka dan Kwe Hu berempat lantas
mendahului
kembali ke Liok-keh-ceng atau perkampungan
keluarga Liok,
hanya Nyo Ku yang masih berdiri menjublek di
tempatnya,
sesaat itu hatinya berdebar-debar, ia kuatir
kalau-kalau Ui
Yong akan ambil jiwanya sebab berani mencuri
belajar Pak-
kau-pang-hoat.
Namun dugaannya ternyata meleset. Waktu
melihat wajah
pemuda ini rada sangsi-sangsi, dengan lemah
lembut Oey Yong
tarik tangannya dan suruh duduk di
sampingnya.
“Ko-ji,” Oey Yong mulai bertanya, “banyak
sekali urusanmu
yang kurasa tidak mengerti, seandainya
kutanya, tentu
kaupun tak mau menjelaskan. Cuma, hal ini
akupun tak
menyalahkan kau. Di waktu kecil ,watakku pun
sangat aneh
dan menyendiri semua itu berkat kau punya
Kwe-pepek yang
telah banyak mengalah padaku.”
Berkata sampai di sini, Oey Yong menghela
napas pelahan,
mulutnya tersungging senyuman, rupanya ia
menjadi teringat
pada waktu kecilnya yang nakal itu, lalu ia
sambung lagi.
“Jika aku tak mau turunkan ilmu silat padamu,
itu
tujuannya untuk kebaikanmu, siapa tahu hal
itu malah bikin
kau menjadi banyak menderita Ko-ji, kau punya
Kwe-pepek
sayang dan cinta padaku, budi kebaikannya ini
sudah tentu
akan kubalas sebisanya, ia menaruh suatu
harapan atas
dirimu, yalah mengharap kelak kau bisa
menjadi seorang laki-
laki sejati, untuk ini pasti aku akan bantu
kau menuju ke jalan
yang baik supaya cita2 Kwe-pepek terlaksana.
Dan kau,
hendaklah kaupun jangan kecewakan harapannya,
maukah
kau berjanji?”
Belum pernah Yo Ko mendengar Oey Yong
berbicara
secara begitu halus dan sungguh-sungguh
terhadap dirinya, ia
lihat sorot mata orang penuh mengandung rasa
kasih sayang,
tanpa tertahan hatinya terguncang. Pada
dasarnya Yo Ko ini
berperasaan halus, maka terus saja ia
menangis keras.
“Ko-ji,” sambil mengelus kepalanya, Oey Yong
berkata lagi:
“Rasanya tidak perlu kubohongi kau, dahulu
aku tak suka
pada ayahmu, juga tak senang pada ibumu, oleh
sebab itu
juga terus tak suka padamu. Tetapi sejak kini
pasti aku akan
perlakukan kau baik-baik, nanti kalau
kesehatanku sudah
pulih, biarlah kuturunkan segala kepandaianku
padamu.”
Yo Ko semakin terharu, tangisnya semakin
keras.
“Kvve-pekbo. ba… banyak hal-hal yang
kubohongi kau,
biar ku… kukatakan padamu,” kalanya kemudian
dengan
masih terguguk-guguk.
“Hari ini aku sudah Ietih, boleh ceritakan
kelak saja, asal
kau menjadi anak yang baik bagiku sudah
senang,” sahut Ui
Yong sambil membelai rambutnya “Malam nanti
akan ada
rapat besar Kay-pang, kaupun boleh hadir
menyaksikan
keramaian itu.”
Yo Ko pikir wafatnya Ang Chit-kong memang
termasuk
suatu berita besar dan sudah seharusnya
diucapkan di
hadapan rapat, maka sembari mengusap air
matanya, ia
memanggut.
Dengan percakapan mereka yang keluar dari
lubuk hati
mereka ini, hingga segala rasa tak puas yang
dulu2 seketika
buyar semua. Sampai akhirnya Yo Ko mulai bisa
ketawa-tawa
lagi, sejak perpisahannya dengan
Siao-liong-li, agaknya untuk
pertama kali inilah ia merasakan perlakuan
yang hangat.
Di lain pihak, sesudah bicara panjang ini,
Oey Yong
merasakan perutnya rada sakit, maka
perlahan-lahan ia
berdiri.
“Marilah kita pulang” ajaknya kemudian. Lalu
ia gandeng
tangan Yo Ko dan berjalan pelahan.
“Kwe-pekbo, ada sesuatu urusan penting ingin
kuberitahukan padamu,” kata Yo Ko sambil
berjalan ia pikir
berita tentang kematian Ang Chit-kong
pantasnya
diberitahukan lebih dahulu kepada bibinya
ini.
Akan tetapi Oey Yong merasakan perutnya makin
lama
makin meliiit, maka napasnya menjadi rada
terganggu.
“Katakan saja besok, aku… aku rada kurang
enak badan.”
katanya sambil mengkerut kening.
Melihat wajah orang putih lesi, Yo Ko menjadi
kuatir, ia
merasa tangan orang rada dingin, maka
diam-diam ia
kumpulkan tenaga dalam, ia salurkan semacam
hawa hangat
ke tangan orang yang menggandengnya itu.
Dahulu waktu melatih Giok-li-sim-keng bersama
Siao-liong-
li di Cong-lam-san, kepandaian cara
menyalurkan ilmu melalui
telapak tangan sudah dilatihnya dengan apal
sekali, Tetapi
kuatir kalau Lwekang yang Oey Yong pelajar
bertentangan
dengan apa yang diapalkannya, mula-mula ia
hanya gunakan
sedikit tenaga saja, sesudah merasa tiada
halangan barulah ia
tambah tenaga dalamnya.
Ketika mendadak merasa tenaga tangan Yo Ko
menyalurkan hawa hangat yang terus-menerus,
sungguh
heran sekali Oey Yong, tetapi akibat hawa
hangat itu, segera
pula rasa sakit dan napasnya menjadi teratur
kembali.
Dalam herannya ia hanya tersenyum pada Yo Ko
sebagai
tanda terima kasihnya. Dan selagi ia hendak
tanya orang
darimana mendapatkan ilmu itu, tiba-tiba
dilihatnya Kwe Hu
sedang berlari mendatang.
“Mak, mak, coba terka siapa yang telah
datang?” demikian
gadis itu berteriak-teriak sembari berlari.
“Hari ini tidak sedikit kesatria dari seluruh
jagat yang
hadir, dari mana aku tahu siapa dia yang
datang,” sahut Ui
Yong tertawa, Tetapi tiba-tiba tergerak
pikirannya, ia sambung
lagi : “Ah, tentu para Susiok dan Supek kedua
saudara Bu,
Hayo, lekas, sudah lama kita tak bertemu
dengan mereka.”
“Baik. kau sungguh hebat, sekali tebak lantas
kena.” kata
Kwe Hu.
“Apanya yang sukar?” sahut Oey Yong tertawa,
“Kedua
saudara Bu itu selamanya tak pernah
meninggalkan kau, kini
tiba-tiba tiada di sampingmu, tentunya ada
sanak saudaranya
yang datang,”
Selamanya Yo Ko anggap dirinya sendiri cerdik
dan
pintar, kini melihat Oey Yong bisa berpikir
seperti dewa dan
masih jauh di atas dirinya, sungguh ia
menjadi amat
kagumnya.
“Hu-ji, selamat padamu, kau bakal tambah
semacam ilmu
kepandaian yang hebat lagi,” tiba-tiba Oey
Yong berkata pula.
“Ilmu kepandaian apa?” tanya Kwe Hu.
“lt-yang Ci !” mendadak Yo Ko menyela.
“Kau mengerti apa?” omel Kwe Hu, kata-kata Yo
Ko tak
digubrisnya: “Mak, kau bilang ilmu apa?”
“Bukankah Nyo-koko sudah bilang tadi,” sahut
Oey Yong
tertawa.
“Ha, kiranya ibu sudah bilang padamu,” ujar
Kwe Hu pada
Yo Ko.
Tetapi Yo Ko dan Oey Yong hanya tersenyum.
Dalam hati
Oey Yong memikir: “Ko-ji ini sungguh berpuluh
kali lebih pintar
dan cerdik dari pada Bu-si Hengte, Hu-ji juga
goblok, lebih-
lebih tak masuk hitungan.”
Akan tetapi Kwe Hu masih tetap heran sebab
apa ibunya
memberitahukan Yo Ko tentang hal itu.
Kiranya It-teng Taysu yang berjuluk Lam-te
atau raja dari
selatan, yang namanya sejajar dengan Oey
Yok-su, Ang Chit-
kong dan Auwyang Hong, seluruhnya ia
mempunyai empat
murid yang disebut “Hi-Jiau-Keng-Thok” atau
nelayan, tukang
kayu, petani dan sastrawan
Ayah Bu-si Hengte, Bu Sam-thong adalah si
petani dari
urut-urutan nomor tiga itu. Sejak ia terluka
waktu menempur
Li Bok-chiu, sampai kini tak pernah kelihatan
bayangannya
hingga mati-hidup-nya tak diketahui.
Sekali ini yang datang menghadiri
Eng-hiong-yan adalah
Hi-jin dan Su-seng atau si nelayan dan si
sastrawan berdua.
Setiap kali si sastrawan itu bertemu Oey Yong
segera ingin
adu mulut dan ukur kepandaian, kini berjumpa
pula setelah
berpisah hampir dua puluh tahun, sudah tentu
mereka ingin
unjuk kepandaian masing-masing lagi dan
berdebat. Sedang si
nelayan itu betul saja lantas mencari satu
kamar dan
menurunkan ilmu lt-yang-ci kepada Bu-si
Hengte.
Sehabis makan siang, lalu kawanan pengemis
anggota
Kay-pang beramai-ramai berkumpul -di depan
Liok-keh-ceng.
Sekali ini dilakukan timbang-terima jabatan
Pangcu baru dan
lama, hal ini merupakan upacara yang paling
tinggi dalam
kalangan Kay-pang, maka kecuali semua anak
murid dari
seluruh penjuru diundang hadir, ada pula
jago-jago dari aliran
lain dan perkumpulan lain yang diundang
sebagai “peninjau”
Selama belasan tahun ini, Loh Yu-ka selalu
mewakili Ui
Yong mengatur segala urusan Kay-pang dan
berlaku sangat
adil, berani bertindak berani bertanggung
jawab, dua
golongan dalam Kay-pang, yakni yang disebut
Ut-ih-pay dan
Ceng-ih-pay,” golongan baju kotor dan
golongan baju bersih,
semuanya tunduk dan percaya penuh padanya,
maka upacara
penyerahan jabatan yang dilakukan hari ini
sebenarnya hanya
upacara resmi saja.
Kemudian menurut peraturan, Oey Yong lantas
umumkan
penyerahan jabatan itu, lalu ia serahkan
Pa-kau-pang atau
pentung pemukul anjing, yakni bambu hijau
yang menjadi
pusaka Pangcu turun temurun itu kepada Loh
Yu-ka, disusul
segera para anak murid meludahi Yoh Yu-ka
masing-masing
sekali, hingga pengemis tua ini seluruh muka
dan kepala
penuh air lendir, dengan begitu selesailah
upacara timbang-
terima jabatan Pangcu lama kepada yang baru.
Melihat cara penggantian Pangcu yang aneh
ini, diam-
diam Yo Ko terheran-heran. Dan selagi ia
hendak tampil ke
muka untuk mengumumkan berita tentang wafat
nya Ang
Chit-kong, tiba-tiba dilihatnya seorang
pengemis tua telah
melompat ke atas sebuah batu besar, tangan
kirinya
menyunggih tinggi2 sebuah Holo besar yang
berwarna coklat.
Nampak benda ini, seketika hati Yo Ko
tergetar dapat
dikenalnya Holo ini bukan lain adalah benda
pengisi araknya
Ang Chit-kong, waktu bertemu di atas Hoa-san,
dengan jelas
ia lihat barang ini selalu menggemblok di
punggung pengemis
tua itu, belakangan waktu ia pendam mayat
pengemis tua itu,
iapun tanam Hiolo itu disamping tubuhnya,
tetapi mengapa
mendadak bisa muncul lagi di sini? Apa
mungkin ada sebuah
Hiolo lain yang secorak dan serupa?
Sementara itu didengarnya sorak-sorai gegap
gempita
para pengemis demi nampak Hiolo simboI Pangcu
tua mereka
itu.
Selagi Yo Ko ragu-ragu. terdengar si pengemis
tua itu
sudah membuka suara lagi dengan keras: “Ada
perintah dari
Ang-lopangcu, aku disuruh menyampaikan nya
kepada para
hadirin!”
Mendengar itu, sorak-surai para pengemis itu
menjadi
lebih hebat lagi. Memangnya mereka sudah
belasan tahun tak
pernah menerima kabar berita pangcu tua
mereka itu, kini
mendadak dengar ada perintahnya, sudah tentu
semuanya
terbangun semangatnya.
“Pujikan Ang-lopangcu selamat dan panjang
umur!” segera
terdengar seruan salah seorang pengemis
diantara orang
banyak itu.
Seketika suara sorak gemuruh berkumandang
lagi hingga
mengguncangkan bumi. Maklumlah Ang Chit-kong
adalah
seorang kesatria, seorang gagah perkasa di
jaman itu, dari
aliran apa dan lapisan apapun tiada
seorangpun yang tak
kagum padanya, lebih-lebih anggota Kay-pang,
cinta mereka
padanya boleh dikatakan melebihi orang tua
sekandung
sendiri.
Setelah sorak-sorai seminuman teh, suara
gemuruh itu
perlahan-lahan baru mereda kembali. Melihat
setiap anggota
Kay-pang itu sangat bersemangat dan terharu,
bahkan ada
yang mengalirkan air mata, diam-diam Yo Ko
pikir sendiri:
“Seorang laki-laki kalau bisa begini barulah
tidak percuma
hidup di dunia ini. Semua orang sedang riang
gembira, mana
aku tega memberitahukan mereka tentang
wafatnya Ang-lo-
cianpwe?”
Sementara itu ia dengar si pengemis tua tadi
telah berkata
lagi : “Tiga hari yang lalu, di Liong-ki-ce
aku telah bertemu
dengan Ang-lopangcu…”
Luar biasa kejut Yo Ko oleh kata-kata orang,
“Ang-
lopangcu sudah lama meninggal cara bagaimana
ia bisa
bertemu dengan beliau tiga hari yang lalu?”
demikian Yo Ko
tidak habis mengerti
Dalam pada itu pengemis tua itu telah
meneruskan:
“Waktu beliau tahu Ui-pangcu hendak
menyerahkan
jabatannya kepada Loh-pangcu, ia bilang
keputusan ini sangat
baik dan sangat cocok dengan maksudnya…”
Sampai di sini mendadak Loh Yu-ka berlutut ke
hadapan
pengemis itu sambil berkata dengan suara
gemetar: “Tecu
pasti akan lakukan sepenuh tenaga untuk
membalas budi
kebaikan Lopangcu, asal pekerjaan itu
berpaedah bagi
perkumpulan kita, sekalipun mati tak gentar.”
Pengemis tua itu sudah tentu tingkatannya
lebih rendah
daripada Loh Yu-ka, Pangcu yang baru ini,
tetapi ia membawa
Hiolo milik Ang Chit-kong, maka Loh Yu-ka
berlutut terhadap
Hiolo yang menjadi simbolnya Chit-kong dan
bukan berlutut
kepada pengemis itu.
“Ang-lopangcu bilang,” demikian pengemis tua
itu
melanjutkan lagi, “dalam keadaan negara kacau
balau ini,
bangsa Mongol lambat laun mulai menjajah ke
selatan hendak
caplok negeri Song-raya kita, maka diharap
semua anggota
perkumpulan kita hendaklah berhati setia dan
bernyali berani,
harus bersumpah akan membunuh musuh dan
melawan
penjajah dari luar.”
Serentak anggota2 Kay-pang itu berteriak lagi
menyatakan
akur, semangat mereka sangat tinggi dan sikap
mereka
berani.
“Pemerintah dalam keadaan kacau, pembesar
dorna
berkuasa, kalau kita cuma percaya para
pembesar busuk itu
akan melindungi rakyat, itu sekali-kali tak
bisa terlaksana,”
demikian pengemis tua itu bicara lagi, “Kini
negara dalam
bahaya, setiap orang hendaklah berjiwa
patriot, sedia korban
untuk nusa dan bangsa, Sayang Lopangcu lagi
ada sesuatu
keperluan ke daerah Utara dan tak bisa datang
ke pertemuan
ini, maka aku disuruh menganjurkan kalian
hendaklah ingat
baik-baik dua huruf, yakni Tiong Gi”.
Seketika para pengemis bergemuruh menyambut
anjuran
itu, beramai-ramai mereka berteriak: “Kami
bersumpah
menerima petunjuk Ang-lopangcu itu !”
Sejak kecil Yo Ko tak mendapatkan pendidikan,
maka ia
tak tahu apa arti “Tiong Gi” atau setia dan
berbakti itu betapa
besar hubungannya dengan negara, tetapi bila
dilihatnya
anggota2 Kay-pang itu bersikap gagah berani,
tanpa terasa
iapun merasakan sesuatu, ia menjadi menyesal
tempo hari
telah permainkan beberapa anak murid
Kay-pang.
Mengenai kematian Ang Chit-kong dengan mata
kepala
sendiri ia saksikan betul-betul terjadi
malahan dia sendiri yang
mengubur jenazah orang, kenapa pengemis tua
ini bisa bilang
tiga hari yang lalu pernah bertemu dengan
dia? jika perintah
itu palsu, tetapi perintah ini justru
mengenai tugas yang
mulia?
Begitulah Yo Ko menjadi curiga dan tak
mengerti ia pikir
hal ini terpaksa dibicarakan pada Oey Yong
nanti.
Sehabis itu, lantas diteruskan dengan
urusan-urusan Kay-
pang tentang kenaikan pangkat dan lain-lain
bagi para
anggota, dan karena tiada sangkut pautnya
dengan orang
luar, para tetamu lantas pada undurkan diri.
Malamnya, luar maupun dalam Liok-keh-ceng
telah dihias
dengan lampu2 lampion yang indah seperti
orang punya hajat
saja, meja2 perjamuan memenuhi seluruh
ruangan gedung
dari depan sampai belakang, seluruhnya lebih
200 meja,
semua kesatria dan orang gagah dari seluruh
jagat tampaknya
ada separah yang hadir.
Hendaklah diketahui bahwa Eng-hiong-yan atau
perjamuan kaum kesatria ini dalam beberapa
puluh tahun
sukar diketemukan barang sekali saja, kalau
bukan tuan
rumahnya luas bergaul, tidak nanti bisa
mengundang tetamu
yang begini banyak.
Sampai saatnya, Kwe Ceng dan Oey Yong keluar
mengawani
tetamu utama mereka yang berada di ruangan
tengah.
Tempat Yo Ko sudah diatur oleh Oey Yong dan
duduk di
samping mejanya, sebaliknya Kwe Hu dan Bu-si
Hengte malah
sangat jauh tempat duduknya.
Semula Kwe Hu rada heran, ia pikir orang toh
tak bisa ilmu
silat, untuk apa dia hadiri Eng-hiong-yan
ini? Tetapi bila
terpikir lagi olehnya, seketika hatinya
terkesiap.
“Haya, celaka, bukanlah ayah bilang mau
menjodohkan
aku padanya, jangan-jangan ibu sudah setuju
lengan maksud
ayah?” demikian ia membatin.
Sebab itu, makin dipikir Kwe Hu semakin
takut, apalagi
teringat olehnya betapa hangatnya hubungan
mereka ketika
ibunya menggandeng tangan Yo Ko. selamanya
ayah-
bundanya saling hormat menghormati dan
harga-menghargai,
kalau ayahnya berkeras dengan maksudnya,
pasti ibunya tak
bisa memgelak. Karena itu, berulang kali ia
melirik si Yo Ko
dengan sorot mata yang penuh marah.
Kebetulan waktu itu Bu Siu-Bun bertanya
padanya: “Hu-
moay, lihat itu bocah she Nyo juga duduk di
situ, ia terhitung
Enghiong darimana sih?”
“Entah,” sahut Kwe Hu mendongkol “Jika kau
mampu,
boleh kau mengusirnya !”
Tadinya Bu-si Hetigte hanya pandang rendah
pada Nyo
Ko, tetapi sesudah mendengar Kwe Ceng bilang
hendak
jodohkan puterinya padanya, tanpa terasa
dalam hati mereka
timbul rasa permusuhan hal ini memang bisa
terjadi antara
saingan rebut pacar, maka tak bisa
mengalahkan mereka.
Kini mendengar kata-kata Kwe Hu tadi, segera
Siu-bun
berpikir: “Kenapa aku tidak bikin malu dia di
hadapan orang
banyak ini? Subo adalah seorang yang suka
unggul, kalau
bocah she Nyo terjungkal di bawah tanganku,
pasti ia tak akan
mau terima dia sebagai menantunya.”
Setelah ambil keputusan itu, dengan
It-yang-ti yang baru
saja ia pelajari dari paman gurunya itu
kebetulan bisa
digunakan Yo Ko sebagai kelinci percobaan.
Maka segera berkatalah Siu-bun: “la mengaku
Enghiong,
mengusirnya rasanya susah, adalah lebih baik
naikkan dia
sekalian supaya dia bisa dikenal orang
banyak.”
Habis berkata, ia menuang dua cawan arak dan
segera
didekatinya Yo Ko.
“Nyo-toako, marilah kusuguh kau secawan,”
demikian ia
berkata.
Kecerdasan Yo Ko jauh sekali di atasnya Bu-si
Hengte,
waktu dilihatnya orang mendekati dirinya
dengan mata
memandang Kwe Hu, sedang air mukanya
mengunjuk rasa
senang yang aneh, ia menduga orang pasti akan
pakai akal
licik ia pikir “Tentu dia tidak bermaksud
baik dengan
menyuguh arak padaku ini, Tetapi taruh racun di
dalam arak
rasanya iapun tidak berani.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar