Minggu, 11 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 28



Kembalinya Pendekar Rajawali 28

Tipu tendangan ini adalah pelajaran pertama bagi orang
yang belajar ilmu silat Coan-cin pay, meski cara
menyerangnya biasa saja tiada yang aneh, asal sedikit paham
silat saja pasti dapat mematahkannya, Tetapi lihaynya suatu
aliran ilmu silat letaknya justru pada tipu serangan dasar
pertama yang dipelajarinya mula-mula, dari sinilah baru
kemudian diikuti dengan perubahan2 lainnya untuk
menangkan musuh.
Dengan tipu serangannya ini, terutama Ci-keng sengaja
pertunjukkan pada Kwe Ceng dan Oey Yong supaja kedua orang
ini tahu bahwa: Sekali pun aku tidak ajarkan ilmu silat yang
tinggi pada-nya, masakan pelajaran dasar pertama saja tak
mengajarkan padanya?
Sebaliknya demi nampak tendangan orang ini, Yo Ko
tidak mengelakkan diri dengan gaya “twe-ma-se” atau kuda-
kuda yang bergaya mundur, satu gerakan yang tepat untuk
hindarkan tendangan “Thian-san-hui-toh”, malahan mendadak
ia berteriak: “Aduh!”
Berbareng itu tangan kirinya lurus ke bawah menahan di
depan perut yang hendak ditendang orang.
Melihat Yo Ko begitu berani tanpa hindarkan diri juga
tidak berkelit, maka Ci-keng juga tidak sungkan-sungkan lagi
segera tendangannya diayun ke de-pan, pada saat ujung
kakinya tinggal beberapa senti dari perut Yo Ko, di bawah
sinar pelita tiba-tiba dilihatnya pemuda ini sedikit acungkan
jari jempol tangan kiri ke atas dan dengan tepat mengincar
“Thay-kok-hiat” pada tungkak kakinya.
Jika tendangan ini dengan kuat diteruskan niscaya
sebelum kakinya mengenai sasarannya dia sendiri sudah kena
ditutuk dulu, dengan demikian, bukannya pemuda itu menutuk
Hiat-tonya melainkan ia sendiri yang sodorkan Hiat-tonya
untuk di-tutuk.
Ci-keng adalah jago utama dari anak murid Coan-cin-pay
angkatan ketiga, dalam keadaan berbahaya itu segera ia ubah
serangannya, ia membelokkan arah kakinya hingga
tendangannya menyerempet lewat di samping Yo Ko, dengan
demikian boleh dikatakan ia telah hindarkan tutukan yang
berbahaya, namun tubuhnya toh menjadi sempoyongan
hingga mukanya merah jengah.
Kwe Ceng dan Oey Yong berdiri di belakang Yo Ko, mereka
tak melihat jari jempol yang di-acungkan bocah ini, mereka
menyangka Ci-keng sengaja berlaku murah hati dan tidak
menggunakan tipu lihay, sebaliknya Sun Put-ji dan iri Ci-peng
dapat menyaksikannya dengan terang.
Ci-peng bungkam saja tak bersuara, sedang Sun Put-ji
dengan segera berjingkrak, “Bagus kau!” demikian teriaknya.
Dalam pada itu Ci-keng pun tidak berhenti begitu saja,
tangan kirinya diajun, dengan cepat ia potong ke pelipis kiri
Yo Ko, sekali ini ia menyerang dengan cara teliti, telapak
tangan sampai tengah jalan baru mendadak ia ganti arah,
tampaknya ia hantam pelipis kiri orang, tetapi telapak
tangannya mendadak memotong ke leher sebelah kanan.
Tak ia duga bahwa Yo Ko sudah masak sekali
mengapalkan Giok-li-sim-keng di luar kepala, Sim-keng atau
kitab suci itu justru diciptakan untuk anti ilmu silat Coan-cin-
pay. Dahulu setiap tipu serangan lihay dari Ong Tiong-yang
tiada satupun yang dilewatkan Lim Tiaoeng untuk
menciptakan sesuatu tipu gerakan buat mematahkannya.
Melihat tangan kiri orang mengayun, dengan segera Nyo
Ko merangkul kepalanya sendiri seperti orang yang ketakutan
setengah mampus, sedangkan jari telunjuk kiri diam-diam ia
sembunyikan dibawah lehernya sebelah kanan, ia gunakan
tangan yang lain untuk menutupnya supaja tak diketahui Ci-
keng.
Ketika hampir tiba telapak tangan Iawan, mendadak Nyo
Ko kesampingkan sedikit tangan kanan-nya, maka dengan
tepat sekali jari telunjuk kiri yang sudah disiapkan itu telah
kena menutuk “ho-khe-hiat” tangan Ci-keng.
Kejadian inipun bukannya Yo Ko yang menyerang, tetapi
Ci-keng sendiri yang mengantarkan tangannya untuk ditutuk,
Yo Ko hanya menduga sebelumnya kemana serangan orang
hendak ditujukan maka jarinya ia taruh dulu di tempat yang
jitu.
Dan karena Hiat-to tangannya tertutuk, seketika Ci-keng
merasa lengannya pegal linu, ia insaf terkena akal licik orang,
dalam gusarnya iapun tak pikir panjang lagi, dengan cepat ia
ayun kaki kiri terus menyerampang.
“Haya, celaka!” teriak Yo Ko pura-pura.
Mendadak ia sedikit tekuk lengan kirinya, ia papak sikunya
ke bawah pinggangnya.
Dan begitu tendangan Ci-keng sampai, tahu-tahu “Ciau-
hay-hiat” dan “Tha-ke-hiat” ditungkak kakinya persis
mengenai ujung siku Yo Ko.
Tendangan ini dilakukan Ci-keng dengan gusar, dengan
sendirinya kekuatannya sangat keras, dan karena itu juga
tutukan Hiat-tonya itu menjadi sangat keras pula, seketika
kakinya menjadi kaku dan tanpa berkuasa orangnya terus
berlutut.
Melihat sang Sutit (murid keponakan) membikin malu di
depan orang banyak, Lekas-lekas Sun Put-ji jambret dan
diberdirikannya, ia tepuk punggung Ci-keng buat melepaskan
tutukannya tadi.
Melihat sehat dan jitu sekali tindakan hitam wanita ini,
terang kepandaiannya berpuluh kali lebih tinggi dari Ci-keng,
Yo Ko menjadi jeri dan cepat mundur ke samping.
Sungguhpun Sun Put-ji sudah lanjut usianya, tetapi
wataknya ternyata sangat keras dan kaku, ia lihat kepandaian
Yo Ko aneh luar biasa, sekalipun ia sendiri ikut turun tangan
juga belum tentu bisa menang, maka segera ia berseru :
“Hayo, pergi!”
Habis itu, tanpa permisi lagi ia kebas lengan jubahnya,
sekali lompat, seperti burung saja ia melayang keluar melalui
jendela terus naik kewuwungan rumah.
In Cie-peng seperti orang kehilangan semangat ia hendak
memberi penjelasan pada Kwe Ceng, namun Ci-keng sudah tak
sabar,
“Berkata apa lagi?” bentaknya gusar, berbareng ini ia tarik
sang Sute terus melompat keluar melalui jendela menyusul
Sun Put-ji.
Sebenarnya mata Kwe Ceng dan Oey Yong cukup jeli dengan
sendirinya mereka tahu Ci-keng tadi telah kena ditutuk Hiat-
tonya, cuma kelihatan Yo Ko tidak menggeraki tangannya,
apa mungkin ada orang kosen yang membantunya dari
samping?
Segera Kwe Ceng melongok keluar jendela, tetapi tiada
seorangpun yang dilihatnya, Waktu Oey Yong membalik, tiba-
tiba dilihatnya di bawah rak buku menonjol keluar ujung
sepatu hijau yang dipakai Kwe Hu.
“Hayo, keluar Hu-ji, apa yang kau lakukan di situ?”
serunya segera.
Dengan nakal Kwe Hu melompat keluar dari tempat
sembunyinya sambil ketawa ngikik.
“Aku dan Bu-keh Koko sedang mencari buku bacaan di
sini,” demikian ia coba beralasan.
Akan tetapi Oey Yong tidak gampang dibohongi, ia tahu
tentu mereka sengaja mencuri dengar.
Di lain pihak Kwe Ceng yang berjiwa lurus jujur selalu
mengukur orang lain dengan jiwanya sendiri yang kesatria
sejati, ia sangka tadi Ci-keng mendadak tak tega gunakan
pukulan yang mematikan dan pura-pura terkena tutukan
untuk tinggalkan tempat ini. sebaliknya Oey Yong sudah bisa
mem-bade pasti Yo Ko telah pakai tipu muslihat cuma
berdirinya tadi di belakang Yo Ko hingga tak dapat melihat
cara bagaimana pemuda itu geraki tangannya, pula ia tidak
tahu bahwa di jagat ini ternyata masih ada ilmu silat dari Giok-
li-sim-keng yang bisa menduga segala tipu apa yang hendak
dilontarkan musuh hingga ilmu silat kaum Coan-cin-pay
sedikitpun tak bisa berkutik maka seketikapun ia tak habis
mengerti oleh kejadian tadi
Begitulah, selagi ia termenung-menung, tiba-tiba ada anak
murid Kay-pang melaporkan kedatangan tamu jauh, Sesudah
Oey Yong pandang Yo Ko sekejap, lalu bersama Kwe Ceng
mereka pergi menyambut tetamu.
“Nyo-koko adalah teman memain kalian waktu kecil, kalian
harus melayaninya baik-baik”, pesan Kwe Ceng pada Bu-si
Hengte sebelum pergi.
Tetapi karena dahulu sudah tak akur dengan Yo Ko, kini
melihat macam orang yang menjijikkan, Bu-si Hengte semakin
pandang hina pemuda ini ia panggil seorang centing dan
suruh mengatur tempat tidurnya Yo Ko, sedang mereka asyik
bicara sendiri dengan Kwe Hu.
Sebaliknya Kwe Hu ternyata sangat aneh, ia ketarik oleh
datangnya Yo Ko.
“Nyo-toako,” demikian ia tanya, “sebab apakah gurumu
tak mau terima dirimu?”.
“Sebabnya terlalu banyak,” sahut Yo Ko,
“Pertama aku memang goblok dan malas, kepandaian
yang Suhu ajarkan padaku selalu tak bisa apal, pula aku tak
bisa pura-pura rendah, tak bisa menjilat dan membaiki
orangnya Suhu…”
Mendengar kata-kata Yo Ko rada menusuk, pertama-
tama Bu Siu-bun yang tak tahan.
“Apa kau bilang?” bentaknya segera.
“Aku bilang diriku sendiri tak becus, maka tidak disukai
Suhu,” sahut Yo Ko.
“Gurumu adalah Tosu dan tidak kawin, masakah dia punya
anak?” ujar Kwe Hu sembari tertawa genit.
Melihat tertawa si gadis bagaikan sekuntum bunga mawar
yang mendadak mekar berubah merah sedikit, lekas-lekas ia
berpaling ke jurusan lain.
“Nyo-toako, baiklah kau pergi mengaso saja, besok kita
bicara lagi,” kata Kwe Hu kemudian dengan suara lembut.
Yo Ko mengiakan, ia ikut centing yang melayaninya itu
dan pergi tidur, Dari belakang lapat-lapat terdengar olehnya
suaranya Kwe Hu lagi Dan mengomel : “Aku suka bicara
padanya, kalian peduli apa? ilmu silatnya baik atau tidak, biar
kelak aku minta ayah ajarkan padanya.”
Nyata si nona sedang omeli Bu-si Hengte, agaknya kedua
saudara Bu merasa cemburu karena si gadis mengajak bicara
Yo Ko.
Besok paginya, sesudah Yo Ko sarapan, ia lihat Kwe Hu
menyapa padanya di pekarangan depan, sedang Bu-si Hengte
tampak longak-longok di samping sana.
Diam-diam Yo Ko tertawa geli, iapun mendekati Kwe Hu
dan bertanya : “Kau mencari aku?”
“Ya,” sahut Kwe Hu tersenyum manis, “marilah kita jalan-
jalan keluar, aku ingin tanya kau apa yang kau lakukan selama
beberapa tahun ini.”
Yo Ko menjadi berduka mendengar orang menyinggung
pengalamannya selama ini, ia pikir pengalamannya selama ini
sungguh terlalu banyak untuk diceritakan pula apa yang
terjadi itu mana bisa diceritakan padamu ?
Begitulah, Yo Ko dan Kwe Hu berjalan keluar, waktu Nyo
Ko melirik, ia lihat Bo-si Hengte terus mengikuti dari jauh. Kwe
Hu tahu, namun kedua anak muda itu tak digubrisnya,
sebaliknya ia mencerocos menanyai Yo Ko.
Dasar Yo Ko memang pintar bicara, ia sengaja obrol
segala apa yang tak penting, ia bum-bu2i pula hingga Kwe Hu
dibikin senang dan ketawa ter-kikih2.
Dengan pelahan akhirnya mereka berdua sampai di bawah
satu pohon Liu, tiba-tiba terdengar me-ringkiknya kuda,
seekor kuda buduk kurus mendekati Yo Ko sambil
menggosok-gosok moncongnya pada tubuh pemuda ini,
tampaknya kasih sayang. sekali antara mereka.
Melihat kuda sejelek ini, tiba-tiba Bu-si Hengte ketawa
terbahak-bahak sambil mendekati Kwe Hu dan Yo Ko.
“Nyo-heng,” demikian Siu-bun berkata lebih dulu, “kuda
mestikamu ini sungguh hebat amat, beruntung kau dapat
memperolehnya. Bilakah kau pun mencarikan seekor untuk
aku.”
“Kuda ini datang dari negeri Langka, mana mampu kau
membelinya?” sela Bu Tun-si berlagak sungguh-sungguh.
Mendengar orang menyebut kuda, tanpa terasa Kwe Hu
memandang Yo Ko, lalu pandang lagi kuda jelek itu, ia lihat
ke-dua2nya sama-sama kotor dan dekil, ia tertawa geli juga.
Namun Yo Ko tak marah, sebaliknya ia pua bergelak
ketawa.
“Haha, kudaku jelek, orangnya pun jelek, sesungguhnya
memang jodoh yang setimpal,” demikian katanya, “Dan
binatang tunggangan Bu-heng berdua tentunya bagus luar
biasa?”
Apakah selanjutnya Yo Ko bisa hidup rukun berdampingan
dengan Kwe Hu dan Bu-si Hengte ?
Kepada siapa Oey Yong akan turunkan jabatan Pangcu
Kaypang? Kepada Yo Ko yang dicalonkan jadi menantunya
oleh Kwe Ceng?


Jilid 18
“Kuda kami sesungguhnya tidak banyak lebih bagus dari
kudamu yang buduk ini,” sahut Siu-bun. “Tetapi kuda merah
Hu-moay (adik Hu) itulah baru kuda mestika sungguh-
sungguh. Dahulu kau pernah tinggal di Tho-hoa-to, tentu kau
sudah melihatnya.”
“O, kiranya Kwe-pepek telah memberikan kuda merahnya
kepada gadisnya,” sahut Yo Ko.
Sembari bicara mereka berempat terus berjalan.
“He, lihat, ibuku hendak pergi memberi pelajaran Pang-
hoat (ilmu permainan pentung) lagi,” tiba-tiba Kwe Hu berkata
sembari tunjuk ke arah barat.
Waktu Yo Ko menoleh, ia lihat Oey Yong bersama seorang
pengemis tua sedang jalan berendeng menuju ke lembah
gunung, tangan mereka sama-sama membawa sebatang
pentung.
“Loh-tianglo sungguh terlalu goblok, sudah sekian lamanya
ia belajar Pak-kau-pang-hoat masih juga belum bisa,” ujar Bu
Siu-bun.
Mendengar kata-kata “Pak-kau-pang-hoat”, seketika Nyo
Ko terkesiap hatinya, cuma lahirnya sedikitpun ia tidak unjuk
sesuatu tanda, ia malah berpaling ke jurusan lain pura-pura
sedang menikmati pemandangan alam yang indah.
“Pak-kau-pang-hoat adalah pusaka Kay-pang yang hebat”,
demikian ia dengar Kwe Hu berkata lagi. “Kata ibuku, Pang-
hoat ini luar biasa bagus-nya dan adalah permainan yang
paling lihay dalam hal senjata di seluruh jagat ini, dengan
sendirinya kepandaian sehebat ini tak bisa dipelajari dalam
sepuluh hari atau setengah bulan saja, Kau bilang dia goblok,
memangnya kau sendiri pintar?”
Siu-bun menjadi bungkam dan menyengir.
“Sayang kecuali Pangcu dari Kay-pang, Pang-hoat ini tidak
diturunkan lagi kepada orang lain,” ujar Bu Tun-si.
“Kelak kalau kau menjadi Pangcu dari Kay-pang, dengan
sendirinya Loh-tianglo akan ajarkan padamu,” sahut Kwe Hu.
“Pang-hoat ini ayahku saja tak bisa, rasanya kaupun tak perlu
menyesal.”
“Dengan macam ku ini mana bisa menjadi Pangcu Kay-
pang?” kata Tun-si “Hu-moay, coba katakan, mengapa Subo
bisa pilih Loh-tianglo sebagai calon penggantinya?”
“Selama beberapa tahun ini, hakikatnya ibuku hanya
namanya saja Pangcu, padahal segala urusan Kay-pang baik
besar atau kecil seluruhnya diserahkan pada Loh-tianglo,”
sahut Kwe Hu. “Begitu banyak urusan Kay-pang yang tetek
bengek, asal dengar saja ibuku sudah merasa pusing, maka
dia bilang lebih baik suruh Loh-tianglo yang menjadi Pangcu
saja sekalian ia tunggu nanti kalau Loh-tianglo sudah paham
mempelajari Pak-kau-pang-hoat, lalu jabatan Pangcu itupun
akan diserahkannya secara resmi.”
“Hu-moay,” kata Siu-bun lagi, “bagaimanakah macamnya
Pak-kau-pang-hoat sebenarnya, kau pernah melihat belum?”
“Belum pernah,” sahut Kvve Hu. Tetapi segera ia bilang
lagi: “Eh, pernah.”
Habis ini ia jemput sebatang kayu, lalu ia pukul pelahan ke
pundak Siau-bun dan menyambung lagi dengan tertawa:
“Nah, begini!”
Keruan saja Siau-bun berjingkrak, “Bagus, kau anggap aku
sebagai anjing, ya?” teriaknya, berbareng ia pura-pura hendak
jamberet si gadis.
Dengan tertawa Kwe Hu lari menyingkir terus diudak oleh
Siu-bun. Dan sesudah berputar, kedua orang lalu kembali lagi
ketempat semula.
“Siao Bu-koko, jangan kau ribut lagi, aku mempunyai
suatu gagasan sekarang,” dengan tertawa Kwe Hu
mengatakan.
“Coba katakan,” ujar Siu-bun.
“Kita pergi mengintip, coba itu Pak-kau-pang-hoat
sebenarnya apa macamnya,” Kwe Hu menerangkan.
Seketika Siu-bun menyatakan akur, sebaliknya Tun-si
geleng-geleng kepala dan Yo Ko tak memberi suara.
“Jangan, jika sampai konangan Subo, tentu akan
didamperat habis-habisan,” kata Tun-si.
“Kau memang penakut, kita hanya melihat saja, toh tidak
mencuri belajar,” debat Kwe Hu, “Lagipula, iimu silat yang
begitu hebat dan tinggi apa hanya mengintip begitu saja
lantas bisa?”
Karena diolok-olok, Tun-si hanya menyengir saja dan tak
bisa menjawab.
“Kemarin bukankah kita juga mengintip di kamar baca dan
ibuku mendamperat kau tidak ?” Kwe Hu menambahi pula,
“Memang nyalimu terlalu kecil seperti tikus, Siao Bu-koko,
mari kita berdua pergi.”
“Baik, baik, kau yang benar, aku ikut,” seru Tun-si.
“Emangnya, ilmu silat kelas satu dari jagat ini kau tak ingin
melihatnya?” dengan tertawa Kwe Hu mengomel lagi.
Mereka bertiga memang sudah lama kagumi Pak-kau-
pang-hoat yang lihay, cuma macamnya apa, selamanya belum
pernah lihat, Pernah Kwe Ceng ceritakan pada mereka tentang
kejadian dulu dimana Oey Yong dengan Pak-kau-pang-hoat
menaklukkan para kesatria dari Kay-pang hingga berhasil
merebut kedudukan Pangcu, cerita ini bikin ketiga muda-mudi
ini sangat terpesona.
Kini Kwe Hu mengusulkan pergi mengintip, meski di mulut
Tun-si tak setuju, padahal dalam hati seribu kali kepingin,
Cuma pemuda ini rada licin, sebelumnya ia sengaja
tumpahkan tanggung jawab atas diri orang, supaya bila
konangan Oey Yong takkan salahkan dia.
“Nyo-toako, marilah kaupun ikut bersama kami.” demikian
Kwe Hu berkata lagi.
Tetapi Yo Ko pura-pura memandang jauh seakan-akan
sedang memikirkan sesuata, apa yang dikatakan si gadis
seperti tak didengarnya Waktu Kwe Hu mengulangi tanya lagi
barulah Yo Ko menoIeh.
“Apa… apa? Ikut? Ke mana?” demikian ia tanya pura-pura
tak mengerti.
“Tak usah kau tanya, asal ikut saja,” sahut Kwe Hu.
“Hu-moay, buat apa dia ikut?” tiba-tiba Tun-si mendadak.
“Toh dia tak akan mengerti, ia ketolol-tololan begini, kalau
sampai menerbitkan suara, bukankah akan konangan Subo
nanti?”
“Jangan kau kuatir, biar aku jaga dia,” ujar Kwe Hu.
“Kalian berdua boleh jalan dulu, segera aku dan Nyo-toako
menyusul. Kalau empat orang bersama tentu lebih mudah
menerbitkan suara,”
Tentu saja Bu-si Hengte tak rela disuruh jalan dahulu,
tetapi mereka cukup kenal wataknya Kwe Hu yang tak bisa
dibantah, jika sedikit bikin marah dia, tanggung selama
belasan hari kau tak digubrisnya apabila tidak me-mohon2 dan
me-minta-minta hingga si gadis tertawa senang.
Karena itu, terpaksa Bu-si Hengte berjalan dahulu dengan
kurang senang.
“Kita putar ke belakang pohon besar di tepi jalan itu, untuk
sementara ibu tentu tak akan mengetahui,” demikian Kwe Hu
teriaki mereka.
Dari jauh Bu-si Hengte menyahut, lalu mereka bertindak
cepat ke depan.
Maka kini tinggal Kwe Hu dan Yo Ko saja yang jalan
berendeng, melihat baju pemuda ini compang-camping tak
keruan, Kwe Hu berkata: “Nanti kuminta ibu membikinkan kau
beberapa baju baru, sesudah kau berdandan, tentu kau tak
akan begini jelek lagi,”
“Tidak, memang aku dilahirkan jelek, berdandanpun tak
ada gunanya,” sahut Yo Ko geleng kepala.
Tiba-tiba Kvve Hu menghela napas pelahan.
“Sebab apa kau berkeluh-kesah?” tanya Yo Ko.
“Hatiku sangat masgul, apa kau tak tahu,” sahut si gadis.
Melihat pipi si gadis bersemu merah, alisnya lentik lembut,
betul-betul nona yang ayu luar biasa, kalau melulu soal muka
saja, dibanding Liok Bu-siang, Wanyen Peng dan Yali Yan,
boleh dikatakan Kwe Hu terlebih cantik, tanpa tertahan hati si
Yo Ko rada terguncang.
“Aku tahu sebab apa hatimu kesal,” katanya kemudian.
“Aneh, darimana kau tahu? Ah, kau membual belaka!”
sahut Kwe Hu tertawa.
“Baiklah, bila aku jitu menerkanya, jangan kau pungkir
ya?” ujar Yo Ko.
“Baik, coba kau terka,” kata Kwe Hu lagi dengan
tersenyum manis.
“Kenapa susah2 membade,” kata Yo Ko kemudian,
“Kedua saudara Bu itu semuanya suka padamu, semuanya
suka cari muka padamu, sebab itulah kau menjadi serba susah
memilihnya.”
Hati Kwe Hu berdebar-debar karena isi hatinya dengan jitu
kena dikatai.
Nyata memang soal yang menjadikan kesal hatinya adalah
diri kedua saudara Bu itu. Urusan ini ia sendiri tahu, ayah-
bundanya tahu, Bu-si Hengte tahu, sampai kakek guru mereka
Kwa Tin-ok juga tahu, cuma urusan ini semua merasa sukar
diucapkan maka semuanya hanya berpikir dalam hati,
selamanya tak pernah menyinggung barang sekecap urusan
ini.
Kini mendadak kena dikatai Yo Ko, tanpa terasa muka
Kwe Hu menjadi merah jengah, tetapi terasa senang pula dan
macam-macam perasaan lain.
“Ya, memang sukar dipilih,” demikian sambung Yo Ko
lagi. “Yang satu pendiam, yang lain lincah, yang satu pandai
main cinta, yang lain pintar cari muka, yang satu dapat kau
percaya selama hidup, yang lain bisa menghilangkan kesalmu,
Keduanya sama-sama cakap, ilmu silat tinggi, sungguh
masing-masing ada kelebihan sendiri-sendiri, cuma sayang,
aku seorang diri, mana bisa menikah dengan dua lelaki ?”
Sebenarnya Kwe Hu sedang mendengarkan dengan
ternganga, ketika mendengar ucapan yang terakhir itu, tiba-
tiba ia mengomelnya: “Ah, mulutmu selalu usil, tak mau gubris
kau lagi.”
Melihat air muka orang, sejak tadi Yo Ko sudah tahu
terkaannya pasti kena seluruhnya, maka ia menembang
pelahan mengulangi kata-katanya tadi yang terakhir.
Walaupun begitu, meski ia sudah ulangi beberapa kali, si
gadis seperti sedang tenggelam pikirannya sendiri dan tak
mendengarkan
“Nyo-toako,” katanya kemudian lewat sejenak, “menurut
kau, Toa Bu-koko lebih baik atau Siao Bu-koko yang baik?”
“Haha, kalau menurut aku, ke-dua2nya tidak baik semua,”
sahut Yo Ko tiba-tiba.
“Sebab apa?” Kwe Hu tercengang.
“Ya, sebab kalau mereka baik, lalu aku Yo Ko apa ada
harapan?” ujar Yo Ko dengan tertawa.
Nyata karena si Yo Ko sudah biasa menggoda Liok Bu-
siang sepanjang jalan, padahal dalam hatinya sedikitpun tak
punya pikiran serong, kini dalam keadaan berkdakar dengan
Kwe Hu, tanpa terasa ia terlanjur omong, kelepasan mulut.
Keruan seketika Kwe Hu tertegun, ia adalah gadis aleman
yang biasanya sangat dimanjakan siapapun tak ada yang
berani berkata sesuatu yang bersifat kotor kepadanya, maka
iapun tidak tahu harus marah atau tidak oleh apa yang
dikatakan Yo Ko tadi, tapi ia lantas tarik muka dan
menyahut: “Jika kau tak mau bilang, boleh kau tutup mulut,
siapa ingin bergurau dengan kau ? Hayo, lekas kita ke sana.!”
Sembari berkata ia lantas keluarkan ilmu entengi tubuh
dan berlari ke lereng gunung sana melalui jalan kecil.
Karena “kebentur batu”, Yo Ko menjadi serba kikuk, ia
pikir: “Buat apa aku menyelip di antara mereka bertiga ? Lebih
baik aku pergi yang lain saja !”
Maka ia putar tubuh dan berjalan pelahan ke arah lain,
dalam hati ia berpikir pula: “Bu-si Heng-te boleh dikatakan
memandang nona Kwe seolah-olah bidadari saja dan kuatir
kalau si gadis tak mau jadi isterinya. Padahal kalau betul-betul
sudah menikah dan sepanjang hari harus temani seorang
perempuan yang begini bandel dan manja, akhirnya pasti akan
lebih banyak susah daripada senangnya. Ha,.mereka sungguh
orang tolol, betul-betul menggelikan”,
BegituIah diam-diam Yo Ko tertawai orang, padahal ia
tak tahu bahwa siapa saja kalau sudah jatuh ke dalam jaring
asmara, maka sukar sekali untuk menarik diri, sekalipun dia
orang pandai atau nabi juga sukar memecahkan godaan
demikian ini.
Sementara itu Kwe Hu sudah berlari pergi, ia menyangka
Yo Ko tentu akan menyusul dan minta maaf padanya, siapa
duga sesudah ditunggu dan tunggu lagi masih belum kelihatan
bayangan si Yo Ko, tiba-tiba ia berpikir lain: “Ah, orang ini
tak bisa Ginkang, dengan sendirinya ia tak dapat menyandak
aku.”
Segera ia putar balik ke jalan tadi, tapi tiba-tiba dilihatnya
Yo Ko malah berjalan ke arah sana, keruan saja ia merasa
heran.
“He, kenapa kau tak susul aku?” tanyanya sambil berlari
ke depan Yo Ko.
“Kwe-kohnio, harap kau sampaikan ayah-bundamu,
bilangkan aku sudah pergi,” sahut Yo Ko.
“Tanpa sebab kenapa kau hendak pergi ?” tanya Kwe Hu
terkejut.
“Tak apa-apa, memangnya aku datang tidak untuk apa-
apa, maka perginya juga tiada apa-apa.” sahut Yo Ko adem.
Sebenarnya Kwe Hu suka ramai, meski dalam hati tidak
pandang hormat pada Yo Ko, cuma ia merasa pemuda ini
pandai berkelakar, dibandingkan Bu-si Hengte terasa ada hal
baru yang menarik, maka sesungguhnya ia tidak ingin orang
pergi begitu saja.
Maka ia berkata, “sudah sekian lamanya kita tak berjumpa,
masih banyak yang ingin kutanyakan. Lagi pula, malam ini
akan diadakan Eng-hiong-yan, dari segenap penjuru tidak
sedikit Einghiong-Hohan (orang gagah dan para kesatria) yang
datang berkumpul, masakah kau tak ingin menambah
pengalamanmu?”
“Aku toh bukan Enghiong, kalau ikut hadir, apa tidak akan
menjadi buah tertawaan para Eng-hiong yang sungguhan itu?”
sahut Yo Ko tertawa.
“ltupun betul,” kata Kwe Hu. Dan sesudah merenung
sebentar, kemudian ia sambung lagi : “Ya, baiknya di rumah
Liok-pepek masih banyak orang tak bisa silat, kau boleh ikut
empek Kasir dan para pengurus rumah makan minum
bersama, bukankah sangat baik !”
Gusar sekali Yo Ko oleh kata-kata orang, “Bagus, kau
anggap aku ini sebangsa orang yang rendahan saja!” demikian
pikirnya dongkol.
Sebenarnya ia sudah pikir hendak pergi, tetapi kini ia
malah balik pikiran, ia justru ingin lakukan sesuatu untuk bikin
malu si gadis yang menyinggung perasaannya ini.
Padahal Kwe Hu sejak kecil sangat dimanjakan sama sekali
tak kenal akan pergaulan, beberapa kata-katanya itupun tidak
sengaja hendak melukai hatinya, siapa tahu watak Yo Ko
memang perasa, tanpa sengaja membikin marah padanya.
Sebaliknya melihat Yo Ko sudah berubah pikiran, Kwe Hu
menjadi senang.
“Marilah, lekas, jangan terlambat kalau ibu datang lebih
dulu, tentu tak gampang lagi hendak mengintip,” katanya
kemudian dengan tertawa.
Segera iapun mendahului lari lagi, sedang Yo Ko
mengikuti dari belakang dengan pura-pura bernapas empas-
empis, langkahnya berat hingga kelihatannya sangat goblok.
Dengan susah payah akhirnya mereka tiba juga di tempat
yang biasa Oey Yong mengajarkan Pang-hoat pada Loh-tianglo
yang bernama Loh Yu-ka, sementara itu Bu-si Hengte
kelihatan lagi Iongak-Iongok di atas pohon sana.
Sekali lompat Kwe Hu mendahului panjat ke atas pohon,
lalu ia ulur tangannya buat tarik Yo Ko.
Waktu tangan menyentuh tangan, Yo Ko merasakan
tangan si gadis begitu halus empuk seakan-akan tak
bertulang, tanya terasa hatinya terguncang keras, Tetapi
segera ia pikir pula: “Ah, sekalipun kau lebih cantik lagi juga
tak dapat mencapai separohnya Kokoh-ku (maksudnya Siao-
Iiong-li).”
Tatkala itu ilmu silat Kwe Hu sudah ada dasarnya yang
kuat, maka dengan enteng Yo Ko dapat ditariknya ke atas
pohon.
“Apa ibuku belum datang?” dengan suara tertahan ia
tanya.
“Sudah,” sahut Siu-bun menunjuk ke arah barat “Loh-
tianglo sedang mainkan pentung di sana, sedang Suhu dan
Subo berada di sana sedang pasang omong.”
selamanya Kwe Hu paling takut pada ayah-nya, kini
mendengar Kwe Ceng juga datang, ia menjadi kebat-kebit tak
enak, sementara ia lihat Loh Yu-ka seorang diri dengan
sebatang pentung bambu sedang main sendiri, ia menutul ke
timur dan menjojoh ke barat dengan pentung bambunya, tipu-
tipu gerakannya tiada sesuatu yang mengejutkan orang.
“Apakah ini yang disebut Pak-kau-pang-hoat?” dengan
suara pelahan Kwe Hu menanya.
“Besar kemungkinan betul”, sahut Bu Tun-si. “Tadi Subo
sedang memberi petunjuk-petunjuk padanya, lalu Suhu
datang ada sesuatu hendak berunding dengan Subo dan
mengajaknya menyingkir maka Loh-tianglo seorang diri lantas
berlatih seperti itu.”
Sctelah Kwe Hu memandang lagi beberapa gerakan
pengemis tua itu dan merasa semuanya biasa saja tiada
sesuatu yang menarik, segera iapun berkata: “Ah, Loh-tianglo
belum pandai main, rasanya tiada yang bisa dilihat lagi,
marilah kita pergi saja.”
Tetapi lain halnya dengan pikiran Yo Ko, ia lihat Pang-
hoat yang dimainkan Loh-tianglo itu sedikitpun tidak berbeda
seperti apa yang pernah di-dapatnya dari Ang Chit-kong
tempo hari di Hoa-san, ia cukup kenal betapa hebat ilmu silat
ini, maka diam-diam ia mentertawai si gadis yang tak tahu
apa-apa, tetapi berani bermulut besar.
Di lain pihak Bu-si Hengte yang selamanya selalu menurut
apa yang dikatakan Kwe Hu, waktu mendengar si gadis bilang
mau pergi, segera mereka pun ber-gegas2 hendak lompat
turun, tetapi tiba-tiba mereka mendengar di bawah pohon ada
suara tindakan orang, lalu terdengar suara Kwe Ceng lagi
berkata : “Urusan jodoh Hu-ji sudah tentu tak bisa diputuskan
secara ter-buru-buru, usia Ko-ji masih kecil, kaupun tak dapat
mengalahkan sedikit kekeliruannya lalu memastikan
keburukannya.”
Lantas terdengar Oey Yong menjawab : “Kau pikirkan
hubungan turun temurun keluarga Kwe dan Nyo, hal ini sudah
sepantasnya, Tetapi Yo Ko si bocah ini, semakin kulihat,
rasaku semakin mirip ayahnya, mana aku rela menjodohkan
Hu-ji pada-nya?”
Terkejut sekali mendengar percakapan suami isteri ini,
baik Kwe Hu, Bu-si Hengte maupun Yo Ko, sama sekali
mereka taktahu ada hubungan apa antara keluarga Kwe dan
Nyo, lebih-lebih tak menduga bahwa Kwe Ceng ada maksud
menjodohkan puterinya pada Yo Ko, Karena percakapan
mereka itu ada hubungan erat sekali dengan masing-masing,
maka empat muda-mudi itu tak jadi pergi melainkan berdiam
di atas pohon.
“Ya, Nyo Khong-hengte tak beruntung terjeblos ke dalam
istana pangeran negeri Kim hingga salah bergaul dengan
orang jahat, akibatnya terjadilah drama yang mengenaskan
dengan mayat tak utuh dan menjadi isi perut gagak, kalau
sejak kecil ia dipelihara paman Nyo Thi-sim sendiri, rasanya
pasti takkan terjadi seperti itu,” demikian terdengar Kwe Ceng
berkata lagi.
“ltupun benar.” sahut Oey Yong rendah sambil menghela
napas, Agaknya ia menjadi terbayang pada kejadian ngeri
dahulu dengan matinya Nyo Khong, ayah Yo Ko.
Yo Ko sendiri selamanya tak tahu bagaimana asal-usul
keluarganya, ia hanya tahu ayahnya meninggal terlalu cepat,
sedang cara bagaimana matinya dan siapa musuhnya, hal itu
sekalipun ibu kandungnya juga tak mau bilang terus terang
padanya, Kini mendadak dengar Kwe Qng menyinggung
ayahnya “terjeblos ke istana pangeran negeri Kim dan bergaul
dengan orang jahat” lalu bilang lagi “mayatnya tak utuh
hingga menjadi isi perut burung gagak” dll., seketika pemuda
ini merasa seperti disamber petir, seluruh tubuhnya gemetar,
mukanya pucat pasi.
Waktu itu Kwe Hu kebetulan melirik Yo Ko, demi melihat
wajah pemuda ini sedemikian rupa, Kwe Hu sangat ketakutan,
ia kuatir pemuda ini mendadak terbanting jatuh ke bawah
terus mati.
Dementara itu Kwe Ceng dan Oey Yong duduk berendeng di
atas sebuah batu dan membelakangi pohon yang dibuat
sembunyi empat muda-mudi itu, dengan meraba tangan sang
isteri terdengar Kwe Ceng berkata pula: “Sejak kau
mengandung anak kedua ini kesehatanmu sudah jauh mundur
dari pada dulu, lekasan kau serahkan segala urusan Kay-pang
pada Loh Yun-ka sekaligus, supaya kau dapat merawat diri se-
baik-baiknya”.
“He, kiranya ibu akan punya anak lagi, ehm, senang sekali
kalau aku tambah adik,” kata Kwe Hu dalam hati, ia menjadi
girang sekali.
Dalam pada itu Oey Yong telah menjawab: “Urusan Kay-
pang memangnya tak banyak kuperhatikan sebaliknya urusan
perjodohan Hu-ji yang bikin aku tak tenteram.”
“Jika Coan-cin-kau tak terima Koji, biarlah aku sendiri yang
mengajar dia,” kata Kwe Ceng.
“Tampaknya pemuda ini sangat pintar, kelak aku turunkan
seluruh kepandaianku padanya, dengan begitu tak percumalah
aku angkat saudara dengan ayahnya.”
Kini baru tahulah Yo Ko bahwa Kwe Ceng ternyata adalah
saudara angkat ayahnya sendiri kalau begitu, “Kwe-pepek” ini
sesungguhnya mengandung arti yang besar sekali Dan demi
mendengar Kwe Ceng begitu baik hati dan berbudi pada
dirinya, hati Yo Ko sangat terharu, hampiri ia meneteskan air
mata.
“Tetapi aku justru kuatir dia tersesat oleh karena
pintarnya,” ujar Oey Yong menghela napas, “sebab itu juga aku
hanya ajarkan membaca padanya dan tidak turunkan ilmu silat
dengan harapan kelak dia akan menjadi seorang yang
bijaksana dan pandai membeda-bedakan yang salah dan yang
benar, supaya menjadi seorang lelaki sejati, dengan begitu
sekalipun tak bisa ilmu silat juga aku akan lega dan puas
menjodohkan Hu-ji padanya.”
“Ya, segala apa kau memang lebih pintar dari aku, Yong-
ji,” sahut Kwe Ceng. “Apa yang kau pikirkan selalu
berpandangan jauh, tetapi Hu-ji kita sedemikian wataknya,
ilmu silatnya juga begitu, kalau dia diharuskan mendampingi
seorang anak sekolahan yang lemah, coba pikir apa dia tak
penasaran? Apa dia bisa menghormati Ko-ji kelak? Menurut
hematku, suami isteri demikian ini pasti susah akurnya.”
“Huh, tak malu,” kata Oey Yong tertawa, “Emangnya kita
berdua bisa akur karena ilmu silatmu lebih unggul dari aku?
Hayo, Kwe-tayhiap, marilah kita coba-coba !”
“Bagus, Ui pangcu, katakanlah apa yang kau kehendaki,”
sahut Kwe Ceng tertawa.
Lalu terdengar suara “plok” sekali, mungkin Oey Yong telah
tepok sekali tubuh Kwe Ceng, Selang tak lama, lalu Oey Yong
berkata lagi.
“Ai, urusan ini sesungguhnya sukar diputuskan seandainya
tanpa Ko-ji, urusan kedua saudara Bu saja juga sulit
diselesaikan? Coba katakan, Toa Bu lebih baik atau Siao Bu
lebih baik?”
Seketika hati Kwe Hu dan Bu-si Hengte berdebar-debar.
Meski urusan ini tiada sangkut paut dengan Yo Ko, tetapi
iapun ingin tahu bagaimana pendapat Kwe Ceng terhadap
kedua saudara Bu itu.
Tetapi Kwe Ceng hanya menyahut lirih sekali, selang sekian
Iama masih tiada jawabannya.
“Urusan kecil belum bisa kelihatan,” demikian kemudian
terdengar ia menyahut, “harus tunggu menghadapi urusan
besar, baik atau busuk, barulah bisa diketahui.” - Habis ini
perkataannya berubah menjadi lemah lembut dan
menyambung lagi: “Baiklah usia Hu-ji masih kecil, lewat
beberapa tahun lagi masih belum terlambat, boleh jadi pada
waktu itu dapat diputuskan dengan ca.ra yang lebih baik dan
kita yang menjadi orang tua tak perlu lagi ribut Kau mengajar
Loh-tianglo dan tentu banyak keluarkan tenaga, beberapa hari
ini aku selalu melihat napasmu tak lancar, aku sampai
kuatirkan kesehatanmu sekarang biarlah kupergi mencari Ko-ji
buat ajak bicara sedikit padanya.” -Habis berkata iapun
bertindak pergi.
Sesudah Oey Yong atur pernapasannya sejenak, kemudian
ia panggil Loh-tianglo lagi dan memberi petunjuk Pak-kau-
pang-hoat.
Tatkala itu Loh Yu-ka sudah selesai memainkan 36
gerakan Pak-kau-pang-hoat, cuma dimana dan cara
bagaimana menggunakan inti kebagusan ilmu silat itulah
belum dipahaminya. Maka dengan sabar dan telaten Oey Yong
memberi penjelasan padanya sejurus demi sejurus.
Tipu serangan Pak-kau-pang-hoat ini memang bagus,
Iebih2 kunci yang diuraikan Oey Yong ini terlebih hebat luar
biasa, kalau tidak, hanya sebatang pentung bambu hijau yang
kecil mana bisa menjadi pusaka Kay-pang ?
Sudah hampir sebulan Oey Yong turunkan tipu gerakan ilmu
pentung pemukul anjing itu pada Loh Yu-ka, kini ia
menerangkan pula kunnya dan perubahan2nya sampai
berulang kali dan suruh mengingatnya baik-baik.
Kwe Hu dan Bu-si Hertgte tak paham Pang-hoat segala,
maka mereka merasa tak tertarik mereka tidak tahu tentang
perubahan2 ilmu silat yang hebat itu, maka beberapa kali
mereka sudah ingin berosot turun pohon, namun kuatir
konangan Oey Yong, maka mereka mengharap-harap lekas Ui
Yong selesai mengertikan istiIah2nya dan lekas pergi bersama
Loh Yu-ka.
Siapa tahu Oey Yong bermaksud malam ini juga
menyerahkan jabatan Pangcu pada Loh Yu-ka dalam
perjamuan “Eng-hiong-yan”, maka ia ingin turunkan
seluruhnya baik istilah maupun permainannya kepada Loh Yu-
ka, sekalipun masih belum paham, kelak masih bisa diberi
petunjuk lagi, cuma menurut peraturan Kay-pang turun-
temurun, Pang-cu baru waktu menerima jabatan harus sudah
bisa memainkan Pak-kau-pang-hoat, oleh sebab itu sedapat
mungkin Oey Yong ingin turunkan apa mestinya, maka sudah
lebih satu jam masih belum juga selesai menguraikannya.
Dasar Loh Yu-ka ini juga bakatnya kurang ditambah
usianya sudah lanjut, daya ingatannya sudah mundur,
seketika mana bisa mengingat begitu banyak ajaran yang
diberikan itu? Meski Oey Yong sudah bolak-balik mengulangi,
masih belum juga diingatnya semua.
Baiknya Oey Yong sudah lama berdampingan dengan
seorang suami yang bakatnya tak tinggi, ia sudah biasa
dengan orang yang kurang tajan otaknya, maka kebebalan
Loh Yu-ka tidak menjadikan amarahnya. Celakanya ia dibatasi
oleh peraturan perkumpulan yang mengharuskan inti Pang
hoat itu diturunkan secara lisan dan sekali-kali tak boleh
secara tertulis, kalau boleh, sesungguhnya ia bisa menulisnya
dan dibaca sendiri oleh Loh Yu-ka sampai apal, hal ini pasti
akan hemat tidak sedikit tenaganya.
Dalam pada itu yang paling beruntung rasanya adalah Nyo
Ko.
Seperti diketahui, tempo hari waktu Ang Chit kong
bertanding dengan Auwyang Hong di Hoa san, pada saat
terakhir pernah mengajarkan setiap tipu berikut perubahannya
pada Yo Ko dan disuruh mempertunjukkannya pada
Auwyang Hong, hanya kunci diwaktu menghadapi musuh saja
yang belum dijelaskan. Siapa tahu, secara kebetulan sekali di
sini Yo Ko justru bisa mendengar kekurangan itu dari
mulutnya Oey Yong yang lagi mengajarkannya pada Loh Yu-ka.
Sudah tentu bakat Yo Ko beratus kali lebih tinggi dari Loh
Yu-ka, hanya tiga kali ia dengar, satu kata saja tak bisa
dilupakan lagi oleh pemuda ini, sebaliknya Loh Yu-ka masih
bolak-balik mengulangi dan masih tetap salah.
Setelah hamil untuk kedua kalinya, mungkin karena terlalu
sibuk menurunkan Pak-kau-pang-hoat pada Loh Yu-ka,
akhirnya Oey Yong merasa letih juga, ia coba bersandar pada
baru sambil pejamkan mata untuk mengumpulkan semangat.
“Hu-ji, Si-ji, Bun-ji, Ko-ji, semuanya turun sini!” mendadak
ia berseru.
Tentu saja Kwe Hu berempat sangat kaget, mereka heran
mengapa orang diam-diam saja, tetapi sebenarnya sudah tahu
mereka sembunyi di atas pohon.
“Kau sungguh hebat, Mak! Segala apa tak bisa
membohongi kau!” demikian Kwe Hu berkata tertawa.
Berbareng itu, dengan gerakan “Ling-yan-tau-lim” atau
burung walet menerobos Hutan, dengan enteng sekali ia
meloncat ke hadapan sang ibu.
Menyusul Bu-si Hengte juga ikut melompat turun, hanya
Yo Ko saja yang merangkak turun dengan pelahan.
“Hm, hanya sedikit kepandaianmu ini berani mengintip?”
sahut Oey Yong menjengek “Jika menghadapi kalian beberapa
setan cilik saja tak tahu, apalagi kalau merantau Kangouw,
bukankah tidak sampai setengah hari sudah terjebak musuh?”
Kwe Hu menjadi kikuk, tetapi ia tahu sang ibu biasanya
sangat manjakan dirinya maka iapun tidak takut didamperat,
sebaliknya ia maju dan berkata lagi dengan tertawa:
“Mak, sengaja aku ajak mereka datang ke sini untuk
melihat Pak-kau-pang-hcat yang disegani di seluruh jagat itu,
siapa tahu apa yang dimainkan Loh-Lianglo itu sedikitpun tak
menarik Coba, jika permainanmu tentu sangat menarik.”
Oey Yong tertawa, betul juga segera ia ambil pentung
bambu dari Loh Yu-ka.
“Baik, lihatlah aku bikin anjing cilik terjungkal” katanya
sambil ulurkan pentung bambu ke arah Kwe Hu.
Segera Kwe Hu perhatikan bagian bawah, ia tunggu bila
pentung menyamber, segera ia akan melompat ke atas supaya
tidak kesandung.
Dalam pada itu Oey Yong telah geraki pentung bambunya,
lekas-2 Kwe Hu melompat siapa tahu baru setengah kaki
meninggalkan tanah, dengan tepat kena disabet pentung itu
dan dengan enteng ia jatuh menggeletak.
“Tidak, tidak mau aku, itu salahku sendiri,” teriak Kwe Hu
aleman sambil melompat bangun.
“Baiklah, coba, kau ingin cara bagaimana?” kata Oey Yong
tertawa.
Segera si gadis pasang kuda-kuda dengan kuat, habis itu
ia berseru pada Bu-si Hengte. “Toa Bu-koko dan Siao Bu-koko,
kalian berdua berdiri di sampingku sini, juga pasang kuda-
kuda yang kukuh.”
Busi Hengte menurut, mereka berdiri dengan kuda-kuda
yang kuat, Kwe Hu pentang tangannya saling gantol dengan
tangan kedua pemuda itu, dengan tenaga mereka bertiga,
sungguh sangat kukuh tampaknya.
“Mak, sekarang tak takut lagi, kecuali ayah punya Hang-
liong-sip-pat-ciang barulah bisa bikin kami bergerak,” kata
Kvve Hu.
Oey Yong tak menjawab, ia tersenyum, habis ini mendadak
pentungnya menyapu ke muka tiga orang itu dengan kcncang.
Karena kuatir muka mereka yang habis menjadi babak
belur, lekas-lekas ketiga-tiga-nya mendoyong ke belakang
buat berkelit dengan demikian kuda-kuda mereka menjadi
kendur. Tanpa ayal lagi pentung Oey Yong berputar kembali dan
menyereet kaki ketiga orang, karena tak kuat lagi kuda-
kudanya, mereka bertiga jatuh menubruk tanah semua, ilmu
silat mereka cukup hebat, maka baru jatuh segera mereka
melompat bangun dengan gaya yang manis.
“Mak, caramu ini hanya tipuan saja, aku tak mau,” kata
Kwe Hu lagi.
“Memangnya,” ujar Oey Yong, “apa yang aku ajarkan pada
Loh-tianglo tadi, tipu manakah yang pakai tenaga sungguh-
sungguh? Kau bilang gerakanku ini hanya tipuan. memang
tidak salah, dalam ilmu silat, 9 dari 10 bagian memang akal
belaka, asal bisa robohkan lawan, itu berarti sudah menang.
Hanya ilmu Han-liong-sip-pat-ciang ayahmu itulah betul-betul
silat sejati yang berani main keras lawan keras tanpa pakai
akal. Tetapi untuk melatih sampai tingkat itu, di jagat ini
terdapat berapa orang?”
Kata-kata ini membikin Yo Ko diam-diam memanggut,
sebaliknya Kwe Hu bertiga meski mengerti toh mereka belum
paham di mana letak intisari penjelasan itu.
“Pak-kau-pang-hoat ini adalah ilmu silat paling aneh, ia
tercipta secara tersendiri dan tiada hubungannya dengan
silat2 aliran lain,” kata Oey Yong lagi, “Kalau melulu belajar tipu
gerakannya tanpa mengerti inti rahasianya, maka percumalah
meski belajar selama hidup, Maka selanjutnya kalau aku lagi
ajarkan ilmu silat lain, sebelum dapat ijinku jangan sekali-kali
mengintip lagi, tahu?”
Berulang Kwe Hu mengiakan, tapi dengan tertawa segera
ia bilang lagi: “Ah, buat apa aku mengintip kepandaian ibu,
apa mungkin engkau tak mengajarkan padaku kelak?”
Oey Yong terlalu sayang pada gadisnya ini, maka ia hanya
tepuk pelahan bebokong Kwe Hu.
“Hayo, pergi bermain lagi dengan Bu-keh Ko-ko,” katanya
kemudian “dengan tertawa, “Ko-ji, aku ingin bicara sedikit
dengan kau, Loh-tianglo, kau ulangi saja sendiri, kalau masih
ada yang Iupa, kelak akan kuajarkan lagi.”
Maka Loh Yu-ka dan Kwe Hu berempat lantas mendahului
kembali ke Liok-keh-ceng atau perkampungan keluarga Liok,
hanya Nyo Ku yang masih berdiri menjublek di tempatnya,
sesaat itu hatinya berdebar-debar, ia kuatir kalau-kalau Ui
Yong akan ambil jiwanya sebab berani mencuri belajar Pak-
kau-pang-hoat.
Namun dugaannya ternyata meleset. Waktu melihat wajah
pemuda ini rada sangsi-sangsi, dengan lemah lembut Oey Yong
tarik tangannya dan suruh duduk di sampingnya.
“Ko-ji,” Oey Yong mulai bertanya, “banyak sekali urusanmu
yang kurasa tidak mengerti, seandainya kutanya, tentu
kaupun tak mau menjelaskan. Cuma, hal ini akupun tak
menyalahkan kau. Di waktu kecil ,watakku pun sangat aneh
dan menyendiri semua itu berkat kau punya Kwe-pepek yang
telah banyak mengalah padaku.”
Berkata sampai di sini, Oey Yong menghela napas pelahan,
mulutnya tersungging senyuman, rupanya ia menjadi teringat
pada waktu kecilnya yang nakal itu, lalu ia sambung lagi.
“Jika aku tak mau turunkan ilmu silat padamu, itu
tujuannya untuk kebaikanmu, siapa tahu hal itu malah bikin
kau menjadi banyak menderita Ko-ji, kau punya Kwe-pepek
sayang dan cinta padaku, budi kebaikannya ini sudah tentu
akan kubalas sebisanya, ia menaruh suatu harapan atas
dirimu, yalah mengharap kelak kau bisa menjadi seorang laki-
laki sejati, untuk ini pasti aku akan bantu kau menuju ke jalan
yang baik supaya cita2 Kwe-pepek terlaksana. Dan kau,
hendaklah kaupun jangan kecewakan harapannya, maukah
kau berjanji?”
Belum pernah Yo Ko mendengar Oey Yong berbicara
secara begitu halus dan sungguh-sungguh terhadap dirinya, ia
lihat sorot mata orang penuh mengandung rasa kasih sayang,
tanpa tertahan hatinya terguncang. Pada dasarnya Yo Ko ini
berperasaan halus, maka terus saja ia menangis keras.
“Ko-ji,” sambil mengelus kepalanya, Oey Yong berkata lagi:
“Rasanya tidak perlu kubohongi kau, dahulu aku tak suka
pada ayahmu, juga tak senang pada ibumu, oleh sebab itu
juga terus tak suka padamu. Tetapi sejak kini pasti aku akan
perlakukan kau baik-baik, nanti kalau kesehatanku sudah
pulih, biarlah kuturunkan segala kepandaianku padamu.”
Yo Ko semakin terharu, tangisnya semakin keras.
“Kvve-pekbo. ba… banyak hal-hal yang kubohongi kau,
biar ku… kukatakan padamu,” kalanya kemudian dengan
masih terguguk-guguk.
“Hari ini aku sudah Ietih, boleh ceritakan kelak saja, asal
kau menjadi anak yang baik bagiku sudah senang,” sahut Ui
Yong sambil membelai rambutnya “Malam nanti akan ada
rapat besar Kay-pang, kaupun boleh hadir menyaksikan
keramaian itu.”
Yo Ko pikir wafatnya Ang Chit-kong memang termasuk
suatu berita besar dan sudah seharusnya diucapkan di
hadapan rapat, maka sembari mengusap air matanya, ia
memanggut.
Dengan percakapan mereka yang keluar dari lubuk hati
mereka ini, hingga segala rasa tak puas yang dulu2 seketika
buyar semua. Sampai akhirnya Yo Ko mulai bisa ketawa-tawa
lagi, sejak perpisahannya dengan Siao-liong-li, agaknya untuk
pertama kali inilah ia merasakan perlakuan yang hangat.
Di lain pihak, sesudah bicara panjang ini, Oey Yong
merasakan perutnya rada sakit, maka perlahan-lahan ia
berdiri.
“Marilah kita pulang” ajaknya kemudian. Lalu ia gandeng
tangan Yo Ko dan berjalan pelahan.
“Kwe-pekbo, ada sesuatu urusan penting ingin
kuberitahukan padamu,” kata Yo Ko sambil berjalan ia pikir
berita tentang kematian Ang Chit-kong pantasnya
diberitahukan lebih dahulu kepada bibinya ini.
Akan tetapi Oey Yong merasakan perutnya makin lama
makin meliiit, maka napasnya menjadi rada terganggu.
“Katakan saja besok, aku… aku rada kurang enak badan.”
katanya sambil mengkerut kening.
Melihat wajah orang putih lesi, Yo Ko menjadi kuatir, ia
merasa tangan orang rada dingin, maka diam-diam ia
kumpulkan tenaga dalam, ia salurkan semacam hawa hangat
ke tangan orang yang menggandengnya itu.
Dahulu waktu melatih Giok-li-sim-keng bersama Siao-liong-
li di Cong-lam-san, kepandaian cara menyalurkan ilmu melalui
telapak tangan sudah dilatihnya dengan apal sekali, Tetapi
kuatir kalau Lwekang yang Oey Yong pelajar bertentangan
dengan apa yang diapalkannya, mula-mula ia hanya gunakan
sedikit tenaga saja, sesudah merasa tiada halangan barulah ia
tambah tenaga dalamnya.
Ketika mendadak merasa tenaga tangan Yo Ko
menyalurkan hawa hangat yang terus-menerus, sungguh
heran sekali Oey Yong, tetapi akibat hawa hangat itu, segera
pula rasa sakit dan napasnya menjadi teratur kembali.
Dalam herannya ia hanya tersenyum pada Yo Ko sebagai
tanda terima kasihnya. Dan selagi ia hendak tanya orang
darimana mendapatkan ilmu itu, tiba-tiba dilihatnya Kwe Hu
sedang berlari mendatang.
“Mak, mak, coba terka siapa yang telah datang?” demikian
gadis itu berteriak-teriak sembari berlari.
“Hari ini tidak sedikit kesatria dari seluruh jagat yang
hadir, dari mana aku tahu siapa dia yang datang,” sahut Ui
Yong tertawa, Tetapi tiba-tiba tergerak pikirannya, ia sambung
lagi : “Ah, tentu para Susiok dan Supek kedua saudara Bu,
Hayo, lekas, sudah lama kita tak bertemu dengan mereka.”
“Baik. kau sungguh hebat, sekali tebak lantas kena.” kata
Kwe Hu.
“Apanya yang sukar?” sahut Oey Yong tertawa, “Kedua
saudara Bu itu selamanya tak pernah meninggalkan kau, kini
tiba-tiba tiada di sampingmu, tentunya ada sanak saudaranya
yang datang,”
Selamanya Yo Ko anggap dirinya sendiri cerdik dan
pintar, kini melihat Oey Yong bisa berpikir seperti dewa dan
masih jauh di atas dirinya, sungguh ia menjadi amat
kagumnya.
“Hu-ji, selamat padamu, kau bakal tambah semacam ilmu
kepandaian yang hebat lagi,” tiba-tiba Oey Yong berkata pula.
“Ilmu kepandaian apa?” tanya Kwe Hu.
“lt-yang Ci !” mendadak Yo Ko menyela.
“Kau mengerti apa?” omel Kwe Hu, kata-kata Yo Ko tak
digubrisnya: “Mak, kau bilang ilmu apa?”
“Bukankah Nyo-koko sudah bilang tadi,” sahut Oey Yong
tertawa.
“Ha, kiranya ibu sudah bilang padamu,” ujar Kwe Hu pada
Yo Ko.
Tetapi Yo Ko dan Oey Yong hanya tersenyum. Dalam hati
Oey Yong memikir: “Ko-ji ini sungguh berpuluh kali lebih pintar
dan cerdik dari pada Bu-si Hengte, Hu-ji juga goblok, lebih-
lebih tak masuk hitungan.”
Akan tetapi Kwe Hu masih tetap heran sebab apa ibunya
memberitahukan Yo Ko tentang hal itu.
Kiranya It-teng Taysu yang berjuluk Lam-te atau raja dari
selatan, yang namanya sejajar dengan Oey Yok-su, Ang Chit-
kong dan Auwyang Hong, seluruhnya ia mempunyai empat
murid yang disebut “Hi-Jiau-Keng-Thok” atau nelayan, tukang
kayu, petani dan sastrawan
Ayah Bu-si Hengte, Bu Sam-thong adalah si petani dari
urut-urutan nomor tiga itu. Sejak ia terluka waktu menempur
Li Bok-chiu, sampai kini tak pernah kelihatan bayangannya
hingga mati-hidup-nya tak diketahui.
Sekali ini yang datang menghadiri Eng-hiong-yan adalah
Hi-jin dan Su-seng atau si nelayan dan si sastrawan berdua.
Setiap kali si sastrawan itu bertemu Oey Yong segera ingin
adu mulut dan ukur kepandaian, kini berjumpa pula setelah
berpisah hampir dua puluh tahun, sudah tentu mereka ingin
unjuk kepandaian masing-masing lagi dan berdebat. Sedang si
nelayan itu betul saja lantas mencari satu kamar dan
menurunkan ilmu lt-yang-ci kepada Bu-si Hengte.
Sehabis makan siang, lalu kawanan pengemis anggota
Kay-pang beramai-ramai berkumpul -di depan Liok-keh-ceng.
Sekali ini dilakukan timbang-terima jabatan Pangcu baru dan
lama, hal ini merupakan upacara yang paling tinggi dalam
kalangan Kay-pang, maka kecuali semua anak murid dari
seluruh penjuru diundang hadir, ada pula jago-jago dari aliran
lain dan perkumpulan lain yang diundang sebagai “peninjau”
Selama belasan tahun ini, Loh Yu-ka selalu mewakili Ui
Yong mengatur segala urusan Kay-pang dan berlaku sangat
adil, berani bertindak berani bertanggung jawab, dua
golongan dalam Kay-pang, yakni yang disebut Ut-ih-pay dan
Ceng-ih-pay,” golongan baju kotor dan golongan baju bersih,
semuanya tunduk dan percaya penuh padanya, maka upacara
penyerahan jabatan yang dilakukan hari ini sebenarnya hanya
upacara resmi saja.
Kemudian menurut peraturan, Oey Yong lantas umumkan
penyerahan jabatan itu, lalu ia serahkan Pa-kau-pang atau
pentung pemukul anjing, yakni bambu hijau yang menjadi
pusaka Pangcu turun temurun itu kepada Loh Yu-ka, disusul
segera para anak murid meludahi Yoh Yu-ka masing-masing
sekali, hingga pengemis tua ini seluruh muka dan kepala
penuh air lendir, dengan begitu selesailah upacara timbang-
terima jabatan Pangcu lama kepada yang baru.
Melihat cara penggantian Pangcu yang aneh ini, diam-
diam Yo Ko terheran-heran. Dan selagi ia hendak tampil ke
muka untuk mengumumkan berita tentang wafat nya Ang
Chit-kong, tiba-tiba dilihatnya seorang pengemis tua telah
melompat ke atas sebuah batu besar, tangan kirinya
menyunggih tinggi2 sebuah Holo besar yang berwarna coklat.
Nampak benda ini, seketika hati Yo Ko tergetar dapat
dikenalnya Holo ini bukan lain adalah benda pengisi araknya
Ang Chit-kong, waktu bertemu di atas Hoa-san, dengan jelas
ia lihat barang ini selalu menggemblok di punggung pengemis
tua itu, belakangan waktu ia pendam mayat pengemis tua itu,
iapun tanam Hiolo itu disamping tubuhnya, tetapi mengapa
mendadak bisa muncul lagi di sini? Apa mungkin ada sebuah
Hiolo lain yang secorak dan serupa?
Sementara itu didengarnya sorak-sorai gegap gempita
para pengemis demi nampak Hiolo simboI Pangcu tua mereka
itu.
Selagi Yo Ko ragu-ragu. terdengar si pengemis tua itu
sudah membuka suara lagi dengan keras: “Ada perintah dari
Ang-lopangcu, aku disuruh menyampaikan nya kepada para
hadirin!”
Mendengar itu, sorak-surai para pengemis itu menjadi
lebih hebat lagi. Memangnya mereka sudah belasan tahun tak
pernah menerima kabar berita pangcu tua mereka itu, kini
mendadak dengar ada perintahnya, sudah tentu semuanya
terbangun semangatnya.
“Pujikan Ang-lopangcu selamat dan panjang umur!” segera
terdengar seruan salah seorang pengemis diantara orang
banyak itu.
Seketika suara sorak gemuruh berkumandang lagi hingga
mengguncangkan bumi. Maklumlah Ang Chit-kong adalah
seorang kesatria, seorang gagah perkasa di jaman itu, dari
aliran apa dan lapisan apapun tiada seorangpun yang tak
kagum padanya, lebih-lebih anggota Kay-pang, cinta mereka
padanya boleh dikatakan melebihi orang tua sekandung
sendiri.
Setelah sorak-sorai seminuman teh, suara gemuruh itu
perlahan-lahan baru mereda kembali. Melihat setiap anggota
Kay-pang itu sangat bersemangat dan terharu, bahkan ada
yang mengalirkan air mata, diam-diam Yo Ko pikir sendiri:
“Seorang laki-laki kalau bisa begini barulah tidak percuma
hidup di dunia ini. Semua orang sedang riang gembira, mana
aku tega memberitahukan mereka tentang wafatnya Ang-lo-
cianpwe?”
Sementara itu ia dengar si pengemis tua tadi telah berkata
lagi : “Tiga hari yang lalu, di Liong-ki-ce aku telah bertemu
dengan Ang-lopangcu…”
Luar biasa kejut Yo Ko oleh kata-kata orang, “Ang-
lopangcu sudah lama meninggal cara bagaimana ia bisa
bertemu dengan beliau tiga hari yang lalu?” demikian Yo Ko
tidak habis mengerti
Dalam pada itu pengemis tua itu telah meneruskan:
“Waktu beliau tahu Ui-pangcu hendak menyerahkan
jabatannya kepada Loh-pangcu, ia bilang keputusan ini sangat
baik dan sangat cocok dengan maksudnya…”
Sampai di sini mendadak Loh Yu-ka berlutut ke hadapan
pengemis itu sambil berkata dengan suara gemetar: “Tecu
pasti akan lakukan sepenuh tenaga untuk membalas budi
kebaikan Lopangcu, asal pekerjaan itu berpaedah bagi
perkumpulan kita, sekalipun mati tak gentar.”
Pengemis tua itu sudah tentu tingkatannya lebih rendah
daripada Loh Yu-ka, Pangcu yang baru ini, tetapi ia membawa
Hiolo milik Ang Chit-kong, maka Loh Yu-ka berlutut terhadap
Hiolo yang menjadi simbolnya Chit-kong dan bukan berlutut
kepada pengemis itu.
“Ang-lopangcu bilang,” demikian pengemis tua itu
melanjutkan lagi, “dalam keadaan negara kacau balau ini,
bangsa Mongol lambat laun mulai menjajah ke selatan hendak
caplok negeri Song-raya kita, maka diharap semua anggota
perkumpulan kita hendaklah berhati setia dan bernyali berani,
harus bersumpah akan membunuh musuh dan melawan
penjajah dari luar.”
Serentak anggota2 Kay-pang itu berteriak lagi menyatakan
akur, semangat mereka sangat tinggi dan sikap mereka
berani.
“Pemerintah dalam keadaan kacau, pembesar dorna
berkuasa, kalau kita cuma percaya para pembesar busuk itu
akan melindungi rakyat, itu sekali-kali tak bisa terlaksana,”
demikian pengemis tua itu bicara lagi, “Kini negara dalam
bahaya, setiap orang hendaklah berjiwa patriot, sedia korban
untuk nusa dan bangsa, Sayang Lopangcu lagi ada sesuatu
keperluan ke daerah Utara dan tak bisa datang ke pertemuan
ini, maka aku disuruh menganjurkan kalian hendaklah ingat
baik-baik dua huruf, yakni Tiong Gi”.
Seketika para pengemis bergemuruh menyambut anjuran
itu, beramai-ramai mereka berteriak: “Kami bersumpah
menerima petunjuk Ang-lopangcu itu !”
Sejak kecil Yo Ko tak mendapatkan pendidikan, maka ia
tak tahu apa arti “Tiong Gi” atau setia dan berbakti itu betapa
besar hubungannya dengan negara, tetapi bila dilihatnya
anggota2 Kay-pang itu bersikap gagah berani, tanpa terasa
iapun merasakan sesuatu, ia menjadi menyesal tempo hari
telah permainkan beberapa anak murid Kay-pang.
Mengenai kematian Ang Chit-kong dengan mata kepala
sendiri ia saksikan betul-betul terjadi malahan dia sendiri yang
mengubur jenazah orang, kenapa pengemis tua ini bisa bilang
tiga hari yang lalu pernah bertemu dengan dia? jika perintah
itu palsu, tetapi perintah ini justru mengenai tugas yang
mulia?
Begitulah Yo Ko menjadi curiga dan tak mengerti ia pikir
hal ini terpaksa dibicarakan pada Oey Yong nanti.
Sehabis itu, lantas diteruskan dengan urusan-urusan Kay-
pang tentang kenaikan pangkat dan lain-lain bagi para
anggota, dan karena tiada sangkut pautnya dengan orang
luar, para tetamu lantas pada undurkan diri.
Malamnya, luar maupun dalam Liok-keh-ceng telah dihias
dengan lampu2 lampion yang indah seperti orang punya hajat
saja, meja2 perjamuan memenuhi seluruh ruangan gedung
dari depan sampai belakang, seluruhnya lebih 200 meja,
semua kesatria dan orang gagah dari seluruh jagat tampaknya
ada separah yang hadir.
Hendaklah diketahui bahwa Eng-hiong-yan atau
perjamuan kaum kesatria ini dalam beberapa puluh tahun
sukar diketemukan barang sekali saja, kalau bukan tuan
rumahnya luas bergaul, tidak nanti bisa mengundang tetamu
yang begini banyak.
Sampai saatnya, Kwe Ceng dan Oey Yong keluar mengawani
tetamu utama mereka yang berada di ruangan tengah.
Tempat Yo Ko sudah diatur oleh Oey Yong dan duduk di
samping mejanya, sebaliknya Kwe Hu dan Bu-si Hengte malah
sangat jauh tempat duduknya.
Semula Kwe Hu rada heran, ia pikir orang toh tak bisa ilmu
silat, untuk apa dia hadiri Eng-hiong-yan ini? Tetapi bila
terpikir lagi olehnya, seketika hatinya terkesiap.
“Haya, celaka, bukanlah ayah bilang mau menjodohkan
aku padanya, jangan-jangan ibu sudah setuju lengan maksud
ayah?” demikian ia membatin.
Sebab itu, makin dipikir Kwe Hu semakin takut, apalagi
teringat olehnya betapa hangatnya hubungan mereka ketika
ibunya menggandeng tangan Yo Ko. selamanya ayah-
bundanya saling hormat menghormati dan harga-menghargai,
kalau ayahnya berkeras dengan maksudnya, pasti ibunya tak
bisa memgelak. Karena itu, berulang kali ia melirik si Yo Ko
dengan sorot mata yang penuh marah.
Kebetulan waktu itu Bu Siu-Bun bertanya padanya: “Hu-
moay, lihat itu bocah she Nyo juga duduk di situ, ia terhitung
Enghiong darimana sih?”
“Entah,” sahut Kwe Hu mendongkol “Jika kau mampu,
boleh kau mengusirnya !”
Tadinya Bu-si Hetigte hanya pandang rendah pada Nyo
Ko, tetapi sesudah mendengar Kwe Ceng bilang hendak
jodohkan puterinya padanya, tanpa terasa dalam hati mereka
timbul rasa permusuhan hal ini memang bisa terjadi antara
saingan rebut pacar, maka tak bisa mengalahkan mereka.
Kini mendengar kata-kata Kwe Hu tadi, segera Siu-bun
berpikir: “Kenapa aku tidak bikin malu dia di hadapan orang
banyak ini? Subo adalah seorang yang suka unggul, kalau
bocah she Nyo terjungkal di bawah tanganku, pasti ia tak akan
mau terima dia sebagai menantunya.”
Setelah ambil keputusan itu, dengan It-yang-ti yang baru
saja ia pelajari dari paman gurunya itu kebetulan bisa
digunakan Yo Ko sebagai kelinci percobaan.
Maka segera berkatalah Siu-bun: “la mengaku Enghiong,
mengusirnya rasanya susah, adalah lebih baik naikkan dia
sekalian supaya dia bisa dikenal orang banyak.”
Habis berkata, ia menuang dua cawan arak dan segera
didekatinya Yo Ko.
“Nyo-toako, marilah kusuguh kau secawan,” demikian ia
berkata.
Kecerdasan Yo Ko jauh sekali di atasnya Bu-si Hengte,
waktu dilihatnya orang mendekati dirinya dengan mata
memandang Kwe Hu, sedang air mukanya mengunjuk rasa
senang yang aneh, ia menduga orang pasti akan pakai akal
licik ia pikir “Tentu dia tidak bermaksud baik dengan
menyuguh arak padaku ini, Tetapi taruh racun di dalam arak
rasanya iapun tidak berani.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar