Jumat, 09 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 20




Kembalinya Pendekar Rajawali 20

Karena gerak tangannya itu sangat cepat hingga gadis itu tak sempat menghindarkan diri, seketika lengannya kena dicekal, dan karena lengan kanannya dipakai untuk memegang golok-sabitnya, maka goloknya tak bisa dipakai menangkis.
Tak tersangka se-konyong2 sinar tajam berkelebat sedikit gadis itu tekuk sikutnya, golok-sabitnya tahu2 memotong dari samping, dari jurusan yang sama sekali tak terduga.
Tentu saja tidak kepalang kagetnya Tan-lokunsu, lekas2 ia lepaskan cekalannya bila ia tidak mau merasakan tajamnya golok itu. sungguhpun begitu, tidak urung dua jari tangannya sudah terluka.
Dengan cepat segera ia melompat mundur terus cabut goloknya sendiri, dalam gusarnya ia ber-teriak2 mendamperat: “Perempan bangsat, agaknya kau sudah bosen hidup !”
Melihat kawannya dilukai, mau-tak-mau yang lain2 ikut mengangkat senjata, Han-cecu pakai sepasang ganden berantaai, sedang Tio Put-hoan lolos pedangnya, begitu pula Ki Jing-si dan Bing-hiam juga lantas tarik pedang mereka.
Akan tetapi mereka menjadi kaget ketika merasa senjata yang mereka genggam itu bobotnya sangat enteng, ketika mereka tegasi, celaka tiga-belas, kiranya yang terpegang di tangan mereka melainkan garan pedang belaka, sedang bagian yang tajam ketinggalan di dalam sarungnya.
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa itu adalah perbuatan Yo Ko semalam di mana pedang mereka diam2 dipatahkan dan selimut mereka dikencingi juga, sedang kini musuh tangguh sudah berhadapan senjata saja mereka tak punya.
Rupanya melihat kelakuan kedua imam yang kikuk dan serba salah itu, si gadis tadi tertawa ngikik geli.
Waktu itu Yo Ko sendiri lagi berduka, tetapi demi mendengar suara tertawa gadis itu dan melihat kelakuan kedua imam yang lucu itu, tak tertahan iapun tertawa maski sebenarnya ia masih tersenggak-sengguk.
Sementara itu terlihat si gadis telah membuka serangan, se-konyong2 ia ayun goloknya terus memotong ke telinga Bi Jing-hian.
Dengan sendirinya lekas2 Bi Jing-hian tarik badan dan mengkerut kepala buat hindarkan elmaut, siapa tahu gaya serangan golok itu ternyata sangat hebat, ketika tangan si gadis sedikit memutar senjatanya yang aneh itu tiba2 membelok di tengah jalan terus mengiris ke bawah lagi karena tidak ter-duga2 akan perubahan serangan ini, tidak urung sebelah kuping Bi Jing-hian tetap menjadi korban.
Keruan saja keempat kawannya terkejut, sama sekali tak mereka duga bahwa To-hoat atau ilmu permainan golok orang bisa begitu bagus dan aneh. Keadaan sudah memaksa, kini mereka tak pikirkan lagi keroyokan atau tidak, segera mereka mengerubut maju terus kepung si gadis bersama keledainya di tengah2.
Cuma yang mengeroyok hanya tiga orang saja, Bi Jing-hian dan Ki Jing-si terpaksa mundur ke belakang karena mereka tak bersenjata, yang mereka pegang hanya garan pedang, hendak dibuang sayang, tidak dibuang toh tidak terpakai mereka menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus di-buatnya.
Dalam pada itu tiba2 terdengar gadis itu bersiul nyaring sekali, ia tarik tali kendali keledainya terus melompat pergi sejauh beberapa tombak dengan maksud memboboIkan garis kepungan orang. Namun dengan cepat Tan-lokusu bertiga lantas mengerubut maju lagi. Bahkan sebelum tiba orangnya, lebih dulu Han-cecu timpukkan ganden besinya yang berantai itu.
Melihat senjata orang cukup berat, pula tipu serangannya cukup ganas, diam2 gadis itu merasa heran juga, maka tak berani lagi ia memandang enteng, ketika tubuhnya mengegos, timpukkan ganden tadi telah dia hindari.
Memang senjata “Lian-cu-tui” (ganden berantai) Han-cecu itu bukan senjata ringan dan mempunyai daya tekanan yang sukar ditahan. Sebaliknya ilmu pukulan Tan-lokunsu sebenarnya lebih tinggi dari pada permainan goloknya, pula jarinya sudah terluka, maka serangan goloknya boleh dikatakan tak seberapa, hanya Kiam-hoat Tio Put-hoan sebaliknya tidak bisa dipandang rendah, serangannya jitu lagi keji, setiap tipu serangannya selalu mengincar tempat2 yang berbahaya.
Tatkala itu hati Yo Ko rada tenang, kini baru dia amat-amati wajah gadis itu, ia lihat raut muka orang potongan daun sirih dan sanggat cantik, usianya agaknya setahun dua tahun lebih muda dari pada dirinya, pantas kalau si pelayan hotel tidak percaya bahwa itu “gadis cantik berbaju putih” adalah kakak perempuannya.
Di samping muka orang yang cantik itu, kulit badannya sebaliknya rada hitam2 manis, sama sekali berlainan dengan kulit Siao-Iiong-li yang putih bersih.
Senjata yang dipakai gadis inipun sangat aneh dan lain dari pada yang Iain, ilmu permainan goloknya sangat gesit, meski dikatakan golok, tetapi yang dipakai adalah gerak tipu permainan pedang, lebih banyak menusuk dan memotong dari pada membacok dan membabat.
Hanya menyaksikan beberapa jurus permainan golok orang, segera Yo Ko tahu orang memang menggunakan ilmu silat dari golongan yang sama dengan dirinya, yakni Ko-bong-pay. Apakah dia ini juga muridnya Li Bok-chiu ? demikian Yo Ko menjadi heran.
Semula sebenarnya Yo Ko sangat penasaran karena lima orang lelaki mengeroyok seorang gadis cilik, tetapi kemudian sesudah mengetahui dari mana asal-usul ilmu silat orang, karena menduga orang pasti muridnya Li Bok-chiu, seketika timbul rasa antipatinya Yo Ko, ia pikir biarkan saja pihak mana yang bakal menang, semuanya tidak kugubris.
Begitulah dia lantas berbaring lagi dengan sikunya sebagai bantal, hanya kadang2 saja ia melirik pertarungan yang sedang berlangsung dengan sengit itu.
Untuk belasan jurus permulaan, karena gadis itu berada lebih tinggi di atas keledainya, maka kelima lawannya dipaksa harus melompat kian ke mari untuk menghindari sabetan golok-sabit yang diayun pergi datang.
Sesudah belasan jurus lagi, karena senjata yang dipegangnya hanya gagang pedang yang sudah patah dan tak sanggup membantu kawannya, tiba2 hati Ki Jing-si tergerak “Mari Bi-sute, ikut padaku !” ia teriaki Bi Jing-hian.
Habis itu ia berlari menuju ke tempat yang banyak tumbuh pohon, di sana ia pilih satu pohon muda dan sekuat tenaganya ia patahkan bongkot-nya, ia hilangkan tangkai dan daunnya, maka ber-wujutlah kini sebatang pentung yang dapat dipakainya sebagai gaman.
Tentu saja Bi Jing-hian sangat girang, iapun tiru2 sang Suheng dan patahkan satu pohon yang lain untuk digunakan sebagai senjata.
“Hantam keledainya dan tidak orangnya!” demikian Ki Jing-si beri petunjuk lagi, Habis ini, dua pentung kayu mereka lantas menyerampang dari kanan dan kiri dengan cepat mereka arah kaki keledai tunggangan gadis tadi.
“Hm, tak punya malu !” dengan pelahan gadis itu menjengek berbareng ia ayun goloknya buat tangkis pentung orang.
Karena sedikit melengnya ini, dari samping lain ganden berantai Han-cecu sudah menyerang juga bersama dengan pedang Tio Put-hoan. Dalam keadaan terancam, lekas2 gadis itu keluarkan gerak tipu yang berbahaya, ia tunduk kepala dan luputkan ganden yang menyamber, saat lain terdengar pula suara “trang” yang nyaring, goloknya telah ditangkiskan pedang lawan yang lain.
Tetapi pada waktu itu juga keledainya telah melengking kesakitan terus menegak dengan kaki belakang, kiranya binatang ini telah kena ditoyor sekali oleh pentungnya Ki Jing-si.
Melihat ada kesempatan, segera Tan-lokunsu menjatuhkan diri terus menggelundung mendekati musuhnya, ia keluarkan ilmu golok dan berhasil menghantam sekali paha keledai hitam dengan punggung goloknya.
Dengan demikian tak mungkin lagi bagi si gadis mengandalkan keledainya, dalam pada itu senjata lawan baik pedang maupun ganden berbareng telah menyamber datang pula, terpaksa ia meloncat ke atas, sedang tangan kiri menyamber dan pentung Bi Jing-hian berhasil dicekalnya, ketika ia gunakan tenaga dalamnya, tahu2 pentung itu telah patah menjadi dua potong. Dan begitu kedua kakinya tancap kembali di atas tanah, sekalian pula goloknya dia babat ke samping untuk patahkan bacokan Tan-lokunsu yang sementara itu telah menyerang.
“He, kenapa ? Dia sudah terluka ?” tiba2 Yo Ko kaget demi nampak gaya berjalan si nona.
Kiranya kaki kiri si gadis rada pincang, dengan sendirinya untuk berjalan, apa lagi buat melompat menjadi tidak leluasa. Dan dengan sendiri-nya, sebab inilah maka sejak tadi dia tidak mau turun dari keledainya.
Tahu akan ciri gadis ini, seketika rasa keadilan Yo Ko tergugah, ia niat turun tangan buat membantunya, Tetapi ketika dia pikir dan ingat pengacauan Li Bok-chiu hingga dirinya yang tinggal aman tenteram bersama Siao-liong-li di dalam kuburan itu berakibat seperti keadaan sekarang ini, kembali hatinya menjadi panas Iagi, ia berpaling ke jurusan lain dan tak mau menyaksikan lebih lanjut
Namun telinga toh mendengar suara “crang-creng”, suara beradunya senjata tajam yang nyaring dan tiada hentinya, rasa ingin tahunya tak bisa ditahan, kembali ia berpaling buat menonton lagi, Hanya sejenak tadi ternyata keadaan pertarungan itu sudah banyak berubah, gadis itu telah terdesak lari kian kemari, sudah lebih banyak menangkisnya daripada balas menyerang.
Dalam pada itu mendadak Han-cecu telah tim-puk sebelah gandennya, terpaksa gadis itu miringkan kepalanya, tetapi pada saat yang sama juga pedang Tio Put-hoan sudah menusuk pula, terdengarlah suara “cring” yang nyaring pelahan, ternyata gelang perak pengikal rambut gadis itu telah kena ditabas kutung hingga sebagian rambutnya yang panjang terurai.
Maka tertampaklah alis si gadis yang lentik itu menjengkit, bibirnya pun sedikit bergerak dan digigit, mukanya seketika seperti tertutup oleh selapis awan hitam, kontan goloknya membabat, ia balas sekali serangan orang.
Melihat tarikan alis dan gerakan bibir si gadis, seketika hati Yo Ko terguncang keras, “Di waktu Kokoh marah padaku, persis mimik wajahnyapun begitu,” demikian pikirnya.
Oleh karena melihat rasa gusar yang diunjuk gadis itu, tanpa pikir lagi Yo Ko ambil keputusan pasti akan membantu padanya.
Sementara itu ia lihat keadaan gadis itu semakin terdesak, gerak-geriknya tak teratur lagi.
“Hayo, lekas katakan, sebutan apa sebenarnya antara kau dengan Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu ?” demikian terdengar Tio Put-hoan memperingatkan lawannya, “Jika masih tetap tidak menjelaskan jangan kau sesalkan senjata kami tak bermata.”
Di luar dugaannya, bukan saja gadis itu tidak menjawab, bahkan goloknya tahu2 menabas dari belakang kepala karena senjata ini memang me-lengkung, Terkejut sekali Tio Put-hoan oleh serangan yang aneh itu, syukur dengan cepat Tan-lo-kunsu keburu wakilkan dia menangkis hingga dengan demikian jiwa Tio Put-hoan dapat diselamatkan.
Melihat tipu serangan si gadis begitu keji, ketiga lawannya kinipun tidak pakai murah hati lagi, Maka dalam sekejap saja, gadis itu sudah ber-ulang2 menghadapi serangan berbahaya, Tio Put-hoan pikir gadis ini pasti ada hubungan rapat dengan Li Bok-chiu, kalau kelak diketahui oleh Li Bok-chiu, tentu dikemudian hari akan menjadikan bibit bencana saja, oleh sebab itu serangan2nya kini selalu mengincar tempat2 yang berbahaya.
Melihat keadaan si gadis sudah dalam detik yang sangat genting, segera Yo Ko melompat ke atas punggung sapi jantan tadi, ia jojoh sekali pantat binatang itu dengan jerijinya, karena kesakitan dengan sekali menguak sapi jantan itu pentang kaki dan menerjang ke jurusan enam orang yang sedang saling labrak itu.
“Haya, celaka ! Sapiku kesetanan, tolong, tolong !” demikian Yo Ko sengaja ber-teriak2. Baru saja selesai ia berteriak, orangnya berikut sapinya sudah menyerbu sampai di kalangan pertempuran sana.
Tatkala itu keenam orang itu asyik bertempur mati-matian, ketika mendadak melihat seekor banteng menyeruduk tiba dengan kalap, niat mereka hendak melompat ke samping buat hindarkan diri, namun secepat kilat banteng itu sudah menerjang sampai di belakang Ki Jing-si dan Bi Jing-hian.
Yo Ko sendiri tengkurap di atas sapinya, tangan dan kakinya bergerak naik turun seperti orang kebingungan dan ketakutan setengah mati, sesudah dekat dengan kedua orang tadi, dengan cepat “hong-gan-hiat” di punggung kedua orang dicengkeramnya.
“Hong-gan-hiat” adalah salah satu jalan darah penting di tubuh manusia, karena kena dicekal, seketika Ki Jing-si dan Bi Jing-hian menjadi lemas kesemutan dan tak bisa berkutik, Dengan pelahan Yo Ko angkat tangannya, kedua orang itu dia tarik keatas terus digantung pada kedua tanduk sapi jantan itu, sedang mulutnya masih tiada hentinya berteriak “Tolong ! Tolong!”
Kemudian dengan ujung kaki ia tendang pantat sapi itu, maka berlari kesetanan lagi binatang itu ke lereng bukit dengan membawa tiga orang, satu tengkurap di punggungnya dan yang dua ter-cantol pada tanduknya.
Melihat perubahan yang mendadak dan aneh ini, baik si gadis tadi maupun Tio Put-hoan seketika berhenti dari pertempuran mereka.
Nyata ilmu silat Yo Ko masih jauh lebih tinggi daripada keenam orang itu, apa yang dilakukannya ternyata tiada seorangpun yang mengetahuinya.
Ketika sampai di tanah rumput dimana dia angon sapi tadi, Yo Ko buang kedua imam itu ke tanah terus giring sapi itu menerjang ke bawah puIa, sekali ini yang dia incar adalah Han-cecu dan Tan-Iokunsu.
Rupanya Han-cecu pikir tenaganya cukup besar untuk menundukkan binatang yang mengganas ini, maka gandennya yang berantai dia libat di pinggangnya, lalu dengan pasang kuda2 kuat ia tunggu sapi itu mendekat, se-konyong2 ia melangkah maju setindak terus tanduk binatang itu dia pegang erat2 dengan kedua tangannya, dengan demikian ia hendak taklukkan banteng ngamuk itu.
Dilain pihak Yo Ko masih bertingkah serabutan sambil berteriak2, namun pada saat yang jitu sekali, “cian-tay-hiat” di pinggang Tan-lokunsu dia tutuk pula dengan tendangan. Dan sebelum kedua sasarannya ini roboh atau mereka sudah dia samber terus digantung lagi di atas tanduk sapi dan diangkut pula ke tanah rumput tadi.
Melihat banteng ngamuk ini begitu aneh, mau tak mau si gadis dan Tio Put-hoan saling pandang dengan tak mengarti, jika tadi mereka saling labrak dengan adu jiwa, maka kini sebaliknya ada persamaan perasaan diantara mereka, yakni “senasib.”
Dalam pada itu dilihatnya banteng ngamuk tadi sudah balik kembali, suara teriakan bocah angon yang tengkurap di atas binatang itu kedengarannya sudah serak, terang sekali keadaan sangat genting.
Segera Tio Put-hoan ber-siap2, ia menunggu banteng itu menyeruduk tiba kira2 setengah tombak sebelum tubuhnya, sekonyong-konyong pedangnya berputar, ia hindari serudukan banteng itu dari depan, dengan cepat tubuhnya melangkah ke samping sambil pedangnya menusuk, begitu cepat dan tepat saat yang digunakan, dengan segera banteng ngamuk itu bakal tembus tertusuk perutnya.
Siapa tahu, baru saja ujung pedangnya hampir menyentuh kulit sapi itu, se-konyong2 bocah angon itu tangannya bergerak pontang-panting sambil pegang sulingnya dan dengan persis batang suling membentur ujung pedang, karena itu, arah pedang menjadi menceng,
Karena luput serangannya, Tio Put-hoan terkejut untuk menghindar agar tidak diserempet banteng itu, lekas2 ia melompat ke atas dengan maksud melewati binatang itu, siapa duga selagi orangnya terapung di udara, se-konyong2 mata kakinya terasa kaku kesemutan, ketika tubuhnya jatuh ke bawah, dengan tepat menyangkol di ujung tanduk banteng hingga kena dibawa binatang yang berlari itu ke tanah lapang tadi untuk kemudian dilemparkan di sana.
Habis itu, Yo Ko putar haluan sapi itu, kembali menerjang cepat pula ke arah si gadis yang masih tersisa itu.
Di lain pihak sesudah menyaksikan kelima jago seperti Tio Put-hoan kena diseruduk jatuh semua oleh banteng ngamuk itu, meski gadis itu merasa curiga juga, tetapi ia pikir hanya seekor sapi jantan saja, kena apa harus ditakuti ? Segera dia bersiap-siap.
Dilihatnya dengan mulut berbusa binatang itu telah memyeruduk tiba pula, Pada saat yang tepat mendadak ia meloncat ke atas, berbareng itu goloknya terus membacok leher banteng itu.
“Haya, celaka, jangan bunuh sapiku !” jerit Yo Ko mendadak Berbareng itu diam2 ia jojoh pundak sapi itu dengan jarinya, karena sakit, dengan sendirinya kepala sapi itu meleng ke samping dan dengan persis bacokan orang dapat dihindarinya.
Sedangkan Yo Ko sendiri pura2 jatuhkan diri tergelincir ke bawah sambil ber-teriak2 : “Tolong ! tolong !”
Sebaliknya sapi jantan itu rupanya sudah terlalu letih, sesudah beberapa tindak berlari lagi dia lantas berhenti dengan napas empas-empis.
Melihat binatang itu tidak main gila lagi, setelah tenangkan diri mendadak gadis itu jinjing goloknya terus berlari ke tanah datar sana.
“Celaka, kelima orang itu pasti akan teraniaya,” pikir Yo Ko diam-diam.
Karena itu, sebelum gadis itu sampai di tem-patnya, lebih dulu Yo Ko sudah jemput beberapa batu kecil, sekali ayun batu2 itu ditimpukkan ke badan kelima orang yang rebah tak berkutik itu.
Meski umur Yo Ko masih kecil, tetapi ilmu silatnya sudah terlatih sampai tingkatan yang tiada taranya, walaupun jaraknya dengan kelima orang itu sangat jauh, namun tiap2 batu yang ditimpukkan itu dengan tepat mengenai Hiat-to di tubuh masing2.
Ketika Tio Put-hoan cs. mendadak merasakan tubuh kesakitan, tetapi rasa kesemutan juga segera hilang, mereka menyangka gadis itu diami sembunyikan bala bantuan yang sangat lihay, cara mereka kena ditutuk dan mendadak terlepas pula jalan darahnya tentu perbuatan jagoan yang tersembunyi itu, kini orang suka memberi jalan hidup, mana berani lagi mereka terlibat dalam pertarungan pula ? Maka begitu mereka merangkak bangun, tanpa pikir lagi segera mereka angkat langkah seribu alias kabur.
Dalam gugupnya karena ketakutan itu, rupanya Bi Jing-hian menjadi bingung hingga tak bisa bedakan arah timur dan barat, bukannya dia lari ke jurusan yang selamat, sebaliknya ia malah lari ke arah si gadis yang sedang memarani mereka itu.
“Bi-sute, lekas kembali !” seru Ki Jing-si kuatir.
Ketika Bi Jing-hian sadar keliru jalan dan berniat putar kemudi, namun sudah terlambat, si gadis sudah datang dekat, goloknya sudah diangkat dan dibacokkan padanya.
Sungguh luar biasa kaget Bi Jing-hian, ia sendiri sudah tak bersenjata, Iekas2 ia mengegos buat luputkan diri dari ancaman maut, tak terduga arah serangan yang dilontarkan gadis itu ternyata susah dipastikan, mula2 seperti mengarah ke kiri, tahu2 telah sampai di kanan, disertai berkelebat-nya sinar dingin, tahu2 golok-sabit telah berada di depan mukanya.
Dalam keadaan kepepet dan tiada jalan lain, terpaksa Bi Jing-hian angkat sebelah tangannya buat menangkis, maka tidak ampun lagi terdengar sekali suara “cret”, telapak tangannya tertabas putus oleh golok-sabit si nona.
Walaupun demikian Jing-hian masih belum merasakan sakit, ia masih sempat putar tubuh terus lari ter-birit2 lagi, Waktu itu Tio Put-hoan sudah berpaling juga, dengan pedang melintang di dada ia berusaha melindungi kawannya.
Rupanya gadis itu telah kenal juga lihaynya orang, maka tak berani ia mendekati, ia menyaksikan Bi Jing-hian dipayang pergi oleh Ki Jing-si untuk kemudian menghilang di balik gunung sana.
Nampak musuh sudah pergi, gadis itu masih ketawa2 dingin, sedang dalam hati penuh curiga, ia pikir apakah mungkin ada orang luar yang bersembunyi di sekitar sini ? Dengan cepat ia mengelilingi sekitar sana, tetapi keadaan sunyi senyap tanpa satu bayangan pun, Dia kembali lagi ke lembah sana, ia lihat Yo Ko masih duduk di tanah dengan muka mewek2 seperti mau menangis.
“Hai, bocah angon, apa yang kau keluh-kesahkan ?” tegur gadis itu.
“Sapi ini tadi telah gila hingga tubuhnya babak belur, kalau pulang nanti pasti aku akan dihajar setengah mati oleh majikan.” sahut Yo Ko.
Tetapi waktu si gadis periksa keadaan sapi jantan, ia lihat kulit tubuh binatang itu halus bersih, tiada kelihatan sesuatu luka.
“Baiklah, hitung2 sapimu ini telah menolong aku tadi, ini, aku beri serenceng uang perak,” kata si gadis pula.
Habis itu ia keluarkan serenceng uang perak yang berbobot sekira lima tahil terus dilemparkan ke tanah, ia menduga “bocah angon” itu pasti akan girang tidak kepalang dan mnghaturkan terima ka-sih, siapa tahu orang masih bermuka muram durja, sambil geleng2 kepala, tetapi tidak mengambil uang perak itu.
“Kenapakah kau ?” tanya gadis itu tak sabar, “lni uang perak, tahu tidak kau, tolol ?”
“Hanya serenceng tidak cukup !” sahut Yo Ko kemudian
Waktu gadis itu merogoh sakunya, kembali ia keluarkan serenceng uang perak lain yang masih ada dan dilemparkan ke tanah lagi.
Tapi Yo Ko sengaja goda padanya, dia masih tetap goyang kepala.
Akhirnya gadis itu menjadi marah, alisnya tertarik tegak dan mukanya merengut.
“Sudah habis, tolol!” damperatnya, Habis ini ia putar tubuh dan berjalan pergi.
Melihat sikap orang sewaktu marah, seketika hati Yo Ko terguncang, teringat tiba2 olehnya sikap Siao-liong-li waktu mendamperat dirinya, karenanya ia telah ambil suatu keputusan: “Jika seketika tak bisa ketemukan Kokoh, biarlah aku senantiasa menyaksikan wajah nona ini saja yang suka marah2.”
Maka sebelum orang melangkah pergi, tiba2 Yo Ko merangkul kaki kanan si gadis sambil ber teriak2 : “Tidak, kau jangan pergi!”
Dengan kuat gadis itu coba meronta kakinya, tetapi saking kencangnya Yo Ko merangkul, ia tak berhasil melepaskan diri, keruan ia bertambah gusar.
“Lepas, ada apa kau merangkul kakiku ?” dengan suara garang gadis itu membentak.
Melihat air muka orang yang sedang marah2, bukannya Yo Ko melepaskan, sebaliknya ia malah senang.
“Tidak, aku tak bisa pulang rumah lagi, kau harus tolong aku,” demikian sahutnya.
Sudah gusar gadis itu menjadi geli pula melihat kelakuan Yo Ko.
“Jika kau tak lepaskan, segera aku bacok mati kau,” dengan angkat golok-sabitnya si gadis coba menakut-nakuti.
Tetapi rangkulan Yo Ko berbalik tambah kencang, ia malah pura2 menangis sekalian.
“Baiklah, boleh kau bacok mati aku saja, toh kalau pulang akupun tak bakal hidup lagi,” serunya sambil meng-gerung2.
“Lalu apa yang kau kehendaki ?” tanya si gadis kewalahan.
“Entahlah, aku ikut kau saja.” sahut Yo Ko.
Rupanya gadis itu menjadi sebal karena di-ganduli orang, “Kenapa harus berurusan dengan si tolol semacam ini,” demikian pikirnya, Habis ini ia angkat goloknya terus membacok sungguh2.
Semula Yo Ko menduga orang tidak nanti bacok padanya secara sungguh2, maka ia masih pegang kaki orang erat2, siapa duga hati gadis itu ternyata keji, bacokannya ini betul2 diarahkan ke atas kepalanya, meski tiada niatnya untuk menewaskan jiwa orang, tetapi ia bermaksud memberi bacokan di batok kepala agar “si tolol” ini tahu rasa dan tak berani main gila lagi.
Syukur Yo Ko sangat cekatan, begitu golok orang tinggal beberapa senti lagi bakal berkenalan dengan batok kepalanya, mendadak ia jatuhkan diri terus menggelinding pergi, ” “Haya, tolong, tolong !” demikian ia menjerit-jerit pula.
Karena bacokannya tadi luput, si gadis menjadi tambah sengit, ia melangkah maju, kembali sekali bacokan diberikan pada Yo Ko.
Yo Ko telentang di atas tanah, kedua kakinya mancal2 serabutan.
“Mati aku ! Mati aku !” demikian ia berteriak-teriak, sedang kedua kakinya terus memancal dan mendepak tak keruan, tampaknya seperti tak teratur tetapi pergelangan tangan gadis itu ternyata beberapa kali hampir kena ditendang, meski berulang kali ia hendak bacok pula, namun tidak sekalipun bisa mengenai sasarannya, sudah tentu ia bertambah gusar.
Melihat muka orang penuh mengunjuk marah, Yo Ko justru ingin menikmati wajah orang semacam ini, karena itu, tanpa terasa ia terkesima dan memandangi orang.
Gadis itu juga seorang yang pintar luar biasa, ketika melihat kelakuan Yo Ko yang aneh, tiba2 ia membentak : “Hayo, bangun !”
“Tetapi kau bunuh aku tidak ?” tanya Yo Ko ke-tolol2an.
“Baiklah, aku tak bunuh kau,” sahut si gadis.
Karena janji ini, dengan pelahan Yo Ko merangkak bangun, napasnya sengaja dia bikin ter-engah2, diam2 ia kumpul tenaga dalam dan bendung aliran darahnya, maka mukanya seketika berubah menjadi putih lesi, begitu pucat hingga tiada warna darah sedikitpun, seperti orang yang ketakutan.
Melihat rupa orang, diam2 si gadis sangat senang. “Hm, berani lagi tidak kau main gila ?” demikian ejeknya sambil angkat golok-sabitnya terus menuding pada telapak tangan Bi Jing-hian yang terkutung dan masih ketinggalan di tanah datar itu, lalu ia mengancam: “Coba, orang begitu galak dan bengis, toh cakarnya kena ditabas oleh golokku tadi.”
Sambil bicara, goloknya yang melengkung itu diulurkan, tiba2 ia kesut senjatanya di atas baju Yo Ko yang memang dekil, kiranya ia gunakan baju Yo Ko sebagai lap untuk menghilangkan noda darah goloknya.
Diam2 Yo Ko geli oleh lagak si gadis. “Hm, kau anggap aku ini orang macam apa, berani kau begini kurangajar padaku ?” demikian ia membatin.
Walaupun begitu, pada mukanya tetap ia pura-pura mengunjuk rasa keder, ia sengaja mengkeret mundur seperti takut pada senjata orang yang mengkilap itu.
Gadis itu masukkan goloknya ke sarungnya, lalu dengan sebelah kakinya ia cukit renceng uang perak tadi ke arah Yo Ko.
“Nih, sambuti!” serunya dengan tertawa, dengan membawa sinar putih yang gemerdep, serenceng uang perak itu menyamber ke arah muka Yo Ko.
Menyambernya perak itu sebenarnya tidak keras, orang biasa saja pasti sanggup menangkapnya. Tetapi Yo Ko justru pura2 bodoh, ia melangkah mundur dan menubruk maju secara gugup, sedang tangannya diulur ke atas buat menangkap, tiba2 terdengar suara “plok” sekali, uang perak itu kena menimpuk dia punya batok kepala.
“Aduh !” jerit Yo Ko sambil mendekap batok kepalanya.
Sementara itu jatuhnya uang perak itu kena menindih pula di atas kakinya, Maka dengan sebelah tangan pegang batok kepala dan lain tangan tarik sebelah kaki, Yo Ko ber-jingkrak2 dengan kaki tunggal sambil ber-teriak2: “Auuuh, kau pukul aku, kau pukul aku !”
Begitulah Yo Ko pura2 meng-gerung2 menangis.
Nampak ketololan orang sudah begitu rupa hingga tiada obatnya, dengan suara pelahan gadis itu mencemoohnya sekali: “Tolol !” - Habis ini ia putar tubuh dan pergi mencari keledai hitam-nya.
Akan tetapi binatang itu sejak tadi entah sudah kabur kemana sewaktu dia bergebrak dengan Tio Put-hoan, terpaksa ia pergi dengan jalan kaki.
Yo Ko jemput uang perak tadi dan masukkan ke sakunya, lalu dengan menuntun sapinya ia ikut di belakang si gadis.
“Bawa serta aku, nona !” demikian ia berseru.
Namun gadis itu tak gubris padanya, sebaliknya ia percepat langkahnya, hanya sekejap saja Yo Ko sudah ketinggalan hingga tak kelihatan.
Tak terduga, baru saja ia berhenti sebentar, tiba2 Yo Ko sudah muncul lagi dari jauh dan masih tetap menuntun sapinya.
“Bawalah aku, bawalah aku !” demikian Yo Ko masih terus ber-teriak2.
Mendongkol sekali gadis itu karena orang mengintil terus, sambil kerut kening, segera ia keluarkan Ginkang, sekaligus ia berlari sejauh beberapa li, dengan demikian ia yakin “si tolol” itu pasti tak sanggup menyusulnya.
Diluar dugaan, tidak antara lama, sajup2 kembali terdengar pula suara teriakan: “Bawalah aku !” - Luar biasa rasa gemasnya gadis itu, sekali ini ia tidak lari menyingkir sebaliknya ia putar balik mendatangi Yo Ko, “sret”, golok-sabit-nya dia loIos.
“Haya, celaka !” teriak Yo Ko pura2 ketakutan, berbareng ia putar tubuh dan angkat langkah seribu.
Maksud si gadis asal orang tidak selalu mengintip sudah cukup, Oleh karena itu, ia masukkan kembali golok ke sarungnya, ia putar kembali dan melanjutkan pula perjalanannya.
Tetapi belum seberapa jauh ia berjalan, tiba2 didengarnya di belakang ada suara menguaknya sapi, waktu ia menoleh, ia lihat Iagi2 Yo Ko mengintil di belakang sambil masih tuntun binatang angonnya itu, jarak dengan dirinya kira2 beberapa puluh tindak saja.
Sungguh tak terbilang mengkal si gadis, sekali ini ia sengaja berhenti di tempatnya untuk menunggu datangnya Yo Ko.
Akan tetapi, demi nampak orang tak berjalan, segera pula Yo Ko berhenti kalau si nona melangkah Yo Ko lantas menyusul lagi apabila dia putar balik dan hendak hajar padanya, segera Yo Ko kabur pula.
Begitulah terjadi kucing-kucingan diantara Yo Ko dan gadis itu, sebentar mereka kejar mengejar dan sebentar lagi berhenti sementara itu hari sudah magrib dan gadis itu masih tetap tak bisa melepaskan diri dari godaan Yo Ko.
Keruan tidak kepalang gemasnya gadis itu, ia lihat meski bocah angon ini tolol2 goblok, tetapi gerak kakinya ternyata cepat luar biasa, mungkin sudah terlalu bisa berlarian di tanah pegunungan beberapa kali ia kejar orang hendak menutuk jalan darahnya atau melukai kedua kakinya, tetapi setiap kali selalu Yo Ko bisa meloloskan diri dengan menggelinding dan merangkak pergi dengan cepat.
Sebenarnya ilmu silat Yo Ko jauh di atas gadis itu, cuma dia sengaja lari kalau sudah dalam keadaa yang paling berbahaya, dengan demikian ia gadis itu tidak menjadi curiga.
Begitulah maka sesudah beberapa kali digoda lagi, karena kaki kiri gadis itu memang pincang, sesudah jalan lama ia menjadi payah, Tiba2 ia mendapat satu akal, dengan suara keras dia teriaki Yo Ko: “Baiklah, kubawa serta kau, tetapi kau harus turut segala perkataanku,”
“Apa betul kau mau membawa aku ?” dengan girang Yo Ko menegas.
“Ya, siapa dustai kau ?” sahut si gadis. “Aku sudah letih, kau menunggang sapimu dan biar aku ikut membonceng.”
Betul saja Yo Ko lantas tuntun sapinya mendekati dengan cepat, dibawah cuaca senja yang re-mang2 Yo Ko dapat melihat mata si gadis menyorot tajam, ia tahu pasti orang tak bermaksud baik, maka diam2 ia berlaku waspada, dengan cara yang susah pajah ia merambat ke atas punggung sapinya.
Sebaliknya gadis itu hanya sedikit menutul kakinya, dengan enteng sekali ia telah melompat ke atas dan menunggang di depan Yo Ko.
“Keledaiku sudah hilang, tidak jelek juga menunggang sapi jantan ini saja,” pikir gadis itu, kemudian dengan ujung kakinya ia tendang iga banteng itu, karena kesakitan, maka sapi itu membedal ke depan seperti kesetanan.
Melihat tibanya kesempatan baik, diam2 gadis itu tersenyum dingin, mendadak sikutnya dengan kuat menyodok ke belakang, dengan tepat sekali kena sodok “ki-bun-hiat” di dada Yo Ko.
“Aduuh !” jerit Yo Ko, menyusul mana ia pun terjungkal dari punggung sapinya.
Gadis itu sangat senang karena serangannya berhasil “Betapapun kau berlaku bambungan, sekarang kau kena juga kuingusi,” demikian katanya dalam hati Lalu ia sogok pula iga sapi itu dengan jari tangannya, karena merasa sakit, sapi jantan itu kabur terlebih cepat lagi.
Sekali jari si gadis menjojoh punuk kerbau itu, lari si kerbau semakin kencang, tiba-tiba didengarnya Yo Ko masih berkaok-kaok di belakangnya, waktu ia berpaling, tampak dengan kedua tangannya Yo Ko ganduli ekor kerbau ikut lari berlompatan naik turun, lucu sekali tingkah lakunya.
Diluar dugaan, tiba2 terdengar Yo Ko men-jerit2 dan berteriak2, suaranya terdengar berada di belakang saja, waktu gadis itu menoleh, ia lihat Yo Ko sedang menggendoli ekor sapi dengan kedua tangannya, saking cepatnya dibawa kabur sapi itu hingga kedua kakinya sedikitpun tidak menempel tanah, jadi seperti terbang saja Yo Ko inL hanya keadaannya sangat mengenaskan, mukanya penuh debu pasir, ingus dan air mata membasahi mata hidungnya.
Karena merasa tak ada jalan lain lagi, tiba2 gadis itu kertak gigi, ia tegakan hati, golok dia angkat terus hendak membacok tangan Yo Ko yang menggendoli ekor sapi dengan kencang, Tetapi sebelum serangannya dilontarkan tiba2 didengarnya suasana sekitarnya riuh ramai, kiranya sapi itu telah berlari sampai disuatu pasar.
Oleh karena pasar itu penuh berjubel dengan orang hingga tiada jalan lewat, akhirnya sapi itu berhenti sendiri dengan Yo Ko masih tetap “me-lengket” di belakangnya.
Karena sengaja hendak goda si gadis untuk menikmati wajah orang diwaktu marah2, maka Yo Ko lantas rebahkan diri di tanah sambil ber-teriak2 : “Aduh, dadaku sakit, kenapa kau pukul aku ?”
Karena suara teriakannya ini, orang2 di pasar itu lantas berkerumun untuk mencari tahu sebab-musababnya dan apa yang terjadi.
Karena dirubung orang banyak, dengan sekali menyelusup segera gadis itu bermaksud mengeluyur pergi.
Tak terduga Yo Ko lebih cerdik dari dia, mendadak Yo Ko merangkak maju, sebelah kaki si gadis dia pegang dengan erat2.
“Jangan pergi, jangan pergi!” demikian ia ber-teriak-teriak pula.
“He, ada apakah ? Apa yang kalian ribut-kan ?” beramai-ramai orang yang merubung itu bertanya.
“Dia adalah biniku, biniku ini tak suka pada-ku, bahkan dia pukul aku pula,” teriak Yo Ko dengan lagak lagu yang toloI.
Mendengar orang berani mengaku bini atas dirinya, sungguh tidak kepalang gusar gadis itu hingga kedua alisnya seakan-akan menegak, tanpa segan2 lagi sebelah kakinya melayang, segera ia hendak tendang Yo Ko.
Akan tetapi Yo Ko tidak kurang akal, mendadak lelaki yang berdiri di sebelahnya didorong nya ke depan, karena itu, tendangan si gadis dengan tepat mengenai pinggang lelaki itu. Keruan saja lelaki itu sangat gusar.
“Perempuan keparat, berani kau tendang aku ?” damperatnya kontan, Menyusul kepelannya sebesar mangkok lantas menjotos.
Namun gadis itu tak gampang dihantam, tiba2 tangan orang dipegangnya, sebelah tangannya menyusul mengangkat lelaki itu terus dilempar pergi dengan meminjam tenaga pukulan orang tadi, Dengan sekali sengkelit ini, tubuh lelaki yang gede itu se-konyong2 melayang ke atas udara sambil tiada hentinya berteriak-teriak dan kemudian pun jatuhlah dia di antara orang banyak yang berkerumun itu hingga keadaan menjadi tuggang langgang karena ada beberapa orang pula yang ke-tindih oleh tubuh lelaki itu.
Dengan sekuat tenaga sebenarnya si gadis tadi ingin melepaskan diri dari Yo Ko, tetapi karena digendoli Yo Ko dengan mati-matian seketika ia menjadi kewalahan Dalam pada itu dilihat-nya ada lima-enam orang lagi yang maju dan rupanya akan bikin perhitungan padanya karena di-sengkelitnya si lelaki tadi, dalam keadaan demiki-an, mau-tak-mau ia berkuatir juga.
“Tolol, baiklah aku bawa serta kau, lekas kau lepaskan kakiku !” terpaksa dengan kata halus ia mengalah pada Yo Ko.
“Dan kau masih akan hantam aku tidak ?” Yo Ko sengaja tanya lagi.
“Baiklah, tak pukul lagi,” sahut si gadis.
Sehabis itu barulah Yo Ko melepaskan kaki orang yang dia pegang erat2 tadi, kemudian iapun merangkak bangun, Lalu dengan cepat mereka ber dua menerobos keluar diantara orang banyak dan tinggalkan pasar itu, dari belakang mereka mendengar ramai suara teriakan2 orang yang penasaran tadi.
“Lihatlah, sekarang sapiku telah hilang pula, tak bisa tidak lagi aku harus ikut kau,” kata Yo Ko kemudian sesudah di tempat sepi.
“Hm, sekal, lagi kau ngaco-belo bilang aku adalah binimu segala, awas, kalau aku tidak penggal kepalamu,” dengan sengit gadis itu mengancam. Berbareng goloknya diayun pula ke arah kepala Yo Ko.
“Haya, jangan,” teriak Yo Ko sambil melompat pergi dan kepalanya dipegang dengan kedua tangannya, “Baiklah, nona manis, tak berani lagi aku bilang begitu.”
“Hm, melihat macammu yang kotor ini, siluman yang paling jelek juga tak sudi menjadi bini-mu,” demikian cemooh si gadis.
Yo Ko tak menjawab, ia hanya me-nyengir2 tolol saja.
Tatkala itu hari sudah mulai gelap, dengan berdiri di ladang yang luas, dari jauh tertampak mengepulnya asap dapur di rumah2 penduduk karena itu barulah mereka merasa perut sudah lapar.
“Aku sudah lapar, pergilah kau ke pasar tadi membelikan barang makanan,” kata si gadis kemudian
“Tidak, tak mau aku pergi,” sahut Yo Ko meng-geleng2 kepala,
“Kenapa tak mau ?” damperat gadis itu dengan tarik muka.
“Masak aku tolol, kau tipu aku pergi beli makanan, lalu kau sendiri mengeluyur kabur,” sahut Yo Ko.
“Aku bilang tak kabur, tentu tak kabur,” ujar si gadis.
Tetapi Yo Ko masih geleng kepala saja.
Karena merasa jengkel, gadis itu ajun bogemnya hendak meninju, tetapi dengan cepat Yo Ko bisa menyingkir pula.
Sebelah kaki gadis itu pincang, dengan sendirinya jalannya tidak begitu leluasa, percuma saja dia memiliki Ginkang, tetapi selalu tak bisa me nyandak orang, Tentu saja ia sangat mendongkol ia pikir sia2 saja memiliki ilmu silat yang tinggi dan percuma mengaku dirinya cerdik dan banyak akal, nyatanya kini digoda seorang anak tolol yang kotor dan berbau busuk tanpa bisa berbuat apa2.
Begitulah dengan pelahan ia meneruskan perjalanan dengan mengikuti jalan besar, dalam hati ia pikir cara bagaimana nanti secara mendadak beri sekali bacokan dan bunuh si tolol ini.
Selang tak lama, cuaca menjadi gelap seluruhnya, tiba2 dilihatnya di pinggir jalan ada sebuah rumah batu yang bobrok, agaknya sudah tiada penghuninya, mendadak ia dapat satu akal “Biarlah malam ini aku menginap di sini, tengah malam nanti kalau si tolol sudah pulas, sekali bacok saja kubunuh dia,” demikian pikirnya.
Setelah ambil keputusan, segera ia menuju ke rumah batu itu, waktu pintu didorong, tiba2 tercium bau apek yang menyenggerok hidung, terang sekali rumah ini sudah terlalu lama ditinggalkan penghuninya.
Kemudian gadis itu pergi mencari segenggam rumput kering dan lap bersih sebuah meja, di atas meja inilah dia berbaring, ia pejamkan mata untuk mengumpul tenaganya.
“Tolol, tolol !” panggilnya ketika dilihatnya Yo Ko tidak ikut masuk ke dalam.
Akan tetapi tiada sahutan yang dia peroleh, “Jangan2 si tolol ini mengetahui aku hendak membunuh dia, maka telah kabur lebih dulu ?” demikian ia pikir.
Sesudah agak lama, ketika lajap2 hendak pulas, mendadak tercium olehnya bau sedap yang sangat menusuk hidung, Dalam terkejutnya segera pula ia melompat bangun, waktu dia lari keluar, dilihatnya di bawah sinar bulan yang terang Yo Ko sedang berduduk sambil mencekal sepotong entah paha binatang apa dan sedang pentang mulut menggerogoti dengan lahap, di samping sana menyala segunduk api unggun dan di pinggir gundukan api itu terletak bahan makanan itu dan sedang dipanggang, dari situlah bau sedap tadi menguar.
“Mau tidak ?” tanya Yo Ko dengan tertawa demi nampak gadis itu keluar, Habis itu ia ambil sepotong daging paha yang telah dipanggang hingga berbau sedap itu terus dilemparkan kepadanya.
Waktu gadis itu menyambutinya, ia lihat daging paha itu seperti paha kijang, memangnya perut sudah lapar, maka tanpa sungkan2 lagi ia sebret daging itu dan dimakan sepotong demi sepotong, meski kurang asin karena tidak digarami, tetapi dalam keadaan lapar rasanya sangat lezat juga. Maka dengan duduk di tepi api unggun itu ikutlah dia makan dengan bernapsu.
Tetapi dasar anak gadis, maka cara makannya tidak main lalap seperti Yo Ko, lebih dulu ia sobek2 daging paha itu dalam potongan kecil2, kemudian dengan pelahan baru dia memakannya, Tetapi bila dilihatnya cara makan Yo Ko yang lahap hingga air liurnya ikut mencerocos, ia menjadi mual dan jijik, kalau tak jadi makan, perutnya terasa lapar, karena itu, terpaksa ia berpaling ke jurusan lain dan tidak pandang Yo Ko lagi.
Sesudah sepotong daging itu habis, kembali Yo Ko lemparkan sepotong lagi kepadanya.
“He, tolol, kau bernama siapa ?” tiba2 gadis itu menanya.
“Eh, apa kau ini dewa ? Kenapa kau tahu bahwa aku bernama Tolol ?” dengan lagak bebal yang di-bikin2 berbalik Yo Ko menanya.
“Haha, jadi kau memang bernama si tolol ?” gadis itu tertawa demi mendengar jawaban orang, rupanya ia menjadi gembira, “Dan dimanakah Bapa dan Mak-mu ?”
“Sudah mati semua,” sahut Yo Ko. “Dan kau sendiri bernama siapa ?”
“Tak tahu, Buat apa kau tanya ?” kata si gadis.
“Dia tak mau katakan, biarlah aku pancing dia,” demikian pikir Yo Ko karena orang tak mau memberitahukan namanya. Lalu dengan berlagak ber-seri2 ia berkata pula : “Hahaa, aku tahu, kaupun bernama si tolol, maka kau tak mau mengatakan namamu.”
Tentu saja gadis itu menjadi gusar, segera ia melompat maju, ia angkat kepalan terus menggetok dengan keras ke atas kepala Yo Ko.
“Siapa bilang aku bernama si tolol, kau sendiri yang tolol,” demikian damperatnya pula.
Karena kepala digetok orang, Yo Ko pura2 kesakitan sambil menutup kepala dengan tangan-nya.
“Ya, sebab kalau orang tanya nama ku, bila aku katakan tak tahu, lantas orang panggil aku si tolol, sekarang kaupun bilang tak tahu, dengan sendirinya kaupun bernama si tolol,” kata Yo Ko dengan mewek2 bikinan.
“Siapa bilang aku tak tahu ?” bentak si gadis sengit “Hanya aku tak suka katakan padamu, Aku she Liok, mengarti tidak ?”
Kiranya gadis ini adalah Liok Bu-siang, itu gadis cilik pemetik ubi teratai yang sudah kita kenal pada permulaan cerita ini.
Sebagaimana masih ingat, dahulu waktu dia main panjat pohon bersama Piaoci-nya, yaitu Thia Eng, dan kedua saudara Bu, ia telah jatuh dari atas pohon hingga tulang kakinya patah, Syukur secara kebetulan Bu-samnio numpang menginap dirumahnya dan telah menyambungkan tulang kakinya yang patah itu.
Tetapi karena ayah Bu-siang, jakni Liok Lip-ting mencurigai Bu-samnio, akhirnya mereka saling gebrak sehingga sambungan tulang kaki Bu-siang rada terganggu dan sedikit meleset sesudah sembuh, kaki kirinya yang patah itu telah mengker sekira satu senti, maka bila berjalan menjadi sedikit pincang pula.
Walaupun kulit badan Liok Bu-siang tidak begitu putih, tetapi dasar pembawaannya cantik raut mukanya, setelah besar ia bertambah manis pula, tapi karena pincang kakinya, inilah yang menjadi penyesalan selama hidupnya.
Sesudah seluruh keluarganya dibunuh habis oleh Li Bok-chiu, sebenarnya Bu-siang pun tidak terluput dari kematian, tetapi setiap kali bila melihat saputangan sulaman yang menggubet di leher Bu-siang, lantas Li Bok-chiu teringat pada cinta Liok Tian-goan dahulu hingga selalu ia tak tega menghabisi jiwa anak dara itu.
Liok Bu-siang sendiri meski usianya masih kecil, tetapi ia sudah pandai berpikir, ia mengerti dirinya terjeblos di dalam cengkeraman iblis perempuan ini, jiwanya boleh dikatakan seperti telur di ujung tanduk yang setiap saat terancam bahaya, oleh sebab itu ia berlaku sangat hati2 dan berusaha sedapat mungkin me-narik2 hati orang, dan karena pintarnya Bu-siang membawa diri dan rajin melayani sehingga Jik-lian-sian-cu yang biasanya bunuh orang tanpa berkedip itu lambat laun menjadi reda juga maksud membunuhnya pada Liok Bu-siang.
Kadang2 Li Bok-chiu terkenang pada peristiwa di masa mudanya yang sangat menyesatkan itu, segera Bu-siang dipanggil ke hadapannya, lalu nona kecil itu disiksa dan dihina untuk melampiaskan dendamnya.
Namun Bu-siang pintar pura2, ia sengaja bikin mukanya kotor dan rambutnya serawutan sambil berjalan pincang sebagaimana seorang gadis yang harus dikasihani maka bila melihat macamnya ini, mestinya Li Bok-chiu hendak umbar dendamnya lantas tak sampai hati dilontarkan lagi.
Begitulah caranya Liok Bu-siang mencari selamat bagi dirinya sendiri, beruntung juga seorang gadis cilik seperti dia itu ternyata bisa hidup terus berdampingan dengan Li Bok-chiu yang kejam itu. sungguhpun demikian, dalam hati Bu-siang tidak pernah melupakan sakit hati ayah-bundanya yang dibunuh Li Bok-chiu secara kejam, sebaliknya apabila Li Bok-chiu coba menanyakan tentang ayah-ibunya, selalu Bu-siang berlagak linglung dan pura-pura tidak mengingatnya lagi.
Bila Li Bok-chiu sedang mengajarkan ilmu silat pada Ang Ling-po, ia lantas menunggunya di samping untuk melayani bila orang perlu diambilkan handuk atau Iain2, atau dia pura2 menyapu dan bersihkan meja kursi. Memangnya ilmu silat Bu-siang sudah ada dasarnya, maka diam2 ia mengingatnya dengan baik apa yang dilatih kedua orang tadi, lalu di waktu malam diam2 ia sendiri lantas melatihnya kembali.
Ditambah lagi di waktu biasa ia sengaja membaiki Ang Ling-po hingga belakangan ketika sang guru sedang gembira, Ang Ling-po lantas memohon bagi Liok Bu-siang untuk diterima sekalian sebagai murid Li Bok-chiu.
Dengan begitulah beberapa tahun telah lalu, ilmu silat Bu-siang sudah banyak maju pula, hanya perasaan Li Bok-chiu betapapun masih terdapat sisa-sisa rasa benci padanya, jangankan ilmu silat yang paling tinggi, meski ilmu kepandaian kelas dua saja tak sudi diajarkan padanya, baiknya ada Ang Ling-po yang merasa kasihan padanya dan diam2 suka memberi petunjuk2, maka ilmu silatnya walau tak bisa dikatakan tinggi, namun dibilang rendah pun tidak rendah.
Hari itu, ber-turut2 Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah berangkat ke Hoat-su-jin-bong untuk mencuri “Giok-li-sim-keng”, karena sampai lama belum nampak kedua orang itu kembali, maka Bu-siang telah ambil keputusan untuk pulang ke daerah Kanglam buat mencari tahu mati-hidup ayah-bundanya yang sebenarnya, sebab waktu kecil ia hanya melihat ayah-ibunya dipukul Li Bok-chiu hingga luka parah, tentunya banyak celaka daripada selamatnya, tetapi karena belum melihat meninggalnya kedua orang tua dengan mata kepala sendiri, bagaimanapun dalam hatinya masih selalu menaruh sedikit sinar harapan semoga ayah-bundanya masih hidup, maka ingin sekali dia mencari tahu keadaan yang sebenarnya.
Oleh karena kaki kirinya cacat, yakni pincang, ciri2 ini telah merubah sifatnya hingga rada rendah diri, dia paling benci apabila ada orang memandang kakinya pincang itu.
Hari itu di tengah jalan justru kedua imam telah memandang beberapa kali pada kakinya yang cacat itu hingga menimbulkan amarahnya, kontan Bu-siang melontarkan kata2 yang menghina, dasar kedua imam itu juga bertabiat buruk, maka dari perang mulut akhirnya berubah menjadi perang senjata, dalam pertarungan itu, dengan golok-sabitnya yang melengkung itu Bu-siang telah tabas daun kuping dan batang hidung kedua imam itu, sebagai ekornya kemudian terjadi pertarungan sengit di Cay-long-kok itu.
Dulu tatkala Bu-siang digondol pergi oleh Li Bok-chiu, di gua pegunungan dekat Oh-chiu sebenarnya dia sudah pernah berjumpa sekali dengan Yo Ko, tetapi waktu itu sama2 masih kecil, sekarang keadaan mereka berdua pun sudah banyak berubah, dengan sendirinya perkenalan kilat dahulu itu sudah tidak mereka ingat lagi.
BegituIah setelah Bu-siang menghabiskan dua potong daging paha kijang panggang, iapun merasa kenyang.
Di lain pihak sebaliknya Yo Ko sedang memandangi wajah si nona yang manis, “Saat ini Kokoh, entah berada di mana ? Gadis di depanku ini kalau Kokoh adanya, lalu kuberi dia paha kijang panggang, bukankah akan sangat menyenangkan ?” demikian pikirnya diam2. Karena hatinya memikir, maka matapun menatap orang terlebih kesima.
Melihat begitu rupa orang pandang padanya, Bu-siang menjengek sekali, habis ini ia berdiri hendak menyingkir Mendadak dari jauh terdengar seorang sedang mendatangi dengan menyeret sandalnya yang menerbitkan suara “srat-sret, srat-sret”, sambil mendekat orang itu sembari gunakan hidungnya untuk mengendus se-keras2nya.
“Ehm, wangi, sedap !” demikian ia berseru.
Dan sesudah dekat, maka jelas kelihatanlah baju yang dipakai orang itu penuh tambal-sulam di sana-sini, kiranya seorang kere, seorang pengemis.
Walaupun kere, tetapi dia mendekati orang dengan lagak tuan besar, lalu dia duduk di samping Yo Ko, tanpa disuruh pun tanpa permisi segera dia samber sepotong daging kijang panggang yang masih digarang di atas api unggun tadi terus digeragoti dengan lahap seperti orang yang sudah tujuh hari tujuh malam tidak makan.
Yo Ko sih tidak menggubris diri orang, tetapi Bu-siang yang mencium bau busuk tubuh orang yang kotor, memangnya dia sudah mendongkol, kini melihat kelakuannya yang tak kenal aturan, rasa mendongkolnya bertambah lipat, mendadak dia berdiri lantas tinggalkan orang hendak masuk kedalam rumah untuk tidur.
Rupanya sikap Bu-siang ini dapat diketahui si jembel tadi, tiba2 ia mendongak dan memandang sekejap pada si gadis sambil tersenyum, habis ini ia menunduk kembali untuk makan daging panggangnya.
Bu-siang menjadi gusar melihat kelakuan orang.
“Apa yang kau tertawakan ?” damperatnya segera.
“Aku tertawa sendiri, sangkut-paut apa dengan kau ?” sahut pengemis itu dengan dingin.
Dalam gusarnya Bu-siang sudah pegang goloknya dan berniat bunuh orang, syukur dia memikir pula: “Jangan dulu, kalau aku bunuh dia si tolol itu tentu akan ketakutan dan melarikan diri, biarlah aku bersabar sementara.”
Maka dengan menahan rasa gusarnya, tanpa berpaling lagi ia lantas masuk ke rumah batu itu.
Di luar dugaan, baru saja dia melangkahi am-bang pintu, tiba2 terdengar si pengemis membuka suara pula dan sedang bertanya pada Yo Ko : “Siapakah dia tadi, apa dia binimu ? Kenapa kakinya pincang ? Tidak laku dijual ?”
Sungguh tidak kepalang rasa gusar Liok Bu-siang oleh serentetan kata2 yang semuanya sangat menusuk hatinya, per-tama2 orang bilang dia adalah bini si tolol yang kotor dan berbau busuk itu, kedua, kakinya yang cacat di-olok2 dan ketiga dia dianggap seperti khewan saja, bukan saja harus dijual, bahkan dikatakan tidak laku.
Sejak kecil Bu-siang sudah kenyang oleh segala siksa-derita yang diperoleh dari Li Bok-chiu, oleh sebab itu, dalam pandangannya setiap orang di jagat ini dianggap sebagai musuh semua dan setiap orang pasti akan membikin susah padanya, ditambah kakinya pincang sehingga tabiatnya berubah aneh, yakni merasa rendah harga diri, maka bila siapa saja berani coba2 memandang sekejap pada kakinya yang cacat itu, tentu akan menimbulkan amarahnya, apa lagi si pengemis tadi telah mengeluarkan kata-kata yang sangat menghina itu, keruan dia tak tahan lagi, dengan cepat golok-sabitnya dilolos, begitu memutar, secepat angin dilabraknya si jembel itu.
Si pengemis itu terhitung anak murid Kay-pang (Persatuan Pengemis) angkatan keenam, di kalangan pengemis mereka ilmu silatnya tergoIong tengahan, maka kepandaiannya pun tidak terlalu rendah.
Persatuan Pengemis itu sejak Ang Chit-kong menjabat ketua, anggotanya banyak terpengaruh-oleh sifat ketua mereka, yakni menganggap di mana-mana adalah kediaman mereka, berpikiran jujur dan suka terus terang, suka bersahabat dengan siapapun juga yang dijumpai.
Oleh sebab itulah demi bertemu dengan Yo Ko yang lagi panggang daging di tempat sepi, pula melihat pakaian Yo Ko compang-camping, maka pengemis tadi pikir meski orang bukan sesama anggota, sedikitnya masih terhitung segolongan, golongan kere.
Karena itu iapun tidak sungkan2 lagi, begitu datang ia lantas duduk terus ikut makan, siapa tahu Bu-siang telah mengunjuk muka jemu dan kurang senang, bahkan terus berdiri dan menyingkir pergi karena tak tahan ia telah tertawai orang beberapa kata, tak terduga si gadis ternyata sangat pemarah, begitu putar kembali lantas main senjata.
BegituIah, maka atas serangan Bu-siang tadi pengemis itu telah berteriak sambil melompat bangun: “Haya, jangan ngamuk, jangan ngamuk, aku telah makan panggang daging lakimu. biarlah aku muntahkan kembali saja!”
Justru Bu-siang paling benci kalau orang berkelakar atas dirinya, keruan ia bertambah murka, tanpa berhenti lagi goloknya membabat dari kiri dan memotong pula dari kanan, be-runtun2 dua kali mengarah tempat lawan yang berbahaya.
Namun dengan cepat pengemis itu dapat menghindarkan diri, ketika serangan ketiga menyamber lagi, karena arah yang dituju tidak tetap, sedikit meleset saja dugaan pengemis itu, maka terdengarlah suara merobeknya kain, ternyata bajunya yang memang rombeng telah tertabas robek.
Keruan pengemis itu terkejut, “Eh, tidak nyana ilmu silat anak dara ini ternyata sangat lihay,” demikian katanya dalam hati.
Dalam pada itu untuk keempat kalinya Bu-siang telah menyerang lagi, maka tak berani pula si pengemis pandang enteng lawannya, segera tongkat yang terselip di pinggangnya dia cabut terus ditangkiskan.
Tetapi setelah saling gebrak belasan jurus, rangsakan Bu-siang semakin lama semakin ganas, diam2 pengemis itu mengelak.
“Anak dara ini entah dari golongan dan aliran mana datangnya, perlu apa aku terlibat permusuhan dengan dia tanpa sebab ? Asal aku tancap gas se-kencang2nya terus mengeluyur pergi, masakan gadis pincang ini sanggup mengejar padaku ?” demikian pikirnya, Demi ingat kaki orang pincang, tanpa terasa ia memandang sekejap lagi ke arah anggota badan orang yang cacat itu.
Sebenarnya kalau dia sudah ambil keputusan buat angkat kaki, asal dia putar tubuh terus kabur mungkin segala persoalan akan menjadi selesai, tetapi celaka baginya, justru karena pandangannya tanpa sengaja itu kepada kaki orang yang pincang, habis ini baru dia melarikan diri, kelakuannya ini telah menyinggung perasaan Liok Bu-siang yang paling benci kalau kakinya yang cacat itu dipandang orang, sebab inilah dikemudian hari telah banyak menimbulkan ekor panjang.
Ketika Bu-siang mengetahui orang menatap kakinya yang pincang sambil mengunjuk rasa senang, habis ini tongkat ditarik terus kabur, keruan rasa gusarnya me-Iuap2 tak bisa ditahan lagi.
“Pengemis maling, apa kau kira aku tak bisa berjalan leluasa dan tak sanggup mengejar kau ?” damperatnya sengit. Habis ini segera dia mengudak.
Melihat pengemis itu lari ke arah utara, segera Bu-siang putar goloknya yang melengkung itu, setelah diayun beberapa kali, se-konyong2 ia lepaskan se-keras2nya ke arah tenggara hingga membawa samberan angin yang santer.
Tatkala itu dengan se-enaknya Yo Ko sedang makan daging panggang dan menyaksikan perkelahian orang sambil duduk, ia menjadi sangat senang melihat si pengemis sengaja bikin Bu-siang marah2. Tetapi ia menjadi heran ketika mendadak melihat Bu-siang menimpukkan goloknya ke arah tenggara, namun baru saja ia tercengang atau tiba2 terlihat golok-sabit itu memutar sendiri di udara seperti dikemudikan saja.
Golok-sabit yang melengkung ini bentuknya sangat aneh, mata goloknya begitu tipis seperti kertas, diwaktu Liok Bu-siang menimpuk, tenaga yang digunakan sangat tepat pula, maka tertampaklah golok itu membawa suara ngaungan terus menyamber ke tubuh si pengemis tadi.
Saat itu si jembel sedang berlari dengan cepat, siapa duga golok ini seperti punya mata saja, se-konyong2 menyamber tiba terus menancap di atas punggungnya.
Saking sakitnya oleh tusukan golok itu, tanpa ampun lagi pengemis itu jatuh terjungkal.
Tentu saja Bu-siang tidak sia2kan kesempatan itu, dengan gunakan ilmu entengkan tubuh ia memburu maju dengan niat cabut goloknya yang menancap di punggung orang untuk kemudian menambahi orang dengan sekali bacokan lagi.
Namun pengemis itu tidak menyerah mentah2, belum sampai orang datang dekat, sekuat tenaganya ia telah merangkak bangun terus berlari pula ke depan seperti kesetanan, sekejap kemudian orangnya sudah menghilang tanpa bekas di kegelapan.
Sesudah dicoba dan merasa tidak bisa menyandak larinya orang, akhirnya Liok Bu-siang tidak mengudak lebih jauh, ia kembali ke tempatnya tadi.
“Lekas pergi mengambil kembali golokku itu.” bentaknya tiba-tiba sesudah berhadapan dengan Yo Ko.
“Golok apa ? Aku tak tahu !” sahut Yo Ko acuh tak acuh.
“Bukankah kau melihat golokku menancap di punggungnya ?” kata Bu-siang pula, “Lekas pergi mengambil !”
“Tak bisa mengambilnya lagi,” ujar Yo Ko sambil goyang2 tangannya.
Bu-siang tahu percuma saja meski banyak bicara, karena itu, ia putar tubuh terus masuk rumah batu tadi untuk tidur sendiri, Baiknya padanya masih terdapat sebilah belati, maka katanya dalam hati: “Walaupun golok-sabit sudah tak ada, dengan belati inipun cukup untuk bikin beberapa lubang di badanmu.”
Tengah malam, diam2 Bu-siang bangun, dengan ber-indap2 ia keluar rumah, ia lihat Yo Ko sedang menggeros di tepi gundukan api itu tanpa bergerak sedikitpun. Gundukan api itu sudah lama padam, rembulan pun mulai doyong ke barat, hanya remang2 masih kelihatan bayangannya.
Segera Bu-siang cabut belatinya, dengan pelahan ia mendekati orang, begitu sudah dekat, tanpa pikir lagi belati diangkat terus ditusukkan se-keras2nya ke punggung orang, tapi mendadak tangannya kesemutan, tangannya terguncang sakit, karena itu tak kuat lagi ia genggam lebih kencang, dengan menerbitkan suara nyaring, belatinya terlepas dari cekalan, terasa olehnya tempat yang kena tusukan belatinya itu seperti mengenai besi atau batu yang keras.
Keruan saja bukan buatan terkejutnya Bu-siang, tanpa pikir lagi ia putar tubuh terus lari menyingkir dalam hati ia pikir: “Jangan2 Si tolol ini telah melatih diri begitu rupa sehingga tubuhnya kebal tak mempan senjata ?”
Sesudah berlari pergi beberapa tombak jauhnya, karena tak mendengar suara kejaran Yo Ko, kemudian Bu-siang menoleh, dilihatnya masih meringkik di samping gundukan api yang sudah padam itu tanpa bergerak sedikitpun.
Dengan sendirinya Bu-siang menjadi curiga, “Tolol, he, Tolol !” ia ber-teriak2 memanggil
Tetapi meski sudah berulang kali ia memanggil toh orang masih tetap tidak menyahut Waktu Bu-siang menegasi, ia lihat tubuh Yo Ko dalam keadaan meringkuk, bentuknya sangat aneh dan mencurigakan. Maka dengan tabahkan hati ia mendekati. Setelah dekat, nyatanya barang yang meringkuk itu tidak mirip bentuk manusia, ketika ia coba meraba, rasanya sangat keras, barang yang berada di bawah baju itu laksana batu.
Tanpa ayal lagi segera Bu-siang singkap baju itu, betul saja di dalamnya berisi sebuah batu padas yang panjang besar, jadi hanya baju membungkus batu, tetapi bayangan Yo Ko sudah tak kelihatan.
Seketika Bu-siang terkesima oleh kejadian di luar dugaan itu, kembali ia memanggil pula : “He, Tolol.”
Namun tetap tiada jawaban, Ketika ia coba pasang kuping mendengarkan tiba2 terdengar dalam rumah batu itu sayup2 seperti ada suara orang mengorek. Keruan saja Bu-siang ter-heran2, segera ditujunya tempat datangnya suara itu, betul saja ia lihat Yo Ko sedang tidur pulas di atas meja yang tadi digunakan dirinya.
Karena serangannya tadi tidak mengenai sasarannya, dalam gusarnya Bu-siang tidak berpikir pula secara teliti kenapa orang bisa mendadak tidur di atas mejanya, mendadak ia melompat maju, belati diangkat dengan sekali tusuk kembali ia tikam pula punggung orang.
Bu-siang menjadi senang karena sekali ini ia telah tepat menikam orang yang sesungguhnya ia lihat Yo Ko tidak melompat bangun pula tidak menjerit kesakitan, maka tanpa ayal ia cabut belatinya dan tambahi pula sekali, tempat dimana melatinya menusuk terang sekali adalah daging tubuh orang, sedikitpun tiada perbedaan lain, cuma aneh, sama sekali tidak tertampak mengalirnya darah.
Karena itu, kembali Bu-siang terkejut tetapi gusar pula, susul menyusul ia menusuk lagi beberapa kali, tetapi yang terdengar malah suara meng-gerosnya Yo Ko yang semakin keras.
“Ai, siapakah yang mengitik-ngitik punggungku ? Hihi, jangan guyon ! Haha jangan main2, aku tak tahan geli!” demikian terdengar Yo Ko malah menginggau.
Saking terperanjatnya Bu-siang sampai mukanya pucat lesi, akhirnya kedua tangannya pun menjadi gemetar sendiri “Jangan2 orang ini adalah setan atau siluman ?” katanya dalam hati.
Oleh karena pikiran itu, segera ia putar tubuh hendak melarikan diri, akan tetapi, entah saking takutnya atau mengapa, seketika kedua kakinya seperti tak mau turut perintahnya, dia masih terpaku di tempatnya.
“Ai, pungungku kenapa begini geli, tentu ada tikus yang hendak colong daging kijangku,” demikian kembali terdengar Yo Ko menempati lagi.
Habis itu ia malah ulur tangan ke punggung, dari dalam bajunya ditarik keluar sepotong dagang kijang panggang terus dibanting ke lantai.
Melihat ini barulah Bu-siang menarik napas Iega, kini baru dia mengerti duduknya perkara, “Kiranya si tolol ini simpan daging kijang dekat punggungnya, pantas belasan kali tikamanku tidak membikin jiwanya melayang sebab semuanya mengenai daging kijang, sebaliknya aku sendiri malah dibikin takut!” begitulah ia pikir.
Karena dua kali menikam dan dua kali tidak berhasil tewaskan orang, rasa benci Bu-siang terhadap Yo Ko menjadi tambah pula, “Si tolol busuk, lihat sekali ini jiwamu melayang tidak ?” dengan geregeten Bu-siang berkata dengan suara pelahan, menyusul ini tiba2 ia menubruk maju, lagi2 dengan belatinya ia menikam punggung Yo Ko, ia menduga sekali ini pasti Yo Ko tak terluput dari kematian.
Siapa tahu pada waktu belatinya hampir mengenai tubuh Yo Ko, mendadak dalam keadaan masih mengorek pemuda itu telah membaliki tubuhnya, keruan tusukannya menjadi luput hingga mengenai meja sampai ambles sebatas gagang belati
Selagi Bu-siang sekuatnya hendak cabut kembali belatinya, di lain pihak Yo Ko seperti mimpi saja, tiba2 berteriak : “Tolong, Mak ! Tolong, ada tikus busuk hendak gigit aku !”
Menyusul itu kedua kakinya yang kotor dan bau itu bahkan menjulur ke depan, tahu2 kaki kiri tepat ditaruh di atas siku Bu-siang tempat kiok-ci -hiat” dan kaki kanan sebaliknya menggeletak di atas pundak si gadis tepat mengenai tempat “ko-cing-hiat”.
Kedua tempat yang disebut itu adalah kedua Hiat-to yang berbahaya di tubuh manusia, ketika Yo Ko ulur kedua kakinya, entah sengaja atau secara kebetulan, secara persis telah membentur kedua tempat jalan darah itu. Keruan seketika Bu-siang merasakan tubuhnya menjadi kesemutan lalu tak bisa berkutik lagi ia hanya berdiri membisu saja di tempatnya dan dijadikan penyanggah kaki Yo Ko.
Sungguh bukan buatan murka Liok Bu-siang oleh kejadian ini, meski tubuhnya tak bisa bergerak, tetapi mulutnya masih bisa buka suara, Karena itu segera ia membentak mendamperat: “Hai, ToloI, lekas singkirkan kakimu yang bau ini!”
Tetapi jawaban yang dia peroleh hanya suara mengoroknya Yo Ko yang semakin keras.
Tidak kepalang gemasnya Bu-siang hingga dia kehabisan akal, dalam keadaan murka, tiba2 ia pentang mulut terus meludahi tubuh Yo Ko.
Tak kira lagi2 Yo Ko membaliki tubuhnya, sedang ujung kaki kanannya seperti tak disengaja saja tiba2 melayang dan dengan tepat membentur pelahan “pi-su-hiat” di bawah dagu Liok Bu-siang.
Karena benturan itu, seketika seluruh tubuh Bu-siang menjadi kaku semua, kini mulut saja tak bisa dipentang lagi, hanya hidungnya yang kenyang mencium bau kaki Yo Ko yang bacin.
Bcgitulah gadis itu telah dibuat tempat penyanggah kaki Yo Ko hingga sekian lama, saking dongkolnya sampai Bu-siang hampir semaput, Dalam hati tiada hentinya ia mengutuk dan menyumpahi Yo Ko: “Jahannam kau si Tolol ini, besok kalau aku sudah bisa bergerak bebas, pasti kucincang kau hingga menjadi baso.”
Tidak lama, rasanya Yo Ko sudah cukup puas mempermainkan orang, tiba2 ia membaliki tubuh lagi berbareng melepaskan kedua kakinya dari atas tubuh orang, kini ia membalik menghadap keluar, karena itu, meski dalam keadaan gelap Yo Ko masih bisa melihat cukup jelas air muka si nona yang penuh gusar dan mangkel itu.
Tetapi semakin Bu-siang mengunjuk gusar, rupanya semakin mirip Siao-liong-li hingga dengan ter-mangu2 Yo Ko menikmati wajahnya seperti orang yang kehilangan semangat
Di lain pihak, karena waktu itu rembulan mendoyong ke barat hingga sinar sang dewi malam menyorot masuk melalui pintu, maka muka Yo Ko dapat dilihat dengan jelas oleh Liok Bu-siang, ia lihat pemuda ini sedang pentang kedua matanya lebar2 dan lagi memandang padanya dengan tersenyum-simpul.
Keruan hati Bu-siang terkesiap, “Jangan2 si Tolol ini sengaja berlagak bodoh dan pura2 bebal ? Memang tak disengaja tadi ia menutuk jalan darahku ?” demikian ia ber-tanya2 pada diri sendiri.
Oleh karena pikiran itu, tanpa tertahan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Justru pada saat itu juga, tiba2 dilihatnya Yo Ko sedang melirik ke lantai, waktu Bu-siang ikut melirik ke arah yang diincar Yo Ko itu, maka tertampaklah olehnya di atas lantai itu terdapat tiga bayangan hitam yang sejajar, kiranya ada tiga orang telah berdiri di ambang pintu sana.
Waktu ia menegasi lagi, ternyata ketiga orang itu semuanya bersenjata.
“Celaka, celaka, ada musuh lagi menunggu, tetapi justru Hiat-to kena ditutuk si Tolol ini,” diam2 Bu-siang mengeluh.
Nyata, meski tadi dia sudah curiga, namun apapun juga sukar dipercaya bahwa seorang bocah angon yang bodoh dan kotor seperti dia ini memiliki ilmu silat yang tinggi
Dalam pada itu demi dilihatnya bayangan orang2 itu, segera Yo Ko pejamkan mata lagi dan pura2 tidur.
“Hayo, budak hina, lekas keluar, apa dengan berdiri tegak begitu saja lantas dikira Toya (tuan imam) bisa mengampuni kau ?” demikian terdengar salah seorang di luar itu berteriak.
“Ah, kiranya kaum imam lagi,” kata Yo Ko di dalam hati demi mendengar tantangan orang itu.
“Kamipun tidak inginkan jiwamu, asal iris juga batang hidungmu, potong sebelah daun kuping dan sebelah telapak tangan saja sudah cukup,” terdengar seorang Iain berkata lagi.
“Kami sudah menunggu di sini, lekas keluar kau untuk turun tangan saja,” demikian kata orang ketiga.
Habis itu, ketiga orang itu lantas melompat pergi, mereka kepung pintu keluar itu dengan rapat.
“He, suara teriakan apakah di luar itu, di manakah kau nona Liok ?” demikian kemudian Yo Ko bangun terduduk dengan mengulet ke-maIas2-an. “Eh, nona Liok, kenapa kau berdiri saja di situ ?”
Habis berkata, seperti tidak sengaja ia tarik2 lengan baju si gadis dan digoyangkan beberapa kali, Maka terasalah tiba2 oleh Liok Bu Siang ada suatu kekuatan yang besar sekali telah menggun-cang2kan seluruh tubuhnya hingga ketiga tempat Hiat-to yang tertutuk tadi seketika lancar kembali dan dapat bergerak bebas lagi.
Bu-siang pun tidak sempat berpikir secara teliti, segera ia jemput belatmya dari lantai terus melompat keluar rumah, di bawah sinar rembulan itu terlihatlah olehnya tiga orang lelaki sudah menantikan di situ, iapun tidak bicara lagi, begitu tangannya bergerak belatinya segera menusuk pada orang yang berdiri di sebelah kiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar