Kembalinya Pendekar Rajawali 20
Karena
gerak tangannya itu sangat cepat hingga gadis itu tak sempat menghindarkan
diri, seketika lengannya kena dicekal, dan karena lengan kanannya dipakai untuk
memegang golok-sabitnya, maka goloknya tak bisa dipakai menangkis.
Tak
tersangka se-konyong2 sinar tajam berkelebat sedikit gadis itu tekuk sikutnya,
golok-sabitnya tahu2 memotong dari samping, dari jurusan yang sama sekali tak
terduga.
Tentu
saja tidak kepalang kagetnya Tan-lokunsu, lekas2 ia lepaskan cekalannya bila ia
tidak mau merasakan tajamnya golok itu. sungguhpun begitu, tidak urung dua jari
tangannya sudah terluka.
Dengan
cepat segera ia melompat mundur terus cabut goloknya sendiri, dalam gusarnya ia
ber-teriak2 mendamperat: “Perempan bangsat, agaknya kau sudah bosen hidup !”
Melihat
kawannya dilukai, mau-tak-mau yang lain2 ikut mengangkat senjata, Han-cecu
pakai sepasang ganden berantaai, sedang Tio Put-hoan lolos pedangnya, begitu
pula Ki Jing-si dan Bing-hiam juga lantas tarik pedang mereka.
Akan
tetapi mereka menjadi kaget ketika merasa senjata yang mereka genggam itu
bobotnya sangat enteng, ketika mereka tegasi, celaka tiga-belas, kiranya yang
terpegang di tangan mereka melainkan garan pedang belaka, sedang bagian yang
tajam ketinggalan di dalam sarungnya.
Sudah
tentu mereka tidak tahu bahwa itu adalah perbuatan Yo Ko semalam di mana pedang
mereka diam2 dipatahkan dan selimut mereka dikencingi juga, sedang kini musuh
tangguh sudah berhadapan senjata saja mereka tak punya.
Rupanya
melihat kelakuan kedua imam yang kikuk dan serba salah itu, si gadis tadi
tertawa ngikik geli.
Waktu
itu Yo Ko sendiri lagi berduka, tetapi demi mendengar suara tertawa gadis itu
dan melihat kelakuan kedua imam yang lucu itu, tak tertahan iapun tertawa maski
sebenarnya ia masih tersenggak-sengguk.
Sementara
itu terlihat si gadis telah membuka serangan, se-konyong2 ia ayun goloknya
terus memotong ke telinga Bi Jing-hian.
Dengan
sendirinya lekas2 Bi Jing-hian tarik badan dan mengkerut kepala buat hindarkan
elmaut, siapa tahu gaya serangan golok itu ternyata sangat hebat, ketika tangan
si gadis sedikit memutar senjatanya yang aneh itu tiba2 membelok di tengah
jalan terus mengiris ke bawah lagi karena tidak ter-duga2 akan perubahan
serangan ini, tidak urung sebelah kuping Bi Jing-hian tetap menjadi korban.
Keruan
saja keempat kawannya terkejut, sama sekali tak mereka duga bahwa To-hoat atau
ilmu permainan golok orang bisa begitu bagus dan aneh. Keadaan sudah memaksa,
kini mereka tak pikirkan lagi keroyokan atau tidak, segera mereka mengerubut
maju terus kepung si gadis bersama keledainya di tengah2.
Cuma
yang mengeroyok hanya tiga orang saja, Bi Jing-hian dan Ki Jing-si terpaksa
mundur ke belakang karena mereka tak bersenjata, yang mereka pegang hanya garan
pedang, hendak dibuang sayang, tidak dibuang toh tidak terpakai mereka menjadi
bingung, tidak tahu apa yang harus di-buatnya.
Dalam
pada itu tiba2 terdengar gadis itu bersiul nyaring sekali, ia tarik tali
kendali keledainya terus melompat pergi sejauh beberapa tombak dengan maksud
memboboIkan garis kepungan orang. Namun dengan cepat Tan-lokusu bertiga lantas
mengerubut maju lagi. Bahkan sebelum tiba orangnya, lebih dulu Han-cecu
timpukkan ganden besinya yang berantai itu.
Melihat
senjata orang cukup berat, pula tipu serangannya cukup ganas, diam2 gadis itu
merasa heran juga, maka tak berani lagi ia memandang enteng, ketika tubuhnya
mengegos, timpukkan ganden tadi telah dia hindari.
Memang
senjata “Lian-cu-tui” (ganden berantai) Han-cecu itu bukan senjata ringan dan
mempunyai daya tekanan yang sukar ditahan. Sebaliknya ilmu pukulan Tan-lokunsu
sebenarnya lebih tinggi dari pada permainan goloknya, pula jarinya sudah
terluka, maka serangan goloknya boleh dikatakan tak seberapa, hanya Kiam-hoat
Tio Put-hoan sebaliknya tidak bisa dipandang rendah, serangannya jitu lagi
keji, setiap tipu serangannya selalu mengincar tempat2 yang berbahaya.
Tatkala
itu hati Yo Ko rada tenang, kini baru dia amat-amati wajah gadis itu, ia lihat
raut muka orang potongan daun sirih dan sanggat cantik, usianya agaknya setahun
dua tahun lebih muda dari pada dirinya, pantas kalau si pelayan hotel tidak
percaya bahwa itu “gadis cantik berbaju putih” adalah kakak perempuannya.
Di
samping muka orang yang cantik itu, kulit badannya sebaliknya rada hitam2
manis, sama sekali berlainan dengan kulit Siao-Iiong-li yang putih bersih.
Senjata
yang dipakai gadis inipun sangat aneh dan lain dari pada yang Iain, ilmu
permainan goloknya sangat gesit, meski dikatakan golok, tetapi yang dipakai
adalah gerak tipu permainan pedang, lebih banyak menusuk dan memotong dari pada
membacok dan membabat.
Hanya
menyaksikan beberapa jurus permainan golok orang, segera Yo Ko tahu orang memang
menggunakan ilmu silat dari golongan yang sama dengan dirinya, yakni
Ko-bong-pay. Apakah dia ini juga muridnya Li Bok-chiu ? demikian Yo Ko menjadi
heran.
Semula
sebenarnya Yo Ko sangat penasaran karena lima orang lelaki mengeroyok seorang
gadis cilik, tetapi kemudian sesudah mengetahui dari mana asal-usul ilmu silat
orang, karena menduga orang pasti muridnya Li Bok-chiu, seketika timbul rasa
antipatinya Yo Ko, ia pikir biarkan saja pihak mana yang bakal menang, semuanya
tidak kugubris.
Begitulah
dia lantas berbaring lagi dengan sikunya sebagai bantal, hanya kadang2 saja ia
melirik pertarungan yang sedang berlangsung dengan sengit itu.
Untuk
belasan jurus permulaan, karena gadis itu berada lebih tinggi di atas
keledainya, maka kelima lawannya dipaksa harus melompat kian ke mari untuk
menghindari sabetan golok-sabit yang diayun pergi datang.
Sesudah
belasan jurus lagi, karena senjata yang dipegangnya hanya gagang pedang yang
sudah patah dan tak sanggup membantu kawannya, tiba2 hati Ki Jing-si tergerak
“Mari Bi-sute, ikut padaku !” ia teriaki Bi Jing-hian.
Habis
itu ia berlari menuju ke tempat yang banyak tumbuh pohon, di sana ia pilih satu
pohon muda dan sekuat tenaganya ia patahkan bongkot-nya, ia hilangkan tangkai
dan daunnya, maka ber-wujutlah kini sebatang pentung yang dapat dipakainya
sebagai gaman.
Tentu
saja Bi Jing-hian sangat girang, iapun tiru2 sang Suheng dan patahkan satu
pohon yang lain untuk digunakan sebagai senjata.
“Hantam
keledainya dan tidak orangnya!” demikian Ki Jing-si beri petunjuk lagi, Habis
ini, dua pentung kayu mereka lantas menyerampang dari kanan dan kiri dengan
cepat mereka arah kaki keledai tunggangan gadis tadi.
“Hm,
tak punya malu !” dengan pelahan gadis itu menjengek berbareng ia ayun goloknya
buat tangkis pentung orang.
Karena
sedikit melengnya ini, dari samping lain ganden berantai Han-cecu sudah
menyerang juga bersama dengan pedang Tio Put-hoan. Dalam keadaan terancam,
lekas2 gadis itu keluarkan gerak tipu yang berbahaya, ia tunduk kepala dan
luputkan ganden yang menyamber, saat lain terdengar pula suara “trang” yang
nyaring, goloknya telah ditangkiskan pedang lawan yang lain.
Tetapi
pada waktu itu juga keledainya telah melengking kesakitan terus menegak dengan
kaki belakang, kiranya binatang ini telah kena ditoyor sekali oleh pentungnya
Ki Jing-si.
Melihat
ada kesempatan, segera Tan-lokunsu menjatuhkan diri terus menggelundung
mendekati musuhnya, ia keluarkan ilmu golok dan berhasil menghantam sekali paha
keledai hitam dengan punggung goloknya.
Dengan
demikian tak mungkin lagi bagi si gadis mengandalkan keledainya, dalam pada itu
senjata lawan baik pedang maupun ganden berbareng telah menyamber datang pula,
terpaksa ia meloncat ke atas, sedang tangan kiri menyamber dan pentung Bi
Jing-hian berhasil dicekalnya, ketika ia gunakan tenaga dalamnya, tahu2 pentung
itu telah patah menjadi dua potong. Dan begitu kedua kakinya tancap kembali di
atas tanah, sekalian pula goloknya dia babat ke samping untuk patahkan bacokan
Tan-lokunsu yang sementara itu telah menyerang.
“He,
kenapa ? Dia sudah terluka ?” tiba2 Yo Ko kaget demi nampak gaya berjalan si
nona.
Kiranya
kaki kiri si gadis rada pincang, dengan sendirinya untuk berjalan, apa lagi
buat melompat menjadi tidak leluasa. Dan dengan sendiri-nya, sebab inilah maka
sejak tadi dia tidak mau turun dari keledainya.
Tahu
akan ciri gadis ini, seketika rasa keadilan Yo Ko tergugah, ia niat turun
tangan buat membantunya, Tetapi ketika dia pikir dan ingat pengacauan Li
Bok-chiu hingga dirinya yang tinggal aman tenteram bersama Siao-liong-li di dalam
kuburan itu berakibat seperti keadaan sekarang ini, kembali hatinya menjadi
panas Iagi, ia berpaling ke jurusan lain dan tak mau menyaksikan lebih lanjut
Namun
telinga toh mendengar suara “crang-creng”, suara beradunya senjata tajam yang
nyaring dan tiada hentinya, rasa ingin tahunya tak bisa ditahan, kembali ia
berpaling buat menonton lagi, Hanya sejenak tadi ternyata keadaan pertarungan
itu sudah banyak berubah, gadis itu telah terdesak lari kian kemari, sudah
lebih banyak menangkisnya daripada balas menyerang.
Dalam
pada itu mendadak Han-cecu telah tim-puk sebelah gandennya, terpaksa gadis itu
miringkan kepalanya, tetapi pada saat yang sama juga pedang Tio Put-hoan sudah
menusuk pula, terdengarlah suara “cring” yang nyaring pelahan, ternyata gelang
perak pengikal rambut gadis itu telah kena ditabas kutung hingga sebagian
rambutnya yang panjang terurai.
Maka
tertampaklah alis si gadis yang lentik itu menjengkit, bibirnya pun sedikit
bergerak dan digigit, mukanya seketika seperti tertutup oleh selapis awan
hitam, kontan goloknya membabat, ia balas sekali serangan orang.
Melihat
tarikan alis dan gerakan bibir si gadis, seketika hati Yo Ko terguncang keras,
“Di waktu Kokoh marah padaku, persis mimik wajahnyapun begitu,” demikian
pikirnya.
Oleh
karena melihat rasa gusar yang diunjuk gadis itu, tanpa pikir lagi Yo Ko ambil
keputusan pasti akan membantu padanya.
Sementara
itu ia lihat keadaan gadis itu semakin terdesak, gerak-geriknya tak teratur
lagi.
“Hayo,
lekas katakan, sebutan apa sebenarnya antara kau dengan Jik-lian-sian-cu Li
Bok-chiu ?” demikian terdengar Tio Put-hoan memperingatkan lawannya, “Jika
masih tetap tidak menjelaskan jangan kau sesalkan senjata kami tak bermata.”
Di
luar dugaannya, bukan saja gadis itu tidak menjawab, bahkan goloknya tahu2 menabas
dari belakang kepala karena senjata ini memang me-lengkung, Terkejut sekali Tio
Put-hoan oleh serangan yang aneh itu, syukur dengan cepat Tan-lo-kunsu keburu
wakilkan dia menangkis hingga dengan demikian jiwa Tio Put-hoan dapat
diselamatkan.
Melihat
tipu serangan si gadis begitu keji, ketiga lawannya kinipun tidak pakai murah
hati lagi, Maka dalam sekejap saja, gadis itu sudah ber-ulang2 menghadapi
serangan berbahaya, Tio Put-hoan pikir gadis ini pasti ada hubungan rapat
dengan Li Bok-chiu, kalau kelak diketahui oleh Li Bok-chiu, tentu dikemudian
hari akan menjadikan bibit bencana saja, oleh sebab itu serangan2nya kini
selalu mengincar tempat2 yang berbahaya.
Melihat
keadaan si gadis sudah dalam detik yang sangat genting, segera Yo Ko melompat
ke atas punggung sapi jantan tadi, ia jojoh sekali pantat binatang itu dengan
jerijinya, karena kesakitan dengan sekali menguak sapi jantan itu pentang kaki
dan menerjang ke jurusan enam orang yang sedang saling labrak itu.
“Haya,
celaka ! Sapiku kesetanan, tolong, tolong !” demikian Yo Ko sengaja
ber-teriak2. Baru saja selesai ia berteriak, orangnya berikut sapinya sudah
menyerbu sampai di kalangan pertempuran sana.
Tatkala
itu keenam orang itu asyik bertempur mati-matian, ketika mendadak melihat
seekor banteng menyeruduk tiba dengan kalap, niat mereka hendak melompat ke
samping buat hindarkan diri, namun secepat kilat banteng itu sudah menerjang
sampai di belakang Ki Jing-si dan Bi Jing-hian.
Yo
Ko sendiri tengkurap di atas sapinya, tangan dan kakinya bergerak naik turun
seperti orang kebingungan dan ketakutan setengah mati, sesudah dekat dengan
kedua orang tadi, dengan cepat “hong-gan-hiat” di punggung kedua orang
dicengkeramnya.
“Hong-gan-hiat”
adalah salah satu jalan darah penting di tubuh manusia, karena kena dicekal,
seketika Ki Jing-si dan Bi Jing-hian menjadi lemas kesemutan dan tak bisa
berkutik, Dengan pelahan Yo Ko angkat tangannya, kedua orang itu dia tarik
keatas terus digantung pada kedua tanduk sapi jantan itu, sedang mulutnya masih
tiada hentinya berteriak “Tolong ! Tolong!”
Kemudian
dengan ujung kaki ia tendang pantat sapi itu, maka berlari kesetanan lagi
binatang itu ke lereng bukit dengan membawa tiga orang, satu tengkurap di
punggungnya dan yang dua ter-cantol pada tanduknya.
Melihat
perubahan yang mendadak dan aneh ini, baik si gadis tadi maupun Tio Put-hoan
seketika berhenti dari pertempuran mereka.
Nyata
ilmu silat Yo Ko masih jauh lebih tinggi daripada keenam orang itu, apa yang
dilakukannya ternyata tiada seorangpun yang mengetahuinya.
Ketika
sampai di tanah rumput dimana dia angon sapi tadi, Yo Ko buang kedua imam itu
ke tanah terus giring sapi itu menerjang ke bawah puIa, sekali ini yang dia
incar adalah Han-cecu dan Tan-Iokunsu.
Rupanya
Han-cecu pikir tenaganya cukup besar untuk menundukkan binatang yang mengganas
ini, maka gandennya yang berantai dia libat di pinggangnya, lalu dengan pasang
kuda2 kuat ia tunggu sapi itu mendekat, se-konyong2 ia melangkah maju setindak
terus tanduk binatang itu dia pegang erat2 dengan kedua tangannya, dengan demikian
ia hendak taklukkan banteng ngamuk itu.
Dilain
pihak Yo Ko masih bertingkah serabutan sambil berteriak2, namun pada saat yang
jitu sekali, “cian-tay-hiat” di pinggang Tan-lokunsu dia tutuk pula dengan
tendangan. Dan sebelum kedua sasarannya ini roboh atau mereka sudah dia samber
terus digantung lagi di atas tanduk sapi dan diangkut pula ke tanah rumput
tadi.
Melihat
banteng ngamuk ini begitu aneh, mau tak mau si gadis dan Tio Put-hoan saling
pandang dengan tak mengarti, jika tadi mereka saling labrak dengan adu jiwa,
maka kini sebaliknya ada persamaan perasaan diantara mereka, yakni “senasib.”
Dalam
pada itu dilihatnya banteng ngamuk tadi sudah balik kembali, suara teriakan
bocah angon yang tengkurap di atas binatang itu kedengarannya sudah serak, terang
sekali keadaan sangat genting.
Segera
Tio Put-hoan ber-siap2, ia menunggu banteng itu menyeruduk tiba kira2 setengah
tombak sebelum tubuhnya, sekonyong-konyong pedangnya berputar, ia hindari
serudukan banteng itu dari depan, dengan cepat tubuhnya melangkah ke samping
sambil pedangnya menusuk, begitu cepat dan tepat saat yang digunakan, dengan
segera banteng ngamuk itu bakal tembus tertusuk perutnya.
Siapa
tahu, baru saja ujung pedangnya hampir menyentuh kulit sapi itu, se-konyong2
bocah angon itu tangannya bergerak pontang-panting sambil pegang sulingnya dan
dengan persis batang suling membentur ujung pedang, karena itu, arah pedang
menjadi menceng,
Karena
luput serangannya, Tio Put-hoan terkejut untuk menghindar agar tidak diserempet
banteng itu, lekas2 ia melompat ke atas dengan maksud melewati binatang itu,
siapa duga selagi orangnya terapung di udara, se-konyong2 mata kakinya terasa
kaku kesemutan, ketika tubuhnya jatuh ke bawah, dengan tepat menyangkol di
ujung tanduk banteng hingga kena dibawa binatang yang berlari itu ke tanah
lapang tadi untuk kemudian dilemparkan di sana.
Habis
itu, Yo Ko putar haluan sapi itu, kembali menerjang cepat pula ke arah si gadis
yang masih tersisa itu.
Di
lain pihak sesudah menyaksikan kelima jago seperti Tio Put-hoan kena diseruduk
jatuh semua oleh banteng ngamuk itu, meski gadis itu merasa curiga juga, tetapi
ia pikir hanya seekor sapi jantan saja, kena apa harus ditakuti ? Segera dia
bersiap-siap.
Dilihatnya
dengan mulut berbusa binatang itu telah memyeruduk tiba pula, Pada saat yang
tepat mendadak ia meloncat ke atas, berbareng itu goloknya terus membacok leher
banteng itu.
“Haya,
celaka, jangan bunuh sapiku !” jerit Yo Ko mendadak Berbareng itu diam2 ia
jojoh pundak sapi itu dengan jarinya, karena sakit, dengan sendirinya kepala
sapi itu meleng ke samping dan dengan persis bacokan orang dapat dihindarinya.
Sedangkan
Yo Ko sendiri pura2 jatuhkan diri tergelincir ke bawah sambil ber-teriak2 :
“Tolong ! tolong !”
Sebaliknya
sapi jantan itu rupanya sudah terlalu letih, sesudah beberapa tindak berlari
lagi dia lantas berhenti dengan napas empas-empis.
Melihat
binatang itu tidak main gila lagi, setelah tenangkan diri mendadak gadis itu
jinjing goloknya terus berlari ke tanah datar sana.
“Celaka,
kelima orang itu pasti akan teraniaya,” pikir Yo Ko diam-diam.
Karena
itu, sebelum gadis itu sampai di tem-patnya, lebih dulu Yo Ko sudah jemput
beberapa batu kecil, sekali ayun batu2 itu ditimpukkan ke badan kelima orang
yang rebah tak berkutik itu.
Meski
umur Yo Ko masih kecil, tetapi ilmu silatnya sudah terlatih sampai tingkatan
yang tiada taranya, walaupun jaraknya dengan kelima orang itu sangat jauh,
namun tiap2 batu yang ditimpukkan itu dengan tepat mengenai Hiat-to di tubuh
masing2.
Ketika
Tio Put-hoan cs. mendadak merasakan tubuh kesakitan, tetapi rasa kesemutan juga
segera hilang, mereka menyangka gadis itu diami sembunyikan bala bantuan yang
sangat lihay, cara mereka kena ditutuk dan mendadak terlepas pula jalan
darahnya tentu perbuatan jagoan yang tersembunyi itu, kini orang suka memberi
jalan hidup, mana berani lagi mereka terlibat dalam pertarungan pula ? Maka
begitu mereka merangkak bangun, tanpa pikir lagi segera mereka angkat langkah
seribu alias kabur.
Dalam
gugupnya karena ketakutan itu, rupanya Bi Jing-hian menjadi bingung hingga tak
bisa bedakan arah timur dan barat, bukannya dia lari ke jurusan yang selamat,
sebaliknya ia malah lari ke arah si gadis yang sedang memarani mereka itu.
“Bi-sute,
lekas kembali !” seru Ki Jing-si kuatir.
Ketika
Bi Jing-hian sadar keliru jalan dan berniat putar kemudi, namun sudah
terlambat, si gadis sudah datang dekat, goloknya sudah diangkat dan dibacokkan
padanya.
Sungguh
luar biasa kaget Bi Jing-hian, ia sendiri sudah tak bersenjata, Iekas2 ia
mengegos buat luputkan diri dari ancaman maut, tak terduga arah serangan yang
dilontarkan gadis itu ternyata susah dipastikan, mula2 seperti mengarah ke
kiri, tahu2 telah sampai di kanan, disertai berkelebat-nya sinar dingin, tahu2
golok-sabit telah berada di depan mukanya.
Dalam
keadaan kepepet dan tiada jalan lain, terpaksa Bi Jing-hian angkat sebelah
tangannya buat menangkis, maka tidak ampun lagi terdengar sekali suara “cret”,
telapak tangannya tertabas putus oleh golok-sabit si nona.
Walaupun
demikian Jing-hian masih belum merasakan sakit, ia masih sempat putar tubuh
terus lari ter-birit2 lagi, Waktu itu Tio Put-hoan sudah berpaling juga, dengan
pedang melintang di dada ia berusaha melindungi kawannya.
Rupanya
gadis itu telah kenal juga lihaynya orang, maka tak berani ia mendekati, ia
menyaksikan Bi Jing-hian dipayang pergi oleh Ki Jing-si untuk kemudian
menghilang di balik gunung sana.
Nampak
musuh sudah pergi, gadis itu masih ketawa2 dingin, sedang dalam hati penuh
curiga, ia pikir apakah mungkin ada orang luar yang bersembunyi di sekitar sini
? Dengan cepat ia mengelilingi sekitar sana, tetapi keadaan sunyi senyap tanpa
satu bayangan pun, Dia kembali lagi ke lembah sana, ia lihat Yo Ko masih duduk
di tanah dengan muka mewek2 seperti mau menangis.
“Hai,
bocah angon, apa yang kau keluh-kesahkan ?” tegur gadis itu.
“Sapi
ini tadi telah gila hingga tubuhnya babak belur, kalau pulang nanti pasti aku
akan dihajar setengah mati oleh majikan.” sahut Yo Ko.
Tetapi
waktu si gadis periksa keadaan sapi jantan, ia lihat kulit tubuh binatang itu
halus bersih, tiada kelihatan sesuatu luka.
“Baiklah,
hitung2 sapimu ini telah menolong aku tadi, ini, aku beri serenceng uang
perak,” kata si gadis pula.
Habis
itu ia keluarkan serenceng uang perak yang berbobot sekira lima tahil terus
dilemparkan ke tanah, ia menduga “bocah angon” itu pasti akan girang tidak
kepalang dan mnghaturkan terima ka-sih, siapa tahu orang masih bermuka muram
durja, sambil geleng2 kepala, tetapi tidak mengambil uang perak itu.
“Kenapakah
kau ?” tanya gadis itu tak sabar, “lni uang perak, tahu tidak kau, tolol ?”
“Hanya
serenceng tidak cukup !” sahut Yo Ko kemudian
Waktu
gadis itu merogoh sakunya, kembali ia keluarkan serenceng uang perak lain yang
masih ada dan dilemparkan ke tanah lagi.
Tapi
Yo Ko sengaja goda padanya, dia masih tetap goyang kepala.
Akhirnya
gadis itu menjadi marah, alisnya tertarik tegak dan mukanya merengut.
“Sudah
habis, tolol!” damperatnya, Habis ini ia putar tubuh dan berjalan pergi.
Melihat
sikap orang sewaktu marah, seketika hati Yo Ko terguncang, teringat tiba2
olehnya sikap Siao-liong-li waktu mendamperat dirinya, karenanya ia telah ambil
suatu keputusan: “Jika seketika tak bisa ketemukan Kokoh, biarlah aku
senantiasa menyaksikan wajah nona ini saja yang suka marah2.”
Maka
sebelum orang melangkah pergi, tiba2 Yo Ko merangkul kaki kanan si gadis sambil
ber teriak2 : “Tidak, kau jangan pergi!”
Dengan
kuat gadis itu coba meronta kakinya, tetapi saking kencangnya Yo Ko merangkul,
ia tak berhasil melepaskan diri, keruan ia bertambah gusar.
“Lepas,
ada apa kau merangkul kakiku ?” dengan suara garang gadis itu membentak.
Melihat
air muka orang yang sedang marah2, bukannya Yo Ko melepaskan, sebaliknya ia
malah senang.
“Tidak,
aku tak bisa pulang rumah lagi, kau harus tolong aku,” demikian sahutnya.
Sudah
gusar gadis itu menjadi geli pula melihat kelakuan Yo Ko.
“Jika
kau tak lepaskan, segera aku bacok mati kau,” dengan angkat golok-sabitnya si
gadis coba menakut-nakuti.
Tetapi
rangkulan Yo Ko berbalik tambah kencang, ia malah pura2 menangis sekalian.
“Baiklah,
boleh kau bacok mati aku saja, toh kalau pulang akupun tak bakal hidup lagi,”
serunya sambil meng-gerung2.
“Lalu
apa yang kau kehendaki ?” tanya si gadis kewalahan.
“Entahlah,
aku ikut kau saja.” sahut Yo Ko.
Rupanya
gadis itu menjadi sebal karena di-ganduli orang, “Kenapa harus berurusan dengan
si tolol semacam ini,” demikian pikirnya, Habis ini ia angkat goloknya terus
membacok sungguh2.
Semula
Yo Ko menduga orang tidak nanti bacok padanya secara sungguh2, maka ia masih
pegang kaki orang erat2, siapa duga hati gadis itu ternyata keji, bacokannya
ini betul2 diarahkan ke atas kepalanya, meski tiada niatnya untuk menewaskan
jiwa orang, tetapi ia bermaksud memberi bacokan di batok kepala agar “si tolol”
ini tahu rasa dan tak berani main gila lagi.
Syukur
Yo Ko sangat cekatan, begitu golok orang tinggal beberapa senti lagi bakal
berkenalan dengan batok kepalanya, mendadak ia jatuhkan diri terus
menggelinding pergi, ” “Haya, tolong, tolong !” demikian ia menjerit-jerit
pula.
Karena
bacokannya tadi luput, si gadis menjadi tambah sengit, ia melangkah maju,
kembali sekali bacokan diberikan pada Yo Ko.
Yo
Ko telentang di atas tanah, kedua kakinya mancal2 serabutan.
“Mati
aku ! Mati aku !” demikian ia berteriak-teriak, sedang kedua kakinya terus
memancal dan mendepak tak keruan, tampaknya seperti tak teratur tetapi
pergelangan tangan gadis itu ternyata beberapa kali hampir kena ditendang,
meski berulang kali ia hendak bacok pula, namun tidak sekalipun bisa mengenai
sasarannya, sudah tentu ia bertambah gusar.
Melihat
muka orang penuh mengunjuk marah, Yo Ko justru ingin menikmati wajah orang
semacam ini, karena itu, tanpa terasa ia terkesima dan memandangi orang.
Gadis
itu juga seorang yang pintar luar biasa, ketika melihat kelakuan Yo Ko yang
aneh, tiba2 ia membentak : “Hayo, bangun !”
“Tetapi
kau bunuh aku tidak ?” tanya Yo Ko ke-tolol2an.
“Baiklah,
aku tak bunuh kau,” sahut si gadis.
Karena
janji ini, dengan pelahan Yo Ko merangkak bangun, napasnya sengaja dia bikin
ter-engah2, diam2 ia kumpul tenaga dalam dan bendung aliran darahnya, maka mukanya
seketika berubah menjadi putih lesi, begitu pucat hingga tiada warna darah
sedikitpun, seperti orang yang ketakutan.
Melihat
rupa orang, diam2 si gadis sangat senang. “Hm, berani lagi tidak kau main gila
?” demikian ejeknya sambil angkat golok-sabitnya terus menuding pada telapak
tangan Bi Jing-hian yang terkutung dan masih ketinggalan di tanah datar itu,
lalu ia mengancam: “Coba, orang begitu galak dan bengis, toh cakarnya kena
ditabas oleh golokku tadi.”
Sambil
bicara, goloknya yang melengkung itu diulurkan, tiba2 ia kesut senjatanya di
atas baju Yo Ko yang memang dekil, kiranya ia gunakan baju Yo Ko sebagai lap
untuk menghilangkan noda darah goloknya.
Diam2
Yo Ko geli oleh lagak si gadis. “Hm, kau anggap aku ini orang macam apa, berani
kau begini kurangajar padaku ?” demikian ia membatin.
Walaupun
begitu, pada mukanya tetap ia pura-pura mengunjuk rasa keder, ia sengaja
mengkeret mundur seperti takut pada senjata orang yang mengkilap itu.
Gadis
itu masukkan goloknya ke sarungnya, lalu dengan sebelah kakinya ia cukit
renceng uang perak tadi ke arah Yo Ko.
“Nih,
sambuti!” serunya dengan tertawa, dengan membawa sinar putih yang gemerdep,
serenceng uang perak itu menyamber ke arah muka Yo Ko.
Menyambernya
perak itu sebenarnya tidak keras, orang biasa saja pasti sanggup menangkapnya.
Tetapi Yo Ko justru pura2 bodoh, ia melangkah mundur dan menubruk maju secara
gugup, sedang tangannya diulur ke atas buat menangkap, tiba2 terdengar suara
“plok” sekali, uang perak itu kena menimpuk dia punya batok kepala.
“Aduh
!” jerit Yo Ko sambil mendekap batok kepalanya.
Sementara
itu jatuhnya uang perak itu kena menindih pula di atas kakinya, Maka dengan
sebelah tangan pegang batok kepala dan lain tangan tarik sebelah kaki, Yo Ko
ber-jingkrak2 dengan kaki tunggal sambil ber-teriak2: “Auuuh, kau pukul aku,
kau pukul aku !”
Begitulah
Yo Ko pura2 meng-gerung2 menangis.
Nampak
ketololan orang sudah begitu rupa hingga tiada obatnya, dengan suara pelahan
gadis itu mencemoohnya sekali: “Tolol !” - Habis ini ia putar tubuh dan pergi
mencari keledai hitam-nya.
Akan
tetapi binatang itu sejak tadi entah sudah kabur kemana sewaktu dia bergebrak
dengan Tio Put-hoan, terpaksa ia pergi dengan jalan kaki.
Yo
Ko jemput uang perak tadi dan masukkan ke sakunya, lalu dengan menuntun sapinya
ia ikut di belakang si gadis.
“Bawa
serta aku, nona !” demikian ia berseru.
Namun
gadis itu tak gubris padanya, sebaliknya ia percepat langkahnya, hanya sekejap
saja Yo Ko sudah ketinggalan hingga tak kelihatan.
Tak
terduga, baru saja ia berhenti sebentar, tiba2 Yo Ko sudah muncul lagi dari
jauh dan masih tetap menuntun sapinya.
“Bawalah
aku, bawalah aku !” demikian Yo Ko masih terus ber-teriak2.
Mendongkol
sekali gadis itu karena orang mengintil terus, sambil kerut kening, segera ia
keluarkan Ginkang, sekaligus ia berlari sejauh beberapa li, dengan demikian ia
yakin “si tolol” itu pasti tak sanggup menyusulnya.
Diluar
dugaan, tidak antara lama, sajup2 kembali terdengar pula suara teriakan:
“Bawalah aku !” - Luar biasa rasa gemasnya gadis itu, sekali ini ia tidak lari
menyingkir sebaliknya ia putar balik mendatangi Yo Ko, “sret”, golok-sabit-nya
dia loIos.
“Haya,
celaka !” teriak Yo Ko pura2 ketakutan, berbareng ia putar tubuh dan angkat
langkah seribu.
Maksud
si gadis asal orang tidak selalu mengintip sudah cukup, Oleh karena itu, ia
masukkan kembali golok ke sarungnya, ia putar kembali dan melanjutkan pula
perjalanannya.
Tetapi
belum seberapa jauh ia berjalan, tiba2 didengarnya di belakang ada suara
menguaknya sapi, waktu ia menoleh, ia lihat Iagi2 Yo Ko mengintil di belakang
sambil masih tuntun binatang angonnya itu, jarak dengan dirinya kira2 beberapa
puluh tindak saja.
Sungguh
tak terbilang mengkal si gadis, sekali ini ia sengaja berhenti di tempatnya
untuk menunggu datangnya Yo Ko.
Akan
tetapi, demi nampak orang tak berjalan, segera pula Yo Ko berhenti kalau si
nona melangkah Yo Ko lantas menyusul lagi apabila dia putar balik dan hendak
hajar padanya, segera Yo Ko kabur pula.
Begitulah
terjadi kucing-kucingan diantara Yo Ko dan gadis itu, sebentar mereka kejar
mengejar dan sebentar lagi berhenti sementara itu hari sudah magrib dan gadis
itu masih tetap tak bisa melepaskan diri dari godaan Yo Ko.
Keruan
tidak kepalang gemasnya gadis itu, ia lihat meski bocah angon ini tolol2
goblok, tetapi gerak kakinya ternyata cepat luar biasa, mungkin sudah terlalu
bisa berlarian di tanah pegunungan beberapa kali ia kejar orang hendak menutuk
jalan darahnya atau melukai kedua kakinya, tetapi setiap kali selalu Yo Ko bisa
meloloskan diri dengan menggelinding dan merangkak pergi dengan cepat.
Sebenarnya
ilmu silat Yo Ko jauh di atas gadis itu, cuma dia sengaja lari kalau sudah
dalam keadaa yang paling berbahaya, dengan demikian ia gadis itu tidak menjadi
curiga.
Begitulah
maka sesudah beberapa kali digoda lagi, karena kaki kiri gadis itu memang
pincang, sesudah jalan lama ia menjadi payah, Tiba2 ia mendapat satu akal,
dengan suara keras dia teriaki Yo Ko: “Baiklah, kubawa serta kau, tetapi kau
harus turut segala perkataanku,”
“Apa
betul kau mau membawa aku ?” dengan girang Yo Ko menegas.
“Ya,
siapa dustai kau ?” sahut si gadis. “Aku sudah letih, kau menunggang sapimu dan
biar aku ikut membonceng.”
Betul
saja Yo Ko lantas tuntun sapinya mendekati dengan cepat, dibawah cuaca senja
yang re-mang2 Yo Ko dapat melihat mata si gadis menyorot tajam, ia tahu pasti
orang tak bermaksud baik, maka diam2 ia berlaku waspada, dengan cara yang susah
pajah ia merambat ke atas punggung sapinya.
Sebaliknya
gadis itu hanya sedikit menutul kakinya, dengan enteng sekali ia telah melompat
ke atas dan menunggang di depan Yo Ko.
“Keledaiku
sudah hilang, tidak jelek juga menunggang sapi jantan ini saja,” pikir gadis
itu, kemudian dengan ujung kakinya ia tendang iga banteng itu, karena
kesakitan, maka sapi itu membedal ke depan seperti kesetanan.
Melihat
tibanya kesempatan baik, diam2 gadis itu tersenyum dingin, mendadak sikutnya
dengan kuat menyodok ke belakang, dengan tepat sekali kena sodok “ki-bun-hiat”
di dada Yo Ko.
“Aduuh
!” jerit Yo Ko, menyusul mana ia pun terjungkal dari punggung sapinya.
Gadis
itu sangat senang karena serangannya berhasil “Betapapun kau berlaku bambungan,
sekarang kau kena juga kuingusi,” demikian katanya dalam hati Lalu ia sogok
pula iga sapi itu dengan jari tangannya, karena merasa sakit, sapi jantan itu
kabur terlebih cepat lagi.
Sekali
jari si gadis menjojoh punuk kerbau itu, lari si kerbau semakin kencang,
tiba-tiba didengarnya Yo Ko masih berkaok-kaok di belakangnya, waktu ia
berpaling, tampak dengan kedua tangannya Yo Ko ganduli ekor kerbau ikut lari
berlompatan naik turun, lucu sekali tingkah lakunya.
Diluar
dugaan, tiba2 terdengar Yo Ko men-jerit2 dan berteriak2, suaranya terdengar
berada di belakang saja, waktu gadis itu menoleh, ia lihat Yo Ko sedang
menggendoli ekor sapi dengan kedua tangannya, saking cepatnya dibawa kabur sapi
itu hingga kedua kakinya sedikitpun tidak menempel tanah, jadi seperti terbang
saja Yo Ko inL hanya keadaannya sangat mengenaskan, mukanya penuh debu pasir,
ingus dan air mata membasahi mata hidungnya.
Karena
merasa tak ada jalan lain lagi, tiba2 gadis itu kertak gigi, ia tegakan hati,
golok dia angkat terus hendak membacok tangan Yo Ko yang menggendoli ekor sapi
dengan kencang, Tetapi sebelum serangannya dilontarkan tiba2 didengarnya
suasana sekitarnya riuh ramai, kiranya sapi itu telah berlari sampai disuatu
pasar.
Oleh
karena pasar itu penuh berjubel dengan orang hingga tiada jalan lewat, akhirnya
sapi itu berhenti sendiri dengan Yo Ko masih tetap “me-lengket” di belakangnya.
Karena
sengaja hendak goda si gadis untuk menikmati wajah orang diwaktu marah2, maka
Yo Ko lantas rebahkan diri di tanah sambil ber-teriak2 : “Aduh, dadaku sakit,
kenapa kau pukul aku ?”
Karena
suara teriakannya ini, orang2 di pasar itu lantas berkerumun untuk mencari tahu
sebab-musababnya dan apa yang terjadi.
Karena
dirubung orang banyak, dengan sekali menyelusup segera gadis itu bermaksud
mengeluyur pergi.
Tak
terduga Yo Ko lebih cerdik dari dia, mendadak Yo Ko merangkak maju, sebelah
kaki si gadis dia pegang dengan erat2.
“Jangan
pergi, jangan pergi!” demikian ia ber-teriak-teriak pula.
“He,
ada apakah ? Apa yang kalian ribut-kan ?” beramai-ramai orang yang merubung itu
bertanya.
“Dia
adalah biniku, biniku ini tak suka pada-ku, bahkan dia pukul aku pula,” teriak
Yo Ko dengan lagak lagu yang toloI.
Mendengar
orang berani mengaku bini atas dirinya, sungguh tidak kepalang gusar gadis itu
hingga kedua alisnya seakan-akan menegak, tanpa segan2 lagi sebelah kakinya
melayang, segera ia hendak tendang Yo Ko.
Akan
tetapi Yo Ko tidak kurang akal, mendadak lelaki yang berdiri di sebelahnya
didorong nya ke depan, karena itu, tendangan si gadis dengan tepat mengenai
pinggang lelaki itu. Keruan saja lelaki itu sangat gusar.
“Perempuan
keparat, berani kau tendang aku ?” damperatnya kontan, Menyusul kepelannya
sebesar mangkok lantas menjotos.
Namun
gadis itu tak gampang dihantam, tiba2 tangan orang dipegangnya, sebelah
tangannya menyusul mengangkat lelaki itu terus dilempar pergi dengan meminjam
tenaga pukulan orang tadi, Dengan sekali sengkelit ini, tubuh lelaki yang gede
itu se-konyong2 melayang ke atas udara sambil tiada hentinya berteriak-teriak
dan kemudian pun jatuhlah dia di antara orang banyak yang berkerumun itu hingga
keadaan menjadi tuggang langgang karena ada beberapa orang pula yang ke-tindih
oleh tubuh lelaki itu.
Dengan
sekuat tenaga sebenarnya si gadis tadi ingin melepaskan diri dari Yo Ko, tetapi
karena digendoli Yo Ko dengan mati-matian seketika ia menjadi kewalahan Dalam
pada itu dilihat-nya ada lima-enam orang lagi yang maju dan rupanya akan bikin
perhitungan padanya karena di-sengkelitnya si lelaki tadi, dalam keadaan
demiki-an, mau-tak-mau ia berkuatir juga.
“Tolol,
baiklah aku bawa serta kau, lekas kau lepaskan kakiku !” terpaksa dengan kata
halus ia mengalah pada Yo Ko.
“Dan
kau masih akan hantam aku tidak ?” Yo Ko sengaja tanya lagi.
“Baiklah,
tak pukul lagi,” sahut si gadis.
Sehabis
itu barulah Yo Ko melepaskan kaki orang yang dia pegang erat2 tadi, kemudian
iapun merangkak bangun, Lalu dengan cepat mereka ber dua menerobos keluar
diantara orang banyak dan tinggalkan pasar itu, dari belakang mereka mendengar
ramai suara teriakan2 orang yang penasaran tadi.
“Lihatlah,
sekarang sapiku telah hilang pula, tak bisa tidak lagi aku harus ikut kau,”
kata Yo Ko kemudian sesudah di tempat sepi.
“Hm,
sekal, lagi kau ngaco-belo bilang aku adalah binimu segala, awas, kalau aku
tidak penggal kepalamu,” dengan sengit gadis itu mengancam. Berbareng goloknya
diayun pula ke arah kepala Yo Ko.
“Haya,
jangan,” teriak Yo Ko sambil melompat pergi dan kepalanya dipegang dengan kedua
tangannya, “Baiklah, nona manis, tak berani lagi aku bilang begitu.”
“Hm,
melihat macammu yang kotor ini, siluman yang paling jelek juga tak sudi menjadi
bini-mu,” demikian cemooh si gadis.
Yo
Ko tak menjawab, ia hanya me-nyengir2 tolol saja.
Tatkala
itu hari sudah mulai gelap, dengan berdiri di ladang yang luas, dari jauh
tertampak mengepulnya asap dapur di rumah2 penduduk karena itu barulah mereka
merasa perut sudah lapar.
“Aku
sudah lapar, pergilah kau ke pasar tadi membelikan barang makanan,” kata si
gadis kemudian
“Tidak,
tak mau aku pergi,” sahut Yo Ko meng-geleng2 kepala,
“Kenapa
tak mau ?” damperat gadis itu dengan tarik muka.
“Masak
aku tolol, kau tipu aku pergi beli makanan, lalu kau sendiri mengeluyur kabur,”
sahut Yo Ko.
“Aku
bilang tak kabur, tentu tak kabur,” ujar si gadis.
Tetapi
Yo Ko masih geleng kepala saja.
Karena
merasa jengkel, gadis itu ajun bogemnya hendak meninju, tetapi dengan cepat Yo
Ko bisa menyingkir pula.
Sebelah
kaki gadis itu pincang, dengan sendirinya jalannya tidak begitu leluasa,
percuma saja dia memiliki Ginkang, tetapi selalu tak bisa me nyandak orang,
Tentu saja ia sangat mendongkol ia pikir sia2 saja memiliki ilmu silat yang
tinggi dan percuma mengaku dirinya cerdik dan banyak akal, nyatanya kini digoda
seorang anak tolol yang kotor dan berbau busuk tanpa bisa berbuat apa2.
Begitulah
dengan pelahan ia meneruskan perjalanan dengan mengikuti jalan besar, dalam
hati ia pikir cara bagaimana nanti secara mendadak beri sekali bacokan dan
bunuh si tolol ini.
Selang
tak lama, cuaca menjadi gelap seluruhnya, tiba2 dilihatnya di pinggir jalan ada
sebuah rumah batu yang bobrok, agaknya sudah tiada penghuninya, mendadak ia
dapat satu akal “Biarlah malam ini aku menginap di sini, tengah malam nanti
kalau si tolol sudah pulas, sekali bacok saja kubunuh dia,” demikian pikirnya.
Setelah
ambil keputusan, segera ia menuju ke rumah batu itu, waktu pintu didorong,
tiba2 tercium bau apek yang menyenggerok hidung, terang sekali rumah ini sudah
terlalu lama ditinggalkan penghuninya.
Kemudian
gadis itu pergi mencari segenggam rumput kering dan lap bersih sebuah meja, di
atas meja inilah dia berbaring, ia pejamkan mata untuk mengumpul tenaganya.
“Tolol,
tolol !” panggilnya ketika dilihatnya Yo Ko tidak ikut masuk ke dalam.
Akan
tetapi tiada sahutan yang dia peroleh, “Jangan2 si tolol ini mengetahui aku
hendak membunuh dia, maka telah kabur lebih dulu ?” demikian ia pikir.
Sesudah
agak lama, ketika lajap2 hendak pulas, mendadak tercium olehnya bau sedap yang
sangat menusuk hidung, Dalam terkejutnya segera pula ia melompat bangun, waktu
dia lari keluar, dilihatnya di bawah sinar bulan yang terang Yo Ko sedang
berduduk sambil mencekal sepotong entah paha binatang apa dan sedang pentang
mulut menggerogoti dengan lahap, di samping sana menyala segunduk api unggun
dan di pinggir gundukan api itu terletak bahan makanan itu dan sedang
dipanggang, dari situlah bau sedap tadi menguar.
“Mau
tidak ?” tanya Yo Ko dengan tertawa demi nampak gadis itu keluar, Habis itu ia
ambil sepotong daging paha yang telah dipanggang hingga berbau sedap itu terus
dilemparkan kepadanya.
Waktu
gadis itu menyambutinya, ia lihat daging paha itu seperti paha kijang,
memangnya perut sudah lapar, maka tanpa sungkan2 lagi ia sebret daging itu dan
dimakan sepotong demi sepotong, meski kurang asin karena tidak digarami, tetapi
dalam keadaan lapar rasanya sangat lezat juga. Maka dengan duduk di tepi api
unggun itu ikutlah dia makan dengan bernapsu.
Tetapi
dasar anak gadis, maka cara makannya tidak main lalap seperti Yo Ko, lebih dulu
ia sobek2 daging paha itu dalam potongan kecil2, kemudian dengan pelahan baru
dia memakannya, Tetapi bila dilihatnya cara makan Yo Ko yang lahap hingga air
liurnya ikut mencerocos, ia menjadi mual dan jijik, kalau tak jadi makan,
perutnya terasa lapar, karena itu, terpaksa ia berpaling ke jurusan lain dan
tidak pandang Yo Ko lagi.
Sesudah
sepotong daging itu habis, kembali Yo Ko lemparkan sepotong lagi kepadanya.
“He,
tolol, kau bernama siapa ?” tiba2 gadis itu menanya.
“Eh,
apa kau ini dewa ? Kenapa kau tahu bahwa aku bernama Tolol ?” dengan lagak
bebal yang di-bikin2 berbalik Yo Ko menanya.
“Haha,
jadi kau memang bernama si tolol ?” gadis itu tertawa demi mendengar jawaban
orang, rupanya ia menjadi gembira, “Dan dimanakah Bapa dan Mak-mu ?”
“Sudah
mati semua,” sahut Yo Ko. “Dan kau sendiri bernama siapa ?”
“Tak
tahu, Buat apa kau tanya ?” kata si gadis.
“Dia
tak mau katakan, biarlah aku pancing dia,” demikian pikir Yo Ko karena orang
tak mau memberitahukan namanya. Lalu dengan berlagak ber-seri2 ia berkata pula
: “Hahaa, aku tahu, kaupun bernama si tolol, maka kau tak mau mengatakan
namamu.”
Tentu
saja gadis itu menjadi gusar, segera ia melompat maju, ia angkat kepalan terus
menggetok dengan keras ke atas kepala Yo Ko.
“Siapa
bilang aku bernama si tolol, kau sendiri yang tolol,” demikian damperatnya
pula.
Karena
kepala digetok orang, Yo Ko pura2 kesakitan sambil menutup kepala dengan
tangan-nya.
“Ya,
sebab kalau orang tanya nama ku, bila aku katakan tak tahu, lantas orang
panggil aku si tolol, sekarang kaupun bilang tak tahu, dengan sendirinya kaupun
bernama si tolol,” kata Yo Ko dengan mewek2 bikinan.
“Siapa
bilang aku tak tahu ?” bentak si gadis sengit “Hanya aku tak suka katakan
padamu, Aku she Liok, mengarti tidak ?”
Kiranya
gadis ini adalah Liok Bu-siang, itu gadis cilik pemetik ubi teratai yang sudah
kita kenal pada permulaan cerita ini.
Sebagaimana
masih ingat, dahulu waktu dia main panjat pohon bersama Piaoci-nya, yaitu Thia
Eng, dan kedua saudara Bu, ia telah jatuh dari atas pohon hingga tulang kakinya
patah, Syukur secara kebetulan Bu-samnio numpang menginap dirumahnya dan telah
menyambungkan tulang kakinya yang patah itu.
Tetapi
karena ayah Bu-siang, jakni Liok Lip-ting mencurigai Bu-samnio, akhirnya mereka
saling gebrak sehingga sambungan tulang kaki Bu-siang rada terganggu dan
sedikit meleset sesudah sembuh, kaki kirinya yang patah itu telah mengker
sekira satu senti, maka bila berjalan menjadi sedikit pincang pula.
Walaupun
kulit badan Liok Bu-siang tidak begitu putih, tetapi dasar pembawaannya cantik
raut mukanya, setelah besar ia bertambah manis pula, tapi karena pincang
kakinya, inilah yang menjadi penyesalan selama hidupnya.
Sesudah
seluruh keluarganya dibunuh habis oleh Li Bok-chiu, sebenarnya Bu-siang pun
tidak terluput dari kematian, tetapi setiap kali bila melihat saputangan
sulaman yang menggubet di leher Bu-siang, lantas Li Bok-chiu teringat pada
cinta Liok Tian-goan dahulu hingga selalu ia tak tega menghabisi jiwa anak dara
itu.
Liok
Bu-siang sendiri meski usianya masih kecil, tetapi ia sudah pandai berpikir, ia
mengerti dirinya terjeblos di dalam cengkeraman iblis perempuan ini, jiwanya
boleh dikatakan seperti telur di ujung tanduk yang setiap saat terancam bahaya,
oleh sebab itu ia berlaku sangat hati2 dan berusaha sedapat mungkin me-narik2
hati orang, dan karena pintarnya Bu-siang membawa diri dan rajin melayani
sehingga Jik-lian-sian-cu yang biasanya bunuh orang tanpa berkedip itu lambat
laun menjadi reda juga maksud membunuhnya pada Liok Bu-siang.
Kadang2
Li Bok-chiu terkenang pada peristiwa di masa mudanya yang sangat menyesatkan
itu, segera Bu-siang dipanggil ke hadapannya, lalu nona kecil itu disiksa dan
dihina untuk melampiaskan dendamnya.
Namun
Bu-siang pintar pura2, ia sengaja bikin mukanya kotor dan rambutnya serawutan
sambil berjalan pincang sebagaimana seorang gadis yang harus dikasihani maka
bila melihat macamnya ini, mestinya Li Bok-chiu hendak umbar dendamnya lantas
tak sampai hati dilontarkan lagi.
Begitulah
caranya Liok Bu-siang mencari selamat bagi dirinya sendiri, beruntung juga
seorang gadis cilik seperti dia itu ternyata bisa hidup terus berdampingan
dengan Li Bok-chiu yang kejam itu. sungguhpun demikian, dalam hati Bu-siang
tidak pernah melupakan sakit hati ayah-bundanya yang dibunuh Li Bok-chiu secara
kejam, sebaliknya apabila Li Bok-chiu coba menanyakan tentang ayah-ibunya,
selalu Bu-siang berlagak linglung dan pura-pura tidak mengingatnya lagi.
Bila
Li Bok-chiu sedang mengajarkan ilmu silat pada Ang Ling-po, ia lantas
menunggunya di samping untuk melayani bila orang perlu diambilkan handuk atau Iain2,
atau dia pura2 menyapu dan bersihkan meja kursi. Memangnya ilmu silat Bu-siang
sudah ada dasarnya, maka diam2 ia mengingatnya dengan baik apa yang dilatih
kedua orang tadi, lalu di waktu malam diam2 ia sendiri lantas melatihnya
kembali.
Ditambah
lagi di waktu biasa ia sengaja membaiki Ang Ling-po hingga belakangan ketika
sang guru sedang gembira, Ang Ling-po lantas memohon bagi Liok Bu-siang untuk
diterima sekalian sebagai murid Li Bok-chiu.
Dengan
begitulah beberapa tahun telah lalu, ilmu silat Bu-siang sudah banyak maju
pula, hanya perasaan Li Bok-chiu betapapun masih terdapat sisa-sisa rasa benci
padanya, jangankan ilmu silat yang paling tinggi, meski ilmu kepandaian kelas
dua saja tak sudi diajarkan padanya, baiknya ada Ang Ling-po yang merasa kasihan
padanya dan diam2 suka memberi petunjuk2, maka ilmu silatnya walau tak bisa
dikatakan tinggi, namun dibilang rendah pun tidak rendah.
Hari
itu, ber-turut2 Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah berangkat ke Hoat-su-jin-bong
untuk mencuri “Giok-li-sim-keng”, karena sampai lama belum nampak kedua orang
itu kembali, maka Bu-siang telah ambil keputusan untuk pulang ke daerah Kanglam
buat mencari tahu mati-hidup ayah-bundanya yang sebenarnya, sebab waktu kecil
ia hanya melihat ayah-ibunya dipukul Li Bok-chiu hingga luka parah, tentunya
banyak celaka daripada selamatnya, tetapi karena belum melihat meninggalnya
kedua orang tua dengan mata kepala sendiri, bagaimanapun dalam hatinya masih
selalu menaruh sedikit sinar harapan semoga ayah-bundanya masih hidup, maka ingin
sekali dia mencari tahu keadaan yang sebenarnya.
Oleh
karena kaki kirinya cacat, yakni pincang, ciri2 ini telah merubah sifatnya
hingga rada rendah diri, dia paling benci apabila ada orang memandang kakinya
pincang itu.
Hari
itu di tengah jalan justru kedua imam telah memandang beberapa kali pada
kakinya yang cacat itu hingga menimbulkan amarahnya, kontan Bu-siang
melontarkan kata2 yang menghina, dasar kedua imam itu juga bertabiat buruk,
maka dari perang mulut akhirnya berubah menjadi perang senjata, dalam
pertarungan itu, dengan golok-sabitnya yang melengkung itu Bu-siang telah tabas
daun kuping dan batang hidung kedua imam itu, sebagai ekornya kemudian terjadi
pertarungan sengit di Cay-long-kok itu.
Dulu
tatkala Bu-siang digondol pergi oleh Li Bok-chiu, di gua pegunungan dekat
Oh-chiu sebenarnya dia sudah pernah berjumpa sekali dengan Yo Ko, tetapi waktu
itu sama2 masih kecil, sekarang keadaan mereka berdua pun sudah banyak berubah,
dengan sendirinya perkenalan kilat dahulu itu sudah tidak mereka ingat lagi.
BegituIah
setelah Bu-siang menghabiskan dua potong daging paha kijang panggang, iapun
merasa kenyang.
Di
lain pihak sebaliknya Yo Ko sedang memandangi wajah si nona yang manis, “Saat
ini Kokoh, entah berada di mana ? Gadis di depanku ini kalau Kokoh adanya, lalu
kuberi dia paha kijang panggang, bukankah akan sangat menyenangkan ?” demikian
pikirnya diam2. Karena hatinya memikir, maka matapun menatap orang terlebih
kesima.
Melihat
begitu rupa orang pandang padanya, Bu-siang menjengek sekali, habis ini ia
berdiri hendak menyingkir Mendadak dari jauh terdengar seorang sedang
mendatangi dengan menyeret sandalnya yang menerbitkan suara “srat-sret,
srat-sret”, sambil mendekat orang itu sembari gunakan hidungnya untuk mengendus
se-keras2nya.
“Ehm,
wangi, sedap !” demikian ia berseru.
Dan
sesudah dekat, maka jelas kelihatanlah baju yang dipakai orang itu penuh
tambal-sulam di sana-sini, kiranya seorang kere, seorang pengemis.
Walaupun
kere, tetapi dia mendekati orang dengan lagak tuan besar, lalu dia duduk di samping
Yo Ko, tanpa disuruh pun tanpa permisi segera dia samber sepotong daging kijang
panggang yang masih digarang di atas api unggun tadi terus digeragoti dengan
lahap seperti orang yang sudah tujuh hari tujuh malam tidak makan.
Yo
Ko sih tidak menggubris diri orang, tetapi Bu-siang yang mencium bau busuk
tubuh orang yang kotor, memangnya dia sudah mendongkol, kini melihat
kelakuannya yang tak kenal aturan, rasa mendongkolnya bertambah lipat, mendadak
dia berdiri lantas tinggalkan orang hendak masuk kedalam rumah untuk tidur.
Rupanya
sikap Bu-siang ini dapat diketahui si jembel tadi, tiba2 ia mendongak dan
memandang sekejap pada si gadis sambil tersenyum, habis ini ia menunduk kembali
untuk makan daging panggangnya.
Bu-siang
menjadi gusar melihat kelakuan orang.
“Apa
yang kau tertawakan ?” damperatnya segera.
“Aku
tertawa sendiri, sangkut-paut apa dengan kau ?” sahut pengemis itu dengan
dingin.
Dalam
gusarnya Bu-siang sudah pegang goloknya dan berniat bunuh orang, syukur dia
memikir pula: “Jangan dulu, kalau aku bunuh dia si tolol itu tentu akan
ketakutan dan melarikan diri, biarlah aku bersabar sementara.”
Maka
dengan menahan rasa gusarnya, tanpa berpaling lagi ia lantas masuk ke rumah
batu itu.
Di
luar dugaan, baru saja dia melangkahi am-bang pintu, tiba2 terdengar si
pengemis membuka suara pula dan sedang bertanya pada Yo Ko : “Siapakah dia
tadi, apa dia binimu ? Kenapa kakinya pincang ? Tidak laku dijual ?”
Sungguh
tidak kepalang rasa gusar Liok Bu-siang oleh serentetan kata2 yang semuanya
sangat menusuk hatinya, per-tama2 orang bilang dia adalah bini si tolol yang
kotor dan berbau busuk itu, kedua, kakinya yang cacat di-olok2 dan ketiga dia
dianggap seperti khewan saja, bukan saja harus dijual, bahkan dikatakan tidak
laku.
Sejak
kecil Bu-siang sudah kenyang oleh segala siksa-derita yang diperoleh dari Li
Bok-chiu, oleh sebab itu, dalam pandangannya setiap orang di jagat ini dianggap
sebagai musuh semua dan setiap orang pasti akan membikin susah padanya,
ditambah kakinya pincang sehingga tabiatnya berubah aneh, yakni merasa rendah
harga diri, maka bila siapa saja berani coba2 memandang sekejap pada kakinya
yang cacat itu, tentu akan menimbulkan amarahnya, apa lagi si pengemis tadi
telah mengeluarkan kata-kata yang sangat menghina itu, keruan dia tak tahan lagi,
dengan cepat golok-sabitnya dilolos, begitu memutar, secepat angin dilabraknya
si jembel itu.
Si
pengemis itu terhitung anak murid Kay-pang (Persatuan Pengemis) angkatan
keenam, di kalangan pengemis mereka ilmu silatnya tergoIong tengahan, maka
kepandaiannya pun tidak terlalu rendah.
Persatuan
Pengemis itu sejak Ang Chit-kong menjabat ketua, anggotanya banyak
terpengaruh-oleh sifat ketua mereka, yakni menganggap di mana-mana adalah
kediaman mereka, berpikiran jujur dan suka terus terang, suka bersahabat dengan
siapapun juga yang dijumpai.
Oleh
sebab itulah demi bertemu dengan Yo Ko yang lagi panggang daging di tempat
sepi, pula melihat pakaian Yo Ko compang-camping, maka pengemis tadi pikir
meski orang bukan sesama anggota, sedikitnya masih terhitung segolongan,
golongan kere.
Karena
itu iapun tidak sungkan2 lagi, begitu datang ia lantas duduk terus ikut makan,
siapa tahu Bu-siang telah mengunjuk muka jemu dan kurang senang, bahkan terus
berdiri dan menyingkir pergi karena tak tahan ia telah tertawai orang beberapa
kata, tak terduga si gadis ternyata sangat pemarah, begitu putar kembali lantas
main senjata.
BegituIah,
maka atas serangan Bu-siang tadi pengemis itu telah berteriak sambil melompat
bangun: “Haya, jangan ngamuk, jangan ngamuk, aku telah makan panggang daging
lakimu. biarlah aku muntahkan kembali saja!”
Justru
Bu-siang paling benci kalau orang berkelakar atas dirinya, keruan ia bertambah
murka, tanpa berhenti lagi goloknya membabat dari kiri dan memotong pula dari
kanan, be-runtun2 dua kali mengarah tempat lawan yang berbahaya.
Namun
dengan cepat pengemis itu dapat menghindarkan diri, ketika serangan ketiga
menyamber lagi, karena arah yang dituju tidak tetap, sedikit meleset saja
dugaan pengemis itu, maka terdengarlah suara merobeknya kain, ternyata bajunya
yang memang rombeng telah tertabas robek.
Keruan
pengemis itu terkejut, “Eh, tidak nyana ilmu silat anak dara ini ternyata
sangat lihay,” demikian katanya dalam hati.
Dalam
pada itu untuk keempat kalinya Bu-siang telah menyerang lagi, maka tak berani
pula si pengemis pandang enteng lawannya, segera tongkat yang terselip di
pinggangnya dia cabut terus ditangkiskan.
Tetapi
setelah saling gebrak belasan jurus, rangsakan Bu-siang semakin lama semakin
ganas, diam2 pengemis itu mengelak.
“Anak
dara ini entah dari golongan dan aliran mana datangnya, perlu apa aku terlibat
permusuhan dengan dia tanpa sebab ? Asal aku tancap gas se-kencang2nya terus
mengeluyur pergi, masakan gadis pincang ini sanggup mengejar padaku ?” demikian
pikirnya, Demi ingat kaki orang pincang, tanpa terasa ia memandang sekejap lagi
ke arah anggota badan orang yang cacat itu.
Sebenarnya
kalau dia sudah ambil keputusan buat angkat kaki, asal dia putar tubuh terus
kabur mungkin segala persoalan akan menjadi selesai, tetapi celaka baginya,
justru karena pandangannya tanpa sengaja itu kepada kaki orang yang pincang,
habis ini baru dia melarikan diri, kelakuannya ini telah menyinggung perasaan
Liok Bu-siang yang paling benci kalau kakinya yang cacat itu dipandang orang,
sebab inilah dikemudian hari telah banyak menimbulkan ekor panjang.
Ketika
Bu-siang mengetahui orang menatap kakinya yang pincang sambil mengunjuk rasa
senang, habis ini tongkat ditarik terus kabur, keruan rasa gusarnya me-Iuap2
tak bisa ditahan lagi.
“Pengemis
maling, apa kau kira aku tak bisa berjalan leluasa dan tak sanggup mengejar kau
?” damperatnya sengit. Habis ini segera dia mengudak.
Melihat
pengemis itu lari ke arah utara, segera Bu-siang putar goloknya yang melengkung
itu, setelah diayun beberapa kali, se-konyong2 ia lepaskan se-keras2nya ke arah
tenggara hingga membawa samberan angin yang santer.
Tatkala
itu dengan se-enaknya Yo Ko sedang makan daging panggang dan menyaksikan
perkelahian orang sambil duduk, ia menjadi sangat senang melihat si pengemis
sengaja bikin Bu-siang marah2. Tetapi ia menjadi heran ketika mendadak melihat
Bu-siang menimpukkan goloknya ke arah tenggara, namun baru saja ia tercengang
atau tiba2 terlihat golok-sabit itu memutar sendiri di udara seperti
dikemudikan saja.
Golok-sabit
yang melengkung ini bentuknya sangat aneh, mata goloknya begitu tipis seperti
kertas, diwaktu Liok Bu-siang menimpuk, tenaga yang digunakan sangat tepat
pula, maka tertampaklah golok itu membawa suara ngaungan terus menyamber ke
tubuh si pengemis tadi.
Saat
itu si jembel sedang berlari dengan cepat, siapa duga golok ini seperti punya
mata saja, se-konyong2 menyamber tiba terus menancap di atas punggungnya.
Saking
sakitnya oleh tusukan golok itu, tanpa ampun lagi pengemis itu jatuh
terjungkal.
Tentu
saja Bu-siang tidak sia2kan kesempatan itu, dengan gunakan ilmu entengkan tubuh
ia memburu maju dengan niat cabut goloknya yang menancap di punggung orang
untuk kemudian menambahi orang dengan sekali bacokan lagi.
Namun
pengemis itu tidak menyerah mentah2, belum sampai orang datang dekat, sekuat
tenaganya ia telah merangkak bangun terus berlari pula ke depan seperti
kesetanan, sekejap kemudian orangnya sudah menghilang tanpa bekas di kegelapan.
Sesudah
dicoba dan merasa tidak bisa menyandak larinya orang, akhirnya Liok Bu-siang
tidak mengudak lebih jauh, ia kembali ke tempatnya tadi.
“Lekas
pergi mengambil kembali golokku itu.” bentaknya tiba-tiba sesudah berhadapan
dengan Yo Ko.
“Golok
apa ? Aku tak tahu !” sahut Yo Ko acuh tak acuh.
“Bukankah
kau melihat golokku menancap di punggungnya ?” kata Bu-siang pula, “Lekas pergi
mengambil !”
“Tak
bisa mengambilnya lagi,” ujar Yo Ko sambil goyang2 tangannya.
Bu-siang
tahu percuma saja meski banyak bicara, karena itu, ia putar tubuh terus masuk
rumah batu tadi untuk tidur sendiri, Baiknya padanya masih terdapat sebilah
belati, maka katanya dalam hati: “Walaupun golok-sabit sudah tak ada, dengan
belati inipun cukup untuk bikin beberapa lubang di badanmu.”
Tengah
malam, diam2 Bu-siang bangun, dengan ber-indap2 ia keluar rumah, ia lihat Yo Ko
sedang menggeros di tepi gundukan api itu tanpa bergerak sedikitpun. Gundukan
api itu sudah lama padam, rembulan pun mulai doyong ke barat, hanya remang2
masih kelihatan bayangannya.
Segera
Bu-siang cabut belatinya, dengan pelahan ia mendekati orang, begitu sudah
dekat, tanpa pikir lagi belati diangkat terus ditusukkan se-keras2nya ke
punggung orang, tapi mendadak tangannya kesemutan, tangannya terguncang sakit,
karena itu tak kuat lagi ia genggam lebih kencang, dengan menerbitkan suara
nyaring, belatinya terlepas dari cekalan, terasa olehnya tempat yang kena
tusukan belatinya itu seperti mengenai besi atau batu yang keras.
Keruan
saja bukan buatan terkejutnya Bu-siang, tanpa pikir lagi ia putar tubuh terus
lari menyingkir dalam hati ia pikir: “Jangan2 Si tolol ini telah melatih diri
begitu rupa sehingga tubuhnya kebal tak mempan senjata ?”
Sesudah
berlari pergi beberapa tombak jauhnya, karena tak mendengar suara kejaran Yo
Ko, kemudian Bu-siang menoleh, dilihatnya masih meringkik di samping gundukan
api yang sudah padam itu tanpa bergerak sedikitpun.
Dengan
sendirinya Bu-siang menjadi curiga, “Tolol, he, Tolol !” ia ber-teriak2
memanggil
Tetapi
meski sudah berulang kali ia memanggil toh orang masih tetap tidak menyahut
Waktu Bu-siang menegasi, ia lihat tubuh Yo Ko dalam keadaan meringkuk,
bentuknya sangat aneh dan mencurigakan. Maka dengan tabahkan hati ia mendekati.
Setelah dekat, nyatanya barang yang meringkuk itu tidak mirip bentuk manusia,
ketika ia coba meraba, rasanya sangat keras, barang yang berada di bawah baju
itu laksana batu.
Tanpa
ayal lagi segera Bu-siang singkap baju itu, betul saja di dalamnya berisi
sebuah batu padas yang panjang besar, jadi hanya baju membungkus batu, tetapi
bayangan Yo Ko sudah tak kelihatan.
Seketika
Bu-siang terkesima oleh kejadian di luar dugaan itu, kembali ia memanggil pula
: “He, Tolol.”
Namun
tetap tiada jawaban, Ketika ia coba pasang kuping mendengarkan tiba2 terdengar
dalam rumah batu itu sayup2 seperti ada suara orang mengorek. Keruan saja
Bu-siang ter-heran2, segera ditujunya tempat datangnya suara itu, betul saja ia
lihat Yo Ko sedang tidur pulas di atas meja yang tadi digunakan dirinya.
Karena
serangannya tadi tidak mengenai sasarannya, dalam gusarnya Bu-siang tidak
berpikir pula secara teliti kenapa orang bisa mendadak tidur di atas mejanya,
mendadak ia melompat maju, belati diangkat dengan sekali tusuk kembali ia tikam
pula punggung orang.
Bu-siang
menjadi senang karena sekali ini ia telah tepat menikam orang yang sesungguhnya
ia lihat Yo Ko tidak melompat bangun pula tidak menjerit kesakitan, maka tanpa
ayal ia cabut belatinya dan tambahi pula sekali, tempat dimana melatinya
menusuk terang sekali adalah daging tubuh orang, sedikitpun tiada perbedaan
lain, cuma aneh, sama sekali tidak tertampak mengalirnya darah.
Karena
itu, kembali Bu-siang terkejut tetapi gusar pula, susul menyusul ia menusuk
lagi beberapa kali, tetapi yang terdengar malah suara meng-gerosnya Yo Ko yang
semakin keras.
“Ai,
siapakah yang mengitik-ngitik punggungku ? Hihi, jangan guyon ! Haha jangan
main2, aku tak tahan geli!” demikian terdengar Yo Ko malah menginggau.
Saking
terperanjatnya Bu-siang sampai mukanya pucat lesi, akhirnya kedua tangannya pun
menjadi gemetar sendiri “Jangan2 orang ini adalah setan atau siluman ?” katanya
dalam hati.
Oleh
karena pikiran itu, segera ia putar tubuh hendak melarikan diri, akan tetapi,
entah saking takutnya atau mengapa, seketika kedua kakinya seperti tak mau
turut perintahnya, dia masih terpaku di tempatnya.
“Ai,
pungungku kenapa begini geli, tentu ada tikus yang hendak colong daging
kijangku,” demikian kembali terdengar Yo Ko menempati lagi.
Habis
itu ia malah ulur tangan ke punggung, dari dalam bajunya ditarik keluar
sepotong dagang kijang panggang terus dibanting ke lantai.
Melihat
ini barulah Bu-siang menarik napas Iega, kini baru dia mengerti duduknya
perkara, “Kiranya si tolol ini simpan daging kijang dekat punggungnya, pantas
belasan kali tikamanku tidak membikin jiwanya melayang sebab semuanya mengenai
daging kijang, sebaliknya aku sendiri malah dibikin takut!” begitulah ia pikir.
Karena
dua kali menikam dan dua kali tidak berhasil tewaskan orang, rasa benci
Bu-siang terhadap Yo Ko menjadi tambah pula, “Si tolol busuk, lihat sekali ini
jiwamu melayang tidak ?” dengan geregeten Bu-siang berkata dengan suara
pelahan, menyusul ini tiba2 ia menubruk maju, lagi2 dengan belatinya ia menikam
punggung Yo Ko, ia menduga sekali ini pasti Yo Ko tak terluput dari kematian.
Siapa
tahu pada waktu belatinya hampir mengenai tubuh Yo Ko, mendadak dalam keadaan
masih mengorek pemuda itu telah membaliki tubuhnya, keruan tusukannya menjadi
luput hingga mengenai meja sampai ambles sebatas gagang belati
Selagi
Bu-siang sekuatnya hendak cabut kembali belatinya, di lain pihak Yo Ko seperti
mimpi saja, tiba2 berteriak : “Tolong, Mak ! Tolong, ada tikus busuk hendak
gigit aku !”
Menyusul
itu kedua kakinya yang kotor dan bau itu bahkan menjulur ke depan, tahu2 kaki
kiri tepat ditaruh di atas siku Bu-siang tempat kiok-ci -hiat” dan kaki kanan
sebaliknya menggeletak di atas pundak si gadis tepat mengenai tempat
“ko-cing-hiat”.
Kedua
tempat yang disebut itu adalah kedua Hiat-to yang berbahaya di tubuh manusia,
ketika Yo Ko ulur kedua kakinya, entah sengaja atau secara kebetulan, secara
persis telah membentur kedua tempat jalan darah itu. Keruan seketika Bu-siang
merasakan tubuhnya menjadi kesemutan lalu tak bisa berkutik lagi ia hanya
berdiri membisu saja di tempatnya dan dijadikan penyanggah kaki Yo Ko.
Sungguh
bukan buatan murka Liok Bu-siang oleh kejadian ini, meski tubuhnya tak bisa
bergerak, tetapi mulutnya masih bisa buka suara, Karena itu segera ia membentak
mendamperat: “Hai, ToloI, lekas singkirkan kakimu yang bau ini!”
Tetapi
jawaban yang dia peroleh hanya suara mengoroknya Yo Ko yang semakin keras.
Tidak
kepalang gemasnya Bu-siang hingga dia kehabisan akal, dalam keadaan murka,
tiba2 ia pentang mulut terus meludahi tubuh Yo Ko.
Tak
kira lagi2 Yo Ko membaliki tubuhnya, sedang ujung kaki kanannya seperti tak
disengaja saja tiba2 melayang dan dengan tepat membentur pelahan “pi-su-hiat”
di bawah dagu Liok Bu-siang.
Karena
benturan itu, seketika seluruh tubuh Bu-siang menjadi kaku semua, kini mulut
saja tak bisa dipentang lagi, hanya hidungnya yang kenyang mencium bau kaki Yo
Ko yang bacin.
Bcgitulah
gadis itu telah dibuat tempat penyanggah kaki Yo Ko hingga sekian lama, saking
dongkolnya sampai Bu-siang hampir semaput, Dalam hati tiada hentinya ia
mengutuk dan menyumpahi Yo Ko: “Jahannam kau si Tolol ini, besok kalau aku
sudah bisa bergerak bebas, pasti kucincang kau hingga menjadi baso.”
Tidak
lama, rasanya Yo Ko sudah cukup puas mempermainkan orang, tiba2 ia membaliki
tubuh lagi berbareng melepaskan kedua kakinya dari atas tubuh orang, kini ia
membalik menghadap keluar, karena itu, meski dalam keadaan gelap Yo Ko masih
bisa melihat cukup jelas air muka si nona yang penuh gusar dan mangkel itu.
Tetapi
semakin Bu-siang mengunjuk gusar, rupanya semakin mirip Siao-liong-li hingga
dengan ter-mangu2 Yo Ko menikmati wajahnya seperti orang yang kehilangan
semangat
Di
lain pihak, karena waktu itu rembulan mendoyong ke barat hingga sinar sang dewi
malam menyorot masuk melalui pintu, maka muka Yo Ko dapat dilihat dengan jelas
oleh Liok Bu-siang, ia lihat pemuda ini sedang pentang kedua matanya lebar2 dan
lagi memandang padanya dengan tersenyum-simpul.
Keruan
hati Bu-siang terkesiap, “Jangan2 si Tolol ini sengaja berlagak bodoh dan pura2
bebal ? Memang tak disengaja tadi ia menutuk jalan darahku ?” demikian ia
ber-tanya2 pada diri sendiri.
Oleh
karena pikiran itu, tanpa tertahan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Justru
pada saat itu juga, tiba2 dilihatnya Yo Ko sedang melirik ke lantai, waktu
Bu-siang ikut melirik ke arah yang diincar Yo Ko itu, maka tertampaklah olehnya
di atas lantai itu terdapat tiga bayangan hitam yang sejajar, kiranya ada tiga
orang telah berdiri di ambang pintu sana.
Waktu
ia menegasi lagi, ternyata ketiga orang itu semuanya bersenjata.
“Celaka,
celaka, ada musuh lagi menunggu, tetapi justru Hiat-to kena ditutuk si Tolol
ini,” diam2 Bu-siang mengeluh.
Nyata,
meski tadi dia sudah curiga, namun apapun juga sukar dipercaya bahwa seorang
bocah angon yang bodoh dan kotor seperti dia ini memiliki ilmu silat yang
tinggi
Dalam
pada itu demi dilihatnya bayangan orang2 itu, segera Yo Ko pejamkan mata lagi
dan pura2 tidur.
“Hayo,
budak hina, lekas keluar, apa dengan berdiri tegak begitu saja lantas dikira
Toya (tuan imam) bisa mengampuni kau ?” demikian terdengar salah seorang di
luar itu berteriak.
“Ah,
kiranya kaum imam lagi,” kata Yo Ko di dalam hati demi mendengar tantangan orang
itu.
“Kamipun
tidak inginkan jiwamu, asal iris juga batang hidungmu, potong sebelah daun
kuping dan sebelah telapak tangan saja sudah cukup,” terdengar seorang Iain
berkata lagi.
“Kami
sudah menunggu di sini, lekas keluar kau untuk turun tangan saja,” demikian
kata orang ketiga.
Habis
itu, ketiga orang itu lantas melompat pergi, mereka kepung pintu keluar itu
dengan rapat.
“He,
suara teriakan apakah di luar itu, di manakah kau nona Liok ?” demikian
kemudian Yo Ko bangun terduduk dengan mengulet ke-maIas2-an. “Eh, nona Liok,
kenapa kau berdiri saja di situ ?”
Habis
berkata, seperti tidak sengaja ia tarik2 lengan baju si gadis dan digoyangkan
beberapa kali, Maka terasalah tiba2 oleh Liok Bu Siang ada suatu kekuatan yang
besar sekali telah menggun-cang2kan seluruh tubuhnya hingga ketiga tempat
Hiat-to yang tertutuk tadi seketika lancar kembali dan dapat bergerak bebas
lagi.
Bu-siang
pun tidak sempat berpikir secara teliti, segera ia jemput belatmya dari lantai
terus melompat keluar rumah, di bawah sinar rembulan itu terlihatlah olehnya
tiga orang lelaki sudah menantikan di situ, iapun tidak bicara lagi, begitu
tangannya bergerak belatinya segera menusuk pada orang yang berdiri di sebelah
kiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar