Sabtu, 10 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 24



Kembalinya Pendekar Rajawali 24

“Hm”, tiba-tiba ia menjengek terhadap Yali Ce. “Tiga kali
menuntut balas dan tidak berhasil, kusesalkan kepandaianku
sendiri yang tak becus, Tetapi aku hendak bunuh diri, kenapa
kau ikut campur tangan pula?”
“Asal selanjutnya nona berjanji tidak akan merecoki kami
lagi, segera aku bebaskan kau,” sahut Yali Ce.
Wanyen Peng mendengar ia tidak menjawab melainkan
matanya yang mendelik gusar.
Kemudian Yali Ce baliki Liu-yap-to rampasannya itu,
dengan garan senjata itu ia ketok pelahan beberapa kali
pinggang si gadis untuk melepaskan jalan darahnya.
Kiranya Yali Ce ini memang laki-laki sejati, tadi dalam
keadaan terpaksa, maka dia menutuk dengan jari tangan,
tetapi kini ia tak berani menyentuh tubuh si gadis lagi
melainkan menggunakan garan golok untuk melepaskan Hiat-
to yang tertutup itu.
Sesudah itu segera Yali Ce angsurkan golok itu kepada
pemiliknya.
Semula Wanyen Peng rada ragu-ragu, tetapi akhirnya
diterimanya kembali juga.
“Yali-kongcu, sudah beberapa kali kau berlaku murah hati
dan melayani aku dengan sopan, hal ini aku cukup
mengetahuinya”, demikian katanya kemudian “Tetapi sakit
hati antara keluarga Wanyen kami dengan keluargamu Yali
sedalam lautan, betapapun juga, sakit hati orang tua tak bisa
tak dibalas”.
Yali Ce pikir: “Nyata gadis ini masih akan bikin ribut tiada
hentinya, ilmu silatnya juga tinggi, padahal aku tak bisa selalu
disamping ayah untuk melindungi selama hidupnya, Ah,
kenapa aku tidak pancing dia agar dia tuntut sajalah saja
padaku.”
“Nona Wanyen, begitulah ia berkata “kau hendak
membalas dendam orang tua, cita2mu itu sungguh harus
dipuji Cuma persengketaan angkatan tua, hendaklah orang
tua itu selesaikan sendiri dan kita yang menjadi orang
angkatan muda, masing-masing pun ada budi dan dendamnya
sendiri-sendiri. Maka bila kau akan menuntut balas, utang
darah antara keluarga kita itu bolehlah kau cari saja padaku
sendiri tetapi kalau ayahku yang kau recoki, kelak kalau kita
bertemu pula, soalnya tentu akan menjadi sulit.”
“Hm, enak saja kau bicara, ilmu silatku jelas tak bisa
mengungkuli kau, mana bisa aku balas dendam padamu,
sudahlah sudahlah!” sahut Wan-yen Peng sambil tutup
mukanya terus bertindak
Yali Ce mengarti dengan perginya si gadis, tentu orang
akan cari jalan buat bunuh diri lagi, karena bermaksud
menolong jiwa orang, maka ia sengaja berkata pula dengan
tertawa dingin: “Huh, wanita keluarga Wanyen kenapa tak
punya pambekan!”
“Kenapa tak punya kambekan?” tanya Wanyen Peng tiba-
tiba sembari berpaling.
“Soal ilmu silatku lebih tinggi dari kau, ya, itu memang
betul, tetapi apanya yang perlu dibuat heran? Hal ini oleh
karena aku pernah mendapat ajaran dari guru pandai, dan
bukan karena aku memepunyai bakat yang melebihi orang
lain,” kata Yali Ce.
“Kau masih semuda ini, asal kau mau mencari guru
dengan penuh keyakinan, apa tak Msa kau mendapatkannya?”
Sebenarnya hati Wanyen Peng penuh mendongkol dan
gusar tidak kepalang, tapi mendengar beberapa kata itu,
diam-diam ia memanggut juga.
“Setiap kali aku bergebrak dengan kau, selalu aku hanya
gunakan tangan kanan saja, hal ini bukannya aku sengaja
berlaku sombong,” kata Yali, Ce lagi. “Tetapi sebabnya karena
tipu serangan tangan kiriku terlalu aneh, bila sampai
bergebrak, tentu akan melukai orang, oleh karenanya aku
bersumpah kalau tidak dalam detik yang berbahaya, sekali-kali
aku tidak sembarangan menggunakan tangan kiri, Maka begini
saja sebaiknya, biarlah kalau kau sudah belajar lagi dari guru
pandai, setiap saat kau boleh datang mencari aku lagi, asal
kau mampu memaksa aku menggunakan tangan kiri seketika
juga aku potong leherku sendiri tanpa menyesal”
Dengan uraian ini sungguh-sungguh Yali Ce ingin
menolong jiwa orang, ia tahu ilmu silat Wanyen Peng masih
berselisih jauh dengan dirinya, sekalipun dapatkan guru
pandai juga susah hendak menangkan dirinya. Maka
tujuannya hanya untuk mengulur tempo belaka agar sesudah
lewat agak lama, rasa dendam Wanyen Peng bisa mereda
hingga tak perlu membunuh diri lagi.
Oleh karena itu, Wanyen Peng berpikir: “Kau toh bukan
dewa, kalau aku berlatih secara sungguh-sungguh masakan
dengan dua tanganku tak bisa menangkan sebelah tanganmu
itu?”
Maka goloknya segera ia angkat ke atas dan berseru :
“Baik! Laki-laki sejati sekali kata…”
“Kuda cepat sekali pecut!” sambung Yali Ge tanpa ragu-
ragu.
Dengan istilah “Laki-laki sejati sekali kata, kuda cepat
sekali pecut”, artinya apa yang telah diucapkan itu tak akan
dipungkiri lagi.
Habis itu, dengan bersitegang lalu Wanyen Peng bertindak
pergi walaupun begitu, pada air mukanya tidak terhindar dari
rasa pedih dan lesu.
Melihat tuan muda mereka membebaskan si gadis, sudah
tentu para pengawal tak berani merintangi, sehabis memberi
hormat pada Yali Cu-cay, kemudian merekapun keluar kamar.
Peristiwa tadi terjadi dengan ramainya, namun sama sekali
Yo Ko tak nampakkan diri, diam-diam Yali Cin menjadi heran
sekali.
“Ji-ko, kenapa kau bebaskan dia lagi?” terdengar Yali Yen
tanya abangnya, Yali Ce, dengan tertawa.
“Tidak bebaskan dia, apa harus bunuh dia?” sahut Yali Ce.
“Tetapi salah besar kalau kau bebaskan dia,” kata Yali Yen
lagi.
“Sebab apa?” tanya Yali Ce heran.
“Ji-ko, kau kehendaki dia menjadi isteri seharusnya jangan
kau lepaskan dia,” ujar Yali Yen tertawa.
“Ngaco-belo!” omel Yali Ce dengan sungguh-sungguh.
Meiihat abangnya ber-sungguh-sungguh, kuatir orang marah,
maka tak berani lagi Yali Yen bergurau
Percakapan kedua orang itu semuanya didengar jelas oleh
Yo Ko yang masih mengintip di luar jendela itu demi
mendengar apa yang dikatakan Yali Yen bahwa “kehendaki dia
menjadi isteri”, aneh, dalam hatinya tanpa sebab timbul
semacam rasa iri, rasa cemburu, ia menjadi begitu benci
terhadap si Yali Ce itu.
Padahal ilmu silat Yali Ce sangat tinggi, tingkah lakunya
pun berbudi dan sesungguhnya adalah satu laki-laki sejati,
sebenarnya Yo Ko diam-diam kagum padanya. Tetapi kini
demi terpikir Wanyen Peng akan diperisterikan dia, ia merasa
semakin tinggi ilmu silat Yali Ce dan semakin baik prilakunya,
hal ini semakin menandakan kemalangan nasib dirinya sendiri
Oleh sebab itulah, begitu dilihatnya sorot mata Wanyen
Peng sangat mirip Siao-Iiong-li, tanpa terasa bibit asmaranya
bersemi dan terlibat pada diri gadis itu.
Tengah ia tertegun, tiba-tiba dilihatnya berkelebat
bayangan Wanyen Peng di atas rumah sana yang menuju ke
jurusan tenggara.
“Coba aku pergi melihatnya,” katanya tiba-tiba pada Liok
Bu-siang.
“Melihat apa?” tanya si nona.
Namun Yo Ko tak menjawab, dengan cepat Wanyen Peng
disusulnya.
Meski ilmu silat Wanyen Peng tak terlalu tinggi, tetapi
Ginkang atau ilmu entengkan tubuhnya ternyata amat bagus,
sesudah Yo Ko mengejar dengan “poIgas” hingga di luar kota
barulah dapat disusulnya.
Ia melihat Wanyen Peng masuk ke sebuah rumah
penduduk Dengan cepat Yo Ko ikut melompat masuk ke
pelataran rumah itu dan sembunyi di pinggir tembok, Lewat
tak lama, kamar di sebelah barat sana kelihatan sinar lampu
yang dinyatakan, menyusul mana lantas terdengar suara
orang menghela napas panjang.
Dari helaan napas panjang itu jelas orangnya lagi berhati
duka dan menderita batin.
Mendengar suara helaan napas panjang itu, seketika Nyo
Ko tertegun seperti orang linglung di luar jendela kamar itu,
tanpa terasa iapun ikut menghela napas panjang.
Mendadak mendengar ada orang menghela napas juga di
kamar, Wanyen Peng terperanjat, lekas-lekas ia sirapkan
lampu dan mundur ke pojok kamar.
“Siapa?” bentaknya kemudian dengan suara tertahan.
“Kalau tidak berduka, mana bisa menghela napas?” sahut
Yo Ko.
Wanyen Peng semakin heran, dan lagu suara orang
agaknya tidak bermaksud jahat, maka ia tanya lagi: “Siapakah
kau sebenarnya?”
“Untuk membalas sakit hati, orang kuno pernah rebah
sambil merasakan pahitnya empedu, tetapi kau, gagal sekali
sudah hendak bunuh diri, bukankan harus malu dibandingkan
orang kuno itu?” kata Yo Ko dari luar.
Dahulu di Tho-hoa-to pernah Yo Ko bersekolah pada Ui
Yong dan banyak diceritakan oleh bibinya itu tentang hikayat
orang-orang jaman dahulu, diantaranya ialah Wat-ong dari
jaman Ciankok yang tertawan musuh, tetapi tanpa putus asa
dan dengan penuh sabar menantikan saat baik untuk
membalas dendam, sebagai gemblengan atas cita2-nya itu”,
Wat-ong setiap hari mengicip2 rasa pahitnya empedu sambil
merebah, Cerita itulah kini di-sitir oleh Yo Ko.
Karena itu, lalu terdengar suara pintu kamar dibuka,
Wanyen Peng menyalakan lagi lampunya, “Silakan masuk,”
begitulah ia sambut Yo Ko.
Lebih dulu Yo Ko memberi hormat, habis itu baru dia
masuk ke kamar orang.
Wanyen Peng rada heran melihat Yo Ko memakai
seragam perwira bangsa Mongol, lagi pula usianya masih
muda.
“Petunjuk tuan memang tepat, dapatkah mengetahui
nama dan she tuan yang mulia?” tanyanya kemudian.
Akan tetapi Yo Ko tidak menjawab, sebaliknya kedua
tangannya ia masukkan ke dalam lengan baju, habis itu baru
ia buka suara, tetapi menyimpang dari pertanyaan orang.
“ltulah Yali Ce telah membual secara tak tahu malu, ia kira
dengan tangan kanan saja sudah hebat sekali kepandaiannya,
padahal kalau mau rebut golok orang dan menutuk Hiat-to
orang, apa susahnya meski sebelah tangan tak diperguna-
kan?” demikian katanya.
Namun Wanyen Peng tidak sependapat dengan uraian Nyo
Ko yang lebih sombong dari Yali Ce itu, tetapi karena belum
kenal asal usul orang, maka ia merasa tidak enak
mendebatnya.
“Aku ajarkan kau tiga jurus sakti, dengan ini kau lantas
bisa paksa Yali Ce memakai kedua tangannya,” kata Yo Ko
lagi “Tetapi kau tentu tak percaya, bukan ? Nah, sekarang
juga aku boleh coba-coba dengan kau. Aku sama sekali tak
menggunakan kaki-tanganku untuk bergebrak dengan kau,
bagaimana ?”
Luar biasa heran Wanyen Peng oleh ucapan Yo Ko,
katanya dalam hati: “Masakan kau bisa rami gaib hingga
dengan sekali tiup kau bisa robohkan aku?”
Melihat sikap si gadis, Yo Ko tahu apa yang dipikir
olehnya.
“Kau boleh bacok dengan golok sesukamu, atau aku tak
bisa hindarkan diri biar matipun ku tidak menyesal” katanya
untuk menghiIangkan rasa sangsi si nona.
“Baiklah, cuma akupun tak pakai golok, balas dengan
tangan kosong saja kulukai kau,” sahut Wanyen Peng.
“Tidak, tidak,” kata Yo Ko lagi sambil menggeleng kepala,
“aku harus rebut golokmu tanpa geraki tangan dan kakiku,
dengan begitu barulah kau mau percaya.”
Melihat sikap Yo Ko yang anggap perkara itu seperti hal
sepele saja, mau tak-mau Wanyeng Peng mendongkol juga.
“Tuan begini lihay, sungguh, dengar saja aku tak pernah”
katanya
Habis ini, tanpa sungkan-sungkan lagi ia lolos golok terus
membacok ke pundak Yo Ko.
Ketika melihat kedua tangan Yo Ko masih terselubung di
dalam lengan baju dan anggap seperti tidak terjadi apa-apa, ia
menjadi kuatir betulI melukai orang, maka arah goloknya
sedikit dimiringkan ke samping.
Gerak senjatanya ini ternyata dapat dilihat jelas oleh Nyo
Ko, iapun tidak bergerak sedikitpun.
“Jangan kau sungkan-sungkan, kau harus membacok
sungguhan.” demikian katanya.
Wanyen Peng menjadi kagum melihat orang sama sekali
tak hkaukan serangannya itu, “Apakah ia seorang dogol?”
pikirnya.
Menyusul itu, goloknya bergerak pula, sekali ini ia
membabat dari samping dengan sungguh-sungguh
Tak terduga, secepat kilat mendadak Nyo sedikit
berjongkok hingga golok menyamber lewat di atas kepalanya,
jaraknya cuma selisih satu-dua senti saja.
Sekarang Wanyen Peng tidak sungkan-sungkan lagi, ia
kumpulkan semangat, goloknya diangkat terus membacok
pula.
“Dalam bacokanmu boleh diselingi pula dengan Thi-cio
(pukulan telapak besi),” kata Yo Ko sembari hindarkan golok.
Luar biasa kaget Wanyen Peng oleh kata-kata Yo Ko itu,
dengan golok terhunus ia melompat ke pinggir
“Da… dari mana kau bisa tahu?,” tanyanya cepat dengan
suara tak lancar.
“Kau punya Ginkang adalah dari golongan Thi-cio-cui-
siang-biau, maka aku hanya coba menerkanya saja,” sahut
Yo Ko.
“Baik,” kata Wanven Peng kemudian. Berbareng itu
goloknya membacok pula diikuti dengan tangan kiri lantas
memotong betul-betul diantara goloknya ia selingi dengan Thi-
cio.
Namun dengan gampang saja Yo Ko mengegos lagi
“Boleh lebih cepat sedikit.” katanya malah.
Wanyen Peng menjadi makin heran, ilmu goloknya lantas
dikeluarkan seluruhnya, makin menyerang makin cepat nyata
dia memang anak murid kaum ahli yang tersohor, gerak
serangannya tidak boleh dipandang enteng.
Sungguhpun begitu, namun kedua tangan Yo Ko masih
terselubung di dalam lengan baju, hanya tubuhnya saja vang
berkelit kian kemari di antara samberan golok dan hantaman
orang, jangan kata hendak melukainya, ujung baju saja
Wanyen Peng tak mampu menyenggolnya.
Sesudah sebagian besar ilmu golok si nona dilontarkan,
tiba-tiba Yo Ko berkata: “Awas, dalam tiga jurus ini, golokmu
akan kurebut!”
Kini Wanyen Peng sudah kagum luar biasa terhadap Nyo
Ko, tetapi kalau bilang dalam tiga jurus saja goloknya hendak
direbut, inilah dia masih belum mau percaya, maka senjatanya
ia genggam terlebih kencang.
“Coba saja rebut!” sahutnya, berbareng ia memotong dari
samping dengan kuat, tipu serangan ini adalah “Ling-hing-cin-
nia” (dengan gesit melintasi bukit Cin).
Siapa tahu, dengan sedikit menunduk Yo Ko malah
menerobos di bawah goloknya, menyusul ini kepalanya sedikit
melengos ke atas, dengan batok kepalanya ia bentur siku
Wanyen Peng yang memegang golok itu.
Tempat yang dibentur itu adalah “kiok-ti-hiat”, keruan
lengan Wanyen Peng menjadi lemas tak bertenaga, ketika Nyo
Ko mendongak dan mangap mulutnya, dengan jitu sekali
punggung golok kena digigitnya, maka secara gampang saja
senjata itupun kena direbutnya, bahkan menyusul kepalanya
melengos lagi, dengan garan golok ia tumbuk iga Wanyen
Peng, maka tertutuklah Hiat-to si gadis.
Dengan tersenyum Yo Ko segerapun melompat pergi,
waktu kepalanya bergerak, tiba-tiba ia mengayun ke atas
hingga golok yang dia gigit tadi terbang ke udara, dengan
melemparkan golok ini, perlunya agar bisa bicara dengan
mulutnya.
“Bagaimana, menyerah tidak?” begitu ia tanya.
Habis berkata, golok itupun sudah menurun ke bawah,
Yo Ko buka mulut dan dapat menggigitnya kembali
Terkejut dan bergirang Wanyen Peng, ia angguk-angguk
oleh pertanyaan Yo Ko tadi.
Melihat kerlingan mata si gadis sungguh mirip sekali
dengan Siao-liong-li, tak tertahan Yo Ko ingin sekali bisa
peluk orang dan menciumnya, cuma perbuatan ini terlalu
kurangajar, maka sambil gigit golok, mukanya menjadi merah
jengah.
Sudah tentu Wanyen Peng tak tahu apa yang sedang
dipikir Yo Ko, hanya dilihatnya sikap orang yang aneh itu,
dalam hati ia terheran-heran, namun seluruh badan sendiri
terasa kaku, kedua kaki lemas seakan-akan hendak jatuh.
Yo Ko melangkah maju dan melamun, tiba-tiba teringat
olehnya: “Ah, jangan, dia pernah berterima kasih pada Yali Ce
karena sopan santunnya, memang aku lebih rendah daripada
Yali Ce itu? Hm, aku justru hendak melebihi dia dalam hal
apapun juga.”
Begitulah tabiat Yo Ko yang gampang ter-singgung, sejak
kecil tak pernah memperoleh didikan orang tua, tentang sopan
santun dan tata krama sama sekali tak diketahui, setiap tindak
tanduknya bergantung pada pendapatnya apakah itu baik atau
buruk. Waktu itu kalau bukan pikirannya ingin melebihi Yali
Ce, boleh jadi ia sudah peluk Wanyen Peng dan menciumnya.
Kemudian dengan garan golok ia tumbuk lagi sekali
pinggang Wanyen Peng untuk melepaskan Hiat-to yang
ditutuk tadi, lalu golok itu ia angsurkan kembali padanya.
“Siapa tahu, bukannya Wanyen Peng terima kembali
goloknya, sebaliknya ia terus berlutut di hadapan Yo Ko.
“Mohon Suhu terima aku sebagai murid, kalau aku dapat
membalas sakit hati orang tua, budi ini pasti takkan
kulupakan,” katanya tiba-tiba.
Yo Ko menjadi kelabakan oleh kelakuan orang, lekas-
lekas ia bangunkan Wanyen Peng.
“Mana bisa aku menjadi gurumu?” sahutnya, “Tetapi,
dapatlah kuajarkan satu akal padamu untuk membunuh Yali-
kongcu.” Girang sekali Wanyen Peng oleh keterangan itu.
“Bagus sekali, asal bisa bunuh Yali-kongcu, abang dan
adiknya bukan tandinganku semua, dengan sendirinya aku
dapat membunuh lagi ayahnya… berkata sampai disini, tiba-
tiba terpikir lagi olehnya: “Ah, kalau sampai aku memiliki
kepandaian untuk membunuh dia, apa mungkin Yali tua masih
hidup di dunia ini? Bagaimanapun juga, sakit hati ayah-
bundaku tak dapat dibalas,”
Tetapi sehari ini saja Yali tua itu rasanya masih tetap
hidup,” kata Yo Ko dengan tertawa.
“Apa maksudmu?” tanya Wanyen Peng.
“Untuk membunuh Yali Ce, apa susahnya?” Sahut Yo Ko.
“Sekarang juga aku ajarkan tiga tipu padamu dan malam ini
juga kau dapat membunuhnya.”
Sudah tiga kali Wanyen Peng berusaha membunuh Yali
Cu-cay, tetapi ketiga kalinya selalu dikalahkan Yali Ce secara
mudah saja, maka ia cukup kenal ilmu kepandaian orang yang
berpuluh kali lebih tinggi dari dirinya. Ia pikir, sungguhpun
ilmu silat Yo Ko tinggi, tapi belum tentu melebihi Yali Ce.
Sekalipun bisa menangkan dia, tidak nanti juga hanya tiga
tipu saja lantas bisa digunakan buat membunuh orang, apalagi
malam ini pula katanya bisa membunuhnya, ini lebih-lebih tak
mungkin.
Begitulah ia menjadi sangsi, karena kuatir Yo Ko marah,
maka tak berani Wanyen Peng mendebatnya, hanya kepalanya
menggeleng sedikit, sedang kerlingan matanya yang
menggilakan Nyo-Ko tadi semakin menggiurkan.
Betapa pintarnya Yo Ko, segera iapun tahu apa yang
dipikirkan si gadis.
“Ya, memang ilmu silatku belum pasti bisa diatasnya,”
demikian katanya, “kalau saling gebrak, boleh jadi aku malah
banyak kalahnya daripada menangnya, Tetapi untuk
mengajarkan tiga tipu padamu dan buat membunuhnya
malam ini juga, hal ini sebaliknya tidak perlu buang tenaga,
Soalnya hanya bergantung padamu yang pernah mendapat
pengampunan tiga kali dari dia, aku kuatir kau tak tega
membunuhnya.”
Hati Wanyen Peng tergerak, segera ia keraskan hatinya
dan menyahut: “Meski dia ada budi padaku, namun sakit hati
orang tua tidak bisa tidak dibalas.”
“Baik, kalau begitu tiga jurus tipu ini segera kuajarkan
padamu,” kata Yo Ko. “Tetapi kalau kau mestinya bisa
membunuh dia dan tidak kau lakukan, lalu bagaimana nanti?”
“Bila terjadi begitu, terserahlah kau untuk berbuat
sesukamu, toh kepandaianmu begini tinggi kau mau pukul
atau mau bunuh aku, apa aku sanggup melarikan diri?” sahut
Wanyen Peng tegas.
“Mana aku tega pukul, apalagi membunuh kau?” demikian
pikir Yo Ko dalam hati. Maka dengan tersenyum ia
menjawab: “Sebenamya tiga jurus tipu inipun tiada yang
mengherankan Nih, kau lihat yang jelas!”
Habis itu, golok orang lantas diambilnya kembali, dengan
pelahan ia membabat dari kiri ke kanan.
“Tipu pertama yalah “hun-hing-cin-nia”,” kata Yo Ko.
Melihat tipu serangan ini, diam-diam Wanyen Peng
berpikir: “Tipu serangan ini aku sudah bisa, perlu apa kau
mengajarkan?” - Maka dengan mengegos ia hindarkan
serangan itu.
“Dan kini tipu kedua,” kata Yo Ko sambil mendadak ulur
tangan kiri buat pegang tangan kanan si gadis, “ini adalah tipu
“ko-tin-jiau-jiu” (akar rotan melingkar pohon) dari ilmu
pukulanmu Thi-cio-kang.”
“Aneh, tipu inipun satu diantara 18 gerakan Kim-na-jiu dari
Thi-cio-kang kami, buat apa kau mengajarkan lagi?” kembali
Wanyen Peng berpikir “Tetapi aneh juga, darimana dia
mempelajari ilmu pukulan golongan Thi-cio-bun kami?”
“Ilmu kepandaian golongan Thi-cio-bun, pertama adalah
Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh, Kedua yalah Cio-
hoat atau ilmu pukulan tangan kosong, lebih-lebih 18 jurus
Kim-na-jiu (cara mencekal dan memegang) juga sangat lihay,
Karena Kiu-im-cin-keng adalah himpunan dari inti2 itmu silat
seluruh jagat, asal satu dipelajari maka semuanya paham
dengan sendirinya.
Yo Ko sudah berhasil melatih Kiu-im-cin-keng, maka
iapun kenal Kim-na-jiu-hoat dari Thi-cio-bun itu, hanya cara
yang lebih mendalam belum diketahuinya.
Begitulah, maka Wanyen Peng menjadi heran karena
tangannya dipegang tadi ia merasa Kim-na-jiu-hoat yang
diunjuk Yo Ko ini sebenarnya tidak lebih lihay dari apa yang
dia pernah belajar, karena itu, dengan mata terbuka lebar ia
menantikan tipu serangan ketiga yang akan diajarkan padanya
itu.
Belum lagi Yo Ko perlihatkan tipu ketiganya, Wanyen
Peng telah membatin pula: “Jurus seranganmu yang pertama
dan kedua semuanya adalah ilmu kepandaian Thi-cio-bun
kami sendiri hakekatnya tiada sesuatu yang luar biasa, apakah
mungkin melulu andalkan tipu serangan ketiga ini lantas bisa
membunuh Yali-kongcu?”
“Nah, sekarang lihatlah yang jelas !” begitulah terdengar
Yo Ko berseru padanya, Habis itu goloknya diangkat terus
menggorok tenggorokan sendiri.
Keruan saja tidak kepalang kaget Wanyen Peng, “Hai, apa
yang kau lakukan ?” jeritnya cepat Dan karena tangan
kanannya masih dipegang ken-cang2 oleh Yo Ko, maka
dengan tangan kiri ia merebut senjata yang hendak dibuat
bunuh diri oleh Yo Ko itu.
Meski dalam keadaan gugup, namun gerak tangan
Wanyen Peng tetap sangat cepat, sekali cekal, pergelangan
tangan si Yo Ko sudah dipegangnya terus ditekuk, dengan
demikian mata golok itu tak dapat dipakai membunuh diri lagi.
Yo Ko lantas kendurkan kedua tangannya dan melompat
mundur. “Nah, sekarang kau sudah tahu bukan ?” dengan
tertawa ia tanya.
Wanyen Peng sendiri masih berdebar-debar hati-nya oleh
karena kagetnya tadi, maka ia belum paham apa maksud
kata-katanya.
“Pertama kau gunakan tipu “hun-hing-cin-nia” untuk
membabat, lalu dengan tipu oh-tu-jiau-jiu” kau cekal tangan
kanannya dengan kencang, dan tipu ketiga yalah angkat golok
buat bunuh diri.
“Dalam keadaan begitu, pasti dia akan gunakan tangan kiri
buat menolong kau, ia pernah bersummpah padamu bahwa
asal kau bisa memaksa dia menggunakan tangan kiri, ia akan
serahkan jiwanya padamu, itu namanya mati tanpa menyesal
dan bukankah urusan menjadi selesai ?” demikian Yo Ko
menjelaskan.
Betul juga pikir Wanyen Peng, tetapi dengan termangu-
mangu ia memandang Yo Ko, dalam hati ia pikir: “Usiamu
masih semuda ini, mengapa dapat kau pikirkan cara-cara yang
begini aneh dan nakal ?”
Dalam pada itu Yo Ko telah berkata lagi:
“Ketiga tipu tadi tanggung berhasil dengan baik, kalau
gagal, aku nanti menyembah padamu!”
“Tidak,” tiba-tiba Wanyen Peng menyahut dengan goyang
kepala, “sekali dia bilang tak akan pakai tangan kiri, tentu tak
digunakannya, lalu bagaimana?”
“Lalu bagaimana? Kalau kau tak bisa membalas dendam,
bukankah lebih baik mati saja, beres.” kata Yo Ko.
“Kau betul,” sahut Wanyen Peng dengan suara pilu,
“Terima kasih atas petunjukmu sebenarnya kau ini siapakah ?”
“Dia bernama si Tolol, jangan kau turut ocehannya,”
belum sampai Yo Ko menjawab, tiba-tiba suara seorang
perempuan menyela di luar jendela.
Yo Ko dapat mengenali itu adalah suara Liok Bu-siang,
maka ia hanya tersenyum dan tidak gubris.
Sementara itu Wanyen Peng telah melompat ke pinggir
jendela, sekilas masih dapat dilihat berkelebatnya bayangan
orang yang melompat keluar pagar.
Hendak dikejar oleh Wanyen Peng sebenarnya, namun
Yo Ko telah mencegahnya.
“Tak perlu kau uber dia,” kata Yo Ko dengan tertawa,
“Dia adalah kawan-ku. Dia memang selalu ingin mengacau
padaku.”
“Tak apalah kalau kau tak mau menerang-kan,” ujar
Wanyen Peng sesudah termenung sejenak sambil
memandangi Yo Ko. “Tetapi aku yakin kau tiada maksud
jahat padaku.”
Watak Yo Ko suka menyerah pada kelunakan dan sekali-
kali tidak sudi tunduk pada kekerasan kalau ada orang
menghina dia, memaksa dia, sekalipun mati tak nanti dia
menyerah, tetapi kini oleh karena kerlingan mata Wanyen
Peng dengan wajahnya yang sayu mengharukan, tanpa terasa
timbul rasa kasih sayang dalam hati Yo Ko.
Maka dengan tarik tangan si gadis, dengan berendeng
mereka duduk di dipan, lalu dengan suara halus ia
menerangkan : “Aku she Nyo dan bernama Ko, ayah-bundaku
sudah meninggal semua, serupa saja dengan hidupmu…”
Mendengar sampai disini, hati Wanyen Peng tak tertahan
lagi air matanya mengucur. Dasar perasaannya Yo Ko juga
gampang terguncang, mendadak iapun menangis hingga
menggerung.
Karena itu, Wanyen Peng keluarkan saputangan dan
disodorkan pada Yo Ko.
Waktu mengusap air mata dengan saputangan orang, Nyo
Ko mencium bau harum yang sedap, tetapi ketika ingat pada
kisah hidupnya sendiri, air matanya semakin lama semakin
mengucur.
“Nyo-ya (tuan Nyo), kaupun ikut-ikut menangis –gara-
gara urusanku,” kata Wanyen Peng.
“Jangan panggil aku Nyo-ya,” sahut Yo Ko.
“Betapa umurmu tahun ini?”
“Delapan belas,” kata si gadis. “Dan kau?”
“Akupun delapan belas,” sahut Yo Ko, Dalam hati ia
berpikir: “Kalau bulan lahirku lebih muda dari dia hingga aku
dipanggil adik olehnya, rasanya kurang nikmat.” - Karena
inilah, lantas di sambungnya lagi: “Aku terlahir dalam bulan
pertama, maka selanjutnya kau panggil aku Toako saja,
Akupun tak akan sungkan 2 lagi dan panggil kau sebagai adik
perempuan.”
Muka Wanyen Peng menjadi merah, ia merasa si Yo Ko
ini segala apa selalu terang-terangan, sungguh sangat aneh,
tetapi memang nyata tiada maksud jahat terhadap dirinya,
maka kemudian iapun: mengangguk tanda setuju.
Mendapatkan seorang adik baru, rasa senang hati Yo Ko
sungguh tak terkatakan.
Begitulah watak Yo Ko, kalau Liok Bu-siang suka
mendamperat dan marah-marah padanya, maka ia pun tiada
hentinya menggoda, Tetapi kini wajah Wanyen Peng cantik
molek, perawakannya kurus lencir, nasibnya pun malang,
seperti dilahirkan supaya dikasihani orang, yang paling penting
lagi, jalan kerlingan sepasang mata-bolanya yang begitu mirip
seperti Siao-liong-li.
Dengan termangu-mangu Yo Ko memandangi mata
Wanyen Peng, dalam khayalannya ia anggap gadis berbaju
hitam di hadapannya itu seperti berbaju putih, wajah orang
yang cantik kurus itu seakan-akan kelihatan seperti muka
Siao-liong-li tanpa terasa terunjuklah perasaannya yang
mengharap, perasaan rindu rasa kasih sayang yang halus.
Karena guncangan perasaan itulah, maka air mukanya pun
menjadi aneh luar biasa, akhirnya Wanyen Peng menjadi
takut, pelahan ia lepaskan tangan dari cekalan orang dan
menegur: “Kenapakah kau?”
“Tak apa-apa,” sahut Yo Ko seperti tersadar dari mimpi,
sambil menghela napas. “Sekarang kau pergi membunuh dia
tidak?”
“Segera juga aku pergi,” sahut Wanyen Peng cepat, “Nyo-
toako, kau ikut serta tidak?”
Sebenarnya Yo Ko hendak berkata : “sudah tentu ikut
serta”, tetapi bila terpikir lagi kalau dirinya ikut, tentu hal ini
akan membesarkan hati Wanyen Peng, dan lagaknya
membunuh diri tentu menjadi tak sungguhan Yali Ce juga tak
bisa terjebak akalnya lagi
Sebab itu, maka dijawabnya : “Rasanya tak enak aku ikut
pergi.”
Karena jawaban ini, tiba-tiba sorot mata Wanyen Peog
menjadi guram
Hati Yo Ko menjadi lemas, hampir-hampir ia
menyanggupi untuk ikut serta kalau tidak keburu si gadis
berkata lagi: “Baiklah, Nyo-toako, cuma aku tak akan bersua
lagi dengan kau.”
“Mana, ma… mana bisa begitu? ak,..aku….” sahut Yo Ko
cepat dan tak lancar.
Namun Wanyen Peng sudah keluarkan serenceng uang
perak, ia lemparkan ke atas meja sebagai biaya menginap di
rumah penduduk itu, habis mana iapun melompat keluar.
Dengan ilmu entengkan tubuhnya yang hebat, sekejap
saja ia sudah berada lagi ditempat tinggalnya Yali Ce.
Tatkala itu Yali Cu-cay dll sudah kembali ke kamarnya
sendiri-sendiri, Yali Ce baru saja hendak me-ngaso, tiba-tiba
pintu kamarnya diketok orang.
“Wanyen Peng mohon bertemu Yali-kongcu,” demikian
terdengar suara si gadis yang nyaring.
Segera ada empat pengawal datang merintangi Wanyen
Peng, namun Yali Ce sudah keburu membuka pintu kamarnya.
“Ada keperluan apa lagi, nona Wanyen?” tanyanya segera.
“Aku ingin belajar beberapa gebrak lagi dengan kau,”
sahut Wanyen Peng.
Heran sekali Yali Ce, ia pikir mengapa orang tak tahu diri?
Namun tidak urung ia menyingkir ke samping sambil memberi
tanda dengan tangan: “Silakan masuk!”
Begitu masuk, tanpa bicara lagi Wanyen Peng lantas lolos
senjata terus mencecar tiga kali, diantara goloknya, ia selingi
pula dengan pukulan telapak tangan besinya.
Tetapi Yali Ce memang jauh lebih tinggi ilmu silatnya,
dengan tangan kiri lurus ke bawah, ia layani si gadis dengan
tangan kanan melulu, ia balas memukul dan hendak
menangkap senjata orang, dengan gampang saja semua
serangan Wanyen Peng dapat dipatahkannya.
Dalam hati iapun sedang pikirkan sesuatu daya-upaya agar
bisa membikin Wanyen Peng kapok dan mundur teratur untuk
selanjutnya tak datang merecokinya lagi .
Lewat tak lama, selagi Wanyen Peng hendak keluarkan
tiga tipu akal ajaran Yo Ko, mendadak di luar pintu suara
seorang wanita berseru: “Hmm Yali-kongcu, dia hendak
menipu kau menggunakan tangan kiri.” Tidak salah lagi itulah
suaranya Liok Bu-siang.
Untuk sesaat Yali Ce tercengang, akan tetapi Wanyen
Peng tak memberikan kesempatan padannya untuk berpikir,
segera dengan tipu “hun-hmg-cin-nia” ia membabat, selagi
Yali Ce mengegos, sekonyong-konyong ia ulur tangan kiri
terus cekal tangan kanan Yali Ce dengan tipu “koh-tin-jiau-
jiu”, menyusul golok diangkat terus menggorok ke lehernya
sendiri!
Maka insaflah Yali Ce oleh seruan di luar pintu tadi, untuk
sesaat pikirannya sudah bergantian beberapa kali: “Harus
kutolong dia! - Tetapi inilah tipunya untuk pancing aku
menggunakan tangan kiri, kalau aku geraki tangan kiri, itu
berarti aku menyerahkan jiwaku untuk diperbuat sesuka
hatinya. Biarlah, laki-laki sejati mati biarlah mati, mana boleh
melihat orang mau bunuh diri tanpa menolongnya ?”
Sebenarnya Yo Ko sudah mentafsirkan jalan pikiran Yali
Ce, asal mendadak tiga tipu serangan ajarannya itu
dilontarkan, maka tak bisa tidak pasti ia akan gunakan tangan
kirinya buat menolong,
Siapa tahu Liok Bu-siang sengaja mengacau dan
sebelumnya memperingatkan Yali Ce.
Sungguhpun begitu, namun Yali Ce memang manusia
yang berbudi dan berhati mulia, sudah terang diketahuinya
begitu ia keluarkan tangan kiri buat tolong Wanyen Peng,
maka jiwanya tak terjamin lagi. Tetapi pada saat yang
berbahaya itu, toh masih tetap tangan kirinya diulur untuk
menangkis pergelangan tangan Wanyen Peng, menyusul
tangannya membalik dan Liu-yap-to itu dapat direbutnya.
Sesudah saling gebrak tiga jurus itu, kemudian masing-
masing pun melompat mundur berbareng, Dan sejenak
menunggu si gadis buka suara, Yali Ce segera mendahului
melemparkan golok rampasannya padanya.
“Nyata kau dapat paksa aku menggunakan tangan kiri
maka jiwaku kuserahkan padamu sekarang, cuma ada sesuatu
permohonanku padamu,” demikian katanya.
“Urusan apa?” tanya Wanyen Peng dengan muka pucat.
“Aku mohon kau jangan celakai ayahku lagi,” pinta Yali Ce.
Wanyen Peng menjengek sekali, lalu dengan ia melangkah
maju, golok ia angkat, di sinar lampu ia lihat sikap Yali Ce
biasa saja tanpa jeri sedikitpun, bahkan penuh berwibawa.
Wanyen Peng adalah gadis yang cantik dan halus budinya,
melihat seorang Laki-laki sejati sedemikian ini, teringat
olehnya sebabnya orang menggunakan tangan kiri tak lain tak
bukan adalah karena hendak menolong jiwanya, keruan
goloknya itu tak tega dibacokkan.
Tiba-tiba napsu membunuhnya yang membakar tadi
menjadi ludes, Liu-yap-to yang sudah dia angkat itu
mendadak dilempar ke lantai, dengan menutup mukanya
iapun berlari pergi.
Dalam keadaan begitu, Wanyen Peng menjadi seperti
orang linglung, ia melangkah setibanya hingga akhirnya
sampai di tepi sebuah sungai, sambil memandangi sinar
bintang yang ber-kelip2 guram tercermin di air sungai itu,
pikirannya kusut tidak keruan.
Lewat lama dan lama sekali, Wanyen Peng menghela
napas panjang, Tiba-tiba ia dengar di belakangnya ada orang
menghela napas juga, di malam yang sunyi itu,
kedengarannya menjadi sangat seram.
Dalam kagetnya segerapun Wanyen Peng berpaling, maka
terlihatlah satu orang berdiri di belakangnya, siapa lagi dia
kalau bukan Yo Ko ! “Nyo-toako,” ia menyapa sekali, lalu
kepala menunduk dan tidak buka suara pula.
“Moaycu (adik), urusan membalas dendam orang tua
memang bukan perkara gampang, maka tak perlu tergesa-
gesa ingin lekas terlaksana,” kata Yo Ko sambil maju dan
menggenggam tangan si gadis.
“Kau sudah menyaksikan semuanya?” tanya Wanyen Peng.
Yo Ko mengangguk.
“Manusia seperti aku ini, soal balas dendam sudah tentu
bukan urusan gampang.” kata pula si gadis, “Tetapi kalau aku
bisa mempunyai setengah kepandaianmu rasanya tak nanti
aku bernasib begini,”
“Sekalipun bisa memiliki ilmu silat seperti aku, apa guna?”
ujar Yo Ko sambil gandeng tangan orang dan duduk
berendeng di bawah satu pohon rindang, “Meski kau belum
bisa membalas dendam, namun sedikitnya kau sudah tahu
siapa musuhmu. sebaliknya aku? Sampai cara bagaimana
ayahku tewas, hingga kini akupun tidak tahu, begitu pula
siapa pembunuhnya juga tak tahu, jangankan hendak
menuntut balas, lebih-lebih tak perlu disebut lagi”
“Ayah-bundamu juga dibunuh orang?” tanya Wanyen Peng
dengan tercengang.
“Bukan, ibuku tewas digigit ular berbisa, sedangkan
ayahku mati secara tak jelas, malahan selamanya belum
pernah aku melihat mukanya,” sahut Yo Ko sambil menghela
napas.
“Kenapa bisa begitu ?” tanya si gadis.
“Ya sebab waktu aku dilahirkan ayahku sudah keburu
mati,” tutur Yo Ko. “Sering aku tanya ibu sebab apakah
sebenarnya ayah mati dan siapa musuhnya, Tetapi setiap kali
aku tanya, selalu ibu mengucurkan air mata dan tak
menjawab, belakangan akupun tak berani bertanya lagi. Aku
pikir biarlah kelak kalau aku sudah dewasa barulah aku tanya
pula, siapa tahu ibu mendadak di-gigit ular, pada sebelum
ajalnya kembali aku bertanya tentang kematian ayah. Kata
ibu: “Sepak terjang ayahmu memang tidak baik, maka
kematiannya itu merupakan ganjarannya, Orang yang
membunuhnya berkepandaian tinggi sekali, pula adalah orang
baik. Sudahlah, nak, seumur hidupmu ini jangan sekali-kali
kau berpikir tentang balas dendam segala”, Ai, coba, cara
bagaimana sebaiknya aku ini?”
Dengan penuturannya ini, maksud Yo Ko hendak
menghibur Wanyen Peng, tetapi akhirnya ia sendiri menjadi
berduka juga.
“Lalu siapakah yang membesarkan kau?” tanya Wanyen
Peng.
“Siapa lagi? Sudah tentu kubesarkan diriku sendiri,” sahut
Yo Ko. “Sejak wafatnya ibu, aku lantas ter-lunta2 di kalangan
Kangouw, disini aku mengemis sesuap nasi, di sana
kulewatkan semalam, kadang-kadang saking tak tahan lapar
aku lantas curi sebuah semangka atau sepotong ubi sekedar
tangsal perut, namun sering kali kena ditangkap pemiliknya
dan dihajar babak belur, lihat ini, di sini masih ada bekasnya,
dan yang ini tulangnya… sampai menonjol, semua ini akibat
dihajar orang semasih kecil”
Sambil berkata sembari lengan celananya di gulung untuk
menunjukkan tempatnya pada si gadis, tetapi keadaan
remang-remang, Wanyen Peng tak jelas melihatnya, Yo Ko
memegang tangannya dan diletakkan pada belang bekas luka
di betisnya itu.
Wanyen Peng berhati Iemah, ia memang dilahirkan
sebagai gadis perasa dan suka bersedih, sambil meraba bekas
luka betis orang, tak tertahan hatinya terasa pilu, diam-diam
ia pikir nasib dirinya yang meski negara hancur dan rumah
runtuh, namun masih tidak sedikit terdapat sanak kadang
serta tidak sedikit kekayaan yang ditinggalkan sang ayah,
kalau dibandingkan dengan nasib pemuda di depannya ini
dirinya masih boleh dikatakan jauh lebih beruntung.
Begitulah mereka saling diam sejenak, kemudian perlahan-
lahan Wanyen Peng tarik tangannya dari betis orang, hanya
masih membiarkan digenggam Yo Ko.
“Dan cara bagaimana lagi kau berhasil melatih ilmu silat
seperti sekarang ini? Dan kenapa menjadi perwira Mongol
pula?” tanyanya dengan lirih.
“Aku bukan perwira MongoI,” sahut Yo Ko. “Aku sengaja
pakai baju bangsa Mongol, sebabnya hendak menghindari
pencarian seorang musuh.”
“Bagus kalau begitu ?” kata Wanyen Peng tiba-tiba dengan
girang.
“Kenapa bagus?” Yo Ko bingung.
Sedikit merah muka Wanyen Peng. “Bangsa Mongol adalah
musuh besar negara kami, dengan sendirinya aku mengharap
kau bukan perwira mereka,” sahutnya kemudian.
Hati Yo Ko terguncang sambil genggam tangan si gadis
yang halus dan lunak itu.
“Moaycu, jika aku adalah perwira Mongol, lalu bagaimana
perasaanmu terhadapku?” tanya Yo Ko tiba-tiba.
Sejak mula Wanyen Peng melihat tampan Yo Ko yang
gagah dan ilmu silatnya tinggi, memangnya ia sudah suka,
belakangan mendengar lagi kisah hidupnya yang
mengharukan itu, hal ini lebih menambah rasa kasihannya,
maka iapun tidak menjadi marah meski mendengar kata-kata
Yo Ko tadi rada blak-blakan.
“Jika ayahku masih hidup, apa yang kau inginkan tentu
akan menjadi mudah, tetapi kini ayah-bundaku sudah tiada
semua, apalagi yang dapat kukatakan?” sahutnya kemudian
dengan menghela napas.
Mendengar lagu suara orang lemah Iembut, si Yo Ko
menjadi dapat hati, ia berani ulur tangannya buat memegang
pundak orang.
“Moaycu, bolehkah kumohon sesuatu,” rayu-nya dengan
bisik-bisik.
Berdebar-debar hati si gadis, sudah beberapa bagian
dapat diduganya apa yang dikehendaki Yo Ko.
“Hal apa?” sahutnya rendah.
“Aku mohon diperkenankan mencium matamu ! Ya, mata
saja, yang lain-lain tak nanti aku melanggarnya,” kata Yo Ko.
Semula Wanyen Peng menyangka tentu si Yo Ko hendak
meminang dirinya, malahan ia kuatir juga jangan-jangan
pemuda ini menjadi lupa daratan dan main kasar terus
melakukan perbuatan-perbuatan yang tak senonoh di tempat
terbuka ini, kalau sampai hal ini terjadi terang sekali dirinya
tak bisa melawannya.
Siapa tahu orang hanya mohon mencium matanya, maka
terasa lega sedikit baginya, namun entah mengapa, rasa
dalam hatipun rada-rada kecewa dan sedikit heran pula,
sungguh perasaan yang sangat ruwet dan aneh.
Karena itu, dengan tercengang ia pandang Yo Ko dengan
kerlingan matanya yang basah-basah sayu dan sedikit rasa
malu.
Melihat kerlingan mata Wanyen Peng, tiba-tiba Yo Ko
teringat pada saat sebelum perpisahannya yang terakhir
dengan Siao-Iiong-li, di mana Siao-liong-li pun pernah
memandang padanya dengan kerlingan mata yang maIu2 dan
mengandung arti yang dalam, Tak tertahan lagi ia menjerit
orangnya pun melompat bangun.
Tentu saja Wanyen Pcng kaget oleh kelakuan si Yo Ko
itu, ingin dia tanya oleh sebab apa, namun sukar membuka
mulut rasanya.
Dalam pikiran yang kacau itu, Yo Ko merasa kerlingan
mata di depannya itu adalah kerlingan mata Siao-liong-li
melulu.
Dahulu waktu pertama kali ia melihat kerlingan mata
seperti demikian ini, saat itu ia masih hijau pelonco dan sama
sekali tak mengarti arti kerlingan mata demikian itu, tetapi
sejak ia turun gunung, sesudah berkumpul beberapa hari
dengan Liok Bu-siang, pula hari ini bergaul dengan Wanyen
Peng, maka mendadak jadi teringat olehnya maksud baik dan
cinta halus dari Siao-liong-li dahulu, semua itu baru dia
pahami sekarang.
Keruan ia menyesal tidak kepalang, bisa-bisa kepalanya
hendak ditumbukkan saja ke batang pohon di sampingnya biar
mati sekalian “Begitu tulus cinta Kokoh padaku, pula ia sudah
bilang hendak menjadi isteriku, tetapi aku telah kecewakan
maksud baiknya itu, sekarang ke mana harus kucari dia?”
demikian terpikir olehnya.
Karena itu, mendadak ia menjerit sekali lagi, tiba-tiba
Wanyen Peng ditubruknya dan dipeluk ken-cang2, dengan
bernapsu kelopak mata si gadis di-ciumnya.
Melihat orang seperti kalap dan seperti gila Wanyen Peng
terkejut tercampur girang, hendak meronta pun sukar karena
didekap Yo Ko dengan kencang, akhirnya iapun pejamkan
matanya dan membiarkan orang mencium sepuasnya, terasa
olehnya selalu kelopak matanya itu saja yang ke kanan dan ke
kiri diciumi Yo Ko, ia pikir orang ini meski kasar dan seperti
gila, namun apa yang sudah dikatakannya tadi ternyata dapat
dipercaya juga, sungguh aneh, sebab apakah melulu mata
saja yang terus diciuminya?”
“Kokoh, Kokoh!” sekonyong-konyong didengarnya Yo Ko
berteriak-teriak, suaranya penuh rasa hangat dan menggelora,
tetapi terasa juga seperti sangat menderita.
Selagi Wanyen Peng hendak tanya siapa yang
dipanggilnya itu, mendadak terdengar suara seorang
perempuan berkata di belakang mereka: “Ma’af, kalian
berdua!”
Yo Ko dan Wanyen Peng sama-sama kaget, segera
tangan mereka yang saling genggam tadi terlepas kian
melompat pergi, waktu mereka berpaling, maka tertampaklah
di bawah pohon itu berdiri seorang gadis berbaju hijau yang
dapat dikenali Yo Ko sebagai orang yang beberapa kali
mengirim berita serta menolong Liok Bu-siang itu.
“Berulang kali mendapat bantuanmu, budi ini tak nanti
kulupakan,” cepat Yo Ko menyapa sambil memberi hormat.
Dengan laku sangat sopan gadis itu membalas hormat
orang.
“Rupanya Nyo-ya sedang senang-senang karena ada
kenalan baru, tetapi apa masih ingat pada kawan lama yang
pernah mengalami mati-hidup bersama itu?” begitu katanya.
“Kau maksudkan…”
“Li Bok-chiu guru bermurid tadi telah menawannya pergi!”
potong gadis itu sebelum Yo Ko selesai berkata.
Keruan Yo Ko terkejut.
“Apa betul?” ia menegas dengan suara gemetar “Dia… dia
ditawan ke mana?”
“Waktu kau sedang asyik-masyuk dengan nona ini, saat
itulah nona Liok ditawan Li Bok-chiu,” sahut gadis itu.
“Apa… apa tidak berhalangan atas dirinya?” tanya Yo Ko
pula.
“Untuk sementara rasanya tidak mengapa bagi
keselamatannya,” kata si gadis, “Nona Liok tetap mengatakan
kitab pusakanya itu telah direbut oleh Kay-pang, maka Jik-
lian-mo-tau itu telah giring dia pergi pada kaum pengemis itu,
jiwanya sementara tak menjadi soal tetapi siksaan badan
rasanya sukar dihindarkan.”
Yo Ko adalah seorang yang gampang terguncang, maka
segera ia mengajak : “Marilah, lekas kita pergi menolongnya.”
Siapa duga gadis itu hanya menggoyang kepala.
“Meski ilmu silat Nyo-ya tinggi, tapi rasanya masih bukan
tandingan iblis itu,” demikian sahutnya, “Mungkin jiwa kita
hanya akan melayang percuma, sedang urusannya masih
belum bisa ditolong,”
Walau dalam kegelapan, namun mata “Nyo- Ko sangat
tajam seperti memandang benda di siang hari saja, maka
wajah si gadis baju hijau ini dapat dilihatnya sangat jelek dan
aneh luar biasa, otot daging di mukanya kaku tanpa bergerak
sedikitpun seperti mayat hingga membikin seram orang yang
memandangnya, Karena itu, Yo Ko tak berani memandang
lebih lama.
“Orang ini sangat baik terhadapku, tetapi aneh, mukanya
kenapa terlahir begini rupa?” demikian pikirnya, Maka
kemudian iapun bertanya: “Dapatkah mengetahui she dan
nama nona? selamanya kita belum kenal, kenapa begitu
mendapat perhatian nona?”
“Namaku tiada harganya buat di-sebut-sebut, kelak Nyo-ya
tentu akan tahu juga, kini yang paling penting yalah lekas
berdaya-upaya buat menolong orang saja,” sahut gadis itu.
Diwaktu berkata air mukanya sedikitpun tidak tampak
perubahannya, kalau bukan mendengar suara keluar dari
mulutnya, sungguh orang bisa menyangka dia adalah mayat
hidup. Namun aneh juga, suaranya ternyata nyaring merdu
menarik.
“Jika begitu, cara bagaimana menoIongnya, terserahlah
pada keputusan nona, dengan hormat aku menurut
petunjukmu saja,” kata Yo Ko kemudian.
“Nyo-ya hendaklah jangan sungkan-sungkan,” sahut gadis
itu. “Ilmu silatmu berpuluh kali lipat di atasku berpuluh kali
lebih pintar juga dari padaku, pula usiamu lebih tua, dan
seorang laki-laki lagi, apa yang kau bilang baik tentunya baik,
kedatanganku justru untuk terima perintahmu saja,”
Mendengar kata-kata orang yang merendah dan
menyenangkan ini, sungguh Yo Ko menjadi senang sekali
“Kalau begitu, kita mengintilnya secara diam-diam saja,
kita mencari kesempatan baik untuk turun tangan,” sahutnya
kemudian sesudah berpikir.
“ltulah paling baik,” kata si gadis, “Tetapi entah bagaimana
pendapat nona Wanyen?”
Habis berkata, ia sendiri lantas menyingkir pergi dan
membiarkan Yo Ko berunding dengan Wanyen Peng.
“Moaycu. aku hendak pergi menolong seorang kawan,
kelak saja kita bertemu puIa,” demikian kata Yo Ko pada
gadis itu.
“Tidak, Nyo-toako, meski kepandaianku rendah, mungkin
dapat juga aku memberi bantuan sekadarnya, biarlah aku ikut
serta dengan kalian.” sahut Wanyen Peng.
Memangnya Yo Ko merasa berat kalau harus berpisah
dengan dia, mendengar orang mau ikut, tentu saja ia amat
girang.
“Bagus kalau begitu !” serunya senang.
Habis ini, dengan suara keras ia teriaki si gadis baju hijau
tadi: “Nona, adik Wanyen Peng suka bantu kita dan ikut pergi
menolong orang!”
“Wanyen-kohnio, kau adalah puteri bangsawan sebelum
bertindak hendaklah kau suka pikir dahulu,” dengan laku
sangat hormat gadis baju hijau itu berkata pada Wanyen
Peng, “Harus kau ketahui bahwa musuh yang akan kami
hadapi ini kejam luar biasa, orang Kangouw memanggil dia
Jik-lian Sian-cu, yalah mengumpamakan dia sekeji ular belang
rantai, sungguh tidak mudah untuk menghadapinya,”
“Jangan cici berkata begitu, jangankan Nyo-toako ada budi
padaku, apa yang menjadi urusannya adalah urusanku juga,
walaupun seorang kawan seperti cici saja, aku Wanyen Peng
pun ingin kenal Maka biarlah aku ikut pergi bersama cici, asal
segalanya kita berlaku hati-hati” demikian sahut Wanyen
Peng.
“Baik sekali kalau begitu,” kata gadis itu dengan suara
halus sambil tarik tangan Wanyen Peng, “Cici, umurmu lebih
banyak dari padaku, boleh kau panggil aku Moaycu saja,”
Dalam keadaan gelap Wanyen Peng tak bisa melihat wajah
orang yang sangat jelek itu, tetapi mendengar suaranya yang
begitu merdu, tangannya yang menggenggam padanya terasa
juga sangat halus dan lemas, maka disangkanya orang tentu
gadis yang cantik moIek, dalam hati iapun sangat senang.
“Berapakah umurmu tahun ini?” ia tanya.
“Ah, tak perlu kita merecoki umur, paling perlu segera
pergi menolong orang saja, bukankah begitu, Nyo-ya?” sahut
gadis itu bersenyum.
“Ya, silakan nona menunjuk jalannya,” kata Yo Ko.
“Aku melihat mereka menuju ke arah tenggara, tentu pergi
ke Hengcikoan,” ujar gadis itu.
Segera mereka keluarkan Ginkang dan dengan cepat
memburu ke arah tenggara.
Bahwa Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay yang dipelajari
Yo Ko itu terkenal karena Ginkang yang hebat dan boleh
disebut nomor satu di seluruh kolong langit, hal ini tak perlu
dijelaskan lagi. Sedang Wanyen Peng adalah anak murid Thi-
cio-pang, dahulu pangcu atau pemimpin Thi-cio-pang yang
bernama Kiu Jian-yim berjuluk “Thi-cio-cui-siang-biau” atau
Telapak tangan besi me-layang2 di atas air, kalau bisa disebut
“melayang di atas air”, dengan sendirinya Ginkangnya pasti
terhitung kelas satu juga.
Siapa tahu si gadis baju hijau itu, senantiasa cepat tidak,
lambat pun tidak, tapi selalu mengintil di belakang Wanyen
Peng. Kalau Wanyen Peng cepat, maka iapun cepat, jika
lambat, iapun ikut lambat, jarak antara mereka selalu
dipertahankan dua-tiga tindak.
Keruan Yo Ko terperanjat “Anak murid dari aliran
manakah nona ini? Kalau melihat Ginkangnya ini, tampaknya
sudah di atasnya Wanyen Peng,” demikian ia heran, Dan
karena tak mau main menang2an dengan kedua nona itu,
maka ia sengaja tertinggal saja di belakang.
Sampai hari sudah terang, gadis baju hijau itu keluarkan
rangsum kering dan dibagikan kedua kawannya,
Melihat baju orang meski terbikin dari kain biasa saja, tapi
potongannya sangat serasi dengan perawakan pemakainya,
pula perbekalannya seperti rangsum kering, botol air dan
sebagainya diatur secara begitu baik, semua ini menunjukkan
ketelitian seorang gadis yang rajin.
Di lain pihak, ketika Wanyen Peng melihat wajah orang
begitu aneh, ia menjadi tak berani-memandang lebih jauh. “Di
dunia ini kenapa ada wanita bermuka sejelek ini?”
“Nyo-ya Li Bok-chiu itu kenal padamu, bukan?” kata gadis
baju hijau itu sesudah menunggu kedua orang habis makan.
“Ya, beberapa kali ia pernah bertemu dengan aku,” sahut
Yo Ko.
Gadis itu mengeluarkan sehelai benda tipis seperti kain
sutera, lalu berkata pula pada Yo Ko: “lni adalah topeng kulit
manusia, sesudah kau pakai, tentu dia tak kenal kau lagi.”
Waktu Yo Ko periksa topeng itu, ia lihat di atasnya ada
lubang2 tempat mata, mulut dan hidung, bila dipakai maka
topeng ini bagaikan karet saja mencetak muka si pemakainya
dengan persis seperti wajah asli, tentu saja Yo Ko sangat
girang dan menghaturkan terima kasih.
Melihat wajah Yo Ko seketika berubah menjadi jelek luar
biasa setelah memakai topeng itu, barulah kini Wanyen Peng
sadar.
“Ah, Moaycu, kiranya kaupun memakai topeng seperti ini,
sungguh aku sangat goblok, aku mengira wajahmu memang
terlahir begitu aneh,” demikian katanya pada gadis baju hijau.
“Muka Nyo-ya yang ganteng dan bagus ini, sesungguhnya
sayang dan merendah dirinya saja bila pakai topeng ini,” sahut
gadis baju hijau, “Mengenai diriku, memangnya mukaku
adalah begini, pakai topeng atau tidak serupa saja.”
“Ah, aku tak percaya,” ujar Wanyen Peng. “Moaycu,
maukah kau copot topengmu dan unjukkan muka aslimu ?”
Dalam herannya Yo Ko pun ingin tahu wajah asli si gadis
itu, namun permintaan itu ternyata ditolak.
“Jangan, mukaku yang jelek ini mungkin akan bikin kalian
kaget,” sahut gadis itu.”
Melihat orang berkeras tak mau perlihatkan mukanya,
terpaksa Wanyen Peng sudahi permintaannya.
Pada waktu lohor, mereka bertiga sudah sampai di kota
Bukoan, mereka masuk ke atas loteng sebuah restoran untuk
mengisi perut.
Melihat Yo Ko berdandan sebagai perwira Mongol,
pengurus restoran itu tak berani ayal dan cepat memberi
pelayanan.
Tetapi baru setengah jalan mereka bersantap, ketika kerai
pintu tersingkap, tiba-tiba masuk pula tiga wanita yang bukan
lain daripada Li Bok-chiu dan Ang Ling-po yang menggiring
Liok Bu-siang.
Yo Ko sangat cerdik, ia tahu meski saat itu Li Bok-chiu
tak kenali dirinya, namun mukanya yang aneh karena
memakai topeng tentu akan menimbulkan rasa curiga orang,
karena itu segera ia berpaling ke jurusan lain sambil
menjumpit nasi terus, ia hanya pasang kuping tajam2 untuk
mendengarkan percakapan mereka.
Siapa tahu sama sekali Bu-siang tidak buka suara, bahkan
Li Bok-chiu berdua pun tidak bicara sehabis pesan daharan
seperlunya,
Nampak orang yang mereka cari sudah berada di depan
mata, Wanyen Peng gunakan sumpitnya dan mencelup ujung
sumpit pada air kuwah, lalu ia corat-coret beberapa huruf di
atas meja dengan maksud: “turun tangan tidak?”
Yo Ko diam-diam sedang memikir: “Dengan kekuatan
kami bertiga, ditambah lagi dengan “bini cilik”, rasanya masih
susah melawan mereka guru dan murid berdua, urusan ini
hanya bisa dimenangkan dengan akal dan tak mungkin
dengan kekerasan.”
Oleh sebab itu, ia goyangi sumpitnya pelahan-lahan
sebagai tanda “jangan”.
Li Bok-chiu juga orang cerdik, sesudah berada, di loteng
restoran itu, ia lihat sorot mata Bu-siang seperti bersinar
harapan, tentu saja ia merasa heran hingga tiada hentinya
Wanyen Peng bertiga di-diincar olehnya.
Tapi Yo Ko duduk mungkur dan tidak bergerak sedikitpun
maka tiada sesuatu tanda yang menimbulkan curiganya.
Begitulah sedang kedua belah pihak sama-sama
menantikan kesempatan baik, tiba-tiba suara tangga loteng
berbunyi, kembali orang masuk pula ke situ.
Waktu Wanyen Peng melirik, ia lihat yang datang adalah
Yali Ce dan Yali Yen kakak beradik.
Ketika nampak Wanyen Peng juga berada di situ, kedua
orang itu rada terperanjat, tetapi sesudah memanggut, lalu
mereka mengambil tempat duduknya sendiri.
Diam-diam Li Bok-chiu sangat kagum terhadap sepasang
muda-mudi yang ganteng dan cantik itu, ia menyangka orang
adalah suami isteri, tak tahunya hanya saudara saja.
Kiranya setelah peristiwa Wanyen Peng mencari balas
pada ayahnya, Yali Ce menduga si gadis tak berani datang
lagi, maka bersama adik perempuannya, Yali Yen, mereka
pesiar keluar untuk menikmati keindahan alam daerah
Kanglam ini, disini pula bertemu dengan Wanyen Peng, tentu
saja mereka bertambah lega meninggalkan ayah mereka.
Sementara itu karena “Ngo-tok-pit-toan” atau “Kitab
Panca-bisa” yang tercuri itu disangkanya terjatuh di tangan
orang Kay-pang, Li Bok-chiu sedang masgul, dalam beberapa
hari ini boleh dikatakan tak doyan makan dan tak nyenyak
tidur, oleh karenanya, baru setengah mangkok bakmi yang dia
pesan itu dimakan, kemudian ia taruh sumpitnya dan
memandang iseng keluar restoran itu.
Tiba-tiba tertampak olehnya di simpang jalan sana berdiri
sejajar dua pengemis, pada punggung mereka masing-masing
menggendong tujuh buah kantong kain, nyata mereka adalah
“Chit-te-tecu” atau anak murid berkantong tujuh dari Kay-
pang.
Dalam pada itu muncul lagi satu pengemis yang lain,
dengan tergesa-gesa pengemis belakangan ini mendekati
kedua kawannya dan bisik-bisik sejenak, habis itu dengan
langkah cepat lantas pergi lagi.
Ter gerak pikiran Li Bok-chiu, tiba-tiba ia memanggil kedua
pengemis itu melalui jendela loteng: “Kedua Enghiong dari
Kay-pang, silakan naik ke atas sini, ada sesuatu yang ingin
kuminta tolong kalian sampaikan pada pangcu
perkumpulanmu.”
Li Bok-chiu tahu kalau memanggil orang begitu saja pasti
kedua pengemis itu tak mau gubris padanya, tapi kalau bilang
ada pesan untuk pangcu mereka, sekalipun harus menghadapi
bahaya betapapun besarnya pasti anak murid Kay-pang itu
akan datang padanya.
Karena mendengar gurunya memanggil orang dari Kay-
pang yang diduga tentu hendak ditanyai kemana dibawanya
kitab “panca-bisa”, tanpa tertahan lagi muka Liok Bu-siang
menjadi pucat, ia insaf sekali ini kebohongannya pasti akan
terbongkar.
Di sebelah sana Yali Ce juga sedang merasa heran oleh
kelakuan Li Bok-chiu. ia kenal nama Kay-pang yang
pengaruhnya sangat besar di daerah utara, tetapi satu Tokoh
setengah umur yang biasa seperti ini ternyata bilang ada
sesuatu pesan hendak disampaikan pada Pangcu mereka itu,
ia menjadi tertarik untuk mengetahui macam apakah diri si
Tokoh ini maka ia berhenti minum araknya, ia melirik dan
memperhatikan gerak-gerik orang.
Selang tak lama, naiklah kedua pengemis yang dipanggil
tadi, mereka memberi hormat pada Li Bok-chiu dan menanya:
“Ada pesan apakah Sian-koh, tentu akan kami sampaikan,”
Sesudah berdiri tegak, salah satu pengemis itu melihat
Liok Bu-siang berada bersama juga dengan imam wanita itu,
keruan saja air mukanya seketika berubah.
Kiranya pengemis ini pernah ikut mencegat Bu-siang di
tengah jalan dengan beberapa kawannya berkantong tujuh
itu. Karena itu, cepat ia tarik pengemis satunya, keduanya
lantas melompat ke dekat tangga, dengan sebelah telapak
tangan berlindung di depan dada, mereka siap buat melayani
musuh.
Li Bok-chiu tersenyum melihat kelakuan kedua pengemis
itu.
“Coba kalian berdua melihat punggung tanganmu,”
dengan suara halus ia berkata.
Berbareng kedua pengemis itu memandang balik tangan
mereka, maka terlihatlah setiap telapak tangan mereka
masing-masing telah tercetak sebuah cap tangan yang merah
darah, nyata, entah dengan cara bagaimana, tahu 2 Li Bok-
chiu telah unjuk pukulan saktinya: Ngo-tok-sin-ciang, pukulan
sakti panca bisa.
Cara turun tangan Li Bok-chiu bukan saja di luar tahu
kedua pengemis itu, bahkan Yo Ko dan Yali Ce juga tidak
melihatnya dengan jelas.
“Kau… kau adalah Jik-Iian-sian-cu?” teriak kedua
pengemis itu berbareng sesudah terkejut sejenak.
Li Bok-chiu tidak menjawab melainkan dengan pelahan ia
tuang setengah cawan araknya, ia angkat cawannya, ketika
jarinya menyentil, mendadak cawan arak itu terbang ke atas,
isi cawan terus mancur turun lurus ke bawah.
Ketika Bok-chiu menengadah, setengah cawan arak itu
masuk semua ke mulutnya tanpa menciprat keluar setetespun,
Yang lebih aneh, cawan arak yang terbang disentil itu, tahu-
tahu menyamber balik lagi ke tangannya sesudah berputar di
udara.
Ternyata tenaga menyentil yang dipakai Li Bok-chiu begitu
tepat, inilah ilmu kepandaian tertinggi dari cara menimpuk
senjata rahasia, meski termasuk juga ilmu dari Ko-bong-pay,
tapi Yo Ko harus malu diri karena belum bisa memadai sang
Supek dan masih jauh daripada sanggup “menyentil cawan
dan menenggak arak” itu.
“Nah, bilanglah pada pangcu kalian,” kata Li Bok-chiu
kemudian sesudah unjuk ilmu saktinya tadi “bahwa Kay-pang
kalian dengan aku orang she Li selamanya “air sungai tak
menggenangi air sumur”, selamanya akupun mengagumi
kawan-kawan Kay-pang yang gagah perkasa, cuma sayang
tiada kesempatan untuk bertemu dan minta petunjuk sungguh
hal ini harus dibuat menyesal…”
“Enak saja kata-katanya itu, tetapi kenapa tanpa sebab
tiada alasan kau turun tangan keji kepada kami?” demikian
pikir kedua pengemis itu sambil saling pandang.
“Kalian berdua sudah kena pukulanku Ngo-tok-sin-ciang,
tapi hal ini tak perlu dibuat kuatir asal kitab yang direbut itu
dikembalikan, tentu akan kusembuhkan kalian berdua,” kata Li
Bok chiu lagi setelah berhenti sejenak.
“Kitab apa?” tanya salah satu pengemis itu.
“Kalau diceritakan kitab itupun tak laku beberapa duit, jika
perkumpulan kalian berkeras tak mau kembalikan, sebenarnya
pun tidak menjadi soal,” demikian sahut Bok-chiu dengan
tertawa, “Cuma sebagai gantinya, terpaksa kuminta bayar
dengan seribu jiwa pengemis goIonganmu.”
Walaupun kedua pengemis itu masih belum merasakan
tangan mereka ada tanda-tanda aneh, tapi tiap-tiap Li Bok-
chiu berkata, tanpa tertahan mereka pun memandang ke
tangan yang terpukul itu, saking jerinya terhadap Jik-lian-sin-
ciang yang maha kesohor karena kejinya itu, dalam bayangan
kedua pengemis itu seakan-akan merasakan tanda merah di
telapak tangan mereka peIahan2 sedang meluas.
Kini mendengar lagi Li Bok-chiu bilang hendak minta ganti
seribu jiwa kawan mereka, mereka pikir tiada jalan lain kecuali
lekas-lekas kembali melapor pada Pangcu. Maka setelah saling
memberi tanda, segera mereka berlari turun ke bawah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar