Kembalinya Pendekar Rajawali 24
“Hm”, tiba-tiba ia menjengek terhadap Yali
Ce. “Tiga kali
menuntut balas dan tidak berhasil, kusesalkan
kepandaianku
sendiri yang tak becus, Tetapi aku hendak
bunuh diri, kenapa
kau ikut campur tangan pula?”
“Asal selanjutnya nona berjanji tidak akan
merecoki kami
lagi, segera aku bebaskan kau,” sahut Yali
Ce.
Wanyen Peng mendengar ia tidak menjawab
melainkan
matanya yang mendelik gusar.
Kemudian Yali Ce baliki Liu-yap-to rampasannya
itu,
dengan garan senjata itu ia ketok pelahan
beberapa kali
pinggang si gadis untuk melepaskan jalan
darahnya.
Kiranya Yali Ce ini memang laki-laki sejati,
tadi dalam
keadaan terpaksa, maka dia menutuk dengan
jari tangan,
tetapi kini ia tak berani menyentuh tubuh si
gadis lagi
melainkan menggunakan garan golok untuk
melepaskan Hiat-
to yang tertutup itu.
Sesudah itu segera Yali Ce angsurkan golok
itu kepada
pemiliknya.
Semula Wanyen Peng rada ragu-ragu, tetapi
akhirnya
diterimanya kembali juga.
“Yali-kongcu, sudah beberapa kali kau berlaku
murah hati
dan melayani aku dengan sopan, hal ini aku
cukup
mengetahuinya”, demikian katanya kemudian
“Tetapi sakit
hati antara keluarga Wanyen kami dengan
keluargamu Yali
sedalam lautan, betapapun juga, sakit hati
orang tua tak bisa
tak dibalas”.
Yali Ce pikir: “Nyata gadis ini masih akan
bikin ribut tiada
hentinya, ilmu silatnya juga tinggi, padahal
aku tak bisa selalu
disamping ayah untuk melindungi selama
hidupnya, Ah,
kenapa aku tidak pancing dia agar dia tuntut
sajalah saja
padaku.”
“Nona Wanyen, begitulah ia berkata “kau
hendak
membalas dendam orang tua, cita2mu itu
sungguh harus
dipuji Cuma persengketaan angkatan tua,
hendaklah orang
tua itu selesaikan sendiri dan kita yang
menjadi orang
angkatan muda, masing-masing pun ada budi dan
dendamnya
sendiri-sendiri. Maka bila kau akan menuntut
balas, utang
darah antara keluarga kita itu bolehlah kau
cari saja padaku
sendiri tetapi kalau ayahku yang kau recoki,
kelak kalau kita
bertemu pula, soalnya tentu akan menjadi
sulit.”
“Hm, enak saja kau bicara, ilmu silatku jelas
tak bisa
mengungkuli kau, mana bisa aku balas dendam
padamu,
sudahlah sudahlah!” sahut Wan-yen Peng sambil
tutup
mukanya terus bertindak
Yali Ce mengarti dengan perginya si gadis,
tentu orang
akan cari jalan buat bunuh diri lagi, karena
bermaksud
menolong jiwa orang, maka ia sengaja berkata
pula dengan
tertawa dingin: “Huh, wanita keluarga Wanyen
kenapa tak
punya pambekan!”
“Kenapa tak punya kambekan?” tanya Wanyen
Peng tiba-
tiba sembari berpaling.
“Soal ilmu silatku lebih tinggi dari kau, ya,
itu memang
betul, tetapi apanya yang perlu dibuat heran?
Hal ini oleh
karena aku pernah mendapat ajaran dari guru
pandai, dan
bukan karena aku memepunyai bakat yang
melebihi orang
lain,” kata Yali Ce.
“Kau masih semuda ini, asal kau mau mencari
guru
dengan penuh keyakinan, apa tak Msa kau
mendapatkannya?”
Sebenarnya hati Wanyen Peng penuh mendongkol
dan
gusar tidak kepalang, tapi mendengar beberapa
kata itu,
diam-diam ia memanggut juga.
“Setiap kali aku bergebrak dengan kau, selalu
aku hanya
gunakan tangan kanan saja, hal ini bukannya
aku sengaja
berlaku sombong,” kata Yali, Ce lagi. “Tetapi
sebabnya karena
tipu serangan tangan kiriku terlalu aneh,
bila sampai
bergebrak, tentu akan melukai orang, oleh
karenanya aku
bersumpah kalau tidak dalam detik yang
berbahaya, sekali-kali
aku tidak sembarangan menggunakan tangan
kiri, Maka begini
saja sebaiknya, biarlah kalau kau sudah
belajar lagi dari guru
pandai, setiap saat kau boleh datang mencari
aku lagi, asal
kau mampu memaksa aku menggunakan tangan kiri
seketika
juga aku potong leherku sendiri tanpa
menyesal”
Dengan uraian ini sungguh-sungguh Yali Ce
ingin
menolong jiwa orang, ia tahu ilmu silat
Wanyen Peng masih
berselisih jauh dengan dirinya, sekalipun
dapatkan guru
pandai juga susah hendak menangkan dirinya.
Maka
tujuannya hanya untuk mengulur tempo belaka
agar sesudah
lewat agak lama, rasa dendam Wanyen Peng bisa
mereda
hingga tak perlu membunuh diri lagi.
Oleh karena itu, Wanyen Peng berpikir: “Kau
toh bukan
dewa, kalau aku berlatih secara
sungguh-sungguh masakan
dengan dua tanganku tak bisa menangkan
sebelah tanganmu
itu?”
Maka goloknya segera ia angkat ke atas dan
berseru :
“Baik! Laki-laki sejati sekali kata…”
“Kuda cepat sekali pecut!” sambung Yali Ge
tanpa ragu-
ragu.
Dengan istilah “Laki-laki sejati sekali kata,
kuda cepat
sekali pecut”, artinya apa yang telah
diucapkan itu tak akan
dipungkiri lagi.
Habis itu, dengan bersitegang lalu Wanyen
Peng bertindak
pergi walaupun begitu, pada air mukanya tidak
terhindar dari
rasa pedih dan lesu.
Melihat tuan muda mereka membebaskan si
gadis, sudah
tentu para pengawal tak berani merintangi,
sehabis memberi
hormat pada Yali Cu-cay, kemudian merekapun
keluar kamar.
Peristiwa tadi terjadi dengan ramainya, namun
sama sekali
Yo Ko tak nampakkan diri, diam-diam Yali Cin
menjadi heran
sekali.
“Ji-ko, kenapa kau bebaskan dia lagi?”
terdengar Yali Yen
tanya abangnya, Yali Ce, dengan tertawa.
“Tidak bebaskan dia, apa harus bunuh dia?”
sahut Yali Ce.
“Tetapi salah besar kalau kau bebaskan dia,”
kata Yali Yen
lagi.
“Sebab apa?” tanya Yali Ce heran.
“Ji-ko, kau kehendaki dia menjadi isteri
seharusnya jangan
kau lepaskan dia,” ujar Yali Yen tertawa.
“Ngaco-belo!” omel Yali Ce dengan
sungguh-sungguh.
Meiihat abangnya ber-sungguh-sungguh, kuatir
orang marah,
maka tak berani lagi Yali Yen bergurau
Percakapan kedua orang itu semuanya didengar
jelas oleh
Yo Ko yang masih mengintip di luar jendela
itu demi
mendengar apa yang dikatakan Yali Yen bahwa
“kehendaki dia
menjadi isteri”, aneh, dalam hatinya tanpa
sebab timbul
semacam rasa iri, rasa cemburu, ia menjadi
begitu benci
terhadap si Yali Ce itu.
Padahal ilmu silat Yali Ce sangat tinggi,
tingkah lakunya
pun berbudi dan sesungguhnya adalah satu
laki-laki sejati,
sebenarnya Yo Ko diam-diam kagum padanya.
Tetapi kini
demi terpikir Wanyen Peng akan diperisterikan
dia, ia merasa
semakin tinggi ilmu silat Yali Ce dan semakin
baik prilakunya,
hal ini semakin menandakan kemalangan nasib
dirinya sendiri
Oleh sebab itulah, begitu dilihatnya sorot
mata Wanyen
Peng sangat mirip Siao-Iiong-li, tanpa terasa
bibit asmaranya
bersemi dan terlibat pada diri gadis itu.
Tengah ia tertegun, tiba-tiba dilihatnya
berkelebat
bayangan Wanyen Peng di atas rumah sana yang
menuju ke
jurusan tenggara.
“Coba aku pergi melihatnya,” katanya
tiba-tiba pada Liok
Bu-siang.
“Melihat apa?” tanya si nona.
Namun Yo Ko tak menjawab, dengan cepat Wanyen
Peng
disusulnya.
Meski ilmu silat Wanyen Peng tak terlalu
tinggi, tetapi
Ginkang atau ilmu entengkan tubuhnya ternyata
amat bagus,
sesudah Yo Ko mengejar dengan “poIgas” hingga
di luar kota
barulah dapat disusulnya.
Ia melihat Wanyen Peng masuk ke sebuah rumah
penduduk Dengan cepat Yo Ko ikut melompat
masuk ke
pelataran rumah itu dan sembunyi di pinggir
tembok, Lewat
tak lama, kamar di sebelah barat sana
kelihatan sinar lampu
yang dinyatakan, menyusul mana lantas
terdengar suara
orang menghela napas panjang.
Dari helaan napas panjang itu jelas orangnya
lagi berhati
duka dan menderita batin.
Mendengar suara helaan napas panjang itu,
seketika Nyo
Ko tertegun seperti orang linglung di luar
jendela kamar itu,
tanpa terasa iapun ikut menghela napas
panjang.
Mendadak mendengar ada orang menghela napas
juga di
kamar, Wanyen Peng terperanjat, lekas-lekas
ia sirapkan
lampu dan mundur ke pojok kamar.
“Siapa?” bentaknya kemudian dengan suara
tertahan.
“Kalau tidak berduka, mana bisa menghela
napas?” sahut
Yo Ko.
Wanyen Peng semakin heran, dan lagu suara
orang
agaknya tidak bermaksud jahat, maka ia tanya
lagi: “Siapakah
kau sebenarnya?”
“Untuk membalas sakit hati, orang kuno pernah
rebah
sambil merasakan pahitnya empedu, tetapi kau,
gagal sekali
sudah hendak bunuh diri, bukankan harus malu
dibandingkan
orang kuno itu?” kata Yo Ko dari luar.
Dahulu di Tho-hoa-to pernah Yo Ko bersekolah
pada Ui
Yong dan banyak diceritakan oleh bibinya itu
tentang hikayat
orang-orang jaman dahulu, diantaranya ialah
Wat-ong dari
jaman Ciankok yang tertawan musuh, tetapi
tanpa putus asa
dan dengan penuh sabar menantikan saat baik
untuk
membalas dendam, sebagai gemblengan atas
cita2-nya itu”,
Wat-ong setiap hari mengicip2 rasa pahitnya
empedu sambil
merebah, Cerita itulah kini di-sitir oleh Yo
Ko.
Karena itu, lalu terdengar suara pintu kamar
dibuka,
Wanyen Peng menyalakan lagi lampunya,
“Silakan masuk,”
begitulah ia sambut Yo Ko.
Lebih dulu Yo Ko memberi hormat, habis itu
baru dia
masuk ke kamar orang.
Wanyen Peng rada heran melihat Yo Ko memakai
seragam perwira bangsa Mongol, lagi pula
usianya masih
muda.
“Petunjuk tuan memang tepat, dapatkah
mengetahui
nama dan she tuan yang mulia?” tanyanya
kemudian.
Akan tetapi Yo Ko tidak menjawab, sebaliknya
kedua
tangannya ia masukkan ke dalam lengan baju,
habis itu baru
ia buka suara, tetapi menyimpang dari
pertanyaan orang.
“ltulah Yali Ce telah membual secara tak tahu
malu, ia kira
dengan tangan kanan saja sudah hebat sekali
kepandaiannya,
padahal kalau mau rebut golok orang dan
menutuk Hiat-to
orang, apa susahnya meski sebelah tangan tak
diperguna-
kan?” demikian katanya.
Namun Wanyen Peng tidak sependapat dengan
uraian Nyo
Ko yang lebih sombong dari Yali Ce itu,
tetapi karena belum
kenal asal usul orang, maka ia merasa tidak
enak
mendebatnya.
“Aku ajarkan kau tiga jurus sakti, dengan ini
kau lantas
bisa paksa Yali Ce memakai kedua tangannya,”
kata Yo Ko
lagi “Tetapi kau tentu tak percaya, bukan ?
Nah, sekarang
juga aku boleh coba-coba dengan kau. Aku sama
sekali tak
menggunakan kaki-tanganku untuk bergebrak
dengan kau,
bagaimana ?”
Luar biasa heran Wanyen Peng oleh ucapan Yo
Ko,
katanya dalam hati: “Masakan kau bisa rami
gaib hingga
dengan sekali tiup kau bisa robohkan aku?”
Melihat sikap si gadis, Yo Ko tahu apa yang
dipikir
olehnya.
“Kau boleh bacok dengan golok sesukamu, atau
aku tak
bisa hindarkan diri biar matipun ku tidak
menyesal” katanya
untuk menghiIangkan rasa sangsi si nona.
“Baiklah, cuma akupun tak pakai golok, balas
dengan
tangan kosong saja kulukai kau,” sahut Wanyen
Peng.
“Tidak, tidak,” kata Yo Ko lagi sambil
menggeleng kepala,
“aku harus rebut golokmu tanpa geraki tangan
dan kakiku,
dengan begitu barulah kau mau percaya.”
Melihat sikap Yo Ko yang anggap perkara itu
seperti hal
sepele saja, mau tak-mau Wanyeng Peng
mendongkol juga.
“Tuan begini lihay, sungguh, dengar saja aku
tak pernah”
katanya
Habis ini, tanpa sungkan-sungkan lagi ia
lolos golok terus
membacok ke pundak Yo Ko.
Ketika melihat kedua tangan Yo Ko masih
terselubung di
dalam lengan baju dan anggap seperti tidak
terjadi apa-apa, ia
menjadi kuatir betulI melukai orang, maka
arah goloknya
sedikit dimiringkan ke samping.
Gerak senjatanya ini ternyata dapat dilihat jelas
oleh Nyo
Ko, iapun tidak bergerak sedikitpun.
“Jangan kau sungkan-sungkan, kau harus
membacok
sungguhan.” demikian katanya.
Wanyen Peng menjadi kagum melihat orang sama
sekali
tak hkaukan serangannya itu, “Apakah ia
seorang dogol?”
pikirnya.
Menyusul itu, goloknya bergerak pula, sekali
ini ia
membabat dari samping dengan sungguh-sungguh
Tak terduga, secepat kilat mendadak Nyo
sedikit
berjongkok hingga golok menyamber lewat di
atas kepalanya,
jaraknya cuma selisih satu-dua senti saja.
Sekarang Wanyen Peng tidak sungkan-sungkan
lagi, ia
kumpulkan semangat, goloknya diangkat terus
membacok
pula.
“Dalam bacokanmu boleh diselingi pula dengan
Thi-cio
(pukulan telapak besi),” kata Yo Ko sembari
hindarkan golok.
Luar biasa kaget Wanyen Peng oleh kata-kata
Yo Ko itu,
dengan golok terhunus ia melompat ke pinggir
“Da… dari mana kau bisa tahu?,” tanyanya
cepat dengan
suara tak lancar.
“Kau punya Ginkang adalah dari golongan
Thi-cio-cui-
siang-biau, maka aku hanya coba menerkanya
saja,” sahut
Yo Ko.
“Baik,” kata Wanven Peng kemudian. Berbareng
itu
goloknya membacok pula diikuti dengan tangan
kiri lantas
memotong betul-betul diantara goloknya ia
selingi dengan Thi-
cio.
Namun dengan gampang saja Yo Ko mengegos lagi
“Boleh lebih cepat sedikit.” katanya malah.
Wanyen Peng menjadi makin heran, ilmu
goloknya lantas
dikeluarkan seluruhnya, makin menyerang makin
cepat nyata
dia memang anak murid kaum ahli yang
tersohor, gerak
serangannya tidak boleh dipandang enteng.
Sungguhpun begitu, namun kedua tangan Yo Ko
masih
terselubung di dalam lengan baju, hanya
tubuhnya saja vang
berkelit kian kemari di antara samberan golok
dan hantaman
orang, jangan kata hendak melukainya, ujung
baju saja
Wanyen Peng tak mampu menyenggolnya.
Sesudah sebagian besar ilmu golok si nona
dilontarkan,
tiba-tiba Yo Ko berkata: “Awas, dalam tiga
jurus ini, golokmu
akan kurebut!”
Kini Wanyen Peng sudah kagum luar biasa
terhadap Nyo
Ko, tetapi kalau bilang dalam tiga jurus saja
goloknya hendak
direbut, inilah dia masih belum mau percaya,
maka senjatanya
ia genggam terlebih kencang.
“Coba saja rebut!” sahutnya, berbareng ia
memotong dari
samping dengan kuat, tipu serangan ini adalah
“Ling-hing-cin-
nia” (dengan gesit melintasi bukit Cin).
Siapa tahu, dengan sedikit menunduk Yo Ko
malah
menerobos di bawah goloknya, menyusul ini
kepalanya sedikit
melengos ke atas, dengan batok kepalanya ia
bentur siku
Wanyen Peng yang memegang golok itu.
Tempat yang dibentur itu adalah
“kiok-ti-hiat”, keruan
lengan Wanyen Peng menjadi lemas tak
bertenaga, ketika Nyo
Ko mendongak dan mangap mulutnya, dengan jitu
sekali
punggung golok kena digigitnya, maka secara
gampang saja
senjata itupun kena direbutnya, bahkan
menyusul kepalanya
melengos lagi, dengan garan golok ia tumbuk
iga Wanyen
Peng, maka tertutuklah Hiat-to si gadis.
Dengan tersenyum Yo Ko segerapun melompat
pergi,
waktu kepalanya bergerak, tiba-tiba ia
mengayun ke atas
hingga golok yang dia gigit tadi terbang ke
udara, dengan
melemparkan golok ini, perlunya agar bisa
bicara dengan
mulutnya.
“Bagaimana, menyerah tidak?” begitu ia tanya.
Habis berkata, golok itupun sudah menurun ke
bawah,
Yo Ko buka mulut dan dapat menggigitnya
kembali
Terkejut dan bergirang Wanyen Peng, ia
angguk-angguk
oleh pertanyaan Yo Ko tadi.
Melihat kerlingan mata si gadis sungguh mirip
sekali
dengan Siao-liong-li, tak tertahan Yo Ko
ingin sekali bisa
peluk orang dan menciumnya, cuma perbuatan
ini terlalu
kurangajar, maka sambil gigit golok, mukanya
menjadi merah
jengah.
Sudah tentu Wanyen Peng tak tahu apa yang
sedang
dipikir Yo Ko, hanya dilihatnya sikap orang
yang aneh itu,
dalam hati ia terheran-heran, namun seluruh
badan sendiri
terasa kaku, kedua kaki lemas seakan-akan
hendak jatuh.
Yo Ko melangkah maju dan melamun, tiba-tiba
teringat
olehnya: “Ah, jangan, dia pernah berterima
kasih pada Yali Ce
karena sopan santunnya, memang aku lebih
rendah daripada
Yali Ce itu? Hm, aku justru hendak melebihi
dia dalam hal
apapun juga.”
Begitulah tabiat Yo Ko yang gampang
ter-singgung, sejak
kecil tak pernah memperoleh didikan orang
tua, tentang sopan
santun dan tata krama sama sekali tak
diketahui, setiap tindak
tanduknya bergantung pada pendapatnya apakah
itu baik atau
buruk. Waktu itu kalau bukan pikirannya ingin
melebihi Yali
Ce, boleh jadi ia sudah peluk Wanyen Peng dan
menciumnya.
Kemudian dengan garan golok ia tumbuk lagi
sekali
pinggang Wanyen Peng untuk melepaskan Hiat-to
yang
ditutuk tadi, lalu golok itu ia angsurkan
kembali padanya.
“Siapa tahu, bukannya Wanyen Peng terima
kembali
goloknya, sebaliknya ia terus berlutut di
hadapan Yo Ko.
“Mohon Suhu terima aku sebagai murid, kalau
aku dapat
membalas sakit hati orang tua, budi ini pasti
takkan
kulupakan,” katanya tiba-tiba.
Yo Ko menjadi kelabakan oleh kelakuan orang,
lekas-
lekas ia bangunkan Wanyen Peng.
“Mana bisa aku menjadi gurumu?” sahutnya,
“Tetapi,
dapatlah kuajarkan satu akal padamu untuk
membunuh Yali-
kongcu.” Girang sekali Wanyen Peng oleh
keterangan itu.
“Bagus sekali, asal bisa bunuh Yali-kongcu,
abang dan
adiknya bukan tandinganku semua, dengan
sendirinya aku
dapat membunuh lagi ayahnya… berkata sampai
disini, tiba-
tiba terpikir lagi olehnya: “Ah, kalau sampai
aku memiliki
kepandaian untuk membunuh dia, apa mungkin
Yali tua masih
hidup di dunia ini? Bagaimanapun juga, sakit
hati ayah-
bundaku tak dapat dibalas,”
Tetapi sehari ini saja Yali tua itu rasanya
masih tetap
hidup,” kata Yo Ko dengan tertawa.
“Apa maksudmu?” tanya Wanyen Peng.
“Untuk membunuh Yali Ce, apa susahnya?” Sahut
Yo Ko.
“Sekarang juga aku ajarkan tiga tipu padamu
dan malam ini
juga kau dapat membunuhnya.”
Sudah tiga kali Wanyen Peng berusaha membunuh
Yali
Cu-cay, tetapi ketiga kalinya selalu
dikalahkan Yali Ce secara
mudah saja, maka ia cukup kenal ilmu
kepandaian orang yang
berpuluh kali lebih tinggi dari dirinya. Ia
pikir, sungguhpun
ilmu silat Yo Ko tinggi, tapi belum tentu melebihi
Yali Ce.
Sekalipun bisa menangkan dia, tidak nanti
juga hanya tiga
tipu saja lantas bisa digunakan buat membunuh
orang, apalagi
malam ini pula katanya bisa membunuhnya, ini
lebih-lebih tak
mungkin.
Begitulah ia menjadi sangsi, karena kuatir Yo
Ko marah,
maka tak berani Wanyen Peng mendebatnya,
hanya kepalanya
menggeleng sedikit, sedang kerlingan matanya
yang
menggilakan Nyo-Ko tadi semakin menggiurkan.
Betapa pintarnya Yo Ko, segera iapun tahu apa
yang
dipikirkan si gadis.
“Ya, memang ilmu silatku belum pasti bisa
diatasnya,”
demikian katanya, “kalau saling gebrak, boleh
jadi aku malah
banyak kalahnya daripada menangnya, Tetapi
untuk
mengajarkan tiga tipu padamu dan buat
membunuhnya
malam ini juga, hal ini sebaliknya tidak
perlu buang tenaga,
Soalnya hanya bergantung padamu yang pernah
mendapat
pengampunan tiga kali dari dia, aku kuatir
kau tak tega
membunuhnya.”
Hati Wanyen Peng tergerak, segera ia keraskan
hatinya
dan menyahut: “Meski dia ada budi padaku,
namun sakit hati
orang tua tidak bisa tidak dibalas.”
“Baik, kalau begitu tiga jurus tipu ini
segera kuajarkan
padamu,” kata Yo Ko. “Tetapi kalau kau
mestinya bisa
membunuh dia dan tidak kau lakukan, lalu
bagaimana nanti?”
“Bila terjadi begitu, terserahlah kau untuk
berbuat
sesukamu, toh kepandaianmu begini tinggi kau
mau pukul
atau mau bunuh aku, apa aku sanggup melarikan
diri?” sahut
Wanyen Peng tegas.
“Mana aku tega pukul, apalagi membunuh kau?”
demikian
pikir Yo Ko dalam hati. Maka dengan tersenyum
ia
menjawab: “Sebenamya tiga jurus tipu inipun tiada
yang
mengherankan Nih, kau lihat yang jelas!”
Habis itu, golok orang lantas diambilnya
kembali, dengan
pelahan ia membabat dari kiri ke kanan.
“Tipu pertama yalah “hun-hing-cin-nia”,” kata
Yo Ko.
Melihat tipu serangan ini, diam-diam Wanyen
Peng
berpikir: “Tipu serangan ini aku sudah bisa,
perlu apa kau
mengajarkan?” - Maka dengan mengegos ia
hindarkan
serangan itu.
“Dan kini tipu kedua,” kata Yo Ko sambil
mendadak ulur
tangan kiri buat pegang tangan kanan si
gadis, “ini adalah tipu
“ko-tin-jiau-jiu” (akar rotan melingkar
pohon) dari ilmu
pukulanmu Thi-cio-kang.”
“Aneh, tipu inipun satu diantara 18 gerakan
Kim-na-jiu dari
Thi-cio-kang kami, buat apa kau mengajarkan
lagi?” kembali
Wanyen Peng berpikir “Tetapi aneh juga,
darimana dia
mempelajari ilmu pukulan golongan Thi-cio-bun
kami?”
“Ilmu kepandaian golongan Thi-cio-bun,
pertama adalah
Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh, Kedua
yalah Cio-
hoat atau ilmu pukulan tangan kosong,
lebih-lebih 18 jurus
Kim-na-jiu (cara mencekal dan memegang) juga
sangat lihay,
Karena Kiu-im-cin-keng adalah himpunan dari
inti2 itmu silat
seluruh jagat, asal satu dipelajari maka
semuanya paham
dengan sendirinya.
Yo Ko sudah berhasil melatih Kiu-im-cin-keng,
maka
iapun kenal Kim-na-jiu-hoat dari Thi-cio-bun
itu, hanya cara
yang lebih mendalam belum diketahuinya.
Begitulah, maka Wanyen Peng menjadi heran
karena
tangannya dipegang tadi ia merasa
Kim-na-jiu-hoat yang
diunjuk Yo Ko ini sebenarnya tidak lebih
lihay dari apa yang
dia pernah belajar, karena itu, dengan mata
terbuka lebar ia
menantikan tipu serangan ketiga yang akan
diajarkan padanya
itu.
Belum lagi Yo Ko perlihatkan tipu ketiganya,
Wanyen
Peng telah membatin pula: “Jurus seranganmu
yang pertama
dan kedua semuanya adalah ilmu kepandaian
Thi-cio-bun
kami sendiri hakekatnya tiada sesuatu yang
luar biasa, apakah
mungkin melulu andalkan tipu serangan ketiga
ini lantas bisa
membunuh Yali-kongcu?”
“Nah, sekarang lihatlah yang jelas !”
begitulah terdengar
Yo Ko berseru padanya, Habis itu goloknya
diangkat terus
menggorok tenggorokan sendiri.
Keruan saja tidak kepalang kaget Wanyen Peng,
“Hai, apa
yang kau lakukan ?” jeritnya cepat Dan karena
tangan
kanannya masih dipegang ken-cang2 oleh Yo Ko,
maka
dengan tangan kiri ia merebut senjata yang
hendak dibuat
bunuh diri oleh Yo Ko itu.
Meski dalam keadaan gugup, namun gerak tangan
Wanyen Peng tetap sangat cepat, sekali cekal,
pergelangan
tangan si Yo Ko sudah dipegangnya terus
ditekuk, dengan
demikian mata golok itu tak dapat dipakai
membunuh diri lagi.
Yo Ko lantas kendurkan kedua tangannya dan
melompat
mundur. “Nah, sekarang kau sudah tahu bukan
?” dengan
tertawa ia tanya.
Wanyen Peng sendiri masih berdebar-debar
hati-nya oleh
karena kagetnya tadi, maka ia belum paham apa
maksud
kata-katanya.
“Pertama kau gunakan tipu “hun-hing-cin-nia”
untuk
membabat, lalu dengan tipu oh-tu-jiau-jiu”
kau cekal tangan
kanannya dengan kencang, dan tipu ketiga
yalah angkat golok
buat bunuh diri.
“Dalam keadaan begitu, pasti dia akan gunakan
tangan kiri
buat menolong kau, ia pernah bersummpah
padamu bahwa
asal kau bisa memaksa dia menggunakan tangan
kiri, ia akan
serahkan jiwanya padamu, itu namanya mati
tanpa menyesal
dan bukankah urusan menjadi selesai ?”
demikian Yo Ko
menjelaskan.
Betul juga pikir Wanyen Peng, tetapi dengan
termangu-
mangu ia memandang Yo Ko, dalam hati ia
pikir: “Usiamu
masih semuda ini, mengapa dapat kau pikirkan
cara-cara yang
begini aneh dan nakal ?”
Dalam pada itu Yo Ko telah berkata lagi:
“Ketiga tipu tadi tanggung berhasil dengan
baik, kalau
gagal, aku nanti menyembah padamu!”
“Tidak,” tiba-tiba Wanyen Peng menyahut
dengan goyang
kepala, “sekali dia bilang tak akan pakai
tangan kiri, tentu tak
digunakannya, lalu bagaimana?”
“Lalu bagaimana? Kalau kau tak bisa membalas
dendam,
bukankah lebih baik mati saja, beres.” kata
Yo Ko.
“Kau betul,” sahut Wanyen Peng dengan suara
pilu,
“Terima kasih atas petunjukmu sebenarnya kau
ini siapakah ?”
“Dia bernama si Tolol, jangan kau turut
ocehannya,”
belum sampai Yo Ko menjawab, tiba-tiba suara
seorang
perempuan menyela di luar jendela.
Yo Ko dapat mengenali itu adalah suara Liok
Bu-siang,
maka ia hanya tersenyum dan tidak gubris.
Sementara itu Wanyen Peng telah melompat ke
pinggir
jendela, sekilas masih dapat dilihat
berkelebatnya bayangan
orang yang melompat keluar pagar.
Hendak dikejar oleh Wanyen Peng sebenarnya,
namun
Yo Ko telah mencegahnya.
“Tak perlu kau uber dia,” kata Yo Ko dengan
tertawa,
“Dia adalah kawan-ku. Dia memang selalu ingin
mengacau
padaku.”
“Tak apalah kalau kau tak mau menerang-kan,”
ujar
Wanyen Peng sesudah termenung sejenak sambil
memandangi Yo Ko. “Tetapi aku yakin kau tiada
maksud
jahat padaku.”
Watak Yo Ko suka menyerah pada kelunakan dan
sekali-
kali tidak sudi tunduk pada kekerasan kalau
ada orang
menghina dia, memaksa dia, sekalipun mati tak
nanti dia
menyerah, tetapi kini oleh karena kerlingan
mata Wanyen
Peng dengan wajahnya yang sayu mengharukan,
tanpa terasa
timbul rasa kasih sayang dalam hati Yo Ko.
Maka dengan tarik tangan si gadis, dengan
berendeng
mereka duduk di dipan, lalu dengan suara
halus ia
menerangkan : “Aku she Nyo dan bernama Ko,
ayah-bundaku
sudah meninggal semua, serupa saja dengan
hidupmu…”
Mendengar sampai disini, hati Wanyen Peng tak
tertahan
lagi air matanya mengucur. Dasar perasaannya
Yo Ko juga
gampang terguncang, mendadak iapun menangis
hingga
menggerung.
Karena itu, Wanyen Peng keluarkan saputangan
dan
disodorkan pada Yo Ko.
Waktu mengusap air mata dengan saputangan
orang, Nyo
Ko mencium bau harum yang sedap, tetapi
ketika ingat pada
kisah hidupnya sendiri, air matanya semakin
lama semakin
mengucur.
“Nyo-ya (tuan Nyo), kaupun ikut-ikut menangis
–gara-
gara urusanku,” kata Wanyen Peng.
“Jangan panggil aku Nyo-ya,” sahut Yo Ko.
“Betapa umurmu tahun ini?”
“Delapan belas,” kata si gadis. “Dan kau?”
“Akupun delapan belas,” sahut Yo Ko, Dalam
hati ia
berpikir: “Kalau bulan lahirku lebih muda
dari dia hingga aku
dipanggil adik olehnya, rasanya kurang
nikmat.” - Karena
inilah, lantas di sambungnya lagi: “Aku
terlahir dalam bulan
pertama, maka selanjutnya kau panggil aku
Toako saja,
Akupun tak akan sungkan 2 lagi dan panggil
kau sebagai adik
perempuan.”
Muka Wanyen Peng menjadi merah, ia merasa si
Yo Ko
ini segala apa selalu terang-terangan,
sungguh sangat aneh,
tetapi memang nyata tiada maksud jahat
terhadap dirinya,
maka kemudian iapun: mengangguk tanda setuju.
Mendapatkan seorang adik baru, rasa senang
hati Yo Ko
sungguh tak terkatakan.
Begitulah watak Yo Ko, kalau Liok Bu-siang
suka
mendamperat dan marah-marah padanya, maka ia
pun tiada
hentinya menggoda, Tetapi kini wajah Wanyen
Peng cantik
molek, perawakannya kurus lencir, nasibnya
pun malang,
seperti dilahirkan supaya dikasihani orang,
yang paling penting
lagi, jalan kerlingan sepasang mata-bolanya
yang begitu mirip
seperti Siao-liong-li.
Dengan termangu-mangu Yo Ko memandangi mata
Wanyen Peng, dalam khayalannya ia anggap
gadis berbaju
hitam di hadapannya itu seperti berbaju
putih, wajah orang
yang cantik kurus itu seakan-akan kelihatan
seperti muka
Siao-liong-li tanpa terasa terunjuklah
perasaannya yang
mengharap, perasaan rindu rasa kasih sayang
yang halus.
Karena guncangan perasaan itulah, maka air
mukanya pun
menjadi aneh luar biasa, akhirnya Wanyen Peng
menjadi
takut, pelahan ia lepaskan tangan dari
cekalan orang dan
menegur: “Kenapakah kau?”
“Tak apa-apa,” sahut Yo Ko seperti tersadar
dari mimpi,
sambil menghela napas. “Sekarang kau pergi
membunuh dia
tidak?”
“Segera juga aku pergi,” sahut Wanyen Peng
cepat, “Nyo-
toako, kau ikut serta tidak?”
Sebenarnya Yo Ko hendak berkata : “sudah
tentu ikut
serta”, tetapi bila terpikir lagi kalau
dirinya ikut, tentu hal ini
akan membesarkan hati Wanyen Peng, dan
lagaknya
membunuh diri tentu menjadi tak sungguhan
Yali Ce juga tak
bisa terjebak akalnya lagi
Sebab itu, maka dijawabnya : “Rasanya tak
enak aku ikut
pergi.”
Karena jawaban ini, tiba-tiba sorot mata Wanyen
Peog
menjadi guram
Hati Yo Ko menjadi lemas, hampir-hampir ia
menyanggupi untuk ikut serta kalau tidak
keburu si gadis
berkata lagi: “Baiklah, Nyo-toako, cuma aku
tak akan bersua
lagi dengan kau.”
“Mana, ma… mana bisa begitu? ak,..aku….”
sahut Yo Ko
cepat dan tak lancar.
Namun Wanyen Peng sudah keluarkan serenceng
uang
perak, ia lemparkan ke atas meja sebagai
biaya menginap di
rumah penduduk itu, habis mana iapun melompat
keluar.
Dengan ilmu entengkan tubuhnya yang hebat,
sekejap
saja ia sudah berada lagi ditempat tinggalnya
Yali Ce.
Tatkala itu Yali Cu-cay dll sudah kembali ke
kamarnya
sendiri-sendiri, Yali Ce baru saja hendak
me-ngaso, tiba-tiba
pintu kamarnya diketok orang.
“Wanyen Peng mohon bertemu Yali-kongcu,”
demikian
terdengar suara si gadis yang nyaring.
Segera ada empat pengawal datang merintangi
Wanyen
Peng, namun Yali Ce sudah keburu membuka
pintu kamarnya.
“Ada keperluan apa lagi, nona Wanyen?”
tanyanya segera.
“Aku ingin belajar beberapa gebrak lagi
dengan kau,”
sahut Wanyen Peng.
Heran sekali Yali Ce, ia pikir mengapa orang
tak tahu diri?
Namun tidak urung ia menyingkir ke samping
sambil memberi
tanda dengan tangan: “Silakan masuk!”
Begitu masuk, tanpa bicara lagi Wanyen Peng
lantas lolos
senjata terus mencecar tiga kali, diantara
goloknya, ia selingi
pula dengan pukulan telapak tangan besinya.
Tetapi Yali Ce memang jauh lebih tinggi ilmu
silatnya,
dengan tangan kiri lurus ke bawah, ia layani
si gadis dengan
tangan kanan melulu, ia balas memukul dan
hendak
menangkap senjata orang, dengan gampang saja
semua
serangan Wanyen Peng dapat dipatahkannya.
Dalam hati iapun sedang pikirkan sesuatu
daya-upaya agar
bisa membikin Wanyen Peng kapok dan mundur
teratur untuk
selanjutnya tak datang merecokinya lagi .
Lewat tak lama, selagi Wanyen Peng hendak keluarkan
tiga tipu akal ajaran Yo Ko, mendadak di luar
pintu suara
seorang wanita berseru: “Hmm Yali-kongcu, dia
hendak
menipu kau menggunakan tangan kiri.” Tidak
salah lagi itulah
suaranya Liok Bu-siang.
Untuk sesaat Yali Ce tercengang, akan tetapi
Wanyen
Peng tak memberikan kesempatan padannya untuk
berpikir,
segera dengan tipu “hun-hmg-cin-nia” ia
membabat, selagi
Yali Ce mengegos, sekonyong-konyong ia ulur
tangan kiri
terus cekal tangan kanan Yali Ce dengan tipu
“koh-tin-jiau-
jiu”, menyusul golok diangkat terus menggorok
ke lehernya
sendiri!
Maka insaflah Yali Ce oleh seruan di luar
pintu tadi, untuk
sesaat pikirannya sudah bergantian beberapa
kali: “Harus
kutolong dia! - Tetapi inilah tipunya untuk
pancing aku
menggunakan tangan kiri, kalau aku geraki tangan
kiri, itu
berarti aku menyerahkan jiwaku untuk
diperbuat sesuka
hatinya. Biarlah, laki-laki sejati mati
biarlah mati, mana boleh
melihat orang mau bunuh diri tanpa
menolongnya ?”
Sebenarnya Yo Ko sudah mentafsirkan jalan
pikiran Yali
Ce, asal mendadak tiga tipu serangan
ajarannya itu
dilontarkan, maka tak bisa tidak pasti ia
akan gunakan tangan
kirinya buat menolong,
Siapa tahu Liok Bu-siang sengaja mengacau dan
sebelumnya memperingatkan Yali Ce.
Sungguhpun begitu, namun Yali Ce memang
manusia
yang berbudi dan berhati mulia, sudah terang
diketahuinya
begitu ia keluarkan tangan kiri buat tolong
Wanyen Peng,
maka jiwanya tak terjamin lagi. Tetapi pada
saat yang
berbahaya itu, toh masih tetap tangan kirinya
diulur untuk
menangkis pergelangan tangan Wanyen Peng,
menyusul
tangannya membalik dan Liu-yap-to itu dapat
direbutnya.
Sesudah saling gebrak tiga jurus itu,
kemudian masing-
masing pun melompat mundur berbareng, Dan
sejenak
menunggu si gadis buka suara, Yali Ce segera
mendahului
melemparkan golok rampasannya padanya.
“Nyata kau dapat paksa aku menggunakan tangan
kiri
maka jiwaku kuserahkan padamu sekarang, cuma
ada sesuatu
permohonanku padamu,” demikian katanya.
“Urusan apa?” tanya Wanyen Peng dengan muka
pucat.
“Aku mohon kau jangan celakai ayahku lagi,”
pinta Yali Ce.
Wanyen Peng menjengek sekali, lalu dengan ia
melangkah
maju, golok ia angkat, di sinar lampu ia
lihat sikap Yali Ce
biasa saja tanpa jeri sedikitpun, bahkan
penuh berwibawa.
Wanyen Peng adalah gadis yang cantik dan
halus budinya,
melihat seorang Laki-laki sejati sedemikian
ini, teringat
olehnya sebabnya orang menggunakan tangan
kiri tak lain tak
bukan adalah karena hendak menolong jiwanya,
keruan
goloknya itu tak tega dibacokkan.
Tiba-tiba napsu membunuhnya yang membakar
tadi
menjadi ludes, Liu-yap-to yang sudah dia
angkat itu
mendadak dilempar ke lantai, dengan menutup
mukanya
iapun berlari pergi.
Dalam keadaan begitu, Wanyen Peng menjadi
seperti
orang linglung, ia melangkah setibanya hingga
akhirnya
sampai di tepi sebuah sungai, sambil memandangi
sinar
bintang yang ber-kelip2 guram tercermin di
air sungai itu,
pikirannya kusut tidak keruan.
Lewat lama dan lama sekali, Wanyen Peng
menghela
napas panjang, Tiba-tiba ia dengar di
belakangnya ada orang
menghela napas juga, di malam yang sunyi itu,
kedengarannya menjadi sangat seram.
Dalam kagetnya segerapun Wanyen Peng
berpaling, maka
terlihatlah satu orang berdiri di
belakangnya, siapa lagi dia
kalau bukan Yo Ko ! “Nyo-toako,” ia menyapa
sekali, lalu
kepala menunduk dan tidak buka suara pula.
“Moaycu (adik), urusan membalas dendam orang
tua
memang bukan perkara gampang, maka tak perlu
tergesa-
gesa ingin lekas terlaksana,” kata Yo Ko
sambil maju dan
menggenggam tangan si gadis.
“Kau sudah menyaksikan semuanya?” tanya
Wanyen Peng.
Yo Ko mengangguk.
“Manusia seperti aku ini, soal balas dendam
sudah tentu
bukan urusan gampang.” kata pula si gadis,
“Tetapi kalau aku
bisa mempunyai setengah kepandaianmu rasanya
tak nanti
aku bernasib begini,”
“Sekalipun bisa memiliki ilmu silat seperti
aku, apa guna?”
ujar Yo Ko sambil gandeng tangan orang dan
duduk
berendeng di bawah satu pohon rindang, “Meski
kau belum
bisa membalas dendam, namun sedikitnya kau
sudah tahu
siapa musuhmu. sebaliknya aku? Sampai cara
bagaimana
ayahku tewas, hingga kini akupun tidak tahu,
begitu pula
siapa pembunuhnya juga tak tahu, jangankan
hendak
menuntut balas, lebih-lebih tak perlu disebut
lagi”
“Ayah-bundamu juga dibunuh orang?” tanya
Wanyen Peng
dengan tercengang.
“Bukan, ibuku tewas digigit ular berbisa,
sedangkan
ayahku mati secara tak jelas, malahan
selamanya belum
pernah aku melihat mukanya,” sahut Yo Ko
sambil menghela
napas.
“Kenapa bisa begitu ?” tanya si gadis.
“Ya sebab waktu aku dilahirkan ayahku sudah
keburu
mati,” tutur Yo Ko. “Sering aku tanya ibu
sebab apakah
sebenarnya ayah mati dan siapa musuhnya,
Tetapi setiap kali
aku tanya, selalu ibu mengucurkan air mata
dan tak
menjawab, belakangan akupun tak berani
bertanya lagi. Aku
pikir biarlah kelak kalau aku sudah dewasa
barulah aku tanya
pula, siapa tahu ibu mendadak di-gigit ular,
pada sebelum
ajalnya kembali aku bertanya tentang kematian
ayah. Kata
ibu: “Sepak terjang ayahmu memang tidak baik,
maka
kematiannya itu merupakan ganjarannya, Orang
yang
membunuhnya berkepandaian tinggi sekali, pula
adalah orang
baik. Sudahlah, nak, seumur hidupmu ini
jangan sekali-kali
kau berpikir tentang balas dendam segala”,
Ai, coba, cara
bagaimana sebaiknya aku ini?”
Dengan penuturannya ini, maksud Yo Ko hendak
menghibur Wanyen Peng, tetapi akhirnya ia
sendiri menjadi
berduka juga.
“Lalu siapakah yang membesarkan kau?” tanya
Wanyen
Peng.
“Siapa lagi? Sudah tentu kubesarkan diriku
sendiri,” sahut
Yo Ko. “Sejak wafatnya ibu, aku lantas
ter-lunta2 di kalangan
Kangouw, disini aku mengemis sesuap nasi, di
sana
kulewatkan semalam, kadang-kadang saking tak
tahan lapar
aku lantas curi sebuah semangka atau sepotong
ubi sekedar
tangsal perut, namun sering kali kena
ditangkap pemiliknya
dan dihajar babak belur, lihat ini, di sini
masih ada bekasnya,
dan yang ini tulangnya… sampai menonjol,
semua ini akibat
dihajar orang semasih kecil”
Sambil berkata sembari lengan celananya di
gulung untuk
menunjukkan tempatnya pada si gadis, tetapi
keadaan
remang-remang, Wanyen Peng tak jelas
melihatnya, Yo Ko
memegang tangannya dan diletakkan pada belang
bekas luka
di betisnya itu.
Wanyen Peng berhati Iemah, ia memang
dilahirkan
sebagai gadis perasa dan suka bersedih,
sambil meraba bekas
luka betis orang, tak tertahan hatinya terasa
pilu, diam-diam
ia pikir nasib dirinya yang meski negara
hancur dan rumah
runtuh, namun masih tidak sedikit terdapat
sanak kadang
serta tidak sedikit kekayaan yang
ditinggalkan sang ayah,
kalau dibandingkan dengan nasib pemuda di
depannya ini
dirinya masih boleh dikatakan jauh lebih
beruntung.
Begitulah mereka saling diam sejenak,
kemudian perlahan-
lahan Wanyen Peng tarik tangannya dari betis
orang, hanya
masih membiarkan digenggam Yo Ko.
“Dan cara bagaimana lagi kau berhasil melatih
ilmu silat
seperti sekarang ini? Dan kenapa menjadi
perwira Mongol
pula?” tanyanya dengan lirih.
“Aku bukan perwira MongoI,” sahut Yo Ko. “Aku
sengaja
pakai baju bangsa Mongol, sebabnya hendak
menghindari
pencarian seorang musuh.”
“Bagus kalau begitu ?” kata Wanyen Peng
tiba-tiba dengan
girang.
“Kenapa bagus?” Yo Ko bingung.
Sedikit merah muka Wanyen Peng. “Bangsa
Mongol adalah
musuh besar negara kami, dengan sendirinya
aku mengharap
kau bukan perwira mereka,” sahutnya kemudian.
Hati Yo Ko terguncang sambil genggam tangan
si gadis
yang halus dan lunak itu.
“Moaycu, jika aku adalah perwira Mongol, lalu
bagaimana
perasaanmu terhadapku?” tanya Yo Ko
tiba-tiba.
Sejak mula Wanyen Peng melihat tampan Yo Ko
yang
gagah dan ilmu silatnya tinggi, memangnya ia
sudah suka,
belakangan mendengar lagi kisah hidupnya yang
mengharukan itu, hal ini lebih menambah rasa
kasihannya,
maka iapun tidak menjadi marah meski
mendengar kata-kata
Yo Ko tadi rada blak-blakan.
“Jika ayahku masih hidup, apa yang kau
inginkan tentu
akan menjadi mudah, tetapi kini ayah-bundaku
sudah tiada
semua, apalagi yang dapat kukatakan?”
sahutnya kemudian
dengan menghela napas.
Mendengar lagu suara orang lemah Iembut, si
Yo Ko
menjadi dapat hati, ia berani ulur tangannya
buat memegang
pundak orang.
“Moaycu, bolehkah kumohon sesuatu,” rayu-nya
dengan
bisik-bisik.
Berdebar-debar hati si gadis, sudah beberapa
bagian
dapat diduganya apa yang dikehendaki Yo Ko.
“Hal apa?” sahutnya rendah.
“Aku mohon diperkenankan mencium matamu ! Ya,
mata
saja, yang lain-lain tak nanti aku
melanggarnya,” kata Yo Ko.
Semula Wanyen Peng menyangka tentu si Yo Ko
hendak
meminang dirinya, malahan ia kuatir juga
jangan-jangan
pemuda ini menjadi lupa daratan dan main
kasar terus
melakukan perbuatan-perbuatan yang tak
senonoh di tempat
terbuka ini, kalau sampai hal ini terjadi
terang sekali dirinya
tak bisa melawannya.
Siapa tahu orang hanya mohon mencium matanya,
maka
terasa lega sedikit baginya, namun entah
mengapa, rasa
dalam hatipun rada-rada kecewa dan sedikit
heran pula,
sungguh perasaan yang sangat ruwet dan aneh.
Karena itu, dengan tercengang ia pandang Yo
Ko dengan
kerlingan matanya yang basah-basah sayu dan
sedikit rasa
malu.
Melihat kerlingan mata Wanyen Peng, tiba-tiba
Yo Ko
teringat pada saat sebelum perpisahannya yang
terakhir
dengan Siao-Iiong-li, di mana Siao-liong-li
pun pernah
memandang padanya dengan kerlingan mata yang
maIu2 dan
mengandung arti yang dalam, Tak tertahan lagi
ia menjerit
orangnya pun melompat bangun.
Tentu saja Wanyen Pcng kaget oleh kelakuan si
Yo Ko
itu, ingin dia tanya oleh sebab apa, namun
sukar membuka
mulut rasanya.
Dalam pikiran yang kacau itu, Yo Ko merasa
kerlingan
mata di depannya itu adalah kerlingan mata
Siao-liong-li
melulu.
Dahulu waktu pertama kali ia melihat
kerlingan mata
seperti demikian ini, saat itu ia masih hijau
pelonco dan sama
sekali tak mengarti arti kerlingan mata
demikian itu, tetapi
sejak ia turun gunung, sesudah berkumpul
beberapa hari
dengan Liok Bu-siang, pula hari ini bergaul
dengan Wanyen
Peng, maka mendadak jadi teringat olehnya
maksud baik dan
cinta halus dari Siao-liong-li dahulu, semua
itu baru dia
pahami sekarang.
Keruan ia menyesal tidak kepalang, bisa-bisa
kepalanya
hendak ditumbukkan saja ke batang pohon di
sampingnya biar
mati sekalian “Begitu tulus cinta Kokoh
padaku, pula ia sudah
bilang hendak menjadi isteriku, tetapi aku
telah kecewakan
maksud baiknya itu, sekarang ke mana harus
kucari dia?”
demikian terpikir olehnya.
Karena itu, mendadak ia menjerit sekali lagi,
tiba-tiba
Wanyen Peng ditubruknya dan dipeluk
ken-cang2, dengan
bernapsu kelopak mata si gadis di-ciumnya.
Melihat orang seperti kalap dan seperti gila
Wanyen Peng
terkejut tercampur girang, hendak meronta pun
sukar karena
didekap Yo Ko dengan kencang, akhirnya iapun
pejamkan
matanya dan membiarkan orang mencium
sepuasnya, terasa
olehnya selalu kelopak matanya itu saja yang
ke kanan dan ke
kiri diciumi Yo Ko, ia pikir orang ini meski
kasar dan seperti
gila, namun apa yang sudah dikatakannya tadi
ternyata dapat
dipercaya juga, sungguh aneh, sebab apakah
melulu mata
saja yang terus diciuminya?”
“Kokoh, Kokoh!” sekonyong-konyong didengarnya
Yo Ko
berteriak-teriak, suaranya penuh rasa hangat
dan menggelora,
tetapi terasa juga seperti sangat menderita.
Selagi Wanyen Peng hendak tanya siapa yang
dipanggilnya itu, mendadak terdengar suara
seorang
perempuan berkata di belakang mereka: “Ma’af,
kalian
berdua!”
Yo Ko dan Wanyen Peng sama-sama kaget, segera
tangan mereka yang saling genggam tadi
terlepas kian
melompat pergi, waktu mereka berpaling, maka
tertampaklah
di bawah pohon itu berdiri seorang gadis
berbaju hijau yang
dapat dikenali Yo Ko sebagai orang yang
beberapa kali
mengirim berita serta menolong Liok Bu-siang
itu.
“Berulang kali mendapat bantuanmu, budi ini
tak nanti
kulupakan,” cepat Yo Ko menyapa sambil
memberi hormat.
Dengan laku sangat sopan gadis itu membalas
hormat
orang.
“Rupanya Nyo-ya sedang senang-senang karena
ada
kenalan baru, tetapi apa masih ingat pada
kawan lama yang
pernah mengalami mati-hidup bersama itu?”
begitu katanya.
“Kau maksudkan…”
“Li Bok-chiu guru bermurid tadi telah
menawannya pergi!”
potong gadis itu sebelum Yo Ko selesai
berkata.
Keruan Yo Ko terkejut.
“Apa betul?” ia menegas dengan suara gemetar
“Dia… dia
ditawan ke mana?”
“Waktu kau sedang asyik-masyuk dengan nona
ini, saat
itulah nona Liok ditawan Li Bok-chiu,” sahut
gadis itu.
“Apa… apa tidak berhalangan atas dirinya?”
tanya Yo Ko
pula.
“Untuk sementara rasanya tidak mengapa bagi
keselamatannya,” kata si gadis, “Nona Liok
tetap mengatakan
kitab pusakanya itu telah direbut oleh
Kay-pang, maka Jik-
lian-mo-tau itu telah giring dia pergi pada
kaum pengemis itu,
jiwanya sementara tak menjadi soal tetapi
siksaan badan
rasanya sukar dihindarkan.”
Yo Ko adalah seorang yang gampang terguncang,
maka
segera ia mengajak : “Marilah, lekas kita
pergi menolongnya.”
Siapa duga gadis itu hanya menggoyang kepala.
“Meski ilmu silat Nyo-ya tinggi, tapi rasanya
masih bukan
tandingan iblis itu,” demikian sahutnya,
“Mungkin jiwa kita
hanya akan melayang percuma, sedang urusannya
masih
belum bisa ditolong,”
Walau dalam kegelapan, namun mata “Nyo- Ko
sangat
tajam seperti memandang benda di siang hari
saja, maka
wajah si gadis baju hijau ini dapat
dilihatnya sangat jelek dan
aneh luar biasa, otot daging di mukanya kaku
tanpa bergerak
sedikitpun seperti mayat hingga membikin
seram orang yang
memandangnya, Karena itu, Yo Ko tak berani
memandang
lebih lama.
“Orang ini sangat baik terhadapku, tetapi
aneh, mukanya
kenapa terlahir begini rupa?” demikian
pikirnya, Maka
kemudian iapun bertanya: “Dapatkah mengetahui
she dan
nama nona? selamanya kita belum kenal, kenapa
begitu
mendapat perhatian nona?”
“Namaku tiada harganya buat di-sebut-sebut,
kelak Nyo-ya
tentu akan tahu juga, kini yang paling
penting yalah lekas
berdaya-upaya buat menolong orang saja,”
sahut gadis itu.
Diwaktu berkata air mukanya sedikitpun tidak
tampak
perubahannya, kalau bukan mendengar suara
keluar dari
mulutnya, sungguh orang bisa menyangka dia
adalah mayat
hidup. Namun aneh juga, suaranya ternyata
nyaring merdu
menarik.
“Jika begitu, cara bagaimana menoIongnya,
terserahlah
pada keputusan nona, dengan hormat aku
menurut
petunjukmu saja,” kata Yo Ko kemudian.
“Nyo-ya hendaklah jangan sungkan-sungkan,”
sahut gadis
itu. “Ilmu silatmu berpuluh kali lipat di
atasku berpuluh kali
lebih pintar juga dari padaku, pula usiamu
lebih tua, dan
seorang laki-laki lagi, apa yang kau bilang
baik tentunya baik,
kedatanganku justru untuk terima perintahmu
saja,”
Mendengar kata-kata orang yang merendah dan
menyenangkan ini, sungguh Yo Ko menjadi
senang sekali
“Kalau begitu, kita mengintilnya secara
diam-diam saja,
kita mencari kesempatan baik untuk turun
tangan,” sahutnya
kemudian sesudah berpikir.
“ltulah paling baik,” kata si gadis, “Tetapi
entah bagaimana
pendapat nona Wanyen?”
Habis berkata, ia sendiri lantas menyingkir
pergi dan
membiarkan Yo Ko berunding dengan Wanyen
Peng.
“Moaycu. aku hendak pergi menolong seorang kawan,
kelak saja kita bertemu puIa,” demikian kata
Yo Ko pada
gadis itu.
“Tidak, Nyo-toako, meski kepandaianku rendah,
mungkin
dapat juga aku memberi bantuan sekadarnya,
biarlah aku ikut
serta dengan kalian.” sahut Wanyen Peng.
Memangnya Yo Ko merasa berat kalau harus
berpisah
dengan dia, mendengar orang mau ikut, tentu
saja ia amat
girang.
“Bagus kalau begitu !” serunya senang.
Habis ini, dengan suara keras ia teriaki si
gadis baju hijau
tadi: “Nona, adik Wanyen Peng suka bantu kita
dan ikut pergi
menolong orang!”
“Wanyen-kohnio, kau adalah puteri bangsawan
sebelum
bertindak hendaklah kau suka pikir dahulu,”
dengan laku
sangat hormat gadis baju hijau itu berkata
pada Wanyen
Peng, “Harus kau ketahui bahwa musuh yang
akan kami
hadapi ini kejam luar biasa, orang Kangouw
memanggil dia
Jik-lian Sian-cu, yalah mengumpamakan dia
sekeji ular belang
rantai, sungguh tidak mudah untuk
menghadapinya,”
“Jangan cici berkata begitu, jangankan
Nyo-toako ada budi
padaku, apa yang menjadi urusannya adalah
urusanku juga,
walaupun seorang kawan seperti cici saja, aku
Wanyen Peng
pun ingin kenal Maka biarlah aku ikut pergi
bersama cici, asal
segalanya kita berlaku hati-hati” demikian
sahut Wanyen
Peng.
“Baik sekali kalau begitu,” kata gadis itu
dengan suara
halus sambil tarik tangan Wanyen Peng, “Cici,
umurmu lebih
banyak dari padaku, boleh kau panggil aku
Moaycu saja,”
Dalam keadaan gelap Wanyen Peng tak bisa
melihat wajah
orang yang sangat jelek itu, tetapi mendengar
suaranya yang
begitu merdu, tangannya yang menggenggam
padanya terasa
juga sangat halus dan lemas, maka disangkanya
orang tentu
gadis yang cantik moIek, dalam hati iapun
sangat senang.
“Berapakah umurmu tahun ini?” ia tanya.
“Ah, tak perlu kita merecoki umur, paling
perlu segera
pergi menolong orang saja, bukankah begitu,
Nyo-ya?” sahut
gadis itu bersenyum.
“Ya, silakan nona menunjuk jalannya,” kata Yo
Ko.
“Aku melihat mereka menuju ke arah tenggara,
tentu pergi
ke Hengcikoan,” ujar gadis itu.
Segera mereka keluarkan Ginkang dan dengan
cepat
memburu ke arah tenggara.
Bahwa Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay yang
dipelajari
Yo Ko itu terkenal karena Ginkang yang hebat
dan boleh
disebut nomor satu di seluruh kolong langit,
hal ini tak perlu
dijelaskan lagi. Sedang Wanyen Peng adalah
anak murid Thi-
cio-pang, dahulu pangcu atau pemimpin
Thi-cio-pang yang
bernama Kiu Jian-yim berjuluk
“Thi-cio-cui-siang-biau” atau
Telapak tangan besi me-layang2 di atas air,
kalau bisa disebut
“melayang di atas air”, dengan sendirinya
Ginkangnya pasti
terhitung kelas satu juga.
Siapa tahu si gadis baju hijau itu,
senantiasa cepat tidak,
lambat pun tidak, tapi selalu mengintil di
belakang Wanyen
Peng. Kalau Wanyen Peng cepat, maka iapun
cepat, jika
lambat, iapun ikut lambat, jarak antara
mereka selalu
dipertahankan dua-tiga tindak.
Keruan Yo Ko terperanjat “Anak murid dari
aliran
manakah nona ini? Kalau melihat Ginkangnya
ini, tampaknya
sudah di atasnya Wanyen Peng,” demikian ia
heran, Dan
karena tak mau main menang2an dengan kedua
nona itu,
maka ia sengaja tertinggal saja di belakang.
Sampai hari sudah terang, gadis baju hijau
itu keluarkan
rangsum kering dan dibagikan kedua kawannya,
Melihat baju orang meski terbikin dari kain
biasa saja, tapi
potongannya sangat serasi dengan perawakan
pemakainya,
pula perbekalannya seperti rangsum kering,
botol air dan
sebagainya diatur secara begitu baik, semua
ini menunjukkan
ketelitian seorang gadis yang rajin.
Di lain pihak, ketika Wanyen Peng melihat
wajah orang
begitu aneh, ia menjadi tak berani-memandang
lebih jauh. “Di
dunia ini kenapa ada wanita bermuka sejelek
ini?”
“Nyo-ya Li Bok-chiu itu kenal padamu, bukan?”
kata gadis
baju hijau itu sesudah menunggu kedua orang
habis makan.
“Ya, beberapa kali ia pernah bertemu dengan
aku,” sahut
Yo Ko.
Gadis itu mengeluarkan sehelai benda tipis
seperti kain
sutera, lalu berkata pula pada Yo Ko: “lni
adalah topeng kulit
manusia, sesudah kau pakai, tentu dia tak
kenal kau lagi.”
Waktu Yo Ko periksa topeng itu, ia lihat di
atasnya ada
lubang2 tempat mata, mulut dan hidung, bila
dipakai maka
topeng ini bagaikan karet saja mencetak muka
si pemakainya
dengan persis seperti wajah asli, tentu saja
Yo Ko sangat
girang dan menghaturkan terima kasih.
Melihat wajah Yo Ko seketika berubah menjadi
jelek luar
biasa setelah memakai topeng itu, barulah
kini Wanyen Peng
sadar.
“Ah, Moaycu, kiranya kaupun memakai topeng
seperti ini,
sungguh aku sangat goblok, aku mengira
wajahmu memang
terlahir begitu aneh,” demikian katanya pada
gadis baju hijau.
“Muka Nyo-ya yang ganteng dan bagus ini,
sesungguhnya
sayang dan merendah dirinya saja bila pakai
topeng ini,” sahut
gadis baju hijau, “Mengenai diriku, memangnya
mukaku
adalah begini, pakai topeng atau tidak serupa
saja.”
“Ah, aku tak percaya,” ujar Wanyen Peng.
“Moaycu,
maukah kau copot topengmu dan unjukkan muka
aslimu ?”
Dalam herannya Yo Ko pun ingin tahu wajah
asli si gadis
itu, namun permintaan itu ternyata ditolak.
“Jangan, mukaku yang jelek ini mungkin akan
bikin kalian
kaget,” sahut gadis itu.”
Melihat orang berkeras tak mau perlihatkan
mukanya,
terpaksa Wanyen Peng sudahi permintaannya.
Pada waktu lohor, mereka bertiga sudah sampai
di kota
Bukoan, mereka masuk ke atas loteng sebuah
restoran untuk
mengisi perut.
Melihat Yo Ko berdandan sebagai perwira
Mongol,
pengurus restoran itu tak berani ayal dan
cepat memberi
pelayanan.
Tetapi baru setengah jalan mereka bersantap,
ketika kerai
pintu tersingkap, tiba-tiba masuk pula tiga
wanita yang bukan
lain daripada Li Bok-chiu dan Ang Ling-po
yang menggiring
Liok Bu-siang.
Yo Ko sangat cerdik, ia tahu meski saat itu
Li Bok-chiu
tak kenali dirinya, namun mukanya yang aneh
karena
memakai topeng tentu akan menimbulkan rasa
curiga orang,
karena itu segera ia berpaling ke jurusan
lain sambil
menjumpit nasi terus, ia hanya pasang kuping
tajam2 untuk
mendengarkan percakapan mereka.
Siapa tahu sama sekali Bu-siang tidak buka
suara, bahkan
Li Bok-chiu berdua pun tidak bicara sehabis
pesan daharan
seperlunya,
Nampak orang yang mereka cari sudah berada di
depan
mata, Wanyen Peng gunakan sumpitnya dan
mencelup ujung
sumpit pada air kuwah, lalu ia corat-coret beberapa
huruf di
atas meja dengan maksud: “turun tangan
tidak?”
Yo Ko diam-diam sedang memikir: “Dengan
kekuatan
kami bertiga, ditambah lagi dengan “bini
cilik”, rasanya masih
susah melawan mereka guru dan murid berdua,
urusan ini
hanya bisa dimenangkan dengan akal dan tak
mungkin
dengan kekerasan.”
Oleh sebab itu, ia goyangi sumpitnya
pelahan-lahan
sebagai tanda “jangan”.
Li Bok-chiu juga orang cerdik, sesudah
berada, di loteng
restoran itu, ia lihat sorot mata Bu-siang
seperti bersinar
harapan, tentu saja ia merasa heran hingga
tiada hentinya
Wanyen Peng bertiga di-diincar olehnya.
Tapi Yo Ko duduk mungkur dan tidak bergerak
sedikitpun
maka tiada sesuatu tanda yang menimbulkan
curiganya.
Begitulah sedang kedua belah pihak sama-sama
menantikan kesempatan baik, tiba-tiba suara
tangga loteng
berbunyi, kembali orang masuk pula ke situ.
Waktu Wanyen Peng melirik, ia lihat yang
datang adalah
Yali Ce dan Yali Yen kakak beradik.
Ketika nampak Wanyen Peng juga berada di
situ, kedua
orang itu rada terperanjat, tetapi sesudah
memanggut, lalu
mereka mengambil tempat duduknya sendiri.
Diam-diam Li Bok-chiu sangat kagum terhadap
sepasang
muda-mudi yang ganteng dan cantik itu, ia
menyangka orang
adalah suami isteri, tak tahunya hanya
saudara saja.
Kiranya setelah peristiwa Wanyen Peng mencari
balas
pada ayahnya, Yali Ce menduga si gadis tak
berani datang
lagi, maka bersama adik perempuannya, Yali
Yen, mereka
pesiar keluar untuk menikmati keindahan alam
daerah
Kanglam ini, disini pula bertemu dengan
Wanyen Peng, tentu
saja mereka bertambah lega meninggalkan ayah
mereka.
Sementara itu karena “Ngo-tok-pit-toan” atau
“Kitab
Panca-bisa” yang tercuri itu disangkanya
terjatuh di tangan
orang Kay-pang, Li Bok-chiu sedang masgul,
dalam beberapa
hari ini boleh dikatakan tak doyan makan dan
tak nyenyak
tidur, oleh karenanya, baru setengah mangkok
bakmi yang dia
pesan itu dimakan, kemudian ia taruh
sumpitnya dan
memandang iseng keluar restoran itu.
Tiba-tiba tertampak olehnya di simpang jalan
sana berdiri
sejajar dua pengemis, pada punggung mereka
masing-masing
menggendong tujuh buah kantong kain, nyata
mereka adalah
“Chit-te-tecu” atau anak murid berkantong
tujuh dari Kay-
pang.
Dalam pada itu muncul lagi satu pengemis yang
lain,
dengan tergesa-gesa pengemis belakangan ini
mendekati
kedua kawannya dan bisik-bisik sejenak, habis
itu dengan
langkah cepat lantas pergi lagi.
Ter gerak pikiran Li Bok-chiu, tiba-tiba ia
memanggil kedua
pengemis itu melalui jendela loteng: “Kedua
Enghiong dari
Kay-pang, silakan naik ke atas sini, ada
sesuatu yang ingin
kuminta tolong kalian sampaikan pada pangcu
perkumpulanmu.”
Li Bok-chiu tahu kalau memanggil orang begitu
saja pasti
kedua pengemis itu tak mau gubris padanya,
tapi kalau bilang
ada pesan untuk pangcu mereka, sekalipun
harus menghadapi
bahaya betapapun besarnya pasti anak murid
Kay-pang itu
akan datang padanya.
Karena mendengar gurunya memanggil orang dari
Kay-
pang yang diduga tentu hendak ditanyai kemana
dibawanya
kitab “panca-bisa”, tanpa tertahan lagi muka
Liok Bu-siang
menjadi pucat, ia insaf sekali ini
kebohongannya pasti akan
terbongkar.
Di sebelah sana Yali Ce juga sedang merasa
heran oleh
kelakuan Li Bok-chiu. ia kenal nama Kay-pang
yang
pengaruhnya sangat besar di daerah utara,
tetapi satu Tokoh
setengah umur yang biasa seperti ini ternyata
bilang ada
sesuatu pesan hendak disampaikan pada Pangcu
mereka itu,
ia menjadi tertarik untuk mengetahui macam
apakah diri si
Tokoh ini maka ia berhenti minum araknya, ia
melirik dan
memperhatikan gerak-gerik orang.
Selang tak lama, naiklah kedua pengemis yang
dipanggil
tadi, mereka memberi hormat pada Li Bok-chiu
dan menanya:
“Ada pesan apakah Sian-koh, tentu akan kami
sampaikan,”
Sesudah berdiri tegak, salah satu pengemis
itu melihat
Liok Bu-siang berada bersama juga dengan imam
wanita itu,
keruan saja air mukanya seketika berubah.
Kiranya pengemis ini pernah ikut mencegat
Bu-siang di
tengah jalan dengan beberapa kawannya
berkantong tujuh
itu. Karena itu, cepat ia tarik pengemis
satunya, keduanya
lantas melompat ke dekat tangga, dengan
sebelah telapak
tangan berlindung di depan dada, mereka siap
buat melayani
musuh.
Li Bok-chiu tersenyum melihat kelakuan kedua
pengemis
itu.
“Coba kalian berdua melihat punggung
tanganmu,”
dengan suara halus ia berkata.
Berbareng kedua pengemis itu memandang balik
tangan
mereka, maka terlihatlah setiap telapak
tangan mereka
masing-masing telah tercetak sebuah cap
tangan yang merah
darah, nyata, entah dengan cara bagaimana,
tahu 2 Li Bok-
chiu telah unjuk pukulan saktinya:
Ngo-tok-sin-ciang, pukulan
sakti panca bisa.
Cara turun tangan Li Bok-chiu bukan saja di
luar tahu
kedua pengemis itu, bahkan Yo Ko dan Yali Ce
juga tidak
melihatnya dengan jelas.
“Kau… kau adalah Jik-Iian-sian-cu?” teriak
kedua
pengemis itu berbareng sesudah terkejut
sejenak.
Li Bok-chiu tidak menjawab melainkan dengan
pelahan ia
tuang setengah cawan araknya, ia angkat
cawannya, ketika
jarinya menyentil, mendadak cawan arak itu
terbang ke atas,
isi cawan terus mancur turun lurus ke bawah.
Ketika Bok-chiu menengadah, setengah cawan
arak itu
masuk semua ke mulutnya tanpa menciprat
keluar setetespun,
Yang lebih aneh, cawan arak yang terbang
disentil itu, tahu-
tahu menyamber balik lagi ke tangannya
sesudah berputar di
udara.
Ternyata tenaga menyentil yang dipakai Li
Bok-chiu begitu
tepat, inilah ilmu kepandaian tertinggi dari
cara menimpuk
senjata rahasia, meski termasuk juga ilmu
dari Ko-bong-pay,
tapi Yo Ko harus malu diri karena belum bisa
memadai sang
Supek dan masih jauh daripada sanggup
“menyentil cawan
dan menenggak arak” itu.
“Nah, bilanglah pada pangcu kalian,” kata Li
Bok-chiu
kemudian sesudah unjuk ilmu saktinya tadi
“bahwa Kay-pang
kalian dengan aku orang she Li selamanya “air
sungai tak
menggenangi air sumur”, selamanya akupun
mengagumi
kawan-kawan Kay-pang yang gagah perkasa, cuma
sayang
tiada kesempatan untuk bertemu dan minta
petunjuk sungguh
hal ini harus dibuat menyesal…”
“Enak saja kata-katanya itu, tetapi kenapa
tanpa sebab
tiada alasan kau turun tangan keji kepada
kami?” demikian
pikir kedua pengemis itu sambil saling
pandang.
“Kalian berdua sudah kena pukulanku
Ngo-tok-sin-ciang,
tapi hal ini tak perlu dibuat kuatir asal
kitab yang direbut itu
dikembalikan, tentu akan kusembuhkan kalian
berdua,” kata Li
Bok chiu lagi setelah berhenti sejenak.
“Kitab apa?” tanya salah satu pengemis itu.
“Kalau diceritakan kitab itupun tak laku
beberapa duit, jika
perkumpulan kalian berkeras tak mau
kembalikan, sebenarnya
pun tidak menjadi soal,” demikian sahut
Bok-chiu dengan
tertawa, “Cuma sebagai gantinya, terpaksa
kuminta bayar
dengan seribu jiwa pengemis goIonganmu.”
Walaupun kedua pengemis itu masih belum
merasakan
tangan mereka ada tanda-tanda aneh, tapi
tiap-tiap Li Bok-
chiu berkata, tanpa tertahan mereka pun
memandang ke
tangan yang terpukul itu, saking jerinya
terhadap Jik-lian-sin-
ciang yang maha kesohor karena kejinya itu,
dalam bayangan
kedua pengemis itu seakan-akan merasakan
tanda merah di
telapak tangan mereka peIahan2 sedang meluas.
Kini mendengar lagi Li Bok-chiu bilang hendak
minta ganti
seribu jiwa kawan mereka, mereka pikir tiada
jalan lain kecuali
lekas-lekas kembali melapor pada Pangcu. Maka
setelah saling
memberi tanda, segera mereka berlari turun ke
bawah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar