Senin, 05 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 5



JILID 5

Dasar anak muda ini memang punya kecerdasan otak yang luar biasa, se-konyong2 ia terkejut dan sadar: “He, jarum perak ini beracun yang luar biasa jahatnya, sangat berbahaya bila aku memegangnya !”
Karena itu cepat ia buang semua jarum itu, segera ia lihat telapak tangan sendiri sudah berubah menjadi hitam semua, lebih2 tangan sebelah kiri, begitu hitam hingga seperti kena tinta, .
Saking takutnya hampir2 saja ia menangis, tangannya di-gosok2kan pada pahanya dengan kuat, namun pe!ahan2 ia merasa tangannya mulai kaku kesemutan dan menaik ke bagian lengan, bahkan tangan kiri sudah pegal sampai di siku.
Sejak kecil anak muda ini sudah biasa berkawan dengan ular berbisa, ia tahu bahayanya orang terkena racun, karena itu akhirnya ia menangis sedih.
“Nah, sudah tahu lihaynya bukan, nak ?” tiba2 di belakangnya ada suara teguran orang.
Suara orang ini nyaring, tetapi pecah dan sangat menusuk telinga, datangnya mendadak hingga se-akan2 timbul dari bawah tanah saja. Maka dengan cepat si anak muda balik ke belakang.
Tetapi segera ia kaget hingga ternganga, karena apa yang dia lihat ialah seorang yang berdiri di belakangnya, tetapi cara “berdiri” orang.
ini aneh sekali bin ajaib, bukannya dia berdiri dengan kakinya, tetapi dengan kepalanya, jadi kepala yang menyanggah tubuhnya, sedang kedua kakinya rapat tegak ke atas.
Dalam kagetnya anak muda itu melompat mundur beberapa tindak.
“Kau… kau ini siapa ?” serunya kemudian dengan tak lancar.
Tetapi aneh, entah cara bagaimana gerakanmu tahu2 orang itu telah enjot tubuhnya maju tiga kaki dan dengan tepat turun di depan si anak muda.
“Aku… aku ini siapa ? - Ha, jika aku tahu siapa aku ini tentu akan baik sekali,” demikian sahutnya.
Keruan anak muda itu semakin ketakutan oleh kelakuan orang, tanpa pikir lagi segera ia angkat kaki dan lari kesetanan cepatnya, namun ia dengar di belakangnya selalu diikuti dengan suara “tok-tok-tok” yang keras, ketika ia menoleh, tanpa terasa arwah hampir terbang dari raganya si-king kagetnya. Kiranya orangku dh. menggunakan kepala sebagai kaki, dengan menjungkir tubuhnya me-lompat2 dengan kecepatan yang tiada bandingannya, jarak jauhnya selalu tidak lebih dari be berapa kaki saja di belakangnya.
Tentu saja ia berlari semakin kencang dan mati-matian. Akan tetapi tiba2 ia dengar menderunya angin, tahu2 orang aneh itu sudah melompat lewat di atas kepalanya dan turun di hadapan-nya.
“Mak !” dalam takutnya anak muda itu sampai berteriak memanggil ibu.
Segera ia putar tubuh hendak lari ke jurusan lain, tetapi percuma saja, tidak perduli kemana ia berlari, orang aneh itu selalu dengan kecepatan luar biasa tahu2 sudah melompat lewat dan turun! di depannya. Percuma saja ia mempunyai sepasang kaki, sebab ternyata tidak bisa lebih cepat dari pada orang yang berlari pakai kepala.
Kemudian ia mendapat akal, ia sengaja berputar dan be.r-ganti2 beberapa arah, ia tunggu orang aneh itu makin dekat, lalu mendadak ia ulur tangan hendak mendorong orang, Tak terduga, lengannya ternyata sudah kaku dan tidak, mau turut perintah lagi, keringatnya gemerobyos,” ia menjadi bingung dan kehabisan akal, akhirnya ia merasakan kedua kakinya menjadi lemas dan jatuh terduduk.
“Semakin kau lari kian kemari, racun di tubuhmu semakin cepat pula kerjanya,” demikian ia dengar orang aneh itu berkata.
Seperti orang yang dapat rejeki dan mendadak menjadi pintar sendiri, segera anak muda itu bertekuk lutut ke hadapan orang sambil berseru: “Mohon Lo-kongkong (kakek) menolong jiwaku !”
Di luar dugaan, orang aneh itu hanya geleng2 kepala.
“Susah ditolong, susah ditolong !” demikian ia menjawab.
Karena ia gunakan kepala untuk menahan tubuhnya, maka sekali menggeleng kepala, otomatis tubuhnya ikut menggeleng juga hingga bergoncang.
“Kepandaianmu begini tinggi, kau pasti bisa menolong aku,” kata anak muda itu pula.
Rupanya kata2 umpakan ini membikin orang aneh itu menjadi senang sekali Karena itu, ia tersenyum.
“Darimana kau tahu kepandaianku tinggi ?” ia tanya,
Mendengar lagu suara orang sudah berubah menjadi halus dan tampaknya umpakannya membawa hasil segera anak muda itu mengikuti arah angin, lekas ia tambahi pula pujian2nya.
“Ya, mengapa tidak tahu! Dengan jungkir-balik begini saja bisa berlari secepat ini, di kolong langit terang tiada orang kedua lagi yang bisa melebihi kau.”
Kata umpakan terakhir ini sebenarnya terlalu berlebihan dan diucapkan semaunya saja, siapa duga kata2 “di kolong langit ini tiada orang kedua lagi yang melebihi kau” dengan tepat justru kena betul. di lubuk hati orang aneh itu, Maka terdengarlah suara ketawanya yang ter-bahak2.
“Baliki tubuhmu, biar aku pandang kau,” demikian ia berteriak kemudian.
Anak muda itu pikir: “Betul juga, aku berdiri tegak dan orang ini berjungkir-balik, memang benar tidak bisa terang melihatnya, dia tidak mau berdiri cara biasa, tiada jalan lain kecuali aku yang harus ikut menjungkir.”
Tanpa berkata lagi ia lantas menjungkir tubuhnya, ia sanggah tubuhnya dengan kepala, tangan kanannya yang masih punya daya- rasa ia gunakan pula buat menahan.
Sementara sesudah orang aneh itu mengamat-amati dia beberapa lama, wajahnya tampak mengunjuk ragu dan sedang pikir2.
Kini setelah anak muda itu ikut menjungkir, maka iapun bisa melihat jelas muka orang, ia lihat orang aneh ini berhidung besar, matanya mendelong dalam, mukanya penuh bulu, berbeda sekali dengan manusia2 biasa, ia dengar pula orang itu kemat-kemit menggumam sendiri, ia tidak paham bahasa aneh apa yang diucapkan itu karena sukar didengar.
“Kongkong yang baik, tolonglah diriku,” demikian ia memohon pula,
Dipihak lain, demi melihat anak muda ini bermuka cakap, cara bicaranya pun membawa semacam daya tarik yang sukar ditolak orang, hati orang aneh itu menjadi girang,
“Baik, tidak susah buat tolong kau, tetapi kau harus terima suatu permintaanku.” sahutnya kemudian.
“Apa yang kau katakan pasti akan ku turut,” kata si anak muda, “Permintaan apakah yang harus ku penuhi, katakanlah, Kongkong!”
“Haha, justru aku ingin kau terima permintaanku itu,” sahut orang aneh itu dengan tertawa lebar. “Ialah segala apa yang kukatakan, kau harus menurut.”
Mendengar syarat ini, mau-tak-mau anak muda ini berpikir, ia menjadi ragu2. “Harus menurut semua apa yang dikatakannya ? Kalau dia suruh aku menjadi anjing dan makan kotoran, apa harus aku turuti juga ?”
Dalam pada itu demi nampak anak ini ragu2, orang aneh itu menjadi gusar.
“Baiklah, biar kau mati saja !” teriaknya segera, Habis ini sekali lehernya mengkeret dan menonjol lagi, tiba2 tubuhnya telah mencelat pergi sejauh beberapa kaki.
Karena kuatir ditinggal pergi orang, untuk mengubernya dan memohon pertolongannya tidak mungkin ia menirukan cara jalan dengan berjungkir maka dengan cepat anak muda itu berjumpalitan dan berdiri kembali, segera pula ia angkat kaki memburu.
“Kongkong, Kongkong!” ia ber-teriak2, “baiklah, aku berjanji apa saja yang kau-katakan, pasti akan ku turut semua.”
Mendengar syaratnya diterima, mendadak orang aneh itu berhenti dan putar balik, “Baik, “tetapi kau harus bersumpah dahulu,” katanya.
Tatkala itu si anak muda merasa kaku pegal di tangannya telah menanjak sampai di pundaknya, ia insyaf apabila sampai rasa kaku itu merembes sampai di dada, maka jiwanya pasti akan melayang, maka terpaksa ia menurut dan sumpah.
“Baiklah, aku bersumpah, jika Kongkong menolong jiwaku dan membersihkan semua racun di tubuhku, pasti aku akan menurut semua “kata’2 mu. Apabila aku membantah, biarlah racun jahat itu balik kembali pada tubuhku.”
Pembawaan anak muda ini memang licin, maka sewaktu ia mengucapkan sumpahnya, dalam hati ia berpikir: “Asal selanjutnya aku tidak menyentuh jarum perak itu lagi, cara bagaimana racun itu bisa balik kembali di tubuhku ? Entah orang aneh ini mau terima tidak sumpahku ini ?”
Ketika ia lirik orang, ternyata muka orang aneh itu mengunjuk rasa senang, suatu tanda merasa puas atas sumpahnya tadi Kemudian nampak ia manggut2, habis ini mendadak ia berjumpalitan bangun, lengan anak muda itu dia pegang dan dengan kuat ia pijat2 dan di-urut2 beberapa kali.
“Bagus, bagus, kau adalah anak baik”, demikian ia berkata.
Karena dipijat dan diurut itu, segera si anak muda merasa lengannya menjadi berkurang rasa pegal kakunya:
“Kongkong, pijatlah beberapa kali lagi!” pintanya pula.
Tiba2 orang aneh itu mengkerut kening demi mendengar panggilannya ini.
“Jangan kau panggil aku Kongkong (kakek), tetapi harus panggil ayah !” demikian ia membetulkan.
“Tidak, ayahku sudah mati, aku tak punya ayah,” sahut si anak muda.
Jawaban ini membikin orang aneh itu menjadi gusar:
“Kurang ajar, baru pertama kali aku berkata kau sudah membantah, guna apa lagi mempunyai anak semacam kau ini ?” bentaknya segera.
“O, kiranya dia hendak terima aku sebagai anak,” pikir anak muda itu.
Oleh karena sejak kecil ia tak punya bapak, maka ia sangat iri apabila melihat anak lain mendapat kasih sayang ayah, ia menjadi pingin mempunyai ayah pula, tapi melihat kelakuan orang aneh yang berlainan dengan orang biasa ini dan seperti orang gila, maka kini berbalik ia tidak sudi mengaku ayah padanya.
“Kau tak mau panggil aku sebagai ayah ?” bentak orang aneh itu lagi “Baiklah ! hm, orang lain hendak panggil ayah padaku, belum tentu aku mau terima.”
Namun anak muda itu masih tetap tidak mau memanggil, bahkan mulutnya menjengkit tanda mencemoohkan, iapun tidak gubris kata2 orang lagi, hanya dalam, hati ia sedang berpikir cara bagaimana supaya dapat mengakali orang agar mau menyembuhkan racun di badannya.
Dalam pada itu terdengar orang aneh itu komat-kamit entah apa yang dikatakan, berbareng bertindak pergi pula dengan cepat
Keruan si anak muda menjadi gugup,
“”Ayah, ayah!” terpaksa ia berseru memanggil “Hendak kemana, ayah ?”
Mendengar panggilan itu, orang aneh itu tertawa ngakak senang: “Hahaha, anakku sayang, marilah kuajarkan kau cara melenyapkan hawa racun di dalam tubuhmu.”
Dengan cepat anak muda itu mendekati.
“”Racun yang kena dirimu itu adalah racun jarum Peng-pek-gin-ciam milik Li Bok-chiu, di jagat ini melulu dua orang saja yang mampu menyembuhkannya,” “demikian kata si orang aneh pula, “”Yang seorang ialah Hwesio tua, tetapi untuk menolong kau ia harus mengorbankan jerih-payah latihannya selama beberapa tahun, Dan seorang lagi ialah ayahmu ini.” ”
Lalu ia ajarkan kunci ilmu penyembuhannya dengan lisan, anak muda itu disuruh menurut ajarannya itu untuk mengatur napas, Cara ini adalah cara bernapas yang terbalik dan harus dilakukan terbalik pula orangnya, yakni dengan berjungkir kepala di bawah dan kaki di atas, supaya hawa dan darah berjalan bertentangan arahnya, dengan demikian hawa racun itu lantas terdesak kembali dan keluar dari tempat masuk semula.
Tetapi karena baru belajar dan mulai berlatih, setiap hari hanya sedikit saja racun itu bisa didesak keluar, sedikitnya harus lebih sebulan baru bisa dikuras semua hawa berbisa itu.
Setelah orang aneh itu ajarkan cara2 melakukannya, si anak muda ternyata sangat pintar, sekali tunjuk saja ia sudah paham, begitu dengar sudah teringat baik2. Oleh karena itu ia lantas kerjakan menurut cara yang diajarkan itu. Betul juga rasa kaku pegal tadi lambat laun mulai berkurang ia atur jalan napasnya sejenak pula, akhirnya dari ujung jari kedua tangannya mengucurkan beberapa tetes air hitam.
“Nah, cukuplah sudah, hari ini tidak perlu berlatih lagi, biarlah besok kuajarkan cara baru padamu, “ujar orang aneh itu dengan girang demi nampak menetesnya air hitam, “Marilah, sekarang kita pergi !”
“Pergi ke mana ?” tanya anak itu dengan bingung.
“Kau adalah anakku, kemana saja sang ayah pergi, dengan sendirinya kau ikut ke sana,” sahut si orang aneh.
Sebelum anak itu menjawab, saat itu juga tiba-tiba terdengar beberapa kali suara mencicitnya burung, menyusul tertampak sepasang burung rajawali melayang lewat di angkasa dan disusul pula dengan suara seruan orang yang nyaring-keras yang sayup2 berkumandang dari jauh.
Seketika air muka orang aneh itu berubah demi mendadak mendengar suara tadi.
“Tidak, aku tidak mau bertemu dengan dia, tak mau bertemu dia !” se-konyong2 ia berteriak, berbareng itu iapun melangkah pergi dengan cepat.
Langkahnya begitu cepat hingga dalam beberapa tindak saja orang aneh itu sudah menghilang dibalik lereng gunung sana,
Keruan si anak muda tadi yang kelabakan “Ayah, ayah!” ia ber-teriak2 sambil menguber.
Akan tetapi baru saja ia melewati satu pohon Yang-liu besar, tiba2 ia dengar samberan angin dari belakang, begitu keras angin itu hingga kulit kepalanya terasa sakit, menyusul ini pandangannya menjadi gelap se-akan2 tertutup selapis awan tebal. Kiranya kedua burung rajawali tadi telah melayang dari belakang dan turun didepaknya.
Pada saat yang sama itu dari belakang pohon muncul seorang laki2 dan seorang perempuan, kedua rajawali itu menghinggap di pundak kedua orang itu sambil bercuat-cuit seperti sedang melaporkan sesuatu.
Laki2 itu bermata besar dan beralis tebal, dadanya lebar dan punggungnya tegak, umurnya antara 3435 tahun, di atas bibirnya terpelihara kumis tebal, wajahnya sedikitpun tidak menunjukkan perasaannya. Sedang yang wanita usianya 30 tahunan, meski sudah setengah umur, tetapi diantara mata-alisnya masih jelas kelihatan sifat aleman yang menarik dan seperti masih polos,
dengan tangannya ia sedang mengelus sayap burung rajawali dengan rasa sayang,
“”Menurut pendapatmu, anak ini mirip siapa?” tiba2 wanita itu berkata pada lelaki disampingnya sesudah mengamat-amati si anak beberapa kali.
Akan tetapi lelaki itu ternyata tidak menjawab, sebaliknya ia berkata ke jurusan lain; “Kenapa Tiao-ji (si rajawali) bisa berada di sini ? jangan2 di atas pulau telah terjadi sesuatu ?”
Kiranya kedua orang ini ialah Kwe Ceng dan Oey Yong suami-isteri, mereka telah keluar pulau buat mencari Oey Yok-su, tetapi meski sudah mereka jelajahi antero kota2 di daerah Kanglam, belum juga mereka ketemukan jejak ayah dan ayah mertua mereka itu.
Oey Yong kenal watak ayahnya yang suka pada keindahan alam daerah Kanglam, apabila orang tua ini sampai mencari tempat tirakat lain, maka bisa dipastikan tidak akan melintasi utara sungai Tiangkang dan tentu pula tidak lebih selatan dari Sian-he-nia.
Kebetulan hari itu mereka berdua sampai di kota kecil Ling-oh dari kabupaten Oh-tjiu-hu, di sini tiba2 mereka melihat ada mengepulnya asap dan berkobarnya api yang meninggi ke langit Mereka dengar pula orang udik pada berteriak. “”He. Liok-keh-ceng kebakaran!”
Mendengar nama pedesaan yang disebut itu, hali Kwe Ceng tertarik, ia ingat bahwa di daerah Ling-oh ini terdapat seorang Liok Tian-goan, Liok-loeng-hiong, walaupun selama ini belum pernah bertemu, tapi sudah lama ia kagumi nama orang
yang tersohor Ketika ia menanyakan, betul juga apa yang dikatakan orang udik tadi adalah rumah kediaman Liok Tian-goan.
Mereka berdua buru2 menuju ke tempat kebakaran, setiba di sana, perumahan2 yang terbakar itu sudah menjadi puing, hanya di antara sisa2 gundukan api terdapat beberapa mayat yang sudah hangus dengan bau yang sangit busuk.
“Engkoh Ceng, kukira dalam kejadian ini terdapat sesuatu yang aneh?” demikian kata Oey Yong pada sang suami.
“Kenapa ?” tanya Kwe Ceng.
“Ya, ingat saja itu Liok Tian-goan adalah seorang Enghiong yang namanya gilang-gemilang. kabarnya sang isteri Ho Wan-kun juga seorang pendekar wanita pada jaman ini, kalau hanya kebakaran biasa saja, mustahil tiada seorangpun keluarganya tak bisa menyelamatkan diri? Aku menduga tentu musuhnya yang tangguh telah datang menuntut balas padanya!” demikian pendapat Oey Yong.
Kwe Ceng pikir betul juga pendapat isteri nya ini, ia adalah golongan manusia yang berbudi luhur dan suka menolong, meski kini usiamu sudah menanjak, pengalamannya pun banyak bertambah, namun hatinya yang bajik dan mulia itu sedikitpun tidak berkurang daripada waktu mudanya.
Oleh karenanya segera ia menyatakan akur. “”Betul pendapatmu marilah kita periksa, coba lihat siapakah musuhnya, kenapa turun tangan secara begini keji ?”
Dan setelah mereka berdua mengitar sekali perkampungan yang terbakar itu, sedikitpun tiada tanda2 mencurigakan yang mereka dapat, Tetapi mata Oey Yong yang jeli tiba2 tertarik pada sesuatu, se-konyong2 ia berteriak sambil menuding pada dinding rumah yang tinggal separuh itu.
“Lihat, apakah itu ?” serunya.
Kwe Ceng memandang ke arah yang ditunjuk, tertampaklah di atas dinding itu terdapat bekas lima cap tangan, karena habis tergarang asap, maka cap tangan itu kelihatan bertambah seram.
Seperti diketahui, cap tangan yang berada di dinding itu semuanya ada sembilan buah, tetapi karena dinding temboknya sudah ambruk separoh, maka yang masih ketinggalan hanya lima buah.
Kwe Ceng kaget ketika mengenali tanda telapak tangan itu.
“Jik-lian Sian-cu !” tanpa terasa ia menyebut nama orang.
“Ya, betul dia,” ujar Oey Yong, “Sudah lama kita dengar bahwa Jik-lian Sian-cu Li Bok-Chiu dari Hunlam memiliki ilmu silat yang maha hebat, caranya pun sangat keji tiada taranya dan tidak kalah dengan Se-tok Auyang IJong dahulu, jika dia berani menginjak Kanglam sini, kita boleh coba2 ukur tenaga padanya.”
“Ya, tetapi iblis ini sangat ulet? dan tidak gampang dilawan” sahut Kwe Ceng memanggut. “Paling baik kalau kita bisa ketemukan Gakhu (mertua)”
“He, semakin berumur, nyalimu jadi semakin kecil!” goda Oey Yong dengan tertawa.
“Memang,” sahut Kwe Ceng.” Kalau ingat dahulu, tanpa mengenal tingginya langit dan tebalnya bumi, kita berani naik ke Hoa-san untuk berebut gelar jago silat nomor satu dikolong langit ini, jika seperti aku sekarang ini, sekalipun aku digotong kesana dengan joli delapan orang, pasti aku tidak berani pergi”
“Huuh ? Harus digotong pakai joli segala!” goda sang isteri.
Begitulah sambil besenda-gurau, tapi dalam hati mereka diam2 berlaku waspada, mereka terus periksa, akhirnya di tepi sebuah kolam mereka melihat dua buah jarum Peng-pek-gin-ciam yang be-racun. Ujung sebuah jarum diantaranya terendam air, karena itu, beberapa ratus ikan piaraan yang berada dalam kolam itu sama mati dengan perut terbalik ke atas, suatu tanda betapa jahat racun yang terdapat pada jarum itu.
Oey Yong melelet lidahnya, dari buntalannya ia keluarkan sepotong baju, ia lempit beberapa kali, dengan dialingi kain baju ini ia jemput jarum perak itu, ia bungkus baik2 dan dimasukkan ke dalam kantong rangsalnya.
Habis ini mereka berdua tidak bicara lagi melainkan percepat memeriksa dan mencari jejak orang pula, akhirnya di belakang pohon Liu tadi mereka dapatkan sepasang burung rajawali dan ketemu pula si anak tanggung itu.
Dari rajawali yang menclok di atas pundak mereka, tiba2 Oey Yong mencium bau yang aneh, berapa kali ia sedot, segera dadanya menjadi sesak dan rasanya menjadi nek.
Kwe Ceng pun mencium bau busuk itu, bau itu seperti datang dari tempat yang sangat dekat dengan hidungnya, waktu ia men-cari2 dari mana datangnya bau busuk itu, tiba2 ia melihat pada kaki kedua burungnya terdapat luka lecet, waktu ia dekatkan hidungnya, betul saja bau busuk itu datangnya dari luka ini.
Suami-isteri ini terkejut, lekas2 mereka periksa luka burung2 itu dengan teliti, meski luka itu sebenarnya hanya lecet kulit saja, tetapi sudah menimbulkan bengkak, pula sebagian kulit daging kakinya sudah mulai busuk.
“luka apakah ini, kenapa begini lihay?” demikian Kwe Ceng berpikir sambil menunduk Tiba2 pula ia lihat tangan kiri si anak muda tadi telah berubah menjadi hitam semua, keruan ia kaget pula.
“Kaupun terkena racun ini ?” serunya kuatir.
Dengan cepat Oey Yong mendekati anak muda itu ia angkat tangannya dan diperiksa, habis ini cepat2 ia gulung lengan bajunya, ia keluarkan pula sebuah pisau kecil, dengan senjata ini ia sayat tangan orang sebelah bawah, lalu dengan kuat ia pencet agar darah yang berbisa mengalir keluar.
Akan tetapi ia menjadi heran sekali ketika melihat darah yang menetes keluar dari tangan anak muda itu ternyata berwarna merah segar, padahal telapak tangannya je!as2 sudah berubah hitam seluruhnya, dan kenapa darah yang mengucur keluar tidak beracun ?
Nyata ia tidak tahu bahwa setelah si anak muda mendapatkan ilmu ajaib ajaran orang aneh
yang suka menjungkir itu, kini darah berbisa dalam tubuhnya sudah didesak ke ujung jaring dan untuk sementara tidak akan menjalar
Setelah ragu2 sejenak, kemudian Oey Yong keluarkan sebutir pil “Kiu-hoa-giok-lo-wan”, obat pil yang terbuat dari sari sembilan macam bunga2 an.
“Kunyah dan telan ini,” katanya sambil memberikan pil itu pada si anak
Anak muda itu tidak menolak, ia terima pemberian pil itu terus masukkan ke dalam mulut, rasanya manis dan harum.
Lalu Oey Yong keluarkan pula empat pil dan dibagikan kepada kedua burung rajawalinya yang terluka itu.
Sesudah memikir sebentar, mendadak Kwe Ceng bersiul panjang, Suara siulan ini berkumandang jauh sekali, begitu keras suaranya hingga menggema lembah pegunungan sampai dahan pohon Liu yang menjulur ikut tergoncang,
Dalam pada itu belum lenyap suara siulan pertama, menyusul Kwe Ceng menggembor dengan suaranya yang keras, begitu hebat suara teriakan itu susul menyusul hingga bikin seluruh lembah gunung penuh dengan suara sahut-menyahut yang menggelegar.
Karena teriakan ini sama sekali di luar dugaan, si anak muda tadi dibikin kaget, tanpa tertahan air mukanya berubah hebat karena belum pernah mendengar suara yang luar biasa ini.
Sebaliknya Oey Yong mengerti maksud tujuan sang suami, ia tahu dengan suara itu suaminya bermaksud menantang tanding pada Li Bok-chiu. Ketika pekikan ketiga sang suami dilontarkan, segera pula ia kumpulkan tenaga dan menyusuli dengan teriakannya.
Kalau suara pekikan Kwe Ceng agak rendah tetapi kuat, maka suara Oey Yong sebaliknya tinggi tetapi nyaring sekali, perpaduan suara yang hebat ini makin lama semakin jauh dan semakin keras, susul menyusul tiada putusnya, se-akan2 satu sama lain tidak ingin ketinggalan.
Kiranya Kwe Ceng dan Oey Yong sudah berlatih diri di Tho-hoa-to dengan giat, tenaga dalam mereka sudah terlatih sampai puncaknya kesempurnaan, dengan suara pekikan yang berkumandang jauh ini, orang2 yang berada dalam jarak belasan li sama terkejut dan ter-heran2 tidak mengerti suara aneh ini datang dari mana.
Sementara itu suara pekikan hebat ini telah didengar oleh beberapa orang tertentu. Orang aneh yang suka menjungkir itu telah “tancap gas” mempercepat larinya demi mendengarnya.
Sebaliknya orang aneh berjubah hijau yang pondong Thia Eng itu ketawa waktu dengar suara “Haha, mereka telah datang juga, aku harus menyingkir jauh, supaya tidak banyak rewel.”
Dalam pada itu Li Bok-chiu dengan mengempit Liok Bu-siang sedang lari dengan cepatnya, ketika mendadak dengar suara siulan pertama, se-konyong2 ia berhenti, ia ayun kebutnya dan memutar tubuh, “Hm, nama Kwe-tayhiap menggoncangkan Bu-lim, aku justru ingin membuktikannya apakah namanya bukan bikinan belaka,” demikian katanya dengan ketawa dingin.
Tetapi tiba2 pula diantara suara pekikan panjang tadi diseling pula dengan suara siulan nyaring yang menimpali suara yang duluan hingga menambah keangkeran suara2 itu.
Hati li Bok-chiu menjadi jeri, teringat olehnya Kwe Ceng dan Oey Yong suami-isteri selama berkelana selalu berdampingan dan bahu-membahu, sebaliknya dirinya hanya sebatang-kara, seketika perasaannya menjadi hampa dan putus asa, ia menghela napas panjang, habis ini dengan mencengkeram punggung Liok Bu-siang terus bertindak pergi.
Pada kala itu Bu-sam-nio sedang memayang sang suami yang terluka dan membawa kedua puteranya pergi jauh setelah berpisah dengan Kwa Tin-ok.
Setelah mengalami pertarungan sengit tadi, kuatir kalau Li Bok-chiu balik kembali buat mencelakai Kwe Hu, maka lekas2 Kwa Tin-ok bawa lari dara cilik ini dengan maksud mencari satu tempat untuk bersembunyi, tetapi ia keburu mendengar suara siulan Kwe Ceng dan Oey Yong yang keras itu, maka hatinya menjadi girang.
“He, ayah, ibu !” Kwe Hu berseru juga ketika mengenali suara orang tuanya.
Habis ini segera ia angkat kaki terus lari menuju kearah datangnya suara, Tetapi tiba2 ia berpikir pula: “Aku telah ngeluyur keluar, tentu nanti akan didamperat ayah, bagaimana baiknya ini ?”
Dalam bingungnya ia tarik2 lengan baju Kwa Tin-ok, ia coba membujuk orang tua ini: “Kong-kong, nanti kalau bertemu dengan ayah, katakanlah kau yang bawa aku keluar buat memain, ya?” demikian ia memohon.
“Tidak, aku tidak mau berbohong untuk kau!” sahut Kwa Tin-ok dengan menggeleng kepala.
Tetapi Kwe Hu tidak kurang akal, tiba2 ia meloncat dan merangkul leher si orang tua, dengan kata2 halus ia membujuk . lagi: “Kongkong, sayanglah padaku sekali ini, seterusnya aku tak akan nakal lagi.”
Namun masih tetap Kwa Tin-ok geleng2 kepala.
“Baiklah, biar aku minggat pergi,” teriak Kwe Hu tiba2 sambil lompat turun dari rang-kula.nnya. “Selamanya aku tak akan menjumpai kau lagi, juga tidak akan menemui ayah-bunda.”
Mendengar kata2 ini, Tin-ok menjadi kaget dan kuatir, ia kenal watak dara cilik ini berani berkata berani berbuat pula, sedang dirinya buta, kalau sampai sikecil ini pergi, maka susah lagi untuk mencarinya.
“Baik, baik, kululuskan keinginanmu,” terpaksa ia menyerah.
Kwe Hu ketawa senang dengan kemenangannya ini.
“Memang aku sudah tahu kau bakal meluluskan, tidak nanti kau tega membiarkan aku diomeli ayah dan ibu,” kata si nakal ini.
Maka dua sejoli, satu tua dan satu bocah ini lantas berlari ke tempat beradanya Kwe Ceng dan isteri sesudah dekat, dengan serta-merta Kwe Hu menjatuhkan diri ke dalam pelukan ibunya dengan laku aleman.
“Bu, Kongkong yang membawa aku ke sini mencari kalian, kau tentu senang bukan?” demikian si nakal ini berkata pada sang ibu.
Akan tetapi Oey Yong yang kepintarannya tiada ban dingannya itu, hanya sedikit permainan sandiwara sang puteri ini mana bisa mengelabui dia, cuma bisa bertemu anaknya di sini, sebenarnya ia memang juga senang, maka ia hanya tertawa saja, lalu bersama sang suami mereka menjalankan penghormatan pada Kwa Tin-ok dan tanyakan kesehatan si orang tua.
Kwe Hu masih kuatir kalau disemprot ayahnya, maka sesudah menyapa sekali, lantas ia tarik tangan si anak muda tadi menyingkir pergi.
“Pergilah kau memetik bunga, buatkan lah mahkota bunga untukku” demikian pintanya.
Pemuda itu tidak menolak, ia ikut pergi bersama, perawakan Kwe Hu ternyata jauh lebih pendek, tingginya hanya sedada orang, maka dengan gampang saja ia dapat melihat telapak tangan pemuda itu yang hitam, mendadak sontak ia kipatkan tangan orang yang tadinya dia gandeng.
“Hiiii, tanganmu kotor, tak mau aku bermain dengan kau,” demikian ia meng-olok2.
Watak pemuda itu ternyata tidak gampang mengalah, iapun tinggi hati, maka kontan ia jawab dengan ketus: “Siapa pingin bermain dengan kau?”
Habis berkata dengan langkah lebar ia lantas bertindak pergi sendiri
“Eh, eh, saudara cilik, jangan pergi dulu, sisa racun dalam tubuhmu masih belum hilang seluruhnya, kalau sampai kambuh pasti akan luar biasa lihaynya,” seru Kwe Ceng ketika melihat si anak muda ini hendak pergi.
Anak itu paling benci kalau orang katai dia jelek, oleh karena itu, olok2 Kwe Hu tadi telah menusuk perasaannya, maka dengan tegang leher ia masih jalan terus tanpa gubris teriakan Kwe Ceng,
Tabiat Kwe Ceng memang welas-asih, maka buru2 ia menguber.
“Cara bagaimanakah kau terkena racun ?” demikian ia menanya pula, “Marilah kami sembuhkan kau dulu.”
“Aku toh tidak kenal kau, perduli apa dengan kau?” sahut anak muda itu dengan ketus. Berbareng ia percepat langkahnya dan bermaksud menerobos lewat disamping Kwe Ceng.
Sekilas Kwe Ceng dapat melihat wajah si anak muda yang menunjukkan rasa marah ini, diantara mata-alis-nya tertampak sangat mirip seseorang, tiba2 hatinya tergerak.
“Eh, saudara cilik, kau she apa?” segera ia tanya.
Namun pemuda itu tidak menjawab, sebaliknya ia melolototi orang, lalu tubuhnya sedikit miring dengan maksud hendak menerobos lewat, Di luar dugaan secepat kilat Kwe Ceng sudah mencekal sebelah tangannya.
Dalam kagetnya si anak muda itupun menjadi gusar, ia me-ronta2 beberapa kali, sesudah tak berhasil mendadak ia angkat tangan kirinya terus menggenjot perut Kwe Ceng.
Kwe Ceng tidak urus pukulan ini, ia membiarkan perutnya kena dihantam dengan tersenyum saja.
Ketika anak muda itu bermaksud menghantam lagi, tahu2 kepalannya ambles di-tengah2 perut orang, bagaimanapun juga meski ia tarik2 tetap tak bisa melepaskan diri, ia tidak putus asa, masih terus ia tarik2, saking keras ia keluarkan tenaga hingga mukanya merah padam, tetapi tangannya seperti melengket saja diperut Kwe Ceng, sebaliknya ia rasakan lengan sendiri kesakitan karena di-betot2.
“Nah, beritahu padaku kau she apa dan segera ku lepaskan kau,” dengan tertawa Kwe Ceng tanya lagi.
Namun si anak muda memang sangat kepala batu, ia pikir tidak nanti aku mau omong, jika mau, akan kusebutkan she palsu dan nama bikinan saja, oleh karenanya ia lantas menjawab: “Aku she Cin dan bernama Coa-ji, sianak ular, Lekas lepaskan aku.”
Di lain pihak demi mendengar nama orang ini, Kwe Ceng merasa kecewa, ia lantas kendorkan tenaga: perutnya yang menyedot kepalan pemuda itu.
Sesudah tangannya terlepas, pemuda itu pandang Kwe Ceng dengan luar biasa kagumnya atas kepandaian orang tadi.
Di sebelah sana Kwe Hu sedang asyik menceritakan pengalaman selama berpisah dengan ibunya, akhirnya ia ceritakan tentang bagaimana sepasang rajawalinya berkelahi dengan seorang wanita jahat, lalu datang seekor burung merah kecil telah membantu rajawali2nya.
Mendengar “burung merah kecil” itu, Oey Yong jadi ketarik sekali..
“Apa burung merah kecil itu Koko (kakak) inikah yang membawanya datang ?” ia tanya dengan cepat.
“Ya,” sahut Kwe Hu, “Burung merah kecil itu menotol biji wanita jahat itu hingga buta, cuma sayang burung itupun kena digaplok mati oleh dia.”
Mendengar penuturan ini, Oey Yong tidak ragu2 lagi, segera ia melompat maju dan memegang pundak si anak muda tadi dengan kedua tangannya, dengan tajam ia pandang orang,
“Kau she Nyo bernama Ko, ibumu yang she Cin, ya bukan ?” demikian ia menegas sekata demi sekata.
Pemuda ini memang benar she Nyo dan bernama Ko, Ketika mendadak nama aslinya disebut Oey Yong, darah di rongga dadanya menaik ke atas hingga hawa racun ditangannya se-konyong2 menjalar kembali, ia merasa kepala puyeng dan pikiran menjadi butek, akhirnya ia jatuh pingsan.
Dalam kejutnya lekas2 Oey Yong memegang tubuh orang supaya tidak sampai roboh.
“Dia… dia kiranya putera adikku Nyo Khong.” kata Kwe Ceng terkejut bercampur girang.
Sementara itu kelihatan Oey Yong mengkerut alis, ia lihat racun menjalar terlalu hebat di tubuh Yo Ko, ia kuatir, karena sesungguhnya ia sendiri tidak punya sesuatu pegangan untuk menyembuhkan orang.
“Marilah kita cari tempat pondokan dulu, kemudian kita cari pula beberapa racikan obat,” ajaknya kemudian dengan suara terharu.
Kwe Ceng lantas pondong Yo Ko, bersama Kwa Tm-ok, Oey Yong dan si nakal Kwe Hu serta membawa pula sepasang burung Tiao mereka mencari hotel di-kota, bahan obat yang mereka perlukan ternyata sukar dicari, meski sudah dikumpulkan akhirnya masih kurang juga empat macam.
Melihat keadaan Yo Ko yang masih tak sadar, Kwe Ceng merasa sedih dan kuatir sekali, sampai Oey Yong beberapa kali memanggilnya ternyata tidak di dengarnya.
Oey Yong cukup mengerti perasaan hati sang suami waktu itu, sejak terbinasanya Nyo Khong (tentang lelakon Kwe Ceng, Oey Yong dan hubungannya dengan Nyo Khong akan diceritakan tersendiri) pikirannya selalu sedih dan menyesal maka dengan sendirinya luar biasa girangnya kini demi bisa ketemukan anak keturunan saudara angkatnya itu, tetapi anak ini justeru terkena racun dan belum bisa diketahui bakal mati atau hidup.
“Ceng-koko, marilah kita coba keluar mencari pelengkapnya obat,” ia mengajak.
Kwe Ceng sendiri mengerti juga sifat2 Oey Yong, ia tahu bila ada sedikit harapan bisa mengobati, pasti sang isteri sudah menghibur padanya, kini nampak wajah isterinya sangat prihatin, hatinya semakin tak tenteram. Segera ia pesan Kwe Hu jangan sembarangan ngeloyor pergi, lalu mereka suami-isteri keluar buat mencari obat2an.
Dalam pingsannya Yo Ko masih terus tertidur, meski hari sudah gelap masih belum juga sadar.
Beberapa kali Kwa Tin-ok masuk kamar memeriksanya, namun orang tua inipun tak berdaya, iapun kuatir kalau si nakal Kwe Hu ngeluyur pergi, maka tiada hentinya ia bujuk dara cilik ini lekas tidur.
Dalam keadaan remang2 entah sudah lewat berapa lama, tiba2 Yo Ko merasa ada orang me-mijat2 dan meng-urut2 dadanya, karena itu pelahan2 pikirannya jernih kembali, waktu ia buka matanya, ia lihat dalam kegelapan ada berkelebat satu bayangan entah apa meloncat keluar jendela dengan cepat.
Yo Ko paksakan diri buat berdiri meski rasanya masih lemas, ia coba melongok keluar jendela, tertampaklah olehnya di atas emper rumah berdiri satu orang dengan kepala menjungkir di bawah, siapa lagi kalau bukan orang aneh yang siang hari tadi menerima dirinya sebagai anak angkat itu.
Kepala orang aneh yang menyanggah badannya itu ternyata ada separohnya menempel di luar emper, tubuhnya yang tegak terbalik ke atas itu kelihatan ber-goyang2, agaknya setiap waktu bisa terbanting jatuh ke bawah.
“He, kau!” seru Yo Ko kaget tercampur girang.
“Kenapa tidak panggil ayah?” tegur orang aneh itu.
Karenanya Yo Ko lantas memanggil: “Ayah!” -hanya lagu suara panggilannya sangat dipaksakan.
Namun orang aneh itu sudah kegirangan “Naiklah sini,” katanya.
Yo Ko menurut, ia merangkak ke ambang jendela untuk kemudian meloncat ke atas payon.
Tetapi karena badannya masih lemah, tenaganya menjadi tak cukup, maka sebelum tangannya memegang emper rumah atau dia sudah terjungkal ke bawah Dalam kagetnya sampai ia berteriak.
Orang aneh itu tadinya berjungkir di atas payon, tetapi demi nampak Yo Ko terjungkal, mendadak manusia tubuhnya roboh ke bawah seperti batang kayu saja yang terbanting hanya kepalanya masih tetap melekat di atas emper rumah.
Dengan demikian secepat kilat tangannya menjambret punggung Yo Ko, habis ini tubuhnya kembali menegak lagi ke atas, Yo Ko diletakkannya ke atas payon dengan enteng saja.
Dan selagi ia hendak bicara, tiba2 ia dengar di kamar sebelah barat ada suara orang meniup memadamkan api. ia tahu jejaknya telah diketahui orang, tanpa ayal lagi ia pondong Yo Ko dan melangkah pergi dengan cepat, hanya sekejap saja beberapa deretan rumah penduduk sudah ia lintasi.
Waktu Kwa Tin-ok melompat ke atas rumah, namun di sekelilingnya sudah sepi nyenyak.
Setelah Yo Ko dibawa sampai di suatu tempat sunyi di luar kota, orang aneh itu baru menurunkannya.
“Coba kau gunakan cara yang pernah kuajarkan padamu itu, hawa berbisa dipaksa keluar lagi sedikit.” demikian ia memberi petunjuk pada Yo Ko.
Pemuda ini menurut, maka tidak antara lama, dari ujung jarinya menetes keluar beberapa titik darah hitam, berbareng rasa sesak di dadanya pun menjadi lega,
“Sungguh kau ini anak pintar, sekali tunjuk lantas paham, jauh lebih cerdas dibanding almarhum putera kandungku dahulu,” kata orang aneh itu. Teringat pada puteranya sendiri itu, tiba2 ia meratap: “O, anakku, anakku”
Air matanya lantas berlinang juga karena terkencing puteranya sendiri yang sudah mati, ia elus2 kepala Yo Ko sambil menghela napas pelahan.
Yo Ko sendiri sejak belum lahir sudah ditinggal bapaknya, ibu pun tewas oleh pagutan ular berbisa dikala ia baru berumur lima tahun, selama 8 9 tahun paling belakang ini, ia terluntang-lantung sebatang kara di Kangouw, dj-mana2 ia dihina orang sehingga menjadikan tabiatnya yang eksentrik, benci pada sesama manusia serta cemburu pada keadaan sekitarnya, Kini meski orang aneh ini belum pernah kenal dia, namun ternyata begitu baik terhadap dirinya, ini boleh dikatakan belum pernah terjadi selama hidupnya.
Karena darah keturunan ayah-bundanya, maka watak Yo Ko luar biasa pula anehnya, kalau dia sudah baik pada seseorang, maka dia bela mati2an tanpa pikirkan jiwa sendiri sebaliknya jika ada orang lain menghina dan pandang rendah padanya, maka selama hidup akan dia ingat2 terus dan dendam, dia pasti berusaha dengan segala daya-upaya untuk menuntut balas.
Kini si orang aneh itu mengunjuk rasa kasih sayang murni padanya, hati pemuda ini luar biasa terharunya hingga ia melompat terus merangkul leher orang sambil berulang kali memanggil “Ayah, ayah!”
Sejak Yo Ko berumur 2 3 tahun ia sudah berharap mempunyai seorang ayah yang akan cinta dan melindungi dia. Bahkan dalam mimpi kadang2 mendadak muncul seorang ayah yang gagah perkasa yang dia cintai, tapi bila terjaga dari tidurnya, ayah khayalan itu lantas hilang lagi tak berbekas, oleh karenanya seringkali ia suka menangis sendirian dengan sedih.
Kini harapan yang sudah lama ia impikan itu tiba2 berwujut, dua kali panggilan tadi keluar dari lubuk hatinya yang penuh cinta kasih seorang anak kepada bapaknya.
Jika hati Yo Ko terharu sekali, maka dalam hati orang aneh itu ternyata jauh lebih girang daripada dia. Waktu mereka mula2 berjumpa di mana Yo Ko dipaksa memanggil ayah, dalam hati anak muda itu sesungguhnya seribu kali tidak sudi, tetapi kini dua hati telah kontak seperti ayah dan anak kandung.
“O, anak baik, anak manis, coba panggil ayah sekali lagi!” demikian kata orang aneh itu dengan bergelak ketawa.
Betul juga Yo Ko lantas memanggil ayah, bukan hanya sekali, malahan dia panggil lagi dua kali, lalu ia menggelendot dibadan orang dengan laku yang aleman.
“Aha, anak baik, marilah kuajarkan kau ilmu silatku yang paling kubanggakan selama hidup ini,” dengan tertawa orang aneh itu berkata pula,
Sambil berkata, lantas ia berjongkok, dari mulutnya terdengar suara “kuk-kuk-kuk” tiga kali, menyusul kedua tangannya dia dorong ke depan, maka terdengarlah suara gemuruh yang keras,, setengah tembok pagar yang berada di depannya telah ambruk seketika sehingga debu dan batu berhamburan.
Nampak orang memiliki ilmu silat selihay ini, girang sekali hati Yo Ko. “Ayah, ilmu apakah itu, dapatkah aku mempelajarinya ?” dengan cepat ia tanya,
“Ini namanya Ha mo-kang (ilmu weduk kodok),” sahut orang itu, “Asal kau mau berlatih dengan giat, tentu kau dapat mempelajarinya.”
“Setelah aku pandai, apakah tiada orang lain lagi yang berani menganiaya diriku ?” tanya Yo Ko lagi.
“Tentu saja,” sahut orang aneh itu sambil menarik alis “Siapa yang berani menghina puteraku, biar aku patahkan tulangnya dan beset kulitnya.”
Kiranya orang aneh yang kosen ini bernama Auwyang Hong yang namanya telah disinggung bagian atas tadi.
Sejak Hoa-san-lun-kiam atau pertandingan silat di atas Hoa-san (salah satu gunung tersohor di daerah propinsi Siamsay), Auwyang liong kena diakali Ui Yoeg hingga otaknya rada miring, selama belasan tahun, ini ia terluntang-lantung di daerah sunyi, yang dia selalu pikir adalah: “Siapakah aku ini sebenarnya ?”
Tetapi tahun2 terakhir ini, sesudah dia berlatih Kiu-im-cin-keng, maka Lwekangnya sudah ada banyak kemajuan, otaknya juga banyak lebih terang, walaupun masih tetap tak beres kelakuannya dan suka gila2an.
Tetapi banyak kejadian lama pelahan2 dan satu persatu sudah mulai dia ingat, cuma saja tentang “siapakah dirinya sendiri” inilah yang tetap belum dia ingat pontang Hoa-san-lun-kian serta mengapa Auwyang Hong bisa diakali Oey Yong hingga menjadi gila dan sebab apa dia berlatih ilmu Kiu-im-cin-keng secara terbalik, pada kesempatan lain akan dibukukan tersendiri.
Begitulah, maka Auwyang Hong lantas mcngajar-Yo Ko dasar2 permulaan ilmu Ha-mo-kang.
Hendaklah diketahui bahwa Ha-mo-kang yang menjadi ilmu kebanggaan Auwyang Hong ini terhitung ilmu silat kelas satu dalam dunia persilatan Dahulu meski putera kandung sendiri belum pernah Auwyang Hong mengajarkan padanya, tetapi kini karena guncangan perasaannya, ternyata pikir segalanya lagi diajarkannya pada anak angkatnya yang baru dia terima ini.
Ha-mo kang ini sangat sulit dan dalam sekali, Yo Ko sendiri masih belum punya landasan, meski dia coba baik2 semua apa yang diuraikan Auwyang Hong, tetapi sama sekali ia tidak paham akan arti yang terkandung dalam rahasia ilmu yang dia terima itu.
Oleh karena itu, sesudah hampir setengah hari Auwyang Hong mengajar, tetapi ia lihat Yo Ko masih ngawur saja kalau ditanya, sama sekali belum paham dasar yang diajarkan, akhirnya Auwyang Hong menjadi keki, dalam dongkolnya ia hendak menampar anak muda itu.
Namun sebelum tangannya menyentuh pipi orang, dibawah sinar sang dewi malam ia lihat muka Yo Ko yang putih bersih dengan matanya yang jeli menarik itu, ia menjadi tidak tega menghajarnya.
“Sudahlah, kau tentu sudah letih, pulang saja sekarang, besok aku mengajarkan kau lagi,” katanya kemudian dengan menghela napas.
Tak tahunya, sejak Yo Ko dikatai Kwe Hu bahwa tangannya kotor, terhadap anak dara itu telah timbul rasa benci dalam hatinya, maka demi mendengar dirinya disuruh kembali kepada Kwe Ceng, ia menjadi sedih.
“Tidak, ayah, aku ikut kau saja, aku tak mau pulang ke sana,” katanya.
Siapa dirinya sendiri, soal ini bagi Auwyang Hong masih belum jelas hingga kini, tetapi mengenai urusan umum pikirannya sudah cukup terang dan jernih, maka atas permintaan Yo Ko itu ia menjawab: “Jangan. otakku masih rada kurang beres, ku kuatir kau nanti ikut menderita. Kau pulang saja dahulu, nanti kalau aku sudah bikin terang sesuatu soal barulah kita berkumpul untuk selamanya.”
Kata2 Auwyang Hong yang penuh kasih sayang ini meresap sekali ke lubuk hati Yo Ko, boleh dikatakan sejak, ibunya mangkat, belum pernah ia mengenyam rasa simpatik seperti sekarang ini, maka dengan cepat ia merangkul orang..
“Kalau begitu harap lekas kau datang menjemput aku, ayah,” katan’ya.
“jangan kuatir, nak, sementara diam2 senantiasa akan kuikuti kau, kemanapun kau pergi, pasti aku mengetahuinya,” sahut Auwyang Hong manggut2. Kemudian ia membopong Yo Ko lagi dan diantar pulang ke dalam hotel.
Selama itu Kwa Tin-ok sudah pernah datang sekali mencari Yo Ko, ia me-raba2 dan tidak mendapatkan anak muda ini di atas ranjangnya, Kwa Tin-ok menjadi kuatir sekali. Tetapi tatkala untuk kedua kalinya ia datang mencari Yo Ko lagi, ia mendapatkan pemuda ini sudah ada di situ, selagi ia hendak bertanya tadi kemana atau tiba2 ia dengar di atas wuwungan rumah ada suara mendesirnya angin.
Meski mata Kwa Tin-ok buta, tetapi daya pendengarannya luar biasa tajamnya, ia tahu ada dua orang “ya-heng-jin” (orang jalan diwaktu malam) yang berilmu silat sangat tinggi lewat di atas rumah, Untuk menjaga segala kemungkinan, lekas2 orang tua ini membopong Kwe Hu, sedang senjata tongkatnya segera ia siapkan kian berjaga di dekat jendela, ia kuatir kalau2 kedua tamu malam itu putar kembali lagi.
Betul saja, sejenak kemudian suara mendesirnya angin kembali kedengaran lagi dari jauh mendekat, begitu cepat hingga sekejap saja sudah sampai di atas rumah hotel, lalu ia dengar suatu diantaranya lagi berkata: “Yong-ji, kau kira siapakah dia tadi ?” demikian sahut seorang lain.
Mendengar suara percakapan ini, Kwa Tin-ok tahu Kwe Ceng dan Oey Yong suami isteri. Karena itulah ia merasa lega, segera ia membuka pintu agar kedua orang itu masuk.
“Baik2kah disini, Suhu?” segera Oey Yong tanya Kwa Tin-ok begitu melangkah masuk.
“Ya, tiada terjadi apa2,” sahut Kwa Tin-ok.
“Aneh, apa mungkin kita telah salah lihat ?” kata Oey Yong kepada sang suami.
“Tidak, tidak bisa, orang ini sembilan bagian pasti dia,” sahut Kwe Ceng sambil menggeleng kepala.
“Dia ? Dia siapa ?” Tin-ok ikut bertanya.
Lekas Oey Yong me-narik2 lengan baju suaminya dengan maksud agar jangan mengatakan Akan tetapi tidak bisa menghormatnya Kwe Ceng terhadap gurunya yang banyak menanam budi padanya, tidak berani ia berdusta meski barang sedikit saja, maka. ia lantas menerangkan: “Dia Auwyang Hong !”
Justru seumur hidupnya paling takut pada orang ini karuan seketika air muka Kwa Tin-ok berubah hebat.
“Auwyang Hong?” ia menegas dengan suara tertahan.
“Betul! dia belum mampus ?”
“Tadi ketika kami kembali dari memetik obat2-an, di pinggir rumah kami melihat berkelebatnya bayangan orang, gerak tubuhnya sangat cepat lagi aneh, waktu kami mengejarnya, sayang tak tertampak bayangannya lagi. Cuma kelihatannya sangat mirip Auwyang Hong,” demikian Kwe Ceng ceritakan.
Kwa Tin-ok mengerti muridnya ini sangat jujur dan suka terus terang, semakin menanjak umurnya semakin tulus, kalau dia bilang Auwyang Hong, maka pasti bukan orang lain lagi.
Sementara itu karena kuatirkan diri Yo Ko, Kwe Ceng telah memeriksanya ke tempat tidurnya dengan membawa lilin, ia lihat air muka pemuda ini merah segar, napasnya teratur dengan haik, tidurnya nyenyak, ia menjadi girang sekali oleh keadaan bocah ini.
“Dia sudah baik, Yong-ji !” saking girangnya ia teriaki isteri.
Padahal waktu itu Yo Ko hanya pura2 tidur saja, ia pejamkan matanya buat mencuri dengar percakapan ketiga orang, Ketika lapat2 mendengar ayah angkatnya - orang aneh itu - bernama Auw-yang Hong, sedang ketiga orang ini sangat jeri padanya, tentu saja dalam hati kecilnya diam2 ia merasa bangga dan senang.
Dalam pada itu sesudah TJi Yong melihat kea.da-an Yo Ko, menjadi ter-heran2, Terang ia lihat hawa racun di lengannya menjalar terus ke atas, sesudah lewat beberapa jam ini, semestinya bertambah hitam bengkak dan merembes lebih luas, siapa tahu hawa berbisa itu sebaliknya malah menghjlang, sungguh kejadian yang sukar dimengerti.
Setelah keluar bersama sang suami sekian lama, namun rumput obat2an yang dia cari tetap belum lengkap, terpaksa seadanya ia gilasi dan racik beberapa macam bahan obat, air perasannya lalu ia minum kan pada Yo Ko.
Besok paginya, Kwa Tin-ok bersama Kwe Ceng dan Oey Yong melanjutkan perjalanan bersama dua anak kecil, mereka ambil keputusan buat pulang ke Tho-hoa-to dahulu untuk menyembuhkan lukanya Yo Ko.
Malamnya terpaksa mereka harus menginap lagi di hotel, Kwa Tin-ok tinggal sekamar dengan Yo Ko, sedang suami isteri Kwe Ceng dan Oey Yong sekamar dengan puteri mereka.
Tengah malam sedang enak2nya mereka tidur, mendadak terdengar suara “krak” yang keras di atas rumah, menyusul mana terdengar pula suara teriakan di kamar sebelah, rupanya ada orang merusak daun jendela dan melompat keluar.
Cepat Kwe Ceng dan Uj Yong melompat “bangun, melalui jendela mereka lihat di atas rumah sudah ada dua orang yang sedang bergebrak dengan sengit. Baru saja bisa lihat jelas bentuk tubuh kedua orang itu, tiba2 terdengar suara “plak”, berbareng itu satu diantaranya telah menjerit terus terbanting ke bawah itu sudah dalam keadaan lumpuh, kaki tangannya kelihatan kaku dan menjulai ke bawah dengan lurus.
Menurut kebiasaan, orang yang berilmu silat tinggi, sekalipun tergelincir jatuh dari tempat tinggi secara tiiba2 pasti akan menekuk badan dan tarik kaki, dengan demikian waktu sampai di tanah, tidak bakal terluka berat, akan tetapi orang itu sudah lebih dulu dihantam semaput di atas rumah, maka dengan tefbantingnya ini tulangnya pasti akan patah dan mungkin kepalanya akan remuk,
Pada detik yang berbahaya itu, tiba2 dari jendela kamar sebelah melayang keluar seorang wanita, orang ini adalah Oey Yong, segera ia hendak menangkap tubuh orang, Namun ia masih kalah cepat, sebab Kwe Ceng sudah menyerobot di depannya dan dengan enteng sekali ia tarik tengkuk orang pada waktu hampir membentur tanah, terus diangkat ke atas dan kemudian dia turunkan pelahan, habis ini sekali ia enjot kakinya, segera ia melompat ke atas rumah.
Tetapi sekali ini ia yang ketinggalan ia lihat sang isteri sudah saling gebrak dengan serunya melawan satu orang, Lawannya berperawakan jangkung dan berjenggot pendek, kaki, hidungnya besar, matanya celong, siapa lagi kalau bukan musuh kebuyutan mereka yang sudah tak bertemu selama belasan tahan, Se-tok Auwyang Hong, Si racun dari Barat.
(Se-tok atau Si racun dari Barat adalah julukan Auwyang Hong sebagai satu diantara lima tokoh silat kelas wahid pada jamannya. Empat rekannya ~ yang juga menjadi musuhnya - masing2 adalah: Tong-sia- Oey Yok-su, Si Latah dari Timur (ia adalah ayah Oey Yong), Lam-te Toan Hong-ya, Si raja dari Selatan, Pak-kay Ang Tjhit-kong, Si langit di Tengah. Urut2an nama mereka berlima disebut: Tong-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay, Tiong-kian-khun).
Begitulah tadi, Oey Yong yang sudah banyak maju kepandaiannya, dalam belasan jurus itu tipu2 pukulannya ternyata sukar diraba, karena itu, sedikitpun Auwyang liong tidak lebih unggul.
“Aha, Auwyang-sianseng, baik2kah selama berpisah ini ?” demikian Kwe Ceng menyapa setelah tancapkan kakinya di atas wuwungan rumah.
“Apa kau bilang ? Kau panggil aku apa ?” tanya Auwyang Hong tiba-tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar