JILID 5
Dasar
anak muda ini memang punya kecerdasan otak yang luar biasa, se-konyong2 ia
terkejut dan sadar: “He, jarum perak ini beracun yang luar biasa jahatnya,
sangat berbahaya bila aku memegangnya !”
Karena
itu cepat ia buang semua jarum itu, segera ia lihat telapak tangan sendiri
sudah berubah menjadi hitam semua, lebih2 tangan sebelah kiri, begitu hitam
hingga seperti kena tinta, .
Saking
takutnya hampir2 saja ia menangis, tangannya di-gosok2kan pada pahanya dengan
kuat, namun pe!ahan2 ia merasa tangannya mulai kaku kesemutan dan menaik ke
bagian lengan, bahkan tangan kiri sudah pegal sampai di siku.
Sejak
kecil anak muda ini sudah biasa berkawan dengan ular berbisa, ia tahu bahayanya
orang terkena racun, karena itu akhirnya ia menangis sedih.
“Nah,
sudah tahu lihaynya bukan, nak ?” tiba2 di belakangnya ada suara teguran orang.
Suara
orang ini nyaring, tetapi pecah dan sangat menusuk telinga, datangnya mendadak
hingga se-akan2 timbul dari bawah tanah saja. Maka dengan cepat si anak muda
balik ke belakang.
Tetapi
segera ia kaget hingga ternganga, karena apa yang dia lihat ialah seorang yang
berdiri di belakangnya, tetapi cara “berdiri” orang.
ini
aneh sekali bin ajaib, bukannya dia berdiri dengan kakinya, tetapi dengan
kepalanya, jadi kepala yang menyanggah tubuhnya, sedang kedua kakinya rapat
tegak ke atas.
Dalam
kagetnya anak muda itu melompat mundur beberapa tindak.
“Kau…
kau ini siapa ?” serunya kemudian dengan tak lancar.
Tetapi
aneh, entah cara bagaimana gerakanmu tahu2 orang itu telah enjot tubuhnya maju
tiga kaki dan dengan tepat turun di depan si anak muda.
“Aku…
aku ini siapa ? - Ha, jika aku tahu siapa aku ini tentu akan baik sekali,”
demikian sahutnya.
Keruan
anak muda itu semakin ketakutan oleh kelakuan orang, tanpa pikir lagi segera ia
angkat kaki dan lari kesetanan cepatnya, namun ia dengar di belakangnya selalu
diikuti dengan suara “tok-tok-tok” yang keras, ketika ia menoleh, tanpa terasa
arwah hampir terbang dari raganya si-king kagetnya. Kiranya orangku dh.
menggunakan kepala sebagai kaki, dengan menjungkir tubuhnya me-lompat2 dengan
kecepatan yang tiada bandingannya, jarak jauhnya selalu tidak lebih dari be
berapa kaki saja di belakangnya.
Tentu
saja ia berlari semakin kencang dan mati-matian. Akan tetapi tiba2 ia dengar
menderunya angin, tahu2 orang aneh itu sudah melompat lewat di atas kepalanya
dan turun di hadapan-nya.
“Mak
!” dalam takutnya anak muda itu sampai berteriak memanggil ibu.
Segera
ia putar tubuh hendak lari ke jurusan lain, tetapi percuma saja, tidak perduli
kemana ia berlari, orang aneh itu selalu dengan kecepatan luar biasa tahu2
sudah melompat lewat dan turun! di depannya. Percuma saja ia mempunyai sepasang
kaki, sebab ternyata tidak bisa lebih cepat dari pada orang yang berlari pakai
kepala.
Kemudian
ia mendapat akal, ia sengaja berputar dan be.r-ganti2 beberapa arah, ia tunggu
orang aneh itu makin dekat, lalu mendadak ia ulur tangan hendak mendorong
orang, Tak terduga, lengannya ternyata sudah kaku dan tidak, mau turut perintah
lagi, keringatnya gemerobyos,” ia menjadi bingung dan kehabisan akal, akhirnya
ia merasakan kedua kakinya menjadi lemas dan jatuh terduduk.
“Semakin
kau lari kian kemari, racun di tubuhmu semakin cepat pula kerjanya,” demikian
ia dengar orang aneh itu berkata.
Seperti
orang yang dapat rejeki dan mendadak menjadi pintar sendiri, segera anak muda
itu bertekuk lutut ke hadapan orang sambil berseru: “Mohon Lo-kongkong (kakek)
menolong jiwaku !”
Di
luar dugaan, orang aneh itu hanya geleng2 kepala.
“Susah ditolong, susah ditolong !” demikian ia menjawab.
Karena
ia gunakan kepala untuk menahan tubuhnya, maka sekali menggeleng kepala,
otomatis tubuhnya ikut menggeleng juga hingga bergoncang.
“Kepandaianmu
begini tinggi, kau pasti bisa menolong aku,” kata anak muda itu pula.
Rupanya
kata2 umpakan ini membikin orang aneh itu menjadi senang sekali Karena itu, ia
tersenyum.
“Darimana
kau tahu kepandaianku tinggi ?” ia tanya,
Mendengar
lagu suara orang sudah berubah menjadi halus dan tampaknya umpakannya membawa
hasil segera anak muda itu mengikuti arah angin, lekas ia tambahi pula
pujian2nya.
“Ya,
mengapa tidak tahu! Dengan jungkir-balik begini saja bisa berlari secepat ini,
di kolong langit terang tiada orang kedua lagi yang bisa melebihi kau.”
Kata
umpakan terakhir ini sebenarnya terlalu berlebihan dan diucapkan semaunya saja,
siapa duga kata2 “di kolong langit ini tiada orang kedua lagi yang melebihi
kau” dengan tepat justru kena betul. di lubuk hati orang aneh itu, Maka
terdengarlah suara ketawanya yang ter-bahak2.
“Baliki
tubuhmu, biar aku pandang kau,” demikian ia berteriak kemudian.
Anak
muda itu pikir: “Betul juga, aku berdiri tegak dan orang ini berjungkir-balik,
memang benar tidak bisa terang melihatnya, dia tidak mau berdiri cara biasa,
tiada jalan lain kecuali aku yang harus ikut menjungkir.”
Tanpa
berkata lagi ia lantas menjungkir tubuhnya, ia sanggah tubuhnya dengan kepala,
tangan kanannya yang masih punya daya- rasa ia gunakan pula buat menahan.
Sementara
sesudah orang aneh itu mengamat-amati dia beberapa lama, wajahnya tampak
mengunjuk ragu dan sedang pikir2.
Kini
setelah anak muda itu ikut menjungkir, maka iapun bisa melihat jelas muka
orang, ia lihat orang aneh ini berhidung besar, matanya mendelong dalam,
mukanya penuh bulu, berbeda sekali dengan manusia2 biasa, ia dengar pula orang
itu kemat-kemit menggumam sendiri, ia tidak paham bahasa aneh apa yang
diucapkan itu karena sukar didengar.
“Kongkong
yang baik, tolonglah diriku,” demikian ia memohon pula,
Dipihak
lain, demi melihat anak muda ini bermuka cakap, cara bicaranya pun membawa
semacam daya tarik yang sukar ditolak orang, hati orang aneh itu menjadi
girang,
“Baik,
tidak susah buat tolong kau, tetapi kau harus terima suatu permintaanku.”
sahutnya kemudian.
“Apa
yang kau katakan pasti akan ku turut,” kata si anak muda, “Permintaan apakah
yang harus ku penuhi, katakanlah, Kongkong!”
“Haha,
justru aku ingin kau terima permintaanku itu,” sahut orang aneh itu dengan
tertawa lebar. “Ialah segala apa yang kukatakan, kau harus menurut.”
Mendengar
syarat ini, mau-tak-mau anak muda ini berpikir, ia menjadi ragu2. “Harus
menurut semua apa yang dikatakannya ? Kalau dia suruh aku menjadi anjing dan
makan kotoran, apa harus aku turuti juga ?”
Dalam
pada itu demi nampak anak ini ragu2, orang aneh itu menjadi gusar.
“Baiklah,
biar kau mati saja !” teriaknya segera, Habis ini sekali lehernya mengkeret dan
menonjol lagi, tiba2 tubuhnya telah mencelat pergi sejauh beberapa kaki.
Karena
kuatir ditinggal pergi orang, untuk mengubernya dan memohon pertolongannya
tidak mungkin ia menirukan cara jalan dengan berjungkir maka dengan cepat anak
muda itu berjumpalitan dan berdiri kembali, segera pula ia angkat kaki memburu.
“Kongkong,
Kongkong!” ia ber-teriak2, “baiklah, aku berjanji apa saja yang kau-katakan,
pasti akan ku turut semua.”
Mendengar
syaratnya diterima, mendadak orang aneh itu berhenti dan putar balik, “Baik,
“tetapi kau harus bersumpah dahulu,” katanya.
Tatkala
itu si anak muda merasa kaku pegal di tangannya telah menanjak sampai di
pundaknya, ia insyaf apabila sampai rasa kaku itu merembes sampai di dada, maka
jiwanya pasti akan melayang, maka terpaksa ia menurut dan sumpah.
“Baiklah,
aku bersumpah, jika Kongkong menolong jiwaku dan membersihkan semua racun di
tubuhku, pasti aku akan menurut semua “kata’2 mu. Apabila aku membantah,
biarlah racun jahat itu balik kembali pada tubuhku.”
Pembawaan
anak muda ini memang licin, maka sewaktu ia mengucapkan sumpahnya, dalam hati
ia berpikir: “Asal selanjutnya aku tidak menyentuh jarum perak itu lagi, cara
bagaimana racun itu bisa balik kembali di tubuhku ? Entah orang aneh ini mau
terima tidak sumpahku ini ?”
Ketika
ia lirik orang, ternyata muka orang aneh itu mengunjuk rasa senang, suatu tanda
merasa puas atas sumpahnya tadi Kemudian nampak ia manggut2, habis ini mendadak
ia berjumpalitan bangun, lengan anak muda itu dia pegang dan dengan kuat ia
pijat2 dan di-urut2 beberapa kali.
“Bagus,
bagus, kau adalah anak baik”, demikian ia berkata.
Karena
dipijat dan diurut itu, segera si anak muda merasa lengannya menjadi berkurang
rasa pegal kakunya:
“Kongkong,
pijatlah beberapa kali lagi!” pintanya pula.
Tiba2
orang aneh itu mengkerut kening demi mendengar panggilannya ini.
“Jangan
kau panggil aku Kongkong (kakek), tetapi harus panggil ayah !” demikian ia
membetulkan.
“Tidak,
ayahku sudah mati, aku tak punya ayah,” sahut si anak muda.
Jawaban
ini membikin orang aneh itu menjadi gusar:
“Kurang
ajar, baru pertama kali aku berkata kau sudah membantah, guna apa lagi
mempunyai anak semacam kau ini ?” bentaknya segera.
“O,
kiranya dia hendak terima aku sebagai anak,” pikir anak muda itu.
Oleh
karena sejak kecil ia tak punya bapak, maka ia sangat iri apabila melihat anak
lain mendapat kasih sayang ayah, ia menjadi pingin mempunyai ayah pula, tapi
melihat kelakuan orang aneh yang berlainan dengan orang biasa ini dan seperti
orang gila, maka kini berbalik ia tidak sudi mengaku ayah padanya.
“Kau
tak mau panggil aku sebagai ayah ?” bentak orang aneh itu lagi “Baiklah ! hm,
orang lain hendak panggil ayah padaku, belum tentu aku mau terima.”
Namun
anak muda itu masih tetap tidak mau memanggil, bahkan mulutnya menjengkit tanda
mencemoohkan, iapun tidak gubris kata2 orang lagi, hanya dalam, hati ia sedang
berpikir cara bagaimana supaya dapat mengakali orang agar mau menyembuhkan
racun di badannya.
Dalam
pada itu terdengar orang aneh itu komat-kamit entah apa yang dikatakan,
berbareng bertindak pergi pula dengan cepat
Keruan
si anak muda menjadi gugup,
“”Ayah,
ayah!” terpaksa ia berseru memanggil “Hendak kemana, ayah ?”
Mendengar
panggilan itu, orang aneh itu tertawa ngakak senang: “Hahaha, anakku sayang,
marilah kuajarkan kau cara melenyapkan hawa racun di dalam tubuhmu.”
Dengan
cepat anak muda itu mendekati.
“”Racun
yang kena dirimu itu adalah racun jarum Peng-pek-gin-ciam milik Li Bok-chiu, di
jagat ini melulu dua orang saja yang mampu menyembuhkannya,” “demikian kata si
orang aneh pula, “”Yang seorang ialah Hwesio tua, tetapi untuk menolong kau ia
harus mengorbankan jerih-payah latihannya selama beberapa tahun, Dan seorang
lagi ialah ayahmu ini.” ”
Lalu
ia ajarkan kunci ilmu penyembuhannya dengan lisan, anak muda itu disuruh
menurut ajarannya itu untuk mengatur napas, Cara ini adalah cara bernapas yang
terbalik dan harus dilakukan terbalik pula orangnya, yakni dengan berjungkir
kepala di bawah dan kaki di atas, supaya hawa dan darah berjalan bertentangan
arahnya, dengan demikian hawa racun itu lantas terdesak kembali dan keluar dari
tempat masuk semula.
Tetapi
karena baru belajar dan mulai berlatih, setiap hari hanya sedikit saja racun
itu bisa didesak keluar, sedikitnya harus lebih sebulan baru bisa dikuras semua
hawa berbisa itu.
Setelah
orang aneh itu ajarkan cara2 melakukannya, si anak muda ternyata sangat pintar,
sekali tunjuk saja ia sudah paham, begitu dengar sudah teringat baik2. Oleh
karena itu ia lantas kerjakan menurut cara yang diajarkan itu. Betul juga rasa
kaku pegal tadi lambat laun mulai berkurang ia atur jalan napasnya sejenak
pula, akhirnya dari ujung jari kedua tangannya mengucurkan beberapa tetes air
hitam.
“Nah,
cukuplah sudah, hari ini tidak perlu berlatih lagi, biarlah besok kuajarkan
cara baru padamu, “ujar orang aneh itu dengan girang demi nampak menetesnya air
hitam, “Marilah, sekarang kita pergi !”
“Pergi
ke mana ?” tanya anak itu dengan bingung.
“Kau
adalah anakku, kemana saja sang ayah pergi, dengan sendirinya kau ikut ke sana,” sahut si orang
aneh.
Sebelum
anak itu menjawab, saat itu juga tiba-tiba terdengar beberapa kali suara
mencicitnya burung, menyusul tertampak sepasang burung rajawali melayang lewat
di angkasa dan disusul pula dengan suara seruan orang yang nyaring-keras yang
sayup2 berkumandang dari jauh.
Seketika
air muka orang aneh itu berubah demi mendadak mendengar suara tadi.
“Tidak,
aku tidak mau bertemu dengan dia, tak mau bertemu dia !” se-konyong2 ia
berteriak, berbareng itu iapun melangkah pergi dengan cepat.
Langkahnya
begitu cepat hingga dalam beberapa tindak saja orang aneh itu sudah menghilang
dibalik lereng gunung sana,
Keruan
si anak muda tadi yang kelabakan “Ayah, ayah!” ia ber-teriak2 sambil menguber.
Akan
tetapi baru saja ia melewati satu pohon Yang-liu besar, tiba2 ia dengar
samberan angin dari belakang, begitu keras angin itu hingga kulit kepalanya
terasa sakit, menyusul ini pandangannya menjadi gelap se-akan2 tertutup selapis
awan tebal. Kiranya kedua burung rajawali tadi telah melayang dari belakang dan
turun didepaknya.
Pada
saat yang sama itu dari belakang pohon muncul seorang laki2 dan seorang
perempuan, kedua rajawali itu menghinggap di pundak kedua orang itu sambil
bercuat-cuit seperti sedang melaporkan sesuatu.
Laki2
itu bermata besar dan beralis tebal, dadanya lebar dan punggungnya tegak,
umurnya antara 3435 tahun, di atas bibirnya terpelihara kumis tebal, wajahnya
sedikitpun tidak menunjukkan perasaannya. Sedang yang wanita usianya 30
tahunan, meski sudah setengah umur, tetapi diantara mata-alisnya masih jelas
kelihatan sifat aleman yang menarik dan seperti masih polos,
dengan
tangannya ia sedang mengelus sayap burung rajawali dengan rasa sayang,
“”Menurut
pendapatmu, anak ini mirip siapa?” tiba2 wanita itu berkata pada lelaki
disampingnya sesudah mengamat-amati si anak beberapa kali.
Akan
tetapi lelaki itu ternyata tidak menjawab, sebaliknya ia berkata ke jurusan
lain; “Kenapa Tiao-ji (si rajawali) bisa berada di sini ? jangan2 di atas pulau
telah terjadi sesuatu ?”
Kiranya
kedua orang ini ialah Kwe Ceng dan Oey Yong suami-isteri, mereka telah keluar
pulau buat mencari Oey Yok-su, tetapi meski sudah mereka jelajahi antero kota2
di daerah Kanglam, belum juga mereka ketemukan jejak ayah dan ayah mertua
mereka itu.
Oey
Yong kenal watak ayahnya yang suka pada keindahan alam daerah Kanglam, apabila
orang tua ini sampai mencari tempat tirakat lain, maka bisa dipastikan tidak
akan melintasi utara sungai Tiangkang dan tentu pula tidak lebih selatan dari
Sian-he-nia.
Kebetulan
hari itu mereka berdua sampai di kota
kecil Ling-oh dari kabupaten Oh-tjiu-hu, di sini tiba2 mereka melihat ada
mengepulnya asap dan berkobarnya api yang meninggi ke langit Mereka dengar pula
orang udik pada berteriak. “”He. Liok-keh-ceng kebakaran!”
Mendengar
nama pedesaan yang disebut itu, hali Kwe Ceng tertarik, ia ingat bahwa di
daerah Ling-oh ini terdapat seorang Liok Tian-goan, Liok-loeng-hiong, walaupun
selama ini belum pernah bertemu, tapi sudah lama ia kagumi nama orang
yang
tersohor Ketika ia menanyakan, betul juga apa yang dikatakan orang udik tadi
adalah rumah kediaman Liok Tian-goan.
Mereka
berdua buru2 menuju ke tempat kebakaran, setiba di sana, perumahan2 yang terbakar itu sudah
menjadi puing, hanya di antara sisa2 gundukan api terdapat beberapa mayat yang
sudah hangus dengan bau yang sangit busuk.
“Engkoh
Ceng, kukira dalam kejadian ini terdapat sesuatu yang aneh?” demikian kata Oey
Yong pada sang suami.
“Kenapa
?” tanya Kwe Ceng.
“Ya,
ingat saja itu Liok Tian-goan adalah seorang Enghiong yang namanya
gilang-gemilang. kabarnya sang isteri Ho Wan-kun juga seorang pendekar wanita
pada jaman ini, kalau hanya kebakaran biasa saja, mustahil tiada seorangpun
keluarganya tak bisa menyelamatkan diri? Aku menduga tentu musuhnya yang
tangguh telah datang menuntut balas padanya!” demikian pendapat Oey Yong.
Kwe
Ceng pikir betul juga pendapat isteri nya ini, ia adalah golongan manusia yang
berbudi luhur dan suka menolong, meski kini usiamu sudah menanjak,
pengalamannya pun banyak bertambah, namun hatinya yang bajik dan mulia itu
sedikitpun tidak berkurang daripada waktu mudanya.
Oleh
karenanya segera ia menyatakan akur. “”Betul pendapatmu marilah kita periksa,
coba lihat siapakah musuhnya, kenapa turun tangan secara begini keji ?”
Dan
setelah mereka berdua mengitar sekali perkampungan yang terbakar itu,
sedikitpun tiada tanda2 mencurigakan yang mereka dapat, Tetapi mata Oey Yong
yang jeli tiba2 tertarik pada sesuatu, se-konyong2 ia berteriak sambil menuding
pada dinding rumah yang tinggal separuh itu.
“Lihat,
apakah itu ?” serunya.
Kwe
Ceng memandang ke arah yang ditunjuk, tertampaklah di atas dinding itu terdapat
bekas lima cap
tangan, karena habis tergarang asap, maka cap tangan itu kelihatan bertambah
seram.
Seperti
diketahui, cap tangan yang berada di dinding itu semuanya ada sembilan buah,
tetapi karena dinding temboknya sudah ambruk separoh, maka yang masih
ketinggalan hanya lima
buah.
Kwe
Ceng kaget ketika mengenali tanda telapak tangan itu.
“Jik-lian
Sian-cu !” tanpa terasa ia menyebut nama orang.
“Ya,
betul dia,” ujar Oey Yong, “Sudah lama kita dengar bahwa Jik-lian Sian-cu Li
Bok-Chiu dari Hunlam memiliki ilmu silat yang maha hebat, caranya pun sangat
keji tiada taranya dan tidak kalah dengan Se-tok Auyang IJong dahulu, jika dia
berani menginjak Kanglam sini, kita boleh coba2 ukur tenaga padanya.”
“Ya,
tetapi iblis ini sangat ulet? dan tidak gampang dilawan” sahut Kwe Ceng
memanggut. “Paling baik kalau kita bisa ketemukan Gakhu (mertua)”
“He,
semakin berumur, nyalimu jadi semakin kecil!” goda Oey Yong dengan tertawa.
“Memang,”
sahut Kwe Ceng.” Kalau ingat dahulu, tanpa mengenal tingginya langit dan
tebalnya bumi, kita berani naik ke Hoa-san untuk berebut gelar jago silat nomor
satu dikolong langit ini, jika seperti aku sekarang ini, sekalipun aku digotong
kesana dengan joli delapan orang, pasti aku tidak berani pergi”
“Huuh
? Harus digotong pakai joli segala!” goda sang isteri.
Begitulah
sambil besenda-gurau, tapi dalam hati mereka diam2 berlaku waspada, mereka
terus periksa, akhirnya di tepi sebuah kolam mereka melihat dua buah jarum
Peng-pek-gin-ciam yang be-racun. Ujung sebuah jarum diantaranya terendam air,
karena itu, beberapa ratus ikan piaraan yang berada dalam kolam itu sama mati
dengan perut terbalik ke atas, suatu tanda betapa jahat racun yang terdapat
pada jarum itu.
Oey
Yong melelet lidahnya, dari buntalannya ia keluarkan sepotong baju, ia lempit
beberapa kali, dengan dialingi kain baju ini ia jemput jarum perak itu, ia
bungkus baik2 dan dimasukkan ke dalam kantong rangsalnya.
Habis
ini mereka berdua tidak bicara lagi melainkan percepat memeriksa dan mencari
jejak orang pula, akhirnya di belakang pohon Liu tadi mereka dapatkan sepasang
burung rajawali dan ketemu pula si anak tanggung itu.
Dari
rajawali yang menclok di atas pundak mereka, tiba2 Oey Yong mencium bau yang
aneh, berapa kali ia sedot, segera dadanya menjadi sesak dan rasanya menjadi
nek.
Kwe
Ceng pun mencium bau busuk itu, bau itu seperti datang dari tempat yang sangat
dekat dengan hidungnya, waktu ia men-cari2 dari mana datangnya bau busuk itu,
tiba2 ia melihat pada kaki kedua burungnya terdapat luka lecet, waktu ia
dekatkan hidungnya, betul saja bau busuk itu datangnya dari luka ini.
Suami-isteri
ini terkejut, lekas2 mereka periksa luka burung2 itu dengan teliti, meski luka
itu sebenarnya hanya lecet kulit saja, tetapi sudah menimbulkan bengkak, pula
sebagian kulit daging kakinya sudah mulai busuk.
“luka
apakah ini, kenapa begini lihay?” demikian Kwe Ceng berpikir sambil menunduk
Tiba2 pula ia lihat tangan kiri si anak muda tadi telah berubah menjadi hitam
semua, keruan ia kaget pula.
“Kaupun
terkena racun ini ?” serunya kuatir.
Dengan
cepat Oey Yong mendekati anak muda itu ia angkat tangannya dan diperiksa, habis
ini cepat2 ia gulung lengan bajunya, ia keluarkan pula sebuah pisau kecil,
dengan senjata ini ia sayat tangan orang sebelah bawah, lalu dengan kuat ia
pencet agar darah yang berbisa mengalir keluar.
Akan
tetapi ia menjadi heran sekali ketika melihat darah yang menetes keluar dari
tangan anak muda itu ternyata berwarna merah segar, padahal telapak tangannya
je!as2 sudah berubah hitam seluruhnya, dan kenapa darah yang mengucur keluar
tidak beracun ?
Nyata
ia tidak tahu bahwa setelah si anak muda mendapatkan ilmu ajaib ajaran orang
aneh
yang
suka menjungkir itu, kini darah berbisa dalam tubuhnya sudah didesak ke ujung
jaring dan untuk sementara tidak akan menjalar
Setelah
ragu2 sejenak, kemudian Oey Yong keluarkan sebutir pil “Kiu-hoa-giok-lo-wan”,
obat pil yang terbuat dari sari sembilan macam bunga2 an.
“Kunyah
dan telan ini,” katanya sambil memberikan pil itu pada si anak
Anak
muda itu tidak menolak, ia terima pemberian pil itu terus masukkan ke dalam
mulut, rasanya manis dan harum.
Lalu
Oey Yong keluarkan pula empat pil dan dibagikan kepada kedua burung rajawalinya
yang terluka itu.
Sesudah
memikir sebentar, mendadak Kwe Ceng bersiul panjang, Suara siulan ini
berkumandang jauh sekali, begitu keras suaranya hingga menggema lembah
pegunungan sampai dahan pohon Liu yang menjulur ikut tergoncang,
Dalam
pada itu belum lenyap suara siulan pertama, menyusul Kwe Ceng menggembor dengan
suaranya yang keras, begitu hebat suara teriakan itu susul menyusul hingga
bikin seluruh lembah gunung penuh dengan suara sahut-menyahut yang menggelegar.
Karena
teriakan ini sama sekali di luar dugaan, si anak muda tadi dibikin kaget, tanpa
tertahan air mukanya berubah hebat karena belum pernah mendengar suara yang
luar biasa ini.
Sebaliknya
Oey Yong mengerti maksud tujuan sang suami, ia tahu dengan suara itu suaminya
bermaksud menantang tanding pada Li Bok-chiu. Ketika pekikan ketiga sang suami
dilontarkan, segera pula ia kumpulkan tenaga dan menyusuli dengan teriakannya.
Kalau
suara pekikan Kwe Ceng agak rendah tetapi kuat, maka suara Oey Yong sebaliknya
tinggi tetapi nyaring sekali, perpaduan suara yang hebat ini makin lama semakin
jauh dan semakin keras, susul menyusul tiada putusnya, se-akan2 satu sama lain
tidak ingin ketinggalan.
Kiranya
Kwe Ceng dan Oey Yong sudah berlatih diri di Tho-hoa-to dengan giat, tenaga
dalam mereka sudah terlatih sampai puncaknya kesempurnaan, dengan suara pekikan
yang berkumandang jauh ini, orang2 yang berada dalam jarak belasan li sama
terkejut dan ter-heran2 tidak mengerti suara aneh ini datang dari mana.
Sementara
itu suara pekikan hebat ini telah didengar oleh beberapa orang tertentu. Orang
aneh yang suka menjungkir itu telah “tancap gas” mempercepat larinya demi
mendengarnya.
Sebaliknya
orang aneh berjubah hijau yang pondong Thia Eng itu ketawa waktu dengar suara
“Haha, mereka telah datang juga, aku harus menyingkir jauh, supaya tidak banyak
rewel.”
Dalam
pada itu Li Bok-chiu dengan mengempit Liok Bu-siang sedang lari dengan
cepatnya, ketika mendadak dengar suara siulan pertama, se-konyong2 ia berhenti,
ia ayun kebutnya dan memutar tubuh, “Hm, nama Kwe-tayhiap menggoncangkan
Bu-lim, aku justru ingin membuktikannya apakah namanya bukan bikinan belaka,”
demikian katanya dengan ketawa dingin.
Tetapi
tiba2 pula diantara suara pekikan panjang tadi diseling pula dengan suara siulan
nyaring yang menimpali suara yang duluan hingga menambah keangkeran suara2 itu.
Hati
li Bok-chiu menjadi jeri, teringat olehnya Kwe Ceng dan Oey Yong suami-isteri
selama berkelana selalu berdampingan dan bahu-membahu, sebaliknya dirinya hanya
sebatang-kara, seketika perasaannya menjadi hampa dan putus asa, ia menghela
napas panjang, habis ini dengan mencengkeram punggung Liok Bu-siang terus
bertindak pergi.
Pada
kala itu Bu-sam-nio sedang memayang sang suami yang terluka dan membawa kedua
puteranya pergi jauh setelah berpisah dengan Kwa Tin-ok.
Setelah
mengalami pertarungan sengit tadi, kuatir kalau Li Bok-chiu balik kembali buat
mencelakai Kwe Hu, maka lekas2 Kwa Tin-ok bawa lari dara cilik ini dengan
maksud mencari satu tempat untuk bersembunyi, tetapi ia keburu mendengar suara
siulan Kwe Ceng dan Oey Yong yang keras itu, maka hatinya menjadi girang.
“He,
ayah, ibu !” Kwe Hu berseru juga ketika mengenali suara orang tuanya.
Habis
ini segera ia angkat kaki terus lari menuju kearah datangnya suara, Tetapi
tiba2 ia berpikir pula: “Aku telah ngeluyur keluar, tentu nanti akan didamperat
ayah, bagaimana baiknya ini ?”
Dalam
bingungnya ia tarik2 lengan baju Kwa Tin-ok, ia coba membujuk orang tua ini:
“Kong-kong, nanti kalau bertemu dengan ayah, katakanlah kau yang bawa aku
keluar buat memain, ya?” demikian ia memohon.
“Tidak,
aku tidak mau berbohong untuk kau!” sahut Kwa Tin-ok dengan menggeleng kepala.
Tetapi
Kwe Hu tidak kurang akal, tiba2 ia meloncat dan merangkul leher si orang tua,
dengan kata2 halus ia membujuk . lagi: “Kongkong, sayanglah padaku sekali ini,
seterusnya aku tak akan nakal lagi.”
Namun
masih tetap Kwa Tin-ok geleng2 kepala.
“Baiklah,
biar aku minggat pergi,” teriak Kwe Hu tiba2 sambil lompat turun dari
rang-kula.nnya. “Selamanya aku tak akan menjumpai kau lagi, juga tidak akan
menemui ayah-bunda.”
Mendengar
kata2 ini, Tin-ok menjadi kaget dan kuatir, ia kenal watak dara cilik ini
berani berkata berani berbuat pula, sedang dirinya buta, kalau sampai sikecil
ini pergi, maka susah lagi untuk mencarinya.
“Baik,
baik, kululuskan keinginanmu,” terpaksa ia menyerah.
Kwe
Hu ketawa senang dengan kemenangannya ini.
“Memang
aku sudah tahu kau bakal meluluskan, tidak nanti kau tega membiarkan aku
diomeli ayah dan ibu,” kata si nakal ini.
Maka
dua sejoli, satu tua dan satu bocah ini lantas berlari ke tempat beradanya Kwe
Ceng dan isteri sesudah dekat, dengan serta-merta Kwe Hu menjatuhkan diri ke
dalam pelukan ibunya dengan laku aleman.
“Bu,
Kongkong yang membawa aku ke sini mencari kalian, kau tentu senang bukan?”
demikian si nakal ini berkata pada sang ibu.
Akan
tetapi Oey Yong yang kepintarannya tiada ban dingannya itu, hanya sedikit
permainan sandiwara sang puteri ini mana bisa mengelabui dia, cuma bisa bertemu
anaknya di sini, sebenarnya ia memang juga senang, maka ia hanya tertawa saja,
lalu bersama sang suami mereka menjalankan penghormatan pada Kwa Tin-ok dan
tanyakan kesehatan si orang tua.
Kwe
Hu masih kuatir kalau disemprot ayahnya, maka sesudah menyapa sekali, lantas ia
tarik tangan si anak muda tadi menyingkir pergi.
“Pergilah
kau memetik bunga, buatkan lah mahkota bunga untukku” demikian pintanya.
Pemuda
itu tidak menolak, ia ikut pergi bersama, perawakan Kwe Hu ternyata jauh lebih
pendek, tingginya hanya sedada orang, maka dengan gampang saja ia dapat melihat
telapak tangan pemuda itu yang hitam, mendadak sontak ia kipatkan tangan orang
yang tadinya dia gandeng.
“Hiiii,
tanganmu kotor, tak mau aku bermain dengan kau,” demikian ia meng-olok2.
Watak
pemuda itu ternyata tidak gampang mengalah, iapun tinggi hati, maka kontan ia
jawab dengan ketus: “Siapa pingin bermain dengan kau?”
Habis
berkata dengan langkah lebar ia lantas bertindak pergi sendiri
“Eh,
eh, saudara cilik, jangan pergi dulu, sisa racun dalam tubuhmu masih belum
hilang seluruhnya, kalau sampai kambuh pasti akan luar biasa lihaynya,” seru
Kwe Ceng ketika melihat si anak muda ini hendak pergi.
Anak
itu paling benci kalau orang katai dia jelek, oleh karena itu, olok2 Kwe Hu
tadi telah menusuk perasaannya, maka dengan tegang leher ia masih jalan terus
tanpa gubris teriakan Kwe Ceng,
Tabiat
Kwe Ceng memang welas-asih, maka buru2 ia menguber.
“Cara
bagaimanakah kau terkena racun ?” demikian ia menanya pula, “Marilah kami
sembuhkan kau dulu.”
“Aku
toh tidak kenal kau, perduli apa dengan kau?” sahut anak muda itu dengan ketus.
Berbareng ia percepat langkahnya dan bermaksud menerobos lewat disamping Kwe
Ceng.
Sekilas
Kwe Ceng dapat melihat wajah si anak muda yang menunjukkan rasa marah ini,
diantara mata-alis-nya tertampak sangat mirip seseorang, tiba2 hatinya
tergerak.
“Eh,
saudara cilik, kau she apa?” segera ia tanya.
Namun
pemuda itu tidak menjawab, sebaliknya ia melolototi orang, lalu tubuhnya
sedikit miring dengan maksud hendak menerobos lewat, Di luar dugaan secepat
kilat Kwe Ceng sudah mencekal sebelah tangannya.
Dalam
kagetnya si anak muda itupun menjadi gusar, ia me-ronta2 beberapa kali, sesudah
tak berhasil mendadak ia angkat tangan kirinya terus menggenjot perut Kwe Ceng.
Kwe
Ceng tidak urus pukulan ini, ia membiarkan perutnya kena dihantam dengan
tersenyum saja.
Ketika
anak muda itu bermaksud menghantam lagi, tahu2 kepalannya ambles di-tengah2
perut orang, bagaimanapun juga meski ia tarik2 tetap tak bisa melepaskan diri,
ia tidak putus asa, masih terus ia tarik2, saking keras ia keluarkan tenaga
hingga mukanya merah padam, tetapi tangannya seperti melengket saja diperut Kwe
Ceng, sebaliknya ia rasakan lengan sendiri kesakitan karena di-betot2.
“Nah,
beritahu padaku kau she apa dan segera ku lepaskan kau,” dengan tertawa Kwe
Ceng tanya lagi.
Namun
si anak muda memang sangat kepala batu, ia pikir tidak nanti aku mau omong,
jika mau, akan kusebutkan she palsu dan nama bikinan saja, oleh karenanya ia
lantas menjawab: “Aku she Cin dan bernama Coa-ji, sianak ular, Lekas lepaskan
aku.”
Di
lain pihak demi mendengar nama orang ini, Kwe Ceng merasa kecewa, ia lantas
kendorkan tenaga: perutnya yang menyedot kepalan pemuda itu.
Sesudah
tangannya terlepas, pemuda itu pandang Kwe Ceng dengan luar biasa kagumnya atas
kepandaian orang tadi.
Di
sebelah sana
Kwe Hu sedang asyik menceritakan pengalaman selama berpisah dengan ibunya,
akhirnya ia ceritakan tentang bagaimana sepasang rajawalinya berkelahi dengan
seorang wanita jahat, lalu datang seekor burung merah kecil telah membantu
rajawali2nya.
Mendengar
“burung merah kecil” itu, Oey Yong jadi ketarik sekali..
“Apa
burung merah kecil itu Koko (kakak) inikah yang membawanya datang ?” ia tanya
dengan cepat.
“Ya,”
sahut Kwe Hu, “Burung merah kecil itu menotol biji wanita jahat itu hingga
buta, cuma sayang burung itupun kena digaplok mati oleh dia.”
Mendengar
penuturan ini, Oey Yong tidak ragu2 lagi, segera ia melompat maju dan memegang
pundak si anak muda tadi dengan kedua tangannya, dengan tajam ia pandang orang,
“Kau
she Nyo bernama Ko, ibumu yang she Cin, ya bukan ?” demikian ia menegas sekata
demi sekata.
Pemuda
ini memang benar she Nyo dan bernama Ko, Ketika mendadak nama aslinya disebut
Oey Yong, darah di rongga dadanya menaik ke atas hingga hawa racun ditangannya
se-konyong2 menjalar kembali, ia merasa kepala puyeng dan pikiran menjadi
butek, akhirnya ia jatuh pingsan.
Dalam
kejutnya lekas2 Oey Yong memegang tubuh orang supaya tidak sampai roboh.
“Dia…
dia kiranya putera adikku Nyo Khong.” kata Kwe Ceng terkejut bercampur girang.
Sementara
itu kelihatan Oey Yong mengkerut alis, ia lihat racun menjalar terlalu hebat di
tubuh Yo Ko, ia kuatir, karena sesungguhnya ia sendiri tidak punya sesuatu
pegangan untuk menyembuhkan orang.
“Marilah
kita cari tempat pondokan dulu, kemudian kita cari pula beberapa racikan obat,”
ajaknya kemudian dengan suara terharu.
Kwe
Ceng lantas pondong Yo Ko, bersama Kwa Tm-ok, Oey Yong dan si nakal Kwe Hu
serta membawa pula sepasang burung Tiao mereka mencari hotel di-kota, bahan
obat yang mereka perlukan ternyata sukar dicari, meski sudah dikumpulkan
akhirnya masih kurang juga empat macam.
Melihat
keadaan Yo Ko yang masih tak sadar, Kwe Ceng merasa sedih dan kuatir sekali,
sampai Oey Yong beberapa kali memanggilnya ternyata tidak di dengarnya.
Oey
Yong cukup mengerti perasaan hati sang suami waktu itu, sejak terbinasanya Nyo
Khong (tentang lelakon Kwe Ceng, Oey Yong dan hubungannya dengan Nyo Khong akan
diceritakan tersendiri) pikirannya selalu sedih dan menyesal maka dengan
sendirinya luar biasa girangnya kini demi bisa ketemukan anak keturunan saudara
angkatnya itu, tetapi anak ini justeru terkena racun dan belum bisa diketahui
bakal mati atau hidup.
“Ceng-koko,
marilah kita coba keluar mencari pelengkapnya obat,” ia mengajak.
Kwe
Ceng sendiri mengerti juga sifat2 Oey
Yong, ia tahu bila
ada sedikit harapan bisa mengobati, pasti sang isteri sudah menghibur padanya,
kini nampak wajah isterinya sangat prihatin, hatinya semakin tak tenteram.
Segera ia pesan Kwe Hu jangan sembarangan ngeloyor pergi, lalu mereka
suami-isteri keluar buat mencari obat2an.
Dalam
pingsannya Yo Ko masih terus tertidur, meski hari sudah gelap masih belum juga
sadar.
Beberapa
kali Kwa Tin-ok masuk kamar memeriksanya, namun orang tua inipun tak berdaya,
iapun kuatir kalau si nakal Kwe Hu ngeluyur pergi, maka tiada hentinya ia bujuk
dara cilik ini lekas tidur.
Dalam
keadaan remang2 entah sudah lewat berapa lama, tiba2 Yo Ko merasa ada orang
me-mijat2 dan meng-urut2 dadanya, karena itu pelahan2 pikirannya jernih
kembali, waktu ia buka matanya, ia lihat dalam kegelapan ada berkelebat satu
bayangan entah apa meloncat keluar jendela dengan cepat.
Yo
Ko paksakan diri buat berdiri meski rasanya masih lemas, ia coba melongok
keluar jendela, tertampaklah olehnya di atas emper rumah berdiri satu orang
dengan kepala menjungkir di bawah, siapa lagi kalau bukan orang aneh yang siang
hari tadi menerima dirinya sebagai anak angkat itu.
Kepala
orang aneh yang menyanggah badannya itu ternyata ada separohnya menempel di
luar emper, tubuhnya yang tegak terbalik ke atas itu kelihatan ber-goyang2,
agaknya setiap waktu bisa terbanting jatuh ke bawah.
“He,
kau!” seru Yo Ko kaget tercampur girang.
“Kenapa
tidak panggil ayah?” tegur orang aneh itu.
Karenanya
Yo Ko lantas memanggil: “Ayah!” -hanya lagu suara panggilannya sangat
dipaksakan.
Namun
orang aneh itu sudah kegirangan “Naiklah sini,” katanya.
Yo
Ko menurut, ia merangkak ke ambang jendela untuk kemudian meloncat ke atas
payon.
Tetapi
karena badannya masih lemah, tenaganya menjadi tak cukup, maka sebelum
tangannya memegang emper rumah atau dia sudah terjungkal ke bawah Dalam
kagetnya sampai ia berteriak.
Orang
aneh itu tadinya berjungkir di atas payon, tetapi demi nampak Yo Ko terjungkal,
mendadak manusia tubuhnya roboh ke bawah seperti batang kayu saja yang
terbanting hanya kepalanya masih tetap melekat di atas emper rumah.
Dengan
demikian secepat kilat tangannya menjambret punggung Yo Ko, habis ini tubuhnya
kembali menegak lagi ke atas, Yo Ko diletakkannya ke atas payon dengan enteng
saja.
Dan
selagi ia hendak bicara, tiba2 ia dengar di kamar sebelah barat ada suara orang
meniup memadamkan api. ia tahu jejaknya telah diketahui orang, tanpa ayal lagi
ia pondong Yo Ko dan melangkah pergi dengan cepat, hanya sekejap saja beberapa
deretan rumah penduduk sudah ia lintasi.
Waktu
Kwa Tin-ok melompat ke atas rumah, namun di sekelilingnya sudah sepi nyenyak.
Setelah
Yo Ko dibawa sampai di suatu tempat sunyi di luar kota, orang aneh itu baru menurunkannya.
“Coba
kau gunakan cara yang pernah kuajarkan padamu itu, hawa berbisa dipaksa keluar
lagi sedikit.” demikian ia memberi petunjuk pada Yo Ko.
Pemuda
ini menurut, maka tidak antara lama, dari ujung jarinya menetes keluar beberapa
titik darah hitam, berbareng rasa sesak di dadanya pun menjadi lega,
“Sungguh
kau ini anak pintar, sekali tunjuk lantas paham, jauh lebih cerdas dibanding
almarhum putera kandungku dahulu,” kata orang aneh itu. Teringat pada puteranya
sendiri itu, tiba2 ia meratap: “O, anakku, anakku”
Air
matanya lantas berlinang juga karena terkencing puteranya sendiri yang sudah
mati, ia elus2 kepala Yo Ko sambil menghela napas pelahan.
Yo
Ko sendiri sejak belum lahir sudah ditinggal bapaknya, ibu pun tewas oleh
pagutan ular berbisa dikala ia baru berumur lima tahun, selama 8 9 tahun paling
belakang ini, ia terluntang-lantung sebatang kara di Kangouw, dj-mana2 ia
dihina orang sehingga menjadikan tabiatnya yang eksentrik, benci pada sesama
manusia serta cemburu pada keadaan sekitarnya, Kini meski orang aneh ini belum
pernah kenal dia, namun ternyata begitu baik terhadap dirinya, ini boleh
dikatakan belum pernah terjadi selama hidupnya.
Karena
darah keturunan ayah-bundanya, maka watak Yo Ko luar biasa pula anehnya, kalau
dia sudah baik pada seseorang, maka dia bela mati2an tanpa pikirkan jiwa
sendiri sebaliknya jika ada orang lain menghina dan pandang rendah padanya,
maka selama hidup akan dia ingat2 terus dan dendam, dia pasti berusaha dengan
segala daya-upaya untuk menuntut balas.
Kini
si orang aneh itu mengunjuk rasa kasih sayang murni padanya, hati pemuda ini
luar biasa terharunya hingga ia melompat terus merangkul leher orang sambil
berulang kali memanggil “Ayah, ayah!”
Sejak
Yo Ko berumur 2 3 tahun ia sudah berharap mempunyai seorang ayah yang akan
cinta dan melindungi dia. Bahkan dalam mimpi kadang2 mendadak muncul seorang
ayah yang gagah perkasa yang dia cintai, tapi bila terjaga dari tidurnya, ayah
khayalan itu lantas hilang lagi tak berbekas, oleh karenanya seringkali ia suka
menangis sendirian dengan sedih.
Kini
harapan yang sudah lama ia impikan itu tiba2 berwujut, dua kali panggilan tadi
keluar dari lubuk hatinya yang penuh cinta kasih seorang anak kepada bapaknya.
Jika
hati Yo Ko terharu sekali, maka dalam hati orang aneh itu ternyata jauh lebih
girang daripada dia. Waktu mereka mula2 berjumpa di mana Yo Ko dipaksa
memanggil ayah, dalam hati anak muda itu sesungguhnya seribu kali tidak sudi,
tetapi kini dua hati telah kontak seperti ayah dan anak kandung.
“O,
anak baik, anak manis, coba panggil ayah sekali lagi!” demikian kata orang aneh
itu dengan bergelak ketawa.
Betul
juga Yo Ko lantas memanggil ayah, bukan hanya sekali, malahan dia panggil lagi
dua kali, lalu ia menggelendot dibadan orang dengan laku yang aleman.
“Aha,
anak baik, marilah kuajarkan kau ilmu silatku yang paling kubanggakan selama
hidup ini,” dengan tertawa orang aneh itu berkata pula,
Sambil
berkata, lantas ia berjongkok, dari mulutnya terdengar suara “kuk-kuk-kuk” tiga
kali, menyusul kedua tangannya dia dorong ke depan, maka terdengarlah suara
gemuruh yang keras,, setengah tembok pagar yang berada di depannya telah ambruk
seketika sehingga debu dan batu berhamburan.
Nampak
orang memiliki ilmu silat selihay ini, girang sekali hati Yo Ko. “Ayah, ilmu
apakah itu, dapatkah aku mempelajarinya ?” dengan cepat ia tanya,
“Ini
namanya Ha mo-kang (ilmu weduk kodok),” sahut orang itu, “Asal kau mau berlatih
dengan giat, tentu kau dapat mempelajarinya.”
“Setelah
aku pandai, apakah tiada orang lain lagi yang berani menganiaya diriku ?” tanya
Yo Ko lagi.
“Tentu
saja,” sahut orang aneh itu sambil menarik alis “Siapa yang berani menghina puteraku,
biar aku patahkan tulangnya dan beset kulitnya.”
Kiranya
orang aneh yang kosen ini bernama Auwyang Hong yang namanya telah disinggung
bagian atas tadi.
Sejak
Hoa-san-lun-kiam atau pertandingan silat di atas Hoa-san (salah satu gunung
tersohor di daerah propinsi Siamsay), Auwyang liong kena diakali Ui Yoeg hingga
otaknya rada miring, selama belasan tahun, ini ia terluntang-lantung di daerah
sunyi, yang dia selalu pikir adalah: “Siapakah aku ini sebenarnya ?”
Tetapi
tahun2 terakhir ini, sesudah dia berlatih Kiu-im-cin-keng, maka Lwekangnya
sudah ada banyak kemajuan, otaknya juga banyak lebih terang, walaupun masih
tetap tak beres kelakuannya dan suka gila2an.
Tetapi
banyak kejadian lama pelahan2 dan satu persatu sudah mulai dia ingat, cuma saja
tentang “siapakah dirinya sendiri” inilah yang tetap belum dia ingat pontang
Hoa-san-lun-kian serta mengapa Auwyang Hong bisa diakali Oey Yong hingga
menjadi gila dan sebab apa dia berlatih ilmu Kiu-im-cin-keng secara terbalik,
pada kesempatan lain akan dibukukan tersendiri.
Begitulah,
maka Auwyang Hong lantas mcngajar-Yo Ko dasar2 permulaan ilmu Ha-mo-kang.
Hendaklah
diketahui bahwa Ha-mo-kang yang menjadi ilmu kebanggaan Auwyang Hong ini
terhitung ilmu silat kelas satu dalam dunia persilatan Dahulu meski putera kandung
sendiri belum pernah Auwyang Hong mengajarkan padanya, tetapi kini karena
guncangan perasaannya, ternyata pikir segalanya lagi diajarkannya pada anak
angkatnya yang baru dia terima ini.
Ha-mo
kang ini sangat sulit dan dalam sekali, Yo Ko sendiri masih belum punya
landasan, meski dia coba baik2 semua apa yang diuraikan Auwyang Hong, tetapi
sama sekali ia tidak paham akan arti yang terkandung dalam rahasia ilmu yang
dia terima itu.
Oleh
karena itu, sesudah hampir setengah hari Auwyang Hong mengajar, tetapi ia lihat
Yo Ko masih ngawur saja kalau ditanya, sama sekali belum paham dasar yang
diajarkan, akhirnya Auwyang Hong menjadi keki, dalam dongkolnya ia hendak
menampar anak muda itu.
Namun
sebelum tangannya menyentuh pipi orang, dibawah sinar sang dewi malam ia lihat
muka Yo Ko yang putih bersih dengan matanya yang jeli menarik itu, ia menjadi
tidak tega menghajarnya.
“Sudahlah,
kau tentu sudah letih, pulang saja sekarang, besok aku mengajarkan kau lagi,”
katanya kemudian dengan menghela napas.
Tak
tahunya, sejak Yo Ko dikatai Kwe Hu bahwa tangannya kotor, terhadap anak dara
itu telah timbul rasa benci dalam hatinya, maka demi mendengar dirinya disuruh
kembali kepada Kwe Ceng, ia menjadi sedih.
“Tidak,
ayah, aku ikut kau saja, aku tak mau pulang ke sana,” katanya.
Siapa
dirinya sendiri, soal ini bagi Auwyang Hong masih belum jelas hingga kini,
tetapi mengenai urusan umum pikirannya sudah cukup terang dan jernih, maka atas
permintaan Yo Ko itu ia menjawab: “Jangan. otakku masih rada kurang beres, ku
kuatir kau nanti ikut menderita. Kau pulang saja dahulu, nanti kalau aku sudah
bikin terang sesuatu soal barulah kita berkumpul untuk selamanya.”
Kata2
Auwyang Hong yang penuh kasih sayang ini meresap sekali ke lubuk hati Yo Ko,
boleh dikatakan sejak, ibunya mangkat, belum pernah ia mengenyam rasa simpatik
seperti sekarang ini, maka dengan cepat ia merangkul orang..
“Kalau
begitu harap lekas kau datang menjemput aku, ayah,” katan’ya.
“jangan
kuatir, nak, sementara diam2 senantiasa akan kuikuti kau, kemanapun kau pergi,
pasti aku mengetahuinya,” sahut Auwyang Hong manggut2. Kemudian ia membopong Yo
Ko lagi dan diantar pulang ke dalam hotel.
Selama
itu Kwa Tin-ok sudah pernah datang sekali mencari Yo Ko, ia me-raba2 dan tidak
mendapatkan anak muda ini di atas ranjangnya, Kwa Tin-ok menjadi kuatir sekali.
Tetapi tatkala untuk kedua kalinya ia datang mencari Yo Ko lagi, ia mendapatkan
pemuda ini sudah ada di situ, selagi ia hendak bertanya tadi kemana atau tiba2
ia dengar di atas wuwungan rumah ada suara mendesirnya angin.
Meski
mata Kwa Tin-ok buta, tetapi daya pendengarannya luar biasa tajamnya, ia tahu
ada dua orang “ya-heng-jin” (orang jalan diwaktu malam) yang berilmu silat
sangat tinggi lewat di atas rumah, Untuk menjaga segala kemungkinan, lekas2
orang tua ini membopong Kwe Hu, sedang senjata tongkatnya segera ia siapkan
kian berjaga di dekat jendela, ia kuatir kalau2 kedua tamu malam itu putar
kembali lagi.
Betul
saja, sejenak kemudian suara mendesirnya angin kembali kedengaran lagi dari
jauh mendekat, begitu cepat hingga sekejap saja sudah sampai di atas rumah
hotel, lalu ia dengar suatu diantaranya lagi berkata: “Yong-ji, kau kira
siapakah dia tadi ?” demikian sahut seorang lain.
Mendengar
suara percakapan ini, Kwa Tin-ok tahu Kwe Ceng dan Oey Yong suami isteri. Karena
itulah ia merasa lega, segera ia membuka pintu agar kedua orang itu masuk.
“Baik2kah
disini, Suhu?” segera Oey Yong tanya Kwa Tin-ok begitu melangkah masuk.
“Ya,
tiada terjadi apa2,” sahut Kwa Tin-ok.
“Aneh,
apa mungkin kita telah salah lihat ?” kata Oey Yong kepada sang suami.
“Tidak,
tidak bisa, orang ini sembilan bagian pasti dia,” sahut Kwe Ceng sambil
menggeleng kepala.
“Dia
? Dia siapa ?” Tin-ok ikut bertanya.
Lekas
Oey Yong me-narik2 lengan baju suaminya dengan maksud agar jangan mengatakan Akan
tetapi tidak bisa menghormatnya Kwe Ceng terhadap gurunya yang banyak menanam
budi padanya, tidak berani ia berdusta meski barang sedikit saja, maka. ia
lantas menerangkan: “Dia Auwyang Hong !”
Justru
seumur hidupnya paling takut pada orang ini karuan seketika air muka Kwa Tin-ok
berubah hebat.
“Auwyang
Hong?” ia menegas dengan suara tertahan.
“Betul!
dia belum mampus ?”
“Tadi
ketika kami kembali dari memetik obat2-an, di pinggir rumah kami melihat
berkelebatnya bayangan orang, gerak tubuhnya sangat cepat lagi aneh, waktu kami
mengejarnya, sayang tak tertampak bayangannya lagi. Cuma kelihatannya sangat
mirip Auwyang Hong,” demikian Kwe Ceng ceritakan.
Kwa
Tin-ok mengerti muridnya ini sangat jujur dan suka terus terang, semakin
menanjak umurnya semakin tulus, kalau dia bilang Auwyang Hong, maka pasti bukan
orang lain lagi.
Sementara
itu karena kuatirkan diri Yo Ko, Kwe Ceng telah memeriksanya ke tempat tidurnya
dengan membawa lilin, ia lihat air muka pemuda ini merah segar, napasnya
teratur dengan haik, tidurnya nyenyak, ia menjadi girang sekali oleh keadaan
bocah ini.
“Dia
sudah baik, Yong-ji !” saking girangnya ia teriaki isteri.
Padahal
waktu itu Yo Ko hanya pura2 tidur saja, ia pejamkan matanya buat mencuri dengar
percakapan ketiga orang, Ketika lapat2 mendengar ayah angkatnya - orang aneh
itu - bernama Auw-yang Hong, sedang ketiga orang ini sangat jeri padanya, tentu
saja dalam hati kecilnya diam2 ia merasa bangga dan senang.
Dalam
pada itu sesudah TJi Yong melihat kea.da-an Yo Ko, menjadi ter-heran2, Terang
ia lihat hawa racun di lengannya menjalar terus ke atas, sesudah lewat beberapa
jam ini, semestinya bertambah hitam bengkak dan merembes lebih luas, siapa tahu
hawa berbisa itu sebaliknya malah menghjlang, sungguh kejadian yang sukar
dimengerti.
Setelah
keluar bersama sang suami sekian lama, namun rumput obat2an yang dia cari tetap
belum lengkap, terpaksa seadanya ia gilasi dan racik beberapa macam bahan obat,
air perasannya lalu ia minum kan
pada Yo Ko.
Besok
paginya, Kwa Tin-ok bersama Kwe Ceng dan Oey Yong melanjutkan perjalanan
bersama dua anak kecil, mereka ambil keputusan buat pulang ke Tho-hoa-to dahulu
untuk menyembuhkan lukanya Yo Ko.
Malamnya
terpaksa mereka harus menginap lagi di hotel, Kwa Tin-ok tinggal sekamar dengan
Yo Ko, sedang suami isteri Kwe Ceng dan Oey Yong sekamar dengan puteri mereka.
Tengah
malam sedang enak2nya mereka tidur, mendadak terdengar suara “krak” yang keras
di atas rumah, menyusul mana terdengar pula suara teriakan di kamar sebelah,
rupanya ada orang merusak daun jendela dan melompat keluar.
Cepat
Kwe Ceng dan Uj Yong melompat “bangun, melalui jendela mereka lihat di atas
rumah sudah ada dua orang yang sedang bergebrak dengan sengit. Baru saja bisa
lihat jelas bentuk tubuh kedua orang itu, tiba2 terdengar suara “plak”, berbareng
itu satu diantaranya telah menjerit terus terbanting ke bawah itu sudah dalam
keadaan lumpuh, kaki tangannya kelihatan kaku dan menjulai ke bawah dengan
lurus.
Menurut
kebiasaan, orang yang berilmu silat tinggi, sekalipun tergelincir jatuh dari tempat
tinggi secara tiiba2 pasti akan menekuk badan dan tarik kaki, dengan demikian
waktu sampai di tanah, tidak bakal terluka berat, akan tetapi orang itu sudah
lebih dulu dihantam semaput di atas rumah, maka dengan tefbantingnya ini
tulangnya pasti akan patah dan mungkin kepalanya akan remuk,
Pada
detik yang berbahaya itu, tiba2 dari jendela kamar sebelah melayang keluar
seorang wanita, orang ini adalah Oey Yong, segera ia hendak menangkap tubuh
orang, Namun ia masih kalah cepat, sebab Kwe Ceng sudah menyerobot di depannya
dan dengan enteng sekali ia tarik tengkuk orang pada waktu hampir membentur
tanah, terus diangkat ke atas dan kemudian dia turunkan pelahan, habis ini
sekali ia enjot kakinya, segera ia melompat ke atas rumah.
Tetapi
sekali ini ia yang ketinggalan ia lihat sang isteri sudah saling gebrak dengan
serunya melawan satu orang, Lawannya berperawakan jangkung dan berjenggot
pendek, kaki, hidungnya besar, matanya celong, siapa lagi kalau bukan musuh
kebuyutan mereka yang sudah tak bertemu selama belasan tahan, Se-tok Auwyang
Hong, Si racun dari Barat.
(Se-tok
atau Si racun dari Barat adalah julukan Auwyang Hong sebagai satu diantara lima tokoh silat kelas
wahid pada jamannya. Empat rekannya ~ yang juga menjadi musuhnya - masing2
adalah: Tong-sia- Oey Yok-su, Si Latah dari Timur (ia adalah ayah Oey Yong),
Lam-te Toan Hong-ya, Si raja dari Selatan, Pak-kay Ang Tjhit-kong, Si langit di
Tengah. Urut2an nama mereka berlima disebut: Tong-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay,
Tiong-kian-khun).
Begitulah
tadi, Oey Yong yang sudah banyak maju kepandaiannya, dalam belasan jurus itu
tipu2 pukulannya ternyata sukar diraba, karena itu, sedikitpun Auwyang liong
tidak lebih unggul.
“Aha,
Auwyang-sianseng, baik2kah selama berpisah ini ?” demikian Kwe Ceng menyapa
setelah tancapkan kakinya di atas wuwungan rumah.
“Apa
kau bilang ? Kau panggil aku apa ?” tanya Auwyang Hong tiba-tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar