Kembalinya Pendekar Rajawali 11
Diluar
dugaan, imam yang menduduki tempat Thian-koan dan sebagai pemimpin tadi
ternyata berwatak sangat keras, karena melihat ilmu silat lawannya semakin
kuat, ia semakin yakin orang pasti tidak bermaksud baik terhadap perguruan
mereka, maka meski menghadapi musuh setangguh ini, sama sekali ia pantang
mundur.
“Hm,
maling cabul.” demikian segera ia menjawab dengan suara lantang, “Coan-cin-kau
kami paling benci pada segala perbuatan kejahatan, maka se-kali2 jangan kau
harap bisa melakukan perbuatan2 yang tidak tahu malu di Cong-lam-san ini !”
Kwe
Ceng bingung oleh damperatan yang tak keruan juntrungannya ini, “Apa
perbuatanku yang tidak kenal malu ?” demikian ia tanya.
“”Hm,
pura2 bodoh.” jengek imam Thian-koan itu. “Melihat kepandaianmu yang tinggi
ini, tentunya kau bukan sebangsa manusia yang suka berbuat kotor, aku nasehati
kau, lekas kau turun kembali, sana !”
Meski
imam ini masih mendamperat, tetapi di balik kata-kata yang diucapkan ini ia
telah unjuk juga rasa kagumnya terhadap ilmu kepandaian Kwe Ceng.
“Jauh2
Cayhe sengaja datang dari selatan dan ingin bertemu Khu-cinjin untuk sesuatu
keperluan, sebelum bertemu mana boleh kembali turun gunung ?” demikian jawab
Kwe Ceng.
Mendengar
jawaban ini, tiba2 air muka imam hian-koan itu berubah hebat.
“Hm,
jadi kau ingin ketemu Khu-cinjin ? Baiklah, coba katakan, sebenarnya ada urusan
apa ?” tanyanya dengan dingin.
“Sejak
kecil Cayhe menerima budi besar dari Ma cinjin dan Khu-cinjin, karena sudah
belasan tahun tidak bertemu, maka aku menjadi kangen sekali,” sahut Kwe Ceng.
Namun
jawaban ini ternyata makin menambah sikap permusuhan dari imam itu. Kiranya
soal “budi” dan dendam” dalam kalangan Kangouw paling di-utamakan, sering kali
karena soal sakit hati, di mulut dia bilang datang buat balas budi padahal yang
benar maksudnya hendak membalas dendam, Imam Thian-koan itu suka pegang teguh
pandangannya sendiri, maka kata2 Kwe Ceng yang diucapkan dengan setulus hati
justru diterima kebalikannya.
“Jangan2
guruku Giok-yang Cinjin juga kau katakan ada budi padamu,” demikian ia
menjengek lagi.
Karena
kata2 ini, Kwe Ceng jadi ingat pada masa yang silam, masa mudanya dengan
peristiwa yang terjadi dalam istana Thio-ong-hu, dimana Giok-yang-cu (atau
Giok-yang Cinjin) Ong Ju-it tanpa pikirkan bahaya telah menandingi gerombolan
musuh yang jauh lebih banyak untuk menolong dirinya, atas kejadian itu memang
tidak sedikit budi yang dia terima dari Ong Ju-it. Oleh sebab ini, tanpa ragu2
lagi ia lantas jawab : “O, kiranya To-heng adalah murid Giok-yang Cinjin,
memang betul juga 0ng-cinjin ada budi terhadap Cayhe, bila dia juga berada di
atas gunung, sudah tentu akan lebih baik lagi.”
Diluar
dugaan, ketujuh imam ini malah menjadi gusar, dengan suara bentakan yang murka,
senjata mereka segera menyamber, dengan cepat mereka menyerang tujuh tempat di
tubuh Kwe Ceng secara serentak.
Akan
tetapi mana bisa Kwe Ceng diserang dengan gampang dengan sedikit mengegos ia
sudah melangkah ke samping, kembali ia duduki tempat bintang Pak-kek atau kutub
utara yang menjadi kelemahan barisan para imam itu.
“He,
bicara dulu,” demikian ia teriaki imam2 Coan-cin-kau ini, “Cayhe Kwe Ceng sama
sekali tidak mengandung maksud jahat kesini, dengan cara bagaimana baru-kalian
mau percaya bahwa aku benar2 Kwe Ceng adanya ?”
“Kau
sudah merebut enam pedang anak murid Coan-cin-kau yang duluan, kenapa tidak
sekalian rampas lagi tujuh pedang kami ini ?” sahut imam Thian-coan tadi.
Dalam
pada itu imam yang menduduki tempat Thian-koan yang sejak tadi sebenarnya tutup
mulut saja, kini mendadak ikut menyela dengan suara yang pecah.
“Maling
cabul anjing, rupanya kau hendak pamer kepandaianmu di hadapan sundel kecil
keluarga Liong itu ? Hm, apa kau kira Coan-cin-kau kami gampang kau hina ?”
demikian ia mencaci maki
Keruan
Kwe Ceng menjadi gusar.
“Apa
kau bilang ?” sahutnya dengan muka merah. “Nona keluarga Liong ?” Siapa dia ?
aku Kwe Ceng selamanya tidak pernah kenal dia.”
“Haha,
jika kau berani, kenapa kau tidak memaki dia sebagai perempuan busuk, sebagai
sundel cilik !” kata imam Thian-koan pula dengan bergelak tawa.
Mendengar
orang mengumbar kata2 kotor, Kwe Ceng menjadi tertegun, dasarnya ia memang
jujur dan patuh pula adat peraturan, ia pikir wanita she Liong yang disebut itu
entah orang macam apakah, mana boleh tanpa sebab dan alasan aku mencaci
makinya. Karena pikiran ini, ia lantas menjawab: “Kenapa aku harus memaki dia
?”
“Hahaha!”
tertawa beberapa imam itu berbareng “Nah, bukankah kau sudah mengaku sendiri ?”
Dasar
Kwe Ceng memang tidak pandai menggunakan otak, kini orang secara serampangan
memaksakan suatu tuduhan padanya, semakin lama ia merasa semakin ruwet, ia
hanya pikir dengan paksa terjang saja ke Tiong-yang-kiong untuk menemui Khu
Ju-ki dan Ong Ju-it tentu segala urusan akan menjadi beres.
“Kini
Cayhe akan naik ke atas, kalian merintangi lagi, jangan kalian menyesali Cayhe
tidak segan2,” dengan dingin ia memberi peringatan.
Tapi
ketujuh imam itu tiba2 melangkah maju setindak dengan senjata siap sedia.
“Jangan
kau pakai ilmu sihir, kita boleh coba ukur kepandaian dalam ilmu sejati,”
dengan suara keras imam Thian-soan tadi menantang.
Kwe
Ceng hanya tertawa, segera ia ambil satu keputusan, maka ia lantas menjawab:
“Aku justru hendak unjuk — sedikit ilmu sihir pada kalian, tanpa tanganku menyenggol
senjata kalian sedikitpun aku, sanggup merampas ketujuh pedang kalian,”
Ketujuh
imam itu saling pandang, dari wajah mereka tertampak perasaan tidak percaya.
“Bagus,
kami akan coba2 ilmu kepandaianmu dalam hal tendangan,” seru salah satu imam.
“Akupun
tidak perlu gunakan kaki,” sahut Kwe Ceng., “Pendeknya tidak nanti aku
menyenggoI barang sedikitpun senjata maupun anggota badan kalian, tetapi
senjata kalian akan kurampas, kalau sampai tersentuh, anggap saja aku kalah dan
segera aku turun gunung untuk selamanya tidak akan naik ke sini lagi.”
Mendengar
orang buka mulut besar, ketujuh imam itu menjadi marah semua, Tanpa tunggu
lagi, Begitu imam Thian-koan geraki pedangnya, segera ia bawa barisannya
mengerubut maju.
Namun
dengan kepala menunduk Kwe Ceng lantas menerjang dengan cepat, ia menduduki
titik bintang Pak-kek lagi dan dengan langkah cepat mengarah ke kiri, ia
menyerang sajap kiri barisan para imam.
Imam
Thian-koan yang menjadi pemimpin barisan kenal lihaynya orang, maka lekas2 ia
bawa barisannya memutar ke kanan, dengan demikian supaya bisa berhadapan dengan
Kwe Ceng dan supaya kelemahan barisannya tidak kentara.
Diluar
dugaan., sekali Kwe Ceng sudah mengincar sayap kiri, tetap ia serang bagian
kiri dan tidak putar balik, meski tempo2 cepat dan kadang2 lambat, tetap ia
berlari mengincar bagian kiri, oleh karena ia bisa menduduki tempat bintang
Pak-kek dengan kukuh, mau tidak mau ketujuh imam itu harus ikut memutar ke kiri
juga.
Begitulah
makin lari semakin cepat Kwe Ceng juga menguber, sampai akhirnya kecepatannya
boleh dikatakan melebihi kuda, makin lama makin luas pula tempat yang dibuat
putar hingga berupa satu lingkaran selebar belasan tombak.
Tetapi
ketujuh imam ini tergolong tidak lemah juga, meski mereka dipaksa dalam
kedudukan yang terbalik dipengaruhi orang, namun barisan mereka sedikitpun
belum kacau, mereka bertujuh masih menduduki tempatnya masing2 dengan kuat dan
tetap, hanya tubuh mereka saja yang tidak bisa dikuasai lagi masih terus ikut
lari terbawa oleh Kwe Ceng.
Diam2
Kwe Ceng harus puji juga keuletan tujuh imam Coan-cin-kau ini, maka langkahnya
tidak pernah ia kendurkan, tiba2 dia malah pergiat kakinya hingga berlari
memutar sebagai roda angin saja.
Mula2
ketujuh imam itu masih bisa paksakan diri ikut berlari terus, tetapi lama kelamaan
Gin-kang atau ilmu entengkan tubuh imam2 itu lantas tertampak, imam Thian-koan
paling tinggi Ginkangnya, ia lari paling depan dan disusul dengan imam yang
menduduki tempat Thian-ki dan Thian-heng, sedang imam yang lain pe-lahan2
menjadi ketinggalan hingga barisan mereka lambat laun makin renggang, Tentu
saja mereka terperanjat, pikir mereka: “Jika musuh mau gempur barisan kita pada
saat ini mungkin barisan bintang ini tidak bisa dipertahankan lagi.”
Walaupun
mereka sudah tahu bakal celaka, tapi karena sudah terlanjur, mereka tak
pikirkan lain lagi, mereka hanya bisa berbuat sepenuh tenaga dan keluarkan
seluruh kepandaian untuk lari lebih cepat mengikuti Kwe Ceng yang masih terus
berputar.
Sebagai
contoh dapat dilukiskan umpamanya kita ikat sepotong batu dengan seutas tali
lalu kita putar secepat mungkin, diwaktu batu berputar kencang dan mendadak
kita lepaskan, maka batu itu, pasti akan mencelat jauh dengan tali pengikatnya
tadi.
Sama
halnya sekarang dengan ketujuh imam itu, mereka telah dipengaruhi Kwe Ceng yang
makin putar makin cepat sampai pedang mereka terangkat di atas kepala, makin
cepat mereka berlari, makin tidak kuat memegang pedang mereka se-akan2 ada satu
tenaga maha besar yang menariknya dan hendak merebut pedang dari tangan mereka.
“Lepas!”
se-konyong2 terdengar Kwe Ceng membentak. Berbareng ini ia meloncat cepat ke
kiri.
Oleh
karena tidak men-duga2 akan kejadian itu, ketika imam2 itu mendadak lihat Kwe
Ceng meloncat ke atas, terpaksa mereka harus ikut melompat ke-atas juga. Dan
aneh, entah mengapa ketujuh pedang yang mereka pegang itu semuanya tidak bisa
mereka pertahankan lagi, seluruhnya telah terlepas dari cekalan, seperti tujuh
ular perak saja ketujuh pedang itu menyamber ke dalam hutan yang berjarak
belasan tombak jauhnya.
Dalam
pada itu mendadak pula Kwe Ceng berdiri tegak, dengan ketawa kemudian ia
berpaling.
Sebaliknya
wajah ke tujuh imam itu menjadi pucat seperti mayat, mereka berdiri terpaku di
tempatnya, hanya masing masing tetap menduduki tempat barisannya, barisan
mereka sama sekali belum menjadi kacau. Melihat keadaan ini diam2 Kwe Ceng
memuji juga atas kegigihan imam2 itu.
Sementara
imam Thian-koat tadi tiba2 bersuit sekali, menyusul ini semuanya lantas mundur
ke belakang batu2 cadas dan menghilang.
“Ko-ji,
marilah kita naik gunung sekarang,” teriak Kwe Ceng.
Tapi
meski sudah dua kali ia memanggil, belum juga ada sahutan dari Yo Ko, waktu ia
coba mencari namun bayangan Yo Ko sudah tak tertampak lagi, yang dia ketemukan
hanya sebuah sepatu kecil yang ketinggalan di semak2 di belakang pohon sana.
Tentu
saja Kwe Ceng terkejut, ia mengerti ke-Tho-hoa-to, meski setiap hari ia tetap
berlatih diri lain yang mengira di samping dan telah menculik si Yo Ko. Tetap
bila ia pikir para imam tadi hanya salah paham saja terhadap dirinya, pula Coan-cing-kau
selamanya suka bantu yang lemah dan berantas kejahatan, tidak nanti satu anak
kecil dibikin susah oleh mereka, maka ia tidak menjadi kuatir lagi.
Dengan
kumpulkan tenaganya, segera ia berlari cepat mendaki keatas.
Sudah
ada belasan tahun Kwe Ceng tirakat di Thoa-hoa-to, meski setiap hari ia tetap
berlatih diri, namun sudah sekian lamanya belum pernah ia bergebrak dengan
orang, karena itu kadang2 terasa kesepian olehnya, kini kebetulan bisa
bergebrak seru dengan para imam tadi, maka diam2 ia merasa cukup puas.
Sementara
di jalannan pegunungan semakin sulit ditempuh, tak antara lama, bahkan awan
hitam menutup raut sang dewi malam, mendadak udara-pegunungan cerah menjadi
gelap guIita, Karena keadaan ini, Kwe Ceng menjadi ragu2, ia pikir: “Tempat ini
aku belum apal, jangan2 para To-heng itu main tipu muslihat, betapapun aku
harus waspada.”
Karenanya
ia lantas lambatkan langkahnya, ia jalan pelahan saja. sesudah maju lagi, tiba2
awan hitam tadi terpencar di tiup angit, rembulan memancarkan sinarnya dengan
terang benderang, ia dengar di balik gunung sana sayup2 ada suara napas orang
yang hampir ratusan banyaknya, meski suara napas itu sangat pelahan, namun
karena jumlah orangnya banyak, maka Kwe Ceng dapat mengetahuinya. Tetapi ia
tidak menjadi gentar, sesudah kencangkan ikat pinggangnya, segera ia
melanjutkan perjalanan pula, setelah melintasi satu lereng gunung, tiba-tiba ia
menjadi kaget.
Kiranya
di depannya terdapat satu lapangan yang sangat luas dengan sekelilingnya
dikitari gunung2, keadaannya sangat angker dan bagus sekali, Di bawah gunung
yang terdapat lapangan luas itu terdapat pula satu kolam besar, karena sorotan
sinar bulan, maka air kolam menjadi berkelap-kelip kemilauan.
Di
depan kolam besar kelihatan ratusan imam yang berdiri terpencar, para imam ini
semuanya memakai kopiah kuning dan jubah kelabu, tangan menghunus pedang, sinar
pedang yang gemerdepan menyilaukan mata.
Ketika
Kwe Ceng mengawasi kiranya para imam itu tiap2 tujuh orang tergabung menjadi
satu kelompok hingga seluruhnya ada empat belas barisan bintang
Thian-keng-pak-tau-tin. Tiap2 tujuh Pak-tau-tin kecil ini terbentuk pula
menjadi satu Pak-tau-tin yang besar, sungguh hebat sekali keadaan barisan
bintang raksasa ini, karena itu diam2 Kwe Ceng berkuwatir.
Dalam
pada itu tiba2 terdengar satu imam dalam barisan raksasa itu bersuit, habis ini
di 98 imam itu dengan cepat terpencar, ada yang di depan ada yang di belakang,
sekaligus berubahlah barisan bintang mereka, segera Kwe Ceng terkurung
di-tengah2. Tiap-tiap imam itu siap sedia dengan pedang terhunus, mereka
memandang dengan mata tak berkedip dan semuanya bungkam.
“Dengan
hati tulus Cayhe mohon bertemu Khu-cin-jin, maka harap para To-heng jangan
merintangi,” segera Kwe Ceng menyapa dengan memberi hormat kepada para imam
itu.
“llmu
kepandaianmu cukup hebat, kenapa kau tidak tahu harga diri dan mau berkomplot
dengan kaum siluman ? Hendaklah kau lekas insaf bahwa selamanya wanita suka
menyesatkan orang, sayang kalau puluhan tahun latihan kepandaianmu hanya
dibuang dalam sekejap saja !” demikian imam berjenggot panjang dalam barisan
itu menjawab Nada suaranya rendah, tetapi setiap, kata diucapkannya dengan
jelas, suatu tanda tenaga dalamnya sudah kuat sekali, lagu kata2nya juga
sungguh2 nyata ia menasihati orang dengan setulus hati.
Sudah
tentu Kwe Ceng merasa geli dan mendongkol pikirnya dalam hati: “Para imam
hidung kerbau ini entah anggap aku ini manusia macam apa? Coba kalau Yong-ji
berada didampingku, pasti tidak akan terjadi kesalahan paham seperti sekarang
ini.”
Oleh
karena itu, dia lantas menyahut: “Siluman apa dan wanita apa yang kau maksudkan
? Sungguh Cayhe sama sekali tidak tahu-menahu, jika Cayhe bertemu dulu dengan
Khu-cinjin, tentu segalanya akan menjadi terang”
“Kau
bisa ketemu beliau jika mampu boboIkan Pak-tau-tin dari Coan-cin-kau kami ini,”
kata imam berjenggot pandang tadi.
“Cayhe
hanya seorang diri, pula ilmu kepandaianku terlalu rendah, mana berani melawan
ilmu mujijat kalian ? Harap saja anak yang aku bawa itu dibebaskan dan silakan
memberi kesempatan padaku buat menemui Khu-cin-jin,” sahut Kwe Ceng.
“Hm,
kau masih coba berlagak dan putar lidah? Di depan Tiong-yang-kiong di
Cong-lam-san ini mana boleh kau maling cabul ini berbuat tidak se-mena2?”
mendadak imam jenggot panjang membentak. Habis ini pedangnya memutar ke atas
dengan membawa samberan angin yang santar hingga menerbitkan suara ngaungan
yang bergema.
Karena
inilah imam yang lain serentak gerakan senjata mereka juga, sekaligus 98 batang
pedang berputar kian kemari hingga menerbitkan angin yang keras, sinar pedang
yang berpantulan tersusun seperti satu jaringan sinar perak
Diam2
Kwe Ceng mengeluh oleh susunan barisan bintang2 ini, ia pikir dengan seorang
diri mana mungkin bisa menandingi lawan yang begitu banyak?
Dalam
pada itu sebelum dia bisa ambil sesuatu keputusan, ke-96 imam itu sudah lantas
merubung maju dri kedua belah, sinar pedang mereka menyamber rapat hingga boleh
dikatakan lalat saja sukar menerobos.
“Hayo,
senjata apa yang kau pakai, lekas kau keluarkan!” terdengar si imam jenggot
panjang membentak.
“Rupanya
barisan Pak-tau-tin mereka tidak gampang dipecahkan, tetapi kalau hendak
mencelakai aku, rasanya mereka juga tidak mampu, Biarlah aku melihat cara
bagaimana permainan barisan mereka ini,” demikian Kwe Ceng membatin.
Maka
dengan se-konyong2 ia memutar pergi, ia lari menduduki tempat di ujung
barat-daya, berbareng ia keluarkan tipu pukulan “ciam-liong-bat-yong” atau naga
selulup jangan digunakan, satu tipu pukulan yang lihay dari ilmu pukulan
“Hang-liong-sip-pat-ciang” (ilmu pukulan penakluk naga)” yang meliputi delapan
belas jurus. Sekali tangannya diulur lalu ditarik pula terus mendadak didorong
lagi ke samping.
Karena
serangan ini, ketujuh imam muda yang menjaga barisan ujung barat-daya itu
lekas2 pindahkan pedang mereka ke tangan kiri, lalu sambil bergandengan tangan
mereka ulur telapak tangan kanan untuk menyambut pukulan Kwe Ceng tadi.
Tak
tahunya ilmu pukulan ini sudah dilatih Kwe Ceng sedemikian rupa sehingga di
atas puncaknya kesempurnaan, tenaga dorongannya tadi luar biasa kerasnya, yang
paling lihay justru terletak pada tenaga tarikan kembalinya tadi. Oleh karena
itu, sepenuh tenaga ketujuh imam itu menahan dorongannya, diluar dugaan
menyusul satu kekuatan yang maha besar malah menarik lagi ke depan, keruan
ketujuh imam muda ini tak bisa tancap kaki lebih kuat lagi, tanpa kuasa mereka
terbanting jatuh, Meski segera mereka bisa melompat bangun, namun tidak urung
muka mereka sudah kotor penuh debu hingga mereka merasa malu.
Nampak
betapa lihaynya Kwe Ceng, sekali turun tangan tujuh anak muridnya kena
dibanting roboh, tentu saja imam jenggot panjang tadi sangat terkejut, segera
ia bersuit panjang, ia geraki ke-14 Pak-tau-tin mereka dan bergandeng menjadi
satu secara ber-deret2.
Dalam
keadaan demikian, sekalipun berlipat ganda pula tenaga pukulan Kwe Ceng juga
tidak mungkin sanggup mendorong ke-98 imam yang banyak ini. Maka ia tak berani
menyerang secara keras lawan keras lagi, segera ia keluarkan Gin-kang atau ilmu
entengi tubuh, ia menerobos ke sana kemari diantara barisan orang, ia pikir
mencari lubang dahulu untuk kemudian baru turun tangan mematahkan barisan
lawan.
Sesudah
lari sini dan lompat sana, ia sengaja pancing barisan musuh supaya berubah
tempat, namun segera ia tahu kalau hanya kekuatan seorang diri saja sungguh
sulit untuk mematahkan barisan bintang2 ini, sementara itu makin lama barisan
itu semakin ciut garis kepungan mereka, Kwe Ceng merasa hendak berkelit atau
hindarkan diri makin lamapun semakin sulit.
Karenanya
diam2 Kwe Ceng berusaha cara bagaimana untuk menerjang keluar kepungan musuh
Ketika mendadak ia mendongak, ia lihat jauh di Iamping gunung sebelah kanan
sana berdiri satu kuil yang sangat megah, ia taksir tentu itulah
Tiong-yang-kiong, ia lihat kira2 belasan li jauhnya kuil itu, ia
memperhitungkan suara teriakannya masih bisa mencapai istana itu, maka diam2 ia
kumpulkan seluruh tenaga dalamnya, sesudah siap, mendadak ia berseru keras:
“Tecu (anak murid) Kwe Ceng mohon bertemu! Tecu Kwe Ceng mohon bertemu !”
Begitu
keras suara teriakan hingga seperti bunyi guntur di siang hari sampai kuping
para imam itu terasa pekak, bahkan tergetar sampai kepala pusing dan mata
kabur, seketika daya serangan mereka menjadi kendor.
“Awas,
jangan sampai kena dikibuli maling cabul ini,” lekas2 jenggot panjang tadi
memberi semangat pada kawan-kawannya.
Kwe
Ceng menjadi gusar mendengar orang berulang kali memaki dirinya, ia pikir :
“Barisan bintang2 ini berada dibawah pimpinannya, asal aku hantam roboh orang
ini, ular tanpa kepala, tentu barisan ini tidak sulit lagi untuk dihancurkan.”
- Karena itu, segera ia buka serangan lagi, ia selalu incar si-imam jenggot
panjang.
Di
luar dugaannya, keistimewaan barisan bin-tang2 ini justru adalah memancing
musuh untuk menggempur pucuk pimpinannya, dengan demikian barisan2 dalam
kelompok kecil lainnya segera mengepung dari kedua sayap, kalau terjadi begini
berarti musuh sudah terjebak ke dalam jaring2 mereka.
Syukur
Kwe Ceng bukan sembarang orang, baru beberapa langkah ia menguber imam jenggot
panjang itu, segera ia merasa gelagat tidak menguntungkan, tiba2 ia merasakan
daya tekanan dari belakang bertambah hebat, begitu pula dari kedua sayap
mengerubut maju secara ber-bondong2. Satu kali ia hendak belok ke kanan, tetapi
dua barisan kecil dari depan telah menyerang berbareng dengan 14 pedang.
Tempat
yang diarah ke 14 pedang para imam ini ternyata tepat dan bagus hingga Kwe Ceng
hendak berkelit tak bisa, hendak mengegos pun tak sempat.
Namun
begitu menghadapi bahaya demikian ini, dalam hati Kwe Ceng bukannya menjadi
takut, sebaliknya hawa amarahnya semakin memuncak, pikirnya dalam hati:
“Sekalipun kalian dakwa aku sebagai maling cabul segala, tapi sebagai orang
beragama seharusnya berwelas-asih, kenapa tiap2 seranganmu begini keji? Apa
memang sengaja hendak melenyapkan jiwaku ?”
Mendadak
ia meloncat ke samping, berbareng sebelah kaki melayang, sekali tendang ia
bikin satu imam muda terpental, sedang tangan kiri di-ulur pula buat merebut
pedang orang, dengan senjata rampasan ini ia tangkis tujuh pedang yang
sementara itu telah menyerang lagi dari sebelah kanan, Maka terdengarlah suara
nyaring beradunya senjata, tahu2 ketujuh pedang musuh sudah ter-kutung semua,
sebaliknya pedang yang Kwe Ceng pegang masih baik2 saja tanpa rusak.
Hendaklah
diketahui bahwa pedang yang dirampas Kwe Ceng itu tiada bedanya dengan pedang
para imam yang terkutung itu dan bukannya lebih tajam, soalnya karena tenaga
dalamnya sengaja dia salurkan ke ujung pedangnya dan sekali gus bikin tujuh
pedang musuh tergetar putus.
Mungkin
saking kaget oleh ketangkasan Kwe Ceng ini hingga muka ketujuh imam tadi jadi
pucat dan mulut temganga.
Nampak
barisan kawannya bobol, lekas2 dari samping dua barisan kecil merubung maju
untuk melindungi barisan yang duluan, Diam2 Kwe Ceng ingin men-coba2 lagi
kekuatannya sendiri demi nampak 14 imam kedua kelompok barisan pendatang ini
tangan bergandeng tangan, tenaga 14 orang telah tergabung menjadi satu. Maka
sengaja ia ajun pedang rampasannya, sekali tempel, senjata ke -14 imam itu
segera melengket dengan pedang Kwe Ceng ini.
“Awas
!” tiba2 Kwe Ceng berseru, berbareng tangannya sedikit diangkat, maka terdengar
suara “krak” yang riuh, ternyata ada duabelas batang pedang para imam itu yang
patah. Masih dua batang lagi telah mencelat terbang ke udara.
Tentu
saja luar biasa terperanjatnya imam2 itu, lekas2 mereka melompat mundur.
Walaupun
sekaligus senjata para imam itu kena dipatahkan dan dilempar pergi, namun Kwe
Ceng tidak merasa puas seluruhnya, pikirnya: “Nyata kepandaianku masih belum
sampai pada tingkatan yang paling tinggi, maka dua pedang tadi masih belum bisa
kubikin patah sekalian.”
Dalam
pada itu, para imam sudah bertambah waspada, cara mereka menyerang pun lebih
hati2, tetapi semakin kencang pula kepungan mereka, sebaliknya karena belum
bisa membikin patah semua pedang tadi, Kwe Ceng merasa barisan musuh dijaga
lebih kuat, dalam hati ia menjadi ragu2, ia pikir jangan sampai diriku akhirnya
kecundang, urusan jangan sampai terlambat lebih baik turun tangan lebih dulu.
Habis
ini dengan sedikit mendak tubuh, mendadak Kwe Ceng meloncat ke sudut timur
laut, dengan tindakan ini ia tahu kedua kelompok barisan kecil dari jurusan
barat-daya pasti akan putar maju, namun ia sudah siap, meski hanya sebatang
pedang yang dia pegang, tapi dalam sekejap saja ia sudah menusuk empatbelas
kali, 14 titik putih gemerdep menyamber berbareng, tiap2 tusukannya tepat
mengenai “yang-kok-hiat” di pergelangan tangan ke - 14 imam itu.
Meski
cara menggeraki tangan Kwe Ceng tidak keras, tetapi para imam itu sudah rasakan
tangan mereka tak bertenaga lagi, ke 14 pedang merekapun terjatuh ke tanah.
Luar
biasa kejut para imam itu, dengan ter-sipu2 mereka melompat mundur, dan ketika
pergelangan tangan mereka periksa, nyata “Yong-kok-hiat” yang kena ditutul tadi
sedikit tanda merah, tetapi setetes darahpun tidak mengucur keluar, Sungguh
hebat serangan Kwe Ceng ini, dia gunakan ujung pedang yang tajam itu untuk
menusuk Hiat-to, tetapi sedikitpun tidak bikin lecet kulit daging, sungguh
suatu kepandaian yang luar biasa.
Keruan
para imam itu terperanjat, dalam hati mereka bisa membayangkan juga apabila Kwe
Ceng mau tabas putus tangan mereka tadi sebenarnya bukan urusan sulit.
Kini
sudah ada 5 kali 7 atau 35 pedang yang telah terlepas dari cekalan.
Imam
yang berjenggot panjang tadi semakin gusar, ia tahu juga Kwe Ceng masih belum
keluarkan seluruh kepandaiannya, tetapi untuk menjaga pamor Coan-cin-kau tidak
merosot, berulang kali ia memberi perintah lagi, ia persempit pula lingkaran
barisannya, ia pikir dengan kepungan 98 imam, secara desak-mendesak saja akan
gencet mampus lawannya.
Sebaliknya
hati Kwe Ceng menjadi gemas juga, batinnya : “Para To-heng ini sungguh tidak
kenal baik dan jelek, agaknya terpaksa aku harus hajar mereka supaya kapok.”
Tanpa
ayal lagi segera ia mulai buka serangan baru, dengan Ginkang yang lihay ia
menyusur kesana dan memutar kemari, hanya sekejap saja barisan bintang para
imam itu sudah tampak rada kacau.
Melihat
gelagat jelek, lekas2 imam jenggot panjang tadi memberi perintah agar
kambrat2nya berlaku tenang dan tetap jaga rapat kedudukan barisan mereka, ia
insyaf apabila sampai ikut Kwe Ceng berlari, maka akhirnya barisan mereka pasti
akan kocar-kacir dipatahkan. Tetapi demi mereka berdiri tenang tak bergerak,
Kwe Ceng sendiri jadi gagal usahanya.
“To-heng
ini (maksudnya imam jenggot panjang) sangat paham akan rahasia barisannya,
nyata dengan cepat ia bisa ambil tindakan,” demikian diam2 Kwe Ceng membatin.
“Biarlah aku berteriak beberapa kali lagi, coba ada suara sahutan dari
Khu-totiang atau tidak”
Selagi
ia mendongak hendak buka mulut, sekilas tertampak olehnya pada pojok kuil yang
megah di atas gunung sana lapat2 ada berkelebatnya sinar putih, agaknya seperti
ada orang sedang bertempur dengan senjata tajam, hanya sayang karena jaraknya
terlalu jauh, maka gerak tubuh orangnya tidak jelas, lebih2 suara beradunya
senjata tidak bisa kedengaran.
Hati
Kwe Ceng tergerak “Siapakah yang bernyali begitu besar, berani dia ngacau ke
Tiong-yang-kiong ? Rupanya kejadian malam ini ada sesuatu yang mencurigakan”
Karena
itu, ia ingin lekas memburu ke kuil di atas gunung untuk melihat apa yang
terjadi, cuma para imam masih terus merintanginya dengan mati-matian.
Akhirnya
Kwe Ceng menjadi tak sabar, tiba2 tangan kirinya memukul dengan gerak tipu
“kian-liong-cay-thian” (melihat naga di sawah), sedang tangan kanan dengan tipu
pukulan “kong-liong-yu-hwe” (naga pembawa sial), sekali serang ia keluarkan
ilmu kepandaiannya hantam kanan-kiri dengan kedua tangannya.
Karena
serangan kanan-kiri ini, maka barisan bintang raksasa itu terpaksa membagi 49
orang buat menahan serangan dari kiri dan 49 orang lainnya menahan hantaman dari
sebelah kanan.
Diluar
dugaan, belum penuh gerak serangan Kwe Ceng tadi dilontarkan, ditengah jalan
tiba2 berubah, gerak tipu “kian-liong-tjay-thian” mendadak berubah menjadi
“kong-liong-yu-hwe” dan sekaligus Kwe Ceng gerakkan kedua tangan dengan tipu pukulan
Kian-liong-cay-dian dan Kong-liong-yu-hwe kekanan dan kiri lalu diputar balik
secara berlawanan sebaliknya.
Sebenarnya
ilmu pukulan, dari kanan-kiri, kedua tangan sekaligus mengeluarkan tipu
serangan yang berlainan, bahkan ditengah jalan tipu serangan itu bisa berubah,
sungguh orang tidak pernah dengar atau menyaksikannya (dari mana Kwe Ceng
memperoleh ajaran ilmu pukulan kanan-kiri dengan serangan yang berlainan, pada
kesempatan lain akan diceritakan tersendiri).
Padahal
barisan Pak-tau-tin besar sebelah kiri sedang keluarkan tenaga buat menahan
tipu “kian-liong-cay-thian” dan barisan sebelah kanan menangkis tipu
“kong-liong-yu-hwe”, karena perubahan yang terbalik ini, maka tertampaklah
bayangan Kwe Ceng berkelebat, tahu2 dia telah meloncat keluar dari celah2
himpitan kedua barisan besar itu, sebaliknya masing2 pihak dari ke-49 imam itu
karena tidak pernah menyangka akan tindakan lawan itu, keruan lantas terdengar
suara gedebukan yang ramai, kedua barisan itu telah saling tumbuk dan saling
seruduk, banyak pedang yang patah dan tangan terluka, ada pula yang muka babak
belur dan hidung mancur, beberapa puluh orang telah menderita luka semua.
Imam
berjenggot panjang tadi meski sempat hindarkan diri lebih cepat, namun tidak
urung ia ikut kelabakan juga, saking gemasnya, segera ia kerahkan seluruh
barisannya terus mengudak pula. Tetapi karena amarahnya ini justru telah
melanggar pantangan ilmu silat dari golongan Coan-cin-kau yang mengutamakan
ketenangan sementara itu Kwe Ceng berlari cepat di depan dan dari belakang
ke-98 imam itu mengudak dengan kencang.
Tatkala
sampai ditepi sebuah kolam besar, Kwe Ceng lihat di depan hanya air belaka,
namun ia tidak kurang akal, mendadak ia lemparkan pedang rampasannya lurus
kepermukaan air.
Meski
pedang ini terbuat dari baja, namun kekuatan yang Kwe Ceng gunakan begitu
tepat, maka batang pedang ini me-loncat2 terapung di atas air beberapa kali
Kesempatan inilah digunakan Kwe Ceng dengan baik, ia melayang ke tengah kolam,
dengan kaki kanan ia tutul pelahan di atas batang pedang, Pada saat pedang itu
tenggelam kedalam kolam, namun Kwe Ceng sudah pinjam tenaga tutulan tadi untuk
melompat sampai di seberang.
Sebaliknya
para imam itu yang sial, mereka sedang mengudak dengan kencangnya dan tak
keburu mengerem lagi, maka terdengarlah suara “plang-plung” yang ramai beberapa
puluh kali, nyata ada 40-50 orang yang telah kecemplung ke dalam kolam. Sedang
beberapa puluh yang di belakang menginjak punggung imam2 yang depan, karena
inilah mereka bisa berhenti ditepi kolam.
Sedang
imam2 yang kecemplung tadi karena tak bisa berenang, banyak yang megap2 dan
ber-teriak-teriak minta tolong, cepat imam2 lainnya yang bisa berenang memberi
pertolongan dan dengan sendirinya tidak sempat buat menguber Kwe Ceng lagi.
Diwaktu
para imam ini tunggang langgang, tiba2 Kwe Ceng dengar suara genta yang ditabuh
keras berkumandang dari Tiong-yang-kiong, itu istana kaum Coan-cin-kau. Suara
genta itu dibunyikan secara titir, keras dan kerap, agaknya seperti tanda
bahaya.
Waktu
itu Kwe Ceng baru lepaskan diri dari rintangan para imam dan lagi berlari
menuju Tiong-yang-kiong secepatnya, ketika ia dengar suara genta rada aneh, ia
telah merandek dan mendongak maka terlihatlah olehnya di belakang kuil suci itu
ada sinar api yang ber-kobar2 menjulang tinggi.
Tentu
saja Kwe Ceng kaget, pikirnya : “Kiranya hari ini memang benar ada orang hendak
gempur Coan-cin-kau, aku harus lekas pergi menolongnya.” Dalam pada itu ia
dengar suara teriakan para imam tadi telah menyusul dari belakang lagi.
Kini
Kwe Ceng baru mengerti tentunya imam2 ini telah salah sangka dirinya adalah
musuhnya, kuil mereka sedang terancam bahaya, sudah tentu mereka lebih kalap
dan hendak adu jiwa dengan dirinya, Namun iapun tidak urus mereka lagi
melainkan dengan cepat ia lari terus ke atas.
Dengan
Ginkang atau ilmu entengi tubuh yang Kwe Ceng dapat belajar juga dari
Coan-cin-kau, yakni ajaran Ma Giok, maka tidak sampai waktu satu tanakan nasi
ia sudah tiba sampai di depan Tiong-yang-kiong, ia lihat api sudah berkobar dan
menjalar hebat, Tetapi aneh, ratusan To-su atau imam dari Coan-cin-kau yang
masing2 memiliki ilmu silat tinggi itu ternyata tiada satu-pun yang keluar buat
memadamkan api.
Diam2
Kwe Ceng merasa kuatir. Waktu ia mengamati lagi, kiranya api menjalar dari
bagian belakang istana yang megah itu terbukti bagian depannya masih utuh.
Cepat
ia melintasi pagar tembok yang tinggi itu dan melompat masuk pelataran depan
kuil itu, maka terlihatlah olehnya dipendopo sana sudah ber-jubel2 orang yang
lagi saling hantam dengan mati-matian.
Waktu
Kwe Ceng menegasi pula, ia lihat ada 49 orang imam berjubah kuning yang
tersusun menjadi tujuh barisan Pak-tau-tin sedang menandingi serangan 60 atau
70 orang musuh. Para musuh pendatang itu ada yang tinggi ada yang pendek, gemuk
atau kurus, seketikapun tak dapat dilihat dengan terang.
Hanya
kepandaian silat dan golongan para pendatang ini masing2 berlainan, ada yang
memakai senjata dan ada yang menggunakan tangan kosong, mereka terus merangsak
dengan penuh tenaga.
Sebenarnya
tidak lemah ilmu silat para penyerang ini pula jumlahnya lebih banyak, maka
para imam Coan-cin-kau sudah mulai terdesak di bawah angin, cuma lawan mereka
menyerang dan menghantam secara perseorangan, sebaliknya ke-tujuh barisan
bintang para imam itu bisa bahu-membahu dan bantu membantu, mereka menjaga diri
dengan sangat rapat, Meski para musuh sangat lihay tak mampu mendesak para imam
itu barang selangkahpun.
Melihat
pertarungan besar2an ini, Kwe Ceng menjadi heran, Selagi ia hendak membentak
dan tanya, tiba2 ia dengar di dalam istana kuil itu ada suara samberan angin
yang men-deru2, ternyata di dalam sana masih ada rombongan lain lagi yang
sedang bertempur.
Dari
angin pukulan yang kedengaran itu, agaknya orang yang bergebrak di dalam istana
itu ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada para penyerang yang berada di
luar.
Lekas2
Kwe Ceng memburu maju, ia mengegos dan menerobos masuk, ia berkelit ke kiri
terus menyusup ke kanan, tahu2 ia sudah menyelip masuk melalui Pak-tau-tin para
imam, Tentu saja imam2 Coan-cin-kau sangat kaget, berbareng mereka saling
memperingatkan kawannya, tapi karena musuh dari luar terlalu hebat tekanannya,
maka mereka tidak sanggup membagi sebagian untuk mengudak Kwe Ceng.
Di
dalam istana itu sebenarnya terang benderang oleh belasan lilin yang besar,
tatkala itu api yang berkobar dari ruangan belakang sudah menjalar ke depan,
dari pancaran sinar api yang berkobar itu bercampurkan asap tebal yang
menghembus terbawa angin, sinar lilin di dalam ruangan hanya kelihatan remang2
saja.
Sementara
Kwe Ceng lihat di dalam istana itu ber-deret2 tujuh imam duduk sila di atas
ka-suran yang bundar, telapak tangan kiri mereka saling tempel, hanya tangan
kanan mereka yang dikeluarkan untuk menahan kepungan belasan orang musuh.
Begitu
datang Kwe Ceng tidak periksa pihak musuh melainkan terus pandang dulu pada
ketujuh imam Coan-cin-kau, ia lihat di antara tujuh orang itu yang tiga sudah
berumur dan yang empat masih muda, yang tua itu masing2 ialah Ma Giok, Khu
Ju-ki dan Ong Ju-it, sedang empat imam yang muda hanya seorang saja yang dia
kenal, yakni In Ci-peng, murid Khu Ju-ki.
Ketujuh
imam inipun memasang jaring2 barisan Pak-tau-tin, mereka berduduk saja tanpa
bergerak Diantara tujuh imam ini ada satu di antaranya yang kepalanya menunduk
dan sedikit membungkuk hingga mukanya tidak tertam-pak jelas.
Demi
nampak Ma Giok bertujuh berada dalam keadaan terancam, seketika darah Kwe Ceng
jadi panas, iapun tidak peduli lagi siapa dan darimana adanya musuh itu, dengan
sekali bentakan yang menggeledek segera ia mendamperat : “Kawanan bangsat yang
kurangajar, berani kalian main gila ke Tiong-yang-kiong sini ?”
Berbareng
itu kedua tangan mengulur, sekaligus ia dapat mencengkeram punggung dua orang
musuh, selagi ia bermaksud membanting sasaran pertama ini, tak terduga kedua
orang ini ternyata tergolong jagoan tinggi, walaupun punggung mereka kena
dijamberet, namun kedua kaki mereka ternyata masih terpaku di lantai dan tidak
kena dibanting.
Tentu
saja Kwe Ceng terkejut, pikirannya: “Darimanakah mendadak bisa datang lawan
keras begini banyak ? Pantas kalau Coan-cin-kau hari ini harus menderita
kekalahan.”
Sambil
berpikir iapun sembari kerjakan serangan lain, mendadak ia kendurkan
jamberetan-nya tadi, menyusul kakinya lantas melayang, ia serampang kaki kedua
orang lawannya.
Pada
waktu itu kedua lawannya sedang mengeluarkan kepandaian “Cian-kin-tui” atau
tindihan seberat ribuan kati, yakni semacam ilmu yang bikin tubuhnya menjadi
berat untuk melawan tarikan pwe Ceng tadi, sama sekali tidak mereka duga bahwa
Kwe Ceng bisa ubah serangannya secepat itu.
Tanpa
ampun lagi mereka kena diserampang hingga tubuh mereka mencelat keluar pintu.
Tentu
saja pihak penyerang itu terkejut tatkala mengetahui pihak lawan kedatangan
bala bantuan, Akan tetapi karena mereka yakin pasti akan dipihak pemenang, maka
datangnya Kwe Ceng tidak mereka perhatikan, hanya ada dua orang yang segera
maju dan membentak “Siapa kau ?”
Namun
Kwe Ceng tidak menggubris, tanpa berkata ia sambut kedua orang ini dengan
gablokan kedua telapak tangannya secara susul-menyusul.
Sungguh
tidak pernah diduga kedua orang itu, belum mereka mendekat atau mendadak tenaga
pukulan Kwe Ceng sudah bikin tergetar mereka hingga tak bisa berdiri tegak,
tanpa ampun lagi dupiali suara “bluk” terdengar, punggung mereka tertumpuk pada
dinding tembok dengan keras hingga darah segar muncrat keluar dari mulut
mereka.
Nampak
empat kawan mereka roboh beruntun-runtun, keruan para musuh yang lain menjadi
jeri, seketika tiada lagi yang berani maju buat mencegat.
Di
lain pihak Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it segera mengenali Kwe Ceng dalam
hati mereka menjadi girang luar biasa, “Orang ini datang, Coan-cin-kau kami
tidak perlu kuatir lagi!” demikian kata mereka dalam hati.
Sementara
Kwe Ceng sama sekali tidak pandang sebelah mata pada para musuh itu, bahkan ia
lantas berlutut ke hadapan Ma Giok buat memberi hormat tanpa gubris musuh2 yang
lain. “Tecu Kwe Ceng memberi hormati” demikian ia berkata.
Tatkala
itu rambut alis Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it sudah putih karena usia mereka
yang sudah menanjak, mereka hanya memanggut sambil bersenyum dan angkat tangan
buat balas hormat.
“Awas,
Kwe-heng!” tiba2 In Ci-peng berseru memperingatkan Kwe Ceng.
Dalam
pada itu, Kwe Ceng sudah merasa di belakang kepalanya ada mendesisnya angin, ia
tahu ada musuh melakukan pembokongan, tetapi iapun tidak menoleh atau berpaling,
dengan tangan menahan di lantai, tubuhnya lantas terangkat ke atas dan diwaktu
turunnya, kedua lututnya dengan tepat menindih di atas punggung kedua pembokong
ini Dengan demikian Kwe Ceng masih tetap berlutut, hanya di bawah lututnya
telah bertambah dengan dua orang pengganjel.
Kiranya
dengan secara tepat dan hebat sekali Kwe Ceng telah gunakan lututnya untuk
menumbuk jalan darah penyerang gelap tadi, keruan dengan lemas kedua orang itu
terkulai ke lantai dan dipakai sebagai kasur pengganjel Kwe Ceng.
Ma
Giok tersenyum melihat kejadian ini, katanya: “Bangunlah, Ceng-ji, belasan
tahun tak berjumpa, rupanya kepandaianmu sudah jauh lebih maju!”
“Cara
bagaimana harus selesaikan beberapa orang ini, harap Totiang memberi petunjuk,”
kata Kwe Ceng sambil berdiri.
Tetapi
sebelum Ma Giok menjawab, tiba2 Kwe Ceng mendengar di belakangnya ada dua orang
secara berbareng bersuara tertawa “haha”, suara tertawaan ini sangat aneh
sekali, kalau yang satu tajam menusuk telinga, adalah yang lain sebaliknya
nyaring menarik. Cepat Kwe Ceng menoleh, maka tertampaklah olehnya di
belakangnya sudah berdiri dua orang.
Kedua
orang ini yang satu adalah paderi Tibet yang berjubah merah, kepalanya memakai
kopiah berlapis emas, wajahnya kurus, Sedang yang satu lagi memakai baju kuning,
tangan mencekal sebuah kipas lempit, angkuh dan tampan, nyata sekali seorang
putera bangsawan.
Kedua
orang ini berdiri dengan sikap yang tenang dan tidak banyak bicara, terang
sekali mereka adalah dua musuh tangguh, sama sekali berbeda dengan para musuh
yang lain. Oleh karenanya Kwe Ceng tak berani pandang enteng kedua musuh yang
lain.
Oleh
karenanya Kwe Ceng tak berani pandang enteng kedua musuh ini, dengan membungkuk
badan ia lantas memberi hormat dahulu.
“Siapakah
kalian berdua? Ada keperluan apakah datang ke sini?” demikian ia menegur.
“Dan
kau sendiri siapa? Untuk apa kau datang kemari ?” dengan tertawa putera
bangsawan tadi balas bertanya.
“Tayhe
(aku yang rendah) she Kwe bernama Ceng, adalah murid beberapa guru yang berada
di sini ini,” sahut Kwe Ceng tetap dengan ramah.
“Sungguh
tidak nyana dalam Coan-cin-kau ternyata masih ada tokoh seperti kau ini,” ujar
si putera bangsawan itu dengan tertawa.
Meski
umur putera bangsawan itu belum ada tiga puluhan, namun cara mengucapkan
kata2nya ternyata berlagak seperti orang tua saja, seperti tidak pandang
sebelah mata pada Kwe Ceng.
Sebenarnya
Kwe Ceng hendak terangkan bahwa dirinya bukan anak murid Coan-cin-kau, tetapi
karena kata2 orang yang pandang rendah padanya, mau-tak-mau rada panas juga
hatinya.
Memangnya
iapun tidak pandai bicara, maka ia tidak ingin banyak pmong, ia hanya menjawab
singkat saja: “Kalian berdua ada permusuhan apakah dengan Coan-cin-kau ?
(Mengapa perlu mengerahkan kekuatan begini banyak dan kobarkan api membakar
kuil ini ?”
“Siapakah
kau ini ? Berdasarkan apa kau berani jikut campur urusan ?” sahut Kui-kong-cu
(putera bangsawan) itu dengan ketawa.
“Aku
justru ingin ikut campur tahu,” sahut Kwe Ceng ketus.
Dalam
pada itu berkobarnya api semakin hebat dari telah menjalar lebih dekat lagi,
tampaknya tidak lama lagi kuil Tiong-yang-kiong itu pasti akan terbakar menjadi
tumpukan puing.
Tiba2
putera bangsawan itu geraki kipas lempitnya, dikembangkan terus ditutup lagi,
maka sekilas tertampaklah pada kertas kipasnya yang putih itu terlukis setangkai
bunga Bo-tan yang indah.
“Kawan2
ini aku yang bawa kemari,” kemudian ia berkata dengan ketawa sambil melangkah
maju, “asal kau mampu menerima tiga puluh gebrakan dari aku, segera aku
mengampuni kawanan imam hidung kerbau ini!”
Mendengar
kata2 orang yang sombong ini, Kwe Ceng pun sungkan bicara lebih banyak lagi,
tiba2 ia ulur tangan kanannya, sekali bergerak ia pegang kipas lempit orang
terus ditarik dengan keras.
Dengan
tarikan ini, kalau putera bangsawan itu tidak melepaskan kipasnya, maka seluruh
tubuhnya pasti akan ikut terseret.
Diluar
dugaan, begitu Kwe Ceng membetot badan Kui-kong-tju itu hanya sempoyongan
sedikit saja, sedang kipasnya masih belum terlepas dari cekalannya.
Tentu
saja Kwe Ceng terkejut, pikirnya: “Orang ini masih begini muda, namun sudah
sanggup menahan tenaga tarikanku tadi, di jagat ini ternyata masih ada orang
pandai seperti dia, kenapa selamanya aku belum pernah mendengarnya ?”
Oleh
karena pikiran itu, segera pula ia tambah tenaga tarikannya terus menjambret
lagi sambil membentak : “Lepas !”
Se-konyong2
muka putera bangsawan itu bersemu guram, tetapi hanya sekilas saja lantas
lenyap lagi, mukanya kembali sudah putih bersih pula. Kwe Ceng mengerti orang
lagi menahan tenaga tarikannya dengan Lwekang yang tinggi, jika pada saat ini
juga ia tambahi tenaga tarikan-nya, asal muka orang tiga kali mengunjuk semu
guram, maka dapat dipastikan jerohannya (isi perut) akan terluka parah.
Akan
tetapi hati Kwe Ceng memang berbudi, ia pikir orang ini bisa berlatih diri
sampai tingkatan sedemikian, sesungguhnya bukan soal gampang, maka ia tidak
ingin melukai orang dengan tenaga berat, ia tersenyum dan mendadak lepaskan
tangannya.
Meski
Kwe Ceng sudah buka tangannya, tapi nyatanya kipas lempit itu masih terletak di
telapak tangannya, pula tenaga Kui-kong-cu yang membetot kembali masih tetap
besar, namun aneh, tenaga telapak tangan Kwe Ceng ternyata telah dia salurkan
dari kipas ke tangan lawan, meski putera bangsawan itu sudah merebut dengan
sekuat tenaga, toh tenaga menariknya selalu dipatahkan Kwe Ceng, dengan
demikian kedua belah pihak menjadi bertahan, tidak maju dan tidak mundur,
sungguhpun putera bangsawan itu sudah mengeluarkan seluruh kemahirannya, tetapi
satu sentipun belum sanggup ia tarik kepihaknya. Maka insaflah dia bahwa ilmu
silat lawan masih jauh di atasnya, karena ingin memberi muka padanya, maka
lawan tidak rebut kipasnya.
Mengingat
akan ini, segera ia lepaskan tangannya terus melompat pergi, mukanya menjadi
merah malu.
“Mohon
tanya she dan nama tuan yang terhormat,” katanya kemudian sambil membungkuk
badan.
“Ah,
nama Tjayhe tiada harganya disebut, cuma Ma-cinjin, Khu-cinjin dan Ong-cinjin
yang berada di sini ini memang semuanya adalah guru Tjayhe yang berbudi,” sahut
Kwe Ceng.
Karena
jawaban ini, Kui-kong-cu itu setengah percaya setengah sangsi, ia pikir tadi
pihaknya sudah gempur Coan-cin-chit-to (tujuh imam Coan-cin-kau) dan yang
tertampak lihay hanya barisan bintang Thian-keng-pak-tau-tin mereka, jika
bergebrak satu lawan satu, maka tiada satupun Tosu itu mampu menandingi dirinya,
kenapa anak muridnya malah bisa begini lihay ?
Dalam
sangsinya, kembali ia mengamat-amati Kwe Ceng lagi, sudah tentu yang tertampak
olehnya, Kwe Ceng memakai baju dari kain kasar yang tiada bedanya dengan petani
biasa saja.
Dan
selagi ia hendak buka mulut pula mengucapkan beberapa kata2 halus untuk
kemudian membawa begundalnya buat mundur teratur, tiba2 dari luar terdengar
suara mengaungnya tabuhan khim (kecapi), suara khim ini sangat lembut tetapi
merdu, karena itu setiap orang yang mendengar sama tergetar hatinya.
Mendengar
suara tabuhan khim itu, air muka Kui-kong-cu itu kelihatan rada berubah. “llmu
silatmu sungguh mengejutkan orang, aku merasa sangat kagum, sepuluh tahun lagi
aku akan datang kembali minta petunjuk, karena masih ada urusan lain yang belum
selesai, baiklah sekarang juga aku mohon diri,” demikian katanya pada Kwe Ceng.
Habis berkata, kembali ia memberi hormat pula,
“Sepuluh
tahun kemudian tentu aku tunggu kau disini,” sahut Kwe Ceng membalas hormat
orang.
Sementara
itu putera bangsawan itu sudah putar tubuh dan jalan keluar, tetapi baru sampai
depan pintu, tiba2 ia menoleh dan berkata pula: “Urusanku dengan Coan-cin-kau
hari ini aku terima mengaku kalah, hanya kuharap To-yu (kawan dalam agama) dari
Coan-cin-kau janganlah ikut campur lagi atas urusan pribadiku.”
Menurutt
peraturan Kangouw, kalau seseorang sudah mengaku kalah dan terima menyerah,
pula sudah menentukan harinya untuk kemudian adu kepandaian lagi, maka sebelum
tiba hari yang dijanjikan meskipun saling pergok lagi di tengah jalan,
sekali-kali tidak boleh saling labrak dulu.
Oleh
karena itulah, maka Kwe Ceng lantas menjawab : “Ya, sudah tentu.”
Maka
tersenyumlah Kui-hong-cu itu, segera ia hendak melangkah pergi pula.
Diluar
dugaan, mendadak Khu Ju-ki telah menyentaknya dengan suara keras: “Tidak perlu
sampai sepuluh tahun aku Khu Ju-ki pasti pergi mencari kau.”
Mendengar
suara bentakan yang kuat hingga anak telinga tergetar se-akan2 pecah, hati
putera bangsawan itu menjadi keder, ia ragu2 apa orang tadi belum mengeluarkan
seluruh kepandaian untuk melawannya? Karenanya ia tak berani tinggal lebih lama
lagi, segera ia bertindak pergi dengan cepat.
Sesudah
memandang Kwe Ceng sekejap dengan mata melotot, paderi Tibet itu pun ikut pergi
bersama kawan2nya yang lain.
Kwe
Ceng lihat kawanan musuh ini berwajah lain dari biasanya, hidung besar dan
berewokan, rambut keriting serta mata dekuk, tampaknya seperti bukan orang dari
negeri sendiri maka dalam hati ia tidak habis mengerti serta menaruh curiga,
sementara ia dengar suara saling adunya senjata dan suara bentakan di ruangan
depan sudah mulai berhenti juga, ia tahu tentu musuh sudah mundur pergi
Dalam
pada itu ia lihat Ma Giok bertujuh sudah pada berdiri, disamping itu terdapat
pula satu orang yang menggeletak terlentang di lantai, waktu Kwe Ceng maju
melihatnya, ia kenal bukan lain dari Kong-ling-cu Hek Tay-thong, satu diantara
Coan-cin-chit-cu atau tujuh tokoh dari Coan-cin-kau.
Kiranya
Ma Giok dan lain meski terancam oleh bahaya api, tapi mereka tetap duduk tenang
tanpa bergerak sebabnya karena ingin melindungi kawan yang terluka ini.
Waktu
Kwe Ceng memeriksanya, ia lihat muka Hek Tay-thong pucat seperti kertas,
napasnya lemah dan matanya tertutup rapat, terang sekali menderita luka berat,
Ketika Kwe Ceng buka jubah orang, ia menjadi lebih terkejut lagi, ia lihat di
dada imam terdapat bekas lima jari tangan dengan terang sekali, warna bekas
jari ini matang biru dan dekuk ke dalam daging.
“Di
kalangan Bu-lim belum pernah kudengar ada yang mempunyai ilmu kepandaian
semacam ini. Apa karena belasan tahun aku terasing di Tho-hoa-to dan semua
kejadian di bumi ini sudah berubah jauh?” demikian ia pikir, Maka segera ia
berjongkok dan mengeluarkan ilmu It-yang-ci atau tutukan jari sakti, berulang
dua kali ia tutuk bagian bawah bahu Hek Tay-thong.
Dua
kali tutukan ini meski tidak bisa menyembuhkan luka dan hilangkan racun pada
luka Hek Tay-thong itu, namun dalam duabelas jam keadaan luka boleh dipercaya
tidak bakal meluas dan memburuk,
Sementara
itu api sudah makin hebat berkobarnya dan sukar ditolong lagi, lekas2 Khu Ju-ki
angkat Hek Tay-thong. “Hayo, lekas keluar !” demikian ajaknya cepat.
“He,
dimanakah anak yang aku bawa ? siapakah yang menahan dia? jangan sampai ia
dimakan api!” tanya Kwe Ceng tiba-tiba.
Tadi
Khu Ju-ki cs. sedang melawan musuh dengan segenap perhatian mereka, dengan
sendirinya ia tidak tahu seluk-beluk urusan Yo Ko yang dibawa kemari mereka
menjadi bingung.
“Anak
? Anak siapa? Dimana dia?” demikian tanya mereka berbareng.
Dan
sebelum Kwe Ceng menjawab, diantara sinar api yang ber-kobar2 itu, tiba2 ada
berkelebatnya bayangan orang, sesosok tubuh yang kecil tahu2 telah melompat
turun dari atas belandar rumah.
“Aku
berada di sini, Kwe-pepek,” demikianlah seru anak kecil itu dengan ketawa.
Siapa lagi dia kalau bukan Yo Ko ?
Tentu
saja Kwe Ceng terkejut bercampur girang. “Kenapa kau bisa sembunyi di atas
belandar rumah ?” lekas ia tanya.
“Tadi,
waktu aku dengan ketujuh imam busuk itu…”
“Hus,
kurangajar !” bentak Kwe Ceng memotong sebelum Yo Ko meneruskan “Hayo, lekas
memberi hormat kepada para Co-su-ya (kakek guru).”
Karena
bentakan itu, Yo Ko me-lelet2 lidah-nya, ia tak berani membantah, segera ia
berlutut ke hadapan Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bertiga untuk menjura.
Ketika
sampai gilirannya harus menjura pada In Ci-peng, Yo Ko lihat orang masih muda,
maka lebih dulu ia berpaling menanya Kwe Ceng: “Kwe-pepek, apakah dia Co-su-ya
juga ? Agaknya tidak perlu lagi aku menjura, ya ?”
“Dia
ini In-supek (paman guru), lekas menjura,” sahut Kwe Ceng.
Terpaksa
Yo Ko harus menjura lagi, sungguhpun dalam hati seribu kali tidak sudi.
Habis
ini, Kwe Ceng lihat Yo Ko lantas berdiri dan tidak menjura pula pada tiga imam
setengah umur yang lain, maka kembali ia membentak: “Ko-ji, kenapa kurangajar ?
Hajo, menjura lagi!”
“Kalau
harus menunggu aku selesai menjura, mungkin tidak keburu lagi, nanti jangan
Kwe-pepek salahkan aku,” dengan tertawa Yo Ko menjawab.
Kwe
Ceng sudah kenal anak ini kelakuannya sangat aneh dan nakal, banyak pula tipu
akalnya, Maka ia lantas tanya : “Soal apa yang tidak keburu lagi ?”
“ltu,
di sana ada satu paman To-su diringkus orang dalam kamar, kalau tidak ditolong,
mungkin akan terbakar mati oleh api,” sahut Yo Ko.
“Kamar
yang mana? Lekas katakan !” tanya Kwe Ceng dengan cepat.
“Eeeh,
nanti dulu, coba aku ingat2 dulu, ai, kenapa aku jadi lupa,” demikian Yo Ko
menjawab dengan ketawa.
Tentu
saja In Ci-peng menjadi gemas, ia melototi sekejap pada Yo Ko, habis ini dengan
langkah cepat ia berlari ke kamar sebelah timur, ia dobrak pintu kamar, tapi
tiada seorangpun yang tertampak, kembali ia berlari ke kamar murid angkatan
ketiga yang biasa buat melatih, ketika ia tendang terpentang pintu kamar ini,
ternyata seluruh kamar sudah penuh dengan asap yang tebal, remang2 kelihatan
pada satu imam yang teringkus di tiang ranjang, mulutnya menganga dan sedang
ber-teriak2 minta tolong dengan suara yang serak, mungkin saking lamanya ia
men-jerit2.
Melihat
keadaan sudah mendesak, cepat In Ci-peng cabut pedangnya, dengan sekali tabas,
ia potong tali pengikat dan bebaskan imam itu dari ancaman maut.
Sementara
itu Khu Ju-ki, Kwe Ceng, Yo Ko dan lain sudah selamatkan diri keluar kuil,
mereka sudah berdiri di atas tanah tanjakan dan sedang menyaksikan mengamuknya
jago merah yang men-jilat2 semakin hebat itu, oleh karena diatas gunung memang
tidak gampang didapatkan air yang cukup, maka tanpa berdaya mereka menyaksikan
kuil yang megah itu lambat laun ambruk untuk achirnya menjadi tumpukan puing
belaka.
Watak
Khu Ju-ki sangat keras dan berangasan kini menyaksikan kuil mereka yang
bersejarah ini ditelan mentah2 oleh api, ia mengutuk tidak habisnya pada musuh
yang mengobarkan api itu.
Selagi
Kwe Ceng hendak tanya siapakah sebenarnya musuh yang datang itu dan kenapa
turun tangan sejara keji begini, tiba2 ia lihat sebelah tangan In Ci-peng
mengempit satu imam sedang menerobos keluar di antara gumpalan yang tebal.
Karena
kepelepekan oleh asap tebal itu, imam yang dikempit In Ci-peng masih ter-batuk2
hingga kedua matanya mengucurkan air mata,tapi demi nampak Yo Ko, dadanya
hampir meledak saking gusarnya, tanpa pikir lagi segera ia ulur tangan terus
menubruk bocah itu.
Akan
tetapi perbuatan orang hanya diganda tertawa oleh Yo Ko, ketika imam itu
menubruk tiba, dengan cepat ia sembunyi kebelakang Kwe Ceng.
Rupanya
imam itu belum kenal siapa adanya Kwe Ceng, maka dia telah mendorong dadanya
dengan maksud kesampingkan orang agak lebih leluasa menangkap Yo Ko, Siapa duga
dorongannya itu laksana kena pada dinding saja, sedikitpun Kwe Ceng tidak
bergerak
Karena
itu, sesaat imam itu menjadi kesima, tapi segera ia tuding Yo Ko dan mencaci
maki: “Anak jadah, berani kau pedayai To-ya (tuan imam), hampir aku terbakar
mampus karena perbuatanmu !” demikian teriaknya murka.
“Ceng-kong,
apa yang kau katakan ?” tiba2 Ong Ju-it membentaknya dari samping.
Kiranya
Tosu atau imam yang kena “dikerjai” Yo Ko ini adalah cucu-murid Ong Ju-it dan
bernama Ceng-kong, tadi ia beruntung bisa diselamatkan dari elmaut atas
pertolongan In Ci-peng, dalam sengitnya begitu nampak Yo Ko segera ia menubruk
maju untuk adu jiwa, sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa para paman guru
dan kakek gurunya juga berada disitu.
Kini
mendadak dibentak Ong Ju-it, baru dia ingat telah berlaku kurang sopan, keruan
ia berkeringat dingin saking takutnya.
“Ya,
Tecu patut mampus”, katanya kemudian dengan tangan lurus ke bawah.
“Urusan
apakah sebenarnya, katakan ?” bentak Ong Ju-it lagi.
“Semuanya
karena Tecu sendiri yang tak becus, harap Cosuya memberi ampun,” sahut
Ceng-kong.
Karena
jawaban yang lain daripada yang ditanya, Ong Ju-it mengkerut kening.
“Memangnya
siapa yang bilang kau becus ? Aku hanya tanya ada urusan apakah sebenarnya?”
ulangi Ong Ju-it.
“Tadi,
Tecu diperintah Thio Ci-goan-Susiok menjaga di belakang, kemudian Thio-susiok
membawa anak… anak…”
sebenarnya
Ceng-kong hendak berkata “anak jadah,” untung ia lantas ingat sedang berhadapan
dengan Cosuya, maka tak berani ia keluarkan kata2 kotor, lekas ia ganti: “anak…
anak kecil ini dan diserahkan padaku, ia bilang anak ini ikut naik gunung
bersama musuh tetapi dapat ditawan Thio-susiok, maka aku diperintahkan
mengawasinya, dan jangan sampai anak ini melarikan diri. Oleh karena itu, Tecu
lantas membawanya ke dalam kamar latihan di sebelah timur itu, Siapa duga,
duduk tidak lama mendadak anak… anak kecil ini pakai tipu muslihat, katanya
ingin kencing, dan minta aku lepaskan tali yang meringkus tangannya itu, Tecu
tidak mau diakali, maka dengan tanganku sendiri kubukakan celananya biar
kencing, Siapa tahu, bocah ini memang berhati jahat, habis kencing hingga bikin
sebagian lantai basah kuyup, waktu aku mengikat celananya lagi, mendadak dia
dorong aku dengan keras.”
Bercerita
sampai disini, mendadak terdengar Yo Ko ketawa ngikik, karuan Ceng-kong menjadi
gusar.
“Anak…
anak apa yang kau tertawakan ?” damperatnya dengan gemas.
Tetapi
Yo Ko hanya angkat kepala ke atas, pandang saja tidak ia menjawab : “Aku
tertawa sendiri, peduli apa dengan kau ?”
Sudah
tentu Ceng-kong tidak menyerah mentah2, ia hendak adu mulut dengan bocah ini
kalau saja Ong Ju-it tidak membentaknya.
“Tak
perlu kau ribut2 dengan anak kecil, lekas teruskan ceritamu,” kata Ong Ju-it.
“Ya,
ya,” sahut Ceng-kong ketakutan, “Engkau tak tahu, Cosuya, anak ini licin luar
biasa. Pada waktu aku didorong jatuh telentang di atas lantai yang basah kuyup
dengan air kencingnya itu dan selagi aku hendak melompat bangun buat persen dia
beberapa kali tamparan, tiba2 dengan cengar-cengir ia malah mendekati aku dan
berkata : “Wah, To-ya, aku telah bikin kotor pakaianmu !”
Mendengar
cara Ceng-kong menirukan suara perkataan Yo Ko yang masih kanak2 hingga
kedengaran lucu sekali, semua orang diam-diam merasa geli. Hanya Ong Ju-it yang
mengkerut kening lagi, dalam hati ia damperat habis-habisan cucu-muridnya yang
bikin malu di depan orang banyak ini.
“Mendengar
kata2-nya itu, aku mengira dorongannya padaku tadi disebabkan tidak sengaja,
maka akupun tidak menyalahkan dia lebih jauh,” demikian Ceng-kong melanjutkan
ceritanya, “Sementara itu ia mendekati aku, tampaknya seperti hendak bantu
membangunkan aku, tapi kedua tangannya terikat, maka tidak bisa berbuat
apa-apa, tak tahunya, mendadak dia melompat dan mencemplak ke atas tubuhku, ia
menunggangi aku yang masih telentang, bahkan mulutnya terus ditempelkan
keleherku dan menggigit tenggorokanku”.
Bercerita
sampai di sini, tanpa terasa Ceng-kong me-raba2 lehernya, agaknya masih terasa
sakit oleh bekas gigitan tadi itu.
“Dengan
sendirinya aku terperanjat,” sambungnya lagi, “aku berusaha membaliki tubuh
buat banting dia, siapa duga, ia menggigit lebih kencang, kalau sekali lagi dia
gigit mungkin jalan pernapasanku bisa putus, Karena terpaksa, aku tak berani
berkutik, dengan jalan halus aku lantas memohon: “Sudahlah, tentu kau ingin aku
lepaskan tali pengikatmu, bukan ?” ia angguk2 atas pertanyaanku ini, sebaliknya
aku masih ragu-ragu, maka kembali ia perkeras lagi gigitannya, saking sakitnya
sampai aku ber-teriak2.
Pikirku
waktu itu: “Biarlah aku lepaskan talinya, asal dia tidak menggigit lagi,
masakan satu anak kecil saja aku kalah ?” Maka aku lantas lepaskan tali
pengikatnya, Tak terduga, begitu tangannya merdeka, segera ia cabut pedangku
terus menodong ulu hatiku dan mengancam, bahkan senjata berbalik makan tuan, ia
malah gunakan tali yang mengikat dia tadi untuk meringkus diriku pada tiang
ranjang, ia mengiris sepotong kain bajuku pula dan menyumbat mulutku,
belakangan kuil kita terbakar hendak lari aku tak dapat, ingin berteriak juga
tak bisa, kalau bukan In-susiok tadi yang menolong, tentu Tecu sudah terbakar
hidup2 karena anak kecil ini?”
Habis
bercerita, dengan mata melotot ia pandang Yo Ko dengan murka.
Sesudah
mendengar penuturunnya, semua orang sebentar pandang Yo Ko, saat lain memandang
Ceng-kong pula, yang satu tubuhnya kurus kecil, sedang yang lain berperawakan
tinggi besar, tetapi yang gede kena dikibuli hingga tak berdaya, saking
gelinya, semua orang itu sama tertawa ter-bahak-bahak.
Ceng-kong
menjadi bingung, ia cakar2 kuping dan garuk2 kepala dan tidak tahu apa yang
harus diperbuatnya.
“Ceng-ji,”
kata Ma Giok kemudian dengan tertawa, “apakah ini puteramu? Agaknya dia telah
lengkap menurunkan tabiat sang ibu, oleh karena itu begini nakal dan cerdik.”
“Bukan,”
sahut Kwe Ceng, “dia adalah putera tinggalan dalam perut dari adik angkatku,
Nyo Khong.”
Ketika
mendadak dengar nama Nyo Khong disebut, hati Khu Ju-ki terkesiap, Kemudian ia
coba mengamat-amati Yo Ko, betul juga ia lihat wajah bocah ini rada2 mirip
dengan Nyo Khong.
Khu
Ju-ki ada hubungan guru dan murid dengan Nyo Khong, walaupun kemudian Nyo Khong
berkelakuan kurang baik, tamak kedudukan dan serakah akan kemewahan, terima
mengaku musuh sebagai bapak, namun bila Khu Ju-ki ingat semua itu, selalu ia
merasa dirinya kurang sempurna mendidik anak muridnya itu, hingga akibatnya Nyo
Khong tersesat, maka seringkali dalam hati ia merasa menyesal. Kini demi
mendengar Nyo Khong mempunyai keturunan tentu saja ia sangat girang, lekas2 ia
bertanya lebih jelas.
Begitulah
tanpa menghiraukan Tiong-yang-kiong mereka sudah habis ditelan api, sebaliknya
Ma Giok dan Khu Ju-ki mendengarkan penuturan Kwe Ceng tentang diri Yo Ko dengan
penuh perhatian.
“Ceng-ji,
dengan ilmu silatmu seperti sekarang ini boleh dikatakan sudah jauh di atas
tingkatan kami, kenapa tidak kau sendiri mengajar dia?” demikian kata Khu Ju-ki
kemudian setelah mendengar bahwa Kwe Ceng sengaja membawa Yo Ko ke Cong-lam-san
buat belajar silat.”
Hal
ini akan kuterangkan kelak,” sahut Kwe Ceng, “Hanya kedatangan Tecu sekarang
telah banyak bikin ribut para To-heng, inilah, yang bikin hatiku terasa tidak
enak sekali.”
Habis
ini ia lantas menuturkan pula tentang kesalahan paham sewaktu ia naik gunung
tadi sehingga saling gebrak dengan para imam yang memasang jaring2 Pak-tau-tin
buat mencegatnya.
Mendengar
cerita ini, seketika Khu Ju-ki menjadi marah.
“Sungguh
tak berguna, Ci-keng memimpin barisan luar, kenapa kawan atau lawan tidak bisa
mem-beda2kan,” katanya, “Memangnya aku merasa heran kenapa barisan yang kita
pasang begitu kuat di luar itu bisa begitu cepat dibobol musuh hingga menerjang
ke atas gunung, kita diserang dalam keadaan belum siap. Hm, kiranya dia telah
kerahkan Pak-tau-tin yang dia pimpin untuk merintangi kedatanganmu.”
Semakin
berkata, tertampak Khu Ju-ki semakin menjadi gusar.
“Mungkin
itu disebabkan salah paham,” ujar Kwe Ceng, “ketika berada di bawah gunung,
tanpa sengaja Tecu telah tepuk hancur batu pilar yang terukir syair buah tangan
Totiang, mungkin inilah yang menimbulkan salah paham.” mendengar keterangan
ini, air muka Khu Ju-ki berubah menjadi tenang kembali.
“O,
kiranya begitu, kalau demikian tidak bisa menyalahkan mereka,” ujarnya,
“Memangnya begitu kebetulan, sebab musuh yang hendak menyerang Tiong-yang-kiong
kita hari ini justru diketahui memakai tanda serangan dengan menepuk pilar batu
yang kau katakan itu.”
“Siapakah
sebenarnya orang2 yang datang tadi? Kenapa begitu besar nyali mereka?” tanya
Kwe Ceng.
“Cerita
ini terlalu panjang, Ceng-ji,” sahut Khu Ju-ki dengan menghela napas, “lni,
biar aku tunjukan sesuatu benda dulu padamu.”
Habis
ini ia lantas berjalan menuju ke belakang gunung.
“Ko-ji,
kau tinggal disini, jangan sembarang pergi,” pesan Kwe Ceng pada Yo Ko, Lalu ia
ikut di belakang Kho Ju-ki.
Agak
lama mereka menanjak, akhirnya mereka sampai di atas satu puncak yang tinggi,
Khu Ju-ki membawa Kwe Ceng menuju belakang satu batu pegunungan yang besar,
“Disini juga terukir tulisan2,” katanya.
Waktu
itu hari sudah magrib, di belakang batu besar ini terlebih gelap lagi, ketika
Kwe Ceng meraba batu yang diunjuk, betul juga ia rasakan di atas batu itu
terukir tulisan, ia meraba lagi tiap2 huruf, akhirnya tahulah dia, kiranya itu
adalah sebaris syair.
Oleh
karena ia meraba huruf2 itu menuruti goresan yang terukir di atas batu,
mendadak Kwe Ceng terkejut, terasa olehnya bahwa goresan tulisan itu persis
cocok dengan jari tangannya, seperti orang itu menulis di batu ini dengan jari
tangan saja, “Ditulis dengan tangan?” tanpa tertahan ia berseru.
“Ya,
kejadian ini kalau diceritakan memang terlalu mengejutkan orang, memang betul
ditulis dengan jari tangan !” kata Khu Ju-ki.
“Mana
bisa? Apa di dunia ini terdapat dewa?” kata Kwe Ceng ragu2.
“Orang
yang menulis ini bukan saja ilmu silatnya sangat tinggi tiada bandingannya,
bahkan banyak tipu akalnya, meski bukan dewa, namun terhitung seorang luar
biasa yang sukar diketemukan,” sahut Khu Ju-ki.
Tentu
saja Kwe Ceng menjadi sangat kagum.
“Siapakah
dia? Dapatkah lotiang memperkenalkannya pada Tecu?” tanyanya cepat.
“Aku
sendiri belum pernah melihat orang-nya,” sahut Ju-ki. “Duduklah kau, biar aku
ceritakan sebab musababnya sehingga terjadi peristiwa seperti hari ini.”
Kwe
Ceng menurut, ia duduk di atas batu itu.
“Arti
bunyi syair ini apa kau paham?” tiba2 Khu Ju-ki menanya.
Waktu
itu usia Kwe Ceng sudah menginjak setengah umur, tetapi lagu suara pertanyaan
Khu Ju-ki masih tetap seperti belasan tahun yang lalu sewaktu Kwe Ceng masih
muda, akan tetapi Kwe Ceng sedikitpun tidak pikirkan hal ini, ia tetap
menjawabnya dengan sangat menghormat.
“Bagian
depan Tecu masih paham, tetapi bagian belakang yang menguraikan urusan pribadi
Tiong-yang Cosu, itulah Tecu tidak begitu mengerti,” demikian sahutnya.
“Tahukah
kau orang macam apakah Tiong-yang Co-su itu?” tanya Khu Ju-ki lagi.
Kwe
Ceng jadi tercengang mendengar orang mendadak tanya tentang diri Ong
Tiong-yang, itu cakal-bakal dari Coan-cin-kau.
“Tiong-yang
Cosu adalah “Khay-san-pi-co” (cakal-bakal) Coan-cin-kau, dahulu ketika
Hoa-san-lun-kiam, ilmu silatnya diakui nmnor satu di jagad ini,” sahutnya kemudian.
“Itu
memang tidak salah, tetapi waktu mudanya?” tanya Ju-ki pula.
“ltulah
aku tidak tahu,” sahut Kwe Ceng sambil menggoyang kepala.
“Nah,
tahulah kau bahwa asalnya Tiong-yang Co-su bukan imam,” kata Khu Ju-ki.
“Diwaktu mudanya dia sangat benci pada tentara Kim yang menjajah tanah air kita
dan membunuhi rakyat kita, pernah dia kerahkan pasukan sukarela untuk melawan
pasukan Kim hingga terjadi suatu pergerakan yang menggemparkan belakangan
karena pasukan Kim terlalu kuat, beberapa kali ia mengalami kekalahan hingga
banyak panglimanya tewas dan perajuritnya hancur, saking menyesalnya kemudian
dia menjadi To-su (imam), Tatkala itu ia menyebut dirinya sebagai “Hoat-su-jin”
(orang mati yang masih hidup), terus-menerus beberapa tahun ia menetap di dalam
satu kuburan kuno di atas gunung ini, selangkahpun tak pernah ia keluar dari
pintu kuburan itu, maksud kiasannya, yalah meski orangnya masih hidup, namun
tiada seperti orang yang sudah mati, ia hidup tidak sudi hidup berdampingan di
tanah air sendiri dengan musuh bangsa Kim.”
“O,
kiranya begitu,” ujar Kwe Ceng.
“Kejadian
itu berlangsung sampai beberapa tahun,” Ju-ki melanjutkan pula, “tidak sedikit
sobat-andai mendiang guruku itu telah datang mencari padanya, banyak yang minta
dia keluar dari kuburan untuk membikin pergerakan yang lebih hebat lagi, Akan
tetapi mendiang guruku rupanya sudah putus asa dan patah hati, iapun merasa
tiada muka buat bertemu dengan bekasnya di kalangan Kangouw, maka ia tetap
tidak mau keluar dari kuburan.
Keadaan
demikian itu berlangsung sampai delapan tahun kemudian, tiba2 kedatangan
seorang lawan yang dianggapnya paling kuat, musuh ini telah mencaci-makinya
dengan segala kata2 yang mencemoohkan dan menghina diluar kuburan, ber-turut2
musuh itu memancing selama tujuh hari tujuh malam, agaknya Sian-su (mendiang
guruku) menjadi tak tahan, ia lantas keluar dari kuburan buat bergebrak dengan
musuh tadi.
Tak
terduga, begitu dia keluar, segera orang itu menyambut padanya dengan bergelak
ketawa: “Haha, akhirnya kau keluar juga, maka tidak perlu lagi kau kembali
kedalam!” Karena itu Sian-su sadar bahwa dirinya telah kena tertipu, tetapi
maksud tujuan orang itu adalah baik, yalah sayang terhadap kepandaian Siau-su
yang begitu bagus harus terpendam lenyap di dalam kubur, oleh karenanya sengaja
pakai kata2 yang pedas untuk memancingnya keluar dari kuburan.
Setelah
mengalami kejadian itu, kedua orang dari lawan berubah menjadi kawan dan dengan
bahu-membahu pergi mengembara Kangouw lagi.”
“Siapakah
gerangan cianpwe (orang angkatan tua) itu ?” tanya Kwe Ceng dengan kagum. “Apa
dia satu di antara Tong-sia, Se-tok, Lam-te atau Pak-kay ?”
“Bukan,”
jawab Khu Ju-ki. “Kalau soal ilmu silat, orang ini masih berada di atas keempat
tokoh besar itu, cuma karena dia adalah wanita, biasanya tidak suka unjuk diri
di kalangan umum, maka orang luar jarang yang tahu akan dia, namanya pun tidak
tersohor.”
“Ah,
kiranya dia seorang wanita, itulah lebih hebat lagi,” ujar Kwe Ceng rada kaget.
“Ya,
sebenarnya cianpwe ini menaruh hati terhadap Sian-su, ia sudah menyerahkan diri
untuk mengikat perjodohan dengan Sian-su,” tutur Ju-ki lagi “Tetapi Sian-su
mengatakan bahwa musuh belum dihancurkan, mana boleh berumah tangga, Oleh
karena itu, terhadap asmara yang dilontarkan Cianpwe itu ia hanya berlagak
bodoh dan pura2 tidak tahu saja.
Tak
tahunya cianpwe itu juga berambekan besar dan tinggi hati, ia menyangka Sian-su
telah pandang rendah padanya, ia menjadi gusar sekali, Kedua orang yang tadinya
lawan dan sudah berubah menjadi kawan itu, oleh karena cinta berbalik menjadi
sakit hati lagi, mereka kemudian berjanji untuk bertanding di atas Cong lam-san
ini untuk menentukan siapa yang lebih unggul”
“ltu
sebenarnya tidak perlu,” kata Kwe Ceng.
“Memangnya
!” ujar Khu Ju-ki. “Sian-su pun tahu akan maksud baik orang, maka sepanjang
jalan ia selalu mengalah, Siapa tahu cianpwe itu ternyata berwatak aneh, ia
bilang: Semakin kau mengalah, semakin nyata kau pandang rendah padaku - Karena
tiada jalan lain, terpaksa Sian-su bergebrak dengan dia, sampai beberapa ribu
jurus mereka bertempur, selama itu Sian-su tidak keluarkan tipu serangan yang
mematikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar