Kamis, 08 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 11



Kembalinya Pendekar Rajawali 11

Diluar dugaan, imam yang menduduki tempat Thian-koan dan sebagai pemimpin tadi ternyata berwatak sangat keras, karena melihat ilmu silat lawannya semakin kuat, ia semakin yakin orang pasti tidak bermaksud baik terhadap perguruan mereka, maka meski menghadapi musuh setangguh ini, sama sekali ia pantang mundur.
“Hm, maling cabul.” demikian segera ia menjawab dengan suara lantang, “Coan-cin-kau kami paling benci pada segala perbuatan kejahatan, maka se-kali2 jangan kau harap bisa melakukan perbuatan2 yang tidak tahu malu di Cong-lam-san ini !”
Kwe Ceng bingung oleh damperatan yang tak keruan juntrungannya ini, “Apa perbuatanku yang tidak kenal malu ?” demikian ia tanya.
“”Hm, pura2 bodoh.” jengek imam Thian-koan itu. “Melihat kepandaianmu yang tinggi ini, tentunya kau bukan sebangsa manusia yang suka berbuat kotor, aku nasehati kau, lekas kau turun kembali, sana !”
Meski imam ini masih mendamperat, tetapi di balik kata-kata yang diucapkan ini ia telah unjuk juga rasa kagumnya terhadap ilmu kepandaian Kwe Ceng.
“Jauh2 Cayhe sengaja datang dari selatan dan ingin bertemu Khu-cinjin untuk sesuatu keperluan, sebelum bertemu mana boleh kembali turun gunung ?” demikian jawab Kwe Ceng.
Mendengar jawaban ini, tiba2 air muka imam hian-koan itu berubah hebat.
“Hm, jadi kau ingin ketemu Khu-cinjin ? Baiklah, coba katakan, sebenarnya ada urusan apa ?” tanyanya dengan dingin.
“Sejak kecil Cayhe menerima budi besar dari Ma cinjin dan Khu-cinjin, karena sudah belasan tahun tidak bertemu, maka aku menjadi kangen sekali,” sahut Kwe Ceng.
Namun jawaban ini ternyata makin menambah sikap permusuhan dari imam itu. Kiranya soal “budi” dan dendam” dalam kalangan Kangouw paling di-utamakan, sering kali karena soal sakit hati, di mulut dia bilang datang buat balas budi padahal yang benar maksudnya hendak membalas dendam, Imam Thian-koan itu suka pegang teguh pandangannya sendiri, maka kata2 Kwe Ceng yang diucapkan dengan setulus hati justru diterima kebalikannya.
“Jangan2 guruku Giok-yang Cinjin juga kau katakan ada budi padamu,” demikian ia menjengek lagi.
Karena kata2 ini, Kwe Ceng jadi ingat pada masa yang silam, masa mudanya dengan peristiwa yang terjadi dalam istana Thio-ong-hu, dimana Giok-yang-cu (atau Giok-yang Cinjin) Ong Ju-it tanpa pikirkan bahaya telah menandingi gerombolan musuh yang jauh lebih banyak untuk menolong dirinya, atas kejadian itu memang tidak sedikit budi yang dia terima dari Ong Ju-it. Oleh sebab ini, tanpa ragu2 lagi ia lantas jawab : “O, kiranya To-heng adalah murid Giok-yang Cinjin, memang betul juga 0ng-cinjin ada budi terhadap Cayhe, bila dia juga berada di atas gunung, sudah tentu akan lebih baik lagi.”
Diluar dugaan, ketujuh imam ini malah menjadi gusar, dengan suara bentakan yang murka, senjata mereka segera menyamber, dengan cepat mereka menyerang tujuh tempat di tubuh Kwe Ceng secara serentak.
Akan tetapi mana bisa Kwe Ceng diserang dengan gampang dengan sedikit mengegos ia sudah melangkah ke samping, kembali ia duduki tempat bintang Pak-kek atau kutub utara yang menjadi kelemahan barisan para imam itu.
“He, bicara dulu,” demikian ia teriaki imam2 Coan-cin-kau ini, “Cayhe Kwe Ceng sama sekali tidak mengandung maksud jahat kesini, dengan cara bagaimana baru-kalian mau percaya bahwa aku benar2 Kwe Ceng adanya ?”
“Kau sudah merebut enam pedang anak murid Coan-cin-kau yang duluan, kenapa tidak sekalian rampas lagi tujuh pedang kami ini ?” sahut imam Thian-coan tadi.
Dalam pada itu imam yang menduduki tempat Thian-koan yang sejak tadi sebenarnya tutup mulut saja, kini mendadak ikut menyela dengan suara yang pecah.
“Maling cabul anjing, rupanya kau hendak pamer kepandaianmu di hadapan sundel kecil keluarga Liong itu ? Hm, apa kau kira Coan-cin-kau kami gampang kau hina ?” demikian ia mencaci maki
Keruan Kwe Ceng menjadi gusar.
“Apa kau bilang ?” sahutnya dengan muka merah. “Nona keluarga Liong ?” Siapa dia ? aku Kwe Ceng selamanya tidak pernah kenal dia.”
“Haha, jika kau berani, kenapa kau tidak memaki dia sebagai perempuan busuk, sebagai sundel cilik !” kata imam Thian-koan pula dengan bergelak tawa.
Mendengar orang mengumbar kata2 kotor, Kwe Ceng menjadi tertegun, dasarnya ia memang jujur dan patuh pula adat peraturan, ia pikir wanita she Liong yang disebut itu entah orang macam apakah, mana boleh tanpa sebab dan alasan aku mencaci makinya. Karena pikiran ini, ia lantas menjawab: “Kenapa aku harus memaki dia ?”
“Hahaha!” tertawa beberapa imam itu berbareng “Nah, bukankah kau sudah mengaku sendiri ?”
Dasar Kwe Ceng memang tidak pandai menggunakan otak, kini orang secara serampangan memaksakan suatu tuduhan padanya, semakin lama ia merasa semakin ruwet, ia hanya pikir dengan paksa terjang saja ke Tiong-yang-kiong untuk menemui Khu Ju-ki dan Ong Ju-it tentu segala urusan akan menjadi beres.
“Kini Cayhe akan naik ke atas, kalian merintangi lagi, jangan kalian menyesali Cayhe tidak segan2,” dengan dingin ia memberi peringatan.
Tapi ketujuh imam itu tiba2 melangkah maju setindak dengan senjata siap sedia.
“Jangan kau pakai ilmu sihir, kita boleh coba ukur kepandaian dalam ilmu sejati,” dengan suara keras imam Thian-soan tadi menantang.
Kwe Ceng hanya tertawa, segera ia ambil satu keputusan, maka ia lantas menjawab: “Aku justru hendak unjuk — sedikit ilmu sihir pada kalian, tanpa tanganku menyenggol senjata kalian sedikitpun aku, sanggup merampas ketujuh pedang kalian,”
Ketujuh imam itu saling pandang, dari wajah mereka tertampak perasaan tidak percaya.
“Bagus, kami akan coba2 ilmu kepandaianmu dalam hal tendangan,” seru salah satu imam.
“Akupun tidak perlu gunakan kaki,” sahut Kwe Ceng., “Pendeknya tidak nanti aku menyenggoI barang sedikitpun senjata maupun anggota badan kalian, tetapi senjata kalian akan kurampas, kalau sampai tersentuh, anggap saja aku kalah dan segera aku turun gunung untuk selamanya tidak akan naik ke sini lagi.”
Mendengar orang buka mulut besar, ketujuh imam itu menjadi marah semua, Tanpa tunggu lagi, Begitu imam Thian-koan geraki pedangnya, segera ia bawa barisannya mengerubut maju.
Namun dengan kepala menunduk Kwe Ceng lantas menerjang dengan cepat, ia menduduki titik bintang Pak-kek lagi dan dengan langkah cepat mengarah ke kiri, ia menyerang sajap kiri barisan para imam.
Imam Thian-koan yang menjadi pemimpin barisan kenal lihaynya orang, maka lekas2 ia bawa barisannya memutar ke kanan, dengan demikian supaya bisa berhadapan dengan Kwe Ceng dan supaya kelemahan barisannya tidak kentara.
Diluar dugaan., sekali Kwe Ceng sudah mengincar sayap kiri, tetap ia serang bagian kiri dan tidak putar balik, meski tempo2 cepat dan kadang2 lambat, tetap ia berlari mengincar bagian kiri, oleh karena ia bisa menduduki tempat bintang Pak-kek dengan kukuh, mau tidak mau ketujuh imam itu harus ikut memutar ke kiri juga.
Begitulah makin lari semakin cepat Kwe Ceng juga menguber, sampai akhirnya kecepatannya boleh dikatakan melebihi kuda, makin lama makin luas pula tempat yang dibuat putar hingga berupa satu lingkaran selebar belasan tombak.
Tetapi ketujuh imam ini tergolong tidak lemah juga, meski mereka dipaksa dalam kedudukan yang terbalik dipengaruhi orang, namun barisan mereka sedikitpun belum kacau, mereka bertujuh masih menduduki tempatnya masing2 dengan kuat dan tetap, hanya tubuh mereka saja yang tidak bisa dikuasai lagi masih terus ikut lari terbawa oleh Kwe Ceng.
Diam2 Kwe Ceng harus puji juga keuletan tujuh imam Coan-cin-kau ini, maka langkahnya tidak pernah ia kendurkan, tiba2 dia malah pergiat kakinya hingga berlari memutar sebagai roda angin saja.
Mula2 ketujuh imam itu masih bisa paksakan diri ikut berlari terus, tetapi lama kelamaan Gin-kang atau ilmu entengkan tubuh imam2 itu lantas tertampak, imam Thian-koan paling tinggi Ginkangnya, ia lari paling depan dan disusul dengan imam yang menduduki tempat Thian-ki dan Thian-heng, sedang imam yang lain pe-lahan2 menjadi ketinggalan hingga barisan mereka lambat laun makin renggang, Tentu saja mereka terperanjat, pikir mereka: “Jika musuh mau gempur barisan kita pada saat ini mungkin barisan bintang ini tidak bisa dipertahankan lagi.”
Walaupun mereka sudah tahu bakal celaka, tapi karena sudah terlanjur, mereka tak pikirkan lain lagi, mereka hanya bisa berbuat sepenuh tenaga dan keluarkan seluruh kepandaian untuk lari lebih cepat mengikuti Kwe Ceng yang masih terus berputar.
Sebagai contoh dapat dilukiskan umpamanya kita ikat sepotong batu dengan seutas tali lalu kita putar secepat mungkin, diwaktu batu berputar kencang dan mendadak kita lepaskan, maka batu itu, pasti akan mencelat jauh dengan tali pengikatnya tadi.
Sama halnya sekarang dengan ketujuh imam itu, mereka telah dipengaruhi Kwe Ceng yang makin putar makin cepat sampai pedang mereka terangkat di atas kepala, makin cepat mereka berlari, makin tidak kuat memegang pedang mereka se-akan2 ada satu tenaga maha besar yang menariknya dan hendak merebut pedang dari tangan mereka.
“Lepas!” se-konyong2 terdengar Kwe Ceng membentak. Berbareng ini ia meloncat cepat ke kiri.
Oleh karena tidak men-duga2 akan kejadian itu, ketika imam2 itu mendadak lihat Kwe Ceng meloncat ke atas, terpaksa mereka harus ikut melompat ke-atas juga. Dan aneh, entah mengapa ketujuh pedang yang mereka pegang itu semuanya tidak bisa mereka pertahankan lagi, seluruhnya telah terlepas dari cekalan, seperti tujuh ular perak saja ketujuh pedang itu menyamber ke dalam hutan yang berjarak belasan tombak jauhnya.
Dalam pada itu mendadak pula Kwe Ceng berdiri tegak, dengan ketawa kemudian ia berpaling.
Sebaliknya wajah ke tujuh imam itu menjadi pucat seperti mayat, mereka berdiri terpaku di tempatnya, hanya masing masing tetap menduduki tempat barisannya, barisan mereka sama sekali belum menjadi kacau. Melihat keadaan ini diam2 Kwe Ceng memuji juga atas kegigihan imam2 itu.
Sementara imam Thian-koat tadi tiba2 bersuit sekali, menyusul ini semuanya lantas mundur ke belakang batu2 cadas dan menghilang.
“Ko-ji, marilah kita naik gunung sekarang,” teriak Kwe Ceng.
Tapi meski sudah dua kali ia memanggil, belum juga ada sahutan dari Yo Ko, waktu ia coba mencari namun bayangan Yo Ko sudah tak tertampak lagi, yang dia ketemukan hanya sebuah sepatu kecil yang ketinggalan di semak2 di belakang pohon sana.
Tentu saja Kwe Ceng terkejut, ia mengerti ke-Tho-hoa-to, meski setiap hari ia tetap berlatih diri lain yang mengira di samping dan telah menculik si Yo Ko. Tetap bila ia pikir para imam tadi hanya salah paham saja terhadap dirinya, pula Coan-cing-kau selamanya suka bantu yang lemah dan berantas kejahatan, tidak nanti satu anak kecil dibikin susah oleh mereka, maka ia tidak menjadi kuatir lagi.
Dengan kumpulkan tenaganya, segera ia berlari cepat mendaki keatas.
Sudah ada belasan tahun Kwe Ceng tirakat di Thoa-hoa-to, meski setiap hari ia tetap berlatih diri, namun sudah sekian lamanya belum pernah ia bergebrak dengan orang, karena itu kadang2 terasa kesepian olehnya, kini kebetulan bisa bergebrak seru dengan para imam tadi, maka diam2 ia merasa cukup puas.
Sementara di jalannan pegunungan semakin sulit ditempuh, tak antara lama, bahkan awan hitam menutup raut sang dewi malam, mendadak udara-pegunungan cerah menjadi gelap guIita, Karena keadaan ini, Kwe Ceng menjadi ragu2, ia pikir: “Tempat ini aku belum apal, jangan2 para To-heng itu main tipu muslihat, betapapun aku harus waspada.”
Karenanya ia lantas lambatkan langkahnya, ia jalan pelahan saja. sesudah maju lagi, tiba2 awan hitam tadi terpencar di tiup angit, rembulan memancarkan sinarnya dengan terang benderang, ia dengar di balik gunung sana sayup2 ada suara napas orang yang hampir ratusan banyaknya, meski suara napas itu sangat pelahan, namun karena jumlah orangnya banyak, maka Kwe Ceng dapat mengetahuinya. Tetapi ia tidak menjadi gentar, sesudah kencangkan ikat pinggangnya, segera ia melanjutkan perjalanan pula, setelah melintasi satu lereng gunung, tiba-tiba ia menjadi kaget.
Kiranya di depannya terdapat satu lapangan yang sangat luas dengan sekelilingnya dikitari gunung2, keadaannya sangat angker dan bagus sekali, Di bawah gunung yang terdapat lapangan luas itu terdapat pula satu kolam besar, karena sorotan sinar bulan, maka air kolam menjadi berkelap-kelip kemilauan.
Di depan kolam besar kelihatan ratusan imam yang berdiri terpencar, para imam ini semuanya memakai kopiah kuning dan jubah kelabu, tangan menghunus pedang, sinar pedang yang gemerdepan menyilaukan mata.
Ketika Kwe Ceng mengawasi kiranya para imam itu tiap2 tujuh orang tergabung menjadi satu kelompok hingga seluruhnya ada empat belas barisan bintang Thian-keng-pak-tau-tin. Tiap2 tujuh Pak-tau-tin kecil ini terbentuk pula menjadi satu Pak-tau-tin yang besar, sungguh hebat sekali keadaan barisan bintang raksasa ini, karena itu diam2 Kwe Ceng berkuwatir.
Dalam pada itu tiba2 terdengar satu imam dalam barisan raksasa itu bersuit, habis ini di 98 imam itu dengan cepat terpencar, ada yang di depan ada yang di belakang, sekaligus berubahlah barisan bintang mereka, segera Kwe Ceng terkurung di-tengah2. Tiap-tiap imam itu siap sedia dengan pedang terhunus, mereka memandang dengan mata tak berkedip dan semuanya bungkam.
“Dengan hati tulus Cayhe mohon bertemu Khu-cin-jin, maka harap para To-heng jangan merintangi,” segera Kwe Ceng menyapa dengan memberi hormat kepada para imam itu.
“llmu kepandaianmu cukup hebat, kenapa kau tidak tahu harga diri dan mau berkomplot dengan kaum siluman ? Hendaklah kau lekas insaf bahwa selamanya wanita suka menyesatkan orang, sayang kalau puluhan tahun latihan kepandaianmu hanya dibuang dalam sekejap saja !” demikian imam berjenggot panjang dalam barisan itu menjawab Nada suaranya rendah, tetapi setiap, kata diucapkannya dengan jelas, suatu tanda tenaga dalamnya sudah kuat sekali, lagu kata2nya juga sungguh2 nyata ia menasihati orang dengan setulus hati.
Sudah tentu Kwe Ceng merasa geli dan mendongkol pikirnya dalam hati: “Para imam hidung kerbau ini entah anggap aku ini manusia macam apa? Coba kalau Yong-ji berada didampingku, pasti tidak akan terjadi kesalahan paham seperti sekarang ini.”
Oleh karena itu, dia lantas menyahut: “Siluman apa dan wanita apa yang kau maksudkan ? Sungguh Cayhe sama sekali tidak tahu-menahu, jika Cayhe bertemu dulu dengan Khu-cinjin, tentu segalanya akan menjadi terang”
“Kau bisa ketemu beliau jika mampu boboIkan Pak-tau-tin dari Coan-cin-kau kami ini,” kata imam berjenggot pandang tadi.
“Cayhe hanya seorang diri, pula ilmu kepandaianku terlalu rendah, mana berani melawan ilmu mujijat kalian ? Harap saja anak yang aku bawa itu dibebaskan dan silakan memberi kesempatan padaku buat menemui Khu-cin-jin,” sahut Kwe Ceng.
“Hm, kau masih coba berlagak dan putar lidah? Di depan Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san ini mana boleh kau maling cabul ini berbuat tidak se-mena2?” mendadak imam jenggot panjang membentak. Habis ini pedangnya memutar ke atas dengan membawa samberan angin yang santar hingga menerbitkan suara ngaungan yang bergema.
Karena inilah imam yang lain serentak gerakan senjata mereka juga, sekaligus 98 batang pedang berputar kian kemari hingga menerbitkan angin yang keras, sinar pedang yang berpantulan tersusun seperti satu jaringan sinar perak
Diam2 Kwe Ceng mengeluh oleh susunan barisan bintang2 ini, ia pikir dengan seorang diri mana mungkin bisa menandingi lawan yang begitu banyak?
Dalam pada itu sebelum dia bisa ambil sesuatu keputusan, ke-96 imam itu sudah lantas merubung maju dri kedua belah, sinar pedang mereka menyamber rapat hingga boleh dikatakan lalat saja sukar menerobos.
“Hayo, senjata apa yang kau pakai, lekas kau keluarkan!” terdengar si imam jenggot panjang membentak.
“Rupanya barisan Pak-tau-tin mereka tidak gampang dipecahkan, tetapi kalau hendak mencelakai aku, rasanya mereka juga tidak mampu, Biarlah aku melihat cara bagaimana permainan barisan mereka ini,” demikian Kwe Ceng membatin.
Maka dengan se-konyong2 ia memutar pergi, ia lari menduduki tempat di ujung barat-daya, berbareng ia keluarkan tipu pukulan “ciam-liong-bat-yong” atau naga selulup jangan digunakan, satu tipu pukulan yang lihay dari ilmu pukulan “Hang-liong-sip-pat-ciang” (ilmu pukulan penakluk naga)” yang meliputi delapan belas jurus. Sekali tangannya diulur lalu ditarik pula terus mendadak didorong lagi ke samping.
Karena serangan ini, ketujuh imam muda yang menjaga barisan ujung barat-daya itu lekas2 pindahkan pedang mereka ke tangan kiri, lalu sambil bergandengan tangan mereka ulur telapak tangan kanan untuk menyambut pukulan Kwe Ceng tadi.
Tak tahunya ilmu pukulan ini sudah dilatih Kwe Ceng sedemikian rupa sehingga di atas puncaknya kesempurnaan, tenaga dorongannya tadi luar biasa kerasnya, yang paling lihay justru terletak pada tenaga tarikan kembalinya tadi. Oleh karena itu, sepenuh tenaga ketujuh imam itu menahan dorongannya, diluar dugaan menyusul satu kekuatan yang maha besar malah menarik lagi ke depan, keruan ketujuh imam muda ini tak bisa tancap kaki lebih kuat lagi, tanpa kuasa mereka terbanting jatuh, Meski segera mereka bisa melompat bangun, namun tidak urung muka mereka sudah kotor penuh debu hingga mereka merasa malu.
Nampak betapa lihaynya Kwe Ceng, sekali turun tangan tujuh anak muridnya kena dibanting roboh, tentu saja imam jenggot panjang tadi sangat terkejut, segera ia bersuit panjang, ia geraki ke-14 Pak-tau-tin mereka dan bergandeng menjadi satu secara ber-deret2.
Dalam keadaan demikian, sekalipun berlipat ganda pula tenaga pukulan Kwe Ceng juga tidak mungkin sanggup mendorong ke-98 imam yang banyak ini. Maka ia tak berani menyerang secara keras lawan keras lagi, segera ia keluarkan Gin-kang atau ilmu entengi tubuh, ia menerobos ke sana kemari diantara barisan orang, ia pikir mencari lubang dahulu untuk kemudian baru turun tangan mematahkan barisan lawan.
Sesudah lari sini dan lompat sana, ia sengaja pancing barisan musuh supaya berubah tempat, namun segera ia tahu kalau hanya kekuatan seorang diri saja sungguh sulit untuk mematahkan barisan bintang2 ini, sementara itu makin lama barisan itu semakin ciut garis kepungan mereka, Kwe Ceng merasa hendak berkelit atau hindarkan diri makin lamapun semakin sulit.
Karenanya diam2 Kwe Ceng berusaha cara bagaimana untuk menerjang keluar kepungan musuh Ketika mendadak ia mendongak, ia lihat jauh di Iamping gunung sebelah kanan sana berdiri satu kuil yang sangat megah, ia taksir tentu itulah Tiong-yang-kiong, ia lihat kira2 belasan li jauhnya kuil itu, ia memperhitungkan suara teriakannya masih bisa mencapai istana itu, maka diam2 ia kumpulkan seluruh tenaga dalamnya, sesudah siap, mendadak ia berseru keras: “Tecu (anak murid) Kwe Ceng mohon bertemu! Tecu Kwe Ceng mohon bertemu !”
Begitu keras suara teriakan hingga seperti bunyi guntur di siang hari sampai kuping para imam itu terasa pekak, bahkan tergetar sampai kepala pusing dan mata kabur, seketika daya serangan mereka menjadi kendor.
“Awas, jangan sampai kena dikibuli maling cabul ini,” lekas2 jenggot panjang tadi memberi semangat pada kawan-kawannya.
Kwe Ceng menjadi gusar mendengar orang berulang kali memaki dirinya, ia pikir : “Barisan bintang2 ini berada dibawah pimpinannya, asal aku hantam roboh orang ini, ular tanpa kepala, tentu barisan ini tidak sulit lagi untuk dihancurkan.” - Karena itu, segera ia buka serangan lagi, ia selalu incar si-imam jenggot panjang.
Di luar dugaannya, keistimewaan barisan bin-tang2 ini justru adalah memancing musuh untuk menggempur pucuk pimpinannya, dengan demikian barisan2 dalam kelompok kecil lainnya segera mengepung dari kedua sayap, kalau terjadi begini berarti musuh sudah terjebak ke dalam jaring2 mereka.
Syukur Kwe Ceng bukan sembarang orang, baru beberapa langkah ia menguber imam jenggot panjang itu, segera ia merasa gelagat tidak menguntungkan, tiba2 ia merasakan daya tekanan dari belakang bertambah hebat, begitu pula dari kedua sayap mengerubut maju secara ber-bondong2. Satu kali ia hendak belok ke kanan, tetapi dua barisan kecil dari depan telah menyerang berbareng dengan 14 pedang.
Tempat yang diarah ke 14 pedang para imam ini ternyata tepat dan bagus hingga Kwe Ceng hendak berkelit tak bisa, hendak mengegos pun tak sempat.
Namun begitu menghadapi bahaya demikian ini, dalam hati Kwe Ceng bukannya menjadi takut, sebaliknya hawa amarahnya semakin memuncak, pikirnya dalam hati: “Sekalipun kalian dakwa aku sebagai maling cabul segala, tapi sebagai orang beragama seharusnya berwelas-asih, kenapa tiap2 seranganmu begini keji? Apa memang sengaja hendak melenyapkan jiwaku ?”
Mendadak ia meloncat ke samping, berbareng sebelah kaki melayang, sekali tendang ia bikin satu imam muda terpental, sedang tangan kiri di-ulur pula buat merebut pedang orang, dengan senjata rampasan ini ia tangkis tujuh pedang yang sementara itu telah menyerang lagi dari sebelah kanan, Maka terdengarlah suara nyaring beradunya senjata, tahu2 ketujuh pedang musuh sudah ter-kutung semua, sebaliknya pedang yang Kwe Ceng pegang masih baik2 saja tanpa rusak.
Hendaklah diketahui bahwa pedang yang dirampas Kwe Ceng itu tiada bedanya dengan pedang para imam yang terkutung itu dan bukannya lebih tajam, soalnya karena tenaga dalamnya sengaja dia salurkan ke ujung pedangnya dan sekali gus bikin tujuh pedang musuh tergetar putus.
Mungkin saking kaget oleh ketangkasan Kwe Ceng ini hingga muka ketujuh imam tadi jadi pucat dan mulut temganga.
Nampak barisan kawannya bobol, lekas2 dari samping dua barisan kecil merubung maju untuk melindungi barisan yang duluan, Diam2 Kwe Ceng ingin men-coba2 lagi kekuatannya sendiri demi nampak 14 imam kedua kelompok barisan pendatang ini tangan bergandeng tangan, tenaga 14 orang telah tergabung menjadi satu. Maka sengaja ia ajun pedang rampasannya, sekali tempel, senjata ke -14 imam itu segera melengket dengan pedang Kwe Ceng ini.
“Awas !” tiba2 Kwe Ceng berseru, berbareng tangannya sedikit diangkat, maka terdengar suara “krak” yang riuh, ternyata ada duabelas batang pedang para imam itu yang patah. Masih dua batang lagi telah mencelat terbang ke udara.
Tentu saja luar biasa terperanjatnya imam2 itu, lekas2 mereka melompat mundur.
Walaupun sekaligus senjata para imam itu kena dipatahkan dan dilempar pergi, namun Kwe Ceng tidak merasa puas seluruhnya, pikirnya: “Nyata kepandaianku masih belum sampai pada tingkatan yang paling tinggi, maka dua pedang tadi masih belum bisa kubikin patah sekalian.”
Dalam pada itu, para imam sudah bertambah waspada, cara mereka menyerang pun lebih hati2, tetapi semakin kencang pula kepungan mereka, sebaliknya karena belum bisa membikin patah semua pedang tadi, Kwe Ceng merasa barisan musuh dijaga lebih kuat, dalam hati ia menjadi ragu2, ia pikir jangan sampai diriku akhirnya kecundang, urusan jangan sampai terlambat lebih baik turun tangan lebih dulu.
Habis ini dengan sedikit mendak tubuh, mendadak Kwe Ceng meloncat ke sudut timur laut, dengan tindakan ini ia tahu kedua kelompok barisan kecil dari jurusan barat-daya pasti akan putar maju, namun ia sudah siap, meski hanya sebatang pedang yang dia pegang, tapi dalam sekejap saja ia sudah menusuk empatbelas kali, 14 titik putih gemerdep menyamber berbareng, tiap2 tusukannya tepat mengenai “yang-kok-hiat” di pergelangan tangan ke - 14 imam itu.
Meski cara menggeraki tangan Kwe Ceng tidak keras, tetapi para imam itu sudah rasakan tangan mereka tak bertenaga lagi, ke 14 pedang merekapun terjatuh ke tanah.
Luar biasa kejut para imam itu, dengan ter-sipu2 mereka melompat mundur, dan ketika pergelangan tangan mereka periksa, nyata “Yong-kok-hiat” yang kena ditutul tadi sedikit tanda merah, tetapi setetes darahpun tidak mengucur keluar, Sungguh hebat serangan Kwe Ceng ini, dia gunakan ujung pedang yang tajam itu untuk menusuk Hiat-to, tetapi sedikitpun tidak bikin lecet kulit daging, sungguh suatu kepandaian yang luar biasa.
Keruan para imam itu terperanjat, dalam hati mereka bisa membayangkan juga apabila Kwe Ceng mau tabas putus tangan mereka tadi sebenarnya bukan urusan sulit.
Kini sudah ada 5 kali 7 atau 35 pedang yang telah terlepas dari cekalan.
Imam yang berjenggot panjang tadi semakin gusar, ia tahu juga Kwe Ceng masih belum keluarkan seluruh kepandaiannya, tetapi untuk menjaga pamor Coan-cin-kau tidak merosot, berulang kali ia memberi perintah lagi, ia persempit pula lingkaran barisannya, ia pikir dengan kepungan 98 imam, secara desak-mendesak saja akan gencet mampus lawannya.
Sebaliknya hati Kwe Ceng menjadi gemas juga, batinnya : “Para To-heng ini sungguh tidak kenal baik dan jelek, agaknya terpaksa aku harus hajar mereka supaya kapok.”
Tanpa ayal lagi segera ia mulai buka serangan baru, dengan Ginkang yang lihay ia menyusur kesana dan memutar kemari, hanya sekejap saja barisan bintang para imam itu sudah tampak rada kacau.
Melihat gelagat jelek, lekas2 imam jenggot panjang tadi memberi perintah agar kambrat2nya berlaku tenang dan tetap jaga rapat kedudukan barisan mereka, ia insyaf apabila sampai ikut Kwe Ceng berlari, maka akhirnya barisan mereka pasti akan kocar-kacir dipatahkan. Tetapi demi mereka berdiri tenang tak bergerak, Kwe Ceng sendiri jadi gagal usahanya.
“To-heng ini (maksudnya imam jenggot panjang) sangat paham akan rahasia barisannya, nyata dengan cepat ia bisa ambil tindakan,” demikian diam2 Kwe Ceng membatin. “Biarlah aku berteriak beberapa kali lagi, coba ada suara sahutan dari Khu-totiang atau tidak”
Selagi ia mendongak hendak buka mulut, sekilas tertampak olehnya pada pojok kuil yang megah di atas gunung sana lapat2 ada berkelebatnya sinar putih, agaknya seperti ada orang sedang bertempur dengan senjata tajam, hanya sayang karena jaraknya terlalu jauh, maka gerak tubuh orangnya tidak jelas, lebih2 suara beradunya senjata tidak bisa kedengaran.
Hati Kwe Ceng tergerak “Siapakah yang bernyali begitu besar, berani dia ngacau ke Tiong-yang-kiong ? Rupanya kejadian malam ini ada sesuatu yang mencurigakan”
Karena itu, ia ingin lekas memburu ke kuil di atas gunung untuk melihat apa yang terjadi, cuma para imam masih terus merintanginya dengan mati-matian.
Akhirnya Kwe Ceng menjadi tak sabar, tiba2 tangan kirinya memukul dengan gerak tipu “kian-liong-cay-thian” (melihat naga di sawah), sedang tangan kanan dengan tipu pukulan “kong-liong-yu-hwe” (naga pembawa sial), sekali serang ia keluarkan ilmu kepandaiannya hantam kanan-kiri dengan kedua tangannya.
Karena serangan kanan-kiri ini, maka barisan bintang raksasa itu terpaksa membagi 49 orang buat menahan serangan dari kiri dan 49 orang lainnya menahan hantaman dari sebelah kanan.
Diluar dugaan, belum penuh gerak serangan Kwe Ceng tadi dilontarkan, ditengah jalan tiba2 berubah, gerak tipu “kian-liong-tjay-thian” mendadak berubah menjadi “kong-liong-yu-hwe” dan sekaligus Kwe Ceng gerakkan kedua tangan dengan tipu pukulan Kian-liong-cay-dian dan Kong-liong-yu-hwe kekanan dan kiri lalu diputar balik secara berlawanan sebaliknya.
Sebenarnya ilmu pukulan, dari kanan-kiri, kedua tangan sekaligus mengeluarkan tipu serangan yang berlainan, bahkan ditengah jalan tipu serangan itu bisa berubah, sungguh orang tidak pernah dengar atau menyaksikannya (dari mana Kwe Ceng memperoleh ajaran ilmu pukulan kanan-kiri dengan serangan yang berlainan, pada kesempatan lain akan diceritakan tersendiri).
Padahal barisan Pak-tau-tin besar sebelah kiri sedang keluarkan tenaga buat menahan tipu “kian-liong-cay-thian” dan barisan sebelah kanan menangkis tipu “kong-liong-yu-hwe”, karena perubahan yang terbalik ini, maka tertampaklah bayangan Kwe Ceng berkelebat, tahu2 dia telah meloncat keluar dari celah2 himpitan kedua barisan besar itu, sebaliknya masing2 pihak dari ke-49 imam itu karena tidak pernah menyangka akan tindakan lawan itu, keruan lantas terdengar suara gedebukan yang ramai, kedua barisan itu telah saling tumbuk dan saling seruduk, banyak pedang yang patah dan tangan terluka, ada pula yang muka babak belur dan hidung mancur, beberapa puluh orang telah menderita luka semua.
Imam berjenggot panjang tadi meski sempat hindarkan diri lebih cepat, namun tidak urung ia ikut kelabakan juga, saking gemasnya, segera ia kerahkan seluruh barisannya terus mengudak pula. Tetapi karena amarahnya ini justru telah melanggar pantangan ilmu silat dari golongan Coan-cin-kau yang mengutamakan ketenangan sementara itu Kwe Ceng berlari cepat di depan dan dari belakang ke-98 imam itu mengudak dengan kencang.
Tatkala sampai ditepi sebuah kolam besar, Kwe Ceng lihat di depan hanya air belaka, namun ia tidak kurang akal, mendadak ia lemparkan pedang rampasannya lurus kepermukaan air.
Meski pedang ini terbuat dari baja, namun kekuatan yang Kwe Ceng gunakan begitu tepat, maka batang pedang ini me-loncat2 terapung di atas air beberapa kali Kesempatan inilah digunakan Kwe Ceng dengan baik, ia melayang ke tengah kolam, dengan kaki kanan ia tutul pelahan di atas batang pedang, Pada saat pedang itu tenggelam kedalam kolam, namun Kwe Ceng sudah pinjam tenaga tutulan tadi untuk melompat sampai di seberang.
Sebaliknya para imam itu yang sial, mereka sedang mengudak dengan kencangnya dan tak keburu mengerem lagi, maka terdengarlah suara “plang-plung” yang ramai beberapa puluh kali, nyata ada 40-50 orang yang telah kecemplung ke dalam kolam. Sedang beberapa puluh yang di belakang menginjak punggung imam2 yang depan, karena inilah mereka bisa berhenti ditepi kolam.
Sedang imam2 yang kecemplung tadi karena tak bisa berenang, banyak yang megap2 dan ber-teriak-teriak minta tolong, cepat imam2 lainnya yang bisa berenang memberi pertolongan dan dengan sendirinya tidak sempat buat menguber Kwe Ceng lagi.
Diwaktu para imam ini tunggang langgang, tiba2 Kwe Ceng dengar suara genta yang ditabuh keras berkumandang dari Tiong-yang-kiong, itu istana kaum Coan-cin-kau. Suara genta itu dibunyikan secara titir, keras dan kerap, agaknya seperti tanda bahaya.
Waktu itu Kwe Ceng baru lepaskan diri dari rintangan para imam dan lagi berlari menuju Tiong-yang-kiong secepatnya, ketika ia dengar suara genta rada aneh, ia telah merandek dan mendongak maka terlihatlah olehnya di belakang kuil suci itu ada sinar api yang ber-kobar2 menjulang tinggi.
Tentu saja Kwe Ceng kaget, pikirnya : “Kiranya hari ini memang benar ada orang hendak gempur Coan-cin-kau, aku harus lekas pergi menolongnya.” Dalam pada itu ia dengar suara teriakan para imam tadi telah menyusul dari belakang lagi.
Kini Kwe Ceng baru mengerti tentunya imam2 ini telah salah sangka dirinya adalah musuhnya, kuil mereka sedang terancam bahaya, sudah tentu mereka lebih kalap dan hendak adu jiwa dengan dirinya, Namun iapun tidak urus mereka lagi melainkan dengan cepat ia lari terus ke atas.
Dengan Ginkang atau ilmu entengi tubuh yang Kwe Ceng dapat belajar juga dari Coan-cin-kau, yakni ajaran Ma Giok, maka tidak sampai waktu satu tanakan nasi ia sudah tiba sampai di depan Tiong-yang-kiong, ia lihat api sudah berkobar dan menjalar hebat, Tetapi aneh, ratusan To-su atau imam dari Coan-cin-kau yang masing2 memiliki ilmu silat tinggi itu ternyata tiada satu-pun yang keluar buat memadamkan api.
Diam2 Kwe Ceng merasa kuatir. Waktu ia mengamati lagi, kiranya api menjalar dari bagian belakang istana yang megah itu terbukti bagian depannya masih utuh.
Cepat ia melintasi pagar tembok yang tinggi itu dan melompat masuk pelataran depan kuil itu, maka terlihatlah olehnya dipendopo sana sudah ber-jubel2 orang yang lagi saling hantam dengan mati-matian.
Waktu Kwe Ceng menegasi pula, ia lihat ada 49 orang imam berjubah kuning yang tersusun menjadi tujuh barisan Pak-tau-tin sedang menandingi serangan 60 atau 70 orang musuh. Para musuh pendatang itu ada yang tinggi ada yang pendek, gemuk atau kurus, seketikapun tak dapat dilihat dengan terang.
Hanya kepandaian silat dan golongan para pendatang ini masing2 berlainan, ada yang memakai senjata dan ada yang menggunakan tangan kosong, mereka terus merangsak dengan penuh tenaga.
Sebenarnya tidak lemah ilmu silat para penyerang ini pula jumlahnya lebih banyak, maka para imam Coan-cin-kau sudah mulai terdesak di bawah angin, cuma lawan mereka menyerang dan menghantam secara perseorangan, sebaliknya ke-tujuh barisan bintang para imam itu bisa bahu-membahu dan bantu membantu, mereka menjaga diri dengan sangat rapat, Meski para musuh sangat lihay tak mampu mendesak para imam itu barang selangkahpun.
Melihat pertarungan besar2an ini, Kwe Ceng menjadi heran, Selagi ia hendak membentak dan tanya, tiba2 ia dengar di dalam istana kuil itu ada suara samberan angin yang men-deru2, ternyata di dalam sana masih ada rombongan lain lagi yang sedang bertempur.
Dari angin pukulan yang kedengaran itu, agaknya orang yang bergebrak di dalam istana itu ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada para penyerang yang berada di luar.
Lekas2 Kwe Ceng memburu maju, ia mengegos dan menerobos masuk, ia berkelit ke kiri terus menyusup ke kanan, tahu2 ia sudah menyelip masuk melalui Pak-tau-tin para imam, Tentu saja imam2 Coan-cin-kau sangat kaget, berbareng mereka saling memperingatkan kawannya, tapi karena musuh dari luar terlalu hebat tekanannya, maka mereka tidak sanggup membagi sebagian untuk mengudak Kwe Ceng.
Di dalam istana itu sebenarnya terang benderang oleh belasan lilin yang besar, tatkala itu api yang berkobar dari ruangan belakang sudah menjalar ke depan, dari pancaran sinar api yang berkobar itu bercampurkan asap tebal yang menghembus terbawa angin, sinar lilin di dalam ruangan hanya kelihatan remang2 saja.
Sementara Kwe Ceng lihat di dalam istana itu ber-deret2 tujuh imam duduk sila di atas ka-suran yang bundar, telapak tangan kiri mereka saling tempel, hanya tangan kanan mereka yang dikeluarkan untuk menahan kepungan belasan orang musuh.
Begitu datang Kwe Ceng tidak periksa pihak musuh melainkan terus pandang dulu pada ketujuh imam Coan-cin-kau, ia lihat di antara tujuh orang itu yang tiga sudah berumur dan yang empat masih muda, yang tua itu masing2 ialah Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, sedang empat imam yang muda hanya seorang saja yang dia kenal, yakni In Ci-peng, murid Khu Ju-ki.
Ketujuh imam inipun memasang jaring2 barisan Pak-tau-tin, mereka berduduk saja tanpa bergerak Diantara tujuh imam ini ada satu di antaranya yang kepalanya menunduk dan sedikit membungkuk hingga mukanya tidak tertam-pak jelas.
Demi nampak Ma Giok bertujuh berada dalam keadaan terancam, seketika darah Kwe Ceng jadi panas, iapun tidak peduli lagi siapa dan darimana adanya musuh itu, dengan sekali bentakan yang menggeledek segera ia mendamperat : “Kawanan bangsat yang kurangajar, berani kalian main gila ke Tiong-yang-kiong sini ?”
Berbareng itu kedua tangan mengulur, sekaligus ia dapat mencengkeram punggung dua orang musuh, selagi ia bermaksud membanting sasaran pertama ini, tak terduga kedua orang ini ternyata tergolong jagoan tinggi, walaupun punggung mereka kena dijamberet, namun kedua kaki mereka ternyata masih terpaku di lantai dan tidak kena dibanting.
Tentu saja Kwe Ceng terkejut, pikirannya: “Darimanakah mendadak bisa datang lawan keras begini banyak ? Pantas kalau Coan-cin-kau hari ini harus menderita kekalahan.”
Sambil berpikir iapun sembari kerjakan serangan lain, mendadak ia kendurkan jamberetan-nya tadi, menyusul kakinya lantas melayang, ia serampang kaki kedua orang lawannya.
Pada waktu itu kedua lawannya sedang mengeluarkan kepandaian “Cian-kin-tui” atau tindihan seberat ribuan kati, yakni semacam ilmu yang bikin tubuhnya menjadi berat untuk melawan tarikan pwe Ceng tadi, sama sekali tidak mereka duga bahwa Kwe Ceng bisa ubah serangannya secepat itu.
Tanpa ampun lagi mereka kena diserampang hingga tubuh mereka mencelat keluar pintu.
Tentu saja pihak penyerang itu terkejut tatkala mengetahui pihak lawan kedatangan bala bantuan, Akan tetapi karena mereka yakin pasti akan dipihak pemenang, maka datangnya Kwe Ceng tidak mereka perhatikan, hanya ada dua orang yang segera maju dan membentak “Siapa kau ?”
Namun Kwe Ceng tidak menggubris, tanpa berkata ia sambut kedua orang ini dengan gablokan kedua telapak tangannya secara susul-menyusul.
Sungguh tidak pernah diduga kedua orang itu, belum mereka mendekat atau mendadak tenaga pukulan Kwe Ceng sudah bikin tergetar mereka hingga tak bisa berdiri tegak, tanpa ampun lagi dupiali suara “bluk” terdengar, punggung mereka tertumpuk pada dinding tembok dengan keras hingga darah segar muncrat keluar dari mulut mereka.
Nampak empat kawan mereka roboh beruntun-runtun, keruan para musuh yang lain menjadi jeri, seketika tiada lagi yang berani maju buat mencegat.
Di lain pihak Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it segera mengenali Kwe Ceng dalam hati mereka menjadi girang luar biasa, “Orang ini datang, Coan-cin-kau kami tidak perlu kuatir lagi!” demikian kata mereka dalam hati.
Sementara Kwe Ceng sama sekali tidak pandang sebelah mata pada para musuh itu, bahkan ia lantas berlutut ke hadapan Ma Giok buat memberi hormat tanpa gubris musuh2 yang lain. “Tecu Kwe Ceng memberi hormati” demikian ia berkata.
Tatkala itu rambut alis Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it sudah putih karena usia mereka yang sudah menanjak, mereka hanya memanggut sambil bersenyum dan angkat tangan buat balas hormat.
“Awas, Kwe-heng!” tiba2 In Ci-peng berseru memperingatkan Kwe Ceng.
Dalam pada itu, Kwe Ceng sudah merasa di belakang kepalanya ada mendesisnya angin, ia tahu ada musuh melakukan pembokongan, tetapi iapun tidak menoleh atau berpaling, dengan tangan menahan di lantai, tubuhnya lantas terangkat ke atas dan diwaktu turunnya, kedua lututnya dengan tepat menindih di atas punggung kedua pembokong ini Dengan demikian Kwe Ceng masih tetap berlutut, hanya di bawah lututnya telah bertambah dengan dua orang pengganjel.
Kiranya dengan secara tepat dan hebat sekali Kwe Ceng telah gunakan lututnya untuk menumbuk jalan darah penyerang gelap tadi, keruan dengan lemas kedua orang itu terkulai ke lantai dan dipakai sebagai kasur pengganjel Kwe Ceng.
Ma Giok tersenyum melihat kejadian ini, katanya: “Bangunlah, Ceng-ji, belasan tahun tak berjumpa, rupanya kepandaianmu sudah jauh lebih maju!”
“Cara bagaimana harus selesaikan beberapa orang ini, harap Totiang memberi petunjuk,” kata Kwe Ceng sambil berdiri.
Tetapi sebelum Ma Giok menjawab, tiba2 Kwe Ceng mendengar di belakangnya ada dua orang secara berbareng bersuara tertawa “haha”, suara tertawaan ini sangat aneh sekali, kalau yang satu tajam menusuk telinga, adalah yang lain sebaliknya nyaring menarik. Cepat Kwe Ceng menoleh, maka tertampaklah olehnya di belakangnya sudah berdiri dua orang.
Kedua orang ini yang satu adalah paderi Tibet yang berjubah merah, kepalanya memakai kopiah berlapis emas, wajahnya kurus, Sedang yang satu lagi memakai baju kuning, tangan mencekal sebuah kipas lempit, angkuh dan tampan, nyata sekali seorang putera bangsawan.
Kedua orang ini berdiri dengan sikap yang tenang dan tidak banyak bicara, terang sekali mereka adalah dua musuh tangguh, sama sekali berbeda dengan para musuh yang lain. Oleh karenanya Kwe Ceng tak berani pandang enteng kedua musuh yang lain.
Oleh karenanya Kwe Ceng tak berani pandang enteng kedua musuh ini, dengan membungkuk badan ia lantas memberi hormat dahulu.
“Siapakah kalian berdua? Ada keperluan apakah datang ke sini?” demikian ia menegur.
“Dan kau sendiri siapa? Untuk apa kau datang kemari ?” dengan tertawa putera bangsawan tadi balas bertanya.
“Tayhe (aku yang rendah) she Kwe bernama Ceng, adalah murid beberapa guru yang berada di sini ini,” sahut Kwe Ceng tetap dengan ramah.
“Sungguh tidak nyana dalam Coan-cin-kau ternyata masih ada tokoh seperti kau ini,” ujar si putera bangsawan itu dengan tertawa.
Meski umur putera bangsawan itu belum ada tiga puluhan, namun cara mengucapkan kata2nya ternyata berlagak seperti orang tua saja, seperti tidak pandang sebelah mata pada Kwe Ceng.
Sebenarnya Kwe Ceng hendak terangkan bahwa dirinya bukan anak murid Coan-cin-kau, tetapi karena kata2 orang yang pandang rendah padanya, mau-tak-mau rada panas juga hatinya.
Memangnya iapun tidak pandai bicara, maka ia tidak ingin banyak pmong, ia hanya menjawab singkat saja: “Kalian berdua ada permusuhan apakah dengan Coan-cin-kau ? (Mengapa perlu mengerahkan kekuatan begini banyak dan kobarkan api membakar kuil ini ?”
“Siapakah kau ini ? Berdasarkan apa kau berani jikut campur urusan ?” sahut Kui-kong-cu (putera bangsawan) itu dengan ketawa.
“Aku justru ingin ikut campur tahu,” sahut Kwe Ceng ketus.
Dalam pada itu berkobarnya api semakin hebat dari telah menjalar lebih dekat lagi, tampaknya tidak lama lagi kuil Tiong-yang-kiong itu pasti akan terbakar menjadi tumpukan puing.
Tiba2 putera bangsawan itu geraki kipas lempitnya, dikembangkan terus ditutup lagi, maka sekilas tertampaklah pada kertas kipasnya yang putih itu terlukis setangkai bunga Bo-tan yang indah.
“Kawan2 ini aku yang bawa kemari,” kemudian ia berkata dengan ketawa sambil melangkah maju, “asal kau mampu menerima tiga puluh gebrakan dari aku, segera aku mengampuni kawanan imam hidung kerbau ini!”
Mendengar kata2 orang yang sombong ini, Kwe Ceng pun sungkan bicara lebih banyak lagi, tiba2 ia ulur tangan kanannya, sekali bergerak ia pegang kipas lempit orang terus ditarik dengan keras.
Dengan tarikan ini, kalau putera bangsawan itu tidak melepaskan kipasnya, maka seluruh tubuhnya pasti akan ikut terseret.
Diluar dugaan, begitu Kwe Ceng membetot badan Kui-kong-tju itu hanya sempoyongan sedikit saja, sedang kipasnya masih belum terlepas dari cekalannya.
Tentu saja Kwe Ceng terkejut, pikirnya: “Orang ini masih begini muda, namun sudah sanggup menahan tenaga tarikanku tadi, di jagat ini ternyata masih ada orang pandai seperti dia, kenapa selamanya aku belum pernah mendengarnya ?”
Oleh karena pikiran itu, segera pula ia tambah tenaga tarikannya terus menjambret lagi sambil membentak : “Lepas !”
Se-konyong2 muka putera bangsawan itu bersemu guram, tetapi hanya sekilas saja lantas lenyap lagi, mukanya kembali sudah putih bersih pula. Kwe Ceng mengerti orang lagi menahan tenaga tarikannya dengan Lwekang yang tinggi, jika pada saat ini juga ia tambahi tenaga tarikan-nya, asal muka orang tiga kali mengunjuk semu guram, maka dapat dipastikan jerohannya (isi perut) akan terluka parah.
Akan tetapi hati Kwe Ceng memang berbudi, ia pikir orang ini bisa berlatih diri sampai tingkatan sedemikian, sesungguhnya bukan soal gampang, maka ia tidak ingin melukai orang dengan tenaga berat, ia tersenyum dan mendadak lepaskan tangannya.
Meski Kwe Ceng sudah buka tangannya, tapi nyatanya kipas lempit itu masih terletak di telapak tangannya, pula tenaga Kui-kong-cu yang membetot kembali masih tetap besar, namun aneh, tenaga telapak tangan Kwe Ceng ternyata telah dia salurkan dari kipas ke tangan lawan, meski putera bangsawan itu sudah merebut dengan sekuat tenaga, toh tenaga menariknya selalu dipatahkan Kwe Ceng, dengan demikian kedua belah pihak menjadi bertahan, tidak maju dan tidak mundur, sungguhpun putera bangsawan itu sudah mengeluarkan seluruh kemahirannya, tetapi satu sentipun belum sanggup ia tarik kepihaknya. Maka insaflah dia bahwa ilmu silat lawan masih jauh di atasnya, karena ingin memberi muka padanya, maka lawan tidak rebut kipasnya.
Mengingat akan ini, segera ia lepaskan tangannya terus melompat pergi, mukanya menjadi merah malu.
“Mohon tanya she dan nama tuan yang terhormat,” katanya kemudian sambil membungkuk badan.
“Ah, nama Tjayhe tiada harganya disebut, cuma Ma-cinjin, Khu-cinjin dan Ong-cinjin yang berada di sini ini memang semuanya adalah guru Tjayhe yang berbudi,” sahut Kwe Ceng.
Karena jawaban ini, Kui-kong-cu itu setengah percaya setengah sangsi, ia pikir tadi pihaknya sudah gempur Coan-cin-chit-to (tujuh imam Coan-cin-kau) dan yang tertampak lihay hanya barisan bintang Thian-keng-pak-tau-tin mereka, jika bergebrak satu lawan satu, maka tiada satupun Tosu itu mampu menandingi dirinya, kenapa anak muridnya malah bisa begini lihay ?
Dalam sangsinya, kembali ia mengamat-amati Kwe Ceng lagi, sudah tentu yang tertampak olehnya, Kwe Ceng memakai baju dari kain kasar yang tiada bedanya dengan petani biasa saja.
Dan selagi ia hendak buka mulut pula mengucapkan beberapa kata2 halus untuk kemudian membawa begundalnya buat mundur teratur, tiba2 dari luar terdengar suara mengaungnya tabuhan khim (kecapi), suara khim ini sangat lembut tetapi merdu, karena itu setiap orang yang mendengar sama tergetar hatinya.
Mendengar suara tabuhan khim itu, air muka Kui-kong-cu itu kelihatan rada berubah. “llmu silatmu sungguh mengejutkan orang, aku merasa sangat kagum, sepuluh tahun lagi aku akan datang kembali minta petunjuk, karena masih ada urusan lain yang belum selesai, baiklah sekarang juga aku mohon diri,” demikian katanya pada Kwe Ceng. Habis berkata, kembali ia memberi hormat pula,
“Sepuluh tahun kemudian tentu aku tunggu kau disini,” sahut Kwe Ceng membalas hormat orang.
Sementara itu putera bangsawan itu sudah putar tubuh dan jalan keluar, tetapi baru sampai depan pintu, tiba2 ia menoleh dan berkata pula: “Urusanku dengan Coan-cin-kau hari ini aku terima mengaku kalah, hanya kuharap To-yu (kawan dalam agama) dari Coan-cin-kau janganlah ikut campur lagi atas urusan pribadiku.”
Menurutt peraturan Kangouw, kalau seseorang sudah mengaku kalah dan terima menyerah, pula sudah menentukan harinya untuk kemudian adu kepandaian lagi, maka sebelum tiba hari yang dijanjikan meskipun saling pergok lagi di tengah jalan, sekali-kali tidak boleh saling labrak dulu.
Oleh karena itulah, maka Kwe Ceng lantas menjawab : “Ya, sudah tentu.”
Maka tersenyumlah Kui-hong-cu itu, segera ia hendak melangkah pergi pula.
Diluar dugaan, mendadak Khu Ju-ki telah menyentaknya dengan suara keras: “Tidak perlu sampai sepuluh tahun aku Khu Ju-ki pasti pergi mencari kau.”
Mendengar suara bentakan yang kuat hingga anak telinga tergetar se-akan2 pecah, hati putera bangsawan itu menjadi keder, ia ragu2 apa orang tadi belum mengeluarkan seluruh kepandaian untuk melawannya? Karenanya ia tak berani tinggal lebih lama lagi, segera ia bertindak pergi dengan cepat.
Sesudah memandang Kwe Ceng sekejap dengan mata melotot, paderi Tibet itu pun ikut pergi bersama kawan2nya yang lain.
Kwe Ceng lihat kawanan musuh ini berwajah lain dari biasanya, hidung besar dan berewokan, rambut keriting serta mata dekuk, tampaknya seperti bukan orang dari negeri sendiri maka dalam hati ia tidak habis mengerti serta menaruh curiga, sementara ia dengar suara saling adunya senjata dan suara bentakan di ruangan depan sudah mulai berhenti juga, ia tahu tentu musuh sudah mundur pergi
Dalam pada itu ia lihat Ma Giok bertujuh sudah pada berdiri, disamping itu terdapat pula satu orang yang menggeletak terlentang di lantai, waktu Kwe Ceng maju melihatnya, ia kenal bukan lain dari Kong-ling-cu Hek Tay-thong, satu diantara Coan-cin-chit-cu atau tujuh tokoh dari Coan-cin-kau.
Kiranya Ma Giok dan lain meski terancam oleh bahaya api, tapi mereka tetap duduk tenang tanpa bergerak sebabnya karena ingin melindungi kawan yang terluka ini.
Waktu Kwe Ceng memeriksanya, ia lihat muka Hek Tay-thong pucat seperti kertas, napasnya lemah dan matanya tertutup rapat, terang sekali menderita luka berat, Ketika Kwe Ceng buka jubah orang, ia menjadi lebih terkejut lagi, ia lihat di dada imam terdapat bekas lima jari tangan dengan terang sekali, warna bekas jari ini matang biru dan dekuk ke dalam daging.
“Di kalangan Bu-lim belum pernah kudengar ada yang mempunyai ilmu kepandaian semacam ini. Apa karena belasan tahun aku terasing di Tho-hoa-to dan semua kejadian di bumi ini sudah berubah jauh?” demikian ia pikir, Maka segera ia berjongkok dan mengeluarkan ilmu It-yang-ci atau tutukan jari sakti, berulang dua kali ia tutuk bagian bawah bahu Hek Tay-thong.
Dua kali tutukan ini meski tidak bisa menyembuhkan luka dan hilangkan racun pada luka Hek Tay-thong itu, namun dalam duabelas jam keadaan luka boleh dipercaya tidak bakal meluas dan memburuk,
Sementara itu api sudah makin hebat berkobarnya dan sukar ditolong lagi, lekas2 Khu Ju-ki angkat Hek Tay-thong. “Hayo, lekas keluar !” demikian ajaknya cepat.
“He, dimanakah anak yang aku bawa ? siapakah yang menahan dia? jangan sampai ia dimakan api!” tanya Kwe Ceng tiba-tiba.
Tadi Khu Ju-ki cs. sedang melawan musuh dengan segenap perhatian mereka, dengan sendirinya ia tidak tahu seluk-beluk urusan Yo Ko yang dibawa kemari mereka menjadi bingung.
“Anak ? Anak siapa? Dimana dia?” demikian tanya mereka berbareng.
Dan sebelum Kwe Ceng menjawab, diantara sinar api yang ber-kobar2 itu, tiba2 ada berkelebatnya bayangan orang, sesosok tubuh yang kecil tahu2 telah melompat turun dari atas belandar rumah.
“Aku berada di sini, Kwe-pepek,” demikianlah seru anak kecil itu dengan ketawa. Siapa lagi dia kalau bukan Yo Ko ?
Tentu saja Kwe Ceng terkejut bercampur girang. “Kenapa kau bisa sembunyi di atas belandar rumah ?” lekas ia tanya.
“Tadi, waktu aku dengan ketujuh imam busuk itu…”
“Hus, kurangajar !” bentak Kwe Ceng memotong sebelum Yo Ko meneruskan “Hayo, lekas memberi hormat kepada para Co-su-ya (kakek guru).”
Karena bentakan itu, Yo Ko me-lelet2 lidah-nya, ia tak berani membantah, segera ia berlutut ke hadapan Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bertiga untuk menjura.
Ketika sampai gilirannya harus menjura pada In Ci-peng, Yo Ko lihat orang masih muda, maka lebih dulu ia berpaling menanya Kwe Ceng: “Kwe-pepek, apakah dia Co-su-ya juga ? Agaknya tidak perlu lagi aku menjura, ya ?”
“Dia ini In-supek (paman guru), lekas menjura,” sahut Kwe Ceng.
Terpaksa Yo Ko harus menjura lagi, sungguhpun dalam hati seribu kali tidak sudi.
Habis ini, Kwe Ceng lihat Yo Ko lantas berdiri dan tidak menjura pula pada tiga imam setengah umur yang lain, maka kembali ia membentak: “Ko-ji, kenapa kurangajar ? Hajo, menjura lagi!”
“Kalau harus menunggu aku selesai menjura, mungkin tidak keburu lagi, nanti jangan Kwe-pepek salahkan aku,” dengan tertawa Yo Ko menjawab.
Kwe Ceng sudah kenal anak ini kelakuannya sangat aneh dan nakal, banyak pula tipu akalnya, Maka ia lantas tanya : “Soal apa yang tidak keburu lagi ?”
“ltu, di sana ada satu paman To-su diringkus orang dalam kamar, kalau tidak ditolong, mungkin akan terbakar mati oleh api,” sahut Yo Ko.
“Kamar yang mana? Lekas katakan !” tanya Kwe Ceng dengan cepat.
“Eeeh, nanti dulu, coba aku ingat2 dulu, ai, kenapa aku jadi lupa,” demikian Yo Ko menjawab dengan ketawa.
Tentu saja In Ci-peng menjadi gemas, ia melototi sekejap pada Yo Ko, habis ini dengan langkah cepat ia berlari ke kamar sebelah timur, ia dobrak pintu kamar, tapi tiada seorangpun yang tertampak, kembali ia berlari ke kamar murid angkatan ketiga yang biasa buat melatih, ketika ia tendang terpentang pintu kamar ini, ternyata seluruh kamar sudah penuh dengan asap yang tebal, remang2 kelihatan pada satu imam yang teringkus di tiang ranjang, mulutnya menganga dan sedang ber-teriak2 minta tolong dengan suara yang serak, mungkin saking lamanya ia men-jerit2.
Melihat keadaan sudah mendesak, cepat In Ci-peng cabut pedangnya, dengan sekali tabas, ia potong tali pengikat dan bebaskan imam itu dari ancaman maut.
Sementara itu Khu Ju-ki, Kwe Ceng, Yo Ko dan lain sudah selamatkan diri keluar kuil, mereka sudah berdiri di atas tanah tanjakan dan sedang menyaksikan mengamuknya jago merah yang men-jilat2 semakin hebat itu, oleh karena diatas gunung memang tidak gampang didapatkan air yang cukup, maka tanpa berdaya mereka menyaksikan kuil yang megah itu lambat laun ambruk untuk achirnya menjadi tumpukan puing belaka.
Watak Khu Ju-ki sangat keras dan berangasan kini menyaksikan kuil mereka yang bersejarah ini ditelan mentah2 oleh api, ia mengutuk tidak habisnya pada musuh yang mengobarkan api itu.
Selagi Kwe Ceng hendak tanya siapakah sebenarnya musuh yang datang itu dan kenapa turun tangan sejara keji begini, tiba2 ia lihat sebelah tangan In Ci-peng mengempit satu imam sedang menerobos keluar di antara gumpalan yang tebal.
Karena kepelepekan oleh asap tebal itu, imam yang dikempit In Ci-peng masih ter-batuk2 hingga kedua matanya mengucurkan air mata,tapi demi nampak Yo Ko, dadanya hampir meledak saking gusarnya, tanpa pikir lagi segera ia ulur tangan terus menubruk bocah itu.
Akan tetapi perbuatan orang hanya diganda tertawa oleh Yo Ko, ketika imam itu menubruk tiba, dengan cepat ia sembunyi kebelakang Kwe Ceng.
Rupanya imam itu belum kenal siapa adanya Kwe Ceng, maka dia telah mendorong dadanya dengan maksud kesampingkan orang agak lebih leluasa menangkap Yo Ko, Siapa duga dorongannya itu laksana kena pada dinding saja, sedikitpun Kwe Ceng tidak bergerak
Karena itu, sesaat imam itu menjadi kesima, tapi segera ia tuding Yo Ko dan mencaci maki: “Anak jadah, berani kau pedayai To-ya (tuan imam), hampir aku terbakar mampus karena perbuatanmu !” demikian teriaknya murka.
“Ceng-kong, apa yang kau katakan ?” tiba2 Ong Ju-it membentaknya dari samping.
Kiranya Tosu atau imam yang kena “dikerjai” Yo Ko ini adalah cucu-murid Ong Ju-it dan bernama Ceng-kong, tadi ia beruntung bisa diselamatkan dari elmaut atas pertolongan In Ci-peng, dalam sengitnya begitu nampak Yo Ko segera ia menubruk maju untuk adu jiwa, sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa para paman guru dan kakek gurunya juga berada disitu.
Kini mendadak dibentak Ong Ju-it, baru dia ingat telah berlaku kurang sopan, keruan ia berkeringat dingin saking takutnya.
“Ya, Tecu patut mampus”, katanya kemudian dengan tangan lurus ke bawah.
“Urusan apakah sebenarnya, katakan ?” bentak Ong Ju-it lagi.
“Semuanya karena Tecu sendiri yang tak becus, harap Cosuya memberi ampun,” sahut Ceng-kong.
Karena jawaban yang lain daripada yang ditanya, Ong Ju-it mengkerut kening.
“Memangnya siapa yang bilang kau becus ? Aku hanya tanya ada urusan apakah sebenarnya?” ulangi Ong Ju-it.
“Tadi, Tecu diperintah Thio Ci-goan-Susiok menjaga di belakang, kemudian Thio-susiok membawa anak… anak…”
sebenarnya Ceng-kong hendak berkata “anak jadah,” untung ia lantas ingat sedang berhadapan dengan Cosuya, maka tak berani ia keluarkan kata2 kotor, lekas ia ganti: “anak… anak kecil ini dan diserahkan padaku, ia bilang anak ini ikut naik gunung bersama musuh tetapi dapat ditawan Thio-susiok, maka aku diperintahkan mengawasinya, dan jangan sampai anak ini melarikan diri. Oleh karena itu, Tecu lantas membawanya ke dalam kamar latihan di sebelah timur itu, Siapa duga, duduk tidak lama mendadak anak… anak kecil ini pakai tipu muslihat, katanya ingin kencing, dan minta aku lepaskan tali yang meringkus tangannya itu, Tecu tidak mau diakali, maka dengan tanganku sendiri kubukakan celananya biar kencing, Siapa tahu, bocah ini memang berhati jahat, habis kencing hingga bikin sebagian lantai basah kuyup, waktu aku mengikat celananya lagi, mendadak dia dorong aku dengan keras.”
Bercerita sampai disini, mendadak terdengar Yo Ko ketawa ngikik, karuan Ceng-kong menjadi gusar.
“Anak… anak apa yang kau tertawakan ?” damperatnya dengan gemas.
Tetapi Yo Ko hanya angkat kepala ke atas, pandang saja tidak ia menjawab : “Aku tertawa sendiri, peduli apa dengan kau ?”
Sudah tentu Ceng-kong tidak menyerah mentah2, ia hendak adu mulut dengan bocah ini kalau saja Ong Ju-it tidak membentaknya.
“Tak perlu kau ribut2 dengan anak kecil, lekas teruskan ceritamu,” kata Ong Ju-it.
“Ya, ya,” sahut Ceng-kong ketakutan, “Engkau tak tahu, Cosuya, anak ini licin luar biasa. Pada waktu aku didorong jatuh telentang di atas lantai yang basah kuyup dengan air kencingnya itu dan selagi aku hendak melompat bangun buat persen dia beberapa kali tamparan, tiba2 dengan cengar-cengir ia malah mendekati aku dan berkata : “Wah, To-ya, aku telah bikin kotor pakaianmu !”
Mendengar cara Ceng-kong menirukan suara perkataan Yo Ko yang masih kanak2 hingga kedengaran lucu sekali, semua orang diam-diam merasa geli. Hanya Ong Ju-it yang mengkerut kening lagi, dalam hati ia damperat habis-habisan cucu-muridnya yang bikin malu di depan orang banyak ini.
“Mendengar kata2-nya itu, aku mengira dorongannya padaku tadi disebabkan tidak sengaja, maka akupun tidak menyalahkan dia lebih jauh,” demikian Ceng-kong melanjutkan ceritanya, “Sementara itu ia mendekati aku, tampaknya seperti hendak bantu membangunkan aku, tapi kedua tangannya terikat, maka tidak bisa berbuat apa-apa, tak tahunya, mendadak dia melompat dan mencemplak ke atas tubuhku, ia menunggangi aku yang masih telentang, bahkan mulutnya terus ditempelkan keleherku dan menggigit tenggorokanku”.
Bercerita sampai di sini, tanpa terasa Ceng-kong me-raba2 lehernya, agaknya masih terasa sakit oleh bekas gigitan tadi itu.
“Dengan sendirinya aku terperanjat,” sambungnya lagi, “aku berusaha membaliki tubuh buat banting dia, siapa duga, ia menggigit lebih kencang, kalau sekali lagi dia gigit mungkin jalan pernapasanku bisa putus, Karena terpaksa, aku tak berani berkutik, dengan jalan halus aku lantas memohon: “Sudahlah, tentu kau ingin aku lepaskan tali pengikatmu, bukan ?” ia angguk2 atas pertanyaanku ini, sebaliknya aku masih ragu-ragu, maka kembali ia perkeras lagi gigitannya, saking sakitnya sampai aku ber-teriak2.
Pikirku waktu itu: “Biarlah aku lepaskan talinya, asal dia tidak menggigit lagi, masakan satu anak kecil saja aku kalah ?” Maka aku lantas lepaskan tali pengikatnya, Tak terduga, begitu tangannya merdeka, segera ia cabut pedangku terus menodong ulu hatiku dan mengancam, bahkan senjata berbalik makan tuan, ia malah gunakan tali yang mengikat dia tadi untuk meringkus diriku pada tiang ranjang, ia mengiris sepotong kain bajuku pula dan menyumbat mulutku, belakangan kuil kita terbakar hendak lari aku tak dapat, ingin berteriak juga tak bisa, kalau bukan In-susiok tadi yang menolong, tentu Tecu sudah terbakar hidup2 karena anak kecil ini?”
Habis bercerita, dengan mata melotot ia pandang Yo Ko dengan murka.
Sesudah mendengar penuturunnya, semua orang sebentar pandang Yo Ko, saat lain memandang Ceng-kong pula, yang satu tubuhnya kurus kecil, sedang yang lain berperawakan tinggi besar, tetapi yang gede kena dikibuli hingga tak berdaya, saking gelinya, semua orang itu sama tertawa ter-bahak-bahak.
Ceng-kong menjadi bingung, ia cakar2 kuping dan garuk2 kepala dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
“Ceng-ji,” kata Ma Giok kemudian dengan tertawa, “apakah ini puteramu? Agaknya dia telah lengkap menurunkan tabiat sang ibu, oleh karena itu begini nakal dan cerdik.”
“Bukan,” sahut Kwe Ceng, “dia adalah putera tinggalan dalam perut dari adik angkatku, Nyo Khong.”
Ketika mendadak dengar nama Nyo Khong disebut, hati Khu Ju-ki terkesiap, Kemudian ia coba mengamat-amati Yo Ko, betul juga ia lihat wajah bocah ini rada2 mirip dengan Nyo Khong.
Khu Ju-ki ada hubungan guru dan murid dengan Nyo Khong, walaupun kemudian Nyo Khong berkelakuan kurang baik, tamak kedudukan dan serakah akan kemewahan, terima mengaku musuh sebagai bapak, namun bila Khu Ju-ki ingat semua itu, selalu ia merasa dirinya kurang sempurna mendidik anak muridnya itu, hingga akibatnya Nyo Khong tersesat, maka seringkali dalam hati ia merasa menyesal. Kini demi mendengar Nyo Khong mempunyai keturunan tentu saja ia sangat girang, lekas2 ia bertanya lebih jelas.
Begitulah tanpa menghiraukan Tiong-yang-kiong mereka sudah habis ditelan api, sebaliknya Ma Giok dan Khu Ju-ki mendengarkan penuturan Kwe Ceng tentang diri Yo Ko dengan penuh perhatian.
“Ceng-ji, dengan ilmu silatmu seperti sekarang ini boleh dikatakan sudah jauh di atas tingkatan kami, kenapa tidak kau sendiri mengajar dia?” demikian kata Khu Ju-ki kemudian setelah mendengar bahwa Kwe Ceng sengaja membawa Yo Ko ke Cong-lam-san buat belajar silat.”
Hal ini akan kuterangkan kelak,” sahut Kwe Ceng, “Hanya kedatangan Tecu sekarang telah banyak bikin ribut para To-heng, inilah, yang bikin hatiku terasa tidak enak sekali.”
Habis ini ia lantas menuturkan pula tentang kesalahan paham sewaktu ia naik gunung tadi sehingga saling gebrak dengan para imam yang memasang jaring2 Pak-tau-tin buat mencegatnya.
Mendengar cerita ini, seketika Khu Ju-ki menjadi marah.
“Sungguh tak berguna, Ci-keng memimpin barisan luar, kenapa kawan atau lawan tidak bisa mem-beda2kan,” katanya, “Memangnya aku merasa heran kenapa barisan yang kita pasang begitu kuat di luar itu bisa begitu cepat dibobol musuh hingga menerjang ke atas gunung, kita diserang dalam keadaan belum siap. Hm, kiranya dia telah kerahkan Pak-tau-tin yang dia pimpin untuk merintangi kedatanganmu.”
Semakin berkata, tertampak Khu Ju-ki semakin menjadi gusar.
“Mungkin itu disebabkan salah paham,” ujar Kwe Ceng, “ketika berada di bawah gunung, tanpa sengaja Tecu telah tepuk hancur batu pilar yang terukir syair buah tangan Totiang, mungkin inilah yang menimbulkan salah paham.” mendengar keterangan ini, air muka Khu Ju-ki berubah menjadi tenang kembali.
“O, kiranya begitu, kalau demikian tidak bisa menyalahkan mereka,” ujarnya, “Memangnya begitu kebetulan, sebab musuh yang hendak menyerang Tiong-yang-kiong kita hari ini justru diketahui memakai tanda serangan dengan menepuk pilar batu yang kau katakan itu.”
“Siapakah sebenarnya orang2 yang datang tadi? Kenapa begitu besar nyali mereka?” tanya Kwe Ceng.
“Cerita ini terlalu panjang, Ceng-ji,” sahut Khu Ju-ki dengan menghela napas, “lni, biar aku tunjukan sesuatu benda dulu padamu.”
Habis ini ia lantas berjalan menuju ke belakang gunung.
“Ko-ji, kau tinggal disini, jangan sembarang pergi,” pesan Kwe Ceng pada Yo Ko, Lalu ia ikut di belakang Kho Ju-ki.
Agak lama mereka menanjak, akhirnya mereka sampai di atas satu puncak yang tinggi, Khu Ju-ki membawa Kwe Ceng menuju belakang satu batu pegunungan yang besar, “Disini juga terukir tulisan2,” katanya.
Waktu itu hari sudah magrib, di belakang batu besar ini terlebih gelap lagi, ketika Kwe Ceng meraba batu yang diunjuk, betul juga ia rasakan di atas batu itu terukir tulisan, ia meraba lagi tiap2 huruf, akhirnya tahulah dia, kiranya itu adalah sebaris syair.
Oleh karena ia meraba huruf2 itu menuruti goresan yang terukir di atas batu, mendadak Kwe Ceng terkejut, terasa olehnya bahwa goresan tulisan itu persis cocok dengan jari tangannya, seperti orang itu menulis di batu ini dengan jari tangan saja, “Ditulis dengan tangan?” tanpa tertahan ia berseru.
“Ya, kejadian ini kalau diceritakan memang terlalu mengejutkan orang, memang betul ditulis dengan jari tangan !” kata Khu Ju-ki.
“Mana bisa? Apa di dunia ini terdapat dewa?” kata Kwe Ceng ragu2.
“Orang yang menulis ini bukan saja ilmu silatnya sangat tinggi tiada bandingannya, bahkan banyak tipu akalnya, meski bukan dewa, namun terhitung seorang luar biasa yang sukar diketemukan,” sahut Khu Ju-ki.
Tentu saja Kwe Ceng menjadi sangat kagum.
“Siapakah dia? Dapatkah lotiang memperkenalkannya pada Tecu?” tanyanya cepat.
“Aku sendiri belum pernah melihat orang-nya,” sahut Ju-ki. “Duduklah kau, biar aku ceritakan sebab musababnya sehingga terjadi peristiwa seperti hari ini.”
Kwe Ceng menurut, ia duduk di atas batu itu.
“Arti bunyi syair ini apa kau paham?” tiba2 Khu Ju-ki menanya.
Waktu itu usia Kwe Ceng sudah menginjak setengah umur, tetapi lagu suara pertanyaan Khu Ju-ki masih tetap seperti belasan tahun yang lalu sewaktu Kwe Ceng masih muda, akan tetapi Kwe Ceng sedikitpun tidak pikirkan hal ini, ia tetap menjawabnya dengan sangat menghormat.
“Bagian depan Tecu masih paham, tetapi bagian belakang yang menguraikan urusan pribadi Tiong-yang Cosu, itulah Tecu tidak begitu mengerti,” demikian sahutnya.
“Tahukah kau orang macam apakah Tiong-yang Co-su itu?” tanya Khu Ju-ki lagi.
Kwe Ceng jadi tercengang mendengar orang mendadak tanya tentang diri Ong Tiong-yang, itu cakal-bakal dari Coan-cin-kau.
“Tiong-yang Cosu adalah “Khay-san-pi-co” (cakal-bakal) Coan-cin-kau, dahulu ketika Hoa-san-lun-kiam, ilmu silatnya diakui nmnor satu di jagad ini,” sahutnya kemudian.
“Itu memang tidak salah, tetapi waktu mudanya?” tanya Ju-ki pula.
“ltulah aku tidak tahu,” sahut Kwe Ceng sambil menggoyang kepala.
“Nah, tahulah kau bahwa asalnya Tiong-yang Co-su bukan imam,” kata Khu Ju-ki. “Diwaktu mudanya dia sangat benci pada tentara Kim yang menjajah tanah air kita dan membunuhi rakyat kita, pernah dia kerahkan pasukan sukarela untuk melawan pasukan Kim hingga terjadi suatu pergerakan yang menggemparkan belakangan karena pasukan Kim terlalu kuat, beberapa kali ia mengalami kekalahan hingga banyak panglimanya tewas dan perajuritnya hancur, saking menyesalnya kemudian dia menjadi To-su (imam), Tatkala itu ia menyebut dirinya sebagai “Hoat-su-jin” (orang mati yang masih hidup), terus-menerus beberapa tahun ia menetap di dalam satu kuburan kuno di atas gunung ini, selangkahpun tak pernah ia keluar dari pintu kuburan itu, maksud kiasannya, yalah meski orangnya masih hidup, namun tiada seperti orang yang sudah mati, ia hidup tidak sudi hidup berdampingan di tanah air sendiri dengan musuh bangsa Kim.”
“O, kiranya begitu,” ujar Kwe Ceng.
“Kejadian itu berlangsung sampai beberapa tahun,” Ju-ki melanjutkan pula, “tidak sedikit sobat-andai mendiang guruku itu telah datang mencari padanya, banyak yang minta dia keluar dari kuburan untuk membikin pergerakan yang lebih hebat lagi, Akan tetapi mendiang guruku rupanya sudah putus asa dan patah hati, iapun merasa tiada muka buat bertemu dengan bekasnya di kalangan Kangouw, maka ia tetap tidak mau keluar dari kuburan.
Keadaan demikian itu berlangsung sampai delapan tahun kemudian, tiba2 kedatangan seorang lawan yang dianggapnya paling kuat, musuh ini telah mencaci-makinya dengan segala kata2 yang mencemoohkan dan menghina diluar kuburan, ber-turut2 musuh itu memancing selama tujuh hari tujuh malam, agaknya Sian-su (mendiang guruku) menjadi tak tahan, ia lantas keluar dari kuburan buat bergebrak dengan musuh tadi.
Tak terduga, begitu dia keluar, segera orang itu menyambut padanya dengan bergelak ketawa: “Haha, akhirnya kau keluar juga, maka tidak perlu lagi kau kembali kedalam!” Karena itu Sian-su sadar bahwa dirinya telah kena tertipu, tetapi maksud tujuan orang itu adalah baik, yalah sayang terhadap kepandaian Siau-su yang begitu bagus harus terpendam lenyap di dalam kubur, oleh karenanya sengaja pakai kata2 yang pedas untuk memancingnya keluar dari kuburan.
Setelah mengalami kejadian itu, kedua orang dari lawan berubah menjadi kawan dan dengan bahu-membahu pergi mengembara Kangouw lagi.”
“Siapakah gerangan cianpwe (orang angkatan tua) itu ?” tanya Kwe Ceng dengan kagum. “Apa dia satu di antara Tong-sia, Se-tok, Lam-te atau Pak-kay ?”
“Bukan,” jawab Khu Ju-ki. “Kalau soal ilmu silat, orang ini masih berada di atas keempat tokoh besar itu, cuma karena dia adalah wanita, biasanya tidak suka unjuk diri di kalangan umum, maka orang luar jarang yang tahu akan dia, namanya pun tidak tersohor.”
“Ah, kiranya dia seorang wanita, itulah lebih hebat lagi,” ujar Kwe Ceng rada kaget.
“Ya, sebenarnya cianpwe ini menaruh hati terhadap Sian-su, ia sudah menyerahkan diri untuk mengikat perjodohan dengan Sian-su,” tutur Ju-ki lagi “Tetapi Sian-su mengatakan bahwa musuh belum dihancurkan, mana boleh berumah tangga, Oleh karena itu, terhadap asmara yang dilontarkan Cianpwe itu ia hanya berlagak bodoh dan pura2 tidak tahu saja.
Tak tahunya cianpwe itu juga berambekan besar dan tinggi hati, ia menyangka Sian-su telah pandang rendah padanya, ia menjadi gusar sekali, Kedua orang yang tadinya lawan dan sudah berubah menjadi kawan itu, oleh karena cinta berbalik menjadi sakit hati lagi, mereka kemudian berjanji untuk bertanding di atas Cong lam-san ini untuk menentukan siapa yang lebih unggul”
“ltu sebenarnya tidak perlu,” kata Kwe Ceng.
“Memangnya !” ujar Khu Ju-ki. “Sian-su pun tahu akan maksud baik orang, maka sepanjang jalan ia selalu mengalah, Siapa tahu cianpwe itu ternyata berwatak aneh, ia bilang: Semakin kau mengalah, semakin nyata kau pandang rendah padaku - Karena tiada jalan lain, terpaksa Sian-su bergebrak dengan dia, sampai beberapa ribu jurus mereka bertempur, selama itu Sian-su tidak keluarkan tipu serangan yang mematikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar