Sabtu, 24 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 75



Kembalinya Pendekar Rajawali 75

Makin lama Hoat-ong makin heran dan kuatir Yo Ko berdiri di samping dengan pedang terhunus, kalau anak muda itu ikut mengerubutnya pasi dirinya bisa celaka, iapun heran darimana datangnya burung raksasa, kalau saja majikannya juga muncul maka tamatlah riwayatnya hari ini.
Berpikir sampai di sini, mendadak kedua roda-nya menyilang di depan dada untuk menahan patokan si rajawali, habis itu cepat ia melompat mundur sambil berseru: “Bocah she Yo, darimanakah kau mendatangkan makhluk ini?”
Sebelah tangan Yo Ko merangkul leher rajawali dengan mesra, lalu menjawab: “Ini adalah sahabat karibku, kakak Sin-tiau (rajawali sakti), Hendaknya jangan kau bikin marah dia.
kalau dia terbang dan menubruk dari atas, sekali patuk tentu kepalamu akan berlubang besar.”
Hoat-ong percaya ucapan Yo Ko itu, berdiri saja sudah begitu tinggi rajawali itu, apalagi kalau terbang ke atas, cara bagaimana melawannya nanti? Karena itu ia cuma berdiri saja dan bungkam.
Terdengar Yo Ko berkata pula: “Tiau-heng, engkau mengantar aku ke sini, kawanan penjahat ini menjadi ketakutan melihat kesaktianmu, rasanya tiada aral melintang lagi di depan sana, bolehlah kita berpisah di sini saja.”
Sin-tiau itu memandang sekejap ke arah Hoat-ong dan Nimo Singh, habis itu cuma diam saja.
“Baiklah, jika engkau suka boleh awasi kedua orang ini, aku mohon diri buat berangkat lebih dulu:” kata Yo Ko sambil memberi hormat dan melangkah pergi.
Karena kuatirkan bayi puteri Kwe Ceng itu, maka ia berlari secepatnya ke gua itu, baru sampai di mulut gua sudah terdengar suara Li Bok-chiu menegurnya: “Ke mana kau sejak tadi? Di sini ada setan gentayangan yang terus menerus menangis saja, sungguh mengganggu dan menjemukan.”
“Mana ada setan?” ujar Yo Ko. Belum lenyap suaranya, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara orang-menangis keras, Keruan ia terkejut, ia pikir masakah di dunia ini benar-benar adalah setan segala?
Suara tangisan yang tadi kedengaran sangat jauh itu,
dalam sekejap saja sudah mendekat, rasanya cuma beberapa puluh meter saja di luar gua sana.
Segera Yo Ko melolos pedang Ci-wi-kiam dan mendesis pada Li Bok-chiu: “Kau jaga anak itu, biar kubereskan dia, Li-supek.”
Serentak Li Bok-chtu merasakan hawa dingin dilihatnya sinar ungu yang samar-samar dalam kegelapan, jelas senjata yang dipegang Yo Ko adalah sebuah pedang mestika, Dengan heran ia tanya.
“Darimana kau mendapat pedang ini?”
Belum lagi Yo Ko menjawab, tiba-tiba terdengar orang di luar gua itu sedang berteriak dan menangis. “Oh, buruk amat nasibku ini isteriku dibunuh orang, kedua putraku hendak saling bunuh membunuh pula.”
Mendengar itu, legalah hati Yo Ko, jelas itulah suara manusia dan sama sekali bukan setan segala. ia coba melongok keluar, di bawah cahaya bintang yang remang-remang kelihatan seorang lelaki tinggi besar dengan rambut semerawut, pakaiannya robek dan compang camping, tangan menutupi muka sambil menangis dan ber-putar-putar dengan cepat di situ, bagaimana wajahnya tak terlihat jelas.
“Huh, rupanya seorang gila, lekas usir dia agar tidak mengganggu tidur anak ini,” jengek Li Bok-chiu.
Sementara itu lelaki tadi sedang menangis dan sesambatan pula: “di dunia ini aku cuma mempunyai dua anak ini, tapi mereka justeru hendak saling membunuh, lalu apa artinya hidupku ini?”
Sambil berkata ia terus menangis tergerung-gerung dengan sedihnya.
Hati Yo Ko tergerak, ia pikir mungkin inilah dia? Segera ia memasukkan pedang kesarungnya: “Apakah di situ Bu-locianpwe adanya…?”
Orang itu menangis di ladang sunyi, soalnya karena hatinya teramat berduka, tak diduganya di lereng pegunungan ini ada orang lain, segera berhenti menangis balas menegur dengan suara bengis: “Siapa kau? Apa yang kau lakukan secara sembunyi2 di sini?”
Yo Ko memberi hormat dan menjawab: “Cayhe bernama Yo Ko, apakah cianpwe she Bu dan bernama Sam-thong?”
Orang ini memang betul adalah Bu Sam thong, dahulu dia dilukai Li Bok-chiu dengan jarum berbisa dan jatuh kelengar, waktu siuman kembali, dilihatnya Bu Sam-nio, isterinya sendiri sedang mengisap darah beracun dari lukanya itu, ia terkejut dan berseru mencegah sambil mendorong sang isteri.
Akan tetapi sudah terlambat, air muka sang isteri kelihatan hitam membiru. Nyata Bu Sam-nio telah mengorbankan diri sendiri demi untuk menyelamatkan sang suami, ia tahu ajalnya sudah dekat, sambil mengelus kepala kedua puteranya ia menyatakan penyesalannya yang tidak dapat membahagiakan suami sejak mereka menikah, sebab sang sisuami mencintai perempuan lain. Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur, harapannya sekarang hanya memohon sang suami suka jadi manusia berguna bagi negara dan bangsa serta hidup rukun selamanya.
Habis meninggalkan pesan itu Bu Sam-nio lantas menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Karena kematian isterinya itu, saking berdukanya penyakit Bu Sam-thong kembali kumat, melihat kedua puteranya mendekap diatas mayat ibunya dan sedang menangis sedih, pikiran Bu Sam-thong serasa kosong, apapun tidak tahu lagi dan segera pergi tanpa arah tujuan.
Begitulah ia terus luntang lantung selama beberapa tahun di dunia Kangouw dalam keadaan tidak waras, It-teng Taysu mendapat berita itu dan mengirim anak muridnya untuk menjemput Bu Sam-thong ke Tayli, disitulah Bu Sam-thong akhirnya dapat disembuhkan.
Kemudian Bu Sam-thong mendapat kabar pula dari Cu Cu-liu yang menghadiri pertemuan besar para ksatria, bahwa kedua puteranya itu kini sudah dewasa serta sudah diajari It- yang-ci oleh Cu Cu-liu.
Tentu saja Bu Sam-thong sangat girang dan terkenang kepada putera-puteranya, ia lantas mohon diri pada sang guru dan berangkat ke Siangyang untuk menjenguk anak-anaknya.
Setiba Bu Sam-thong di Siangyang, kebetulan Kim lun Hoat-ong habis mengacau di kota itu, Kwe Ceng terluka dan Oey Yong baru melahirkan, setelah menemui Cu Cu-liu dan Kwe Hu, Bu Sam-thong mendapat keterangan bahwa kedua puteranya itu telah minggat untuk saling berkelahi.
Tentu saja Sam-thong sangat berduka dan teringat kepada pesan sang isteri, cepat ia memburu keluar kota untuk mencari Bu Siu-bun dan Bu Tun-si.
Akhirnya Bu Sam-thong dapat menemukan kedua puteranya disuatu kelenteng rusak. Sudah tentu kedua saudara Bu sangat gembira dapat bertemu kembali dengan sang ayah. Tapi ketika persoalan Kwe Hu dibicarakan, kedua bersaudara itu tidak mau mengalah.
Meski didamperat atau dibujuk dengan halus oleh sang ayah agar kedua pemuda itu jangan memikirkan Kwe Hu lagi, namun sukar terlaksana gagasan demikian. Di depan sang ayah memang kedua saudara Bu tidak berani bermusuhan, tapi dibelakang ayahnya mereka lantas ribut.
Malamnya kedua saudara itu berjanji akan mengadakan pertarungan menentukan di tempat sepi.
Bu Sam-thong sangat mendongkol dan berduka setelah mencuri dengar pembicaraan kedua anaknya serta mendahului mendatangi tempat yang telah ditentukan kedua anak muda itu dengan maksud mencegah pertarungan mereka. Semakin dipikir semakin berduka hatinya hingga akhirnya Bu Sam thong menangis sesambatan di ladang pegunungan yang sunyi itu.
Bu Sam-thong belum pernah kenal Yo Ko, dalam keadaan sedih, tanpa terasa ia menjadi gusar karena merasa terganggu, segera ia membentak “Siapa kau? Darimana kau kenal namaku?”
“Paman Bu,” jawab Yo Ko, “Siautit (keponakan) pernah mondok di tempat Kwe-tayhiap di Thoa-ho-to bersama kedua saudara Tun-si dan Siu-bun waktu kami sama-sama kecil.
Selama ini nama paman sudah kukenal dan kukagumi.”
Bu Sam-thong mengangguk. “Dau apa yang kau lakukan disini? Aha, tentu kau hendak menjadi wasit dalam pertandingan Siubun dan Tun si ini. Hm, kau mengaku sahabat mereka, mengapa kau tidak berusaha melerai, sebaliknya malah mendorong dan ingin melihat keramaian, macam sahabat apa kau ini?”
Makin bicara makin bengis, segenap rasa gusarnya seakan-akan hendak di-lampiaskan atas diri Yo Ko, maka sambil mendamprat terus melangkah maju dan angkat telapak tangan.
Melihat berewok orang seakan-akan menegak, sikapnya garang, Yo Ko pikir sebagai murid It-teng Taysii, tentu ilmu silat orang sangat tinggi, kenapa mesti bergebrak dengan dia tanpa sebab. Karena itu ia lantas menyurut mundur dan berkata: “Sesungguhnya siautit tidak tahu kedua saudara Bu hendak bertanding di sini, harap paman jangan salah paham padaku.”
“Omong kosong!” bentak Bu Sam-thong. “Kalau kau tidak tahu, mengapa kau berada di sini? Dunia sebesar ini, kenapa kau justeru berada di lembah sunyi ini?”
Diam-diam Yo Ko mendongkol, ia pikir orang ini benar-benar gila dan sukar diajak bicara, apalagi pertemuan-nya ditempat sunyi ini memang betul jaga sangat kebetulan, karena itu ia menjadi serba susah untuk menjawab.
Melihat orang ragu-ragu dan diam saja, Bu Sam-thong menganggap bocah ini pasti bukan orang baik-baik, dasar otaknya pernah terganggu, pula, sudah pernah patah hati, maka setiap kali melihat pemuda cakap tentu timbul rasa jemunya. Apalagi dia sedang gemas dan tak terlampiaskan, tanpa bicara lagi segera menabok ke pundak Yo Ko.
Namun Yo Ko sempat mengegos sehingga serangan tangan Bu Sam-thong itu mengenai tempat kosong” Cepat Bu Sam-thong tarik tangannya terus menyikut.
Yo Ko tidak berani ayal, melihat serangan orang yang keras itu, cepat ia menggeser ke samping untuk menghindar lagi.
“Hebat juga Ginkangmu,” seru Bu Sam-thong “Hayolah lekas keluarkan pedangmu!”
Pada saat itulah tiba-tiba bayi di dalam gua terjaga bangun dan menangis pula, pikiran Yo Ko tergerak ia tahu Bu Sam-thong sangat benci kepada Li Bok chiu yang telah membunuh isterinya, kalau kepergok pasti akan bergebrak mati-matian. sedangkan kedua orang sama-sama lihaynya, sekali mulai bertarung pasti tidak kenal ampun lagi, bisa jadi si bayi akan keserempet bahaya.
Karena itu Yo Ko lantas berkata dengan tertawa: “Paman Bu, siautit mana berani bergebrak dengan engkau? Tapi kalau engkau tetap menyangsikan pribadiku, akupun tidak berdaya, Begini, asal kubiarkan engkau menyerang tiga kali dan Siautit pasti takkan balas menyerang, jika engkau tidak berhasil membinasakan aku, maukah engkau segera pergi dari sini”
Bu Sam-thong menjadi marah, bentaknya: “Anak setan, temberang benar kau ini, tadi aku sengaja menahan diri dan tidak menyerang sungguh-sungguh, lalu kau berani memandang enteng padaku?” Mendadak jari telunjuk kanan menutuk ke depan, ia telah mengeluarkan ilmu jari sakti It - yang - ci ajaran It-teng Taysu.
Diam-diam Yo Ko prihatin, tertampak jari orang bergerak pelahan, tapi Hiat-to setengah badan sendiri seakan-akan terkurung oleh jarinya ini, bahkan sukar diketahui Hiat-to mana yang akan diarah jari orang, justeru tidak diketahui arah serangan lawan, terpaksa janji “takkan balas menyerang tidak dapat ditepati lagi, Dalam keadaan tiada jalan lain, cepat Nyo-Ko menyelentik dengan kedua jarinya, inilah Sian-ci-sin-thong” (selentikan jari sakti) ajaran Oey Yok-su.
Sian-ci-sin-thong dan lt-yang-ci sama-sama terkenal selama berpuluh tahun ini dan masing-masing mempunyai keunggulannya sendiri. Tapi latihan Yo Ko masih cetek, dengan sendirinya sukar menandingi latihan Bu Sam-thong yang sudah berpuluh tahun lamanya itu.
Maka begitu jari kedua orang saling bentrok, seketika lengan kanan Yo Ko tergetar, sekujur badan terasa panas dan terdesak mundur beberapa tindak barulah dapat berdiri tegak kembali.
Bu Sam-thong bersuara heran, katanya: “Eh, tampaknya kau memang pernah berdiam di Tho-hoa-to.” Dan karena merasa segan terhadap Ui Yoksu, pula merasa sayang terhadap Yo Ko yang masih muda tapi sudah mampu menandinginya, maka ketika serangan kedua kalinya ia lantas memperingatkan lebih dulu: “Awas tutukan kedua ini, kalau tidak mampu menangkis janganlah menangkis agar tidak rusak badanmu, aku takkan mencelakai jiwamu.”
Habis berkata ia terus menubruk maju dan jarinya kembali menutuk pula, sekali ini yang di arah adalah perut Yo Ko yang meliputi berbagai Hiat-to di bagian itu.
Yo Ko merasa tidak sanggup menahan lagi dengan Sian-ci-sin-thong apabila jarinya tidak mau dipatahkan, dalam keadaan kepepet, tiba-tiba ia tarik pedang Ci-wi-kiam dan dibuat tameng di depan perutnya.
Batang pedang Ci-wi-kiam cuma beberapa senti lebarnya, namun berhawa dingin dan berbatang lemas, sedikit tergetar saja, sudah memancarkan cahaya ungu. Ketika jari Bu Sam-thong mendekat dan merasakan ketajaman pedang itu, cepat ia menarik kembali jarinya.
Hanya terkejut sebentar saja, menyusul tutukan ketiga kalinya dilontarkan lagi oleh Bu Sam-thong, sekali ini secepat kilat mengarah batok kepala di tengah alis Yo Ko, ia menduga betapa hebat pedangnya, juga tidak sempat diangkat untuk membela diri.
Tak terduga, sekilas timbul akal aneh dalani benak Yo Ko, mendadak ia memutar Ci-wi-kiam ke atas, bukannya untuk menangkis, sebaliknya ujung pedang diacungkan ke dada sendiri terus di-tusukkannya.
Gerakan ini sangat berbahaya, Bu Sam-thong terkejut, cepat tutukan jarinya itu diurungkan dan tangannya menyamber ke bawah dengan maksud merebut pedang Yo Ko untuk menyelamatkan jiwanya.
Ternyata gerakan menusuk dada sendiri ini adalah tipuan Yo Ko belaka, ketika ujung pedang menyentuh bajunya, segera ia tarik ke bawah dan segera diputar pula untuk melindungi seluruh tubuh nya, betapapun cepat gerakan Bu Sam-thong ini tetap terlambat sedetik sehingga tangannya
hampir saja tertabas oleh pedang pusaka Yo Ko itu.
Sekarang Yo Ko benar-benar telah mengalah tiga kali serangan tanpa balas menyerang, ia mulai mengeluarkan ilmu pedangnya, seketika Bu Sam thong merasa terkurung oleh hawa dingin yang tak tertahankan meski lihay It-yang-ci juga tidak dapat menghadapi pedang- mestika Yo Ko ini.
Setelah melengak dan merasa kewalahan, Bu Sam-thong melompat mundur, dengan lesu ia berkata: “Hai, benar-benar ksatria timbul dari kaum muda, tua bangka macamku sudah tak berguna lagi.”
Yo Ko merasa rikuh karena telah mengibul orang tua itu, cepat ia simpan kembali pedangnya, katanya sambil memberi hormat: “Kalau paman tidak bermaksud baik merampas pedang untuk menyelamatkan jiwaku, tentu siautit sukar menghindari tutukan ketiga kalinya tadi.”
Hati Bu Sam thong rada terhibur karena Yo Ko membeberkan sendiri tipu akalnya tadi, katanya gegetun: “Dahulu Oey Yong telah mengalahkan aku dengan akalnya, sekarang aku dikalahkan pula olehmu, ya orang kasar macam kami ini, memang bukan tandingan kaum muda yang cerdik pandai…”
Belum habis ucapannya, tiba-tiba dari jauh ada suara orang mendatangi jelas yang datang ada dua orang. Cepat Yo Ko menarik Bu Sam thong sembunyi di balik semak-semak pohon sana. Sesudah dekat, nyata kedua pendatang itu memang betul Bu Tun-si dan Bu Siu-bun.
Siu-bun berhenti dulu di sini dan memandang sekitarnya, lalu berkata: “Toako, tempat ini cukup lapang, boleh di sini saja,”
“Baik,” jawaban Tun-si. Dia tidak suka banyak bicara, sret, segera pedang diIolosnya.
sebaliknya Siu-bun tidak lantas mencabut pe-dangnya, katanya pula: “Toako, pertarungan ini andaikan aku kalah dan kau tidak mau membunuh aku, apapun juga adikmu ini juga tak ingin hidup lagi di dunia ini. Mengenai menuntut balas kematian ibu dan merawat ayah serta melindungi adik Hu, ketiga tugas besar ini hendaklah Toako yang memikulnya semua,”
Mendengar ini, hati Bu Sam-thong menjadi pedih dan meneteskan ar mata.
Sementara itu Bu Tun-si lagi menjawab “Asal kan sama-sama tahu, buat apa banyak bicara lagi. Kalau aku yang kalah, juga begitulah harapanku.” Habis ini ia angkat pedangnya dan pasang kuda.
Namun Bu Siu-bun tetap tidak melolos pedangnya, tiba-tiba ia melangkah maju beberapa tindak dan berkata: “Toako, sejak kecil kita sudah kehilangan ibu dan jauh berpisah dengan ayah, kita kakak beradik hidup berdampingan dan tak pernah bertengkar bahwa sampai terjadi seperti sekarang ini, apakah Toako marah kepada adik?”
Tun-si menjawab: “Agaknya kejadian ini sudah takdir adikku, kita tidak berkuasa.”
“Baiklah, tak peduli siapa yang hidup dari mati, selamanya jangan membocorkan rahasia kejadian ini agar ayah dan adik Hu tidak berduka,” kata Siu-bun.
Bu Tun-si mengangguk dan menggenggam tangan Siu-bun dengan erat, kedua bersaudara berdiri berhadapan tanpa bicara sampai sekian lama.
Bu Sam-thong tak dapat menahan- perasaan nya dan bermaksud melompat keluar untuk menegur perbuatan bodoh kedua anak muda itu, tiba-tiba terdengar kedua orang itu sama-sama berseru: “Baiklah, mulai!” - Berbareng mereka lantas melompat mundur.
Cepat sekali Siu-bun lantas melolos pedangnya dan “sret- sret-sret” tiga kali tanpa bicara lagi ia menyerang dengan cepat. Namun Tun-si dapat menangkisnya dan balas menyerang dua kali ke tempat mematikan di tubuh adiknya.
Bu Sam-thong berkuatir melihat serangan lihay itu, dilihatnya Siu-bun dapat mengelakkan serangan maut itu dengan mudah. Di lembah sunyi itu terdengar suara benturan pedang yang nyaring, kedua kakak beradik ternyata bertempur dengan mati-matian tanpa kenal ampun.
Tentu saja Bu Sam-thong jadi sedih dan kuatir pula, keduanya sama-sama putera kesayangannya, selamanya ia pandang sama, tidak pernah pilih kasih.
Serang menyerang kedua anak muda itu semakin ganas seperti menghadapi musuh saja layaknya, kalau pertarungan itu berlangsung terus, akhirnya pasti ada yang celaka, Saat ini kalau Bu Sam-thong mau perlihatkan dirinya dan mencegah, pasti kedua anak muda itu akan berhenti bertempur. Tapi sekarang ini, besok juga pasti akan mengadu jiwa puIa, betapapun ia tak dapat senantiasa mengawasi kedua anak muda itu. Begitulah Bu Sam-thong semakin sedih memikirkan betapa malang nasib keluarganya itu, tanpa terasa air matanya bercucuran.
Sejak kecil Yo Ko memang tidak akur dengan kedua saudara Bu kecil itu, sesudah dewasa dan bertemu juga tetap tidak cocok. Seperti juga umumnya manusia, kalau melihat orang lain susah, maka timbul rasa senangnya.
Semula Yo Ko juga bersyukur kedua saudara Bu itu saling genjot sendiri Tapi ketika melihat Bu Sam-thong sangat berduka, tiba-tiba timbul rasa bajiknya, terutama bila mengingat jiwa sendiri sudah tidak panjang lagi, pikirnya: “Selama hidupku tidak pernah berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, setelah kumati tentu Kokoh akan berduka, selain itu yang akan teringat pada diriku paling- paling juga cuma Thia Eng, Liok Bu-siang dan Kongsun Lik-oh beberapa nona cantik itu saja. Apakah tidak lebih baik sekarang kulakukan sesuatu yang berguna agar paman Bu ini selama hidup akan selalu ingat pada kebaikanku ini?”
Setelah ambil keputusan itu, segera ia membisiki-Bu Sam-thong: “Paman Bu, aku ada suatu akal yang dapat menghentikan pertarungan kedua kakak Bu.”
Hati Bu Sam-thong bergetar, ia berpaling dengan penuh rasa terima kasih dan air matanya masih bercucuran namun tampaknya ia masih ragu-ragu karena tidak tahu Yo Ko mempunyai akal bagus apa untuk memecahkan persoalan pelik ini?
“Cuma terpaksa aku harus bikin susah kedua saudara Bu, hendaknya paman jangan marah padaku,” bisik Yo Ko pula.
Dengan kencang Bu Sam-thong genggam kedua tangan Yo Ko, saking terharu hatinya hingga tidak sanggup bicara, Sejak muda ia sudah tergoda oleh urusan cinta, tapi sejak isterinya meninggal rasa terharu atas budi kebaikan sang isteri yang rela mengorbankan jiwa sendiri untuk menyelamatkannya itu lambat laun membuat cinta kepayangnya kepada kekasihnya dahulu mulai hambar setelah tambah tua harapannya hanya tercurah pada kedua puteranya saja, biarpun jiwa sendiri harus dikorbankan iapun rela.
Karena itu ketika mendengar ucapan Yo Ko tadi pada saat ia sudah putus harapan, tentu saja ia sangat girang seakan-akan mendapatkan wahyu.
Melihat sikap Bu Samthong, Yo Ko menjadi terharu dan pedih hatinya, ia pikir kalau ayahku masih hidup, tentu beliau juga sayang padaku seperti ini.
Dengan suara tertawa ia lantas berkata pula: “Hendaklah paman Bu diam saja di sini dan jangan sekali-kali diketahui mereka, kalau tidak akalku akan gagal total,”
Dalam pada itu pertarungan kedua saudara Bu semakin sengit dan benar-benar mengadu jiwa, Walaupun begitu dalam pandangan Yo Ko, kepandaian kedua Bu cilik itu sesungguhnya belum ada tiga bagian daripada seluruh kepandaian Kwe Ceng.
Pada saat itulah mendadak Yo Ko bergelak tertawa terus memperlihatkan dirinya.
Tentu saja kedua saudara Bu terkejut, berbareng mereka melompat mundur, bentak mereka sambil menatap tajam kepada Yo Ko: “Untuk apa kau datang ke sini?”
“Kalian sendiri untuk apa berada di sini?” jawab Yo Ko dengan tertawa.
Bu Siu-bun terbahak-bahak, katanya: “Karena iseng di malam sunyi im, maka kami bersaudara berlatih ilmu pedang di sini.”
Diam-diam Yo Ko mengakui Bu cilik itu lebih cerdik, meski berdusta tapi cara, bicaranya seperti sungguh-sungguh, segera ia menjengek. “Hm, berlatih kok serang menyerang secara mati-mati-an? Hehe, giat amat cara kalian terlatih?”
Bu Tun-si menjadi gusar damperatnya: “Enyah lah kau, urusan kami tidak perlu kau ikut urus!”
“Ha, kalau benar-benar berlatih sudah tentu aku tidak perlu urus,” jengek Yo Ko pula, “Tapi setiap kali kalian serang menyerang, yang kalian pikirkan melulu adik Hu belaka, mau-tak-mau aku harus ikut urus,” Mendengar ucapan “adik Hu” yang sengaja dibikin mesra oleh Yo Ko itu, seketika hati kedua saudara Bu itu tergetar Dengan gusar Siu-bun lantas mendamperat pula: “Kau mengaco belo apa?”
Dengan tegas Yo Ko berucap lagi: “Adik Hu… kau dengar tidak? Adik Hu-ku tersayang itu puteri kandung paman dan bibi Kwe, betul tidak? urusan perjodohan harus berdasarkan idzin ayah ibu, benar tidak? sedangkan paman Kwe sudah lama menjodohkan adik Hu kepadaku, hal ini kan sudah kalian ketahui, tapi kalian malah bertanding pedang di sini untuk memperebutkan bakal isteriku itu, memangnya kalian ini anggap aku Yo Ko ini manusia atau bukan?”
Kata-kata Yo Ko tegas dan bengis, seketika dua saudara Bu tak mampu menjawab. Mereka memang tahu Kwe Ceng ada maksud memungut Yo Ko sebagai menantu, tapi Oey Yong dan Kwe Hu sendiri tidak suka padanya.
Kini isi hati mereka mendadak dibongkar oleh Yo Ko, kedua saudara Bu itu menjadi saling pandang dengan bingung.
Dasar Siu-bun memang lebih cerdik, segera ia belas mendengus: “Huh, bakal isteri apa? Berani juga kau mcngucapnya! Apa buktinya kau sudah dijodohkan dengan adik Hu? Adakah comblangnya? Apa kau sudah memberi panjer? sudahkah ber-tunangan?”
“Haha, memangnya kalian berdua yang sudah dijodohkan dengan dia, sudah ada comblangnya dan telah diluluskan orang tuanya?” balas Yo Ko menjengek.
Maklumlah pada jaman dinasti Song, adat istiadat urusan perkawinan dipandang sangat penting, setiap perjodohan harus seidzin orang tua dan harus ada saksi2 comblangnya.
Sudah tentu hubungan kedua saudara Bu dengan Kwe Hu belum sampai sejauh itu, mereka menjadi bungkam oleh pertanyaan Yo Ko.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar