Kembalinya Pendekar Rajawali 09
Dalam detik yang sangat berbahaya itu,
mendadak mereka merasa punggung mereka se-akan2 ditarik, tahu2 tubuh mereka
mumbul ke udara, menyusul mana terdengarlah suara kaokan burung rajawali tubuh
mereka sudah dibawa terbang melintasi bukit.
Kiranya
sepasang burung rajawali itu lagi terbang memain di atas udara,
menggelindingnya batu besar tadi telah dilihat mereka, syukurlah dengan cepat
kedua burung ini masih sempat menolong jiwa Tun-si dan Siu-bun.
Sementara
batu besar tadi dengan menerbitkan suara gemuruh keras, tidak sedikit pepohonan
telah diterjangnya hingga akhirnya menggelinding masuk kelaut.
Oey
Yong mendengar juga suara kaokan rajawali yang menandakan rasa kuatir tadi
disusul pula suara gemuruh yang aneh, maka lekas2 ia berlari keluar dari rumah,
tertampak olehnya debu pasir berhamburan puterinya kelihatan bersembunyi di
semak2 pinggir gunung, dalam takutnya sampai anak perempuan ini tak sanggup
mengeluarkan suara tangisan.
Dalam
pada itu kedua burung rajawali yang mencengkeram kedua saudara Bu dengan
pelahan kemudian turun kehadapan Oey Yong sambil tegang leher dan pentang
sayap, kedua burung ini seperti lagi unjuk jasa mereka dihadapan sang majikan.
Dengan
aleman Kwe Hu menjatuhkan diri ke dalam pangkuan sang ibu, lalu menangis
ter-sedu2, sesudah menangis sejenak, kemudian baru ia ceritakan cara bagaimana
ia telah dipukul Yo Ko. ia ceritakan juga bagaimana kedua saudara Bu telah
membela dirinya dan Yo Ko telah mendorong batu besar itu hendak menggilas mati
kedua bocah itu.
Demikianlah
ia tumplekkan semua kesalahan pada Yo Ko, tetapi ia sendiri menginjak mati
jangkerik orang dan cara bagaimana kedua saudara Bu memukul Yo Ko, semua ini
dia tutup dan tidak dituturkan
Sehabis
mendengar, Oey Yong kelihatan termangu2, ia tidak bersuara.
Dalam
pada itu Kwe Ceng sudah menyusul datang juga, waktu ia lihat muka dan baju
Tun-si berlepotan darah, ia kaget ia tanya sebab-musababnya, dalam hati iapun
merasa marah.
Tetapi
ia kuatir pula terjadi sesuatu atas diri Yo Ko, maka lekas2 ia lari ke atas
bukit buat mencarinya.
Akan
tetapi meski ia sudah mencari kian kemari, dari depan sampai belakang bukit
ternyata sama sekali tidak nampak bayangan bocah itu.
“Ko-ji,
Ko-ji!” ia berteriak, Namun tetap tidak ada suara sahutan.
Teriakannya
ini dia lakukan dengan keras dan di atas bukit, dalam lingkaran seluas belasan
li pasti dengar akan suaranya, tetapi aneh, tetap Yo Ko tidak kelihatan.
Sesudah
menunggu lagi dan tetap masih belum berhasil, Kwe Ceng menjadi makin kuatir,
segera ia dayung sebuah perahu kecil mengelilingi pulau buat mencari, tetapi
sampai petang masih belum juga diketemukan jejak Yo Ko.
Kiranya
sehabis dorong batu pegunungan yang besar itu dan menyaksikan pula kedua
rajawali berhasil menolong kedua saudara Bu, dari jauh Yo Ko melihat pula Oey
Yong keluar dari rumah, ia tahu sekali ini dirinya pasti akan didamperat habis2an,
oleh karena itu ia lantas sembunyi di sela2 batu cadas yang besar dan tak
berani keluar, ia dengar juga suara panggilan Kwe Ceng, namun ia tak berani
menyahut.
Begitulah
dengan menahan lapar Yo Ko sembunyi di antara sela2 batu cadas, ia tak berani sembarang
bergerak, ia lihat cuaca mulai remang2 hingga akhirnya menjadi gelap.
Selang
tak lama, kerlipan bintang2 di langit diiringi pula hembusan angin laut yang
silir semilir, Yo Ko merasakan badannya rada menggigil.
Ia
keluar dari tempat sembunyinya dan memandang ke bawah, ia lihat rumah yang
terbangun bagus dibawah sana sudah ada sinar lampu, ia membayangkan saat itu
tentunya Kwe Ceng dan Oey Yong suami isteri, Kwe Hu dan kedua saudara Bu sedang
mengitari meja dan bersantap, terbayang pula olehnya diatas nnya yang penuh
dengan lauk-pauk, daging ayam, itik dan lain2 yang enak2, tanpa terasa ia
menelan liur beberapa kali.
Akan
tetapi segera terpikir pula olehnya pasti mereka sedang mencaci maki habis2an
padanya, teringat akan ini, tanpa tertahan Yo Ko meluap juga amarahnya.
Bocah
berusia sekecil dia ini, dalam malam gelap yang diselingi tiupan angin laut
berdiri di atas bukit karang, dalam hatinya yang dipikir adalah nasibnya jing
selalu dihina orang saja, maka terasalah olehnya se-akan2 setiap manusia di bumi
ini semuanya memandang rendah padanya, perasaannya seketika bergolak, ia
merasakan getirnya seorang anak piatu dan sesalkan akan nasib sendiri.
Padahal
apa yang Yo Ko bayangkan ini sebenarnya salah sama sekali justru karena tidak
ketemukan Yo Ko, Kwe Ceng tak bisa bersantap dengan hati tenteram ?
Nampak
suaminya merasa kesal, Oey Yong tahu percuma saja meski dia menghiburnya, maka
iapun tidak jadi makan sendirian melainkan terus kawani sang suami duduk
terdiam saja menghadap meja.
Begitulah
suami-isteri itu tidak bisa tidur semalaman, Besok paginya, belum terang tanah
kedua orang sudah lantas keluar buat mencari Yo Ko lagi.
Dilain
pihak sesudah Yo Ko menderita lapar sehari semalam, besoknya pagi2 sekali bocah
ini sudah tak tahan lagi, ia mengeluyur turun, ditepi sungai ia berhasil
menangkap beberapa ekor Swike atau kodok hijau, ia beset kulitnya dan kumpulkan
kayu kering, ia bermaksud akan makan kodok panggang, ia sudah biasa
bergelandangan maka cara makan sedemikian ini sudah biasa dilakukannya.
Tetapi
karena kuatir asap apinya dilihat Kwe Ceng, maka ia membakar kayu kering itu di
dalam sebuah gua, selesai paha kodok yang dia panggang segera ia sirapkan api
terus menggerogoti kodok itu dengan lahap, mungkin saking laparnya, ia
merasakan lezat dan nikmat sekali Swike panggang itu.
Selagi
ia mengunyah daging kodoknya dengan penuh cita rasa, tiba2 ia dengar ada suara
kresekan di luar gua dan disusul dengan suara yang mendesis, ia kenali itu
adalah suara merayap dan menyemburnya sebangsa ular.
Sambil
masih menggerogoti paha kodoknya, segera Yo Ko jalan ke mulut gua, betul saja
di sana ia lihat ada seekor katak sedang menghadapi seekor ular kembang yang
panjangnya hampir tiga kaki, kedua binatang ini sedang saling pandang tanpa
bergerak, Selang tak lama, mendadak ular kembang itu melonjak terus terjang
katak itu.
Namun
katak itu sudah siap sedia, tiba2 terdengar suara “kok-kok” dua kali, katak ini
mengap mulutnya dan menyemburkan uap yang tipis, berbareng ini tubuhnya
berkelit sedikit untuk hindarkan tubrukan ular tadi.
Karena
kena uap berbisa yang disemburkan katak tadi, ular kembang itu lantas
berjumpalitan terus jatuh terjungkal ke tanah, habis ini segera ular itu
melingkar dan tegak kepala menghadapi lawannya pula.
Yo
Ko jadi ketarik oleh pertarungan katak lawan ular ini, ia pikir tubuh katak
kasar dan berat, pula tidak punya gigi, akan tetapi ternyata berani bertarung
melawan seekor ular yang tidak terbilang kecil itu, sungguh harus dibuat heran.
Ia
lihat kedua binatang itu masih saling gebrak dengan ramainya, tiap2 kali ular
kembang itu menyerang dan menubruk, pasti si katak ada jalan buat batas
menyerang, Kalau yang menyerang aneka macam gaya perubahannya, maka yang
bertahan pun banyak sekali tipu akalnya untuk menjaga diri. Meski gigi ular
kembang itu sangat tajam, namun tetap tak dapat mengalahkan si katak.
Tak
lama lagi, karena ber-ulang2 kena disembur uap berbisa si katak, gerak-gerik
ular kembang itu mulai lamban dan kaku, makin lama malah makin terdesak di
bawah angin, sampai akhirnya rupanya insaf bukan tandingan lawannya lagi,
mendadak ular itu putar tubuh terus menyelinap masuk ke dalam semak.
Katak
itu ternyata tidak membiarkan musuhnya lari begitu saja, sambil mengeluarkan
suara “kok-kok-kok”, segera ia menguber.
Melihat
gerak-gerik katak itu dan mendengar suaranya, hati Yo Ko tergerak, ia merasa
gerak-gerik katak ini meski sangat aneh, tetapi tanpa terasa dirinya seperti
lebih suka padanya, apa sebabnya, inilah ia sendiri tidak mengerti.
Waktu
duduk di dalam gua, iapun mendengar suara panggilan Kwe Ceng, “Hm, kau panggil
aku keluar untuk kemudian menghajarku, kalau aku mau keluar kan tolol!”
demikian ia membatin.
Begitulah
malamnya ia tidur dalam gua itu sambil terduduk, dalam keadaan layap2 tiba2 ia
lihat Auwyang Hong masuk ke dalam gua dan berkata padanya: “Marilah anakku,
biar aku ajar kau berlatih ilmu!”
Yo
Ko menjadi girang, ia ikut keluar gua, di sana ia lihat Auwyang Hong lantas
berjongkok sambil bersuara “kok-kok” beberapa kali, lalu kedua telapak
tangannya mendorong ke depan.
Entah
mengapa, Yo Ko merasakan seluruh tubuhnya luar biasa gesitnya, ia tiru cara2
orang dan berlatih, terasa olehnya tiap pukulan dan tendangannya tiada satupun
yang keIiru.
Hingga
suatu saat tiba2 Auwyang Hong memukulnya, karena tak keburu berkelit “plak”,
ubun2 kepalang kena diketok hingga terasa sakit tidak kepalang, saking tak
tahannya sampai ia menjerit dan melonjak.
Akan
tetapi kembali terdengar suara “plok”, lagi kepalanya kena diketok, dalam
kagetnya Yo Ko menjadi sadar dan… busyet, hanya mimpi belaka.
Waktu
ia raba2 kepalanya, ternyata sudah benjol benjut karena benturan pada dinding
gua tadi. ia menghela napas panjang dan keluar gua, ia lihat keadaan sunyi
senyap, cakrawala yang membentang lebat di atas itu se-akan2 berlapiskan layar
hitam, hanya beberapa bintik bintang yang berkelap-kelip sekedar penghias alam.
Yo
Ko coba merenungkan apa yang diajarkan Auwyang Hong dalam mimpi tadi, namun
sedikitpun dia tidak ingat lagi, tatkala ia coba berjongkok sambil mulutnya
menirukan suara “kok-kok” beberapa kali, ia bermaksud menggunakan Ha-mo-kang
yang diperolehnya dari Auwyang Hong didekat kota Ling-oh-tin tempo hari untuk
dipraktekkan sekarang, tapi bagaimanapun ia meng-ingat2nya tetap tidak dapat
disalurkan melalui tangan atau kakinya.
Seorang
diri ia berdiri dipuncak bukit sambil memandangi lautan yang begitu luas,
terasa kekosongan hatinya semakin menjadi hampa.
Tiba2
dari arah lautan sana sayup2 terdengar suara teriakan orang yang keras panjang
sedang memanggil-manggilnya: “Ko-ji, Ko-ji!”
Mendengar
suara panggilan yang penuh daya tarik ini, tanpa kuasa lagi Yo Ko ber-lari2
turun ke bawah gunung, “Aku berada disini, aku berada disini.” demikian ia
berseru menjawab.
Walaupun
suara anak ini tidak begitu keras, tetapi Kwe Ceng sudah dapat mendengarnya,
maka lekas2 perahunya didayung menuju ke tempat Yo Ko berada, sesudah berjarak
beberapa tombak dari pesisir, dengan sekali lompat segera Kwe Ceng meninggalkan
perahunya, maka tertampaklah di bawah cahaya bintang yang remang2 dua sosok
bayangan orang pe-lahan2 makin mendekat, dengan kencang kemudian Kwe Ceng telah
berangkul Yo Ko ke dalam pangkuannya.
“Marilah
lekas pulang bersantap,” demikianlah kata2 yang tercetus dari mulut Kwe Ceng,
Saking terharunya sampai suaranya rada serak dan gemetar.
Begitulah,
setelah kedua orang berada kembali dalam rumah, segera Oey Yong siapkan nasi
hangat dan lauk-pauk untuk Yo Ko, terhadap kejadian yang telah lalu,
sepatah-katapun tidak di-ungkat2nya.
Besok
paginya, keempat anak: Yo Ko, Kwe Hu dan kedua saudara Bu, Tun-si dan Siu-bun,
oleh Kwe Ceng telah dikumpulkan diruangan besar, lalu Kwa Tin-ok diundang hadir
pula, kemudian keempat anak itu disuruh menjura di hadapan abu pemujaan
Kanglam-lak-koay (enam orang kosen dari Kanglam) yang sudah dialam baka itu.
“Toa-suhu,”
demikian Kwe Ceng berkata kepada Kwa Tin-ok, “hari ini Tecu (anak murid) mohon
idzin Suhu agar diperbolehkan menerima empat cucu muridmu ini.”
“Bagus,
bagus sekali,” sahut Kwa Tin-ok bergirang. “Nah, terimalah ucapan selamatku
ini!”
Yo
Ko bersama Tun-si dan Siu-bun lantas menjura pada Kwa Tin-ok. habis ini baru
memberi hormat pada Kwe Ceng dan Oey Yong sebagai upacara pengangkatan guru.
“Apa
akupun harus menjura, ibu?” dengan tertawa Kwe Hu bertanya.
“Sudah
tentu,” sahut Oey Yong.
Karena
itu, dengan tertawa haha-hihi anak nakal inipun menyembah pada ketiga orang tua
itu.
Mulai
hari ini kalian berempat adalah saudara seperguruan demikian Kwe Ceng memberi
petuah dengan sungguh2 dan keren, oIeh karena itu juga seterusnya kalian harus
hormat-menghormati daa cinta-mencintai, ada kesulitan sama2 dipikul. Kalau
kalian berempat berani berkelahi lagi, pasti tidak akan kuampuni.”
Habis
berkata ia pandang pula sekejap pada Yo Ko.
“Tentu
saja kau mengeloni anakmu sendiri,” demikian Yo Ko membatin dalam hati,
“Biarlah selanjutnya aku tidak akan sentuh dia lagi.”
MenyusuI
sebagai kakek gurunya, Kwa Tin-ok ikut menjelaskan juga peraturan perguruan
yang sudah umum, yakni tak boleh menganiaya orang yang lebih lemah, tak boleh
membantu yang jahat sehingga semakin jahat, tak boleh mencelakai orang yang tak
berdosa dan lain sebagainya.
“llmu
silat yang kupelajari terlalu banyak macamnya,” demikian Kwe Ceng berkata lagi,
“kecuali dasar yang kudapat dari Kanglam-chit-koay (tujuh orang aneh dari
Kanglam, Lak-koay tersebut di atas sudah wafat, ditambah Kwa Tin-ok), ilmu
Lwekang dari Coan-cin-pay dan ilmu silat ketiga aliran persilatan terbesar dari
Tang-Lam-Pak (Timur-Selatan-Utara, maksudnya, dari Tang-sia, Lam-te dan
Pak-kay), tentang ini akan diceritakan tersendiri, kesemua meski hanya sedikit,
tetapi kacang jangan lupa akan kulitnya, sebagai orang jangan lupa akan
asalnya, biarlah hari ini aku ajarkan kalian kepandaian asal dari Kwa-suco
(kakek guru she Kwa, maksudnya Kwa Tin-ok).”
Dan
selagi ia hendak uraikan titik2 pokok ajarannya, tiba2 Oey Yong melihat Yo Ko
sedang menunduk dengan terkesima, pada wajah anak ini ada semacam tanda aneh
yang sukar diucapkan, tanpa terasa ia jadi ingat pada berbagai kejadian yang
mencurigakan tempo hari itu.
“Meski
ayahnya bukan aku sendiri yang membunuhnya, tapi boleh dikatakan juga mati di
tangan-ku, jangan2 piara macan mendatangkan bencana hingga menjadi bibit
malabetaka yang besar,” demikian pikir Oey Yong.
Setelah
putar otak sejenak, segera ia mendapatkan suatu jalan.
“Seorang
diri kau terlalu berat mengajar empat anak, biarlah aku yang mengajar Ko-ji,”
katanya kemudian.
“Bagus,
bagus sekali usulmu !” seru Kwa Tin-ok dengan ketawa sebelum Kwe Ceng menjawab,
“Dan kalian suami isteri boleh berlomba, lihat saja murid siapa kelak yang
terpandai.”
Mendengar
usul isterinya ini, dalam hati Kwe Ceng bergirang juga, ia tahu kepintaran Oey
Yong beratus kali di atas dirinya, cara mengajarnya pasti jauh lebih baik
daripadanya, maka ber-ulang-2 ia pun menyatakan bagus dan akur.
“Tetapi
kita harus menetapkan satu syarat,” demikian Oey Yong kemukakan pendapatnya
lagi, “Sekali-kali tak boleh kau mengajarkan Ko-ji, sebaliknya akupun tidak
boleh mengajar mereka bertiga. Pula diantara keempat anak inipun tak boleh
saling belajar, sebab kalau ilmu yang dilatihnya bercampur aduk, hanya ada jeleknya
dan tiada paedahnya.”
“Ya,
sudah tentu.” sahut Kwe Ceng setuju lagi.
“Nah,
Ko-ji, ikutlah padaku,” kata Oey Yong.
Memang-nya
Yo Ko sedang benci pada Kwe Hu serta kedua saudara Bu itu, kini mendengar
keinginan Oey Yong bahwa dirinya tidak akan berlatih setempat dengan mereka,
ini justru cocok dengan pikirannya, maka ia lantas ikut Oey Yong masuk ke
ruangan dalam.
Di
luar dugaannya, bukannya Oey Yong membawanya ke lapangan berlatih silat
melainkan ia dibawa ke kamar baea, disini Oey Yong- mengambil sebuah kitab dari
rak buku dan berkata padanya:
“Gurumu
mempunyai tujuh orang Suhu yang dijuluki Kanglam-chit-koay, Toasuhu ialah
Kwa-kong-kong itu, Jisuhu (guru kedua) bernama Cu Jong dan berjuluk
Biau-jiu-su-seng si sastrawan bertangan sakti), maka kini lebih dulu aku ingin
ajarkan kepandaian Cu-suco saja.”
Sembari
berkata ia lantas buka kitab yang dia ambil dari rak tadi, dengan suara lantang
segera ia membacanya.
Dalam
hati Nya Ko menjadi heran, namun ia tak berani banyak bertanya, terpaksa ia
ikut membaca dan belajar menulis,
Begitulah
be-runtun2 beberapa hari ia hanya di-ajar membaca oleh Oey Yong dan selamanya
tidak pernah menyinggung tentang ilmu silat.
Suatu
hari, sehabis berseko!ah, seorang diri Yo Ko ber-jalan2 iseng ke atas gunung,
tiba2 ia teringat pada nyali angkatnya yaitu Auyang Hong yang tidak
diketahuinya berada dimana kini, Teringat pada sang ayah angkat tak tahan lagi
ia lantas berjumpalitan dan menjungkir tubuh, ia menirukan cara yang pernah
dipelajarinya itu, tubuhnya yang menjungkir itu segera berputar cepat
Setelah
ber-putar2 dengan menjungkir, kemudian ia ikuti petunjuk yang pernah
diterimanya dari Auw-yang Hong untuk menjalankan jalan darah secara terbalik,
terasa olehnya semakin berputar semakin lancar. Kemudian waktu ia melompat
bangun, mendadak ia berseru “kok” sekali berbareng kedua telapak tangannya
dipukulkan ke depan, habis ini ia merasa seluruh badan menjadi segar dan enak
sekali, segera pula mengeluarkan keringat hingga membasahi sekujur badan. Nyata
ia tidak tahu bahwa dengan latihannya ini tenaga dalamnya sudah maju jauh
sekali.
Hendaklah
diketahui bahwa ilmu yang diciptakan Auwyan Hong yang khas itu meski bukan
tergolong ilmu yang baik, tetapi justru merupakan semacam ilmu kepandaian yang
luar biasa lihaynya, pula pembawaan Yo Ko memang berotak encer dan mudah
menerima, apa yang dia pelajari dalam tempo yang singkat meski cuma sedikit,
namun tanpa terasa dan diluar tahu ia sudah menuju ke aliran ilmu silat Pak
to-san (gunung Onta putih).
Sejak
itulah, maka tiap2 hari Yo Ko lantas belajar sekolah dengan Oey Yong, kalau
pagi atau petang-nya ada kesempatan segera ia pergi ke tempat sunyi di kaki
bukit untuk melatih diri, sebenarnya bukan maksudnya ingin melatih diri agar
bisa menjadikan seorang kosen yang disegani, tetapi entah mengapa, tiap2 kali
sehabis ia berlatih, selalu dirasakannya luar biasa enak dan segar badannya.
Demikianlah
secara diam2 Yo Ko melatih ilmu sendiri, Kwe Ceng dan Oey Yong sedikitpun
ternyata tidak tahu.
Maka
tiada sebulan, kitab ‘Lun-gi’ (salah satu kitab ajaran Nabi Khongcu) yang Oey
Yong jadikan mata pelajaran untuk Yo Ko sudah selesai semua, Begitu apal isi
kitab tsb, sampai Yo Ko sanggup membaca-di luar kepala, cuma isi dan arti kitab
yang diajarkan itu, sama sekali ia anti, tidak setuju, maka seringkali ia sengaja
kemukakan bantahan2.
Padahal
Oey Yong sendiripun seribu kali tidak sepaham dengan segala isi kitab yang
diajarkan Khong-hucu itu, ia sendiri sesungguhnya juga jemu, hanya lapat2
perasaannya se-akan2 punya firasat: “Kalau anak ini diberi pelajaran ilmu
silat, kelak pasti akan menjadi bibit bencana saja, lebih baik kalau ajarkan
dia ilmu sastra, biar dia kenyang dengan teori2 isi kitab saja, buat dia dan
buat orang lain mungkin malah ada baiknya.”
Dengan
ketetapan itulah, dengan maksud baik ia mengajar Yo Ko bersekolah, Maka sehabis
kitab “Lun-gi” lantas disusul dengan kitab “Beng-cu”.
Karenanya,
beberapa bulan sudah lewat, selama itu tidak pernah Oey Yong berbicara
sepatah-katapun tentang ilmu silat.
Yo
Ko cukup tahu diri juga, melihat orang tidak omong, iapun tidak mau tanya,
hanya hidup di pulau ini dirasakan semakin hampa, ia tahu pula meski Kwe Ceng
menerima dirinya sebagai murid, tetapi ilmu silat pasti tidak akan diajarkan
padanya, Sedang kini saja ia bukan tandingan Bu Tun-si dan Bu Siu-bun, apalagi
setahun atau dua tahun lagi jika mereka mendapat pelajaran silat dari Kwe Ceng,
bila mereka berkelahi lagi pasti ia akan mampus ditangan mereka. Karena pikiran
inilah, ia ambil keputusan, apabila ada kesempatan segera ia akan berdaya-upaya
buat meninggalkan pulau,
Pada
satu sore hari, sehabis Yo Ko belajar membaca pada Oey Yong, seorang diri ia
ber-jalan2 iseng di tepi laut, dengan memandangi ombak laut yang men-dampar2
berdeburan, dalam hati ia pikir entah kapan baru bisa melepaskan diri dari
kurungan ini, bila terlihat olehnya burung laut yang terbang kian kemari, ia
menjadi terharu dan kagum akan kebebasan burung2 yang tak terbatas itu.
Tengah
ia ter-menung2, tiba2 ia dengar di balik hutan pohon Tho sana ada suara
berkesiurnya angin, ia jadi tertarik, diam2 ia memutar ke sebelah sana dan
mengintip, maka tertampaklah olehnya, Kwe Ceng sedang memberi pelajaran silat
pada kedua saudara Bu disuatu tanah lapang.
Ia
lihat Kwe Ceng sedang memberi petunjuk3 sambil kaki-tangannya memberi contoh
dan menyuruh ketiga saudara Bu itu menirukannya.
Bagi
Yo Ko yang cerdas, hanya sekali lihat saja ia sudah tahu di mana letak intisari
jurus tipu ini, tapi bagi Bu Tun-si dan Bu Siu-bun, walau sudah belajar pergi
datang, masih belum juga mereka pahami.
Kwe
Ceng sendiri memangnya juga berotak puntuI, pada waktu kecilnya ia sendiri
sudah merasakan pahit-getirnya belajar, maka kini sedikitpun ia tidak merasa
jemu dan masih terus memberi dengan petunjuk dengan penuh sabar.
“Hm,
jika Kwe-pepek mau ajarkan padaku, tidak nanti aku begitu goblok seperti
mereka,” kata Yo Ko di dalam hati sambil menghela napas diam2. Oleh karena
kesal hati, dia lantas kembali ke kamarnya untuk tidur.
Petangnya
sehabis bersantap dan setelah mengulangi pelajaran kitabnya terasa olehnya luar
biasa isengnya, maka ia pergi ke tepi laut lagi, di sana ia menirukan
gerak-gerik ilmu silat yang dimainkan Kwe Ceng siang tadi. Namun tipu silat
yang cuma dua tiga gerakan ini, sesudah dimainkan pergi datang, akhirnya ia
merasa bosen juga.
Tiba2
hatinya tergerak, “Mulai besok, diam2 akan mengintip dan mencuri belajar ilmu
silatnya, siapa yang melarang aku?” demikian ia pikir.
Oleh
karenanya rasa mendongkolnya yang tertahan sekian lamanya segera menjadi
lapang, dengan berpeluk dengkul ia duduk bersandar batu karang tepi laut,
akhirnya iapun tertidur.
Entah
sudah berapa lama ia tenggelam dalam alam impiannya ketika tiba2 ia dikagetkan
bunyi suara rantai besi yang gemerincing hingga ia terjaga dari tidurnya, waktu
ia mengintai dari belakang batu karang itu, kiranya di tepi laut sana telah
bertambah dengan sebuah perahu layar, suara gemerincing rantai tadi kiranya
disebabkan perahu layar itu membuang sauh buat berlabuh.
Tak
antara lama, dari perahu itu muncul dua orang terus melompat ke daratan, gerak
tubuh mereka ternyata cepat dan sebat luar biasa.
Setelah
berada di daratan, mula2 kedua orang itu mendekam dan melongak-longok dahulu ke
sekeliling habis ini pe-lahan2 mereka merayap maju ke tengah pulau.
Melihat
kelakuan kedua orang ini terang tidak mengandung maksud baik, Yo Ko berpikir:
“Jalanan di pulau ini belak-belok dan lika-liku, kalian ini hanya antar
kematian belaka.”
Oleh
karena itu, ia mengkeret tubuhnya supaya tidak dilihat kedua orang itu, ia
tidak berani bergerak, dalam pada itu kedua orang tadi sudah merayap semakin
jauh.
Ketika
pandangannya mengikuti bayangan kedua orang itu, mendadak ia lihat sesuatu di
tempat jauh, tanpa tertahan ia terkejut.
Kiranya
dibawah satu pohon Liu ada sesosok bayangan orang yang kecil berbaju putih
dengan berjungkir sedang memutar dengan cepat dengan cara sebagaimana biasanya
kalau dirinya berlatih ilmu ajaran Auwyang Hong itu, melihat bentuk tubuh orang
berjungkiran itu jelas bukan lain lagi dari pada Kwe Hu adanya.
Tentu
saja Yo Ko ter-heran2 melihat kelakuan dara cilik itu, “Apa Kwe-pepek juga
ajarkan ilmu kepandaian semacam ini ?” demikian ia ber-tanya2 dalam hati.
Tetapi segera pula ia mengerti : “Aha, tentu pada waktu aku sedang berlatih
telah dapat dilihat dia dan sekarang dia menirukan caraku itu untuk main-main.”
Dalam
pada itu, kedua sosok bayangan tadi sudah makin dekat dengan Kwe Hu, Mungkin
saking asyiknya berputar kayun dengan tubuhnya itu, sama sekali Kwe Hu tidak
berasa kalau ada orang lain mendekatinya, sesaat kemudian, mendadak kedua orang
itu melompat maju, tubuh anak perempuan ini terus dirangkul, seorang lagi dekap
mulut yang mungil itu dengan tangannya, sedang yang satu lagi, keluarkan seutas
tali terus meringkus seluruh badan Kwe Hu, bahkan mulutnya disumbat dengan
sepotong saputangan.
Perbuatan
kedua orang itu ternyata cepat dan berhasil dengan baik, hanya sekejap saja
mereka sudah meletakkan Kwe Hu yang tak bisa berkutiik itu ke dalam semak2,
habis ini mereka melanjutkan merayap ke depan.
Menyakksikan
kejadian aneh ini, mulut Yo Ko sampai ternganga, hatinya pun berdebar-debar dan
kuatir pula, ia tidak tahu apa maunya kedua pendatang itu.
Mata
Yo Ko cukup tajam, meski dalam keadaan gelap ia masih bisa melihat jelas
gerak-gerik kedua orang tadi, ia lihat sesudah merangikak-rangkak maju lagi,
setelah hampir sampai di jalan masuk ke perkampungan, rupanya mereka mengerti
juga lihaynya Tho-hoa-to yang sudah diatur oleh Ui Yok-sau, maka mereka tak
berani maju lagi, mereka lantas keluarkan sehelai kertas putih, seorang lantas
meng-gambar2 di atas kertas itu dengan menggunakan alat tulis, melihat kelakuan
mereka, rupanya mereka sedang mencuri melukis peta keadaan pulau ini untuk
digunakan kemudian kalau melakukan penyerbuan ke sini.
“Jika
sekarang juga aku bertariak, sebelum Kwe- pepek sempat keluar tentu aku sudah
dibunuh mereka lebih dulu,” demikian diam2 Yo Ko membikin perhitungan dalam
hati. .
Mendadak
pikirannya tergerak, tiba2 ia ambil suatu keputusan yang luar biasa beraninya,
“Ya, biar diam2 aku masuk ke dalam perahu mereka, jika beruntung tidak konangan
mereka, tentu aku akan berhasil melarikan diri dari pulau ini,” demikian ia
berpikir.
Sesudah
ambil keputusan ini, iapun tidak pusing apa perbuatannya ini berbahaya tidak,
segera ia me-rayap2 mendekati perahu yang berlabuh itu.
Setelah
dekat, selagi ia hendak merayap ke atas perahu, tiba2 terdengar suara “krak”
dari dalam perahu, menyusul ini papan geladak perahu itu terbuka, dari dalamnya
menongol satu orang untuk kemudian melompat ke pesisir.
Tidak
kepalang kaget Yo Ko oleh munculnya orang yang se-konyong2 ini, lekas2 ia
mendekam ke bawah lagi.
Sementara
kedua orang yang duluan tadi rupanya telah mendengar juga, yang seorang
memondong Kwe Hu, satunya lagi lantas kembali ke perahu hendak memeriksa apa
yang terjadi.
Akan
tetapi orang yang muncul belakangan ini telah sembunyi di belakang gundukan
pasir tepi laut, ia tidak memapaki kedua orang yang duluan, nyata mereka bukan
kawan sendiri.
Waktu
itu Yo Ko berada di belakang orang yang muncul belakangan itu, maka ia bisa
menyakitkan semua dengan terang, makin lihat ia semakin heran, ia lihat yang
pondong Kwe Hu itu telah kembali ke dalam perahu, sedang kawannya menengok
sekelilingnya dan mendekati gundukan pasir tadi, namun orang yang sembunyi itu
masih belum ber-gerak, ia menunggu ketika orang sudah dekat, se-konyong2 ia
melompat keluar, diantara berkelebatnya sinar putih, sekali serang saja ia
telah tancapkan belatinya di atas dada orang.
Tidak
ampun lagi tanpa bersuara sedikitpun, orang yang diserang itu roboh terguling.
Mendengar
suara gedebukan karena jatuhnya tubuh itu, orang yang berada di atas perahu
tadi rupanya menjadi curiga. “Lo-toa, ada apa ?” ia coba tanya sang kawan.
Lekas2
penyerang tadi mencabut belatinya, ia sembunyi pula ke belakang gundukan pasir
dan menjawab dengan suara yang ditahan dan di-bikin2:
“”Aneh,
aneh !”
Mendengar
suara yang samar2, tetapi lama juga tidak melihat kawannya kembali orang di
dalam perahu menjadi khawatir, dengan langkah lebar segera ia menuju gundukan
pasir tadi.
Melihat
orang tinggalkan perahunya, Yo Ko pikir jangan sia2kan kesempatan baik ini,
maka dengan cepat ia merayap ke tepi perahu, ia niat mengangkat sauh untuk
kemudian menjalankan perahunya.Pada saat itu juga terdengar olehnya suara
jeritan ngeri, nyata belati si pembunuh tadi telah ambil korban lagi.
Sementara
itu Yo Ko lagi angkat rantai jangkar tapi sebelum jangkar kena ditarik, rantai
besi itu sudah mengeluarkan suara gemerincing lebih dulu. Karenanya ia tahu
gelagat jelek, segera ia hendak melarikan diri, namun sudah terlambat, ia lihat
si pembunuh tadi dengan mulut menggigit belati yang masih-teteskan darah telah
melompat ke atas perahu.
Di
bawah sinar bulan Yo Ko dapat melihat pakaian orang yang compang-camping,
mukanya penuh noda darah, rupanya beringas menakutkan.
Keruan
Yo Ko menjadi kelabakan bingung, Dalam keadaan demikian otomatis ia berjongkok,
mulutnya bersuara “kak-kok” dua kali, kedua telapak tangannya mendadak didorong
kedepan pula.
Tatkala
itu kaki orang tadi belum sempat menancap di atas perahu, karena serangan
Ha-mo-kang ini dalam keadaan masih terapung di udara orang itu mendadak jatuh
terjengkang kebelakamg dan terbanting masuk laut habis ini sedikitpun tidak
berkutik lagi.
Karena
serangan ini, Yo Ko berbalik terkesima malah, ia terpaku di tempatnya dan tidak
tahu apa yang harus dilakukannya lebih lanjut.
“He,
Ha-mo-kang ini kau dapat belajar dari mana ? Dan Auwyang Hong mana dia ?” tiba2
terdengar suara teriakan Oey Yong dari jauh.
Ketika
Yo Ko angkat kepalanya, terlihat bagaikan terbang cepatnya Kwe Ceng dan Oey
Yong sedang mendatangi. Agaknya karena mendengar suara2 yang mencurigakan dan
kehilangan Kwe Hu, maka mereka lekas2 datang mencarinya.
Dalam
pada itu saking ketakutan tadi, semangat Yo Ko masih belum pulih, lebih2 ia
tidak mengerti Ha-mo-kang yang biasa dilatihnya untuk main2 belaka ternyata
bisa begini lihay, oleh karena itulah ia masih ter-mangu2 dan tidak menjawab
seruan Oey Yong tadi.
Waktu
kemudian Kwe Ceng menarik dan memeriksa orang yang kecemplung ke laut itu,
tiba2 ia berseru kaget: “Yong-ji, ini kawan dari Kay-pang” (kaum pengemis).”
Pada
dada orang itu terdapat noda darah, napasnya sudah lama putus.
Oey
Yong menjadi gusar bercampur kaget, nampak keadaan luka orang itu, dengan
sekali cengkeram ia pegang lengan Yo Ko dan menanya dengan suara bengis :
“Hayo, katakan !”
Cengkeraman
Oey Yong ini dirasakan sakit sekali pada lengan Yo Ko, tetapi ia mengertak gigi
dengan kencang, ia menahan sakit dan tetap tutup mulut tanpa menjawab.
Ketika
Kwe Ceng menoleh, tertampak olehnya di belakang gundukan pasir sana menggeletak
dua orang puIa, lekas ia melompat ke sana buat memeriksanya, ia dapatkan pula
peta yang digambar kedua orang itu, “He, Yong-ji, lekas sini!” serunya pada
sang isteri.
Segera
Oey Yong melepaskan Yo Ko dan mendekati Kwe Ceng, di belakang gundukan pasir
itu mereka berembuk dengan suara pelahan sampai lama.
Dalam
pada itu kejadian ini telah diketahui Kwa Tin-ok juga, orang inipun menyusul
tiba, maka mereka lantas berunding bertiga orang.
Sesudah
bicara agak lama, kemudian Kwe Ceng melepaskan puterinya dahulu dari ringkusan
musuh tadi, habis ini ia berkata pada Yo Ko: “Ko-ji, kau kurang cocok tinggal
di pulau ini, biar aku antar kau ke Tiong-yang-kiong di Cong-lam-sam, di sana
kau bisa belajar silat di bawah petunjuk Tiang-jim-cu Khu-cinjin dari
Coan-cin-kau.”
Keputusan
yang diambil Kwe Ceng secara tiba2 ini, seketika Yo Ko menjadi bingung se-akan2
kehilangan sesuatu, maka ia hanya mengangguk pelahan saja.
Maka
besok paginya, setelah membekal perlengkapan seperlunya berangkatlah Kwe Ceng
bersama Yo Ko sesudah mohon diri pada Oey Yong serta Kwe Hu dan kedua saudara
Bu, mereka berlayar menuju pantai timur daerah Tjiatkang.
Sesudah
mendarat, Kwe Ceng beli dua ekor kuda dan melanjutkan perjalanan ke utara
bersama Yo Ko.
Selamanya
belum pernah Yo Ko menunggang kuda, tetapi karena Lwekang yang dia latih sudah
ada dasarnya, maka setelah berlari beberapa hari sudah cukup pandai dan bisa
menguasai binatang tunggangannya, Bahkan karena hati-mudanya, setiap hari ia
malah melarikan kudanya didepan Kwe Ceng.
Tidak
seberapa hari, sesudah menyeberangi Hong-ho (Huangho, sungai Kuning), mereka
telah memasuki daerah Siamsay.
Tatkala
itu negeri Kim (Chin) sudah dibasmi oleh bangsa Mongol (Jengis Khan beserta
putera2nya), maka di utara Hong-ho boleh dikatakan merupakan dunianya bangsa
Mongol.
Dimasa
mudanya Kwe Ceng sendiri pernah menjabat sebagai panglima dalam pasukan Mongol
(ia pernah diangkat menjadi menantu Tumujin yang kemudian terkenal sebagai
Jengis Khan), ia kuatir kalau kesamplok dengan bekas bawahannya dan mungkin
akan mendatangkan kesulitan, maka dia lantas tukarkan kuda mereka dengan
keledai yang kurus dan jelek, ia ganti pakaian pula dengan baju yang terbuat
dari kain kasar, ia menyamar seperti orang desa atau kaum petani saja.
Berlainan
dengan Yo Ko yang berhati muda, sesungguhnya dalam hati ia seribu kali tidak
sudi memakai baju yang berbau kampungan seperti Kwe Ceng itu, tetapi selamanya
ia tak berani bantah kata2 sang paman, maka terpaksa dia mengenakan baju kasar,
kepalanya dibelebat pula dengan ikat kain biru. dan menunggang keledai yang
kurus jelek.
Justru
keledai yang dia tunggangi ini buruk pula wataknya, jalannya sudah lambat,
berulang kali masih ngambek lagi, maka sepanjang jalan selalu Yo Ko cekcok saja
dengan binatang tunggangannya ini.
Hari
itu mereka telah sampai di daerah Hoanjoan, tempat ini indah permai pemandangan
alamnya. Melihat keindahan alam semesta yang menarik ini, meski sejak
meninggalkan Tho-hoa-to dan karena mendongkol hatinya hingga selama ini tidak
pernah Yo Ko menyebut lagi tentang pulau bunga Tho itu, namun kini tanpa tertahan
ia membuka suara.
“Kwe-pepek,
tempat ini hampir mirip dengan Tho-hoa-to kita,” demikian ia bilang pada Kwe
Ceng.
Hati
Kwe Ceng memang luhur dan berbudi, mendengar anak ini bilang “Tho-hoa-to kita”,
tanpa terasa ia jadi terharu.
“Ko-ji,”
sahutnya kemudian, “Cong-lam-san sudah tidak jauh lagi dari sini, ilmu silat
Coan-cin-kau adalah ilmu kepandaian terkemuka di bumi ini, selanjutnya kau
harus belajar secara baik2. Beberapa tahun lagi tentu aku akan datang lagi buat
menjemput kau pulang ke Tho-hoa-to.”
Mendengar
kata2 terachir ini, cepat Yo Ko melengos.
“Tidak,
selama hidupku ini tidak akan kembali lagi ke Tho-hoa-to,” katanya kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar