Kamis, 08 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 9



Kembalinya Pendekar Rajawali 09

Dalam detik yang sangat berbahaya itu, mendadak mereka merasa punggung mereka se-akan2 ditarik, tahu2 tubuh mereka mumbul ke udara, menyusul mana terdengarlah suara kaokan burung rajawali tubuh mereka sudah dibawa terbang melintasi bukit.
Kiranya sepasang burung rajawali itu lagi terbang memain di atas udara, menggelindingnya batu besar tadi telah dilihat mereka, syukurlah dengan cepat kedua burung ini masih sempat menolong jiwa Tun-si dan Siu-bun.
Sementara batu besar tadi dengan menerbitkan suara gemuruh keras, tidak sedikit pepohonan telah diterjangnya hingga akhirnya menggelinding masuk kelaut.
Oey Yong mendengar juga suara kaokan rajawali yang menandakan rasa kuatir tadi disusul pula suara gemuruh yang aneh, maka lekas2 ia berlari keluar dari rumah, tertampak olehnya debu pasir berhamburan puterinya kelihatan bersembunyi di semak2 pinggir gunung, dalam takutnya sampai anak perempuan ini tak sanggup mengeluarkan suara tangisan.
Dalam pada itu kedua burung rajawali yang mencengkeram kedua saudara Bu dengan pelahan kemudian turun kehadapan Oey Yong sambil tegang leher dan pentang sayap, kedua burung ini seperti lagi unjuk jasa mereka dihadapan sang majikan.
Dengan aleman Kwe Hu menjatuhkan diri ke dalam pangkuan sang ibu, lalu menangis ter-sedu2, sesudah menangis sejenak, kemudian baru ia ceritakan cara bagaimana ia telah dipukul Yo Ko. ia ceritakan juga bagaimana kedua saudara Bu telah membela dirinya dan Yo Ko telah mendorong batu besar itu hendak menggilas mati kedua bocah itu.
Demikianlah ia tumplekkan semua kesalahan pada Yo Ko, tetapi ia sendiri menginjak mati jangkerik orang dan cara bagaimana kedua saudara Bu memukul Yo Ko, semua ini dia tutup dan tidak dituturkan
Sehabis mendengar, Oey Yong kelihatan termangu2, ia tidak bersuara.
Dalam pada itu Kwe Ceng sudah menyusul datang juga, waktu ia lihat muka dan baju Tun-si berlepotan darah, ia kaget ia tanya sebab-musababnya, dalam hati iapun merasa marah.
Tetapi ia kuatir pula terjadi sesuatu atas diri Yo Ko, maka lekas2 ia lari ke atas bukit buat mencarinya.
Akan tetapi meski ia sudah mencari kian kemari, dari depan sampai belakang bukit ternyata sama sekali tidak nampak bayangan bocah itu.
“Ko-ji, Ko-ji!” ia berteriak, Namun tetap tidak ada suara sahutan.
Teriakannya ini dia lakukan dengan keras dan di atas bukit, dalam lingkaran seluas belasan li pasti dengar akan suaranya, tetapi aneh, tetap Yo Ko tidak kelihatan.
Sesudah menunggu lagi dan tetap masih belum berhasil, Kwe Ceng menjadi makin kuatir, segera ia dayung sebuah perahu kecil mengelilingi pulau buat mencari, tetapi sampai petang masih belum juga diketemukan jejak Yo Ko.
Kiranya sehabis dorong batu pegunungan yang besar itu dan menyaksikan pula kedua rajawali berhasil menolong kedua saudara Bu, dari jauh Yo Ko melihat pula Oey Yong keluar dari rumah, ia tahu sekali ini dirinya pasti akan didamperat habis2an, oleh karena itu ia lantas sembunyi di sela2 batu cadas yang besar dan tak berani keluar, ia dengar juga suara panggilan Kwe Ceng, namun ia tak berani menyahut.
Begitulah dengan menahan lapar Yo Ko sembunyi di antara sela2 batu cadas, ia tak berani sembarang bergerak, ia lihat cuaca mulai remang2 hingga akhirnya menjadi gelap.
Selang tak lama, kerlipan bintang2 di langit diiringi pula hembusan angin laut yang silir semilir, Yo Ko merasakan badannya rada menggigil.
Ia keluar dari tempat sembunyinya dan memandang ke bawah, ia lihat rumah yang terbangun bagus dibawah sana sudah ada sinar lampu, ia membayangkan saat itu tentunya Kwe Ceng dan Oey Yong suami isteri, Kwe Hu dan kedua saudara Bu sedang mengitari meja dan bersantap, terbayang pula olehnya diatas nnya yang penuh dengan lauk-pauk, daging ayam, itik dan lain2 yang enak2, tanpa terasa ia menelan liur beberapa kali.
Akan tetapi segera terpikir pula olehnya pasti mereka sedang mencaci maki habis2an padanya, teringat akan ini, tanpa tertahan Yo Ko meluap juga amarahnya.
Bocah berusia sekecil dia ini, dalam malam gelap yang diselingi tiupan angin laut berdiri di atas bukit karang, dalam hatinya yang dipikir adalah nasibnya jing selalu dihina orang saja, maka terasalah olehnya se-akan2 setiap manusia di bumi ini semuanya memandang rendah padanya, perasaannya seketika bergolak, ia merasakan getirnya seorang anak piatu dan sesalkan akan nasib sendiri.
Padahal apa yang Yo Ko bayangkan ini sebenarnya salah sama sekali justru karena tidak ketemukan Yo Ko, Kwe Ceng tak bisa bersantap dengan hati tenteram ?
Nampak suaminya merasa kesal, Oey Yong tahu percuma saja meski dia menghiburnya, maka iapun tidak jadi makan sendirian melainkan terus kawani sang suami duduk terdiam saja menghadap meja.
Begitulah suami-isteri itu tidak bisa tidur semalaman, Besok paginya, belum terang tanah kedua orang sudah lantas keluar buat mencari Yo Ko lagi.
Dilain pihak sesudah Yo Ko menderita lapar sehari semalam, besoknya pagi2 sekali bocah ini sudah tak tahan lagi, ia mengeluyur turun, ditepi sungai ia berhasil menangkap beberapa ekor Swike atau kodok hijau, ia beset kulitnya dan kumpulkan kayu kering, ia bermaksud akan makan kodok panggang, ia sudah biasa bergelandangan maka cara makan sedemikian ini sudah biasa dilakukannya.
Tetapi karena kuatir asap apinya dilihat Kwe Ceng, maka ia membakar kayu kering itu di dalam sebuah gua, selesai paha kodok yang dia panggang segera ia sirapkan api terus menggerogoti kodok itu dengan lahap, mungkin saking laparnya, ia merasakan lezat dan nikmat sekali Swike panggang itu.
Selagi ia mengunyah daging kodoknya dengan penuh cita rasa, tiba2 ia dengar ada suara kresekan di luar gua dan disusul dengan suara yang mendesis, ia kenali itu adalah suara merayap dan menyemburnya sebangsa ular.
Sambil masih menggerogoti paha kodoknya, segera Yo Ko jalan ke mulut gua, betul saja di sana ia lihat ada seekor katak sedang menghadapi seekor ular kembang yang panjangnya hampir tiga kaki, kedua binatang ini sedang saling pandang tanpa bergerak, Selang tak lama, mendadak ular kembang itu melonjak terus terjang katak itu.
Namun katak itu sudah siap sedia, tiba2 terdengar suara “kok-kok” dua kali, katak ini mengap mulutnya dan menyemburkan uap yang tipis, berbareng ini tubuhnya berkelit sedikit untuk hindarkan tubrukan ular tadi.
Karena kena uap berbisa yang disemburkan katak tadi, ular kembang itu lantas berjumpalitan terus jatuh terjungkal ke tanah, habis ini segera ular itu melingkar dan tegak kepala menghadapi lawannya pula.
Yo Ko jadi ketarik oleh pertarungan katak lawan ular ini, ia pikir tubuh katak kasar dan berat, pula tidak punya gigi, akan tetapi ternyata berani bertarung melawan seekor ular yang tidak terbilang kecil itu, sungguh harus dibuat heran.
Ia lihat kedua binatang itu masih saling gebrak dengan ramainya, tiap2 kali ular kembang itu menyerang dan menubruk, pasti si katak ada jalan buat batas menyerang, Kalau yang menyerang aneka macam gaya perubahannya, maka yang bertahan pun banyak sekali tipu akalnya untuk menjaga diri. Meski gigi ular kembang itu sangat tajam, namun tetap tak dapat mengalahkan si katak.
Tak lama lagi, karena ber-ulang2 kena disembur uap berbisa si katak, gerak-gerik ular kembang itu mulai lamban dan kaku, makin lama malah makin terdesak di bawah angin, sampai akhirnya rupanya insaf bukan tandingan lawannya lagi, mendadak ular itu putar tubuh terus menyelinap masuk ke dalam semak.
Katak itu ternyata tidak membiarkan musuhnya lari begitu saja, sambil mengeluarkan suara “kok-kok-kok”, segera ia menguber.
Melihat gerak-gerik katak itu dan mendengar suaranya, hati Yo Ko tergerak, ia merasa gerak-gerik katak ini meski sangat aneh, tetapi tanpa terasa dirinya seperti lebih suka padanya, apa sebabnya, inilah ia sendiri tidak mengerti.
Waktu duduk di dalam gua, iapun mendengar suara panggilan Kwe Ceng, “Hm, kau panggil aku keluar untuk kemudian menghajarku, kalau aku mau keluar kan tolol!” demikian ia membatin.
Begitulah malamnya ia tidur dalam gua itu sambil terduduk, dalam keadaan layap2 tiba2 ia lihat Auwyang Hong masuk ke dalam gua dan berkata padanya: “Marilah anakku, biar aku ajar kau berlatih ilmu!”
Yo Ko menjadi girang, ia ikut keluar gua, di sana ia lihat Auwyang Hong lantas berjongkok sambil bersuara “kok-kok” beberapa kali, lalu kedua telapak tangannya mendorong ke depan.
Entah mengapa, Yo Ko merasakan seluruh tubuhnya luar biasa gesitnya, ia tiru cara2 orang dan berlatih, terasa olehnya tiap pukulan dan tendangannya tiada satupun yang keIiru.
Hingga suatu saat tiba2 Auwyang Hong memukulnya, karena tak keburu berkelit “plak”, ubun2 kepalang kena diketok hingga terasa sakit tidak kepalang, saking tak tahannya sampai ia menjerit dan melonjak.
Akan tetapi kembali terdengar suara “plok”, lagi kepalanya kena diketok, dalam kagetnya Yo Ko menjadi sadar dan… busyet, hanya mimpi belaka.
Waktu ia raba2 kepalanya, ternyata sudah benjol benjut karena benturan pada dinding gua tadi. ia menghela napas panjang dan keluar gua, ia lihat keadaan sunyi senyap, cakrawala yang membentang lebat di atas itu se-akan2 berlapiskan layar hitam, hanya beberapa bintik bintang yang berkelap-kelip sekedar penghias alam.
Yo Ko coba merenungkan apa yang diajarkan Auwyang Hong dalam mimpi tadi, namun sedikitpun dia tidak ingat lagi, tatkala ia coba berjongkok sambil mulutnya menirukan suara “kok-kok” beberapa kali, ia bermaksud menggunakan Ha-mo-kang yang diperolehnya dari Auwyang Hong didekat kota Ling-oh-tin tempo hari untuk dipraktekkan sekarang, tapi bagaimanapun ia meng-ingat2nya tetap tidak dapat disalurkan melalui tangan atau kakinya.
Seorang diri ia berdiri dipuncak bukit sambil memandangi lautan yang begitu luas, terasa kekosongan hatinya semakin menjadi hampa.
Tiba2 dari arah lautan sana sayup2 terdengar suara teriakan orang yang keras panjang sedang memanggil-manggilnya: “Ko-ji, Ko-ji!”
Mendengar suara panggilan yang penuh daya tarik ini, tanpa kuasa lagi Yo Ko ber-lari2 turun ke bawah gunung, “Aku berada disini, aku berada disini.” demikian ia berseru menjawab.
Walaupun suara anak ini tidak begitu keras, tetapi Kwe Ceng sudah dapat mendengarnya, maka lekas2 perahunya didayung menuju ke tempat Yo Ko berada, sesudah berjarak beberapa tombak dari pesisir, dengan sekali lompat segera Kwe Ceng meninggalkan perahunya, maka tertampaklah di bawah cahaya bintang yang remang2 dua sosok bayangan orang pe-lahan2 makin mendekat, dengan kencang kemudian Kwe Ceng telah berangkul Yo Ko ke dalam pangkuannya.
“Marilah lekas pulang bersantap,” demikianlah kata2 yang tercetus dari mulut Kwe Ceng, Saking terharunya sampai suaranya rada serak dan gemetar.
Begitulah, setelah kedua orang berada kembali dalam rumah, segera Oey Yong siapkan nasi hangat dan lauk-pauk untuk Yo Ko, terhadap kejadian yang telah lalu, sepatah-katapun tidak di-ungkat2nya.
Besok paginya, keempat anak: Yo Ko, Kwe Hu dan kedua saudara Bu, Tun-si dan Siu-bun, oleh Kwe Ceng telah dikumpulkan diruangan besar, lalu Kwa Tin-ok diundang hadir pula, kemudian keempat anak itu disuruh menjura di hadapan abu pemujaan Kanglam-lak-koay (enam orang kosen dari Kanglam) yang sudah dialam baka itu.
“Toa-suhu,” demikian Kwe Ceng berkata kepada Kwa Tin-ok, “hari ini Tecu (anak murid) mohon idzin Suhu agar diperbolehkan menerima empat cucu muridmu ini.”
“Bagus, bagus sekali,” sahut Kwa Tin-ok bergirang. “Nah, terimalah ucapan selamatku ini!”
Yo Ko bersama Tun-si dan Siu-bun lantas menjura pada Kwa Tin-ok. habis ini baru memberi hormat pada Kwe Ceng dan Oey Yong sebagai upacara pengangkatan guru.
“Apa akupun harus menjura, ibu?” dengan tertawa Kwe Hu bertanya.
“Sudah tentu,” sahut Oey Yong.
Karena itu, dengan tertawa haha-hihi anak nakal inipun menyembah pada ketiga orang tua itu.
Mulai hari ini kalian berempat adalah saudara seperguruan demikian Kwe Ceng memberi petuah dengan sungguh2 dan keren, oIeh karena itu juga seterusnya kalian harus hormat-menghormati daa cinta-mencintai, ada kesulitan sama2 dipikul. Kalau kalian berempat berani berkelahi lagi, pasti tidak akan kuampuni.”
Habis berkata ia pandang pula sekejap pada Yo Ko.
“Tentu saja kau mengeloni anakmu sendiri,” demikian Yo Ko membatin dalam hati, “Biarlah selanjutnya aku tidak akan sentuh dia lagi.”
MenyusuI sebagai kakek gurunya, Kwa Tin-ok ikut menjelaskan juga peraturan perguruan yang sudah umum, yakni tak boleh menganiaya orang yang lebih lemah, tak boleh membantu yang jahat sehingga semakin jahat, tak boleh mencelakai orang yang tak berdosa dan lain sebagainya.
“llmu silat yang kupelajari terlalu banyak macamnya,” demikian Kwe Ceng berkata lagi, “kecuali dasar yang kudapat dari Kanglam-chit-koay (tujuh orang aneh dari Kanglam, Lak-koay tersebut di atas sudah wafat, ditambah Kwa Tin-ok), ilmu Lwekang dari Coan-cin-pay dan ilmu silat ketiga aliran persilatan terbesar dari Tang-Lam-Pak (Timur-Selatan-Utara, maksudnya, dari Tang-sia, Lam-te dan Pak-kay), tentang ini akan diceritakan tersendiri, kesemua meski hanya sedikit, tetapi kacang jangan lupa akan kulitnya, sebagai orang jangan lupa akan asalnya, biarlah hari ini aku ajarkan kalian kepandaian asal dari Kwa-suco (kakek guru she Kwa, maksudnya Kwa Tin-ok).”
Dan selagi ia hendak uraikan titik2 pokok ajarannya, tiba2 Oey Yong melihat Yo Ko sedang menunduk dengan terkesima, pada wajah anak ini ada semacam tanda aneh yang sukar diucapkan, tanpa terasa ia jadi ingat pada berbagai kejadian yang mencurigakan tempo hari itu.
“Meski ayahnya bukan aku sendiri yang membunuhnya, tapi boleh dikatakan juga mati di tangan-ku, jangan2 piara macan mendatangkan bencana hingga menjadi bibit malabetaka yang besar,” demikian pikir Oey Yong.
Setelah putar otak sejenak, segera ia mendapatkan suatu jalan.
“Seorang diri kau terlalu berat mengajar empat anak, biarlah aku yang mengajar Ko-ji,” katanya kemudian.
“Bagus, bagus sekali usulmu !” seru Kwa Tin-ok dengan ketawa sebelum Kwe Ceng menjawab, “Dan kalian suami isteri boleh berlomba, lihat saja murid siapa kelak yang terpandai.”
Mendengar usul isterinya ini, dalam hati Kwe Ceng bergirang juga, ia tahu kepintaran Oey Yong beratus kali di atas dirinya, cara mengajarnya pasti jauh lebih baik daripadanya, maka ber-ulang-2 ia pun menyatakan bagus dan akur.
“Tetapi kita harus menetapkan satu syarat,” demikian Oey Yong kemukakan pendapatnya lagi, “Sekali-kali tak boleh kau mengajarkan Ko-ji, sebaliknya akupun tidak boleh mengajar mereka bertiga. Pula diantara keempat anak inipun tak boleh saling belajar, sebab kalau ilmu yang dilatihnya bercampur aduk, hanya ada jeleknya dan tiada paedahnya.”
“Ya, sudah tentu.” sahut Kwe Ceng setuju lagi.
“Nah, Ko-ji, ikutlah padaku,” kata Oey Yong.
Memang-nya Yo Ko sedang benci pada Kwe Hu serta kedua saudara Bu itu, kini mendengar keinginan Oey Yong bahwa dirinya tidak akan berlatih setempat dengan mereka, ini justru cocok dengan pikirannya, maka ia lantas ikut Oey Yong masuk ke ruangan dalam.
Di luar dugaannya, bukannya Oey Yong membawanya ke lapangan berlatih silat melainkan ia dibawa ke kamar baea, disini Oey Yong- mengambil sebuah kitab dari rak buku dan berkata padanya:
“Gurumu mempunyai tujuh orang Suhu yang dijuluki Kanglam-chit-koay, Toasuhu ialah Kwa-kong-kong itu, Jisuhu (guru kedua) bernama Cu Jong dan berjuluk Biau-jiu-su-seng si sastrawan bertangan sakti), maka kini lebih dulu aku ingin ajarkan kepandaian Cu-suco saja.”
Sembari berkata ia lantas buka kitab yang dia ambil dari rak tadi, dengan suara lantang segera ia membacanya.
Dalam hati Nya Ko menjadi heran, namun ia tak berani banyak bertanya, terpaksa ia ikut membaca dan belajar menulis,
Begitulah be-runtun2 beberapa hari ia hanya di-ajar membaca oleh Oey Yong dan selamanya tidak pernah menyinggung tentang ilmu silat.
Suatu hari, sehabis berseko!ah, seorang diri Yo Ko ber-jalan2 iseng ke atas gunung, tiba2 ia teringat pada nyali angkatnya yaitu Auyang Hong yang tidak diketahuinya berada dimana kini, Teringat pada sang ayah angkat tak tahan lagi ia lantas berjumpalitan dan menjungkir tubuh, ia menirukan cara yang pernah dipelajarinya itu, tubuhnya yang menjungkir itu segera berputar cepat
Setelah ber-putar2 dengan menjungkir, kemudian ia ikuti petunjuk yang pernah diterimanya dari Auw-yang Hong untuk menjalankan jalan darah secara terbalik, terasa olehnya semakin berputar semakin lancar. Kemudian waktu ia melompat bangun, mendadak ia berseru “kok” sekali berbareng kedua telapak tangannya dipukulkan ke depan, habis ini ia merasa seluruh badan menjadi segar dan enak sekali, segera pula mengeluarkan keringat hingga membasahi sekujur badan. Nyata ia tidak tahu bahwa dengan latihannya ini tenaga dalamnya sudah maju jauh sekali.
Hendaklah diketahui bahwa ilmu yang diciptakan Auwyan Hong yang khas itu meski bukan tergolong ilmu yang baik, tetapi justru merupakan semacam ilmu kepandaian yang luar biasa lihaynya, pula pembawaan Yo Ko memang berotak encer dan mudah menerima, apa yang dia pelajari dalam tempo yang singkat meski cuma sedikit, namun tanpa terasa dan diluar tahu ia sudah menuju ke aliran ilmu silat Pak to-san (gunung Onta putih).
Sejak itulah, maka tiap2 hari Yo Ko lantas belajar sekolah dengan Oey Yong, kalau pagi atau petang-nya ada kesempatan segera ia pergi ke tempat sunyi di kaki bukit untuk melatih diri, sebenarnya bukan maksudnya ingin melatih diri agar bisa menjadikan seorang kosen yang disegani, tetapi entah mengapa, tiap2 kali sehabis ia berlatih, selalu dirasakannya luar biasa enak dan segar badannya.
Demikianlah secara diam2 Yo Ko melatih ilmu sendiri, Kwe Ceng dan Oey Yong sedikitpun ternyata tidak tahu.
Maka tiada sebulan, kitab ‘Lun-gi’ (salah satu kitab ajaran Nabi Khongcu) yang Oey Yong jadikan mata pelajaran untuk Yo Ko sudah selesai semua, Begitu apal isi kitab tsb, sampai Yo Ko sanggup membaca-di luar kepala, cuma isi dan arti kitab yang diajarkan itu, sama sekali ia anti, tidak setuju, maka seringkali ia sengaja kemukakan bantahan2.
Padahal Oey Yong sendiripun seribu kali tidak sepaham dengan segala isi kitab yang diajarkan Khong-hucu itu, ia sendiri sesungguhnya juga jemu, hanya lapat2 perasaannya se-akan2 punya firasat: “Kalau anak ini diberi pelajaran ilmu silat, kelak pasti akan menjadi bibit bencana saja, lebih baik kalau ajarkan dia ilmu sastra, biar dia kenyang dengan teori2 isi kitab saja, buat dia dan buat orang lain mungkin malah ada baiknya.”
Dengan ketetapan itulah, dengan maksud baik ia mengajar Yo Ko bersekolah, Maka sehabis kitab “Lun-gi” lantas disusul dengan kitab “Beng-cu”.
Karenanya, beberapa bulan sudah lewat, selama itu tidak pernah Oey Yong berbicara sepatah-katapun tentang ilmu silat.
Yo Ko cukup tahu diri juga, melihat orang tidak omong, iapun tidak mau tanya, hanya hidup di pulau ini dirasakan semakin hampa, ia tahu pula meski Kwe Ceng menerima dirinya sebagai murid, tetapi ilmu silat pasti tidak akan diajarkan padanya, Sedang kini saja ia bukan tandingan Bu Tun-si dan Bu Siu-bun, apalagi setahun atau dua tahun lagi jika mereka mendapat pelajaran silat dari Kwe Ceng, bila mereka berkelahi lagi pasti ia akan mampus ditangan mereka. Karena pikiran inilah, ia ambil keputusan, apabila ada kesempatan segera ia akan berdaya-upaya buat meninggalkan pulau,
Pada satu sore hari, sehabis Yo Ko belajar membaca pada Oey Yong, seorang diri ia ber-jalan2 iseng di tepi laut, dengan memandangi ombak laut yang men-dampar2 berdeburan, dalam hati ia pikir entah kapan baru bisa melepaskan diri dari kurungan ini, bila terlihat olehnya burung laut yang terbang kian kemari, ia menjadi terharu dan kagum akan kebebasan burung2 yang tak terbatas itu.
Tengah ia ter-menung2, tiba2 ia dengar di balik hutan pohon Tho sana ada suara berkesiurnya angin, ia jadi tertarik, diam2 ia memutar ke sebelah sana dan mengintip, maka tertampaklah olehnya, Kwe Ceng sedang memberi pelajaran silat pada kedua saudara Bu disuatu tanah lapang.
Ia lihat Kwe Ceng sedang memberi petunjuk3 sambil kaki-tangannya memberi contoh dan menyuruh ketiga saudara Bu itu menirukannya.
Bagi Yo Ko yang cerdas, hanya sekali lihat saja ia sudah tahu di mana letak intisari jurus tipu ini, tapi bagi Bu Tun-si dan Bu Siu-bun, walau sudah belajar pergi datang, masih belum juga mereka pahami.
Kwe Ceng sendiri memangnya juga berotak puntuI, pada waktu kecilnya ia sendiri sudah merasakan pahit-getirnya belajar, maka kini sedikitpun ia tidak merasa jemu dan masih terus memberi dengan petunjuk dengan penuh sabar.
“Hm, jika Kwe-pepek mau ajarkan padaku, tidak nanti aku begitu goblok seperti mereka,” kata Yo Ko di dalam hati sambil menghela napas diam2. Oleh karena kesal hati, dia lantas kembali ke kamarnya untuk tidur.
Petangnya sehabis bersantap dan setelah mengulangi pelajaran kitabnya terasa olehnya luar biasa isengnya, maka ia pergi ke tepi laut lagi, di sana ia menirukan gerak-gerik ilmu silat yang dimainkan Kwe Ceng siang tadi. Namun tipu silat yang cuma dua tiga gerakan ini, sesudah dimainkan pergi datang, akhirnya ia merasa bosen juga.
Tiba2 hatinya tergerak, “Mulai besok, diam2 akan mengintip dan mencuri belajar ilmu silatnya, siapa yang melarang aku?” demikian ia pikir.
Oleh karenanya rasa mendongkolnya yang tertahan sekian lamanya segera menjadi lapang, dengan berpeluk dengkul ia duduk bersandar batu karang tepi laut, akhirnya iapun tertidur.
Entah sudah berapa lama ia tenggelam dalam alam impiannya ketika tiba2 ia dikagetkan bunyi suara rantai besi yang gemerincing hingga ia terjaga dari tidurnya, waktu ia mengintai dari belakang batu karang itu, kiranya di tepi laut sana telah bertambah dengan sebuah perahu layar, suara gemerincing rantai tadi kiranya disebabkan perahu layar itu membuang sauh buat berlabuh.
Tak antara lama, dari perahu itu muncul dua orang terus melompat ke daratan, gerak tubuh mereka ternyata cepat dan sebat luar biasa.
Setelah berada di daratan, mula2 kedua orang itu mendekam dan melongak-longok dahulu ke sekeliling habis ini pe-lahan2 mereka merayap maju ke tengah pulau.
Melihat kelakuan kedua orang ini terang tidak mengandung maksud baik, Yo Ko berpikir: “Jalanan di pulau ini belak-belok dan lika-liku, kalian ini hanya antar kematian belaka.”
Oleh karena itu, ia mengkeret tubuhnya supaya tidak dilihat kedua orang itu, ia tidak berani bergerak, dalam pada itu kedua orang tadi sudah merayap semakin jauh.
Ketika pandangannya mengikuti bayangan kedua orang itu, mendadak ia lihat sesuatu di tempat jauh, tanpa tertahan ia terkejut.
Kiranya dibawah satu pohon Liu ada sesosok bayangan orang yang kecil berbaju putih dengan berjungkir sedang memutar dengan cepat dengan cara sebagaimana biasanya kalau dirinya berlatih ilmu ajaran Auwyang Hong itu, melihat bentuk tubuh orang berjungkiran itu jelas bukan lain lagi dari pada Kwe Hu adanya.
Tentu saja Yo Ko ter-heran2 melihat kelakuan dara cilik itu, “Apa Kwe-pepek juga ajarkan ilmu kepandaian semacam ini ?” demikian ia ber-tanya2 dalam hati. Tetapi segera pula ia mengerti : “Aha, tentu pada waktu aku sedang berlatih telah dapat dilihat dia dan sekarang dia menirukan caraku itu untuk main-main.”
Dalam pada itu, kedua sosok bayangan tadi sudah makin dekat dengan Kwe Hu, Mungkin saking asyiknya berputar kayun dengan tubuhnya itu, sama sekali Kwe Hu tidak berasa kalau ada orang lain mendekatinya, sesaat kemudian, mendadak kedua orang itu melompat maju, tubuh anak perempuan ini terus dirangkul, seorang lagi dekap mulut yang mungil itu dengan tangannya, sedang yang satu lagi, keluarkan seutas tali terus meringkus seluruh badan Kwe Hu, bahkan mulutnya disumbat dengan sepotong saputangan.
Perbuatan kedua orang itu ternyata cepat dan berhasil dengan baik, hanya sekejap saja mereka sudah meletakkan Kwe Hu yang tak bisa berkutiik itu ke dalam semak2, habis ini mereka melanjutkan merayap ke depan.
Menyakksikan kejadian aneh ini, mulut Yo Ko sampai ternganga, hatinya pun berdebar-debar dan kuatir pula, ia tidak tahu apa maunya kedua pendatang itu.
Mata Yo Ko cukup tajam, meski dalam keadaan gelap ia masih bisa melihat jelas gerak-gerik kedua orang tadi, ia lihat sesudah merangikak-rangkak maju lagi, setelah hampir sampai di jalan masuk ke perkampungan, rupanya mereka mengerti juga lihaynya Tho-hoa-to yang sudah diatur oleh Ui Yok-sau, maka mereka tak berani maju lagi, mereka lantas keluarkan sehelai kertas putih, seorang lantas meng-gambar2 di atas kertas itu dengan menggunakan alat tulis, melihat kelakuan mereka, rupanya mereka sedang mencuri melukis peta keadaan pulau ini untuk digunakan kemudian kalau melakukan penyerbuan ke sini.
“Jika sekarang juga aku bertariak, sebelum Kwe- pepek sempat keluar tentu aku sudah dibunuh mereka lebih dulu,” demikian diam2 Yo Ko membikin perhitungan dalam hati. .
Mendadak pikirannya tergerak, tiba2 ia ambil suatu keputusan yang luar biasa beraninya, “Ya, biar diam2 aku masuk ke dalam perahu mereka, jika beruntung tidak konangan mereka, tentu aku akan berhasil melarikan diri dari pulau ini,” demikian ia berpikir.
Sesudah ambil keputusan ini, iapun tidak pusing apa perbuatannya ini berbahaya tidak, segera ia me-rayap2 mendekati perahu yang berlabuh itu.
Setelah dekat, selagi ia hendak merayap ke atas perahu, tiba2 terdengar suara “krak” dari dalam perahu, menyusul ini papan geladak perahu itu terbuka, dari dalamnya menongol satu orang untuk kemudian melompat ke pesisir.
Tidak kepalang kaget Yo Ko oleh munculnya orang yang se-konyong2 ini, lekas2 ia mendekam ke bawah lagi.
Sementara kedua orang yang duluan tadi rupanya telah mendengar juga, yang seorang memondong Kwe Hu, satunya lagi lantas kembali ke perahu hendak memeriksa apa yang terjadi.
Akan tetapi orang yang muncul belakangan ini telah sembunyi di belakang gundukan pasir tepi laut, ia tidak memapaki kedua orang yang duluan, nyata mereka bukan kawan sendiri.
Waktu itu Yo Ko berada di belakang orang yang muncul belakangan itu, maka ia bisa menyakitkan semua dengan terang, makin lihat ia semakin heran, ia lihat yang pondong Kwe Hu itu telah kembali ke dalam perahu, sedang kawannya menengok sekelilingnya dan mendekati gundukan pasir tadi, namun orang yang sembunyi itu masih belum ber-gerak, ia menunggu ketika orang sudah dekat, se-konyong2 ia melompat keluar, diantara berkelebatnya sinar putih, sekali serang saja ia telah tancapkan belatinya di atas dada orang.
Tidak ampun lagi tanpa bersuara sedikitpun, orang yang diserang itu roboh terguling.
Mendengar suara gedebukan karena jatuhnya tubuh itu, orang yang berada di atas perahu tadi rupanya menjadi curiga. “Lo-toa, ada apa ?” ia coba tanya sang kawan.

Lekas2 penyerang tadi mencabut belatinya, ia sembunyi pula ke belakang gundukan pasir dan menjawab dengan suara yang ditahan dan di-bikin2:
“”Aneh, aneh !”
Mendengar suara yang samar2, tetapi lama juga tidak melihat kawannya kembali orang di dalam perahu menjadi khawatir, dengan langkah lebar segera ia menuju gundukan pasir tadi.
Melihat orang tinggalkan perahunya, Yo Ko pikir jangan sia2kan kesempatan baik ini, maka dengan cepat ia merayap ke tepi perahu, ia niat mengangkat sauh untuk kemudian menjalankan perahunya.Pada saat itu juga terdengar olehnya suara jeritan ngeri, nyata belati si pembunuh tadi telah ambil korban lagi.
Sementara itu Yo Ko lagi angkat rantai jangkar tapi sebelum jangkar kena ditarik, rantai besi itu sudah mengeluarkan suara gemerincing lebih dulu. Karenanya ia tahu gelagat jelek, segera ia hendak melarikan diri, namun sudah terlambat, ia lihat si pembunuh tadi dengan mulut menggigit belati yang masih-teteskan darah telah melompat ke atas perahu.
Di bawah sinar bulan Yo Ko dapat melihat pakaian orang yang compang-camping, mukanya penuh noda darah, rupanya beringas menakutkan.
Keruan Yo Ko menjadi kelabakan bingung, Dalam keadaan demikian otomatis ia berjongkok, mulutnya bersuara “kak-kok” dua kali, kedua telapak tangannya mendadak didorong kedepan pula.
Tatkala itu kaki orang tadi belum sempat menancap di atas perahu, karena serangan Ha-mo-kang ini dalam keadaan masih terapung di udara orang itu mendadak jatuh terjengkang kebelakamg dan terbanting masuk laut habis ini sedikitpun tidak berkutik lagi.
Karena serangan ini, Yo Ko berbalik terkesima malah, ia terpaku di tempatnya dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya lebih lanjut.
“He, Ha-mo-kang ini kau dapat belajar dari mana ? Dan Auwyang Hong mana dia ?” tiba2 terdengar suara teriakan Oey Yong dari jauh.
Ketika Yo Ko angkat kepalanya, terlihat bagaikan terbang cepatnya Kwe Ceng dan Oey Yong sedang mendatangi. Agaknya karena mendengar suara2 yang mencurigakan dan kehilangan Kwe Hu, maka mereka lekas2 datang mencarinya.
Dalam pada itu saking ketakutan tadi, semangat Yo Ko masih belum pulih, lebih2 ia tidak mengerti Ha-mo-kang yang biasa dilatihnya untuk main2 belaka ternyata bisa begini lihay, oleh karena itulah ia masih ter-mangu2 dan tidak menjawab seruan Oey Yong tadi.
Waktu kemudian Kwe Ceng menarik dan memeriksa orang yang kecemplung ke laut itu, tiba2 ia berseru kaget: “Yong-ji, ini kawan dari Kay-pang” (kaum pengemis).”
Pada dada orang itu terdapat noda darah, napasnya sudah lama putus.
Oey Yong menjadi gusar bercampur kaget, nampak keadaan luka orang itu, dengan sekali cengkeram ia pegang lengan Yo Ko dan menanya dengan suara bengis : “Hayo, katakan !”
Cengkeraman Oey Yong ini dirasakan sakit sekali pada lengan Yo Ko, tetapi ia mengertak gigi dengan kencang, ia menahan sakit dan tetap tutup mulut tanpa menjawab.
Ketika Kwe Ceng menoleh, tertampak olehnya di belakang gundukan pasir sana menggeletak dua orang puIa, lekas ia melompat ke sana buat memeriksanya, ia dapatkan pula peta yang digambar kedua orang itu, “He, Yong-ji, lekas sini!” serunya pada sang isteri.
Segera Oey Yong melepaskan Yo Ko dan mendekati Kwe Ceng, di belakang gundukan pasir itu mereka berembuk dengan suara pelahan sampai lama.
Dalam pada itu kejadian ini telah diketahui Kwa Tin-ok juga, orang inipun menyusul tiba, maka mereka lantas berunding bertiga orang.
Sesudah bicara agak lama, kemudian Kwe Ceng melepaskan puterinya dahulu dari ringkusan musuh tadi, habis ini ia berkata pada Yo Ko: “Ko-ji, kau kurang cocok tinggal di pulau ini, biar aku antar kau ke Tiong-yang-kiong di Cong-lam-sam, di sana kau bisa belajar silat di bawah petunjuk Tiang-jim-cu Khu-cinjin dari Coan-cin-kau.”
Keputusan yang diambil Kwe Ceng secara tiba2 ini, seketika Yo Ko menjadi bingung se-akan2 kehilangan sesuatu, maka ia hanya mengangguk pelahan saja.
Maka besok paginya, setelah membekal perlengkapan seperlunya berangkatlah Kwe Ceng bersama Yo Ko sesudah mohon diri pada Oey Yong serta Kwe Hu dan kedua saudara Bu, mereka berlayar menuju pantai timur daerah Tjiatkang.
Sesudah mendarat, Kwe Ceng beli dua ekor kuda dan melanjutkan perjalanan ke utara bersama Yo Ko.
Selamanya belum pernah Yo Ko menunggang kuda, tetapi karena Lwekang yang dia latih sudah ada dasarnya, maka setelah berlari beberapa hari sudah cukup pandai dan bisa menguasai binatang tunggangannya, Bahkan karena hati-mudanya, setiap hari ia malah melarikan kudanya didepan Kwe Ceng.
Tidak seberapa hari, sesudah menyeberangi Hong-ho (Huangho, sungai Kuning), mereka telah memasuki daerah Siamsay.
Tatkala itu negeri Kim (Chin) sudah dibasmi oleh bangsa Mongol (Jengis Khan beserta putera2nya), maka di utara Hong-ho boleh dikatakan merupakan dunianya bangsa Mongol.
Dimasa mudanya Kwe Ceng sendiri pernah menjabat sebagai panglima dalam pasukan Mongol (ia pernah diangkat menjadi menantu Tumujin yang kemudian terkenal sebagai Jengis Khan), ia kuatir kalau kesamplok dengan bekas bawahannya dan mungkin akan mendatangkan kesulitan, maka dia lantas tukarkan kuda mereka dengan keledai yang kurus dan jelek, ia ganti pakaian pula dengan baju yang terbuat dari kain kasar, ia menyamar seperti orang desa atau kaum petani saja.
Berlainan dengan Yo Ko yang berhati muda, sesungguhnya dalam hati ia seribu kali tidak sudi memakai baju yang berbau kampungan seperti Kwe Ceng itu, tetapi selamanya ia tak berani bantah kata2 sang paman, maka terpaksa dia mengenakan baju kasar, kepalanya dibelebat pula dengan ikat kain biru. dan menunggang keledai yang kurus jelek.
Justru keledai yang dia tunggangi ini buruk pula wataknya, jalannya sudah lambat, berulang kali masih ngambek lagi, maka sepanjang jalan selalu Yo Ko cekcok saja dengan binatang tunggangannya ini.
Hari itu mereka telah sampai di daerah Hoanjoan, tempat ini indah permai pemandangan alamnya. Melihat keindahan alam semesta yang menarik ini, meski sejak meninggalkan Tho-hoa-to dan karena mendongkol hatinya hingga selama ini tidak pernah Yo Ko menyebut lagi tentang pulau bunga Tho itu, namun kini tanpa tertahan ia membuka suara.
“Kwe-pepek, tempat ini hampir mirip dengan Tho-hoa-to kita,” demikian ia bilang pada Kwe Ceng.
Hati Kwe Ceng memang luhur dan berbudi, mendengar anak ini bilang “Tho-hoa-to kita”, tanpa terasa ia jadi terharu.
“Ko-ji,” sahutnya kemudian, “Cong-lam-san sudah tidak jauh lagi dari sini, ilmu silat Coan-cin-kau adalah ilmu kepandaian terkemuka di bumi ini, selanjutnya kau harus belajar secara baik2. Beberapa tahun lagi tentu aku akan datang lagi buat menjemput kau pulang ke Tho-hoa-to.”
Mendengar kata2 terachir ini, cepat Yo Ko melengos.
“Tidak, selama hidupku ini tidak akan kembali lagi ke Tho-hoa-to,” katanya kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar