Kamis, 08 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 8



JILID 08

Waktu itu Auwyang Hong sedang curahkan seluruh perhatiannya untuk menghindari udakan musuh, maka ia belum lihat kode orang, setelah mengitar dua kalangan lagi baru kemudian ia lihat bayangan Yo Ko di lantai yang lagi memberikan tanda supaya dia menyingkir semula ia tidak mengerti apa maksud anak muda ini, tetapi ia pikir kalau Yo Ko berani suruh aku menyingkir tentu ada maksud tujuannya, maka dengan menghadapi bahaya ia lantas bertindak keluar.
Sementara itu Kwa Tin-ok telah berhenti dan tidak bergerak untuk mem-beda2kan ke jurusan mana perginya musuh.
Saat itu juga diam2 Yo Ko copot sepatunya, lalu ia lemparkan ke bagian belakang ruangan, maka terdengarlah suara “blak-bluk” dua kali, suara jatuhnya benda di lantai.
Tentu saja Kwa Tin-ok ter-heran2 dan menjadi bingung pula, sudah terang ia dengar Auwyang Hong jalan menuju ke pintu depan, tapi mengapa di bagian belakang ada suara orang lagi. Dan justru pada saat yang meragukan itu, Yo Ko cepat angkat belatinya terus memotong tali gantolan yang menggantung genta raksasa itu.
Gantolan genta itu sebenarnya cukup kuat, meski belatinya sangat tajam toh sekali potong tidak nanti bisa terputus, tetapi karena beratnya genta yang tergantung, hanya setengah saja tali gantolan itu terpotong sudah tidak tahan lagi bobot genta.
Tanpa ampun lagi, dengan membawa samberan angin santer genta itu menutup ke atas kepala Kwa Tin-ok yang tepat berdiri di bawahnya.
Hebat sekali daya menurunnya genta ini hingga sewaktu Kwa Tin-ok mendengar suara angin sudah tak keburu buat melompat pergi, dalam seribu kerepotannya tiba2 ia tegakkan tongkatnya, maka terdengarlah suara “trang” pula, dengan persis genta itu menindih di atas tongkat, karena tangkisan ini, pada kesempatan mana Tin-ok berhasil meloncat keluar dari bawah genta. Apabila lompatannya ini sedikit kasip saja dapat dipastikan tubuhnya akan ter-tindih genta hingga hancur.
Dalam pada itu lantas terdengar suara “dung… gerubyak…klontang” secara susul - menyusul.
Tongkat tadi telah patah menjadi dua, genta pun menggelinding ke samping hingga menyeruduk bokong Kwa Tin-ok hingga orang cacat ini terlempar keluar dari pintu kelenteng, bahkan masih terguling beberapa kali, darah mengucur pula dari hidungnya dan batok kepalanya benjut.
Kasihan Kwa Tin-ok yang matanya tak bisa melihat, ia tidak tahu mengapa dan sebab apa kejadian yang mendadak itu, ia kuatir jangan2 dalam kelenteng itu terdapat pula makhluk2 aneh lain yang mengacau maka sesudah merangkak bangun, dengan ter-pincang2 lekas ia bertindak pergi.
Menyaksikan kejadian ini, mau-tak-mau hati Auwyang Hong terkesiap juga, ber-ulang2 ia mengatakan: “Sayang !”
“Baiklah, sekarang si buta ini tak berani datang lagi ayah,” demikian kata Yo Ko dengan senang sesudah merangkak turun dai atas kerangka genta.
Di luar dugaan, Auwyang Hong masih geleng2 kepala saja.
“Orang ini setinggi gunung dendamnya padaku, asal dia masih bisa bernapas, pasti dia akan datang mencari aku lagi,” katanya kemudian.
“Kalau begitu lekas kita berangkat pergi,” ujar Yo Ko.
“Percuma,” sahut Auwyang Hong sambil geleng kepala pula, “Lukaku terlalu parah, tidak bisa jauh kita lari.”
“Lantas bagaimana baiknya ?” kata Yo Ko menjadi kuatir.
“Ada satu akal,” sahut Auwyang Hong sesudah berpikir “Kau potong putus lagi gantolan genta yang lain itu, biar aku tertutup di dalamnya.”
“Dan cara bagaimana ayah akan keluar ?” tanya Yo Ko.
“Aku akan sekap diriku selama tujuh hari di bawah genta, sesudah pulih tenaga asliku, aku sendiri sanggup keluar dengan membuka genta itu,” kata Auwyang Hong, “Dalam tujuh hari ini, sekali pun si buta itu datang mencari aku lagi, kalau hanya dengan sedikit kepandaiannya saja tidak mungkin mampu membuka genta sebesar ini.”
Yo Ko pikir baik juga akal itu, tetapi ia masih ragu2, ia tanya lagi apa betul Auwyang Hong sanggup membuka genta buat keluar sendiri, sesudah yakin benar2 barulah ia panjat ke atas lagi buat melakukan apa yang diminta Auwyang Hong.
“Kau holeh ikut pergi saja dengan manusia she Kwe itu, kelak aku akan mencari kau ke sana,” demikian Auwyang Hong berpesan.
Yo Ko mengiakan pesan itu. Dan sesudah Auwyang Hong duduk tepat di bawah genta, lalu ia potong gantolan genta pula hingga Auwyang Hong tertutup rapat di dalamnya.
Dari luar Yo Ko memanggil beberapa kali, tetapi ia tidak mendapat sahutan, ia tahu di dalam genta tidak dengar suara dari luar, maka ia lantas ber-kemas2 buat pergi, Tetapi sebelum itu, tiba2 lahir pula satu akalnya, ia pergi ke ruang belakang dan mendapatkan sebuah mangkok rusak dan sebuah sikat bobrok, ia isi penuh mangkok itu dengan air jernih. Setelah mangkok ditaruk di lantai, kemudian ia sendiri berjungkir sambil tangan kiri dimasukkan ke dalam mangkok yang berisi air itu.
Kiranya ia telah lakukan ilmu menolak hawa berbisa dalam tubuhnya menurut ajaran Auwyang Hong, ia desak keluar beberapa tetes darah beracun dari tangannya.
Ilmu ini sangat makan tenaga, sedang Yo Ko baru mempelajari dasar2nya saja, meski dapat juga ia desak keluar beberapa tetes darah hitam, tidak urung ia sudah mandi keringat.
Kemudian dengan sikat yang tersedia itu ia celup air itu untuk semir sekitar genta, ia pikir kalau padri2 kelenteng ini kembali atau si buta she Kwa itu berani datang lagi dan bermaksud menyongkel genta ini, begitu tubuh mereka menyentuh genta-pasti mereka akan merasakan jahatnya racun ini.
Selesai ia atur tipu jebakannya, dengan langkah lebar Yo Ko lantas pulang kepondoknya, Pada waktu melintasi pagar tembok untuk masuk kamar, dalam hati ia rada kuatir kalau2 kepergok Kwa Tin-ok. siapa tahu sesudah dia masuk kamar, Kwa Tin-ok sendiri, malah belum kembali, ini sama sekali di luar dugaannya.
Setelah rebah dipembaringannya, Yo Ko hanya gulang-guling saja tak bisa tidur, keadaan ini berlangsung terus sampai hari sudah terang, baru kemudian ia dengar ada suara ketokan pintu kamar dengan pentung.
Dengan cepat Yo Ko melompat bangun buat buka pintu, maka tertampaklah olehnya dengan mencekal sebatang pentung kayu muka Kwa Tin-ok pucat lesi, begitu orang buta ini melangkah masuk segera terbanting jatuh di lantai.
Demi nampak kedua tangan Tin-ok berwarna hitam, Yo Ko tahu jebakan beracun yang dia pasang di genta itu telah kena sasarannya, maka diam2 ia merasa girang, tetapi ia pura2 kaget dan ber-teriak2: “He, Kwa-kongkong, kenapakah kau?”
Ketika mendengar suara teriakan Yo Ko, Kwe Ceng dan Oey Yong lantas datang memeriksanya dan setelah tahu Kwa Tin-ok menggeletak di lantai, keruan mereka terkejut.
Waktu itu Kwe Ceng sudah bisa bebas bergerak, hanya tenaganya yang masih kurang, maka Oey Yong yang dukung Tin-ok ke tempat tidurnya.
“Toa-suhu, Toa-suhu, kenapakah kau?” demikian ber-ulang2 ia tanya.
Tetapi Tin-ok hanya menggeleng kepala saja, ia tidak menjawab juga tidak menerangkan.
Sesudah Oey Yong melihat bengkak hitam pada telapak orang tua itu, tahulah dia apa yang telah terjadi “Kurangajar, kembali perbuatan itu perempuan hina-dina she Li lagi Ceng-koko, biar aku pergi melabraknya,” katanya dengan gemas, ia menyangka itu adalah perbuatan Li Bok-chiu.
Habis berkata, setelah bikin ringkas pakaiannya, segera Oey Yong melangkah keluar.
“Bukan perempuan itu!” tiba2 Tin-ok berseru.
Tentu saja Oey Yong heran, ia berhenti dan menoleh.
“Bukan dia? Lalu siapa lagi?” tanyanya tak mengerti.
Akan tetapi Kwa Tin-ok tidak menjelaskan lebih lanjut, ia merasa malu karena tak mampu melayani seorang yang boleh dikata sudah tak punya tenaga, bahkan dirinya sendiri kena dikibuli sehingga pulang menderita luka, sungguh boleh dikatakan terlalu tak becus. Karena itu, turuti wataknya yang keras kepala, maka ia bungkam saja.
Di lain pihak Kwe Ceng dan Oey Yong cukup kenal tabiat orang tua ini, kalau mau bilang, sejak tadi ia sendiri sudah menutur, kalau dia sudah tak mau cerita, makin ditanya hanya akan makin menambah kegusarannya.
Baiknya luka yang keracunan hanya kulit tangan saja dan tidak lihay, meski orangnya kelengar sesaat, tetapi kelak tidak menjadi halangan.
Sementara itu Oey Yong telah ambil keputusan di dalam hati, Kwe Ceng dan Kwa Tin-ok sudah terluka, sedang kekejian Li Bok-chiu susah diukur, terpaksa angkut kedua orang luka dan antar pulang dahulu kedua bocah ini ke Tho-hoa-to, kemudian ia sendiri akan mencari Li Bok-chiu lagi dan melabraknya.
Sesudah mengaso setengah hari, sorenya mereka lantas sewa sebuah perahu kecil buat berlayar ke muara laut, Dekat magrib, perahu membuang sauh dan tukang perahunya hendak menanak nasi,
Didalam perahu itu, karena Yo Ko masih tetap tak gubris padanya, Kwe Hu menjadi dongkol dan melengos pula, ia bersandar di jendela perahu untuk memandang ke daratan, tiba2 ia lihat di bawah pohon Lui yang rindang sana ada dua anak kecil sedang menangis dengan sedih sekali, tampaknya kedua anak ini justru Bu Tun-si dan Bu Siu-bun berdua saudara.
Terhadap kedua bocah ini rupanya Kwe Hu lebih cocok, maka segera ia berseru menegur: “Hai, apa yang kalian lakukan di situ?”
“Kami sedang menangis, tidakkah kau melihat ?” sahut Bu Siu-bun setelah berpaling dan mengenali Kwe Hu.
“Sebab apakah? Kalian telah di hajar ibumu bukan ?” tanya Kwe Ha lagi.
“Tidak, ibu telah mati!” sahut Siu-bun dengan menangis guguk.
Jawaban ini membikin Oey Yong ikut terkejut dengan cepat ia melompat ke-gili2. Betul saja ia lihat kedua bocah itu menangis dengan sedih sambil meratapi mayat ibu mereka.
Waktu Oey Yong memeriksanya, ia lihat muka Bu-sam-nio hitam hangus, tampaknya sudah lama putus napasnya terang mukanya yang kena ditowel Li Bok-chiu tempo hari dengan Jik-lian-sin-ciang, meski bisa tahan beberapa hari, tetapi akhirnya mati karena bekerjanya racun.
Kemudian Oey Yong bertanya di mana beradanya Bu Sam-thong.
“Entahlah, tak tahu kemana ayah pergi.” sahut Bu Tun-si dengan masih menangis.
“Melihat ibu rneninggal, pikiran ayah tiba2 ling-lung lagi,” demikian Bu Siu-bun menambahkan, “Meski kami memanggil dia, namun sama sekali dia tidak menggubris kami.”
Hahis menutur, kembali bocah ini menangis terguguk pula.
“Kalian tentu sudah lapar bukan ?” tanya Oey Yong.
Kedua saudara Bu ini mengangguk. Maka Oey Yong lantas perintahkan tukang perahu bawa kedua bocah ini ke dalam perahu dan diberi makan, ia sendiri lantas pergi ke kota yang terdekat buat membeli sebuah peti mati buat Bu-samnio. Karena hari sudah petang, besok paginya baru dicarikan sebidang tanah untuk menguburnya.
Meski masih bocah, tetapi kedua saudara she Bu itu menangis sesambatan sambil meng-gabruk2 peti mati ibunya, sungguh rasanya mereka ingin ikut mangkat sekalian.
Saking harunya Kwe Ceng, Oey Yong dan Kwa Tin-ok ikut mengucurkan air mata, Yo Ko yang berperasaan halus dan gampang tergoncang, meski sedikitpun dia tiada hubungan dengan Bu-samnio, tetapi melihat orang2 lain pada mengalirkan air mata, tanpa tahan iapun ikut menangis meng-gerung2.
Hanya Kwe Hu seorang saja yang tidak ikut menangis, Kesatu karena anak ini memang masih belum kenal adat kehidupan, kedua dia memang mempunyai hati yang keras, maka ia hanya duduk disamping memain sendiri dengan sapu tangannya.
“Yong-ji,” kata Kwe Ceng kemudian pada sang isteri sesudah puas menangis, “marilah kita bawa serta kedua anak ini ke Tho-hoa-to, cuma selanjutnya kau harus lebih banyak perhatian buat merawatnya.”
Oey Yong angguk2 tanda setuju, lalu mereka menghibur kedua saudara Bu itu dan Yo Ko agar berhenti menangis, mereka lantas lanjutkan perahunya sampai di laut, dari sini mereka ganti perahu yang besaran untuk berlayar ke arah Timur, menuju ke Tho-hoa-to atau pulau bunga Tho.
Kalau sekarang Kwe Ceng dan Oey Yong mau pelihara anak2 piatu ini adalah karena kemauan baik mereka, siapa tahu berkumpulnya keempat bocah ini di suatu tempat, kelak menimbulkan mala-petaka yang sukar diakhiri.
Begitulah rombongan mereka akhirnya sampai di Tho-hoa-to dengan selamat.
Waktu masih di atas perahu Kwe Ceng telah menyembuhkan sendiri dengan Lwekangnya yang tinggi, maka lukanya sebagian besar sudah sembuh, kini dirawat pula beberapa hari di atas pulau, maka keadaannya sudah pulih kembali seperti sediakala.
Ketika mereka suami isteri percakapkan diri Auwyang Hong yang sudah belasan tahun tak berjumpa, bukan saja tidak nampak loyo dan mundur ilmu silatnya, bahkan melebihi masa yang lalu, maka mereka menjadi heran dan ber-ulang2 menghela napas.
Berbicara tentang asal-usul diri Yo Ko, segera Kwe Ceng keluar melihat bocah itu, ia lihat anak muda ini sedang bermain dengan puteri kesayangannya dan lagi mencari jangkerik di semak2 rumput, dia panggil anak muda itu dan diajak ke dalam kamar, ia tanya semua kejadian yang lalu padanya.
Kiranya selama itu Yo Ko hidup berdampingan dengan ibunya, Cin Lam-khim dan tinggal di kaki bukit Tiang-nia di propinsi Kangsay, mereka hidup dari menangkap ular hingga lewat belasan tahun.
Selama itu pelahan2 Yo Ko tumbuh besar juga, ibunya Cin Lam-khim, telah turunkan dasar2 Lwekang yang dahulu diperolehnya dari Kwe Ceng kepada puteranya ini.
Dasar Yo Ko memang sangat pintar dan otaknya encer, serta banyak pula tipu akalnya, ketika berumur tujuh atau delapan tahun, kepandaiannya menangkap ular sudah melampaui sang ibu. Pernah ia dengar cerita ibunya bahwa di jagat ini ada orang yang bisa mengerahkan ular hingga berwujut barisan, dalam hatinya diam2 ia sangat kagum dan ketarik, maka diwaktu senggang ia suka tangkap beberapa ekor ular hijau untuk memain dan dipelihara, lama kelamaan, dia paham betul watak ular, bila ia bersuit sekali, kawanan ular lantas menurut perintah dan berbaris sendiri.
Perlu diterangkan bahwa Auwyang Hong yang berjuluk Se-tok diperoleh dari keahliannya memelihara segala macam binatang berbisa terutama ular2 yang berbisa jahat, ia tinggal di gunung Pek-to-san (gunung Ohta putih) di daerah barat, banyak dia pelihara lelaki tukang angon ular, tetapi cara angon ular kaum Pek-to-san ini adalah turun temurun, sedangkan Yo Ko mendapatkan kepandaian ini dari bakatnya sendiri, meski cara-nya berlainan, tetapi dasarnya sebenarnya sama.
Belakangan karena kurang hati2 ibu Yo Ko telah dipagut oleh semacam ular aneh, obat pemunah racun yang selalu dibawanya ternyata tak mempan mengobati pagutan itu hingga mengakibatkan kematiannya.
Habis itu Yo Ko menjadi sebatang-kara, seorang diri ia ter-lunta di Kangouw, kawan satu2nya yang selalu berdampingan dengan dia boleh dikatakan melulu burung merah yang bercucuk panjang itu, siapa duga hari itu kebentur Li Bok-chiu hingga burung merah itu terbinasa ditangannya.
Hendaklah diketahui bahwa burung merah bercucuk panjang itu dahulunya adalah piaraan Ui lcong, kini demi mendengar burung itu terbinasa, berulang-ulang Kwe Ceng menyatakan sayang, rasa gemasnya pada Li Bok-chiu menjadi bertambah juga.
Kemudian ia tanya Yo Ko pula di mana anak ini berada ketika Bu Sam-thong bergebrak dengan Auwyang Hong, ia tanya pula apa Yo Ko kenal dengan Auwyang Hong, Namun Yo Ko sama sekali tidak memperlihatkan sesuatu tanda, bahkan ia berbalik tanya siapakah Auwyang Hong? ini adalah akalnya Yo Ko yang sengaja mendahului tanya supaya urusan ini bisa dia cuci bersih.
Tak terduga, Oey Yong adalah wanita terpandai dan cerdik dijagat ini dengan usia Yo Ko yang masih muda dan meski air mukanya tidak unjuk sesuatu tanda, tetapi hendak mengelabui Oey Yong, itulah tidak gampang baginya.
“Baiklah, boleh kau pergi bermain dengan kedua saudara Bu,” kata Oey Yong kemudian, ia tidak ingin tanya lebih lanjut.
Jika di antara Oey Yong dan Yo Ko diam2 telah adu kecerdasan maka Kwe Ceng yang berpembawaan sederhana otaknya sama sekali tidak mengetahuinya, ia tunggu sesudah Yo Ko keluar, barulah ia berkata pada sang isteri.
“Yong-ji”, demikian katanya, “Sudah lama aku punya satu janji dalam hati, tentunya kau mengetahui, kini berkat kemurahan Thian bisa bertemu dengan anak Ko, maka janji hatiku dapatlah terlaksana.”
Hendaklah diketahui bahwa mendiang ayah Kwe Ceng, Kwe Siau-thian, adalah saudara angkat Engkongnya Yo Ko yang bernama Nyo Thi-sim. Di waktu isteri kedua keluarga ini sama2 duduk perut, mereka berdua telah saling janji bahwa bila kelak yang dilahirkan itu adalah laki2 semua, maka mereka harus menjadi saudara angkat lagi, begitu pula kalau sama2 perempuan. Tetapi kalau satu laki2 dan yang lain perempuan maka mereka harus menjadi suami-isteri.
Belakangan yang dilahirkan ternyata adalah laki2 semua, yakni Kwe Ceng dan Nyo Khong, ayah Yo Ko, maka mereka mentaati sumpah itu dan bersaudara angkat. Tetapi karena Nyo Khong telah khianat dan mengaku musuh sebagai bapak hingga nasibnya berakhir dengan mengenaskan ia tewas secara menyedihkan di suatu kelenteng di kota Ka-hin.
Mengingat akan hubungan orang tua itulah, maka Kwe Ceng tidak pernah melupakannya. Kini ia berkata, segera pula Oey Yong tahu akan maksud suaminya.
“Tidak, aku tidak setuju,” demikian ia menjawab dengan menggeleng kepala.
Keruan Kwe Ceng menjadi heran.
“Kenapa ?” tanyanya.
“Mana boleh anak Hu dapatkan jodoh bocah seperti dia ini,” sahut Oey Yong.
“Meski kelakuan ayahnya tidak baik, tetapi mengingat keluarga Kwe kita dengan keluarga Nyo yang turun temurun berhubungan dengan baik, asal kita mengajar dia dengan baik, menurut pendapatku, jika melihat tampangnya yang cakap dan tindak-tanduknya yang cerdik, kelak bukan tidak mungkin akan di atas orang lain,” ujar Kwe Ceng.
“Ya, justru aku kuatir dia terlalu pintar,” kata Oey Yong lagi.
“He, aneh, bukankah kau sendiri sangat pintar, kenapa kau malah cela orang pintar ?” sahut Kwe Ceng.
“Tetapi aku justru lebih menyukai Engkoh tolol seperti kau ini,” kata Oey Yong dengan tertawa.
“Tetapi kalau anak Hu sudah besar, belum tentu serupa dengan kau,” ujar Kwe Ceng ikut tertawa, “kukira dia tidak menyukai seorang anak tolol. Lagi pula, orang tolol seperti aku ini, di jagat ini agaknya sukar dicari keduanya lagi.”
“Waduh, tidak malu!” demikian Oey Yong meng-olok2.
Begitulah sesudah bersenda-gurau, lalu Kwe Ceng mengulangi lagi pada maksudnya tadi.
“Ayahku pernah meninggalkan pesan, begitu pula sebelum mangkat paman Nyo Thi-sun juga pernah pesan wanti2 padaku, maka sekarang kalau aku tidak pandang anak Ko seperti anak sendiri, mana bisa aku menghadapi ayah dan paman Nyo dialam baka.”
Habis berkata Kwe Ceng menghela napas panjang yang penuh mengandung rasa haru dan menyesal “Baiknya kedua bocah masih kecil, urusan inipun tidak perlu buru2 diselesaikan,” ujar Oey Yong kemudian dengan suara lunak, “Kelak apabila betul Ko-ji tidak jelek kelakuannya, bagaimana kau suka boleh diputuskan sendiri.”
Mendengar jawaban ini, tiba2 Kwe Ceng berdiri dan membungkuk memberi hormat pada sang isteri, “Terima kasih Niocu (isteriku) telah setuju, sungguh tak terhingga rasa syukurku,” demikian ia berkata.
“Aku tidak bilang setuju,” tiba2 Oey Yong menjawab dengan sungguh2. “Tetapi aku bilang harus melihat dahulu bagaimana kelakuan anak itu kelak.”
Saat itu Kwe Ceng membungkuk dan belum tegak kembali, ketika dengar jawaban isterinya ini, ia melongo. Tetapi menyusul segera ia bilang lagi: “Ayahnya berubah menjadi busuk karena sejak kecil ia dibesarkan dalam keraton negeri Kim, tetapi sekarang Ko-ji tinggal dipulau kita, tak mungkin ia berubah menjadi jelek, janganlah kau kuatir.”
Maka tertawalah Oey Yong, segera ia alihkan pembicaraan ke urusan lain.
Kembali pada diri Yo Ko yang tadi sedang mencari jangkerik bersama Kwe Hu.
Tatkala kedua bocah ini mulai berkenalan memang terjadi perselisihan paham, tetapi dasar watak kanak2, lewat beberapa hari saja perselisihan paham itu sudah terlupa semua maka sesudah Yo Ko dipanggil Kwe Ceng, sekembalinya dia lantas mencari Kwe Hu lagi.
Tetapi pada waktu hampir sampai di-semak2 tadi, ia dengar suara tertawa ngikik yang ramai, kiranya kedua saudara Bu sedang berjongkok dan lagi bongkar batu dan singkap rumput untuk mencari jengkerik juga.
Setelah Yo Ko mendekati, ia lihat tangan Bu Tun-si memegangi sebuah bumbung bambu, sedang Kwe Hu membawa sebuah belanga, Bu Siu-bun sendiri lagi membongkar dan membalik batu. Dalam pada itu, tiba2 seekor jangkerik besar meloncat keluar dari tempat sembunyinya, lekas2 Siu-bun menubruk dan menangkapnya, maka bersoraklah dia kegirangan.
“Berikan padaku! Berikan padaku!” demikian Kwe Hu ber-teriak2.
“Baiklah, buat kau,” kata Siu-bun sambil membuka tutup belanga yang dipegang Kwe Hu dan memasukkannya ke dalam.
Ia lihat jangkerik yang baru ditangkap itu kepalanya bundar besar, kakinya panjang kuat, tubuhnya bulat dan gagah sekali.
“Ha, jangkerik ini pasti jagoan yang tiada tandingannya.” demikian Bu Siu-bun berkata, “Nyo-koko, semua jangkerikmu pasti tidak bisa menangkan dia.”
Tentu saja Yo Ko tidak mau menyerah, segera ia pilih satu di antara jangkerik tangkapannya yang paling besar dan paling berangasan untuk diadu.
Akan tetapi baru sekali gebrag saja, jangkerik Yo Ko telah kena digigit jangkrik besar tadi dibagian tengah pinggang terus dilempar keluar dari belanga, atas kemenangan ini jangkerik itu lantas berbunyi “krik-krik” dengan senang sekali.
“Hura, aku punya yang menang”, demikian Kwe Hu kegirangan sambil bertepuk tangan.
“Jangan senang2 dulu, ini masih ada yang lain,” kata Yo Ko. Lalu ia ajukan jagonya yang lain lagi.
Diluar dugaan, meski be-runtun2 tiga kali ia tukar jangkeriknya, tiap2 kali selalu dikalahkan jangkerik orang, bahkan jagonya yang ketiga malahan kena digigit jangkerik musuh yang besar itu hingga terkutung menjadi dua.
Dengan sendirinya Yo Ko merasa kehilangan muka. “Sudahlah, tidak mau lagi!” katanya terus bertindak pergi.
Pada saat itu juga, tiba2 diantara semak2 rumput di belakang sana terdengar ada suara “krok-krok” yang aneh.
“Ha, ada satu lagi,” seru Bu Tun-si.
Habis ini ia lantas singkap rumput yang lebat itu, di luar dugaan mendadak ia mencelat mundur sambil berteriak kaget: “He ular, ada ular!”
Mendengar kata “ular”, Yo Ko yang sudah melangkah pergi seketika berhenti, bahkan ia putar kembali buat melihatnya, Betul saja ia lihat disitu ada seekor ular belang-bonteng yang jelas kelihatan jenis ular berbisa, sedang melelet lidah dan tegak kepala sambil menyembur, hanya badannya yang masih meringkuk diantara semak2 rumput itu.
Sejak kecil Yo Ko sudah tergolong ahli tangkap ular, sudah tentu ia tidak pandang sebelah mata pada binatang ini, segera ia maju dan begitu ulur tangannya, seketika leher ular dia tangkap terus dibanting ke atas batu dengan kuat, tanpa ampun lagi ular itu terbanting mati.
Diluar dugaan, tempat dimana ular tadi meringkuk ternyata ada lagi seekor jangkrik hitam kecil, rupanya aneh dan jelek, tapi sedang geraki sayapnya dan mengeluarkan suara “krik-krik” yang nyaring.
“Nah, tangkaplah setan hitam kecil itu saja, Nyo-koko”, dengan tertawa Kwe Hu mengejek Yo Ko yang kalah beberapa kali tadi. Watak Yo Ko justru paling tidak senang kalau dihina orang. “Baik, tangkap ya tangkap,” sahutnya ketus.
Segera jangkerik hitam kecil itu ditangkapnya terus di lepaskan ke dalam belanga yang dipegang Kwe Hu.
Sungguh aneh bin ajaib, jangkrik yang besar tadi begitu melihat jangkrik hitam kecil ini seketika mengunjuk rasa jeri, bahkan terus mundur2 dan hendak lari.
Namun Kwe Hu dan kedua saudara Bu masih ber-teriak2 untuk membangkitkan semangat jagonya.
Sementara itu jangkrik hitam kecil itu telah melompat maju dengan tegang leher, sebaliknya jangkrik yang besar ternyata tak berani menyambut tantangan itu dan bermaksud melompat keluar dari tempurung, tak terduga gerak-gerik jangkrik hitam ternyata sebat dan aneh luar biasa, ia melompat maju dan gigit ekor jangkrik besar tadi, dengan kuat dia kunyah sekali, tahu2 jangkrik besar itu berkelejetan beberapa kali terus terbalik dan mati.
Kiranya diantara jangkrik itu terdapat semacam jangkrik yang suka tinggal bersama dengan binatang berbisa lain, kalau tinggal bersama kelabang disebut “jangkrik kelabang”, kalau tinggal bersama ular disebut “jangkrik ular”.
Oleh karenanya tubuh mereka terjalar hawa berbisa dari binatang yang tinggal bersama dia itu, maka jenis biasa tidak sanggup melawannya.
Jangkrik yang ditangkap Yo Ko tadi justru adalah seekor jangkrik ular.
Dilain pihak, sesudah Kwe Hu melihat jangkrik besarnya mati, ia menjadi kurang senang.
“Nyo-koko, kau punya setan hitam kecil ini berikan padaku saja,” katanya kemudian sesudah berpikir.
“Berikan padamu sebenarnya tidak menjadi soal, tapi kenapa kau memaki dia sebagai setan hitam kecil ?” sahut Yo Ko.
Kwe Hu menjadi jengkel oleh jawaban ini.
“Tak mau beri ya sudah, siapa kepingin ?” katanya dengan mulut menjengkit, Berbareng itu ia tuang belanganya dan banting jangkrik hitam kecil itu ke tanah, bahkan ia injak pula dengan kakinya hingga binatang kecil itu mecotot perutnya.
Nampak jangkriknya diinjak mati, Yo Ko terkejut tercampur gusar, perasaan halus pemuda ini paling gampang tertusuk, seketika itu ia naik darah hingga mukanya merah padam, tanpa pikir lagi ia baliki telapak tangannya terus menampar pipi Kwe Hu.
Pukulan ini cukup keras hingga Kwe Hu merasa pipinya panas pedas, ia terlongong sesaat dan belum mengambil putusan apa harus menangis atau tidak, tiba2 ia dengar Bu Siu-bun sudah mendamperat.
“Kau berani pukul orang !” bentak anak itu, Berbareng ia lantas menjotos ke dada Yo Ko.
Karena terlahir dalam keluarga jago silat, pula sejak kecil ia sudah peroleh ajaran dari ibunya sendiri, maka ilmu silat Siu-bun sudah mempunyai dasar yang kuat, jotosannya tadi dengan tepat kena sasarannya.
Dengan sendirinya Yo Ko menjadi gusar, kontan ia balas meninju, Tetapi Siu-bun sempat berkelit hingga pukulannya luput
Yo Ko masih penasaran, ia mengudak maju terus menubruk dan menghantam pula. Diluar dugaannya, se-konyong2 Bu Tun-si ulur kakinya men-jegal hingga Yo Ko mencium tanah, ia jatuh ngusruk ke depan.
Kesempatan ini segera digunakan kedua saudara Bu itu dengan baik, dengan cepat Bu Siuhun menunggangi tubuh Yo Ko, Bu Tun-si pun ikut maju dan menahan bokongnya dengan kencang, menyusul empat kepalan mereka terus menghujani tubuh Yo Ko dengan gebukan2.
Sungguhpun usia Yo Ko lebih tua dari kedua saudara Bu itu, tetapi karena satu lawan dua, pula Siu-hun dan Tun-si sudah pernah berlatih silat sebaliknya Yo Ko hanya belajar sedikit dasar lwe-kang saja dari ibunya dan belum terlatih sempurna, dengan sendirinya ia bukan tandingan kedua lawan ciliknya. Namun demikian, ia tidak menyerah mentah2, ia kertak gigi menahan sakit pukulan orang, sedikitpun ia tidak merintih.
“Lekas minta ampun, kami lantas lepaskan kau,” kata Bu Tun-si.
“Kentut !” sahut Yo Ko dengan gusar.
Karena itu, susul-menyusul Bu Siu-hun menggebuk lagi dua kali di punggungnya.
Melihat kedua saudara Bu itu membela dirinya dan hajar Yo Ko, Kwe Hu merasa senang sekali.
Siu-bun dan Tun-si juga cukup cerdik, mereka tahu kalau hantam orang di bagian kepala atau muka tentu akan meninggalkan bekas babak-belur, nanti kalau dilihat Kwe Ceng dan Oey Yong pasti akan didamperat, oleh karena itu kepalan dan kaki mereka selalu mengarah di atas badan Yo Ko.
Dalam pada itu melihat makin hebat gebukan yang menghujani Yo Ko itu, akhirnya Kwe Hu sendiri rada takut dan meresa ngeri, tetapi bila ia meraba pipi sendiri yang masih terasa sakit pedas, segera pula ia merasa belum puas hajaran itu.
“Hantam dia, hantam yang keras !” demikian dia ber-teriak2 pula.
Mendengar seruan Kwe Hu, benar juga Tun-si dan Siu-bun kerjakan kepalan mereka semakin cepat dan menjotos lebih ganas lagi.
Sudah tentu seruan Kwe Hu tadi didengar juga oleh Yo Ko yang kena ditindih di atas tanah, “Kau si budak ini sungguh kejam, kelak aku Yo Ko pasti membalas “sakit hati ini,” demikian katanya dalam hati.
Tetapi segera ia merasakan pinggang, punggung dan bagian bokong tidak kepalang sakitnya, pelahan2 ia mulai tidak tahan.
Harus diketahui meski kecil, tapi kedua saudara Bu sudah berlatih silat sejak kecil, kalau mereka menjotos, meski orang tua sekalipun tak akan tahan, kalau bukan Yo Ko yang sudah mempunyai dasar2 wekang tentu sejak tadi ia sudah semaput.
Dalam keadaan terpaksa Yo Ko mengertak gigi menahan sakit sekuatnya, tiba2 pandangannya menjadi gelap, kedua tangannya meraba dan me-raup2 serakutan di atas tanah, mendadak pula sebelah tangannya menyentuh sesuatu benda yang licin dingin, seketika pikirannya tergerak, ia tahu itu adalah bangkai ular “berbisa tadi yang dia banting mati itu, tanpa ayal lagi segera ia cekal terus disabetkan ke belakang.
Nampak ular yang sudah mati dengan kulitnya yang belang-bonteng, kedua saudara Bu menjadi kaget dan menjerit ngeri.
Kesempatan mana segera digunakan Yo Ko dengan baik, sekali membalik ia telah berdiri kembali, menyusul ia putar tinjunya terus manghantam, tepat sekali hidung Bu Tun-si kena dia genjot hingga keluar kecapnya, Habis ini, segera Yo Ko angkat kaki dan lari ke belakang pulau sana.
Sudah tentu kedua saudara Bu menjadi gusar, segera mereka mengudak.
Kwe Hu memang suka dengan keonaran, iapun ingin tahu lanjutannya, maka ia menyusul dari belakang, bahkan tiada hentinya ia ber-teriak2 : “Tangkap, tangkap dia !”
Sesudah ber-lari2, ketika ketika Yo Ko menoleh, ia lihat muka Tun-si penuh darah, baju bagian dada lebih2 nyata lagi dengan bekas2 darah yang mengucur itu hingga rupanya sangat beringas sekali kelihatannya.
Yo Ko insaf bila sampai dirinya kena ditangkap kedua saudara Bu lagi, maka pukulan2 yang bakal ia terima pasti akan jauh lebih lihay daripada tadi, oleh karenanya ia berlari semakin cepat, ia lari menuju tebing gunung dan memanjat ke atas.
Sesungguhnya meski hidung Bu Tun-si kena di-jotos, tetapi tidak begitu sakit, cuma demi melihat darah mengucur, ia menjadi panik dan gusar pula, maka ia menguber semakin kencang.
Makin lama makin tinggi Yo Ko panjat ke atas, tapi sedikitpun kedua saudara Bu belum mau berhenti mengejar. Sedang Kwe Hu sesudah sampai di tengah tebing gunung itu lantas berhenti, dari sini ia mengikuti orang udak2an dengan mendongak saja.
Dalanm pada itu Yo Ko telah sampai di tempat buntu, di depannya adalah tebing curam dan tiada jalan lalu lagi buat lari terus, Pemuda ini mempunyai kecenderungan pikiran yang nekat, dalam keadaan kepepet ia pikir : “Hm, sekalipun aku harus mati terjun ke dalam jurang, tidak nanti aku rela ditangkap kedua bocah itu untuk dihina mentah2.”
Karena pikiran itulah, maka ia lantas putar balik dan membentak: “Hayo berhenti, jika berani mengejar setapak lagi, segera aku terjun ke bawah !”
Gertakan ini bikin Bu Tun-si rada terkejut juga anak ini tertegun sejenak, berlainan dengan adiknya, Bu Siu-bun, bocah ini malah menantang akan!”
“Hm, kalau mau terjun lekas terjun saja, siapa kena kau gertak ?” demikian ia mengejek, berkata ia mendesak maju lagi beberapa tindak.
Melihat ini, seketika Yo Ko naik darah dan timbul pikiran pemdek, mendadak ia berjongkok hendak terjun ke dalam jurang, syukur sebelum itu sekilas terlihat olehnya di samping terdapat sebuah batu besar dan letaknya miring.
Dalam keadaan gusar, Yo Ko sudah tidak memikirkan akibat2nya lagi segera ia dorong batu besar itu yang memang kelihatan miring, betul juga ia merasakan batu besar ini ber-goyang2, segera ia melompat mundar ke belakang batu, sekuatnya ia dorong, maka terdengarlah suara gemuruh hebat memecah angkasa, batu besar itu menggelinding ke bawah bukit dengan cepat luar biasa, batu, kedua saudara Bu menyadari juga gelagat jelek.
Di lain pihak demi melihat Yo Ko mendorong muka mereka menjadi pucat, segera akan menyingkir namun sudah kasip, dengan mata terbelalak mereka lihat pasir berhamburan dari atas kepala, seketika mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar