JILID 08
Waktu
itu Auwyang Hong sedang curahkan seluruh perhatiannya untuk menghindari udakan
musuh, maka ia belum lihat kode orang, setelah mengitar dua kalangan lagi baru
kemudian ia lihat bayangan Yo Ko di lantai yang lagi memberikan tanda supaya
dia menyingkir semula ia tidak mengerti apa maksud anak muda ini, tetapi ia
pikir kalau Yo Ko berani suruh aku menyingkir tentu ada maksud tujuannya, maka
dengan menghadapi bahaya ia lantas bertindak keluar.
Sementara
itu Kwa Tin-ok telah berhenti dan tidak bergerak untuk mem-beda2kan ke jurusan
mana perginya musuh.
Saat
itu juga diam2 Yo Ko copot sepatunya, lalu ia lemparkan ke bagian belakang
ruangan, maka terdengarlah suara “blak-bluk” dua kali, suara jatuhnya benda di
lantai.
Tentu
saja Kwa Tin-ok ter-heran2 dan menjadi bingung pula, sudah terang ia dengar
Auwyang Hong jalan menuju ke pintu depan, tapi mengapa di bagian belakang ada
suara orang lagi. Dan justru pada saat yang meragukan itu, Yo Ko cepat angkat
belatinya terus memotong tali gantolan yang menggantung genta raksasa itu.
Gantolan
genta itu sebenarnya cukup kuat, meski belatinya sangat tajam toh sekali potong
tidak nanti bisa terputus, tetapi karena beratnya genta yang tergantung, hanya
setengah saja tali gantolan itu terpotong sudah tidak tahan lagi bobot genta.
Tanpa
ampun lagi, dengan membawa samberan angin santer genta itu menutup ke atas
kepala Kwa Tin-ok yang tepat berdiri di bawahnya.
Hebat
sekali daya menurunnya genta ini hingga sewaktu Kwa Tin-ok mendengar suara
angin sudah tak keburu buat melompat pergi, dalam seribu kerepotannya tiba2 ia
tegakkan tongkatnya, maka terdengarlah suara “trang” pula, dengan persis genta
itu menindih di atas tongkat, karena tangkisan ini, pada kesempatan mana Tin-ok
berhasil meloncat keluar dari bawah genta. Apabila lompatannya ini sedikit
kasip saja dapat dipastikan tubuhnya akan ter-tindih genta hingga hancur.
Dalam
pada itu lantas terdengar suara “dung… gerubyak…klontang” secara susul -
menyusul.
Tongkat
tadi telah patah menjadi dua, genta pun menggelinding ke samping hingga
menyeruduk bokong Kwa Tin-ok hingga orang cacat ini terlempar keluar dari pintu
kelenteng, bahkan masih terguling beberapa kali, darah mengucur pula dari
hidungnya dan batok kepalanya benjut.
Kasihan
Kwa Tin-ok yang matanya tak bisa melihat, ia tidak tahu mengapa dan sebab apa
kejadian yang mendadak itu, ia kuatir jangan2 dalam kelenteng itu terdapat pula
makhluk2 aneh lain yang mengacau maka sesudah merangkak bangun, dengan
ter-pincang2 lekas ia bertindak pergi.
Menyaksikan
kejadian ini, mau-tak-mau hati Auwyang Hong terkesiap juga, ber-ulang2 ia
mengatakan: “Sayang !”
“Baiklah,
sekarang si buta ini tak berani datang lagi ayah,” demikian kata Yo Ko dengan
senang sesudah merangkak turun dai atas kerangka genta.
Di
luar dugaan, Auwyang Hong masih geleng2 kepala saja.
“Orang
ini setinggi gunung dendamnya padaku, asal dia masih bisa bernapas, pasti dia
akan datang mencari aku lagi,” katanya kemudian.
“Kalau
begitu lekas kita berangkat pergi,” ujar Yo Ko.
“Percuma,”
sahut Auwyang Hong sambil geleng kepala pula, “Lukaku terlalu parah, tidak bisa
jauh kita lari.”
“Lantas
bagaimana baiknya ?” kata Yo Ko menjadi kuatir.
“Ada satu akal,” sahut
Auwyang Hong sesudah berpikir “Kau potong putus lagi gantolan genta yang lain
itu, biar aku tertutup di dalamnya.”
“Dan
cara bagaimana ayah akan keluar ?” tanya Yo Ko.
“Aku
akan sekap diriku selama tujuh hari di bawah genta, sesudah pulih tenaga
asliku, aku sendiri sanggup keluar dengan membuka genta itu,” kata Auwyang
Hong, “Dalam tujuh hari ini, sekali pun si buta itu datang mencari aku lagi,
kalau hanya dengan sedikit kepandaiannya saja tidak mungkin mampu membuka genta
sebesar ini.”
Yo
Ko pikir baik juga akal itu, tetapi ia masih ragu2, ia tanya lagi apa betul
Auwyang Hong sanggup membuka genta buat keluar sendiri, sesudah yakin benar2
barulah ia panjat ke atas lagi buat melakukan apa yang diminta Auwyang Hong.
“Kau
holeh ikut pergi saja dengan manusia she Kwe itu, kelak aku akan mencari kau ke
sana,” demikian
Auwyang Hong berpesan.
Yo
Ko mengiakan pesan itu. Dan sesudah Auwyang Hong duduk tepat di bawah genta,
lalu ia potong gantolan genta pula hingga Auwyang Hong tertutup rapat di
dalamnya.
Dari
luar Yo Ko memanggil beberapa kali, tetapi ia tidak mendapat sahutan, ia tahu
di dalam genta tidak dengar suara dari luar, maka ia lantas ber-kemas2 buat
pergi, Tetapi sebelum itu, tiba2 lahir pula satu akalnya, ia pergi ke ruang
belakang dan mendapatkan sebuah mangkok rusak dan sebuah sikat bobrok, ia isi
penuh mangkok itu dengan air jernih. Setelah mangkok ditaruk di lantai,
kemudian ia sendiri berjungkir sambil tangan kiri dimasukkan ke dalam mangkok
yang berisi air itu.
Kiranya
ia telah lakukan ilmu menolak hawa berbisa dalam tubuhnya menurut ajaran Auwyang Hong, ia
desak keluar beberapa tetes darah beracun dari tangannya.
Ilmu
ini sangat makan tenaga, sedang Yo Ko baru mempelajari dasar2nya saja, meski
dapat juga ia desak keluar beberapa tetes darah hitam, tidak urung ia sudah
mandi keringat.
Kemudian
dengan sikat yang tersedia itu ia celup air itu untuk semir sekitar genta, ia
pikir kalau padri2 kelenteng ini kembali atau si buta she Kwa itu berani datang
lagi dan bermaksud menyongkel genta ini, begitu tubuh mereka menyentuh
genta-pasti mereka akan merasakan jahatnya racun ini.
Selesai
ia atur tipu jebakannya, dengan langkah lebar Yo Ko lantas pulang kepondoknya,
Pada waktu melintasi pagar tembok untuk masuk kamar, dalam hati ia rada kuatir
kalau2 kepergok Kwa Tin-ok. siapa tahu sesudah dia masuk kamar, Kwa Tin-ok
sendiri, malah belum kembali, ini sama sekali di luar dugaannya.
Setelah
rebah dipembaringannya, Yo Ko hanya gulang-guling saja tak bisa tidur, keadaan
ini berlangsung terus sampai hari sudah terang, baru kemudian ia dengar ada
suara ketokan pintu kamar dengan pentung.
Dengan
cepat Yo Ko melompat bangun buat buka pintu, maka tertampaklah olehnya dengan
mencekal sebatang pentung kayu muka Kwa Tin-ok pucat lesi, begitu orang buta
ini melangkah masuk segera terbanting jatuh di lantai.
Demi
nampak kedua tangan Tin-ok berwarna hitam, Yo Ko tahu jebakan beracun yang dia
pasang di genta itu telah kena sasarannya, maka diam2 ia merasa girang, tetapi
ia pura2 kaget dan ber-teriak2: “He, Kwa-kongkong, kenapakah kau?”
Ketika
mendengar suara teriakan Yo Ko, Kwe Ceng dan Oey Yong lantas datang
memeriksanya dan setelah tahu Kwa Tin-ok menggeletak di lantai, keruan mereka
terkejut.
Waktu
itu Kwe Ceng sudah bisa bebas bergerak, hanya tenaganya yang masih kurang, maka
Oey Yong yang dukung Tin-ok ke tempat tidurnya.
“Toa-suhu,
Toa-suhu, kenapakah kau?” demikian ber-ulang2 ia tanya.
Tetapi
Tin-ok hanya menggeleng kepala saja, ia tidak menjawab juga tidak menerangkan.
Sesudah
Oey Yong melihat bengkak hitam pada telapak orang tua itu, tahulah dia apa yang
telah terjadi “Kurangajar, kembali perbuatan itu perempuan hina-dina she Li
lagi Ceng-koko, biar aku pergi melabraknya,” katanya dengan gemas, ia menyangka
itu adalah perbuatan Li Bok-chiu.
Habis
berkata, setelah bikin ringkas pakaiannya, segera Oey Yong melangkah keluar.
“Bukan
perempuan itu!” tiba2 Tin-ok berseru.
Tentu
saja Oey Yong heran, ia berhenti dan menoleh.
“Bukan
dia? Lalu siapa lagi?” tanyanya tak mengerti.
Akan
tetapi Kwa Tin-ok tidak menjelaskan lebih lanjut, ia merasa malu karena tak
mampu melayani seorang yang boleh dikata sudah tak punya tenaga, bahkan dirinya
sendiri kena dikibuli sehingga pulang menderita luka, sungguh boleh dikatakan
terlalu tak becus. Karena itu, turuti wataknya yang keras kepala, maka ia
bungkam saja.
Di
lain pihak Kwe Ceng dan Oey Yong cukup kenal tabiat orang tua ini, kalau mau
bilang, sejak tadi ia sendiri sudah menutur, kalau dia sudah tak mau cerita,
makin ditanya hanya akan makin menambah kegusarannya.
Baiknya
luka yang keracunan hanya kulit tangan saja dan tidak lihay, meski orangnya
kelengar sesaat, tetapi kelak tidak menjadi halangan.
Sementara
itu Oey Yong telah ambil keputusan di dalam hati, Kwe Ceng dan Kwa Tin-ok sudah
terluka, sedang kekejian Li Bok-chiu susah diukur, terpaksa angkut kedua orang
luka dan antar pulang dahulu kedua bocah ini ke Tho-hoa-to, kemudian ia sendiri
akan mencari Li Bok-chiu lagi dan melabraknya.
Sesudah
mengaso setengah hari, sorenya mereka lantas sewa sebuah perahu kecil buat
berlayar ke muara laut, Dekat magrib, perahu membuang sauh dan tukang perahunya
hendak menanak nasi,
Didalam
perahu itu, karena Yo Ko masih tetap tak gubris padanya, Kwe Hu menjadi dongkol
dan melengos pula, ia bersandar di jendela perahu untuk memandang ke daratan,
tiba2 ia lihat di bawah pohon Lui yang rindang sana ada dua anak kecil sedang
menangis dengan sedih sekali, tampaknya kedua anak ini justru Bu Tun-si dan Bu
Siu-bun berdua saudara.
Terhadap
kedua bocah ini rupanya Kwe Hu lebih cocok, maka segera ia berseru menegur:
“Hai, apa yang kalian lakukan di situ?”
“Kami
sedang menangis, tidakkah kau melihat ?” sahut Bu Siu-bun setelah berpaling dan
mengenali Kwe Hu.
“Sebab
apakah? Kalian telah di hajar ibumu bukan ?” tanya Kwe Ha lagi.
“Tidak,
ibu telah mati!” sahut Siu-bun dengan menangis guguk.
Jawaban
ini membikin Oey Yong ikut terkejut dengan cepat ia melompat ke-gili2. Betul
saja ia lihat kedua bocah itu menangis dengan sedih sambil meratapi mayat ibu
mereka.
Waktu
Oey Yong memeriksanya, ia lihat muka Bu-sam-nio hitam hangus, tampaknya sudah
lama putus napasnya terang mukanya yang kena ditowel Li Bok-chiu tempo hari
dengan Jik-lian-sin-ciang, meski bisa tahan beberapa hari, tetapi akhirnya mati
karena bekerjanya racun.
Kemudian
Oey Yong bertanya di mana beradanya Bu Sam-thong.
“Entahlah,
tak tahu kemana ayah pergi.” sahut Bu Tun-si dengan masih menangis.
“Melihat
ibu rneninggal, pikiran ayah tiba2 ling-lung lagi,” demikian Bu Siu-bun
menambahkan, “Meski kami memanggil dia, namun sama sekali dia tidak menggubris
kami.”
Hahis
menutur, kembali bocah ini menangis terguguk pula.
“Kalian
tentu sudah lapar bukan ?” tanya Oey Yong.
Kedua
saudara Bu ini mengangguk. Maka Oey Yong lantas perintahkan tukang perahu bawa
kedua bocah ini ke dalam perahu dan diberi makan, ia sendiri lantas pergi ke kota yang terdekat buat
membeli sebuah peti mati buat Bu-samnio. Karena hari sudah petang, besok
paginya baru dicarikan sebidang tanah untuk menguburnya.
Meski
masih bocah, tetapi kedua saudara she Bu itu menangis sesambatan sambil
meng-gabruk2 peti mati ibunya, sungguh rasanya mereka ingin ikut mangkat
sekalian.
Saking
harunya Kwe Ceng, Oey Yong dan Kwa Tin-ok ikut mengucurkan air mata, Yo Ko yang
berperasaan halus dan gampang tergoncang, meski sedikitpun dia tiada hubungan
dengan Bu-samnio, tetapi melihat orang2 lain pada mengalirkan air mata, tanpa
tahan iapun ikut menangis meng-gerung2.
Hanya
Kwe Hu seorang saja yang tidak ikut menangis, Kesatu karena anak ini memang
masih belum kenal adat kehidupan, kedua dia memang mempunyai hati yang keras,
maka ia hanya duduk disamping memain sendiri dengan sapu tangannya.
“Yong-ji,”
kata Kwe Ceng kemudian pada sang isteri sesudah puas menangis, “marilah kita
bawa serta kedua anak ini ke Tho-hoa-to, cuma selanjutnya kau harus lebih
banyak perhatian buat merawatnya.”
Oey
Yong angguk2 tanda setuju, lalu mereka menghibur kedua saudara Bu itu dan Yo Ko
agar berhenti menangis, mereka lantas lanjutkan perahunya sampai di laut, dari
sini mereka ganti perahu yang besaran untuk berlayar ke arah Timur, menuju ke
Tho-hoa-to atau pulau bunga Tho.
Kalau
sekarang Kwe Ceng dan Oey Yong mau pelihara anak2 piatu ini adalah karena
kemauan baik mereka, siapa tahu berkumpulnya keempat bocah ini di suatu tempat,
kelak menimbulkan mala-petaka yang sukar diakhiri.
Begitulah
rombongan mereka akhirnya sampai di Tho-hoa-to dengan selamat.
Waktu
masih di atas perahu Kwe Ceng telah menyembuhkan sendiri dengan Lwekangnya yang
tinggi, maka lukanya sebagian besar sudah sembuh, kini dirawat pula beberapa
hari di atas pulau, maka keadaannya sudah pulih kembali seperti sediakala.
Ketika
mereka suami isteri percakapkan diri Auwyang Hong yang sudah belasan tahun tak
berjumpa, bukan saja tidak nampak loyo dan mundur ilmu silatnya, bahkan
melebihi masa yang lalu, maka mereka menjadi heran dan ber-ulang2 menghela
napas.
Berbicara
tentang asal-usul diri Yo Ko, segera Kwe Ceng keluar melihat bocah itu, ia
lihat anak muda ini sedang bermain dengan puteri kesayangannya dan lagi mencari
jangkerik di semak2 rumput, dia panggil anak muda itu dan diajak ke dalam
kamar, ia tanya semua kejadian yang lalu padanya.
Kiranya
selama itu Yo Ko hidup berdampingan dengan ibunya, Cin Lam-khim dan tinggal di
kaki bukit Tiang-nia di propinsi Kangsay, mereka hidup dari menangkap ular
hingga lewat belasan tahun.
Selama
itu pelahan2 Yo Ko tumbuh besar juga, ibunya Cin Lam-khim, telah turunkan
dasar2 Lwekang yang dahulu diperolehnya dari Kwe Ceng kepada puteranya ini.
Dasar
Yo Ko memang sangat pintar dan otaknya encer, serta banyak pula tipu akalnya,
ketika berumur tujuh atau delapan tahun, kepandaiannya menangkap ular sudah
melampaui sang ibu. Pernah ia dengar cerita ibunya bahwa di jagat ini ada orang
yang bisa mengerahkan ular hingga berwujut barisan, dalam hatinya diam2 ia
sangat kagum dan ketarik, maka diwaktu senggang ia suka tangkap beberapa ekor
ular hijau untuk memain dan dipelihara, lama kelamaan, dia paham betul watak
ular, bila ia bersuit sekali, kawanan ular lantas menurut perintah dan berbaris
sendiri.
Perlu
diterangkan bahwa Auwyang Hong yang berjuluk Se-tok diperoleh dari keahliannya
memelihara segala macam binatang berbisa terutama ular2 yang berbisa jahat, ia
tinggal di gunung Pek-to-san (gunung Ohta putih) di daerah barat, banyak dia
pelihara lelaki tukang angon ular, tetapi cara angon ular kaum Pek-to-san ini
adalah turun temurun, sedangkan Yo Ko mendapatkan kepandaian ini dari bakatnya
sendiri, meski cara-nya berlainan, tetapi dasarnya sebenarnya sama.
Belakangan
karena kurang hati2 ibu Yo Ko telah dipagut oleh semacam ular aneh, obat
pemunah racun yang selalu dibawanya ternyata tak mempan mengobati pagutan itu
hingga mengakibatkan kematiannya.
Habis
itu Yo Ko menjadi sebatang-kara, seorang diri ia ter-lunta di Kangouw, kawan
satu2nya yang selalu berdampingan dengan dia boleh dikatakan melulu burung
merah yang bercucuk panjang itu, siapa duga hari itu kebentur Li Bok-chiu
hingga burung merah itu terbinasa ditangannya.
Hendaklah
diketahui bahwa burung merah bercucuk panjang itu dahulunya adalah piaraan Ui
lcong, kini demi mendengar burung itu terbinasa, berulang-ulang Kwe Ceng
menyatakan sayang, rasa gemasnya pada Li Bok-chiu menjadi bertambah juga.
Kemudian
ia tanya Yo Ko pula di mana anak ini berada ketika Bu Sam-thong bergebrak
dengan Auwyang Hong, ia tanya pula apa Yo Ko kenal dengan Auwyang
Hong, Namun Yo Ko sama sekali tidak memperlihatkan sesuatu tanda, bahkan ia
berbalik tanya siapakah Auwyang Hong? ini adalah akalnya Yo Ko yang sengaja
mendahului tanya supaya urusan ini bisa dia cuci bersih.
Tak
terduga, Oey Yong adalah wanita terpandai dan cerdik dijagat ini dengan usia Yo
Ko yang masih muda dan meski air mukanya tidak unjuk sesuatu tanda, tetapi
hendak mengelabui Oey Yong, itulah tidak gampang baginya.
“Baiklah,
boleh kau pergi bermain dengan kedua saudara Bu,” kata Oey Yong kemudian, ia
tidak ingin tanya lebih lanjut.
Jika
di antara Oey Yong dan Yo Ko diam2 telah adu kecerdasan maka Kwe Ceng yang
berpembawaan sederhana otaknya sama sekali tidak mengetahuinya, ia tunggu
sesudah Yo Ko keluar, barulah ia berkata pada sang isteri.
“Yong-ji”,
demikian katanya, “Sudah lama aku punya satu janji dalam hati, tentunya kau
mengetahui, kini berkat kemurahan Thian bisa bertemu dengan anak Ko, maka janji
hatiku dapatlah terlaksana.”
Hendaklah
diketahui bahwa mendiang ayah Kwe Ceng, Kwe Siau-thian, adalah saudara angkat
Engkongnya Yo Ko yang bernama Nyo Thi-sim. Di waktu isteri kedua keluarga ini
sama2 duduk perut, mereka berdua telah saling janji bahwa bila kelak yang
dilahirkan itu adalah laki2 semua, maka mereka harus menjadi saudara angkat
lagi, begitu pula kalau sama2 perempuan. Tetapi kalau satu laki2 dan yang lain
perempuan maka mereka harus menjadi suami-isteri.
Belakangan
yang dilahirkan ternyata adalah laki2 semua, yakni Kwe Ceng dan Nyo Khong, ayah
Yo Ko, maka mereka mentaati sumpah itu dan bersaudara angkat. Tetapi karena Nyo
Khong telah khianat dan mengaku musuh sebagai bapak hingga nasibnya berakhir
dengan mengenaskan ia tewas secara menyedihkan di suatu kelenteng di kota Ka-hin.
Mengingat
akan hubungan orang tua itulah, maka Kwe Ceng tidak pernah melupakannya. Kini
ia berkata, segera pula Oey Yong tahu akan maksud suaminya.
“Tidak,
aku tidak setuju,” demikian ia menjawab dengan menggeleng kepala.
Keruan
Kwe Ceng menjadi heran.
“Kenapa
?” tanyanya.
“Mana
boleh anak Hu dapatkan jodoh bocah seperti dia ini,” sahut Oey Yong.
“Meski
kelakuan ayahnya tidak baik, tetapi mengingat keluarga Kwe kita dengan keluarga
Nyo yang turun temurun berhubungan dengan baik, asal kita mengajar dia dengan
baik, menurut pendapatku, jika melihat tampangnya yang cakap dan
tindak-tanduknya yang cerdik, kelak bukan tidak mungkin akan di atas orang
lain,” ujar Kwe Ceng.
“Ya,
justru aku kuatir dia terlalu pintar,” kata Oey Yong lagi.
“He,
aneh, bukankah kau sendiri sangat pintar, kenapa kau malah cela orang pintar ?”
sahut Kwe Ceng.
“Tetapi
aku justru lebih menyukai Engkoh tolol seperti kau ini,” kata Oey Yong dengan
tertawa.
“Tetapi
kalau anak Hu sudah besar, belum tentu serupa dengan kau,” ujar Kwe Ceng ikut
tertawa, “kukira dia tidak menyukai seorang anak tolol. Lagi pula, orang tolol
seperti aku ini, di jagat ini agaknya sukar dicari keduanya lagi.”
“Waduh,
tidak malu!” demikian Oey Yong meng-olok2.
Begitulah
sesudah bersenda-gurau, lalu Kwe Ceng mengulangi lagi pada maksudnya tadi.
“Ayahku
pernah meninggalkan pesan, begitu pula sebelum mangkat paman Nyo Thi-sun juga
pernah pesan wanti2 padaku, maka sekarang kalau aku tidak pandang anak Ko
seperti anak sendiri, mana bisa aku menghadapi ayah dan paman Nyo dialam baka.”
Habis
berkata Kwe Ceng menghela napas panjang yang penuh mengandung rasa haru dan
menyesal “Baiknya kedua bocah masih kecil, urusan inipun tidak perlu buru2
diselesaikan,” ujar Oey Yong kemudian dengan suara lunak, “Kelak apabila betul
Ko-ji tidak jelek kelakuannya, bagaimana kau suka boleh diputuskan sendiri.”
Mendengar
jawaban ini, tiba2 Kwe Ceng berdiri dan membungkuk memberi hormat pada sang
isteri, “Terima kasih Niocu (isteriku) telah setuju, sungguh tak terhingga rasa
syukurku,” demikian ia berkata.
“Aku
tidak bilang setuju,” tiba2 Oey Yong menjawab dengan sungguh2. “Tetapi aku
bilang harus melihat dahulu bagaimana kelakuan anak itu kelak.”
Saat
itu Kwe Ceng membungkuk dan belum tegak kembali, ketika dengar jawaban
isterinya ini, ia melongo. Tetapi menyusul segera ia bilang lagi: “Ayahnya
berubah menjadi busuk karena sejak kecil ia dibesarkan dalam keraton negeri
Kim, tetapi sekarang Ko-ji tinggal dipulau kita, tak mungkin ia berubah menjadi
jelek, janganlah kau kuatir.”
Maka
tertawalah Oey Yong, segera ia alihkan pembicaraan ke urusan lain.
Kembali
pada diri Yo Ko yang tadi sedang mencari jangkerik bersama Kwe Hu.
Tatkala
kedua bocah ini mulai berkenalan memang terjadi perselisihan paham, tetapi
dasar watak kanak2, lewat beberapa hari saja perselisihan paham itu sudah
terlupa semua maka sesudah Yo Ko dipanggil Kwe Ceng, sekembalinya dia lantas
mencari Kwe Hu lagi.
Tetapi
pada waktu hampir sampai di-semak2 tadi, ia dengar suara tertawa ngikik yang
ramai, kiranya kedua saudara Bu sedang berjongkok dan lagi bongkar batu dan
singkap rumput untuk mencari jengkerik juga.
Setelah
Yo Ko mendekati, ia lihat tangan Bu Tun-si memegangi sebuah bumbung bambu,
sedang Kwe Hu membawa sebuah belanga, Bu Siu-bun sendiri lagi membongkar dan
membalik batu. Dalam pada itu, tiba2 seekor jangkerik besar meloncat keluar
dari tempat sembunyinya, lekas2 Siu-bun menubruk dan menangkapnya, maka
bersoraklah dia kegirangan.
“Berikan
padaku! Berikan padaku!” demikian Kwe Hu ber-teriak2.
“Baiklah,
buat kau,” kata Siu-bun sambil membuka tutup belanga yang dipegang Kwe Hu dan
memasukkannya ke dalam.
Ia
lihat jangkerik yang baru ditangkap itu kepalanya bundar besar, kakinya panjang
kuat, tubuhnya bulat dan gagah sekali.
“Ha,
jangkerik ini pasti jagoan yang tiada tandingannya.” demikian Bu Siu-bun
berkata, “Nyo-koko, semua jangkerikmu pasti tidak bisa menangkan dia.”
Tentu
saja Yo Ko tidak mau menyerah, segera ia pilih satu di antara jangkerik
tangkapannya yang paling besar dan paling berangasan untuk diadu.
Akan
tetapi baru sekali gebrag saja, jangkerik Yo Ko telah kena digigit jangkrik
besar tadi dibagian tengah pinggang terus dilempar keluar dari belanga, atas
kemenangan ini jangkerik itu lantas berbunyi “krik-krik” dengan senang sekali.
“Hura,
aku punya yang menang”, demikian Kwe Hu kegirangan sambil bertepuk tangan.
“Jangan
senang2 dulu, ini masih ada yang lain,” kata Yo Ko. Lalu ia ajukan jagonya yang
lain lagi.
Diluar
dugaan, meski be-runtun2 tiga kali ia tukar jangkeriknya, tiap2 kali selalu
dikalahkan jangkerik orang, bahkan jagonya yang ketiga malahan kena digigit
jangkerik musuh yang besar itu hingga terkutung menjadi dua.
Dengan
sendirinya Yo Ko merasa kehilangan muka. “Sudahlah, tidak mau lagi!” katanya
terus bertindak pergi.
Pada
saat itu juga, tiba2 diantara semak2 rumput di belakang sana terdengar ada suara “krok-krok” yang
aneh.
“Ha,
ada satu lagi,” seru Bu Tun-si.
Habis
ini ia lantas singkap rumput yang lebat itu, di luar dugaan mendadak ia
mencelat mundur sambil berteriak kaget: “He ular, ada ular!”
Mendengar
kata “ular”, Yo Ko yang sudah melangkah pergi seketika berhenti, bahkan ia
putar kembali buat melihatnya, Betul saja ia lihat disitu ada seekor ular
belang-bonteng yang jelas kelihatan jenis ular berbisa, sedang melelet lidah
dan tegak kepala sambil menyembur, hanya badannya yang masih meringkuk diantara
semak2 rumput itu.
Sejak
kecil Yo Ko sudah tergolong ahli tangkap ular, sudah tentu ia tidak pandang
sebelah mata pada binatang ini, segera ia maju dan begitu ulur tangannya,
seketika leher ular dia tangkap terus dibanting ke atas batu dengan kuat, tanpa
ampun lagi ular itu terbanting mati.
Diluar
dugaan, tempat dimana ular tadi meringkuk ternyata ada lagi seekor jangkrik
hitam kecil, rupanya aneh dan jelek, tapi sedang geraki sayapnya dan
mengeluarkan suara “krik-krik” yang nyaring.
“Nah,
tangkaplah setan hitam kecil itu saja, Nyo-koko”, dengan tertawa Kwe Hu
mengejek Yo Ko yang kalah beberapa kali tadi. Watak Yo Ko justru paling tidak
senang kalau dihina orang. “Baik, tangkap ya tangkap,” sahutnya ketus.
Segera
jangkerik hitam kecil itu ditangkapnya terus di lepaskan ke dalam belanga yang
dipegang Kwe Hu.
Sungguh
aneh bin ajaib, jangkrik yang besar tadi begitu melihat jangkrik hitam kecil
ini seketika mengunjuk rasa jeri, bahkan terus mundur2 dan hendak lari.
Namun
Kwe Hu dan kedua saudara Bu masih ber-teriak2 untuk membangkitkan semangat
jagonya.
Sementara
itu jangkrik hitam kecil itu telah melompat maju dengan tegang leher,
sebaliknya jangkrik yang besar ternyata tak berani menyambut tantangan itu dan
bermaksud melompat keluar dari tempurung, tak terduga gerak-gerik jangkrik
hitam ternyata sebat dan aneh luar biasa, ia melompat maju dan gigit ekor
jangkrik besar tadi, dengan kuat dia kunyah sekali, tahu2 jangkrik besar itu
berkelejetan beberapa kali terus terbalik dan mati.
Kiranya
diantara jangkrik itu terdapat semacam jangkrik yang suka tinggal bersama
dengan binatang berbisa lain, kalau tinggal bersama kelabang disebut “jangkrik
kelabang”, kalau tinggal bersama ular disebut “jangkrik ular”.
Oleh
karenanya tubuh mereka terjalar hawa berbisa dari binatang yang tinggal bersama
dia itu, maka jenis biasa tidak sanggup melawannya.
Jangkrik
yang ditangkap Yo Ko tadi justru adalah seekor jangkrik ular.
Dilain
pihak, sesudah Kwe Hu melihat jangkrik besarnya mati, ia menjadi kurang senang.
“Nyo-koko,
kau punya setan hitam kecil ini berikan padaku saja,” katanya kemudian sesudah
berpikir.
“Berikan
padamu sebenarnya tidak menjadi soal, tapi kenapa kau memaki dia sebagai setan
hitam kecil ?” sahut Yo Ko.
Kwe
Hu menjadi jengkel oleh jawaban ini.
“Tak
mau beri ya sudah, siapa kepingin ?” katanya dengan mulut menjengkit, Berbareng
itu ia tuang belanganya dan banting jangkrik hitam kecil itu ke tanah, bahkan
ia injak pula dengan kakinya hingga binatang kecil itu mecotot perutnya.
Nampak
jangkriknya diinjak mati, Yo Ko terkejut tercampur gusar, perasaan halus pemuda
ini paling gampang tertusuk, seketika itu ia naik darah hingga mukanya merah
padam, tanpa pikir lagi ia baliki telapak tangannya terus menampar pipi Kwe Hu.
Pukulan
ini cukup keras hingga Kwe Hu merasa pipinya panas pedas, ia terlongong sesaat
dan belum mengambil putusan apa harus menangis atau tidak, tiba2 ia dengar Bu
Siu-bun sudah mendamperat.
“Kau
berani pukul orang !” bentak anak itu, Berbareng ia lantas menjotos ke dada Yo
Ko.
Karena
terlahir dalam keluarga jago silat, pula sejak kecil ia sudah peroleh ajaran
dari ibunya sendiri, maka ilmu silat Siu-bun sudah mempunyai dasar yang kuat,
jotosannya tadi dengan tepat kena sasarannya.
Dengan
sendirinya Yo Ko menjadi gusar, kontan ia balas meninju, Tetapi Siu-bun sempat
berkelit hingga pukulannya luput
Yo
Ko masih penasaran, ia mengudak maju terus menubruk dan menghantam pula. Diluar
dugaannya, se-konyong2 Bu Tun-si ulur kakinya men-jegal hingga Yo Ko mencium
tanah, ia jatuh ngusruk ke depan.
Kesempatan
ini segera digunakan kedua saudara Bu itu dengan baik, dengan cepat Bu Siuhun
menunggangi tubuh Yo Ko, Bu Tun-si pun ikut maju dan menahan bokongnya dengan
kencang, menyusul empat kepalan mereka terus menghujani tubuh Yo Ko dengan
gebukan2.
Sungguhpun
usia Yo Ko lebih tua dari kedua saudara Bu itu, tetapi karena satu lawan dua,
pula Siu-hun dan Tun-si sudah pernah berlatih silat sebaliknya Yo Ko hanya
belajar sedikit dasar lwe-kang saja dari ibunya dan belum terlatih sempurna,
dengan sendirinya ia bukan tandingan kedua lawan ciliknya. Namun demikian, ia
tidak menyerah mentah2, ia kertak gigi menahan sakit pukulan orang, sedikitpun
ia tidak merintih.
“Lekas
minta ampun, kami lantas lepaskan kau,” kata Bu Tun-si.
“Kentut
!” sahut Yo Ko dengan gusar.
Karena
itu, susul-menyusul Bu Siu-hun menggebuk lagi dua kali di punggungnya.
Melihat
kedua saudara Bu itu membela dirinya dan hajar Yo Ko, Kwe Hu merasa senang
sekali.
Siu-bun
dan Tun-si juga cukup cerdik, mereka tahu kalau hantam orang di bagian kepala
atau muka tentu akan meninggalkan bekas babak-belur, nanti kalau dilihat Kwe
Ceng dan Oey Yong pasti akan didamperat, oleh karena itu kepalan dan kaki
mereka selalu mengarah di atas badan Yo Ko.
Dalam
pada itu melihat makin hebat gebukan yang menghujani Yo Ko itu, akhirnya Kwe Hu
sendiri rada takut dan meresa ngeri, tetapi bila ia meraba pipi sendiri yang
masih terasa sakit pedas, segera pula ia merasa belum puas hajaran itu.
“Hantam
dia, hantam yang keras !” demikian dia ber-teriak2 pula.
Mendengar
seruan Kwe Hu, benar juga Tun-si dan Siu-bun kerjakan kepalan mereka semakin
cepat dan menjotos lebih ganas lagi.
Sudah
tentu seruan Kwe Hu tadi didengar juga oleh Yo Ko yang kena ditindih di atas
tanah, “Kau si budak ini sungguh kejam, kelak aku Yo Ko pasti membalas “sakit
hati ini,” demikian katanya dalam hati.
Tetapi
segera ia merasakan pinggang, punggung dan bagian bokong tidak kepalang
sakitnya, pelahan2 ia mulai tidak tahan.
Harus
diketahui meski kecil, tapi kedua saudara Bu sudah berlatih silat sejak kecil,
kalau mereka menjotos, meski orang tua sekalipun tak akan tahan, kalau bukan Yo
Ko yang sudah mempunyai dasar2 wekang tentu sejak tadi ia sudah semaput.
Dalam
keadaan terpaksa Yo Ko mengertak gigi menahan sakit sekuatnya, tiba2
pandangannya menjadi gelap, kedua tangannya meraba dan me-raup2 serakutan di
atas tanah, mendadak pula sebelah tangannya menyentuh sesuatu benda yang licin
dingin, seketika pikirannya tergerak, ia tahu itu adalah bangkai ular “berbisa
tadi yang dia banting mati itu, tanpa ayal lagi segera ia cekal terus
disabetkan ke belakang.
Nampak
ular yang sudah mati dengan kulitnya yang belang-bonteng, kedua saudara Bu
menjadi kaget dan menjerit ngeri.
Kesempatan
mana segera digunakan Yo Ko dengan baik, sekali membalik ia telah berdiri kembali,
menyusul ia putar tinjunya terus manghantam, tepat sekali hidung Bu Tun-si kena
dia genjot hingga keluar kecapnya, Habis ini, segera Yo Ko angkat kaki dan lari
ke belakang pulau sana.
Sudah
tentu kedua saudara Bu menjadi gusar, segera mereka mengudak.
Kwe
Hu memang suka dengan keonaran, iapun ingin tahu lanjutannya, maka ia menyusul
dari belakang, bahkan tiada hentinya ia ber-teriak2 : “Tangkap, tangkap dia !”
Sesudah
ber-lari2, ketika ketika Yo Ko menoleh, ia lihat muka Tun-si penuh darah, baju
bagian dada lebih2 nyata lagi dengan bekas2 darah yang mengucur itu hingga
rupanya sangat beringas sekali kelihatannya.
Yo
Ko insaf bila sampai dirinya kena ditangkap kedua saudara Bu lagi, maka
pukulan2 yang bakal ia terima pasti akan jauh lebih lihay daripada tadi, oleh
karenanya ia berlari semakin cepat, ia lari menuju tebing gunung dan memanjat
ke atas.
Sesungguhnya
meski hidung Bu Tun-si kena di-jotos, tetapi tidak begitu sakit, cuma demi
melihat darah mengucur, ia menjadi panik dan gusar pula, maka ia menguber
semakin kencang.
Makin
lama makin tinggi Yo Ko panjat ke atas, tapi sedikitpun kedua saudara Bu belum
mau berhenti mengejar. Sedang Kwe Hu sesudah sampai di tengah tebing gunung itu
lantas berhenti, dari sini ia mengikuti orang udak2an dengan mendongak saja.
Dalanm
pada itu Yo Ko telah sampai di tempat buntu, di depannya adalah tebing curam
dan tiada jalan lalu lagi buat lari terus, Pemuda ini mempunyai kecenderungan
pikiran yang nekat, dalam keadaan kepepet ia pikir : “Hm, sekalipun aku harus
mati terjun ke dalam jurang, tidak nanti aku rela ditangkap kedua bocah itu
untuk dihina mentah2.”
Karena
pikiran itulah, maka ia lantas putar balik dan membentak: “Hayo berhenti, jika
berani mengejar setapak lagi, segera aku terjun ke bawah !”
Gertakan
ini bikin Bu Tun-si rada terkejut juga anak ini tertegun sejenak, berlainan
dengan adiknya, Bu Siu-bun, bocah ini malah menantang akan!”
“Hm,
kalau mau terjun lekas terjun saja, siapa kena kau gertak ?” demikian ia
mengejek, berkata ia mendesak maju lagi beberapa tindak.
Melihat
ini, seketika Yo Ko naik darah dan timbul pikiran pemdek, mendadak ia
berjongkok hendak terjun ke dalam jurang, syukur sebelum itu sekilas terlihat
olehnya di samping terdapat sebuah batu besar dan letaknya miring.
Dalam
keadaan gusar, Yo Ko sudah tidak memikirkan akibat2nya lagi segera ia dorong
batu besar itu yang memang kelihatan miring, betul juga ia merasakan batu besar
ini ber-goyang2, segera ia melompat mundar ke belakang batu, sekuatnya ia
dorong, maka terdengarlah suara gemuruh hebat memecah angkasa, batu besar itu
menggelinding ke bawah bukit dengan cepat luar biasa, batu, kedua saudara Bu
menyadari juga gelagat jelek.
Di
lain pihak demi melihat Yo Ko mendorong muka mereka menjadi pucat, segera akan
menyingkir namun sudah kasip, dengan mata terbelalak mereka lihat pasir
berhamburan dari atas kepala, seketika mereka tidak tahu apa yang harus
diperbuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar