Rabu, 31 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 55



BAB 55

Besoknya pagi, ketika matahari merah menyorotkan sinarnya masuk ke jendela, Oey Yong mendusin untuk lantas menjadi kaget. Di meja, kurungannya rusak, tetapi burungnya berdiri diam di meja, ia tidak lari meski orang menghampirkan padanya.
Kaget dan girang, Oey Yong menggapai.
“Mari!” ia memanggil.
Hiat-niauw terbang, menclok di telapakan tangan si nona.
“Dia takluk padaku, dia takluk padaku!” kata Oey Yong kegirangan. Ketika ia melihat kurungan, kurungan itu rusak dan patah. Ia pikir, tentulah itu burung mau membilang: “Aku merdeka, kalau aku tidak mau pergi, tidak apa, tetapi kalau aku mau, apa artinya kurungan macam begini?”
Sedangkan si nona bergirang, kupingnya lantas mendengar keluhan Kwee Ceng di lain kamar. Ia heran, ia lari menghampirkan.
“Engko Ceng, kenapa?” ia menanya.
Kwee Ceng menyeringai, tangannya memegangi gambar pemberian dari Oey Yok Su. Nyata karena kehujanan, gambar itu terkena air.
“Ah, benar sayang!” si nona mengeluh. Ia menyambuti gambar itu, yang telah pecah. Ia merasa, tidak ada jalan untuk dapat memperbaiki itu. Ketika ia hendak meletakinya di meja, mendadak ia melihat di pinggiran syairnya Han See Tiong ada tambahan beberapa baris huruf halus. Ia lantas mendekati, untuk melihat terlebih tegas. Surat itu berlapis, kalau tidak karena basah, tidak nanti dapat terlihat. Sekarang pun sangat sukar untuk membacanya. Oey Yong mementang matanya, ia mencoba membaca:
“…..Surat wasiat….Bok…Tiat Ciang…tengah…puncak……..”
Huruf-huruf lainnya lagi tak dapat dibaca.
Kwee Ceng juga turut membaca, lantas berkata: “Inilah diartikan surat Wasiat Gak Bu Bok….”
“Tidak salah,” berkata Oey Yong. “Wanyen Lieh si jahanam menyangka surat wasiat ini berada di dalam peti batu di dalam istana, tetapi meskipun petinya telah didapatkan, surat wasiatnya tidak ada. Sekarang kita mendapatkan gambar ini. Bunyinya kata-kata ini mungkinlah rahasia surat rahasia itu. Tiat Ciang, tengah, puncak…” Ia lantas memikir keras. “Tiat Ciang” itu ialah “Tangan Besi”. Kemudian ia menanya Kwee Ceng: “Engko Ceng, apakah keenam gurumu pernah menyebut tentang Tiat Ciang Pang?”
“Tiat Ciang Pang?” kata Kwee Ceng berpikir. “Tidak. Aku hanya ketahui si tua bangka she Kiu, si penipu besar itu, dipanggil Tiat Ciang Sui-siang-piauw.”
“Tidak, tidak bisa jadi tua bangka celaka itu ada hubungannya dengan ini!” berkata Oey Yong, memandang enteng. “Hanya ada juga kemaren ketika aku membakar kantor camat, di sana aku mendengar si camat she Kiauw berbicara sama siapa, tahu menyebut-nyebut entah bagaimana dengan ‘Tiat Ciang Pang kami’. Ia menyebut pula perlu lekas dicari banyak ular untuk dipersembahkan kepa Toa Hiocu. Ketika kemudian aku bertempur dengannya, ternyata ilmu silatnya tidak rendah, dia mengerti juga Tiat-ciang, yaitu Tangan Pasir Besi.”
“Anggota dari suatu perkumpulan kaum kangouw menjadi camat, inilah benar aneh!” kata Kwee Ceng. Tiat Ciang Pang itu ialah Partai Tangan Besi.
Lantas keduanya memikir kata-kata di gambar itu, masih mereka tidak dapat menangkap maksudnya, maka Oey Yong lantas membenahkan gambar rusak itu, disimpan di dalam sakunya.
“Biarlah perlahan-lahan kita memikirkannya pula.” katanya.
Sampai di sini, sepasang muda-mudi ini lantas pamitan dari empeh Cin dan cucunya, dengan menaiki kuda merah mereka, mereka berangkat pergi. Tuan rumah dan cucunya merasa berat tetapi mereka tidak dapat menahan.
Pada suatu hari tibalah Kwee Ceng dan Oey Yong di dalam wilayah kota Gakciu. Oey Yong mengingat-ingat hari. Itulah hari Cit-gwee Capsie - tanggal empatbelas bulan tujuh - jadi besok ialah hari rapatnya Kay Pang, Partai Pengemis.
“Kita tidak mempunyai urusan sekarang, kita pesiar perlahan-lahan saja,” katanya Kwee Ceng.
“Baiklah,” si nona menyahuti.
Mereka lompat turun dari kuda mereka, dengan berpegangan tangan mereka bertindak, dengan perlahan-lahan. Mata mereka memandang jauh ke depan di mana tampak hanya air dan sawah-sawah di mana pohon padi sudah tumbuh tinggi dan telah berbuah, maka diduga tahun ini, panen bakal memberi hasil baik.
Kata Oey Yong: “Dahulu ayah pernah membilangi aku, kalau Ouw Kong matang, seluruh negara cukup, maka itu kelihatannya tahun ini rakyat bakal bebas dari bahaya kelaparan.”
Ouw Kong ialah empar propinsi Ouwlam dan Ouwpak serta Kwietang dan Kwiesay, sedang dengan “matang” diartikan “masak” atau musim panen.
Kemudian si nona menunjuk ke sebuah pohon besar di mana seekor tonggeret lagi berbunyi, ia kata pula: “Binatang itu berbunyi tak hentinya, entah apa yang dia katakan. Suaranya itu membuat aku ingat satu orang…”
“Siapakah dia?” Kwee Ceng tanya.
“Dialah Kiu Looyacu yang pandai meniup kulit kerbau…” sahut si nona tertawa.
“Oh!” seru Kwee Ceng. Ia juga tertawa.
Ketika itu matahari sedang teriknya, petani semua lagi bermandikan peluh tapi mereka bekerja terus mengompa air. Demikian di bawah sebuah pohon yangliu, seorang nyonya lagi bekerja bersama satu bocah berumur tujuh atau delapan tahun, berat gerakan kaki mereka. Pakaian mereka telah basah kuyup, sedang muka si bocah merah seluruhnya. Oey Yong menghentikan tindakannya, ia mengawasi mereka itu, ia merasa kasihan.
Si bocah melihat ada orang yang mengawasi mereka, ia menoleh. I akgum menyaksikan keelokan si nona. “Ibu,” katanya, “Lihat, enci itu lagi mengawasi kita!” Dari suaranya, ternyata ia bergembira meski dia bekerja capai.
Si nyonya menoleh, ia tersenyum dan mengangguk kepada pasangan muda-mudi itu.
Oey Yong merogoh ke dalam sakunya, berniat mengambil sedikit uang utuk mengasih persen kepada bocah itu untuk ia membelikan kembang gula tatkala kupingnya mendengar suara samar-samar dari guruh di kejauhan, lantas saja ia menjadi girang. Ia kata kepada itu ibu dan anaknya: “Sudah, tak usah kamu mengompa air lagi, hujan bakal turun!”
Si nyonya memasang kupingnya, mendadak romannya menjadi pucat, suatu tanda dia takut.
Si bocah lompat turun dari pompa airnya sambil berkata: “Ibu, raja kodok mau datang makan kodok hijau lagi!”
Si nyonya mengangguk.
Oey Yong tidak mengerti, ia mau minta keterangan, atau segera ia mendengar riuhnya gembereng yang dipalu breng-breng keras sekali, yang memalunya ialah seorang laki-laki yang mengenakan tudung rumput yang lebar serta tubuhnya tidak memakai baju. Dia menabuh sambil berlari-lari ke barat.
Belum lama lantas datanglah sambutan gembreng riuh dari segala penjuru, menyusul mana semua orang, pria dan wanita, yang lagi mengompa air, pada lari meninggalkan pompa mereka, semua lari ke arah barat itu.
Oey Yong mendapat si bocah dan ibunya turut lari juga.
“Engko Ceng, mari kita lihat, keramaian apa itu!” katanya saking tertarik hatinya.
Kwee Ceng menurut, maka mereka lari menyusul orang banyak itu. Ketika mereka sudah melewati sebuah tikungan gunung, mereka lantas melihat sawah-sawah yang luas yang penuh air, sedang semua orang tani itu berkumpul di sebuah tanjakan tinggi semacam bukit, dengan roman tegang, mata mereka memandang ke depan. Di situ memalu seratus lebib gembreng kuningan, hingga suaranya berisik menulikan telinga. Dengan begitu tak terdengar lagi suara orang bicara.
Di samping bukit kecil itu ada tumbuh sebuah pohon yang besar dan tinggi, Kwee Ceng menarik tangan Oey Yong, diajak ke sana, untuk mereka terus melompat naik ke atasnya, dengan begitu mereka berdua jadi dapat memandang jelas ke arah mana semua mata ditujukan. Di sana terlihat langit biru seperti luatan, di sana tidak apa-apa yang mencurigakan mereka. Tapi mereka tetap mengawasi. Tidak lama kemudian, kuping mereka dapat menangkap samar-samar suatu suara yang keras, yang tidak dapat dilawan berisiknya gembreng.
Mulanya Oey Yong menyangka kepada guruh, hanya sebentar kemudian, ia melihat benda-benda kuning yang membikin ia menjadi heran sekali. Semua benda itu mendatangi dengan berlompatan.
“Hai, begitu banyak kodok!” akhirnya si nona berseru.
Memang di sana terlihat ribuan atau laksaan kodok, yang lagi mendatangi itu, dan suara berisik tadi mirip guruh ialah suara kerak-keroknya mereka!
Begitu melihat sang kodok, berhentilah semua petani memalu gembreng mereka. Sekarang terlihat tegas air muka mereka yang lesu dan masgul.
Kapan kawanan kodok itu tiba di tepi sawah di depan bukit kecil itu, semua lekas berhenti, berbaris dengan rapi. Di belakang mereka terlihat beberapa ratus kodok yang besar-besar, yang mengerumuni seekor kodok yang badannya besar istimewa - lebih besar enam atau tujuh lipat dari kodok yang umum.
Itulah dia yang rupanya si bocah sebut sebagai raja kodok. Dia lantas mengasih dengar suara berkerok satu kali, lantas dia disambut rakyatnya hingga riuh pulalah suara mereka yang mirip guruh itu. Ketika raja kodok itu berbunyi pula, maka siraplah suara semua rakyatnya.
“Nah, ini pun membikin aku ingat satu orang!” berkata Oey Yong.
Kali ini Kwee Ceng tidak menanya siapa, ia hanya tertawa dan berkata dengan cepat: “Auwyang Hong!”
“Jempol!” berseru Oey Yong sambil menunjuki jempolnya. Ia menganggap pemuda itu cerdas dapat menerka dengan jitu.
Kawanan kodok itu menaati titah rajanya. Setelah tiga kali berbunyi, mereka berdiam pula, hingga suasana di situ menjadi sangat sepi. Hanya sekarang lantas terdengar gantinya, ialah suara perlahan tetapi terang dari seekor kodok hijau yang kecil, yang berlompat keluar dari belakangnya sebuah batu besar di arah timur.
Kapan orang-orang tani ini melihat kodok hijau itu, dengan serentak gembreng mereka dipalu pula, sambil memalu, mereka berseru-seru keras sekali. Mereka bersorai-sorai, tanda dari kegirangan. Terang mereka membantu menggembirakan atau menganjurkan kodok kecil itu.
Kwee Ceng dan Oey Yong heran. Tak tahu mereka apa akan dilakukan si kodok hijau yang kecil itu. Selagi mereka mengawasi dengan perhatian, kuping mereka mendengar tindakan kaki yang berisik, ketika mereka berpaling, terlihat dari empat penjuru datang pula beberapa ratus petani. Mata si nona sangat jeli, ia mendapatkan di dalam rombongan itu ada sejumlah orang yang pakaiannya berneda. Ia lantas menarik tangan baju Kwee Ceng seraya mulutnya dimonyongi ke arah orang-orang itu, yang jumlahnya empat atau limapuluh orang. Mereka itu mengenakan baju hitam dan tangan mereka memegangi korang bambu yang besar. Terang sekali mereka pun menyembunyikan alat senjata. Dilihat dari romannya, yang bengis, mestinya mereka bukan sembarang petani. Di tepi bukit, mereka itu berkumpul menjadi satu, terpisah beberapa puluh tombak dari petani lainnya.
Kodok hijau yang kecil itu berlompatan hingga terpisah lagi tiga kaki dari tepian sawah, di situ ia berhenti, lalu berbunyi beberapa kali.
Dari dalam rombongan kodok yang berjumlah besar sekali itu muncul seekor kodok kuning yang besar, ia meloncati galangan, sampai di depan si kodok hijau. Di situ ia mementang mulutnya dan bersuara, suaranya keras bagaikan suara kerbau. Si kodk kecil tak takut, ia juga membuka suaranya, maka terjadilah mereka saling sahut, makin lama makin cepat. Dari situ, kelihatan si kodok kecil bernapas lurus dan rapi. Si kodok besar agaknya kesusu, rupanya ia ingin lekas-lekas menang.
Sesaat berselang, suara kodok besar itu menjadi serak, dan perutnya yang putih pun kembung makin besar, setelah itu, suaranya berubah menjadi dalam, sedang kedua matanya seperti mencelos keluar, perutnya itu menjadi bundar bagaikan bola. Mendadak saja, perut kembung itu meledak, nyaring suaranya, lalu ia rebah binasa.
Petani semua bersorak riuh. Beda ada rombongan orang baju hitam itu, kelihatannya mereka gusar. Maka sekarang terlihat tegas, petani berpihak pada kodok hijau, mereka ini kepada kodok yang banyak itu.
Kodk hijau itu menang, dia bersuara tiga kali, lantas dia memutar tubuhnya, rupanya dia mau pergi, atau mendadak terlihat enam kodok besar berlompat maju, untuk mengejar.
“Tidak tahu malu!” membentak pihak orang petani banyak. “Tidak punya guna! Apa ini? Malu! Baik mati saja!”
Enam kodok besar itu berpecha menjadi dua, sikapnya mengurung. Si kodok kecil berlompat, untuk menyingkir. Dia lantas dikejar. Kira tiga tombak, maka di sebelah belakang enam kodok itu terdengar suaranya kodok lainnya. Lantas mereka berhenti mengejar, berniat kembali, tetapi mereka terlambat. Mereka segera dipegat kira-kira tigapuluh kodok hijau yang besar yang muncul dari gili-gili.
Kali ini kedua pihak tidak lagi mengadu suara, hanya mereka lantas saling terjang, saling menggigit. Karena kalah jumlah, enam kodok besar itu lantas saja mati. Banyak kawannya, tetapi tidak ada yang maju menolongi.
Oey Yong menjadi heran, ia berpaling kelilingan. Ketika matanya terarahkan ke pinggir sawah di mana ada sebuah kali kecil, maka di situ ia melihat segala apa hijau, sebab di situ pun ada berkumpul ribuan atau laksaan kodok hijau, hanya mereka ini semua tidak bergerak. Mungkin ini yang menyebabkan kodok besar itu tidak berani sembarangan melintasi tapal batas.
Si raja kodok berbunyi kerok dua kali, maka seratus di pihaknya lantas maju melintasi batas. Mereka lantas disambut sebarisan kodok hijau yang muncul dari tempatnya mendekam. Maka bertempurlah mereka. Belum lama, kodok besar itu lari ke arah selatan. Kodok hijau mengubar setombak lebih, lantas berhenti. Melihat demikian, kodok besar berbalik akan menyerang pula.
Benar saja, di selatan itu, di mana ada batu besar, terlihat munculnya barisan tersembunyi kodok besar itu dan mereka lantas maju, membantui kawannya. Karena ini, dari tepi kali pun datang bantuan kodok hijau.
Kedua pihak lantas bertempur dengan berisik.
Dalam tempo dekat, puluhan ekor kodok roboh sebagai bangkai. Kerugian terdapat dikedua pihak. Mereka yang terluka merayap ke pinggiran, lalu ada yang kawannya yang menolongi mengajak kembali ke dalam barisannya.
Kelihatan si raja kodok tidak puas melihat belum ada keputusan, ia berbunyi lagi dua kali. Kali ini lantas ada satu pasukan besar yang menyebrang, buat membantui. Sekarang kodok hijau, yang tak sempat mundur, terancam terkurung. Mereka mengatur barisan bundar, ekor ke dalam, mulut keluar. Dengan begitu, mereka tidak takut nanti diserang dari belakang. Kodok besar berjumlah besar tetapi mereka tidak dapat menyerbu semua.
Sejumlah petani berteriak-teriak mengajuri kodok hijau mengirim bala bantuan, anjuran itu tak ada hasilnya. Nampaknya kodok hijau bersikap tenang.
Dari barisan kodok besar itu ada beberapa yang berlompat, hendak maju, tetapi saban kali ada satu yang menerjang, segera dia dipapaki diterjang satu kodok hijau, hingga keduanya sama-sama jatuh. Dengan begitu, kodok besar tidak dapat menerjang ke dalam barisan lawan.
“Celaka!” mendadak Oey Yong berseru. Ia melihat di empat penjuru kurungan kodok besar itu, sejumlah kodok besar itu mendekam, kawannya naik ke atasnya dan mendekam pula, hingga mereka merupakan gundukan tinggi tiga kaki, kemudian di paling atas, sejumlah kodok berlompat ke arah kodok hijau. Hebat serangan itu. Kodok hijau jadi terbokong, banyak yang mati.
“Sayang…” kata Oey Yong.
“Lihat!” terdengar suara Kwee Ceng yang tangannya terus menunjuk.
Di arah timur laut sejumlah kodok besar hijau bergerak, menuju ke belakang kodok besar, untuk menyerang dari belakang.
Raja kodok mendapat tahu bokongan musuh, dia mengirim barisannya, untuk memegat. tapi kodok hijau itu tidak menghiraukan, di sebelah yang bertempur, yang lain maju terus ke belakang pasukan musuh. Kodok besar jadi kacau tetapi mereka tetap berkelahi.
Raja kodok melihat barisannya tak dapat maju, ia berbunyi nyaring sekali, lantas ia sendiri maju, untuk memegang pimpinan penyerbuan. Ia mengepalai barisannya sendiri, yang semua besar-besar dan romannya bengis. Kodok besar ini bisa dengan sekali menggigit, menggigit mampus musuhnya. Sebentar saja seekor kodok besar itu bisa mematikan belasan musuhnya. Karena ini, kodok hijau terpaksa berkelahi sambil mundur.
Kawanan kodok besar itu maju merangsak.
Raja kodok berlompat, sekali lompat jauhnya setengah tombak, tapi segara ia dikepung kodok hijau. Tapi hanya sejenak, dia lantas dibantui barisannya.
Karena bergesernya tempat bertempur, orang pun menggeser, untuk melihatnya lebih tegas. Oey Yong dan Kwee Ceng lompat turun, mereka nelusup di antara orang-orang tani itu.
Kelihatan semua orang tani berduka, mereka pada menghela napas.
Oey Yong heran, ia ingin mengetahui duduknya hal, maka ia tanya seorang tua, kenapa kedua macam kodok itu saling bertempur.
Sebelum menjawab, orang itu mengawasi dulu hingga ia mengenali orang adalah asing untuk desanya itu.
“Katak itu ada yang piara,” ia menerangkan, “Dan dipelihara istimewa untuk menangkap kodok hijau.”
Oey Yong heran. “Ah!” suaranya tertahan.
“Kami orang tani, kami mengharapkan bantuannya kodok-kodok hijau itu untuk merawat tanaman padi kami,” orang itu berkata pula, “Sekarang nampaknya kodok hijau bakal kalah, maka di tempat sekitar sini, luasnya beberapa puluh lie, panen kami tahun ini bakal gagal…..”
“Kalau begitu, nanti aku bantu kamu,” kata Oey Yong. “Nanti aku hajar semua kodok itu.”
Ia merogoh ke sakunya, meraup jarumnya.
“Jangan, nona,” berkata si orang tua perlahan, tanganya menarik ujung baju orang. “Telah aku bilang, katak itu ada yang pelihara.” Ia menunjuk kepada rombongan orang pakaian hitam yang bengis-bengis itu. “Merekalah si pemelihara katak itu. Kalau kau ganggu katak mereka, buntutnya bakal hebat sekali. Nona cantik bagaikan bunga, maka menurut aku, baiklah nona jangan berdiam lama-lama di sini, baik kau lekas pergi!”
Oey Yong tersenyum.
“Jumlah kita banyak, takut apa?” Kwee Ceng pun berkata.
Orang tua itu menghela napas.
“Karena urusan kodok itu, tahun lalu kita pernah bertempur sampai banyak yang terluka,” katanya. “Perkara telah jatuh ke tangan pembesar negeri. Kesudahannya camat memutuskan, untuk selanjutnya biarlah katak bertempur sama katak, di antara binatang, kita dilarang campur tahu, siapa berani melanggar putusan itu, dia bakal di hukum berat.”
“Ah, pembesar anjing!” mendamprat Kwee Ceng. “Bukankah itu terang-terang membantu kawanan manusia jahat itu?”
“Memang. Tapi camat dan mereka adalah sekawan. Camat cuma tahu menangkap kodok hijau untuk dipakai memelihara ular, dia tidak menggubris rakyat mati atau hidup!”
Mendengar itu keterangan hal menangkap kodok untuk memelihara ular, Kwee Ceng dan Oey Yong heran betul. Ketika mereka mau menanya lagi, justru kaum petani itu lagi berseru-seru girang.
Nyata pertarungan katak itu membawa perubahan.
Kawanan katak besar mengumpul diri di empang besar, mereka terdesak. Sejumlah kodok hijau terjun ke air, mereka berenang ke belakang musuh, membantu menyerang dari samping dan belakang. Katak hijau itu pandai sekali berenang. Sedang katak besar itu tidak pandai memain di permukaan air. Mereka berdesakan, tak dapat mereka bergerak dengan merdeka, banyak yang kecebur ke empang. Di dalam air, mereka tidak bisa bertempur dengan hebat seperti di darat. Maka mereka jatuh di bawah angin, banyak yang mati, bangkainya mengambang dengan perut putihnya di atas.
Barisan kodok besar itu menjadi kalut. Rajanya, bersama barisan pengawalnya, menerjang kalang kabutan tanpa ada hasilnya.
Maka orang-orang tani itu pada bersorak, ada yang berseru: “Panen kita tahun ini ketolongan!”
Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi semua sambil memperhatikan rombongan orang baju hitam itu. Muka mereka menyatakan kegusaran mereka. Tiba-tiba di antara mereka ada yang berseru, lalu belasan di antaranya membuka tutupnya korang mereka.

Begitu lekas korang-korang dibuka tutupnya, maka keluarlah ratusan ekor ular berbisa kecil dan besar, semua merayap ke medan pertempuran katak itu, maka di dalam tempo yang pendek, mereka telah dapat menelan banyak kodok hijau. Kodok hijau itu memanglah makanan mereka. Lantas kodok itu pada lari atau merengkat saking takutnya.
Kawanan petani menjadi kaget dan gusar, mereka mengasih dengar suara berisik.
Seorang, yang tubuhnya tinggi besar di antara orang-orang berpakaian hitam itu, maju ke depan orang-orang tani, dia mengasih dengar suara bentakannya: “Camat telah memaklumkan, katak berkelahi di antara bangsannya adalah adat kebiasaannya, maka itu, selagi mereka tidak membikin hubungannya sama kita manusia, perlu apa kamu membikin banyak berisik?!”
Orang-orang tani itu berteriak-teriak: “Kodok besar itu serta ular berbisa ini adalah kamu yang pelihara! Kodok hijau mana bisa melawan ular! Tidak tahu malu! Kami melarat tahun ketemu tahun, panen kami bakal gagal, daripada kami mati kelaparan, mari semua mengadu jiwa!”
Orang tinggi besar itu mengangkat tangan kanannya, maka di situ terlihat goloknya yang berkeredepan. Dia lantas diturut kawan-kawannya, yang semua pada mengeluarkan senjatanya masing-masing. Dengan berbaris rapi, mereka maju mendekati.
“Kamu mau apa?” tanya si orang tinggi besar pada kaum tani itu. “Apakah kamu tidak mau dengar perintah camat? Apakah kamu mau berontak?!”
Orang banyak itu pada mencaci, ada juga yang menimpuk dengan lumpur dan batu.
Orang tinggi besar itu mengibasi tangannya, lantas di antara mereka muncul dua orang yang dandan sebagai hamba polisi, yang satu memegang golok, yang lainnya membawa rantai borgolan. Mereka ini lantas memaklumkan, siapa yang cari gara-gara dan berkelahi, dia akan dihukum sebagai pemberontak!
Orang-orang tani itu berdiam, mereka saling mengawasi. Beberapa diantaranya kata: “Mereka inilah masing-masing kepala polisi berkuda dan berjalan kaki.”
Oleh karena pihak sana dapat bantuan pembesar negeri, maka celakalah kawanan kodok hijau itu, oleh katak besar dan ular mereka digiring masuk ke dalam korang.
“Yong-jie, apakah kita turun tangan sekarang?” Kwee Ceng berbisik.
“Coba tunggu sebentar lagi,” menyahut sang nona.
Ketika itu tujuh atau delapan bocah maju sambil berteriak-teriak, mereka menggunai batu menimpuki rombangan ular itu, hingga ada beberapa ular yang lantas mati.
Orang-orang berpakaian hitam itu menjadi murka, beberapa diantaranya maju untuk menyerang nocah-bocah itu. Satu bocah kena dirobohkan, yang lainnya lari kabur.
Bocah yang roboh itu kena dicekuk.
“Bagus, ya, kau berani membikin mati ular yang kita rawat susah payah!” katanya bengis. “Kau mesti dikasih rasa!”
Seorang tani wanita lantas lari menghampirkan.
“Tolong tuan, tolong,” ia memohon, “Tolong lepaskan anakku ini…”
Kwee Ceng dan Oey Yong mengenali, itulah ibu dan anak yang mereka ajak bicara.
Sambil dengan tangannya yang satu memegangi terus si bocah, dengan tangan yang lain laki-laki itu menyambar lehernya si nyonya, terus ia melemparnya balik hingga tubuh si nyonya itu terpelanting ke dalam rombongannya, di mana dia menimpa dua orang hingga mereka roboh bersama. Lantas laki-laki bengis itu mengibasi tangannya, atas mana kawan-kawannya maju dengan senjata siap sedia.
Kawanan orang tani itu mundur. Mereka kebanyakan ada orang tua dan wanita. Mereka lebii takut lagi ketika orang mengayun goloknya untuk membacok, lekas-lekas mereka mundur pula. Nyata itulah ancaman belaka.
Adalah si bocah yang tertangkap yang malang. Dia digaplok, bajunya disobek, setiap kali digaplok, setiap kali disobek, hingga itu terulang belasan kali, hingga dia menjadi bengkak matang biru mukanya dan tubuhnya pun telanjang. Ibunya menangis menjerit-jerit. Lupa segala apa, nyonya itu merangsak maju untuk menolongi anaknya. Segera dia dipegangi dua orangn laki-laki.
Laki-laki kejam tadi mengsaih dengar siulan nyaring, atas itu beberapa ratus ular berbisa itu mengangkat kepalanya dan mengulur lidahnya, semua mengawasi tubuh telanjang bulat dari si bocah. Maka kagetlah semua orang tani, pucat muka mereka. Si bocah juga ketakutan bukan main, matanya mendelong mengawasi ibunya. “Ibu…!” kemudian ia menjerit.
“Bangsat cilik, kalau kau bisa, kau larilah!” kata si laki-laki bengis. Ia menampar, maka robohlah si bocah. Bocah itu lari kepada ibunya. Tapi di sini dia dipapaki sabetan golok beberapa orang, maka ia lari balik ke tempat kosong.
Si laki-laki bengis, yang rupanya menjadi kepala, bersiul pula, maka sekarang semua ular tadi, yang sudah sipa, lantas lari mengubar bocah itu.
Bukan main kaget dan takutnya si bocah ketika ia menoleh karena mendengar suara sa-sus riuh dari kawanan ular itu, yang semua mementang mulutnya, mengsaih lihat ancaman lidahnya yang bergerak-gerak, dalam takutnya ia lari sekeras-kerasnya. Tapi kawanan ular dapat lari lebih keras, ia lantas hampir kena disusul.
“Anakku!” menjerit si nyonya, yang lantas pingsan dan roboh.
Kawanan tani itu menjadi kaget dan gusar, mereka mau maju menyerang ular, tetapi mereka dihalang-halangi kawanan orang yang berpakaian hitam itu, yang membolang-balingkan goloknya dihadapan mereka.
Menampak kejadian itu, Oey Yong sudah lantas bersiap dengan seraup jarumnya, hendak ia segera menyerang.
Sekonyang-konyang bocah itu tersandung, tubuhnya terjatuh, maka itu ia lantas kena dicandak.
Oey Yong kaget hingga ia berseru, tubuhnya berlompat. Tepat ia hendak mengayun tangannya atau dari antara rombongan orang tani terlihat dua orang melompat maju menghalang di depan si bocah, tangan mereka diayunkan, menerbangkan empat bungkusan bubuk warna kuning, yang terus menggaris di tanah, sedang hidung orang lantas membaui bau belerang. Segera setelah itu, semua ular pada mundur sendirinya.
Kapan Oey Yong mengangkat kepalanya, ia mengenali dua orang itu, ialah Lee Seng dan Ie Tiauw Hin dari Kay Pang, Partai Pengemis, yang pernah ditemui di Poo-eng.
Melihat merintangnya dua orang itu, laki-laki baju hitam itu lantas berkata: “Kami dari Tiat Ciang Pang dengan pihak Kay Pang adalah seumpama air kali tidak bertemu air sumur, oleh karena itu kenapa tuan-tuan sekarang memaksa maju sendiri membelai lain orang?”
Lee Seng memberi hormat.
“Bocah ini belum tahu apa-apa, maka itu aku si pengemis tua memohon muka, sudilah dia diberi ampun,” sahutnya.
Si hitam itu melihat Lee Seng menggondol delapan kantung goni, ia tahu orang ada dari angkatan tinggi, tetapi ia tertawa dingin dan lantas menanya: “Jikalau kau tidak memberi ampun, habis tuan mau bikin apa?”
Ie Tiauw Hin masih muda, ia tidak sabaran. Dia berseru: “Kamu berbuat jahat dan kejam, kami telah mempergokinya, mana pula kami tidak campur tahu?!”
Si hitam tertawa menghina pula. Dia kata: “Aku mendengar kabar kamu kaum Kay Pang, besok kamu bakal mengadakan rapat besar di Gak Yang Lauw, di mana akan hadir semua pemimpin dari partaimu dari pelbagai penjuru, apakah kau pengemis cilik mau menghina orang dengan mengandali jumlahmu yang banyak? Hm! Aku khawatir tidak gampang-gampang kamu dapat berbuat demikian! Kamu katanya kaum yang pandai menangkap ular, coba aku lihat, apa kamu pandai menangkap ular kami ini?”
Ie Tiauw Hin panas hatinya. Ia lantas berlompat maju, kedua tangannya menyambar masing-masing seekor ular. Ia memegang ekor ular, segera digentak kaget. Tulang ular bersambung bagaikan rantai, karena dihentak kaget, tulang-tulang itu jadi seperti terlepas, maka itu, meski tidak segera mati, kedua ular itu lantas tidak mampu menggeraki tubuh mereka. Itulah ilmu kepandaian menangkap ular dari bangsa pengemis.
Si hitam menjadi murka luar biasa, lantas ia bersiul keras, maka itu ribuan ularnya lantas melesat maju, untuk menerjang.
Ie Tiauw Hin boleh pandai menangkap ular tetapi menghadapi ular demikian banyak, ia kewalahan, maka itu, ia lompat ke garisan bubuk belerangnya.
Lee Seng lantas berteriak, menanya she dan nama besar si hitam. Dia ini sendiri tidak menyahutinya, dia cuma tertawa dingin. Setelah ia melihat ularnya tidak berani maju, lagi sekali ia bersiul.
Kali ini terjadilah pemandangan yang luar biasa.
Seekor ular menggigit ekor kawannya, kawan digigit pula ekornya oleh kawannya yang lain, demikian seterusnya, hingga mereka merupakan beberapa puluh potong rantai yang panjang, habis itu, ketika si hitam berteriak, mereka berlompat ke arah kedua pengemis itu, yang mereka terus kurung, hingga si bocah terkurung bersama.
“Pengemis busuk, tangkaplah ular itu!” kata si hitam menantang. “Kenapa kau diam saja?!”
Semua ular itu dongak mengawasi, siap untuk menerjang.
Muka Lee Seng dan Tiauw Hin pucat. Mereka rupanya menginsyafi ancaman bahaya.
Si hitam lantas berkata dengan jumawa, “Kami kaum Tiat Ciang Pang tidak suka mencelakai orang tanpa sebab, maka itu asal kamu berjanji untuk selama-lamanya tidak akan menangkap ular kami pula, asal kamu memberikan buktinya - hm! Kami tentu suka memberi ampun!”
Lee Seng tahu bukti apa yang diminta Tiat Ciang Pang. Ialah mereka harus merusak tangan mereka sendiri. Tentu sekali, mereka tidak suka menyerah, tidak peduli keadaan ada sangat berbahaya. Mereka berdiri tegak dan gagah.
Si hitam mementang kedua tangannya. Ia kata: “Asal aku merangkap kedua tanganku ini maka di tubuh kamu masing-masing bakal tambah beberapa ratus gigi yang beracun! Apa kamu masih tidak mau bertekuk lutut untuk memohon ampun?”
“Susiok, jangan kita mendatangkan malu!” kata Tiauw Hin.
Lee Seng tertawa. “Untuk apa mengatakan itu pula?” sahutnya. Ia lantas perkeras suaranya, berbicara kepada orang Tiat Ciang Pang itu: “Terima kasih banyak saudara hendak mengantar kami pulang ke Langit Barat, hanya aku masih belum mengetahui nama saudara yang besar!”
“Benarlah kamu, sampai mati kamu tidak mau memeramkan mata!” kata si hitam itu. “Aku murid ketiga dari Kiu Tiat Ciang, yang orang menyebutnya Hian-pwee-bong Kiauw Thay si Ular Naga Abu-abu!”
Belum berhenti suara jumawa si hitam ini, lantas terdengar suara tertawa halus nyaring disusuli ini kata-kata terang halus: “Aha! Aku mengira siapa, tak tahunya segala murid dan cucu muridnya si tua bangka she Kiu!”
Suara itu segera disusul oleh orangnya, maka semua orang melihat seorang nona cantik manis yang rambutnya dijepit dengan gelang emas. Dialah Oey Yong kita. Maka heranlah Kiauw Thay.
Oey Yong tidak menanti orang sadar dari herannya, ia kata pula: “Tiat Ciang Sui-siang-piauw she Kiu yang tua itu memanggil aku kouw-nay-nay, maka itu kenapa kau tidak segera memanggil aku couw kouw-nay-nay?” Dia minta dirinya dipanggil bibi dan bibi tua.
“Hai, bocah kau ngaco belo!” membentak si hitam. Di dalam hatinya, tapinya ia heran sekali kenapa bocah ini mengetahui nama besar gurunya.
Oey Yong tertawa dan berkata pula: “Anak-anak menerbitkan onar di luaran, inilah aku kouw-nay-nay kamu paling tidak senang melihatnya! Bukankah kamu pun ada kawannya itu anak yang memangku pangkat camat di Bu-leng? Beberapa hari yang lalu, sambil lewat di mana, kouw-nay-nay telah membereskan dia! Nah, apa katamu?”
Camat she Kiauw di Bu-leng itu memang ada saudaranya Kiauw Thay ini, dia menerima kabar halnya kantor camat dibakar dan camatnya mati baru tadi pagi, maka itu ia lantas melirik si nona dengan hati sangat panas. Dia berduka berbareng gusar tetapi dia bersangsi apa nona ini benar membunuh saudaranya itu yang ia tahu gagah. Ia lantas memberi tanda, maka ratusan ularnya mengurung si nona.
“Siapakah yang membinasakan camat Bu-leng?” Kiauw Thay membentak, “Lekas bilang!”
Oey Yong tertawa manis.
“Dengan sebenarnya akulah yang membinasakan dia!” dia menyahuti, berani. “Dia melawan aku dengan menggunai Tok see-ciang, tangan beracunnya itu! Siapakah tidak mengenalnya jurusnya, seperti jurus ‘Jarum tawan’ dan ‘Mengangkat obor membakar langit’” Ketika aku menotok jalan darahnya, jalan darah kiok-tie-hiat, pecahlah kepandaiannya itu, maka setelah aku menotok pula kedua jalan darahnya, kie-bun dan kin-ceng, aku menyuruh dia duduk di kursinya, duduk tak bergeming lagi, mirip lagaknya diwaktu hari-hari biasa dia dengan bengis memeriksa rakyat negeri. Kemudian ketika aku membakar gedung camat dan kantornya sampai ludas menjadi abu, entah kena, dia tetap tidak keluar lagi dari kantornya itu!”
Kiauw Thay tetap heran. Kenapa orang begitu berani bicara seperti lagi mendongeng saja, demikian tenang, lancar dan rapi? Meski dia masih bersangsi, dia toh memikir untuk membekuknya, guna mendengar keterangan orang terlebih jauh. Maka ia lantas berseru: “Loo Sam, Loo Su, bekuklah budak ini!”
Dua orang lantas maju, dengan goloknya mereka menyingkirkan ular-ular yang mengurung itu, setelah datang dekat dengan empat tangan, mereka menjambret pundaknya si nona.
Oey Yong tertawa melihat lagak orang, “Loo Sam, Loo Su, kau rebahlah!” ia kata. Sebat luar biasa, ia mendak, lalu tubuhnya melesat ke belakang orang. Belum dua orang itu tahu apa-apa, punggung mereka sudah dicekal, lalu dtitolak keras satu sama lain, maka di antara suara beradu keras, kepala mereka bentrok hingga tubuh mereka terhuyung, lalu roboh di tanah!
Orang-orang tani itu sebenarnya lagi ketakutan akan tetapi menyaksikan robohnya dua jago itu, mereka heran dan kagum hingga mereka tertawa.
Kiauw Thay murka bukan main, ia lantas mengangkat tangan kanannya dan memasuki dua jerijinya ke dalam mulutnya. Ia hendak bersuit, guna mengasih perintah kepada ularnya untuk menyerbu. Atau dia didahuli dengan suara kuk-kuk-kuk tiga kali, lalu di tangannya Oey Yong terlihat seekor burung merah, sebab burung apinya itu ia telah masuki ke dalam tangan bajunya.
Dengan mengasih dengar suaranya, burung api itu pun lantas mengasih keluar bau harumnya, yang segera seperti memenuhi ladang itu, kapan semua ular dapat mencium bau itu, semuanya menjadi bergerak dengan kacau, akan akhirnya pada rebah diam saja, sejumlah di antaranya lantas terlentang, mengasihkan perutnya untuknya untuk di patuk!
Hiat-niauw pun tidak sungkan-sungkan, dia berlompat maju, dia mematuk setiap perut, hingga sebentar saja dia sudah makan nyalinya tujuh ekor ular. Dia sudah kenyang tetapi dia masih mematuki perut ular lainnya!
Kiauw Thay kaget dan gusar, habislah sabarnya. Ia mengeluarkan tiga batang kong-piauw, dua batang ia timpuki kepada burung api itu dan satunya kepada si nona!
Oey Yong memakai baju lapisnya, ia tidak memperdulikan datangnya senjata rahasia itu ke tubuhnya, sedang hiat-niauw, melihat datangnya serangan itu, berlompat untuk menyampok hingga kedua kong-paiuw jatuh di tanah, kemudian ia terbang gesit menyampok jatuh piauw yang mengarah si nona.
Bukan main girangnya Oey Yong mendapatkan burungnya itu mengerti dan dapat membela majikan. Ia lantas menuding si hitam itu serta kawan-kawannya, ia berkata: “Mereka itu orang-orang jahat, patuklah biji mata mereka!”
Burung api itu terbang meleset, tubuhnya yang merah berkelebat mirip api, atau segera satu orang menjerit kesakitan, lantas diturut oleh beberapa orang yang lain. Sebab seperti tanpa merasa lagi, mata mereka telah kena dipatuk burung itu!
Saking takutnya, semua orang itu lari serabutan, sedang yang matanya terpatuk pada menjatuhkan diri, untuk merayap atau bergulingan, guna melarikan diri. Hingga dilain saat, habislah mereka, tinggal kodok dan ular mereka, maka kedua binatang itu lantas diserbu ramai-ramai oleh kawanan orang tani itu. Ketika kemudian mereka hendak menghanturkan terima kasih kepada Oey Yong dan Kwee Ceng, muda-mudi itu dengan tidak banyak omong telah pergi jauh.
Juga Lee Seng dan Ie Tiauw Hin hendak menemui sepasang anak muda itu tetapi mereka telah ditinggal kabur kuda merah yang larinya pesat.
Oey Yong girang bukan main atas kesudahannya perbuatannya itu, maka itu malam, selagi singgah, ia menyalakan api, ia membiarkan hiat-niauw mandi dengan gembira.
Besoknya pagi, tibalah mereka di Gakciu. Mereka berjalan kaki, kuda mereka dituntun. Langsung mereka menuju ke lauwteng Gak Yang Lauw. Mereka memandangi keindahan telaga Tong Teng Ouw di tepi mana lauwteng itu dibnagun. Luas tenaga itu, jernih airnya. Di sekitarnya adalah rentetan gunung, keindahan dan keangkeran telaga itu beda lagi dengan keindahan dan keangkeran telaga See Ouw. Masakan Ouwlam kurang cocok bagi lidah mereka, sudah rasanya pedas, juga mangkoknya lebih besar dan sumpitnya lebih panjan.. Di empat penjuru tembok mereka melihat banyak tulisan orang-orang pandai, yang pernah naik di lauwteng ini untuk bersantap atau minum. Di antaranya ada syairnya Hoan Tiong Am tentang kedukaan dan kegirangan, yang datangnya duluan dan belakangan.
Mereka lantas membicarakan Hoan Tiong Am itu, yang pintar dan gagah, yang pernah menjagoi di See Hee, tetapi semasa kecilnya dia miskin, ayahnya mati muda, hingga ibunya menikah lagi pula, hidupnya sengsara, maka setelah hidup berpangkat dan berbahagia, dia tetap memperhatikan nasib rakyat jelata. Itu pula sebabnya mengapa ia menulis syairnya itu lebih dulu menderita, lalu bergembira.
“Demikian juga dengan bangsa orang gagah!” kata Kwee Ceng kemudian seraya menenggak araknya.
“Dia memang orang baik,” kata Oey Yong tertawa. “Cumalah di dalam dunia ini, kedukaan lebih banyak, daripada kegembiraan. Aku tidak mau hidup seperti dia!”
Kwee Ceng tersenyum, dia diam saja.
“Engko Ceng, aku tidak pedulikan kedukaan atau kesenangan itu!” kata si nona kemudian. “Hanya kalau kau tidak gembira, hatiku pun tidak senang…” Kata-kata ini dikeluarkan perlahan, alisnya pun mengkerut.
Kwee Ceng ingat nona itu tentulah mengingat hubungan di antara mereka, maka dia pun masgul, dia tidak dapat menghibur, dia tunduk dan berdiam saja.
Tiba-tiba si nona mengangkat kepalanya dan tertawa.
“Sudahlah, engko Ceng!” katanya. “Eh, ya, tahukah kau syair Hoan Tiong Am yang berjudul ‘Mencukil lampu perak’?”
“Aku tidak tahu. Cobalah kau membacakannya untuk aku dengar?”
Oey Yong membacakan bagian bawah syair itu: “Orang hidup tidak seratus tahun, maka jangan tolol, kalau tua, lantas layu. Hanya di bagian usia pertengahan, itu sedikit tahun, harus dapat menahan hati. Kedudukan tinggi, banyak uang dan rambut putih, bagaimana itu dapat dihalaunya?”
“Kalau begitu,” kata Kwee Ceng nyaring, “Itulah nasehatnya supaya orang jangan menyia-nyiakan waktu, jangan cuma mengejar nama besar, kenaikan pangkat dan harta!”
Oey Yong pun berkata pula, perlahan: “Arak masuk ke dalam usus berduka, berubah menjadi air mata kenangan….”
“Apakah itu pun syair Hoan Tiong Am?” tanya Kwee Ceng, mengawasi si nona.
“Ya. Orang besar dan orang gagah bukannya tidak mempunyai perasaan,” kata si nona, yang terus tertawa. Ia menanya: “Engko Ceng, bagaimana kau lihat caranya aku menghadapi murid-murid jahat dari Tiat Ciang Pang itu? Tidakkah itu memuaskan?”
“Memang!” jawab Kwee Ceng bertepuk tangan.
Demikian mereka bersantap, minum dan bicara dengan asyik dan merdeka, seperti di situ tidak ada lainnya orang lagi. Kemudian Oey Yong menyapu kelilingnya. Ia melihat di arah timur ada tiga orang tua dengan dandanan sebagai pengemis, bajunya banyak tambalannya tetapi berseih. Tentulah mereka orang penting dari Kay Pang, yang hendak menghadari rapat besar kaumnya. Yang lainnya ialah orang dagang atau orang biasa saja.
“Sebenarnya Tiat Ciang Pang itu kumpulan apa?” kemudian kata si nona perlahan. “Kenapa mereka itu sama dengan See Tok paman dan keponakan, mereka memelihara ular?”
“Entahlah,” sahut Kwee Ceng. “Kalau mereka semua sama dengan Kiu Cian Jin si tua bangka, mereka tentu tidak bisa membangun apa-apa yang besar…”
Kata-kata itu belum habis dikeluarkan ketika si atasan kepala mereka terdengar suara orang tertawa terbahak sambil berkata dengan suara angker: “Sungguh mulut besar! Sampai pun ‘Tiat Ciang Sui-siang-piauw, si orang she Kiu tua’, tidak dilihat mata!”
Oey Yong terkejut, ia lompat mundur beberapa tindak, baru dia dongak.
Di atas penglari ada duduk nagkring seorang pengemis tua yang kulitnya hitam legam, bajunya sangat butut, tetapi dia mengaawasi dengan tertawa haha-hihi.
Kwee Ceng telah menduga kepada orang Tiat Ciang Pang, setelah melihat ia berhadapan sama pengemis, hatinya menjadi sedikit lega, apapula orang nampaknya tidak mengandung maksud jahat. Ia lantas memberi hormat seraya berkata: “Locianpwee, silahkan turun untuk minum barang tiga gelas arak? Sudikah?”
“Baik!” menyahut pengemis itu, yang lantas menjatuhkan diri, hingga ia mendeprok di papan lauwteng yang debunya mengepul. Setelah menepuk-nepuk kempolannya ia merayap bangun.
Kwee Ceng dan Oey Yong heran bukan main. Orang bisa ada di atas mereka tanpa bersuara, mereka menduga orang berkepandaian tinggi, tetapi orang jatuh terbanting begitu rupa, agaknya sangat berat tubuh orang, itulah bukan tandanya orang lihay.
“Silahkan minum!” Oey Yong mengundang. Ia menyuruhnya pelayan menambahkan cangkir arak, mangkok dan sumpit. Ia pun mengisikan cangkir.
“Pengemis tua tak tepat duduk di kursi,” kata pengemis itu, yang lantas duduk mendeprok di lantai, sedang dari kantungnya ia mengeluarkan sebuah mangkok jonges serta sepasang sumpit bambu. Ia pun kata: “Sisa arak dan sayur yang kamu telah makan, kasihlah itu padaku!”
“Itulah perbuatan tak hormat dari kami, locianpwee,” berkata Kwee Ceng. “Apa yang locianpwee hendak dahar, bilang saja, suruh pelayan menambahkan!”
“Pengemis ada macamnya si pengemis,” kata orang tua itu, “Kalau pengemis cuma nama tapi tak tepat sama artinya, cuma berpura-pura saja, buat apa dia menjadi pengemis? Jikalau kamu sudi mengamal, nah, kasihlah, jikalau tidak, aku bisa pergi mengemis ke lain tempat…”
Dua-dua muda-mudi itu heran tetapi Oey Yong melirik kawannya, lalu ia berkata sambil tertawa: “Locianpwee benar!” Maka ia lantas sisihkan sisa sayur mereka, ia menuangnya ke mangkok butut itu.
Si pengemis merogoh ke dalam sakunya, untuk mengeluarkan nasi dingin, yang mana ia campur sama sisa sayur, terus ia dahar, nampaknya ia bernafsu sekali.
Oey Yong yang cerdik diam-diam menghitung kantung di punggug orang, semuanya susun tiga, setiap susunnya terdiri dari tiga buah, maka itu ada sembilan kantung. Ketika ia berpaling kepada ketiga pengemis lain, mereka pun mempunyai masing-masing sembilan kantung. Yang beda ialah mereka itu bertiga di depannya tersajikan banyak macam sayur pilihan. Mereka itu agaknya tidak memperdulikan pengemis yang satu ini, mereka tidak sudi berpaling atau melirik, cuma pada paras mereka tampak samar-samar roman tak puas.
Tengah si pengemis bersantap dengan bernafsu, di tangga lauwteng terdengar tindakan kaki. Kwee Ceng lantas berpaling. Maka terlihat olehnya naiknya dua pengemis, ialah pengemis kurus dan gemuk yang di Gu-kee-cun, Lim-an menemani Yo Kang. Bahkan di belakang mereka terlihat Yo Kang sendiri. Hanya dia itu, begitu dia melihat si orang she Kwee, dia melongo, lekas dia turun pula. Entah dia berbicara apa sama si pengemis gemuk, maka di gemuk itu ikut dia turun. Si pengemis kurus maju terus, ia menghampirkan pengemis yang tiga itu yang makannya royal, dia bicara berbisik-bisik. Atas itu, ketiga pengemis itu berbangkit, mereka membayar uang makan, lantas mereka berlalu bersama si kurus itu.
Si pengemis yang dahar sambil duduk mendeprok dan makan sisa, terus tidak menghiraukan sepak terjang beberapa rekannya itu.
Oey Yong berjalan ke jendela, untuk melongok ke bawah. Ia melihat belasan pengemis mengikuti Yo Kang ke barat. Jalan belum jauh, pemuda she Yo itu menoleh ke belakang. Maka tepat sinar matanya bentrok sama sinar matanya Oey Yong. Dia agaknya terkejut, segera ia mempercepat tindakannya, selanjutnya dia tidak berpaling lagi.
Pengemis tua itu lantas dahar habis. Ia menjilati mangkoknya san sumpitnya disusuti kepada bajunya, semua itu lantas dimasuki ke dalam kantungnya. Diam-diam Oey Yong mengawasi. Ia melihat sinar kedukaan pada kulit muka orang yang berkeriputan. Aneh adalah tangannya, yang jauh lebih besar daripada tangan kebanyakan orang lain, sedang belakang tangannya penuh dengan otot-otot besar, suatu tanda dari penghidupan besart.
“Cianpwee, silahkan duduk!” berkata Kwee Ceng seraya memberi hormat. “Dengan berduduk, leluasalah kita berbicara.”
Pengemis itu tertawa.
“Aku tidak biasa duduk di bangku!” katanya. “Kamu berdua ada murid-muridnya Ang Pangcu, meskipun usia kamu lebih muda, kita adalah sama derajatnya, cuma aku lebih tua beberapa puluh tahun, kau panggilah aku toako. Aku she Lou, namaku Yoe Kiak.”
Oey Yong tertawa.
“Toako, namamu menarik hati!” katanya. Yoe Kiak itu berarti “ada kaki”
Pengemis itu berkata: “Orang biasa membilang, orang miskin hidup tanpa tongkat dia diperhina anjing, tetapi aku tidak mempunyai pentung, aku mempunyai sepasang kakiku yang bau ini, kalau anjing berani menghina aku, akan aku mendupak dia pada kepalanya, supaya dia terkuwing-kuwing dan kabur sambil menggoyang-goyang ekornya.”
Oey Yong bertepuk tangan. “Bagus, bagus!” serunya, “Kalau anjing mengetahui namamu, tentulah siang-siang dia sudah lari jauh-jauh!”
“Tadi pagi aku telah bertemu sama saudara Lee Seng,” berkata Yoe Kiak, yang lantas bicara secara sungguh-sungguh, “Dari dia aku mendapat ketahui perbuatan kamu di Poo-eng dan Gakciu. Maka benarlah orang bilang, kalau ada semangat, bukan cuma karena usia tinggi, siapa tanpa semangat, percuma usianya lanjut!”
Kwee Ceng berbangkit untuk merendahkan diri untuk mengucapkan terima kasih atas pujian itu.
“Barusan kamu bicara tentang Tiat Ciang Pang,” berkata Lou Yoe Kiak, “Agaknya mengenai mereka itu, kamu belum mengetahui jelas.”
“Benar. Justru itu, aku mohon petunjuk,” sahut Oey Yong.
“Tiat Ciang Pang itu, untuk Ouwlam dan Ouwpak dan Sucoan, pengaruhnya sangat besar,” menerangkan si pengemis tua, “Anggota-anggotanya suka membunuh orang dan merampok, tak ada kejahatan yang tak dilakukan mereka. Mulanya mereka cuma bersekongkol sama pembesar negeri setempat, kemudian mereka jadi semakin berani, kecuali bersekongkol mereka pun menempel pembesar berpangkat tinggi dan main sogok hingga ada diantaranya yang memangku pangkat. Yang paling menyebalkan ialah mereka bersekongkol sama negeri Kim, mereka melakukan perbuatan hina sebagai pengkhianat. Maka tepatlah hajaran kamu kepada mereka itu.”
“Kabarnya kepala Tiat Ciang Pang ialah Kiu Cian Jin,” berkata Oey Yong. “Tua bangka itu paling pandai memperdayakan orang. Kenapa dia jadi demikian berpengaruh?”
“Kiu Cian Jin itu sangat lihay, nona,” berkata Yoe Kiak, “Aku harap kau tidak memandang enteng kepadanya.”
Oey Yong tertawa. “Apakah kau pernah bertemu dengannya?” dia menanya
“Bertemu, itulah belum. Aku mendapat kabar dia tinggal bersembunyi di atas gunung, di mana dia meyakinkan tangan beracun yang dinamakan Ngo-tok Sin-ciang. Sudah sepuluh tahun lamanya dia tidak turun gunung….”
“Kau terpedayakan!” kata Oey Yong tertawa. “Aku telah bertemu dengannya beberapa kali, bahkan kita pernah bertempur juga. Kau bilang ia meyakinkan Ngo-tok Sin-ciang? Ha ha ha…!” Dan dia tertawa geli mengingat ngacirnya Kiu Cian Jin, sambil tertawa ia mengawasi Kwee Ceng.
“Apakah yang disandiwarakan itu Kiu Cian Jin itu,” kata pula Yoe Kiak, tetap sungguh-sungguh, “Aku tidak tahu, tetapi benar sekali selama beberapa tahun kemarinkan Tiat Ciang pang maju sangat pesat, dia tidak dapat dipandang enteng.”
“Lou Toako benar,” kata Kwee Ceng. Yang khawatir pengemis itu menjadi tidak senang, “Memang Yong-jie gemar bergurau…”
“Ah, kapannya aku bergurau?” berkata si nona tertawa, “Aduh, aduh! Perutku sakit…!” dan dia beraksi mirip dengan tingkah lakunya Kiu Cian Jin baru-baru ini, ketika ia berpura-pura sakit perut untuk lari membuang air besar tetapi akhirnya kabur dengan tipu tonggeret meloloskan kulit.
Mau tidak mau, Kwee Ceng tertawa menyaksikan nona itu menekan-nekan perutnya.
Melihat kawannya tertawa, Oey Yong berhenti tertawa. Ia pun mengubah sikap.
“Loa Toako,” tanyanya, “Apakah kau kenal ketiga tuan tadi yang bersantap di meja itu?”
Ditanya begitu, Yoe Kiak menghela napas.
“Kamu bukan orang luar, hendak aku bicara dengan sebenar-benarnya,” sahutnya kemudian. “Pernahkah kamu mendengar keterangan Ang Pangcu bahwa partai kita terbagi dalam dua cabang, ialah cabang Pakaian Bersih dan Pakaian Dekil?”
“Belum, belum pernah kita mendengar keterangan itu,” sahut kedua muda-mudi itu.
“Suatu partai terpecah dalam dua cabang, itulah sebenarnya tidak bagus,” kata pula Yoe Kiak. “Mengenai itu, Pangcu tidak puas, akan tetapi dia telah berdaya sekuatnya untuk mempersatukan, dia tidak berhasil juga. Kay Pang dibawah Ang Pangcu mempunyai empat tiangloo.”
“Ya, tentang itu pernah aku mendengarnya. Suhu pernah bercerita.”
Meski masih muda, karena Ang Cit Kong masih hidup, Oey Yong tidak segera menjelaskan bahwa ia telah ditugaskan Pak Kay untuk menjadi pangcu.
Lou Yoe Kiak mengangguk perlahan.
“Akulah tiangloo yang kedua,” dia berkata. “Tiga orang tadi juga berkedudukan sebagai tiangloo.”
“Aku mengerti,” kata Oey Yong lekas, “Kau dari cabang Pakaian Dekil, mereka dari Pakaian Bersih.”
“Eh, mengapa kau ketahui itu?”
“Lihat saja pakaianmu, Lou Toako! Pakaianmu kotor tetapi pakaian mereka bersih sekali. Lou Toako, hendak aku omong terus terang, bajunya cabang Pakaian Dekil itu hitam dan bau, pasti tidak menyenangkan, maka kalau kau mencuci bersih pakaianmu, bukankah kedua cabang lantas menjadi satu?”
“Kaulah anaknya orang hartawan, pasti kau jemu terhadap pengemis,” kata Yoe Kiak sambil ia berjingkrak bangun berdiri.
Kwee Ceng hendak menghanturkan maaf tetapi orang lantas ngeloyor pergi, kelihatannya ia mendongkol sekali.
Oey Yong mengulur lidahnya.
“Engko Ceng, jangan kau menegur aku,” katanya.
Kwee Ceng tertawa.
“Sebenarnya aku berkhawatir,” kata Oey Yong.
“Kenapa?” pemuda itu tanya.
“Aku berkhawatir Lou Yoe Kiak nanti mendupak padamu.”
“Tidak karu-karuan dia mendupak aku, kenapa?”
Si nona memainkan mulutnya, ia tertawa, ia tidak menjawab.
Kwee Ceng menjadi berpikir. Ia benar tidak mengerti.
Oey Yong menghela napas.
“Ah, engko tolol,” katanya. “Kenapa kau tidak hendak memikirkan namanya itu?”
Sekarang Kwee Ceng sadar.
“Bagus ya!” katanya. “Dengan memutar kau memaki aku bagaikan anjing!” Ia lantas berbangkit, tangannya diulur, untuk mengitik, atas mana, Oey Yong tertawa dan berkelit.