Kembalinya Pendekar Rajawali 111
Kwe Ceng telah melaporkan hal itu pada
gubernur militer kota Lu Bun-hwan agar memberi mandat, supaya Oey Yok su dapat
mengatur siasat dan membagi tugas pada para perwira dan prajurit.
Tatkala itu para ksatria yang hadir sudah
bubar sebagian besar, yang masih tinggal di situ seluruhnya adalah
pahlawan-lawan yang berjiwa patriot, maka semuanya berkumpul di lapangan
militer menunggu perintah.
“Mereka mengerahkan 40 ribu orang untuk
mengepung panggung, kalau kita pakai orang yang banyak, jika kita menang
rasanya juga tidak mengherankan ,” kata Oey Yok-su, “Maka kitapun hanya perlu
40 ribu orang, menurut Sun Cu, yang penting mahir mengatur, satu lawan satu,
apa susahnya?”
Maka Oey Yok-su lantas naik ke atas podium
panglima, katanya pula: “Barisan bintang-bintang kita ini seluruhnya terbagi
dalam lima kesatuan menurut hitungan pancabuta.”
“Habis ini, segera ia kumpulkan semua
komandan pasukan, ia memberi petunjuk dan penjelasan seperlunya, katanya lagi:
“Perubahan2 kita yang sangat ruwet ini seketika sukar dipahami, tapi
pertempuran hari ini harus dipimpin oleh lima tokoh silat terkemuka yang paham
perobahan pancabuta, komandan pasukan harus menurut petunjuk kelima pemimpin dan
menjalankan perintahnya.”
Maka pergilah para komandan pasukan itu
dengan menerima perintah itu.
Lalu Oey Yok-su mulai membagi tugas, katanya:
“Kesatuan tengah tergolong bumi, dipimpin oleh Kwe Ceng dengan jumlah prajurit
delapan ribu orang, pasukan ini harus mengarah bagian tengah musuh, tujuannya
menolong Kwe Yang, tidak perlu harus menghancurkan musuh. Setiap prajurit membawa
kantong pasir, begitu menyerbu sampai di bawah panggung, segera gunakan pasir
untuk menyirapkan api yang berkobar untuk menolong anak dara di atas panggung
itu.”
Kwe Ceng terima tugas itu dan berdiri ke
samping.
“Dan kesatuan jurusan selatan tergelong api,”
demikiin Ui Yok-su melanjutkan “Harap It-teng Taysu yang memimpin delapan ribu
orang. pasukan ini yang seribu orang melindungi pimpinan, tujuh ribu orang
lainnya terbagi menjadi tujuh regu, masing-masing dipimpin oleh Cu Culiu, Bu
Sam-thong, Su-sui Hi-un, Bu Tun-si dan Bu Siu-bun serta kedua isteri mereka, Yalu
Yan dan Wanyen Peng.”
It-teng Taysu dan Cu Cu-liu cs. juga menerima
perintah itu dan pergi mengatur tentaranya masing-masing.
Lalu kata Oey Yok-su pula: “Barisan utara
tergolong air, di bawah pimpinan Oey Yong dengan delapan ribu orang, seribu
diantaranya mengawal pimpinan, tujuh ribu orang lainnya terbagi di bawah Yalu
Ce, Nio Tianglo, Kwe Hu dan para Tianglo lain dari Kay-pang.”
Oey Yong pun menerima perintah itu dengan
baik, Kesatuan ini terdiri dari anak murid Kaypang sebagai kekuatan inti, rata2
orangnya berkepandaian tinggi.
Sesudah membagi ketiga kesatuan tadi,
kemudian Ui Yok-su meneruskan “Dan jurusan timur tergolong hawa, kesatuan ini
biar aku Tang-sia Oey Yok-su sendiri yang memimpinnya, jumlah orangnya juga
delapan ribu.”
Semua orang pikir, jurusan timur dipimpin
Tang sia, Lam-te mengepalai selatan, sedang anak murid Pak-kay menduduki utara.
Kwe Ceng adalah panglima pusat, memangnya dia juga murid keturunan Ong
Tiong-yang, cara mengatur Ui Yok su itu memang tepat. Tapi masih ada jurusan
barat, gerangan siapakah yang akan mengepalai jurusan ini?
Sementara terdengar Oey Yok-su berkata pula:
“Dan jurusan barat akan dipimpin oleh pejabat
ketua Coan-cin-kau, Li Ci-siang.”
Mendengar ini, semua orang merasa baik soal
kepandaian maupun tenarnya nama, pimpinan jurusan ini jauh lebih lemah daripada
yang lain-lain.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang
ber-teriak:
“Hai, Ui-Iosia, kenapa kau jadi lupa padaku?”
Waktu dipandang, kiranya yang bersuara itu
adalah Lo-wan-tong Ciu Pek-thong.
“Ciu-heng,” sahut Yok-su, lukamu belum
sembuh, belum dapat bekerja berat, sebenarnya jurusan barat ini harus kau pimpin,
tapi…”
“Ah, hanya luka kecil saja, kenapa
dipikirkan?” sahut Pek thong cepat “Biarlah aku memimpin jurusan barat itu
saja, He,Ci-siang, apa kau berani berebut dengan aku?”
“Tecu tak berani,” sthut
Li Ci-siang sambil memberi hormat.
“Emangnya aku sudah tahu kau takkan berani”
ujar Pek-thong tertawa. Habis itu segera ia ambil panah tanda tugas dari tangan
Li Ci-siang.
Terpaksa kata Oey Yok-su kemudian: “jika
begitu, hendaklah Ciu heng suka ber hati-hati Kaupun memimpm delapan ribu orang,
seribu di antaranya harap Eng Koh suka memimpinnya untuk mengawal kau, tujuh
regu lain biar dipimpin masing-masing oleh Li Ci-siang dan anak murid Coan cin
kau yang lain.”
Habis membagi tugas, lalu Oey Yok-su memerintahkan
semua prajurit menerima perlengkapan seperlunya ke gudang, bila kemudian
bendera kebesarannya memberi tanda, 40 ribu orang terbagi dalam 5 jurusan
timur, barat, utara selatan dan tengah.
Dengan suara lantang ia memberi petuah agar
parajurit2 itu bertempur mati-matian menghancurkan musuh. Segera anjuran itu
disambut dengan sorak-sorai yang bergemuruh penuh semangat Ketika meriam
berdentum tiga kali, empat pintu benteng terbuka, lima pasukan itu lantas
keluar berbareng.
Perubahan barisan bintang-bintang ini
ternyata aneh sekali, pasukan timur itu setiap orangnya menggendong sepotong
kayu cagak yang panjang, ketika sudah menyerbu mendekati sebelah timur
panggung, seribu perajuritnya lantas gunakan perisai untuk menahan panah musuh,
sedang tujuh ribu orang lainnya segera gunakan cagak kayu dan dipasang disitu
menurut petunjuk Oey Yok-su yang telah mengaturnya menurut perhitungan Pat-kwa
dan pancabuta, maka sekejap saja bagian timur panggung itu sudah tertutup.
Pasukan jurusan barat berinti anak murid Coancin-kau,
para Tosu itu memang sudah paham barisan bintang-bintang, maka terlihatlah
sinar pedang gemerlapan hingga terpaksa perajurit MongoI menghamburkan panah
untuk mencegah lajunya.
Mendadak terdengar suara teriakan bergemuruh
di bagian utara, itulah Oey Yong yang memimpin anak murid Kaypang dengan
membawa banyak sekali pipa air terus semprotkan air berbisa ke tubuh perajurit
musuh.
Racun air yang disemprotkan itu ternyata
sangat jahat, seketika sangat sakit tubuh yang terkena, sebentarpun melepuh dan
bernanah, karena tak tahan, perajurit Mongol lari tunggang langgang mundur ke
selatan.
Tapi tiba-tiba terlibat bagian selatan asap
mengepul tinggi Kiranya It-teng Taysu bersama delapan ribu anak buahnya telah
melakukan serangan dengan api, menggunakan sebangsa belerang dan bahan lain
yang mudah terbakar, api menyembur terus dari bumbung besi yang khusus mereka bawa.
Melihat gelagat jelek, segera perajurit
Mongol mundur kebagian tengah.
Namun Kwe Ceng sudah siap, ia pimpin delapan
ribu orangnya dan maju pelahan, ketika dilihatnya keadaan pasukan musuh kacau,
segera ia mengerahkan pasukannya menerjang ke tengah menuju ke panggung.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar
disamping panggung itu suara tiupan tanduk, sekali berteriak dari dalam parit
yang sengaja digali itu menongol keluar berpuluh ribu topi baja.
Kiranya pimpinan pihak Mongol juga pandai
mengatur siasat, kecuali di sekitar panggung jelas kelihatan 40 ribu orang,
tapi di dalam tanah galian itu bersembunyi lagi beberapa puluh ribu perajurit
Iain.
Dari jauh Kwe Ceng menyangka itu hanya parit
biasa yang digali musuh, siapa tahu justru di situlah tersembunyi kekuatan
cadangan musuh.
Karena itulah, terdesaknya pasukan Mongol
tadi segera berubah, meski barisan bintang-bintang itu dapat menerjang kacau
pasukan musuh, tapi kalau hendak membasminya jelas tak bisa lagi.
Maka terdengarlah genderang dipukul dengan
kerasnya, pasukan Song dan Mongol telah saling tempur, pasukan penjaga
disamping panggung lantas menghamburkan panah hingga beberapa kali Kwe Ceng
terpaksa harus mundur kembali.
Setelah hampir sejam kedua pihak bertempur
dengan sengitnya, mendadak Oey Yok-su mengibarkan bendera hijau, sekonyong-konyong
pasukan sebelah timur berganti menyerang keselatan, pasukan barat menggempur ke
utara, karena perubahan barisan ini, kembali pasukan musuh menjadi kacau lagi.
Meski perajurit Song hanya 40 ribu orang,
tapi pertama karena barisan bintang-bintang ini sangat hebat, kedua dipimpin
oleh jago-jago silat terkemuka pada jaman ini, ketiga, setiap perajurit Song
merasa berterima kasih pada Kwe Cing suami-isteri, mereka bertekad akan
menolong puteri kesayangannya. Oleh sebab itulah meski jumlah orang Mongol berlipat
ganda namun tidak sanggup menahannya.
Sesudah berlangsung agak lama, mendadak Oey
Yok-su bersiul panjang dan keras, bendera isyarat mengebas beberapa kali,
pasukan berpanji hijau mundur ke tengah, pasukan panji merah menuju ke sebelah
barat, pasukan panji kuning berganti ke utara, panji putih menggempur bagian timur,
panji hitam mengarah ke slatan, kembali barisan berubah lagi.
Dari atas panggung Kim-lun Hoat-ong dapat
menyaksikan pertempuran hebat di bawah panggung itu, dalam hati diam-diam ia
terperanjat sekali, Pikirnya: “Sungguh tidak nyana di daerah Tionggoan ternyata
terdapat orang kosen seperti ini, sejak kini tak berani lagi aku memandang
sepele orang Tionggoan.”
Sementara itu dilihatnya perajurit2 Mongol
yang mati atau luka makin lama makin banyak, pasukan panji kuning terus mendesak
ke panggung itu, walaupun ia gunakan Kwe Yang sebagai sandera, tapi toh tidak
tega benar-benar membakarnya, ia menoleh dan memandang anak dara itu, ia lihat
meski kedua kaki dan tangan terikat, tapi kepala anak dara mendongak, sikapnya
gagah tak gentar sedikitpun.
“Kwe Yang cilik,” seru Hoat-ong, “lekas kau
minta ayahmu menyerah, aku akan menghitung dari satu sampai sepuluh, jika
ayahmu tidak takluk, segera aku memberi perintah membakarmu.”
“Apa kehendakmu boleh sesukamu. jangankan
satu
sampai sepuluh, kau boleh menghitung satu
sampai seribu atau sejuta juga aku tak peduli,” sahut Kwe Yang dingin.
“Hm, apa kau kira aku tak berani membakar
kau?” Hoat ong menjadi gusar.
“Haha, sungguh kasihan kau ini,” jengek Kwe
Yang tiba-tiba.
“Kasihan apa kau bilang?” bentak Hoat ong.
“Ya,kasihan. Sebab kau tak sanggup melawan
ayahku, tak sanggup menandingi Gwakongku Ui-losia, tak lebih unggul dari pada
Itteng Taysu, tak berani pada Toakokoku Yo Ko, paling-paling kau hanya mampu
meringkus aku disini,”
demikian Kwe Yang mengolok-olok.
“Caramu ini, biarpun seorang perajurit
Siangyang kami juga tidak sudi melakukan ini Hoat-ong,aku justeru ingin menasehatkan
kau.”
“Apa? Nasihat?” seru Hoat-ong sengit
“Ya,” sahut Kwe Yang. “Manusia hidup seperti kau ini apa artinya? Ada lebih baik kau terjun ke bawah
panggung dan membunuh diri saja!”
Kwe Yang tidak pikirkan mati-hidupnya lagi,
sejak kecil memang tajam kata-katanya, selamanya tak pernah kalah adu muIut,
keruan kini Hoat-ong kewalahan saking gusarnya serasa dadanya akan meledak.
“Wahai, dengarlah Kwe Ceng!” segera ia
berteriak keras-keras.
“Aku akan menghitung dari satu sampai
sepuluh, apabila kau masih belum mau takluk, segera ku perintahkan membakar
panggung ini.”
“Boleh kau lihat apakah aku Kwe Ceng manusia
yang suka takluk atau bukan?” sahut Kwe Ceng.
“Wahai, Kim lun Hoat-ong!” tiba-tiba Oey
Yok-su menyambung.
“Kau salah menaksir musuh, inilah ketidak
pintaranmu, Kau menghina seorang dara cilik, ini namanya tidak berbudi.”
“Kau tak berani bergebrak terang-terangan
dengan kami untuk menentukan menang atau kalah, ini namanya tidak berani.”
“Manusia yang tidak pintar, tidak berbudi,
tiada keberanian tapi masih berani kau bicara tentang pahlawan dan ksatria segala?
Kau tertangkap oleh kami di Coat ceng-kok. Untuk menyelamatkan jiwamu kau telah
menyembah “ping-pitulikur” (27-kali) kepada Kwe Yang cilik, kemudian kau
di-ampuninya.
Haha, manusia takut mati dan tamak hidup
semacam kau ini ternyata masih ada muka untuk menjadi Koksu (iman negara MongoI)
segala?”
Sebenarnya tentang menyembah minta ampun
kepada Kwe Yang segala tiada pernah terjadi, tapi Oey Yok-su sengaja gembar-gembor
di hadapan umum, di depan pasukan MongoI, agar Hoat-ong serba salah, hendak
mendebat, sulit, tidak mendebat, juga salah.
Bangsa Mongol justru paling menghormati orang
gagah berani dan pandang hina pada manusia pengecut, kini mendengar gemboran
Oey Yok-su itu tanpa terasa banyak yang menengadah ke atas panggung dengan
pandangan hina.
Oey Yok-su sudah berpikir panjang, sebelum
berangkat ia sudah minta Oey Yong menterjemahkan kata-kata untuk mengolok-olok
Hoat-ong ini ke-dalam bahasa Mongol. Kini digemborkaanya dihadapan berpuluh
ribu perajurit yang sedang bertempur itu sehingga terdengar jelas.
Dan karena mendengar pemimpin dipihak sendiri
adalah manusia rendah dan hina, tanpa terasa pasukan Mongol menjadi kurang
semangat, sebaliknya perajurit Song semakin gagah menyerbu musuh.
Melihat gelagat jelek, Kim-Iun Hoat-ong yang
berada di atas panggung itu segera berteriak lagi: “Wahai, Kwc Cing, dengar
kau, aku akan menghitung dari satu sampai sepuluh, apabila kata-kata “sepuluh”
terucapkan, puteri kesayanganmu segera akan terbakar menjabi arang. Nah, satu.,
. . .. dua. . . …tiga…. empat… lima…”
“Begitulah setiap kata-kata diucapkan ia
sengaja berhenti sejenak dengan harapan Kwe Ceng yang tak tahan oleh desakan
itu akan menyerah atau sedikitnya juga akan patah semangat, lalu tak berani
bertempur lagi.
Dilain pihak, Kwe Ceng, Oey Yok-su, It-teng
Taysu, Oey Yong, dan Ciu Pek-tong yang memimpin lima pasukan, ketika mendengar
Hoat ong mulai menghitung, sedangkan di bawah panggung beratus serdadu Mongol
sudah mengangkat obor mereka tinggal menunggu komando. bila tanda diberikan segera
panggung itu akan dibakar Karena itu Kwe Ceng dan lain-lain menjadi kuatir dan gusar,
mati-matian mereka menerjang ke depan panggung buat menolong Kwe Yang.
Tapi barisan pemanah bangsa Mongol yang
terkenal tangkas itu sudah siap, di bawah hujan panah itu segera terlihat
Su-sui Hi-un, Nio tianglo, Bu Siu-bun cs, terluka panah semua, malahan ada
beberapa anak murid Kay pang dan Coan-cin-kau yang gugur.
Sebelumnya Oey Yong sudah suruh Kwe Hu
meminjamkan “Nui-wi-ka” atau kutang berduri landak kepada kakeknya, Ui Yok-su,
sebab pertempuran ini berbahaya luar biasa, apabila karena ingin menolong Kwe
Yang, tapi jiwa ayahnya harus berkorban atau terluka, hal ini benar-benar akan membuat
Ui Yong menyesal selama hidup.
Karena maksud baik sang puteri itu sukar di
tolak, terpaksa Oey Yok-su menerimanya, tapi diam-diam ia pinjamkan baju pusaka
itu kepada Ciu Pek-thong. Sebab itulah meski luka Pek-thong belum sembuh, tapi
ia sudah berani terobosan kian kemari di bawah hujan panah dan senjata musuh
tanpa luka.
Malahan ketika melihat panah musuh yang
mengenai tubuhnya jatuh semua, hati si tua nakal itu menjadi riang, terus saja
ia menyerbu maju, di mana tangannya tiba, di situlah segera musuh menggeletak.
Sementara itu terdengar Hoat-ong sudah
menghitung sampai . . . . delapan. . . . . sembilan. sepuluh! Baik, bakarlah!”
Dan sekejap saja asap lantas ber-guIung2, api berkobar dengan hebat.
Walaupun sebenarnya delapan ribu perajurit
panji kuning semuanya membawa kantong pasir, tapi karena tak sanggup menyerbu
sampai di dekat panggung, terpaksa mereka tiada bisa berbuat apa-apa.
Pikiran Oey Yong menjadi butek ketika
dilihatnya api menjilat dengan hebatnya, mukanya pucat dan orangnya sempoyongan.
Lekas Yalu Ce memayang ibu mertua itu dan katanya: “Hendaklah Gakbo mengaso
dulu ke garis belakang, sekalipun jiwaku harus berkorban, Yang-moay pasti akan
kutolong.
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar
suara teriakan gemuruh hebat memecah bumi, dari garis belakang pasukan MongoI
mendadak menyerbu tiba dua pasukan berkuda dan langsung menggempuf benteng kota
Siangyang.
Terdengarlah teriakan “Ban swe, Banswe!” yang
hiruk-pikuk, panji kebesaran raja Mongol, Monko, tertampak di angkat tinggi2
dan cepat sekali sudah sampai di bawah benteng Siangyang, di bawah pimpinan
sang raja mereka, pasukan Moagol itu bertambah semangat menggempur benteng.
Di lain pihak, tatkala itu Kwe Ceng dengan
satu tangan membawa perisai dan tangan lain bertombak, sebenarnya tinggal
ratusan tindak dari panggung, betapapun barisan pemanah menghujam panah tetap
tak bisa melukainya.
Tampaknya sebentar lagi ia pasti dapat
melompat ke atas panggung, tiba-tiba di dengarnya di bagian belakangnya keadaan
menjadi kacau, ia terkejut, pikirnya: “Celaka, terperangkap oleh tipu musuh
“memancing harimau tinggalkan gunung”. Sedangkan gubernur kota lemah dan penakut
walaupun kekuatan tentara cukup, tapi tiada pimpinan, mungkin urusan bisa
runyam.”
Sebenarnya ke-40 ribu tentara dari barisan
bintang-bintang ini kuat menandingi beratus ribu patukan Mongol melawan dengan
gigihnya, sedangkan raja Mangol tanpa pikirkan. pertempuran besar yang sedang
berlangsung itu terus memimpin sendiri pasukan lain untuk menggempur benteng
Siangyang.
Tiba-tiba Kwe Ceng berganti pikiran, ia
membatin. “Urusan anak soal kecil, pertahanan kota lebih penting! Karena itu, segera
ia berteriak: “Gakhu, kita jangan urus anak Yang gagal lagi, lekas kembali
menggempur bagian belakang musuh!”
Waktu Oey Yok-su memandang, ia lihat api
berkobar-kobar tambah hebat, Hoat-ong lagi turun setindak demi setindak dari tangga
panggung itu. Kini di atas panggang melulu tinggal Kwe Yang saja yang
teringkus. Sudah, tentu Oey Yok-su juga bisa berpikir, ia mengerti seorang Kwe
Yang tidak dapat dibandingkan dengan hancur atau selamatnya kota Siang-yang.
Karena itu, ia menghela napas panjang dari
berkata:
“Sudahlah, Lalu ia kibarkan panji hijau dan
menarik pasukannya kembali ke selatan.
Kwe Yang yang teringkus di atas panggung itu menyaksikan
ayah-bunda dan Gwakongnya tak berdaya menolongnya, sedangkan atap tebal dan api
menganga membakar dengan hebatnya mengitari panggung, ia tahu, sebentar lagi
dirinya bakal terbakar mati.
Mula-mula iapun takut sekali, tapi akhirnya
ia menjadi tenang malah, ia memandangi jauh ke depan, ia pikir:
“Sebentar lagi aku akan mati, tapi entah saat
ini Toakoko berada di mana, apakah sudah naik kembali dari jurang itu?”
Begitulah, memandangi lereng2 gunung yang
jauh itu, ia menjadi terkenang pada waktu berkumpul dengan Yo Ko walaupun hanya
beberapa hari saja, Meski selanjutnya tiada harapan buat bertemu pula, tapi
rasanya sudah puas hidup ini.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar sesuatu
suara nyaring yang sayup-sayup terbawa angin, begitu tajam suara itu hingga
suara gemuruh pertempuran beratus ribu perajurit itu seakan2 tenggelam di bawah
pengaruh suara itu.
Terkesiap hati Kwe Yang, Suara itu mirip
benar dengan suara siulan Yo Ko tatkala dulu menggetarkan kawanan binatang-binatang
buas. Waktu ia menoleh ke arah datangnya suara itu, ia lihat pasukan MongoI di
arah barat-laut itu tunggang-langgang tersiak minggir ke dua samping hingga terbelah
menjadi satu jalan, dua orang tampak sedang datang dengan cepat bagai bahtera
laju didorong angin buritan, di depan kedua orang itu sebagai pembuka jalan
adalah seekor burung raksasa, kedua sayapnya terpentang menyabet ke kanan dan
ke kiri hingga panah yang menghujam terpental pergi semua.
Burung raksasa ini tangkas dan ganas luar
biasa, nyata itulah Sin-tiau atau rajawali sakti kawan Nyo-Ko itu, betapa kuat
kedua sayapnya ternyata tiada satupun panah yang bisa melukainya.
Girang luar biasa Kwe Yang, waktu ia
mengawasi kedua orang yang datang itu satu berkopiah hijau berbaju kuning, siapa
lagi kalau bukan Yo Ko dan di sebelahnya seorang wanita cantik berbaju putih
mulus, Keduanya sama-sama menggunakan pedang yang diputar kencang sambil
menyusul di belakang Sin-tiau terus menerjang ke arah panggung.
“Toakoko, apakah wanita inilah
Siao-liong-li?” demikian saking ingin tahu Kwe Yang lantas berteriak
menanyakan.
Memang tidak salah wanita di samping Yo Ko
itu adalah Siao-liong-li, cuma jaraknya terlalu jauh, maka teriakan Kwe Yang
itu tidak terdengar oleh Yo Ko.
Begitulah dengan tangkas si rajawali sakti
menyampuk semua anak panah yang berhamburan, bila ada pcrajurit atau perwira
Mongol yang berani merintangi, segera Yo Ko dan Siao-liong-li menggulingkan
mereka dengan pedang.
Dengan saling melindungi, tidak antara lama
mereka sudah menerjang sampai di depan panggung itu.
“Jangan kuatir, adik cilik, aku datang
menolong kau!” seru Yo Ko.
Sementara itu sebagian tangga panggung itu
sudah terbakar, tapi sekali enjot, Yo Ko melompat ke undukan tangga bagian
tengah terus memanjat ke atas.
Pada saat itulah mendadak dari atas angin
pukulan yang maha dahsyat telah menghantamnya, nyata itulah Kim-lun Hoat-ong
yang melontarkan pukulan saktinya.
Lekas-lekas Yo Ko baliki tangannya menyambut
maka terdengar suara “plak” yang keras kedua tenaga raksasa saling bentur,
tubuh masing-masing terguncang semua, tangga panggung itupun ikut
ter-goyang-goyang hampir patah.
Sekali jajal saja kedua orang sama-sama
terkejut, sungguh tidak terduga, 16 tahun tidak bertemu, kepandaian lawan ternyata
sudah banyak lebih maju.
Melihat keadaan sangat genting, tak mungkin
mengadu tenaga di tengah-tengah tangga itu, mendadak Yo Ko angkat pedangnya
menusuk ke atas, susul-menyusul ia membabat kaki orang terus menusuk perut
lawan.
Berada diatas Kim lun Hoat-ong dapat
mengeluarkan senjata rodanya buat menempur Yo Ko, tapi roda bentuknya pendek,
terpaksa ia harus membungkuk untuk bisa menghantam orang, hal ini sangat tidak
leluasa, maka terpaksa ia mundur ke atas panggung.
Karena itu, bertubi2 Yo Ko mengirim beberapa
kali tusukan lagi ke arah punggung Hoat-ong, namun Hoat-ong tidak menoleh, hanya
gunakan kepandaian “thing-hong-piao gi” atau mendengarkan angin membedakan
senjata, ia ayun roda ke belakang buat menangkis, punggungnya seakan2 bermata,
tiap tangkisannya sangat tepat “Bangsat gundul, hebat juga!” mau-tak-mau Yo Ko memuji
ketangkasan orang.
Ketika Hoat-ong sudah menginjak di atas
panggung, sekali membalik, segera roda emasnya me-ngepruk kepaia Yo Ko.
Syukur Yo Ko sempat mengegos ke samping,
berbareng itu pedangnya menegak ke atas, tubuhnya mencelat dan selagi terapung
di udara. ia menubruk ke bawah dengan pedang menusuk kemuka musuh.
Lekas-lekas Hoat-ong angkat roda emas buat
menangkis, sedang roda perak di tangan lain lantas mengetok ke batang pedang Yo
Ko.
Tadi mereka sudah saling gebrak di atas
tangga, Yo Ko merasa tenaga Hoat-ong sangat kuat dan berat, belum pernah seumur
hidupnya ketemukan lawan setangguh ini, maka diam-diam ia sangat heran, ia
pikir dengan gemblengannya di tengah ombak, tenaganya cukup kuat untuk melawan gelombang
ombak, 16 tahun yang lalu Hoat-ong sudah bukan tandingannya tapi tadi ketika ia
menghantam hampir-hampir saja dirinya tak sanggup menahannya malah?
Karena pikiran itu, demi nampak kedua roda
orang maju berbareng, ia tidak menghindarinya melainkan pedang disendal, ia
sengaja hendak menjajal tenaga Hoat-ong yang
sebenarnya.
Maka terdengarlah suara gemerincing keras,
kalau orang lain pasti takkan tahan oleh tenaga sendalan Yo Ko ini, tapi Hoat-ong
punya “ilmu sakti bertenaga naga dan gajah” dan sudah terlatih sampai tingkatan
ke-11, ketika kedua tenaga raksasa
kembali berbentur, maka- terdengarlah suara “kletak”,
pedang Yo Ko yang kalah, patah menjadi
beberapa potong, sedang sepasang roda Kim-lun Hoat-ong juga terlepas dari cekalan,
terpental jatuh ke bawah panggung, sial bagi tiga pemanah Mongol, kepala mereka
pecah terketok oleh roda2 itu.
Setelah gebrakan ini, kedua orang sama-sama
melompat mundur, tangan mereka merasa pedas kesemutan. Namun Hoat ong masih
belum kehabisan senjata ia masih mempunyai serep, segera roda besi dan roda
tembaga dikeluarkannya terus menubruk maju pula.
Sebaliknya Yo Ko tiada mempunyai senjata
lain, terpaksa lengan baju kirinya mengebas, ia balas menghantam dengan tangan
kanan.
“Hai, hai, Hwesio besar, memangnya aku sudah
bilang kau tak mampu menandingi Toakokoku, sekarang benar tidak?”
demikian Kwe Yang lantas berteriak-teriak,
“Ha, masih berani kau berlagak pandai, kenapa sekarang kau bersenjata untuk melawan
dia yang bertangan kosong?”
Tapi Hoat-ong hanya menjengek saja, ia tidak
menjawab, permainan kedua rodanya makin kencang.
Tatkala itu Oey Yok-su, Kwe Ceng dan Oey Yong
cs. Lagi pimpin pasukannya kembali menolong kota Siangyang, ketika mendadak
melihat Yo Ko, Siau-liong li dan Sin-tiau muncul terus menyerbu keatas
panggung, tentu saja semangat mereka terbangkit. Segera Ui Yok- su geraki panji
komandonya, ia menarik kelima pasukannya masing-masing empat ribu orang menjadi
berjumlah 20 ribu orang untuk menggempur bagian belakang musuh yang sedang menyerang
benteng kota itu, sisanya 20 ribu orang tetap diformasi semula, tetap mengepung
panggung untuk membantu Yo Ko.
Walaupun pasukan Song sudah berkurang
se-paroh, tapi demi nampak Yo Ko sudah naik ke atas panggung, mereka menjadi
gagah berani, dengan 1 lawan 10 mereka bertempur mati-matian. Cuma pasukan
pemanah Mongol berjaga terlalu rapat dan kuat hingga beberapa kali pasukan Song
menyerbu maju dan selalu kena di desak mundur lagi.
Dalam pada itu di bawah benteng Siangyang
pertempuran juga sedang berjalan dengan sengitnya antara yang menggempur dan
yang bertahan, gubernur militer kota, Lu Bnn-hwan, dengan uniform lengkap,
tidak berani memimpin sendiri ke atas benteng melainkan mengkeret sembunyi di dalam
kamar dengan dua selir kesayangannya, dengan badan gemetar sebentar2 menyebut
sabda Buddha, lalu saat bertanya kuatir bagaimaaa suasana pertempuran di luar?
Pada saat itulah dengan bertangan kosong dan
berlengan tunggal Yo Ko telah menempur kedua roda besi dan tembaga Kim-lun
Hoat-ong hingga lebih dari 400 jurus.
Ilmu silat yang dilatih kedua orang itu meski
berbeda, tapi sama-sama lihaynya dan makin lama makin kuat sementara itu asap
tebal dari bawah panggung membuat mata ketiga orang di atas panggung menjadi
pedas.
Walaupun Yo Ko tak bersenjata, tapi tidak
pernah ia terdesak di bawah angin. Dalam pertarungan sengit itu, Hoat-ong
merasa panggung itu rada bergoyang, ia tahu tentu kaki panggung sudah terbakar,
sebentar lagi pasti akan ambruk, tatkala mana tak terhindarkan dirinya tentu
akan gugur bersama dengan Yo Ko dan Kwe Yang.
Pula melihat pukulan Yo Ko makin lama makin
aneh, kalau ratusan jurus lagi, mungkin ia sendiri akan terdesak.
Dalam gugupnya, mendadak pikiran jahatnya
timbuI, tiba-tiba roda besinya ia hantam ke pundak kanan Yo Ko, selagi orang mengegos
secepat kilat roda tembaganya terus disambitkan ke muka Kwe Yang.
Gadis itu terikat disatu cagak, dengan
sendirinya badannya tak dapat bergerak apalagi hendak menghindari? Keruan Nyo Ko
sangat terkejut lekas-lekas ia melompat dengan lengan bajunya ia sabet jatuh
roda tembaga orang.
Namun jago silat waktu bertarung sebenarnya
sedetikpun tak boleh lengah, karena pikirannya di pusatkan untuk menolong Kwe
Yang, penjagaan diri sendiri menjadi terbuka, Hoat- ong tidak sia-sia-kan
kesempatan itu, tangannya mengulur dan roda besinya terus mengiris ke paha kiri
Nyo Ko.
Dalam keadaan badan terapung, lekas-lekas Yo
Ko depakkan kaki kirinya ke pergelangan tangan musuh, namun roda besi Hoat-ong
lantas membalik ke bawah. sekali ini Nyo Ko tak mampu lagi menghindar “cret”,
betis kanan terkena roda besi itu dan mengucurkan darah, lukanya ternyata tidak
enteng.
Dalam kagetnya Kwe Yang menjerit kuatir.
Dalam pada itu Hoat-ong sudah mengeluarkan
serep rodanya yang masih satu itu, rodi timah, kembali dengan sepasang roda ia
menyerang katapt cuma bukan diarahkan pada Yo Ko, tapi selalu mengincar Kwe
Yang.
Kiranya ia tahu meski Yo Ko terluka, tapi
hendak mengalahkannya tidak mungkin terjadi dalam waktu singkat, karena itu ia
melulu mengincar Kwe Yang, dengan demikian Yo Ko pasti akan berusaha
menolongnya dan kedudukan lawan dengan sendirinya akan berada dipihak terdesak.
“Toakoko, jangan kau urus aku, kau bunuh saja
Hwesio jahat ini untuk balaskan sakit hatiku!” demikian Kwe Yaog berseru.
Tiba-tiba terdengarlah suara tertahan Yo Ko,
kiranya puodak kirinya terluka oleh roda musuh lagi, luka ini ternyata lebih berat,
hingga tangannya hampir-hampir tak bisa diangkat.
Di bawah panggung Siao-liong-li dan Sin tiau
bertama Ciu Pek-thong telah menghalau pemanah2 Mongol bersama agar mereka tak
sempat melepaskan panah pada Yo Ko dan Kwe Yang. Tapi seluruh perhatian Siao
liong li tidak pernah meninggalkan diri Yo Ko, di samping putar senjatanya membunuh
musuh, saban2 ia mendongak memandang ke atas panggung.
Ketika mendadak dilihatnya badan Yo Ko penuh berlepotan
darah, hatinya mencelos, kagetnya tidak kepalang.
Tatkala itu tangga panggung sudah putus
terbakar, tiada jalan lagi untuk naik ke atas buat membantu , pikiran
Siao-liong-ii seakan2 kabur, hanya pedangnya masih diputar membacok dan
membabat tapi otaknya seperti kosong plong tak tahu berada dimana dan sedang
melakukan apa?
Menghadapi bahaya, beberapa kali Yo Ko
mengeluarkan ilmu pukulan “lm-jian-siau-hun-cio” untuk gempur musuh, tapi untuk
memainkan ilmu pukulan ini, jiwa dan raga harus bersatu, padahal sejak ia
bertemu kembali dengan Siao-liong-li, ia menjadi girang dan periang, darimana
bisa lagi timbul perasaan “lm-jian-siau-hun” atau hati muram jiwa merana?
Meski dalam keadaan berbahaya, tetap tiada
sedikitpun rasa rindunya seperti berpisah tcm-po hari, maka setiap gerak serangannya
selalu berselisih sedikit daripada kehendaknya dan tak dapat menunjukkan daya
saktinya lagi.
Di sebelah sana Kwe Ceng cs. juga sudah
melihat keadaan Yo Ko yang menempur musuh dengan bertangan kosong dan sudah
terluka, tapi jaraknya terlalu jauh, cara bagaimana mereka bisa membantunya?
Tiba-tiba pikiran Oey Yong tergerak, ia
samber pedang Yalu Ce dan dilemparkan pada sang suami, sambil berseru: “Lemparkan
ke atas panggung kepada Koji!”
Kwe Ceng menurut, maka meluncurlah pedang itu
di atas busurnya terus dijepretkan, maka meluncurlah pedang itu dengan pesatnya
dengan mengeluarkan sinar ber-kilau2.
Pedang itu cukup berat bentuknya juga
berlainan daripada anak panah biasa, kalau bukan bidikkan tenaga sakti Kwe Ceng
sukar juga hendak diluncurkannya ke atas panggung, Maka menyamberlah pedang itu
dengan cepatnya ke punggung Nyo Ko. Ketika sudah dekat, mendadak lengan baju Yo
Ko mengebas kebelakang hingga dengan tepat dapat melibat batang pedang itu.
Saat itulah kebetulan roda Hoat-ong juga lagi
dihantamkan padanya, segera Yo Ko tarik pedangnya terus menusuk melalui
sela-sela kedua roda musuh.
Tak terduga, sebab pundaknya terluka,
gerak-geriknya menjadi terganggu, pula pedang ini bukan Hiantiat-pokiam yang
tajam tiada bandingan, maka ketika roda Hoat-ong menjepit terus memuntir kedua
rodanya, “pletak” kembali pedang Yo Ko patah.
Menyaksikan itu, semua orang dibawab panggung
terkejut luar biasa.
Diam-diam Yo Ko insaf juga bawa hari ini
pasti celaka, bukan saja tak dapat menotng Kwe Yang, bahkan jiwa sendiri akan
melayang di panggung ini. Karena itu, dengan cemas ia memandang sekejap ke arah
Siao-liong-li sembari berseru: “Selamat tinggal, Liong-ji, jagalah dirimu
baik-baik!”
Dan pada saat itu juga, sebuah roda Hoatong
telah mengepruk ke atas kepalanya, Dalam keadaan sudah putus asa, dengan lesu
dan kurang semangat Yo Ko kebas lengan bajunya menangkis dan sebelah tangannya
memukul.
Di luar dugaan, segera terdengar suara “plak”
yang keras, pukulannya dengan tepat mengenai pundak Kim-lun Hoat-ong.
Menyusul itu terdengar Ciu Pek-thong
berteriak di bawah panggung: “Bagus sekali tipu pukulan “to-ni-tay-sui”
(berlepotan tanah membawa air) itu!”
Yo Ko melengak. Tapi lantaran itu pula
barulah ia sadar, Kiranya dalam keadaan putus asa dan lesu, tanpa terasa ia telah
keluarkan tipu serangan “tho-ni-tay-sui”, suatu jurus dari ilmu pukulan
im-jian-siau-hun-cio”. ilmu pukulan ini harus timbul sendirinya dari lubuk
hati, dari lubuk hati meneruskan perasaan ke lengan dan lengan menggerakkan
tangan, semuanya tergantung sang perasaan. Rahasia ini sekalipun Ciu Pek-thong
yang serba lengkap mempelajari ilmu silat macam apapun juga tak mampu
memahaminya.
Sejak Yo Ko bertemu kembali dengan Siao-liong
li, ilmu pukulan ciptaannya ini sudah kehilangan “daya guna” nya, baru pada
saat yang paling kritis, dalam hati merasa akan berpisah untuk selamanya dengan
Siao liong-li, pada detik rasa dukanya itulah tanpa terasa kekuatan daripada
ilmu pukulan “lm-jian-siau hun-co” itu timbul dengan sendirinya.
Dan karena pundaknya kena digebuk sekali,
tubuhnya sempoyongan Hoat-ong terkejut dan heran tapi segera ia menubruk maju
pula.
Yo Ko mengegos mundur, lalu ia memberondongi
tiga kali serangan “Uk- put-ciong-sim” (keinginan ada, tenaga kurang), “To
hing-gik-si” (jalan terbalik, berbuat melawan) dan “Yok-yu-soh-sit” (se-akan-2
kehilangan sesuatu).
Menyusul mana dengan tipu “Heng-si-cau bak”
atau mayat berjalan bangkai bergerak, kakinya segera menendang.
Tendangan ini datangnya mendadak dan tak
terduga, tak sanggup lagi Hoat-ong menghindarinya, tepat sekali kena “Tan-tiong-hiat”
dadanya, Sambil menjerit keras-keras dan muntahkan darah tegar, tanpa ampun
lagi Hoat-terjungkal ke bawah panggung.
Melihat itu, tanpa berjanji pasukan Song dan
pasukan Mongol sama berteriak berbareng, Bedanya pasukan Song itu bersorak
gembira, sebaliknya pasukan Mongol berteriak kaget.
Saat itu panggung sudah mulai bergoyang
mengeluarkan suara “krak-krek” yang keras, Yo Ko tahu gelagat jelek, keadaan
sudah mendesak, tak sempat lagi untuk memutus tali ringkusan Kwe Yang maka
sekali telapak tanggannya memotong, ia hantam patah cagak kayu yang mengikat
anak dara itu, lalu orangnya bersama cagaknya diangkatnya sembari berseru:
“Tiau-heng, terimalah kami!” Ia incar baik- baik
punggung rajawali sakti terus melompat ke atasnya.
Tangkas sekali Sin-tiau itu, meski tak bisa
terbang, tapi sekali loncat setinggi dua-tiga tombak, dengan enteng saja Yo Ko
bersama Kwe Yang jatuh dengan tepat di atas punggungnya dan perlahan-lahan
turun ke tanah.
Dan pada saat itulah, didahului suara
gedubrakan yang gemuruh, api dan asap berhamburan panggung tinggi itu sudah
ambruk rata dengan tanah.
Tatkala Kim lun Hoat-ong ditendang terjungkal
ke bawah oleh Yo Ko, walaupun terluka parah, tapi ia masih berusaha menyelamatkan
diri, dengan menahan napas ia berguling sekali di tanah. Selagi hendak
berbangkit kembali tiba-tiba terdengar olehnya di belakang seorang sedang
ketawa terbahak-bahak, tahu-tahu pinggangnya dirangkul terus ditahan diatas
tanah lagi. Menyusul Hoat-ong merasa seperti beratus, beribu jarum tajam
menusuk masuk semua ke dalam tubuhnya.
Kiranya yang merangkul dan menindihnya itu
bukan lain ialah Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, Si tua nakal ini memakai baju
kutang berduri landak, benda pusaka Ui Yok su, benda ini tak mempan segala
senjata, sebaliknya penuh berduri lancip bagai landak.
Memangnya Hoat-ong sudah terluka parah, kini
kena dirangkul terus ditindih Lo wan-tong, keruan jiwanya melayang tanpa ampun.
Ketika panggung tinggi itu ambruk, cepat Ciu
Pek thong melompat pergi, sedang Hoat-ong lantas terkubur dibawah puing
panggung berapi itu.
Melihat puteri kesayangan terhindar dari
elmaut, saking girangnya hingga Oey Yong mencucurkan air mata. Sungguh tidak
terkatakan rasa terima kasihnya pada Yo Ko. Sekalipun saat itu ia diharuskan
mati untuk Yo Ko usanya iapun rela, Maka cepat ia mendekati sang puteri untuk
membuka tali pengikatnya.
Segera pula semangat Kwe Ceng, Ui Yok su,
It-teng Taysu, Kwe Hu dan lain-lain terbangun, sebaliknya pasukan Mongol yang
mengepung panggung itu melihat pemimpinnya sudah mati, seketika mereka menjadi
kacau-balau, ditambah lagi diterjang pasukan Song kian-kemari, tentu saja
tambah pontang-panting tak keruan.
“Gempur balik ke Siangyang, bunuh raja itu!”
teriak Kwe Cing keras-keras.
Maka bersoraklah pasukan Song, mereka memutar
tubuh terus menerjang pasukan Mongol yang lagi menggempur benteng itu.
Melihat luka Yo Ko, Siao-Iiong-li menyobek
kain bajunya untuk membalut lukanya, saking terharunya hingga tangannya gemetar,
tapi tak sanggup buka suara.
“Rasa kuatir mu di bawah panggung batu jauh
lebih menderita daripada aku yang bertarung di atas panggung tadi,” ujar Yo Ko
tertawa.
Sementara itu terdengar suara teriakan
pasukan Song yang hiruk-pikuk memecah bumi dan secara gagah berani sedang
menerjang musuh.
Dari jauh Yo Ko melihat formasi pasukan musuh
sangat teratur, pula jumlahnya berlipat ganda daripada pasukan Song,
berkali-kali pasukan Song menyerbu maju bagai gelombang ombak yang
susuI-menyusuI, tapi sama sekali tak bisa memboboIkan pertahanan pasukan
Mongol.
“Liong-ji,” kata Yo Ko, “meski lawan tangguh
sudah mampus, tapi pasukan musuh belum kalah, Marilah kita menyerbu, Kau letih
tidak?”
Betapa bersemangat kata-kata Yo Ko bagian
depan itu, sedang kata-kata terakhir itu berubah menjadi begitu halus lembut
penuh kasih sayang.
Siao-liong li tersenyum, jawabnya: “Jika kau
bilang serbu, hayolah, serbu!”
“Toakoko,” tiba-tiba suara seorang anak dara
berkata di sampingnya, “sungguh cantik Liong cici seperti dewi kayangan.”
Siao-liong-li berpaling pada Kwe Yang,
sahutnya sambil tertawa: “Adik cilik, banyak terima kasih atas doamu atas pertemuan
kembali kami, Toa-kokomu telah banyak bercerita tentang kebaikanmu, ia sengaja
membawa aku ke Siangyang sini buat bertemu dengan kau.”
“Dan hanya engkaulah yang setimpal
berjodohkan dia,” ujar Kwe Yang sambil menghela napas.
Lalu Siao-liaong-li menggandeng tangan anak
dara itu dengan sangat akrabnya, sebenarnya terhadap siapapun selalu Siao
liong-li bersikap dingin, tapi sepanjang jalan ia mendengar cerita Yo Ko yang
memuji-muji Kwe Yang, pula melihat dalam usia sekecil anak dara ini, meski
menghadapi ancaman elmaut tadi tetap tak gentar, maka sikap Siao-liong-li menjadi
berubah dari pada biasanya.
Sementara itu Yo Ko telah membawakan beberapa
ekor kuda yang tak bertuan lagi, katanya: “Marilah naik, aku membuka jalan,
kita terjang musuh bersama!”
Segera ia mendahului cemplak kudanya dan
dilarikan paling depan. Dengan kencang Siao-liongli dan Kwe Yang mengikut di
belakangnya.
Mereka menuju ke selatan, terlihatlah tangga
pencakar langit berderet2 bersandar pada tembok benteng, tentara Mongol bagai
semut banyaknya sedang memanjat ke atas.
Ketika mereka memandang dari suatu tempat
yang tinggi, terlihat di sebelah barat beribu tentara Mongol lagi mengurung Yalu
Ce bersama 200 orang anak buahnya.
Tentara Mongol itu semuanya bersenjata golok
sepanjang lima kaki dan berbentuk melengkung, maka satu persatu anak buah Yalu
Cc banyak yang kena dibabat terguling, Kwe Hu kelihatan memimpin sepasukan
tentara lain sedang menerjang hendak menolong suaminya, tapi kena ditahan oleh
pasukan Mongol yang berjumlah ribuan orang.
Suami isteri hanya dapat melihat dari jauh
saja, tapi tak bisa berhimpun menjadi satu.
Menyaksikan perajurit2 di samping suaminya
makin lama makin berkurang, hati Kwe Hu benar-benar seperti disayat-sayat. ia
tahu dalam pertempuran besar demikian, bila sampai terkepung sendirian,
betapapun tinggi ilmu silatnya juga tak terhindar dari kematian.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Yo Ko
ber-seru.
“Kwe-toakounio (nona Kwe besar), asal kau
menyembah tiga kali padaku, segera aku menolong suamimu!”
Kalau turuti watak Kwe Hu yang congkak dan
tinggi hati, jangankan disuruh menyembah, sekalipun mati juga ia tak mau kalah
mulut pada Yo Ko. Tapi kini jiwa sang suami bergantung di ujung rambut, tanpa
ragu-ragu lagi ia keprak kuda mendekati Yo Ko, sekali melompat turun, benar
saja ia lantas tekuk lutut dan hendak menyembah sungguh-sungguh.
Melihat itu, Yo Ko malah terkejut, lekas ia
menarik bangun orang, ia menyesal atas katanya tadi yang rendah budi, “Maafkan
aku telah salah omong, jangan kau anggap sungguh Yalu-heng adalah sahabatku
yang terbaik, tidak mungkin aku tidak menolongnya?”
Habis itu, ia mengumpulkan delapan ekor kuda
lagi, yang empat ekor ia satu baris di depan dan empat ekor lain tergandeng
satu baris di belakang, dengan dua baris kuda muka belakang masing-masing empat
ekor itu, segera ia melompat ke atasnya, dengan tangan tunggal ia pegang delapan
tali kendali, sekali ia bersuit segera ia terjang pasukan musuh.
Walaupun “tank-kuda” dikendalikan Yo Ko ini
belum terlatih, tapi dengan tenaga saktinya tidak sukar untuk mengendalikannya,
Maka 32 tapak kaki segera ber-detak2 kedepan hingga debu pasir berhamburan, Yo
Ko sendiri dengan Gin-kang yang tinggi, melompat ke sana ke sini di atas ke
delapan ekor kuda itu.
Ketika tentara Mongol tertegun menyaksikan
ilmu menunggang kuda yang aneh menyerbu ke-dalam pasukan mereka. Sekali lengan
baju Yo Ko mengebas, sebuah panji segera kena dirampasnya terus di tancapkan di
atas pelana.
Dengan mem bentak2 segera perwira dan bintara
Mongol hendak merintangi, tapi di mana panji Yo Ko rampasan tadi menyabet,
sekaligus tiga perwira musuh terguling dari kudanya.
Ketika itu Yalu Ce kelihatan tinggal tiga
tombak jauhnya, segera Yo Ko berseru: “Yalu heng lekas melompat ke atas!”
Berbareng itu, sekali panji diayunkan, segera
Yalu Ce melompat tinggi ke udara, cepat Yo Ko menggulung dengan panjinya hingga
dengan tepat tubuh Yalu Ce terbungkus oleh kain panji itu Dua orang delapan
kuda segera menerjang keluar kepungan musuh.
“Nyo hengte,” kata Yalu Ce menghela napas
lega, “banyak terima kasih atas pertolonganmu, Tapi anak buahku masih ada yang
terkepung, tidak mungkin aku menyelamatkan jiwa sendiri, Biarlah aku bertempur
lagi dan mati bersama dengan mereka.”
Tiba-tiba pikiran Yo Ko tergerak, katanya:
“Marilah, kaupun merampas sebuah panji besar!” Habis ini, ia mengeluarkan geretan dan kain panji di tangannya itu ia
bakar.
“Akal bagus!” seru Yalu Ce. Segera iapun
dapat merampas sebuah panji dan menyulutnya dengan api panji Yo Ko yang sudah
berkobar-kobar itu.
Sambil membentak-bentak, panji berapi itu
mereka ubat-abitkan, kembali mereka menyerbu ketengah pasukan musuh lagi.
Dengan diputarnya kedua panji berapi yang
menari kian kemari di udara, asal sedikit kesenggol siapapun pasti akan kepala
gosong dan rambut hangus.
Walaupun pasukan Mongol gagah berani, tapi
menghadapi api, tak bisa tidak mereka harus mundur, sementara itu bawahan Yalu
Ce tadi sudah tinggal 50-60 orang saja, segera mereka menerjang keluar dari
kepungan.
Dengan sisa perajuritnya itu, Yalu Ce
berkumpul di atas tanah bukit sana sekedar melepas lelah.
Tiba-tiba Kwe Hu mendekati Yo Ko terus
menyembah “Yo-toako, selama hidup aku selalu tak baik padamu, tapi kau berbudi
luhur, kejelekanku kau balas dengan kebajikan dan kini engkau telah menolong…”
Berkata sampai di sini suaranya menjadi parau dan tenggorokan seakan2
tersumbat.
Memang Beberapa kali Yo Ko pernah
menoIongnya, tapi selalu merasa sirik dan dengki padanya. Sudah terang orang ada
budi padanya, tapi rasa jemunya sukar dilenyapkan sering ia merasa Yo Ko
terlalu angkuh dan suka agulkan kepandaiannya yang tinggi serta sengaja pamer.
Dan baru sekarang sesudah Yo Ko menolong jiwa
suami-nya, Kwe Hu benar-benar merasa berterima kasih, baru ia insaf kesalah
pahamannya yang duIu2.
Maka lekas-lekas Yo Ko membalas hormat orang,
sahutnya: “Adik Hu, sejak kecil kita hidup bersama dan suka cekcok, padahal
hubungan kita bagai kakak dan adik, asal kini kau tidak jemu lagi padaku,
itupun aku sudah merasa senang.”
Kwe Hu tertegun oleh sebutan itu, sekilas
segala kejadian di masa kanak-anak terbayang olehnya.
“Ya, apakah karena aku jemu padanya? Ataukah
benci padanya? Bu-si Hengte begitu baik dan suka me-nyanjung2 padaku, tapi ia
selamanya tak gubris diriku, Padahal asal sedikit turuti kemauanku, sedikit
pikirkan diriku, rasanya aku mati untuknya juga rela.
Sebab apakah aku benci padanya tanpa alasan?
Rupanya, diam-diam aku suka padanya, tapi sedikitpun ternyata aku tidak terisi
di dalam hatinya,” demikianlah ia memikir.
Aneh juga, selama 20-an tahun ini, Kwe Hu
tidak tahu akan perasaan hatinya sendiri, setiap ingat Yo Ko, selalu ia pandang
orang sebagai musuhnya, padahal dalam hati kecilnya, betapa perhatian dan
rindunya pada Yo Ko tidaklah dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Mungkin itulah yang dikatakan : “Cinta yang
dalam, bencinya juga mendalam.” Sejak kecil sifat Kwe Hu sudah tinggi hati, ia
anggap seharusnya Yo Ko mesti menjunjungnya seperti kedua saudara Bu yang
begitu penurut.
Akan tetapi, sedikitpun Yo Ko ternyata tidak
paham perasaannya, sebaliknya ia sendiripun juga tidak paham akan perasaan Yo
Ko.
Lebih-lebih Kwe Ceng dan Oey Yong, kedua
orang tua ini merasa Kwe Hu dan Yo Ko ini dilahirkan sebagai musuh, asal bertemu
pasti cekcok, sampai akhirnya lengan Yo Ko buntung ditebas Kwe Hu hampir-hampir
urusan meluas sampai batas-batas yang sukar diatasi.
Kini terasa benci dan sirik itu sudah hilang
barulah Kwe Hu sadar, kiranya perasaannya pada Yo Ko sesungguhnya begitu mesra,
begitu mendalam. Waktu ia menyerbu musuh untuk menolong kakak Ce, sebenarnya
hatiku lebih kuatir untuk siapa kah? inilah aku tak bisa menerangkan. Sudah
tentu kini aku tak mencintainya lagi, tapi dulu, kenapa aku menjadi begitu
benci padanya?” demikian pikirnya.
Begitulah di tengah-tengah pertempuran yang
gegap gempita itu, mendadak Kwe Hu menjadi jelas akan perasaan hatinya sendiri:
“Pada hari ulang tahun Yang-moay, ia telah
memberikan tiga hadiah besar padanya dan kenapa aku harus begitu benci padanya
? ia membongkar kedok Hotu dan mendukung Ce-koko menjadi pangcu dari Kay-pang,
kenapa diam-diam aku malah marah? Ah, Kwe Hu, Kwe Hu! Nyata kaulagi cemburu pada adik perempuannya sendiri! Soalnya sedemikian
budinya yang manis kepada Yang-moay, tapi selamanya tak pernah sedikitpun
begitu baik terhadapku,”
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia
mendongkol dan gusar lagi, dengan sengit ia melotot sekejap ke arah Yo Ko dan
Kwe Yang, tapi mendadak ia sadar lagi.
“Ah, kenapa aku pikirkan hal-hal ini?
Bukankah aku sudah menjadi wanita yang bersuami, pula kakak Ce juga sangat
cinta padaku.”
BegituIah, akhirnya ia menghela napas
panjang, walaupun hidupnya tidak kekurangan sesuatu apa, tapi dalam lubuk hatinya
yang paling dalam seakan2 tertinggal semacam rasa penyesalan yang tak
terkatakan.
Biasanya apa yang dikehendakinya pasti
terpenuhi, tapi sesuatu yang justru sangat diinginkannya malahan tidak di peroleh.
Sebab itulah selama hidupnya ini terkadang ia sendiripun tidak paham: “Sebab
apa sifatnya begitu keras?
Sebab apa diwaktu orang lain sedang
bergirang, ia sendiri jus-tru mendongkol dan marah tanpa sebab?
Wajahnya sebentar marah sebentar pucat, ia
terus memikirkan perasaannya yang aneh itu. Tapi Yo Ko, Siao-liong li, Yalu Ce
dan Kwe Yang es sedang memandang jauh mengikuti pertempuran dahsyat yang sedang
berlangsung di depan benteng Siangyang,
Terlihat tentara Mongol bagai semut sedang merembet
ke atas benteng, Kwe Ceng dan Oey Yok-su cs. dengan perajuritnya sedang
menggempur dari belakang musuh itu, namun jumlahnya sedikit, sukar
menggulingkan pasukan besar musuh yang racnggcmpur benteng itu.
Sedangkan panji kebesaran raja Mongol tertampak
perlahan-lahan mendekati kota, rupanya pasukan penjaga kota sudah patah
semangatnya, tak sanggup lagi menggempur turun pasukan musuh yang merembes ke
atas benteng itu.
Melihat itu, Kwe Yang berseru kuatir:
“Toa-koko, bagaimana baiknya? Bagaimana baiknya ini?”
Diam-diam Yo Ko pikir: “HidupKu ini bisa
berjumpa pula dengan Liong ji, sesungguhnya Thian berlaku murah padaku, harini
walaupun harus mati, rasaku tidak menyesal lagi, Laki-laki sejati harus bela
tanah air dan berkorban dimedan bakti, inilah tempat berpulang yang paling
tepat bagiku.”
Berpikir itu, seketika semangatnya me nyala2,
serunya segera: “MariIah, Yalu-heng, kita menerjang musuh lagi!”
“Bagus sekali!” sahut Yalu Ce tanpa pikir.
“Maritah kita ikut menyerbu!” Siao liong li
dan Kwe Yang pun berseru berbareng.
“Baik,” kata Yo Ko. “Aku merintis di depan,
kalian kumpulkan sebanyaknya tombak yang panjang dan ikut di belakangku.”
Segera Yalu Ce memberi perintah bawahannya mengumpulkan
tumbak2 yang berserakan di medan pertempuran itu, mereka masing-masing membawa
beberapa buah juga.
Dengan tumbak di tangan, segera Yo Ko cemplak
kuda menerjang kedepan, Sin-tiau, Si rajawali sakti selalu mendampingi kudanya,
sayapnya yang kuat itu seakan-akan perisai Yo Ko dan menyampuk panah yang
berhamburan datang itu, Siao-liong-li, Yalu Ce, Kwe Yang berempat mengintil
dibelakang dengan kencang.
Ternyata jurusan yang di arah Yo Ko itu
adalah di mana kelihatan panji kebesaran raja Mongol berkibar.
Keruan Yalu Ce terkejut, ia tahu, sekali raja
Mongol berani memimpin tentara sendiri, tentu penjagaan sudah diatur keras dan
rapat sekali, Kini jumlah pihaknya yang tiada seratus orang ini bukankah cuma
antarkan kematian bila berani menerjangnya? Tapi bila ingat jiwanya yang tadi
hampir meliyang, tapi tertolong oleh Yo Ko, maka kemana saja diajak, kelautan
api atau masuk air mendidih juga pasti akan diturutnya.
Begitulah dalam sekejap saja mereka sudah
menerjang mendekati benteng Siangyang, Ketika pengawal Monko melihat serbuan
rombongan Yo Ko yang hebat itu, segera ada 200 orang dikerahkan untuk
menahannya.
Tapi sekali Yo Ko ayunkan tangannya yang
tunggal itu, pesat bagai panah sebatang lembing atau tumbak lantas meluncur ke
depan dan menembus dada seorang perwira musuh, habis itu ia sambut pula
sebatang lembing lain dari Yalu Ce terus ditumpukkan lagi dan kembali perwira
musuh kedua terjungkal.
Keruan pasukan Mongol itu menjadi kacau dan
rombongan Yo Ko dengan cepat menerjang lewat.
Terkejut sekali para pengawal Monko,
beramai-ramai mereka angkat senjata menghadang maju, tapi tumbak Yo Ko sekali
tusuk, satu orang pasti terguling, siapa yang merintangi pasti mati.
Harus diketahui tenaga sakti lengan tunggal
Yo Ko itu terlatih di bawah damparan ombak badai, betapa kuat sambitan
lembingnya itu, sekalipun batu cadas juga tembus, jangankan badan manusia.
Setiap lembingnya selalu diincarkan pada perwira2 yang memakai topi baja yang
mudah dikenal, maka sekejap saja 17 tumbak sudah membunuh 17 perwira Mongol
yang perkasa.
Dengan serangan kilat ini, meski berpuluh
ribu tentara terhimpun di bawah benteng, tapi ke mana rombongan Nyo Ko sampai,
di situ lantas kacau balau, sekaligus Yo Ko telah menerjang sampai di depan
raja Mongol.
Dengan mati-matian pengawal pribadi Monko
maju bertahan. Maiahan beberapa orang di antaranya terus mengaling-aling di
depan junjungan mereka sebagai tameng.
Ketika Yo Ko membaliki tangannya hendak
menerima tumbak lagi dari Yalu Ce. ternyata mendapat tempat kosong.
Kiranya mereka sudah keterjang pasukan musuh
hingga terpisah.
Sementara itu Yo Ko melihat muka raja MongoI mengunjuk
rasa gugup dan kuatir, kuda-segera diputar lantas hendak kabur. Tiba-tiba Yo Ko
bersuit panjang, sekali kaki mengenjot pelana kuda, tubuhnya terus mencelat ke
atas dan menubruk ke sana.
Belasan perajurit pengawal raja segera putar
senjata mereka menusuk ke atas, tapi mendadak Yo Ko berjumpalitan sekali
diudara, tahu-tahu tubuhnya melayang lewat di atas senjata2 musuh.
Melihat gelagat jelek, sekali tarik kudanya,
segera raja Mongol itu kabur ke depan dengan cepat.
Kuda tunggangan raja Mongol itu adalah
binatang pilihan, larinya begitu cepat bagai terbang, Namun Yo Ko tetap mengubernya
dengan kencang ilmu entengkan tubuh yang tinggi. Dan di belakangnya menyusul
pula beratus perajurit pengawal Mongol
Melihat keadaan begitu, pasukan kedua pihak,
di atas dan di bawah benteng, untuk sementara menjadi lupa bertempur dan mereka
sama berteriak-teriak, pasukan Mongol berteriak mengharap kuda junjungan mereka
berlari lebih cepat, sebaliknya pasukan Song berteriak membeli semangat pada Yo
Ko agar bisa membekuk raja.
Diam-diam Yo Ko bergirang melihat raja Mongol
kabur terpencil sendirian Pikirnya, betapapun cepat kau kabur, akhirnya pasti
akan kutangkap.
Tak terduga kuda tunggangan Monko yang
bernama “Hui-hun cuirt atau kuda awan mengapung itu ternyata luar biasa sedikit
mengenjot, sekali melompat lantas beberapa meter ke depan. Meski Yo Ko sudah
mengudak sekuatnya, tapi malahan semakin jauh ketinggalan.
Tiba-tiba Yo Ko menyamber sebatang tumbak,
lalu ditimpukkannya ke punggung Monko sekuat tenaga, Tampaknya lembing itu
meluncur bagai panah dan segera bakal menancap di punggung orang, saking
tegangnya sampai kedua pihak sama ternganga menahan napas, Siapa tahu mendadak
kuda “Hui hun-cui” itu memancal ke depan hingga lembing itu jatuh satu kaki
jauhnya dibelakang punggung raja Mongol itu.
Maka berteriak pula pasukan kedua pihak.
pasukan Song merasa sayang, gegetun, sebaliknya pasukan Mongoi bersyukur
girang.
Waktu itu jarak Kwe Ceng, Ui Yok-so, Oey Yong
Ciu Pek-thong dan Ii-teng semuanya sangat jauh, mereka hanya ikut berkuatir
saja tanpa bisa membantu Yo Ko. Sebaliknya perajurit dan perwira Mongol juga
melulu bisa ber- teriak-teriak memberi semangat saja, walaupun ada maksud berkorban
untuk junjungan mereka, tapi mana dapat menyandak lari-nya “Hui hun cui” yang
begitu pesat?
Ketika Monko menoleh ke belakang dan melihat
Yo Ko semakin ketinggalan jauh, ia menjadi lega, Segera ia belokkan kudanya
menuju ke barat, ke pasukannya yang berada di situ.
Maka sambil berteriak-teriak pasukan Mongol
itupun maju memapaki.
Dan jika sampai keduanya bergabung, lebih
tinggi lagi kepandaian Yo Ko juga tak berdaya pula untuk menangkap raja musuh
itu.
Melihat usahanya akan gagal, Yo Ko menjadi
gegetun sekali tiba-tiba bergerak pikirannya, ia pikir tombak terlalu berat,
sukar mencapai jauh,kenapa tidak pakai batu saja?
Karena itu, cepat ia jemput dua potong batu
kecil seadanya, ia gunakan “Tan-ci-sin-thong” atau ilmu sakti selentikan jari,
dua batu itu satu persatu diselentikan ke depan.
Maka terdengarlah suara mendenging tajam dua
kali, suatu tanda betapa pesat menyambernya batu itu dan keduanya kena pantat
kuda “Hui-hun-cui” hingga karena kesakitan, sembari meringkik, binatang itu
berjingkrak terus berdiri menegak.
Monko adalah seorang raja yang tangkas dan
gagah perwira, sejak kecil sudah banyak ikut bertempur dengan kakeknya, yaitu
Jengis Khan, Hidup-nya boleh dikatakan dibesarkan di atas kuda dan di tengah
senjata.
Kini meski menghadapi bahaya, tapi sama
sekali tidak menjadi gugup, cepat ia tarik gendewa terus memanah ke belakang
sambil kedua kakinya mengempit kencang kudanya yang menegak itu.
Tapi sedikit menunduk, Yo Ko hindarkan panah
orang, habis itu secepat terbang ia melompat maju, sedang tangannya sudah dapat
meraup sepotong batu lagi, waktu ia sambitkan sekuatnya, dengan tepat mengenai
punggung Monko.
Betapa hebat tenaga sambitan Yo Ko itu,
keruan Monko tak tahan, tulang iganya patah, orangnya terjungkal dari kudanya
dan terbanting binasa.
Melihat raja mereka terguling dari kuda,
seluruh pasukan MongoI menjadi kacau, beramai-ramai merubung maju dari segala
jurusan.
Segera Kwe Ceng memberi tanda serangan umum.
Begitu pula pasukan Song yang berada di dalam benteng segera ikut menyerbu
keluar. Ditambah lagi barisan 28 bintang yang dipimpin Oey Yok-su lantas
menggempur musuh ke sana ke sini.
Dalam keadaan kacau balau, pasukan Mongol
saling injak-menginjak, yang mati tak terhitung banyaknya, sepanjang jalan
penuh senjata yang ditinggalkan, akhirnya kabur tanpa teratur ke utara.
Selagi Kwe Ceng memimpin pasukannya mengejar
musuh, tiba-tiba terlihat dari arah barat muncul lagi sepasukan musuh yang
barisannya sangat rajin teratur, dari panjinya dapat diketahui itu adalah
pasukan yang dipimpin adik raja, yaitu Kubilai.
Akan tetapi sekali pasukan Mongol sudah
kalah, keadaannya bagai air bah melanda dan seketika tak mungkin bisa ditahan,
Betapapun Kubilai atur tentara dengan baik, tetap keterjang pasukan kalah yang
mundur bagai arus menerjang itu, seketika pasukannya ikut kacau.
Melihat gelagat jelek segera Kubilai putar
pasukannya, ia sendiri dengan pasukan pribadinya perlahan-lahan mundur ke utara
dengan teratur.
Sejak terjadi pertempuran antara pasukan
Mongol dan kerajaan Song, selamanya pihak Mongol belum pernah mengalami
kekalahan begitu besar, lebih-lebih raja mereka gugur dimedan pertempuran, hal
ini sangat mempengaruhi semangat tentaranya.
PuIa menurut tradisi bangsa Mongol, takhta
kerajaan bukan diteruskan putera mahkota, tapi di-calonkan oleh suatu dewan
yang terdiri dari keluarga raja, pengeran2, pembesar-besar dan panglima yang
terkemuka.
Kini Monko sudah mati, buru-buru Kubiiai
ingin bisa naik takhta, maka iapuu cepat pimpin pasukannya pulang ke utara.
Kelak 13 tahun kemudian, barulah pasukan
Mongol datang menggempur Siangyang lagi.
Ketika Kwe Ceng pimpin pasukannya kembali ke
kota, tampaklah gebernur Lu Bun-nwan beserta stafnya lengkap sudah menunggu di
pintu gerbang untuk menyambutnya.
Begitu pula rakyat berjubel-jubel diluar
benteng sambil membawakan arak dan segala macam daharan sebagai hiburan bagi
pasukan yang menang itu.
Kwe Ceng menggandeng tangan Yo Ko, ia terima
secawan arak yang disuguhkan oleh seorang penduduk tua, tapi ia angsurkan pada
Yo Ko, katanya. “Ko-ji, harini kau telah berjasa begini besar, namamu akan
harum tersiar ke-mana-mana, ini sudahlah pasti, seluruh rakyat penduduk kota
inipun tiada yang tak berterima kasih padamu.”
Terharu sekali Yo Ko oleh pujian Kwe Ceng
itu, ada sepatah kata yang sudah tersimpan lebih 20 tahun di dalam hatinya dan
belum pernah diucapkan kini tak tertahan lagi, dengan suara lantang segera ia
menjawab: “Kwe pepek, jika waktu kecil siautit (keponakan) tidak mendapat
perawatan dan pengajaranmu, mana mungkin terjadi seperti hari ini?”
Lalu kedua orang bergandengan tangan masuk
kota bersama,terdengarlah suara sorak sorai rakyat yang gegap gempita menyambut
mereka. Tiba-tiba Yo Ko teringat kejadian dulu: “Lebih 20 tahun yang lalu
Kwe-pepek juga menggandeng tanganku mengantar aku ke Cong lam-san untuk belajar
silat, perhatiannya padaku hingga sekarang sedikitpun tidak pernah berubah.
Tapi aku sendiri telah berbuat onar, bikin gara-gara, mendurhakai guru dan menghianati
agama, Coba bila aku terus tersesat ke jalan yang tak benar, tidak nanti hari
ini aku bisa bergandcngan tangan lagi dengan Kwe-pepek.” Berpikir demikian
tanpa terasa Yo Ko merasa malu sendiri.
Malamnya di dalam kota telah diadakan
perjamuan besar untuk merayakan kemenangan yang gilang gemilang itu. Di tengah
suasana yang gembira itu, tiba-tiba Kwe Ceng berduka sebab terkenang pada Ang
Chit-kong. Katanya: “Dahulu kalau bukan Khu totiang (Khu Ju-ki) dari Coan
cin-kau yang berbudi itu dan ketujuh In’su (guru berbudi) jauh-jauh mencariku
ke Mongol, pula mendapat didikan dari Ang-loinsu, tidak mungkin aku Kwe Ceng
bisa berjasa sedikit seperti hari ini? Kini kita bergembira di sini, di antara
para Insu, kecuali Kwa-Ioinsu, selebihnya sudah wafat semua, kalau ingat
beliau2 itu, sungguh aku menjadi berduka.”
Mendengar itu, lt-teng Taysu dan yang
lain-lain ikut muram,sebaliknya Lu Bun hwan sama sekali tak mengerti seluk-beluknya,
katanya dalam hati: “Orang-orang ini benar-benar tidak tahu aturan, dalam
perayaan yang gembira ria ini malah berbicara tentang orang mati segala.”
Sementara itu Kwe Ceng telah berkata lagi
“Kalau urusan di sini sudah selesai, besok juga aku ingin berangkat ke Hoa-san untuk
berziarah ke makam Insu.”
“Kwe-pepek,” sela Yo Ko, “memangnya aku lagi
hendak bilang begitu, Marilah kita pergi beramai-ramai.”
Memang Oey Yok-su, It-teng dan Ciu Pek-thong
juga sudah kangen pada sobat tua yang telah meninggal lebih 20 tahun itu, segera
saja mereka menyatakan setuju.
Dan perjamuan itu terus berlangsung dengan
meriah hingga jauh malam.
Besok paginya, diam-diam Kwe Ceng dan
rombongannya lantas berangkat menuju ke Hoa-san. Kesehatan Ciu Pek-thong, Liok
Bu-siang, Su-si Hengte dan Su sui Hi-un belum sembuh betul, mereka menunggang
kuda dan berjalan pelahan.
Baiknya tiada urusan penting, maka perjalanan
mereka dilakukan seenaknya saja.
Tidak seberapa hari tibalah mereka sampai di
Hoa-san, ketika Ciu Pek-thong cs sudah sembuh-semuanya. Maka naiklah mereka ke
atas gunung itu, Yo Ko menunjukkan tempat di mana jenazah Ang Chit-kong dan
Auyang Hong di kubur dulu.
Oey Yong sudah membawakan sayur-mayur, ayam
daging dan lain-lain sesajen, segera ia membikin tungku dan menyalakan api, ia
bikin beberapa macam masakan yang paling disukai mendiang Ang Chit-kong sebagai
sesajen sembahyang, Lalu para ksatria itupun menjalankan penghormatan dan
mengheningkan cipta.
Kuburan Auyang Houg letaknya di samping
kuburan Ang Chit-kong, tapi dendam Kwe Ceng pada Auyang Hong boleh dikatakan
sedalam lautan, bila ingat beberapa gurunya yang berbudi, seperti Ju Jong, Han
Po-ki dan lain-lain terbunuh secara keji, meski kejadian sudah lewat berpuluh
tahun, tapi rasanya masih sangat benci padanya.
Hanya Yo Ko saja yang mengingat budi kebaikan
Auyang Hong dulu yang mengaku anak angkat padanya, ia berlutut dan menyembah di
hadapan makam ayah angkat itu, bersama Siao-liong li.
Ciu Pek-thong maju ke depan kuburan Auyang
Hong itu, ia membungkuk memberi hormat, katanya: “Wahai Lo-tok-but (makhluk
berbisa tua, julukan Auyang Hong), hidupmu dulu banyak melakukan kejahatan,
sesudah mati kau menjadi tetangga Lo-kiau-hua (pengemis tua, Ang Chit-kong),
boleh dikatakan kau yang beruntung. Hari ini semua orang datang berziarah ke
makam Lo kiau-hua, sebaliknya melulu dua bocah saja yang menyembah padamu,
kalau ditanah baka kau tahu, seharusnya kau menyesali keganasan semasa hidupmu
dulu?” Mendengar doa sembahyang yang lucu aneh itu, semua orang menjadi geli.
Kemudian semua orang ambil mangkok dan
sumpit, mereka hendak dahar di depan kuburan itu. Tiba-tiba dari balik gunung
sana berkumandang terbawa angin suara beradunya senjata serta bentak -membentak
orang, tampaknya seperti ada orang sedang berkelahi.
Dasar watak Ciu Pek-tbong paling getol mengenai
sesuatu, cepatan saja ia mendahului berlari ke tempat ramai-ramai itu, Kemudian
semua orangpun menyusulnya.
Lewat dua tanjakan, di suatu tanah datar yang
sempit terkumpul 30 - 40 orang yang beraneka macam bentuknya, tinggi-pendek,
gemuk-kurus, tua muda, laki- perempuan, ada paderi, ada pereman semua
bersenjata.
Orang-orang itu sedang bertengkar, melihat
kedatangan rombongan Ciu Pek-thong dan Kwe Ceng, disangka kaum pelancongan
biasa, maka tak digubrisnya.
Terdengar seorang
laki-laki tinggi besar telah berkata dengan suara lantang. “Diam, diam! Kita
jangan “hantam kromo” tak keruan. Sebutan “juara ilmu silat” tidak mungkin diperoleh
dengan jalan ribut-ribut begini. Kini para orang gagah sudah berkumpul semua di
sini, kenapa kita tidik saling ukur kepandaian masing-masing dengan ilmu
pukulan atau senjata? Barang siapa bisa menangkan seluruh pertandingan, kita
bersama lantas menyerah dan mengangkat dia sebagai juara.”
“Betul,” timbrung seorang Tojin berjenggot
panjang bersenjatakan pedang. “Menurut cerita di kalangan Bu-Iim, dahulu pernah terjadi “Hoa-san-lun-kiam
(pertandingan pedang di Hoa san) sekarang kita juga boleh coba-coba bertanding,
lihat saja siapakah gerangannya yang akan menduduki tempat tertinggi?”
Segera semua orang bersorak menyatakan akur,
malahan ada beberapa orang diantaranya tanpa disuruh terus melompat ke tengah
sambil berteriak: “Hayolah, siapa berani maju menghadapi aku?”
Melihat itu, Ciu Pek-thong, Oey Yok-su dan
It-teng dan lain-lain saling pandang dengan bingung karena di antara orang-orang
itu tiada seorangpun yang mereka kenal.
“Hoasan lunkiam” atau pertandingan pedang
Hoa-san yang disebut itu, ketika untuk pertama kalinya diadakan, Kwe Cing
sendiripun belum Iahir. Tatkala itu terjadi berebut sebuah kitab yang bernama
“Kiuim-cin-keng”. Untuk itu Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan
Tiong-sin-thong, yaitu nama-nama julukan Oey Yok-su. Auyang Kong, Toan-Ti-hin
(lt-teng Taysu sekarang), Ang Chit-kong dan Ong Tiong-yang telah berkumpul di
puncak tertinggi Hoasan untuk mengukur tenaga, akhirnya Tiong-sin thong Ong
Tiong-yang menjagoi tokoh-tokoh lainnya dan dapat menangkan gelar “Juara.”
25 tahun kemudian, Ong Tiong-yang telah
wafat, ketika Ui Yok-su dan lain-lain untuk kedua kalinya mengadakan “Hoasan lun-kiam”,
sekali ini kecuali keempat tokoh yang lama, yaitu Tang-sia, Se tok, Lam te dan
Pak-kay, bertambah lagi Ciu Pek-thong, Kiu Jian yim dan Kwe Ceng bertiga, tapi
sesudah saling gebrak, semuanya meiasa kepandaian masing-masing belum mencapai
tingkatan yang susah diukur, untuk mendapatkan gelar “Juara” sesungguhnya belum
bisa.
Sungguh tak terduga setelah berpuluh tahun
kemudian, kini ternyata ada lagi serombongan tokoh silat kalangan Bu-Iim yang
ingin mengadakan “Hoa-san lun-kiam” ketiga kalinya.
Hal ini tentu saja bila Oey Yok-su dan lain-lain
rada heran, tapi yang lebih aneh ialah berpuluh orang di depannya ini tiada
yang mereka kenal. Apakah mungkin karena diri mereka seperti kodok di dalam
sumur yang tak tahu di luar langit masih ada langit orang pandai ada yang lebih
pandai.
Sementara itu terlihat beberapa orang itu
sudah mulai saling gebrak, tapi baru beberapa jurus tak tertahan lagi Oey Yok-su
dan Ciu Pek-thong akan rasa geli mereka. Sampai orang alim seperti It-teng juga
ikut geli, sejenak pula, saking tak tahan, Oey Yok-su, Ciu Pek-thong, Yo Ko dan
Oey Yong lantas tertawa ter pingkal2
Ternyata ilmu silat beberapa orang yang
saling labrak itu terlalu rendah, hakikatnya cuma sebangsa jual jamu di Kangouw
saja, entah mengapa merekapun bisa datang ke Hoa-san dan me-niru2 hendak mengadakan
“Hoa-san-lun-kiam” segala.
Ketika mendengar suara tertawa Ciu Pek-thong
dan lain-lain, pertarungan beberapa orang itu lantas berhenti dan melompat
mundur “Hai, manusia tak kenal mati-hidup! Tuan-tuan besar sedang bertanding
silat di sini, kenapa kalian malah ter-kekek2 dan peringas-peringas di sini?
Hayo, lekas pergi dari sini jika ingin selamat!”
Tiba-tiba Yo Ko bergelak ketawa, begitu keras
dan panjang suaranya hingga menggema angkasa bagai bunyi guntur gemuruh.
Mula-mula rombongan orang itu berwajah pucat, menyusul badan gemetar, lalu
senjatanya berjatuhan.
“Nah, lekas enyah!” beatak Yo Ko kemudian Sesudah
terpaku sebentar, mendadak orang itu berteriak ramai, berbareng lari
sipat-kuping ke bawah gunung, saking ketakutan sampai banyak yang jatuh bangun
tak berani menoleh lagi, lapat-lapat terdengar ada di antaranya berseru: “Lekas
lari, lekas lari! itulah Sin-tiau-tayhiap!”
Dan sekejap saja mereka sudah kabur bersih.
Saking gelinya Eng Koh dan Kwe Hu terpingkal-pingkal sembari pegangi perut.
“Manusia yang suka mengelabui orang dan
memajukan nama di mana-mana selalu ada, tapi tidak nyana di puncak Hoa-san
inipun diketemukan bangsa-bangsa sedemikian ini,” ujar Oey Yok-su gegetun.
“Dahulu di seluruh jagat terkenal ada “Ngo
Coat” (panca mahajana, lima tokoh terkemuka)”, tiba-tiba Ciu Pek-thong menyela.
“Kini Se-tok, Pak-kay dan Tiong-sin thong sudah mati, lalu tokoh yang masih
hidup di jaman ini ada berapa orang lagi yang dapat di-disebut “Ngo-Coat”?
Sahut Oey Yong dengan tertawa: “lt-teng Taysu
dan ayahku makin hari makin tinggi ilmunya, dahulu saja sudah termasuk dalam
hitungan “Ngo Coat” dan kini lebih-lebih tak perlu disangsikan. Dan kalau mau
bicara secara jujur, suamiku sendiri adalah murid Pak-kay, iapun dapat termasuk
satu di antara “Ngo Coat” itu. Usia Ko-ji meski muda tapi ilmu silatnya susah
diukur, di antara angkatan muda siapa yang bisa membandinginya, apalagi iapun
anak angkat Auyang Hong, jadi Tang dan Lam adalah orang lama, sedang Se dan Pak
harus diteruskan oleh suamiku dan Ko ji.”
“Salah, salah!” sahut Pek-thong tiba-tiba
sambil geleng-geleng kepala.
“Kenapa salah?” tanya Oey Yong.
“Ya, salah,” kata Pek thong. “Auyang Hong
BerjuIuk Se-tok, tapi hati dan tindak tanduk si Yo Ko ini sama sekali tidak Tok
(racun, artinya kejam), kalau iapun disebut Se-tok, kan tidak cocok?”
“Benar! Cing-koko juga tidak jadi pengemis
pula lt-teng Taysu sekarangpun tidak menjadi Hongte lagi.” ujar Oey Yong, “Maka
menurut aku, julukan kalian sekarang kudu diperbaharui Tang-sia, julukan ayah,
adalah “trade mark” lama, itu tak perlu diganti, It teng Taysu tidak lagi jadi Hongte,
tapi menjadi Hwesio, ia harus di sebut “Lam-ceng”
(paderi diri selatan), Mengenai Ko-ji (Yo
Ko), biar kuhadiahi dia julukan “Ong” (bebas, tak terkekang), kalian bilang
tepat tidak?”
“Bagus!” seru Oey Yok-su pertama-tama
menyatakan akur, “Haha, sejak kini, satu Tang-sia dan yang lain Se-ong, satu tua
dan satu muda, kita semua memang pasangan yang setimpal”
“Ah, usiaku masih
terlalu muda, mana berani berdiri sejajar dengan para Cianpwe,” ujar Yo Ko
merendah diri.
“Aha, adik cilik, kau salah jika bilang
begitu,” seru Ui Yok-su, “Kau kan sudah pakai julukan “Ong” ( berlaku bebas )?
Kalau berdasarkan namamu yang tersohor dan
ilmu silatmu, masakan tidak lebih tinggi daripada Lo-wan-tong?”
Oey Yok-su tahu puterinya (Oey Yong) sengaja
tidak menyebut Ciu Pek-thong, perlunya biar si tua nakal itu tak tahan, lalu
muring-muring sendiri, maka iapun sengaja membumbui sekalian.
Yo Ko pun paham maksud hati ayah dan anak
itu, ia saling pandang dengan Siao-liong-li sambil tersenyum, dalam hati ia
berpikir “Julukan “Ong” ini memang sangat tepat.”
Diluar dugaan Oey Yok-su, sama sekali Ciu
Pek-thong tidak ribut malahan, ia tanya: “Jika Lamceng dan Se-ong sudah ganti
merek semua, lalu “Pak-kay” bagaimana, harus diganti apa?”
“Ksatrta seluruh jagat di jaman ini kalau
menyebut Kwe-heng. semuanya sebut “Kwe-tayhiap padanya,” demikian “Cu Cu-liu
ikut buka suara. Selama berpuluh tahun ini ia mempertahankan Siangyang dengan
susah payah, membela tanah air dan melindungi rakyat, orang gagah perwira
seperti dia sejak dulu hingga sekarang susah juga dicari bandingannya, Maka
menurut aku, kalau kita sebut dia “Pak-hiap” (pendekar dari utara) rasanya
semua orangpun akan setuju.
Mendengar itu, segera It-teng Taysu dan Bu
Sam-thong dan lain-lain bertepuk tangan memuji nama baik itu.
“Nah, Tang-sia, Se-ong, Lam ceng dan Pak-hiap
sudah ada orangnya semua, lalu yang tengah, siapa yang harus menduduki untuk
menggantikan Tiong-sin-thong Ong Tiong-yang?” ujar Oey Yok-su.
Sembari berkata ia sengaja melirik sekejap ke arah Ciu Pek thong, lalu
menyambung pula: “Nyo-hujin (nyonya Nyo, maksudnya Siao liong-li) adalah
ahliwaris satu-satu-nya dari Kobong-pay, dahulu nama Lim Tiau-eng
menggetarkan Kangouw, meski Ong Tiong-yang sendiri juga jeri
padanya. Dengan ilmu pedang Giok-li-kiam-hoat ciptaan Ko-bong-pay yang khas
itu, kalau dahulu Lim-lihiap juga ikut menghadiri Hoa-san- lun-kiam, jangankan
nama Ngo-coat harus diubah, bisa jadi gelar “juara” yang diperoleh Ong Tiong-yang
itu juga sukar dipertahankan. Kini ilmu silat Nyo Ko berasal ajaran sang
isteri, muridnya saja termasuk “Ngo Coat” baru, gurunya tentu saja tak perlu
di-sangsikan lagi, Sebab itulah Nyo hujin tepat sekali menduduki tempat tengah.”
Namun Siao-liong-li tidak pernah ketarik
oleh segala nama pujian itu, dengan tersenyum ia menjawab: “Ah, sekali-sekali aku
tak berani menerimanya.”
“Jika tidak mau, tentunya harus Yong-ji,”
kata Oey Yok-su puIa, “Meski ilmu silatnya tidak
terlalu tinggi, tapi banyak tipu akal, pintar dan cerdik, kalau dia termasuk
satu diantara Ngo-coat juga pantas.”
“Bagus, bagus!” seru Ciu Pek-thong tiba-tiba
sembari bertepuk tangan tertawa. “Terus terang, kau Oey-losia, Kwe-tayhiap apa
segala, semuanya tak pernah bikin hatiku kagum dan takluk betul, hanya Oey Yong
si bocah ini memang cerdik dan licin, asal Lo-wan tong ketumbuk dia lantas mati
kutu.
Kalau dia dimasukkan satu diantara Ngo-coat,
itulah memang paling tepat.”
Semua orang jadi tercengang mendengar ucapan
itu.
Sungguh kalau bicara tentang ilmu silat,
sekalipun Oey
Yok-su dan It-teng juga merasa
kalah sedikit, sebabnya nama Ciu Pek-thong tidak di-ungkap mereka sebenarnya
melulu ingin bergurau untuk menggodanya saja.
Siapa tahu dasar pembawaan Ciu Pek-thong
memang jujur polos, sedikitpun hatinya tiada rasa iri dan- dengki meski pembawaannya
gemar silat, tapi tak pernah timbul pikiran cari nama untuk menjagoi dunia,
maka sama sekali tidak terpikir olehnya apakah ia sendiri harus termasuk di
dalam Ngo-coat atau tidak.
Maka tertawalah Oey Yok-su,
katanya: “Wahai, Lo-wan-tong, kau memang benar-benar hebat. Soal “nama” aku Oey Losia
memandangnya dingin. It-teng Taysu anggap ” nama” hanya khayalan belaka. Hanya
kau, hatimu kosong bersih, hakikatnya tidak pernah berpikir tentang “nama”
segala, nyata kau lebih hebat setingkat lagi dari pada kami, Haha, Tang-sia,
Se-ong, Lam-ceng, Pak-hiap Tiong wan-tong di antara Ngo coat, kaulah yang
tertinggi.
Mendengar sebutan “Tangsia, Se-ong, Lam ceng,
Pak-hiap, Tiong wan-tong” itu, semua orang lantas bersorak memuji, tapi merasa
geli pula.
Setelah kedudukan “Ngo Coat” ditetapkan,
semua orang lantas gembira ria, dengan berpencar mereka pergi pesiar sendiri-sendiri
menikmati keindahan pegunungan Hoa-san.
Mula-mula Kwe Yang ikut di belakang sang ibu,
Oey Yong, ia lihat Yo Ko bergandengan tangan dengan Siao-liong li dengan
mesranya menuju ke arah lain, katanya tiba-tiba pada, ibunya: “Mak, sekarang
boleh aku ikut pergi bersama Yo-toako dan Liong-cici dengan bebas, bukan?”
Oey Yong mendadak diam
tertegun sejenak, tapi lantas tersenyum penuh arti.
-TAMAT-