Kamis, 10 Januari 2013

Sin Tiauw Hiap Lu 111




Kembalinya Pendekar Rajawali 111


Kwe Ceng telah melaporkan hal itu pada gubernur militer kota Lu Bun-hwan agar memberi mandat, supaya Oey Yok su dapat mengatur siasat dan membagi tugas pada para perwira dan prajurit.
Tatkala itu para ksatria yang hadir sudah bubar sebagian besar, yang masih tinggal di situ seluruhnya adalah pahlawan-lawan yang berjiwa patriot, maka semuanya berkumpul di lapangan militer menunggu perintah.
“Mereka mengerahkan 40 ribu orang untuk mengepung panggung, kalau kita pakai orang yang banyak, jika kita menang rasanya juga tidak mengherankan ,” kata Oey Yok-su, “Maka kitapun hanya perlu 40 ribu orang, menurut Sun Cu, yang penting mahir mengatur, satu lawan satu, apa susahnya?”
Maka Oey Yok-su lantas naik ke atas podium panglima, katanya pula: “Barisan bintang-bintang kita ini seluruhnya terbagi dalam lima kesatuan menurut hitungan pancabuta.”
“Habis ini, segera ia kumpulkan semua komandan pasukan, ia memberi petunjuk dan penjelasan seperlunya, katanya lagi: “Perubahan2 kita yang sangat ruwet ini seketika sukar dipahami, tapi pertempuran hari ini harus dipimpin oleh lima tokoh silat terkemuka yang paham perobahan pancabuta, komandan pasukan harus menurut petunjuk kelima pemimpin dan menjalankan perintahnya.”
Maka pergilah para komandan pasukan itu dengan menerima perintah itu.
Lalu Oey Yok-su mulai membagi tugas, katanya: “Kesatuan tengah tergolong bumi, dipimpin oleh Kwe Ceng dengan jumlah prajurit delapan ribu orang, pasukan ini harus mengarah bagian tengah musuh, tujuannya menolong Kwe Yang, tidak perlu harus menghancurkan musuh. Setiap prajurit membawa kantong pasir, begitu menyerbu sampai di bawah panggung, segera gunakan pasir untuk menyirapkan api yang berkobar untuk menolong anak dara di atas panggung itu.”
Kwe Ceng terima tugas itu dan berdiri ke samping.
“Dan kesatuan jurusan selatan tergelong api,” demikiin Ui Yok-su melanjutkan “Harap It-teng Taysu yang memimpin delapan ribu orang. pasukan ini yang seribu orang melindungi pimpinan, tujuh ribu orang lainnya terbagi menjadi tujuh regu, masing-masing dipimpin oleh Cu Culiu, Bu Sam-thong, Su-sui Hi-un, Bu Tun-si dan Bu Siu-bun serta kedua isteri mereka, Yalu Yan dan Wanyen Peng.”
It-teng Taysu dan Cu Cu-liu cs. juga menerima perintah itu dan pergi mengatur tentaranya masing-masing.
Lalu kata Oey Yok-su pula: “Barisan utara tergolong air, di bawah pimpinan Oey Yong dengan delapan ribu orang, seribu diantaranya mengawal pimpinan, tujuh ribu orang lainnya terbagi di bawah Yalu Ce, Nio Tianglo, Kwe Hu dan para Tianglo lain dari Kay-pang.”
Oey Yong pun menerima perintah itu dengan baik, Kesatuan ini terdiri dari anak murid Kaypang sebagai kekuatan inti, rata2 orangnya berkepandaian tinggi.
Sesudah membagi ketiga kesatuan tadi, kemudian Ui Yok-su meneruskan “Dan jurusan timur tergolong hawa, kesatuan ini biar aku Tang-sia Oey Yok-su sendiri yang memimpinnya, jumlah orangnya juga delapan ribu.”
Semua orang pikir, jurusan timur dipimpin Tang sia, Lam-te mengepalai selatan, sedang anak murid Pak-kay menduduki utara. Kwe Ceng adalah panglima pusat, memangnya dia juga murid keturunan Ong Tiong-yang, cara mengatur Ui Yok su itu memang tepat. Tapi masih ada jurusan barat, gerangan siapakah yang akan mengepalai jurusan ini?
Sementara terdengar Oey Yok-su berkata pula:
“Dan jurusan barat akan dipimpin oleh pejabat ketua Coan-cin-kau, Li Ci-siang.”
Mendengar ini, semua orang merasa baik soal kepandaian maupun tenarnya nama, pimpinan jurusan ini jauh lebih lemah daripada yang lain-lain.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang ber-teriak:
“Hai, Ui-Iosia, kenapa kau jadi lupa padaku?”
Waktu dipandang, kiranya yang bersuara itu adalah Lo-wan-tong Ciu Pek-thong.
“Ciu-heng,” sahut Yok-su, lukamu belum sembuh, belum dapat bekerja berat, sebenarnya jurusan barat ini harus kau pimpin, tapi…”
“Ah, hanya luka kecil saja, kenapa dipikirkan?” sahut Pek thong cepat “Biarlah aku memimpin jurusan barat itu saja, He,Ci-siang, apa kau berani berebut dengan aku?”
“Tecu tak berani,” sthut Li Ci-siang sambil memberi hormat.
“Emangnya aku sudah tahu kau takkan berani” ujar Pek-thong tertawa. Habis itu segera ia ambil panah tanda tugas dari tangan Li Ci-siang.
Terpaksa kata Oey Yok-su kemudian: “jika begitu, hendaklah Ciu heng suka ber hati-hati Kaupun memimpm delapan ribu orang, seribu di antaranya harap Eng Koh suka memimpinnya untuk mengawal kau, tujuh regu lain biar dipimpin masing-masing oleh Li Ci-siang dan anak murid Coan cin kau yang lain.”
Habis membagi tugas, lalu Oey Yok-su memerintahkan semua prajurit menerima perlengkapan seperlunya ke gudang, bila kemudian bendera kebesarannya memberi tanda, 40 ribu orang terbagi dalam 5 jurusan timur, barat, utara selatan dan tengah.
Dengan suara lantang ia memberi petuah agar parajurit2 itu bertempur mati-matian menghancurkan musuh. Segera anjuran itu disambut dengan sorak-sorai yang bergemuruh penuh semangat Ketika meriam berdentum tiga kali, empat pintu benteng terbuka, lima pasukan itu lantas keluar berbareng.
Perubahan barisan bintang-bintang ini ternyata aneh sekali, pasukan timur itu setiap orangnya menggendong sepotong kayu cagak yang panjang, ketika sudah menyerbu mendekati sebelah timur panggung, seribu perajuritnya lantas gunakan perisai untuk menahan panah musuh, sedang tujuh ribu orang lainnya segera gunakan cagak kayu dan dipasang disitu menurut petunjuk Oey Yok-su yang telah mengaturnya menurut perhitungan Pat-kwa dan pancabuta, maka sekejap saja bagian timur panggung itu sudah tertutup.
Pasukan jurusan barat berinti anak murid Coancin-kau, para Tosu itu memang sudah paham barisan bintang-bintang, maka terlihatlah sinar pedang gemerlapan hingga terpaksa perajurit MongoI menghamburkan panah untuk mencegah lajunya.
Mendadak terdengar suara teriakan bergemuruh di bagian utara, itulah Oey Yong yang memimpin anak murid Kaypang dengan membawa banyak sekali pipa air terus semprotkan air berbisa ke tubuh perajurit musuh.
Racun air yang disemprotkan itu ternyata sangat jahat, seketika sangat sakit tubuh yang terkena, sebentarpun melepuh dan bernanah, karena tak tahan, perajurit Mongol lari tunggang langgang mundur ke selatan.
Tapi tiba-tiba terlibat bagian selatan asap mengepul tinggi Kiranya It-teng Taysu bersama delapan ribu anak buahnya telah melakukan serangan dengan api, menggunakan sebangsa belerang dan bahan lain yang mudah terbakar, api menyembur terus dari bumbung besi yang khusus mereka bawa.
Melihat gelagat jelek, segera perajurit Mongol mundur kebagian tengah.
Namun Kwe Ceng sudah siap, ia pimpin delapan ribu orangnya dan maju pelahan, ketika dilihatnya keadaan pasukan musuh kacau, segera ia mengerahkan pasukannya menerjang ke tengah menuju ke panggung.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar disamping panggung itu suara tiupan tanduk, sekali berteriak dari dalam parit yang sengaja digali itu menongol keluar berpuluh ribu topi baja.
Kiranya pimpinan pihak Mongol juga pandai mengatur siasat, kecuali di sekitar panggung jelas kelihatan 40 ribu orang, tapi di dalam tanah galian itu bersembunyi lagi beberapa puluh ribu perajurit Iain.
Dari jauh Kwe Ceng menyangka itu hanya parit biasa yang digali musuh, siapa tahu justru di situlah tersembunyi kekuatan cadangan musuh.
Karena itulah, terdesaknya pasukan Mongol tadi segera berubah, meski barisan bintang-bintang itu dapat menerjang kacau pasukan musuh, tapi kalau hendak membasminya jelas tak bisa lagi.
Maka terdengarlah genderang dipukul dengan kerasnya, pasukan Song dan Mongol telah saling tempur, pasukan penjaga disamping panggung lantas menghamburkan panah hingga beberapa kali Kwe Ceng terpaksa harus mundur kembali.
Setelah hampir sejam kedua pihak bertempur dengan sengitnya, mendadak Oey Yok-su mengibarkan bendera hijau, sekonyong-konyong pasukan sebelah timur berganti menyerang keselatan, pasukan barat menggempur ke utara, karena perubahan barisan ini, kembali pasukan musuh menjadi kacau lagi.
Meski perajurit Song hanya 40 ribu orang, tapi pertama karena barisan bintang-bintang ini sangat hebat, kedua dipimpin oleh jago-jago silat terkemuka pada jaman ini, ketiga, setiap perajurit Song merasa berterima kasih pada Kwe Cing suami-isteri, mereka bertekad akan menolong puteri kesayangannya. Oleh sebab itulah meski jumlah orang Mongol berlipat ganda namun tidak sanggup menahannya.
Sesudah berlangsung agak lama, mendadak Oey Yok-su bersiul panjang dan keras, bendera isyarat mengebas beberapa kali, pasukan berpanji hijau mundur ke tengah, pasukan panji merah menuju ke sebelah barat, pasukan panji kuning berganti ke utara, panji putih menggempur bagian timur, panji hitam mengarah ke slatan, kembali barisan berubah lagi.
Dari atas panggung Kim-lun Hoat-ong dapat menyaksikan pertempuran hebat di bawah panggung itu, dalam hati diam-diam ia terperanjat sekali, Pikirnya: “Sungguh tidak nyana di daerah Tionggoan ternyata terdapat orang kosen seperti ini, sejak kini tak berani lagi aku memandang sepele orang Tionggoan.”
Sementara itu dilihatnya perajurit2 Mongol yang mati atau luka makin lama makin banyak, pasukan panji kuning terus mendesak ke panggung itu, walaupun ia gunakan Kwe Yang sebagai sandera, tapi toh tidak tega benar-benar membakarnya, ia menoleh dan memandang anak dara itu, ia lihat meski kedua kaki dan tangan terikat, tapi kepala anak dara mendongak, sikapnya gagah tak gentar sedikitpun.
“Kwe Yang cilik,” seru Hoat-ong, “lekas kau minta ayahmu menyerah, aku akan menghitung dari satu sampai sepuluh, jika ayahmu tidak takluk, segera aku memberi perintah membakarmu.”
“Apa kehendakmu boleh sesukamu. jangankan satu
sampai sepuluh, kau boleh menghitung satu sampai seribu atau sejuta juga aku tak peduli,” sahut Kwe Yang dingin.
“Hm, apa kau kira aku tak berani membakar kau?” Hoat ong menjadi gusar.
“Haha, sungguh kasihan kau ini,” jengek Kwe Yang tiba-tiba.
“Kasihan apa kau bilang?” bentak Hoat ong.
“Ya,kasihan. Sebab kau tak sanggup melawan ayahku, tak sanggup menandingi Gwakongku Ui-losia, tak lebih unggul dari pada Itteng Taysu, tak berani pada Toakokoku Yo Ko, paling-paling kau hanya mampu meringkus aku disini,”
demikian Kwe Yang mengolok-olok.
“Caramu ini, biarpun seorang perajurit Siangyang kami juga tidak sudi melakukan ini Hoat-ong,aku justeru ingin menasehatkan kau.”
“Apa? Nasihat?” seru Hoat-ong sengit
“Ya,” sahut Kwe Yang. “Manusia hidup seperti kau ini apa artinya? Ada lebih baik kau terjun ke bawah panggung dan membunuh diri saja!”
Kwe Yang tidak pikirkan mati-hidupnya lagi, sejak kecil memang tajam kata-katanya, selamanya tak pernah kalah adu muIut, keruan kini Hoat-ong kewalahan saking gusarnya serasa dadanya akan meledak.
“Wahai, dengarlah Kwe Ceng!” segera ia berteriak keras-keras.
“Aku akan menghitung dari satu sampai sepuluh, apabila kau masih belum mau takluk, segera ku perintahkan membakar panggung ini.”
“Boleh kau lihat apakah aku Kwe Ceng manusia yang suka takluk atau bukan?” sahut Kwe Ceng.
“Wahai, Kim lun Hoat-ong!” tiba-tiba Oey Yok-su menyambung.
“Kau salah menaksir musuh, inilah ketidak pintaranmu, Kau menghina seorang dara cilik, ini namanya tidak berbudi.”
“Kau tak berani bergebrak terang-terangan dengan kami untuk menentukan menang atau kalah, ini namanya tidak berani.”
“Manusia yang tidak pintar, tidak berbudi, tiada keberanian tapi masih berani kau bicara tentang pahlawan dan ksatria segala? Kau tertangkap oleh kami di Coat ceng-kok. Untuk menyelamatkan jiwamu kau telah menyembah “ping-pitulikur” (27-kali) kepada Kwe Yang cilik, kemudian kau di-ampuninya.
Haha, manusia takut mati dan tamak hidup semacam kau ini ternyata masih ada muka untuk menjadi Koksu (iman negara MongoI) segala?”
Sebenarnya tentang menyembah minta ampun kepada Kwe Yang segala tiada pernah terjadi, tapi Oey Yok-su sengaja gembar-gembor di hadapan umum, di depan pasukan MongoI, agar Hoat-ong serba salah, hendak mendebat, sulit, tidak mendebat, juga salah.
Bangsa Mongol justru paling menghormati orang gagah berani dan pandang hina pada manusia pengecut, kini mendengar gemboran Oey Yok-su itu tanpa terasa banyak yang menengadah ke atas panggung dengan pandangan hina.
Oey Yok-su sudah berpikir panjang, sebelum berangkat ia sudah minta Oey Yong menterjemahkan kata-kata untuk mengolok-olok Hoat-ong ini ke-dalam bahasa Mongol. Kini digemborkaanya dihadapan berpuluh ribu perajurit yang sedang bertempur itu sehingga terdengar jelas.
Dan karena mendengar pemimpin dipihak sendiri adalah manusia rendah dan hina, tanpa terasa pasukan Mongol menjadi kurang semangat, sebaliknya perajurit Song semakin gagah menyerbu musuh.
Melihat gelagat jelek, Kim-Iun Hoat-ong yang berada di atas panggung itu segera berteriak lagi: “Wahai, Kwc Cing, dengar kau, aku akan menghitung dari satu sampai sepuluh, apabila kata-kata “sepuluh” terucapkan, puteri kesayanganmu segera akan terbakar menjabi arang. Nah, satu., . . .. dua. . . …tiga…. empat… lima…”
“Begitulah setiap kata-kata diucapkan ia sengaja berhenti sejenak dengan harapan Kwe Ceng yang tak tahan oleh desakan itu akan menyerah atau sedikitnya juga akan patah semangat, lalu tak berani bertempur lagi.
Dilain pihak, Kwe Ceng, Oey Yok-su, It-teng Taysu, Oey Yong, dan Ciu Pek-tong yang memimpin lima pasukan, ketika mendengar Hoat ong mulai menghitung, sedangkan di bawah panggung beratus serdadu Mongol sudah mengangkat obor mereka tinggal menunggu komando. bila tanda diberikan segera panggung itu akan dibakar Karena itu Kwe Ceng dan lain-lain menjadi kuatir dan gusar, mati-matian mereka menerjang ke depan panggung buat menolong Kwe Yang.
Tapi barisan pemanah bangsa Mongol yang terkenal tangkas itu sudah siap, di bawah hujan panah itu segera terlihat Su-sui Hi-un, Nio tianglo, Bu Siu-bun cs, terluka panah semua, malahan ada beberapa anak murid Kay pang dan Coan-cin-kau yang gugur.
Sebelumnya Oey Yong sudah suruh Kwe Hu meminjamkan “Nui-wi-ka” atau kutang berduri landak kepada kakeknya, Ui Yok-su, sebab pertempuran ini berbahaya luar biasa, apabila karena ingin menolong Kwe Yang, tapi jiwa ayahnya harus berkorban atau terluka, hal ini benar-benar akan membuat Ui Yong menyesal selama hidup.
Karena maksud baik sang puteri itu sukar di tolak, terpaksa Oey Yok-su menerimanya, tapi diam-diam ia pinjamkan baju pusaka itu kepada Ciu Pek-thong. Sebab itulah meski luka Pek-thong belum sembuh, tapi ia sudah berani terobosan kian kemari di bawah hujan panah dan senjata musuh tanpa luka.
Malahan ketika melihat panah musuh yang mengenai tubuhnya jatuh semua, hati si tua nakal itu menjadi riang, terus saja ia menyerbu maju, di mana tangannya tiba, di situlah segera musuh menggeletak.
Sementara itu terdengar Hoat-ong sudah menghitung sampai . . . . delapan. . . . . sembilan. sepuluh! Baik, bakarlah!” Dan sekejap saja asap lantas ber-guIung2, api berkobar dengan hebat.
Walaupun sebenarnya delapan ribu perajurit panji kuning semuanya membawa kantong pasir, tapi karena tak sanggup menyerbu sampai di dekat panggung, terpaksa mereka tiada bisa berbuat apa-apa.
Pikiran Oey Yong menjadi butek ketika dilihatnya api menjilat dengan hebatnya, mukanya pucat dan orangnya sempoyongan. Lekas Yalu Ce memayang ibu mertua itu dan katanya: “Hendaklah Gakbo mengaso dulu ke garis belakang, sekalipun jiwaku harus berkorban, Yang-moay pasti akan kutolong.
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara teriakan gemuruh hebat memecah bumi, dari garis belakang pasukan MongoI mendadak menyerbu tiba dua pasukan berkuda dan langsung menggempuf benteng kota Siangyang.
Terdengarlah teriakan “Ban swe, Banswe!” yang hiruk-pikuk, panji kebesaran raja Mongol, Monko, tertampak di angkat tinggi2 dan cepat sekali sudah sampai di bawah benteng Siangyang, di bawah pimpinan sang raja mereka, pasukan Moagol itu bertambah semangat menggempur benteng.
Di lain pihak, tatkala itu Kwe Ceng dengan satu tangan membawa perisai dan tangan lain bertombak, sebenarnya tinggal ratusan tindak dari panggung, betapapun barisan pemanah menghujam panah tetap tak bisa melukainya.
Tampaknya sebentar lagi ia pasti dapat melompat ke atas panggung, tiba-tiba di dengarnya di bagian belakangnya keadaan menjadi kacau, ia terkejut, pikirnya: “Celaka, terperangkap oleh tipu musuh “memancing harimau tinggalkan gunung”. Sedangkan gubernur kota lemah dan penakut walaupun kekuatan tentara cukup, tapi tiada pimpinan, mungkin urusan bisa runyam.”
Sebenarnya ke-40 ribu tentara dari barisan bintang-bintang ini kuat menandingi beratus ribu patukan Mongol melawan dengan gigihnya, sedangkan raja Mangol tanpa pikirkan. pertempuran besar yang sedang berlangsung itu terus memimpin sendiri pasukan lain untuk menggempur benteng Siangyang.
Tiba-tiba Kwe Ceng berganti pikiran, ia membatin. “Urusan anak soal kecil, pertahanan kota lebih penting! Karena itu, segera ia berteriak: “Gakhu, kita jangan urus anak Yang gagal lagi, lekas kembali menggempur bagian belakang musuh!”
Waktu Oey Yok-su memandang, ia lihat api berkobar-kobar tambah hebat, Hoat-ong lagi turun setindak demi setindak dari tangga panggung itu. Kini di atas panggang melulu tinggal Kwe Yang saja yang teringkus. Sudah, tentu Oey Yok-su juga bisa berpikir, ia mengerti seorang Kwe Yang tidak dapat dibandingkan dengan hancur atau selamatnya kota Siang-yang.
Karena itu, ia menghela napas panjang dari berkata:
“Sudahlah, Lalu ia kibarkan panji hijau dan menarik pasukannya kembali ke selatan.
Kwe Yang yang teringkus di atas panggung itu menyaksikan ayah-bunda dan Gwakongnya tak berdaya menolongnya, sedangkan atap tebal dan api menganga membakar dengan hebatnya mengitari panggung, ia tahu, sebentar lagi dirinya bakal terbakar mati.
Mula-mula iapun takut sekali, tapi akhirnya ia menjadi tenang malah, ia memandangi jauh ke depan, ia pikir:
“Sebentar lagi aku akan mati, tapi entah saat ini Toakoko berada di mana, apakah sudah naik kembali dari jurang itu?”
Begitulah, memandangi lereng2 gunung yang jauh itu, ia menjadi terkenang pada waktu berkumpul dengan Yo Ko walaupun hanya beberapa hari saja, Meski selanjutnya tiada harapan buat bertemu pula, tapi rasanya sudah puas hidup ini.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar sesuatu suara nyaring yang sayup-sayup terbawa angin, begitu tajam suara itu hingga suara gemuruh pertempuran beratus ribu perajurit itu seakan2 tenggelam di bawah pengaruh suara itu.
Terkesiap hati Kwe Yang, Suara itu mirip benar dengan suara siulan Yo Ko tatkala dulu menggetarkan kawanan binatang-binatang buas. Waktu ia menoleh ke arah datangnya suara itu, ia lihat pasukan MongoI di arah barat-laut itu tunggang-langgang tersiak minggir ke dua samping hingga terbelah menjadi satu jalan, dua orang tampak sedang datang dengan cepat bagai bahtera laju didorong angin buritan, di depan kedua orang itu sebagai pembuka jalan adalah seekor burung raksasa, kedua sayapnya terpentang menyabet ke kanan dan ke kiri hingga panah yang menghujam terpental pergi semua.
Burung raksasa ini tangkas dan ganas luar biasa, nyata itulah Sin-tiau atau rajawali sakti kawan Nyo-Ko itu, betapa kuat kedua sayapnya ternyata tiada satupun panah yang bisa melukainya.
Girang luar biasa Kwe Yang, waktu ia mengawasi kedua orang yang datang itu satu berkopiah hijau berbaju kuning, siapa lagi kalau bukan Yo Ko dan di sebelahnya seorang wanita cantik berbaju putih mulus, Keduanya sama-sama menggunakan pedang yang diputar kencang sambil menyusul di belakang Sin-tiau terus menerjang ke arah panggung.
“Toakoko, apakah wanita inilah Siao-liong-li?” demikian saking ingin tahu Kwe Yang lantas berteriak menanyakan.
Memang tidak salah wanita di samping Yo Ko itu adalah Siao-liong-li, cuma jaraknya terlalu jauh, maka teriakan Kwe Yang itu tidak terdengar oleh Yo Ko.
Begitulah dengan tangkas si rajawali sakti menyampuk semua anak panah yang berhamburan, bila ada pcrajurit atau perwira Mongol yang berani merintangi, segera Yo Ko dan Siao-liong-li menggulingkan mereka dengan pedang.
Dengan saling melindungi, tidak antara lama mereka sudah menerjang sampai di depan panggung itu.
“Jangan kuatir, adik cilik, aku datang menolong kau!” seru Yo Ko.
Sementara itu sebagian tangga panggung itu sudah terbakar, tapi sekali enjot, Yo Ko melompat ke undukan tangga bagian tengah terus memanjat ke atas.
Pada saat itulah mendadak dari atas angin pukulan yang maha dahsyat telah menghantamnya, nyata itulah Kim-lun Hoat-ong yang melontarkan pukulan saktinya.
Lekas-lekas Yo Ko baliki tangannya menyambut maka terdengar suara “plak” yang keras kedua tenaga raksasa saling bentur, tubuh masing-masing terguncang semua, tangga panggung itupun ikut ter-goyang-goyang hampir patah.
Sekali jajal saja kedua orang sama-sama terkejut, sungguh tidak terduga, 16 tahun tidak bertemu, kepandaian lawan ternyata sudah banyak lebih maju.
Melihat keadaan sangat genting, tak mungkin mengadu tenaga di tengah-tengah tangga itu, mendadak Yo Ko angkat pedangnya menusuk ke atas, susul-menyusul ia membabat kaki orang terus menusuk perut lawan.
Berada diatas Kim lun Hoat-ong dapat mengeluarkan senjata rodanya buat menempur Yo Ko, tapi roda bentuknya pendek, terpaksa ia harus membungkuk untuk bisa menghantam orang, hal ini sangat tidak leluasa, maka terpaksa ia mundur ke atas panggung.
Karena itu, bertubi2 Yo Ko mengirim beberapa kali tusukan lagi ke arah punggung Hoat-ong, namun Hoat-ong tidak menoleh, hanya gunakan kepandaian “thing-hong-piao gi” atau mendengarkan angin membedakan senjata, ia ayun roda ke belakang buat menangkis, punggungnya seakan2 bermata, tiap tangkisannya sangat tepat “Bangsat gundul, hebat juga!” mau-tak-mau Yo Ko memuji ketangkasan orang.
Ketika Hoat-ong sudah menginjak di atas panggung, sekali membalik, segera roda emasnya me-ngepruk kepaia Yo Ko.
Syukur Yo Ko sempat mengegos ke samping, berbareng itu pedangnya menegak ke atas, tubuhnya mencelat dan selagi terapung di udara. ia menubruk ke bawah dengan pedang menusuk kemuka musuh.
Lekas-lekas Hoat-ong angkat roda emas buat menangkis, sedang roda perak di tangan lain lantas mengetok ke batang pedang Yo Ko.
Tadi mereka sudah saling gebrak di atas tangga, Yo Ko merasa tenaga Hoat-ong sangat kuat dan berat, belum pernah seumur hidupnya ketemukan lawan setangguh ini, maka diam-diam ia sangat heran, ia pikir dengan gemblengannya di tengah ombak, tenaganya cukup kuat untuk melawan gelombang ombak, 16 tahun yang lalu Hoat-ong sudah bukan tandingannya tapi tadi ketika ia menghantam hampir-hampir saja dirinya tak sanggup menahannya malah?
Karena pikiran itu, demi nampak kedua roda orang maju berbareng, ia tidak menghindarinya melainkan pedang disendal, ia sengaja hendak menjajal tenaga Hoat-ong yang  sebenarnya.
Maka terdengarlah suara gemerincing keras, kalau orang lain pasti takkan tahan oleh tenaga sendalan Yo Ko ini, tapi Hoat-ong punya “ilmu sakti bertenaga naga dan gajah” dan sudah terlatih sampai tingkatan ke-11, ketika kedua tenaga   raksasa kembali berbentur, maka- terdengarlah suara “kletak”,
pedang Yo Ko yang kalah, patah menjadi beberapa potong, sedang sepasang roda Kim-lun Hoat-ong juga terlepas dari cekalan, terpental jatuh ke bawah panggung, sial bagi tiga pemanah Mongol, kepala mereka pecah terketok oleh roda2 itu.
Setelah gebrakan ini, kedua orang sama-sama melompat mundur, tangan mereka merasa pedas kesemutan. Namun Hoat ong masih belum kehabisan senjata ia masih mempunyai serep, segera roda besi dan roda tembaga dikeluarkannya terus menubruk maju pula.
Sebaliknya Yo Ko tiada mempunyai senjata lain, terpaksa lengan baju kirinya mengebas, ia balas menghantam dengan tangan kanan.
“Hai, hai, Hwesio besar, memangnya aku sudah bilang kau tak mampu menandingi Toakokoku, sekarang benar tidak?”
demikian Kwe Yang lantas berteriak-teriak, “Ha, masih berani kau berlagak pandai, kenapa sekarang kau bersenjata untuk melawan dia yang bertangan kosong?”
Tapi Hoat-ong hanya menjengek saja, ia tidak menjawab, permainan kedua rodanya makin kencang.
Tatkala itu Oey Yok-su, Kwe Ceng dan Oey Yong cs. Lagi pimpin pasukannya kembali menolong kota Siangyang, ketika mendadak melihat Yo Ko, Siau-liong li dan Sin-tiau muncul terus menyerbu keatas panggung, tentu saja semangat mereka terbangkit. Segera Ui Yok- su geraki panji komandonya, ia menarik kelima pasukannya masing-masing empat ribu orang menjadi berjumlah 20 ribu orang untuk menggempur bagian belakang musuh yang sedang menyerang benteng kota itu, sisanya 20 ribu orang tetap diformasi semula, tetap mengepung panggung untuk membantu Yo Ko.
Walaupun pasukan Song sudah berkurang se-paroh, tapi demi nampak Yo Ko sudah naik ke atas panggung, mereka menjadi gagah berani, dengan 1 lawan 10 mereka bertempur mati-matian. Cuma pasukan pemanah Mongol berjaga terlalu rapat dan kuat hingga beberapa kali pasukan Song menyerbu maju dan selalu kena di desak mundur lagi.
Dalam pada itu di bawah benteng Siangyang pertempuran juga sedang berjalan dengan sengitnya antara yang menggempur dan yang bertahan, gubernur militer kota, Lu Bnn-hwan, dengan uniform lengkap, tidak berani memimpin sendiri ke atas benteng melainkan mengkeret sembunyi di dalam kamar dengan dua selir kesayangannya, dengan badan gemetar sebentar2 menyebut sabda Buddha, lalu saat bertanya kuatir bagaimaaa suasana pertempuran di luar?
Pada saat itulah dengan bertangan kosong dan berlengan tunggal Yo Ko telah menempur kedua roda besi dan tembaga Kim-lun Hoat-ong hingga lebih dari 400 jurus.
Ilmu silat yang dilatih kedua orang itu meski berbeda, tapi sama-sama lihaynya dan makin lama makin kuat sementara itu asap tebal dari bawah panggung membuat mata ketiga orang di atas panggung menjadi pedas.
Walaupun Yo Ko tak bersenjata, tapi tidak pernah ia terdesak di bawah angin. Dalam pertarungan sengit itu, Hoat-ong merasa panggung itu rada bergoyang, ia tahu tentu kaki panggung sudah terbakar, sebentar lagi pasti akan ambruk, tatkala mana tak terhindarkan dirinya tentu akan gugur bersama dengan Yo Ko dan Kwe Yang.
Pula melihat pukulan Yo Ko makin lama makin aneh, kalau ratusan jurus lagi, mungkin ia sendiri akan terdesak.
Dalam gugupnya, mendadak pikiran jahatnya timbuI, tiba-tiba roda besinya ia hantam ke pundak kanan Yo Ko, selagi orang mengegos secepat kilat roda tembaganya terus disambitkan ke muka Kwe Yang.
Gadis itu terikat disatu cagak, dengan sendirinya badannya tak dapat bergerak apalagi hendak menghindari? Keruan Nyo Ko sangat terkejut lekas-lekas ia melompat dengan lengan bajunya ia sabet jatuh roda tembaga orang.
Namun jago silat waktu bertarung sebenarnya sedetikpun tak boleh lengah, karena pikirannya di pusatkan untuk menolong Kwe Yang, penjagaan diri sendiri menjadi terbuka, Hoat- ong tidak sia-sia-kan kesempatan itu, tangannya mengulur dan roda besinya terus mengiris ke paha kiri Nyo Ko.
Dalam keadaan badan terapung, lekas-lekas Yo Ko depakkan kaki kirinya ke pergelangan tangan musuh, namun roda besi Hoat-ong lantas membalik ke bawah. sekali ini Nyo Ko tak mampu lagi menghindar “cret”, betis kanan terkena roda besi itu dan mengucurkan darah, lukanya ternyata tidak enteng.
Dalam kagetnya Kwe Yang menjerit kuatir.
Dalam pada itu Hoat-ong sudah mengeluarkan serep rodanya yang masih satu itu, rodi timah, kembali dengan sepasang roda ia menyerang katapt cuma bukan diarahkan pada Yo Ko, tapi selalu mengincar Kwe Yang.
Kiranya ia tahu meski Yo Ko terluka, tapi hendak mengalahkannya tidak mungkin terjadi dalam waktu singkat, karena itu ia melulu mengincar Kwe Yang, dengan demikian Yo Ko pasti akan berusaha menolongnya dan kedudukan lawan dengan sendirinya akan berada dipihak terdesak.
“Toakoko, jangan kau urus aku, kau bunuh saja Hwesio jahat ini untuk balaskan sakit hatiku!” demikian Kwe Yaog berseru.
Tiba-tiba terdengarlah suara tertahan Yo Ko, kiranya puodak kirinya terluka oleh roda musuh lagi, luka ini ternyata lebih berat, hingga tangannya hampir-hampir tak bisa diangkat.
Di bawah panggung Siao-liong-li dan Sin tiau bertama Ciu Pek-thong telah menghalau pemanah2 Mongol bersama agar mereka tak sempat melepaskan panah pada Yo Ko dan Kwe Yang. Tapi seluruh perhatian Siao liong li tidak pernah meninggalkan diri Yo Ko, di samping putar senjatanya membunuh musuh, saban2 ia mendongak memandang ke atas panggung.
Ketika mendadak dilihatnya badan Yo Ko penuh berlepotan darah, hatinya mencelos, kagetnya tidak kepalang.
Tatkala itu tangga panggung sudah putus terbakar, tiada jalan lagi untuk naik ke atas buat membantu , pikiran Siao-liong-ii seakan2 kabur, hanya pedangnya masih diputar membacok dan membabat tapi otaknya seperti kosong plong tak tahu berada dimana dan sedang melakukan apa?
Menghadapi bahaya, beberapa kali Yo Ko mengeluarkan ilmu pukulan “lm-jian-siau-hun-cio” untuk gempur musuh, tapi untuk memainkan ilmu pukulan ini, jiwa dan raga harus bersatu, padahal sejak ia bertemu kembali dengan Siao-liong-li, ia menjadi girang dan periang, darimana bisa lagi timbul perasaan “lm-jian-siau-hun” atau hati muram jiwa merana?
Meski dalam keadaan berbahaya, tetap tiada sedikitpun rasa rindunya seperti berpisah tcm-po hari, maka setiap gerak serangannya selalu berselisih sedikit daripada kehendaknya dan tak dapat menunjukkan daya saktinya lagi.
Di sebelah sana Kwe Ceng cs. juga sudah melihat keadaan Yo Ko yang menempur musuh dengan bertangan kosong dan sudah terluka, tapi jaraknya terlalu jauh, cara bagaimana mereka bisa membantunya?
Tiba-tiba pikiran Oey Yong tergerak, ia samber pedang Yalu Ce dan dilemparkan pada sang suami, sambil berseru: “Lemparkan ke atas panggung kepada Koji!”
Kwe Ceng menurut, maka meluncurlah pedang itu di atas busurnya terus dijepretkan, maka meluncurlah pedang itu dengan pesatnya dengan mengeluarkan sinar ber-kilau2.
Pedang itu cukup berat bentuknya juga berlainan daripada anak panah biasa, kalau bukan bidikkan tenaga sakti Kwe Ceng sukar juga hendak diluncurkannya ke atas panggung, Maka menyamberlah pedang itu dengan cepatnya ke punggung Nyo Ko. Ketika sudah dekat, mendadak lengan baju Yo Ko mengebas kebelakang hingga dengan tepat dapat melibat batang pedang itu.
Saat itulah kebetulan roda Hoat-ong juga lagi dihantamkan padanya, segera Yo Ko tarik pedangnya terus menusuk melalui sela-sela kedua roda musuh.
Tak terduga, sebab pundaknya terluka, gerak-geriknya menjadi terganggu, pula pedang ini bukan Hiantiat-pokiam yang tajam tiada bandingan, maka ketika roda Hoat-ong menjepit terus memuntir kedua rodanya, “pletak” kembali pedang Yo Ko patah.
Menyaksikan itu, semua orang dibawab panggung terkejut luar biasa.
Diam-diam Yo Ko insaf juga bawa hari ini pasti celaka, bukan saja tak dapat menotng Kwe Yang, bahkan jiwa sendiri akan melayang di panggung ini. Karena itu, dengan cemas ia memandang sekejap ke arah Siao-liong-li sembari berseru: “Selamat tinggal, Liong-ji, jagalah dirimu baik-baik!”
Dan pada saat itu juga, sebuah roda Hoatong telah mengepruk ke atas kepalanya, Dalam keadaan sudah putus asa, dengan lesu dan kurang semangat Yo Ko kebas lengan bajunya menangkis dan sebelah tangannya memukul.
Di luar dugaan, segera terdengar suara “plak” yang keras, pukulannya dengan tepat mengenai pundak Kim-lun Hoat-ong.
Menyusul itu terdengar Ciu Pek-thong berteriak di bawah panggung: “Bagus sekali tipu pukulan “to-ni-tay-sui”
(berlepotan tanah membawa air) itu!”
Yo Ko melengak. Tapi lantaran itu pula barulah ia sadar, Kiranya dalam keadaan putus asa dan lesu, tanpa terasa ia telah keluarkan tipu serangan “tho-ni-tay-sui”, suatu jurus dari ilmu pukulan im-jian-siau-hun-cio”. ilmu pukulan ini harus timbul sendirinya dari lubuk hati, dari lubuk hati meneruskan perasaan ke lengan dan lengan menggerakkan tangan, semuanya tergantung sang perasaan. Rahasia ini sekalipun Ciu Pek-thong yang serba lengkap mempelajari ilmu silat macam apapun juga tak mampu memahaminya.
Sejak Yo Ko bertemu kembali dengan Siao-liong li, ilmu pukulan ciptaannya ini sudah kehilangan “daya guna” nya, baru pada saat yang paling kritis, dalam hati merasa akan berpisah untuk selamanya dengan Siao liong-li, pada detik rasa dukanya itulah tanpa terasa kekuatan daripada ilmu pukulan “lm-jian-siau hun-co” itu timbul dengan sendirinya.
Dan karena pundaknya kena digebuk sekali, tubuhnya sempoyongan Hoat-ong terkejut dan heran tapi segera ia menubruk maju pula.
Yo Ko mengegos mundur, lalu ia memberondongi tiga kali serangan “Uk- put-ciong-sim” (keinginan ada, tenaga kurang), “To hing-gik-si” (jalan terbalik, berbuat melawan) dan “Yok-yu-soh-sit” (se-akan-2 kehilangan sesuatu).
Menyusul mana dengan tipu “Heng-si-cau bak” atau mayat berjalan bangkai bergerak, kakinya segera menendang.
Tendangan ini datangnya mendadak dan tak terduga, tak sanggup lagi Hoat-ong menghindarinya, tepat sekali kena “Tan-tiong-hiat” dadanya, Sambil menjerit keras-keras dan muntahkan darah tegar, tanpa ampun lagi Hoat-terjungkal ke bawah panggung.
Melihat itu, tanpa berjanji pasukan Song dan pasukan Mongol sama berteriak berbareng, Bedanya pasukan Song itu bersorak gembira, sebaliknya pasukan Mongol berteriak kaget.
Saat itu panggung sudah mulai bergoyang mengeluarkan suara “krak-krek” yang keras, Yo Ko tahu gelagat jelek, keadaan sudah mendesak, tak sempat lagi untuk memutus tali ringkusan Kwe Yang maka sekali telapak tanggannya memotong, ia hantam patah cagak kayu yang mengikat anak dara itu, lalu orangnya bersama cagaknya diangkatnya sembari berseru: “Tiau-heng, terimalah kami!” Ia incar baik- baik punggung rajawali sakti terus melompat ke atasnya.
Tangkas sekali Sin-tiau itu, meski tak bisa terbang, tapi sekali loncat setinggi dua-tiga tombak, dengan enteng saja Yo Ko bersama Kwe Yang jatuh dengan tepat di atas punggungnya dan perlahan-lahan turun ke tanah.
Dan pada saat itulah, didahului suara gedubrakan yang gemuruh, api dan asap berhamburan panggung tinggi itu sudah ambruk rata dengan tanah.
Tatkala Kim lun Hoat-ong ditendang terjungkal ke bawah oleh Yo Ko, walaupun terluka parah, tapi ia masih berusaha menyelamatkan diri, dengan menahan napas ia berguling sekali di tanah. Selagi hendak berbangkit kembali tiba-tiba terdengar olehnya di belakang seorang sedang ketawa terbahak-bahak, tahu-tahu pinggangnya dirangkul terus ditahan diatas tanah lagi. Menyusul Hoat-ong merasa seperti beratus, beribu jarum tajam menusuk masuk semua ke dalam tubuhnya.
Kiranya yang merangkul dan menindihnya itu bukan lain ialah Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, Si tua nakal ini memakai baju kutang berduri landak, benda pusaka Ui Yok su, benda ini tak mempan segala senjata, sebaliknya penuh berduri lancip bagai landak.
Memangnya Hoat-ong sudah terluka parah, kini kena dirangkul terus ditindih Lo wan-tong, keruan jiwanya melayang tanpa ampun.
Ketika panggung tinggi itu ambruk, cepat Ciu Pek thong melompat pergi, sedang Hoat-ong lantas terkubur dibawah puing panggung berapi itu.
Melihat puteri kesayangan terhindar dari elmaut, saking girangnya hingga Oey Yong mencucurkan air mata. Sungguh tidak terkatakan rasa terima kasihnya pada Yo Ko. Sekalipun saat itu ia diharuskan mati untuk Yo Ko usanya iapun rela, Maka cepat ia mendekati sang puteri untuk membuka tali pengikatnya.
Segera pula semangat Kwe Ceng, Ui Yok su, It-teng Taysu, Kwe Hu dan lain-lain terbangun, sebaliknya pasukan Mongol yang mengepung panggung itu melihat pemimpinnya sudah mati, seketika mereka menjadi kacau-balau, ditambah lagi diterjang pasukan Song kian-kemari, tentu saja tambah pontang-panting tak keruan.
“Gempur balik ke Siangyang, bunuh raja itu!” teriak Kwe Cing keras-keras.
Maka bersoraklah pasukan Song, mereka memutar tubuh terus menerjang pasukan Mongol yang lagi menggempur benteng itu.
Melihat luka Yo Ko, Siao-Iiong-li menyobek kain bajunya untuk membalut lukanya, saking terharunya hingga tangannya gemetar, tapi tak sanggup buka suara.
“Rasa kuatir mu di bawah panggung batu jauh lebih menderita daripada aku yang bertarung di atas panggung tadi,” ujar Yo Ko tertawa.
Sementara itu terdengar suara teriakan pasukan Song yang hiruk-pikuk memecah bumi dan secara gagah berani sedang menerjang musuh.
Dari jauh Yo Ko melihat formasi pasukan musuh sangat teratur, pula jumlahnya berlipat ganda daripada pasukan Song, berkali-kali pasukan Song menyerbu maju bagai gelombang ombak yang susuI-menyusuI, tapi sama sekali tak bisa memboboIkan pertahanan pasukan Mongol.
“Liong-ji,” kata Yo Ko, “meski lawan tangguh sudah mampus, tapi pasukan musuh belum kalah, Marilah kita menyerbu, Kau letih tidak?”
Betapa bersemangat kata-kata Yo Ko bagian depan itu, sedang kata-kata terakhir itu berubah menjadi begitu halus lembut penuh kasih sayang.
Siao-liong li tersenyum, jawabnya: “Jika kau bilang serbu, hayolah, serbu!”
“Toakoko,” tiba-tiba suara seorang anak dara berkata di sampingnya, “sungguh cantik Liong cici seperti dewi kayangan.”
Siao-liong-li berpaling pada Kwe Yang, sahutnya sambil tertawa: “Adik cilik, banyak terima kasih atas doamu atas pertemuan kembali kami, Toa-kokomu telah banyak bercerita tentang kebaikanmu, ia sengaja membawa aku ke Siangyang sini buat bertemu dengan kau.”
“Dan hanya engkaulah yang setimpal berjodohkan dia,” ujar Kwe Yang sambil menghela napas.
Lalu Siao-liaong-li menggandeng tangan anak dara itu dengan sangat akrabnya, sebenarnya terhadap siapapun selalu Siao liong-li bersikap dingin, tapi sepanjang jalan ia mendengar cerita Yo Ko yang memuji-muji Kwe Yang, pula melihat dalam usia sekecil anak dara ini, meski menghadapi ancaman elmaut tadi tetap tak gentar, maka sikap Siao-liong-li menjadi berubah dari pada biasanya.
Sementara itu Yo Ko telah membawakan beberapa ekor kuda yang tak bertuan lagi, katanya: “Marilah naik, aku membuka jalan, kita terjang musuh bersama!”
Segera ia mendahului cemplak kudanya dan dilarikan paling depan. Dengan kencang Siao-liongli dan Kwe Yang mengikut di belakangnya.
Mereka menuju ke selatan, terlihatlah tangga pencakar langit berderet2 bersandar pada tembok benteng, tentara Mongol bagai semut banyaknya sedang memanjat ke atas.
Ketika mereka memandang dari suatu tempat yang tinggi, terlihat di sebelah barat beribu tentara Mongol lagi mengurung Yalu Ce bersama 200 orang anak buahnya.
Tentara Mongol itu semuanya bersenjata golok sepanjang lima kaki dan berbentuk melengkung, maka satu persatu anak buah Yalu Cc banyak yang kena dibabat terguling, Kwe Hu kelihatan memimpin sepasukan tentara lain sedang menerjang hendak menolong suaminya, tapi kena ditahan oleh pasukan Mongol yang berjumlah ribuan orang.
Suami isteri hanya dapat melihat dari jauh saja, tapi tak bisa berhimpun menjadi satu.
Menyaksikan perajurit2 di samping suaminya makin lama makin berkurang, hati Kwe Hu benar-benar seperti disayat-sayat. ia tahu dalam pertempuran besar demikian, bila sampai terkepung sendirian, betapapun tinggi ilmu silatnya juga tak terhindar dari kematian.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Yo Ko ber-seru.
“Kwe-toakounio (nona Kwe besar), asal kau menyembah tiga kali padaku, segera aku menolong suamimu!”
Kalau turuti watak Kwe Hu yang congkak dan tinggi hati, jangankan disuruh menyembah, sekalipun mati juga ia tak mau kalah mulut pada Yo Ko. Tapi kini jiwa sang suami bergantung di ujung rambut, tanpa ragu-ragu lagi ia keprak kuda mendekati Yo Ko, sekali melompat turun, benar saja ia lantas tekuk lutut dan hendak menyembah sungguh-sungguh.
Melihat itu, Yo Ko malah terkejut, lekas ia menarik bangun orang, ia menyesal atas katanya tadi yang rendah budi, “Maafkan aku telah salah omong, jangan kau anggap sungguh Yalu-heng adalah sahabatku yang terbaik, tidak mungkin aku tidak menolongnya?”
Habis itu, ia mengumpulkan delapan ekor kuda lagi, yang empat ekor ia satu baris di depan dan empat ekor lain tergandeng satu baris di belakang, dengan dua baris kuda muka belakang masing-masing empat ekor itu, segera ia melompat ke atasnya, dengan tangan tunggal ia pegang delapan tali kendali, sekali ia bersuit segera ia terjang pasukan musuh.
Walaupun “tank-kuda” dikendalikan Yo Ko ini belum terlatih, tapi dengan tenaga saktinya tidak sukar untuk mengendalikannya, Maka 32 tapak kaki segera ber-detak2 kedepan hingga debu pasir berhamburan, Yo Ko sendiri dengan Gin-kang yang tinggi, melompat ke sana ke sini di atas ke delapan ekor kuda itu.
Ketika tentara Mongol tertegun menyaksikan ilmu menunggang kuda yang aneh menyerbu ke-dalam pasukan mereka. Sekali lengan baju Yo Ko mengebas, sebuah panji segera kena dirampasnya terus di tancapkan di atas pelana.
Dengan mem bentak2 segera perwira dan bintara Mongol hendak merintangi, tapi di mana panji Yo Ko rampasan tadi menyabet, sekaligus tiga perwira musuh terguling dari kudanya.
Ketika itu Yalu Ce kelihatan tinggal tiga tombak jauhnya, segera Yo Ko berseru: “Yalu heng lekas melompat ke atas!”
Berbareng itu, sekali panji diayunkan, segera Yalu Ce melompat tinggi ke udara, cepat Yo Ko menggulung dengan panjinya hingga dengan tepat tubuh Yalu Ce terbungkus oleh kain panji itu Dua orang delapan kuda segera menerjang keluar kepungan musuh.
“Nyo hengte,” kata Yalu Ce menghela napas lega, “banyak terima kasih atas pertolonganmu, Tapi anak buahku masih ada yang terkepung, tidak mungkin aku menyelamatkan jiwa sendiri, Biarlah aku bertempur lagi dan mati bersama dengan mereka.”
Tiba-tiba pikiran Yo Ko tergerak, katanya: “Marilah, kaupun merampas sebuah panji besar!” Habis ini, ia mengeluarkan geretan dan kain panji di tangannya itu ia bakar.
“Akal bagus!” seru Yalu Ce. Segera iapun dapat merampas sebuah panji dan menyulutnya dengan api panji Yo Ko yang sudah berkobar-kobar itu.
Sambil membentak-bentak, panji berapi itu mereka ubat-abitkan, kembali mereka menyerbu ketengah pasukan musuh lagi.
Dengan diputarnya kedua panji berapi yang menari kian kemari di udara, asal sedikit kesenggol siapapun pasti akan kepala gosong dan rambut hangus.
Walaupun pasukan Mongol gagah berani, tapi menghadapi api, tak bisa tidak mereka harus mundur, sementara itu bawahan Yalu Ce tadi sudah tinggal 50-60 orang saja, segera mereka menerjang keluar dari kepungan.
Dengan sisa perajuritnya itu, Yalu Ce berkumpul di atas tanah bukit sana sekedar melepas lelah.
Tiba-tiba Kwe Hu mendekati Yo Ko terus menyembah “Yo-toako, selama hidup aku selalu tak baik padamu, tapi kau berbudi luhur, kejelekanku kau balas dengan kebajikan dan kini engkau telah menolong…” Berkata sampai di sini suaranya menjadi parau dan tenggorokan seakan2 tersumbat.
Memang Beberapa kali Yo Ko pernah menoIongnya, tapi selalu merasa sirik dan dengki padanya. Sudah terang orang ada budi padanya, tapi rasa jemunya sukar dilenyapkan sering ia merasa Yo Ko terlalu angkuh dan suka agulkan kepandaiannya yang tinggi serta sengaja pamer.
Dan baru sekarang sesudah Yo Ko menolong jiwa suami-nya, Kwe Hu benar-benar merasa berterima kasih, baru ia insaf kesalah pahamannya yang duIu2.
Maka lekas-lekas Yo Ko membalas hormat orang, sahutnya: “Adik Hu, sejak kecil kita hidup bersama dan suka cekcok, padahal hubungan kita bagai kakak dan adik, asal kini kau tidak jemu lagi padaku, itupun aku sudah merasa senang.”
Kwe Hu tertegun oleh sebutan itu, sekilas segala kejadian di masa kanak-anak terbayang olehnya.
“Ya, apakah karena aku jemu padanya? Ataukah benci padanya? Bu-si Hengte begitu baik dan suka me-nyanjung2 padaku, tapi ia selamanya tak gubris diriku, Padahal asal sedikit turuti kemauanku, sedikit pikirkan diriku, rasanya aku mati untuknya juga rela.
Sebab apakah aku benci padanya tanpa alasan? Rupanya, diam-diam aku suka padanya, tapi sedikitpun ternyata aku tidak terisi di dalam hatinya,” demikianlah ia memikir.
Aneh juga, selama 20-an tahun ini, Kwe Hu tidak tahu akan perasaan hatinya sendiri, setiap ingat Yo Ko, selalu ia pandang orang sebagai musuhnya, padahal dalam hati kecilnya, betapa perhatian dan rindunya pada Yo Ko tidaklah dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Mungkin itulah yang dikatakan : “Cinta yang dalam, bencinya juga mendalam.” Sejak kecil sifat Kwe Hu sudah tinggi hati, ia anggap seharusnya Yo Ko mesti menjunjungnya seperti kedua saudara Bu yang begitu penurut.
Akan tetapi, sedikitpun Yo Ko ternyata tidak paham perasaannya, sebaliknya ia sendiripun juga tidak paham akan perasaan Yo Ko.
Lebih-lebih Kwe Ceng dan Oey Yong, kedua orang tua ini merasa Kwe Hu dan Yo Ko ini dilahirkan sebagai musuh, asal bertemu pasti cekcok, sampai akhirnya lengan Yo Ko buntung ditebas Kwe Hu hampir-hampir urusan meluas sampai batas-batas yang sukar diatasi.
Kini terasa benci dan sirik itu sudah hilang barulah Kwe Hu sadar, kiranya perasaannya pada Yo Ko sesungguhnya begitu mesra, begitu mendalam. Waktu ia menyerbu musuh untuk menolong kakak Ce, sebenarnya hatiku lebih kuatir untuk siapa kah? inilah aku tak bisa menerangkan. Sudah tentu kini aku tak mencintainya lagi, tapi dulu, kenapa aku menjadi begitu benci padanya?” demikian pikirnya.
Begitulah di tengah-tengah pertempuran yang gegap gempita itu, mendadak Kwe Hu menjadi jelas akan perasaan hatinya sendiri:
“Pada hari ulang tahun Yang-moay, ia telah memberikan tiga hadiah besar padanya dan kenapa aku harus begitu benci padanya ? ia membongkar kedok Hotu dan mendukung Ce-koko menjadi pangcu dari Kay-pang, kenapa diam-diam aku malah marah? Ah, Kwe Hu, Kwe Hu! Nyata kaulagi cemburu pada adik perempuannya sendiri! Soalnya sedemikian budinya yang manis kepada Yang-moay, tapi selamanya tak pernah sedikitpun begitu baik terhadapku,”
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia mendongkol dan gusar lagi, dengan sengit ia melotot sekejap ke arah Yo Ko dan Kwe Yang, tapi mendadak ia sadar lagi.
“Ah, kenapa aku pikirkan hal-hal ini? Bukankah aku sudah menjadi wanita yang bersuami, pula kakak Ce juga sangat
cinta padaku.”
BegituIah, akhirnya ia menghela napas panjang, walaupun hidupnya tidak kekurangan sesuatu apa, tapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam seakan2 tertinggal semacam rasa penyesalan yang tak terkatakan.
Biasanya apa yang dikehendakinya pasti terpenuhi, tapi sesuatu yang justru sangat diinginkannya malahan tidak di peroleh. Sebab itulah selama hidupnya ini terkadang ia sendiripun tidak paham: “Sebab apa sifatnya begitu keras?
Sebab apa diwaktu orang lain sedang bergirang, ia sendiri jus-tru mendongkol dan marah tanpa sebab?
Wajahnya sebentar marah sebentar pucat, ia terus memikirkan perasaannya yang aneh itu. Tapi Yo Ko, Siao-liong li, Yalu Ce dan Kwe Yang es sedang memandang jauh mengikuti pertempuran dahsyat yang sedang berlangsung di depan benteng Siangyang,
Terlihat tentara Mongol bagai semut sedang merembet ke atas benteng, Kwe Ceng dan Oey Yok-su cs. dengan perajuritnya sedang menggempur dari belakang musuh itu, namun jumlahnya sedikit, sukar menggulingkan pasukan besar musuh yang racnggcmpur benteng itu.
Sedangkan panji kebesaran raja Mongol tertampak perlahan-lahan mendekati kota, rupanya pasukan penjaga kota sudah patah semangatnya, tak sanggup lagi menggempur turun pasukan musuh yang merembes ke atas benteng itu.
Melihat itu, Kwe Yang berseru kuatir: “Toa-koko, bagaimana baiknya? Bagaimana baiknya ini?”
Diam-diam Yo Ko pikir: “HidupKu ini bisa berjumpa pula dengan Liong ji, sesungguhnya Thian berlaku murah padaku, harini walaupun harus mati, rasaku tidak menyesal lagi, Laki-laki sejati harus bela tanah air dan berkorban dimedan bakti, inilah tempat berpulang yang paling tepat bagiku.”
Berpikir itu, seketika semangatnya me nyala2, serunya segera: “MariIah, Yalu-heng, kita menerjang musuh lagi!”
“Bagus sekali!” sahut Yalu Ce tanpa pikir.
“Maritah kita ikut menyerbu!” Siao liong li dan Kwe Yang pun berseru berbareng.
“Baik,” kata Yo Ko. “Aku merintis di depan, kalian kumpulkan sebanyaknya tombak yang panjang dan ikut di belakangku.”
Segera Yalu Ce memberi perintah bawahannya mengumpulkan tumbak2 yang berserakan di medan pertempuran itu, mereka masing-masing membawa beberapa buah juga.
Dengan tumbak di tangan, segera Yo Ko cemplak kuda menerjang kedepan, Sin-tiau, Si rajawali sakti selalu mendampingi kudanya, sayapnya yang kuat itu seakan-akan perisai Yo Ko dan menyampuk panah yang berhamburan datang itu, Siao-liong-li, Yalu Ce, Kwe Yang berempat mengintil dibelakang dengan kencang.
Ternyata jurusan yang di arah Yo Ko itu adalah di mana kelihatan panji kebesaran raja Mongol berkibar.
Keruan Yalu Ce terkejut, ia tahu, sekali raja Mongol berani memimpin tentara sendiri, tentu penjagaan sudah diatur keras dan rapat sekali, Kini jumlah pihaknya yang tiada seratus orang ini bukankah cuma antarkan kematian bila berani menerjangnya? Tapi bila ingat jiwanya yang tadi hampir meliyang, tapi tertolong oleh Yo Ko, maka kemana saja diajak, kelautan api atau masuk air mendidih juga pasti akan diturutnya.
Begitulah dalam sekejap saja mereka sudah menerjang mendekati benteng Siangyang, Ketika pengawal Monko melihat serbuan rombongan Yo Ko yang hebat itu, segera ada 200 orang dikerahkan untuk menahannya.
Tapi sekali Yo Ko ayunkan tangannya yang tunggal itu, pesat bagai panah sebatang lembing atau tumbak lantas meluncur ke depan dan menembus dada seorang perwira musuh, habis itu ia sambut pula sebatang lembing lain dari Yalu Ce terus ditumpukkan lagi dan kembali perwira musuh kedua terjungkal.
Keruan pasukan Mongol itu menjadi kacau dan rombongan Yo Ko dengan cepat menerjang lewat.
Terkejut sekali para pengawal Monko, beramai-ramai mereka angkat senjata menghadang maju, tapi tumbak Yo Ko sekali tusuk, satu orang pasti terguling, siapa yang merintangi pasti mati.
Harus diketahui tenaga sakti lengan tunggal Yo Ko itu terlatih di bawah damparan ombak badai, betapa kuat sambitan lembingnya itu, sekalipun batu cadas juga tembus, jangankan badan manusia. Setiap lembingnya selalu diincarkan pada perwira2 yang memakai topi baja yang mudah dikenal, maka sekejap saja 17 tumbak sudah membunuh 17 perwira Mongol yang perkasa.
Dengan serangan kilat ini, meski berpuluh ribu tentara terhimpun di bawah benteng, tapi ke mana rombongan Nyo Ko sampai, di situ lantas kacau balau, sekaligus Yo Ko telah menerjang sampai di depan raja Mongol.
Dengan mati-matian pengawal pribadi Monko maju bertahan. Maiahan beberapa orang di antaranya terus mengaling-aling di depan junjungan mereka sebagai tameng.
Ketika Yo Ko membaliki tangannya hendak menerima tumbak lagi dari Yalu Ce. ternyata mendapat tempat kosong.
Kiranya mereka sudah keterjang pasukan musuh hingga terpisah.
Sementara itu Yo Ko melihat muka raja MongoI mengunjuk rasa gugup dan kuatir, kuda-segera diputar lantas hendak kabur. Tiba-tiba Yo Ko bersuit panjang, sekali kaki mengenjot pelana kuda, tubuhnya terus mencelat ke atas dan menubruk ke sana.
Belasan perajurit pengawal raja segera putar senjata mereka menusuk ke atas, tapi mendadak Yo Ko berjumpalitan sekali diudara, tahu-tahu tubuhnya melayang lewat di atas senjata2 musuh.
Melihat gelagat jelek, sekali tarik kudanya, segera raja Mongol itu kabur ke depan dengan cepat.
Kuda tunggangan raja Mongol itu adalah binatang pilihan, larinya begitu cepat bagai terbang, Namun Yo Ko tetap mengubernya dengan kencang ilmu entengkan tubuh yang tinggi. Dan di belakangnya menyusul pula beratus perajurit pengawal Mongol
Melihat keadaan begitu, pasukan kedua pihak, di atas dan di bawah benteng, untuk sementara menjadi lupa bertempur dan mereka sama berteriak-teriak, pasukan Mongol berteriak mengharap kuda junjungan mereka berlari lebih cepat, sebaliknya pasukan Song berteriak membeli semangat pada Yo Ko agar bisa membekuk raja.
Diam-diam Yo Ko bergirang melihat raja Mongol kabur terpencil sendirian Pikirnya, betapapun cepat kau kabur, akhirnya pasti akan kutangkap.
Tak terduga kuda tunggangan Monko yang bernama “Hui-hun cuirt atau kuda awan mengapung itu ternyata luar biasa sedikit mengenjot, sekali melompat lantas beberapa meter ke depan. Meski Yo Ko sudah mengudak sekuatnya, tapi malahan semakin jauh ketinggalan.
Tiba-tiba Yo Ko menyamber sebatang tumbak, lalu ditimpukkannya ke punggung Monko sekuat tenaga, Tampaknya lembing itu meluncur bagai panah dan segera bakal menancap di punggung orang, saking tegangnya sampai kedua pihak sama ternganga menahan napas, Siapa tahu mendadak kuda “Hui hun-cui” itu memancal ke depan hingga lembing itu jatuh satu kaki jauhnya dibelakang punggung raja Mongol itu.
Maka berteriak pula pasukan kedua pihak. pasukan Song merasa sayang, gegetun, sebaliknya pasukan Mongoi bersyukur girang.
Waktu itu jarak Kwe Ceng, Ui Yok-so, Oey Yong Ciu Pek-thong dan Ii-teng semuanya sangat jauh, mereka hanya ikut berkuatir saja tanpa bisa membantu Yo Ko. Sebaliknya perajurit dan perwira Mongol juga melulu bisa ber- teriak-teriak memberi semangat saja, walaupun ada maksud berkorban untuk junjungan mereka, tapi mana dapat menyandak lari-nya “Hui hun cui” yang begitu pesat?
Ketika Monko menoleh ke belakang dan melihat Yo Ko semakin ketinggalan jauh, ia menjadi lega, Segera ia belokkan kudanya menuju ke barat, ke pasukannya yang berada di situ.
Maka sambil berteriak-teriak pasukan Mongol itupun maju memapaki.
Dan jika sampai keduanya bergabung, lebih tinggi lagi kepandaian Yo Ko juga tak berdaya pula untuk menangkap raja musuh itu.
Melihat usahanya akan gagal, Yo Ko menjadi gegetun sekali tiba-tiba bergerak pikirannya, ia pikir tombak terlalu berat, sukar mencapai jauh,kenapa tidak pakai batu saja?
Karena itu, cepat ia jemput dua potong batu kecil seadanya, ia gunakan “Tan-ci-sin-thong” atau ilmu sakti selentikan jari, dua batu itu satu persatu diselentikan ke depan.
Maka terdengarlah suara mendenging tajam dua kali, suatu tanda betapa pesat menyambernya batu itu dan keduanya kena pantat kuda “Hui-hun-cui” hingga karena kesakitan, sembari meringkik, binatang itu berjingkrak terus berdiri menegak.
Monko adalah seorang raja yang tangkas dan gagah perwira, sejak kecil sudah banyak ikut bertempur dengan kakeknya, yaitu Jengis Khan, Hidup-nya boleh dikatakan dibesarkan di atas kuda dan di tengah senjata.
Kini meski menghadapi bahaya, tapi sama sekali tidak menjadi gugup, cepat ia tarik gendewa terus memanah ke belakang sambil kedua kakinya mengempit kencang kudanya yang menegak itu.
Tapi sedikit menunduk, Yo Ko hindarkan panah orang, habis itu secepat terbang ia melompat maju, sedang tangannya sudah dapat meraup sepotong batu lagi, waktu ia sambitkan sekuatnya, dengan tepat mengenai punggung Monko.
Betapa hebat tenaga sambitan Yo Ko itu, keruan Monko tak tahan, tulang iganya patah, orangnya terjungkal dari kudanya dan terbanting binasa.
Melihat raja mereka terguling dari kuda, seluruh pasukan MongoI menjadi kacau, beramai-ramai merubung maju dari segala jurusan.
Segera Kwe Ceng memberi tanda serangan umum. Begitu pula pasukan Song yang berada di dalam benteng segera ikut menyerbu keluar. Ditambah lagi barisan 28 bintang yang dipimpin Oey Yok-su lantas menggempur musuh ke sana ke sini.
Dalam keadaan kacau balau, pasukan Mongol saling injak-menginjak, yang mati tak terhitung banyaknya, sepanjang jalan penuh senjata yang ditinggalkan, akhirnya kabur tanpa teratur ke utara.
Selagi Kwe Ceng memimpin pasukannya mengejar musuh, tiba-tiba terlihat dari arah barat muncul lagi sepasukan musuh yang barisannya sangat rajin teratur, dari panjinya dapat diketahui itu adalah pasukan yang dipimpin adik raja, yaitu Kubilai.
Akan tetapi sekali pasukan Mongol sudah kalah, keadaannya bagai air bah melanda dan seketika tak mungkin bisa ditahan, Betapapun Kubilai atur tentara dengan baik, tetap keterjang pasukan kalah yang mundur bagai arus menerjang itu, seketika pasukannya ikut kacau.
Melihat gelagat jelek segera Kubilai putar pasukannya, ia sendiri dengan pasukan pribadinya perlahan-lahan mundur ke utara dengan teratur.
Sejak terjadi pertempuran antara pasukan Mongol dan kerajaan Song, selamanya pihak Mongol belum pernah mengalami kekalahan begitu besar, lebih-lebih raja mereka gugur dimedan pertempuran, hal ini sangat mempengaruhi semangat tentaranya.
PuIa menurut tradisi bangsa Mongol, takhta kerajaan bukan diteruskan putera mahkota, tapi di-calonkan oleh suatu dewan yang terdiri dari keluarga raja, pengeran2, pembesar-besar dan panglima yang terkemuka.
Kini Monko sudah mati, buru-buru Kubiiai ingin bisa naik takhta, maka iapuu cepat pimpin pasukannya pulang ke utara.
Kelak 13 tahun kemudian, barulah pasukan Mongol datang menggempur Siangyang lagi.
Ketika Kwe Ceng pimpin pasukannya kembali ke kota, tampaklah gebernur Lu Bun-nwan beserta stafnya lengkap sudah menunggu di pintu gerbang untuk menyambutnya.
Begitu pula rakyat berjubel-jubel diluar benteng sambil membawakan arak dan segala macam daharan sebagai hiburan bagi pasukan yang menang itu.
Kwe Ceng menggandeng tangan Yo Ko, ia terima secawan arak yang disuguhkan oleh seorang penduduk tua, tapi ia angsurkan pada Yo Ko, katanya. “Ko-ji, harini kau telah berjasa begini besar, namamu akan harum tersiar ke-mana-mana, ini sudahlah pasti, seluruh rakyat penduduk kota inipun tiada yang tak berterima kasih padamu.”
Terharu sekali Yo Ko oleh pujian Kwe Ceng itu, ada sepatah kata yang sudah tersimpan lebih 20 tahun di dalam hatinya dan belum pernah diucapkan kini tak tertahan lagi, dengan suara lantang segera ia menjawab: “Kwe pepek, jika waktu kecil siautit (keponakan) tidak mendapat perawatan dan pengajaranmu, mana mungkin terjadi seperti hari ini?”
Lalu kedua orang bergandengan tangan masuk kota bersama,terdengarlah suara sorak sorai rakyat yang gegap gempita menyambut mereka. Tiba-tiba Yo Ko teringat kejadian dulu: “Lebih 20 tahun yang lalu Kwe-pepek juga menggandeng tanganku mengantar aku ke Cong lam-san untuk belajar silat, perhatiannya padaku hingga sekarang sedikitpun tidak pernah berubah. Tapi aku sendiri telah berbuat onar, bikin gara-gara, mendurhakai guru dan menghianati agama, Coba bila aku terus tersesat ke jalan yang tak benar, tidak nanti hari ini aku bisa bergandcngan tangan lagi dengan Kwe-pepek.” Berpikir demikian tanpa terasa Yo Ko merasa malu sendiri.
Malamnya di dalam kota telah diadakan perjamuan besar untuk merayakan kemenangan yang gilang gemilang itu. Di tengah suasana yang gembira itu, tiba-tiba Kwe Ceng berduka sebab terkenang pada Ang Chit-kong. Katanya: “Dahulu kalau bukan Khu totiang (Khu Ju-ki) dari Coan cin-kau yang berbudi itu dan ketujuh In’su (guru berbudi) jauh-jauh mencariku ke Mongol, pula mendapat didikan dari Ang-loinsu, tidak mungkin aku Kwe Ceng bisa berjasa sedikit seperti hari ini? Kini kita bergembira di sini, di antara para Insu, kecuali Kwa-Ioinsu, selebihnya sudah wafat semua, kalau ingat beliau2 itu, sungguh aku menjadi berduka.”
Mendengar itu, lt-teng Taysu dan yang lain-lain ikut muram,sebaliknya Lu Bun hwan sama sekali tak mengerti seluk-beluknya, katanya dalam hati: “Orang-orang ini benar-benar tidak tahu aturan, dalam perayaan yang gembira ria ini malah berbicara tentang orang mati segala.”
Sementara itu Kwe Ceng telah berkata lagi “Kalau urusan di sini sudah selesai, besok juga aku ingin berangkat ke Hoa-san untuk berziarah ke makam Insu.”
“Kwe-pepek,” sela Yo Ko, “memangnya aku lagi hendak bilang begitu, Marilah kita pergi beramai-ramai.”
Memang Oey Yok-su, It-teng dan Ciu Pek-thong juga sudah kangen pada sobat tua yang telah meninggal lebih 20 tahun itu, segera saja mereka menyatakan setuju.
Dan perjamuan itu terus berlangsung dengan meriah hingga jauh malam.
Besok paginya, diam-diam Kwe Ceng dan rombongannya lantas berangkat menuju ke Hoa-san. Kesehatan Ciu Pek-thong, Liok Bu-siang, Su-si Hengte dan Su sui Hi-un belum sembuh betul, mereka menunggang kuda dan berjalan pelahan.
Baiknya tiada urusan penting, maka perjalanan mereka dilakukan seenaknya saja.
Tidak seberapa hari tibalah mereka sampai di Hoa-san, ketika Ciu Pek-thong cs sudah sembuh-semuanya. Maka naiklah mereka ke atas gunung itu, Yo Ko menunjukkan tempat di mana jenazah Ang Chit-kong dan Auyang Hong di kubur dulu.
Oey Yong sudah membawakan sayur-mayur, ayam daging dan lain-lain sesajen, segera ia membikin tungku dan menyalakan api, ia bikin beberapa macam masakan yang paling disukai mendiang Ang Chit-kong sebagai sesajen sembahyang, Lalu para ksatria itupun menjalankan penghormatan dan mengheningkan cipta.
Kuburan Auyang Houg letaknya di samping kuburan Ang Chit-kong, tapi dendam Kwe Ceng pada Auyang Hong boleh dikatakan sedalam lautan, bila ingat beberapa gurunya yang berbudi, seperti Ju Jong, Han Po-ki dan lain-lain terbunuh secara keji, meski kejadian sudah lewat berpuluh tahun, tapi rasanya masih sangat benci padanya.
Hanya Yo Ko saja yang mengingat budi kebaikan Auyang Hong dulu yang mengaku anak angkat padanya, ia berlutut dan menyembah di hadapan makam ayah angkat itu, bersama Siao-liong li.
Ciu Pek-thong maju ke depan kuburan Auyang Hong itu, ia membungkuk memberi hormat, katanya: “Wahai Lo-tok-but (makhluk berbisa tua, julukan Auyang Hong), hidupmu dulu banyak melakukan kejahatan, sesudah mati kau menjadi tetangga Lo-kiau-hua (pengemis tua, Ang Chit-kong), boleh dikatakan kau yang beruntung. Hari ini semua orang datang berziarah ke makam Lo kiau-hua, sebaliknya melulu dua bocah saja yang menyembah padamu, kalau ditanah baka kau tahu, seharusnya kau menyesali keganasan semasa hidupmu dulu?” Mendengar doa sembahyang yang lucu aneh itu, semua orang menjadi geli.
Kemudian semua orang ambil mangkok dan sumpit, mereka hendak dahar di depan kuburan itu. Tiba-tiba dari balik gunung sana berkumandang terbawa angin suara beradunya senjata serta bentak -membentak orang, tampaknya seperti ada orang sedang berkelahi.
Dasar watak Ciu Pek-tbong paling getol mengenai sesuatu, cepatan saja ia mendahului berlari ke tempat ramai-ramai itu, Kemudian semua orangpun menyusulnya.
Lewat dua tanjakan, di suatu tanah datar yang sempit terkumpul 30 - 40 orang yang beraneka macam bentuknya, tinggi-pendek, gemuk-kurus, tua muda, laki- perempuan, ada paderi, ada pereman semua bersenjata.
Orang-orang itu sedang bertengkar, melihat kedatangan rombongan Ciu Pek-thong dan Kwe Ceng, disangka kaum pelancongan biasa, maka tak digubrisnya.
Terdengar seorang laki-laki tinggi besar telah berkata dengan suara lantang. “Diam, diam! Kita jangan “hantam kromo” tak keruan. Sebutan “juara ilmu silat” tidak mungkin diperoleh dengan jalan ribut-ribut begini. Kini para orang gagah sudah berkumpul semua di sini, kenapa kita tidik saling ukur kepandaian masing-masing dengan ilmu pukulan atau senjata? Barang siapa bisa menangkan seluruh pertandingan, kita bersama lantas menyerah dan mengangkat dia sebagai juara.”
“Betul,” timbrung seorang Tojin berjenggot panjang bersenjatakan pedang. “Menurut cerita di kalangan Bu-Iim,  dahulu pernah terjadi “Hoa-san-lun-kiam (pertandingan pedang di Hoa san) sekarang kita juga boleh coba-coba bertanding, lihat saja siapakah gerangannya yang akan menduduki tempat tertinggi?”
Segera semua orang bersorak menyatakan akur, malahan ada beberapa orang diantaranya tanpa disuruh terus melompat ke tengah sambil berteriak: “Hayolah, siapa berani maju menghadapi aku?”
Melihat itu, Ciu Pek-thong, Oey Yok-su dan It-teng dan lain-lain saling pandang dengan bingung karena di antara orang-orang itu tiada seorangpun yang mereka kenal.
“Hoasan lunkiam” atau pertandingan pedang Hoa-san yang disebut itu, ketika untuk pertama kalinya diadakan, Kwe Cing sendiripun belum Iahir. Tatkala itu terjadi berebut sebuah kitab yang bernama “Kiuim-cin-keng”. Untuk itu Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong, yaitu nama-nama julukan Oey Yok-su. Auyang Kong, Toan-Ti-hin (lt-teng Taysu sekarang), Ang Chit-kong dan Ong Tiong-yang telah berkumpul di puncak tertinggi Hoasan untuk mengukur tenaga, akhirnya Tiong-sin thong Ong Tiong-yang menjagoi tokoh-tokoh lainnya dan dapat menangkan gelar “Juara.”
25 tahun kemudian, Ong Tiong-yang telah wafat, ketika Ui Yok-su dan lain-lain untuk kedua kalinya mengadakan “Hoasan lun-kiam”, sekali ini kecuali keempat tokoh yang lama, yaitu Tang-sia, Se tok, Lam te dan Pak-kay, bertambah lagi Ciu Pek-thong, Kiu Jian yim dan Kwe Ceng bertiga, tapi sesudah saling gebrak, semuanya meiasa kepandaian masing-masing belum mencapai tingkatan yang susah diukur, untuk mendapatkan gelar “Juara” sesungguhnya belum bisa.
Sungguh tak terduga setelah berpuluh tahun kemudian, kini ternyata ada lagi serombongan tokoh silat kalangan Bu-Iim yang ingin mengadakan “Hoa-san lun-kiam” ketiga kalinya.
Hal ini tentu saja bila Oey Yok-su dan lain-lain rada heran, tapi yang lebih aneh ialah berpuluh orang di depannya ini tiada yang mereka kenal. Apakah mungkin karena diri mereka seperti kodok di dalam sumur yang tak tahu di luar langit masih ada langit orang pandai ada yang lebih pandai.
Sementara itu terlihat beberapa orang itu sudah mulai saling gebrak, tapi baru beberapa jurus tak tertahan lagi Oey Yok-su dan Ciu Pek-thong akan rasa geli mereka. Sampai orang alim seperti It-teng juga ikut geli, sejenak pula, saking tak tahan, Oey Yok-su, Ciu Pek-thong, Yo Ko dan Oey Yong lantas tertawa ter pingkal2
Ternyata ilmu silat beberapa orang yang saling labrak itu terlalu rendah, hakikatnya cuma sebangsa jual jamu di Kangouw saja, entah mengapa merekapun bisa datang ke Hoa-san dan me-niru2 hendak mengadakan “Hoa-san-lun-kiam” segala.
Ketika mendengar suara tertawa Ciu Pek-thong dan lain-lain, pertarungan beberapa orang itu lantas berhenti dan melompat mundur “Hai, manusia tak kenal mati-hidup! Tuan-tuan besar sedang bertanding silat di sini, kenapa kalian malah ter-kekek2 dan peringas-peringas di sini? Hayo, lekas pergi dari sini jika ingin selamat!”
Tiba-tiba Yo Ko bergelak ketawa, begitu keras dan panjang suaranya hingga menggema angkasa bagai bunyi guntur gemuruh. Mula-mula rombongan orang itu berwajah pucat, menyusul badan gemetar, lalu senjatanya berjatuhan.
“Nah, lekas enyah!” beatak Yo Ko kemudian Sesudah terpaku sebentar, mendadak orang itu berteriak ramai, berbareng lari sipat-kuping ke bawah gunung, saking ketakutan sampai banyak yang jatuh bangun tak berani menoleh lagi, lapat-lapat terdengar ada di antaranya berseru: “Lekas lari, lekas lari! itulah Sin-tiau-tayhiap!”
Dan sekejap saja mereka sudah kabur bersih. Saking gelinya Eng Koh dan Kwe Hu terpingkal-pingkal sembari pegangi perut.
“Manusia yang suka mengelabui orang dan memajukan nama di mana-mana selalu ada, tapi tidak nyana di puncak Hoa-san inipun diketemukan bangsa-bangsa sedemikian ini,” ujar Oey Yok-su gegetun.
“Dahulu di seluruh jagat terkenal ada “Ngo Coat” (panca mahajana, lima tokoh terkemuka)”, tiba-tiba Ciu Pek-thong menyela. “Kini Se-tok, Pak-kay dan Tiong-sin thong sudah mati, lalu tokoh yang masih hidup di jaman ini ada berapa orang lagi yang dapat di-disebut “Ngo-Coat”?
Sahut Oey Yong dengan tertawa: “lt-teng Taysu dan ayahku makin hari makin tinggi ilmunya, dahulu saja sudah termasuk dalam hitungan “Ngo Coat” dan kini lebih-lebih tak perlu disangsikan. Dan kalau mau bicara secara jujur, suamiku sendiri adalah murid Pak-kay, iapun dapat termasuk satu di antara “Ngo Coat” itu. Usia Ko-ji meski muda tapi ilmu silatnya susah diukur, di antara angkatan muda siapa yang bisa membandinginya, apalagi iapun anak angkat Auyang Hong, jadi Tang dan Lam adalah orang lama, sedang Se dan Pak harus diteruskan oleh suamiku dan Ko ji.”
“Salah, salah!” sahut Pek-thong tiba-tiba sambil geleng-geleng kepala.
“Kenapa salah?” tanya Oey Yong.
“Ya, salah,” kata Pek thong. “Auyang Hong BerjuIuk Se-tok, tapi hati dan tindak tanduk si Yo Ko ini sama sekali tidak Tok (racun, artinya kejam), kalau iapun disebut Se-tok, kan tidak cocok?”
“Benar! Cing-koko juga tidak jadi pengemis pula lt-teng Taysu sekarangpun tidak menjadi Hongte lagi.” ujar Oey Yong, “Maka menurut aku, julukan kalian sekarang kudu diperbaharui Tang-sia, julukan ayah, adalah “trade mark” lama, itu tak perlu diganti, It teng Taysu tidak lagi jadi Hongte, tapi menjadi Hwesio, ia harus di sebut “Lam-ceng”
(paderi diri selatan), Mengenai Ko-ji (Yo Ko), biar kuhadiahi dia julukan “Ong” (bebas, tak terkekang), kalian bilang tepat tidak?”
“Bagus!” seru Oey Yok-su pertama-tama menyatakan akur, “Haha, sejak kini, satu Tang-sia dan yang lain Se-ong, satu tua dan satu muda, kita semua memang pasangan yang setimpal”
“Ah, usiaku masih terlalu muda, mana berani berdiri sejajar dengan para Cianpwe,” ujar Yo Ko merendah diri.
“Aha, adik cilik, kau salah jika bilang begitu,” seru Ui Yok-su, “Kau kan sudah pakai julukan “Ong” ( berlaku bebas )?
Kalau berdasarkan namamu yang tersohor dan ilmu silatmu, masakan tidak lebih tinggi daripada Lo-wan-tong?”
Oey Yok-su tahu puterinya (Oey Yong) sengaja tidak menyebut Ciu Pek-thong, perlunya biar si tua nakal itu tak tahan, lalu muring-muring sendiri, maka iapun sengaja membumbui sekalian.
Yo Ko pun paham maksud hati ayah dan anak itu, ia saling pandang dengan Siao-liong-li sambil tersenyum, dalam hati ia berpikir “Julukan “Ong” ini memang sangat tepat.”
Diluar dugaan Oey Yok-su, sama sekali Ciu Pek-thong tidak ribut malahan, ia tanya: “Jika Lamceng dan Se-ong sudah ganti merek semua, lalu “Pak-kay” bagaimana, harus diganti apa?”
“Ksatrta seluruh jagat di jaman ini kalau menyebut Kwe-heng. semuanya sebut “Kwe-tayhiap padanya,” demikian “Cu Cu-liu ikut buka suara. Selama berpuluh tahun ini ia mempertahankan Siangyang dengan susah payah, membela tanah air dan melindungi rakyat, orang gagah perwira seperti dia sejak dulu hingga sekarang susah juga dicari bandingannya, Maka menurut aku, kalau kita sebut dia “Pak-hiap” (pendekar dari utara) rasanya semua orangpun akan setuju.
Mendengar itu, segera It-teng Taysu dan Bu Sam-thong dan lain-lain bertepuk tangan memuji nama baik itu.
“Nah, Tang-sia, Se-ong, Lam ceng dan Pak-hiap sudah ada orangnya semua, lalu yang tengah, siapa yang harus menduduki untuk menggantikan Tiong-sin-thong Ong Tiong-yang?” ujar Oey Yok-su. Sembari berkata ia sengaja melirik sekejap ke arah Ciu Pek thong, lalu menyambung pula: “Nyo-hujin (nyonya Nyo, maksudnya Siao liong-li) adalah ahliwaris satu-satu-nya dari Kobong-pay, dahulu nama Lim Tiau-eng menggetarkan Kangouw, meski Ong Tiong-yang sendiri juga jeri padanya. Dengan ilmu pedang Giok-li-kiam-hoat ciptaan Ko-bong-pay yang khas itu, kalau dahulu Lim-lihiap juga ikut menghadiri Hoa-san- lun-kiam, jangankan nama Ngo-coat harus diubah, bisa jadi gelar “juara” yang diperoleh Ong Tiong-yang itu juga sukar dipertahankan. Kini ilmu silat Nyo Ko berasal ajaran sang isteri, muridnya saja termasuk “Ngo Coat” baru, gurunya tentu saja tak perlu di-sangsikan lagi, Sebab itulah Nyo hujin tepat sekali menduduki tempat tengah.”
Namun Siao-liong-li tidak pernah ketarik oleh segala nama pujian itu, dengan tersenyum ia menjawab: “Ah, sekali-sekali aku tak berani menerimanya.”
“Jika tidak mau, tentunya harus Yong-ji,” kata Oey Yok-su puIa, “Meski ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, tapi banyak tipu akal, pintar dan cerdik, kalau dia termasuk satu diantara Ngo-coat juga pantas.”
“Bagus, bagus!” seru Ciu Pek-thong tiba-tiba sembari bertepuk tangan tertawa. “Terus terang, kau Oey-losia, Kwe-tayhiap apa segala, semuanya tak pernah bikin hatiku kagum dan takluk betul, hanya Oey Yong si bocah ini memang cerdik dan licin, asal Lo-wan tong ketumbuk dia lantas mati kutu.
Kalau dia dimasukkan satu diantara Ngo-coat, itulah memang paling tepat.”
Semua orang jadi tercengang mendengar ucapan itu.
Sungguh kalau bicara tentang ilmu silat, sekalipun Oey Yok-su dan It-teng juga merasa kalah sedikit, sebabnya nama Ciu Pek-thong tidak di-ungkap mereka sebenarnya melulu ingin bergurau untuk menggodanya saja.
Siapa tahu dasar pembawaan Ciu Pek-thong memang jujur polos, sedikitpun hatinya tiada rasa iri dan- dengki meski pembawaannya gemar silat, tapi tak pernah timbul pikiran cari nama untuk menjagoi dunia, maka sama sekali tidak terpikir olehnya apakah ia sendiri harus termasuk di dalam Ngo-coat atau tidak.
Maka tertawalah Oey Yok-su, katanya: “Wahai, Lo-wan-tong, kau memang benar-benar hebat. Soal “nama” aku Oey Losia memandangnya dingin. It-teng Taysu anggap ” nama” hanya khayalan belaka. Hanya kau, hatimu kosong bersih, hakikatnya tidak pernah berpikir tentang “nama” segala, nyata kau lebih hebat setingkat lagi dari pada kami, Haha, Tang-sia, Se-ong, Lam-ceng, Pak-hiap Tiong wan-tong di antara Ngo coat, kaulah yang tertinggi.
Mendengar sebutan “Tangsia, Se-ong, Lam ceng, Pak-hiap, Tiong wan-tong” itu, semua orang lantas bersorak memuji, tapi merasa geli pula.
Setelah kedudukan “Ngo Coat” ditetapkan, semua orang lantas gembira ria, dengan berpencar mereka pergi pesiar sendiri-sendiri menikmati keindahan pegunungan Hoa-san.
Mula-mula Kwe Yang ikut di belakang sang ibu, Oey Yong, ia lihat Yo Ko bergandengan tangan dengan Siao-liong li dengan mesranya menuju ke arah lain, katanya tiba-tiba pada, ibunya: “Mak, sekarang boleh aku ikut pergi bersama Yo-toako dan Liong-cici dengan bebas, bukan?”
Oey Yong mendadak diam tertegun sejenak, tapi lantas tersenyum penuh arti.

-TAMAT-