Kamis, 10 Januari 2013

Sin Tiauw Hiap Lu 109



Kembalinya Pendekar Rajawali 109


Menyusul itu Ciu Pek-thong menambahi sekali gebuk pada “Ci-yang-hiat” di punggungnya sambil tertawa: “Nah, tidurlah sebentar!” Maka lemaslah kedua kaki Hoat-ong, ia lantas deprok terduduk.
It-teng bertiga saling pandang dengan tercengang, sungguh Hwesio ini lihay luar biasa, beruntun tubuhnya kena ditutuk dan digebuk tapi masih tidak roboh menggeletak.
Lalu merekapun mendekati Kwe Yang untuk menanya keadaannya.
“Mak,” demikian anak dara itu menutur,” ia berada dibawah… di bawah… lekas menolongnya …. lekas menolongnya…” saking cemas dan kuatir hanya beberapa kata-kata itu saja dapat diucapkannya, lalu jatuh pingsan.
“Tidak apa,” ujar It-teng sesudah pegang nadi Kwe Yang.
Segera ia memijit beberapak kali pinggang anak dara itu, selang tak lama, Kwe Yang siuman.
“Di manakah Toako Yo Ko, apakah dia sudah naik?.” Tanyanya segera setelah anak dara itu menenangkan diri.
“Apakah Yo Ko juga berada di bawah sana?” tanya Oey Yong cepat.
Kwe Yang mengangguk, sahutnya pelahan: “Ya, Tentu…”
Dalam hati iapun berkata: “Jika ia tidak di bawah, untuk apa aku ikut terjun ke sana?”
Melihat badan puterinya basah kuyup, ” Oey Yong menanya lagi: “Apakah di bawah adalah sebuah kolam air?”
Kwe Yang mengangguk saja, ia pejamkan matanya, tak sanggup lagi buka suara, hanya menunjuk ke bawah jurang.
“Kalau Yo Ko memang berada di bawah sana, terpaksa suruh Tiau-ji mengambilnya naik,” ujar Oey Yong, Lalu ia bersuit buat memanggil rajawali betina tadi.
Tapi aneh, sudah berapa kali ia bersuit rajawali betina itu masih tidak menggubrisnya. Oey Yong menjadi heran, sudah berpuluh tahun kedua rajawali ini sangat penurut, kenapa sekarang anggap angin perintahnya?
Maka kembali ia ulangi suitannya, ia lihat2 rajawali betina itu pentang sayap dan terbang lagi-lagi, sesudah mengitar beberapa kali dan bersuara memilukan, mendadak burung itu menjungkal ke bawah secepat batu meteor.
“Celaka!” keluh Oey Yong dalam hati, segera iapun berteriak: “Tiau-ji”
Akan tetapi sudah terlambat, rajawali itu tertumbuk batu cadas hingga kepala pecah dan sayap patah terus mati.
Semua orang terkejut, waktu memeriksa binatang itu, kiranya rajawali jantan sudah dingin beku dan sudah lama mati. Semua orang menjadi terharu oleh jiwa setia sehidup semati sepasang burung itu, Oey Yong paling berduka hingga hampir mencucurkan air mata.
“Suhu, Suci, jika Yo-toako berada di bawah jurang, cara bagaimana kita harus menolongnya naik?” kata Thia Eng kemudian.
“Yang-ji” tanya Oey Yong sambil mengusap matanya yang basah, “Sebenarnya bagaimanakah keadaan di dalam jurang sana?”
Sementara Kwe Yang sudah pulih kembali semangatnya, maka tuturnya: “Begitu aku jatuh ke bawah, dengan cepat ku tenggelam ke dasar kolam, dalam keadaan gugup akupun kemasukan beberapa cegukan air Kemudian entah… entah mengapa aku terapung ke permukaan air dan dan Nyo toako telah menjambak rambutku terus diangkat ke atas…”
Oey Yong rada lega mendengar itu, katanya. “Apakah di tepi kolom itu ada guanya yang dapat dibuat berdiri?”
“Ya, di tepi kolom itu banyak pepohonan” sahut Kwe Yang.
“Oh,” kata Oey Yong “Dan sebab apa kau terjun kebawah?”
“Waktu aku diangkat ke atas, Nyo toako juga menanya aku seperti itu,” tutur Kwe Yang. “Aku lantas keluarkan jarum emas dan serahkan padanya, kataku : “Aku meminta agar engkau menjaga dirimu dan janganlah mencari pikiran pendek.”
Tanpa berkedip ia memandangi aku, tak lama kemudian rajawali jantan itu jatuh ke bawah, menyusul yang betina lantas datang membawa kawannya ke atas, lalu datang lagi membawa aku.
Kuminta Nyo- toako juga naik, tapi ia tidak membuka suara dan aku dinaikkan nya keatas punggung rajawali Mak, suruhlah rajawali itu turun kebawah lagi untuk menjemputnya.”
Sementara Oey Yong tak mau memberi tahu tentang kematian kedua rajawali, ia tanggalkan baju luarnya sendiri untuk menutupi badan sang puteri yang basah itu.
“Tampaknya sementara Ko-ji tidak berbahaya, lekas kita pintal seutas tambang panjang untuk menjemputnya naik!” kata Oey Yong kemudian kepada kawan-kawannya.
Beramai-ramai semua orang lantai mengelotoki kulit pohon untuk dibikin tali, Kecuali Hoat-ong yang tertutuk jalan darahnya, Kwe Yang belum pulih dari letihnya, selebihnya ikut kerja keras.
Meski mereka adalah jago silat terkemuka, namun untuk mengikal tambang tidaklah lebih pandai daripada tukang yang biasa, maka sibuk sampai hari sudah gelap baru ratusan tombak tambang itu dapat mereka, pilin, tampaknya masih jauh dari cukup.
Thia Eng mengikat sebuah batu pada ujung tambang itu dan diturunkan ke bawah jurang, ujung tambang yang lain diikat pada dahan sebuah pohon, tali itu terus dipilin dan makin panjang terus menurun ke bawah.
Satu malam suntuk mereka kerja terus, sampai besok paginya, Kwe Yang juga ikut membantu dan tambang itupun terus bertambah panjang, Tapi Yo Ko yang katanya berada dibawah jurang itu sama sekali tak mengirimkan sesuatu tanda atau berita.
Oey Yok-su mulai kuatir, ia keluarkan serulingnya terus ditiup dengan tenaga dalamnya yang hebat, suara seruling begitu nyaring merdu tersiar ke dalam jurang, kalau Yo Ko mendengar suara seruling itu pasti akan bersiul panjang untuk menjawabnya. Siapa tahu keadaan masih tetap sunyi saja.
Sesudah berpikir sejenak, Oey Yong memotong sepotong kayu, dengan ujung pedang ia ukir beberapa huruf di atas kayu itu, bunyinya singkat: “Apa selamat? Harap jawab!” -
Lalu batang kayu itu dilemparkan ke dalam jurang, Namun sudah lama sekali, tetap tiada sesuatu suara di dalam jurang sana hingga semua orang menjadi kuatir.
Meski jurang sangat dalam, tapi panjang tambang agaknya sudah mencapai dasarnya, biarlah ku turun melihatnya,” kata Thia Eng.
“Aku saja yang turun!” seru Ciu Pek-thong tiba-tiba, dan tanpa menunggu jawaban orang lain, cepat saja ia merosot turun dengan tambang itik hanya sekejap saja orangnya sudah menghilang menembus kabut yang mengapung di permukaan jurang.
Agak lama kemudian, secepat kera Ciu Pek-thong merembet naik lagi, rambut dan jenggotnya berlepotan lumut, berulang-ulang si tua ini menggeleng kepala dan berkata: “Sedikitpun tiada bayangannya, mana ada Yo Ko segala?”
Karena itu, semua orang memandangi Kwe Yang dengan rasa sangsi.
“Tadi Toakoko berada di bawah, kenapa bilang tidak ada?”
kata Kwe Yang pasti, “la duduk di atas pohon besar di tepi kolam.
Thia Eng tidak mau banyak bicara, “Segera ia merosot turun dengan tambang, menyusul Liok Bu-siang ikut turun dan ber-turut-urut Eng Koh selanjutnya Ui Yok Su dan It teng Taysu juga ikut turun ke bawah. Bagi mereka pertama-tama kuatirkan keselamatan Yo Ko, kedua tertarik dan ingin mengetahui apa macamnya pemandangan di bawah jurang itu.
Oey Yong yang turun paling belakang memberi pesan pada sang puteri: “Yang ji, kesehatanmu belum puIih, jangan kau ikut turun. jika Nyo- toako berada di bawah, dengan kawan-kawan begini banyak kita pasti dapat menolongnya ke atas”
Meski perasaan sangat kuatir. tapi Kwe Yang mengiakan dengan mengembeng air mata.
Oey Yong pandang pula Hoat-ong yang deprok di tanah itu, ia kuatir kalau-kalau Lwekang terlalu lihay hingga dapat melepaskan tutukan yang sebenarnya harus lewat 12 jam baru bisa punah sendirinya maka ia mendekatinya dao menu pula dipunggung, dada dan kedua lengannya di tempat-tempat yang melumpuhkan, habis itu baru ia menyusul melorot kebawah jurang.
Daya merosotnya makin lama makin cepat, dalam sekali jurang itu hingga lama barulah sampai dibawah. Ia lihat dibawah jurang itu memang benar ada sebuah kolam yang berair biru ke hijau-hijauan, Ui Yoksu cs berdiri di tepi kolam lagi memeriksa dengan teliti, tapi jejak Yo Ko tidak terlihat dikiri kolam sana, di atas pohon terdapat lebih 30 buah sarang tawon, terdengar suara mendengungnya tawon yang mengitari sarang2 nya, nyata itulah tawon putih.
Tergerak pikiran Oey Yong, katanya cepat: “Ciu-toako, lekas kau tangkap seekor tawon itu, coba kita lihat apakah disayapnya juga terdapat tulisan.”
Ciu Pek-thong menurut, ia tangkap seekor tawon itu, tapi tiada terdapat sesuatu tulisan. “
Waktu Oey Yong memeriksa sekitar jurang itu ternyata empat penjuru melulu dinding tebing yang beratus2 tombak tingginya, terang tiada jalan tembusan lain, pohon-pohon besar di tepi kolam berbentuk fiftfa2 daQ tak diketahui apa namanya, waktu m’en (Sigak, kab,ui rapat menutupi permukaan jurang ibmgga tak tertembus sinar matahari.
Sedang ia termenung-menung, mendadak terdengar Ciu Pek-thong berseru: “Hai, seekor ini ada tulisan-nya!”
Lekas Oey Yong mendekatinya dan benarlah kedua sayap tawon itu tertisik tulisan,” bunyinya tetap “Aku berada didasar, Coat-ceng kok.”
Di antara orang-orang yang hadir sekarang, Oey Yong sendiri yang paling pandai menyelam, tanpa disuruh lagi ia ringkaskan bajunya, ia telan sebutir pil “Kiu hoa-giok-loh-wan”
untuk menjaga kemungkinan ular air berbisa dan lain-lain, habis itu ia terjun ke dalam kolam.
Cepat Ui-Yong menyelam ke bawah, makin dalam air kolam itu semakin dingin hingga serasa menusuk tulang, Diam-diam Oey Yong terkejut melihat air hijau berlumut seakan2 membeku itu. Tapi ia belum putus asa, sesudah menongol kepermukaan air buat hirup udara, lalu ia menyelam lebih mendalam lagi.
Ketika sampai tempat yang sangat dalam, dari dasar kolam itu dengan sendirinya timbul semacam daya penolak yang kuat, sekalipun Oey Yong sudah berusaha sebisanya juga tak sanggup menyelam sampai dasar kolam.
ApapuIa dinginnya tak tertahan, sekitarnya juga tiada tanda-tanda yang aneh, terpaksa ia timbul kembali ke atas Melihat Oey Yong kedinginan hingga bibirnya ke biru2an, rambutnya mengkilat putih, ternyata terbeku selapis es tipis, sungguh semua orang ter-kejut sekali.
Lekas-lekas Thia Eng dan Liok Bu-siang mengumpulkan kayu kering dan membakar api unggun untuk menghangatkan badan Oey Yong.
Sementara itu Kwe Yang yang ditinggalkan di atas jurang sana sedang berpikir: “Walaupun Toa-koko tak dapat naik, pasti Gwakong dan ibu akan menyeretnya dengan paksa.
Kenapakah ia membunuh diri? Apakah Siao-liong-Ii benar-benar sudah mati? selamanya takkan bertemu lagi dengan dia?”
Begitulah selagi ia termangu-mangu, tiba-tiba didengarnya suara rintihan Kim-Iun Hoat-ong.
Waktu Kwe Yang berpaling, ia lihat urat daging di muka orang berkerut2 seperti kejang, terang sedang menderita sekali “Hm, ini namanya kualat, makanya jangan suka membunuh orang?” demikian jengek anak dara itu.
Tapi Hoat-ong masih terus meng aduh2 semakin keras, sorot matanya mengunjuk rasa minta dikasihani.
Betapapun memang hati Kwe Yang bajik dan welas-asih, ia menjadi tak tega akhirnya, maka tanyanya: “Kenapa? Sangat sakitkah?”
“lbumu telah tutuk ” Leng-tay-hiat” dan ” Ki koat-hiat”
dipunggung dan dadaku, maka seluruh badanku serasa digigit beratus ribu semut, sakit dan gatal luar biasa, kenapa ia tak mau tutuk sekalian aku punya ” Tan-tiong-hiat” dan ” Giok-cim-hiat?” sahut Hoat-ong,
Kwe Yang terkesiap, ia sudah pernah belajar ilmu Tiamhiat dengan ibunya dan tahu tempat-tempat “Tantiong” dan “Giok-cin” adalah jalan darah penting di tubuh manusia, asal sedikit terluka saja bisa terbinasa, maka katanya: “lbuku tidak menghabiskan jiwamu, kau tidak berterima kasih, masih cerewet apa?”
“Kalau ia tutuk kedua jalan darahku itu, rasa pegal kesemutanku akan banyak berkurang,” kata Hoat-ong sungguh-sungguh “Begini tinggi ilmu kepandaian-ku, masakah hanya sekali tutuk bisa bikin jiwaku melayang?”
Akan tetapi Kwe Yang tak percaya, “Ah, jangan kau bohong,” jengeknya. “Kata ibu, tempat “Tan tiong dan Giok-cim” sedikit tertutuk lantas jiwa melayang. Kau hanya pegal kesemutan, bolehlah bersabar sebentar, segera ibu dan lain- lainnya akan kembaii.”
Nona Kwe.” kata Hoat-ong pula, ” sepanjang jalan bagaimana aku memperlakukan dirimu?”
“Baik juga,” sahut Kwe Yang. “Cuma kau telah membunuh Tiang jiu-kui dan Toa-thau-kui, pula membunuh kedua rajawaliku, lebih baik lagi kau padaku juga aku tidak mau terima.”
“Baiklah, bunuh orang ganti jiwa, sebentar kau boleh, bunuh aku untuk balas sakit hati kawanmu,” jelas Hot-ong,
“Tapi sepanjang jalan aku begitu baik padamu, apa balas budimu?”
“Coba katakan cara bagaimana membalasnya?” tanya Kwe Yang.
“Harap kau tutuk Tan-tiong dan Giok-cim di punggung dan dadaku masing-masing sekali, biar mengurangi penderitaanku, itupun sudah membalas budi padaku” kata Hoat ong.
Namun Kwe Yang geleng-geleng kepala, “Tidak, kau ingin aku membunuhmu, hm, mana mau aku melaksanakannya!” sahutnya.
“Hayolah, tutuklah tak nanti aku mati” pinta Hoat-ong.
“Sebentar bila ibumu datang, malahan aku ingin minta ampun padanya, tidak nanti aku mati secara begini mudah.”
Mendengar orang bicara dengan sungguh-sungguh, Kwe Yang menjadi ingin coba-coba, maka dengan pelahan ia tutuk dada orang sekali.
“Ehm, segar rasanya, tutuklah lebih keras,” kata Hoat-ong sambil menarik napas dalam-dalam
Segera Kwe Yang tutuk lebih kuat, ia lihat Hoat-ong bersenyum, sedikitpun tidat menderita, mukanya dari merah berubah pucat, lalu merah lagi.
Habis itu Hoat-ong berkata: “Nah, lebih keras lagi sedikit….!”
Kwe Yang menurut, ia pakai ilmu menutuk yang dipelajarinya dari ayah-bundanya dan menutuk pula sekali di
“Tan tiong-hiat” di dada orang.
“Ah, baiklah sekarang, dadaku tidak pegal lagi! Nah, aku tidak mati, bukan?” kata Hoat-ong.
Kwe Yang sangat heran oleh kekebalan orang, katanya kemudian “Sekarang aku menutuk lagi Giok-cim-hiat.”
Mula-mula iapun tutuk pelahan seperti tadi, lalu tambahi sedikit lebih keras.
“Banyak terima kasih, banyak terima kasih!” ujar Hoat-ong. Lalu ia pejamkan mata menghimpun tenaga, mendadak ia melompat bangun sambil membentak “Marilah pergi!”
Keruan terperanjat luar biasa Kwe Yang, “Kau… kau…”
tapi tak sempat ia berkata lebih banyak, sekali Hoat ong mencekal, pergelangan tangannya dipegang terus diseret pergi.
Nyata ilmu melancarkan jalan dan membuka tempat tutukan justeru adalah Lwekang khas yang sangat hebat bagi golongan pertapaan di Tibet. Ketika Kwe Yang menutuk “Tan-
tiong” dan “Giok-cim” kedua tempat jalan darah, diam-diam Hoat-ong sudah menghimpun tenaga melancarkan kembali aliran darahnya. Kalau Kwe Yang kuatir tutukannya itu akan menewaskan orang, padahal justeru malah membuka jalan darahnya.
BegituIah sambil menyeret Kwe Yang, segera Kim-lun Hoat-ong berlari pergi, tapi baru beberapa tombak jauhnya, tiba-tiba timbul pikiran jahatnya. ia lihat tambang yang terikat didahan pohon itu, ia pikir asal tambang ini diputuskan, Ciu Pek-thong, It-teng, Oey Yok-su dan lain-lain pasti akan terbinasa di dalam jurang itu, maka cepat ia melompat ke sana terus hendak memutuskan tali tambang itu.
Tentu saja Kwe Yang terkejut, tanpa pikir sikutnya menyodok pinggang Hoat-ong di tempat Nan-ik.hiat”
Salah Hoat-ong sendiri, ia terlalu panjang sepele anak dara itu, maka sikutan itu dengan tepat mengenai jalan darah itu hingga sebagian tubuhnya sesaat lemas tak bertenaga.
Segera Kwe Yang meronta melepaskan cekalan orang, kedua tangannya memegang punggung Hoat-ong dan berkata: “Aku dorong kau ke dalam jurang, biar kau terbanting mampus!”
Terkejut sekali Hoat-ong, diam-diam ia pusatkan tenaga dalam buat punahkan jalan darah sikutan anak dara tadi, sedang lahirnya tidak menjadi gugup, ia ter babak2 dan menggertak: “Hahaha, melulu sedikit kepandaianmu yang tak berarti-ini masakah mampu mendorong diriku?”
Gertakan ini ternyata bikin Kwe Yang menjadi ragu-ragu, Padahal saat itu Hoat-ong belum terlepas jalan darahnya, asal sedikit ia dorong, tentu akan terjerumus ke dalam jurang, atau dengan lain jalan, umpama menutuk pula beberapa kali jalan darahnya yang lain, tentu Hoat ong akan lumpuh.
Cuma tadi tutukannya malah bikin Hoat-ong berbangkit kembali, maka Kwe Yang pikir, tiada gunanya menutuknya lagi, sebab itulah ia melompat pergi dan berlari ke tepi jurang.
“Lebih baik aku mati bersama-sama dengan ibu saja!” katanya tiba3 terus hendak terjun ke dalam-jurang.
Terkejut Hoat-ong melihat anak dara itu telah menjadi nekat, saat itulah tutukan dapat dipunahkannya, tak sempat lagi ia putuskan tambang tadi, tapi cepat menubruk ke arah Kwe Yang.
Cepat Kwe Yang berlari pula, ia melompat kian kemari di antara batu-batu cadas dan menyusuri pohon-pohon besar.
Jika di tempat datar, sekali lompat saja pasti Hoat-ong bisa menangkapnya kembali, tapi di puncak karang Toan jong-khe ini penuh batu-batu besar dan pohon-pohon, Kwe Yang sengaja menyusup ke sana dan mengumpet ke sini, makin lari makin jauh, seperti orang lagi main kucing2an dengan Hoat-ong.
Sesudah lama, akhirnya sekali menubruk dapatlah tangan Kwe Yang dipegang Hoat-ong.
Ketika main umpet2an dengan Hoatong, Kwe Yang sudah mulai melupakan apa yang terjadi tadi, kini sesudah kepegang barulah ia sadar akan gelagat jelek, cepat ia berteriak. Tapi secepat itu pula Hoat-ong sudah dekap muIutnya.
Pada saat itulah terdengar berkumandang suara Liok Bu-siang sedang menanyai “He, Kwe Yang ci -iik telah lari kemana?”
Diam-diam Hoat-ong gegetun, karena telah kehilangan kesempatan baik, maka ia tutuk jalan darah yang membikin gagu, Kwe Yang diseret pergi Padahal saat itu baru Liok Bu-siang saja yang naik keatas, kalau Hoat-ong mau mengulangi memutuskan tambang masih keburu, sebab melulu Liok Bu siang seorang tak mungkin bisa menahannya. Tapi karena ia sudah rasakan betapa lihaynya It-teng Tay-su, Ciu Pek-thong dan Oey Yok-su, nyalinya sudah ciut, ia bersyukur dapat menyelamatkan diri, mana berani lagi ia mencari penyakit?
Kiranya sesudah memeriksa dan mencari di bawah, jurang dan tidak mendapatkan sesuatu tanda, Oey Yong dan lain-lain menduga Yo Ko tidak menemukan sesuatu bahaya, maka sesudah berunding, mereka memutuskan untuk naik kembali ke atas.
Orang yang pertama naik itu adalah Liok Bu-siang, menyusul Thia Eng dan Eng Koh.
Ketika Oey Yong sudah naik, segera didengarnya Thia Eng bertiga sedang berteriak-teriak memanggil: “Kwe Yang cilik, di mana kau?”
Melihat puterinya dan Hoat ong telah menghilang semua, sungguh tidak kepalang cemasnya Oey Yong. Ketika Oey Yok-su, Ciu Pek-thong dan Itteng ber-turut-urut sudah naik pu!a, mereka telah mencari ke segala pelosok lembah gunung itu, tapi bayangan Hoat-ong dan Kwe Yang sama sekali tidak tertampak.
Sampai di mulut lembah, tiba-tiba diketemukan sebelah sepatu anak dara itu.
“Ah, tak perlu kuatir, Suci.” ujar Thia Eng. “Tentu Hoat-ong yang menggondol Yangji ke selatan, Yang ji sengaja tinggalkan sepatunya agar diketahui kita. Sungguh bocah ini sangat cerdik, tidak kalah dari ibunya.”
Bila Oey Yong ingat cerita Kwe Yang bahwa Hoat-ong berniat paksa anak dara itu menjadi murid ahliwarisnya, ia pikir untuk sementara mungkin tidak berbahaya, maka rasa kuatirnya banyak berkurang.
Segera rombongan mereka balik ke selatan, sepanjang jalan merekapun mencari tahu jejak Hoat-ong dan Kwa Yang.
Tidak beberapa hari, mereka mendengar berita pasukan Mongol mengepung Siang yang dan sudah terjadi pertempuran besar di luar kota itu, kedua pihak sama-sama ada kalah menangnya, kedudukan Siangyang sangat genting.
Musuh telah menggempur Siangyang, kita harus lekas kembali ke sana, urusan Yang-ji uutuk sementara terpaksa tak bisa dipikirkan lagi,” kata Oey Yong dengan kuatir.
Semua orang menyatakan benar dan bersedia ikut pergi.
walaupun sebenarnya It-teng Taysu, Ui Yok su dan Ciu Pek-thong cs. tidak ingin mengurus soal2 keduniawian lagi, tapi mati-hidup dari Song besar tergantung hancur atau utuhnya
Siang-yang, pertempuran yang menentukan ini tidak memungkinkan mereka berpeluk tangan.
Begitulah mereka lantas percepat perjalanan maka tiada seberapa hari mereka sudah sampai di luar kota Siangyang Dipandang dari jauh, panji ber-kibar2, senjata gemilapan, suara tiupan tanduk meng-huk2 sahut-menyahut, derap kuda kian kemari Siangyang tampak terkurung rapat2 oleh pasukan Mongol.
Walaupun sudah banyak berpengalaman, melihat situasi demikian ini, merekapun terperanjat.
“Kekuatan musuh terlalu besar, meski kita berilmu silat tinggi juga sukar mendekati benteng kota, terpaksa menanti hari gelap nanti baru cari jalan lain” demikian kata Oey Yong.
Mereka sembunyi di dalam hutan, kccuali-Ciu Pek-thong yang selalu periang, yang lain-lain berhati sedih semua.
Sampai dekat tengah malam, dengan Oey Yong sebagai pembuka jalan, mereka bertujuh lantas menerjang ke dalam perkemahan musuh.
Betapapun tinggi ilmu silat ketujuh orang ini namun begitu besar tentara Mongol, perkemahan berderet2 tak terhitung panjangnya, baru setengah jalan mereka menerjang sudah diketahui patroli musuh, sekali gembreng ditabuh ber-talu2, seketika terkepung, walaupun begitu keruan yang lain ternyata tenang-tenang saja tidak kacau, suatu tanda betapa disiplin dan terlatihnya pasukan Mongol.

Kembalinya Pendekar Rajawali 182

Posted on: June 28, 2009 by: admin
Baiknya di dalam pasukan tentara yang besar, karena kuatir kena kawan sendiri maka perajurit Mongol tak berani melepaskan panah, kalau di tanah lapang dan dihujani panah, betapapun tangkas Ciu Pek-thong dan Oey Yok-su cs, juga tak mampu menahannya.
Sambil bertempur mereka maju terus, sedang pasukan musuh makin lama makin banyak, berpuluh2 tombak selalu menusuk ke arah mereka bergantian.
Tapi di mana angin pukulan Ciu Pek-thong, Oey Yok-su dan It-teng Taysu sampai, di situ segera senjata2 musuh patah dan orangnya terluka atau mampus, sungguhpun demikian tentara Mongol itu ternyata pantang mundur.
“Ui-Iosia, kita bertiga tua bangka ini tampaknya hari ini akan mampus disini,” kata Lo-wan tong tiba-tiba dengan tertawa, “Masa paling baik kan berdaya agar empat anak dara ini saja ditolong keluar.
“Fui,” semprot Eng Koh. “Omong tidak-genah, masakan aku sudah nenek2 dianggap anak dara? Hendak mati biarlah kita mati bersama, tiga anak dara ayu inilah yang harus ditolong.”
Diam-diam Oey Yong berkuatir, pikimya: “Selamanya Lo wan-tong tidak pernah kenal takut, kenapa sekarang tiba-tiba bilang jiwanya bakal melayang di sini, tampaknya alamat tidak baik!”
Tapi tentara musuh merubung bagai semut, kecuali melawan mati-matian, hakekatnya tak berdaya lain.
Sesudah beberapa deret perkemahan musuh di tembus lagi, tiba-tiba Oey Yong melihat di sebelah kiri sana terdapat dua kemah besar berwarna hitam, ia pernah ikut Jengis Khan menggempur ke benua barat, ia tahu kemah demikian ini biasanya dipakai sebagai gudang rangsum.
Tiba-tiba pikirannya tergerak, Mendadak ia melompat kesamping dan berhasil merampas sebuah obor seorang perajurit musuh terus berlari ke kemah gudang rangsum itu.
Segera perajurit Mongol berteriak-teriak mengejarnya, tapi Oey Yong sangat sebat, sekali menyelusup, segera ia masuk kekemah itu, obornya diangkat, segala benda dibakarnya. Maka sekejap saja dua kemah besar itu sudah kebakaran beberapa tempat, habis itu Oey Yong menerobos keluar lagi bergabung dengan rombongan Ciu Pek-thong.
Benda yang tertumpuk didalam kemah itu tidak sedikit terdiri dari barang yang mudah terbakar, maka cepat saja api sudah menjilat dengan hebatnya.
Lo-wan-tong menjadi tertarik, iapun takmau ketinggalan dari perajurit musuh ia dapat merampas dua obor, iapun pergi menyulut api ke mana-mana, malahan tanpa sengaja suatu kandang kuda kena dibakarnya, keruan seketika kacau balau oleh lari-kuda-kuda yang tunggang-langgang, maka pasukan Mongol menjadi kalang kabut.
Waktu itu Kwe Ceng berada di kota Siangyang dan mendengar pasukan musuh di utara benteng kacau-balau, ia memeriksa ke atas benteng dan melihat api menjulang tinggi di tengah perkemahan musuh, ia tahu ada orang mengaduk diperkemahan pasukan Mongol itu, maka cepat ia kirim 2000 perajurit dan memerintahkan Bu Tun-si dan Bu Siu-bun berdua menggempur keluar benteng.
Waktu kedua saudara Bu itu sudah beberapa li di luar kota, terlihatlah Oey Yok-su memayang Liok Bu-siang, It-teng Taysu mendukung Ciu Pek-thong tujuh orang dengan menunggang lima ekor kuda sedang mendatangi dengan cepat.
Kedua saudara Bu tak berani menyongsong maju, tapi pasukan yang dipimpinnya itu lantas tersebar ambil kedudukan untuk menahan kejaran tentara musuh, dengan begitu, barisan belakang dijadikan barisan depan untuk melindungi rombongan Oey Yong masuk ke kota.
Kwe Ceng sudah menanti di atas benteng, melihat ayah mertua, isteri tercinta, It teng Taysu, Lo-wan-tong datang semua ia sangat girang dan lekas-lekas membuka pintu benteng menyambut keluar.
Ia lihat pinggang Liok Bu-siang terluka tombak musuh, punggung Ciu Pek thong kena tiga panah, jenggot dan alisnya kelimis terbakar, luka kedua orang ternyata tidak enteng.
Oey Yong sendiri, Thia Eng dan Eng Koh juga terluka kena panah, cuma tidak berbahaya.
It teng dan Oey Yok-su sama-sama mahir ilmu pertabiban, setelah memeriksa luka Liok Bu-siang dan Lo wan-tong, mereka mengkerut kening dan bermuka muram tanpa berkata.
“Toan hongya, Ui-losia, kalian tak perlu sedih, Lo-wan-tong sudah dapat firasat dan yakin takkan mampus,” demikian tiba-tiba Ciu Pek-thong buka suara dengan tertawa. “Maka paling baik kalian curahkan perhatian untuk menyembuhkan si anak dara Bu siang saja.”
Begitulah Lo-wan-tong masih terus berkelakar dengan Oey Yok-su, tapi terhadap It-teng Taysu ia sangat menghormatinya, bahkan rada-rada takut, meski lt-teng sudah lama menjadi Hwesio, namun sebutan “Toan-hongya” masih terus dipakainya.
Melihat Lo wan-tong sanggup menahan sakit dan masih berkelakar, Oey Yok-su dan It-teng menjadi sedikit tega, Hanya keadaan Liok Bu-siang yang menguatirkan, gadis ini masih tak sadarkan diri. Thia Eng terus menunggui di tepi ranjangnya dan diam-diam mengucurkan air mata.
Besok paginya baru terang tanah, diluar kota sudah terdengar tiupan tanduk disertai genderang yang bertalu2 pasukan Mongol telah mulai menyerang besar-besaran.
Pembesar Siangyang yang resmi, gubemur Lu Bun-hwan memimpin pasukan menjaga di empat penjuru pintu benteng.
Kwe Ceng dan Oey Yong mengawasi dari atas benteng, terlihat pasukan musuh membanjir datang bagai semut.
Di antara serangan pasukan Mongol beberapa kali ke Siangyang, persiapan sekali inilah yang paling lihay, Baiknya Kwe Ceng pernah lama tinggal dalam pasukan Mongol di masa mudanya, sehingga paham siasat apa yang dipakai tentara Mongol untuk menggempur benteng, segala serangan musuh-
musuh selalu digagalkan, pertarungan sengit itu berlangsung sampai hari sudah petang, perajurit Mongol tewas lebih 2000
jiwa, tapi dari belakang masih terus membanjir dan menggempur benteng dengan gagah berani.
Di dalam kota Siangyang kecuali beberapa puluh ribu perajurit ada pula ratusan ribu penduduk sipil, semua orang tahu mati-hidup mereka bergantung pada pertahanan kota ini, maka setiap orang muda2 yang masih kuat, semua memanggul senjata memenuhi kewajiban pertahanan kota, sekalipun yang tua, wanita dan anak-2 juga tak mau ketinggalan dan membantu di garis belakang. Maka seketika di dalam maupun di luar kota menjadi gegap-gempita, panah berseliweran di atas udara bagai belalang terbang.
Kwe Ceng sendiri dengan tangan menghunus pedang memimpin pertahanan kota di atas benteng. Oey Yong berdiri disampingnya dan menyaksikan pertempuran yang semakin sengit itu.
Tiba-tiba terdengar perajurit Mongol di bawah benteng berseru: “Banswee (Dirgahayu)!Banswe! Ban-banswe!”
Suara itu dari jauh mendekat bagai gelombang ombak saja, sampai akhirnya beratus ribu perajurit berteriak berbareng sehingga seakan-akan langit ambruk dan menggempa bumi, Laiu tertampaklah sebuah.panji besar berkibar tinggi, beberapa perwira mengiringi seorang dengan payung kencana, Sesudah dekat, ternyata raja Monko sendiri yang maju ke garis depan.
Melihat raja mereka datang sendiri, perajurit Moogol
menjadi tambah bersemangat. Ketika panji merah berkibar,
satu pasukan beijumlah 20 ribu orang terus menggempur pintu benteng utara dengan mati-matian, ini adalah pasukan cadangan raja Mongol yang terlatih dan paling tangkas, pula semua perajurit ingin berjasa dihadapan rajanya, maka begitu tangga bersandar tembok benteng segera bagai semut berebut naik ke atas.
“MariIah saudara2, hari ini biar raja musuh melihat sendiri betapa gagah perwiranya rakyat Song kita yang jaya!” teriak Kwe Ceng sambil mengangkat tangannya.
Begitu keras suara Kwe Ceng hingga perajurit Song serentak terbangkit semangatnya, semuanya bertempur mati- matian mengenyahkan penjajah.
Mayat perajurit Mongol yang menggempur benteng itu tampak makin lama makin banyak dan bertambah tinggi tertumpuk, tapi bala bantuan masih terus membanjir tiada putus2nya.
Kurir yang selalu berada di samping raja Monko tampak mondar-mandir meneruskan perintah.
Tatkala itu tiba-tiba terdengar petugas itu berteriak “Dengarlah para perajurit dan bintara! Titah raja,” barang siapa yang paling dulu menginjak ke atas benteng, siapa lantas dianugerahi pangkat walikota Siangyang.”
Mendengar itu, bersoraklah perajurit Mongol, segera ada beberapa orang yang tak takut mati terus merangsang ke atas benteng.
Kurir itu membawa panji merah dan wira-wiri meneruskan perintah sang raja. Kwe Ceng menjadi gusar, ia pentang busur terus memanah, pesat amat panah itu dan tepat menembus dada petugas musuh itu hingga terjungkal dari kudanya.
Perajurit Mongol berteriak-teriak lagi, sesaat semangat mereka sirap, tapi hanya sebentar, kembali sepasukan cadangan baru tiba pula dibawah benteng.
Dengan tombak panjang di tangan Yalu Ce berlari kehadapan Kwe Ceng dan berkata: “Gakhu, Gakbo (ayah dan ibu mertua), musuh sukar digempur mundur, biarlah anak keluar benteng menerjangnya.”
“Baik, bawalah 3000 perajurit, cuma harus hati-hati” sahut Kwe Ceng.
Cepat Yalu Ce turun dari benteng, tidak lama kemudian, genderang dipukul riuh sckali, begitu pintu benteng terbuka, 1000 anggota Kay-pang dan 2000 tentara negeri di bawah pimpinan Yalu Ce dengan tombak dan tameng terus menerjang ke depan.
Di bagian pintu utara pasukan Mongol sedang menggempur benteng, ketika mendadak melihat pasukan Song menerjang keluar, cepat mereka putar tubuh terus lari
mundur, Segera Yalu Ce pimpin pasukannya memburu, tapi mendadak terdengar tiga kali suara meriam, dua pasukan MongoI telah mengepung dari kanan kiri hingga 3000 orang yang dipimpin Yalu Ce terkepung di-tengah-tengah..”
Pasukan Mongol itu berjumlah lebih 20 ribu orang, keruan tiga ribu orangnya Yalu Ce terkepung rapat, namun mereka tak gentar, terutama seribu anggota Kay-pang itu semuanya berilmu silat bagus dan sanggup satu lawan sepuluh, mereka bertempur dengan mati-matian. sedang sepasukan tentara Mongol yang lain kembali memasang tangga menggerapah ke atas benteng lagi.
Melihat sebagian pasukan Mongol sudah tertahan oleh Yalu Ce, segera Kwe Ceng memberi perintah pada kedua saudara Bu agar membiarkan perajurit Mongol menyerbu masuk dari gugusan benteng, Sesudah kedua Bu terima perintah itu dan undakan pasukannya, sekejap saja beratus dan beribu perajurit Mongol berhasil merangkak sampai di atas benteng.
Melihat itu, Lu Bun hwan menjadi ketakutan hingga mukanya pucat lesi, badannya gemetar, mulut ternganga.
Namun Kwe Ceng tenang-tenang saja, ia biarkan perajurit Mongol naik kira-kira lima ribu orang, tiba-tiba panji kuning mengebas, sekonyong-konyong genderang berbunyi, Cu Cu-liu dan Bu Sam-thong masing-masing memimpin sepasukan tentara cadangan segera menyerbu keluar dari tempat sembunyi mereka, seketika saja gugusan benteng yang bobol tadi tertutup rapat, perajurit Mongol yang lain tak dapat naik Iagi. sedang lima ribu orang musuh yang berada di dalam benteng itu terjeblos ke dalam kepungan.
Begitulah, jika di luar benteng pasukan Song terkepung, sebaliknya di atas benteng pasukan Mongol juga terkurung, Sedang pertempuran di ketiga pintu benteng yang lain masih berlangsung dengan sengit luar biasa.
Betapa gagah berani perlawanan pasukan Song itu sungguh sangat mengagumkan raja Mongol, diam-diam ia memuji dan insaf salah duga atas kekuatan lawan, sementara itu sudah tengah malam, sinar bulan purnama, langit bersih, angin silir2 sejuk, sebaliknya di permukaan bumi saat itu beratus ribu manusia sedang bertempur mati-matian.
Pertempuran ini berlangsung sejak pagi hingga tengah malam, kerugian masing-masing pihak sama besarnya.
Pasukan Song menang pada tempat, sebaliknya pasukan Moogol menang jumlah lebih banyak, Selang agak lama, tiba-tiba sepasukan tentara Song menyerang ke tanah bukit sana, lekas-lekas pasukan pengawal raja Mongol yang berada ditanah bukit itu melepaskan panah.
Di tempat tinggi raja MongoI dapat melihat jelas dalam pasukan Song itu ada seorang panglima setengah umur. bersenjata sepasang tumbak, menunggang seekor kuda besar sedang terjang ke sana ke mari tak tertahankan meski panah berhamburan seperti hujan ke arahnya, tapi seluruhnya kena di tangkis dan disampuk oleh tumbak2nya.
“Orang yang gagah ini, siapakah dia?” tanya Monko pada bawahannya.
“Lapor Sri Baginda, orang ini Kwe Ceng adanya,” kata seorang panglima tua di sampingnya.
“Ai, kiranya dia, benar-benar gagah perkasa, namanya bukan omong kosong belaka!” puji Monko tak tertahan.
Mendengar raja mereka memuji musuh, ada empat perwira merasa kurang senang, sekali berte-riak, beramai-ramai mereka lantas menerjang maju memapak Kwe Ceng.
Akan tetapi betapa tangkas dan besar tenaga sakti Kwe Cing, mana keempat perwira itu sanggup melawannya, hanya sekali dua gebrakan saja, keempat perwira itu ber-turut-urut sudah dibinasakan.
Maka perwira2 Mongol yang laih menjadi jeri, tiada yang berani pamer lagi di hadapan raja mereka, hanya dari jauh mereka menghujani panah. Kwe Ceng keprak kuda hendak menerjang ke atas bukit itu, tapi beratus senjata perajurit musuh rapat menghadangnya, beberapa kali ia berusaha merangsang maju. tapi selalu terdesak mundur.
Mendadak kudanya terkena panah hingga meringkik terus roboh. Perajurit2 Mongol bersorak senang terus merubung maju, Tak terduga mendadak Kwe Ceng melompat bangun, sekali tumbaknya menusuk, ia binasakan seorang bintara
musuh dan mencemplak keatas kuda rampasan ini, dengan putar tumbak dan menghantam dengan tangan dari dekat, dalam sekejap saja belasan perwira dan perajurit musuh kena dimatikan pula.
Melihat di antara sekian banyak perajuritnya ternyata tiada seorangpun yang mampu mendekati Kwe Ceng, diam-diam ia mengerut kening, Tiba-tiba ia memberi perintah: “Barang siapa bisa membunuh Kwe Ceng akan diberi hadiah selaksa tahil emas dan kenaikan pangkat tiga tingkat sekaligus.”
Karena janji yang menarik ini, serentak pasukan Mongol lantas membanjir maju.
Nampak keadaan rada gawat, pula dirinya tidak mampu mendekati raja musuh, mendadak Kwe Ceng hantam mundur beberapa pengeroyoknya, lalu mementang busur dan melepaskan panah ke arah Monko. Begitu pesat anak panah itu meluncur secepat kilat terus menyamber ke muka raja itu.
Terkejut para pengawal Monko, dua bintara yang berdiri disampingnya cepat mengadang di depan junjungan mereka, maka tidak ampun lagi panah itu menembus bintara yang pertama, bahkan terus menembus dada bintara yang kedua yang berdiri dibelakangnya hingga mirip sujen sate.
Metihat betapa hebat serangan panah itu, muka Monko menjadi pucat, di bawah iring-iringan pengawalnya cepat mundur ke bawah bukit, Padas saat itulah kembali pasukan MongoI ber-teriak sepasukan Song menerjang datang pula, seorang paling depan memutar sepasang gayuh besi sedang menghantam dan menpepruk dengan hebatnya, kiranya dia Su-sui Hi-un, si nelayan dari sungai Su itu muridnya It-teng Taysu.
Rupanya Oey Yong menjadi kuatir karena melihat sang suami seorang diri terkepung musuh, maka Su-sui Hiun diperintahkan memimpin dua ribu tentara untuk memapaknya.
Dalam pada itu, karena melihat raja mereka mengundurkan diri, semangat perajurit Mongol rada terguncang, barisan merekapun kelihatan rada kacau.
Keadaan itu dapat dilihat jelas oleh Oey Yong yang mengawasi di atas benteng, cepat ia memberi perintah:
“Beramai-ramai kita berteriak bahwa raja Mongol sudah mati!”
Maka gegap gempitalah suara teriakan perajurit Song yang menyorakkan: “Hura, raja Mongol sudah mati! Raja Mongol sudah mati!” Bahkan di antara perajurit yang fasih bercakap bahasa Mongol segera berteriak dalam bahasa itu.
Mendengar teriakan itu, para perajurit Mongol menoleh kebelakang dan melihat panji kebesaran raja mereka benar-benar sedang mundur ke belakang, di sekitar panji itu kelihatan pula kacau-balau, mereka menyangka raja benar-benar sudah tewas, seketika semangat tempur mereka patah dan beruntung mundur dengan cepat.
Segera Oey Yong memberi perintah mengejar, pintu benteng segera terpentang, tiga puluh ribu perajurit cadangan terus menerjang keluar, tiga ribu orang yang dipimpin Yalu Ce sudah gugur hampir se-paroh, sisanya kini sekalian ikut menguber musuh.
Tapi pasukan Mongol, sudah banyak pengalaman bertempur, meski kalah, formasi mereka tidak buyar, mereka mundur teratur ke utara, maka pasukan Song juga tidak berani terlalu mendesak.
Hanya lima ribu orang Mongol yang menyerbu kedalam benteng tadi tiada seorangpun yaug tersisa hidup.
Setelah pasukan musuh mundur seluruhnya, sementara itu hari sudah terang tanah, pertempuran sengit ini bertarung tidak kurang daripada 12 jam, mayat bergelimpangan bertumpang tindih, darah menggenang bagai air sungai, tombak patah, golok putus, panji sobek, semuanya berserakan memenuhi jalan sepanjang berpuluh Ii.
Dalam pertempuran ini pihak Mongol kehilangan lebih 30 ribu perajurit pilihannya, sedangkan pihak Siangyang gugur belasan ribu jiwa, Semenjak bangsa Mongol menjajah keselatan, pertempuran inilah yang terdahsyat dan paling banyak menelan korban.
Setelah mengundurkan pasukannya sejauh 40 li, Monko memerintahkan berkemah. Teringat keadaan berbahaya tadi, dalam hati masih tak tenteram rasanya.
Tak lama kemudian, adik raja, Kubilai, datang menghadap dan menyampaikan sembah bakti pada Sri Baginda.
“Adikku,” kata Monko pada Kubilai, “mendiang ayah kita suka memuji akan gagah perwiranya Kwe Ceng, setelah aku menyaksikan sendiri tadi barulah aku benar-benar kagum dan putus asa pula.”
“Kakak Baginda tak perlu kuatir, hamba sudah mempunyai suatu akal yang pasti akan bikin Kwe Ceng menyerah tanpa berkutik dan Siangyang dengan cepat akan bobol,” kata Kubilai.
Girang sekali Monko, cepat ia tanya apa tipu akal itu.
Kubilai tidak lantas menjawab, ia menoleh kepada pengawalnya dan berkata: “Silakan Koksu (imam negara) masuk!” - Nyata datangnya Kubilai disertai Kim-lun Hoat-ong.
Dalam pada itu, sesudah pasukan Siangyang dapat menggempur mundur musuh, seluruh kota di mana-mana terdengar suara tangisan yang memilukan, ada ibu bertangis
kehilangan anak, ada isteri menangisi suami, suasana tenggelam dalam keadaan berduka cita.
Tanpa mengaso segera Oey Yong pergi memeriksa dan menghibur bawahannya, lalu pergi memeriksa keadaan lukanya Ciu Pek-thong dan Liok Bu siang, ternyata luka mereka sudah baikan. malahan Lo-wan-tong sudah tak sabar lagi rebah di pembaringan, ia sudah keluyuran ke taman.
Melihat muka orang yang kini kelimis, Kwe Ceng dan Oey Yong merasa geli.
Besok paginya, selagi Kwe Ceng hendak berunding situasi militer dengan Lu Bun-hwan. tiba-tiba ada laporan, katanya ada sepasukan tentara Mongol sekira 10 ribu orang sedang menuju ke arah pintu benteng utara, Lu Bun-hwan terkejut bahwa musuh berani datang lagi, Kwe Ceng juga segera naik ke atas benteng untuk memeriksa.
Maka tertampaklah pasukan musuh itu ambil kedudukan di tempat 3-4 li jauhnya dari kota dan tidak menyerang, Selang tak lama, beribu tukang telah mendatangkan batu dan mendirikan cagak terus membangun sebuah panggung yang tingginya belasan tombak.
Tatkala itu Oey Yok-su, Oey Yong, It teng Taysu dan Cu Cu-liu juga sudah naik ke atas benteng, demi melihat tentara Mongol tiba-tiba mendirikan panggung, mereka menjadi heran dan bingung.
“Jika panggung itu oleh musuh akan digunakan untuk mengintai keadaan dalam benteng, tempatnya tidak seharusnya begitu jauh, apalagi kalau tentara kita memanahnya dengan api, segera bisa terbakar lalu apa gunanya?” demikian pendapat Cu liu,
Oey Yong pun tak mengerti akan maksud tujuan musuh itu meskipun sudah coba menyelami.
Dan sesudah panggung itu berdiri, beberapa ratus serdadu Mongol dengan kereta2 kuda tampak mengangkut datang kayu2 bakar terus ditumpuk di sekitar panggung tampaknya panggung itu seperti hendak dibakar.
Cu-liu semakin heran, katanya: “Apakah musuh hendak pakai ilmu gaib? Atau hendak bersembahyang?”
“Sudah lama aku tinggal di tengah pasukan Mongol, tapi selamanya tak pernah melihat cara aneh ini,” ujar Kwe Ceng.
Tengah bicara, kembali tertampak beribu serdadu Mongol lagi ayun cangkul dan sekop, sedang menggali sebuah parit yang lebar dan dalam di sekitar panggung, Tanah yang digali itu menggunduk melingkari parit itu hingga berwujud seperti pagar.
“Haha, kota Siangyang adalah bekas kediaman Cukat Liang di jaman Samkok, tapi bangsa asing ini berani main kayu di depan rumah nabi, sungguh terlalu menghina bangsa kita?” demikian jengek Oey Yok-su dengan gusar.
Dalam pada itu di tengah bunyi genderang ber-turut-urut datang pula empat pasukan musuh terus melingkari keempat penjuru panggung tadi dengan macam-macam senjata siap di tangan, panggung itu menjadi terkurung rapat.
Mendadak terdengar dentuman meriam sekali, suara genderang lantas berhenti, keadaan sunyi senyap, dari jauh dua penunggang kuda berlari kebawah panggung itu. Kedua penunggang itu turun dari kuda terus bergandengan tangan naik keatas panggung.
Karena jaraknya jauh dari benteng, maka muka kedua orang itu tak jelas kelihatan, hanya lapat-lapat seperti seorang pria dan seorang perempuan.
Sedang semua orang ter-hcran2, sekonyong-konyong Oey Yong menjerit kaget, terus roboh ke belakang dan pingsan.
Lekas semua orang menolongnya siuman dan sama menanya sebab apakah?”
Dengan wajah pucat Oey Yong berkata dengan suara gemetar “ltulah Yang-ji, itulah Yang-ji!”
Terkejut semua orang dan saling pandang. “Apakah jelas kau melihatnya, Kwe-hujin?” tanya Cu liu.
“Meski tidak terang melihat mukanya, tapi menurut dugaan, pastilah dia,” kata Oey Yong. “Musuh tak berhasil membobol benteng, sekarang ternyata pakai akal keji, sungguh rendah dan tidak tahu malu.”
Mendengar penuturan itu, segera Oey Yok-su dan Cu Cu-Iiu paham duduknya perkara, merekapun sangat gusar sebaliknya Kwe Ceng masih belum mengerti tanyanya: “Kenapa Yang ji
bisa berada diatas panggung itu? Tipu keji apa yang akan dipakai musuh?”
“Cing koko,” kata Oey Yong dengan bersemangat, “Tak beruntung Yang ji jatuh dalam cengkeraman musuh, mereka sengaja bikin panggung dan taruh Yangji di atasnya sebagai umpan, tipuannya memaksa kau menyerah jika kau tak menyerah mereka akan bakar panggung itu agar kita berdua ngenas dan berduka, hilang semangat dan pikiran kacau, dengan begitu mereka bisa menggempur lebih leluasa tanpa perlawanan kita.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar