Kamis, 10 Januari 2013

Sin Tiauw hiap Lu 110



Kembalinya Pendekar Rajawali 110


 “Sebab apa Yang ji jatuh di tangan musuh?” tanya Kwe Cing terkejut dan gusar.
“Ya, karena kesibukan militer beberapa hari ini, kukuatir pencarkan perhatianmu maka tidak kuceritakan padamu,” sahut Oey Yong.
Lalu iapun menceritakan pengalamannya di Coatceng-kok, di mana Kwe Yang kena digondol Kim lun Hoat-ong.
Mendengar Yo Ko menghilang dalam jurang, berulang- ulang Kwe Ceng menanya lebih jelas, betapa perhatiannya pada Yo Ko kelihatan sekali pada wajahnya.
Betapa tinggi budi luhur Kwe Ceng, tanpa pikirkan puteri sendiri yang menghadapi bahaya dibakar, tapi tanya dulu keselamatan Yo Ko, sungguh bikin semua orang sangat mengaguminya.
Scsudah selesai mendengarkan penuturan Oey Yong,
dengan mengkerut kening kata Kwe Ceng: “Yong-ji, inilah kesalahanmu mati hidup Ko-ji belum diketahui, kenapa kau meninggalkannya pergi?”
Selamanya Kwe Ceng sangat menghormat dan cinta isterinya, tak pernah mencelanya dihadapi orang luar, kini celaan itu diucapkannya dengan sungguh-sungguh, Oey Yong menjadi merah mukanya.
“Kwe hujin sudah menyelam ke dalam telaga hingga hampir beku kedinginan dan keadaan Yo Ko juga sudah kami selidiki memang betul-betul tidak berada dijurang itu, pula nona Kwe jatuh di tangan musuh, maka beramai-ramai kami mengusulkan mengejar kembali, hal ini tak bisa menyalahkan Kwe hujin” demikian It teng Taysu menjelaskan Karena itu, terpaksa Kwe Ceng tak berani bilang apa-apa lagi, hanya dengan gemas ia berkata pula: “Anak dara ini selalu bikin gara-gara saja, kalau sampai Ko-ji terjadi apa-apa, hati kita apakah bisa tenteram? Hari ini biarlah dia dibakar mati musuh saja beres!”
Dengan cemas diam-diam Oey Yong turun dari benteng,
Mendadak pintu benteng dibuka, dengan menunggang kuda sendirian cepat ia kabur ke utara, Keruan semua orang sangat terkejut Beruntun-runtun Kwe Ceng, Oey Yok-su, It-teng, Cu Cu- liu dan lain-nya cemplak kuda menyusulnya.
Setiba di depan panggung tinggi tadi, mereka berhenti dalam jarak yang tak dicapai panah musuh, maka terlihatlah diatas panggung berdiam dua orang yang satu berjubah kuning, ialah Kim-lun Hoat-ong, sedang lainnya adalah gadis remaja dengan kedua tangannya diikat pada sebuah cagak. Siapa lagi dia kalau bukan Kwe Yang.
Meski gusar karena anak dara itu suka timbulkan onar, tapi kasih-sayang ayah, mau-tak-mau Kwe Ceng menjadi kuatir, teriaknya keras-keras: “Yang-ji, jangan kuatir, ayah-ibu datang buat menolong kau!?”
Betapa kuat tenaga dalamnya, suara teriakannya itu dengan jelas terkirim sampai di atas panggung itu, Waktu itu Kwe Yang sudah dalam keadaan sadar-tak-sadar terpanggang sinar matahari yang terik, ketika mendadak mendengar suara ayah-nya, segera iapun berteriak-teriak. “Ayah, ibu!” Cuma panggung itu terlalu tinggi, jaraknya juga jauh, maka suaranya tak terdengar oleh ayah-bundanya.
Sementara itu Kim-lun Hoat ong sedang tertawa terbahak-bahak, katanya lantang: “Kwe-tayhiap, tidaklah sulit jika kau ingin aku membebaskan puterimu, soalnya tergantung apakah kau punya keberanian tidak?”
Selamanya Kwe Ceng sangat tenang, makin berbahaya keadaan yang dihadapi, makin tenang pikirannya, kini mendengar kata-kata Hoat-ong itu, sama sekali ia tidak gusar, jawabnya: “Ada persoalan apa,-” silakan Hoat-ong menunjukkan”
“Kalau memang kau mempunyai rasa cinta kasih seorang ayah terhadap puterinya, segera kau naik panggung sini dan menyerahkan diri, kita satu tukar satu, puterimu segera kubebaskan,” demikian kata Hoat-ong.
Nyata ia tahu Kwe Ceng sangat tinggi budi, tidak nanti untuk seorang puterinya mau mengorbankan jiwa penduduk seluruh kota Siangyang, oleh sebab itu ia sengaja keluarkan kata-kata pancingan supaya Kwe Ceng masuk perangkap sendiri.
Tak terduga Kwe Ceng ternyata tak dapat ditipu, jawabnya lantang: “Jika musuh asing itu tidak takut padaku, kenapa kalian tawan puteriku? Dan kalau musuh takut padaku, suatu tanda Kwe Ceng bukanlah manusia tak berguna, kenapa mesti mati tanpa arti?”
“Hm, orang berkata ilmu silat Kwe-tayhiap lihay, gagah perkasa, tapi nyatanya hanya seorang manusia takut mati dan tamak hidup,” demikian jengek Hoat-ong.
Kata-kata pancingan ini bila dipakai terhadap orang lain mungkin akan berhasii, tapi Kwe Ceng memikul tanggung jawab atas keselamatan seluruh penduduk kota, ia anggap sepi saja kata-kata orang dan diganda tersenyum belaka tanpa menggubris. Tapi Bu Sam-thong dan Su-sui Hi un menjadi murka, segera mereka hendak menerjang maju, namun It-teng Taysu keburu mencegah mereka.
“Kwe-tayhiap,” terdengar Hoat-ong berseru pula, “puterimu pintar dan cerdik, sebenarnya aku sangat
menyukainya dan berniat menjadikan dia murid ahliwarisku.
Tapi Hongsiang ada titah, bila kau tidak takluk, segera anak dara ini akan dibakar di atas panggung ini. jangankan kau sakit hati atas puterimu yang malang ini, sekalipun aku sendiri juga merasa sayang, maka harap kau suka memikirkannya dalam-dalam.”
Kwe Ceng menjengek tanpa menjawab, ia lihat berpuluh serdadu musuh sudah siapkan obor disamping tumpukan kayu bakar di bawah panggung itu, asal sekali Hoat-ong member perintah, segera api akan disulut.
Berpuluh ribu serdadu musuh mengepung panggung dengan rapat, hanya manusia biasa saja mana mampu menembusnya? Pula sesudah dekat, kalau api sudah menjilat panggung itu, cara bagaimana bisa menolong puteri kecil itu?
Waktu Kwe Ceng mendongak, ia lihat muka puterinya pucat lesu, tak tahan hatinya bagai disayat. Cukup lama Kwe Cing ikut di dalam pasukan Mongol, dahulu ia kenal serdadu Mongol yang kejam tak kenal ampun, sehari saja tidak segan membunuh beratus ribu wanita maupun kanak-anak, apalagi
kini hanya Kwe Yang, mirip saja seekor semut yang tak berarti.
Karena itu, dengan mengertak gigi ia berteriak: “Wahai, Yang-ji, dengarlah, ayah bundamu berjuang untuk negara dan bangsa, mati-hidup tidak terpikir. Kau adalah puteri ibu pertiwi, kau harus berani berkorban dengan gagah perwira, dan jangan takut. Hari ini bila ayah-ibu tak bisa menolong kau, kami kelak pasti akan membunuh paderi jahat ini untuk membalas sakit hatimu. Mengertikah kau?”
Dengan mengembeng air mata Kwe Yang mengangguk teriaknya dari jauh: “Ya, ayah dan ibu, anak tak gentar!” “ltulah puteriku sejati!” seru Kwe Ceng.
Habis ini, ia tanggalkan gandewa dari pinggangnya, panah dipasang terus dijebretkan beruntun2 tiga kali, kontan tiga serdadu musuh yang memegang obor di bawah panggung itu terjungkal tiga panah itu ternyata menembus dada mereka.
Harus diketahui ilmu memanah dan menunggang kuda Kwe Ceng diperoleh dari ahli panah Caepo yang tersohor di MongoI waktu Kwe Ceng tinggal disana dahulu, ditambah lagi tenaga dalamnya yang luar biasa kini, serdadu Mongol lantas berteriak-teriak sambil angkat perisai untuk melindungi tubuh.
“Marilah kembali” kata Kwe Ceng kemudian pada rombongannya terus putar kuda dan kembali ke kota.
Setiba di atas benteng lagi, Oey Yong termangu-mangu memandangi panggung di mana puterinya terikat, pikirannya kacau tak terlukiskan.
“Yong ji, mari kita pakai barisan 28 bintang untuk menempur musuh,” kata Oey Yok-su tiba-tiba
Oey Yong terkesiap, sahutnya: “Tapi meski menang kalau musuh lantas bakar panggung itu, lantas apa daya kita?”
“Asal kita bunuh musuh sekuat tenaga, mati-hidup Yang ji kita serahkan pada takdir,” sela Kwe Ceng tiba-tiba dengan bersemangat “Gakhu, mohon tanya, barisan 28 bintang itu cara bagaimanakah mengaturnya?”
“Perubahan barisan bintang-bintang ini sangat ruwet”, sahut Yok su tertawa “Aku menciptakan barisan 28 bintang-bintang ini, sebab dahulu menyaksikan “Thiankeng-pak-tau-tin” kaum Coan cin-kau, tujuanku hendak menandingi imam-imam Coan-cin itu.”
“Bagus, dalam hal ilmu pasti dan segala ilmu mujijat lainnya, Ui-Iosia memang menjagoi seluruh kolong langit, sekalipun Ong Tiong-yang hidup kembali juga tak lebih unggul daripadamu, barisan bintang-bintang ciptaanmu ini pasti sangat hebat,” demikian It-teng ikut bersuara.
Yok su tidak lantas menjawab, ia berpikir sejenak, lalu katanya “Barisanku ini tujuannya melulu untuk bertempur dengan jumlah beberapa puluh orang jagoan Bu-lim saja, sebenarnya tak pernah terpikir akan dipakai dalam pertempuran melawan beratus ribu tentara ini. Tapi kalau diubah sedikit rasanya masih dapat dilakukan. Sayangnya sekarang kekurangan satu orang dan sepasang rajawali kita.”
“Cobalah memberi penjelasan lebih lanjut,” pinta It-teng.
“Kalau kedua rajawali itu tidak dibinasakan paderi keparat itu, bila barisan kita dikerahkan segera kedua binatang itu disuruh terbang ke atas panggung untuk menolong Yang-ji, tapi sekarang hal itu tak mungkin lagi,” demikian kata Ui Yok- Su.
“Tentang barisan 28 bintang ini, hanya menurut perubahan “pancabuta” (unsur lima macam,” api, air, bumi hawa dan eter) saja, harus dipimpin lima jagoan tinggi, kita sudah mempunyai empat orang untuk empat jurusan: timur, selatan, utara, di tengah, tapi barat, Se-tok Auyang Hong sudah mati dan tiada penggantinya, pula Lo-wan-tong terluka, jika ada Yo Ko di sini, orang ini cerdik pandai ilmu silatnya tidak di bawah mendiang Auyang Hong, tapi kini ke mana harus mencarinya? pimpinan untuk jurusan barat ini sungguh membikin aku rada ragu-ragu”
Mendengar nama Yo Ko disebut, Kwe Ceng memandang jauh ke utara melampaui panggung tinggi musuh itu dan bergumam: “Ya, mati atau hidup-kah Koji sekarang sungguh bikin orang sangat berkuatir.”
“Ya, sebab apakah Yo Ko yang katanya bertemu Kwe Yang didasar jurang, tapi mengapa rombongan Oey Yong tidak menemukannya? Sebab apa dalam waktu tiada satu hari Nyo Ko menghilang tanpa bekas?
Kiranya saking berduka dari putus asa karena merasa takkan berjumpa pula dengan Siao liong-li, maka Yo Ko telah terjun kedalam jurang dengan anggapan pasti akan hancur lebur tubuhnya untuk menghabisi riwayatnya.
Tak terduga sampai lama melayang ke bawah, akhirnya terdengar suara “plung” yang keras, tubuhnya tercemplung masuk kolam air. Betapa tinggi ia terjun dari atas, dengan sendirinya daya tekanan itu amat kerasnya, maka ia tenggelam lurus ke bawah entah berapa dalamnya, mendadak
matanya terbeliak, lapat-lapat seperti dilihatnya ada sebuah gua air, selagi ia hendak menegasi, daya tolak air kolam yang keras luar biasa telah mengapungkan tubuhnya ke atas lagi, pada saat itulah Kwe Yang pun ikut kecemplung ke dalam kolam.
Karena kejadian aneh yang susul menyusul itu, maka tanpa pikir Yo Ko menunggu Kwe Yang mengambang ke atas air, lalu menyeretnya ke tepi serta menanyai “Adik cilik, kenapa kau terjatuh ke bawah sini?”
“Melihat kau terjun, aku lantas ikut terjun ke sini,” sahut Kwe Yang.
“Tobat! ampun!” kata Yo Ko geleng-geleng kepala, “Apakah kau tak takut mati?”.
“Kau tak takut mati, akupun tak takut,” sahut Kwe Yang pula dengan tersenyum.
Hati Yo Ko jadi tergerak pikirnya diam-diam: “Apakah mungkin usia semuda ini ternyata sudah mendalam cintanya padaku?” Berpikir demikian, tanpa merasa kedua tangannya rada gemetar.
Tiba-tiba Kwe Yang mengeluarkan sebuah jarum emas, ia angsurkan pada Yo Ko dan bertanya: “Toakoko, dahulu waktu kau memberikan tiga jarum padaku, kau bilang setiap jarum ini berlaku bagiku mengajukan sesuatu permintaan padamu dan engkau pasti takkan menolak. Kini aku memohonpadamu: Tidak peduli apakah Liong-cici dapat bertemu kembali denganmu atau tidak, janganlah sekali-sekali kau mencari pikiran pendek.”
“Apakah jauh-jauh kau datang dari Siangyang, perlunya melulu untuk memohon hal ini padaku?” tanya Yo Ko dengan suara terputus-putus sambil memandangi jarum emas itu.
“Ya, benar,” sahut Kwe Yang penuh girang. “laki-laki sejati sekali berkata harus dapat dipercaya, apa yang kau pernah sanggupkan padaku, jangan kau mungkir janji.”
Yo Ko menghela napas panjang sekali. seorang hidup ingin mati, tapi dari mati kembali hidup melalui suatu proses tertentu, betapapun tadinya ia berkeras ingin mati, tak mungkin untuk sekali lagi mencari mati, hal ini adalah kelaziman manusia tanpa kecuali.
Kini demi dilihatnya sekujur badan Kwe Yang basah kuyup, kedinginan hingga giginya gemertak saling beradu, tapi rasa girang pada wajahnya tidak tertutup oleb semua itu, lekas Yo Ko mengumpulkan kayu kering hendak menyalakan api, tapi ketikan api yang mereka bawa sudah ikut basah semua, tak bisa digunakan lagt, terpaksa ia berkata: “Adik cilik, kau latihan Lwekang dulu dua kali, supaya hawa dingin tidak menyerang badanmu hingga menimbulkan sakit.”
“Marilah kita berdua berlatih semua,” sahut Kwe Yang.
Lalu merekapun duduk berendeng menjalankan darah dan mengatur napas, Sejak kecil Yo Ko sudah digembleng tidur di atas batu kemala dingin di dalam kuburan kuno di Cong-lam-san itu, maka sedikit hawa dingin ini bukan apa-apa baginya, ia ulur tangan memegang punggung Kwe Yang, maka
mengalir hawa hangat melalui “Sin-tong-hiat” dipunggung anak dara itu dan perlahan-lahan merata ke seluruh tubuhnya.
Tidak lama kemudian, Kwe Yang merasa seluruh badannya hangat kembali dan lebih segar.
Lalu Yo Ko tanya untuk apa anak dara itu datang pula ke Coat-ceng kok. Dengan terus terang Kwe Yang lantas menceritakan pengalamannya.
Yo Ko menjadi gusar, katanya: “Kim-Iun Hoat-ong ini benar-benar jahat, marilah kita cari jalan naik ke atas biar Kakak ajar dia hingga setengah mati.”
Pada saat mereka bicara itulah mendadak dari atas jatuh seekor burung raksasa ke dalam kolam, itulah rajawali jantan, keruan Kwe Yang terkejut, lekas-lekas mereka memeriksa rajawali itu yang ternyata terluka amat parah.
Tak lama, menyusul rajawali betina turun ke bawah dan membawa yang jantan ke atas, ketika untuk kedua kalinya turun pula, Yo Ko dukung Kwe Yang ke atas punggung binatang itu. ia sangka tentu rajawali itu akan turun pula untuk menjemputnya, siapa tahu ditunggu hingga lama sekali masih tiada sesuatu suara.
Sudah tentu tak diketahuinya bahwa saat itu rajawali betina sudah mati menumbukkan diri pada batu cadas menyusul rajawali yang jantan.
Menunggu hingga lama dan rajawali betina itu tetap tidak datang, lalu Yo Ko memeriksa keadaan sekitar kolam itu, tiba-tiba dilihatnya di atas pohon-pohon besar berjajar2 beberapa puluh sarang tawon, sarang tawon ini berlipat ganda besarnya daripada sarang tawon biasa, pula tawon2 yang
meng-aum2 berseliweran itu ternyata adalah jenis tawon putih yang dulu biasa dipiara Siao liong li di kuburan kuno itu. Tanpa terasa Yo Ko berseru terkejut dan hingga seketika terpaku di tempatnya. Selang agak lama barulah ia mendekati sarang tawon itu, ia lihat di pinggir sarang tawon terpoles
tanah liat, terang buatan manusia, lapat-lapat dikenalinya sebagai karya Siao-liong-li.
Yo Ko tenangkan semangatnya, ia pikir: “Jangan-jangan dahulu ketika Liong-ji terjun ke bawah sini, lalu ia bertempat tinggal di sini?” - tapi ketika ia periksa sekitarnya, tempat ini melulu dinding tebing curam bagai di dasar sebuah sumur saja, di atas penuh kabut putih yang menutupi sinar matahari.
Yo Ko coba ketok2 dan mencari sesuatu tanda pada dinding bata itu, tapi tiada sesuatu yang mencurigakan hanya ada beberapa pohon yang kulitnya seperti pernah dikeletek orang, pula ada tetumbuhan seperti pernah dicangkok ketempat lain, sesaat itu rasa suka duka berkecamuk memenuhi benaknya, hatinya berdebar-debar, kini ia yakin bahwa Siao liong li pun pernah tinggal di sini, cuma sudah lewat 16 tahun lamanya, sampai har iini apakah orangnya masih sehat walafiat, siapa yang tahu?
Biasanya Yo Ko tidak percaya setan malaikat segala, tapi, dalam cemasnya ia berlutut dan komat-kamit berdoa: “Thian yang maha kasih, ber-kahilah aku untuk bertemu sekali lagi dengan Liong ji.”
Setelah berdoa, Yo Ko mencari lagi sebentar, tapi tetap tidak ditemukan sesuatu, ia duduk di atas pohon dan berpikir “Jika Liong-ji sudah mati, seharusnya tertinggal juga kerangka tulangnya di sini, kecuali kalau tulangnya tenggelam di dalam kolam.”
Berpikir sampai di sini, mendadak ia melompat turun, ia berkata: “betapapun juga pasti akan kuselidiki sampai segalanya menjadi jelas, sebelum melihat tulang-belulangnya, hatiku belum lega.”
Segera ia menerjun ke dalam kolam terus menyelinap ke dasarnya.
Makin dalam makin dingin rasanya di bawah kolam itu, meski Yo Ko tidak takut dingin, tapi daya tolak air dibagian bawah terlalu kuat, walaupun beberapa kali Yo Ko berusaha menerjang ke bawah, tapi tetap tak bisa mencapai dasarnya, sedangkan napasnya sudah makin memburu, terpaksa ia apungkan diri keatas, setelah merangkul sepotong batu besar, kembali ia terjun pula ke dalam kolam.
Sekali ini orangnya berikut batunya terus tenggelam dengan cepat, mendadak pandangannya terbeliak, pikiran Nyo Ko tergerak, lekas-lekas ia menyelidiki ke arah yang terang, tiba-tiba terasa pusar air yang menggulung tubuhnya terus terhanyut dengan ketatnya, ternyata di tempat yang terang itu memang ada sebuah gua.
Yo Ko melepaskan batu besar yang dirangkulnya itu, segera ia menyelam ke gua itu, ternyata gua itu menembus miring ke atas, cepat Yo Ko mengapungkan diri mengikuti lorong gua itu, selang sejenak, tahu-tahu kepalanya sudah menongol ke permukaan air, sinar matahari menyorot dengan terangnya, bunga semerbak mewangi, ternyata di situ terdapat suatu “dunia luar”
Ia tidak lantas mendarat, ia melihat sekitarnya pemandangan menghijau permai, bunga mekar menarik, tempat itu seperti sebuah taman bunga yang besar, tapi di sekitarnya tiada suatu bayangan orangpun.
Girang dan kejut Yo Ko, cepat ia melompat keluar air, kemudian terlihat olehnya di tempat sejauh beberapa puluh tombak sana terdapat beberapa buah rumah petak.
Yo Ko berlari ke sana, tapi mendadak ia berhenti pula, lalu selangkah demi selangkah ia mendekati rumah-rumah petak itu, dalam hati ia pikir: “Jika dalam rumah-rumah petak ini tetap tidak diperoleh beritanya Liong-ji, lalu bagaimana baiknya?”
Makin dekat dengan rumah-rumah itu, jalannya makin lambat, dalam hati ia kuatir kalau-kalau harapannya yang terakhir inipun buyar “Akhirnya sampai juga di depan rumah petak, waktu ia dnogarkan sekitarnya, sunyi senyap, tiada suara orang, tiada berkicaunya burung, hanya suara mendengungnya tawon yang pelahan.
Dengan tabahkan diri, Yo Ko lantai menegur beberapa kali, namun tiada jawaban dari rumah itu, pelahan Yo Ko dorong daun pintu rumah, maka terpentanglah pintu itu dengan mengeluarkan suara kriat-kriut.
Ketika Yo Ko melangkah masuk, sekilas saja ia pandang ke dalam, tak tahan lagi sekujur badannya mendadak tergetar ia lihat panjangnya dalam rumah sangat sederhana, tapi rajin dan resik luar biasa.
Di tengah ruangan hanya sebuah meja dua sebuah kursi, lain tidak. Tapi letak meja kursi itu ternyata sudah sangat dikenalnya, serupa benar dengan keadaan meja kursi diruangan batu dalam kuburan kuno.
Tanpa pikir Yo Ko berjalan membelok ke kanan, betul saja di sana adalah sebuah kamar, lewat kamar ini ada lagi sebuah kamar yang lebih “besar” sebagian meja-kursi dan pembaringan di dalam kamar ini sama saja seperti apa yang terdapat di kamar tidur Yo Ko di kuburan kuno dahulu, Cuma perabot rumah di kuburan kuno itu seluruhnya terbuat dari batu, sedangkan yang di sini terbikin dari kayu.
Sesudah masuk kedalam kamar itu, sambil me-rabai alat-alat perabot kamar itu, air mata Yo Ko sudah mengembeng, kini tak dapat ditahan !agi, air matanya meleleh membasahi pipinya.
Tiba-tiba terasa sebuah tangan yang halus lemas tetesan2 membelai rambutnya, lalu suatu suara lemah lembut telah menanya padanya: “Ko-ji urusan apakah yang membuat kau sedih?”
Suara itu, lagunya, cara membelai rambutnya, seluruhnya mirip benar dengan cara Siao-liong-ii dahulu bila sedang menghiburnya, Mendadak Yo Ko membalik tubuh, maka tertampaklah di depannya berdiri seorang perempuan berbaju putih, kulit badannya putih bagai salju, mukanya cantik bagai bunga sedang mekar, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong li yang dirindukannya siang dan malam selama 16 tahun ini?
Kedua orang saling menjublek sekian saat, lalu sama-sama berseru pelahan terus saling rangkul. Sungguh-sungguh. Atau mimpikah ini? Benar-benar ataukah khayal? Yang jelas rasa rindu selama 16 tahun ini seketika itu tak bisa diutarakan seluruhnya?
Lewat agak lama barulah Yo Ko berkata: “Liong-ji wajahmu masih tetap cantik molek, tapi aku sudah tua.”
“Tidak, kau tidak tua,” sahut Siao liong li dengan pandangan penuh arti. “Tapi aku punya Ko-ji kini sudah dewasa,”
Sebenarnya umur Siao-liong-It banyak lebih tua daripada Yo Ko, tapi sejak kecil ia sudah berdiam di Ko bong atau kuburan kuno dan belajar Lwekang dari gurunya, segala cita rasa dan napsu sudah di hilangnya jauh-jauh, sebaliknya Nyo Ko sejak kecil sudah kenyang menderita dan banyak berduka,
maka ketika keduanya kawin, wajah mereka tampaknya sepadan.
Dan setelah menikah hingga berpisah selama 16 tahun, Yo Ko merana dan merantau kemana-mana, siksaan batin itulah yang membikin rambut di kedua pelipisnya sudah mulai memutih, sebaliknya Siao liong-Ii yang tinggal di tengah jurang, walaupun tidak kurang derita rindunya, tapi latihan selama berpuluh tahun di masa kecilnya itu tidaklah percuma, malahan ia kembali berlatih Lwekang ajaran gurunya dahulu tidak banyak berpikir dan sedikit urusan, seorang diri tinggal di dalam jurang rasanya juga tidak begitu sunyi, kini mereka bersua kembali, Yo Ko malahan tampaknya lebih tua. Sudah 16 tahun Siao-liong li tidak berbicara, kini meski sangat girang hatinya, tapi rasanya menjadi tidak lancar
hendak bercakap-cakap. Tapi bicarapun tidak perlu buat mereka, hanya saling pandang sambil tersenyum penuh arti, sampai akhirnya Yo Ko menarik tangan Siao-Liong li dan diajaknya keluar.
“Liong ji, alangkah girangku!” kata Yo Ko kemudian, mendadak ia jumpalitan beberapa kali bagai anak kecil.
Memang waktu kecilnya Yo Ko suka berjumpalitan seperti ini dan Siaoliong-li suka gunakan tangannya untuk mengusap keringat di jidatnya, kini tanpa terasa iapun keluarkan saputangan mengusap beberapa kali di jidat Yo Ko, walaupun sebenarnya Yo Ko tidak berkeringat.
Waktu Yo Ko periksa sapatangan itu, ia lihat terbuat dari serat kulit pohon yang kasar, karena itu ia dapat membayangkan betapa menderitanya Siao-liong li hidup selama 16 tahun di lembah terasing ini, ia menjadi terharu, ia mem-belai2 rambut Siao-liongli dan bertanya: “Liong-ji, sungguh menderita sekali kau selama 16 tahun ini.”
Siao liong li menghela napas, sahutnya. “jika aku tidak dibesarkan di kuburan kuno itu, selama 16 tahun ini pasti tak sanggup bertahan.”
Apa yang dikatakan ini memang benar, kalau umpamanya Yo Ko yang harus tinggal seorang diri di lembah sunyi ini, sekalipun tinggi ilmu silatnya tak nanti sanggup hidup sendiri selama 2-3 tahun.
Harus diketahui sejak kecil Siao liong-li dibesarkan didalam istana kuburan kuno, meski mula-mula ada Suhu dan Sun-popo yang merawatnya, dan kemudian berkawankan Yo Ko, tapi ia sudah biasa hidup bebas sendirian, sedikit sekali bersandar pada orang lain.
Dan karena hidup sepi dalam panjang itulah dapat ia bertahan melewatkan penghidupan ymg tak mungkin ditahan oleh orang lain.
Begitu mereka berdua duduk berendeng diatas batu besar dan saling mengutarakan rasa rindu selama ini…
Dahulu waktu mengetahui Siao liong-li terlalu mendalam terkena racun dan sukar disembuhkan lagi, Yo Ko menjadi putus asa, iapun tidak ingin hidup lagi tanpa Siao liong li, walaupun ia sendiri jaga terkena racun Coat-hoa atau bunga cinta, ia sengaja buang separoh obat pil “Coat ceng-tan” yang
bisa menyembuhkan racun yang diidapnya.
Melihat itu, malamnya Siao-liong-li tidak bila tidur, ia pikir pergi datang, ia tahu kecuali ia sendiri mati dulu untuk melenyapkan harapan Yo Ko barulah ada kemungkinan menyembuhkan racun Ceng-hoa di dalam badannya.
Tapi kalau ia perlihatkan tanda membunuh diri, itu berarti mempercepat kematian Yo Ko juga. ia berpikir terus hingga jauh malam, akhirnya ia mengukir beberapa baris huruf itu dikarang Toan jong-khe, ia sengaja “menetapkan janji pertemuan kembali sesudah 16 tahun lagi, habis itu barulah ia terjun ke dalam jurang untuk membunuh diri.
“Kenapa kau menjanjikan 16 tahun? jika kau berjanji 8 tahun saja, bukankah kita akan bertemu kembali lebih dari 8 tahun?” tanya Yo Ko gegetun.
“Aku tahu cintamu padaku terlalu mendalam kalau melulu 8 tahun yang singkat itu, pasti takkan padamkan watakmu yang kesap bagai api,” sahut Siao-liong-li.
“Ai, siapa nyana meski sudah 16 tahun, akhirnya kau tetap terjun kemari.”
“Ya, itulah tandanya orang lebih baik cinta murni,” ujar Yo Ko tertawa. “Umpama rasa rindu ku padamu menjadi dingin, paling banyak aku menangis di atas karang, lalu pergi, dengan begitu kita menjadi takkan bertemu lagi untuk selama-lamanya.”
Siao-liong li menghela napas panjang oleh nasib mereka yang diluar dugaan ini.
Mereka terdiam agak lama, kemudian Yo Ko tanya pula:
“Dan sesudah kau terjun ke dalam kolam ini, lantas bagaimana?”
“Dalam keadaan sadar-tak-sadar aku jatuh ke dalam kolam, ketika mengapung ke atas lantas terbawa oleh pusaran air masuk gua es itu dan terhanyut sampai di sini, sejak itu aku lantas hidup sendirian” tutur Siao liong li.
“Di sini tiada burung maupun binatang, tapi di dalam kolam itu tidak sedikit terdapat ikan, juga buah2an disekitar sini tidak pernah habis, cuma tiada kain, terpaksa harus mengupas kulit pohon untuk ditenun menjadi baju.”
“Tatkala itu bukankah kau terkena racun “Peng-pek-gin-ciam” dan racunnya sudah meresap, di dunia ini tiada obat yang bisa menyembuhkan lagi, tapi kenapa bisa menjadi baik di dasar lembah ini?” tanya Yo Ko.
“Waktu aku sampai di sini, beberapa hari kemudian racun dalam badan lantas bekerja hebat, seluruh tubuh se akan2 dibakar, kepala sakit hendak pecah, rasanya tidak tahan lagi, tapi lantas teringat waktu malam pernikahan kita di kuburan kuno itu kau telah mengajarkan cara duduk diatas ranjang kemala dingin untuk menjalankan aliran darah secara terbalik, meski tidak dapat menolak keluar racun, tapi rasa menderita
banyak berkurang,” demikian tutur Siao liong-li. “Namun di sini tiada ranjang kemala dingin, yang ada hanya es beku yang entah berapa tuanya di dasar kolam air itu, aku, lantas menyelam kembali ke dasar kolam dan masuk gua es itu, aku berdiam sebentar di sana.
Kadang-kadang akupun datang ke tepi kolam ketika terjatuh mula-mula itu, aku menengadah ke atas dengan harapan bisa memperoleh sedikit kabarmu. Pada suatu hari, tiba-tiba kulihat beberapa ekor tawan terbang turun menembus kabut yang menutupi permukaan jurang itu, terang itulah tawon tinggalan Lowan-tong yang dibawanya main-main ke Coat-ceng-kok itu, aku menjadi ketarik, segera aku buatkan sarang dan memeliharanya.
BeIakangan makin banyak tawon yang datang dan setiap kali aku minum madu tawon yang aku unduh, rasa sakit badanku lantas banyak berkurang, sungguh tidak nyana kasiat madu tawon ini ternyata sangat mujarab untuk memunahkan racun.
Begitulah aku meminum madu tawon dalam jangka panjang, kumatnya racun dalam badan juga berkurang, mula- mula setiap hari kumat, lalu beberapa hari kumat sekali, kemudian hingga beberapa bulan sekali, paling akhir selama 5-6 tahun ini, satu kali saja tak pernah kumat lagi, agaknyasudah sembuh.”
“Ah, itulah tandanya orang berhati baik tentu dibalas baik,” ujar Yo Ko senang. “Coba kalau dahulu kau tidak hadiahkan tawon pada Lo-wan-tong dan ia tak membawanya ke Coat ceng-kok, tentu penyakitmu pun takkan bisa sembuh.”
“Dan sesudah sembuh penyakitku…” demikian Siao-liong-li melanjutkan “aku jadi sangat rindu padamu, tapi sekitar jurang itu tingginya beratus tombak dan terdiri dari dinding2 tebing yang curam, cara bagaimana bisa naik ke atas? Maka dengan duri bunga aku menisik enam huruf “Aku berada didasar Coa ceng-kok” di atas sayap tawon putih itu dengan harapan sesudah tawon itu terbang ke atas akan diketemukan orang.
Selama beberapa tahun ini sudah beribu ekor tawon yang kutisik tulisan di atas sayapnya, tapi tetap tiada kabar berita yang dibawanya kembali, makin lama aku semakin putus asa, aku merasa hidup ini takkan bisa melihat kau lagi.”
“Ah. akupun terlalu ceroboh, kalau begitu,” seru Yo Ko mendadak sambil tepuk paha penuh menyesal “Setiap kali kudatangi Coat ceng-kok, selalu aku melihat tawon putih, tapi selamanya tak pernah menangkapnya seekor untuk diperiksa.”
“Sebenarnya hal itupun timbul dari pikiranku yang sudah kehabisan akal,” sahut Siao-liong-Ii tersenyum, “Padahal siapa bisa menduga bahwa di atas badan binatang sekecil itu tertisik tulisan? Begitu lembut tulisan itu, sekalipun beratus tawon itu terbang lewat di depan matamu juga takkan kau perhatikan.
Harapanku hanya kalau-kalau kebetulan ada seekor tawon itu masuk jaring lahan2 dan Thian menaruh belas kasihan sehingga dapat kau lihat serta menolongnya, tatkala itu tentu tulisan di atas sayapnya akan dapat kau baca.”
Ia tidak tahu bahwa tulisan disayap tawon itu akhirnya dapat diketahui oleh Ciu Pek-teng yang suka main-main piara tawon itu dan arti tulisan itu kena diterka oleh Oey Yong yang kecerdasannya melebihi orang biasa.
Begitulah, setelah lama bercakap-cakap, akhirnya menjadi lapar, Siao liong-li mengajaknya masuk rumah dan menyuguhkan senampan ikan, ada pula buah2an dan madu tawon.
Setelah kenyang makan barulah ganti Yo Ko menceritakan pengalamannya selama 16 tahun ini. Siaoliong-li sendiri biasanya tidak banyak menghiraukan soal2 keduniawian, yang diharap asal dia dapat bertemu kembali dengan Yo Ko dan rasanya sudah puas, maka sekalipun cerita Yo Ko itu kadang-kadang mengenai kejadian aneh dan hal-hal lain yang mendebarkan hati, paling-paling Siao-liong li hanya tersenyum saja, cerita2 itu bagai angin lalu saja di-tepi telinganya. sebaliknya Yo Ko terus menerus bertanya tentang segala sesuatu selama Siao-liong-li tinggal di dasar jurang ini.
Sepanjang malam mereka pasang omong hingga hari sudah hampir pagi barulah mereka tidur.
Waktu mendusin, hari sudah lewat lohor, kata Yo Ko: “Liong ji, kita akan hidup sempai tua di sini atau berdaya kembali kedunia fana di atas sana!”
Menurut pendapat Siao-liong-li, ia lebih suka hidup aman tenteram dengan Yo Ko di jurang ini, tapi Yo Ko suka keramaian, betapapun cintanya pada Siao-liong-li, tetap tak biasa hidup sunyi terpencil.
Maka kata Yo Ko pula: “Lebih baik kita berusaha naik saja, kalau di atas sana tidak menyenangkan nanti kita kembali ke sini lagi, cuma… cuma untuk naik ke atas kiranya sangatlah sulit,”
Ia menyelam lagi ke tepi kolam melalui gua es itu, maka tertampaklah dari atas menjulur seutas tambang yang sangat panjang, di tepi kolam terdapat bekas-bekas kaki orang, malahan ada segunduk api unggun yang apinya masih belum sirap sama sekali”
“Ah, ada orang datang mencari kita, malahan sudah menyelam ke dalam kolam,” kata Yo Ko.
Ia mengitari tepi kolam itu, tiba-tiba dilihatnya ada batang pohon besar terdapat ukiran dua baris tulisan yang berbunyi: It-teng, Pek-thong, Eng Koh, Yong, Eng, Bu - siang, ke sini mencari Yo Ko tidak ketemu dan pulang dengan masgul.”
Yo Ko menjadi sangat terharu, katanya: “Mereka ternyata tak pernah melupakan diriku!”
“Ya siapapun tiada yang lupa padamu,” ujar Siao-liong-Ii
“Mereka telah melorot ke bawah sini dengan tambang panjang ini, meski sudah menyelam, tapi karena tidak melompat dari tempat setinggi ratusan tombak, daya tenggelamnya tidak dalam, maka gua es itu tak mereka lihat,”
kata Yo Ko. “Coba, kalau akupun turun dengan memakai tambang, tentu takkan dapat menemukan kau.”
“Ya, makanya aku bilang segala apa memang sudah takdir,” sahut Siau-liong-li.
“Tidak, ini namanya di mana ada kemauan, batupun akan luluh karenanya,” kala Yo Ko.
Lalu ia mencoba tarik tambang itu dan ternyata sangat
kuat, maka katanya pula: “Biar aku naik dulu, entah Kimlun Hoat-ong itu di atas tidak, Tapi kalau It-teng Tay-su dan Lo-wan-tong sudah kesitu agaknya Hoat-ong sudah kabur pergi.”
Habis ini ia bertanya lagi: “Liong-ji, ilmu silatmu telantar tidak? jika tak dapat kau memanjat, biar kupanggul kau.”
“Meski selama 16 tahun tiada kemajuan, tapi apa yang dulu kupelajari rasanya masih tetap,” sahut Siao-liong li.
Yo Ko berpaling sambil tertawa, lalu ia pegang tambang panjang itu, sedikit ia gunakan tenaga, cepat ia melompat keatas lebih setombak tingginya. Meski lenganya tinggal sebelah, tapi dibantu kedua kakinya, tidak lama ia sudah panjat sampai di-atas jurang, Menyusut Siao-liong li pun merambat naik dengan tali tambang itu.
Kedua orang berdiri sejajar di depan karang Toan jong-khe, sambil memandangi dua baris tuIisan-yang diukir Siao-liong-Ii dahulu didinding batu itu, sungguh mereka merasa seperti baru hidup kembali.
Mereka tertawa saling pandang, betapa suka ria hati mereka saat itu, rasa penderitaan selama 16 tahun ini sudah buyar seluruhnya bagai asap ter-tiup angin.
Yo Ko memetik setangkai bunga merah “Liong-li-hoa” dan disuntingkan pada sanggulnya, bunga merah di atas kulit badan yang putih, seketika sukar diketahui apakah bunga merah itu yang menambah kecantikan orangnya atau wajah orang yang cantik itu yang menambah keindahan bunganya?
***
Kembali berceritera tentang Kim lun Hoat-ong yang membangun sebuah panggung tinggi diluar kota Siangyang dan hendak membakar Kwe Yang untuk memaksa Kwe Ceng takluk pada pihak Mongol dan Oey Yok-su bilang akan mengatur suatu “barisan 28 bintang-bintang untuk menempur musuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar