Kembalinya Pendekar Rajawali 110
“Sebab
apa Yang ji jatuh di tangan musuh?” tanya Kwe Cing terkejut dan gusar.
“Ya, karena kesibukan militer beberapa hari
ini, kukuatir pencarkan perhatianmu maka tidak kuceritakan padamu,” sahut Oey
Yong.
Lalu iapun menceritakan pengalamannya di
Coatceng-kok, di mana Kwe Yang kena digondol Kim lun Hoat-ong.
Mendengar Yo Ko menghilang dalam jurang,
berulang- ulang Kwe Ceng menanya lebih jelas, betapa perhatiannya pada Yo Ko
kelihatan sekali pada wajahnya.
Betapa tinggi budi luhur Kwe Ceng, tanpa
pikirkan puteri sendiri yang menghadapi bahaya dibakar, tapi tanya dulu
keselamatan Yo Ko, sungguh bikin semua orang sangat mengaguminya.
Scsudah selesai mendengarkan penuturan Oey
Yong,
dengan mengkerut kening kata Kwe Ceng:
“Yong-ji, inilah kesalahanmu mati hidup Ko-ji belum diketahui, kenapa kau
meninggalkannya pergi?”
Selamanya Kwe Ceng sangat menghormat dan
cinta isterinya, tak pernah mencelanya dihadapi orang luar, kini celaan itu
diucapkannya dengan sungguh-sungguh, Oey Yong menjadi merah mukanya.
“Kwe hujin sudah menyelam ke dalam telaga
hingga hampir beku kedinginan dan keadaan Yo Ko juga sudah kami selidiki memang
betul-betul tidak berada dijurang itu, pula nona Kwe jatuh di tangan musuh,
maka beramai-ramai kami mengusulkan mengejar kembali, hal ini tak bisa
menyalahkan Kwe hujin” demikian It teng Taysu menjelaskan Karena itu, terpaksa
Kwe Ceng tak berani bilang apa-apa lagi, hanya dengan gemas ia berkata pula:
“Anak dara ini selalu bikin gara-gara saja, kalau sampai Ko-ji terjadi apa-apa,
hati kita apakah bisa tenteram? Hari ini biarlah dia dibakar mati musuh saja
beres!”
Dengan cemas diam-diam Oey Yong turun dari
benteng,
Mendadak pintu benteng dibuka, dengan
menunggang kuda sendirian cepat ia kabur ke utara, Keruan semua orang sangat
terkejut Beruntun-runtun Kwe Ceng, Oey Yok-su, It-teng, Cu Cu- liu dan lain-nya
cemplak kuda menyusulnya.
Setiba di depan panggung tinggi tadi, mereka
berhenti dalam jarak yang tak dicapai panah musuh, maka terlihatlah diatas
panggung berdiam dua orang yang satu berjubah kuning, ialah Kim-lun Hoat-ong,
sedang lainnya adalah gadis remaja dengan kedua tangannya diikat pada sebuah
cagak. Siapa lagi dia kalau bukan Kwe Yang.
Meski gusar karena anak dara itu suka
timbulkan onar, tapi kasih-sayang ayah, mau-tak-mau Kwe Ceng menjadi kuatir,
teriaknya keras-keras: “Yang-ji, jangan kuatir, ayah-ibu datang buat menolong
kau!?”
Betapa kuat tenaga dalamnya, suara
teriakannya itu dengan jelas terkirim sampai di atas panggung itu, Waktu itu
Kwe Yang sudah dalam keadaan sadar-tak-sadar terpanggang sinar matahari yang
terik, ketika mendadak mendengar suara ayah-nya, segera iapun berteriak-teriak.
“Ayah, ibu!” Cuma panggung itu terlalu tinggi, jaraknya juga jauh, maka
suaranya tak terdengar oleh ayah-bundanya.
Sementara itu Kim-lun Hoat ong sedang tertawa
terbahak-bahak, katanya lantang: “Kwe-tayhiap, tidaklah sulit jika kau ingin
aku membebaskan puterimu, soalnya tergantung apakah kau punya keberanian
tidak?”
Selamanya Kwe Ceng sangat tenang, makin
berbahaya keadaan yang dihadapi, makin tenang pikirannya, kini mendengar
kata-kata Hoat-ong itu, sama sekali ia tidak gusar, jawabnya: “Ada persoalan
apa,-” silakan Hoat-ong menunjukkan”
“Kalau memang kau mempunyai rasa cinta kasih
seorang ayah terhadap puterinya, segera kau naik panggung sini dan menyerahkan
diri, kita satu tukar satu, puterimu segera kubebaskan,” demikian kata
Hoat-ong.
Nyata ia tahu Kwe Ceng sangat tinggi budi,
tidak nanti untuk seorang puterinya mau mengorbankan jiwa penduduk seluruh kota
Siangyang, oleh sebab itu ia sengaja keluarkan kata-kata pancingan supaya Kwe
Ceng masuk perangkap sendiri.
Tak terduga Kwe Ceng ternyata tak dapat
ditipu, jawabnya lantang: “Jika musuh asing itu tidak takut padaku, kenapa
kalian tawan puteriku? Dan kalau musuh takut padaku, suatu tanda Kwe Ceng
bukanlah manusia tak berguna, kenapa mesti mati tanpa arti?”
“Hm, orang berkata ilmu silat Kwe-tayhiap
lihay, gagah perkasa, tapi nyatanya hanya seorang manusia takut mati dan tamak
hidup,” demikian jengek Hoat-ong.
Kata-kata pancingan ini bila dipakai terhadap
orang lain mungkin akan berhasii, tapi Kwe Ceng memikul tanggung jawab atas
keselamatan seluruh penduduk kota, ia anggap sepi saja kata-kata orang dan
diganda tersenyum belaka tanpa menggubris. Tapi Bu Sam-thong dan Su-sui Hi un
menjadi murka, segera mereka hendak menerjang maju, namun It-teng Taysu keburu
mencegah mereka.
“Kwe-tayhiap,” terdengar Hoat-ong berseru
pula, “puterimu pintar dan cerdik, sebenarnya aku sangat
menyukainya dan berniat menjadikan dia murid
ahliwarisku.
Tapi Hongsiang ada titah, bila kau tidak
takluk, segera anak dara ini akan dibakar di atas panggung ini. jangankan kau sakit
hati atas puterimu yang malang ini, sekalipun aku sendiri juga merasa sayang,
maka harap kau suka memikirkannya dalam-dalam.”
Kwe Ceng menjengek tanpa menjawab, ia lihat
berpuluh serdadu musuh sudah siapkan obor disamping tumpukan kayu bakar di
bawah panggung itu, asal sekali Hoat-ong member perintah, segera api akan
disulut.
Berpuluh ribu serdadu musuh mengepung
panggung dengan rapat, hanya manusia biasa saja mana mampu menembusnya? Pula
sesudah dekat, kalau api sudah menjilat panggung itu, cara bagaimana bisa
menolong puteri kecil itu?
Waktu Kwe Ceng mendongak, ia lihat muka
puterinya pucat lesu, tak tahan hatinya bagai disayat. Cukup lama Kwe Cing ikut
di dalam pasukan Mongol, dahulu ia kenal serdadu Mongol yang kejam tak kenal
ampun, sehari saja tidak segan membunuh beratus ribu wanita maupun kanak-anak,
apalagi
kini hanya Kwe Yang, mirip saja seekor semut
yang tak berarti.
Karena itu, dengan mengertak gigi ia
berteriak: “Wahai, Yang-ji, dengarlah, ayah bundamu berjuang untuk negara dan bangsa,
mati-hidup tidak terpikir. Kau adalah puteri ibu pertiwi, kau harus berani
berkorban dengan gagah perwira, dan jangan takut. Hari ini bila ayah-ibu tak
bisa menolong kau, kami kelak pasti akan membunuh paderi jahat ini untuk membalas
sakit hatimu. Mengertikah kau?”
Dengan mengembeng air mata Kwe Yang
mengangguk teriaknya dari jauh: “Ya, ayah dan ibu, anak tak gentar!” “ltulah
puteriku sejati!” seru Kwe Ceng.
Habis ini, ia tanggalkan gandewa dari
pinggangnya, panah dipasang terus dijebretkan beruntun2 tiga kali, kontan tiga serdadu
musuh yang memegang obor di bawah panggung itu terjungkal tiga panah itu
ternyata menembus dada mereka.
Harus diketahui ilmu memanah dan menunggang
kuda Kwe Ceng diperoleh dari ahli panah Caepo yang tersohor di MongoI waktu Kwe
Ceng tinggal disana dahulu, ditambah lagi tenaga dalamnya yang luar biasa kini,
serdadu Mongol lantas berteriak-teriak sambil angkat perisai untuk melindungi
tubuh.
“Marilah kembali” kata Kwe Ceng kemudian pada
rombongannya terus putar kuda dan kembali ke kota.
Setiba di atas benteng lagi, Oey Yong
termangu-mangu memandangi panggung di mana puterinya terikat, pikirannya kacau
tak terlukiskan.
“Yong ji, mari kita pakai barisan 28 bintang
untuk menempur musuh,” kata Oey Yok-su tiba-tiba
Oey Yong terkesiap, sahutnya: “Tapi meski
menang kalau musuh lantas bakar panggung itu, lantas apa daya kita?”
“Asal kita bunuh musuh sekuat tenaga,
mati-hidup Yang ji kita serahkan pada takdir,” sela Kwe Ceng tiba-tiba dengan bersemangat
“Gakhu, mohon tanya, barisan 28 bintang itu cara bagaimanakah mengaturnya?”
“Perubahan barisan bintang-bintang ini sangat
ruwet”, sahut Yok su tertawa “Aku menciptakan barisan 28 bintang-bintang ini,
sebab dahulu menyaksikan “Thiankeng-pak-tau-tin” kaum Coan cin-kau, tujuanku
hendak menandingi imam-imam Coan-cin itu.”
“Bagus, dalam hal ilmu pasti dan segala ilmu
mujijat lainnya, Ui-Iosia memang menjagoi seluruh kolong langit, sekalipun Ong
Tiong-yang hidup kembali juga tak lebih unggul daripadamu, barisan bintang-bintang
ciptaanmu ini pasti sangat hebat,” demikian It-teng ikut bersuara.
Yok su tidak lantas menjawab, ia berpikir
sejenak, lalu katanya “Barisanku ini tujuannya melulu untuk bertempur dengan
jumlah beberapa puluh orang jagoan Bu-lim saja, sebenarnya tak pernah terpikir
akan dipakai dalam pertempuran melawan beratus ribu tentara ini. Tapi kalau diubah
sedikit rasanya masih dapat dilakukan. Sayangnya sekarang kekurangan satu orang
dan sepasang rajawali kita.”
“Cobalah memberi penjelasan lebih lanjut,” pinta
It-teng.
“Kalau kedua rajawali itu tidak dibinasakan
paderi keparat itu, bila barisan kita dikerahkan segera kedua binatang itu disuruh
terbang ke atas panggung untuk menolong Yang-ji, tapi sekarang hal itu tak
mungkin lagi,” demikian kata Ui Yok- Su.
“Tentang barisan 28 bintang ini, hanya
menurut perubahan “pancabuta” (unsur lima macam,” api, air, bumi hawa dan eter)
saja, harus dipimpin lima jagoan tinggi, kita sudah mempunyai empat orang untuk
empat jurusan: timur, selatan, utara, di tengah, tapi barat, Se-tok Auyang Hong
sudah mati dan tiada penggantinya, pula Lo-wan-tong terluka, jika ada Yo Ko di
sini, orang ini cerdik pandai ilmu silatnya tidak di bawah mendiang Auyang
Hong, tapi kini ke mana harus mencarinya? pimpinan untuk jurusan barat ini sungguh
membikin aku rada ragu-ragu”
Mendengar nama Yo Ko disebut, Kwe Ceng
memandang jauh ke utara melampaui panggung tinggi musuh itu dan bergumam: “Ya,
mati atau hidup-kah Koji sekarang sungguh bikin orang sangat berkuatir.”
“Ya, sebab apakah Yo Ko yang katanya bertemu
Kwe Yang didasar jurang, tapi mengapa rombongan Oey Yong tidak menemukannya?
Sebab apa dalam waktu tiada satu hari Nyo Ko menghilang tanpa bekas?
Kiranya saking berduka dari putus asa karena
merasa takkan berjumpa pula dengan Siao liong-li, maka Yo Ko telah terjun
kedalam jurang dengan anggapan pasti akan hancur lebur tubuhnya untuk
menghabisi riwayatnya.
Tak terduga sampai lama melayang ke bawah,
akhirnya terdengar suara “plung” yang keras, tubuhnya tercemplung masuk kolam
air. Betapa tinggi ia terjun dari atas, dengan sendirinya daya tekanan itu amat
kerasnya, maka ia tenggelam lurus ke bawah entah berapa dalamnya, mendadak
matanya terbeliak, lapat-lapat seperti
dilihatnya ada sebuah gua air, selagi ia hendak menegasi, daya tolak air kolam
yang keras luar biasa telah mengapungkan tubuhnya ke atas lagi, pada saat
itulah Kwe Yang pun ikut kecemplung ke dalam kolam.
Karena kejadian aneh yang susul menyusul itu,
maka tanpa pikir Yo Ko menunggu Kwe Yang mengambang ke atas air, lalu
menyeretnya ke tepi serta menanyai “Adik cilik, kenapa kau terjatuh ke bawah
sini?”
“Melihat kau terjun, aku lantas ikut terjun
ke sini,” sahut Kwe Yang.
“Tobat! ampun!” kata Yo Ko geleng-geleng
kepala, “Apakah kau tak takut mati?”.
“Kau tak takut mati, akupun tak takut,” sahut
Kwe Yang pula dengan tersenyum.
Hati Yo Ko jadi tergerak pikirnya diam-diam:
“Apakah mungkin usia semuda ini ternyata sudah mendalam cintanya padaku?”
Berpikir demikian, tanpa merasa kedua tangannya rada gemetar.
Tiba-tiba Kwe Yang mengeluarkan sebuah jarum
emas, ia angsurkan pada Yo Ko dan bertanya: “Toakoko, dahulu waktu kau
memberikan tiga jarum padaku, kau bilang setiap jarum ini berlaku bagiku
mengajukan sesuatu permintaan padamu dan engkau pasti takkan menolak. Kini aku memohonpadamu:
Tidak peduli apakah Liong-cici dapat bertemu kembali denganmu atau tidak,
janganlah sekali-sekali kau mencari pikiran pendek.”
“Apakah jauh-jauh kau datang dari Siangyang,
perlunya melulu untuk memohon hal ini padaku?” tanya Yo Ko dengan suara
terputus-putus sambil memandangi jarum emas itu.
“Ya, benar,” sahut Kwe Yang penuh girang.
“laki-laki sejati sekali berkata harus dapat dipercaya, apa yang kau pernah sanggupkan
padaku, jangan kau mungkir janji.”
Yo Ko menghela napas panjang sekali. seorang
hidup ingin mati, tapi dari mati kembali hidup melalui suatu proses tertentu,
betapapun tadinya ia berkeras ingin mati, tak mungkin untuk sekali lagi mencari
mati, hal ini adalah kelaziman manusia tanpa kecuali.
Kini demi dilihatnya sekujur badan Kwe Yang
basah kuyup, kedinginan hingga giginya gemertak saling beradu, tapi rasa girang
pada wajahnya tidak tertutup oleb semua itu, lekas Yo Ko mengumpulkan kayu
kering hendak menyalakan api, tapi ketikan api yang mereka bawa sudah ikut
basah semua, tak bisa digunakan lagt, terpaksa ia berkata: “Adik cilik, kau
latihan Lwekang dulu dua kali, supaya hawa dingin tidak menyerang badanmu
hingga menimbulkan sakit.”
“Marilah kita berdua berlatih semua,” sahut
Kwe Yang.
Lalu merekapun duduk berendeng menjalankan
darah dan mengatur napas, Sejak kecil Yo Ko sudah digembleng tidur di atas batu
kemala dingin di dalam kuburan kuno di Cong-lam-san itu, maka sedikit hawa
dingin ini bukan apa-apa baginya, ia ulur tangan memegang punggung Kwe Yang,
maka
mengalir hawa hangat melalui “Sin-tong-hiat”
dipunggung anak dara itu dan perlahan-lahan merata ke seluruh tubuhnya.
Tidak lama kemudian, Kwe Yang merasa seluruh
badannya hangat kembali dan lebih segar.
Lalu Yo Ko tanya untuk apa anak dara itu
datang pula ke Coat-ceng kok. Dengan terus terang Kwe Yang lantas menceritakan
pengalamannya.
Yo Ko menjadi gusar, katanya: “Kim-Iun
Hoat-ong ini benar-benar jahat, marilah kita cari jalan naik ke atas biar Kakak
ajar dia hingga setengah mati.”
Pada saat mereka bicara itulah mendadak dari
atas jatuh seekor burung raksasa ke dalam kolam, itulah rajawali jantan, keruan
Kwe Yang terkejut, lekas-lekas mereka memeriksa rajawali itu yang ternyata
terluka amat parah.
Tak lama, menyusul rajawali betina turun ke
bawah dan membawa yang jantan ke atas, ketika untuk kedua kalinya turun pula,
Yo Ko dukung Kwe Yang ke atas punggung binatang itu. ia sangka tentu rajawali
itu akan turun pula untuk menjemputnya, siapa tahu ditunggu hingga lama sekali masih
tiada sesuatu suara.
Sudah tentu tak diketahuinya bahwa saat itu
rajawali betina sudah mati menumbukkan diri pada batu cadas menyusul rajawali
yang jantan.
Menunggu hingga lama dan rajawali betina itu
tetap tidak datang, lalu Yo Ko memeriksa keadaan sekitar kolam itu, tiba-tiba
dilihatnya di atas pohon-pohon besar berjajar2 beberapa puluh sarang tawon,
sarang tawon ini berlipat ganda besarnya daripada sarang tawon biasa, pula
tawon2 yang
meng-aum2 berseliweran itu ternyata adalah
jenis tawon putih yang dulu biasa dipiara Siao liong li di kuburan kuno itu. Tanpa
terasa Yo Ko berseru terkejut dan hingga seketika terpaku di tempatnya. Selang
agak lama barulah ia mendekati sarang tawon itu, ia lihat di pinggir sarang
tawon terpoles
tanah liat, terang buatan manusia,
lapat-lapat dikenalinya sebagai karya Siao-liong-li.
Yo Ko tenangkan semangatnya, ia pikir:
“Jangan-jangan dahulu ketika Liong-ji terjun ke bawah sini, lalu ia bertempat tinggal
di sini?” - tapi ketika ia periksa sekitarnya, tempat ini melulu dinding tebing
curam bagai di dasar sebuah sumur saja, di atas penuh kabut putih yang menutupi
sinar matahari.
Yo Ko coba ketok2 dan mencari sesuatu tanda
pada dinding bata itu, tapi tiada sesuatu yang mencurigakan hanya ada beberapa
pohon yang kulitnya seperti pernah dikeletek orang, pula ada tetumbuhan seperti
pernah dicangkok ketempat lain, sesaat itu rasa suka duka berkecamuk memenuhi
benaknya, hatinya berdebar-debar, kini ia yakin bahwa Siao liong li pun pernah
tinggal di sini, cuma sudah lewat 16 tahun lamanya, sampai har iini apakah
orangnya masih sehat walafiat, siapa yang tahu?
Biasanya Yo Ko tidak percaya setan malaikat
segala, tapi, dalam cemasnya ia berlutut dan komat-kamit berdoa: “Thian yang
maha kasih, ber-kahilah aku untuk bertemu sekali lagi dengan Liong ji.”
Setelah berdoa, Yo Ko mencari lagi sebentar,
tapi tetap tidak ditemukan sesuatu, ia duduk di atas pohon dan berpikir “Jika
Liong-ji sudah mati, seharusnya tertinggal juga kerangka tulangnya di sini,
kecuali kalau tulangnya tenggelam di dalam kolam.”
Berpikir sampai di sini, mendadak ia melompat
turun, ia berkata: “betapapun juga pasti akan kuselidiki sampai segalanya
menjadi jelas, sebelum melihat tulang-belulangnya, hatiku belum lega.”
Segera ia menerjun ke dalam kolam terus
menyelinap ke dasarnya.
Makin dalam makin dingin rasanya di bawah
kolam itu, meski Yo Ko tidak takut dingin, tapi daya tolak air dibagian bawah
terlalu kuat, walaupun beberapa kali Yo Ko berusaha menerjang ke bawah, tapi
tetap tak bisa mencapai dasarnya, sedangkan napasnya sudah makin memburu,
terpaksa ia apungkan diri keatas, setelah merangkul sepotong batu besar, kembali
ia terjun pula ke dalam kolam.
Sekali ini orangnya berikut batunya terus
tenggelam dengan cepat, mendadak pandangannya terbeliak, pikiran Nyo Ko
tergerak, lekas-lekas ia menyelidiki ke arah yang terang, tiba-tiba terasa
pusar air yang menggulung tubuhnya terus terhanyut dengan ketatnya, ternyata di
tempat yang terang itu memang ada sebuah gua.
Yo Ko melepaskan batu besar yang dirangkulnya
itu, segera ia menyelam ke gua itu, ternyata gua itu menembus miring ke atas,
cepat Yo Ko mengapungkan diri mengikuti lorong gua itu, selang sejenak,
tahu-tahu kepalanya sudah menongol ke permukaan air, sinar matahari menyorot
dengan terangnya, bunga semerbak mewangi, ternyata di situ terdapat suatu
“dunia luar”
Ia tidak lantas mendarat, ia melihat
sekitarnya pemandangan menghijau permai, bunga mekar menarik, tempat itu
seperti sebuah taman bunga yang besar, tapi di sekitarnya tiada suatu bayangan
orangpun.
Girang dan kejut Yo Ko, cepat ia melompat
keluar air, kemudian terlihat olehnya di tempat sejauh beberapa puluh tombak
sana terdapat beberapa buah rumah petak.
Yo Ko berlari ke sana, tapi mendadak ia
berhenti pula, lalu selangkah demi selangkah ia mendekati rumah-rumah petak
itu, dalam hati ia pikir: “Jika dalam rumah-rumah petak ini tetap tidak
diperoleh beritanya Liong-ji, lalu bagaimana baiknya?”
Makin dekat dengan rumah-rumah itu, jalannya
makin lambat, dalam hati ia kuatir kalau-kalau harapannya yang terakhir inipun
buyar “Akhirnya sampai juga di depan rumah petak, waktu ia dnogarkan
sekitarnya, sunyi senyap, tiada suara orang, tiada berkicaunya burung, hanya
suara mendengungnya tawon yang pelahan.
Dengan tabahkan diri, Yo Ko lantai menegur
beberapa kali, namun tiada jawaban dari rumah itu, pelahan Yo Ko dorong daun
pintu rumah, maka terpentanglah pintu itu dengan mengeluarkan suara
kriat-kriut.
Ketika Yo Ko melangkah masuk, sekilas saja ia
pandang ke dalam, tak tahan lagi sekujur badannya mendadak tergetar ia lihat
panjangnya dalam rumah sangat sederhana, tapi rajin dan resik luar biasa.
Di tengah ruangan hanya sebuah meja dua
sebuah kursi, lain tidak. Tapi letak meja kursi itu ternyata sudah sangat dikenalnya,
serupa benar dengan keadaan meja kursi diruangan batu dalam kuburan kuno.
Tanpa pikir Yo Ko berjalan membelok ke kanan,
betul saja di sana adalah sebuah kamar, lewat kamar ini ada lagi sebuah kamar
yang lebih “besar” sebagian meja-kursi dan pembaringan di dalam kamar ini sama
saja seperti apa yang terdapat di kamar tidur Yo Ko di kuburan kuno dahulu, Cuma
perabot rumah di kuburan kuno itu seluruhnya terbuat dari batu, sedangkan yang
di sini terbikin dari kayu.
Sesudah masuk kedalam kamar itu, sambil
me-rabai alat-alat perabot kamar itu, air mata Yo Ko sudah mengembeng, kini tak
dapat ditahan !agi, air matanya meleleh membasahi pipinya.
Tiba-tiba terasa sebuah tangan yang halus
lemas tetesan2 membelai rambutnya, lalu suatu suara lemah lembut telah menanya
padanya: “Ko-ji urusan apakah yang membuat kau sedih?”
Suara itu, lagunya, cara membelai rambutnya,
seluruhnya mirip benar dengan cara Siao-liong-ii dahulu bila sedang menghiburnya,
Mendadak Yo Ko membalik tubuh, maka tertampaklah di depannya berdiri seorang
perempuan berbaju putih, kulit badannya putih bagai salju, mukanya cantik bagai
bunga sedang mekar, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong li yang dirindukannya
siang dan malam selama 16 tahun ini?
Kedua orang saling menjublek sekian saat,
lalu sama-sama berseru pelahan terus saling rangkul. Sungguh-sungguh. Atau mimpikah
ini? Benar-benar ataukah khayal? Yang jelas rasa rindu selama 16 tahun ini
seketika itu tak bisa diutarakan seluruhnya?
Lewat agak lama barulah Yo Ko berkata:
“Liong-ji wajahmu masih tetap cantik molek, tapi aku sudah tua.”
“Tidak, kau tidak tua,” sahut Siao liong li
dengan pandangan penuh arti. “Tapi aku punya Ko-ji kini sudah dewasa,”
Sebenarnya umur Siao-liong-It banyak lebih
tua daripada Yo Ko, tapi sejak kecil ia sudah berdiam di Ko bong atau kuburan
kuno dan belajar Lwekang dari gurunya, segala cita rasa dan napsu sudah di
hilangnya jauh-jauh, sebaliknya Nyo Ko sejak kecil sudah kenyang menderita dan
banyak berduka,
maka ketika keduanya kawin, wajah mereka
tampaknya sepadan.
Dan setelah menikah hingga berpisah selama 16
tahun, Yo Ko merana dan merantau kemana-mana, siksaan batin itulah yang
membikin rambut di kedua pelipisnya sudah mulai memutih, sebaliknya Siao
liong-Ii yang tinggal di tengah jurang, walaupun tidak kurang derita rindunya,
tapi latihan selama berpuluh tahun di masa kecilnya itu tidaklah percuma, malahan
ia kembali berlatih Lwekang ajaran gurunya dahulu tidak banyak berpikir dan
sedikit urusan, seorang diri tinggal di dalam jurang rasanya juga tidak begitu
sunyi, kini mereka bersua kembali, Yo Ko malahan tampaknya lebih tua. Sudah 16
tahun Siao-liong li tidak berbicara, kini meski sangat girang hatinya, tapi
rasanya menjadi tidak lancar
hendak bercakap-cakap. Tapi bicarapun tidak
perlu buat mereka, hanya saling pandang sambil tersenyum penuh arti, sampai
akhirnya Yo Ko menarik tangan Siao-Liong li dan diajaknya keluar.
“Liong ji, alangkah girangku!” kata Yo Ko
kemudian, mendadak ia jumpalitan beberapa kali bagai anak kecil.
Memang waktu kecilnya Yo Ko suka
berjumpalitan seperti ini dan Siaoliong-li suka gunakan tangannya untuk
mengusap keringat di jidatnya, kini tanpa terasa iapun keluarkan saputangan
mengusap beberapa kali di jidat Yo Ko, walaupun sebenarnya Yo Ko tidak
berkeringat.
Waktu Yo Ko periksa sapatangan itu, ia lihat
terbuat dari serat kulit pohon yang kasar, karena itu ia dapat membayangkan
betapa menderitanya Siao-liong li hidup selama 16 tahun di lembah terasing ini,
ia menjadi terharu, ia mem-belai2 rambut Siao-liongli dan bertanya: “Liong-ji, sungguh
menderita sekali kau selama 16 tahun ini.”
Siao liong li menghela napas, sahutnya. “jika
aku tidak dibesarkan di kuburan kuno itu, selama 16 tahun ini pasti tak sanggup
bertahan.”
Apa yang dikatakan ini memang benar, kalau
umpamanya Yo Ko yang harus tinggal seorang diri di lembah sunyi ini, sekalipun
tinggi ilmu silatnya tak nanti sanggup hidup sendiri selama 2-3 tahun.
Harus diketahui sejak kecil Siao liong-li
dibesarkan didalam istana kuburan kuno, meski mula-mula ada Suhu dan Sun-popo
yang merawatnya, dan kemudian berkawankan Yo Ko, tapi ia sudah biasa hidup
bebas sendirian, sedikit sekali bersandar pada orang lain.
Dan karena hidup sepi dalam panjang itulah
dapat ia bertahan melewatkan penghidupan ymg tak mungkin ditahan oleh orang
lain.
Begitu mereka berdua duduk berendeng diatas
batu besar dan saling mengutarakan rasa rindu selama ini…
Dahulu waktu mengetahui Siao liong-li terlalu
mendalam terkena racun dan sukar disembuhkan lagi, Yo Ko menjadi putus asa,
iapun tidak ingin hidup lagi tanpa Siao liong li, walaupun ia sendiri jaga
terkena racun Coat-hoa atau bunga cinta, ia sengaja buang separoh obat pil
“Coat ceng-tan” yang
bisa menyembuhkan racun yang diidapnya.
Melihat itu, malamnya Siao-liong-li tidak
bila tidur, ia pikir pergi datang, ia tahu kecuali ia sendiri mati dulu untuk melenyapkan
harapan Yo Ko barulah ada kemungkinan menyembuhkan racun Ceng-hoa di dalam
badannya.
Tapi kalau ia perlihatkan tanda membunuh
diri, itu berarti mempercepat kematian Yo Ko juga. ia berpikir terus hingga jauh
malam, akhirnya ia mengukir beberapa baris huruf itu dikarang Toan jong-khe, ia
sengaja “menetapkan janji pertemuan kembali sesudah 16 tahun lagi, habis itu
barulah ia terjun ke dalam jurang untuk membunuh diri.
“Kenapa kau menjanjikan 16 tahun? jika kau
berjanji 8 tahun saja, bukankah kita akan bertemu kembali lebih dari 8 tahun?”
tanya Yo Ko gegetun.
“Aku tahu cintamu padaku terlalu mendalam
kalau melulu 8 tahun yang singkat itu, pasti takkan padamkan watakmu yang kesap
bagai api,” sahut Siao-liong-li.
“Ai, siapa nyana meski sudah 16 tahun,
akhirnya kau tetap terjun kemari.”
“Ya, itulah tandanya orang lebih baik cinta
murni,” ujar Yo Ko tertawa. “Umpama rasa rindu ku padamu menjadi dingin, paling
banyak aku menangis di atas karang, lalu pergi, dengan begitu kita menjadi
takkan bertemu lagi untuk selama-lamanya.”
Siao-liong li menghela napas panjang oleh
nasib mereka yang diluar dugaan ini.
Mereka terdiam agak lama, kemudian Yo Ko
tanya pula:
“Dan sesudah kau terjun ke dalam kolam ini,
lantas bagaimana?”
“Dalam keadaan sadar-tak-sadar aku jatuh ke
dalam kolam, ketika mengapung ke atas lantas terbawa oleh pusaran air masuk gua
es itu dan terhanyut sampai di sini, sejak itu aku lantas hidup sendirian”
tutur Siao liong li.
“Di sini tiada burung maupun binatang, tapi
di dalam kolam itu tidak sedikit terdapat ikan, juga buah2an disekitar sini
tidak pernah habis, cuma tiada kain, terpaksa harus mengupas kulit pohon untuk
ditenun menjadi baju.”
“Tatkala itu bukankah kau terkena racun
“Peng-pek-gin-ciam” dan racunnya sudah meresap, di dunia ini tiada obat yang
bisa menyembuhkan lagi, tapi kenapa bisa menjadi baik di dasar lembah ini?”
tanya Yo Ko.
“Waktu aku sampai di sini, beberapa hari
kemudian racun dalam badan lantas bekerja hebat, seluruh tubuh se akan2 dibakar,
kepala sakit hendak pecah, rasanya tidak tahan lagi, tapi lantas teringat waktu
malam pernikahan kita di kuburan kuno itu kau telah mengajarkan cara duduk
diatas ranjang kemala dingin untuk menjalankan aliran darah secara terbalik, meski
tidak dapat menolak keluar racun, tapi rasa menderita
banyak berkurang,” demikian tutur Siao
liong-li. “Namun di sini tiada ranjang kemala dingin, yang ada hanya es beku
yang entah berapa tuanya di dasar kolam air itu, aku, lantas menyelam kembali
ke dasar kolam dan masuk gua es itu, aku berdiam sebentar di sana.
Kadang-kadang akupun datang ke tepi kolam
ketika terjatuh mula-mula itu, aku menengadah ke atas dengan harapan bisa
memperoleh sedikit kabarmu. Pada suatu hari, tiba-tiba kulihat beberapa ekor
tawan terbang turun menembus kabut yang menutupi permukaan jurang itu, terang
itulah tawon tinggalan Lowan-tong yang dibawanya main-main ke Coat-ceng-kok
itu, aku menjadi ketarik, segera aku buatkan sarang dan memeliharanya.
BeIakangan makin banyak tawon yang datang dan
setiap kali aku minum madu tawon yang aku unduh, rasa sakit badanku lantas
banyak berkurang, sungguh tidak nyana kasiat madu tawon ini ternyata sangat
mujarab untuk memunahkan racun.
Begitulah aku meminum madu tawon dalam jangka
panjang, kumatnya racun dalam badan juga berkurang, mula- mula setiap hari
kumat, lalu beberapa hari kumat sekali, kemudian hingga beberapa bulan sekali,
paling akhir selama 5-6 tahun ini, satu kali saja tak pernah kumat lagi,
agaknyasudah sembuh.”
“Ah, itulah tandanya orang berhati baik tentu
dibalas baik,” ujar Yo Ko senang. “Coba kalau dahulu kau tidak hadiahkan tawon
pada Lo-wan-tong dan ia tak membawanya ke Coat ceng-kok, tentu penyakitmu pun
takkan bisa sembuh.”
“Dan sesudah sembuh penyakitku…” demikian
Siao-liong-li melanjutkan “aku jadi sangat rindu padamu, tapi sekitar jurang
itu tingginya beratus tombak dan terdiri dari dinding2 tebing yang curam, cara
bagaimana bisa naik ke atas? Maka dengan duri bunga aku menisik enam huruf “Aku
berada didasar Coa ceng-kok” di atas sayap tawon putih itu dengan harapan
sesudah tawon itu terbang ke atas akan diketemukan orang.
Selama beberapa tahun ini sudah beribu ekor
tawon yang kutisik tulisan di atas sayapnya, tapi tetap tiada kabar berita yang
dibawanya kembali, makin lama aku semakin putus asa, aku merasa hidup ini
takkan bisa melihat kau lagi.”
“Ah. akupun terlalu ceroboh, kalau begitu,”
seru Yo Ko mendadak sambil tepuk paha penuh menyesal “Setiap kali kudatangi
Coat ceng-kok, selalu aku melihat tawon putih, tapi selamanya tak pernah
menangkapnya seekor untuk diperiksa.”
“Sebenarnya hal itupun timbul dari pikiranku
yang sudah kehabisan akal,” sahut Siao-liong-Ii tersenyum, “Padahal siapa bisa
menduga bahwa di atas badan binatang sekecil itu tertisik tulisan? Begitu
lembut tulisan itu, sekalipun beratus tawon itu terbang lewat di depan matamu
juga takkan kau perhatikan.
Harapanku hanya kalau-kalau kebetulan ada
seekor tawon itu masuk jaring lahan2 dan Thian menaruh belas kasihan sehingga
dapat kau lihat serta menolongnya, tatkala itu tentu tulisan di atas sayapnya
akan dapat kau baca.”
Ia tidak tahu bahwa tulisan disayap tawon itu
akhirnya dapat diketahui oleh Ciu Pek-teng yang suka main-main piara tawon itu
dan arti tulisan itu kena diterka oleh Oey Yong yang kecerdasannya melebihi
orang biasa.
Begitulah, setelah lama bercakap-cakap,
akhirnya menjadi lapar, Siao liong-li mengajaknya masuk rumah dan menyuguhkan
senampan ikan, ada pula buah2an dan madu tawon.
Setelah kenyang makan barulah ganti Yo Ko
menceritakan pengalamannya selama 16 tahun ini. Siaoliong-li sendiri biasanya
tidak banyak menghiraukan soal2 keduniawian, yang diharap asal dia dapat
bertemu kembali dengan Yo Ko dan rasanya sudah puas, maka sekalipun cerita Yo
Ko itu kadang-kadang mengenai kejadian aneh dan hal-hal lain yang mendebarkan
hati, paling-paling Siao-liong li hanya tersenyum saja, cerita2 itu bagai angin
lalu saja di-tepi telinganya. sebaliknya Yo Ko terus menerus bertanya tentang
segala sesuatu selama Siao-liong-li tinggal di dasar jurang ini.
Sepanjang malam mereka pasang omong hingga
hari sudah hampir pagi barulah mereka tidur.
Waktu mendusin, hari sudah lewat lohor, kata
Yo Ko: “Liong ji, kita akan hidup sempai tua di sini atau berdaya kembali
kedunia fana di atas sana!”
Menurut pendapat Siao-liong-li, ia lebih suka
hidup aman tenteram dengan Yo Ko di jurang ini, tapi Yo Ko suka keramaian,
betapapun cintanya pada Siao-liong-li, tetap tak biasa hidup sunyi terpencil.
Maka kata Yo Ko pula: “Lebih baik kita
berusaha naik saja, kalau di atas sana tidak menyenangkan nanti kita kembali ke
sini lagi, cuma… cuma untuk naik ke atas kiranya sangatlah sulit,”
Ia menyelam lagi ke tepi kolam melalui gua es
itu, maka tertampaklah dari atas menjulur seutas tambang yang sangat panjang,
di tepi kolam terdapat bekas-bekas kaki orang, malahan ada segunduk api unggun
yang apinya masih belum sirap sama sekali”
“Ah, ada orang datang mencari kita, malahan
sudah menyelam ke dalam kolam,” kata Yo Ko.
Ia mengitari tepi kolam itu, tiba-tiba
dilihatnya ada batang pohon besar terdapat ukiran dua baris tulisan yang
berbunyi: It-teng, Pek-thong, Eng Koh, Yong, Eng, Bu - siang, ke sini mencari
Yo Ko tidak ketemu dan pulang dengan masgul.”
Yo Ko menjadi sangat terharu, katanya:
“Mereka ternyata tak pernah melupakan diriku!”
“Ya siapapun tiada yang lupa padamu,” ujar
Siao-liong-Ii
“Mereka telah melorot ke bawah sini dengan
tambang panjang ini, meski sudah menyelam, tapi karena tidak melompat dari
tempat setinggi ratusan tombak, daya tenggelamnya tidak dalam, maka gua es itu
tak mereka lihat,”
kata Yo Ko. “Coba, kalau akupun turun dengan
memakai tambang, tentu takkan dapat menemukan kau.”
“Ya, makanya aku bilang segala apa memang
sudah takdir,” sahut Siau-liong-li.
“Tidak, ini namanya di mana ada kemauan,
batupun akan luluh karenanya,” kala Yo Ko.
Lalu ia mencoba tarik tambang itu dan
ternyata sangat
kuat, maka katanya pula: “Biar aku naik dulu,
entah Kimlun Hoat-ong itu di atas tidak, Tapi kalau It-teng Tay-su dan
Lo-wan-tong sudah kesitu agaknya Hoat-ong sudah kabur pergi.”
Habis ini ia bertanya lagi: “Liong-ji, ilmu
silatmu telantar tidak? jika tak dapat kau memanjat, biar kupanggul kau.”
“Meski selama 16 tahun tiada kemajuan, tapi
apa yang dulu kupelajari rasanya masih tetap,” sahut Siao-liong li.
Yo Ko berpaling sambil tertawa, lalu ia
pegang tambang panjang itu, sedikit ia gunakan tenaga, cepat ia melompat keatas
lebih setombak tingginya. Meski lenganya tinggal sebelah, tapi dibantu kedua
kakinya, tidak lama ia sudah panjat sampai di-atas jurang, Menyusut Siao-liong
li pun merambat naik dengan tali tambang itu.
Kedua orang berdiri sejajar di depan karang
Toan jong-khe, sambil memandangi dua baris tuIisan-yang diukir Siao-liong-Ii
dahulu didinding batu itu, sungguh mereka merasa seperti baru hidup kembali.
Mereka tertawa saling pandang, betapa suka
ria hati mereka saat itu, rasa penderitaan selama 16 tahun ini sudah buyar
seluruhnya bagai asap ter-tiup angin.
Yo Ko memetik setangkai bunga merah
“Liong-li-hoa” dan disuntingkan pada sanggulnya, bunga merah di atas kulit
badan yang putih, seketika sukar diketahui apakah bunga merah itu yang menambah
kecantikan orangnya atau wajah orang yang cantik itu yang menambah keindahan
bunganya?
***
Kembali berceritera tentang Kim lun Hoat-ong
yang membangun sebuah panggung tinggi diluar kota Siangyang dan hendak membakar
Kwe Yang untuk memaksa Kwe Ceng takluk pada pihak Mongol dan Oey Yok-su bilang
akan mengatur suatu “barisan 28 bintang-bintang untuk menempur musuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar