Kamis, 10 Januari 2013

Sin Tiauw Hiap Lu 108



Kembalinya Pendekar Rajawali 108


Lebih 30 tahun yang lalu mereka tertangkap oleh Lo wan-tong Ciu Pek-thong dan diserahkan pada Khu Ju-ki dan Ong Ju-it untuk mengurung mereka dalam Tiong-yang kiong di Cong-Iam-san, kalau mereka sudah insaf baru akan dibebaskan.
Akan tetapi keempat orang ini sukar mengubah watak jahat mereka, dengan segala jalan mereka berusaha melarikan diri, tapi setiap kali kena dibekuk kembali.
Ketika untuk ketiga kalinya mereka hendak merat, Peng Lian Iiou, Kau Thong-hay dan Ling-ti Siangjin bertiga telah membunuh beberapa anak murid Coan-cin kau yang menjaga mereka, setelah tertangkap kembali, sebagai hukuman yang setimpal mereka telah dikutungi sebelah kaki dan mata
mereka dibutakan, hanya Soa Thong-thian yang tidak mencelakai jiwa manusia, selamat kedua matanya.
Ketika Yo Ko belajar silat di Tiong-yang-kiong, karena waktunya tidak lama, pula selalu menderita, maka keempat orang hukuman itu tak dikenalnya, Sampai 16 tahun yang lalu, ketika jago-jago Mongol membakar Tiong-yang-kiong, dalam keadaan kacau-balau itu dapatlah Soa Thong-thian berempat
meloloskan diri.
Dan karena ketiganya buta, terpaksa bergantung pada Soa Thong thian sebagai penuntun jalan. Peng Lian-hou kuatir kalau orang tinggal pergi sendiri, maka ia berkeras tidak mau tanggalkan rantai yang masih mengikat tubuh mereka berempat.
Sesudah lari dari Tiong-yang-kiong, Soa Thong thian cs. masih kuatir kalau-kalau dapat dibekuk kembali oleh orang-orang - Coan-cin pay, maka diam-diam mereki lari ke daerah Kanglam dan selalu sembunyi menyepi dipedusunan.
Hari itu kebetulan mereka ke pergok Kwa Tin-ok, ilmu silat Tin-ok jauh bukan tandingan keempat orang itu, maka sekali gebrak sudah kalah, ketika ditanya barulah diketahui Kwa Tin-ok ada keperluan dan tiada maksud mencari mereka.
Meski mereka tiada permusuhan atau dendam tapi pendirian berbeda, pula kuatir orang membocorkan tentang jejak mereka, maka Soa Thong thian cs. Bermaksud membunuh Tin ok.
Waktu itu Tin-ok berkata bahwa ia harus pergi ke Leng-oh-tin di daerah Siangcu., bila urusan selesai ia sendiri akan datang kembali buat terima kematian, kalau keempat orang itu bersedia memberi hidup lebih lama beberapa hari padanya, ia akan mengambilkan beberapa pil “Kiu hoaJnok loh-wan
yang sangat mujarab untuk luka-luka dalam, obat buatan Oey Yok-su dari Tho-boa-tot sebagai balas budi itu.
Memangnya keempat orang itu sejak kakinya dipatahkan selalu menderita sakit encok yang jahat, kini mendengar Tin-ok bersumpah takkan membocorkan tempat sembunyi mereka, juga takkan mengajak pembantu, barulah kemudian mereka tetapkan harinya untuk bertemu kembali di kelenteng Ong- tiat-jiang di Ka hin ini.
BegituIah sehabis menutur kejadian-kejadian itu, lalu Soa Thong-thian berkata: “Yo-kongcu, waktu ayahmu masih hidup, kami semuanya adalah tamu undangannya, Sampai ia meninggal, kami sedikitpun tidak salah padanya, maka haraplah suka mengingat kebaikan dulu2 itu dan membiarkan
kami pergi!”
Dahulu Soa Thong-thian cs. adalah jago-jago kelas tinggi di kalangan Kangouw, sekalipun golok mengancam ditengkuknya juga tak nanti gentar, tapi sejak mereka dikurung lama, kaki buntung, mata buta, jiwa mereka menjadi melempem, semangat jantan hilang, kini tanpa segan-segan mohon ampun pada Yo Ko.
Tapi Yo Ko tak menggubris mereka, katanya pula pada Kwa Tin-ok: “Kau pergi ke Leng-oh tin, apakah untuk menemui Thia Eng daa Liok Bu siang taci beradik? Dan untuk urusan apa?”
Tiba-tiba Tio-ok menengadah tertawa panjang, katanya. “Wahai Yo Ko, Yo Ko, kau bocah ini benar-benar tak tahu urusan!”
“Kenapa aku tak tahu urusan?” lahut Yo Ko gusar.
“Aku Hui-thian-pian-bok (kelelawar terbang di langit, julukan Tin-ok) sudah tidak pikirkan jiwa lapuk ini lagi, sekalipun di masa muda, aku KwaTin-ok juga tak pernah takut  pada siapapun, betapa tinggi ilmu silatmu paling banyak hanya dapat me-nakut2i sebangsa manusia-sia yang takut mati dan tamak hidup, tapi Kanglam chit-koay apa kau kira kena digertak orang?” demikian sahut Tin ok.
Melihat sikap orang yang gagah berani, tanpa terasa Nyo Ko menaruh hormat, maka katanya tagi: “Kwa-Iokongkong, ya, akulah yang salah tapi lantaran kata-kata-mu tadi menghina mendiang ayahku, terpaksa aku berlaku tidak sopan. Nama Kwa kongkong terkenal diseluruh jagat, Yo Ko sejak kecil juga sangat kagum, selamanya tak berani kurangajar.”
“Beginilah baru pantas,” ujar Tin-ok, “Aku melihat kelakuanmu tidak jelek, pula telah berjasa besar di Siangyang, maka aku anggap kau adalah tokoh kelas satu. Tapi kalau macam ayahmu dahulu, sekalipun berbicara saja aku merasa mual.”
Amarah Yo Ko berkobar lagi oleh olok-olok itu, dengan suara keras ia tanya: “Sebenarnya ayahku berbuat salah apakah, coba terangkan.”
Harus diketahui bahwa di antara kawan-kawan yang pernah dikenal Yo Ko tidak sedikit orang yang ibu seluk beluk ayahnya dahulu, tapi karena sungkan mengolok-olok ayah seorang “Sin-tiau-hiap” maka semua orang sungkan membicarakannya, sekalipun ditanya Yo Ko sendiri.
Namun dasar Kwa Tin-ok selamanya pandang kejahatan sebagai musuh, wataknya keras jujur, ia tak urus apakah ceritanya nanti akan menyinggung perasaan Yo Ko atau tidak, segera saja ia ceritakan seluruhnya dari awal sampai akhir, tentang bagaimana Yo Khong tak kenal budi, malahan sekongkoI dengan Auyang Hong hingga lima kawannya dari Kanglam-chit-koay terbinasakan dan akhirnya menggaplok punggung Oey Yong, tapi senjata makan tuan, duri landak kutang Oey Yong yang tanpa sengaja tertempel racun ularnya Auyang Hong itu malah membinasakan Nyo Khong sendiri.
“Kejadian pada malam itu, beberapa orang inipun menyaksikannya, Soa Thong thian, Peng Lian hou, coba kalian katakan, apakah aku Kwa-Iothai pernah berbohong?” demikian kata Tin-ok akhirnya.
Beberapa perkataan paling akhir ini diucapkannya dengan sangat keras hingga bikin kaget beberapa puluh ekor burung gagak yang berada di menara kelenteng itu terbang ke udara dengan suara yang berisik.
“Ya, malam itu juga terdapat burung-burung gagak begini…” tutur Soa Thong-thian. “Nih, tanganku ini justru karena digaruk sekali oleh Nyo-kongcu, kalau Peng-hengte ini tidak cepat bertindak tanganku ini terus ditabasnya, mungkin jiwaku akan dan melayang pada malam itu juga.”
Sungguh tidak kepalang rasa pedih dan pilu Yo Ko pada saat itu, ia memegangi kepalanya dan duduk termangu-mangu dengan muka muram, sekali-sekali tak diduganya bahwa ayahnya ternyata seorang yang begitu jahat dan keji, sekalipun namanya dan perbuatannya sendiri sekarang lebih cemerlang juga sukar mencuci bersih noda ayahnya itu.
Begitulah, untuk sesaat di dalam kelenteng menjadi sunyi, keenam orang tiada yang buka suara, hanya suara gaok masih terus berisik tiada hentinya.
Selang agak lama, berkatalah Kwa Tin-ok, “Yo-kongcu, kau telah berjasa besar di Siangyang, betapapun dosa ayahmu juga sudah tertutup semua, Di alam baka pasti ia akan senang karena kau bisa tebus kesalahan orang tua.”
Yo Ko coba merenungkan segala apa yang dialaminya selama ini, sejak ia kenal suami isteri Kwe Ceng, selalu Oey Yong menaruh prasangka padanya, segala kesalah pahaman dulu2 semuanya disebabkan ayahnya itu. Tapt kalau tiada ayah darimanakah datangnya dirinya ini? Namun banyak kematian dan rasa kesalnya selama ini sesungguhnya juga gara-gara perbuatan mendiang ayahnya. Tanpa terasa ia menghela napas panjang oleh segala suka duka itu.
“Kwa-lokongkong,” tanyanya kemudian, “Apakah Thia Eng dan Liok Bu-siang berdua taci beradik baik-baik saja?”
“Ya, mereka menjadi begitu girang ketika mendengar kau membakar gudang perbekalan musuh di Sinyang dan membasmi dua ribu pasukan perintis Mongol,” sahut Tin-ok, “la tanya pula tentang keadaanmu selama ini dan berita Siao-liong-Ii, nyata kedua taci-beradik itu sangat terkenang padamu,”
“Ai, kedua adik ini juga sudah 16 tahun aku tak melihatnya,” kata Yo Ko kemudian habis itu mendadak ia menoleh terus membentak pada Sa Thong thian: “Nah, Kwa-kongkong sudah berjanji hendak serahkan jiwanya pada kalian, ia orang tua selamanya sekali bicara tidak pernah pungkir janji, sekarang kalian lekas turun tanganlah, dan sesudah kalian membunuhnya baru aku membunuh juga
kalian berempat anjing ini untuk membalaskan sakit hatinya.”
Soa Thong thian dan Peng Lian-bou menjadi tertegun, sungguh mereka tidak pernah dengar ada bunuh membunuh cara demikian. Maka kata So Thong thian kemudian: “Nyo-tayhiap, kami tuli tahu hingga berlaku kurangajar pada Kwa lohiap (pendekar tua Kwa), harap kalian berdua suka memaafkan kami.”
“Jika begitu, nah, ingat baik-baik, kalian sendiri yang tidak menepati janji dan tak inginkan jiwa Kwa-kongkong,” kata Nyo Ko.
“Ya, ya,” sahut Soa Thong thian cepat, “Terhadap budi luhur Kwa-lohiap kami selamanya juga sangat kagum.”
“Nah, sekarang lekas enyah, lain kali jangan ke tumbuk lagi ditanganku,” bentak Yo Ko.
Keruao Soa Thong-thian cs. seakan2 mendapat lotere, sesudah memberi hormat, dengan cepat mereka lari keluar kelenteng itu.
Yo Ko menolong jiwa Kwa Tin-ok itu sangatlah menjaga kehormatannya sebagai seorang ksatria, tentu saja Kwa Tin-ok berterima kasih. Dan sesudah membersihkan pecahan patung di ruangan itu, lalu mereka berduduk untuk omong2.
“Aku pergi ke Leng-oh-tio adalah sebab urusan Kwe-ji-kohnio,” demikian tutur Tin-ok.
“Ha,” Yo Ko rada terkejut “Ada apakah nona kecil ini?”
“Kedua puteri Kwe Ceng itu masing-masing punya kenakalannya sendiri-sendiri, sungguh bikin orang kepala pusing,” ujar Tin-ok. “Entah mengapa, tiba-tiba Kwe Yang si anak dara itu meninggalkan rumah tanpa pamit entah ke mana, Sudah tentu orang tuanya menjadi kelabakan, ke-mana-mana orang dikirim untuk mencarinya, tapi sama sekali tiada kabar beritanya, karena aku si buta ini tiada pekerjaan apa-apa di Siangyang, maka aku juga keluar untuk mencarinya. Jurusan timur, utara dan barat sudah ada orang yang pergi, aku lebih paham keadaan daerah Kanglam maka aku lantas ke selatan sini.”
“Dan apakah sudah mendapatkan beritanya?” tanya Yo Ko.
“Beberapa hari yang lalu secara kebetulan aku mendengar percakapan dua orang kurir bangsa Mongol, katanya puteri kecil Kwe-tayhiap dari Siang-yang telah tertawan ke dalam pasukan Mongol mereka.
“Haya! Apakah kabar ini betul atau bohong?”
“Kedua kurir Mongol itu berbicara dalam bahasa mereka dan menyangka tiada orang lain yang paham, tak tahunya aku pernah tinggal belasan tahun di negeri Mongol, tentu saja semuanya kudengar dengan jelas,” kata Tin-ok pula.
“He, kalau begitu jadi berita ini tidaklah bohong?” Tanya Yo Ko terkejut.
“Ya, maka dalam gusarku segera kupersen ke-dua kurir Mongol itu masing-masing sebiji “Tok-cit-le” dan hendak kulapor ke Siangyang, siapa tahu di tengah dan kepergok empat setan tadi,” tutur Tin-ok
“Aku pikir jiwaku tidak jadi soa!, tapi berita nona Kwe Yang harus disampaikan makanya aku minta mereka member kelonggaran beberapa hari, kupergi jke Leng-oh tin yang berdekatan dan memberitahukan pada Thia Eng dan Liok Bu siang. Mendengar berita itu, segera kedua nona itu berangkat ke utara dan aku menepati janji datang kemari mengantarkan kematian.
Sungguh tidak nyana sekarang ke empat setan jahat ini sendiri tak dapat dipercaya, sampai saat terakhir mereka tidak berani - turun tangan. Haha, hahaha!”
“Apakah Kwa-kongkong pernah mendengar cerita kedua kurir Mongol itu tentang cara bagaimana tertawannya nona Kwe dan apakah berbahaya jiwanya?” tanya Yo Ko sesudah pikir sejenak.
“ltulah aku tidak mendengar,” sahut Tin-ok, “Urusan ini sangat gawat, sekarang juga boanpwe pergi ke sana dan berusaha menolong sebisanya,” kata Yo Ko pula, “Dan Kwa-kongkong sendiri bolehlah menyusul belakangan saja.”
“Baiklah, ada kau yang pergi menolongnya, hatiku akan merasa lega, biarlah aku menunggu kabar baik saja di Siangyang,” sahut Tin ok.
Nyata sejak menyaksikan apa yang dilakukan Yo Ko di Siangyang tempo hari, hati orang tua ini sudah sangat kagum atas kemampuannya.
“Tapi Wanpwe ada sesuatu permintaan aku mohon bantuanmu Kwa-kongkong.” pinta Yo Ko “Yalah sukalah kau mengganti sebuah batu nisan kuburan ayahku, tulislah puteranya Yo Ko yang mendirikannya.”
“Baiklah, pasti akan kukerjakan dengan baik,” sahut Tin ok.
Dan berangkatlah Yo Ko segera sesudah memberi hormat pad orang itu. ia membeli dua ekor kuda dulu di Ka-hin dan sepanjang jalan bergantian kuda terus menuju ke Sin-yang tanpa berhenti Maka tidak seberapa hari sudah dekatlah dengan perkemahan pasukan Mongol.
Kiranya raja Mongol yang pimpin pasukan hendak menggempur Siangyang ini, ketika tanpa tahu sebab musababnya kedua pasukan perintisnya terbasmi di Sinya dan Tengciu, ia menjadi ragu-ragu akan kekuatan pasukan Song yang sebenarnya, maka pasukan induknya berkemah di antara Lamyang, kedua pihak belum pernah bertempur.
Maka terlihatlah panji2 ber-kibar2, senjata gemerlapan, perkemahan yang berderet-deret memanjang tak kelihatan ujungnya.
Menunggu sesudah malam, Yo Ko menyelundup ke perkemahan musuh untuk menyelidiki, ia lihat penjagaan sangat keras, disiplin sangat baik.
Kekuatan tentara Mongol itu memang sangat hebat. Lebih-lebih kemah di mana raja berdiam, penjagaan lebih ketat lagi.
Meski tinggi ilmu silat Yo Ko, tapi di ketahuinya tidak sedikit orang-orang gagah dalam pasukan musuh, betapapun tangkas sukar juga melawan orang banyak, maka iapun tak berani sembarangan unjuk diri.
Malam itu ia hanya dapat menyelidiki perkemahan bagian timur, besoknya dilanjutkan bagian selatan dan lain hari perkemahan barat, ber-turut-urut empat malam empat bagian pertengahan musuh itu selesai diintainya, tapi masih belum memperoleh kabar berita Kwe Yang itu.
Akhirnya Yo Ko menawan seorang perwira musuh, di bawah ancaman perwira itu telah mengaku terus terang bahwa sesungguhnya tidak pernah terdengar tentang puteri Kwe Ceng dari Siangyang.
Namun Yo Ko masih ragu-ragu, ia selidiki lagi beberapa hari, kemudian baru percaya memang Kwe Yang tidak disekap di situ, Pikirnya: “Againya Kwe-pepek sudah dapat menolong puterinya pulang, atau mungkin kedua kurir Mongol itu juga mendengar dari orang lain jadi hanya berita bohong-belaka.
Sementara itu musim scmi sudah tiba, bunga mekar mewangi. janji Siao-liong-Ii 16 tahun yang lalu sudah hamper tiba, maka Yo Ko lantas menuju ke utara, pergi ke Coat-cing-kok atau lembah putus cinta.

Mengenai Kwe Yang hari itu setelah disaksikannya Kim-Iun Hoat-ong secara keji membinasakan Tiang-jiu kui dan Toa-thau-kui berdua, dalam hati ia menjadi berduka, iapun insaf takkan bisa lolos dari cengkeraman elmaut, maka dengan tegak ia menantang: “Hayolah, bunuhlah aku, tunggu apalagi?”
“Hendak membunuh kau adalah terlalu mudah?” sahut Kim lun Hoat-ong tertawa “Tapi hari ini aku sudah membunuh dua orang, sudah cukup, lewat berapa hari lagi nanti akan kusembelih kau. Sekarang lekas turut aku pergi.”
Kwe Yang pikir percuma saja hendak membangkang, biarlah nanti tunggu kesempatan untuk meloloskan diri, Maka iapun cempIak ke atas kuda dan jalan pelahan.
Tentu saja Kim-Iun Hoat-ong sangat senang, pikirnya: “Hongsiang dan Hongte (raja dan adik Raja) ingin sekali mencabut jiwa Kwe Ceng, tapi selama ini tidak berdaya, Hari ini aku dapat menawan puteri kesayangannya, dengan sandera ini mau tak mau Kwe Ceng harus tunduk kepala dan turut perintah, seumpama Kwe Ceng tak mau takluk, pelahan kita siksa lahir batin nona ini dibawah benteng dihadapan Kwe Cing, biar dia ngenas dan kacau pikiran, tatkala itu sekali gempur pasti Siangyang akan bobol.
Sampai hari sudah malam, mereka mondok di-rumah tepi jalan, Tapi penghuni rumah sudah kabur, rumah itu kosong melompong. Hoat-ong mengeluarkan rangsum kering dan diberikan sedikit pada Kwe Yang, anak dara itu disuruh tidur di dalam kamar, ia sendiri duduk sila bersemedi di ruangan luar.
Kwe Yang gulang-guIing dipembaringannya tak bisa pulas.
Sampai tengah malam, secara berindap-indap ia mengintip ke ruangan tengah, ia lihat Hoat-ong masih duduk sila menghadap tembok, sayup-sayup terdengar suara mendengkurnya pelahan, agaknya sudah tertidur.
Girang sekali Kwe Yang, perlahan-lahan ia melompat keluar jendola, ia robek kain buntalannya menjadi empat buat bungkus telapak kaki kuda, lalu binatang itu dituntunnya pelahan, Sesudah agak jauh dan melihat Hoat ong tidak mengejar barulah ia cemplak kuda dan dilarikan secepat terbang.
Ia pikir kalau Hoat ong mengetahui dirinya sudah lari, maka akan mengejarnya kearah Siangyang, jadi ke selatan, tapi sekarang ia sengaja berlari ke jurusan barat laut, betapapun dia takkan menemukan aku, Begitulah ia keprak kudanya sekaligus berlari lebih satu jam, karena binatang itu sudah payah, barulah ia lambatkan setindak demi setindak, sepanjang jalan ia selalu menoleh kalau-kalau Hoat-ong
mengejarnya, sampai hari sudah terang tanah, kira-kira sudah beberapa puluh li jauhnya, hati anak dara ini barulah lega.
Sementara itu ia telah memasuki suatu jalan kecil pegunungan yang menanjak, makin lama makin tinggi, setelah membelok ke sana, tiba-tiba terdengar suara ngorok orang tidur sekeras guntur, seorang terlentang melintang di tengah jalan lagi mendengkur. Ketika Kwe Yang mengawasinya hampir saja ia merosot jatuh dari kudanya.
Ternyata orang yang malang melintang di tengah jalan itu berkepala gundul dan berjubah kuning siapa lagi dia kalau bukan Kim-lun Hoat-ong, sungguh sukar dimengerti cara bagaimana orang tahu-tahu sudah berada dibagian depannya malah.
Lekas-lekas Kwe Yang memutar kudanya terus lari ke bawah bukit, ketika ia menoleh, Hoat-ong tertampak masih enak-enak tidur tak mengejarnya.
Sekali ini ia tidak menuju ke jalan tadi, tapi ke arah tenggara, ke tempat yang sepi, Setelah setanakan nasi, tiba-tiba terlihat di atas suatu pohon di depan sana ada seorang menjungkir, kedua kakinya menggantoI pada dahan pohon dan sedang menyengir padanya, Kurangajar! Siapa lagi dia kaku bukan Hoat-ong?
Namun Kwe Yang tidak lagi terkejut, sebaliknya ia menjadi gusar, damperatnya: “Hwesio keparat, kau mau mencegat boleh cegat saja, kenapa mesti permainkan nonamu?” Habis berkata, ia keprak kudanya ke depan, ketika sudah dekat, mendadak pecutnya disabetkan ke muka orang.
ia lihat Hoat ong sama sekali tidak berkelit, tepat sekali ujung pecut mengenai mukanya, Pada saat itu juga kuda tunggangan Kwe Yang sudah nelewati tubuh Hoat-ong yang tergantung itu, ketika Kwe Yang menarik pecutnya, mendadak suatu tenaga maha besar telah melibatnya hingga tanpa kuasa
tubuhnya mencelat ke udara.
Kiranya ketika pecut sampai dimuka Hoat-ong, secepat kilat Hoat-ong buka mulut dan gigit kening2 ujung pecut, karena tubuhnya tergantung menjungkir, maka ia terayun tinggi ke atas hingga Kwe Yang ikut terangkat.
Meski tubuh di atas udara, namun Kwe Yang tidak menjadi gugup, ketika dilihatnya Hoat ong hendak mengayunnya kembali, cepat ia lepaskan pecutnya terus terlepas ke bawah.
Hoat-ong terkejut, ia kuatir anak dara itu terbanting luka, maka cepat melompat turun dulu dan menangkapnya sambil berseru: “Awas!”
Tapi Kwe Yang juga tidak kurang cerdiknya, ia sengaja berteriak-teriak: “Tolong!” - Dan ketika tubuhnya sudah dekat Hoat-ong, mendadak kedua tangannya memukul berbareng, tepat sekali dada Hoat-ong kena digenjotnya.
Serangan Kwe Yang ini cepat sekali lagi di luar dugaan, sekalipun ilmu silat Hoat-ong sangat tinggi, orangnya juga cerdik, namun tak sanggup berkelit lagi, kedua kakinya menjadi lemas dan orangnya terkulai ke tanah, kaku tak berkutik
Tidak tersangka oleh Kwe Yang bahwa sekali akan berhasil, karuan ia kegirangan cepat ia angkat sepotong batu besar terus hendak dikepruk ke atas kepala Hoat-ong yang gundul itu. Tapi selamanya belum pernah ia membunuh orang, meski ia benci orang telah membunuh dua kawannya, namun ketika hendak turun tangan hatinya menjadi tak tega, ia tertegun sejenak, lalu batu besar itu diletakkannya kembali.
Sebagai gantinya ia tutuk “Thian-teng-hiat” di tengkuk Hoat-ong, “Peng-hong-hiat” dipunggung, “Sin-hong-hiat” di dada, “Jing ling-hiat” di lengan dan “Hok-hou-hiat” di atas mata, sekaligus tanpa berhenti ia tuluk tiga belas tempat jalan darah orang, anak dara ini masih belum puas, ia angkat empat potong batu yang beratnya hampir beratus kati, batu-batu itu ia tindih di atas badan Hoat-ong.
“Wahai, Hwesio jahat, hari ini nona tidak ingin membunuh kau, maka selanjutnya harus kau perbaiki diri dan jangan mencelakai orang lain lagi,” demikian kata Kwe Yang kemudian.
Habis itu, ia kebut2 bajunya yang berdebu, lalu cemplak kudanya hendak tinggal pergi.
Namun kedua mata Kim-lun Hoat ong yang ber-kilau2 terus memandanginya, tiba-tiba katanya dengan tertawa: “Hati nona cilik ternyata berprikemanusiaan, Hwesio tua sangat suka padamu.” Lalu terdengarlah suara keras beberapa kali, beberapa potong batu tadi telah membal semua, lalu orangnya melompat bangun, aneh, entah mengapa, ke-13 tempat jalan darah yang ditutuk Kwe Yang tadi sudah terlepas semua.
Dalam terkejutnya hingga Kwe Yang ternganga tanpa bisa buka suara. Kiranya meski Hoat-ong terkena pukulannya tadi, dadanya terasa sakit juga, tapi selisih kepandaian mereka terlalu jauh, mana mungkin dua kali pukul itu Kwe Yang merobohkan Hoat-ong? Apalagi hendak menutuknya hingga tak berkutik? Ia hanya pura-pura saja dan hendak melihat apa yang hendak diperbuat anak dara itu.
Ketika melihat Kwe Yang tak jadi mengepruknya dengan batu, diam-diam ia merata suka akan kebaikan hati anak dara itu, pintar dan cerdik, jauh lebih baik daripada murid-murid yang pernah ia terima.
Tanpa terasa timbul keinginan Hoat-ong akan menjadikan Kwe Yang sebagai muridnya, apalagi mengingat usianya sudah lanjut, sedang muridnya yang dulu seperti Darba, orangnya jujur, bertenaga raksasa, tapi otaknya kurang tajam untuk bisa memahami intisari pelajaran Lwekang yang tinggi, sering Hotu orangnya tak berbudi, dalam keadaan berbahaya tidak segan-segan selamatkan diri dan menjerumuskan guru malah.
Karena itu, kadang-kadang Hoat-ong menjadi sedih, kuatir ilmu kepandaiannya itu akan terpendam begitu saja.
Kini melihat Kwe Yang berbakat bagus, boleh dikatakan susah dicari, walau puteri musuh, tapi usianya masih muda. tidaklah sukar untuk mengubahnya, asal diajarkan ilmu kepandaian hebat padanya, lama2 dengan sendirinya anak dara itu akan melupakan segala persoalan yang Ialu.
Justeru orang-orang Bu-lim atau kalangan persilatan pada umumnya sangat pandang berat soal murid dan keturunan, sekali Hoat ong timbul pikiran begitu, untuk sementara soal2 menggempur Siangyang memaksa Kwe Ceng menyerah dan lain-lain, telah di-kesampingkannya semua.
Melihat biji mata orang mengerling tajam, tapi tidak buka suara, segera Kwe Yang melompat turun dari kudanya dan katanya: “Kepandaian Hwesio tua memang hebat, sayangnya, tidak mau berbuat baik.”
“Kalau kau kagum kepandaianku, asal kau angkat guru padaku, aku lantas ajarkan seluruh kepandaianku ini padamu,” ujar Hoat-ong tertawa.
“Cis” semprot Kwe Yang, “Guna apa aku mempelajari kepandaian Hwesio? Toh aku tidak ingin menjadi Nikoh?”
“Apakah belajar kepandaianku harus menjadi Nikoh?” sahut Hoat-ong tertawa, “Kau menutuk jalan darahku, aku bisa meIepaskan diri. Kau menindih badanku dengan batu-batu besar, batu-batu itu bisa terpental sendirinya. Kau lari menunggang kuda, tahu-tahu aku sudah tidur di depanmu, apakah semua kepandaian ini tidak menarik?”
Kwe Yang pikir kepandaian-kepandaian itu memang menarik juga, tapi Hwesio tua ini adalah orang jahat mana boleh mengangkat guru padanya? Pula ia sendiri buru-buru hendak mencari Yo Ko, tiada tempo buat mengobrol maka katanya sambil geleng kepala: “Lebih tinggi lagi kepandaianmu juga tak mungkin kuangkat sebagai guru.”
“Darimana kau tahu aku orang jahat?” tanya Hoat ong.
“Sekali hantam kau telah membinasakan Tiang jiu-kui dan Toa thau-kui, apakah itu tidak jahat?” sahut Kwe Yang, “Mereka tiada dendam dan tidak bermusuhan dengan kau, kenapa kau turun tangan begitu keji?”
“Itu justru karena aku hendak mencari kuda untukmu, mereka sendiri yang menyerang aku lebhih dulu, kau sendiri menjadi saksi tadi.” kata Hoat ong. “Coba, bila kepandaianku sedikit rendah, mungkin aku sudah mati dihantam mereka.
seorang Hwesio harus welas-asih, kalau tidak terpaksa, tidak nanti membunuh orang.”
Tapi Kwe Yang menjengek tak percaya, Katanya: “Dan bagaimana kehendakmu sehenarnya? Kalau kau orang baik-baik, kenapa aku tak boleh pergi?”
“Bila aku larang kau pergi?” sahut Hoat-ong. “Kau menunggang kuda ke timur, tidak larang, ke barat, aku juga tidak mencegah, aku hanya tidur di tengah jalan, apakah aku menghalangi kau?”
“Jika begitu, kau lepaskan aku pergi mencari Yo Ko, Nyo toako, dan jangan mengikuti aku,” kata Kwe Yang.
“Itu tak boleh” ujar Hoat-ong geleng kepala. “Kau harus mengangkat guru padaku. belajar silat 20 tahun dengan aku, habis itu, kemana kau pergi, siapa ingin kau cari, boleh sesukamu.”
“Kau Hwesio ini kenapa begini tak tahu aturan, aku tidak suka angkat guru padamu, kenapa kau paksa?” damprat Kwe Yang.
“Kau anak dara cilik inilah yang tidak kenal adat, guru pandai seperti aku, kemana bisa kau cari di seluruh jagat?”
sahut Hoat-ong pula. “Sekalipun orang lain menyembah tiga kali padaku dan mohon dengan sangat agar aku menerimanya sebagai murid, belum tentu aku mau. Tapi kini kau diberi kesempatan bagus, kau malah berlagak jual mahal, sungguh aneh?”
“Tak malu, hm, tak malu,” tiba-tiba Kwe Yang meng olok-olok. “Macam guru apakah kau ini? Paling banyak kau bisa menangkan aku seorang gadis cilik, apanya harus diherankan?
Tapi apa kau bisa menangkan ayah-ibuku? Bisa menangkan Gwakong ku Oey Yok-su? jangankan mereka seumpama Toakoko Yo Ko saja, kau tak sanggup melawannya!”
“Siapa bilang? Siapa bilang aku tak sanggup melawan Nyo Ko si anak ingusan?” tanya Hoat ong cepat tanpa pikir.
“Semua ksatria, setiap pahlawan di kolong langit ini semua bilang begitu,” sahut Kwe Yang. “Tempo hari waktu ada pertemuan besar para pahlawan di Siangyang, semuanya juga bilang bahwa tiga orang Kim lun Hoat-ong takkan mampu menangkan seorang Sin-tiau-tayhiap Yo Ko yang berlengan
tunggal.”
Sudah tentu apa yang dikatakannya memang untuk bikin marah Kim-lun Hoat-ong saja, namun yang omong tidak sengaja, yang mendengar justru kena. Sebab belasan tahun yang lalu memang benar-benar beberapa kali Kim-lun Hoat-ong dikalahkan oleh Yo Ko, ia sangka ini kejadian benar-benar selalu dibuat buah tutur semua ksatria diseluruh jagat.
Keruan tidak tahan api amarahnya, bentaknya segera: “Jika Yo Ko si anak busuk itu berada di sini, biar dia mengicipi lihaynya aku punya “Liong- jio pan-yok-kang” (ilmu sakti tenaga naga dan gajah), setelah dia tahu rasa barulah akan ketahuan sebenarnya dia Yo Ko lebih hebat atau aku Kim-lun Hoat-ong yang lebih lihay.”
Pikiran Kwc Yang jadi tergerak melihat orang benar-benar penasaran maka katanya pula: “Ah, sudah terang kau tahu Toakoko ku sekarang tidak berada disini, lantas kau meniup harga diri setinggi langit, coba kalau kau bernyali besar, kenapa tak kau pergi mencarinya untuk bertanding? Kau punya ilmu sakti tenaga babi dan anjing..!.”
“llmu sakti naga dan gajah!” demikian Hoat-ong memotong membetulkan.
“Kalau kau menangkan dia, barulah naga dan gajah, tapi kalau kau tak tahan sekali gebuk, paling banyak hanya jadi babi dan anjing saja!” ujar Kwe Yang, “Jika ilmu silatmu bisa menangkan dia, tak perlu kau paksa aku, dengan sendirinya aku menyembah kau sebagai guru, Cuma aku yakin mungkin
kau tak berani mencari dia, maka percuma soal ini dibicarakan. Menurut aku, boleh jadi melihat bayangannya saja kau sudah ketakutan dan lari ter birit2.”
Hoat-ong adalah seorang cerdik, sudah tentu iapun tahu akan kata-kata pancingan Kwe Yang. Tapi selama hidupnya ia sangat tinggi menilai dan lantaran pernah dikalahkan Yo Ko, maka sekarang “ilmu sakti bertenaga naga dan gajah-nya sudah dilatihnya hingga tingkatan ke-11, memangnya ia sudah
mencari Yo Ko buat tuntut balas ketika dahulu, Kini mendengar kata-kata Kwe Yang itu, tak tahan ia menyahut keras-keras: “Tadinya aku bilang Yo Ko berada di mana, itu melulu untuk membohongi ktu, sayangnya aku jusleru tak tahu anak itu mengumpat di mana, bila tahu, ha, ajaklah kalau aku tidak meluruk ketempatnya dan menghajarnya hingga dia me-nyembah2 minta ampun!”
“Hahahaha,” tiba-tiba Kwe Yang ter-kekeh2, tembangnya bertepuk tangan: “Hwesio gundul membual anggap diri tiada bandingan, sekali melihat Yo Ko datang, tancap gas lari tunggang Ianggang!.
Hoat ong menjengeknya sekali lalu membisu tanpa berkata. “Ya, meski aku tidak tahu sekarang Yo Ko berada di mana sekarang, tapi lewat sebulan lagi pasti ia akan datang ke suatu tempat, hal itu aku malah tahu,” kata Kwe Yang kemudian.
“Datang ke mana?” tanya Hoat-ong.
“Percuma juga kukatakan padamu? Toh kau lak berani pergi menemuinya. jangan-jangan nanti bikin kau tak ?nak makan tak nyenyak tidur,” kala Kwe Yang, Hoat-ong menjadi gemas kena di kili2, “Katakan, coba katakan!” teriaknya sengit.
“la akan datang ke Coat ceng kok, di atas jurang Toan-jong-ke, ia akan bertemu kembali dengan isterinya, Siao-liong-li,” kata Kwe Yang. “Tapi, Hwesio besar, ada lebih baik jangan kau antar kematian ke sana, seorang Yo Ko saja bikin hati terkejut dan daging kedutan, apalagi ditambah seorang Siao-Iiong li.”

Memangnya selama belasan tahun ini Kim-lui Hoat-ong giat berlatih “ilmu sakti bertenaga nagi dan gajah” justru maksudnya ingin melawan “Giok li-soh-sim-kiam-hoat” yang dimainkan Yo Ko dan Siao-liong-li bersama, kalau dia tidak yakin akan satu dapat mengalahkan dua, tak nanti ia dating ke daerah Tionggoan lagi, Kini kena di kili2 Kwe Yang, ia menjadi semakin murka, dari murka iapun tertawa maIah.
“Ya, marilah sekarang juga kita pergi ke Coat-ceng-kok, kalau aku dapat mengalahkan Yo Ko dan Siao-Iiong-li berdua, lalu bagaimana nanti?” tanyanya segera. “Jika benar-benar ilmu silatmu begitu tinggi, hm, masakah aku tidak cepatan mengangkat guru pada-mu? Bukankah itu sukar dicari?” sahut Kwe Yang. “Cuma sayang, Coat-ceng-kok itu tempatnya jauh dan sepi, tidak mudah hendak mencarinya.”
“Kebetulan aku pernah ke sana, tak perlu kau kuatir,” ujar Hoat-ong tertawa, “Dan kini waktunya masih cukup lama, mari kau ikut kupergi ke perkemahan pasukan Mongol dulu, setelah selesai kan beberapa urusan, lantas kita pergi ke Coat ceng-kok.”
Mendengar orang mau pergi ke Coat-ceog-kok untuk bertanding dengan Yo Ko, dalam hati Kwe Yang menjadi sangat lega, pikirnya diam-diam: “Kuatirku kalau kau tak mau pergi kesana, Kini kau mau pergi sendiri, ha, tahu rasa kau nanti! Kau Hwesio jahat ini tampaknya garang, nanti kalau sudah ketemu Toakoko, mungkin kau akan mcngkerel seperti celurut.”
Maka iapun pergilah ikut Hoat-ong ke tengah pasukan Mongol. Waktu itu yang dipikir oleh Hoat-ong hanya ingin menjadikan Kwe Yang sebagai murid ahliwaris-nya, ia yakin asal dapat menaklukkan hati anak dara ini, kelak tentu akan menjadi muridnya yang terkemuka, Mata sepanjang jalan ia sangat ramah tamah pada si nona. Harus diketahui, dalam kalangan Bu-lim, guru pandai susah dicari, tapi murid berbakat juga sukar didapatkan, murid harus pilih guru, guru juga ingin pilih murid. Begitulah sepanjang jalan Hoat-ong selalu ajak bicara dan bergurau dengan Kwe Yang, ia semakin merasakan anak dara ini sangat pintar, otaknya tajam, diam-diam ia sangat girang. Kadang-kadang bila Kwe Yang berduka oleh kematian Toa-thau-kui dan Tiang-jiu-kui dan mencela kekejian Hoat ong, selalu Hoat-ong anggap sepi saja tanpa gusar, malahan ia anggap anak dara ini seorang berperasaan tidak seperti Hotu yang rendah budi.
Pasukan Mongol di mana Hoat-ong membawa Kwe Yang ke sana adalah perkemahan pasukan bagian selatan yang dipimpin Kubilai, adik raja Mongol tatkala itu, sebaliknya tempat yang dicari Yo Ko adalah pasukan utara yang dipimpin Monko, si raja sendiri, Soalnya karena percakapan kedua kurir Mongol yang didengar Kwa Tin-ok itu kurang lengkap hingga Yo Ko buang2 tempo percuma padahal waktu Yo Ko berangkat ke Coat-ceng kok, tidak lama Hoat-ong dan Kwe Yang juga lantas berangkat seperti sudah direncanakan itu.
Jarak mereka tiada ratusan li, tapi jalan Yo Ko lebih cepat, pula tidak sabar karena ingin lekas bertemu dengan Siao liong li, maka ia tiba lebih dulu beberapa hari daripada Hoat-ong dan Kwe Yang.
Di lain pihak, sejak minggatnya puteri bungsunya itu, siang malam Kwe Ceng dan Ui Yoc sangat berkuatir. Belasan hari kemudian, beberapa anak murid Kay-pang yang ditugaskan pergi mencari kabar juga pulang dengan tangan hampa.
Selang beberapa hari pula, mendadak Thia Eng dan Bu siang datang di Siangyang dan membawa kabar buruk berasal dari Kwa Tin-ok itu bahwa Kwe Yang telah tertawan oleh pasukan Mongol.
Keruan Kwe Ceng dan Oey Yong sangat terkejut. Malam itu juga Oey Yong bersama Thia Eng lantas menyelidiki ke perkemahan musuh, tapi serupa saja seperti Yo Ko, merekapun tidak memperoleh suatu tanda-tanda.
Bahkan malam ketiga mereka kcpergok patroli Mongol hingga Oey Yong dan Thia Eng terkepung beberapa puluh perwira, syukur Oey Yong dan Thia Eng bukanlah orang lemah, dengan ilmu silat mereka yang hebat akhirnya dapat lolos dari kepungan musuh.
Melihat gelagatnya, Oey Yong menduga puteri kecil itu tentu tiada di dalam pasukan Mongol itu, tapi sedikitpun belum mendapatkan beritanya, inilah bukan alamat baik, maka sesudah berunding dengan Kwe Ceng, ia putuskan akan keluar kota mencari sendiri ia membawa sepasang rajawali putih piaraannya itu itu untuk menjaga bila perlu dapat dibuat mengirim surat.
Thia Eng dan Liok Bu siang berkeras ingin ikut serta, kebetulan bagi Oey Yong bisa mendapat dua pembantu yang kuat, maka mereka bertiga lantas mengitari kemah pasukan Mongol terus menuju ke barat laut.
Menurut taksiran Oey Yong, kepergian Kwe Yang itu adalah hendak menasehatkan Yo Ko supaya jangan mencari pikiran pendek. Dahulu bertemunya mereka ada di sekitar tambangan Hongleng, sekali ini tentunya si nona akan pergi ke sana pula, karena itu bila lebih dulu ke Hongleng, besar kemungkinan akan mendapat jejaknya.
Ketika mereka bertiga berangkat dari Siang-yang, saat itu masih musim dingin, sepanjang jalan mereka mencari kabar dan setiba di tambangan Hongleng, sementara sudah masuk musim semi, salju sudah cair, sungai sudah mengalir normal.
Oey Yong bertiga mencari keterangan selengan harian di kota tambangan itu, tukang perahu, pengurus hotel, tukang kereta, kuli pikul, semuanya bilang tidak melihat nona seperti yang ditanyakan itu.
“”Suci (kakak guru),” kata Thia Eng pada Oey Yong. “hendak lah kau tak perlu kuatir. Ketika Yang-ji lahir, hari itu juga lantas digondol lari oleh Kim-lun Hoat ong dan Li Bok-chiu, dua momok yang paling disegani itu, Kalau dulu tidak apa-apa, rasanya sekarang juga tak ada bahaya”
Oey Yong hanya menghela napas tanpa menjawab. Mereka meninggalkan kota tambangan itu dan menuju kejurusan pegunungan sepi.
Suatu hari, sang surya memancarkan sinarnya yang hangat, angin selatan silir2 sejuk, tetumbuhan sudah banyak mekar berbunga, musim semi semakin menarik.
“Suci,” kata Thia Eng tiba-tiba sambil menunjuk bunga Tho yang menarik kepada Oey Yong sekedar menghiburnya, “musim semi di daerah utara belum lagi mulai, tapi di sini bunga Tho sudah mekar dengan indahnya, malahan pohon Tho dipulau Tho hoa-to kita biasanya sudah lama berbuah!”
Sembari berkata Thia Eng memetik juga sekuntum bunga Tho yang indah itu.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara ngung-aungnya tawon, seekor tawon besar terbang mengitari bunga Tho yang dipegang Thia Eng, itu, kemudian lantas hinggap dan menyelusup masuk ke dalam kelopak bunga itu untuk menghisap sari bunganya.


Melihat tawon itu berwarna putih kelabu, badannya berlipat ganda daripada tawon umumnya, hati Oey Yong jadi tergerak. Agaknya ini adalah Giok hong (tawon putih) piaraan Siao-liong li, kenapa bisa muncul di sini?” demikian katanya heran.
“Ya.” sahut Liok Bu siang, “Marilah kita menguntit tawon ini terbang menuju ke mana?”
SeteIah selesai menghisap sari bunga, kemudian tawon itu terbang mengitari udara beberapa kali, lalu menuju ke barat-laut.
Lekas-lekas Oey Yong mengikutinya dengan ilmu en tengi tubuh yang cepat.
Agak lama tawon itu terbang, ketika ketemukan tumbuhan bunga, kembali berhenti, kemudian terbang lagi dan berhenti pula beberapa kali, akhirnya bertambah lagi dengan dua ekor tawon lain.
Menjelang petang, mereka bertiga telah menguntit sampai di suatu lembah gunung yang indah sekali pemandangannya, di tanah disektar sana terdapat beberapa sarang tawon terbuat dari kayu, Sampai di situ, ketiga ekor tawon tadi lantas menyusup ke dalam sarangnya.
Ketika mereka memandang pula, di tanah datar sebelah lain terdapat tiga-empat buah rumah ada dua rase kecil sedang bermain.
Tiba-tiba pintu rumah gubuk yang tengah terpentang dan keluarlah seorang tua bermuka merah bercahaya, rambut hitam ke putih2-an, nyata dialah Lo-wan-tong Ciu Pek-thong.
Keruan Oey Yong sangat girang, segera ia berteriak “Hai, Lo-wan-tong, lihatlah, siapa ini yang datang?”
Melihat Oey Yong, Ciu Pek-thong juga ketawa gembira, Segera ia berlari maju menyambut, tapi baru beberapa langkah, mendadak selebar mukanya merah jengah, lalu putar tubuh terus menyelinap masuk rumah lagi, pintu digabrukkan dan terkunci rapat.
Oey Yong menjadi heran oleh kelakuan si tua nakal itu, ia gedor pintu rumah sambil berseru. “Hayo, Lo-wan-tong, kenapa kedatangan tamu malah bersembunyi?”
“Tidak buka, tidak buka!” sahut Ciu Pek-thong dari dalam.
“Haha, kau tak mau buka, sebentar kubuka ruang kucingmu ini,” kata Oey Yong dengan tertawa.
Pada saat lain, tiba-tiba pintu rumah sebelah sana juga terpentang, seorang menyapa dengan tertawa. “Haha, pegunungan sunyi telah kedatangan tamu agung, Hwesio tua mengaturkan selamat datang!”
Ketika Oey Yong menoIeh, terlihatlah lt teng taysu berdiri di depan pintu dengan bersenyum simpul dan sedang member hormat. Segera Oey Yong membalas hormat orang dan menyapa juga:
“Eeh, kiranya Taysu telah menjadi tetangga Lo wan-thong, sungguh tidak nyana, Dan entah mengapa mendadak Lo wan-tong menutup pintu dan tidak terima tamu?”
lt-teng terbahak-bahak mendengar itu, katanya: “Jangan urus dia! Mari;ah silakan masuk kemari!”
Lalu merekapun masuk ke rumah It-teng Taysu itu dan disuguh teh oleh tuan rumah.
“Kwe-hujin, coba kau menerkanya, siapakah penghuni di rumah gubuk sebelah kanan itu?” kata It-teng kemudian Oey Yong ingat kelakuan Ciu Pek-thong tadi yang tiba-tiba bermuka merah jengah, segera pikirannya bergerak, tahulah dia sebab musababnya, maka jawabnya dengan bersajak.
Ia mengucapkan sebuah sajak gubahan Lau-kuhui alias Eng-koh sekarang, yang merindukan kekasih. Karena itu It-teng Tay-su tertawa memuji: “Kwe-hujin sungguh hebat, segala apa tak terlepas dari dugaanmu.”
Lalu ia melongok keluar dan rncmanggil: “Eng-koh, Eng-koh, marilah menemui kawan cilik kita.”
Tidak lama, datanglah Eng-koh membawa senampan minuman beserta makanan manisan, buah2 an, kacang dan lain-lain. Segera Oey Yong memberi hormat dan kelima orang lantas pasang omong dengan meriah.
Kiranya It-teng Tay-su, Eng-koh dan Ciu Pek-thong setelah menyelesaikan suka-duka selama berpuluh tahun, lalu mereka tinggal bersama menyepi di lembah beribu bunga ini sambil bercocok tanam piara tawon dan lain-lain, segala kejadian yang merikuhkan dahulu sudah terlupa semua.
Walaupun begitu, ketika mendadak Ciu Pek-ong melihat Ui Yong, tanpa terasa ia menjadi kikuk, maka ia lantas sembunyi dan tutup pintu rapat2, meski sembunyi di dalam rumah, namun ia tetap pasang kuping mendengarkan percakapan kelima orang itu, ketika didengarnya cerita Oey Yong tentang pertemuan besar kaum ksatria di Siangyang, kemudian tentang terbongkarnya kedok Hotu yang menyamar bagai Ho Su-ngo, sampai tempat yang mengasyikkan, tiba-tiba Oey Yong sengaja membelokkan ceritanya, maka Pek-thong tak tahan, ia menerobos ke rumah langsung tanya Oey Yong: “Lalu bagaimana dengan keparat Hotu itu? Apakah ia berhasil lolos?”
Begitulah malamnya Oey Yong bertiga lantas menginap di rumah Eng-koh, Bcsok paginya, ketika Oey Yong keluar, dilihatnya tangan Ciu Pek-thong membawa seekor tawon putih sedang ber jingkrak2 kegirangan.
“Lo-wan tong, ada apakah begitu gembira?” tanya Oey Yong tertawa.
“Haha, Oey Yong cilik, kepandaianku makin lama makin tinggi, kau kagum tidak?” demikian sahut Pek-thong.
Oey Yong sudah kenal sifat si tua nakal itu. Selama hidupnya melulu ada dua kesenangan kesatu ilmu silat dan kedua ialah main-main dan menerbitkan onar.
Ia menduga tentu Ciu Pek thong telah menciptakan semacam ilmu silat aneh, maka ia menjadi ingin melihatnya juga, jawabnya segera: “IImu silat Lo-wan tong sudah sangat kukagumi sejak dulu, hal ini tak perlu ditanya lagi. Tapi selama beberapa tahun ini apa ada ciptaan ilmu silat baru lagi yang aneh-aneh dan bagus?”
“Bukan, bukan ilmu silat.” sahat Ciu Pek-thong menggeleng kepala, “llmu silat paling hebat terakhir yang kulihat adalah “lm-jian-siau-hun-cio” ciptaan si bocah Yo Ko,  Lo-wan-tong sudah mengaku kalah, Maka soal ilmu silat jangan dibicarakan lagi.”
Diam-diam Oey Yong heran, pikirnya: “Hebat benar Yo Ko ini, yang kecil seperti Kwe Yang, yang tua ada juga Lo Wan-tong yang begitu kesemsem padanya. Entah ilmu pukulan Im jian-siau-hun-cio” itu bagaimana macamnya?”
Maka kemudian iapun tanya Ciu Pek-Thong: “Lalu kau bilang makin lama makin pandai. ilmu sakti apakah itu?”
Ciu Pek thong angkat tinggi2 tangannya, ia tidak lantas menjawab, ia unjukkan tawon putih iti dengan rasa bangga lalu katanya. “ialah mengenai kepandaianku memiara tawon,”
“Tawon ini adalah pemberian Siao-liong li padamu, apanya yang mengherankan?” ujar Oey Yong.
“lnilah kau tidak paham,” kata Pea-thoMg “Tawon yang Siao liong-li berikan padaku memang betul adalah jenis yang sangat bagus, tapi sesudah Lo-wan-tong memelihara lebih giat, kini dapat kuperoleh sejenis bibit tawon yang tiada bandingan di seluruh jagat, Bctapapun hebat orang pandai
juga tiada yang bisa menciptakannya, mana bisa Siao-liong-li dibandingkan aku lagi.”
“Hahaha” Oey Yong tertawa, “Makin tua Lo-wan-tong makin bermuka tebal, pandai sekali kau me-niup2 diri sendiri setinggi langit, se akan2 di jagat ini tiada bandingannya.”
Namun Pek-thong tidak marah, malahan dengan ter-kekeh2 ia berkata lagi. “Oey Yong cilik, coba aku ingin tanya.
Manusia adalah makhluk tercerdik dari segala makhluk hidup, tubuh orang banyak yang suka dilisik dengan gambar dan tulisan. Tapi kecuali manusia, di antara tubuh binatang apakah ada yang terdapat tulisan?”
“Harimau ada yang Ioreng2, macan tutul ber-tutul2, kupu-kupu dan ular berbisa, badan mereka semuanya berlipat ganda lebih mengherankan daripada tisikan gambar di atas badan manusia segala,” ujar Oey Yong.
“Ya, tetapi pernahkah kau melihat di badan sebangsa serangga dan penyengat ada tulisannya?” kata Pek-thong.
“Apa kau maksudkan dari pembawaannya” Memang belum pernah,” sahut Oey Yong.
“Baik, nah, ini biar kutunjukkan,” kata Pek thong sembari ulur tangannya kedepan mata Oey Yong.
Maka tertampaklah tawon besar di tengah-tengah telapak tangannya itu pada kedua sayapnya benar-benar terdapat tisikan tulisan, Waktu Oey Yong menegasi, ia lihat pada sayap kiri tawon putih itu tertulis huruf “Aku berada di” dan di sayap kanan juga ada tiga huruf “Coat-ceng-kok”, Setiap hurufnya
sebesar beras menir, tapi tulisannya jelas, terang dibuat dengan tisikan jarum yang paling lembut.
Oey Yong jadi terheran-heran, ia menggumam sendiri: “Aku berada di Coat-ceng-kok, Aku berada di Coat-cengkok.” -

Diam-diam ia pikir pula:”Andai keenam huruf ini pasti bukan pembawaan, tapi ada orarg sengaja menisiknya. Kalau menuruti tabiat Lo-wan-tong, tak mungkin ia melakukan pekerjaan yang makan tempo dan harus sabar-Tapi segera ia berpendapat lain lagi, katanya dengan terlawa: “AIi begini saja kenapa bilang aneh? Kau minta Eng koh tisikkan enam huruf ini, masakan kau mampu membohongi aku?”
Muka Pek-thong menjadi merah sahutnya: “Kau boleh tanya Eng koh apakah aku minta dia menisik tulisan di sini?”
“Tentu saja dia akan membela kau, jika kau bilang matahari dari barat, tentu saja ia akan berkata: “Ya, ya, benar, matihari muncul dari arah barat”!” ujar Oey Yong tertawa.
Selebar muka Lo-wan-tong semakin menjadi merah, merahnya maIu2, rasa kikuk dan terasa penasaran pula.
Karena itu ia lepaskan tawon ditangannya itu, lalu tangan Oey Yong ditariknya sambil berkata: “Mari, mari, biar kutunjukan, boleh kau periksa sendiri.”
Ia seret Oey Yong ke suatu sarang tawon di tanah datar sebelah sana, Sarang tawon itu berdiri sendiri jauh dari yang lain-lain. Ketika Pek-thong gerakkan tangannya, segera dua ekor tawon dapat ditangkapnya.
“Nih, lihat!” katanya.
Waktu Oey Yong mengamat-amat-i, benar juga pada kedua sayap tawon2 itu juga ada tulisannya dan serupa tadi terdiri dari enam huruf, yang kiri “Aku berada di” dan yang kanan “Coat-ceng kok.”
Heran sekali Oey Yong, pikirnya diam-diam: “Betapa-pun aneh pencipta makhluk juga tak mungkin menciptakan tawon seperti ini. Pasti di balik ini ada sebab-sebabnya.
Maka katanya puIa: “Cobalah. Lo-wan tong, kau tangkap lagi beberapa ekor!”
Segera Pek-thong menangkap empat tawon pula dua diantaranya bersih sayapnya, tapi dua ekor lainnya ada pula tisikan enam huruf serupa itu.
Melihat Oey Yong termangu-mangu, terang sudab mengaku kalah. Pek-thong menjadi senang, katanya dengan tertawa “Nah, apa yang bisa kau katakan lagi? Hari ini kau kalah tidak dengan Lo-wan-tong?”
Oey Yong tidak menjawab, tapi ia menggumam huruf itu: “Aku berada di Coat-ceng kok”
Sesudah beberapa kah ia ulangi, tiba-tiba ia melompat dan berseru: “Ya, tahulah aku sekarang itu harus dibaca menjadi “Aku berada didasar Coat-ceng-kok!, siapakah yang berada di dasar Coat ceng-kok? jangan-jangan Yang-ji?”
Segera ia tanya Ciu Pek-thong: “Lo-wan-tong tawon2 ini bukan kau yang piara sendiri, tapi datang dari lain tempat, betul tidak?”
Kembali wajah Pek-thong merah lagi,sahutnya: “Eh, aneh, darimana kau tahu?”
“Tentu saja aku tahu,” kata Oey Yong, “Tawon ini sudah berapa hari bersarang di sini?”
“Tidak terhitung hari lagi, tapi sudah beberapa tahun!” sahut Pek-thong. “Mula-mula aku tidak perhatikan bahwa di sayap tawon2 ini ada tulisannya, baru beberapa hari yang lalu dapat kulihat.”
“Benar-benar sudah beberapa tahun?” desak Oey Yong, “Ya, kenapa kudustai kau?” jawab Pek-thong, Oey Yong termenung-menung scjenak, segera ia kembali ke rumah sebelah sana dan berunding dengan It-teng Taysu, Thia Eng dan Liok Bu-siang, semuanya juga merasa di dasar Coat ceng-kok pasti ada apa-apanya.
Karena kuatirkan puterinya, segera Oey Yong bersama Thia Eng dan Liok Bu-siang mohon diri hendak berangkat ke sana, Segera pula I-teng menyatakan ikut serta.
Melihat kawan-kawan pada pergi, sudah tentu Lo-wan-tong tak mau kesepian, ia berkeras mengajak Eng Koh juga turut.
Oey Yong menjadi lega dengan bertambahnya pembantu tiga tokoh terkemuka itu, ia pikir dengan enam orang baik mengadu pikiran maupun adu kekuatan, mungkin diseluruh jagat ini tiada tandingan lagi, sekalipun Yang ji jatuh dicengkeraman orang jahat, tentu dapat ditolong keluar.
Maka enam orang bersama sepasang rajawali lantas menuju kearah barat beramat-ramai.
* * **
Kembali tentang Yo Ko karena janji pertemuan kembalinya dengan Siao-liong li sudah hampir tiba, maka ia tak berani ayal, ia jalan terus siang-malam menuju Coat-ceng kok atau Iembah putus cinta.
Setiba di tempat tujuan, menurut perhitungan masih kurang lima hari daripada hari yang di janjikan Siao liong-li 16 tahun yang lalu.
Lembah ini sepi nyenyak, gedung2 megah yang dahulu dibangun suami-istri Kongsun Ci dan anak muridnya yang berbaju hijau sudah ambruk atau bobrok.
Sejak 16 tahun yang lalu Yo Ko tinggalkan lembah itu, setiap beberapa tahun sekali pasti ia dalang dan tinggal lagi di lembah itu dengan harapan kalau-kalau Lam-hay Sin-ni menaruh belas kasihan dan mendadak memulangkan Siao liong-li, Walaupun setiap kali ia harus kembali dengan tangan hampa dan lesu, tapi setiap kali selalu beberapa tahun lebih dekat dengan waktu yang dijanjikan itu.
Kini ia mengunjungi tempat lama pula, ia lihat keadaan sunyi penuh semak belukar, sedikitpun tiada tanda-tanda pernah diinjak manusia.
Segera ia berlari ke Toan jong-khen atau karang patah hati, ia melalui jembatan batu yang melulu terdiri dari selonjor batu panjang, kemudian meraba-raba tulisan di atas dinding tebing yang ditinggalkan Siao liong li dahulu.
Dengan jarinya ia masukkan ke dekukan tulisan itu dan mengkorek keluar lumut2 yang menutupi huruf-hurufnya, maka segera ter-tampaklah kedua baris tulisan dengan jelas.
Pelahan Yo Ko membacanya: “Siao-Iiong li sampaikan pesan pada suamiku Yo Ko, hendaklah jaga diri baik-baik, harus sabar menanti untuk berkumpul kembali.”
BegituIah sehari penuh ia termenung2 memandangi kedua batu tulisan itu, malamnya ia tidur di atas pohon dengan ranjang tali seperti dahulu. Besoknya ia pesiar ke seluruh lembah itu, ia lihat tanaman Ceng-hoa atau bunga cinta yang dulu dibabat olehnya bersama Thia Eng dan Liok Bu- siang itu kini tidak berkembang lagi, tapi bunga merah yang olehnya diberi nama “Liong-Ii-hoa” atau bunga puteri Liong, sedang mekar dengan indahnya.
Maka ia petik seikat bunga merah itu dan ditaruh didepan tebing yang terdapat tulisan Siao-liong-li itu, BegituIah, dengan perasaan tertekan ia lewatkan hari, sampai tanggal 7 bulan tiga, Yo Ko sudah dua hari dua malam tidak pernah tidur.
Sampai itu, ia tak mau berpisah setengah langkahpun dari karang patah hati itu. Sejak pagi ia menanti, dari pagi hingga siang dan siang berganti sore, setiap ada angin meniup atau pohon bergerak, segera ia melompat bangun melongak-longok sekitarnya, tapi bayangan Siao-liong-li tetap tidak tertampak?
“Sejak Yo Ko mendengar kata-kata Oey Yok-su tempo hari, ia lantas tahu tentang “Lam-hay Sin-ni” adalah hanya karangan Oey Yong belaka, tapi tulisan di tebing itu jelas adalah tulisan tangan Siao-liong li yang tak bisa dipalsukan. Maka ia tetap berharap sang isteri akan penuhi janji dan bisa berkumpul kembali.
Sementara itu sang surya sudah silam, hati Yo Ko juga tenggelam mengikuti silamnya sang petangnya, Ketika matahari tertutup oleh puncak gunung, Yo Ko menjerit dan berlari ke atas puncak.
Di tempat setinggi itu, bola merah membara kembali tertampak bulat lagi, hatinya menjadi sedikit lega, asal sang surya belum menghilang, berarti tanggal 7 bulan tiga itupun belum lagi lalu.
Namun demikian akhirnya sang surya tetap silam di ufuk barat sana, Yo Ko masih terpaku di puncak gunung itu, keadaan sunyi dan kosong belaka, hawa dingin menusuk tulang, cuaca remang-remang sudah mulai, ia berdiri terpaku, lama sekali tetap tidak bergerak.
Lewat agak lama, bulan sabit perlahan-lahan tampak tergantung di tengah cakrawala, bukan saja hari tanggal 7 sudah akan lalu, bahkan malam inipun akan lalu dengan cepat. Tetapi Siao liong-li masih tetap tidak muncul, Bagai patung saja semalam suntuk Yo Ko berdiri terpaku di puncak gunung itu sampai sang surya muncul di sebelah timur indah perrnai suasana pagi di pegunungan, burung berkicauan merdu, bunga mekar mewangi, sungguh memabukkan orang musim semi ini.
Namun hati Yo Ko waktu itu dingin bagai es, lapat-lapat suatu suara seperti mendenging ditepi telinganya “Tolol! Sudah lama ia mati, 16 tahun yang lalu ia sudah mati, ia tahu dirinya kena racun tak dapat sembuh dan kaupun takmau hidup sendirian, maka ia telah bunuh diri dan mendustai kau untuk menunggu 16 tahun padanya, Tolol, begitulah cintanya padamu, apakah sampai hari ini masih kau tidak mengerti akan jalan pkirannya?”
Pelahan Yo Ko turun dari puncak gunung itu dengan raga tanpa jiwa, sehari-semalam ia tidak makan minum, ia merasa mulutnya kering, ia datang ketepi sungai kecil dan meraup air untuk diminum, ketika menunduk, mendadak terlihat bayangan dirinya di dalam air, tertampak kedua pelipisnya telah ke-putih2an.
Kini ia berusia 36 tahun, mestinya seutas rambut putihpun tiada, tapi kini mendadak kedua pelipisnya tertampak putih, mukanya kotor, hampir ia tak mengenali dirinya sendiri.
Mendadak ia melompat menuju ke depan karang Toan keng khe, ia pandang kedua baris tulisan guratan Siao liong li itu, tiba-tiba ia berteriak keras: ” 16.tahun kemudian, bertemu lagi di sini, cinta kasuh suami isteri, janganlah ingkar janji!
Tapi, Siao-liong-Ii, wahai, Siao liong li, tulisan yang kau ukir sendiri ini, kenapa sekarang kau malah tidak menepati janji?”
Suaranya begitu keras menggema di angkasa raya, seluruh lembah gunung seakan-akan tergetar, dari empat penjuru berkumandang kembali suara- “Kenapa kau tidak menepati janji? Tidak menepati janji? Tidak menepati janji?”
Dasar pembawaan Yo Ko memang berwatak keras dan mudah tersinggung, kini segala harapannya sudah hampa belaka, pikirnya: “Jika Liong-ji sudah meninggal 16 tahun yang lalu, sungguh tiada artinya bagiku hidup sendiri selama ini.”
Ia memandangi jurang Toan jong khe yang entah berapa dalamnya itu, ia mengguman pelahan: “Dahulu mendadak kau menghilang tanpa bekas, agaknya kau telah terjun ke dalam jurang ini, Selama 16 tahun ini, apakah kau tidak kesepian ?”
Begitulah tiba-tiba pandangannya terasa kabur, bayangan Siao-liong-ii seakan2 muncul di kelopak matanya, sayup-sayup seperti terdengar pula suara Siao-liong-li sedang memanggilnya didasar jurang: “Nyo-long, Nyo-Iong! Janganlah berduka janganlah berduka!”. Tiba-tiba Yo Ko pejamkan mata dan tubuhnya melayang ke depan, ia terjun ke dalam jurang.
****
Kembali mengenai Kim-lun Hoat-ong yang membawa Kwe Yang menuju ke Coat ceng-kok ini.
Hoat-ong benar-benar adalah manusia aneh, di waktu ganas, kejamnya melebihi binatang berbisa, tapi karena ia sudah ambil ketetapan akan menerima Kwe Yang sebagai ahliwarisnya, sepanjang jalan ia menjadi begitu memperhatikan diri anak dara itu, begitu sayang bagai puteri sendiri saja. Sebaliknya karena benci pada Hoat-ong yang telah membinasakan Tiang jiu-kui dan Toa-thau-kui secara keji, maka Kwe Yang selalu bersikap dingin.
Hari itu, mereka tiba sampai di Coat ceng-kok “. tiba-tiba terdengar suara teriakan orang yang sangat keras: “Kenapa kau tidak menepati janji?” suara itu penuh rasa penasaran, putus asa dan menderita sekali.
Ketika kemudian suara yang menggema itu berkumandang kembali dari balik lembah gunung, Kwe Yang terkejut, scrunya: “Ha, itulah suara Toakoko, lekas kita mencarinya ke sana.” - Sembari berkata segera ia mendahului memburu ke lembah pegunungan itu.
Mendengar lawan besar sudah dekat, semangat Kimlun Hoat ong terbangkit seketika, segera dari buntalannya ia keluarkan “panca-roda”, senjatanya yang istimewa, yaitu lima roda yang terdiri dari lima macam logam: emas, perak, tembaga, besi dan timah.
Walaupun sekarang ilmu sakti tenaga naga dan gajah sudah dilatih hingga tingkatan ke-11, namun seIama 16 tahun ini ia yakin Yo Ko dan Siao-liong-li pasti juga tidak melewatkan waktu percuma, maka Hoat-ong sedikitpun tak berani meremehkannya.
Begitulah Kwe Yang berlari menuju tempat datangnya suara, tak lama “jurang patah hati” itu sudah dekat, terlihatlah waktu itu Yo Ko masih terdiri di atas karang, belasan tangkai bunga merah bergerak2 di sekitarnya.

Melihat jurang itu sangat curam, Kwe Yang lidak berani melayang ke sana, maka serunya: “Toa-koko, aku telah datang!”
Namun Yo Ko sudah hancur luIuh hatinya, ternyata tidak mendengar seruan anak dara itu.
Dari jauh melihat kelakuan orang agak aneh, cepat Kwe Yang berteriak: Toakoko, aku masih menyimpan sebuah jarum emas pemberianmu kau harus dengar kata-ku, jangan kau bunuh diri!”
Sembari berkata, tanpa pikir lagi ia berlari hendak mendekati Yo Ko melalui belandar batu jurang itu, Namun sampai di tengah jalan, terlihatlah Yo Ko telah terjun ke bawah jurang yang tak terperikan dalamnya. Keruan kejut Kwe Yang tidak kepalang dan terasa sukmanya terbang ke awang2, sesaat itu juga entah terpeleset karena terkejut atau sebab berpikir hendak menolong Yo Ko, atau mungkin juga karena sudah mendalam cintanya dan rela menyusulnya ke alam baka, mendadak anak dara itu pun ikut terjun ke bawah jurang.
Tatkala itu Kim-iun Hoat ong kira-kira ketinggalan beberapa tombak di belakang, melihat Kwe Yang jatuh ke bawah, cepat ia melesat maju buat menolong. Betapa pesat ilmu entengi tubuh Hoat ong ini seperti anak panah terlepas dari busurnya, namun toh masih terlambat sedikit, ketika memburu sampai di tepi jurang, tubuh Kwe Yang sudah terjerumus ke bawah.
Tanpa pikir lagi Hoat-ong gunakan gerakan “To-kwa kim-kau” atau kaitan emas gantung terbalik, dengan kakinya menggantoI di tepi jurang, tubuhnya merosot ke bawah untuk menuj Kwe Yang.
Cara Hoat-ong ini sesungguhnya sangat berbahaya, kalau sedikit meleset, bcleh jadi ia sendiripun akan tergelincir masuk jurang, Maka terdengarlah suara “bret”, kain baju Kwe Yang sobek sebagian sedang tubuh anak dara itu masih terus tenggelam ke bawah jurang, kabut tebal yang menutupi dari
jurang itu segera menelan Kwe Yang tanpa bekas Hoat ong menghela napas gegetun, ia menjadi lesu, sepotong kain baju masih dipeganginya, ia termangu-mangu memandang ke dalam jurang.
Selang agak lama, tiba-tiba didengarnya di seberang sana ada seorang menegurnya: “Hai, Hwesio, apa yang kau lakukan di sini?”
Hoat-ong menoleh, ia lihat di atas gunung sana berdiri enam orang, yang paling depan seorang tua bermuka muda, ialah Ciu Pek-thong. Di samping-nya berdiri tiga wanita yang dikenalnya sebagai Ui ong, Thia Eng, dan Liok Bu-siang.
Dan di belangnya adalah seorang Hwesio tua beralis jenggot putih dan seorang wanita tua berbaju hitam mulus, dua orang terakhir ini tak dikenalnya, yakni It-teng Taysu dan Eng Koh.
Sudah beberapa kali Hoat-ong kenal kepandaian-Ciu Pek-thong. ia tahu ilmu silat si tua ini luar biasa lihaynya, selamanya iapun rada jeri padanya, apalagi kini bertambah Ui Yong yang merangkap pelajaran Tang-sia dan Pak-kay, orangnya cerdik isinya banyak.
Lebih-lebih dalam keadaan berduka atas kematian Kwe Yang, sesungguhnya tiada niat lagi buat bermusuhan, maka katanya kemudian dengan muram: “Nona Kwe Yang telah terjun ke dalam jurang ini?”
“Ha?” semua orang terkejut. Terutama Oey Yong sebagai ibu, ia paling tergoncang hatinya, dengan suara gemetar ia menegas: “Apa benar katamu?”
“Untuk apa aku dusta? Bukankah ini kain baju nya?” sahut Hoat ong sembari menggeraki sobekan baju Kwe Yang yang masih dipegangnya itu.
Melihat kain itu memang benar-benar adalah sobekan baju puterinya, seketika Oey Yong menggigil seakan-akan terjerumus ke dalam jurang es dan tak sanggup buka suara.
Segera Ciu Pek thong menjadi gusar, damperat nya: “Hwesio busuk, kenapa kau membunuh nona cilik itu? Hatimu benar-benar kejam amat!”
“Bukan aku yang membunuhnya,” sahut Hoat ong.
“Tanpa sebab kenapa ia bisa terjun ke dalam jurang?”
debat Pek-thong “Kalau bukan kau mendorongnya, tentu kau yang memaksanya!”
“Tidak temua,” sahut Hoat-ong geleng kepala. “Aku malah bermaksud menerimanya sebagai murid ahliwarisku, mana mau sembarangan aku membunuhnya?”
“Fui,” mendadak Ciu Pek-thong meludahi orang dengan riak kental. Lalu damperatnya: “Kentut, kentut! Engkongnya adalah Ui losia, ayahnya Kwe Ceng dan ibunya Oey Yong, siapa di antara mereka yang lebih hebat daripada kau Hwesio busuk ini? Mana sudi mengangkat guru padamu untuk mewarisi ilmumu yang apek? Huh, melulu aku Lo-wan-tong saja jika mau mengajarkan beberapa jurus padanya juga lebih hebat daripada segala gelangmu yang rombengan ini?”
“Jarak Pek thong dengan Hoat-ong cukup jauh, tapi riak kental yang disemprotkan itu bagai sebutir peluru saja mengarah kemukanya, Lekas-lekas ia mengegos dan diam-diam kagum.
Sebaliknya Lo-wan-tong bertambah senang karena orang tak berani menjawab damperatannya tadi, dengan suara keras ia mendesak pula: “Nah, tentunya dia tak sudi mengangkat guru padamu, bukan? Dan kau berkeras hendak menerimanya sebagai murid?”
Hoat-ong mengangguk.
“Nah, apa yang perlu dikatakan lagi, bukankah karena itu lantas kau mendorongnya ke dalam jurang?” teriak Pek-thong pnla.
Namun perasaan Hoat-ong masih cemas oleh kematian Kwe Yang ia menghela napas dan menyahut: “Aku tidak mendorong dia. Tapi sebab apa ku tidak mengerti !”
Sementara itu Oey Yong sudah agak tenang, sekali ia kertak gigi, pentung bambu diangkat terus menubruk kearah Hoat-ong. Dengan gaya “bong” mengurung, bayangan pentungan berkelebat kian kemari, seketika tubuh Hoat ong dikurung oleh pentungnya.
Karena ingin membalas dendam puterinya, di atas belandar batu yang lebarnya hanya satu dua kaki itu Oey Yong meluncurkan tipu-tipu serangan mematikan secara ber tubi2.
Meski ilmu silat Hoat-ong sebenarnya lebih tinggi daripada Oey Yong, tapi tak berani juga ia mengadu jiwa, melihat permainan pentung orang sangat hebat, kalau ia terlibat sedikit saja hingga Ciu Pek-thong maju membantu, pula ditempat yang berbahaya, tentu ia akan sulit melawannya.
Mendadak ia tutul kakinya melompat mundur, habis itu ia bersiul panjang, tahu-tahu ia melayang Iewat di atas kepala Ui Yong.
Cepat Oey Yong angkat pentungnya menyodok ke atas, tapi kena di tangkis oleh roda perak Hoat-ong. Ketika Oey Yong membalik tubuh, saat itu Ciu Pek thong sudah memberondongkan pukulan dan tendangan, sudak bergebrak dengan Hoat-ong.
Mengingat dirinya saorang guru besar suatu aliran silat tersendiri melihat lawannya tak bersenjata, Hoat ong menyelipkan rodanya ke pinggang juga, lalu dengan tangan kosong ia layani Pek-thong.
Dalam pada itu Oey Yong sudah memburu datang, pentungnya terus menyodok ke punggung Hoat-ong.
Sejak Hoat-ong berhasil melatih “Liong jio-pio-yok-kang” hingga tingkatan ke-11, selamanya belum pernah digunakan, kini ketemu lawan tangguh, kebetulan baginya untuk mencobanya. Ketika melihat jotosan Ciu Pek-thong tiba, cepat iapun balas menjotos dengan kepalan lawan kepalan.
Pek-thong terperanjat ia tahu tenaga kepalan orang tentu hebat, maka tak berani keras lawan keras, Sedikit ia tekan ke bawah, digunakannya pukulan Khong-bing-kun” atau pukulan “terang-terang kosong.
Tenaga pukulan Hoat-ong itu beratnya melebihi ribuan kati, meski tidak sekuat naga atau gajah, tubuh manusia tak mungkin sanggup menahan-nya, tapi ketika saling beradu dengan tenaga pukulan Ciu Pek-thong, tiba-tiba terasa mengenai tempat kosong, diam-diam Hoat ong heran, menyusul cepat tangan kiripun dihantamkan.
Sementara itu Lo-wan-tong sudah dapat mengetahui tenaga Hoat-ong ternyata besar luar biasa. Tapi dasar pembawaannya “gila silat”, asal mengetahui siapa mempunyai semacam kepandaian istimewa, pasti ia ingin jajal.
Tapi selama hidupnya tenaga pukulan sebesar Hoat-ong ini belum pernah didengarnya, apalagi melihat. Seketika ia menjadi bingung macam apakah ilmu silat orang ini? segera ia keluarkan 72 jurus Khong-bing-kun yang “terang-terang kosong” itu untuk melawan tenaga pukulan orang yang maha
kuat.
Dengan begitu, tenaga raksasa Hoat-ong menjadi tak berguna, Beberapa kali Hoat-ong melontarkan serangan, tapi tidak mencapai sasarannya, keruan ia menjadi kesal tidak kepalang, ilmu sakti yang sudah dilatihnya, belasan tahun baru sekali keluar ternyata sudah tidak berguna.
Pada saat lain tiba-tiba didengarnya samberan angin dari belakang, pentung bambu Oey Yong kembali menutuk lagi ke “Ling-tay-hiat” di punggungnya, tanpa pikir ia menyampuk ke belakang, “krak”, seketika pentung bambu Oey Yong itu kena disampuknya remuk, bahkan sisa tenaganya menggoncangkan debu pasir hingga berhamburan.
Oey Yong melompat pergi terkejut, ia kenal kelihayan Hoat- ong, tapi kepandaian orang sekarang ternyata jauh lebih hebat daripada dulu, sekali gaplok bikin remuk pentung bambunya, ilmu pukulan apakah itu?
Nampak Oey Yong terdesak, cepat Thia Eng dan Liok Bu siang mengerubut maju dari kanan-kiri, yang satu bersenjata seruling kemala dan yang lain berpedang.
“Awas.” segera Oey Yong memperingatkan kepada mereka.
Betul saja, menyusul terdengarlah suara “krak-krak” dua kali, seruling dan pedang sudah patah semua.
Oleh karena berduka oleh kematian Kwe Yang yang mengenaskan Hoat-ong tidak ingin mencelakai nyawa manusia lagi, maka ia hanya mcmbentak: “Minggir!” Dan tidak mendesak Thia Eng dan Bu-siang lebih jauh.
Ilmu kepandaian Eng Koh sebenarnya belum setinggi Ui Yong, tapi ilmu “Ni jiu-kang” atau ilmu belut, sangat tepat untuk berkelit dan mengegos, ketika dilihatnya Hoat-ong hendak angkat kaki, segera iapun maju menyerang.
Namun sekali Hoat-ong menangkis, berbareng terus memotong ke pinggang Eng Koh. Ketika mendadak terasa sesuatu tenaga maha besar menubruk pinggangnya, lekas-lekas Eng Koh mengegal-egolkan tubuhnya seperti belut, dan terhindarlah tenaga pukulan Hoat-ong itu.
Hoat-ong tidak tahu kepandaian Eng Koh sebenarnya belum mencapai tingkatan kelas wahid, tapi beberapa kali menghantam selalu dapat di hindarkan orang dengan gaya yang sangat aneh, ia sangat terkejut, ilmu sakti yang sangat ia aguI-kan untuk menjagoi kolong langit ini ternyata seorang wanita saja tak mampu merobohkannya, mau -tak-mau ia menjadi jeri, ia tak berani terlibat lebih lama lagi, sekali tubuhnya melesat, cepat ia menyingkir ke kiri.

“Jangan Iari!” bentak Pek thong sambil mengudak.
Selagi Hoat ong hendak membaliki tangan menyerang, tiba-tiba terdengar suara mencicit pelahan, suatu hawa hangat tahu- menyerang mukanya, itulah “lt yang-ci” atau ilmu jari betara surya, ilmu kepandaian khas It-teng Taysu, yang telah mencegat larinya.
Sejak tadi Hoat-ong tidak memperhatikan paderi tua ini, siapa duga tenaga tutukan jarinya ini ternyata sedemikian hebatnya.
Tatkala itu ilmu “lt-yang-ci” It-teng Taysu, sudah mencapai puncak kesempurnaannya, tenaga tutukannya meski tampaknya lambat dan halus, tapi sebenarnya kuat luar biasa tak tertahankan.
Dalam terkejutnya Hoat-ong cepat berkelit, habis itu barulah ia balas menyerang sekali. “Melihat tenaga pukulan Hoat-ong keras luar biasa, It-teng Taysu juga tak berani menyambutnya dari depan, dengan enteng ia melangkah mundur beberapa tindak.
Yang satu adalah paderi berilmu dari selatan dan yang lain adalah orang kosen dari benua barat, sesudah saling gebrak sekali, masing-masing tiada yang berani memandang rendah lawannya lagi.
Ciu Pek-thong ingin menjaga harga diri, ia tidak mau mengerubuti melainkan berdiri mengawasi saja di samping.
Jarak antara It-tcng dan Hoat-ong tadinya tiada beberapa kaki, tapi sesudah serang menyerang, yang satu menutuk, yang lain memukuI, akhirnya jarak mereka makin jauh hingga lebih dua tombak, masing-masing mengeluarkan tenaga sepenuhnya dan menyerang dari jauh.
Kepala It-teng Taysu tampak mulai menguap, terang sekali sedang pusatkan seluruh Lwekangnya, Oey Yong jadi kuatir, usia It-teng sudah tua hingga tak sanggup melawan Hoat-ong pula hatinya sedih oleh kematian putrinya, sebenarnya ia tiada niat adu jiwa dengan musuh, tapi bila melihat serang menyerang kedua orang masih begitu dasyatnya, ia tidak  berani sembarangan menerjang maju.
Selagi ia tak berdaya, tiba-tiba terdengar suara mencuitnya rajawali di udara, pikirannya tergerak, segera ia bersuit sambil menunjuk Hoat-ong.
Melihat itu, sekali bercuit, sepasang rajawali tu lantas menubruk turun ke atas kepala Hoat-ong.
Jika Sin-tiau kawan Yo Ko itu yang datang mungkin Hoat-ong akan jeri, tapi sepasang rajawali mi hanya badannya yang besar, tetap burung biasa saja, mana bisa menakuti Hoat-ong?
Cuma saat itu ia lagi pusatkan pikiran dan tenaga buat melawan It-teng Taysu, sedikitpun tak berani ayal, kini mendadak disergap kedua rajawali dari atas, terpaksa ia ayun tangan kirinya ke atas, dengan tenaga pukulan kuat menghantam sepasang rajawali.
Karena tak tahan, cepat rajawali itu terbang ke atas lagi, Dan karena godaan itu, keadaan It teng Taysu lantas di atas angin. Lekas-lekas Hoat-ong kerahkan tenaga baru kemudian bisa mengimbangi lagi.
Sepasang rajawali itu sudah lama dipiara U Yong dan sudah pintar, ketika mendengar suitan Oey Yong yang  mendesak terus, padahal musuh terlalu lihay, meteka tak berani menubruk lagi seperti tadi, melainkan hanya menyamber kian kemari di atas kepala Hoat ong saja, walaupun tidak bisa melukainya, tapi perhatian Hoat ong banyak terkacau.
Sebenarnya tenaga pukulan Hoat-ong masih lebih unggul daripada lt teng, tapi kalau soal ilmu kebatinan ia jauh kalah, ditambah kini ia merasa gegetun oleh matinya Kwe Yang, semangatnya memang sudah tak tenang kena dikacau lagi oleh rajawali itu, keruan ia menjadi gopoo. Segera hal ini
diketahui It-teng. Sambil tersenyum It-teng lantas mendesak maju setengah langkah.
Oey Yong sendiri meski sangat berduka akan kematian puterinya, tapi kecerdikannya tidak pernah berkurang ketika melihat It-teng melangkah maju, mendadak iapun menggertak: “Kwe Ceng, Yo Ko, kebetulan kedatangan kalian, lekas tangkap dia be.ramai-ramai!”
Padahal tidak mungkin Oey Yong menyebut nama sang suami, teriakannya ini melulu gertak sambel belaka untuk mengejutkan Hoat-ong, sebab bila ia bilang “Cing-koko” itu, dan kalau sempat berpikir, rasa kaget itupun akan berkurang.
Benar saja, ketika tiba-tiba Hoat-ong mendengar suara “Kwe Ceng dan Yo Ko” berdua, ia terperanjat, pikirnya “Jika kedua jago ini dalang juga. “Melayanglah jiwaku!”
Pada saat itulah, kembali It teng mendesak maju setengah langkah pula.
Rupanya kedua rajawali di atas udara itupun melihat ada kesempatan, mendadak rajawali yang betina bercuit keras terus menubruk cepat ke bawah untuk mencakar biji mata Hoat ong.
“Binatang!” damperat Hoat-ong sengit, berbareng sebelah tangannya digablokkannya.
Tak terduga sergapan rajawali betina itu hanya pura-pura belaka, ketika dekat mukanya mendadak membelok ke atas lagi, sebaliknya rajawali yang jantan diam-diam malah menyerang dari samping, ketika Hoat-ong mengetahui namun cakar rajawali itu sudal menyentuh kepalanya yang gundul.
Terkejut dan gusar sekali Hoat-ong, sehelai tangannya menyampuk ke atas, “plok”, segera bulu-bulu bertebaran, rajawali jantan itu berhasil mencengkeram kopiah emas Hoat- ong terus terbang pergi tapi sampukan Hoat-ong itupun sangat keras, rajawali jantan itu sudah terbang sampai ditengah udara akhirnya tak tahan dan mendadak terjungkal terjerumus ke dalam jurang yang tak terkirakan dasarnya.
Oey Yong, Thia Eng, Liok Bu siang dan Eng Koh menjerit kaget, sedang Ciu Pek thong menjadi gusar, “Hwesio apek,” -segera ia memaki, “Lo-wan-tong tak mau pakai aturan Kangouw lagi segala, mungkin harus dua lawan satu sekaligus.” Habis itu, secara bertubi2 ia kirim hantaman ke punggung Kim-Iun Hoat-ong.
Dalam pada itu si rajawali betina melihat yang jantan terjerumus ke dalam jurang, sekali bercuit panjang, tahu-tahu yang betina inipun ikut menerjun ke bawah hingga lama sekali tak nampak naik kembali. Karena dikeroyok dari muka belakang, mau tak-mau Kim-lun Hoat-ong menjadi jeri sekalipun tinggi ilmu silatnya, mana mungkin melawan keroyokan dua jago tertinggi ini?
Maka ia tak berani terlibat lebih lama, Mendadak terdengar suara gemerantang, roda2 emas dan perak menyamber sekaligus, yang depan menahan tutukan “lt-yang ci” dan bagian belakang menolak serangan “Khong-bing-kun”,
tubuhnya terus mencelat pergi dan cepat sekali sudah melintasi tanah bukit sana, dengan membentak-bentak, segera Ciu Pek-thong mengudak.
Sesudah berhasil meloloskan diri, Hoat-ong terus lari dengan cepat, ia tahu bila kena ditahan lagi oleh Ciu Pek-thong, mungkin beberapa ratus jurus takkan bisa ketahuan unggul atau ator, tatkala itu It-teng Taysu tentu akan menyusul tiba dan jiwanya boleh jadi akan melayang di lembah sunyi ini.
Tiba-tiba dilihatnya di depan membentang hutan vang lebat, ia menjadi girang, cepat ia berlari ke sana. Tak terduga mendadak terdengar suara mendenging yang cepat sebutir batu kecil tahu-tahu menyamber keluar dari dalam hutan.
Jarak hutan itu dengan Hoat-ong masih ada berates tindak, tapi entah tenaga sakti apa yang menyambitkan batu sekecil itu, dari suara mendenging nya teranglah keras luar biasa dan mengarah badan Hoat-ong.
Lekas Hoat-ong angkat rodanya menyampuk dibarengi suara benturan, batu itu pecah berantai hingga muka Hoat-ong sendiri keciprat beberap butir krikil.
Terkejut Hoat-ong, pikirnya “Batu sekecil ini disambitkan dari tempat jauh, tapi rodaku kena ke bentur mundur, nyata tenaga orang ini tidak di bawah Lo wan-tong dan Hwesio tua tadi, sungguh tidak nyana di jagat ini masih terdapat jago sebanyak ini.”
Sedang ia tertegun, terlihatlah dari dalam huti muncul seorang tua berjubah hijau.
Ciu Pek-thong menjadi girang, segera ia berseru: “Ui losia!
Hwesio apek itu telah membinasakan cucu perempuanmu, lekas kau ikut menangkapnya.
Orang yang muncul dari hutan itu memang Tho-hoa-to-cu Oey Yok-su adanya.
Sejak ditinggalkan Yo Ko, ia meneruskan pengembaraannya lagi ke utara, satu hari ketika singgah
minum di suatu pedusunan, tiba-tiba terlihat sepasang rajawali terbang lewat, ia tahu kalau bukan Oey Yong, tentulah Kwe Hu atau Kwe Yang yang berada di sekitar sini, maka diam-diam ia menguntit hingga sampai di Coat ceng kok ini.
Karena tidak ingin dilihat puterinya, ia hanya menguntit dari jauh saja, sampai akhirnya dilihatnya It-teng Taysu dan Ciu Pek-thong ber-turut-urut bergebrak melawan Kim-lun Hoat-ong, ia merasa paderi asing ini benar-benar seorang lawan tangguh yang jarang diketemukan, ia menjadi ketarik dan ikut turun tangan.
Maka berkatalah Hoat-ong sembari gosok-gosok kedua rodanya hingga mengeluarkan suara nyaring: “Apakah kau ini Tang-sia Oey Yok-su?”
“Betul,” sahut Yok-su mengangguk. “Ada petunjuk apakah Taysu?”
“Waktu berada ditempatku, kudengar di daerah Tionggoan terdapat Tang-sia, Se tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong. lima orang lihay. Hari ini beruotung bisa bertemu dan ternyata memang bukan omong kosong belaka,” demikian sahut Hoat-ong, “Dan di manakah yang empat orang itu?”
Tiong sin-thong (Ong Tiong-yang), Pak-kay dan Se-tok sudah lama meninggal,” kata Yok-su, “Paderi agung inilah Lam te yang kau tanya, sedang yang ini adalah Ciu-heng, Sutenya Tiong-sin-thong,”
“Jika Suhengku masih hidup, hm, tak nanti kau mampu menahan 10 jurus serangannya,” kata Pek-thong.
Tatkala itu mereka bertiga telah mengepung Hoat-ong di tengah-tengah, Dalam keadaan begitu Hoat-ong menjadi serba susah, ia pandang It-teng Taysu, lain saat melihat Ciu Pek thong dan sebentar2 ia memandang Oey Yok-su puIa.
Habis itu mendadak ia menghela napas panjang, lima rodanya dilempar ke tanah, lalu katanya: “Jika satu lawan satu, siapapun tiada yang kutakuti.”
“Betul,” kata Pek-thong. “Tapi hari ini kita buka bertanding untuk rebut gelar juara segala, siapa ingin main satu lawan satu denganmu? Hwesio apek kau sudah terlalu banyak melakukan kejahatan, dan sekarang kau lekas bunuh diri saja.”

“Lima tokoh besar Tionggoan, dua diantaranya sudah kulihat kini, meski aku mati ditangan kalian bertiga juga tidak kecewa,” sahut Hoat ong. “Cuma layang ilmu Liong-jio pan- yok-kang terputus sampai di tanganku, selanjutnya di jagat ini tiada ahli warisnya lagi.”
Habis berkata, sebelah tangannya diangkat terus hendak menabok batok kepalanya sendiri.
Ketika mendengar kata-kata “Liong-jio-pan-yok-kang”, mendadak Ciu Pek-thong jadi ketarik, secepat kilat ia melompat maju dan menangkis tangan Hoat-ong itu dan bcrkata: “Nanti dulu!”
“Aku lebih suka mati daripada dihina, apa yang kau inginkan lagi?-” kata Hoat-ong mendongkol
“Kau bilang sayang Ltong-jio pan-yok-kang tiada ahli warisnya, kenapa tidak kau turunkan saja padaku, kemudian kau boleh bunuh diri,” sahut Pek-thong tertawa.
Tapi sebelum Hoat ong buka suara pula, tiba-tiba terdengar suara rajawali betina yang telah membawa rajawali jantan dari dalam jurang, kedua rajawali itu sama basah kuyup, agaknya di dalam jurang itu adalah sebuah kolam air.
Rajawati jantan itu bulunya serawutan tak keruan, napasnya sudah kempas kempis, tapi cakarnya masih mencengkeram kopiah emas Hoatong dengan kencang.
SeteIah meletakkan yang jantan, rajawali betina mendadak terjun lagi ke bawah jurang, ketika naik pula, di atas punggungnya menunggang satu orang ternyata adalah Kwe Yang yang disangka sudah mati itu.
Keruan Oey Yong terkejut bercampur girang, cepat ia berseru: “Yang-ji… Yang-ji!” - ia memburu maju untuk menurunkan puterinya itu dari punggung rajawali betina.
Melihat Kwe Yang ternyata tak kurang suatu apapun, Hoat-oag juga tercengang, Waktu Ciu Pek thong masih menahan tangan Hoat-ong, sekali si tu nakal ini kedipi It-teng dan Oey Yok-su, segera Tang sia dan Lam-te turun tangan berbareng, dengan cepat ketiak kanan dan dan kiri Hoat-ong sekalian kena ditutuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar