Kembalinya Pendekar Rajawali 107
“Melihat suara menyambernya senjata rahasia
tadi, Oey Yong menduga kecuali kepandaian “tan-ci sin-thong” atau ilmu jari
maha sakti yang dari ayahnya, Oey Yok su, rasanya tiada orang lain lagi yang
memiliki kepandaian setinggi itu. Cuma kedua tiang bendera jaraknya
masing-masing belasan tombak, kenapa dari kedua tiang bendera itu berbareng
ditumpukkan senjata rahasia? Masakah ada dua orang.
Tapi saking girangnya iapun tidak banyak
pikir lagi, segera ia berseru memanggil: “Apakah ayah yang datang, bukan?”
Terdengarlah dari lalang tiang bendera
sebelah kiri ada suara seorang tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata “Kawan
cilik Yo Ko, marilah kita turun berbareng!”
“Baik,” sahut seorang dari talang sebelah
kanan. Menyusul itu, dari dalam talang tiang bendera masing-masing melompat turun
satu orang.
Di bawah sinar bintang dan bulan yang guram,
baju kedua orang itu me-lambai2 ketika melompat turun, seorang berjubah hijau
berambut putih, yang lain berbaju biru berlengan tunggal, nyatalah mereka
memang Oey Yok-su dan Yo Ko.
Kedua orang itu melompat turun ke arah
panggung, Oey Yok-su menarik tangan kiri Yo Ko selagi masih terapung di udara,
kemudian keduanya turun berbareng di atas panggung, Betapa mengagumkan cara
melayang turunnya kedua orang itu. Bila semua orang tidak mendengar suaranya
dahulu, boleh jadi akan menyangka mereka adalah malaikat yang turun dari khayangan.
Lekas Kwe Ceng dan Oey Yong melompat ke atas
panggung memberi hormat pada Oey Yok-su.
Begitu pula Yo Ko lantas menyembah dihadapan
Kwe Cing dan Oey Yong suami-isteri sambil menyapa.
“Tit-ji (keponakan) Yo Ko memberi hormat
kepada Kwe pepek dan Kwe-pekbo.”
Cepat Kwe Ceng membangunkannya dan katanya
dengan tertawa: “Ko ji, ketiga macam hadiah-mu ini sungguh… sungguh…” tapi
saking terharunya, pula memang tidak pandai bicara muluk-muluk, maka “sungguh”
apa, tak bisa dikatakannya
Sebaliknya Kwe Hu yang dengki, kuatir kalau
dirinya disuruh mengaturkan terima kasih atas pertolongan Yo Ko tadi,
lekas-lekas mendekati Oey Yok-su sambil memanggil Engkong.
Yo Ko tersenyum, ia kenal watak orang, ia
melompat kehadapan Kwe Yang dan sapanya dengan tertawa. “Adik cilik, aku datang
terlambat.”
Berdebar2 hati Kwe Yang saat itu, wajahnya
jengah. jawabnya dengan suara lirih: “Ah, kau telah bawakan tiga nucam hadiah
besar ini, sungguh… sungguh bikin capek kau saja.”
“”Hanya sekedar meramaikan hari ulang tahun
adik cilik saja, tiada yang perlu dipuji,” sahut Yo Ko tertawa.
Habis itu, ketika ia memberi tanda, segera
terdengar Toa thau-kui berteriak “Bawa semua ke sini!” - Segera pula dipintu masuk
lapangan sana ada orang meluruskan perintah itu: “Bawa semua ke mari-dan begitu
pula seterusnya suara itu dilanjutkan hingga jauh.
Selang tak lama dari Iuar lapangan itu
membanjir serombongan orang, ada yang membawa leng-long dan obor, ada yang
memikul dan menjinjing tenggok, terus tersebar disekitar lapangan dan mematok
cagak mendirikan panggung, sementara orang yang datang semakin banyak tak
terputus-putus, namun secara beraturan, tiada seorangpun bicara, hanya bekerja
keras.
Semua orang sudah saksikan ketiga hadiah
besar yang dibawa Yo Ko tadi, maka siapapun merasa kagum padanya mereka pikir
orang-orang yang di bawanya kemari ini tentu ada gunanya.
Tak lama kemudian, di sebelah barat daya
lapangan itu satu panggung sudah berdiri, gembreng berbunyi dan genderang
ditabuh, nyata itula sebuah panggung wayang po te-hi” yang melakonkan “Pat
sian-cok- siu” atau delapan dewa memberi selamat ulang tahun.
Menyusul mana satu panggung yang disudut lain
mempertunjukan opera yang melakonkan cerita Kwe Cu-gi berulang tahun, dewa-
dewi datang memberi selamat padanya, Dalam sekejap saja di-ujung lainpun ada
wayang orang yang memulai pertunjukan hingga seketika suasana meriah sekali.
Sungguh hebat usaha Yo Ko ini, sekalipun
keluarga bangsawan yang paling mampu juga tidak selengkap dan seramai sekarang
ini.
Betapa girang Kwe Yang atas kebaikan Yo Ko,
saking terharu matanya mengembeng air mata dan tak sanggup bersuara, .
Kwe Hu jadi ingat apa yang dikatakan adiknya
tempo hari bahwa ada seorang ksatria besar akan datang member selamat ulang
tahun padanya, kini ternyata betul-betul terjadi, ia gusar dan mendongkol dalam
keadaan serba kikuk ia pura-pura menarik tangan Oey Yok-su menanyakan ini dan
itu, terhadap keramaian disekitarnya ia berlagak tidak tahu.
“Ayah, apakah sebelumnya kau telah berjanji
dengan Ko-ji akan sembunyi didalam talang tiang bendera itu?” tanya Oey Yong kemudian pada ayahnya.
“Bukan, bukan,” sahut Oey Yok-su tertawa,
“Satu hari, ketika aku pesiar di Tong-teng-oh di malam bulan purnama, tiba-tiba
aku mendengar suara orang berseru mencari Yan-po Tio-so (si kakek tukang
mancing), katanya ada seorang bernama Sin tiau hiap mengundangnya ke Siangyang,
Kepandaian Yan-po Tio-so itu tidaklah rendah,
cuma tabiatnya sangat aneh, Maka aku menjadi kuatir kalau diam-diam mereka akan
melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan puteri dan menantuku sayang,
diam-diam aku lantas dating kemari. Siapa tahu kalau Sin-tiau-hiap ini ternyata
adalah kawan cilik Yo Ko, bila tahu, tak perlu lagi aku ikut-ikut capekan
diri.”
Dari lagu perkataan orang, Oey Yong tahu sang
ayah meski mengembara ke mana-mana, tapi dalam hati senantiasa masih merindukannya.
maka dengan tertawa ia berkata: “Tia (ayah), sekali ini janganlah kau pergi
lagi, marilah kita hidup berkumpul saja dengan bahagia.”
Namun Oey Yok-su tidak menjawabnya, tiba-tiba
Kwe Yang dipanggil kedekatnya, “Marilah, nak, biar Gwakong melihat kau,”
demikian katanya.
Memangnya Kwe Yang selama ini belum kenal
sang Gwakong atau kakek luar (ayah ibu), maka lekas-lekas ia mendekatinya dan
memberi hormat.
Segera Oey Yok su memegangi tangan anak dara
itu dan mengamat-amati raut mukanya, tiba-tiba dengan muram ia berkata:
“Sungguh persis, sungguh persis!”
Oey Yong tahu ayahnya menjadi terkenang pada
mendiang ibunya, maksudnya muka Kwe Yang, sangat mirip dengan nenek sewaktu
mudanya, Karena kuatir bikin ayahnya bertambah berduka, maka ia tidak buka
suara.
“Sudah tentu persis” sela Kwe Hu tiba-tiba
dengan tertawa, “Engkau berjuIuk “Lo-tong sia” dan dia dipanggil orang
“Siau-tong sia”
“Hu ji,” cepat Kwe Ceng
membentak, “Dihadapan Gwakong berani
tak beraturan?”
Sebaliknya Oey Yok-su menjadi girang, ia
tanya Kwe Yang: “Apa benar kau berjuluk “Siau tong-sia”, Yang-ji?”
Kwe Yang menjadi jengah jawabnya.”Mula-mula
Cici yung “Mana bisa?” ujar Kwe Yang menggeleng kepala. “Jika ia mau bunuh
aku untuk membalas dendam, hal itu mudah sekali seperti membaliki tangan
sendiri saja, ketika di daerah Soasay, asal sekali jarinya menutuk saja segera
aku bisa dibinasakannya.”
“Kau masih kanak, tidak paham,” kata Oey
Yong, “Jika ia sengaja bikin kau menderita dan membuat kita selalu berduka dan
masgul, sudah tentu ia mempunyai caranya yang lebih keji daripada membunuh
orang, Ai, biarlah, jangan dibicarakan lagi, saat ini akupun sudah tahu tak
nanti hal itu diperbuatnya.
Cuma dalam hatiku masih tetap kuatirkan
sesuatu hingga merasa tak enak.”
“Kau kuatirkan apa, mak?” tanya si gadis,
“Tampaknya kejadian-kejadian dahulu yang harus disesalkan itu, Yo-toako sudah
tidak mengingatnya lagi dalam hati, tidak lama iapun akan bersua kembali dengan
Toaso ( kakak ipar ), tatkala itu saking senangnya segala kejadian dahulu pasti
akan
lenyap dalam ingatannya.”
“Tapi yang kukuatirkan justru kalau dia
takkan bisa bersua lagi dengan Siao liong li,” kata Oey Yong gegetun.
Kwe Yang melengak oleh kata-kata itu, “Apa?
Mana bisa?
Toakoko sendiri berkata padaku bahwa karena
lukanya, Liong-cici telah ditolong pergi Lam hay Sin-ni dan berjanji 16 tahun kemudian
akan berjumpa pula. Betapapun cinta kasih suami isteri mereka, sudah sekian
lamanya saling tunggu masakah takkan bersua kembali?”
Namun Oey Yong mengkerut kening sambil
bersuara tak acuh.
“Kata Toakoko,”
sambung Kwe Yang pula. “Liong-cici telah mengukir tulisan ditebing gunung yang
berbunyi: “l6 tahun kemudian bertemu lagi di sini, cinta kasih suami isteri,
harap jangan salah janji, Apakah mungkin ukiran tulisan itu palsu belaka?”
“Tulisan itu memang tulen, sedikitpun i:dak
palsu,” sahut Oey Yong “Cuma yang kukuatirkan justeru karena cinta Siao-liong
li terhadap Yo Ko terlalu mendalam, hingga sebab itu Yo Ko takkan bisa melihat
dia lagi untuk selamanya.”
Kwe Yang menjadi bingung, dengan tercengang
ia pandang sang ibu penuh tanda tanya.
“16 tahun yang lalu,” demikian tutur Oey
Yong, “Nyo toakomu suami- isteri terluka parah semua, Nyo-loako masih ada obat
yang bisa menyembuhkannya, tapi racun jarum yang mengenai Siao liong -li sudah
meresap tulang, menyaksikan isteri tercintanya itu sukar disembuhkan lagi,
Nyo-toakomu itupun tidak ingin hidup sendirian, maka sekalipun ia diberi obat
dewa juga ia takmau meminumnya.” - berkata sampai di sini suaranya berubah
halus, katanya puIa:
“Ai, masih banyak hal lain, karena usiamu
masih kccil, sementara ini kau takkan paham.”
Kwe Yang ter mangu2 oleh cerita itu, selang
se-jenak barulah ia menjungat dan berkata: “Mak, jika kujadi Liong-cici, kuakan
pura-pura sudah sehat dan minta dia minum obat untuk menyembuhkan lukanya.”
Sungguh Oey Yong tak menyangka puterinya yang
masih kecil itu bisa berpikir demikian untuk orang lain, maka sesaat itu ia
tertegun, “Ya, benar, makanya aku kuatirkan Siao-liong li tatkala itu juga
berpikir seperti pendapatmu ini dan sengaja meninggalkan Yo Ko,” kata Oey Yong
kemudian, “la mengukir tulisan di tebing batu dan berjanji akan bertemu pula 16
tahun lagi, waktu itu aku lantas menduga menghilangnya Siaoliong-li secara
mendadak boleh jadi demi kepentingan Nyo toakomu
agar bertahan hidup selama 16 tahun untuk
menantikannya Ai. rupanya ia menyangka setelah lewat 16 tahun yang Iama itu,
cinta Nyo-toakomu padanya tentunya akan mendingin, dengan begitu, sekalipun
dalam hati masih berduka, tapi pasti akan sayang juga pada badan sendiri dan
takkan membunuh diri lagi.”
“Jika begitu, bagaimanakah tentang cerita
Lam-hay Sinni itu?” tanya Kwe Yang.
“Lam hay,Sinni itu justeru adalah karanganku.
Maka hakikatnya tidak pernah ada seorang tokoh seperti itu,” sahut Oey Yong,
“Ha, tidak ada tokoh Lam hay Sinni?” Kwe Yang
menegas terkejut.
“Ya, sebab waktu itu aku melihat keadaan Yo
Ko yang sedih dan merana, hatiku tak tega, lantas aku mengarang nama Lam hay
Sinni untuk menghiburnya agar suka menanti selama 16 tahun ini,” sahut Oey
Yong. “Aku katakan padanya bahwa Lam-hay Sinni tinggal di pulau Tati, padahal
dijagad ini hakikatnya tidak pernah ada pulau itu. Akupun bilang Lam hay Sinni
pernah mengajarkan sejurus ilmu pukulan pada Gwakongmu, dengan begitu supaya
dia bertambah percaya.
Sebab si Yo Ko ini sangat cerdik, kalau aku
tidak bicara seakan-akan benar dan hidup, tak nanti ia mau percaya. Dan kalau
ia tak percaya, maksud baik Siao liong li itupun akan sia-sia.”
“Apakah ibu maksudkan Liong cici sudah
meninggal dan janji 16 tahun bertemu lagi hanya untuk membohonginya saja?”
tanya Kwe Yang.
“Tidak, tidak, boleh jadi Siao-liong-li masih
hidup, sampai hari yang dijanjikan nanti bila betul-betul ia datang berkumpul kembali
dengan Yo Ko, maka kita harus berterima kasih pada yang maha kuasa,” sahut Oey
Yong cepat. “Dia adalah ahliwaris Ko-bong-pay satu-satunya, cakal bakal Ko bong
pay, Lim Tiau eng, lelah menurunkan ilmu kepandaian yang maha hebat padanya,
rasanya Siao liong li takkan meninggal secara begitu saja.”
“Ya, memangnya akupun berpikir, Liong cici
adalah orang yang begitu baik, Nyo toako juga sedemikian cinta padanya, pasti
ia takkan mati selagi muda,” demikian kata Kwe Yang dengan hati rada lega.
“Dan bila sampai hari yang dijanjikan itu
Nyo-toako tak bisa menjumpainya kembali, bukankah pukulan ini akan membuatnya
menjadi gila?”
“Makanya kedatangan Gwakong-mu sekarang
sebenarnya akan kuminta agar suka membantu membulatkan bualanku tentang Lam hay
Sinni itu,” kata Oey Yong.
Kwe Yang menjadi kuatir “Ya, saat ini tentu
Nyo toako berada bersama dengan Gwakong dan ia akan tanya tentang Lam hay
Sin-ni, Tapi Gwa-kong tak tahu duduknya perkara tentu akan bilang tak kenal,
dengan begitu lantas terbongkarlah rahasia itu, lantas bagaimana baiknya?”
“Jika benar-benar Siao liong li dapat bersua
kembali dengan dia, itulah yang kita harapkan dan segalanya akan menjadi
beres,” kata Oey Yong “Tapi bila sampai saatnya ia tidak melihat Siao-liong-li,
turuti wataknya yang tak terkendali itu, entah keonaran apa yang akan
diperbuatnya, Tentu ia akan dendam karena aku membohonginya dan bikin susah dia
menunggu selama 16 tahun ini!”
“Mak, hal itu tak perlu kau kuatirkan,” ujar
Kwe Yang, “Kau membohongi dia demi kebaikannya. Kau bermaksud menolong
jiwanya.”
“Hubungan kekeluargaan selama tiga keturunan
tidaklah perlu dibicarakan, melulu diri Ko-ji saja, beberapa kali ia telah menolong
jiwa ayahmu, ibumu dan encimu, hari ini ia berjasa pula begitu besar untuk kota
Siangyang, seandainya kita ada sedikit budi padanya juga tidak cukup untuk
membalasnya,” kata Oey Yong.
“Ai, hidup Ko-ji selama ini menderita
sebatangkara, umurnya svdah lebih 30, tapi saat bahagia yang pernah ia kenyam
rasanya juga tiada beberapa hari saja.”
Kwe Yang menjadi muram, ia menunduk, dalam
hati ia pikir: “Kalau Toakoko tak bisa berjumpa kembali dengan Liong cici,
mungkin ia bisa gila benar?”
“Nyo-toakomu itu adalah seorang perasa dan
beradab, cuma sejak kecil sudah banyak mengalami pukulan hidup, maka wataknya
menjadi rada aneh, tindak tanduknya selalu diiuar dugaan orang,” ujar Oey Yong.
“Ya, dia dan Gwakong dan aku, semuanya
golongan aneh.” kata Kwe Yang tertawa tawar.
“Benar, ia adalah orang baik, hanya bersifat
rada latah,” kata Oey Yong sungguh-sungguh “Makanya, bila tak beruntung Siao
liong-li sudah meninggal, selanjutnya sekali-sekali jangan kau bertemu dia
lagi.”
Terkejut sekali anak dara itu, sama sekali
tak diduganya ibunya bisa berkata begitu. “Sebab apa? Kenapa tak boleh bertemu
dengan Nyo toako lagi?” tanyanya cepat.
Oey Yong menggenggam tangan puterinya itu dan
berkata pula: “Jika akhirnya ia bisa bertemu kembali dengan Siao liong li, biar
kau ikut mengembara ke ujung langit sekalipun aku takkan keberatan. Tapi kalau
Siao liong-li tak bersua lagi dengan dia, Yang ji, kau belum kenal sifat Nyo
toakomu, bila ia sudah gila, segala apa dapat diperbuatnya”
“Mak,” tanya Kwe Yang gemetar, “jika Liong
cici tak dapat dijumpainya lagi, tentu ia akan sangat berduka, kita harus menghiburnya
baik-baik.”
“la takkan mendengar hiburan orang,” kata Oey
Yong menggeleng kepala.
“Mak.” tanya Kwe Yang lagi setelah merandek
sejenak, “Sesudah menunggu 16 tahun dengan sia-sia, dalam berdukanya nanti
apakah ia akan membunuh diri?”
Oey Yong merenung sejenak, kemudian baru
ja-wabnya: “Pikiran orang lain dapat aku menerkanya, tapi Nyo-toakomu itu sejak
kecil aku tak dapat meraba pikiran apa yang terkandung dalam otaknya, justeru
sebab itulah maka aku melarang kau bertemu lagi dengannya, kecuali kalau ia dating
bersama Siao liong li, itulah lain perkara.”
Kwe Yang termenung dan tak menanya lebih
jauh. “Yang-ji,” kata Oey Yong pula, “ibu hanya berpikir untuk kebaikanmu, jika
kau tak turut nasihat ibu, kelak pasti akan menyesal”
Habis itu, ia lantas ceritakan kejadian dulu,
dimana puteri angkat Nyo Thi-sim yang bernama Bok Liam cu, dalam suatu pertandingan
sayembara Bok Lam cu dikalahkan Nyo Khong, meski Nyo Khong banyak melakukan
kejahatan tapi cinta Bok Liam cu padanya tetap kekal hingga kemudian Bok
Liam-cu gugur menyusul kekasihnya di kelenteng Ong-tiat-jiang.
“Bok Liam-cu sesungguhnya wanita baik yang
sukar dicari, tapi karena salah menyerahkan cintanya hingga berakhir secara
mengenaskan demikian” kata Oey Yong.
“Mak.” kata Kwe Yang tiba-tiba. “ia menyukai
Nyo-sioksiok, betapapun Nyo-sioksiok berbuat salah pun, ia akan suka padanya
sampah akhir jaman.”
Oey Yong terkesima memandangi muka sang
puteri yang mungil itu, dalam hati ia pikir: “Usia sekecil ini, darimanakah bisa
paham begini banyak?”
Dilihatnya anak dara itu sudah letih dan
arip, segera ia tarik selimut dan menyuruhnya tidur sambil dinina-bobokkannya.
Memangnya semalam suntuk Kwe Yang tidak tidur, maka sebentar saja ia sudah
pulas, Oey Yong lantas kembali kekamar sendiri.
Sore harinya, kedua saudara Bu yang
ditugaskan ke Lam-yang itu telah mengirim berita bahwa gudang rangsum musuh memang
benar telah terbakar habis, malahan api masih belum terpadam, pasukan MongoI
telah mundur ke utara sejauh ratusan li dan berkemah di sana.
Mendengar kabar itu, seluruh penduduk kota
Siangyang menjadi girang, nama “Sin tiau-tayhiap” yang sengaja membumbu2i
dengan pujian setinggi langit: Malamnya lagi Kwe Ceng suami isteri diundang
oleh Lu Bun hwan untuk merundingkan soal pertahanan kota hingga sampai jauh
malam baru pulang.
Besok paginya, seperti biasa Yalu Ce, Kwe Hu
dan Kwe Boh-lo datang memberi selamat pada orang tua, tapi sampai lama Kwe Yang
tak kelihatan muncul.
Oey Yong menjadi kuatir, segera pelayan di –suruhnya
melihat ke kamar puteri kedua itu apakah lantaran sakit, Tapi tak lama pelayan
itu dan dayang pribadi Kwe Yang sudah kembali melapor, katanya: “Semalam
Jisiocia tidak kembali ke kamar”
Keruan Oey Yong terkejut “Kenapa semalam
tidak lantas melapor?” tanyanya segera.
“Semalam Hujin pulang larut malam, hamba tak
berani mengganggu pula kuatir sebentar Jisiocia akan kembali kamar, tak tahunya
menunggu sampai sekarang masih belum kelihatan,” tutur pelayan pribadi Kwe Yang
itu.
Sesudah merenung sebentar segera Oey Yong
memeriksa kamar anak dara itu, ia lihat baju se-hari-2, senjata dan uang semuanya
tiada yang dibawa anak dara itu Tengah ia heran, tiba-tiba dilihatnya di bawah
bantal puterinya itu menongol ujung secarik kertas.
Segera Oey Yong menduga jelek, diam-diam ia
mengeluh, cepat kertas itu disambernya dan dibaca, ternyata surat itu tertulis:
Ayah dan ibu tercinta, Anak pergi mencegah
Yo-toako agar jangan sekali-sekali berpikiran pendek, Bila sudah dapat
mencegahnya, segera anak akan pulang.
Hormat puterimu,
Yang
Sesaat Oey Yong mematung tak bersuara, dalam
hati ia pikir: “Anak dara ini benar-benar ke-kanak-anakan. Macam apakah
orangnya Yo Ko itu, kecuali Siao-liong-Ii, siapa lagi yang bisa bikin dia
menurut? ia bukanlah Yo Ko jika begitu gnnpang mau mendengar kata-kata orang
Iain.
Niat Oey Yong hendak mencari puteri kecil
itu, tapi mengingat situasi sangat genting, setiap saat pasukan MongoI bisa
dikerahkan menyerang Siangyang mana boleh karena urusan anak-anak harus
menjelajah Kangouw lagi? Maka sesudah berunding dengan Kwe Ceng, segera ia
tulis empat pucuk surat dan suruh empat anak murid Kay-pang yang dapat
dipercaya pergi mencari Kwe Yang agar anak dara itu bisa lekas pulang.
Kiranya hari itu sesudah Kwe Yang mendengar
cerita sang ibu, ia lantas tertidur. Tapi mimpi buruk datang terus menerus sebentar
dilihatnya Yo Ko menabas buntung lengannya yang tinggal satu itu, lain saat
terbayang Yo Ko terjun ke jurang yang beribu tombak dalamnya hingga hancur
lebur.
Karena impian buruk itu, Kwe Yang terjaga
bangun dengan keringat dingin, ia terduduk dipinggir ranjang dan termenung-menung
“Toakoko telah beri tiga jarum emas padaku dan sanggup menerima tiga
permohonanku yang pasti akan dilakukan untukku.
Kini jarum emas tinggal sebuah saja padaku,
justru dapat kugunakan untuk mohon dia jangan cari jalan ” pendek (bunuh diri),
ia adalah seorang pendekar, seorang jantan, apa yang dikatakan tentu di pegang
janjinya, biar sekarang juga aku pergi mencarinya.”
Lantas ia tinggalkan sepucuk surat singkat
pada orang tuanya, lalu pergilah ia keluar kota.
Tapi Yo Ko bersama Oey Yok-su tatkala itu
entah sampai dimana, sesungguhnya sukar untuk dicari. Setelah 30 40 li Kwe Yang
menempuh perjalanan tanpa tujuan, ia mulai merasa lapar, ia pikir harus tangsal
perut dulu pada suatu rumah makan. Tapi di luar kota Siangyang penduduknya yang
takut datangnya pasukan musuh sudah lama mengungsi, jangankan rumah makan,
bahkan rumah penduduk satupun tiada isinya.
Selamanya Kwe Yang belum pernah keluar rumah sendirian,
sama sekali tak terduga olehnya orang melawat jauh sesungguhnya sulit seorang
diri ia duduk termenung2 diatas batu ditepi jalan sambil bertopang dagu.
Ia berduduk sebentar, ia pikir tiada rumah
makan, cari sedikit buah2an untuk sekedar tangsal perut juga lumayan, Tapi
ketika memandang sekelilingnya, beberapa li sekelilingnya hanya tanah tandus
tanpa suatu pohon, apalagi buah2an.
Selagi ia rada bingung, tiba-tiba terdengar
derapan kuda ber-detak2, seorang penunggung kuda berlari cepat duri timur ke
barat, ketika sudah dekat terlihatlah penunggangnya adalah seorang Hwesio tua
yang berperawakan tinggi kekar, memadai jubah kuning, kasa bersemampir
dipundaknya,
diatas kepalanya memakai sebuah kopiah bundar
yang bercahaya emas mengkilat.
Kuda itu lari dengan cepat sekali, sekejap
saja sudah lewat, tapi tiba-tiba paderi itu putar kuda kembali dan mendekati
Kwe Yang dengan rasa heran.
“Nona cilik, siapakah kau?” demikian tanyanya
“Kenapa seorang diri kau berada di sini?”
Melihat sorot mata orang tajam bagai kilat,
hati Kwe Yang rada terkesiap, segera ia teringat pada It-teng Taysu yang pernah
dilihatnya di tambak Hek-liong-tam, diam-diam ia pikir: “lt-teng Taysu itu
sangat welas nsiii, tentu paderi beralis putih inipun orang baik.”
Maka jawabnya: “Aku bernama Kwe Yang, baru dating
dari Siangyang, hendak cari seseorang.”
“Kau hendak mencari siapa?” tanya paderi tua
itu.
Kwe Yang tersenyum sambil miringkan kepalanya
dan katanya: “Hwesio tua suka campur urusan orang lain, aku tak mau beritahukan
padamu.”
“Cobalah kau terangkan siapakah orang yang
hendak kau cari, boleh jadi di tengah jalan tadi aku melihatnya bukankah bisa
kuberi petunjuk padamu,” ujar paderi tua.
Betul juga pikir Kwe Yang, maka jawabnya:
“Orang yang kucari itu sangat mudah dikcnali, ialah seorang laki-laki muda tanpa
lengan kanan. ia mungkin berada bersama dengan seekor rajawali raksasa, boleh
jadi berada sendirian puIa.”
Kiranya paderi tua ini bukan lain ialah
Kim-lun Hoat-ong.
Mendengar orang yang dimaksud kan Kwe Yang
itu ternyata Yo Ko adanya, ia terkejut, tapi pada lahirnya ia tenang-tenang
saja dan pura-bergirang.
“He, orang yang hendak kau cari itu she Nyo
bernama Ko, bukan?” katanya cepat. Kwe Yang menjadi girang: “Ya, kau kenal
dia?”
“Tentu saja aku kenal, kami adalah sobat
lama,” demikian kata Kim-lun Hoat-ong dengan tertawa: “Scwaktu kami berkenalan,
boleh jadi kau masih belum lahir.”
Muka Kwe Yang yang cantik sedikit merah, tapi
tanyanya pula: “Toahwesio, siapakah nama gelaranmu?”
“Aku bernama Cumulangmah,” sahut Kim lun Hoat
ong.
“Apa Cumi? Mamah? Ah, begitu panjang, susah diucapkan.”
kata Kwe Yang dengan tertawa.
“Cu mu Iang- mah” Hoat-ong mcnegas sekata demi
sekata,
“O, Cumulangmah, Apakah kau tahu dimana
Toakokoku berada?” tanya si anak dara
lagi.
Kiranya Kim-lun Hoat-ong sengaja bilang
namanya Cumulangmah, nama puncak tertinggi dipegunungan Himalaya, yaitu
terkenal juga dengan nama Mount Everest, dengan nama samaran ini Hoat-ong
seakan-akan anggap ilmu silatnya di seluruh jagat tiada bandingannya.
Maka jawabnya: “Kau punya Toakoko? Siapa
dia?”
“lalah Yo Ko,” sahut Kwe Yang,
“Ha, kau panggil Yo Ko sebagai Toakoko,
katanya kau she Kwe?” tanya Hoat ong.
Kwe Yang rada jengah, namun jawabnya: “Ya,
kami adalah pamili turun temurun, waktu kecil ia pun tinggal di rumahku.”
Tergerak hati Hoat-ong, segera ia tanya, “Aku
mempunyai seorang kenalan baik, ia berilmu silat sangat tinggi, namanya terkenal
di seluruh jagat, juga she Kwe, namanya Cing, Entah nona kenal padanya tidak?”
Terkejut Kwe Yang, dalam hati ia membatin :
“Aku telah minggat dari rumah, kalau dia adalah sobat ayah, mungkin sekali aku
akan diseret pulang, lebih baik tak kukatakan saji.”
- Maka jawabnya kemudian: “Apakah kau
maksudkan Kwe Ciog, Kwe-tayhiap? ia adalah angkatan tua dari keluarga Kwe kami.
Apakah Touhwesio hendak berkunjung padanya?”
Kim lun Hoat-ong adalah seorang yang sangat
pintar dan ccrdik, pula sudah kenyang asam garam, sikap Kwe Yang yang aneh ini
segera dapat dilihatnya.
Maka katanya pula dengan menghela napas: “Aku
dan Kwe tayhiap menang sobat kental dan sudah lebih 20 tahun tak berjumpa,
tempo hari di laerah utara aku mendengar berita buruk, katanya Kwe-tayhiap
telah meninggal, aku menjadi sedih, maka cepat datang kemari, Ai, seorang pahlawan
besar tidak diberkahi umur panjang, sungguh Thian tidak adil.”
Berkata sampai di sini air matanya benar
bercucuran membasahi jubahnya.
Kiranya Lwekang Kim-Iun Hoat-ong sudah
terlatih amat tinggi, seluruh otot daging tubuhnya dan pernapasan dapat diatur
sesuka hatinya, untuk menghentikan denyutan jantung sementara saja tidak sukar,
apalagi hanya mencucurkan air mata bikinan.
MeIihat orang menangis sungguhan, walaupun
Kwe Yang tahu jelas ayahnya tidak pernah mati, namun soalnya mengenai ayah dan
anak mau-tak-mau hatinya ikut pilu juga, maka cepat katanya: “Toahwesio, kau
tak perlu berduka, Kwe tayhiap tidak pernah meninggal.”
“Ah, jangan ngaco, ia benar-benar sudah
meninggal anak perempuan mana tahu akan urutan orang tua?” sahut Hoat-ong
sambil menggeleng kepala.
“Aku baru saja keluar dari Siangyang, masakah
aku tak tahu, malahan baru kemarin aku melihat muka Kwe-tayhiap,” kata Kwe
Yang.
Tanpa ragu-ragu lagi sekarang Hoat-ong,
saking girangnya ia menengadah dan bergeIak-tawa. “Ah, kiranya kau adalah puteri
Kwe tayhiap,” katanya kemudian, Namun mendadak ia geleng-geleng kepala Iagi:
“Salah, salah! puteri Kwe tayhiap itu kukenal, namanya Kwe Hu, umurnya sekarang
sedikitnya sudah lebih 3O puluh tahun.”
Tak tahan akan pancingan kata-kata orang,
segera Kwe Yang menegaskan “lalah cnciku, ia bernama Kwe Hu dan aku bernama Kwe
Yang.”
Girang luar biasa hati Hoat-ong, ia membatin.
“Hari ini benar-benar Thian memberkahiku, rejeki ini telah menubruk sendiri
padaku.” - Maka segera ia-pun berkata: “Jika begitu, jadi Kwe-tayhiap memang
benar tidak meninggal.”
Melihat orang benar-benar bergirang, Kwe Yang
menyangka paderi ini berhati bajik dan senang karena mendengar ayahnya masih
segar-bugar, ia menegaskan lebih jauh: “Aku bilang tidak meninggal tentu tidak
meninggal dia adalah ayahku, masakah aku mendustai kau?”
“Batk, baik, baik! Aku percaya, nona Kwe,
malahan akupun tak perlu pergi ke Siangyang lagi, Sudilah kau sampaikan pada ayahmu
bahwa kawan lama Cumulangtnah mengirim salam pada nya,” kata Hoat ong.
ia tahu pasti sebentar Kwe Yang akan tanya
tentang urusan Yo Ko, maka ia sengaja memberi hormat, lalu menarik kudanya
terus hendak pergi, Betul saja segera terdengar Kwe Yang berteriak: “Hai, hai!
Toahwesio, kenapa kau tak tahu aturan?”
“Tidak tahu aturan?” Hoat-ong menegas pula
tak mengerti.
“Bukankah aku sudah beritahukan keadaan
ayahku, tapi kau belum juga ceritakan keadaan Yo Ko, sebenarnya dimanakah dia?”
tanya Kwe Yang.
“Ah, benar, aku menjadi lupa!” ujar Hoat-ong.
“Kemarin dulu baru saja aku ber-omong2 sama dengan dia di lembah pegunungan
sebelah utara Sinyang, ia sedang berlatih pedang di sana, saat ini mungkin
nusih belum pergi, bolehlah kau mencarinya ke sana.”
Kwe Yang mengkerut kening oleh penjelasan
itu. “Lembah gunung begini banyak, cara bagaimana aku bisa menemukannya?
Terangkanlah lebih jelas,” pintanya.
Hoat ong pura-pura berpikir, lalu katanya:
“Baiklah, sebab aku juga akan ke utara, biarlah kubawa kau ke sana.”
Keruan Kwe Yang berjirang, “Ah, sungguh terima
kasih,” katanya,
Lalu Hoat-ong menuntun kudanya ke hadapan
anak dara itu dan katanya: “Silakan nona cilik menunggang, paderi tua berjalan
kaki.”
“Ah, mana boleh jadi.” sahut Kwe Yang.
“Tidak apa,” kata Hoat-ong tertawa. “Empat
kaki kuda ini belum tentu lebih cepat daripada kedua kaki paderi tua.”
Selagi Kwe Yang hendak cemplak keatas kuda,
tiba-tiba ia berseru: “Ai, sialan! Toahwesio, aku merasa lapar, kau memhawa
makanan tidak?”
Dari buntalannya Hoat-ong mengeluarkan
sebungkus rangsum kering, walaupun Kwe Yang tidak biasa dengan makanan begitu,
apa lagi panganan kaum paderi, namun sudah lapar, terpaksa dimakannya sebagian
sekedar menangsal perutnya, lalu ia keprak kuda berangkat diikuti Hoat ong yang
berjalan di sampingnya.
Tiba-tiba anak dara itu ingat pada kata-kata
orang tadi bahwa “Empat kaki kuda ini belum tentu lebih cepat daripada kedua
kaki paderi tua.” Maka mendadak ia pecut kudanya sambil berseru: “Toa-hwesio,
kutunggu kau di depan sana.” -
Habis itu, secepat terbang ia larikan
kudanya. Kuda itu sangat bagus dan tangkas, sekali ber-lari, Kwe
Yang merasa tetumbuhan di tepi jalan sekejap
saja sudah jauh tertinggal di belakang. sebentar saja belasan li sudah ditempuhnya,
ketika, ia menoleh dan berkata dengan tertawa: “Toahwesio, dapatkah kau menyusul
aku?”
Namun ia menjadi heran dan terkejut, ternyata
Kim lun Hoat-ong tak kelihatan bayangannya, sebaliknya mendadak ia lantas
mendengar suara seorang berseru di dalam hutan di depan sana: “Nona Kwe, kudaku
itu kurang cepat, kau harus memecutnya lekas.” Kwe Yang menjadi tambah heran
“Kcnapa ia malah sudah berada di depan?”
Segera ia keprak kuda pula, maka terlihatlah
Kim-Iun Hoat-ong lagi berjalan dengan “Ienggang-kangkung”
seenaknya di depan, ia pecut kudanya agar
berlari lebih kencang, tapi jaraknya selalu belasan tombak di belakang Hoat-ong,
Di tanah datar utara Siangyang itu debu selalu bertebaran oleh larinya kuda,
tapi Hoat ong yang berjalan di depan itu seakan2 kaki tak menempel tanah, debu
sedikitpun tidak mengepul.
Diam-diam Kwe Yang sangat kagum, pikirnya:
“Jika dia tidak memiliki ilmu silat setinggi ini memangnya juga tidak sesuai
menjadi sobat kental ayah.” Dan dari kagum itu ia menjadi hormat, maka serunya
lantas: “Hai Toahwesio, kau adalah orang tua, lebih baik kau yang menunggang
kuda saja.”
“Buat apa kita mesti banyak buang tempo di
tengah jalan, tidakkah lebih cepat bertemu dengan Toakoko-mu akan lebih baik?”
sahut Hoat-ong menoleh sambil tertawa.
Tatkala itu kuda tunggangan Kwe Yang sudah
mulai payah, larinya tidak secepat mula-mula lagi maka jaraknya dengan Hoat-ong
semakin jauh.
Pada saat itulah,
tiba-tiba dari arah utara ada suara derapan kuda puIa, dua penunggang kuda
secepat terbang sedang mendatangi
“Marilah kita tahan kuda-2 mereka ini, dengan
menukar kuda ini tentu kau bisa berlari lebih cepat,” demikian kata Hoat ong.
Tak lama kemudian, kedua penunggang kuda itu
sudahdatang dekat.
“Marilah turun dulu!” bentak Hoat-ong
mendadak sambil kedua tangannya terpentang mengadang di tengah jalan. Kedua
kuda itu terkejut hingga meringkik sambil berdiri menegak, Tapi penunggangnya
ternyata sangat mahir, tubuhnya masih tetap menempel di atas pelana tak sampai terjatuh.
“Siapa kau? Apa cari mampus?” bentak serang
di antaranya dengan gusar. Berbareng itu, pecutnya diayun terus menyabet.
“Hai, Tua-thau kui, Tian-jing-kui, kawan
sendiri semua, jangan berkelahi!” seru Kwe Yang cepat.
Ternyata kedua orang itu memang benar adalah
si setan berkepala besar dan setan berjenggot panjang dari Se-san it-khut kui,
Tapi saat itu tangan kiri Hoat-ong sudah
meraih pecut Toa thau-kau yang menyabet tadi terus ditarik kuat-kuat. Tak terduga,
meski Toa-thau-kui orangnya ceboI, namun bertenaga raksasa pembawaan, pula
pecut itu adalah bikinan kulit sampi yang sangat ulet, tenaga tarikan Hoat-ong
yang beratus kati itu ternyata tidak membikin pecut itu menjadi putus, juga
tidak terlepas dari tangan Toa thau-kui.
“Bagus!” seru Hoat-ong, Diam-diam ia tambahi
tenaga, Dan karena saling betot itulah, segera terdengar suara “peletak” yang
keras, yang kalah adalah kuda tunggangan Toa thau-kui yang patah tulang
punggungnya terus terkulai ke tanah.
Toa thau-kui menjadi murka, sekali melompat
turun, segera hendak menubruk maju dan melabrak Hoat-ong.
“Nanti dulu,” teriak Tiang jiu-kui tiba-tiba,
Lalu tanyanya pada Kwe Yang: “Jisiocia, kenapa kau berada bersama dengan Kim-lun
Hoat-ong?”
Dahulu Kim lun Hoat ong bersama Yo Ko pernah dating
ke Coat-ceng-kok, itu lembah tempat bersemayamnya Kongsun Ci, maka Tiang
jiu-kui Hoan Jt-ong kenal padanya, “Ah, kau telah salah kenali orang ia bernama
Cumulangmah, sobat baik ayah,” sahut Kwe-Yang tertawa.
“Padahal Kim-lun Hoat-ong itu adalah musuh
bebuyutan ayah, ucapanmu ini kan “kepala sampi tidak cocok dengan mulut kuda-”
(maksudnya salah wesel)?”
“Di mana kau ketemu dengan Hwesio ini?” tanya
Tiang jiu Iau.
“Baru saja kami bertemu,” sahut Kwe Yang
“Hwesio besar ini bilang ayah sudah meninggal, coba, lucu bukan? Dan sekarang
ia hendak membawa aku pergi mencari Toakoko.”
“Jisiocia, lekas kembali, Hwesio ini bukan
orang baik-baik, ia mendustai kau,” seru Toa-thau-kui.
Tapi Kwe Yang masih ragu-ragu, ia mendustai
aku?” tanyanya.
“Ya,” sahut Toa-thau-kui. “Siu tiau hiap
berada di selatan sana, kenapa ia membawa kau ke utara?”
Kim lun Hoat-ong hanya tersenyum saja
walaupun kedoknya terbongkar katanya tiba-tiba. “Dua orang cebol ini suka
mengacau-belo.” - Habis itu sedikit tubuhnya bergerak, cepat sekali mendekati
kedua “setan” itu terus menghantam batok kepala mereka dengan kedua tangan.
Belasan tahun ini Hoat ong telah giat
berlatih “Liong jio-pan yok-kang” (ilmu sakti tenaga naga dan gajah), semacam ilmu
kebatinan tenaga gaib, “Liong jio pan yok-kang” ini seluruhnya bertingkat tiga
belas, konon selama ini tiada pernah satu orangpun yang sanggup melatih diri
hingga lebih dari tingkat sepuluh.
Namun Kim-lun Hoat-ong adalah orang berbakat
luar biasa, dengan telaten dan giat akhirnya ia dapat menembus ke atas tingkat
sepuluh dan kini sudah mencapai tingkatan kesebelas.
Dahulu ia dikalahkan Yo Ko bersama
Siao-liaong-Ii, hal mana dirasakannya sebagai suatu noda besar dalam hidupnya, kini
ilmu kepandaiannya sudah maju berlipat ganda, pada kesempatan raja Mongol
memimpin pasukan sendiri ke selatan, sekalian iapun ikut serta dengan tujuan
hendak balas dendam mematikan Yo Ko dan Siao-liong-li berdua dengan ilmu
pukulannya yang maha sakti ini.
Kembali tadi, ketika kedua tangan lawan
memukul, cepat Toa-thau-kui menangkis, tapi segera terdengar suara “krak”, seketika
tangannya patah, menyusul batok kepalanyapun pecah, tanpa menjengek sedikitpun
terus binasa.
Kepandaian Tiang-jiu-kui lebih ulet, ia tahu
pukulan musuh sangat lihay, maka dengan sekuat-nya ia angkat kedua tangannya
buat menahan, maka terasalah suatu kekuatan yang maha besar menindih tubuh,
seketika pandangannya menjadi gelap, orangnyapun terus roboh.
Terkejut sekali Kwe Yang, “Hai, kedua orang
ini adalah kawanku, berani kau mencelakai mcreka?” bentaknya gusar.
DaIam pada itu, meski roboh dan muntah darah,
mendadak Tiang-jiu-kui melompat bangun terus merangkul kedua kaki Hoat-ong
erat-erat sambil ber-seru: “lekas lari nona Kwe, Iekas!”
Segera Hoat-ong mencengkeram punggung Tiang
jiu kui dan hendak mengangkatnya untuk dibanting, tapi mati-matian Tiang-jiu
kui ingin melindungi Kwe Yang, kedua tangannya bagai gelang besi saja memegang
erat-erat kedua kaki orang, sekalipun tenaga Hoat-ong sangat besar, untuk
sesaat juga sukar menariknya lepas.
Terkejut dan gusar sekali Kwe Yang, usianya
kecil, tapi pembawaannya berbudi luhur, kini ia pun sudah tahu Hoat ong tidak
bermaksud baik padanya. tapi ia toh tidak mau lari meninggalkan Tiang jiu-kui.
Segera ia bertolak pinggang, dengan suara
keras bentaknya: “Hai, Hwesio jahat, kenapa kau begini keji? Lekas lepaskan
Tiang-jiu-kui, biar nona ikut kau pergi.”
“Lekas lari, nona, jangan…” demikian seru
Tiang jiu-kui tapi belum lagi habis ucapannya jiwanya ternyata sudah melayang.
Mayat Tiang-jiu kui kemudian diangkat
Hoat-ong dan dibuang ke tepi jalan, lalu katanya dengan menyeringai bengis “Nah,
kalau mau lari, kenapa tidak lekas naik kuda?”
Selama hidup Kwe Yang tak pernah benci pada
siapapun, meski diketahuinya Loh Yu-ka dibunuh Hotu, tapi ia tidak menyaksikan
sendiri, ia hanya berduka dan tidak dendam, tapi kini melihat Hoat-ong begini
kejam, tanpa terasa ia menjadi benci padanya, maka dengan melotot ia pandang
orang tanpa gentar sedikitpun
“Nona cilik, kau tidak takut padaku?” tanya Hoat- ong.
“Takut apa?” sahut Kwe Yang sengit “Mau
bunuh, lekas kau bunuh aku.”
Namun Hoat-ong lantas unjuk jempolnya dan
memuji: “Hebat, memang hebat, ayah ksatria tidak nanti melahirkan puteri
pengecut.”
Dengan benci Kwe Yang memandang Hoat ong
sekejap lagi, pikirnya hendak mengubur jenazah kedua kawannya, tapi tak ada
alat penggali disitu, sesudah berpikir, ia angkat mayat Tiang jiu kui dan Toa
thau-kui ke atas kuda, tali pelana dibalik untuk mengikat mayat itu, lalu ia
depak pantat kuda dan
berkata: “Kuda, kuda, lekas antar majikanmu
pulang.”
Karena sakit didepak, kuda itu lantas berlari
pergi ke arah mendatang tadi.
****
Bercerita tentang Ui Yoksu dan Yo Ko,
keduanya bergandengan tangan dengan cepat menuju ke selatan, maka sekejap saja
beberapa puluh li sudah mereka tcmpuh, mendekati lohor, sampailah mereka di
kota Swansia.
Mereka masuk kesuatu restoran besar, pesan
daharan dan saling menceritakan pengalaman masing-masing selama ini.
Ketika Oey Yok-su menyinggung diri Thia Eng
dan Liok Bu biang berdua, selama belasan tahun ini mereka hidup menyepi dikediaman
leluhur, yaitu Leng oh, daerah Siangciu, hanya Sah-koh, itu cucu murid
Ui,Yok-su yang gendeng, tinggal bersama dengan mereka.
Mendengar itu, Yo Ko menghela napas panjang.
Setelah minum beberapa cawan arak, kemudian
Yo Ko bertanya: “Oey tocu, selama belasan tahun ini Wanpwe selalu mencari
engkau orang tua, sebab ingin sekali menanya sesuatu padamu, barulah hari ini
harapanku terkabul.
Watakku makin tua makin aneh, entah adik
hendak Tanya apa padaku?” sahut Oey
Yok su tertawa.
Selagi Yo Ko hendak buka suara pula,
tiba-tiba terdengar suara tangga berdetak, ada orang naik ke atas loteng
restoran itu, seluruhnya tiga orang.
Ketika mendengar suara tindakan orang, segera
Oey Yok Su dan Yo Ko menduga orang-orang yang datang ini berilmu silat sangat
tinggi, Kemudian setelah melihat orangnya, segera Yo Ko kenal satu di antaranya
ialah Siau siang cui, orang kedua bermuka hitam, ia tak kenal, sedang orang
ketiga ialah
In Kik-si, itu saudagar bangsa Persi yang
berkepandaian lihay.
Dalam pada itu Siau-siang-cu dan In Kik-si
juga sudah melihat Yo Ko, mereka menjadi ter-kesiap dan berhenti, keduanya
saling mengedip mata, lalu hendak turun kembali ke bawah.
“Eeeh, sobat lama bertemu lagi, kenapa
buru-buru lantas hendak pergi?” sengaja Yo Ko menegur dengan tertawa ejek.
“Baik-baikkah Yo-tayhiap selama ini?” segera
In Kik si menyapa dan soja…
Sebaliknya Siau siang cu masih dendam karena
dulu di Cong lam-san lengannya dipatahkan Yo Ko, selama belasan tahun ini
kepandaiannya juga sudah banyak maju, namun ia tahu masih bukan tandingan Yo
Ko. maka tak ia gubris teguran Yo Ko, juga tidak menoleh,.lalu hendak melangkah
turun.
Orang bermuka hitam yang datang bersama
mereka itu juga seorang jago terkemuka di bawah Kubilai, selamanya sangat
tinggi hati, bersama In Kik-si dan Siau-siang cu mereka keluar mencari berita,
siapapun tidak terpandang sebelah mata oleh-nya.
Kini melihat kedua kawannya begitu jeri pada
Yo Ko, ia melirik hina ke arah Yo Ko, lalu berteriak: “Nanti dulu, Siau-heng,
kalau ada orang jahat berani merintangi kesenangan kita, biar Siaute
mengusirnya pergi.” Hubis berkata, sebelah tangannya yang terpentang lebar
segera mencengkeram ke pundak Yo Ko dengan maksud mencekalnya untuk dilemparkan
ke jalan umum.
Melihat telapak tangan orang lapat-2 bersemu
hitam biru, Yo Ko tahu orang tentu berlatih “Tok-joa-cio” atau ilmu pukulan
pasir beracun, tiba-tiba pikirannya tergerak, “Ya, kenapa aku tidak gunakan
tenaga orang ini untuk tanya Oey-Iocianpwe tentang Lam-hay Sinni?” demikian
pikirnya.
Tatkala itu tangan orang bermuka hitam itu
sudah hamper menyentuh pundaknya, mendadak Yo Ko baliki tangannya menyampuk,
“plak-plak” tahu-tahu orang itu malah kena ditempeleng dua kali olehnya.
Terperanjat Oey Yok-su menyaksikan itu.
“Cepat benar pukulannya ini!” diam-diam ia memuji.
Dan melulu sekali serangan ini saja sudah
terlihatlah ilmu silat ciptaan Yo Ko sendiri telah menjadi suatu aliran terkemuka.
Sementara terdengar lagi suara “plak plak”
dua kali, kedua pipi Siau-siang-cu telah dipersen tamparan pula. Hanya In
Kik-si yang bebas dari tempelengan itu, karena Yo Ko melihat orang tadi berlaku
sopan.
“Yo-laute, ilmu pukulan ciptaanmu ini sungguh
hebat sekali, lohu (aku yang tua) ingin sekali melihat
keseluruhannya, entah dapat tidak?” kata Ul
Yok-su dengan tertawa.
“Justru ingin kuminta petunjuk Locianpwe,”
sahut Yo Ko.
Segera tubuhnya bergerak cepat, ia mainkan
ilmu pukulan “lm-jiau siau-hun-cio hoat” yang hebat itu.
Maka tertampaklah lengan bajunya me-lambai2
telapak tangannya naik turun, tiba- tipu serangan “Bu tiong-seng yu”, lain saat
gerakan “Ki jin yu-Thian”, ia mengurung S’au-siang-cu, In Kik-si dua praog
bermuka hitam itu di tengah-tengah angin pukulannya.
Ketiga orang itu serasa terombang ambing di
tengah-tengah gelombang badai, ter huyung2 dan sempoyongan terbawa oleh angin
pukulan Yo Ko, jangankan melawan sedang untuk berdiri tegak saja susah.
“Sungguh hebat,” puji Oey Yok su. “Hari ini
lohu dapat menyaksikan ilmu pukulan Iaute ini sambil minum arak, sungguh
hidupku ini tidak kecewa.”
“Locianpwe sukalah memberi petunjuk
“sejurus!” teriak Yo Ko mendadak, Ketika telapak tangan-nya mendorong, tahu-tahu
Siau-siang cu “dikirim” ke hadapan Oey Yok-su, Tak berani ayal Oey Yok-cu,
cepat telapak tangan kirinya menyurung juga ke depan, tubuh Siau-siang cu
dikembalikan ke sana, Tapi segera tertampak lelaki muka hitam itu menubruk
datang lagi, cepat Oey Yok su angkat cawannya menenggak arak sambil ayun tangan
mendorongnya pergi puIa.
Melihat gerak pukulan orang memang sangat
kuat dan hebat, tapi juga tidak terlalu luar biasa. dalam hati Yo Ko berpikir
“Agaknya kalau aku tidak menggunakan seluruh tenaga takkan dapat memancing ilmu
pukulan yang dia pelajari dan Lam-hay Sin-ni.”
Maka ia pusatkan napasnya dan himpun tenaga pukulannya
secara cepat Siau siang-cu, In Kik-si dan lelaki muka hitam itu silih berganti
didorongnya ke depan Oey Yok su.
Terpakia Oey Yok-su mengembalikan lagi, tapi
terasa daya tekanan serudukan ketiga orang itu semakin berat dan susul menyusul
bagai datangnya gelombang ombak, satu lebih kuat dan lebih tinggi dan yang
lain.
“Tenaga pukulan bocah ini makin lama makin
kuat, sungguh bakat yang susah dicari dalam dunia persilatan!” demikian
diam-diam Oey Yok-su membatin.
Dan pada saat itu juga, orang bermuka hitam
itu kembali melayang datang, bahkan kedua kakinya terus menjejak kemukanya.
Cepat Oey Yok-su menyampuknya pergi pula namun tanpa terasa sedikit tergoncang
itulah arak dalam cawannya terciprat keluar beberapa tetes, menyusul mana In Kik-si
dan Siau-siang-cu juga telah menubruk datang lagi, yang satu dari depan dan
yang lain dari samping.
“Bagus!” seru Oey Yok- su, ia letakkan cawan
araknya, dengan kedua tangannya ia dorong ke depan. Begitulah, kedua orang - Yo
Ko dan Oey Yok-su - lantas saling oper-mengoper dari jarak beberapa tombak
bagai orang main bola basket, Siau siang cu bertiga bagai bola saja
terombang-ambing di antara tenaga pukulan kedua orang itu se akan2 terbang kian
kemari di udara.
Namun baru “lm jian siau hunjio” Yo Ko itu
dimainkan sampai tengah jalan, Loh-eng-cio-hoat” Oey Yok-su sudah tampak di
bawah angin. Waktu itu secepat panah tubuh In Kik-si menubruk kearahnya, Yok-su
menaksir tenaganya tak cukup untuk melawan tenaga dorongan Yo Ko sekali ini, segera
ia gunakan jarinya untuk menyentik, “crit”, terdengar suara lirih tajam, suatu
kekuatan halus tapi kuat terus meluncur ke depan dan seketika tenaga pukulan Yo
Ko itu terpatahkan.
Be runtun2 Oey Yok-su menyelentik tiga kali,
maka tiga kali gedebukan, tubuh Siau-sing-cu: It Kik-si dan lelaki muka hitam itu
terbanting semua di atas papan loteng dan semaput.
Kalau “Loh cng cio hoat” sedikit kalah kuat
daripada tenaga Yo Ko, tapi tenaga sakti jarinya “Tan-ci sin-thong” ternyata
sama kuatnya, siapapun tiada yang lebih unggul.
Maka bergelak ketawalah kedua orang itu,
mereka kembali ke tempat duduk masing-masing, menuang arak dan pasang omong
pula.
“llmu pukulan adik ini, kalau soal tenaga,
hanya “Hang liong-sip pat ciang” menantuku Kwe Ceng yang dapat menandingi,
sedangkan Loh-eng-cio Lohu masih kalah setingkat demikian kata Oey Yok-su
kemudian.
Berulang-ulang Yo Ko menyatakan terima kasih
dengan rendah hati. Lalu tanyanya: “Konon kabarnya Lociaopwe pernah mendapat
petunjuk Lam-hay Sin-ni dan dapat mempelajari sejurus Cio-hoat (ilmu pukulan),
entah dapatkah Wanpwe melihatnya untuk menambah pengalaman?”
“Ltm-hay Sin-ni? siapakah dia? selamanya
belum pernah aku mendengar namanya,” sahut Oey Yok-su heran.
Seketika berubah air muka Yo Ko, ia berdiri,
dengan suara gemetar ia menegas: “Apakah di dunia ini hakikatnya tiada seorang
Lam-hay Sin-ni”
Melihat perubahan wajah orang yang aneh itu,
Oey Yok-su rada terkejut juga, maka jawabnya dengan ragu-ragu: “Apakah mungkin
seorang kosen yang belum lama ini baru terkenal. Lohu suka hidup menyendiri,
maka belum kenal akan namanya.”
Terpaku Yo Ko berdiri, begitu cemas
perasaannya, serasa hatinya akan melompat keluar dari rongga dadanya, katanya dalam
hati: “Dengan jelas Kwe-pekbo menyatakan bahwa Liongji telah ditolong pergi
oleh Lam hay Sin-ni, siapa tahu semua itu bohong belaka dan sengaja mendustai
aku!”
Berpikir sampai di sini, tiba-tiba ia
berteriak sambit menengadah, suaranya menggetar sukma, air mata pun meleleh.
“Ada kesulitan apakah Laute, dapatkah kau
jelaskan, boleh jadi Lohu dapat membantu sebisa-nya,” tanya Yoksu.
Tapi Yo Ko lantas memberi hormat sambil
berkata dengan suara parau: “Perasaan Wanpwe kacau luar biasa hingga tindak
tanduk kurang wajar harap dimaafkan.”
Habis itu, lengan bajunya mengebas ia putar
tubuh terus turun ke bawah, terdengarlah tuara “krak-krak” beberapa kali, beberapa
undak tangga telah hancur kena diinjaknya.
Oey Yok-su menjadi bingung, ia menggumam
sendiri: “Lam-hay Sin-ni, Lam-hay Sin-ni? siapakah gerangannya?”
Sementara itu Yo Ko telah berlari pergi seperti
kerasukan setan, ia lari dan lari terus, dalam beberapa hari tanpa makan tanpa
tidur, ia pikir hanya mati letih barulah takkan ingat Siao liong li, sebenarnya
kelak masih dapat bertemu tidak, saat itu sama sekali tak berani
dibayangkannya.
Tidak berapa lama, tibalah ia di tepi sungai
besar, Yo Ko tak tahan lagi oleh hancurnya perasaan itu, ketika dilihatnya ada
sebuah perahu menepi segera ia melompat naik, ia berikan sepotong perak pada si
tukang perahu dan tanpa menanya kemana perahu itu bakal berlayar, segera ia
rebah di situ terus tidur.
Air sungai mengalir dengan derasnya, perahu
layar yang ditumpangi Yo Ko itu terus laju, setiap kota dagang pasti kapal itu
berlabuh beberapa hari buat bongkar-muat barang, agaknya itu adalah sebuah
kapal barang yang hilir-mudik di sungai Tiang-kang itu.
Hati Yo Ko saat itu seakan-akan kosong blong,
ke manapun serupa baginya, maka iapun tidak perduIi kapal itu akan berlayar
atau berlabuh, ia lewatkan hari-hari itu dengan minum arak, di malam hari ia
suka bersiul panjang dan termenung-menung tanpa kenal waktu.
Si tukang perahu dan saudagar yang mencarter”
kapal itu tampak akan uang Yo Ko yang bayar tanpa tawar itu, mereka menyangka
dia adalah pengelana sinting, maka siapapun tiada yang mengurusnya.
Suatu hari, tibalah kapal itu di Kang-im,
seorang saudagar sekapal telah mohon diri pada Yo Ko dan bilang akan pergi ke
Ka-hin dan Lim-an untuk membeli sutera.
Mendengar kata-kata Ka hin”, mendadak Yo Ko
terkejut dan berpikir “Dahulu ayahku tewas secara mengenaskan oleh Oey Yong di
kelenteng Ong-uat jiang dalam kota Ka-hin, entah di manakah kuburannya? Aku tak
bisa mengubur jenazah ayat secara baik-baik benar-benar aku seorang anak tak
berbakti.”
Berpikir akan itu, segera ia tinggalkan
perahu itu dan mendarat terus menuju ke Ka-hin. Tatkala itu sudah masuk musim
dingin, meski di daerah Kanglam tidak sedingin daerah utara, tapi di mana-mana
juga salju bertebaran, Yo Ko memakai mantel ijuk dan bertopikan caping,
menujulah dia ke Ka hin.
Sampai di kota itu, cuaca sudah gelap, ia mencari
suatu rumah makan serta tanya jalan ke kelenteng Ong tiat jiang, di bawah hujan
salju yang lebat ia pergi kesana.
Ketika sampai di kelenteng itu, waktu sudah
dekat tengah malam, salju masih terus turun, gelap gulita keadaannya, Tapi Yo
Ko sanggup melihat dimalam gelap, ia lihat Tiat jiang-bio atau “keIenteng
tombak besi” itu sudah bobrok, pintu sudah lapuk, sedikit didorong lantas
roboh.
Yo Ko masuk ke dalam, di-mana-mana terlihat
penuh debu dan galagusi-bersinggasana, suatu tanda tiada penghuninya, ia
berdiri ter mangu2 di tengah ruangan kelenteng, terbayang olehnya ketika
ayahnya tewas di situ dahulu hingga sejak lahirnya tiada pernah melihat muka ayahnya
sendiri, sungguh nasib malang itu jarang terdapat di dunia-ini, ia menjadi
berduka hingga makin menambah pilu hatinya.
Ia periksa sekitar kelenteng itu, ia pikir
sudah lebih 30 tahun ayahnya meninggal dengan sendirinya tiada meninggalkan
sesuatu tanda apa-apa. ia pergi ke belakang kelenteng, ia lihat di bawah apitan
dua pohon ada dua kuburan, di depan kuburan2 itu masing-masing berdiri sebuah batu
nisan yang penuh tertutup oleh salju.
Ketika Yo Ko kebas lengan bajunya hingga
salju berhamburan oleh angin kebasannya itu, maka tertampaklah pada batu nisan
sebelah kiri tertulis “Kuburan Bok-si dari keluarga Nyo”.
Diam-diam Yo Ko pikir siapakah gerangan
wanita Se Bok ini? Waktu batu nisan
sebelah lain dipandangnya, seketika tak tahan lagi rasa gusarnya.
Kiranya batu nisan itu tertulis: “Kuburan
mu-id durhaka Nyo Khong”, dan dipinggirnya tertulis ebaris huruf kecil yang berbunyi
“Guru tak beriImu Khu Ju-ki”
Pikir Yo Ko dengan gusar: “lmam tua ini
benar-benar tak berbudi, ayahku sudah meninggal kenapa harus mendirikan batu
nisan untuk mencela kelakuannya? Dalam hal mana ayahku durhaka? Hm kalau aku
tidak pergi ke Coan cin kau dan mengobrak abriknya, rasanya hatiku tidak puas”
Habis itu, tangannya diangkat terus hendak
menghantam batu nisan itu.
Tapi selagi tangan hendak digablokkan,
tiba-tiba terdengar dari arah barat sana berkumandang datang suara tindakan kaki
yang cepat, suaranya begitu aneh, seperti beberapa tokoh dunia persilatan yang
hebat, tapi juga mirip jalannya dua ekor binatang, sewaktu kaki menginjak
tanah, sebelah kiri antap dan sebelah kanan enteng sungguh aneh luar biasa.
Yo Ko mendengar suara itu justru menuju ke
kelenteng ini, maka cepat ia masuk kembali keruangan tengah kelenteng dan
sembunyi di belakang patung malaikat yang sudah doyong, hendak dilihatnya
mahluk aneh apakah yang dating itu?
Sebentar saja suara tindakan kaki itu sudah
sampai di depan kelenteng, tapi lantas berhenti tak bergerak lagi, agaknya
seperti kuatir kalau di dalam kelenteng sudah ada sembunyi musuh, selang
sejenak, barulah masuk.
Ketika Yo Ko mengintip keluar, hampir saja ia
tertawa geli.
Kiranya yang masuk kelenteng ini seluruhnya
empat orang, kaki kiri keempat orang ini sudah putus semua, masing orang
memakai sebatang tongkat dan di pundak kiri masing-masing dirangkai seutas
rantai besi yang saling terkunci, sebab itulah waktu berjalan, empat tongkat
menutul tanah berbareng, lalu empat kaki keempat orang juga melangkah maju
bersama.
Orang yang paling depan berkepala gundul
pelontos, tangan kiri sudah buntung, kaki kiri putus separoh, sudah cacat
bertambah cacat, Orang kedua jidatnya jendul, terdapat tiga uci2 yang besar. Orang
ketiga bertubuh kecil pendek dan orang keempat adalah Hwesio berbadan tegap.
Yo Ko terheran-heran, macan orang-orang
apakah dan kenapa saling dirantai tanpa terpisahkan?
Lalu terdengarlah suara gemerantang yang
nyaring, si gundul tadi mengeluarkan geretan api dan menyalakan sepotong sisa
lilin.
Maka jelaslah sekarang Yo Ko melihatnya
ternyata kecuali orang pertama yang gundul ini, tiga orang lainnya berlubang mata,
tapi tiada biji matanya.
Karena itu barulah ia mengerti persoalannya,
kiranya ketiga orang buta itu menggunakan si gundul ini sebagai penunjuk jalan
mereka.
Kemudian si gundul mengangkat lilin dan
memeriksa sekitar kelenteng, maka keempat orang itu menjadi seperti berbaris
beriring-iringan, jarak mereka masing-masing tidak lebih tiga kaki. Namun Yo Ko
yang sembunyi di belakang patung tak diketahui mereka.
Sesudah memeriksa, keempat orang itu masuk
lagi ke ruangan dalam, lalu si gundul itu berkata : “Kwa lolhau tidak membocorkan
jejak kita, jika ia mengundang bala bantuan, tentu sudah disembunyikannya di
sini dahulu.”
“Ya, benar, ia sudah berjanji sekatapun
takkan dibocorkan pada orang lain, orang semacam dia ini selamanya berpambekan
tinggi, dalam hal “kepercayaan” sangatlah di beratkan, “demikian ujar orang
ketiga.
Tapi orang yang ber-uci2 itu lantas berkata:
“Soa toako, kau kira si tua she Kwa itu akan datang atau tidak?”
“ltulah sukar kukatakan, kurasa ia takkan
datang, masakah dia begitu bodoh sengaja mengantarkan kematian?” ujar orang
pertama tadi.
“Tapi Kwa-lolhau ini adalah orang yang pertama
dari Kanglam chit-koay, dahulu mereka bertaruh dengan imam keparat Khu Ju-ki
dan jauh-jauh tanpa kenal lelah pergi ke Mongol memberi pelajaran silat kepada
Kwe Ceng, hal ini ketika tersiar di Kangouw, semuanya memuji akan janji emas Kanglam
chit-koay, sekali berkata, pasti pegang janji. Kita justeru mengingat hal ini
barulah melepaskan dia pergi.”
Jelas terdengar perjakapan mereka itu oleh Yo
Ko, diam-diam ia pikir: “Eh, kiranya mereka sedang menantikan Kwa-kongkong di
sini?”
Dalam pada itu orang kedua yang jendul
ber-kata: “Tapi aku bilang dia pasti takkan datang, Peng-toako, beranikah kau bertaruh,
coba lihat…”
Tapi belum habis ucapannya, tiba-tiba
terdengar suara tindakan orang datang dari arah timur, juga langkah yang sebelah
antap dan sebelah lagi enteng, ada orang datang lagi menggunakan tongkat, cuma
sekarang seorang diri saja.
Sejak kecil Yo Ko sudah lama tinggal bersama
Kwa Tin ok di Tho-hoa-to, maka begitu dengar segera ia tahu orang tua itulah
yang datang.
Terdengarlah si orang ketiga yang kecil kurus
tadi bergelak-tawa, katanya: “Nah, Kau laute, Kwa-lothau benar-benar telah
datang, masih berani kau bertaruh tidak?”
“Keparat, benar-benar tak takut mati dia,
sungguh aneh,” orang kedua tadi mengomel.
Lalu terdengar suara ketokan nyaring beberapa
kali, suara ketokan tongkat besi, Hui thian pian hok Kwa Tin-ok tampak masuk ke
dalam kelenteng, terus berdiri tegak di tengah ruangan.
“Kwa Tin ok telah datang menurut janji,
inilah Kim hoa-giok loh wan buatan Tho hoa-to, seluruhnya berjumlah 12 butir,
setiap orang makan tiga butir,” demikian katanya.
Berbareng tangannya mengayun, sebuah botol
kecil lantas ditimpukkan ke arah sikakek gundul tadi.
“Terima kasih!” sahut si gundul girang, ia
sambuti botol kecil yang dilemparkan kepadanya itu.
“Urusan pribadi Lohu sudah selesai, sekarang
sengaja datang buat terima kematian,” tiba-tiba Kwa Tin-ok berkata, ia tegak
leher berdiri di tengah ruangan, jenggotnya yang sudah putih ter-gerak2,
sikapnya sewajarnya saja.
“Soa-toako, karena dia sudah memberikan Kiu
-hoa-giok-loh-wan pada kita hingga luka dalam kita bakal sembuh, tua bangka
inipun tiada permusuhan apa-apa dengan kita, biarlah kita ampuni dia saja,”
kata siorang kedua yang kepala barjendul itu.
“Ha, Kau-laute.” jengek si orang ketiga,
“kata peribahasa “piara harimau cari penyakit”, hatimu yang lemah ini mungkin kita
berempat nanti harus jadi korban semua, Kini meski ia belum membocorkan rahasia
kita, tapi siapa berani menjamin ia akan tutup mulut selamanya?”
Habis itu mendadak ia membcntak: “HayoIah,
turun tangan!”
Dan keempat orangpun melompat bangun cepat
dan berdiri diempat sudut, dengan tepat Kwa-Tin-ok terkurung di-tengah-tengah.
“Kwa-Iothau,” kata si kakek gundul dengan
suara serak, “lebih 30 tahun yang lalu kita telah menyaksikan bersama kematian Nyo
Khong di sini, sungguh tidak nyani har iini kaupun menyusulnya, ini namanya
sudah suratan nasib.”
Tapi mendadak Kwa Tin-ok ketok keras-keras
tongkatnya kelantai, dengan gusar katanya, “Yo Kong itu terima mengaku musuh
sebagai ayah, jual tanah air untuk kenikmatan sendiri, ia seorang rendah yang
tak tahu malu, sedang aku Kwa Tin-ok adalah laki-laki sejati yang dapat mempertanggung
jawabkan segala tindak-tandukku kepada negara maupun bangsa, mengapa kau
bandingkan aku Hui-
nian-pian-hok dengan manusia rendah itu?”
“Hm, kematianmu sudah di depan mata, masih
berlagak pahlawan gagah?” jengek si pendek, orang ketiga tadi.
Habis itu, mereka sama-sama menghantamkan
setelah tangan ke atas kepala Kwa Tin-ok.
Merasa dirinya bukan tandingan keempat lawan
ini, Tin-ok berdiri tegak dengan tongkatnya tanpa menangkis.
Maka terdengarlah suara menyambarnya angin
yang keras, menyusul suara “blung” dibarengi berhamburnya debu pasir, keempat
orang itu merasa tmpat yang terkena pukulan mereka itu rasanya tidak betul,
bukannya mengenai tubuh manusia.
Segera si kakek gundul itu dapat melihat
jelas dalam lingkaran yang mereka kepung itu Kwa Tinok sudah menghilang, tempat
dimana orang berdiri tadi sudah tertukar patung bobrok dari kelenteng itu.
Dan karena pukulan keempat orang itu kena
kepala patung, maka seketika hancur menjadi bubuk.
Keempat orang itu tiga diantaranya adalah
buta, tapi si kakek gundul itu bermata tajam, namun hanya sekejap saja tahu-tahu
Kwa Tinok bisa berubah menjadi patung, hal ini sunggun bikin terkejut tidak kepalang,
empat orang itu sekaligus membalik ke beIakang.
Maka terlihatnya seorang laki-laki berumur
30-an berlengan tunggal sudah berdiri disitu dengan wajah gusar, Kwa Tin-ok
tercengkeram tengkuknya dan terangkat tinggi.
“Berdasar apa kau berani mencaci-maki
ayah-ku?” demikian lelaki buntung itu membentak Tin-ok.
“Siapakah saudara?” tanya
Tin-ok tak gentar.
“Aku puteranya Nyo Khong, Yo Ko ada-nya,”
sahut Nyo Ko. “Ketika tinggal di Tho-hoa-to dulu, tidaklah jelek kau terhadapku
tapi kenapa dibelakang kau memaki dan memfitnah mendiang ayahku?”
“Hm,” jengek Tin-ok dingin, “sejak
dahulu-kala, manusia yang mati meninggalkan nama, tapi ada juga orang yang turunkan
nama busuk, baik atau busuk semuanya perbuatan manusia, mana bisa menyumbat
mulut orang agar tidak menyebutkannya?”
Melihat orang sedikitpun tidak gentar, Yo Ko
tambah gusar, ia angkat tubuh Tin-ok dan dibanting kelantai sambil membentak:
“Cobalah katakan, kenapa ayahku rendah dan kotor?”
Melihat begini hebat dan tangkasnya Yo Ko, si
kakek gundul tadi diam-diam menarik tiga kawannya terus hendak mengeluyur
pergi, Namun sedikit Yo Ko melesat tahu-tahu sudah mengadang diambang pintu,
“Hmm kalau tidak bicara yang jelas, siapapun tidak akan hidup keluar dari
kelenteng ini,” demikian bentaknya.
Mendadak keempat orang itu menggertak
sekaligus dan memukul ke depan.
“Bagus!” sambut Yo Ko, iapun dorong sebelah tangannya.
Belum lagi tangan beradu tangan, tahu-tahu
keempat orang itu sudah merasa suatu tenaga pukulan yang maha besar menindih ke
arah mereka.
Tanpa ampin lagi mereka terjengkang
kebelakang dan menerbitkan suara gedubrakan yang keras, tubuh keempat orang
menindih di atau patung tadi hingga patung itu remuk ber-keping2.
Di antara empat orang itu, siorang kedua yang
punya tiga uci2 di batok kepala itu berkepandaian paling lemah, justru kepalanya
tepat menumbuk dada patung itu, keruan seketika ia semaput
“Kalian berempat ini siapa? Kenapa terantai
menjadi satu begini dan kenapa bisa berjanji untuk bertemu dengan Kwa Tin-ok di
sini?” tanya Yo Ko.
Kiranya kakek, gundul ini adalah Soa
Thong-thian, orang kedua yang ber-uci2 itu adalah Sute-nya, Kau Hay-thong, yang
pendek kecil adalah Peng Lian-hou dan Hwesio yang tinggi besar itu adalah
Lian-ti Siang jin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar