Minggu, 06 Januari 2013

Sin Tiauw Hiap Lu 107




Kembalinya Pendekar Rajawali 107



“Melihat suara menyambernya senjata rahasia tadi, Oey Yong menduga kecuali kepandaian “tan-ci sin-thong” atau ilmu jari maha sakti yang dari ayahnya, Oey Yok su, rasanya tiada orang lain lagi yang memiliki kepandaian setinggi itu. Cuma kedua tiang bendera jaraknya masing-masing belasan tombak, kenapa dari kedua tiang bendera itu berbareng ditumpukkan senjata rahasia? Masakah ada dua orang.
Tapi saking girangnya iapun tidak banyak pikir lagi, segera ia berseru memanggil: “Apakah ayah yang datang, bukan?”
Terdengarlah dari lalang tiang bendera sebelah kiri ada suara seorang tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata “Kawan cilik Yo Ko, marilah kita turun berbareng!”
“Baik,” sahut seorang dari talang sebelah kanan. Menyusul itu, dari dalam talang tiang bendera masing-masing melompat turun satu orang.
Di bawah sinar bintang dan bulan yang guram, baju kedua orang itu me-lambai2 ketika melompat turun, seorang berjubah hijau berambut putih, yang lain berbaju biru berlengan tunggal, nyatalah mereka memang Oey Yok-su dan Yo Ko.
Kedua orang itu melompat turun ke arah panggung, Oey Yok-su menarik tangan kiri Yo Ko selagi masih terapung di udara, kemudian keduanya turun berbareng di atas panggung, Betapa mengagumkan cara melayang turunnya kedua orang itu. Bila semua orang tidak mendengar suaranya dahulu, boleh jadi akan menyangka mereka adalah malaikat yang turun dari khayangan.
Lekas Kwe Ceng dan Oey Yong melompat ke atas panggung memberi hormat pada Oey Yok-su.
Begitu pula Yo Ko lantas menyembah dihadapan Kwe Cing dan Oey Yong suami-isteri sambil menyapa.
“Tit-ji (keponakan) Yo Ko memberi hormat kepada Kwe pepek dan Kwe-pekbo.”
Cepat Kwe Ceng membangunkannya dan katanya dengan tertawa: “Ko ji, ketiga macam hadiah-mu ini sungguh… sungguh…” tapi saking terharunya, pula memang tidak pandai bicara muluk-muluk, maka “sungguh” apa, tak bisa dikatakannya
Sebaliknya Kwe Hu yang dengki, kuatir kalau dirinya disuruh mengaturkan terima kasih atas pertolongan Yo Ko tadi, lekas-lekas mendekati Oey Yok-su sambil memanggil Engkong.
Yo Ko tersenyum, ia kenal watak orang, ia melompat kehadapan Kwe Yang dan sapanya dengan tertawa. “Adik cilik, aku datang terlambat.”
Berdebar2 hati Kwe Yang saat itu, wajahnya jengah. jawabnya dengan suara lirih: “Ah, kau telah bawakan tiga nucam hadiah besar ini, sungguh… sungguh bikin capek kau saja.”
“”Hanya sekedar meramaikan hari ulang tahun adik cilik saja, tiada yang perlu dipuji,” sahut Yo Ko tertawa.
Habis itu, ketika ia memberi tanda, segera terdengar Toa thau-kui berteriak “Bawa semua ke sini!” - Segera pula dipintu masuk lapangan sana ada orang meluruskan perintah itu: “Bawa semua ke mari-dan begitu pula seterusnya suara itu dilanjutkan hingga jauh.
Selang tak lama dari Iuar lapangan itu membanjir serombongan orang, ada yang membawa leng-long dan obor, ada yang memikul dan menjinjing tenggok, terus tersebar disekitar lapangan dan mematok cagak mendirikan panggung, sementara orang yang datang semakin banyak tak terputus-putus, namun secara beraturan, tiada seorangpun bicara, hanya bekerja keras.
Semua orang sudah saksikan ketiga hadiah besar yang dibawa Yo Ko tadi, maka siapapun merasa kagum padanya mereka pikir orang-orang yang di bawanya kemari ini tentu ada gunanya.
Tak lama kemudian, di sebelah barat daya lapangan itu satu panggung sudah berdiri, gembreng berbunyi dan genderang ditabuh, nyata itula sebuah panggung wayang po te-hi” yang melakonkan “Pat sian-cok- siu” atau delapan dewa memberi selamat ulang tahun.
Menyusul mana satu panggung yang disudut lain mempertunjukan opera yang melakonkan cerita Kwe Cu-gi berulang tahun, dewa- dewi datang memberi selamat padanya, Dalam sekejap saja di-ujung lainpun ada wayang orang yang memulai pertunjukan hingga seketika suasana meriah sekali.
Sungguh hebat usaha Yo Ko ini, sekalipun keluarga bangsawan yang paling mampu juga tidak selengkap dan seramai sekarang ini.
Betapa girang Kwe Yang atas kebaikan Yo Ko, saking terharu matanya mengembeng air mata dan tak sanggup bersuara, .
Kwe Hu jadi ingat apa yang dikatakan adiknya tempo hari bahwa ada seorang ksatria besar akan datang member selamat ulang tahun padanya, kini ternyata betul-betul terjadi, ia gusar dan mendongkol dalam keadaan serba kikuk ia pura-pura menarik tangan Oey Yok-su menanyakan ini dan itu, terhadap keramaian disekitarnya ia berlagak tidak tahu.
“Ayah, apakah sebelumnya kau telah berjanji dengan Ko-ji akan sembunyi didalam talang tiang bendera itu?” tanya Oey  Yong kemudian pada ayahnya.
“Bukan, bukan,” sahut Oey Yok-su tertawa, “Satu hari, ketika aku pesiar di Tong-teng-oh di malam bulan purnama, tiba-tiba aku mendengar suara orang berseru mencari Yan-po Tio-so (si kakek tukang mancing), katanya ada seorang bernama Sin tiau hiap mengundangnya ke Siangyang,
Kepandaian Yan-po Tio-so itu tidaklah rendah, cuma tabiatnya sangat aneh, Maka aku menjadi kuatir kalau diam-diam mereka akan melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan puteri dan menantuku sayang, diam-diam aku lantas dating kemari. Siapa tahu kalau Sin-tiau-hiap ini ternyata adalah kawan cilik Yo Ko, bila tahu, tak perlu lagi aku ikut-ikut capekan diri.”
Dari lagu perkataan orang, Oey Yong tahu sang ayah meski mengembara ke mana-mana, tapi dalam hati senantiasa masih merindukannya. maka dengan tertawa ia berkata: “Tia (ayah), sekali ini janganlah kau pergi lagi, marilah kita hidup berkumpul saja dengan bahagia.”
Namun Oey Yok-su tidak menjawabnya, tiba-tiba Kwe Yang dipanggil kedekatnya, “Marilah, nak, biar Gwakong melihat kau,” demikian katanya.
Memangnya Kwe Yang selama ini belum kenal sang Gwakong atau kakek luar (ayah ibu), maka lekas-lekas ia mendekatinya dan memberi hormat.
Segera Oey Yok su memegangi tangan anak dara itu dan mengamat-amati raut mukanya, tiba-tiba dengan muram ia berkata: “Sungguh persis, sungguh persis!”
Oey Yong tahu ayahnya menjadi terkenang pada mendiang ibunya, maksudnya muka Kwe Yang, sangat mirip dengan nenek sewaktu mudanya, Karena kuatir bikin ayahnya bertambah berduka, maka ia tidak buka suara.
“Sudah tentu persis” sela Kwe Hu tiba-tiba dengan tertawa, “Engkau berjuIuk “Lo-tong sia” dan dia dipanggil orang “Siau-tong sia”
“Hu ji,” cepat Kwe Ceng membentak, “Dihadapan Gwakong berani tak beraturan?”
Sebaliknya Oey Yok-su menjadi girang, ia tanya Kwe Yang: “Apa benar kau berjuluk “Siau tong-sia”, Yang-ji?”
Kwe Yang menjadi jengah jawabnya.”Mula-mula Cici yung “Mana bisa?” ujar Kwe Yang menggeleng kepala. “Jika ia mau bunuh aku untuk membalas dendam, hal itu mudah sekali seperti membaliki tangan sendiri saja, ketika di daerah Soasay, asal sekali jarinya menutuk saja segera aku bisa dibinasakannya.”
“Kau masih kanak, tidak paham,” kata Oey Yong, “Jika ia sengaja bikin kau menderita dan membuat kita selalu berduka dan masgul, sudah tentu ia mempunyai caranya yang lebih keji daripada membunuh orang, Ai, biarlah, jangan dibicarakan lagi, saat ini akupun sudah tahu tak nanti hal itu diperbuatnya.
Cuma dalam hatiku masih tetap kuatirkan sesuatu hingga merasa tak enak.”
“Kau kuatirkan apa, mak?” tanya si gadis, “Tampaknya kejadian-kejadian dahulu yang harus disesalkan itu, Yo-toako sudah tidak mengingatnya lagi dalam hati, tidak lama iapun akan bersua kembali dengan Toaso ( kakak ipar ), tatkala itu saking senangnya segala kejadian dahulu pasti akan
lenyap dalam ingatannya.”
“Tapi yang kukuatirkan justru kalau dia takkan bisa bersua lagi dengan Siao liong li,” kata Oey Yong gegetun.
Kwe Yang melengak oleh kata-kata itu, “Apa? Mana bisa?
Toakoko sendiri berkata padaku bahwa karena lukanya, Liong-cici telah ditolong pergi Lam hay Sin-ni dan berjanji 16 tahun kemudian akan berjumpa pula. Betapapun cinta kasih suami isteri mereka, sudah sekian lamanya saling tunggu masakah takkan bersua kembali?”
Namun Oey Yong mengkerut kening sambil bersuara tak acuh.
“Kata Toakoko,” sambung Kwe Yang pula. “Liong-cici telah mengukir tulisan ditebing gunung yang berbunyi: “l6 tahun kemudian bertemu lagi di sini, cinta kasih suami isteri, harap jangan salah janji, Apakah mungkin ukiran tulisan itu palsu belaka?”
“Tulisan itu memang tulen, sedikitpun i:dak palsu,” sahut Oey Yong “Cuma yang kukuatirkan justeru karena cinta Siao-liong li terhadap Yo Ko terlalu mendalam, hingga sebab itu Yo Ko takkan bisa melihat dia lagi untuk selamanya.”
Kwe Yang menjadi bingung, dengan tercengang ia pandang sang ibu penuh tanda tanya.
“16 tahun yang lalu,” demikian tutur Oey Yong, “Nyo toakomu suami- isteri terluka parah semua, Nyo-loako masih ada obat yang bisa menyembuhkannya, tapi racun jarum yang mengenai Siao liong -li sudah meresap tulang, menyaksikan isteri tercintanya itu sukar disembuhkan lagi, Nyo-toakomu itupun tidak ingin hidup sendirian, maka sekalipun ia diberi obat dewa juga ia takmau meminumnya.” - berkata sampai di sini suaranya berubah halus, katanya puIa:
“Ai, masih banyak hal lain, karena usiamu masih kccil, sementara ini kau takkan paham.”
Kwe Yang ter mangu2 oleh cerita itu, selang se-jenak barulah ia menjungat dan berkata: “Mak, jika kujadi Liong-cici, kuakan pura-pura sudah sehat dan minta dia minum obat untuk menyembuhkan lukanya.”
Sungguh Oey Yong tak menyangka puterinya yang masih kecil itu bisa berpikir demikian untuk orang lain, maka sesaat itu ia tertegun, “Ya, benar, makanya aku kuatirkan Siao-liong li tatkala itu juga berpikir seperti pendapatmu ini dan sengaja meninggalkan Yo Ko,” kata Oey Yong kemudian, “la mengukir tulisan di tebing batu dan berjanji akan bertemu pula 16 tahun lagi, waktu itu aku lantas menduga menghilangnya Siaoliong-li secara mendadak boleh jadi demi kepentingan Nyo toakomu
agar bertahan hidup selama 16 tahun untuk menantikannya Ai. rupanya ia menyangka setelah lewat 16 tahun yang Iama itu, cinta Nyo-toakomu padanya tentunya akan mendingin, dengan begitu, sekalipun dalam hati masih berduka, tapi pasti akan sayang juga pada badan sendiri dan takkan membunuh diri lagi.”
“Jika begitu, bagaimanakah tentang cerita Lam-hay Sinni itu?” tanya Kwe Yang.
“Lam hay,Sinni itu justeru adalah karanganku. Maka hakikatnya tidak pernah ada seorang tokoh seperti itu,” sahut Oey Yong,
“Ha, tidak ada tokoh Lam hay Sinni?” Kwe Yang menegas terkejut.
“Ya, sebab waktu itu aku melihat keadaan Yo Ko yang sedih dan merana, hatiku tak tega, lantas aku mengarang nama Lam hay Sinni untuk menghiburnya agar suka menanti selama 16 tahun ini,” sahut Oey Yong. “Aku katakan padanya bahwa Lam-hay Sinni tinggal di pulau Tati, padahal dijagad ini hakikatnya tidak pernah ada pulau itu. Akupun bilang Lam hay Sinni pernah mengajarkan sejurus ilmu pukulan pada Gwakongmu, dengan begitu supaya dia bertambah percaya.
Sebab si Yo Ko ini sangat cerdik, kalau aku tidak bicara seakan-akan benar dan hidup, tak nanti ia mau percaya. Dan kalau ia tak percaya, maksud baik Siao liong li itupun akan sia-sia.”
“Apakah ibu maksudkan Liong cici sudah meninggal dan janji 16 tahun bertemu lagi hanya untuk membohonginya saja?” tanya Kwe Yang.
“Tidak, tidak, boleh jadi Siao-liong-li masih hidup, sampai hari yang dijanjikan nanti bila betul-betul ia datang berkumpul kembali dengan Yo Ko, maka kita harus berterima kasih pada yang maha kuasa,” sahut Oey Yong cepat. “Dia adalah ahliwaris Ko-bong-pay satu-satunya, cakal bakal Ko bong pay, Lim Tiau eng, lelah menurunkan ilmu kepandaian yang maha hebat padanya, rasanya Siao liong li takkan meninggal secara begitu saja.”
“Ya, memangnya akupun berpikir, Liong cici adalah orang yang begitu baik, Nyo toako juga sedemikian cinta padanya, pasti ia takkan mati selagi muda,” demikian kata Kwe Yang dengan hati rada lega.
“Dan bila sampai hari yang dijanjikan itu Nyo-toako tak bisa menjumpainya kembali, bukankah pukulan ini akan membuatnya menjadi gila?”
“Makanya kedatangan Gwakong-mu sekarang sebenarnya akan kuminta agar suka membantu membulatkan bualanku tentang Lam hay Sinni itu,” kata Oey Yong.
Kwe Yang menjadi kuatir “Ya, saat ini tentu Nyo toako berada bersama dengan Gwakong dan ia akan tanya tentang Lam hay Sin-ni, Tapi Gwa-kong tak tahu duduknya perkara tentu akan bilang tak kenal, dengan begitu lantas terbongkarlah rahasia itu, lantas bagaimana baiknya?”
“Jika benar-benar Siao liong li dapat bersua kembali dengan dia, itulah yang kita harapkan dan segalanya akan menjadi beres,” kata Oey Yong “Tapi bila sampai saatnya ia tidak melihat Siao-liong-li, turuti wataknya yang tak terkendali itu, entah keonaran apa yang akan diperbuatnya, Tentu ia akan dendam karena aku membohonginya dan bikin susah dia menunggu selama 16 tahun ini!”
“Mak, hal itu tak perlu kau kuatirkan,” ujar Kwe Yang, “Kau membohongi dia demi kebaikannya. Kau bermaksud menolong jiwanya.”
“Hubungan kekeluargaan selama tiga keturunan tidaklah perlu dibicarakan, melulu diri Ko-ji saja, beberapa kali ia telah menolong jiwa ayahmu, ibumu dan encimu, hari ini ia berjasa pula begitu besar untuk kota Siangyang, seandainya kita ada sedikit budi padanya juga tidak cukup untuk membalasnya,” kata Oey Yong.
“Ai, hidup Ko-ji selama ini menderita sebatangkara, umurnya svdah lebih 30, tapi saat bahagia yang pernah ia kenyam rasanya juga tiada beberapa hari saja.”
Kwe Yang menjadi muram, ia menunduk, dalam hati ia pikir: “Kalau Toakoko tak bisa berjumpa kembali dengan Liong cici, mungkin ia bisa gila benar?”
“Nyo-toakomu itu adalah seorang perasa dan beradab, cuma sejak kecil sudah banyak mengalami pukulan hidup, maka wataknya menjadi rada aneh, tindak tanduknya selalu diiuar dugaan orang,” ujar Oey Yong.
“Ya, dia dan Gwakong dan aku, semuanya golongan aneh.” kata Kwe Yang tertawa tawar.
“Benar, ia adalah orang baik, hanya bersifat rada latah,” kata Oey Yong sungguh-sungguh “Makanya, bila tak beruntung Siao liong-li sudah meninggal, selanjutnya sekali-sekali jangan kau bertemu dia lagi.”
Terkejut sekali anak dara itu, sama sekali tak diduganya ibunya bisa berkata begitu. “Sebab apa? Kenapa tak boleh bertemu dengan Nyo toako lagi?” tanyanya cepat.
Oey Yong menggenggam tangan puterinya itu dan berkata pula: “Jika akhirnya ia bisa bertemu kembali dengan Siao liong li, biar kau ikut mengembara ke ujung langit sekalipun aku takkan keberatan. Tapi kalau Siao liong-li tak bersua lagi dengan dia, Yang ji, kau belum kenal sifat Nyo toakomu, bila ia sudah gila, segala apa dapat diperbuatnya”
“Mak,” tanya Kwe Yang gemetar, “jika Liong cici tak dapat dijumpainya lagi, tentu ia akan sangat berduka, kita harus menghiburnya baik-baik.”
“la takkan mendengar hiburan orang,” kata Oey Yong menggeleng kepala.
“Mak.” tanya Kwe Yang lagi setelah merandek sejenak, “Sesudah menunggu 16 tahun dengan sia-sia, dalam berdukanya nanti apakah ia akan membunuh diri?”
Oey Yong merenung sejenak, kemudian baru ja-wabnya: “Pikiran orang lain dapat aku menerkanya, tapi Nyo-toakomu itu sejak kecil aku tak dapat meraba pikiran apa yang terkandung dalam otaknya, justeru sebab itulah maka aku melarang kau bertemu lagi dengannya, kecuali kalau ia dating bersama Siao liong li, itulah lain perkara.”
Kwe Yang termenung dan tak menanya lebih jauh. “Yang-ji,” kata Oey Yong pula, “ibu hanya berpikir untuk kebaikanmu, jika kau tak turut nasihat ibu, kelak pasti akan menyesal”
Habis itu, ia lantas ceritakan kejadian dulu, dimana puteri angkat Nyo Thi-sim yang bernama Bok Liam cu, dalam suatu pertandingan sayembara Bok Lam cu dikalahkan Nyo Khong, meski Nyo Khong banyak melakukan kejahatan tapi cinta Bok Liam cu padanya tetap kekal hingga kemudian Bok Liam-cu gugur menyusul kekasihnya di kelenteng Ong-tiat-jiang.
“Bok Liam-cu sesungguhnya wanita baik yang sukar dicari, tapi karena salah menyerahkan cintanya hingga berakhir secara mengenaskan demikian” kata Oey Yong.
“Mak.” kata Kwe Yang tiba-tiba. “ia menyukai Nyo-sioksiok, betapapun Nyo-sioksiok berbuat salah pun, ia akan suka padanya sampah akhir jaman.”
Oey Yong terkesima memandangi muka sang puteri yang mungil itu, dalam hati ia pikir: “Usia sekecil ini, darimanakah bisa paham begini banyak?”
Dilihatnya anak dara itu sudah letih dan arip, segera ia tarik selimut dan menyuruhnya tidur sambil dinina-bobokkannya. Memangnya semalam suntuk Kwe Yang tidak tidur, maka sebentar saja ia sudah pulas, Oey Yong lantas kembali kekamar sendiri.
Sore harinya, kedua saudara Bu yang ditugaskan ke Lam-yang itu telah mengirim berita bahwa gudang rangsum musuh memang benar telah terbakar habis, malahan api masih belum terpadam, pasukan MongoI telah mundur ke utara sejauh ratusan li dan berkemah di sana.
Mendengar kabar itu, seluruh penduduk kota Siangyang menjadi girang, nama “Sin tiau-tayhiap” yang sengaja membumbu2i dengan pujian setinggi langit: Malamnya lagi Kwe Ceng suami isteri diundang oleh Lu Bun hwan untuk merundingkan soal pertahanan kota hingga sampai jauh malam baru pulang.
Besok paginya, seperti biasa Yalu Ce, Kwe Hu dan Kwe Boh-lo datang memberi selamat pada orang tua, tapi sampai lama Kwe Yang tak kelihatan muncul.
Oey Yong menjadi kuatir, segera pelayan di –suruhnya melihat ke kamar puteri kedua itu apakah lantaran sakit, Tapi tak lama pelayan itu dan dayang pribadi Kwe Yang sudah kembali melapor, katanya: “Semalam Jisiocia tidak kembali ke kamar”
Keruan Oey Yong terkejut “Kenapa semalam tidak lantas melapor?” tanyanya segera.
“Semalam Hujin pulang larut malam, hamba tak berani mengganggu pula kuatir sebentar Jisiocia akan kembali kamar, tak tahunya menunggu sampai sekarang masih belum kelihatan,” tutur pelayan pribadi Kwe Yang itu.
Sesudah merenung sebentar segera Oey Yong memeriksa kamar anak dara itu, ia lihat baju se-hari-2, senjata dan uang semuanya tiada yang dibawa anak dara itu Tengah ia heran, tiba-tiba dilihatnya di bawah bantal puterinya itu menongol ujung secarik kertas.
Segera Oey Yong menduga jelek, diam-diam ia mengeluh, cepat kertas itu disambernya dan dibaca, ternyata surat itu tertulis:

Ayah dan ibu tercinta, Anak pergi mencegah Yo-toako agar jangan sekali-sekali berpikiran pendek, Bila sudah dapat mencegahnya, segera anak akan pulang.
Hormat puterimu,
Yang

Sesaat Oey Yong mematung tak bersuara, dalam hati ia pikir: “Anak dara ini benar-benar ke-kanak-anakan. Macam apakah orangnya Yo Ko itu, kecuali Siao-liong-Ii, siapa lagi yang bisa bikin dia menurut? ia bukanlah Yo Ko jika begitu gnnpang mau mendengar kata-kata orang Iain.
Niat Oey Yong hendak mencari puteri kecil itu, tapi mengingat situasi sangat genting, setiap saat pasukan MongoI bisa dikerahkan menyerang Siangyang mana boleh karena urusan anak-anak harus menjelajah Kangouw lagi? Maka sesudah berunding dengan Kwe Ceng, segera ia tulis empat pucuk surat dan suruh empat anak murid Kay-pang yang dapat dipercaya pergi mencari Kwe Yang agar anak dara itu bisa lekas pulang.
Kiranya hari itu sesudah Kwe Yang mendengar cerita sang ibu, ia lantas tertidur. Tapi mimpi buruk datang terus menerus sebentar dilihatnya Yo Ko menabas buntung lengannya yang tinggal satu itu, lain saat terbayang Yo Ko terjun ke jurang yang beribu tombak dalamnya hingga hancur lebur.
Karena impian buruk itu, Kwe Yang terjaga bangun dengan keringat dingin, ia terduduk dipinggir ranjang dan termenung-menung “Toakoko telah beri tiga jarum emas padaku dan sanggup menerima tiga permohonanku yang pasti akan dilakukan untukku.
Kini jarum emas tinggal sebuah saja padaku, justru dapat kugunakan untuk mohon dia jangan cari jalan ” pendek (bunuh diri), ia adalah seorang pendekar, seorang jantan, apa yang dikatakan tentu di pegang janjinya, biar sekarang juga aku pergi mencarinya.”
Lantas ia tinggalkan sepucuk surat singkat pada orang tuanya, lalu pergilah ia keluar kota.
Tapi Yo Ko bersama Oey Yok-su tatkala itu entah sampai dimana, sesungguhnya sukar untuk dicari. Setelah 30 40 li Kwe Yang menempuh perjalanan tanpa tujuan, ia mulai merasa lapar, ia pikir harus tangsal perut dulu pada suatu rumah makan. Tapi di luar kota Siangyang penduduknya yang takut datangnya pasukan musuh sudah lama mengungsi, jangankan rumah makan, bahkan rumah penduduk satupun tiada isinya.

Selamanya Kwe Yang belum pernah keluar rumah sendirian, sama sekali tak terduga olehnya orang melawat jauh sesungguhnya sulit seorang diri ia duduk termenung2 diatas batu ditepi jalan sambil bertopang dagu.
Ia berduduk sebentar, ia pikir tiada rumah makan, cari sedikit buah2an untuk sekedar tangsal perut juga lumayan, Tapi ketika memandang sekelilingnya, beberapa li sekelilingnya hanya tanah tandus tanpa suatu pohon, apalagi buah2an.
Selagi ia rada bingung, tiba-tiba terdengar derapan kuda ber-detak2, seorang penunggung kuda berlari cepat duri timur ke barat, ketika sudah dekat terlihatlah penunggangnya adalah seorang Hwesio tua yang berperawakan tinggi kekar, memadai jubah kuning, kasa bersemampir dipundaknya,
diatas kepalanya memakai sebuah kopiah bundar yang bercahaya emas mengkilat.
Kuda itu lari dengan cepat sekali, sekejap saja sudah lewat, tapi tiba-tiba paderi itu putar kuda kembali dan mendekati Kwe Yang dengan rasa heran.
“Nona cilik, siapakah kau?” demikian tanyanya “Kenapa seorang diri kau berada di sini?”
Melihat sorot mata orang tajam bagai kilat, hati Kwe Yang rada terkesiap, segera ia teringat pada It-teng Taysu yang pernah dilihatnya di tambak Hek-liong-tam, diam-diam ia pikir: “lt-teng Taysu itu sangat welas nsiii, tentu paderi beralis putih inipun orang baik.”
Maka jawabnya: “Aku bernama Kwe Yang, baru dating dari Siangyang, hendak cari seseorang.”
“Kau hendak mencari siapa?” tanya paderi tua itu.
Kwe Yang tersenyum sambil miringkan kepalanya dan katanya: “Hwesio tua suka campur urusan orang lain, aku tak mau beritahukan padamu.”
“Cobalah kau terangkan siapakah orang yang hendak kau cari, boleh jadi di tengah jalan tadi aku melihatnya bukankah bisa kuberi petunjuk padamu,” ujar paderi tua.
Betul juga pikir Kwe Yang, maka jawabnya: “Orang yang kucari itu sangat mudah dikcnali, ialah seorang laki-laki muda tanpa lengan kanan. ia mungkin berada bersama dengan seekor rajawali raksasa, boleh jadi berada sendirian puIa.”
Kiranya paderi tua ini bukan lain ialah Kim-lun Hoat-ong.
Mendengar orang yang dimaksud kan Kwe Yang itu ternyata Yo Ko adanya, ia terkejut, tapi pada lahirnya ia tenang-tenang saja dan pura-bergirang.
“He, orang yang hendak kau cari itu she Nyo bernama Ko, bukan?” katanya cepat. Kwe Yang menjadi girang: “Ya, kau kenal dia?”
“Tentu saja aku kenal, kami adalah sobat lama,” demikian kata Kim-lun Hoat-ong dengan tertawa: “Scwaktu kami berkenalan, boleh jadi kau masih belum lahir.”
Muka Kwe Yang yang cantik sedikit merah, tapi tanyanya pula: “Toahwesio, siapakah nama gelaranmu?”
“Aku bernama Cumulangmah,” sahut Kim lun Hoat ong.
“Apa Cumi? Mamah? Ah, begitu panjang, susah diucapkan.” kata Kwe Yang dengan tertawa.
“Cu mu Iang- mah” Hoat-ong mcnegas sekata demi sekata,
“O, Cumulangmah, Apakah kau tahu dimana Toakokoku berada?” tanya si anak dara lagi.
Kiranya Kim-lun Hoat-ong sengaja bilang namanya Cumulangmah, nama puncak tertinggi dipegunungan Himalaya, yaitu terkenal juga dengan nama Mount Everest, dengan nama samaran ini Hoat-ong seakan-akan anggap ilmu silatnya di seluruh jagat tiada bandingannya.
Maka jawabnya: “Kau punya Toakoko? Siapa dia?”
“lalah Yo Ko,” sahut Kwe Yang,
“Ha, kau panggil Yo Ko sebagai Toakoko, katanya kau she Kwe?” tanya Hoat ong.
Kwe Yang rada jengah, namun jawabnya: “Ya, kami adalah pamili turun temurun, waktu kecil ia pun tinggal di rumahku.”
Tergerak hati Hoat-ong, segera ia tanya, “Aku mempunyai seorang kenalan baik, ia berilmu silat sangat tinggi, namanya terkenal di seluruh jagat, juga she Kwe, namanya Cing, Entah nona kenal padanya tidak?”
Terkejut Kwe Yang, dalam hati ia membatin : “Aku telah minggat dari rumah, kalau dia adalah sobat ayah, mungkin sekali aku akan diseret pulang, lebih baik tak kukatakan saji.”
- Maka jawabnya kemudian: “Apakah kau maksudkan Kwe Ciog, Kwe-tayhiap? ia adalah angkatan tua dari keluarga Kwe kami. Apakah Touhwesio hendak berkunjung padanya?”
Kim lun Hoat-ong adalah seorang yang sangat pintar dan ccrdik, pula sudah kenyang asam garam, sikap Kwe Yang yang aneh ini segera dapat dilihatnya.
Maka katanya pula dengan menghela napas: “Aku dan Kwe tayhiap menang sobat kental dan sudah lebih 20 tahun tak berjumpa, tempo hari di laerah utara aku mendengar berita buruk, katanya Kwe-tayhiap telah meninggal, aku menjadi sedih, maka cepat datang kemari, Ai, seorang pahlawan besar tidak diberkahi umur panjang, sungguh Thian tidak adil.”
Berkata sampai di sini air matanya benar bercucuran membasahi jubahnya.
Kiranya Lwekang Kim-Iun Hoat-ong sudah terlatih amat tinggi, seluruh otot daging tubuhnya dan pernapasan dapat diatur sesuka hatinya, untuk menghentikan denyutan jantung sementara saja tidak sukar, apalagi hanya mencucurkan air mata bikinan.
MeIihat orang menangis sungguhan, walaupun Kwe Yang tahu jelas ayahnya tidak pernah mati, namun soalnya mengenai ayah dan anak mau-tak-mau hatinya ikut pilu juga, maka cepat katanya: “Toahwesio, kau tak perlu berduka, Kwe tayhiap tidak pernah meninggal.”
“Ah, jangan ngaco, ia benar-benar sudah meninggal anak perempuan mana tahu akan urutan orang tua?” sahut Hoat-ong sambil menggeleng kepala.
“Aku baru saja keluar dari Siangyang, masakah aku tak tahu, malahan baru kemarin aku melihat muka Kwe-tayhiap,” kata Kwe Yang.
Tanpa ragu-ragu lagi sekarang Hoat-ong, saking girangnya ia menengadah dan bergeIak-tawa. “Ah, kiranya kau adalah puteri Kwe tayhiap,” katanya kemudian, Namun mendadak ia geleng-geleng kepala Iagi: “Salah, salah! puteri Kwe tayhiap itu kukenal, namanya Kwe Hu, umurnya sekarang sedikitnya sudah lebih 3O puluh tahun.”
Tak tahan akan pancingan kata-kata orang, segera Kwe Yang menegaskan “lalah cnciku, ia bernama Kwe Hu dan aku bernama Kwe Yang.”
Girang luar biasa hati Hoat-ong, ia membatin. “Hari ini benar-benar Thian memberkahiku, rejeki ini telah menubruk sendiri padaku.” - Maka segera ia-pun berkata: “Jika begitu, jadi Kwe-tayhiap memang benar tidak meninggal.”
Melihat orang benar-benar bergirang, Kwe Yang menyangka paderi ini berhati bajik dan senang karena mendengar ayahnya masih segar-bugar, ia menegaskan lebih jauh: “Aku bilang tidak meninggal tentu tidak meninggal dia adalah ayahku, masakah aku mendustai kau?”
“Batk, baik, baik! Aku percaya, nona Kwe, malahan akupun tak perlu pergi ke Siangyang lagi, Sudilah kau sampaikan pada ayahmu bahwa kawan lama Cumulangtnah mengirim salam pada nya,” kata Hoat ong.
ia tahu pasti sebentar Kwe Yang akan tanya tentang urusan Yo Ko, maka ia sengaja memberi hormat, lalu menarik kudanya terus hendak pergi, Betul saja segera terdengar Kwe Yang berteriak: “Hai, hai! Toahwesio, kenapa kau tak tahu aturan?”
“Tidak tahu aturan?” Hoat-ong menegas pula tak mengerti.
“Bukankah aku sudah beritahukan keadaan ayahku, tapi kau belum juga ceritakan keadaan Yo Ko, sebenarnya dimanakah dia?” tanya Kwe Yang.
“Ah, benar, aku menjadi lupa!” ujar Hoat-ong. “Kemarin dulu baru saja aku ber-omong2 sama dengan dia di lembah pegunungan sebelah utara Sinyang, ia sedang berlatih pedang di sana, saat ini mungkin nusih belum pergi, bolehlah kau mencarinya ke sana.”
Kwe Yang mengkerut kening oleh penjelasan itu. “Lembah gunung begini banyak, cara bagaimana aku bisa menemukannya? Terangkanlah lebih jelas,” pintanya.
Hoat ong pura-pura berpikir, lalu katanya: “Baiklah, sebab aku juga akan ke utara, biarlah kubawa kau ke sana.”
Keruan Kwe Yang berjirang, “Ah, sungguh terima kasih,” katanya,
Lalu Hoat-ong menuntun kudanya ke hadapan anak dara itu dan katanya: “Silakan nona cilik menunggang, paderi tua berjalan kaki.”
“Ah, mana boleh jadi.” sahut Kwe Yang.
“Tidak apa,” kata Hoat-ong tertawa. “Empat kaki kuda ini belum tentu lebih cepat daripada kedua kaki paderi tua.”
Selagi Kwe Yang hendak cemplak keatas kuda, tiba-tiba ia berseru: “Ai, sialan! Toahwesio, aku merasa lapar, kau memhawa makanan tidak?”
Dari buntalannya Hoat-ong mengeluarkan sebungkus rangsum kering, walaupun Kwe Yang tidak biasa dengan makanan begitu, apa lagi panganan kaum paderi, namun sudah lapar, terpaksa dimakannya sebagian sekedar menangsal perutnya, lalu ia keprak kuda berangkat diikuti Hoat ong yang berjalan di sampingnya.
Tiba-tiba anak dara itu ingat pada kata-kata orang tadi bahwa “Empat kaki kuda ini belum tentu lebih cepat daripada kedua kaki paderi tua.” Maka mendadak ia pecut kudanya sambil berseru: “Toa-hwesio, kutunggu kau di depan sana.” -
Habis itu, secepat terbang ia larikan kudanya. Kuda itu sangat bagus dan tangkas, sekali ber-lari, Kwe
Yang merasa tetumbuhan di tepi jalan sekejap saja sudah jauh tertinggal di belakang. sebentar saja belasan li sudah ditempuhnya, ketika, ia menoleh dan berkata dengan tertawa: “Toahwesio, dapatkah kau menyusul aku?”
Namun ia menjadi heran dan terkejut, ternyata Kim lun Hoat-ong tak kelihatan bayangannya, sebaliknya mendadak ia lantas mendengar suara seorang berseru di dalam hutan di depan sana: “Nona Kwe, kudaku itu kurang cepat, kau harus memecutnya lekas.” Kwe Yang menjadi tambah heran “Kcnapa ia malah sudah berada di depan?”
Segera ia keprak kuda pula, maka terlihatlah Kim-Iun Hoat-ong lagi berjalan dengan “Ienggang-kangkung”
seenaknya di depan, ia pecut kudanya agar berlari lebih kencang, tapi jaraknya selalu belasan tombak di belakang Hoat-ong, Di tanah datar utara Siangyang itu debu selalu bertebaran oleh larinya kuda, tapi Hoat ong yang berjalan di depan itu seakan2 kaki tak menempel tanah, debu sedikitpun tidak mengepul.
Diam-diam Kwe Yang sangat kagum, pikirnya: “Jika dia tidak memiliki ilmu silat setinggi ini memangnya juga tidak sesuai menjadi sobat kental ayah.” Dan dari kagum itu ia menjadi hormat, maka serunya lantas: “Hai Toahwesio, kau adalah orang tua, lebih baik kau yang menunggang kuda saja.”
“Buat apa kita mesti banyak buang tempo di tengah jalan, tidakkah lebih cepat bertemu dengan Toakoko-mu akan lebih baik?” sahut Hoat-ong menoleh sambil tertawa.
Tatkala itu kuda tunggangan Kwe Yang sudah mulai payah, larinya tidak secepat mula-mula lagi maka jaraknya dengan Hoat-ong semakin jauh.

Pada saat itulah, tiba-tiba dari arah utara ada suara derapan kuda puIa, dua penunggang kuda secepat terbang sedang mendatangi
“Marilah kita tahan kuda-2 mereka ini, dengan menukar kuda ini tentu kau bisa berlari lebih cepat,” demikian kata Hoat ong.
Tak lama kemudian, kedua penunggang kuda itu sudahdatang dekat.
“Marilah turun dulu!” bentak Hoat-ong mendadak sambil kedua tangannya terpentang mengadang di tengah jalan. Kedua kuda itu terkejut hingga meringkik sambil berdiri menegak, Tapi penunggangnya ternyata sangat mahir, tubuhnya masih tetap menempel di atas pelana tak sampai terjatuh.
“Siapa kau? Apa cari mampus?” bentak serang di antaranya dengan gusar. Berbareng itu, pecutnya diayun terus menyabet.
“Hai, Tua-thau kui, Tian-jing-kui, kawan sendiri semua, jangan berkelahi!” seru Kwe Yang cepat.
Ternyata kedua orang itu memang benar adalah si setan berkepala besar dan setan berjenggot panjang dari Se-san it-khut kui,
Tapi saat itu tangan kiri Hoat-ong sudah meraih pecut Toa thau-kau yang menyabet tadi terus ditarik kuat-kuat. Tak terduga, meski Toa-thau-kui orangnya ceboI, namun bertenaga raksasa pembawaan, pula pecut itu adalah bikinan kulit sampi yang sangat ulet, tenaga tarikan Hoat-ong yang beratus kati itu ternyata tidak membikin pecut itu menjadi putus, juga tidak terlepas dari tangan Toa thau-kui.
“Bagus!” seru Hoat-ong, Diam-diam ia tambahi tenaga, Dan karena saling betot itulah, segera terdengar suara “peletak” yang keras, yang kalah adalah kuda tunggangan Toa thau-kui yang patah tulang punggungnya terus terkulai ke tanah.
Toa thau-kui menjadi murka, sekali melompat turun, segera hendak menubruk maju dan melabrak Hoat-ong.
“Nanti dulu,” teriak Tiang jiu-kui tiba-tiba, Lalu tanyanya pada Kwe Yang: “Jisiocia, kenapa kau berada bersama dengan Kim-lun Hoat-ong?”
Dahulu Kim lun Hoat ong bersama Yo Ko pernah dating ke Coat-ceng-kok, itu lembah tempat bersemayamnya Kongsun Ci, maka Tiang jiu-kui Hoan Jt-ong kenal padanya, “Ah, kau telah salah kenali orang ia bernama Cumulangmah, sobat baik ayah,” sahut Kwe-Yang tertawa.
“Padahal Kim-lun Hoat-ong itu adalah musuh bebuyutan ayah, ucapanmu ini kan “kepala sampi tidak cocok dengan mulut kuda-” (maksudnya salah wesel)?”
“Di mana kau ketemu dengan Hwesio ini?” tanya Tiang jiu Iau.
“Baru saja kami bertemu,” sahut Kwe Yang “Hwesio besar ini bilang ayah sudah meninggal, coba, lucu bukan? Dan sekarang ia hendak membawa aku pergi mencari Toakoko.”
“Jisiocia, lekas kembali, Hwesio ini bukan orang baik-baik, ia mendustai kau,” seru Toa-thau-kui.
Tapi Kwe Yang masih ragu-ragu, ia mendustai aku?” tanyanya.
“Ya,” sahut Toa-thau-kui. “Siu tiau hiap berada di selatan sana, kenapa ia membawa kau ke utara?”
Kim lun Hoat-ong hanya tersenyum saja walaupun kedoknya terbongkar katanya tiba-tiba. “Dua orang cebol ini suka mengacau-belo.” - Habis itu sedikit tubuhnya bergerak, cepat sekali mendekati kedua “setan” itu terus menghantam batok kepala mereka dengan kedua tangan.
Belasan tahun ini Hoat ong telah giat berlatih “Liong jio-pan yok-kang” (ilmu sakti tenaga naga dan gajah), semacam ilmu kebatinan tenaga gaib, “Liong jio pan yok-kang” ini seluruhnya bertingkat tiga belas, konon selama ini tiada pernah satu orangpun yang sanggup melatih diri hingga lebih dari tingkat sepuluh.
Namun Kim-lun Hoat-ong adalah orang berbakat luar biasa, dengan telaten dan giat akhirnya ia dapat menembus ke atas tingkat sepuluh dan kini sudah mencapai tingkatan kesebelas.
Dahulu ia dikalahkan Yo Ko bersama Siao-liaong-Ii, hal mana dirasakannya sebagai suatu noda besar dalam hidupnya, kini ilmu kepandaiannya sudah maju berlipat ganda, pada kesempatan raja Mongol memimpin pasukan sendiri ke selatan, sekalian iapun ikut serta dengan tujuan hendak balas dendam mematikan Yo Ko dan Siao-liong-li berdua dengan ilmu pukulannya yang maha sakti ini.
Kembali tadi, ketika kedua tangan lawan memukul, cepat Toa-thau-kui menangkis, tapi segera terdengar suara “krak”, seketika tangannya patah, menyusul batok kepalanyapun pecah, tanpa menjengek sedikitpun terus binasa.
Kepandaian Tiang-jiu-kui lebih ulet, ia tahu pukulan musuh sangat lihay, maka dengan sekuat-nya ia angkat kedua tangannya buat menahan, maka terasalah suatu kekuatan yang maha besar menindih tubuh, seketika pandangannya menjadi gelap, orangnyapun terus roboh.
Terkejut sekali Kwe Yang, “Hai, kedua orang ini adalah kawanku, berani kau mencelakai mcreka?” bentaknya gusar.
DaIam pada itu, meski roboh dan muntah darah, mendadak Tiang-jiu-kui melompat bangun terus merangkul kedua kaki Hoat-ong erat-erat sambil ber-seru: “lekas lari nona Kwe, Iekas!”
Segera Hoat-ong mencengkeram punggung Tiang jiu kui dan hendak mengangkatnya untuk dibanting, tapi mati-matian Tiang-jiu kui ingin melindungi Kwe Yang, kedua tangannya bagai gelang besi saja memegang erat-erat kedua kaki orang, sekalipun tenaga Hoat-ong sangat besar, untuk sesaat juga sukar menariknya lepas.
Terkejut dan gusar sekali Kwe Yang, usianya kecil, tapi pembawaannya berbudi luhur, kini ia pun sudah tahu Hoat ong tidak bermaksud baik padanya. tapi ia toh tidak mau lari meninggalkan Tiang jiu-kui.
Segera ia bertolak pinggang, dengan suara keras bentaknya: “Hai, Hwesio jahat, kenapa kau begini keji? Lekas lepaskan Tiang-jiu-kui, biar nona ikut kau pergi.”
“Lekas lari, nona, jangan…” demikian seru Tiang jiu-kui tapi belum lagi habis ucapannya jiwanya ternyata sudah melayang.
Mayat Tiang-jiu kui kemudian diangkat Hoat-ong dan dibuang ke tepi jalan, lalu katanya dengan menyeringai bengis “Nah, kalau mau lari, kenapa tidak lekas naik kuda?”
Selama hidup Kwe Yang tak pernah benci pada siapapun, meski diketahuinya Loh Yu-ka dibunuh Hotu, tapi ia tidak menyaksikan sendiri, ia hanya berduka dan tidak dendam, tapi kini melihat Hoat-ong begini kejam, tanpa terasa ia menjadi benci padanya, maka dengan melotot ia pandang orang tanpa gentar sedikitpun
“Nona cilik, kau tidak takut padaku?” tanya Hoat- ong.
“Takut apa?” sahut Kwe Yang sengit “Mau bunuh, lekas kau bunuh aku.”
Namun Hoat-ong lantas unjuk jempolnya dan memuji: “Hebat, memang hebat, ayah ksatria tidak nanti melahirkan puteri pengecut.”
Dengan benci Kwe Yang memandang Hoat ong sekejap lagi, pikirnya hendak mengubur jenazah kedua kawannya, tapi tak ada alat penggali disitu, sesudah berpikir, ia angkat mayat Tiang jiu kui dan Toa thau-kui ke atas kuda, tali pelana dibalik untuk mengikat mayat itu, lalu ia depak pantat kuda dan
berkata: “Kuda, kuda, lekas antar majikanmu pulang.”
Karena sakit didepak, kuda itu lantas berlari pergi ke arah mendatang tadi.
****
Bercerita tentang Ui Yoksu dan Yo Ko, keduanya bergandengan tangan dengan cepat menuju ke selatan, maka sekejap saja beberapa puluh li sudah mereka tcmpuh, mendekati lohor, sampailah mereka di kota Swansia.
Mereka masuk kesuatu restoran besar, pesan daharan dan saling menceritakan pengalaman masing-masing selama ini.
Ketika Oey Yok-su menyinggung diri Thia Eng dan Liok Bu biang berdua, selama belasan tahun ini mereka hidup menyepi dikediaman leluhur, yaitu Leng oh, daerah Siangciu, hanya Sah-koh, itu cucu murid Ui,Yok-su yang gendeng, tinggal bersama dengan mereka.
Mendengar itu, Yo Ko menghela napas panjang.
Setelah minum beberapa cawan arak, kemudian Yo Ko bertanya: “Oey tocu, selama belasan tahun ini Wanpwe selalu mencari engkau orang tua, sebab ingin sekali menanya sesuatu padamu, barulah hari ini harapanku terkabul.
Watakku makin tua makin aneh, entah adik hendak Tanya apa padaku?” sahut Oey Yok su tertawa.
Selagi Yo Ko hendak buka suara pula, tiba-tiba terdengar suara tangga berdetak, ada orang naik ke atas loteng restoran itu, seluruhnya tiga orang.
Ketika mendengar suara tindakan orang, segera Oey Yok Su dan Yo Ko menduga orang-orang yang datang ini berilmu silat sangat tinggi, Kemudian setelah melihat orangnya, segera Yo Ko kenal satu di antaranya ialah Siau siang cui, orang kedua bermuka hitam, ia tak kenal, sedang orang ketiga ialah
In Kik-si, itu saudagar bangsa Persi yang berkepandaian lihay.
Dalam pada itu Siau-siang-cu dan In Kik-si juga sudah melihat Yo Ko, mereka menjadi ter-kesiap dan berhenti, keduanya saling mengedip mata, lalu hendak turun kembali ke bawah.
“Eeeh, sobat lama bertemu lagi, kenapa buru-buru lantas hendak pergi?” sengaja Yo Ko menegur dengan tertawa ejek.
“Baik-baikkah Yo-tayhiap selama ini?” segera In Kik si menyapa dan soja…
Sebaliknya Siau siang cu masih dendam karena dulu di Cong lam-san lengannya dipatahkan Yo Ko, selama belasan tahun ini kepandaiannya juga sudah banyak maju, namun ia tahu masih bukan tandingan Yo Ko. maka tak ia gubris teguran Yo Ko, juga tidak menoleh,.lalu hendak melangkah
turun.
Orang bermuka hitam yang datang bersama mereka itu juga seorang jago terkemuka di bawah Kubilai, selamanya sangat tinggi hati, bersama In Kik-si dan Siau-siang cu mereka keluar mencari berita, siapapun tidak terpandang sebelah mata oleh-nya.
Kini melihat kedua kawannya begitu jeri pada Yo Ko, ia melirik hina ke arah Yo Ko, lalu berteriak: “Nanti dulu, Siau-heng, kalau ada orang jahat berani merintangi kesenangan kita, biar Siaute mengusirnya pergi.” Hubis berkata, sebelah tangannya yang terpentang lebar segera mencengkeram ke pundak Yo Ko dengan maksud mencekalnya untuk dilemparkan ke jalan umum.
Melihat telapak tangan orang lapat-2 bersemu hitam biru, Yo Ko tahu orang tentu berlatih “Tok-joa-cio” atau ilmu pukulan pasir beracun, tiba-tiba pikirannya tergerak, “Ya, kenapa aku tidak gunakan tenaga orang ini untuk tanya Oey-Iocianpwe tentang Lam-hay Sinni?” demikian pikirnya.
Tatkala itu tangan orang bermuka hitam itu sudah hamper menyentuh pundaknya, mendadak Yo Ko baliki tangannya menyampuk, “plak-plak” tahu-tahu orang itu malah kena ditempeleng dua kali olehnya.
Terperanjat Oey Yok-su menyaksikan itu. “Cepat benar pukulannya ini!” diam-diam ia memuji.
Dan melulu sekali serangan ini saja sudah terlihatlah ilmu silat ciptaan Yo Ko sendiri telah menjadi suatu aliran terkemuka.
Sementara terdengar lagi suara “plak plak” dua kali, kedua pipi Siau-siang-cu telah dipersen tamparan pula. Hanya In Kik-si yang bebas dari tempelengan itu, karena Yo Ko melihat orang tadi berlaku sopan.
“Yo-laute, ilmu pukulan ciptaanmu ini sungguh hebat sekali, lohu (aku yang tua) ingin sekali melihat
keseluruhannya, entah dapat tidak?” kata Ul Yok-su dengan tertawa.
“Justru ingin kuminta petunjuk Locianpwe,” sahut Yo Ko.
Segera tubuhnya bergerak cepat, ia mainkan ilmu pukulan “lm-jiau siau-hun-cio hoat” yang hebat itu.
Maka tertampaklah lengan bajunya me-lambai2 telapak tangannya naik turun, tiba- tipu serangan “Bu tiong-seng yu”, lain saat gerakan “Ki jin yu-Thian”, ia mengurung S’au-siang-cu, In Kik-si dua praog bermuka hitam itu di tengah-tengah angin pukulannya.
Ketiga orang itu serasa terombang ambing di tengah-tengah gelombang badai, ter huyung2 dan sempoyongan terbawa oleh angin pukulan Yo Ko, jangankan melawan sedang untuk berdiri tegak saja susah.
“Sungguh hebat,” puji Oey Yok su. “Hari ini lohu dapat menyaksikan ilmu pukulan Iaute ini sambil minum arak, sungguh hidupku ini tidak kecewa.”
“Locianpwe sukalah memberi petunjuk “sejurus!” teriak Yo Ko mendadak, Ketika telapak tangan-nya mendorong, tahu-tahu Siau-siang cu “dikirim” ke hadapan Oey Yok-su, Tak berani ayal Oey Yok-cu, cepat telapak tangan kirinya menyurung juga ke depan, tubuh Siau-siang cu dikembalikan ke sana, Tapi segera tertampak lelaki muka hitam itu menubruk datang lagi, cepat Oey Yok su angkat cawannya menenggak arak sambil ayun tangan mendorongnya pergi puIa.
Melihat gerak pukulan orang memang sangat kuat dan hebat, tapi juga tidak terlalu luar biasa. dalam hati Yo Ko berpikir “Agaknya kalau aku tidak menggunakan seluruh tenaga takkan dapat memancing ilmu pukulan yang dia pelajari dan Lam-hay Sin-ni.”
Maka ia pusatkan napasnya dan himpun tenaga pukulannya secara cepat Siau siang-cu, In Kik-si dan lelaki muka hitam itu silih berganti didorongnya ke depan Oey Yok su.
Terpakia Oey Yok-su mengembalikan lagi, tapi terasa daya tekanan serudukan ketiga orang itu semakin berat dan susul menyusul bagai datangnya gelombang ombak, satu lebih kuat dan lebih tinggi dan yang lain.
“Tenaga pukulan bocah ini makin lama makin kuat, sungguh bakat yang susah dicari dalam dunia persilatan!” demikian diam-diam Oey Yok-su membatin.
Dan pada saat itu juga, orang bermuka hitam itu kembali melayang datang, bahkan kedua kakinya terus menjejak kemukanya. Cepat Oey Yok-su menyampuknya pergi pula namun tanpa terasa sedikit tergoncang itulah arak dalam cawannya terciprat keluar beberapa tetes, menyusul mana In Kik-si dan Siau-siang-cu juga telah menubruk datang lagi, yang satu dari depan dan yang lain dari samping.
“Bagus!” seru Oey Yok- su, ia letakkan cawan araknya, dengan kedua tangannya ia dorong ke depan. Begitulah, kedua orang - Yo Ko dan Oey Yok-su - lantas saling oper-mengoper dari jarak beberapa tombak bagai orang main bola basket, Siau siang cu bertiga bagai bola saja terombang-ambing di antara tenaga pukulan kedua orang itu se akan2 terbang kian kemari di udara.
Namun baru “lm jian siau hunjio” Yo Ko itu dimainkan sampai tengah jalan, Loh-eng-cio-hoat” Oey Yok-su sudah tampak di bawah angin. Waktu itu secepat panah tubuh In Kik-si menubruk kearahnya, Yok-su menaksir tenaganya tak cukup untuk melawan tenaga dorongan Yo Ko sekali ini, segera ia gunakan jarinya untuk menyentik, “crit”, terdengar suara lirih tajam, suatu kekuatan halus tapi kuat terus meluncur ke depan dan seketika tenaga pukulan Yo Ko itu terpatahkan.
Be runtun2 Oey Yok-su menyelentik tiga kali, maka tiga kali gedebukan, tubuh Siau-sing-cu: It Kik-si dan lelaki muka hitam itu terbanting semua di atas papan loteng dan semaput.
Kalau “Loh cng cio hoat” sedikit kalah kuat daripada tenaga Yo Ko, tapi tenaga sakti jarinya “Tan-ci sin-thong” ternyata sama kuatnya, siapapun tiada yang lebih unggul.
Maka bergelak ketawalah kedua orang itu, mereka kembali ke tempat duduk masing-masing, menuang arak dan pasang omong pula.
“llmu pukulan adik ini, kalau soal tenaga, hanya “Hang liong-sip pat ciang” menantuku Kwe Ceng yang dapat menandingi, sedangkan Loh-eng-cio Lohu masih kalah setingkat demikian kata Oey Yok-su kemudian.

Berulang-ulang Yo Ko menyatakan terima kasih dengan rendah hati. Lalu tanyanya: “Konon kabarnya Lociaopwe pernah mendapat petunjuk Lam-hay Sin-ni dan dapat mempelajari sejurus Cio-hoat (ilmu pukulan), entah dapatkah Wanpwe melihatnya untuk menambah pengalaman?”
“Ltm-hay Sin-ni? siapakah dia? selamanya belum pernah aku mendengar namanya,” sahut Oey Yok-su heran.
Seketika berubah air muka Yo Ko, ia berdiri, dengan suara gemetar ia menegas: “Apakah di dunia ini hakikatnya tiada seorang Lam-hay Sin-ni”
Melihat perubahan wajah orang yang aneh itu, Oey Yok-su rada terkejut juga, maka jawabnya dengan ragu-ragu: “Apakah mungkin seorang kosen yang belum lama ini baru terkenal. Lohu suka hidup menyendiri, maka belum kenal akan namanya.”
Terpaku Yo Ko berdiri, begitu cemas perasaannya, serasa hatinya akan melompat keluar dari rongga dadanya, katanya dalam hati: “Dengan jelas Kwe-pekbo menyatakan bahwa Liongji telah ditolong pergi oleh Lam hay Sin-ni, siapa tahu semua itu bohong belaka dan sengaja mendustai aku!”
Berpikir sampai di sini, tiba-tiba ia berteriak sambit menengadah, suaranya menggetar sukma, air mata pun meleleh.
“Ada kesulitan apakah Laute, dapatkah kau jelaskan, boleh jadi Lohu dapat membantu sebisa-nya,” tanya Yoksu.
Tapi Yo Ko lantas memberi hormat sambil berkata dengan suara parau: “Perasaan Wanpwe kacau luar biasa hingga tindak tanduk kurang wajar harap dimaafkan.”
Habis itu, lengan bajunya mengebas ia putar tubuh terus turun ke bawah, terdengarlah tuara “krak-krak” beberapa kali, beberapa undak tangga telah hancur kena diinjaknya.
Oey Yok-su menjadi bingung, ia menggumam sendiri: “Lam-hay Sin-ni, Lam-hay Sin-ni? siapakah gerangannya?”
Sementara itu Yo Ko telah berlari pergi seperti kerasukan setan, ia lari dan lari terus, dalam beberapa hari tanpa makan tanpa tidur, ia pikir hanya mati letih barulah takkan ingat Siao liong li, sebenarnya kelak masih dapat bertemu tidak, saat itu sama sekali tak berani dibayangkannya.
Tidak berapa lama, tibalah ia di tepi sungai besar, Yo Ko tak tahan lagi oleh hancurnya perasaan itu, ketika dilihatnya ada sebuah perahu menepi segera ia melompat naik, ia berikan sepotong perak pada si tukang perahu dan tanpa menanya kemana perahu itu bakal berlayar, segera ia rebah di situ terus tidur.
Air sungai mengalir dengan derasnya, perahu layar yang ditumpangi Yo Ko itu terus laju, setiap kota dagang pasti kapal itu berlabuh beberapa hari buat bongkar-muat barang, agaknya itu adalah sebuah kapal barang yang hilir-mudik di sungai Tiang-kang itu.
Hati Yo Ko saat itu seakan-akan kosong blong, ke manapun serupa baginya, maka iapun tidak perduIi kapal itu akan berlayar atau berlabuh, ia lewatkan hari-hari itu dengan minum arak, di malam hari ia suka bersiul panjang dan termenung-menung tanpa kenal waktu.
Si tukang perahu dan saudagar yang mencarter” kapal itu tampak akan uang Yo Ko yang bayar tanpa tawar itu, mereka menyangka dia adalah pengelana sinting, maka siapapun tiada yang mengurusnya.
Suatu hari, tibalah kapal itu di Kang-im, seorang saudagar sekapal telah mohon diri pada Yo Ko dan bilang akan pergi ke Ka-hin dan Lim-an untuk membeli sutera.
Mendengar kata-kata Ka hin”, mendadak Yo Ko terkejut dan berpikir “Dahulu ayahku tewas secara mengenaskan oleh Oey Yong di kelenteng Ong-uat jiang dalam kota Ka-hin, entah di manakah kuburannya? Aku tak bisa mengubur jenazah ayat secara baik-baik benar-benar aku seorang anak tak berbakti.”
Berpikir akan itu, segera ia tinggalkan perahu itu dan mendarat terus menuju ke Ka-hin. Tatkala itu sudah masuk musim dingin, meski di daerah Kanglam tidak sedingin daerah utara, tapi di mana-mana juga salju bertebaran, Yo Ko memakai mantel ijuk dan bertopikan caping, menujulah dia ke Ka hin.
Sampai di kota itu, cuaca sudah gelap, ia mencari suatu rumah makan serta tanya jalan ke kelenteng Ong tiat jiang, di bawah hujan salju yang lebat ia pergi kesana.
Ketika sampai di kelenteng itu, waktu sudah dekat tengah malam, salju masih terus turun, gelap gulita keadaannya, Tapi Yo Ko sanggup melihat dimalam gelap, ia lihat Tiat jiang-bio atau “keIenteng tombak besi” itu sudah bobrok, pintu sudah lapuk, sedikit didorong lantas roboh.
Yo Ko masuk ke dalam, di-mana-mana terlihat penuh debu dan galagusi-bersinggasana, suatu tanda tiada penghuninya, ia berdiri ter mangu2 di tengah ruangan kelenteng, terbayang olehnya ketika ayahnya tewas di situ dahulu hingga sejak lahirnya tiada pernah melihat muka ayahnya sendiri, sungguh nasib malang itu jarang terdapat di dunia-ini, ia menjadi berduka hingga makin menambah pilu hatinya.
Ia periksa sekitar kelenteng itu, ia pikir sudah lebih 30 tahun ayahnya meninggal dengan sendirinya tiada meninggalkan sesuatu tanda apa-apa. ia pergi ke belakang kelenteng, ia lihat di bawah apitan dua pohon ada dua kuburan, di depan kuburan2 itu masing-masing berdiri sebuah batu nisan yang penuh tertutup oleh salju.
Ketika Yo Ko kebas lengan bajunya hingga salju berhamburan oleh angin kebasannya itu, maka tertampaklah pada batu nisan sebelah kiri tertulis “Kuburan Bok-si dari keluarga Nyo”.
Diam-diam Yo Ko pikir siapakah gerangan wanita Se Bok ini? Waktu batu nisan sebelah lain dipandangnya, seketika tak tahan lagi rasa gusarnya.
Kiranya batu nisan itu tertulis: “Kuburan mu-id durhaka Nyo Khong”, dan dipinggirnya tertulis ebaris huruf kecil yang berbunyi “Guru tak beriImu Khu Ju-ki”
Pikir Yo Ko dengan gusar: “lmam tua ini benar-benar tak berbudi, ayahku sudah meninggal kenapa harus mendirikan batu nisan untuk mencela kelakuannya? Dalam hal mana ayahku durhaka? Hm kalau aku tidak pergi ke Coan cin kau dan mengobrak abriknya, rasanya hatiku tidak puas”
Habis itu, tangannya diangkat terus hendak menghantam batu nisan itu.
Tapi selagi tangan hendak digablokkan, tiba-tiba terdengar dari arah barat sana berkumandang datang suara tindakan kaki yang cepat, suaranya begitu aneh, seperti beberapa tokoh dunia persilatan yang hebat, tapi juga mirip jalannya dua ekor binatang, sewaktu kaki menginjak tanah, sebelah kiri antap dan sebelah kanan enteng sungguh aneh luar biasa.
Yo Ko mendengar suara itu justru menuju ke kelenteng ini, maka cepat ia masuk kembali keruangan tengah kelenteng dan sembunyi di belakang patung malaikat yang sudah doyong, hendak dilihatnya mahluk aneh apakah yang dating itu?
Sebentar saja suara tindakan kaki itu sudah sampai di depan kelenteng, tapi lantas berhenti tak bergerak lagi, agaknya seperti kuatir kalau di dalam kelenteng sudah ada sembunyi musuh, selang sejenak, barulah masuk.
Ketika Yo Ko mengintip keluar, hampir saja ia tertawa geli.
Kiranya yang masuk kelenteng ini seluruhnya empat orang, kaki kiri keempat orang ini sudah putus semua, masing orang memakai sebatang tongkat dan di pundak kiri masing-masing dirangkai seutas rantai besi yang saling terkunci, sebab itulah waktu berjalan, empat tongkat menutul tanah berbareng, lalu empat kaki keempat orang juga melangkah maju bersama.
Orang yang paling depan berkepala gundul pelontos, tangan kiri sudah buntung, kaki kiri putus separoh, sudah cacat bertambah cacat, Orang kedua jidatnya jendul, terdapat tiga uci2 yang besar. Orang ketiga bertubuh kecil pendek dan orang keempat adalah Hwesio berbadan tegap.
Yo Ko terheran-heran, macan orang-orang apakah dan kenapa saling dirantai tanpa terpisahkan?
Lalu terdengarlah suara gemerantang yang nyaring, si gundul tadi mengeluarkan geretan api dan menyalakan sepotong sisa lilin.
Maka jelaslah sekarang Yo Ko melihatnya ternyata kecuali orang pertama yang gundul ini, tiga orang lainnya berlubang mata, tapi tiada biji matanya.
Karena itu barulah ia mengerti persoalannya, kiranya ketiga orang buta itu menggunakan si gundul ini sebagai penunjuk jalan mereka.
Kemudian si gundul mengangkat lilin dan memeriksa sekitar kelenteng, maka keempat orang itu menjadi seperti berbaris beriring-iringan, jarak mereka masing-masing tidak lebih tiga kaki. Namun Yo Ko yang sembunyi di belakang patung tak diketahui mereka.
Sesudah memeriksa, keempat orang itu masuk lagi ke ruangan dalam, lalu si gundul itu berkata : “Kwa lolhau tidak membocorkan jejak kita, jika ia mengundang bala bantuan, tentu sudah disembunyikannya di sini dahulu.”
“Ya, benar, ia sudah berjanji sekatapun takkan dibocorkan pada orang lain, orang semacam dia ini selamanya berpambekan tinggi, dalam hal “kepercayaan” sangatlah di beratkan, “demikian ujar orang ketiga.
Tapi orang yang ber-uci2 itu lantas berkata: “Soa toako, kau kira si tua she Kwa itu akan datang atau tidak?”
“ltulah sukar kukatakan, kurasa ia takkan datang, masakah dia begitu bodoh sengaja mengantarkan kematian?” ujar orang pertama tadi.
“Tapi Kwa-lolhau ini adalah orang yang pertama dari Kanglam chit-koay, dahulu mereka bertaruh dengan imam keparat Khu Ju-ki dan jauh-jauh tanpa kenal lelah pergi ke Mongol memberi pelajaran silat kepada Kwe Ceng, hal ini ketika tersiar di Kangouw, semuanya memuji akan janji emas Kanglam chit-koay, sekali berkata, pasti pegang janji. Kita justeru mengingat hal ini barulah melepaskan dia pergi.”
Jelas terdengar perjakapan mereka itu oleh Yo Ko, diam-diam ia pikir: “Eh, kiranya mereka sedang menantikan Kwa-kongkong di sini?”
Dalam pada itu orang kedua yang jendul ber-kata: “Tapi aku bilang dia pasti takkan datang, Peng-toako, beranikah kau bertaruh, coba lihat…”
Tapi belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang datang dari arah timur, juga langkah yang sebelah antap dan sebelah lagi enteng, ada orang datang lagi menggunakan tongkat, cuma sekarang seorang diri saja.
Sejak kecil Yo Ko sudah lama tinggal bersama Kwa Tin ok di Tho-hoa-to, maka begitu dengar segera ia tahu orang tua itulah yang datang.
Terdengarlah si orang ketiga yang kecil kurus tadi bergelak-tawa, katanya: “Nah, Kau laute, Kwa-lothau benar-benar telah datang, masih berani kau bertaruh tidak?”
“Keparat, benar-benar tak takut mati dia, sungguh aneh,” orang kedua tadi mengomel.
Lalu terdengar suara ketokan nyaring beberapa kali, suara ketokan tongkat besi, Hui thian pian hok Kwa Tin-ok tampak masuk ke dalam kelenteng, terus berdiri tegak di tengah ruangan.
“Kwa Tin ok telah datang menurut janji, inilah Kim hoa-giok loh wan buatan Tho hoa-to, seluruhnya berjumlah 12 butir, setiap orang makan tiga butir,” demikian katanya.
Berbareng tangannya mengayun, sebuah botol kecil lantas ditimpukkan ke arah sikakek gundul tadi.
“Terima kasih!” sahut si gundul girang, ia sambuti botol kecil yang dilemparkan kepadanya itu.
“Urusan pribadi Lohu sudah selesai, sekarang sengaja datang buat terima kematian,” tiba-tiba Kwa Tin-ok berkata, ia tegak leher berdiri di tengah ruangan, jenggotnya yang sudah putih ter-gerak2, sikapnya sewajarnya saja.
“Soa-toako, karena dia sudah memberikan Kiu -hoa-giok-loh-wan pada kita hingga luka dalam kita bakal sembuh, tua bangka inipun tiada permusuhan apa-apa dengan kita, biarlah kita ampuni dia saja,” kata siorang kedua yang kepala barjendul itu.
“Ha, Kau-laute.” jengek si orang ketiga, “kata peribahasa “piara harimau cari penyakit”, hatimu yang lemah ini mungkin kita berempat nanti harus jadi korban semua, Kini meski ia belum membocorkan rahasia kita, tapi siapa berani menjamin ia akan tutup mulut selamanya?”
Habis itu mendadak ia membcntak: “HayoIah, turun tangan!”
Dan keempat orangpun melompat bangun cepat dan berdiri diempat sudut, dengan tepat Kwa-Tin-ok terkurung di-tengah-tengah.
“Kwa-Iothau,” kata si kakek gundul dengan suara serak, “lebih 30 tahun yang lalu kita telah menyaksikan bersama kematian Nyo Khong di sini, sungguh tidak nyani har iini kaupun menyusulnya, ini namanya sudah suratan nasib.”
Tapi mendadak Kwa Tin-ok ketok keras-keras tongkatnya kelantai, dengan gusar katanya, “Yo Kong itu terima mengaku musuh sebagai ayah, jual tanah air untuk kenikmatan sendiri, ia seorang rendah yang tak tahu malu, sedang aku Kwa Tin-ok adalah laki-laki sejati yang dapat mempertanggung jawabkan segala tindak-tandukku kepada negara maupun bangsa, mengapa kau bandingkan aku Hui-
nian-pian-hok dengan manusia rendah itu?”
“Hm, kematianmu sudah di depan mata, masih berlagak pahlawan gagah?” jengek si pendek, orang ketiga tadi.
Habis itu, mereka sama-sama menghantamkan setelah tangan ke atas kepala Kwa Tin-ok.
Merasa dirinya bukan tandingan keempat lawan ini, Tin-ok berdiri tegak dengan tongkatnya tanpa menangkis.
Maka terdengarlah suara menyambarnya angin yang keras, menyusul suara “blung” dibarengi berhamburnya debu pasir, keempat orang itu merasa tmpat yang terkena pukulan mereka itu rasanya tidak betul, bukannya mengenai tubuh manusia.
Segera si kakek gundul itu dapat melihat jelas dalam lingkaran yang mereka kepung itu Kwa Tinok sudah menghilang, tempat dimana orang berdiri tadi sudah tertukar patung bobrok dari kelenteng itu.
Dan karena pukulan keempat orang itu kena kepala patung, maka seketika hancur menjadi bubuk.
Keempat orang itu tiga diantaranya adalah buta, tapi si kakek gundul itu bermata tajam, namun hanya sekejap saja tahu-tahu Kwa Tinok bisa berubah menjadi patung, hal ini sunggun bikin terkejut tidak kepalang, empat orang itu sekaligus membalik ke beIakang.
Maka terlihatnya seorang laki-laki berumur 30-an berlengan tunggal sudah berdiri disitu dengan wajah gusar, Kwa Tin-ok tercengkeram tengkuknya dan terangkat tinggi.
“Berdasar apa kau berani mencaci-maki ayah-ku?” demikian lelaki buntung itu membentak Tin-ok.
“Siapakah saudara?” tanya Tin-ok tak gentar.
“Aku puteranya Nyo Khong, Yo Ko ada-nya,” sahut Nyo Ko. “Ketika tinggal di Tho-hoa-to dulu, tidaklah jelek kau terhadapku tapi kenapa dibelakang kau memaki dan memfitnah mendiang ayahku?”
“Hm,” jengek Tin-ok dingin, “sejak dahulu-kala, manusia yang mati meninggalkan nama, tapi ada juga orang yang turunkan nama busuk, baik atau busuk semuanya perbuatan manusia, mana bisa menyumbat mulut orang agar tidak menyebutkannya?”
Melihat orang sedikitpun tidak gentar, Yo Ko tambah gusar, ia angkat tubuh Tin-ok dan dibanting kelantai sambil membentak: “Cobalah katakan, kenapa ayahku rendah dan kotor?”
Melihat begini hebat dan tangkasnya Yo Ko, si kakek gundul tadi diam-diam menarik tiga kawannya terus hendak mengeluyur pergi, Namun sedikit Yo Ko melesat tahu-tahu sudah mengadang diambang pintu, “Hmm kalau tidak bicara yang jelas, siapapun tidak akan hidup keluar dari kelenteng ini,” demikian bentaknya.
Mendadak keempat orang itu menggertak sekaligus dan memukul ke depan.
“Bagus!” sambut Yo Ko, iapun dorong sebelah tangannya.
Belum lagi tangan beradu tangan, tahu-tahu keempat orang itu sudah merasa suatu tenaga pukulan yang maha besar menindih ke arah mereka.
Tanpa ampin lagi mereka terjengkang kebelakang dan menerbitkan suara gedubrakan yang keras, tubuh keempat orang menindih di atau patung tadi hingga patung itu remuk ber-keping2.
Di antara empat orang itu, siorang kedua yang punya tiga uci2 di batok kepala itu berkepandaian paling lemah, justru kepalanya tepat menumbuk dada patung itu, keruan seketika ia semaput
“Kalian berempat ini siapa? Kenapa terantai menjadi satu begini dan kenapa bisa berjanji untuk bertemu dengan Kwa Tin-ok di sini?” tanya Yo Ko.
Kiranya kakek, gundul ini adalah Soa Thong-thian, orang kedua yang ber-uci2 itu adalah Sute-nya, Kau Hay-thong, yang pendek kecil adalah Peng Lian-hou dan Hwesio yang tinggi besar itu adalah Lian-ti Siang jin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar