Rabu, 26 Desember 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 106



Kembalinya Pendekar Rajawali 106


Waktu mereka pandang Yalu Ce, pemuda itu bersenyum saja seperti biasa, Sudah terang terlihat Yalu Ce kena dihantam Na Thian-ho, tapi kenapa malah Yalu Ce yang dikatakan mengampuni jiwa Na Thian-ho, sekalipun Lwekangnya memang tinggi, tapi juga sukar menang dengan kepandaian itu? Demikian semua orang tidak habis mengerti.
Kiranya tadi ketika tangannya mengenai dada Yalu Ce, mendadak Na Thiao-ho merasa tangannya seakan-akan mengenai tempat kosong, tapi toh bukannya hampa sama sekali, hanya seperti tangan masuk ke dalam air saja, seperti kosong dan seperti ada barangnya, seolah-olah ada semacam kekuatan yang melengket yang menahan tangannya itu.
Kejut Na Thian-ho tidak kepalang, ia kumpulkan tenaga menarik sekuatnya, tapi tangannya terasa melengket saja, dapat ditarik tapi tak bisa terlepas. Ia jadi ingat waktu belajar dahulu sang guru pernah memperingatkan bahwa ilmu silatnya itu: “Hong-lui-cio-hoat” (ilmu pukulan angin dan guntur) bila ketemukan ahli Lwekang harus hati-hati sebab bila terserang tenaga dalam lawan hingga masuk ke perut, maka biarpun tidak mati seketika, sedikitnya akan cacat untuk selamanya.
Namun selama tiga puluh tahun belum pernah ia ketemukan lawan tangguh, maka kata-kata sang guru itu sudah lama terlupa, Siapa tahu kini benar-benar ketemukan seorang lihay yang berkepandaian seperti dikatakan gurunya, sekilas peringatan itu terbayang olehnya hingga ia pejamkan mata dan menanti ajalnya.
Sama sekali tak tersangka mendadak daya jengkel tangannya itu terasa lenyap, menyusul itu hawa mendidih di dalam perutnya perlahan-lahan buyar juga, ketika Na Thian-ho geraki tangannya, terasa kepandaiannya sedikitpun tidak teralang, terang Yalu Ce telah sengaja mengampuni jiwanya, sebab itulah dalam keadaan malu dan berterima kasih tak lupa ia mengucapkan beberapa patah kata di hadapan orang banyak.
Pertarungan sengit diantara kedua orang itu telah disaksikan semua orang, betapa hebat ilmu pukulan Na Thian bo, tapi akhirnya dikalahkan Yalu Ce secara menakjubkan, maka bagi orang yang punya sedikit pengalaman tiada yang berani lagi coba-coba naik ke panggung.
Disamping itu Yalu Ce adalah anak menantu Kwe Ceng dan Oey Yong yang rapat hubungannya dengan Kay pang, dengan sendirinya anak murid Kay-pang lebih suka kalau pemuda ini jadi pangcu mereka.
Pula ia adalah murid Ciu Pek-thong yang tergolong tokoh tertua Coancin-pay dengan sendirinya anak murid Coan-cin-pay dan anak murid Tang-sia atau Lam-te juga sungkan bertanding dengan dia. Hanya ada dua -tiga orang yang sembrono masih coba-coba naik panggung, tapi hanya beberapa gebrak saja sudah dikalahkan .
Melihat sang suami menjagoi panggung, sudah tentu rasa senang Kwe Hu tak terkatakan, Tapi ketika sekilas dapat dilihatnya ada seekor rajawali raksasa yang aneh dan jelek beserta si cebol berkepala besar yang dilihatnya ditambangan Hongleng sedang duduk di sisi adik perempuannya, tanpa tertahan iapun tercengang.
Tadi waktu Kwe Yang bersama Taa-thaokiu dan Sia tiau masuk lapangan, saat itu Yalu Ce lagi seru menempur Na Thian-ho, seluruh perhatian Kwe Hu sedang dicurahkan pada diri sang suami maka ia sama sekali tidak melihatnya. Kini sesudah keadaan mereda barulah ia melihat datangnya sang adik yang katanya tidak mau datang, kenapa sekarang telah hadir?
Tapi lantas terpikir lagi sesuatu olehnya, diam-diam ia berkita: “Celaka, Yo Ko menyebut dirinya sebagai “Sin-tiau-tayhiap”, tentunya rajawali besar jelek ini adalah Sin tiau yang dimaksudkan itu. Dan kalau Sin-tiau sudah datang, pasti Nyo Ko juga sudah berada disekitar sini, Kalau dia datang untuk
rebut kedudukan Pangcu…. ya, kalau dia datang untuk perebutan Pangcu”
Begitulah sesaat itu dari rasa girangnya segera berubah kuatir sebab betapa tinggi ilmu kepandaian Yo Ko yang pernah dirasakannya cukuplah diketahui, apa artinya jika benar-benar orang telah datang untuk maksud berebut Pangcu.
Namun waktu ia memandang sekitarnya, jejak Yo Ko sama sekali tak tertampak, sementara itu hari sudah petang, beruntun Yalu Ce telah mengalahkan tujuh orang dan tiada yang berani naik panggung lagi, Majulah Nio-tianglo ke depan dan berkata dengan suara lantang: “Yalu Ce-toaya ber-kepandaian serba lengkap Bu dan Bun (silat dan surat ), kita sudah lama mengaguminya, kini kalau beliau bisa menjadi Pangcu kita, sudah tentu kami mendukungnya”
Berkata sampai di sini, para anggota Kaypang yang berada di bawah panggung serentak berdiri dan bersorak-sorai. Lalu Nio-tianglo menyambung pula: “Dan entah ada tidak ksatria lain yang masih ingin naik panggung buat bertanding lagi?”
Setelah berulang kali ia tanya dan bawah panggung sepi saja tiada jawaban. Diam-diam Kwe Hu girang, pikirnya: “Yo Ko tidak datang pada saat ini, hilanglah kesempatannya! Asal Ce-koko sudah menerima jabatan Pangcu, sekalipun ia hendak mem-persulit juga tiada gunanya.”
Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang cepat, dua orang penunggang kuda secepat terbang mendekati Mendengar suara derapan kuda yang riuh itu terang penunggangnya sangat tergesa-gesa.
“Akhirnya datanglah dia!” pikir Kwe Hu.
Dalam pada itu, kedua penunggang kuda itu sudah masuk lapangan, semuanya memakai baju-abu-abu, kiranya dua pengintai yang Kwe Ceng untuk mencari berita pasukan musuh.
Meski Kwe Ceng terus mengikuti pertandingan di atas panggung tapi setiap saat selalu ia pikirkan situasi militer, kini melihat kedua pengintainya kembali dengan begitu cepat, katanya dalam hati: “Ha, akhirnya datanglah!”
Dalam hati Kwe Ceng dan Kwe Hu berdua sama-sama berkata: “Akhirnya datanglah, tapi yang dimaksudkan sang puteri ialah Yo Ko, sedang sang nyali maksudkan pasukan musuh, orang Mongol.
Sesudah dekat, segera kedua pengintai itu menghadap Kwe Ceng dan memberi hormat.
Pada umumnya, baik atau buruk situasi militer yang akan dilaporkan, dari air muka pengintai biasanya sudah kelihatan.
Kini terlihat wajah kedua pengintai itu menunjuk rasa bingung tapi penuh girang, seperti ketemukan sesuatu kejadian yang di luar dugaan.
“Lapor Kwe tayhiap, pasukan perintis Mongol dari jurusan kanan berjumlah seribu jiwa sudah sampai di Sin-ya,” demikian salah seorang pengintai itu melapor.
Diam-diam Kwe Ceng terkejut “Cepat benar majunya,” katanya dalam hati, Lalu terdengar pengintai yang lain juga buka suara: “Lapor, pasukan perintis Mongol barisan kiri seribu orang sudah tiba sampai di Tengciu-”
Harus diketahui bahwa jarak antara Tengciu dan Sin-ya dengan Siangyang hanya seratus li lebih, jalan kedua tempat itu seluruhnya jalan datar, jika pasukan gerak cepat Mongol itu maju pesat, tidak sampai satu hari pasti akan sampai Siangyang.
Namun pengintai yang kedua tadi dengan berseri lantas berkata lagi: “Cuma ada suatu kejadian aneh, seribu pasukan Mongol diluar kota Tengciu itu seluruhnya menggeletak mati, tiada satupun yang hidup.”
“Bisa terjadi begitu?” tanya Kwe Ceng heran.
“Ya, apa yang hamba lihat di Sin-ya juga begitu,” sela pengintai satunya, “seribu tentara perintis Mongol yang lain juga seluruhnya sudah menjadi mayat, yang paling aneh ialah setiap mayat perajurit Mongol itu daun telinga kirinya telah diiris orang.”
“Benar, perajurit Mongol yang di Tengciu juga begitu, daun telinga kanan mereka sudah Ienyap,” sambung pengintai kedua tadi. Mendengar itu, Kwe Ceng dan Oey Yong hanya saling pandang dengan rasa heran dan girang yang bercampur-aduk.
Mereka heran siapakah yang mendadak kirim pasukan penggempur lihay hingga kedua pasukan musuh itu kena dihancurkan semua, walaupun hanya 2000 orang musuh dari beratus ribu lainnya, namun bila berita ini disiarkan tentu akan besar membangkitkan semangat tentara sendiri.
“Dan bagaimana pasukan pertahanan kita di kota Sinya dan Tengciu?” tanya Kwe Ceng.
“Kedua kota itu tertutup rapat, mungkin kematian pasukan Mongol diluar kota itu hingga kini belum diketahui panglima penjaga kota-kota terse-but,” sahut kedua pengintai itu.
“Lekas kalian laporkan kepada Lu-tayswe, tentu kalian akan diberi hadiah,” ujar Oey Yong.
Maka pergilah kedua pengintai itu dengan cepat Ketika berita itu diumumkan di atas panggung, seketika bersorak sorailah seluruh hadirin.
“Kay-pang memilih pangcu adalah urusan besar, tapi lebih besar lagi adalah berita tentang hancurnya pasukan musuh ini?” kata Oey Yong pula. “Maka Nio tianglo, lekas suruh orang menyiapkan perjamuan, kita harus merayakannya kemenangan secara besar-besaran.”
Memangnya daharan sudah disiapkan, yakni untuk merayakan Pangcu pilihan baru. Kini berita kemenangan itu membuat semua orang bertambah gembira. Hanya Bu Siubun dan Bu tun-si yang kalah bertanding tampak kesal, tapi yang gembira banyak dan yang kesal satu-dua orang, tentu saja
tidak pengaruhi suasana gembira-ria itu.
Sebentar saja suara saling memberi selamat terdengar gemuruh diselingi suara beradunya cawan arak.
Kemenangan mendadak itu disangka para pahlawan tentu perangkap yang telah diatur Kwe Ceng dan Oey Yong, maka ber-bondong-bondong mereka datang memberi selamat Namun Kwe Ceng tegas menyatakan bukanlah jasanya, sudah tentu semua orang tak mau percaya, sebab memang sudah menjadi watak Kwe Ceng yang suka rendah hati.
“Memang kejadian ini rada aneh, Cing-koko!, biarlah kita tunggu kabar lebih lanjut baru bisa mengetahui duduknya perkara,” ujar Oey Yong.
Kiranya ketika mendapat laporan itu, Oey Yong tahu di dalamnya tentu ada sesuatu mencurigakan maka cepat ia mengirim delapan anak murid Kay-pang yang pandai dan cerdik menyelidik ke Sinya dan Tengciu.
Dalam pada itu Kwe Yang, Toa-thau kui dan Sin-tiau sedang duduk bersama di suatu tempat, melihat rupa Sio-tiau yang aneh dan hebat hingga tiada orang yang berani mendekatinya.
“Kenapa Toakoko masih belum datang?” demikian Kwe Yang terus menanyakan Yo Ko.
“la sudah bilang akan datang, pastilah datang nanti,” sahut Toa-thau-kui. Dan belum lenyap suaranya, mendadak ia sambung pula: “Tuh, dengarlah suara apakah itu?”
Ketika Kwe Yang mendengarkan dengau cermat, maka terdengarlah dari jauh berkumandang suara meraungnya binatang-binatang buas. ia bergirang. “Ah, Su-si Hengte telah datang!” demikian katanya.
Tak lama kemudian, suara raungan binatang itu semakin dekat, para pahlawan yang berada di-alun2 itu terkejut, beramai-ramai mereka lolos senjata sambil berdiri, seketika suasana lapangan itu menjadi kacau dan ramai dengan suara orang: “Darimanakah datangnya binatang buas begini banyak?”
“He, singa! Ah, juga harimau!”
“Awas! Ber-jagalah diserang serigala, begitu juga awas terhadap macan tutul!”
Hanya sikap Kwe Ceng saja yang sangat tenang, ia pesan Bu Siu-bun: “Kau kembali ke kota dan menyampaikan perintahku agar dikirim 2000 pemanah kemari.”
Bu Siu- bun mengiakan selagi hendak pergi, tiba-tiba dari jauh terdengar suara seruan orang yang panjang: “Ban-siu-san-ceng Su-si Hengte diperintahkan Sin-tiau-hiap dating memberi selamat Shejit kepada nona Kwe Yang serta menghantarkan hadiah ulang tahun.”
Suara itu bukan teriakan satu orang tapi keluar dari mulut Su-si Hengte berlima. lwekang mereka beraliran tersendiri walaupun bukan jagoan kelas wahid, tapi suara teriakan mereka berbareng seakan2 paduan suara yang me-mekak telinga.
Oey Yong memberi tanda agar Bu Siu-bun tetap pergi melaksanakan perintah sang suami tadi, sebab meski begitu dikatakan Su-si Hengte, namun tiada jeleknya kalau bersiap-siap untuk segala kemugkinan lain. Maka pergilah Siu-bun dengan cepat mencemplak kudanya.
Selang tak lama, pasukan pemanah pertama sudah dating dan tersebar disamping alun2.
Dan baru saja pasukan pemanah itu mengambil kedudukan bersiap-siap, terlihatlah seorang laki-laki berbaju kulit macan telah sampai diluar lapangan itu, dengan membawa seratus ekor harimau, Siapa lagi dia kalau bukan Pek-hia san-kun Su Pek wi. Seratus ekor harimau itu secara rajin berbaris mendekam ditanah.
Menyusul itu Koah-kian-cu Su TioDg-bing membawa seratus ekor macan tutul, Kim-ka-say-org rnefjggiring seratus ekor singa, Tai-lik-sin Su Kui kiang memimpin seratus ekor gajah, Pat-jiu-sian-kau Su Beng-ciat dengan seratus ekor monyet besar. semuanya berbaris dengan rajin diiuar lapangan. Meski binatang-binatang itu buas dan tiada hentinya  mengeluarkan suara raungan, tapi barisannya rajin tanpa kacau sedikitpun.
Para pahlawan yang hadir itu semuanya sudah banyak berpengalaman tapi mendadak melihat datangnya binatang-binatang buas begini banyak, mau-tak-mau sama berkuatir juga.
Kemudian Su si Hengte masing-masing membawa sebuah kantong kulit terus berjalan kehadapan Kwe Yang, dengan membungkuk badan mereka berkata: “Selamat hari ulang tahun nona, semoga panjang umur dan tetap awet muda.”
“Banyak terima kasih atas doa restu kelima paman Su,” sahut Kwe Yang.

“Dan inilah hadiah ulang tahun pertama yang Sin-tiau-hiap kirim pada nona,” kata Su Pek-wi sambil menunjuk kelima kantong kulit yang mereka bawa.
“Ah, benar-benar aku tak berani menerimanya. Barang apakah itu?”, demikian sambut Kwe Yang, “Ehm, aku menerka dalam kantong kulitmu itu tentu berisi seekor anak harimau kecil, ya bukan?”
“Bukan,” sahut Pek-wi menggoyang kepala, “Tapi hadiah ini adalah berkat usaha Sin-tiau hiap bersama beratus tokoh Kangouw, tenaga yang mereka keluarkan sungguh tidaklah sedikit,”
Habis berkata ia lantas buka kantong kulit yang dipeganginya, Ketika Kwe Yang memeriksa isinya mendadak ia berteriak dan terkejut: “He, kuping!”
“Betul,” sahut Pek-wi, “Kedua kantong kulit ini isinya adalah 2000 pasang daun kuping prajurit Mongol.” Kwe Yang belum paham akan maksud itu, maka dengan terkejut ia tanya: “Daun kuping-perajurit Mongol sebanyak ini, untuk apa diberikan padaku?”
Kwe Ceng dan Oey Yong mendengar jelas percakapan itu, maka merekapun berbangkit dan mendekati Su Pek-wi serta melongok isi kantong kulit itu. Segera pula teringatlah apa yang dilaporkankedua pengintai tadi, tak tertahan lagi mereka terkejut dan terheran-heran.
“Su-toako, kiranya sendadu Mongol di kota Sinya dan Tengciu itu adalah Sintiau-hiap beserta kawannya yang membunuh?” tanya Oey Yong.
Kelima saudara Su itu memberi hormat pada, Kwe Ceng dan Oey Yong yang segera pula membalas hormat itu.
Kemudian barulah Su Pek-wi menjawab: “Kata Sin-tiau hiap, nona Kwe berada di Siangyang, tapi pasukan2 Mongol berani datang dan harus dibunuh, cuma kekuatan musuh terlalu besar dan tidak bisa sekaligus dibunuh semua, maka bersama beberapa pahlawan hanya membunuh dulu dua ribu pasukan perintis musuh.”
“Di manakah Sin tiau-tayhiap sekarang berada, dapatkah aku menemuinya untuk mengaturkan terima kasih atas nama segenap penduduk kota,” kata Kwe Ceng.
Hendaklah diketahui bahwa selama belasan tahun ini Kwe Cing selalu mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk pertahanan kota Siangyang, maka terhadap urusan-urusan Kangouw sudah lama tak ikut campur, sedangkan Yo Ko mengasingkan diri dan ganti nama, pergaulannya juga dengan orang yang aneh-aneh sehingga Kwe Ceng tidak mengetahui bahwa “Sin-tiau-hiap” itu adalah Yo Ko.
Maka jawablah Su Pek-wi: “Beberapa hari ini Sin-tiau-hiap lagi sibuk menyiapkan hadiah ulang tahun nona Kwe, maka belum sempat datang menjumpai Kwe-tayhiap dan Kwehujin, haraplah di-maafkan.”
Pada saat itulah tiba-tiba suara suitan berbangkit pula di kejauhan, suara seorang telah berteriak: “Se-san-it-khut-kui mendapat perintah Sin tiau hiap datang memberi selamat ulang tahun pada nona Kwe dan membawakan hadiah Shejit.”
Suara ini lembut tajam, seperti terputus2, tapi terdengar jelas oleh setiap orang.
Melihat hadiah yang pertama tadi sesungguhnya hebat sekali, maka lekas-lekas Kwe Ceng berseru menyahut “Kwe Cing menantikan kedatangan kalian dengan hormati – Lalu iapun menuju kepintu masuk alon2 itu buat menyambut “Kau kira Sin-tiau-hiap ini siapa? “tanya Oey Yong berbisik ketika berdiri menyanding sang suami.
“Entahlah, aku tak tahu,” sahut Kwe Ceng.
“lalah Yo-Ko!” kata Oey Yong.
“Apa? Yo Ko?” Kwe Ceng menegas dan tercengang, namun segera iapun bergirang. “Aha, hebat, sungguh hebat! ia berjasa begini besarnya, sungguh ditakdirkan membantu Song kita.”
“Kau terka hadiah Shejit-nya yang kedua itu apa?” Tanya Oey Yong.
“Kepintaran Koji luar biasa, hanya kau yang bisa melebihi dia dan melulu kau yang bisa menerka pikirannya,” sahut Kwe Cing tertawa.
“Tapi sekali ini tak bisa menerkanya,” ujar Oey Yong sambil menggeleng.
Tidak lama kemudian, Tiang fi kui Hoan It ong beserta delapan setan lainnya telah sampai di-lapangan terus member hormat pada Kwe Ceng suami isteri, lalu mereka mendekati Kwe Yang dan berkata: “Selamat hari ulang tahun nona, semoga hidup tenang bahagia Sin-tiau-hiap menyuruh kami
mengantarkan hadiahnya yang kedua ini.”
“Terima kasih, banyak terima kasih,” segera Kwe Yang berseru.
Maka terlihatlah setiap orang Se-san it- khut-kui membawa sebuah kotak, Karena kuatir mereka kembali memberi hadiah sebangsa daun kuping atau batang hidung manusia, cepat Kwe Yang berkata lagi: “jika barang tak baik dilihat, janganlah dibuka.”
“Ha, sekali ini justru sangat indah untuk dilihat,” sahut Toa-thau-kui tertawa.
Ketika Hoan It-ong membuka kotaknya, dikeluarkan nya sebuah mercon roket yang sangat besar, ketika sumbunya disulut, secepat kilat mercon roket itupun meluncur tinggi kelangit. Kemudian waktu mercon itu meletus ditengah udara, maka terlihatlah gemerlapan bintik2 sinar diudara tiba-tiba terbentuk menjadi suatu tulisan, menyusul itu Tiau si kui juga melepaskan sebuah bunga api yang iain dan merupakan suatu huruf lagi, setelah bergiliraa Se-san-it-khut-kui melepaskan bunga api masing-masing, huruf bunga api yang gemerlapan itu kalau diurut menjadi berbunyi “Dengan hormat mendoakan semoga nona Kwe panjang umur dan banyak rejeki.”
Sepuluh huruf sepuluh warna tergantung tinggi diangkasa hingga lama barulah buyar. Bunga api ini adalah ciptaan ahli terkenal yang bernama Wi It-bau, betapa indah bunga api buatannya pada jaman itu dianggap sebagai semacam kepandaian khas yang tiada bandingannya.
Kwe Ceng tersenyum senang melihat suasana itu, pikirnya dalam hati: “Memang anak perempuan paling suka dengan permainan aneh-aneh ini, sungguh pintar Koji bisa mencari ahli pembuat bunga api terkenal ini.”
Tapi baru saja sepuluh buraf bunga api ini buyar, tiba-tiba di udara sebelah utara sana meluncur sebuah mercon yang jaraknya beberapa li dari lapangan ini, menyusul mana di bagian utara lebih jauh lagi menjulang tinggi pula sebuah meteorit yang lain.
“Cara memberi tanda pakai meteor seperti ini dalam sekejap saja bisa tersambung sampai beratus li jauhnya, entah apa yang telah diatur Yo Ko, rasanya hadiahnya yang kedua ini sekali-sekali bukan melulu membakar bunga api untuk membikin senang Yang-ji saja,” demikian Oey Yong berpikir.
Lalu iapun perintahkan menyediakan meja dan daharan untuk Su si Hengte serta Se-san-it-khut-kui. Tapi belum selesai perjamuan itu diaiapkan, terdengarlah dari jauh di utara sana berkumandang suara gemuruh bagai Guntur melempem, namun suara itu susul menyusul mengguruh terus tiada berhenti cuma jaraknya terlalu jauh, maka suara gemuruh itu kedengaran enteng saja.
Sebaliknya demi mendengar suara itu, mendadak Su si Hengte dan Se-san-it-ihut-kui berjingkrak girang, sambil berteriak-teriak: “Berhasil, berhasil sudah!”
Para pahlawan menjadi bingung entah berhasil apa yang dimaksud itu, Toa-thau kui menuding ke utara dan berteriak: “Bagus, bagus!” .
Tatkala itu udara gelap gulita, tapi di ujung langit sebelah utara itu ternyata bercahaya merah.
Terkejut Oey Yong, tapi segera iapun bergirang, “Ah, Lamyang telah terbakar!” serunya kemudian.
“Ya, benar, itulah Lamyang!” Kwe Ceng ikut berteriak sambil tepuk paha.
“Dapatkah kami mendapat sedikit keterangan?” tanya Ui Yong pada Hoan It-ong.
“ltulah hadiah ulang tahun kedua yang Sin-tiau-hiap berikan pada nona Kwe, yaitu rangsum pasukan Mongol yang berjumlah dua ratus ribu jiwa itu telah dibakarnya,” kata Hoan It-ong.
Memangnya Oey Yong sudah menduga akan itu, kini mendengar dugaannya ternyata tepat, ia saling pandang dengan sang suami dengan girang.
Kiranya pasukan Mongol yang menggempur Siangyang itu menggunakan Lamyang sebagai kota perbekalan, beberapa tahun yang lalu sudah mendirikan gudang dikota itu secara besar-besaran, lalu dari mana-mana didatangkan rangsum dan disimpan di situ.
Beberapa kali Kwe Ceng mengirim pasukannya menggempur kota rangsum musuh itu, tapi pertahanan pihak Mongol terlalu kuat hingga tidak pernah berhasil, siapa nyana kini Yo Ko melulu gunakan waktu semalam saja dapat membakar ludes perbekalan musuh itu.
Menyaksikan sinar api yang berkobar-kobar diarah itu makin lama semakin besar, akhirnya Kwe Ceng menjadi kuatir malah. Tanyanya pada Hoan It ong: “Para pahlawan yang berjuang disana itu apakah dapat kembali dengan selamat semua?”
Diam-diam Hoan It ong harus mengakui memang benarlah Kwe Ceng seorang berbudi luhur, tidak tanya hasil pembakaran itu, tapi lebih dulu tanya keselamatan orang-nya, Maka jawabnya: “Terima kasih atas perhatian Kwe-tayhiap, hal itu Sin-tiau-hiap sudah mengaturnya dengan baik. Yang ikut membakar Lamyang itu adalah Seng-in Suthay, Liong-ah Thauto, Thio It-bin dan Pek-cau sian cs. yang semuanya tergolong jago kelas wahid, seluruhnya ada 81 orang, rasanya perajurit maupun perwira Mongol yang biasa saja tak nanti bisa mencelakai mereka.”
Tiba-tiba Kwe Ceng menjadi paham, katanya pada Oey Yong: “Lihatlah, Ko ji telah mengundang pahlawan-lawan begitu banyak, kiranya bertujuan mendirikan pahala luar biasa ini, jika bukan jago-jago terkemuka ini sekaligus turun tangan berbareng, memangnya tidaklah mudah hendak menghancurkan 2000 perajurit musuh.”
“Kami telah mendapat berita bahwa pasukan Mongol akan menggempur Siangyang dengan meriam dan obat peledak lain, maka di gudang bawah tanah Lamyang sana telah penuh tersimpan beratus libu kati obat pasang,” demikian tutur Hoan It-ong pula.
“Sebab itulah ketika melihat bunga api selamat ulang tahun yang kami bakar tadi, segera 81 jago-jago angkatan tua yang sudah siap dikota Lamyang itu turun tangan berbareng, membakar obat peledak dan menghancurkan rangsum musuh, sekali ini pasukan musuh pasti akan kelaparan.”
Mendengar keterangan itu, Kwe Ceng saling pandang dengan Oey Yong, diam-diam mereka terkesiap Dahulu mereka pernah mengikuti Jengis Khan menjelajah ke barat dan menyaksikan sendiri tentara Mongol menggunakan meriam menggempur benteng musuh, betapa dahsyatnya meriam itu benar-benar seperti gugur gunung, cuma saja obat pasang dan peluru meriam nya sukar diperoleh, maka beberapa kali pasukan Mongol yang mengerang Siangyang belum pernah menggunakan meriam.
Tapi sekali ini rajanya sendiri, Mooko, yang memimpin pasukan, sudah tentu membawa alat penggempur benteng yang paling lihay pada jaman itu. jika bukan apa yang dinyatakan Yo Ko ini, dapat dipastikan penduduk Siangyang bakal tertimpa malapetaka besar, Apalagi bisa menghancurkan
2000 perajurit musuh dan membakar rangsum musuh yang terhimpun selama beberapa tahun di Lamyang itu, dalam keadan serba kurang lengkap, pasti pasukan musuh terpaksa mundur.
Dan jasa itu sungguh besar luar biasa, maka suami isteri itu lantas mengaturkan terima kasih pada Su si Hengte dan Se-san it-kui. Dalam pada itu suara ledakan obat pasang masih terus terdengar cuma terlalu jauh, maka kedengarannya seakan-akan kabur, mendadak terdengar letusan beberapa kali lebih keras, menyusul tanah sedikit tergoncang. Maka berteriaklah Hoan Ii-ong: “Ah, gudang obat pasang yang terbesar itupun sudah meledak.”
Segera juga Kwe Ceng memanggil Bu-si Hengte menghadap dan berkata pada mereka: “Kalian lekas
memimpin 2000 pemanah dan merunduk ke Lam-yang. Jika pasukan musuh dalam formasi teratur, maka tak usah turun tangan, tapi kalau musuh kacau gugup, segera hujani anak panah dan basmi mereka.”
Maka pergilah kedua saudara Bu itu dengan cepat, Karena kejadian hebat yang datangnya susul-menyusul itu seketika ramailah orang membicarakan kegagahan dan memuji akan budi luhur Sin-tiau-hiap.
Sebaliknya Kwe Hu yang melihat suaminya sudah menjagoi di atas panggung dan kedudukan Pangcu sudah terang tergenggam di tangan, siapa tahu mendadak terjadi hal-hal yang menyimpang, dan belum Yo Ko muncul orangnya atau suaranya sudah merobohkan nama sang suami.
Meski kejadian-kejadian membakar rangsum musuh dan membasmi pasukan permtis Mongol adalah berita kemenangan yang menggirangkan tapi dasar Kwe Hu ini berjiwa sempit, maka ia menjadi kurang senang apalagi didengarnya bahwa apa yang terjadi itu menurut Su si Hengte dan Se-san it-khut-kui adalah hadiah ulang tahun Yo Ko untuk adik perempuannya, kalau dibandingkan terang ia
sendiri semakin merosot pamornya.
Berpikir sampai di sini, ia menjadi gusar, pikirnya. “Bagus, keparat Yo Ko ini dendam padaku karena kutabas buntung lengannya dan sekarang sengaja datang menghilangkan mukaku!”
Nio tianglo dan Yalu Ce serta Kwe Hu bersama satu meja, orang tua ini melihat semua orang sama riang gembira, hanya Kwe Hu saja tampak bersungut.
Setelah ia pikir, segera ia tahu sebab-sebabnya, maka katanya tertawa: “Ah, aku benar-benar sudah pikun, karena kegirangan oleh datangnya berita kemenangan ternyata urusan di depan mata menjadi terlupa.”
Habis ini, segera ia melompat ke atas panggung lagi dan serunya lantang. “Para hadirin, pasukan musuh berulang kali mengalami kehancuran sudah tentu kita merasa amat girangnya. Tapi masih ada pula sesuatu yang menambahi kegirangan kita, yaitu tadi Yalu-toaya telah mengunjuk ilmu silatnya yang tinggi dan semua orang sangat mengaguminya, sekarang juga kita mengangkat Yalu-toaya sebagai Pangcu kami, Apakah diantara pahlawan-lawan yang hadir ini ada yang menyanggah? Dan anak murid perkumpulan kita sendiri, apakah ada yang tidak setuju?”

Sesudah ditanya tiga kali dan di bawah panggung tetap tiada sahutan, maka Nio-tianglo melanjutkan: ” jika begitu, silakan Yalu Ce naiklah kemari!”
Segera Yalu Ce melompat ke atas panggung, ia merangkap kepalan memberi hormat sekeliling panggung, selagi ia hendak buka suara dengan kata-kata yang merendah diri, tiba-tiba di bawah panggung seseorang berteriak: “Nanti dulu, hamba ada sesuatu pertanyaan perlu minta penjelasan
Yalu-toaya!”
Yalu Ce tercengang, dilihatnya suara itu keluar dari gerombolan anak murid Kay-pang sendiri, maka cepat iapun menjawab: “Katakanlah, silakan!”
Lantas terlihat di antara anak murid Kay-pang sana telah berdiri satu orang dan berseru: “Ayah YaIu-toaya sangat agung menjabat perdana menteri dinegeri Mongol, kakaknya juga pernah menjadi pembesar tinggi, walaupun sudah meninggal semua, tapi Kay-pang kita adalah musuh Mongol, dengan riwayat Yalu toaya yang menimbulkan curiga itu, apakah dapat menjadi Pangcu perkumpulan kita?”
“Mendiang ayahku, Yalu Cucay meninggal di racun ibu suri raja Mongol dan mendiang kakakku Yalu Cin dibunuh raja Mongol yang sekarang, hamba sendiri dengan raja Mongol yang kejam itu mempunyai dendam yang tiada taranya,” demikian sahut Yalu Ce dengan sengit.
“Meski begitu katanya, tapi kematian ayahmu sesungguhnya kurang jelas, tentang diracun hanya berita angin belaka dan belum ada sesuatu bukti nyata,” kata pengemis tadi pula, “Dan kakakmu melanggar perintah serta dihukum mati adalah pantas, dendam ini tak perlukah dibalas, sebaliknya sakit hati Kay-pang kita inilah yang belum terbalas.
Mendengar orang berani menyindir suaminya, Kwe Hu menjadi murka, ia tak tahan lagi, ia membentak: “Siapa kau?
Berani mengaco-belo disini? Kalau berani, hayolah naik ke atas panggung!”
“Hahaha, bagus, bagus!” sahut pengemis itu terbahak
“Pangcu belum tentu jadi, tapi calon nyonya Pangcu sudah unjuk lagak.”
Habis itu, tanpa bergerak, tahu-tahu orangnya sudah berada di atas panggung.
Menyaksikan ilmu entengi tubuh orang ini, semua orang terkesiap. “Hebat benar ilmu silatnya, siapakah dia?” demikian semua orang sama bertanya. seketika pandangan beribu pasang mata terpusat atas diri pengemis ini.
Pengemis ini memakai baju hitam yang longgar dan compang camping, tangan kanan membawa sebatang tongkat yang bulat tengahnya sebesar cawan arak, rambutnya serawutan, mukanya kuning ke-gemuk2an seperti orang berpenyakit beri2, dekak-dekuk seperti bekas koreng, dipunggungnya menggemblok lima kantong kain, kiranya dia adalah anak murid Kay pang berkantong lima.
Sebenarnya dalam kaum jembel itu tidaklah kurang orang yang bermuka jelek, tapi kejelekan orang ini luar biasa. Anggota2 Kay-pang kenal dia bernama Ho Su-ngo, orangnya pendiam, tapi giat, sedikit bicara, banyak bekerja. Sebab belasan tahun selalu giat berjuang untuk tugas perkumpulan dengan setia tanpa kenal capek, maka lambat-laun telah naik tingkat menjadi kantong lima, cuma silatnya dikenal rendah, kedudukan juga rendah, maka siapapun tidak memperhatikannya, orang menduga sesudah naik sampai tingkatan kantong lima tak mungkin lagi naik lebih tinggi, siapa tahu orang bodoh dan rendah demikian ini mendadak bisa naik panggung dan mendebat Yalu Ce, malahan ilmu
silatnya juga diluar dugaan, semua orang sama membatin: “Ho Su ngo ini darimana berhasil mencuri belajar ilmu silat yang demikian bagusnya?”
Sungguhpun Ho Su-ngo orangnya sepele, tapi karena mukanya yang jelek hingga membikin siapa yang melihatnya sukar melupakannya, maka Yalu Ce juga kenal padanya, segera ia rangkap tangan dan menegur “Entah Ho-heng ada pendapat apa lagi, silakan memberi petunjuk.”
“Bilang memberi petunjuk, itulah aku tak berani,” sahut Ho Su-ngo tertawa dingin. “Cuma hamba ada dua soal yang belum jelas, maka naik sini dan ingin bertanya.”
“Dua soal apa?” tanya Yalu Ce..
“Pertama,” kata Ho Su-ngo, “Pangcu baru dan lama kalau mengadakan timbang tcrima, selalu menggunakan “Pak-kau-pang” (pentung pcmukul anjing) sebagai tanda penyerahan kekuasaan Hari ini Yalu Ce-toaya hendak menjadi Pangcu, entah pusaka kita itu, Pak-kau pang, berada dimana? Sungguh hamba ingin sekali melihatnya.”
Mendengar pertanyaan ini, seketika para anggota Kay-pang berkata dalam hati: “Hebat benar pertanyaan ini.”
Sementara terdengar Yalu Ce telah menjawab: “Loh pangcu tewas dibokong musuh, Pak-kau pang itupun hilang dirampas penjahat itu, Memangnya ini adalah noda perkumpulan kita yang harus dicuci bersih, siapa saja asal anak murid kita berkewajiban mencari kembali pentung pemukul anjing itu.”
“Dan,” kata Ho Su-ngo lagi,” soal kedua yang hamba tidak jelas dan ingin tanya, yalab sakit hati Loh-pangcu sebenarnya harus dibalas atau tidak?”
“Loh- pangcu dicelakai Hotu, hal ini semua orang tahu, orang-orang gagah di jaman ini semuanya ikut berduka dan penasaran, kita sudah mencari dan menyelidiki dan belum nampak jejak si bangsat Hotu ini,” demikian sahut Yalu Ce Iagi.
“Tapi ini adalah tugas penting perkumpulan kita, sekalipun ke ujung langit juga akan kita bekuk keparat Hotu itu untuk membalaskan sakit hati Loh-pangcu,”
“Hm,” tiba-tiba Ho Sit-ngo tettawa dingin pula. “Pertama, pentung pemukul anjing belum diketemukan kedua pembunuh Loh pangcu belum didapatkan, bila urusan ini belum selesai sudah ingin menjadi Pangcu, rasanya agak terlalu kesusu.”
Pertanyaan yang tepat dan tegas ini membikin wajah Yalu Ce menjadi merah padam tak sanggup menjawab.
Maka cepat-cepat Nio tianglo menyela “Apa yang dikatakan Ho-laute ada benarnya juga, tapi anak murid perkumpulan kita meliputi beratus ribu jumlahnya dan tersebar diseluruh pelosok tak dapat tiada pemimpinnya, sedang urusan mencari pentung dan menuntut balas dendam lebih-lebih memerlukan pimpinan, sebabnya kita buru-buru ingin mengingkat seorang Pangcu baru, justeru inilah alasannya.”.
“Kata-kata Nio tianglo ini salah besar, boleh dikatakan memutar-balikkan persoalan,” tiba-tiba Ho Su-ngo menjawab dengan geleng-geleng kepala…”
Keruan Nto-tianglo menjadi gusar, ia adalah tertua dalam kalangan Kay-pang, tapi seorang anak murid berkantong lima saja berani mencelanya di-hadapan umura, sungguh besar amat nyalinya.
“Di mana letak kata-kataku yang salah?” segera Nio tianglo bertanya dengan gusar.
“Menurut pendapat Tecu,” demikian Ho Su-ngo menjawab, “barang siapa yang bisa menemukan Pak kau-pang dan siapa mampu membunuh Hotu untuk balas sakit hati Loh-pangcu, siapa lantas kita angkat menjadi Pangcu, Tapi kalau cara seperti sekarang ini, ilmu silat siapa yang pating kuat lantas
dia menjadi Pangcu, jika umpama mendadak Hotu dating  kemari dan ilmu silatnya menangkan Yalu-toaya, apakah kitapun lantas mengangkatnya menjadi Pangcu?”
Debatan ini seketika bikin orang saling pandang dan merasa apa yang dikatakan ada benarnya juga.
Namun Kwe Hu sudah lantas berkaok-kaok dibawah panggung, teriaknya: “Ngaco-belo, ilmu silatnya Hotu mana bisa menangkan dia?”
“Hm, meski ilmu silat Yalu toaya sangat tinggi, tapi belum berarti seluruh jagat tiada tandingan, hamba hanya seorang murid kantong lima, tapi belum pasti kalah daripadanya,” sahut Ho Su-ngo dengan tertawa dingin.
Kwe Hu sangat mendongkol dengan kata-kata orang kurangajar itu, kini mendengar orang bersedia saling gebrak, itulah kebetulan, maka cepat ia menggembor lagi: “Ce-koko, hajarlah manusia congkak yang kurangajar itu!”
“Nio-tianglo,” kata Ho Su-ngo pula, “jika Tecu bisa menangkan Yalu-toaya, jabatan Pangcu ini lantas menjadi bagian Tecu, bukan? Atau mesti menunggu ada orang lain menemukan pentung dan membalas dendam baru akan diangkatnyn menjadi pemimpin kita?”
Melihat sikap orang makin lama semakin kurangajar, Nio-tianglo menjadi gusar sungguh-sungguh.
“Tidak peduli siapa,” demikian sahutnya segera, “jika tak mampu menangkan para ksatria, tak mungkin bisa diangkat Pangcu, kelak kalau ia tak mampu ketemukan pentung dan membalas dendam, pasti ia akan malu menduduki jabatan ini.
jika Yalu-toaya menjadi pangcu kita, kedua tugas itu tak nanti tak dilaksanakannya, kalau dia tak mampu menang-kan Ho-laute, tak mungkin juga ia bisa menjadi Pangcu?”
“Tepat perkataan Nio-tianglo,” seru Ho Su-ngo, “biarlah hamba segera belajar kenal dulu dengan kepandaian Yalu-toaya, kemudian barulah pergi mencari pentung dan membunuh musuh.” - Di balik kata-kata itu nyata benar seakan-akan pertandingan ini 9/10 bagian sudah pasti Yalu Ce akan kalah.
Biasanya Yalu Ce sangat sabar dan berjiwa besar, tapi mendengar kata-kata Ho Sungo ini, tanpa terasa iapun mendongkoI, maka jawabnya: “Siaute berkepandaian rendah, memangnya tak berani menjadi Pangcu, tapi kalau Hoheng suka memberi pelunjuk, itulah sangat beruntung.”
“Tak perlu merendah,” kata Ho Su-ngo, habis itu pentung besi yang dibawanya itu ditancapkan diatas panggung, lalu sekali pukul, segera ia merangsang maju.
Tenaga pukulan itu tidak terlalu keras, tapi sasarannya meliputi tempat yang sangat luas, tatkala itu Nio-tianglo belum lagi mundur, hingga angin pukulan Ho Su-ngo yang hebat itupun membikin pipinya terasa pedas.
Yalu Ce tak berani ajal, tangan kiri menangkis, segera tangan kanan memukul dengan tipu “jin cong-yok-bi (tersembunyi seperti kosong), satu tipu pukulan hebat dari 72 jurus “Khong-bin kun” ajaran Ciu Pek-thong, segera saja pertarungan kedua orang berlangsung dengan seru di atas panggung.
Tatkala itu sudah lewat tengah malam, di sekitar panggung terdapat beberapa puluh obor besar, maka pertarungan kedua orang itu dapat disaksikan semua orang dengan jelas.
Setelah belasan jurus, Oey Yong melihat anak menantunya sedikitpun belum di atas angin, ia coba meneliti gerak ilmu silat Ho Su-ngo, tapi tidak bisa mengenali dari aliran manakah itu, hanya terlihat orang sangat ulet, sedikitnya sudah mempunyai latihan selama 40 tahun, maka diam-diam ia berpikir.
“Belasan tahun terakhir ini hanya secara kebetulan kubaca nama Ho Su-ngo karena bekerja giat telah dinaikkan tingkatannya, tapi selamanya tiada orang menyebut tentang ilmu silatnya, kini melihat gerak-geriknya terang bukan baru2 saja mendapat guru pandai atau penemuan aneh hingga ilmu
silatnya maju mendadak, padahal di dalam Kay-pang selama ini ia merendah diri, dan tak terkenal, apakah tujuannya memang untuk hari ini?”
Setelah berlangsung lebih 50 jurus, lambat-laun Yalu Ce terkejut, tidak peduli bagaimana ia ganti gerak tipu serangan selalu kena dipatahkan lawan secara mudah saja, sungguh Ho Su-ngo merupakan lawan tangguh yang jarang diketemukannya selama ini. Tapi anehnya justru orang juga
tidak ambil kesempatan untuk balas menyerang, seakan-akan sengaja piara tenaga biar lawan roboh sendiri..
Yalu Ce sendiri sudah bertempur melawan beberapa orang kecuali Nu Thian-ho tadi, selebihnya biasa saja tidak banyak membuang tenaga kini melihat Ho Su ngo bergerak secara enteng dan tak tertentu seakan2 orang tua menggoda anak kecil, Yalu Ce menjadi tak sabar, mendadak dari kepalan ia ganti menjadi telapak tangan dan menyerang cepat dengan kedua tangan.
Kiranya meski Yalu Ce muridnya Ciu Pek thong, tapi kepandaian khas Ciu Pek-thong, yaitu dua tangan mainkan dua macam ilmu silat berbareng tidaklah mudah mempelajarinya, maka Yalu Ce juga tidak mendapatkan ajaran ilmu silat hebat itu, ajaran ilmu silat Coan-cin kau, sebaliknya Yalu Ce sudah cukup matang memahaminya, maka kini setelah dimainkan, seketika saja sumbu belasan obor di atas panggung itu terdorong memanjang dari ini saja cukup terbukti betapa tenaga pukulannya.
Maka tertampaklah segera di atas panggung itu dua bayangan orang berkelebat kian kemari di bawah cahaya obor yang bergoncang.
“Cing-koko,” tanya Oey Yong kepada suaminya, “menurut pandanganmu dari aliran manakah kepandaian Ho Su ngo ini?”
“Sampai saat ini belum sejurus ilmu silat perguruannya diunjukkannya, terang ia sengaja menyembunyikan asal usul dirinya,” sahut Kwe Ceng. “Tapi bila 80 jurus lagi lambat laun Ce ji bakal di atas angin, tatkala mana kalau dia tak mau mengaku kalah, terpaksa harus terbongkar muka aslinya.”
Dalam pada itu pertarungan kedua orang semakin cepat, tidak lama 70-80 jurus sudah berlangsung, betul juga seperti apa dikatakan Kwe Ceng, tenaga pukulan Yalu Ce sudah mengurung rapat seluruh tubuh lawannya.
Kwe Ceng dan Oey Yong penuh perhatian memandangi Ho Su-ngo, mereka tahu dalam keadaan kepepet, kalau tidak keluarkan kepandaian aslinya dan masih gunakan ilmu silat dari aliran lain, pasti orang she Ho itu akan celaka.
Rupanya Yalu Ce juga sudah tahu akan kelemahan lawannya, maka tenaga pukulannya semakin gencar, tapi tidak sembarangan maju, melainkan tetap tenang.

Pada suatu saat, tampaknya tak mungkin bagi Ho Su-ngo tak mengganti tipu silatnya, sekonyong-konyong terlihatlah lengan bajunya mengebas, angin menyambar santar mulur dan mengkerut pula. Karena itu, belasan titik obor yang menyala di atas panggung itu juga memanjang, lalu menyurut kembali terus sirap.
Seketika keadaan menjadi gelap gulita, menyusul terdengarlah Ho Su-ngo dan Yalu Ce menjerit bersama, terdengar pula suara gedebukan, ternyata Yalu Ce sudah berguling ke bawah panggung, sebaliknya Ho Su-ngo telah bergejak tertawa di atas panggung.
Dalam keadaan terkejut, semua orang tiada yang berani bersuara, dalam keadaan sunyi itu suara tertawa Ho Su-ngo kedengaran sangat gembira sekali.
“Nyalakan obor lagi!” teriak Nio tianglo segera.
Maka segera beberapa anak murid Kay-pang naik ke panggung dan menyulut obor2 yang padam itu.
Dibawah sinar obor tertampaklah pipi kiri Yalu Ce berlumuran darah terluka sebesar cangkir, sebaliknya Ho Su-ngo lagi ulur telapak tangan kirinya sambil tertawa dingin dan berkata: “Ha, baju kutang hebat, baju kutang hebat!”
Ternyata telapak tangannya juga penuh darah.
Kwe Ceng dan Oey Yong saling pandang sekejap, mereka tahu Kwe Hu telah pinjamkan “kutang lemas berduri landak kepada sang suami, maka sewaktu Ho Su-ngo berhasil menghantam Yalu Ce, sebaliknya tangannya malah terluka oleh duri baju pusaka yang tajam itu.
Cuma, sebab apa Yalu Ce terluka hingga terguling kebawah panggung, karena keadaan mendadak menjadi gelap, maka mereka tidak tahu.
Kiranya tadi waktu pertarungan antara Ho Su-ngo dan Yalu Ce sampai titik menentukan, mendadak Ho Su-ngo mengeluarkan tenaga kebasan lengan bajunya yang hebat hingga obor2 yang menerangi panggung itu seluruhnya padam. Dalam keadaan terkesiap, cepat Yalu Ce menghantam ke depan untuk bela diri, tapi mendadak terasa ujung jarinya seperti menyentuh benda keras sebangsa logam, seketika ia sadar tentu Ho Su-ngo yang telah bertempur lama dan belum bisa unggul itu kini tiba-tiba menggunakan muslihat dan dalam kegelapan telah lolos senjatanya untuk membokong.
Namun Yalu Ce bukan murid Lo wan tong Ciu Pek-thong jika begitu gampang kecundang, sekalipun bertangan kosong juga ia tak gentar terhadap musuh yang bersenjata. Maka segera tipu pukulannya tadi ia ubah menjadi gerak “Kim-na-jiu hoat” untuk merampas senjata.
Dengan gerak tangkapan itu, tubuhnya berbareng mendekati lawan, sekali tangannya membalik, gagang senjata musuh sudah kena dipegangnya Bahkan menyusul telapak tangannya yang lain segera memukul muka orang.
Dengan begitu, mau-tak-mau Ho Su-ngo harus melepaskan senjatanya, Dan dalam keadaan gelap, benarlah Ho Su-ngo telah miringkan kepalanya mengegos dan kendorkan tangannya, maka berpindah tanganlah senjatanya ketangan Yalu Ce. Tapi pada saat yang sama itulah Yalu Ce merasa pipinya kesakitan sekali, terang sudah terluka, menyusul dadanya kena dihantam pula hingga tak sanggup berdiri tegak dan tergentak jatuh ke bawah panggung.
Sungguh tak terduga bahwa sedjata lawan ternyata aneh luar biasa, yaitu di dalamnya terdapat alat rahasia dan terbagi dalam dua potong, setengah potong kena direbutnya, dan setengah potong lainnya mendadak menyambar dan kena pipinya.
Cuma saja lukanya ini meski berat, tapi bukan tempat berbahaya, sebenarnya pukulan mematikan Ho Su-ngo itu terletak pada pukulannya yang mengenai dada Yalu Ce, syukur Kwe Hu sebelum itu berkeras agar suaminya memakai kaos kutang berduri landak didalam baju, karena itu pukulan hebat itu tidak melukainya, sebaliknya telapak tangan Ho Su–ngo sendiri yang tertusuk duri kaos kutang itu hingga berlumuran darah.
Sementara itu melihat suaminya terjungkal ke kawan panggung, Kwe Hu kuatir dan gusar cepat ia memeriksanya. Namun Nio-tianglo juga tahu Ho Su-ngo telah menggunakan muslihat licik, tapi tiada bukti nyata, pula keduanya sama-sama terluka dan berdarah, maka tidak mungkin menyalahkan salah satu pihak melanggar peraturan melukai lawan, meskipun tampaknya luka kedua orang tidak berat Yalu Ce terpukul jatuh ke bawah panggung, terang ia sudah kalah dalam pertandingan ini.
Namun Kwe Hu masih penasaran, katanya: “Orang ini berlaku licik, kakak Ce naiklah keatas lagi untuk menentukan unggul dan asor dengan dia.”
“Tidak,” sahut Yalu Ce menggeleng, “sungguh pun ia gunakan tipu, tapi terang sudah menang, Apalagi kalau benar-benar mengeluarkan kepandaian sejati, aku juga belum pasti menang,”
Karena pada saat menentukan tadi panggung menjadi gelap, maka Oey Yong dan Kwe Ceng tidak mengetahui Ho Su-ngo menang dengan memakai tipu serangan apa. Segera Ui Yong memanggil Yalu Ce ke dekatnya dan memeriksa sepotong senjata musuh yang kena dirampasnya itu.
Ternyata benda itu adalah selonjor baja yang panjangnya lima-enam dim saja, seperti sebatang ruji kipas, seketika tak teringat olehnya siapakah gerangan orang Bu - lim yang suka memakai senjata semacam ini.
Pada saat itulah Ho Su-ngo telah berkata sambil menegakkan mukanya yang jelek dan bengkak itu: “Meski aku telah menangkan Yalu toaya, tapi aku belum berani menduduki jabatan Pangcu, setelah menemukan Pak-kau-pang dan membunuh Hotu, tatkala itu barulah terserah keputusan.musyawarah umum untuk menentukannya.”
Mendengar kata-kata orang yang ternyata sangat adil dan berjiwa besar, walaupun cara menangnya itu masih meragukan, tapi ilmu silatnya memanglah sangat tinggi, maka segera ada beberapa anggota Kay-pang bersorak memuji ucapannya itu.
“Dan ksatria manakah yang sekiranya masih ingin naik panggung buat memberi petunjuk?” kemudian Ho Su-ngo berseru sambil memberi hormat di depan panggung.
Baru selesai ia bicara, mendadak terdengar Su Pek-wi bersuit sekali, lalu beratus ekor binatang buas yang mengelilingi sekitar lapangan itu meraung keras sembari berdiri.
Melulu suara raungan seekor dua-ekor harimau atau singa saja sangat menggetarkan apalagi kini beratus ekor meraung berbareng, keruan suaranya seakan-akan gugur gunung dan memecah bumi, mangkok piring di atas meja perjamuan para pahlawan ikut bergoncang gemerincing suaranya.
Di bawah suara raungan binatang-binatang buas yang-keras itu, berbareng Se-san it-khut-kui dan keempat saudara Su lantas meloncat ke samping panggung, senjata mereka lolos, panggung itu sudah terkepung rapat.
Pada saat itulah dari jalan datang yang diterangi sinar obor tampak masuk delapan orang dengan obor terangkat diatas tangan. Terdengar mereka berseru lantang: “Sin-tiau hiap mengaturkan selamat berulang tahun kepada nona Kwe Yang dan inilah hadiah ketiga yang beliau bawa!”.
Terlihat kedelapan orang itu cepat sekali sudah berada dihadapan Kwe Yang, nyata orang-orang itu telah mengunjukkan betapa tinggi ilmu entengi tubuh mereka yang cepat dan gesit.
Segera kedelapan orang itu membungkuk memberi hormat pada Kwe Yang dan masing-masing memberitahukan namanya sendiri-sendiri.
Para pahlawan menjadi kaget demi mendengar nama-nama mereka. Ternyata seorang Hwesio yang paling depan itu adalah Bunsik Siansu, itu pengawas gereja Siau-lim-si, yang lain-lain diantaranya ialah Tio-lokunsu, Jing-ling-cu cs., semuanya adalah tokoh-tokoh terkemuka angkatan tua dari dunia persilatan yang sangat disegani.
Namun Kwe Yang tidak peduIikan betapa tenar nama orang-orang itu, ia hanya berbangkit membalas hormat dengan ber- seri2, katanya: “Banyak terima kasih para paman dan mamak2 telah sudi berkunjung kemari. Barang permainan apakah yang kalian bawa untukku?”
Segera empat orang yang mengangkat empat ujung sebuah kantong besar terus menarik pelahan, maka terdengarlah suara sobeknya kain, kantong itu pecah menjadi empat potong dan dari dalam lantas menggelinding keluar seorang Hwesio berkepala gundul.
Ketika Hvvesio itu menyentuh tanah, cepat orangnya lantas melompat bangun, gerak tubuhnya ternyata gesit luar biasa, Segera tertampak wajah si Hwesio ini merah padam saking gusarnya, mulutnya mengomel tiada hentinya dalam bahasa yang tak dikenal, entah apa yang dia katakan.
Tapi Kwe Ceng dan Ui-Yong segera kenal Hwesio ini adalah murid Kim lun Hoat ong, yaitu Darba, Sungguh aneh, entah cara bagaimana ia telah kena ditawan oleh Bu-sik Siansu dan Tio lo-kunsu cs.
Mula-mula Kwe Yang menyangka dalam kantong itu tentu berisi kado yang menyenangkan, siapa tahu isinya adalah seorang paderi Tibet yang mukanya kasar jelek, maka ia rada kecewa. Katanya: “Buat apakah Toakoko mengirimkan hadiah seperti ini padaku? Aku tidak suka. Dimanakah dia sekarang, kenapa belum datang?”
Namun kedelapan orang itu tidak menjawab-nya, di antaranya Jing-ling-cu sudah lama tinggal di daerah Tibet dan fasih bicara bahasa Tibet, maka ia mendekati Darba dan bisik-bisik ditelinganya. Menyusul itu segera wajah Darba kelihatan terperanjat, matanya tanpa berkedip memandangi Ho Su-ngo yang berada di atas panggung.
Lalu Jing-ling-cu berkata lagi dua patah kata bahasa Tibet dengan keras sembari mengangsurkan gada emas yang dipegangnya kepada Darba.
Gada emas itu adalah senjata Darba sendiri, ia telah dikeroyok oleh kedelapan tokoh terkemuka itu hingga tertawan, senjatanya pun terampas.
Kini sesudah mendengar kisikan Jing-ling-cu, mendadak ia melompat ke atas panggung.
“Nona Kwe,” kata Jing-ling-cu kemudian pada Kwe Yang, “Hwesio ini bisa sunglapan, maka Sin-tiau-hiap suruh dia naik panggung memberi pertunjukan sunglap, cobalah kau melihatnya.”
“O, kiranya begitu,” sahut Kwe Yang. “Emang-nya aku lagi heran, untuk apa Toakoko membuang tenaga begitu banyak melulu membawakan seorang Hwesio kepadaku?”
Sementara itu Darba sedang bicara keras-keras terhadap Ho Su-ngo, cuma bahasanya “kilikuIuk”, sukar dimengerti apa yang dia katakan.
“Hai, Hwesio, kau berkata apa, sedikitpun aku tak paham,” demikian Ho Su-ngo membentak.
Mendadak Darba jinjing gada emasnya melangkah maju terus mengemplang kepala Ho Su-ngo.
Ho Su-ngo berkelit, namun Darba ayun gada emas yang gede itu merangsak terus, dengan bertangan kosong harus melawan senjata yang begitu berat, terpaksa Ho Su-ngo harus main mundur.
Melihat Hwesio Tibet ini begini garang, seketika anggota2 Kay-pang yang lain menjadi “solider” pada Ho Su-ngo, mereka sama berteriak begitu pula segera Nio-tianglo membentak:
“Hai, Hwesio, jangan serampangan, kau harus tahu dia adalah bakal Pangcu perkumpulan kami.”
Namun Darba sama sekali tak menggubris, gadanya berputar begitu cepat hingga berwujud suatu lingkaran emas dengan samberan angin yang semakin dahsyat.
Karena itu, ada 6-7 anak murid Kay-pang yang tak tahan lagi, mereka melompat ke pinggir panggung hendak membantu sang kawan, tapi Jing-ling-cu dan rombongannya, Se san it-khut-kui dan kelima saudara she Su yang seluruhnya berjumlah 23 orang telah mengepung rapat panggung dan meng-halang-alangi orang lain naik ke atas panggung, sekalipun anggota Kay-pang berjumlah banyak, tapi sesaat juga tidak bisa menerobos lewat.
Sedang keadaan agak kacau, tiba-tiba Jing-ling-cu melompat ke atas panggung dan mencabut pentung besi Ho Su ngo yang ditancapkan dipinggir panggung tadi. Terkejut sekali Ho Su-ngo, cepat ia hendak merebut kembali senjatanya itu, tapi kena didesak oleh gada emas Darba, selangkahpun ia tak bisa menggeser.
Betapapun Oey Yong yang biasanya sangat cerdik, dalam keadaan demikian ia menjadi bingung juga dan tidak tahu sebab apa Yo Ko telah mengirim tokoh-tokoh silat ini dating mengacau, apakah maksud tujuannya yang sebenarnya.
Kalau mengingat hadiah ulang tahun yang di berikannya pada Kwe Yang yang pertama dan kedua semuanya sangat berpaedah bagi Siangyang, rasanya hadiah ketiga ini tidak mungkin bersifat permusuhan. Sebab itulah, Kwe Ceng dan Oey Yong suami-isteri berpeluk tangan saja menyaksikan perkembangan selanjutnya.
Yalu Ce sendiri meski sudah digulingkan Ho Su-ngo kebawah panggung, tapi ia ber-cita2 meneruskan usaha ibu mertua dan berniat mati-matian membela Kay-pang, kini melihat Ho Sungo keripuhan didesak Darba, tanpa pikir lagi ia membentak: “Jangan kuatir, Ho-heng, biar aku membantu kau!”
Tapi ketika ia melompat ke pinggir panggung itu, mendadak seorang telah berseru padanya: “Siapapun dilarang naik panggung!” Berbareng tangan orang itupun dipalangkan buat merintangi.
Segera Yalu Ce mcnyampuk tangan orang, tapi sekali membalik, orang itu malah hendak menangkap tangan Yalu Ce, gerakannya ternyata bagus sekali, betapa besar tenaga dalamnya juga lain dari pada yang lain.
Keruan Yalu Ce terkejut waktu ia pandang orangnya, kiranya dia adalah Su Siok kong, tokoh ketiga dari kelima saudara Su.
Beberapa kali Yalu Ce berubah gerak tipu lain, tapi tak mampu mendesak mundur Su Siok-kong, diam-diam ia terkejut dan lieran: “Orang ini hanya anak buah Sm-tiau hiap saja sudah begini lihay, lalu Sin-tiauhiap yang memerintah dan menyuruh tokoh-tokoh silat yang begini banyaknya, ia sendiri entah tokoh macam apa?”
Sementara itu Ji ling-cu telah angkat tinggi2 petung besi milik Ho Su-ngo yang dirampasnya tadi dan menggembor “Wahai, para ksatria sekalian, lihatlah, barang apakah ini?”
Habis itu mendadak ia ayun sebelah tangannya dan membelah ke tengah-tengah pentung besi itu, “krak” pentung besi itu pecah oleh belahan telapak tangannya.
Ternyata pentung itu tengahnya bolong, ketika Jing-ling-cu menarik pentung yang pecah itu, di dalamnya lantas tertampak sebatang pentung bambu yang hijau mengkilat.
Melihat pentung bambu ini, sesaat anggota2 Kay-pang terdiam, tapi menyusul beramai-ramai mereka lantas berteriak: “He, itulah Pak-kau-pang milik Pangcu!”
Beberapa anak murid Kay-pang yang lagi bergebrak dengan Su-si Hengte dan Se-san-it-khut-kui segerapun melompat mundur, mereka menjadi heran. Pak-kau-pang atau pentung pemukul anjing, pentung simbolis dari Pangcu mereka kenapa tersembunyi didalam pentung besinya Ho Su- ngo dan kenapa ia merahasiakannya? Sungguh mereka tidak habis mengerti.
Dalam heningnya itu semua orang menantikan penjelasan Jing- ling-cu, siapa tahu Jing-ling-cu tidak lagi bicara, ia melompat ke bawah panggung dan menyerahkan pentung bambu itu kepada Kwe Yang.
Melihat barang itu, Kwe Yang lantas teringat pada orangnya, terkenang olehnya suara dan wajah tertawa Loh Yu-ka, ia menjadi berduka, dengan khidmat ia angsurkan pentung bambu itu kepada ibunya.
Tatkala itu tipu serangan gada emas Darba semakin gencar, Ho Su-ngo hanya mampu berkelit dan mengegos kian kemari, berulang2 ia menghadapi berbagai bahaya.
Tapi kini Ho Su-ngo tidak mendapat simpatik dari siapapun lagi, sesudah orang-orang Kay-pang melihat “Pentung pemukul anjing” tadi, mereka menduga sebabnya Jing-ling-cu menawan Darba kemari untuk menempur Ho Su-ngo tentu ada maksud tujuannya.

Dalam pada itu belasan jurus berlalu lagi, tampaknya Ho Su-ngo pasti akan binasa di bawah gada emas, saat itulah mendadak Oey Yong ingat sesuatu.
“Ho Su-ngo telah melukai Ce-ji, sudah terang dalam lengan bajunya tersembunyi senjata, kenapa detik berbahaya ini masih belum dikeluarkannya buat melawan musuh?”
Ia lihat waktu itu gada emas Darba telah menyerang dan Ho Su-ngo terpaksa melompat berkelit. Tapi tiba-tiba Darba tegakkan gadanya terus menyodok ke atas.
Saat itu Ho Su-ngo terapung diudara, sodokan ini betapapun tiada jalan buat menghindar terdengarlah suara “creng” nyaring beradunya senjata, berbareng itu Ho Su-ngo sempat melompat ke samping, ditangannya tahu-tahu sudah bertambah semacam senjata yang berbentuk pendek.
Tampak Darba semakin murka, ia mencaci–maki kalang-kabut dan gada emasnya diputar semakin cepat. Namun sesudah pegang senjata, keadaan terdesak Ho Su-ngo tadi lantas berubah, segera iapun “unjuk gigi”, ia menutuk, menjodoh, menusuk dan menghantam, sungguhpun senjata pcndek, tapi tipu-tipu serangannya ternyata sangat hebat, keadaan menjadi sama kuat sekarang.
Setelah menyaksikan sebentar lagi, tiba-tiba Cu Cu-liu menjadi paham, serunya: “Aha Kwe-hujin, sekarang tahulah aku siapa dia. Cuma masih ada sesuatu yang aku belum mengerti.”
Oey Yong terscnyum, rupanya lebih dulu iapun sudah tahu, maka jawabnya: “ltu karena mukanya dipoles dengan campuran tepung, madu, hm dan lain-lain bahan pelekat.”
Yalu Ce, Kwe Hu dan Kwe Yang waktu itu berdiri disamping sang ibu, tapi mereka menjadi bingung mendengar percakapan itu.
“Cu-lopek, kau maksudkan siapakah?” tanya Kwe Hu.
“Aku maksudkan Ho Su-ngo yang melukai suamimu itu” sahut Cu-liu.
“Kenapa? Apakah dia bukan Ho Su-ngo? Lalu siapa?” Tanya Kwe Hu lagi.
“Coba kau perhatikan senjata apa yang dia pakai?” ujar Cu-liu.
Kwe Hu mencoba mengamat-amati, sejenak kemudian, katanya: “Panjang senjatanya tiada satu kaki, memang aneh bentuknya, bukan Boan koao-pit, bukan Oo ht-ji, juga bukan Tiam-biat kut.”
“Kau harus peras otak berpikir dulu,” sela Oey Yong. “Sebab apakah dia tak mau pakai senjatanya sejak tadi, tapi lebih suka menerima resiko dan selalu berkelit saja, sampai akhirnya sesudah terdesak benar-benar oleh Hwesio itu barulah ia lolos senjatanya? ia melukai Ce-ji dengan senjata, sebab apa pula harus menyiapkan obor lebih dulu?”
“Ya, tahulah aku sekarang, tentu ia kuatir ada orang yang hadir ini kenal senjata dan gerak tipu-nya, maka tidak berani unjuk corak aslinya,” kata Kwe Yang.
“Bagus, memang Kwe-jisiocia sangat pintar,” puji Cu-liu.
Mendengar adik perempuannya dipuji, dalam hati Kwe Hu menjadi iri, katanya: “Tak mau unjuk corak asli apa katamu? Bukankah terangan ia berdiri diatas panggung? Kan siapapun dapat melihatnya?”
Tapi Kwe Yang segera ingat lagi kata-2 sang ibu tadi, maka ia raenyambung pula: “Ah, kiranya dekak dekuk bekas koreng dimukanya itu semuanya adalah palsu, Mukanya sungguh menakutkan sekali aku melihatnya, tak sudi melihatnya untuk kedua kalinya.”
“Ya, semakin jelek dan semakin seram ia menyamar, semakin jejaknya tak diketahui sebab semua orang jenuh pada mukanya yang jelek hingga sungkan memandang padanya, dengan begitu, muka palsu itu meski ada sedikit keganjilan juga tidak mudah diketahui orang”, kata Oey Yong.
“Ai menyamar selama 16 tahun, sesungguhnya bukan suatu pekerjaan mudah.”
“Bentuk muka bisa dipalsu, tapi ilmu silat dan gerak-geriknya tak mungkin dipalsukan, ilmu kepandaian yang sudah terlatih berpuluh tahun, mana bisa berubah begitu saja,” ujar Ciu-liu.
“Kalian maksudkan Ho Su-ngo itu palsu? Kalau begitu siapakah gerangannya?” tanya Kwe Hu. “Adik, kau yang pintar, coba terangkan.”
“Aku sedikitpun tidak pintar, maka sedikitpun tidak tahu,” sahut Kwe Yang geleng-geleng kepala.
“Toasiocia (puteri pertama) sendiri sudah pernah meliha dia, tatkala itu Jisiocia malah belum lahir,” kata Cu-liu tersenyum, ” 17 tahun yang lalu ditengah perjamuan besar kaum ksatria di Heng-ci-koan, ada seorang telah menempur aku sampai beratus jurus, siapakah dia?”
“He, dia Hotu?” seru Kwe Hu. “Ah, tidak, bukan dia. Ehm, ia memakai senjata kipas lempit, senjata inilah agaknya rada mirip, Ya, ya, kipasnya ini tinggal tulang kipas saja tanpa muka kipas, maka seketika susah dikenali.”
“Pertarunganku dengan dia dahulu itu adalah ialah satu kejadian berbahaya selama hidupku, maka tipu serangan dan gerak tubuhnya tidak nanti kuIupakan,” ujar Cu-Iiu pula, “Jika orang ini bukan Hotu, ha, aku she Cu inilah yang bermata lamur!”
Ketika Kwe Hu memandang keatas panggung pula, ia lihat gerak langkah Ho Su-ngo kini ternyata sangat gesit, serangannya sangat keji, lapat-lapat memang benarlah si Hotu yang pernah dilihatnya dahulu, cuma dalam hati ia masih banyak yang tidak paham, maka tanyanya pula: “Tapi jika benar ia adalah Hotu, padahal paderi Tibet ini adalah Suhengnya, masakan mereka tidak kenal, sebaliknya saling gebrak secara begitu hebat?”
“Justru Darba mengenali orang itu adalah Sutenya, maka ia melabraknya dengan mati-matian,” sahut Oey Yong. “Tahun itu waktu pertarungan sengit di Tiong-yang-kiong, Cong-lam-san, dengan sebilah “Hian-tiat-kiam” (pedang besi murni) Nyo Ko telah menindih Darba dan Hotu ke bawah, melihat jiwa
terancam, mendadak Hotu gunakan akal licik, ia mengkhianat buat selamatkan jiwa sendiri, kejadian ini disaksikan orang banyak, tentunya kaupun mendengar cerita orang?”
“O, kiranya begitulah hingga Darba benci padanya,” ujar Kwe Hu.
Mendengar ibunya bercerita tentang Yo Ko dengan sebilah pedang menindih Hotu dan Darba ke bawah, Kwe Yang jadi terbayang betapa gagah perwiranya Yo Ko dimasa dahulu, tanpa terasa ia kesemsem.
“Dan kenapa ia berubah menjadi pengemis? Sebab apa pula Pak-kau-pang bisa berada ditangan-nya?” Kwe Hu menegas.
“Bukankah itu sangat sederhana?” jawab Oey Yong. “Hotu telah mendurhakai Suhu dan khianati Suheng, sudah tentu ia takut dicari mereka, maka ia sengaja menyamar dan ganti corak menyelundup ke Kay-pang, sedikitpun tidak menimbulkan curiga dan lambat laun meningkat hingga anak murid ber-kantong lima, dengan begitu orang-orang Kay-pang tiada yang curiga, Kim-lun Hoat ong lebih tak bisa
menemukannya.
Tapi manusia jahat yang berhati dengki tidak mungkin mau terpendam begitu saja hidupnya, bila ada kesempatan, segera ia jalankan muslihatnya lagi, Hari itu ketika Loh pangcu meronda keluar kota, diam-diam ia sembunyi di sana dan tiba-tiba membokongnya, tapi cara turun tangannya telah membongkar rahasianya, pula ia tinggalkan murid Kay-pang yang masih bernyawa itu agar menyampaikan bahwa yang membunuh Loh Yu ka adalah Hotu.
Sesudah Pak-kau-pang dapat direbut-nya, lalu disembunyikan dalam pentungnya, ia menunggu saatnya pemilihan pangcu lantas muncul ikut memperebutnya. Dengan ilmu silatnya yang memang tinggi, sudah tentu tidak terlalu susah baginya untuk merobohkan para ksatria, malahan ia sengaja kemukakan syarat tentang “menemukan pentung pemukul anjing”, suatu syarat yang memang menjadi peraturan Kay-pang turun-temurun, dengan sendirinya tiada yang bisa mendebatnya. Ai, keparat Hotu ini benar-benar pintar berpikir panjang.”
“Tapi ada Kwe-hujin disini, meski dapat mengelabuhi orang untuk sementara, akhirnya juga tak bisa mendustai kau,” ujar Cu Cu-liu tertawan.
Oey Yong tersenyum tak menjawabnya, dalam hati ia berkata: “Kalau ia menyelundup ke Kay-pang dan tidak unjuk sesuatu tanda mungkin masih bisa mengelabuhi aku, tapi kalau ingin menjadi Pangcu itulah terlalu meremehkan-aku Oey Yong”
“Dan si Yo Ko juga hebat benar, ternyata dapat diketahuinya muslihat Hotu ini, pentung pemukul anjing dapat direbutnya kembali, kedok Hotu juga kena dibongkarnya dan dihadiahkan pada Kwe jisoacia sebagai kado ulang tahun, sungguh hadiah ini tidak kecil,” ujar Cu-liu.
“Hm,” kukira itupun kebetulan saja dapat di-ketahuinya,” jengek Kwe Hu.
Tapi Kwe Yang lantas ingat sesuatu, katanya: “Hotu ini sengaja menyamar sebagai pengemis muka jelek dalam Kay pang dan sengaja mengacau, Su -samsiok dari kelima saudara Su itupun pernah di-lukainya, mungkin sekali Su-samsiok sengaja mencarinya untuk membalas sakit hati dan akhirnya
telah menemukan jejaknya.”
“Benar,” sahut Oey Yong, mengangguk, “dikalangan Kangouw sering kah diketahui jejak Hotu, orang lain sekali-sekali tak pernah menyangka bahwa Ho Su-ngo dari Kay-pang adalah orang yang sama dengan dia. Tapi seorang yang terlalu tinggi hati, pada suatu hari pasti terjungkal dan terbuka kedoknya.”
“Tapir” sela Kwe Hu, “sebab apa dia sendiri bilang akan membunuh Hotu? Bukankah itu sangat bodoh?”
“ltu hanya kata-kata untuk menutupi kedoknya saja supaya orang iain tak mencurigainya,” kata Oey Yong.
Dilain pihak Kwe Yang sedang komat-kamit perlahan: “Tentu hari itu ia telah mendengar semua perkataanku ketika aku menyembahyangi arwah Loh-pepek di kelenteng Yo-tayhu. Karena tahu hatiku berduka sebab Loh pepek terbunuh musuh, maka ia lantas mencari pembunuhnya ini. Dan dia
sendiri, kenapa masih belum datang?”
Tengah bicara, pertarungan Darba dan Hotu di atas panggung semakin sengit. Kedua orang berasal dari satu guru, masing-masing cukup kenal kepandaian lawan, Darba menang dalam hal tenaga lebih besar, tapi Hotu lebih unggul akan kecepatan dan kegesitan, maka sudah ratusan jurus keduanya
masih seimbang saja.
Mendadak sontak Darba menggertak, gada emasnya ditimpukkannya ke arah Hotu secepat kilat Gada emas ini beratnya lebih 30 kati, ditimpukkan lagi, gaya meluncurnya menjadi lihay sekali.”
Terkejut Hotu, selamanya belum pernah melihat gerak serangan sang Suheng ini. lekas-lekas ia mengegos, tapi Darba sudah memburu maju, telapak tangannya mendorong dan mendadak gada emas itu memutar arah terus memburu Hotu puIa.
Sungguh tidak kepalang terperanjat Hotu, barulah sekarang ia tahu selama belasan tahun ini sang Suheng sudah banyak mendapat tambahan ilmu Lwekang lagi dari sang Suhu, kepandaian menimpuk gada ini persis gayanya seperti Kim-lun Hoat-ong meluncurkan kelima rodanya yang terbikin dari “Panca logam” itu, melihat tenaga timpukan gada itu sangat keras, sekali-kali tak sanggup ditangkis dengan kipas, terpaksa Hotu berkelit pula, Gada itu menyamber lewat dua tiga senti di atas kepalanya.
Namun makin ditimpuk dan didorong, gada emas Darba itu semakin cepat, obor yang menyala di sekitar panggung itu sampai ter-goncang2 oleh angin samberan hingga sebentar terang, sebentar gelap, Hotu tak berani ajal, ia melompat ke sana kemari, di bawah ancaman gada yang me-nyamber2,
melihat keadaan yang menggetarkan itu, semua orang yang menyaksikan ikut terperanjat.
Sampai timpukan yang ke-18 mendadak Darba membentak keras, gada emasnya bagai panah meluncur ke depan Hotu tak sanggup-berkelit lagi, terdengarlah segera suara benturan yang keras, dada dan badannya terus lemas terkulai di atas panggung tak berkutik lagi.
Sesudah ambil kembali gada emasnya, Darba menggerung menangis tiga kali, lalu ia duduk sila di depan mayat Sute itu membacakan doa, habis ia melompat turun dan mendekati Jing-ling-cu, gada emas itu diangkat tinggi2 hendak dikembalikan pada orang.
Tapi Jing ling-cu tak menerimanya, katanya “Selamat, kau berhasil cuci bersih sampah perguruanmu, Sin-tiau-hiap telah mengampuni kau, supaya kau-pulang ke Tibet dan selanjutnya tak boleh menginjak daerah Tionggoan lagi.”
“Banyak terima kasih pada Sin-tiau-tayhiap, hamba menurut perintahnya.” sahut Darba, Lalu ia memberi hormat dan pergi.
Melihat Hotu menggeletak mati di atas panggung, mukanya bengkak seram, tapi Kwe Hu masih tak mau percaya muka demikian ini adalah palsu.
Tiba-tiba ia cabut pedangnya dan melompat ke atas panggung, dengan ujung pedang ia hendak iris batang hidung Hotu, serunya: “Biarlah kita melihat muka asli bangsat ini bagaimana macamnya?”
Tak terduga, mendadak terdengar Hotu membentak sekali, tahu-tahu melompat tinggi, kedna telapak tangannya terus menghantam dengan ganasnya.
Kiranya oleh sodokan gada tadi, meski terluka parah sekali, tapi seketika jiwanya masih belum melayang. Dasar Hotu memang licik maka ia sengaja tak berkutik, ia menunggu kalau-kalau Darba mendekatinya dan hendak membalasnya dengan sekali hantam pada saat sebelum ajalnya, agar gugur bersama..
Siapa tahu Darba hanya membacakan doa supaya arwahnya menuju alam baka, lalu turun panggung sebaliknya Kwe Hu yang datang mengiris hidungnya.
Hantaman Hotu ini boleh dikata seluruh sisa tenaga yang masih ada telah dikeluarkan seluruhnya. Keruan Kwe Hu terkejut sekali, sesaat ia menjadi lupa mengayun pedang buat menahan serangan musuh, pula kutang berduri landak sudah dipinjamkan suaminya, tampaknya jiwanya sekejap saja pasti akan melayang oleh hantaman kedua tangan Hotu.
Dalam terkejutnya Kwe Ceng, Oey Yong dan Yalu Ce berbareng hendak melompat keatas panggung.
Untuk menolongnya tapi terang tak keburu lagi. Pada detik berbahaya itulah, tiba-tiba terdengarlah suara mencicit dua kali, tahu-tahu dari udara menyambar dating dua senjata rahasia dengan pesat sekali dari kanan-kiri dan sekaligus mengenai dada Hotu.
Kedua senjata rahasia itu bentuknya sangat lembut, tapi tenaganya luar biasa besarnya, tanpa ampun lagi tubuh Hotu terjengkang merosot ke bawah panggung mulutnya memuntahkan darah dan benar-benar binasalah sekarang. Dengan ternganga kaget semua orang coba memandang ke arah darimana datangnya senjata rahasia itu, tapi tertampak bintang suram, bulan guram, langit gelap, lebih dari itu suasana sunyi senyap saja. Di depan panggung tegak berdiri dua tiang bendera yang
besar dan tingginya beberapa tombak, agaknya senjata rahasia itu disambitkan masing-masing dari kedua talang tiang bendera yang tinggi itu.