Kembalinya Pendekar Rajawali 106
Waktu mereka pandang Yalu Ce, pemuda itu
bersenyum saja seperti biasa, Sudah terang terlihat Yalu Ce kena dihantam Na
Thian-ho, tapi kenapa malah Yalu Ce yang dikatakan mengampuni jiwa Na Thian-ho,
sekalipun Lwekangnya memang tinggi, tapi juga sukar menang dengan kepandaian
itu? Demikian semua orang tidak habis mengerti.
Kiranya tadi ketika tangannya mengenai dada
Yalu Ce, mendadak Na Thiao-ho merasa tangannya seakan-akan mengenai tempat
kosong, tapi toh bukannya hampa sama sekali, hanya seperti tangan masuk ke
dalam air saja, seperti kosong dan seperti ada barangnya, seolah-olah ada
semacam kekuatan yang melengket yang menahan tangannya itu.
Kejut Na Thian-ho tidak kepalang, ia
kumpulkan tenaga menarik sekuatnya, tapi tangannya terasa melengket saja, dapat
ditarik tapi tak bisa terlepas. Ia jadi ingat waktu belajar dahulu sang guru
pernah memperingatkan bahwa ilmu silatnya itu: “Hong-lui-cio-hoat” (ilmu
pukulan angin dan guntur) bila ketemukan ahli Lwekang harus hati-hati sebab
bila terserang tenaga dalam lawan hingga masuk ke perut, maka biarpun tidak
mati seketika, sedikitnya akan cacat untuk selamanya.
Namun selama tiga puluh tahun belum pernah ia
ketemukan lawan tangguh, maka kata-kata sang guru itu sudah lama terlupa, Siapa
tahu kini benar-benar ketemukan seorang lihay yang berkepandaian seperti
dikatakan gurunya, sekilas peringatan itu terbayang olehnya hingga ia pejamkan mata
dan menanti ajalnya.
Sama sekali tak tersangka mendadak daya
jengkel tangannya itu terasa lenyap, menyusul itu hawa mendidih di dalam
perutnya perlahan-lahan buyar juga, ketika Na Thian-ho geraki tangannya, terasa
kepandaiannya sedikitpun tidak teralang, terang Yalu Ce telah sengaja
mengampuni jiwanya, sebab itulah dalam keadaan malu dan berterima kasih tak
lupa ia mengucapkan beberapa patah kata di hadapan orang banyak.
Pertarungan sengit diantara kedua orang itu
telah disaksikan semua orang, betapa hebat ilmu pukulan Na Thian bo, tapi
akhirnya dikalahkan Yalu Ce secara menakjubkan, maka bagi orang yang punya
sedikit pengalaman tiada yang berani lagi coba-coba naik ke panggung.
Disamping itu Yalu Ce adalah anak menantu Kwe
Ceng dan Oey Yong yang rapat hubungannya dengan Kay pang, dengan sendirinya
anak murid Kay-pang lebih suka kalau pemuda ini jadi pangcu mereka.
Pula ia adalah murid Ciu Pek-thong yang
tergolong tokoh tertua Coancin-pay dengan sendirinya anak murid Coan-cin-pay
dan anak murid Tang-sia atau Lam-te juga sungkan bertanding dengan dia. Hanya
ada dua -tiga orang yang sembrono masih coba-coba naik panggung, tapi hanya beberapa
gebrak saja sudah dikalahkan .
Melihat sang suami menjagoi panggung, sudah
tentu rasa senang Kwe Hu tak terkatakan, Tapi ketika sekilas dapat dilihatnya
ada seekor rajawali raksasa yang aneh dan jelek beserta si cebol berkepala
besar yang dilihatnya ditambangan Hongleng sedang duduk di sisi adik
perempuannya, tanpa tertahan iapun tercengang.
Tadi waktu Kwe Yang bersama Taa-thaokiu dan
Sia tiau masuk lapangan, saat itu Yalu Ce lagi seru menempur Na Thian-ho,
seluruh perhatian Kwe Hu sedang dicurahkan pada diri sang suami maka ia sama sekali
tidak melihatnya. Kini sesudah keadaan mereda barulah ia melihat datangnya sang
adik yang katanya tidak mau datang, kenapa sekarang telah hadir?
Tapi lantas terpikir lagi sesuatu olehnya,
diam-diam ia berkita: “Celaka, Yo Ko menyebut dirinya sebagai
“Sin-tiau-tayhiap”, tentunya rajawali besar jelek ini adalah Sin tiau yang dimaksudkan
itu. Dan kalau Sin-tiau sudah datang, pasti Nyo Ko juga sudah berada disekitar
sini, Kalau dia datang untuk
rebut kedudukan Pangcu…. ya, kalau dia datang
untuk perebutan Pangcu”
Begitulah sesaat itu dari rasa girangnya
segera berubah kuatir sebab betapa tinggi ilmu kepandaian Yo Ko yang pernah
dirasakannya cukuplah diketahui, apa artinya jika benar-benar orang telah
datang untuk maksud berebut Pangcu.
Namun waktu ia memandang sekitarnya, jejak Yo
Ko sama sekali tak tertampak, sementara itu hari sudah petang, beruntun Yalu Ce
telah mengalahkan tujuh orang dan tiada yang berani naik panggung lagi, Majulah
Nio-tianglo ke depan dan berkata dengan suara lantang: “Yalu Ce-toaya
ber-kepandaian serba lengkap Bu dan Bun (silat dan surat ), kita sudah lama
mengaguminya, kini kalau beliau bisa menjadi Pangcu kita, sudah tentu kami
mendukungnya”
Berkata sampai di sini, para anggota Kaypang
yang berada di bawah panggung serentak berdiri dan bersorak-sorai. Lalu
Nio-tianglo menyambung pula: “Dan entah ada tidak ksatria lain yang masih ingin
naik panggung buat bertanding lagi?”
Setelah berulang kali ia tanya dan bawah
panggung sepi saja tiada jawaban. Diam-diam Kwe Hu girang, pikirnya: “Yo Ko
tidak datang pada saat ini, hilanglah kesempatannya! Asal Ce-koko sudah
menerima jabatan Pangcu, sekalipun ia hendak mem-persulit juga tiada gunanya.”
Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara
derapan kuda yang cepat, dua orang penunggang kuda secepat terbang mendekati
Mendengar suara derapan kuda yang riuh itu terang penunggangnya sangat
tergesa-gesa.
“Akhirnya datanglah dia!” pikir Kwe Hu.
Dalam pada itu, kedua penunggang kuda itu
sudah masuk lapangan, semuanya memakai baju-abu-abu, kiranya dua pengintai yang
Kwe Ceng untuk mencari berita pasukan musuh.
Meski Kwe Ceng terus mengikuti pertandingan
di atas panggung tapi setiap saat selalu ia pikirkan situasi militer, kini melihat
kedua pengintainya kembali dengan begitu cepat, katanya dalam hati: “Ha,
akhirnya datanglah!”
Dalam hati Kwe Ceng dan Kwe Hu berdua
sama-sama berkata: “Akhirnya datanglah, tapi yang dimaksudkan sang puteri ialah
Yo Ko, sedang sang nyali maksudkan pasukan musuh, orang Mongol.
Sesudah dekat, segera kedua pengintai itu
menghadap Kwe Ceng dan memberi hormat.
Pada umumnya, baik atau buruk situasi militer
yang akan dilaporkan, dari air muka pengintai biasanya sudah kelihatan.
Kini terlihat wajah kedua pengintai itu
menunjuk rasa bingung tapi penuh girang, seperti ketemukan sesuatu kejadian
yang di luar dugaan.
“Lapor Kwe tayhiap, pasukan perintis Mongol
dari jurusan kanan berjumlah seribu jiwa sudah sampai di Sin-ya,” demikian
salah seorang pengintai itu melapor.
Diam-diam Kwe Ceng terkejut “Cepat benar
majunya,” katanya dalam hati, Lalu terdengar pengintai yang lain juga buka
suara: “Lapor, pasukan perintis Mongol barisan kiri seribu orang sudah tiba
sampai di Tengciu-”
Harus diketahui bahwa jarak antara Tengciu
dan Sin-ya dengan Siangyang hanya seratus li lebih, jalan kedua tempat itu
seluruhnya jalan datar, jika pasukan gerak cepat Mongol itu maju pesat, tidak
sampai satu hari pasti akan sampai Siangyang.
Namun pengintai yang kedua tadi dengan
berseri lantas berkata lagi: “Cuma ada suatu kejadian aneh, seribu pasukan Mongol
diluar kota Tengciu itu seluruhnya menggeletak mati, tiada satupun yang hidup.”
“Bisa terjadi begitu?” tanya Kwe Ceng heran.
“Ya, apa yang hamba lihat di Sin-ya juga
begitu,” sela pengintai satunya, “seribu tentara perintis Mongol yang lain juga
seluruhnya sudah menjadi mayat, yang paling aneh ialah setiap mayat perajurit
Mongol itu daun telinga kirinya telah diiris orang.”
“Benar, perajurit Mongol yang di Tengciu juga
begitu, daun telinga kanan mereka sudah Ienyap,” sambung pengintai kedua tadi. Mendengar
itu, Kwe Ceng dan Oey Yong hanya saling pandang dengan rasa heran dan girang
yang bercampur-aduk.
Mereka heran siapakah yang mendadak kirim
pasukan penggempur lihay hingga kedua pasukan musuh itu kena dihancurkan semua,
walaupun hanya 2000 orang musuh dari beratus ribu lainnya, namun bila berita
ini disiarkan tentu akan besar membangkitkan semangat tentara sendiri.
“Dan bagaimana pasukan pertahanan kita di
kota Sinya dan Tengciu?” tanya Kwe Ceng.
“Kedua kota itu tertutup rapat, mungkin
kematian pasukan Mongol diluar kota itu hingga kini belum diketahui panglima penjaga
kota-kota terse-but,” sahut kedua pengintai itu.
“Lekas kalian laporkan kepada Lu-tayswe,
tentu kalian akan diberi hadiah,” ujar Oey Yong.
Maka pergilah kedua pengintai itu dengan
cepat Ketika berita itu diumumkan di atas panggung, seketika bersorak sorailah
seluruh hadirin.
“Kay-pang memilih pangcu adalah urusan besar,
tapi lebih besar lagi adalah berita tentang hancurnya pasukan musuh ini?” kata
Oey Yong pula. “Maka Nio tianglo, lekas suruh orang menyiapkan perjamuan, kita
harus merayakannya kemenangan secara besar-besaran.”
Memangnya daharan sudah disiapkan, yakni
untuk merayakan Pangcu pilihan baru. Kini berita kemenangan itu membuat semua
orang bertambah gembira. Hanya Bu Siubun dan Bu tun-si yang kalah bertanding
tampak kesal, tapi yang gembira banyak dan yang kesal satu-dua orang, tentu
saja
tidak pengaruhi suasana gembira-ria itu.
Sebentar saja suara saling memberi selamat
terdengar gemuruh diselingi suara beradunya cawan arak.
Kemenangan mendadak itu disangka para
pahlawan tentu perangkap yang telah diatur Kwe Ceng dan Oey Yong, maka
ber-bondong-bondong mereka datang memberi selamat Namun Kwe Ceng tegas
menyatakan bukanlah jasanya, sudah tentu semua orang tak mau percaya, sebab
memang sudah menjadi watak Kwe Ceng yang suka rendah hati.
“Memang kejadian ini rada aneh, Cing-koko!,
biarlah kita tunggu kabar lebih lanjut baru bisa mengetahui duduknya perkara,”
ujar Oey Yong.
Kiranya ketika mendapat laporan itu, Oey Yong
tahu di dalamnya tentu ada sesuatu mencurigakan maka cepat ia mengirim delapan
anak murid Kay-pang yang pandai dan cerdik menyelidik ke Sinya dan Tengciu.
Dalam pada itu Kwe Yang, Toa-thau kui dan
Sin-tiau sedang duduk bersama di suatu tempat, melihat rupa Sio-tiau yang aneh
dan hebat hingga tiada orang yang berani mendekatinya.
“Kenapa Toakoko masih belum datang?” demikian
Kwe Yang terus menanyakan Yo Ko.
“la sudah bilang akan datang, pastilah datang
nanti,” sahut Toa-thau-kui. Dan belum lenyap suaranya, mendadak ia sambung
pula: “Tuh, dengarlah suara apakah itu?”
Ketika Kwe Yang mendengarkan dengau cermat,
maka terdengarlah dari jauh berkumandang suara meraungnya binatang-binatang
buas. ia bergirang. “Ah, Su-si Hengte telah datang!” demikian katanya.
Tak lama kemudian, suara raungan binatang itu
semakin dekat, para pahlawan yang berada di-alun2 itu terkejut, beramai-ramai
mereka lolos senjata sambil berdiri, seketika suasana lapangan itu menjadi
kacau dan ramai dengan suara orang: “Darimanakah datangnya binatang buas begini
banyak?”
“He, singa! Ah, juga harimau!”
“Awas! Ber-jagalah diserang serigala, begitu
juga awas terhadap macan tutul!”
Hanya sikap Kwe Ceng saja yang sangat tenang,
ia pesan Bu Siu-bun: “Kau kembali ke kota dan menyampaikan perintahku agar
dikirim 2000 pemanah kemari.”
Bu Siu- bun mengiakan selagi hendak pergi,
tiba-tiba dari jauh terdengar suara seruan orang yang panjang:
“Ban-siu-san-ceng Su-si Hengte diperintahkan Sin-tiau-hiap dating memberi
selamat Shejit kepada nona Kwe Yang serta menghantarkan hadiah ulang tahun.”
Suara itu bukan teriakan satu orang tapi
keluar dari mulut Su-si Hengte berlima. lwekang mereka beraliran tersendiri walaupun
bukan jagoan kelas wahid, tapi suara teriakan mereka berbareng seakan2 paduan
suara yang me-mekak telinga.
Oey Yong memberi tanda agar Bu Siu-bun tetap
pergi melaksanakan perintah sang suami tadi, sebab meski begitu dikatakan Su-si
Hengte, namun tiada jeleknya kalau bersiap-siap untuk segala kemugkinan lain.
Maka pergilah Siu-bun dengan cepat mencemplak kudanya.
Selang tak lama, pasukan pemanah pertama
sudah dating dan tersebar disamping alun2.
Dan baru saja pasukan pemanah itu mengambil kedudukan
bersiap-siap, terlihatlah seorang laki-laki berbaju kulit macan telah sampai
diluar lapangan itu, dengan membawa seratus ekor harimau, Siapa lagi dia kalau
bukan Pek-hia san-kun Su Pek wi. Seratus ekor harimau itu secara rajin berbaris
mendekam ditanah.
Menyusul itu Koah-kian-cu Su TioDg-bing
membawa seratus ekor macan tutul, Kim-ka-say-org rnefjggiring seratus ekor
singa, Tai-lik-sin Su Kui kiang memimpin seratus ekor gajah, Pat-jiu-sian-kau
Su Beng-ciat dengan seratus ekor monyet besar. semuanya berbaris dengan rajin
diiuar lapangan. Meski binatang-binatang itu buas dan tiada hentinya mengeluarkan suara raungan, tapi barisannya
rajin tanpa kacau sedikitpun.
Para pahlawan yang hadir itu semuanya sudah
banyak berpengalaman tapi mendadak melihat datangnya binatang-binatang buas
begini banyak, mau-tak-mau sama berkuatir juga.
Kemudian Su si Hengte masing-masing membawa
sebuah kantong kulit terus berjalan kehadapan Kwe Yang, dengan membungkuk badan
mereka berkata: “Selamat hari ulang tahun nona, semoga panjang umur dan tetap
awet muda.”
“Banyak terima kasih atas doa restu kelima
paman Su,” sahut Kwe Yang.
“Dan inilah hadiah ulang tahun pertama yang
Sin-tiau-hiap kirim pada nona,” kata Su Pek-wi sambil menunjuk kelima kantong
kulit yang mereka bawa.
“Ah, benar-benar aku tak berani menerimanya.
Barang apakah itu?”, demikian sambut Kwe Yang, “Ehm, aku menerka dalam kantong
kulitmu itu tentu berisi seekor anak harimau kecil, ya bukan?”
“Bukan,” sahut Pek-wi menggoyang kepala,
“Tapi hadiah ini adalah berkat usaha Sin-tiau hiap bersama beratus tokoh Kangouw,
tenaga yang mereka keluarkan sungguh tidaklah sedikit,”
Habis berkata ia lantas buka kantong kulit
yang dipeganginya, Ketika Kwe Yang memeriksa isinya mendadak ia berteriak dan
terkejut: “He, kuping!”
“Betul,” sahut Pek-wi, “Kedua kantong kulit
ini isinya adalah 2000 pasang daun kuping prajurit Mongol.” Kwe Yang belum
paham akan maksud itu, maka dengan terkejut ia tanya: “Daun kuping-perajurit
Mongol sebanyak ini, untuk apa diberikan padaku?”
Kwe Ceng dan Oey Yong mendengar jelas
percakapan itu, maka merekapun berbangkit dan mendekati Su Pek-wi serta melongok
isi kantong kulit itu. Segera pula teringatlah apa yang dilaporkankedua
pengintai tadi, tak tertahan lagi mereka terkejut dan terheran-heran.
“Su-toako, kiranya sendadu Mongol di kota
Sinya dan Tengciu itu adalah Sintiau-hiap beserta kawannya yang membunuh?”
tanya Oey Yong.
Kelima saudara Su itu memberi hormat pada,
Kwe Ceng dan Oey Yong yang segera pula membalas hormat itu.
Kemudian barulah Su Pek-wi menjawab: “Kata
Sin-tiau hiap, nona Kwe berada di Siangyang, tapi pasukan2 Mongol berani datang
dan harus dibunuh, cuma kekuatan musuh terlalu besar dan tidak bisa sekaligus
dibunuh semua, maka bersama beberapa pahlawan hanya membunuh dulu dua ribu
pasukan perintis musuh.”
“Di manakah Sin tiau-tayhiap sekarang berada,
dapatkah aku menemuinya untuk mengaturkan terima kasih atas nama segenap penduduk
kota,” kata Kwe Ceng.
Hendaklah diketahui bahwa selama belasan
tahun ini Kwe Cing selalu mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk pertahanan
kota Siangyang, maka terhadap urusan-urusan Kangouw sudah lama tak ikut campur,
sedangkan Yo Ko mengasingkan diri dan ganti nama, pergaulannya juga dengan
orang yang aneh-aneh sehingga Kwe Ceng tidak mengetahui bahwa “Sin-tiau-hiap”
itu adalah Yo Ko.
Maka jawablah Su Pek-wi: “Beberapa hari ini
Sin-tiau-hiap lagi sibuk menyiapkan hadiah ulang tahun nona Kwe, maka belum
sempat datang menjumpai Kwe-tayhiap dan Kwehujin, haraplah di-maafkan.”
Pada saat itulah tiba-tiba suara suitan
berbangkit pula di kejauhan, suara seorang telah berteriak: “Se-san-it-khut-kui
mendapat perintah Sin tiau hiap datang memberi selamat ulang tahun pada nona
Kwe dan membawakan hadiah Shejit.”
Suara ini lembut tajam, seperti terputus2,
tapi terdengar jelas oleh setiap orang.
Melihat hadiah yang pertama tadi sesungguhnya
hebat sekali, maka lekas-lekas Kwe Ceng berseru menyahut “Kwe Cing menantikan
kedatangan kalian dengan hormati – Lalu iapun menuju kepintu masuk alon2 itu
buat menyambut “Kau kira Sin-tiau-hiap ini siapa? “tanya Oey Yong berbisik ketika
berdiri menyanding sang suami.
“Entahlah, aku tak tahu,” sahut Kwe Ceng.
“lalah Yo-Ko!” kata Oey Yong.
“Apa? Yo Ko?” Kwe Ceng menegas dan
tercengang, namun segera iapun bergirang. “Aha, hebat, sungguh hebat! ia
berjasa begini besarnya, sungguh ditakdirkan membantu Song kita.”
“Kau terka hadiah Shejit-nya yang kedua itu
apa?” Tanya Oey Yong.
“Kepintaran Koji luar biasa, hanya kau yang
bisa melebihi dia dan melulu kau yang bisa menerka pikirannya,” sahut Kwe Cing
tertawa.
“Tapi sekali ini tak bisa menerkanya,” ujar
Oey Yong sambil menggeleng.
Tidak lama kemudian, Tiang fi kui Hoan It ong
beserta delapan setan lainnya telah sampai di-lapangan terus member hormat pada
Kwe Ceng suami isteri, lalu mereka mendekati Kwe Yang dan berkata: “Selamat
hari ulang tahun nona, semoga hidup tenang bahagia Sin-tiau-hiap menyuruh kami
mengantarkan hadiahnya yang kedua ini.”
“Terima kasih, banyak terima kasih,” segera
Kwe Yang berseru.
Maka terlihatlah setiap orang Se-san it-
khut-kui membawa sebuah kotak, Karena kuatir mereka kembali memberi hadiah sebangsa
daun kuping atau batang hidung manusia, cepat Kwe Yang berkata lagi: “jika
barang tak baik dilihat, janganlah dibuka.”
“Ha, sekali ini justru sangat indah untuk
dilihat,” sahut Toa-thau-kui tertawa.
Ketika Hoan It-ong membuka kotaknya,
dikeluarkan nya sebuah mercon roket yang sangat besar, ketika sumbunya disulut,
secepat kilat mercon roket itupun meluncur tinggi kelangit. Kemudian waktu
mercon itu meletus ditengah udara, maka terlihatlah gemerlapan bintik2 sinar
diudara tiba-tiba terbentuk menjadi suatu tulisan, menyusul itu Tiau si kui
juga melepaskan sebuah bunga api yang iain dan merupakan suatu huruf lagi,
setelah bergiliraa Se-san-it-khut-kui melepaskan bunga api masing-masing, huruf
bunga api yang gemerlapan itu kalau diurut menjadi berbunyi “Dengan hormat
mendoakan semoga nona Kwe panjang umur dan banyak rejeki.”
Sepuluh huruf sepuluh warna tergantung tinggi
diangkasa hingga lama barulah buyar. Bunga api ini adalah ciptaan ahli terkenal
yang bernama Wi It-bau, betapa indah bunga api buatannya pada jaman itu
dianggap sebagai semacam kepandaian khas yang tiada bandingannya.
Kwe Ceng tersenyum senang melihat suasana
itu, pikirnya dalam hati: “Memang anak perempuan paling suka dengan permainan
aneh-aneh ini, sungguh pintar Koji bisa mencari ahli pembuat bunga api terkenal
ini.”
Tapi baru saja sepuluh buraf bunga api ini
buyar, tiba-tiba di udara sebelah utara sana meluncur sebuah mercon yang jaraknya
beberapa li dari lapangan ini, menyusul mana di bagian utara lebih jauh lagi
menjulang tinggi pula sebuah meteorit yang lain.
“Cara memberi tanda pakai meteor seperti ini dalam
sekejap saja bisa tersambung sampai beratus li jauhnya, entah apa yang telah
diatur Yo Ko, rasanya hadiahnya yang kedua ini sekali-sekali bukan melulu
membakar bunga api untuk membikin senang Yang-ji saja,” demikian Oey Yong
berpikir.
Lalu iapun perintahkan menyediakan meja dan
daharan untuk Su si Hengte serta Se-san-it-khut-kui. Tapi belum selesai
perjamuan itu diaiapkan, terdengarlah dari jauh di utara sana berkumandang
suara gemuruh bagai Guntur melempem, namun suara itu susul menyusul mengguruh
terus tiada berhenti cuma jaraknya terlalu jauh, maka suara gemuruh itu
kedengaran enteng saja.
Sebaliknya demi mendengar suara itu, mendadak
Su si Hengte dan Se-san-it-ihut-kui berjingkrak girang, sambil berteriak-teriak:
“Berhasil, berhasil sudah!”
Para pahlawan menjadi bingung entah berhasil
apa yang dimaksud itu, Toa-thau kui menuding ke utara dan berteriak: “Bagus,
bagus!” .
Tatkala itu udara gelap gulita, tapi di ujung
langit sebelah utara itu ternyata bercahaya merah.
Terkejut Oey Yong, tapi segera iapun
bergirang, “Ah, Lamyang telah terbakar!” serunya kemudian.
“Ya, benar, itulah Lamyang!” Kwe Ceng ikut
berteriak sambil tepuk paha.
“Dapatkah kami mendapat sedikit keterangan?”
tanya Ui Yong pada Hoan It-ong.
“ltulah hadiah ulang tahun kedua yang Sin-tiau-hiap
berikan pada nona Kwe, yaitu rangsum pasukan Mongol yang berjumlah dua ratus
ribu jiwa itu telah dibakarnya,” kata Hoan It-ong.
Memangnya Oey Yong sudah menduga akan itu,
kini mendengar dugaannya ternyata tepat, ia saling pandang dengan sang suami dengan
girang.
Kiranya pasukan Mongol yang menggempur
Siangyang itu menggunakan Lamyang sebagai kota perbekalan, beberapa tahun yang
lalu sudah mendirikan gudang dikota itu secara besar-besaran, lalu dari
mana-mana didatangkan rangsum dan disimpan di situ.
Beberapa kali Kwe Ceng mengirim pasukannya menggempur
kota rangsum musuh itu, tapi pertahanan pihak Mongol terlalu kuat hingga tidak
pernah berhasil, siapa nyana kini Yo Ko melulu gunakan waktu semalam saja dapat
membakar ludes perbekalan musuh itu.
Menyaksikan sinar api yang berkobar-kobar
diarah itu makin lama semakin besar, akhirnya Kwe Ceng menjadi kuatir malah.
Tanyanya pada Hoan It ong: “Para pahlawan yang berjuang disana itu apakah dapat
kembali dengan selamat semua?”
Diam-diam Hoan It ong harus mengakui memang
benarlah Kwe Ceng seorang berbudi luhur, tidak tanya hasil pembakaran itu, tapi
lebih dulu tanya keselamatan orang-nya, Maka jawabnya: “Terima kasih atas
perhatian Kwe-tayhiap, hal itu Sin-tiau-hiap sudah mengaturnya dengan baik.
Yang ikut membakar Lamyang itu adalah Seng-in Suthay, Liong-ah Thauto, Thio
It-bin dan Pek-cau sian cs. yang semuanya tergolong jago kelas wahid,
seluruhnya ada 81 orang, rasanya perajurit maupun perwira Mongol yang biasa
saja tak nanti bisa mencelakai mereka.”
Tiba-tiba Kwe Ceng menjadi paham, katanya
pada Oey Yong: “Lihatlah, Ko ji telah mengundang pahlawan-lawan begitu banyak,
kiranya bertujuan mendirikan pahala luar biasa ini, jika bukan jago-jago
terkemuka ini sekaligus turun tangan berbareng, memangnya tidaklah mudah hendak
menghancurkan 2000 perajurit musuh.”
“Kami telah mendapat berita bahwa pasukan
Mongol akan menggempur Siangyang dengan meriam dan obat peledak lain, maka di
gudang bawah tanah Lamyang sana telah penuh tersimpan beratus libu kati obat
pasang,” demikian tutur Hoan It-ong pula.
“Sebab itulah ketika melihat bunga api
selamat ulang tahun yang kami bakar tadi, segera 81 jago-jago angkatan tua yang
sudah siap dikota Lamyang itu turun tangan berbareng, membakar obat peledak dan
menghancurkan rangsum musuh, sekali ini pasukan musuh pasti akan kelaparan.”
Mendengar keterangan itu, Kwe Ceng saling
pandang dengan Oey Yong, diam-diam mereka terkesiap Dahulu mereka pernah
mengikuti Jengis Khan menjelajah ke barat dan menyaksikan sendiri tentara
Mongol menggunakan meriam menggempur benteng musuh, betapa dahsyatnya meriam
itu benar-benar seperti gugur gunung, cuma saja obat pasang dan peluru meriam
nya sukar diperoleh, maka beberapa kali pasukan Mongol yang mengerang Siangyang
belum pernah menggunakan meriam.
Tapi sekali ini rajanya sendiri, Mooko, yang
memimpin pasukan, sudah tentu membawa alat penggempur benteng yang paling lihay
pada jaman itu. jika bukan apa yang dinyatakan Yo Ko ini, dapat dipastikan
penduduk Siangyang bakal tertimpa malapetaka besar, Apalagi bisa menghancurkan
2000 perajurit musuh dan membakar rangsum
musuh yang terhimpun selama beberapa tahun di Lamyang itu, dalam keadan serba
kurang lengkap, pasti pasukan musuh terpaksa mundur.
Dan jasa itu sungguh besar luar biasa, maka
suami isteri itu lantas mengaturkan terima kasih pada Su si Hengte dan Se-san
it-kui. Dalam pada itu suara ledakan obat pasang masih terus terdengar cuma
terlalu jauh, maka kedengarannya seakan-akan kabur, mendadak terdengar letusan
beberapa kali lebih keras, menyusul tanah sedikit tergoncang. Maka berteriaklah
Hoan Ii-ong: “Ah, gudang obat pasang yang terbesar itupun sudah meledak.”
Segera juga Kwe Ceng memanggil Bu-si Hengte menghadap
dan berkata pada mereka: “Kalian lekas
memimpin 2000 pemanah dan merunduk ke
Lam-yang. Jika pasukan musuh dalam formasi teratur, maka tak usah turun tangan,
tapi kalau musuh kacau gugup, segera hujani anak panah dan basmi mereka.”
Maka pergilah kedua saudara Bu itu dengan
cepat, Karena kejadian hebat yang datangnya susul-menyusul itu seketika ramailah
orang membicarakan kegagahan dan memuji akan budi luhur Sin-tiau-hiap.
Sebaliknya Kwe Hu yang melihat suaminya sudah
menjagoi di atas panggung dan kedudukan Pangcu sudah terang tergenggam di
tangan, siapa tahu mendadak terjadi hal-hal yang menyimpang, dan belum Yo Ko
muncul orangnya atau suaranya sudah merobohkan nama sang suami.
Meski kejadian-kejadian membakar rangsum
musuh dan membasmi pasukan permtis Mongol adalah berita kemenangan yang
menggirangkan tapi dasar Kwe Hu ini berjiwa sempit, maka ia menjadi kurang
senang apalagi didengarnya bahwa apa yang terjadi itu menurut Su si Hengte dan
Se-san it-khut-kui adalah hadiah ulang tahun Yo Ko untuk adik perempuannya,
kalau dibandingkan terang ia
sendiri semakin merosot pamornya.
Berpikir sampai di sini, ia menjadi gusar,
pikirnya. “Bagus, keparat Yo Ko ini dendam padaku karena kutabas buntung
lengannya dan sekarang sengaja datang menghilangkan mukaku!”
Nio tianglo dan Yalu Ce serta Kwe Hu bersama
satu meja, orang tua ini melihat semua orang sama riang gembira, hanya Kwe Hu
saja tampak bersungut.
Setelah ia pikir, segera ia tahu
sebab-sebabnya, maka katanya tertawa: “Ah, aku benar-benar sudah pikun, karena kegirangan
oleh datangnya berita kemenangan ternyata urusan di depan mata menjadi
terlupa.”
Habis ini, segera ia melompat ke atas
panggung lagi dan serunya lantang. “Para hadirin, pasukan musuh berulang kali mengalami
kehancuran sudah tentu kita merasa amat girangnya. Tapi masih ada pula sesuatu
yang menambahi kegirangan kita, yaitu tadi Yalu-toaya telah mengunjuk ilmu silatnya
yang tinggi dan semua orang sangat mengaguminya, sekarang juga kita mengangkat
Yalu-toaya sebagai Pangcu kami, Apakah diantara pahlawan-lawan yang hadir ini
ada yang menyanggah? Dan anak murid perkumpulan kita sendiri, apakah ada yang
tidak setuju?”
Sesudah ditanya tiga kali dan di bawah
panggung tetap tiada sahutan, maka Nio-tianglo melanjutkan: ” jika begitu, silakan
Yalu Ce naiklah kemari!”
Segera Yalu Ce melompat ke atas panggung, ia merangkap
kepalan memberi hormat sekeliling panggung, selagi ia hendak buka suara dengan
kata-kata yang merendah diri, tiba-tiba di bawah panggung seseorang berteriak:
“Nanti dulu, hamba ada sesuatu pertanyaan perlu minta penjelasan
Yalu-toaya!”
Yalu Ce tercengang, dilihatnya suara itu
keluar dari gerombolan anak murid Kay-pang sendiri, maka cepat iapun menjawab:
“Katakanlah, silakan!”
Lantas terlihat di antara anak murid Kay-pang
sana telah berdiri satu orang dan berseru: “Ayah YaIu-toaya sangat agung
menjabat perdana menteri dinegeri Mongol, kakaknya juga pernah menjadi pembesar
tinggi, walaupun sudah meninggal semua, tapi Kay-pang kita adalah musuh Mongol,
dengan riwayat Yalu toaya yang menimbulkan curiga itu, apakah dapat menjadi
Pangcu perkumpulan kita?”
“Mendiang ayahku, Yalu Cucay meninggal di
racun ibu suri raja Mongol dan mendiang kakakku Yalu Cin dibunuh raja Mongol
yang sekarang, hamba sendiri dengan raja Mongol yang kejam itu mempunyai dendam
yang tiada taranya,” demikian sahut Yalu Ce dengan sengit.
“Meski begitu katanya, tapi kematian ayahmu sesungguhnya
kurang jelas, tentang diracun hanya berita angin belaka dan belum ada sesuatu
bukti nyata,” kata pengemis tadi pula, “Dan kakakmu melanggar perintah serta dihukum
mati adalah pantas, dendam ini tak perlukah dibalas, sebaliknya sakit hati
Kay-pang kita inilah yang belum terbalas.
Mendengar orang berani menyindir suaminya,
Kwe Hu menjadi murka, ia tak tahan lagi, ia membentak: “Siapa kau?
Berani mengaco-belo disini? Kalau berani,
hayolah naik ke atas panggung!”
“Hahaha, bagus, bagus!” sahut pengemis itu
terbahak
“Pangcu belum tentu jadi, tapi calon nyonya
Pangcu sudah unjuk lagak.”
Habis itu, tanpa bergerak, tahu-tahu orangnya
sudah berada di atas panggung.
Menyaksikan ilmu entengi tubuh orang ini,
semua orang terkesiap. “Hebat benar ilmu silatnya, siapakah dia?” demikian semua
orang sama bertanya. seketika pandangan beribu pasang mata terpusat atas diri
pengemis ini.
Pengemis ini memakai baju hitam yang longgar
dan compang camping, tangan kanan membawa sebatang tongkat yang bulat tengahnya
sebesar cawan arak, rambutnya serawutan, mukanya kuning ke-gemuk2an seperti
orang berpenyakit beri2, dekak-dekuk seperti bekas koreng, dipunggungnya
menggemblok lima kantong kain, kiranya dia adalah anak murid Kay pang
berkantong lima.
Sebenarnya dalam kaum jembel itu tidaklah
kurang orang yang bermuka jelek, tapi kejelekan orang ini luar biasa. Anggota2
Kay-pang kenal dia bernama Ho Su-ngo, orangnya pendiam, tapi giat, sedikit
bicara, banyak bekerja. Sebab belasan tahun selalu giat berjuang untuk tugas perkumpulan
dengan setia tanpa kenal capek, maka lambat-laun telah naik tingkat menjadi
kantong lima, cuma silatnya dikenal rendah, kedudukan juga rendah, maka
siapapun tidak memperhatikannya, orang menduga sesudah naik sampai tingkatan
kantong lima tak mungkin lagi naik lebih tinggi, siapa tahu orang bodoh dan
rendah demikian ini mendadak bisa naik panggung dan mendebat Yalu Ce, malahan
ilmu
silatnya juga diluar dugaan, semua orang sama
membatin: “Ho Su ngo ini darimana berhasil mencuri belajar ilmu silat yang
demikian bagusnya?”
Sungguhpun Ho Su-ngo orangnya sepele, tapi
karena mukanya yang jelek hingga membikin siapa yang melihatnya sukar
melupakannya, maka Yalu Ce juga kenal padanya, segera ia rangkap tangan dan
menegur “Entah Ho-heng ada pendapat apa lagi, silakan memberi petunjuk.”
“Bilang memberi petunjuk, itulah aku tak
berani,” sahut Ho Su-ngo tertawa dingin. “Cuma hamba ada dua soal yang belum
jelas, maka naik sini dan ingin bertanya.”
“Dua soal apa?” tanya Yalu Ce..
“Pertama,” kata Ho Su-ngo, “Pangcu baru dan
lama kalau mengadakan timbang tcrima, selalu menggunakan “Pak-kau-pang”
(pentung pcmukul anjing) sebagai tanda penyerahan kekuasaan Hari ini Yalu
Ce-toaya hendak menjadi Pangcu, entah pusaka kita itu, Pak-kau pang, berada
dimana? Sungguh hamba ingin sekali melihatnya.”
Mendengar pertanyaan ini, seketika para
anggota Kay-pang berkata dalam hati: “Hebat benar pertanyaan ini.”
Sementara terdengar Yalu Ce telah menjawab:
“Loh pangcu tewas dibokong musuh, Pak-kau pang itupun hilang dirampas penjahat
itu, Memangnya ini adalah noda perkumpulan kita yang harus dicuci bersih, siapa
saja asal anak murid kita berkewajiban mencari kembali pentung pemukul anjing
itu.”
“Dan,” kata Ho Su-ngo lagi,” soal kedua yang
hamba tidak jelas dan ingin tanya, yalab sakit hati Loh-pangcu sebenarnya harus
dibalas atau tidak?”
“Loh- pangcu dicelakai Hotu, hal ini semua
orang tahu, orang-orang gagah di jaman ini semuanya ikut berduka dan penasaran,
kita sudah mencari dan menyelidiki dan belum nampak jejak si bangsat Hotu ini,”
demikian sahut Yalu Ce Iagi.
“Tapi ini adalah tugas penting perkumpulan
kita, sekalipun ke ujung langit juga akan kita bekuk keparat Hotu itu untuk membalaskan
sakit hati Loh-pangcu,”
“Hm,” tiba-tiba Ho Sit-ngo tettawa dingin
pula. “Pertama, pentung pemukul anjing belum diketemukan kedua pembunuh Loh
pangcu belum didapatkan, bila urusan ini belum selesai sudah ingin menjadi
Pangcu, rasanya agak terlalu kesusu.”
Pertanyaan yang tepat dan tegas ini membikin
wajah Yalu Ce menjadi merah padam tak sanggup menjawab.
Maka cepat-cepat Nio tianglo menyela “Apa
yang dikatakan Ho-laute ada benarnya juga, tapi anak murid perkumpulan kita
meliputi beratus ribu jumlahnya dan tersebar diseluruh pelosok tak dapat tiada
pemimpinnya, sedang urusan mencari pentung dan menuntut balas dendam lebih-lebih
memerlukan pimpinan, sebabnya kita buru-buru ingin mengingkat seorang Pangcu
baru, justeru inilah alasannya.”.
“Kata-kata Nio tianglo ini salah besar, boleh
dikatakan memutar-balikkan persoalan,” tiba-tiba Ho Su-ngo menjawab dengan
geleng-geleng kepala…”
Keruan Nto-tianglo menjadi gusar, ia adalah
tertua dalam kalangan Kay-pang, tapi seorang anak murid berkantong lima saja
berani mencelanya di-hadapan umura, sungguh besar amat nyalinya.
“Di
mana letak kata-kataku yang salah?” segera Nio tianglo bertanya dengan gusar.
“Menurut pendapat Tecu,” demikian Ho Su-ngo
menjawab, “barang siapa yang bisa menemukan Pak kau-pang dan siapa mampu
membunuh Hotu untuk balas sakit hati Loh-pangcu, siapa lantas kita angkat
menjadi Pangcu, Tapi kalau cara seperti sekarang ini, ilmu silat siapa yang
pating kuat lantas
dia menjadi Pangcu, jika umpama mendadak Hotu
dating kemari dan ilmu silatnya
menangkan Yalu-toaya, apakah kitapun lantas mengangkatnya menjadi Pangcu?”
Debatan ini seketika bikin orang saling
pandang dan merasa apa yang dikatakan ada benarnya juga.
Namun Kwe Hu sudah lantas berkaok-kaok
dibawah panggung, teriaknya: “Ngaco-belo, ilmu silatnya Hotu mana bisa
menangkan dia?”
“Hm, meski ilmu silat Yalu toaya sangat
tinggi, tapi belum berarti seluruh jagat tiada tandingan, hamba hanya seorang murid
kantong lima, tapi belum pasti kalah daripadanya,” sahut Ho Su-ngo dengan
tertawa dingin.
Kwe Hu sangat mendongkol dengan kata-kata
orang kurangajar itu, kini mendengar orang bersedia saling gebrak, itulah
kebetulan, maka cepat ia menggembor lagi: “Ce-koko, hajarlah manusia congkak
yang kurangajar itu!”
“Nio-tianglo,” kata Ho Su-ngo pula, “jika
Tecu bisa menangkan Yalu-toaya, jabatan Pangcu ini lantas menjadi bagian Tecu,
bukan? Atau mesti menunggu ada orang lain menemukan pentung dan membalas dendam
baru akan diangkatnyn menjadi pemimpin kita?”
Melihat sikap orang makin lama semakin
kurangajar, Nio-tianglo menjadi gusar sungguh-sungguh.
“Tidak peduli siapa,” demikian sahutnya
segera, “jika tak mampu menangkan para ksatria, tak mungkin bisa diangkat Pangcu,
kelak kalau ia tak mampu ketemukan pentung dan membalas dendam, pasti ia akan
malu menduduki jabatan ini.
jika Yalu-toaya menjadi pangcu kita, kedua
tugas itu tak nanti tak dilaksanakannya, kalau dia tak mampu menang-kan
Ho-laute, tak mungkin juga ia bisa menjadi Pangcu?”
“Tepat perkataan Nio-tianglo,” seru Ho
Su-ngo, “biarlah hamba segera belajar kenal dulu dengan kepandaian Yalu-toaya,
kemudian barulah pergi mencari pentung dan membunuh musuh.” - Di balik
kata-kata itu nyata benar seakan-akan pertandingan ini 9/10 bagian sudah pasti
Yalu Ce akan kalah.
Biasanya Yalu Ce sangat sabar dan berjiwa
besar, tapi mendengar kata-kata Ho Sungo ini, tanpa terasa iapun mendongkoI,
maka jawabnya: “Siaute berkepandaian rendah, memangnya tak berani menjadi
Pangcu, tapi kalau Hoheng suka memberi pelunjuk, itulah sangat beruntung.”
“Tak perlu merendah,” kata Ho Su-ngo, habis
itu pentung besi yang dibawanya itu ditancapkan diatas panggung, lalu sekali
pukul, segera ia merangsang maju.
Tenaga pukulan itu tidak terlalu keras, tapi
sasarannya meliputi tempat yang sangat luas, tatkala itu Nio-tianglo belum lagi
mundur, hingga angin pukulan Ho Su-ngo yang hebat itupun membikin pipinya
terasa pedas.
Yalu Ce tak berani ajal, tangan kiri
menangkis, segera tangan kanan memukul dengan tipu “jin cong-yok-bi (tersembunyi
seperti kosong), satu tipu pukulan hebat dari 72 jurus “Khong-bin kun” ajaran
Ciu Pek-thong, segera saja pertarungan kedua orang berlangsung dengan seru di
atas panggung.
Tatkala itu sudah lewat tengah malam, di
sekitar panggung terdapat beberapa puluh obor besar, maka pertarungan kedua
orang itu dapat disaksikan semua orang dengan jelas.
Setelah belasan jurus, Oey Yong melihat anak
menantunya sedikitpun belum di atas angin, ia coba meneliti gerak ilmu silat Ho
Su-ngo, tapi tidak bisa mengenali dari aliran manakah itu, hanya terlihat orang
sangat ulet, sedikitnya sudah mempunyai latihan selama 40 tahun, maka diam-diam
ia berpikir.
“Belasan tahun terakhir ini hanya secara
kebetulan kubaca nama Ho Su-ngo karena bekerja giat telah dinaikkan tingkatannya,
tapi selamanya tiada orang menyebut tentang ilmu silatnya, kini melihat
gerak-geriknya terang bukan baru2 saja mendapat guru pandai atau penemuan aneh
hingga ilmu
silatnya maju mendadak, padahal di dalam
Kay-pang selama ini ia merendah diri, dan tak terkenal, apakah tujuannya memang
untuk hari ini?”
Setelah berlangsung lebih 50 jurus,
lambat-laun Yalu Ce terkejut, tidak peduli bagaimana ia ganti gerak tipu
serangan selalu kena dipatahkan lawan secara mudah saja, sungguh Ho Su-ngo
merupakan lawan tangguh yang jarang diketemukannya selama ini. Tapi anehnya
justru orang juga
tidak ambil kesempatan untuk balas menyerang,
seakan-akan sengaja piara tenaga biar lawan roboh sendiri..
Yalu Ce sendiri sudah bertempur melawan
beberapa orang kecuali Nu Thian-ho tadi, selebihnya biasa saja tidak banyak membuang
tenaga kini melihat Ho Su ngo bergerak secara enteng dan tak tertentu seakan2
orang tua menggoda anak kecil, Yalu Ce menjadi tak sabar, mendadak dari kepalan
ia ganti menjadi telapak tangan dan menyerang cepat dengan kedua tangan.
Kiranya meski Yalu Ce muridnya Ciu Pek thong,
tapi kepandaian khas Ciu Pek-thong, yaitu dua tangan mainkan dua macam ilmu
silat berbareng tidaklah mudah mempelajarinya, maka Yalu Ce juga tidak
mendapatkan ajaran ilmu silat hebat itu, ajaran ilmu silat Coan-cin kau,
sebaliknya Yalu Ce sudah cukup matang memahaminya, maka kini setelah dimainkan,
seketika saja sumbu belasan obor di atas panggung itu terdorong memanjang dari
ini saja cukup terbukti betapa tenaga pukulannya.
Maka tertampaklah segera di atas panggung itu
dua bayangan orang berkelebat kian kemari di bawah cahaya obor yang bergoncang.
“Cing-koko,” tanya Oey Yong kepada suaminya,
“menurut pandanganmu dari aliran manakah kepandaian Ho Su ngo ini?”
“Sampai saat ini belum sejurus ilmu silat
perguruannya diunjukkannya, terang ia sengaja menyembunyikan asal usul dirinya,”
sahut Kwe Ceng. “Tapi bila 80 jurus lagi lambat laun Ce ji bakal di atas angin,
tatkala mana kalau dia tak mau mengaku kalah, terpaksa harus terbongkar muka
aslinya.”
Dalam pada itu pertarungan kedua orang
semakin cepat, tidak lama 70-80 jurus sudah berlangsung, betul juga seperti apa
dikatakan Kwe Ceng, tenaga pukulan Yalu Ce sudah mengurung rapat seluruh tubuh
lawannya.
Kwe Ceng dan Oey Yong penuh perhatian
memandangi Ho Su-ngo, mereka tahu dalam keadaan kepepet, kalau tidak keluarkan
kepandaian aslinya dan masih gunakan ilmu silat dari aliran lain, pasti orang
she Ho itu akan celaka.
Rupanya Yalu Ce juga sudah tahu akan
kelemahan lawannya, maka tenaga pukulannya semakin gencar, tapi tidak sembarangan
maju, melainkan tetap tenang.
Pada suatu saat, tampaknya tak mungkin bagi
Ho Su-ngo tak mengganti tipu silatnya, sekonyong-konyong terlihatlah lengan
bajunya mengebas, angin menyambar santar mulur dan mengkerut pula. Karena itu,
belasan titik obor yang menyala di atas panggung itu juga memanjang, lalu
menyurut kembali terus sirap.
Seketika keadaan menjadi gelap gulita,
menyusul terdengarlah Ho Su-ngo dan Yalu Ce menjerit bersama, terdengar pula
suara gedebukan, ternyata Yalu Ce sudah berguling ke bawah panggung, sebaliknya
Ho Su-ngo telah bergejak tertawa di atas panggung.
Dalam keadaan terkejut, semua orang tiada
yang berani bersuara, dalam keadaan sunyi itu suara tertawa Ho Su-ngo kedengaran
sangat gembira sekali.
“Nyalakan obor lagi!” teriak Nio tianglo
segera.
Maka segera beberapa anak murid Kay-pang naik
ke panggung dan menyulut obor2 yang padam itu.
Dibawah sinar obor tertampaklah pipi kiri
Yalu Ce berlumuran darah terluka sebesar cangkir, sebaliknya Ho Su-ngo lagi
ulur telapak tangan kirinya sambil tertawa dingin dan berkata: “Ha, baju kutang
hebat, baju kutang hebat!”
Ternyata telapak tangannya juga penuh darah.
Kwe Ceng dan Oey Yong saling pandang sekejap,
mereka tahu Kwe Hu telah pinjamkan “kutang lemas berduri landak kepada sang
suami, maka sewaktu Ho Su-ngo berhasil menghantam Yalu Ce, sebaliknya tangannya
malah terluka oleh duri baju pusaka yang tajam itu.
Cuma, sebab apa Yalu Ce terluka hingga
terguling kebawah panggung, karena keadaan mendadak menjadi gelap, maka mereka
tidak tahu.
Kiranya tadi waktu pertarungan antara Ho
Su-ngo dan Yalu Ce sampai titik menentukan, mendadak Ho Su-ngo mengeluarkan
tenaga kebasan lengan bajunya yang hebat hingga obor2 yang menerangi panggung
itu seluruhnya padam. Dalam keadaan terkesiap, cepat Yalu Ce menghantam ke
depan untuk bela diri, tapi mendadak terasa ujung jarinya seperti menyentuh
benda keras sebangsa logam, seketika ia sadar tentu Ho Su-ngo yang telah
bertempur lama dan belum bisa unggul itu kini tiba-tiba menggunakan muslihat
dan dalam kegelapan telah lolos senjatanya untuk membokong.
Namun Yalu Ce bukan murid Lo wan tong Ciu
Pek-thong jika begitu gampang kecundang, sekalipun bertangan kosong juga ia tak
gentar terhadap musuh yang bersenjata. Maka segera tipu pukulannya tadi ia ubah
menjadi gerak “Kim-na-jiu hoat” untuk merampas senjata.
Dengan gerak tangkapan itu, tubuhnya
berbareng mendekati lawan, sekali tangannya membalik, gagang senjata musuh
sudah kena dipegangnya Bahkan menyusul telapak tangannya yang lain segera
memukul muka orang.
Dengan begitu, mau-tak-mau Ho Su-ngo harus melepaskan
senjatanya, Dan dalam keadaan gelap, benarlah Ho Su-ngo telah miringkan
kepalanya mengegos dan kendorkan tangannya, maka berpindah tanganlah senjatanya
ketangan Yalu Ce. Tapi pada saat yang sama itulah Yalu Ce merasa pipinya
kesakitan sekali, terang sudah terluka, menyusul dadanya kena dihantam pula
hingga tak sanggup berdiri tegak dan tergentak jatuh ke bawah panggung.
Sungguh tak terduga bahwa sedjata lawan
ternyata aneh luar biasa, yaitu di dalamnya terdapat alat rahasia dan terbagi dalam
dua potong, setengah potong kena direbutnya, dan setengah potong lainnya
mendadak menyambar dan kena pipinya.
Cuma saja lukanya ini meski berat, tapi bukan
tempat berbahaya, sebenarnya pukulan mematikan Ho Su-ngo itu terletak pada
pukulannya yang mengenai dada Yalu Ce, syukur Kwe Hu sebelum itu berkeras agar
suaminya memakai kaos kutang berduri landak didalam baju, karena itu pukulan hebat
itu tidak melukainya, sebaliknya telapak tangan Ho Su–ngo sendiri yang tertusuk
duri kaos kutang itu hingga berlumuran darah.
Sementara itu melihat suaminya terjungkal ke
kawan panggung, Kwe Hu kuatir dan gusar cepat ia memeriksanya. Namun
Nio-tianglo juga tahu Ho Su-ngo telah menggunakan muslihat licik, tapi tiada
bukti nyata, pula keduanya sama-sama terluka dan berdarah, maka tidak mungkin
menyalahkan salah satu pihak melanggar peraturan melukai lawan, meskipun
tampaknya luka kedua orang tidak berat Yalu Ce terpukul jatuh ke bawah
panggung, terang ia sudah kalah dalam pertandingan ini.
Namun Kwe Hu masih penasaran, katanya: “Orang
ini berlaku licik, kakak Ce naiklah keatas lagi untuk menentukan unggul dan
asor dengan dia.”
“Tidak,” sahut Yalu Ce menggeleng, “sungguh
pun ia gunakan tipu, tapi terang sudah menang, Apalagi kalau benar-benar
mengeluarkan kepandaian sejati, aku juga belum pasti menang,”
Karena pada saat menentukan tadi panggung
menjadi gelap, maka Oey Yong dan Kwe Ceng tidak mengetahui Ho Su-ngo menang
dengan memakai tipu serangan apa. Segera Ui Yong memanggil Yalu Ce ke dekatnya
dan memeriksa sepotong senjata musuh yang kena dirampasnya itu.
Ternyata benda itu adalah selonjor baja yang
panjangnya lima-enam dim saja, seperti sebatang ruji kipas, seketika tak teringat
olehnya siapakah gerangan orang Bu - lim yang suka memakai senjata semacam ini.
Pada saat itulah Ho Su-ngo telah berkata
sambil menegakkan mukanya yang jelek dan bengkak itu: “Meski aku telah
menangkan Yalu toaya, tapi aku belum berani menduduki jabatan Pangcu, setelah
menemukan Pak-kau-pang dan membunuh Hotu, tatkala itu barulah terserah keputusan.musyawarah
umum untuk menentukannya.”
Mendengar kata-kata orang yang ternyata
sangat adil dan berjiwa besar, walaupun cara menangnya itu masih meragukan,
tapi ilmu silatnya memanglah sangat tinggi, maka segera ada beberapa anggota
Kay-pang bersorak memuji ucapannya itu.
“Dan ksatria manakah yang sekiranya masih
ingin naik panggung buat memberi petunjuk?” kemudian Ho
Su-ngo berseru sambil memberi hormat di depan panggung.
Baru selesai ia bicara, mendadak terdengar Su
Pek-wi bersuit sekali, lalu beratus ekor binatang buas yang mengelilingi
sekitar lapangan itu meraung keras sembari berdiri.
Melulu suara raungan seekor dua-ekor harimau
atau singa saja sangat menggetarkan apalagi kini beratus ekor meraung berbareng,
keruan suaranya seakan-akan gugur gunung dan memecah bumi, mangkok piring di
atas meja perjamuan para pahlawan ikut bergoncang gemerincing suaranya.
Di bawah suara raungan binatang-binatang buas
yang-keras itu, berbareng Se-san it-khut-kui dan keempat saudara Su lantas
meloncat ke samping panggung, senjata mereka lolos, panggung itu sudah
terkepung rapat.
Pada saat itulah dari jalan datang yang
diterangi sinar obor tampak masuk delapan orang dengan obor terangkat diatas
tangan. Terdengar mereka berseru lantang: “Sin-tiau hiap mengaturkan selamat
berulang tahun kepada nona Kwe Yang dan inilah hadiah ketiga yang beliau
bawa!”.
Terlihat kedelapan orang itu cepat sekali
sudah berada dihadapan Kwe Yang, nyata orang-orang itu telah mengunjukkan
betapa tinggi ilmu entengi tubuh mereka yang cepat dan gesit.
Segera kedelapan orang itu membungkuk memberi
hormat pada Kwe Yang dan masing-masing memberitahukan namanya sendiri-sendiri.
Para pahlawan menjadi kaget demi mendengar
nama-nama mereka. Ternyata seorang Hwesio yang paling depan itu adalah Bunsik
Siansu, itu pengawas gereja Siau-lim-si, yang lain-lain diantaranya ialah
Tio-lokunsu, Jing-ling-cu cs., semuanya adalah tokoh-tokoh terkemuka angkatan
tua dari dunia persilatan yang sangat disegani.
Namun Kwe Yang tidak peduIikan betapa tenar
nama orang-orang itu, ia hanya berbangkit membalas hormat dengan ber- seri2,
katanya: “Banyak terima kasih para paman dan mamak2 telah sudi berkunjung
kemari. Barang permainan apakah yang kalian bawa untukku?”
Segera empat orang yang mengangkat empat
ujung sebuah kantong besar terus menarik pelahan, maka terdengarlah suara
sobeknya kain, kantong itu pecah menjadi empat potong dan dari dalam lantas
menggelinding keluar seorang Hwesio berkepala gundul.
Ketika Hvvesio itu menyentuh tanah, cepat
orangnya lantas melompat bangun, gerak tubuhnya ternyata gesit luar biasa,
Segera tertampak wajah si Hwesio ini merah padam saking gusarnya, mulutnya mengomel
tiada hentinya dalam bahasa yang tak dikenal, entah apa yang dia katakan.
Tapi Kwe Ceng dan Ui-Yong segera kenal Hwesio
ini adalah murid Kim lun Hoat ong, yaitu Darba, Sungguh aneh, entah cara
bagaimana ia telah kena ditawan oleh Bu-sik Siansu dan Tio lo-kunsu cs.
Mula-mula Kwe Yang menyangka dalam kantong
itu tentu berisi kado yang menyenangkan, siapa tahu isinya adalah seorang
paderi Tibet yang mukanya kasar jelek, maka ia rada kecewa. Katanya: “Buat
apakah Toakoko mengirimkan hadiah seperti ini padaku? Aku tidak suka. Dimanakah
dia sekarang, kenapa belum datang?”
Namun kedelapan orang itu tidak menjawab-nya,
di antaranya Jing-ling-cu sudah lama tinggal di daerah Tibet dan fasih bicara
bahasa Tibet, maka ia mendekati Darba dan bisik-bisik ditelinganya. Menyusul
itu segera wajah Darba kelihatan terperanjat, matanya tanpa berkedip memandangi
Ho Su-ngo yang berada di atas panggung.
Lalu Jing-ling-cu berkata lagi dua patah kata
bahasa Tibet dengan keras sembari mengangsurkan gada emas yang dipegangnya kepada
Darba.
Gada emas itu adalah senjata Darba sendiri,
ia telah dikeroyok oleh kedelapan tokoh terkemuka itu hingga tertawan,
senjatanya pun terampas.
Kini sesudah mendengar kisikan Jing-ling-cu,
mendadak ia melompat ke atas panggung.
“Nona Kwe,” kata Jing-ling-cu kemudian pada
Kwe Yang, “Hwesio ini bisa sunglapan, maka Sin-tiau-hiap suruh dia naik panggung
memberi pertunjukan sunglap, cobalah kau melihatnya.”
“O, kiranya begitu,” sahut Kwe Yang.
“Emang-nya aku lagi heran, untuk apa Toakoko membuang tenaga begitu banyak melulu
membawakan seorang Hwesio kepadaku?”
Sementara itu Darba sedang bicara keras-keras
terhadap Ho Su-ngo, cuma bahasanya “kilikuIuk”, sukar dimengerti apa yang dia
katakan.
“Hai, Hwesio, kau berkata apa, sedikitpun aku
tak paham,” demikian Ho Su-ngo membentak.
Mendadak Darba jinjing gada emasnya melangkah
maju terus mengemplang kepala Ho Su-ngo.
Ho Su-ngo berkelit, namun Darba ayun gada
emas yang gede itu merangsak terus, dengan bertangan kosong harus melawan
senjata yang begitu berat, terpaksa Ho Su-ngo harus main mundur.
Melihat Hwesio Tibet ini begini garang,
seketika anggota2 Kay-pang yang lain menjadi “solider” pada Ho Su-ngo, mereka sama
berteriak begitu pula segera Nio-tianglo membentak:
“Hai, Hwesio, jangan serampangan, kau harus tahu
dia adalah bakal Pangcu perkumpulan kami.”
Namun Darba sama sekali tak menggubris,
gadanya berputar begitu cepat hingga berwujud suatu lingkaran emas dengan
samberan angin yang semakin dahsyat.
Karena itu, ada 6-7 anak murid Kay-pang yang
tak tahan lagi, mereka melompat ke pinggir panggung hendak membantu sang kawan,
tapi Jing-ling-cu dan rombongannya, Se san it-khut-kui dan kelima saudara she
Su yang seluruhnya berjumlah 23 orang telah mengepung rapat panggung dan meng-halang-alangi
orang lain naik ke atas panggung, sekalipun anggota Kay-pang berjumlah banyak,
tapi sesaat juga tidak bisa menerobos lewat.
Sedang keadaan agak kacau, tiba-tiba
Jing-ling-cu melompat ke atas panggung dan mencabut pentung besi Ho Su ngo yang
ditancapkan dipinggir panggung tadi. Terkejut sekali Ho Su-ngo, cepat ia hendak
merebut kembali senjatanya itu, tapi kena didesak oleh gada emas Darba, selangkahpun
ia tak bisa menggeser.
Betapapun Oey Yong yang biasanya sangat
cerdik, dalam keadaan demikian ia menjadi bingung juga dan tidak tahu sebab apa
Yo Ko telah mengirim tokoh-tokoh silat ini dating mengacau, apakah maksud
tujuannya yang sebenarnya.
Kalau mengingat hadiah ulang tahun yang di
berikannya pada Kwe Yang yang pertama dan kedua semuanya sangat berpaedah bagi
Siangyang, rasanya hadiah ketiga ini tidak mungkin bersifat permusuhan. Sebab
itulah, Kwe Ceng dan Oey Yong suami-isteri berpeluk tangan saja menyaksikan
perkembangan selanjutnya.
Yalu Ce sendiri meski sudah digulingkan Ho
Su-ngo kebawah panggung, tapi ia ber-cita2 meneruskan usaha ibu mertua dan
berniat mati-matian membela Kay-pang, kini melihat Ho Sungo keripuhan didesak
Darba, tanpa pikir lagi ia membentak: “Jangan kuatir, Ho-heng, biar aku
membantu kau!”
Tapi ketika ia melompat ke pinggir panggung
itu, mendadak seorang telah berseru padanya: “Siapapun dilarang naik panggung!”
Berbareng tangan orang itupun dipalangkan buat merintangi.
Segera Yalu Ce mcnyampuk tangan orang, tapi
sekali membalik, orang itu malah hendak menangkap tangan Yalu Ce, gerakannya
ternyata bagus sekali, betapa besar tenaga dalamnya juga lain dari pada yang
lain.
Keruan Yalu Ce terkejut waktu ia pandang
orangnya, kiranya dia adalah Su Siok kong, tokoh ketiga dari kelima saudara Su.
Beberapa kali Yalu Ce berubah gerak tipu
lain, tapi tak mampu mendesak mundur Su Siok-kong, diam-diam ia terkejut dan
lieran: “Orang ini hanya anak buah Sm-tiau hiap saja sudah begini lihay, lalu
Sin-tiauhiap yang memerintah dan menyuruh tokoh-tokoh silat yang begini
banyaknya, ia sendiri entah tokoh macam apa?”
Sementara itu Ji ling-cu telah angkat tinggi2
petung besi milik Ho Su-ngo yang dirampasnya tadi dan menggembor “Wahai, para
ksatria sekalian, lihatlah, barang apakah ini?”
Habis itu mendadak ia ayun sebelah tangannya
dan membelah ke tengah-tengah pentung besi itu, “krak” pentung besi itu pecah
oleh belahan telapak tangannya.
Ternyata pentung itu tengahnya bolong, ketika
Jing-ling-cu menarik pentung yang pecah itu, di dalamnya lantas tertampak
sebatang pentung bambu yang hijau mengkilat.
Melihat pentung bambu ini, sesaat anggota2
Kay-pang terdiam, tapi menyusul beramai-ramai mereka lantas berteriak: “He,
itulah Pak-kau-pang milik Pangcu!”
Beberapa anak murid Kay-pang yang lagi
bergebrak dengan Su-si Hengte dan Se-san-it-khut-kui segerapun melompat mundur,
mereka menjadi heran. Pak-kau-pang atau pentung pemukul anjing, pentung
simbolis dari Pangcu mereka kenapa tersembunyi didalam pentung besinya Ho Su-
ngo dan kenapa ia merahasiakannya? Sungguh mereka tidak habis mengerti.
Dalam heningnya itu semua orang menantikan penjelasan
Jing- ling-cu, siapa tahu Jing-ling-cu tidak lagi bicara, ia melompat ke bawah
panggung dan menyerahkan pentung bambu itu kepada Kwe Yang.
Melihat barang itu, Kwe Yang lantas teringat
pada orangnya, terkenang olehnya suara dan wajah tertawa Loh Yu-ka, ia menjadi
berduka, dengan khidmat ia angsurkan pentung bambu itu kepada ibunya.
Tatkala itu tipu serangan gada emas Darba
semakin gencar, Ho Su-ngo hanya mampu berkelit dan mengegos kian kemari,
berulang2 ia menghadapi berbagai bahaya.
Tapi kini Ho Su-ngo tidak mendapat simpatik
dari siapapun lagi, sesudah orang-orang Kay-pang melihat “Pentung pemukul
anjing” tadi, mereka menduga sebabnya Jing-ling-cu menawan Darba kemari untuk
menempur Ho Su-ngo tentu ada maksud tujuannya.
Dalam pada itu belasan jurus
berlalu lagi, tampaknya Ho Su-ngo pasti akan binasa di bawah gada emas, saat itulah mendadak
Oey Yong ingat sesuatu.
“Ho Su-ngo telah melukai Ce-ji, sudah terang
dalam lengan bajunya tersembunyi senjata, kenapa detik berbahaya ini masih
belum dikeluarkannya buat melawan musuh?”
Ia lihat waktu itu gada emas Darba telah
menyerang dan Ho Su-ngo terpaksa melompat berkelit. Tapi tiba-tiba Darba tegakkan
gadanya terus menyodok ke atas.
Saat itu Ho Su-ngo terapung diudara, sodokan
ini betapapun tiada jalan buat menghindar terdengarlah suara “creng” nyaring
beradunya senjata, berbareng itu Ho Su-ngo sempat melompat ke samping,
ditangannya tahu-tahu sudah bertambah semacam senjata yang berbentuk pendek.
Tampak Darba semakin murka, ia mencaci–maki
kalang-kabut dan gada emasnya diputar semakin cepat. Namun sesudah pegang
senjata, keadaan terdesak Ho Su-ngo tadi lantas berubah, segera iapun “unjuk
gigi”, ia menutuk, menjodoh, menusuk dan menghantam, sungguhpun senjata pcndek,
tapi tipu-tipu serangannya ternyata sangat hebat, keadaan menjadi sama kuat
sekarang.
Setelah menyaksikan sebentar lagi, tiba-tiba
Cu Cu-liu menjadi paham, serunya: “Aha Kwe-hujin, sekarang tahulah aku siapa
dia. Cuma masih ada sesuatu yang aku belum mengerti.”
Oey Yong terscnyum, rupanya lebih dulu iapun
sudah tahu, maka jawabnya: “ltu karena mukanya dipoles dengan campuran tepung,
madu, hm dan lain-lain bahan pelekat.”
Yalu Ce, Kwe Hu dan Kwe Yang waktu itu
berdiri disamping sang ibu, tapi mereka menjadi bingung mendengar percakapan
itu.
“Cu-lopek, kau maksudkan siapakah?” tanya Kwe
Hu.
“Aku maksudkan Ho Su-ngo yang melukai suamimu
itu” sahut Cu-liu.
“Kenapa? Apakah dia bukan Ho Su-ngo? Lalu
siapa?” Tanya Kwe Hu lagi.
“Coba kau perhatikan senjata apa yang dia
pakai?” ujar Cu-liu.
Kwe Hu mencoba mengamat-amati, sejenak
kemudian, katanya: “Panjang senjatanya tiada satu kaki, memang aneh bentuknya,
bukan Boan koao-pit, bukan Oo ht-ji, juga bukan Tiam-biat kut.”
“Kau harus peras otak berpikir dulu,” sela
Oey Yong. “Sebab apakah dia tak mau pakai senjatanya sejak tadi, tapi lebih suka
menerima resiko dan selalu berkelit saja, sampai akhirnya sesudah terdesak
benar-benar oleh Hwesio itu barulah ia lolos senjatanya? ia melukai Ce-ji
dengan senjata, sebab apa pula harus menyiapkan obor lebih dulu?”
“Ya, tahulah aku sekarang, tentu ia kuatir
ada orang yang hadir ini kenal senjata dan gerak tipu-nya, maka tidak berani unjuk
corak aslinya,” kata Kwe Yang.
“Bagus, memang Kwe-jisiocia sangat pintar,”
puji Cu-liu.
Mendengar adik perempuannya dipuji, dalam
hati Kwe Hu menjadi iri, katanya: “Tak mau unjuk corak asli apa katamu? Bukankah
terangan ia berdiri diatas panggung? Kan siapapun dapat melihatnya?”
Tapi Kwe Yang segera ingat lagi kata-2 sang
ibu tadi, maka ia raenyambung pula: “Ah, kiranya dekak dekuk bekas koreng
dimukanya itu semuanya adalah palsu, Mukanya sungguh menakutkan sekali aku
melihatnya, tak sudi melihatnya untuk kedua kalinya.”
“Ya, semakin jelek dan semakin seram ia
menyamar, semakin jejaknya tak diketahui sebab semua orang jenuh pada mukanya yang
jelek hingga sungkan memandang padanya, dengan begitu, muka palsu itu meski ada
sedikit keganjilan juga tidak mudah diketahui orang”, kata Oey Yong.
“Ai menyamar selama 16 tahun, sesungguhnya
bukan suatu pekerjaan mudah.”
“Bentuk muka bisa dipalsu, tapi ilmu silat
dan gerak-geriknya tak mungkin dipalsukan, ilmu kepandaian yang sudah terlatih
berpuluh tahun, mana bisa berubah begitu saja,” ujar Ciu-liu.
“Kalian maksudkan Ho Su-ngo itu palsu? Kalau
begitu siapakah gerangannya?” tanya Kwe Hu. “Adik, kau yang pintar, coba
terangkan.”
“Aku sedikitpun tidak pintar, maka sedikitpun
tidak tahu,” sahut Kwe Yang geleng-geleng kepala.
“Toasiocia (puteri pertama) sendiri sudah
pernah meliha dia, tatkala itu Jisiocia malah belum lahir,” kata Cu-liu tersenyum,
” 17 tahun yang lalu ditengah perjamuan besar kaum ksatria di Heng-ci-koan, ada
seorang telah menempur aku sampai beratus jurus, siapakah dia?”
“He, dia Hotu?” seru Kwe Hu. “Ah, tidak,
bukan dia. Ehm, ia memakai senjata kipas lempit, senjata inilah agaknya rada mirip,
Ya, ya, kipasnya ini tinggal tulang kipas saja tanpa muka kipas, maka seketika
susah dikenali.”
“Pertarunganku dengan dia dahulu itu adalah
ialah satu kejadian berbahaya selama hidupku, maka tipu serangan dan gerak
tubuhnya tidak nanti kuIupakan,” ujar Cu-Iiu pula, “Jika orang ini bukan Hotu,
ha, aku she Cu inilah yang bermata lamur!”
Ketika Kwe Hu memandang keatas panggung pula,
ia lihat gerak langkah Ho Su-ngo kini ternyata sangat gesit, serangannya sangat
keji, lapat-lapat memang benarlah si Hotu yang pernah dilihatnya dahulu, cuma
dalam hati ia masih banyak yang tidak paham, maka tanyanya pula: “Tapi jika
benar ia adalah Hotu, padahal paderi Tibet ini adalah Suhengnya, masakan mereka
tidak kenal, sebaliknya saling gebrak secara begitu hebat?”
“Justru Darba mengenali orang itu adalah
Sutenya, maka ia melabraknya dengan mati-matian,” sahut Oey Yong. “Tahun itu
waktu pertarungan sengit di Tiong-yang-kiong, Cong-lam-san, dengan sebilah
“Hian-tiat-kiam” (pedang besi murni) Nyo Ko telah menindih Darba dan Hotu ke
bawah, melihat jiwa
terancam, mendadak Hotu gunakan akal licik,
ia mengkhianat buat selamatkan jiwa sendiri, kejadian ini disaksikan orang banyak,
tentunya kaupun mendengar cerita orang?”
“O, kiranya begitulah hingga Darba benci
padanya,” ujar Kwe Hu.
Mendengar ibunya bercerita tentang Yo Ko
dengan sebilah pedang menindih Hotu dan Darba ke bawah, Kwe Yang jadi terbayang
betapa gagah perwiranya Yo Ko dimasa dahulu, tanpa terasa ia kesemsem.
“Dan kenapa ia berubah menjadi pengemis?
Sebab apa pula Pak-kau-pang bisa berada ditangan-nya?” Kwe Hu menegas.
“Bukankah itu sangat sederhana?” jawab Oey
Yong. “Hotu telah mendurhakai Suhu dan khianati Suheng, sudah tentu ia takut
dicari mereka, maka ia sengaja menyamar dan ganti corak menyelundup ke
Kay-pang, sedikitpun tidak menimbulkan curiga dan lambat laun meningkat hingga
anak murid ber-kantong lima, dengan begitu orang-orang Kay-pang tiada yang
curiga, Kim-lun Hoat ong lebih tak bisa
menemukannya.
Tapi manusia jahat yang berhati dengki tidak
mungkin mau terpendam begitu saja hidupnya, bila ada kesempatan, segera ia
jalankan muslihatnya lagi, Hari itu ketika Loh pangcu meronda keluar kota,
diam-diam ia sembunyi di sana dan tiba-tiba membokongnya, tapi cara turun
tangannya telah membongkar rahasianya, pula ia tinggalkan murid Kay-pang yang
masih bernyawa itu agar menyampaikan bahwa yang membunuh Loh Yu ka adalah Hotu.
Sesudah Pak-kau-pang dapat direbut-nya, lalu disembunyikan
dalam pentungnya, ia menunggu saatnya pemilihan pangcu lantas muncul ikut
memperebutnya. Dengan ilmu silatnya yang memang tinggi, sudah tentu tidak
terlalu susah baginya untuk merobohkan para ksatria, malahan ia sengaja
kemukakan syarat tentang “menemukan pentung pemukul anjing”, suatu syarat yang
memang menjadi peraturan Kay-pang turun-temurun, dengan sendirinya tiada yang
bisa mendebatnya. Ai, keparat Hotu ini benar-benar pintar berpikir panjang.”
“Tapi ada Kwe-hujin disini, meski dapat
mengelabuhi orang untuk sementara, akhirnya juga tak bisa mendustai kau,” ujar
Cu Cu-liu tertawan.
Oey Yong tersenyum tak menjawabnya, dalam
hati ia berkata: “Kalau ia menyelundup ke Kay-pang dan tidak unjuk sesuatu
tanda mungkin masih bisa mengelabuhi aku, tapi kalau ingin menjadi Pangcu
itulah terlalu meremehkan-aku Oey Yong”
“Dan si Yo Ko juga hebat benar, ternyata
dapat diketahuinya muslihat Hotu ini, pentung pemukul anjing dapat direbutnya
kembali, kedok Hotu juga kena dibongkarnya dan dihadiahkan pada Kwe jisoacia
sebagai kado ulang tahun, sungguh hadiah ini tidak kecil,” ujar Cu-liu.
“Hm,” kukira itupun kebetulan saja dapat
di-ketahuinya,” jengek Kwe Hu.
Tapi Kwe Yang lantas ingat sesuatu, katanya:
“Hotu ini sengaja menyamar sebagai pengemis muka jelek dalam Kay pang dan
sengaja mengacau, Su -samsiok dari kelima saudara Su itupun pernah di-lukainya,
mungkin sekali Su-samsiok sengaja mencarinya untuk membalas sakit hati dan
akhirnya
telah menemukan jejaknya.”
“Benar,” sahut Oey Yong, mengangguk,
“dikalangan Kangouw sering kah diketahui jejak Hotu, orang lain sekali-sekali
tak pernah menyangka bahwa Ho Su-ngo dari Kay-pang adalah orang yang sama
dengan dia. Tapi seorang yang terlalu tinggi hati, pada suatu hari pasti
terjungkal dan terbuka kedoknya.”
“Tapir” sela Kwe Hu, “sebab apa dia sendiri
bilang akan membunuh Hotu? Bukankah itu sangat bodoh?”
“ltu hanya kata-kata untuk menutupi kedoknya
saja supaya orang iain tak mencurigainya,” kata Oey Yong.
Dilain pihak Kwe Yang sedang komat-kamit
perlahan: “Tentu hari itu ia telah mendengar semua perkataanku ketika aku
menyembahyangi arwah Loh-pepek di kelenteng Yo-tayhu. Karena tahu hatiku
berduka sebab Loh pepek terbunuh musuh, maka ia lantas mencari pembunuhnya ini.
Dan dia
sendiri, kenapa masih belum datang?”
Tengah bicara, pertarungan Darba dan Hotu di
atas panggung semakin sengit. Kedua orang berasal dari satu guru, masing-masing
cukup kenal kepandaian lawan, Darba menang dalam hal tenaga lebih besar, tapi
Hotu lebih unggul akan kecepatan dan kegesitan, maka sudah ratusan jurus
keduanya
masih seimbang saja.
Mendadak sontak Darba menggertak, gada
emasnya ditimpukkannya ke arah Hotu secepat kilat Gada emas ini beratnya lebih
30 kati, ditimpukkan lagi, gaya meluncurnya menjadi lihay sekali.”
Terkejut Hotu, selamanya belum pernah melihat
gerak serangan sang Suheng ini. lekas-lekas ia mengegos, tapi Darba sudah
memburu maju, telapak tangannya mendorong dan mendadak gada emas itu memutar
arah terus memburu Hotu puIa.
Sungguh tidak kepalang terperanjat Hotu,
barulah sekarang ia tahu selama belasan tahun ini sang Suheng sudah banyak
mendapat tambahan ilmu Lwekang lagi dari sang Suhu, kepandaian menimpuk gada
ini persis gayanya seperti Kim-lun Hoat-ong meluncurkan kelima rodanya yang
terbikin dari “Panca logam” itu, melihat tenaga timpukan gada itu sangat keras,
sekali-kali tak sanggup ditangkis dengan kipas, terpaksa Hotu berkelit pula,
Gada itu menyamber lewat dua tiga senti di atas kepalanya.
Namun makin ditimpuk dan didorong, gada emas
Darba itu semakin cepat, obor yang menyala di sekitar panggung itu sampai
ter-goncang2 oleh angin samberan hingga sebentar terang, sebentar gelap, Hotu
tak berani ajal, ia melompat ke sana kemari, di bawah ancaman gada yang
me-nyamber2,
melihat keadaan yang menggetarkan itu, semua
orang yang menyaksikan ikut terperanjat.
Sampai timpukan yang ke-18 mendadak Darba membentak
keras, gada emasnya bagai panah meluncur ke depan Hotu tak sanggup-berkelit
lagi, terdengarlah segera suara benturan yang keras, dada dan badannya terus
lemas terkulai di atas panggung tak berkutik lagi.
Sesudah ambil kembali gada emasnya, Darba
menggerung menangis tiga kali, lalu ia duduk sila di depan mayat Sute itu membacakan
doa, habis ia melompat turun dan mendekati Jing-ling-cu, gada emas itu diangkat
tinggi2 hendak dikembalikan pada orang.
Tapi Jing ling-cu tak menerimanya, katanya
“Selamat, kau berhasil cuci bersih sampah perguruanmu, Sin-tiau-hiap telah mengampuni
kau, supaya kau-pulang ke Tibet dan selanjutnya tak boleh menginjak daerah
Tionggoan lagi.”
“Banyak terima kasih pada Sin-tiau-tayhiap,
hamba menurut perintahnya.” sahut Darba, Lalu ia memberi hormat dan pergi.
Melihat Hotu menggeletak mati di atas
panggung, mukanya bengkak seram, tapi Kwe Hu masih tak mau percaya muka
demikian ini adalah palsu.
Tiba-tiba ia cabut pedangnya dan melompat ke
atas panggung, dengan ujung pedang ia hendak iris batang hidung Hotu, serunya:
“Biarlah kita melihat muka asli bangsat ini bagaimana macamnya?”
Tak terduga, mendadak terdengar Hotu
membentak sekali, tahu-tahu melompat tinggi, kedna telapak tangannya terus menghantam
dengan ganasnya.
Kiranya oleh sodokan gada tadi, meski terluka
parah sekali, tapi seketika jiwanya masih belum melayang. Dasar Hotu memang
licik maka ia sengaja tak berkutik, ia menunggu kalau-kalau Darba mendekatinya
dan hendak membalasnya dengan sekali hantam pada saat sebelum ajalnya, agar
gugur bersama..
Siapa tahu Darba hanya membacakan doa supaya arwahnya
menuju alam baka, lalu turun panggung sebaliknya Kwe Hu yang datang mengiris
hidungnya.
Hantaman Hotu ini boleh dikata seluruh sisa
tenaga yang masih ada telah dikeluarkan seluruhnya. Keruan Kwe Hu terkejut
sekali, sesaat ia menjadi lupa mengayun pedang buat menahan serangan musuh,
pula kutang berduri landak sudah dipinjamkan suaminya, tampaknya jiwanya
sekejap saja pasti akan melayang oleh hantaman kedua tangan Hotu.
Dalam terkejutnya Kwe Ceng, Oey Yong dan Yalu
Ce berbareng hendak melompat keatas panggung.
Untuk menolongnya tapi terang tak keburu
lagi. Pada detik berbahaya itulah, tiba-tiba terdengarlah suara mencicit dua
kali, tahu-tahu dari udara menyambar dating dua senjata rahasia dengan pesat sekali
dari kanan-kiri dan sekaligus mengenai dada Hotu.
Kedua senjata rahasia itu bentuknya sangat
lembut, tapi tenaganya luar biasa besarnya, tanpa ampun lagi tubuh Hotu terjengkang
merosot ke bawah panggung mulutnya memuntahkan darah dan benar-benar binasalah
sekarang. Dengan ternganga kaget semua orang coba memandang ke arah darimana
datangnya senjata rahasia itu, tapi tertampak bintang suram, bulan guram,
langit gelap, lebih dari itu suasana sunyi senyap saja. Di depan panggung tegak
berdiri dua tiang bendera yang
besar dan tingginya beberapa tombak, agaknya
senjata rahasia itu disambitkan masing-masing dari kedua talang tiang bendera
yang tinggi itu.