Senin, 24 Desember 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 105



Kembalinya Pendekar Rajawali 105


“Memangnya akupun berpikir begitu,” ujar Oey Yong, “Karena kuatir ada yang ketinggalan tak di undang, maka orang gagah mana saja, walaupun tidak terlalu dikenal juga kita kirimkan kartunya. Tapi apa yang kulihat tadi jelas sekali ada seorang tokoh besar yang merasa sakit hati hingga akan
mengadakan suatu perjamuan besar kaum ksatria untuk mengkonkireni kita.”
Namun Kwe Ceng yang berjiwa luhur dan berhati terbuka, bukannya iri, sebaliknya ia girang, katanya. “Aha, itulah kebetulan jika ada seorang Enghiong yang bercita2 sama, itulah paling baik. Kita akan mendukung dia sebagai Bengcu (ketua perserikatan) dan biar dia memimpin para ksatria untuk melawan MongoI, kita sendiri tunduk pada perintahnya saja.”
Namun Oey Yong lantas mengkerut keningnya, katanya: “Tapi melihat tindak-tanduknya, tidak mirip hendak melawan musuh, ia telah kirim undangan kepada Tio-lokunsu di Sinyang, Liong-ah Thauto di Oh-ah-san, Thio-toagocu dan lain-lain lagi.”
Tapi Kwe Ceng malahan bertambah girang, ia tepuk meja serta berseru: “Ha, jika orang ini sanggup mengundang Tio-lokunsu, Liongah Thauto dan Thio toagocu ke Siangyang, pasti kekuatan kita akan bertambah bcsar. Yong-ji, tokoh-tokoh seperti itu, kita harus bersahabat baik-baik dengan mereka.”
Namun Oey Yong tidak menyahut lagi, sementara itu petugas memberitahu bahwa tamu-tamu telah datang hingga terpaksa Kwe Ceng dan Oey Yong sibuk menyambut.
Saking sibuknya harus menyambut tetamu yang dating ber-bondong-bondong dari segala pelosok itu, terhadap pengalamannya semalam sementara tak sempat dipikirkan lagi oleh Oey Yong.
Esok harinya adalah Eng-hiong-tay-hwe, pertemuan besar ksatria itu tidak kurang disediakan 400 meja perjamuan, komandan militer kota pemerintah Song, Lu Bun-hwan, telah menyuguh sendiri arak kehormatan kepada para ksatria atau pahlawan itu.
Dalam perjamuan, ketika semua orang berbicara tentang keganasan serdadu Mongol yang membunuh rakyat dan merebut tanah airnya, semua orang merasa murka sekali, beramai-ramai semua orang akan bertempur matian melawan musuh -”
Dan malam itu juga dengan suara bulat Kwe Ceng dipilih sebagai Bengcu atau ketua perserikatan, semuanya bersumpah dengan darah dan berjanji melawan musuh hingga titik darah penghabisan.
Di lain pihak sesudah hari itu Kwe Yang bertengkar dengan sang Taci di kelenteng Yo-taybu serta menyatakan takkan ikut hadiri perjamuan besar ksatria itu, betul juga ia tak menampakkan diri melainkan makan-minum sendirian dikamarnya, katanya pada dayang yang melayaninya: “Taci pergi menghadiri perjamuan ksatria itu, aku sendirian enak-enak makan-niinum, masa kalah gembiranya daripada dia?”
Kwe Ceng dan Oey Yong sendiri lagi pusatkan pikiran untuk menghadapi musuh, sudah tentu mereka tak sempat menilik kelakuan anak dara yang lagi ngambek itu, Kwe Ceng boleh dikatakan sama sekali tak tahu menahu.
Oey Yong pernah juga menanyakan, tapi iapun tahu adat puteri kecil itu memang aneh, maka ia hanya ganda tersenyum saja.
Dalam perjamuan besar itu kebanyakan para pahlawan adalah jago minum, sesudah banyak minum hingga pengaruh alkhohol sudah bekerja, lantas saja banyak yang lupa daratan,  ada juga yang lantas memamerkan ilmu silat mereka sebagai selingan.
Betapapun juga akhirnya Oey Yong terkenang pada puteri kecilnya itu, maka katanya pada Kwe Hu: “Coba kau pergi memanggil adikmu itu keluar untuk melihat keramaian ini, perjamuan seperti ini, selama hidup orang belum tentu dapat menyaksikannya satu kali.”
“Ah, aku justeru tak mau mengundangnya,” sahut Kwe Hu.
“Adik memangnya lagi ngambek dan ingin mencari gara-gara padaku, bukankah aku cari penyakit bila pergi kesana.”
“Biar aku saja menyeret Ji-ci kemari,” ujar Kwe Boh-lo.
Lalu iapun berbangkit dan menuju kebelakang. Tapi tak lama Boh-lo telah kembali sendirian, belum lagi ia buka suara atau Kwe Hu sudah mendahului berkata: “Gimana?
Aku kan sudah bilang ia takkan datang sekarang betul tidak?”
Melihat wajah puteranya itu penuh rasa keheranan segera Oey Yong bertanya: “Apa yang dikatakan Ji-ci?”
“Sungguh aneh, mak!” sahut Boh-lo. “Sebab apa?” tanya sang ibu.
“Kata Ji-ci, di kamarnya sedang diadakan perjamuan kecil kaum ksatria, maka takkan menghadiri perjamuan besar ksatria ini!” demikian Boh-lo menerangkan.
Namun Oey Yong hanya tersenyum, katanya: “Ji-cimu itu memang suka berpikir yang tidak-tidak, biarkanlah.”
“Mak, tapi di kamar Ji-ci benar-benar ada tetamunya,” kata Kwe Bob-lo lagi. “Diantaranya lima laki-laki dan dua wanita, semuanya lagi minum arak bersama Ji-ci.”
Dengar itu, mau tak-mau Oey Yong mengkerut kening, ia pikir anak dara ini makin lama semakin berani, masakah kamar seorang perawan memasukkan orang laki-laki untuk makan-minum sesukanya? sungguh nama julukan Siau-tong-sia yang diberikan orang benar-benar tidak salah.
Tapi hari ini semua orang lagi bergembira, tidak pantas untuk soal sekecil ini puteri itu harus didamperat hingga menghilangkan kegembiraan semua orang.
“Cobalah kau pergi mengundang teman2-adikmu itu agar minum arak ke ruangan besar ini, biar ramai-ramai bergembira bersama,” demikian katanya kepada Kwe Hu, Nyata ia mengira Boh-lo tak pandai menghadapi tamu, maka puteri sulung ini yang di suruhnya sekarang.
Kwe Hu sendiri memang juga heran dan ingin mengetahui kamar adiknya itu kedatangan tamu siapakah, ia cukup kenal watak sang adik yang tak pedulikan adat perbedaan laki-laki perempuan segala macam dan lapisan masyarakat suka bergaul, ia pikir teman yang lagi minum arak bersamanya itu tentu sebangsa orang-orang tak keruan.
Kini mendengar perintah sang ibu segera iapun berbangkit menuju ke kamar Kwe Yang.
Ketika hampir dekat kamar adiknya itu, terdengarlah suara anak dara itu lagi berseru: “Hai, Gin-koh, suruhlah koki membawakan lagi dua guci arak!”
Pelayan yang disebut itu menyahut sekali, lalu terdengar Kwe Yang menambahkan: “Dan pesan pula koki lekas masak dua paha kambing serta memotong 20 kati daging rebus yang hangat2.”
Maka pergilah pelayan menerima perintah itu. Kemudian terdengar suara seorang seperti bunyi gembreng pecah berkata pula: “Kwe-jikohnio (nona Kwe kedua) benar- bertangan sangat terbuka, sayang aku Jin-tu-cu tidak kenal sejak dulu, kalau tahu, sudah lama aku berkawan dengan kau.”
“Berkawan sekarang juga belum terlambat,” sahut Kwe Yang tertawa.
Mendengar percakapan itu, Kwe Hu mengkerut kening, waktu ia mengintip melalui sela-sela jendela, terlihatlah dalam kamar adiknya itu terletak sebuah meja pendek, delapan orang berduduk dilantai, diatas meja sendok-piring simpang siur tak ter-atur, perjamuan sedang berlangsung dengan meriahnya.
Yang duduk menghadap kemari terlihat adalah seorang gemuk gede, simbar dada hingga bulu dadanya yang hitam lebat itu kelihatan, disebelah kirinya adalah seorang sastrawan berjenggot cabang tiga, pakaiannya rajin bersih. Dan sebelahnya lagi adalah seorang wanita setengah umur, Cuma mukanya penuh codet bekas luka, sedikitnya berpuluh tempat.
Dan yang duduk disebelahnya lagi adalah segarang thauto berambut memakai sebuah ikat rambut emas yang berkilau2, ia sedang menggerogoti sepotong ayam panggang dengan lahapnya: Sedang tiga orang lainnya duduk mungkur, maka tak jelas muka mereka, agaknya yang dua adalah kakek2 yang beruban rambutnya dan seorang lagi adalah Nikoh (paderi wanita) berbaju hitam.
Kwe Yahg sendiri duduk diantara orang-orang itu, wajahnya yang cantik itu sudah bersemu merah, suatu tanda pengaruh alkohol, tapi anak dara ini asyik beromong tak pernah diam, nyata sekali hatinya sangat bergembira.
Tidak lama kemudian koki telah antarkan masakan yang diminta tadi, maka semuanya orang makan sepuas-puasnya pula, malahan yang minum dan makan paling banyak adalah si Nikoh berbaju hitam itu.
Diam-diam Kwe Hu pikir, melihat betapa gembiranya mereka, seumpama diundang keruangan besar di depan sana juga mereka tak mau pergi.
Dalam pada itu terlihatlah seorang kakek2 beruban diantaranya telah berdiri, lalu berkata: “perjamuan ini rasanya sudah mencukupi delapan bagian, biarlah hari ini kita sampai di sini saja, kelak kalau hari ulang tahun nona, pasti kami akan makan minum lebih besar pula, Kini orang tua ada sedikit hadiah. harap saja nona Kwe jangan mencela!”
Habis berkata, dikeluarkannya sebuah kotak terbungkus sutera dan diletakkan di meja.
“Pek-cau-siao hadiah apakah yang kau berikan itu, hayolah perlihatkan.” segera kakek yang lain berteriak. Sembari berkata iapun ulur tangan membuka kotak itu sendiri. Tapi  segera ia berseru tertahan: “Ah, ini adalah “Jian-lian-swat-som” (Kolesom salju berumur ribuan tahun), dari mana kau
memperolehnya?” - Lalu benda mestika itupun dijemputnya dan di-amat2i.
Dari sela-sela jendela dapatiah Kwe Hu melihat jelas kakek itu memegangi sebatang Jin-som seputih salju yang panjangnya kira-kira satu kaki, bentuknya menyerupai benar anak orok, kepala, tubuh dan anggota badan semuanya lengkap, malahan kulitnyapun bersemu merah, sungguh semacam benda mestika yang sukar didapatkan saking kagumnya hingga semua orang ber-keplok2 memuji.
Tampaknya kakek yang dipanggil Pek-cau sian atau Dewa Seratus Rumput itu menjadi senang, katanya: “Jian-lian-swat-som ini manjur menyembuhkan penyakit yang paling berat dan untuk memunahkan segala racun, boleh dikata khasiatnya dapat menghidupkan yang masti dan menyambung umur yang hidup. Bahwa nona hidup bahagia hingga berumur seabad, memangnya tak memerlukannya. Tunggu saja sampai hari ulang tahun seabad, ambil Jim som ini dan meminumnya agar nona panjang umur lagi seratus tahun, bukan kah sangat bagus.”
Semua orang bertepuk tangan sambil tertawa, mereka memuji kakek itu pandai mengucapkan kata-kata pujian.
Dalam pada itu orang gemuk gede yang bernama Jin-tuicu (si jagal orang) lantas mengeluarkan sebuah kotak besi juga, katanya dengan tertawa: “Nah, aku menghadiahi nona semacam mainan, hanya untuk bikin tertawa nona saja, tapi tak bisa dibandingkan dengan benda mestika hadiah Pek Cau-sian-ong tadi.”
Dan ketika kotak besi itu dijeplakkan, mendadak dari dalam kotak meloncat keluar dua Hwe-sio gemuk terbuat dari besi, panjangnya masing-masing kira-kira tujuh dim, lalu yang satu memukul dan yang lain menendang terus saling serang-menyerang.
Betapa lucu boneka besi itu hingga semua orang tertawa geli, Ternyata dari gerak gerik pukulan-pukulan kedua boneka besi itu adalah ilmu pukulan “Siau-limlo-han-kun” yang terkenal, tak lama kemudian, sesudah alat putaran (pergas) dalam boneka besi itu habis barulah mendadak kedua boneka itu berhenti dengan berdiri tegak, gayanya mirip jago silat kelas satu.
Melihat ini semua orang tidak sanggup tertawa lagi, sebaliknya mereka berwajah kuatir.
“Jin-tu-cu,” tiba-tiba wanita yang bermuka codet itu berkata, “jangan kau jaga mukamu, tapi malah mendatangkan penyakit bagi nona Kwe. Thi-lo-han” (orang-orangan besi) ini adalah milik Siau-lim-si, darimana kau dapat mencurinya?”
“Hehe,” sahut Jin-tu-cu tertawa, sungguhpun aku Jin-tu-cu bernyali sebesar langit juga tak berani coba-coba gerayangi Siau-lim-si, Tapi ini justeru adalah Bu-sik Siansu, itu paderi utama ruangan Lo-han-tong dari Siau-lim-si yang menyuruh aku membawanya kemari, ia bilang tepat pada hari ulang
tahun nona pasti akan sampai di Siangyang untuk member selamat. Nah, yang inilah baru benar-benar adalah hadiahku sendiri yang tak berarti!”
Habis berkata, ia buka lapisan bawah kotak besi itu hingga tertampaklah sepasang gelang kemala hitam.

Gelang hitam itu tertampak ber-kilat2, bentuknya tidak menarik, mendadak Jin-tu-cu melolos sebilah golok terus membacok gelang kemala itu, maka terdengarlah suara “trang” yang nyaring, golok itulah yang membal ke atas, sebaliknya gelang kemala tak kurang apapun.
Maka bersoraklah memuji semua orang, Menyusul itu lantas si sastrawan, Nikoh, Thau-to dan si wanita muka codet masing-masing juga memberi kado kepada Kwe Yang, semuanya barang aneh dan mestika yang jarang dilihat. Tentu saja Kwe Yang kegirangan, dengan senyum simpul semua kado itu diterimanya.
Menyaksikan itu Kwe Hu semakin terperangah sekali putar tubuh, segera ia lari kembali keruangan depan dan ceritakan semua apa yang dilihatnya kepada sang ibu. Mendengar itu kejut Oey Yong melebihi Kwe Hu, segera ia mengajak Cu Cu-liu dan bertiga masuk ke ruangan dalam. Lalu Oey Yong tuturkan apa yang dilihat Kwe Hu tadi kepada Cu-Iiu, itu murid tertua dari It-teng Taysu.
Cu Cu-liu ikut ter heran2, katanya: “Jin-tuicu dan Pek cau-sian? Mengapa mereka bisa datang ke Siangyang sini? si Nikoh berbaju hitam itu mungkin sekali adalah Coat hou-jiu Seng-in Suthay yang membunuh orang tak berkesip, sedang kipas lempit si sastrawan itu terlukis satu setan Bu-siang (setan gentayangan), ehm, apakah mungkin ialah Coan-lun-ong Thio It bin?”

Sembari berkata Oey Yong berulang-ulang mengangguk sebaliknya Cu-liu sendiri geleng-geleng kepala, katanya: “Tapi hal ini teranglah tak mungkin. berapakah usia nona Kwe, kecuali akhir2 ini pernah keluar sekali, selain itu belum pernah kakinya menginjak tempat lebih jauh 10 li di luar Siangyang, mana bisa ia kenal orang-orang kosen dari segala pelosok itu?
Pula, Bu-sik siansu dari Siaulim-si itu sudah berpuluh tahun tak pernah turun gunung, orang lain sengaja mohon bertemu saja ditolak, mana mungkin sekarang ia malah datang ke Siangyang melulu untuk memberi selamat ulang tahun kepada seorang nona? Menurut pendapatku, tentu nona cilik ini
sengaja bersekongkol dengan kawannya dan membesarkan segalanya untuk menggoda encinya.”
“Tapi nama-nama seperti Seng-in Suthay, Thio It-bin dan lain-lain jarang kita sebut-sebut, darimana Yang-ji bisa kenal mereka, hendak main-main juga tidak selengkap itu,” ujar Ui Yong termangu-mangu.
“Marilah kita coba menemui mereka menurut aturan, jika mereka adalah teman Kwe-jikohnio kedatangan mereka ke Siangyang ini pasti tiada maksud jahat,” kata Cu-Iiu kemudian.
“Akupun berpikir begitu,” sahut Oey Yong. “Cuma Seng-lo Suthay, Coan-lun-ong Thio It-biti dan lain-lain itu biasanya lurus2 serong tak tertentu, walaupun kita tak jeri, tapi kalau terlibat permusuhan, rasanya cukup akan bikin kepala pusing, kini pasukan musuh dekat didepan mata, betapapun tak boleh lagi memencarkan perhatian untuk melayani manusia-sia aneh ini…”
Sampai di sini, mendadak terdengar suara seorang bergelak ketawa di luar jendela dan berkata. “Kwe-hujin, kami datang ke Siangyang melulu untuk memberi selamat ulang tahun dan tiada maksud jahat lain, kenapa harus menjadi pusing kepala?”
Ketika mengucapkan “tiada maksud jahat, kenapa harus pusing kepala,” ternyata suara itu sudah menjauh.
Cepat Oey Yong, Cu Cu-Iiu dan Kwe Hu memburu ke pinggir jendeia, terlihatlah satu bayangan berkelebat diatas pagar sana, gerak tubuh itu cepat luar biasa, hingga sekejap saja sudah menghilang.
Sedianya Kwe Hu hendak mengudak, tapi Oey Yong telah menariknya “Jangan sembrono, tak mungkin kau bisa menyandaknya!” Dan ketika ia mendongak tiba-tiba terlihat di atas dahan pohon diluar itu tertancap sebuah kipas putih yang terpentang.
Kipas itu tingginya empat tombak lebih, Kwe Hu menduga dirinya tak mampu sekali loncat meraihnya, maka serunya: “Mak!”
Oey Yong meogangguk, dengan enteng saja ia meloncat, tangan kirinya menahan pelahan disuatu dahan terus mencelat naik pula keatas dan kipas itupun dapat dicabutnya turun.
Ketika mereka periksa kipas itu dibawah sinar lampu di dalam rumah, terlihatlah disebelah kipas itu terlukis setan Bu-siang putih yang lidahnya melelet panjang dengan muka berseri-seri, kedua tangannya terangkap mengunjuk hormat, disampingnya tertulis 14 huruf besar yang berbunyi.
“Selamat hari ulang tahun nona Kwe kedua, semoga hidup seabad dan berumur panjang”
Waktu Oey Yong membalik kipas itu, disebelahnya juga tertulis kata-kata. “Hek-ih-ni Seng-in, Pek- cau-sian, Jin tu-cuw Kiu-su-sing, Kau-bak Thauto, Han Bu hou dan Thio It-bin, menyampaikan salam hormat kepada Kwe-thayhiap serta Kwehujin, selamat hari ulang tahun puteri kesayangan kalian, kedatangan kami yang lancang ini tak berani lagi tinggal lebih lama, haraplah maaf, maaf.”
Beberapa baris tulisan itu belum kering tinta-nya, tulisannya kuat dan bergaya, Cu Cu-Iiu adalah ahli seni-tulis, maka segera ia memuji: tulisan bagus, tulisan bagus!”
“Nah, teranglah sekarang, marilah kita pergi melihat Yang-ji,” kata Oey Yong kemudian.
Waktu mereka sampai dikamar anak dara itu, pelayan sedang membersihkan sisa daharan dan mangkok piring kotor “Mak, Cu-pepek, Cici, lihatlah kalian, inilah kado yang kuterima dari tetamu,” demikian kata Kwe Yang segera.
Menyaksikan benda-benda seperti Jin-lian-swat-som, Tiat-lo-han kembar, gelang kemala hitam serta kado2 lain hadiah Coat-hou-jiu Seng-in Suthay dan Coan-luo-ong Thio It-bin cs., sudah tentu Oey Yong dan Cu-liu sama merasa heran sekali.
Ketika Kwe Yang menjeplak alat penggerak hingga sepasang boneka besi itu bersilat saling pukul puIa, tampaklah anak dara itu amat girangnya.
Oey Yong menunggu selesai kedua boneka itu memainkan “Lo-han-kun” dari Siau-lim-si itu, lalu tanyanya: “Yang-ji, sebenarnya apakah yang terjadi, coba ceritakanlah pada ibu.”
“Ah, biasa saja, beberapa kawan baru mengetahui aku Shejit (hari ulang tahun), maka mereka memberikan kado padaku,” sahut Kwe Yang tertawa.
“Darimana kau kenal orang-orang ini?” tanya sang ibu.
“Juga baru hari ini kukenal mereka.” sahut Kwe Yang.
“Tadi waktu aku seorang diri minum arak didalam kamar, tiba-tiba terdengar Han-cici, itu enci yang bernama Han Bu hou, menyapa diluar jendela, katanya: “Adik cilik, kami beramai-ramai mengiringi kau minum, mau tidak?”
Aku menyahut: “Baik sekali! Marilah masuk, marilah masuk!” -Dan merekapun melompat masuklah dari luar, malahan mereka menyatakan pada tanggal 24 tepat hari ulang tahun ku nanti mereka akan datang pula memberi selamat.
Ya, entah dari mana mereka tahu saat hari ulang tahunku. Mak, apakah mereka kenalanmu dan ayah. Bila tidak, kenapa mereka beri kado begini banyak padaku?”
“Ayahmu dan aku tidak kenal mereka,” sahut Oey Yong,
“Tentunya mereka datang atas undangan seorang sobatmu yang aneh, bukan?”
“Aku tidak punya sobat aneh, kecuali Cihu,” sahut Kwe Yang tertawa.
“Ngaco, Cihu-mu kenapa kau katakan aneh?” semprot Kwe Hu.
Kwe Yang me-Ielet2 lidah, sahutnya tertawa. “Sesudah menikahi kau, tidak anehpun Cihu ber-ubah aneh.”
Segera Kwe Hu angkat tangannya hendak memukul namun sambil terkikik Kwe Yang sembunyi di belakang sang ibu “Sudahlah, taci-adik jangan bergurau Iagi,” ujar Oey Yong,
“Coba, Yang-ji, jawablah, tadi Coan-lun-ong dan Pek-cau-sian itu me-nyebut2 tentang Eng hiong-tay-hwe yang akan kita adakan itu tidak?”
“Tidak,” sahut Kwe Yang. “Hanya kedua kakek yang bernama Pek-cau-sian dan Kiu-su-sing itu bilang sangat mengagumi ayah.”
Sesudah Oey Yong tanya lagi dan melihat Kwe Yang benar-benar tidak membohongi apa-apa, lalu katanya: “Baiklah, lekas tidurlah!” - Bersama Cu Cu-liu dan bersama Kwe Hu merekapun keluar dari kamar anak dara itu.
“Mak,” tiba-tiba Kwe Yang menyusul keluar kamar. “lni Jian-lian-swat-som agaknya sangat berfaedah, harap ibu memakannya separah dan ayah separoh.”
“Bukankah itu kado Pek-cau-sian untuk ulang tahunmu?” sahut Oey Yong.
“Aku sudah terlahir dan juga sudah besar, tapi tiada sedikit jasapun, tapi ibulah yang selama ini benar-benar terlalu capek,” ujar Kwe Yong.
Oey Yong pikir janganlah mengecewakan maksud baik puteri kecil ini, maka Jin-som itu diterimanya, bila terkeuang olehnya pada hari Kwe Yang dilahirkan lantas banyak mengalami hal-hal yang berbahaya tanpa terasa ia menghela napas.
Ketika Kwe Ceng kembali ke kamar dan bercerita pada sang isteri tentang semangat para ksatria yang bersatu padu dan siap berjuang sepenuh tenaga untuk melawan musuh, tampaknya ia menjadi luar biasa girangnya. Oey Yong menceritakan juga tentang kehadiran Seng in Suthay dan Pek-cau sian cs. dalam perjamuan Kwe Yang, seketika Kwe Ceng melengak. “Bisa terjadi hal begitu?” demikian ia menegas.
Ketika ia periksa Jian-lian-swat-som itu, ternyata memang benda mustika yang sukar diperoleh.
“Ha, nona cilik kita agaknya pengaruhnya jauh melebihi orang tuanya,” ujar Oey Yong tertawa.
Tapi Kwe Ceng tak bersuara, ia menunduk memikirkan tindak-tanduk orang-orang sebangsa Seng in Suthay, Coan lun ong dan Han Bu hou itu.
“Cing-koko,” kata Oey Yong pula, “urusan pemilihan Pangcu apa lebih baik dimajukan beberapa hari, bila tidak, sampai hari ulang tahun Yang-ji dan Bu-sik siansu cs. benar-benar dating rasanya terlalu banyak campur aduk orang-orang luar, mungkin akan terjadi hal-hal di luar dugaan.”
“Tapi aku malah ada suatu pikiran,” ujar Kwe Ceng, “Kita justeru tunggu sampai tanggal 24 baru mulai memilih pangcu agar suasana bertambah semarak. Bila Bu-sik siansu dan Liong-ah Thauto benar-benar hadir, kita lantas minta mereka agar suka bersatu padu melawan musuh penjajah, bukankah
demikian ini menjadi lebih baik?”
Namun aku kuatir kalau-kalau mereka hanya pura-pura datang memberi selamat saja, tapi tujuannya hendak mengacau,” sahut sang isteri, “Coba kau pikir, ada hubungan apakah mereka dengan Yang-ji yang masih kecil ini, masakah mereka datang melulu untuk memberi selamat Shejit padanya? Sejak dahulu kala yang lurus dan yang serong tidak pernah berdiri sejajar, mungkin masih ada sebagian besar ahli silat didunia ini yang tak suka kau diangkat menjadi Bu-lim Bengcu (ketua himpunan persilatan).”
Tiba-tiba Kwe Ceng berdiri dan terbahak-bahak. “Yong-ji,” katanya, “perbuatan kita asal tidak merugikan negara dan bangsa, tentang Bu-lim Bengcu ini siapapun yang menjabatnya bagiku serupa saja, Apalagi yang serong takkan menangkan yang lurus, jika mereka benar-benar bermaksud jahat, biar kita melayani mereka.
Kau punya “Pak-kau-pang hoat” (ilmu permainan pentung penggebuk anjing) dan aku punya “Hang-liong-sip-pat-ciang” (18 jurus ilmu pukulan penakluk naga) sudah ada belasan tahun tak pernah dipertunjukkan dan agaknya tidaklah perlu jeri pada orang”
Melihat semangat sang suami masih menyala-nyala tidak kurang daripada masa dahulu, maka kata Oey Yong dengan tertawa: “Baiklah aku menurut saja pada keputusan pimpinan.
Dan minumlah Jin-som salju dari Yang-ji ini, agaknya khasiatnya cukup membandingi latihan selama lima-enam tahun”
“Ah, tidak”" sahut Kwe Ceng, “kau sudah melahirkan tiga anak, kekuatanmu tentunya banyak berkurang, kaulah yang perlu tambah jamu kuat.
Nyata cinta kasih antara suami isteri itu benar-benar kekal, sesudah tolak menolak akhirnya Kwe Ceng berkata: “Sudanlah, biar Jin-som ini kita simpan saja. Beberapa hari lagi dalam pertarungan ksatria2 tentu ada kawan kita yang terluka, dan benda ini kita simpan untuk menolong jiwa mereka.”
Besok paginya perjamuan besar kaum ksatria itu masih terus dilangsungkan dan di kamar Kwe Yang perjamuan “kecil kaum ksatria juga tetap diadakan.
Sudah siang2 Oey Yong pesan koki agar memasak se-baik-baiknya untuk tetamu puteri kecilnya itu.
Kwe Hu sendiri sedang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk persiapan kemungkinan sang suami, yaitu Yalu Ce, yang bakal merebut kedudukan Pangcu Kay-pang. Maka terhadap urusan tamu-tamu aneh sang adik itu sama sekali tak dihiraukannya.
Beberapa hari keadaan demikian itu telah berlangsung dalam pertemuan para ksatria itu sudah selesai dirundingkan dan ditetapkan siasat cara bagaimana menggalang seluruh kekuatan kaum patriot dan cara mengacaukan bala bantuan Mongol serta pertahanan kota. Para pahlawan sama menggosok-gosok kepalan penuh semangat menanti datangnya musuh untuk bertempur.
Akhirnya tibalah tanggal 24, pertemuan besar sudah selesai, acara selanjutnya adalah pemilihan pangcu atau ketua Kay-pang, persatuan kaum jembel. sehabis makan siang, beramai-ramai para ksatria lantas menuju ke alun2 di selatan kota.
Di tengah alun2 itu terlihatlah satu panggung tinggi megah sudah dipasang, di atas panggung itu kosong bersih tanpa sebuah bangkupun.
Hal ini memang sudah menjadi peraturan Kay-pang turun temurun, tak perduli pertemuan besar rapat kecil, selamanya mereka duduk ditanah sebagai tanda tidak meninggalkan adat asli kaum jembel atau pengemis.
Hanya di sebelah timur panggung teratur beberapa ratus kursi itu melulu disediakan untuk para tamu undangan yang tidak termasuk anggota Kay-pang.
Belum lohor, disekitar panggung itu sudah berjubel lebih dua ribu anggota Kay-pang, semuanya adalah anggota lama dan tergolong tokoh, paling rendah tingkatannya adalah anak murid berkantong empat. Kedua ribu anggota Kay pang itu tadinya berada di bawah pimpinan empat orang Tianglo atau tertua, yakni yang mula-mula terdiri dari Loh-tianglo, yaitu Loh Yu-ka, lalu Kan tianglo, Kho-tianglo dan Peng-tianglo. Loh-tianglo naik pangkat menjadi Pangcu, sekarang mati dibokong musuh. Peng-tianglo telah mengkhianat dan terbunuh oleh Cu-in, Kan-tianglo mati tua dan kini tinggal seorang Nio-tianglo saja yang merupakan tertua satu-satunya. Sedang lowongan ketiga Tianglo yang lain itu telah diisi oleh murid berkantong delapan yang dinaikkan pangkatnya.
BegituIah anggota2 Kay-pang itu sama duduk di tanah mengitari panggung itu menurut daerah masing-masing, sedang beribu ksatria itu duduk dikursi tempat peninjau. Yalu Ce suami-isteri, Bu Tun si dan Yalu Yen, Bu Siu-bun dan Wanyen Peng cs, karena termasuk angkatan muda, mereka duduk dibarisan kursi yang paling belakang.
Sesudah berlatih giat selama belasan tahun ini, mereka merasa sudah banyak maju, maka diam-diam sama memikirkan cara bagaimana nanti akan unjuk kepandaian mereka dihadapan orang banyak.
Kwe Boh lo waktu itu berduduk disamping sang Cici, Kwe Hu, pemuda ini menjadi kegirangan melihat suasana yang begitu ramai, katanya: “Ji-ci benar-benar aneh, suasana seramai ini ternyata tak mau menonton.”
“Ah, hati si kecil aneh itu memang sukar menerkanya,” sahut Kwe Hu menjengek.

Dalam pada itu terlihatlah disebelah timur sana seorang anak murid Kaypang berkantong delapan telah berdiri dan menempelkan sebuah kulit keong besar kemulutnya dan ditiupnya hingga mengeluarkan suara “hauk-bauk”, kiranya telah tiba waktunya antara pukul satu lewat Iohor.
Segera Oey Yong melompat ke atas panggung, ia member hormat kepada hadirin, lalu dengan suara hutang berkata, “Perkumpulan kami hari ini mengadakan rapat besar, berkat para pahlawan dan ksatria angkatan tua sudi mengunjungi serta banyak kawan muda yang sudi hadir sebagai peninjau,
sungguh segenap anggota perkumpulan kami merasa bangga dan berterima kasih-”
Habis ini ia memberi hormat lagi hingga para ksatria di bawah panggung sama berdiri membalas hormatnya.
“Mendiang Loh-pangcu kami” demikian Oey Yong melanjutkan kata pembukaannya, “selama hidupnya selalu berbudi dan berjuang untuk kepentingan rakyat dan negara  secara tak kenal lelah. Sayang kemarin dulu telah dicelakai bangsat Hotu di kelenteng Yo-tayhu di bukit Hiansan. Dendam
ini tidak terbalas, sungguh merupakan suatu noda yang memalukan bagi perkumpulan kita…”
Sampai di sini para anggota Kay-pang yang ingat pada kejujuran dan kebaikan budi Loh Yu ka, segera banyak yang terguguk-guguk menangis dan ada pula yang mengertak gigi mengumpat maki si bangsat Hotu.
“Tapi pasukan Mongol yang mengarah ke kota Siangyang kita ini dalam waktu singkat ini sudah akan datang.” Demikian Oey Yong melanjutkan “maka persoalan pribadi jangan dipikir, urusan perkumpulan kami untuk sementara ditangguhkan, nanti saja dibicarakan lagi setelah musuh kita gempur mundur.”
Seketika bersoraklah para hadirin memuji kebijaksanaan Ui Yong yang mengutamakan kepentingan umum daripada urusan pribadi.
“Cuma saja anggota perkumpulan kami yang beratus ribu banyaknya tersebar luas diseluruh pelosok…” demikian Ui Yong menyambung. “ibarat naga tanpa kepala, maka perlu harus diangkat dulu-seorang pangcu baru. Dan pada kesempatan inilah kita memilih seorang yang memenuhi syarat, seorang patriot komplit sebagai Pangcu perkumpulan kita. Adapun caranya memilih baiklah silakan Nio-tianglo saja untuk menerangkannya.”
Segera Nio tianglo melompat ke atas panggung, Walaupun Nio-tianglo sudah tua, rambutnya penuh beruban, tapi dadanya membusung, semangatnya menyala-nyala, gaya lompatnya juga gesit dan cekatan, suatu tanda betapa tinggi ilmu silatnya, maka semua orangpun bersorak memuji.
Menunggu setelah suara sorak sorai itu mereda barulah kemudian Nio-tianglo buka suara keras-keras: “Kepintaran bekas Ui-pangcu tiada bandingannya, apa yang dia katakana barusan pasti tidak salah. Tapi beliau sendiri merasa sungkan hingga kami yang terdiri dari empat Tianglo serta delapan
murid berkantong delapan telah disuruh berunding untuk memutuskan. Kini sesudah kami berunding setengah harian, akhirnya dapat juga dikemukakan suatu usuI.”
Seketika suasana dibawah panggung menjadi sunyi senyap, semua orang sama ingin mendengarkan apa yang akan diumumkan tertua Kay-pang itu.
“Menurut pendapat kami,” demikian Nii tianglo melanjutkan “anak murid Kay-pang tersebar diseluruh jagat, walaupun bukan orang pandai dan tiada berguna, tapi jumlah orangnya tidak sedikit, hendak memimpin sejumlah orang ini, tepat seperti apa yang dikatakan bekas Ui-pangcu tadi bahwa harus dipilih seorang “patriot-komplit”.
Kini yang hadir disini semuanya adalah orang gagah terkenal di Kangouw, siapa saja yang sudi menjadi pemimpin perkumpulan kami pasti akan kami sambut dengan gembira.
Cuma para ksatria terlalu banyak untuk memilih juga susah, sebab itulah kami 12 orang lantas menentukan suatu cara yang bodoh,” yakni silakan para ksatria suka unjuk kepandaian di atas panggung, siapa lebih kuat dan mana yang lemah biar kita saksikan bersama.
Cuma harus dijelaskan lebih dulu bahwa pertandingan nanti hendaklah berakhir asal salah sepihak sudah tertutuk saja, sebab bila sampai ada orang terluka atau jiwa melayang sungguh perkumpulan kami yang akan berdosa dan bikin perasaan tidak enak.. Oleh sebab itulah, bila diantara saudara2 ada yang dendam segala, se kali2 tak boleh diselesaikan diatas panggung sini, bila ketentuan ini tidak
diturut, itu berarti sengaja mengacau perkumpulan kami, tatkala itu hendaklah jangan menyalahkan kami jika terpaksa diambil tindakan.”
Ketika berkata sampai terakhir ini, sinar mata Nio tianglo menyorot tajam kesekitar hadirin sekalian. Nio-tianglo tahu bahwa dalam keadaan bertanding dan saling unjuk kemahiran masing-masing tentu tak mau saling mengalah hingga bakal ada yang terluka atau mati.
Tapi kini saatnya lagi genting menghadapi musuh dari luar, bukankah berbalik bila terjadi saling bunuh dulu diantara bangsa sendiri? Sebab itulah Nio-tianglo memperingatkan sungguh-sungguh dengan maksud agar orang jangan ambil kesempatan itu untuk balas dendam perseorangan itu. Bila terjadi, tentu beramai-ramai orang akan mengerubutnya.
Mendengar uraian Nio-tianglo itu, keadaan di bawah panggung menjadi sunyi. Kiranya umumnya jago tua tentunya sudah lama punya kedudukan ketua atau pemimpin aliran masing-masing dan tidak mungkin tampil kemuka untuk rebut jabatan Pangcu dari Kay-pang, hanya orang-orang muda dibawah umur 40 usianya yang berdebar-debar ingin sekali coba-coba mengadu tenaga diatas panggung.
Tapi mengingat harus bertanding dihadapan beribu orang itu dan harus menundukkan anggota2 Kay-pang yang beribu2 banyaknya itu, sesungguhnya bukanlah suatu hal yang mudah.
Karena itulah, sehabis Nio-tianglo bicara tiada seorangpun yang tampak melompat keatas panggung.
“Kecuali beberapa tokoh Locianpwe, ksatria seluruh jagat dan orang-orang kosen semuanya berada disini, asal ada yang berminat terhadap perkumpulan kami, bolehlah silakan naik panggung,” demikian Nio tianglo berseru lagi dengan suara keras.
“Dan diantara enam murid perkumpulan kita sendiri bila ada yang merasa yakin kepandaiannya tahan diuji, beleh juga naik panggung, sekalipun seorang murid berkantong empat, boleh jadi selama ini ia sengaja menyembunyikan diri hingga tiada yang mengetahui kegagahannya”
Setelah Nio tianglo mengulangi beberapa kali undangannya itu, kemudian barulah terdengar suara bentakan seorang yang keras bagai guntur. “Akulah yang dalang!”
Menyusul itu, cepat sekali seorang melompat keatas panggung.
Setelah melihat jelas orang itu, seketika para hadirin terkejut, ternyata tubuh orang ini kekar tegap luar biasa, berat badannya sedikitnya ada 300 kati. Saking beratnya ketika naik keatas panggung, papan panggung yang dipasang sangat kuat itupun terasa tergetar.
Orang itu berjalan ke depan panggung, tanpa pakai menghormat segala, sebaliknya kedua tangannya menolak pinggang terus berkata: “Aku bernama Tong Tay-hai, berjuluk Jian-kio-tong (wajan seribu kati), jabatan pangcu aku tidak kepingin, tapi siapa yang ingin bergebrak dengan aku boleh silakan naik sini.”
Mendengar itu, hati semua orang menjadi senang, dari lagak- lagu nya teranglah seorang tolol atau dogol.
“Tong-toako,” segera Nio-tianglo menyapa, panggung yang kita buka hari ini bukanlah panggung Lui-tay (panggung bertanding silat). jika sekiranya Tong-toako tidak suka menjadi pangcu perkumpulan kami, harap turun saja.”
“Tidak sudah terang ini adalah Lui-tay, kenapa bilang bukan?” sahut Tong Tay hai menggeleng kepala, “Jika kau melarang berkelahi kenapa kau tadi ber kaok2 suruh orang naik panggung?”
Selagi Nio-tianglo hendak menjelaskannya, tiba-tiba Tong Tay- hai berkata lagi: “Baiklah, jika yang hendak berkelahi dengan aku juga boleh.”
Habis ini, kepalannya segera menjotos ke muka Nio tianglo.
Lekas Nio-tiangto melompat mundur menghindarkan serangan itu, dengan tertawa katanya: “Ah, beberapa tulangku yang tua ini mana sanggup menahan sekali hantaman Tong-toako?”
“Memangnya aku sudah menduga kau tak berguna, maka lebih baik lekas menyingkir,” ujar Tong Tay-hai dengan tertawa.
Namun belum habis suaranya, tiba-tiba suatu bayangan berkelebat diatas panggung tahu-tahu sudah berdiri seorang pengemis yang berbaju compang-camping.
Pengemis ini berusia 30-an, dibelakang punggungnya menggemblok enam buah kantong kain, ialah cucu murid Nio-tianglo, Biasanya si jembel ini sangat menghormat pada kakek-guru itu, kini melihat Jian-kin-teng Tong Tay-bai berani kurang ajar terhadap kakek-gurunya, tak tahan lagi rasa gusarnya dan segera melompat keatas panggung, segera ia berkata dengan dingin: “Kakek-guruku tak nanti sudi bergebrak dengan seorang angkatan muda, Tong-toaco, lebih baik aku menjajal kau tiga kali jotosan saja!”
“Bagus!” sambut Tong Tay-hai. Dan tanpa bertanya nama orang lagi, kepalannya sebesar mangkok itu terus saja menghantam ke dada orang sambil membentak: “Awas, pukulan!”
Tak terduga mendadak pengemis itu memutar tubuh dan melangkah setindak kedepan, karena itu pukulan Tong Tay-hai itu tepat mengenai kantong kain yang berada dipunggungnya hingga mengeluarkan suara “bluk”.
Ketika pukulannya mengenai-isi kantong orang hingga rasa kepalannya mengenai barang licin dan lunak, Tong Tay-hai menjadi heran. “Barang apakah di dalam kantongmu itu?” segera ia membentak.
“Biasanya kaum pengemis suka menangkap apa?” sahut si jembel itu dingin.
Seketika Tong Tay-hai terkejut dan berseru: “Hah! Ular… ular…”
“Ya, memang benar ular!” sahut pengemis itu.
Membayangkan kepalannya tadi, tanpa terasa Tong Tay-hai menjadi ngeri, maka waktu pukulan kedua dilontarkan sekarang ia mengarah muka orang…
Siapa tahu pengemis itu lantas melompat ke atas dan memutar tubuh sedikit habis itu, turunnya ke bawah kembali ia sodorkan punggung ke depan orang.
Karena kuatir kepalan sendiri kena digigit ular yang terisi dalam kantong lawan atau pakaiannya mengenai taring ular yang berbisa, maka Tong Tay-hai cepat menarik kembali pukulannya itu, ia berganti tipu dan mendadak menendang keselangkangan lawan.
Melihat orang jeri, si jembel itu diam-diam geli, sengaja ia jatuhkan diri dan sedikit membalik hingga kembali kantongnya yang disodorkan pada kaki orang.
Keruan Tong Tay-hai ketakutan, ia berseru kaget sambil berjingkrak. padahal ular yang berada dalam kantong itu sangat jinak, taring berbisa juga sudah dicabut.
Dan pada saat itulah mendadak pengemis itu melompat maju dan secepat kilat dada Tong Tay-hai dicengkeram nya terus diangkat tinggi2 ke atas sambil berteriak: “Nah, ini namanya Cohpa-ong (nama seorang raja yang kuat) mengangkat Jian kie teng!”
Dalam keadaan gugup tadi Tong Tay-hai telah kena dicengkeram “ci kiong-hiat” di dadanya, seketika tubuhnya menjadi lemas tak bisa berkutik, sungguhpun rasa gusarnya tidak kepalang, tapi tak dapat berbuat apa-apa.
Tong Tay-hai berjuluk Jian-kin-teng (wajan seribu kati), tapi kini “wajan” itu diangkat orang tinggi2, maka seketika pecahlah gelak-tawa penonton.
“Lekas lepaskan, jangan kurang sopan!” cepat Nio-tianglo membentak cucu-muridnya itu.
Maka cepat si jembel itu meletakkan Tong Tay hai ke atas panggung, lalu melompat turun ke bawah dan menghilang di antara orang banyak.
Dasar Tong Tay-hai ini memang dogoI, dengan muka merah padam ia menuding ke bawah panggung sambil mencaci-maki: “Pengemis bangsat, hayolah jika berani maju lagi! Main sembunyi2, termasuk orang gagah macam apa? Hayolah maju pengemis busuk? pengemis sialan!”
Terus menerus ia memaki pengemis, padahal di bawah panggung itu terdapat beribu anggota Kay-pang, tapi karena merasa lucu, maka tiada orang menggubrisnya.
Pada saat itulah mendadak bayangan seorang melayang ke atas panggung dengan enteng sekali ketika kaki kirinya menancap tepi panggung,tiba-tiba tubuh orang itu terhuyung-huyung seakan-akan merosot jatuh.
sungguhpun orangnya dogol tapi hati Tong tai-hai ternyata baik, ia berveru.”Eh, hati-hati…!”
Dia berlari maju hendak menarik orang, tapi ternyata melesetlah dugaannya, ia tidak tahu bahwa orang itu sengaja pamerkan ilmu silatnya yang tinggi dihadapan orang banyak, ketika tangan Tong Tay-hay memegang lengan kiri orang itu, mendadak orang itu mcmbaliki tangan terus diayun dengan
gerakan Kim-na-jiu-hoat (ilmu mencekal dan raenawan) hingga tanpa kuasa lagi tubuh Tong Tay-hai segede kerbau itu melayang keluar panggung dan jatuh terbanting di tanah.
Waktu semua orang mengamati orang itu, ternyata pakaiannya rajin bersih, alisnya panjang dan matanya jeli, kiranya adalah muridnya Kwe Ceng, Bu Siu-bun adanya.
Menyaksikan muridnya mengunjukkan tipu gerakan yang meski gayanya sangat bagus, tapi terlalu sombong, sekali-kali bukan, perbuatan seorang jujur, maka dalam hati Kwe Ceng menjadi kurang senang.
Betul saja, dibawah panggung segera banyak suara gerondelan orang yang tidak setuju, berbareng dari kanan-kiri bergema tiga suara orang: “Kepandaian bagus! Marilah kita belajar kenal berapa jurus!”
“Macam apakah cara itu?”
“Orang bermaksud baik menarik kau tapi kau malah membantingnya, benar-benar kurang pantas!”
Dan berbareng itu tiga orang sudah melompat keatas panggung.
ilmu silat Bu Siu-bun adalah ajaran Kwe Ceng dan Oey Yong, pula mempunyai dasar kepandaian, yaitu mendapat pelajaran dari sang ayah, Bu Samthong serta It-yangci” yang diperolehnya dari sang Susiok, Cu Cu-liu, Kini kepandaiannya dalam angkatan muda sudah boleh dikatakan kelas terkemuka.
Melihat tiga lawan datang sekaligus, diam-diam ia bargirang, pikirnya: “Ha, kebetulan aku kalahkan tiga orang ini barulah dapat menunjukkan betapa lihay ilmu silatku.”
Kuatir ketiga orang itu akan menempurnya secara bergiliran, maka tanpa berkata lagi segera ia mendahului bergerak, dalam sekejap saja ia sudah melontarkan serangan masing-masing sekali kearah tiga lawan itu.
Ketiga orang itu belum lagi berdiri tegap di atas panggung, tapi datang2 lantas diserang, dalam gugupnya lekas-lekas mereka menangkis, namun kerepotan juga.
Siu-bun tidak tunggu lawan ada kesempatan berpikir, cepat kedua tangannya susul-menyusul menyerang pula hingga satu mengurung tiga di-tengah-tengah, ia sendiri berada dilingkaran luar mengitar kian kemari secepat terbang, sebaliknya ketiga orang yang tergencet di-tengah-tengah menjadi saling desak hingga gerak-gerik mereka kurang leluasa.

Menyaksikan itu, para pahlawan di bawah panggung seketika terkejut, semuanya berpikir “Nyata nama Kwe tayhiap yang menggetarkan kolong langit ini memang bukan omong kosong belaka, buktinya muridnya saja sedemikian lihaynya.”
Ketiga orang yang terkurung ditengah ini satu-sama-lain tidak kenal, lebih-lebih tak paham dari aliran mana ilmu silat masing-masing, kini kena dikurung Siu bun, seketika mereka susab bergerak dan tak dapat saling membantu, sebaliknya malah terasa saling merintangi.
Berapa kali ketiga orang itu hendak menerjang keluar, tapi selalu tertahan oleh pukulan-pukulan Bu Siu-bun yang bertubi2 bagai hujan.
Melihat sang suami sudah berada diatas angin, tentu saja dalam hati Wanyan Peng sangat girang, sebaliknya Kwe Hu lantas berkata: “Ah, tiga orang goblok ini sudah tentu bukan tandingan engkoh-Bu kecil, padahal buat apa dia pamer kegagahannya sekarang hingga banyak membuang tenaga saja, kalau sebentar ada jago kuat naik panggung, bukankah akan susah menandinginya?”
Wanyen Peng berperangai halus, maka ia hanya tersenyum saja tanpa menjawab.
Sebaliknya Yalu-Yen adalah seorang berhati lugu dan tidak pantang omong, meski Kwe-Hu adalah enso (isteri kakaknya), tapi kedua orang sering adu mulut, kini mendengar kata-kata enso ini, dapatlah ia menduga maksud hati orang, maka katanya: “Kalau adik ipar sudah membereskan dulu sebagaian
lawan dan nanti Tuh-si juga maju membereskan sebagian lawan Iagi.
Paling akhir barulah Koko sendiri naik panggung mengalahkan semua pahlawan maka kau akan menjadi nyonya Pangcu secara aman, bukankah lebih baik begitu?”
Wajah Kwe Hu menjadi merah, jawabnya: “Ah, begini banyak orang gagah yang hadir disini. Siapa yang tidak ingin menjadi Pangcu? Mnsa bisa dikatakan sudah “aman” segala?”
“Ya, sebenarnya Koko-ku juga tak perlu naik panggung,” kata Yalu Yen lagi.
“Maksudmu?” tanya Kwe Hu heran.
“Bukankah tadi Nio-tianglo bercerita bahwa dahulu dalam usia belasan tahun Subo (ibu guru) sudah menjadi Pangcu dengan mengandalkan sebatang pentung bambu. Kata pribahasa, ada sang ibu pasti ada sang puteri, Maka menurut aku, Enso, paling baik kalau kau yang naik panggung daripada Kokoku.”
“Bagus, kau sengaja ber olok-olok diriku, ya?” omel Kwe Hu sembari ulur tangannya hendak mengitik-itik ketiak orang.
Tapi cepat Yalu Yen mengumpet kebelakang Yalu Ce sambil berseru tertawa: “Tolong Pangcu, belum2 nyonya Pangcu sudah akan membunuh orang!”
Begitulah, meski waktu itu usia Kwe Hu dan Bu-si Hengte sudah lebih tiga puluh, tapi sejak kecil sudah biasa bergurau, sungguhpun Yalu Yen dan Wanyen Peng juga sudah punya putra-putri, namun bila bertemu masih suka berkelakar seperti waktu muda.
Tatkala itu Oey Yong berduduk disamping Kwe Ceng sambil kadang-kadang memandang jauh ke sekelilingnya, ia ingin mengamat-amati kalau-kalau ada orang asing menyelundup masuk diantara orang banyak Disekitar alun2 itu juga sudah diatur penjaggaan oleh anak murid Kay-pang agar bila ada sesuatu yang mencurigakan harus segera melapor.
Betapapun ia kuatir kalau-kalau Seng-in Suthay, Han Buhou, Thio It-bin cs datang mengacau, tapi tampaknya kini sudah mendekat sore, keadaan masih tenang-tenang saja seperti biasa, diam-diam ia pikir: “Ada apakah kedatangan mereka ke Siangyang sini? Kalau dibilang ada sesuatu tujuan, kenapa belum lagi kelihatan sesuatu tanda? jika melulu untuk memberi selamat pada Yang-ji, rasanya tidaklah masuk akal.”
Ketika ia memandang ke atas panggung, ternyata sekali pukul Bu Siu-bun sudah menjatuhkan dua lawannya kebawah, tinggal seorang lagi yang masih bertahan mati-matian, tapi dapat diduga dalam lima jurus pasti akan dikalahkan juga.
“Hari ini para pahlawan dari segenap pelosok berada disini untuk berebut jabatan Pangcu dari Kay-pang, akhirnya nanti entah siapa yang unggul dan menduduki jabatan itu?” demikian diam-diam Oey Yong membatin.
“Begitu pula hati beratus pahlawan di bawah panggung saat itupun mempunyai pikiran seperti itu. Tapi ditaman bunga, dibelakang rumah keluarga Kwe itu ternyata ada seorang yang sama sekali tidak memikirkan kejadian luar biasa dikota sekarang ini.
Yang sedang dipikirkan adalah: “Hari itu telah kuserahkan sebuah jarum emas, padanya dan kukatakan agar hari ini ia datang menemui aku karena hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 16. Tatkala itu ia sendiri sudah menyanggupi tapi kenapa sampai saat ini masih belum datang?”
Begitulah anak dara itu sedang duduk ditengah gardu di dalam taman yang dilingkungi bunga beraneka warna, anak dara itu bersandar pada hek gardu dan termenung-menung sambil menyaksikan sang betara surya lambat-laun menggeser kebarat.
Dalam hatinya berpikir pula “Hari sudah larut sekalipun sekarang juga ia datang, hanya tinggal waktu tiada setengah hari saja untuk berkumpul”
Sambil memandangi bayang2 tetumbuhan di tanah, tangannya memegangi sebuah jarum emas satu-satu nya itu sambil menggumam pelahan lagi: “Ya, aku masih dapat mengharap sesuatu darinya…. tapi boleh jadi sama sekali ia sudah melupakan diriku hingga lupa datang menjenguk daku, lalu harapan ketiga ini apa bisa kuutarakan lagi?”
Kemudian gumamnya pula: “Ah, tak mungkin, pasti tak mungkin ia adalah pendekar besar di jaman ini, tentu pegang janji, mana bisa menjilat kembali apa yang sudah pernah dikatakannya? Lewat sebentar lagi, ya, sebentar lagu tentu akan datang menyambangi aku”
Teringat segera akan bertemu, tanpa terasa pipinya lantas bersemu merah, jarinya yang memegangi jarum emas itu rada gemetar.
Begitulah kalau di taman bunga, si cilik Kwe Yang lagi dirundung rindu, adalah di tengah alun2 Oey Yong justru sedang menyelami perasaan puteri kecilnya itu.
Ia pikir, “Menurut apa yang dialami kedua puterinya di kelenteng Yo-tayhu, dimana ada orang kosen diam-diam telah menolongnya. Kata Cing-koko, selamanya hanya ada dua orang memiliki tenaga dalam sekuat itu, yaitu kalau bukan Ang Chit-kong almarhum, tentunya Cing-koko sendiri. Tapi guru berbudi luhur itu sudah wafat, Cing-koko lebih-lebih tak mungkin.
Kalau begitu apakah orang yang mengundang manusia-sia aneh dari segala tempat untuk memberi selamat pada Yang-ji itu adalah seorang kosen lain lagi? Jika Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, si tua nakal itu tabiatnya memang-suka main gila tapi tindak-tanduknya tidak begitu rapi.
It-teng Taysu orangnya prihatin, tidak nanti suka buang waktu percuma, sedang Se-tok Auyang Hong dan Cu-in Hwesio alias Kiu-Jianyim sudah mati semua, lalu apakah mungkin ialah Ayah?
Memang tindak tanduk Ui Yok Su yang aneh-aneh dan sukar diraba itu rada-rada mirip dengan apa yang dilihatnya sekarang ini.” PuIa Oey Yok-su memang terkenal dengan nama “Tang-sia” atau manusia aneh dari timur yang namanya menggetarkan Kangouw beberapa puluh tahun yang lalu, kalau dia yang tampil kemuka mengundang tokoh-tokoh silat itu, rasanya orang pasti akan memenuhinya.
Walaupun tidaklah patut orang tua itu main-main dengan puteri dan cucunya, tapi siapa bisa menduga akan kelakuannya yang terkenal aneh itu, atau bukan mustahil didalamnya ada pula maksud tujuan lain?
Berpikir sampai disini, segera Oey Yong menggapai Kwe Hu agar mendekatinya, lalu dengaa berbisik ia menanya: “Adikmu menghilang sehari semalam di kota tambangan Hong-leng, ketika kembali pernah tidak ia bicara, tentang Gwakong?”
Kwe Hu tercengang oleh pertanyaan tiada ujung-pangkal ini. “Gwa Kong?” ia menegas, “Ooh tidak. Bahkan muka Gwakong saja adik belum pernah kenal.”
“Coba kau meng-ingat-ingatnya, ketika ia ikut pergi si setan Se-san di tambangan Hongleng itu, pernah ia me-nyebut2 siapa lagi tidak?” desak Oey Yong.
“Tidak, tak pernah dia sebut-sebut,” sahut Kwe Hu. ia tahu kepergian adiknya tempo hari justeru ingin melihat Yo Ko, tapi dihadapan ayah-bundanya paling ditakutinya bila bicara menyangkut namanya- Yo Ko, sebab bila mendengar nama itu, sang ibu masih mendingan, tapi sang ayah seketika akan menarik muka hingga beberapa hari tak bicara padanya, sebab itulah, kalau adiknya tidak sebut, iapun lebih suka tutup mulut, apalagi urusan sudah lalu, untuk apa nama orang- itu diungkat-ungkat buat cari penyakit sendiri?
Tapi Oey Yong adalah wanita cerdik dan pandai, sedikit melihat air muka puteri sulung itu berubah, segera ia menduga pasti tersembunyi sesuatu.
Maka dengan sungguh-sungguh segera ia mendesak lagi. “Apa yang bakal terjadi didepan mata ini bukanlah main-main, coba katakan, apa yang pernah kau dengar, lekas kau katakana terus tarang padaku.”
Melihat wajah sang ibu sungguh-sungguh, tak berani lagi Kwe Hu membohongi maka katanya: “Ketika dalam perjalanan mendengar orang mengobrol tentang apa yang disebut Sin-tiau-rayhiap, ialah… ialah Nyo… Yo Ko, adik lantas bilang ingin pergi melihatnya.”
Terkesiap hati Oey Yong, “Lalu dapat dilihatnya tidak?” tanyanya.
“Pasti tidak,” kata Kwe Hu. “Jika sudah, menurut watak adik masakah tidak terus dibuat bahan cerita?”
“Ah, Ko ji, benar-benar Ko-ji, benar-benar dia!” demikian diam-diam Oey Yong berkata dalam hati. Segera ia tanya lagi.
“Dan menurut pendapatmu orang yang diam-diam membantu kalian membunuh Nimo Singh dikelenteng Yo tayhu itu, dia atau bukan?”
“Mana mungkin?” sahut Kwe Hu. “Nyo… Nyo toako mana bisa memiliki ilmu silat begitu bagus?”.
“Apa saja yang kau percakapkan dengan adikmu dikelenteng itu, coba ceritakan seluruhnya, satu patah katapun tak boleh melompat,” desak Oey Yong.
“Juga tiada apa-apa yang kami bicarakan memang sudah biasa adik suka adu mulut dengan aku,” sahut Kwe Hu. Lalu iapun tuturkan tentang adik perempuannya itu menyatakan takkan menghadiri Eng-hiong-tay-hwe, takkan menyaksikan pemilihan pangcu serta bilang pada Shejitnya nanti bakat ada seorang ksatria muda yang gagah perkasa akan dating menyambanginya.
Habis menuturkan semuanya itu, akhirnya ditambahkannya dengan tertawa: “Dan betul juga tidak sedikit sobatnya telah datang, cuma kalau bukan sebangsa Hwesio atau Nikoh, ternyata adalah kakek2 dan nenek2, sedangkan ksatria muda gagah perkasa entahlah?”
Mendengar sampai disini, tidak ragu-ragu lagi Oey Yong, ia yakin orang yang dimaksudkan Kwe Yang itu tentulah Yo Ko. ia menaksir tentunya Kwe Yang dan Yo Ko sudah berjanji untuk bertemu dikelenteng Yo-tayhu, tapi kena dikacau oleh datangnya Kwe Hu, untuk membela kehormatan Kwe Yang, lalu Yo Ko mengundang tokoh-tokoh Kangouw yang banyak itu untuk memberi kado serta memberi selamat hari ulang tahunnya.
“Tapi, untuk apa ia korbankan begitu banyak tenaga dan pikiran untuk Yang ji?” demikian pikirnya pula, Apabila teringat olehnya selama beberapa hari ini puteri kecil itu selalu lesu, pikiran tak tenteram kadang-kadang pipinya merah jengah mendadak tanpa terasa Oey Yong menarik napas dingin: “Celaka, jangan-jangan selama menghilang sehari semalam itu ditambangan Hongleng Yang-ji telah berbuat hal tidak senonoh dengan, dia?”
Menyusul itu lantas terpikir pula olehnya: “Yo Ko sakit hati karena aku membinasakan ayahnya, ia benci pula Hu-ji yang mengutungi lengannya dan melukai Siao-liong li dengan jarum berbisa, Ah, janji Siao liong-li yang akan bertemu padanya lagi sesudah 16 tahun, tahun inilah tahun ke-16 itu.
Ha, kalau begitu, agaknya Yo Ko datang untuk membalas dendamnya.”
Teringat akan kata-kata “Yo Ko datang untuk membalas dendam”, tanpa terasa Oey Yong menjadi ngeri, ia cukup kenal kepintaran Yo Ko meski belum melebihi dirinya, tapi orang ini sejak kecil tindak tanduknya sudah sangat lihay, cintanya terhadap Siao liong-li sangat mendalam dan murni, setelah
menunggu selama 16 tahun ini, tapi tidak bersua kembali, tentulah penasaran itu akan dicari pangkal pokok yang menyebabkannya dan tentu akan benci luar biasa pada-keluarga Kwe.
Dan dendam selama 16 tahun ini kalau menuruti sifat Nyo Ko yang luar biasa itu tak nanti puas hanya sekali hantam membinasakan Kwe Hu saja, tapi pasti akan menggunakan tipu akal yang paling keji untuk membalas sakit hati itu secara besar-besar-an.
“Apakah ia sengaja hendak memancing Yangji masuk perangkapnya, membikin anak ini jatuh hati dan menyerah padanya, lalu menyiksanya lahir batin, mati tidak, hidup tidak?
Ah, ya, ya, benar, kalau turuti watak Yo Ko memang benar akan dilakukannya,” demikian pikir Oey Yong pula.
Biia teringat semua ini, perasaan tertekan selama beberapa hari segera menjadi buyar, ia menduga sebabnya Yo Ko mau bunuh Nimo Singh untuk menolong Yang-ji dan mengundang begitu banyak tokoh-tokoh silat untuk dating memberi selamat padanya, semua ini bertujuan untuk menarik hati anak dara itu.
Diam-diam Oey Yong menghitung lagi dan berpikir. Tapi ada sesuatu yang tidak benar! Hari ini tepat adalah ulang tahun Yang-ji, Enam belas tahun yang lalu ketika Yang ji lahir, lewat beberapa bulan kemudian barulah ia berpisah dengan Siao-liong-li di lembah Coat-ceng-kok, layaknya kalau dia mau balas dendam juga harus menunggu genap 16 tahun, yalah sesudah lewat janjinya bertemu dengan Siao-liong-Ii.
Meski janji bertemu 16 tahun kemudian itu sukar dipercaya, tapi tulisan yang ditinggalkan itu jelas tulisan Siao liong li, siapa tahu kalau mereka suami isteii benar-benar akan berkumpul pula? Apakah mungkin ayahku…. atau mungkin bualan tentang Lam-hay Sin-ni?”
Begitulah makin dipikir perasaannya mulai tak enak, “Ah, biarlah apapun jadinya, jika Yang-ji bertemu lagi dengan dia pastilah terlalu banyak risikonya, Sifat Yangji masih polos kekanak-anakan, mana bisa memahami hati manusia yang kejam dan keji?”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara jeritan, kiranya Bu Siu-bun telah merobohkan lagi lawannya yang tinggal satu tadi.
Lalu Oey Yong mendekati suaminya dan membisikinya: “Kau mengawasi di sini, biar aku pergi menjenguk Yang-ji.”
“Yang ji tidak datang?” tanya Kwe Ceng.
“Ya, biar aku sendiri memanggilnya, budak cilik ini memang aneh,” sahut sang isteri.
Ketika sampai di kamar puteri kecil itu, ternyata Kwe Yang tidak di kamar, ia tanya pelayan, katanya puteri kecil itu berada di taman bunga dan melarang orang mengganggunya.
Oey Yong terkejut, pikirnya: “Ah, Yang-ji tidak mau menonton pertandingan ramai di alun2, tentu karena dia sudah ada janji dengan Yo Ko.”
Segera ia kembali ke kamar sendiri, ia bawa senjata rahasia seperlunya dan menyelipkan sebilah pedang pendek, lalu membawa lagi pentung pendek terus menuju ke taman bunga di belakang rumah.

Ia tahu ilmu silat Yo Ko sekarang tentu lain daripada dulu, sesungguhnya lawan yang menakutkan, sebab itu tak berani ia ayal, ia tidak melalui jalanan taman yang ber-batu-batu kecil itu, tapi memutar dari belakang gunung-gunungan.
Ketika hampir dekat gardu bunga, tiba-tiba terdengar Kwe Yang menghela napas.
Oey Yong sembunyi di belakang gunung-gunungan itu, terdengarlah puterinya itu lagi menggumam sendiri pelahan: “Kenapa sampai sekarang masih belum datang, Ai, benar-benar bikin orang tidak sabar!”
Hati Oey Yong menjadi terhibur “Ah, kiranya ia belum tiba, kebetulan bisa mencegatnya di tengah jalan”, demikian pikirnya.
Sementara itu terdengar Kwe Yang berkata pula: “Setiap hari ulang tahunku, ibu selalu menyuruh aku menyebut tiga angan-angan. Kini di sini tiada orang lain, biarlah aku katakan pada Tuhan.”
Sebenarnya Oey Yong hendak unjuk diri, tapi ketika mendengar gumaman puterinya itu, tiba-tiba ia tarik kembali kakinya, ia ingin mendengarkan dulu apakah ketiga angan-angan yang akan dikatakan puteri kecil itu.
Selang sejenak, terdengar Kwe Yang bcrkata:, “O, Thian (Tuhan) yang maha pengasih, berkatilah permohonanku ini, angan-anganku yang pertama ialah semoga ayah-ibu memimpin pasukannya membunuh habis atau mengusir semua pasukan Mongol yang menyerbu datang itu, agar rakyat Siangyang dapat melewatkan hari-hari yang aman sentosa.”
Diam-diam Oey Yong menghela napas lega dan bersyukur akan hati sang puteri yang luhur itu. sementara terdengar anak dara itu berkata lagu “Dan harapanku yang kedua, semoga ayah ibu berbadan sehat, berumur panjang, segala sesuatu yang dikerjakannya berjalan baik tak kurang suatu apapun.”
Waktu Kwe Yang dilahirkan, Kwe Ceng dan Oey Yong berdua lantas banyak mengalami peristiwa-peristiwa berbahaya hingga kemudian bila teringat selalu merasa ngeri, sebab itulah tanpa terasa mereka tidak begitu sayang kepada Kwe Yang seperti sang enci, tapi kini setelah mendengar beberapa kata hati-nurani anak dara itu, tak tertahan matanya menjadi basah, rasa kasih sayangnya seketika bertambah Dan harapan ketiga Kwe Yang seketika ternyata sukar diucapkannya, lewat agak lama barulah terdengar ia buka suara: “Dan harapanku yang ketiga ini ialah semoga Sin-tiau tayhiap Yo Ko…”
Memang Oey Yong sudah menduga harapan puteri kecil yang ketiga ini tentu ada hubungannya dengan Yo Ko, namun demikian ketika mendengar nama Yo Ko disebut, hatinya terkesiap juga.
Sementara terdengar anak dara itu sedang meneruskan: “…bisa lekas-lekas berkumpul kembali dengan isterinya, Siao-liong-li dan selanjutnya hidup aman dan bahagia.”
Sungguh kata-kata terakhir ini sama sekali diluar dugaan Oey Yong, Mula-mula ia menyangka Yo Ko akan memancing puterinya dengan menggunakan kata-kata manis dan putar lidah dengan segala macam omongan palsu, diluar dugaan ternyata puterinya itu malah sudah mengetahui persoalan Nyo
Ko dan Stao-liong-Ii, juga tahu Yo Ko senantiasa menanti saat berjumpa pula dengan Siao-liong-li, maka diam-diam anak dara itu berdoa untuknya.
Namun segera terpikir lagi olehnya: “Ai, celaka, cara Yo Ko ternyata sangat licin, justeru semakin ia menyatakan tak pernah melupakan kekasihnya dahulu, semakin Yang-ji merasa dia berhak seorang berbudi dan akan lebih jatuh hati padinya.”
Nyata saking pintarnya Oey Yong, hingga segala sesuai selalu dipikirnya secara jauh, pula selama ini ia suka berperasangka terhadap Yo Ko, ditambah perhatiannya atas diri sang puteri, maka pikirannya menjadi kacau dan diam-diam berkuatir.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara keresekan sekali, tahu-tahu dari pagar tembok sana melompat turun satu orang, Terlihatlah orang ini berkepala besar, tapi tubuhnya pendek, bentuknya sangat Iucu.
Demi nampak si cebol ini, seketika Kwe Yang melonjak girang, “Hai, Toa thau kui, apakah dia… dia sudah datang?”
Memang si cebol berkepala besar ini adalah Toa-thau-kui atau setan kepala besar, satu di antara Se-san it-khut kui (gerombolan setan Se-san).
Sesudah masuk kedalam gardu bunga itu, segera Toa thau kui memberi hormat pada Kwe Yang, sikapnya ternyata sangat merendah sekali.
“Ai paman Toi-thau-kui, kenapa kau menjadi begini sungkan-sungkan padaku?” tegur Kwe Yang dengan tertawa.
“Jangan nona panggil aku paman segala, panggil saja “Tho-thau kui sudah cukup,” sahut Toa thau kui. “Aku mendapat perintah Sin-tiau-tayhiap agar memberitahukan nona..”
Mendengar sampai disini, Kwe Yang tampak kecewa, matanya menjadi basah. “Toakoko bilang ada “urusan dan tak dapat datang, bukan?” demikian menyela. “tapi dia sudah berjanji…”
“Tidak… tidak!” berulangkali Toa-thau-kau menggeleng kepalanya yang benar bagai gantang itu.
“Kenapa tidak? Apa yang kau ketahui?” omel Kwe Yang cepat. “Justeru ia sudah berjanji padaku.” Dan karena cemasnya hampir-hampir anak dara ini mengucurkan air mata.
“Aku tidak bilang Ia tak berjanji padamu, tapi ingin kukatakan ia tidak bermaksud takkan mengunjungi kau.”
Mendengar ini barulah Kwe Yang tertawa. “Lihatlah, bicara saja tak genah, bukan ini. tidak itu, tak karuan” omelnya.
“Ya, Sin-tiau-tayhiap bilang bahwa karena beliau sendiri harus menyiapkan tiga macam kado untuk hari ulang tahunmu, maka kedatangannya nanti agak terlambat.”
demikian tutur Toa thau kui kemudian. Maka senanglah hati sigadis, katanya: “Sudah begini banyak orang membawa kado untukku, segala apa akupun sudah punya. Haraplah sampaikan pada Toakoko bahwa tak perlu lagi ia membawa kado apa segala.”
“Tapi.” ujar Toa thau-kui sambil goyang-goyang kepala, “ketiga macam hadiah itu, yang pertama sudah disediakannya, yang kedua Sin tiau-tayhiap beserta para saudara juga sedang menyiapkannya, besar kemungkinan kini sudah selesai.”
“Ai. aku lebih suka ia lekas datang daripada buang2 waktu mengadakan kado segala.” sahut Kwe Yang.
“Dan mengenai hadiah yang ketiga itu, Sin tiau-tayhiap bilang harus diserahkan sendiri kepada nona ditengah rapat besar Kay-pang di-alun2 sana,” kata Toa-thau-kui lagi. “Sebab itulah nona Kwe silahkan ke sanalah, agaknya waktunya sudah dekat sekarang.”
“Sebenarnya aku dongkoI pada Cici dan sudah bilang tak mau hadir ke sana, tapi kalau Toakoko ingin begitu, baiklah, biar kita pergi bersama sekarang juga,” sahut Kwe Yang.
Toa thau-kui mengangguk, lalu ia bersuit, tiba-tiba dari luar pagar tembok sana melompat masuk sesuatu makhluk besar, waktu ditegasi, kiranya adalah Sin-tiau atau si rajawali sakti itu.
Melihat Sin tiau, segera Kwe Yang merangkul lehernya seperti berjumpa dengan sobat lama saja, Sebaliknya rajawali itu malah melangkah mundur dua tindak sambil berdiri dengan angkuh dan melirik seperti sama sekali tidak pandang sebelah mata pada Kwe Yang.
“Ha, Tiau-toako ini sangat angkuh, ia tak gubris padaku, tapi aku justeru ingin kau menggubris.” kata Kwe Yang tertawa, Habis itu kembali ia melompat terus merangkul leher Sin tiau lagi, sekali ini binatang itu tidak menghindar, tapi kepalanya tetap berpaling ke arah lain, seolah seorang ayah yang kereng menghadapi anak yang nakal dan aleman.
“Marilah Tiau toako, kaupun ikut, nanti aku member makanan enak padamu, kau minum arak tidak?” kata Kwe Yang.
“Ha, jika kau menyuguh Sin tiau minum arak, itulah paling disukanya,” ujar Toa thau-kui tertawa.
“Bagus, kau tunggu sebentar,” seru si gadis terus berlari ke dapur, sebentar saja ia sudah kembali dengan seguci arak pilihan.
Segera Toa-thau-kui membuka tutup guci hingga bau-harum arak seketika menusuk hidung, cepat saja setan kepala besar itu angkat guci itu terus ditenggak dahulu.
“Ketika- ia sodorkan arak itu kepada Sin-tiau, sekali binatang ini mencocok dengan paruhnya, maka berlubanglah guci itu, segera Sin-tiau masukkan paruhnya kedalam guci dan sekejap saja seluruh isinya sudah terhirup habis.
“Anak dara ini benar-benar harus-diajar, sembarangan memberikan “Kiu-hoa-giok-ioh-ciu buatanku kepada seekor binatang,” demikian diam-diam Oey Yong mendamperat.
Kiranya cara pembuatan arak itu tidaklah mudah, Oey Yong membikinnya berdasarkan resep cara ayahnya meracik obat “Kiu-hoa-giok-loh wan”, yakni mengumpulkan sari bunga mawar dicampur berbagai racikan obat lain ke dalam arak simpanan, kalau bukan sobat kental biasanya Oey Yong tidak sembarangan mengeluarkan arak itu.
“Wah kekuatan minum Tiau-toako sungguh hebat, marilah berangkat,” kata Kwe Yang, kemudian dengan tertawa. Lalu dua orang dan satu rajawali lantas, menuju ke alun2 Ketika memasuki Iapangan, melihat badan Sin-tiau itu-begitu kekar, tapi rupanya jelek dan aneh, para pahlawan sama merasa heran. Lalu Kwe Yang membawa Toa-thau-kui dan Sin-tiau itu duduk pada suatu tempat yang sepi.
Anak murid Kay-pang yang bertugas menyambut tamu merasa Toa thau kui belum dikenalnya, segera mereka dating menyapa sambil menanyakan namanya.
Namun Toa-thau-kui telah menjawab: “Aku tak punya nama segala apapun tak tahu, nona Kwe yang mengajak aku kemari, maka aku lantas ikut kemari.”
Sementara itu pertandingan di atas panggung sudah silih berganti Bu Tun-si dan Bu Siu-bun berdua sudah dijatuhkan orang, begitu pula keponakan Cu Cu-liu dan tiga anak murid, Su-sut hiun serta, beberapa anak murid Kay-pang ber-turut-urut juga sudah kalah, yang tinggal di atas panggung tatkala
itu ialah Yalu Ce dengan 72 jurus “Khong beng-kun”, (ilmu pukulan “terang terang-kosong) ajaran Ciu Pek-thong, ia sedang menempur seorang laki-laki kekar setengah umur.
Orang ini bernama Na Thianho, seorang suku Miau di propinsi Kuiciu, waktu kecilnya ketika ia mencari bahan obat di pegunungan telah bertemu seorang kosen dan mendapat ajaran semacam ilmu pukulan yang Iihay.
Gerak serangan Yalu Ce mengutamakan kelemasan, enteng tanpa suara, hingga sukar diduga lawan.
BegituIah satu keras dan yang lain lemas terus saling gebrak dengan sama kuatnya.
Meski tenaga pukulan Na Thian-ho sangat keras, tapi angin tidak selamanya meniup, hujan tidak selamanya turun, betapapun tak bisa tahan lama. walaupun setiap pukulan yang dilontarkannya masih membawa samberan angin yang santar, namun tenaga dalamnya sudah mulai berkurang.
Sebaliknya tipu gerakan Yalu Ce tidak lebih cepat juga tidak menjadi lambat daripada tadi, ia bergerak enteng saja, setiap serangan lawan selalu dipatahkannya dengan baik, ia tahu pertandingan iui bukanlah pertandingan satu-dua orang saja, tapi lawan yang akan naik panggung lagi dan lebih kuat
tentu masih banyak, maka perlu simpan tenaga.
Akhirnya Na Thian-ho mulai tak sabar, selama berpuluh tahun didaerah barat daya belum pernah ada lawan yang sanggup menahan sampai 30 jurus serangannya, tapi harini ia tak bisa apa-apa menghadapi seorang muda didepan pahlawan-lawan yang begini ba-nyak, bukankah ini sangat memalukan?
Sebab itulah, ia kerahkan tenaga dalamnya terus menambahi tenaga pukulannya.
Setelah beberapa puluh jurus berlangsung pula, mendadak Na Thian-ho melihat kesempatan baik.
“Kena!” bentaknya cepat, berbareng dengan tipu “Kiu-kui-tt-senglu (sembilan setan mencapai bintang) ia hantam dada Yalu Ce.
Ia sangat girang karena dilihatnya dada lawan terbuka tak terjaga, serangan ini yakin akan mengenai sasarannya, Dan betul saja, “bluk”, pukulannya tepat mengenai tempat yang diarah.
Melihat itu, berseru kaget sebagian besar penonton dibawah panggung hingga sama berdiri. Mendengar suara terpukulnya itu, dapat diduga Yalu Ce kalau tidak mati pasti terluka parah. Padahal tadi Nio-tianglo sudah memperingatkan agar berhenti bila tubuh masing-masing sudah ketutul, sekarang kalau sekali pukul Na Thian-ho tewaskan Yalu Ce, sedangkan orang adalah menantu kesayangan Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin, dapat diduga segera urusan akan bertambah meluas.
Siapa tahu, begitu berhasil memukul, seketika air muka Na Thianho malah pucat lesi, lalu terhuyung-huyung mundur beberapa tindak.
“Kagum, kagum!” katanya tiba-tiba” sambil kiong ciu pada Yalu Ce, lalu balik berjalan kedepan panggung dari teriaknya dengan lantang: “Yalu-toaya sengaja berlaku murah hati mengampuni jiwaku, benar-benar seorang ksatria berbudi luhur, sungguh aku merasa kagum dan terima menyerah.”
Habis berkata, segera iapun melompat turun panggung.
“Keruan penonton saling pandang dengan bingung karena tak mengerti apa sebabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar