Kembalinya Pendekar Rajawali 98
“Memang benar,” ujar Cu
Cu-liu, “kettka susiok minta dia membawakan tangkai bunga cinta dan kumohon
dia bantu menyiarkan berita minta bantuan kepada Suhu, semuanya telah dia
laksanakan dengan baik, Caranya dia memanggang kami di tempat ini juga
dikurangi apinya sehingga kami dapat
bertahan sampai sekarang, Sering kutanya
siapa dia, tapi dia tak mau menjelaskan, tak tersangka dia adalah puteri sang Kokcu.”
“Malahan bisanya kami menemukan kalian di
sini juga atas petunjuk nona itu,” tutur Siao-Iiong-li.
“Gurumu It-teng Taysu juga sudah datang,”
demikian Nyo Ko menambahkan.
“Aha, lekas kita keluar,” seru Cu Cu-liu
kegirangan.
“Tiba-tiba Yo Ko mengerut kening dan berkata
pula: “pula Cu-in Hwesio juga ikut datang, dalang urusan ini mungkin ada
kesulitan.”
“Kalau Cu-in Suheng juga datang kan lebih baik?” ujar Cu-liu
heran. “Pertemuan kembali mereka kakak beradik, sedikitnya Kiu-kokcu akan
memikirkan hubungan baik persaudaraan mereka.”
Yo Ko lantas menceritakan keadaan Cu-in yang
kurang waras itu serta cara bagaimana Kiu Jian-jio telah menghasut sang kakak.
“Jika Kwe hujin juga sudah berada di sini,
maka segala urusan tentu akan beres,” ujar Cu Cu-liu, “Kwe-hujin pintar dan
cerdik, ditambah lagi Suhuku serta kelihayan Yo-heng, betapapun besarnya
persoalan juga tidak perlu dikuatirkan lagi. Yang kupikirkan sekarang justeru
kesehatan Susiok.”
Yo Ko juga merasa paderi Hindu itu perlu
diselamatkan lebih dulu, maka ia lantas mengusulkan. “Marilah kita mencari dulu
suatu tempat yang aman untuk menyegarkan pikiran paderi sakti. Biarlah kita
menjagai dia.”
“Tapi mana ada tempat yang aman?” ujar Cu-liu
sambil berpikir, ia merasa setiap tempat di Coat-ceng-kok ini sama aneh dan
berbahayanya. Tiba-tiba hatinya tergerak dan berkata pula: “Kukira tetap berada
di sini saja.”
Yo Ko melengak, tapi segera ia paham maksud
orang, katanya dengan tertawa. “Ucapan Cu-toasiok memang sangat tepat. Tempat
ini tampaknya berbahaya, tapi sebenarnya adalah tempat yang paling aman di
lembah ini, asalkan kita tawan kedua orang berbaju hijau ini agar tidak
membocorkan kejadian di sini, maka bereslah segala urusan.”
“Urusan ini tidak sulit,” kata Cu Cu-Iiu
dengan tertawa sambil menutukkan jarinya dari jauh lalu ia pondong paderi Hindu
itu dan berkata pula. “Tinggal di rumah omprongan ini tentu aman dan tenteram
bagiku, Nyo heng berdua lebih baik pergi lagi ke sana untuk membantu guruku
apabila perlu.”
Teringat kepada keadaan lt-teng Taysu yang
masih terluka, sedangkan sifat baik-buruk Cu in sukar diraba, kalau dirinya
menunggui paderi Hindu itu rasanya terlalu mementingkan dirinya sendiri.
Sekarang Cu Cu-liu telah membawa paderi itu ke dalam rumah garangan itu, segera
iapun mengajak Siao-liong-li kembali ke tempat semula.
Sementara itu di ruangan besar Coat ceng-kok
sudah lain lagi suasananya. Berulang-ulang Kiu-Jian-jio berusaha memancing dan
menghasut sang kakak, nadanya semakin keras dan mendesak . It-teng Taysu diam
saja dan menyerahkan kepada keputusan Cu-in sendiri sedangkan Cu-in tampak
bingung, sebentar ia pandang adik perempuannya, lain saat dipandangnya sang
guru, kemudian memandang pula kepada Oey Yong.
Yang satu adalah saudara sekandung sendiri,
seorang lagi adalah gurunya yang berbudi, sementara itu yang seorang lain lagi
adalah musuh pembunuh kakaknya, seketika pikirannya menjadi kacau dan terjadi
pertentangan batin yang hebat.
Menyaksikan sikap Cu-in yang aneh, sebentar
bimbang dan lain saat beringas itu, diam-diam Liok Bu-siang menjadi kuatir,
Dilihatnya Yo Ko sejak tadi keluar dan sampai sekian lama belum kembali,
pelahan ia lantas menarik tangan Thia Eng dan diajak keluar.
“Piauci, ke mana perginya si Tolol itu?”
tanya Bu-siang sesudah di luar.
Tapi Thia Eng tidak menjawabnya melainkan
berkata: “Dia terkena racun bunga yang jahat, entah bagaimana keadaannya?”
“Ya,” Bu-siang ikut kuatir juga, Mendadak ia menambahkan:
“Sungguh tidak nyana akhirnya dia dan
gurunya…”
“Tapi nona Liong itu memang cantik molek,
orangnya juga baik, hanya gadis seperti dia setimpal menjadi jodoh Nyo-toako,”
ujar Thia Eng dengan muram.
“Darimana engkau mengetahui nona Liong itu
orang baik?
Bicara dengan dia saja kau belum pernah” kata
Bu-siang.
Tiba-tiba suara seorang perempuan menjengek
di belakangnya: “Hm, kakinya kan tidak pincang, dengan sendirinya dia orang
baik,”
Cepat Bu-siang membalik tubuh sambil melolos
goloknya, dilihatnya yang bicara itu adalah Kwe Hu. Melihat Bu-siang melolos
golok, segera Kwe Hu juga melolos pedang yang tergantung di pinggang Yalu Ce
yang berdiri di sampingnya, dengan mata melotot ia menantang: “Hm, kau ingin
bergerak dengan aku?”
Mendadak Bu-siang berkata dengan tertawa,:
“Hihi, mengapa kau tidak menggunakan pedangnya sendiri?”
Perlu diketahui bahwa sejak kakinya cacat,
Bu-siang sangat menyesal terhadap cirinya sendiri itu, orang lainpun tiada yang
pernah menyinggung dihadapannya, sekarang dia bertengkar dengan Kwe Hu dan
beberapa kali nona itu selalu menyindir kakinya yang pincang itu, tentu saja ia
sangat gusar, maka kontan ia balas menyindir pedang Kwe Hu yang dipatahkan oleh
semprotan biji kurma Kiu Jian jio.
Kwe Hu menjadi gusar juga, balasnya: “Biar
pun dengan pedang pinjaman juga dapat kulabrak kau,” Habis berkata pedangnya
terus diobat-abitkan hingga mengeluarkan suara mendengung.
“Nah, tidak tahu tua atau muda, rupanya anak
keluarga Kwe memang tidak kenal sopan santun dan menghormati orang tua,” jengek
Bu-siang “Baik, biar ku-ajar adat padamu agar kau mengerti cara bagaimana harus
menghormati orang tua.”
“Huh, memangnya kau ini orang tua macam apa?”
omel Kwe Hu dengan mendongkol.
“Haha, sungguh bocah yang tidak tahu adat!”
Bu-siang mengolok-olok dengan tertawa, “Piauciku adalah Susiokmu, kalau kau
tidak memanggil tante padaku juga harus memanggil bibi, Kalau tidak percaya
boleh kau tanya Piauciku ini.” -Lalu iapun menuding Thia Eng,
Ketika Thia Eng bertemu dengan Oey Yong,
memang betul Kwe Hu juga mendengar ibunya menyebut nona itu sebagai Sumoay,
namun dalam hati ia merasa penasaran dan anggap sang kakek agak keterlaluan
masakah sembarangan memungut seorang murid muda belia begitu, apalagi dilihatnya
usia Thia Eng sebaya dengan dirinya, rasanya juga
tidak mempunyai kepandaian yang berarti.
Kini dia diolok-olok Liok Bu-siang, dengan
gemas ia lantas menjawab “Hm, memangnya siapa yang berani menjamin tulen atau
palsu, Gwakong ( kakek luar ) termashur, siapa yang tidak kenal nama beliau dan
tentunya juga, banyak manusia yang tidak tahu malu pengin mengaku sebagai
anak-cucu murid beliau.”
Walaupun pembawaan Thia Eng berbudi halus dan
pendiam, mau-tak mau ia merasa keki juga mendengar ucapan Kwe Hu itu, namun
saat ini perhatiannya hanya tertuju kepada keselamatan Yo Ko, ia tidak ingin bertengkar
mengenai urusan tetek bengek itu, segera ia berkata: “Piaumoay, marilah kita
pergi mencari Nyo toako saja.”
Bu-siang mengangguk, katanya pula kepada Kwe
Hu: “Nah, kau dengar sendiri bukan ? Dia menyebut diriku sebagai Piaumoay!
Memang nama Kwe-tayhiap dan Ui-pangcu juga termashur di seluruh jagat, tentunya
juga tidak sedikit manusia tidak tahu malu yang ingin menjadi - putera-putri beliau2
itu”
Habis ini ia sengaja mencibir, lalu melangkah
pergi.
Sejenak Kwe Hu melengak, ia tidak paham
siapakah yang ingin mengaku sebagai putera-puteri ayah-bundanya? Tapi segera ia
dapat menangkap ucapan Liok Bu-siang itu, jelas secara tidak langsung orang
hendak memaki dia sebagai anak haram, menganggap dia bukan anak kandung
ayah-ibunya.
Sesungguhnya ucapan Bu-siang inipun rada
keji, sedangkan watak Kwe Hu juga memang pemberang, begitu mengetahui arti
ucapan Bu-siang itu, ia tidak tahan lagi, segera ia memburu maju, tanpa bicara
pedangnya terus menusuk ke punggung lawan.
Mendengar angin tajam menyamber dari belakang
cepat Bu-siang memutar goloknya menangkis “trang”, lengan terasa kesemutan.
“Hm, kau berani memaki aku anak liar?” bentak
Kwe Hu murka, kembali ia menyerang secara ber-tubi2.
Sambil menangkis Liok Bu-siang menjengek
pula: “Hm, Kwe-tayhiap adalah orang yang berbudi luhur, Ui-pangcu adalah puteri
kesayangan Tho-hoa-tocu, mereka betapa tinggi budi pekerti beliau itu.”
“Memangnya perlu kau jelaskan pula? Tidak
perlu kau memuji ayah-bundaku untuk membaiki aku” dengus Kwe Hu, disangkanya
Bu-siang memuji ayah-ibunya dengan setulus hati, maka daya serangannya menjadi
rada kendur.
Tak tahunya Bu-siang lantas menyambung pula:
“Tapi bagaimana dengan kau sendiri? Huh, kau telah membuntungi lengan Nyo
toako, tanpa cari keterangan lebih dulu lantas memfitnah orang, tindak tanduk
cara begini mana ada kemiripan dengan kepribadian Kwe tayhiap dan Ui-pangcu, betapapun
orang harus merasa sangsi.”
“Sangsi apa-apa” tanya Kwe Hu.
“Hm, boleh kau pikir sendiri, buat apa
tanya?” jengek Bu-siang ketus.
Pertengkaran kedua nona itu disaksikan Yalu
Ce, ia tahu watak Kwe Hu lebih lugu dan tidak secerdik Busiang, kalau adu mulut
pasti kalah maka ia lantas menyela: “Nona Kwe, jangan bicara lebih banyak lagi
dengan dia.”
Dalam marahnya Kwe Hu ternyata tidak paham
maksud anak muda itu, ia menjawab. “Kau jangan ikut campur, aku justeru ingin
tanya dia lebih jelas.”
Bu-siang juga melotot kepada Yalu Ce dan
taerkata; “Huh, kelak baru kau tahu rasa.”
Muka Yalu Ce menjadi merah, ia tahu arti
ucapan Bu-siang itu, jelas si nona dapat melihat dia telah jatuh cinta kepada Kwe
Hu, maka Bu-siang sengaja ber olok-olok, maksudnya jika mendapat isteri yang
galak dan warok begitu kelak pasti akan banyak mendatangkan kesukaran bagimu.
Melihat air muka Yalu Ce mendadak berubah
merah, Kwe Hu menjadi curiga dan bertanya: “Apakah kau juga menyangsikan aku
ini bukan anak kandung ayah-ibuku?”
“Tidak, tidak,” cepat Yalu Ce menjawab,
“Marilah kita pergi saja, jangan urus dia.”
Tapi Bu-siang lantas menanggapi “Sudah tentu
dia sangsi, kalau tidak mengapa dia mengajak kau pergi?”
“Muka Kwe Hu menjadi merah padam, tangan
memegang pedang, tapi takdapat mendebatnya.”
Yalu Ce kuatir si nona salah paham, terpaksa
ia bicara lebih gamblang, katanya: “Cara bicara nona ini tajam dan menusuk
perasaan, kalau mau ber-tanding boleh bertanding saja, tapi jangan banyak
omong.”
“Nah, tahu tidak kau? Maksudnya kau tidak
pintar omong dan bodoh bicara, semakin banyak bicara semakin memalukan saja,”
sela Bu-siang pula.
Dalam hati Kwe Hu sekarang memang sudah
timbul perasaan aneh terhadap Yalu Ce, anak gadis yang baru merasakan madu nya
cinta selalu timbul perasaan kuatir dan cemas, setiap ucapan orang lain yang
menyangkut sang kekasih, walaupun tidak beralasan sama sekali, tentu akan dipikirkannya
secara boIak-balik serta dimamah dan dirasakannya.
Apa-lagi sejak kecil Kwe Hu selalu dimanjakan
orang tua, kedua teman ciliknya, yaitu kedua saudara Bu juga sangat penurut
padanya, kecuali Yo Ko yang terkadang suka melawannya, hampir tak pernah dia
bertengkar dengan siapapun, kini mendadak dia menghadapi seorang lawan yang pintar
putar lidah, seketika dia terdesak di bawah angin, ia tahu kalau bicara lagi
tentu dirinya akan lebih banyak pula diolok-olok, dengan gusar dia lantas
memaki: “Perempuan dingklang, kalau sebelah kakimu tidak kubacok pincang pula, biarlah
aku tidak she Kwe.”
“Hm, tidak perlu kau membacok kakiku juga kau
tidak she Kwe lagi, memangnya siapa tahu kau ini she Li atau she Ong,” jawab
Bu-siang. Secara tidak langsung ia selalu memaki Kwe Hu sebagai “anak haram”.
Keruan Kwe Hu tidak tahan lagi, segera ia
melancarkan serangan dan terjadilah pertarungan sengit.
Kepandaian yang diajarkan Kwe Ceng dan Oey
Yong kepada kesayangannya ini adalah ilmu pilihan kelas wahid, cuma ilmu silat
yang hebat ini harus dimulai dengan memupuk dasar dan latihan yang tekun,
sedangkan bakat pembawaan Kwe Hu justeru lebih banyak menuruni sang ayah dari
pada sang ibu, sebab itulah kemajuan ilmu silat yang dilatihnya agak lamban, banyak
jurus-jurus serangan lihay belum dapat digunakannya dengan baik.
Walaupun begitu toh Liok Bu-siang tetap bukan
tandingannya, ditambah lagi sebelah kakinya pincang, gerak gerik nya tidak
leluasa, sedangKan Kwe Hu menyerang dengan beringas, pedangnya selalu mengincar
bagian bawah dan ingin menusuk lagi kaki sebelah lawan,
Diam-diam Thia Eng mengernyitkan kening
menyaksikan pertarungan mereka, pikirnya: “Meski cara ber-olok-olok Piaumoay
agak tajam, tapi nona Kwe ini juga terlalu garang, pantas lengan Nyo-toako
tertabas buntung olehnya, Kalau berlangsung lebih lama lagi mungkin sekali kaki
Piaumoay juga sukar diselamatkan.”
Dilihatnya Bii-siang terus terdesak mundur
dan Kwe Hu menyerang semakin gencar, “bret” tiba-tiba gaun Bu-siang terobek,menyusul
dia menjerit pelahan dan mundur dengan sempoyongan dan muka pucat Kwe Hu terus
melangkah maju, kakinya lantas menyapu, dia sengaja hendak membikin Bu-siang
terjungkal untuk melampiaskan rasa gemasnya.
Terpaksa Thia Eng bertindak melihat keadaan
itu, ia melompat maju mengadang di depan Kwe Hu dan berseru.
“Harap berhenti, nona Kwe!”
Waktu Kwe Hu angkat pedangnya dan tertampak
ada setitik darah, tahulah dia kaki Bu-siang telah dilukainya, dengan
berseri-seri ia lantas tuding nona itu dan berolok: “Nah, nonamu sengaja
memberi ajaran padamu agar selanjutnya kau jangan sembarangan mengoceh!”
Padahal Bu-siang adalah nona yang berwatak
keras, kepala batu, tidak takut kepada apapun juga, Li Bok-chiu yang begitu
kejam juga tidak membuatnya jera, malahan dia berani kabur dengan mencuri kitab
pusaka sang guru itu. Sekarang meski dikalahkan Kwe Hu dan darah merembes
membasahi gaunnya namun ia tidak menjadi jeri, sebaliknya ia tambah marah dan
berteriak: “Huh, hanya pedangmu saja mampu menyumbat mulut orang seluruh
jagat?” ia tahu Kwe
Hu suka membanggakan
ayah-ibunya, maka ia sengaja mengolok-oloknya
sebagai “anak haram” dan bukan puteri kandung kedua orang tuanya itu.
“Kau mengoceh apa lagi?”
bentak Kwe Hu dengan gusar sambil melarikan maju dan pedangnya disurung pula ke
depan dada orang.
Thia Eng berdiri di tengah mereka, melihat
ujung pedang menyeleweng tiba, segera ia gunakan jarinya menahan batang pedang
Kwe Hu itu terus didorong pelahan ke samping sambil melerai: “Piau-moay, nona
Kwe, kita berada di tempat berbahaya, janganlah kita cecok urusan tidak berarti
ini.”Kwe Hu terkejut dan gusar karena pedangnya, didorong ke samping dengan
enteng oleh tangan Thia Eng. segera ia membentak: “Hm, kau hendak membela dia
bukan? Baiklah kalian boleh maju bersama, aku tidak takut biarpun satu lawan dua.
Hayolah lolos senjatamu!”
Habis berkata ujung pedangnya terus mengacung
ke dada Thia Eng dan menantikan lawan melolos seruling kemala yang terselip di
pinggang itu.
Namun Thia Eng tersenyum hambar saja,
kata-nya: “Aku melerai perkelahian kalian, masakah aku sendiri ikut bertengkar?
Yalu-heng, hendaklah kaupun melerai nona Kwe.”
“Benar, nona Kwe,” ucap Yalu Ce.
“Kita berada di wilayah musuh, kita harus waspada dan hati-hati.”
“Bagus, kau tidak bantu diriku, sebaliknya
kau membela orang lain,” seru Kwe Hu dengan mendongkol ia lihat Thia Eng cukup
cantik dan manis, tiba-tiba timbul pikirannya
jangan-jangan anak muda itu menyukai nona itu.
Sedikitpun Yalu Ce tidak dapat menangkap
jalan pikiran Kwe Hu itu, ia menyambung ucapannya tadi: “Cu-in Hwesio itu rada
aneh sikapnya, lekas kita ke sana untuk melihat ibumu.”
Namun Liok Bu-siang teramat cerdik dan
pintar, sepatah kata dan sedikit tingkah Kwe Hu saja segera dapat diterka isi hati
seterusnya itu, cepat ia berkata puIa: “Hah Piauciku jauh lebih cantik
daripadamu, pribadinya juga halus budinya, ilmu silatnya juga lebih tinggi,
hendaklah kau berhati-hati sedikit!”
Setiap kalimat Bu-siang itu cukup menusuk
perasaan Kwe Hu, keruan ia menjadi murka, tapi ia lantas pikirnya: “Aku harus
ber-hati-hati apa?”
“Huh, kecuali aku orang tolol, kalau tidak
masakah aku tidak memilih Piauciku dan sebaliknya menyukai kau,” jengek Bu-siang.
Ucapan ini jauh dari jelas dan gamblang,
tentu saja Kwe Hu tidak tahan lagi, begitu pedangnya bergerak, segera ia menusuk
ke iga Bu-siang dengan mengitar ke samping Thia Eng.
Diam-diam Thia Eng mengerut kening melihat
serangan Kwe Hu yang ganas itu, ia pikir sekalipun ucapan Piaumoay itu menyinggung
perasaanmu, betapapun kita kan bukan musuh, mengapa tanpa kenal ampun kau
melancarkan serangan mematikan sekeji ini?
Secepat kilat Thia Eng menghimpun tenaga pada
jarinya, begitu pedang Kwe Hu menyelinap lewat dan sebelum mencapai sasarannya,
secepat kilat ia terus menyelentik, “creng”, kontan pedang Kwe Hu terlepas dan
jatuh ke tanah.
Selentikan Thia Eng itu adalah ilmu jari
sakti ajaran Ui Yok-su, karena kekuatan Thia Eng cuma setingkat dengan Kwe Hu,
maka cara menyelentik-nya itu dilakukannya secara mendadak, begitu pedang orang
terlepas, langkah selanjutnya juga sudah diperhitungkan o!ehnya, segera
melangkah maju, pedang itu diinjak, seruling kemala terus dikeluarkan di
Hiat-to di tubuh Kwe Hu.
Karena didahului orang, keadaan Kwe Hu
menjadi serba salah, kalau berjongkok untuk rebut pedang, beberapa Hiat to itu
pasti akan bertutuk, sebaliknya kalau melompat mundur untuk menghindar, maka
pedang itu berarti dirampas lawan.
Karena kurang pengalaman Kwe Hu- menjadi
serba runyam, mukanya menjadi merah dan tidak tahu, apa yang harus dilakukan.
“Hai, nona itu, mengapa kau menginjak
pe-dangku?” tiba-tiba Yalu Ce membentak, berbareng ia terus menubruk maju hendak
mencengkeram seruling orang.
Naraun Thia Eng sempat menyurutkan tangannya,
ia membalik tubuh dan menarik Bu-siang terus diajak pergi.
Cepat Kwe Hu jemput kembali pedangnya dan
berteriak : “Nanti dulu! Marilah kita bertanding dengan baik!”
“Haha, masih mau bertanding ” sebelum
Bu-siang mengolok-olok lebih lanjut, cepat sekali Thia Eng telah menyeretnya
melompat ke depan, hanya sekejap mereka sudah berada jauh di sana, Yalu Ce
segera menghibur Kwe Hu, katanya : “Nona Kwe, hanya kebetulan saja dia
berhasil, sebenarnya kalah menang kalian belum jelas.”
“Memangnya,” kata Kwe Hu dengan penasaran
“tadi pedangku sedang mengincar si pincang, mendadak dia turun tangan,
Tampaknya dia ramah tamah, ternyata bertindak secara licik.”
Yalu Ce mengiakan saja, wataknya jujur, tidak
biasa menyanjung puji orang, katanya: “Kepandaian nona Thia itu tidak lemah,
lain kali kalau bergebrak lagi hendaklah kau jangan meremehkan dia,”
Kwe Hu kurang senang mendengar pujian Yalu Ce
kepada Thia Eng itu, tanpa pikir ia bertanya : “Kau bilang ilmu silatnya bagus?”
“Ya,” jawab Yalu Ce.
“Baiklah, kalau begitu jangan kau hiraukan
diriku lagi dan berbaik saja dengan dia,” kata Kwe Hu dengan gusar sambil melengos.
“He, maksudku agar kau jangan meremehkan dia,
supaya kau hati-hati, itu tandanya kubela kau atau membantu dia?” cepat Yalu Ce
menjelaskan.
Kwe Hu pikir arti ucapan anak muda itu memang
benar membela dirinya, maka rianglah hatinya.
Segera Yalu Ce berkata pula. “Malah tadi
akupun bantu kau merebut kembali pedangmu, masakah kau masih marah padaku?”
“Ya, marah padamu!” omel Kwe Hu sambil
berpaling kembali, namun dengan tertawa gembira.
Yalu Ce menjadi girang juga, Pada saat itulah
dari ruangan pendopo sana berkumandang suara orang me-raung2 disertai suara
nyaring benturan senjata.
“Ai, lekas kita melihat ke sana!” seru Kwe Hu.
Tadi dia merasa sebal oleh ocehan Kiu
Jian-jio mengenai kejadian di masa talu, ia tidak tahu bahwa setiap kata nenek itu
mengandung ancaman bahaya maut bagi ibunya, maka ia lantas mengeluyur keluar
dan tanpa sebab telah bertengkar dengan Bu-siang dan Thia Eng, kini ia menjadi
kuatir bagi sang ibu demi mendengar suara ribut itu, cepat ia berlari kembali
ke sana.
Begitu dia masuk, dilihatnya It-tcng Taysu
lagi berduduk di tengah ruangan, tangan meraba-raba tasbih dan mulut mengucap Budha,
air mukanya agung dan welas-asih, sedangkan Cu-in Hwesio sedang berlari-lari
mengitari ruangan besar itu sambil mengeluarkan suara raungan buas, belenggu pada
tangannya sudah terbetot putus dan saling bentur dengan suara gemerincing.
Kiu Jian-jio kelihatan duduk ditempatnya tadi
dengan wajah membesi, mukanya memang buruk, kini menjadi tambah bengis dan
menakutkan sementara itu Oey Yong, Bu Sam-thong dan lain-lain berada di pojok
sana sambil mengawal gerak-gerik Cu-in.
Setelah berlari-lari sekian lama, dahi Cu-in
tampak berkeringat ubun-ubunnya mengepulkan uap putih tipis dan makin lama
makin tebal, lari Cu-in itupun semakin cepat.
Mendadak It-teng Taysu membentak lantang:
“Cu-in, wahai, Cu-in! sampai kini apakah kau masih belum menyadari perbedaan
antara bajik dan jahat?”
Cu-in tampak melengak, uap putih di atas
kepalanya mendadak lenyap, tubuhnya tergeliat, lalu jatuh terjungkal.
“Anak Oh, lekas bangunkan Kuku!” bentak Kiu Jian-jio.
Buru-buru Kongsun Lik-oh berlari maju untuk membangunkan
sang paman, Ketika Cu-in membuka mata, dilihatnya wajah si nona hanya belasan
senti di depan matanya, samar-samar terlihat alis yang lentik dan mulut yang mungil,
wajah yang cantik molek itu mirip benar dengan adik perempuannya dahulu,
Tiba-tiba ia berseru: “Sammoay, berada di manakah aku ini?”
“Kuku! Kuku! Aku Lik-oh!” ucap Lik-oh.
“Kuku? Siapa Kukumu?” - demikian Cu-in
berguman, “Kau memanggil siapa?”
“Jiko, dia adalah puteri adikmu!” teriak Kiu
Jian-jio, “dia minta kau membawanya menemui Kuku tertua.”
Cu-in terkejut mendadak, katanya: “O, Kuku
tertua?
Kakakku? Ah, kau tak dapat melihatnya lagi,
dia sudah terjatuh hancur lebur ke jurang Tiat ciang hong.”
Teringat kepada kejadian masa Ialu, seketika
mukanya menjadi beringas, ia melompat bangun, Oey Yong ditudingnya dan
membentak: “Oey Yong, kau yang membunuh Toakoku, Kau… kau harus mengganti
jiwanya!”
Setelah masuk lagi ke ruangan situ. Kwe Hu
berdiri di samping sang ibu dan memondong adik perempuannya. Ketika mendadak
melihat Cu-in mencaci-maki ibunya secara bengis, dia orang pertama yang tidak
tahan, segera ia melangkah maju beberapa tindak dan balas mendamperat: “Kau
jangan kasar kepada ibuku Hwesio, nonamu ini takkan membiarkan kau main gila.”
Kiu Jian-jio lantas menjengek: “Hm, berani
benar anak perempuan ini…”
“Siapa kau?” segera Cu-in bertanya.
“Sudah kukatakan sejak tadi, apa kau tuli?W
jawab, Kwe Hu. “Kwe-tayhiap adalah ayahku, Ui pangcu ialah ibuku.”
“Hm, jadi Kwe Ceng dan Oey Yong malah sudah
mempunyai dua anak,” teriak Cu-in dengan beringas.
Melihat nadanya berubah buas, Oey Yong
menjadi kuatir, cepat ia menyuruh Kwe Hu mundur Akan tetapi Kwe Hu mengira
Cu-in gentar kepada ibunya terbukti sejak tadi tidak berani menyerang maka
tanpa pikir ia malah melangkah maju dan mengejek: “Huh, kalau kau mampu
bolehlah lekas kau menuntut balas, kalau tidak becus, sebaiknya kau tutup mulut
saja!”
“Bagus ucapanmu, kalau mampu bolehlah lekas
menuntut balas!” bentak Cu-in dengan suara menggelegar sehingga cangkir sama
bergetar di atas meja.
Sama sekali Kwe Hu tidak menyangka seorang
Hwesio dapat mengeluarkan suara sekeras itu, ia menjadi terkejut dan kebingungan
Pada saat itulah telapak tangan kiri Cu-in telah memukul, tangan kanan juga
lantas mencengkeram sekaligus.
Dua rangkum tenaga maha dahyat terus
membanjir tiba, piker Kwu Hu hendak menghindari akan tetapi sudah kasip.
Tanpa berjanji Oey Yong, Bu Sam-thong dan
Yalu Ce bertiga melompat maju berbareng, pandangan mereka-cukup tajam, mereka
tahu cengkeraman tangan kanan Cu-in itu tampaknya ganas, tapi tidak selihay
pukulan tangan tangan kiri yang mematikan ttu, Sebab itulah tangan mereka
memapak bersama, “blang”, tiga arus tenaga dahsyat menyentak tangan kiri Cu-in.
Terdengar Cu-in bersuara tertahan dan tetap
berdiri di tempatnya, sebaliknya Oey Yong bertiga tergetar mundur beberapa
langkah, Kekuatan Yalu Ce paling cetek, dia tergentak mundur paling jauh,
berikutnya adalah Oey Yong.
Sebelum berdiri tegak kembali dia mengawasi
puterinya lebih dulu, dilihatnya Kwe Yang cilik sudah dicengkeram oleh Cu-in,
sedangkan Kwe Hu berdiri mematung, rupanya Saking kagetnya hingga lupa
menghindar.
Oey Yong menjadi kuatir kalau-kalau Kwa Hu
dilukai, tenaga pukulan lawan, Cepat ia melompat maju pula dan menarik mundur
anak gadisnya itu sembari mengeluarkan pentung penggebuk anjing tmtuk bela diri,
sekali pentung pusakanya itu sudah siap, betapapun dahsyat tenaga pukulan Cu-in
juga takkan melukainya lagi.
Sebenarnya Kwe Hu tidak terluka sedikitpun, Cuma
pikirannya menjadi kacau, dia baru sempat menjerit kaget setelah bersandar di
tubuh sang ibu, sementara kedua saudara Bu, Yalu Yan, Wanyan Peng dan lainnya
segera meloIos senjata juga ketika melihat Cu-in akhirnya melancarkan serangan.
Beramai-ramai anak buah Kiu Jian-jio juga
menyebar dan siap siaga, asalkan sang Kokcu memberi aba-2, serentak merekapun
akan menyerbu. Hanya It - teng Taysu saja yang tetap duduk bersila di tengah
ruangan dan anggap tidak mendengar dan tidak melihat apa yang terjadi di
sekitarnya, dia tetap mengucapkan doa, meski tidak keras suaranya, namun cukup
jelas terdengar Mendadak Cu-in mengangkat tinggi2 Kwe Yang cilik dan berteriak:
“lnilah puteri Kwe Ceng dan Oey Yong, setelah kubunuh anak ini barulah
kubinasakan kedua orang tuanya.”
Dengan girang Kiu Jian-jio menanggapi “Bagus,
Jiko yang baik, dengan begitulah engkau baru benar-benar ketua Tiat-ciang-pang
yang tiada bandingannya.”
Dalam keadaan demikian, jangankan seorang-pun
yang hadir ini mampu mengalahkan Cu-in, sekalipun ada yang berkepandaian lebih
tinggi dari dia juga akan mati kutu dan sukar menyelamatkan Kwe Yang kecil dari
tangan orang yang sudah kalap itu.
“Nyo toako! Nyo-toako! Di
mana engkau? Lekas kemari menolong adikku!” sekonyong-konyong Kwe Hu
berseru.
Menghadapi bahaya begini tiba-tiba dia ingat
kepada Yo Ko. Maklumlah, beberapa kali Kwe Hu mengalami kesukaran dan tiap kali
Yo Ko yang berhasil menyelamatkan dia di luar dugaannya, kini adiknya terancam
dan tampaknya tiada seorangpun yang mampu bertindak, secara otomatis lantas timbul
harapannya agar Yo Ko datang menolongnya.
Akan tetapi saat itu Yo Ko sedang bergandengan
tangan dengan Siao-Iiong-li menikmati pemandangan senja indah pegunungan ini,
sama sekali tak terpikir olehnya di ruangan besar sekarang sedang timbul adegan
yang mendebarkan itu.
Begitulah dengan tangan kanan mengangkat Kwe
Yang ke atas dan tangan kiri siap membela diri, Cu-in mengejek seruan Kwe Hu
tadi: “Huh, Yo Ko apa? siapakah Yo Ko itu? Saat ini biar-pun Tang-sia Se-tok,
Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong datang ke sini sekaligus paling-2 juga
jiwaku Kiu Jian-yim saja yang dapat diganggunya, tapi jangan harap akan dapat
menolong anak dara cilik ini.”
Pelahan Itteng mengangkat kepalanya dan
menatap Cu-in, terlihat kedua matanya merah membara penuh napsu membunuhi
segera ia berkata: “Cu-in kau hendak menuntut balas pada orang, kalau orangpun
hendak menuntut balas padamu, lalu bagai mana?”
“Siapa yang berani boleh coba maju!” bentak
Cu-in.
Sementara hari sudah dekat magrib, cuaca
mulai remang-remang dan air muka Cu-in juga semakin seram tampaknya.
Pada saat itulah mendadak Oey Yong bergelak
tawa, suara tawanya mendadak meninggi dan lain saat merendah laksana suara tawa
orang gila. Begitu seram suara tertawanya hingga membikin orang merinding.
“lbu!” seru Kwe Hu kuatir. Bu Sam-thong, Yalu
Ce dan lain-lain juga serentak memanggil “Kwe-hujin!”
Semua orang kuatir jangan-2 karena memikirkan
anaknya berada dalam cengkeraman musuh, mendadak pikiran Oey Yong menjadi tidak
waras.
Terlihat Oey Yong membuang pentung bambu,
lalu melangkah maju dengan rambut terurai serawutan, suara tawanya melengking
tajam dan menyeramkan, berbeda sama sekali daripada sikapnya yang ramah se
hari-2. “lbu!” seru Kwe Hu sambil menarik lengan Oey Yong.
Tapi sekali mengibas, kontan Kwe Hu terpelanting jatuh, habis itu Oey Yong
terus pentang kedua tangan hendak merangkul tubuh Cu in dengan terbahak-bahak.
Kejadian ini juga sama sekali diluar dugaan
Kiu Jian-jio, ia mengawasi tingkah laku Oey Yong itu dengan mata mendelik dan
sangsi.
“Jangan kuatir Kwe-hujin, kita pasti dapat
merampas kembali puterimu,” seru Bu Sam-thong.
Namun Oey Yong tidak menggubrisnya, kedua
tangan tetap terpentang sembari melototi Cu-in, katanya: “Lekas kau cekik mati
anak itu! Cekik lehernya yang keras, jangan kendur!”
Wajah Cu-in tampak pucat sebagai mayat,
sambil merangkul Kwe Yang dalam pangkuannya, Cuin berkata dengan tergagap:
“Sia…siapa kau?”
Mendadak Oey Yong tertawa ter-kekeh2 terus
menubruk maju. Meski tangan kiri Cu in sudah bersiap namun sebegitu jauh tidak
berani me-nyerang, ia hanya menggeser kesamping menghindari tubrukan Oey Yong
itu, lalu ia tanya pula: Kau…kau siapa?”
“Apakah kau sudah lupa semuanya?” jawab Oey Yong
dengan suara seram, “Malam itu di atas istana
kerajaan Tayli kau memegang seorang anak… ya, ya, seperti inilah kau memegangnya,
bocah itu kau siksa hingga setengah mati, akhirnya jiwanya sukar tertolong
pula, dan aku… aku adalah ibu bocah itu, Nah, lekas kau mencekik mampus dia,
lekas, kenapa tidak lekas kau lakukan?”
Mendengar sampai di sini, sekujur badan Cu-in
lantas menggigil peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu mendadak terbayang
olehnya, Tatkala itu dia sengaja melukai putera Lau-kuihui, yaitu selir
kesayangan Lam-ie (raja di selatan) Toan Hong-ya, yang kini berjuluk It-teng
Taysu, tujuannya supaya Toan Hong-ya mau mengorbankan tenaga dalamnya yang
dipupuk selama berpuluh tahun itu untuk menyelamatkan jiwa anaknya (yang
sebenarnya adalah hasil hubungan gelap antara Lau-kuihui alias Eng Koh dengan
Ciu Pek- thong, si Anak Tua Nakal), namun Toan Hong ya tega benar tidak mau
mengobati anak itu sehingga anak itu akhirnya meninggal.
Kemudian beberapa kali Eng Koh bertemu dengan
Cu-in dan secara kalap melabraknya, kalau perlu siap untuk gugur bersama. Dalam
keadaan begitu, biarpun ilmu silat Cu-in jauh lebih tinggi daripada Eng Koh
juga merasa jeri, maklumlah, merasa berdosa, maka tidak berani melawan dan
lebih suka kabur saja.
Oey Yong tahu itulah kelemahan terbesar
selama hidup Cu-in, dilihatnya cara Cu-in mengawasi Kwe Yang mirip benar kejadian
dahulu, maka dia menjatuhkan taruhan terakhir dengan sengaja menyerukan Cu-in
mencekik mati Kwe Yang saja.
Tentu saja Bu Sam-thong, Yalu Ce dan
Lain-lain tidak tahu maksud tujuan Oey Yong, mereka menyangka ketua Kay-pang itu
mendadak gila sehingga ucapannya tidak karuan juntrungannya. Padahal tindakan
Oey Yong ini sesungguhnya teramat cerdik dan berani, biarpun kaum lelaki juga
belum tentu sanggup bertindak demikian. Dia telah mengetahui benar kelemahan
musuh, inilah kecerdikannya, iapun berani menyuruh orang mencekik anaknya,
inilah keberaniannya yang luar biasa.
Begitulah seketika Cu-in menjadi ragu-ragu
dipandangnya Oey Yong, lalu memandang pula ke arah It-tcng Taysu, kemudian
mengamat-amati anak yang dipegangnya itu.
Sekonyong-konyong ia tidak mampu menahan rasa
penyesalannya sendiri, tiba-tiba ia berteriak: “Mati, sudah mati! Ai, anak baik-baik
begini telah kucekik mati.”
Pelahan ia mendekati Oey Yong dan menyodorkan
bayi itu sambil berkata pula. “Akulah yang membikin mati anak ini, boleh kau
membinasakan diriku sebagai pengganti jiwanya.”
Girang Oey Yong tak terhingga, segera ia
hendak menerima kembali anaknya, mendadak terdengar It-teng membentak: “Balas
membalas, tuntut menuntut, sampai kapan berakhirnya? Golok jagal di tangan,
kapan akan kau lemparkan ?”
Cu-in terkejut, pegangannya jadi kendur, Kwe
Yang terus terjatuh ke lantai, Namun Oey Yong cukup cekatan sebelum badan anak
bayi itu menyentuh lantai, sebelah kakinya tahu-tahu sudah diayunkan dan tepat
mengenai tubuh Kwe Yang hingga mencelat ke sana, berbareng itu Oey Yong lantas berteriak
dan ter-kekeh2: “Ah, anak ini telah dibunuh olehmu.
Bagus, bagus sekali!”
Padahal tendangannya tadi tampaknya agak
keras, namun sesungguhnya cuma punggung kakinya saja yang menjungkit pelahan di
punggung ,anak itu terus ditolak ke sana dengan enteng. ia tahu keselamatan
anak bayi itu bergantung dalam sedetik itu saja, kalau dia berjongkok menyamber
anak itu, bisa jadi pikiran Cu-in mendadak berubah lagi dan meraih kembali si
Kwe Yang cilik.
Tubuh Kwe Yang mencelat dengan anteng ke arah
Yalu Ce, maka dengan tepat anak muda itu dapat menangkapnya, dilihatnya
sepasang biji mata Kwe Yang yang hitam itu terbelalak, mulut terbuka hendak
menangis, keadaannya segar bugar tanpa cidera apapun.
Yalu Ce paham sebabnya Oey Yong sengaja
mengirim Kwe Yang ke arahnya itu adalah karena watak Kwe Hu suka gegabah, maka
sang ibu tidak berani menyuruh menerima bayi itu. Cepat Yalu Ce lantas mendekap
mulut Kwe Yang untuk mencegah tangisnya, berbareng iapun berteriak-teriak:
“Wah, anak ini telah dibinasakan Hwesio ini!”
Muka Cu-in pucat seperti mayat, seketika dia
sadar dan bebas, ia memberi hormat kepada lt-teng dan berkata: “Terima kasih
banyak2 atas bantuan Suhu!”
It-teng membalas hormat dan menjawab:
“Selamatlah engkau telah mencapai kesempurnaan!”
Kedua orang berhadapan dengan tertawa, lalu
Cu-in melangkah pergi. Cepat Kiu Jian-jio berseru:
“He, Jiko, kembali…”
Cu-in menoleh dan berkata “Kau suruh aku
kembali, aku justeru hendak menyuruh kau kembali juga.” Habis itu ia lantas
bertindak pergi tanpa berpaling lagi.
“Bagus, bagus!” berulang-ulang It-teng
menyatakan syukurnya, lalu ia mengundurkan diri ke sudut ruangan dan duduk
semadi tanpa bicara lagi.
Oey Yong mengikat kembali rambutnya yang
kusut tadi, dari Yalu Ce ia terima kembali si Kwe Yang cilik. Cepat Kwe Hu merangkul
sang ibu, serunya dengan kejut2 girang: “O, kukira ibu benar-benar telah kurang
waras!”
Kemudian Oey Yong mendekati It-teng Taycu dan
member hormat, katanya: “Taysu, karena kepepet sehingga Siautit terpaksa
mengungkat kejadian masa lampau, mohon Taysu sudi memaafkan.”
“Yong ji, Yong-ji. kau benar-benar Khong
Bengnya kaum wanita,” ujar It-teng dengan tersenyum.
Di antara hadirin itu hanya Bu Sam-thong saja
yang lapat-lapat mengetahui kejadian dahulu, orang lain sama melongo heran
karena tidak tahu apa yang dimaksudkan percakapan It-teng dan Oey Yong.
Bahwa akhirnya menjadi begini, hal inipun di
luar dugaan Kiu Jian-jio, ia tahu sekali kakaknya sudah pergi, selanjutnya jelas
sukar bertemu lagi, Melihat bayangan Cu-in sudah lenyap, perasaannya menjadi
pilu, tapi terasa bimbang dan menyesal pula ketika ingat ucapan Cu-in sebelum
pergi tadi: “Kau suruh aku kembali, justeru akupun hendak menyuruh kau
kembali.” Jelas ucapan itu bernada memberi nasehat agar lekas menahan diri dan
kembali ke jalan yang baik.
Akan tetapi rasa menyesal itu hanya sekilas
saja lantas lenyap, dengan angkuh ia lantas berkata: “Silakan kalian duduk saja
disini, aku tidak dapat menemani lama2.”
“Nanti dulu!” seru Oey Yong tiba-tiba,
“Kunjungan kami ini adalah untuk memohon Coat-ceng-tan.”
Kiu Jian-jio lantas mengangguk kepada
mu-rid-murid berseragam hijau di sebelahnya, serentak anak murid seragam hijau
itu bersuit, dari setiap sudut lantas muncul empat orang berseragam hijau
dengan membawa jaring ikan berkait dan meng-adang jalan ke luar semua orang.
Dalam pada itu empat pelayan lantas angkat
kursi yang diduduki Kiu Jian-jio dan dibawa masuk ke ruangan dalam.
Melibat kelihayan barisan jaring berkait itu,
diam-diam Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lain sama terkejut mereka menjadi
bingung pula cara bagaimana membobol barisan jaring musuh itu.
Karena sedikit ragu itulah, tahu-tahu pintu
depan dan belakang ruangan pendopo itu berkeriutan dan merapat, semua orang
berseragam hijau lantas menyelinap ke luar lebih dulu.
Cepat kedua saudara Bu cilik menerjang keluar
dengan pedang terhunus, akan tetapi sudah terlambat “blang”, pintu telah
merapat, kedua batang pedang Bu Tun-si dan Bu Siu-bun yang sempat diselipkan ke
tengah daun pintu itu patah seketika terjepit Tampaknya daun pintu besar itu
terbuat dari baja yang kuat.
“Tidak perlu kuatir” cepat Oey Yong
mendesis. “Untuk keluar dari sini tidaklah sulit, cuma kita harus memikirkan
suatu akal cara bagaimana membobol barisan jaring musuh yang berkait itu dan
cara bagaimana mencuri obat untuk menyelamatkan kawan kita.”
Sementara itu Kongsun Lik-oh juga ikut sang
ibu masuk ke ruangan dalam, di situ ia bertanya tindakan apa pula yang akan
dilakukan ibunya, Kiu Jian-jio sendiri merasa sulit dengan perginya sang kakak,
namun musuh pembunuh kakak kini berada di depan matanya, betapapun ia tidak
dapat tinggal diam.
Maka setelah berpikir, kemudian ia berkata
kepada Lik-oh: “Coba kau pergi ke sana, awasi apa yang dilakukan Yo Ko dan
ketiga anak dara itu.”
Perintah sang ibu sesuai benar dengan
keinginan Lik-oh, segera ia mengangguk dan berlari ke rumah garangan itu.
Sampai di tengah jalan, tiba-tiba didengarnya
ada suara orang bicara di depan sana, jelas itulah suaranya Yo Ko, menyusul terdengar
suara jawaban Siao-liong-li dan lapat-lapat seperti menyebut “nona Kongsun.”
Waktu itu hari sudah gelap, cepat Lik-oh
menyelinap ke semak pohon, ia ingin tahu apa yang sedang dibicarakan kedua
muda-mudi itu mengenai dirinya.
Dengan langkah pelahan ia lantas merunduk
maju, dilihatnya Yo Ko dan Siao-liong li berdiri berendeng di sana, terdengar
Yo Ko lagi berkata: “Kau bilang kita harus berterima kasih kepada nona
Kongsun, kukira memang betul, Semoga paderi
sakti ini lekas siuman, permusuhan ini selekasnya dapat diakhiri sisa racun dapat
dibasmi seluruhnya, bukankah bagus begitu?… Aduuh!” jeritan mengaduh secara
mendadak ini membikin. Lik-oh kaget karena tidak diketahui apa yang
mengakibatkan Yo Ko menjerit. ia coba mengintip dari tempat sembunyinya,
samar-samar dilihatnya Yo Ko tergeletak di tanah dan Siao-liong-li sedang
memegangi lengannya.
Bagian punggung Yo Ko seperti berkejang dan tampaknya
sangat sakit Terdengar Siao-liong-li bertanya padanya: “Apakah racun bunga
cinta kambuh lagi?”
“Iy.. .. iyaa . . ..” sahut Yo Ko dengan gigi
berkeretukan.
“Pedih hati Kongsun Lik- oh dan kasihan pula
melihat penderitaan Yo Ko itu, pikirnya: “Dia sudah minum separoh Coat-ceng
tan, kalau separoh-nya dimakan lagi tentu racunnya akan punah, separoh obat
yang tersisa itu betapapun harus ku-mintakan kepada ibu.”
Selang sejenak, pelahan Yo Ko berbangkit dan
menghela napas panjang.
“Ko-ji, kumatnya penyakitmu semakin kerap dan
jaraknya juga semakin pendek, malahan kelihatan juga tambah parah.” kata
Siao-liong-li. “Padahal harus sehari lagi barulah paderi Hindu itu akan siuman,
seumpama dia dapat meracik obat penawarnya rasanya juga tidak…. tidak mengurangi
penderitaanmu ini.”
Sebenarnya dia hendak mengatakan “juga tidak
keburu lagi menolong kau”, tapi akhirnya ia ubah ucapannya itu.
Dengan tersenyum getir Yo Ko menjawab “Nenek Kongsun
itu sangat kepala batu, obat penawarnya juga tersimpan dengan rapat, kalau dia
tidak suka-rela mau memberikan obatnya padaku, biarpun senjata mengancam
dilehernya juga belum tentu dia mau menyerah dan memberikan obatnya.”
“Aku mempunyai akal,” ujar Siao-liong-li.
Yo Ko sudah dapat meraba jalan pikiran
isterinya itu, katanya: “Liong-ji, jangan lagi kau mengemukakan kehendakmu ini.
Kita suami-isteri saling mencintai dengan segenap jiwa raga, kita akan
bersyukur kalau kita dapat hidup sampai kakek-kakek dan nenek2, kalau tidak
dapat, ya anggaplah memang sudah takdir, di antara kita berdua sekali-sekali
tidak boleh diselingi dengan orang ketiga.”
Dengan suara terguguk Siao-Iiong li berkata: “Tapi…
tapi nona Kongsun itu kulihat pribadinya sangat
baik, hendaklah kau menurut perkataanku.”
Tergerak hati Kongsun Lik-oh mendengar percakapan
mereka itu, ia tahu Siao-liong-li sedang menganjurkan Yo Ko menikahi dirinya
untuk mendapatkan obat penawar.
Segera terdengar Yo Ko berseru lantang:
“Liong ji, nona Kongsun itu memang orang baik. sesungguhnya di dunia ini memang
banyak nona2 yang baik, Misalnya itu nona Thia Eng, nona Liok Bu-siang,
semuanya juga gadis yang baik budi dari setia kawan. Namun kita berdua sudah
saling cinta mencintai mana boleh timbul lagi pikiran lain.
Umpamanya kau sendiri, jika ada seorang
lelaki yang sanggup menyembuhkan racun dalam tubuhmu dengan syarat kau harus
menjadi istrinya, apakah kau juga mau?”
“Aku kan perempuan, sudah tentu lain
soal-nya,” jawab Siao-liong-li.
“Hah, orang lain berat lelaki dan enteng
perempuan, aku Yo Ko justeru berat perempuan dan enteng lelaki,” kata Nyo Ko
dengan tertawa.
Sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara
kresekan di semak pohon sana, cepat Yo Ko berseru: “Siapa itu?” Lik-oh tahu
jejaknya telah diketahui orang, baru saja mau menjawab, tiba-tiba suara seorang
lain menjawab: “Aku, ToloI!”
Menyusul Liok Bu siang dan Thia Eng lantas
muncul dari semak-semak pohon sana. Kiranya tidak cuma Kongsun Lik-oh saja yang
mengintip di situ, Bu-siang dan Thia Eng juga berada di dekatan sana,
Kesempatan itu segera digunakan Lik-oh untuk menyingkir pikirannya lantas
bergolak juga tak menentu: “Jangankan berbanding nona Liong, meskipun nona2
Liok dan Thia saja juga sukar bagiku untuk menandinginya, baik ilmu silat
maupun lahiriah, apalagi bicara mengenai hubungan baiknya dengan Nyo-kongcu.
Sejak kenal Yo Ko, tanpa kuasa Kongsun Lik-oh
kesemsem kepada pemuda itu, meski sejak mula iapun mengetahui Yo Ko sangat
mencintai Siaoliong-li, tapi selalu diharapkannya semoga dapat bertemu sekali
lagi dengan dia, sebab itulah ia terus menanti di Coat-ceng-kok, kini setelah mendengar
percakapan mereka, ia menjadi lebih tahu bahwa cinta dirinya cuma bertepuk
sebelah tangan saja dan tidak mungkin terkabul Kedua orang tuanya adalah
manusia-sia yang culas dan sukar bergaul dengan orang luar, sebab itulah sejak
kecil Kongsun Lik-oh menjadi sangat pendiam dan tersiksa batin, kini hancur
pula segala harapannya, ia bertekad takkan hidup lagi, dengan langkah limbung
ia lantas berjalan ke sana.
Dengan pikiran melayang, jalannya menjadi
tanpa arah tujuan dan tidak menyadari dirinya berada di mana, cuma dia cukup
apal jalanan sekitar situ, maka biarpun di malam gelap juga tidak sampai
terperosot ke jurang atau jatuh-ke sungai, suatu suara seakan-akan mengiang
dalam benaknya: “Aku tak ingin hidup lagi, aku tidak ingin hidup lagi!”
Begitulah ia terus berjalan tanpa tujuan,
entah sudah berapa Iama, tiba-tiba didengarnya dibalik dinding karang sebelah
sana sayup-sayup ada suara orang sedang bicara.
Waktu ia memperhatikan keadaan setempat lebih
cermat ia terkejut.
Kiranya dalam keadaan ling-lung, tanpa terasa
ia teIah berada di suatu tempat di sebelah barat lembah yang jarang dikunjungi
manusia. Waktu ia menengadah tertampak sebuah puncak gunung menjulang tinggi di
depan itulah Coat-ceng-hong (puncak putus tinta) yang sangat curam di lembah
ini.
Pada pinggang Coat-ceng-hong itu adalah suatu
tebing yang menyerupai dinding dan entah-sejak kapan ada orang mengukir tiga
huruf besar di situ, bunyinya “Toan-jong-kah” (tebing putus usus), tebing itu
halus licin dan selalu dikelilingi awan dan kabut, sekalipun burung juga sukar
hinggap di puncak gunung itu.
Di bawah puncak gunung itu adalah jurang yang
tak terperikan dalamnya dengan tumbuhan yang lebat walaupun pemandangan alam di
situ sangat indah permai, namun karena curamnya dan mungkin akan terjerumus ke
dalam jurang jika kurang hati-hati, maka penduduk setempat jarang yang datang
ke situ, sekalipun anak buah Kongsun Ci yang memiliki ilmu silat tinggi juga
jarang menginjak tempat itu.
Tapi sekarang ternyata ada orang bicara
disitu, entah siapa gerangannya?
Selain ingin mati saja memangnya Kongsun
Lik-oh tidak mempunyai kehendak lain lagi, Tapi sekarang timbul rasa ingin
tahunya, segera ia menempel di belakang batu karang dan coba mendengarkan
dengan cermat.
Tapi setelah mengenali suara orang yang
bicara, hatinya lantas berdebar Kiranya pembicara itu ialah ayahnya.
Meski ayahnya berbuat salah terhadap ibunya
dan juga tidak sayang padanya, namun ibunya sudah membutakan sebelah mata
ayahnya dengan sempritan biji kurma serta telah mengusirnya pergi dari
Coat-ceng-kok, betapapun Lik,-oh masih menaruh belas kasihan seorang anak
terhadap ayahnya, ia menjadi heran setelah mendengar suara sang ayah, ternyata
ayahnya tidak meninggalkan Coatceng kok melainkan masih sembunyi di tempat yang
jarang didatangi manusia.
Terdengar ayahnya sedang betkata: “Matamu
diciderai oleh si bangsat cilik Yo Ko, mataku juga buta juga boleh dikatakan
akibat perbuatan bangsat cilik itu, jadi kita boleh dikatakan se… senasib dan
setanggungan, hehehe!” Meski ia terkekeh, namun orang yang diajak bicara itu
ternyata tidak menanggapinya.
Lik-oh menjadi heran siapakah gerangan yang
diajak bicara sang ayah itu? seketika iapun tidak ingin siapakah yang matanya
pernah diciderai Yo Ko, sedangkan nada ucapan sang ayah kedengaran rada-rada
bangor, apakah lawan bicaranya itu adalah seorang perempuan?
Di dengar nya Kongsun Ci berkata pula: “Kita
bertemu di sini juga boleh dikatakan ada jodoh, bukan saja senasib dan setanggungan”.
bahkan juga… juga sama-sama bermata…bermata…”
“Huh, kau mentertawakan aku ini buruk rupa
bukan?” tiba-tiba seorang perempuan mendamperat.
“O,walah, janganlah kau marah, bukan begitu
maksudku.” jawab Kongsun Ci cepat “Aku justru sangat senang bertemu dengan
kau.”
“Aku telah terluka oleh bunga cinta dan kau
sama sekali tidak menghiraukan, malahan kau menggodai diriku saja,” omel pula
perempuan itu.
Baru sekarang Kongsun Lik-oh ingat siapa
orang ini, Kiranya adalah Li Bok-chiu, iapun heran bahwa mata Li Bok-chiu
katanya juga diciderai oleh Yo Ko.
Memang betul lawan bicara Kongsun Ci itu
ialah Li Bok-chiu, dia terkena racun bunga cinta dan ingin mendapatkan obat
penawarnya, tapi jalanan di Coat-ceng-kok berliku-liku dan ruwet, dia kesasar
kian kemari dan akhirnya sampai di tebing curam itu dan kebetulan mempergoki
Kongsun Ci juga sembunyi disitu.
Dengan sembunyi disitu Kongsun Ci sedang
menunggu kesempatan agar dapat membunuh Kiu Jian-jio untuk merebut kembali
kedudukan Kokcu, sedangkan kedatangan Li Bok-chiu ke situ hanya kebetulan.
Keduanya pernah bergebrak dan sama-sama tahu
lihaynya masing-masing, maka pertemuan ini lantas menimbulkan pikiran yang sama
pula akan bergabung untuk tujuan bersama, setelah bicara sebentar ternyata
kedua orang merasa cocok satu sama lain.
Usia Li Bok-chiu sebenarnya tidak muda lagi,
tapi sejak kecil dia berlatih Lwekang sehingga wajahnya masih halus dan cantik.
Kongsun Ci telah gagal mengawini Siao-liong-li, kemudian gagal pula menculik
Wanyan Peng, kini bertemu dengan Li Bok-chiu, kembali timbul pikirannya: “Setelah
kubunuh perempuan jahat she Kiu itu, biarlah kunikahi nona ini saja, Baik
wajahnya maupun ilmu silatnya adalah kelas pilihan, meski buta sebelah, tapi
sangat setimpal menjadi jodohku.”
Tak tahunya bahwa jiwa Li Bok-chiu yang jahat
itu ternyata juga disertai cinta yang suci, sebabnya dia banyak berbuat
kejahatan juga akibat gagalnya percintaan. Kini didengarnya cara bicara Kongsun
Ci semakin tidak senonoh, diam-diam ia menjadi marah. Tapi mengingat masih
perlu mendapatkan obat penawar, terpaksa ia melayani percakapan orang sekadarnya.
Begitulah Kongsun Ci lantas berkata pula:
“Aku adalah Kokcu di sini, cara membuat obat penawar bunga cinta tiada diketahui
orang lain kecuali diriku ini. Cuma membuatnya memerlukan waktu, air di tempat
jauh tak dapat memadamkan api di dekat sini. Untung obat itu masih tersisa satu
biji di tempat kediamanku, tapi sekarang dikangkangi perempuan jahat itu,
terpaksa kita harus membinasakan dia,
habis itu apapun juga adalah milikmu.”
Kalimat ucapannya yang terakhir itu
mengandung makna berganda, artinya tidak cuma obat penawarnya saja akan
Kuberikan padamu, bahkan kedudukan nyonya rumah Coat-ceng-kok inipun akan
menjadi bagianmu.
Bahwa di dunia ini hanya Kongsun Ci sendiri
saja yang tahu cara membuat obat penawar, hal ini memang tidak salah,
Bahkan resep obat itu hanya dari ayah
diturunkan kepada anak dan tak mungkin diajarkan kepada orang luar, sekalipun Kiu
Jian-jio juga tidak tahu tentang resep obat itu, dia menyangka obat itu adalah
simpanan dari leluhur keluarga Kongsun dan tidak tahu kalau Kongsun Ci masih
menyimpan resepnya, sebaliknya mengenai sisa obat yang tinggal setengah biji
pada Kiu Jian-jio itu Kongsun Ci juga tidak tahu, disangkanya masih satu biji.
Begitulah Li Bok-chiu menjadi ragu-ragu,
katanya kemudian: “Jika begitu kan percuma saja omonganmu ini.
Obat penawar berada di tangan isterimu dan
isteri mu telah menjadi musuhmu, umpamanya tidak sulit bagimu untuk membunuhnya
tapi cara bagaimana kau dapat memperoleh obatnya?”
Kongsun Ci terdiam sejenak, lalu berkata:
“Li-sumoay, baru kenal kita lantas cocok, demi menolongmu biar mati bagiku juga
tidak sayang”
“Wah, aku harus berterima kasih padamu,” ujar
Li Bok-chiu hambar.
“Aku mempunyai akal untuk rebut obat dari
tangan perempuan jahat itu,” kata Kongsun Ci pula. “Cuma ku harap engkau
menyanggupi suatu permintaanku.”
Dengan tegas Li Bok-chiu menjawab: “Selama mengembara
kian kemari di Kangouw, belum pernah kuterima ancaman orang dengan persyaratan
apapun juga tidak menjadi soal. Aku Li Bok-chiu bukanlah manusia yang sudi mohon
belas kasihan orang lain.”
“Ah, Li-sumoay salah memahami maksudku.” Cepat
Kongsun Ci menjelaskan “maksudku hanya sekedar berbuat sesuatu bagimu, mana aku
berani mengancam segala, Cuma untuk rebut obat itu rasanya harus mengorbankan
jiwa puteri kandungku sebab itulah mungkin ucapanku menjadi rada
kaku.”
Tergetar hati Kongsun Lik-oh mendengar
kalimat “harus mengorbankan jiwa puteri kandungku!”
Li Bok-chiu juga merasa heran, ia menegas:
“Memangnya obat penawar itu berada di tangan puterimu?”
“Tidak, biarlah kukatakan terus terang padamu,”
jawab Kongsun Ci “Watak perempuan jahat itu teramat keras dan pemberang, obat
penawar itu tentu disimpannya di tempat yang dirahasiakan untuk memaksa dia
menyerahkan obatnya jelas sukar, jalan satu-satunya harus dipancing dengan
akal.
Terhadap siapapun dia tidak kenalampun, hanya
puteri satunya itu masih dapat mempengaruhi pikirannya.
Maka nanti akan kupancing puteriku si Lik-oh
kesini dan mendadak kau menawannya serta dilemparkan ke semak-semak bunga
cinta. Dengan begitu terpaksa perempuan jahat itu harus mengeluarkan obat untuk
menolong jiwa puterinya, kesempatan itu lantas kita gunakan untuk rebut
obatnya.”
Sejenak kemudian ia menambahkan pula: “Cuma saying
obat ku hanya sisa satu biji saja, kalau sudah diberikan padamu berarti jiwa
puteriku itupun takkan tertolong.”
Berkata sampai di sini tiba-tiba suaranya
menjadi parau dan mengucurkan air mata.
“Demi menyelamatkan jiwaku harus mengorbankan
puterimu, kukira urusan ini batalkan saja” kata Li Bok-chiu.
“Tidak, tidak, meski aku sayang mengorbankan
dia, tapi aku lebih-lebih berat kehilangan kau,” kata Kongsun Ci cepat.
Li Bok-chiu terdiam, ia merasa selain cara
yang di usulkan Kongsun Ci ini memang tiada jalan lain lagi.
“Kita tunggu saja di sini, lewat tengah malam
nanti akan kupanggil puteriku keluar, betapapun pintarnya tentu dia takkan
menduga akan tipu muslihat ayahnya ini,” kata Kongsun Ci pula.
Percakapan mereka itu dengan jelas dapat
didengar oleh Kongsun Lik-oh, makin mendengar makin takut hatinya.
Tempo hari Kongsun Ci telah menjebloskan dia dan
Yo Ko ke kolam buaya, maka dia sudah tahu sang ayah sama sekali tidak mempunyai
kasih sayang kepada puterinya sendiri, sekarang secara licik malah berkomplot
dengan seorang perempuan yang baru dikenalnya untuk mencelakai puterinya sendiri,
betapa keji hatinya sungguh melebihi binatang.
Memangnya Lik-oh sudah putus asa dan tidak
ingin hidup lagi, tapi demi mendengar muslihat keji yang sedang direncanakan
kedua orang itu, dengan sendirinya timbul pikirannya untuk melarikan diri.
Untunglah sekitarnya batu karang belaka, perlahan-lahan ia lantas melangkah
mundur dibawah aling-batu karang sesudah agak jauh barulah ia mempercepat
tindakannya.
Sesudah jauh meninggalkan Coat-ceng hong, ia
tahu tidak lama lagi ayahnya akan datang mencarinya, maka ia tak berani pulang
ke kamarnya, duduk dengan sedih di atas batu karang, bulan sabit mengintip di
tengah cakrawala, angin malam meniup sepoi-sepoi, ia merasa hampa dan hdup ini
sama sekali tidak ada artinya, Gumamya
sendiri: “Memangnya aku tidak ingin hidup lagi, mengapa engkau merencanakan
akal keji itu untuk mencelakai diriku? Baiklah, jika kau ingin membunuh diriku
boleh bunuh saja. Tapi aneh juga buat apa aku melarikan diri?”
Sekonyong-konyong terkilas suatu pikiran
dalam benaknya : “Meski keji sekali rencana ayah ini, tapi akalnya ini juga sangat
bagus, Aku memang sudah bertekad akan membunuh dri, mengapa tidak kugunakan
akal ini untuk menipu obat dari tangan ibu untuk menyelamatkan jiwa Nyo-toako?
jika mereka suami-isteri dapat diselamatkan dan hidup bahagia betapapun mereka
pasti akan berterima kasih kepadaku si nona yang mencintai dia dengan setulus
hati dan bernasib malang ini.”
Berpikir sampai di sini ia menjadi girang dan
berduka pula, tapi semangatnya lantas terbangkit, ia coba memandang sekelilingnya
untuk mengetahui lebih jelas dirinya berada dimana, lalu ia melangkah menuju ke
kamar tidur sang ibu.
Ketika lewat di semak-semak bunga cinta,
dengan hati-hati ia memetik dua tangkai besar bunga itu dan di-bungkus dengan
ikat pinggang agar duri bunga cinta tidak mencocok tangannya. Setiba di luar
kamar ibunya dengan suara pelahan ia memanggil : “lbu, apakah engkau sudah
tidur?”
“Ada
urusan apa, anak Oh?” jawab Kiu Jian-jio di dalam kamarnya.
“lbu, o, ibu, aku… aku telah luka tercocok
duri bunga cinta,” seru Lik-oh dengan suara tergagap sambil merangkul tangkai
bunga yang dibawanya itu.
Tanpa ampun lagi beribu2 duri bunga itu
tercocok ke dalam kulit dagingnya. Keruan sakitnya tidak kepalang, sekuatnya
dia bertahan dan melepaskan ikat pinggang yang membungkus tangkai bunga itu,
lalu memanggil lagi: “O, ibu!
Ibu!”
Kiu Jian-jio terkejut mendengar suara keluhan
Lik-oh itu, cepat ia menyuruh pelayan membuka kamar dan memayang Lik-oh ke
dalam.
“Ditubuhku masih ada duri bunga, kalian
jangan mendekat,” seru Lik-oh.
Kedua pelayan menjadi kaget dan membiarkan
Lik-oh masuk sendiri ke dalam kamar Kiu Jian-jio terkejut juga melihat wajah
Lik-oh yang pucat, badan gemetar dan dua tangkai bunga bergantungan di dadanya,
cepat ia tanyai “Kenapa kau?”,
“Ayah… ayah…” seru Lik-oh terputus-putus, ia
tahu sinar mata sang ibu sangat lihay maka ia menunduk dan tak berani beradu
pandang.
“Kau masih memanggilnya ayah? Memangnya
kenapa bangsat tua itu?” kata Kiu
Jianjio dengan gusar.
“Dia .dia…”
“Coba angkat kepalamu,” bentak Kiu Jian-jio.
Waktu Lik-oh angkat kepalanya dan melihat
sorot mata ibunya yang kereng itu, tanpa terasa ia bergidik. Katanya dengan
tergagap: “Tanpa sengaja kupergoki….kupergoki dia sedang bicara dengan….dengan
Tokoh cantik yang siang tadi mengacau ke sini itu, kudengar… kudengar…” sampai
di sini ia menjadi ragu-ragu untuk meneruskan, maklumlah dia tak pernah
berdusta, kuatir isi hatinya diketahui sang ibu, kembali ia menunduk lagi.
“Apa yang dibicarakan mereka?” Kiu Jian-jio
menegas dengan tak sabar.
“Katanya mereka se…. senasib dan
setanggungan, sama-sama…sama-sama bermata satu dan… dan sebab itupun matanya
buta sebelah. Mereka… mereka sama memaki ibu sebagai… sebagai perempuan jahat
dan macam-macam lagi, sungguh anak sangat… sangat gemas.” sampai di sini ia
lantas menangis terguguk.
“Jangan menangis,” kata Kiu Jian
jio dengar gregetan.”
Kemudian apa lagi yang mereka katakan?”
“Tanpa sengaja anak menerbitkan suara sedikit
dan diketahui mereka,” tutur LiK-oh lebih lanjut “Tokoh…. Tokoh itu lantas
menangkap diriku dan didorong ke semak bunga cinta.”
Merasa suara Lik-oh itu rada kurang mantap,
segera Kio Jian-jio membentak: “Tidak benar, kau berdusta? sesungguhnya
bagaimana? jangan kau membohongi aku.”
Lik-oh berkeringat dingin, cepat ia menjawab:
“Anak tidak berdusta, bukankah tubuhku ini ter-cocok oleh dini bunga?”
“Nada ucapanmu tidak tepat, sejak kecil
kaupun begini bicaranya dan tak dapat berdusta, masakah ibumu tidak kenal watakmu?”
Seketika tergerak pikiran Lik-oh, dengan
nekat ia berkata pula: “Ya ibu, memang benar aku telah berdusta padamu, Yang
betul ayahlah yang mendorong diriku ke semak-semak bunga, dia marah padaku,
katanya aku mengeloni engkau, membantu kau melawan dia. Katanya aku lebih
condong kepada ibu dan tidak sayang kepada ayah.”
Sebenarnya kata-kata ini hanya karangan
Lik-oh sendiri, namun Kiu Jian-jio sudah kadung sangat benci pada suaminya,
ucapan Lik-oh itu masuk diakal atau tidak bukan soal baginya, yang penting
adalah hal ini dengan jitu mengenai lubuk hatinya. cepat ia pegang tangan anak perempuannya
dan menghiburnya: “Jangan susah anak Oh, biarlah ibu nanti melayani bangsat tua
itu dan pasti akan
melampiaskan dendam kita ini.”
Lalu ia menyuruh pe layan mengambilkan
gunting dan capitan untuk membuang tangkai bunga serta mengeluarkan duri2 kecil
yang masih melekat di tubuh Lik-oh itu.
“lbu, anak sekali ini pasti takkan hidup
Iagi.” kata Lik-oh dengan menangis sedih.
“Jangan.” ujar Kiu Jian-jio, “Kita masih
menyimpan setengah biji Coat-ceng-tan dan untung belum diberikan kepada bangsat
cilik she Yo yang tidak berbudi itu, setelah kau minum setengah biji obat ini,
meski racun bunga tak dapat ditawarkan seluruhnya, asalkan selanjutnya kau mendampingi
ibumu dengan prihatin dan tidak gubris lelaki busuk manapun juga, jangan
sekali-sekali memikirkan mereka,
maka selamanya kaupun takkan menderita
apa-apa”
Kiu Jian-jio sudah sakit hati kepada
suaminya, Yo Ko juga tidak mau menjadi menantunya, sebab itulah dia membenci setiap
lelaki, kalau puterinya tidak menikah selama hidup akan kebetulan baginya
malah.
Lik oh mengerut kening dan tidak menanggapi
Maka Kiu Jian-jio lantas bertanya pula: “Sekarang bangsat tua dan Tokoh itu
berada di mana?”
“Waktu anak merangkak keluar dari semak
bunga, lalu lari ke sini tanpa menoleh, bisa jadi mereka masih berada di sana,”
kata Lik-oh.
Diam-diam Kiu Jian-jio memperkirakan Kongsun
Ci pasti akan dalang merebut Coat-ceng-kok setelah mendapatkan -bala bantuan Li
Bok-chiu.
Anak murid di lembah ini sebagian besar juga
orang kepercayaannya, kalau keadaan mendesak mungkin anak muridnya akan
berpihak pula kepada Kong-sun Ci, sedangkan dirinya sendiri lumpuh, yang lihay
dan diandalkan Cuma senjata rahasianya melulu, yakni biji kurma.
Akan tetapi kalau Kongsun Ci sudah siap
siaga, mungkin semprotan biji kurma sukar lagi melukai dia, kalau dia membawa
perisai, malahan senjata rahasia sendiri akan mati kutu dan tak dapat berbuat
apapun juga.
Melihat ibunya termenung dengan sinar mata
berkilau, Lik oh menyangka orang itu sedang me-nimbang ucapannya tadi benar
atau tidak, kuatir ditanyai pula sehingga rahasianya terbongkar maka selain
dirinya akan tersiksa, usahanya untuk Yo Ko juga akan sia-sia belaka. Teringat
kepada Yo Ko, seketika dadanya menjadi sakit, racun bunga cinta lantas bekerja,
tanpa terasa ia menjerit.
Cepat Kiu Jian-jio membelai rambutnya dan
berkata: “Baiklah, mari kita pergi mengambil Coat ceng tan.” – Segera ia tepuk
tangan, empat pelayan lantas menggotongnya dengan kursi keluar kamar.
Sejak perginya Yo Ko, selama itu Lik-oh ingin
sekali mengetahui di mana ibunya menyimpan setengah biji Coat-ceng tan. Menurut
dugaannya ibunya yang lumpuh dan tidak leluasa gerak-geriknya itu tentu tidak
mungkin menyimpan obat itu di tempat-tempat yang sukar didatangi besar kemungkinan
disimpan di dalam rumah.
Cuma menurut pengamatan-nya selama belasan
hari ini, rasanya semua tempat sudah pernah ditelitinya dan ternyata tiada
sesuatu tanda yang dapat ditemukan Maka ia menjadi heran ketika mendengar
ibunya memerintahkan pelayan membawanya ke ruangan pendopo.
Padahal ruangan besar itu adalah tempat yang
terbuka dan sukar menyembunyikan sesuatu, apalagi sekarang musuh tangguh sama
berkumpul di sana dan tujuan merekapun justeru ingin mendapatkan setengah obat
biji itu, apakah mungkin obat itu sengaja ditaruh di depan mata musuh dan membiarkan
mereka mengambilnya begitu saja?
Sementara itu pintu muka- belakang ruangan
pendopo itu tertutup rapat dan dijaga oleh anak murid berseragam hijau dengan
jaring berkait, melihat datangnya Kiu Jian-jio, serentak mereka memberi hormat.
Murid yang menjadi pemimpin barisan lantas
berkata: “Musuh tidak kelihatan bergerak, agaknya mereka sudah mati kutu dan
segera dapat ditawan.”
Kiu Jian-jio mendengus saja dan anggap ucapan
anak buahnya itu terlalu gegabah, musuh-musuh tangguh yang terkurung di dalam
ruangan itu adalah tokoh-tokoh kelas tinggi, mana mungkin mereka menyerah
begitu saja untuk ditawan. Segera ia memerintahkan pintu dibuka, ber-bondong-bondong
rombongan Kiu Jian-jio lantas masuk ke dalam dilindungi dengan dua barisan
jaring berkait di kanan-kiri, Terlihatlah It-teng Taysu, Oey Yong, Bu
Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lain sama berduduk di pojok ruangan sana sedang bersemadi.
Setelah, kursinya diturunkan Kiu Jian-jio
berseru. “Kecuali Oey Yong dan anak-anaknya bertiga, yang lain takkan kuusut kesalahannya
mereka yang telah berani menerobos ke lembah ini. Nah, kalian boleh pergi
saja.”
“Kiu-kokcu,” kata Oey Yong
dengan tersenyum. “Engkau sendiri sedang terancam bencana, engkau tidak lekas
mencari jalan untuk menyelamatkan diri, tapi malah beromong besar, sungguh
lucu.”
Kiu Jian-jio terkesiap, ia heran
darimana Oey Yong mengetahui dirinya
sedang terancam bahaya? Apakah bangsat tua itu sudah pulang lagi ke sini dan
diketahui olehnya?
Namun dia tenang-tenang saja dan menjawab:
“Ada bencana atau ada rejeki sukarlah diketahui sebelum tiba saatnya, Apalagi
diriku sudah cacat begini. kenapa aku harus takut kepada bencana apapun juga?”
Padahal Oey Yong tidak tahu tentang halnya
Kongsun Ci, hanya dari gerak - gerik dan air muka Kiu Jian-jio dapat dilihatnya
ada sesuatu urusan genting yang sedang dihadapinya, maka ia menduga di lembah
ini pasti sedang terjadi keributan apa-apa.
Bantahan Kiu Jian-jio itu semakin memperkuat
dugaan itu, segera ia berkata pula: “Kiu-kokcu, kakakmu meninggal karena
terperosot sendiri ke jurang ketika dia menunggang rajawali piaraanku dan sama
sekali bukan aku yang membunuhnya, Kalau kau tetap dendam mengenai soal ini, baiklah
aku akan menerima batas dendammu, silakan kau menimpuk diriku dengan tiga biji
kurma dan sama sekali aku takkan menghindar. Cuma setelah seranganmu nanti,
apakah aku akan mati atau tetap hidup, kau harus berjanji akan memberikan obat
penawar untuk menyembuhkan Yo Ko. Jika beruntung aku tidak mati,maka bereslah
segala urusan, andaikan mati, maka kawan-kawan yang hadir di sini juga takkan
menyesal dan dendam, mereka tetap akan membantu kau mengatasi kesukaranmu untuk
menghadapi musuh dari dalam. Nah, bagaimana usulku ini, kau terima atau tidak?”
Syarat yang dikemukakan Oey Yong ini boleh
dikatakan sangat menguntungkan Kiu Jian jio. Maklumlah, selain senjata rahasia
biji kurma yang diandalkan itu, sesungguhnya Kiu Jian-jio tidak mempunyai
kemampuan lain untuk menghadapi musuh, sedangkan “musuh dari dalam” yang
dikatakan Ui Yong lebih-lebih kena di hatinya. Maka ia lantas menjawab “Sebagai
ketua Kay-pang. tentu ucapanmu dapat dipercaya, jadi kau rela kuserang dengan
tiga biji kurma tanpa mengelak dan menghindar serta tidak akan menangkisnya
dengan senjata, begitu bukan?”
Belum lagi Oey Yong menjawab, cepat Kwe Hu
menyela: “lbuku cuma menyatakan takkan mengelak dan menghindar tapi tidak
mengatakan takkan menangkis dengan senjata.”
Namun Oey Yong lantas menyambung dengan
tersenyum: “Agar Kiu-kokcu dapat melampiaskan rasa dendamnya, biarlah akupun
takkan menangkis dengan senjata.” .
“Mana boleh jadi, ibu!” seru Kwe Hu.
Rupa-nya dia benar-benar telah merasakan betapa lihaynya semprotan biji kurma nenek
itu ketika pedangnya disemprot patah tadi. Kalau ibunya benar-benar tidak
mengelak dan tidak menghindar tubuhnya yang terdiri dari kulit-daging itu masa
sanggup menahannya.
Namun Oey Yong menganggap Yo Ko besar jasanya
bagi keluarga Kwe, kini anak muda itu keracunan dan sukar disembuhkan, kalau
tidak berdaya agar nenek she Kiu ini menyerahkan obat penawarnya, selama hidup
keluarga Kwe berarti tetap utang budi kepada Yo Ko.
Sudah tentu biji kurma si nenek ini senjata
rahasia maha lihay di dunia ini, jelas sangat berbahaya jika membiarkan tubuh
sendiri diserang tiga kali, sedikit meleng saja jiwa pasti melayang, Tapi kalau
tidak menyerempet bahaya, cara bagaimana nenek ini mau memberikan obatnya?
Perlu diketahui bahwa ketika Oey Yong
mengemukakan usulnya itu sebelumnya dia sudah menimbang dengan masak-masak
keadaan Kiu Jian-jio serta sifat-sifatnya, selain harus melenyapkan dendam
kesumat nenek itu, diberi janji lagi akan bantu dia mengatasi ancaman bahaya
dari dalam, sedangkan serangan tiga biji kurma adalah ilmu khas satu-satunya
yang bisa digunakannya membinasakan lawan, sekalipun Kiu Jian-jio sendiri juga
tidak dapat mengemukakan cara yang
lebih
baik daripada usul Oey Yong
ini.
Tapi dasar Kiu jian-jio memang suka curiga,
ia merasa tawaran Oey Yong ini teramat menguntungkan pihaknya dan rasanya tidak
masuk akal, maka dengan suara parau ia menegas: “Kau adalah musuhku, tapi kau
kuserang dengan tiga biji kurma, sebenarnya tipu muslihat apa dibalik usulmu ini?”
Oey Yong sengaja mendekati dan membisiki: “Di
sini banyak orang, mungkin tidak sedikit orang yang bermaksud jahat padamu,
betapapun kau harus berjaga-jaga.”
Tanpa terasa Kiu Jian-jio mengerling anak
buahnya, ia pikir orang-orang ini memang sebagian besar adalah orangnya tua
bangka Kongsun Ci dan harus waspada terhadap kemungkinan. Karena itu iapun
mengangguk atas bisikan Ui Yong itu.
Lalu Oey Yong mendesis lagi: “Sebentar lagi
lawanmu pasti akan turun tangan, aku sendiripun menyadari berada di tempat yang
berbahaya, karena itu sengketa kita harus cepat diselesaikan tak perduli diriku
akan mati atau hidup yang terang nanti be ramai-ramai kita dapat menghadapi
musuh bersama. Selain itu si Yo Ko telah banyak menanam budi padaku, sekalipun
jiwaku melayang baginya juga harus kudapatkan Coat-ceng-tan. Orang hidup harus
tahu membalas budi, kalau tidak, lalu apa bedanya antara manusia dan binatang?”
Habis berkata ia terus melangkah mundur
kembali dan mengawasi gerak-gerik Kiu Jian-jio.
Betapapun tipis budi Kiu Jian jio, namun
ucapan Yo Ko tentang “manusia yang tidak tahu balas budi tiada bedanya seperti
binatang” mau-tak-mau menyentuh juga hati nuraninya, pikirnya: “Memang benar
juga, kalau saja aku tidak ditolong si Yo Ko itu, saat ini aku pasti masih
terasing dan tersiksa di kolam buaya di bawah tanah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar