Sabtu, 01 Desember 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 98



Kembalinya Pendekar Rajawali 98


“Memang benar,” ujar Cu Cu-liu, “kettka susiok minta dia membawakan tangkai bunga cinta dan kumohon dia bantu menyiarkan berita minta bantuan kepada Suhu, semuanya telah dia laksanakan dengan baik, Caranya dia memanggang kami di tempat ini juga dikurangi apinya sehingga kami dapat
bertahan sampai sekarang, Sering kutanya siapa dia, tapi dia tak mau menjelaskan, tak tersangka dia adalah puteri sang Kokcu.”
“Malahan bisanya kami menemukan kalian di sini juga atas petunjuk nona itu,” tutur Siao-Iiong-li.
“Gurumu It-teng Taysu juga sudah datang,” demikian Nyo Ko menambahkan.
“Aha, lekas kita keluar,” seru Cu Cu-liu kegirangan.
“Tiba-tiba Yo Ko mengerut kening dan berkata pula: “pula Cu-in Hwesio juga ikut datang, dalang urusan ini mungkin ada kesulitan.”
“Kalau Cu-in Suheng juga datang kan lebih baik?” ujar Cu-liu heran. “Pertemuan kembali mereka kakak beradik, sedikitnya Kiu-kokcu akan memikirkan hubungan baik persaudaraan mereka.”
Yo Ko lantas menceritakan keadaan Cu-in yang kurang waras itu serta cara bagaimana Kiu Jian-jio telah menghasut sang kakak.
“Jika Kwe hujin juga sudah berada di sini, maka segala urusan tentu akan beres,” ujar Cu Cu-liu, “Kwe-hujin pintar dan cerdik, ditambah lagi Suhuku serta kelihayan Yo-heng, betapapun besarnya persoalan juga tidak perlu dikuatirkan lagi. Yang kupikirkan sekarang justeru kesehatan Susiok.”
Yo Ko juga merasa paderi Hindu itu perlu diselamatkan lebih dulu, maka ia lantas mengusulkan. “Marilah kita mencari dulu suatu tempat yang aman untuk menyegarkan pikiran paderi sakti. Biarlah kita menjagai dia.”
“Tapi mana ada tempat yang aman?” ujar Cu-liu sambil berpikir, ia merasa setiap tempat di Coat-ceng-kok ini sama aneh dan berbahayanya. Tiba-tiba hatinya tergerak dan berkata pula: “Kukira tetap berada di sini saja.”
Yo Ko melengak, tapi segera ia paham maksud orang, katanya dengan tertawa. “Ucapan Cu-toasiok memang sangat tepat. Tempat ini tampaknya berbahaya, tapi sebenarnya adalah tempat yang paling aman di lembah ini, asalkan kita tawan kedua orang berbaju hijau ini agar tidak membocorkan kejadian di sini, maka bereslah segala urusan.”
“Urusan ini tidak sulit,” kata Cu Cu-Iiu dengan tertawa sambil menutukkan jarinya dari jauh lalu ia pondong paderi Hindu itu dan berkata pula. “Tinggal di rumah omprongan ini tentu aman dan tenteram bagiku, Nyo heng berdua lebih baik pergi lagi ke sana untuk membantu guruku apabila perlu.”
Teringat kepada keadaan lt-teng Taysu yang masih terluka, sedangkan sifat baik-buruk Cu in sukar diraba, kalau dirinya menunggui paderi Hindu itu rasanya terlalu mementingkan dirinya sendiri. Sekarang Cu Cu-liu telah membawa paderi itu ke dalam rumah garangan itu, segera iapun mengajak Siao-liong-li kembali ke tempat semula.
Sementara itu di ruangan besar Coat ceng-kok sudah lain lagi suasananya. Berulang-ulang Kiu-Jian-jio berusaha memancing dan menghasut sang kakak, nadanya semakin keras dan mendesak . It-teng Taysu diam saja dan menyerahkan kepada keputusan Cu-in sendiri sedangkan Cu-in tampak bingung, sebentar ia pandang adik perempuannya, lain saat dipandangnya sang guru, kemudian memandang pula kepada Oey Yong.
Yang satu adalah saudara sekandung sendiri, seorang lagi adalah gurunya yang berbudi, sementara itu yang seorang lain lagi adalah musuh pembunuh kakaknya, seketika pikirannya menjadi kacau dan terjadi pertentangan batin yang hebat.
Menyaksikan sikap Cu-in yang aneh, sebentar bimbang dan lain saat beringas itu, diam-diam Liok Bu-siang menjadi kuatir, Dilihatnya Yo Ko sejak tadi keluar dan sampai sekian lama belum kembali, pelahan ia lantas menarik tangan Thia Eng dan diajak keluar.
“Piauci, ke mana perginya si Tolol itu?” tanya Bu-siang sesudah di luar.
Tapi Thia Eng tidak menjawabnya melainkan berkata: “Dia terkena racun bunga yang jahat, entah bagaimana keadaannya?”
“Ya,” Bu-siang ikut kuatir juga, Mendadak ia menambahkan: “Sungguh tidak nyana akhirnya dia dan
gurunya…”
“Tapi nona Liong itu memang cantik molek, orangnya juga baik, hanya gadis seperti dia setimpal menjadi jodoh Nyo-toako,” ujar Thia Eng dengan muram.
“Darimana engkau mengetahui nona Liong itu orang baik?
Bicara dengan dia saja kau belum pernah” kata Bu-siang.
Tiba-tiba suara seorang perempuan menjengek di belakangnya: “Hm, kakinya kan tidak pincang, dengan sendirinya dia orang baik,”
Cepat Bu-siang membalik tubuh sambil melolos goloknya, dilihatnya yang bicara itu adalah Kwe Hu. Melihat Bu-siang melolos golok, segera Kwe Hu juga melolos pedang yang tergantung di pinggang Yalu Ce yang berdiri di sampingnya, dengan mata melotot ia menantang: “Hm, kau ingin bergerak dengan aku?”
Mendadak Bu-siang berkata dengan tertawa,: “Hihi, mengapa kau tidak menggunakan pedangnya sendiri?”
Perlu diketahui bahwa sejak kakinya cacat, Bu-siang sangat menyesal terhadap cirinya sendiri itu, orang lainpun tiada yang pernah menyinggung dihadapannya, sekarang dia bertengkar dengan Kwe Hu dan beberapa kali nona itu selalu menyindir kakinya yang pincang itu, tentu saja ia sangat gusar, maka kontan ia balas menyindir pedang Kwe Hu yang dipatahkan oleh semprotan biji kurma Kiu Jian jio.
Kwe Hu menjadi gusar juga, balasnya: “Biar pun dengan pedang pinjaman juga dapat kulabrak kau,” Habis berkata pedangnya terus diobat-abitkan hingga mengeluarkan suara mendengung.
“Nah, tidak tahu tua atau muda, rupanya anak keluarga Kwe memang tidak kenal sopan santun dan menghormati orang tua,” jengek Bu-siang “Baik, biar ku-ajar adat padamu agar kau mengerti cara bagaimana harus menghormati orang tua.”
“Huh, memangnya kau ini orang tua macam apa?” omel Kwe Hu dengan mendongkol.
“Haha, sungguh bocah yang tidak tahu adat!” Bu-siang mengolok-olok dengan tertawa, “Piauciku adalah Susiokmu, kalau kau tidak memanggil tante padaku juga harus memanggil bibi, Kalau tidak percaya boleh kau tanya Piauciku ini.” -Lalu iapun menuding Thia Eng,
Ketika Thia Eng bertemu dengan Oey Yong, memang betul Kwe Hu juga mendengar ibunya menyebut nona itu sebagai Sumoay, namun dalam hati ia merasa penasaran dan anggap sang kakek agak keterlaluan masakah sembarangan memungut seorang murid muda belia begitu, apalagi dilihatnya usia Thia Eng sebaya dengan dirinya, rasanya juga
tidak mempunyai kepandaian yang berarti.
Kini dia diolok-olok Liok Bu-siang, dengan gemas ia lantas menjawab “Hm, memangnya siapa yang berani menjamin tulen atau palsu, Gwakong ( kakek luar ) termashur, siapa yang tidak kenal nama beliau dan tentunya juga, banyak manusia yang tidak tahu malu pengin mengaku sebagai anak-cucu murid beliau.”
Walaupun pembawaan Thia Eng berbudi halus dan pendiam, mau-tak mau ia merasa keki juga mendengar ucapan Kwe Hu itu, namun saat ini perhatiannya hanya tertuju kepada keselamatan Yo Ko, ia tidak ingin bertengkar mengenai urusan tetek bengek itu, segera ia berkata: “Piaumoay, marilah kita pergi mencari Nyo toako saja.”
Bu-siang mengangguk, katanya pula kepada Kwe Hu: “Nah, kau dengar sendiri bukan ? Dia menyebut diriku sebagai Piaumoay! Memang nama Kwe-tayhiap dan Ui-pangcu juga termashur di seluruh jagat, tentunya juga tidak sedikit manusia tidak tahu malu yang ingin menjadi - putera-putri beliau2 itu”
Habis ini ia sengaja mencibir, lalu melangkah pergi.
Sejenak Kwe Hu melengak, ia tidak paham siapakah yang ingin mengaku sebagai putera-puteri ayah-bundanya? Tapi segera ia dapat menangkap ucapan Liok Bu-siang itu, jelas secara tidak langsung orang hendak memaki dia sebagai anak haram, menganggap dia bukan anak kandung ayah-ibunya.
Sesungguhnya ucapan Bu-siang inipun rada keji, sedangkan watak Kwe Hu juga memang pemberang, begitu mengetahui arti ucapan Bu-siang itu, ia tidak tahan lagi, segera ia memburu maju, tanpa bicara pedangnya terus menusuk ke punggung lawan.
Mendengar angin tajam menyamber dari belakang cepat Bu-siang memutar goloknya menangkis “trang”, lengan terasa kesemutan.
“Hm, kau berani memaki aku anak liar?” bentak Kwe Hu murka, kembali ia menyerang secara ber-tubi2.
Sambil menangkis Liok Bu-siang menjengek pula: “Hm, Kwe-tayhiap adalah orang yang berbudi luhur, Ui-pangcu adalah puteri kesayangan Tho-hoa-tocu, mereka betapa tinggi budi pekerti beliau itu.”
“Memangnya perlu kau jelaskan pula? Tidak perlu kau memuji ayah-bundaku untuk membaiki aku” dengus Kwe Hu, disangkanya Bu-siang memuji ayah-ibunya dengan setulus hati, maka daya serangannya menjadi rada kendur.
Tak tahunya Bu-siang lantas menyambung pula: “Tapi bagaimana dengan kau sendiri? Huh, kau telah membuntungi lengan Nyo toako, tanpa cari keterangan lebih dulu lantas memfitnah orang, tindak tanduk cara begini mana ada kemiripan dengan kepribadian Kwe tayhiap dan Ui-pangcu, betapapun orang harus merasa sangsi.”
“Sangsi apa-apa” tanya Kwe Hu.
“Hm, boleh kau pikir sendiri, buat apa tanya?” jengek Bu-siang ketus.
Pertengkaran kedua nona itu disaksikan Yalu Ce, ia tahu watak Kwe Hu lebih lugu dan tidak secerdik Busiang, kalau adu mulut pasti kalah maka ia lantas menyela: “Nona Kwe, jangan bicara lebih banyak lagi dengan dia.”
Dalam marahnya Kwe Hu ternyata tidak paham maksud anak muda itu, ia menjawab. “Kau jangan ikut campur, aku justeru ingin tanya dia lebih jelas.”
Bu-siang juga melotot kepada Yalu Ce dan taerkata; “Huh, kelak baru kau tahu rasa.”
Muka Yalu Ce menjadi merah, ia tahu arti ucapan Bu-siang itu, jelas si nona dapat melihat dia telah jatuh cinta kepada Kwe Hu, maka Bu-siang sengaja ber olok-olok, maksudnya jika mendapat isteri yang galak dan warok begitu kelak pasti akan banyak mendatangkan kesukaran bagimu.
Melihat air muka Yalu Ce mendadak berubah merah, Kwe Hu menjadi curiga dan bertanya: “Apakah kau juga menyangsikan aku ini bukan anak kandung ayah-ibuku?”
“Tidak, tidak,” cepat Yalu Ce menjawab, “Marilah kita pergi saja, jangan urus dia.”
Tapi Bu-siang lantas menanggapi “Sudah tentu dia sangsi, kalau tidak mengapa dia mengajak kau pergi?”
“Muka Kwe Hu menjadi merah padam, tangan memegang pedang, tapi takdapat mendebatnya.”
Yalu Ce kuatir si nona salah paham, terpaksa ia bicara lebih gamblang, katanya: “Cara bicara nona ini tajam dan menusuk perasaan, kalau mau ber-tanding boleh bertanding saja, tapi jangan banyak omong.”
“Nah, tahu tidak kau? Maksudnya kau tidak pintar omong dan bodoh bicara, semakin banyak bicara semakin memalukan saja,” sela Bu-siang pula.
Dalam hati Kwe Hu sekarang memang sudah timbul perasaan aneh terhadap Yalu Ce, anak gadis yang baru merasakan madu nya cinta selalu timbul perasaan kuatir dan cemas, setiap ucapan orang lain yang menyangkut sang kekasih, walaupun tidak beralasan sama sekali, tentu akan dipikirkannya secara boIak-balik serta dimamah dan dirasakannya.
Apa-lagi sejak kecil Kwe Hu selalu dimanjakan orang tua, kedua teman ciliknya, yaitu kedua saudara Bu juga sangat penurut padanya, kecuali Yo Ko yang terkadang suka melawannya, hampir tak pernah dia bertengkar dengan siapapun, kini mendadak dia menghadapi seorang lawan yang pintar putar lidah, seketika dia terdesak di bawah angin, ia tahu kalau bicara lagi tentu dirinya akan lebih banyak pula diolok-olok, dengan gusar dia lantas memaki: “Perempuan dingklang, kalau sebelah kakimu tidak kubacok pincang pula, biarlah aku tidak she Kwe.”
“Hm, tidak perlu kau membacok kakiku juga kau tidak she Kwe lagi, memangnya siapa tahu kau ini she Li atau she Ong,” jawab Bu-siang. Secara tidak langsung ia selalu memaki Kwe Hu sebagai “anak haram”.
Keruan Kwe Hu tidak tahan lagi, segera ia melancarkan serangan dan terjadilah pertarungan sengit.
Kepandaian yang diajarkan Kwe Ceng dan Oey Yong kepada kesayangannya ini adalah ilmu pilihan kelas wahid, cuma ilmu silat yang hebat ini harus dimulai dengan memupuk dasar dan latihan yang tekun, sedangkan bakat pembawaan Kwe Hu justeru lebih banyak menuruni sang ayah dari pada sang ibu, sebab itulah kemajuan ilmu silat yang dilatihnya agak lamban, banyak jurus-jurus serangan lihay belum dapat digunakannya dengan baik.
Walaupun begitu toh Liok Bu-siang tetap bukan tandingannya, ditambah lagi sebelah kakinya pincang, gerak gerik nya tidak leluasa, sedangKan Kwe Hu menyerang dengan beringas, pedangnya selalu mengincar bagian bawah dan ingin menusuk lagi kaki sebelah lawan,
Diam-diam Thia Eng mengernyitkan kening menyaksikan pertarungan mereka, pikirnya: “Meski cara ber-olok-olok Piaumoay agak tajam, tapi nona Kwe ini juga terlalu garang, pantas lengan Nyo-toako tertabas buntung olehnya, Kalau berlangsung lebih lama lagi mungkin sekali kaki Piaumoay juga sukar diselamatkan.”
Dilihatnya Bii-siang terus terdesak mundur dan Kwe Hu menyerang semakin gencar, “bret” tiba-tiba gaun Bu-siang terobek,menyusul dia menjerit pelahan dan mundur dengan sempoyongan dan muka pucat Kwe Hu terus melangkah maju, kakinya lantas menyapu, dia sengaja hendak membikin Bu-siang terjungkal untuk melampiaskan rasa gemasnya.
Terpaksa Thia Eng bertindak melihat keadaan itu, ia melompat maju mengadang di depan Kwe Hu dan berseru.
“Harap berhenti, nona Kwe!”
Waktu Kwe Hu angkat pedangnya dan tertampak ada setitik darah, tahulah dia kaki Bu-siang telah dilukainya, dengan berseri-seri ia lantas tuding nona itu dan berolok: “Nah, nonamu sengaja memberi ajaran padamu agar selanjutnya kau jangan sembarangan mengoceh!”
Padahal Bu-siang adalah nona yang berwatak keras, kepala batu, tidak takut kepada apapun juga, Li Bok-chiu yang begitu kejam juga tidak membuatnya jera, malahan dia berani kabur dengan mencuri kitab pusaka sang guru itu. Sekarang meski dikalahkan Kwe Hu dan darah merembes membasahi gaunnya namun ia tidak menjadi jeri, sebaliknya ia tambah marah dan berteriak: “Huh, hanya pedangmu saja mampu menyumbat mulut orang seluruh jagat?” ia tahu Kwe Hu suka membanggakan
ayah-ibunya, maka ia sengaja mengolok-oloknya sebagai “anak haram” dan bukan puteri kandung kedua orang tuanya itu.

“Kau mengoceh apa lagi?” bentak Kwe Hu dengan gusar sambil melarikan maju dan pedangnya disurung pula ke depan dada orang.
Thia Eng berdiri di tengah mereka, melihat ujung pedang menyeleweng tiba, segera ia gunakan jarinya menahan batang pedang Kwe Hu itu terus didorong pelahan ke samping sambil melerai: “Piau-moay, nona Kwe, kita berada di tempat berbahaya, janganlah kita cecok urusan tidak berarti ini.”Kwe Hu terkejut dan gusar karena pedangnya, didorong ke samping dengan enteng oleh tangan Thia Eng. segera ia membentak: “Hm, kau hendak membela dia bukan? Baiklah kalian boleh maju bersama, aku tidak takut biarpun satu lawan dua. Hayolah lolos senjatamu!”
Habis berkata ujung pedangnya terus mengacung ke dada Thia Eng dan menantikan lawan melolos seruling kemala yang terselip di pinggang itu.
Namun Thia Eng tersenyum hambar saja, kata-nya: “Aku melerai perkelahian kalian, masakah aku sendiri ikut bertengkar? Yalu-heng, hendaklah kaupun melerai nona Kwe.”
“Benar, nona Kwe,” ucap Yalu Ce. “Kita berada di wilayah musuh, kita harus waspada dan hati-hati.”
“Bagus, kau tidak bantu diriku, sebaliknya kau membela orang lain,” seru Kwe Hu dengan mendongkol ia lihat Thia Eng cukup cantik dan manis, tiba-tiba timbul pikirannya jangan-jangan anak muda itu menyukai nona itu.
Sedikitpun Yalu Ce tidak dapat menangkap jalan pikiran Kwe Hu itu, ia menyambung ucapannya tadi: “Cu-in Hwesio itu rada aneh sikapnya, lekas kita ke sana untuk melihat ibumu.”
Namun Liok Bu-siang teramat cerdik dan pintar, sepatah kata dan sedikit tingkah Kwe Hu saja segera dapat diterka isi hati seterusnya itu, cepat ia berkata puIa: “Hah Piauciku jauh lebih cantik daripadamu, pribadinya juga halus budinya, ilmu silatnya juga lebih tinggi, hendaklah kau berhati-hati sedikit!”
Setiap kalimat Bu-siang itu cukup menusuk perasaan Kwe Hu, keruan ia menjadi murka, tapi ia lantas pikirnya: “Aku harus ber-hati-hati apa?”
“Huh, kecuali aku orang tolol, kalau tidak masakah aku tidak memilih Piauciku dan sebaliknya menyukai kau,” jengek Bu-siang.
Ucapan ini jauh dari jelas dan gamblang, tentu saja Kwe Hu tidak tahan lagi, begitu pedangnya bergerak, segera ia menusuk ke iga Bu-siang dengan mengitar ke samping Thia Eng.
Diam-diam Thia Eng mengerut kening melihat serangan Kwe Hu yang ganas itu, ia pikir sekalipun ucapan Piaumoay itu menyinggung perasaanmu, betapapun kita kan bukan musuh, mengapa tanpa kenal ampun kau melancarkan serangan mematikan sekeji ini?
Secepat kilat Thia Eng menghimpun tenaga pada jarinya, begitu pedang Kwe Hu menyelinap lewat dan sebelum mencapai sasarannya, secepat kilat ia terus menyelentik, “creng”, kontan pedang Kwe Hu terlepas dan jatuh ke tanah.
Selentikan Thia Eng itu adalah ilmu jari sakti ajaran Ui Yok-su, karena kekuatan Thia Eng cuma setingkat dengan Kwe Hu, maka cara menyelentik-nya itu dilakukannya secara mendadak, begitu pedang orang terlepas, langkah selanjutnya juga sudah diperhitungkan o!ehnya, segera melangkah maju, pedang itu diinjak, seruling kemala terus dikeluarkan di Hiat-to di tubuh Kwe Hu.
Karena didahului orang, keadaan Kwe Hu menjadi serba salah, kalau berjongkok untuk rebut pedang, beberapa Hiat to itu pasti akan bertutuk, sebaliknya kalau melompat mundur untuk menghindar, maka pedang itu berarti dirampas lawan.
Karena kurang pengalaman Kwe Hu- menjadi serba runyam, mukanya menjadi merah dan tidak tahu, apa yang harus dilakukan.
“Hai, nona itu, mengapa kau menginjak pe-dangku?” tiba-tiba Yalu Ce membentak, berbareng ia terus menubruk maju hendak mencengkeram seruling orang.
Naraun Thia Eng sempat menyurutkan tangannya, ia membalik tubuh dan menarik Bu-siang terus diajak pergi.
Cepat Kwe Hu jemput kembali pedangnya dan berteriak : “Nanti dulu! Marilah kita bertanding dengan baik!”
“Haha, masih mau bertanding ” sebelum Bu-siang mengolok-olok lebih lanjut, cepat sekali Thia Eng telah menyeretnya melompat ke depan, hanya sekejap mereka sudah berada jauh di sana, Yalu Ce segera menghibur Kwe Hu, katanya : “Nona Kwe, hanya kebetulan saja dia berhasil, sebenarnya kalah menang kalian belum jelas.”
“Memangnya,” kata Kwe Hu dengan penasaran “tadi pedangku sedang mengincar si pincang, mendadak dia turun tangan, Tampaknya dia ramah tamah, ternyata bertindak secara licik.”
Yalu Ce mengiakan saja, wataknya jujur, tidak biasa menyanjung puji orang, katanya: “Kepandaian nona Thia itu tidak lemah, lain kali kalau bergebrak lagi hendaklah kau jangan meremehkan dia,”
Kwe Hu kurang senang mendengar pujian Yalu Ce kepada Thia Eng itu, tanpa pikir ia bertanya : “Kau bilang ilmu silatnya bagus?”
“Ya,” jawab Yalu Ce.
“Baiklah, kalau begitu jangan kau hiraukan diriku lagi dan berbaik saja dengan dia,” kata Kwe Hu dengan gusar sambil melengos.
“He, maksudku agar kau jangan meremehkan dia, supaya kau hati-hati, itu tandanya kubela kau atau membantu dia?” cepat Yalu Ce menjelaskan.
Kwe Hu pikir arti ucapan anak muda itu memang benar membela dirinya, maka rianglah hatinya.
Segera Yalu Ce berkata pula. “Malah tadi akupun bantu kau merebut kembali pedangmu, masakah kau masih marah padaku?”
“Ya, marah padamu!” omel Kwe Hu sambil berpaling kembali, namun dengan tertawa gembira.
Yalu Ce menjadi girang juga, Pada saat itulah dari ruangan pendopo sana berkumandang suara orang me-raung2 disertai suara nyaring benturan senjata.
“Ai, lekas kita melihat ke sana!” seru Kwe Hu.
Tadi dia merasa sebal oleh ocehan Kiu Jian-jio mengenai kejadian di masa talu, ia tidak tahu bahwa setiap kata nenek itu mengandung ancaman bahaya maut bagi ibunya, maka ia lantas mengeluyur keluar dan tanpa sebab telah bertengkar dengan Bu-siang dan Thia Eng, kini ia menjadi kuatir bagi sang ibu demi mendengar suara ribut itu, cepat ia berlari kembali ke sana.
Begitu dia masuk, dilihatnya It-tcng Taysu lagi berduduk di tengah ruangan, tangan meraba-raba tasbih dan mulut mengucap Budha, air mukanya agung dan welas-asih, sedangkan Cu-in Hwesio sedang berlari-lari mengitari ruangan besar itu sambil mengeluarkan suara raungan buas, belenggu pada tangannya sudah terbetot putus dan saling bentur dengan suara gemerincing.
Kiu Jian-jio kelihatan duduk ditempatnya tadi dengan wajah membesi, mukanya memang buruk, kini menjadi tambah bengis dan menakutkan sementara itu Oey Yong, Bu Sam-thong dan lain-lain berada di pojok sana sambil mengawal gerak-gerik Cu-in.
Setelah berlari-lari sekian lama, dahi Cu-in tampak berkeringat ubun-ubunnya mengepulkan uap putih tipis dan makin lama makin tebal, lari Cu-in itupun semakin cepat.
Mendadak It-teng Taysu membentak lantang: “Cu-in, wahai, Cu-in! sampai kini apakah kau masih belum menyadari perbedaan antara bajik dan jahat?”
Cu-in tampak melengak, uap putih di atas kepalanya mendadak lenyap, tubuhnya tergeliat, lalu jatuh terjungkal.
“Anak Oh, lekas bangunkan Kuku!” bentak Kiu Jian-jio.
Buru-buru Kongsun Lik-oh berlari maju untuk membangunkan sang paman, Ketika Cu-in membuka mata, dilihatnya wajah si nona hanya belasan senti di depan matanya, samar-samar terlihat alis yang lentik dan mulut yang mungil, wajah yang cantik molek itu mirip benar dengan adik perempuannya dahulu, Tiba-tiba ia berseru: “Sammoay, berada di manakah aku ini?”
“Kuku! Kuku! Aku Lik-oh!” ucap Lik-oh.
“Kuku? Siapa Kukumu?” - demikian Cu-in berguman, “Kau memanggil siapa?”
“Jiko, dia adalah puteri adikmu!” teriak Kiu Jian-jio, “dia minta kau membawanya menemui Kuku tertua.”
Cu-in terkejut mendadak, katanya: “O, Kuku tertua?
Kakakku? Ah, kau tak dapat melihatnya lagi, dia sudah terjatuh hancur lebur ke jurang Tiat ciang hong.”
Teringat kepada kejadian masa Ialu, seketika mukanya menjadi beringas, ia melompat bangun, Oey Yong ditudingnya dan membentak: “Oey Yong, kau yang membunuh Toakoku, Kau… kau harus mengganti jiwanya!”
Setelah masuk lagi ke ruangan situ. Kwe Hu berdiri di samping sang ibu dan memondong adik perempuannya. Ketika mendadak melihat Cu-in mencaci-maki ibunya secara bengis, dia orang pertama yang tidak tahan, segera ia melangkah maju beberapa tindak dan balas mendamperat: “Kau jangan kasar kepada ibuku Hwesio, nonamu ini takkan membiarkan kau main gila.”
Kiu Jian-jio lantas menjengek: “Hm, berani benar anak perempuan ini…”
“Siapa kau?” segera Cu-in bertanya.
“Sudah kukatakan sejak tadi, apa kau tuli?W jawab, Kwe Hu. “Kwe-tayhiap adalah ayahku, Ui pangcu ialah ibuku.”
“Hm, jadi Kwe Ceng dan Oey Yong malah sudah mempunyai dua anak,” teriak Cu-in dengan beringas.
Melihat nadanya berubah buas, Oey Yong menjadi kuatir, cepat ia menyuruh Kwe Hu mundur Akan tetapi Kwe Hu mengira Cu-in gentar kepada ibunya terbukti sejak tadi tidak berani menyerang maka tanpa pikir ia malah melangkah maju dan mengejek: “Huh, kalau kau mampu bolehlah lekas kau menuntut balas, kalau tidak becus, sebaiknya kau tutup mulut saja!”
“Bagus ucapanmu, kalau mampu bolehlah lekas menuntut balas!” bentak Cu-in dengan suara menggelegar sehingga cangkir sama bergetar di atas meja.
Sama sekali Kwe Hu tidak menyangka seorang Hwesio dapat mengeluarkan suara sekeras itu, ia menjadi terkejut dan kebingungan Pada saat itulah telapak tangan kiri Cu-in telah memukul, tangan kanan juga lantas mencengkeram sekaligus.
Dua rangkum tenaga maha dahyat terus membanjir tiba, piker Kwu Hu hendak menghindari akan tetapi sudah kasip.
Tanpa berjanji Oey Yong, Bu Sam-thong dan Yalu Ce bertiga melompat maju berbareng, pandangan mereka-cukup tajam, mereka tahu cengkeraman tangan kanan Cu-in itu tampaknya ganas, tapi tidak selihay pukulan tangan tangan kiri yang mematikan ttu, Sebab itulah tangan mereka memapak bersama, “blang”, tiga arus tenaga dahsyat menyentak tangan kiri Cu-in.
Terdengar Cu-in bersuara tertahan dan tetap berdiri di tempatnya, sebaliknya Oey Yong bertiga tergetar mundur beberapa langkah, Kekuatan Yalu Ce paling cetek, dia tergentak mundur paling jauh, berikutnya adalah Oey Yong.
Sebelum berdiri tegak kembali dia mengawasi puterinya lebih dulu, dilihatnya Kwe Yang cilik sudah dicengkeram oleh Cu-in, sedangkan Kwe Hu berdiri mematung, rupanya Saking kagetnya hingga lupa menghindar.
Oey Yong menjadi kuatir kalau-kalau Kwa Hu dilukai, tenaga pukulan lawan, Cepat ia melompat maju pula dan menarik mundur anak gadisnya itu sembari mengeluarkan pentung penggebuk anjing tmtuk bela diri, sekali pentung pusakanya itu sudah siap, betapapun dahsyat tenaga pukulan Cu-in juga takkan melukainya lagi.
Sebenarnya Kwe Hu tidak terluka sedikitpun, Cuma pikirannya menjadi kacau, dia baru sempat menjerit kaget setelah bersandar di tubuh sang ibu, sementara kedua saudara Bu, Yalu Yan, Wanyan Peng dan lainnya segera meloIos senjata juga ketika melihat Cu-in akhirnya melancarkan serangan.
Beramai-ramai anak buah Kiu Jian-jio juga menyebar dan siap siaga, asalkan sang Kokcu memberi aba-2, serentak merekapun akan menyerbu. Hanya It - teng Taysu saja yang tetap duduk bersila di tengah ruangan dan anggap tidak mendengar dan tidak melihat apa yang terjadi di sekitarnya, dia tetap mengucapkan doa, meski tidak keras suaranya, namun cukup jelas terdengar Mendadak Cu-in mengangkat tinggi2 Kwe Yang cilik dan berteriak: “lnilah puteri Kwe Ceng dan Oey Yong, setelah kubunuh anak ini barulah kubinasakan kedua orang tuanya.”
Dengan girang Kiu Jian-jio menanggapi “Bagus, Jiko yang baik, dengan begitulah engkau baru benar-benar ketua Tiat-ciang-pang yang tiada bandingannya.”
Dalam keadaan demikian, jangankan seorang-pun yang hadir ini mampu mengalahkan Cu-in, sekalipun ada yang berkepandaian lebih tinggi dari dia juga akan mati kutu dan sukar menyelamatkan Kwe Yang kecil dari tangan orang yang sudah kalap itu.
“Nyo toako! Nyo-toako! Di mana engkau? Lekas kemari menolong adikku!” sekonyong-konyong Kwe Hu berseru.
Menghadapi bahaya begini tiba-tiba dia ingat kepada Yo Ko. Maklumlah, beberapa kali Kwe Hu mengalami kesukaran dan tiap kali Yo Ko yang berhasil menyelamatkan dia di luar dugaannya, kini adiknya terancam dan tampaknya tiada seorangpun yang mampu bertindak, secara otomatis lantas timbul harapannya agar Yo Ko datang menolongnya.
Akan tetapi saat itu Yo Ko sedang bergandengan tangan dengan Siao-Iiong-li menikmati pemandangan senja indah pegunungan ini, sama sekali tak terpikir olehnya di ruangan besar sekarang sedang timbul adegan yang mendebarkan itu.
Begitulah dengan tangan kanan mengangkat Kwe Yang ke atas dan tangan kiri siap membela diri, Cu-in mengejek seruan Kwe Hu tadi: “Huh, Yo Ko apa? siapakah Yo Ko itu? Saat ini biar-pun Tang-sia Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong datang ke sini sekaligus paling-2 juga jiwaku Kiu Jian-yim saja yang dapat diganggunya, tapi jangan harap akan dapat menolong anak dara cilik ini.”
Pelahan Itteng mengangkat kepalanya dan menatap Cu-in, terlihat kedua matanya merah membara penuh napsu membunuhi segera ia berkata: “Cu-in kau hendak menuntut balas pada orang, kalau orangpun hendak menuntut balas padamu, lalu bagai mana?”
“Siapa yang berani boleh coba maju!” bentak Cu-in.
Sementara hari sudah dekat magrib, cuaca mulai remang-remang dan air muka Cu-in juga semakin seram tampaknya.
Pada saat itulah mendadak Oey Yong bergelak tawa, suara tawanya mendadak meninggi dan lain saat merendah laksana suara tawa orang gila. Begitu seram suara tertawanya hingga membikin orang merinding.
“lbu!” seru Kwe Hu kuatir. Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lain juga serentak memanggil “Kwe-hujin!”
Semua orang kuatir jangan-2 karena memikirkan anaknya berada dalam cengkeraman musuh, mendadak pikiran Oey Yong menjadi tidak waras.
Terlihat Oey Yong membuang pentung bambu, lalu melangkah maju dengan rambut terurai serawutan, suara tawanya melengking tajam dan menyeramkan, berbeda sama sekali daripada sikapnya yang ramah se hari-2. “lbu!” seru Kwe Hu sambil menarik lengan Oey Yong. Tapi sekali mengibas, kontan Kwe Hu terpelanting jatuh, habis itu Oey Yong terus pentang kedua tangan hendak merangkul tubuh Cu in dengan terbahak-bahak.
Kejadian ini juga sama sekali diluar dugaan Kiu Jian-jio, ia mengawasi tingkah laku Oey Yong itu dengan mata mendelik dan sangsi.
“Jangan kuatir Kwe-hujin, kita pasti dapat merampas kembali puterimu,” seru Bu Sam-thong.
Namun Oey Yong tidak menggubrisnya, kedua tangan tetap terpentang sembari melototi Cu-in, katanya: “Lekas kau cekik mati anak itu! Cekik lehernya yang keras, jangan kendur!”
Wajah Cu-in tampak pucat sebagai mayat, sambil merangkul Kwe Yang dalam pangkuannya, Cuin berkata dengan tergagap: “Sia…siapa kau?”

Mendadak Oey Yong tertawa ter-kekeh2 terus menubruk maju. Meski tangan kiri Cu in sudah bersiap namun sebegitu jauh tidak berani me-nyerang, ia hanya menggeser kesamping menghindari tubrukan Oey Yong itu, lalu ia tanya pula: Kau…kau siapa?”
“Apakah kau sudah lupa semuanya?” jawab Oey Yong
dengan suara seram, “Malam itu di atas istana kerajaan Tayli kau memegang seorang anak… ya, ya, seperti inilah kau memegangnya, bocah itu kau siksa hingga setengah mati, akhirnya jiwanya sukar tertolong pula, dan aku… aku adalah ibu bocah itu, Nah, lekas kau mencekik mampus dia, lekas, kenapa tidak lekas kau lakukan?”
Mendengar sampai di sini, sekujur badan Cu-in lantas menggigil peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu mendadak terbayang olehnya, Tatkala itu dia sengaja melukai putera Lau-kuihui, yaitu selir kesayangan Lam-ie (raja di selatan) Toan Hong-ya, yang kini berjuluk It-teng Taysu, tujuannya supaya Toan Hong-ya mau mengorbankan tenaga dalamnya yang dipupuk selama berpuluh tahun itu untuk menyelamatkan jiwa anaknya (yang sebenarnya adalah hasil hubungan gelap antara Lau-kuihui alias Eng Koh dengan Ciu Pek- thong, si Anak Tua Nakal), namun Toan Hong ya tega benar tidak mau mengobati anak itu sehingga anak itu akhirnya meninggal.
Kemudian beberapa kali Eng Koh bertemu dengan Cu-in dan secara kalap melabraknya, kalau perlu siap untuk gugur bersama. Dalam keadaan begitu, biarpun ilmu silat Cu-in jauh lebih tinggi daripada Eng Koh juga merasa jeri, maklumlah, merasa berdosa, maka tidak berani melawan dan lebih suka kabur saja.
Oey Yong tahu itulah kelemahan terbesar selama hidup Cu-in, dilihatnya cara Cu-in mengawasi Kwe Yang mirip benar kejadian dahulu, maka dia menjatuhkan taruhan terakhir dengan sengaja menyerukan Cu-in mencekik mati Kwe Yang saja.
Tentu saja Bu Sam-thong, Yalu Ce dan Lain-lain tidak tahu maksud tujuan Oey Yong, mereka menyangka ketua Kay-pang itu mendadak gila sehingga ucapannya tidak karuan juntrungannya. Padahal tindakan Oey Yong ini sesungguhnya teramat cerdik dan berani, biarpun kaum lelaki juga belum tentu sanggup bertindak demikian. Dia telah mengetahui benar kelemahan musuh, inilah kecerdikannya, iapun berani menyuruh orang mencekik anaknya, inilah keberaniannya yang luar biasa.
Begitulah seketika Cu-in menjadi ragu-ragu dipandangnya Oey Yong, lalu memandang pula ke arah It-tcng Taysu, kemudian mengamat-amati anak yang dipegangnya itu.
Sekonyong-konyong ia tidak mampu menahan rasa penyesalannya sendiri, tiba-tiba ia berteriak: “Mati, sudah mati! Ai, anak baik-baik begini telah kucekik mati.”
Pelahan ia mendekati Oey Yong dan menyodorkan bayi itu sambil berkata pula. “Akulah yang membikin mati anak ini, boleh kau membinasakan diriku sebagai pengganti jiwanya.”
Girang Oey Yong tak terhingga, segera ia hendak menerima kembali anaknya, mendadak terdengar It-teng membentak: “Balas membalas, tuntut menuntut, sampai kapan berakhirnya? Golok jagal di tangan, kapan akan kau lemparkan ?”
Cu-in terkejut, pegangannya jadi kendur, Kwe Yang terus terjatuh ke lantai, Namun Oey Yong cukup cekatan sebelum badan anak bayi itu menyentuh lantai, sebelah kakinya tahu-tahu sudah diayunkan dan tepat mengenai tubuh Kwe Yang hingga mencelat ke sana, berbareng itu Oey Yong lantas berteriak dan ter-kekeh2: “Ah, anak ini telah dibunuh olehmu.
Bagus, bagus sekali!”
Padahal tendangannya tadi tampaknya agak keras, namun sesungguhnya cuma punggung kakinya saja yang menjungkit pelahan di punggung ,anak itu terus ditolak ke sana dengan enteng. ia tahu keselamatan anak bayi itu bergantung dalam sedetik itu saja, kalau dia berjongkok menyamber anak itu, bisa jadi pikiran Cu-in mendadak berubah lagi dan meraih kembali si Kwe Yang cilik.
Tubuh Kwe Yang mencelat dengan anteng ke arah Yalu Ce, maka dengan tepat anak muda itu dapat menangkapnya, dilihatnya sepasang biji mata Kwe Yang yang hitam itu terbelalak, mulut terbuka hendak menangis, keadaannya segar bugar tanpa cidera apapun.
Yalu Ce paham sebabnya Oey Yong sengaja mengirim Kwe Yang ke arahnya itu adalah karena watak Kwe Hu suka gegabah, maka sang ibu tidak berani menyuruh menerima bayi itu. Cepat Yalu Ce lantas mendekap mulut Kwe Yang untuk mencegah tangisnya, berbareng iapun berteriak-teriak:
“Wah, anak ini telah dibinasakan Hwesio ini!”
Muka Cu-in pucat seperti mayat, seketika dia sadar dan bebas, ia memberi hormat kepada lt-teng dan berkata: “Terima kasih banyak2 atas bantuan Suhu!”
It-teng membalas hormat dan menjawab: “Selamatlah engkau telah mencapai kesempurnaan!”
Kedua orang berhadapan dengan tertawa, lalu Cu-in melangkah pergi. Cepat Kiu Jian-jio berseru:
“He, Jiko, kembali…”
Cu-in menoleh dan berkata “Kau suruh aku kembali, aku justeru hendak menyuruh kau kembali juga.” Habis itu ia lantas bertindak pergi tanpa berpaling lagi.
“Bagus, bagus!” berulang-ulang It-teng menyatakan syukurnya, lalu ia mengundurkan diri ke sudut ruangan dan duduk semadi tanpa bicara lagi.
Oey Yong mengikat kembali rambutnya yang kusut tadi, dari Yalu Ce ia terima kembali si Kwe Yang cilik. Cepat Kwe Hu merangkul sang ibu, serunya dengan kejut2 girang: “O, kukira ibu benar-benar telah kurang waras!”
Kemudian Oey Yong mendekati It-teng Taycu dan member hormat, katanya: “Taysu, karena kepepet sehingga Siautit terpaksa mengungkat kejadian masa lampau, mohon Taysu sudi memaafkan.”
“Yong ji, Yong-ji. kau benar-benar Khong Bengnya kaum wanita,” ujar It-teng dengan tersenyum.
Di antara hadirin itu hanya Bu Sam-thong saja yang lapat-lapat mengetahui kejadian dahulu, orang lain sama melongo heran karena tidak tahu apa yang dimaksudkan percakapan It-teng dan Oey Yong.
Bahwa akhirnya menjadi begini, hal inipun di luar dugaan Kiu Jian-jio, ia tahu sekali kakaknya sudah pergi, selanjutnya jelas sukar bertemu lagi, Melihat bayangan Cu-in sudah lenyap, perasaannya menjadi pilu, tapi terasa bimbang dan menyesal pula ketika ingat ucapan Cu-in sebelum pergi tadi: “Kau suruh aku kembali, justeru akupun hendak menyuruh kau kembali.” Jelas ucapan itu bernada memberi nasehat agar lekas menahan diri dan kembali ke jalan yang baik.
Akan tetapi rasa menyesal itu hanya sekilas saja lantas lenyap, dengan angkuh ia lantas berkata: “Silakan kalian duduk saja disini, aku tidak dapat menemani lama2.”
“Nanti dulu!” seru Oey Yong tiba-tiba, “Kunjungan kami ini adalah untuk memohon Coat-ceng-tan.”
Kiu Jian-jio lantas mengangguk kepada mu-rid-murid berseragam hijau di sebelahnya, serentak anak murid seragam hijau itu bersuit, dari setiap sudut lantas muncul empat orang berseragam hijau dengan membawa jaring ikan berkait dan meng-adang jalan ke luar semua orang.
Dalam pada itu empat pelayan lantas angkat kursi yang diduduki Kiu Jian-jio dan dibawa masuk ke ruangan dalam.
Melibat kelihayan barisan jaring berkait itu, diam-diam Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lain sama terkejut mereka menjadi bingung pula cara bagaimana membobol barisan jaring musuh itu.
Karena sedikit ragu itulah, tahu-tahu pintu depan dan belakang ruangan pendopo itu berkeriutan dan merapat, semua orang berseragam hijau lantas menyelinap ke luar lebih dulu.
Cepat kedua saudara Bu cilik menerjang keluar dengan pedang terhunus, akan tetapi sudah terlambat “blang”, pintu telah merapat, kedua batang pedang Bu Tun-si dan Bu Siu-bun yang sempat diselipkan ke tengah daun pintu itu patah seketika terjepit Tampaknya daun pintu besar itu terbuat dari baja yang kuat.
“Tidak perlu kuatir” cepat Oey Yong mendesis. “Untuk keluar dari sini tidaklah sulit, cuma kita harus memikirkan suatu akal cara bagaimana membobol barisan jaring musuh yang berkait itu dan cara bagaimana mencuri obat untuk menyelamatkan kawan kita.”
Sementara itu Kongsun Lik-oh juga ikut sang ibu masuk ke ruangan dalam, di situ ia bertanya tindakan apa pula yang akan dilakukan ibunya, Kiu Jian-jio sendiri merasa sulit dengan perginya sang kakak, namun musuh pembunuh kakak kini berada di depan matanya, betapapun ia tidak dapat tinggal diam.
Maka setelah berpikir, kemudian ia berkata kepada Lik-oh: “Coba kau pergi ke sana, awasi apa yang dilakukan Yo Ko dan ketiga anak dara itu.”
Perintah sang ibu sesuai benar dengan keinginan Lik-oh, segera ia mengangguk dan berlari ke rumah garangan itu.
Sampai di tengah jalan, tiba-tiba didengarnya ada suara orang bicara di depan sana, jelas itulah suaranya Yo Ko, menyusul terdengar suara jawaban Siao-liong-li dan lapat-lapat seperti menyebut “nona Kongsun.”
Waktu itu hari sudah gelap, cepat Lik-oh menyelinap ke semak pohon, ia ingin tahu apa yang sedang dibicarakan kedua muda-mudi itu mengenai dirinya.
Dengan langkah pelahan ia lantas merunduk maju, dilihatnya Yo Ko dan Siao-liong li berdiri berendeng di sana, terdengar Yo Ko lagi berkata: “Kau bilang kita harus berterima kasih kepada nona
Kongsun, kukira memang betul, Semoga paderi sakti ini lekas siuman, permusuhan ini selekasnya dapat diakhiri sisa racun dapat dibasmi seluruhnya, bukankah bagus begitu?… Aduuh!” jeritan mengaduh secara mendadak ini membikin. Lik-oh kaget karena tidak diketahui apa yang mengakibatkan Yo Ko menjerit. ia coba mengintip dari tempat sembunyinya, samar-samar dilihatnya Yo Ko tergeletak di tanah dan Siao-liong-li sedang memegangi lengannya.
Bagian punggung Yo Ko seperti berkejang dan tampaknya sangat sakit Terdengar Siao-liong-li bertanya padanya: “Apakah racun bunga cinta kambuh lagi?”
“Iy.. .. iyaa . . ..” sahut Yo Ko dengan gigi berkeretukan.
“Pedih hati Kongsun Lik- oh dan kasihan pula melihat penderitaan Yo Ko itu, pikirnya: “Dia sudah minum separoh Coat-ceng tan, kalau separoh-nya dimakan lagi tentu racunnya akan punah, separoh obat yang tersisa itu betapapun harus ku-mintakan kepada ibu.”
Selang sejenak, pelahan Yo Ko berbangkit dan menghela napas panjang.
“Ko-ji, kumatnya penyakitmu semakin kerap dan jaraknya juga semakin pendek, malahan kelihatan juga tambah parah.” kata Siao-liong-li. “Padahal harus sehari lagi barulah paderi Hindu itu akan siuman, seumpama dia dapat meracik obat penawarnya rasanya juga tidak…. tidak mengurangi penderitaanmu ini.”
Sebenarnya dia hendak mengatakan “juga tidak keburu lagi menolong kau”, tapi akhirnya ia ubah ucapannya itu.
Dengan tersenyum getir Yo Ko menjawab “Nenek Kongsun itu sangat kepala batu, obat penawarnya juga tersimpan dengan rapat, kalau dia tidak suka-rela mau memberikan obatnya padaku, biarpun senjata mengancam dilehernya juga belum tentu dia mau menyerah dan memberikan obatnya.”
“Aku mempunyai akal,” ujar Siao-liong-li.
Yo Ko sudah dapat meraba jalan pikiran isterinya itu, katanya: “Liong-ji, jangan lagi kau mengemukakan kehendakmu ini. Kita suami-isteri saling mencintai dengan segenap jiwa raga, kita akan bersyukur kalau kita dapat hidup sampai kakek-kakek dan nenek2, kalau tidak dapat, ya anggaplah memang sudah takdir, di antara kita berdua sekali-sekali tidak boleh diselingi dengan orang ketiga.”
Dengan suara terguguk Siao-Iiong li berkata: “Tapi… tapi nona Kongsun itu kulihat pribadinya sangat
baik, hendaklah kau menurut perkataanku.”
Tergerak hati Kongsun Lik-oh mendengar percakapan mereka itu, ia tahu Siao-liong-li sedang menganjurkan Yo Ko menikahi dirinya untuk mendapatkan obat penawar.
Segera terdengar Yo Ko berseru lantang: “Liong ji, nona Kongsun itu memang orang baik. sesungguhnya di dunia ini memang banyak nona2 yang baik, Misalnya itu nona Thia Eng, nona Liok Bu-siang, semuanya juga gadis yang baik budi dari setia kawan. Namun kita berdua sudah saling cinta mencintai mana boleh timbul lagi pikiran lain.
Umpamanya kau sendiri, jika ada seorang lelaki yang sanggup menyembuhkan racun dalam tubuhmu dengan syarat kau harus menjadi istrinya, apakah kau juga mau?”
“Aku kan perempuan, sudah tentu lain soal-nya,” jawab Siao-liong-li.
“Hah, orang lain berat lelaki dan enteng perempuan, aku Yo Ko justeru berat perempuan dan enteng lelaki,” kata Nyo Ko dengan tertawa.
Sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara kresekan di semak pohon sana, cepat Yo Ko berseru: “Siapa itu?” Lik-oh tahu jejaknya telah diketahui orang, baru saja mau menjawab, tiba-tiba suara seorang lain menjawab: “Aku, ToloI!”
Menyusul Liok Bu siang dan Thia Eng lantas muncul dari semak-semak pohon sana. Kiranya tidak cuma Kongsun Lik-oh saja yang mengintip di situ, Bu-siang dan Thia Eng juga berada di dekatan sana, Kesempatan itu segera digunakan Lik-oh untuk menyingkir pikirannya lantas bergolak juga tak menentu: “Jangankan berbanding nona Liong, meskipun nona2 Liok dan Thia saja juga sukar bagiku untuk menandinginya, baik ilmu silat maupun lahiriah, apalagi bicara mengenai hubungan baiknya dengan Nyo-kongcu.
Sejak kenal Yo Ko, tanpa kuasa Kongsun Lik-oh kesemsem kepada pemuda itu, meski sejak mula iapun mengetahui Yo Ko sangat mencintai Siaoliong-li, tapi selalu diharapkannya semoga dapat bertemu sekali lagi dengan dia, sebab itulah ia terus menanti di Coat-ceng-kok, kini setelah mendengar percakapan mereka, ia menjadi lebih tahu bahwa cinta dirinya cuma bertepuk sebelah tangan saja dan tidak mungkin terkabul Kedua orang tuanya adalah manusia-sia yang culas dan sukar bergaul dengan orang luar, sebab itulah sejak kecil Kongsun Lik-oh menjadi sangat pendiam dan tersiksa batin, kini hancur pula segala harapannya, ia bertekad takkan hidup lagi, dengan langkah limbung ia lantas berjalan ke sana.
Dengan pikiran melayang, jalannya menjadi tanpa arah tujuan dan tidak menyadari dirinya berada di mana, cuma dia cukup apal jalanan sekitar situ, maka biarpun di malam gelap juga tidak sampai terperosot ke jurang atau jatuh-ke sungai, suatu suara seakan-akan mengiang dalam benaknya: “Aku tak ingin hidup lagi, aku tidak ingin hidup lagi!”
Begitulah ia terus berjalan tanpa tujuan, entah sudah berapa Iama, tiba-tiba didengarnya dibalik dinding karang sebelah sana sayup-sayup ada suara orang sedang bicara.
Waktu ia memperhatikan keadaan setempat lebih cermat ia terkejut.
Kiranya dalam keadaan ling-lung, tanpa terasa ia teIah berada di suatu tempat di sebelah barat lembah yang jarang dikunjungi manusia. Waktu ia menengadah tertampak sebuah puncak gunung menjulang tinggi di depan itulah Coat-ceng-hong (puncak putus tinta) yang sangat curam di lembah ini.
Pada pinggang Coat-ceng-hong itu adalah suatu tebing yang menyerupai dinding dan entah-sejak kapan ada orang mengukir tiga huruf besar di situ, bunyinya “Toan-jong-kah” (tebing putus usus), tebing itu halus licin dan selalu dikelilingi awan dan kabut, sekalipun burung juga sukar hinggap di puncak gunung itu.

Di bawah puncak gunung itu adalah jurang yang tak terperikan dalamnya dengan tumbuhan yang lebat walaupun pemandangan alam di situ sangat indah permai, namun karena curamnya dan mungkin akan terjerumus ke dalam jurang jika kurang hati-hati, maka penduduk setempat jarang yang datang ke situ, sekalipun anak buah Kongsun Ci yang memiliki ilmu silat tinggi juga jarang menginjak tempat itu.
Tapi sekarang ternyata ada orang bicara disitu, entah siapa gerangannya?
Selain ingin mati saja memangnya Kongsun Lik-oh tidak mempunyai kehendak lain lagi, Tapi sekarang timbul rasa ingin tahunya, segera ia menempel di belakang batu karang dan coba mendengarkan dengan cermat.
Tapi setelah mengenali suara orang yang bicara, hatinya lantas berdebar Kiranya pembicara itu ialah ayahnya.
Meski ayahnya berbuat salah terhadap ibunya dan juga tidak sayang padanya, namun ibunya sudah membutakan sebelah mata ayahnya dengan sempritan biji kurma serta telah mengusirnya pergi dari Coat-ceng-kok, betapapun Lik,-oh masih menaruh belas kasihan seorang anak terhadap ayahnya, ia menjadi heran setelah mendengar suara sang ayah, ternyata ayahnya tidak meninggalkan Coatceng kok melainkan masih sembunyi di tempat yang jarang didatangi manusia.
Terdengar ayahnya sedang betkata: “Matamu diciderai oleh si bangsat cilik Yo Ko, mataku juga buta juga boleh dikatakan akibat perbuatan bangsat cilik itu, jadi kita boleh dikatakan se… senasib dan setanggungan, hehehe!” Meski ia terkekeh, namun orang yang diajak bicara itu ternyata tidak menanggapinya.
Lik-oh menjadi heran siapakah gerangan yang diajak bicara sang ayah itu? seketika iapun tidak ingin siapakah yang matanya pernah diciderai Yo Ko, sedangkan nada ucapan sang ayah kedengaran rada-rada bangor, apakah lawan bicaranya itu adalah seorang perempuan?
Di dengar nya Kongsun Ci berkata pula: “Kita bertemu di sini juga boleh dikatakan ada jodoh, bukan saja senasib dan setanggungan”. bahkan juga… juga sama-sama bermata…bermata…”
“Huh, kau mentertawakan aku ini buruk rupa bukan?” tiba-tiba seorang perempuan mendamperat.
“O,walah, janganlah kau marah, bukan begitu maksudku.” jawab Kongsun Ci cepat “Aku justru sangat senang bertemu dengan kau.”
“Aku telah terluka oleh bunga cinta dan kau sama sekali tidak menghiraukan, malahan kau menggodai diriku saja,” omel pula perempuan itu.
Baru sekarang Kongsun Lik-oh ingat siapa orang ini, Kiranya adalah Li Bok-chiu, iapun heran bahwa mata Li Bok-chiu katanya juga diciderai oleh Yo Ko.
Memang betul lawan bicara Kongsun Ci itu ialah Li Bok-chiu, dia terkena racun bunga cinta dan ingin mendapatkan obat penawarnya, tapi jalanan di Coat-ceng-kok berliku-liku dan ruwet, dia kesasar kian kemari dan akhirnya sampai di tebing curam itu dan kebetulan mempergoki Kongsun Ci juga sembunyi disitu.
Dengan sembunyi disitu Kongsun Ci sedang menunggu kesempatan agar dapat membunuh Kiu Jian-jio untuk merebut kembali kedudukan Kokcu, sedangkan kedatangan Li Bok-chiu ke situ hanya kebetulan.
Keduanya pernah bergebrak dan sama-sama tahu lihaynya masing-masing, maka pertemuan ini lantas menimbulkan pikiran yang sama pula akan bergabung untuk tujuan bersama, setelah bicara sebentar ternyata kedua orang merasa cocok satu sama lain.
Usia Li Bok-chiu sebenarnya tidak muda lagi, tapi sejak kecil dia berlatih Lwekang sehingga wajahnya masih halus dan cantik. Kongsun Ci telah gagal mengawini Siao-liong-li, kemudian gagal pula menculik Wanyan Peng, kini bertemu dengan Li Bok-chiu, kembali timbul pikirannya: “Setelah kubunuh perempuan jahat she Kiu itu, biarlah kunikahi nona ini saja, Baik wajahnya maupun ilmu silatnya adalah kelas pilihan, meski buta sebelah, tapi sangat setimpal menjadi jodohku.”
Tak tahunya bahwa jiwa Li Bok-chiu yang jahat itu ternyata juga disertai cinta yang suci, sebabnya dia banyak berbuat kejahatan juga akibat gagalnya percintaan. Kini didengarnya cara bicara Kongsun Ci semakin tidak senonoh, diam-diam ia menjadi marah. Tapi mengingat masih perlu mendapatkan obat penawar, terpaksa ia melayani percakapan orang sekadarnya.
Begitulah Kongsun Ci lantas berkata pula: “Aku adalah Kokcu di sini, cara membuat obat penawar bunga cinta tiada diketahui orang lain kecuali diriku ini. Cuma membuatnya memerlukan waktu, air di tempat jauh tak dapat memadamkan api di dekat sini. Untung obat itu masih tersisa satu biji di tempat kediamanku, tapi sekarang dikangkangi perempuan jahat itu, terpaksa kita harus membinasakan dia,
habis itu apapun juga adalah milikmu.”
Kalimat ucapannya yang terakhir itu mengandung makna berganda, artinya tidak cuma obat penawarnya saja akan Kuberikan padamu, bahkan kedudukan nyonya rumah Coat-ceng-kok inipun akan menjadi bagianmu.
Bahwa di dunia ini hanya Kongsun Ci sendiri saja yang tahu cara membuat obat penawar, hal ini memang tidak salah,
Bahkan resep obat itu hanya dari ayah diturunkan kepada anak dan tak mungkin diajarkan kepada orang luar, sekalipun Kiu Jian-jio juga tidak tahu tentang resep obat itu, dia menyangka obat itu adalah simpanan dari leluhur keluarga Kongsun dan tidak tahu kalau Kongsun Ci masih menyimpan resepnya, sebaliknya mengenai sisa obat yang tinggal setengah biji pada Kiu Jian-jio itu Kongsun Ci juga tidak tahu, disangkanya masih satu biji.
Begitulah Li Bok-chiu menjadi ragu-ragu, katanya kemudian: “Jika begitu kan percuma saja omonganmu ini.
Obat penawar berada di tangan isterimu dan isteri mu telah menjadi musuhmu, umpamanya tidak sulit bagimu untuk membunuhnya tapi cara bagaimana kau dapat memperoleh obatnya?”
Kongsun Ci terdiam sejenak, lalu berkata: “Li-sumoay, baru kenal kita lantas cocok, demi menolongmu biar mati bagiku juga tidak sayang”
“Wah, aku harus berterima kasih padamu,” ujar Li Bok-chiu hambar.
“Aku mempunyai akal untuk rebut obat dari tangan perempuan jahat itu,” kata Kongsun Ci pula. “Cuma ku harap engkau menyanggupi suatu permintaanku.”
Dengan tegas Li Bok-chiu menjawab: “Selama mengembara kian kemari di Kangouw, belum pernah kuterima ancaman orang dengan persyaratan apapun juga tidak menjadi soal. Aku Li Bok-chiu bukanlah manusia yang sudi mohon belas kasihan orang lain.”
“Ah, Li-sumoay salah memahami maksudku.” Cepat Kongsun Ci menjelaskan “maksudku hanya sekedar berbuat sesuatu bagimu, mana aku berani mengancam segala, Cuma untuk rebut obat itu rasanya harus mengorbankan jiwa puteri kandungku sebab itulah mungkin ucapanku menjadi rada
kaku.”
Tergetar hati Kongsun Lik-oh mendengar kalimat “harus mengorbankan jiwa puteri kandungku!”
Li Bok-chiu juga merasa heran, ia menegas: “Memangnya obat penawar itu berada di tangan puterimu?”
“Tidak, biarlah kukatakan terus terang padamu,” jawab Kongsun Ci “Watak perempuan jahat itu teramat keras dan pemberang, obat penawar itu tentu disimpannya di tempat yang dirahasiakan untuk memaksa dia menyerahkan obatnya jelas sukar, jalan satu-satunya harus dipancing dengan akal.
Terhadap siapapun dia tidak kenalampun, hanya puteri satunya itu masih dapat mempengaruhi pikirannya.
Maka nanti akan kupancing puteriku si Lik-oh kesini dan mendadak kau menawannya serta dilemparkan ke semak-semak bunga cinta. Dengan begitu terpaksa perempuan jahat itu harus mengeluarkan obat untuk menolong jiwa puterinya, kesempatan itu lantas kita gunakan untuk rebut obatnya.”
Sejenak kemudian ia menambahkan pula: “Cuma saying obat ku hanya sisa satu biji saja, kalau sudah diberikan padamu berarti jiwa puteriku itupun takkan tertolong.”
Berkata sampai di sini tiba-tiba suaranya menjadi parau dan mengucurkan air mata.
“Demi menyelamatkan jiwaku harus mengorbankan puterimu, kukira urusan ini batalkan saja” kata Li Bok-chiu.
“Tidak, tidak, meski aku sayang mengorbankan dia, tapi aku lebih-lebih berat kehilangan kau,” kata Kongsun Ci cepat.
Li Bok-chiu terdiam, ia merasa selain cara yang di usulkan Kongsun Ci ini memang tiada jalan lain lagi.
“Kita tunggu saja di sini, lewat tengah malam nanti akan kupanggil puteriku keluar, betapapun pintarnya tentu dia takkan menduga akan tipu muslihat ayahnya ini,” kata Kongsun Ci pula.
Percakapan mereka itu dengan jelas dapat didengar oleh Kongsun Lik-oh, makin mendengar makin takut hatinya.
Tempo hari Kongsun Ci telah menjebloskan dia dan Yo Ko ke kolam buaya, maka dia sudah tahu sang ayah sama sekali tidak mempunyai kasih sayang kepada puterinya sendiri, sekarang secara licik malah berkomplot dengan seorang perempuan yang baru dikenalnya untuk mencelakai puterinya sendiri, betapa keji hatinya sungguh melebihi binatang.
Memangnya Lik-oh sudah putus asa dan tidak ingin hidup lagi, tapi demi mendengar muslihat keji yang sedang direncanakan kedua orang itu, dengan sendirinya timbul pikirannya untuk melarikan diri. Untunglah sekitarnya batu karang belaka, perlahan-lahan ia lantas melangkah mundur dibawah aling-batu karang sesudah agak jauh barulah ia mempercepat tindakannya.
Sesudah jauh meninggalkan Coat-ceng hong, ia tahu tidak lama lagi ayahnya akan datang mencarinya, maka ia tak berani pulang ke kamarnya, duduk dengan sedih di atas batu karang, bulan sabit mengintip di tengah cakrawala, angin malam meniup sepoi-sepoi, ia merasa hampa dan hdup ini
sama sekali tidak ada artinya, Gumamya sendiri: “Memangnya aku tidak ingin hidup lagi, mengapa engkau merencanakan akal keji itu untuk mencelakai diriku? Baiklah, jika kau ingin membunuh diriku boleh bunuh saja. Tapi aneh juga buat apa aku melarikan diri?”
Sekonyong-konyong terkilas suatu pikiran dalam benaknya : “Meski keji sekali rencana ayah ini, tapi akalnya ini juga sangat bagus, Aku memang sudah bertekad akan membunuh dri, mengapa tidak kugunakan akal ini untuk menipu obat dari tangan ibu untuk menyelamatkan jiwa Nyo-toako? jika mereka suami-isteri dapat diselamatkan dan hidup bahagia betapapun mereka pasti akan berterima kasih kepadaku si nona yang mencintai dia dengan setulus hati dan bernasib malang ini.”
Berpikir sampai di sini ia menjadi girang dan berduka pula, tapi semangatnya lantas terbangkit, ia coba memandang sekelilingnya untuk mengetahui lebih jelas dirinya berada dimana, lalu ia melangkah menuju ke kamar tidur sang ibu.
Ketika lewat di semak-semak bunga cinta, dengan hati-hati ia memetik dua tangkai besar bunga itu dan di-bungkus dengan ikat pinggang agar duri bunga cinta tidak mencocok tangannya. Setiba di luar kamar ibunya dengan suara pelahan ia memanggil : “lbu, apakah engkau sudah tidur?”
“Ada urusan apa, anak Oh?” jawab Kiu Jian-jio di dalam kamarnya.
“lbu, o, ibu, aku… aku telah luka tercocok duri bunga cinta,” seru Lik-oh dengan suara tergagap sambil merangkul tangkai bunga yang dibawanya itu.
Tanpa ampun lagi beribu2 duri bunga itu tercocok ke dalam kulit dagingnya. Keruan sakitnya tidak kepalang, sekuatnya dia bertahan dan melepaskan ikat pinggang yang membungkus tangkai bunga itu, lalu memanggil lagi: “O, ibu!
Ibu!”
Kiu Jian-jio terkejut mendengar suara keluhan Lik-oh itu, cepat ia menyuruh pelayan membuka kamar dan memayang Lik-oh ke dalam.
“Ditubuhku masih ada duri bunga, kalian jangan mendekat,” seru Lik-oh.
Kedua pelayan menjadi kaget dan membiarkan Lik-oh masuk sendiri ke dalam kamar Kiu Jian-jio terkejut juga melihat wajah Lik-oh yang pucat, badan gemetar dan dua tangkai bunga bergantungan di dadanya, cepat ia tanyai “Kenapa kau?”,
“Ayah… ayah…” seru Lik-oh terputus-putus, ia tahu sinar mata sang ibu sangat lihay maka ia menunduk dan tak berani beradu pandang.
“Kau masih memanggilnya ayah? Memangnya kenapa bangsat tua itu?” kata Kiu Jianjio dengan gusar.
“Dia .dia…”
“Coba angkat kepalamu,” bentak Kiu Jian-jio.
Waktu Lik-oh angkat kepalanya dan melihat sorot mata ibunya yang kereng itu, tanpa terasa ia bergidik. Katanya dengan tergagap: “Tanpa sengaja kupergoki….kupergoki dia sedang bicara dengan….dengan Tokoh cantik yang siang tadi mengacau ke sini itu, kudengar… kudengar…” sampai di sini ia menjadi ragu-ragu untuk meneruskan, maklumlah dia tak pernah berdusta, kuatir isi hatinya diketahui sang ibu, kembali ia menunduk lagi.
“Apa yang dibicarakan mereka?” Kiu Jian-jio menegas dengan tak sabar.
“Katanya mereka se…. senasib dan setanggungan, sama-sama…sama-sama bermata satu dan… dan sebab itupun matanya buta sebelah. Mereka… mereka sama memaki ibu sebagai… sebagai perempuan jahat dan macam-macam lagi, sungguh anak sangat… sangat gemas.” sampai di sini ia lantas menangis terguguk.
“Jangan menangis,” kata Kiu Jian jio dengar gregetan.”
Kemudian apa lagi yang mereka katakan?”
“Tanpa sengaja anak menerbitkan suara sedikit dan diketahui mereka,” tutur LiK-oh lebih lanjut “Tokoh…. Tokoh itu lantas menangkap diriku dan didorong ke semak bunga cinta.”
Merasa suara Lik-oh itu rada kurang mantap, segera Kio Jian-jio membentak: “Tidak benar, kau berdusta? sesungguhnya bagaimana? jangan kau membohongi aku.”
Lik-oh berkeringat dingin, cepat ia menjawab: “Anak tidak berdusta, bukankah tubuhku ini ter-cocok oleh dini bunga?”
“Nada ucapanmu tidak tepat, sejak kecil kaupun begini bicaranya dan tak dapat berdusta, masakah ibumu tidak kenal watakmu?”
Seketika tergerak pikiran Lik-oh, dengan nekat ia berkata pula: “Ya ibu, memang benar aku telah berdusta padamu, Yang betul ayahlah yang mendorong diriku ke semak-semak bunga, dia marah padaku, katanya aku mengeloni engkau, membantu kau melawan dia. Katanya aku lebih condong kepada ibu dan tidak sayang kepada ayah.”
Sebenarnya kata-kata ini hanya karangan Lik-oh sendiri, namun Kiu Jian-jio sudah kadung sangat benci pada suaminya, ucapan Lik-oh itu masuk diakal atau tidak bukan soal baginya, yang penting adalah hal ini dengan jitu mengenai lubuk hatinya. cepat ia pegang tangan anak perempuannya dan menghiburnya: “Jangan susah anak Oh, biarlah ibu nanti melayani bangsat tua itu dan pasti akan
melampiaskan dendam kita ini.”
Lalu ia menyuruh pe layan mengambilkan gunting dan capitan untuk membuang tangkai bunga serta mengeluarkan duri2 kecil yang masih melekat di tubuh Lik-oh itu.
“lbu, anak sekali ini pasti takkan hidup Iagi.” kata Lik-oh dengan menangis sedih.

“Jangan.” ujar Kiu Jian-jio, “Kita masih menyimpan setengah biji Coat-ceng-tan dan untung belum diberikan kepada bangsat cilik she Yo yang tidak berbudi itu, setelah kau minum setengah biji obat ini, meski racun bunga tak dapat ditawarkan seluruhnya, asalkan selanjutnya kau mendampingi ibumu dengan prihatin dan tidak gubris lelaki busuk manapun juga, jangan sekali-sekali memikirkan mereka,
maka selamanya kaupun takkan menderita apa-apa”
Kiu Jian-jio sudah sakit hati kepada suaminya, Yo Ko juga tidak mau menjadi menantunya, sebab itulah dia membenci setiap lelaki, kalau puterinya tidak menikah selama hidup akan kebetulan baginya malah.
Lik oh mengerut kening dan tidak menanggapi Maka Kiu Jian-jio lantas bertanya pula: “Sekarang bangsat tua dan Tokoh itu berada di mana?”
“Waktu anak merangkak keluar dari semak bunga, lalu lari ke sini tanpa menoleh, bisa jadi mereka masih berada di sana,” kata Lik-oh.
Diam-diam Kiu Jian-jio memperkirakan Kongsun Ci pasti akan dalang merebut Coat-ceng-kok setelah mendapatkan -bala bantuan Li Bok-chiu.
Anak murid di lembah ini sebagian besar juga orang kepercayaannya, kalau keadaan mendesak mungkin anak muridnya akan berpihak pula kepada Kong-sun Ci, sedangkan dirinya sendiri lumpuh, yang lihay dan diandalkan Cuma senjata rahasianya melulu, yakni biji kurma.
Akan tetapi kalau Kongsun Ci sudah siap siaga, mungkin semprotan biji kurma sukar lagi melukai dia, kalau dia membawa perisai, malahan senjata rahasia sendiri akan mati kutu dan tak dapat berbuat apapun juga.
Melihat ibunya termenung dengan sinar mata berkilau, Lik oh menyangka orang itu sedang me-nimbang ucapannya tadi benar atau tidak, kuatir ditanyai pula sehingga rahasianya terbongkar maka selain dirinya akan tersiksa, usahanya untuk Yo Ko juga akan sia-sia belaka. Teringat kepada Yo Ko, seketika dadanya menjadi sakit, racun bunga cinta lantas bekerja, tanpa terasa ia menjerit.
Cepat Kiu Jian-jio membelai rambutnya dan berkata: “Baiklah, mari kita pergi mengambil Coat ceng tan.” – Segera ia tepuk tangan, empat pelayan lantas menggotongnya dengan kursi keluar kamar.
Sejak perginya Yo Ko, selama itu Lik-oh ingin sekali mengetahui di mana ibunya menyimpan setengah biji Coat-ceng tan. Menurut dugaannya ibunya yang lumpuh dan tidak leluasa gerak-geriknya itu tentu tidak mungkin menyimpan obat itu di tempat-tempat yang sukar didatangi besar kemungkinan disimpan di dalam rumah.
Cuma menurut pengamatan-nya selama belasan hari ini, rasanya semua tempat sudah pernah ditelitinya dan ternyata tiada sesuatu tanda yang dapat ditemukan Maka ia menjadi heran ketika mendengar ibunya memerintahkan pelayan membawanya ke ruangan pendopo.
Padahal ruangan besar itu adalah tempat yang terbuka dan sukar menyembunyikan sesuatu, apalagi sekarang musuh tangguh sama berkumpul di sana dan tujuan merekapun justeru ingin mendapatkan setengah obat biji itu, apakah mungkin obat itu sengaja ditaruh di depan mata musuh dan membiarkan mereka mengambilnya begitu saja?
Sementara itu pintu muka- belakang ruangan pendopo itu tertutup rapat dan dijaga oleh anak murid berseragam hijau dengan jaring berkait, melihat datangnya Kiu Jian-jio, serentak mereka memberi hormat.
Murid yang menjadi pemimpin barisan lantas berkata: “Musuh tidak kelihatan bergerak, agaknya mereka sudah mati kutu dan segera dapat ditawan.”
Kiu Jian-jio mendengus saja dan anggap ucapan anak buahnya itu terlalu gegabah, musuh-musuh tangguh yang terkurung di dalam ruangan itu adalah tokoh-tokoh kelas tinggi, mana mungkin mereka menyerah begitu saja untuk ditawan. Segera ia memerintahkan pintu dibuka, ber-bondong-bondong rombongan Kiu Jian-jio lantas masuk ke dalam dilindungi dengan dua barisan jaring berkait di kanan-kiri, Terlihatlah It-teng Taysu, Oey Yong, Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lain sama berduduk di pojok ruangan sana sedang bersemadi.
Setelah, kursinya diturunkan Kiu Jian-jio berseru. “Kecuali Oey Yong dan anak-anaknya bertiga, yang lain takkan kuusut kesalahannya mereka yang telah berani menerobos ke lembah ini. Nah, kalian boleh pergi saja.”
“Kiu-kokcu,” kata Oey Yong dengan tersenyum. “Engkau sendiri sedang terancam bencana, engkau tidak lekas mencari jalan untuk menyelamatkan diri, tapi malah beromong besar, sungguh lucu.”
Kiu Jian-jio terkesiap, ia heran darimana Oey Yong mengetahui dirinya sedang terancam bahaya? Apakah bangsat tua itu sudah pulang lagi ke sini dan diketahui olehnya?
Namun dia tenang-tenang saja dan menjawab: “Ada bencana atau ada rejeki sukarlah diketahui sebelum tiba saatnya, Apalagi diriku sudah cacat begini. kenapa aku harus takut kepada bencana apapun juga?”
Padahal Oey Yong tidak tahu tentang halnya Kongsun Ci, hanya dari gerak - gerik dan air muka Kiu Jian-jio dapat dilihatnya ada sesuatu urusan genting yang sedang dihadapinya, maka ia menduga di lembah ini pasti sedang terjadi keributan apa-apa.
Bantahan Kiu Jian-jio itu semakin memperkuat dugaan itu, segera ia berkata pula: “Kiu-kokcu, kakakmu meninggal karena terperosot sendiri ke jurang ketika dia menunggang rajawali piaraanku dan sama sekali bukan aku yang membunuhnya, Kalau kau tetap dendam mengenai soal ini, baiklah aku akan menerima batas dendammu, silakan kau menimpuk diriku dengan tiga biji kurma dan sama sekali aku takkan menghindar. Cuma setelah seranganmu nanti, apakah aku akan mati atau tetap hidup, kau harus berjanji akan memberikan obat penawar untuk menyembuhkan Yo Ko. Jika beruntung aku tidak mati,maka bereslah segala urusan, andaikan mati, maka kawan-kawan yang hadir di sini juga takkan menyesal dan dendam, mereka tetap akan membantu kau mengatasi kesukaranmu untuk menghadapi musuh dari dalam. Nah, bagaimana usulku ini, kau terima atau tidak?”
Syarat yang dikemukakan Oey Yong ini boleh dikatakan sangat menguntungkan Kiu Jian jio. Maklumlah, selain senjata rahasia biji kurma yang diandalkan itu, sesungguhnya Kiu Jian-jio tidak mempunyai kemampuan lain untuk menghadapi musuh, sedangkan “musuh dari dalam” yang dikatakan Ui Yong lebih-lebih kena di hatinya. Maka ia lantas menjawab “Sebagai ketua Kay-pang. tentu ucapanmu dapat dipercaya, jadi kau rela kuserang dengan tiga biji kurma tanpa mengelak dan menghindar serta tidak akan menangkisnya dengan senjata, begitu bukan?”
Belum lagi Oey Yong menjawab, cepat Kwe Hu menyela: “lbuku cuma menyatakan takkan mengelak dan menghindar tapi tidak mengatakan takkan menangkis dengan senjata.”
Namun Oey Yong lantas menyambung dengan tersenyum: “Agar Kiu-kokcu dapat melampiaskan rasa dendamnya, biarlah akupun takkan menangkis dengan senjata.” .
“Mana boleh jadi, ibu!” seru Kwe Hu. Rupa-nya dia benar-benar telah merasakan betapa lihaynya semprotan biji kurma nenek itu ketika pedangnya disemprot patah tadi. Kalau ibunya benar-benar tidak mengelak dan tidak menghindar tubuhnya yang terdiri dari kulit-daging itu masa sanggup menahannya.
Namun Oey Yong menganggap Yo Ko besar jasanya bagi keluarga Kwe, kini anak muda itu keracunan dan sukar disembuhkan, kalau tidak berdaya agar nenek she Kiu ini menyerahkan obat penawarnya, selama hidup keluarga Kwe berarti tetap utang budi kepada Yo Ko.
Sudah tentu biji kurma si nenek ini senjata rahasia maha lihay di dunia ini, jelas sangat berbahaya jika membiarkan tubuh sendiri diserang tiga kali, sedikit meleng saja jiwa pasti melayang, Tapi kalau tidak menyerempet bahaya, cara bagaimana nenek ini mau memberikan obatnya?
Perlu diketahui bahwa ketika Oey Yong mengemukakan usulnya itu sebelumnya dia sudah menimbang dengan masak-masak keadaan Kiu Jian-jio serta sifat-sifatnya, selain harus melenyapkan dendam kesumat nenek itu, diberi janji lagi akan bantu dia mengatasi ancaman bahaya dari dalam, sedangkan serangan tiga biji kurma adalah ilmu khas satu-satunya yang bisa digunakannya membinasakan lawan, sekalipun Kiu Jian-jio sendiri juga tidak dapat mengemukakan cara yang lebih
baik daripada usul Oey Yong ini.
Tapi dasar Kiu jian-jio memang suka curiga, ia merasa tawaran Oey Yong ini teramat menguntungkan pihaknya dan rasanya tidak masuk akal, maka dengan suara parau ia menegas: “Kau adalah musuhku, tapi kau kuserang dengan tiga biji kurma, sebenarnya tipu muslihat apa dibalik usulmu ini?”
Oey Yong sengaja mendekati dan membisiki: “Di sini banyak orang, mungkin tidak sedikit orang yang bermaksud jahat padamu, betapapun kau harus berjaga-jaga.”
Tanpa terasa Kiu Jian-jio mengerling anak buahnya, ia pikir orang-orang ini memang sebagian besar adalah orangnya tua bangka Kongsun Ci dan harus waspada terhadap kemungkinan. Karena itu iapun mengangguk atas bisikan Ui Yong itu.
Lalu Oey Yong mendesis lagi: “Sebentar lagi lawanmu pasti akan turun tangan, aku sendiripun menyadari berada di tempat yang berbahaya, karena itu sengketa kita harus cepat diselesaikan tak perduli diriku akan mati atau hidup yang terang nanti be ramai-ramai kita dapat menghadapi musuh bersama. Selain itu si Yo Ko telah banyak menanam budi padaku, sekalipun jiwaku melayang baginya juga harus kudapatkan Coat-ceng-tan. Orang hidup harus tahu membalas budi, kalau tidak, lalu apa bedanya antara manusia dan binatang?”
Habis berkata ia terus melangkah mundur kembali dan mengawasi gerak-gerik Kiu Jian-jio.
Betapapun tipis budi Kiu Jian jio, namun ucapan Yo Ko tentang “manusia yang tidak tahu balas budi tiada bedanya seperti binatang” mau-tak-mau menyentuh juga hati nuraninya, pikirnya: “Memang benar juga, kalau saja aku tidak ditolong si Yo Ko itu, saat ini aku pasti masih terasing dan tersiksa di kolam buaya di bawah tanah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar