Kembalinya Pendekar Rajawali 103
It-teng termenung sejenak, ia pikir kedatangannya
dengan Cu-in ini adalah untuk minta ampun kepada Eog-koh, rasanya tidak pantas
memakai kekerasan. Tapi permohonan dengan sopan sudah sekian lamanya dan
Eng-koh tetap tidak mau menemuinya, tampaknya kalau tetap memohon begitu saja juga
percuma. jika Yo Ko mempunyai caranya sendiri, rasanya boleh juga dicoba,
seumpama tidak berhasil, paling-paling juga cuma gagal bertemu saja, Maka ia
lantas menjawab:
“Jika Nyo heng dapat membujuknya keluar,
tentu segala persoalan menjadi beres, cuma sebisanya jangan sampai menimbulkan
sengketa baru sehingga malah menambah dosa mereka.”
Yo Ko mengiakan, Lalu ia merobek sapu-tangan
menjadi empat potong, dua potong digunakan, menyumbat telinga Cu in, dua potong
lain di si nona menyumbat lubang kupingnya, Habis itu ia lantas menghimpun
tenaga dalam dan minta maaf dulu kepada It-teng lalu ia menengadah dan
mengeluarkan suara nyaring panjang.
Suara suitannya ini mula-mula nyaring bening
dan berkumandang jauh, lama2 suaranya berubah melengking tajam, lalu berubah
keras gemuruh laksana bunyi guntur.
Meski kupingnya sudah disumbat kain, tidak
urung muka Kwe Yang berubah pucat karena getaran suara yang membuat jantungnya
berdebar-debar.
Suara gemuruh itu terus berlangsung secara bergelombang
sehingga mirip deburan ombak samudera, Kwe Yang merasa dirinya seperti berdiri
di tanah lapang dan Guntur terus berbunyi mengelilinginya, ia menjadi takut dan
gelisah.
“Toakoko, lekas berhenti, aku tidak tahan,”
teriaknya.
Akan tetapi suaranya ternyata tenggelam di
tengah suitan Yo Ko yang hebat itu, bahkan ia sendiri tidak mendengar apa-apa,
terasa pikiran menjadi linglung dan pandangan kabur, Untung pada saat itulah
It-teng telah mengulurkan tangannya untuk memegangi telapak tangan Kwe Yang. segera
terasalah hawa hangat tersalur dari tangan paderi sakti itu.
Tahulah dia paderi sakti itu sedang
membantunya dengan tenaga dalamnya yang kuat, Segera iapun memejamkan mata dan
mengerahkan tenaga dalam sendiri. Sejenak kemudian, meski suara gemuruh tadi
masih tetap memekak telinga, namun pikirannya sudah tidak bergolak lagi.
Setelah bersuit panjang sekian lamanya,
ternyata Yo Ko tetap bersemangat dan kuat, sedikitpun tiada tanda-tanda lelah.
Diam-diam It-teng merasa kagum, ia merasa semasa mudanya dahulu juga tidak sekuat Yo Ko
sekarang ini, apalagi kini usianya sudah lanjut, jelas takdapat dibandingkan anak
muda itu.
Selang tak lama, tertampaklah sesosok
bayangan meluncur dari Hek liong tam sana. Sekali Yo Ko
mengebaskan lengan bajunya, suara suitan
lantas berhenti.
Baru saja Kwe Yang menghela napas lega dan
belum lagi pulih air mukanya, terdengar bayangan orang tadi berseru melengking
dan jauh: “Toanhongya, caramu malang melintang memaksa aku keluar, sebenarnya
ada urusan apa?”
“Adik Yo inilah yang mengundang kau,” jawab
It-teng.
Tengah bicara, tahu-tahu bayangan orang tadi
sudah mendekat. Siapa lagi kalau bukan Eng koh. Dia menjadi ragu-ragu mendengar
jawaban It-teng ttu, ia heran di dunia ini kecuali Toan-hongya ternyata ada
lagi yang memiliki kekuatan sehebat ini padahal orang yang mukanya sukar diketahui
dengan pasti ini berambut hitam, umurnya paling banyak juga belum ada 40 tahun,
tapi Lwekangnya ternyata selihay ini, sungguh luar biasa dan mengagumkan.
Sebenarnya Eng-koh bertekad tidak mau menemui
Toan-hongya alias It-teng Taysu, tapi suara Yo Ko tadi telah membuatnya
gelisah, ia tahu jika dirinya tidak keluar, sekali tenaga dalam orang
dikerahkan, maka pikirannya pasti akan terguncang dan mungkin sekali akan roboh
dan terluka dalam.
Karena itulah terpaksa ia keluar walaupun
dengan sikap ogah2an.
“lni, rase ini kuberikan padamu, anggaplah
aku menyerah padamu dan lekas pergi dari sini,” kata Eng-koh kepada Yo Ko
dengan rasa dongkol. Habis itu dia pegang leher seekor rasenya terus hendak
dilemparkan ke arah Yo Ko.
“Nanti dulu,” seru Yo Ko, “urusan rase adalah
soal kecil, ada urusan penting yang hendak dibicarakan It-teng Taysu, harap
engkau suka mendengarkannya.”
Eng-koh memandang It-teng dengan sikap
dingin, katanya: “Baiklah, silakan Hongya memberitahu.”
“Kejadian di masa lampau laksana impian belaka,
sebutan diwaktu dahulu buat apa digunakan lagi?” ujar It-teng dengan gegetun.
“Eng-koh, apakah kau masih kenal dia?” – Berbareng iapun menuding Cu-in yang
menggeletak di tanah itu.
Kini Cu-in memakai jubah Hwesio, bahkan
mukanya sudah banyak berbeda daripada pertemuan di Hoa-san lebih 30 tahun yang
lalu, Maka hakikatnya Eng-koh sudah pangling, katanya setelah memandang sekejap
ke arah Cu-in: “Mana ku kenal Hwesio ini?”
“Dahulu siapakah yang menyerang anakmu dengan
cara keji?” tanya lt-teng.
Seketika tubuh Eng-koh gemetar, air mukanya
berubah pucat, lalu berubah menjadi merah, katanya dengan suara terputus-putus:
“Jadi…… jadi dia ini bangsat Kiu Jian-yim itu?
Biarpun… biarpun tulang belulangnya menjadi
abu juga tetap kukenali.
“Kejadian itu sudah berpuluh tahun yang lalu
dan kau masih tetap dendam dan tidak melupakannya,” ujar It-teng dengan
menghela napas. “Orang ini memang betul Kiu Jian-yim. Sedangkan mukanya saja
kau pangling, tapi dendam lama itu belum pernah kau hipakan.”
Mendadak Eng-koh menubruk ke sana, kesepuluh
jarinya laksana kaitan terus hendak ditancapkan ke dada Cu-in, ia coba
mengamat-amati wajahnya, samar-samar ia merasa rada mirip Kiu Jian-yim, tapi
setelah diawasi lebin teliti, rasanya seperti bukan. Kedua pipi paderi ini
cekung dan menggeletak tak bergerak, tampaknya sudah tiga perempat mati.
“Apakah orang ini benar-benar Kiu Jian-yim,”
teriak Eng-koh bengis, “Untuk apa dia menemui aku?”
“Dia memang betul Kiu Jian yim,” kata
It-teng”
“Dia merasa dosanya terlalu besar dan sudah
memeluk agama Buddha serta menjadi muridku, nama agamanya ialah Cu-in.”
“Hm, setelah berbuat dosa, dengan menjadi
Hwesio lantas segala dosanya akan punah, pantas di dunia ini tambah banyak
orang menjadi Hwesio,” jengek Eng-koh.
“Dosa tetap dosa, mana mungkin ditebas dengan
menjadi Hwesio?” ujar It-teng. “Kini Cu-in terluka parah, ajalnya tinggal
beberapa saat saja, teringat olehnya, dosanya mencelakai anakmu, dia merasa
tidak tenteram, maka sekuatnya ia bertahan hembusan napas terakhir dan dari
jauh datang kesini untuk memohon ampun padamu atas dosanya.”
Dengan mata melotot Engkoh memandangi It-teng
hingga lama sekali, wajahnya mengunjuk penuh rasa dendam dan benci, seakan-akan
seluruh duka derita selama hidupnya ingin dilampiaskannya dalam sekejap ini.
Melihat air muka Eng-koh yang menyeramkan
itu, Kwe Yang menjadi takut. Terlihat kedua tangan Eng-koh telah diangkat dan
segera akan dijatuhkan atas tubuh Cu-in.
walaupun merasa takut tapi dasar pembawaan
Kwe Yang memang berbudi luhur, segera ia membentak: “Nanti dulu! Dia sudah tak
bisa berkutik, tapi kau hendak menyerangnya pula. sebab apa kau tega berbuat
demikian?”
“Hm, dia membunuh anakku, selama berpuluh
tahun aku menanti dengan menderita dan akhirnya aku dapat mencabut jiwanya
dengan tanganku sendiri walaupun rasanya sudah agak terlambat tapi kau masih
bertanya sebab-sebabnya?” jengek Eng-koh.
“Kalau dia sudah menyadari kesalahannya dan
mengaku berdosa, kejadian yang sudah lampau, buat apa diungkat-ungkat lagi?”
ujar Kwe Yang.
“Hehehehe!” Eng-koh terkekeh sambil menengadah.
“Enak saja kau bicara, anak dara, Coba jawab andaikan yang dibunuhnya adalah
anakmu, lalu bagai mana?”
“Dari… darimana aku mempunyai anak?” jawab
Kwe Yang gelagapan.
“Atau yang dibunuhnya adalah suamimu,
ke-kasihmu, atau Toakokomu ini?” jengek Eng-koh pula.
Muka Kwe Yang menjadi merah, katanya:
“Ngaco-be!o!
Dari… darimana datangnya suami atau
kekasihku?”
Makin bicara makin meluap rasa gusar Eng-koh,
mana dia tak mau banyak omong lagi, sambil menatap Cu-in segera tangannya
hendak menghantam ke bawah. Tapi mendadak terlihat Cu-in menghela napas dengan
menyungging senyum dan berkata dengan perlahan: “Terima kasih Eng-koh sudi menyempurnakan
diriku.”
Eng-koh jadi melengak dan pukulannya tidak
jadi diteruskan, bentaknya: “Menyempurnakan apa katamu?”
Tapi segera ia paham maksud orang, rupanya
Cu-in yakin pasti dirinya mati, maka dia ingin diberi satu pukulan agar dapat
mati di tangannya, jadi pukulan yang dahulu pernah menewaskan anaknya telah
dibalas dengan pukulan maut pula, dengan begitu dosanya menjadi tertebus.
Dengan tertawa dingin Engkoh lantas berkata.
“Masakah begini enak bagimu? Aku takkan membunuh kau, tapi akupun tak pernah
mengampuni kau!” Kalimat2 ini diucapkan dengan tegas dan seram sehingga membuat
orang mengkirik.
Yo Ko tahu watak It-teng Taysu welas asih dan
tidak mungkin bersitegang dengan bekas selirnya itu, sedangkan Kwe Yang adalah
anak kecil, apa yang dikatakan tentu tidak mendapat perhatian Eng-koh, kalau
dirinya tidak ikut campur tentu urusan ini takkan beres.
Maka dengan ketus ia lantas berkata:
“Eng-locianpwe, persoalan suka-duka di antara kalian sebenarnya tidak jelas bagiku,
hanya saja ucapan dan tindak-tanduk cianpwe terasa agak keterlaluan bagiku,
betapapun aku menjadi ingin ikut campur tangan urusan ini.”
Eng-koh berpaling dengan terkesiap, dia sudah
pernah bergebrak dengan Yo Ko, dari suara suitan-nya tadi iapun tahu kepandaian
orang ini jauh di atasnya dan tidak mungkin ditandingi. Sungguh tak terduga
dalam keadaan demikian ada orang tampil ke muka dan main kekerasan padanya
setelah
dipikir dan pikir lagi, tanpa terasa ia
menjadi sedih dan merasa nasibnya teramat tidak beruntung, terus saja ia duduk mendeprok
dan menangis tergerung-gerung.
Tangisnya Eng-koh ini tidak saja membuat
bingung Yo Ko dan Kwe Yang, bahkan juga di luar dugaan It-teng Taysu.
Terdengar Eng-koh menangis sambil mengomeli
“Kalian ini bertemu dengan aku, cara halus tidak dapat lantas memakai kekerasan,
tapi orang itu tidak mau menemui aku, kenapa kalian tidak ambil pusing?”
“He, Locianpwe, siapakah yang tidak mau
bertemu dengan kau?” tanya Kwe Yang cepat “Bagaimana jika kami membantu kau?”
Tanpa menjawab Eng-koh melanjutkan
keluhannya: “Kalian hanya dapat menganiaya kaum wanita macam diriku, kalau
ketemu tokoh yang besar-besar lihay masakah kalian berani mengutiknya?”
Kwe Yang lantas menanggapi lagi: “Anak kecil
seperti diriku sudah tentu tak berguna, tapi di sini sekarang kan ada It-teng
Taysu dan Toakoko-ku, memangnya kita ikut kepada siapa?”
Eng-koh termenung sejenak, mendadak ia
berbangkit dan berseru: “Baik, asalkan kalian mencari dia dan membawanya ke
sini untuk menemui aku dan biarkan dia bicara sebentar dengan aku, maka apapun
kehendak kalian, ingin rase atau minta aku berdamai dengan Kiu Jian-yim,
semuanya kuterima.”
“Eh, Teakoko, apakah transaksi ini dapat
diterima?” Tanya Kwe Yang kepada Yo Ko.
“Siapakah yang ingin cianpwe temui, masakah
begitu sulit?” tanya Yo Ko.
“Boleh kau tanya
dia.” jawab Engkoh sambil menuding It-teng Taysu.
Sekilas melihat air muka bersemu merah, Kwe
Yang menjadi heran, masakah sudah tua begitu masih bisa malu-malu seperti anak
perawan.
Melihat Yo Ko dan Kwe Yang sama menatap ke
arahnya, dengan pelahan It-teng lantas menutur: “Yang dia maksudkan adalah
Ciu-suheng, Lo-wan-tong Ciu Pek-tong.”
“Ah, kiranya Lowantong yang dimaksudkan,”
seru Yo Ko girang, “Dia sangat baik padaku, biarlah kupergi mencari dan membawanya
ke sini untuk menemuinya.”
“Namaku Eng-koh, kau harus katakan
jelas-jelas kepadanya bahwa dia akan dibawa ke sini menemui aku,” kata Eng-koh.
“Kalau tidak, begitu melihat bayanganku segera dia kabur dan sukar lagi
mencarinya. Asakan dia mau datang ke sini maka setiap permintaan kalian pasti
akan kupenuhi.”
Yo Ko coba melirik It-teng, terlihat paderi
itu menggeleng pelahan, maka diduganya di antara Ciu Pek-thong dan Eng-koh
pasti ada persengketaan berat dan keduanya tidak mungkin dipertemukan. Tapi
lantas teringat olehnya bahwa Ciu Pek-thong itu berpikiran seperti anak kecil,
bukan mustahil akan dapat memancingnya ke sini dengan sesuatu akal aneh, Maka
ia lantas berkata: “Lo wan-tong itu berada di mana sekarang? Pasti akan kudayakan
untuk mengajaknya ke sini.”
“Kira-kira lebih 200 li dari sini ke utara
ada sebuah lembah Pek-hoa-kok (lembah seratus bunga), dia mengasingkan diri di sana
dan mencari kesenangan dengan beternak lebah,” tutur Eng koh.
Mendengar kata-kata “beternak lebah”,
seketika Yo Ko terkenang kepada Siao liong-li. Teringat olehnya dahulu Ciu Pek-thong
diajari oleh Siao-liong-li cara memiara tawon dan menguasainya, tanpa terasa
hatinya menjadi sedih dan mata merah katanya kemudian: “Baiklah, sekarang juga
Wanpwe akan mencari Lo-wan-tong, harap kalian tunggu saja di sini.” Habis itu
ia tanya letak Pek-hoa-kok lebih jelas, lalu melangkah pergi.
Tanpa bicara Kwe Yang lantas ikut di
belakangnya, Yo Ko lantas mengisiki anak dara itu: “ilmu silat It-teng Taysu
maha tinggi, orangnya juga welas asih, kau tinggal sementara di sini dan mohon
belajar sedikit kepandaian padanya, asalkan beliau mau memberi petunjuk, maka
beruntungan bagimu.”
“Tidak, kuingin ikut kau pergi menemui
Lo-wan-tong itu,” kata Kwe Yang.
Yo Ko mengernyit kening, katanya: “Sebenarnya
inilah kesempatan yang sukar dicari, mengapa kau sia-siakan?”
“Aku tidak ingin belajar ilmu apapun,” ujar
Kwe Yang, “Setelah ketemu Lo-wan-tong tentu kau akan pergi, akupun harus
pulang, maka biarlah aku ikut pergi saja dengan kau.”
Arti ucapan ini adalah merasa waktu berkumpul
tidak banyak lagi, kalau dapat berdampingan dengan sang toa-koko lebih lama
lagi inilah yang diharapkan.
Melihat anak dara itu marasa berat untuk
berpisah dengan dirinya, diam-diam Yo Ko merasa ter-haru, dengan tersenyum ia
lantas berkata: “Semalaman kau tidak tidur, apakah kau tidak letih kantuk?”
“Kantuk sih memang kantuk, namun aku tetap
ingin ikut kau,” kata Kwe Yang.
“Baiklah,” segera Yo Ko gandeng tangan anak
dara itu dan melayang ke depan secepat terbang dengan Ginkang yang tinggi.
Karena tarikan Yo Ko ini, seketika tubuh Kwe
Yang terasa enteng, langkahnya tanpa mengeluarkan tenaga sedikitpun, dengan
tertawa ia ber-kata: “Apabila tanpa digandeng olehmu dan aku sendiri sanggup
berlari secepat ini, maka puaslah aku.”
“Ginkangmu sudah mempunyai dasar yang baik,
kalau berlatih terus, akhirnya kau pasti mencapai tingkatan seperti ini,” ujar
Yo Ko. Mendadak ia menengadah dan bersuit.
Kwe Yang kaget dan cepat mendekap kuping-nya,
tapi Yo Ko tidak bersuit lagi, maka tertampaklah si rajawali raksasa itu muncul
dari balik semak-semak pohon.
“Tiau-heng, ada sesuatu urusan kita harus ke
utara, mariah engkaupun ikut,” kata Yo Ko.
Rajawali itu lantas tegak leher dan berkaok
beberapa kali, entah paham entah tidak, yang jelas dia lantas ikut berangkat bersama
Yo Ko.
Kira-kira dua tiga li jauhnya, lari rajawali
itu semakin cepat, meski Kwe Yang mengganduI Yo Ko masih juga tidak mampu
menyusul burung itu. Rupa-nya rajawali itu menjadi tidak sabar lagi, tiba-tiba
ia berhenti dan mendakkan tubuh di depan Kwe Yang. “Tiau-heng bersedia
menggendong kau” kata Yo Ko dengan tertawa, “Kau harus berterima kasih padanya.”
Kwe Yang tidak berani kasar lagi kepada
rajawali itu, lebih dulu ia memberi hormat, lalu mencemplak ke atas punggungnya.
Segera rajawali itu mengayunkan langkahnya
yang lebar, seketika Kwe Yang merasa seperti di-bawa- terbang, pepohonan di
kedua samping sama melayang ke belakang, meski belum secepat terbang kedua ekor
rajawali di rumahnya, namun sudah lebih cepat daripada kuda lari.
“Yo Ko kelihatan mengintil di sebelah burung
itu tanpa ketinggalan sedikitpun, terkadang ia malah mengajak bicara dan
bergurau.
Senang sekali hati si nona, ia merasa
pengalamannya sekali ini jauh lebih aneh dan menggembirakan, daripada pengalaman
sebelumnya.
Menjelang lohor, sudah lebih 200 li mereka
lalui, Yo Ko terus melintasi bukit menurut petunjuk Eng-koh, akhirnya pandangannya
terbeliak, di depan sana sebuah lembah menghijau permai dengan aneka macam
bunga mekar mewangi, sepanjang jalan mereka menyelusuri tanah salju melalu,
sampai di sini seakan-akan memasuki suatu dunia lain, serentak Kwe Yang
bersorak gembira dan melompat turun dan punggung rajawali sambil ber-teriak: “Wah, pintar sekali Lo wan-thong menikmati
hidup, sungguh suatu tempat ajaib yang sukar dicari. Eh, Toakoko, coba katakan,
mengapa tempat ini sedemikian indahnya?”
“Lembah ini menghadapi selatan, gunung di
belakangnya mengalingi angin dari utara, mungkin di bawah tanah banyak tambang
batu bara dan belerang atau sebangsanya, makanya suhu tanah di sini cukup
hangat, sebab itu pula suasana selalu semarak seperti di musim semi dan bunga
mekar serentak.”
BegituIah sambil bicara mereka terus memasuki
lembah gunung itu. Setelah membelok lagi beberapa kali, terlihatlah di depan
sana sebuah selat diapit tebing gunung di kanan kiri, di tengahnya tumbuh tiga
pohon Siong tua menjulang tinggi laksana malaikat penjaga pintu selat. Menyusul
lantas terdengar suara mendengung riuh ramai, banyak sekali, tawon putih
beterbangan di sekitar pohon.
Yo Ko tahu Ciu Pek-thong pasti berada di
situ, segera ia berseru lantang: “Hai, Lo-wan-tong, adik Yo Ko membawa kawan
cilik ingin bermain dengan kau!”
Sebenarnya tingkatan Yo Ko selisih jauh
dengan Ciu Pek-thong, menyebutnya kakek juga belum cukup, namun ia tahu Ciu
Pek-thong itu tua2 nakal, kocak dan suka bermain seperti anak kecil, semakin
blak2an dengan dia tanpa membedakan tua dan muda, semakin senang dia.
Benar saja, baru lenyap suaranya, segera dari
balik pohon sana menongol satu orang, Sekali pandang, Yo Ko berjingkat kaget.
Belasan tahun yang lalu ketika Yo Ko pertama
kali kenal Ciu Pek-thong, rambut alis Anak Tua Nakal itu sudah putih seperti
perak, sekarang wajahnya memang tidak berubah sedikitpun tapi rambut, jenggot
dan alisnya malahan berubah menjadi sebagian putih dan sebagian hitam sehingga tampaknya
jauh lebih muda daripada dulu.
“Hahaha… adik Yo, mengapa baru sekarang kau dating
mencari aku?” demikian Ciu Pek-thong lantas menyambut dengan bergelak tertawa.
“Aha, kau memakai kedok segala untuk
me-nakut2i siapa sih?” - Berbareng itu sebelah tangannya terus terjulur hendak meraih
kedok tipis yang dipakai.
Cengkeraman Ciu Pek-thong itu mengarah
sebelah kiri, tapi sedikit menarik pundak kanan, kepala Yo Ko berbalik miring
ke kiri malah dan anehnya cengkeraman Ciu Pek-thong itupun mengenai tempat
kosong.
Kelima jarinya yang terpentang itu berhenti
di sisi leher Yo Ko, Lo-wantong tampak rada melengak, habis itu lantas terbahak2
dan memuji: “Adik Yo, hebat benar kepandaianmu Mungkin sudah jauh melebihi
waktu muda Lo-wan-tong dahulu”
Rupanya dalam satu kali cengkeram dan satu
kali mengegos itu, kedua orang telah sama-sama memperlihatkan ilmu silat mereka
yang tinggi luar biasa.. sebenarnya cengkeraman Ciu Pek-thong itu mencakup
sasaran cukup luas, jangankan Yo Ko menghindar dengan miringkan kepala, sekalipun
melompat juga sukar menghindari cengkeramannya itu, dalam keadaan terpaksa bisa
jadi Yo Ko menangkis dengan keras lawan keras barulah dapat mematahkannya.
Tapi sedikit angkat pundak kanan tadi Yo Ko
lantas siap dengan lengan bajunya, rupanya Ciu Pek-thong juga tahu kemungkinan
itu, terpaksa ia siap menangkis dan karena itu raihan tangannya menjadi kendur
sehingga Yo Ko dapat memiringkan kepalanya dan bebas dari cengkeraman itu.
Sudah tentu Kwe Yang tidak tahu seluk-beluk
gebrakan itu, ia merasa senang mendengar Ciu Pek-thong memuji Nyo Ko, segera ia
berkata: “Eh, Ciu-loyacu, kepandaianmu sekarang lebih tinggi atau lebih tinggi
waktu masih muda?”
“Waktu muda rambutku putih, kini rambutku
hitam, dengan sendirinya sekarang lebih hebat daripada dulu,” jawab Ciu
Pek-thong.
“Tapi sekarang engkau takdapat mengalahkan
Toakokoku, dengan sendirinya dahulu lebih-lebih bukan tandingannya,” ujar Kwe
Yang. Ciu Pek thong tidak marah, ia hanya tertawa dan bertanya: “Hahaha, nona
cilik sembarangan omong!” -
Mendadak kedua tangannya bekerja sekaligus,
satu pegang bagian kuduk dan lainnya mencengkeram punggung, tubuh Kwe Yang
terus diangkat tinggi2 dan diputar tiga kali, dilemparkannya pelahan ke atas
untuk kemudian ditangkap kembali, lalu diturunkan pelahan ke tanah.
Kwe Yang datang bersama Yo Ko, rajawali sakti
itu tahu si nona adalah teman Yo Ko, ia menjadi marah melihat Lo-wah-tong
mempermainkan-Kwe- Yang, “Bret”, mendadak sebelah sayapnya menyabet ke arah
Lo-wan-tong.
Seketika Ciu Pek-thong merasakan angin keras menyamber
tiba, ia pikir akan kucoba betapa hebat kekuatan binatang ini. Segera ia
mengerahkan tenaga, kedua tangannya terus menghantam ke depan.
Rajawali sakti itu memang makhluk luar biasa,
sayapnya yang terpentang itu ada dua-tiga meter lebarnya, maka terdengarlah
suara “blang”, kedua, tenaga saling bentur, Ciu Pek-thong tetap berdiri tak
bergeming, tenaga sabetan sayap rajawali yang dahsyat itupun menyamber lewat ke
samping.
Segera rajawali itu hendak menyusuIkan
serangan lain, tapi Yo Ko cepat membentaknya: “Jangan, Tiau-heng! Kawan kita
ini adalah orang kosen angkatan tua!”
Rajawali itu lantas mengurungkan serangannya,
tapi tetap bersikap angkuh.
“Besar juga tenaga hewan ini, pantas berani
berlagak,” ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa
“Usia Tiau-heng ini entah sudah berapa ratus
tahun, jelas jauh lebih tua daripadamu,” ujar Yo Ko. “He, Lo-wan tong, mengapa
dari tua kau kembali muda, rambutmu yang sudah ubanan semuanya kini malah
berubah hitam.”
“Habis apa mau dikata?” jawab Ciu Pek-thong
dengan tertawa. “Rambut dan jenggot ini tidak mau dipimpin, dahulu dia lebih
suka dari hitam menjadi putih, terpaksa kubiarkan, sekarang dia ingin dari
putih menjadi hitam, ya, akupun tak berdaya dan masa bodoh.”
“Tapi kelak kalau kau semakin lama makin
kecil, setiap orang yang ketemu kau suka raba-raba kepalamu dan memanggil kau
adik kecil, nah, jika begitu barulah menarik,” ujar Kwe Yang.
Sekelika Ciu Pek-thong benar-benar rada
kuatir, ia berdiri menjublek tanpa bicara lagi.
Padahal di dunia inii tidak mungkin terjadi
orang tua kembali muda, soalnya sifat Ciu Pek-thong itu lugu, polos, selama
hidup tidak kenal kuatir sedih.
Lwekangnya juga sangat tinggi, ditambah lagi
dia suka makan tumbuh-tumbuhan pegunungan sebangsa Ho siu-oh, Hok-leng (bahan
obat, kuat) dan madu tawon, semua itu besar manfaatnya bagi kesehatan, sebab
itulah rambut-alisnya yang tadi nya putih malah kembali menjadi hitam.
Malahan juga sering terjadi orang tua yang
sudah ompong tumbuh gigi lagi, tulang yang sudah lapuk berubah menjadi kuat,
apalagi Ciu Pek thong memang paham cara merawat diri sehingga umurnya sudah
dekat seabad masih tetap segar dan bersemangat
Mendengar ucapan Kwe Yang yang membuat kuatir
tidak perlu bagi Ciu Pek-tbong itu, diam-diam Yo Ko merasa geli, segera ia
berkata: “Ciu-heng, asalkan kau mau menemui satu orang, kujamin kau takkan
berubah menjadi kecil.”
“Menemui siapa?” tanya Ciu Pek-thong “Jika
kusebut nama orang ini, jangan kau terus pergi begitu saja,” kata Yo Ko.
Bahwa watak Ciu Pek-thong hanya lugu saja,
tapi sekali-sekali bukan orang bodoh, Kalau tidak masakah dia mampu meyakinkan
ilmu silat setinggi ini. Maka diam-diam telah dapat menangkap maksud kedatangan
Yo Ko, segera ia menjawab: “Di dunia ini ada dua orang-yang takdapat kutemui,
seorang ialah Toan hongya dan yang lain ialah
bekas selirnya, Eng-koh. Kecuali mereka berdua, siapapun aku mau menemuinya.”
Diam-diam Yo Ko pikir harus menggunakan akal pancingan,
segera ia berkata pula: “Ah, kutahu, tentu kau pernah dikalahkan mereka, ilmu
silatmu lebih rendah daripada mereka, makanya kau kapok dan takut bertemu
dengan mereka.”
“Tidak, tidak,” sahut Lo-wan tong sambil
meng-ge!eng2.
“Soalnya perbuatanku terlalu kotor dan rendah,
aku merasa bersalah kepada mereka, maka malu untuk bertemu dengan mereka,”
Yo Ko melengak, sama sekali tak terduga
olehnya bahwa begitulah sebabnya Cui Pek-thong tak berani bertemu dengan Eng-koh.
Tapi dia dapat berpikir cepat, segera ia menambahkan “Kalau kedua orang itu
terancam bahaya dan jiwa mereka sudah dekat ajalnya, apakah kaupun tidak sudi memberi
pertolongan?”
Melenggong juga Ciu Pek-thong, dalam hati ia
sangat menyesal dan merasa berdosa terhadap It-teng dan Eng-koh, kalau kedua
orang itu ada kesukaran, biarpun mengorbankan jiwa sendiri juga dia akan
menolong mereka tanpa ragu sedikitpun.
Tapi sekilas ia melihat Kwe Yang tersenyum
simpul, sama sekali tiada rasa cemas dan kuatir, segera ia menjawab dengan
tertawa: “Aha, kau ingin menipuka ya? Kepandaian Toan-hongya maha sakti, mana
mungkin dia terancam bahaya? Andaikan benar dia menemukan lawan maha lihay, kalau
dia tidak sanggup menandingi ya, maka akupun tidak mampu.”
“Terus terang kukatakan, sesungguhnya Eng-koh
sangat rindu padamu, betapapun kau diminta ke sana menemuinya.”
Seketika air muka Ciu Pek-thong berubah
sambil meng-goyang-goyang kedua tangannya, katanya: “Adik Yo, jika kau mengungkat
urusan ini sepatah kata lagi, segera kusilakan kau keluar dari Pek-hoa-kok ini
dan jangan menyalahkan aku jika aku tidak kenal sahabat lagi.”
Setelah mengalami gemblengan selama belasan
tahun, sifat latah Yo Ko sudah lenyap, tapi semangat jantannya tidak menjadi
berkurang, sekali bajunya mengebas, segera ia menjawab: “Ciu-Ioheng seumpama
kau ingin mengusirku pergi dari sini, kukira juga tidak begitu mudah.”
“Hehe, memangnya kau ingin berkelahi dengan
aku?” kata Lo-wan-tong dengan tertawa.
“Boleh juga jika kau ingin berkelahi,” jawab
Yo Ko. “Kalau aku kalah, segera kupergi dari sini dan takkan menginjak tempatmu
lagi, tapi kalau kau kalah, kau harus ikut aku pergi menemui Eng-koh.”
“Tidak, tidak, salah!” seru Ciu Pek-thong.
“Pertama, mana bisa kukalah daripada anak muda seperti kau ini. Kedua, seumpama
aku kalah juga aku takkan menemui Lau-kui-hui (Lau, she Eng-koh)”
Yo Ko menjadi marah, katanya: “Jika kau
menang adalah hakmu untuk tidak menemui dia, tapi kalau kau kalah juga tetap
tidak mau, lalu apa taruhan kita?”
“Sekali aku bilang tidak mau menemui dia-ya
tetap tidak mau, tidak perlu banyak omong lagi, hayolah mulai!” seru Ciu Pek-thong
sambil menyingsing lengan baju dan gosok-gosok Kepalan
Yo Ko pikir Lo-wan-tong ini sukar dipancing
dan ditipu, terpaksa harus memakai kekerasan. Kalau benar-benar harus bergebrak
rasanya juga tidak yakin pasti akan menang, tiada jalan lain, terpaksa harus
melihat gelagat saja nanti.
Watak Ciu Pek-thong memang keranjingan ilmu
silat, meski tinggal terpencil di Pek-hoa-kok masin tetap berlatih setiap hari,
tapi kepandaiannya sudah maha tinggi, dengan sendirinya sukar mencari pamer
berlatih.
Kini melihat Yo Ko mau bertanding dengan
dirinya, tentu saja ia menjadi gatal tangan dan ingin coba-coba selekasnya, ia
pikir kalau tertunda Iama2, jangan nanti Yo Ko mencari alasan dan membatalkan
niatnya, kan hilanglah kesempatan baik ini? Karena itu, segera ia mendahului
membentak, menjotos ke depan, yang dimainkan adalah 72 jurus
“Khong-beng-kun-hoat”, ilmu pukulan sakti.
Cepat Yo Ko angkat tangan kiri dan balas
menghantam satu kali, mendadak ia merasa tenaga pukulan orang seperti ada juga
seperti tidak ada, kalau dirinya menghantam benar-benar terasa per cuma,
sebaliknya kalau tidak jadi diterusnya, rasanya juga berbahaya. Diam-diam ia
terkejut dan menyadari benar-benar ketemu tandingan berat yang belum pernah ditemukannya.
Segera ia memainkan ilmu pukulan yang
dilatihnya secara giat selama belasan tahun di bawah damparan ombak samudera
itu, ia balas menyerang dengan dahsyat.
Terdengar suara gemuruh, tiga kali ia
melancarkan pukulan keras hingga pepohonan di sekitarnya sama tergetar, seketika
terjadilah hujan kelopak bunga beraneka warna, Semula Yo Ko rada kuatir kalau usia Ciu
Pek-thong sudah lanjut dan tidak tahan tenaga pukulannya yang semakin dahsyat
ini, maka setiap pukulannya selalu ditahan sedikit, tapi setelah beberapa kali bergebrak
dan melihat tenaga dan ilmu pukulan lawan bahkan di atasnya, kalau dirinya
meleng sedikit saja mungkin malah bisa dirobohkan oleh si Anak Tua Nakal, maka
iapun tidak sungkan-sungkan lagi dan melayaninya dengan sepenuh tenaga.
Ciu Pek-thong menjadi semakin bersemangat,
teriaknya: “Kepandaian hebat, ilmu pukulan lihay! Wah, perkelahian ini benar-benar
menarik dan memuaskan!”
Lingkaran yang dicapai tenaga pukulan mereka
semakin meluas, selangkah demi selangkah Kwe Yang terpaksa mundur terus,
sedangkan si rajawali tetap berdiri di tempatnya dengan sayap setengah
terpentang dan siap membela Yo Ko bila perlu, rupanya burung itupun tahu lawan yang
dihadapi Yo Ko sekarang teramat lihay.
Melihat ilmu pukulan yang dilatihnya selama
berpuluh tahun itu tidak dapat mengalahkan Yo Ko, diam-diam Ciu Pek-thong
memuji kehebatan Iawannya, Mendadak ia ganti siasat, kini tangan kiri mengepal
dan tangan kanan pakai telapak tangan, kedua tangan menyerang dengan cara yang berbeda,
inilah ilmu silat ciptaan Ciu Pek-thong-sendiri yang pernah diajarkan kepada
Kwe Ceng dan Siao-liong-li itu, yakni dua tangan menyerang dengan cara yang
berbeda, Dengan demikian-seorang Lo-wan-tong seperti berubah menjadi dua orang,
ia menggempur Yo Ko dari kiri-kanan.
Dengan melulu sebelah tangannya melawan
serangan Ciu Pek-tbong yang hebat tadi memangnya Yo Ko merasa tak dapat menang,
apalagi sekarang satu harus lawan dua serangan berlainan, tentu saja ia tambah
kewalahan. Diam-diam ia terkejut dan terpaksa lengan baju yang kosong itupun digunakan
menyambut sebagian serangan orang tua itu.
Meski Kwe Yang tidak dapat memahami di mana
letak kehebatan tipu serangan kedua orang itu, tapi dari sama kuat berubah
menjadi Yo Ko yang terdesak, betapapun ia dapat melihat keadilan itu, tentu
saja ia terkejut dan heran pula, tiba-tiba teringat olehnya waktu ayahnya
mengajarnya pernah menggunakan kedua tangan melayani dirinya dan adik lelakinya
sekaligus dengan gerakan yang berbeda, tampaknya apa yang dimainkan Ciu
Pek-thong sekarang adalah kepandaian yang sama seperti ayahnya itu.
Sudah tentu Kwe Yang tidak tahu bahwa ilmu
silat aneh ini justeru Ciu Pek-thong yang mengajarkan kepada Kwe Ceng, dia
malah menyangka mungkin si anak Tua ini telah mencuri belajar kepandaian khas
sang ayah. Karena itulah ia lantas berteriak-teriak: “He, berhenti, berhenti!
Tidak adil, tidak adil,
Lo-wan tong! Toakoko, jangan mau lagi
bertanding dengan dia!”
Ciu Pek thong melengak sambil melompat
mundur, bentaknya: “Tidak adil bagai mana?”
“Seranganmu yang aneh ini tentu kau curi dari
ayahku, sekarang kau gunakan berkelahi dengan toakokoku, huh, apa kau tidak
malu?” omel Kwe Yang.
Berulang-ulang mendengar Kwe Yang menyebut Yo
Ko sebagai “toakoko”, Ciu Pek-thong menyangka anak dara itu benar-benar adik
perempuan Yo Ko, tapi seketika ia tidak ingat siapakah ayah Yo Ko.
“Ah, nona cilik sembarangan omong,” katanya
kemudian dengan tertawa, “ilmu aneh ini adalah hasil-renunganku di dalam gua
dahulu, masakah kau tuduh kucari belajar dari ayahmu?”
“Baiklah, seumpama kau tidak mencuri belajar,
kau mempunyai dua tangan, sedangkan Toakokoku lanya sebelah tangan, perkelahian
sudah berlangsung sekian lama, apalagi yang dipertandingkan? Coba kalau Toakoko
juga punya dua tangan, tentu sejak tadi sudah kalah.”
Ciu Pek-thong melengak, katanya kemudian: “Ya,
beralasan juga ucapanmu, tapi biarpun dia mempunyai dua tangan juga tak dapat
sekaligus memainkan dua macam ilmu silat.” Habis berkata ia lantas bergelak
tertawa.
“Huh jelas kau tahu lengan Toakokoku takkan
tumbuh lagi, makanya kau bicara seenaknya, jika kau benar-benar laki-laki sejati
dan pahlawan tulen, cara bertanding ini harus dilakukan dengan adil. dengan
demikian barulah dapat dibedakan benar-benar siapa yang lebih unggul atau
asor.”
“Baik jika begitu ke dua tanganku akan
memainkan semacam ilmu pukulan saja,” kata Ciu Pek-thong.
“Hehe, masakah ada cara begitu? Kau
benar-benar tidak tahu malu,” ejek Kwe Yang.
Ciu Pek-thong menjadi kurang senang, omeInya:
“Habis apakah aku harus meniru dia dan membiarkan sebelah lenganku dikutungi
perempuan,”
Kwe Yang melengak dan memandang sekejap ke
arah Yo Ko, pikimya: “Kiranya sungguh kejam dia!” Segera ia menjawab: “Tidak
pertu lenganmu dibikin buntung, cukup asalkan
sebelah tanganmu diikat pada pinggangmu, kalian bertanding lagi sama-sama satu
tangan, kan jadi adil bukan?”
Karena merasa cara bertanding yang diusulkan
Kwe Yang ini, cukup menarik, pula yakin kepandaian sendiri cukup dikuasai
dengan satu tangan maka tanpa tawar menawar lagi segera ia menyelipkan lengan
kanan ke ikat pinggang, lalu berkata pada Yo Ko: “Baiklah, kita mulai lagi,
supaya kau kalah tanpa menyesal.”
Yo Ko diam-diam saja selama Kwe Yang bicara
dengan Ciu Pek-thong, dia tidak pantang orang menyebut lengannya buntung, tapi
ia percaya pada dirinya sendiri dan merasa tidak lebih lemah daripada orang
yang bertangan lengkap, maka demi nampak Ciu Pek-thong mengikat tangan sendiri
untuk menghadapinya, jelas ini sikap meremehkan dirinya, segera ia berkata
dengan tegas!
“Lo-wan-tong, caramu ini bukankah memandang
rendah pada diriku? Kalau dengan lengan tunggal aku tidak mampu menandingi kau,
biarlah nanti aku… aku…” menuruti wataknya ia hendak mengatakan “aku membunuh
diri di Pek-hoa-kok ini”, tapi mendadak ia ingat janjinya bertemu dengan
Siao–liong-li sudah dekat waktunya, mana
boleh diri-nya berpikiran pendek begini, maka ia tidak meneruskan ucapannya
itu.
Kwe Yang sangat menyesal, maksudnya ingin
membela Yo Ko, tak tahunya malah menimbulkan suasana yang tidak mengenakkan
ini, Cepat ia mendekati Yo Ko dan berkata: “Toakoko, akulah yang salah…” lalu
ia mendekati Ciu Pek-thong dan menarik tangannya yang terselip di ikat pinggang
itu bahkan tali pinggangnya di betotnya hingga putus, lalu katanya: “Meski
dengan satu tangan saja pasti toakokoku dapat menandingi kedua tanganmu, kalau
tidak percaya boleh kau mencobanya.”
Tanpa menunggu Ciu Pek-thong bicara lagi,
sedikit melangkah ke samping, segera Yo Ko mendahului
menghantam.
Cepat Ciu Pek-tong membalas dengan tangan
kiri, Meski tangan kanannya tak terikat lagi, tapi ia pikir takkan melayani Yo
Ko dengan dua tangan, maka tangan kanan tetap dijulurkan ke bawah tanpa
digunakan. Walaupun begitu, karena tipu serangannya tetap lihay, maka Yo Ko
masih juga kewalahan.
Diam-diam Yo Ko penasaran, masakah dirinya
yang lebih muda tak dapat mengalahkan seorang kakek yang usianya sudah dekat
seabad, lalu kepandaian yang terlatih selama belasan tahun ini dikemanakan
perginya?
Ia merasakan daya pukulan Ciu Pek-thong ini
semakin keras dan kuat, sama sekali berbeda dengan “Khong-beng kun-hoat” yang
mengutamakan lunak tadi. Tiba-tiba pikirannya tergerak, teringat olehnya “Kiu
im cin-keng yang pernah dibacanya di dinding kuburan kuno di Cong-Iam-san dahulu
itu, rasanya gerak serangan Cui Pek-thong sekarang ini adalah sebagian daripada
ilmu silat yang tercantum dalam kitab pusaka yang terukir itu, kalau tidak
salah ia ingat namanya Hok-mo-kun-hoat (ilmu pukulan penakluk iblis).
Mendadak Yo Ko membentak: “Apa artinya Hok mo
kun hoatmu ini? Silakan kau menggunakan kedua tanganmu dan sambut aku punya Im
-jian-soh-hun-kun” ini!”
Ciu Pek-thong melengak karena nama ilmu
pukulannya sendiri dengan tepat dapat disebut oleh Yo Ko, ia tambah melongo
demi mendengar lawan hendak memainkan “lm-jian-soh-hun-kun” (ilmu pukulan
pengikat sukma) segala.
Sejak kecil Ciu Pek-thong sudah “gila silat”
ilmu silat dari golongan dan aliran manapun sudah hampir seluruhnya diketahuinya,
tapi nama “lm jan-soh-hun-kun”" baru pertama kali ini didengarnya,
Dilihatnya lengan tunggal Nyo Ke terpanggul di punggung, matanya memandang
jauh, langkahnya mengambang dan bagian dada tidak terjaga, gayanya itu sangat
berlawanan dengan teori ilmu silat
manapun juga.
Segera Ciu Pek-thong melangkah maju satu
tindak, tangan kiri berlagak siap menyergap, maksudnya ingin memancing reaksi
lawan. Tapi Yo Ko seperti tidak tabu saja dan tidak menggubrisnya.
“Awas!” seru Ciu Pek-thong terus menghantam
ke perut Yo Ko, ia kuatir melukai lawan, maka pukulan ini hanya memakai tiga
bagian tenaga saja.
Tak terduga baru saja kepalan hampir mengenai
tubuh Yo Ko, mendadak terasa perutnya seperti bergetar, dada mendekuk terus
mental keluar lagi. Karuan Ciu Pek-thong terkejut dan cepat melompat mundur,
kalau orang mendekukkan perut untuk menghindari serangan adalah kejadian biasa,
tapi menggunakan kulit daging dada untuk menyerang musuh, sungguh belum pernah
terlihat dan terdengar.
Tentu saja Ciu Pek-thong ingin tahu, segera
ia membentak: “Ilmu silat apa ini namanya?”
“lnilah jurus ke-13 dari
Im-jian-soh-hun-ciang, namanya “Sim-keng-bak-tiau” (hati kaget daging
kedutan)!”
Ciu Pek-thong menggumam mengulangi nama jurus
itu: “Sim-keng bak-tiau? Tak pernah dengar? tak pernah dengar!”
“Sudah tentu kau tidak pernah dengar,” ujar
Yo Ko, “soalnya Im-jian-soh-hun-ciang adalah 17 jurus ilmu pukulan ciptaanku
sendiri.”
Kiranya sejak di tinggal menghilang oleh
Siao-liong-li, kemudian Yo Ko bersama si rajawali sakti menggembleng diri di
bawah darnparan ombak samudera yang dahsyat, beberapa tahun kemudian, kecuali
Lwekangnya bertambah kuat rasanya tiada apa-2 lagi yang dapat dilatihnya, tapi
rindunya kepada SiaoliongIi tak pernah pudar, bahkan semakin hari semakin menjadi
sehingga tambah kurus dan kehilangan gairah hidup.
Suatu hari dia gerak badan bebas di tepi
pantai, saking isengnya ia ayun tangan dan gerakkan kaki untuk melemaskan otot,
mungkin tenaga dalamnya sudah mencapai tingkatan yang sempurna sehingga sekali
hantam saja ia telah menghancurkan tempurung punggung seekor penyu raksasa,
Dari sinilah ia mulai merenung dan akhirnya
menciptakan Im-jian-soh-hun-ciang-hoat yang meliputi 17 jurus dan mengutamakan
tenaga dalam yang kuat.
Bahwa Yo Ko dapat berdiri dan menciptakan
ilmu silat baru tidaklah perlu diherankan. SeIama hidupnya telah mendapat
ajaran mahaguru ilmu silat berbagai aliran, seperti ilmu silat Coan cinkau
Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay sendiri serta Kiu-im-cin-keng yang sudah
diapalkannya di luar kepala itu, dari Auyang Hong diperoleh ajaran Ha-mo-kang, ilmu
weduk katak, Ang Jit-kong juga mengajarkan Pah-kau-pang hoat, Oey Yok-su
menurunkan Giok-siau-kiam-boat dan Sian-ci-sin thong, kecuali It-yang-ci dari
It-teng Taysu, hamper seluruh ilmu silat paling disegani di dunia ini telah
dipelajari, maka tidaklah sulit baginya untuk meleburnya lalu menciptakan yang
baru.
Hanya saja lengannya buntung sebelah, sebab
itulah dia tidak mengutamakan tipu serangan melainkan terletak pada tenaganya,
bahkan sengaja dimainkan secara berlawan daripada teori ilmu silat umumnya.
Ilmu pukulannya itu diberi nama
“Im-jiansoh-im-ciang” dan selama ini belum pernah digunakan, baru sekarang dia keluarkan
setelah bertemu dengan lawan maha tangguh seperti Ciu Pek-thong yang
keranjingan ilmu silat ini.
Karuan Anak Tua Nakal ini sangat senang demi mendengar
si Yo Ko berhasil menciptakan ilmu pukulan sendiri, segera ia berseru gembira:
“Aha, kebetulan, aku ingin belajar kenal dengan ilmu ciptaanmu itu,” Habis
berkata segera ia melangkah maju dan menyerang pula, yang digunakan tetap
tangan kiri saja.
Yo Ko juga tetap anggap tidak tahu saja,
“brek”, ia memukul ke atas, tapi tenaga pukulannya itu dapat menyebar ke bawah
dalam lingkup yang cukup luas. Ciu Pek-thong merasa sukar untuk menghindar
segera ia angkat tangan menangkis, “Plak”, kedua tangan saling bentur, tanpa
terasa Ciu Pek-thong tergeliat oleh getaran itu.
Kalau orang lain pasti sudah sesak napas dan
roboh binasa oleh tenaga pukulan Yo Ko yang dahsyat itu, tapi cepat Lo-wan-tong
dapat mengatur pernapasannya, lalu bersorak memuji. “Bagus ! Apakah namanya
jurus ini?”
“Namanya “Ki-jin-yu-thian” (si tolol
menguatirkan runtuhnya langit )! ” jawab Yo Ko. “Dan awas, jurus
berikutnya adalah ” Bu-tiong-seng-yu” i tidak
ada tapi meng-ada2 )!”
Ciu Pek-thong melengak sambil mengulang nama
jurus itu segera ia mengikik geii, “Butiong-seng-yu”, nama ini sungguh aneh dan
jenaka, bisa saja bocah ini memberi nama jurus serangan ini,demikian pikirnya.
Segera ia meng-gosok-gosok kepalan dan
menubruk maju lagi, Dilihatnya tangan Yo Ko melambai ke bawah, sedikitpun tidak
pasang kuda-kuda dan siap ber-tempur, tapi begitu serangan Ciu Pek-thong
dilontarkan mendadak kaki dan tangan Yo Ko bergerak serentak, telapak tangan
kiri, lengan baju kanan, kedua kakinya dan juga gerak kepalanya, bahkan punggung
dan perut, hampir semua tempat di sekujur badannya dapat digunakan untuk
melukai musuh.
Meski sebelumnya Ciu Pek-thong sudah menduga lawannya
pasti mempunyai jurus simpanan yang hebat, tapi tidak menduga bahwa sekujur
badan lawan dapat dikerahkan untuk menyerang hanya sekejap saja belasan macam
gaya serangan dilontarkan sekaligus.
Keruan Ciu Pek-thong kerepotan juga
menghadapi serangan aneh itu, tangan kirinya yang tidak digunakan mau-tak-mau
terpaksa diangkat untuk menangkis dan dengan sepenuh tenaga barulah serangan Yo
Ko dapat di patahkan.
“He, Ciu-loyacu, tampaknya dua tangan tidak
cukup bagimu, paling baik kalau kau mempunyai satu tangan lagi!” seru Kwe Yang.
Sama sekali Ciu Pek-thong tidak marah, ia
hanya mengomel: “Brengsek! Memangnya kau kira namaku si tangan tiga?”
Diam-diam Yo Ko juga kagum terhadap kelihayan
Ciu Pek-thong yang dapat mematahkan setiap serangannya dengan baik, segera ia berseru
pula: “Awas, jurus selanjutnya bernama “Do-ni-taysui (basah kuyup dan
berlumpur)!”
Ciu Pek-thong dan Kwe Yang sama tertawa dan
bersorak: “Haha, nama bagus!”
“Jangan memuji dulu, rasakan saja serangan
ini!” seru Nyo Ko, lengan baju kanan terus bergerak enteng, sedangkan telapak
tangan kiri lantas menyodok ke depan dengan kuat.
Tentu saja Ciu Pek-thong tidak berani ayal,
segera iapun mengeluarkan Hok-mo-kunhoat dengan tangan kanan dan tangan kiri
menggunakan Khong-beng-kun yang enteng, jadinya keras lawan keras dan enteng
lawan enteng, kedua orang sama-sama membentak sekali, lalu sama-sama mundur pula
beberapa tindak.
Setelah mengadu pukulan lagi, kedua orang
sama-sama mengagumi pihak lawan, diam-diam Yo Ko merasa tidak mudah untuk
mengalahkan si Tua Nakal ini, kalau mesti mengadu tenaga dalam, bukan mustahil
akibatnya akan mati konyol bersama seperti halnya Ang Jit-kong dan Auyang Hong dahulu,
kiranya juga tidak perlu sampai berakhir demikian.
Maka ia lantas menghentikan serangannya,
dengan sikap rendah hati ia memberi hormat dao berkata: “Ciu-locianpwe, sungguh
aku sangat kagum padamu dan terima mengaku kalah.” Lalu ia berpaling dan
berkata kepada Kwe Yang: “Adik cilik,
Ciu-locianpwe jelas tidak terima undangan kita, marilah
kita pergi saja.”
“Nanti dulu!”" tiba-tiba Ciu Pek-thong
mencegah malah.
“Kau bilang linu pukulanmu ini meliputi 17
jurus, sedangkan kau baru mengeluarkan empat jurus, itu berarti masih ada 13 jurus
yang belum kau mainkan, Mengapa sekarang kau mau pergi begini saja?”
“Selamanya kita tidak bermusuhan dan dendam
apapun juga, buat apa kita mengadu jiwa? Biarlah Wanpwe mengaku kalah saja,”
kata Yo Ko.
“Tidak, tidak bisa,” seru Ciu Pek thong
sambil goyang-goyang kedua tangannya. “Kau belum kalah, akupun tidak menang.
Jika kau ingin keluar Pek-hoa-kok ini. kau harus memainkan ke-17 jurus ilmu
pukulanmu secara lengkap.”
Rupanya Ciu Pek-thong menjadi sangat terpikat
oleh nama-nama jurus serangan seperti “Sim-keng-bak-tiau”, Ki jin-yu-thian”,
“Bu-tiong seng yu” dan “Do-ni tay-sui” segala, ia merasa namanya menarik dan
permainannya juga aneh, biarpun orang biasa juga ingin tahu permainan
selengkapnya, apalagi dasar pembawaan si Tua Nakal ini memang “gila silat”, tentu
saja ia lebih-lebih ingin tahu ilmu pukulan ciptaan Nyo Ko itu.
Tapi Yo Ko sudah mempunyai perhitungan
sendiri, ia sengaja jual mahal, jawabnya: “Hah, sungguh aneh, Engkau menolak
undanganku, terpaksa kupergi saja dan habis perkara. Memangnya orang mengundang
tamu malah hendak ditahan di sini?”..
Dengan sikap memelas Ciu Pek-thong berbalik
memohon: “O, adik yang baik, betapapun sukar kubayangkan ke-13 jurus ilmu
pukulanmu itu. Kumohon belas kasihanmu, sudilah kau menguraikan namanya padaku,
sebagai imbalannya, kepandaian apa yang kau inginkan, tentu kuajarkan kepadamu”
Hati Yo Ko tergerak, segera ia berkata:
“Ku-kira tidak sulit jika kau ingin tahu lengkap ilmu pukulanku ini, Akupun tidak
ingin minta belajar kepandaianmu sebagai imbalan cukup asalkan kau berjanji
ikut pergi menemui Eng-koh.”
“Biarpun kau potong kepalaku juga aku tidak
mau menemuinya,” jawab Ciu Pek-thong dengan serba susah.
“Jika begitu, kumohon diri saja,” segera Yo
Ko hendak melangkah pergi pula.
Namun Ciu Pek-thong terus melompat maju
mencegatnya, tangan bergerak, segera ia menghantar sambil berkata: “Adik yang baik,
coba mainkan lagi jurus seranganmu selanjutnya!”
Yo Ko menangkis serangan Lo-wan-tong itu,
tapi yang digunakan adalah ilmu pukulan Coan-cin-pay. Beberapa kali Ciu
Pek-thong menyerang pula dengan pukulan lain, namun Yo Ko tetap dengan ilmu
silat Coan-cin-pay dan apa yang pernah dipelajari dari Kiu-im-cin-keng, dengan
demikian serangan Ciu Pek-thong selalu gagal mencapai sasarannya.
Untuk mengalahkan Ciu Pek-thong memang juga
tidak mudah bagi Yo Ko, tapi kalau cuma mempertahankan diri saja, betapa Anak Tua
itupun takbisa berbuat apa?, Yo Ko tidak ambil pusing orang menyerangnya dengan
cara-cara memancing, ia justeru tidak memperlihatkan lagi jurus serangan baru
dari Im-jian-soh-hun-ciang, hanya terkadang ia mengulangngi keempat jurus yang
telah diperlihatkannya tadi dan hal ini tentu saja semakin mengitik-ngitik rasa
ingin tahu si Anak Tua Nakal.
Sampai lama sekali Ciu Pek thong tetap tak
berdaya memaksa Yo Ko memenuhi harapannya betapapun usianya sudah lanjut,
tenaga terbatas, lama2 iapun merasa lelah, ia tahu sukar lagi memancing dan
memaksanya, mendadak ia melompat mundur dan berseru: “Sudahlah, sudahlah!
Biarlah aku menyembah delapan kali padamu dan memanggil guru padamu, dengan
begitu sukalah kau mengajari aku?”
Diam-diam Yo Ko merasa geli bahwa di dunia
ini ada orang yang “gila silat” sedemikian rupa, cepat ia
menjawab:”Ah, mana berani kuterima. Biar-lah
“kuberitahu saja nama ke-13 jurus sisanya dari Im jian-soh-hun ciang itu.”
Seketika Ciu Pek-thong berjingkrak kegirangan
serunya; “Aha, sungguh adik yang baik!”
Tapi Kwe Yang lantas menyela: “Nanti dulu dia
kan tidak mau ikut kita ke sana, maka jangan kau mengajarkan dia.”
Namun Yo Ko justeru sengaja hendak membikin
si Anak Tua itu kepingin tahu, jika sudah tahu nama jurusnya, tentu akan
semakin tertarik. Maka dengan tersenyum ia menjawab: “Kukira cuma mengetahui
namanya saja tidaklah menjadi soal.”
“Ya, hanya nama jurusnya saja, kan tidak
soal?” cepat Ciu Pek-thong menukas.
Yo Ko lantas duduk di bawah pohon, lalu
berkata: “Dengarkan yang betul, ,Ciu-heng, sisa ke 13 jurus itu disebut: Bok-beng-ki-miau
(bingung tidak paham), Yak-yu-soh-sit (seperti kehilangan sesuatu),
To-heng-gik-si (tindak terbalik dan berbuat berlawanan), Keh-hoa-soh-yang
(menggaruk gatal dari balik sepatu), Lik-put-ciong-sim (keinginan besar tenaga
kurang), Bin-bu-jin-sik (muka pucat tanpa perasaan)”
Begitulah Kwe Yang sampai terpingkal-pingkal
geli mendengar nama-nama yang aneh itu, sebaliknya Ciu Pek-thong mengikuti
dengan penuh perhatian sambil menggumam dan mengulang nama-nama jurus itu.
Ciu Pek-thong menjadi seperti orang linglung
saking kesemsemnya pada nama ke-13 jurus itu, sampai lama sekali ia merenung,
lalu berkata: “Coba, jurus “Bin-bu-jin-sik” itu cara bagaimana menggunakannya
menghadapi musuh?”
“Jurus ini memang banyak perubahannya,” tutur
Yo Ko.
“Jurus ini intinya terletak pada milik muka
yang berubah-ubah, sebentar gembira, lain saat gusar, mendadak sedih. tiba-tiba
girang pula sehingga membuat perasaan musuh juga tidak tenteram dan teratasi,
akibatnya kalau kita gembira musuh ikut gembira, kita sedih musuh juga sedih,
dalam keadaan demikian musuhpun tunduk sama sekali di bawah perintah kita,
inilah caranya mengalahkan musuh tanpa tenaga dan tanpa suara, lebih tinggi
setingkat daripada cara mengatasi musuh dengan suara suitan dan lain
sebagainya.”
“Ah, agaknya jurus itu perubahan dari
“Liap-sim-tay-hoat” ilmu pengaruhi pikiran, sejenis ilmu hipnotis) yang
terdapat dalam Kiu-im-cin-keng.”
“Benar,” jawab Yo Ko.
“Lantas bagaimana dengan jurus
“To-heng-gik-si”?”
Mendadak Yo Ko menjungkir dengan kepala di
bawah dan kaki di atas, lalu tubuhnya berputaran tangan menghantam, katanya:
“lnilah Co-heng giksi yang juga banyak gerak perubahannya. ilmu ini bersumber
dari ilmu silat Se- tok Auyang Hong tentunya”
Ciu Pek-thong mengangguk, “Betul” kata Yo Ko
setelah berbangkit kembali, semua ilmu pukulan ini masih banyak corak
perobahannya, seringkali saling bertentangan dan sukar dijelaskan.”
Ciu Pek-thong tetap tidak paham, tapi ia
tidak berani Tanya lagi, ia tahu biar pun ditanyai juga Yo Ko takkan menerangkan.
Melihat Anak Toa Nakal itu garuk-garuk kepala
dan tampaknya kelabakan ingin tahu, diam-diam Kwe Yang merasa kasihan, ia
mendekatinya dan berbisik padanya: “Ciu-loyacu, sebenarnya apa sebabnya engkau
tidak mau menemui Eng koh? Eh, bagaimana kalau kita mencari suatu akal untuk memohon
Toakoko mengajarkan kepandaiannya ini padamu?”
Cin Pek-thong menghela napas, katanya
“Tentang Eng koh, memang akulah yang bersalah karena perbuatanku waktu masih
muda, kalau kuceritakan rasanya tidak enak.”
“Tidak apa-apa” ujar Kwe Yang. “Kalau sudah
kau ceritakan tentu terasa lebih enak daripada selalu disimpan di dalam hati.
Umpamanya aku juga pernah berbuat salah, tapi kalau ditanya ayah dan ibu, tentu
aku bicara terus terang dan selesailah persoalannya kalau sudah diomeli
ayah-ibu. Kalau tidak misalnya kita berdusta atas perbuatan sendiri, tentu rasanya
tidak tenteram.”
Melihat wajah si nona yang kekanak-anakan
itu, Ciu Pek-thong memandang sekejap pula pada Yo Ko, lalu berkata: “Baiklah,
akan kuceritakan perbuatanku yang tidak senonoh di waktu muda itu, tapi jangan
kau tertawakan diriku.”
“Tidak, tak ada yang akan menertawai kau,
anggaplah kau sedang berkisah mengenai diri orang lain, Nanti akupun akan bercerita
kesalahan yang pernah kulakukan,” habis berkata Kwe Yang lantas geser lebih
mendekati si Tua Nakal dengan sikap yang akrab sekali.
“Kau juga pernah berbuat salah?” Pek-thong
memandangi wajah yang halus dan cantik itu.
“Tentu saja, memangnya kau kira aku tak dapat
berbuat salah?” ,
“Baiklah, coba kau ceritakan dulu sesuatu
perbuatanmu itu.”
“Hah, tidak cuma sekali saja, bahkan beberapa
kali pernah ku berbuat salah,” tutur Kwe Yang. “Misalnya pernah satu kali seorang
perajurit penjaga benteng tertidur dalam tugasnya, ayah memerintahkan meringkus
perajurit itu dan akan kami penggal kepala, aku merasa kasihan padanya dan
tengah malam kubebaskan perajurit itu, Tentu saja ayah sangat marah, tapi aku
mengaku terus terang dan dipukul ayah, tapi lantas habis perkara, dan masih
banyak lagi kejadian lainnya”
Ciu Pek-thong menghela napas, katanya.
“Permasalahan itu belum apa-apa kalau dibandingkan perbuatanku ini-” – Lalu berceritalah
dia hubungannya dengan Lao-kuihui alias Eng-koh sehingga mengakibatkan
kemarahan Toan-Ongya dan meninggalkan tahtanya untuk menjadi Hwesio, sebab
itulah ia merasa malu untuk bertemu muka dengan kedua orang itu.
Kwe Yang mendengarkan cerita itu dengan
asyiknya, sampai Ciu Pek-thong habis berkisah dan wajahnya tampak merasa malu,
lalu Kwe Yang bertanya. “Selain Lau-kuihui itu, Toan-hongya masih mempunyai
beberapa orang selir lagi?”
“Kerajaan Tayli tidak besar, dengan
sendirinya tidak mempunyai ratusan atau ribuan selir seperti raja Song kita, tapi
puluhan selir kukira pasti ada,” jawab Ciu Pek-thong.
“Nah, kalau dia mempunyai berpuluh orang
selir, sedangkan kau seorang isteri saja tidak punya, sebagai sahabat
sepantasnya dia hadiahkan lau kuihui padamu kan?” ujar Kwe Yang.
Yo Ko mengangguk tanda setuju atas ucapan Kwe
Yang itu, diam-diam ia pikir jalan pikiran si nona yang tidak suka terikat oleh
adat kebiasaan umum itu sangat cocok dengan seleranya.
Ciu Pek-thong lantas menjawab “Waktu itu
Toan-hongya juga berucap begitu, tapi Lau-kuihui adalah selir kesayangannya,
untuk ini dia sampai meninggalkan tahta dan rela menjadi Hwesio, suatu tanda
perbuatanku itu sesungguhnya sangat berdosa padanya.”
“Keliru kau” mendadak Yo Ko menyela.
“sebabnya Toan-Ongya menjadi Hwesio adalah karena dia merasa bersalah padamu
dan bukan kau yang bersalah padanya, masakah kau belum tahu persoalan ini?”
“Aneh, dia berbuat salah apa padaku?” tanya
Ciu Pek-thong terheran-heran.
“Soalnya ada orang mencelakai anakmu dan dia
sengaja tidak mau menolongnya sehingga bocah itu akhirnya meninggal” tutur Yo
Ko.
Selama berpuluh tahun ini Ciu Pek-thong tidak
tahu bahwa hubungan gelapnya dengan Eng koh telah menghasilkan seorang anak
laki-laki, maka ia tambah heran mendengar ucapan Yo Ko, cepat ia menegas:
“Anakku apa maksudmu”
“Akupun tidak tahu seluk-beluknya, hanya
kudengar dari It-teng Taysu,” jawab Yo Ko. Lalu iapun menguraikan kembali apa
yang didengarkan dari It-teng di tepi Hek liong-tam itu.”
Mendadak mengetahui dirinya pernah mempunyai
seorang anak laki-laki, seketika kepala Ciu Pek-thong merasa seperti disamber
geledek, ia melenggong kaget hingga lama sekali, hatinya sebentar sedih
sebentar girang, teringat kepala nasib Eng-koh yang malang dan menderita selama
puluhan tahun ini, ia menjadi tambah menyesal dan merasa kasihan padanya.
Melihat keadaan Ciu Pek-thong itu, diam-diam
Yo Ko merasa si Tua Nakal ini sesungguhnya juga seorang yang berperasaan dan
dirinya kenapa meski sayang menjelaskan 17 jurus Imjiansoh-hun-ciang itu.
Segera ia berkata: “Ciu-locianpwe, baiklah ku
perlihatkan secara lengkap ilmu pukulan ini, kalau ada kekurangannya masih
diharapkan petunjukmu.” Habis ini ia memainkan ilmu pukulan ciptaannya sambil
mulut mengucapkan nama-nama jurus yang bersangkutan.
Ciu Pek-thong paham isi Kiu-im-cin-keng, maka
uraian Nyo Ko itu dengan mudah saja dapat di terima dan dimengerti dengan baik,
hanya dua-tiga jurus yang tetap sukar dipahami letak intisarinya. meski sudah
diulangi dan dijelaskan lagi oleh Yo Ko, namun Ciu Pek-thong tetap tidak paham.
Rupanya ilmu pukulan itu hasil ciptaan Yo Ko
setelah berpisah dengan Siao-liong-li sehingga setiap jurus itu seakan-akan
menggambarkan kisah cintanya. Dengan menghela napas ia lantas berkata:
“Ciulocianpwe. 15 tahun yang lalu isteriku berpisah dengan aku, karena rindu
timbul ilham dan terciptalah jurus ilmu pukulan ini. Locianpwe sendiri tidak kenal
apa artinya sedih dan duka, engkau senantiasa riang gembira, dengan sendirinya
engkau tidak dapat mengerti apa rasanya orang yang sedih dan duka.”
“Ah, isterimu mengapa berpisah dengan kau??”
tanya Ciu Pek-thong. “Dia sangat cantik, hatinya juga baik, jika kau cinta dan
merindukan dia adalah pantas.”
Yo Ko tidak ingin mengungkat tentang
kecerobohan Kwe Hu yang melukai Siao-liong-li dengan jarum berbisa itu, maka ia
cuma sekedarnya katakan isterinya keracunan dan dibawa pergi Lam-hay-sin-ni dan
baru dapat sehat lagi 16 tahun kemudian”
Habis itu ia lantas menceritakan rasa rindu
sendiri dan berdoa siang dan malam agar Siao-liong-Ii dapat pulang dengan
selamat, Akhirnya ia menambahkan “Kuharap dapat bertemu sekali lagi dengan dia,
untuk itu biarpun tubuhku ini harus hancur lebur juga aku rela.”
Sebegitu jauh Kwe Yang tidak tahu rasa rindu
Yo Ko kepada isterinya ternyata begini mendalam, ia menjadi terharu dan
mencucurkao air mata, ia pegang tangan Yo Ko dan berkata dengan suara lembut: “Somoga
Thian memberkahi dan akhirnya, kalian dapat berjumpa dan berkumpul kembali.”
Sejak berpisah dengan Siao-liong-li, untuk
pertama kalinya ini Yo Ko mendengar ucapan orang yang simpatik dan tulus, ia
merasa sangat berterima kasih dan tak pernah melupakan selama hidup ini, ia
lantas berbangkit sambil menghela napas, ia memberi hormat kepada Ciu Pek-thong
dan berkata:
“Sekarang kumohon diri saja, Ciu-locianpwe!”
Lalu ia ajak Kwe Yang dan melangkah pergi.
Setelah belasan langkah, Kwe Yang menoleh dan
berseru kepada si Tua Nakal: “Ciu-locianpwe, Toakokoku sedemikian rindu kepada
isterinya, Eng koh juga sangat merindukan engkau, tapi engkau tetap tidak mau
menemui Eng-koh tega benar kau ini?”
Ciu Pek-thong terkesiap, air mukanya berubah
hebat.
Yo Ko lantas membisiki Kwe Yang: “Adik cilik,
jangan menyinggung lagi, setiap orang mempunyai cita2 masing-masing, tiada
gunanya banyak bicara.”
Begitulah mereka lantas melangkah ke arah
datangnya tadi, “Toakoko,” tiba-tiba Kwe Yang berkata pula, “jika kutanya tentang
isterimu, apakah kau akan berduka lagi?”
“Tidak,” jawab Yo Ko, “Toh beberapa bulan
lagi dapatlah kuberjumpa dengan dia.”
“Cara bagaimana engkau berkenalan dengan
beliau?” tanya Kwe Yang.
Yo Ko lantas bercerita kisah hidupnya sejak
kecil sebatangkara, lalu diantar Kwe Ceng ke Coan-cinpay untuk belajar sjlat,
di sana dianiaya sesama saudara seperguruan sehingga minggat dan masuk ke
kuburan kuno, di sanalah dia berkumpul dengan Siao liong-li, lama2 timbul rasa
cinta antara
mereka dan setelah mengalami macam-macam
suka-duka akhirnya terikat menjadi suami isteri.
Kwe Yang mendengarkan cerita itu dengan penuh
perhatian, diam-diam ia terharu terhadap cinta murni Yo Ko yang suci dan
mendalami itu, akhirnya ia berkata pula.
“Semoga Thian memberkahi pertemuan kembali
kalian berdua dengan selamat!”
“Terima kasih, adik cilik, akan kuingat
selalu kebaikan hatimu ini, kalau sudah bertemu dengan isteriku kelak tentu juga
akan kuberitahukan tentang dirimu,” ujar Yo Ko.
“Setiap hari ulang tahunku, ibu dan aku suka bersembahyang
dan berdoa, ibu menyuruhku menyebut tiga buah nazar, tapi setelah kupikirkan
hingga lama, tak pernah kutahu nazar apa yang harus kusebutkan. Tapi pada hari ulang
tahun yang akan datang sudah kusiapkan nazarku, akan ku katakan harapanku
semoga Toakoko berjumpa dan hidup bahagia dengan isterinya yang cantik.”
“Lalu apa kedua nazarmu yang lain?” tanya Yo
Ko, Kwe Yang tersenyum, katanya: “Takkan ku katakana padamu.”
Pada saat itulah, tiba-tiba dibelakang sana
ada orang berteriak-teriak-, “Hai, adik Yo, tunggu! Yo Ko, tunggu!”
Dari suaranya dapat dikenali adalah suara Ciu
Pek-thong. Yo Ko sangat girang, cepat ia berpaling, benar saja dilihatnya Ciu
Pek-thong sedang berlari datang secepat terbang sambil berseru: “Adik Yo, sudah
kupikirkan dengan baik, kuharap engkau lekas mambawaku menemui Eng-koh!”
“Nah, memang seharusnya begitu,” ujar Kwe
Yang, “Kau tahu betapa orang merindukan dirimu.”
“Ya, setelah kalian berangkat, kupikirkan
ucapan adik Nyo tadi dan semakin kupikir semakin tidak enak rasa hatiku,”
tutur Pek-thong. “Kurasa kalau aku tidak
menemuinya, maka selama hidupku ini pasti tak dapat tidur nyenyak, soalnya aku ingin
tanya sesuatu padanya.”
Yo Ko dan Kwe Yang tidak tanya soal apa yang
hendak ditanyakan si Tua Nakal itu kepada Eng-koh, yang jelas perjalanan mereka
ini ternyata tidak sia-sia, maka mereka sangat gembira.
Kalau menuruti watak Ciu Pek-thong yang tidak
sabar, seketika juga ingin bertemu dengan Eng-koh, namun malam sudah tiba, Kwe
Yang merasa lelah dan lapar serta kantuk pula, Maka tiga orang dan satu
rajawali lantas bermalam dibawah pohon. Esoknya pagi-pagi mereka sudah
melanjutkan perjalanan, sebelum lohor mereka sudah sampai di tepi Hek-liong-tam.
Melihat Yo Ko benar-benar dapat mengundang dating
Ciu Pek-thong, sungguh girang Eng-koh tak terlukiskan, hatinya berdebar-debar
dan mulut melongo, seketika tak dapat mengucapkan sekatapun.
Ciu Pek-thong mendekati Eng-koh, dengan suara
keras ia bertanya: “Eng-koh, anak kita itu punya satu atau dua pusar kepala?”
Eng-koh melengak, sama sekali tak terduga
olehnya bahwa kekasihnya yang terpisah sejak muda dan kini dapat berjumpa
kembali setelah sama-sama tua, tapi pertanyaan yang diucapkan pertama-tama
justeru adalah urusan yang tidak penting, yakni tentang pusar kepala segala,
Tapi ia lantas menjawab: “Dua pusar kepalanya.”
“Hahaha, jadi sama seperti aku, sungguh anak
yang pintar,” seru Ciu Pek-thong kegirangan. Tapi ia lantas menghela napas dan
menambahkan: “Tapi, tapi sayang sudah mati, sayang sudah mati!”
Rasa suka-duka Eng-koh tak tertahan Iagi,
segera ia menangis keras-keras.
“Jangan menangis, jangan menangis!” demikian
Pek-thong menghiburnya sambil menggabloki punggungnya dengan keras. Lalu
katanya kepada It-teng: “Toan-hongya, kupikat isterimu, tapi kaupun tak mau
menolong jiwa anakku, jadi kita anggap saja seri, urusan dimasa lampau tidak
perlu di-ungkap lagi.”
It-teng menuding Cu-in yang menggeletak di
tanah itu dan berkata: “lnilah pembunuh anakmu itu, sekali hantam boleh kau
binasakan dia!”
Pek-thong memandang sekejap ke arah Cu-in,
lalu berkata: “Kau saja yang turun tangan, Eng-koh!”
Sekejap Eng-koh memandang Cu-in, lalu berkata
dengan lirih: “Jika bukan lantaran dia, selama hidup ini mungkin aku tak dapat
berjumpa pula dengan kau, apalagi orang mati tak dapat dihidupkan kembali,
biarlah kita merayakan pertemuan kita ini dan melupakan dendam masa lalu saja,”
“Betul juga ucapanmu, baiklah kita mengampuni
dia,” ujar Pek-thong.
Keadaan Cu-in sangat parah, dia bertahan
dengan sisa tenaganya dengan harapan akan mendapat pengampunan dari Eng-kob,
kini mendengar sendiri Ciu Pek-thong dan Eng-koh bersedia mengampuni dosanya
itu, hatinya sangat terhibur, katanya dengan lemah kepada It-teng: “Banyak
terima kasih atas penyempurnaan Suhu!” Lalu iapun mengucapkan terima kasih pada
Yo Ko, habisi itu ia lantas menutup mata untuk selamanya.
It-teng menunduk dan membacakan doa bagi
kepergian Cu-in, habis itu bersama Yo Ko dan Kwe Yang mereka mengubur Cu in di
situ, Memandangi kuburan Cu-in itu, Nyo Ko menjadi terharu, teringat olehnya
ketika dia dan Siao-liong li baru saja menikah dan memergoki Cu-in yang kumat
di
puncak gunung bersalju itu, tak tersangka
tokoh yang termashur dengan telapak tangan besi itu kini sudah kembali ke
asalnya.
Eng-koh dan Ciu Pek-thong saling pandang
dengan penuh rasa haru, banyak sekali ingin mereka bicarakan, tapi entah cara
bagaimana harus mulai. Kemudian Ehg-koh mengeluarkan kedua ekor rase kecil itu,
katanya: “Yo-kongcu, budi pertolonganmu sukar kubalas, kedua ekor binatang ini
bolehlah kau ambil saja.”
Tapi Yo Ko hanya menerima seekor saja,
katanya: “Cukup seekor saja dan terima kasih!”
Tiba-tiba It-teng berkata: “Yo-kongcu, boleh
kau bawa kedua ekor rase itu, tidak perlu kau membunuhnya, cukup membelih
pahanya dan ambil darahnya secangkir kecil setiap hari, kukira luka kawanmu itu
dengan cepat dapat disembuhkan.”
Yo Ko dan Eng-koh sangat girang, kata mereka:
“Kalau jiwa rase dapat diselamatkan adalah paling baik.”
Segera Yo Ko terima kedua ekor rase itu dan
mohon diri pada It-teng, Eng-koh dan Ciu Pek-thong.
“Sehabis ambil darahnya, lepaskan saja
disana, tentu kedua rase itu akan pulang sendiri ke sini,” pesan Eng-koh.
Mendadak Ciu Pek-thong menyela: “Eh,
Toan-hongya dan Eng-koh, silakan kalian tinggal beberapa hari di Pek-hoa-kok sana.
Adik Yo, setelah menyembuhkan luka kawanmu, silakan juga bersama adik kecil itu
bermain ke tempatku.”
Yo Ko menerima undangan itu dengan baik, ia
berjanji kalau urusannya sudah beres tentu akan berkunjung ke sana.
Habis itu ia lantas melangkah pergi bersama
Kwe Yang, ia merasa sangat gembira karena sekaligus dapat membuat Ciu Pek-thong
dan Eng-koh berkumpul kembali sehingga Cu-in juga dapat mati dengan tenteram,
pula dengan mudah mendapatkan kedua ekor rase kecil itu.
Setiba kembali di Ban-siu-san-ceng, kelima
saudara Su sangat girang melihat Yo Ko berhasil membawa pulang kedua ekor rase yang
diharapkan itu, berulang-ulang mereka mengucapkan terima kasih kepada Yo Ko.
Segera mereka mulai mengambil darah rase dan diminumkan kepada Su Siok-
kang.
Malamnya diadakan perjamuan besar dan Yo Ko
diangkat sebagai tamu kehormatan utama. Ma-cam2 santapan lezat, terutama yang
sukar diperoleh dan biasanya dianggap santapan yang mewah di restoran jaman
kini, seperti bibir singa, paha harimau, telapak kaki beruang dan belalai
gajah, biasanya sejenis makanan seperti itu saja sukar diperoleh, sekarang sekaligus
ada belasan macam yang dihidangkan.
Su-si-hengte dan Gerombolan Setan Se-san
tidak mengutarakan terima kasih mereka lagi kepadi Yo Ko, yang pasti di dalam
hati mereka sudah menganggap Yo Ko sebagai tuan penolong mereka, kelak kalau
ada urusan dan memerlukan tenaga mereka, biarpun di suruh terjun ke jurang jugi
mereka takkan menolak.
Di tengah perjamuan yang meriah itu, semua
asyik bicara tentang pengalaman masing-masing serta kejadian-kejadian menarik
di dunia Kangouw, Hanya Kwe Yang saja yang duduk termenung tanpa bicara,
padahal anak dara ini biasanya sangat gembira ria, rupanya ia sedang bersedih
mengingat
dalam waktu tidak lama lagi harus berpisah
dengan Yo Ko.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba di sebelah
sana berkumandang suara melengking seekor kera, menyusul suara kera yang lain
juga lantas membalas sehingga ributlah suasana. Air muka Su-si-bengte tampak
berubah. Su Beng-ciat lantas minta maaf lan mohon diri sebentar untuk memeriksa
keadaan di sana.
Semua orang tahu tentu di luar hutan sana ada
musuh yang datang, Toa-thau-kui berkata: “!Paling baik yang datang itu adalah pangeran
Hotu, biar kita labrak dia untuk membalas sakit hati Su-samko”
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar Su
Beng-ciat membentak di luar sana: “Siapa itu malam-malam berkunjung ke sini?
Silakan berhenti!”
Lalu suara seorang perempuan menjawab: “lAdakah
seorang cebol berkepala besar di sini? ingin
kutanya dia kemana dia membawa adik
perempuanku?”
Kejut dan girang Kwe Yang mendengar suara Kwe
Hu itu, ia coba melirik Yo Ko dan melihat sorot matanya berkedip aneh,
diam-diam ia heran, seketika ia tidak jadi berseru memanggil “Cici”
“Hei, kau tahu aturan tidak, mengapa tidak
menjawab pertanyaanku, sebaliknya kau terobosan sesukamu?” demikian terdengar
Su Beng-ciat mendamperat.
Segera terdengar Kwe Hu
membentak: “Menyingkir!” -
Menyusul lantas terdengar suara nyaring
beradunya senjata, agaknya nona itu hendak menerjang masuk, tapi dirintangi Beng-ciat
dan kedua orang itu lantas bergebrak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar