Kembalinya Pendekar Rajawali 100
Kongsun Ci tidak tahu bahwa di puncak gunung terpencil
ini ada lubang gua sedalam itu, tanpa pikir ia menerjang ke arah Kiu jian-jio
dan akhirnya kejeblos, Tapi pada detik terakhir itu ia masih berusaha mencari
hidup, sekuatnya ia ayunkan jubahnya untuk membelit kaki kursi Kiu Jian-jio
agar dia dapat meloncat ke atas lagi, siapa tahu sekali tarik justeru kedua
orang sama-sama terjerumus ke bawah malah.
Ber-puluh2 meter dalamnya lubang di bawah
tanah itu, keruan tubuh sepasang suami-isteri itu hancur lebur menjadi bakso
dan saling lengket tak terpisahkan lagi, Tak terkira semasa hidupnya pasangan
yang saling dendam dan benci itu akhirnya mati berbareng pada hari dan detik
yang sama, terkubur pada tempat dan liang yang sama pula.
Setelah Yo Ko menceritakan seluk-beluk
kehidupan Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio, semua orang sama menghela napas gegetun,
Yalu Ce dan anak-anak muda lain lantas menggali suatu liang untuk mengubur
keempat pelayan itu, Melihat api masih berkobar dengan hebatnya di lembah sana dan
jelas tiada tempat tinggal lagi di situ, apalagi setelah menyaksikan korban
sebanyak ini, semua orang sama berharap selekasnya dapat meninggalkan Coat
ceng-kok itu, “Penyakit adik Yo Ko masih perlu disembuhkan kita harus lekas
mencarikan tabib sakti untuk mengobati dia,” ujar Cu Cu-liu.
Semua orang membenarkan usul itu. Tapi Oey
Yong telah berkata: “Tidak, hari ini kita belum boleh berangkat.” “Apa Kwe
hujin ada usul lain?” tanya Cu Cu-liu
.
Oey Yong mengerut kening,
jawabnya. “Bahuku terluka dan terasa kesakitan Kuharap malam ini kalian sudi
tinggal lagi disini, kita berangkat besok saja.”
Bahwa kesehatan Oey Yong terganggu dengan
sendirinya semua orang menurut untuk bermalam di situ. Beramai-ramai mereka
lantas pergi mencari gua dan tempat meneduh lain dan sebagainya.
Siao-liong-li dan Yo Ko lantas hendak melangkah
pergi, Tiba- Oey Yong berseru: “Liong-moaymoay, coba kemari, ingin kubicarakan
sesuatu padamu.” Lalu ia menyerahkan Kwe Yang kepada Kwe Hu dan mendekati
Siao-liong-li, katanya pula kepada Yo Ko dengan tersenyum.
“Jangan kuatir, Ko- ji, dia sudah menikah
dengan kau, tak kan kuhasut dia minta cerai padamu.”
Yo Ko tersenyum, jawabnya: “Boleh saja kau
coba menghasutnya” Dalam hati ia sangat heran apakah yang hendak dibicarakan
sang bibi dengan Siao-liong-li. Terlihat mereka menuju ke sana lalu berduduk di
bawah sebatang pohon besar, Meski penuh rasa ingin tahu, namun tidak enak untuk
mendekati mereka. Segera terpikir pula olehnya: “”Apakah Liong-ji pasti takkan
merahasiakan pada-ku, sebentar juga dia akan memberitahukan apa yang dikatakan bibi
Kwe itu.”
Setelah berduduk di bawah pohon sana, Oey
Yong lantas berkata: “Adik Liong, sungguh aku sangat menyesal puteriku yang
ceroboh dan sembrono itu telah banyak membikin susah kau dan Ko-ji.”
“Ah, tidak apa-apa” ujar Siao-liong-li dengan
tersenyum. Tapi dalam hati ia pikir dengan sebuah jarum berbisa puterimu telah
mencelakai aku hingga tak bisa disembuhkan lagi, sekalipun kau menyesal seribu
kali juga tiada gunanya.
Oey Yong tambah melihat kemuraman
Siaoliong-li, ia belum lagi tahu bahwa sebuah jarum yang disambitkan Kwe Hu itu
sesungguhnya telah menamatkan riwayat Siao-liong-li.
Disangkanya racun jarum itu tidaklah sukar
disembuhkan seperti dahulu Bu Sam-thong, Yo Ko dan lain-lain juga pernah
terkena jarum berbisa itu dan semuanya dapat di-sembuhkan, ia tidak tahu bahwa
tatkala mana Siao-liong-li sedang memutar balik jalan darahnya menurut ajaran
Yo Ko sehingga keadaannya sama sekali berbeda ketika terkena jarum berbisa itu.
Tapi karena waktu itu Oey Yong sendiri tidak
ikut masuk ke kuburan kuno itu, maka ia tidak tahu duduknya perkara, segera ia
berkata pula: “Ada sesuatu yang ingin kumintakan penjelasanmu, Dengan susah
payah adik berhasil rebut Coat ceng-tan, tapi Ko-ji tidak mau meminumnya,
bahkan dibuang ke jurang, Apakah sebabnya dia berbuat begitu?”
Siao-liong-li menghela napas pelahan, ia tahu
betapa cintanya Yo Ko padanya dan tidak mau hidup sendiri, tapi urusan sudah
kadung beg’ni, buat apa dibicarakan lagi sehingga menimbulkan gara-gara pula? Maka ia
lantas menjawab: “Mungkin sifatnya memang aneh.”
“Ko-ji adalah seorang yang berperasaan dan
berbudi, mungkin ia melihat nona Kongsun rela mengorbankan jiwa sendiri demi
mendapatkan obat itu, maka iapun tidak tega dan tidak ingin minum obat itu
untuk membalas kebaikan nona cantik itu, Adik Liong, jalan pikiran Ko-ji itu
harus dipuji, namun orang mati tak dapat hidup kembali, pendiriannya yang kepala batu itu justeru malah berlawanan
dengan tujuan pengorbanan nona Kongsun.” Siao-liong li mengangguk dan tidak mau
menanggapi.
Lalu Oey Yong beikata pula: “Padahal dengan
mati-matian adik Liong menempur Kongsun Ci di tebing curam itu kan juga tidak
menghiraukan mati hidupnya sendiri? Di dun’a ini Ko-ji hanya menurut pada
perkataanmu, kuharap engkau suka menasehati dia agar berpikir panjang.”
“Seumpama dia mau menurut perkataanku di
dunia ini mana ada Coat-ceng-tan lagi?” ujar Siao-Hong-li dengan pilu.
“Meski Coat-ceng-tan tidak ada lagi, namun
racun di dalam tubuhnya bisa jadi dapat disembuhkan yang sulit adalah karena
dia tidak mau minum obat,” kata Oey Yong.
Siao-liong-li terkejut girang, cepat ia
berdiri dan bertanya: “Setiap orang suka-memuji Kwe-hujin banyak tipu akalnya, nyatanya
memang tidak omong kosong, jadi engkau maksudkan ada. ada obat lain yang dapat
menyembuhkan Ko-ji?”
Oey Yong memegangi tangan Siao-liong-li,
katanya: “Duduklah,kau.” . Lalu ia mengeluarkan setangkai kecil rumput warna
ungu dan berkata puIa: “lni namanya Toan-jong cau, Sebelum menghembuskan napasnya, paderi Hindu
itu memegangi rumput kecil ini, Dari Cu-susiok kudengar waktu itu mereka sedang
mencari obat penawar racun bunga cinta dan mendadak disergap hingga binasa oleh
jarum berbisa Li Bok-chiu. Bukankah engkau melihat air muka paderi itu menguIum
senyum meski orangnya sudah meninggalkan?
Kuyakin waktu itu beliau sedang bergirang
karena berhasil menemukan rumput ini, Guruku Ang Cit-kong juga pernah bercerita
padaku, katanya di mana ular berbisa suka berkeliaran di situ pula pasti ada
tumbuh obatnya yang dapat memunahkan racun ular, begitu pula dengan
makhluk-makhluk berbisa lainnya, itulah hukum alam, sedangkan Toan-jong-cau ini
kebetulan ditemukan di bawah semak-semak bunga cinta, meski rumput ini terkenal
berbisa, namun setelah kurenungkan berulang-ulang, kuyakm dengan rumput ini dapat
digunakan sebagai obat racun menyerang racun, jadi rumput ini adalah obat anti
racun bunga cinta itu.”
Uraian Oey Yong ini membuat
Siao-liong-li manggut-manggut berulang-ulang.
Kemudian Oey Yong menyambung pula: “Sudah
tentu minum rumput berbisa ini harus menyerempet bahaya, tapi mau apa lagi? Toh
tiada obat lain yang dapat menolongnya, betapapun kita harus mencobanya,
Menurut pikiranku, besar kemungkinan khasiat rumput ini dapat menyembuhkan
dia.”
Siao-Iiong li tahu Oey Yong memang pintar dan
banyak tipu dayanya, jika dia berkata secara begitu meyakinkan, maka urusannya
pasti tidak salah, apalagi memang tiada jalan lain kecuali itu. Setelah
membulatkan tekad, lalu ia menjawab: “Baiklah, akan kuminta dia minum obat
ini,”
Segera Oey Yong mengeluarkan lagi segenggam
Toan jong-cau dan diserahkan pada Siao-Iiong-li katanya: “Sepanjang jalan
kupetik sebanyak ini, kukira sudah cukup. Untuk permulaan boleh kau suruh dia
makan sedikit saja, suruh dia mengerahkan hawa murni untuk melindungi jantung,
lihat dulu bagaimana kerjanya rumput ini, kemudian barulah ditambah atau
dikurangi jumlah rumput yang harus dimakan.”
Siao-liong-li simpan rumput itu dan menyembah
kepada Ui Yong, katanya dengan suara rada tersendat: “Kwe-hujin, selama hidup
Ko-ji kenyang duka derita, tindak-tanduknya memang rada kepala batu, tapi
sudilah engkau suka menjaganya dengan baik,”
Cepit Oey Yong membangunkan Siao-liong-li,
katanya dengan tertawa: “Kau yang menjaganya akan berpuluh kali lebih baik
daripadaku Kelak kalau kepungan musuh atas Siangyang sudah reda, biarlah kita
berkunjung ke Tho-hoa-to dan istirahat untuk beberapa lamanya di sana.”
Betapapun pintarnya Oey Yong juga tidak
menyangka bahwa jiwa Siao liong li tinggal tidak lama lagi, ucapannya tentang
menjaga Yo Ko benar-benar permohonannya dengan setulus hati, waktu ia
berpaling, dilihatnya Yo Ko berdiri jauh di sana sedang memandangi
Siao-liong-li walaupun apa yang
mereka bicarakan sama sekali tak dapat
didengarnya.
Sementara itu semua orang telah mengatur
tempat bermalam masing-2, ada yang menemukan gua, ada yang di bawah pohon.
Melihal Oey Yong sudah pergi setelah bicara,
Yo Ko lantas mendekati Siao liong-li. Dengan tersenyum Siao-Iiong-li berdiri memapaknya
dan berkata: “Setelah kita menyaksikan kejadian mengenaskan tadi, hari kita
sendiri juga bersisa tidak banyak lagi, Ko ji, kini urusan orang lain sama
sekali takkan kita urus, Marilah kau mengawani aku ber-jalan-jalan,”
“Benar, akupun berpikir demikian,” jawab Yo
Ko
Kedua orang lantas bergandengan tangan dan
berjalan melintasi lereng sana Tidak lama kelihatanlah sepasang muda-mudi duduk
berdampingan di atas batu asyik bicara dengan pelahan, kiranya mereka adalah Bu
Tun-si dan Yalu Yan, Nyo Ko tersenyum saja dan mempercepat langkah melewati
kedua anak muda itu.
Belum lagi jauh, tiba-tiba di tengah
semak-semak pohon sana ada suara ngikik tawa orang, Wanyan Peng kelihatan berlari
keluar dan di belakangnya mengejar seorang sambil berseru: “Hayo, hendak lari
ke mana kau?”
Kepergok oleh Yo Ko dan Siao liong-Ii, air
muka Wanyan Peng menjadi merah dan menyapi: “Nyo-toako dan Liong-cici”
Cepat pula ia berlari masuk ke hutan sana,
menyusul Bu Siu-bun lantas muncul dari semak-semak pohon sana terus mengejar ke
dalam hutan.
“O, dunia, apakah cinta itu” demikian Yo Ko
berguman pelahan, Sejenak kemudian iapun berkata: “Belum lama berselang kedua
saudara Bu itu saling labrak mati-mati-an demi memperebutkan nona Kwe, tapi
hanya sekejap saja cinta kedua anak muda itu sudah berganti sasaran. Ada orang
yang selama hidupnya cuma mencintai seorang, tapi juga ada orang yang sukar
diketahui cintanya murni atau palsu, O, dunia, apakah cinta itu? pertanyaan ini
memang pantas dikemukakan.”
Sejak tadi Siao-liong-li hanya menunduk
termenung dan tidak bersuara, Keduanya berjalan pelahan hingga di kaki gunung,
Waktu menengadah, sang surya di waktu senja sedang memancarkan sinarnya yang
cemerlang, salju di puncak gunung kemilauan oleh cahaya matahari menambah keindahan
alam yang sukar dilukiskan.
Teringat kepada hidup mereka yang bersisa
tidak lama lagi, kedua orang menjadi tambah kesemsem kepada pemandangan permai
itu.
Siao-liong li termangu-mangu sekian lama,
tiba-tiba ia berkata: “Koji, konon orang mati akan menuju ke akhirat, apakah
benar ada akhirat dan rajanya?”
“Semoga begitu hendaknya, kalau tiada
akhirat, ke mana kita akan menuju dan tentu takkan berkumpul dan bertemu lagi,”
ujar Yo Ko.
Siao-liong-li sudah biasa mengekang perasaan
sendiri, walaupun sedih, namun nada ucapannya tetap tenang dan biasa saja,
sebaliknya Yo Ko tidak tahan lagi, ia berpaling ke sana dan meneteskan air
mata.
“Ah, soal akhirat masih tanda tanya, kalau
bisa terhindar dari mati, tentunya lebih baik tidak mati saja,” kata
Siao-liong-li sambil menghela napas. “Eh, Ko-ji, lihatlah alangkah indahnya
bunga itu!”
Yo Ko memandang ke arah yang ditunjuk,
tertampak ditepi jalan sana tumbuh setangkai bunga warna merah tua, kelopak
bunganya lebar sehingga hampir sebesar mangkuk, bentuknya seperti bunga mawar
dan juga mirip bunga peoni.
“Sungguh jarang ada bunga semacam ini, entah
apa namanya bunga yang mekar di musim dingin ini? Biarlah kuberi nama Liong-li-hoa
(bunga puteri Liong) saja,” kata Yo Ko sambil mendekati dan memetik bunga itu
serta menyuntingkan-nya di belakang telinga Siao-liong-li.
“Terima kasih, sudah kau hadiahi bunga bagus,
diberi nama bagus pula,” kata Siao-liong li dengan tertawa.
Mereka melanjutkan perjalanan sejenak pula,
kemudian mereka berduduk di suatu tanah berumput.
“Apakah kau masih ingat pada waktu kau
menyembah dan mengangkat guru padaku dahulu?” tanya Siao-liong li tiba-tiba.
“Tentu saja ingat,” jawab Yo Ko.
“Kau pernah bersumpah bahwa selama hidupmu
kau akan tunduk pada perkataanku, apapun yang kukatakan takkan kau bantah,
sekarang aku telah menjadi isterimu, menurut pendapatmu sepantasnya aku harus
“setelah menikah tunduk kepada suami” atau kau yang harus “tetap tunduk kepada perintah
guru”?”
“Ah, apapun yang kau katakan, itu pula yang
kukerjakan,” jawab Yo Ko dengan tertawa “Perintah guru tak berani kubantah,
perintah isteri lebih-lebih tak berani kubangkang.”
“Bagus, asal kau ingat saja,” kata
Siao-liong-li.
Mereka duduk bersandar di tanah berumput itu,
pemandangan sekeliling indah permai sehingha rasanya berat untuk berpisah..
Dari jauh mereka dengar suara Bu Sam-thong memanggil mereka ber-santap, Mereka
saling pandang dengan tersenyum dan sama-sama berpendapat untuk apa bersantap
dengan meninggalkan pemandangan indah yang sukar dicari ini?
Sementara itu hari sudah mulai gelap, mereka
sudah teramat lelah sehari semalam, apalagi merekapun sama-sama terluka, selang
tak lama, tanpa terasa mereka sama tertidur.
Sampai tengah malam, layap-layap Yo Ko
memanggil: “Apakah kau kedinginan, Liong-ji!” - Bcrbareng ia hendak merangkul
nya, siapa tahu rangkulannya telah merangkul tempat kosong.
Keruan ia terkejut dan cepat membuka mata,
ternyata Siao-liong-li sudah menghilang entah ke mana. Segera ia melompat
bangun, ia memandang sekitarnya, bulan sabit menghias di angkasa menyinari
bumi, suasana sunyi senyap, mana ada bayangan Siao-liong-li?
Yo Ko berlari-lari ke atas gunung sambil
berteriak-teriak: “Liong ji! Liong-ji!”" -seketika suaranya bergema,
kata-kata “Liong-ji” itu berkumandang dari lembah pegunungan, namun tetap tiada
jawaban Siao-liongli.
“Ke mana perginya?” tidak kepalang cemasnya
Yo Ko. Ia tidak menguatirkan Siaoliong-li dicelakai binatang buas, sebab diketahuinya
di pegunungan ini tiada sesuatu binatang buas yang menakutkan, andaikan ada
juga takdapat mengganggu Siao-liong-li, Jika ketemu musuh tangguh, mustahil
dirinya tidak mengetahuinya mengingat mereka berdua tidur berdampingan.
Karena teriakan Yo Ko inilah, serentak
It-teng Taysu, Ui Yong, Cu Cu-liu dan lain-lain terjaga bangun. Ketika mendengar
Siao-liong li menghilang entah ke mana, tentu saja semua orang merasa heran,
beramai-ramai mereka lantas ikut mencari di segenap pelosok lembah pegunungan
itu, namun tetap tidak ditemukan jejak.
“Tentu dia sengaja tinggal pergi sehingga aku
sama sekali tidak mengetahuinya,” demikian pikir Yo Ko, “Tapi mengapa dia pergi
begitu saja tanpa pamit? Hal ini pasti ada sangkut-pautnya dengan
pembicaraannya dengan bibi Kwe siang tadi, Ketika itu dia tampak sedih dan
mengajak aku ke sini, tentu juga disebabkan setelah berbicara dengan bibi Kwe.”
Karena pikiran ini, segera ia tanya Oey Yong
dengan suara keras: “Kwe-pekbo, apa yang kau bicarakan dengan Liong-ji siang
tadi?”
Oey Yong sendiri tidak habis mengerti mengapa
mendadak Siao-liong li menghilang, ia lihat urat hijau di dahi Yo Ko sama
menonjol, cara bicaranya rada kasar, segera ia tahu gelagat tidak enak, cepat
ia menjawab: “Kuminta dia agar suka membujuk kau minum Toan-jong-cau itu agar
racun dalam tubuhmu bisa dipunahkan.”
Tanpa pikir Yo Ko berteriak
pula: “Jika dia tak dapat hidup lama lagi, untuk apa aku hidup sendirian di
dunia ini?”
“Jangan kuatir, Ko ji,” Oey Yong berusaha
menghibur “Seketika nona Liong entah pergi ke mana, tapi mengingat ilmu
silatnya yang maha tinggi kukira dia takkan beralangan apapun, masakah kau
bilang dia tak dapat hidup lama lagi?”
Saking cemasnya Yo Ko takdapat menguasai perasaannya
Jagi, teriaknya gemas: “Puteri kesayanganmu telah menyarangkan jarum berbisa di
tubuhnya, ketika itu dia sedang mengatur jalan darah secara terbalik untuk menyembuhkan
lukanya, maka racun jarum itu telah terserot seluruhnya ke jantungnya, dalam
keadaan begitu mana dia dapat hidup lama lagi, dia kan bukan dewa?”
Tentu saja Oey Yong tidak pernah menyangka
akan kejadian itu, Meski dia mendengar dari Kwe Hu bahwa Yo Ko dan Siao-liong
li telah keliru dilukainya dengan jarum berbisa di kuburan kuno itu, tapi ia
pikir Yo Ko berdua adalah ahli waris Ko-bong-pay, suatu aliran der:gan Li
Bokchiu, tentu mereka memiliki obat penawar perguruannya untuk menyembuhkannya,
sekarang mendengar ucapan Yo Ko ini, seketika mukanya menjadi pucat terkejut.
Cepat sekali Oey Yong menggunakan otaknya,
segera terpikir olehnya: “Kiranya Ko-ji tidak mau minum Coat-ceng-tan itu
adalah karena jiwa isteri nya sudah pasti takkan tahan lama lagi, makanya dia
tidak ingin hidup sendiri. Lantas ke mana perginya nona Liong sekarang?” ia
memandang ke puncak gunung yang bergua dan telah menelan bulat Kiu Jian-jio dan
Kongsun Ci itu, tanpa terasa ia merinding sendiri.
Tanpa berkedip Yo Ko memandangi Oey Yong,
dengan sendirinya iapun dapat meraba jalan pikiran nyonya cerdik yang gemetar
memandangi puncak gunung sana, seketika ia kuatir dan gusar, kata-nya: “Sudah
jelas jiwanya sukar dipertahankan lantas kau membujuk dia agar membunuh diri untuk
menyelamatkan jiwaku, begitu bukan? Mungkin kau mengira tindakanmu ini ada
baiknya bagiku, tapi aku… aku O, betapa benciku padamu…”
Sampai di sini dadanya menjadi sesak, ia
terus roboh pingsan.
Cepat It-teng menurut gitok anak muda itu
sejeuak, perlahan-lahan Yo Ko siuman kembali, Oey Yong lantas berkata: “Aku
hanya membujuk dia supaya menyelamatkan jiwamu dan sekali tidak meminta . dia
bunuh diri. Kalau kau tidak percaya ya terserah padamu!”
Semua, orang saling pandang dengan bingung, Tiba-tiba
Thia Eng berkata: “Lekas kita membuat tali
panjang dari kulit pohon, biar kuturun ke
dalam gua sana untuk mencannya, barangkali… barangkali Liong-cici tergelincir…”
“Ya, betapapun kita harus mencarinya hingga
jelas persoalannya,” ujar Oey Yong.
Segera mereka bekerja keras mengupas kulit
pohon untuk dipintal menjadi tali besar, orang banyak tenaga kuat, tidak lama
tali yang ratusan meter panjangnya sudah jadi, Beramai-ramai para anak muda itu
mengajukan diri untuk menyelidiki gua di bawah tanah itu.
“Biarlah aku sendiri yang turun ke sana,”
kata Yo Ko.
Semua orang memandang Oey Yong untuk menunggu
keputusannya, Oey Yong tahu dirinya dicurigai Yo Ko, kalau keinginan anak muda
itu dicegah pasti juga takkan digugu, sebaliknya kalau dibiarkan turun ke
bawah, mungkin Siao liong-li betul terjatuh dan meninggal di sana, maka
pastilah anak muda itu takkan mau naik lagi di sini.
Selagi Oey Yong ragu-ragu, tiba-tiba Thia Eng
berkata pula dengan iklas: “Nyo-toako, aku saja yang turun ke sana.
Dapatkah engkau mempercayaiku?”
Selain Siao-liong-li, hanya Thia Eng saja
yang paling digugu oleh Yo Ko. Apalagi ia sendiripun sedih dan bingung, kaki
tangan terasa lemas, terpaksa ia mengangguk setuju.
Segera Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lain
yang bertenaga kuat memegangi tali panjang itu untuk menurunkan Thia Eng ke
dalam gua bawah tanah itu. Karena lubang gua di bawah tanah itu terletak
dipuncak bukit, maka dalamnya gua juga sama tingginya dengan puncak itu. Tali
panjang itu terus
di ulur hingga tertinggal beberapa meter saja
barulah Thia Eng mencapai tanah.
Beramai-ramai semua orang berdiri
mengelilingi lubang gua itu dan tiada seorangpun yang bicara.
Oey Yong hanya saling pandang dengan Cu
Cu-liu, apa yang mereka pikir adalah sama, yakni kalau Siao-liong-li
benar-benar meninggal di bawah sana, pasti Yo Ko akan terjun juga ke dalam gua,
hal ini harus di cegah sebisanya.
Begitulah dengan perasaan cemas dan gelisah
semua orang memandangi lubang gua itu dan menantikan berita yang akan dibawa
oleh Thia Eng.
Sekian lama mereka menunggu dengan tidak
sabar dan Thia Eng masih belum nampak memberi tanda untuk naik kembali ke atas.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba tali yang
dipegang Bu Sam-thong itu ber goyang-goyang beberapa kali, Kwe Hu dan lain-lain
lantas berteriak: “Lekas kerek dia ke atas!”
Beramai-ramai mereka lantas menarik sekuatnya
sehingga Thia Eng dapat di kerek ke atas. Sebelum keluar dari lubang gua itu
Thia Eng sudah berteriak-teriak :”Tidak ada, tidak ada Liong-cici di bawah
sana!”
Semua orang menjadi girang dan menghela napas
lega, sejenak kemudian Thia Eng menongol keluar dari lubang gua, lalu berkata
pula: “Nyo-toako, sudah kuperiksa dengan teliti, di bawah sana hanya ada mayat
Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio yang sudah hancur dan tiada terdapat benda lain.”
“Kita sudah mencari rata segenap pelosok dan
tidak menemukannya, kukira nona Liong saat ini pasti sudah meninggalkan lembah
ini,” kata Cu Cu-liu setelah berpikir sejenak.
Tiba-tiba Bu-siang berseru: “He, masih ada
suatu tempat yang belum kita longok, bisa jadi Liong-cici sedang berusaha menemukan
Coat-ceng tan yang terbuang…”
Tidak sampai habis ucapan Bu-siang, hati Yo
Ko tergetar dan segera ia berlari ke tebing curam kemarin itu, sembari berlari
iapun berteriak-teriak: “Liong-ji! Liong ji!”
Setiba di tebing itu, tertampak kabut
membungkus permukaan jurang, awan mengapung di udara, kicau burung saja tak
terdengar apalagi bayangan manusia.
Yo Ko pikir Siao-Iiong-li adalah orang yang
berhati polos dan lugu, apapun yang dia pikir pasti dikatakan padaku. Ketika berbaring
di tanah rumput itu dia hanya mengatakan agar aku ingat saja sumpahku akan
patuh pada perkataannya, Sudah tentu aku tidak pernah membantah kehendaknya,
mengapa perlu ditegaskan lagi? Namun dia kan tidak pernah member pesan apa-apa
padaku?”
Begitulah ia menengadah dan bergumam pelan.
“Liong ji, O, Liong-ji, ke manakah kau
sesungguhnya? sebenarnya kau ingin mematuhi perkataanku tentang apa?” - ia
memandang ke tebing di depan sana, samar-samar tertampak bayangan nona berbaju
putih dengan bunga merah tersunting di sanggulnya, bayangannya yang mengambang
itu
seperti saling bertempur melawan Kongsun Ci.
“Liong-ji!” Yo Ko berteriak lagi, tapi
setelah diperhatikan lagi, mana ada bayangan Siao-liong-ii, hanya bunga salju belaka
yang bertebaran tertiup angin, tapi bunga merah yang dipetiknya kemarin itu
memang benar berada di bawah tebing sana.
Yo Ko menjadi heran, padahal waktu
Siao-liong-li menempur Kongsun Ci di situ kemarin belum ada bunga merah itu.
Tebing hanya batu karang belaka tanpa tetumbuhan apapun, mengapa ada bunga di
situ? Kalau bunga itu jatuh ke situ tertiup angin, manabisa terjadi secara kebetulan
begitu?
Segera ia tarik napas panjang dan berlari ke
tebing sana melalui jembatan batu yang sempit itu. Sesudah dekat, seketika
hatinya tergetar hebat, jelas bunga itu adalah merah yang dipetiknya untuk
Siaoliong-li itu, kelopak bunga kelihatan sudah layu dan dapat dikenalnya
dengan jelas waktu itu ia
sendiri memberi nama “Liong-li-hoa” untuk
bunga merah ini.
Kalau bunga ini terjatuh di sini, maki
Siao-liong-ii pasti juga pernah datang ke sini.
Ia jemput bunga itu, dilihatnya dibawah bunga
ada satu bungkusan kertas, cepat ia membuka bungkusan itu, kiranya isinya
adalah setangkai rumput warna ungu, yaitu Toan-jong-cau yang tumbul di bawah
semak-semak bunga cinta itu.
Hati Yo Ko berdebar-debar keras, ia coba
meneliti kertas pembungkus rumput itu, namun tiada sesuatu tulisan apa-apa.
“Yo-toako!” terdengar Bu-siang memanggil di
seberang, “apa yang kau lakukan di sana?”
Waktu Yo Ko menoleh, tiba-tiba terlihat di
dinding tebing terukir dua baris huruf dengan ujung pedang, huruf yang satu baris
lebih besar dan tertulis: “16 tahun lagi berjumpa pula di sini, cinta murni
suami isteri, jangan sekali-sekali ingkar janji”
Sedang baris huruf yang lebih kecil tertulis:
“Dengan sangat Siao-liong-li menyampaikan pesan ke pada suamiku Yo Ko agar
menjaga diri baik-baik dan harus berusaha berkumpul kembali”
Yo Ko memandangi dua baris tulisan itu dengan
termangu-mangu, seketika ia tidak paham apa maksud Siao-liong li. Pikirnya:
“Dia berjanji padaku untuk berjumpa pula di sini 16 tahun kemudian, lalu ke
mana perginya sekarang? Dia mengidap racun jahat dan sukar disembuhkan mungkin sepuluh
hari atau setengah bulan saja tak tahan, mana bisa dia mengadakan janji bertemu
16 tahun lagi? sudah jelas dia mengetahui Coat-ceng-tan yang dapat
menyelamatkan jiwaku telah kubuang ke jurang, manabisa pula dia menunggu aku sampai
16 tahun lamanya?”
Begitulah makin dipikir makin ruwet sehingga
tubuhnya menjadi sempoyongan. Melihat keadaan Yo Ko yang linglung itu, semua
orang menjadi kuatir kalau anak muda itu tergelincir ke dalam jurang, Tapi
untuk menyeberang ke sana dan membujuknya juga sulit karena jembatan itu sangat
sempit, kalau mendadak dia menjadi kalap, ilmu silatnya sedemikian tinggi pula,
lalu siapa yang mampu mengatasinya dan pasti akan ikut kejeblos ke jurang.
Oey Yong mengerut kening, katanya kemudian
kepada Thia Eng: “Sumoay, tampaknya dia masih mau menurut perkataanmu.”
“Baiklah, coba kupergi ke sana,” jawab Thia
Eng dan segera melompat ke atas jembatan batu dan melangkah ke sana.
Mendengar suara tindakan orang dari belakang,
segera Yo Ko membentak: “Siapapun tak boleh ke sini!” Cepat iapun membalik
tubuh dengan mata mendelik.
“Akulah, Nyo-toako!” seru Tbia Eng dengan
suara lembut
“Aku ingin membantu kau mencari Liong-cici
dan tiada maksud lain.”
Sejenak Yo Ko mengawasi Thia Eng dengan
termenung, kemudian sorot matanya mulai berubah halus.
Thia Eng melangkah maju dan bertanya: “Apakah
bunga merah ini tinggalan Liong-cici?”
“Ya,” Yo Ko menjawab. “Mengapa harus 16
tahun? Mengapa?”
Sudah tentu Thia Eng tidak paham apa yang
dikatakan Yo Ko itu, setelah berada di seberang-dapatlah ia membaca tulisan
yang terukir di dinding tebing itu, iapun merasa heran.
Katanya kemudian: “Kwe-hujin banyak tipu
dayanya, caranya memecahkan persoalan juga sangat jitu, marilah kita kembali ke
sana dan tanya beliau, tentu akan mendapatkan keterangan yang memuaskan,”
“Benar,” ujar Yo Ko. “Awas, jembatan itu
sangat licin, kau harus hati-hati!” Segera ia mendahului melompat ke seberang sana
serta menceritakan kedua baris tulisan itu kepada Ui Yong,
Uhtuk sekian lamanya Oey Yong merenungkan
arti tulisan itu, tiba-tiba matanya bercahaya dan ber-keplok tangan, katanya
dengan tertawa: “Wah, selamat, Ko-ji, selamat!”
Kejut dan girang Yo Ko, cepat ia bertanya: “Maksudmu
maksudmu itu berita baik?”
“Ya, tentu saja,” jawab Oey Yong, “Rupanya
adik Liong telah bertemu dengan Lam-hay Sin-ni (Rahib sakti dari lautan selatan),
sungguh penemuan yang sukar di cari.”
“Lam-hay Sin-ni?” Yo Ko mengulang nama ini
dengan bingung, “Siapakah dia?”
“Lam-hay Sin-ni adalah nabi besar agama
Buddha jaman kini,” tutur Oey Yong, “Agama beliau sukar dijajaki, tingkatannya
bahkan jauh lebih tinggi daripada It-teng Taysu ini. Lantaran dia jarang ke
Tionggoan sini, maka tokoh dunia persilatan jarang yang kenal namanya, Dahulu
ayahku pernah
bertemu satu kali dengan beliau dan beruntung
mendapat ajaran sejurus ilmu pukulan dari beliau. Yah 16, 32. 48, ya benar,
kejadian itu sudah 48 tahun yang lalu.”
Yo Ko merasa sangsi “48 tahun yang lalu? “ia
menegas.
“Benar,” jawab Oey Yong, “Usia Sin-ni itu
mungkin kini sudah dekat seabad, Menurut cerita ayahku, tiap 16 tahun sekali ia
datang ke Tionggoan ini. Celakalah orang jahat yang kepergok olehnya, Tapi
beruntunglah orang baik yang berjumpa dengan beliau, Nona cantik seperti adik
Liong itu pasti sangat disukai oleh Sin-ni dan bisa jadi telah menerimanya
sebagai murid dan dibawa ke Lamhay.”
“Setiap 16 th. satu kali?” Yo Ko menggumam,
tiba-tiba ia berpaling kepada It-teng Taysu dan berta-nya: “Apakah betul begitu,
Taysu?”
Belum lagi It-teng menjavvab, cepat Oey Yong
menimbrung: “Meski agamanya tinggi, tapi tabiat Sin-ni ini rada aneh.
Apakah Taysu juga pernah bertemu
dengan beliau?”
“O, sayang, belum pernah kulihat dia,” jawab
It-teng singkat.
“Benar-benar orang tua yang agak kurang
bijaksana,” kata Ui Youg pula. “Masakah orang muda yang baru bersuami isteri diharuskan
berpisah 16 tahun lamanya, bukankah terlalu kejam? Padahal ilmu silat adik
Liong sudah begitu tinggi, kalau belajar lagi 16 tahun, memangnya supaya dia
dapat mengatasi dan menundukkan sang suami? Hahaha!”
“Ah kukira bukan begitu, Kwe-pekbo,” kata Yo
Ko.
“Bagaimana?” tanya
Oey Yong,
Yo Ko lantas mengulangi bercerita tentang
Siao-liong-li yang sedang mengadakan penyembuhan luka dalam sendiri dan
mendadak terkena jarum berbisa yang disambitkan Kwe Hu sehingga racun terseret
ke jantung, akhirnya ia berkata: “Jika benar Liong-ji mendapatkan perhatian
Sin-ni, maka
dalam 16 tahun ini Sin-ni pasti akan
menggunakan kesaktiannya untuk menguras racun yang berkumpul dalam tubuh
Liong-ji. Tadinya kukira… ku kira dia pasti tak dapat disembuhkan lagi.”
“Tentang secara semberono anak Hu mencelakai
adik Liong juga baru kudengar dari adik Liong semalam,” tutur Ui Yong. “Ko-ji,
apa yang kau duga barusan ini memang masuk diakal. Kukira untuk menyembuhkan
adik Liong memang sukar dilakukan dalam waktu singkat biarpun Sin-ni memiliki
obat
mujarab. Maka kita berharap saja semoga
Sin-ni tiba-tiba menaruh belas kasihan dan dapat mengirim kembali adik Liong
padamu sebelum waktu yang ditentukan.”
Selamanya Yo Ko belum penuh mendengar tokoh
sakti bernama “Lam hay Sin-ni” segala, hatinya menjadi ragu-ragu, hendak tidak
percaya, namun bunga ditemukannya dan tulisan juga terukir jelas, semua itu
adalah bukti nyata yang tak dapat di-bantah, jika Siao-liong-li mengalami
sesuatu, mengapa dia menjanjikan pertemuan 16 tahun kelak?
Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba ia tanya
Oey Yong: “Kwe-pekbo, darimana engkau mengetahui Liong-ji dibawa pergi Lam-hay
Sin-ni? Sebab apa pula dia tidak menuliskan kejadian yang sebenarnya agar aku
tidak berkuatir baginya?”
“KesimpuIanku ini kutarik dari kalimat “16
tahun lagi” itu,” tutur Oey Yong, “Kutahu setiap 16 tahun sekali Lam-hay Sin-ni
pasti datang ke Tionggoan sini, kecuali dia rasanya tiada orang kosen lain yang
mempunyai kebiasaan aneh begitu. It-teng Taysu, apakah engkau teringat ada oran
kosen lain
pula?”
It-teng menggeleng dan menyatakan tidak ada.
Maka Ui Yong berkata pula: “Malahan Nikoh sakti itupun sungkan namanya
di-sebut-sebut orang, dengan sendirinya dia tidak mengizinkan adik Liong
menulis namanya di atas batu, Cuma sayang Toan-jong-cau ini entah dapat
menawarkan racun dalam tubuh atau tidak, jika, . . .jika tidak, ai, 16 tahun kemudian
adik Liong akan pulang dan bila tidak dapat bertemu lagi dengan kau, mungkin
iapun tidak ingin hidup lagi.”
Air mata Yo Ko berlinang-linang di kelopak
matanya sehingga pandangannya menjadi samar-samar. lapat-lapat seperti dilihatnya
ada bayangan putih di seberang sana, seakan-akan 16 tahun sudah lalu dan Siao
liong li sedang mencarinya di situ, tapi tidak bertemu sehingga sangat kecewa
dan berduka.
Angin dingin meniup membuat Yo Ko ter-gigil,
segera ia berkata dengan tegas: “Kwe-pekbo, biarlah kupergi ke Lam-hay untuk
mencari Liong-ji, entah Sin-ni berdiam di mana?”
“Ko ji,” jawab Oey Yong, “janganlah kau
berpikir begitu, Tay ti-to yang menjadi pulau kediaman Lam-hay Sin-ni itu mana boleh
diinjak orang luar. Bahkan setiap lelaki yang berani mendekati pulau itu
akibatnya pasti akan binasa. Dahulu ayahku telah mendapat anugerah beliau, tapi
ayah juga belum
pernah berkunjung ke sana. Kalau adik Liong
sudah diterima oleh Sin-ni, janji bertemu 16 tahun kelak dengan cepat akan lalu,
mengapa engkau mesti tergesa-gesa mencarinya?”
Dengan mata membelalak Yo Ko menatap tajam
Oey Yong dan menegas: “Ucapan Kwe- pekbo ini sesungguhnya betul atau tidak?”
“Terserah kau mau percaya atau tidak,” jawab
Oey Yong.
“Boleh coba kau memeriksa lagi ukiran tulisan
di dinding sana, kalau bukan tulisan tangan adik Liong, maka apa yang kukatakan
mungkin juga tidak betul.”
“Gaya tulisan itu memang betul tulisan tangan
Liong-ji,” ujar Yo Ko. “Setiap kali menulis huruf Nyo, pada titik kanan itu
selalu dia tarik agak panjang, hal ini tidak mungkin dipalsukan orang.”
“Bagus jika begitu,” seru Oey Yong sambil
keplok, “Terus terang kukatakan, aku sendiripun merasa kejadian ini teramat kebetulan
dan semula akupun mencurigai Cu-toako yang sengaja mengatur sandiwara ini untuk
mengelabuhi kau.”
Yo Ko termenung sejenak, katanya kemudian:
“Baiklah aku akan coba-coba minum Toan-jong-cau jni, jika tidak berhasil, 16
tahun yang akan datang tolong Kwe-pekbo memberitahukan kejadian ini kepada
isteriku yang bernasib buruk itu.” Lalu ia berpaling dan tanya Cu Cu-liu:
“Cu-toasiok, bagaimana caranya minum obat rnmput ini?”
Cu Cu liu sendiri hanya tahu Toan-jong-cau
itu mengandung racun yang keras, bagaimana caranya
menggunakan racunnya untuk mengobati racun
belum pernah di dengannya. Terpaksa ia bertanya kepada lt teng: “Suhu, soal ini
harus minta petunjuk engkau.”
It-teng Taysu segera menggunakan It-yang-ci
dan menutuk empat Hiat-to di bagian2 yang menyangkut ulu hati, serentak Yo Ko
merasakan hawa hangat menyalur ke dada, rasa sesak tadi lantas longgar.
“Karena racun bunga cinta ini berhubungan
dengan hati dan perasaan, maka waktu Toan-jong-cau menawarkan racunnya pasti
juga akan menyerang bagian hati, sebab itulah kututuk empat Hiat-to untuk
melindungi urat nadi jantung hati, sekarang kau boleh coba minum satu tangkai
dulu rumput rantas usus itu,” demikian kata It-teng.
Yo Ko lantas mengucapkan terima kasih. Waktu
dia mendengar paderi Hindu itu dibinasakan Li Bok-chiu, ia merasa putus
harapanlah usaha menyembuhkan Siao liong-li, maka ia sendiripun bertekad akan
mati saja bersama sang isteri sekarang dia dijanjikan bertemu lagi 16 tahun
kemudian, segera hasrat ingin hidupnya berkobar kembali cepat ia mengeluarkan
setangkai Toanjong-cau atau rumput rantas usus itu terus dikunyahnya, ia merasa
pahitnya luar biasa melebihi bratawali.
Tapi baik airnya maupun ampasnya Yo Ko telan
mentah-mentah. Kalau sebelum ini dia tidak ingin hidup sendirian tanpa
Siao-Iiong-li, sekarang dia justeru kuatir akan mati lebih dulu sehingga 16
tahun kemudian Siao-liong-li takdapat menemukan dia di puncak gunung ini.
Ia lantas duduk bersila dan mengerahkan
tenaga dalam untuk melindungi urat nadi jantung hati, selang tak lama, mendadak
perutnya mulas, menyusul itu lantas kesakitan seperti di-iris2 dan laksana dicocok
beribu-ribu jarum sekaligus, Tapi ia bertahan sekuatnya tanpa merintih sedikitpun
selang tak lama rasa sakit itu hampir merata diseluruh badan, ruas tulang
seakan2 terlepas semuanya.
Rasa sakit itu berlangsung hingga lama,
kemudian mulai berkurang dan cuma bagian perut saja yang masih mulas, mendadak
ia menumpahkan darah warna merah segar seperti darah orang sehat.
Thia Eng dan Bu-siang sama menjerit kaget
melihat anak muda itu tumpah darah. Tapi It-teng tampak bergirang malah dan
menggumam pelahan: Wah Sute, meski sudah wafat engkau tetap meninggalkan
pahala.”
Serentak Yo Ko melompat bangun dan berseru:
“Jiwaku ini adalah pertolongan paderi Thian -tiok, It teng Taysu dan Kwe-pekbo
bertiga.”
“He, apakah kadar racun dalam tubuhmu sudah
punah seluruhnya?” tanya Bu-siang
dengan girang.
“Mana bisa begitu cepat?” ujar Yo Ko. “Cuma
sekarang sudah jelas kemanjuran obat ini, asalkan setiap hari minum satu
tangkai tentu kadar racun akan semakin berkurang pula setiap hari.”
“Tapi kalau tak dapat diketahui kapan berhasilnya
racun dalam tubuhnya, jika engkau masih terus makan rumput rantas usus itu,
jangan-jangan isi perutmu nanti ikut hancur semua?” kata Bu-siang.
“Hal ini tentu dapat kurasakan sendiri,” kata
Yo Ko. “Jika kadar racun belum bersih, bila timbul… timbul rasa cintaku, segera
dadaku akan kesakitan.”
“Semoga engkau jangan banyak pikir dulu,”
ujar Bu-siang.
Sejak tadi Kwe Hu hanya mendengarkan saja,
mendadak ia menimbrung: “Hm, yang dipikirkan Nyo-toako tentulah Liong-cici,
masakah dia memikirkan dirimu?”
Cepat Oey Yong membentaknya: “Kau mengoceh
apa, anak Hu!”
Muka Bu-siang menjadi merah.
Malahan Kwe Hu terus menambahkan lagi: “16 tahun lagi Liong-cici pasti akan pulang,
sebaiknya kau jangan sembarang mimpi.”
Bu-siang tidak tahan lagi, “sret”, mendadak ia
melolos goloknya terus membentak sambil menuding Kwe Hu: “Jika bukan
gara-garamu, masakah Nyo-toaku sampai terpisah selama 16 tahun dengan
Liong-cici? Coba renungkan, betapa hebat kau membikin susah Nyo-toako?”
Segera Kwe Hu hendak membantah, tapi Oey Yong
lantas membentaknya: “Hu-ji, jika kau bersikap kurang adat lagi kepada orang,
lekas kau pulang saja ke Tho-hoa-to dan sekali-sekali jangan kembali ke
Siangyang.”
Kwe Hu tidak berani bersuara lagi, ia hanya
mendelik belaka kepada Liok Bu-siang.
Yo Ko menghela napas panjang, katanya kepada
Bu-siang: “Kejadian itu memang juga sangat kebetulan dan nona Kwe sendiri juga
tidak sengaja hendak mencelakai Liong-ji.
Maka urusan ini selanjutnya tidak usah
diungkat lagi, adik Liok.”
Mendengar dirinya dipanggil “adik”,
sebaliknya anak muda itu menyebut Kwe Hu sebagai “nona,” jelas sekali bedanya antara
orang sendiri dan orang luar. Hati Bu-siang menjadi girang, segera ia masukkan
golok ke sarungnya sambil mencibir pada Kwe Hu.
“Yo-sicu telah makan Toan-jong-cau tanpa
terganggu apapun, tampaknya rumput ini memang mujarab untuk menawarkan racun
bunga cinta ini.” kata Itteng kemudian, “Cuma sebaiknya jangan diminum terus
menerus, bolehlah tujuh hari kemudian baru minum untuk kedua kalinya.”
Yo Ko memberi hormat dan menerima saran itu.
Melihat hari sudah terang benderang, Oey Yong lantas berkata: “Sudah cukup Iama
kita meninggalkan Siangyang, entah bagaimana situasi di sana, aku menjadi
sangat kuatir dan sebentar juga akan berangkat pulang, Ko-ji kaupun ikut pulang
saja ke sana, paman Kwe tentu sangat kangen padamu.”
“Aku tinggal di sini saja untuk menunggu…
menunggu dia,” jawab Yo Ko.
“He, kau hendak menunggu dia selama 16 ta-hun
di sini?” tanya Kwe Hu heran.
“Entahlah,” jawab Yo Ko. “Rasanya akupun
tidak tahu harus pergi ke mana?”
“Baiklah, boleh juga kau menunggu dulu
sepuluh hari atau setengah bulan lagi di sini,” ujar Oey Yong, “Andaikata adik Liong
benar-benar tiada kabar beritanya, hendaklah segera kau datang ke Siangyang
saja.”
Yo Ko memandang tebing curam di seberang sana
dengan termangu-mangu tanpa menjawabnya lagi, Semua orang lantas mohon diri
kepada Yo Ko untuk berangkat Melihat Liok Bu-siang tiada tanda-tanda mau ikut
pergi, Kwe Hu tidak tahan dan bertanya: “He, Liok Bu-siang, apakah kau hendak
tinggal di sini menemani Nyo-toako?”
“Peduli apa dengan kau?” semprot Bu-siang
dengan muka merah.
Tiba-tiba Thia Eng berkata: “Yo-toako belum
sehat, biarlah aku dan Piaumoay merawatnya beberapa hari lagi di sini.”
Oey Yong tahu Sumoay cilik ini wataknya
lembut di luar dan keras di dalam, jika puterinya sampai membikin sakit hati
dia, kelak pasti akan banyak mendatangkan kesukaran, Maka cepat ia melototi Kwe
Hu agar jangan banyak bicara lagi. Lalu berkata:” Ko-ji mendapatkan perawatan
Sumoay, tentu takkan beralangan apapun, Nanti kalau sudah sembuh hendaklah kalian
bertiga datang ke Siangyang.”
Begitulah Yo Ko, Thia Eng
dan Liok Bu-siang memandangi kepergian
It-teng Taysu, Oey
Yong dan
rombongannya hingga makin jauh dan akhirnya
menghilang di balik pepohonan sana.
Api yang berkobar semalaman kini sudah mulai
padam, Yo Ko lantas berkata: “Kedua adik, ada suatu pikiranku yang kurang
pantas, jika kukatakan hendaklah kalian jangan marah.”
“Katakan saja, siapa akan marah padamu?” ujar
Bu-siang.
“Sejak berkenalan, rasanya kita bertiga
sangat cocok satu sama lain,” tutur Yo Ko, “Aku sendiri tidak mempunyai saudara,
maka kuingin mengikat persaudaraan angkat dengan kalian berdua, selanjutnya
kita benar-benar menjadi kakak beradik seperti saudara sekandung Entah
bagaimana pendapat kalian dengan usulku ini?”
Pilu rasa hati Thia Eng, ia tahu cinta Yo Ko
kepada Siao-liong-li tidak pernah buyar, lantaran ada janji bertemu 16 tahun
lagi, maka dia mengajak mengangkat saudara agar hubungan mereka tidak menjadi
kikuk. Kelihatan Bu-siang menunduk dengan mengembeng air mata, cepat ia
berkata: “Jika begitu kehendak Toako, tentu saja kami setuju, Mempunyai Toako
sebaik engkau, apalagi yang kami
harapkan?”
Bu-siang lantas membubut tiga tangkai rumput
dan ditancapkan di tanah serta berkata: “Di sini tidak ada Hiosoa (dupa
sembayang), biarlah kita menggunakan rumput sebagai gantioya.” ia berkata
dengan tersenyum, tapi kemudian suaranya menjadi ter sendat2 dan sebelum Yo Ko
menjawab ia sudah mendahului berlutut dan memberi hormat.
Cepat Yo Ko dan Thia Eng ikut berlutut dan
saling memberi hormat delapan kali sebagai tanda pengikatan kakak beradik
secara resmi.
Kata Yo Ko kemudian: “Jimoay dan Sammoay,
barang yang paling jahat di dunia ini kukira tak lebih dari pada pohon bunga
cinta ini. Bagaimana kalau kita membabatnya hingga akarnya supaya hancur dan
lenyap seluruhnya?”
Tanpa pikir Thia Eng
dan Bu-siang menyatakan setuju.
Beramai-ramai mereka lantas mencari cangkul
dan sekop di perkampungan yang sudah menjadi tumpukan puing, dengan bersemangat
mereka terus membabati dan mendongkel setiap pohon bunga cinta yang mereka
lihat.
Karena tumbuhan bunga itu cukup banyak, pula
berduri, mereka harus hati-hati bekerja, setelah sibuk enam hari barulah
tumbuhan berbisa itu dibasmi habis. Sejak itu tumbuhan aneh yang membikin celaka manusia
itupun tak pernah bersemi pula dan lenyap dari permukaan bumi ini.
Besoknya pagi-pagi Bu-siang sudah memberi
setangkai rumput rantas usus kepada Yo Ko dan ber-kata: “Toako, hari ini kau
harus minum lagi rumput berbisa ini.”
Karena sudah berpengalaman tujuh hari yang
lalu, Yo Ko tahu rumput rantas usus itu berbisa, tapi dirinya mampu bertahan,
maka begitu dia minum sebatang rumput itu segera ia mengerahkan tenaga dalam.
Karena sekarang kadar racun dalam tubuhnya sudah berkurang, rasa sakitnya juga
ti -dak
sehebat tempo hari lagi. Selang agak lama, ia
muntahkan darah segar puIa, lalu hilanglah rasa sakitnya.
Yo Ko berdiri coba
melemaskan kaki dan tangannya, dilihatnya Thia Eng dan Bu-siang ikut bergirang
bagi kemajuan penyakitnya itu. Pikirnya: “Kedua adik angkat ini sungguh baik sekali
pada-ku, cuma sayang aku tidak dapat membalas kebaikan mereka.” Setelah
berpikir pula sejenak, timbul lagi pikirannya: “Jimoay mempunyai guru kosen,
asal berlatih lebih lania lagi tentu dia akan mencapai tokoh tingkatan atas. sedangkan
nasib Sammoay jelas kurang beruntung dari pada Jimoay.”
Karena itulah ia lantas berkata kepada
Bu-siang: “Sammoay, gurumu dan guruku adalah saudara seperguruan, jadi kita
berdua sebenarnya masih sesama saudara seperguruan juga, ilmu silat tertinggi
dari Ko-bong-pay kita tercantum semua di dalam Giok-li-sim-keng, sedangkan
kitab itu telah direbut Li Bok-chiu dan ikut terkubur di lautan api.
Untung aku masih ingat isi kitab itu,
daripada iseng biarlah kuajarkan sedikit ilmu silat perguruan kita itu,
bagaimana pikiranmu?”
Tentu saja Bu-siang
kegirangan, jawabnya: “Terima kasih, Toako, lain kali kalau ketemu Kwe Hu tentu
aku tidak takut dia bertindak kasar lagi padaku.”
Yo Ko tersenyum, segera ia mulai menuturkan
permulaan dari ajaran Giok-li-sim-keng beserta-kunci2nya, dimulai dari yang
cetek dan kemudian mendalam. Kemudian ia member pesan pula: “Hendaklah kau
apalkan dulu kunci2nya, waktu latihan bila perlu boleh minta bantuan jimoay, di
lembah ini sangat tenang, sungguh suatu tempat latihan yang baik.”
Begitulah selama beberapa hari Bu- siang
tekun mengapalkan ajaran Yo Ko itu, memangnya ilmu yang pernah dipelajarinya
adalah aliran Ko-bongpay, dengan sendirinya mudah baginya untuk menerima dan memahaminya.
jika ada bagian2 sulit yang sukar dipecahkan, Yo Ko menyuruh Bu-siang
mengapalkan saja untuk diulangi lagi lain hari. Dengan begitu selama hampir
sebulan dapatlah
Bu-siang mengingat seluruh isi
Giok-li-sim-keng di luar kepala. Suatu hari, pagi-pagi dia dan Thia Eng sudah
menyiapkan sarapan, tapi ditunggu sampai lama sekali tidak Nampak munculnya Yo
Ko. Mereka lantas mendatangi gua tempat tinggal Yo Ko, terlihat di tanah sana
tertulis huruf-huruf besar yang berbunyi “Berpisan untuk sementara, biarlah bertemu
lagi kelak. Hubungan baik kakak beradik tetap kekal dan abadi.”
Bu-siang melonggong dan bergumam: “Akhir-nya
dia. . . dia telah pergi.” ia berlari-lari ke puncak gunung dan memandang jauh
ke selatan.
Thia Eng segera menyusulnya, mereka memandang
jauh ke sana, tapi yang kelihatan hanya awan mengambang diudara, pepohonan
menghijau permai, mana ada bayangan Yo Ko?
Dengan rasa pilu Bu-siang berkata dengan
terguguk-guguk: “Jici, kau kira dia… dia pergi ke mana? Apakah kelak kita
dapat… dapat berjumpa pula dengan dia?”
“Sammoay,” jawab Thia Eng, “lihatlah gumpalan
awan itu yang bergerombol menjadi satu untuk kemudian terpancar lagi. Hidup
manusia juga begitu, buat apa kau merasa susah?”
Meski begitu ucapannya, tapi dalam hati
sendiri iapun bersedih.
Kiranya selama hampir sebulan Yo Ko merasa
sudah cukup mengajarkan isi Giok-lisim-keng kepada Bu-siang. Tapi selama itu
tiada kabar berita Siao-Iiong-li, ia tahu menunggu lagi lebih lama juga tiada
gunanya, Maka ia lantas meninggalkan tulisan di tanah dan pergi, ia pikir kalau
pulang Cong-lam-san, tentu akan menambah rasa duka, maka seorang diri ia lantas
mengembara di Kangouw.
Dengan cepat beberapa bulan telah lalu, dari
musim dingin telah datang musim semi, suatu hari ia sampai di dekat Siangyang,
dilihatnya bangunan di tepi jalan yang dahulu dibakar oleh pasukan Mongol kini
sudah banyak yang dibangun kembali dalam bentuk rumah-rumah gubuk, walaupun
tidak se-makmur dahulu, namun penduduk sudah mulai ramai lagi, agaknya selama
ini pasukan Mongol tidak pernah menyerbu lagi ke sini.
Walaupun Yo Ko juga
terkenang kepada Kwe Ceng, tapi ia tidak ingin bertemu lagi dengan Kwe Hu, maka
ia sungkan mampir ke Siangyang, pikirnya: “Sudah lama berpisah dengan Tiau-heng
(kakak rajawali), biarlah aku menjenguknya ke sana. Segera ia mencari jalan
menuju ke arah, lembah pegunungan dahulu itu.
Hampir seharian, akhirnya dekatlah dia dengan
tempat pengasingan Tok-ko Kiu-pay dahulu. Segera ia bersuit panjang sembari
berjalan ke depan, tidak lama kemudian di lereng bukit di depan sana
berkumandang suara kaokan burung.
Waktu Yo Ko memandang ke sana, terlihatlah
rajawali sakti itu mendekam di bawah pohon besar, kedua cakarnya mencengkeram
seekor macan tutul. Berada dalam cengkeraman cakar rajawali yang hebat itu,
sama sekali macan tutul itu tak bisa berkutik dan hanya mengeluarkan suara
raungan belaka.
Melihat kedatangan Yo Ko, rajawali itu lantas
melepaskan macan tutul itu, keruan cepat sekali binatang buas- itu memberosot
ke semak-semak pohon dengan mencawat ekor.
Segera Yo Ko merangkul leher rajawali itu
dengan mesra dan gembira.
Mereka, seorang manusia dan seekor burung,
lantas kembali ke gua itu. Teringat pengalaman sendiri selama beberapa bulan
yang penuh duka derita itu, sayang rajawali tidak dapat bicara diajaknya
berbincang sekedar pelipur lara.
BegituIah selama beberapa hari Yo Ko berdiam
saja di lembah pegunungan sunyi itu bersama rajawali sakti, Suatu hari, saking
isengnya Yo Ko mendatangi pula tebing tempat makam pedang Tokko Kiu-pang itu.
Hian-tiat-pokian, itu pedang yang maha berat
yang diambilnya dari sini, sudah dibuangnya di Coat-ceng-kok, segera ia
melompat lagi ke atas tebing itu dan membaca kembali tulisan yang terukir di
batu kuburan pedang kayu yang sudah lapuk itu dan berbunyi “Sesudah berusia 40
tahun, sungkan membawa senjata lagi, setiap benda dapat kugunakan sebagai
pedang. Sejak itu latihanku semakin
sempurna dan mendekati tingkatan tanpa
melebihi memakai pedang”,
Yo Ko coba merenungkan maksud tulisan itu,
jgikirnya: “Waktu aku membawa Hian-tiat-pokiam, boleh dikatakan hampir tiada
tandingannya di seluruh jagat Tapi menurut pesan tinggalan Tok-koj Kiupay ini
jelas pedang kayu lebih hebat daripada waktu dia menggunakan Hian-tiat-pokiam
itu, masa lahan akhirnya tanpa menggunakan pedang menjadi lebih lihay daripada
memakai pedang kayu, Kalau Liongji berjanji akan bertemu lagi 16 tahun kelak
selama belasan tahun ini biarlah kugunakan untuk mempelajari dan meyakini ilmu
pedang kayu melebihi pedang berat dan akhirnya tanpa pedang melebihi
menggunakan pedang kayu sesuai ajaran Tok ko Kiu-pay.
BegituIah ia lantas memotong setangkai kayu
dan dibikin menyerupai pedang, ia pikin “Hian tiat-pokiam itu beratnya hampir
70 kati, bahwa pedang kayu yang enteng ini dapat mengungkulinya hanya ada dua
jalan. Kebangunan ilmu pedang, dengan cepat mengalahkan kelambanan, Cara lain adalah
menang kuat tenaga dalam, dengan keras mengatasi kelemahan.”
BegituIah sejak itu iapun memupuk Lwekang dan
meyakinkan ilmu pedang, setiap habis hujan deras ia lantas menggembleng diri di
bawah air terjun untuk menambah kekuatan serangannya, Tanpa terasa musim
berganti musim dan kembali datang lagi musim dingin, perpisahannya dengan Siao-liong-li
sudah hampir setahun.
Yo Ko merasa kemajuan tenaga dalam dan ilmu pedangnya
selama setahun ini sangat lambat, mau-tak-mau ia menjadi kesal, Dalam pada itu
bunga salju sudah mulai bertebaran Tiba-tiba rajawali itu berkaok kegirangan
dan melompat ke tanah lapang pesta pentang sayap sehingga membangkitkan angin
teras, bunga salju tersapu berhamburan.
Tergerak hati Yo Ko melihat kelakuan burung
itu, pikirnya: “Musim semi tiada air bah, kalau ku latih ilmu pedang di tanah
bersalju, rasanya juga suatu cara yang bagus.”
Sementara itu dilihatnya si rajawali masih
terus menyabet-nyabetkan kedua sayapnya sehingga membawa tenaga semakin keras,
biarpun hujan salju lebat, namun tiada sepotong bunga salju yang jatuh di atas
badannya. Semangat Yo Ko terangsang juga, segera ia pegang pedang kayu dan dimainkan
juga di bawah hujan salju, berbareng lengan laju tangan kanan juga dikebaskan,
setiap ada bunga salju yang melayang turun, segera ia menyambutnya dengan angin
putaran pedang atau tenaga kebasan lengan baju, Dengan begitu tanpa terasa
hampir setengah hari telah berlalu, ia merasa tenaga dari pedang kayu dan
lengan bajunya telah bertambah banyak sekali.
Hujan salju itu terus berlangsung hingga tiga
hari lamanya, setiap hari Yo Ko selalu menari pedang di bawah hujan salju itu
bersama si rajawali sakti, Sampai petang hari ketiga, salju turun semakin
lebat, selagi Yo Ko mencurahkan segenap perhatiannya pada pedang kayu untuk
menggempur bunga salju, mendadak sebelah sayap rajawali itu di sabetkan ke
arahnya. Karena tidak berjaga-jaga, hampir saja Yo Ko tersabet, cepat ia
melompat minggir sehingga sabetan itu dapat dihindari walaupun begitu dahinya
sudah ketetesan dua biji bunga salju.
Segera teringat olehnya dahulu rajawali sakti
I ni juga pernah main gempuran denganku di atas tebing itu sehingga ilmu
pedangku maju pesat, sekarang jelas rajawali ini mengajak latihan bersama lagi.
Karena itu ia lantas putar pedang kayu dan
balas menusuk satu kali, tapi lantas terdengar suara “krak” sekali, begitu kebentur
sayap rajawali, seketika pedang kayu itu patah, Rajawali itupun tidak menyerang
lagi, tapi berdiri tegak dan mengeluarkan suara ber-cicit2, sikapnya
seakan-akan sedang
mengomeli kecerobohan si Yo Ko.
Diam-diam Yo Ko merenungkan cara bagaimana
harus menghadapi rajawali sakti itu, pikirnya: “Jika, kugunakan pedang kayu
melawan tenagamu yang maha kuat, jalan satu-satunya hanya mengelak dan
menghindar, lalu balas menyerang pada setiap ada peluang,”
Setelah menentukan siasat itu, segera ia
membuat lagi sebatang pedang kayu, lalu mulai menempur si rajawali pula di
tanah salju itu, Sekali ini dia mampu bertahan hingga belasan gebrakan barulah
pedang kayu terpatah.
BegituIah ia terus berlatih dengan tekun
tanpa berhenti diam-diam Yo Ko sangat berterima kasih kepada si rajawali sakti
yang telah menjadi teman berlatihnya tanpa mengenal lelah serta penuh disiplin
itu, Pikirnya: “Kalau aku tidak berhasil meyakinkan ilmu pedang kayu ini tentu
akan mengecewakan harapan Tiau-heng ini. Apalagi kesempatan bagus yang sukar
dicari ini mana boleh ku-sia-sia-kan pula?”
Dengan tekad itulah, meski dalam mimpi juga
dia mengeraskan otak memikirkan gerak-gerik setiap jurus serangan, cara
bagaimana menyerang dan mengelak serta cara bagaimana memperkuat tenaga, Karena
kegiatan, latihan ilmu silatnya, rasa rindunya kepada Siao-liong-li menjadi
rada berkurang sementara itu racun bunga cinta dalam tubuhnya sudah punah
seluruh nya, tenaga dalamnya bertambah kuat, badan juga tampak sehat, kelesuan
dan wajahnya yang pucat2 kurus dahulu kinipun sudah tidak kentara lagi.
Hawa semakin dingin,
saju turun tiada henti-hentinya, sudah genap setahun perpisahannya dengan
Siao-liong-li.
Berkatalah Yo Ko kepada rajawali sakti itu:
“O, Tiau-heng, biarlah kita berpisah untuk sementara, kuingin pergi dulu ke Coat-ceng-kok.”
Lalu dengan membawa pedang kayu ia meninggalkan pegunungan itu.
Dengan rasa berat rajawali itu mengikuti di
belakang Nyo Ko, setiba dipersimpangan jalan Yo Ko memberi hormat untuk mohon
diri, lalu hendak melangkah pergi ke arah utara, Tak terduga mendadak rajawali
itu menggigit ujung bajunya dan menyeretnya menuju ke selatan.
Tentu saja Kyo Ko heran, sayangnya di antara
dia dan rajawali itu tidak saling mengerti bahasa masing-masing. Tapi ia tahu
burung itu sangat cerdik dan tiada ubahnya seperti manusia, maka tanpa rewel
lagi ia lantas mengikutinya ke arah selatan, Melihat Yo Ko menuruti
kehendaknya, rajawali itu tidak menggigit lagi ujung bajunya dan membiarkannya jalan
sendiri Tapi kelihatan Yo Ko ragu-ragu dan hendak memutar balik, segera ia
meng-gendoli lagi ujung bajunya.
Yo Ko pikir kalau rajawali sakti ini ngotot
mengajaknya ke selatan, tentu ada maksud tujuan tertentu Maka iapun membatalkan
niatnya ke Coat ceng-kok dan ikut burung itu terus ke selatan. Tiba-tiba hati
Yo Ko tergerak, pikirnya: “Burung ini sangat pintar, jangan-jangan dia memberi
petunjuk jalan padaku ke lautan selatan untuk menemui Liong ji?”
Teringat kepada Siao-liong-li, seketika ia
bersemangat, segera ia melangkah lebar dan ikut rajawali itu berlari cepat ke tenggara,
Tiada sebulan kemudian sampai mereka di pantai laut, Yo Ko berdiri di atas batu
karang dan memandang jauh ke lautan bebas sana, tertampak ombak men-dam-par2 dengan
hebatnya, sedih dan girang bercampur, aduk dalam benaknya.
Selang tak lama, terdengar suara gemuruh di
kejauhan seperti bunyi guntur meru, Karena waktu kecilnya dahulu ia pernah
tinggal di Tho hoa-to, ia tahu itulah suara gelombang laut pasang, setiap hari
antara lohor dan tengah malam air laut tentu pasang dua kali. Kini sang surya
sedang memancarkan sinarnya di tengah cakrawala, tentu tiba waktunya laut naik
pasang.
Suara gemuruh air pasang itu makin lama makin
keras dan berkumandang laksana beribu-ribu ekor kuda berderap serentak,
Tertampaklah, dari jauh selarik garis putih menerjang ke arah pantai, suara
gemuruh itu jauh lebih hebat daripada bunyi geledek dan samberan kilat.
Menyaksikan kedahsyatan alam itu, tanpa terasa air muka Yo Ko berubah pucat.
Hanya sekejap mata saja gelombang air pasang
sudah menerjang tiba dan mendampar ke batu karang tempat berdiri Yo Ko. Cepat
ia melompat ke belakang, tapi mendadak punggungnya seperti di tubruk oleh suatu
tenaga yang maha dahsyat, tanpa kuasa tubuhnya yang terapung di udara itu kecemplung
ke laut, jatuh di tengah gelombang laut yang bergulung2, mulutnya terasa asin,
tanpa kuasa ia telah minum dua ceguk air laut.
Ia menyadari keadaannya yang berbahaya,
syukur ia sudah pernah di gembleng di bawah gerujukan air bah, maka sekuatnya
ia tancapkan kaki di dasar laut dengan “Jian-kin tui”, ilmu membikin berat
tubuh.
Di permukaan air laut berombak, bergemuruh
dengan hebatnya, tapi di dasar laut jauh lebih tenang.
Setelah merenungkan sejenak ia paham maksud
rajawali itu mengajaknya ke pantai laut ini yakni agar dia berlatih pedang di
tengah damparan gelombang laut itu.
Segera ia meloncat ke permukaan air, tapi
segera segulung ombak laksana bukit menghantam kepalanya puIa.
Tiada jalan lain, terpaksa ia menarik napas
panjang2, lalu selulup lagi menghindar ke dasar laut.
Begitulah berulang-ulang Yo Ko timbul dan
selulup lagi ketika air laut mulai pasang surut sementara itu Yo Ko sudah lelah,
muka juga pucat namun ia bertambah semangat, tengah malam waktu pasang naik
lagi, kembali ia membawa pedang kayu dan menceburkan diri ketengah amukan ombak
samudera yang hebat itu, ia putar pedangnya di dalam air, terasa berat sekali
karena damparan ombak yang membukit itu, jika terasa payah dan tidak mampu
bertahan, cepat ia menyelam ke dasar laut untuk menghindar.
Ia terus berlatih secara begitu dua kali
sehari, tidak sampai sebulan ia merasa tenaga dalamnya bertambah banyak, jika pedang
kayu diputar di daratan sayup-2 menerbitkan suara seperti ombak mendampar.
Setiap kalau berlatih dengan rajawali itu, kini burung itu tak berani lagi
menyambut serangannya dari depan, Suatu kali saking semangatnya Yo Ko
menusukkan pedang kayunya dengan sepenuh tenaga, Rajawali itu berkaok karena
kaget dan melompat ke samping.
Karena tidak keburu menahan tenaga
serangan-nya, pedang kayu itu menabas batang pohon di samping, pedang itu
patah, batang pohon juga terkutung menjadi dua. Yo Ko melenggong sambil
memegangi kutungan pedang kayu itu, pikirnya: “Pedang kayu ini adalah benda
lemah, tapi dapat mengutungi pohon, sudah tentu karena tenaga seranganku yang
hebat Kalau nanti pohon patah dan pedang tidak patah, itulah baru mendekati
ilmu sakti yang dicapai Tokko-Iocianpwe dahulu.”
Musim semi berlalu, musim rontok tiba, sang
tempo lewat dengan cepatnya, setiap hari Yo Ko terus berlatih pedang ditengah
gelombang laut tanpa mengenai lelah dan membedakan musim, Suara gemuruh yang
dterbitkan pedangnya setiap kali ia menyerang menjadi semakin keras, sampai
akhirnya telinga serasa pekak tergetar. Tapi setelah beberapa bulan lagi, suara
pedangnya mulai berkurang dan akhirnya lenyap tanpa suara lagi.
Ia berlatih lagi beberapa bulan, ternyata
suara pedang kembali mendengung pula. BegituIah terjadi perubahan sampai tujuh
kali, akhirnya dapatlah ia menguasai pedangnya, ingin berbunyi lantas
mengeluarkan suara, ingin tak bersuara lantas tanpa suara.
Ketika mencapai tingkatan setinggi ini,
hitung punya hitung ternyata sudah enam tahun lamanya dia berdiam di pantai
laut itu. Kini dengan pedang terhunus dapatlah Yo Ko bergerak bebas di tengah
gelombang laut yang dahsyat itu, kekuatan yang timbul dari gerakan pedangnya
sudah mampu menyampuk ombak laut yang mendampar dari depan.
Meski hidup terpencil di pantai laut dan
selama itu tak pernah bergebrak dengan jago silat, namun tenaga si rajawali sakti
yang luar biasa itu sudah tidak mampu menahan dua-tiga kali gebrakan pedang
kayunya lagi, baru sekarang dia memahami perasaan Tokko Kiu-pay yang tidak
pernah menemukan tandingan itu, waktu usianya sudah lanjut, pantaslah Tokko
Kiu-pay bertambah terharu dan kesepian karena tiada seorangpun yang sanggup
melawan ilmu pedangnya, akhirnya orang dan ilmu pedangnya terkubur semua di
lembah sunyi itu.
Terpikir oleh Yo Ko. “Jika Tiau-heng dahulu
tidak menyaksikan sendiri cara Tokko-locianpwe meyakinkan ilmu pedangnya yang
maha sakti itu, mana bisa Tiau-heng mengajarkan lagi ilmu sakti ini padaku?
walaupun kusebut burung Tiau heng tapi sesungguhnya dia adalah guruku, Bicara
tentang umur, entah sudah berapa puluh tahun atau mungkin sudah ratusan tahun
usianya, jadi umpama aku
menyebut dia kakek atau buyut rasanya juga
pantas.”
Begitulah sembari berlatih ilmu pedang di
pantai Iaut, iapun tiada hentinya mencari kabar berita tentang Nikoh sakti yang
berdiam di lautan selatan sana. Namun selama beberapa tahun itu ternyata tiada
seorangpun pelaut atau pedagang seberang yang ditanyai itu dapat memberi
keterangan sesuatu.
Lambat laun iapun putus harapan, ia pikir
kalau belum tiba waktunya 16 tahun tentu sulit untuk bertemu lagi dengan Siao-liong-li.
Pada suatu hari, hujan rintik2, angin meniup
keras timbul sesuatu perasaan Yo Ko, segera ia membawa pedang kayu dan pakai
mantel, bersama si rajawali sakti ditinggalkanlah pantai laut itu dan mulai
mengembara menjelajahi setiap pelosok daerah Tionggoan dan terutama daerah
Kanglam
yang terkenal indah permai itu
***
Sang tempo berlaku dengan cepat beberapa
tahun telah lampau pula. Waktu itu adalah tahun pertama kaisar Song-li-cong
yang bertahta di kerajaan Song Selatan dan terhitung tahun ke sembilan kaisar
Goan-hian-cong (dinasti Yuan) dari kerajaan Mongol atau lebih terkenal dengan
Kubilai Khan.
Ketika itu baru permulaan musim semi, pada
Hong-Jeng-toh, sebuah kota tambangan di tepi utara Hong-ho (Sungai Kuning)
tertampak sangat ramai dengan suara orang diseling ringkik kuda dan gemuruh
roda kereta.
Rupanya selama beberapa hari ini cuaca
berubah2 tidak menentu, terkadang dingin dan kemudian suhu menjadi hangat,
mula-mula air sungai Kuning itu sudah cair, tapi sejak semalam turun salju
dengan lebatnya sehingga air sungai membeku lagi, sebab itulah kapal tambangan
tidak dapat berjalan, keretapun tidak berani menyeberangi permukaan sungai yang
beku itu.
Sebab itulah banyak saudagar yang hendak
menyeberang ke selatan sama tertahan di kota tambangan kecil ini. Meski di Hong-leng
toh ini juga ada beberapa buah rumah penginapan, tapi karena pendatang dari
utara masih tak terputus-putusnya, tiada setengah hari semua rumah penginapan
sudah penuh sehingga banyak tetamu yang tidak mendapatkan pondokan dan tidak
sedikit timbul ribut mulut antara tamu dan pemilik hotel.
Hotel yang paling besar di kota itu bernama
“An toh Io-ttam” artinya hotel selamat menyeberang, Lantaran halaman hotel ini
dan kamarnya terlebih luas daripada hotel lainnya.
maka tetamu yang tidak mendapatkan tempat
pondokan lantas membanjiri An-toh-lo-tiam ini dan karena itulah suasanamenjadi
ramai dan berjubel menyebabkan kesibukan pengurus hotel, banyak kamar yang
mestinya buat dua orang terpaksa diisi tiga orang, bahkan masih kelebihan
belasan tamu yang tidak mendapatkan kamar, terpaksa duduk berkerumun saja di ruangan
tengah, pelayan menyingkirkan meja kursi dan membuat api unggun di
tengah-tengah ruangan untuk menghangatkan badan tetamu.
Menyaksikan bunga salju yang beterbangan
dengan lebatnya di luar, para tetamu sama bersedih karena besok merekapun belum
tentu dapat melanjutkan perjalanan.
Cuaca mulai gelap, tapi hujan salju semakin
lebat tiba-2 terdengar suara derapan kaki kuda, tiga penunggang kuda mendatang
secepat terbang dan terhenti di depan An-toh- lo-tiam. “Kembali ada tamu lagi!”
gumam seorang tamu yang berduduk di tepi api unggun.
Benar juga lantas terdengar suara seorang
perempuan berseru: “He, pengurus berikan dua kamar kelas satu!”
Kuasa hotel menjawab dengan mengering tawa:
“Maaf, sudah sejak pagi kamar hotel kami terhuni penuh, sama sekali tiada kamar
kosong lagi.”
“Boleh satu kamar saja,” ujar perempuan tadi.
“Be ribu2 maaf, nyonya, sungguh sudah penuh semua,” jawab pengurus hotel.
Tiba-tiba perempuan itu ayunkan cambuknya ke
udara hingga menerbitkan suara “tarrrrr” sekali, lalu mengomel: “Omong kosong!
Memangnya kau tak bisa menyuruh orang mengalah sebuah kamar? Biar kutambahi
sewanya.” Sembari bicara ia terus menerobos ke dalam hotel.
Pandangan para tamu sama terbeliak melihat
perempuan itu, Usianya kira-kira lebih 30 tahun, matanya jeli pipinya merah,
mukanya cantik, perawakannya montok, berjaket kulit warna biru, bagian leher
baju berlapiskan kulit berbulu halus, dan badannya sangat perlente.
Di belakang nyonya muda itu mengikut seorang
lelaki dan seorang perempuan lagi, keduanya masih remaja, usianya antara 16-17,
yang lelaki beralis tebal dan bermata besar, sikapnya kasar2 gagah, sebaliknya
perempuan muda itu sangat cantik.
Ke-duanya sama memakai jaket satin hijau
pupus, leher si anak dara memakai sebuah kalung mutiara, setiap biji mutiara itu
sebesar jari dan bercahaya.
Para tamu sama terpengaruh oleh lagak lagu
ketiga tamu baru, orang-orang yang tadinya sedang bicara sama berhenti dan
memandangi ketiga orang ini. Dengan sigap pelayan hotel lantas memberi hormat
dan menjelaskan kepada si nyonya muda: “Lihatlah, nyonya, para tamu inipun
tidak mendapatkan kamar. jika kalian tidak merasa kotor, silakan ikut duduk di
sini sekedar menghangatkan badan dan lewatkan malam ini, besok kalau air sungai
tambah keras membeku mungkin sudah cukup kuat untuk diseberangi.”
Tampaknya nyonya muda itu tidak sabar, tapi
keadaan memang begitu, terpaksa ia hanya mengerut kening dan tidak bersuara
pula.
Seorang perempuan setengah baya yang ikut
duduk mengelilingi api unggun lantas berkata: “Silakan duduk di sini, nyonya,
hangatkan badan dulu, hawa sungguh dingin.”
“Terima kasih,” jawab nyonya cantik itu
Segera tamu lelaki yang duduk di samping perempuan setengah umur itu lantas bergeser
untuk memberi tempat kepada si nyonya muda.
Duduk tidak lama, pelayan lantas mengantarkan
daharan yang dipesan, ada daging ada ayam, arakpun tersedia, Nyonya muda itu
sangat kuat minum arak, semangkok demi semangkok ditenggaknya hingga habis,
lelaki muda itupun mengiringi minum, hanya si anak dara cantik itu saja
setitikpun tidak minum arak.
Dari sapa menjaga mereka dapat diketahui
bahwa mereka adalah kakak beradik, Usia pemuda itu tampaknya lebih tua daripada
si anak dara, tapi ternyata memanggilnya “Cici”, Habis makan semua orang
berkerumun pula di sekitar api unggun, Suara angin yang menderu2 di luar
membuyarkan rasa kantuk semua orang.
“Cuaca begini sungguh membikin susah orang,”
demikian seorang lelaki berkata dengan logat daerah Soasay, “sebentar hujan
salju, sebentar membeku jadi es, lain saat mencair lagi, Thian benar-benar
ingin menyiksa orang.”
“Sebaiknya kau jangan mengomeli Thian dan Te
(langit dan bumi),” ujar seorang lelaki pendek dengan logat Ouw-pak.
“Adalah untung kita masih dapat menghangatkan
badan dengan api dan makan enak di sini, Coba kalau kau pernah berdiam di kota
terkepung Siangyang, kukira tempat yang paling sengsara di dunia ini juga akan
berubah menjadi sorga bagimu.”
Mendengar “kota terkepung Siangyang”, nyonya
cantik tadi memandang sekejap kepada kedua saudaranya.
Lalu terdengar seorang tamu yang bcrlogat
Kwitung bertanya: “Numpang tanya saudara, bagaimana keadaan di kota Simgyang
yang terkepung itu?”
“Keganasan orang MongoI kiranya sudah kalian
dengar dan tidak perlu kujelaskan lagi,” tutur tamu Ouwpak tadi, “Tahun itu
pasukan Mongol menyerang Siangyang secara besar-besaran, panglima yang menjaga
kota itu Lu-tayjin adalah manusia yang tidak berguna, syukurluh Kwe-tayhiap dan
isterinya telah membantu dengan sepenuh tenaga.”
Mendengar nama Kwe-tayhiap dan isterinya disebut,
tampak airmuka nyonya cantik tadi berubah riang pula.
Sementara itu tamu berlogat Ouwpak tadi
sedang menyambung ceritanya: “Beratus ribu penduduk siangyang juga bersatu padu
menghadapi musuh dan bertahan dengan mati-matian, seperti diriku ini, aku hanya
pedagang gerobak surungan, tapi akupun ikut berjuang dengan mengangkut pasir
dan mengangkat batu untuk memperkokoh benteng kota, lihat ini, codet pada
mukaku ini adalah bekas luka kena panah orang Mongol.”
Waktu semua orang
mengawasi, benar juga terlihat pipi kirinya ada bekas luka panah sebesar gobang,
Tanpa terasa semua orang sama menaruh hormat padanya.
“Negeri Song kita sedemikian luas dengan
penduduknya begini banyak, kalau setiap orang berjiwa patriot seperti saudara,
hah, biarpun Tartar Mongol lebih ganas sepuluh kali lipat juga takkan mampu
menginjak tanah air kita,” demikian kata si orang Kwitang dengan bersemangat.
“Tepat!” ujar si orang Ouwpak, “Lihatlah,
sudah belasan tahun pasukan Mongol menggempur Siangyang, tapi selama ini selalu
gagal, sebaliknya tempat-tempat lain selalu dibobolnya dengan mudah.
Kabarnya belasan negeri di benua barat sana
juga sudah ditumpas oleh orang Mongol, sedangkan Siangyang kita masih tetap
berdiri dengan tegaknya, walau-pun raja mongoI Kubilai sendiri yang memimpin
penggempuran juga tetap tidak berhasil.”
“Ya, kalau saja Siangyang jatuh, tentu sudah
lama tanah air Song Raya kita sudah lama dicaplok orang Mongol,” kata orang
Kwitang,
Begitu semua orang penuh semangat bicara
tentang pertahanan Siangyang, orang Ouwpak itu telah menjunjung Kwe Ceng dan
Oey Yong setinggi langit seakan-akan malaikat dewata dan semua orang juga tiada
hentinya memberi pujian.
Tiba-tiba seorang tamu berlogat Sucoan ikut
bicara dengan gegetun: “Sesungguhnya pembesar yang menjaga benteng di-mana-2
juga ada, soalnya pemerintah kerajaan tidak dapat membedakan antara yang baik
dan jahat, seringkali kaum dorna justeru menikmati segala kejayaannya, sedangkan
pembesar setia malahan mati penasaran Seperti Gak Hui pujaan kita yang sudah
almarhum itu tidak perlu dibicarakan, sekarang saja di daerah Sucoan kami sudah
ada beberapa pembesar pembela rakyat telah menjadi kaum dorna.”
“Hei pembesar siapakah itu mohon penjelasan,”
Tanya orang Ouwpak tadi.
“Sudah belasan tahun juga pasukan Mongol
menggempur wilayah Sucoan, berkat perlawanan Sia Kay yang bijaksana itu, segenap
rakyat jelata di Sucoan sama tunduk di bawah pimpinannya dan memujanya
seakan-akan Budha penolong,” demikian tutur si orang Sucoan.
“Siapa tahu raja kita yang berkuasa sekarang
telah mempercayai laporan si dorna Ting Tay-coan. katanya Sia-tayjin menyalah
gunakan kekuasaan dan membangkang perintah pusat, maka perlu diambil tindakan
dan dikirimlah racun untuk memaksa Sia-tayjin membunuh diri lalu kedudukannya
diganti seorang pembesar tak becus yang menjadi komplotan kaum dorna itu.
Ketika kemudian pasukan Mongol menyerbu tiba
pula, hanya sekejap saja Sucoan lantas jatuh, pihak kerajaan tidak menyesali
dirinya sendiri yang salah membunuh pembesar baik, sebaiknya malah menuduh
panglima tentara Ong Wi-tiong Ciangkun yang bertahan mati-mati-an itu
bersekongkol dengan musuh dan menangkapnya bersama segenap anggota keluarganya
ke ibukota, di sana Ong-ciangkun telah dihukum penggal kepala.” Bicara sampai
di sini suaranya menjadi rada tersendat
Semua orang sama menghela napas terharu
mendengar kisah sedih, orang Kwetang tadi berkata dengan gusar “Hancurnya
negara selalu menjadi korban kaum dorna begitu, Kabarnya kerajaan selatan
sekarang ada tiga ekor anjing dan pembesar dorna Ting Tay-coan itu adalah salah
seekor di
antaranya.”
Seorang pemuda berwajah putih yang sejak tadi
hanya mendengarkan saja kini mendadak menimbrung: “Benar, kaum dorna kerajaan
selatan dikepalai Ting Tay-coan, Tan Tay-hong dan Oh Tay-jiang. Karena nama
mereka sama-sama memakai “Tay”, maka orang-orang di Liman (ibukota Song Selatan)
menambahkan nama mereka itu dengan satu coretan sehingga menjadi “Khian”
(anjing) dan mereka bertiga dianggap tiga ekor anjing.”
Sampai di sini, semua orang sama tertawa
puas.
Orang Sucoan tadi lantas bertanya: “Dari
logat saudara cilik ini, tampaknya engkau orang dari Lim-an?” “Benar,” jawab si
pemuda.
“Jika begitu, waktu Ong Wi-tiong Ciangkun
menjalani hukuman mati, apakah saudara juga mengetahuinya?” “Ya, malahan ikut
menyaksikan sendiri,” jawab pemuda itu. “Menghadapi ajalnya Ong ciangkun tanpa
gentar, dengan gagah berani beliau malah mencaci Ting Tay-coan dan Tan Tay-hong
sebagai pembesar dorna penjual negara dan bangsa, Bahkan terjadi pula sesuatu
yang aneh.”
“Kejadian aneh apa?” tanya orang banyak.
“Yang memfitnah Ong-ciangkun jelas adalah Tan
Tay-hong”, tutur si pemuda, “Waktu menuju kelapangan hukuman, di tengah jalan
Ong-ciang-kun berteriak-teriak dan mencaci maki Tan Tay-hong, katanya setelah
mati pasti akan mengadu kepada Giam lo-ong untuk merenggut nyawa dorna she Tan itu.
Anehnya tiga hari sesudah Ong ciang-kun
menjalani hukuman, Tan Tay-hong itu benar-benar mati mendadak di rumahnya dan
kepalanya telah dipenggal dan tergantung tinggi di menara lonceng di pintu
gerbang timur Lim an.
Begitu tinggi menara itu, jangankan manusia,
monyet sekalipun sukar merambat ke sana, Coba pikir, jika bukan Giam lo-ong
yang merenggut jiwa menteri dorna itu, perbuatan siapa lagi, peristiwa itu
diketahui setiap penduduk Lim-an dan sekali-sekali bukan dongeng belaka.”
Semua orang sama bersuara mengatakan heran
mereka.
Orang Sucoan itu berkata: “Kejadian itu
memang bukan dongengan, cuma yang membunuh Tan Tay-hong itn bukanlah
Giam-!o-ong melainkan perbuatan seorang ksatria sejati.”
“Di rumah menteri doma itu tidak sedikit
pengawalnya, penjagaan tentu sangat ketat, orang biasanya manabisa membunuhnya,
bahkan menggantung kepalanya di tempat setinggi itu, apa memangnya orang itu
bersayap?” si pemuda sambil menggeleng.
“Di dunia ini tidak kurang orang kosen, jika
aku tidak menyaksikan sendiri menang juga tidak percaya,” kata orang Sucoan
itu.
“Kau menyaksikan sendiri memanjat ke tempat
setinggi itu? Cara bagaimana kau dapat
menyaksikan nya?” tanya si pemuda.
Orang Sucoan itu ragu-ragu sejenak, akhirnya
ia menutur pula: “Ong-ciangkun mempunyai seorang anak lelaki yang berhasil
kabur waktu keluarganya ditangkap. Demi membabat sampai akar2nya kawanan dorna
telah mengirim begundalnya menguber mencari putera Ong-ciangkun itu.
Meski putera Ong-ciangkun juga mahir ilmu
silat, namun dia cuma sendirian dan tidak mampu melawan orang banyak, ketika
dia dikejar dan hampir tertangkap tiba-tiba datang seorang penolong yang
berhasil mengocar- kacirkan pasukan pengejar itu.
Lalu putera Ong-ciangkun itu menuturkan apa
yang terjadi atas keluarganya, Tentu saja Tayhiap (pendekar besar) yang menolongnya
itu tidak tinggal diam dan menyusul ke Lim-an dengan maksud hendak menolong
Ong-ciangkun, tapi sayang, beliau terlambat satu hari, Ong-ciangkun sudah
dipenggal kepalanya.
Dalam gusarnya Tayhiap itu lantas mendatangi
kediaman Tan Tay-hong serta memotong kepalanya, Meski menara lonceng itu sangat
tinggi dan sukar dicapai manusia, namun bukan soal bagi Tayhiap itu, hanya
sekali loncat saja dapatlah beliau naik ke situ.”
“Siapakah Tayhiap
itu? Bagaimana bentuknya?” tanya si orang Kwitang.
“Aku tidak tahu nama pendekar besar itu, yang
jelas dia tidak mempunyai lengan kanan, wajahnya cakap, sikapnya gagah, dia
selalu membawa seekor burung raksasa yang berbentuk aneh dan buruk.”
Belum habis ceritanya, seorang laki-laki lain
lantas menanggapi “Betul, itulah “Sin-tiau-hiap” yang termashur di dunia
Kangouw.”
“Ya, pendekar besar itu suka membantu yang
lemah dan menolong yang miskin, tapi selamanya tidak mau menyebutkan namanya
sendiri,” tutur laki-laki itu, “Karena dia selalu membawa burung yang aneh itu,
kawan-kawan Kangouw lantas memberi nama julukan “Sin-tiau-tay-hiap”
(pendekar besar rajawali sakti) padanya, Tapi
beliau mengatakan arti “Tay-hiap” terlalu berat baginya, maka tidak berani
menerima, terpaksa orang hanya menyebutnya “Sin-tiau-hiap” saja. padahal
berdasarkan tindak perbuatannya yang luhur budi itu, sebutan Tayhiap juga
pantas diterima olehnya, Kalau dia takdapat disebut pendekar besar, lalu siapa lagi?”
“Huh, di sini Tayhiap, di sana juga Tayhiap,
kan bisa kebanjiran Tayhiap nanti,” tiba-tiba si nyonya cantik tadi menimbrung.
“Ah, kenapa nyonya ini bilang begitu?”
bantah-orang Sucoan itu dengan tegas. “Meski urusan Kangouw kurang kupahami,
tapi demi menolong Ong-ciangkun, Sin-tiau-tayhiap itu telah berangkat dari
Hopak ke Lim-an, selama empat hari empat malam tanpa berhenti padahal beliau
tidak pernah
kenal siapa Ong-ciangkun, hanya karena
kasihan padanya panglima yang difitnah menteri dorna itu, maka beliau telah bertindak
tanpa menghiraukan bahaya sendiri. Coba, perbuatan begitu apakah tidak pantas
disebut Tayhiap?”
Nyonya cantik itu mendengus dan baru hendak
mendebat, tiba-tiba anak dara disampingnya me-nyela: “Cici, perbuatan kesatria
yang terpuji itu kan tidak salah kalau diberi gelaran Tayhiap?”
Suara anak dara itu sangat nyaring dan merdu,
enak didengar, segar rasanya bagi pendengaran setiap orang.
Nyonya cantik tadi lantas mengomeli adiknya:
“Huh, kau tahu apa?” Lalu ia berpaling kepada orang Sucoan tadi dan berkata
pula: “Darimana kau dapat mengetahui sejelas itu?
Bukankah kaupun mendengar dari obrolan orang
di tepi jalan atau berita angin di dunia Kangouw? Huh, sembilan bagian pasti
takdapat dipercaya.”
Orang Sucoan itu termenung sejenak, akhirnya
ia berkata dengan sungguh: “Aku she Ong, Ong Wi-tiong Ciangkun itu adalah
ayahku almarhum. jiwaku sendiri diselamatkan oleh Sin-tiau-tayhiap. walaupun
saat ini diriku menjadi buronan pemerintah, tapi soalnya menyangkut nama baik
tuan penolongku, terpaksa kujelaskan asal usul diriku ini.”
Semua orang melengak mendengar ucapan orang
Sucoan ini, serentak orang Kwitang tadi mengacungkan ibu-jarinya dan berseru:
“Ong-ciangkun cilik, kau memang seorang laki-laki sejati, Kalau di sini ada
manusia rendah yang berani melaporkan dirimu kepada yang berwajib, biarlah kita
beramai-ramai menghadaprnya.”
Maka bergemuruhlah orang banyak menyatakan
setuju, Terpaksa nyonya cantik tadi tidak dapat membantah pula.
Dalam pada itu si anak dara jelita tadi
sedang termangu-mangu memandangi salju yang bertebaran di luar itu sambil bergumam
pelahan: “Sin-tiau tayhiap, Sin-tiau-tayhiap “
mendadak ia berpaling kepada si orang Sucoan
dan bertanya: “Ong-toako, kalau Sin-tiau-tayhiap itu mempunyai kepandaian setinggi
itu, sebab apa pula sebelah lengannya buntung?”
Air muka si nyonya muda tampak berubah demi mendengar
persoalan lengan buntung Sin-tiau-tayhiap disinggung bibirnya tampak ber-gerak2
ingin bicara, tapi urung.
Si orang Sucoan she Ong itu menjawab sambil menggeleng:
“Entah, nama asli Sin-tiau-tayhiap saja takdapat kuketahui, seluk-beluk pribadi
beliau tentu saja lebih-lebih tidak tahu,
“Tentu saja kau tidak tahu,” jengek si nyonya
muda.
Tiba-tiba si pemuda Lim-an berkata pu!a:
“Tentang menteri dorna Ting Tay-coan itu, sekarang mukanya mendadak berubah
hijau gosong dalam semalam, tentu kejadian ini karena hukuman Allah.”
“Aneh, mengapa dalam semalam mukanya berubah menjadi
gosong?” tanya si orang Kwitang, “Memang aneh, karena kulit mukanya berubah
mendadak, sekarang penduduk Lim-an memberi nama Ting Je-bwe (Ting si kulit
hijau) padanya,” tutur pemuda Lim-an. “Asalnya kulit muka Ting Tay-coan itu
putih mulus, maklum, hidupnya mewah dan makannya enak Tapi semalaman mendadak
kulit mukanya berubah jadi hijau gosong, biarpun sudah diobati oleh tabib
paling pandai juga takdapat menghilangkan warna kulitnya yang lucu itu, Konon
Sri Baginda pernah menanyakan hal ini, tapi menteri dorna itu malah melapor,
katanya lantaran sibuk mengurusi pekerjaan sehingga beberapa malam tidak tidur,
maka kulit mukanya menjadi hijau. Akan tetapi setiap penduduk Lim-an sama
anggap perubahan kulit muka menteri dorna itu adalah karena kutukan Allah.”
“Sungguh aneh kejadian itu,” ujar si orang
Kwitang, “Hahaha!” mendadak si lelaki kekar tadi bergelak tertawa dan bersemi
“Ketahuilah bahwa kejadian itupun atas tindakan Sin-tiau-tayhiap. sungguh
menyenangkan sungguh menarik.”
“He, bagaimana bisa jadi perbuatan Sin-tiau
tayhiap lagi?” tanya semua orang.
Laki-laki kekar itu hanya bergelak tawa saja
dan tidak bercerita lebih lanjut, tampaknya ia sengaja tahan harga, ingin jual
mahal.
Lantaran ingin tahu duduk perkaranya lebih
jelas, si orang Kwitang lantas memanggil pelayan agar membawakan dua kati arak
Ko-tiang yang enak untuk lelaki kekar itu, setelah dicekoki arak, semangat
orang itu lantas terbangkit, segera ia bercerita lagi: “Tentang peristiwa ini,
bukan aku sengaja membual, tapi aku sendiri ikut berjasa, Malam hari itu
Sin-tiau-hiap tiba-tiba datang ke Lim-an dan suruh kupimpin para kawan
meringkus semua opas yang dinas jaga di kantor walikota, seragam
mereka dicopot dan disuruh pakai para kawan.
Kami merasa tertarik dan juga heran entah apa
yang akan dilakukan Sin-tiau-hiap, tapi kami yakin permainan menarik pasti
sedang menanti maka segala perintah beliau selalu kami laksanakan. Kira-kira
lewat tengah malam, Sin-tiau-hiap tiba di kantor walikota, beliau sendiri
lantas memakai jubah
kebesaran walikota dan duduk di meja sidang,
sekali palu diketok, beliau lantas membentak
“Bawa hadir menteri berdosa Ting
Tay-coan!” - Sampai di sini ia lantas angkat mangkuk arak dan menenggaknya
hingga habis.
“Tatkala mana saudara kerja apa di Lim-an sana?” tanya si orang
Kwitang.
“Kerja apa?” lelaki itu menegas dengan mata
mendelik “Memangnya apa lagi? Minum arak pakai mangkuk besar, makan daging
enak, bagi rejeki dengan timbangan, itulah kerjaku, berusaha tanpa pakai
modal.”
Orang Kwitang itu terkejut dan tidak berani
bertanya pula, ia tahu apa artinya berusaha tanpa pakai modal itu. Yakni merampok,
membegal dan sebagainya.
Orang itu lantas bercerita pula: “Aku melenggong
ketika mendengar nama Ting Tay-coan disebut, bukankah pembesar anjing ini
adalah perdana menteri sekarang, mengapa Sin-tiau-hiap dapat menyeretnya ke
sini?
Terdengar palu diketok
lagi, dua petugas benar-benar mengiring seorang ke depan sidang, mungkin saking ketakutan,
orang itu menjadi gemetar, ingin berlutut, tapi enggan pula. Seorang kawan
lantas mendepak belakang dengkulnya hingga dia jatuh bertekuk lutut. Haha,
sungguh lucu dan mcnarik. Sin tiau-hiap lantas menanyai dia: “Ting Tay-coan,
apakah kau mengetahui dosamu?”
Ting Tay- coan menjawab: “Tidak tahu.”
Sin-tay-hiap membentak: “Kau korupsi dan main
kekuasaan, memfitnah dan membunuh menteri setia serta membikin sengsara rakyat,
bersekongkol dengan Negara musuh, semua perbuatanmu yang jahat lekas kau
mengakui.”
Ting Tay-coan menjawab: “Engkau ini siapa?
Berani menculik pembesar negeri, apakah kau tidak tahu undang-undang kerajaan?”
Sin-tiau-hiap menjadi marah dan membentak
pula: “Hah, kau juga tahu undang-undang segala? Bagus, hayo anak buah, rangket
dia 40 kali lebih dulu!”
Memangnya setiap orang sangat benci kepada
menteri dorna ini, kini diperintahkan merangketnya, keruan mereka sangat
bersemangat cara merangketnya juga diperkeras, tentu saja menteri dorna itu
berkaok-kaok minta ampun dan jatuh pingsan beberapa kali, ia tidak berani
kepala batu lagi, apa yang ditanya Sin-tiau-hiap lantas diakuinya semua.
Sin-tiau hiap lantas menyuruhnya menulis
sendiri pengakuan dosanya, jika dia ragu-ragu menulisnya, segera Sin tiau hiap
menyuruh menggebuk pantatnya lagi atau menempeleng dia.”
Si anak dara cantik tadi mengikik tawa
senang, desisnya: “Hihi, sungguh menarik!”
Laki-laki itu menenggak habis pula semangkok
arak, katanya dengan tertawa: “Ya, memang sangat menarik, Rupanya Ting Tay-coan
itu sangat ketakutan, apalagi Sin tiau hiap berulang-ulang mendesak agar cepat
menulisnya, kalau sedikit merandek segera para kawan disuruh menggebuknya, akhirnya
Ting Tay coan sampai terkencing2 dan ter-berak2.
Untung baginya, tidak lama fajarpun
menyingsing dan di luar kantor walikota itu sudah ramai dengan petugas yang datang
dinas pagi, malahan menyusul ada pasukan yang datang pula, mungkin kebocoran
berita dan ada orang yang melapor Sin-tiau-hiap menjadi gusar dan berteriak:
“Penggal
saja kepalanya!”
Kutahu Sin-tiau-hiap tidak suka sembarangan
membunuh orang, tapi kulolos juga golokku terus kuayunkan ke batang leher Ting
Tay-coan, ketika golok terangkat ke atas telah ku-putar sekali, lalu dengan
tepat mengetuk kuduk Ting Tay-coan, kontan saji menteri dorna itu roboh
terguh’ng, tapi tidak
mati melainkan jatuh pingsan.
Rupanya yang mengenai adalah punggung golok
yang tidak tajam, tapi sudah cukup membuatnya ketakutan setengah mati.
Sin-tiau-hiap bergelar tertawa dan suruh kami mengundurkan diri melalui pintu
belakang agar tidak kebentrok dengan pasukan pemerintah.
Konon besoknya Sin-tiau hiap telah mengirim
sendiri pengakuan dosa Ting Tay coan itu kepada si tua kaisar, tapi entah
ocehan apa Ting Tay-coan telah membuat si kaisar tetap percaya penuh padanya
dan tetap menyuruhnya menjabat perdana menteri hingga sekarang.”
“Kalau saja Sri Baginda tidak ngawur dan
lemah, tentu kaum dorna takkan berkuasa, tampaknya tanah air kita yang jaya ini
sukar dipertahankan lagi.” ujar Ong ciangkun cilik.
“Ya, kecuali Sin-tiau hiap yang menjadi
perdana menteri barulah pasukan musuh dapat dikalahkan dan dunia inipun aman,”
kata lelaki tadi.
“Huh, dia sesuai menjadi perdana menteri?”
tiba-tiba si nyonya cantik menyeletuk.
Laki-laki tadi menjadi gusar dan menjawab:
“Dia tidak sesuai, memangnya kau yang sesuai?”
Nyonya cantik itu naik pitam dan membentak
“Kau ini kutu macam apa, berani kasar padaku?” - Dilihatnya laki-laki itu sedang
memegang sepotong besi pengaduk api dan lagi menyurung kayu bakar ke orggokan
api unggun agar berkobar lebih keras, sekenanya ia jemput sepotong kayu dan menyeruk
ke besi pengaduk api itu.
Seketika tangan lelaki itu tergetar
kesemutan, “trang”, pengaduk api itu jatuh ke lantai dan memercikkan lelatu
dari unggun api itu sehingga beberapa jenggotnya terbakar hangus.
Semua orang berteriak kaget, waktu mereka
memandang besi pengaduk itu, ternyata sudah bengkok. Biarpun watak lelaki tadi
rada berangasan, tapi demi melihat kelihayan si nyonya cantik, ia menjadi
mengkeret dan tidak berani bersuara lagi, bahkan arakpun lupa diminum lagi.
Si anak dara cantik lantas ikut bicara:
“Cici, orang sedang bercerita tentang Sin-tiau-hiap yang baik budi itu, mengapa
kau seperti tidak suka mendengarkan nya?” Lalu ia berpaling pada lelaki tadi
dan berkata dengan tersenyum manis: “Toasiok, jangan kau marah ya!”
Sebenarnya laki-laki tua itu sangat
mendongkol tapi karena senyuman manis anak dara ini, seketika api amarahnya sirna
tanpa bekas, iapun membalasnya dengan tertawa, mestinya ingin mengucapkan
beberapa patah kata rendah hati, tapi urung, “Toasiok,” demikian si anak dara
berkata pula. “silahkan engkau berkisah pula mengenai Sin-tiau-hiap itu. Apakah
engkau kenal dia?”
Laki-laki itu memandang sekejap ke arah si
nyonya cantik dan ragu-ragu untuk bicara.
Anak dara itu lantas berkata: “Silahkan
bercerita saja, asalkan engkau tidak membikin marah Ciciku tentu takkan terjadi
apa-apa. Cara bagaimana engkau kenal Sin-tiau-hiap?
Beberapa umurnya kira-kira? Apakah burungnya
rajawali itu sangat bagus?” tanpa menunggu jawaban lelaki itu, ia berpaling
kepada si nyonya muda dan bertanya: “Cici, entah bagaimana kalau rajawalinya
itu dibandingkan dengan sepasang rajawali kita?”
“Dibandingkan sepasang rajawali kita?” tukas
si nyonya muda, “Hah, di dunia ini mana ada burung lain yang dapat menandingi kedua
rajawali kita itu?”
“Ah, juga belum tentu,” ujar si anak dara,
“Ayah sering mengatakan kita bahwa orang belajar silat harus tahu bahwa di atas
langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai,
sekali-sekali tidak boleh bangga dan puas.
Kalau manusia saja begitu, kukira burung yang
lebih daripada rajawali kita itu pasti juga ada.”
“Huh, anak kecil tahu apa?” Omel si nyonya
wuda, “Waktu berangkat, ayah ibu menyuruh kau menurut pada perkataanku, apakah
kau sudah lupa?”
“Menurut ya menurut, tapi kan kudu tahu apa
yang kau katakan itu betul atau tidak?” jawab si anak dara. “Eh, adik, coba
katakan, ucapanku yang betul atau ucapan Cici yang betul?”
Pemuda di samping anak dara itu ragu-2
sejenak, kemudian menjawab: “Entahlah, aku tidak tahu. Yang jelas ayah bilang
kita harus menurut perkataan Taci dan suruh kau jangan adu mulut dengan Taci.”
“Nah, benar tidak?” kata si nyonya muda
dengan senang. Tapi si anak dara juga tidak marah meski adiknya mengeloni sang
Taci. dengan tertawa ia berkata: “Ah, adik memang tidak paham apa-apa” -Lalu ia
berpaling dan Tanya laki-laki kekar tadi: Toasiok, silakan kau bercerita lagi
tentang Sin-tiau-hiap.”
Lelaki itu menjawab: “Baik, jika nona senang mendengarkan,
tentu akan kuceritakan. Meski kepandaian orang she Song ini rendah, paling
tidak akupun seorang Laki-laki, satu bilang satu dua ya bilang dua. sepatah
katapun tidak berdusta, Tapi kalau nona tidak percaya, ya lebih baik tidak kuceritakan
saja.”
“Mana aku tidak percaya? Lekas engkau
bercerita lagi,” kata si anak dara sambil mengangkat poci arak dan menuangkan
satu mangkok lagi bagi orang itu, malahan ia terus memanggil pelayan: “He,
pelayan, tambah lagi sepuluh kati arak dan 20 kati daging rebus, Taciku menjamu
para paman dan bibi ini minum arak sekadar menolak hawa dingin.”
Pelayan mengiakan dan berteriak menyampaikan
pesanan itu, Semua orang sama tertawa gembira dan mengucapkan terima kasih
kepada si anak dara. Tidak lama, tiga pelayan lantas mengantarkan arak dan
daging yang dipesan.
Tapi si nyonya cantik tadi menjadi tidak
senang, katanya dengan cemberut: “Hm, umpama aku ingin menjamu tamu juga takkan
menjamu orang yang suka mengaco belo ini. He, pelayan, rekening arak dan daging
itu tidak boleh diperhitungkan padaku.”
Si pelayan melengak bingung, ia pandang si
nyonya cantik sebentar, lalu pandang si anak dara lagi.
Anak dara cantik itu lantas mengambil tusuk
kondai emasnya dan disodorkan kepada pelayan, katanya: “lni tusuk kondai dari
emas murni, sedikitnya bernilai beberapa puluh tahil perak, Nah, tukarkan saja
bagiku, Lalu bawakan lagi sepuluh kati arak dan 20 kati daging kambing rebus. ”
Nyonya cantik tadi menjadi marah, omelnya:
“Jimoay, Kau sengaja membikin keki aku, bukan? Melulu mutiara yang terbingkai
di tusuk kondai itu saja bernilai beberapa ratus tahil perak, tapi benda
berharga begitu sembarangan kau berikan untuk mentraktir minum arak sembarangan
orang. Nanti kalau pulang dan ditanyakan ibu, coba cara bagaimana kau akan menjawab?”
Anak dara itu melelet lidah, lalu berkata
dengan tertawa: “Akan kukatakan hilang di tengah jalan, sudah kucari tapi tidak
ketemu.”
“Huh, masakah aku mau berdusta bagimu?”"
omel si nyonya muda.
Si anak dara lantas mendahului menyupit
sepotong daging rebus dan dimakan, lalu berkata: “Nah, barang sudah dimakan masakah
boleh dikembalikan? Eh. hayolah para paman dan mamak, jangan sungkan-2, silakan
minum dan makan!”
Melihat kedua kakak beradik itu beradu mulut,
semua orang merasa tertarik, mereka sama menyukai si anak dara yang polos
ke-kanak 2an, maka dalam hati mereka memihak si anak dara. Rupanya si nyonya
muda cantik itu mendongkol ia terus memejamkan mata dan menutupi telinganya.
“Nah, Song toasiok, Taciku sudah tidur
silakan kau bercerita lagi, tentu takkan mengganggunya,” kata si anak dara
dengan tertawa.
“Bilakah aku tidur?” semprot si nyonya muda
dengan marah.
“Ah, bagus, tentunya engkau menjadi lebih tak
terganggu,” jawab si anak dara dengan tertawa.
Dengan suara keras si nyonya muda lantas
ber-kata; “Yang-ji, dengarkan kataku, jika kau selalu ngotot dengan aku, besuk
aku takkan berangkat bersama kau.”
“Ah, tak jadi soal, aku brrangkat bersama
Samte (adik ketiga),” ujar si nona cilik.
“Tidak, Samte akan ikut aku,” kata si nyonya.
“”Eh, Samte, kau akan berangkat bersama
siapa?” Tanya anak dara itu.
Anak muda tadi menjadi serba susah, kalau
membantu sang Taci, tentu Jici kurang senang, jika mengeloni Jici, sang Taci
yang akan marah, Dengan tergagap2 kemudian ia menjawab: “Kata ibu, kita bertiga
harus selalu bersamak tak boleh terpencar.”
“Nah, betul tidak? Kalau Taci tidak membawa
serta diriku, nanti kalau pulang dan ditanyai ibu, tentu Taci tak bebas dari tanggung
jawab,” jawab si nona cilik dengan tertawa.
Dengan mendongkol si nyonya menjawab: “Tahu
kau selalu bandel begini, dulu waktu kau masih kecil dan diculik orang jahat,
tentu aku tidak perlu berkuatir dan ikut mencari kau.”
Mendengar begitu, nona cilik itu menjadi
lunak hatinya, ia terus merangkul bahu sang Taci dan memohon: “O, Taci yang baik,
jangan marah ya! Anggaplah aku yang salah.”
Si nyonya muda sengaja bermuka merengut dan
tidak menggubris.
“Jika Taci tidak mau tertawa, akan ku-kitik2
kau,” kata si anak dara.
Tapi nyonya muda itu malah melengos ke sana. Mendadak anak dara
itu menggunakan tangan kanan untuk mengelitik ketiak sang Taci dari belakang,
Tanpa menoleh nyonya muda itu menggunakan siku kiri untuk menyikut ke belakang,
Tapi tangan kiri si anak dara sempat menangkap sang Taci dan tangan lain tetap
hendak mengelitik. segera si nyonya muda sedikit memutar tubuh dan sikutnya
menyodok untuk memaksa si anak dara menarik kembali tangannya, keduanya bergerak
dengan lemah gemulai dan bergaya menarik.
Hanya sekejap saja keduanya sudah saling
gebrak beberapa jurus, Si anak dara tetap tidak mampu mengelitik sang Taci, si
nyonya muda juga tidak dapa menangkap tangan adiknya.
“Kepandaian bagus!” tiba-tiba seorang berseru
tertahan di pojok ruangan sana.
Kedua kakak beradik serentak berhenti dan
memandang ke pojok sana, tertampak seorang duduk meringkuk menjadi satu
gulungan, kepala terbenam di antara kedua lututnya, agaknya sedari tidur
nyenyak, Sejak duduk di tepi api unggun kedua kakak beradik itu sudah melihat
cara orang tidur meringkuk begitu tanpa bergerak sedikitpun orang lain tidak dapat
melihat cara bagaimana kedua kakak beradik itu bercanda. Agaknya suara sorakan
itu bukan dilakukan olehnya.
Tiba-tiba si pemuda berkata, “Taci dan Jici,
ayah sudah pesan agar kita jangan sembarangan memperlihatkan kungfu kita.”
“Ah, sok kemaki!” si anak dara berseloroh.
“Tapi benar juga kau.” -Lalu dia berpaling
kepada lelaki kekar tadi: “Maaf, Song toasiok, kami kakak beradik rebut sendiri
sehingga lupa mendengar ceritamu Hayolah lekas mulai!”
LcIaki she Song itu menjawab: “Tapi
sekali-sekali aku bukan mendongeng, apa yang kuceritakan ini adalah kisah nyata.”
“Tentu saja cerita Song-toasiok adalah
kejadian nyata,” ujar si anak dara dengan tertawa.
Lelaki itu menenggak dulu araknya, lalu
berkata “Sudah kuminum dan makan suguhan nona, andaikan tidak bercerita juga
rikuh rasanya, Kalau saja semalam duitku tidak amblas di meja dadu, tentu akan
kujamu kembali engkau nona manis ini, memangnya panggilan Toasiok
berulang-ulang hanya panggilan percuma saja? -Eh, bicara tentang perkenalanku dengan
Sin-tiau-hiap, kejadiannya hampir sama dengan pengalaman Ong-ciangkun cilik
ini, jiwaku juga telah diselamatkan oleh Sin-tiau-hiap. Cuma sekali ini beliau
tidak menggunakan kekerasan melainkan dibeli dengan uang.”
“Sungguh aneh, masakah dia membeli kau dengan
uang?” si anak dara menegas, “Memangnya berapa sih harganya satu kilo dirimu ini?”
Lelaki itu terbahak-bahak, katanya: “Hahaha,
daging orang macamku yang berbau tengik ini ternyata jauh lebih mahal daripada
daging sampi maupun babi, Tahukah kau berapa Sin-tiau-hiap menghargai diriku
ini? Hah, 4000 tahil perak, tidak kurang. Begini kejadiannya: Lima tahun yang
lalu ketika membela sesuatu urusan di Celam, Soatang, aku telah membunuh mati
seorang bicokok setempat bunuh orang ganti nyawa, bukan soal bagiku.
Pada suatu hari aku harus menjalani hukuman
mati, yang mendongkolkan aku adalah aku diharuskan mati berbarengan dengan
seorang buaya darat setempat yang maha jahat.
Sungguh brengsek, masakah seorang laki-laki
sejati macamku harus mati di tempat yang sama dengan seorang penjahat? Wah,
betapapun aku sangat penasaran.”
“Tak terduga, selang beberapa hari, buaya
darat itu telah menyogok walikotanya sehingga tuduhan menculik orang, memeras,
membuka rumah perjudian dan rumah pelacuran, semuanya ditumpukkan atas diriku
dan buaya darat itu telah dibebaskan.
Dari kepala penjara kudengar bahwa buaya
darat itu lelah menyogok dua ribu tahil perak kepada walikota sehingga semua
kesalahannya ditambahkan seluruhnya atas namaku.
Katanya toh sama saja, suatu pelanggaran
dihukum mati, sepuluh pelanggaran juga dihukum mati, daripada mati dua orang
biarlah mati satu orang saja “
“Keruan aku merasa difitnah dan sangat
penasaran aku berteriak-teriak mencaci maki pembesar durjana itu, Tapi apa dayaku
? Lewat beberapa hari lagi aku dibawa ke sidang, sungguh aneh bin ajaib,
tahu-tahu buaya darat itu dihadapkan sidang pula bersamaku.
Kontan saja aku mengumpat habis-habisan. Tapi
pembesar korup itu lantas berkata dengan ter-tawa: “He, Song Ngo, tidak perlu
kau mencak-mencak begitu, persoalannya sudah kuselidiki dengan jelas bahwa kau memang
tidak bersalah, Bicokot itu bukan dibunuh olehmu, tapi dia pembunuhnya!”
sembari bicara ditudingnya pula buaya darat tadi, lalu akupun dibebaskan.
Tentu saja aku meng-garuk-garuk kepalaku yang
tidak gatal ini, sudah jelas akulah yang membunuh bicokot itu, mengapa sekarang
kesalahan ini ditimpakan kepada orang lain?”
“Hihi, sungguh pembesar yang konyol dan
linglung,” ujar si anak dara dengan mengikik tawa.
“Mana dia linglung,” ujar lelaki she Song
itu.
“Setiba di rumah, ibuku memberitahukan padaku
bahwa ketika aku diputus hukuman mati, ibu menangis setiap hari di jalan raya,
suatu hari kebetulan dilihat Sin-tiau-hiap dan ditanya sebab musababnya, Beliau
menyatakan sedang ada urusan penting dan takdapat membereskan perkara itu, ibu
diberi uang empat ribu tahil perak untuk menebus diriku.
Selang tiga bulan kemudian, tersiarlah berita
yang menggegerkan, katanya bapak walikota marah-marah lantaran habis kecurian
delapan ribu tahil perak, Kuyakin kejadian itu pasti perbuatan Sin-tiauhiap.
kami tak berani tinggal lagi ditempat asal dan terpaksa pindah ke Lim-an.
Lewat setahun lagi kudengar ada seorang tuan
bertangan buntung sebelah bersama seekor burung raksasa selalu berada di pantai
laut dan memandangi ombak samudera dengan termangu-mangu, Cepat kuburu ke sana
dan dapatlah menemui beliau, disitulah dapat ku-aturkan terima kasih padanya.”
“Apa yang kau terima kasihkan?” tiba-tiba si
nyonya muda menyela, “dia mengeluarkan empat ribu tahil perak dan masuk delapan
ribu tahil perak, jadi masih untung empat ribu tahil bersih. Memangnya orang
she Nyo itu mau berbuat sesuatu yang membuatnya rugi?”
“She Nyo? Sin-tiau-hiap itu she Nyo
maksud-mu?” tanya si anak dara.
“Entah, siapa yang bilang dia she Nyo?” jawab
si nyonya muda.
“Jelas baru saja Taci menyebutnya she Nyo,”
kata anak dara itu.
“Ah, kau sendiri yang salah dengar,” bantah
si nyonya.
“Baiklah, tak perlu kuribut dengan kau,” ujar
si anak dara.
“Seumpama betul Sin-tiau-hiap untung bersih
empat ribu tahil perak pasti juga akan dipergunakan untuk membantu kaum miskin
dan menolong orang sengsara.”
Serentak semua orang bersorak merauji:
“Bagus! Memang tepat ucapan nona!”
“Eh, Song-toasiok, Sin-tiau-hiap itu
memandangi ombak laut? Apakah dia sedang menunggu sesuatu di sana ?” Tanya si
anak dara pula.
“Entahlah, akupun tidak tahu,” jawab lelaki She
Ong sambil menggeleng.
Si anak dara mengambil dua potong kayu bakar
dan dilemparkan ke gundukan api unggun, iapun termenung-menung memandangi api
yang berkobar itu, kemudian ia menggumam pelahan: “Meski Sin-tiau-hiap suka
menolong orang lain, bisa jadi ia sendiripun menyimpan sesuatu persoalan pelik,
Sebab apakah dia termenung memandangi laut? Ya, sebab apakah memandangi laut
dengan termangu-mangu?”,
Seorang wanita setengah umur yang duduk di
sudut kiri sana tiba-tiba menyeletuk “Aku mempunyai seorang adik misan dan
beruntung dapat bertemu dengan Sin-tiau hiap yang sedang memandangi laut dengan
termangu-mangu itu, karena heran, adik misan pernah tanya beliau, menurut keterangan
Sin-tiau-hiap, katanya isterinya berada di seberang lautan sana dan takdapat
berjumpa.”
“Ahhh!” semua orang sama bersuara heran.
“Kiranya Sin-tiau-hiap juga punya isteri,”
kata si anak dara cantik, “Entah sebab apakah isterinya berada di seberang lautan
sana, Dia memiliki kepandaian setinggi itu, mengapa dia tidak menyeberang ke sana
untuk mencari isterinya?”"
“Adik misanku juga pernah tanya begitu
padanya,” tutur si wanita setengah umur tadi, “Tapi beliau menjawab bahwa lautan
seluas itu. entah ke mana baru dapat menemukannya?”
“Ai, kupikir tokoh demikian pasti seorang
yang berbudi dan berperasaan halus, ternyata memang benar,” kata si anak dara
dengan menghela napas pelahan. Lalu ia tanya pula: “Adik misanmu tentu sangat
cantik bukan? Diam-diam dia menyukai Sin tiau-hiap. betul tidak?”
“Hus! Jimoay, kau bicara yang aneh-aneh lagi!”
bentak si nyonya cantik tadi.
Tapi wanita setengah umur itu lantas berkata:
“Ya, adik misanku memang tergolong cantik. Sin-tiau-hiap telah menyelamatkan
jiwa ibunya dan membunuh ayahnya Apakah diam-diam adik misan menyukai
Sin-tiau-hiap sukar diketahui orang lain-Cuma sekarang dia sudah menikah dengan
seorang petani yang baik, Sin-tiau-hiap telah memberi sejumlah uang, penghidupannya
cukup lumayan.”
“Sin-tiau-Hap menyelamatkan jiwa ibunya,
membunuh ayahnya sungguh kejadian aneh, aku menjadi rada sangsi apakah betul
bisa terjadi begitu?” ujar si anak dara tadi.
“Kenapa mesti sangsi?” kata sang Taci, si
nyonya cantik, “watak orang itu memang aneh dan sebentar2 berubah, kalau senang
dia menolong jiwa orang, kalau tidak suka lantas dia membunuh, Yu, memang sudah
begitu sejak kecilnya.”
“Sudah begitu sejak kecilnya? Taci tahu
darimana?” Tanya si anak dara.
“Tentu saja kutahu.” jawab si nyonya muda.,
Dan meski telah ditanya dan didesak lagi oleh si anak dara, tetap dia tidak mau
menjelaskan.
“Baiklah, kau tak mau bercerita ya sudahlah,
memangnya siapa pingin tahu?” kata si anak dara dengan rada mendongkol “Rasanya
seumpama kau mau bercerita juga cuma membual belaka.” Lalu ia berpaling kepada
si wanita setengah umur dan berkata pula: “En, Toasoh, maukah kau bercerita
mengenai pengalaman adik misanmu?”
“Baiklah, akan kuceritakan,” jawab wanita
itu.
“Usiaku dengan adik misan sebaya, rumah adik
berada di Holam, Tahun itu orang Mongol telah menyerbu sampai di wilayah sana
dan Kohtio (paman) telah diculik pasukan musuh untuk dijadikan kuli kerja
paksa, Bibi membawa adik misan mencari paman ke utara dengan cara minta-minta
sepanjang jalan. Susah payah juga perjalanan mereka itu, terutama jika diingat
bahwa wajah bibi dan adik tidaklah jelek, tentu banyak mendatangkan kesuIitan.
Sebab itulah bibi dan adik telah memoles muka dengan hangus agar tidak
merangsang pikiran orang jahat”
“Mengapa muka mereka dibeji hangus menjadi
tidak merangsang orang jahat?” tanya
si anak dara.
Karena pertanyaan ini, sebagian orang-orang
itu, terutama kaum lelakinya, sama tertawa geli.
“Jimoay!” omel si nyonya muda, “kalau tidak
tahu, hendaklah jangan sembarangan bertanya, Nona sebesar ini hanya menimbulkan
tawa orang saja!”
“Justeru lantaran aku tidak tahu, makanya aku
tanya, kalau sudah tahu buat apa tanya,” gerundel si anak dara.
“Ah, urusan kurang pantas diceritakan itu
lebih baik nona tidak paham saja,” ujar wanita setengah umur tadi. “Selama empat
tahun bibi dan adik misan menjelajahi Mongol dan kemudian sampai ke Soasay,
akhirnya dapatlah paman diketemukan menjadi budak di bawah seorang Mongol ber-pangkat
Jian-hou-tiang (kepala Seribu Jiwa), Jian-hou-tiang itu sangat jahat ketika
paman diketemukan kebetulan bibi menyaksikan sebelah kakinya baru saja dipukul
patah oleh orang Mongol itu.
Tentu saja bibi sangat berduka dan memohon
suaminya dibebaskan Orang Mongol itu bersedia melepaskan paman apabila ditebus
dengan seribu tahil perak, sebab katanya dia beli paman dengan harga seratus
tahil sedangkan sepuluh tahil saja bibi tidak punya darimana seribu tahil perak
itu diperoleh? Setelah putus asa dan menghadapi jalan buntu, bibi menjadi
nekat, terjunlah dia ke dunia gelap, bersama adik misan dan ia sendiri dijual
ke Ca bo-keng (rumah pelacuran)”
Karena tidak tahu apa artinya “Ca bo-keng” si
anak dara cantik itu hendak bertanya lagi, tapi karena tadi pertanyaannya telah
menimbulkan tertawa orang, tiba-tiba ia urungkan maksudnya bertanya.
Terdengar wanita setengah baya itu
melanjutkan ceritanya: “Begitulah bibi dan adik misan hidup menderita setengah
tahun, sedikit2 mereka sudah ada tabungan, tapi untuk mencukupi seribu tahil
perak sungguh tidak mudah.
untunglah para tetamu mengetahui cita2 luhur
ibu beranak yang ingin menolong suami itu, maka waktu memberi uang sengaja
dilebihkan daripada tarip umum.
Dengan susah payah dan kenyang hina derita,
pada malaman tahun baru dapatlah mereka menabung cukup seribu tahil perak,
Dengan riang gembira mereka membawa uang tabungan itu ke rumah Jian-hou-tiang
untuk diserahkan sebagai harga tebus paman, mereka pikir malam itu juga
antara suami isteri dan anak dapat berkumpul
kembali sehingga dapat merayakan tahun baru dengan gembira.”
Sampai di smi, si anak dara ikut bergembira
juga bagi ibu beranak yang beruntung itu. Tapi si wanita setengah baya lantas
berkata: “Namun kenyataan ternyata berlainan daripada harapan, setelah menerima
seribu tahil perak, Jian hou-tiang itu memang benar mengeluarkan paman untuk
bertemu bibi dan adik, tapi ketika mereka bertiga menghadap Jian-hou tiang itu
untuk mohon diri, tiba-tiba timbul lagi pikiran jahat pada orang MongoI itu
karena melihat adik misan ku yang cantik itu, katanya:
“Bagus sekali kalian mau menebus budak ini,
nah, boleh serahkan uang tebusannya! - Keruan bibi terkejut, padahal seribu
tahil perak itu sejak tadi sudah diserahkan kepada kasir Jian-hou tiang itu,
mengapa sekarang menagih lagi? Namun Jian-kou-tiang itu tidak mau terima alasan
bibi, dengan marah ia malah membentak: “Huh, masakah seorang berpangkat seperti
aku ini sudi anglap duit -kaum budak? Kalian sengaja hendak mencemarkan nama
baikku ya?”
Tentu saja bibi menjadi takut dan berduka
pula, tanpa tahan lagi ia menangis ter gerung2 di tempat.
“Jian-hou tiang itu lantas berkata -,
“Baik!ah, mengingat malam ini adalah malaman tahun baru, biarlah kuberi kesempatan
berkumpul kalian suami-isteri. Tapi budak ini mungkin akan kabur, maka sebagai
jaminan anak gadis kalian harus ditinggalkan di sini.”
Sudah tentu bibi tahu maksud busuknya dan
tidak dapat menerima kehendak orang, Segera Jian-hou-tiang itu membentak-bentak
gusar dan memerintahkan anak buahnya mengusir bibi dan paman.”
“Karena tidak tega meninggalkan anak
perempuannya, bibi menangis sesambatan di depan rumah Jian-hou-tiang itu.
Walaupun setiap orang mengetahui kesusahan
bibi, namun di bawah kekuasaan orang Mongol, membunuh seorang Han ibarat kan
memites seekor semut, siapa yang berani membela keadilan? Tapi yang paling
celaka adalah pamanku, dia malah bilang: “Kalau tuan besar Jian-hou-tiang penujui anak
gadis kita, inilah rejeki yang sukar dicari bagi orang lain, kenapa kau malah
menangis?” Rupanya paman sudah terlalu lama menjadi budak sehingga jiwa raganya
sampai tulang sungsum-nya benar-benar sudah berbau budak.
Kemudian iapun menanyakan bibi darimana
mendapatkan seribu tahil perak untuk menebusnya. Semula bibi tidak mau menjelaskan,
karena didesak, akhirnya diceritakan juga. Tak tahunya paman menjadi marah dan
menuduh bibi telah mencemarkan nama baiknya, katanya perempuan yang tidak
dapat menjaga kepribadian dan suka melacurkan
diri, bibi dianggapnya terlalu hina dina. Segera paman membuat suratce-rai dan
menceraikan bibi.”
Sampai di sini, semua orang sama menggerutu
dan menganggap nasib bibinya itu sungguh malang dan pamannya itu terlalu kejam.
“Bibi menjadi putus asa,” demikian tutur
wanita lebih lanjut, “diam-diam beliau pergi ke hutan dan hendak menggantung
diri dengan tali pinggangnya, Untung Sin-tiau-hiap kebetulan lewat dan dapat
menyelamatkan jiwanya, setelah mengetahui duduknya perkara. Sin-tiau-hiap
sangat gusar, malam itu juga beliau masuk ke tempat Jian-hou-tiang itu dan
melihat adik misan sedang dipaksa untuk menuruti kehendaknya, celakanya paman
juga di situ dan malah membujuk agar adik misan menuruti saja.
Kontan Sin-tiau-hiap memukul mati pamanku itu
dan menyeret Jian-hou-tiang itu dan melemparkan ke sungai, adik misan juga
ditolong keluar. Begitulah kisahnya Sin-tiau-hiap menyelamatkan bibi dan
membunuh pamanku. Menurut Sin-tiau-hiap, selama hidupnya paling benci kepada
manusia yang
tak berbudi dan tak berperasaan, apalagi rela
diperbudak musuh segala, paman telah melanggar pantangan Sin tiau hiap itu,
maka tanpa sungkan-sungkan lantas dibunuhnya.”
Saking kesemsemnya mendengar cerita menarik
itu. Tanpa terasa anak dara cilik itu lantas mengangkat mangkok arak dan minum
seceguk.
“Ah, pedas!” katanya sambil meringis, Karena
tidak biasa minum arak, seceguk saja telah membuat mukanya menjadi merah
sehingga makin menambah kecantikannya. Dengan pelahan ia berkata pula: “Kalian
beruntung sudah pernah melihat Sin-tiau-hiap, jika akupun dapat berjumpa dan
bicara sejenak dengan dia, andaikan umurku harus berkurang tiga tahun juga aku
rela.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar