Senin, 03 Desember 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 100

Kembalinya Pendekar Rajawali 100

Kongsun Ci tidak tahu bahwa di puncak gunung terpencil ini ada lubang gua sedalam itu, tanpa pikir ia menerjang ke arah Kiu jian-jio dan akhirnya kejeblos, Tapi pada detik terakhir itu ia masih berusaha mencari hidup, sekuatnya ia ayunkan jubahnya untuk membelit kaki kursi Kiu Jian-jio agar dia dapat meloncat ke atas lagi, siapa tahu sekali tarik justeru kedua orang sama-sama terjerumus ke bawah malah.
Ber-puluh2 meter dalamnya lubang di bawah tanah itu, keruan tubuh sepasang suami-isteri itu hancur lebur menjadi bakso dan saling lengket tak terpisahkan lagi, Tak terkira semasa hidupnya pasangan yang saling dendam dan benci itu akhirnya mati berbareng pada hari dan detik yang sama, terkubur pada tempat dan liang yang sama pula.
Setelah Yo Ko menceritakan seluk-beluk kehidupan Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio, semua orang sama menghela napas gegetun, Yalu Ce dan anak-anak muda lain lantas menggali suatu liang untuk mengubur keempat pelayan itu, Melihat api masih berkobar dengan hebatnya di lembah sana dan jelas tiada tempat tinggal lagi di situ, apalagi setelah menyaksikan korban sebanyak ini, semua orang sama berharap selekasnya dapat meninggalkan Coat ceng-kok itu, “Penyakit adik Yo Ko masih perlu disembuhkan kita harus lekas mencarikan tabib sakti untuk mengobati dia,” ujar Cu Cu-liu.
Semua orang membenarkan usul itu. Tapi Oey Yong telah berkata: “Tidak, hari ini kita belum boleh berangkat.” “Apa Kwe hujin ada usul lain?” tanya Cu Cu-liu .
Oey Yong mengerut kening, jawabnya. “Bahuku terluka dan terasa kesakitan Kuharap malam ini kalian sudi tinggal lagi disini, kita berangkat besok saja.”
Bahwa kesehatan Oey Yong terganggu dengan sendirinya semua orang menurut untuk bermalam di situ. Beramai-ramai mereka lantas pergi mencari gua dan tempat meneduh lain dan sebagainya.
Siao-liong-li dan Yo Ko lantas hendak melangkah pergi, Tiba- Oey Yong berseru: “Liong-moaymoay, coba kemari, ingin kubicarakan sesuatu padamu.” Lalu ia menyerahkan Kwe Yang kepada Kwe Hu dan mendekati Siao-liong-li, katanya pula kepada Yo Ko dengan tersenyum.
“Jangan kuatir, Ko- ji, dia sudah menikah dengan kau, tak kan kuhasut dia minta cerai padamu.”
Yo Ko tersenyum, jawabnya: “Boleh saja kau coba menghasutnya” Dalam hati ia sangat heran apakah yang hendak dibicarakan sang bibi dengan Siao-liong-li. Terlihat mereka menuju ke sana lalu berduduk di bawah sebatang pohon besar, Meski penuh rasa ingin tahu, namun tidak enak untuk mendekati mereka. Segera terpikir pula olehnya: “”Apakah Liong-ji pasti takkan merahasiakan pada-ku, sebentar juga dia akan memberitahukan apa yang dikatakan bibi Kwe itu.”
Setelah berduduk di bawah pohon sana, Oey Yong lantas berkata: “Adik Liong, sungguh aku sangat menyesal puteriku yang ceroboh dan sembrono itu telah banyak membikin susah kau dan Ko-ji.”
“Ah, tidak apa-apa” ujar Siao-liong-li dengan tersenyum. Tapi dalam hati ia pikir dengan sebuah jarum berbisa puterimu telah mencelakai aku hingga tak bisa disembuhkan lagi, sekalipun kau menyesal seribu kali juga tiada gunanya.
Oey Yong tambah melihat kemuraman Siaoliong-li, ia belum lagi tahu bahwa sebuah jarum yang disambitkan Kwe Hu itu sesungguhnya telah menamatkan riwayat Siao-liong-li.
Disangkanya racun jarum itu tidaklah sukar disembuhkan seperti dahulu Bu Sam-thong, Yo Ko dan lain-lain juga pernah terkena jarum berbisa itu dan semuanya dapat di-sembuhkan, ia tidak tahu bahwa tatkala mana Siao-liong-li sedang memutar balik jalan darahnya menurut ajaran Yo Ko sehingga keadaannya sama sekali berbeda ketika terkena jarum berbisa itu.
Tapi karena waktu itu Oey Yong sendiri tidak ikut masuk ke kuburan kuno itu, maka ia tidak tahu duduknya perkara, segera ia berkata pula: “Ada sesuatu yang ingin kumintakan penjelasanmu, Dengan susah payah adik berhasil rebut Coat ceng-tan, tapi Ko-ji tidak mau meminumnya, bahkan dibuang ke jurang, Apakah sebabnya dia berbuat begitu?”
Siao-liong-li menghela napas pelahan, ia tahu betapa cintanya Yo Ko padanya dan tidak mau hidup sendiri, tapi urusan sudah kadung beg’ni, buat apa dibicarakan lagi  sehingga menimbulkan gara-gara pula? Maka ia lantas menjawab: “Mungkin sifatnya memang aneh.”
“Ko-ji adalah seorang yang berperasaan dan berbudi, mungkin ia melihat nona Kongsun rela mengorbankan jiwa sendiri demi mendapatkan obat itu, maka iapun tidak tega dan tidak ingin minum obat itu untuk membalas kebaikan nona cantik itu, Adik Liong, jalan pikiran Ko-ji itu harus dipuji, namun orang mati tak dapat hidup kembali, pendiriannya yang  kepala batu itu justeru malah berlawanan dengan tujuan pengorbanan nona Kongsun.” Siao-liong li mengangguk dan tidak mau menanggapi.
Lalu Oey Yong beikata pula: “Padahal dengan mati-matian adik Liong menempur Kongsun Ci di tebing curam itu kan juga tidak menghiraukan mati hidupnya sendiri? Di dun’a ini Ko-ji hanya menurut pada perkataanmu, kuharap engkau suka menasehati dia agar berpikir panjang.”
“Seumpama dia mau menurut perkataanku di dunia ini mana ada Coat-ceng-tan lagi?” ujar Siao-Hong-li dengan pilu.
“Meski Coat-ceng-tan tidak ada lagi, namun racun di dalam tubuhnya bisa jadi dapat disembuhkan yang sulit adalah karena dia tidak mau minum obat,” kata Oey Yong.
Siao-liong-li terkejut girang, cepat ia berdiri dan bertanya: “Setiap orang suka-memuji Kwe-hujin banyak tipu akalnya, nyatanya memang tidak omong kosong, jadi engkau maksudkan ada. ada obat lain yang dapat menyembuhkan Ko-ji?”
Oey Yong memegangi tangan Siao-liong-li, katanya: “Duduklah,kau.” . Lalu ia mengeluarkan setangkai kecil rumput warna ungu dan berkata puIa: “lni namanya Toan-jong cau,  Sebelum menghembuskan napasnya, paderi Hindu itu memegangi rumput kecil ini, Dari Cu-susiok kudengar waktu itu mereka sedang mencari obat penawar racun bunga cinta dan mendadak disergap hingga binasa oleh jarum berbisa Li Bok-chiu. Bukankah engkau melihat air muka paderi itu menguIum senyum meski orangnya sudah meninggalkan?
Kuyakin waktu itu beliau sedang bergirang karena berhasil menemukan rumput ini, Guruku Ang Cit-kong juga pernah bercerita padaku, katanya di mana ular berbisa suka berkeliaran di situ pula pasti ada tumbuh obatnya yang dapat memunahkan racun ular, begitu pula dengan makhluk-makhluk berbisa lainnya, itulah hukum alam, sedangkan Toan-jong-cau ini kebetulan ditemukan di bawah semak-semak bunga cinta, meski rumput ini terkenal berbisa, namun setelah kurenungkan berulang-ulang, kuyakm dengan rumput ini dapat digunakan sebagai obat racun menyerang racun, jadi rumput ini adalah obat anti racun bunga cinta itu.”
Uraian Oey Yong ini membuat Siao-liong-li manggut-manggut berulang-ulang.
Kemudian Oey Yong menyambung pula: “Sudah tentu minum rumput berbisa ini harus menyerempet bahaya, tapi mau apa lagi? Toh tiada obat lain yang dapat menolongnya, betapapun kita harus mencobanya, Menurut pikiranku, besar kemungkinan khasiat rumput ini dapat menyembuhkan dia.”
Siao-Iiong li tahu Oey Yong memang pintar dan banyak tipu dayanya, jika dia berkata secara begitu meyakinkan, maka urusannya pasti tidak salah, apalagi memang tiada jalan lain kecuali itu. Setelah membulatkan tekad, lalu ia menjawab: “Baiklah, akan kuminta dia minum obat ini,”
Segera Oey Yong mengeluarkan lagi segenggam Toan jong-cau dan diserahkan pada Siao-Iiong-li katanya: “Sepanjang jalan kupetik sebanyak ini, kukira sudah cukup. Untuk permulaan boleh kau suruh dia makan sedikit saja, suruh dia mengerahkan hawa murni untuk melindungi jantung, lihat dulu bagaimana kerjanya rumput ini, kemudian barulah ditambah atau dikurangi jumlah rumput yang harus dimakan.”
Siao-liong-li simpan rumput itu dan menyembah kepada Ui Yong, katanya dengan suara rada tersendat: “Kwe-hujin, selama hidup Ko-ji kenyang duka derita, tindak-tanduknya memang rada kepala batu, tapi sudilah engkau suka menjaganya dengan baik,”
Cepit Oey Yong membangunkan Siao-liong-li, katanya dengan tertawa: “Kau yang menjaganya akan berpuluh kali lebih baik daripadaku Kelak kalau kepungan musuh atas Siangyang sudah reda, biarlah kita berkunjung ke Tho-hoa-to dan istirahat untuk beberapa lamanya di sana.”
Betapapun pintarnya Oey Yong juga tidak menyangka bahwa jiwa Siao liong li tinggal tidak lama lagi, ucapannya tentang menjaga Yo Ko benar-benar permohonannya dengan setulus hati, waktu ia berpaling, dilihatnya Yo Ko berdiri jauh di sana sedang memandangi Siao-liong-li walaupun apa yang
mereka bicarakan sama sekali tak dapat didengarnya.
Sementara itu semua orang telah mengatur tempat bermalam masing-2, ada yang menemukan gua, ada yang di bawah pohon.
Melihal Oey Yong sudah pergi setelah bicara, Yo Ko lantas mendekati Siao liong-li. Dengan tersenyum Siao-Iiong-li berdiri memapaknya dan berkata: “Setelah kita menyaksikan kejadian mengenaskan tadi, hari kita sendiri juga bersisa tidak banyak lagi, Ko ji, kini urusan orang lain sama sekali takkan kita urus, Marilah kau mengawani aku ber-jalan-jalan,”
“Benar, akupun berpikir demikian,” jawab Yo Ko
Kedua orang lantas bergandengan tangan dan berjalan melintasi lereng sana Tidak lama kelihatanlah sepasang muda-mudi duduk berdampingan di atas batu asyik bicara dengan pelahan, kiranya mereka adalah Bu Tun-si dan Yalu Yan, Nyo Ko tersenyum saja dan mempercepat langkah melewati kedua anak muda itu.
Belum lagi jauh, tiba-tiba di tengah semak-semak pohon sana ada suara ngikik tawa orang, Wanyan Peng kelihatan berlari keluar dan di belakangnya mengejar seorang sambil berseru: “Hayo, hendak lari ke mana kau?”
Kepergok oleh Yo Ko dan Siao liong-Ii, air muka Wanyan Peng menjadi merah dan menyapi: “Nyo-toako dan Liong-cici”
Cepat pula ia berlari masuk ke hutan sana, menyusul Bu Siu-bun lantas muncul dari semak-semak pohon sana terus mengejar ke dalam hutan.
“O, dunia, apakah cinta itu” demikian Yo Ko berguman pelahan, Sejenak kemudian iapun berkata: “Belum lama berselang kedua saudara Bu itu saling labrak mati-mati-an demi memperebutkan nona Kwe, tapi hanya sekejap saja cinta kedua anak muda itu sudah berganti sasaran. Ada orang yang selama hidupnya cuma mencintai seorang, tapi juga ada orang yang sukar diketahui cintanya murni atau palsu, O, dunia, apakah cinta itu? pertanyaan ini memang pantas dikemukakan.”
Sejak tadi Siao-liong-li hanya menunduk termenung dan tidak bersuara, Keduanya berjalan pelahan hingga di kaki gunung, Waktu menengadah, sang surya di waktu senja sedang memancarkan sinarnya yang cemerlang, salju di puncak gunung kemilauan oleh cahaya matahari menambah keindahan alam yang sukar dilukiskan.
Teringat kepada hidup mereka yang bersisa tidak lama lagi, kedua orang menjadi tambah kesemsem kepada pemandangan permai itu.
Siao-liong li termangu-mangu sekian lama, tiba-tiba ia berkata: “Koji, konon orang mati akan menuju ke akhirat, apakah benar ada akhirat dan rajanya?”
“Semoga begitu hendaknya, kalau tiada akhirat, ke mana kita akan menuju dan tentu takkan berkumpul dan bertemu lagi,” ujar Yo Ko.
Siao-liong-li sudah biasa mengekang perasaan sendiri, walaupun sedih, namun nada ucapannya tetap tenang dan biasa saja, sebaliknya Yo Ko tidak tahan lagi, ia berpaling ke sana dan meneteskan air mata.
“Ah, soal akhirat masih tanda tanya, kalau bisa terhindar dari mati, tentunya lebih baik tidak mati saja,” kata Siao-liong-li sambil menghela napas. “Eh, Ko-ji, lihatlah alangkah indahnya bunga itu!”
Yo Ko memandang ke arah yang ditunjuk, tertampak ditepi jalan sana tumbuh setangkai bunga warna merah tua, kelopak bunganya lebar sehingga hampir sebesar mangkuk, bentuknya seperti bunga mawar dan juga mirip bunga peoni.
“Sungguh jarang ada bunga semacam ini, entah apa namanya bunga yang mekar di musim dingin ini? Biarlah kuberi nama Liong-li-hoa (bunga puteri Liong) saja,” kata Yo Ko sambil mendekati dan memetik bunga itu serta menyuntingkan-nya di belakang telinga Siao-liong-li.
“Terima kasih, sudah kau hadiahi bunga bagus, diberi nama bagus pula,” kata Siao-liong li dengan tertawa.
Mereka melanjutkan perjalanan sejenak pula, kemudian mereka berduduk di suatu tanah berumput.
“Apakah kau masih ingat pada waktu kau menyembah dan mengangkat guru padaku dahulu?” tanya Siao-liong li tiba-tiba.
“Tentu saja ingat,” jawab Yo Ko.
“Kau pernah bersumpah bahwa selama hidupmu kau akan tunduk pada perkataanku, apapun yang kukatakan takkan kau bantah, sekarang aku telah menjadi isterimu, menurut pendapatmu sepantasnya aku harus “setelah menikah tunduk kepada suami” atau kau yang harus “tetap tunduk kepada perintah guru”?”
“Ah, apapun yang kau katakan, itu pula yang kukerjakan,” jawab Yo Ko dengan tertawa “Perintah guru tak berani kubantah, perintah isteri lebih-lebih tak berani kubangkang.”
“Bagus, asal kau ingat saja,” kata Siao-liong-li.
Mereka duduk bersandar di tanah berumput itu, pemandangan sekeliling indah permai sehingha rasanya berat untuk berpisah.. Dari jauh mereka dengar suara Bu Sam-thong memanggil mereka ber-santap, Mereka saling pandang dengan tersenyum dan sama-sama berpendapat untuk apa bersantap dengan meninggalkan pemandangan indah yang sukar dicari ini?
Sementara itu hari sudah mulai gelap, mereka sudah teramat lelah sehari semalam, apalagi merekapun sama-sama terluka, selang tak lama, tanpa terasa mereka sama tertidur.
Sampai tengah malam, layap-layap Yo Ko memanggil: “Apakah kau kedinginan, Liong-ji!” - Bcrbareng ia hendak merangkul nya, siapa tahu rangkulannya telah merangkul tempat kosong.
Keruan ia terkejut dan cepat membuka mata, ternyata Siao-liong-li sudah menghilang entah ke mana. Segera ia melompat bangun, ia memandang sekitarnya, bulan sabit menghias di angkasa menyinari bumi, suasana sunyi senyap, mana ada bayangan Siao-liong-li?
Yo Ko berlari-lari ke atas gunung sambil berteriak-teriak: “Liong ji! Liong-ji!”" -seketika suaranya bergema, kata-kata “Liong-ji” itu berkumandang dari lembah pegunungan, namun tetap tiada jawaban Siao-liongli.
“Ke mana perginya?” tidak kepalang cemasnya Yo Ko. Ia tidak menguatirkan Siaoliong-li dicelakai binatang buas, sebab diketahuinya di pegunungan ini tiada sesuatu binatang buas yang menakutkan, andaikan ada juga takdapat mengganggu Siao-liong-li, Jika ketemu musuh tangguh, mustahil dirinya tidak mengetahuinya mengingat mereka berdua tidur berdampingan.
Karena teriakan Yo Ko inilah, serentak It-teng Taysu, Ui Yong, Cu Cu-liu dan lain-lain terjaga bangun. Ketika mendengar Siao-liong li menghilang entah ke mana, tentu saja semua orang merasa heran, beramai-ramai mereka lantas ikut mencari di segenap pelosok lembah pegunungan itu, namun tetap tidak ditemukan jejak.
“Tentu dia sengaja tinggal pergi sehingga aku sama sekali tidak mengetahuinya,” demikian pikir Yo Ko, “Tapi mengapa dia pergi begitu saja tanpa pamit? Hal ini pasti ada sangkut-pautnya dengan pembicaraannya dengan bibi Kwe siang tadi, Ketika itu dia tampak sedih dan mengajak aku ke sini, tentu juga disebabkan setelah berbicara dengan bibi Kwe.”
Karena pikiran ini, segera ia tanya Oey Yong dengan suara keras: “Kwe-pekbo, apa yang kau bicarakan dengan Liong-ji siang tadi?”
Oey Yong sendiri tidak habis mengerti mengapa mendadak Siao-liong li menghilang, ia lihat urat hijau di dahi Yo Ko sama menonjol, cara bicaranya rada kasar, segera ia tahu gelagat tidak enak, cepat ia menjawab: “Kuminta dia agar suka membujuk kau minum Toan-jong-cau itu agar racun dalam tubuhmu bisa dipunahkan.”
Tanpa pikir Yo Ko berteriak pula: “Jika dia tak dapat hidup lama lagi, untuk apa aku hidup sendirian di dunia ini?”
“Jangan kuatir, Ko ji,” Oey Yong berusaha menghibur “Seketika nona Liong entah pergi ke mana, tapi mengingat ilmu silatnya yang maha tinggi kukira dia takkan beralangan apapun, masakah kau bilang dia tak dapat hidup lama lagi?”
Saking cemasnya Yo Ko takdapat menguasai perasaannya Jagi, teriaknya gemas: “Puteri kesayanganmu telah menyarangkan jarum berbisa di tubuhnya, ketika itu dia sedang mengatur jalan darah secara terbalik untuk menyembuhkan lukanya, maka racun jarum itu telah terserot seluruhnya ke jantungnya, dalam keadaan begitu mana dia dapat hidup lama lagi, dia kan bukan dewa?”
Tentu saja Oey Yong tidak pernah menyangka akan kejadian itu, Meski dia mendengar dari Kwe Hu bahwa Yo Ko dan Siao-liong li telah keliru dilukainya dengan jarum berbisa di kuburan kuno itu, tapi ia pikir Yo Ko berdua adalah ahli waris Ko-bong-pay, suatu aliran der:gan Li Bokchiu, tentu mereka memiliki obat penawar perguruannya untuk menyembuhkannya, sekarang mendengar ucapan Yo Ko ini, seketika mukanya menjadi pucat terkejut.

Cepat sekali Oey Yong menggunakan otaknya, segera terpikir olehnya: “Kiranya Ko-ji tidak mau minum Coat-ceng-tan itu adalah karena jiwa isteri nya sudah pasti takkan tahan lama lagi, makanya dia tidak ingin hidup sendiri. Lantas ke mana perginya nona Liong sekarang?” ia memandang ke puncak gunung yang bergua dan telah menelan bulat Kiu Jian-jio dan Kongsun Ci itu, tanpa terasa ia merinding sendiri.
Tanpa berkedip Yo Ko memandangi Oey Yong, dengan sendirinya iapun dapat meraba jalan pikiran nyonya cerdik yang gemetar memandangi puncak gunung sana, seketika ia kuatir dan gusar, kata-nya: “Sudah jelas jiwanya sukar dipertahankan lantas kau membujuk dia agar membunuh diri untuk menyelamatkan jiwaku, begitu bukan? Mungkin kau mengira tindakanmu ini ada baiknya bagiku, tapi aku… aku O, betapa benciku padamu…”
Sampai di sini dadanya menjadi sesak, ia terus roboh pingsan.
Cepat It-teng menurut gitok anak muda itu sejeuak, perlahan-lahan Yo Ko siuman kembali, Oey Yong lantas berkata: “Aku hanya membujuk dia supaya menyelamatkan jiwamu dan sekali tidak meminta . dia bunuh diri. Kalau kau tidak percaya ya terserah padamu!”
Semua, orang saling pandang dengan bingung, Tiba-tiba Thia Eng berkata: “Lekas kita membuat tali
panjang dari kulit pohon, biar kuturun ke dalam gua sana untuk mencannya, barangkali… barangkali Liong-cici tergelincir…”
“Ya, betapapun kita harus mencarinya hingga jelas persoalannya,” ujar Oey Yong.
Segera mereka bekerja keras mengupas kulit pohon untuk dipintal menjadi tali besar, orang banyak tenaga kuat, tidak lama tali yang ratusan meter panjangnya sudah jadi, Beramai-ramai para anak muda itu mengajukan diri untuk menyelidiki gua di bawah tanah itu.
“Biarlah aku sendiri yang turun ke sana,” kata Yo Ko.
Semua orang memandang Oey Yong untuk menunggu keputusannya, Oey Yong tahu dirinya dicurigai Yo Ko, kalau keinginan anak muda itu dicegah pasti juga takkan digugu, sebaliknya kalau dibiarkan turun ke bawah, mungkin Siao liong-li betul terjatuh dan meninggal di sana, maka pastilah anak muda itu takkan mau naik lagi di sini.
Selagi Oey Yong ragu-ragu, tiba-tiba Thia Eng berkata pula dengan iklas: “Nyo-toako, aku saja yang turun ke sana.
Dapatkah engkau mempercayaiku?”
Selain Siao-liong-li, hanya Thia Eng saja yang paling digugu oleh Yo Ko. Apalagi ia sendiripun sedih dan bingung, kaki tangan terasa lemas, terpaksa ia mengangguk setuju.
Segera Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lain yang bertenaga kuat memegangi tali panjang itu untuk menurunkan Thia Eng ke dalam gua bawah tanah itu. Karena lubang gua di bawah tanah itu terletak dipuncak bukit, maka dalamnya gua juga sama tingginya dengan puncak itu. Tali panjang itu terus
di ulur hingga tertinggal beberapa meter saja barulah Thia Eng mencapai tanah.
Beramai-ramai semua orang berdiri mengelilingi lubang gua itu dan tiada seorangpun yang bicara.
Oey Yong hanya saling pandang dengan Cu Cu-liu, apa yang mereka pikir adalah sama, yakni kalau Siao-liong-li benar-benar meninggal di bawah sana, pasti Yo Ko akan terjun juga ke dalam gua, hal ini harus di cegah sebisanya.
Begitulah dengan perasaan cemas dan gelisah semua orang memandangi lubang gua itu dan menantikan berita yang akan dibawa oleh Thia Eng.
Sekian lama mereka menunggu dengan tidak sabar dan Thia Eng masih belum nampak memberi tanda untuk naik kembali ke atas.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba tali yang dipegang Bu Sam-thong itu ber goyang-goyang beberapa kali, Kwe Hu dan lain-lain lantas berteriak: “Lekas kerek dia ke atas!”
Beramai-ramai mereka lantas menarik sekuatnya sehingga Thia Eng dapat di kerek ke atas. Sebelum keluar dari lubang gua itu Thia Eng sudah berteriak-teriak :”Tidak ada, tidak ada Liong-cici di bawah sana!”
Semua orang menjadi girang dan menghela napas lega, sejenak kemudian Thia Eng menongol keluar dari lubang gua, lalu berkata pula: “Nyo-toako, sudah kuperiksa dengan teliti, di bawah sana hanya ada mayat Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio yang sudah hancur dan tiada terdapat benda lain.”
“Kita sudah mencari rata segenap pelosok dan tidak menemukannya, kukira nona Liong saat ini pasti sudah meninggalkan lembah ini,” kata Cu Cu-liu setelah berpikir sejenak.
Tiba-tiba Bu-siang berseru: “He, masih ada suatu tempat yang belum kita longok, bisa jadi Liong-cici sedang berusaha menemukan Coat-ceng tan yang terbuang…”
Tidak sampai habis ucapan Bu-siang, hati Yo Ko tergetar dan segera ia berlari ke tebing curam kemarin itu, sembari berlari iapun berteriak-teriak: “Liong-ji! Liong ji!”
Setiba di tebing itu, tertampak kabut membungkus permukaan jurang, awan mengapung di udara, kicau burung saja tak terdengar apalagi bayangan manusia.
Yo Ko pikir Siao-Iiong-li adalah orang yang berhati polos dan lugu, apapun yang dia pikir pasti dikatakan padaku. Ketika berbaring di tanah rumput itu dia hanya mengatakan agar aku ingat saja sumpahku akan patuh pada perkataannya, Sudah tentu aku tidak pernah membantah kehendaknya, mengapa perlu ditegaskan lagi? Namun dia kan tidak pernah member pesan apa-apa padaku?”
Begitulah ia menengadah dan bergumam pelan.
“Liong ji, O, Liong-ji, ke manakah kau sesungguhnya? sebenarnya kau ingin mematuhi perkataanku tentang apa?” - ia memandang ke tebing di depan sana, samar-samar tertampak bayangan nona berbaju putih dengan bunga merah tersunting di sanggulnya, bayangannya yang mengambang itu
seperti saling bertempur melawan Kongsun Ci.
“Liong-ji!” Yo Ko berteriak lagi, tapi setelah diperhatikan lagi, mana ada bayangan Siao-liong-ii, hanya bunga salju belaka yang bertebaran tertiup angin, tapi bunga merah yang dipetiknya kemarin itu memang benar berada di bawah tebing sana.
Yo Ko menjadi heran, padahal waktu Siao-liong-li menempur Kongsun Ci di situ kemarin belum ada bunga merah itu. Tebing hanya batu karang belaka tanpa tetumbuhan apapun, mengapa ada bunga di situ? Kalau bunga itu jatuh ke situ tertiup angin, manabisa terjadi secara kebetulan begitu?
Segera ia tarik napas panjang dan berlari ke tebing sana melalui jembatan batu yang sempit itu. Sesudah dekat, seketika hatinya tergetar hebat, jelas bunga itu adalah merah yang dipetiknya untuk Siaoliong-li itu, kelopak bunga kelihatan sudah layu dan dapat dikenalnya dengan jelas waktu itu ia
sendiri memberi nama “Liong-li-hoa” untuk bunga merah ini.
Kalau bunga ini terjatuh di sini, maki Siao-liong-ii pasti juga pernah datang ke sini.
Ia jemput bunga itu, dilihatnya dibawah bunga ada satu bungkusan kertas, cepat ia membuka bungkusan itu, kiranya isinya adalah setangkai rumput warna ungu, yaitu Toan-jong-cau yang tumbul di bawah semak-semak bunga cinta itu.
Hati Yo Ko berdebar-debar keras, ia coba meneliti kertas pembungkus rumput itu, namun tiada sesuatu tulisan apa-apa.
“Yo-toako!” terdengar Bu-siang memanggil di seberang, “apa yang kau lakukan di sana?”
Waktu Yo Ko menoleh, tiba-tiba terlihat di dinding tebing terukir dua baris huruf dengan ujung pedang, huruf yang satu baris lebih besar dan tertulis: “16 tahun lagi berjumpa pula di sini, cinta murni suami isteri, jangan sekali-sekali ingkar janji”
Sedang baris huruf yang lebih kecil tertulis: “Dengan sangat Siao-liong-li menyampaikan pesan ke pada suamiku Yo Ko agar menjaga diri baik-baik dan harus berusaha berkumpul kembali”
Yo Ko memandangi dua baris tulisan itu dengan termangu-mangu, seketika ia tidak paham apa maksud Siao-liong li. Pikirnya: “Dia berjanji padaku untuk berjumpa pula di sini 16 tahun kemudian, lalu ke mana perginya sekarang? Dia mengidap racun jahat dan sukar disembuhkan mungkin sepuluh hari atau setengah bulan saja tak tahan, mana bisa dia mengadakan janji bertemu 16 tahun lagi? sudah jelas dia mengetahui Coat-ceng-tan yang dapat menyelamatkan jiwaku telah kubuang ke jurang, manabisa pula dia menunggu aku sampai 16 tahun lamanya?”
Begitulah makin dipikir makin ruwet sehingga tubuhnya menjadi sempoyongan. Melihat keadaan Yo Ko yang linglung itu, semua orang menjadi kuatir kalau anak muda itu tergelincir ke dalam jurang, Tapi untuk menyeberang ke sana dan membujuknya juga sulit karena jembatan itu sangat sempit, kalau mendadak dia menjadi kalap, ilmu silatnya sedemikian tinggi pula, lalu siapa yang mampu mengatasinya dan pasti akan ikut kejeblos ke jurang.
Oey Yong mengerut kening, katanya kemudian kepada Thia Eng: “Sumoay, tampaknya dia masih mau menurut perkataanmu.”
“Baiklah, coba kupergi ke sana,” jawab Thia Eng dan segera melompat ke atas jembatan batu dan melangkah ke sana.
Mendengar suara tindakan orang dari belakang, segera Yo Ko membentak: “Siapapun tak boleh ke sini!” Cepat iapun membalik tubuh dengan mata mendelik.
“Akulah, Nyo-toako!” seru Tbia Eng dengan suara lembut
“Aku ingin membantu kau mencari Liong-cici dan tiada maksud lain.”
Sejenak Yo Ko mengawasi Thia Eng dengan termenung, kemudian sorot matanya mulai berubah halus.
Thia Eng melangkah maju dan bertanya: “Apakah bunga merah ini tinggalan Liong-cici?”
“Ya,” Yo Ko menjawab. “Mengapa harus 16 tahun? Mengapa?”
Sudah tentu Thia Eng tidak paham apa yang dikatakan Yo Ko itu, setelah berada di seberang-dapatlah ia membaca tulisan yang terukir di dinding tebing itu, iapun merasa heran.
Katanya kemudian: “Kwe-hujin banyak tipu dayanya, caranya memecahkan persoalan juga sangat jitu, marilah kita kembali ke sana dan tanya beliau, tentu akan mendapatkan keterangan yang memuaskan,”
“Benar,” ujar Yo Ko. “Awas, jembatan itu sangat licin, kau harus hati-hati!” Segera ia mendahului melompat ke seberang sana serta menceritakan kedua baris tulisan itu kepada Ui Yong,
Uhtuk sekian lamanya Oey Yong merenungkan arti tulisan itu, tiba-tiba matanya bercahaya dan ber-keplok tangan, katanya dengan tertawa: “Wah, selamat, Ko-ji, selamat!”
Kejut dan girang Yo Ko, cepat ia bertanya: “Maksudmu maksudmu itu berita baik?”
“Ya, tentu saja,” jawab Oey Yong, “Rupanya adik Liong telah bertemu dengan Lam-hay Sin-ni (Rahib sakti dari lautan selatan), sungguh penemuan yang sukar di cari.”
“Lam-hay Sin-ni?” Yo Ko mengulang nama ini dengan bingung, “Siapakah dia?”
“Lam-hay Sin-ni adalah nabi besar agama Buddha jaman kini,” tutur Oey Yong, “Agama beliau sukar dijajaki, tingkatannya bahkan jauh lebih tinggi daripada It-teng Taysu ini. Lantaran dia jarang ke Tionggoan sini, maka tokoh dunia persilatan jarang yang kenal namanya, Dahulu ayahku pernah
bertemu satu kali dengan beliau dan beruntung mendapat ajaran sejurus ilmu pukulan dari beliau. Yah 16, 32. 48, ya benar, kejadian itu sudah 48 tahun yang lalu.”
Yo Ko merasa sangsi “48 tahun yang lalu? “ia menegas.
“Benar,” jawab Oey Yong, “Usia Sin-ni itu mungkin kini sudah dekat seabad, Menurut cerita ayahku, tiap 16 tahun sekali ia datang ke Tionggoan ini. Celakalah orang jahat yang kepergok olehnya, Tapi beruntunglah orang baik yang berjumpa dengan beliau, Nona cantik seperti adik Liong itu pasti sangat disukai oleh Sin-ni dan bisa jadi telah menerimanya sebagai murid dan dibawa ke Lamhay.”
“Setiap 16 th. satu kali?” Yo Ko menggumam, tiba-tiba ia berpaling kepada It-teng Taysu dan berta-nya: “Apakah betul begitu, Taysu?”
Belum lagi It-teng menjavvab, cepat Oey Yong menimbrung: “Meski agamanya tinggi, tapi tabiat Sin-ni ini rada aneh.
Apakah Taysu juga pernah bertemu dengan beliau?”
“O, sayang, belum pernah kulihat dia,” jawab It-teng singkat.
“Benar-benar orang tua yang agak kurang bijaksana,” kata Ui Youg pula. “Masakah orang muda yang baru bersuami isteri diharuskan berpisah 16 tahun lamanya, bukankah terlalu kejam? Padahal ilmu silat adik Liong sudah begitu tinggi, kalau belajar lagi 16 tahun, memangnya supaya dia dapat mengatasi dan menundukkan sang suami? Hahaha!”

“Ah kukira bukan begitu, Kwe-pekbo,” kata Yo Ko.
“Bagaimana?” tanya Oey Yong,
Yo Ko lantas mengulangi bercerita tentang Siao-liong-li yang sedang mengadakan penyembuhan luka dalam sendiri dan mendadak terkena jarum berbisa yang disambitkan Kwe Hu sehingga racun terseret ke jantung, akhirnya ia berkata: “Jika benar Liong-ji mendapatkan perhatian Sin-ni, maka
dalam 16 tahun ini Sin-ni pasti akan menggunakan kesaktiannya untuk menguras racun yang berkumpul dalam tubuh Liong-ji. Tadinya kukira… ku kira dia pasti tak dapat disembuhkan lagi.”
“Tentang secara semberono anak Hu mencelakai adik Liong juga baru kudengar dari adik Liong semalam,” tutur Ui Yong. “Ko-ji, apa yang kau duga barusan ini memang masuk diakal. Kukira untuk menyembuhkan adik Liong memang sukar dilakukan dalam waktu singkat biarpun Sin-ni memiliki obat
mujarab. Maka kita berharap saja semoga Sin-ni tiba-tiba menaruh belas kasihan dan dapat mengirim kembali adik Liong padamu sebelum waktu yang ditentukan.”
Selamanya Yo Ko belum penuh mendengar tokoh sakti bernama “Lam hay Sin-ni” segala, hatinya menjadi ragu-ragu, hendak tidak percaya, namun bunga ditemukannya dan tulisan juga terukir jelas, semua itu adalah bukti nyata yang tak dapat di-bantah, jika Siao-liong-li mengalami sesuatu, mengapa dia menjanjikan pertemuan 16 tahun kelak?
Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba ia tanya Oey Yong: “Kwe-pekbo, darimana engkau mengetahui Liong-ji dibawa pergi Lam-hay Sin-ni? Sebab apa pula dia tidak menuliskan kejadian yang sebenarnya agar aku tidak berkuatir baginya?”
“KesimpuIanku ini kutarik dari kalimat “16 tahun lagi” itu,” tutur Oey Yong, “Kutahu setiap 16 tahun sekali Lam-hay Sin-ni pasti datang ke Tionggoan sini, kecuali dia rasanya tiada orang kosen lain yang mempunyai kebiasaan aneh begitu. It-teng Taysu, apakah engkau teringat ada oran kosen lain
pula?”
It-teng menggeleng dan menyatakan tidak ada. Maka Ui Yong berkata pula: “Malahan Nikoh sakti itupun sungkan namanya di-sebut-sebut orang, dengan sendirinya dia tidak mengizinkan adik Liong menulis namanya di atas batu, Cuma sayang Toan-jong-cau ini entah dapat menawarkan racun dalam tubuh atau tidak, jika, . . .jika tidak, ai, 16 tahun kemudian adik Liong akan pulang dan bila tidak dapat bertemu lagi dengan kau, mungkin iapun tidak ingin hidup lagi.”
Air mata Yo Ko berlinang-linang di kelopak matanya sehingga pandangannya menjadi samar-samar. lapat-lapat seperti dilihatnya ada bayangan putih di seberang sana, seakan-akan 16 tahun sudah lalu dan Siao liong li sedang mencarinya di situ, tapi tidak bertemu sehingga sangat kecewa dan berduka.
Angin dingin meniup membuat Yo Ko ter-gigil, segera ia berkata dengan tegas: “Kwe-pekbo, biarlah kupergi ke Lam-hay untuk mencari Liong-ji, entah Sin-ni berdiam di mana?”
“Ko ji,” jawab Oey Yong, “janganlah kau berpikir begitu, Tay ti-to yang menjadi pulau kediaman Lam-hay Sin-ni itu mana boleh diinjak orang luar. Bahkan setiap lelaki yang berani mendekati pulau itu akibatnya pasti akan binasa. Dahulu ayahku telah mendapat anugerah beliau, tapi ayah juga belum
pernah berkunjung ke sana. Kalau adik Liong sudah diterima oleh Sin-ni, janji bertemu 16 tahun kelak dengan cepat akan lalu, mengapa engkau mesti tergesa-gesa mencarinya?”
Dengan mata membelalak Yo Ko menatap tajam Oey Yong dan menegas: “Ucapan Kwe- pekbo ini sesungguhnya betul atau tidak?”
“Terserah kau mau percaya atau tidak,” jawab Oey Yong.
“Boleh coba kau memeriksa lagi ukiran tulisan di dinding sana, kalau bukan tulisan tangan adik Liong, maka apa yang kukatakan mungkin juga tidak betul.”
“Gaya tulisan itu memang betul tulisan tangan Liong-ji,” ujar Yo Ko. “Setiap kali menulis huruf Nyo, pada titik kanan itu selalu dia tarik agak panjang, hal ini tidak mungkin dipalsukan orang.”
“Bagus jika begitu,” seru Oey Yong sambil keplok, “Terus terang kukatakan, aku sendiripun merasa kejadian ini teramat kebetulan dan semula akupun mencurigai Cu-toako yang sengaja mengatur sandiwara ini untuk mengelabuhi kau.”
Yo Ko termenung sejenak, katanya kemudian: “Baiklah aku akan coba-coba minum Toan-jong-cau jni, jika tidak berhasil, 16 tahun yang akan datang tolong Kwe-pekbo memberitahukan kejadian ini kepada isteriku yang bernasib buruk itu.” Lalu ia berpaling dan tanya Cu Cu-liu: “Cu-toasiok, bagaimana caranya minum obat rnmput ini?”
Cu Cu liu sendiri hanya tahu Toan-jong-cau itu mengandung racun yang keras, bagaimana caranya
menggunakan racunnya untuk mengobati racun belum pernah di dengannya. Terpaksa ia bertanya kepada lt teng: “Suhu, soal ini harus minta petunjuk engkau.”
It-teng Taysu segera menggunakan It-yang-ci dan menutuk empat Hiat-to di bagian2 yang menyangkut ulu hati, serentak Yo Ko merasakan hawa hangat menyalur ke dada, rasa sesak tadi lantas longgar.
“Karena racun bunga cinta ini berhubungan dengan hati dan perasaan, maka waktu Toan-jong-cau menawarkan racunnya pasti juga akan menyerang bagian hati, sebab itulah kututuk empat Hiat-to untuk melindungi urat nadi jantung hati, sekarang kau boleh coba minum satu tangkai dulu rumput rantas usus itu,” demikian kata It-teng.
Yo Ko lantas mengucapkan terima kasih. Waktu dia mendengar paderi Hindu itu dibinasakan Li Bok-chiu, ia merasa putus harapanlah usaha menyembuhkan Siao liong-li, maka ia sendiripun bertekad akan mati saja bersama sang isteri sekarang dia dijanjikan bertemu lagi 16 tahun kemudian, segera hasrat ingin hidupnya berkobar kembali cepat ia mengeluarkan setangkai Toanjong-cau atau rumput rantas usus itu terus dikunyahnya, ia merasa pahitnya luar biasa melebihi bratawali.
Tapi baik airnya maupun ampasnya Yo Ko telan mentah-mentah. Kalau sebelum ini dia tidak ingin hidup sendirian tanpa Siao-Iiong-li, sekarang dia justeru kuatir akan mati lebih dulu sehingga 16 tahun kemudian Siao-liong-li takdapat menemukan dia di puncak gunung ini.
Ia lantas duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi urat nadi jantung hati, selang tak lama, mendadak perutnya mulas, menyusul itu lantas kesakitan seperti di-iris2 dan laksana dicocok beribu-ribu jarum sekaligus, Tapi ia bertahan sekuatnya tanpa merintih sedikitpun selang tak lama rasa sakit itu hampir merata diseluruh badan, ruas tulang seakan2 terlepas semuanya.
Rasa sakit itu berlangsung hingga lama, kemudian mulai berkurang dan cuma bagian perut saja yang masih mulas, mendadak ia menumpahkan darah warna merah segar seperti darah orang sehat.
Thia Eng dan Bu-siang sama menjerit kaget melihat anak muda itu tumpah darah. Tapi It-teng tampak bergirang malah dan menggumam pelahan: Wah Sute, meski sudah wafat engkau tetap meninggalkan pahala.”
Serentak Yo Ko melompat bangun dan berseru: “Jiwaku ini adalah pertolongan paderi Thian -tiok, It teng Taysu dan Kwe-pekbo bertiga.”
“He, apakah kadar racun dalam tubuhmu sudah punah seluruhnya?” tanya Bu-siang dengan girang.
“Mana bisa begitu cepat?” ujar Yo Ko. “Cuma sekarang sudah jelas kemanjuran obat ini, asalkan setiap hari minum satu tangkai tentu kadar racun akan semakin berkurang pula setiap hari.”
“Tapi kalau tak dapat diketahui kapan berhasilnya racun dalam tubuhnya, jika engkau masih terus makan rumput rantas usus itu, jangan-jangan isi perutmu nanti ikut hancur semua?” kata Bu-siang.
“Hal ini tentu dapat kurasakan sendiri,” kata Yo Ko. “Jika kadar racun belum bersih, bila timbul… timbul rasa cintaku, segera dadaku akan kesakitan.”
“Semoga engkau jangan banyak pikir dulu,” ujar Bu-siang.
Sejak tadi Kwe Hu hanya mendengarkan saja, mendadak ia menimbrung: “Hm, yang dipikirkan Nyo-toako tentulah Liong-cici, masakah dia memikirkan dirimu?”
Cepat Oey Yong membentaknya: “Kau mengoceh apa, anak Hu!”
Muka Bu-siang menjadi merah. Malahan Kwe Hu terus menambahkan lagi: “16 tahun lagi Liong-cici pasti akan pulang, sebaiknya kau jangan sembarang mimpi.”
Bu-siang tidak tahan lagi, “sret”, mendadak ia melolos goloknya terus membentak sambil menuding Kwe Hu: “Jika bukan gara-garamu, masakah Nyo-toaku sampai terpisah selama 16 tahun dengan Liong-cici? Coba renungkan, betapa hebat kau membikin susah Nyo-toako?”
Segera Kwe Hu hendak membantah, tapi Oey Yong lantas membentaknya: “Hu-ji, jika kau bersikap kurang adat lagi kepada orang, lekas kau pulang saja ke Tho-hoa-to dan sekali-sekali jangan kembali ke Siangyang.”
Kwe Hu tidak berani bersuara lagi, ia hanya mendelik belaka kepada Liok Bu-siang.
Yo Ko menghela napas panjang, katanya kepada Bu-siang: “Kejadian itu memang juga sangat kebetulan dan nona Kwe sendiri juga tidak sengaja hendak mencelakai Liong-ji.
Maka urusan ini selanjutnya tidak usah diungkat lagi, adik Liok.”
Mendengar dirinya dipanggil “adik”, sebaliknya anak muda itu menyebut Kwe Hu sebagai “nona,” jelas sekali bedanya antara orang sendiri dan orang luar. Hati Bu-siang menjadi girang, segera ia masukkan golok ke sarungnya sambil mencibir pada Kwe Hu.
“Yo-sicu telah makan Toan-jong-cau tanpa terganggu apapun, tampaknya rumput ini memang mujarab untuk menawarkan racun bunga cinta ini.” kata Itteng kemudian, “Cuma sebaiknya jangan diminum terus menerus, bolehlah tujuh hari kemudian baru minum untuk kedua kalinya.”
Yo Ko memberi hormat dan menerima saran itu. Melihat hari sudah terang benderang, Oey Yong lantas berkata: “Sudah cukup Iama kita meninggalkan Siangyang, entah bagaimana situasi di sana, aku menjadi sangat kuatir dan sebentar juga akan berangkat pulang, Ko-ji kaupun ikut pulang saja ke sana, paman Kwe tentu sangat kangen padamu.”
“Aku tinggal di sini saja untuk menunggu… menunggu dia,” jawab Yo Ko.
“He, kau hendak menunggu dia selama 16 ta-hun di sini?” tanya Kwe Hu heran.
“Entahlah,” jawab Yo Ko. “Rasanya akupun tidak tahu harus pergi ke mana?”
“Baiklah, boleh juga kau menunggu dulu sepuluh hari atau setengah bulan lagi di sini,” ujar Oey Yong, “Andaikata adik Liong benar-benar tiada kabar beritanya, hendaklah segera kau datang ke Siangyang saja.”
Yo Ko memandang tebing curam di seberang sana dengan termangu-mangu tanpa menjawabnya lagi, Semua orang lantas mohon diri kepada Yo Ko untuk berangkat Melihat Liok Bu-siang tiada tanda-tanda mau ikut pergi, Kwe Hu tidak tahan dan bertanya: “He, Liok Bu-siang, apakah kau hendak tinggal di sini menemani Nyo-toako?”
“Peduli apa dengan kau?” semprot Bu-siang dengan muka merah.
Tiba-tiba Thia Eng berkata: “Yo-toako belum sehat, biarlah aku dan Piaumoay merawatnya beberapa hari lagi di sini.”
Oey Yong tahu Sumoay cilik ini wataknya lembut di luar dan keras di dalam, jika puterinya sampai membikin sakit hati dia, kelak pasti akan banyak mendatangkan kesukaran, Maka cepat ia melototi Kwe Hu agar jangan banyak bicara lagi. Lalu berkata:” Ko-ji mendapatkan perawatan Sumoay, tentu takkan beralangan apapun, Nanti kalau sudah sembuh hendaklah kalian bertiga datang ke Siangyang.”
Begitulah Yo Ko, Thia Eng dan Liok Bu-siang memandangi kepergian It-teng Taysu, Oey Yong dan
rombongannya hingga makin jauh dan akhirnya menghilang di balik pepohonan sana.
Api yang berkobar semalaman kini sudah mulai padam, Yo Ko lantas berkata: “Kedua adik, ada suatu pikiranku yang kurang pantas, jika kukatakan hendaklah kalian jangan marah.”
“Katakan saja, siapa akan marah padamu?” ujar Bu-siang.
“Sejak berkenalan, rasanya kita bertiga sangat cocok satu sama lain,” tutur Yo Ko, “Aku sendiri tidak mempunyai saudara, maka kuingin mengikat persaudaraan angkat dengan kalian berdua, selanjutnya kita benar-benar menjadi kakak beradik seperti saudara sekandung Entah bagaimana pendapat kalian dengan usulku ini?”
Pilu rasa hati Thia Eng, ia tahu cinta Yo Ko kepada Siao-liong-li tidak pernah buyar, lantaran ada janji bertemu 16 tahun lagi, maka dia mengajak mengangkat saudara agar hubungan mereka tidak menjadi kikuk. Kelihatan Bu-siang menunduk dengan mengembeng air mata, cepat ia berkata: “Jika begitu kehendak Toako, tentu saja kami setuju, Mempunyai Toako sebaik engkau, apalagi yang kami
harapkan?”
Bu-siang lantas membubut tiga tangkai rumput dan ditancapkan di tanah serta berkata: “Di sini tidak ada Hiosoa (dupa sembayang), biarlah kita menggunakan rumput sebagai gantioya.” ia berkata dengan tersenyum, tapi kemudian suaranya menjadi ter sendat2 dan sebelum Yo Ko menjawab ia sudah mendahului berlutut dan memberi hormat.
Cepat Yo Ko dan Thia Eng ikut berlutut dan saling memberi hormat delapan kali sebagai tanda pengikatan kakak beradik secara resmi.
Kata Yo Ko kemudian: “Jimoay dan Sammoay, barang yang paling jahat di dunia ini kukira tak lebih dari pada pohon bunga cinta ini. Bagaimana kalau kita membabatnya hingga akarnya supaya hancur dan lenyap seluruhnya?”
Tanpa pikir Thia Eng dan Bu-siang menyatakan setuju.
Beramai-ramai mereka lantas mencari cangkul dan sekop di perkampungan yang sudah menjadi tumpukan puing, dengan bersemangat mereka terus membabati dan mendongkel setiap pohon bunga cinta yang mereka lihat.

Karena tumbuhan bunga itu cukup banyak, pula berduri, mereka harus hati-hati bekerja, setelah sibuk enam hari barulah tumbuhan berbisa itu dibasmi habis. Sejak itu  tumbuhan aneh yang membikin celaka manusia itupun tak pernah bersemi pula dan lenyap dari permukaan bumi ini.
Besoknya pagi-pagi Bu-siang sudah memberi setangkai rumput rantas usus kepada Yo Ko dan ber-kata: “Toako, hari ini kau harus minum lagi rumput berbisa ini.”
Karena sudah berpengalaman tujuh hari yang lalu, Yo Ko tahu rumput rantas usus itu berbisa, tapi dirinya mampu bertahan, maka begitu dia minum sebatang rumput itu segera ia mengerahkan tenaga dalam. Karena sekarang kadar racun dalam tubuhnya sudah berkurang, rasa sakitnya juga ti -dak
sehebat tempo hari lagi. Selang agak lama, ia muntahkan darah segar puIa, lalu hilanglah rasa sakitnya.
Yo Ko berdiri coba melemaskan kaki dan tangannya, dilihatnya Thia Eng dan Bu-siang ikut bergirang bagi kemajuan penyakitnya itu. Pikirnya: “Kedua adik angkat ini sungguh baik sekali pada-ku, cuma sayang aku tidak dapat membalas kebaikan mereka.” Setelah berpikir pula sejenak, timbul lagi pikirannya: “Jimoay mempunyai guru kosen, asal berlatih lebih lania lagi tentu dia akan mencapai tokoh tingkatan atas. sedangkan nasib Sammoay jelas kurang beruntung dari pada Jimoay.”
Karena itulah ia lantas berkata kepada Bu-siang: “Sammoay, gurumu dan guruku adalah saudara seperguruan, jadi kita berdua sebenarnya masih sesama saudara seperguruan juga, ilmu silat tertinggi dari Ko-bong-pay kita tercantum semua di dalam Giok-li-sim-keng, sedangkan kitab itu telah direbut Li Bok-chiu dan ikut terkubur di lautan api.
Untung aku masih ingat isi kitab itu, daripada iseng biarlah kuajarkan sedikit ilmu silat perguruan kita itu, bagaimana pikiranmu?”
Tentu saja Bu-siang kegirangan, jawabnya: “Terima kasih, Toako, lain kali kalau ketemu Kwe Hu tentu aku tidak takut dia bertindak kasar lagi padaku.”
Yo Ko tersenyum, segera ia mulai menuturkan permulaan dari ajaran Giok-li-sim-keng beserta-kunci2nya, dimulai dari yang cetek dan kemudian mendalam. Kemudian ia member pesan pula: “Hendaklah kau apalkan dulu kunci2nya, waktu latihan bila perlu boleh minta bantuan jimoay, di lembah ini sangat tenang, sungguh suatu tempat latihan yang baik.”
Begitulah selama beberapa hari Bu- siang tekun mengapalkan ajaran Yo Ko itu, memangnya ilmu yang pernah dipelajarinya adalah aliran Ko-bongpay, dengan sendirinya mudah baginya untuk menerima dan memahaminya. jika ada bagian2 sulit yang sukar dipecahkan, Yo Ko menyuruh Bu-siang mengapalkan saja untuk diulangi lagi lain hari. Dengan begitu selama hampir sebulan dapatlah
Bu-siang mengingat seluruh isi Giok-li-sim-keng di luar kepala. Suatu hari, pagi-pagi dia dan Thia Eng sudah menyiapkan sarapan, tapi ditunggu sampai lama sekali tidak Nampak munculnya Yo Ko. Mereka lantas mendatangi gua tempat tinggal Yo Ko, terlihat di tanah sana tertulis huruf-huruf besar yang berbunyi “Berpisan untuk sementara, biarlah bertemu lagi kelak. Hubungan baik kakak beradik tetap kekal dan abadi.”
Bu-siang melonggong dan bergumam: “Akhir-nya dia. . . dia telah pergi.” ia berlari-lari ke puncak gunung dan memandang jauh ke selatan.
Thia Eng segera menyusulnya, mereka memandang jauh ke sana, tapi yang kelihatan hanya awan mengambang diudara, pepohonan menghijau permai, mana ada bayangan Yo Ko?
Dengan rasa pilu Bu-siang berkata dengan terguguk-guguk: “Jici, kau kira dia… dia pergi ke mana? Apakah kelak kita dapat… dapat berjumpa pula dengan dia?”
“Sammoay,” jawab Thia Eng, “lihatlah gumpalan awan itu yang bergerombol menjadi satu untuk kemudian terpancar lagi. Hidup manusia juga begitu, buat apa kau merasa susah?”
Meski begitu ucapannya, tapi dalam hati sendiri iapun bersedih.
Kiranya selama hampir sebulan Yo Ko merasa sudah cukup mengajarkan isi Giok-lisim-keng kepada Bu-siang. Tapi selama itu tiada kabar berita Siao-Iiong-li, ia tahu menunggu lagi lebih lama juga tiada gunanya, Maka ia lantas meninggalkan tulisan di tanah dan pergi, ia pikir kalau pulang Cong-lam-san, tentu akan menambah rasa duka, maka seorang diri ia lantas mengembara di Kangouw.
Dengan cepat beberapa bulan telah lalu, dari musim dingin telah datang musim semi, suatu hari ia sampai di dekat Siangyang, dilihatnya bangunan di tepi jalan yang dahulu dibakar oleh pasukan Mongol kini sudah banyak yang dibangun kembali dalam bentuk rumah-rumah gubuk, walaupun tidak se-makmur dahulu, namun penduduk sudah mulai ramai lagi, agaknya selama ini pasukan Mongol tidak pernah menyerbu lagi ke sini.
Walaupun Yo Ko juga terkenang kepada Kwe Ceng, tapi ia tidak ingin bertemu lagi dengan Kwe Hu, maka ia sungkan mampir ke Siangyang, pikirnya: “Sudah lama berpisah dengan Tiau-heng (kakak rajawali), biarlah aku menjenguknya ke sana. Segera ia mencari jalan menuju ke arah, lembah pegunungan dahulu itu.
Hampir seharian, akhirnya dekatlah dia dengan tempat pengasingan Tok-ko Kiu-pay dahulu. Segera ia bersuit panjang sembari berjalan ke depan, tidak lama kemudian di lereng bukit di depan sana berkumandang suara kaokan burung.
Waktu Yo Ko memandang ke sana, terlihatlah rajawali sakti itu mendekam di bawah pohon besar, kedua cakarnya mencengkeram seekor macan tutul. Berada dalam cengkeraman cakar rajawali yang hebat itu, sama sekali macan tutul itu tak bisa berkutik dan hanya mengeluarkan suara raungan belaka.
Melihat kedatangan Yo Ko, rajawali itu lantas melepaskan macan tutul itu, keruan cepat sekali binatang buas- itu memberosot ke semak-semak pohon dengan mencawat ekor.
Segera Yo Ko merangkul leher rajawali itu dengan mesra dan gembira.
Mereka, seorang manusia dan seekor burung, lantas kembali ke gua itu. Teringat pengalaman sendiri selama beberapa bulan yang penuh duka derita itu, sayang rajawali tidak dapat bicara diajaknya berbincang sekedar pelipur lara.
BegituIah selama beberapa hari Yo Ko berdiam saja di lembah pegunungan sunyi itu bersama rajawali sakti, Suatu hari, saking isengnya Yo Ko mendatangi pula tebing tempat makam pedang Tokko Kiu-pang itu.
Hian-tiat-pokian, itu pedang yang maha berat yang diambilnya dari sini, sudah dibuangnya di Coat-ceng-kok, segera ia melompat lagi ke atas tebing itu dan membaca kembali tulisan yang terukir di batu kuburan pedang kayu yang sudah lapuk itu dan berbunyi “Sesudah berusia 40 tahun, sungkan membawa senjata lagi, setiap benda dapat kugunakan sebagai pedang. Sejak itu latihanku semakin
sempurna dan mendekati tingkatan tanpa melebihi memakai pedang”,
Yo Ko coba merenungkan maksud tulisan itu, jgikirnya: “Waktu aku membawa Hian-tiat-pokiam, boleh dikatakan hampir tiada tandingannya di seluruh jagat Tapi menurut pesan tinggalan Tok-koj Kiupay ini jelas pedang kayu lebih hebat daripada waktu dia menggunakan Hian-tiat-pokiam itu, masa lahan akhirnya tanpa menggunakan pedang menjadi lebih lihay daripada memakai pedang kayu, Kalau Liongji berjanji akan bertemu lagi 16 tahun kelak selama belasan tahun ini biarlah kugunakan untuk mempelajari dan meyakini ilmu pedang kayu melebihi pedang berat dan akhirnya tanpa pedang melebihi menggunakan pedang kayu sesuai ajaran Tok ko Kiu-pay.
BegituIah ia lantas memotong setangkai kayu dan dibikin menyerupai pedang, ia pikin “Hian tiat-pokiam itu beratnya hampir 70 kati, bahwa pedang kayu yang enteng ini dapat mengungkulinya hanya ada dua jalan. Kebangunan ilmu pedang, dengan cepat mengalahkan kelambanan, Cara lain adalah menang kuat tenaga dalam, dengan keras mengatasi kelemahan.”
BegituIah sejak itu iapun memupuk Lwekang dan meyakinkan ilmu pedang, setiap habis hujan deras ia lantas menggembleng diri di bawah air terjun untuk menambah kekuatan serangannya, Tanpa terasa musim berganti musim dan kembali datang lagi musim dingin, perpisahannya dengan Siao-liong-li sudah hampir setahun.
Yo Ko merasa kemajuan tenaga dalam dan ilmu pedangnya selama setahun ini sangat lambat, mau-tak-mau ia menjadi kesal, Dalam pada itu bunga salju sudah mulai bertebaran Tiba-tiba rajawali itu berkaok kegirangan dan melompat ke tanah lapang pesta pentang sayap sehingga membangkitkan angin teras, bunga salju tersapu berhamburan.
Tergerak hati Yo Ko melihat kelakuan burung itu, pikirnya: “Musim semi tiada air bah, kalau ku latih ilmu pedang di tanah bersalju, rasanya juga suatu cara yang bagus.”
Sementara itu dilihatnya si rajawali masih terus menyabet-nyabetkan kedua sayapnya sehingga membawa tenaga semakin keras, biarpun hujan salju lebat, namun tiada sepotong bunga salju yang jatuh di atas badannya. Semangat Yo Ko terangsang juga, segera ia pegang pedang kayu dan dimainkan juga di bawah hujan salju, berbareng lengan laju tangan kanan juga dikebaskan, setiap ada bunga salju yang melayang turun, segera ia menyambutnya dengan angin putaran pedang atau tenaga kebasan lengan baju, Dengan begitu tanpa terasa hampir setengah hari telah berlalu, ia merasa tenaga dari pedang kayu dan lengan bajunya telah bertambah banyak sekali.
Hujan salju itu terus berlangsung hingga tiga hari lamanya, setiap hari Yo Ko selalu menari pedang di bawah hujan salju itu bersama si rajawali sakti, Sampai petang hari ketiga, salju turun semakin lebat, selagi Yo Ko mencurahkan segenap perhatiannya pada pedang kayu untuk menggempur bunga salju, mendadak sebelah sayap rajawali itu di sabetkan ke arahnya. Karena tidak berjaga-jaga, hampir saja Yo Ko tersabet, cepat ia melompat minggir sehingga sabetan itu dapat dihindari walaupun begitu dahinya sudah ketetesan dua biji bunga salju.
Segera teringat olehnya dahulu rajawali sakti I ni juga pernah main gempuran denganku di atas tebing itu sehingga ilmu pedangku maju pesat, sekarang jelas rajawali ini mengajak latihan bersama lagi.
Karena itu ia lantas putar pedang kayu dan balas menusuk satu kali, tapi lantas terdengar suara “krak” sekali, begitu kebentur sayap rajawali, seketika pedang kayu itu patah, Rajawali itupun tidak menyerang lagi, tapi berdiri tegak dan mengeluarkan suara ber-cicit2, sikapnya seakan-akan sedang
mengomeli kecerobohan si Yo Ko.
Diam-diam Yo Ko merenungkan cara bagaimana harus menghadapi rajawali sakti itu, pikirnya: “Jika, kugunakan pedang kayu melawan tenagamu yang maha kuat, jalan satu-satunya hanya mengelak dan menghindar, lalu balas menyerang pada setiap ada peluang,”
Setelah menentukan siasat itu, segera ia membuat lagi sebatang pedang kayu, lalu mulai menempur si rajawali pula di tanah salju itu, Sekali ini dia mampu bertahan hingga belasan gebrakan barulah pedang kayu terpatah.
BegituIah ia terus berlatih dengan tekun tanpa berhenti diam-diam Yo Ko sangat berterima kasih kepada si rajawali sakti yang telah menjadi teman berlatihnya tanpa mengenal lelah serta penuh disiplin itu, Pikirnya: “Kalau aku tidak berhasil meyakinkan ilmu pedang kayu ini tentu akan mengecewakan harapan Tiau-heng ini. Apalagi kesempatan bagus yang sukar dicari ini mana boleh ku-sia-sia-kan pula?”
Dengan tekad itulah, meski dalam mimpi juga dia mengeraskan otak memikirkan gerak-gerik setiap jurus serangan, cara bagaimana menyerang dan mengelak serta cara bagaimana memperkuat tenaga, Karena kegiatan, latihan ilmu silatnya, rasa rindunya kepada Siao-liong-li menjadi rada berkurang sementara itu racun bunga cinta dalam tubuhnya sudah punah seluruh nya, tenaga dalamnya bertambah kuat, badan juga tampak sehat, kelesuan dan wajahnya yang pucat2 kurus dahulu kinipun sudah tidak kentara lagi.
Hawa semakin dingin, saju turun tiada henti-hentinya, sudah genap setahun perpisahannya dengan Siao-liong-li.
Berkatalah Yo Ko kepada rajawali sakti itu: “O, Tiau-heng, biarlah kita berpisah untuk sementara, kuingin pergi dulu ke Coat-ceng-kok.” Lalu dengan membawa pedang kayu ia meninggalkan pegunungan itu.
Dengan rasa berat rajawali itu mengikuti di belakang Nyo Ko, setiba dipersimpangan jalan Yo Ko memberi hormat untuk mohon diri, lalu hendak melangkah pergi ke arah utara, Tak terduga mendadak rajawali itu menggigit ujung bajunya dan menyeretnya menuju ke selatan.
Tentu saja Kyo Ko heran, sayangnya di antara dia dan rajawali itu tidak saling mengerti bahasa masing-masing. Tapi ia tahu burung itu sangat cerdik dan tiada ubahnya seperti manusia, maka tanpa rewel lagi ia lantas mengikutinya ke arah selatan, Melihat Yo Ko menuruti kehendaknya, rajawali itu tidak menggigit lagi ujung bajunya dan membiarkannya jalan sendiri Tapi kelihatan Yo Ko ragu-ragu dan hendak memutar balik, segera ia meng-gendoli lagi ujung bajunya.
Yo Ko pikir kalau rajawali sakti ini ngotot mengajaknya ke selatan, tentu ada maksud tujuan tertentu Maka iapun membatalkan niatnya ke Coat ceng-kok dan ikut burung itu terus ke selatan. Tiba-tiba hati Yo Ko tergerak, pikirnya: “Burung ini sangat pintar, jangan-jangan dia memberi petunjuk jalan padaku ke lautan selatan untuk menemui Liong ji?”
Teringat kepada Siao-liong-li, seketika ia bersemangat, segera ia melangkah lebar dan ikut rajawali itu berlari cepat ke tenggara, Tiada sebulan kemudian sampai mereka di pantai laut, Yo Ko berdiri di atas batu karang dan memandang jauh ke lautan bebas sana, tertampak ombak men-dam-par2 dengan hebatnya, sedih dan girang bercampur, aduk dalam benaknya.
Selang tak lama, terdengar suara gemuruh di kejauhan seperti bunyi guntur meru, Karena waktu kecilnya dahulu ia pernah tinggal di Tho hoa-to, ia tahu itulah suara gelombang laut pasang, setiap hari antara lohor dan tengah malam air laut tentu pasang dua kali. Kini sang surya sedang memancarkan sinarnya di tengah cakrawala, tentu tiba waktunya laut naik pasang.
Suara gemuruh air pasang itu makin lama makin keras dan berkumandang laksana beribu-ribu ekor kuda berderap serentak, Tertampaklah, dari jauh selarik garis putih menerjang ke arah pantai, suara gemuruh itu jauh lebih hebat daripada bunyi geledek dan samberan kilat. Menyaksikan kedahsyatan alam itu, tanpa terasa air muka Yo Ko berubah pucat.

Hanya sekejap mata saja gelombang air pasang sudah menerjang tiba dan mendampar ke batu karang tempat berdiri Yo Ko. Cepat ia melompat ke belakang, tapi mendadak punggungnya seperti di tubruk oleh suatu tenaga yang maha dahsyat, tanpa kuasa tubuhnya yang terapung di udara itu kecemplung ke laut, jatuh di tengah gelombang laut yang bergulung2, mulutnya terasa asin, tanpa kuasa ia telah minum dua ceguk air laut.
Ia menyadari keadaannya yang berbahaya, syukur ia sudah pernah di gembleng di bawah gerujukan air bah, maka sekuatnya ia tancapkan kaki di dasar laut dengan “Jian-kin tui”, ilmu membikin berat tubuh.
Di permukaan air laut berombak, bergemuruh dengan hebatnya, tapi di dasar laut jauh lebih tenang.
Setelah merenungkan sejenak ia paham maksud rajawali itu mengajaknya ke pantai laut ini yakni agar dia berlatih pedang di tengah damparan gelombang laut itu.
Segera ia meloncat ke permukaan air, tapi segera segulung ombak laksana bukit menghantam kepalanya puIa.
Tiada jalan lain, terpaksa ia menarik napas panjang2, lalu selulup lagi menghindar ke dasar laut.
Begitulah berulang-ulang Yo Ko timbul dan selulup lagi ketika air laut mulai pasang surut sementara itu Yo Ko sudah lelah, muka juga pucat namun ia bertambah semangat, tengah malam waktu pasang naik lagi, kembali ia membawa pedang kayu dan menceburkan diri ketengah amukan ombak samudera yang hebat itu, ia putar pedangnya di dalam air, terasa berat sekali karena damparan ombak yang membukit itu, jika terasa payah dan tidak mampu bertahan, cepat ia menyelam ke dasar laut untuk menghindar.
Ia terus berlatih secara begitu dua kali sehari, tidak sampai sebulan ia merasa tenaga dalamnya bertambah banyak, jika pedang kayu diputar di daratan sayup-2 menerbitkan suara seperti ombak mendampar. Setiap kalau berlatih dengan rajawali itu, kini burung itu tak berani lagi menyambut serangannya dari depan, Suatu kali saking semangatnya Yo Ko menusukkan pedang kayunya dengan sepenuh tenaga, Rajawali itu berkaok karena kaget dan melompat ke samping.
Karena tidak keburu menahan tenaga serangan-nya, pedang kayu itu menabas batang pohon di samping, pedang itu patah, batang pohon juga terkutung menjadi dua. Yo Ko melenggong sambil memegangi kutungan pedang kayu itu, pikirnya: “Pedang kayu ini adalah benda lemah, tapi dapat mengutungi pohon, sudah tentu karena tenaga seranganku yang hebat Kalau nanti pohon patah dan pedang tidak patah, itulah baru mendekati ilmu sakti yang dicapai Tokko-Iocianpwe dahulu.”
Musim semi berlalu, musim rontok tiba, sang tempo lewat dengan cepatnya, setiap hari Yo Ko terus berlatih pedang ditengah gelombang laut tanpa mengenai lelah dan membedakan musim, Suara gemuruh yang dterbitkan pedangnya setiap kali ia menyerang menjadi semakin keras, sampai akhirnya telinga serasa pekak tergetar. Tapi setelah beberapa bulan lagi, suara pedangnya mulai berkurang dan akhirnya lenyap tanpa suara lagi.
Ia berlatih lagi beberapa bulan, ternyata suara pedang kembali mendengung pula. BegituIah terjadi perubahan sampai tujuh kali, akhirnya dapatlah ia menguasai pedangnya, ingin berbunyi lantas mengeluarkan suara, ingin tak bersuara lantas tanpa suara.
Ketika mencapai tingkatan setinggi ini, hitung punya hitung ternyata sudah enam tahun lamanya dia berdiam di pantai laut itu. Kini dengan pedang terhunus dapatlah Yo Ko bergerak bebas di tengah gelombang laut yang dahsyat itu, kekuatan yang timbul dari gerakan pedangnya sudah mampu menyampuk ombak laut yang mendampar dari depan.
Meski hidup terpencil di pantai laut dan selama itu tak pernah bergebrak dengan jago silat, namun tenaga si rajawali sakti yang luar biasa itu sudah tidak mampu menahan dua-tiga kali gebrakan pedang kayunya lagi, baru sekarang dia memahami perasaan Tokko Kiu-pay yang tidak pernah menemukan tandingan itu, waktu usianya sudah lanjut, pantaslah Tokko Kiu-pay bertambah terharu dan kesepian karena tiada seorangpun yang sanggup melawan ilmu pedangnya, akhirnya orang dan ilmu pedangnya terkubur semua di lembah sunyi itu.
Terpikir oleh Yo Ko. “Jika Tiau-heng dahulu tidak menyaksikan sendiri cara Tokko-locianpwe meyakinkan ilmu pedangnya yang maha sakti itu, mana bisa Tiau-heng mengajarkan lagi ilmu sakti ini padaku? walaupun kusebut burung Tiau heng tapi sesungguhnya dia adalah guruku, Bicara tentang umur, entah sudah berapa puluh tahun atau mungkin sudah ratusan tahun usianya, jadi umpama aku
menyebut dia kakek atau buyut rasanya juga pantas.”
Begitulah sembari berlatih ilmu pedang di pantai Iaut, iapun tiada hentinya mencari kabar berita tentang Nikoh sakti yang berdiam di lautan selatan sana. Namun selama beberapa tahun itu ternyata tiada seorangpun pelaut atau pedagang seberang yang ditanyai itu dapat memberi keterangan sesuatu.
Lambat laun iapun putus harapan, ia pikir kalau belum tiba waktunya 16 tahun tentu sulit untuk bertemu lagi dengan Siao-liong-li.
Pada suatu hari, hujan rintik2, angin meniup keras timbul sesuatu perasaan Yo Ko, segera ia membawa pedang kayu dan pakai mantel, bersama si rajawali sakti ditinggalkanlah pantai laut itu dan mulai mengembara menjelajahi setiap pelosok daerah Tionggoan dan terutama daerah Kanglam
yang terkenal indah permai itu
***
Sang tempo berlaku dengan cepat beberapa tahun telah lampau pula. Waktu itu adalah tahun pertama kaisar Song-li-cong yang bertahta di kerajaan Song Selatan dan terhitung tahun ke sembilan kaisar Goan-hian-cong (dinasti Yuan) dari kerajaan Mongol atau lebih terkenal dengan Kubilai Khan.
Ketika itu baru permulaan musim semi, pada Hong-Jeng-toh, sebuah kota tambangan di tepi utara Hong-ho (Sungai Kuning) tertampak sangat ramai dengan suara orang diseling ringkik kuda dan gemuruh roda kereta.
Rupanya selama beberapa hari ini cuaca berubah2 tidak menentu, terkadang dingin dan kemudian suhu menjadi hangat, mula-mula air sungai Kuning itu sudah cair, tapi sejak semalam turun salju dengan lebatnya sehingga air sungai membeku lagi, sebab itulah kapal tambangan tidak dapat berjalan, keretapun tidak berani menyeberangi permukaan sungai yang beku itu.
Sebab itulah banyak saudagar yang hendak menyeberang ke selatan sama tertahan di kota tambangan kecil ini. Meski di Hong-leng toh ini juga ada beberapa buah rumah penginapan, tapi karena pendatang dari utara masih tak terputus-putusnya, tiada setengah hari semua rumah penginapan sudah penuh sehingga banyak tetamu yang tidak mendapatkan pondokan dan tidak sedikit timbul ribut mulut antara tamu dan pemilik hotel.
Hotel yang paling besar di kota itu bernama “An toh Io-ttam” artinya hotel selamat menyeberang, Lantaran halaman hotel ini dan kamarnya terlebih luas daripada hotel lainnya.
maka tetamu yang tidak mendapatkan tempat pondokan lantas membanjiri An-toh-lo-tiam ini dan karena itulah suasanamenjadi ramai dan berjubel menyebabkan kesibukan pengurus hotel, banyak kamar yang mestinya buat dua orang terpaksa diisi tiga orang, bahkan masih kelebihan belasan tamu yang tidak mendapatkan kamar, terpaksa duduk berkerumun saja di ruangan tengah, pelayan menyingkirkan meja kursi dan membuat api unggun di tengah-tengah ruangan untuk menghangatkan badan tetamu.
Menyaksikan bunga salju yang beterbangan dengan lebatnya di luar, para tetamu sama bersedih karena besok merekapun belum tentu dapat melanjutkan perjalanan.
Cuaca mulai gelap, tapi hujan salju semakin lebat tiba-2 terdengar suara derapan kaki kuda, tiga penunggang kuda mendatang secepat terbang dan terhenti di depan An-toh- lo-tiam. “Kembali ada tamu lagi!” gumam seorang tamu yang berduduk di tepi api unggun.
Benar juga lantas terdengar suara seorang perempuan berseru: “He, pengurus berikan dua kamar kelas satu!”
Kuasa hotel menjawab dengan mengering tawa: “Maaf, sudah sejak pagi kamar hotel kami terhuni penuh, sama sekali tiada kamar kosong lagi.”
“Boleh satu kamar saja,” ujar perempuan tadi. “Be ribu2 maaf, nyonya, sungguh sudah penuh semua,” jawab pengurus hotel.
Tiba-tiba perempuan itu ayunkan cambuknya ke udara hingga menerbitkan suara “tarrrrr” sekali, lalu mengomel: “Omong kosong! Memangnya kau tak bisa menyuruh orang mengalah sebuah kamar? Biar kutambahi sewanya.” Sembari bicara ia terus menerobos ke dalam hotel.
Pandangan para tamu sama terbeliak melihat perempuan itu, Usianya kira-kira lebih 30 tahun, matanya jeli pipinya merah, mukanya cantik, perawakannya montok, berjaket kulit warna biru, bagian leher baju berlapiskan kulit berbulu halus, dan badannya sangat perlente.
Di belakang nyonya muda itu mengikut seorang lelaki dan seorang perempuan lagi, keduanya masih remaja, usianya antara 16-17, yang lelaki beralis tebal dan bermata besar, sikapnya kasar2 gagah, sebaliknya perempuan muda itu sangat cantik.
Ke-duanya sama memakai jaket satin hijau pupus, leher si anak dara memakai sebuah kalung mutiara, setiap biji mutiara itu sebesar jari dan bercahaya.
Para tamu sama terpengaruh oleh lagak lagu ketiga tamu baru, orang-orang yang tadinya sedang bicara sama berhenti dan memandangi ketiga orang ini. Dengan sigap pelayan hotel lantas memberi hormat dan menjelaskan kepada si nyonya muda: “Lihatlah, nyonya, para tamu inipun tidak mendapatkan kamar. jika kalian tidak merasa kotor, silakan ikut duduk di sini sekedar menghangatkan badan dan lewatkan malam ini, besok kalau air sungai tambah keras membeku mungkin sudah cukup kuat untuk diseberangi.”
Tampaknya nyonya muda itu tidak sabar, tapi keadaan memang begitu, terpaksa ia hanya mengerut kening dan tidak bersuara pula.
Seorang perempuan setengah baya yang ikut duduk mengelilingi api unggun lantas berkata: “Silakan duduk di sini, nyonya, hangatkan badan dulu, hawa sungguh dingin.”
“Terima kasih,” jawab nyonya cantik itu Segera tamu lelaki yang duduk di samping perempuan setengah umur itu lantas bergeser untuk memberi tempat kepada si nyonya muda.
Duduk tidak lama, pelayan lantas mengantarkan daharan yang dipesan, ada daging ada ayam, arakpun tersedia, Nyonya muda itu sangat kuat minum arak, semangkok demi semangkok ditenggaknya hingga habis, lelaki muda itupun mengiringi minum, hanya si anak dara cantik itu saja
setitikpun tidak minum arak.
Dari sapa menjaga mereka dapat diketahui bahwa mereka adalah kakak beradik, Usia pemuda itu tampaknya lebih tua daripada si anak dara, tapi ternyata memanggilnya “Cici”, Habis makan semua orang berkerumun pula di sekitar api unggun, Suara angin yang menderu2 di luar membuyarkan rasa kantuk semua orang.
“Cuaca begini sungguh membikin susah orang,” demikian seorang lelaki berkata dengan logat daerah Soasay, “sebentar hujan salju, sebentar membeku jadi es, lain saat mencair lagi, Thian benar-benar ingin menyiksa orang.”
“Sebaiknya kau jangan mengomeli Thian dan Te (langit dan bumi),” ujar seorang lelaki pendek dengan logat Ouw-pak.
“Adalah untung kita masih dapat menghangatkan badan dengan api dan makan enak di sini, Coba kalau kau pernah berdiam di kota terkepung Siangyang, kukira tempat yang paling sengsara di dunia ini juga akan berubah menjadi sorga bagimu.”
Mendengar “kota terkepung Siangyang”, nyonya cantik tadi memandang sekejap kepada kedua saudaranya.
Lalu terdengar seorang tamu yang bcrlogat Kwitung bertanya: “Numpang tanya saudara, bagaimana keadaan di kota Simgyang yang terkepung itu?”
“Keganasan orang MongoI kiranya sudah kalian dengar dan tidak perlu kujelaskan lagi,” tutur tamu Ouwpak tadi, “Tahun itu pasukan Mongol menyerang Siangyang secara besar-besaran, panglima yang menjaga kota itu Lu-tayjin adalah manusia yang tidak berguna, syukurluh Kwe-tayhiap dan isterinya telah membantu dengan sepenuh tenaga.”
Mendengar nama Kwe-tayhiap dan isterinya disebut, tampak airmuka nyonya cantik tadi berubah riang pula.
Sementara itu tamu berlogat Ouwpak tadi sedang menyambung ceritanya: “Beratus ribu penduduk siangyang juga bersatu padu menghadapi musuh dan bertahan dengan mati-matian, seperti diriku ini, aku hanya pedagang gerobak surungan, tapi akupun ikut berjuang dengan mengangkut pasir dan mengangkat batu untuk memperkokoh benteng kota, lihat ini, codet pada mukaku ini adalah bekas luka kena panah orang Mongol.”

Waktu semua orang mengawasi, benar juga terlihat pipi kirinya ada bekas luka panah sebesar gobang, Tanpa terasa semua orang sama menaruh hormat padanya.
“Negeri Song kita sedemikian luas dengan penduduknya begini banyak, kalau setiap orang berjiwa patriot seperti saudara, hah, biarpun Tartar Mongol lebih ganas sepuluh kali lipat juga takkan mampu menginjak tanah air kita,” demikian kata si orang Kwitang dengan bersemangat.
“Tepat!” ujar si orang Ouwpak, “Lihatlah, sudah belasan tahun pasukan Mongol menggempur Siangyang, tapi selama ini selalu gagal, sebaliknya tempat-tempat lain selalu dibobolnya dengan mudah.
Kabarnya belasan negeri di benua barat sana juga sudah ditumpas oleh orang Mongol, sedangkan Siangyang kita masih tetap berdiri dengan tegaknya, walau-pun raja mongoI Kubilai sendiri yang memimpin penggempuran juga tetap tidak berhasil.”
“Ya, kalau saja Siangyang jatuh, tentu sudah lama tanah air Song Raya kita sudah lama dicaplok orang Mongol,” kata orang Kwitang,
Begitu semua orang penuh semangat bicara tentang pertahanan Siangyang, orang Ouwpak itu telah menjunjung Kwe Ceng dan Oey Yong setinggi langit seakan-akan malaikat dewata dan semua orang juga tiada hentinya memberi pujian.
Tiba-tiba seorang tamu berlogat Sucoan ikut bicara dengan gegetun: “Sesungguhnya pembesar yang menjaga benteng di-mana-2 juga ada, soalnya pemerintah kerajaan tidak dapat membedakan antara yang baik dan jahat, seringkali kaum dorna justeru menikmati segala kejayaannya, sedangkan pembesar setia malahan mati penasaran Seperti Gak Hui pujaan kita yang sudah almarhum itu tidak perlu dibicarakan, sekarang saja di daerah Sucoan kami sudah ada beberapa pembesar pembela rakyat telah menjadi kaum dorna.”
“Hei pembesar siapakah itu mohon penjelasan,” Tanya orang Ouwpak tadi.
“Sudah belasan tahun juga pasukan Mongol menggempur wilayah Sucoan, berkat perlawanan Sia Kay yang bijaksana itu, segenap rakyat jelata di Sucoan sama tunduk di bawah pimpinannya dan memujanya seakan-akan Budha penolong,” demikian tutur si orang Sucoan.
“Siapa tahu raja kita yang berkuasa sekarang telah mempercayai laporan si dorna Ting Tay-coan. katanya Sia-tayjin menyalah gunakan kekuasaan dan membangkang perintah pusat, maka perlu diambil tindakan dan dikirimlah racun untuk memaksa Sia-tayjin membunuh diri lalu kedudukannya diganti seorang pembesar tak becus yang menjadi komplotan kaum dorna itu.
Ketika kemudian pasukan Mongol menyerbu tiba pula, hanya sekejap saja Sucoan lantas jatuh, pihak kerajaan tidak menyesali dirinya sendiri yang salah membunuh pembesar baik, sebaiknya malah menuduh panglima tentara Ong Wi-tiong Ciangkun yang bertahan mati-mati-an itu bersekongkol dengan musuh dan menangkapnya bersama segenap anggota keluarganya ke ibukota, di sana Ong-ciangkun telah dihukum penggal kepala.” Bicara sampai di sini suaranya menjadi rada tersendat
Semua orang sama menghela napas terharu mendengar kisah sedih, orang Kwetang tadi berkata dengan gusar “Hancurnya negara selalu menjadi korban kaum dorna begitu, Kabarnya kerajaan selatan sekarang ada tiga ekor anjing dan pembesar dorna Ting Tay-coan itu adalah salah seekor di
antaranya.”
Seorang pemuda berwajah putih yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini mendadak menimbrung: “Benar, kaum dorna kerajaan selatan dikepalai Ting Tay-coan, Tan Tay-hong dan Oh Tay-jiang. Karena nama mereka sama-sama memakai “Tay”, maka orang-orang di Liman (ibukota Song Selatan) menambahkan nama mereka itu dengan satu coretan sehingga menjadi “Khian” (anjing) dan mereka bertiga dianggap tiga ekor anjing.”
Sampai di sini, semua orang sama tertawa puas.
Orang Sucoan tadi lantas bertanya: “Dari logat saudara cilik ini, tampaknya engkau orang dari Lim-an?” “Benar,” jawab si pemuda.
“Jika begitu, waktu Ong Wi-tiong Ciangkun menjalani hukuman mati, apakah saudara juga mengetahuinya?” “Ya, malahan ikut menyaksikan sendiri,” jawab pemuda itu. “Menghadapi ajalnya Ong ciangkun tanpa gentar, dengan gagah berani beliau malah mencaci Ting Tay-coan dan Tan Tay-hong sebagai pembesar dorna penjual negara dan bangsa, Bahkan terjadi pula sesuatu yang aneh.”
“Kejadian aneh apa?” tanya orang banyak.
“Yang memfitnah Ong-ciangkun jelas adalah Tan Tay-hong”, tutur si pemuda, “Waktu menuju kelapangan hukuman, di tengah jalan Ong-ciang-kun berteriak-teriak dan mencaci maki Tan Tay-hong, katanya setelah mati pasti akan mengadu kepada Giam lo-ong untuk merenggut nyawa dorna she Tan itu.
Anehnya tiga hari sesudah Ong ciang-kun menjalani hukuman, Tan Tay-hong itu benar-benar mati mendadak di rumahnya dan kepalanya telah dipenggal dan tergantung tinggi di menara lonceng di pintu gerbang timur Lim an.
Begitu tinggi menara itu, jangankan manusia, monyet sekalipun sukar merambat ke sana, Coba pikir, jika bukan Giam lo-ong yang merenggut jiwa menteri dorna itu, perbuatan siapa lagi, peristiwa itu diketahui setiap penduduk Lim-an dan sekali-sekali bukan dongeng belaka.”
Semua orang sama bersuara mengatakan heran mereka.
Orang Sucoan itu berkata: “Kejadian itu memang bukan dongengan, cuma yang membunuh Tan Tay-hong itn bukanlah Giam-!o-ong melainkan perbuatan seorang ksatria sejati.”
“Di rumah menteri doma itu tidak sedikit pengawalnya, penjagaan tentu sangat ketat, orang biasanya manabisa membunuhnya, bahkan menggantung kepalanya di tempat setinggi itu, apa memangnya orang itu bersayap?” si pemuda sambil menggeleng.
“Di dunia ini tidak kurang orang kosen, jika aku tidak menyaksikan sendiri menang juga tidak percaya,” kata orang Sucoan itu.
“Kau menyaksikan sendiri memanjat ke tempat setinggi itu? Cara bagaimana kau dapat menyaksikan nya?” tanya si pemuda.
Orang Sucoan itu ragu-ragu sejenak, akhirnya ia menutur pula: “Ong-ciangkun mempunyai seorang anak lelaki yang berhasil kabur waktu keluarganya ditangkap. Demi membabat sampai akar2nya kawanan dorna telah mengirim begundalnya menguber mencari putera Ong-ciangkun itu.
Meski putera Ong-ciangkun juga mahir ilmu silat, namun dia cuma sendirian dan tidak mampu melawan orang banyak, ketika dia dikejar dan hampir tertangkap tiba-tiba datang seorang penolong yang berhasil mengocar- kacirkan pasukan pengejar itu.
Lalu putera Ong-ciangkun itu menuturkan apa yang terjadi atas keluarganya, Tentu saja Tayhiap (pendekar besar) yang menolongnya itu tidak tinggal diam dan menyusul ke Lim-an dengan maksud hendak menolong Ong-ciangkun, tapi sayang, beliau terlambat satu hari, Ong-ciangkun sudah dipenggal kepalanya.
Dalam gusarnya Tayhiap itu lantas mendatangi kediaman Tan Tay-hong serta memotong kepalanya, Meski menara lonceng itu sangat tinggi dan sukar dicapai manusia, namun bukan soal bagi Tayhiap itu, hanya sekali loncat saja dapatlah beliau naik ke situ.”
“Siapakah Tayhiap itu? Bagaimana bentuknya?” tanya si orang Kwitang.
“Aku tidak tahu nama pendekar besar itu, yang jelas dia tidak mempunyai lengan kanan, wajahnya cakap, sikapnya gagah, dia selalu membawa seekor burung raksasa yang berbentuk aneh dan buruk.”
Belum habis ceritanya, seorang laki-laki lain lantas menanggapi “Betul, itulah “Sin-tiau-hiap” yang termashur di dunia Kangouw.”
“Ya, pendekar besar itu suka membantu yang lemah dan menolong yang miskin, tapi selamanya tidak mau menyebutkan namanya sendiri,” tutur laki-laki itu, “Karena dia selalu membawa burung yang aneh itu, kawan-kawan Kangouw lantas memberi nama julukan “Sin-tiau-tay-hiap”
(pendekar besar rajawali sakti) padanya, Tapi beliau mengatakan arti “Tay-hiap” terlalu berat baginya, maka tidak berani menerima, terpaksa orang hanya menyebutnya “Sin-tiau-hiap” saja. padahal berdasarkan tindak perbuatannya yang luhur budi itu, sebutan Tayhiap juga pantas diterima olehnya, Kalau dia takdapat disebut pendekar besar, lalu siapa lagi?”
“Huh, di sini Tayhiap, di sana juga Tayhiap, kan bisa kebanjiran Tayhiap nanti,” tiba-tiba si nyonya cantik tadi menimbrung.
“Ah, kenapa nyonya ini bilang begitu?” bantah-orang Sucoan itu dengan tegas. “Meski urusan Kangouw kurang kupahami, tapi demi menolong Ong-ciangkun, Sin-tiau-tayhiap itu telah berangkat dari Hopak ke Lim-an, selama empat hari empat malam tanpa berhenti padahal beliau tidak pernah
kenal siapa Ong-ciangkun, hanya karena kasihan padanya panglima yang difitnah menteri dorna itu, maka beliau telah bertindak tanpa menghiraukan bahaya sendiri. Coba, perbuatan begitu apakah tidak pantas disebut Tayhiap?”
Nyonya cantik itu mendengus dan baru hendak mendebat, tiba-tiba anak dara disampingnya me-nyela: “Cici, perbuatan kesatria yang terpuji itu kan tidak salah kalau diberi gelaran Tayhiap?”
Suara anak dara itu sangat nyaring dan merdu, enak didengar, segar rasanya bagi pendengaran setiap orang.
Nyonya cantik tadi lantas mengomeli adiknya: “Huh, kau tahu apa?” Lalu ia berpaling kepada orang Sucoan tadi dan berkata pula: “Darimana kau dapat mengetahui sejelas itu?
Bukankah kaupun mendengar dari obrolan orang di tepi jalan atau berita angin di dunia Kangouw? Huh, sembilan bagian pasti takdapat dipercaya.”
Orang Sucoan itu termenung sejenak, akhirnya ia berkata dengan sungguh: “Aku she Ong, Ong Wi-tiong Ciangkun itu adalah ayahku almarhum. jiwaku sendiri diselamatkan oleh Sin-tiau-tayhiap. walaupun saat ini diriku menjadi buronan pemerintah, tapi soalnya menyangkut nama baik tuan penolongku, terpaksa kujelaskan asal usul diriku ini.”
Semua orang melengak mendengar ucapan orang Sucoan ini, serentak orang Kwitang tadi mengacungkan ibu-jarinya dan berseru: “Ong-ciangkun cilik, kau memang seorang laki-laki sejati, Kalau di sini ada manusia rendah yang berani melaporkan dirimu kepada yang berwajib, biarlah kita
beramai-ramai menghadaprnya.”
Maka bergemuruhlah orang banyak menyatakan setuju, Terpaksa nyonya cantik tadi tidak dapat membantah pula.
Dalam pada itu si anak dara jelita tadi sedang termangu-mangu memandangi salju yang bertebaran di luar itu sambil bergumam pelahan: “Sin-tiau tayhiap, Sin-tiau-tayhiap “
mendadak ia berpaling kepada si orang Sucoan dan bertanya: “Ong-toako, kalau Sin-tiau-tayhiap itu mempunyai kepandaian setinggi itu, sebab apa pula sebelah lengannya buntung?”
Air muka si nyonya muda tampak berubah demi mendengar persoalan lengan buntung Sin-tiau-tayhiap disinggung bibirnya tampak ber-gerak2 ingin bicara, tapi urung.
Si orang Sucoan she Ong itu menjawab sambil menggeleng: “Entah, nama asli Sin-tiau-tayhiap saja takdapat kuketahui, seluk-beluk pribadi beliau tentu saja lebih-lebih tidak tahu,
“Tentu saja kau tidak tahu,” jengek si nyonya muda.
Tiba-tiba si pemuda Lim-an berkata pu!a: “Tentang menteri dorna Ting Tay-coan itu, sekarang mukanya mendadak berubah hijau gosong dalam semalam, tentu kejadian ini karena hukuman Allah.”
“Aneh, mengapa dalam semalam mukanya berubah menjadi gosong?” tanya si orang Kwitang, “Memang aneh, karena kulit mukanya berubah mendadak, sekarang penduduk Lim-an memberi nama Ting Je-bwe (Ting si kulit hijau) padanya,” tutur pemuda Lim-an. “Asalnya kulit muka Ting Tay-coan itu putih mulus, maklum, hidupnya mewah dan makannya enak Tapi semalaman mendadak kulit mukanya berubah jadi hijau gosong, biarpun sudah diobati oleh tabib paling pandai juga takdapat menghilangkan warna kulitnya yang lucu itu, Konon Sri Baginda pernah menanyakan hal ini, tapi menteri dorna itu malah melapor, katanya lantaran sibuk mengurusi pekerjaan sehingga beberapa malam tidak tidur, maka kulit mukanya menjadi hijau. Akan tetapi setiap penduduk Lim-an sama anggap perubahan kulit muka menteri dorna itu adalah karena kutukan Allah.”
“Sungguh aneh kejadian itu,” ujar si orang Kwitang, “Hahaha!” mendadak si lelaki kekar tadi bergelak tertawa dan bersemi “Ketahuilah bahwa kejadian itupun atas tindakan Sin-tiau-tayhiap. sungguh menyenangkan sungguh menarik.”
“He, bagaimana bisa jadi perbuatan Sin-tiau tayhiap lagi?” tanya semua orang.
Laki-laki kekar itu hanya bergelak tawa saja dan tidak bercerita lebih lanjut, tampaknya ia sengaja tahan harga, ingin jual mahal.
Lantaran ingin tahu duduk perkaranya lebih jelas, si orang Kwitang lantas memanggil pelayan agar membawakan dua kati arak Ko-tiang yang enak untuk lelaki kekar itu, setelah dicekoki arak, semangat orang itu lantas terbangkit, segera ia bercerita lagi: “Tentang peristiwa ini, bukan aku sengaja membual, tapi aku sendiri ikut berjasa, Malam hari itu Sin-tiau-hiap tiba-tiba datang ke Lim-an dan suruh kupimpin para kawan meringkus semua opas yang dinas jaga di kantor walikota, seragam
mereka dicopot dan disuruh pakai para kawan.
Kami merasa tertarik dan juga heran entah apa yang akan dilakukan Sin-tiau-hiap, tapi kami yakin permainan menarik pasti sedang menanti maka segala perintah beliau selalu kami laksanakan. Kira-kira lewat tengah malam, Sin-tiau-hiap tiba di kantor walikota, beliau sendiri lantas memakai jubah
kebesaran walikota dan duduk di meja sidang, sekali palu diketok, beliau lantas membentak
“Bawa hadir menteri berdosa Ting Tay-coan!” - Sampai di sini ia lantas angkat mangkuk arak dan menenggaknya hingga habis.
“Tatkala mana saudara kerja apa di Lim-an sana?” tanya si orang Kwitang.
“Kerja apa?” lelaki itu menegas dengan mata mendelik “Memangnya apa lagi? Minum arak pakai mangkuk besar, makan daging enak, bagi rejeki dengan timbangan, itulah kerjaku, berusaha tanpa pakai modal.”
Orang Kwitang itu terkejut dan tidak berani bertanya pula, ia tahu apa artinya berusaha tanpa pakai modal itu. Yakni merampok, membegal dan sebagainya.
Orang itu lantas bercerita pula: “Aku melenggong ketika mendengar nama Ting Tay-coan disebut, bukankah pembesar anjing ini adalah perdana menteri sekarang, mengapa Sin-tiau-hiap dapat menyeretnya ke sini?

Terdengar palu diketok lagi, dua petugas benar-benar mengiring seorang ke depan sidang, mungkin saking ketakutan, orang itu menjadi gemetar, ingin berlutut, tapi enggan pula. Seorang kawan lantas mendepak belakang dengkulnya hingga dia jatuh bertekuk lutut. Haha, sungguh lucu dan mcnarik. Sin tiau-hiap lantas menanyai dia: “Ting Tay-coan, apakah kau mengetahui dosamu?”
Ting Tay- coan menjawab: “Tidak tahu.”
Sin-tay-hiap membentak: “Kau korupsi dan main kekuasaan, memfitnah dan membunuh menteri setia serta membikin sengsara rakyat, bersekongkol dengan Negara musuh, semua perbuatanmu yang jahat lekas kau mengakui.”
Ting Tay-coan menjawab: “Engkau ini siapa? Berani menculik pembesar negeri, apakah kau tidak tahu undang-undang kerajaan?”
Sin-tiau-hiap menjadi marah dan membentak pula: “Hah, kau juga tahu undang-undang segala? Bagus, hayo anak buah, rangket dia 40 kali lebih dulu!”
Memangnya setiap orang sangat benci kepada menteri dorna ini, kini diperintahkan merangketnya, keruan mereka sangat bersemangat cara merangketnya juga diperkeras, tentu saja menteri dorna itu berkaok-kaok minta ampun dan jatuh pingsan beberapa kali, ia tidak berani kepala batu lagi, apa yang ditanya Sin-tiau-hiap lantas diakuinya semua.
Sin-tiau hiap lantas menyuruhnya menulis sendiri pengakuan dosanya, jika dia ragu-ragu menulisnya, segera Sin tiau hiap menyuruh menggebuk pantatnya lagi atau menempeleng dia.”
Si anak dara cantik tadi mengikik tawa senang, desisnya: “Hihi, sungguh menarik!”
Laki-laki itu menenggak habis pula semangkok arak, katanya dengan tertawa: “Ya, memang sangat menarik, Rupanya Ting Tay-coan itu sangat ketakutan, apalagi Sin tiau hiap berulang-ulang mendesak agar cepat menulisnya, kalau sedikit merandek segera para kawan disuruh menggebuknya, akhirnya Ting Tay coan sampai terkencing2 dan ter-berak2.
Untung baginya, tidak lama fajarpun menyingsing dan di luar kantor walikota itu sudah ramai dengan petugas yang datang dinas pagi, malahan menyusul ada pasukan yang datang pula, mungkin kebocoran berita dan ada orang yang melapor Sin-tiau-hiap menjadi gusar dan berteriak: “Penggal
saja kepalanya!”
Kutahu Sin-tiau-hiap tidak suka sembarangan membunuh orang, tapi kulolos juga golokku terus kuayunkan ke batang leher Ting Tay-coan, ketika golok terangkat ke atas telah ku-putar sekali, lalu dengan tepat mengetuk kuduk Ting Tay-coan, kontan saji menteri dorna itu roboh terguh’ng, tapi tidak
mati melainkan jatuh pingsan.
Rupanya yang mengenai adalah punggung golok yang tidak tajam, tapi sudah cukup membuatnya ketakutan setengah mati. Sin-tiau-hiap bergelar tertawa dan suruh kami mengundurkan diri melalui pintu belakang agar tidak kebentrok dengan pasukan pemerintah.
Konon besoknya Sin-tiau hiap telah mengirim sendiri pengakuan dosa Ting Tay coan itu kepada si tua kaisar, tapi entah ocehan apa Ting Tay-coan telah membuat si kaisar tetap percaya penuh padanya dan tetap menyuruhnya menjabat perdana menteri hingga sekarang.”
“Kalau saja Sri Baginda tidak ngawur dan lemah, tentu kaum dorna takkan berkuasa, tampaknya tanah air kita yang jaya ini sukar dipertahankan lagi.” ujar Ong ciangkun cilik.
“Ya, kecuali Sin-tiau hiap yang menjadi perdana menteri barulah pasukan musuh dapat dikalahkan dan dunia inipun aman,” kata lelaki tadi.
“Huh, dia sesuai menjadi perdana menteri?” tiba-tiba si nyonya cantik menyeletuk.
Laki-laki tadi menjadi gusar dan menjawab: “Dia tidak sesuai, memangnya kau yang sesuai?”
Nyonya cantik itu naik pitam dan membentak “Kau ini kutu macam apa, berani kasar padaku?” - Dilihatnya laki-laki itu sedang memegang sepotong besi pengaduk api dan lagi menyurung kayu bakar ke orggokan api unggun agar berkobar lebih keras, sekenanya ia jemput sepotong kayu dan menyeruk ke besi pengaduk api itu.
Seketika tangan lelaki itu tergetar kesemutan, “trang”, pengaduk api itu jatuh ke lantai dan memercikkan lelatu dari unggun api itu sehingga beberapa jenggotnya terbakar hangus.
Semua orang berteriak kaget, waktu mereka memandang besi pengaduk itu, ternyata sudah bengkok. Biarpun watak lelaki tadi rada berangasan, tapi demi melihat kelihayan si nyonya cantik, ia menjadi mengkeret dan tidak berani bersuara lagi, bahkan arakpun lupa diminum lagi.
Si anak dara cantik lantas ikut bicara: “Cici, orang sedang bercerita tentang Sin-tiau-hiap yang baik budi itu, mengapa kau seperti tidak suka mendengarkan nya?” Lalu ia berpaling pada lelaki tadi dan berkata dengan tersenyum manis: “Toasiok, jangan kau marah ya!”
Sebenarnya laki-laki tua itu sangat mendongkol tapi karena senyuman manis anak dara ini, seketika api amarahnya sirna tanpa bekas, iapun membalasnya dengan tertawa, mestinya ingin mengucapkan beberapa patah kata rendah hati, tapi urung, “Toasiok,” demikian si anak dara berkata pula. “silahkan engkau berkisah pula mengenai Sin-tiau-hiap itu. Apakah engkau kenal dia?”
Laki-laki itu memandang sekejap ke arah si nyonya cantik dan ragu-ragu untuk bicara.
Anak dara itu lantas berkata: “Silahkan bercerita saja, asalkan engkau tidak membikin marah Ciciku tentu takkan terjadi apa-apa. Cara bagaimana engkau kenal Sin-tiau-hiap?
Beberapa umurnya kira-kira? Apakah burungnya rajawali itu sangat bagus?” tanpa menunggu jawaban lelaki itu, ia berpaling kepada si nyonya muda dan bertanya: “Cici, entah bagaimana kalau rajawalinya itu dibandingkan dengan sepasang rajawali kita?”
“Dibandingkan sepasang rajawali kita?” tukas si nyonya muda, “Hah, di dunia ini mana ada burung lain yang dapat menandingi kedua rajawali kita itu?”
“Ah, juga belum tentu,” ujar si anak dara, “Ayah sering mengatakan kita bahwa orang belajar silat harus tahu bahwa di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai, sekali-sekali tidak boleh bangga dan puas.
Kalau manusia saja begitu, kukira burung yang lebih daripada rajawali kita itu pasti juga ada.”
“Huh, anak kecil tahu apa?” Omel si nyonya wuda, “Waktu berangkat, ayah ibu menyuruh kau menurut pada perkataanku, apakah kau sudah lupa?”
“Menurut ya menurut, tapi kan kudu tahu apa yang kau katakan itu betul atau tidak?” jawab si anak dara. “Eh, adik, coba katakan, ucapanku yang betul atau ucapan Cici yang betul?”
Pemuda di samping anak dara itu ragu-2 sejenak, kemudian menjawab: “Entahlah, aku tidak tahu. Yang jelas ayah bilang kita harus menurut perkataan Taci dan suruh kau jangan adu mulut dengan Taci.”
“Nah, benar tidak?” kata si nyonya muda dengan senang. Tapi si anak dara juga tidak marah meski adiknya mengeloni sang Taci. dengan tertawa ia berkata: “Ah, adik memang tidak paham apa-apa” -Lalu ia berpaling dan Tanya laki-laki kekar tadi: Toasiok, silakan kau bercerita lagi tentang Sin-tiau-hiap.”
Lelaki itu menjawab: “Baik, jika nona senang mendengarkan, tentu akan kuceritakan. Meski kepandaian orang she Song ini rendah, paling tidak akupun seorang Laki-laki, satu bilang satu dua ya bilang dua. sepatah katapun tidak berdusta, Tapi kalau nona tidak percaya, ya lebih baik tidak kuceritakan saja.”
“Mana aku tidak percaya? Lekas engkau bercerita lagi,” kata si anak dara sambil mengangkat poci arak dan menuangkan satu mangkok lagi bagi orang itu, malahan ia terus memanggil pelayan: “He, pelayan, tambah lagi sepuluh kati arak dan 20 kati daging rebus, Taciku menjamu para paman dan bibi ini minum arak sekadar menolak hawa dingin.”
Pelayan mengiakan dan berteriak menyampaikan pesanan itu, Semua orang sama tertawa gembira dan mengucapkan terima kasih kepada si anak dara. Tidak lama, tiga pelayan lantas mengantarkan arak dan daging yang dipesan.
Tapi si nyonya cantik tadi menjadi tidak senang, katanya dengan cemberut: “Hm, umpama aku ingin menjamu tamu juga takkan menjamu orang yang suka mengaco belo ini. He, pelayan, rekening arak dan daging itu tidak boleh diperhitungkan padaku.”
Si pelayan melengak bingung, ia pandang si nyonya cantik sebentar, lalu pandang si anak dara lagi.
Anak dara cantik itu lantas mengambil tusuk kondai emasnya dan disodorkan kepada pelayan, katanya: “lni tusuk kondai dari emas murni, sedikitnya bernilai beberapa puluh tahil perak, Nah, tukarkan saja bagiku, Lalu bawakan lagi sepuluh kati arak dan 20 kati daging kambing rebus. ”
Nyonya cantik tadi menjadi marah, omelnya: “Jimoay, Kau sengaja membikin keki aku, bukan? Melulu mutiara yang terbingkai di tusuk kondai itu saja bernilai beberapa ratus tahil perak, tapi benda berharga begitu sembarangan kau berikan untuk mentraktir minum arak sembarangan orang. Nanti kalau pulang dan ditanyakan ibu, coba cara bagaimana kau akan menjawab?”
Anak dara itu melelet lidah, lalu berkata dengan tertawa: “Akan kukatakan hilang di tengah jalan, sudah kucari tapi tidak ketemu.”
“Huh, masakah aku mau berdusta bagimu?”" omel si nyonya muda.
Si anak dara lantas mendahului menyupit sepotong daging rebus dan dimakan, lalu berkata: “Nah, barang sudah dimakan masakah boleh dikembalikan? Eh. hayolah para paman dan mamak, jangan sungkan-2, silakan minum dan makan!”
Melihat kedua kakak beradik itu beradu mulut, semua orang merasa tertarik, mereka sama menyukai si anak dara yang polos ke-kanak 2an, maka dalam hati mereka memihak si anak dara. Rupanya si nyonya muda cantik itu mendongkol ia terus memejamkan mata dan menutupi telinganya.
“Nah, Song toasiok, Taciku sudah tidur silakan kau bercerita lagi, tentu takkan mengganggunya,” kata si anak dara dengan tertawa.
“Bilakah aku tidur?” semprot si nyonya muda dengan marah.
“Ah, bagus, tentunya engkau menjadi lebih tak terganggu,” jawab si anak dara dengan tertawa.
Dengan suara keras si nyonya muda lantas ber-kata; “Yang-ji, dengarkan kataku, jika kau selalu ngotot dengan aku, besuk aku takkan berangkat bersama kau.”
“Ah, tak jadi soal, aku brrangkat bersama Samte (adik ketiga),” ujar si nona cilik.
“Tidak, Samte akan ikut aku,” kata si nyonya.
“”Eh, Samte, kau akan berangkat bersama siapa?” Tanya anak dara itu.
Anak muda tadi menjadi serba susah, kalau membantu sang Taci, tentu Jici kurang senang, jika mengeloni Jici, sang Taci yang akan marah, Dengan tergagap2 kemudian ia menjawab: “Kata ibu, kita bertiga harus selalu bersamak tak boleh terpencar.”
“Nah, betul tidak? Kalau Taci tidak membawa serta diriku, nanti kalau pulang dan ditanyai ibu, tentu Taci tak bebas dari tanggung jawab,” jawab si nona cilik dengan tertawa.
Dengan mendongkol si nyonya menjawab: “Tahu kau selalu bandel begini, dulu waktu kau masih kecil dan diculik orang jahat, tentu aku tidak perlu berkuatir dan ikut mencari kau.”
Mendengar begitu, nona cilik itu menjadi lunak hatinya, ia terus merangkul bahu sang Taci dan memohon: “O, Taci yang baik, jangan marah ya! Anggaplah aku yang salah.”
Si nyonya muda sengaja bermuka merengut dan tidak menggubris.
“Jika Taci tidak mau tertawa, akan ku-kitik2 kau,” kata si anak dara.
Tapi nyonya muda itu malah melengos ke sana. Mendadak anak dara itu menggunakan tangan kanan untuk mengelitik ketiak sang Taci dari belakang, Tanpa menoleh nyonya muda itu menggunakan siku kiri untuk menyikut ke belakang, Tapi tangan kiri si anak dara sempat menangkap sang Taci dan tangan lain tetap hendak mengelitik. segera si nyonya muda sedikit memutar tubuh dan sikutnya menyodok untuk memaksa si anak dara menarik kembali tangannya, keduanya bergerak dengan lemah gemulai dan bergaya menarik.
Hanya sekejap saja keduanya sudah saling gebrak beberapa jurus, Si anak dara tetap tidak mampu mengelitik sang Taci, si nyonya muda juga tidak dapa menangkap tangan adiknya.
“Kepandaian bagus!” tiba-tiba seorang berseru tertahan di pojok ruangan sana.
Kedua kakak beradik serentak berhenti dan memandang ke pojok sana, tertampak seorang duduk meringkuk menjadi satu gulungan, kepala terbenam di antara kedua lututnya, agaknya sedari tidur nyenyak, Sejak duduk di tepi api unggun kedua kakak beradik itu sudah melihat cara orang tidur meringkuk begitu tanpa bergerak sedikitpun orang lain tidak dapat melihat cara bagaimana kedua kakak beradik itu bercanda. Agaknya suara sorakan itu bukan dilakukan olehnya.
Tiba-tiba si pemuda berkata, “Taci dan Jici, ayah sudah pesan agar kita jangan sembarangan memperlihatkan kungfu kita.”
“Ah, sok kemaki!” si anak dara berseloroh.
“Tapi benar juga kau.” -Lalu dia berpaling kepada lelaki kekar tadi: “Maaf, Song toasiok, kami kakak beradik rebut sendiri sehingga lupa mendengar ceritamu Hayolah lekas mulai!”
LcIaki she Song itu menjawab: “Tapi sekali-sekali aku bukan mendongeng, apa yang kuceritakan ini adalah kisah nyata.”
“Tentu saja cerita Song-toasiok adalah kejadian nyata,” ujar si anak dara dengan tertawa.
Lelaki itu menenggak dulu araknya, lalu berkata “Sudah kuminum dan makan suguhan nona, andaikan tidak bercerita juga rikuh rasanya, Kalau saja semalam duitku tidak amblas di meja dadu, tentu akan kujamu kembali engkau nona manis ini, memangnya panggilan Toasiok berulang-ulang hanya panggilan percuma saja? -Eh, bicara tentang perkenalanku dengan Sin-tiau-hiap, kejadiannya hampir sama dengan pengalaman Ong-ciangkun cilik ini, jiwaku juga telah diselamatkan oleh Sin-tiau-hiap. Cuma sekali ini beliau tidak menggunakan kekerasan melainkan dibeli dengan uang.”
“Sungguh aneh, masakah dia membeli kau dengan uang?” si anak dara menegas, “Memangnya berapa sih harganya satu kilo dirimu ini?”
Lelaki itu terbahak-bahak, katanya: “Hahaha, daging orang macamku yang berbau tengik ini ternyata jauh lebih mahal daripada daging sampi maupun babi, Tahukah kau berapa Sin-tiau-hiap menghargai diriku ini? Hah, 4000 tahil perak, tidak kurang. Begini kejadiannya: Lima tahun yang lalu ketika membela sesuatu urusan di Celam, Soatang, aku telah membunuh mati seorang bicokok setempat bunuh orang ganti nyawa, bukan soal bagiku.
Pada suatu hari aku harus menjalani hukuman mati, yang mendongkolkan aku adalah aku diharuskan mati berbarengan dengan seorang buaya darat setempat yang maha jahat.
Sungguh brengsek, masakah seorang laki-laki sejati macamku harus mati di tempat yang sama dengan seorang penjahat? Wah, betapapun aku sangat penasaran.”
“Tak terduga, selang beberapa hari, buaya darat itu telah menyogok walikotanya sehingga tuduhan menculik orang, memeras, membuka rumah perjudian dan rumah pelacuran, semuanya ditumpukkan atas diriku dan buaya darat itu telah dibebaskan.
Dari kepala penjara kudengar bahwa buaya darat itu lelah menyogok dua ribu tahil perak kepada walikota sehingga semua kesalahannya ditambahkan seluruhnya atas namaku.
Katanya toh sama saja, suatu pelanggaran dihukum mati, sepuluh pelanggaran juga dihukum mati, daripada mati dua orang biarlah mati satu orang saja “

“Keruan aku merasa difitnah dan sangat penasaran aku berteriak-teriak mencaci maki pembesar durjana itu, Tapi apa dayaku ? Lewat beberapa hari lagi aku dibawa ke sidang, sungguh aneh bin ajaib, tahu-tahu buaya darat itu dihadapkan sidang pula bersamaku.
Kontan saja aku mengumpat habis-habisan. Tapi pembesar korup itu lantas berkata dengan ter-tawa: “He, Song Ngo, tidak perlu kau mencak-mencak begitu, persoalannya sudah kuselidiki dengan jelas bahwa kau memang tidak bersalah, Bicokot itu bukan dibunuh olehmu, tapi dia pembunuhnya!” sembari bicara ditudingnya pula buaya darat tadi, lalu akupun dibebaskan.
Tentu saja aku meng-garuk-garuk kepalaku yang tidak gatal ini, sudah jelas akulah yang membunuh bicokot itu, mengapa sekarang kesalahan ini ditimpakan kepada orang lain?”
“Hihi, sungguh pembesar yang konyol dan linglung,” ujar si anak dara dengan mengikik tawa.
“Mana dia linglung,” ujar lelaki she Song itu.
“Setiba di rumah, ibuku memberitahukan padaku bahwa ketika aku diputus hukuman mati, ibu menangis setiap hari di jalan raya, suatu hari kebetulan dilihat Sin-tiau-hiap dan ditanya sebab musababnya, Beliau menyatakan sedang ada urusan penting dan takdapat membereskan perkara itu, ibu diberi uang empat ribu tahil perak untuk menebus diriku.
Selang tiga bulan kemudian, tersiarlah berita yang menggegerkan, katanya bapak walikota marah-marah lantaran habis kecurian delapan ribu tahil perak, Kuyakin kejadian itu pasti perbuatan Sin-tiauhiap. kami tak berani tinggal lagi ditempat asal dan terpaksa pindah ke Lim-an.
Lewat setahun lagi kudengar ada seorang tuan bertangan buntung sebelah bersama seekor burung raksasa selalu berada di pantai laut dan memandangi ombak samudera dengan termangu-mangu, Cepat kuburu ke sana dan dapatlah menemui beliau, disitulah dapat ku-aturkan terima kasih padanya.”
“Apa yang kau terima kasihkan?” tiba-tiba si nyonya muda menyela, “dia mengeluarkan empat ribu tahil perak dan masuk delapan ribu tahil perak, jadi masih untung empat ribu tahil bersih. Memangnya orang she Nyo itu mau berbuat sesuatu yang membuatnya rugi?”
“She Nyo? Sin-tiau-hiap itu she Nyo maksud-mu?” tanya si anak dara.
“Entah, siapa yang bilang dia she Nyo?” jawab si nyonya muda.
“Jelas baru saja Taci menyebutnya she Nyo,” kata anak dara itu.
“Ah, kau sendiri yang salah dengar,” bantah si nyonya.
“Baiklah, tak perlu kuribut dengan kau,” ujar si anak dara.
“Seumpama betul Sin-tiau-hiap untung bersih empat ribu tahil perak pasti juga akan dipergunakan untuk membantu kaum miskin dan menolong orang sengsara.”
Serentak semua orang bersorak merauji: “Bagus! Memang tepat ucapan nona!”
“Eh, Song-toasiok, Sin-tiau-hiap itu memandangi ombak laut? Apakah dia sedang menunggu sesuatu di sana ?” Tanya si anak dara pula.
“Entahlah, akupun tidak tahu,” jawab lelaki She Ong sambil menggeleng.
Si anak dara mengambil dua potong kayu bakar dan dilemparkan ke gundukan api unggun, iapun termenung-menung memandangi api yang berkobar itu, kemudian ia menggumam pelahan: “Meski Sin-tiau-hiap suka menolong orang lain, bisa jadi ia sendiripun menyimpan sesuatu persoalan pelik, Sebab apakah dia termenung memandangi laut? Ya, sebab apakah memandangi laut dengan termangu-mangu?”,
Seorang wanita setengah umur yang duduk di sudut kiri sana tiba-tiba menyeletuk “Aku mempunyai seorang adik misan dan beruntung dapat bertemu dengan Sin-tiau hiap yang sedang memandangi laut dengan termangu-mangu itu, karena heran, adik misan pernah tanya beliau, menurut keterangan Sin-tiau-hiap, katanya isterinya berada di seberang lautan sana dan takdapat berjumpa.”
“Ahhh!” semua orang sama bersuara heran.
“Kiranya Sin-tiau-hiap juga punya isteri,” kata si anak dara cantik, “Entah sebab apakah isterinya berada di seberang lautan sana, Dia memiliki kepandaian setinggi itu, mengapa dia tidak menyeberang ke sana untuk mencari isterinya?”"
“Adik misanku juga pernah tanya begitu padanya,” tutur si wanita setengah umur tadi, “Tapi beliau menjawab bahwa lautan seluas itu. entah ke mana baru dapat menemukannya?”
“Ai, kupikir tokoh demikian pasti seorang yang berbudi dan berperasaan halus, ternyata memang benar,” kata si anak dara dengan menghela napas pelahan. Lalu ia tanya pula: “Adik misanmu tentu sangat cantik bukan? Diam-diam dia menyukai Sin tiau-hiap. betul tidak?”
“Hus! Jimoay, kau bicara yang aneh-aneh lagi!” bentak si nyonya cantik tadi.
Tapi wanita setengah umur itu lantas berkata: “Ya, adik misanku memang tergolong cantik. Sin-tiau-hiap telah menyelamatkan jiwa ibunya dan membunuh ayahnya Apakah diam-diam adik misan menyukai Sin-tiau-hiap sukar diketahui orang lain-Cuma sekarang dia sudah menikah dengan seorang petani yang baik, Sin-tiau-hiap telah memberi sejumlah uang, penghidupannya cukup lumayan.”
“Sin-tiau-Hap menyelamatkan jiwa ibunya, membunuh ayahnya sungguh kejadian aneh, aku menjadi rada sangsi apakah betul bisa terjadi begitu?” ujar si anak dara tadi.
“Kenapa mesti sangsi?” kata sang Taci, si nyonya cantik, “watak orang itu memang aneh dan sebentar2 berubah, kalau senang dia menolong jiwa orang, kalau tidak suka lantas dia membunuh, Yu, memang sudah begitu sejak kecilnya.”
“Sudah begitu sejak kecilnya? Taci tahu darimana?” Tanya si anak dara.
“Tentu saja kutahu.” jawab si nyonya muda., Dan meski telah ditanya dan didesak lagi oleh si anak dara, tetap dia tidak mau menjelaskan.
“Baiklah, kau tak mau bercerita ya sudahlah, memangnya siapa pingin tahu?” kata si anak dara dengan rada mendongkol “Rasanya seumpama kau mau bercerita juga cuma membual belaka.” Lalu ia berpaling kepada si wanita setengah umur dan berkata pula: “En, Toasoh, maukah kau bercerita mengenai pengalaman adik misanmu?”
“Baiklah, akan kuceritakan,” jawab wanita itu.
“Usiaku dengan adik misan sebaya, rumah adik berada di Holam, Tahun itu orang Mongol telah menyerbu sampai di wilayah sana dan Kohtio (paman) telah diculik pasukan musuh untuk dijadikan kuli kerja paksa, Bibi membawa adik misan mencari paman ke utara dengan cara minta-minta sepanjang jalan. Susah payah juga perjalanan mereka itu, terutama jika diingat bahwa wajah bibi dan adik tidaklah jelek, tentu banyak mendatangkan kesuIitan. Sebab itulah bibi dan adik telah memoles muka dengan hangus agar tidak merangsang pikiran orang jahat”
“Mengapa muka mereka dibeji hangus menjadi tidak merangsang orang jahat?” tanya si anak dara.
Karena pertanyaan ini, sebagian orang-orang itu, terutama kaum lelakinya, sama tertawa geli.
“Jimoay!” omel si nyonya muda, “kalau tidak tahu, hendaklah jangan sembarangan bertanya, Nona sebesar ini hanya menimbulkan tawa orang saja!”
“Justeru lantaran aku tidak tahu, makanya aku tanya, kalau sudah tahu buat apa tanya,” gerundel si anak dara.
“Ah, urusan kurang pantas diceritakan itu lebih baik nona tidak paham saja,” ujar wanita setengah umur tadi. “Selama empat tahun bibi dan adik misan menjelajahi Mongol dan kemudian sampai ke Soasay, akhirnya dapatlah paman diketemukan menjadi budak di bawah seorang Mongol ber-pangkat Jian-hou-tiang (kepala Seribu Jiwa), Jian-hou-tiang itu sangat jahat ketika paman diketemukan kebetulan bibi menyaksikan sebelah kakinya baru saja dipukul patah oleh orang Mongol itu.
Tentu saja bibi sangat berduka dan memohon suaminya dibebaskan Orang Mongol itu bersedia melepaskan paman apabila ditebus dengan seribu tahil perak, sebab katanya dia beli paman dengan harga seratus tahil sedangkan sepuluh tahil saja bibi tidak punya darimana seribu tahil perak itu diperoleh? Setelah putus asa dan menghadapi jalan buntu, bibi menjadi nekat, terjunlah dia ke dunia gelap, bersama adik misan dan ia sendiri dijual ke Ca bo-keng (rumah pelacuran)”
Karena tidak tahu apa artinya “Ca bo-keng” si anak dara cantik itu hendak bertanya lagi, tapi karena tadi pertanyaannya telah menimbulkan tertawa orang, tiba-tiba ia urungkan maksudnya bertanya.
Terdengar wanita setengah baya itu melanjutkan ceritanya: “Begitulah bibi dan adik misan hidup menderita setengah tahun, sedikit2 mereka sudah ada tabungan, tapi untuk mencukupi seribu tahil perak sungguh tidak mudah.
untunglah para tetamu mengetahui cita2 luhur ibu beranak yang ingin menolong suami itu, maka waktu memberi uang sengaja dilebihkan daripada tarip umum.
Dengan susah payah dan kenyang hina derita, pada malaman tahun baru dapatlah mereka menabung cukup seribu tahil perak, Dengan riang gembira mereka membawa uang tabungan itu ke rumah Jian-hou-tiang untuk diserahkan sebagai harga tebus paman, mereka pikir malam itu juga
antara suami isteri dan anak dapat berkumpul kembali sehingga dapat merayakan tahun baru dengan gembira.”
Sampai di smi, si anak dara ikut bergembira juga bagi ibu beranak yang beruntung itu. Tapi si wanita setengah baya lantas berkata: “Namun kenyataan ternyata berlainan daripada harapan, setelah menerima seribu tahil perak, Jian hou-tiang itu memang benar mengeluarkan paman untuk bertemu bibi dan adik, tapi ketika mereka bertiga menghadap Jian-hou tiang itu untuk mohon diri, tiba-tiba timbul lagi pikiran jahat pada orang MongoI itu karena melihat adik misan ku yang cantik itu, katanya:
“Bagus sekali kalian mau menebus budak ini, nah, boleh serahkan uang tebusannya! - Keruan bibi terkejut, padahal seribu tahil perak itu sejak tadi sudah diserahkan kepada kasir Jian-hou tiang itu, mengapa sekarang menagih lagi? Namun Jian-kou-tiang itu tidak mau terima alasan bibi, dengan marah ia malah membentak: “Huh, masakah seorang berpangkat seperti aku ini sudi anglap duit -kaum budak? Kalian sengaja hendak mencemarkan nama baikku ya?”
Tentu saja bibi menjadi takut dan berduka pula, tanpa tahan lagi ia menangis ter gerung2 di tempat.
“Jian-hou tiang itu lantas berkata -, “Baik!ah, mengingat malam ini adalah malaman tahun baru, biarlah kuberi kesempatan berkumpul kalian suami-isteri. Tapi budak ini mungkin akan kabur, maka sebagai jaminan anak gadis kalian harus ditinggalkan di sini.”
Sudah tentu bibi tahu maksud busuknya dan tidak dapat menerima kehendak orang, Segera Jian-hou-tiang itu membentak-bentak gusar dan memerintahkan anak buahnya mengusir bibi dan paman.”
“Karena tidak tega meninggalkan anak perempuannya, bibi menangis sesambatan di depan rumah Jian-hou-tiang itu.
Walaupun setiap orang mengetahui kesusahan bibi, namun di bawah kekuasaan orang Mongol, membunuh seorang Han ibarat kan memites seekor semut, siapa yang berani membela keadilan? Tapi yang paling celaka adalah pamanku, dia malah bilang:  “Kalau tuan besar Jian-hou-tiang penujui anak gadis kita, inilah rejeki yang sukar dicari bagi orang lain, kenapa kau malah menangis?” Rupanya paman sudah terlalu lama menjadi budak sehingga jiwa raganya sampai tulang sungsum-nya benar-benar sudah berbau budak.
Kemudian iapun menanyakan bibi darimana mendapatkan seribu tahil perak untuk menebusnya. Semula bibi tidak mau menjelaskan, karena didesak, akhirnya diceritakan juga. Tak tahunya paman menjadi marah dan menuduh bibi telah mencemarkan nama baiknya, katanya perempuan yang tidak
dapat menjaga kepribadian dan suka melacurkan diri, bibi dianggapnya terlalu hina dina. Segera paman membuat suratce-rai dan menceraikan bibi.”
Sampai di sini, semua orang sama menggerutu dan menganggap nasib bibinya itu sungguh malang dan pamannya itu terlalu kejam.
“Bibi menjadi putus asa,” demikian tutur wanita lebih lanjut, “diam-diam beliau pergi ke hutan dan hendak menggantung diri dengan tali pinggangnya, Untung Sin-tiau-hiap kebetulan lewat dan dapat menyelamatkan jiwanya, setelah mengetahui duduknya perkara. Sin-tiau-hiap sangat gusar, malam itu juga beliau masuk ke tempat Jian-hou-tiang itu dan melihat adik misan sedang dipaksa untuk menuruti kehendaknya, celakanya paman juga di situ dan malah membujuk agar adik misan menuruti saja.
Kontan Sin-tiau-hiap memukul mati pamanku itu dan menyeret Jian-hou-tiang itu dan melemparkan ke sungai, adik misan juga ditolong keluar. Begitulah kisahnya Sin-tiau-hiap menyelamatkan bibi dan membunuh pamanku. Menurut Sin-tiau-hiap, selama hidupnya paling benci kepada manusia yang
tak berbudi dan tak berperasaan, apalagi rela diperbudak musuh segala, paman telah melanggar pantangan Sin tiau hiap itu, maka tanpa sungkan-sungkan lantas dibunuhnya.”
Saking kesemsemnya mendengar cerita menarik itu. Tanpa terasa anak dara cilik itu lantas mengangkat mangkok arak dan minum seceguk.
“Ah, pedas!” katanya sambil meringis, Karena tidak biasa minum arak, seceguk saja telah membuat mukanya menjadi merah sehingga makin menambah kecantikannya. Dengan pelahan ia berkata pula: “Kalian beruntung sudah pernah melihat Sin-tiau-hiap, jika akupun dapat berjumpa dan bicara sejenak dengan dia, andaikan umurku harus berkurang tiga tahun juga aku rela.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar