Kembalinya Pendekar Rajawali 104
Sejak berpisah dengan Kwe Hu di Coat-ceng-kok
dahulu, sudah belasan tahun Yo Ko tidak pernah berjumpa dengan nona itu, kini
mendadak mendengar suaranya, seketika macam-macam perasaan berkecamuk dalam
benaknya. Didengarnya suara benturan senjata sudah mulai menjauh, agaknya Su
Beng-ciat berhasil memancing Kwe Hu ke tempat lain.
“Yang dicarinya
adalah diriku, biar kutemui dia,” seru Toa-thau-kui sambil berlari keluar
Menyusul Su Ki-kiang dan Hong It-ong juga ikut ke sana.
Tiba-tiba Kwe Yang berbangkit dan berkata
kepada Nyo Ko: “Toakoko, ciciku datang mencari diri-ku, kini aku harus pulang.”
Yo Ko terkejut: “Jadi dia. . .. . dia itu
cicimu?”
“Ya, jawab Kwe Yang, “Kuingin melihat
Sin-tiau-tayhiap, paman Toathau kui lantas membawaku ke sini menemuimu, Aku…
aku sangat senang…” belum habis ucapannya mendadak kepalanya menunduk terus
berlari pergi.
Sekilas Yo Ko melihat dua tetes air mata
meleleh di pipi anak dara itu, tiba-tiba terpikir olehnya, “Dia ingin menemui aku,
tentu adaurusan penting, mengapa sekarang pergi begitu saja tanpa bicara
apa-apa?” - Segera ia menyusul ke sana dan berseru: “Adik cilik, jika kau ada
kesulitan, boleh katakan saja padaku.”
Kwe Yang tersenyum dan menjawab: “Ah, tidak,
aku tiada kesulitan apa-apa.”
Di bawah cahaya bulan muda yang remang-remang
Nyo Ko dapat melihat wajah si nona yang putih bersih itu masih basah air mata,
dengan suara lembut ia lantas berkata pula: “Kiranya kau adalah anak dara Kwe
Tayhiap dan Kwe-hujin, apakah Tacimu nakal padamu?”
Menurut perkiraan Yo
Ko, tidak mungkin puteri Kwe-tayhiap yang termashur itu mengalami kesulitan,
besar kemungkinan Kwe Hu yang suka se-wenang2 itu telah menghina atau memukuli
adik perempuan nya ini.
Ternyata Kwe Yang menjawab dengan tertawa:
“Sekalipun Cici nakal padaku juga aku tidak takut padanya, kalau dia mengomel
aku lantas adu muIut dengan dia, betapapun dia juga tak berani memukuli aku.”
“”Habis untuk apa kau mencari aku? Silakan
bicara terus terang saja.”
“Di tempat penyeberangan sana kudengar orang
bercerita tentang tindakanmu yang baik budi dan yang sangat terpuji itu, hatiku
menjadi sangat kagum dan sangat ingin melihat wajahmu, selain itu tiada sesuatu
maksudku yang lain lagi.
Dalam perjamuan tadi aku teringat kepada
pameo yang mengatakan: “Tiada pesta yang tidak bubar di dunia ini. Hatiku
menjadi sedih, siapa tahu pesta tadi Selum bubar dan aku. . . . .aku harus
segera pergi,” sampai di sini suara Kwe Yang menjadi rada tersendat.
Tergetar hati Yo Ko, teringat olehnya waktu
anak dara ini dilahirkan, beberapa saat kemudian dirinya lantas memondongnya
dan membawanya.
Ketika dikejar oleh Kim-lun Hoat-ong, malah
kemudian terjadi perebutan beberapa kali antara dirinya dengan Kim-lun Hoat-ong
dan Li Bok chi, juga pernah menangkap induk harimau tutul untuk dijadikan mak
inangnya yang menyusuinya, akhirnya dibawanya lagi ke kuburan kuno itu dan
dipelihara sekian lamanya di sana. Tak tersangka sekarang dapat bertemu pula di
sini dan jabang bayi dahulu itu kini telah berubah menjadi gadis remaja yang
molek.
Tanpa terasa Yo Ko berdiri termangu-mangu mengenangkan
kejadian di masa lampau di bawah sinar bulan yang remang-remang itu.
Selang sejenak, Kwe Yang berkata puIa:
“Toa-koko, aku harus pergi sekarang, Aku hanya ingin minta tolong sesuatu padamu.”
“Katakan saja,” ujar Yo Ko.
“Bilakah engkau akan bertemu dengan
isterimu?”
“Antara musim dingin tahun ini,”
“Setelah engkau berjumpa dengan isterimu,
sukalah engkau mengirim kabar padaku di Siang-yang agar aku ikut bergirang
bagimu.”
Yo Ko sangat berterima kasth, ia pikir meski
anak dara ini dilahirkan dari ibu kandung yang sama dengan Kwe Hu, tapi tabiat
keduanya ternyata sangat berbeda, Segera ia bertanya pula: “Apakah ayah-ibumu
sehat2 semua?”
“Ayah dan ibu semua baik-baik saja.” jawab
Kwe Yang.
Tiba-tiba timbul suatu pikirannya, cepat ia
memyambung pula: “Toakoko, setelah engkau berjumpa dengan isterimu, maukah
kalian datang ke Siangyang dan menjadi tamu kami? Ayah-ibu dan kalian
suami-isteri sama-sama kesatria besar jaman ini, tentu kalian akan sama cocok
satu sama lain.”
“Hal ini biarlah kita lihat dulu keadaan
nanti,” jawab Nyo Ko, “Eh, adik cilik, tentang pertemuan kita ini sebaiknya jangan
kau ceritakan pada Cicimu, kukira juga tidak perlu diceritakan pada
ayah-ibumu.”
“Sebab apa?” Kwe Yang menjadi heran,
Tiba-tiba teringat olehnya ketika orang-orang sama mengobrol di kota tambangan
itu, tampaknya Cici kurang senang dengan Sin-tiau-hiap yang di-sebut-sebut itu,
bisa jadi diantara mereka pernah terjadi sengketa apa-apa. Maka ia lantas menambahkan:
“Baiklah, takkan kuceritakan pada mereka.”
Dengan mata tak berkedip Yo Ko memandangi anak
dara itu, dalam benaknya terbayang wajah kecil si orok yang pernah dipondongnya
15 tahun yang lalu itu. Karena dipandangi sedemikian rupa, Kwe Yang menjadi
rada malu dan menunduk.
Timbul pikiran Yo Ko ingin membela dan
melindungi anak dara di depannya sekarang ini sama halnya seperti perlindungannya
kepada jabang bayi yang lemah pada masa belasan tahun yang lalu itu. Segera ia
berkata pula: “Siaumoaycu, (adik perempuan cilik), ayah-ibumu adalah pendekar
besar masa kini dan dihormati siapapun juga, jika kau ada kesulitan kiranya
juga tidak perlu bantuanku Namun kejadian di dunia ini seringkali berubah-ubah,
suka duka sukar diduga. Andaikah kau mempunyai sesuatu persoalan yang tidak
ingin dikatakan kepada ayah-ibumu dan perlu bala bantuan, maka bolehlah kau mengirim
berita padaku, aku berjanji akan membereskannya bagimu dengan
se-baik-baiknya.”-
Kwe Yang tertawa manis, katanya: “Engkau
sungguh sangat baik padaku, Cici sering pamer di depan umum bahwa dia adalah
puteri Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin, terkadang aku merasa risi dan kikuk bagi
ucapannya itu, Betapapun termasyhurnya ayah dan ibu kan tidak pantas kalau hal
itu selalu ditonjolkan. Tapi nanti kalau kukatakan kepada orang bahwa Sintiau-
tayhiap adalah Toakokoku, maka Cici pasti takdapat menirukannya.”
Meski ucapan Kwe Yang ini setengah bergurau,
namun jelas tampak rasa bangganya karena dapat berkenalan dengan Yo Ko.
“Ah, cicimu mana menghargai orang macam
diriku ini?”
ujar Yo Ko dengan tersenyum. Setelah merandek
sejenak sambil meng-hitung-hitung dengan menekuk jari, lalu ia berkata pula:
“Tahun ini kau sudah berusia 15, ya, bulan sepuluh, tanggal 22, 23, 24 ya, kau
lahir pada tanggal 24 bulan sepuluh, betul tidak?”
Kwe Yang terheran-heran, serunya: “He! Memang
benar, darimana kau tahu?”
Yo Ko tersenyum dan tidak menjawab, katanya
pula: “Kau dilahirkan di Siangyang, makanya kau diberi nama Yang, betul tidak?”
“He, jadi kau tahu semuanya, tadi pura-pura
tidak kenal padaku,” seru Kwe Yang, “Engkau pasti sahabat baik ayahku.”
Seperti melamun, Yo Ko tidak menjawabnya,
tapi berkata pula dengan menengadah: “Pada hari itu, pertarungan hebat melawan
Kim-lun Hoat-ong, Liong-ji memondong anak itu…”
Kwe Yang tidak paham apa yang digumamkan Yo
Ko itu, sayup-sayup ia dengar suara benturan senjata di sebelah sana, ia menjadi
kuatir kalau cicinya dilukai Su Beng-ciat, segera ia berkata: “Toakoko, aku
benar-benar akan pergi sekarang.”
Yo Ko masih menggumam: “Tanggal 24 bulan
sepuluh, sungguh cepat sekali, 16 tahun sudah hampir lalu.” Mendadak ia
tersadar karena teguran Kwe Yang tadi dan berkata: “Ah, kau hendak pergi… Ehm,
pada tanggal 24 bulan sepuluh nanti, katamu akan sembayang dan berdoa untuk mengemukakan
tiga buah nazar pada Thian.”
Rupanya ia jadi teringat pada ucapan Kwe Yang
tadi bahwa waktu sembayang dan berdoa, anak dara itu akan memohon Thian memberi
berkah supaya dia lekas bertemu kembali dengan Siao-Iiong-li.
Tiba-tiba Kwe Yang berkata pula: “Eh,
Toakoko, jika kelak akupun mohon tiga soal padamu, apakah engkau dapat menyanggupi?”
“Asalkan dapat kukerjakan sekuat tenagaku
tentu akan kuterima,” jawab Yo Ko tegas, Lalu dari sakunya ia mengeluarkan
sebuah kotak kecil, dikeluarkannya tiga buah jarum lembut yang biasa digunakan
Siao-liong-li sebagai senjata rahasia itu dan diberikannya kepada Kwe Yang, katanya
“Jika kulihat jarum ini nanti, sama saja seperti kulihat wajahmu. Kalau kau tak
dapat menemui aku sendiri, boleh kau suruh orang membawa jarum ini untuk
menyampaikan keinginanmu padaku dan tentu akan kulaksanakannya bagimu.”
“Terima kasib,” ucapan Kwe Yang sambil menerima
jarum-jarum itu, lalu berkata puIa: “Sekarang akan kukemukakan keinginanku yang
pertama.” - segera ia mengembalikan sebuah jarum itu kepada “Yo Ko dan
menambahkan “Kuminta engkau menanggalkan kedokmu agar aku dapat melihat wajah
aslimu “
“Soal ini terlalu kecil dan mudah
dilaksanakan karena aku tidak ingin dikenali kawan lama, maka sengaja memakai kedok,”
kata Yo Ko dengan tertawa, “Tapi caramu sembarangan menggunakan sebuah jarum
emas ini, apakah tidak sayang?”
“Jika muka aslimu saja tidak kuketahui mana
dapat dikatakan kukenal kau? ini sekali-sekali bukan soal kecil,” ujar Kwe
Yang.
Harus diketahui bahwa kaum pendekar jaman
dahulu paling taat pada janji yang pernah diucapkan, karena sudah menyanggupi,
dengan menyerahkan jarum itu sekalipun Kwe Yang minta Yo Ko berbuat sesuatu
yang maha sulit juga akan dilakukannya tanpa pikir, Karena itu juga iapun tak
dapat
menolak permintaan si nona yang pertama ini,
“Baiklah,” katanya sambil menanggalkan kedoknya.
Seketika pandangan Kwe Yang terbeliak, di
depannya muncul seraut wajah yang cakap dengan alis panjang tebal dan mata
besar bercahaya cuma sudah lama memakainya, air mukanya agak pucat dan
kekurus2an. “Ahhh!” terasa Kwe Yang berteriak.
“Kenapa?” tanya Yo Ko.
Muka Kwe Yang menjadi merah, “O, tidak
apa-apa,” jawabnya, Tapi dalam hatinya berkata: “Sungguh tidak nyana engkau
begini cakap.”
Setelah tenangkan diri, kembali Kwe Yang
menyerahkan pula jarum kedua dan berkata: “Sekarang ini kukatakan cita2ku yang
kedua.”
Yo Ko tersenyum dan berkata: “Katakau saja beberapa
tahun lagi juga belum terlambat. Anak gadis belum tahu urusan, yang kau ucapkan
hanya cita2 kanak-anak saja.”
Karena itulah ia tidak lantas menerima jarum
kedua itu. Tapi Kwe Yang lantas menaruh jarum digenggaman tangan Yo Ko dan
berkata: “Cita2ku yang kedua ini adalah pada tanggal 24 bulan sepuluh yang akan
datang, yakni pada hari ulang tahunku nanti, hendaklah kau datang ke Siangyang
daa menemui aku untuk bercakap-cakap
sebentar.”
Meski permintaannya yang kedua ini lebih
repot, daripada permintaan yang pertama, namun bersifat ke-kanak-anakan.
Maka dengan tertawa Yo Ko menjawab “Baiklah,
kusanggupi memangnya apa susahnya? Cuma aku hanya menemui kau sendiri saja,
ayah-ibu dan Cicirnu takkan kutemui.”
“Terserah padamu,” ujar Kwe Yang dengan
tertawa, jari tangannya yang lentik dan putih halus itu memegangi jarum ketiga
yang berkilau di bawah cahaya bulan, katanya pula: “Tentang permintaanku yang
ketiga ini…”
Yo Ko meng-geleng-geleng kepala, pikirnya:
“Busyet!
Memangnya aku Yo Ko begini mudah berjanji pada
orang? sungguh nona cilik yang tidak tahu urusan, janjiku dianggapnya seperti
permainan anak kecil saja.”
Mendadak wajah Kwe Yang tampak merah jengah, katanya
dengan tertawa: “Cita2ku yang ketiga ini sementara belum terpikir olehku,
biarlah kelak akan kukatakan padamu.”
- Habis ini ia membalik dan lari ke sana sambil
berteriak-teriak: “Cici! Cici!”
Kwe Yang terus menuju ke arah datangnya
pertempuran dilihatnya Kwe Hu sedang bertempur sengit melawan Su Beng-ciat dan
Toa-thau kui. Hoan It-ong dan Su Ki kiang mengikuti pertarungan itu di samping
dengan siap siaga.
“Cici, inilah aku,” seru Kwo Yang, “Beberapa
orang ini adalah teman sendiri.”
Selama ini Kwe Hu banyak mendapat petunjuk
dari ayah-ibunya, suaminya yaitu Yalu Ce juga tokoh silat pilihan, maka kepandaiannya
sekarang sudah berbeda jauh dengan daripada belasan tahun yang lalu.
Cuma wataknya berangasan dan tidak telaten
berlatih sebab itulah tingkat ilmu silatnya selalu berkisar antara kelas dua
atau tiga saja meski ayah-bunda dan suami nya terhitung tokoh terkemuka. Kini
meski dia sanggup menempur kerubutan Su Beng-ciat dan Toa-thau-kui dengan sama kuatnya,
tapi lama2 tentu dia akan kewalahan dan terdesak di bawah angin.
Tengah gelisah karena takdapat mengalahkan
lawan dengan cepat, tiba-tiba Kwe Hu mendengar seruan sang adik, segera ia
membentak “Lekas kemari, Moaymoay!”
Su Beng-ciat mendengar sendiri Kwe Yang
memanggil Nyo Ko sebagai Toakoko, kini didengarnya pula Kwe Hu menyebut Kwe
Yang sebagai Moaymoay atau adik perempuan, seketika ia terkesiap dan ragu-ragu
apakah wanita ini adalah isteri atau adik Sin-tiau-tayhiap? Karena itulah
serangannya yang sedang dilontarkannya pada saat itu segera ditarik kembali,
berbareng iapun melompat mundur.
Kwe Hu sendiri tahu lawan sengaja mengalah,
tapi hatinya sudah kadung mendongkol tanpa pikir pedangnya terus menasuk,
“sret” dengan tepat dada Su Beng-ciat tertusuk.
Keruan Toa-thau kui terkejut dan berseru:
“Hei, mengapa kau…”
Tapi sekali pedang Kwe Hu lantas berkelebat,
tahu-tahu lengan Toathaukui juga terluka.
Dengan pongahnya Kwe Hu lantas membentak
pula: “Nah, rasakan lihaynya nyonyamu ini!”
“He, Cici, kubilang orang-orang ini adalah
teman sendiri.” seru Kwe Yang pula.
Kwe Hu menjadi gusar dan membentak: “Lekas
pulang bersamaku! Siapa kenal temanmu yang tidak keruan ini?”
Luka di dada Su Beng-ciat
itu ternyata tidak ringan. Dia terhuyung-huyung dan jatuh tersungkur. Cepat Kwe
Yang memburu ke sana dan membangunkannya sambil bertanya: “Su-goko, bagaimana
lukamu?”
Darah segera mengucur dari dada Su Beng-ciat
hingga baju Kwe Yang berlepotan lekas anak dara itu merobek ujung bajunya untuk
membalut luka orang.
Sementara itu Kwe Hu sedang mendesak pula:
“Hayo lekas berangkat lekas! setiba di rumah nanti kulaporkan kepada ayah dan
ibu, mustahil kau tak kan dipukuli hingga kau minta-minta ampun.”
Dengan gusar Kwe Yang menjawab: “Kau
sembarangan melukai orang, akan kulaporkan juga kepada ayah dan ibu.”
Melihat muka Kwe Yang merah padam dan
mengembang air mata, Su Beng-ciat menghiburnya dengan tertawa yang di paksakan:
“jangan kuatir, nona cilik, lukaku ini takkan membuatku mati.”
Di samping Su Ki-kiang memegangi gadanya
dengan napas terengah-engah, seketika ia menjadi ragu-ragu apa mesti melabrak
Kwe Hu atau menolong adiknya dahulu.
Mendadak Kwe Hu menjerit kaget, kiranya dari
depan dua
ekor harimau loreng telah mendekatinya secara
diam-diam, segera ia hendak menyingkir ke kiri, tapi terlihat pula dua ekor singa
jantan sudah mendekam di situ, waktu ia menoleh, di sebelah kanan bahkan
berdiri empat ekor macan tutul.
Rupanya dalam sekejap itu Su Tiong-beng sudan
memimpin kawanan binatang buas itu dan mengepung rapat Kwe Hu.
Keruan muka Kwe Hu menjadi pucat dan
hampir-hampir jatuh kelengar, Syukur pada saat itu juga suara seorang di dalam
hutan hutan berseru: “Gote, bagaimana lukamu?”
“Mendingan, tidak begitu parah!” sahut Su
Beng-ciat.
“Oh, perintah Sin-tiau-hiap agar kedua nona
ini dibiarkan pergi saja,” kata orang itu.
Segera Su Ki-kiang bersuit beberapa kali,
kawanan binatang buas itu lantas memutar tubuh dan menghilang ke dalam
semak-semak.
“Su-goko, atas nama Ciciku kuminta maaf
padamu,” kata Kwe Yang.
Sesungguhnya luka Su Beng-ciat itu membuatnya
sangat sakit, dengan meringis ia menjawab:
“Mengingat Sin tiau-tayhiap, sekalipun Cicimu
membunuh aku juga tidak menjadi soal.”
Kwe Yang hendak bicara pula, tapi Kwe Hu
lantas menariknya sambil membentak: “Hayo pulang!” Berbareng anak dara itu
terus diseret berlari keluar hutan.
Melihat kedua kakak beradik itu sudah per-gi,
Su-si hengte dan Gerombolan Setan lantas berlari keluar untuk memeriksa keadaan
Su Beng ciat dan Toa-thau- kui, beramai-ramai mereka mencela tindakan Kwe Hu
yang tidak pantas itu, Cuma ucapan merekapun tidak berani kasar kerena belum
mengetahui ada hubungan apa antara Kwe Hu dan
Yo Ko.
Dengan gemas Su Ki-kiang berkata: “Nona cilik
itu sangat baik hati, tapi kakaknya ternyata begitu galak, sudah jelas adik Ciat
mengalah pada-nya, tapi dia malah melukainya secara keji, Coba kalau tusukannya
masuk sedikit lagi tentu jiwa adik Ciat sudah melayang.”
“Marilah kita tanya kepada Sin-tiau-hiap
tentang asal usul perempuan itu,” kata Toa thau-kui. “Di tempat penyeberangan sana
berulang-ulang dia juga mengeluarkan kata-kata yang tidak baik terhadap Sin
tiau- hiap.”
Pada saat itulah dari balik pohon sana muncul
seorang dan berkata, “Syukurlah luka Su-goko tidak terlalu parah. Tindak-tanduk
perempuan itu memang semberono dan cerohoh, ketahuilah bahwa lenganku ini
justeru ditebas kutung olehnya.”
Melihat yang bicara itu adalah Yo Ko, semua
orang sama melengak dan tak dapat bicara lagi, setiap orang sama sangsi dan
ingin tahu, tapi tidak berani bertanya.
Begitulah Kwe Hu telah membawa Kwe Yang
kembali ke tempat penyeberangan, sementara itu air sungai Kuning yang membeku
itu sudah cair, kakak beradik bertiga dapat menyeberang dan pulang ke
Siangyang, sepanjang jalan Kwe Hu masih terus mengomeli Kwe Yang yang dianggap
suka berkeluyuran dengan orang-orang yang tidak keruan.
Tapi Kwe Yang berlagak tuli saja dan tidak
menggubris omelan sang Taci, mengenai pertemuannya dengan Yo Ko juga sama
sekali tak disinggungnya.
Setiba di Sianyang, pertama-tama Kwe Hu
lantas melapor kepada ayah-bundanya bahwa Kwe Yang dalam perjalanan tidak mau
tunduk padanya dan banyak menimbulkan keonaran, lalu iapun menceritakan apa
yang terjadi selama Kwe Yang menghilang dua hari dua malam, tentu saja ia bumbui-bumbui
pula, tambahi kecap dan imbuhi sambel.
Kwe Ceng sendiri sedang pusing kepala oleh
situasi militer beberapa hari terakhir ini, maka ia tambah marah demi mendengar
laporan Kwe Hu itu, segera ia bertanya: “Yang-ji, benar tidak laporan cici
ini?”
Kwe Yang mengikik tawa, katanya: “Ah, cici
memang suka geger, aku ikut seorang teman pergi melihat keramaian, kenapa sih
mesti diributkan?”
“Teman apa? Siapa namanya?” taaya Kwe-Cing.
Kwe Yang melelet lidah, lalu menjawab: “Ah,
lupa kutanyai namanya, cuma kudengar orang memanggil dia Tea-thau-kui begitu.”
“Seperti orang dari “Gerombolan Setan
Se-san,” tukas Kwe Hu.
Kwe Ceng juga dengar nama “Gerombolan Setan
Se-san” itu, meski tak dapat dikatakan gerombolan penjahat, tapi juga bukan
kaum ksatria yang baik, maka ia tambah marah demi mendengar anak perempuan itu
bergaul dengan orang-orang macam begitu, Cuma perangainya memang sabar dan
pendiam, biarpun marah ia hanya mendengus
geram saja dan tidak berkata lagi, sedangkan Oey Yong lantas mengomeli Kwe Yang.
Malamnya Kwe Ceng suami-isteri mengadakan
perjamuan keluarga untuk menghibur pulangnya Kwe Hu dan Kwe Boh-Io, tapi
sengaja tidak menyediakan tempat duduk bagi Kwe Yang. Yalu Ce berusaha membujuk
kedua mertuanya, tapi malah diomeli Kwe Ceng agar sebagai kakak ipar seharusnya
ikut mendidik adiknya, Karena itulah terpaksa Yalu Ce tak berani mengusik lagi.
Kiranya Kwe Ceng dan Oey Yong merasa pernah
terlalu memanjakan Kwe Hu sehingga banyak menimbulkan petaka, maka sekarang
caranya mendidik Kwe Yang dan Kwe Boh-lo telah berubah sama sekali.
Sejak kecil diawasi dengan keras, sifat Kwe
Boh-lo pendiam seperti sang ayah sehingga tak menjadi soal, tapi Kwe Yang sejak
kecil sudah suka berbuat hal-hal yang aneh dan sukar di-jajaki jalan
pikirannya, lahirnya ia menurut, tapi di dalam hati ia memberontak Ketika ia
diberitahu oleh pelayan bahwa Tuan dan Nyonya mengadakan perjamuan keluarga dan
Ji siocia (puteri kedua) sengaja tidak diundang, keruan Kwe Yang menjadi marah,
bahkan ia lantas mogok makan sekalian selama dua hari.
Sampai hari ketiga, Oey Yong jadi kasihan
sendiri, di luar sang suami ia membuat beberapa macam daharan lezat, disertai
menghibur dan membujuk barulah anak perempuan bungsu itu mau makan dan gembira
lagi. Tapi dengan demikian, maksud orang tua mendidik anaknya dengan keras kembali
luntur dan sia-sia pula.
Sementara itu pasukan Mongol sudah berhasil
menyerbu ke negeri Tayli di daerah Hunlam (Yu-nan), sesudah menduduki kerajaan
kecil selatan itu, pasukan induk beralih pula ke utara, sedangkan pasukan
Mongol yang lain dari utara juga menerobos ke selatan sehingga dua induk
pasukan telah
bergabung hendak menggempur Siangyang untuk
akhirnya melalap kerajaan Song sekaligus.
Waktu pasukan Mongol mulai menyerbu Tayli, Kwe
Ceng menyebarKan Eng hiong-tiap (kartu undangan para ksatria) agar para
pahlawan berkumpul di Siangyang untuk merundingkan siasat menghadapi musuh,
keberangkatan Kwe Hu dan kedua adiknya ke utara itu adalah mengemban tugas yang
diberikan sang ayah itu.
Tak terduga gerak cepat pasukan Mongol
ternyata luar biasa, dalam waktu singkat Tayli sudah ditumpas, sebab itulah ketika
para pahlawan mulai berkumpul di Siangyang, sementara itu kekuatan pasukan
Mongol juga mulai mendekati kota itu.
Eng-hiong-tay hwe atau musyawarah besar para
pahlawan ditetapkan pada tanggal 15 bulan sepuluh dan direncanakan berlangsung
selama 10 hari. Hari ini baru tanggal 13, jadi masih dua hari sebelum hari
rapat, sementara itu para pahlawan dan ksatria dari segenap penjuru ber-bondong-bondong
telah tiba di Siangyang.
Kwe Ceng dan Oey Yong sibuk mengurusi tugas
pertahanan, maka urusan menyambut tamu telah diserahkan kepada Loh Yu-ka dan
Yalu Ce. Di antara tamu-tamu yang sudah tiba itu ada Cu Cu-liu, Su-sui Hi-un
dan Bu Sam-thong, kedua Bu cilik bersama Yalu Yan dan Wanyan Peng juga sudah
datang, begitu pula Hui-thian-pian-hok Kwa Tin-ok.
Pejabat ketua Coan-cin-kau waktu itu, Li Ci
siang, dengan 16 murid utama Coan-cin-pay juga sudah tiba, begitu pula para
tertua Kay-pang serta tokoh-tokoh pengemis yang berkantong tujuh dan delapan.
Seketika kota Siangyang penuh dengan
jago-jago silat terkemuka. Banyak di antara tokoh-tokoh persilatan yang jarang
muncul di dunia Kangouw kini juga hadir mengingat pertemuan Siangyang sekali
ini menyangkut nasib negara dan bangsa, pula mereka kagum pada budi pekerti Kwe
Ceng
suami isteri, maka hampir semua orang yang
menerima kartu undangan pasti hadir.
Malam hari tanggal 13 bulan sepuluh, Kwe Ceng
suami-isteri mengadakan perjamuan kecil pribadi di di kediamannya dan
mengundang Cu Cu-liu, Bu Sam-thong dan beberapa kenalan lama untuk
beramahtamah.
Loh Yu-ka juga diundang, tapi sampai malam
ketua Pangcu itu belum tampak hadir, semua mengira dia sibuk oleh pekerjaan
sehingga tidak menyangka sesuatu.
Tengah mereka bersuka ria dan berbincang
macam-macam kejadian Bu-lim selama belasan tahun terakhir ini, Yalu Ce, Kwe Hu
dan anak-anak muda yang bersatu meja tersendiri juga asyik bercengkerama,
tiba-tiba datang seorang murid Kay-pang berkantong delapan dan ber-bisik-bisik
kepada Ui Yong, seketika air muka Oey Yong tampak berubah dan berkata dengan
suara gemetar: “Bisa terjadi demikian?”
Semua orang sama berpaling memandang nyonya
rumah itu. Terdengar Oey Yong berkata pula kepada anggota Kay-pang itu: “Yang
hadir di sini adalah orang kita sendiri, boleh kau bicara saja, bagaimana awal
mula kejadian ini?”
Segera anggota Kay-pang itu menutur. “Lewat
lohor tadi, Loh-pangcu membawa tujuh murid kantong tujuh patroli ke utara kota,
siapa tahu sampai malam tiba beliau belum nampak pulang, Tecu menjadi kuatir
dan bersama teman2 lain terbagi dalam beberapa kelompok keluar kota untuk mencarinya,
akhirnya di kelenteng Yo-tayhu di kaki gunung Hian diketemukan jenazah
Loh-pangcu.”
Mendengar kata-kata “jenazah”, tanpa terasa
semua orang sama menjerit kaget. Sampai di sini, suara anggota Kay-paog itupun
ter-sendat2. Maklumlah meski ilmu silat Loh Yu-ka tidak terlalu tinggi, tapi
orangnya berbudi dan bijaksana sehingga mendapat dukungan luas di kalangan
anggota.
Murid Kay-pang tadi melanjutkan penuturannya:
“Kedua murid tujuh kantong yang mengiringi pangcu itupun menggeletak di samping
beliau, seorang sudah tewas yang lain belum putus napasnya sehingga sempat member
keterangan bahwa mereka kepergok pangeran MongoI yang bernama Hotu. Pangcu yang
kena sergap lebih dulu, kedua murid kantong tujuh itu bertempur mati-matian dan
akhirnya juga dicelakainya.”
“Hehe, jadi Hotu, Hotu!” demikian gumam Kwe
Ceng saking menahan gusarnya, ia jadi menyesal dahulu telah memberi ampun
kepada pangeran Mongol itu di Cong-lam-san, tahu begini tentu waktu itu sudah
dibinasakan.
“Apakah Hotu
itu meninggalkan ucapan apa?” tanya Ui Yong.
“Tecu tidak berani omong,” kata anggota
Kay-pang itu. “Kenapa lidak berani omong,” tukas Oey Yong. “Tentunya dia bilang
supaya Kwe Ceng disuruh lekas menyerah kepada pihak mongol, kalau tidak, maka
contohnya ialah Loh Yu-ka itu, begitu bukan?”
“Hu jin sungguh hebat, memang begitulah
ucapan keparat Hotu itu,” jawab si anggota Kay-pang.
Be ramai-ramai semua orang lantas pergi
memeriksa jenazah Loh Yu-ka, terlihat punggungnya terkena sebatang tulang-tulang
kipas buatan dari baja, tulang iganya juga patah, jelas lebih dulu Hotu
menyergapnya dengan senjata rahasia, habis itu menghantamnya pula dengan tenaga
dahsyat hingga binasa, semua orang menjadi gusar dan berduka pula menyaksikan
itu.
Saat itu di Siangyang berkumpul beribu-ribu
anggota Kay-pang, maka suasana menjadi sedih ketika kabar tewasnya Loh Yu-ka
disiarkan.
Sehari-harinya Kwe Yang sangat akrab dengan
Loh Yu-ka, sering ia menyeret orang tua itu diajak ke tempat sepi seperti kelenteng
Yo-tayhu itu untuk minum arak sambil merecoki orang itu menceritakan
kejadian-kejadian menarik di dunia Kangouw, kalau sudah begitu, maka acapkali
berlangsung hingga hampir sehari suntuk dan kedua orang tua dan muda itu
sama-sama gembiralah.
Kelenteng Yo-tayhu itu tidak jauh di luar
kota, ketika mendengar kawan tua itu meninggal di kelenteng itu, Kwe Yang ikut
berduka, segera ia membawa satu Holo (buii2) berisi arak penuh serta menjinjing
sebuah keranjang sayur, seperti biasanya ia terus menuju ke kelenteng itu.
Saat itu sudah hampir tengah malam, Kwe Yang mengeluarkan
dua pasang sumpit dari keranjangnya dan diatur secara berhadapan, dituangnya
dua cawan arak pula, lalu berkata: “Paman Loh, setengah bulan yang lalu kita
baru saja makan-minum dan mengobrol di sini, siapa duga sekarang engkau telah
mengalami malapetaka, apabila arwahmu mengetahui, silakan kemari minum arak
lagi bersamaku ini.”
Habis berkata, ia siram secawan arak itu di
lantai, ia sendiri lantas menenggak habis secawan. Teringat kepada teman karib
yang kini telah tiada itu, ia menjadi berduka katanya sambil mencucurkan air
mata: “Paman Loh, marilah kita habiskan pula secawan!” - ia menyiram lagi
secawan arak di lantai dan ia sendiri kembali menghabiskan secawan.
Kemampuan minum arak Kwe Yang sebenarnya
sedikit sekali, cuma sifatnya yang terbuka dan suka bergaul dengan orang-orang
Kangouw, maka iapun ikut-ikutan minum arak dan bicara seperti orang dewasa.
Kini setelah menghabiskan dua cawan, mau-tak-mau mukanya menjadi merah, kepala rada
pening.
Dalam kegelapan tiba-tiba seperti ada
bayangan orang berkelebat di luar pintu kelenteng sana, ia terkejut dan bergirang,
disangkanya arwah Loh Yu-ka benar-benar telah datang, segera ia berseru: “Apakah
paman Loh? marilah kita minum dan mengobrol”
Hatinya berdebar-debar, tapi juga sangat
ingin melihat arwah halus Loh Yu ka. Tapi segera didengarnya seorang menegurnya:
“Tengah malam buta kau main gila apa di sini?
ibu mencari kau, lekas pulang!” secepat itu
pula seorang lantas menyelinap masuk, kiranya Kwe Hu adanya.
Kwe Yang sangat kecewa, katanya: “Aku sedang memanggil
arwah paman Loh untuk bertemu di sini, dengan gangguanmu ini mana dia mau
datang lagi? Cici, silakan kau pulang dahulu, segera aku menyusul.”
“Kembali kau mengaco belo lagi, dalam benakmu
yang kecil itu selalu berpikir hal-hal yang tidak karuan. Mana bisa arwah Loh
Yu-ka mau menemui kau?”
“Biasanya dia sangat akrab denganku, apalagi
sudah kusanggupi akan memberitahukan sesuatu padanya sudah kujanjikan akan
kuberitahu pada hari ulang tahunku. Siapa tahu, dia tidak dapat menunggu lagi,”
sampai di sini, anak dara itu menjadi berduka lagi.
“Sekejap saja kau lantas menghilang, segera
ibu menduga kau datang ke sini dan ternyata tepat dugaan ibu,” kata Kwe Hu.
“Hm, se-nakal2nya monyet kecil macammu ini masakah dapat mengelabuhi
perhitungan ibu? Kau benar-benar teramat bandel, ibu sangat marah, coba kalau
Hotu itu bersembunyi di sekitar sini, sedangkan tengah malam buta kau sendirian
berada disini, kan sangat berbahaya?”
Kwe Yang menghela napas, katanya “Aku
terkenang kepada paman Loh sehingga tidak memikirkan bahaya lagi, O, Cici yang
baik, temanilah duduk sebentar di sini, boleh jadi arwah paman Loh akan datang
benar-benar menemui aku.
Cuma engkau jangan bersuara agar tidak
mengejutkan dia.”
Biasanya Kwe Hu kurang menghormati Loh Yu-ka,
menurut anggapannya bisanya Loh Yu-ka diangkat menjadi Pangcu adalah karena
dukungan ibunya, maka ia pikir kalau betul arwah Loh Yu-ka akan datang juga
tidak perlu ditakuti, iapun tahu watak kepala batu adiknya itu, sekali sudah menyatakan
hendak menunggu di situ, maka sukar-lah disuruhnya pulang begitu saja kecuali
kalau ayah-ibu dating sendiri dan mengomelinya.
Maka ia lantas berduduk, katanya dengan
gegetun: “Ji-moay, usiamu makin menanjak, tampaknya kau semakin
ke-kanak-anakan. Tahun ini kau sudah 16 tahun, selang dua-tiga tahun lagi juga
akan punya mertua, memangnya sesudah di rumah mertua kau juga akan
angin-anginan seperti ini?”
“Memangnya apa bedanya?” ujar Kwe Yang.
“Setelah kau menikah dengan Cihu (kakak ipar, suami kakak), bukankah kaupun
tetap bebas merdeka seperti waktu masih gadis?”
“He, mana boleh kau membandingkan Cihu-mu
dengan orang Iain?” jawab Kwe Hu dengan bangga, “Dia adalah ksatria sejati
jaman kini, pengetahuan dan pandangannya sudah tentu jauh lebih daripada orang
lain, dengan sendirinya dia takkan mengekang kebebasanku.
Bakat seperti Cihumu itu jasanya jarang ada
bandingannya di antara jago-jago angkatan muda sekarang. Kelak kalau bakal
suamimu ada setengah kepandaiannya saja, kukira ayah-ibu sudah cukup merasa
puas.”
Mendengar ucapan sang Taci yang sombong itu,
Kwe Yang balas mcncibir, katanya: “Sudah tentu Cihu adalah tokoh yang hebat,
cuma aku tidak percaya bahwa di dunia ini tiada orang lain yang melebihi dia.”
“BoIeh lihat saja nanti kalau kau tidak
percaya” ujar Kwe Hu.
“Aku justeru mempunyai seorang kenalan yaog
berpuluh kali lebih hebat daripada Cihu,” kata Kwe Yang.
Keruan Kwe Hu menjadi gusar, teriaknya:
“Siapa dia?
Hayo katakan lekas!”
“Untuk apa kukatakan? Asalkan aku sendiri
tahu di dalam hati saja, kan cukup?” jawab Kwe Yang.
“Huh, apakah kau maksudkan Li-samte? atau Ong
Kiam bu? Atau Tio Si-kong?” jengek Kwe Hu-Yang disebutnya itu adalah beberapa
ksatria muda yang ganteng kenalan mereka.
Namun Kwe Yang menggeleng, katanya: “Bukan,
bukan! Memadai Cihu saja mereka tidak dapat, mana bisa dikatakan lebih hebat
berpuluh kali daripada nya?”
“Habis siapa?” Kwe Hu menegas-, “Ya, kecuali
Gwakong kita, atau ayah dan ibu atau paman Cu Cu-liu dan beberapa ksatria
angkatan tua,”
“Tidak, orang yang kumaksud itu justeru lebih
muda daripada Cihu, wajahnya juga lebih cakap, sedangkan ilmu silatnya jauh
lebih tinggi daripada Cihu, hakikatnya bedanya seperti langit dan bumi, sama
sekali tak dapat dibandingkan….”
Setiap kalimat diucapkan Kwe Yang, setiap
kali pula disambut oleh Kwe Hu dengan mencemoohkan: “Cis, cis, cis!”
Tapi Kwe Yang tidak peduli, ia menyambung
pula: “Jika kau tidak mau percaya, ya terserah padamu, Pokoknya orang itu
sangat baik budi, siapapun yang ada kesukaran, tak peduli kenal atau tidak
selalu dia suka memberi pertolongan.”
Bicara sampai akhirnya, wajahnya yang cantik
itu tampak memandang kesima ke depan seperti mengenangkan sesuatu yang sukar
dilupakannya.
Dengan gusar Kwe Hu lantas berkata: “Dalam
benakmu yang kecil ini selalu berkhayal saja. Baik-lah, setelah matinya Loh
Yu-ka, jabatan Pangcu menjadi lowong, tadi ibu mengatakan, mumpung para
pahlawan berkumpul di sini, maka kesempatan ini sebaiknya digunakan mengadakan pemilihan
Pangcu. Biarlah orang banyak ikut bertanding, siapa yang berkepandaian paling
tinggi, dia yang diangkat menjadi Pangcu, dengan begitu persengketaan antara
Ut-ih-pay (aliran baju kotor) dan Ceng-ih-pay (aliran baju bersih) dalam Kaypang
dapat dihindarkan.
Kalau orang yang kau anggap hebat itu
benar-benar lihay, nah boleh kau suruh dia maju dan bertanding dengan Cihumu untuk
memperebutkan kedudukan Pangcu.”
“Hihi, belum tentu dia kepengin menjadi
Pangcu kaum jembel begitu,” ujar Kwe Yang dengan tertawa.
“Hm, kau berani meremehkan kedudukan
Pang-cu?”
semprot Kwe Hu
dengan marah. “Dahulu kedudukan itu pernah di jabat Ang Jit-kong, ibu kita juga
pernah menjabatnya, masakah kau berani menghina Ang- lokongkong dan ibu?”
“Baik aku pernah menghina beliau2 itu, kan kau
sendiri yang bilang? Kau sendiripun tahu aku sangat akrab dengan paman Loh dan
bergaul baik dengan kaum jembel lain,”
“Baiklah, boleh kau suruh pahlawanmu itu
bertanding dengan Cihumu,” kata Kwe Hu pula. “Sementara ini para ksatria sama
berkumpul di Siangyang, lihat saja nanti, siapa pahlawan dan siapa kerbau,
sekali gebrak segera akan ketahuan.”
“Cici, bicaramu memang suka melamur tak
genah, bilakah kubilang Cihu adalah kerbau? Kalau dia kerbau, bukankah engkaupun
menjadi hewan? Padahal kita dilahirkan dari satu ibu, kan aku ikut kurang
terhormat?”
Kwe Hu menjadi serba runyam, ya dongkol dan
geli, ia lantas berbangkit dan berkata: “Aku tidak ada waktu buat ribut dengan
kau. Hayolah pulang, jangan-jangan nanti aku ikut didamprat”
Kwe Yang bersifat lincah dan pintar bicara,
biasanya memang suka adu mulut dengan sang Ta-ci, segera ia ber-olok-olok pula:
“Ai, engkau kan nyonya muda yang sudah menikah, biasanya ayah dan ibu juga
paling sayang padamu, engkau juga isteri calon pangcu, siapakah gerangannya
yang sudah makan “hati harimau sehingga berani mendamperat kau?”
Mendengar adiknya menyebutnya “isteri calon
Pangcu”, hati Kwe Hu menjadi senang, katanya: “Sekian banyak kaum ksatria
berkumpul di sini, siapa orangnya yang tidak ingin menjadi Pangcu? Cihumu juga
belum tentu akan terpilih, sebaiknya kau jangan bicara muluk-muluk dahulu agar
tidak
ditertawakan orang.”
Kwe Yang termangu-mangu sejenak pula,
dilihatnya bulan setengah bulat itu menghiasi cakrawala yang kelam, suasana sunyi
sepi, katanya kemudian dengan gegetun: “Tampaknya arwah paman Loh takkan
datang, Cici, mengapa begini cepat mengangkat Pangcu? pengganti paman Loh kan
dapat ditunda sementara waktu agar kita dapat lebih lama mengenangkan jasa
beliau.”
“Kembali kau bicara seperti anak kecil,” ujar
Kwe Hu “Kay-pang adalah organisasi terbesar di dunia Kangouw, naga tanpa
kepala, mana boleh jadi?”
“Ibu bilang kapan akan diadakan pemilihan
Pangcu?” tanya Kwe Hu.
“Tanggal 15 adalah hari pembukaan
Eng-hiong-tay-hwe dengan acara utama bagaimana menghimpun para pahlawan dari
segenap penjuru untuk bersama-sama melawan Mongol.
Musyawarah itu bisa berlangsung hingga lima
enam hari atau bisa juga 8-9 hari. Jadi pemilihan ketua Kay-pang itu kukira baru
dapat diselenggarakan pada tanggal 23 atau 24 nanti.”
“Ahhhh!” Kwe Yang bersuara tertahan “Ada
apa?” Tanya Kwe Hu.
“Tidak apa-apa,” jawab Kwe Yang, “Soalnya
tanggal 24 adalah bertepatan dengan hari ulang tahun-ku, Karena kesibukan
kalian dalam pemilihan pangcu itu, tentunya ibu menjadi tidak sempat merayakan
hari ulang tahunku nanti.”
“Hahahaha!” Kwe Hu bergelak tertawa, “Cuma
hari ulang tahun anak dara seperti kau ini memangnya begitu penting?
Mana boleh kau anggap urusan penting
pemilihan pangcu itu justeru mengganggu hari ulang tahunmu? Haha, kalau didengar
orang bisa jadi gigi orang akan rontok menertawakanmu, Ai, mungkin di dunia ini
hanya kau saja yang selalu ingat kepada urusan tetek bengek begitu?”
Dengan muka merah padam Kwe Yang menjawab: “Umpama
ayah tidak ingat ibu pasti ingat. kau bilang urusan tetek bengek, aku justeru
bilang ini urusan penting, Sekali ini ulang tahunku genap berusia 16. kau tahu
tidak?”
Kwe Hu tambah geli dan
ber-oIok2: “Ya, ya! Pada hari itu nanti, berpuluh ksatria dan pahlawan yang
berada di Siangyang ini akan hadir memberi selamat kepada Kwe-jisiocia kita,
setiap orang akan menyumbangkan kado padamu, sebab tahun ini Kwe-jisocia kita
genap berusia 16 dan bukan lagi
anak dara melainkan sudah nona besar,
Hahahaha!”
“Orang lain mungkin takkan ambil pusing, tapi
paling sedikit ada seorang pahlawan besar pasti ingat kepada hari ulang
tahunku, dia sudah berjanji akan datang menemui aku,” kata Kwe Yang dengan rasa
bangga.
“Ah, pahlawan besar apakah? Ya, tahulah aku,
tentu pahlawan yang jauh lebih hebat daripada Cihumu itu,” ujar Kwe Hu. “lngin
kukatakan padamu, pertama, di dunia ini hakikatnya tiada tokoh nomor satu
begituan, hanya benakmu sendiri yang berkhayal seperti itu. Kedua, seumpama ada
orang begitu, betapa banyak urusan penting yang harus dilakukannya, mana dia
mau datang memberi selamat kepada anak dara seperti kau ini. Kecuali dia juga
menghadiri Eng-hiong-tay-hwe, kalau tidak masakah dia datang ke Siangyang ini.”
Hampir-hampir menangis Kwe Yang oleh
olok-olok sang taci, sambil banting2 kaki ia berseru: “Dia sudah berjanji padaku,
dia sudah berjanji. Dia takkan menghadiri Eng-hiong tay-hwe dan juga tak ikut
berebut pangcu segala.”
“Dia bukan Enghiong, dengan sendirinya ayah
takkan mengirim Eng-hiong-tiap padanya,” kata Kwe Hu. “Sekalipun dia ingin
menghadiri pertemuan besar ini kukira juga belum memenuhi syarat.”
Kwe Yang mengusap air matanya dengan
sapu-tangan kecil, katanya. “Jika begitu akupun takkan hadir pada pertemuan
kalian itu, masa-bodoh kalian hendak mengangkat Pangcu segala, betapapun
ramainya juga aku takkan meiihatnya.”
“Aduh, jika Kwe-jisiocia kita tidak hadir,
lalu bagaimana jadinya Eng-hiong-tay-hwe itu nanti?” demikian Kwe Hu
ber-olok-olok pula. “Yang terpilih menjadi Pangcu nanti juga kurang gemilang,
mana boleh kau tidak hadir.”
Sambil menutupi kedua telinganya Kwe Yang terus
berlari keluar kelenteng, Tapi mendadak bayangan berkelebat tahu-tahu diambang
pintu kelentertg telah berdiri seorang dan mengalang jalan keluarnya, keruan Kwe Yang
kaget, cepat ia melompat mundur sehingga tidak bertubrukan dengan
pengadang-nya itu.
Di bawah cahaya bulan tertampak perawakan
orang itu sangat jangkung, mukanya hitam, anehnya tubuh bagian atas ternyata
sangat cekak, hanya bagian pinggang ke bawah yang teramat panjang. Setelah
diawasi lebih teliti baru tahu jelas, rupanya kedua kaki orang itu buntung,
kedua ketiaknya di
sanggah dengan sepasang tongkat yang
panjangnya-hampir dua meter, karena itulah lengan celananya menjadi bsrgoyang-gontai
di bagian bawah, orang pendek memakai egrang sehingga menjadi orang jangkung.
“He, kau, Nimo Singh!”
seru Kwe Hu terkejut.
Kiranya orang ini memang betul Nimo Singh
adanya. Sekali ini raja Mongol memimpin sendiri pasukannya ke selatan, maka
segenap jago silat benua barat dan Mongol telah dikerahkan, setiap orang sama
berharap dapat memamerkan kemahirannya dalam pertempuran nanti untuk
mendapatkan pahala dan kedudukan.
Meski kedua kaki Nimo Singh sudah buntung,
tapi ilmu silatnya belum punah, selama gembleng belasan tahun itu, sepasang
tongkat penyanggah tubuhnya itu dapat dimainkan terlebih lihay daripada sebelum
buntung kakinya.
Sementara ini pasukan Mongol masih ratusan li
di utara Siangyang, tapi para pengintai yang terdiri dari jago-jago silat pilihan
seperti Nimo Singh dan lain-lain sudah tiba lebih dulu di sekitar Siangyang.
Malam ini maksudnya hendak menginap di
kelentong Yo-tayhu ini tak terduga didengarnya percakapan Kwe Hu berdua, keruan
ia menjadi kegirangan, ia tahu berhasilnya Siangyang dipertahankan sekian lama
oleh kerajaan Song adalah berkat perjuangan Kwe Ceng, kalau sekarang kedua
puteri kesayangannya ini ditawan, andaikan tak dapat memaksa Kwe Cing menyerah,
sedikitnya juga dapat mengacaukan semangatnya dan sungguh suatu jasa besar
baginya bila dilaporkan kepada raja Mongol.
Karena itulah ia lantas menjawab: “Eh, nona
Kwe, sungguh bagus daya ingatanmu, ternyata kau tidak pangling padaku, Baiklah,
supaya tidak membikin susah kedua pihak, silakan kalian ikut padaku saja.”
Gusar dan kuatir pula Kwe Hu, ia tahu ilmu
silat orang Hindu ini sangat lihay, sekalipun dirinya kakak beradik maju sekaligus
juga bukan tandingannya. Tanpa terasa ia melotot gusar pada Kwe Yang, pikirnya:
“Semua ini gara-garamu, coba cara bagaimana harus menghadapi bahaya di depan
mata
sekarang?”
Sebaliknya Kwe Yang telah berkata pada Nimo
Singh: “Eh, kenapa kedua kakimu itu begitu aneh? Sebelum bunting dahulu apakah
juga sepanjang itu?”
Nimo Singh hanya mendengus saja dan tidak menggubrisnya,
tapi lantas berkata pula kepada Kwe Hu: “Kalian berjalan di depan, jangan
sekali-sekali timbul pikiran hendak melarikan diri.” - Nyata dia telah anggap
kakak beradik itu sebagai tawanannya yang sudah berada dalam genggamannya.
Kwe Yang lantas berkata pula: “He, cara
bi-caramu ini sungguh aneh, tengah malam buta kau suruh kami kakak beradik
pergi ke mana?”
“Jangan banyak bicara, lekas ikut pergi!”
bentak Nimo Singh, ia kuatir kedatangan musuh yang kini banyak berkumpul
Siangyang dan usahanya ini mungkin bisa gagal, maka ingin lekas-lekas pergi.
“Jimoay, si cebol ini adalah jagoan pihak
Mongol, kepandaiannya cukup lihay, marilah kita mengerubutnya dari kanan dan
kiri,” bisik Kwe Hu kepada adiknya. Habis barkata, “sret”, segera ia melolos
pedang terus menusuk ke pinggang musuh.
Kwe Yang tidak membawa senjata, ia lihat Nimo
Singh tidak mempunyai kaki, bisanya berdiri adalah berkat tongkatnya saja,
sekarang sang Taci menyerangnya, apakah dia bisa menangkisnya?
Dasar hati Kwe Yang memang welas asih, maka
ia berbalik berseru: “He, Cici, orang ini harus dikasihani jangan dilukai!” .
Tak terduga, belum lenyap suaranya, mendadak
Nimo Singh menyangga tubuhnya dengan tongkat kiri, tongkat kanan terus
menyabet, “trang” tongkat membentur pedang Kwe Hu dan memercikkan lelatu api
dalam kegelapan, pedang Kwe Hu hampir saja terlepas dan cekalan.
Seketika Kwe Hu merasa tangannya kesemutan
dan dada sakit Cepat ia menggeser ke samping dan menyerang pula, ia mainkan
“Wat-li-kiam hoat” dan menempur Nimo Singh dengan sengit.
Wat li-kiam hoat atau ilmu pedang gadis
cantik diajarkan Kwe Ceng kepada puterinya ini untuk mengenang salah seorang
gurunya dari Kanglam-jit-koay, yaitu Han Siao-eng yang tewas secara mengenaskan
di Mongol.
ilmu pedang ini mengutamakan kelincahan dan
kegesitan, akan tetapi karena terbatas oleh tenaga, betapapun Kwe Hu memang
bukan tandingan Nimo Singh.
Melihat cara Nimo Singh menggunakan kedua
tongkatnya dengan bergantian, yang satu digunakan menyangga tubuh, yang lain
lantas digunakan menyerang, gerak geriknya cepat dan gesit tiada ubahnya
seperti orang yang berkaki, apalagi kedua tongkatnya itu sangat panjang, dari
atas menggempur ke bawah, daya serangannya menjadi lebih hebat, jelas sang Taci
tidak sanggup melawannya, baru sekarang Kwe Yang merasa kuatir.
Sesungguhnya kepandaian Nimo Singh memang
jauh lebih tinggi daripada Kwe Hu, hanya kepandaian nona itu adalah ajaran Kwe
Ceng dan Oey Yong yang lihay, maka dapatlah Kwe Hu bertahan sekian lama, tapi
dirasakannya tekanan tongkat musuh semakin berat sehingga sukar ditangkis lagi.
Nampak kakaknya terdesak, tanpa pikir lagi
Kwe Yang lantas menubruk maju dengan bertangan kosong.
“Kena!” mendadak Nimo Smgh berteriak tongkat
kiri menutul lantai, tubuhnya mengapung ke atas, kedua tongkat digunakan
sekaligus untuk menyerang, tongkat yang satu kena menutuk bahu kiri Kwe Yang,
tongkat lain tepat menutuk Hiat to di dada Kwe Hu.
Kwe Yang tergeliat sempoyongan dan mundur
beberapa tindak. sedangkan Kwe Hu cukup berat ditutuk oleh tongkat lawan, ia
tidak tahan dan “bluk”, jatuh terduduk.
Gesit luar biasa Nimo Singh, cepat lagi keji,
begitu tongkatnya menutul pelahan, segera ia mendesak maju ke depan Kwe Hu sambil
menjengek: “Nah, sudah kukatakan ikut saja padaku…”
Di luar dugaannya, mendadak Kwe Hu sambil
berseru: “Jimoay, lekas lari ke belakang!”
Nimo Singh terkejut, sudah jelas Hiat-to di
dada Kwe Hu kena ditutuknya dengan ujung tongkat, mengapa nona itu masih dapat
bergerak dengan bebas? ia tidak tahu bahwa Kwe Hu memakai baju wasiat berduri
landak (Nui-wi-kah) pemberian sang ibu, disangkanya keluarga Kwe punya ilmu kekebalan
yang tidat mampu ditutuk dan tidak mempan dilukai.
Padahal setelah terkena tutukan tongkat tadi,
meski tidak beralangan apa-apa, namun rasa sakitnya juga tidak kepalang, dan
kurang leluasa lagi buat bergerak. Tapi Kwe Yang lantas memainkan ilmu pukulan
“Lok-eng-ciang-hoat” dan melindungi di belakang sang Taci sambil berseru:
“Cici, engkau saja lari lebih dulu!”
Namun sebelum mereka angkat kaki, tahu-tahu
Nimo Singh melayang lewat di atas mereka dan mengadang di depan Kwe Hu sambil
membentak “jangan bergerak!”
Kwe Yang menjadi gusar dan mendamperat:
“Tadinya kau harus dikasihani tak tahunya kau begini jahat!”
“Hahaha!” Nimo Singh
bergelak tertawa. “Anak dara, rupanya kau belum kenal kelihayan kakek sebelum
tahu rasa.”
Habis ini, kedua tongkatnya bergantian
melangkah maju sehingga menerbitkan suara “tok-toktok” yang keras, dengan muka
menyeringai selangkah demi selangkah ia mendesak maju. Keruan Kwe Hu dan Kwe
Yang melangkah mundur dengan ketakutan.
Selama hidup Kwe Yang belum pernah melihat
wajah orang sebengis ini, dilihatnya kedua mata Nimo Singh melotot, mukanya
beringas dan muIutnya menyeringai iblis, tampak pula taringnya yang runcing
putih, seakan-akan drakula yang akan menerkam dan menggigit lehernya, saking
takutnya ia menjerit ngeri.
Pada saat itulah tiba-tiba Kwe Yang mendengar
suara halus berkata di belakangnya: “Jangan takut, serang dia dengan Am-gi
(senjata rahasia)!”
Dalam keadaan gawat begitu, tak berpikir lagi
oleh Kwe Yang siapa yang bicara itu, segera ia meraba bajunya, tapi lantas
disadarinya dia tidak membawa senjata apapun juga, katanya dengan cemas: “Aku
tidak membawa Am-gi.”
Sementara itu Nimo Singh telah mendesak maju
Iagi, ia menjadi bingung dan terpaksa kedua tangannya disodorkan ke depan
dengan gaya membela diri.
Tak terduga baru saja tangannya menjulur ke
depan, sekonyong-konyong dari belakang seakan-akan ditiup serangkum angin,
lengannya terasa tergetar pelahan, sepasang gelang untiran emas yang dipakainya
itu tahu-tahu terlepas dari pergelangan tangannya dan melayang ke depan, “tring-tring”,
sepasang gelang emas itu membentur kedua tangan Nimo Singh.
Tampaknya benturan itu sangat pelahan, tapi
entah mengapa, Nimo Singh ternyata tidak sanggup memegangi lagi kedua
tongkatnya dan mendadak ia terlempar keras ke belakang, “blang-blang” dua kali
kedua tongkat membentur dinding dan membikin debu pasir sama rontok.
Karena tongkat penyangganya terlepas dari
cekalan, tubuh Nimo Singh lantas jatuh, tapi si cebol ini memang lihay juga, baru
punggungnya menempel lantai, sekali melejit, tahu-tahu ia meloncat lagi ke
atas, sepuluh jarinya yang berkuku panjang tajam itu terus menubruk ke arah Kwe
Yang.
Dalam kagetnya tanpa pikir Kwe Yang cabut
tusuk kundai kemala hijau yang dipakainya itu terus disambitkan ke depan, terasa
angin meniup pula lari belakangnya, tusuk kundai itu disurung cepat ke depan.
Melihat samberan tusuk kundai itu sangat
aneh, cepat kedua telapak tangan Nimo Singh memapak ke depan, tapi terdengarlah
dia bersuara tertahan, lalu jatuh terdukuk pula dan tidak bergerak lagi.
Kuatir musuh main akal licik, cepat Kwe Yang
melompat ke samping Kwe Hu dan berseru dengan-suara gemetar: “Cici, le…. lekas
lari!”
Tapi mereka melihat Nimo Singh tetap diam
saja tanpa bergerak sedikitpun ditunggu lagi sejenak juga tetap begitu, Kwe Hu
menjadi berani katanya: “Apakah dia kena penyakit angin duduk dan mati
mendadak?”
Segera ia membentak “Nimo Singh,
kau main gila apa?”
Kwe Hu pikir musuh sudah kehilangan tongkat
dan tidak leluasa bergerak, tentunya tidak perlu ditakuti lagi, dengan pedang
terhunus ia lantas mendekatinya. Dilihatnya kedua mata Ntmo Singh mendelik
dengan penuh rasa ketakutan, mulut ternganga lebar ternyata sudah mati sejak
tadi.
Kejut, heran dan girang pula Kwe Hu, cepat ia
menyulut lilin pada altar sembahyangan, “belum lagi ia sempat memeriksa lebih
jauh, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak di luar kelenteng. “Hu-moay
Jimoay, apakah kalian berada di dalam kelenteng? Nyata itulah suaranya Yalu Ce.
Dengan girang Kwe Hu lantas menjawab: “Lekas
kemari, kakak Ce, sungguh kejadian sangat aneh!”
Sejenak kemudian Yalu Ce berlari masuk dengan
dua anggota Kay-pang berkantong enam, Iapun terkejut melihat Nimo Singh tewas
menggeletak di situ, ia tahu ilmu silat Nimo Singh sangat tinggi, sekalipun
dirinya juga bukan tandingannya, tapi kini jagoan Hindu itu ternyata bisa
dibunuh oleh isterinya, sungguh sangat di luar dugaan.
Segera ia mengambil tempat lilin dari tangan
Kwe Hu dan mendekati Nimo Singh, setelah diperiksanya, ia tambah keheranan
Ternyata kedua telapak tangan Nimo Singh sama berlubang, sebuah tusuk kundai
kemala hijau tepat menancap pada Sin-ting-hiat di batok kepalanya.
Padahal tusuk kondai kemala itu sangat mudah
patah, namun dapat menembus telapak tangan seorang jago silat kenamaan dan dan
sekaligus membinasakannya maka betapa lihay kepandaian pemakai tusuk kundai ini
sungguh sukar diukur dan dibayangkan Yalu Ce lantas berpaling dan tanya Kwe Hu:
“Apakah Gwakong datang ke sini? Lekas pertemukan aku dengan beliau.”
Kwe Hu menjadi heran, jawabnya: “Siapa yang
bilang Gwakong datang ke sini?”
“Bukan Gwakong?”
Yalu Ce menegas, mendadak ia menjadi girang dan menambahkan “Aha, jika begitu
Guruku yang datang!”
Lalu ia memandang sekeliling situ, namun
tidak dilihatnya sesuatu jejak Ciu Pek-thong, gurunya itu jenaka dan suka bergurau
bisa jadi sengaja sembunyi untuk membuatnya kaget, Cepat ia berlari keluar
kelenteng dan melompat ke wuwungan untuk memeriksa sekitar, namun tiada
sesuatupun
yang ditemukannya, terpaksa ia melompat turun
kembali.
“He, apa-apaan kau bilang Gwakong dan Suhu
segala?” tegur Kwe Hu dengan bingung.
Yalu Ce lantas bertanya cara bagaimana mereka
kepergok Nimo Singn dan mengapa orang itu bisa tewas begitu saja?
Kwe Hu lantas menceritakan apa yang terjadi
tadi, tentang tusuk kundai adiknya itu dapat menancap mati Nimo Singh, ia sendiripun
tidak dapat menjelaskan.
“Di belakang jimoay pasti ada seorang kosen
yang membantu secara diam-diam,” ujar Yalu Ce. “Ku kira orang yang memiliki
kepandaian setinggi ini jaman kini selain ayah mertua hanyalah Gwakong kita
Uitocu, guruku, It-teng Taysu serta Kim-lun Hoat-ong saja berlima.
Kim-lun Hoat-ong adalah Koksu Mongol, tentunya
dia takkan membunuh kawan sendiri, sedangkan It teng Taysu tidak sembarangan
mau melanggar pantangan membunuh, maka kukira kalau bukan Gwakong tentulah
guruku, Jimoay, coba jelaskan, siapakah gerangan orang yang membantumu itu?”
Kelika menyambitkan tusuk kundainya tadi dan membinasakan
Nimo Singh, Kwe Yang segera menoleh dan tidak melihat bayangan seorangpun, maka
diam-diam ia meresapi ucapan “jangan takut, serang dia dengan Am-gi”, ia merasa
suara itu sudah dikenalnya, ia menjadi sangsi apakah Yo Ko adanya? Maka waktu
ditanya Yalu Ce, seketika ia tak dapat menjawab karena dia masih kesima
merenungkan suara itu.
“He, kenapa kau, Jimoay?” seru Kwe Hu sambil
menarik lengan adiknya, ia kuatir jangan-jangan adiknya itu menjadi Iinglung
karena kejadian yang menakutkan tadi.
Tiba-tiba air muka Kwe Yang berubah menjadi
merah dan menjawab: “O, tidak apa-apa.”
“Cihu bertanya padamu siapa yang membantu
tadi, kau dengar tidak?” kata Kwe Hu dengan mendongkol.
“O, siapakah yang membantuku membinasakan
orang jahat ini? Ah, sudah tentu dia! Kecuali dia siapa lagi yang memiliki
kepandaian setinggi ini?” kata Kwe Yang.
“Dia? Dia siapa?” Kwe Hu
menegas. “Apakah pahlawan besar yang kau katakan itu?”
“O, tidak, tidak! Kumaksudkan arwah halus
paman Loh,” jawab Kwe Yang cepat.
“Cis!” semprot Kwe Hu sambil mengipatkan
tangan adiknya itu.
“Memangnya apakah kau melihat sesuatu
bayangan orang?” kata Kwe Yang pula, “Pastilah paman Loh yang melindungi aku
secara diam-diam. Kau tahu, semasa hidupnya paman Loh sangat karib denganku.”
Sudah tentu Kwe Hu menyangsikan cerita Kwe
Yang itu, namun memang nyata tadi dirinya tidak melihat sesuatu bayangan orang
dan tahu-tahu Nimo Singh sudah mati.
Sementara itu Yalu Ce sedang memeriksa kedua
tongkat Nimo Singh, katanya dengan gegetun: “Kepandaian sehebat ini, sungguh
sangat mengagumkan.”
Waktu Kwe Hu dan Kwe Yang ikut meneliti,
tertampak setiap tongkat itu terbingkai sebuah gelang emas untiran.
Padahal gelang itu cuma terbuat dari untiran
emas yang halus, tapi orang dapat mendorongnya dengan tenaga dalam yang dahsyat
dan membentur jatuh kedua tongkat Nimo Singh, pantasIah kalau Yalu Ce merasa
gegetun dan kagum tidak kepalang.
“Marilah kita perlihatkan pada ibu, siapakah
sebenarnya orang yang membantu jimoay secara diam-diam itu, tentu ibu mengenalnya,”
ujar Kwe Hu.
Nimo Singh dan sepasang tongkatnya segera
dibawa kedua anak murid Kay pang dan ikut Yalu Ce pulang ke kota.
Ketika Kwe Ceng dan Oey Yong mendengar cerita
Kwe Hu dan membayangkan betapa berbahaya kejadian itu, mau tak-mau Kwe Ceng
terperanjat.
Semula Kwe Yang menyangka keonaran yang diterbitkannya
ini pasti akan mendapat persen damperatan, tapi Kwe Ceng justeru gembira oleh
keberanian dan tinggi budi puteri kecil yang menurunkan gaya sang ayah itu, ia
tidak mendamperat, malah menghiburnya. Begitu pula demi nampak sang suami tidak
gusar, maka Oey Yong segera saja merangkul puteri kecil itu dengan penuh
sayangnya.
Tapi kemudian setelah dilihatnya mayat Nimo
Singh serta keadaan kedua tongkatnya, Oey Yong termenung-menung, kemudian ia baru
tanya Kwe Ceng: “Cing-toko, siapakah orangnya menurut kau?”
“Tenaga dalam orang ini
mengutamakan keras dan kuat, setahuku,selamanya hanya ada dua orang” sahut Kwe Ceng.
“Ya, tapi guru berbudi kita Ang Jit-kong
sudah lama wafat, pula bukan kau sendiri,” ujar Oey Yong.
Ia coba menanya lebih jelas tentang kejadian
di kelenteng itu, namun tetap tak bisa diterkanya.
Sesudah Kwe Hu dan Kwe Yang kembali ke-kamar
masing-masing, segera Oey Yong berkata lagi pada sang suami: “Cing-koko, kau
tahu tidak puteri ke-dua kita ada apa-apa yang membohongi kita.”
“Membohong? Membohong apa?” tanya Kwe
Ceng heran.
Nyata wataknya sangat sederhana dan jujur,
maka tidak pernah ia mencurigai orang lain.
“Sejak kembalinya dari utara mengantar kartu
undangan,” demikian tutur Oey Yong, “seorang diri ia selalu termenung-menung,
cara bicaranya malam ini juga sangat aneh.”
“Ia terkejut, sudah tentu pikirannya tidak
tenang,” ujar Kwe Ceng.
“Bukan, bukan,” sahut Oey Yong, “la sebentar
malu-malu kucing, lain saat tersenyum kecil, itu sekali-sekali bukan karena
terkejut,.tapi, dalam hatinya justeru merasa senang tak terkatakan.”
“Anak kecil mendadak mendapat bantuan orang
kosen, sudah tentu akan terkejut serta kegirangan, apapun tak perlu dibuat
heran,” kata Kwe Ceng Iagi.
Oey Yong tersenyum, ia tidak buka suara pula,
tapi dalam hati ia berkata: “Perasaan anak perempuan yang dirundung asmara,
waktu mudamu saja kau tak paham, sampai tua juga kau tetap tak mengerti!”
Karena itu, lalu iapun belokkan pokok
percakapan mereka tentang siasat2 yang harus digunakan, untuk menghadapi musuh
serta acara-cara penyambutan tamu dalam perjamuan ksatria besok.Habis itu
masing-masingpun pergilah mengaso.
Tapi di atas ranjang Oey Yong sukar pulas,
sebentar2 ia terbayang oleh sikap puteri kecil yang aneh itu, pikirnya: “Pada
waktu anak perempuan ini baru lahir lantas mengalami kesukaran, selama ini aku
selalu berkuatir hidupnya akan banyak terjadi alangan, tapi syukurlah selama 16
tahun ini telah dilewatkan dengan selamat, apakah mungkin sekarang
inilah bakal terjadi sesuatu atas dirinya?”
Apabila teringat olehnya musuh sudah dekat,
malapetaka yang akan datang bakal dihadapi oleh setiap penduduk kota, jika
sebelumnya bisa diketahui, sedikit apa-apa yang bakal terjadi juga ada gunanya
untuk ber jaga2.
Namun tabiat puteri kecil ini sangat aneh,
apa yang tak ingin dikatakannya tetap tak dikatakan, betapapun orang tua membujuk
dan mendamperatnya, ia tetap bungkam dalam seribut basa, dalam keadaan begitu
orang tua jadi kewalahan.
BegituIah makin dipikir perasaan Oey Yong
semakin tak enak, diam-diam ia berbangkit dan menuju ke pintu kota, ia suruh
penjaga benteng membukakan pintu terus menuju ke kelcmeng Yo-tayhu di barat
kota.
Tatkala itu sudah jauh lewat tengah malam,
bintang guram dan rembulan suram.
Oey Yong keluarkan ilmu entengi tubuhnya yang
tinggi berlari ke sana. Ketika dekat kelenteng Yo-tayhu itu, tiba-tiba terdengar
di belakang tugu “Tui-lui pi ada suara percakapan orang, Lekas-lekas Oey Yong
mendekam ke tanah dan merunduk maju pelahan, setelah beberapa tombak dari tugu itu,
ia mengumpet di belakang pohon besar.
Terdengar seorang berkata: “Sun-toako, In
kong (tuan penolong) suruh kita menanti dibelakang Tui-lui-pi (tugu mencucurkan
air mata) ini. Sebab apakah tugu ini diberi nama yang begini menyedihkan, bukankah
ini alamat jelek?”
“lnkong agaknya selalu hidup kurang senang,
oleh sebab itu bila mendengar nama-nama tentang Tui-pi (mengucurkan air mata),”
Yu-jiu” (bersedih) dan lain-lain yang menyedihkan lantas mudah teringat akan
nasibnya,” demikian sahut orang she Sun itu.
“Ah, orang berkepandaian tinggi seperti
Inkong, seharusnya tiada urusan sulit baginya,” ujar orang yang duluan, “Tapi
kulihat wajahnya senantiasa bermuram durja.
Tui-lui-pi” ini mungkin sekali dia sendiri
yang menamakannya.”
“ltulah bukan,” sahut orang she Sun, “Aku
pernah mendengar cerita kuno bahwa kelenteng Yo-taybu ini didirikan orang di
kaki bukit Hian, ini untuk memperingat seorang menteri bernama Yo Koh yang
sangat cinta pada rakyat di daerah sekitar sini, maka telah didirikan pilar
(atau tugu) sebagai tanda jasanya.
Rakyat yang melihat pilar ini lantas ingat
pada kebaikannya dan saking terharu banyak yang menangis, sebab itu pilar ini
disebut Tui-lui-pi (tugu mencucurkan air mata), Tan lakte, hidup manusia kalau
bisa seperti Yo tayhu ini barulah boleh dikata seorang laki-laki sejati.”
“lnkong selamanya membela keadilan di Kangouw
hingga banyak dipuji orang, bila ia menjadi pembesar negeri di Siangyang, boleh
jadi namanya akan lebih cemerlang daripada Yo tayhu nya orang she Tao.”
“Benar,” sahut si orang she Su, “malahan
Kwe-tayhiap yang namanya terkenal diseluruh jagat memiliki kebaikan yang meliputi
apa yang dipunyai Yo-tayhu dan Inkong kita.”
Mendengar kedua orang itu memuji suaminya,
sudah tentu diam-diam Oey Yong senang, tapi ia lantai berpikir juga: “Siapakah
gerangannya Inkong (tuan penolong) yang mereka maksudkan itu? Apakah mungkin
orang yang diam-diam menolong Yang-ji itu?”
Sementara itu terdengar si orang she Sun
berkata pula. “Kita berdua dahulu bermusuhan dengan Inkong, tapi kemudian jiwa
kita malah dia yang menolong. Caranya menghadapi musuh seperti kawan sendiri.
sungguh boleh dikata melebihi Yo Koh, Yo-tayhu. Menurut cerita kuno, dijaman
Sam Kok waktu itu, Yo Koh menjaga Siangyang dan bertempur melawan panglima Tang
Go yang bernama Liok
Gong, sewaktu Yo Koh menyerbu daerah Tang Go,
waktu perlu memotong tanaman rakyat untuk rangsum pasukannya, ia berkeras
mengganti kerugian penduduk setempat Waktu Liok Gong sakit, ia malah mengirim
obat untuknya dan Liok Gong pun sama sekali tidak curiga terus mcminumnya, sesudah
minum obat itu ternyata lantas sembuh sakitnya.
Begitulah betapa tinggi martabat Yo Koh
sebagai manusia, sampai musuh sekalipun sangat menghormati dan segan padanya,”
“Sewaktu Yo Koh meninggal, perwira dan
tentara Tang Go yang menjadi musuhnya juga ikut menangis sedih, Caranya menaklukkan
hati manusia berdasarkan kebajikan itulah baru benar-benar disebut Enghiong
(pahlawan sejati).”
“He, Sun samko,” tiba-tiba si orang she Tan
berseru, “kau sebut-sebut Yo Koh, bukankah nama ini sama suaranya dengan nama
Inkong kita. . …”
“Sssst, diam, ada orang datang!” mendadak
orang she Sun itu mendesis.
Oey Yong terkejut, benar segera terdengar
dari bawah bukit ada suara orang berlari mendatangi dalam hati iapun berpikir:
“Nama yang sama suaranya dengan “Yo Koh”,,
apakah mungkin adalah Yo Ko? Ah, tidak, tidak mungkin, Sungguhpun, ilmu silat
Ko-ji banyak maju juga tak nanti meningkat sampai tarap yang susah diukur itu.”
..
Selang tak lama, orang yang datang itu
tepuk-tepuk tangan tiga kali, lantas orang she Sun itu membalas tepuk tangan,
orang yang datang itu mendekati tugu Tui-lui-pi, lalu katanya: “Sun dan Tan
berdua saudara, Inkong suruh kalian tak usah menunggunya lagi, Tapi disini ada
dua kartu nama Inkong agar kalian berdua lekas mengirimkannya. Sun-samte mengirimkan
kartu ini kepada Tio-lokunsu di Sin-yang, HoIam, Sedang Tan-lakte hendaklah
mengirimkan kartu yang ini kepada Liong-ah Thauto di Oh-ah-san. Katakanlah pada
mereka bahwa mereka berdua diminta berkumpul di sini
dalam waktu sepuluh hari.”
Maka terdengarlah orang she Sun dan Tan itu
menyahut dengan hormat dan menerima kartu undangan itu.
Percakapan orang-orang itu membikin Oey Yong
semakin heran dan terkejut.
Kiranya Tio-lokunsu atau si guru silat tua
sho Tio yang disebut itu adalah keturunan lurus dari kerajaan Song, ilmu pukulan
32 jurus Tiang kun dan 18 jurus permainan toyanya sangatlah terkenal. Sedang
Liong-ah Thauto atau si paderi berambut bisu dan tuli dari Oh-ah-san adalah
jago silat pendaman yang sangat tersohor di daerah Ohlam. Cuma sejak kecilnya
bisu dan tuli, meski ilmu silatnya sangat tinggi, namun selamanya tiada
hubungan dengan orang luar.
Karena adanya Eng-hiong-tay-hwe atau
perjamuan besar kaum ksatria, Kwe Ceng dan Oey Yong tahu kedua orang itu suka
menyepi dan pasti tidak suka tampil ke dunia ramai, tapi untuk menghormati nama
mereka, toh kartu undangan tetap dikirim, namun betul juga, kedua orang itu
membalas dengan surat, dengan alasan halus mereka menolak untuk hadir.
Tapi kini “lnkong” yang disebut itu apakah
benar-benar begitu hebat hingga melulu berdasarkan secarik kartu namanya lantas
kedua tokoh terpendam itu sudi datang dalam waktu 10 hari yang ditentukan?
Demikian Oey Yong berpikir penuh tanda tanya.
Tapi bila ia pikir pula, tiba-tiba ia menjadi
kuatir. Besok perjamuan besar kaum ksatria sudah akan dibuka, kini ada seorang
sedang mengumpulkan tokoh-tokoh Kangouw ternama ke Siangyang, apakah tujuannya?
jangan-jangan hendak membantu pihak Mongol?
Namun bila mengingat watak Tio-lokunsu dan
Liong-ah Thauto yang khas, agaknya bukanlah sebangsa manusia khianat, pula
“lnkong” yang disebut itu bila benar orang yang membantu Yang-ji membunuh Nimo
Singh itu, maka jelas pula orang itu adalah kawan pihak sendiri.
Begitulah selagi Oey Yong mengasah otak
sendiri, sementara itu terdengar ketiga orang tadi sedang bisik-bisik pula
sebentar, namun jaraknya sudah jauh, maka tak terdengar jelas, hanya
sayup-sayup terdengar si orang she Tan itu bilang: “selamanya Inkong tak
memberi tugas pada kita, sekali ini
kita harus melakukannya dengan baik…. kita
harus menaikkan pamornya… kado kita esok…. kata-kata lain tak yang jelas.
“Baiklah, sekarang juga kita berangkat, kau
jangan kuatir, rencana Inkong pasti takkan kapiran,” demikian lantas terdengar
si orang she Sun mengiakan. Habis itu, ke tiga orang lantas turun bukit dengan
cepat.
Sesudah orang pergi jauh, Oey Yong masuk
kelenteng itu dan memeriksanya, tapi tiada sesuatu tanda-tanda aneh yang dilihatnya.
Bangunan kelenteng itu sangat megah dan kuat
tapi karena pasukan musuh telah mendekat, maka penghuninya sudah lama lari ke
kota hingga tiada seorang pula.
Sungguhpun Oey Yong orang pintar, tapi
seketika juga bingung oleh orang yang disebut “lnkong” atau tuan penolong itu,
iapun tak ingin “mengeprak rumput mengejutkan ular” dengan menangkap ke tiga
orang itu untuk ditanyai, maka sampai fajar menyingsing, barulah ia kembali ke
kota.
Ketika sampai disimpang jalan dekat pintu
barat kota, tiba-tiba dilihatnya ada dua penunggang kuda secepat terbang menyerempet
lewat, cepat Oey Yong menyingkir kepinggir jalan, waktu diawasinya, ternyata
kedua penunggang itu adalah laki-laki kekar semua.
Setiba disamping jalan itu, seorang memutar
kuda ke barat-laut dan yang lain membalik ke barat-daya.
Ketika hendak berpisah, terdengar seorang diantaranya
berseru: “lnsat, jangan lupa bilang pada Thio-toagocu bahwa dalang, pesinden
dan penabuh-nya harus dia sendiri yang membawanya dan pula jangan lupa membawa
tukang pembuat bunga api!”
“Ah, tak perlu kau mengingatkan aku terus
menerus, kau sendiri disuruh pergi memanggil tukang isak yang kesohor itu, jika
terlambat sehari, kau akan diomeli orang banyak,” sahut kawannya itu. Habis
itu, cepat sekali kedua orang itu lantas berpisah.
Perlahan Oey Yong masuk ke kota dalam hati ia
tambah heran, nama Thio-toagocu (si selendang besar she Thio) sudah dikenalnya
sebagai seorang berpengaruh di Hanggau, masakah ada seorang secara begitu mudah
bisa memanggilnya datang, apakah ini juga suruhan “lngkong” yang disebut itu.
Mereka main secara besar-besaran, sebenarnya apakah maksudnya?
BegituIah penuh tanda tanya
dalam hati Oey
Yong.
Mendadak hatinya terkesiap, katanya: “Ya… ya,
sekarang tahulah aku, pasti inilah sebabnya.”
Cepat ia kembali ke rumah serta menanyai sang
suami: “Cing-koko, apakah tamu undangan kita ada yang ketinggalan dikirim
kartu?”
“Ketinggalan mengirimkan undangan?” tanya Kwe
Ceng heran “Tapi kita sudah memeriksanya beruIang kali, rasanya tiada yang
ketinggalan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar