Senin, 10 Desember 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 104



Kembalinya Pendekar Rajawali 104


Sejak berpisah dengan Kwe Hu di Coat-ceng-kok dahulu, sudah belasan tahun Yo Ko tidak pernah berjumpa dengan nona itu, kini mendadak mendengar suaranya, seketika macam-macam perasaan berkecamuk dalam benaknya. Didengarnya suara benturan senjata sudah mulai menjauh, agaknya Su Beng-ciat berhasil memancing Kwe Hu ke tempat lain.
“Yang dicarinya adalah diriku, biar kutemui dia,” seru Toa-thau-kui sambil berlari keluar Menyusul Su Ki-kiang dan Hong It-ong juga ikut ke sana.
Tiba-tiba Kwe Yang berbangkit dan berkata kepada Nyo Ko: “Toakoko, ciciku datang mencari diri-ku, kini aku harus pulang.”
Yo Ko terkejut: “Jadi dia. . .. . dia itu cicimu?”
“Ya, jawab Kwe Yang, “Kuingin melihat Sin-tiau-tayhiap, paman Toathau kui lantas membawaku ke sini menemuimu, Aku… aku sangat senang…” belum habis ucapannya mendadak kepalanya menunduk terus berlari pergi.
Sekilas Yo Ko melihat dua tetes air mata meleleh di pipi anak dara itu, tiba-tiba terpikir olehnya, “Dia ingin menemui aku, tentu adaurusan penting, mengapa sekarang pergi begitu saja tanpa bicara apa-apa?” - Segera ia menyusul ke sana dan berseru: “Adik cilik, jika kau ada kesulitan, boleh katakan saja padaku.”
Kwe Yang tersenyum dan menjawab: “Ah, tidak, aku tiada kesulitan apa-apa.”
Di bawah cahaya bulan muda yang remang-remang Nyo Ko dapat melihat wajah si nona yang putih bersih itu masih basah air mata, dengan suara lembut ia lantas berkata pula: “Kiranya kau adalah anak dara Kwe Tayhiap dan Kwe-hujin, apakah Tacimu nakal padamu?”
Menurut perkiraan Yo Ko, tidak mungkin puteri Kwe-tayhiap yang termashur itu mengalami kesulitan, besar kemungkinan Kwe Hu yang suka se-wenang2 itu telah menghina atau memukuli adik perempuan nya ini.
Ternyata Kwe Yang menjawab dengan tertawa: “Sekalipun Cici nakal padaku juga aku tidak takut padanya, kalau dia mengomel aku lantas adu muIut dengan dia, betapapun dia juga tak berani memukuli aku.”
“”Habis untuk apa kau mencari aku? Silakan bicara terus terang saja.”
“Di tempat penyeberangan sana kudengar orang bercerita tentang tindakanmu yang baik budi dan yang sangat terpuji itu, hatiku menjadi sangat kagum dan sangat ingin melihat wajahmu, selain itu tiada sesuatu maksudku yang lain lagi.
Dalam perjamuan tadi aku teringat kepada pameo yang mengatakan: “Tiada pesta yang tidak bubar di dunia ini. Hatiku menjadi sedih, siapa tahu pesta tadi Selum bubar dan aku. . . . .aku harus segera pergi,” sampai di sini suara Kwe Yang menjadi rada tersendat.
Tergetar hati Yo Ko, teringat olehnya waktu anak dara ini dilahirkan, beberapa saat kemudian dirinya lantas memondongnya dan membawanya.
Ketika dikejar oleh Kim-lun Hoat-ong, malah kemudian terjadi perebutan beberapa kali antara dirinya dengan Kim-lun Hoat-ong dan Li Bok chi, juga pernah menangkap induk harimau tutul untuk dijadikan mak inangnya yang menyusuinya, akhirnya dibawanya lagi ke kuburan kuno itu dan dipelihara sekian lamanya di sana. Tak tersangka sekarang dapat bertemu pula di sini dan jabang bayi dahulu itu kini telah berubah menjadi gadis remaja yang molek.
Tanpa terasa Yo Ko berdiri termangu-mangu mengenangkan kejadian di masa lampau di bawah sinar bulan yang remang-remang itu.
Selang sejenak, Kwe Yang berkata puIa: “Toa-koko, aku harus pergi sekarang, Aku hanya ingin minta tolong sesuatu padamu.”
“Katakan saja,” ujar Yo Ko.
“Bilakah engkau akan bertemu dengan isterimu?”
“Antara musim dingin tahun ini,”
“Setelah engkau berjumpa dengan isterimu, sukalah engkau mengirim kabar padaku di Siang-yang agar aku ikut bergirang bagimu.”
Yo Ko sangat berterima kasth, ia pikir meski anak dara ini dilahirkan dari ibu kandung yang sama dengan Kwe Hu, tapi tabiat keduanya ternyata sangat berbeda, Segera ia bertanya pula: “Apakah ayah-ibumu sehat2 semua?”
“Ayah dan ibu semua baik-baik saja.” jawab Kwe Yang.
Tiba-tiba timbul suatu pikirannya, cepat ia memyambung pula: “Toakoko, setelah engkau berjumpa dengan isterimu, maukah kalian datang ke Siangyang dan menjadi tamu kami? Ayah-ibu dan kalian suami-isteri sama-sama kesatria besar jaman ini, tentu kalian akan sama cocok satu sama lain.”
“Hal ini biarlah kita lihat dulu keadaan nanti,” jawab Nyo Ko, “Eh, adik cilik, tentang pertemuan kita ini sebaiknya jangan kau ceritakan pada Cicimu, kukira juga tidak perlu diceritakan pada ayah-ibumu.”
“Sebab apa?” Kwe Yang menjadi heran, Tiba-tiba teringat olehnya ketika orang-orang sama mengobrol di kota tambangan itu, tampaknya Cici kurang senang dengan Sin-tiau-hiap yang di-sebut-sebut itu, bisa jadi diantara mereka pernah terjadi sengketa apa-apa. Maka ia lantas menambahkan: “Baiklah, takkan kuceritakan pada mereka.”
Dengan mata tak berkedip Yo Ko memandangi anak dara itu, dalam benaknya terbayang wajah kecil si orok yang pernah dipondongnya 15 tahun yang lalu itu. Karena dipandangi sedemikian rupa, Kwe Yang menjadi rada malu dan menunduk.
Timbul pikiran Yo Ko ingin membela dan melindungi anak dara di depannya sekarang ini sama halnya seperti perlindungannya kepada jabang bayi yang lemah pada masa belasan tahun yang lalu itu. Segera ia berkata pula: “Siaumoaycu, (adik perempuan cilik), ayah-ibumu adalah pendekar besar masa kini dan dihormati siapapun juga, jika kau ada kesulitan kiranya juga tidak perlu bantuanku Namun kejadian di dunia ini seringkali berubah-ubah, suka duka sukar diduga. Andaikah kau mempunyai sesuatu persoalan yang tidak ingin dikatakan kepada ayah-ibumu dan perlu bala bantuan, maka bolehlah kau mengirim berita padaku, aku berjanji akan membereskannya bagimu dengan se-baik-baiknya.”-
Kwe Yang tertawa manis, katanya: “Engkau sungguh sangat baik padaku, Cici sering pamer di depan umum bahwa dia adalah puteri Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin, terkadang aku merasa risi dan kikuk bagi ucapannya itu, Betapapun termasyhurnya ayah dan ibu kan tidak pantas kalau hal itu selalu ditonjolkan. Tapi nanti kalau kukatakan kepada orang bahwa Sintiau- tayhiap adalah Toakokoku, maka Cici pasti takdapat menirukannya.”
Meski ucapan Kwe Yang ini setengah bergurau, namun jelas tampak rasa bangganya karena dapat berkenalan dengan Yo Ko.
“Ah, cicimu mana menghargai orang macam diriku ini?”
ujar Yo Ko dengan tersenyum. Setelah merandek sejenak sambil meng-hitung-hitung dengan menekuk jari, lalu ia berkata pula: “Tahun ini kau sudah berusia 15, ya, bulan sepuluh, tanggal 22, 23, 24 ya, kau lahir pada tanggal 24 bulan sepuluh, betul tidak?”
Kwe Yang terheran-heran, serunya: “He! Memang benar, darimana kau tahu?”
Yo Ko tersenyum dan tidak menjawab, katanya pula: “Kau dilahirkan di Siangyang, makanya kau diberi nama Yang, betul tidak?”
“He, jadi kau tahu semuanya, tadi pura-pura tidak kenal padaku,” seru Kwe Yang, “Engkau pasti sahabat baik ayahku.”
Seperti melamun, Yo Ko tidak menjawabnya, tapi berkata pula dengan menengadah: “Pada hari itu, pertarungan hebat melawan Kim-lun Hoat-ong, Liong-ji memondong anak itu…”
Kwe Yang tidak paham apa yang digumamkan Yo Ko itu, sayup-sayup ia dengar suara benturan senjata di sebelah sana, ia menjadi kuatir kalau cicinya dilukai Su Beng-ciat, segera ia berkata: “Toakoko, aku benar-benar akan pergi sekarang.”
Yo Ko masih menggumam: “Tanggal 24 bulan sepuluh, sungguh cepat sekali, 16 tahun sudah hampir lalu.” Mendadak ia tersadar karena teguran Kwe Yang tadi dan berkata: “Ah, kau hendak pergi… Ehm, pada tanggal 24 bulan sepuluh nanti, katamu akan sembayang dan berdoa untuk mengemukakan tiga buah nazar pada Thian.”
Rupanya ia jadi teringat pada ucapan Kwe Yang tadi bahwa waktu sembayang dan berdoa, anak dara itu akan memohon Thian memberi berkah supaya dia lekas bertemu kembali dengan Siao-Iiong-li.
Tiba-tiba Kwe Yang berkata pula: “Eh, Toakoko, jika kelak akupun mohon tiga soal padamu, apakah engkau dapat menyanggupi?”
“Asalkan dapat kukerjakan sekuat tenagaku tentu akan kuterima,” jawab Yo Ko tegas, Lalu dari sakunya ia mengeluarkan sebuah kotak kecil, dikeluarkannya tiga buah jarum lembut yang biasa digunakan Siao-liong-li sebagai senjata rahasia itu dan diberikannya kepada Kwe Yang, katanya “Jika kulihat jarum ini nanti, sama saja seperti kulihat wajahmu. Kalau kau tak dapat menemui aku sendiri, boleh kau suruh orang membawa jarum ini untuk menyampaikan keinginanmu padaku dan tentu akan kulaksanakannya bagimu.”
“Terima kasib,” ucapan Kwe Yang sambil menerima jarum-jarum itu, lalu berkata puIa: “Sekarang akan kukemukakan keinginanku yang pertama.” - segera ia mengembalikan sebuah jarum itu kepada “Yo Ko dan menambahkan “Kuminta engkau menanggalkan kedokmu agar aku dapat melihat wajah aslimu “
“Soal ini terlalu kecil dan mudah dilaksanakan karena aku tidak ingin dikenali kawan lama, maka sengaja memakai kedok,” kata Yo Ko dengan tertawa, “Tapi caramu sembarangan menggunakan sebuah jarum emas ini, apakah tidak sayang?”
“Jika muka aslimu saja tidak kuketahui mana dapat dikatakan kukenal kau? ini sekali-sekali bukan soal kecil,” ujar Kwe Yang.
Harus diketahui bahwa kaum pendekar jaman dahulu paling taat pada janji yang pernah diucapkan, karena sudah menyanggupi, dengan menyerahkan jarum itu sekalipun Kwe Yang minta Yo Ko berbuat sesuatu yang maha sulit juga akan dilakukannya tanpa pikir, Karena itu juga iapun tak dapat
menolak permintaan si nona yang pertama ini, “Baiklah,” katanya sambil menanggalkan kedoknya.
Seketika pandangan Kwe Yang terbeliak, di depannya muncul seraut wajah yang cakap dengan alis panjang tebal dan mata besar bercahaya cuma sudah lama memakainya, air mukanya agak pucat dan kekurus2an. “Ahhh!” terasa Kwe Yang berteriak.
“Kenapa?” tanya Yo Ko.
Muka Kwe Yang menjadi merah, “O, tidak apa-apa,” jawabnya, Tapi dalam hatinya berkata: “Sungguh tidak nyana engkau begini cakap.”
Setelah tenangkan diri, kembali Kwe Yang menyerahkan pula jarum kedua dan berkata: “Sekarang ini kukatakan cita2ku yang kedua.”
Yo Ko tersenyum dan berkata: “Katakau saja beberapa tahun lagi juga belum terlambat. Anak gadis belum tahu urusan, yang kau ucapkan hanya cita2 kanak-anak saja.”
Karena itulah ia tidak lantas menerima jarum kedua itu. Tapi Kwe Yang lantas menaruh jarum digenggaman tangan Yo Ko dan berkata: “Cita2ku yang kedua ini adalah pada tanggal 24 bulan sepuluh yang akan datang, yakni pada hari ulang tahunku nanti, hendaklah kau datang ke Siangyang
daa menemui aku untuk bercakap-cakap sebentar.”
Meski permintaannya yang kedua ini lebih repot, daripada permintaan yang pertama, namun bersifat ke-kanak-anakan.
Maka dengan tertawa Yo Ko menjawab “Baiklah, kusanggupi memangnya apa susahnya? Cuma aku hanya menemui kau sendiri saja, ayah-ibu dan Cicirnu takkan kutemui.”
“Terserah padamu,” ujar Kwe Yang dengan tertawa, jari tangannya yang lentik dan putih halus itu memegangi jarum ketiga yang berkilau di bawah cahaya bulan, katanya pula: “Tentang permintaanku yang ketiga ini…”
Yo Ko meng-geleng-geleng kepala, pikirnya: “Busyet!
Memangnya aku Yo Ko begini mudah berjanji pada orang? sungguh nona cilik yang tidak tahu urusan, janjiku dianggapnya seperti permainan anak kecil saja.”
Mendadak wajah Kwe Yang tampak merah jengah, katanya dengan tertawa: “Cita2ku yang ketiga ini sementara belum terpikir olehku, biarlah kelak akan kukatakan padamu.”
- Habis ini ia membalik dan lari ke sana sambil berteriak-teriak: “Cici! Cici!”
Kwe Yang terus menuju ke arah datangnya pertempuran dilihatnya Kwe Hu sedang bertempur sengit melawan Su Beng-ciat dan Toa-thau kui. Hoan It-ong dan Su Ki kiang mengikuti pertarungan itu di samping dengan siap siaga.
“Cici, inilah aku,” seru Kwo Yang, “Beberapa orang ini adalah teman sendiri.”
Selama ini Kwe Hu banyak mendapat petunjuk dari ayah-ibunya, suaminya yaitu Yalu Ce juga tokoh silat pilihan, maka kepandaiannya sekarang sudah berbeda jauh dengan daripada belasan tahun yang lalu.
Cuma wataknya berangasan dan tidak telaten berlatih sebab itulah tingkat ilmu silatnya selalu berkisar antara kelas dua atau tiga saja meski ayah-bunda dan suami nya terhitung tokoh terkemuka. Kini meski dia sanggup menempur kerubutan Su Beng-ciat dan Toa-thau-kui dengan sama kuatnya, tapi lama2 tentu dia akan kewalahan dan terdesak di bawah angin.
Tengah gelisah karena takdapat mengalahkan lawan dengan cepat, tiba-tiba Kwe Hu mendengar seruan sang adik, segera ia membentak “Lekas kemari, Moaymoay!”
Su Beng-ciat mendengar sendiri Kwe Yang memanggil Nyo Ko sebagai Toakoko, kini didengarnya pula Kwe Hu menyebut Kwe Yang sebagai Moaymoay atau adik perempuan, seketika ia terkesiap dan ragu-ragu apakah wanita ini adalah isteri atau adik Sin-tiau-tayhiap? Karena itulah serangannya yang sedang dilontarkannya pada saat itu segera ditarik kembali, berbareng iapun melompat mundur.
Kwe Hu sendiri tahu lawan sengaja mengalah, tapi hatinya sudah kadung mendongkol tanpa pikir pedangnya terus menasuk, “sret” dengan tepat dada Su Beng-ciat tertusuk.
Keruan Toa-thau kui terkejut dan berseru: “Hei, mengapa kau…”

Tapi sekali pedang Kwe Hu lantas berkelebat, tahu-tahu lengan Toathaukui juga terluka.
Dengan pongahnya Kwe Hu lantas membentak pula: “Nah, rasakan lihaynya nyonyamu ini!”
“He, Cici, kubilang orang-orang ini adalah teman sendiri.” seru Kwe Yang pula.
Kwe Hu menjadi gusar dan membentak: “Lekas pulang bersamaku! Siapa kenal temanmu yang tidak keruan ini?”
Luka di dada Su Beng-ciat itu ternyata tidak ringan. Dia terhuyung-huyung dan jatuh tersungkur. Cepat Kwe Yang memburu ke sana dan membangunkannya sambil bertanya: “Su-goko, bagaimana lukamu?”
Darah segera mengucur dari dada Su Beng-ciat hingga baju Kwe Yang berlepotan lekas anak dara itu merobek ujung bajunya untuk membalut luka orang.
Sementara itu Kwe Hu sedang mendesak pula: “Hayo lekas berangkat lekas! setiba di rumah nanti kulaporkan kepada ayah dan ibu, mustahil kau tak kan dipukuli hingga kau minta-minta ampun.”
Dengan gusar Kwe Yang menjawab: “Kau sembarangan melukai orang, akan kulaporkan juga kepada ayah dan ibu.”
Melihat muka Kwe Yang merah padam dan mengembang air mata, Su Beng-ciat menghiburnya dengan tertawa yang di paksakan: “jangan kuatir, nona cilik, lukaku ini takkan membuatku mati.”
Di samping Su Ki-kiang memegangi gadanya dengan napas terengah-engah, seketika ia menjadi ragu-ragu apa mesti melabrak Kwe Hu atau menolong adiknya dahulu.
Mendadak Kwe Hu menjerit kaget, kiranya dari depan dua
ekor harimau loreng telah mendekatinya secara diam-diam, segera ia hendak menyingkir ke kiri, tapi terlihat pula dua ekor singa jantan sudah mendekam di situ, waktu ia menoleh, di sebelah kanan bahkan berdiri empat ekor macan tutul.
Rupanya dalam sekejap itu Su Tiong-beng sudan memimpin kawanan binatang buas itu dan mengepung rapat Kwe Hu.
Keruan muka Kwe Hu menjadi pucat dan hampir-hampir jatuh kelengar, Syukur pada saat itu juga suara seorang di dalam hutan hutan berseru: “Gote, bagaimana lukamu?”
“Mendingan, tidak begitu parah!” sahut Su Beng-ciat.
“Oh, perintah Sin-tiau-hiap agar kedua nona ini dibiarkan pergi saja,” kata orang itu.
Segera Su Ki-kiang bersuit beberapa kali, kawanan binatang buas itu lantas memutar tubuh dan menghilang ke dalam semak-semak.
“Su-goko, atas nama Ciciku kuminta maaf padamu,” kata Kwe Yang.
Sesungguhnya luka Su Beng-ciat itu membuatnya sangat sakit, dengan meringis ia menjawab:
“Mengingat Sin tiau-tayhiap, sekalipun Cicimu membunuh aku juga tidak menjadi soal.”
Kwe Yang hendak bicara pula, tapi Kwe Hu lantas menariknya sambil membentak: “Hayo pulang!” Berbareng anak dara itu terus diseret berlari keluar hutan.
Melihat kedua kakak beradik itu sudah per-gi, Su-si hengte dan Gerombolan Setan lantas berlari keluar untuk memeriksa keadaan Su Beng ciat dan Toa-thau- kui, beramai-ramai mereka mencela tindakan Kwe Hu yang tidak pantas itu, Cuma ucapan merekapun tidak berani kasar kerena belum
mengetahui ada hubungan apa antara Kwe Hu dan Yo Ko.
Dengan gemas Su Ki-kiang berkata: “Nona cilik itu sangat baik hati, tapi kakaknya ternyata begitu galak, sudah jelas adik Ciat mengalah pada-nya, tapi dia malah melukainya secara keji, Coba kalau tusukannya masuk sedikit lagi tentu jiwa adik Ciat sudah melayang.”
“Marilah kita tanya kepada Sin-tiau-hiap tentang asal usul perempuan itu,” kata Toa thau-kui. “Di tempat penyeberangan sana berulang-ulang dia juga mengeluarkan kata-kata yang tidak baik terhadap Sin tiau- hiap.”
Pada saat itulah dari balik pohon sana muncul seorang dan berkata, “Syukurlah luka Su-goko tidak terlalu parah. Tindak-tanduk perempuan itu memang semberono dan cerohoh, ketahuilah bahwa lenganku ini justeru ditebas kutung olehnya.”
Melihat yang bicara itu adalah Yo Ko, semua orang sama melengak dan tak dapat bicara lagi, setiap orang sama sangsi dan ingin tahu, tapi tidak berani bertanya.
Begitulah Kwe Hu telah membawa Kwe Yang kembali ke tempat penyeberangan, sementara itu air sungai Kuning yang membeku itu sudah cair, kakak beradik bertiga dapat menyeberang dan pulang ke Siangyang, sepanjang jalan Kwe Hu masih terus mengomeli Kwe Yang yang dianggap suka berkeluyuran dengan orang-orang yang tidak keruan.
Tapi Kwe Yang berlagak tuli saja dan tidak menggubris omelan sang Taci, mengenai pertemuannya dengan Yo Ko juga sama sekali tak disinggungnya.
Setiba di Sianyang, pertama-tama Kwe Hu lantas melapor kepada ayah-bundanya bahwa Kwe Yang dalam perjalanan tidak mau tunduk padanya dan banyak menimbulkan keonaran, lalu iapun menceritakan apa yang terjadi selama Kwe Yang menghilang dua hari dua malam, tentu saja ia bumbui-bumbui pula, tambahi kecap dan imbuhi sambel.
Kwe Ceng sendiri sedang pusing kepala oleh situasi militer beberapa hari terakhir ini, maka ia tambah marah demi mendengar laporan Kwe Hu itu, segera ia bertanya: “Yang-ji, benar tidak laporan cici ini?”
Kwe Yang mengikik tawa, katanya: “Ah, cici memang suka geger, aku ikut seorang teman pergi melihat keramaian, kenapa sih mesti diributkan?”
“Teman apa? Siapa namanya?” taaya Kwe-Cing.
Kwe Yang melelet lidah, lalu menjawab: “Ah, lupa kutanyai namanya, cuma kudengar orang memanggil dia Tea-thau-kui begitu.”
“Seperti orang dari “Gerombolan Setan Se-san,” tukas Kwe Hu.
Kwe Ceng juga dengar nama “Gerombolan Setan Se-san” itu, meski tak dapat dikatakan gerombolan penjahat, tapi juga bukan kaum ksatria yang baik, maka ia tambah marah demi mendengar anak perempuan itu bergaul dengan orang-orang macam begitu, Cuma perangainya memang sabar dan
pendiam, biarpun marah ia hanya mendengus geram saja dan tidak berkata lagi, sedangkan Oey Yong lantas mengomeli Kwe Yang.
Malamnya Kwe Ceng suami-isteri mengadakan perjamuan keluarga untuk menghibur pulangnya Kwe Hu dan Kwe Boh-Io, tapi sengaja tidak menyediakan tempat duduk bagi Kwe Yang. Yalu Ce berusaha membujuk kedua mertuanya, tapi malah diomeli Kwe Ceng agar sebagai kakak ipar seharusnya ikut mendidik adiknya, Karena itulah terpaksa Yalu Ce tak berani mengusik lagi.
Kiranya Kwe Ceng dan Oey Yong merasa pernah terlalu memanjakan Kwe Hu sehingga banyak menimbulkan petaka, maka sekarang caranya mendidik Kwe Yang dan Kwe Boh-lo telah berubah sama sekali.
Sejak kecil diawasi dengan keras, sifat Kwe Boh-lo pendiam seperti sang ayah sehingga tak menjadi soal, tapi Kwe Yang sejak kecil sudah suka berbuat hal-hal yang aneh dan sukar di-jajaki jalan pikirannya, lahirnya ia menurut, tapi di dalam hati ia memberontak Ketika ia diberitahu oleh pelayan bahwa Tuan dan Nyonya mengadakan perjamuan keluarga dan Ji siocia (puteri kedua) sengaja tidak diundang, keruan Kwe Yang menjadi marah, bahkan ia lantas mogok makan sekalian selama dua hari.
Sampai hari ketiga, Oey Yong jadi kasihan sendiri, di luar sang suami ia membuat beberapa macam daharan lezat, disertai menghibur dan membujuk barulah anak perempuan bungsu itu mau makan dan gembira lagi. Tapi dengan demikian, maksud orang tua mendidik anaknya dengan keras kembali luntur dan sia-sia pula.
Sementara itu pasukan Mongol sudah berhasil menyerbu ke negeri Tayli di daerah Hunlam (Yu-nan), sesudah menduduki kerajaan kecil selatan itu, pasukan induk beralih pula ke utara, sedangkan pasukan Mongol yang lain dari utara juga menerobos ke selatan sehingga dua induk pasukan telah
bergabung hendak menggempur Siangyang untuk akhirnya melalap kerajaan Song sekaligus.
Waktu pasukan Mongol mulai menyerbu Tayli, Kwe Ceng menyebarKan Eng hiong-tiap (kartu undangan para ksatria) agar para pahlawan berkumpul di Siangyang untuk merundingkan siasat menghadapi musuh, keberangkatan Kwe Hu dan kedua adiknya ke utara itu adalah mengemban tugas yang diberikan sang ayah itu.
Tak terduga gerak cepat pasukan Mongol ternyata luar biasa, dalam waktu singkat Tayli sudah ditumpas, sebab itulah ketika para pahlawan mulai berkumpul di Siangyang, sementara itu kekuatan pasukan Mongol juga mulai mendekati kota itu.
Eng-hiong-tay hwe atau musyawarah besar para pahlawan ditetapkan pada tanggal 15 bulan sepuluh dan direncanakan berlangsung selama 10 hari. Hari ini baru tanggal 13, jadi masih dua hari sebelum hari rapat, sementara itu para pahlawan dan ksatria dari segenap penjuru ber-bondong-bondong telah tiba di Siangyang.
Kwe Ceng dan Oey Yong sibuk mengurusi tugas pertahanan, maka urusan menyambut tamu telah diserahkan kepada Loh Yu-ka dan Yalu Ce. Di antara tamu-tamu yang sudah tiba itu ada Cu Cu-liu, Su-sui Hi-un dan Bu Sam-thong, kedua Bu cilik bersama Yalu Yan dan Wanyan Peng juga sudah datang, begitu pula Hui-thian-pian-hok Kwa Tin-ok.
Pejabat ketua Coan-cin-kau waktu itu, Li Ci siang, dengan 16 murid utama Coan-cin-pay juga sudah tiba, begitu pula para tertua Kay-pang serta tokoh-tokoh pengemis yang berkantong tujuh dan delapan.
Seketika kota Siangyang penuh dengan jago-jago silat terkemuka. Banyak di antara tokoh-tokoh persilatan yang jarang muncul di dunia Kangouw kini juga hadir mengingat pertemuan Siangyang sekali ini menyangkut nasib negara dan bangsa, pula mereka kagum pada budi pekerti Kwe Ceng
suami isteri, maka hampir semua orang yang menerima kartu undangan pasti hadir.
Malam hari tanggal 13 bulan sepuluh, Kwe Ceng suami-isteri mengadakan perjamuan kecil pribadi di di kediamannya dan mengundang Cu Cu-liu, Bu Sam-thong dan beberapa kenalan lama untuk beramahtamah.
Loh Yu-ka juga diundang, tapi sampai malam ketua Pangcu itu belum tampak hadir, semua mengira dia sibuk oleh pekerjaan sehingga tidak menyangka sesuatu.
Tengah mereka bersuka ria dan berbincang macam-macam kejadian Bu-lim selama belasan tahun terakhir ini, Yalu Ce, Kwe Hu dan anak-anak muda yang bersatu meja tersendiri juga asyik bercengkerama, tiba-tiba datang seorang murid Kay-pang berkantong delapan dan ber-bisik-bisik kepada Ui Yong, seketika air muka Oey Yong tampak berubah dan berkata dengan suara gemetar: “Bisa terjadi demikian?”
Semua orang sama berpaling memandang nyonya rumah itu. Terdengar Oey Yong berkata pula kepada anggota Kay-pang itu: “Yang hadir di sini adalah orang kita sendiri, boleh kau bicara saja, bagaimana awal mula kejadian ini?”
Segera anggota Kay-pang itu menutur. “Lewat lohor tadi, Loh-pangcu membawa tujuh murid kantong tujuh patroli ke utara kota, siapa tahu sampai malam tiba beliau belum nampak pulang, Tecu menjadi kuatir dan bersama teman2 lain terbagi dalam beberapa kelompok keluar kota untuk mencarinya, akhirnya di kelenteng Yo-tayhu di kaki gunung Hian diketemukan jenazah Loh-pangcu.”
Mendengar kata-kata “jenazah”, tanpa terasa semua orang sama menjerit kaget. Sampai di sini, suara anggota Kay-paog itupun ter-sendat2. Maklumlah meski ilmu silat Loh Yu-ka tidak terlalu tinggi, tapi orangnya berbudi dan bijaksana sehingga mendapat dukungan luas di kalangan anggota.
Murid Kay-pang tadi melanjutkan penuturannya: “Kedua murid tujuh kantong yang mengiringi pangcu itupun menggeletak di samping beliau, seorang sudah tewas yang lain belum putus napasnya sehingga sempat member keterangan bahwa mereka kepergok pangeran MongoI yang bernama Hotu. Pangcu yang kena sergap lebih dulu, kedua murid kantong tujuh itu bertempur mati-matian dan akhirnya juga dicelakainya.”
“Hehe, jadi Hotu, Hotu!” demikian gumam Kwe Ceng saking menahan gusarnya, ia jadi menyesal dahulu telah memberi ampun kepada pangeran Mongol itu di Cong-lam-san, tahu begini tentu waktu itu sudah dibinasakan.
“Apakah Hotu itu meninggalkan ucapan apa?” tanya Ui Yong.
“Tecu tidak berani omong,” kata anggota Kay-pang itu. “Kenapa lidak berani omong,” tukas Oey Yong. “Tentunya dia bilang supaya Kwe Ceng disuruh lekas menyerah kepada pihak mongol, kalau tidak, maka contohnya ialah Loh Yu-ka itu, begitu bukan?”
“Hu jin sungguh hebat, memang begitulah ucapan keparat Hotu itu,” jawab si anggota Kay-pang.
Be ramai-ramai semua orang lantas pergi memeriksa jenazah Loh Yu-ka, terlihat punggungnya terkena sebatang tulang-tulang kipas buatan dari baja, tulang iganya juga patah, jelas lebih dulu Hotu menyergapnya dengan senjata rahasia, habis itu menghantamnya pula dengan tenaga dahsyat hingga binasa, semua orang menjadi gusar dan berduka pula menyaksikan itu.
Saat itu di Siangyang berkumpul beribu-ribu anggota Kay-pang, maka suasana menjadi sedih ketika kabar tewasnya Loh Yu-ka disiarkan.
Sehari-harinya Kwe Yang sangat akrab dengan Loh Yu-ka, sering ia menyeret orang tua itu diajak ke tempat sepi seperti kelenteng Yo-tayhu itu untuk minum arak sambil merecoki orang itu menceritakan kejadian-kejadian menarik di dunia Kangouw, kalau sudah begitu, maka acapkali berlangsung hingga hampir sehari suntuk dan kedua orang tua dan muda itu sama-sama gembiralah.

Kelenteng Yo-tayhu itu tidak jauh di luar kota, ketika mendengar kawan tua itu meninggal di kelenteng itu, Kwe Yang ikut berduka, segera ia membawa satu Holo (buii2) berisi arak penuh serta menjinjing sebuah keranjang sayur, seperti biasanya ia terus menuju ke kelenteng itu.
Saat itu sudah hampir tengah malam, Kwe Yang mengeluarkan dua pasang sumpit dari keranjangnya dan diatur secara berhadapan, dituangnya dua cawan arak pula, lalu berkata: “Paman Loh, setengah bulan yang lalu kita baru saja makan-minum dan mengobrol di sini, siapa duga sekarang engkau telah mengalami malapetaka, apabila arwahmu mengetahui, silakan kemari minum arak lagi bersamaku ini.”
Habis berkata, ia siram secawan arak itu di lantai, ia sendiri lantas menenggak habis secawan. Teringat kepada teman karib yang kini telah tiada itu, ia menjadi berduka katanya sambil mencucurkan air mata: “Paman Loh, marilah kita habiskan pula secawan!” - ia menyiram lagi secawan arak di lantai dan ia sendiri kembali menghabiskan secawan.
Kemampuan minum arak Kwe Yang sebenarnya sedikit sekali, cuma sifatnya yang terbuka dan suka bergaul dengan orang-orang Kangouw, maka iapun ikut-ikutan minum arak dan bicara seperti orang dewasa. Kini setelah menghabiskan dua cawan, mau-tak-mau mukanya menjadi merah, kepala rada pening.
Dalam kegelapan tiba-tiba seperti ada bayangan orang berkelebat di luar pintu kelenteng sana, ia terkejut dan bergirang, disangkanya arwah Loh Yu-ka benar-benar telah datang, segera ia berseru: “Apakah paman Loh? marilah kita minum dan mengobrol”
Hatinya berdebar-debar, tapi juga sangat ingin melihat arwah halus Loh Yu ka. Tapi segera didengarnya seorang menegurnya: “Tengah malam buta kau main gila apa di sini?
ibu mencari kau, lekas pulang!” secepat itu pula seorang lantas menyelinap masuk, kiranya Kwe Hu adanya.
Kwe Yang sangat kecewa, katanya: “Aku sedang memanggil arwah paman Loh untuk bertemu di sini, dengan gangguanmu ini mana dia mau datang lagi? Cici, silakan kau pulang dahulu, segera aku menyusul.”
“Kembali kau mengaco belo lagi, dalam benakmu yang kecil itu selalu berpikir hal-hal yang tidak karuan. Mana bisa arwah Loh Yu-ka mau menemui kau?”
“Biasanya dia sangat akrab denganku, apalagi sudah kusanggupi akan memberitahukan sesuatu padanya sudah kujanjikan akan kuberitahu pada hari ulang tahunku. Siapa tahu, dia tidak dapat menunggu lagi,” sampai di sini, anak dara itu menjadi berduka lagi.
“Sekejap saja kau lantas menghilang, segera ibu menduga kau datang ke sini dan ternyata tepat dugaan ibu,” kata Kwe Hu. “Hm, se-nakal2nya monyet kecil macammu ini masakah dapat mengelabuhi perhitungan ibu? Kau benar-benar teramat bandel, ibu sangat marah, coba kalau Hotu itu bersembunyi di sekitar sini, sedangkan tengah malam buta kau sendirian berada disini, kan sangat berbahaya?”
Kwe Yang menghela napas, katanya “Aku terkenang kepada paman Loh sehingga tidak memikirkan bahaya lagi, O, Cici yang baik, temanilah duduk sebentar di sini, boleh jadi arwah paman Loh akan datang benar-benar menemui aku.
Cuma engkau jangan bersuara agar tidak mengejutkan dia.”
Biasanya Kwe Hu kurang menghormati Loh Yu-ka, menurut anggapannya bisanya Loh Yu-ka diangkat menjadi Pangcu adalah karena dukungan ibunya, maka ia pikir kalau betul arwah Loh Yu-ka akan datang juga tidak perlu ditakuti, iapun tahu watak kepala batu adiknya itu, sekali sudah menyatakan hendak menunggu di situ, maka sukar-lah disuruhnya pulang begitu saja kecuali kalau ayah-ibu dating sendiri dan mengomelinya.
Maka ia lantas berduduk, katanya dengan gegetun: “Ji-moay, usiamu makin menanjak, tampaknya kau semakin ke-kanak-anakan. Tahun ini kau sudah 16 tahun, selang dua-tiga tahun lagi juga akan punya mertua, memangnya sesudah di rumah mertua kau juga akan angin-anginan seperti ini?”
“Memangnya apa bedanya?” ujar Kwe Yang. “Setelah kau menikah dengan Cihu (kakak ipar, suami kakak), bukankah kaupun tetap bebas merdeka seperti waktu masih gadis?”
“He, mana boleh kau membandingkan Cihu-mu dengan orang Iain?” jawab Kwe Hu dengan bangga, “Dia adalah ksatria sejati jaman kini, pengetahuan dan pandangannya sudah tentu jauh lebih daripada orang lain, dengan sendirinya dia takkan mengekang kebebasanku.
Bakat seperti Cihumu itu jasanya jarang ada bandingannya di antara jago-jago angkatan muda sekarang. Kelak kalau bakal suamimu ada setengah kepandaiannya saja, kukira ayah-ibu sudah cukup merasa puas.”
Mendengar ucapan sang Taci yang sombong itu, Kwe Yang balas mcncibir, katanya: “Sudah tentu Cihu adalah tokoh yang hebat, cuma aku tidak percaya bahwa di dunia ini tiada orang lain yang melebihi dia.”
“BoIeh lihat saja nanti kalau kau tidak percaya” ujar Kwe Hu.
“Aku justeru mempunyai seorang kenalan yaog berpuluh kali lebih hebat daripada Cihu,” kata Kwe Yang.
Keruan Kwe Hu menjadi gusar, teriaknya: “Siapa dia?
Hayo katakan lekas!”
“Untuk apa kukatakan? Asalkan aku sendiri tahu di dalam hati saja, kan cukup?” jawab Kwe Yang.
“Huh, apakah kau maksudkan Li-samte? atau Ong Kiam bu? Atau Tio Si-kong?” jengek Kwe Hu-Yang disebutnya itu adalah beberapa ksatria muda yang ganteng kenalan mereka.
Namun Kwe Yang menggeleng, katanya: “Bukan, bukan! Memadai Cihu saja mereka tidak dapat, mana bisa dikatakan lebih hebat berpuluh kali daripada nya?”
“Habis siapa?” Kwe Hu menegas-, “Ya, kecuali Gwakong kita, atau ayah dan ibu atau paman Cu Cu-liu dan beberapa ksatria angkatan tua,”
“Tidak, orang yang kumaksud itu justeru lebih muda daripada Cihu, wajahnya juga lebih cakap, sedangkan ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada Cihu, hakikatnya bedanya seperti langit dan bumi, sama sekali tak dapat dibandingkan….”
Setiap kalimat diucapkan Kwe Yang, setiap kali pula disambut oleh Kwe Hu dengan mencemoohkan: “Cis, cis, cis!”
Tapi Kwe Yang tidak peduli, ia menyambung pula: “Jika kau tidak mau percaya, ya terserah padamu, Pokoknya orang itu sangat baik budi, siapapun yang ada kesukaran, tak peduli kenal atau tidak selalu dia suka memberi pertolongan.”
Bicara sampai akhirnya, wajahnya yang cantik itu tampak memandang kesima ke depan seperti mengenangkan sesuatu yang sukar dilupakannya.
Dengan gusar Kwe Hu lantas berkata: “Dalam benakmu yang kecil ini selalu berkhayal saja. Baik-lah, setelah matinya Loh Yu-ka, jabatan Pangcu menjadi lowong, tadi ibu mengatakan, mumpung para pahlawan berkumpul di sini, maka kesempatan ini sebaiknya digunakan mengadakan pemilihan Pangcu. Biarlah orang banyak ikut bertanding, siapa yang berkepandaian paling tinggi, dia yang diangkat menjadi Pangcu, dengan begitu persengketaan antara Ut-ih-pay (aliran baju kotor) dan Ceng-ih-pay (aliran baju bersih) dalam Kaypang dapat dihindarkan.
Kalau orang yang kau anggap hebat itu benar-benar lihay, nah boleh kau suruh dia maju dan bertanding dengan Cihumu untuk memperebutkan kedudukan Pangcu.”
“Hihi, belum tentu dia kepengin menjadi Pangcu kaum jembel begitu,” ujar Kwe Yang dengan tertawa.
“Hm, kau berani meremehkan kedudukan Pang-cu?”
semprot Kwe Hu dengan marah. “Dahulu kedudukan itu pernah di jabat Ang Jit-kong, ibu kita juga pernah menjabatnya, masakah kau berani menghina Ang- lokongkong dan ibu?”
“Baik aku pernah menghina beliau2 itu, kan kau sendiri yang bilang? Kau sendiripun tahu aku sangat akrab dengan paman Loh dan bergaul baik dengan kaum jembel lain,”
“Baiklah, boleh kau suruh pahlawanmu itu bertanding dengan Cihumu,” kata Kwe Hu pula. “Sementara ini para ksatria sama berkumpul di Siangyang, lihat saja nanti, siapa pahlawan dan siapa kerbau, sekali gebrak segera akan ketahuan.”
“Cici, bicaramu memang suka melamur tak genah, bilakah kubilang Cihu adalah kerbau? Kalau dia kerbau, bukankah engkaupun menjadi hewan? Padahal kita dilahirkan dari satu ibu, kan aku ikut kurang terhormat?”
Kwe Hu menjadi serba runyam, ya dongkol dan geli, ia lantas berbangkit dan berkata: “Aku tidak ada waktu buat ribut dengan kau. Hayolah pulang, jangan-jangan nanti aku ikut didamprat”
Kwe Yang bersifat lincah dan pintar bicara, biasanya memang suka adu mulut dengan sang Ta-ci, segera ia ber-olok-olok pula: “Ai, engkau kan nyonya muda yang sudah menikah, biasanya ayah dan ibu juga paling sayang padamu, engkau juga isteri calon pangcu, siapakah gerangannya yang sudah makan “hati harimau sehingga berani mendamperat kau?”
Mendengar adiknya menyebutnya “isteri calon Pangcu”, hati Kwe Hu menjadi senang, katanya: “Sekian banyak kaum ksatria berkumpul di sini, siapa orangnya yang tidak ingin menjadi Pangcu? Cihumu juga belum tentu akan terpilih, sebaiknya kau jangan bicara muluk-muluk dahulu agar tidak
ditertawakan orang.”
Kwe Yang termangu-mangu sejenak pula, dilihatnya bulan setengah bulat itu menghiasi cakrawala yang kelam, suasana sunyi sepi, katanya kemudian dengan gegetun: “Tampaknya arwah paman Loh takkan datang, Cici, mengapa begini cepat mengangkat Pangcu? pengganti paman Loh kan dapat ditunda sementara waktu agar kita dapat lebih lama mengenangkan jasa beliau.”
“Kembali kau bicara seperti anak kecil,” ujar Kwe Hu “Kay-pang adalah organisasi terbesar di dunia Kangouw, naga tanpa kepala, mana boleh jadi?”
“Ibu bilang kapan akan diadakan pemilihan Pangcu?” tanya Kwe Hu.
“Tanggal 15 adalah hari pembukaan Eng-hiong-tay-hwe dengan acara utama bagaimana menghimpun para pahlawan dari segenap penjuru untuk bersama-sama melawan Mongol.
Musyawarah itu bisa berlangsung hingga lima enam hari atau bisa juga 8-9 hari. Jadi pemilihan ketua Kay-pang itu kukira baru dapat diselenggarakan pada tanggal 23 atau 24 nanti.”
“Ahhhh!” Kwe Yang bersuara tertahan “Ada apa?” Tanya Kwe Hu.
“Tidak apa-apa,” jawab Kwe Yang, “Soalnya tanggal 24 adalah bertepatan dengan hari ulang tahun-ku, Karena kesibukan kalian dalam pemilihan pangcu itu, tentunya ibu menjadi tidak sempat merayakan hari ulang tahunku nanti.”
“Hahahaha!” Kwe Hu bergelak tertawa, “Cuma hari ulang tahun anak dara seperti kau ini memangnya begitu penting?
Mana boleh kau anggap urusan penting pemilihan pangcu itu justeru mengganggu hari ulang tahunmu? Haha, kalau didengar orang bisa jadi gigi orang akan rontok menertawakanmu, Ai, mungkin di dunia ini hanya kau saja yang selalu ingat kepada urusan tetek bengek begitu?”
Dengan muka merah padam Kwe Yang menjawab: “Umpama ayah tidak ingat ibu pasti ingat. kau bilang urusan tetek bengek, aku justeru bilang ini urusan penting, Sekali ini ulang tahunku genap berusia 16. kau tahu tidak?”
Kwe Hu tambah geli dan ber-oIok2: “Ya, ya! Pada hari itu nanti, berpuluh ksatria dan pahlawan yang berada di Siangyang ini akan hadir memberi selamat kepada Kwe-jisiocia kita, setiap orang akan menyumbangkan kado padamu, sebab tahun ini Kwe-jisocia kita genap berusia 16 dan bukan lagi
anak dara melainkan sudah nona besar, Hahahaha!”
“Orang lain mungkin takkan ambil pusing, tapi paling sedikit ada seorang pahlawan besar pasti ingat kepada hari ulang tahunku, dia sudah berjanji akan datang menemui aku,” kata Kwe Yang dengan rasa bangga.
“Ah, pahlawan besar apakah? Ya, tahulah aku, tentu pahlawan yang jauh lebih hebat daripada Cihumu itu,” ujar Kwe Hu. “lngin kukatakan padamu, pertama, di dunia ini hakikatnya tiada tokoh nomor satu begituan, hanya benakmu sendiri yang berkhayal seperti itu. Kedua, seumpama ada orang begitu, betapa banyak urusan penting yang harus dilakukannya, mana dia mau datang memberi selamat kepada anak dara seperti kau ini. Kecuali dia juga menghadiri Eng-hiong-tay-hwe, kalau tidak masakah dia datang ke Siangyang ini.”
Hampir-hampir menangis Kwe Yang oleh olok-olok sang taci, sambil banting2 kaki ia berseru: “Dia sudah berjanji padaku, dia sudah berjanji. Dia takkan menghadiri Eng-hiong tay-hwe dan juga tak ikut berebut pangcu segala.”
“Dia bukan Enghiong, dengan sendirinya ayah takkan mengirim Eng-hiong-tiap padanya,” kata Kwe Hu. “Sekalipun dia ingin menghadiri pertemuan besar ini kukira juga belum memenuhi syarat.”
Kwe Yang mengusap air matanya dengan sapu-tangan kecil, katanya. “Jika begitu akupun takkan hadir pada pertemuan kalian itu, masa-bodoh kalian hendak mengangkat Pangcu segala, betapapun ramainya juga aku takkan meiihatnya.”
“Aduh, jika Kwe-jisiocia kita tidak hadir, lalu bagaimana jadinya Eng-hiong-tay-hwe itu nanti?” demikian Kwe Hu ber-olok-olok pula. “Yang terpilih menjadi Pangcu nanti juga kurang gemilang, mana boleh kau tidak hadir.”
Sambil menutupi kedua telinganya Kwe Yang terus berlari keluar kelenteng, Tapi mendadak bayangan berkelebat tahu-tahu diambang pintu kelentertg telah berdiri seorang dan  mengalang jalan keluarnya, keruan Kwe Yang kaget, cepat ia melompat mundur sehingga tidak bertubrukan dengan
pengadang-nya itu.
Di bawah cahaya bulan tertampak perawakan orang itu sangat jangkung, mukanya hitam, anehnya tubuh bagian atas ternyata sangat cekak, hanya bagian pinggang ke bawah yang teramat panjang. Setelah diawasi lebih teliti baru tahu jelas, rupanya kedua kaki orang itu buntung, kedua ketiaknya di
sanggah dengan sepasang tongkat yang panjangnya-hampir dua meter, karena itulah lengan celananya menjadi bsrgoyang-gontai di bagian bawah, orang pendek memakai egrang sehingga menjadi orang jangkung.
“He, kau, Nimo Singh!” seru Kwe Hu terkejut.
Kiranya orang ini memang betul Nimo Singh adanya. Sekali ini raja Mongol memimpin sendiri pasukannya ke selatan, maka segenap jago silat benua barat dan Mongol telah dikerahkan, setiap orang sama berharap dapat memamerkan kemahirannya dalam pertempuran nanti untuk mendapatkan pahala dan kedudukan.
Meski kedua kaki Nimo Singh sudah buntung, tapi ilmu silatnya belum punah, selama gembleng belasan tahun itu, sepasang tongkat penyanggah tubuhnya itu dapat dimainkan terlebih lihay daripada sebelum buntung kakinya.
Sementara ini pasukan Mongol masih ratusan li di utara Siangyang, tapi para pengintai yang terdiri dari jago-jago silat pilihan seperti Nimo Singh dan lain-lain sudah tiba lebih dulu di sekitar Siangyang.
Malam ini maksudnya hendak menginap di kelentong Yo-tayhu ini tak terduga didengarnya percakapan Kwe Hu berdua, keruan ia menjadi kegirangan, ia tahu berhasilnya Siangyang dipertahankan sekian lama oleh kerajaan Song adalah berkat perjuangan Kwe Ceng, kalau sekarang kedua puteri kesayangannya ini ditawan, andaikan tak dapat memaksa Kwe Cing menyerah, sedikitnya juga dapat mengacaukan semangatnya dan sungguh suatu jasa besar baginya bila dilaporkan kepada raja Mongol.
Karena itulah ia lantas menjawab: “Eh, nona Kwe, sungguh bagus daya ingatanmu, ternyata kau tidak pangling padaku, Baiklah, supaya tidak membikin susah kedua pihak, silakan kalian ikut padaku saja.”
Gusar dan kuatir pula Kwe Hu, ia tahu ilmu silat orang Hindu ini sangat lihay, sekalipun dirinya kakak beradik maju sekaligus juga bukan tandingannya. Tanpa terasa ia melotot gusar pada Kwe Yang, pikirnya: “Semua ini gara-garamu, coba cara bagaimana harus menghadapi bahaya di depan mata
sekarang?”

Sebaliknya Kwe Yang telah berkata pada Nimo Singh: “Eh, kenapa kedua kakimu itu begitu aneh? Sebelum bunting dahulu apakah juga sepanjang itu?”
Nimo Singh hanya mendengus saja dan tidak menggubrisnya, tapi lantas berkata pula kepada Kwe Hu: “Kalian berjalan di depan, jangan sekali-sekali timbul pikiran hendak melarikan diri.” - Nyata dia telah anggap kakak beradik itu sebagai tawanannya yang sudah berada dalam genggamannya.
Kwe Yang lantas berkata pula: “He, cara bi-caramu ini sungguh aneh, tengah malam buta kau suruh kami kakak beradik pergi ke mana?”
“Jangan banyak bicara, lekas ikut pergi!” bentak Nimo Singh, ia kuatir kedatangan musuh yang kini banyak berkumpul Siangyang dan usahanya ini mungkin bisa gagal, maka ingin lekas-lekas pergi.
“Jimoay, si cebol ini adalah jagoan pihak Mongol, kepandaiannya cukup lihay, marilah kita mengerubutnya dari kanan dan kiri,” bisik Kwe Hu kepada adiknya. Habis barkata, “sret”, segera ia melolos pedang terus menusuk ke pinggang musuh.
Kwe Yang tidak membawa senjata, ia lihat Nimo Singh tidak mempunyai kaki, bisanya berdiri adalah berkat tongkatnya saja, sekarang sang Taci menyerangnya, apakah dia bisa menangkisnya?
Dasar hati Kwe Yang memang welas asih, maka ia berbalik berseru: “He, Cici, orang ini harus dikasihani jangan dilukai!” .
Tak terduga, belum lenyap suaranya, mendadak Nimo Singh menyangga tubuhnya dengan tongkat kiri, tongkat kanan terus menyabet, “trang” tongkat membentur pedang Kwe Hu dan memercikkan lelatu api dalam kegelapan, pedang Kwe Hu hampir saja terlepas dan cekalan.
Seketika Kwe Hu merasa tangannya kesemutan dan dada sakit Cepat ia menggeser ke samping dan menyerang pula, ia mainkan “Wat-li-kiam hoat” dan menempur Nimo Singh dengan sengit.
Wat li-kiam hoat atau ilmu pedang gadis cantik diajarkan Kwe Ceng kepada puterinya ini untuk mengenang salah seorang gurunya dari Kanglam-jit-koay, yaitu Han Siao-eng yang tewas secara mengenaskan di Mongol.
ilmu pedang ini mengutamakan kelincahan dan kegesitan, akan tetapi karena terbatas oleh tenaga, betapapun Kwe Hu memang bukan tandingan Nimo Singh.
Melihat cara Nimo Singh menggunakan kedua tongkatnya dengan bergantian, yang satu digunakan menyangga tubuh, yang lain lantas digunakan menyerang, gerak geriknya cepat dan gesit tiada ubahnya seperti orang yang berkaki, apalagi kedua tongkatnya itu sangat panjang, dari atas menggempur ke bawah, daya serangannya menjadi lebih hebat, jelas sang Taci tidak sanggup melawannya, baru sekarang Kwe Yang merasa kuatir.
Sesungguhnya kepandaian Nimo Singh memang jauh lebih tinggi daripada Kwe Hu, hanya kepandaian nona itu adalah ajaran Kwe Ceng dan Oey Yong yang lihay, maka dapatlah Kwe Hu bertahan sekian lama, tapi dirasakannya tekanan tongkat musuh semakin berat sehingga sukar ditangkis lagi.
Nampak kakaknya terdesak, tanpa pikir lagi Kwe Yang lantas menubruk maju dengan bertangan kosong.
“Kena!” mendadak Nimo Smgh berteriak tongkat kiri menutul lantai, tubuhnya mengapung ke atas, kedua tongkat digunakan sekaligus untuk menyerang, tongkat yang satu kena menutuk bahu kiri Kwe Yang, tongkat lain tepat menutuk Hiat to di dada Kwe Hu.
Kwe Yang tergeliat sempoyongan dan mundur beberapa tindak. sedangkan Kwe Hu cukup berat ditutuk oleh tongkat lawan, ia tidak tahan dan “bluk”, jatuh terduduk.
Gesit luar biasa Nimo Singh, cepat lagi keji, begitu tongkatnya menutul pelahan, segera ia mendesak maju ke depan Kwe Hu sambil menjengek: “Nah, sudah kukatakan ikut saja padaku…”
Di luar dugaannya, mendadak Kwe Hu sambil berseru: “Jimoay, lekas lari ke belakang!”
Nimo Singh terkejut, sudah jelas Hiat-to di dada Kwe Hu kena ditutuknya dengan ujung tongkat, mengapa nona itu masih dapat bergerak dengan bebas? ia tidak tahu bahwa Kwe Hu memakai baju wasiat berduri landak (Nui-wi-kah) pemberian sang ibu, disangkanya keluarga Kwe punya ilmu kekebalan yang tidat mampu ditutuk dan tidak mempan dilukai.
Padahal setelah terkena tutukan tongkat tadi, meski tidak beralangan apa-apa, namun rasa sakitnya juga tidak kepalang, dan kurang leluasa lagi buat bergerak. Tapi Kwe Yang lantas memainkan ilmu pukulan “Lok-eng-ciang-hoat” dan melindungi di belakang sang Taci sambil berseru: “Cici, engkau saja lari lebih dulu!”
Namun sebelum mereka angkat kaki, tahu-tahu Nimo Singh melayang lewat di atas mereka dan mengadang di depan Kwe Hu sambil membentak “jangan bergerak!”
Kwe Yang menjadi gusar dan mendamperat: “Tadinya kau harus dikasihani tak tahunya kau begini jahat!”
“Hahaha!” Nimo Singh bergelak tertawa. “Anak dara, rupanya kau belum kenal kelihayan kakek sebelum tahu rasa.”
Habis ini, kedua tongkatnya bergantian melangkah maju sehingga menerbitkan suara “tok-toktok” yang keras, dengan muka menyeringai selangkah demi selangkah ia mendesak maju. Keruan Kwe Hu dan Kwe Yang melangkah mundur dengan ketakutan.
Selama hidup Kwe Yang belum pernah melihat wajah orang sebengis ini, dilihatnya kedua mata Nimo Singh melotot, mukanya beringas dan muIutnya menyeringai iblis, tampak pula taringnya yang runcing putih, seakan-akan drakula yang akan menerkam dan menggigit lehernya, saking takutnya ia menjerit ngeri.
Pada saat itulah tiba-tiba Kwe Yang mendengar suara halus berkata di belakangnya: “Jangan takut, serang dia dengan Am-gi (senjata rahasia)!”
Dalam keadaan gawat begitu, tak berpikir lagi oleh Kwe Yang siapa yang bicara itu, segera ia meraba bajunya, tapi lantas disadarinya dia tidak membawa senjata apapun juga, katanya dengan cemas: “Aku tidak membawa Am-gi.”
Sementara itu Nimo Singh telah mendesak maju Iagi, ia menjadi bingung dan terpaksa kedua tangannya disodorkan ke depan dengan gaya membela diri.
Tak terduga baru saja tangannya menjulur ke depan, sekonyong-konyong dari belakang seakan-akan ditiup serangkum angin, lengannya terasa tergetar pelahan, sepasang gelang untiran emas yang dipakainya itu tahu-tahu terlepas dari pergelangan tangannya dan melayang ke depan, “tring-tring”, sepasang gelang emas itu membentur kedua tangan Nimo Singh.
Tampaknya benturan itu sangat pelahan, tapi entah mengapa, Nimo Singh ternyata tidak sanggup memegangi lagi kedua tongkatnya dan mendadak ia terlempar keras ke belakang, “blang-blang” dua kali kedua tongkat membentur dinding dan membikin debu pasir sama rontok.
Karena tongkat penyangganya terlepas dari cekalan, tubuh Nimo Singh lantas jatuh, tapi si cebol ini memang lihay juga, baru punggungnya menempel lantai, sekali melejit, tahu-tahu ia meloncat lagi ke atas, sepuluh jarinya yang berkuku panjang tajam itu terus menubruk ke arah Kwe Yang.
Dalam kagetnya tanpa pikir Kwe Yang cabut tusuk kundai kemala hijau yang dipakainya itu terus disambitkan ke depan, terasa angin meniup pula lari belakangnya, tusuk kundai itu disurung cepat ke depan.
Melihat samberan tusuk kundai itu sangat aneh, cepat kedua telapak tangan Nimo Singh memapak ke depan, tapi terdengarlah dia bersuara tertahan, lalu jatuh terdukuk pula dan tidak bergerak lagi.
Kuatir musuh main akal licik, cepat Kwe Yang melompat ke samping Kwe Hu dan berseru dengan-suara gemetar: “Cici, le…. lekas lari!”
Tapi mereka melihat Nimo Singh tetap diam saja tanpa bergerak sedikitpun ditunggu lagi sejenak juga tetap begitu, Kwe Hu menjadi berani katanya: “Apakah dia kena penyakit angin duduk dan mati mendadak?”
Segera ia membentak “Nimo Singh, kau main gila apa?”
Kwe Hu pikir musuh sudah kehilangan tongkat dan tidak leluasa bergerak, tentunya tidak perlu ditakuti lagi, dengan pedang terhunus ia lantas mendekatinya. Dilihatnya kedua mata Ntmo Singh mendelik dengan penuh rasa ketakutan, mulut ternganga lebar ternyata sudah mati sejak tadi.
Kejut, heran dan girang pula Kwe Hu, cepat ia menyulut lilin pada altar sembahyangan, “belum lagi ia sempat memeriksa lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak di luar kelenteng. “Hu-moay Jimoay, apakah kalian berada di dalam kelenteng? Nyata itulah suaranya Yalu Ce.
Dengan girang Kwe Hu lantas menjawab: “Lekas kemari, kakak Ce, sungguh kejadian sangat aneh!”
Sejenak kemudian Yalu Ce berlari masuk dengan dua anggota Kay-pang berkantong enam, Iapun terkejut melihat Nimo Singh tewas menggeletak di situ, ia tahu ilmu silat Nimo Singh sangat tinggi, sekalipun dirinya juga bukan tandingannya, tapi kini jagoan Hindu itu ternyata bisa dibunuh oleh isterinya, sungguh sangat di luar dugaan.
Segera ia mengambil tempat lilin dari tangan Kwe Hu dan mendekati Nimo Singh, setelah diperiksanya, ia tambah keheranan Ternyata kedua telapak tangan Nimo Singh sama berlubang, sebuah tusuk kundai kemala hijau tepat menancap pada Sin-ting-hiat di batok kepalanya.
Padahal tusuk kondai kemala itu sangat mudah patah, namun dapat menembus telapak tangan seorang jago silat kenamaan dan dan sekaligus membinasakannya maka betapa lihay kepandaian pemakai tusuk kundai ini sungguh sukar diukur dan dibayangkan Yalu Ce lantas berpaling dan tanya Kwe Hu: “Apakah Gwakong datang ke sini? Lekas pertemukan aku dengan beliau.”
Kwe Hu menjadi heran, jawabnya: “Siapa yang bilang Gwakong datang ke sini?”
“Bukan Gwakong?” Yalu Ce menegas, mendadak ia menjadi girang dan menambahkan “Aha, jika begitu Guruku yang datang!”
Lalu ia memandang sekeliling situ, namun tidak dilihatnya sesuatu jejak Ciu Pek-thong, gurunya itu jenaka dan suka bergurau bisa jadi sengaja sembunyi untuk membuatnya kaget, Cepat ia berlari keluar kelenteng dan melompat ke wuwungan untuk memeriksa sekitar, namun tiada sesuatupun
yang ditemukannya, terpaksa ia melompat turun kembali.
“He, apa-apaan kau bilang Gwakong dan Suhu segala?” tegur Kwe Hu dengan bingung.
Yalu Ce lantas bertanya cara bagaimana mereka kepergok Nimo Singn dan mengapa orang itu bisa tewas begitu saja?
Kwe Hu lantas menceritakan apa yang terjadi tadi, tentang tusuk kundai adiknya itu dapat menancap mati Nimo Singh, ia sendiripun tidak dapat menjelaskan.
“Di belakang jimoay pasti ada seorang kosen yang membantu secara diam-diam,” ujar Yalu Ce. “Ku kira orang yang memiliki kepandaian setinggi ini jaman kini selain ayah mertua hanyalah Gwakong kita Uitocu, guruku, It-teng Taysu serta Kim-lun Hoat-ong saja berlima.
Kim-lun Hoat-ong adalah Koksu Mongol, tentunya dia takkan membunuh kawan sendiri, sedangkan It teng Taysu tidak sembarangan mau melanggar pantangan membunuh, maka kukira kalau bukan Gwakong tentulah guruku, Jimoay, coba jelaskan, siapakah gerangan orang yang membantumu itu?”
Kelika menyambitkan tusuk kundainya tadi dan membinasakan Nimo Singh, Kwe Yang segera menoleh dan tidak melihat bayangan seorangpun, maka diam-diam ia meresapi ucapan “jangan takut, serang dia dengan Am-gi”, ia merasa suara itu sudah dikenalnya, ia menjadi sangsi apakah Yo Ko adanya? Maka waktu ditanya Yalu Ce, seketika ia tak dapat menjawab karena dia masih kesima merenungkan suara itu.
“He, kenapa kau, Jimoay?” seru Kwe Hu sambil menarik lengan adiknya, ia kuatir jangan-jangan adiknya itu menjadi Iinglung karena kejadian yang menakutkan tadi.
Tiba-tiba air muka Kwe Yang berubah menjadi merah dan menjawab: “O, tidak apa-apa.”
“Cihu bertanya padamu siapa yang membantu tadi, kau dengar tidak?” kata Kwe Hu dengan mendongkol.
“O, siapakah yang membantuku membinasakan orang jahat ini? Ah, sudah tentu dia! Kecuali dia siapa lagi yang memiliki kepandaian setinggi ini?” kata Kwe Yang.
“Dia? Dia siapa?” Kwe Hu menegas. “Apakah pahlawan besar yang kau katakan itu?”
“O, tidak, tidak! Kumaksudkan arwah halus paman Loh,” jawab Kwe Yang cepat.
“Cis!” semprot Kwe Hu sambil mengipatkan tangan adiknya itu.
“Memangnya apakah kau melihat sesuatu bayangan orang?” kata Kwe Yang pula, “Pastilah paman Loh yang melindungi aku secara diam-diam. Kau tahu, semasa hidupnya paman Loh sangat karib denganku.”
Sudah tentu Kwe Hu menyangsikan cerita Kwe Yang itu, namun memang nyata tadi dirinya tidak melihat sesuatu bayangan orang dan tahu-tahu Nimo Singh sudah mati.
Sementara itu Yalu Ce sedang memeriksa kedua tongkat Nimo Singh, katanya dengan gegetun: “Kepandaian sehebat ini, sungguh sangat mengagumkan.”
Waktu Kwe Hu dan Kwe Yang ikut meneliti, tertampak setiap tongkat itu terbingkai sebuah gelang emas untiran.
Padahal gelang itu cuma terbuat dari untiran emas yang halus, tapi orang dapat mendorongnya dengan tenaga dalam yang dahsyat dan membentur jatuh kedua tongkat Nimo Singh, pantasIah kalau Yalu Ce merasa gegetun dan kagum tidak kepalang.
“Marilah kita perlihatkan pada ibu, siapakah sebenarnya orang yang membantu jimoay secara diam-diam itu, tentu ibu mengenalnya,” ujar Kwe Hu.
Nimo Singh dan sepasang tongkatnya segera dibawa kedua anak murid Kay pang dan ikut Yalu Ce pulang ke kota.
Ketika Kwe Ceng dan Oey Yong mendengar cerita Kwe Hu dan membayangkan betapa berbahaya kejadian itu, mau tak-mau Kwe Ceng terperanjat.
Semula Kwe Yang menyangka keonaran yang diterbitkannya ini pasti akan mendapat persen damperatan, tapi Kwe Ceng justeru gembira oleh keberanian dan tinggi budi puteri kecil yang menurunkan gaya sang ayah itu, ia tidak mendamperat, malah menghiburnya. Begitu pula demi nampak sang suami tidak gusar, maka Oey Yong segera saja merangkul puteri kecil itu dengan penuh sayangnya.
Tapi kemudian setelah dilihatnya mayat Nimo Singh serta keadaan kedua tongkatnya, Oey Yong termenung-menung, kemudian ia baru tanya Kwe Ceng: “Cing-toko, siapakah orangnya menurut kau?”

“Tenaga dalam orang ini mengutamakan keras dan kuat, setahuku,selamanya hanya ada dua orang” sahut Kwe Ceng.
“Ya, tapi guru berbudi kita Ang Jit-kong sudah lama wafat, pula bukan kau sendiri,” ujar Oey Yong.
Ia coba menanya lebih jelas tentang kejadian di kelenteng itu, namun tetap tak bisa diterkanya.
Sesudah Kwe Hu dan Kwe Yang kembali ke-kamar masing-masing, segera Oey Yong berkata lagi pada sang suami: “Cing-koko, kau tahu tidak puteri ke-dua kita ada apa-apa yang membohongi kita.”
“Membohong? Membohong apa?” tanya Kwe Ceng heran.
Nyata wataknya sangat sederhana dan jujur, maka tidak pernah ia mencurigai orang lain.
“Sejak kembalinya dari utara mengantar kartu undangan,” demikian tutur Oey Yong, “seorang diri ia selalu termenung-menung, cara bicaranya malam ini juga sangat aneh.”
“Ia terkejut, sudah tentu pikirannya tidak tenang,” ujar Kwe Ceng.
“Bukan, bukan,” sahut Oey Yong, “la sebentar malu-malu kucing, lain saat tersenyum kecil, itu sekali-sekali bukan karena terkejut,.tapi, dalam hatinya justeru merasa senang tak terkatakan.”
“Anak kecil mendadak mendapat bantuan orang kosen, sudah tentu akan terkejut serta kegirangan, apapun tak perlu dibuat heran,” kata Kwe Ceng Iagi.
Oey Yong tersenyum, ia tidak buka suara pula, tapi dalam hati ia berkata: “Perasaan anak perempuan yang dirundung asmara, waktu mudamu saja kau tak paham, sampai tua juga kau tetap tak mengerti!”
Karena itu, lalu iapun belokkan pokok percakapan mereka tentang siasat2 yang harus digunakan, untuk menghadapi musuh serta acara-cara penyambutan tamu dalam perjamuan ksatria besok.Habis itu masing-masingpun pergilah mengaso.
Tapi di atas ranjang Oey Yong sukar pulas, sebentar2 ia terbayang oleh sikap puteri kecil yang aneh itu, pikirnya: “Pada waktu anak perempuan ini baru lahir lantas mengalami kesukaran, selama ini aku selalu berkuatir hidupnya akan banyak terjadi alangan, tapi syukurlah selama 16 tahun ini telah dilewatkan dengan selamat, apakah mungkin sekarang
inilah bakal terjadi sesuatu atas dirinya?”
Apabila teringat olehnya musuh sudah dekat, malapetaka yang akan datang bakal dihadapi oleh setiap penduduk kota, jika sebelumnya bisa diketahui, sedikit apa-apa yang bakal terjadi juga ada gunanya untuk ber jaga2.
Namun tabiat puteri kecil ini sangat aneh, apa yang tak ingin dikatakannya tetap tak dikatakan, betapapun orang tua membujuk dan mendamperatnya, ia tetap bungkam dalam seribut basa, dalam keadaan begitu orang tua jadi kewalahan.
BegituIah makin dipikir perasaan Oey Yong semakin tak enak, diam-diam ia berbangkit dan menuju ke pintu kota, ia suruh penjaga benteng membukakan pintu terus menuju ke kelcmeng Yo-tayhu di barat kota.
Tatkala itu sudah jauh lewat tengah malam, bintang guram dan rembulan suram.
Oey Yong keluarkan ilmu entengi tubuhnya yang tinggi berlari ke sana. Ketika dekat kelenteng Yo-tayhu itu, tiba-tiba terdengar di belakang tugu “Tui-lui pi ada suara percakapan orang, Lekas-lekas Oey Yong mendekam ke tanah dan merunduk maju pelahan, setelah beberapa tombak dari tugu itu, ia mengumpet di belakang pohon besar.
Terdengar seorang berkata: “Sun-toako, In kong (tuan penolong) suruh kita menanti dibelakang Tui-lui-pi (tugu mencucurkan air mata) ini. Sebab apakah tugu ini diberi nama yang begini menyedihkan, bukankah ini alamat jelek?”
“lnkong agaknya selalu hidup kurang senang, oleh sebab itu bila mendengar nama-nama tentang Tui-pi (mengucurkan air mata),” Yu-jiu” (bersedih) dan lain-lain yang menyedihkan lantas mudah teringat akan nasibnya,” demikian sahut orang she Sun itu.
“Ah, orang berkepandaian tinggi seperti Inkong, seharusnya tiada urusan sulit baginya,” ujar orang yang duluan, “Tapi kulihat wajahnya senantiasa bermuram durja.
Tui-lui-pi” ini mungkin sekali dia sendiri yang menamakannya.”
“ltulah bukan,” sahut orang she Sun, “Aku pernah mendengar cerita kuno bahwa kelenteng Yo-taybu ini didirikan orang di kaki bukit Hian, ini untuk memperingat seorang menteri bernama Yo Koh yang sangat cinta pada rakyat di daerah sekitar sini, maka telah didirikan pilar (atau tugu) sebagai tanda jasanya.
Rakyat yang melihat pilar ini lantas ingat pada kebaikannya dan saking terharu banyak yang menangis, sebab itu pilar ini disebut Tui-lui-pi (tugu mencucurkan air mata), Tan lakte, hidup manusia kalau bisa seperti Yo tayhu ini barulah boleh dikata seorang laki-laki sejati.”
“lnkong selamanya membela keadilan di Kangouw hingga banyak dipuji orang, bila ia menjadi pembesar negeri di Siangyang, boleh jadi namanya akan lebih cemerlang daripada Yo tayhu nya orang she Tao.”
“Benar,” sahut si orang she Su, “malahan Kwe-tayhiap yang namanya terkenal diseluruh jagat memiliki kebaikan yang meliputi apa yang dipunyai Yo-tayhu dan Inkong kita.”
Mendengar kedua orang itu memuji suaminya, sudah tentu diam-diam Oey Yong senang, tapi ia lantai berpikir juga: “Siapakah gerangannya Inkong (tuan penolong) yang mereka maksudkan itu? Apakah mungkin orang yang diam-diam menolong Yang-ji itu?”
Sementara itu terdengar si orang she Sun berkata pula. “Kita berdua dahulu bermusuhan dengan Inkong, tapi kemudian jiwa kita malah dia yang menolong. Caranya menghadapi musuh seperti kawan sendiri. sungguh boleh dikata melebihi Yo Koh, Yo-tayhu. Menurut cerita kuno, dijaman Sam Kok waktu itu, Yo Koh menjaga Siangyang dan bertempur melawan panglima Tang Go yang bernama Liok
Gong, sewaktu Yo Koh menyerbu daerah Tang Go, waktu perlu memotong tanaman rakyat untuk rangsum pasukannya, ia berkeras mengganti kerugian penduduk setempat Waktu Liok Gong sakit, ia malah mengirim obat untuknya dan Liok Gong pun sama sekali tidak curiga terus mcminumnya, sesudah minum obat itu ternyata lantas sembuh sakitnya.
Begitulah betapa tinggi martabat Yo Koh sebagai manusia, sampai musuh sekalipun sangat menghormati dan segan padanya,”
“Sewaktu Yo Koh meninggal, perwira dan tentara Tang Go yang menjadi musuhnya juga ikut menangis sedih, Caranya menaklukkan hati manusia berdasarkan kebajikan itulah baru benar-benar disebut Enghiong (pahlawan sejati).”
“He, Sun samko,” tiba-tiba si orang she Tan berseru, “kau sebut-sebut Yo Koh, bukankah nama ini sama suaranya dengan nama Inkong kita. . …”
“Sssst, diam, ada orang datang!” mendadak orang she Sun itu mendesis.
Oey Yong terkejut, benar segera terdengar dari bawah bukit ada suara orang berlari mendatangi  dalam hati iapun berpikir:
“Nama yang sama suaranya dengan “Yo Koh”,, apakah mungkin adalah Yo Ko? Ah, tidak, tidak mungkin, Sungguhpun, ilmu silat Ko-ji banyak maju juga tak nanti meningkat sampai tarap yang susah diukur itu.” ..
Selang tak lama, orang yang datang itu tepuk-tepuk tangan tiga kali, lantas orang she Sun itu membalas tepuk tangan, orang yang datang itu mendekati tugu Tui-lui-pi, lalu katanya: “Sun dan Tan berdua saudara, Inkong suruh kalian tak usah menunggunya lagi, Tapi disini ada dua kartu nama Inkong agar kalian berdua lekas mengirimkannya. Sun-samte mengirimkan kartu ini kepada Tio-lokunsu di Sin-yang, HoIam, Sedang Tan-lakte hendaklah mengirimkan kartu yang ini kepada Liong-ah Thauto di Oh-ah-san. Katakanlah pada mereka bahwa mereka berdua diminta berkumpul di sini
dalam waktu sepuluh hari.”
Maka terdengarlah orang she Sun dan Tan itu menyahut dengan hormat dan menerima kartu undangan itu.
Percakapan orang-orang itu membikin Oey Yong semakin heran dan terkejut.
Kiranya Tio-lokunsu atau si guru silat tua sho Tio yang disebut itu adalah keturunan lurus dari kerajaan Song, ilmu pukulan 32 jurus Tiang kun dan 18 jurus permainan toyanya sangatlah terkenal. Sedang Liong-ah Thauto atau si paderi berambut bisu dan tuli dari Oh-ah-san adalah jago silat pendaman yang sangat tersohor di daerah Ohlam. Cuma sejak kecilnya bisu dan tuli, meski ilmu silatnya sangat tinggi, namun selamanya tiada hubungan dengan orang luar.
Karena adanya Eng-hiong-tay-hwe atau perjamuan besar kaum ksatria, Kwe Ceng dan Oey Yong tahu kedua orang itu suka menyepi dan pasti tidak suka tampil ke dunia ramai, tapi untuk menghormati nama mereka, toh kartu undangan tetap dikirim, namun betul juga, kedua orang itu membalas dengan surat, dengan alasan halus mereka menolak untuk hadir.
Tapi kini “lnkong” yang disebut itu apakah benar-benar begitu hebat hingga melulu berdasarkan secarik kartu namanya lantas kedua tokoh terpendam itu sudi datang dalam waktu 10 hari yang ditentukan? Demikian Oey Yong berpikir penuh tanda tanya.
Tapi bila ia pikir pula, tiba-tiba ia menjadi kuatir. Besok perjamuan besar kaum ksatria sudah akan dibuka, kini ada seorang sedang mengumpulkan tokoh-tokoh Kangouw ternama ke Siangyang, apakah tujuannya? jangan-jangan hendak membantu pihak Mongol?
Namun bila mengingat watak Tio-lokunsu dan Liong-ah Thauto yang khas, agaknya bukanlah sebangsa manusia khianat, pula “lnkong” yang disebut itu bila benar orang yang membantu Yang-ji membunuh Nimo Singh itu, maka jelas pula orang itu adalah kawan pihak sendiri.
Begitulah selagi Oey Yong mengasah otak sendiri, sementara itu terdengar ketiga orang tadi sedang bisik-bisik pula sebentar, namun jaraknya sudah jauh, maka tak terdengar jelas, hanya sayup-sayup terdengar si orang she Tan itu bilang: “selamanya Inkong tak memberi tugas pada kita, sekali ini
kita harus melakukannya dengan baik…. kita harus menaikkan pamornya… kado kita esok…. kata-kata lain tak yang jelas.
“Baiklah, sekarang juga kita berangkat, kau jangan kuatir, rencana Inkong pasti takkan kapiran,” demikian lantas terdengar si orang she Sun mengiakan. Habis itu, ke tiga orang lantas turun bukit dengan cepat.
Sesudah orang pergi jauh, Oey Yong masuk kelenteng itu dan memeriksanya, tapi tiada sesuatu tanda-tanda aneh yang dilihatnya.
Bangunan kelenteng itu sangat megah dan kuat tapi karena pasukan musuh telah mendekat, maka penghuninya sudah lama lari ke kota hingga tiada seorang pula.
Sungguhpun Oey Yong orang pintar, tapi seketika juga bingung oleh orang yang disebut “lnkong” atau tuan penolong itu, iapun tak ingin “mengeprak rumput mengejutkan ular” dengan menangkap ke tiga orang itu untuk ditanyai, maka sampai fajar menyingsing, barulah ia kembali ke kota.
Ketika sampai disimpang jalan dekat pintu barat kota, tiba-tiba dilihatnya ada dua penunggang kuda secepat terbang menyerempet lewat, cepat Oey Yong menyingkir kepinggir jalan, waktu diawasinya, ternyata kedua penunggang itu adalah laki-laki kekar semua.
Setiba disamping jalan itu, seorang memutar kuda ke barat-laut dan yang lain membalik ke barat-daya.
Ketika hendak berpisah, terdengar seorang diantaranya berseru: “lnsat, jangan lupa bilang pada Thio-toagocu bahwa dalang, pesinden dan penabuh-nya harus dia sendiri yang membawanya dan pula jangan lupa membawa tukang pembuat bunga api!”
“Ah, tak perlu kau mengingatkan aku terus menerus, kau sendiri disuruh pergi memanggil tukang isak yang kesohor itu, jika terlambat sehari, kau akan diomeli orang banyak,” sahut kawannya itu. Habis itu, cepat sekali kedua orang itu lantas berpisah.
Perlahan Oey Yong masuk ke kota dalam hati ia tambah heran, nama Thio-toagocu (si selendang besar she Thio) sudah dikenalnya sebagai seorang berpengaruh di Hanggau, masakah ada seorang secara begitu mudah bisa memanggilnya datang, apakah ini juga suruhan “lngkong” yang disebut itu. Mereka main secara besar-besaran, sebenarnya apakah maksudnya?
BegituIah penuh tanda tanya dalam hati Oey Yong.
Mendadak hatinya terkesiap, katanya: “Ya… ya, sekarang tahulah aku, pasti inilah sebabnya.”
Cepat ia kembali ke rumah serta menanyai sang suami: “Cing-koko, apakah tamu undangan kita ada yang ketinggalan dikirim kartu?”
“Ketinggalan mengirimkan undangan?” tanya Kwe Ceng heran “Tapi kita sudah memeriksanya beruIang kali, rasanya tiada yang ketinggalan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar