Kembalinya Pendekar Rajawali 99
Tapi pikiran itu hanya timbul sekilas saja
lantas lenyap pula, serentak timbul lagi pikiran jahatnya, katanya dengan dingin:
“Hm, betapapun kau putar lidah juga takkan mampu mempengaruhi hati nenekmu yang
yang sekeras baja ini.
Hayolah mulai kau menyingkir duIu, dia harus
rasakan tiga biji buah kurmaku.”
“Baiklah, akan kuterima seranganmu tiga kali,
matipun aku tidak menyesal,” kata Oey Yong sambil menggeser ke tengah ruangan
dan berjarak sepuluh meter dari Kiu Jian-jio? “Nah, silahkan mulai!”
Meski Bu Sam-thong dan lain-lain cukup kenal
kepintaran Oey Yong banyak tipu akalnya, tapi betapa lihaynya senjata rahasia
Kiu Jian-jio juga telah mereka saksikan sendiri. Kini tanpa senjata Oey Yong
hanya berdiri menunggu serangan saja betapa hal ini membuat mereka ikut
kebatkebit.
Yang paling kuatir adalah Kwe Hu, ia coba
menarik lengan baju sang ibu dan membisikinya: “lbu, kita cari suatu tempat sepi
dan engkau dapat memakai kaos kutang duri landak yang kupakai ini, dengan
demikian tentu takkan takut lagi kepada senjata rahasia musuh.”
“Jangan kuatir, boleh kau saksikan kelihayan
ibumu nanti,” ujar Oey Yong dengan tersenyum.
“Awas….” mendadak Kiu Jian-jio membentak
belum lenyap suaranya, secepat kilat satu biji kurma telah menyamber ke perut
Oey Yong. Biji buah kurma itu sangat kecil, akan tetapi daya sambernya begitu
keras dan membawa suara mendenging. Kontan Oey Yong menjerit satu kali sambil
memegangi perutnya dan setengah menungging.
Keruan Bu Sam-thong, Kwe Hu dan lain-lainnya
terkejut, sebelum mereka sempat bertindak, suara mendenging berbangkit puIa,
biji kurma kedua telah menyamber ke dada Oey Yong, Kembali Oey Yong menjerit
dan mundur beberapa tindak dengan terhuyung seakan-akan roboh.
Melihat Oey Yong benar-benar menepati janji
dan tidak berkelit serta menghindar kedua biji kurma yang disemburkan juga tepat
mengenai bagian mematikan di tubuh sasarannya, begitu keras tenaga semprotan
biji kurma itu, biasanya batu karang keras juga dapat ditembusnya, apalagi cuma
tubuh manusia, Namun Oey Yong hanya sempoyongan saja meski jelas sudah terluka,
tampaknya sekuatnya ingin bertahan agar mampu diserang lagi satu kali.
Diam-diam Kiu Jian-jio terkesiap, baru
sekarang dia mengakui Oey Yong yang tampaknya lemah gemulai itu ternyata memiliki
kepandaian sejati dan benar-benar seorang tokoh persilatan terkemuka. Namun
iapun bergirang melihat sasarannya sudah terkena dua biji buah kurma dan
jiwanya pasti suka dipertahankan itu berarti sakit hati kematian kakaknya akan
terbalas.
Segera biji buah kurma ketiga tersembur lagi
dari mulutnya, Sekali ini yang diarah adalah tenggorokan Oey Yong, asalkan kena
sasarannya, seketika musuh itu akan binasa.
Bahwa perut dan dada Oey Yong jelas sudah
biji buah kurma yang disemprotkan Kiu Jian-jio itu apakah benar Ui Yong yang
pintar dan cerdik itu, akan dilukai begitu taja?
Rupanya persoalannya tidak begitu sederhana,
sebelumnya Ui Yong sudah mempunyai daya upaya ketika menyatakan siap di terang
tiga kali dengan biji kurma, Kiranya diam-diam Oey Yong telah menyembunyikan
pedang patah Kwe Hu itu di dalam lengan bajunya, ketika biji kurma musuh tiba,
sedikit angkat lengannya dapatlah ia menutupi tempat yang diarah biji kurma dengan
ujung pedang patah.
Cuma untuk melenyapkan suara benturan, maka
ia sengaja menjerit agar orang lain tidak memperhatikan suara benturan biji
kurma dan pedang patah. Ternyata akal Oey Yong benar-benar dapat mengelabui Kiu
Jian-jio, bahkan juga Bu Sam-thong dan lain-lain. Tapi sebabnya Oey Yong tidak
sampai terluka sesungguhnya juga sebagian besar berkat kepandaian ilmu silatnya
di samping sebagian kemujurannya.
Cuma dia sengaja berlagak terluka parah,
dengan demikian dapat mengurangi rasa gusar Kiu Jian-jio di samping menjaga
kehormatannya sebagai Kokcu. Tapi sekarang biji kurma ketiga itu menyamber
tenggorokannya, kalau angkat lengan baju dan menangisnya dengan kutungan pedang
yang tersembunyi di balik lengan baju itu tentu rahasianya ini akan diketahui
Kiu Jian-jio dan itu berarti dirinya telah melanggar janji.
Dalam keadaan kepepet, terpaksa ia
menyerempet bahaya, kedua dengkul sedikit bertekuk sehingga biji kurma yang
menyambar. tiba itu tepat tertuju mulutnya, Sekuatnya Oey Yong menghimpun
tenaga murni di dalam perut, sekali mulutnya terbuka, segera ia mendahului
menyemburkan hawa murni, ia tahu samberan biji kurma lawan yang hebat itu juga bergantung
pada hawa murni yang disemburkan Kiu Jian-jio itu, kalau hawa lawan hawa, jarak
musuh lebih jauh dan dirinya lebih dekat, hal ini sangat menguntungkan
pihaknya, sekalipun biji kurma itu tidak disembur jatuh sedikitnya juga akan
mengurangi daya luncurnya.
Tak tahunya selama ber-tahun-tahun Kiu
Jian-jio terkurung di gua bawah tanah, karena kelumpuhan anggota badan, setiap
hari dia cuma berlatih ilmu menyembur biji kurma itu tanpa terganggu urusan
lain, maka daya bidiknya menjadi kuat luar biasa, sedangkan Oey Yong sudah cukup
banyak melahirkan, mesti melayani suami dan mendidik murid, dengan sendirinya
kekuatannya tidak sehebat Kiu Jian-jio itu. Sebab itulah ketika hawa murni
disemburkan daya luncur biji kurma itu memang teralang sedikit hingga rada lambat,
namun kekuatan menyambernya masih tetap dahsyat.
Keruan Oey Yong terkesiap, dalam pada itu
Biji kurma itu sudah menyambar tiba di depan bibirnya, dalam detik yang menentukan
ini,tiada jalan lain terpaksa ia membuka mulut, biji kurma itu digigit-nya
mentah-mentah. Tentu saja giginya tergetar kesakitan dan tergetar mundur dua-
tiga tindak.
Kalau tadi dia berpura-pura tergetar mundur,
sekali ini dia benar tergetar mundur karena daya luncur senjata rahasia yang
dahsyat itu. Untung juga dia dapat bertindak menurut keadaan dan cepat luar
biasa, kalau tidak beberapa giginya pasti akan rontok tergetar oleh biji kurma
yang lihay itu.
Semua orang sama menjerit, serentak merekapun
merubung maju. Ketika Oey Yong mendongak, “berr”, biji kurma yang digigitnya
itu disemprotkan ke atas dan menancap di belandar, lalu katanya dengan
mengernyit kening: “Kiu-kokcu, setelah menerima tiga kali seranganmu ini,
jiwaku sudah mendekat ajalnya, hendak lah kau menepati janji dan memberi
obatnya.”
Kiu Jian-jio juga kaget melihat Oey Yong
mampu mengigit biji kurmanya yang menyamber dengan dahsyat itu. ia melirik Lik-oh
dan membatin: “Anakku sendiri terkena racun bunga cinta itu, jangankan si Yo Ko
menolak mengawini anakku, sekalipun dia menjadi menantuku juga setengah biji
obat ini takkan kuberikan padanya.”
Padahal dengan jelas kedua biji buah kurma
yang disemburkan itu tepat mengenai tubuh Oey Yong, mengapa dia tidak roboh.
Namun janji sudah diberikan dan didengar orang banyak, betapa dirinya tidak
boleh ingkar janji, Tapi segera ia mendapat akal, katanya: “Kwe-hujin, meski
kita berdua sama-sama perempuan, tapi setiap tindakan, kita harus dapat dipercaya
sebagaimana kaum lelaki. Kau telah menerima tiga kali seranganku, sungguh aku
sangat kagum, obat akan kuberikan padamu, cuma sebentar nanti aku ada urusan
lagi, mohon kalian suka memberi bantuan.”
Kwe Hu menyangka ibunya benar-benar terkena
senjata rahasia orang, segera ia berteriak: ” jika ibuku terluka, be-rama2 kami
pasti akan melabrak kau.” Habis ini ia terus, bertanya pada ibunya: “Bagaimana,
tubuh ibu yang terkena serangan itu?”
Oey Yong tidak menjawab, sebaliknya ia
berkata kepada Kiu Jian-jio: “Ucapan anak muda, hendaknya Kokcu jangan hiraukan.
Betapapun siaumoay pasti akan pegang janji dan tentu akan membantu Kokcu
menghalau musuh, sekarang mohon memberikan obatnya.”
Suara Oey Yong itu nyaring dan bertenaga,
sama sekali tidak menyerupai orang yang terluka dalam, maka legalah hati Bu
Sam-thong dan lain-lain, Hal ini juga dapat dilihat Kiu Jian-jio, ia menjadi
ragu-ragu, pikirnya: “Dia memiliki kemampuan sehebat ini, andaikan aku hendak
ingkar janji juga tidak mudah, terpaksa harus kuhadapi dengan muslihat.”
“Baiklah,” demikian kata Kiu Jian-jio
kemudian. Lalu ia berpaling dan memanggil puterinya: “Anak Oh, coba sini, ingin
kukatakan sesuatu.”
Selama hidup Oey Yong sudah banyak menghadapi
manusia-sia licik dan licin, sorot mata Kiu Jian-jio yang bertingkah itu tentu
saja tak terlolos dari pengamatannya, ia tahu orang pasti tidak mau menyerahkan
obatnya begitu saja, cuma cara bagaimana orang akan memberi alasan, seketika ia
belum dapat menerkanya.
Didengarnya Kiu Jian-jio sedang berkata
kepada Lik-Oh: “Coba buka ubin di depan sana, ubin kelima dihitung mulai dari
depanku ini.”
Lik-Oh sangat heran, apakah mungkin
Coat-ceng-tan itu disembunyikan di bawah ubin? Oey Yong lantas paham urusannya
dan diam-diam memuji kecerdikan Kiu Jian-jio, Betapa berharganya Coat-ceng-tan
itu sudah jelas karena tidak sedikit orang yang sedang diincarnya.
Kalau obat itu disembunyikan di tempat yang
setiap hari didatangi orang, hal ini justeru takkan terduga oleh siapapun juga,
selain itu obat yang tersimpan di bawah ubin ini pastilah obat tulen, tidak
mungkin Kiu Jian-jio menyembunyikan obat palsu di situ sebab sebelumnya takkan
diketahui bahwa persoalannya akan berkembang seperti sekarang ini, kalau Kiu Jian-jio
menyuruh orang mengambil obat ke kamarnya, betapapun Oey Yong sukar memastikan
apakah obat itu memang tulen atau palsu. Tapi sekarang obat itu dikeluarkan di
depan orang banyak, maka ketulenan obat itu tidak perlu disangsikan lagi.
Begitulah setelah menghitung sampai ubin
kelima, Lik-oh lantas mengeluarkan sebilah belati dan menyungkil ubin tersebut,
dibawah ubin hanya pasir campur kapur belaka dan tiada sesuatu tanda yang aneh.
“Tempat penyimpanan obat itu sangat dirahasiakan
dan tidak boleh diketahui orang luar, anak Oh, coba kemari, ingin kubisiki kau,
K kata Kiu Jian-jio pula.
Segera Oey Yong mengetahui akal bulus Kiu
Jian-jio itu, tentu ada sesuatu muslihat yang akan diaturnya, Segera ia berlagak
menjerit sakit sambil menungging, ia pura-pura kesakitan agar mengurangi
kewaspadaan Kiu Jian-jio, dengan begitu akan mudah meraba maksud tujuannya yang
sesungguhnya.
Tak terduga bahwa Kiu Jian-jio juga sudah
memikirkan hal ini, ia sengaja membisiki Lik-oh, dengan suara lirih, biarpun Ui
Yong mengikuti dengan penuh perhatian juga cuma terdengar kata-kata,
“Coat-ceng-tan itu berada di bawah ubin”, selain itu tiada terdengar apa-apa
lagi.
Tentu saja kata-kata yang didengarnya itu
tidak mengherankan dia karena sebelumnya sudah diketahui tempat penyimpanan
obat itu, cuma sesudah kalimat itu, lalu bibir Kiu Jian jio hanya kelihatan
bergerak sedikit, suaranya teramat lirih dan tidak terdengar Tertampak Lik-oh
mengernyitkan
kening dan berulang-ulang mengangguk.
Selagi gelisah menghadapi detik yang gawat
ini” tiba-tiba terdengar It-teng Taysu berseru: “Coba ke sini, Yong-ji, ingin kuperiksa
keadaan lukamu?”
Waktu Oey Yong berpaling, dilihatnya It-teng
berduduk di pojok sana dengan wajah penuh prihatin ia pikir setelah paderi agung
itu memegang nadinya tentu akan tahu dirinya sama sekali tidak terluka Segera
ia mendekat ke sana dan mengulurkan tangannya.
Sambil memegang nadi Oey Yong, pelahan
It-teng Taysu menyebut “O-mi-to-hud …. kata si nenek O-mi to-hud …. bahwa di
situ ada dua botol… O-mi-to-hud botol sebelah timur berisi obat tulen… O
mi-to-hud… botol sebelah barat berisi obat palsu dan O mi-to-hud… ia suruh
puterinya mengambil obat palsu untukmu… 0-mi-to-hud” Waktu menyebut 0-mi-to-hud
suaranya sengaja dikeraskan, tapi ketika mengatakan soal obat itu suaranya
sengaja dilirihkan hingga hampir tak terdengar. Betapa cerdiknya Oey Yong,
begitu mendengar kalimat “kata si nenck” segera ia paham maksudnya.
Rupanya Lwekang It-teng Taysu sudah mencapai tingkatan
tertinggi mata telinganya jauh lebih tajam daripada orang lain, Maka kata-kata
Kiu Jian- jio yang dibisikkan kepada puterinya itu dapat diikuti It-teng Taysu
dengan jelas, ia tahu obat itu menyangkut keselamatan jiwa Yo Ko, maka lantas diberitahukannya
kepada Oey Yong.
Sudah tentu Kiu Jian-jio tidak menduga bahwa
rahasianya itu dapat diketahui oleh lawan, disangkanya Hwesio tua itu benar-benar
lagi memeriksa keadaan- luka Oey Yong.
Dalam pada itu, setelah mendengarkan pesan
sang ibu, kemudian Kongsun Lik-oh mulai mengeruk tanah di bawah ubin yang
dicungkilnya tadi, benar saja tangannya menyentuh dua buah botol kecil di situ, Diam-diam sedih
perasaannya, ia sudah bertekad akan mengambil obat yang tulen untuk menolong Yo
Ko, hanya usahanya yang baik ini entah diketahui tidak oleh anak muda itu.
Segera ia keluarkan botol obat yang sebelah
kanan dan berseru. “lnilah Coat-ceng-tan, ibu!” Karena dia yang merogoh tanah
di bawah ubin itu maka hanya dia sendiri yang tahu bahwa yang di ambilnya itu
adalah botol sebelah kanan yang berisi obat tulen, sedangkan Kiu Jian-jio dan
Oey Yong mengira botol yang dikeluarkan itu adalah botol sebelah kiri.
Baik botol yang berisi obat tulen maupun
botol yang berisi obat palsu berbentuk dan berwarna putih porselen sama, setengah
biji obat yang terisi itu juga serupa, kalau Kiu Jian-jio tidak mencobanya
dengan lidah juga sukar membedakan tulen atau palsu.
Menurut keyakinan Kiu Jian-jio, betapapun
Kongsun Lik-oh pasti akan mengeluarkan botol berisi obat palsu untuk Yo Ko dan
obat tulen akan ditinggalkan untuk menyelamatkan dirinya senditi. Karena
jiwanya yang jahat, ia nilai orang lain seperti dirinya sendiri, Sama sekali
tak dipahaminya bahwa di dunia ini ada orang yang rela mengorbankan diri
sendiri untuk menolong orang lain.
“Berikan obat itu kepada Kwe-hujin,” demikian
kata Kiu-jian-jio.
Kongsun Lik-oh mengiakan sambil mendekati Oey
Yong. Lebih dulu Oey Yong memberi hormat kepada Kiu-Jian-jio dan mengucapkan
terima kasih. Di dalam hati ia pikir setelah mengetahui tempat obat tulen itu
disimpan, tentu tidak sukar untuk mencurinya nanti.
Selagi dia hendak menerima botol obat dari
Lik-oh, sekonyong-konyong atap rumah berbangkit suara gemuruh disertai hamburan
debu pasir, seketika atap rumah berlubang dan dari atas udara melompat turun
seorang, serentak botol obat yang dipegang Kongsun Lik-oh terus direbutnya.
“Ayah!” Lik-oh menjerit kaget laksana orang
melihat hantu di siang bolong.
Melihat perubahan air muka Kongsun Lik-oh
yang kaget dan cemas itu, Oey Yong menjadi terkesiap pikirnya: “Jelas obat yang
direbut Kongsun Ci itu adalah palsu, mengapa ini perlu merasa cemas?”
Pada saat itulah pintu gerbang ruangan
pendopo itupun bergemuruh didobrak orang sehingga api lilin ikut bergetar dan
menambah seramnya suasana, setelah terdengar lagi suara “blang-blang” dua kaii,
palang pintu mendadak patah dan terpental hingga merusak dua buah bangku
porselen, menyusul daun pintu lantas terbentang dan masuklah seorang lelaki dan
3 perempuan.
Yang lelaki adalah Yo Ko dan yang perempuan
adalah Siao-Iiong-li, Thia Eng dan Liok Bu-siang.
“Nyo-toato, .”. .” tanpa terasa Lik-oh
berseru menyongsong kedatangan Yo Ko, tapi segera ia merasa
kurang pantas tindakannya itu dan urung
bicara lebih lanjut, langkahnya juga lantas berhenti.
Sejak tadi Oey Yong- terus memperhatikan
sikap dan mimic wajah Kongsun Lik-oh, dari tatapan si nona terhadap Yo Ko yang
penuh rasa cinta serta kuatir itu, segera hati Oey Vong tergerak, pahamlah dia
duduknya perkara, Pikirnya: “Ai, sudah menjadi ibu tiga anak masakah belum
kupahami perasaan
anak gadis, ibu nona Kongsun itu menyuruh dia
memberikan obat palsu kepadaku, tapi dia kesemsem pada Ko ji, maka obat yang
dia serahkan ini adalah obat tulen, Jadi obat yang baru direbut si tua bangka
Kongsun Ci itu adalah Coat-ceng tan asli, tentu saja nona itu sangat cemas dan
bingung”
Kiranya waktu Yo Ko dan Siao-liong-li hendak
kembali ke ruangan pendopo, mendadak mereka bertemu dengan Thia Eng dan Liok
Bu-siang. Melihat Thia Eng yang manis itu sangat lemah Iembut, Siao-liong-li
menjadi sangat suka padanya,segera mereka terlibat dalam percakapan yang mengasyikkan,
sedangkan Liok Bu-siang lantas ngobrol dengan Yo Ko tentang pertarungannya
dengan Kwe Hu tadi serta bercerita cara bagaimana dia telah mengolok-olok Kwe Hu
dan Thia Eng telah mengalahkannya.
Sifat Liok Bu-siang periang dan lincah, sejak
kenal Yo Ko, walaupun diam-diam benih cintanya ber-semi, tapi mulutnya selalu
menyebut Yo Ko sebagai “si Tolol” sebaliknya Yo Ko juga suka berkelakar, iapun
tetap menggoda Bu-siang dengan sebutan “bini cilik”, Mereka mengobrol dengan
gembira, sedangkan Siao-liong-li dan Thia Eng yang memang pendiam hanya bicara
sebentar saja lantas kehabisan bahan cerita.
“Nyo toako, bagaimana keadaanmu sekarang?”
sela Thia Eng suatu ketika.
“O, tidak apa-apa,” jawab Yo Ko. “Kwe-hujin
banyak tipu akalnya, tentu beliau dapat mencarikan obat mujarab bagiku.
Yang kukuatirkan justeru adalah lukanya.” Sambil
berkata iapun menuding Siao-liong-li..
Thia Eng dan Bu-siang sama terkejut dan Tanya
berbareng: “He, jadi Liong cici juga terluka? Mengapa kami tidak melihat
sesuatu tanda apa-apa”
“Ah, tidak apa-apa,” ujar SiaoIiong-li dengan
tersenyum, “Dengan tenaga dalam kutahan kadar racunnya agar tidak bekerta,
dalam beberapa hari saja kukira tidak beralangan.”
“Racun apakah? Memangnya juga racun bunga
cinta- itu?” tanya Busiang.
“Bukan,” jawab Siao iiong-li, “racun
Pengpok-gin-ciam Li-suciku.”
“O, kiranya perbuatan si iblis Li Bok-chiu
lagi,” kata Bu-siang. “Nyo-toako, bukankah engkau pernah membaca kitab pusakanya
mengenai lima macam racun paling jahat itu?
Biarpun lihay racun jarumnya kan tidak sulit
untuk disembuhkan?”
Yo Ko menghela napas, katanya: “Tapi kadar
racun jarum itu sudah meresap ke ulu hati dan sukar disembuhkan dengan pengobatan
biasa.” Lalu iapun menceritakan cara bagaimana dia sedang mengobati Siao-liong-li
dan mendadak Kwe Hu datang dan keliru menyerangnya dengan jarum berbisa itu.
Dengan gemas Bu siang menghantam batu dengan telapak
tangannya dan berseru: “Kembali perbuatan anak she Kwe yang sok menang sendiri
itu, Piauci, betapapun kita harus bikin perhitungan dengan dia, Memangnya
kenapa kalau ayah-ibunya adalah pendekar besar jaman kini?”
“Urusan inipun tak dapat menyalahkan dia,
malahan berbeda dengan terbuntungnya lengannya,” kata Siao-1iong-1i. “Nanti
kalau paderi sakti Thian-tiok itu sudah mendusin, beliau pasti mampu mengobati
diriku.”
“He, siapakah paderi Thian-tiok yang kau
maksud? Mengapa mesti menunggu dia mendusin? Apakah dia sedang tidur?” tanya Bu-siang heran.
“Ya, katakanlah dia sedang “tidur, harus
tidur tiga hari tiga malam,” ujar Yo Ko dengan ter-senyum, ia kuatir rahasia paderi
Thian-tiok yang menggunakan tubuh sendiri sebagai kelinci percobaan untuk
menyelidiki kadar racun bunga cinta didengar musuh, maka ia pikir urusan ini
belum perlu diceritakan kepada Bu-siang.
Pada saat itulah tiba-tiba dari kejauhan sana
ada suara tindakan orang. Cepat Yo Ko mendesis: “Ssst, jangan bersuara ada
orang datang-” Ucapan Yo Ko sangat lirih, tapi orang di kejauhan itu agaknya
juga sangat tajam pendengarannya, seketika langkahnya juga berhenti Selang sejenak
barulah terdengar pula suara tindaknya, cuma sekarang telah berubah arah, yang
dituju adalah tempat sembunyi paderi Thian-tiok dan Cu Cu-Iiu itu.
“Wah, celakai Musuh hendak merunduk Cu susiok
berdua,” kata Siao-liong-li dengan suara tertahan.
“Ssst, jangan bersuara!” desis Yo Ko. “Coba
kita kuntit dia.”
Pada saat itu juga tiba-tiba semak-semak
pohon di belakang mereka ada suara kresekan pelahan, agaknya ada orang lagi
sembunyi di situ.
“Di mana-mana ada tikus dan celurut!” ujar
Bu-siang sambil pungut sepotong batu kecil terus disambitkan ke tempat suara
herkeresekan itu. Tak terduga batu yang jatuh ke tengah-tengah semak pohon itu
ternyata tidak menerbitkan suara, jelas karena ditangkap orang dengan tangan.
“Piauci, coba kita periksa siapa yang sembunyi
di situ?” ajak Bu-siang.
Sementara itu Yo Ko dan Siao liong-li berdua
sudah jauh berlari ke sana, cepat Thia Eng menarik Bu-siang dan mendesis:
“Marilah ikuti Nyo-toako saja, jalanan di sini sangat ruwet, jangan sampai kita
terpencar.”
Segera Bu-siang percepat langkahnya sambil
berbisik: “Yang sembunyi di semak-semak sana jangan-jangan Li Bok-cbiu.”
“Dari mana kau tahu?” tanya
Thia Eng.
“Sejak kecil ku tinggal bersama dia, kukenal
bau-nya,” tutur Bu-siang.
Thia Eng terkejut dan melangkah terlebih
cepat, ia tahu mereka berdua sama sekali bukan tandingan Li Bok chiu, namun
iblis itu sudah keracunan duri bunga cinta, diharap saja ajalnya sudah dekat.
Kaki Bu-siang pincang sebelah, kepandaian
larinya jauh dibandingkan sang Piauci, berkat bantuan Thia Eng barulah ia dapat
menyusul di belakang Yo Ko dan Siao-liong-Ii. Di bawah cahaya bulan sabit yang
remang-remang, tampaknya Nya Ko berdua sedang menguntit seorang.
Orang itu berjalan melingkar ke sana dan
membelok ke situ, agaknya sangat apal jalanan di Coat-ceng-kok ini. Setelah berputar
beberapa kali, mendadak orang itu lenyap entah kemana.
Yo Ko berdua lantas berhenti dan menunggu
Thia Eng dan Bu-siang, sesudah dekat, anak muda itu memberitahu: “Kongsun Ci
telah pulang lagi ke sini, entah muslihat keji apa yang hendak dilakukannya?”
Thia Eng berdua belum pernah kenal Kongsun
Ci, maka tidak tahu seluk beluk orang, sedangkan pikiran Siao-liong-Ii polos
dan sederhana, dengan sendirinya iapun tidak dapat menerka apa maksud tujuan
manusia licin macam Kongsun Ci.
Setelah berpikir sejcnak, kemudian Yo Ko
berkata pula: “Entah bagaimana Kwe-hujin dan It-teng Taysu sedang menghadapi
Hwesio gila itu, marilah kita ke sana melihatnya.”
Begitulah mereka lantas mencari jalan kembali
ke pendopo itu, kira-kira belasan tombak, di luar pen-dopo, tiba-tiba terlibat
bayangan orang berkelebat di atas wuwungan, menyusul itu terdengarlah suara
gemuruh yang keras, Kongsun Ci telah membobol atap rumah dan melompat ke bawah.
“Celaka!” keluh Yo Ko, ia kuatir di bawah
lubang atap yang bobol itu oleh Kongsun Ci telah dipasang jaring berkait untuk
memancing dirinya masuk ke situ. Karena itulah ia lantas keluarkan
Hian-tiat-pokiam dan membobol pintu pendopo dan menerjang masuk.
Begitu berada di dalam, dilihatnya tangan
kiri Kongsun Ci sudah memegang sebuah botol porselen kecil, tangan lain memutar
golok menghadapi kerubutan orang dengan sikap jumawa, rupanya Kongsun Ci
bergirang telah berhasil merebut Coat ceng-tan, kerubutan orang banyak itu
dianggapnya soal kecil, andaikan kewalahan juga dia yakin mampu melarikan diri.
Tapi sebelum ia angkat kaki, mendadak
dilihatnya Yo Ko membobol pintu dan menerjang masuk, betapa lihaynya sungguh
jauh berbeda dari pada ketika saling bergebrak sebulan yang lalu, ia tidak
berani menghadapi anak muda itu, segera ia meloncat ke atas deagan maksud
menerobos keluar melalui lubang atap yang diboboinya tadi, ia pikir urusan paling
penting sekarang adalah mengantar Coatceng-tan kepada Li Bok-chiu, soal
membunuh Kiu Jian-jio dan rebut kembali Coat-ceng-kok adalah urusan lain hari
dan tidak perlu tergesa-gesa.
Namun baru tubuhnya mengapung ke atas,
tahu-tahu Ui Yong telah menyamber pentung bambunya yang dibuangnya tadi terus
ikut meloncat ke atas, sekali pentungnya berputar, segera ia sabet kedua kaki
orang.
Kiu Jian-jio juga tidak tinggal
diam. “Bangsat!” bentaknya murka, “ser-ser”, susul menyusul dua biji buah kurma
juga lantas disemburkan mengarah perut Kongsun Ci.
Waktu Kongsun Ci melompat ke atas iapun sudah
menduga bekas isterinya itu pasti akan menyerangnya, maka cepat goloknya
menyampuk jatuh satu biji buah kurma itu dan daya loncatnya itu tetap mengapung
ke atas, dalam pada itu dilihatnya biji buah kurma kedua sudah menyamber tiba
pula, sedangkan goloknya sudah disampukkan dan belum sempat ditarik kembali
untuk menangkis lagi.
Sebagian besar kepandaian Kongsun Ci adalah
ajaran Kiu Jian-jio, apa lagi sebelah matanya belum lama dibutakan istrinya
itu, tentu saja ia terkejut melihat serangan tiba pula.
Dalam keadaan kepepet, agar perutnya tidak
beriubang, terpaksa ia miringkan tubuh dan membiarkan pahanya tersambit biji
kurma itu jika memang sukar dihindari pula.
Tak terduga cara Kiu Jian-jio menyemburkan
biji kurmanya ini selain membawa gaya yang indah juga amat keji tujuannya,
tampaknya biji kurma itu menuju Kongsun Ci, tapi ketika sudah dekat mendadak
biji kurma itu berganti haluan dan menyambar ke arah Oey Yong malah.
Sudah tentu siapapun tidak menyangka senjata
rahasia yang sudah jelas menyambar ke arah Kong-sun Ci itu mendadak bisa
berubah sasaran, sampai orang yang maha cerdik seperti Oey Yong juga sama
sekali tidak menduganya, ketika tahu apa yang terjadi dan ingin mengelak. Namun
sudah terlambat.
Untung juga Oey Yong dapat memberi reaksi
yang cepat, waktu itu iapun teiapung di udara, maka se-kuatnya ia bikin berat
tubuhnya dan anjlok secepatnya ke bawah, namun tidak urung biji kurma itupun
menancap di bahu kanannya.
Meski berhasil mengelakkan tempat yang
mematikan namun kekuatan sambitan Kiu Jian-jio sungguh dahsyat, Ui Yong
merasakan sekujur badannya tergetar, tangan menjadi lemas, pentung bambu itupun
jatuh ke lantai.
Sejak dia menjabat ketua Kaypang dan menerima
pentung penggebuk anjing itu dari Ang Jit-kong, walaupun tidak setiap pertempuran
dimenangkan olehnya, tapi pentung itu sampai terlepas dari cekalan boleh
dikatakan baru pertama kali ini terjadi
Melihat Oey Yong rada sempoyongan seperti
terluka, Bu Sam-thong, Kwe Hu dan lain-lain menyangka dia sengaja berbuat
demikian, maka tidak menjadi kuatir seperti tadi waktu dia pura-pura terluka,
Namun Yo Ko dapat menyaksikan apa yang terjadi se-sungguhnya, cepat ia memburu
maju dan mengambilkan pentung bambu dan diserahkan kembali kepada Oey Yong
berbareng pedangnya
yang berat itu terus menabas ke kiri dengan
membawa samberan angin yang dahsyat Belum lagi Kongsun Ci sempat menggunakan
goloknya, lebih dulu ia telah tergetar mundur tiga tindak.
Keruan Kongsun Ci terkejut, tak terpikir
olehnya bahwa selang sebulan lebih saja bocah she Nyo ini sudah bunting sebelah
tangannya, namun ilmu silatnya ternyata bertambah sepesat ini, Waktu ia melirik
ke sana, dilihatnya air muka Kiu Jian-jio putih pucat, jelas bekas isterinya
itupun melengak kaget melihat ilmu silat Yo Ko yang hebat itu.
Sementara itu Kongsun Lik-oh berdiri diantara
ayah dan ibu nya, biasanya dia sangat takut kepada sang ayah, selamanya dia tak
berani membantah sepatah-kata, tapi sejak mendengar percakapan sang ayah dengan
Li Bok-chiu di puncak gunung itu, diam-diam ia merasa sakit hati, ia piker betapapun
buasnya binatang juga tidak makan anaknya sendiri, tapi sang ayah ternyata
sampai hati mencelakai puterinya sendiri demi seorang perempuan yang baru dikenalnya,
terang tiada lagi perasaan kasih sayang seorang ayah kepada anaknya.
Mengingat dirinya sudah bertekad untuk mati,
rasa takutnya seketika lenyap, segera ia mendekati Kongsun Ci selangkah dan
berseru: “Ayah, dahulu kau telah membikin cacat dan menjebloskan dia ke gua di
bawah tanah, kekejian itu jarang ada bandingannya di dunia ini. Malam ini di
Coat-cenghong sana engkau telah bicara apa dengan Li Bok chiu?”
Kongsun Ci terkesiap, dia bicara dengan Li
Bok-chiu di tempat terpencil dan sunyi sepi, sama sekali tak tersangka ada orang
dapat mendengarnya. Biarpun dia orang yang keji dan kejam, tapi merencanakan
kejahatan terhadap puterinya betapapun membuatnya kikuk, apalagi Lik-oh
membongkar rahasianya itu di depan umum, keruan air mukanya berubah, ia
menjawab dengan tergagap: “Aku… aku tidak bicara apa-apa”
“Engkau hendak mencelakai puterinya sendiri
untuk membaiki seorang yang baru kau kenal,” kata Lik-oh hambar, “Sebagai
puterimu, kalau engkau menghendaki kematianku sebenarnya juga tak kan kulawan.
Tapi Coat-ceng-tan yang kau- ambil itu sudah dijanjikan ibu akan diberikan
padaku, sekarang kembalikan saja padaku.”
Berbareng ia melangkah maju dan menyodorkan tangannya.
Cepat Kongsun Ci menarik tangan dan
memasukkan botol kecil itu ke dalam bajunya, lalu menjengek “Hm, kalian ibu dan
anak lebih suka membela orang luar, yang satu durhaka kepada suami, yang lain
mengkhianati ayah sendiri, semuanya bukan manusia baik-baik, biarlah sekarang
takkan kurecoki kalian, kelak kalau datang ganjaran setimpal barulah kalian tahu
rasa.”
Habis berkata, begitu golok dan pedangnya
saling bentur dan mengeluarkan suara mendengung, segera ia menerjang keluar
dengan langkah Iebar.
Yo Ko tidak paham seIuk beluk damperatan
Kongsun Lik-oh kepada ayahnya tadi, tapi segera ia mengadang kepergian Kongsun
Ci, lalu berkata kepada Lik-oh: “Nona Kongsun, aku ingin bertanya sesuatu
padamu.”
Mendengar ucapan anak muda ilu, serentak
timbul rasa duka dan sesal diri dalam benak Kongsun Lik-oh, pikirnya: “Soal
usahaku dengan matian mengambilkan obat baginya sekali2 jangan sampai diketahui
olehnya. Kelak namanya akan termashur di dunia ini dan pasti takkan ingat lagi
kepada perempuan macam diriku yang bernasib malang ini, buat apa membikin dia
menyesal atas tindakanku ini?” - Maka dengan suara pelahan ia menjawab: “Apa
yang hendak ditanyakan Nyo toako?”
“Baru saja kau mengatakan ayahmu hendak
mencelakai kau demi membaiki seorang perempuan yang baru dikenalnya, siapakah
gerangan perempuan itu? Mengapa bisa terjadi begitu, sudikah kau menjelaskan?”
kata Yo Ko.
“Perempuan itu ialah Li Bok-chiu, mengenai
duduk perkaranya…” Lik-oh merandek, lalu menyambung: “Meski aku diperlakukan
secara begini oleh ayah, betapapun dia adalah ayahku sendiri, urusan ini tidak
pantas kuceritakan…”
“Anak Oh, hayo bicaralah!” mendadak Kiu Jian
jio berteriak. “Kalau berani berbuat, mengapa kau tidak berani bicara?”
Lik-oh menggeleng dan berkata pula dengan
suara lemah: “Nyo-toako. setengah biji Coat-ceng-tan itu berada di botol yang
drebut ayahku itu. O, aku… aku adalah anak yang tidak berbakti pada orang tua.”
Sampai di sini ia tidak tahan lagi, ia
membalik tubuh sambil menangis dan berjari ke arah Kiu Jian-jio seraya beiseru:
“O, ibu!”"
Ucapan “aku adalah anak tidak berbakti ke
pada orang tua” bagi pendengaran Kiu Jian-jio seakan-akan Lik-oh merasa berani
membangkang dan me–lawan sang ayah, padahal yang dimaksud Lik-oh sesungguhnya
ada’ah karena dia tidak taat kepada perintah sang ibu.
Semua orang dapat dikelabuhi oleh ucapan
Lik-oh itu, hanya Oey Yong seorang saja yang paham arti sesungguhnya.
Dalam pada itu diam-diam Kongsun Ci bersyukur
bahwa Ui Yong telah kena serangan biji kurma Kiu Jian-jio, ia berharap kedua
pihak akan terjadi pertarungan sengit dengan begitu dirinya dapat menarik
keuntungan dan sempat pula meloloskan diri.
Dengan berlagak tertawa ia lantas berseru:
“Bagus, bagus!
Tidak percuma ayah sayang kepadamu, puteriku
sayang! Kau dan ibumu jaga saja di situ, kita harus melabrak semua orang yang
berani menerobos ke Coat-ceng-kok kita ini, seorangpun tidak boleh kabur.”
Habis berkata mendadak ia menerjang ke arah Oey Yong yang bersandar pada kursi
itu.
Cepat Kwe Hu mengacungkan pedangnya untuk
membela sang ibu, Yalu Ce berdiri di sampingnya, pedangnya telah dipinjamkan
kepada Kwe Hu, segera ia menyerang dari samping dengan bertangan kosong.
Kongsun Ci melirik sekejap dan membatin:
“Buset, sudah bosan hidup barangkali bocah ini, berani
menempur aku dengan bertangan kosong?” Sekali
goloknya menabas, ia desak mundur Yalu Ce, berbareng itu pedangnya yang lentik
berwarna hitam itu terus menusuk tenggorokan Kwe Hu.
Tanpa pikir Kwe Hu
menangkis dengan pedangnya. “Awas, anak Hu!” seru Oey Yong kuatir, Maka
terdengarlah suara “creng” sekali, pedang Kwe Hu terkutung, malahan pedang Kongsun
Ci itu tidak latas berhenti melainkan terus memotong ke leher Kwe Hu.
Oey Yong menjadi cemas, ia tahu sampai di
mana kepandaian puterinya itu, menghadapi detik berbahaya begini percumalah
tipu akal yang dimilikinya, sama sekali ia tak berdaya menolongnya.
Pada saat itulah sekonyong-konyong Liok Bu-siang berteriak: “Tangkis dengan tangan
kanan!”
Karena jiwanya terancam, serangan musuh
begitu cepat datangnya dan sukar mengelak, Kwe Hu tidak sempat membedakan lagi
suara siapa yang berteriak padanya itu, tanpa terasa ia menurut dan angkat
lengan untuk menangkis serangan maut itu.
“Piaumoay, mengapa kau…” bentak Thia Eng. Ia
tahu Bu-siang benci pada Kwe Hu telah membuntungi lengan Yo Ko, maka sekarang
ia sengaja membingungkan Kwe Hu agar menangkis serangan Kongsun Ci dengan
lengan agar sebelah lengannya juga terbuntung.
Thia Eng berbudi halus, meski iapun sedih
oleh buntungnya lengan Yo Ko dan menganggap perbuatan Kwe Hu keterlaluan, tapi
sama sekali tak pernah timbul pikirannya agar Kwe Hu menebus dosanya dengan
sebelah lengannya.
Sebab itulah ia merasa maksud tujuan seruan
Bu-siang tadi terlalu kejam dan cepat berseru mence-gahnya. Namun sudah
terlambat, pedang Kongsun Ci sudh menyamber ke lengan Kwe Hu.
“Cret”,lengan baju Kwe Hu tergores robek
pan-jang, berbareng itu iapun tergetar sempoyongan dan jatuh kesamping, Tapi
aneh juga, lengannya ternyata tidak tertabas putus, bahkan darahpun tidak
mengucur. Karuan Thia Eng dan Bu-siang melongo heran, bahkan Kiu Jian jio dan
Kongsun Ci juga terperanjat.
Segera pula Kwe Hu dapat berdiri tegak lagi,
ia sangat berterima kasih kepada Liok Bu-siang.
Dasarnya dia memang seorang nona yang
berpikir secara sederhana, ia mengira seruan Bu-siang tadi bermaksud baik untuk
menolongnya maka tanpa pikir ia berkata: “Terima kasih atat petunjuk Cici, cuma
darimana engkau tahu…”
Yo Ko pernah tinggal di Tho-hoa-to, ia tahu
Oey Yong mempunyai jaket pusaka “Nui-wi-kah” (jaket duri landak) yang tidak
mempan ditabas senjata tajam, maka ia tahu bisanya Kwe Hu menyelamatkan
lengannya adalah berkat jaket pusakanya, ia dengar nona itu bertanya “darimana
engkau - tahu….” dan seterusnya tentu adalah “aku memakai jaket pusaka?”, jika
kata-kata itu diucapkan berarti rahasia jaket pusaka itu akan diketahui Kongsun
Ci.
Padahal saat itu kelihatan Kongsun Ci dan Kiu
Jian jio saling pandang sekejap dengan heran dan terperanjat Maka cepat ia
berkata: “Hehe, Kong-sun-siansing, masakah kau tidak kenal nona kita ini?”
Sudah tentu Kongsun Ci sudah diberitahu
sekadarnya oleh Li Bok-chiu mengenai orang-orang yang menyatroni Coat-ceng-kok
ini, meski sudah tahu siapa Kwe Hu, tapi ia tidak mau kalah pamor, dengan
dingin ia sengaja menjawab: “Huh, anak dara sekecil itu mana kutahu dia siapa?”
“Nona kita ini adalah puteri kesayangan Kwe
Ceng, Kwe-thayhiap, cucu perempuan Tho-hoa-tocu Oey Yok-su, dia memiliki ilmu
kekebalan khas ajaran keluarganya yang tidak mempan dibacok segala macam
senjata tajam, pedangmu yang mirip besi tua itu tentu saja tidak dapat melukai
dia.”
“Huh, tadi aku tidak menyerang
sungguh-sungguh, memangnya kau kira aku tidak mampu melukai dia?” jawab Kongsun
Ci dengan gusar, berbareng pedangnya yang hitam itu disendalnya pelahan hingga
mengeluarkan suara mendengung.
Setelah lolos dari serangan maut musuh,
diam-diam ia berterima kasih kepada Bu-siang, ia pikir untung Liok-cici ini memperingatkan,
kalau tidak mungkin jiwaku sudah melayang, tampaknya hati Liok-cici ini
sebenarnya baik walaupun kata-katanya tajam dan suka menyindir Dilihatnya
Kongsun Ci sedang menjawab ucapan Yo Ko tadi dan bersikap meremehkan dirinya,
secara timbul lagi kecerobohannya, pikirnya: “Jika aku tidak takut kepada senjatanya,
asal kuterjang dan serang dia, jelas aku pasti akan menang dan tiada kalahnya,
mengapa aka tidak melakukan hal ini?”
Karena pikiran itu, segera ia berseru kepada
Bu Siu-bun: “Kakak Bu cilik, harap pinjamkan pedangmu padaku, tua bangka
Kongsun ini tidak percaya ilmu sakti keluarga Tho.hoa-to, biarlah
ku-perlihatkan sedikit padanya.”
Tanpa bicara Bu Siu-bun menyodorkan pedangnya
dan diterima Kwe Hu. Nona itu memutar pedangnya satu kali lalu berkata: “Nah,
si tua Kongsun, silakan maju!”
Melihat lagaknya yang men-tang2 tanpa gentar
sedikitpun, sungguh mirip benar jagoan tulen yang menghadapi anak kecil saja.
Sudah tentu Kongsun Ci dapat menilai anak
dara ini hanya dari gerakan pedangnya saja, segera ia membentak: “Baik, akan
kubelajar kenal lagi dengan kepandaianmu.” Berbareng goloknya terus membacok ke
muka lawan.
Cepat Kwe Hu mengelak dan balas menusuk
dengan pedangnya, Tapi pedang hitam Kongsun Ci mendadak melingkar tiba dan
menyabet pedang Kwe Hu.
Sudah tentu Kwe Hu tidak berani mengadu
sen-jata, cepat ia tarik kembali pedangnya, Mendadak Kongsun Ci memegang golok
dan pedang di tangan kanan, sedangkan tangan kiri terus menghantam.
Diam-diam Kwe Hu bergirang, ia pikir kalau
tangan orang menggablok duri landak jaket pusaka-kanya itu, maka celakalah
musuh. Tapi kuatir tenaga pukulan musuh terlalu lihay, bisa jadi ia sendiripun
akan terluka dalam, maka ia sedikit miringkan tubuh untuk mengelakkan sebagian
tenaga pukulan musuh dan membiarkan pukulan itu tetap-mengenai tubuhnya.
Di luar dugaan, belum pukulan Kongsun Ci itu
mencapai sasarannya, mendadak ia melompat mundur sambil berteriak: “Budak hina,
menyerang orang secara menggelap.”
Tentu saja Kwe Hu bingung, katanya: “Sama
sekali aku tidak melukai kau!” ia menjadi heran apakah jaket pusakanya begitu
lihay, belum tangan musuh menyentuhnya sudah dapat dilukainya?
Ia tidak tahu bahwa sebenarnya itulah akal
licik Kongsun Ci, maka ia sengaja pura-pura terluka dan melompat mundur dengan
sempoyongan terus berlari ke ruangan belakang, Rupanya dalam waktu yang singkat
itu ia sudah memperhitungkan keadaan pihak lawan, di depan sana adalah Yo Ko,
Oey Yong dan lain-lain serta si paderi tua beralis putih, maka dia sengaja
meloloskan diri melalui pintu belakang.
Saat itu Kongsun Lik-oh berdiri di sebelah
ibu-nya. Melihat Kongsun Ci akan kabur dengan membawa obat, cepat ia memburu
maju sambil berteriak: “Tunggu dulu, ayah!”
Pada saat itulah mendengar suara mendenging,
dua biji buah kurma juga telah menyamber ke arah Kongsun Ci.
Rupanya Kiu Jian-jio kuatir senjata
rahasianya itu salah mengenai puterinya sendiri, maka semburan biji buah kurma itu
ditinggikan sedikit dan mengarah belakang kepala Kongsun Ci.
Namun gesit sekali Kongsun Ci menunduk kepala
sehingga kedua biji kurma itu menyamber lewat dan menancap di dinding,
“Minggir!” bentaknya sembari menerjang ke depan.
“Tinggalkan Coat-ceng-tan…” belum habis
ucapan Koagsun Lik-oh, tahu-tahu Kongsun Ci sudah menubruk tiba, sekali pegang
segera urat nadi pergelangan tangan gadis itu kena dicengkeramnya, menyusul tubuh berputar,
Lik-oh digunakan sebagai tameng di depan, lalu Kongsun Ci membentak “Perempuan
bejat, apakah kau ingin mengadu jiwa? Baiklah kita gugur bersama semuanya!” sebenarnya
biji kurma Kiu Jian-jiu sudah akan disemburkan lagi, ketika mendadak nampak
keadaan berubah dan untuk menahan semprotan juga tidak keburu lagi, terpaksa ia
miringkan kepala dan menyemburkan senjata rahasianya itu kesamping.
Dalam keadaan terpaksa begitu, yang
diharapkan Kiu Jian-jio asalkan biji kurma itu tidak tersemprot ke arah anak perempuan,
sama sekali tidak terpikir siapa yang menjadi sasarannya lagi, Maka
terdengarlah suara jeritan dua kali, dua anak murid berseragam hijau
menggeletak binasa dengan kepala pecah dan yang lain dada berlubang.
Kongsun Ci menyadari kalau ingin merebut
kembali Coat-Ceng-kok, selain memerlukan bantuan Li Bok-chiu juga anak buahnya
harus dipuiihkan dulu kesetiaannya, Apa yang terjadi sekarang jelas adalah
kesempatan baik untuk menarik simpatik anak buahnya itu, segera ia berseru:
“Perempuan jahat, kau tega membunuh anak muridku, pasti akan kubinasakan kau,”
Karena bicara dan sedikit merandek inilah
tahu-tahu Nyo Ko telah mengadang jalan larinya.
“Kongsun siansing, urusan kita perlu
diselesaikan dahulu, jangan ter-buru-buru pergi.” kata Yo Ko.
Kongsun Ci mengangkat tubuh Lik-oh ke atas,
katanya dengan menyeringai “Kau berani merintangi aku?” Segera ia
ber-putar-putar dengan tungkak kaki sehingga makin mendekati Yo Ko.
Karena Kongsun Ci berputar dengan mengangkat
tubuh Lik-oh, kalau Yo Ko merintanginya atau Kiu Jian-jio menyerang lagi dengan
biji kurma, tentu yang akan terluka adalah Kongsun Lik-oh. Dengan sendirinya Yo
Ko tidak berani sembarangan bertindak,, betapapun ia tidak mau mengorbanknn
jiwa nona itu demi merebut obat bagi kepentingannya sendiri.
Dalam pada itu Kongsun Ci telah menggeser
maju lagi dengan memutar tubuh Kongsun Lik-oh, terpaksa Yo Ko menyingkir ke samping.
Sama sekali Lik-oh takbisa berkutik berada
dalam cengkeraman sang ayah, waktu memutar ke sini dan tiba-tiba dilihatnya Yo
Ko menyingkir memberi jalan bagi ayahnya dengan mata yang penuh prihatin
baginya, hati Lik-oh tergetar, pikirnya: “Demi keselamatanku ternyata dia rela
mengorbankan obat yang dapat menyembuhkan dia itu.”
Walaupun kaki dan tangannya takbisa bergerak
namun kepala dan lehernya dapat berputar, mendadak ia menjerit tertahan: “O,
Nyo-toako!”
Tiba-tiba batok kepalanya ditumbukkan ke ujung
pedang hitam yang dipegang Kongsun Ci itu. Pedang itu sangat tajam, karuan
tanpa ampun jiwa Kongsun Lik-oh melayang, tewas ditangan ayahnya sendiri.
“Haya!” teriak Yo Ko kaget, namun sudah kasip
meski bermaksud menubruk maju untuk menolong.
Kongsun Ci juga terkejut dan hati terasa
pedih sedikit, namun iapun tahu keadaan sangat berbahaya baginya, segera pihak
lawan pasti akan menggempur nya dengan mati-matian.
Didengarnya suara orang menggeram gusar, tiga
biji buah kurma secepat kilat telah menyamber tiba.
Tanpa pikir ia lemparkan mayat puterinya ke
belakang sehingga ketiga biji kurma itu seluruhnya mengenai tubuh Lik-oh yang
sudah tak bernyawa itu.
Menyaksikan kekejaman Kongsun Ci itu, semua
orang sangat murka dan benci padanya, serentak mereka melolos senjata dan
segera hendak mengerubut maju.
Cepat Kongsun Ci berseru: “Wahai para anak
murid! perempuan jahat itu bersekongkol dengan orang luar dan hendak membunuh
segenap penghuni Coat-ceng-kok kita ini. Hayolah lekas maju dengan barisan
jaring berkait kalian!”
Sejak kecil anak muridnya itu memujanya
seperti malaikat dewata, Soalnya tempo hari Kongsun Ci terpaksa melarikan diri
setelah sebelah matanya di butakan oleh Kiu Jian-jio.
Dalam keadaan kosong pimpinan, terpaksa
mereka tunduk kepada perintah Kiu Jian-jio. Kini seruan Kongsun Ci telah membangkitkan
kembali ketaatan mereka, serentak mereka merubung maju dengan membentangkan
jaring berkait.
Setiap j’aring itu lebarnya enam-lima meter
dan penuh kaitan dan piiau kecil yang tajam, Biarpun kepandaian Bu Sam-tbong,
Yalu Ce dan lain-lain cukup tinggi juga tidak tahu cara bagaimana
menghadapinya. Apabila jaring itu mengurung rapat, bukan mustahil tubuh mereka
akan babak belur, Ta-pi karena kepungan barisan jaring itu, Kiu Jian-jio
sendiripun terkurung di tengah.
Segera ia berteriak-teriak “jangan tunduk
pada ocehan bangsat tua itu, para anak murid, lekas berhenti, lekas kalian mundur!”
Akan tetapi para anak murid berseragam itu
anggap tidak mendengar. Bahkan Kongsun Ci terus membentak lagi memberi perintah
cara bagaimana barisan jaring itu harus bekerja, Anak buahnya ternyata
mengikuti perintahnya dan mendesak maju dengan jaring terbentang.
Bahu kanan Oey Yong terluka, terpaksa ia
gunakan tangan kiri untuk merogoh segenggam jarum terus ditawurkan, berpuluh
jarum lantas menyambar ke sebelah sana. Walaupun tenaga tangan kirinya tidak
sekuat tangan kanan, tapi jaraknya cukup dekat pula, jumlah jarum cukup banyak,
sedikitnya beberapa orang berseragam hijau akan terluka, dan kalau barisan
jaring itu kebobolan segera mereka dapat menerjang keluar.
Tak tahunya di atas jaring ikan itu banyak
terikat batu semberani kecil yang bisa digunakan untuk menyedot senjata rahasia
musuh. Maka terdengarlah suara gemerincing nyaring, berpuluh jarum Oey Yong
serta paku lembut yang disemburkan Kiu Jian-jio sama lengket pada jaring ikan.
“Celaka!” keluh Oey Yong. Segera ia membentak
pula: “Anak Hu, jaga kepalamu dengan pedang dan terjang maju bobolkan jaring
musuh” Di antara rombongannya hanya Kwe Hu saja yang memakai jaket pusaka dan
tidak takut dilukai kaitan tajam di atas jaring itu, maka Oey Yong menyerukan
puterinya itu menerjang musuh.
Tanpa pikir Kwe Hu memutar pedangnya dan
menerjang ke sebelah kanan, Empat orang berseragam hijau membentang jaring
terus dilemparkan ke-arahnya, Tapi begitu pisau kecil dan kaitan diatas jaring
itu mengenai tubuh Kwe Hu, kaitan jaring itu terpental balik.
Tapi ber-turut-urut barisan jaring itu lantas
menubruk maju lagi dari kanan-kiri, jika kepungan barisan jaring itu makin
mendesak, betapapun sukar bagi Kwe Hu untuk membobolnya sekalipun dia memakai
jaket pusaka yang kebal senjata tajam.
Melihat keadaan berbahaya, Yo Ko tidak
tinggal diam, segera ia putar pedangnya yang maha berat itu sekali tebas, kontan
sebuah jaring musuh terobek menjadi dua, keempat orang ini terbentang
di-pegangi empat orang di kanan kiri.. seketika ke-empat orang itu jatuh
terjungkal. Suasana menjadi kacau, mendadak dari luar ruangan pendopo itu
berlari masuk dua orang kejar mengejar.
Semua orang sama terkesiap demi nampak yang
muncul-ini adalah Li Bok-chiu dan Cu Cu-liu.
Kiranya Li Bok-chiu telah lama menunggu di
puncak Coat ceng-hong dan belum nampak Kongsun Ci kembali dengan obat yang
dijanjikan itu, diam-diam ia mendongkol dan menyangka Kongsun Ci telah
menipunya, Akhirnya ia turun dari puncak gunung itu dan mencari jalan kembali
ke Coat-ceng-kok tempat Kiu Jian-jio dengan tujuan mencari kesempatan untuk
merebut obat penawar racun bunga cinta menurut cerita Kongsun Ci itu.
Karena tidak apal jalanan di situ, akhirnya
Li Bok-chiu kesasar lagi ke tempat yang penuh tumbuh bunga cinta yang melukainya
itu. Pada saat itulah tiba-tiba didenganiya ada suara orang berjalan
mendatangi, Cepat ia sembunyi di baiik batu karang di samping semak-semak bunga
itu.
Ia coba mengintip diri tempat sembunyinya,
dilihatnya kedua orang itu yang satu berdandan sebagai sastrawan dan yang lain
adalah Hwesio negeri asing. Kiranya mereka itu adalah Cu Cu-liu dan paderi
Hindu.
Tadinya Cu Cu-liu menunggui paman gurunya
yang belum siuman itu di rumah garangan, Sesudah siuman kembali, paderi Hindu
itu lantas mengajak Cu Cu-liu ke tempat bertumbuhnya bunga cinta untuk
menyelidiki lebih lanjut.
Setiba di semak-semak bunga itu, paderi Hindu
itu lantas berjongkok dan mulai meraba dan meneliti rumput di sekitar dan di bawah
bunga cinta itu.
Maklumlah, barang yang satu biasanya menjadi
penangkal barang yang Iain. Tempat di mana ular berbisa berkeliaran, disitu
pasti tumbuh obat bunga cinta itu juga pasti tumbuh di bawah atau di sekitar
bunga itu.
Sudah tentu tak diketahuinya bahwa Li
Bok-chiu justeru sembunyi di balik batu karang sana, ketika nampak paderi itu me-runduk2
semakin mendekat tanpa bicara lagi Li Bok-chiu lantas menyerangnya dengan
sebuah jarum berbisa.
Orang lain saja sukar untuk mengelak serangan
menggelap Li Bok-chiu itu, apalagi paderi Hindu itu tidak mahir ilmu silat,
kontan saja jarum itu menancap di dadanya dan binasa.
Cu Cu-liu mendengar suara mendesis pelahan
itu, lalu paman gurunya menggeletak tak bergerak lagi segera ia tahu apa yang
terjadi. Hanya tak diketahuinya bahwa paderi Hindu sudah mati, tanpa pikir ia
memburu maju untuk menolongnya.
Kesempatan baik itu tidak sia-siakan Li
Bok-chiu, mendadak ia menubruk keluar dari tempat sembunyinya dan pedang terus
menusuk punggung Cu Cu-liu, karena tidak menyangka musuh justeru sembunyi di
belakang batu, sukar bagi Cu Cu-liu untuk menghindari sergapan itu, sebisanya
dia miringkan tubuh, karena itu ujung pedang Li Bok-chiu hanya melukai bahunya
saja dan tidak parah.
Segera Cu Cu-liu menggeser ke samping dan membalik,
kontan ia balas menutuk dengan It-yang-ci. Li Bok-chiu pernah merasakan
It-yang-ci yang di mainkan Bu Sam-thong, sekarang ilmu jari sakti. Cu Cu-liu
ini ternyata lebih lihay, diam-diam Li Bok-chiu terkesiap dan tidak berani
gegabah.
Setelah bergebrak beberapa jurus, Cu Cu-liu
melihat sang Susiok yang menggeletak itu sama sekali tidak bergerak, cepat ia
berseru: “Susiok! Susiok!”
Tapi sang paman guru tetap tidak menjawab.
“Hehe, jika kau ingin jawabannya, boleh kau ikut ke akhirat saja!” ejek Li Bok-chiu
sambil menyerang lagi lebih gencar, ia pikir kalau lawan berduka karena paman
gurunya sudah mati, tentu pikirannya akan kacau dan mudahlah dikalahkan.
Tak tahunya rasa duka Cu Cu-liu itu justeru
menambah sakit hatinya kepada musuh, serangannya malah bertambah lihay tanpa
kendur sedikitpun.
Di bawah cahaya bulan sabit yang remang itu
Li Bok-chiu melihat wajah Cu Cu-liu berubah beringas, matanya membara,
serangannya tambah kalap seakan-akan tidak segan untuk gugur bersama bila
perlu, diam-diam Li Bok-chiu menjadi takut sendiri, setelah bergebrak lagi
beberapa jurus, mendadak ia membalik tubuh terus angkat langkah seribu alias
kabur.
Cepat Cu Cu-liu memeriksa keadaan sang
Susiok, ternyata sudah tidak bernapas lagi, sekali bersiul penuh duka, segera
ia mengudak kearah Li Bok-chiu dan begitulah susul menyusul mereka telah masuk
ke ruangan pendopo.
“Susiok telah terbunuh oleh iblis ini, Suhu!”
seru Cu Cu-liu begitu melihat It-teng
Taysu.
Melihat datangnya Li Bok-chiu, Kongsun Ci
kaget dan girang, segera ia berseru: “Ke sini saja Li-sumoay!” Berbareng iapun
menyongsong ke sana.
Meski terluka, namun pikiran Oey Yong cukup
jernih, melihat sikap Kongsun Ci itu segera ia dapat menerka hubungannya dengan
Li Bok-chiu, cepat ia berseru: “Ko-ji, pisahkan kedua iblis itu, jangan sampai
mereka bergabung!”
Namun Yo Ko sudah putus asa demi mendengar
berita kematian paderi Hindu itu, kini semuanya tak berarti lagi baginya, sisa
Coat-ceng-tan itu telah diambil Kongsun Ci atau bukan sama sekali tak terpikir
lagi olehnya. Maka seruan Ui Yong itu hanya disambut dengan tersenyum dan tidak
ikut turun tangan.
Cepat Yalu Ci jemput setengah jaring yang
dirobek oleh pedang Yo Ko tadi dan berseru: “Bu-suheng, cepat pegang ujung
sana!”
Beramai Bu Tun-si, Wanyan Peng dan Yalu Yan
lantas memegangi ujung jaring itu dan menghadang di antara Li Bok-chiu Kongsun
Ci itu tidak berhasil mengurung musuh, kini malah berbalik kena diperalat oleh
musuh untuk merintangi dia sendiri benar-benar senjata makan tuan.
Sementara itu, suasana di ruangan itu menjadi
gaduh, karena sebagaian jaringnya bobol, anak buah Kongsun Ci menjadi kacau,
kesempatan itu segera digunakan Kiu Jian-jio untuk menyemburkan senjata
rahaHanya, maka terdengarlah jeritan dan teriakan di sana sini, ber-turut-urut
lima enam orang telah roboh binasa, barisan jaring juga lantas kacau balau dan
buyar.
Dengan gusar Kongsun Ci ayun goloknya
membacok Yalu Yan, namun Thia Eng lantas mendahului menutuknva dengan seruling
kumalanya. Terpaksa Kongsun Ci menarik kembali goloknya, diam-diam ia terkejut
oleh keiihayan Thia Eng itu.
Ber-turut-urut ia menusuk dua kali dengan
pedangnya dan semuanya dapat dipatahkan Thia Eng pula.
Cepat Bu-siang putar golok sabitnya
mengerubut maju, Percumalah Kongsun Ci menerjang kian kemari, maksudnya hendak
bergabung dengan Li Bok-chiu selalu dirintangi beberapa anak muda itu, malahan
terkadang ia harus waspada terhadap semburan senjata rahasia Kiu Jian-jio. Ia pikir
agar bisa bergabung dengan leluasa harus terjang dulu keluar rumah sana.
Maka sambil memutar senjatanya ia lantas
berseru: “Li-suamoay, terjang keluar saja, kita bertemu lagi di tempat tadi!”
Berbareng kedua orang lantas bersuit dan melompat kekanan dan kiri, melayang
lewat di samping Yo Ko dan Siao-liong-li terus menerobos keluar rumah.
Kalau Yo Ko dan Siao-liong-li mau turun
tangan, tentu kedua orang itu dapat dicegah Tapi tangan kiri Yo Ko menggenggam
kencang tangan kanan Siao-liong-li sambil melangkah keluar dengan pelahan,
meski tahu jelas Kongsun Ci dan Li Bok-chiu lewat di sebelah mereka juga tidak
ambil pusing.
Cepat Oey Yong berseru: “Cegat
Kongsun Ci itu, Liong-sumoay, Coar-ceng-tan berada padanya!”
Siao-liong-li terkejut, ia pikir kalau paderi
Hindu itu sudah mati, maka racun dalam tubuh Ko-ji hanya dapat ditolong dengan
sisa Coat-ceng-tan itu. Segera ia melepaskan gandengan tangan Yo Ko dan memburu
ke sana.
“Biarkan saja, Liong-ji!” seru Yo Ko.
“Mana boleh dibiarkan dia pergi?” ujar
Siao-liong li.
Melihat Siao-liong-li tetap mengejar dengan
cepat terpaksa Yo Ko menyusulnya.
Kongsun Ci dan Li Bok-chiu lari ke jurusan
yang berlawanan, maka semua orang juga mengejar dengan terbagi dua rombongan.
Siao-liong-li, Yo Ko, Thia Eng dan Liok Bu-siang berempat mengejar Kongsun Ci,
sedangkan Bu Sam-thong dan kedua Bu cilik, Cu Cu-liu dan Wanyan Peng berlima
mengudak Li Bok-chiu.
Yalu Ce, Yalu Yan dan Kwe Hu tinggal di sana mendampingi
Oey Yong untuk mengawasi Kiu Jian-jio agar tidak melakukan kekejaman lain.
Di antara rombongan Bu Sam-thong itu, ilmu
silat Cu Cu-liu terhitung paling tinggi, tapi bahunya terluka, setelah
berlari-lari sekian lama, akhirnya ia merasa tidak tahan, waktu semua orang
berhenti dan memandang Cu Cu-liu, sedikit merandek saja bayangan Li Bok-chiu
lantas tak kelihatan lagi.
“Kalau iblis itu sampai lolos, sungguh kita
berdosa terhadap Susiok,” ujar Cu Cu-liu dengan gregetan, Mereka terus mencari
kian kemari di semak-semak pohon dan batu karang, tapi jejak Li Bok-chiu tetap
menghiIang.
“Tadi Kongsun Ci berseru padanya agar bertemu
lagi di tempat semuIa,” kata Cu-liu. “Kita tidak tahu tempat mana yang
dimaksudkan, tapi asalkan kita mengikuti Kongsun Ci, akhirnya iblis perempuan
ini pasti akan ditemukan di sana.”
“Benar ucapan Sute,” ujar Bu Sam-thong,
“Marilah kita lekas menguntit Kongsun Ci saja.”
Begitulah mereka lantas putar balik ke arah
larinya Kongsun Ci tadi. Tidak lama, benarlah di depan sana terdengar suara
teriakan dan bentakan orang, Bu Sam-thong memayang Cu Cu-liu agar dapat berlari
lebih cepat Namun suara bentakan dan teriakan itu sebentar mendekat lain saat menjauh
lagi, sekejap kemudian lantas lenyap dan keadaan sunyi senyap pula.
Ribut semalam suntuk, sementara itu fajar
sudah hamper menyingsing, cuaca sudah remang-remang. Tiba-tiba terlihat di
depan ada jalan simpang empat, mereka menjadi bingung jurusan mana yang harus
dituju?
Mata Wanyan Peng lebih celi, tiba-tiba ia
tuding sebatang pohon kecil di tepi jalan yang kedua sana dan berseru: “He, Cu
cianpwe, coba lihat, batang pohon itu, baru saja dibacok orang.”
“Benar,” seru Cu-liu dengan girang, “Marilah
kita coba mengambil jalan ini.”
Cepat mereka berlari ke sana. sesudah membelok kian kemari, kemudian
terlihat pula batang pohon di tepi jalan ada lagi bekas bacokan serupa pohon
tadi. semangat mereka terbangkit, mereka menyusur ke sana lebih cepat,
pepohonan di tepi jalan makin lama makin lebat, jalanan juga semakin
rusak dan sukar ditempuh. untunglah pada
setiap belokan atau lintasan jalan selalu ada tanda-tanda bacokan golok di atas
pohon atau di tanah.
Kiranya tanda-tanda bacokan itu adalah
perbuatan Liok Bu-siang atas perintah Thia Eng. Kedua nona itu mengikuti Yo Ko
dan Siao-liong-li mengejar Kongsun Ci, karena sasarannya itu lari berputar kian
kemari secara menyesatkan kuatir ke-sasar, maka Thia Eng suruh Bu-siang
meninggalkan tanda sepanjang jalan. Tak terduga tanda-tanda itu akhirnya menjadi
petunjuk jalan bagi rombongan Cu Cu-liu.
Begitulah setelah berlari-lari sekian lama,
hari pun sudah terang, namun pepohonan lebat di sekitar mereka menambah suasana
jadi suram. jalanan menanjak dan terjal, terpaksa mereka melambatkan langkah.
Tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara
orang tertawa panjang di bagian atas, suaranya melengking tajam laksana burung
hantu, serentak mereka berhenti dan menengadah, tertampaklah di suatu tebing
yang curam di depan sana berdiri seorang sedang mendongak sambil tertawa, Siapa
lagi dia kalau bukan Kongsun Ci.
Di bawah tebing curam itu adalah jurang yang
tak terkira dalamnya, di atasnya adalah puncak gunung yaag menjulang tinggi
menembus awan.
Melihat keadaan Kongsun Ci yang menyerupai
orang gila itu, diam-diam Cu Cu-liu berkuatir: “Kalau dia terpeleset dan jatuh
ke jurang, mampusnya sih tidak perlu disayangkan, tapi Coat-ceng-tan yang
dibawanya itu akan ikut lenyap juga.”
Segera ia memburu ke sana secepat terbang.
Setelah membelok suatu tikungan, dilihatnya
Yo Ko, Siao-liong-li, Thia Eng dan Liok Bu-siang berempat sudah berdiri di tepi
tebing sana dan sedang menengadah memandangi Kongsun Ci.
Melihat datangnya Cu Cu-liu, dengan suara
pelahan Siao-liong li lantas berkata: “Cu-toasiok, lekas engkau mencari akal untuk
memancing dia turun.”
Cu Cu-liu coba mengamat-amati keadaan sekitar
situ, dilihatnya tempat berdiri Kongsun Ci itu hanya dihubungkan oleh sebatang
balok batu yang lebarnya tidak lebih dari 30 senti, jembatan dan tebing gunung
sana penuh berlumut hijau, berdiri sendirian di sana saja tak bisa bergerak
dengan leluasa, apalagi kalau dua orang berdesakan di sana.
Maka selain memancing turun Kongsun Ci
rasanya memang tiada jalan lain. Tapi Kongsun Ci adalah manusia licin dan
licik, manabisa dia diakali? persoalan ini benar-benar rumit.
Teringat kepada budi kebaikan Yo Ko yang
telah menyelamatkan jiwa kedua anaknya yang sekarang mati-hidup Yo Ko sangat
bergantung pada obat yang berada di tangan Kongsun Ci, ia merasa sekarang
inilah saatnya baginya untuk membalas budi Yo Ko, segera ia menyingsing lengan baju
dan berkata: “Biar kupergi kesana untuk menyeretnya ke sini.”
Tapi baru saja ia melangkah, tiba-tiba
bayangan orang berkelebat tahu-tahu Thia Eng sudah mendahului di depannya dan
berkata: “Aku saja yang ke-sana!” Cepat sekali ia terus melangkah ke jembatan
batu yang sempit itu.
Akan tetapi cepatnya Thia Eng ternyata masih
kalah cepat daripada Yo Ko, tiba-tiba Thia Eng merasa pinggangnya mengencang,
Yo Ko telah membelit pinggangnya dengan lengan baju yang kosong itu serta
ditariknya kembali Malahan terdengar Yo Ko membisik di telinganya: “Apa artinya
diriku ini, kenapa engkau perlu berbuat begini?”
Wajah Thia Eng menjadi merah dan seketika
tidak sanggup bicara, Pada saat itulah suara Siao-liong-li berkata: “Tolong
pinjam sebentar pedangmu!”
Mendadak sesosok bayangan melayang lewat di
samping Bu Tunsi dan Wanyan Peng dan tahu-tahu pedang mereka sudah di lolos
orang, Gerakan itu sungguh secepat kilat, ketika Bu Tun-si dan Wanyan Peng
melengak bingung sementara itu Siao-liong-li sudah melayang ke atas jembatan
batu dan mendekati Kongsun Ci.
Terkejut juga Kongsun Ci melihat Siao-liongli
berani mendekat ke tempat berbahaya itu, Segera ia melangkah maju dan mengadang
di ujung jembatan batu sebelum Siao-Iiong-li menyeberang ke tempatnya,
Bentaknya: “Apakah kau ingin mampus?”
Sambil menghunus sepasang pedang,
Siao-liong-li berdoa di dalam hati semoga berhasil merebut kembali
Coat-ceng-tan dan matipun ia rela, Dengan suara lembut ia lantas berkata: “Kongsun-siansing,
engkau pernah menyelamatkan jiwaku, lantaran perempuan yang bernasib malang
seperti diriku ini kau telah ikut menderita, sungguh aku sangat menyesal dan sedih.
Kedatanganku sekarang sama sekali tidak ingin mengadu jiwa dengan kau.
“Habis kau mau apa?” tanya
Kongcun Ci.
“Kumohon engkau suka memberi obat untuk
menolong suamiku, obat itu tidak berguna bagimu, kalau suka dihadiahkan padaku,
sungguh takkan kulupakan budi kebaikanmu,” tutur Siao-liong-li.
“Lekas kembali, Liong ji!” demikian Yo Ko
berseru di seberang sana, “Setengah biji obat itu takkan menolong jiwa kita
berdua, apa gunanya kau memintanya?”
Melihat perawakan Siao liong-li yang cantik
dan lemah gemulai menggiurkan mana Li Bok-chiu dapat menandinginya biarpun cuma
tiga bagiannya, matanya yang tinggal satu mengincar dengan terkesima, tiba-tiba
timbul lagi pikiran jahat Kongsun Ci, ia tanyai “Kau panggil bocah she Nyo itu
suamiku?”
“Ya, kan
dia sudah menikah dengan aku,” jawab Siao-liong-li.
“Asalkan kau menyanggupi suatu permintaanku,
segera obat ini kuberikan,” kata Kongsun Ci.
Melihat sorot mata tunggal orang yang licin
itu, segera Siao-liong-Ii tahu maksudnya, katanya sambil menggeleng: “Aku sudah
bersuami, mana boleh kunikahi kau lagi? Kongsun-siansing, kau tetap kesemsem
padaku, namun aku sudah ada yang punya, terpaksa mengecewakan maksud baikmu.”
Mata Kongsun Ci yang aneh itu mendelik,
bentaknya: “Jika begitu lekas kau mundur ke sana. Kalau kau tetap memusuhi aku,
terpaksa aku tidak kenal ampun lagi.”
“Kan sia-sia belaka perkenalan kita ini jika
sampai kita bergebrak dan bermusuhan?” ujar Siao-liong-li suaranya sangat
halus, dalam hati ia benar-benar masih merasa utang budi kepada Kongsun Ci.
“Hm,” jengek Kongsun Ci, “aku justeru ingin
menyaksikan bocah she Nyo itu merintih-rintih karena racun dalam tubuhnya masih
bekerja, ingin melihat dia sekarat menghadapi elmaut, ingin tahu betapa
cantiknya isteri setia seperti kau ini akhirnya menjadi janda muda belia yang
berkabung.”
Makin bicara makin keji kata-katanya dengan
menyeringai dan mengertak gigi.
Siao liong-li menyambut dengan tersenyum
pedih, jawabnya: “Coba dengarkan kau, bukankah dia sedang memanggilku kembali
ke sana? Begitu kasih sayangnya padaku, betapapun dia tak menghiraukan apakah
racun dalam tubuhnya akan kumat atau tidak.”
Benar juga terdengar Yo Ko sedang berseru,
katanya: “Liong-ji, lekas kembali sini, buat apa banyak bicara dengan orang
macam begitu? Kalau saja jembatan batu itu tidak terlalu sempit dan sukar
dipijak dua orang, tentu sejak tadi ia sudah berlari ke sana dan menarik kembali
isterinya.
Jarak Kongson Ci dengan Siao-liong- li saat
itu hanya satu-dua meter saja, asalkan melangkah maju setindak saja sudah dapat
meraihnya. Cuma tempatnya teramat berbahaya, bila nona itu sedikit meronta
saja, maka kedua orang pasti akan tergelincir bersama ke dalam jurang dan
hancur lebur.
Kongsun Ci menjadi serba susah, kalau tidak
menawan Siao-liong li sebagai sandera, lalu cara bagaimana dirinya dapat lolos
dari tebing yang buntu ini.
Di lihatnya di pihak lawan hanya Yo Ko
seorang saja yang lihay, kalau dirinya menerjang mati-mati an mungkin anak muda
itupun takdapat mengalanginya, paling baik kalau Siao-liong-li mau mundur
sesuai seruan Yo Ko itu, lalu dirinya ikut menyeberang ke sana dan menawannya,
kemudian bergabung dengan Li Bok-chiu.
Setelah ambil keputusan demtkian, segera
Kongsun Ci membentur pedang dan goloknya hingga menerbitkan suara mendering,
bentaknya: “Lekas mundur!” Berbareng pedangnya terus menusuk
Di luar dugaannya, sejak Siao-liong-li
belajar ilmu berkelahi dua tangan dengan dua cara dari Ciu Pek-thong itu, kepandaiannya
serentak bertambah satu kali lipat, kalaupun tubuh mengidap racun tenaga
dalamnya banyak berkurang, tapi betapa hebat Giok-li-kiam-hoat yang
dimainkannya dengan kedua tangan sekaligus manabisa ditandingi golok dan pedang
Kongsun Ci.
Dalam sekejap saja sepasang pedang yang
diputar Siao liong-li itu telah berubah menjadi dua gulung sinar putih, kalau kiri
bertahan, yang kanan segera menyerang dan begitu seterusnya secara bergantian
Keruan Kongsun Ci menjadi kelabakan dan terdesak.
Makin lama makin heran dan gelisah hati
Kongsun Ci, diam-diam ia menyesal, kalau tadi mengetahui orang telah berhasil
meyakinkan ilmu pedang selihay ini, tentu dia takkan bergebrak dengannya. Masih
untung baginya karena Siao-liong-li tidak bermaksud membunuhnya, maka untuk
sekian lama Kongsun Ci masih sanggup bertahan.
Begitulah mereka terus bertempur dengan
sengitnya di tebing yang curam itu, tidak lama It-teng Taysu, Oey Yong, Kwe Hu,
Yalu Ce dan Yalu Yari juga dan sama terperanjat menyaksikan pertarungan sengit
mereka di tempat yang berbahaya itu.
Kwe Hu berkata kepada Yalu Ce: “Lekas kita
maju membantunya, sendirian mana Liong-cici mampu
mengalahkan dia?”
Biarpun watak Kwe Hu rada sembrono dan sejak
kecil selalu dimanjakan sang ibu, tapi pada dasarnya sebenarnya berhati bajik.
Ketika menyaksikan keadaan Siao-liong li sangat berbahaya, ia sendiripun pernah
bergebrak dengan Kongsun Ci dan diketahuinya kepandaian kakek bermata satu itu
sangat lihay, bahkan ibunya juga bukan tandingannya, apalagi sekarang
Siao-liong li menempurnya sendirian. Tapi Yalu Ce mengatakan jembatan batu itu
tak muat lagi orang lain, hal
inipun memang nyata.
Saking cemasnya terpaksa ia berseru “Lekas
mencari akal untuk membantu Liong-cici ibu!”
Padahal tanpa seruannya itu, setiap orang
juga berharap bisa membantu Siao-liong li meninggalkan tempat berbahaya itu,
tapi apa daya, andai kata bisa terbang ke sana juga tiada tempat untuk
berpijak.
Terdengar suara bentakan Kongsun Ci golok dan
pedangnya menyerang serabutan, kedua pedang Siao liong-li menyamber kian kemari
dengan lemasnya seperti kekurangan tenaga, kalau berlangsung, lama tampaknya
dia pasti akan celaka di tangan Kongsun Ci, Hanya Yo Ko, Oey Yong dan It-teng
Taysu saja yang dapat melihat dengan jelas bahwa sesungguhnya Siao-liong-li
yang lebih unggul.
Sejenak puIa, dapatlah Oey Yong melihat cara
bertempur Siao-liong-li itu ternyata adalah ilmu berkelahi dengan dua tangan
dan dua cara. Kepandaian ini di seluruh jagat tiada orang ketiga yang paham
selain Ciu Pek-tong dan Kwe Ceng, maka jelas kepandaian Siao liong-li ini pasti
ajaran Ciu Pek-thong.
Dilihatnya Kungfu yang dimainkan Kongsun Ci sesungguhnya
teramat lihay, sedangkan Siao-liong-li habis luka berat dan keracunan, tenaga
dalamnya banyak susut, meski jurus serangannya lebih unggul namun dalam waktu ratusan
jurus juga sukar menundukkan Kongsun Ci.
Tiba-tiba teringat satu akal oleh Oey Yong,
segera ia berkata: “Ko-ji, kau dan aku berbareng bicara pada Kongsun Ci, kau
mengertak dan me-nakut2i dia, sebaliknya aku membuatnya gembira, supaya dia
lengah dan perhatiannya terpencar.”
Habis itu ia lantas mendahului berteriak:
“Hai, Kongsun-siansing, ini kabar baik bagimu, perempuan jahat Kiu Jian-jio itu
sudah kubunuh tadi!”
Tergetar juga hati Kongsun Ci mendengar ucapan
itu, ia menjadi ragu-ragu, setengah percaya setengah sangsi.
Segera Yo Ko ikut berseru: “Kongsun Ci, Li
Bok-chiu menganggap kau ingkar janji karena tidak membawakan obat yang kau
sanggupkan padanya, maka ia telah datang hendak membikin perhitungan dengan
kau.”
“Tidak, tidak!” cepat Oey Yong menambahkan,
“Kata Li Bok-chiu, asalkan kau mampu menyembuhkan racun dalam tubuhnya, maka
dia rela menjadi isterimu”
“Ah, mustahil kami mau tinggal diam?” seiu Yo
Ko pula,
“Kami pasti akan berusaha menggagalkan angan-anganmu,
kalau kau tertangkap kami, akan kami siksa kau juga dengan duri bunga cinta itu
supaya kau juga tahu rasa.”
“Persengketaan kita dapat didamaikan, tidak
perlu kau kuatir, bagaimana kalau sekarang juga kita mulai berunding?” seru Oey
Yong,
“He, celaka! Pelayanmu yang kau bunuh dahulu
itu telah menjadi hantu dan muncul hendak menagih jiwa padamu!” teriak Yo Ko.
“Nah, nah, itu dia! Awas Dia berdiri tepat di belakangmu, wah, kukunya panjang2
dan tampaknya kau akan diterkamnya”
Begituiah Oey Yong dan Yo Ko berseru secara
bergantian ucapan mereka sebentar membikin takut hati Kongsun Ci dan lain saat
membuatnya senang.
Sudah tentu Siao-Iiong-li juga dapat
mendengar semua perkataan itu, cuma lantaran urusannya tidak menyangkut kepentingannya,
pula dia dapat membagi pikirannya, dan dilaksanakan dengan dua tangan,
serangannya sedikitpun tidak menjadi kendur sebaliknya Kongsun Ci memang sudah terdesak
di bawah angin, karena pengacauan ucapan Yo Ko dan Oey Yong itu, pikirannya
semakin kacau.
Akhirnya ia menjadi gemas dan membentak:
“Kalian mengoceh apa? Lekas tutup mulut!”
“He, awas, Kongsun Ci!”
seru Yo Ko pula, “Siapa itu nona yang berambut semerawut di belakang itu?
Lidahnya menjulur panjang, mukanya penuh darah. Ah, dia hendak mencengkeram
lehermu, awasi Wah, celaka!”
Meski Kongsun Ci tahu anak muda itu sengaja
hendak mengacaukan pikirannya, tapi teriakan-teriakan ngeri itu membuatnya
merinding juga dan tanpa terasa ia melirik sekejap ke belakang Kesempatan itu
tidak di-sia-2kan Siao-Iiongli, pedangnya menyamber tiba, dengan tepat pergelangan
tangan kiri Kongsun Ci tertusuk.
Dengan sendirinya pegangan Kongsun Ci menjadi
kendur, golok emasnya mencelat jatuh ke jurang, sampai lama sekali barulah-
terdengar kumandang suara pelahan, sanu.. seperti suara kecebur dalam air,
agaknya di bawah jurang itu adalah sebuah kolajn atau sungai.
Semua orang saling pandang dengan melongo,
begitu lama golok itu terjatuh ke bawah barulah menerbitkan suara, maka betapa
dalamnya jurang itu sungguh sukar diukur.
Begitu kehilangan goloknya, jangankan
menyerang lagi, untuk bertahan saja sukar bagi Kongsun Ci. Sebaliknya serangan
Siaoliong-li semakin lancar dan gencar, ber-turut-urut ia menusuk lagi empat
kali ke kanan dan ke kiri, tubuh Kongsun Ci tergeliat, pedang hitamnya kembali
terjatuh lagi ke jurang dan mati kutulah dia.
Sambil mengancam dada dan perut lawan dengan sepasang
pedangnya, Siao-Iiong-li lantas ber-kata: “Kongsun-siansing, silakan kau
menyerahkan Coat-ceng-tan dan jiwamu takkan kuganggu.”
“Tapi bagaimana dengan orang-orang -itu?” Tanya
Kongsun Ci dengan suara gemetar
“Kujamin takkan membikin susah kau,” jawab
Siao-liong-li.
Dalam keadaan demikian yang dipikir Kongsun
Ci hanya menyelamatkan jiwa belaka, segera ia mengeluarkan botol kecil itu dan
disodorkan.
Sambil tetap mengancam dada lawan dengan
sebelah pedangnya, tangan SiaoliongIi yang lain menerima botol itu dengan
perasaan girang dan pedih pula, pikirnya: “Meski aku sendiri takdapat hidup
lama, akhirnya Coat-ceng-tan ini dapat kurampas untuk menolong Ko-ji.” - Segera
ia berlari balik ke seberang sini.
Meski sebelumnya Bu Sam-thong, Cu Cu-liu dan
lain-lain sudah tahu ilmu silat Siao-liong-li sangat lihay, tapi sama sekali
tidak menduga dia memiliki kepandaian sesakti ini, dapat sekaligus memainkan
dua pedang dengan dua cara yang berlainan.
Mereka pernah mendengar bahwa Ciu Pek-thong
dan Kwe Cing mahir memainkan dua cara bertempur yang berbeda dengan kedua
tangan, tapi mereka cuma mendengar saja dan belum pernah menyaksikan sendiri
sekarang mereka dapat melihat betapa lihay kepandaian Siao-liong-li itu, mereka
menjadi kagum tak terhingga.
Tentu saja Yalu Ce, Yalu Yan, Thia Eng, Kwe
Hu dan lain-lain juga tidak kepalang kagumnya menyaksikan betapa lihay ilmu
silat Siao-liong-li itu, padahal usianya sebaya dengan mereka, malahan
kelihatan lemah gemulai, kalau tidak menyaksikan sendiri tentu orang takkan
percaya.
Sementara itu dengan gaya indah laksana
bidadari turun dari kahyangan Siao-liong li telah mc layang balik dari jembatan
batu sana, serentak semua orang bersorak gembira dan memuji. Cepat Yo Ko
memburu maju dan memegangi tangan sang isteri, Semua orang juga lantas
merubungnya untuk bertanya.
Cepat Siao-liong-Ii membuka botol porselen
itu dan menuang keluar setengah butir pil, katanya dengan tersenyum simpul:
“Koji, obat ini tulen bukan?”
Tapi Yo Ko memandang obat itu dengan tak
acuh, jawabnya: “Memang tulen, Liong ji, bagaimana keadaanmu? Mengapa kau
begini pucat? Coba kau mengatur pernapasanmu”
Namun Siao-liong-li tetap tersenyum saja,
Ke-tika berlari balik tadi memang sudah dirasakannya darah terasa bergolak dalam
rongga dadanya, rasanya muak dan ingin muntah, tapi sekuatnya ia telah
bertahan, ia tahu racun yang diidapnya itu terlalu dalam, untunglah dia telah
berhasil merebut setengah biji Coat ceng tan, lebih dari itu tak terpikir lagi
olehnya.
Sambil menggenggam tangan Siao-liong-li yang
terasa semakin dingin, dengan cemas Yo Ko ber-tanya: “He, Liong-ji, bagaimana
perasaanmu?” “Ah, tak apa-apa, lekas kau minum obat ini,” ujar Siao-
liong-ii.
“Liong-ji,” kata Yo Ko dengan suara gemetar,
“setengah biji obat ini sukar menyelamatkan jiwa dua orang, untuk apa lagi? O,
Liong-ji, masakah kau belum tahu perasaanku? Jika engkau mati, masakah aku
dapat hidup sendirian?” Berkata sampai di sini, rasa dukanya tak tertahan,
mendadak ia rampas botol beserta obatnya
terus dilemparkan ternyata setengah biji obat, satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan
racun yang diidapnya itu telah dibuangnya ke jurang yang tak terhingga dalamnya
itu..
Kejadian ini benar-benar di luar dugaan siapapun
juga semua orang melengak dan segera sama berseru kaget.
Siao-liong-li tahu Yo Ko bertekad akan
sehidup dan semati dengan dia, hatinya menjadi pedih, duka tercampur terima
kasih pula. sehabis bertempur sengit dan racun dalam tubuhnya mulai bekerja, ia
tidak tahan lagi, ia tergeliat terus jatuh pingsan dalam pelukan Yo Ko.
Kedua saudara Bu, Kwe Hu, Wanvan Peng dan
anak-anak muda iain tidak paham duduknya perkara, beramai-ramai mereka bertanya
dan membicarakan kejadian ini.
Mendadak Bu Sam thong membentak: “Li
Bok-chiu, sekali ini jangan kau harap dapat lolos lagi!”
Serentak iapun memburu ke lereng gunung
sebelah sana.
Waktu semua orang memandang ke sana, terlihat
Kongsun Ci sedang berlari secepat terbang dengan
Ginkangnya yang tinggi, di tanjakan lereng gunung
sana tiba-tiba berkumandang suara tertawa orang tua, menyusul seorang muncul
dengan memanggul sebuah peti besar, kiranya adalah Lo-wan-tong Ciu Pek-thong,si
Anak Tua Nakal.
“He, Lo-wan-tong, lekas giring Tokoh jubah
kuning itu ke sini!” seru Oey
Yong.
“Baik boleh kalian saksikan kepandaian
Lo-wan-tong!” seru Ciu Pek-thong sambil membuka tutup peti, kedua tangannya ber-gerak2,
seketika segerombolan tawon madu menyamber keluar terus menerjang ke arah Li
Bok-chiu.
Ketika pasukan Mongol membumi-hanguskan
Cong-lam-san, kawanan Tosu dari Coan cin-kau sempat meninggalkan gunung dengan
membawa kitab agama dan benda-benda berharga lain, tapi yang dibawa Cui
Pek-thong adalah sebuah peti yang berisi sekawanan tawon putih piaraan
Siao-liong-li dahulu.
Biarpun sifatnya jenaka dan tingkah- lakunya
ugal2an tapi bakat Ciu Pek-thong sebenarnya sangat pintar, tanpa kenal lelah ia
terus mempelajari cara memimpin kawanan tawon putih itu, akhirnya dia berhasil
juga menemukan kuncinya.
Sekarang ia diminta Oey Yong menggiring Li
Bok-chiu, kebetulan baginya untuk pamer kepandaian yang baru berhasil dipelajarinya
itu.
Begitulah Kongsun Ci menjadi kaget melihat
kawanan tawon itu, ia tidak berani lagi mendekati Li Bok-chiu melainkan terus
menyelusup ke semak-semak sebelah sana.
Li Bok-chiu juga kelabakan melihat terjangan
kawanan tawon itu, terpaksa ia berlari ke sini mengikuti jalanan pegunungan
itu, segera Bu Sam-thong didahului kedua puteranya serta Liok Bu siang dan Thia
Eng memapak dengan senjata terhunus.
Tiba-tiba Yalu Ce berteriak: “Lihay benar
engkau Suhu! Lekas engkau simpan kembali kawanan tawon itu ke dalam kandang!”
Segera Ciu Pek-thong berkaok-kaok ingin
menggiring kembali kawanan tawon itu ke dalam peti, tapi di tengah ribut-ribut,
mana kawanan tawon mau menuruti perintahnya?
Sambil tetap men-dengung2 gerombolan tawon
putih itu tetap mengejar ke arah Li Bokchiu.
Kuatir Li Bok-chiu kabur lagi, tanpa
menghiraukan sengatan tawon, segera Bu Sam-thong mengudak ke sana.
“Liong-ji. Liongji!” Yo Ko merangkul
Siao-liong-li dan memanggilnya pelahan. Siao-liong-li membuka matanya sedikit2,
telinganya mendengar suara mendengung tawon hingga rasanya seperti sudah berada
di kediaman lama di Cong-lam-san, hatinya menjadi girang dan bertanya: “Apakah
kita sudah berada dirumah?” Tapi setelah tenangkan diri baru ingat apa yang terjadi
tadi.
Segera ia bersiul pelahan beberapa kali, lalu
membentak pula beberapa kali, seketika kawanan tawon putih itu ber-putar-putar
di sekeliling Li-Bok chiu dan tidak terbang serabutan lagi, “Suci.” katanya, “selama
hidupmu telah banyak dosa, apakah sekarang kau tidak menyesal?”
Wajah Li Bok-chiu pucat seperti mayat,
jawabnya: “Mana itu Coat-ceng-tan?”
Siao-liong-li tersenyum pedih, katanyaj “Coat
ceng tan itu sudah terlempar ke dalam jurang, Mengapa kau membunuh paderi Hindu
itu? Kalau dia tidak mati, bisa jadi jiwaku dan jiwa Ko-ji dapat tertolong,
bahkan kaupun dapat diselamatkan.”
Mendelong perasaan Li Bok-chiu, ia tahu
Sumoay nya ini selamanya tidak suka omong ko-song. Diam-diam ia merasa menyesal
bahwa jarumnya telah menewaskan paderi Hindu itu sehingga dirinya sendiri juga
ikut celaka.
Sementara itu Bu Sam-thong dan lain-lain
sudah merubung maju, sedangkan Ciu Pek-thong masih sibuk berteriak-teriak dan
berjingkrakan ingin memanggil kawanan tawon.
“Kakek Ciu, begini caranya,” seru
Siao-liong-li, lalu ia bersiut dan membentak seperti tadi.
Ciu Pek-thong menirukan bersuit dan
membentak, benar juga beribu-ribu tawon putih itu lantas terbang menyusul kembali
ke dalam peti, Karuan ia sangat girang, serunya: “Terima kasih nona Liong.”
“Saudara Pek-thong, sudah lama tak berjumpa,
kau ternyata sehat2 saja seperti dulu” dengan tersenyum It-teng Taysu menyapa.
Untuk sejenak Ciu Pek-thong melengak karena
tak disangkanya It-teng Taysu juga berada di situ, cepat ia menutup peti dan
berkata: “Ya, aku sehat, kaupun sehat, semua juga sehat!” Habis ini ia panggul
petinya terus mengeluyur pergi tanpa berpaling lagi.
Melihat keadaan sekelilingnya, Li Bok-chiu
menyadari kedudukannya yang suiit, melulu Oey Yong, Yo Ko dan Siao-liong-li
salah seorang saja sukar dilawan, apalagi sekarang kalau main kerubut ia
menjadi nekat, teriaknya: “Hm, percuma kalian menganggap diri sebagai kaum
pendekar, tahunya, hehe, kalianpun suka main keroyok, Siausumoay, sebagai anak
murid Ko-bong-pay, betapapun aku tidak boleh mati ditangan orang luar, Nah,
silakan kau maju saja!” Sembari berkata ia terus menyodorkan gagang pedang ke
depan dan ujung pedang mengarah ke dadanya sendiri Namun Siao-liong-li hanya
menggeleng, kata-nya: “Urusan sudah terlanjur begini, untuk apa kubunuh kau?”
“Li Bok-chiu,” bentak Sam-thong mendadak
“Sekarang ingin kutanya kau, jenazah Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun telah kau
bawa ke mana?”
Mendengar nama Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun
tiba-tiba di sebut, tubuh Li Bok-chiu menjadi gemetar, mukanya ber kerut2, lalu
menjawab: “Sudah kubakar menjadi abu. Abu tulang yang seorang kutebarkan di
puncak Hoa-san, abu tulang yang Iain kubuang ke lautan timur, supaya mereka berdua
takkan menjelma kembali dan tak pernah berkumpul lagi.”
Melihat cara mengucap Li Bok-chiu yang
gregetan dan penuh dendam itu, diam-diam semua orang terkesiap dan gegetun.
Segera Bu-siang berkata: “Liong-cici adalah
orang baik dan tidak tega membunuh kau, tapi segenap keluargaku telah kaubunuh
semua, hanya tersisa aku saja seorang, hari ini aku harus menuntut balas,
Piauci, hayolah kita maju!”
“Kau membunuh ibuku, betapapun kami tak dapat
mengampuni kau,” seru kedua saudara Bu.
“Orang yang tewas di bawah kebut dan jarumku
tak terhitung banyaknya, jika semuanya ingin menuntut balas padaku, darimana
aku mempunyai nyawa cadangan sebanyak itu? Bagaimanapun juga jiwaku cuma satu,”
ujar Li Bok-chiu tak acuh.
“Jika begitu kemurahan bagimu,” seru Bu-siang
dan Siu Bun berbareng dan segera menubruk maju dengan senjata masing-masing.
Mendadak Li Bok-chiu angkat pedangnya,
“pletak”, tahu-tahu pedang itu bergetar patah, sambil tersenyum mengejek Li
Bok-chiu bersikap menghina dan berdiri diam tanpa melawan, ia tunggu serangan
kedua anak muda itu dan tamatlah riwayatnya.
Pada saat itulah mendadak di sebelah timur
sana ada asap tebal mengepul dan api berkobar dengan hebatnya.
“Hah, perkampungan sana terbakar!” seru Oey Yong.
“Tunda dulu membunuhnya, selamatkan jenazah
Susiok lebih penting,” kata Cu Cu-liu sambil melompat maju, sekaligus ia tutuk
tiga Hiat-to penting di tubuh Li Bok-chiu agar tidak dapat kabur lagi.
“Juga jenazah nona Kongsun,” demikian Thia Eng menambahkan.
Semua orang membenarkan dan beramai-ramai
mereka lantas berlari ke arah datangnya tadi. Kedua saudara Bu cilik menggiring
Li Bok-chiu, sedang Yo Ko, Siao-Iiong-li, Oey Yong dan It-teng Taysu menyusul
dari belakang dengan pelahan.
Walaupun masih cukup jauh dari perkampungan
kediaman Kongsun Ci itu, hawa panas sudah menyerang dengan ganasnya, terdengar
suara jeritan dan teriakan ngeri disertai suara gemuruh ambruknya atap dan
belandar rumah.
“Keparat Kongsun Ci itu benar-benar terlalu
jahat, nona Liong seharusnya membinasakan dia saja,” ujar Bu Sam-thong.
“Api ini besar kemungkinan bukan dikobarkan
oleh Kongsun Ci kukira perbuatan nenek gundul Kiu-jian jio itu,” kata Cu
Cu-liu.
“Kiu Jian-jio
katamu?” Bu Sarn-thong melengong bingung, “Untuk apa dia membakar kediaman
sendiri yang sukar dibangun ini?”
Sembari berlari ke depan Cu Cu-liu menjawab:
“Sebagian besar anak murid Kongsun Ci tidak tunduk padanya, sekalipun kita
membunuh Kongsun Ci juga nenek gundul itu takdapat berdiam aman tenteram di
sini, kulihat nenek itu berjiwa sempit dan…” tengah berkata sampailah mereka di
dekat semak-semak bunga cinta yang rada jauh dari kobaran api itu.
Terlihat jenazah paderi Hindu itu masih
menggeletak di sana dengan wajah tersenyum simpul seperti orang hidup, agaknya
sebelum ajalnya paderi itu menemukan sesuatu yang membuatnya kegirangan.
“Tampaknya Susiok mendadak meninggal sehingga
sama sekali tidak menderita,” ujar Bu Sam-thong.
Cu Cu-liu berpikir sejenak, lalu berkata,
“Waktu itu Susiok sedang mencari rumput yang dapat memunahkan racun bunga
cinta.”
Sementara itu Oey Yong dan It-teng Taysu juga
sudah menyusul tiba, demi mendengar ucapan Cu Cu-liu itu, Oey Yong lantas
memeriksa sekitar jenazah paderi Hindu itu, tapi tidak menemukan sesuatu yang
aneh, ia coba meraba baju paderi itu dan tetap tiada menemukan sesuatu benda.
“Apakah susiokmu tidak meninggalkan sesuatu
pesan?” tanyanya kepada Cu liu.
“Tidak,” jawab Cu-Jiu, “Kami keluar dari
rumah omprongan itu dan tidak menyangka akan disergap musuh secara mendadak.”
Tiba-tiba Oey Yong melihat air muka paderi
Hindu yang mengulum senyum itu, pikirannya tergerak cepat ia memeriksa tangan
paderi itu Terlihat-lah kedua jari tangan kanannya memegangi setangkai kecil
rumput warna ungu, pelahan Oey Yong mementang jarinya dan rumput kecil itu diambil-nya,
lalu bertanya: “Rumput apakah ini?” Cu-liu menggeleng karena tidak tahu, Oey
Yong coba mengendus rumput itu, terasa bau busuk dan memuakkan.
“Awas, Kwe-hujin, itulah Toan-jong-jau
(rumput perantas usus) dan mengandung racun hebat,” cepat It-teng berseru. Oey
Yong melengak dan sangat kecewa oleh keterangan itu.
Dalam pada itu kedua saudara Bu juga sudah
tiba menggiring Li Bok-chiu, mendengar rumput beracun itu, Siu-bun lantas
berkata kepada Oey Yong: “Sunio (ibu guru), suruh iblis maha jahat ini makan
rumput itu saja.”
“Ai, anak kecil jangan berpikiran buruk
begitu,” ujar It-teng.
“Cosuyaya (kakek guru), terhadap manusia
jahat begini mengapa engkau juga kasihan padanya?” ujar Siu-bun.
Sementara itu pepohonan di sebelah sana juga
sudah terjilat api dan menerbitkan suara pletak pletok yang keras, hawa panas
juga semakin hebat, Cepat Oey Yong berkata: “Marilah kita mundur ke atas bukit
bukit di sebelah timur sana.” Beramai-ramai mereka lantas lari ke lereng bukit
sana, terlihatlah bangunan yang berderet-deret itu dalam waktu singkat telah
musnah ditelan lautan api.
Karena Hiat-to tertutuk, meski dapat berjalan,
tapi ilmu silat Li Bok-chiu tak dapat digunakan sama sekali, diam-diam ia
mengerahkan tenaga dalam, maksudnya hendak melancarkan Hiat-to yang ter-tutuk
itu dan dapat meloloskan diri jika penjagaan agak lengah. Tak terduga begitu ia
mengerahkan tenaga, seketika dada dan perutnya kesakitan ke-ras, tak tahan lagi
ia menjerit.
Rupanya racun bunga cinta yang mengeram dalam
tubuhnya itu semula terbendung oleh tenaga murninya sehingga belum dapat
bekerja, kini tenaga murninya digunakan menembus Hiat-to yang tertutuk sehingga
tenaganya terpencar, racun lantas bekerja dengan ganasnya.
Dalam keadaan dada dan perut kesakitan hebat,
dari jauh dilihatnya Yo Ko dan Siao-liong-li berjalan mendatangi, yang satu
pemuda cakap ganteng, yang lain nona cantik molek, pandangannya seketika
menjadi kabur, samar-samar kedua muda-mudi yang dilihatnya seakan-akan Liok
Tian-goan yang dirindukan nya selama hidup ini beserta isterinya, yaitu Ho Wan-kun,
tanpa terasa ia terus berteriak:
“Tian goan, kejam benar kau! Dalam keadaan begini
kau tega benar menemui aku?”
Karena rangsangan cintanya itu, makin hebat
racun bunga yang menyiksanya itu hingga sekujur badan gemetar, kulit daging
mukanya ber-kerut2 kejang, Melihat sikapnya yang menakutkan seperti orang gila
itu, tanpa terasa semua orang melangkah mundur.
Selamanya Li Bok-chiu berwatak angkuh dan tak
pernah mau tunduk kepada orang lain, sekarang hatinya pedih dan tubuhnya
menderita, saking tak tahan ia berteriak-teriak: “Aduh, sakiti Tolong! Lekas
tolong!”
“Sebenarnya Susiokku dapat menolong kau,
namun kau telah membunuhnya.” kata Cu Cu-liu sambil menunjuk jenazah paderi
Hindu.
Sambil mengertak gigi Li Bok-chiu menjawab:
“Benar, memang akulah yang membinasakan dia, Setiap manusia di dunia ini, baik
atau buruk pasti akan kubunuh, Aku akan mati, ya, aku akan mati! Untuk apa
kalian hidup? Aku ingin mati bersama kalian.”
Saking tak tahan sakitnya, mendadak ia
menubruk ke ujung pedang yang dipegang Bu Tun-si.
Setiap hari Bu Tun-si berusaha menuntut balas
dan ingin membunuh musuh besar ini, tapi sekarang mendadak musuh menubruk ke
ujung pedang-nya, ia menjadi terkejut malah dan tanpa terasa ia menarik kembali
pedangnya Karena itu Li Bokchiu telah menubruk tempat kosong, ia tergelincir ke
bawah bukit terus terguling ke tengah lautan api.
Semua orang sama menjerit kaget, dari atas
mereka dapat melihat sekejap saja Li Bok-chiu telah terbungkus oleh kobaran
api, namun dia justeru merangkak bangun dan berdiri tegak tanpa bergerak lagi
dan sama sekali tidak menghiraukan tubuhnya yang terbakar itu.
Teringat hubungan saudara seperguruan
Siao-liong-li merasa tidak tega, ia berseru : “Suci, lekas lari keluar, lekas!”
Namun Li Bok-chiu tetap berdiri tegak di
tengah api yang berkobar-kobar itu, dalam waktu singkat tubuhnya berubah menjadi
sepotong tunggak hitam dan akhirnya roboh. Siao-Iiong-Ii memegangi lengan Yo Ko
sambil menutupi mukanya seru meneteskan air mata.
Melihat nasib Li Bok-chiu yang berakhir
secara mengenaskan ini, biarpun Thia Eng dan Liok Bu-siaog tidak pernah
melupakan sakit hati terbunuhnya ayah-bunda mereka serta segenap anggota
keluarga, sekarang dendam itu sudah terbalas, namun sedikitpun mereka tidak
bergembira menyaksikan kematian Li Bok-chiu itu.
Oey Yong memondong Kwe Yang, teringat kepada
kejahatan yang pernah diperbuat Li Bok-chiu itu, ternyata iblis itu juga pernah
berbuat suatu kebaikan, yakni merawat Kwe Yang cilik selama beberapa hari. Oey
Yong lantas pegang kedua tangan Kwe Yang dan memberi hormat ke arah api sebagai
tanda terima kasih kepada Li Bok-chiu.
Semula Yo Ko bermaksud menyelamatkan juga
jenazah Kongsun Lik-oh, tapi api kelihatan berkobar dengan hebatnya, segenap
bangunan sudah tenggelam di tengah lautan api sehingga tak berdaya lagi,
diam-diam Yo Ko merasa sedih, ia menghela napas panjang sambil memandang
kobaran api dengan kesima.
Pada saat itulah se-konyong- di atas gunung
sebelah timur-laut sana ada suara tertawa melengking aneh laksana bunyi burung
hantu, suaranya menusuk telinga walaupun berkumandang dari jarak yang cukup
jauh, dapat dibayangkan tenaga dalam orang sesungguhnya sangat hebat.
“ltulah suara Kiu Jian-jio!”
kata Yo Ko. “Mengapa dia bisa berada di puncak gunung sana?”
Tergerak hati Siao-liong-li, katanya: “Coba
kita ke sana untuk menanyai dia apakah masih menyimpan Coat-ceng-tan.
“Liong-ji, masakah sampai sekarang kau masih
memikirkan hal ini?” ujar Yo Ko dengan tersenyum getir.
Maksud kedatangan Oey Yong, Bu Sam-tkong,
Thia Eng dan lain-lain ke Coat-ceng-kok ini memang untuk mencarikan obat bagi
Yo Ko, maka mereka sama menyetujui usul Siaoliong-li itu, mereka pikir kalau
dari Kiu Jian-jio bisa dimintakan Coat-ceng-tan lagi pasti Yo Ko akan dipaksa
meminumnya dan takkan membiarkan anak muda itu membuang obatnya lagi secara
sia-sia.
Karena pikiran mereka sama, berbareng mereka
lantas berseru: “Marilah kita pergi ke sana,” - Segera Bu Sam-thong dan kedua
puteranya serta Yalu Ce dan Wanyan Peng lantas mendahului berlari ke sana.
Yo Ko menghela napas dan menggeleng kepala,
pikirnya: “Apa gunanya usaha kalian ini kecuali kalian dapat mencarikan obat
mujijat yang mampu menghidupkan jiwa kami suami-isteri sekagus,”
Sejak tadi Thia Eng hanya memandangi Yo Ko
dengan diam-diam saja, kini mendadak berkata: “Nyo-toako, janganlah engkau
mengecewakan maksud baik orang banyak, Marilah kita juga pergi ke sana?”
Selama ini Thia Eng sangat baik pada Yo Ko,
dalam hati anak muda inipun sangat berterima kasih, walaupun cintanya sudah
dicurahkan kepada Siao-liong-li seorang dan tidak mungkin bergeser lagi, tapi
terhadap nona yang berpribadi halus budi ini biasanya ia sangat menghormatnya.
Sejak kenal Yo Ko juga Thia Eng tidak pernah
memohon sesuatu padanya, kini mendadak mengutarakan kata-kata itu, betapapun Yo
Ko sukar menolaknya, terpaksa ia mengangguk dan berkata: “Baiklah, coba kita
lihat nenek itu main gila apalagi di puncak gunung sana,”
Begitulah beramai-ramai mereka lantas berlari
ke atas gunung menurut arah datangnya suara tertawa Kiu Jian-jio.
Yo Ko sudah pernah melihat pepohonan di atas
gunung ini, jelas inilah tempat yang pernah dilaluinya ketika dia dan Kongsun
Lik oh serta Kiu Jian-jio lolos dari gua di bawah tanah itu. sekarang
pemandangan alam masih tetap begitu, namun Kongsun Lik-oh sudah tidak ada,
dirinya sendiri juga tidak lama lagi tinggal di dunia fana ini, teringat semua
itu, ia menjadi terharu.
Kira-kira beberapa ratus meter di bawah
puncak gunung itu, dapatlah rombongan mereka melihat jelas Kiu Jian-jio sendirian
duduk di suatu kursi dan sedang tertawa menengadah seperti orang gila.
“Dia tertawa sendirian di situ, mungkin
otaknya kurang waras,” ujar Bu-siang.
“Kita jangan mendekati dia,” kata Oey Yong
“Orang ini sangat kejam dan keji, kita harus waspada kalau-kalau dia mengatur
tipu muslihat untuk menjebak kita, Kukira dia tidak gila sungguhan.”
Karena jeri terhadap senjata rahasia nenek
gundul yang lihay itu, mereka berhenti di kejauhan. Segera Oey Yong hendak bersuara
menegur, tapi tiba-tiba terlihat seorang muncul dari balik karang di depan
sana, siapa lagi dia kalau bukan Kongsun Ci.
Mendadak Kongsun Ci menanggalkan jubahnya
terus diputar dan dikebaskan hingga lurus dan mengencang, begitu indah dan kuat
gerakannya, sungguh lihay luar biasa.
Diam-diam semua orang memuji kehebatan tenaga
dalam Kongsun Ci itu, Terdengar dia menyeringai dan membentak: “Hm, nenek jahat
dan keji, apimu sekaligus kau telah memusnahkan perkampunganku yang dibangun
leluhur kami, hari ini jiwamu tidak mungkin dapat lolos dari tanganku!”
Berbareng ia terus berlari ke arah
Kiu-Jian-jio sambil memutar jubahnya.
“Serrr!” terdengar suara mendesir keras satu
kali, dari mulut K iu Jian-jio tersembur satu biji buah kurma ke arah Kongsun
Ci. Suara desiran itu berkumandang dari puncak gunung, jarak sambaran senjata
rahasia itupun cukup jauh, sebab itulah suaranya menjadi lebih nyaring dan
tajam.
Kelihatan Kongsun Ci mengebaskan jubahnya
seketika pula buah kurma itu kena dilibatnya, Tadinya Kongsun Ci tidak yakin
jubahnya mampu menahan senjata rahasia lihay itu, soalnya dia teramat murka,
pula melihat Kiu Jian-jio duduk sendirian di puncak gunung tanpa bala bantuan
ia pikir itulah kesempatan bagus untuk membinasakan bekas isterinya itu.
Sebab itulah dengan menyerempet bahaya ia
terus menerjang ke situ, apalagi setelah jelas senjata rahasia isterinya itu
tak-dapat melukainya, segera ia menerjang lebih cepat lagi ke depan.
Melihat Kongsun Ci sudah dekat, Kiu Jian-jio
tampak ketakutan dan ber teriak-teriak: “Wah, celakai Tolong! Tolong!”
“Nenek itu hendak dibunuhnya, ibu,” kata Kwe
Hu kepada Oey Yong.
Oey Yong merasa tidak paham, sebab jelas
dilihatnya Kiu Jian-jio itu waras dan segar bugar, mengapa sengaja bergelak tertawa
dan memancing kedatangan bekas sang suami itu?
Dalam pada itu Kiu Jian jio telah
menyemprotkan dua biji paku buah kurma lagi, karena jaraknya sudah dekat, daya samberan
senjata rahasia itu jadi lebih keras, Cepat Kongsun Ci putar jubahnya untuk
menghalau.
Tapi mendadak ia menjerit satu kali, tubuhnya
terus menghilang kejeblos ke bawah tanah dan Kiu Jian jio lantas bergelak
tertawa pula.
Tapi suara tertawanya cuma terdengar “haha…”
dua kali saja, sekejap itu dari bawah tanah menyamber keluar kain panjang yang
melibat kaki kursi yang diduduki Kiu Jian-jio itu sehingga kursi dan orangnya
ikut terseret ke dalam tanah.
Suara tertawa Kiu Jian jio mendadak berubah
menjadi jeritan melengking tercampur teriakan ngeri Kongsun Ci berkumandang dari
bawah tanah. Suara itu berkumandang sampai lama untuk kemudian mendadak lenyap,
keadaan menjadi sunyi kembali.
Dari kejauhan semua orang dapat menyaksikan
dan mendengar kejadian itu dengan jelas, mereka saling pandang karena tidak
paham sebab musababnya, hanya Yo Ko saja yang tahu jelas seluk-beluk kedua
suami isteri itu.
Segera mereka berlari ke atas puncak,
tertampaklah empat pelayan perempuan menggeletak tak bernyawa di situ, di
samping ada sebuah lubang besar, waktu mereka melongok ke bawah, keadaan gelap
guita dan tidak kelihatan apapun.
Kiranya Kiu Jian-jio yang pernah tersiksa
cukup lama di gua bawah tanah itu kadung teramat sakit hati dan benci kepada
Kongsun Ci, lebih dulu ia bakar habis perkampungannya keluarga Kongsun yang
bersejarah be-ratus2 tahun itu, kemudian ia menyuruh empat pelayan menggotongnya
ke puncak gunung. Melalui lubang gua di puncak inilah tempo hari waktu dia
diselamatkan dari gua bawah tanah oleh Yo Ko dan Kongsun Lik-oh.
Ia memerintahkan pelayan2 itu mengumpulkan
ranting2 kayu, rumput kering dan sebagainya untuk menutupi lubang gua, lalu
pelayan2 itu dibinasakannya. Kemudian ia sengaja bergelak tertawa untuk
memancing kedatangan Konsun Ci. Ia menyemprotkan paku buah kurma serta menjerit
minta tolong, semua ini cuma pura-pura saja agar Kongsun Ci tidak curiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar