Kembalinya Pendekar Rajawali 102
Yo Ko merasa tenaga tarikan lawan sangat kuat,
pikirnya, “Kalau tidak kuperlihatkan tenaga sakti, orang dogol ini tentu tidak
mau takluk.”
Mendadak ia mengerahkan tenaga dan dipelintir
ke atas, tapi Su Ki-kiang tetap memegangi gadanya sekuat-kuatnya, keruan gada
yang menyerupai belalai gajah itu lantas bengkok.
“Bagus!” bentak Yo Ko terus ditekuk balik ke
bawah, karena ditekuk ke atas dan ke bawah, gada itu tidak tahan, “pletak”,
patah menjadi dua, Tangan Su Ki-kiang tergetar hingga lecet berdarah. Tapi dia
benar-benar kuat dan kepala batu, gada patah itu masih dipegangnya dengan
kencang.
Yo Ko bergelak tawa sambil membuang bagian
gada patah yang dirampasnya itu, kontan setengah gada itu ambles ke dalam tanah
bersalju itu, padahal tebal salju tiada satu kaki, sedangkan gada patah itu
panjangnya lebih tiga kaki, namun menghilang tanpa bekas ke dalam tanah, betapa
hebat
tenaga sakti Yo Ko sungguh sangat
mengejutkan.
Dilihatnya Su Siok-kang, Su Beng-ciat dan
lain-lain sedang membentak2 menghentikan serangan kawanan binatang buas, tapi
sekali kawanan binatang itu mengamuk dan melihat darah, sukarlah untuk
dikendalikan begitu saja.
Cepat Yo Ko memberi tanda kepada Kwe Yang
agar nona cilik itu menutup telinganya dengan tangan, walaupun tidak tahu apa
tujuannya tapi Kwe Yang menurut saja, segera ia mendekap rapat kedua kupingnya.
Segera Yo Ko berteriak dengan keras, begitu nyaring suaranya hingga seperti
bunyi guntur yang menggelegar.
Meski telinganya sudah ditutupi, tergetar
juga jantung Kwe Yang hingga berdebar-debar dan rada pening, untung sejak kecil
Lwe-kangnya tertumpuk cukup kuat sehingga suara Yo Ko itu tidak sampai
membuatnya roboh.
Suara Yo Ko itu masih terus menggelegar
hingga lama sekali, air muka semua orang sama berubah, kawanan binatang buas
juga sama roboh, menyusul Gerombolan Setan Se-xan dan Su-si-hengte juga
terguling, hanya tersisa belasan ekor gajah serta Su Siok-kang dan Kwe Yang
saja yang masih tetap berdiri, sedangkan si rajawali sakti tampak berdiri dengan
bersitegang leher, kelihatannya sangat umuk, sombong.
Melihat Su Siok-kang sanggup berdiri, Yo Ko
pikir tenaga dalam orang sakit ini juga hebat, tapi kalau suaranya dikeraskan
lagi sedikit sehingga Su Siok-kang dirobohkan, mungkin dia akan terluka dalam
dengan parah, Maka ia lantas menghentikan suara suitannya.
Selang tak lama, semua orang dan kawanan
binatang itu baru dapat berdiri kembali, tapi sebagian binatang kecil sebangsa
serigala dan sebagainya ada yang pingsan dan belum sadar kembali malahan di
mana-mana banyak terdapat kotoran binatang, rupanya saking ketakutan, kawanan binatang
itu banyak yang ter-kencing2 dan ter-berak2.
Dan begitu bangun, kawanan binatang itu terus
lari ke dalam hutan dengan mencawat ekor tanpa menunggu lagi komando Su
si-hengte.
Sudah tentu Su-si-hengte dan gerombolan
Se-tan Se-san itu tidak pernah menyaksikan perbawa sehebat ini. Mereka sama
berdiri kesima dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Maka berkatalah Yo Ko: “Maaf jika Cayhe telah
mengganggu soalnya Cayhe ada janji dengan Gerombolan Setan Se-san, terpaksa
harus kuhentikan pertarungan kedua pihak ini, nanti kalau persoalan Cayhe sudah
selesai, bolehlah silakan melanjutkan pertikaian kalian ini dan pihak manapun
Cayhe takkan membantu selain menonton saja di
samping.”
Lalu dia berpaling kepada Sat-sin-kui, si
setan elmaut: “Nah, bagaimana kalian? ingin satu persatu bergiliran menempur
aku atau sepuluh orang maju bersama sekaligus?”
Karena pengaruh suitan Yo Ko tadi, sampai
sekarang perasaan Sat-sin-kui belum lagi tenang, seketika ia tak dapat menjawab
pertanyaan Yo Ko: Segera Tiang-si-kui membeli hormat dan ber-kata:
“Sin-tiau-tayhiap, kepandaianmu dengan kami bedanya seperti langit dan bumi,
mana Gerombolan Setan Se-san berani bermusuhan lagi dengan engkau? jiwa kami
tadi telah diselamatkan olehmu, selanjutnya engkau ada perintah apapun pasti
akan kami laksanakan. Jika engkau suruh kami harus keluar dari wilayah Soasay
ini, maka segera kami akan pergi, sedetikpun tak berani tertahan di sini.”
Dari bentuk tubuh serta jenggotnya yang
panjang itu sejak tadi Yo Ko merasa kakek cebol ini seperti pernah dikenalnya,
setelah mendengar suaranya, segera ia bertanya, “Bukankah kau ini she Hoan
bernama It-ong?”
Kiranya Tiang-si-kui ini memang betul adalah
Hoan It-ong, yaitu murid tertua Kongsun Ci di Coat-ceng-kok, setelah jiwanya
diampuni Yo Ko, dia lantas mengasingkan diri, sepuluh tahun kemudian baru
berkecimpung pula di dunia Kang-ouw, berkat kepandaiannya yang lumayan itulah
dia berhasil mengepalai Gerombolan Setan Se-san.
Dulu Yo Ko dikenalnya sebagai pemuda yang
cakap dan berkepandaian tinggi, kini tangan Yo Ko buntung sebelah, pakai kedok
lagi, dengan sendirinya Hoan It-ong pangling padanya.
“Ya, hamba memang Hoan It-ong adanya dan siap
menerima pesan Sin-tiau-tayhiap.” demikian jawab Tiang-si-kui dengan munduk2.
Yo Ko tersenyum, katanya: “Jika kalian mau tunduk
pada perkataanku, maka kalian juga tidak perlu keluar dari wilayah Soasay,
Sat-sin-kui, cukuplah asalkan kau membebaskan saja keempat gundikmu itu.”
Sat-sin-kui mengiakan setelah terdiam
sejenak, katanya: “Jika keempat perempuan hina itu tidak mau angkat kaki, biar kuhalau
mereka dengan pentung.”
Yo Ko jadi melengak malah, teringat olehnya
ketika kelima isteri dan gundik Sat-siu-kui sama menyembah padanya dan mintakan
ampun bagi sang suami, sikap mereka yang sungguh-sungguh itu tampaknya memang
setia dan mencintai suaminya, kalau perempuan2 itu mau ikut dia, sekarang dia
malah diharuskan mengusir keempat gundiknya itu, bisa jadi tindakan ini malah
akan melukai hati mereka.
Maka dengan tertawa Yo Ko lantas menambahkan
“Usir sih tidak perlu, Kalau mereka ingin pergi, maka kau tidak boleh menahan
mereka, sebaliknya kalau mereka suka ikut kau, ya. apa mau dikatakan lagi? Tapi
kau bilang mau ambil lagi empat orang gundik, apakah betul ucapanmu ini?”
“Ah, persoalan perempuan itu sudah membikin
repot Sin-tiau-tayhiap, malahan jiwa para saudaraku ini hampir ikut melayang,
masakah hamba beradi ambil isteri lagi, Andaikan berani, rasanya Toako kami ini
juga takkan mengidzinkan.”
Serentak “Setan” yang lain tertawa geli
mendengar ucapan Sat-sin-kui itu.
“Baiklah, sekarang urusanku sudah selesai,
kalian boleh mulai bertempur lagi,” kata Yo Ko, lalu ia mundur ke sana bersama
rajawali sakti dan membiarkan Su-si-hengte dan Gerombolan Setan itu bertarung
lagi.
Segera Hoan It-ong melangkah maju dan berkata
kepada Su Pek-wi: “Gerombolan Setan Se-san sudah sama babak belur, biarkan
sementara ini kami mohon diri saja, Kami hanya ingin tahu selanjutnya
Ban-siu-san-ceng tetap bercokol di sini atau akan kembali ke Se-keng? Harap
dijelaskan supaya kelak kami dapat menemukan alamat kalian secara tepat.”
Dari nada ucapan itu, Su Pek-wi paham kelak
orang bermaksud mencarinya untuk menuntut balas, maka dengan angkuh iapun
menjawab: “Kami akan menanti kedatangan kalian di Se-keng saja, Jika Samte kami
akhirnya… akhirnya takkan disembuhkan maka tanpa kunjungan kalian juga kami berempat
saudara akan mendahului berkunjung kepada kalian.”
Hoan It-ong melengak, katanya: “Memangnya
Susamko sedang sakit, apa sangkut-paut sakitnya dengan kami, untuk ini mohon
diberi penjelasan?”
Su Pek-wi menjadi murka, dengan muka merah
padam ia berteriak: “Samte…”
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba Su
Siok-kang menghela napas panjang dan menyela: “Toako, urusan ini tidak perlu disebut
lagi, Kukira Gerombolan Setan Se-san juga tidak sengaja, mungkin sudah ditakdirkan
nasibku harus begini, maka tidak perlu banyak mengikat permusuhan lagi.”
“Baik!” seru Su Pek-wi dengan menahan
amarahnya, lalu dia memberi salam kepada Hoan liong dan berkata. “Selama gunung
tetap menghijau dan air tetap mengalir, kelak kita pasti bertemu lagi.”
Kemudian dia berpaling dan bertanya kepada Yo Ko: “Sin-tiau-tayhiap. kami
bersaudara terjungkal
di tanganmu, sungguh kami merasa sangat
kagum. Rasanya meski kami berlatih lagi 20 tahun juga tetap bukan tandinganmu,
sengketa ini jelas kami tidak berharap dapat membalasnya, kamipun tidak berani
lagi bertemu dengan engkau, pokoknya ke mana engkau datang di sana pula kami lantas
mendahului menyingkir.”
“Ah, ucapan Su-toako teramat berlebihan,”
ujar Yo Ko- dengan tertawa.
“Hayolah, kita berangkat” kata Su Pek- wi
sambil mendekati Su Siok-kang. ia memapah saudaranya yang sakit itu dan diajak
pergi, Hoan It-ong merasa ucapan Su Pek-wi itu banyak yang sukar dipahami,
cepat ia berseru pula: “Tunggu dulu, Su-toako. Tadi Su-samko mengatakan
tindakan kami tidak disengaja, Padahal seingat kami kecuali terobosan di tempat kediaman kalian ini, rasanya tiada pernah
berbuat kesalahan lain. Apabila memang benar kami telah berbuat sesuatu kesalahan
di luar sadar kami, sedangkan kepala dipenggal saja Gerombolan Setan Se-san
tidak gentar, apalagi menyembah dan mohon maaf kepada kalian bersaudara?”
Su Pek-wi tadi sudah menyaksikan cara
Gerombolan Setan Se-san itu saling melempar kopiah kulit milik Su Siok-kang
tadi dan tiada satupun yang ingin menyelamatkan diri sendiri, rata2 adalah
ksatria yang tidak takut mati, hal ini tidak perlu disangsikan lagi.
Maka dengan rasa pedih ia menjawab “Kalian
telah menyebabkan larinya Kiu-bwe-leng-hou sehingga luka dalam Samte kami tak
dapat diobati lagi, sekalipun kau menyembah seratus kali atau seribu kali
kepada kami juga tiada gunanya.”
Hoan It-ong terkejut baru teringat olehnya
tadi kelima saudara Su memimpin kawanan binatang menguber seekor binatang kecil
mirip kucing dan anjing, kiranya itu yang disebut Kiu-bwe-leng-hou (rase atau
musang cerdik berekor sembilan), masakah binatang kecil mempunyai kegunaan yang
sangat penting?
Tiba-tiba Sat-sin-kui menimbrung: “Memangnya
untuk apa sih rase kecil itu? Tapi kalau binatang kecil itu menyangkut kesehatan
Su-samko, maka marilah kita beramai-ramai memburu dan menangkapnya lagi. Hanya
seekor rase kecil begitu apa sih artinya?”
“Apa artinya, katamu hm?” teriak SuKi-kiang,
“kalau kau mampu menangkap rase kecil itu, biarlah nanti aku menyembah seratus
kali, bahkan seribu kali padamu juga kurela.”
Hoan It-ong terkesiap, pikirnya: “Keluarga Su
ini terkenal mahir menjinakkan binatang, rasanya di dunia ini tiada yang lebih
pandai daripada mereka, kalau mereka menyatakan betapa sulitnya menangkap rase
itu, lalu siapa lagi yang sanggup?” - Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia memandang
Yo Ko.
Kwe Yang tidak tahan, segera ia menyelutuk:
“Sejak tadi kalian hanya bicara saja, mengapa kalian tidak mohon bantuan
Sin-tiau-hiap?”
Su Tiong-beng terhitung paling banyak tipu
akalnya, dia adalah motor penggerak di antara kelima saudara Su itu, ia pikir
ilmu silat Sin-tiau–hiap ini memang sukar diukur, bisa jadi beliau mau memberi
pertolongan.
Maka ia lantas berkata: “Ah-, nona cilik tahu
apa? Kukira selain malaikat dewata yang turun ke bumi ini tiada seorang lagi
yang sanggup menangkap Kiu-bwe-long-hou itu.”
Yo Ko hanya tersenyum saja, ia tahu orang
sengaja hendak memancing reaksinya, namun dia tidak
menanggapinya.
“Sesungguhnya rase kecil itu mempunyai
kemujijatan apa? Coba ceritakan” kata Kwe Yang.
Su Tiong-beng menghela napas sedih, katanya
kemudian “Akhir tahun yang lalu, karena membela keadilan di daerah Hengciu,
samte kami telah bergebrak dengan orang, tapi pihak lawan memakai akal licik
sehingga Samte kami kena diselomoti musuh dan terluka parah.”
“Aneh, Su-samsiok ini jelas sangat tinggi
kepandaiannya siapa lagi yang begitu lihay dan mampu melukainya?” ujar Kwe Yang
heran.
“Ah, nona memuji sedikit kepandaianku yang
tak berarti ini, bukankah akan ditertawai Sin-tiau-hiap?” kata Su Siok-kang dengan suara lemah.
Kwe Yang melirik Yo Ko sekejap katanya: “Dia!
Sudah tentu dia di luar hitungan. Yang kumaksud
adalah orang lain.”
“Yang melukai Samte kami adalah seorang
Mongol,” tutur Su Tiong-beng lebih lanjut, “namanya Hotu kalau tidak salah, Konon
dia adalah murid Kim-lun Hoat-ong, Koksu kerajaan Mongol.”
Tiba-tiba Kwe Yang berkata kepada Yo Ko:
“Sin-tiau-hiap, kumohon engkau suka pergi mencari pangeran Mongol itu dan memberi
ajaran setimpal padanya untuk membalaskan sakit hati Su-samsiok ini “
“Untuk ini kami tak berani membikin repot
Sin-tiau hiap,” kata Su Tiong-beng, “Asalkan luka Samte kami sudah sembuh, kami
akan mencari dia dan pasti dapat menuntut balas, Hanya saja Lwe-kang kami ini
lain daripada yang lain, luka yang diderita Samte kami ini sangat sukar
disembuhkan untuk ini
harus minum darah, segar Kiu-bwe-leng-hou
itu.”
“Ah, kiranya demikian,” Kwe Yang dan
Gerombolan Setan Se-san sama bersuara.
“Rase kecil itu adalah binatang yang sangat
jarang, makhluk yang amat cerdik,” tutur Su Tiong-beng pula, “Sudah lebih
setahun kami bersaudara mencari ke mana-mana dan baru kami kutemukan jejaknya
di daerah Cinlam. Tempat sembunyi rase itupun sangat aneh, yaitu di tengah
sebuah kolam lumpur yang sangat luas yang terletak kurang lebih 30 li dari
sini.”
“Kolam lumpur besar? Maksudmu Hek-liong-tam
(tambak naga hitam)?” Sat-sin-kui menegas dengan heran.
“Betul,” sahut Su Tiong-beng.
“Kalian sudah lama berdiam di sini, tentu juga mengetahui bahwa beberapa li
sekeliling Hek-liong-tam itu hanya lumpur belaka, manusia maupun khewan sukar
berdiam di tempat seperti itu, tapi rase kecil ilu justeru bersarang di sana.
Dengan susah payah akhirnya kami
berhasil memancingnya ke tengah hutan ini.”
“Ah, pantas kalian marah dan melarang kami
memasuki hutan ini,” kata Sat-sin-kui menyadari kejadian tadi.
“Begitulah,” kata Su Tiong-beng pula,
“Bahwasanya kedatangan kami ke sini adalah tamu, betapapun kasarnya juga tidak
pantas kami mengangkangi tempat orang lain, soalnya cuma terpaksa saja, Harus
dimaklumi bahwa rase itu sangat gesit dan cepat larinya, sekejap saja lantas menghilang,
hal ini telah kalian saksikan tadi.
Karena itulah kami
mengerahkan segenap binatang buas piaraan kami dan mengepung rapat hutan itu,
tampaknya dengan segera rase itu dapat kami tangkap, siapa tahu kalian justeru
membakar hutan sehingga kawanan binatang sama terkejut dan memberi kesempatan
lo!osnya rase itu.
Memalukan juga jika diceritakan meski kami
sudah berusaha sepenuh tenaga tetap tidak mampu menangkapnya, Namun luka Samte
kami semakin hari semakin berat, kami menjadi sedih sehingga tindak-tanduk
kamipun menjadi berangasan, untuk ini hendaklah kalian maklumi” Habis berkata
ia terus memberi hormat se-keliling, tapi pandangannya justeru menatap Yo Ko.
“Urusan ini adalah karena kecerobohan kami
dan Gerombolan Setan kami sekali lagi minta maaf.” kata Hoan
It-ong. “Tentang rase itu entah dengan cara
bagaimana Su-toako berlima telah memancingnya ke sini? Mengapa cara itu tidak
dapat digunakan lagi sekarang?”
“Sifat rase adalah suka curiga disamping
cerdik, sukar sekali hendak menjebaknya, apalagi Kiu-bwe-leng-hou ini, jauh
lebih cerdik dan licin daripada rase biasa,” demikian tutur Su Tiong-beng.
“Kami-telah mengorbankan ribuan ekor ayam
jantan, dalam jarak setiap tombak jauhnya kami- panggang seekor dan ber- turut-urut
kami pancing dia dengan bau sedap ayam panggang, kami tidak mengusiknya dan
membiarkan dia makan, setelah setiap hari berhasil makan ayam panggang tanpa
gangguan, sampai dua-tiga bulan lamanya barulah curiga rase itu mulai
berkurang.
Habis itu barulah kami pancing dia ke hutan
ini, Tapi sekali ini dia telah mengalami kaget luar biasa, biarpun seratus tahun
lagi juga tidak mau tertipu pula.”
“Ya, memang betul sulit,” kata Hoan It-ong.
“Tapi kalau kita langsung masuk ke Hek liong-tam dan menangkapnya, apakah tidak
bisa?”
“Seluas beberapa li Hek-liong-tam itu hanya
lumpur belaka yang beberapa meter dalamnya, betapapun tinggi Ginkangmu juga
sukar berpinjak di atas lumpur,” tutup Su Tiong- beng.
“Juga perahu, rakit atau getek dan sebagainya
sukar berjalan di sana. Namun tubuh Kiu-bwe-leng-hou itu sangat kecil dan enteng,
telapak kakinya tebal lagi, larinya juga cepat, maka dia mampu meluncur di
permukaan lumpur itu dengan cepat.”
Kwe Yang tiba-tiba ingat kedua rajawali di
rumah, mereka kakak beradik sering naik rajawali itu dan dibawa terbang ke udara,
Kini dilihatnya rajawali sakti jauh lebih besar daripada rajawali di rumahnya,
blakan mustahil dua orang juga dapat dibawanya terbang Maka dengan tertawa ia
berkata “Sin-tiau-
hiap, asalkan engkau sudi membantur kuyakin
pasti ada jalannya.”
Yo Ko tersenyum, jawabnya: “Su-si-hangte
adalah ahli penjinak binatang kalau mereka angkat tangan tak berdaya, maka apa
yang dapat ku lakukan seumpama aku ingin membantu?”
Mendengar nada ucapan orang, ternyata
bersedia menolong, urusan ini menyangkut mati-hidup saudaranya, maka tanpa
pikir lagi Su Tiong-btng, lantas bertekuk lutut di depan Yo Ko dan me-mohon:
“Sin-tiau-tayhiap, jiwa adik kami hanya menanti ajal, mohon engkau kasihan
padanya.”
Sorot mata mengerling sekilas ke muka Kwe
Yang, katanya kemudran: “Kau bilang aku pasti dapat menolongnya, coba kuingin
tahu-bagaimana pendapat adik cilik ini.”
“Asalkan engkau naik rajawali raksasa itu,
bukankah lantas dapat terbang masuk ke Hek-liong-tam?” jawab Kwe Yang.
“Hahaha! Menarik juga saranmu ini,” kata Yo
Ko sambil tertawa.. “Tapi Tiau.-heng kita berlainan dengan burung umumnya,
karena tubuhnya teramat berat, maka sejak kecil beliau tidak dapat terbang,
Sekali sabet sayapnya mampu membinasakan singa atau harimau, tapi justeru tidak
dapat
digunakan untuk terbang.”
Sementara itu, kecuali Su Siok-kang saja,
ke-empat saudara she Su itu sudah sama berlutut di depan Yo Ko.
Segera Yo Ko membangunkan mereka dan berkata:
“Apa boleh buat, biarlah kukerjakan sekuat tenagaku, cuma kalau tidak berhasil
ya kalian jangan menyesali”
Su-si-hengte menjadi girang, mereka pikir
nama pendekar besar itu termashur, sekali dia sudah menyanggupi pastilah akan
dilaksanakannya. Kalau beliau juga gagal, terpaksa pasrah nasib saja.
Begitulah Su Pek-wi menyembah beberapa kali
pula dan berkata: “Jika demikian, silakan Tayhiap dan para saudara dari Se-san
mengaso dulu ke tempat kediaman kami untuk berunding lebih lanjut.”
“Urusan ini berpangkal kesalahan kami, sudah
tentu kami siap menerima tugas apapun,” kata Hoan It-ong.
“Ah, tak perlu begitu,” ujar Su Pek-wi,
“Tidak berkelahi takkan kenal kalau kalian tidak menoIak, marilah mulai sekarang
kita berkawan.”
Dari pertarungan tadi masing-masing sudah
sama tahu kelihayan pihak lawan, memangnya kedua pihak tidak ada permusuhan
apa-apa, soalnya cuma bertengkar mulut saja lalu berkelahi, maka setelah
bera-mah tamah sejenak, kedua pihak lantas seperti kenalan lama saja dan
bersahabat baik.
“Sekarang juga biarlah kupergi ke
Hek-Iiong–tam, apakah berhasil atau tidak pasti aku akan kembali lagi ke sini,”
kata Yo Ko tiba-tiba.
Walaupun GeromboIan Setan Su-si hengte ingin mencurahkan
tenaga, namun mereka tidak mendengar Yo Ko menghendaki pembantu, terpaksa
mereka diam saja dan tidak berani mencalonkan diri, setelah memberi salam
kepada para hadirin, lalu Yo Ko melangkah pergi.
Maksud kedatangan Kwe Yang ini ialah ingin
melihat Sin-tiau-hiap, kini tokoh tersebut sudah dilihatnya, meski berwajah jelek,
tapi ilmu silatnya mengejutkan, suka membantu yang lemah dan menolong yang
susah, nyata memang setimpal mendapatkan sebutan “Tayhiap”, jadi tujuan
kedatangannya ini tidaklah percuma, Tapi demi teringat Sin-tiau hiap akan pergi
menangkap Kiu-hwe-leng-hou,”
Caranya pasti sangat menarik, dasar anak
muda, rasa ingin tahunya telah menggelitik lubuk hatinya, tanpa terasa iapun
melangkah ke sana mengintil di belakang Yo Ko.
Melihat itu, segera Toa-thau-kui bermaksud
memanggilnya kembali tapi lantas terpikir olehnya: “Dia bertekad ingin menemui
Sin tiau-hiap, tentu ada sesuatu hendak dikatakan padanya.”
Sedangkan Su si-hengte tdak tahu asal usul
Kwe Yang, dengan sendirinya merekapun tidak dapat ikut campur urusan nona cilik
itu.
Kwe Yang terus mengintil di belakang Yo Ko,
jaraknya kira-kira belasan meter, yang dituju hanya ingin tahu cara bagaimana
pendekar besar itu menangkap rase, Dilihatnya jalan Yo Ko makin lama semakin
cepat, rajawali raksasa itu jalan berjajar dengan dia dengan langkah lebar,
cepatnya ternyata tidak kalah dengan kuda lari. Hanya sekejap saja Kwe Yang
sudah jauh tertinggal di belakang.
Sekuatnya Kwe Yang mengeluaikan Ginkang
ajaran ibunya, tampaknya Yo Ko berlenggang seenaknya, tapi jaraknya ternyata
semakin jauh, tak lama- kemudian bayangan Yo Ko dan si rajawali raksasa itu
telah mengecil menjadi dua titik hitam saja.
Kwe Yang menjadi cemas, serunya. “Hei,
tunggu!” Karena sedikit meleng, mendadak ia ter-peleset tanah salju yang licin dan
jatuh terduduk, Ya malu ya gelisah, maka menangislah dia.
Tiba-tiba sebuah suara yang halus mendenging
di tepi telinganya: “Kenapa menangis? Siapa yang nakal?”
Waktu Kwe Yang mendongak, ternyata Yo Ko
adanya, entah mengapa dia dapat putar balik secepat ini. Kejut dan girang pula
si nona, segera iapun merasa likat dan cepat menunduk, ia bermaksud mengambil
saputangan untuk mengusap air mata, tapi karena berlari-lari tadi, saputangan ternyata
sudah hilang.
“lnikah yang kau cari?” tanya Yo Ko tiba-tiba
sambil menyodorkan sebuah saputangan.
Segera Kwe Yang mengenali saputangan yang
ujungnya bersulam setangkai bunga kecil itu adalah miliknya sendiri Mendadak ia
menjawab pertanyaan Yo Ko tadi: “Ya, kau inilah yang nakal”
“He, bilakah aku nakal?” ujar Yo Ko heran.
“Kau telah merampas saputanganku, apakah
perbuatan ini tidak nakal?”
“Saputanganmu jatuh di sana, dengan maksud
baik kupungut dan mengembalikannya padamu, masakah kau tuduh aku merampasnya
darimu?” kata Yo Ko dengan tertawa.
“Aku berada di belakangmu, andaikan benar
saputanganku jatuh, cara bagaimana pula kau me-mungutnya? Hm, jelas kau mencolongnya
dariku,” kata Kwe Yang.
Padahal sejak tadi Yo Ko sudah tahu Kwe Yang
mengintil di belakangnya, dia sengaja percepat langkahnya untuk menjajal
Ginkang si nona, ia merasa meski usia nona cilik ini masih sangat muda, tapi
ilmu silatnya sudah mempunyai dasar yang kuat dan jelas mendapatkan ajaran
tokoh ternama.
Maka begitu mengetahui Kwe Yang terpeleset
jatuh, cepat ia meluncur balik. Dilihatnya sebuah saputangan jatuh tidak jauh
di sebelah sana, segera ia memungutnya. Cuma gerakannya teramat gesit, pergi
datang secepat terbang, walaupun berada di depan, tapi dapat memungut
saputangan
yang jatuh di bagian belakang, hal ini memang
tidak masuk diakal.
Dengan tersenyum Yo Ko lantas tanya: “Kau she
apa dan siapa namamu? siapa pula gurumu? Mengapa kau mengikuti aku?”
“She dan namamu yang terhormat harap
diberitahukan lebih dulu padaku baru nanti akupun memberitahukan namaku,” jawab
Kwe Yang.
Selama belasan tahun ini Yo Ko selalu
menutupi wajah aslinya bagi umum, dengan sendirinya juga tidak suka memberitahukan
namanya sendiri pada seorang nona cilik yang tidak dikenaInya. Maka katanya:
“Nona cilik ini sangat aneh, kalau kau tidak mau menerangkan ya sudahlah,
Saputa-nganmu kukembalikan.”
Habis berbicara, dengan pelahan tangannya
mengebas, saputangan itu lantas mekar merata dan mengembang di udara terus
melayang enteng ke depan Kwe Yang.
Kwe Yang sangat tertarik, cepat ia tangkap
saputangan itu dan berkata: “Sia-tiau-hiap, ilmu kepandaian apakah ini?
Maukah kau mengajarkan padaku?”
Melihat si nona yang lincah ke kanak-anakan,
sama sekali tidak takut kepada wajahnya yang seram, tiba-tiba timbul pikiran Yo
Ko untuk coba menakut2inya, mendadak ia lantas membentak bengis: “Berani benar
kau, mengapa kau tidak takut padaku, hm? Akan kuhantam kaul” Berbareng ia melangkah
maju dan berlagak hendak menyerang.
Kwe Yang terkejut, tapi cepat iapun mengikik
tawa, katanya: “Mana aku takut, jika betul kau ingin mencelakai aku, masakah
kau sendiri mau mengatakan lebih dulu? Sin- tiau-tayhiap terkenal berbudi dan
baik hati, mana mungkin mencelakai seorang anak perempuan kecil seperti diriku
ini?”
Di dunia ini tiada seorangpun yang tidak suka
dipuji, apakah mendengar orang memujinya dengan setulus hati, meski Yo Ko tidak
suka disanjung puji orang, tapi mendengar ucapan Kwe Yang benar-benar
mengaguminya itu, mau-tak-mau ia tersenyum dan berkata: “Kau baru kenal diriku darimana
mengetahui aku takkan mencelakai kau?”
“Meski sebelumnya aku tidak kenal kau, tapi
semalam kudengar orang banyak bercerita mengenai tindak-tandukmu yang terpuji.
Maka di dalam hati aku bertekad ingin melihat tokoh ksatria besar ini, sebab
itulah aku lantas ikut Toa-thau-kui ke sini untuk menemui engkau.”
“Ah, aku ini terhitung ksatria apa?” ujar Yo
Ko sambil menggeleng, “Dan setelah bertemu kini, kau pasti kecewa bukan?”
“Tidak, tidak!” jawab Kwe Yang cepat “Jika
engkau bukan pahlawan dan kesatria besar, siapa lagi yang dapat dianggap pahlawan
lagi?” - Habis berkaca demikian, segera ia merasa tidak pantas kalau ayahnya
sendiri tidak disebut pula, maka cepat ia menambahkan.
“Sudah tentu, selain engkau, di dunia ini
juga masih ada beberapa pahlawan dan ksatria besar lagi, tapi engkau adalah satu
diantaranya.”
Diam-diam Yo Ko pikir anak dara sekecil ini
masakah tahu tokoh-tokoh dunia segala, dengan tersenyum ia lantas bertanya:
“Coba katakan, siapa-apa yang kau anggap pahlawan dan ksatria besar?”
Karena nada ucapan orang terasa meremehkan
dirinya, tiba-tiba terpikir sesuatu, oleh Kwe Yang, katanya: “Akan kukatakan,
kalau tepat, engkau harus berjanji akan membawa serta diriku pergi menangkap
Kiu-bwe-leng-hou, jadi?”"
“Baiklah, coba katakan,” jawab Yo Ko, “Nah,
ada seorang pahlawan yang bertahan di kota Siangyang, gagah perkasa tanpa
menghiraukan keselamatan scndiri, sekuat tenaga melawan serbuan pasukan mongol,
membela negara dan melindungi rakyat, Tokoh demikian terhitung pahlawan atau
tidak?”
“Bagus!” ujar Yo Ko sambil mengacungkan ibu
jarinya, “Yang kau maksud ialah Kwe Ceng, Kwe-tayhiap. jelas beliau terhitung
pahlawan besar.”
“Ada lagi seorang pahlawan wanita, beliau
senantiasa membantu sang suami mempertahankan Siangyang, tipu akalnya tiada
bandingannya, dia terhitung pahlawan besar atau tidak?”
“O, maksudmu Kwe-hujin Oey Yong?
Ya, beliau juga terhitung pahlawan.”
“Masih ada seorang pahlawan tua, beliau mahir
ilmu falak dan macam-macam ilmu gaib, baik ilmu silat maupun sastra jarang ada
bandingannya, Beliau dapat dianggap pahlawan besar tidak?”
“ltulah Tho-hoa-tocu Oey Yok-su, beliau
adalah angkatan tua di dunia persilatan dan adalah tokoh kekagumanku.”
“Ada lagi satu, pahlawan beliau memimpin
kawanan orang jembel, menumpas orang lalim dan menyerbu musuh, membela negara
dan rakyat tanpa kenal lelah, dia terhitung pahlawan besar tidak?”
“Maksudmu Loh-pangcu,
Loh Yu-kah. ilmu silat orang ini tidak
menonjol dan juga tiada sesuatu tindakannya yang luar biasa, tapi mengingat
semangat perjuangannya membela negara dan rakyat serta menumpas penjahat dan
menyerbu musuh, dapatlah dia dianggap tokoh kelas satu.”
Kwe Yang pikir Sin-tiau-tayhiap sendiri
sedemikian hebatnya, sudah tentu penilaiannya terhadap orang lain juga tinggi,
kalau kukatakan lagi mungkin akan dibantah olehnya.
Apalagi selain ayah-ibu, kakek dan paman Loh,
rasanya juga tiada tokoh lain yang dapat ditonjolkan.
Melihat air muka si nona mengunjuk rasa
ragu-ragu untuk bicara pula, Yo Ko lantai berkata: “Asalkan kau dapat menyebut
lagi seorang pahlawan lain dan tepat, segera kubawa kau ke Hek-liong-tam untuk
menangkap Kiu-bwe-leng-bou.”
ia pikir nama paman dan bibi Kwe serta
Oey-tocu dan Loh-pangcu sangat terkenal di dunia Kangouw, maka tidaklah heran
jika nona cilik ini dapat menyebut nama mereka.
Segera Kwe Yang bermaksud menyebut kakak
iparnya, yaitu Yalu Ce, tapi rasanya kurang cocok untuk dianggap sebagai
“pahlawan besar” meski ilmu silatnya cukup tinggi, Selagi serba susah,
tiba-tiba timbul kecerdikannya, cepatlah ia berkata: “Baik, ada seorang lagi,
beliau suka membantu kaum
lernah, menolong yang sengsara, setiap orang
selalu memuji nya, itulah dia Sin-tiau-tayhiapl Nah, kalau beliau tak dapat dianggap
sebagai pahlawan besar, jelas. kau sendiri yang bohong.”
Yo Ko bergelak tertawa, katanya: “Ha ha, cara
bicara nona cilik sungguh lucu.”
“Jadi tidak kau membawaku ke Hek-liong-tam?”
tanya Kwe Yang.
“Karena kau sudah mengatakan diriku ini
pahlawan besar, maka pahlawan besar tidak boleh mungkir janji pada seorang nona
cilik, Marilah kita berangkat!”
Senang sekali hati Kwe Yang, segera tangan
kanannya menggandeng tangan kiri Yo Ko. Sejak kecil dia berkawan dengan para
ksatria di Siangyang dan semua menganggap dia sebagai adik kecil, maka sekarang
saking senangnya iapun anggap Yo Ko sebagai kenalan lama.
Yo Ko sendiri menjadi rikuh, ia merasa tangan
si nona lunak dan halus, kalau dia melepaskan pegangan Kwe Yang, rasanya kurang
sopan, ia coba melirik nona cilik ini, terlihat dia meloncat-loncat kegirangan
dan sama sekali tiada pikiran Iain.
Dengan tersenyum dia lantas menuding ke arah
utara: “Hek-liong-tam terletak tidak jauh di sana.” Dengan alas an menuding
inilah dia dapat menarik tangannya dari pegangan Kwe Yang.
Kiranya Yo Ko merasa waktu mudanya sudah terlalu
banyak membikin anak perempuan tergila-gila padanya, tapi sejak matinya Kongsun
Lik-oh dan menghilangnya Siao-liong-li, diam-diam ia sangat menyesalkan
tindakannya di masa lampau, selama belasan tahun ini ia menjadi sangat alim sehingga
tangan anak perempuan kecil seperti Kwe Yang ini juga enggan disentuhnya lagi.
Sama sekali Kwe Yang tidak merasakan
perubahan pikiran Yo Ko itu, dia jalan berjajar dengan Yo Ko, ketika melihat muka
rajawali sakti itu sangat jelek, tapi tubuhnya kekar, tanpa pikir ia tepuk
punggungnya sebagai tanda simpatik.
Sejak kecil dia sudah biasa bermain dengan
sepasang rajawali di rumahnya itu, siapa tahu rajawali ini ternyata tidak suka
ditepuk, mendadak sayapnya terbentang, “bret”, tangan Kwe Yang didorong pergi.
Keruan Kwe Yang menjerit kaget, Dengan
tertawa Yo Ko lantas berkata: “Jangan marah, Tiau-heng! Buat apa mengurusi anak
kecil?”
Kwe Yang melelet-lelet lidah dan menyingkir
ke sisi Yo Ko yang lain dan tak berani berdekatan dengan si rajawali sakti lagi,
ia tidak tahu bahwa sepasang rajawali di rumahnya itu termasuk burung piaraan,
sedangkan hubungan rajawali sakti ini dengan Yo Ko boleh dikatakan setengah
guru dan
setengah kawan, kalau bicara tentang usia
bahkan terhitung angkatan tua, jelas tidak sama kedudukan.
Begitulah mereka terus ke Hek-liong-tam.
Tempat itu sangat mudah dikenali, beberapa ii sekeliling sama sekali tiada tetumbuhan
sebenarnya Hek-liong-tam itu adalah sebuah danau, mungkin karena sumber airnya
kering, lama2 dasar danau mendangkal sehingga akhirnya berubah menjadi tambak
besar dengan lumpur melulu Tidak lama kemudian Yo Ko dan Kwe Yang sudah berada di
tepi tambak, sejauh mata memandang, suasana sepi senyap dan menyeramkan. Hanya
di tengah-tengah tambak sana kelihatan tertimbun seongokan kayu dan rumput kering.
Bisa jadi tempat sembunyi Kiu-bwe-leng-hou
adalah di bawah onggokan kayu dan rumput kering itu.
Yo Ko ambil sepotong tangkai kayu dan
dilemparkan ke tengah tambak, tangkai kayu itu mula-mula melintang di atas salju,
tapi tidak lama kemudian kelihatan mulai ambles ke bawah, meski tenggelam-nya
sangat pelahan, tapi berjalan terus tanpa berhenti, sedikit demi sedikit dan
akhirnya timbunan salju di kedua sisinya merapat sehingga tangkai kayu itu
teruruk hilang tanpa bekas.
Tidak kepalang kejut Kvve Yang, tangkai kayu
seenteng itu saja amblas ke dalam lumpur, lalu cara bagaimana manusia dapat
berpijak di sana? Dengan melenggong ia pandang Nyo Ko dan ingin tahu orang
mempunyai tipu daya apa?
Sejenak Yo Ko berpikir, lalu ia cari lagi dua
potong tangkai kayu yang agak licin, masing-masing panjangnya satu meteran,
tangkai kayu itu lantas diikat di bawah telapak kaki, Lalu katanya: “Akan
kucoba, entah bisa tidak?”
Habis berkata, segera tubuhnya melayang ke
tengah tambak, secepat anak panah melesat dari busurnya ia terus meluncur di
permukaan salju yang menutupi tambak itu.
Dengan melenggak-lenggok ke sana dan ke sini,
sama sekali dia tidak berhenti sedetikpun, ia terus meluncur sekeliling tambak,
seperti orang main ski jaman kini, kemudian dia meluncur balik ke tempat
semula.
“Kepandaian hebat, kecakapan luar biasa!”
sorak Kwe Yang memuji
Dari sorot mata Kwe Yang yang, penuh rasa
kagum itu, Yo Ko tahu nona itu sangat berharap dapat ikut menangkap rase ke
tengah tambak, tapi nona itu menyadari tak memiliki kepandaian Ginkang setinggi
itu. Maka Yo Ko lantas berkata dengan tertawa “Aku sudah berjanji padamu akan
membawa
kau ke Hek liong-tam untuk menangkap Kiu-bwe
leng hou.
Soalnya kau berani tidak?”
“Aku tidak memiliki kepandaian setinggi kau,
biarpun berani juga percuma,” sahut Kwe Yang sambil menghela napas pelahan.
Yo Ko tersenyum dan tidak menanggapi pu-la,
ia mencari lagi dua potong kayu yang lebih pendek sedikit daripada miliknya
tadi dan disodorkan pada si nona, katanya: “lkatlah di bawah telapak kakimu!”
Gugup dan girang pula Kwe Yang, ia menurut
dan mengikat kencang kedua potong kayu itu di bawah telapak kakinya.
“Tubuhnya mendoyong sedikit ke depan, kaki
jangan menggunakan tenaga, biarkan saja mengimbangi” pesan Nyo Ko. Lalu tangan
kirinya memegangi tangan kanan Kwe Yang terus berseru tertahan “Awas!”
Sekali angkat dan tarik, tanpa kuasa tubuh
Kwe Yang terus melayang dan meluncur ke tengah tambak, Semula dia rada gugup
dan takut-takut, tapi setelah meluncur beberapa meter jauhnya, terasa badan
enteng dan melayang seperti terbang, kaki tanpa merasa mengeluarkan tenaga
sedikitpun ia menjadi cekikik senang, rasanya lebih enak daripada terbang menumpang
rajawali di rumah.
Sesudah main ski sekian lama mengelilingi
tombak itu tiba-tiba Yo Ko berseru heran “He?”
“Ada apa?” tanya Kwe Yang, “Apakah kau
melihat rase kecil itu?”"
“Bukan,” jawab Yo Ko. “Kukira di tengah
tambak sana ada penghuninya!”
Kwe Yang menjadi heran juga, katanya: “Di
tempat begini mana mungkin dihuni orang?”
“Akupun tidak paham,” kata Yo Ko. “Tampaknya
susunan onggokan kayu dan rumput kering ini ada kelainan dan bukan barang yang
tumbuh sendiri.”
Sementara itu mereka sudah dekat dengan
onggokan kayu dan rumput itu, Kwe Yang coba mengamati dengan teliti, lalu berkata:
“Ya, memang benar. sebelah timur diatur dalam hitungan Bok (kayu), sebelah
selatan menurut Hwe (api), bagian tengah menurut Tho (bumi) dan utara adalah
Sui (air).”
Rupanya sejak kecil Kwe Yang juga ikut
belajar hitungan Im yang-ngo-heng, yaitu falsafat Tiong-hoa kuno mengenai unsur2
laki-perempuan di jagat raya ini. walaupun belum banyak yang dipahami-nya, tapi
dasarnya memang pintar, maka apa yang dapat diketahuinya jauh lebih banyak
daripada kakaknya, yaitu Kwe Hu.
Sifat Kwe Yang serba ingin tahu, macam jalan
pikirannya dan tindak-tanduknya acapkali di luar dugaan orang, kelakuannya itu
rada-rada mirip dengan sang kakek luar, yaitu Oey Yok-su, sebab itulah di rumah
dia diberi julukan “Siau Tang sia” atau si Tang-sia kecil.
Misalnya tindakannya menukar tusuk kundai
untuk menjamu orang-orang yang baru dikenalnya dan ikut Toa-thau-kui yang
menakutkan itu hanya karena ingin melihat Sin tiau hiap, kemudian ikut lagi
Sin-tiau-hiap yang baru dikenalnya pergi menangkap rase, keberanian ini jeias
sangat berbeda daripada Oey Yong dan Kwe Hu dahulu.
Begitulah Yo Ko menjadi heran mendengar nona
cilik ini dapat menyebut bentuk bangunan onggokan kayu-rumput itu, ia coba
bertanyar “Darimana kau tahu bentuk Im yang-ngo-heng itu? Siapa yang
mengajarkan kau?”
“Kubaca dari buku, entah tepat atau tidak
ucapanku,” jawab Kwe Yung dengan tertawa, “Kulihat pengaturan kayu-rumput
itupun tiada sesuatu yang luar biasa, agaknya juga bukan orang kosen yang
hebat.”
“Ya, anehnya cara bagaimana orang itu dapat
tinggal di atas lumpur dan tidak tenggelam ke bawah?” kata Yo Ko.
Segera ia berseru lantang: “Sa-habat di
tengah Hek liong-tam, ini ada tamu datang!”
Selang sekian lama, keadaan tetap sunyi tanpa
sesuatu suara, Yo Ko berseru sekali lagi dan tetap tiada jawaban orang.
Tampaknya orang sengaja menumpuk onggokan
kayu rumput di sini dan tidak dihuni di sini, marilah kita melihatnya ke sana,”
kata Yo Ko sambil meluncur ke tempat onggokan rumput itu.
Se-kunyong2 kaki Kwe Yang merasa berpijak
pada tempat yang keras, agaknya tanah datar di bawah mereka. Rupanya Yo Ko
sudah mengetahui lebih dulu, dengan tertawa ia berkata: “Tidak mengherankan
kiranya di tengah tambak ini ada sebuah pulau kecil.”
Baru habis ucapannya, mendadak bayangan putih
berkelebat dari bawah onggokan itu menerobos keluar dua ekor binatang kecil,
ternyata sepasang “Kiu bwe-lenghou yang dicarinya itu. yang seekor terus lari
ke timur dan yang lain kabur ke selatan dengan cepat luar biasa.
“Kau tunggu di sini nona cilik dan jangan
sembarangan bergerak,” pesan Yo Ko. Habis itu ia terus meluncur dan menguber
rase sebelah timur.
Kini ia tidak perlu menjaga Kwe Yang lagi
sehingga dapat mengeluarkan segenap Ginkangnya untuk meluncur, sungguh cepatnya
melebihi burung terbang.
Akan tetapi lari rase itupun cepat dan gesit
luar biasa, seperti angin saja binatang kecil itu lantas memutar balik dan menyamber
lewat di samping Kwe Yang, Tapi Yo Ko terus membayanginya, sekali lengan
bajunya mengebas tampaknya rase kecil itu pasti akan tersampuk jatuh, tak
terduga binatang
itu benar-benar sangat cerdik, mendadak ia
meloncat ke atas dan berjumpalitan di udara, dengan demikian sabetan lengan baju
Yo Ko itu menjadi luput.
Berulang-ulang Kwe Yang menyatakan: “Sayang!
Sayang!”
Begitulah satu orang dan satu hewan terus
uber menguber di atas salju, Kwe Yang sangat senang menyaksikan tontonan menarik
itu. ber ulang2 ia berseru memberi semangat kepada Yo Ko agar mengudak lebih
kencang.
Dalam pada itu rase yang lain juga terus
berlari kian kemari. terkadang sengaja mendekati Yo Ko. Tapi Yo Ko tahu
binatang kecil itu sengaja mengacau untuk membelokkan perhatiannya, maka dia
tidak ambil pusing, yang diudak melulu rase yang satu itu, ia sengaja hendak
berlomba lari dengan rase itu agar binatang kecil itu akhirnya kehabisan tenaga.
Tak tahunya rase yang kecil itu ternyata
memiliki tenaga yang besar, rupanya iapun tahu sedang menghadapi bencana, maka
larinya seperti kesurupan setan tanpa ada tanda-tanda lelah.
Semakin lari semakin
bersemangat Yo Ko, ketika dilihatnya rase yang lain ingin menolong kawannya dan
mendekat lagi untuk mengacau, diam-diam ia mengomel akan kenakalan binatang
kecil itu. sekenanya ia meraup segenggam salju dan di remas hingga keras
menyerupai batu, habis itu terus ditimpukkan dan tepat mengenai kepala rase
pengacau itu, kontan binatang itu roboh terjungkal tapi ber-guling-2 beberapa
kali rase itu terus berdiri lagi dan lari masuk onggokan kayu rumput tadi dan
tidak berani keluar lagi.
Rupanya Yo Ko tidak bermaksud membinasakan
rase itu, maka timpukannya tidak keras.
Sebenarnya dengan cara yang sama Yo Ko dapat merobohkan
dan menawan rase yang diu-daknya ini, tapi dia sengaja hendak balapan lari,
katanya, “Rase cilik, kalau kurobohkan kau dengan batu salju, matipun kau
penasaran, Seorang lelaki sejati harus bertindak secara ksatria, jika aku tidak
mampu menyusul kau, maka jiwamu biar kuampuni.”
Segera ia “tancap gas” dan meluncur lebih
kencang, tahu-tahu dia sudah berada di depan si rase dan mendadak tangannya
meraih untuk menangkapnya. Keruan rase itu terkejut dan melompat ke kanan.
Namun Yo Ko sudah siap, lengan bajunya terus mengebas sehingga rase itu
tergulung, tangan kanan lantas pegang kuduk rase itu dan diangkat ke atas,
saking gembiranya ia bergelak tertawa.
Tapi belum lenyap suara tawanya, tiba-tiba
dilihatnya rase itu menjadi kaku tanpa bergerak lagi ternyata sudah mati.
“Wah, celaka!” keluh Yo Ko. “Mungkin tenaga
kebasanku terlalu keras, rupanya binatang ini sedemikian lemah dan tidak tahan.
Entah rase mati dapat digunakan menyembuhkan luka si Su-losam atau tidak?”
Dengan menjinjing rase mati itu ia meluncur
kembali ke samping Kwe Yang dan berkata: “Ra-se ini sudah mati, mungkin tak
berguna lagi, kita harus menangkap pula rase yang satunya itu.”
Berbareng iapun melemparkan rase mati itu ke
tanah, tapi iapun tahu sifat rase sangat licik, bisa jadi pura-pura mati, maka
diam-diam iapun sudah bersiap bila rase itu bergerak, segera akan digulungnya
kembali dengan lengan baju. Namun rase itu ternyata tidak bergerak sedikitpun
tampaknya memang sudah mati betul-betul.
“Menyenangkan juga bentuk rase kecil ini,
matinya mungkin karena terlalu lelah di-uber-uber,” ujar Kwe Yang.
Lalu ia jemput sepotong kayu dan berkata
pula: “Biar kuhalau rase lain itu supaya ke luar, engkau jaga saja di sini.”
Kwe Yang lantas memdekati onggokan kayu
rumput itu.
Kemudian dihantamkan ke onggokan kayu itu,
tapi sekali pukul, untuk menghantam kedua kalinya ternyata tidak mampu lagi,
sungguh aneh, seperti melengkat saja kayu yang dipegang Kwe Yang itu tak dapat
ditarik kembali, Keruan Kwe Yang berseru kaget dan berusaha membetot sekuatnya,
namun tangkai kayu itu malah terlepas dan jatuh ke dalam onggokan kayu dan
rumput kering itu.
Menyusul mana, mendadak onggokan kayu-rumput
itu tersiak dan tahu-tahu menerobos keluar seorang nenek beruban dengan muka
penuh keriput dan pakaiannya compang-camping.
Dengan bengis nenek itu memandangi Kwe Yang
dan tangkai kayu yang dirampasnya itu diangkat dengan lagak hendak memukul si
nona.
Kwe Yang terkejut dan cepat melompat mundur
ke samping Yo Ko. pada saat itulah rase yang menggeletak di tanah itu mendadak
melompat ke atas dan masuk pelukan si nenek, sepasang matanya yang bundar kecil
ber-kilat2 memandangi Yo Ko, ternyata binatang kecil itu memang benar-benar
cuma pura-pura mati saja.
Melihat itu Yo Ko menjadi mendongkol dan geli
pula, pikirnya: “Sekali ini aku ternyata dikalahkan seekor hewan kecil ini,
tampaknya rase kecil ini adalah piaraan nenek ini, Entah siapakah gerangannya
nenek ini, rasanya di dunia Kangouw tak pernah terdengar ada seorang tokoh
macam
begini. Rasanya akan sulit jika menghendaki
rase kecil itu.”
Segera Yo Ko memberi hormat dan menya-pa:
“Maaf kelancangan Wanpwe masuk ke sini tanpa permisi.”
Nenek itu memandangi tangkai kayu di telapak
kaki Nyo Ko berdua, wajahnya menampilkan rasa kejut dan heran, namun hanya
sekilas saja perasaan itu lantas menghilang, ia melambaikan tangannya dan
berkata: “Orang tua mengasingkan diri di tempat terpencil ini dan tidak suka menemui
tamu, kalian boleh pergi saja!” suaranya lembut, tapi menyeramkan
kedengarannya, di antara mata-alisnya juga menampilkan rasa yang benci kepada
sesamanya.
Meski wajah nenek itu kelihatannya serarn,
tapi raut mukanya bersih, waktu mudanya jelas seorang wanita cantik, sungguh ia
tidak ingat tokoh Kangouw siapakah nenek ini.
Segera ia memberi hormat pula dan berkata:
“Cayhe mempunyai seorang kawan terluka parah dan harus disembuhkan dengan darah
Kiu-bwe-leng-hou, maka- mohon locianpwe sudi memberi bantuan.”
“Hahahaha, haha, heheheeee!” mendadak nenek
itu terbahak-bahak sambil menengadah, sampai lama sekali ia terkakah dan
terkekeh, tapi suara tawanya itu ternyata penuh mengandung rasa pedih dan boleh
Sesudah tertawa sekian latna barulah ia berkata: “Terluka parah dan harus
menolongnya, hm? Bagus, tapi mengapa anakku terluka parah dan orang lain sama
sekali tidak sudi menolongnya?”
Yo Ko terkejut, jawabnya: “Entah siapakah
putera Locianpwe? Apakah sekarang masih keburu ditolong?”
Kembali nenek itu terbahak-bahak, katanya:
“Apakah masih keburu ditolong? Dia sudah mati berpuluh tahun, mungkin tulang
belulangnya juga sudah menjadi abu, masakah kau bertanya apakah masih keburu
ditolong segala?”
Yo Ko tahu si nenek jadi terkenang kepada
kejadian masa lampau sehingga merangsang emosinya, maka ia tidak berani
bertanya pula, terpaksa berkata pula: “Memang tidak pantas kami datang begini
saja untuk memohon bantuan rase kecil ini, sudah tentu kami tidak ingin
menerimanya dengan cuma-cuma, apabila Locianpwe menghendaki sesuatu, asalkan tenagaku
mampu mengerjakannya, pasti akan kulaksanakannya dengan baik,”
Nenek itu mengerling sekejap ke arah Kwe
Yang, lalu berkata: “Perempuan tua berdiam terpencil di kolam lumpur ini tanpa
sanak tanpa kadang, hanya sepasang rase inilah teman hidupku Boleh juga jika
kau ingin mengambilnya, tapi nona itu harus ditinggalkan di sini untuk
mengawani aku selama sepuluh tahun.”
Yo Ko mengerut kening, belum lagi menja-wab,
tiba-tiba Kwe Yang mendahului berkata dengan tertawa: “Di sini hanya lumpur
melulu, kurasa tidak enak hidup di sini, Kalau engkau merasa kesepian, marilah
tinggal saja di rumahku, apakah kau ingin tinggal selama sepuluh tahun,
ayah-ibuku pasti akan menghormati engkau sebagai kaum locianpwe Lebih baik begitu
bukan?”
Tiba-tiba nenek itu menarik muka dan
mendamperat: “Ayah-ibumu itu orang apa? Memangnya begitu saja aku dapat
diundang ke sana?”
Watak Kwe Yang memang periang dan sabar,
sekalipun orang lain bersikap kasar juga dihadapinya dengan tertawa saja dan
jarang marah. Kalau ucapan si nenek yang menyinggung kehormatan Kwe Ceng dan
Oey Yong ini didengar Kwe Hu, pasti seketika akan menjadi pertengkaran. Tapi
Kwe Yang hanya tersenyum saja dan meleletkan lidahnya pada Nyo Ko, lalu tidak
bersuara pula.
Betapapun Yo Ko memuji keramahan nona cilik
ini, sedikitpun tidak menimbulkan kesukaran baginya, maka ia balas mengangguk
kepada Kwe Yang sebagai tanda memuji, lalu berpaling dan berkata kepada si
nenek: “Bahwasanya Locianpwe menyukai adik cilik ini, sebenarnya ini adalah kesempatan
bagus yang sukar dicari, cuma sebelum mendapat idzin ayah-bundanya, betapapun
Cayhe tak berani mengambil keputusan sendiri.”
“Siapa ayah-ibunya? Kau sendiri siapa?” tanya
si nenek dengan bengis.
Yo Ko menjadi gelagapan dan takdapat menjawab
tapi Kwe Yang lantas menanggapinya: “Ayah ibuku adalah orang kampung, biar
kukatakan juga Locianpwe tidak kenal, sedangkan dia ini. dia, dia adalah
Toakokoku!”
Sembari berkata nona itupun memandang kejaran
Yo Ko. Kebetulan saat itu Yo Ko juga memandang padanya, sorot mata kedua orang
kebentrok. Tapi Yo Ko memakai kedok, air mukanya kaku tanpa emosi, hanya sorot
matanya jelas menunjukkan rasa akrab yang menghangatkan perasaan.
Tergerak hati Kwe Yang, terpikir olehnya:
“Jika benar aku mempunyai seorang toakoko(ka-kak tertua) seperti ini, tentu dia
akan menjaga dan membantu diriku, pasti tidak rewel dan selalu mengomeli aku
seperti kakak Hu. gini salah, gitu salah, ini dilarang, itu tidak boleh.”
Berpikir sampai disini, air mukanya lantas penuh rasa hormat dan kagum kepada
Nyo Ko.
Didengarnya Yo Ko lantas berkata: “Ya, adik
ku yang kecil ini tidak tahu urusan, maka kubawa dia keluar cari pengalaman
Ketika dilihatnya Kiu-bwe-leng-hou ini sangat aneh dan menarik, dia tahu pasti
binatang piaraan oaang kosen angkatan tua, sebab itulah dia minta Wanpwe membawanya
berkunjung ke sini dan sungguh beruntung sekali dapat bertemu dengan
Locianpwe.”
“Hm kalian menguber dan memukuli rase
piaraanku, apakah begini caranya kalian menghormati kaum Cianpwe?” jengek nenek
itu, “Hayo, lekas enyah dari sini dan selamanya jangan menemui aku lagi!”
Habis itu kedua tangannya terus mengebas ke
depan, tangan yang satu mendorong ke arah Yo Ko dan tangan lain mendorong Kwe
Yang.
Jarak mereka ada dua-tiga meter jauhnya,
sodokan tangan nenek itu jelas tak dapat mencapai tubuh Yo Ko berdua, tapi tenaga
pukulannya ternyata keras dan keji, serentak Kwe Yang merasakan angin dingin
menyampuk tiba.
Tapi lengan baju Yo Ko sempat bergerak
sehingga angin pukulan si nenek dapat dipatahkan, sebaliknya tenaga pukulan yang
ditujukan kepadanya itu sama sekali tidak dielakkannya. Sebenarnya nenek itupun
tidak bermaksud mencelakai Yo Ko berdua, ia hanya ingin mengusir mereka saja.
sebab itulah hanya separoh tenaganya saja yang digunakan. Tapi dilihatnya kedua
orang itu ternyala tidak bergeming sama sekali, mau-tak mau ia terkejut dan
gusar pula.
Segera ia himpun tenaga, kembali kedua tangan
menyodok ke depan dengan lebih kuat, kini ia tidak pedulikan lagi mati- hidup
pihak lawan.
Ketika merasakan angin pukulan nenek itu
menyamber tiba, dada Kwe Yang terasa sesak, namun lengan baju Yo Ko mengebas
lagi sehingga serangan si nenek di patahkan pula, ia tahu Yo Ko dan nenek itu
sedang mengadu tenaga dalam, tampaknya si nenek menjadi beringas dan menakutkan
sebaliknya Yo Ko berdiri tenang-tenang saja,
jelas berada di atas angin alias lebih unggul.
Sekonyong-konyong si nenek berkelebat maju,
gerakannya sungguh cepat luar biasa, “BIang” dengan tepat dan keras kedua
tangannya menghantam dada Yo Ko. Sekali menyerang segera nenek itu melompat
mundur pula tanpa memberi kesempatan Yo Ko untuk balas menyerang.
Keruan Kwe Yang terkejut, cepat ia menarik
tangan Nyo Ko dan bertanya: “Ap…. apakah engkau terluka?”
Si nenek lantas berteriak bengis: “Dia sudah
terkena pukulanku “Han-im-cian” (tenaga panas dingin), ajalnya takkan lebih
lama daripada satu hari saja, dia menerima ganjarannya karena perbuatannya
sendiri dan takdapat menyalahkan orang lain.”
Dengan ilmu silat Yo Ko 15 tahun yang lalu
saja tak dapat ditandingi oleh si nenek, apalagi sekarang luar-dalamnya sudah
tergembleng sedemikian sempurna, betapapun lihaynya tenaga pukulan si nenek
juga takdapat melukainya.
Soalnya Yo Ko tiada permusuhan apapun dengan
si nenek kedatangannya ini juga ingin memohon barang kesayangan orang tua itu,
maka dia sengaja membiarkan si nenek menyerang tiga kali tanpa balas menyerang.
Selama likuran tahun nenek itu giat berlatih
ilmu pukulan “Han im cian” dan sekaligus sudah dapat menghancurkan 17 potong
bata dalam keadaan luar utuh dan dalam remuk, tapi kini jelas Yo Ko terkena
pukulannya dengan telak, ia yakin orang pasti akan remuk isi perutnya, tapi
lawan justeru tetap berdiri tenang dan tertawa seperti tidak terjadi sesuatu,
ia pikir bocah ini benar-benar kepala batu, sudah dekat ajal masih berlagak
gagah, segera ia berkata: “Mumpung belum roboh binasa, lekas kau pergi membawa anak
dara ini dan jangan sampai mampus ditengah tambakku ini.”
Yo Ko mendongak dan berseru lantang. “Hahaha,
rupanya sudah lama Locianpwe menyepi di tempat terpencil begini, tentunya
Locianpwe tak dapat membayangkan betapa kemajuan ilmu silat di dunia ini.”
Habis berkata ia sengaja bergelak tertawa, suara tertawanya nyaring keras menggelegar
dengan tenaga dalam yang kuat. Mendengar suara Yo Ko itu, si nenek tahu orang
ternyata tidak mengalami luka sedikitpun, seketika mukanya menjadi pucat,
tubuhnya sempoyongan baru sekarang ia menyadari bahwa Yo Ko sengaja membiarkan
diserang tiga kali, kalau bicara kepandaian sejati, jelaslah dirinya bukan
tandingannya.
Tiba-tiba si nenek angkat rase kecil dalam
pelukannya itu, lalu ia bersuit, rase yang lain juga lantas menerobos keluar dari
onggokan rumput dan melompat ke dalam pangkuan si nenek, Lalu ia ber-kata:
“Kepandaianmu memang hebat, sungguh aku sangat kagum. Tapi kalau engkau ingin
merebut
rase ini secara kekerasan, hm, jangan kau
harap. Asalkan kau melangkah maju setindak, seketika ku cekik mati kedua ekor rase
ini agar kau datang dan pergi dengan bertangan hampa.”
Melihat sikap dan ucapan si nenek yang tegas
dan pasti itu, Yo Ko tahu watak orang tua itu sangat keras dan kaku, biarpun
mati juga tidak mau menyerah. Mau-tak-mau ia menjadi serba susah, kalau
mendadak menubruk maju dan menutuk Hiat-to si nenek, lalu merebut rase, rasanya
si nenek bisa membunuh diri saking gusarnya, jika demikian jadinya, maka
biarpun Su Siok kang dapat diselamatkan tapi harus korbankan jiwa orang lain.
Selagi Yo Ko merasa ragu-ragu, tiba-tiba dari
jauh sana berkumandang suara orang menyebut: “0mi tohud!” Menyusul orang itu
berkata: “Loceng (paderi tua) It-teng mohon berjumpa, sudilah kiranya Eng koh
menemuinya!”
Kwe Yang memandang sekeliling tambak, tapi
tidak tampak seorangpun padahal suara orang itu tidak begitu keras, jelas
datang dari tempat dekat saja, namun sekitar situ jelas tiada tempat
bersembunyi, lalu berada di manakah orang yang bersuara itu?”
Dia pernah mendengar cerita dari ibunya bahwa
Ii-teng Taysu adalah tokoh angkatan tua, pernah menolong jiwa ibunya, juga
terhitung kakek guru kedua saudara Bu, hanya selama ini paderi sakti itu belum
pernah dilihatnya. Kini tiba-tiba didengarnya ada orang menyebut “lt-teng”,
tentu saja ia terkejut dan bergirang.
Yo Ko juga sangat gembira mendengar suara
It-teng, ia tahu yang digunakan it-teng Taysu adalah Lwekang maha sakti, yaitu
ilmu menyiarkan gelombang suara dari tempat beberapa li jauhnya, semakin tinggi
Lwekangnya, semakin halus pula suaranya sehingga mirip orang bicara dari dekat
saja.
Kagum sekali mendengar suara It-teng Taysu
yang luar biasa itu, betapapun ia merasa tenaga dalam sendiri tak dapat menandingi
paderi sakti itu, pikirnya pula: “Kiranya nenek ini bernama Engkoh. Entah ada
urusan apa It teng Taysu ingin menemui-nya? jika paderi itu suka tampil ke
muka, mungkin sekali rase ini akan bisa diperoleh.”
Kiranya nenek penghuni Hek-liong-tam ini
memang betul bernama Eng-koh. Sewaktu
masih menjadi raja negeri Tayli, aslinya It-teng Taysu she Toan dan terkenal
sebagai tokoh Raja di Selatan di dunia Kangouw.
Sebagai raja, sudah tentu cukup banyak
selir-nya, Eng-koh adalah salah satu selir kesayangannya ketika itu, Tapi suatu
waktu Toan-hongya (raja Toan) kedatangan tamu yang terkenal, yaitu Ong Tiong-yang dari
Coan-cin-kau beserta Sutenya, yakni si Anak Tua Nakal Ciu Pek-thong.
Mungkin sudah suratan nasib, selama tinggal
beberapa lama di negeri Tayli, dasar watak Ciu Pek-thong memang suka keluyuran,
maka secara kebetulan dia pergoki Eng-koh sedang berlatih silat (ajaran
Toan-hongya), karena sifatnya yang jahil dan tidak sirik mengenai adat lelaki
dan perempuan, Ciu Pek-thong telah mendekati Eng-koh dan mengajaknya ngobrol tentang
ilmu silat (Ciu Pek-thong itu memang orang yang keranjingan ilmu silat).
Bicara punya bicara, akhirnya keduanya jatuh
cinta dan “ada main” serta membuahkan seorang anak laki-laki. Ketika
Toan-Hongya kedatangan musuh, yaitu Kiu Jian-yim yang kemudian terkenal sebagai
Cu-in Hwesio, secara licik Kiu Jian-yim telah melukai anak haram hasil
“semokel” antara Ciu Pek-thong dan Eng-koh itu, tujuannya untuk memaksa
Toan-hongya menyelamatkan orok itu dengao It-yang-ci, dengan demikian tenaga
dalamnya terpaksa harus dikorbankan dan sukar dipulihkan dalam waktu singkat,
pada saat demikian Kiu Jian-yim yakin pasti dapat mengalahkan Toan-hongya.
Tak terduga tipu muslihatnya ternyata
diketahui Toan-hongya, pula dia cemburu karena hubungan gelap Eng-koh dengan
Ciu Pek-thong itu, maka dia bertekad tidak mau menolongnya, akhirnya anak
itupun mati.
Toan-hongya sangat menyesal, akibatnya ia
cukur rambut dan menjadi Hwesio dengan gelar It-teng. Kematian anaknya sudah
tentu membuat Eng-koh juga sakit hati dan merana, ia terus minggat dari negeri
Tayli, suatu ketika di puncak Hoa- san dipergokinya Kiu Jian-yim, tapi tidak
berhasil membunuhnya, iapun bertemu dengan Ciu Pek-thong dan ingin bicara
dengan dia, tapi asal melihat bayangan Eng-koh seketika si Anak Tua Nakal itu
kabur lebih dulu, soalnya dia malu dan merasa ber-dosa, maka tidak berani
menemui bekas kekasih itu. Eng-koh lantas mengembara tanpa tujuan dan
akhirnya menetap di Hek-liong-tam ini.
Sebenarnya sudah belasan hari It-teng Taysu
berada di tepi Hek- liong-tam dan setiap hari selalu berseru untuk mohon
bertemu, Namun Eng-koh masih sakit hati karena dahulu bekas raja Tayli itu tega
tidak mau menolong jiwa anaknya, maka dia tetap tidak mau menemuinya.
Begitulah Eng-koh tampak lesu dan mundur
berduduk di atas onggokan kayu, sorot matanya kelihatan dendam dan benci.
Selang tak lama, terdengar It-teng berseru
pula: “Dari jauh It-teng datang ke sini, hanya untuk mohon bertemu sejenak
dengan Eng-koh.”
Namun Eng-koh tetap tidak menggubrisnya. Yo
Ko menjadi heran, ia pikir kepandaian It-teng jauh
lebih tinggi daripada Eng-koh, kalau dia mau
menemuinya ke sini toh nenek ini tak dapat menolaknya, mengapa dia mesti memohon
dari kejauhan?
Dalam pada itu terdengar It-teng berseru
memohon lagi, setelah Eng-koh tetap tidak memberi jawaban, lalu tidak diulangi
lagi, suasana kembali sunyi.
“Toakoko,” kata Kwe Yang, “It-teng Taysu itu
adalah tokoh yang luar biasa, maukah kita ke sana menemuinya?”
“Baik, memangnya aku ingin menemui beliau,” “jawab
Yo Ko.
Terlihat Eng-koh berbangkit pelahan dengan
sorot mata bengis, meski Yo Ko merasa tidak gentar padanya, tapi tidak enak
juga perasaannya melihat sikap orang ini, Segera ia pegang tangan Kwe Yang dan
berkata: “Marilah pergi!” Sekali melayang, segera kedua orang meluncur ke
tengah tambak.
Setelah berpuluh meter di bawa meluncur Yo
Ko, Kwe Yang lalu bertanya: “Toakoko, berada di manakah Taysu?
suaranya seperti berada di sebelah sini
saja.”
Dua kali Yo Ko dipanggil “Toakoko” dengan
suara yang halus dan mesra, hatinya terkesiap juga pikirnya “Cintaku kepada
Liong-ji suci murni dan tak mungkin bergoyah, betapapun aku tidak boleh
terjerumus lagi kejaringan asmara.
Usia nona cilik ini masih muda dan
ke-kanak-anakan, ada lebih baik selekasnya berpisah dengan dia agar tidak menimbulkan
hal-hal yang tidak diharapkan” - Akan tetapi berada di atas lumpur
bcrselimutkan salju itu, sedetikpun tidak boleh berhenti, lebih-lebih tidak
mungkin mengendurkan pegangannya pada tangan si nona.
“Toakoko”, kembali Kwe Yang berkata,
“ku-tanya kau apakah engkau tidak mendengar.”
“lt-teng Taysu berada di timur laut sana,
kira-kira dua-tiga li dari sini,” jawab Yo Ko. “Suaranya kedengarannya dekat, tapi
sebenarnya berada cukup jauh. dia menggunakan ilmu jian-li-toan- im” (me-ngirim
gelombang suara dari jauh).”
“He, apakah engkau juga mahir ilmu itu?”
tanya KweYang. “Maukah engkau mengajarkan padaku? Kelak kalau kita berpisah di
tempat jauh agar akupun dapat bicara denganmu dengan ilmu itu, kan menyenangkan
bukan?”
“Namanya saja mengirim gelombang suara dari
jauh, sebenarnya kalau dapat mencapai dua-tiga li sudah luar biasa,” ujar Kwe
Yang dengan tertawa, “Untuk mencapai kepandaian setingkat lt-teng Taysu,
biarpun secerdas kau juga harus berlatih hingga rambut ubanan.”
Kwe Yang sangat senang karena orang
memuji-nya cerdas, katanya pula: “Ah, aku ini cerdas apa? Kalau aku mempunyai
dua bagian kecerdasan ibuku saja aku sudah merasa puas.”
Tergerak hati Yo Ko, dari raut muka si nona
ia melihat samar-samar ada beberapa bagian menyerupai Oey Yong, Pikirnya:
“Tokoh-tokoh yang kukenal selama hidup baik lelaki maupun perempuan, kalau
bicara tentang kepintaran dan kecerdasan rasanya tiada orang lain yang mampu
menandingi Kwe pekbo, apakah mungkin nona cilik ini adalah puteri bibi Kwe?”
Tapi segera ia tertawa geli sendiri dan
anggap jalan pikirannya itu terlalu meng-ada2, masakah di dunia ini bisa terjadi
sedemikian kebetulan? Kalau benar nona ini puteri Kwe-pekbo, mana mungkin paman
dan bibi Kwe membiarkannya berkeliaran di Iuaran. Maka ia coba bertanya kepada
Kwe Yang: “Siapakah ibumu?”
“lbu ya ibu, meski kukatakan juga kau tidak
kenal,” jawab Kwe Yang dengan tertawa “Eh, Toa-koko, kepandaianmu lebih tinggi
atau kepandaian It-teng Taysu lebih tinggi?”
Usia Yo Ko sekarang sudah mendekati setengah
baya, iapun kenyang mengalami gemblengan kehidupan dan merasakan betapa pahit
getirnya sejak berpisah dengan Siao- liong-Ii, walaupun semangat ksatrianya
tidak berkurang, tapi sifat dugal-nya di masa mudanya sudah hampir lenyap
seluruhnya, Maka ia menjawab: “lt-teng Taysu
sangat terhormat di dunia persilatan, berpuluh tahun yang lalu namanya sudah
sama tingginya dengan Tho-hoa tocu dan lain-lain, beliau adalah Lam-te (raja di
selatan), yaitu satu diantara lima tokoh terkemuka di jaman itu, mana aku dapat
dibandingkan beliau.”
“Wah, jika begitu, kalau engkau dilahirkan
lebih dini beberapa puluh tahun yang lalu, tentu tokoh tertinggi waktu itu
bukan lagi lima orang, tapi enam jadinya. Konon mereka disebut Tang-sia Se-tok,
Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong, lalu engkau berjuluk apa? Ah, pasti juga
Sin-tiau-tayhiap. Oya,
masih ada lagi Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin.”
Yo Ko bertanya pula: “Apakah kau pernah
melihat Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin?”
“Sudah tentu aku pernah melihat mereka,
malahan mereka sangat sayang padaku,” sahut Kwe Yang, “Eh, Toakoko, apakah
engkau juga kenal beliau2 itu? Nanti kalau urusan di sini sudah beres2 maukah
kita pergi menyambangi mereka?”
Yo Ko benci pada Kwe Hu yang telah
membuntungi lengannya, setelah lewat sekian tahun, rasa benci itu semakin menipis.
Tapi Siao-liong-li mengidap racun dan terpaksa harus berpisah 16 tahun,
persoalan ini takdapat tidak membuatnya sangat dendam kepada Kwe Hu. Maka
dengan hambar saja ia menjawab: “Tahun depan bisa jadi aku akan berkunjung kepada
Kwe-tayhiap dan isterinya, tapi harus tunggu dulu setelah kuberjumpa dengan
isteriku dan kami berdua akan pergi ke sana bersama.”
Begitu menyebut Siao-Iiong-li, tanpa terasa
timbul hasratnya yang menyala, Kwe Yang dapat merasakan telapak tangan Yo Ko
yang mendadak menjadi panas. Segera ia bertanya pula. “lsterimu tentu sangat
cantik dan ilmu silatnya pasti pula sangat tinggi.”
“Kukira di dunia ini tiada orang lain yang
lebih cantik daripada dia,” kata Yo Ko. “Bicara tentang ilmu silat, saat ini dia
tentu juga melebihi diriku.”
Kwe Yang menjadi sangat hormat dan kagum,
katanya: “Toakoko, engkau harus membawa diriku menemui isterimu, maukah kau
berjanji?”
“Mengapa tidak?” ujar Yo Ko dengan tertawa,
“Kuyakin nyonyaku juga pasti suka padamu, Saat mana barulah kau benar-benar
memanggil aku Toakoko.”
“Apakah sekarang aku tidak boleh memanggil
demikian padamu?” tanya Kwe Yang dengan melenggak.
Karena sedikit merandek itulah, sebelah
kakinya lantas kejeblos ke dalam lumpur, Untung Yo Ko lantas menariknya melompat
jauh ke depan. Tertampaklah di kejauhan sana berdiri seorang dengan jenggot
panjang dengan memakai jubah paderi warna kelabu, siapa lagi kalau bukan It-
teng Taysu.
Segera Yo Ko berseru: “Tecu Yo Ko memberi
hormat kepada Taysu!” Sambil menarik Kwe Yang sekaligus ia meluncur ke depan
paderi sakti itu. Tempat berada It teng itu di tepi kolam lumpur Hek-liong- tam
itu, ia menjadi girang ketika mendengar nama Yo Ko. maka ia lantas
membangunkannya ketika Yo Ko dating menyembah padanya, katanya dengan tertawa”
“Baik-baikkah selama ini, saudara Yo? Pesat
amat kemajuan ilmu sakti-mu, sungguh menggembirakan dan mengagumkan.”
Waktu Yo Ko berbangkit dilihatnya di belakang
It-teng sana menggeletak seorang dengan muka pucat lesi seperti mayat, ia
melengak. Ketika ia awasi, kiranya Cu in Hwesio adanya.
“Kenapakah Cu-in Taysu?” tanya Yo Ko
terkejut.
“Dia dilukai orang, meski sudah kutolong
sepenuh tenaga tetap sukar menyembuhkan dia,” tutur It-teng menyesal.
Yo Ko coba mendekati Cu-in dan memeriksa
nadinya, terasa denyutnya amat Iemah, lama sekali barulah berdenyut pelahan
sekali, kalau saja Lwe kang Cu-in tidak kuat, mungkin sudah lama menghembuskan
napas penghabisan.
“Kepandaian Cu-in Taysu sedemikian tinggi,
entah siapakah yang mampu melukainya?” tanya Yo Ko heran.
“Kami bermaksud pulang ke Tayli waktu itu
karena ada kabar bahwa pasukan Mongol ada maksud menyerbu ke daerah selatan,”
tutur It-teng. “Sebelum berangkat, Cu-in telah keluar untuk mencari keterangan
keadaan, di tengah jalan kepergok seorang dan mereka bertempur selama tiga- hari-tiga-malam,
akhirnya Cu in terluka parah.”
“Ah, kiranya keparat Kim-lun Hoat-ong datang
ke Tionggoan lagi,” ujar Yo Ko sambil membanting kaki ke tanah.
“He, Toakoko, darimana engkau mengetahui
orang itu ialah Kim-lun Hoat-ong?” tanya Kwe Yang heran, “padahal It-teng Taysu
tidak menyebut dia.”
“lt-teng Taysu bilang mereka bertempur selama
tiga-hari-tiga-malam, maka jelas luka Cu-in bukan disergap musuh yang licik,”
jawab Yo Ko. “Di dunia ini, orang yang mampu melukai Cu-in Taysu rasanya
jumlahnya dapat dihitung dengan jari, dan di antaranya beberapa orang ini hanya
Kim-lun Hoat-ong saja tergolong orang jahat.”
“Toakoko, lekas engkau mencari bangsat itu
dan hantam dia untuk membalaskan sakit hati Toahwesio ini,” ujar Kwe Yang.
Tiba-tiba Cu-in yang menggeletak dengan
kempas-kempis di tanah itu membuka matanya sedikit dan menggeleng pelahan
kepada Kwe Yang.
“Kenapa? Memangnya kau tidak ingin membalas
dendam?” tanya Kwe Yang heran, “Ah, barangkali maksudmu Kim-lun Hoat-ong itu
terlalu lihay dan kuatir Toakoko tak dapat menandingi dia?”
“Kau salah sangka, nona cilik,” sela It-teng.
“Soalnya muridku ini telah banyak berbuat dosa, selama belasan tahun ini dia
berusaha menebus dosanya itu dan ternyata tak pernah tercapai, hal inilah
selalu mengganjal hatinya dan membuatnya matipun tidak tenteram. Jadi bukan
maksudnya ingin orang membalaskan sakit hatinya, tapi justeru mengharapkan
pengampunan dari seseorang agar dia dapat mangkat dengan hati tenteram.”
“Apakah nenek di kolam lumpur ini yang dia
inginkan?” tanya Kwe Yang, “Hati nenek ini sangat keras, jika bersalah padanya,
tidak nanti dia mengampuni orang begitu saja.”
“Justeru begitulah,” kata It-teng dengan
menghela napas, “Kami sudah memohonnya di sini selama tujuh-hari-tujuh-malam
dan sama sekali dia tidak mau menemui kami.”
Tiba-tiba hati Yo Ko tergerak, teringat
olehnya ucapan si nenek tentang anaknya yang terluka dan orang yang dimintai pertolongan
tidak mau menyembuhkannya itu. Segera ia bertanya: “Apakah berhubungan dengan
anaknya yang terluka dan tak tertolong itu?”
Badan It-teng tampak bergetar, sahutnya
sambil mengangguk: “Ya, kiranya kaupun sudah tahu?”
“Tecu tidak tahu,” jawab Yo Ko. “Cuma tadi
Locianpwe di tengah kolam itu menyinggungnya sedikit.” Lalu iapun mengisahkan
pengalaman-nya bertemu dengan si nenek tadi.
“Dia bernama Eng-koh,” tutur It-teng pula,
“dahulu ialah isteriku. wataknya memang keras. Ai, kalau tertunda lebih lama
lagi mungkin Cu in tidak tahan.”
Seketika timbul macam-macam tanda tanya dalam
benak Kwe Yang, tapi ia tak berani bertanya.
Dengan gegetun Yo Ko lantas berkata: “Setiap
orang tentu pernah berbuat salah, kalau menyadari salahnya, maka apa yang sudah
lampau bisalah dianggap selesai, Rasanya jiwa Eng-koh ini juga teramat sempit.”
- Dilihatnya ajal Cu-in sudah dekat, seketika timbul jiwa ksatrianya yang ingin
menolong, segera ia menambahkan: “Taysu, maafkan jika Tecu memberanikan diri
memaksa Engkoh keluar ke sini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar