Rabu, 05 Desember 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 102



Kembalinya Pendekar Rajawali 102


Yo Ko merasa tenaga tarikan lawan sangat kuat, pikirnya, “Kalau tidak kuperlihatkan tenaga sakti, orang dogol ini tentu tidak mau takluk.”
Mendadak ia mengerahkan tenaga dan dipelintir ke atas, tapi Su Ki-kiang tetap memegangi gadanya sekuat-kuatnya, keruan gada yang menyerupai belalai gajah itu lantas bengkok.
“Bagus!” bentak Yo Ko terus ditekuk balik ke bawah, karena ditekuk ke atas dan ke bawah, gada itu tidak tahan, “pletak”, patah menjadi dua, Tangan Su Ki-kiang tergetar hingga lecet berdarah. Tapi dia benar-benar kuat dan kepala batu, gada patah itu masih dipegangnya dengan kencang.
Yo Ko bergelak tawa sambil membuang bagian gada patah yang dirampasnya itu, kontan setengah gada itu ambles ke dalam tanah bersalju itu, padahal tebal salju tiada satu kaki, sedangkan gada patah itu panjangnya lebih tiga kaki, namun menghilang tanpa bekas ke dalam tanah, betapa hebat
tenaga sakti Yo Ko sungguh sangat mengejutkan.
Dilihatnya Su Siok-kang, Su Beng-ciat dan lain-lain sedang membentak2 menghentikan serangan kawanan binatang buas, tapi sekali kawanan binatang itu mengamuk dan melihat darah, sukarlah untuk dikendalikan begitu saja.
Cepat Yo Ko memberi tanda kepada Kwe Yang agar nona cilik itu menutup telinganya dengan tangan, walaupun tidak tahu apa tujuannya tapi Kwe Yang menurut saja, segera ia mendekap rapat kedua kupingnya. Segera Yo Ko berteriak dengan keras, begitu nyaring suaranya hingga seperti bunyi guntur yang menggelegar.
Meski telinganya sudah ditutupi, tergetar juga jantung Kwe Yang hingga berdebar-debar dan rada pening, untung sejak kecil Lwe-kangnya tertumpuk cukup kuat sehingga suara Yo Ko itu tidak sampai membuatnya roboh.
Suara Yo Ko itu masih terus menggelegar hingga lama sekali, air muka semua orang sama berubah, kawanan binatang buas juga sama roboh, menyusul Gerombolan Setan Se-xan dan Su-si-hengte juga terguling, hanya tersisa belasan ekor gajah serta Su Siok-kang dan Kwe Yang saja yang masih tetap berdiri, sedangkan si rajawali sakti tampak berdiri dengan bersitegang leher, kelihatannya sangat umuk, sombong.
Melihat Su Siok-kang sanggup berdiri, Yo Ko pikir tenaga dalam orang sakit ini juga hebat, tapi kalau suaranya dikeraskan lagi sedikit sehingga Su Siok-kang dirobohkan, mungkin dia akan terluka dalam dengan parah, Maka ia lantas menghentikan suara suitannya.
Selang tak lama, semua orang dan kawanan binatang itu baru dapat berdiri kembali, tapi sebagian binatang kecil sebangsa serigala dan sebagainya ada yang pingsan dan belum sadar kembali malahan di mana-mana banyak terdapat kotoran binatang, rupanya saking ketakutan, kawanan binatang itu banyak yang ter-kencing2 dan ter-berak2.
Dan begitu bangun, kawanan binatang itu terus lari ke dalam hutan dengan mencawat ekor tanpa menunggu lagi komando Su si-hengte.
Sudah tentu Su-si-hengte dan gerombolan Se-tan Se-san itu tidak pernah menyaksikan perbawa sehebat ini. Mereka sama berdiri kesima dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Maka berkatalah Yo Ko: “Maaf jika Cayhe telah mengganggu soalnya Cayhe ada janji dengan Gerombolan Setan Se-san, terpaksa harus kuhentikan pertarungan kedua pihak ini, nanti kalau persoalan Cayhe sudah selesai, bolehlah silakan melanjutkan pertikaian kalian ini dan pihak manapun
Cayhe takkan membantu selain menonton saja di samping.”
Lalu dia berpaling kepada Sat-sin-kui, si setan elmaut: “Nah, bagaimana kalian? ingin satu persatu bergiliran menempur aku atau sepuluh orang maju bersama sekaligus?”
Karena pengaruh suitan Yo Ko tadi, sampai sekarang perasaan Sat-sin-kui belum lagi tenang, seketika ia tak dapat menjawab pertanyaan Yo Ko: Segera Tiang-si-kui membeli hormat dan ber-kata: “Sin-tiau-tayhiap, kepandaianmu dengan kami bedanya seperti langit dan bumi, mana Gerombolan Setan Se-san berani bermusuhan lagi dengan engkau? jiwa kami tadi telah diselamatkan olehmu, selanjutnya engkau ada perintah apapun pasti akan kami laksanakan. Jika engkau suruh kami harus keluar dari wilayah Soasay ini, maka segera kami akan pergi, sedetikpun tak berani tertahan di sini.”
Dari bentuk tubuh serta jenggotnya yang panjang itu sejak tadi Yo Ko merasa kakek cebol ini seperti pernah dikenalnya, setelah mendengar suaranya, segera ia bertanya, “Bukankah kau ini she Hoan bernama It-ong?”
Kiranya Tiang-si-kui ini memang betul adalah Hoan It-ong, yaitu murid tertua Kongsun Ci di Coat-ceng-kok, setelah jiwanya diampuni Yo Ko, dia lantas mengasingkan diri, sepuluh tahun kemudian baru berkecimpung pula di dunia Kang-ouw, berkat kepandaiannya yang lumayan itulah dia berhasil mengepalai Gerombolan Setan Se-san.
Dulu Yo Ko dikenalnya sebagai pemuda yang cakap dan berkepandaian tinggi, kini tangan Yo Ko buntung sebelah, pakai kedok lagi, dengan sendirinya Hoan It-ong pangling padanya.
“Ya, hamba memang Hoan It-ong adanya dan siap menerima pesan Sin-tiau-tayhiap.” demikian jawab Tiang-si-kui dengan munduk2.
Yo Ko tersenyum, katanya: “Jika kalian mau tunduk pada perkataanku, maka kalian juga tidak perlu keluar dari wilayah Soasay, Sat-sin-kui, cukuplah asalkan kau membebaskan saja keempat gundikmu itu.”
Sat-sin-kui mengiakan setelah terdiam sejenak, katanya: “Jika keempat perempuan hina itu tidak mau angkat kaki, biar kuhalau mereka dengan pentung.”
Yo Ko jadi melengak malah, teringat olehnya ketika kelima isteri dan gundik Sat-siu-kui sama menyembah padanya dan mintakan ampun bagi sang suami, sikap mereka yang sungguh-sungguh itu tampaknya memang setia dan mencintai suaminya, kalau perempuan2 itu mau ikut dia, sekarang dia malah diharuskan mengusir keempat gundiknya itu, bisa jadi tindakan ini malah akan melukai hati mereka.
Maka dengan tertawa Yo Ko lantas menambahkan “Usir sih tidak perlu, Kalau mereka ingin pergi, maka kau tidak boleh menahan mereka, sebaliknya kalau mereka suka ikut kau, ya. apa mau dikatakan lagi? Tapi kau bilang mau ambil lagi empat orang gundik, apakah betul ucapanmu ini?”
“Ah, persoalan perempuan itu sudah membikin repot Sin-tiau-tayhiap, malahan jiwa para saudaraku ini hampir ikut melayang, masakah hamba beradi ambil isteri lagi, Andaikan berani, rasanya Toako kami ini juga takkan mengidzinkan.”
Serentak “Setan” yang lain tertawa geli mendengar ucapan Sat-sin-kui itu.
“Baiklah, sekarang urusanku sudah selesai, kalian boleh mulai bertempur lagi,” kata Yo Ko, lalu ia mundur ke sana bersama rajawali sakti dan membiarkan Su-si-hengte dan Gerombolan Setan itu bertarung lagi.
Segera Hoan It-ong melangkah maju dan berkata kepada Su Pek-wi: “Gerombolan Setan Se-san sudah sama babak belur, biarkan sementara ini kami mohon diri saja, Kami hanya ingin tahu selanjutnya Ban-siu-san-ceng tetap bercokol di sini atau akan kembali ke Se-keng? Harap dijelaskan supaya kelak kami dapat menemukan alamat kalian secara tepat.”
Dari nada ucapan itu, Su Pek-wi paham kelak orang bermaksud mencarinya untuk menuntut balas, maka dengan angkuh iapun menjawab: “Kami akan menanti kedatangan kalian di Se-keng saja, Jika Samte kami akhirnya… akhirnya takkan disembuhkan maka tanpa kunjungan kalian juga kami berempat saudara akan mendahului berkunjung kepada kalian.”
Hoan It-ong melengak, katanya: “Memangnya Susamko sedang sakit, apa sangkut-paut sakitnya dengan kami, untuk ini mohon diberi penjelasan?”
Su Pek-wi menjadi murka, dengan muka merah padam ia berteriak: “Samte…”
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba Su Siok-kang menghela napas panjang dan menyela: “Toako, urusan ini tidak perlu disebut lagi, Kukira Gerombolan Setan Se-san juga tidak sengaja, mungkin sudah ditakdirkan nasibku harus begini, maka tidak perlu banyak mengikat permusuhan lagi.”
“Baik!” seru Su Pek-wi dengan menahan amarahnya, lalu dia memberi salam kepada Hoan liong dan berkata. “Selama gunung tetap menghijau dan air tetap mengalir, kelak kita pasti bertemu lagi.” Kemudian dia berpaling dan bertanya kepada Yo Ko: “Sin-tiau-tayhiap. kami bersaudara terjungkal
di tanganmu, sungguh kami merasa sangat kagum. Rasanya meski kami berlatih lagi 20 tahun juga tetap bukan tandinganmu, sengketa ini jelas kami tidak berharap dapat membalasnya, kamipun tidak berani lagi bertemu dengan engkau, pokoknya ke mana engkau datang di sana pula kami lantas mendahului menyingkir.”
“Ah, ucapan Su-toako teramat berlebihan,” ujar Yo Ko- dengan tertawa.
“Hayolah, kita berangkat” kata Su Pek- wi sambil mendekati Su Siok-kang. ia memapah saudaranya yang sakit itu dan diajak pergi, Hoan It-ong merasa ucapan Su Pek-wi itu banyak yang sukar dipahami, cepat ia berseru pula: “Tunggu dulu, Su-toako. Tadi Su-samko mengatakan tindakan kami tidak disengaja, Padahal seingat kami kecuali terobosan di tempat  kediaman kalian ini, rasanya tiada pernah berbuat kesalahan lain. Apabila memang benar kami telah berbuat sesuatu kesalahan di luar sadar kami, sedangkan kepala dipenggal saja Gerombolan Setan Se-san tidak gentar, apalagi menyembah dan mohon maaf kepada kalian bersaudara?”
Su Pek-wi tadi sudah menyaksikan cara Gerombolan Setan Se-san itu saling melempar kopiah kulit milik Su Siok-kang tadi dan tiada satupun yang ingin menyelamatkan diri sendiri, rata2 adalah ksatria yang tidak takut mati, hal ini tidak perlu disangsikan lagi.
Maka dengan rasa pedih ia menjawab “Kalian telah menyebabkan larinya Kiu-bwe-leng-hou sehingga luka dalam Samte kami tak dapat diobati lagi, sekalipun kau menyembah seratus kali atau seribu kali kepada kami juga tiada gunanya.”
Hoan It-ong terkejut baru teringat olehnya tadi kelima saudara Su memimpin kawanan binatang menguber seekor binatang kecil mirip kucing dan anjing, kiranya itu yang disebut Kiu-bwe-leng-hou (rase atau musang cerdik berekor sembilan), masakah binatang kecil mempunyai kegunaan yang
sangat penting?
Tiba-tiba Sat-sin-kui menimbrung: “Memangnya untuk apa sih rase kecil itu? Tapi kalau binatang kecil itu menyangkut kesehatan Su-samko, maka marilah kita beramai-ramai memburu dan menangkapnya lagi. Hanya seekor rase kecil begitu apa sih artinya?”
“Apa artinya, katamu hm?” teriak SuKi-kiang, “kalau kau mampu menangkap rase kecil itu, biarlah nanti aku menyembah seratus kali, bahkan seribu kali padamu juga kurela.”
Hoan It-ong terkesiap, pikirnya: “Keluarga Su ini terkenal mahir menjinakkan binatang, rasanya di dunia ini tiada yang lebih pandai daripada mereka, kalau mereka menyatakan betapa sulitnya menangkap rase itu, lalu siapa lagi yang sanggup?” - Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia memandang Yo Ko.
Kwe Yang tidak tahan, segera ia menyelutuk: “Sejak tadi kalian hanya bicara saja, mengapa kalian tidak mohon bantuan Sin-tiau-hiap?”
Su Tiong-beng terhitung paling banyak tipu akalnya, dia adalah motor penggerak di antara kelima saudara Su itu, ia pikir ilmu silat Sin-tiau–hiap ini memang sukar diukur, bisa jadi beliau mau memberi pertolongan.
Maka ia lantas berkata: “Ah-, nona cilik tahu apa? Kukira selain malaikat dewata yang turun ke bumi ini tiada seorang lagi yang sanggup menangkap Kiu-bwe-long-hou itu.”
Yo Ko hanya tersenyum saja, ia tahu orang sengaja hendak memancing reaksinya, namun dia tidak
menanggapinya.
“Sesungguhnya rase kecil itu mempunyai kemujijatan apa? Coba ceritakan” kata Kwe Yang.
Su Tiong-beng menghela napas sedih, katanya kemudian “Akhir tahun yang lalu, karena membela keadilan di daerah Hengciu, samte kami telah bergebrak dengan orang, tapi pihak lawan memakai akal licik sehingga Samte kami kena diselomoti musuh dan terluka parah.”
“Aneh, Su-samsiok ini jelas sangat tinggi kepandaiannya siapa lagi yang begitu lihay dan mampu melukainya?” ujar Kwe Yang heran.
“Ah, nona memuji sedikit kepandaianku yang tak berarti ini, bukankah akan ditertawai Sin-tiau-hiap?” kata Su Siok-kang dengan suara lemah.
Kwe Yang melirik Yo Ko sekejap katanya: “Dia! Sudah tentu dia di luar hitungan. Yang kumaksud
adalah orang lain.”
“Yang melukai Samte kami adalah seorang Mongol,” tutur Su Tiong-beng lebih lanjut, “namanya Hotu kalau tidak salah, Konon dia adalah murid Kim-lun Hoat-ong, Koksu kerajaan Mongol.”
Tiba-tiba Kwe Yang berkata kepada Yo Ko: “Sin-tiau-hiap, kumohon engkau suka pergi mencari pangeran Mongol itu dan memberi ajaran setimpal padanya untuk membalaskan sakit hati Su-samsiok ini “
“Untuk ini kami tak berani membikin repot Sin-tiau hiap,” kata Su Tiong-beng, “Asalkan luka Samte kami sudah sembuh, kami akan mencari dia dan pasti dapat menuntut balas, Hanya saja Lwe-kang kami ini lain daripada yang lain, luka yang diderita Samte kami ini sangat sukar disembuhkan untuk ini
harus minum darah, segar Kiu-bwe-leng-hou itu.”
“Ah, kiranya demikian,” Kwe Yang dan Gerombolan Setan Se-san sama bersuara.
“Rase kecil itu adalah binatang yang sangat jarang, makhluk yang amat cerdik,” tutur Su Tiong-beng pula, “Sudah lebih setahun kami bersaudara mencari ke mana-mana dan baru kami kutemukan jejaknya di daerah Cinlam. Tempat sembunyi rase itupun sangat aneh, yaitu di tengah sebuah kolam lumpur yang sangat luas yang terletak kurang lebih 30 li dari sini.”
“Kolam lumpur besar? Maksudmu Hek-liong-tam (tambak naga hitam)?” Sat-sin-kui menegas dengan heran.
“Betul,” sahut Su Tiong-beng. “Kalian sudah lama berdiam di sini, tentu juga mengetahui bahwa beberapa li sekeliling Hek-liong-tam itu hanya lumpur belaka, manusia maupun khewan sukar berdiam di tempat seperti itu, tapi rase kecil ilu justeru bersarang di sana. Dengan susah payah akhirnya kami
berhasil memancingnya ke tengah hutan ini.”
“Ah, pantas kalian marah dan melarang kami memasuki hutan ini,” kata Sat-sin-kui menyadari kejadian tadi.
“Begitulah,” kata Su Tiong-beng pula, “Bahwasanya kedatangan kami ke sini adalah tamu, betapapun kasarnya juga tidak pantas kami mengangkangi tempat orang lain, soalnya cuma terpaksa saja, Harus dimaklumi bahwa rase itu sangat gesit dan cepat larinya, sekejap saja lantas menghilang, hal ini telah kalian saksikan tadi.

Karena itulah kami mengerahkan segenap binatang buas piaraan kami dan mengepung rapat hutan itu, tampaknya dengan segera rase itu dapat kami tangkap, siapa tahu kalian justeru membakar hutan sehingga kawanan binatang sama terkejut dan memberi kesempatan lo!osnya rase itu.
Memalukan juga jika diceritakan meski kami sudah berusaha sepenuh tenaga tetap tidak mampu menangkapnya, Namun luka Samte kami semakin hari semakin berat, kami menjadi sedih sehingga tindak-tanduk kamipun menjadi berangasan, untuk ini hendaklah kalian maklumi” Habis berkata ia terus memberi hormat se-keliling, tapi pandangannya justeru menatap Yo Ko.
“Urusan ini adalah karena kecerobohan kami dan Gerombolan Setan kami sekali lagi minta maaf.” kata Hoan It-ong. “Tentang rase itu entah dengan cara bagaimana Su-toako berlima telah memancingnya ke sini? Mengapa cara itu tidak dapat digunakan lagi sekarang?”
“Sifat rase adalah suka curiga disamping cerdik, sukar sekali hendak menjebaknya, apalagi Kiu-bwe-leng-hou ini, jauh lebih cerdik dan licin daripada rase biasa,” demikian tutur Su Tiong-beng.
“Kami-telah mengorbankan ribuan ekor ayam jantan, dalam jarak setiap tombak jauhnya kami- panggang seekor dan ber- turut-urut kami pancing dia dengan bau sedap ayam panggang, kami tidak mengusiknya dan membiarkan dia makan, setelah setiap hari berhasil makan ayam panggang tanpa gangguan, sampai dua-tiga bulan lamanya barulah curiga rase itu mulai berkurang.
Habis itu barulah kami pancing dia ke hutan ini, Tapi sekali ini dia telah mengalami kaget luar biasa, biarpun seratus tahun lagi juga tidak mau tertipu pula.”
“Ya, memang betul sulit,” kata Hoan It-ong. “Tapi kalau kita langsung masuk ke Hek liong-tam dan menangkapnya, apakah tidak bisa?”
“Seluas beberapa li Hek-liong-tam itu hanya lumpur belaka yang beberapa meter dalamnya, betapapun tinggi Ginkangmu juga sukar berpinjak di atas lumpur,” tutup Su Tiong- beng.
“Juga perahu, rakit atau getek dan sebagainya sukar berjalan di sana. Namun tubuh Kiu-bwe-leng-hou itu sangat kecil dan enteng, telapak kakinya tebal lagi, larinya juga cepat, maka dia mampu meluncur di permukaan lumpur itu dengan cepat.”
Kwe Yang tiba-tiba ingat kedua rajawali di rumah, mereka kakak beradik sering naik rajawali itu dan dibawa terbang ke udara, Kini dilihatnya rajawali sakti jauh lebih besar daripada rajawali di rumahnya, blakan mustahil dua orang juga dapat dibawanya terbang Maka dengan tertawa ia berkata “Sin-tiau-
hiap, asalkan engkau sudi membantur kuyakin pasti ada jalannya.”
Yo Ko tersenyum, jawabnya: “Su-si-hangte adalah ahli penjinak binatang kalau mereka angkat tangan tak berdaya, maka apa yang dapat ku lakukan seumpama aku ingin membantu?”
Mendengar nada ucapan orang, ternyata bersedia menolong, urusan ini menyangkut mati-hidup saudaranya, maka tanpa pikir lagi Su Tiong-btng, lantas bertekuk lutut di depan Yo Ko dan me-mohon: “Sin-tiau-tayhiap, jiwa adik kami hanya menanti ajal, mohon engkau kasihan padanya.”
Sorot mata mengerling sekilas ke muka Kwe Yang, katanya kemudran: “Kau bilang aku pasti dapat menolongnya, coba kuingin tahu-bagaimana pendapat adik cilik ini.”
“Asalkan engkau naik rajawali raksasa itu, bukankah lantas dapat terbang masuk ke Hek-liong-tam?” jawab Kwe Yang.
“Hahaha! Menarik juga saranmu ini,” kata Yo Ko sambil tertawa.. “Tapi Tiau.-heng kita berlainan dengan burung umumnya, karena tubuhnya teramat berat, maka sejak kecil beliau tidak dapat terbang, Sekali sabet sayapnya mampu membinasakan singa atau harimau, tapi justeru tidak dapat
digunakan untuk terbang.”
Sementara itu, kecuali Su Siok-kang saja, ke-empat saudara she Su itu sudah sama berlutut di depan Yo Ko.
Segera Yo Ko membangunkan mereka dan berkata: “Apa boleh buat, biarlah kukerjakan sekuat tenagaku, cuma kalau tidak berhasil ya kalian jangan menyesali”
Su-si-hengte menjadi girang, mereka pikir nama pendekar besar itu termashur, sekali dia sudah menyanggupi pastilah akan dilaksanakannya. Kalau beliau juga gagal, terpaksa pasrah nasib saja.
Begitulah Su Pek-wi menyembah beberapa kali pula dan berkata: “Jika demikian, silakan Tayhiap dan para saudara dari Se-san mengaso dulu ke tempat kediaman kami untuk berunding lebih lanjut.”
“Urusan ini berpangkal kesalahan kami, sudah tentu kami siap menerima tugas apapun,” kata Hoan It-ong.
“Ah, tak perlu begitu,” ujar Su Pek-wi, “Tidak berkelahi takkan kenal kalau kalian tidak menoIak, marilah mulai sekarang kita berkawan.”
Dari pertarungan tadi masing-masing sudah sama tahu kelihayan pihak lawan, memangnya kedua pihak tidak ada permusuhan apa-apa, soalnya cuma bertengkar mulut saja lalu berkelahi, maka setelah bera-mah tamah sejenak, kedua pihak lantas seperti kenalan lama saja dan bersahabat baik.
“Sekarang juga biarlah kupergi ke Hek-Iiong–tam, apakah berhasil atau tidak pasti aku akan kembali lagi ke sini,” kata Yo Ko tiba-tiba.
Walaupun GeromboIan Setan Su-si hengte ingin mencurahkan tenaga, namun mereka tidak mendengar Yo Ko menghendaki pembantu, terpaksa mereka diam saja dan tidak berani mencalonkan diri, setelah memberi salam kepada para hadirin, lalu Yo Ko melangkah pergi.
Maksud kedatangan Kwe Yang ini ialah ingin melihat Sin-tiau-hiap, kini tokoh tersebut sudah dilihatnya, meski berwajah jelek, tapi ilmu silatnya mengejutkan, suka membantu yang lemah dan menolong yang susah, nyata memang setimpal mendapatkan sebutan “Tayhiap”, jadi tujuan kedatangannya ini tidaklah percuma, Tapi demi teringat Sin-tiau hiap akan pergi menangkap Kiu-hwe-leng-hou,”
Caranya pasti sangat menarik, dasar anak muda, rasa ingin tahunya telah menggelitik lubuk hatinya, tanpa terasa iapun melangkah ke sana mengintil di belakang Yo Ko.
Melihat itu, segera Toa-thau-kui bermaksud memanggilnya kembali tapi lantas terpikir olehnya: “Dia bertekad ingin menemui Sin tiau-hiap, tentu ada sesuatu hendak dikatakan padanya.”
Sedangkan Su si-hengte tdak tahu asal usul Kwe Yang, dengan sendirinya merekapun tidak dapat ikut campur urusan nona cilik itu.
Kwe Yang terus mengintil di belakang Yo Ko, jaraknya kira-kira belasan meter, yang dituju hanya ingin tahu cara bagaimana pendekar besar itu menangkap rase, Dilihatnya jalan Yo Ko makin lama semakin cepat, rajawali raksasa itu jalan berjajar dengan dia dengan langkah lebar, cepatnya ternyata tidak kalah dengan kuda lari. Hanya sekejap saja Kwe Yang sudah jauh tertinggal di belakang.
Sekuatnya Kwe Yang mengeluaikan Ginkang ajaran ibunya, tampaknya Yo Ko berlenggang seenaknya, tapi jaraknya ternyata semakin jauh, tak lama- kemudian bayangan Yo Ko dan si rajawali raksasa itu telah mengecil menjadi dua titik hitam saja.
Kwe Yang menjadi cemas, serunya. “Hei, tunggu!” Karena sedikit meleng, mendadak ia ter-peleset tanah salju yang licin dan jatuh terduduk, Ya malu ya gelisah, maka menangislah dia.
Tiba-tiba sebuah suara yang halus mendenging di tepi telinganya: “Kenapa menangis? Siapa yang nakal?”
Waktu Kwe Yang mendongak, ternyata Yo Ko adanya, entah mengapa dia dapat putar balik secepat ini. Kejut dan girang pula si nona, segera iapun merasa likat dan cepat menunduk, ia bermaksud mengambil saputangan untuk mengusap air mata, tapi karena berlari-lari tadi, saputangan ternyata sudah hilang.
“lnikah yang kau cari?” tanya Yo Ko tiba-tiba sambil menyodorkan sebuah saputangan.
Segera Kwe Yang mengenali saputangan yang ujungnya bersulam setangkai bunga kecil itu adalah miliknya sendiri Mendadak ia menjawab pertanyaan Yo Ko tadi: “Ya, kau inilah yang nakal”
“He, bilakah aku nakal?” ujar Yo Ko heran.
“Kau telah merampas saputanganku, apakah perbuatan ini tidak nakal?”
“Saputanganmu jatuh di sana, dengan maksud baik kupungut dan mengembalikannya padamu, masakah kau tuduh aku merampasnya darimu?” kata Yo Ko dengan tertawa.
“Aku berada di belakangmu, andaikan benar saputanganku jatuh, cara bagaimana pula kau me-mungutnya? Hm, jelas kau mencolongnya dariku,” kata Kwe Yang.
Padahal sejak tadi Yo Ko sudah tahu Kwe Yang mengintil di belakangnya, dia sengaja percepat langkahnya untuk menjajal Ginkang si nona, ia merasa meski usia nona cilik ini masih sangat muda, tapi ilmu silatnya sudah mempunyai dasar yang kuat dan jelas mendapatkan ajaran tokoh ternama.
Maka begitu mengetahui Kwe Yang terpeleset jatuh, cepat ia meluncur balik. Dilihatnya sebuah saputangan jatuh tidak jauh di sebelah sana, segera ia memungutnya. Cuma gerakannya teramat gesit, pergi datang secepat terbang, walaupun berada di depan, tapi dapat memungut saputangan
yang jatuh di bagian belakang, hal ini memang tidak masuk diakal.
Dengan tersenyum Yo Ko lantas tanya: “Kau she apa dan siapa namamu? siapa pula gurumu? Mengapa kau mengikuti aku?”
“She dan namamu yang terhormat harap diberitahukan lebih dulu padaku baru nanti akupun memberitahukan namaku,” jawab Kwe Yang.
Selama belasan tahun ini Yo Ko selalu menutupi wajah aslinya bagi umum, dengan sendirinya juga tidak suka memberitahukan namanya sendiri pada seorang nona cilik yang tidak dikenaInya. Maka katanya: “Nona cilik ini sangat aneh, kalau kau tidak mau menerangkan ya sudahlah, Saputa-nganmu kukembalikan.”
Habis berbicara, dengan pelahan tangannya mengebas, saputangan itu lantas mekar merata dan mengembang di udara terus melayang enteng ke depan Kwe Yang.
Kwe Yang sangat tertarik, cepat ia tangkap saputangan itu dan berkata: “Sia-tiau-hiap, ilmu kepandaian apakah ini?
Maukah kau mengajarkan padaku?”
Melihat si nona yang lincah ke kanak-anakan, sama sekali tidak takut kepada wajahnya yang seram, tiba-tiba timbul pikiran Yo Ko untuk coba menakut2inya, mendadak ia lantas membentak bengis: “Berani benar kau, mengapa kau tidak takut padaku, hm? Akan kuhantam kaul” Berbareng ia melangkah maju dan berlagak hendak menyerang.
Kwe Yang terkejut, tapi cepat iapun mengikik tawa, katanya: “Mana aku takut, jika betul kau ingin mencelakai aku, masakah kau sendiri mau mengatakan lebih dulu? Sin- tiau-tayhiap terkenal berbudi dan baik hati, mana mungkin mencelakai seorang anak perempuan kecil seperti diriku ini?”
Di dunia ini tiada seorangpun yang tidak suka dipuji, apakah mendengar orang memujinya dengan setulus hati, meski Yo Ko tidak suka disanjung puji orang, tapi mendengar ucapan Kwe Yang benar-benar mengaguminya itu, mau-tak-mau ia tersenyum dan berkata: “Kau baru kenal diriku darimana mengetahui aku takkan mencelakai kau?”
“Meski sebelumnya aku tidak kenal kau, tapi semalam kudengar orang banyak bercerita mengenai tindak-tandukmu yang terpuji. Maka di dalam hati aku bertekad ingin melihat tokoh ksatria besar ini, sebab itulah aku lantas ikut Toa-thau-kui ke sini untuk menemui engkau.”
“Ah, aku ini terhitung ksatria apa?” ujar Yo Ko sambil menggeleng, “Dan setelah bertemu kini, kau pasti kecewa bukan?”
“Tidak, tidak!” jawab Kwe Yang cepat “Jika engkau bukan pahlawan dan kesatria besar, siapa lagi yang dapat dianggap pahlawan lagi?” - Habis berkaca demikian, segera ia merasa tidak pantas kalau ayahnya sendiri tidak disebut pula, maka cepat ia menambahkan.
“Sudah tentu, selain engkau, di dunia ini juga masih ada beberapa pahlawan dan ksatria besar lagi, tapi engkau adalah satu diantaranya.”
Diam-diam Yo Ko pikir anak dara sekecil ini masakah tahu tokoh-tokoh dunia segala, dengan tersenyum ia lantas bertanya: “Coba katakan, siapa-apa yang kau anggap pahlawan dan ksatria besar?”
Karena nada ucapan orang terasa meremehkan dirinya, tiba-tiba terpikir sesuatu, oleh Kwe Yang, katanya: “Akan kukatakan, kalau tepat, engkau harus berjanji akan membawa serta diriku pergi menangkap Kiu-bwe-leng-hou, jadi?”"
“Baiklah, coba katakan,” jawab Yo Ko, “Nah, ada seorang pahlawan yang bertahan di kota Siangyang, gagah perkasa tanpa menghiraukan keselamatan scndiri, sekuat tenaga melawan serbuan pasukan mongol, membela negara dan melindungi rakyat, Tokoh demikian terhitung pahlawan atau tidak?”
“Bagus!” ujar Yo Ko sambil mengacungkan ibu jarinya, “Yang kau maksud ialah Kwe Ceng, Kwe-tayhiap. jelas beliau terhitung pahlawan besar.”
“Ada lagi seorang pahlawan wanita, beliau senantiasa membantu sang suami mempertahankan Siangyang, tipu akalnya tiada bandingannya, dia terhitung pahlawan besar atau tidak?”
“O, maksudmu Kwe-hujin Oey Yong? Ya, beliau juga terhitung pahlawan.”
“Masih ada seorang pahlawan tua, beliau mahir ilmu falak dan macam-macam ilmu gaib, baik ilmu silat maupun sastra jarang ada bandingannya, Beliau dapat dianggap pahlawan besar tidak?”

“ltulah Tho-hoa-tocu Oey Yok-su, beliau adalah angkatan tua di dunia persilatan dan adalah tokoh kekagumanku.”
“Ada lagi satu, pahlawan beliau memimpin kawanan orang jembel, menumpas orang lalim dan menyerbu musuh, membela negara dan rakyat tanpa kenal lelah, dia terhitung pahlawan besar tidak?”
“Maksudmu Loh-pangcu, Loh Yu-kah. ilmu silat orang ini tidak menonjol dan juga tiada sesuatu tindakannya yang luar biasa, tapi mengingat semangat perjuangannya membela negara dan rakyat serta menumpas penjahat dan menyerbu musuh, dapatlah dia dianggap tokoh kelas satu.”
Kwe Yang pikir Sin-tiau-tayhiap sendiri sedemikian hebatnya, sudah tentu penilaiannya terhadap orang lain juga tinggi, kalau kukatakan lagi mungkin akan dibantah olehnya.
Apalagi selain ayah-ibu, kakek dan paman Loh, rasanya juga tiada tokoh lain yang dapat ditonjolkan.
Melihat air muka si nona mengunjuk rasa ragu-ragu untuk bicara pula, Yo Ko lantai berkata: “Asalkan kau dapat menyebut lagi seorang pahlawan lain dan tepat, segera kubawa kau ke Hek-liong-tam untuk menangkap Kiu-bwe-leng-bou.”
ia pikir nama paman dan bibi Kwe serta Oey-tocu dan Loh-pangcu sangat terkenal di dunia Kangouw, maka tidaklah heran jika nona cilik ini dapat menyebut nama mereka.
Segera Kwe Yang bermaksud menyebut kakak iparnya, yaitu Yalu Ce, tapi rasanya kurang cocok untuk dianggap sebagai “pahlawan besar” meski ilmu silatnya cukup tinggi, Selagi serba susah, tiba-tiba timbul kecerdikannya, cepatlah ia berkata: “Baik, ada seorang lagi, beliau suka membantu kaum
lernah, menolong yang sengsara, setiap orang selalu memuji nya, itulah dia Sin-tiau-tayhiapl Nah, kalau beliau tak dapat dianggap sebagai pahlawan besar, jelas. kau sendiri yang bohong.”
Yo Ko bergelak tertawa, katanya: “Ha ha, cara bicara nona cilik sungguh lucu.”
“Jadi tidak kau membawaku ke Hek-liong-tam?” tanya Kwe Yang.
“Karena kau sudah mengatakan diriku ini pahlawan besar, maka pahlawan besar tidak boleh mungkir janji pada seorang nona cilik, Marilah kita berangkat!”
Senang sekali hati Kwe Yang, segera tangan kanannya menggandeng tangan kiri Yo Ko. Sejak kecil dia berkawan dengan para ksatria di Siangyang dan semua menganggap dia sebagai adik kecil, maka sekarang saking senangnya iapun anggap Yo Ko sebagai kenalan lama.
Yo Ko sendiri menjadi rikuh, ia merasa tangan si nona lunak dan halus, kalau dia melepaskan pegangan Kwe Yang, rasanya kurang sopan, ia coba melirik nona cilik ini, terlihat dia meloncat-loncat kegirangan dan sama sekali tiada pikiran Iain.
Dengan tersenyum dia lantas menuding ke arah utara: “Hek-liong-tam terletak tidak jauh di sana.” Dengan alas an menuding inilah dia dapat menarik tangannya dari pegangan Kwe Yang.
Kiranya Yo Ko merasa waktu mudanya sudah terlalu banyak membikin anak perempuan tergila-gila padanya, tapi sejak matinya Kongsun Lik-oh dan menghilangnya Siao-liong-li, diam-diam ia sangat menyesalkan tindakannya di masa lampau, selama belasan tahun ini ia menjadi sangat alim sehingga tangan anak perempuan kecil seperti Kwe Yang ini juga enggan disentuhnya lagi.
Sama sekali Kwe Yang tidak merasakan perubahan pikiran Yo Ko itu, dia jalan berjajar dengan Yo Ko, ketika melihat muka rajawali sakti itu sangat jelek, tapi tubuhnya kekar, tanpa pikir ia tepuk punggungnya sebagai tanda simpatik.
Sejak kecil dia sudah biasa bermain dengan sepasang rajawali di rumahnya itu, siapa tahu rajawali ini ternyata tidak suka ditepuk, mendadak sayapnya terbentang, “bret”, tangan Kwe Yang didorong pergi.
Keruan Kwe Yang menjerit kaget, Dengan tertawa Yo Ko lantas berkata: “Jangan marah, Tiau-heng! Buat apa mengurusi anak kecil?”
Kwe Yang melelet-lelet lidah dan menyingkir ke sisi Yo Ko yang lain dan tak berani berdekatan dengan si rajawali sakti lagi, ia tidak tahu bahwa sepasang rajawali di rumahnya itu termasuk burung piaraan, sedangkan hubungan rajawali sakti ini dengan Yo Ko boleh dikatakan setengah guru dan
setengah kawan, kalau bicara tentang usia bahkan terhitung angkatan tua, jelas tidak sama kedudukan.
Begitulah mereka terus ke Hek-liong-tam. Tempat itu sangat mudah dikenali, beberapa ii sekeliling sama sekali tiada tetumbuhan sebenarnya Hek-liong-tam itu adalah sebuah danau, mungkin karena sumber airnya kering, lama2 dasar danau mendangkal sehingga akhirnya berubah menjadi tambak besar dengan lumpur melulu Tidak lama kemudian Yo Ko dan Kwe Yang sudah berada di tepi tambak, sejauh mata memandang, suasana sepi senyap dan menyeramkan. Hanya di tengah-tengah tambak sana kelihatan tertimbun seongokan kayu dan rumput kering.
Bisa jadi tempat sembunyi Kiu-bwe-leng-hou adalah di bawah onggokan kayu dan rumput kering itu.
Yo Ko ambil sepotong tangkai kayu dan dilemparkan ke tengah tambak, tangkai kayu itu mula-mula melintang di atas salju, tapi tidak lama kemudian kelihatan mulai ambles ke bawah, meski tenggelam-nya sangat pelahan, tapi berjalan terus tanpa berhenti, sedikit demi sedikit dan akhirnya timbunan salju di kedua sisinya merapat sehingga tangkai kayu itu teruruk hilang tanpa bekas.
Tidak kepalang kejut Kvve Yang, tangkai kayu seenteng itu saja amblas ke dalam lumpur, lalu cara bagaimana manusia dapat berpijak di sana? Dengan melenggong ia pandang Nyo Ko dan ingin tahu orang mempunyai tipu daya apa?
Sejenak Yo Ko berpikir, lalu ia cari lagi dua potong tangkai kayu yang agak licin, masing-masing panjangnya satu meteran, tangkai kayu itu lantas diikat di bawah telapak kaki, Lalu katanya: “Akan kucoba, entah bisa tidak?”
Habis berkata, segera tubuhnya melayang ke tengah tambak, secepat anak panah melesat dari busurnya ia terus meluncur di permukaan salju yang menutupi tambak itu.
Dengan melenggak-lenggok ke sana dan ke sini, sama sekali dia tidak berhenti sedetikpun, ia terus meluncur sekeliling tambak, seperti orang main ski jaman kini, kemudian dia meluncur balik ke tempat semula.
“Kepandaian hebat, kecakapan luar biasa!” sorak Kwe Yang memuji
Dari sorot mata Kwe Yang yang, penuh rasa kagum itu, Yo Ko tahu nona itu sangat berharap dapat ikut menangkap rase ke tengah tambak, tapi nona itu menyadari tak memiliki kepandaian Ginkang setinggi itu. Maka Yo Ko lantas berkata dengan tertawa “Aku sudah berjanji padamu akan membawa
kau ke Hek liong-tam untuk menangkap Kiu-bwe leng hou.
Soalnya kau berani tidak?”
“Aku tidak memiliki kepandaian setinggi kau, biarpun berani juga percuma,” sahut Kwe Yang sambil menghela napas pelahan.
Yo Ko tersenyum dan tidak menanggapi pu-la, ia mencari lagi dua potong kayu yang lebih pendek sedikit daripada miliknya tadi dan disodorkan pada si nona, katanya: “lkatlah di bawah telapak kakimu!”
Gugup dan girang pula Kwe Yang, ia menurut dan mengikat kencang kedua potong kayu itu di bawah telapak kakinya.
“Tubuhnya mendoyong sedikit ke depan, kaki jangan menggunakan tenaga, biarkan saja mengimbangi” pesan Nyo Ko. Lalu tangan kirinya memegangi tangan kanan Kwe Yang terus berseru tertahan “Awas!”
Sekali angkat dan tarik, tanpa kuasa tubuh Kwe Yang terus melayang dan meluncur ke tengah tambak, Semula dia rada gugup dan takut-takut, tapi setelah meluncur beberapa meter jauhnya, terasa badan enteng dan melayang seperti terbang, kaki tanpa merasa mengeluarkan tenaga sedikitpun ia menjadi cekikik senang, rasanya lebih enak daripada terbang menumpang rajawali di rumah.
Sesudah main ski sekian lama mengelilingi tombak itu tiba-tiba Yo Ko berseru heran “He?”
“Ada apa?” tanya Kwe Yang, “Apakah kau melihat rase kecil itu?”"
“Bukan,” jawab Yo Ko. “Kukira di tengah tambak sana ada penghuninya!”
Kwe Yang menjadi heran juga, katanya: “Di tempat begini mana mungkin dihuni orang?”
“Akupun tidak paham,” kata Yo Ko. “Tampaknya susunan onggokan kayu dan rumput kering ini ada kelainan dan bukan barang yang tumbuh sendiri.”
Sementara itu mereka sudah dekat dengan onggokan kayu dan rumput itu, Kwe Yang coba mengamati dengan teliti, lalu berkata: “Ya, memang benar. sebelah timur diatur dalam hitungan Bok (kayu), sebelah selatan menurut Hwe (api), bagian tengah menurut Tho (bumi) dan utara adalah Sui (air).”
Rupanya sejak kecil Kwe Yang juga ikut belajar hitungan Im yang-ngo-heng, yaitu falsafat Tiong-hoa kuno mengenai unsur2 laki-perempuan di jagat raya ini. walaupun belum banyak yang dipahami-nya, tapi dasarnya memang pintar, maka apa yang dapat diketahuinya jauh lebih banyak daripada kakaknya, yaitu Kwe Hu.
Sifat Kwe Yang serba ingin tahu, macam jalan pikirannya dan tindak-tanduknya acapkali di luar dugaan orang, kelakuannya itu rada-rada mirip dengan sang kakek luar, yaitu Oey Yok-su, sebab itulah di rumah dia diberi julukan “Siau Tang sia” atau si Tang-sia kecil.
Misalnya tindakannya menukar tusuk kundai untuk menjamu orang-orang yang baru dikenalnya dan ikut Toa-thau-kui yang menakutkan itu hanya karena ingin melihat Sin tiau hiap, kemudian ikut lagi Sin-tiau-hiap yang baru dikenalnya pergi menangkap rase, keberanian ini jeias sangat berbeda daripada Oey Yong dan Kwe Hu dahulu.
Begitulah Yo Ko menjadi heran mendengar nona cilik ini dapat menyebut bentuk bangunan onggokan kayu-rumput itu, ia coba bertanyar “Darimana kau tahu bentuk Im yang-ngo-heng itu? Siapa yang mengajarkan kau?”
“Kubaca dari buku, entah tepat atau tidak ucapanku,” jawab Kwe Yung dengan tertawa, “Kulihat pengaturan kayu-rumput itupun tiada sesuatu yang luar biasa, agaknya juga bukan orang kosen yang hebat.”
“Ya, anehnya cara bagaimana orang itu dapat tinggal di atas lumpur dan tidak tenggelam ke bawah?” kata Yo Ko.
Segera ia berseru lantang: “Sa-habat di tengah Hek liong-tam, ini ada tamu datang!”
Selang sekian lama, keadaan tetap sunyi tanpa sesuatu suara, Yo Ko berseru sekali lagi dan tetap tiada jawaban orang.
Tampaknya orang sengaja menumpuk onggokan kayu rumput di sini dan tidak dihuni di sini, marilah kita melihatnya ke sana,” kata Yo Ko sambil meluncur ke tempat onggokan rumput itu.
Se-kunyong2 kaki Kwe Yang merasa berpijak pada tempat yang keras, agaknya tanah datar di bawah mereka. Rupanya Yo Ko sudah mengetahui lebih dulu, dengan tertawa ia berkata: “Tidak mengherankan kiranya di tengah tambak ini ada sebuah pulau kecil.”
Baru habis ucapannya, mendadak bayangan putih berkelebat dari bawah onggokan itu menerobos keluar dua ekor binatang kecil, ternyata sepasang “Kiu bwe-lenghou yang dicarinya itu. yang seekor terus lari ke timur dan yang lain kabur ke selatan dengan cepat luar biasa.
“Kau tunggu di sini nona cilik dan jangan sembarangan bergerak,” pesan Yo Ko. Habis itu ia terus meluncur dan menguber rase sebelah timur.
Kini ia tidak perlu menjaga Kwe Yang lagi sehingga dapat mengeluarkan segenap Ginkangnya untuk meluncur, sungguh cepatnya melebihi burung terbang.
Akan tetapi lari rase itupun cepat dan gesit luar biasa, seperti angin saja binatang kecil itu lantas memutar balik dan menyamber lewat di samping Kwe Yang, Tapi Yo Ko terus membayanginya, sekali lengan bajunya mengebas tampaknya rase kecil itu pasti akan tersampuk jatuh, tak terduga binatang
itu benar-benar sangat cerdik, mendadak ia meloncat ke atas dan berjumpalitan di udara, dengan demikian sabetan lengan baju Yo Ko itu menjadi luput.
Berulang-ulang Kwe Yang menyatakan: “Sayang! Sayang!”
Begitulah satu orang dan satu hewan terus uber menguber di atas salju, Kwe Yang sangat senang menyaksikan tontonan menarik itu. ber ulang2 ia berseru memberi semangat kepada Yo Ko agar mengudak lebih kencang.
Dalam pada itu rase yang lain juga terus berlari kian kemari. terkadang sengaja mendekati Yo Ko. Tapi Yo Ko tahu binatang kecil itu sengaja mengacau untuk membelokkan perhatiannya, maka dia tidak ambil pusing, yang diudak melulu rase yang satu itu, ia sengaja hendak berlomba lari dengan rase itu agar binatang kecil itu akhirnya kehabisan tenaga.
Tak tahunya rase yang kecil itu ternyata memiliki tenaga yang besar, rupanya iapun tahu sedang menghadapi bencana, maka larinya seperti kesurupan setan tanpa ada tanda-tanda lelah.

Semakin lari semakin bersemangat Yo Ko, ketika dilihatnya rase yang lain ingin menolong kawannya dan mendekat lagi untuk mengacau, diam-diam ia mengomel akan kenakalan binatang kecil itu. sekenanya ia meraup segenggam salju dan di remas hingga keras menyerupai batu, habis itu terus ditimpukkan dan tepat mengenai kepala rase pengacau itu, kontan binatang itu roboh terjungkal tapi ber-guling-2 beberapa kali rase itu terus berdiri lagi dan lari masuk onggokan kayu rumput tadi dan tidak berani keluar lagi.
Rupanya Yo Ko tidak bermaksud membinasakan rase itu, maka timpukannya tidak keras.
Sebenarnya dengan cara yang sama Yo Ko dapat merobohkan dan menawan rase yang diu-daknya ini, tapi dia sengaja hendak balapan lari, katanya, “Rase cilik, kalau kurobohkan kau dengan batu salju, matipun kau penasaran, Seorang lelaki sejati harus bertindak secara ksatria, jika aku tidak mampu menyusul kau, maka jiwamu biar kuampuni.”
Segera ia “tancap gas” dan meluncur lebih kencang, tahu-tahu dia sudah berada di depan si rase dan mendadak tangannya meraih untuk menangkapnya. Keruan rase itu terkejut dan melompat ke kanan. Namun Yo Ko sudah siap, lengan bajunya terus mengebas sehingga rase itu tergulung, tangan kanan lantas pegang kuduk rase itu dan diangkat ke atas, saking gembiranya ia bergelak tertawa.
Tapi belum lenyap suara tawanya, tiba-tiba dilihatnya rase itu menjadi kaku tanpa bergerak lagi ternyata sudah mati.
“Wah, celaka!” keluh Yo Ko. “Mungkin tenaga kebasanku terlalu keras, rupanya binatang ini sedemikian lemah dan tidak tahan. Entah rase mati dapat digunakan menyembuhkan luka si Su-losam atau tidak?”
Dengan menjinjing rase mati itu ia meluncur kembali ke samping Kwe Yang dan berkata: “Ra-se ini sudah mati, mungkin tak berguna lagi, kita harus menangkap pula rase yang satunya itu.”
Berbareng iapun melemparkan rase mati itu ke tanah, tapi iapun tahu sifat rase sangat licik, bisa jadi pura-pura mati, maka diam-diam iapun sudah bersiap bila rase itu bergerak, segera akan digulungnya kembali dengan lengan baju. Namun rase itu ternyata tidak bergerak sedikitpun tampaknya memang sudah mati betul-betul.
“Menyenangkan juga bentuk rase kecil ini, matinya mungkin karena terlalu lelah di-uber-uber,” ujar Kwe Yang.
Lalu ia jemput sepotong kayu dan berkata pula: “Biar kuhalau rase lain itu supaya ke luar, engkau jaga saja di sini.”
Kwe Yang lantas memdekati onggokan kayu rumput itu.
Kemudian dihantamkan ke onggokan kayu itu, tapi sekali pukul, untuk menghantam kedua kalinya ternyata tidak mampu lagi, sungguh aneh, seperti melengkat saja kayu yang dipegang Kwe Yang itu tak dapat ditarik kembali, Keruan Kwe Yang berseru kaget dan berusaha membetot sekuatnya, namun tangkai kayu itu malah terlepas dan jatuh ke dalam onggokan kayu dan rumput kering itu.
Menyusul mana, mendadak onggokan kayu-rumput itu tersiak dan tahu-tahu menerobos keluar seorang nenek beruban dengan muka penuh keriput dan pakaiannya compang-camping.
Dengan bengis nenek itu memandangi Kwe Yang dan tangkai kayu yang dirampasnya itu diangkat dengan lagak hendak memukul si nona.
Kwe Yang terkejut dan cepat melompat mundur ke samping Yo Ko. pada saat itulah rase yang menggeletak di tanah itu mendadak melompat ke atas dan masuk pelukan si nenek, sepasang matanya yang bundar kecil ber-kilat2 memandangi Yo Ko, ternyata binatang kecil itu memang benar-benar cuma pura-pura mati saja.
Melihat itu Yo Ko menjadi mendongkol dan geli pula, pikirnya: “Sekali ini aku ternyata dikalahkan seekor hewan kecil ini, tampaknya rase kecil ini adalah piaraan nenek ini, Entah siapakah gerangannya nenek ini, rasanya di dunia Kangouw tak pernah terdengar ada seorang tokoh macam
begini. Rasanya akan sulit jika menghendaki rase kecil itu.”
Segera Yo Ko memberi hormat dan menya-pa: “Maaf kelancangan Wanpwe masuk ke sini tanpa permisi.”
Nenek itu memandangi tangkai kayu di telapak kaki Nyo Ko berdua, wajahnya menampilkan rasa kejut dan heran, namun hanya sekilas saja perasaan itu lantas menghilang, ia melambaikan tangannya dan berkata: “Orang tua mengasingkan diri di tempat terpencil ini dan tidak suka menemui tamu, kalian boleh pergi saja!” suaranya lembut, tapi menyeramkan kedengarannya, di antara mata-alisnya juga menampilkan rasa yang benci kepada sesamanya.
Meski wajah nenek itu kelihatannya serarn, tapi raut mukanya bersih, waktu mudanya jelas seorang wanita cantik, sungguh ia tidak ingat tokoh Kangouw siapakah nenek ini.
Segera ia memberi hormat pula dan berkata: “Cayhe mempunyai seorang kawan terluka parah dan harus disembuhkan dengan darah Kiu-bwe-leng-hou, maka- mohon locianpwe sudi memberi bantuan.”
“Hahahaha, haha, heheheeee!” mendadak nenek itu terbahak-bahak sambil menengadah, sampai lama sekali ia terkakah dan terkekeh, tapi suara tawanya itu ternyata penuh mengandung rasa pedih dan boleh Sesudah tertawa sekian latna barulah ia berkata: “Terluka parah dan harus menolongnya, hm? Bagus, tapi mengapa anakku terluka parah dan orang lain sama sekali tidak sudi menolongnya?”
Yo Ko terkejut, jawabnya: “Entah siapakah putera Locianpwe? Apakah sekarang masih keburu ditolong?”
Kembali nenek itu terbahak-bahak, katanya: “Apakah masih keburu ditolong? Dia sudah mati berpuluh tahun, mungkin tulang belulangnya juga sudah menjadi abu, masakah kau bertanya apakah masih keburu ditolong segala?”
Yo Ko tahu si nenek jadi terkenang kepada kejadian masa lampau sehingga merangsang emosinya, maka ia tidak berani bertanya pula, terpaksa berkata pula: “Memang tidak pantas kami datang begini saja untuk memohon bantuan rase kecil ini, sudah tentu kami tidak ingin menerimanya dengan cuma-cuma, apabila Locianpwe menghendaki sesuatu, asalkan tenagaku mampu mengerjakannya, pasti akan kulaksanakannya dengan baik,”
Nenek itu mengerling sekejap ke arah Kwe Yang, lalu berkata: “Perempuan tua berdiam terpencil di kolam lumpur ini tanpa sanak tanpa kadang, hanya sepasang rase inilah teman hidupku Boleh juga jika kau ingin mengambilnya, tapi nona itu harus ditinggalkan di sini untuk mengawani aku selama sepuluh tahun.”
Yo Ko mengerut kening, belum lagi menja-wab, tiba-tiba Kwe Yang mendahului berkata dengan tertawa: “Di sini hanya lumpur melulu, kurasa tidak enak hidup di sini, Kalau engkau merasa kesepian, marilah tinggal saja di rumahku, apakah kau ingin tinggal selama sepuluh tahun, ayah-ibuku pasti akan menghormati engkau sebagai kaum locianpwe Lebih baik begitu bukan?”
Tiba-tiba nenek itu menarik muka dan mendamperat: “Ayah-ibumu itu orang apa? Memangnya begitu saja aku dapat diundang ke sana?”
Watak Kwe Yang memang periang dan sabar, sekalipun orang lain bersikap kasar juga dihadapinya dengan tertawa saja dan jarang marah. Kalau ucapan si nenek yang menyinggung kehormatan Kwe Ceng dan Oey Yong ini didengar Kwe Hu, pasti seketika akan menjadi pertengkaran. Tapi Kwe Yang hanya tersenyum saja dan meleletkan lidahnya pada Nyo Ko, lalu tidak bersuara pula.
Betapapun Yo Ko memuji keramahan nona cilik ini, sedikitpun tidak menimbulkan kesukaran baginya, maka ia balas mengangguk kepada Kwe Yang sebagai tanda memuji, lalu berpaling dan berkata kepada si nenek: “Bahwasanya Locianpwe menyukai adik cilik ini, sebenarnya ini adalah kesempatan bagus yang sukar dicari, cuma sebelum mendapat idzin ayah-bundanya, betapapun Cayhe tak berani mengambil keputusan sendiri.”
“Siapa ayah-ibunya? Kau sendiri siapa?” tanya si nenek dengan bengis.
Yo Ko menjadi gelagapan dan takdapat menjawab tapi Kwe Yang lantas menanggapinya: “Ayah ibuku adalah orang kampung, biar kukatakan juga Locianpwe tidak kenal, sedangkan dia ini. dia, dia adalah Toakokoku!”
Sembari berkata nona itupun memandang kejaran Yo Ko. Kebetulan saat itu Yo Ko juga memandang padanya, sorot mata kedua orang kebentrok. Tapi Yo Ko memakai kedok, air mukanya kaku tanpa emosi, hanya sorot matanya jelas menunjukkan rasa akrab yang menghangatkan perasaan.
Tergerak hati Kwe Yang, terpikir olehnya: “Jika benar aku mempunyai seorang toakoko(ka-kak tertua) seperti ini, tentu dia akan menjaga dan membantu diriku, pasti tidak rewel dan selalu mengomeli aku seperti kakak Hu. gini salah, gitu salah, ini dilarang, itu tidak boleh.” Berpikir sampai disini, air mukanya lantas penuh rasa hormat dan kagum kepada Nyo Ko.
Didengarnya Yo Ko lantas berkata: “Ya, adik ku yang kecil ini tidak tahu urusan, maka kubawa dia keluar cari pengalaman Ketika dilihatnya Kiu-bwe-leng-hou ini sangat aneh dan menarik, dia tahu pasti binatang piaraan oaang kosen angkatan tua, sebab itulah dia minta Wanpwe membawanya berkunjung ke sini dan sungguh beruntung sekali dapat bertemu dengan Locianpwe.”
“Hm kalian menguber dan memukuli rase piaraanku, apakah begini caranya kalian menghormati kaum Cianpwe?” jengek nenek itu, “Hayo, lekas enyah dari sini dan selamanya jangan menemui aku lagi!”
Habis itu kedua tangannya terus mengebas ke depan, tangan yang satu mendorong ke arah Yo Ko dan tangan lain mendorong Kwe Yang.
Jarak mereka ada dua-tiga meter jauhnya, sodokan tangan nenek itu jelas tak dapat mencapai tubuh Yo Ko berdua, tapi tenaga pukulannya ternyata keras dan keji, serentak Kwe Yang merasakan angin dingin menyampuk tiba.
Tapi lengan baju Yo Ko sempat bergerak sehingga angin pukulan si nenek dapat dipatahkan, sebaliknya tenaga pukulan yang ditujukan kepadanya itu sama sekali tidak dielakkannya. Sebenarnya nenek itupun tidak bermaksud mencelakai Yo Ko berdua, ia hanya ingin mengusir mereka saja. sebab itulah hanya separoh tenaganya saja yang digunakan. Tapi dilihatnya kedua orang itu ternyala tidak bergeming sama sekali, mau-tak mau ia terkejut dan gusar pula.
Segera ia himpun tenaga, kembali kedua tangan menyodok ke depan dengan lebih kuat, kini ia tidak pedulikan lagi mati- hidup pihak lawan.
Ketika merasakan angin pukulan nenek itu menyamber tiba, dada Kwe Yang terasa sesak, namun lengan baju Yo Ko mengebas lagi sehingga serangan si nenek di patahkan pula, ia tahu Yo Ko dan nenek itu sedang mengadu tenaga dalam, tampaknya si nenek menjadi beringas dan menakutkan
sebaliknya Yo Ko berdiri tenang-tenang saja, jelas berada di atas angin alias lebih unggul.
Sekonyong-konyong si nenek berkelebat maju, gerakannya sungguh cepat luar biasa, “BIang” dengan tepat dan keras kedua tangannya menghantam dada Yo Ko. Sekali menyerang segera nenek itu melompat mundur pula tanpa memberi kesempatan Yo Ko untuk balas menyerang.
Keruan Kwe Yang terkejut, cepat ia menarik tangan Nyo Ko dan bertanya: “Ap…. apakah engkau terluka?”
Si nenek lantas berteriak bengis: “Dia sudah terkena pukulanku “Han-im-cian” (tenaga panas dingin), ajalnya takkan lebih lama daripada satu hari saja, dia menerima ganjarannya karena perbuatannya sendiri dan takdapat menyalahkan orang lain.”
Dengan ilmu silat Yo Ko 15 tahun yang lalu saja tak dapat ditandingi oleh si nenek, apalagi sekarang luar-dalamnya sudah tergembleng sedemikian sempurna, betapapun lihaynya tenaga pukulan si nenek juga takdapat melukainya.
Soalnya Yo Ko tiada permusuhan apapun dengan si nenek kedatangannya ini juga ingin memohon barang kesayangan orang tua itu, maka dia sengaja membiarkan si nenek menyerang tiga kali tanpa balas menyerang.
Selama likuran tahun nenek itu giat berlatih ilmu pukulan “Han im cian” dan sekaligus sudah dapat menghancurkan 17 potong bata dalam keadaan luar utuh dan dalam remuk, tapi kini jelas Yo Ko terkena pukulannya dengan telak, ia yakin orang pasti akan remuk isi perutnya, tapi lawan justeru tetap berdiri tenang dan tertawa seperti tidak terjadi sesuatu, ia pikir bocah ini benar-benar kepala batu, sudah dekat ajal masih berlagak gagah, segera ia berkata: “Mumpung belum roboh binasa, lekas kau pergi membawa anak dara ini dan jangan sampai mampus ditengah tambakku ini.”
Yo Ko mendongak dan berseru lantang. “Hahaha, rupanya sudah lama Locianpwe menyepi di tempat terpencil begini, tentunya Locianpwe tak dapat membayangkan betapa kemajuan ilmu silat di dunia ini.” Habis berkata ia sengaja bergelak tertawa, suara tertawanya nyaring keras menggelegar dengan tenaga dalam yang kuat. Mendengar suara Yo Ko itu, si nenek tahu orang ternyata tidak mengalami luka sedikitpun, seketika mukanya menjadi pucat, tubuhnya sempoyongan baru sekarang ia menyadari bahwa Yo Ko sengaja membiarkan diserang tiga kali, kalau bicara kepandaian sejati, jelaslah dirinya bukan tandingannya.
Tiba-tiba si nenek angkat rase kecil dalam pelukannya itu, lalu ia bersuit, rase yang lain juga lantas menerobos keluar dari onggokan rumput dan melompat ke dalam pangkuan si nenek, Lalu ia ber-kata: “Kepandaianmu memang hebat, sungguh aku sangat kagum. Tapi kalau engkau ingin merebut
rase ini secara kekerasan, hm, jangan kau harap. Asalkan kau melangkah maju setindak, seketika ku cekik mati kedua ekor rase ini agar kau datang dan pergi dengan bertangan hampa.”
Melihat sikap dan ucapan si nenek yang tegas dan pasti itu, Yo Ko tahu watak orang tua itu sangat keras dan kaku, biarpun mati juga tidak mau menyerah. Mau-tak-mau ia menjadi serba susah, kalau mendadak menubruk maju dan menutuk Hiat-to si nenek, lalu merebut rase, rasanya si nenek bisa membunuh diri saking gusarnya, jika demikian jadinya, maka biarpun Su Siok kang dapat diselamatkan tapi harus korbankan jiwa orang lain.
Selagi Yo Ko merasa ragu-ragu, tiba-tiba dari jauh sana berkumandang suara orang menyebut: “0mi tohud!” Menyusul orang itu berkata: “Loceng (paderi tua) It-teng mohon berjumpa, sudilah kiranya Eng koh menemuinya!”
Kwe Yang memandang sekeliling tambak, tapi tidak tampak seorangpun padahal suara orang itu tidak begitu keras, jelas datang dari tempat dekat saja, namun sekitar situ jelas tiada tempat bersembunyi, lalu berada di manakah orang yang bersuara itu?”
Dia pernah mendengar cerita dari ibunya bahwa Ii-teng Taysu adalah tokoh angkatan tua, pernah menolong jiwa ibunya, juga terhitung kakek guru kedua saudara Bu, hanya selama ini paderi sakti itu belum pernah dilihatnya. Kini tiba-tiba didengarnya ada orang menyebut “lt-teng”, tentu saja ia terkejut dan bergirang.
Yo Ko juga sangat gembira mendengar suara It-teng, ia tahu yang digunakan it-teng Taysu adalah Lwekang maha sakti, yaitu ilmu menyiarkan gelombang suara dari tempat beberapa li jauhnya, semakin tinggi Lwekangnya, semakin halus pula suaranya sehingga mirip orang bicara dari dekat
saja.
Kagum sekali mendengar suara It-teng Taysu yang luar biasa itu, betapapun ia merasa tenaga dalam sendiri tak dapat menandingi paderi sakti itu, pikirnya pula: “Kiranya nenek ini bernama Engkoh. Entah ada urusan apa It teng Taysu ingin menemui-nya? jika paderi itu suka tampil ke muka, mungkin sekali rase ini akan bisa diperoleh.”
Kiranya nenek penghuni Hek-liong-tam ini memang betul  bernama Eng-koh. Sewaktu masih menjadi raja negeri Tayli, aslinya It-teng Taysu she Toan dan terkenal sebagai tokoh Raja di Selatan di dunia Kangouw.

Sebagai raja, sudah tentu cukup banyak selir-nya, Eng-koh adalah salah satu selir kesayangannya ketika itu, Tapi suatu waktu Toan-hongya (raja Toan) kedatangan tamu yang  terkenal, yaitu Ong Tiong-yang dari Coan-cin-kau beserta Sutenya, yakni si Anak Tua Nakal Ciu Pek-thong.
Mungkin sudah suratan nasib, selama tinggal beberapa lama di negeri Tayli, dasar watak Ciu Pek-thong memang suka keluyuran, maka secara kebetulan dia pergoki Eng-koh sedang berlatih silat (ajaran Toan-hongya), karena sifatnya yang jahil dan tidak sirik mengenai adat lelaki dan perempuan, Ciu Pek-thong telah mendekati Eng-koh dan mengajaknya ngobrol tentang ilmu silat (Ciu Pek-thong itu memang orang yang keranjingan ilmu silat).
Bicara punya bicara, akhirnya keduanya jatuh cinta dan “ada main” serta membuahkan seorang anak laki-laki. Ketika Toan-Hongya kedatangan musuh, yaitu Kiu Jian-yim yang kemudian terkenal sebagai Cu-in Hwesio, secara licik Kiu Jian-yim telah melukai anak haram hasil “semokel” antara Ciu Pek-thong dan Eng-koh itu, tujuannya untuk memaksa Toan-hongya menyelamatkan orok itu dengao It-yang-ci, dengan demikian tenaga dalamnya terpaksa harus dikorbankan dan sukar dipulihkan dalam waktu singkat, pada saat demikian Kiu Jian-yim yakin pasti dapat mengalahkan Toan-hongya.
Tak terduga tipu muslihatnya ternyata diketahui Toan-hongya, pula dia cemburu karena hubungan gelap Eng-koh dengan Ciu Pek-thong itu, maka dia bertekad tidak mau menolongnya, akhirnya anak itupun mati.
Toan-hongya sangat menyesal, akibatnya ia cukur rambut dan menjadi Hwesio dengan gelar It-teng. Kematian anaknya sudah tentu membuat Eng-koh juga sakit hati dan merana, ia terus minggat dari negeri Tayli, suatu ketika di puncak Hoa- san dipergokinya Kiu Jian-yim, tapi tidak berhasil membunuhnya, iapun bertemu dengan Ciu Pek-thong dan ingin bicara dengan dia, tapi asal melihat bayangan Eng-koh seketika si Anak Tua Nakal itu kabur lebih dulu, soalnya dia malu dan merasa ber-dosa, maka tidak berani menemui bekas kekasih itu. Eng-koh lantas mengembara tanpa tujuan dan
akhirnya menetap di Hek-liong-tam ini.
Sebenarnya sudah belasan hari It-teng Taysu berada di tepi Hek- liong-tam dan setiap hari selalu berseru untuk mohon bertemu, Namun Eng-koh masih sakit hati karena dahulu bekas raja Tayli itu tega tidak mau menolong jiwa anaknya, maka dia tetap tidak mau menemuinya.
Begitulah Eng-koh tampak lesu dan mundur berduduk di atas onggokan kayu, sorot matanya kelihatan dendam dan benci.
Selang tak lama, terdengar It-teng berseru pula: “Dari jauh It-teng datang ke sini, hanya untuk mohon bertemu sejenak dengan Eng-koh.”
Namun Eng-koh tetap tidak menggubrisnya. Yo Ko menjadi heran, ia pikir kepandaian It-teng jauh
lebih tinggi daripada Eng-koh, kalau dia mau menemuinya ke sini toh nenek ini tak dapat menolaknya, mengapa dia mesti memohon dari kejauhan?
Dalam pada itu terdengar It-teng berseru memohon lagi, setelah Eng-koh tetap tidak memberi jawaban, lalu tidak diulangi lagi, suasana kembali sunyi.
“Toakoko,” kata Kwe Yang, “It-teng Taysu itu adalah tokoh yang luar biasa, maukah kita ke sana menemuinya?”
“Baik, memangnya aku ingin menemui beliau,” “jawab Yo Ko.
Terlihat Eng-koh berbangkit pelahan dengan sorot mata bengis, meski Yo Ko merasa tidak gentar padanya, tapi tidak enak juga perasaannya melihat sikap orang ini, Segera ia pegang tangan Kwe Yang dan berkata: “Marilah pergi!” Sekali melayang, segera kedua orang meluncur ke tengah tambak.
Setelah berpuluh meter di bawa meluncur Yo Ko, Kwe Yang lalu bertanya: “Toakoko, berada di manakah Taysu?
suaranya seperti berada di sebelah sini saja.”
Dua kali Yo Ko dipanggil “Toakoko” dengan suara yang halus dan mesra, hatinya terkesiap juga pikirnya “Cintaku kepada Liong-ji suci murni dan tak mungkin bergoyah, betapapun aku tidak boleh terjerumus lagi kejaringan asmara.
Usia nona cilik ini masih muda dan ke-kanak-anakan, ada lebih baik selekasnya berpisah dengan dia agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan” - Akan tetapi berada di atas lumpur bcrselimutkan salju itu, sedetikpun tidak boleh berhenti, lebih-lebih tidak mungkin mengendurkan pegangannya pada tangan si nona.
“Toakoko”, kembali Kwe Yang berkata, “ku-tanya kau apakah engkau tidak mendengar.”
“lt-teng Taysu berada di timur laut sana, kira-kira dua-tiga li dari sini,” jawab Yo Ko. “Suaranya kedengarannya dekat, tapi sebenarnya berada cukup jauh. dia menggunakan ilmu jian-li-toan- im” (me-ngirim gelombang suara dari jauh).”
“He, apakah engkau juga mahir ilmu itu?” tanya KweYang. “Maukah engkau mengajarkan padaku? Kelak kalau kita berpisah di tempat jauh agar akupun dapat bicara denganmu dengan ilmu itu, kan menyenangkan bukan?”
“Namanya saja mengirim gelombang suara dari jauh, sebenarnya kalau dapat mencapai dua-tiga li sudah luar biasa,” ujar Kwe Yang dengan tertawa, “Untuk mencapai kepandaian setingkat lt-teng Taysu, biarpun secerdas kau juga harus berlatih hingga rambut ubanan.”
Kwe Yang sangat senang karena orang memuji-nya cerdas, katanya pula: “Ah, aku ini cerdas apa? Kalau aku mempunyai dua bagian kecerdasan ibuku saja aku sudah merasa puas.”
Tergerak hati Yo Ko, dari raut muka si nona ia melihat samar-samar ada beberapa bagian menyerupai Oey Yong, Pikirnya: “Tokoh-tokoh yang kukenal selama hidup baik lelaki maupun perempuan, kalau bicara tentang kepintaran dan kecerdasan rasanya tiada orang lain yang mampu menandingi Kwe pekbo, apakah mungkin nona cilik ini adalah puteri bibi Kwe?”
Tapi segera ia tertawa geli sendiri dan anggap jalan pikirannya itu terlalu meng-ada2, masakah di dunia ini bisa terjadi sedemikian kebetulan? Kalau benar nona ini puteri Kwe-pekbo, mana mungkin paman dan bibi Kwe membiarkannya berkeliaran di Iuaran. Maka ia coba bertanya kepada Kwe Yang: “Siapakah ibumu?”
“lbu ya ibu, meski kukatakan juga kau tidak kenal,” jawab Kwe Yang dengan tertawa “Eh, Toa-koko, kepandaianmu lebih tinggi atau kepandaian It-teng Taysu lebih tinggi?”
Usia Yo Ko sekarang sudah mendekati setengah baya, iapun kenyang mengalami gemblengan kehidupan dan merasakan betapa pahit getirnya sejak berpisah dengan Siao- liong-Ii, walaupun semangat ksatrianya tidak berkurang, tapi sifat dugal-nya di masa mudanya sudah hampir lenyap
seluruhnya, Maka ia menjawab: “lt-teng Taysu sangat terhormat di dunia persilatan, berpuluh tahun yang lalu namanya sudah sama tingginya dengan Tho-hoa tocu dan lain-lain, beliau adalah Lam-te (raja di selatan), yaitu satu diantara lima tokoh terkemuka di jaman itu, mana aku dapat dibandingkan beliau.”
“Wah, jika begitu, kalau engkau dilahirkan lebih dini beberapa puluh tahun yang lalu, tentu tokoh tertinggi waktu itu bukan lagi lima orang, tapi enam jadinya. Konon mereka disebut Tang-sia Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong, lalu engkau berjuluk apa? Ah, pasti juga Sin-tiau-tayhiap. Oya,
masih ada lagi Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin.”
Yo Ko bertanya pula: “Apakah kau pernah melihat Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin?”
“Sudah tentu aku pernah melihat mereka, malahan mereka sangat sayang padaku,” sahut Kwe Yang, “Eh, Toakoko, apakah engkau juga kenal beliau2 itu? Nanti kalau urusan di sini sudah beres2 maukah kita pergi menyambangi mereka?”
Yo Ko benci pada Kwe Hu yang telah membuntungi lengannya, setelah lewat sekian tahun, rasa benci itu semakin menipis. Tapi Siao-liong-li mengidap racun dan terpaksa harus berpisah 16 tahun, persoalan ini takdapat tidak membuatnya sangat dendam kepada Kwe Hu. Maka dengan hambar saja ia menjawab: “Tahun depan bisa jadi aku akan berkunjung kepada Kwe-tayhiap dan isterinya, tapi harus tunggu dulu setelah kuberjumpa dengan isteriku dan kami berdua akan pergi ke sana bersama.”
Begitu menyebut Siao-Iiong-li, tanpa terasa timbul hasratnya yang menyala, Kwe Yang dapat merasakan telapak tangan Yo Ko yang mendadak menjadi panas. Segera ia bertanya pula. “lsterimu tentu sangat cantik dan ilmu silatnya pasti pula sangat tinggi.”
“Kukira di dunia ini tiada orang lain yang lebih cantik daripada dia,” kata Yo Ko. “Bicara tentang ilmu silat, saat ini dia tentu juga melebihi diriku.”
Kwe Yang menjadi sangat hormat dan kagum, katanya: “Toakoko, engkau harus membawa diriku menemui isterimu, maukah kau berjanji?”
“Mengapa tidak?” ujar Yo Ko dengan tertawa, “Kuyakin nyonyaku juga pasti suka padamu, Saat mana barulah kau benar-benar memanggil aku Toakoko.”
“Apakah sekarang aku tidak boleh memanggil demikian padamu?” tanya Kwe Yang dengan melenggak.
Karena sedikit merandek itulah, sebelah kakinya lantas kejeblos ke dalam lumpur, Untung Yo Ko lantas menariknya melompat jauh ke depan. Tertampaklah di kejauhan sana berdiri seorang dengan jenggot panjang dengan memakai jubah paderi warna kelabu, siapa lagi kalau bukan It- teng Taysu.
Segera Yo Ko berseru: “Tecu Yo Ko memberi hormat kepada Taysu!” Sambil menarik Kwe Yang sekaligus ia meluncur ke depan paderi sakti itu. Tempat berada It teng itu di tepi kolam lumpur Hek-liong- tam itu, ia menjadi girang ketika mendengar nama Yo Ko. maka ia lantas membangunkannya ketika Yo Ko dating menyembah padanya, katanya dengan tertawa”
“Baik-baikkah selama ini, saudara Yo? Pesat amat kemajuan ilmu sakti-mu, sungguh menggembirakan dan mengagumkan.”
Waktu Yo Ko berbangkit dilihatnya di belakang It-teng sana menggeletak seorang dengan muka pucat lesi seperti mayat, ia melengak. Ketika ia awasi, kiranya Cu in Hwesio adanya.
“Kenapakah Cu-in Taysu?” tanya Yo Ko terkejut.
“Dia dilukai orang, meski sudah kutolong sepenuh tenaga tetap sukar menyembuhkan dia,” tutur It-teng menyesal.
Yo Ko coba mendekati Cu-in dan memeriksa nadinya, terasa denyutnya amat Iemah, lama sekali barulah berdenyut pelahan sekali, kalau saja Lwe kang Cu-in tidak kuat, mungkin sudah lama menghembuskan napas penghabisan.
“Kepandaian Cu-in Taysu sedemikian tinggi, entah siapakah yang mampu melukainya?” tanya Yo Ko heran.
“Kami bermaksud pulang ke Tayli waktu itu karena ada kabar bahwa pasukan Mongol ada maksud menyerbu ke daerah selatan,” tutur It-teng. “Sebelum berangkat, Cu-in telah keluar untuk mencari keterangan keadaan, di tengah jalan kepergok seorang dan mereka bertempur selama tiga- hari-tiga-malam, akhirnya Cu in terluka parah.”
“Ah, kiranya keparat Kim-lun Hoat-ong datang ke Tionggoan lagi,” ujar Yo Ko sambil membanting kaki ke tanah.
“He, Toakoko, darimana engkau mengetahui orang itu ialah Kim-lun Hoat-ong?” tanya Kwe Yang heran, “padahal It-teng Taysu tidak menyebut dia.”
“lt-teng Taysu bilang mereka bertempur selama tiga-hari-tiga-malam, maka jelas luka Cu-in bukan disergap musuh yang licik,” jawab Yo Ko. “Di dunia ini, orang yang mampu melukai Cu-in Taysu rasanya jumlahnya dapat dihitung dengan jari, dan di antaranya beberapa orang ini hanya Kim-lun Hoat-ong saja tergolong orang jahat.”
“Toakoko, lekas engkau mencari bangsat itu dan hantam dia untuk membalaskan sakit hati Toahwesio ini,” ujar Kwe Yang.
Tiba-tiba Cu-in yang menggeletak dengan kempas-kempis di tanah itu membuka matanya sedikit dan menggeleng pelahan kepada Kwe Yang.
“Kenapa? Memangnya kau tidak ingin membalas dendam?” tanya Kwe Yang heran, “Ah, barangkali maksudmu Kim-lun Hoat-ong itu terlalu lihay dan kuatir Toakoko tak dapat menandingi dia?”
“Kau salah sangka, nona cilik,” sela It-teng. “Soalnya muridku ini telah banyak berbuat dosa, selama belasan tahun ini dia berusaha menebus dosanya itu dan ternyata tak pernah tercapai, hal inilah selalu mengganjal hatinya dan membuatnya matipun tidak tenteram. Jadi bukan maksudnya ingin orang membalaskan sakit hatinya, tapi justeru mengharapkan pengampunan dari seseorang agar dia dapat mangkat dengan hati tenteram.”
“Apakah nenek di kolam lumpur ini yang dia inginkan?” tanya Kwe Yang, “Hati nenek ini sangat keras, jika bersalah padanya, tidak nanti dia mengampuni orang begitu saja.”
“Justeru begitulah,” kata It-teng dengan menghela napas, “Kami sudah memohonnya di sini selama tujuh-hari-tujuh-malam dan sama sekali dia tidak mau menemui kami.”
Tiba-tiba hati Yo Ko tergerak, teringat olehnya ucapan si nenek tentang anaknya yang terluka dan orang yang dimintai pertolongan tidak mau menyembuhkannya itu. Segera ia bertanya: “Apakah berhubungan dengan anaknya yang terluka dan tak tertolong itu?”
Badan It-teng tampak bergetar, sahutnya sambil mengangguk: “Ya, kiranya kaupun sudah tahu?”
“Tecu tidak tahu,” jawab Yo Ko. “Cuma tadi Locianpwe di tengah kolam itu menyinggungnya sedikit.” Lalu iapun mengisahkan pengalaman-nya bertemu dengan si nenek tadi.
“Dia bernama Eng-koh,” tutur It-teng pula, “dahulu ialah isteriku. wataknya memang keras. Ai, kalau tertunda lebih lama lagi mungkin Cu in tidak tahan.”
Seketika timbul macam-macam tanda tanya dalam benak Kwe Yang, tapi ia tak berani bertanya.
Dengan gegetun Yo Ko lantas berkata: “Setiap orang tentu pernah berbuat salah, kalau menyadari salahnya, maka apa yang sudah lampau bisalah dianggap selesai, Rasanya jiwa Eng-koh ini juga teramat sempit.” - Dilihatnya ajal Cu-in sudah dekat, seketika timbul jiwa ksatrianya yang ingin menolong, segera ia menambahkan: “Taysu, maafkan jika Tecu memberanikan diri memaksa Engkoh keluar ke sini.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar