Kembalinya Pendekar Rajawali 101
“Jimoay,
kenapa kau sembarangan percaya kepada obrolan orang?” seru si nyonya cantik.
“llmu silat orang itu memang tinggi, tapi kalau dibandingkan ayah masih terlalu
jauh, padahal orang itupun sudah pernah kau lihat, malahan dia pernah memondong
kau.”
Air muka si anak dara menjadi merah jengah,
semprotnya: “Cis, mengapa Taci juga sembarangan omong, siapa mau percaya?”
“Kalau tidak percaya, setelah pulang nanti
boleh kau Tanya ayah dan ibu,” kata si nyonya cantik.
“Apa yang dikatakan Sin-tiau-hiap itu
sebenarnya she Nyo bernama Ko, waktu kecilnya juga pernah tinggal di Tho-hoa-to
kita, Lengannya yang buntung itu justeru… justeru… Waktu kau baru lahir dia
sudah lantas memondong kau-”
Kiranya nyonya cantik ini bukan lain daripada
Kwe Hu dan anak dara itu adalah Kwe Yang, sedang pemuda itu adalah adik kembar
Kwe Yang, Kwe Boh-lo.
Ketiga kakak beradik ini disuruh
ayah-bundanya ke Cinyang untuk mengundang Khu Ju-ki, itu tokoh tertinggi Coan-cin-kau
pada masa itu, untuk memimpin Eng-hiong-tay-hwe (pertemuan besar para pahlawan)
yang akan diadakan di Siang-yang. Hari itu mereka bertiga baru pulang dari
Cin-yang, setiba di tempat penyeberangan ini merekapun teralang oleh cuaca yang
buruk dan masuk ke hotel itu sehingga dapat mendengarkan cerita orang-orang
tadi mengenai Sin-tiau-hiap, si pendekar sakti rajawali alias Yo Ko itu.
Dengan cepat 16 tahun berlalu dan sementara
itu Kwe Hu sudah menikah dengan Yalu Ce, Kwe Yang dan Kwe Boh-lo juga sudah
besar.
Kwe Yang berseri-seri mendengar ucapan Kwe Hu
tadi, ia bergumam sendiri: “Begitu aku lahir sudah pernah dipondong olehnya.”
ia berpaling dan tanya sang Taci: “Cici bilang waktu kecilnya Sin-tiau-hiap
pernah tinggal di Tho-hoa-to kita, mengapa belum pernah kudengar hal ini dari
ayah dan ibu?”
“Kau tahu apa?” sahut Kwe Hu.
“Masih banyak soal lain yang tidak diceritakan padamu oleh ayah ibu.”
Kiranya tentang buntungnya Yo Ko serta
keracunannya Siao-Iiong li, karena semua itu akibat tindakan Kwe Hu yang ceroboh,
setiap kali kejadian itu disinggung selalu menimbulkan amarah Kwe Ceng, meski
Kwe Hu sudah dewasa dan sudah menikah, tetap Kwe Ceng mendamperatnya tanpa kenal
ampun.
Sebab itulah setiap anggota keluarga tidak
suka menyinggung lagi selama beberapa tahun ini sehingga Kwe Yang dan Kwe
Boh-lo tidak pernah mendengar orang bercerita kisah si Yo Ko.
“lika begitu, kan dia mempunyai hubungan erat
dengan keluarga kita, mengapa selama ini dia tak pernah datang ke rumah kita?”
kata Kwe Yang. “Ah, pada Eng-hiong-thay-hwe yang akan diadakan di Siangyang
tangggal 15 bulan tiga nanti Sin-tiau-hiap itu pasti akan hadir.”
“Tindak tanduk orang itu sangat aneh dan
wataknya juga angkuh, belum tentu dia mau datang,” ujar Kwe Hu.
“Cici, kita harus berusaha mencari jalan
untuk menyampaikan kartu undangan padanya,” kata Kwe Yang.
Lalu ia berpaling kepada lelaki kekar tadi:
“Song-toasiok, dapatkah kau menyampaikan surat kepada Sin-tiau-hiap?”
Orang she Song itu menggeleng dan menjawab: “Sin-tiau-hiap
menjelajahi seluruh jagat, jejaknya sukar diketemukan untuk mencarinya tidaklah
mudah.”
Kwe Yang sangat kecewa, dia benar-benar
sangat tertarik oleh kisah keluhuran budi dan kepahlawanan Sin-tiau-hiap, sungguh
ia ingin bisa bertemu dengan pendekar rajawali sakti itu, ia merasa gegetun bahwa Sin-tiau-hiap
yang dikaguminya itu tak dapat hadir pada Eng-hiong-thay-hwe nanti.
Katanya kemudian sambil menghela napas: “Ai,
orang yang hadir nanti belum tentu semuanya ksatria sejati, sebaliknya ksatria
sejati belum tentu mau hadir ke sana.”
“Bluk”, mendadak terdengar suara gedebuk yang
keras, seorang mendadak melompat berdiri dari pojok ruangan sana, rupanya orang
yang sejak tadi tidur meringkuk itulah. Segera semua orang merasa ada suara
gemuruh laksana bunyi guruh, kiranya orang itu sedang berkata.
“Apa sulitnya jika nona ingin menemui
Sin-tiau-hiap, biarlah malam ini juga akan kubawa kau untuk menjumpai beliau.”
Memangnya semua orang terkaget oleh suara
orang yang gemuruh keras itu, apalagi setelah melihat jelas bentuk tubuh dan
wajahnya, semua orang tampak heran. Kiranya perawakan orang itu tidak lebih
dari satu meter, tubuhnya juga kurus kecil namun kepalanya yang besar, telapak tangannya
dan telapak kakinya ternyata jauh lebih besar dari pada orang biasa.
Sejak tadi dia meringkuk di pojok ruangan
sehingga tidak diperhatikan oleh siapapun juga, siapa tahu begitu dia berdiri ternyata
bentuknya begini aneh dan lucu.
Dengan girang Kwe Yang lantas menanggapi
ajakan orang aneh itu: “Bagus jika engkau mau membawaku ke sana, Cuma selamanya
aku tidak kenal Sin tiau-hiap, entah beliau mau menemui aku atau tidak?”
“Tapi kalau malam nanti kau tidak menemui
dia, selanjutnya mungkin kau takkan dapat melihat dia lagi,” kata orang cebol
itu dengan suaranya yang mengguruh.
“Sebab apa?” tanya Kwe Yang heran. Kwe Hu
lantas berdiri dan tanya si cebol: “Mohon tanya siapakah namamu yang
terhormat?”
“Hehehe!”
“orang pendek itu ter-kekek2, katanya “Orang
buruk rupa macamku ini masakah di dunia ini ada keduanya? Kalau kau tidak kenal
diriku, pulang saja tanya kepada ayah-ibumu.”
Pada saat itulah sayup-sayup terdengar suara
seruan berkumandang dari jauh: “Komplotan setan dari Se-san, sepuluh sudah
datang sembilan. Wahai Hong thian-fui, kau tidak datang sekarang, mau tunggu
sampai kapan?”
Suara sayup-sayup itu seperti terputus lalu
bersambung pula, lirih dan seram kedengarannya, tapi sekata demi sekata dapat
terdengar dengan jelas.
Si cebol melongo sejenak, mendadak ia
menggertak keras-keras, debu pasir lantas berhamburan disertai percikan pecahan
batu dan genting. Semua orang sama memejamkan mata dan waktu membuka mata lagi
ternyata si cebol sudah menghilang entah ke mana.
Semua orang terkejut, waktu menengadah,
tertampak atap rumah telah berlubang besar, Kiranya orang cebol itu menerjang
keluar dengan menjebol atap.
“Lihay benar orang itu, cici,” kata Kwe
Boh-lo.
Kwe Hu sudah cukup berpengalaman dan banyak
tokoh persilatan yang dikenalnya, tapi betapa lihay kepala si cebol ini belum
pernah dia dengar dari ayah-ibunya, seketika iapun melenggong dan tak dapat
menanggapi ucapan adiknya itu.
Kwe Yang lantas nyeletuk: “Di antara guru2
yang pernah mengajar ayah juga ada seorang pendek bernama Ma-ong-sin Han
Pok-ki. Sam-te sembarangan menyebut orang sebagai si cebol, kalau didengar ayah
tentu beliau akan marah. Kau harus menyebutnya sebagai Locianpwe.”
Belum lagi Kwe Boh-lo menjawab, tiba-tiba
terdengar pula suara “blang” yang keras, seketika debu pasir bertebaran Iagi, malahan
muka beberapa orang terkena cipratan batu kerikil dan menjerit kesakitan.
Di tengah suara ribut itulah tahu-tahu
terlihat si cebol tadi sudah berdiri pula di tengah ruangan, dinding sebelah
timur sana telah bobol suatu lubang setinggi tatu meteran dan lebarnya lebih
setengah meter. Kiranya orang cebol ini menerjang masuk dengan menjebol
dinding.
Ilmu silat Kwe Hu sekarang sudah tentu jauh
lebih tinggi daripada belasan tahun yang lalu, tapi tidak urung iapun terkejut
melihat kelihayan Nge-kang (kekuatan luar) si cebol, cepat ia melompat maju
mengadang di depan kedua adiknya untuk menjaga kalau-kalau si cebol mendadak
menyerang.
Orang cebol itu menjulurkan kepalanya yang
sebesar gentong itu dan melongok ke belakang Kwe Hu, katanya kepada Kwe Yang:
“Eh, nona cilik, kalau kau ingin bertemu dengan Sin-tiau-hiap, marilah ikut
padaku.”
“Baiklah!” jawab Kwe Yang tanpa pikir, “Hayo
Taci dan Samte, kita pergi bersama.”
“Ah, untuk apa menemui dia? Kau jangan pergi,
apalagi kita belum pernah kenal tuan ini,” ujar Kwe Hu.
“Kupergi sebentar dan segera kembali, kalian
tunggu saja di sini,” kata Kwe Yang.
Mendadak orang she Song tadi berbangkit dan
berseru: “Nona cilik, sekali-sekali kau jangan pergi. Orang ini… orang ini
adalah tokoh gerombolan setan dari Se-san, jika kau ikut pergi, besar, . .
besar kemungkinan akan celakai “Hehehe, kau juga tahu gerombolan setan dari
Se-san?” si cebol mengekek tawa, “Maksudmu kami adalah orang jahat?”
Habis itu sebelah tangannya mendadak menyodok
ke depan, belum tangannya menyentuh tubuh Song Ngo, tahu-tahu tubuh Song Ngo
sudah tergetar mundur dan menumbuk dinding, seketika mukanya pucat, kedua kaki
lemas dan terkulai ke lantai, kepalanya bergelantungan lemas di depan
dada, entah sudah mati atau masih hidup.
Kwe Hu menjadi gusar, walaupun tahu
kepandaian si cebol lebih tinggi juga tidak boleh kena digertak hingga diam
saja, segera ia berteriak: “Engkan silakan pergi saja, Adikku masih kecil, mana
boleh mengikuti kau kian kemari di tengah malam buta?”
Pada saat itu pula suara sayup-sayup
terputus2 tadi berkumandang pula: “Gerombolan setan dari Se-san sepuluh sudah
datang sembilan, Hong-thian-lui, wahai Hong-thian-lui, arwahmu tidak muncul,
orang sudah Iama menunggu!”
Suara itu kedengaran sangat jauh, tiba-tiba
seperti sangat dekat dan mengiang di kanan-kiri sehingga membuat merinding
orang.
Kwe Yang sudah bertekad harus bertemu dengan
Sin-tiau-hiap sekalipun nanti akan kepergok setan iblis, maka segera ia menjawab:
“Baiklah, Cian-pwe, bawalah aku!”
Berbareng ia terus melompat ke sana dan
menerobos keluar melalui lubang dinding yang dibobol si cebol tadi.
“He, kau!” seru Kwe Hu sambil meraih tangan
sang adik, tapi luput, cepat iapun melompat ke sana hendak mengejar keluar
melalui lubang dinding.
Siapa tahu baru saja tubuhnya hendak
menerobos keluar, mendadak lubang dinding itu menghilang. Untung kepandaian Kwe
Hu kini sudah cukup sempurna dan dapat mengendalikan tubuh sendiri sesuka hati,
cepat ia anjiok ke bawah sehingga daya terobosnya tadi dihentikan seketika,
begitu kakinya menyentuh lantai, ternyata dirinya tepat berdiri di depan dinding,
jaraknya cuma belasan senti saja. Waktu ia dapat melihat jelas, hampir saja ia
menjerit kaget.
Ternyata tubuh si cebol tadi dengan tepat
terisi di lubang dinding itu, kepalanya yang besar dan bahunya yang lebar itu persis
seperti dicetak pada dinding itu. Kwe Hu berdiri berhadapan dengan makhluk aneh
bermuka buruk itu, malahan tadi mukanya hampir mencium muka si cebol, keruan
saja ia terkejut, cepat ia melompat mundur
lagi Segera terasalah angin dingin meniup, dinding itu kembali berlubang bentuk
tubuh manusia cebol lagi, tapi si cebol sendiri sudah menghilang.
“Jimoay, kembali!” seru Kwe Hu sambil
menerobos keluar, didengarnya suara tertawa keras di kejauhan, mana ada bayangan
si Kwe Yang cilik?
Rupanya setelah si cebol menggertak mundur
Kwe Hu, segera pula ia melompat keluar dan mendekati Kwe Yang, katanya: “Bagus,
nona cilik sungguh pembrani!”
Segera ia pegang tangan Kwe Yang dan diajak
melompat ke depan, sekali lompat dua-tiga meter jauhnya, jangan dikira orang
cebol itu kakinya cekak, lompatannya ternyata sangat jauh dan cepat lagi, yang
digunakan ternyata adalah Ginkang yang lain daripada yang lain, seperti katak
saja ia terus
melompat2 ke depan, biarpun membawa serta Kwe
Yang, namun gerak-geriknya tetap sangat lincah dan enteng.
Tangan Kwe Yang yang digenggam si cebol itu
rasanya seperti dijepit oleh tanggam sehingga terasa sakit, hatinya menjadi
berdebar kuatir, entah dirinya hendak dibawa ke mana oleh orang cebol ini?
Sejak kecil Kwe Yang langsung mendapat
didikan dari Kwe Cing dan Oey Yong, dasarnya anak dara itu pintar dan cerdik, semula
ia masih sanggup mengikuti lompatan orang cebol itu, tapi lama2 ia menjadi
lelah dan perlu ditarik dan diangkat baru dia dapat sama naik dan sama turun
dengan si cebol.
Setelah berlompatan begitu beberapa li
jauhnya, tiba-tiba dari balik bukit sana ada orang tertawa dan berkata dengan suara
halus: “Hai, Hong-thian-lui, mengapa kau dating terlambat? Eb, malahan kau
membawa anak dara secantik itu!”
“Nona cilik ini adalah puteri Kwe Ceng dan
ingin melihat Sin-tiau-hiap, maka aku membawanya kemari,” kata si cebol.
“Puteri Kwe
Ceng?” orang tadi menegas dengan
melengak.
Dari bukit sana suara seorang lagi berkata:
“Sudah lewat tengah malam, lekas
berangkat!” Menyusul mana terdengarlah suara derapan kuda lari yang riuh, dari
balik bukit lantas muncul belasan ekor kuda.
Sementara itu salju masih terus turun dengan
lebatnya, dari pantulan cahaya salju itu dapatlah Kwe Yang melihat belasan ekor
kuda itu seluruhnya ada sembilan penunggang kuda yang berlainan bangun tubuh
masing-masing, ada yang tinggi dan ada yang pendek, ada lelaki dan juga ada perempuan,
sebagian besar kuda itu tanpa penunggang malah.
Si cebol tadi mendekat ke sana dan menuntun
dua ekor kuda, seekor diserahkannya kepada Kwe Yang, ia sendiri menunggang
seekor, lalu membentak: “Hayo berangkat!”
Sekali bersuit, ber-bondong-bondong belasan
ekor kuda itu terus membedal cepat ke arah barat laut.
Dari bentuk tubuh kesembilan orang itu Kwe
Yang melihat jelas dua di antaranya adalah perempuan, yang satu kelihatan sudah
tua renta, seorang lagi berpakaian merah membara sehingga sangat menyolok di
tanah salju yang putih bersih itu.
Wajah ketujuh orang lainnya tidak jelas,
hanya perawakan seorang di antaranya sangat tinggi kurus sehingga mirip tiang bendera
terpancang di atas pelana kuda.
Rombongan mereka terus mengaburkan kuda
dengan cepat, setelah belasan li mereka lantas berganti kuda tunggangan agar
kuda yang pertama dapat mengaso.
Diam-diam Kwe Yang membatin: “Dari suara
sayup-sayup yang terdengar tadi katanya gerombolan setan Se-san sepuluh sudah
datang sembilan, kini termasuk si cebol tadi jumlah mereka memang sepuluh,
Tampaknya mereka inilah yang disebut gerombolan setan dari Se-san.
Menurut Song-toa siok tadi, katanya besar
bahayanya jika aku ikut mereka dan si cebol terus hantam paman Song itu hingga
sekarat, kelihatannya orang-orang ini sangat kejam.
Tapi orang cebol itu mengatakan hendak
membawaku menemui Sin-thay-hiap, agaknya ucapannya juga tidak dusta, Kalau
mereka kenal Sin-tiau-hiap, kukira mereka pasti bukan orang jahat.”
Dalam sekejap saja belasan li sudah berlalu
pula, orang yang paling depan mendadak bersuara dan belasan ekor kuda itu
serentak berhenti Orang di depan itu lantas melarikan kudanya ke suatu tempat
yang tinggi, lalu memutar balik, Kwe Yang menjadi terkejut dan geli pula
melihat wajahnya. Kiranya orang ini juga seorang cebol, tubuh yang berada di
atas kuda tidak lebih daripada setengah meter, tapi jenggotnya yang panjang itu
ada satu meteran sehingga melambai ke bawah perut kuda, mukanya berkeriput
kedua alis terkerut seperti orang yang selalu bersedih.
“Dari sini ke To-ma-peng tidak lebih 30 li
saja,” terdengar orang tua itu berkata, “konon ilmu silat Sin-tiau-hiap itu sangat
tinggi, sebaiknya kita berunding dahulu agar gerombolan setan dari Se-san tidak
kehilangan pamor.”
“Silakan Toako memberi petunjuk saja,” ujar
si perempuan tua tadi.
“Apakah kita harus bertempur secara
bergiliran dengan ia atau mengerubutnya sekaligus?” tanya orang tua cebol berjenggot
panjang itu.
Kwe Yang terkejut pula, dari nada pembicaraan
orang-orang ini jelas mereka hendak memusuhi Sin-tiau -hiap.
Terdengar perempuan tua tadi berkata:
“Sebenarnya Sin-tiau-hiap itu memang mempunyai kepandaian sejati atau cuma
bernama kosong belaka? Dalam hal ini, Jit-te, hanya kau yang pernah berjumpa
dengan dia, coba kau member keterangan sekedarnya!”
Seorang laki-laki tinggi besar lantas
berkata: “Meski pernah kulihat dia, tapi aku tidak sampai bergebrak dengan dia
kukira…. kukira dia memang rada-rada…”.
“Jit-ko,” tiba-tiba perempuan berpakaian
merah ikut bicara, “sebab apa kau sampai bermusuhan dengan Sin-tiau-hiap,
hendaklah kau jelaskan lebih dulu agar nanti kalau bertarung juga kita sudah
mempunyai pegangan.”
“Gerombolan setan dari Se-san selamanya
sehidup-semati, kalau Sin-tiau-hiap itu sudah mengeluruk ke sini, apakah kita harus
mengkeret dan menyingkir?”
Lelaki yang bertubuh tinggi kurus seperti
lidi itu berkata: “Siapa yang bilang menyingkir? Andaikan Kiu-moay (adik kesembilan)
tidak tanya juga, aku ingin tahu apa sebabnya kau bermusuhan dengan dia,
soalnya kita kan tidak merasa bersalah dan mengapa dia sesumbar hendak mengusir
gerombolan setan Se-san keluar wilayah Soasay ini?”
“lni, coba lihat, dia telah memotong sepasang
daun telingaku, kalau sakit hati ini tidak dibalas, lalu persaudaraan apalagi
diantara kita?” teriak lelaki besar tadi dengan gusar, berbareng ia terus
menarik kopiahnya sehingga kelihatan kedua sisi kepalanya itu halus licin tanpa
kuping.
Kesembilan orang yang lain dari “Gerombolan
setan Se-san” itu menjadi gusar, beberapa diantaranya lantas mengumpat, ada
yang berjingkrak murka dan menyatakan hendak melabrak Sin-tiau-hiap dengan
mati-matian.
“Jit-ko,” si perempuan baju merah berkata
pula, “sebab apa dia memotong daun telingamu? Apa kesalahanmu?
Tentunya kau menggoda wanita keluarga
baik-baik lagi, bukan?”
Seorang yang berwajah selalu tertawa berkata
dengan gusar: “Sekalipun Jit-ko memang menggoda wanita keluarga baik-baik juga
tidak perlu diurusi orang lain.”
Wajah orang ini sangat aneh, meski sedang
gusar toh air mukanya yang tertawa itu tidak menjadi berubah. Waktu Kwe Yang
mengamati lebih teliti, kiranya bibir orang itu menjengkit ke atas, kedua
matanya kecil, maka biarpun sedang sedih atau menangis juga tampaknya sedang
tertawa riang.
Lelaki tadi menjawab: “Tidak, tidak! Soalnya
waktu itu isteriku bercekcok dengan keempat gundikku mengenai urusan
tetek-bengek, dari ribut mulut akhirnya saling cakar-cakaran dan main pisau segala,
KebetuLan apa yang disebut Sin-tiau-hiap itu
lalu, dasar orang itu memang suka ikut campur urusan orang lain, dia berusaha
melerai pertengkaran itu.
Sungguh brengsek, gundikku yang ketiga itu
tersenyum padanya.
“O, tahulah aku, Jit-ko lantas cemburu,
bukan?” tukas si perempuan berbaju merah.
“Cemburu gimana? Soalnya aku tidak ingin
urusan rumah-tanggaku dicampur-tangani orang luar,” kata lelaki itu, “Sekali jotos
tiga gigi gundikku itu kurontokkan, lalu si buntung sialan itu lantas kusuruh
enyah.”
Sampai di sini, Kwe Yang takdapat menahan
rasa dongkolnya, segera ia menanggapi: “He, maksudnya kan baik, mengapa kau
berlaku kasar padanya? jelas dalam urusan ini kau yang salah.”
Semua orang berpaling memandang anak dara,
itu, sama sekali mereka tidak menduga nona secilik itu berani ikut bicara.
Lelaki itu menjadi rnarah dan membentak. “Sialan!
kau anak sekecil ini juga berani menggurui aku?
Go-ko, anak dara ini apamu?”
“Dia ingin melihat Sin-tiau-hiap dan aku
membawanya ke sana, urusan lain aku tidak peduli,” jawab si cebol kepala besar
tadi.
“Baik, jika begitu akan kuajar adat padanya,”
kata lelaki kekar itu, tarrrr, segera cambuknya menyabet kepala Kwe Yang, Cepat
Kwe Yang menangkis dengan cambuknya sehingga kedua cambuk terlibat menjadi
satu. Waktu lelaki itu membetot sekuatnya, seketika Kwe Yang merasa ditarik
oleh suatu tenaga yang dahsyat dan terpaksa melepaskan pegangannya. setelah
berhasil merampas cambuk Kwe Yang, segera cambuk lelaki tadi hendak disabetkan
lagi.
Syukur si cebol berjenggot panjang tadi
lantas berseru: “Jit-te, kita harus cepat berangkat, untuk apa mengurusi seorang
anak kecil?”
Lelaki itu merandek, cambuk yang sudah
terangkat ke atas itu tidak jadi dihantamkan. Si kakek jenggot panjang lantas menjengek:
“Hm, gerombolan setan dari Se-san adalah tokoh yang tidak gentar pada langit
dan takut pada bumi, betapapun nyaring tersohornya Kwe Ceng dan Oey Yong juga
tak dapat menggertak kami. he, anak dara, jika kau berani banyak omong lagi
segera kami sembelih kau.”
Lalu dia berpaling dan berkata pula, “Jit te,
lelaki sejati berani berbuat berani tanggung jawab, kalau jatuh harus cepat
merangkak bangun, Jenggot ku yang panjang ini dahulu juga pernah dipotong
orang, Kedua kupingmu itu cara bagaimana dipotong orang?”
“Ketika kusuruh Sin-tiau-hiap itu enyah, dia
juga tidak membantah. ia malah tertawa saja terus melangkah pergi,”
demikian tutur lelaki kekar tadi, “Sungguh
sialan, tiba-tiba gundikku yang keempat berteriak-teriak dan menangis, katanya
dia kupaksa menjadi gundik dan hidup tersiksa, kini dianiaya pula oleh isteri
tua, mendengar itu mendadak Sin-tiau-hiap memutar balik dan tanya padaku:
“Apakah benar perkataannya itu?”
“Dengan mendongkol kujawab: “Kalau betul mau
apa dan kalau tidak betul lantas bagaimana? Aku berjuluk Sat-sin-kui (setan
elmaut), selamanya membunuh orang tanpa kenal ampun, tahu tidak kau?”
Dengan kurang senang dia berkata: “Jika kau
suka padanya, mengapa sudah kawini dia lalu mengambil lagi perempuan lain?
Kalau tidak suka padanya, mengapa tadinya kau menikahi dia?”
“Aku bergelak tertawa dan berkata: “Semula
memang suka padanya, sesudah bosan lantas tidak suka lagi, Lelaki mempunyai
tiga isteri atau empat gundik adalah kejadian biasa, kenapa mesti heran?
Hahaha, malahan aku hendak mengambil tiga gundik lagi.”
Dia lantas mengomel “Jika manusia tak berbudi
dan tidak setia macam kau bertambah banyak lagi di dunia ini, bukankah semua
perempuan di dunia ini akan kecewa terhadap kaum lelaki?” -
Habis berkata mendadak ia menubruk maju dan
melolos belatiku, sekaligus kedua kupingku dipotong, lalu belati mengancam di
depan dadaku dan membentak ” Akan kukorek hatimu, ingin kulihat warna apakah
hatimu ini!”
Tentu saja aku mati kutu… untunglah isteri
dan para gundikku itu lantas berlutut dan memohonkan ampun padanya, malahan
gundik ketiga dan keempat itu menangis me-raung2. Hm, sungguh memalukan,
benar-benar memalukan Aku menjadi gusar dan berteriak: “Lekas kau turun tangani
jika kau membunuh aku, arwah gerombolan setan Se-san pasti senantiasa akan
mengisari kau.”
Dia mengerut kening dan berkata kepada
perempuan2ku itu: “Manusia tak berbudi begini, masakah kalian malah mintakan
ampun baginya?”
Perempuan2ku itu tidak msnjawab melainkan
terus menyembah, Dia lantas berkata pula: “Baiklah! Sekarang kuam-puni kau.
Tapi akupun tidak gentar terhadap gerombolan setan dari Se-san itu. Pada akhir
bulan ini akan kunantikan kalian di To-mo-peng, boleh kau undang seluruh gerombolan
itu untuk menemui aku di sana. Kalau tidak berani datang, sekaligus kalian
harus enyah dari wilayah Soasay dan tak oleh kembali ke sini selamanya.”
Selesai lelaki kekar itu menutur, semua orang
sama terdiam. selang sebentar barulah perempuan tua tadi bertanya: “Senjata apa
yang digunakannya? Dari aliran manakah ilmu silatnya?”
“Lengan buntung sebelah, dia tidak memakai
senjata apa-apa,” tutur si lelaki tadi, “Mengenai aliran ilmu silatnya, tampaknya…
tampaknya sukar diketahui.”
Perempuan tua tadi berkata pula: “Toako,
sekali gebrak saja orang itu lantas membikin jit-te tak bisa berkutik. Tentu kepandaiannya
sangat lihay, Kita harus mengerubutnya saja, Toako menghadapi dari depan,
biarlah aku dan Go-te menyerang dari samping, dengan tiga lawan satu masakah kita
kalah? sebaiknya kita harus menyerang dengan cepat sekaligus membinasakan dia.”
Kakek jenggot panjing merenung sejenak,
katanya kemudian: “Nama Sin-tiau-hiap itu sangat termashyur, pertarungan nanti
sungguh luar biasa, Biarlah kita mengerubutnya secara ber-ramai-ramai dan
mengerahkan segenap tenaga dan senjata yang kita punyai.
Selama gerombolan kita bersatu belum melabrak
orang dengan maju sepuluh orang sekaligus dan baru sekarang terjadi untuk
pertama kali ini, kalau sudah begitu kita masih belum dapat membinasakan dia,
maka biarlah kita bersepuluh ini dari setan bayangan menjadi setan sungguhan
saja.”
Tiba-tiba si kakek cebol kepala besar tadi
ikut bicara: “Toako, kita bersepuluh mengeroyok dia seorang, kalau menang
rasanya juga kurang terhormat, jika tersiar juga akan ditertawakan orang-orang
Kangouw.”
“Bila Sin-tiau-hiap itu dapat kita bunuh,
kecuali anak dara ini kukira tiada orang lain lagi yang tahu,” ujar si nenek
tadi.
Baru selesai uca-pannya, dengan pelahan iapun
mengangkat tangannya.
Cepat si cebol kepala besar mengadang di
depan Kwe Yang sambil mengebaskan lengan baju-nya, menyusul dari lengan bajunya
dicabutnya sebuah jarum lembut, katanya: “Jici, aku yang membawa anak dara ini
kemari, janganlah mencelakai dia.” Lalu ia berpaling dan berkata kepada Kwe Yang.
“Nona Kwe, jika kau ingin melihat Sintiau-hiap, kejadian malam ini jangan
sekali-sekali kau ceritakan kepada orang lain, Kalau tidak, boleh kau pulang
sekarang saja.”
Ngeri dan gusar pula Kwe Yang, ia pikir nenek
itu sungguh amat keji, kalau bukan paman cebol itu menoIongnya, mungkin dirinya
sudah binasa tertusuk oleh jarum yang lembut dan tanpa suara itu. Segera iapun
menjawab “Baiklah, takkan kuceritakan kepada siapapun juga. “
Lalu ditambahkannya: “Kalian bersepuluh,
masakah Sintiau-hiap sendiri tidak mempunyai pembantu?”
Si cebol kepala besar bergelak tertawa,
katanya: “Sudah belasan tahun Sin-tiau-hiap itu berkecimpung di Kangouw dan tak
pernah terdengar dia membawa pembantu, yang ada cuma seekor rajawali yang
senantiasa mendampingi dia.”
Habis berkata, “tarrr!” cambuknya menggeletar
di udara dan membentak: “Hayolah berangkat!”
Setelah berlari sekian jauhnya, orang cebol
itu berkata pula kepada Kwe Yang: “Sebentar kalau sudah saling gebrak, jangan
sekali-sekali kau menjauhi aku.”
Kwe Yang mengangguk ia tahu gerombolan setan
dari Se-san ini ada sebagian sangat jahat dan tidak kenal ampun, bisa jadi
mendadak dirinya diserang dan si cebol kepala besar ini tidak sempat
menolongnya.
Diam-diam iapun berkuatir bagi Sin tiau-hiap
yang akan dikerubut kesembilan orang ini, betapapun tinggi kepandaian pendekar
rajawali sakti itu apakah sanggup satu lawan sepuIuh? ia pikir kalau ayah-
ibunya berada di sini tentu segalanya akan beres, beliau2 pasti takkan tinggal
diam saja menyaksikan pertarungan yang tidak adil ini.
Tengah mereka melarikan kuda dengan cepat,
tiba-tiba dari dalam hutan di depan yang gelap gulita sana berkumandang suara
auman harimau, beberapa ekor kuda sama berjingkrak kaget dan takut. ada yang
terus berdiri diam dan ada yang malah terus putar haluan hendak kabur.
Si jangkung tadi segera mengayun cambuknya
beberapa kali dan mendahului menerjang kedalam hutan. Si nenek juga mengomeli
kudanya: “Binatang tak berguna, memangnya takut dicaplok kucing liar begitu? “-
- Beramai-ramai mereka terus menghalau kawanan kuda mereka dan ikut menerobos
ke dalam hutan.
Setelah membedal lagi
beberapa puluh meter jauhnya, tiba-tiba seseorang membentak di depan: “Siapa itu berani
terobosan di Bii-iiu-san-ceng malam-malam begini?”
serentak Gerombolan setan Se san itu menahan
kuda mereka, tertampaklah seorang mengadang di tengah jalan, kedua sisinya
masing-masing mendekam seekor harimau loreng. Mendengar suara raungan harimau
yang kereng itu, kembali kawanan kuda ber-jingkrak ketakutan.
Setelah menguasai kembali kudanya, si kakek
cebol jenggot panjang lantas memberi hormat dan berkata “GeromboIan Setan
Se-san kebetulan lewat di sini dan tidak sempat berkunjung harap suka
memaafkan.”
Orang yang menghadang di depan itu menjawab:
“O, kalian inikah Gerombolan Setan dari Se-san? jadi saudara ini Tiang-si-kui
(setan jenggot panjang) Hoan-ya (tuan Hoao)?”
“Betul” jawab si kakek jenggot panjang, “Ada
urusan penting kami harus menuju To-ma-peng, kembalinya nanti kami akan mampir
untuk mohon maaf lagi.”
Rupanya iapun tahu orang Ban-siu-san-ceng (perkampungan
berlaksa binatang) sukar dilawan, pula
mereka sekarang harus mencurahkan segenap perhatian
untuk menghadapi Sin-tiau-hiap, maka bicaranya sangatlah rendah hati.
“Coba kalian menunggu sebentar,” kata orang
itu, lalu ia berteriak: “Toako, inilah Gerombolan Setan Se-san yang hendak
pergi ke To-ma-peng katanya kembalinya nanti akan datang untuk minta maaf.”
Kawanan “Setan” itu merasa kurang senang
mendengar ucapannya itu mereka mengatakan kembalinya nanti akan mampir untuk
minta maaf, kata-kata ini tidak lebih hanya sebagai basa-basi saja, masakah
dianggapnya Gerombolan Setan Se-san benar-benar gentar kepada pihak
Ban-siu-san-ceng?
Maka terdengarlah suara seorang menjawab
dengan lagak tuan besar di dalam hutan: “Minta maaf sih tidak perlu, suruh mereka
pergi dengan mengitar hutan saja.”
Serentak kawanan setan– itu menjadi gusar, si
jangkung tadi lantas mendengus: “Hm, selamanya Gerombolan Setan Se-san kalau
berjalan tidak pernah main mengitari”
Habis berkata segera ia melarikan kudanya
terus menerjang ke depan.
Tapi sehati orang yang mengadang itu memberi
aba2, serentak kedua harimau di sampingnya terus menubruk maju.
Karena kaget dan takut, kuda si jangkung
berjingkrak berdiri. Tampaknya si jangkung sangat menguasai kuda tunggangannya,
sambil tetap menempel di atas pelana, “sret”, cepat kedua tangannya
mengeluarkan senjatanya yang berbentuk sepasang tumbak pendek dan kontan
menikam ke arah kedua ekor harimau.
Harimau yang sebelah kiri cepat melompat
minggir, sedangkan cakar harimau sebelah kanan sempat merobek perut kuda si
jangkung, tapi binatang buasnya itupun meraung keras, rupanya juga terluka oleh
tikaman tumbak.
Segera si jangkung melompat turun dan
membentak “HayoIah keluarkan senjatamu!” Berba-reng ia terus pasang kuda-kuda
dan siap tempur.
Orang di depan sana menjengek: “Hm, kau
berani melukai kucing piaraanku, andaikan sekarang kau mau mengitar hutan juga
tidak kuidzinkan lagi Bu-siang-kui (setan gentayangan), tinggalkan saja
tumbakmu!”
Si jangkung melengak juga karena julukannya
dengan tepat disebut lawan, jawabnya: “siapakah kau? Selama ini Ban–siu-san-ceng
berada di Se keng, mengapa sekarang pindah ke sini? Kau ingin kutinggalkan
tumbakku, hah, memangnya begitu gampang?”
“Kediaman Ban siu-san-ceng memang berada di
Se-keng, tapi kalau kami ingin pindah tempatkan tidak perlu lapor dulu kepada
kawanan setan macam kalian toh?” ujar orang itu.
“Bahwa Toako kami suruh kalian lewat mengitar
hutan sudah cukup ramah, soalnya Samko kami sedang sakit dan tidak suka
diganggu orang, kau tahu tidak?”
Berkata sampai di sini, mendadak tangan
kirinya meraih ke depan, tahu- gagang tumbak yang dekat dengan ujung tumbak si
Bu-siang-kui kena dipegang olehnya.
Sama sekali Bu siang-kui tidak menduga
gerakan tangan lawan sedemikian cepatnya, cepat ia menarik sekuatnya, Tapi orang
itupun membetot dan ditekuk pula sehingga terdengar “pletak” dua kali.sepasang tumbak
pendek itu patah semua.
Padahal tumbak2 itu terbuat dari besi, karena
tenaga kedua orang sama kerasnya hingga tumbak itu tak dapat menahan tenaga
tarikan mereka dan akhirnya patah.
Kejadian ini membuat Gerombolan Setan Se-san melengak.
Si kakek jenggot panjang yang berjuluk “Setan jengot panjang” lantas berkata:
“Rupanya saudara inilah Pat jiu-sian-kau (kera sakti bertangan delapan) Apakah
Kim kah-say-ong (raja singa bersisik emas) kurang sehat? Saat ini kami ada
urusan lain, biarlah kita bertemu lagi di sini besok pada saat yang sama.”
Kiranya Ban-siu-san-ceng itu dipimpin oleh
lima bersaudara, Toako atau kakak tertua Pek-hia san-kun ( raja gunung dahi
putih ) Su Pek-wi, Jiko atau kakak kedua Koan-kian-cu (si bumbung perak ) Su
Tiong beng, Samko ( kakak ketiga ) Kim-kah-say-ong Su Siokkang, Suko ( kakak
ke-empat ) Tay-lik-sin ( malaikat bertenaga raksasa ) Su ki-kiang dan saudara
yang terkecil ialah Pat-jiu-sian-kau Su Beng-ciat ini.
Turun temurun keluarga Bu itu hidup sebagai
penjinak binatang, sampai di tangan kelima bersaudara ini bahkan tambah maju
kepandaian mereka, bukan saja cara menjinakkan binatang terlebih lihay, bahkan
dari gerak gerik setiap binatang buas yang mereka lihat setiap hari itu dipelajari
dan dipahami menjadi gerakan ilmu silat yang khas, jadi binatang-binatang buas
seakan-akan menjadi guru kelima
bersaudara itu sehingga jadilah mereka
memiliki ilmu silat yang tinggi.
Waktu Su Siok kang, yaitu kakak ketiga yang
berjuluk Kim-kah-say-ong itu berumur 20-an, suatu hari ketika sedang berburu,
secara kebetulan dia bertemu dengan orang kosen dan berhasil meyakinkan pula
Lwekang yang tinggi, sepulangnya di rumah ia mengajarkan Lwekang itu pula kepada
saudara2nya.
Begitulah semakin banyak mereka memiara
binatang buas semakin tinggi pula ilmu silat yang mereka yakinkan Nama Ban-siu-san
ceng juga mulai terkenal di dunia Kanguow, maka orang- Bu-lim telah memberikan
julukan kepada kelima bersaudara ha sebagai “Hou-pa-say jio-kau” (harimau,
macan
tutul, smga, gajah dan kera). Di antara
mereka berlima Kim kah say-ong. si singa berbaju emas, terkenal paling lihay.
Maka Tiang-si-kui merasa lega demi mendengar
Su Siok-kang sedang sakit, betapapun lihaynya musuh juga kawanan “Setan” mereka
tidak gentar, apalagi sekarang pihak lawan berkurang tokoh utama-nya, maka ia
lantas menetapkan malam besok untuk pertarungan yang menentukan.
“Baik,” segera Pak-jiu-sian-kau Su Beng-ciat
menjawab “besok malam kami bersaudara akan menunggu kalian di sini.”
Habis berkata, sekali tangan bergerak,
“pIok-plok”, kedua potong tumbak patah yang dirampasnya tadi menyamber dan menancap
batang pohon di sebelah Tiang-si-kui.
Diam-diam Tiang Si-kui terkesiap dan heran
mengapa pihak lawan tetap tidak memperbolehkan mereka lewat menerobos hutan,
ada pekerjaan apa kelima saudara Su itu di sini? Segera ia memberi salam: “Baiklah kami mohon diri!”
Kedua kakinya mengempit kencang, segera ia
melarikan kudanya ke depan.
“He, tunggu dulu!” kembali Su Beng-ciat
berteriak mencegah, “Toako kami menyuruh kalian lewat mengitar hutan, apakah
kalian tidak berkuping atau memang tuli?”
Tiang-si-kui menahan kudanya dan baru mau
menjawab, terdengarlah di kanan kiri depan sana dua orang tertawa terbahak-bahak,
menyusul asap tebal lantas mengepul, dua orang berteriak berbarengi
“Main gila apa di dalam hutan? Mana
Gerombolan Setan Se-san dapat dikelabui?”
Rupanya secara diam-diam Song-bun-kui dan
Siau-bin-kui, setan sialan dan setan muka ketawa, yaitu setan ke-8 dan ke-10
menurut urut-urutan mereka, telah memutar ke belakang sana untuk menyalakan api
ketika Su Beng-ciat sedang bicara dengan Tiang si kui.
Tapi baru saja api mulai berkobar, menyusul
lantas terdengar Songbun-kui dan Siaubin-kui menjerit kaget dan berlari kembali
seperti memergoki sesuatu makhluk yang mengerikan.
“Ada
apa?” janya Tiang-si-kui.
“Macan! Harimau! ada seratus, dua ratus
ekor…” seru Song-bun-kui:
Su Beng-ciat kelihatan sangat murka melihat
api mulai menjilat pepohonan, ia berteriak sekeras-nya: “Toako, Jiko, yang
penting padamkan api duiu, biarkan gerombolan setan ini pergi saja, masakah
kelak kita takdapat menemukan mereka?”
Pada saat itulah sekonyong-konyong pandangan
semua orang serasa bureng, seekor binatang sebesar anjing kecil mendadak
menerobos keluar dari hutan dan sekejap saja sudah kabur ke sana. Tubuh
binatang itu tidak besar, tapi keempat kakinya sangat panjang warna bulunya
putih mulus, hanya bagian ekor saja berwarna hitam, bentuknya mirip kucing dan
mem-per anjing.
“Hm, Kau-twe-Ieng-fccu kabur!” seru Su
Beng-ciat dan segera ia mengidak ke sana. Suara teriakannya itu penuh mengunjuk
rasa kaget, cemas dan kuatir.
Mendadak pula terdengar pula suara raungan
yang keras di dalam hutan, suara raungan yang menyerupai raungan harimau dan
mirip pula auman singa, malahan seperti suara teriakan orang namun suara
manusia seyogianya tidak sekeras dan senyaring itu.
Terdengar suara raungan itu, diam-diam Kwe
Yang rada merinding. Setelah suara raungan itu, serentak be-ratus2 binatang
buas juga lantas mengaum di segenap penjuru, suara singa, harimau, macan tutul,
serigala, gajah, kera, gorilla dan entah binatang buas apalagi dan sukar
dibedakan.
Menyusul terdengarlah suara gemuruh,
be-ratus2, bahkan beribu-ribu binatang buas itu ber-bondong-bondong lari keluar
hutan, Seorang lantas berseru: “Toako ke sebelah timur, Ji-ko sebelah barat, Site
(adik keempat) ke tenggara…” jelas ada suara orang ini sama dengan suara
raungan tadi.
Sekilas Kwe Yang melihat beberapa sosok
bayangan orang berkelebat keluar hutan lebat itu, walaupun tahu bahaya, tapi ia
tak dapat menahan rasa ingin tahunya, cepat iapun melarikan kudanya menyusul
keluar hutan.
Cepat si cebol kepala besar yang berjuluk
Toa-thau-kui (setao kepala besar) tadi berteriak: “He, nona Kwe, jangan pergi!”
Segera iapun keprak kudanya menyusulnya.
Begitu berada di luar hutan, seketika Kwe
Yang menyaksikan pemandangan aneh. Dilihatnya lima orang sama-sama memimpin
segerombolan binatang sedang mengurung ke bagian tengah di tanah datar yang
berselimutkan salju itu, tampaknya kawanan binatang buas itu sudah terlatih,
mereka tidak saling cakar dan bertengkar sendiri, tapi kesana kemari, cara lari
mereka sangat teratur.
Kwe Yang merasa takut tapi juga sangat
tertarik untuk menonton, Dilihatnya lingkaran kelima barisan binatang buas itu
semakin menciut sehingga di tengah-tengah kelihatan sebuah bundaran, tapi
mendadak sesosok bayangan putih berkelebat, binatang kecil yang menyerupai
anjing tadi lari menerobos keluar dari kepungan binatang buas, secepat angin binatang
kecil itu melayang lewat di depan Kwe Yang.
“Kiu-bwe-leng-hou! Di
sana, lari ke sana!” terdengar kelima
bersaudara she Su itu ber- teriak-teriak, menyusul gerombolan binatang buas itu
lantas menerjang tiba seperti gugur gunung dahsyatnya.
Cepat Kwe Yang menarik kudanya menyingkir ke
pinggir, tapi kuda itu menjadi ketakutan melihat binatang buas sebanyak itu,
saking takutnya hingga kaki lemas terus jatuh mendeprok. Keruan Kwe Yang
terkejut, kalau gerombolan binatang itu menerjang ke arahnya, tentu tubuhnya
akan ter-injak2 hancur lebur.
Lekas-lekas ia melompat turun dari pelana
kudanya dan berlari ke samping sana. Terendus olehnya bau amis, kawanan
binatang buas itu terus mengalir lewat di sebelahnya laksana air bah dan
sejenak saja sudah menjauh.
Sementara itu Gerombolan Setan Se-san juga
sudah berada di luar hutan, si kakek jenggot panjang berkata: “Betapapun tinggi
kepandaian keluarga Su juga kita tidak gentar, hanya kawanan binatang itulah
yang sukar dihalau.
Malam ini kita tidak perlu cari perkara lagi,
kita harus piara tenaga untuk menghadapi Sin-tiau-hiap. Marilah kita berangkat!”
Si nenek juga berkata: “Ya, malam ini kita
bunuh Sin-tiau-hiap, besok kita pesta panggang daging harimau dan singa!”
-Habis itu ia terus menarik kudanya dan hendak meneruskan perjalanan dengan
mengitari hutan.
Pada saat itulah mendadak suara raungan
binatang buas tadi terdengar gemuruh pula, gerombolan binatang itu dating lagi
dari berbagai arah.
Sekali ini suara raungan bnatang itu tidak
begitu buas, larinya juga tidak cepat Namun Tiang-si-kui menjadi kuatir, katanya:
“CeIaka! Lekas kita pergi!”
Namun sudah terlambat, di sekeliling mereka
terkepung, Cepat Tiang-si kui bersuit, sepuluh orang lantas melompat turun dan
berdiri pada lima sudut dengan senjata terhunus menantikan serangan musuh.
“Nona Kwe,” kata Toa-thau-kui, si setan
kepala btsar, “lekas pulang saja kau, tidak perlu ikut menyerempet bahaya di
sini.”
“Tapi mana Sin-tiau-hiap? Kau sudah berjanji
akan membawaku untuk menemuinya,” kata Kwe Yang.
“Apakah kau tidak melihat binatang buas
sebanyak ini?”
ujar Toa-thau-kui dengan mengernyitkan
kening.
“Bicaralah secara baik-baik dengan majikan
gerombolan binatang itu, katakan kalian ada janji dengan Sin-tiau hiap dan tiada
waktu tertahan lama di sini,” ujar Kwe Yang.
“Hm, Gerombolan Setan Se-san tidak pernah
bicara secara baik-baik dengan siapapun juga,” kata Toa-thau-kui.
Tengah bicara, sementara itu kelima
bersaudara Su itu sudah muncul. Mereka sama memakai jubah kulit binatang, sesudah
berhadapan dengan Gerombolan Setan, tetap Su Beag-ciat yang menjadi juru
bicara, katanya: “Selamanya Ban-siu-san ceng tidak pernah bermusuhan dengan
Kawanan Setan, mengapa kalian membakar hutan dan menghalau lari Kiu-bwe-leng-hou
(rase cerdik berekor sembilan)?”
Dari nada ucapan orang, Kwe Yang merasakan
orang she Su itu sangat gusar dan gemas sekali Pikirnya: “walaupun binatang kecil
tadi sangat menyenangkan tapi tampaknya juga tiada sesuatu yang istimewa,
mengapa mesti marah-marah begitu rupa? jelas binatang itu cuma punya sebuah
ekor,
mengapa disebut rase berekor sembilan?”
Maka terdengar perempuan yang berpakaian
serba merah dari pihak Gerombolan Setan menjawab: “Peristiwa ini awal mulanya
adalah gara-gara tindakan kalian sendiri, selamanya Ban-siu-san-ceng berdiam di
wilayah Sa-keng, mengapa mendadak muncul di daerah Soasay sini dan di tengah
malam
buta melarang orang lain lewat di jalan umum
ini. Sikap kalian yang tidak semena-mena ini masakah kalian malah menyalahkan
pihak lain?”
“Persoalan sekarang ini tidak perlu
dibicarakan pokoknya tiada seorangpun di antara kalian dapat hidup lagi,”
mendadak Pek-hia-san-kun Su Pek-wi membentak. Sekali mengaum murka, dengan
bertangan kosong ia terus menubruk ke arah Tiang-si-kui, kedua telapak
tangannya tergenggam laksana cakar harimau segera mencengkeram, begitu hebat
dan dahsyat, sekalipun harimau benar-benar juga tidak seganas itu.
Cepat Tiang-si-kui
melangkah mundur terus menggeser, “serrr”, senjatanya yang panjang terus
menyapu pinggang lawan. Tanpa menghindar, cakar harimau Su Pek-wi lantas mencengkeram
ujung senjata lawan, kiranya senjata Tiang-sin-kui itu adalah sebatang tongkat
baja yang besar dan berat.
Belum lagi cengkeraman Su Pek-wi itu
mengencang, mendadak tangan terasa panas, cepat ia lepaskan kembali tangannya
sambil disampuk ke sam-ping. Untung dia dapat bergerak dengan cepat sehingga
dadanya terhindar dari sodokan tongkat.
Diam-diam Su Pek-wi terkesiap, baru sekarang
ia tahu Gerombolan Setan Se-san itu memang bukan orang sembarangan pantas nama
mereka akhir2 ini semakin menanjak, ia tidak berani gegabah lagi “creng”,
segera iapun mengeluarkan senjatanya, yakni Hoa-thau-kau (kaitan dengan ujung
berukir kepala harimau), sepasang kaitan baja itu beratnya ada 30 kati dan
merupakan senjata yang tajam dan lihay.
Begitulah dua larik sinar kuning berkelebat
kaitan itu lantas menempur sengit tongkat baja si Setan jenggot panjang.
Sementara itu Kaan-kian-cu Su Tiong-beng
dengan senjatanya yang berupa sepasang bumbung atau pipa perak juga telah
melabrak Jui beng-kui setan pencabut nyawa, yang bersenjatakan golok dan tombak
si Song-bun-kui.
Sedangkan Tay-lik-sin Su Ki-kiang juga
menempur Tiau-si kui (setan gantung) yaitu si nenek, yang bersenjatakan seutas tali
panjang lagi lemas sehingga sukar diraba, ia hanya meraung2 murka saja dan
sukar mengembangkan tenaga raksasa yang dimilikinya.
Di sebelah sana Pat-jiu-sian-kau Su Beng ciat
juga menghadapi Toa thau-kui, si Setan Kepala Besar” dengan senjatanya yang
berwujut godam persegi delapan.
Su Beng-ciat bersenjata sepasang Boan
koan-pit, potlot baja berujung runcing, serangannya hebat, tenaganya kuat, Toa-thiiu
kui rada kewalahan cepat Siau-yau-kui, Setan Cantik, yaitu perempuan berbaju
serba merah, segera menubruk maju membantunya dengan senjata golok.
Di tanah salju itu terjadilah pertarungan
sengit sepuluh orang terbagilah menjadi empat partai, bunga salju bertebaran.
namun pertempuran belum dapat menentukan kalah dan menang.
Pihak Gerombolan Setan masih ada empat orang
belum ikut turun tangan, sebalnya pihak lawan hanya Kim-Kah-say ong saja yang
belum bergerak. Terlihat dia bersandar pada tubuh seekor singa jantan tampaknya
menderita sesuatu penyakit lemas lunglai.
Melihat situasi pertarungan ini, jelas pihak
Gerombolan Setan lebih untung karena berjumlah lebih banyak, tapi kalau persaudaraan
Su itu berseru memberi komando, seketika kawanan binatang buas itu pasti akan menerjang
dan Gerombolan Setan itu pasti akan celaka.
Siau-bian kui, si setan muka tertawa juga
merasa kebat kebit menyaksikan kawanan binatang buas yang siap menunggu
perintah itu, ia pikir sebentar harus menggunakan kabut racun untuk merobohkan
sebagian binatang itu baru dapat menerjang keluar kepungan.
Sementara itu pertarungan sengit sudah
berlangsung sekian lama, Tiang- si-kui dan Su Pek- wi tetap sama kuatnya, Tiau
si-kui, si nenek dapat memainkan talinya yang panjang itu dengan cara yang aneh
dan ujung tali selalu berubah menjadi lingkaran jiratan, kalau Su Ki-kiang
meleng, mungkin lehernya bisa terjirat. Tapi karena dia memiliki tenaga
raksasa, mau tak-mau Tiau-si-kui juga rada jeri.
Toa-lhau-kui dan Siau-kui bahu-membahu
menghadapi Su Beng-ciat, mereka dapat bekerja sama dengan baik, Tapi gerak
serangan Su Beng ciat cepat lagi aneh, mereka terus berputar, terdengar suara
Toa-thau-kui meng-guruh2, sedangkan si Setan cantik tertawa ngikik, tujuan
mereka memancarkan perhatian musuh, namun Su Beng ciat anggap tidak mendengar dan
menempur mereka dengan sengit.
Di sebelah sana Ji Beng-kui dan Song-bun-kui
ternyata tidak mampu menandingi pipa perak Su Tiong-beng, Pipa perak yang
digunakan sebagai senjata itu lebih pendek daripada toya dan kosong bagian
tengah, gaya serangannya juga aneh.
Suatu ketika Song-bun-kui menusuk dengan
tumbaknya, tapi Su Tiong-beng justeru mengincar ujung tumbak lawan dan pipanya
juga ditusukkan kedepan, pipa itu terus menyelongsong ke bawah sehingga gagang
tumbak terkunci di dalam pipa.
Keruan Song-bun-kui terkejut dan cepat
menarik tumbak kirinya itu, tumbak terus diputar untuk menjaga diri.
Melihat kawannya terancam bahaya, cepat
To-ceh-kui, si Setan Penagih Utang, menubruk untuk membantu, senjatanya yang
berbentuk sepotong pelat besi segera memotong ke pipa Su Tiong heng.
Kiranya senjata To-ceh-kui itu terdiri dari
lima potong pelat besi sehingga berbentuk buku utang-piutang sesuai namanya sebagai
tukang tagih utang, Tepi pelat besi itu tajam sehingga merupakan sejenis
senjata aneh dan lihay.
Sebenarnya GeromboIan Setan Se san itu
masing-masing mempunyai nama asli sendiri-sendiri, tapi sejak nama “Gerombolan
Setan Se-san” terkenal di dunia Kangouw, mereka lantas membuang nama aslinya
dan menggunakan julukan Setan sebagai tanda pengenal.
Apalagi tindak tanduk dan bentuk tubuh dan
wajah mereka bersepuIuh memang juga aneh dan ber-beda2.
Misalnya si To-ceh kui, Setan penagih utang,
dia menggunakan senjata lima helai pelat besi sehingga
menyerupai buku utang piutang, soalnya dia
memang juga pendendam, sakit hati sekecil apapun juga pasti akan
dituntut-balasnya, tiada seorangpun dapat lolos jika pernah menyakiti hatinya.
Sebab itulah dia diberi julukan setan tukang
tagih utang. Tapi dia malah senang dengan nama poyokan itu, senjata pelat besi
di ubahnya menjadi seperti halaman buku, tipis dengan tepinya sangat tajam,
bahkan pelat besi itu diukir nama musuhnya dengan kesalahannya, kalau sakit
hati itu sudah dibereskan barulah nama musuh itu dicoret.
Pipa perak adalah senjata aneh, tapi buku
besi itu terlebih aneh, lima halaman besi itu saling bergesek dan mengeluarkan
tuara nyaring, Dengan bertiga setan menempur Su Tiong beng barulah ke adaan
mereka rada mendingan.
Kwe Yang terus mengikuti pertempuran itu di
samping, dilihatnya cuaca sudah mulai remang-remang fajar sudah hampir tiba,
tapi pertarungan itu masih berlangsung dengan sengitnya, ia pikir janji
pertemuan kesepuluh setan itu dengan Sin-tiau-hiap sudah lewat waktunya,
mungkin tidak sabar menunggu dan pendekar sakti itu sudah pergi sendiri, ia menjadi
gelisah dan kecewa karena maksudnya melihat Sin-tiau-hiap tak tersampai, untuk
melerai pertempuran orang-orang itupun ia tak mampu.
Dilihatnya kawanan binatang buas itu sama
mendekam di tanah dalam suatu tingkatan yang rapat, seumpama Gerombolan Setan
itu dapat membinasakan kelima saudara Su juga sukar menerjang keluar kepungan
kawanan binatang buas itu.
Keadaan demikian juga disadari oleh
GeromboIan Setan itu. Maka si nenek, yaitu setan gantung, berhasrat menangkap Tay-lik-sin
Su Ki-Kiang dengan tali jiratannya yang panjang itu. asalkan lawan berhasil
ditawan tentu dapat digunakan sebagai sandera untuk memaksa Su- si hengte
(saudara
keluarga Su) membubarkan kepungan binatang
buasnya.
Namun kepandaian Su Ki kiang sendiri lebih
tinggi daripada Tiau-si kui si setan gantung, hanya saja senjata tali memang
aneh dan sukar dilayani, makanya kedudukan mereka menjadi sama kuat, tapi untuk
menangkapnya jelas tidaklah mudah.
Siau-bian-kui, si setan muka tertawa tahu
keadaan sangat berbahaya, ia pikir tiada jalan lain terpaksa harus menggunakan
akal licik. Segera ia berseru: “Jici, biar kubantu kau!” Segera ia melolos
senjatanya dan menerjang ke arah Su Ki-kiang.
Su Ki-kiang tidak gentar ketambahan seorang
lawan, “Bagus!” serunya menyambut terjangan musuh, berbareng senjatanya gada
baja terus mengepruk kepala orang.
Cepat Siau-bian-kui mengegos sambil menangkis
dengan sepasang ruyung “Prak, krek”, senjata saling beradu dan kedua ruyung
seketika patah. Tapi dari bagian yang patah itu lantas mengepul asap putih
kemerahan Su Ki-kiang melengak, langkahnya rada sempoyongan terus roboh
terjungkal.
Tanpa ayal tali jirat si setan gantung terus
di-lempar ke depan dan tepat menjirat kedua kaki musuh.
Kiranya gagang ruyung Siau bin-kui itu kopong
dan tersimpan bubuk racun, pada gagang ruyung-nya terpasang pesawat rahasia,
sekali ditekan segera bubuk racun akan tersembur untuk mencelakai musuh.
Tapi tenaga Su Ki-kiang teramat besar, sekali
hantam ia patahkan ruyung lawan. Tapi meski senjatanya patah tetap Siau-bin-kui
dan Tiau si kui berhasil menawan Su Ki kiang.
“He, he! Apa-apaan kalian ini? Merobohkan
lawan dengan cara licik, terhitung orang gagah macam apa?” seru Kwe Yang.
Melihat saudaranya tertawan musuh, Su Pek-wi,
Su Tiong-beng dnn Su Beng-ciat juga terkejut dan murka, Tapi apa daya, mereka
sendiri terlibat dalam pertempuran dan sukar memberi bantuan.
Kwe Yang sendiri sebenarnya tidak membela
manapun, cuma dilihatnya cara Siau bian-kui merobohkan Su Ki-kiang itu kurang
“sportip”, maka dia berseru mencelanya.
Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara
rating-an di sebelah sana, terlihat Kim kah-say-ong Su Siok-kang berbangkit
pelahan, lalu membentak dengan suara berat: “Lepaskan saudaraku!”
Su Ki-kiang tidak sadarkan diri, Tiau-si kui
meringkusnya dengan tali, bahkan menambahkan beberapa kali tutukan pada Hiat-to
yang penting agar takdapat berkutik bila nanti sudah siuman, ia menjawab:
“Silakan kau menyingkirkan kawanan binatang ini dan memberi jalan, segera kami membebaskan
saudaramu.”
Dilihatnya kedua mata Su Siok kang cekung,
mukanya pucat, jalannya sempoyongan, jelas sedang sakit parah, maka kawanan
setan itu tidak merasa gentar.
simpatik Kwe Yarg beroda pada Su Siok-kang,
melihat orang dalam keadaan sakit toh tetap hendak menolong saudaranya, cepat
ia berseru. “He engkau sakit, jangan ikut bertempur.”
Su Siok-kang mengangguk padanya dan
mengucapkan terima kasih, tapi langkahnya tidak berhenti, ia masih terus mendekati
Su Ki-kiang yang menggeletak teringkus musuh itu.
Siau-bian kui mengedipi Tiau-si-kui, kedua
orang lantas menubruk dari kanan dan liri, mereka hendak menangkap sekaligus
lawan yang tampaknya sakit tebese ini. Begitu sudah dekat, keempat tangan
mereka terus mencengkeram.
Tapi mendadak Su Siok-kiang meraung seperti
singa, tangan kirinya menabok pundak Tiau-si-kui dan tangan kanan menyodok dada
Siau-bin-kui, seketika kedua “setan” itu merasa ditekan oleh suatu tenaga maha
dahsyat, langkah mereka menjadi terhuyung dan hampir saja terperosot jatuh.
Cepat mereka melompat mundur, untunglah Su
Siok-kiang tidak mengejar maju, Keruan mereka saling pandang dengan kaget dan
sama berkeringat dingin, sama sekali tak mereka duga bahwa orang yang tampaknya
sakit tebese itu ternyata sedemikian lihaynya.
Su Siok-kiang lantas melepaskan Hiat-to
saudaranya yang tertutuk itu, sekali tarik, tali Tiau-si-kui yang meringkus Su
Ki-kiangitu lantas putus menjadi beberapa potong. Namun Su Ki-kiang belum lagi
sadar karena dia kena asap beracun.
Sambil mengerut kening Su Siok-kang membentak
“Berikan obat penawarnya!”
“Bubarkan dulu kepungan binatang buas kalian
dan segera kuberikan obat penawar,” jawab Siau-bin-kui.
Su Siok-kiang mendengus, lalu melangkah ke
arah Siau-bin-kui dengan sempoyongan.
Siau-bin kui tidak berani melawannya, cepat
ia mengelak ke samping. Rupanya karena sakit sehingga gerak-geriknya tidak
leluasa, namun Su Siok -kang masih terus melangkah ke arah Siau-bin-kui.
Sudah tentu sisa keempat “setan” yang masih menganggur
itu tidak tinggal diam, segera mereka
mengerubut maju, Siau-hin-kui juga lantas
memutar balik untuk ikut mengeroyok. Gerak serangan Su Siok-kang sangat lamban,
tapi tenaga pukulannya amat kuat, kelima setan itu mengepungnya di tengah
sambil melancarkan serangan dengan golok dan tumbak, namun tidak berani terlalu
mendekat
Diam-diam Kwe Yang menaruh kasihan kepada Su
Ki-kiang yang dirobohkan lawan dengan akal licik dan belum sadar itu, segera ia
mencomot sepotong salju dan di-usap-usapkan di dahi Su Ki-kiang, lalu secomot
kecil bunga salju dijejalkan ke mulutnya.
Rupanya asap racun tadi takdapat bertahan
terlalu lama, Su Ki-kiang sendiri sehat dan kuat, begitu kepala terasa dingin dan
mulut dicekoki es batu, segera pikirannya jernih kembali, pelahan ia lantas
merangkak bangun dan mengucek-ucek matanya, ia menjadi murka demi melihat kakak
ketiganya
dikerubut lima orang, ia berteriak: “Mundur
dulu, Samko!”
Berbareng ia terus menubruk maju dan
merangkul pinggang Siau-bin-kui.
Di sebelah Iain Su Pek-wi yang sedang
menempur sengit Tiang-si-kui itu menjadi girang melihat Su Ki-kiang sudah siuman
kembali, segera ia bersuit panjang, serentak kawanan binatang buas yang sejak
tadi hanya mendekam di atas tanah itu berdiri semua demi mendengar suitan itu
dan bersiap-siap hendak menubruk musuh.
Ketika Su Pek-wi menggertak lagi dengan suara
keras, serentak kawanan binatang itupun mengaum buas, Meski GoromboIan Setan
Se-san itu sudah banyak berpengalaman di medan pertempuran, tapi menyaksikan suasana
yang mengerikan ini mau-tak-mau mereka menjadi kuatir, Benar saja, belum lenyap
suara raungan kawanan binatang itu, di sana sini berbagai jenis binatang buas
sudah lantas menerjang maju dan menerkam ke sepuluh “setan” itu.
Kwe Yang menjerit kaget dengan muka pucat. Syukur
Su Siok-kang lantas menyadari keadaan anak dara itu, cepat ia mendorong seekor
harimau yang sedang menubruk ke arah Kwe Yang, menyusul ia tanggalkan kopiah kulit
sendiri dan dipasang di kepala anak dara.
Agaknya kawanan binatang buas itu sudah
ter-latih, begitu melihat Kwe Yang memakai kopiah kulit, mereka tidak menubruknya
lagi melainkan terus membelok ke sana
dan menyerang Gerombolan Setan.
Macam-macam binatang buas, ada harimau,
singa, serigala, makan tutul, gorila, beruang dan sebagainya serentak menerjang
ke sepuluh Setan itu, namun Gerombolan Setan itu juga bertahan mati-matian
belasan ekor binatang buas itupun dapat mereka binasakan.
Tapi lantaran Su-si-hengte terus memberi aba2
di samping sana, pula jumlah binatang buas itu teramat banyak, hanya sekejap
saja Gerombolan Setan itu sudah terluka semua, baju robek dan darah mengucur,
tampaknya dalam waktu singkat mereka pasti akan dilalap habis oleh kawanan
binatang buas itu.
Ketika itu Kwe Yang melihat tiga ekor singa
jantan sedang mengkerubuti Toa-thau-kui, si Setan Kepala besar, godam besar
yang merupakan senjata andalannya itu sudah terjatuh, lengan kanannya tergigit
seekor singa dan tak dilepaskan.
Hanya tangan kiri saja yang masih terus
menghantam serabutan dan sekadar bertahan mati-mati-an terhadap terkaman kedua
ekor singa yang lain.
Teringat oleh Kwe Yang bahwa Toa-thau kui
itulah yang membawanya ke sini, sekarang orang terancam bahaya, ia menjadi
tidak tega, tanpa pikir ia lantas menanggalkan kopiah kulit yang dipakainya itu
serta dilemparkan ke atas kepala Toa-thau-kui, Kopiah kecil di atas kepala
besar, tentunya menggelikan rampaknya, bahkan kopiah itu bergoyang-goyang
hendak jatuh ke bawah.
Rupanya di waktu melatih kawanan binatang itu
kelima saudara Su itu selalu memakai kopiah kulit, serentak ketiga ekor singa
itu tidak menubruk dan menggigitnya lagi dan terus menyingkir pergi.
Dalam pada itu Kwe Yang sendiri telah
terkepung oleh empat ekor macan tutul, Keruan ia, ketakutan dan menjerit-jerit.
Saat itu Su Siok-kang sedang berusaha
merampas tongkat baja si Tiang-si-kui agar tongkat itu tidak banyak mengambil korban
kawanan binatang buas, Demi mendengar jeritan Kwe Yang ia menoleh dan terkejut,
tapi jaraknya dengan anak dara itu agak jauh dan sukar memberi pertolongan.
Aneh juga, begitu keempat ekor macan tutul
itu mendekati Kwe Yang, mereka tidak menerkam dan mencakamya, sebaliknya
seperti anjing piaraan saja mereka mengitari Kwe Yang sambil mengendusnya disertai
meng-gesek2kan tubuhnya pada anak dara itu, tampaknya seperti sudah kenal dengan
akrab sekali.
Kwe Yang sebenarnya sudah ketakutan dan
pasrah nasib, ia menjadi terkesiap ketika melihat macan tutul itu tidak bermaksud
jahat padanya, segera ia teringat kepada cerita ibu dan kakaknya bahwa waktu
bayinya dahulu dirinya pernah menetek pada induk harimau tutul, agaknya keempat
macan tutul itu mencium bau aneh pada tubuhnya tehingga menganggapnya sebagai
kaum sejenisnya.
Dengan takut-takut girang Kwe Yang lantas
berjongkok dan merangkul leher dua ekor macan tutul, dua ekor yang lain lantas
menjilati tangannya dan mukanya. Keruan Kwe Yang merasa kerih dan tertawa
terkikik.
Selama menjadi pelatih dan penjinak binatang
buas, belum pernah kelima saudara Su itu menyaksikan adegan aneh itu, keruan
mereka melongo heran.
Meski Toa-thau-kui sendiri dapat terhindar
dari bahaya berkat kopiah kulit, tapi melihat kesembilan saudara angkatnya
sukar lolos dari renggutan elmaut, betapapun ia takdapat mencari selamat
sendiri, Tanpa pikir ia terus memegang kopiah kulit dan dilemparkan kepada
Siau-kui, si perempuan berbaju serba merah, sambil berseru: “Kiu-moay, pakailah
kopiah ini dan lekas menyelamatkan diri!”
Siau-kui menangkap kopiah itu dan dilemparkan
kepada Tiang-si kui, serunya: “Toako, engkau saja menerjang keluar dahulu,
kelak berusaha lagi menuntut balas bagi kita!”
Tapi Tiang-si-kui juga lantas melangsir
kopiah itu kepada Siau bin-kui sembari berteriak: “Capte (adik kesepuluh), menuntut balas biarpun sepuluh tahun lagi juga
belum kasip, Engkau saja lekas lari, kakakmu ini sudah cukup umur dan sudah
bosan hidup!” Ternyata di antara mereka sangat setia satu sama lain, siapapun
tiiak mau meninggalkan kawannya untuk menyelamatkan diri sendiri.
Karena dikerubuti lima ekor serigala Siau-bin-kui tidak sempat
mengoper kopiahnya kepada saudara yang lain, sedangkan serigala terkenal rakus
dan buas, sekali merasakan darah, betapapun tidak mau tinggal pergi, meski
Siai-”nn-kui memegang kopiah itu, serigala2 itu masih belum mau meninggal kan mangsanya itu.
Tentu saja Siao-bin-kui mencaci maki dengan
gusar, namun wajahnya tetap tersenyum simpul.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara
suitan nyaring di atas, seorang berseru lantang: “Gerombolan Setan Se-san ingkar
janji, aku menunggu semalaman secara sia-sia, kiranya kalian sedang ribut
dengan kawanan binatang di sini!”
Girang sekali Kwe Yang mendengar ucapan itu,
pikirnya:
“Aha, Sin-tiau-hiap sudah datang” Waktu ia
mendongak, terlihat seorang berduduk di atas dahan pohon, di sebelahnya menangkring
pula seekor rajawali besar dan buruk rupa.
Orang itu memakai jubah panjang warna putih,
lengan baju kanan terselip pada ikat pinggang, nyata memang buntung lengannya,
Waktu memandang wajahnya, seketika Kwe Yang bergidik, air mukanya ternyata
pucat kaku seperti mayat, hakikatnya bukan air muka manusia hidup.
Banyak juga orang bermuka buruk dan
menakutkan, misalnya para Gerombolan Setan Se-san itu juga semuanya berwajahj penjahat, tapi tidak seburuk dan
menyeramkan seperti ini.
Sebelum ini dalam hati kecil Kwe Yang
membayangkan wajah Sin-tiau-hiap itu pasti cakap ganteng, kini ia menjadi sangat
kecewa melihat kejelekan mukanya itu, Tanpa terasa ia memandang sekejap lagi
padanya, terlihat sorot matanya memancarkan sinar tajam. Sinar mata tajam itu
sekilas mengerling ke arahnya dan tiba-2 terhenti sejenak seperti rada
menimbulkan rasa herannya.
Tanpa terasa wajah Kwe Yang menjadi merah
jengah dan tanpa kuasa menunduk malu, samar-samar ia merasa sang Sin-tiau-hiap
toh tidak terlalu buruk.
Sin tiau-hiap dihadapan Kwe Yang ini memang
betul Nyo Ko adanya, Selama 16 Tahun ini dia menunggu dengan menderita akan
bertemu kembali dengan Siao-liong-li, ia telah berkelana ke segenap penjuru dan
memberikan darma baktinya bagi sesamanya, karena dia selalu ditemani rajawali sakti
itu, maka didapatkanlah nama julukan “Sin-tiau-hiap”.
Ia merasa berdosa waktu mukanya telah banyak
digilai anak perempuan seperti Kongsun Lik-oh lelah binasa demi menolong
jiwanya, Thia Eng dan Liok Bu siang hidup merana karena patah hati ia pikir
kalau mukanya buruk, tentu takkan menarik perhatian anak perempuan itu. Sebab
itulah sekarang ia memakai kedok muka pemberian Oey Yok-su dahulu untuk menutupi
wajah aslinya.
Malam ini dia mestinya ada janji bertemu
dengan Gerombolan Setan Se-san di Te-ma-peng, tapi pihak lawan ternyata ingkar
janji dan tidak datang, sebab itulah ia lantas mencarinya malah dan kebetulan
dilihatnya apa yang terjadi di hutan ini.
Jiwa kesepuluh setan itu sebenarnya sudah
terancam di tengah kerubutan kawanan binatang buas sebanyak itu, kini mendadak
Yo Ko membuka suara pula sehingga bertambah lagi satu musuh tangguh bagi
mereka, keruan mereka menjadi putus asa dan yakin sekali ini jiwa mereka pasti
akan melayang semuanya.
Dalam pada itu terdengar Yo Ko berkata pula
dengan suara lantang: “Beberapa saudara ini mungkin adalah Su-si hengte dari
Ban-siu san-ceng? Silakan kalian berhenti dulu dan dengarkanlah perkataanku.”
“Kami memang she Su,” jawab Su Pek-wi, “Dan
siapakah tuan?” Tapi segera ia menambahkan “Ah, maaf agaknya tuan inilah
Sin-tiau-hiap?”
“Terima kasih, memang betul Cayhe adanya,”
sahut Nyo Ko. “Harap kalian lekas menghentikan amukan kawanan binatang buas
itu, kaiau terlambat sebentar lagi mungkin para setan gadungan ini akan berubah
menjadi setan sungguhan.”
“Ya, biar jadi setan sungguhan barulah kami
bicara denganmu,” ujar Su Pek wi.
Yo Ko mengernyitkan kening, katanya: “Tapi
Gerombolan Setan itu sudah ada janji pertemuan denganku lebih dulu, kalau
binatang kalian membinasakan mereka. lalu kepada siapa aku harus bicara lagi?”
Mendengar ucapan Yo Ko mulai kasar, Su Pek wi
menjengek, ia malah memberi aba2 agar kawanan binatang menyerang lebih ganas,
“Kalau kau sudah tahu aku ini Sin-tiau-hiap,
mengapa kau tidak ambil pusing kepada perkataanku?” bentak Yo Ko.
“Memangnya kalau Sin-tiau hiap lantas
bagaimana?” jawab Su Pek-wi dengan tertawa, “Kalau mampu boleh kau menghentikan
serangan kawanan binatang kami ini,”
“Baik,” kata Yo Ko. “Marilah, Tiau-heng, kita
turun!”
Habis berkata, bersama rajawali raksasa itu
mereka lantas melompat ke bawah. sebelum Yo Ko dan rajawali itu menyentuh
tanah, kawanan binatang sudah lantas meraung dan menubruk maju, Tapi sekali
sayap rajawali itu menyabet ke kanan dan menyampuk ke kiri, kontan beberapa
ekor binatang yang lebih kecil seperti serigala dan sebagainya lantas
berjungkal, Seekor singa dan seekor harimau mengaum murka dm menubruk tiba,
kembali sayap rajawali menyabet, bukan main kekuatannya, singa dan harimau itu
sama terguling dan tak mampu mendekati lagi.
Menyusul sayap yang lain menyabet pula,
kontan kepala seekor macan tutul hancur berantakan. Melihat kesaktian rajawali
itu, kawanan binatang buas yang lain menjadi ketakutan dan tak berani menyerang
pula, semuanya mendekam di kejauhan sambil mengeluarkan suara menggereng.
Su Pek-wi menjadi gusar, segera iu memapaki
Yo Ko, tangannya seperti cakar macan itu terus mencengkeram ke dada lawacu
Namun Yo Ko telah sedikit mengebas lengan baju kanan yang kopong itu, “bluk”,
dengan tepat kedua pergelangan tangan Su Pck-wi tersabet dan menimbulkan rasa sakit
tidak kepalang seperti dipotong pisau, tanpa tertahan ia menjerit.
Dengan langkah tertahan Su Siok-kang
mendekati Yo Ko, kedua tangannya menyodok lurus ke depan.
“Bagus!” sambut Yo Ko sambil tersenyum dan menjulurkan
telapak tangan kiri untuk memapak serangan lawan, ia hanya menggunakan tiga
bagian tenaganya saja.
Maklumlah, selama belasan tahun dia
menggembleng diri di tengah amukan ombak sanudera, kalau dia mengeluarkan tenaga
penuh, jangankan tubuh manusia, sekalipun batang pohon dan dinding tembok juga
akan runtuh dihantamnya.
Namun Su Siok kiang juga pernah mendapat
ajaran orang koscn, tenaga dalamnya juga lain daripada yang lain, begitu beradu
tangan, tubuhnya tergeliat, tapi tidak tergerar mundur.
“Awas!” seru Yo Ko memperingatkan sambil mengerahkan
tenaga.
Seketika pandangan Su Siok-kang menjadi gelap
dan mengeluh jiwanya sekali ini pasti melayang.
Untung pada saat gawat itulah tiba-tiba Yo Ko
berkata: “Ah, kau sedang sakit!” — Berbareng itu tenaga yang maha dahsyat
seketika hilang sirna.
Lolos dari renggutan elmaut, Su Siok-kang
menjadi melenggong dan tak dapat berkata apa-apa.
Su Pek wi, Su Tiong beng dan lain-lain
mengira Su Siok-kang terluka dan tak bisa bergerak, mereka menjadi cemas dan
gusar, serentak mereka menerjang Yo Ko. Tepat pada waktu yang sama seekor
harimau juga menubruk dari sebelah sana. Tapi sekali meraih, dapatlah Yo Ko
mencengkeram leher raja hutan itu, binatang buas ini lantas digunakan sebagai senjata untuk menangkis serangan pipa
perak Su Tiong-beng dan gada baju Su Ki-kiang. sedangkan cakar macan malah
terus mencakar muka Su Pek-wi dan Su Beng- ciat.
Belasan tahun yang lalu Yo Ko sudah pernah menggunakan
pedang yang beratnya lebih 70 kati, sekarang memegangi tubuh harimau yang
besar, beratnya paling-paling juga cuma seratusan kati, maka enteng saja
baginya.
Karena lehernya terpegang, harimau itu
menjadi rnurka dan tidak kenal lagi sang majikan, cakarnya terus menggaruk dan
mulutnya menggigit, Dalam keadaan demikian Su Pek-wi dan Su Beng-ciat
menjadi kelabakan juga meski biasanya selalu berkawan dengan binatang buas.
Menyaksikan pertarungan itu, Kwe Yang
bersorak gembira, teriaknya. “Hebat sekali Sintiau-hiap!” Nah, kalian mengaku kalah
tidak, Su-keh-hengte?”
Yo Ko memandang sekejap pada anak dara itu,
ia tidak tahu siapakah Kwe Yang ini, anehnya anak dara itu berkawan dengan
macan tutul, tapi sekarang mengolok dan mengejek kelima saudara Su pula.
Sementara itu Su Siok-kang telah mengatur pernapasannya
dan terasa lancar tanpa gangguan apapun, ia tahu Sin-tiau-hiap ini sengaja
bermurah hati dan tidak ingin melukainya tadi, diam-diam iapun mengakui kalau berdasarkan
kepandaian sejati biarpun mereka berlima mengerubutnya sekaligus juga bukan
tandingannya.
Saat itu kelihatan keempat saudaranya sedang mengerubuti
Yo Ko, segera ia berseru: “Para kakak dan adik, lekas berhenti, kita harus tahu
diri.”
Mendengar itu, Koan-kian-cu Su Tiong-beng
mendahului menarik kembali pipanya dan melompat mundur sedangkan Tay-Iik-sin Su
Kt-kiang adalah orang yang lebih sembrono, ia anggap sepele seruan saudaranya
itu.
“Tahu diri apa? Rasakan dulu gadaku ini!”
demikian ia pikir, segera kedua tangan memegang gada terus. Mengepruk kepala Yo
Ko dengan gaya
“Ki-siang-kay-san” atau gajah raksasa menggugur gunung, jurus ini ditirunya
dari cara gajah menggunakan belalainya
menghantam sesuatu benda, pukulan dahsyatnya dapatlah dibayangkan.
Namun Yo Ko juga tidak menghindar ia
lenparkan harimau yang dipegangnya itu, tangan kiri terus membalik ke atas, sekali
meraih dapatlah ujung gada belalai gajah lawan ditangkapnya, kata-nya: “Marilah
kita coba-2 tenaga siapa lebih kuat?” Sekuatnya Su Ki-kiang berusaha menekan ke
bawah, tapi gada itu berhenti di atas kepala Yo Ko dan tidak dapat menurun
lagi.
“Berhenti, Site! jangan
kurang adat!” seru Su Siok-kang pula.
Sekuatnya Su Ki-kiang lantas membetot dengan
maksud hendak menarik kembali gadanya, namun gada itu seperti mclengket saja di
tangan Yo Ko, sedikitpun tak bisa bergerak, Berulang-ulang Su Ki-kiang membetot
dan tetap tidak berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar