Rabu, 05 Desember 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 101





Kembalinya Pendekar Rajawali 101

 “Jimoay, kenapa kau sembarangan percaya kepada obrolan orang?” seru si nyonya cantik. “llmu silat orang itu memang tinggi, tapi kalau dibandingkan ayah masih terlalu jauh, padahal orang itupun sudah pernah kau lihat, malahan dia pernah memondong kau.”
Air muka si anak dara menjadi merah jengah, semprotnya: “Cis, mengapa Taci juga sembarangan omong, siapa mau percaya?”
“Kalau tidak percaya, setelah pulang nanti boleh kau Tanya ayah dan ibu,” kata si nyonya cantik.
“Apa yang dikatakan Sin-tiau-hiap itu sebenarnya she Nyo bernama Ko, waktu kecilnya juga pernah tinggal di Tho-hoa-to kita, Lengannya yang buntung itu justeru… justeru… Waktu kau baru lahir dia sudah lantas memondong kau-”
Kiranya nyonya cantik ini bukan lain daripada Kwe Hu dan anak dara itu adalah Kwe Yang, sedang pemuda itu adalah adik kembar Kwe Yang, Kwe Boh-lo.
Ketiga kakak beradik ini disuruh ayah-bundanya ke Cinyang untuk mengundang Khu Ju-ki, itu tokoh tertinggi Coan-cin-kau pada masa itu, untuk memimpin Eng-hiong-tay-hwe (pertemuan besar para pahlawan) yang akan diadakan di Siang-yang. Hari itu mereka bertiga baru pulang dari Cin-yang, setiba di tempat penyeberangan ini merekapun teralang oleh cuaca yang buruk dan masuk ke hotel itu sehingga dapat mendengarkan cerita orang-orang tadi mengenai Sin-tiau-hiap, si pendekar sakti rajawali alias Yo Ko itu.
Dengan cepat 16 tahun berlalu dan sementara itu Kwe Hu sudah menikah dengan Yalu Ce, Kwe Yang dan Kwe Boh-lo juga sudah besar.
Kwe Yang berseri-seri mendengar ucapan Kwe Hu tadi, ia bergumam sendiri: “Begitu aku lahir sudah pernah dipondong olehnya.” ia berpaling dan tanya sang Taci: “Cici bilang waktu kecilnya Sin-tiau-hiap pernah tinggal di Tho-hoa-to kita, mengapa belum pernah kudengar hal ini dari ayah dan ibu?”
“Kau tahu apa?” sahut Kwe Hu. “Masih banyak soal lain yang tidak diceritakan padamu oleh ayah ibu.”
Kiranya tentang buntungnya Yo Ko serta keracunannya Siao-Iiong li, karena semua itu akibat tindakan Kwe Hu yang ceroboh, setiap kali kejadian itu disinggung selalu menimbulkan amarah Kwe Ceng, meski Kwe Hu sudah dewasa dan sudah menikah, tetap Kwe Ceng mendamperatnya tanpa kenal ampun.
Sebab itulah setiap anggota keluarga tidak suka menyinggung lagi selama beberapa tahun ini sehingga Kwe Yang dan Kwe Boh-lo tidak pernah mendengar orang bercerita kisah si Yo Ko.
“lika begitu, kan dia mempunyai hubungan erat dengan keluarga kita, mengapa selama ini dia tak pernah datang ke rumah kita?” kata Kwe Yang. “Ah, pada Eng-hiong-thay-hwe yang akan diadakan di Siangyang tangggal 15 bulan tiga nanti Sin-tiau-hiap itu pasti akan hadir.”
“Tindak tanduk orang itu sangat aneh dan wataknya juga angkuh, belum tentu dia mau datang,” ujar Kwe Hu.
“Cici, kita harus berusaha mencari jalan untuk menyampaikan kartu undangan padanya,” kata Kwe Yang.
Lalu ia berpaling kepada lelaki kekar tadi: “Song-toasiok, dapatkah kau menyampaikan surat kepada Sin-tiau-hiap?”
Orang she Song itu menggeleng dan menjawab: “Sin-tiau-hiap menjelajahi seluruh jagat, jejaknya sukar diketemukan untuk mencarinya tidaklah mudah.”
Kwe Yang sangat kecewa, dia benar-benar sangat tertarik oleh kisah keluhuran budi dan kepahlawanan Sin-tiau-hiap, sungguh ia ingin bisa bertemu dengan pendekar rajawali sakti  itu, ia merasa gegetun bahwa Sin-tiau-hiap yang dikaguminya itu tak dapat hadir pada Eng-hiong-thay-hwe nanti.
Katanya kemudian sambil menghela napas: “Ai, orang yang hadir nanti belum tentu semuanya ksatria sejati, sebaliknya ksatria sejati belum tentu mau hadir ke sana.”
“Bluk”, mendadak terdengar suara gedebuk yang keras, seorang mendadak melompat berdiri dari pojok ruangan sana, rupanya orang yang sejak tadi tidur meringkuk itulah. Segera semua orang merasa ada suara gemuruh laksana bunyi guruh, kiranya orang itu sedang berkata.
“Apa sulitnya jika nona ingin menemui Sin-tiau-hiap, biarlah malam ini juga akan kubawa kau untuk menjumpai beliau.”
Memangnya semua orang terkaget oleh suara orang yang gemuruh keras itu, apalagi setelah melihat jelas bentuk tubuh dan wajahnya, semua orang tampak heran. Kiranya perawakan orang itu tidak lebih dari satu meter, tubuhnya juga kurus kecil namun kepalanya yang besar, telapak tangannya dan telapak kakinya ternyata jauh lebih besar dari pada orang biasa.
Sejak tadi dia meringkuk di pojok ruangan sehingga tidak diperhatikan oleh siapapun juga, siapa tahu begitu dia berdiri ternyata bentuknya begini aneh dan lucu.
Dengan girang Kwe Yang lantas menanggapi ajakan orang aneh itu: “Bagus jika engkau mau membawaku ke sana, Cuma selamanya aku tidak kenal Sin tiau-hiap, entah beliau mau menemui aku atau tidak?”
“Tapi kalau malam nanti kau tidak menemui dia, selanjutnya mungkin kau takkan dapat melihat dia lagi,” kata orang cebol itu dengan suaranya yang mengguruh.
“Sebab apa?” tanya Kwe Yang heran. Kwe Hu lantas berdiri dan tanya si cebol: “Mohon tanya siapakah namamu yang terhormat?”
“Hehehe!”
“orang pendek itu ter-kekek2, katanya “Orang buruk rupa macamku ini masakah di dunia ini ada keduanya? Kalau kau tidak kenal diriku, pulang saja tanya kepada ayah-ibumu.”
Pada saat itulah sayup-sayup terdengar suara seruan berkumandang dari jauh: “Komplotan setan dari Se-san, sepuluh sudah datang sembilan. Wahai Hong thian-fui, kau tidak datang sekarang, mau tunggu sampai kapan?”
Suara sayup-sayup itu seperti terputus lalu bersambung pula, lirih dan seram kedengarannya, tapi sekata demi sekata dapat terdengar dengan jelas.
Si cebol melongo sejenak, mendadak ia menggertak keras-keras, debu pasir lantas berhamburan disertai percikan pecahan batu dan genting. Semua orang sama memejamkan mata dan waktu membuka mata lagi ternyata si cebol sudah menghilang entah ke mana.
Semua orang terkejut, waktu menengadah, tertampak atap rumah telah berlubang besar, Kiranya orang cebol itu menerjang keluar dengan menjebol atap.
“Lihay benar orang itu, cici,” kata Kwe Boh-lo.
Kwe Hu sudah cukup berpengalaman dan banyak tokoh persilatan yang dikenalnya, tapi betapa lihay kepala si cebol ini belum pernah dia dengar dari ayah-ibunya, seketika iapun melenggong dan tak dapat menanggapi ucapan adiknya itu.
Kwe Yang lantas nyeletuk: “Di antara guru2 yang pernah mengajar ayah juga ada seorang pendek bernama Ma-ong-sin Han Pok-ki. Sam-te sembarangan menyebut orang sebagai si cebol, kalau didengar ayah tentu beliau akan marah. Kau harus menyebutnya sebagai Locianpwe.”
Belum lagi Kwe Boh-lo menjawab, tiba-tiba terdengar pula suara “blang” yang keras, seketika debu pasir bertebaran Iagi, malahan muka beberapa orang terkena cipratan batu kerikil dan menjerit kesakitan.
Di tengah suara ribut itulah tahu-tahu terlihat si cebol tadi sudah berdiri pula di tengah ruangan, dinding sebelah timur sana telah bobol suatu lubang setinggi tatu meteran dan lebarnya lebih setengah meter. Kiranya orang cebol ini menerjang masuk dengan menjebol dinding.
Ilmu silat Kwe Hu sekarang sudah tentu jauh lebih tinggi daripada belasan tahun yang lalu, tapi tidak urung iapun terkejut melihat kelihayan Nge-kang (kekuatan luar) si cebol, cepat ia melompat maju mengadang di depan kedua adiknya untuk menjaga kalau-kalau si cebol mendadak menyerang.
Orang cebol itu menjulurkan kepalanya yang sebesar gentong itu dan melongok ke belakang Kwe Hu, katanya kepada Kwe Yang: “Eh, nona cilik, kalau kau ingin bertemu dengan Sin-tiau-hiap, marilah ikut padaku.”
“Baiklah!” jawab Kwe Yang tanpa pikir, “Hayo Taci dan Samte, kita pergi bersama.”
“Ah, untuk apa menemui dia? Kau jangan pergi, apalagi kita belum pernah kenal tuan ini,” ujar Kwe Hu.
“Kupergi sebentar dan segera kembali, kalian tunggu saja di sini,” kata Kwe Yang.
Mendadak orang she Song tadi berbangkit dan berseru: “Nona cilik, sekali-sekali kau jangan pergi. Orang ini… orang ini adalah tokoh gerombolan setan dari Se-san, jika kau ikut pergi, besar, . . besar kemungkinan akan celakai “Hehehe, kau juga tahu gerombolan setan dari Se-san?” si cebol mengekek tawa, “Maksudmu kami adalah orang jahat?”
Habis itu sebelah tangannya mendadak menyodok ke depan, belum tangannya menyentuh tubuh Song Ngo, tahu-tahu tubuh Song Ngo sudah tergetar mundur dan menumbuk dinding, seketika mukanya pucat, kedua kaki lemas dan terkulai ke lantai, kepalanya bergelantungan lemas di depan
dada, entah sudah mati atau masih hidup.
Kwe Hu menjadi gusar, walaupun tahu kepandaian si cebol lebih tinggi juga tidak boleh kena digertak hingga diam saja, segera ia berteriak: “Engkan silakan pergi saja, Adikku masih kecil, mana boleh mengikuti kau kian kemari di tengah malam buta?”
Pada saat itu pula suara sayup-sayup terputus2 tadi berkumandang pula: “Gerombolan setan dari Se-san sepuluh sudah datang sembilan, Hong-thian-lui, wahai Hong-thian-lui, arwahmu tidak muncul, orang sudah Iama menunggu!”
Suara itu kedengaran sangat jauh, tiba-tiba seperti sangat dekat dan mengiang di kanan-kiri sehingga membuat merinding orang.
Kwe Yang sudah bertekad harus bertemu dengan Sin-tiau-hiap sekalipun nanti akan kepergok setan iblis, maka segera ia menjawab: “Baiklah, Cian-pwe, bawalah aku!”
Berbareng ia terus melompat ke sana dan menerobos keluar melalui lubang dinding yang dibobol si cebol tadi.
“He, kau!” seru Kwe Hu sambil meraih tangan sang adik, tapi luput, cepat iapun melompat ke sana hendak mengejar keluar melalui lubang dinding.
Siapa tahu baru saja tubuhnya hendak menerobos keluar, mendadak lubang dinding itu menghilang. Untung kepandaian Kwe Hu kini sudah cukup sempurna dan dapat mengendalikan tubuh sendiri sesuka hati, cepat ia anjiok ke bawah sehingga daya terobosnya tadi dihentikan seketika, begitu kakinya menyentuh lantai, ternyata dirinya tepat berdiri di depan dinding, jaraknya cuma belasan senti saja. Waktu ia dapat melihat jelas, hampir saja ia menjerit kaget.
Ternyata tubuh si cebol tadi dengan tepat terisi di lubang dinding itu, kepalanya yang besar dan bahunya yang lebar itu persis seperti dicetak pada dinding itu. Kwe Hu berdiri berhadapan dengan makhluk aneh bermuka buruk itu, malahan tadi mukanya hampir mencium muka si cebol, keruan
saja ia terkejut, cepat ia melompat mundur lagi Segera terasalah angin dingin meniup, dinding itu kembali berlubang bentuk tubuh manusia cebol lagi, tapi si cebol sendiri sudah menghilang.
“Jimoay, kembali!” seru Kwe Hu sambil menerobos keluar, didengarnya suara tertawa keras di kejauhan, mana ada bayangan si Kwe Yang cilik?
Rupanya setelah si cebol menggertak mundur Kwe Hu, segera pula ia melompat keluar dan mendekati Kwe Yang, katanya: “Bagus, nona cilik sungguh pembrani!”
Segera ia pegang tangan Kwe Yang dan diajak melompat ke depan, sekali lompat dua-tiga meter jauhnya, jangan dikira orang cebol itu kakinya cekak, lompatannya ternyata sangat jauh dan cepat lagi, yang digunakan ternyata adalah Ginkang yang lain daripada yang lain, seperti katak saja ia terus
melompat2 ke depan, biarpun membawa serta Kwe Yang, namun gerak-geriknya tetap sangat lincah dan enteng.
Tangan Kwe Yang yang digenggam si cebol itu rasanya seperti dijepit oleh tanggam sehingga terasa sakit, hatinya menjadi berdebar kuatir, entah dirinya hendak dibawa ke mana oleh orang cebol ini?
Sejak kecil Kwe Yang langsung mendapat didikan dari Kwe Cing dan Oey Yong, dasarnya anak dara itu pintar dan cerdik, semula ia masih sanggup mengikuti lompatan orang cebol itu, tapi lama2 ia menjadi lelah dan perlu ditarik dan diangkat baru dia dapat sama naik dan sama turun dengan si cebol.
Setelah berlompatan begitu beberapa li jauhnya, tiba-tiba dari balik bukit sana ada orang tertawa dan berkata dengan suara halus: “Hai, Hong-thian-lui, mengapa kau dating terlambat? Eb, malahan kau membawa anak dara secantik itu!”
“Nona cilik ini adalah puteri Kwe Ceng dan ingin melihat Sin-tiau-hiap, maka aku membawanya kemari,” kata si cebol.
“Puteri Kwe Ceng?” orang tadi menegas dengan melengak.
Dari bukit sana suara seorang lagi berkata: “Sudah lewat  tengah malam, lekas berangkat!” Menyusul mana terdengarlah suara derapan kuda lari yang riuh, dari balik bukit lantas muncul belasan ekor kuda.
Sementara itu salju masih terus turun dengan lebatnya, dari pantulan cahaya salju itu dapatlah Kwe Yang melihat belasan ekor kuda itu seluruhnya ada sembilan penunggang kuda yang berlainan bangun tubuh masing-masing, ada yang tinggi dan ada yang pendek, ada lelaki dan juga ada perempuan, sebagian besar kuda itu tanpa penunggang malah.
Si cebol tadi mendekat ke sana dan menuntun dua ekor kuda, seekor diserahkannya kepada Kwe Yang, ia sendiri menunggang seekor, lalu membentak: “Hayo berangkat!”
Sekali bersuit, ber-bondong-bondong belasan ekor kuda itu terus membedal cepat ke arah barat laut.
Dari bentuk tubuh kesembilan orang itu Kwe Yang melihat jelas dua di antaranya adalah perempuan, yang satu kelihatan sudah tua renta, seorang lagi berpakaian merah membara sehingga sangat menyolok di tanah salju yang putih bersih itu.
Wajah ketujuh orang lainnya tidak jelas, hanya perawakan seorang di antaranya sangat tinggi kurus sehingga mirip tiang bendera terpancang di atas pelana kuda.
Rombongan mereka terus mengaburkan kuda dengan cepat, setelah belasan li mereka lantas berganti kuda tunggangan agar kuda yang pertama dapat mengaso.
Diam-diam Kwe Yang membatin: “Dari suara sayup-sayup yang terdengar tadi katanya gerombolan setan Se-san sepuluh sudah datang sembilan, kini termasuk si cebol tadi jumlah mereka memang sepuluh, Tampaknya mereka inilah yang disebut gerombolan setan dari Se-san.

Menurut Song-toa siok tadi, katanya besar bahayanya jika aku ikut mereka dan si cebol terus hantam paman Song itu hingga sekarat, kelihatannya orang-orang ini sangat kejam.
Tapi orang cebol itu mengatakan hendak membawaku menemui Sin-thay-hiap, agaknya ucapannya juga tidak dusta, Kalau mereka kenal Sin-tiau-hiap, kukira mereka pasti bukan orang jahat.”
Dalam sekejap saja belasan li sudah berlalu pula, orang yang paling depan mendadak bersuara dan belasan ekor kuda itu serentak berhenti Orang di depan itu lantas melarikan kudanya ke suatu tempat yang tinggi, lalu memutar balik, Kwe Yang menjadi terkejut dan geli pula melihat wajahnya. Kiranya orang ini juga seorang cebol, tubuh yang berada di atas kuda tidak lebih daripada setengah meter, tapi jenggotnya yang panjang itu ada satu meteran sehingga melambai ke bawah perut kuda, mukanya berkeriput kedua alis terkerut seperti orang yang selalu bersedih.
“Dari sini ke To-ma-peng tidak lebih 30 li saja,” terdengar orang tua itu berkata, “konon ilmu silat Sin-tiau-hiap itu sangat tinggi, sebaiknya kita berunding dahulu agar gerombolan setan dari Se-san tidak kehilangan pamor.”
“Silakan Toako memberi petunjuk saja,” ujar si perempuan tua tadi.
“Apakah kita harus bertempur secara bergiliran dengan ia atau mengerubutnya sekaligus?” tanya orang tua cebol berjenggot panjang itu.
Kwe Yang terkejut pula, dari nada pembicaraan orang-orang ini jelas mereka hendak memusuhi Sin-tiau -hiap.
Terdengar perempuan tua tadi berkata: “Sebenarnya Sin-tiau-hiap itu memang mempunyai kepandaian sejati atau cuma bernama kosong belaka? Dalam hal ini, Jit-te, hanya kau yang pernah berjumpa dengan dia, coba kau member keterangan sekedarnya!”
Seorang laki-laki tinggi besar lantas berkata: “Meski pernah kulihat dia, tapi aku tidak sampai bergebrak dengan dia kukira…. kukira dia memang rada-rada…”.
“Jit-ko,” tiba-tiba perempuan berpakaian merah ikut bicara, “sebab apa kau sampai bermusuhan dengan Sin-tiau-hiap, hendaklah kau jelaskan lebih dulu agar nanti kalau bertarung juga kita sudah mempunyai pegangan.”
“Gerombolan setan dari Se-san selamanya sehidup-semati, kalau Sin-tiau-hiap itu sudah mengeluruk ke sini, apakah kita harus mengkeret dan menyingkir?”
Lelaki yang bertubuh tinggi kurus seperti lidi itu berkata: “Siapa yang bilang menyingkir? Andaikan Kiu-moay (adik kesembilan) tidak tanya juga, aku ingin tahu apa sebabnya kau bermusuhan dengan dia, soalnya kita kan tidak merasa bersalah dan mengapa dia sesumbar hendak mengusir gerombolan setan Se-san keluar wilayah Soasay ini?”
“lni, coba lihat, dia telah memotong sepasang daun telingaku, kalau sakit hati ini tidak dibalas, lalu persaudaraan apalagi diantara kita?” teriak lelaki besar tadi dengan gusar, berbareng ia terus menarik kopiahnya sehingga kelihatan kedua sisi kepalanya itu halus licin tanpa kuping.
Kesembilan orang yang lain dari “Gerombolan setan Se-san” itu menjadi gusar, beberapa diantaranya lantas mengumpat, ada yang berjingkrak murka dan menyatakan hendak melabrak Sin-tiau-hiap dengan mati-matian.
“Jit-ko,” si perempuan baju merah berkata pula, “sebab apa dia memotong daun telingamu? Apa kesalahanmu?
Tentunya kau menggoda wanita keluarga baik-baik lagi, bukan?”
Seorang yang berwajah selalu tertawa berkata dengan gusar: “Sekalipun Jit-ko memang menggoda wanita keluarga baik-baik juga tidak perlu diurusi orang lain.”
Wajah orang ini sangat aneh, meski sedang gusar toh air mukanya yang tertawa itu tidak menjadi berubah. Waktu Kwe Yang mengamati lebih teliti, kiranya bibir orang itu menjengkit ke atas, kedua matanya kecil, maka biarpun sedang sedih atau menangis juga tampaknya sedang tertawa riang.
Lelaki tadi menjawab: “Tidak, tidak! Soalnya waktu itu isteriku bercekcok dengan keempat gundikku mengenai urusan tetek-bengek, dari ribut mulut akhirnya saling cakar-cakaran dan main pisau segala,
KebetuLan apa yang disebut Sin-tiau-hiap itu lalu, dasar orang itu memang suka ikut campur urusan orang lain, dia berusaha melerai pertengkaran itu.
Sungguh brengsek, gundikku yang ketiga itu tersenyum padanya.
“O, tahulah aku, Jit-ko lantas cemburu, bukan?” tukas si perempuan berbaju merah.
“Cemburu gimana? Soalnya aku tidak ingin urusan rumah-tanggaku dicampur-tangani orang luar,” kata lelaki itu, “Sekali jotos tiga gigi gundikku itu kurontokkan, lalu si buntung sialan itu lantas kusuruh enyah.”
Sampai di sini, Kwe Yang takdapat menahan rasa dongkolnya, segera ia menanggapi: “He, maksudnya kan baik, mengapa kau berlaku kasar padanya? jelas dalam urusan ini kau yang salah.”
Semua orang berpaling memandang anak dara, itu, sama sekali mereka tidak menduga nona secilik itu berani ikut bicara.
Lelaki itu menjadi rnarah dan membentak. “Sialan! kau anak sekecil ini juga berani menggurui aku?
Go-ko, anak dara ini apamu?”
“Dia ingin melihat Sin-tiau-hiap dan aku membawanya ke sana, urusan lain aku tidak peduli,” jawab si cebol kepala besar tadi.
“Baik, jika begitu akan kuajar adat padanya,” kata lelaki kekar itu, tarrrr, segera cambuknya menyabet kepala Kwe Yang, Cepat Kwe Yang menangkis dengan cambuknya sehingga kedua cambuk terlibat menjadi satu. Waktu lelaki itu membetot sekuatnya, seketika Kwe Yang merasa ditarik oleh suatu tenaga yang dahsyat dan terpaksa melepaskan pegangannya. setelah berhasil merampas cambuk Kwe Yang, segera cambuk lelaki tadi hendak disabetkan lagi.
Syukur si cebol berjenggot panjang tadi lantas berseru: “Jit-te, kita harus cepat berangkat, untuk apa mengurusi seorang anak kecil?”
Lelaki itu merandek, cambuk yang sudah terangkat ke atas itu tidak jadi dihantamkan. Si kakek jenggot panjang lantas menjengek: “Hm, gerombolan setan dari Se-san adalah tokoh yang tidak gentar pada langit dan takut pada bumi, betapapun nyaring tersohornya Kwe Ceng dan Oey Yong juga tak dapat menggertak kami. he, anak dara, jika kau berani banyak omong lagi segera kami sembelih kau.”
Lalu dia berpaling dan berkata pula, “Jit te, lelaki sejati berani berbuat berani tanggung jawab, kalau jatuh harus cepat merangkak bangun, Jenggot ku yang panjang ini dahulu juga pernah dipotong orang, Kedua kupingmu itu cara bagaimana dipotong orang?”
“Ketika kusuruh Sin-tiau-hiap itu enyah, dia juga tidak membantah. ia malah tertawa saja terus melangkah pergi,”
demikian tutur lelaki kekar tadi, “Sungguh sialan, tiba-tiba gundikku yang keempat berteriak-teriak dan menangis, katanya dia kupaksa menjadi gundik dan hidup tersiksa, kini dianiaya pula oleh isteri tua, mendengar itu mendadak Sin-tiau-hiap memutar balik dan tanya padaku: “Apakah benar perkataannya itu?”
“Dengan mendongkol kujawab: “Kalau betul mau apa dan kalau tidak betul lantas bagaimana? Aku berjuluk Sat-sin-kui (setan elmaut), selamanya membunuh orang tanpa kenal ampun, tahu tidak kau?”
Dengan kurang senang dia berkata: “Jika kau suka padanya, mengapa sudah kawini dia lalu mengambil lagi perempuan lain? Kalau tidak suka padanya, mengapa tadinya kau menikahi dia?”
“Aku bergelak tertawa dan berkata: “Semula memang suka padanya, sesudah bosan lantas tidak suka lagi, Lelaki mempunyai tiga isteri atau empat gundik adalah kejadian biasa, kenapa mesti heran? Hahaha, malahan aku hendak mengambil tiga gundik lagi.”
Dia lantas mengomel “Jika manusia tak berbudi dan tidak setia macam kau bertambah banyak lagi di dunia ini, bukankah semua perempuan di dunia ini akan kecewa terhadap kaum lelaki?” -
Habis berkata mendadak ia menubruk maju dan melolos belatiku, sekaligus kedua kupingku dipotong, lalu belati mengancam di depan dadaku dan membentak ” Akan kukorek hatimu, ingin kulihat warna apakah hatimu ini!”
Tentu saja aku mati kutu… untunglah isteri dan para gundikku itu lantas berlutut dan memohonkan ampun padanya, malahan gundik ketiga dan keempat itu menangis me-raung2. Hm, sungguh memalukan, benar-benar memalukan Aku menjadi gusar dan berteriak: “Lekas kau turun tangani jika kau membunuh aku, arwah gerombolan setan Se-san pasti senantiasa akan mengisari kau.”
Dia mengerut kening dan berkata kepada perempuan2ku itu: “Manusia tak berbudi begini, masakah kalian malah mintakan ampun baginya?”
Perempuan2ku itu tidak msnjawab melainkan terus menyembah, Dia lantas berkata pula: “Baiklah! Sekarang kuam-puni kau. Tapi akupun tidak gentar terhadap gerombolan setan dari Se-san itu. Pada akhir bulan ini akan kunantikan kalian di To-mo-peng, boleh kau undang seluruh gerombolan itu untuk menemui aku di sana. Kalau tidak berani datang, sekaligus kalian harus enyah dari wilayah Soasay dan tak oleh kembali ke sini selamanya.”
Selesai lelaki kekar itu menutur, semua orang sama terdiam. selang sebentar barulah perempuan tua tadi bertanya: “Senjata apa yang digunakannya? Dari aliran manakah ilmu silatnya?”
“Lengan buntung sebelah, dia tidak memakai senjata apa-apa,” tutur si lelaki tadi, “Mengenai aliran ilmu silatnya, tampaknya… tampaknya sukar diketahui.”
Perempuan tua tadi berkata pula: “Toako, sekali gebrak saja orang itu lantas membikin jit-te tak bisa berkutik. Tentu kepandaiannya sangat lihay, Kita harus mengerubutnya saja, Toako menghadapi dari depan, biarlah aku dan Go-te menyerang dari samping, dengan tiga lawan satu masakah kita kalah? sebaiknya kita harus menyerang dengan cepat sekaligus membinasakan dia.”
Kakek jenggot panjing merenung sejenak, katanya kemudian: “Nama Sin-tiau-hiap itu sangat termashyur, pertarungan nanti sungguh luar biasa, Biarlah kita mengerubutnya secara ber-ramai-ramai dan mengerahkan segenap tenaga dan senjata yang kita punyai.
Selama gerombolan kita bersatu belum melabrak orang dengan maju sepuluh orang sekaligus dan baru sekarang terjadi untuk pertama kali ini, kalau sudah begitu kita masih belum dapat membinasakan dia, maka biarlah kita bersepuluh ini dari setan bayangan menjadi setan sungguhan saja.”
Tiba-tiba si kakek cebol kepala besar tadi ikut bicara: “Toako, kita bersepuluh mengeroyok dia seorang, kalau menang rasanya juga kurang terhormat, jika tersiar juga akan ditertawakan orang-orang Kangouw.”
“Bila Sin-tiau-hiap itu dapat kita bunuh, kecuali anak dara ini kukira tiada orang lain lagi yang tahu,” ujar si nenek tadi.
Baru selesai uca-pannya, dengan pelahan iapun mengangkat tangannya.
Cepat si cebol kepala besar mengadang di depan Kwe Yang sambil mengebaskan lengan baju-nya, menyusul dari lengan bajunya dicabutnya sebuah jarum lembut, katanya: “Jici, aku yang membawa anak dara ini kemari, janganlah mencelakai dia.” Lalu ia berpaling dan berkata kepada Kwe Yang. “Nona Kwe, jika kau ingin melihat Sintiau-hiap, kejadian malam ini jangan sekali-sekali kau ceritakan kepada orang lain, Kalau tidak, boleh kau pulang sekarang saja.”
Ngeri dan gusar pula Kwe Yang, ia pikir nenek itu sungguh amat keji, kalau bukan paman cebol itu menoIongnya, mungkin dirinya sudah binasa tertusuk oleh jarum yang lembut dan tanpa suara itu. Segera iapun menjawab “Baiklah, takkan kuceritakan kepada siapapun juga. “
Lalu ditambahkannya: “Kalian bersepuluh, masakah Sintiau-hiap sendiri tidak mempunyai pembantu?”
Si cebol kepala besar bergelak tertawa, katanya: “Sudah belasan tahun Sin-tiau-hiap itu berkecimpung di Kangouw dan tak pernah terdengar dia membawa pembantu, yang ada cuma seekor rajawali yang senantiasa mendampingi dia.”
Habis berkata, “tarrr!” cambuknya menggeletar di udara dan membentak: “Hayolah berangkat!”
Setelah berlari sekian jauhnya, orang cebol itu berkata pula kepada Kwe Yang: “Sebentar kalau sudah saling gebrak, jangan sekali-sekali kau menjauhi aku.”
Kwe Yang mengangguk ia tahu gerombolan setan dari Se-san ini ada sebagian sangat jahat dan tidak kenal ampun, bisa jadi mendadak dirinya diserang dan si cebol kepala besar ini tidak sempat menolongnya.
Diam-diam iapun berkuatir bagi Sin tiau-hiap yang akan dikerubut kesembilan orang ini, betapapun tinggi kepandaian pendekar rajawali sakti itu apakah sanggup satu lawan sepuIuh? ia pikir kalau ayah- ibunya berada di sini tentu segalanya akan beres, beliau2 pasti takkan tinggal diam saja menyaksikan pertarungan yang tidak adil ini.
Tengah mereka melarikan kuda dengan cepat, tiba-tiba dari dalam hutan di depan yang gelap gulita sana berkumandang suara auman harimau, beberapa ekor kuda sama berjingkrak kaget dan takut. ada yang terus berdiri diam dan ada yang malah terus putar haluan hendak kabur.
Si jangkung tadi segera mengayun cambuknya beberapa kali dan mendahului menerjang kedalam hutan. Si nenek juga mengomeli kudanya: “Binatang tak berguna, memangnya takut dicaplok kucing liar begitu? “- - Beramai-ramai mereka terus menghalau kawanan kuda mereka dan ikut menerobos
ke dalam hutan.

Setelah membedal lagi beberapa puluh meter jauhnya, tiba-tiba seseorang membentak di depan: “Siapa itu berani terobosan di Bii-iiu-san-ceng malam-malam begini?”
serentak Gerombolan setan Se san itu menahan kuda mereka, tertampaklah seorang mengadang di tengah jalan, kedua sisinya masing-masing mendekam seekor harimau loreng. Mendengar suara raungan harimau yang kereng itu, kembali kawanan kuda ber-jingkrak ketakutan.
Setelah menguasai kembali kudanya, si kakek cebol jenggot panjang lantas memberi hormat dan berkata “GeromboIan Setan Se-san kebetulan lewat di sini dan tidak sempat berkunjung harap suka memaafkan.”
Orang yang menghadang di depan itu menjawab: “O, kalian inikah Gerombolan Setan dari Se-san? jadi saudara ini Tiang-si-kui (setan jenggot panjang) Hoan-ya (tuan Hoao)?”
“Betul” jawab si kakek jenggot panjang, “Ada urusan penting kami harus menuju To-ma-peng, kembalinya nanti kami akan mampir untuk mohon maaf lagi.”
Rupanya iapun tahu orang Ban-siu-san-ceng (perkampungan berlaksa binatang) sukar dilawan, pula
mereka sekarang harus mencurahkan segenap perhatian untuk menghadapi Sin-tiau-hiap, maka bicaranya sangatlah rendah hati.
“Coba kalian menunggu sebentar,” kata orang itu, lalu ia berteriak: “Toako, inilah Gerombolan Setan Se-san yang hendak pergi ke To-ma-peng katanya kembalinya nanti akan datang untuk minta maaf.”
Kawanan “Setan” itu merasa kurang senang mendengar ucapannya itu mereka mengatakan kembalinya nanti akan mampir untuk minta maaf, kata-kata ini tidak lebih hanya sebagai basa-basi saja, masakah dianggapnya Gerombolan Setan Se-san benar-benar gentar kepada pihak Ban-siu-san-ceng?
Maka terdengarlah suara seorang menjawab dengan lagak tuan besar di dalam hutan: “Minta maaf sih tidak perlu, suruh mereka pergi dengan mengitar hutan saja.”
Serentak kawanan setan– itu menjadi gusar, si jangkung tadi lantas mendengus: “Hm, selamanya Gerombolan Setan Se-san kalau berjalan tidak pernah main mengitari”
Habis berkata segera ia melarikan kudanya terus menerjang ke depan.
Tapi sehati orang yang mengadang itu memberi aba2, serentak kedua harimau di sampingnya terus menubruk maju.
Karena kaget dan takut, kuda si jangkung berjingkrak berdiri. Tampaknya si jangkung sangat menguasai kuda tunggangannya, sambil tetap menempel di atas pelana, “sret”, cepat kedua tangannya mengeluarkan senjatanya yang berbentuk sepasang tumbak pendek dan kontan menikam ke arah kedua ekor harimau.
Harimau yang sebelah kiri cepat melompat minggir, sedangkan cakar harimau sebelah kanan sempat merobek perut kuda si jangkung, tapi binatang buasnya itupun meraung keras, rupanya juga terluka oleh tikaman tumbak.
Segera si jangkung melompat turun dan membentak “HayoIah keluarkan senjatamu!” Berba-reng ia terus pasang kuda-kuda dan siap tempur.
Orang di depan sana menjengek: “Hm, kau berani melukai kucing piaraanku, andaikan sekarang kau mau mengitar hutan juga tidak kuidzinkan lagi Bu-siang-kui (setan gentayangan), tinggalkan saja tumbakmu!”
Si jangkung melengak juga karena julukannya dengan tepat disebut lawan, jawabnya: “siapakah kau? Selama ini Ban–siu-san-ceng berada di Se keng, mengapa sekarang pindah ke sini? Kau ingin kutinggalkan tumbakku, hah, memangnya begitu gampang?”
“Kediaman Ban siu-san-ceng memang berada di Se-keng, tapi kalau kami ingin pindah tempatkan tidak perlu lapor dulu kepada kawanan setan macam kalian toh?” ujar orang itu.
“Bahwa Toako kami suruh kalian lewat mengitar hutan sudah cukup ramah, soalnya Samko kami sedang sakit dan tidak suka diganggu orang, kau tahu tidak?”
Berkata sampai di sini, mendadak tangan kirinya meraih ke depan, tahu- gagang tumbak yang dekat dengan ujung tumbak si Bu-siang-kui kena dipegang olehnya.
Sama sekali Bu siang-kui tidak menduga gerakan tangan lawan sedemikian cepatnya, cepat ia menarik sekuatnya, Tapi orang itupun membetot dan ditekuk pula sehingga terdengar “pletak” dua kali.sepasang tumbak pendek itu patah semua.
Padahal tumbak2 itu terbuat dari besi, karena tenaga kedua orang sama kerasnya hingga tumbak itu tak dapat menahan tenaga tarikan mereka dan akhirnya patah.
Kejadian ini membuat Gerombolan Setan Se-san melengak. Si kakek jenggot panjang yang berjuluk “Setan jengot panjang” lantas berkata: “Rupanya saudara inilah Pat jiu-sian-kau (kera sakti bertangan delapan) Apakah Kim kah-say-ong (raja singa bersisik emas) kurang sehat? Saat ini kami ada urusan lain, biarlah kita bertemu lagi di sini besok pada saat yang sama.”
Kiranya Ban-siu-san-ceng itu dipimpin oleh lima bersaudara, Toako atau kakak tertua Pek-hia san-kun ( raja gunung dahi putih ) Su Pek-wi, Jiko atau kakak kedua Koan-kian-cu (si bumbung perak ) Su Tiong beng, Samko ( kakak ketiga ) Kim-kah-say-ong Su Siokkang, Suko ( kakak ke-empat ) Tay-lik-sin ( malaikat bertenaga raksasa ) Su ki-kiang dan saudara yang terkecil ialah Pat-jiu-sian-kau Su Beng-ciat ini.
Turun temurun keluarga Bu itu hidup sebagai penjinak binatang, sampai di tangan kelima bersaudara ini bahkan tambah maju kepandaian mereka, bukan saja cara menjinakkan binatang terlebih lihay, bahkan dari gerak gerik setiap binatang buas yang mereka lihat setiap hari itu dipelajari dan dipahami menjadi gerakan ilmu silat yang khas, jadi binatang-binatang buas seakan-akan menjadi guru kelima
bersaudara itu sehingga jadilah mereka memiliki ilmu silat yang tinggi.
Waktu Su Siok kang, yaitu kakak ketiga yang berjuluk Kim-kah-say-ong itu berumur 20-an, suatu hari ketika sedang berburu, secara kebetulan dia bertemu dengan orang kosen dan berhasil meyakinkan pula Lwekang yang tinggi, sepulangnya di rumah ia mengajarkan Lwekang itu pula kepada saudara2nya.
Begitulah semakin banyak mereka memiara binatang buas semakin tinggi pula ilmu silat yang mereka yakinkan Nama Ban-siu-san ceng juga mulai terkenal di dunia Kanguow, maka orang- Bu-lim telah memberikan julukan kepada kelima bersaudara ha sebagai “Hou-pa-say jio-kau” (harimau, macan
tutul, smga, gajah dan kera). Di antara mereka berlima Kim kah say-ong. si singa berbaju emas, terkenal paling lihay.
Maka Tiang-si-kui merasa lega demi mendengar Su Siok-kang sedang sakit, betapapun lihaynya musuh juga kawanan “Setan” mereka tidak gentar, apalagi sekarang pihak lawan berkurang tokoh utama-nya, maka ia lantas menetapkan malam besok untuk pertarungan yang menentukan.
“Baik,” segera Pak-jiu-sian-kau Su Beng-ciat menjawab “besok malam kami bersaudara akan menunggu kalian di sini.”
Habis berkata, sekali tangan bergerak, “pIok-plok”, kedua potong tumbak patah yang dirampasnya tadi menyamber dan menancap batang pohon di sebelah Tiang-si-kui.
Diam-diam Tiang Si-kui terkesiap dan heran mengapa pihak lawan tetap tidak memperbolehkan mereka lewat menerobos hutan, ada pekerjaan apa kelima saudara Su itu di sini? Segera ia memberi salam: “Baiklah kami mohon diri!”
Kedua kakinya mengempit kencang, segera ia melarikan kudanya ke depan.
“He, tunggu dulu!” kembali Su Beng-ciat berteriak mencegah, “Toako kami menyuruh kalian lewat mengitar hutan, apakah kalian tidak berkuping atau memang tuli?”
Tiang-si-kui menahan kudanya dan baru mau menjawab, terdengarlah di kanan kiri depan sana dua orang tertawa terbahak-bahak, menyusul asap tebal lantas mengepul, dua orang berteriak berbarengi
“Main gila apa di dalam hutan? Mana Gerombolan Setan Se-san dapat dikelabui?”
Rupanya secara diam-diam Song-bun-kui dan Siau-bin-kui, setan sialan dan setan muka ketawa, yaitu setan ke-8 dan ke-10 menurut urut-urutan mereka, telah memutar ke belakang sana untuk menyalakan api ketika Su Beng-ciat sedang bicara dengan Tiang si kui.
Tapi baru saja api mulai berkobar, menyusul lantas terdengar Songbun-kui dan Siaubin-kui menjerit kaget dan berlari kembali seperti memergoki sesuatu makhluk yang mengerikan.
“Ada apa?” janya Tiang-si-kui.
“Macan! Harimau! ada seratus, dua ratus ekor…” seru Song-bun-kui:
Su Beng-ciat kelihatan sangat murka melihat api mulai menjilat pepohonan, ia berteriak sekeras-nya: “Toako, Jiko, yang penting padamkan api duiu, biarkan gerombolan setan ini pergi saja, masakah kelak kita takdapat menemukan mereka?”
Pada saat itulah sekonyong-konyong pandangan semua orang serasa bureng, seekor binatang sebesar anjing kecil mendadak menerobos keluar dari hutan dan sekejap saja sudah kabur ke sana. Tubuh binatang itu tidak besar, tapi keempat kakinya sangat panjang warna bulunya putih mulus, hanya bagian ekor saja berwarna hitam, bentuknya mirip kucing dan mem-per anjing.
“Hm, Kau-twe-Ieng-fccu kabur!” seru Su Beng-ciat dan segera ia mengidak ke sana. Suara teriakannya itu penuh mengunjuk rasa kaget, cemas dan kuatir.
Mendadak pula terdengar pula suara raungan yang keras di dalam hutan, suara raungan yang menyerupai raungan harimau dan mirip pula auman singa, malahan seperti suara teriakan orang namun suara manusia seyogianya tidak sekeras dan senyaring itu.
Terdengar suara raungan itu, diam-diam Kwe Yang rada merinding. Setelah suara raungan itu, serentak be-ratus2 binatang buas juga lantas mengaum di segenap penjuru, suara singa, harimau, macan tutul, serigala, gajah, kera, gorilla dan entah binatang buas apalagi dan sukar dibedakan.
Menyusul terdengarlah suara gemuruh, be-ratus2, bahkan beribu-ribu binatang buas itu ber-bondong-bondong lari keluar hutan, Seorang lantas berseru: “Toako ke sebelah timur, Ji-ko sebelah barat, Site (adik keempat) ke tenggara…” jelas ada suara orang ini sama dengan suara raungan tadi.
Sekilas Kwe Yang melihat beberapa sosok bayangan orang berkelebat keluar hutan lebat itu, walaupun tahu bahaya, tapi ia tak dapat menahan rasa ingin tahunya, cepat iapun melarikan kudanya menyusul keluar hutan.
Cepat si cebol kepala besar yang berjuluk Toa-thau-kui (setao kepala besar) tadi berteriak: “He, nona Kwe, jangan pergi!” Segera iapun keprak kudanya menyusulnya.
Begitu berada di luar hutan, seketika Kwe Yang menyaksikan pemandangan aneh. Dilihatnya lima orang sama-sama memimpin segerombolan binatang sedang mengurung ke bagian tengah di tanah datar yang berselimutkan salju itu, tampaknya kawanan binatang buas itu sudah terlatih, mereka tidak saling cakar dan bertengkar sendiri, tapi kesana kemari, cara lari mereka sangat teratur.
Kwe Yang merasa takut tapi juga sangat tertarik untuk menonton, Dilihatnya lingkaran kelima barisan binatang buas itu semakin menciut sehingga di tengah-tengah kelihatan sebuah bundaran, tapi mendadak sesosok bayangan putih berkelebat, binatang kecil yang menyerupai anjing tadi lari menerobos keluar dari kepungan binatang buas, secepat angin binatang kecil itu melayang lewat di depan Kwe Yang.
“Kiu-bwe-leng-hou! Di sana, lari ke sana!” terdengar kelima bersaudara she Su itu ber- teriak-teriak, menyusul gerombolan binatang buas itu lantas menerjang tiba seperti gugur gunung dahsyatnya.
Cepat Kwe Yang menarik kudanya menyingkir ke pinggir, tapi kuda itu menjadi ketakutan melihat binatang buas sebanyak itu, saking takutnya hingga kaki lemas terus jatuh mendeprok. Keruan Kwe Yang terkejut, kalau gerombolan binatang itu menerjang ke arahnya, tentu tubuhnya akan ter-injak2 hancur lebur.
Lekas-lekas ia melompat turun dari pelana kudanya dan berlari ke samping sana. Terendus olehnya bau amis, kawanan binatang buas itu terus mengalir lewat di sebelahnya laksana air bah dan sejenak saja sudah menjauh.
Sementara itu Gerombolan Setan Se-san juga sudah berada di luar hutan, si kakek jenggot panjang berkata: “Betapapun tinggi kepandaian keluarga Su juga kita tidak gentar, hanya kawanan binatang itulah yang sukar dihalau.
Malam ini kita tidak perlu cari perkara lagi, kita harus piara tenaga untuk menghadapi Sin-tiau-hiap. Marilah kita berangkat!”
Si nenek juga berkata: “Ya, malam ini kita bunuh Sin-tiau-hiap, besok kita pesta panggang daging harimau dan singa!” -Habis itu ia terus menarik kudanya dan hendak meneruskan perjalanan dengan mengitari hutan.
Pada saat itulah mendadak suara raungan binatang buas tadi terdengar gemuruh pula, gerombolan binatang itu dating lagi dari berbagai arah.
Sekali ini suara raungan bnatang itu tidak begitu buas, larinya juga tidak cepat Namun Tiang-si-kui menjadi kuatir, katanya: “CeIaka! Lekas kita pergi!”
Namun sudah terlambat, di sekeliling mereka terkepung, Cepat Tiang-si kui bersuit, sepuluh orang lantas melompat turun dan berdiri pada lima sudut dengan senjata terhunus menantikan serangan musuh.
“Nona Kwe,” kata Toa-thau-kui, si setan kepala btsar, “lekas pulang saja kau, tidak perlu ikut menyerempet bahaya di sini.”
“Tapi mana Sin-tiau-hiap? Kau sudah berjanji akan membawaku untuk menemuinya,” kata Kwe Yang.
“Apakah kau tidak melihat binatang buas sebanyak ini?”
ujar Toa-thau-kui dengan mengernyitkan kening.
“Bicaralah secara baik-baik dengan majikan gerombolan binatang itu, katakan kalian ada janji dengan Sin-tiau hiap dan tiada waktu tertahan lama di sini,” ujar Kwe Yang.
“Hm, Gerombolan Setan Se-san tidak pernah bicara secara baik-baik dengan siapapun juga,” kata Toa-thau-kui.
Tengah bicara, sementara itu kelima bersaudara Su itu sudah muncul. Mereka sama memakai jubah kulit binatang, sesudah berhadapan dengan Gerombolan Setan, tetap Su Beag-ciat yang menjadi juru bicara, katanya: “Selamanya Ban-siu-san ceng tidak pernah bermusuhan dengan Kawanan Setan, mengapa kalian membakar hutan dan menghalau lari Kiu-bwe-leng-hou (rase cerdik berekor sembilan)?”
Dari nada ucapan orang, Kwe Yang merasakan orang she Su itu sangat gusar dan gemas sekali Pikirnya: “walaupun binatang kecil tadi sangat menyenangkan tapi tampaknya juga tiada sesuatu yang istimewa, mengapa mesti marah-marah begitu rupa? jelas binatang itu cuma punya sebuah ekor,
mengapa disebut rase berekor sembilan?”
Maka terdengar perempuan yang berpakaian serba merah dari pihak Gerombolan Setan menjawab: “Peristiwa ini awal mulanya adalah gara-gara tindakan kalian sendiri, selamanya Ban-siu-san-ceng berdiam di wilayah Sa-keng, mengapa mendadak muncul di daerah Soasay sini dan di tengah malam
buta melarang orang lain lewat di jalan umum ini. Sikap kalian yang tidak semena-mena ini masakah kalian malah menyalahkan pihak lain?”
“Persoalan sekarang ini tidak perlu dibicarakan pokoknya tiada seorangpun di antara kalian dapat hidup lagi,” mendadak Pek-hia-san-kun Su Pek-wi membentak. Sekali mengaum murka, dengan bertangan kosong ia terus menubruk ke arah Tiang-si-kui, kedua telapak tangannya tergenggam laksana cakar harimau segera mencengkeram, begitu hebat dan dahsyat, sekalipun harimau benar-benar juga tidak seganas itu.

Cepat Tiang-si-kui melangkah mundur terus menggeser, “serrr”, senjatanya yang panjang terus menyapu pinggang lawan. Tanpa menghindar, cakar harimau Su Pek-wi lantas mencengkeram ujung senjata lawan, kiranya senjata Tiang-sin-kui itu adalah sebatang tongkat baja yang besar dan berat.
Belum lagi cengkeraman Su Pek-wi itu mengencang, mendadak tangan terasa panas, cepat ia lepaskan kembali tangannya sambil disampuk ke sam-ping. Untung dia dapat bergerak dengan cepat sehingga dadanya terhindar dari sodokan tongkat.
Diam-diam Su Pek-wi terkesiap, baru sekarang ia tahu Gerombolan Setan Se-san itu memang bukan orang sembarangan pantas nama mereka akhir2 ini semakin menanjak, ia tidak berani gegabah lagi “creng”, segera iapun mengeluarkan senjatanya, yakni Hoa-thau-kau (kaitan dengan ujung berukir kepala harimau), sepasang kaitan baja itu beratnya ada 30 kati dan merupakan senjata yang tajam dan lihay.
Begitulah dua larik sinar kuning berkelebat kaitan itu lantas menempur sengit tongkat baja si Setan jenggot panjang.
Sementara itu Kaan-kian-cu Su Tiong-beng dengan senjatanya yang berupa sepasang bumbung atau pipa perak juga telah melabrak Jui beng-kui setan pencabut nyawa, yang bersenjatakan golok dan tombak si Song-bun-kui.
Sedangkan Tay-lik-sin Su Ki-kiang juga menempur Tiau-si kui (setan gantung) yaitu si nenek, yang bersenjatakan seutas tali panjang lagi lemas sehingga sukar diraba, ia hanya meraung2 murka saja dan sukar mengembangkan tenaga raksasa yang dimilikinya.
Di sebelah sana Pat-jiu-sian-kau Su Beng ciat juga menghadapi Toa thau-kui, si Setan Kepala Besar” dengan senjatanya yang berwujut godam persegi delapan.
Su Beng-ciat bersenjata sepasang Boan koan-pit, potlot baja berujung runcing, serangannya hebat, tenaganya kuat, Toa-thiiu kui rada kewalahan cepat Siau-yau-kui, Setan Cantik, yaitu perempuan berbaju serba merah, segera menubruk maju membantunya dengan senjata golok.
Di tanah salju itu terjadilah pertarungan sengit sepuluh orang terbagilah menjadi empat partai, bunga salju bertebaran. namun pertempuran belum dapat menentukan kalah dan menang.
Pihak Gerombolan Setan masih ada empat orang belum ikut turun tangan, sebalnya pihak lawan hanya Kim-Kah-say ong saja yang belum bergerak. Terlihat dia bersandar pada tubuh seekor singa jantan tampaknya menderita sesuatu penyakit lemas lunglai.
Melihat situasi pertarungan ini, jelas pihak Gerombolan Setan lebih untung karena berjumlah lebih banyak, tapi kalau persaudaraan Su itu berseru memberi komando, seketika  kawanan binatang buas itu pasti akan menerjang dan Gerombolan Setan itu pasti akan celaka.
Siau-bian kui, si setan muka tertawa juga merasa kebat kebit menyaksikan kawanan binatang buas yang siap menunggu perintah itu, ia pikir sebentar harus menggunakan kabut racun untuk merobohkan sebagian binatang itu baru dapat menerjang keluar kepungan.
Sementara itu pertarungan sengit sudah berlangsung sekian lama, Tiang- si-kui dan Su Pek- wi tetap sama kuatnya, Tiau si-kui, si nenek dapat memainkan talinya yang panjang itu dengan cara yang aneh dan ujung tali selalu berubah menjadi lingkaran jiratan, kalau Su Ki-kiang meleng, mungkin lehernya bisa terjirat. Tapi karena dia memiliki tenaga raksasa, mau tak-mau Tiau-si-kui juga rada jeri.
Toa-lhau-kui dan Siau-kui bahu-membahu menghadapi Su Beng-ciat, mereka dapat bekerja sama dengan baik, Tapi gerak serangan Su Beng ciat cepat lagi aneh, mereka terus berputar, terdengar suara Toa-thau-kui meng-guruh2, sedangkan si Setan cantik tertawa ngikik, tujuan mereka memancarkan perhatian musuh, namun Su Beng ciat anggap tidak mendengar dan menempur mereka dengan sengit.
Di sebelah sana Ji Beng-kui dan Song-bun-kui ternyata tidak mampu menandingi pipa perak Su Tiong-beng, Pipa perak yang digunakan sebagai senjata itu lebih pendek daripada toya dan kosong bagian tengah, gaya serangannya juga aneh.
Suatu ketika Song-bun-kui menusuk dengan tumbaknya, tapi Su Tiong-beng justeru mengincar ujung tumbak lawan dan pipanya juga ditusukkan kedepan, pipa itu terus menyelongsong ke bawah sehingga gagang tumbak terkunci di dalam pipa.
Keruan Song-bun-kui terkejut dan cepat menarik tumbak kirinya itu, tumbak terus diputar untuk menjaga diri.
Melihat kawannya terancam bahaya, cepat To-ceh-kui, si Setan Penagih Utang, menubruk untuk membantu, senjatanya yang berbentuk sepotong pelat besi segera memotong ke pipa Su Tiong heng.
Kiranya senjata To-ceh-kui itu terdiri dari lima potong pelat besi sehingga berbentuk buku utang-piutang sesuai namanya sebagai tukang tagih utang, Tepi pelat besi itu tajam sehingga merupakan sejenis senjata aneh dan lihay.
Sebenarnya GeromboIan Setan Se san itu masing-masing mempunyai nama asli sendiri-sendiri, tapi sejak nama “Gerombolan Setan Se-san” terkenal di dunia Kangouw, mereka lantas membuang nama aslinya dan menggunakan julukan Setan sebagai tanda pengenal.
Apalagi tindak tanduk dan bentuk tubuh dan wajah mereka bersepuIuh memang juga aneh dan ber-beda2.
Misalnya si To-ceh kui, Setan penagih utang, dia menggunakan senjata lima helai pelat besi sehingga
menyerupai buku utang piutang, soalnya dia memang juga pendendam, sakit hati sekecil apapun juga pasti akan dituntut-balasnya, tiada seorangpun dapat lolos jika pernah menyakiti hatinya.
Sebab itulah dia diberi julukan setan tukang tagih utang. Tapi dia malah senang dengan nama poyokan itu, senjata pelat besi di ubahnya menjadi seperti halaman buku, tipis dengan tepinya sangat tajam, bahkan pelat besi itu diukir nama musuhnya dengan kesalahannya, kalau sakit hati itu sudah dibereskan barulah nama musuh itu dicoret.
Pipa perak adalah senjata aneh, tapi buku besi itu terlebih aneh, lima halaman besi itu saling bergesek dan mengeluarkan tuara nyaring, Dengan bertiga setan menempur Su Tiong beng barulah ke adaan mereka rada mendingan.
Kwe Yang terus mengikuti pertempuran itu di samping, dilihatnya cuaca sudah mulai remang-remang fajar sudah hampir tiba, tapi pertarungan itu masih berlangsung dengan sengitnya, ia pikir janji pertemuan kesepuluh setan itu dengan Sin-tiau-hiap sudah lewat waktunya, mungkin tidak sabar menunggu dan pendekar sakti itu sudah pergi sendiri, ia menjadi gelisah dan kecewa karena maksudnya melihat Sin-tiau-hiap tak tersampai, untuk melerai pertempuran orang-orang itupun ia tak mampu.
Dilihatnya kawanan binatang buas itu sama mendekam di tanah dalam suatu tingkatan yang rapat, seumpama Gerombolan Setan itu dapat membinasakan kelima saudara Su juga sukar menerjang keluar kepungan kawanan binatang buas itu.
Keadaan demikian juga disadari oleh GeromboIan Setan itu. Maka si nenek, yaitu setan gantung, berhasrat menangkap Tay-lik-sin Su Ki-Kiang dengan tali jiratannya yang panjang itu. asalkan lawan berhasil ditawan tentu dapat digunakan sebagai sandera untuk memaksa Su- si hengte (saudara
keluarga Su) membubarkan kepungan binatang buasnya.
Namun kepandaian Su Ki kiang sendiri lebih tinggi daripada Tiau-si kui si setan gantung, hanya saja senjata tali memang aneh dan sukar dilayani, makanya kedudukan mereka menjadi sama kuat, tapi untuk menangkapnya jelas tidaklah mudah.
Siau-bian-kui, si setan muka tertawa tahu keadaan sangat berbahaya, ia pikir tiada jalan lain terpaksa harus menggunakan akal licik. Segera ia berseru: “Jici, biar kubantu kau!” Segera ia melolos senjatanya dan menerjang ke arah Su Ki-kiang.
Su Ki-kiang tidak gentar ketambahan seorang lawan, “Bagus!” serunya menyambut terjangan musuh, berbareng senjatanya gada baja terus mengepruk kepala orang.
Cepat Siau-bian-kui mengegos sambil menangkis dengan sepasang ruyung “Prak, krek”, senjata saling beradu dan kedua ruyung seketika patah. Tapi dari bagian yang patah itu lantas mengepul asap putih kemerahan Su Ki-kiang melengak, langkahnya rada sempoyongan terus roboh terjungkal.
Tanpa ayal tali jirat si setan gantung terus di-lempar ke depan dan tepat menjirat kedua kaki musuh.
Kiranya gagang ruyung Siau bin-kui itu kopong dan tersimpan bubuk racun, pada gagang ruyung-nya terpasang pesawat rahasia, sekali ditekan segera bubuk racun akan tersembur untuk mencelakai musuh.
Tapi tenaga Su Ki-kiang teramat besar, sekali hantam ia patahkan ruyung lawan. Tapi meski senjatanya patah tetap Siau-bin-kui dan Tiau si kui berhasil menawan Su Ki kiang.
“He, he! Apa-apaan kalian ini? Merobohkan lawan dengan cara licik, terhitung orang gagah macam apa?” seru Kwe Yang.
Melihat saudaranya tertawan musuh, Su Pek-wi, Su Tiong-beng dnn Su Beng-ciat juga terkejut dan murka, Tapi apa daya, mereka sendiri terlibat dalam pertempuran dan sukar memberi bantuan.
Kwe Yang sendiri sebenarnya tidak membela manapun, cuma dilihatnya cara Siau bian-kui merobohkan Su Ki-kiang itu kurang “sportip”, maka dia berseru mencelanya.
Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara rating-an di sebelah sana, terlihat Kim kah-say-ong Su Siok-kang berbangkit pelahan, lalu membentak dengan suara berat: “Lepaskan saudaraku!”
Su Ki-kiang tidak sadarkan diri, Tiau-si kui meringkusnya dengan tali, bahkan menambahkan beberapa kali tutukan pada Hiat-to yang penting agar takdapat berkutik bila nanti sudah siuman, ia menjawab: “Silakan kau menyingkirkan kawanan binatang ini dan memberi jalan, segera kami membebaskan saudaramu.”
Dilihatnya kedua mata Su Siok kang cekung, mukanya pucat, jalannya sempoyongan, jelas sedang sakit parah, maka kawanan setan itu tidak merasa gentar.
simpatik Kwe Yarg beroda pada Su Siok-kang, melihat orang dalam keadaan sakit toh tetap hendak menolong saudaranya, cepat ia berseru. “He engkau sakit, jangan ikut bertempur.”
Su Siok-kang mengangguk padanya dan mengucapkan terima kasih, tapi langkahnya tidak berhenti, ia masih terus mendekati Su Ki-kiang yang menggeletak teringkus musuh itu.
Siau-bian kui mengedipi Tiau-si-kui, kedua orang lantas menubruk dari kanan dan liri, mereka hendak menangkap sekaligus lawan yang tampaknya sakit tebese ini. Begitu sudah dekat, keempat tangan mereka terus mencengkeram.
Tapi mendadak Su Siok-kiang meraung seperti singa, tangan kirinya menabok pundak Tiau-si-kui dan tangan kanan menyodok dada Siau-bin-kui, seketika kedua “setan” itu merasa ditekan oleh suatu tenaga maha dahsyat, langkah mereka menjadi terhuyung dan hampir saja terperosot jatuh.
Cepat mereka melompat mundur, untunglah Su Siok-kiang tidak mengejar maju, Keruan mereka saling pandang dengan kaget dan sama berkeringat dingin, sama sekali tak mereka duga bahwa orang yang tampaknya sakit tebese itu ternyata sedemikian lihaynya.
Su Siok-kiang lantas melepaskan Hiat-to saudaranya yang tertutuk itu, sekali tarik, tali Tiau-si-kui yang meringkus Su Ki-kiangitu lantas putus menjadi beberapa potong. Namun Su Ki-kiang belum lagi sadar karena dia kena asap beracun.
Sambil mengerut kening Su Siok-kang membentak “Berikan obat penawarnya!”
“Bubarkan dulu kepungan binatang buas kalian dan segera kuberikan obat penawar,” jawab Siau-bin-kui.
Su Siok-kiang mendengus, lalu melangkah ke arah Siau-bin-kui dengan sempoyongan.
Siau-bin kui tidak berani melawannya, cepat ia mengelak ke samping. Rupanya karena sakit sehingga gerak-geriknya tidak leluasa, namun Su Siok -kang masih terus melangkah ke arah Siau-bin-kui.
Sudah tentu sisa keempat “setan” yang masih menganggur itu tidak tinggal diam, segera mereka
mengerubut maju, Siau-hin-kui juga lantas memutar balik untuk ikut mengeroyok. Gerak serangan Su Siok-kang sangat lamban, tapi tenaga pukulannya amat kuat, kelima setan itu mengepungnya di tengah sambil melancarkan serangan dengan golok dan tumbak, namun tidak berani terlalu mendekat
Diam-diam Kwe Yang menaruh kasihan kepada Su Ki-kiang yang dirobohkan lawan dengan akal licik dan belum sadar itu, segera ia mencomot sepotong salju dan di-usap-usapkan di dahi Su Ki-kiang, lalu secomot kecil bunga salju dijejalkan ke mulutnya.
Rupanya asap racun tadi takdapat bertahan terlalu lama, Su Ki-kiang sendiri sehat dan kuat, begitu kepala terasa dingin dan mulut dicekoki es batu, segera pikirannya jernih kembali, pelahan ia lantas merangkak bangun dan mengucek-ucek matanya, ia menjadi murka demi melihat kakak ketiganya
dikerubut lima orang, ia berteriak: “Mundur dulu, Samko!”
Berbareng ia terus menubruk maju dan merangkul pinggang Siau-bin-kui.
Di sebelah Iain Su Pek-wi yang sedang menempur sengit Tiang-si-kui itu menjadi girang melihat Su Ki-kiang sudah siuman kembali, segera ia bersuit panjang, serentak kawanan binatang buas yang sejak tadi hanya mendekam di atas tanah itu berdiri semua demi mendengar suitan itu dan bersiap-siap hendak menubruk musuh.
Ketika Su Pek-wi menggertak lagi dengan suara keras, serentak kawanan binatang itupun mengaum buas, Meski GoromboIan Setan Se-san itu sudah banyak berpengalaman di medan pertempuran, tapi menyaksikan suasana yang mengerikan ini mau-tak-mau mereka menjadi kuatir, Benar saja, belum lenyap suara raungan kawanan binatang itu, di sana sini berbagai jenis binatang buas sudah lantas menerjang maju dan menerkam ke sepuluh “setan” itu.
Kwe Yang menjerit kaget dengan muka pucat. Syukur Su Siok-kang lantas menyadari keadaan anak dara itu, cepat ia mendorong seekor harimau yang sedang menubruk ke arah Kwe Yang, menyusul ia tanggalkan kopiah kulit sendiri dan dipasang di kepala anak dara.
Agaknya kawanan binatang buas itu sudah ter-latih, begitu melihat Kwe Yang memakai kopiah kulit, mereka tidak menubruknya lagi melainkan terus membelok ke sana dan menyerang Gerombolan Setan.

 

Macam-macam binatang buas, ada harimau, singa, serigala, makan tutul, gorila, beruang dan sebagainya serentak menerjang ke sepuluh Setan itu, namun Gerombolan Setan itu juga bertahan mati-matian belasan ekor binatang buas itupun dapat mereka binasakan.
Tapi lantaran Su-si-hengte terus memberi aba2 di samping sana, pula jumlah binatang buas itu teramat banyak, hanya sekejap saja Gerombolan Setan itu sudah terluka semua, baju robek dan darah mengucur, tampaknya dalam waktu singkat mereka pasti akan dilalap habis oleh kawanan binatang buas itu.
Ketika itu Kwe Yang melihat tiga ekor singa jantan sedang mengkerubuti Toa-thau-kui, si Setan Kepala besar, godam besar yang merupakan senjata andalannya itu sudah terjatuh, lengan kanannya tergigit seekor singa dan tak dilepaskan.
Hanya tangan kiri saja yang masih terus menghantam serabutan dan sekadar bertahan mati-mati-an terhadap terkaman kedua ekor singa yang lain.
Teringat oleh Kwe Yang bahwa Toa-thau kui itulah yang membawanya ke sini, sekarang orang terancam bahaya, ia menjadi tidak tega, tanpa pikir ia lantas menanggalkan kopiah kulit yang dipakainya itu serta dilemparkan ke atas kepala Toa-thau-kui, Kopiah kecil di atas kepala besar, tentunya menggelikan rampaknya, bahkan kopiah itu bergoyang-goyang hendak jatuh ke bawah.
Rupanya di waktu melatih kawanan binatang itu kelima saudara Su itu selalu memakai kopiah kulit, serentak ketiga ekor singa itu tidak menubruk dan menggigitnya lagi dan terus menyingkir pergi.
Dalam pada itu Kwe Yang sendiri telah terkepung oleh empat ekor macan tutul, Keruan ia, ketakutan dan menjerit-jerit.
Saat itu Su Siok-kang sedang berusaha merampas tongkat baja si Tiang-si-kui agar tongkat itu tidak banyak mengambil korban kawanan binatang buas, Demi mendengar jeritan Kwe Yang ia menoleh dan terkejut, tapi jaraknya dengan anak dara itu agak jauh dan sukar memberi pertolongan.
Aneh juga, begitu keempat ekor macan tutul itu mendekati Kwe Yang, mereka tidak menerkam dan mencakamya, sebaliknya seperti anjing piaraan saja mereka mengitari Kwe  Yang sambil mengendusnya disertai meng-gesek2kan tubuhnya pada anak dara itu, tampaknya seperti sudah kenal dengan akrab sekali.
Kwe Yang sebenarnya sudah ketakutan dan pasrah nasib, ia menjadi terkesiap ketika melihat macan tutul itu tidak bermaksud jahat padanya, segera ia teringat kepada cerita ibu dan kakaknya bahwa waktu bayinya dahulu dirinya pernah menetek pada induk harimau tutul, agaknya keempat macan tutul itu mencium bau aneh pada tubuhnya tehingga menganggapnya sebagai kaum sejenisnya.
Dengan takut-takut girang Kwe Yang lantas berjongkok dan merangkul leher dua ekor macan tutul, dua ekor yang lain lantas menjilati tangannya dan mukanya. Keruan Kwe Yang merasa kerih dan tertawa terkikik.
Selama menjadi pelatih dan penjinak binatang buas, belum pernah kelima saudara Su itu menyaksikan adegan aneh itu, keruan mereka melongo heran.
Meski Toa-thau-kui sendiri dapat terhindar dari bahaya berkat kopiah kulit, tapi melihat kesembilan saudara angkatnya sukar lolos dari renggutan elmaut, betapapun ia takdapat mencari selamat sendiri, Tanpa pikir ia terus memegang kopiah kulit dan dilemparkan kepada Siau-kui, si perempuan berbaju serba merah, sambil berseru: “Kiu-moay, pakailah kopiah ini dan lekas menyelamatkan diri!”
Siau-kui menangkap kopiah itu dan dilemparkan kepada Tiang-si kui, serunya: “Toako, engkau saja menerjang keluar dahulu, kelak berusaha lagi menuntut balas bagi kita!”
Tapi Tiang-si-kui juga lantas melangsir kopiah itu kepada Siau bin-kui sembari berteriak: “Capte (adik kesepuluh),  menuntut balas biarpun sepuluh tahun lagi juga belum kasip, Engkau saja lekas lari, kakakmu ini sudah cukup umur dan sudah bosan hidup!” Ternyata di antara mereka sangat setia satu sama lain, siapapun tiiak mau meninggalkan kawannya untuk menyelamatkan diri sendiri.
Karena dikerubuti lima ekor serigala Siau-bin-kui tidak sempat mengoper kopiahnya kepada saudara yang lain, sedangkan serigala terkenal rakus dan buas, sekali merasakan darah, betapapun tidak mau tinggal pergi, meski Siai-”nn-kui memegang kopiah itu, serigala2 itu masih belum mau meninggal kan mangsanya itu.
Tentu saja Siao-bin-kui mencaci maki dengan gusar, namun wajahnya tetap tersenyum simpul.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara suitan nyaring di atas, seorang berseru lantang: “Gerombolan Setan Se-san ingkar janji, aku menunggu semalaman secara sia-sia, kiranya kalian sedang ribut dengan kawanan binatang di sini!”
Girang sekali Kwe Yang mendengar ucapan itu, pikirnya:
“Aha, Sin-tiau-hiap sudah datang” Waktu ia mendongak, terlihat seorang berduduk di atas dahan pohon, di sebelahnya menangkring pula seekor rajawali besar dan buruk rupa.
Orang itu memakai jubah panjang warna putih, lengan baju kanan terselip pada ikat pinggang, nyata memang buntung lengannya, Waktu memandang wajahnya, seketika Kwe Yang bergidik, air mukanya ternyata pucat kaku seperti mayat, hakikatnya bukan air muka manusia hidup.
Banyak juga orang bermuka buruk dan menakutkan, misalnya para Gerombolan Setan Se-san itu juga semuanya  berwajahj penjahat, tapi tidak seburuk dan menyeramkan seperti ini.
Sebelum ini dalam hati kecil Kwe Yang membayangkan wajah Sin-tiau-hiap itu pasti cakap ganteng, kini ia menjadi sangat kecewa melihat kejelekan mukanya itu, Tanpa terasa ia memandang sekejap lagi padanya, terlihat sorot matanya memancarkan sinar tajam. Sinar mata tajam itu sekilas mengerling ke arahnya dan tiba-2 terhenti sejenak seperti rada menimbulkan rasa herannya.
Tanpa terasa wajah Kwe Yang menjadi merah jengah dan tanpa kuasa menunduk malu, samar-samar ia merasa sang Sin-tiau-hiap toh tidak terlalu buruk.
Sin tiau-hiap dihadapan Kwe Yang ini memang betul Nyo Ko adanya, Selama 16 Tahun ini dia menunggu dengan menderita akan bertemu kembali dengan Siao-liong-li, ia telah berkelana ke segenap penjuru dan memberikan darma baktinya bagi sesamanya, karena dia selalu ditemani rajawali sakti itu, maka didapatkanlah nama julukan “Sin-tiau-hiap”.
Ia merasa berdosa waktu mukanya telah banyak digilai anak perempuan seperti Kongsun Lik-oh lelah binasa demi menolong jiwanya, Thia Eng dan Liok Bu siang hidup merana karena patah hati ia pikir kalau mukanya buruk, tentu takkan menarik perhatian anak perempuan itu. Sebab itulah sekarang ia memakai kedok muka pemberian Oey Yok-su dahulu untuk menutupi wajah aslinya.
Malam ini dia mestinya ada janji bertemu dengan Gerombolan Setan Se-san di Te-ma-peng, tapi pihak lawan ternyata ingkar janji dan tidak datang, sebab itulah ia lantas mencarinya malah dan kebetulan dilihatnya apa yang terjadi di hutan ini.
Jiwa kesepuluh setan itu sebenarnya sudah terancam di tengah kerubutan kawanan binatang buas sebanyak itu, kini mendadak Yo Ko membuka suara pula sehingga bertambah lagi satu musuh tangguh bagi mereka, keruan mereka menjadi putus asa dan yakin sekali ini jiwa mereka pasti akan melayang semuanya.
Dalam pada itu terdengar Yo Ko berkata pula dengan suara lantang: “Beberapa saudara ini mungkin adalah Su-si hengte dari Ban-siu san-ceng? Silakan kalian berhenti dulu dan dengarkanlah perkataanku.”
“Kami memang she Su,” jawab Su Pek-wi, “Dan siapakah tuan?” Tapi segera ia menambahkan “Ah, maaf agaknya tuan inilah Sin-tiau-hiap?”
“Terima kasih, memang betul Cayhe adanya,” sahut Nyo Ko. “Harap kalian lekas menghentikan amukan kawanan binatang buas itu, kaiau terlambat sebentar lagi mungkin para setan gadungan ini akan berubah menjadi setan sungguhan.”
“Ya, biar jadi setan sungguhan barulah kami bicara denganmu,” ujar Su Pek wi.
Yo Ko mengernyitkan kening, katanya: “Tapi Gerombolan Setan itu sudah ada janji pertemuan denganku lebih dulu, kalau binatang kalian membinasakan mereka. lalu kepada siapa aku harus bicara lagi?”
Mendengar ucapan Yo Ko mulai kasar, Su Pek wi menjengek, ia malah memberi aba2 agar kawanan binatang menyerang lebih ganas,
“Kalau kau sudah tahu aku ini Sin-tiau-hiap, mengapa kau tidak ambil pusing kepada perkataanku?” bentak Yo Ko.
“Memangnya kalau Sin-tiau hiap lantas bagaimana?” jawab Su Pek-wi dengan tertawa, “Kalau mampu boleh kau menghentikan serangan kawanan binatang kami ini,”
“Baik,” kata Yo Ko. “Marilah, Tiau-heng, kita turun!”
Habis berkata, bersama rajawali raksasa itu mereka lantas melompat ke bawah. sebelum Yo Ko dan rajawali itu menyentuh tanah, kawanan binatang sudah lantas meraung dan menubruk maju, Tapi sekali sayap rajawali itu menyabet ke kanan dan menyampuk ke kiri, kontan beberapa ekor binatang yang lebih kecil seperti serigala dan sebagainya lantas berjungkal, Seekor singa dan seekor harimau mengaum murka dm menubruk tiba, kembali sayap rajawali menyabet, bukan main kekuatannya, singa dan harimau itu sama terguling dan tak mampu mendekati lagi.
Menyusul sayap yang lain menyabet pula, kontan kepala seekor macan tutul hancur berantakan. Melihat kesaktian rajawali itu, kawanan binatang buas yang lain menjadi ketakutan dan tak berani menyerang pula, semuanya mendekam di kejauhan sambil mengeluarkan suara menggereng.
Su Pek-wi menjadi gusar, segera iu memapaki Yo Ko, tangannya seperti cakar macan itu terus mencengkeram ke dada lawacu Namun Yo Ko telah sedikit mengebas lengan baju kanan yang kopong itu, “bluk”, dengan tepat kedua pergelangan tangan Su Pck-wi tersabet dan menimbulkan rasa sakit tidak kepalang seperti dipotong pisau, tanpa tertahan ia menjerit.
Dengan langkah tertahan Su Siok-kang mendekati Yo Ko, kedua tangannya menyodok lurus ke depan.
“Bagus!” sambut Yo Ko sambil tersenyum dan menjulurkan telapak tangan kiri untuk memapak serangan lawan, ia hanya menggunakan tiga bagian tenaganya saja.
Maklumlah, selama belasan tahun dia menggembleng diri di tengah amukan ombak sanudera, kalau dia mengeluarkan tenaga penuh, jangankan tubuh manusia, sekalipun batang pohon dan dinding tembok juga akan runtuh dihantamnya.
Namun Su Siok kiang juga pernah mendapat ajaran orang koscn, tenaga dalamnya juga lain daripada yang lain, begitu beradu tangan, tubuhnya tergeliat, tapi tidak tergerar mundur.
“Awas!” seru Yo Ko memperingatkan sambil mengerahkan tenaga.
Seketika pandangan Su Siok-kang menjadi gelap dan mengeluh jiwanya sekali ini pasti melayang.
Untung pada saat gawat itulah tiba-tiba Yo Ko berkata: “Ah, kau sedang sakit!” — Berbareng itu tenaga yang maha dahsyat seketika hilang sirna.
Lolos dari renggutan elmaut, Su Siok-kang menjadi melenggong dan tak dapat berkata apa-apa.
Su Pek wi, Su Tiong beng dan lain-lain mengira Su Siok-kang terluka dan tak bisa bergerak, mereka menjadi cemas dan gusar, serentak mereka menerjang Yo Ko. Tepat pada waktu yang sama seekor harimau juga menubruk dari sebelah sana. Tapi sekali meraih, dapatlah Yo Ko mencengkeram leher raja hutan itu, binatang buas ini lantas digunakan  sebagai senjata untuk menangkis serangan pipa perak Su Tiong-beng dan gada baju Su Ki-kiang. sedangkan cakar macan malah terus mencakar muka Su Pek-wi dan Su Beng- ciat.
Belasan tahun yang lalu Yo Ko sudah pernah menggunakan pedang yang beratnya lebih 70 kati, sekarang memegangi tubuh harimau yang besar, beratnya paling-paling juga cuma seratusan kati, maka enteng saja baginya.
Karena lehernya terpegang, harimau itu menjadi rnurka dan tidak kenal lagi sang majikan, cakarnya terus menggaruk dan mulutnya menggigit, Dalam keadaan demikian Su Pek-wi dan Su Beng-ciat menjadi kelabakan juga meski biasanya selalu berkawan dengan binatang buas.
Menyaksikan pertarungan itu, Kwe Yang bersorak gembira, teriaknya. “Hebat sekali Sintiau-hiap!” Nah, kalian mengaku kalah tidak, Su-keh-hengte?”
Yo Ko memandang sekejap pada anak dara itu, ia tidak tahu siapakah Kwe Yang ini, anehnya anak dara itu berkawan dengan macan tutul, tapi sekarang mengolok dan mengejek kelima saudara Su pula.
Sementara itu Su Siok-kang telah mengatur pernapasannya dan terasa lancar tanpa gangguan apapun, ia tahu Sin-tiau-hiap ini sengaja bermurah hati dan tidak ingin melukainya tadi, diam-diam iapun mengakui kalau berdasarkan kepandaian sejati biarpun mereka berlima mengerubutnya sekaligus juga bukan tandingannya.
Saat itu kelihatan keempat saudaranya sedang mengerubuti Yo Ko, segera ia berseru: “Para kakak dan adik, lekas berhenti, kita harus tahu diri.”
Mendengar itu, Koan-kian-cu Su Tiong-beng mendahului menarik kembali pipanya dan melompat mundur sedangkan Tay-Iik-sin Su Kt-kiang adalah orang yang lebih sembrono, ia anggap sepele seruan saudaranya itu.
“Tahu diri apa? Rasakan dulu gadaku ini!” demikian ia pikir, segera kedua tangan memegang gada terus. Mengepruk kepala Yo Ko dengan gaya “Ki-siang-kay-san” atau gajah raksasa menggugur gunung, jurus ini ditirunya dari cara gajah menggunakan belalainya menghantam sesuatu benda, pukulan dahsyatnya dapatlah dibayangkan.
Namun Yo Ko juga tidak menghindar ia lenparkan harimau yang dipegangnya itu, tangan kiri terus membalik ke atas, sekali meraih dapatlah ujung gada belalai gajah lawan ditangkapnya, kata-nya: “Marilah kita coba-2 tenaga siapa lebih kuat?” Sekuatnya Su Ki-kiang berusaha menekan ke bawah, tapi gada itu berhenti di atas kepala Yo Ko dan tidak dapat menurun lagi.
“Berhenti, Site! jangan kurang adat!” seru Su Siok-kang pula.
Sekuatnya Su Ki-kiang lantas membetot dengan maksud hendak menarik kembali gadanya, namun gada itu seperti mclengket saja di tangan Yo Ko, sedikitpun tak bisa bergerak, Berulang-ulang Su Ki-kiang membetot dan tetap tidak berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar