Minggu, 18 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 59



Kembalinya Pendekar Rajawali 59

Semua orang sama berteriak heran dan berbangkit Kim-lun Hoat-ong dan Lain-lain tahu persoalannya bahwa Kiu lian-jio sebenarnya bukan memberi petunjuk kepada Yo Ko caranya memperoleh kemenangan, tapi mengajarkan dia mencari kesempatan menang dari keadaan yang tidak mungkin menang itu, bukan ditujukan titik kelemahan Kongsun Ci, tapi suruh Yo Ko mendesak musuh yang sama sekali tiada kelemahan itu agar terpaksa memberi titik kelemahan, Hanya beberapa kali saja Kiu Jian-jio memberi petunjuk, karena Yo Ko memang anak yang cerdik dan pintar, segera ia dapat menangkap di mana letak intisari ilmu silat yang bagus itu, dalam hati ia sangat kagum dan bersyukur akan petunjuk Kiu Jian-jio yang besar manfaatnya itu.
Cuma untuk bisa memaksa Kongsun Ci memperlihatkan titik kelemahannya selain lawannya harus lebih unggul ilmu silatnya dan harus pula paham akan setiap gerak serangan Kongsun Ci, dengan begini barulah dapat menapsirkan jurus serangan mana yang bakal dilontarkan musuh itu dan
memancingnya menuju kearah yang keliru.
Untuk ini memang cuma Kiu Jian-jio saja yang sanggup, Yo Ko sendiri hanya paham maksudnya tapi tidak mampu melakukannya sendiri tanpa petunjuk nenek itu. Karena itulah dia turut setiap petunjuk Kiu Jian-jio dan melancarkan serangan berantai mengitari Kongsun Ci, setelah belasan jurus lagi, kembali kaki Kongsun Ci tertusuk oleh pedangnya.
Meski tidak parah, namun lukanya cukup panjang, diam-diam Kongsun Ci sangat mendongkol ia pikir dalam waktu singkat jelas dirinya sukar mendapat kemenangan malahan kalau bertempur lebih lama bukan mustahil jiwanya sendiri yang akan melayang dibawah pedang bocah ini.
Dahulu, demi untuk menyelamatkan jiwa sendiri pernah juga dia membunuh Yu-ji yang dicintainya itu, sekarang keadaan sudah kepepet, maka iapun tidak memikirkan Siao-liong-li lagi, segera pedang hitam bergerak ke depan, tapi mendadak goloknya yang membacok ke bahu Siao-Iiong li. Yo Ko terkejut, cepat ia menangisnya.
“Tusuk pinggangnya.” mendadak Kiu Jian-jio berseru pula.
Yo Ko melengak, ia pikir Kokoh sedang terancam, mana boleh kudiamkan saja? Tapi setiap petunjuk Kiu-locianpwo selalu mengandung arti yang dalam, bisa jadi cara ini adalah jurus penolong yang bagus, Karena itu pedangnya terus berputar ke bawah untuk menusuk pinggang musuh.
Pada saat itulah terdengar Siao-Liong-Li menjerit kesakitan, lengannya telah terluka, “trang”, Siok-li-kiam terjatuh pula.
Menyusul itu Kongsun Ci sempat menangkis serangan Yo Ko dengan pedangnya.
Yo Ko sangat kuatir akan luka Siao-Iiong-li itu, serunya: “Kokoh, kau mundur saja, biar aku sediri melayani dia!”-Karena rangsangan perasaannya terhadap Siao-liong-Ii, tiba- tiba dadanya terasa sakit.
Dalam keadaan tcrluka, terpaksa Siao-liong-li mundur kesamping untuk membalut lukanya dengan robekan baju.
Yo Ko terus bertempur dengan gagah berani, ia sangat mendongkol terhadap petunjuk Kiu Jian-jio yang keliru itu, pada suatu kesempatan ia melotot gusar terhadap nenek itu.
Sudah tentu Kiu Jiau-jio paham maksud anak muda itu, ia menjengek: “Hm, kenapa kau menyalahkan aku? Aku Cuma membantu kau menggem-pur musuh, peduli apa dengan dia?
Hmm, biarpun mampus juga aku tidak peduli nona itu!”
“Kalian suami-isteri benar-benar suatu pasangan manusia yang keji dan kejam!” damperat Yo Ko dengan gusar.
Makian Yo Ko kini sungguh sangat tepat dan tajam, namun Kiu Jian-jio hanya mendengus saja dan tidak marah, ia tetap tenang-tenang saja mengikuti pertarungan kedua orang.
Sekilas Yo Ko melihat Siao-liong-li sedang membalut lukanya, tampaknya tidak begitu parah, seketika serangannya berubah dengan bersemangat.
Dari Coan-cin-kiam-hoat ia ganti menyerang dengan Giok- li-kiam-hoat.
Kongsun Ci rada heran melihat serangan Yo Ko sekarang hampir seluruhnya berbeda daripada tadi, kini tampak lebih gesit dan lincah dan lebih bergaya dibanding tadi yang kereng dan tenang. ia menjadi curiga jangan-jangan Yo Ko sengaja main gila untuk memancingnya
Tapi setelah bergebrak lagi beberapa jurus, ternyata gaya tempur Yo Ko sekarang serupa dengan Siao-liong-li tadi, segera rasa curiga Kongsun Ci lenyap, golok dan pedangnya lantas menyerang pula sekaligus.
Maka setelah belasan jurus, lambat laun Yo Ko terdesak lagi di bawah angin dan berulang terdesak mundur.
Beberapa kali Kiu Jian-jio berseru memberi petunjuk lagi, namun Yo Ko sudah telanjur khe-ki karena nenek itu sengaja membikin susah Siao-liong-li, maka petunjuknya itu tak digubrisnya lagi, “Sret-sret”, mendadak ia melancarkan serangan empat kali ber-turut-urut, ketika Kongsun Ci
menangkis secepatnya Yo Ko menubruk maju, “trang”, ia selentik golok lawan, seketika Kongsun Ci merasa lengannya kesemutan dan golok hampir terlepas dari pegangan, Pada saat itu juga mendadak Yo Ko menubruk maju, jari kirinya menutuk bagian pusarnya.
Yo Ko kegirangan dan yakin musuh pasti akan roboh dan terluka parah, Tak terduga, sambil mendoyongkan tubuhnya, mendadak sebelah kaki Kongsun Ci menendang ke dagu Yo Ko.
Keruan kejut Yo Ko tak terkatakan cepat ia melompat kesamping. Segera teringat olehnya bahwa Hiat-to di tubuh musuh memang sangat aneh, tadi Sia liong li juga pernah menghantam Hiat-ta orang dengan genta kecil yang terikat pada ujung selendangnya, jelas Hiat-to yang di arah itu kena dengan tepat, tapi Kongsun Ci tetap tidak roboh.
Selagi Yo Ko merasa bingung cara bagaimana untuk bisa mengalahkan musuh, sementara itu golok dan pedang Kongsun Ci sudah membura tiba pula, sedangkan Kiu Jian-jio lagi-lagi berseru: “Golok dan pedangnya menyilang, pedangnya akan menyerang ke kiri dan goloknya menyerang kanan!”
Tanpa pikir Yo Ko mengadakan penjagaan rapat seperti peringatan Kiu Jian-jio itu sehingga buyarlah setiap serangan Kongsun Ci. .
Bicara tentang Kanghu sejati sebenarnya Yo Ko tak dapat melawan keuletan Kongsun Ci, hanya berkat petunjuk Kiu Jian-jio saja dapatlah Yo Ko mematahkan setiap serangan Kongsun Ci yang lihay itu.
Sementara itu kedua orang sudah bertempur sampai beberapa ratus jurus, para penonton sama berdebar dan sukar menduga siapa di antaranya yang bakal menang dan kalah, Kongsun Ci dan Yo Ko tampaknya sama payahnya, napas Kongsun Ci kelihatan mulai terengah, sedangkan Yo Ko juga sudah mandi keringat, gerak-gerik mereka tidak segesit dan secepat tadi.
Lik-oh pikir kalau pertempuran itu berlangsung lagi, akhirnya satu diantara dua pasti celaka. Dia tidak mengharapkan Yo Ko kalah, tapi iapun tidak tega menyaksikan ayah sendiri celaka, Maka dengan suara pelahan ia memohon kepada Kiu Jian-jio: “lbu, sebaiknya engkau suruh mereka berhenti saja, biarlah kita bicara baik-baik saja untuk menentukan yang salah dan benar.” Kiu Jian-jio hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Sejenak kemudian barulah ia berkata: “Coba ambilkan dua mangkok teh,”
Dengan pikiran kacau Lik-oh pergi menuangkan dua mangkok teh dan dibawa ke depan sang ibu, Segera Kiu Jian-jio menanggalkan kain pembalut lukanya yang berlepotan darah itu. seperti diketahui Siao liong-li yang merobek baju sendiri untuk membalutkan lukanya itu, sekarang kain pembalut dilepaskan, darah lantas merembes keluar lagi dari kepalanya.
“Bu!” Lik-oh berseru kuatir.
“Jangan bersuara,” kata Kiu Jian-jio, lalu ia memeras beberapa tetes darah dari kain pembalut itu ke dalam mangkuk Waktu melihat Lik-oh merasa heran dan curiga, segera ia memeras sedikit darah lagi ke mangkuk yang lain. Ia guncang sedikit mangkuk itu sehingga tetesan darah itu lantas terbaur dalam air teh, dalam sekejap saja tiada kelihatan apa- apa lagi.
Habis itu Kiu Jian-jio menempelkan lagi kain pembalut pada lukanya, segera ia berseru: “Tentu mereka sudah lelah bertempur biarkan masing-masing minum semangkuk teh dulu.” Lalu ia berkata kepada Lik-oh: “Antarkan teh ini kepada mereka, seorang semangkuk!”
Lik-oh tahu betapa benci dan dendam sang ibu terhadap ayah, kalau bisa sang-ayah hendak membinasakan seketika, maka ketika melihat ibunya meneteskan darah ke dalam mangkuk meski tidak paham apa maksudnya, tapi ia pikir perbuatan ini tentu tidak menguntungkan ayahnya, tapi
kemudian dilihatnya kedua mangkuk teh itu sama-sama diberi tetesan darah, maka rasa curiganya menjadi lenyap, segera ia membawa kedua mangkuk teh itu ke tengah ruangan dan berseru: “Ayah, Yo-toako, sjlakan kalian minum teh dahulu!”
Memangnya Kongsun Ci dan Yo Ko lagi kehausan, mendengar seruan itu, serentak mereka berhenti bertempur dan melompat mundur, lebih dulu Lik-oh menyodorkan semangkuk teh kepada ayahnya.
Kongsun Ci merasa sangsi, ia pikir teh ini diantarkan kepadanya atas suruhan Kiu Jian -jio di dalam hal ini pasti ada sesuatu yang tidak beres, bukan mustahil diberi racun, karena itu ia tidak mau menerima teh itu, tapi katanya kepada Yo Ko: “Kau minum dulu.”
Sedikitpun Yo Ko tidak gentar dan sangsi,ia terima mangkuk itu terus hendak diminumnya, mendadak Kongsun Ci berkata pula “Baiklah, biar kuminum semangkuk itu!” – Segera pula ia ambil mangkuk yang dipegang Yo Ko itu.
Yo Ko tahu apa artinya itu, dengan tertawa ia berkata: “Anak perempuanmu sendiri yang menuangkan teh ini, masakah dia menaruh racun?” Habis berkata ia terus terima mangkuk teh yang lain dan ditenggak hingga habis.
Kongsun Ci melihat air muka Lik-oh tenang-tenang saja tanpa mengunjuk sesuatu perasaan kuatir Yo Ko akan keracunan, maka percayalah dia bahwa teh itu tidak berbahaya. Segera iapun minum habis isi mangkuk itu.
“Creng”, ia membentrok kedua senjatanya dan berkata: “Nah, tak perlu mengaso lagi, marilah kita mulai bertempur pula, Hm, kalau saja perempuan hina itu tidak memberi petunjuk pada-mu, biarpun kau mempunyai jiwa serep juga sudah melayang sejak tadi.”
Pada saat itulah mendadak Kiu Jian-jio menanggapi deagan suara dingin: “Sekarang ilmu kebalnya sudah pecah, boleh kau incar saja Hiat-tonya.”
Kongsun Ci melengak, segera ia merasakan ujung lidahnya ada rasa amisnya darah, sungguh kejutnya tak terkatakan.
Kiranya ilmu kebal tutukan Hiat-to yang dilatihnya itu pantang makan minum barang berjiwa, untuk menjaga segala kemungkinan, maka ia melarang setiap anak buahnya di Cui-sian-kok untuk makan daging dan barang apa saja yang berbau darah. Meski orang lain tidak melatih ilmu kebal itu, tapi terpaksa mesti ikut tersiksa.
Walaupun Kongsun Ci sudah berjaga dan hati-hati sama sekali tak terduga olehnya bahwa Kiu Jianjio akan menaruh darah dalam teh yang diminumnya itu. Bagi Yo Ko tentu tidak menjadi soal tapi bagi Kongsun Ci, teh campur tetesan darah itu seketika membuat ilmu kebalnya itu hancur…
Saking murkanya ia berpaling dan melihat Kiu Jian-jio sedang komat kamit asyik makan kurma, tangan yang satu menggengam kurma, tangan yang lain melangsir buah kurma itu ke mulut dan dimakan dengan nikmatnya.
“Ilmu itu adalah pemberianku dan sekarang aku yang memusnahkannya, kan tidak perlu heran dan kaget toh?” kata Kiu Jian-jiu dengan tersenyum.
Kedua mata Kongsun Ci merah berapi, ia angkat kedua senjatanya terus menerjang ke arak Kiu Jian-jio.
Lik-oh terkejut, cepat ia memburu maju hendak melindungi sang ibu. Tapi mendadak terdengar angin keras menyamber di sebelah telinga, menyusul terdengar Kongsun Ci menjerit keras-keras, senjatanya terlepas dari tangan, sambil menutupi mata kanannya terus berlari keluar, terdengar suara jerit tangisnya yang mengaung ngeri dan makin menjauh, akhirnya lenyap di tengah pegunungan.
Para hadirin saling pandang dengan bingung karena tidak tahu dengan cara bagaimana Kiu Jian-Jiu melukai Kongsun Ci, Hanya Yo Ko dan Lik-oh saja yang tahu duduknya perkara, jelas Kiu Jian-Jio menggunakan biji kurma yang disemprotkan dari mulutnya itu, untuk membutakan mata bekas suaminya itu, Waktu Yo Ko bertempur dengan Kongsun Ci, diam-diam Kiu Jian-jio sudah mengumpulkan beberapa biji kurma didalam mulutnya, cuma waktu itu dia tidak berani sembarangan bertindak, ia lihat ilmu silat Kongsun Ci sudah jauh lebih maju, ia kuatir kalau sekali serang tidak kena maka akan membikin runyamnya urusan dan selanjutnya pasti sukar lagi hendak melukai Kongsun Ci.
Sebab itulah lebih dulu Kiu Jian-jio memunahkan ilmu kebal Tiam-hiat yang dilatih Kongsun Ci itu dengan teh berdarah, lalu pada saat Kongsud Ci menjadi murka, mendadak iapun menyerangnya dengan semburan biji kurma yang merupakan satunya senjata yang dilatihnya selama belasan tahun ini, baik kekuatannya maupun kejituannya tidak kalah daripada senjata rahasia manapun juga.
Kalau saja tadi Lik-oh tidak memburu maju mendadak dan mengalang di depan, bukan mustahil kedua mata Kongsun Ci sudah buta semua, bahkan kalau dahinya yang kena biji kurma, tentu jiwanya juga melayang seketika.
Melihat ayahnya mendadak lari pergi, Lik-oh merasa tidak tega, ia terkesima dan berseru: “Ayah, ayah!”
Segera ia bermaksud berlari keluar untuk melihat kepergian sang ayah, tapi Kiu Jian-jio lantas menghardiknya dengan suara bengis: “Jika kau ingin ayah, bolehlah kau pergi bersama dia dan jangan menemui aku lagi selamanya.” Lik-oh menjadi serba salah, tapi mengingat persoalan ini
memang terpangkal pada kesalahan sang ayah, sedangkan siksa derita sang ibu jauh melebihi ayah, pula ayahnya sudah pergi jauh, untuk menyusulnya juga tidak dapat Iagi. terpaksa
ia melangkah kembali dan menuuduk dengan diam.
Dengan angkuhnya Kiu Jian-jio duduk di kursinya, dipandangnya sini dan diliriknya sana, lalu mengejeknya: “Hm, bagus! Kalian datang untuk pesta pora bukan? Tapi pestanya buyar tanpa jamuan, kalian tentu kecewa, bukan?”
Semua orang sama ngeri tersapu oleh sorot matanya yang tajam itu, semuanya kuatir kalau mendadak nenek itu menyemburkan senjata rahasianya yang aneh dan jiwa bisa
melayang seketika. Hanya Kim-lun Hoat-ong, In Kik-si dan Siau-siang-cu saja yang sama siap siaga.
Bahwa akhirnya Kongsun Ci mengalami nasib begitu, hal inipun tak terduga oleh Siao-liong-li dan Yo Ko, mereka sama menghela napas panjang, lalu saling genggam tangan dengan kencang. walaupun begitu Siao-liong-Ii tidak lupa kepada budi pertolongan jiwa Kongsun Ci, kini penolong itu terluka parah dan telah kabur, mau-tak-mau iapun rada menyesal, segera ia mengedipi Yo Ko, kedua orang lantas melangkah pergi.
Tapi baru sampai di ambang pintu, mendadak Kiu Jian-jio membentaknya “Yo Ko hendak ke mana?”
Yo Ko memutar balik dan memberi hormat, katanya: “Kiu-locianpwe, nona Lik-oh, sekarang juga kami mohon diri.”- ia tahu umur sendiri takkan lama lagi, maka iapun tidak mengucapkan “sampai berjumpa” segala.
Likoh membalas hormat anak muda itu tanpa berkata.
sedangkan Kiu Jian-jio lantas menghardik pula dengan gusar “Sudah kujodohkan puteriku satunya ini padamu, mengapa kau tidak sebut aku sebagai ibu mertua, bahkan sekarang mau pergi begitu saja?”
Yo Ko melengak bingung, ia merasa tidak pernah menyatakan mau terima si nona meski nenek itu memaksa untuk menjodohkan Lik-oh padanya.
Segera Kiu Jian-jio berkata pula: “Ruangan upacara di sini sudah tersedia, segala sesuatu juga sudah disiapkan, tamu undanganpun sudah hadir sekian banyak, kaum persilatan kita juga tidak perlu banyak adat, sekarang juga kalian berdua boleh menikah saja.”
Padahal demi Siao-liong-li, Yo Ko telah menempur mati-matian dengan Kongsun Ci, ini telah disaksikan sendiri oleh Kim-Iun Hoat-ong dan lain-lain.
Kini Kiu Jian-jio memaksa Yo Ko menjadi mantunya, mereka tahu sebentar pasti akan terjadi keonaran lagi. Mereka saling pandang dengan tersenyum dan ada pula yang geleng-geleng kepala.
Dengan sebuah tangan merangkul bahu Siao-liong-li dan tangan lain memegangi tangkai Kun-cu-kiam, berkatalah Yo Ko: “Maksud baik Kiu-locianpwe kuterima dengan terima kasih, namun hati wanpwe sudah terisi, sesungguhnya aku tidak jodoh dengan puterimu.”
Sembari bicara iapun melangkah mundur pelahan, ia tahu watak Kiu Jian-jio sangat aneh, bukan mustahil nenek itu mendadak menyemprotkan biji kurma, maka ia sudah siapkan pedangnya untuk menangkis.
Kiu Jian-jio melotot gusar sekejap ke arah Siao-liong-Ii, lalu berkata pula: “Hm, rase cilik ini memang amat cantik, pantas yang tua bangka ter-gila-gila, yang muda juga kesemsem padanya.”
Cepat Lik-oh menyela: “Bu, sudah lama Yo-toako dan nona Liong ini terikat oleh janji pernikahan, persoalan mereka biarlah nanti kuceritakan padamu.”
Tapi Kiu Jian-jio lantas mendamperatnya: “Cis, memangnya kau anggap ibumu ini siapa? Apa yang sudah kukatakan masakah boleh diubah? Nah, orang she Yo, mau-tak-mau kau harus tinggal di sini, jangankan anak perempuanku cukup cantik dan cocok bagimu, sekalipun dia bermuka jelek juga hari ini kau mesti memper isteri kan dia.”
Mendengar ucapan si nenek botak yang tidak semena-mena itu, Be Kong-co terbahak-bahak dan berseru: “Haha, suami-isteri yang tinggal di sini ini benar-benar suatu pasangan manusia ajaib, yang laki memaksa perawan orang untuk menjadi isterinya, yang perempuan juga memaksa pemuda untuk mengawini puteri-nya. Hahaha, sungguh lucu!
Eh, kalau orang menolak boleh tidak?”
“Tidak boleh!” jengek Kiu Jian-jio mendadak.
Dan selagi Be Kong-co bergelak tertawa pula dengan mulut terbuka, sekonyong-konyong terdengar suara mendesisnya suatu benda kecil, satu biji kurma telah menyamber ke dahinya secepat kilat dan tampaknya sukar dihindarkan.
Saking kagetnya cepat Be Kong-co menjongkok, “plok”, dua buah gigi depannya rompal seketika terkena biji kurma itu, Keruan Be Kong-co menjadi murka, ia mengerang dan menubruk maju.
“Awas, Be-heng!” cepat In Kik-si memperingat kan. Namun sudah terlambat, “plak - plok”, tahu-tahu dua tempat Hiat-to pada kedua kaki Be Kong-co tepat terbidik oleh biji kurma yang disemprotkan Kiu Jian-jio, kontan kakinya lemas dan jatuh ter-sungkur tak dapat bangun.
Menyambernya biji2 kurma itu sungguh cepat luar biasa, Waktu Be Kong-co bergelak tertawa tadi Yo Ko sudah memperkirakan Kiu Jian-jio pasti akan menghajar si dogol, segera ia melolos pedang hendak menolongnya, tapi tetap terlambat sedikit cepat ia membuka Hiat-to kaki Be Kong-co yang terbidik biji kurma itu dan membangunkannya.
Orang dogol biasanya berhati jujur, begitu pula Be Kong-co, dia berani mengaku kalah, apalagi melihat Kiu Jian-jio tanpa bergerak, hanya pentang mulut saja lantas dapat merobobkaanya, hatinya menjadi sangat kagum, sambil mengacungkan ibu jari ia memuji: “Kau sungguh hebat, nenek botak, kepandaianmu jauh lebih tinggi daripadaku aku mengaku kalah dan tak berani lagi padamu,”
Kiu Jian-jio tidak menggubrisnya, ia mendelik pada Yo Ko dan bertanya: “Jadi kau tetap tidak mau menikahi puteriku?”
Merasa dibikin malu di depan orang banyak, Kongsun Lik-oh tidak tahan lagi, ia melolos belati dan mengancam dada sendiri sambil berteriak: “Ibu, jika engkau tanya dia lagi, segera anak membunuh diri di depanmu!”
Mendadak Kiu Jiati-jio pentang mulutnya “berrr”, satu biji kurma terus menyamber ke sana dan tepat menghantam belati yang di pegang Lik-oh itu, begitu hebat tenaganya sehingga belati itu mencelat dan menancap pada tiang batu.
Semua orang sama berseru kaget dan kagum betapa lihaynya senjata rahasia si nenek.
Yo Ko pikir tiada gunanya tinggal lebih lama di situ, segera ia gandeng Siao-liong-li dan diajaknya berangkat Dengan perasaan pedih cepat Lik-oh mendekati Yo Ko dan menyodorkan baju robek yang dipinjamnya dari Yo Ko tempo tari, katanya dengan sedih “Yo toako inilah bajumu!”
“Oh, terima kasih,” jawab Yo Ko dan menerima kembali baju itu, ia dan Siau-liong-li cukup memahami maksud Lik-oh, yaitu sengaja mengaling di depan Yo Ko agar Kiu Jian-jio tidak dapat menyerangnya dengan biji kurma.
Dengan tersenyum simpul Siao-liong-li juga menyatakan terima kasihnya dengan mengangguk pelahan. Lik-oh memberi isyarat pula dengan mulutnya agar kedua orang itu lekas pergi saja.
Akan tetapi mendadak Kiu Jian-jio berteriak pula: “Yo Ko, kau tidak mau menikati puteriku, apakah jiwamu juga kau tidak mau lagi?”
Yo Ko tersenyum pedih dan melangkah mundur keluar pintu, Tiba-tiba Siao-liong-li merandek, hatinya terkesiap, katanya: “Nanti dulu!” Lalu ia bertanya dengan suara lantang: “Kiu-iocianpwe, apakah engkau mempunyai obat penawar racun bunga cinta?”
Sebenarnya hal ini sudah terpikir oleh Lik-oh, ia menduga sang ibu pasti akan menggunakan obat penawar sebagai alat pemeras kepada Yo Ko agar anak muda itu mau menikahinya, sebab itulah sejak tadi ia tak berani memohonkan obat itu bagi Yo Ko, betapapun ia adalah gadis suci bersih, dengan sendirinya tidak pantas membela Yo Ko di depan umum tapi sekarang urusan sudah gawat, ia tidak dapat memikirkan hal-hal itu lagi, segera ia berkata kepada sang ibu: “Kalau saja Yo-toako tidak memberi bantuan, tentu saat ini ibu masih terkurung di gua bawah tanah itu, utang budi harus membalasnya dengan budi, haraplah ibu suka berusaha menyembuhkan racun yang diidap oleh Yo-toako itu,” “Hm, utang budi balas budi, utang jiwa balas jiwa?
Masakah di dunia ini dapat membedakan budi dan dendam sejelas itu?” jengek Kiu Jian-jio, “Coba katakan, apakah Kongsun Ci memperlakukan diriku secara begitu keji juga termasuk balas budinya padaku?”
Mendadak Likoh berteriak: “Anak paling benci terhadap lelaki yang tidak beriman. Kalau orang she Yo ini juga sengaja meninggalkan kekasih lama dan ingin menikahi anak, biarpun mati juga anak tidak sudi menjadi isterinya.”
Sebenarnya ucapan Lik-oh ini sangat cocok dengan jalan pikiran Kiu Jian-jio, tapi segera iapun tahu maksud tujuan Lik-oh, nona itu teramat cinta kepada Yo Ko, kalau anak muda itu mau menikahinya tentu saja ia bersedia pula, Cuma terpaksa oleh keadaan sekarang, yang diharapkan adalah menolong dulu jiwa Yo Ko.
Kim-Iun Hoat-ong, In Kik-si dan lain-Iain saling pandang dengan tersenyum menyaksikan adegan “kawin paksa” yang menarik ini. Sampai sekarang baru Kim1um Hoat-ong mengetahui Yo Ko mengidap racun, diam-diam ia bergirang dan berharap anak muda itu tetap kepala batu, dengan begitu orang yang berwatak seperti Kiu Jian-jio itu juga pasti takkan memberi obat penawarnya apabila tiada mendapatkan imbalan yang sesuai dengan kehendaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar