Li Bok-chiu |
Jilid 4. PEMUDA
PENGGEMBALA ULAR.
Hari
itu mereka tiba di kabupaten Ouwciu, Kwa Tin-ok mengajak Kwe Hu bermalam di
rumah seorang petani, maklum sudah tua, gampang capai sehingga tidurnya teramat
nyenyak, di luar tahunya pagi-pagi benar Kwe Hu sudah membawa kedua ekor
rajawali itu keluyuran di luar. Memang kebetulan juga, secara tidak terduga ia
berhasil menolong Bu Siu-bun dari terkaman harimau buas.
Begitulah
setelah beberapa gebrakan melawan Li Bok-chiu,
Kwa Tin-ok tahu bahwa dirinya bu kan
tandingan orang, segera ia kembangkan ilmu permainan tongkat,
Hok-mo-tiang-hoat, dengan rapat ia mempertahankan diri
Diam2
Li Bok-chiu memuji dalam hati: “Tua bangka ini dikenal sebagai pentolan
Kang-lam chit-koay, kiranya tidak bernama kosong, matanya buta kakinya pincang,
sudah tua dan tenaga lemah lagi, namun masih kuat melawan puluhan jurus
seranganku.”
Didengarnya
Liok Lip-ting dan isterinya ber-kaok2 sedang memburu datang bersama Bu Sam-nio,
diam2 ia berkeputusan: “Kabarnya tua bangka ini adalah guru Kwe Ceng,
Kwe-tayhiap, jangan aku sampai melukainya, kalau sampai Kwe Ceng suami isteri
mencari perkara padaku, tentu akan serba menyulitkan, biarlah hari ini aku
memberi kelonggaran kepadanya.”
Segera
kebutnya bergerak, ujung kebut mendadak tegak kaku, seperti ujung sebuah tombak
terus didorong menusuk ke dada Kwa Tin-ok. Meski kebut itu terdiri dan benda2
lemas, namun dengan Lwekangnya yang hebat, daya tusukan ini sungguh luar biasa.
Lekas
Kwa Tin-ok ketukan tongkat besinya ke tanah, badannya lantas tertolak mundur ke
belakang beberapa langkah, Li Bok-chiu maju se-tapak, agaknya seperti hendak
mengejar dan menyerang, siapa tahu se-konyong2 badannya mendorong ke belakang,
pinggangnya lemas gemulai se-olah2 tidak bertulang, tahu2 pundaknya hanya
terpaut satu dua kaki di depan Bu Sam-nio.
Keruan
Bu Sam-nio kaget, lekas ia lancarkan ilmu It-yang-ci, ia menutuk ke jidat
orang, Sayang ilmunya ini belum mencapai tingkat tinggi, gerak geriknya kurang
cekatan dan cepat, begitu pinggang li Bok-chiu meliuk, se-olah2 setangkai bunga
teratai yang tertiup angin, tahu2 ia sudah menggeliat ke samping, malah “plak”,
tahu2 perut Liok-toanio terkena sekali gablokannya.
Jik-lian-sin-ciang
Li Bok-chiu sudah termasyhur dan menggetarkan setiap jago persilatan, kontan
Liok-toanio roboh terguling, Liok Lip-ting tidak lagi menghiraukan keselamatan
jiwa sendiri, golok segera ia timpukan ke arah Li Bok-chiu, berbareng ia
pentang kedua tangannya menubruk maju hendak memeluk pinggang orang untuk
mengadu jiwa,
sebagai
perawan suci bersih, karena patah hati perangai Li Bok-chiu berubah sadis dan
tidak kenal kasihan lagi, terutama ia amat membenci hubungan asmara muda mudi,
kini melihat Liok Lip-ting hendak memeluk badannya, terlihat raut mukanya
lapat2 rada mirip ayahnya diwaktu muda dulu, rasa bencinya semakin berkobar,
setelah ia pukul jatuh golok orang dengan kebutnya, sekali ayun pula, “sret”,
telak sekali kebutnya memukul batok kepala Liok Lip-ting. Kasihan Liok Lip-ting
yang membekal ilmu silat warisan keluarga yang tinggi, selama hidup tidak
pernah menanam permusuhan dengan orang lain, tak nyana hari ini dia terjungkal
habis-habisan.
Beruntun
ia melukai Liok Lip-ting suami istri, kejadian berlangsung dalam waktu yang
amat pendek Kwa Tin-ok dan Bu-
Sam-nio berusaha meno-long, namun
terlambat.
Li
Bok-chin, serunya: “Dimana” kedua bocah perempuan itu ?”
Tanpa
menanti jawaban, bayangan berkelebat langsung ia melesat masuk ke dalarn
perkampungan dalam sekejap saja ia sudah periksa setiap pelosok rumah, namun
tidak kelihatan bayangan Thia Eng dan Liok Bu-siang.
Dari tungku di dapur ia mengambil api terus menyulutnya di-gudang kayu bakar,
tak lama kemudian dia sudah berlari keluar pula, katanya dengan tersenyum:
“Dengan Tho-hoa-to dan It-teng Taysu aku tidak bermusuhan kalian silahkan pergi
saja !”
Kwa
Tin-ok dan Bu Sam-nio terhitung golongan pendekar, mereka menyaksikan orang
meng-ganas panta dapat berbuat banyak, keruan gusar mereka bukan kepalang,
sebatang tongkat dan sebilah pedang serempak menubruk maju pula, Li Bok-chiu
bergerak lincah seperti kupu2 menari, ia miringkan badan menghindari sambaran
tongkat besi, sementara kebutnya terayun membelit pedang Bu Sam-nio, tenaga
dalam tersalur melalui ujung kebutnya, sekali tarik dan dorong pula, terdengar
“pletak !”, pedang itu putus menjadi dua potong, ujung pedang melesat ke arah
Bu Sam-nio, sementara gagang pedang menyamber ke muka Kwa Tin-ok.
Bahwa
pedangnya terkebut lawan Bu Sam-nio sudah amat kaget, di luar dugaan orang
dapat mematahkan pedangnya dengan kebut yang lemas saja untuk menyerang dirinya
pula, kutungan pedang itu melesat cepat, lekas ia menunduk kepala untuk
berkelit, terasa kepala menjadi dingin dan silir, ujung pedang menyamber lewat
memotong sebagian gelungan rambutnya.
Dilain
pihak, mendengar samberan angin ke-keras, ujung tongkat Kwa Tin-ok sapukan ke
depan untuk menyampuk gagang pedang itu ke samping, didengarnya Bu Sam-nio menjerit
kaget. dan ketakutan, lekas ia putar tongkatnya hingga menderu kencang dan
merangsak maju, sebetulnya tangan kirinya sudah menggenggam senjata rahasia,
tapi ia tahu Ping-pok-ciau milik Jik-lian-sian-cu amat ganas dan keji, mata
sendiri tidak bisa melihat, jangan2 malah memancing orang mengeluarkan jarumnya
yang berbisa itu, sudah tentu dirinya tidak akan mampu melawan, oleh karena itu
meski situasi sangat gawat, ia tidak berani sembarangan menimpukkan senjata
rahasianya.
Sejak
mula Li Bok-chiu selalu memberi kelonggaran kepadanya, pikirnya: “Kalau tidak
ku unjuk kelihaianku yang sejati, tua bangka ini tentu tidak tahu aku sengaja
mengalah kepadanya.” Ujung kebutnya segera membelit ujung tongkat orang, Kontan
(Kwa Tin-ok merasa segulung tenaga hebat membetot tongkatnya, lekas ia,
kerahkan tenaga untuk menarik balik, siapa tahu baru saja tenaganya tersalur ke
ujung tongkat, mendadak” kekuatan betotan kebut musuh sirna tanpa bekas,
seketika ia merasakan kaki tangan menjadi lemas se-olah2 kosong melompong tak
kuasa mengerahkan tenaga lagi.
Sedikit
menggerakkan tangan kirinya Li
Bok-chiu sendal tongkat orang ke
samping, telapak tangannya hanya satu dua dim saja di depan dada Kwa Tin-ok,
katanya tertawa: “Kwa-loyacu, Jik-lian-sin-ciang sudah mengusap di depan dadamu
lho!”
Dada
Kwa Tin-ok terbuka lebar dan tidak mampu menangkis atau membela diri, tapi ia
lantas memaki dengan gusar: “Perempuan keparat, tepukkan saja ke dadaku, kenapa
cerewet ?”
Melihat
gelagat yang jelek ini Bu
Sam-nio kaget dan memburu hendak
menolong. Tangkas sekali Li
Bok-chiu sudah melejit ke udara,
disaat badannya masih terapung di udara, telapak tangannya sempat mengusap
sekali dimuka Bu Sam-.nio. Katanya tertawa: “Kau berani mengggebah muridku,
nyalimu cukup besar juga!” - Habis berkata ia tertawa cekikikan, sekali lompat
badannya melayang jauh dan sekejap saja sudah tidak kelihatan lagi,
Terasa
oleh Bu Sam-nio jari orang yang meraba mukanya itu sedemikian halus dan licin,
kulit mukanya terasa dingin nyaman, dilihatnya bayangan orang berkelebat ke
dalam hutan dan menghilang, Hanya beberapa jurus saja ia melabraknya, namun
gebrakan yang berlangsung tadi boleh dikata berbahaya sekali, ia kerahkan
seluruh kekuatannya, akhirnya toh roboh dan tak mampu bergerak Kwa Tin-ok
tadipun merasakan dadanya seperti ditindih batu besar ribuan kati, napas sesak
terasa mual, segera ia menarik napas dalam2 beberapa kali, barulah
pernapasannya dapat lancar kembali.
Dengan
susah payah Bu Sam-nio merangkak bangun, didengarnya suara gemuruh dan angin
menderu, hawa terasa sangat panas, ternyata Liok-keh-ceng sudah tertelan jago
merah yang membara, Dengan Kwa Tin-ok mereka mengangkat tubuh Liok Lip-ting
suami isteri, tampak kedua orang sudah kempas kempis, terang tinggal menunggu
ajal saja, pikirnya: “Kalau memindahkan mereka, tentu ajalnya akan tiba lebih
cepat, namun tak mungkin Kubiarkan mereka di sini, bagaimana baiknya ?”
Disaat
serba susah itulah tiba2 dari jauh di dengarnya seseorang berteriak: “Niocu,
apa kau selamat ?” - itulah suara Bu Sam-thong.
Girang
dan dongkol pula Bu Sam-nio, pikirnya kau si gila ini entah berbuat apa saja
dan sampai sekarang baru datang, Dilihatnya pakaian sang suami sudah robek dan
penuh tambalan,” sedang berlari cepat mendatangi sambil ber-kaok2 selamanya Bu
Sam-nio belum pernah menghadapi sikap suaminya yang begitu mesra terhadap
dirinya, hatinya menjadi senang, sahutnya lantang: “Aku di sini!”
Cepat
sekali Bu Sam-thong meluncur tiba, tanpa berhenti ia raih badan Liok Lip-ting
berdua terus dibawa pergi sambil berteriak: “Lekas ikut aku !”
Kwa
Tin-ok belum saling memperkenalkan diri, namun ia yakin orang adalah sekaum
dari golongan pendekar, maka segera ia ikut jejak orang, sekaligus mereka lari
sejauh beberapa li, Bu Sam-thong menjinjing dua orang, Kwa Tin-ok pincang
berjalan dengan menggunakan tongkat, namun Bu Sam-nio malah ketinggalan paling
jauh.
Bu
Sam-thong menyusup ke timur dan berputar ke barat, akhirnya ia bawa kedua orang
memasuki sebuah gua di sebuah lekukan gunung, Begitu masuk ke dalam gua itu, Bu
Sam-nio melihat Tun-ji dan Siu-bun, kedua puteranya itu selamat tak kurang
suatu apapun, ia merasa lega, Dilihat-nya kedua puteranya sedang bermain, batu
di tanah bersama Liok Bu-siang dan Thia Eng.
Di ujung sana berdiri seorang
gadis cilik lain yang berpakaian mewah, Usianya lebih kecil dari Liok dan Thia,
namun sikap dan tindak tanduknya kelihatan sombong, ia tidak sudi bermain
dengan mereka berempat, Dia bukan lain adalah puteri kesayangan Kwe Ceng dan Oey Yong,
Kwe Hu adanya.
Melihat
Kwa Tin-ok ikut datang segera Kwe Hu berteriak: “Kwa-kongkong, kedua burung itu
entah pergi kemana, tidak kelihatan bayangannya, ku panggil berulang kali juga
tidak mau kembali!”
Sementara
itu Thin Eng dan Liok
Bu-siang lantas memeluk badan
Liok-toanio dan Liok Lip-ting serta menangis sambil menjerit2. Mendengar jerit
tangis kedua anak perempuan ini, seketika Kwa Tin-ok teringat akan kata2 Li Bok-chiu,
serunya kuatir: “Wah, celaka ! Kita memancing setan masuk pintu, sebentar iblis
laknat itu pasti menyusul kemari!”
“Bagaimana
bisa ?” tanya Bu Sam-nio
bingung.
“Gembong
iblis itu hendak mencabut nyawa kedua “bocah dari keluarga Liok ini, tapi dia
tidak tahu dimana mereka berada.”
Seketika Bu Sam-nio sadar, ujarnya: “Ya,
benar,, dia sengaja tidak melukai kami, tapi mengintil di belakang kita secara
diam2.”
Bu
Sam-thong menjadi gusar, teriaknya: Se-tan keparat itu berani mengganas,
sebentar biar aku yang menempurnya.”
Batok
kepala Liok Lip-ting sudah remuk, namun ada satu hal yang belum dia selesaikan
maka ia bertahan sampai sekarang, dengan suara lemah katanya kepada Thia Eng:
“Ah-ing, ambillah sapu… sapu…. sapu tangan di dalam bajuku.”
Thia
Eng menyeka air mata, lalu merogoh keluar sehelai sapu tangan sutera dari baju
sang paman. Sapu tangan ini terbuat dari sutera putih, tiap ujungnya tersulam
bunga merah, Bentuk dan warna bunga itu amat aneh dan lain dari bunga biasanya,
kelihatan indah menyolok tapi menyeramkan pula, selintas pandang membuat
berdiri bulu kuduk orang.
Kata
Liok Lip-ting: “Ah-Eng, ikatlah sapu tangan ini di lehermu, jangan kau copot
lagi, tahu tidak ?”
Thia Eng tidak tahu
maksudnya, namun pamannya berpesan wanti2, maka ia mengangguk serta mengiakan,
Saking
kesakitan Liok-toanio sudah jatuh pingsan berulang kali, mendengar suara
suaminya, segera ia membuka mata, katanya: “Kenapa tidak kau berikan kepada
anak Siang ? Berikan kepada Siang-ji!”
“Tidak!”
sahut Liok Lip-ting tegas, “Mana boleh aku mengingkari pesan ayah bundanya ?”
“Kau…
kau sungguh kejam, puterimu sendiri tidak kau hiraukan lagi keselamatannya ?”
mata Liok-toanio memutih, suarapun serak dan jatuh semaput lagi.
Liok Bu-siang tidak tahu soal apa
yang dipertengkarkan ayah bundanya, sambil menangis ia berteriak: “lbu Ayah !”
“Niocu!”
ujar Liok Lip-ting dengan suara lembut: “Kau amat sayang kepada Siang-ji,
biarlah dia ikut berangkat bersama kita ?”
Sapu
tangan sutera putih bersulam bunga merah itu adalah pemberian Li Bok-chiu
kepada Liok Tian-goan dimasa mudanya sebagai tanda mengikat janji, Menjelang ajal,
Liok Tian-goan tahu dosa2 mereka suami isteri bertumpuk dan banyak musuh, anak
cucunya kelak pasti terlibat banyak urusan, maka ia wariskan sapu tangan itu
kepada puteranya.
Dengan
wanti2 ia berpesan, bila Bu Sam-thong meluruk datang menuntut balas, kalau bisa
menghindari adalah baik, kalau tidak bolehlah dilawan sekuat tenaga dan rasanya
jiwa tidak akan melayang cuma2. Tapi kalau Li Bok-chiu
yang datang, orang ini amat keji dan ganas pula, ilmu silatnya juga tinggi,
satu2-nya jalan untuk menyelamatkan diri ialah mengalungkan sapu tangan sutera
putih itu di leher. ingat akan asmara
dimasa mudanya, mungkin si iblis itu tidak tega turun tangan,
Tapi
Liok Lip-ting sendiri tinggi hati, meski menjelang ajal, namun ia sendiri tidak
mau unjuk sapu tangan itu.
Thia Eng adalah puteri
saudara~ perempuan Liok Lip-ting yang dititipkan padanya, Biasanya ia bersikap
keras kepada keponakan ini, sering ia memarahinya dan mendidiknya dengan keras,
tapi urusan sudah berlarut sedemikian jauh, malah dia berikan sapu tangan penyelamat
itu kepada Thia Eng.
Betapapun
Liok-toanio berjiwa lebih sempit, kasih sayangnya kepada puteri sendiri lebih
besar, melihat sang suami tidak perdulikan keselamatan jiwa puteri sendiri,
saking dongkol dan gusar, kontan ia jatuh semaput lagi.
Karena
soal sapu tangan sampai bibi dan pamannya bertengkar segera Thia Eng angsurkan
sapu tangan itu kepada Piaumoay-nya, katanya: “Bibi bilang untuk kau, nah,
terimalah !”
Tapi Liok ” Lip-ting segera
membentak: “Siang-ji, jangan kau terima !”
Bu Sam-nio tahu dalam hal ini
pasti ada latar belakang yang dirahasiakan segera ia tampil bicara: “Bagaimana
kalau sapu tangan ini disobek menjadi dua potong ? Satu orang separoh, boleh
tidak ?”
Liok
Lip-ting hendak bicara, namun keadaannya sudah sangat payah, mana bisa mengeluarkan
suara pula, terpaksa ia hanya mengangguk saja,
Bu Sam-nio segera minta sapu
tangan itu “bret” ia sobek menjadi dua
dan dibagikan kepada Liok
Bu-siang dan Thia Eng.
Bu Sam-thong berdiri di mulut
gua, mendengar jerit tangis di sebelah “dalam, tak tahu apa yang terjadi,
segera ia berpaling, entah mengapa dilihatnya separuh muka isterinya berwarna
hitam separuh yang lain putih halus seperti salju, keruan ia kaget dan kuatir,
katanya sambil menuding muka sang isteri: “Ke… kenapa begini ?”
“Kenapa
?” tanya Bu Sam-nio sambil meraba mukanya, terasa kulit mukanya seperti kaku
dan mati rasa, mencelos hatinya, seketika teringat akan rabaan tangan li
Bok-chiu pada mukanya tadi, apa tangan halus dan lembut itu menggunakan racun
dalam rabaannya tadi ?
Baru
saja Bu Sam-thong hendak bertanya pula, mendadak didengarnya seorang tertawa di
luar gua, katanya: “Kedua bocah perempuan itu di sini bukan ? Perduli mati atau
hidup, lekas lempar keluar!” suaranya nyaring seperti kelintingan.
Bu Sam-thong segera melompat keluar
gua, dilihatnya Li
Bok-chiu sedang berdiri di luar
gua, seketika hatinya tergetar: “Puluhan tahun tidak bertemu, kenapa dia masih
sedemikian cantik ?”
Tapi
dilihatnya kebut di tangan Li Bok-chiu bergoyang gontai, sikapnya adem-ayem,
pandangan matanya tajam, kedua pipinya bersemu merah, bagi orang yang tidak
kenal iblis yang suka mengganas ini, orang pasti mengira orang adalah putri
hartawan yang sengaja menjadi Tokoh (pendeta wanita agama Tao).
Melihat
kebut baru Bu San-thong ingat dirinya tidak membekal senjata, kalau balik
mengambil ia kuatir orang akan menerjang masuk dan melukai Thia Eng atau Liok
Bu-siang, sekilas dilihatnya di pinggir gua tumbuh sebatang pohon, segera ia
rangkul dengan kedua tangan serta menghardik keras: “Naik !” Waktu ia kerahkan
tenaga, pohon itu seketika kena dicabut sampai akar-akarnya,
Li Bok-chiu tersenyum genit:
“Amat besar tenagamu !”
Bu Sam-thong segera melintangkan
batang pohon itu, katanya: “Nona
Li, puluhan tahun tidak bertemu,
kau baik-baik saja ?”
Dahulu
ia biasa panggil orang nona Li, kini meski orang sudah masuk agama menjadi
pendeta To, namun ia tidak mengubah panggilannya, selama dua puluhan tahun
terakhir ini Li Bok-chiu tidak pernah mendengar orang memanggil dirinya dengan
sebutan “nona Li”, seketika tergerak hati-nya, terbayang olehnya akan kehidupan
manis mesra masa mudanya dahulu, namun kilas lain ia pun berpikir: sebetulnya
aku dapat hidup rukun sampai hari tua bersama pujaan hatiku, siapa tahu dalam
dunia ini muncul seorang yang bernama Ho Wan-kun yang membuat aku malu dan
kehilangan, pamor, aku hidup menderita sampai hari tua. Se gera rasa manis
mesra yang menggejolak tadi se ketika tersapu bersih, perasaan berubah menjadi
benci dan dendam.
Seperti
Li Bok-chiu Bu Sam-thong juga seorang yang patah
hati dalam gelanggang asmara
boleh dikatakan mereka mengalami pendeta dan siksaan batin yang sama. Sepuluhan
tahun yang lalu Bu Sam-thong pernah melihat seorang diri Li Bok-chiu membunuh
puluhan Piausu dari Ho-si Piaukiok secara kejam dan tak berperi-kemanusiaan,
kalau dibayangkan sampai sekarang masih terasa seram, Para Piausu itu
sebetulnya tiada salah dan tiada dosa kepadanya, merekapun tiada sangkut paut
dengan Ho Wan-kun soalnya hanya karena merekapun she Ho, di kala kepedihan hati
tak terlampiaskan, ia luruk ke Ho-si Piau kiok serta membunuh habis semua
penghuninya, Kini dilihat pula oleh Bu Sam-thong raut muka perempuan ini
sebentar mengunjuk kelembutan hatinya, namun saat lain berubah bengis dan
menyeringai dingin, diam2 ia sangat menguatirkan keselamatan kedua anak
perempuan Liok dan Thia itu.
Berkata Li Bok-chiu: “Di atas dinding sudah kuberikan tanda sembilan
telapak tangan, aku tidak akan berhenti sebelum membinasakan sembilan orang,
Nah, Bu-samko, silahkan kau menyingkir !”
“0rang2
yang kau musuhi sudah sama mati, putera dan bininya pun sudah kau lukai, cucu
perempuannya yang masih kecil itu, harap kau ampuni saja !” kata Bu Sam-thong.
Li
Bok-chiu menggeleng sambil tersenyum, katanya: “Bu-samko, silahkan kau
minggir.”
Bu
Sam-thong pegang batang pohon itu lebih kencang, teriaknya: “Nona Li, kau
memang terlalu kejam, Ho Wan-kun.”
Seketika
berubah air muka Li Bok-chiu mendengar nama itu, katanya: “Aku sudah bersumpah
barang siapa di hadapanku menyinggung nama orang itu, maka kalau bukan aku yang
mati pasti dia yang mampus, Nah, Bu-samko, kau sendiri yang salah, jangan kau
menyalahkan aku.” Kebut-nya segera mengebas ke atas kepala Bu Sam-thong.
Jangan
pandang kecutnya itu kecil pendek, namun kebasannya ini cepat dan keras sekali,
rambut kepala Bu Sam-thong yang awut2an itu seketika seperti diterpa angin
ribut
Li
Bok-chiu tahu orang adalah murid kesayangan It-teng Taysu, meski tindak
tanduknya ling-lung, namun ilmu silatnya mempunyai keistimewaannya sendiri,
maka sekali turun tangan segera ia lancarkan serangan maut yang mematikan
Cepat
Bu Sam-thong angkat batang pohon itu dan mendadak terulur maju terus menyapu
dengan keras.
Melihat
sapuan keras dan lihay ini, badan Li Bok-chiu berkelebat melayang mengikuti
deru angin, sebelum daya kekuatan sapuan pohon itu melanda tiba, ia sudah
melompat ke depan terus menyerang ke muka lawan.
Hebat
memang kepandaian Bu Sam-thong, tidaklah sia2 Toan-hongya menggemblengnya
selama puluhan tahun, melihat orang merangsak maju, tangan kanan segera
terangkat, jari tengahnya terjulur menutuk jidat orang.
It-yang-ci
yang dia lancarkan ini tidak bisa dibandingi dengan permainan isterinya tadi,
kelihatannya gerak tangannya tidak begitu cepat dan hebat, namun serba rumit
dijajagi atau diraba perubahannya, aneh dan ajaib.
Tapi
badan Li Bok-chiu mendadak mencelat mundur beberapa tombak jauhnya,
Melihat
orang bergerak segesit kera selincah kupu menyelusuri kembang, datang pergi
seenteng asap, dalam sekejap saja merangsak maju dan mundur beberapa kali,
mau-tidak-mau Bu Sam-thong sangat kagum dan tergetar.
Segera
ia kerahkan tenaga mengabitkan dahan pohon itu dengan hebatnya, serentak ia
desak lawan mundur puluhan tombak jauhnya, tapi sedikit ada peluang, Li
Bok-chiu segera menyelinap maju secepat kilat, untung It-yang-ci amat lihay,
kalau tidak tentu sejak tadi dia sudah terkapar roboh.”.
Meski
demikian, betapapun bobot dahan pohon itu terlalu berat, diputar sedemikian
kencangnya, lama-kelamaan ia merasa letih dan kehabisan tenaga, sebaliknya Li
Bok-chiu bergerak semakin gesit dan mendesak semakin dekat
Mendadak
bayangan putih berkelebat, tahu2 Li Bok-chiu melompat ke pucuk pohon sembari
mengayun kebutnya menyerang ke bawah dari tengah udara.
Bu
Sam-thong terkejut, lekas ia putar balik batang pohon terus dihantamkan ke
tanah, sambil tertawa Li Bok-chiu berlari maju melalui dahan pohon. segera Bu
San-thong memapak dengan tutukan jarinya. Tapi sekali menggeliat gemulai, badan
lawan tahu2 sudah menyurut mundur ke pucuk pohon pula.
Begitulah
beruntun puluhan jurus, bagaimanapun Bu Sam-thong kerahkan tenaga menggentak
pohon atau menyapukannya dengan hebat menghantam batang pohon yang lain untuk
menjatuhkan orang, namun Li Bok-chiu seperti lengket dengan dahan pohon di
tangannya itu, malah setiap kali kalau gerakan dahan pohon lamban ia lantas
menyerang maju dengan serangan ganas.
Lama
kelamaan Bu Sam-thong merasa payah juga, meski badan orang tidak terlalu besar
dan berat, paling tidak menambah beban di atas dahan pohon besar itu, dengan
berdiri di . pucuk pohon, dahan pohon itu tidak akan mampu mengenai dia, sebaliknya
orang lebih leluasa menyerang dirinya, terang dirinya dalam posisi yang
terdesak
Inysaf
akan kedudukan yang berbahaya ini, bila dirinya sedikit ayal atau lena, jiwa
sendiri tidak menjadi soal, tapi semua penghuni gua baik tua dan muda bakal
menjadi mangsa keganasannya pula.
Segera
ia ayun batang pohon itu lebih kencang, ia berusaha menjatuhkan orang dari
dahan pohon di tangannya, Tepat pada saat itulah, tiba2 dari belakang
didengarnya seruan nyaring disusul dua bayangan abu2 menubruk turun dari atas
Karena
pahanya tersambit jarum berbisa, Bu Sam-thong rebah tengkurap tak mampu bangun
Jagi, sementara Li Bok-chiu sedang sibuk dikerubuti dua ekor rajawali dan
seekor burung merah kecil berparuh panjang.
Waktu
Bu Sam-thong angkat kepala, dilihatnya dua ekor rajawali menukik turun bagai
meteor jatuh menyerang ke arah Li Bok-chiu dari kanan kiri, Melihat luncuran
kedua burung raksasa yang pesat dan dahsyat ini, cepat Li Bok-chiu menjungkir
ke bawah dengan kaki kiri tetap menggantol dahan pohon, Karena tidak berhasil
mengenai musuh, kedua rajawali itu terbang ke udara pula.
Baru
saja Bu San-thong keheranan, tiba2 didengarnya suara anak perempuan di
belakangnya: “Tiau-ji, ayo turun gigit perempuan jahat itu !”
Kedua
ekor burung rajawali itu amat cerdik dan tahu kata2 orang, seekor dari kiri ke
kanan, yang lain dari kanan ke kiri, empat cakar besinya serentak mencengkeram
ke bawah pohon.
Pernah
Li Bok-chiu dengar bahwa Kwe Ceng dan Oey Yong dari Tho-hoa-to ada memelihara
sepasang burung rajawali sakti, menghadapi serangan kedua burung sakti ini,
terhadap rajawali itu sendiri ia tidak takut, namun ia jeri bila Kwe Ceng suami
isteri berada tidak jauh dari situ, hal itu tentu akan membawa kesulitan dan
menggagalkan urusannya, dengan gerakan gemulai segera ia berkelit beberapa
kali, tiba2 ia ayun kebut-nya, “plok”, ia berhasil menyabet sayap kiri rajawali
jantan, ^saking kesakitan rajawali itu berpekik dan beberapa tangkai bulunya
rontok berhamburan di udara.
Melihat
burung rajawalinya cidera, Kwe Hu berteriak pula: “Tiau-ji jangan takut, gigit
perempuan galak itu.”
Sekilas
Li Bok-chiu melirik, dilihatnya anak perempuan itu berkulit halus bagai salju,
cantik melek dan menawan hati, tergeraklah hatinya: “Sejak lama kudengar bahwa
Kwe-hujin adalah perempuan tercantik nomor satu angkatan muda, memangnya anak
perempuan ini adalah puterinya ?” - Karena menggunakan pikiran, gerak gerik
kaki tangannya menjadi sedikit lamban,
Walaupun
mendapat bantuan sepasang rajawali namun Bu Sam-thong masih tidak kuasa
merobohkan lawannya, keruan hatinya semakin gelisah, Se-konyong2 pohon itu ia
lempar ke tengah udara bersama orangnya.
Agaknya
Li Bok-chiu tidak menduga akan perbuatannya ini, tanpa kuasa badannya ikut
terlempar beberapa tombak tingginya di udara.
Seperti
diketahui tenaga sakti Bu Sam-thong memang amat mengejutkan, dulu waktu Kwe
Ceng dan Ui Yang hendak minta bertemu dengan It Teng Taysu, di tepi jurang dia
mengangkat sepotong batu besar yang diatasnya rebah pula seekor sapi jantan
yang besar, ia kuat bertahan hampir setengah jam lebih,
Kepandaian
silat Li Bok-chiu memang tinggi namun karena dilempar sekuat itu, ia tidak
kuasa menyingkirkan diri lagi.
Melihat
dia melambung ke udara,, kedua rajawali itu segera menukik turun pula seraya
menutuk
Kalau
di atas tanah datar kedua rajawali ini tidak dapat mengapakan dirinya, sekarang
Li Bok-chiu terapung di tengah udara dan tiada tempat untuk pengerahan tenaga,
mana kuat melawan terjangan kedua rajawali yang hebat ini!
Dalam
gugupnya kebut terayun untuk melindungi mukanya, berbareng lengan baju
mengebas, sekaligus ia timpuk tiga batang jarum Peng-pok-gin-ciam. Dua batang
menerjang kedua rajawali sebatang ke arah dada Bu Sam-thong. Tiga batang
senjata rahasia dia timpukan ke tiga arah sasaran yang berlainan dengan tepat,
sungguh lihay sekali.
Kedua
rajawali itu rupanya tahu kelihaian jarum musuh, cepat pentang sayap melambung
tinggi pula ke tengah udara, tapi jarum perak itu menyamber teramat cepat,
“sret, sret” jarum menyerempet lewat sela2 cakar kaki dan mengelupas sedikit
sisik kulitnya,
Ketika
Bu Sam-thong tiba2 melihat sinar perak berkelebat lekas ia jatuhkan diri, namun
jarum perak itu masih mengenai juga paha kiri-nya, sebat sekali ia hendak
berdiri pula, siapa tahu kaki kirinya itu, ternyata tidak mau menurut perintah
lagi, lututnya tertekuk dan berlutut dengan tangan menyanggah tanah, ia.
kerahkan tenaga murni, baru saja hendak merangkak bangun pula, rasa kaku dengan
cepat sudah menjalar sekejap saja kedua kakinya sudah pati rasa, kontak ia
jatuh tengkurap, kedua tangan masih bertahan dan meronta hendak berdiri, namun
akhirnya ia rebah tak bergerak lagi.
“Tiau-ji,
Tiau-ji!” teriak Kwe Hu keras, “Lekas kemari!”
Kedua
ekor rajawali itu ternyata terbang entah kemana dan tidak mau mendengar
teriakannya lagi,
“Adik
cilik”, tegur Li Bok-chiu tersenyum, “apa kau she Kwe ?”
Melihat
orang bicara manis budi, Kwe Hu pun tertawa, sahutnya: “Ya, aku she Kwe. Kau
she apa ?”
“Mari
sini, ku ajak kau bermain,” perlahan Li Bok-chiu menghampiri hendak menggandeng
tangannya.
Dengan
mengetuk tongkatnya lekas Kwa Tin-ok menerjang keluar dari gua dan menghadang
di depan Kwe Hu, teriaknya: “Hu-ji, lekas masuk !”
“Memangnya
kau takut aku bakal menelannya bulat2 ?” ujar Li Bok-chiu tertawa cekikikan
Kaki kirinya sedikit mencungkit tongkat besi orang berbareng tangan kiri meraih
menangkap ujung tongkat.
Kwa
Tin-ok lekas menyendal serta menariknya, namun ia tidak berhasil melepaskan
cekalan orang, teriaknya: “Hu-ji lekas lari.”
Kwe
Hu malah bersungut dan berkata “Bibi ini hendak bermain dengan aku.” Tidak lari
ia malah hendak menarik tangan Li Bok-chiu.
Kwa
Tin-ok kaget, selagi kehabisan akal, tiba2 terdengar suara pekik kedua rajawali
yang telah terbang balik.
“Tiau-ji,
lekas ke sini!” Kwe Hu berseru.
Tiba2
samar merah berkelebat, seekor burung kecil warna merah yang berparuh panjang
mendadak menubruk langsung ke arah kepala Li Bok-chiu dari sela2 kedua burung
rajawali.
Keruan
Li Bok-chiu terkejut lekas kebutnya menyamber namun burung merah itu melayang
pergi datang dengan cepat, tiba2 badannya mundur tiga kaki ditengah udara
meluputkan diri dari kebutan itu. . Tapi secepat itu pula ia sudah menerjang
maju pula, gerak geriknya tidak kalah dari pada tokoh kosen dunia persilatan.
Kaget
dan senang pula Li Bok-chiu, katanya sambil tertawa: “Burung kecil ini
menyenangkan juga!”
Tiba2
didengarnya suara desiran aneh yang kumandang dari belakang gunung, entah dari
mana berbondong2 merayap keluar ular hijau yang tak terhitung banyaknya,
Seorang anak laki2 berbaju hijau sedang mendatangi sambil berdendang dengan
bertepuk tangan, Ular-ular itu mengiringi nyanyiannya, sebaris dari sebaris
amat teratur merubung ke arah Li Bok-chiu.
Anak
laki2 berusia 14 - 15 tahun itu lalu duduk di tanah untuk menonton burung merah
tadi menempur sengit Li Bok-chiu.
Burung
merah kecil itu amat gesit dan tangkas, maju mundur bagai kilat, sabetan kebut
Li Bok-chiu meski sangat kencang, namun lawan kecil ini selalu dapat lolos.
Dilihatnya
anak laki2 itu bermuka cakap, bibir merah gigi putih, tampan dan menyenangkan
serta merta timbul rasa kasih sayangnya, melihat orang menggusur ular
menghadang di depannya, diam2 ia berpikir: “Kabarnya di Pek-tho-san daerah
Se-ek benua barat ada seorang Bu-lim Cianpwe tokoh persilatan tua bernama
Auwyang Hong yang pandai menguasai ular untuk menyerang musuh, mungkin pemuda
ini punya hubungan erat dengan dia ?”
Semula
ia berniat melancarkan serangan ganas untuk membinasakan burung merah itu,
berpikir sampai di situ, ia jadi ragu2 dan batalkan niatnya semula.
Harus
diketahui Li Bok-chiu adalah seorang yang licik dan banyak tipu dayanya,
sebelum bertindak ia selalu memikirkannya lebih dulu secara seksama, kalau
dirinya tidak terdesak kalah, dia tidak akan segera menurunkan tangan jahatnya.
pikirnya:
“Kenapa
hari ini begini kebetulan ? It Teng Taysu, Pek-tho-san dan Tho-hoa-to masing2
ada orang kumpul di sini, memangnya sebelum ini mereka sudah berjanji untuk
bersatu menghadapi aku ? Biarlah kucari tahu dulu keadaan yang sebenarnya.”
Sambil
mengebaskan kebutnya, Li Bok-chiu bertanya: “Adik cilik, siapa namamu ? Apa kau
datang dari Pek-tho-san ?”
Melihat
orang bicara dengan lemah-lembut, pemuda itu berdiri sahutnya dengan, tertawa:
“Aku she Nyo, Pek-tho-san apa yang kau maksudkan ?”
Melihat
orang tidak bersiap, se-konyong2 burung merah tadi menyergap pula serta mematuk
dengan paruhnya yang runcing panjang.
Sebat
sekali Li Bok-chiu ulur tangan kiri terus meraih, gerak-gerik burung merah
kecil itu amat cepat dan tangkas, namun gerak tangan Li Bok-chiu lebih cepat
lagi, tahu2 burung merah itu tergenggam oleh tangannya. Keruan pemuda itu
kaget, teriaknya: “Hai, jangan kau melukai dia !”
“Baik,
nih, kukembalikan padamu !” sahut Li Bok-chiu sambil membuka telapak tangannya,
Begitu
mendapat kebebasan burung merah itu segera pentang sayap hendak terbang, tapi
baru saya sayapnya terbentang, Li Bok-chiu kerahkan lwekang melalui telapak
tangannya, sehingga burung merah itu seakan-akan melengket pada tangannya,
biarpun beberapa kali burung kecil itu menggelepai2 sayapnya tetap tidak mampu
terbang lolos dari telapak tangannya.
Maklumlah
Jik-lian-sin-ciang Li Bok-chiu sudah mencapai puncaknya, tenaga yang dikerahkan
pada telapak tangannya bisa dia gunakan sesuka hatinya, dalam sekejap saja ia
bisa mengubah kekuatan pukulan telapak tangan beberapa kali, sekali serang
pukulannya bisa menimbulkan gelombang kekuatan yang menderu hebat, tenaga
dipusatkan di tengah2 telapak tangan, sementara jarinya bisa mengendon sehingga
orang yang terkena pukulannya tidak mampu mengerahkan tenaga untuk melawan.
Bagi
jago yang berilmu silat tinggi, kalau badannya terkena pukulan, secara reflek
akan mengerahkan tenaga untuk melawan, baik menangkis atau untuk mematahkan
Tapi ilmu pukulan Li Bok-chiu ini lain dari pada yang lain, sekali pukul
didalamnya mengandung bermacam kekuatan yang dahsyat, oleh karena itu ia amat tenar
dan ditakuti karena ilmu pukulan Jik-lian-sin-ciang, siapa yang tidak akan
kuncup nyalinya bila mendengar atau melihat ilmu pukulannya ini.
Begitulah
burung merah tadi masih terus kerupukan di tengah telapak tangan Li Bok-chiu
dan tidak mampu terbang meloloskan diri.
Bu
Sam-nio dan lain2 juga terkurung oleh barisan ular yang banyak itu, merekapun
kaget dan heran pula, Melihat burung merah itu tidak mampu lepas dari telapak
tangan orang, mereka pun kuatir akan keselamatannya, tapi takut di-gigit u!ar2
berbisa itu, setapak pun mereka tidak berani bergerak.
Melihat
suaminya terkapar di tanah tanpa bergerak, entah mati atau masih hidup,
betapapun mereka sudah menjadi suami isteri sekian puluh tahun lamanya, Bu
Sam-nio amat prihatin akan keadaan suaminya, segera ia berseru memanggil:
“Samko, bagaimana kau ?”
Bu
Sam-thorig mengerang, punggungnya terangkat beberapa kali, namun tetap tidak
mampu menegakkan badan.
Kwe
Hu, tampak celingukan kian kemari dan tidak melihat bayangan kedua burungnya,
segera ia berteriak: “Tiau-ji, Tiau-ji, lekas kembali!”
Setelah
menunggu cukup, lama tidak melihat apa2, maka Li Bok-chiu sudah bertekad:
“Seumpama Kwe Ceng suami isteri dan Auwyang Hong berada di sekitar sini, jika
aku segera turun tangan masakah mereka sempat berbuat apa-apa kepadaku ?” -
Maka dengan tersenyum kecil ia melangkah ke depan.
“Eh,
jangan bergerak !” teriak anak muda tadi. “Awas digigit ular!” - Tapi
dilihatnya di mana kaki Li Bok-chiu beranjak ke depan, kawanan ular itu entah
kenapa sama menyurut mundur seperti amat takut kepadanya, saling desak dan
menyingkir ke pinggir.
Tiba2
Li Bok-chiu melompat lewat di samping si pemuda terus menerjang ke dalam gua.
Bu
Sam-nio ayun pedangnya seraya membentak: “Keluar !”
Tangan
kiri Li Bok-chiu masih pegang burung kecil dan tangan kanan menyongsong tajam
pedang terus menepuk.
Keruan
Bu Sam-nio heran, “Memangnya tanganmu terbuat dari baja ?”
Siapa
tahu jari2 orang ternyata bergerak selincah ular hidup, tahu2 sudah mencomot
batang pedang terus digentak ke depan, ujung pedang malah membal balik memotong
ke jidat Bu Sam-nio sendiri, perubahan ini terjadi dalam waktu yang amat cepat,
“sret”, belum sempat ia berkelit pedangnya sendiri sudah membacok jidatnya.
“Maaf
!” ujar Li Bok-chiu tertawa, burung ditangan kirinya segera dilepaskan, kedua
tangannya segera menjinjing Thia Eng dan Liok Bu-siang, kaki sedikit menutul
badannya segera mencelat keluar gua, dalam kesibukannya itu ia sempat pula
menendang tongkat besi Kwa Tin-ok yang menyerampang datang dan menimpuk
sebatang Ping-pok-ciam di kuncir Kwe Hu.
Mendengar
jeritan kedua anak dara Thia dan Liok, tahu keadaan sangat gawat, si pemuda
segera bangun dan menubruk maju memeluk Li Bok-chiu sambil teriaknya: “Hai,
hai, lekas lepaskan !”
Tangan
Li Bok-chiu masing2 menjinjing satu orang, sedikitnya ia tidak menduga si
pemuda bakal memeluk pinggangnya, tahu2 ia merasa bawah ketiak sudah dijepit
sepasang tangan kecil seketika hatinya terkesiap, entah bagaimana seketika
seluruh badan menjadi lemas lunglai.
Supaya
Thia dan Liok kedua anak perempuan itu tidak tergigit ular, ia kerahkan tenaga
di telapak tangan terus melemparkan mereka beberapa tombak jauhnya, cepat
sekali tangannya membalik mencengkeram punggung si pemuda.
Usia
Li Bok-chiu sudah mencapai lima
puluhan tahun, namun dia masih seorang perawan yang suci, semasa mudanya
bergaul dan main asmara
dengan Liok Tian-goan, namun ” masing2 memegang teguh adat istiadat, maka
selama hidupnya belum pernah ia bersentuhan tubuh dengan laki2 manapun jua.
Banyak
laki2 kalangan Kangouw yang terpikat akan kecantikannya, tapi sekali orang
mengunjuk nafsu jahat atau tingkah laku yang tidak sopan, maka jiwa orang itu
pasti melayang di bawah Jik-lian-sin-ciangnya.
Walau
pemuda ini baru berusia belasan, betapapun dari badannya sudah mengeluarkan bau
kelakian yang merangsang dan memabukkan, se-konyong2 Li Bok-chiu menghadapi
keadaan ini, seketika ia terkesima dan luluh hatinya.
Begitu
mencengkeram punggung si pemuda sebetulnya ia sudah kerahkan tenaga hendak
menghancurkan isi perut orang untuk mencabut nyawanya, siapa tahu tenaga
ternyata tak kuasa dikerahkan, hal seperti ini selama hidup belum pernah dia
alami, keruan tak terkatakan rasa kejut dan herannya.
Pada
saat itulah burung merah itu tahu2 menubruk pula mematuk matanya sebelah kiri
sedikitpun Li Bok-chiu tidak menduga, tahu-tahu sebelah matanya seperti ditusuk
sesuatu benda dan sakitnya luar biasa, biji matanya sudah dipatuk buta oleh
burung merah itu. Keruan murkanya tidak kepalang, “plok”, ia ayun tangannya
secepat kilat, pukulan ini dilandasi kekuatan Lwekangnya selama hidup ini,
burung kecil itu seketika terpental jatuh dengan leher putus sayap kutung,
Cepat sekali tangan kanannya mengangkat si pemuda serta memakinya: “Keparat
cilik, kau ingin mampus ya !”
Segera
ia putar badan pemuda itu dengan kaki di atas dan kepala di bawah, segera pula
ia hendak benturkan kepala orang pada batu gunung agar mampus,
Meski
dalam bahaya, namun si pemuda sedikitpun tidak gugup atau takut, malah katanya
sambil tertawa: “Kokoh (bibi), jangan kau puntir kakiku hingga kesakitan !”
suaranya
sedemikian lembut dan aleman, sorot matanya halus mesra dan membuat orang yang
menghadapinya luluh hatinya dan kuncup amarahnya, apapun yang diminta rasanya
sulit untuk menolaknya.
Sekilas
Li Bok-chiu melenggong, belum lagi hatinya ambil keputusan, didengarnya pekik
sepasang rajawali di angkasa, kedua rajawali itu sedang terbang mendatangi dari
kejauhan, tahu2 menukik serta menyerangnya pula.
Mata
kirinya sudah buta, rasa gusar dan penasaran ini belum sempat terlampias,
segera ia kebutkan lengan baju kirinya, dua batang Ping-pok-ciam memapak kedua
rajawali itu.
Senjata
rahasianya ini amat ganas dan berbisa lagi, kedua rajawali ini tadi sudah
merasakan kelihayannya, lekas mereka pentang sayap melambung pula ke atas,
namun jarum2 perak itu menyamber dengan kecepatan luar biasa, meski kedua
rajawali terbang amat cepat, luncuran kedua batang jarum perak itu terlebih
cepat lagi, saking kaget dan ketakutan kedua rajawali sampai bersuit nyaring,
tampaknya jiwa mereka bakal tak tertolong lagi, kedua rajawali yang gagah
perkasa ini bakal melayang oleh jarum berbisa itu.
Mendadak
terdengar suara mendering keras, sesuatu benda meluncur amat kencang dari
kejauhan memecah angkasa, Sungguh cepat sekali kedatangan benda kecil ini, baru
saja kuping mendengar dering luncurannya, dalam sekejap saja sudah melayang
tiba dan tahu2 membentur jatuh kedua batang jarum berbisa itu.
Datangnya
senjata rahasia ini sungguh sangat mengejutkan meski li Bok-chiu seorang kejam,
tak urung iapun terperanjat Segera ia melompat ke depan sambil melemparkan si
pemuda untuk menjemput benda itu, kiranya hanya sebutir batu kerikil biasa,
Pikirnya: “Orang yang menimpukkan batu kerikil ini ilmu silatnya pasti tinggi
luar biasa, mataku sudah cidera, biarlah aku menghindarinya saja.”
Serta
merta ia bergerak menuruti jalan pikirannya, telapak tangannya segera menepuk
ke punggung Thia Eng, tujuannya hendak membinasakan Thia Eng dan Liok Bu-siang
sesuai tanda peringatan sembilan tapak tangan berdarah yang ditinggalkan di
dinding rumah Liok Lip-ting itu.
Akan
tetapi pada waktu telapak tangannya hampir menyentuh punggung Thia Eng, sekilas
mata kanan yang masih jeli itu tiba2 melihat leher anak dara itu terikat
selembar saputangan bersulam bunga merah indah yang dia kenal adalah buah
tangan sendiri dahulu yang diberikan pada kekasihnya sebagai tanda mata.
Karena
ini, seketika ia merandek, tenaga gablokannya tadi dengan cepat ia tarik
kembali segala cumbu-rayu dimasa silam sekilas terbayang kembali olehnya.
Melihat saputangan sulaman ini iapun lantas tahu maksud kemauan Liok Tian-goan,
pikirnya dalam hati: “Walaupun ia telah menikah dengan perempuan hina she Ho
itu, namun dalam hatinya nyata ia tidak pernah melupakan diriku terbukti sapu
tangan ini masih dia simpan baik2, karena itu ia mohon agar aku mengampuni
keturunannya, lantas aku harus mengampuni atau tidak ?”
Demikianlah
sesaat ia menjadi ragu2, tidak bisa ambil keputusan Sejenak pula ia putuskan
akan bunuh dulu Liok Bu-siang saja.
Maka
kebutnya segera ia angkat hendak menyabet gadis cilik itu, namun di bawah
cahaya matahari yang terang, lagi2 tertampak olehnya pada leher gadis ini
berkabung selembar saputangan bersulam yang sama.
“Eh
!” Li Bok-chiu bersuara heran, pikirnya pula: “Mana mungkin ada dua saputangan
yang sama ? Satu diantaranya pasti palsu.”
Oleh
karena itu, kebutnya yang menghantam tadi ia ubah menjadi membelit dan dengan
tepat leher Liok Bu-siang kena dililit oleh ekor kebut, anak dara ini terus dia
seret ke dekatnya.
Tetapi
pada saat itu juga, suara mendesing tadi kembali menggema, sebutir batu lagi2
menyamber dari belakang mengarah punggungnya, lekas Li Bok-chiu baliki kebutnya
untuk menyampuk batu yang cepat sekali datangnya ini, tangkisannya sangat jitu,
dengan tepat batu itu kena disamplok pergi namun demikian, Li Bok-chiu
merasakan juga genggaman tangannya sakit pedas.
Batu
sekecil itu ternyata membawa tenaga begitu kuat, maka betapa hebat ilmu silat
penyambit batu itu dapat dibayangkan keruan Li Bok-chiu tak berani tinggal
lebih lama lagi, ia samber Liok Bu-siang terus dikempit, ia keluarkan Gin-kang
atau ilmu entengkan tubuh yang tinggi, secepat terbang dalam sekejap saja ia
sudah menghilang kabur.
Nampak
Piamoay atau adik misannya digondol orang, tentu saja Thia Eng menjadi ribut
“Piaumoay-Piaumoay !” demikian, ia ber-teriak2 sambil menyusul dari belakang
dengan kencang.
Akan
tetapi dengan kecepatan berlari Li Bok-chiu, mana bisa Thia Eng menyusulnya ?
Namun sejak kecil gadis ini sudah punya kemauan keras, dengan kertak gigi ia
masih terus mengudak.
Di
daerah Kanglam banyak terdapat sungai, tak lama Thia Eng mengudak, ia telah
terhalang oleh sebuah sungai kecil hingga tak berdaya buat maju lagi, Tetapi
dara ini tidak putus asa, sambil jalan menyusut gili2 sungai, mulutnya masih
memanggil terus.
Se-konyong2
pada sebuah jembatan kecil di sebelah kiri sana ada berkelebatnya bayangan putik tiba2
satu orang mendatangi dari seberang Thia Eng tercengang karena tahu2 Li
Bok-chiu sudah berdiri di hadapannya, cuma Liok Bu-siang sudah tak kelihatan di
bawah kempitannya.
Dalam
hati Thia Eng sangat ketakutan, tetapi ia lantas ingat lagi pada Liok Bu-siang,
maka dengan tabahkan hati ia tanya: “Dimanakah adik-misanku ?”
Sekilas
Li Bok-chiu melihat raut muka Thia Eng memper sekali dengan mendiang Ho Wan-kun
yang menjadi lawan asmaranya, maka rasa bencinya seketika timbul dan panas
hatinya membakar, tanpa pikir lagi ia angkat kebutnya terus, menyabet ke kepala
si nona.
Dengan
ilmu silat seperti Liok Lip-teng yang begitu tinggi saja tidak mampu menangkis
tipu serangan Li Bok-chiu yang lihay ini, apalagi hanya gadis sekecil Thia Eng
? Maka tampaknya dengan segera senjata kebut itu akan bikin kepala berikut dada
anak dara itu hancur lebur.
Di
luar dugaan, baru saja Li Bok-chiu ayun kebutnya, mendadak terasa olehnya
tarikannya menjadi kencang, ujung kebutnya se-akan2 kena dibetot oleh sesuatu
dan tak mampu diayunkan ke depan.
Tidak
kepalang kejutnya, ia hendak menoleh buat melihat, tapi tahu2 tubuhnya terapung
ke atas terus melompat beberapa tombak ke bela-kang, habis ini baru turun
kembali.
Sungguh
bukan buatan kejut Li Bok-chiu oleh kejadian ini, lekas ia putar tubuh, namun
ia menjadi melongo karena di belakangnya kosong melompong tanpa sesuatu yang
dia dapatkan.
Li
Bok-chiu sudah biasa menghadapi lawan tangguh, tahu gelagat kurang
menguntungkan dirinya, ia putar kebutnya hingga berwujut satu lingkaran secepat
roda angin, dengan demikian, dalam jarak lima kaki musuh sukar mempedayai-nya,
setelah ini baru dia berani memutar tubuh lagi.
Maka
tertampaklah olehnya di samping si dara cilik Thia Eng kini sudah berdiri
seorang aneh berjubah hijau, perawakannya tinggi kurus, air, mukanya kaku tanpa
menunjuk sesuatu perasaan, seperti manusia tapi lebih memper mayat pula hingga
membikin orang yang melihatnya akan timbul semacam rasa jemu dan muak.
Li
Bok-chiu tidak kenal orang aneh ini, ia pikir ilmu silat orang jauh di atas
dirinya, tetapi ia justru tidak ingat dalam kalangan Bu-lim ada tokoh siapakah
yang begini lihay dan bermuka seperti dia ini, Selagi ia hendak menegur, tiba2
ia dengar orang itu sudah buka suara!
“Orang
ini terlalu kejam, nak, hayo, kau pukul dia!” demikian orang itu berkata pada
Thia Eng.
Sudah
tentu Thia Eng tidak berani menghantam Li Bok-chiu seperti apa yang diajarkan
itu.
“Aku
tak berani,” ia menjawab dengan mengkeret.
“Kenapa
takut ? Hantam saja dia,” kata orang itu lagi.
Akan
tetapi Thia Eng masih tetap tak berani Akhirnya orang itu jadi tak sabar,
mendadak ia pegang tengkuk Thia Eng terus dilemparkan ke tubuh Li Bok-chiu.
Kini
Li Bok-chiu tak berani hantam anak dara ini dengan kebutnya lagi, ia ulur
tangan kirinya buat menyambut datangnya tubuh kecil itu, tetapi baru saja
tangannya hampir menyentuh pinggang Thia Eng, se-konyong2 terdengar suara
mendesir, sikutnya terasa linu pegal hingga seketika tangannya tak kuat
diangkat
Keruan
dengan tepat kepala Thia Eng lantas menumbuk pada dadanya, bahkan berbareng
pula gadis itu menambahi dengan sekali tamparan keras hingga mengeluarkan suara
“plak” pada “pipinya.
Seumur
hidup Li Bok-chiu belum pernah dihina sedemikian ini, tentu saja ia gusar,
secepat kilat kebutnya memutar terus menyabet kepala gadis cilik itu, Akan
tetapi kembali terdengar sambaran angin, tangkai kebutnya kena dibentur sesuatu
benda kecil hingga hampir terlepas dari cekalannya.
Kiranya
orang aneh tadi telah gunakan pula sebutir batu kecil dan disentilkan dengan
jari dan tepat mengenai gagang kebutnya, sementara itu Thia Eng ingat Li
Bok-chiu telah membunuh A Kin dan pelayan perempuan dirumahnya, pula nasib
paman dan bibinya sampai kini, belum diketahui, tiba2 rasa takutnya tadi
berubah menjadi dendam dan murka, tanpa ayal lagi susul menyusul ia kerjakan
kedua tangannya yang kecil dengan cepat, beruntun-runtun ia persen pipi Li
Bok-chiu dengan empat kali tempelengan pula.
Percuma
Li Bok-chiu selama ini malang-melintang di seluruh jagat, tetapi kini telah
digenjot anak dara ini sesuka hati tanpa bisa membalas sedikitpun
Li
Bok-chiu pandai berpikir dan juga pintar. menyimpan perasaan hatinya, ia
mengerti keadaan” tidak menguntungkan dirinya, maka iapun tidak mau tinggal
lebih lama, tiba2 ia ketawa ngikik, lalu ia putar tubuh hendak kabur, Baru
beberapa langkah, sekonyong-konyong ia kebaskan lengan bajunya ke belakang
beberapa kali, berbareng itu terlihatnya sinar perak yang kemilauan, belasan
jarum “Peng-pek-gin-tjiam” telah menyamber pada orang aneh berjubah hijau tadi.
Cara
Li Bok-chiu melepaskan Am-gi atau senjata gelapnya ini, tidak memutar tubuh
dulu, juga tanpa menoleh, akan tetapi setiap jarumnya dengan tepat mengarah
tempat yang berbahaya di atas tubuh orang aneh itu.
Orang
itu sama sekali tidak menduga akan serangan ini, ia tidak menyangka senjata
rahasia Li Bok-chiu bisa begini keji dan begini lihay, terpaksa ia enjot
kakinya, secepat kilat ia melompat mundur.
Datangnya
jarum perak luar biasa cepatnya, namun cara melompat mundurnya ternyata
terlebih cepat lagi, pula sekali lompat ia telah mundur sejauh beberapa tombak,
dengan mengeluarkan suara gemerisik, jarum2 perak tadi jatuh semua di depan
orang itu.
Li
Bok-chiu sendiri sudah mengetahui bahwa serangannya ini tidak bakal berhasil
dengan menghamburkan belasan jarum ini tujuannya hanya buat desak orang
menyingkir saja, karena itu, ketika ia dengar suara lompatan orang di belakang,
kembali ia kebaskan lengan bajunya lagi, dua jarum perak yang lain menyusul dia
arahkan ulu hati Thia Eng.
Sudah
dipastikan Li Bok-chiu bahwa kedua jarumnya ini tidak nanti meleset dari
sasarannya, tetapi karena takut orang aneh berjubah hijau itu menubruk maju dan
menghajar padanya, maka tanpa menoleh lagi buat melihat hasil serangannya itu,
segera ia “tancap gas” terus lari pergi dengan cepat, hanya sekejap saja ia
sudah menyeberangi jembatan dan menghilang di antara hutan yang lebat.
Sementara
itu karena serangan mendadak tadi, orang berbaju hijau itu berseru kaget,
ketika ia maju dan membangunkan Thia Eng, ia lihat dua jarum perak yang rada
panjang telah menancap di dada anak dara itu, tanpa terasa air muka orang aneh
ini berubah. Setelah ter-mangu2 sejenak, segera ia pondong Thia Eng terus lari
cepat menuju ke arah barat.
Kembali
pada Kwa Tin-ok dan lain2. Mereka menjadi jeri oleh ketangkasan Li. Bok-chiu
yang pergi-datang cepat luar biasa itu, Hanya si anak muda tadi ternyata
bernyali sangat besar.
“Biar
aku pergi menolong kedua Moaymoay !” demikian serunya, Sambil berkata ia” terus
mengejar pergi mengikuti arahnya Li Bok-chiu tadi
Anak
muda ini sama sekali tidak kenal jalanan, sesudah belok sini dan putar sana beberapa kali,
akhirnya ia kesasar, terpaksa ia harus berhenti untuk tanya orang di pinggir
jalan.
Meski
begitu, sesudah jalan terus secara ngawur, tiba2 ia dengar dari jauh ada suara
teriakan Thia Eng yang me-manggil2: “Piaumoay, Piaumoay !”
Kedengarannya
suara itu berada tidak jauh, tanpa ayal lagi segera ia percepat langkahnya
mengudak ke depan.
sungguhpun
anak muda ini baru sekali ini bertemu dengan Thia Eng dan Liok Bu-siang, akan
tetapi dalam hati mudanya tanpa terasa sudah timbul perasaan suka pada mereka,
sudah terang ia tahu lihaynya Li Bok-chiu, namun ia tetap menguber terus tanpa
memikirkan risikonya sendiri.
Setelah
ber-lari2 tak lama menurut arah datangnya suara tadi ia taksir seharusnya sudah
sampai di tempat suara Thia. Eng, akan tetapi aneh, meski ia menengok
sana-sini, bayangan kedua anak dara itu sama sekali tidak tertampak.
Ketika
tanpa sengaja ia berpaling, tiba2 ia lihat di atas tanah berserakan belasan
buah jarum perak yang mengeluarkan sinar mengkilap, tiap2 jarum itu panjangnya
kira2 setengah dim, pada batang jarumnya lapat2 kelihatan terukir kembangan
sangat bagus dan menarik.
Karena
itu ia jemput sebuah jarum itu dan digenggam pada tangan kirinya. Tetapi
mendadak ia dapatkan sesuatu yang aneh, ia lihat pada samping jarum2 perak yang
berserakan itu ada seekor kelabang besar yang telah mati dengan perut terbalik
ia jadi lebih ketarik oleh kejadian ini, tatkala ia menunduk dan periksa lebih
teliti, ia lihat pula di atas tanah itu terdapat banyak sekali sebangsa semut,
tawon, belalang dan jangkrik, semuanya sudah mati
Tentu
saja anak muda ini merasa heran., waktu ia menyingkap semak-semak rumput bagian
lain, sama saja keadaannya, di sekitar tempat yang terdapat jarum perak itu
banyak kutu2 dan serangga2 yang mati,
Tetapi
setelah dia menjauh beberapa tindak di sana
serangga2 kedapatan masih hidup segar, sebaliknya. ketika ia gunakan jarum yang
dia pegang itu untuk menyentuh serangga2 itu, luar biasa cepatnya, hanya
sejenak saja segera bina-tang2 kecil itu mati kaku, Beberapa kali ia coba
dengan beberapa jenis binatang kecil, keadaan serupa saja.
Akhirnya
anak muda ini menjadi girang, ia pikir dengan jarum perak ini untuk alat
perangkap nyamuk dan lalat, hasilnya tentu akan sangat memuaskan.
Di
luar dugaan, sesaat kemudian, mendadak ia merasa tangan kiri sendiri telah kaku
kejang, gerak-geriknya tidak leluasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar