Kembalinya Pendekar Rajawali 78
Yo Ko menjadi heran dan tidak habis mengerti
katanya: “Pantasnya aku akan mati karena bekerjanya racun dalam tubuhku,
mengapa aku masih hidup sampai sekarang, sungguh aneh dan ajaib.”
Dengan girang Bu Sam-thong bertutur:
“Susiokku itu adalah paderi sakti dan negeri Thian-tiok, nomor satu di dunia
ini dalam hal mengobati keracunan. Dahulu guruku salah minum racun yang dikirim
nyonya Kwe juga telah disembuhkan oleh beliau, sekarang juga akan kuundang dia
ke sini.”
Habis berkata ber-gegas2 ia terus keluar
kamar.
Diam-diam Yo Ko bergirang, ia pikir
jangan-jangan waktu aku jatuh pingsan, paderi sakti itu telah meminumkan
sesuatu obat mujarab kepadaku sehingga racun bunga cinta itu dapat dipunahkan
Ai, entah Kokoh berada di mana saat ini? Kalau dia mengetahui aku takkan mati,
entah betapa gembiranya dia.
Teringat kepada hal-hal yang meresap dan
mesra itu, mendadak dadanya terasa seperti dipalu dengan keras dan sakitnya
tidak kepalang, tak tertahankan iapun menjerit keras.
Sejak minum setengah butir obat pemberian Kiu
Jianjio itu, belum pernah dia mengalami kesakitan sehebat ini, bisa jadi kasiat
setengah biji obat itu sudah bilang, sedangkan kadar racun dalam tubuhnya belum
lagi punah seluruhnya.
Sambil memegangi dada, keringat membasahi
dahi Yo Ko saking sakitnya.
Tengah tersiksa dengan hebatnya, tiba-tiba
Yo-Ko mendengar suara seorang bersabda: “Namo Budaya!” – Sambil merangkap kedua
tangan di depan dada, paderi Thian-tiok itu tampak masuk ke kamar.
Bu Sam-thong ikut di belakang paderi Hindu
itu, melihat keadaan Yo Ko itu, ia terkejut dan cepat bertanya: “Adik Yo,
kenapa kau” - Lalu ia berpaling kepada paderi itu dan, memohon: “Susiok,
racunnya kumat lagi, lekas memberikan obat padanya.”
Paderi Hindu itu tidak paham ucapannya, tapi
dia lantas mendekati Yo Ko dan memeriksa nadinya. Bu Sam-thong sendiri lantas
keluar kamar untuk mengundang Cu Cu-Iiu.
Cu Cu-liu adalah bekas Conggoan (gelar ahli
sastra tertinggi), dia paham bahasa dan tulis Hindu kuno, hanya dia saja yang
dapat berbicara dengan paderi itu, maka Bu Sam-thong mengundangnya untuk
dijadikan juru bahasa.
Setelah tenangkan diri, rasa sakit Yo Ko mulai
hilang, lalu dia menceritakan asal usulnya keracunan bunga cinta itu.
Dengan teliti paderi hindu itu bertanya
tentang bentuk bunga cinta itu, tampak dia terkejut dan terheran-heran,
katanya: “Bunga cinta itu adalah bunga ajaib jaman purba, konon sudah lama
lenyap dari permukaan bumi ini, siapa kira daerah Tionggoan sini masih ada
tetumbuhan itu. Aku belum pernah melihat bunga itu, maka sesungguhnya tidak
tahu cara bagaimana memunahkan kadar racunnya.”
Setelah Cu Cu-liu menterjemahkan ucapan
paderi Hindu itu, segera Bu Sam-thong berteriak-teriak memohon: “Kasihanilah
Susiok! Tolonglah!”
Paderi itu menyebut nama Budha pula, lalu
memejamkan mata dan menunduk merenung suasana dalam kamar menjadi sunyi senyap,
siapapun tiada yang berani buka suara. Selang agak lama baruIah paderi Hindu
itu membuka mata dan berkata: “Nyo kisu telah mencucup darah berbisa bagi kedua
cucu muridku, pada hal racun jarum itu sangat jahat terisap sedikit saja akan
mengakibatkan jiwa melayang, tapi Nyo-kisu ternyata masih sehat2 saja, sedangkan
racun bunga cinta juga tidak bekerja pada waktunya, jangan-jangan terjadi racun
menyerang racun sehingga Nyo-kisu malah mendapat berkahnya dan sembuh.”
Cu Cu-liu dan Yo Ko adalah orang-orang yang
pintar dan cerdik, mereka pikir uraian paderi Hindu itu memang masuk di akal,
maka mereka sama mengangguk.
Paderi itu berkata pula: “Orang baik tentu
mendapatkan pembalasan baik, Nyo-kisu mengorbankan diri demi menolong orang
lain, inilah perbuatan bajik yang luhur, racun ini pasti dapat dipunahkan.
“Jika begitu, mohon Susiok lekas menolong
nya,” seru Bu Sam-thong girang.
“Untuk itu perlu kudatangi Coat-ceng-kok dan
melihat sendiri bentuk bunga cinta itu, habis itu baru dapat mencari obat
penyembuhnya yang tepat,” tutur si paderi, “Yang penting selama ini hendaklah
Nyo- kisu jangan timbul perasaan cinta, kalau tidak, maka rasa sakit akan
semakin menghebat setiap kali kumat”
“Akan lebih baik lagi apabila Nyo-kisu daptit
memutuskan perasaan cinta itu dan racun inipun akan punah dengan sendirinya
tanpa diobati.”
Yo Ko pikir kalau harus memutuskan cinta
kasihnya kepada Kokoh, lebih baik kumati saja, Tapi sebelum dia menanggapi
cepat Bu Sam-thong mengajak Cu Cu-liu ikut paderi Hindu itu ke Coat ceng-kok,
sudah tentu Cu Cu-liu menerima ajakan itu karena diapun utang budi kepada Yo
Ko.
Lalu Bu Sam-thong berkata pula kepada Nyp-Ko:
“Adik Nyo, harap engkau istirahat saja dengan tenang, segala sesuatu pasti akan
beres. Besok juga kami akan berangkat dan kembali selekasnya utk menyembuhkan
penyakitmu, kelak aku masih harus minum arak pesta pernikahanmu dengan nona
Kwe.”
Yo Ko melengak, ia pikir persoalan Kwe Hu
sukar dijelaskan dalam waktu singkat, maka tanpa pikir ia hanya mengiakan saja.
sesudah ketiga orang itu pergi, ia sendiri lantas berbaring untuk tidur.
Waktu mendusin, terdengar suara burung
ber-kicau, rupanya fajar sudah menyingsing, Sudah beberapa hari Yo Ko tidak
makan, perut terasa lapar, dilihatnya di atas meja dekat pembaringannya ada
empat piring penganan, segera ia ambil beberapa gotong kue dan dimakan.
Belum sepotong kue itu termakan habis,
terdengar orang mengetuk pintu, lalu masuklah seorang berbaju merah jambon
dengan air muka tampak marah, ternyata yang datang ini adalah Kwe Hu.
Yo Ko meIongo sejenak, lalu menyapa “Pagi
benar, nona Kwe.”
Kwe Hu hanya mendengus pelahan saja dan tidak
menjawab, ia lantas berduduk pada kursi di depan tempat tidur dengan alis
menegak dan melotot gusar kepada Yo Ko, sampai lama sekali masih tetap tidak
berbicara.
Tentu saja hati Yo Ko tidak enak, dengan
tersenyum ia berkata pula: “Apa paman Kwe menyuruh kau menyampaikan sesuatu
pesan padaku?”
“Tidak!” jawab Kwe Hu singkat dan ketus
Berulang-ulang Yo Ko mendapatkan sikap dingin begitu, kalau hari-hari biasa
tentu dia tak mau menggubris lagi nona itu, Tapi sekarang melihat sikap orang
rada aneh, ia menjadi heran dan ingin tahu sebab apakah pagi-pagi nona itu
sudah mendatangi kamarnya. Maka dengan mengering tawa ia bertanya pula:
“Setelah melahirkan tentunya Kwe- pekbo juga sehat2 saja?”
“Sehat atau tidak ibuku, tidak perlu kau
ber-kuatir,” jawab Kwe Hu dengan lebih ketus.
Selain Siao-liong-li, tidak pernah Yo Ko mau
mengalah terhadap orang lain, tapi sekarang dia telah diperlakukan kasar oleh
Kwe Hu, mau-tak mau timbul juga rasa dongkolnya. Segera iapun batas mendengus,
lalu memejamkan mata dan tak menggubrisnya lagi.
“Kau mendengus apa?” tanya Kwe Hu gemas.
Kembali Yo Ko mendengus lagi dan tetap tidak menggubrisnya.
“Kau dengar tidak, kutanya apa yang kau
de-nguskan” bentak Kwe Hu.
Diam-diam Yo Ko geli melihat si nona menjadi kelabakan,
jawabnya kemudian: “Badanku tidak enak, kudengus dua kali supaya merasa segar.”
“Kau bohong, lain kata lain perbuatan,
sehari-hari hanya mengacau, sungguh manusia rendah tidak tahu malu.” damperat
Kwe Hu dengan gusar.
Hati Yo Ko tergerak karena tanpa sebab
musabab si nona mendamperatnya secara sengit, ia pikir jangan-jangan ucapanku
yang kugunakan untuk membohongi kedua saudara Bu telah diketahui nona ini.
Melihat dalam keadaan marah wajah Kwe Hu tetap cantik molek, tanpa terasa
timbul rasa kasihannya.
Dasar watak Yo Ko memang rada dugal, segera
ia berkata pula dengan tertawa: “Nona Kwe, apakah kau maksudkan apa yang
kukatakan kepada kedua saudara Bu itu?”
“Apa yang kau katakan kepada mereka, hayo
lekas mengaku,” bentak Kwe Hu pula dengan suara tertahan.
“Tujuanku adalah demi kebaikan mereka agar
mereka tidak saling membunuh dan membikin sedih hati ayahnya,” ucap Yo Ko
dengan tertawa. “Apa yang kukatakan itu telah disampaikan oleh paman Bu padamu,
bukan?”
“Dia….. dia begitu bertemu aku lantas mengucapkan
selamat padaku dan memuji kau setinggi langit,” tutur itwe Hu. “Nama baik anak…
anak perempuan seperti diriku yang putih bersih masakah boleh sembarangan kau
nista?” – Sampai di sini suaranya menjadi ter-sendat2 dan air matapun
berlinang-linang.
Yo Ko menjadi sangat menyesal pada diri
sendiri yang sembarangan omong tanpa pikir bahwa ucapannya yang bermaksud baik
itu justeru akan merusak nama baik Kwe Hu, apapun juga memang perkataannya itu
memang keterlaluan, rasanya persoalan ini akan sukar diselesaikan.
Melihat Yo Ko diam saja, hati Kwe jadi tambah
panas, katanya sambil menangisi “Menurut paman Bu, katanya kau telah
mengalahkan kedua kakak Bu, mereka kau paksa berjanji takkan menemuiku untuk
selamanya, apakah hal ini memang betul?”
Diam-diam Yo Ko menyesali Bu Sam-thong yang
tidak genah itu, masakah kata-kata itu perlu disampaikan kepada Kwe Hu,
Terpaksa ia tidak membantah dan menjawab dengan mengangguk “Ya, memang tidak
sepatutnya aku sembarangan omong, cuma maksud tujuanku sama sekali tidak jahat,
harap kau memaklumi hal ini.”
Kwe Hu mengusap air matanya, lalu bertanya
pula: “Dan apa yang kau katakan semalam, untuk maksud apa pula?”
Yo Ko melengak dan menegas: “Kukatakan apa
semalam?”
“Paman Bu bilang setelah kau sembuh, dia
berharap akan minum arak pesta pernikahanmu dan aku ken,….kenapa kan mengiakan
tanpa malu?”
Wah, celaka, jadi ucapanku semalam juga
terdengar olehnya, demikian Yo Ko mengeluh dalam hati. Terpaksa ia membantah:
“Semalam aku dalam keadaan setengah sadar dan tidak jelas apa yang dikatakan
paman Bu padaku.”
Kwe Hu dapat melihat anak muda itu sengaja
berdusta, dengan suara keras ia berteriak: “Kau bilang ibuku mengajarkan ilmu
silat padamu secara diam-diam karena beliau penujui kau dan ingin memungut kau
sebagai menantu, betul tidak ucapanmu ini?”
Muka Yo Ko menjadi merah diberondong
pertanyaan2 itu, ia pikir kelakarnya mengenai Kwe Hu paling-paling akan
dianggap dugal saja oleh orang lain, dasarnya aku juga bukan ksatria yang suci
dan alim, tapi aku berdusta tentang diajari ilmu silat secara diam-diam oleh
Kwe-pekbo. persoalan ini bisa kecil bisa besar dan sekali-sekali jangan sampai
diketahui bibi Kwe. Maka cepat ia meminta:
“Nona Kwe, memang salahku sembarangan omong,
harap kau suka menutupi hal ini dan jangan sampai diketahui ayahmu.”
“Hm jika kau takut pada ayahku, kenapa kau
berani berdusta dan menghina ibuku?” jengek Kwe Hu.
Cepat Yo Ko menyatakan: “Terhadap ibumu”
sedikitpun tiada maksudku untuk menistanya, waktu itu tujuanku Cuma ingin
membikin kedua Bu putus harapan atas dirimu supaya mereka tidak saling membunuh
sehingga bicaraku rada-rada kelewatan.”
Sejak kecil Kwe Hu dibesarkan bersama kedua
saudara Bu, kini mendengar Yo Ko berdusta dan membikin kedua anak muda itu
putus asa terhadap dirinya serta berjanji takkan menemuinya keruan rasa
gusarnya tak terperikan. Dengan suara keras ia bertanya pula: “Baik, urusan ini
akan kubereskan nanti dengan kau, sekarang yang penting adalah Moaymoayku,
kemana kau membawanya pergi?”
“Ya, lekas mengundang ayahmu ke sini, aku
justeru hendak membicarakannya dengan beliau,” seru Yo Ko.
“Ayahku sudah keluar kota untuk mencari
adikku itu,” jawab Kwe Hu. “Kau ini memang….. memang manusia yang tidak tahu
malu, kau hendak menggunakan adikku untuk menukar obat penawar. Hm, rupanya
jiwamu berharga dan jiwa adikku tidak berharga sepeserpun.”
Sejak tadi Yo Ko memang merasa menyesal dan
malu diri karena terlanjur berbuat hal-hal yang merusak nama baik Kwe Hu, tapi
dituduh hehdak menggunakan anak bayi itu untuk menukar obat baginya, hal ini
betapapun dia tak dapat
menerima, dengan suara lantang ia berkata:
“Dengan tekad bulat aku hendak merebut kembali adik perempuanmu untuk
dikembalikan kepada ayah-bundamu, kalau dikatakan hendak kugunakan adikmu untuk
menukar obat, hal ini sekali-sekali tidak pernah timbul dalam pikiranku.
“Habis kemana perginya adik ku?” tanya Kwe
Hu.
“Dia telah dibawa lari Li Bok-chiu, aku
merasa malu karena tak berhasil merampas nya kembali,” tutur Yo Ko. “Tapi bila
tenagaku sudah pulih dan tidak mati, segera aku akan pergi mencarinya.”
“Hm Li Bok-chiu itu adalah paman gurumu,
betul tidak?” jengek Kwe Hu. “Tadinya kalian sembunyi di satu gua, betul
tidak?”
“Benar, meski dia adalah paman guruku, tapi
selamanya dia tidak akur dengan guruku,” jawab Yo Ko.
“Hm, tidak akur apa?” jengek Kwe Hu. “Tapi
mengapa dia mau menuruti permintaanmu dengan membawa adikku pergi menukar obat
bagimu?”
Yo Ko melonjak bangun dengan gusar, katanya
“Kau jangan sembarangan omong nona Kwe, meski aku Yo Ko bukan manusia yang
terpuji, tapi sama sekali tiada maksud berbuat begitu.”
“Tiada bermaksud berbuat begitu? Hm, enak
saja kau bicara,” jawab Kwe Hu. “Gurumu sendiri yang mengatakan hal itu,
memangnya aku yang fitnah dan sembarangan omong?”
“Guruku bilang apa lagi?” tanya Yo Ko.
Serentak Kwe Hu berdiri dan menuding hidung
Yo Ko, katanya: “Gurumu berkata sendiri kepada paman Cu bahwa kau dan Li
Bok-chiu sama-sama berada di lembah sunyi sana, dia minta paman Cu suka
mengantarkan kuda merah milik ayah untuk dipinjamkan padamu agar kau sempat
membawa
adikku ke Coat-ceng-kok untuk…. “
Kaget dan sangsi hati Yo Ko, cepat memotong:
“Benar, memang guruku mempunyai maksud begitu agar aku mengantar adikmu ke sana
untuk mendapatkan separoh obat yang masih dipegang Kiu Jian-jio itu, tapi cara
ini hanya untuk sementara saja dan takkan membikin susah adikmu…”
“Adikku baru lahir sehari dan telah kau
serah-kan kepada seorang iblis yang kejam, masakah kau berani mengatakan takkan
membikin susah adikku,” kata Kwe Hu dengan gusar, “Kau ini bangsat keparat,
manusia berhati binatang! Waktu kecilmu kau terluntang-lantung sebatangkara dan
cara
bagaimana ayah-ibuku telah memperlakukan kau?
Kalau ayah ibu tidak memelihara kau hingga besar di Tho-hoa-to masakah kau
dapat menjadi seperti sekarang ini? Siapa tahu air susu kau balas dengan air
tuba, kau sekongkol dengan musuh dan ketika ayah - ibuku kurang sehat, kau
telah menculik adikku.”
Semakin mendamperat semakin beringas nona itu
sehingga Yo Ko sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membantah. Keruan
tidak kepalang gusar dan dongkoInya Yo Ko, “bliik”, saking tak tahan ia terus
jatuh pingsan di atas tempat tidur.
Selang agak lama, lambat-laun Yo Ko siuman
kembali, diiihatnya Kwe Hu masih menatapnya dengan muka merengut dan segera
mengomeli pula: “Hm, tak tersangka kau masih mempunyai rasa malu, rupanya
kaupun tahu kesalahan perbuatanmu yang terkutuk itu.”
Yo Ko menghela napas panjang, katanya: “Jika
aku mempunyai pikiran begitu, mengapa aku tidak membawa adikmu langsung ke
Coat-ceng-kok saja.”
Racun dalam tubuhmu kumat dan tak dapat
berjalan, makanya kau minta tolong paman gurumu.” kata Kwe Hu.
“Hehe, tapi maksud tujuanmu akhirnya toh
gagal, biar kukatakan terus terang, begitu kudengar permintaan gurumu kepada
paman Cu, segera kusembunyikan kuda merah itu sehingga muslihat jahat kalian
guru dan murid menjadi gagal total.”
“Baik, baik, apa yang kau suka katakan boleh
silakan katakan saja, akupun tidak ingin membantah.” kata Yo Ko dengan
mendongkol “Dan di mana guruku ? Ke mana dia?”
Muka Kwe Hu tiba-tiba rada merah, katanya:”
Huh, ini namanya gurunya begitu dengan sendirinya muridnya juga begitu, gurumu
juga bukan manusia baik-baik.”
Dengan gusar Yo Ko melonjak bangun pula dan
berkata: “Kau memaki dan menghina aku, mengingat ayah-bundamu, takkan
kupersoalkan pada-mu. Tapi mengapa mencerca guruku?”
“Cis, memangnya kalau gurumu kenapa?” semprot
Kwe Hu pula. “Soalnya dia sendiri yang bicara secara tidak senonoh.”
Sudah tentu Yo Ko tidak percaya Siao-liong-li
yang dianggapnya suci bersih dan polos itu dapat mengeluarkan kata-kata yang
tidak pantas segera ia balas mendengus “Hm, besar kemungkinan pikiranmu sendiri
tidak benar, maka ucapan guruku juga kau terima dengan menyimpang.”
Sebenarnya Kwe Hu tidak ingin mengulangi
perkataan Siao-liong-li, tapi ia tidak tahan oleh olok-olok Yo Ko itu, tanpa
pikir ia terus berkata: “Gurumu bilang padaku: “Nona Kwe, hati Ko-ji sangat
baik, hidupnya sebatangkara dan menderita, kau harus meladeni dia dengan baik,”
Lalu katanya pula: “Kalian memang pasangan yang setimpal suruhlah dia melupakan
diriku, sama sekali aku tidak menyalahkan dia.”
Kemudian dia memberikan pula pedangnya
padaku, katanya pedang ini bernama Siok-Ii-kiam dan merupakan pasangan dengan
Kun-cu-kiam milikmu. Apalagi namanya kalau perkataannya ini bukan tidak
senonoh.”
Setiap mendengarkan suatu kalimat itu, setiap
kali perasaan Yo Ko seperti disayat, pikirannya menjadi bingung, ia tidak tahu
mengapa Siao-liong-li mengemukakan ucapan begitu. Habis Kwe Hu ber-kata,
pelahan ia angkat kepalanya, mendadak matanya memancarkan cahaya aneh,
bentaknya gusar.
“Kau berdusta, kau penipu. Mana mungkin
guruku berkata begitu? Mana itu Siok-li-kiam? Mana? jika tak dapat kau
perlihatkan, maka jelas kau berdusta?”
Kwe Hu mendengus, mendadak sebelah tangan
mengeluarkan sebatang pedang dari belakang punggungnya, pedang itu hitam mulus,
jelas itulah Siok li kiam yang diperoleh di Coat-ceng-kok itu”
Tidak kepalang rasa kecewa Yo Ko, bicaranya
sudah tanpa pikir lagi, segera ia berteriak: “Siapa ingin menjadi pasangan
setimpal dengan kau? Kun-cu-kiamku sudah patah, Pedang ini memang betul milik
guruku, pasti kau mencurinya, ya, kau mencurinya ya, kau mencurinya!”
Sudah sejak kecil Kwe Hu sangat dimanjakan,
sekalipun ayah-bundanya juga mau mengalah padanya, apalagi kedua saudara Bu,
mereka munduk2 belaka terhadap si nona, sekarang Yo Ko bicara sekasar ini
padanya, tentu saja ia tidak tahan. Apalagi nada ucapan Yo Ko itu seakan-akan
menuduh-nya sengaja mengarang ucapan Siao-liong-li itu agar si Yo Ko mau
menjadi pasangannya dan si Yo Ko justeru tidak sudi.
BegituIah segera Kwe Hu pegang pedangnya, dia
bermaksud meloiosnya terus menabas, tapi segera timbul keinginannyaakan
membikin panas hati Yo Ko, ia tahu anak muda itu sangat menghormat dan
mencintai gurunya, kalau kejadian ini diceritakannya pasti anak muda itu akan
marah setengah mati.
Dalam keadaan murka sama sekali Kwe Hu tidak
menimbang lagi bagaimana akibatnya jika dia menguraikan apa yang hendak
dikatakannya itu. Segera ia masukkan kembali pedang yang sudah hampir
ditotoknya tadi, lalu berduduk dan berkata dengan tertawa dingin:
“Ya, gurumu memang cantik dan tinggi pula
ilmu silatnya, sungguh wanita yang jarang ada bandingannya di dunia ini, Cuma
saja, ada sesuatu yang tidak beres.”
“Sesuatu apa yang tidak beres?” tanya Yo Ko,
“Cuma kelakuannya tidak beres, suka bergaul secara sembunyi2 dengan kaum Tosu
Coan-cin-kau,” tutur Kwe Hu.
Dengan gusar Yo Ko menyanggah: “Guruku
bermusuhan dengan Coan-cin-kau, mana mungkin berhubungan secara gelap dengan
mereka?”
Kalimat bergaul secara sembunyi yang
kukatakan ini sesungguhnya masih terlalu sopan, malahan ada lainnya lagi yang
tidak pantas diucapkan anak perempuan seperti diriku ini” kata Kwe Hu pula
dengan tertawa dingin.
Yo Ko tambah gusar, teriaknya: “Guruku suci
bersih, jika kau sembarangan omong lagi, awal kalau mulutmu tidak kuremas.”
Akan tetapi Kwe Hu tetap dingin-dingin saja
dan berkata: “Ya, dia berani berbuat, aku yang berani mengatakan Huh, bagus
amat nona yang suci bersih, tapi bergaul dengan seorang Tosu busuk.” .
“Apa katamu?” hardik Yo Ko dengan muka merah
padam.
“Aku mendengar dengan telingaku sendiri,
masakah bisa keliru?” kata Kwe Hu pu!a, “Enam orang Tosu Coan-cin-kau
berkunjung kepada ayahku, tatkala mana dalam kota sedang kacau menghadapi
serangan musuh, ayah ibu kurang sehat dan tidak dapat menemui mereka, maka
akulah yang menyambut tetamunya….”
“Lantas bagaimana?” bentak Yo Ko pula dengan
gusar.
Melihat mata anak muda itu melotot merah,
otot hijau sama menonjol di dahinya, Kwe Hu bergirang karena tujuannya
tercapai, dengan berseri-seri ia berkata pula: “Kedua Tosu itu masing-masing
bernama Tio Ci-keng dan In Cipeng, ada tidak Tosu Coan -cinkau yang bernama
begitu?” “Kalau ada lantas bagaimana?” bentak Nyo-Ko pula.
Dengan tersenyum Kwe Hu menyambangi “Setelah
kuatur pondokan untuk mereka, lalu aku tidak mengurus mereka lagi, Siapa duga
tengah malam seorang murid Kay pang melapor padaku, katanya kedua Tosu itu
sedang bertengkar sendiri di dalam kamar.”
Yo Ko mendengus sekali, ia pikir Ci-keng dan
Gi-peng memangnya tidak akur satu sama lain, bahwa mereka bertengkar kenapa
mesti diherankan?
Dalam pada itu Kwe Hu sedang menutur pula:
“Karena ingin tahu, diam-diam aku mendekati jendela kamar mereka, kulihat
mereka tidak berkelahi lagi, tapi masih ribut mulut.
Orang she Tio bilang orang she In, berbuat
begini dan begitu dengan gurumu, sedangkan Tosu she In itu tidak menyangkal
hanya menyesalkan temannya itu tidak seharusnya bergembar-gembor…”
Mendadak Yo Ko berbangkit dan duduk di tepi
tempat tidur sambil membentak: “Berbuat begini dan begitu apa maksudmu?”
Muka Kwe Hu tampak merah, sikapnya rada kikuk
untuk menjawab, katanya kemudian: “Mana aku tahu? Yang pasti masakah, perbuatan
yang baik? Apa yang dilakukan guru kesayanganmu itu hanya dia sendiri yang
tahu.”
Nadanya penuh mengandung perasaan jijik dan
menghina.
Saking gusar dan gugupnya, pikiran Yo Ko
menjadi kacau, tanpa pikir sebelah tangannya terus menampar, “plok”, dengan
tepat pipi Kwe Hu kena ditempeleng.
Dalam keadaan gusar, pukulan Yo Ko itu cukup
keras, keruan mata Kwe Hu berkunang-kunang dan sebelah pipinya lantas bengkak,
kalau saja Yo Ko tidak habis sakit, mungkin giginya rontok digampar oleh anak
muda itu.
Selama hidup Kwe Hu mana pernah terhina
secara begitu? sesungguhnya dia tidak tahu bahwa Siao-liong-li adalah
satu-satunya orang yang paliug dihormati dan dicintai Yo Ko, mencemar nama baik
Siao-liong-li adalah melebihi dia ditusuk pedang tiga kali. Tapi Kwe Hu juga
seorang nona yang tidak pikir apalagi jika sudah murka, segera dia melolos
Siok-li-kiam terus menusuk ke leher Yo Ko.
Habis menampar Kwe Hu, Yo Ko pikir persoalan
ini pasti sukar diselesaikan, nona ini adalah puteri kesayangan paman dan bibi
Kwe, seumpama mereka tidak menyalahkan dia, rasanya juga tidak betah tinggal
lebih lama di kota ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar