Sabtu, 24 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 78



Kembalinya Pendekar Rajawali 78

Yo Ko menjadi heran dan tidak habis mengerti katanya: “Pantasnya aku akan mati karena bekerjanya racun dalam tubuhku, mengapa aku masih hidup sampai sekarang, sungguh aneh dan ajaib.”
Dengan girang Bu Sam-thong bertutur: “Susiokku itu adalah paderi sakti dan negeri Thian-tiok, nomor satu di dunia ini dalam hal mengobati keracunan. Dahulu guruku salah minum racun yang dikirim nyonya Kwe juga telah disembuhkan oleh beliau, sekarang juga akan kuundang dia ke sini.”
Habis berkata ber-gegas2 ia terus keluar kamar.
Diam-diam Yo Ko bergirang, ia pikir jangan-jangan waktu aku jatuh pingsan, paderi sakti itu telah meminumkan sesuatu obat mujarab kepadaku sehingga racun bunga cinta itu dapat dipunahkan Ai, entah Kokoh berada di mana saat ini? Kalau dia mengetahui aku takkan mati, entah betapa gembiranya dia.
Teringat kepada hal-hal yang meresap dan mesra itu, mendadak dadanya terasa seperti dipalu dengan keras dan sakitnya tidak kepalang, tak tertahankan iapun menjerit keras.
Sejak minum setengah butir obat pemberian Kiu Jianjio itu, belum pernah dia mengalami kesakitan sehebat ini, bisa jadi kasiat setengah biji obat itu sudah bilang, sedangkan kadar racun dalam tubuhnya belum lagi punah seluruhnya.
Sambil memegangi dada, keringat membasahi dahi Yo Ko saking sakitnya.
Tengah tersiksa dengan hebatnya, tiba-tiba Yo-Ko mendengar suara seorang bersabda: “Namo Budaya!” – Sambil merangkap kedua tangan di depan dada, paderi Thian-tiok itu tampak masuk ke kamar.
Bu Sam-thong ikut di belakang paderi Hindu itu, melihat keadaan Yo Ko itu, ia terkejut dan cepat bertanya: “Adik Yo, kenapa kau” - Lalu ia berpaling kepada paderi itu dan, memohon: “Susiok, racunnya kumat lagi, lekas memberikan obat padanya.”
Paderi Hindu itu tidak paham ucapannya, tapi dia lantas mendekati Yo Ko dan memeriksa nadinya. Bu Sam-thong sendiri lantas keluar kamar untuk mengundang Cu Cu-Iiu.
Cu Cu-liu adalah bekas Conggoan (gelar ahli sastra tertinggi), dia paham bahasa dan tulis Hindu kuno, hanya dia saja yang dapat berbicara dengan paderi itu, maka Bu Sam-thong mengundangnya untuk dijadikan juru bahasa.
Setelah tenangkan diri, rasa sakit Yo Ko mulai hilang, lalu dia menceritakan asal usulnya keracunan bunga cinta itu.
Dengan teliti paderi hindu itu bertanya tentang bentuk bunga cinta itu, tampak dia terkejut dan terheran-heran, katanya: “Bunga cinta itu adalah bunga ajaib jaman purba, konon sudah lama lenyap dari permukaan bumi ini, siapa kira daerah Tionggoan sini masih ada tetumbuhan itu. Aku belum pernah melihat bunga itu, maka sesungguhnya tidak tahu cara bagaimana memunahkan kadar racunnya.”
Setelah Cu Cu-liu menterjemahkan ucapan paderi Hindu itu, segera Bu Sam-thong berteriak-teriak memohon: “Kasihanilah Susiok! Tolonglah!”
Paderi itu menyebut nama Budha pula, lalu memejamkan mata dan menunduk merenung suasana dalam kamar menjadi sunyi senyap, siapapun tiada yang berani buka suara. Selang agak lama baruIah paderi Hindu itu membuka mata dan berkata: “Nyo kisu telah mencucup darah berbisa bagi kedua cucu muridku, pada hal racun jarum itu sangat jahat terisap sedikit saja akan mengakibatkan jiwa melayang, tapi Nyo-kisu ternyata masih sehat2 saja, sedangkan racun bunga cinta juga tidak bekerja pada waktunya, jangan-jangan terjadi racun menyerang racun sehingga Nyo-kisu malah mendapat berkahnya dan sembuh.”
Cu Cu-liu dan Yo Ko adalah orang-orang yang pintar dan cerdik, mereka pikir uraian paderi Hindu itu memang masuk di akal, maka mereka sama mengangguk.
Paderi itu berkata pula: “Orang baik tentu mendapatkan pembalasan baik, Nyo-kisu mengorbankan diri demi menolong orang lain, inilah perbuatan bajik yang luhur, racun ini pasti dapat dipunahkan.
“Jika begitu, mohon Susiok lekas menolong nya,” seru Bu Sam-thong girang.
“Untuk itu perlu kudatangi Coat-ceng-kok dan melihat sendiri bentuk bunga cinta itu, habis itu baru dapat mencari obat penyembuhnya yang tepat,” tutur si paderi, “Yang penting selama ini hendaklah Nyo- kisu jangan timbul perasaan cinta, kalau tidak, maka rasa sakit akan semakin menghebat setiap kali kumat”
“Akan lebih baik lagi apabila Nyo-kisu daptit memutuskan perasaan cinta itu dan racun inipun akan punah dengan sendirinya tanpa diobati.”


Yo Ko pikir kalau harus memutuskan cinta kasihnya kepada Kokoh, lebih baik kumati saja, Tapi sebelum dia menanggapi cepat Bu Sam-thong mengajak Cu Cu-liu ikut paderi Hindu itu ke Coat ceng-kok, sudah tentu Cu Cu-liu menerima ajakan itu karena diapun utang budi kepada Yo Ko.
Lalu Bu Sam-thong berkata pula kepada Nyp-Ko: “Adik Nyo, harap engkau istirahat saja dengan tenang, segala sesuatu pasti akan beres. Besok juga kami akan berangkat dan kembali selekasnya utk menyembuhkan penyakitmu, kelak aku masih harus minum arak pesta pernikahanmu dengan nona Kwe.”
Yo Ko melengak, ia pikir persoalan Kwe Hu sukar dijelaskan dalam waktu singkat, maka tanpa pikir ia hanya mengiakan saja. sesudah ketiga orang itu pergi, ia sendiri lantas berbaring untuk tidur.
Waktu mendusin, terdengar suara burung ber-kicau, rupanya fajar sudah menyingsing, Sudah beberapa hari Yo Ko tidak makan, perut terasa lapar, dilihatnya di atas meja dekat pembaringannya ada empat piring penganan, segera ia ambil beberapa gotong kue dan dimakan.
Belum sepotong kue itu termakan habis, terdengar orang mengetuk pintu, lalu masuklah seorang berbaju merah jambon dengan air muka tampak marah, ternyata yang datang ini adalah Kwe Hu.
Yo Ko meIongo sejenak, lalu menyapa “Pagi benar, nona Kwe.”
Kwe Hu hanya mendengus pelahan saja dan tidak menjawab, ia lantas berduduk pada kursi di depan tempat tidur dengan alis menegak dan melotot gusar kepada Yo Ko, sampai lama sekali masih tetap tidak berbicara.
Tentu saja hati Yo Ko tidak enak, dengan tersenyum ia berkata pula: “Apa paman Kwe menyuruh kau menyampaikan sesuatu pesan padaku?”
“Tidak!” jawab Kwe Hu singkat dan ketus Berulang-ulang Yo Ko mendapatkan sikap dingin begitu, kalau hari-hari biasa tentu dia tak mau menggubris lagi nona itu, Tapi sekarang melihat sikap orang rada aneh, ia menjadi heran dan ingin tahu sebab apakah pagi-pagi nona itu sudah mendatangi kamarnya. Maka dengan mengering tawa ia bertanya pula: “Setelah melahirkan tentunya Kwe- pekbo juga sehat2 saja?”
“Sehat atau tidak ibuku, tidak perlu kau ber-kuatir,” jawab Kwe Hu dengan lebih ketus.
Selain Siao-liong-li, tidak pernah Yo Ko mau mengalah terhadap orang lain, tapi sekarang dia telah diperlakukan kasar oleh Kwe Hu, mau-tak mau timbul juga rasa dongkolnya. Segera iapun batas mendengus, lalu memejamkan mata dan tak menggubrisnya lagi.
“Kau mendengus apa?” tanya Kwe Hu gemas. Kembali Yo Ko mendengus lagi dan tetap tidak menggubrisnya.
“Kau dengar tidak, kutanya apa yang kau de-nguskan” bentak Kwe Hu.
Diam-diam Yo Ko geli melihat si nona menjadi kelabakan, jawabnya kemudian: “Badanku tidak enak, kudengus dua kali supaya merasa segar.”
“Kau bohong, lain kata lain perbuatan, sehari-hari hanya mengacau, sungguh manusia rendah tidak tahu malu.” damperat Kwe Hu dengan gusar.
Hati Yo Ko tergerak karena tanpa sebab musabab si nona mendamperatnya secara sengit, ia pikir jangan-jangan ucapanku yang kugunakan untuk membohongi kedua saudara Bu telah diketahui nona ini. Melihat dalam keadaan marah wajah Kwe Hu tetap cantik molek, tanpa terasa timbul rasa kasihannya.
Dasar watak Yo Ko memang rada dugal, segera ia berkata pula dengan tertawa: “Nona Kwe, apakah kau maksudkan apa yang kukatakan kepada kedua saudara Bu itu?”
“Apa yang kau katakan kepada mereka, hayo lekas mengaku,” bentak Kwe Hu pula dengan suara tertahan.
“Tujuanku adalah demi kebaikan mereka agar mereka tidak saling membunuh dan membikin sedih hati ayahnya,” ucap Yo Ko dengan tertawa. “Apa yang kukatakan itu telah disampaikan oleh paman Bu padamu, bukan?”
“Dia….. dia begitu bertemu aku lantas mengucapkan selamat padaku dan memuji kau setinggi langit,” tutur itwe Hu. “Nama baik anak… anak perempuan seperti diriku yang putih bersih masakah boleh sembarangan kau nista?” – Sampai di sini suaranya menjadi ter-sendat2 dan air matapun berlinang-linang.
Yo Ko menjadi sangat menyesal pada diri sendiri yang sembarangan omong tanpa pikir bahwa ucapannya yang bermaksud baik itu justeru akan merusak nama baik Kwe Hu, apapun juga memang perkataannya itu memang keterlaluan, rasanya persoalan ini akan sukar diselesaikan.
Melihat Yo Ko diam saja, hati Kwe jadi tambah panas, katanya sambil menangisi “Menurut paman Bu, katanya kau telah mengalahkan kedua kakak Bu, mereka kau paksa berjanji takkan menemuiku untuk selamanya, apakah hal ini memang betul?”
Diam-diam Yo Ko menyesali Bu Sam-thong yang tidak genah itu, masakah kata-kata itu perlu disampaikan kepada Kwe Hu, Terpaksa ia tidak membantah dan menjawab dengan mengangguk “Ya, memang tidak sepatutnya aku sembarangan omong, cuma maksud tujuanku sama sekali tidak jahat, harap kau memaklumi hal ini.”
Kwe Hu mengusap air matanya, lalu bertanya pula: “Dan apa yang kau katakan semalam, untuk maksud apa pula?”
Yo Ko melengak dan menegas: “Kukatakan apa semalam?”
“Paman Bu bilang setelah kau sembuh, dia berharap akan minum arak pesta pernikahanmu dan aku ken,….kenapa kan mengiakan tanpa malu?”
Wah, celaka, jadi ucapanku semalam juga terdengar olehnya, demikian Yo Ko mengeluh dalam hati. Terpaksa ia membantah: “Semalam aku dalam keadaan setengah sadar dan tidak jelas apa yang dikatakan paman Bu padaku.”
Kwe Hu dapat melihat anak muda itu sengaja berdusta, dengan suara keras ia berteriak: “Kau bilang ibuku mengajarkan ilmu silat padamu secara diam-diam karena beliau penujui kau dan ingin memungut kau sebagai menantu, betul tidak ucapanmu ini?”
Muka Yo Ko menjadi merah diberondong pertanyaan2 itu, ia pikir kelakarnya mengenai Kwe Hu paling-paling akan dianggap dugal saja oleh orang lain, dasarnya aku juga bukan ksatria yang suci dan alim, tapi aku berdusta tentang diajari ilmu silat secara diam-diam oleh Kwe-pekbo. persoalan ini bisa kecil bisa besar dan sekali-sekali jangan sampai diketahui bibi Kwe. Maka cepat ia meminta:
“Nona Kwe, memang salahku sembarangan omong, harap kau suka menutupi hal ini dan jangan sampai diketahui ayahmu.”
“Hm jika kau takut pada ayahku, kenapa kau berani berdusta dan menghina ibuku?” jengek Kwe Hu.
Cepat Yo Ko menyatakan: “Terhadap ibumu” sedikitpun tiada maksudku untuk menistanya, waktu itu tujuanku Cuma ingin membikin kedua Bu putus harapan atas dirimu supaya mereka tidak saling membunuh sehingga bicaraku rada-rada kelewatan.”
Sejak kecil Kwe Hu dibesarkan bersama kedua saudara Bu, kini mendengar Yo Ko berdusta dan membikin kedua anak muda itu putus asa terhadap dirinya serta berjanji takkan menemuinya keruan rasa gusarnya tak terperikan. Dengan suara keras ia bertanya pula: “Baik, urusan ini akan kubereskan nanti dengan kau, sekarang yang penting adalah Moaymoayku, kemana kau membawanya pergi?”
“Ya, lekas mengundang ayahmu ke sini, aku justeru hendak membicarakannya dengan beliau,” seru Yo Ko.
“Ayahku sudah keluar kota untuk mencari adikku itu,” jawab Kwe Hu. “Kau ini memang….. memang manusia yang tidak tahu malu, kau hendak menggunakan adikku untuk menukar obat penawar. Hm, rupanya jiwamu berharga dan jiwa adikku tidak berharga sepeserpun.”
Sejak tadi Yo Ko memang merasa menyesal dan malu diri karena terlanjur berbuat hal-hal yang merusak nama baik Kwe Hu, tapi dituduh hehdak menggunakan anak bayi itu untuk menukar obat baginya, hal ini betapapun dia tak dapat
menerima, dengan suara lantang ia berkata: “Dengan tekad bulat aku hendak merebut kembali adik perempuanmu untuk dikembalikan kepada ayah-bundamu, kalau dikatakan hendak kugunakan adikmu untuk menukar obat, hal ini sekali-sekali tidak pernah timbul dalam pikiranku.
“Habis kemana perginya adik ku?” tanya Kwe Hu.
“Dia telah dibawa lari Li Bok-chiu, aku merasa malu karena tak berhasil merampas nya kembali,” tutur Yo Ko. “Tapi bila tenagaku sudah pulih dan tidak mati, segera aku akan pergi mencarinya.”
“Hm Li Bok-chiu itu adalah paman gurumu, betul tidak?” jengek Kwe Hu. “Tadinya kalian sembunyi di satu gua, betul tidak?”
“Benar, meski dia adalah paman guruku, tapi selamanya dia tidak akur dengan guruku,” jawab Yo Ko.
“Hm, tidak akur apa?” jengek Kwe Hu. “Tapi mengapa dia mau menuruti permintaanmu dengan membawa adikku pergi menukar obat bagimu?”
Yo Ko melonjak bangun dengan gusar, katanya “Kau jangan sembarangan omong nona Kwe, meski aku Yo Ko bukan manusia yang terpuji, tapi sama sekali tiada maksud berbuat begitu.”
“Tiada bermaksud berbuat begitu? Hm, enak saja kau bicara,” jawab Kwe Hu. “Gurumu sendiri yang mengatakan hal itu, memangnya aku yang fitnah dan sembarangan omong?”
“Guruku bilang apa lagi?” tanya Yo Ko.
Serentak Kwe Hu berdiri dan menuding hidung Yo Ko, katanya: “Gurumu berkata sendiri kepada paman Cu bahwa kau dan Li Bok-chiu sama-sama berada di lembah sunyi sana, dia minta paman Cu suka mengantarkan kuda merah milik ayah untuk dipinjamkan padamu agar kau sempat membawa
adikku ke Coat-ceng-kok untuk…. “
Kaget dan sangsi hati Yo Ko, cepat memotong: “Benar, memang guruku mempunyai maksud begitu agar aku mengantar adikmu ke sana untuk mendapatkan separoh obat yang masih dipegang Kiu Jian-jio itu, tapi cara ini hanya untuk sementara saja dan takkan membikin susah adikmu…”
“Adikku baru lahir sehari dan telah kau serah-kan kepada seorang iblis yang kejam, masakah kau berani mengatakan takkan membikin susah adikku,” kata Kwe Hu dengan gusar, “Kau ini bangsat keparat, manusia berhati binatang! Waktu kecilmu kau terluntang-lantung sebatangkara dan cara
bagaimana ayah-ibuku telah memperlakukan kau? Kalau ayah ibu tidak memelihara kau hingga besar di Tho-hoa-to masakah kau dapat menjadi seperti sekarang ini? Siapa tahu air susu kau balas dengan air tuba, kau sekongkol dengan musuh dan ketika ayah - ibuku kurang sehat, kau telah menculik adikku.”
Semakin mendamperat semakin beringas nona itu sehingga Yo Ko sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membantah. Keruan tidak kepalang gusar dan dongkoInya Yo Ko, “bliik”, saking tak tahan ia terus jatuh pingsan di atas tempat tidur.
Selang agak lama, lambat-laun Yo Ko siuman kembali, diiihatnya Kwe Hu masih menatapnya dengan muka merengut dan segera mengomeli pula: “Hm, tak tersangka kau masih mempunyai rasa malu, rupanya kaupun tahu kesalahan perbuatanmu yang terkutuk itu.”
Yo Ko menghela napas panjang, katanya: “Jika aku mempunyai pikiran begitu, mengapa aku tidak membawa adikmu langsung ke Coat-ceng-kok saja.”
Racun dalam tubuhmu kumat dan tak dapat berjalan, makanya kau minta tolong paman gurumu.” kata Kwe Hu.
“Hehe, tapi maksud tujuanmu akhirnya toh gagal, biar kukatakan terus terang, begitu kudengar permintaan gurumu kepada paman Cu, segera kusembunyikan kuda merah itu sehingga muslihat jahat kalian guru dan murid menjadi gagal total.”
“Baik, baik, apa yang kau suka katakan boleh silakan katakan saja, akupun tidak ingin membantah.” kata Yo Ko dengan mendongkol “Dan di mana guruku ? Ke mana dia?”
Muka Kwe Hu tiba-tiba rada merah, katanya:” Huh, ini namanya gurunya begitu dengan sendirinya muridnya juga begitu, gurumu juga bukan manusia baik-baik.”
Dengan gusar Yo Ko melonjak bangun pula dan berkata: “Kau memaki dan menghina aku, mengingat ayah-bundamu, takkan kupersoalkan pada-mu. Tapi mengapa mencerca guruku?”
“Cis, memangnya kalau gurumu kenapa?” semprot Kwe Hu pula. “Soalnya dia sendiri yang bicara secara tidak senonoh.”
Sudah tentu Yo Ko tidak percaya Siao-liong-li yang dianggapnya suci bersih dan polos itu dapat mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas segera ia balas mendengus “Hm, besar kemungkinan pikiranmu sendiri tidak benar, maka ucapan guruku juga kau terima dengan menyimpang.”
Sebenarnya Kwe Hu tidak ingin mengulangi perkataan Siao-liong-li, tapi ia tidak tahan oleh olok-olok Yo Ko itu, tanpa pikir ia terus berkata: “Gurumu bilang padaku: “Nona Kwe, hati Ko-ji sangat baik, hidupnya sebatangkara dan menderita, kau harus meladeni dia dengan baik,” Lalu katanya pula: “Kalian memang pasangan yang setimpal suruhlah dia melupakan diriku, sama sekali aku tidak menyalahkan dia.”
Kemudian dia memberikan pula pedangnya padaku, katanya pedang ini bernama Siok-Ii-kiam dan merupakan pasangan dengan Kun-cu-kiam milikmu. Apalagi namanya kalau perkataannya ini bukan tidak senonoh.”
Setiap mendengarkan suatu kalimat itu, setiap kali perasaan Yo Ko seperti disayat, pikirannya menjadi bingung, ia tidak tahu mengapa Siao-liong-li mengemukakan ucapan begitu. Habis Kwe Hu ber-kata, pelahan ia angkat kepalanya, mendadak matanya memancarkan cahaya aneh, bentaknya gusar.
“Kau berdusta, kau penipu. Mana mungkin guruku berkata begitu? Mana itu Siok-li-kiam? Mana? jika tak dapat kau perlihatkan, maka jelas kau berdusta?”
Kwe Hu mendengus, mendadak sebelah tangan mengeluarkan sebatang pedang dari belakang punggungnya, pedang itu hitam mulus, jelas itulah Siok li kiam yang diperoleh di Coat-ceng-kok itu”
Tidak kepalang rasa kecewa Yo Ko, bicaranya sudah tanpa pikir lagi, segera ia berteriak: “Siapa ingin menjadi pasangan setimpal dengan kau? Kun-cu-kiamku sudah patah, Pedang ini memang betul milik guruku, pasti kau mencurinya, ya, kau mencurinya ya, kau mencurinya!”
Sudah sejak kecil Kwe Hu sangat dimanjakan, sekalipun ayah-bundanya juga mau mengalah padanya, apalagi kedua saudara Bu, mereka munduk2 belaka terhadap si nona, sekarang Yo Ko bicara sekasar ini padanya, tentu saja ia tidak tahan. Apalagi nada ucapan Yo Ko itu seakan-akan menuduh-nya sengaja mengarang ucapan Siao-liong-li itu agar si Yo Ko mau menjadi pasangannya dan si Yo Ko justeru tidak sudi.
BegituIah segera Kwe Hu pegang pedangnya, dia bermaksud meloiosnya terus menabas, tapi segera timbul keinginannyaakan membikin panas hati Yo Ko, ia tahu anak muda itu sangat menghormat dan mencintai gurunya, kalau kejadian ini diceritakannya pasti anak muda itu akan marah setengah mati.
Dalam keadaan murka sama sekali Kwe Hu tidak menimbang lagi bagaimana akibatnya jika dia menguraikan apa yang hendak dikatakannya itu. Segera ia masukkan kembali pedang yang sudah hampir ditotoknya tadi, lalu berduduk dan berkata dengan tertawa dingin:
“Ya, gurumu memang cantik dan tinggi pula ilmu silatnya, sungguh wanita yang jarang ada bandingannya di dunia ini, Cuma saja, ada sesuatu yang tidak beres.”
“Sesuatu apa yang tidak beres?” tanya Yo Ko, “Cuma kelakuannya tidak beres, suka bergaul secara sembunyi2 dengan kaum Tosu Coan-cin-kau,” tutur Kwe Hu.
Dengan gusar Yo Ko menyanggah: “Guruku bermusuhan dengan Coan-cin-kau, mana mungkin berhubungan secara gelap dengan mereka?”
Kalimat bergaul secara sembunyi yang kukatakan ini sesungguhnya masih terlalu sopan, malahan ada lainnya lagi yang tidak pantas diucapkan anak perempuan seperti diriku ini” kata Kwe Hu pula dengan tertawa dingin.
Yo Ko tambah gusar, teriaknya: “Guruku suci bersih, jika kau sembarangan omong lagi, awal kalau mulutmu tidak kuremas.”
Akan tetapi Kwe Hu tetap dingin-dingin saja dan berkata: “Ya, dia berani berbuat, aku yang berani mengatakan Huh, bagus amat nona yang suci bersih, tapi bergaul dengan seorang Tosu busuk.” .
“Apa katamu?” hardik Yo Ko dengan muka merah padam.
“Aku mendengar dengan telingaku sendiri, masakah bisa keliru?” kata Kwe Hu pu!a, “Enam orang Tosu Coan-cin-kau berkunjung kepada ayahku, tatkala mana dalam kota sedang kacau menghadapi serangan musuh, ayah ibu kurang sehat dan tidak dapat menemui mereka, maka akulah yang menyambut tetamunya….”
“Lantas bagaimana?” bentak Yo Ko pula dengan gusar.
Melihat mata anak muda itu melotot merah, otot hijau sama menonjol di dahinya, Kwe Hu bergirang karena tujuannya tercapai, dengan berseri-seri ia berkata pula: “Kedua Tosu itu masing-masing bernama Tio Ci-keng dan In Cipeng, ada tidak Tosu Coan -cinkau yang bernama begitu?” “Kalau ada lantas bagaimana?” bentak Nyo-Ko pula.
Dengan tersenyum Kwe Hu menyambangi “Setelah kuatur pondokan untuk mereka, lalu aku tidak mengurus mereka lagi, Siapa duga tengah malam seorang murid Kay pang melapor padaku, katanya kedua Tosu itu sedang bertengkar sendiri di dalam kamar.”
Yo Ko mendengus sekali, ia pikir Ci-keng dan Gi-peng memangnya tidak akur satu sama lain, bahwa mereka bertengkar kenapa mesti diherankan?
Dalam pada itu Kwe Hu sedang menutur pula: “Karena ingin tahu, diam-diam aku mendekati jendela kamar mereka, kulihat mereka tidak berkelahi lagi, tapi masih ribut mulut.
Orang she Tio bilang orang she In, berbuat begini dan begitu dengan gurumu, sedangkan Tosu she In itu tidak menyangkal hanya menyesalkan temannya itu tidak seharusnya bergembar-gembor…”
Mendadak Yo Ko berbangkit dan duduk di tepi tempat tidur sambil membentak: “Berbuat begini dan begitu apa maksudmu?”
Muka Kwe Hu tampak merah, sikapnya rada kikuk untuk menjawab, katanya kemudian: “Mana aku tahu? Yang pasti masakah, perbuatan yang baik? Apa yang dilakukan guru kesayanganmu itu hanya dia sendiri yang tahu.”
Nadanya penuh mengandung perasaan jijik dan menghina.
Saking gusar dan gugupnya, pikiran Yo Ko menjadi kacau, tanpa pikir sebelah tangannya terus menampar, “plok”, dengan tepat pipi Kwe Hu kena ditempeleng.
Dalam keadaan gusar, pukulan Yo Ko itu cukup keras, keruan mata Kwe Hu berkunang-kunang dan sebelah pipinya lantas bengkak, kalau saja Yo Ko tidak habis sakit, mungkin giginya rontok digampar oleh anak muda itu.
Selama hidup Kwe Hu mana pernah terhina secara begitu? sesungguhnya dia tidak tahu bahwa Siao-liong-li adalah satu-satunya orang yang paliug dihormati dan dicintai Yo Ko, mencemar nama baik Siao-liong-li adalah melebihi dia ditusuk pedang tiga kali. Tapi Kwe Hu juga seorang nona yang tidak pikir apalagi jika sudah murka, segera dia melolos Siok-li-kiam terus menusuk ke leher Yo Ko.
Habis menampar Kwe Hu, Yo Ko pikir persoalan ini pasti sukar diselesaikan, nona ini adalah puteri kesayangan paman dan bibi Kwe, seumpama mereka tidak menyalahkan dia, rasanya juga tidak betah tinggal lebih lama di kota ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar