Kembalinya Pendekar Rajawali 35
Mendengar itu, senang sekali rasa hati Yo Ko,
dalam keadaan demikian seumpama Oey Yong suruh dia kerjakan apa, dapat
dipastikan tanpa tawar lagi akan dilakukannya, Maka tak pikir lagi segera ia
samber tongkat pemukul anjing terus lari keluar barisan,batu-batu itu.
“Hayo, Hoat-ong, bila kau berani, marilah
kita bertempur 300 jurus !” demikian Yo Ko lantas menantang, Memangnya Kim-lun
Hoat-ong lagi kuatir mereka main gila di dalam barisan batu-batu itu untuk
membokong dirinya, kini melihat Yo Ko keluar menantang, keruan kebetulan
baginya,
Segera ia angkat roda besinya terus
menghantam. ia kuatir Yo Ko lari masuk lagi ke dalam gundukan batu maka setelah
dua gebrakan, segera ia cegat jalan mundur si Yo Ko dengan tujuan memaksa
pemuda ini jauh meninggalkan barisan batu itu.
Tak ia duga baru saja Yo Ko mempelajari
Pak-kau-pang- hoat dan sekarang juga lantas dipraktekkan, nyata ilmu tongkat
pemukul anjing ini memang heibat luar biasa dengan segala gaya memukul,
menjojoh, menyandung, menyabet dan macam-macam lagi, karena gegabah hingga
sedikit meleng,
segera paha Kim-lun Hoat-ong kena ditoyor
sekali oleh tongkat bambu Yo Ko, meski ilmu silatnya sangat tinggi dan cepat
bisa tutup jalan darahnya hingga tidak terluka, namun terasa juga sakit sekali.
Karena kecundang ini, ia tak berani ayal
lagi, roda besinya berputar cepat, ia lawan Yo Ko sepenuh perhatian, meski
lawannya kini hanya pemuda belasan tahun, tapi ia justru seperti menghadapi
musuh tangguh, seakan-akan melawan seorang tokoh silat maha lihay.
Dan karena orang bertempur sungguh-sungguh,
Yo Ko segera kewalahan, sekalipun hebat Pak-kau pang-hoat, tapi baru dipelajari
lantas digunakan, betapapun juga belum leluasa dimainkannya, lekas-lekas ia
gunakan gaya “hong” atau menutup untuk menahan serangan roda orang, berbareng
ia geser langkah menerobos ke sini ke sana. Melihat pemuda ini hendak menerjang
keluar, Kim-lun
Hoat-ong pikir kebetulan baginya, maka
berulang-ulang iapun mundur hendak pancing Yo Ko jauh meninggalkan barisan
batu, Siapa tahu baru belasan tindak ia mundur, mendadak ia kesandung sebuah
batu besar, ternyata tanpa terasa ia sendiri malah terpancing masuk ke dalam
Loan-ciok-tin.
Harus diketahui bahwa setiap langkah Yo Ko
selalu turut ajaran Oey Yong tadi, ia bertindak menurut duduk Pat-kwa yang
aneh, hanya beberapa kali ia menggeser dan arahnya sudah berganti, semakin ia
menerjang maju, semakin masuk ke dalam barisan batu, Dan karena asyik menempur
orang,
seketika Kim-lun Hoat-ong, kena
diselomoti,waktu ia sadar, namun sudah terjeblos di dalam Loan-ciok-tin itu.
Ia pikir bisa celaka, ia dengar Oey Yong
berulang kali lagi berseru: “Cu-jiok pindah Jing-liong, Soan-wi berubah Li-wi,
It-bok ganti Kui-cui,” Apa yang disebut ini adalah nama tempat kedudukan yang
harus dituju Yo Ko dalam barisan batu itu.
Berbareng itu, Bu-si Hengte dan Kwe Hu
serentak memindahkan batu-batu besar dan mengurung rapat musuh di
tengah-tengah.
Terkejut sekali Kim-lun Hoat-ong karena
perubahan hebat itu, pikirnya hendak berhenti buat periksa keadaan sekitarnya,
tapi tongkat bambu Yo Ko justru selalu mengganggu, Pak-kau-pang-hoat ini belum
cukup kuat buat menempurnya secara berhadapan, tapi untuk mengacaukan
pikirannya justru sangat tepat.
Sementara itu Kim-lun Hoat-ong beberapa kali
kesandung batu lagi hingga berdirinya tak mantap, ia tahu barisan batu-batu itu
sangat lihay, asal kejeblos terlalu lama, makin putar makin kacau jadinya.
Dalam keadaan bahaya, mendadak Kim-lun
Hoat-ong menggertak sekali, ia keluarkan Ginkang dan melompat keatas gundukan
batu, Dengan berada di atas gundukan batu seharusnya tidak terkurung lagi oleh
barisan itu, tapi anehnya barisan batu itu justru bisa mengacaukan arah, bila
lari ke
timur dan menyangka bisa keluar, tahu-tahu
dari timur sampai barat dan dari selatan ke utara tetap ber-putar-putar dan
akhirnya hanya putar kayun terus di suatu lingkaran kecil hingga tenaga habis,
akhirnya menyerah tak berdaya. Dalam pada itu dilihatnya Yo Ko telah ayun
tongkatnya memukul betisnya, terpaksa Kim-lun Hoat-ong melompat turun ke tanah
datar lagi, ia putar rodanya balas menghantam.
Setelah belasan jurus lagi, cuaca sudah mulai
gelap hingga makin menambah seramnya barisan batu itu, dalam keadaan demikian
sekalipun Kim-lun Hoat-ong memiliki kepandaian setinggi langit mau-tak-mau
iapun berkuatir.
Mendadak menjadi nekat, ketika kedua kakinya
menyapu kuat, lebih dulu sebuah batu besar lebih 20 kati kena didepak ke udara,
menyusul sebuah batu besar lain terbang lagi ke angkasa, ia bergerak cepat,
kedua kakinya pun bergantian menendang hingga barisan batu itu seketika pecah berantakan.
Terkejut luar biasa Oey Yong berlima,
Lekas-lekas mereka berkelit akan timpaan batu-batu terbang dari atas itu. Kini
kalau Kim-lun Hoat-ong mau lari keluar barisan sebenarnya tidak susah, tapi
dari terserang ia segera balas menyerang, sekali tangan mengulur, kontan Oey
Yong hendak ditangkapnya.
Cepat Yo Ko jojoh punggung orang dengan
tongkatnya, ketika Hoat-ong ayun roda besinya menangkis ke belakang, sementara
telapak tangannya juga sudah sampai di atas pundak Oey Yong. Kalau mau
sebenarnya Oey Yong bisa hindarkan diri dengan sedikit mundur, tapi didengarnya
di
belakang samberan angin yang keras, dari
udara sebuah batu besar lagi menimpa ke arah punggungnya, terpaksa ia keluarkan
Kim-na-jiu-hoat, ilmu menangkap dan melawan, ia papaki tangan Hoat-ong terus
memegangnya kencang malah.
“Bagus !” seru Hoat-ong, ia biarkan tangannya
dipegang Oey Yong, ketika orang hendak membetot mendadak ia barengi menarik
dengan tenaga raksasanya.
Kalau dalam keadaan biasa, tidak susah bagi
Oey Yong untuk melepaskan diri, tapi kini ia tak bisa keluarkan tenaga, maka
terdengarlah ia menjerit orangnya lantas jatuh juga.
Terperanjat sekali Yo Ko, tak dihiraukan lagi
mati hidup sendiri, ia menubruk maju terus merangkul kedua kaki Kim-lun Hoat-ong
hingga keduanya sama-sama terbanting roboh.
Betapapun juga Kim-lun Hoat-ong memang jauh
lebih tinggi ilmu silatnya, belum tubuhnya menggeletak telapak tangan kanan
dengan tipu pukulan berat telah hantam kena dada Yo Koi hingga pemuda ini
terpental bagai bola.
Tapi pada saat itu juga, sebuah batu besar
terakhir yang terbang ke udara oleh tendangan Hoat-ong tadi justru menimpa
turun juga, maka terdengarlah suara “bluk” yang keras, dengan tepat punggung
Hoat-ong sendiri kena tertimpa.
Betapa hebat tenaga tumbukan batu itu,
sungguhpun Lwekang Hoat-ong amat tingginya juga tak tahan, meski ia masih bisa
keluarkan tenaga untuk menendang pergi batu itu, tapi setelah sempoyongan
beberapa kali, akhirnya ia roboh ke depan.
Begitulah, hanya sekejap saja batu bertebaran
dan barisan berantakan Oey Yong, Yo Ko dan Kim-lun Hoat-ong bertiga sama-sama
roboh terluka.
Di luar barisan batu si Darba dan para jagoan
Mongol serta Kwe Hu dan Busi Hengte di dalam barisan sama-sama terkejut, segera
yang diluar lari masuk hendak menolong.
Tenaga Darba besar luar biasa, pula diantara
jagoan Mongol itu ada beberapa orang yang kuat, sudah tentu Kwe Hu dan kedua Bu
cilik tak bisa melawannya.
Mendadak tertampak Kim-lun Hoat-ong berdiri
sambil sempoyongan, ketika rodanya bergerak hingga menerbitkan suara nyaring,
wajahnya putih pucat, tiba-tiba ia menengadah dan bergelak tertawa, suaranya
seram membikin orang mengkirik.
“Selama hidupku belum pernah aku menderita
luka sedikitpun menghadapi musuh siapa saja, tak nyana hari ini aku melukai diriku
sendiri,” kata Hoat-ong, suaranya serak berat. Habis ini, kembali tangannya
mengulur hendak mencengkeram Oey Yong lagi.
Meski Yo Ko kena dipukul sekali di dadanya
dan cukup parah, tapi demi nampak Oey Yong terancam bahaya, sambil merangkak
segera ia ayun pula tongkatnya menangkis tangan musuh, dan karena sedikit
keluar tenaga ini, tak tahan lagi darah menyembur keluar dari mulutnya.
“Sudahlah, Ko-ji, kita akui kalah saja, tak
perlu adu jiwa lagi, kau jaga dirimu saja baik-baik,” ujar Oey Yong sedih.
Sementara dengan pedang terhunus Kwe Hu
menjaga disamping ibunya.
“Kau lekas lari dulu, Hu-moay, paling penting
beritahukan ayahmu saja,” bisik Yo Ko pelahan.
Tapi pikiran Kwe Hu sudah kusut, sekalipun
tahu kepandaian diri sendiri terlalu rendah, tapi mana tega ia tinggalkan sang
ibu? Dalam pada itu sedikit ayun roda besinya, tahu-tahu pedang Kwe Hu
terpental terbentur roda Kim-lun Hoat-ong, terlihatlah sinar putih terbang
mendadak dan masuk ke dalam hutan.
Selagi Kim-lun Hoat-ong hendak dorong pergi
Kwe Hu buat tangkap Oey Yong, tiba-tiba didengarnya suara seruan seorang
perempuan: “Tahan dulu !”
Menyusul mana sesosok bayangan hijau
tahu-tahu melompat keluar dari dalam hutan terus samber pedang Kwe Hu yang
sedang me-layang2 itu, beberapa kali loncatan lagi, cepat sekali orangnya sudah
sampai di antara gundukan batu itu.
Melihat wajah orang seram luar biasa, tiga
bagian seperti manusia, tujuh bagian mirip setan, selama hidupnya belum pernah
melihat wajah orang begitu aneh dan jelek, seketika Kim-lun Hoat-ong tercengang,
“Siapa kau?” iapun membentak.
Orang perempuan itu tidak menjawab, ia
berjongkok terus mendorong satu batu besar hingga melintang di tengah-tengah
Hoat-ong dan Oey Yong, kemudian buka suara : “Apakah kau ini Kim-lun Hoat-ong
dari Tilbet yang tersohor itu?” - Meski wajahnya jelek, tapi suaranya ternyata
amat merdunya.
“Ya, betul dan kau siapa?” sahut Hoat-ong.
“Aku hanya seorang anak dara tak bernama,
sudah tentu kau tak kenal aku,” sahut gadis itu. Sembari berkata, kembali ia
geser satu batu lainnya ke samping.
Sementara itu dalam hutan rimba gelap gulita,
tiba-tiba tergerak pikiran Hoat-ong, ia membentak cepat: “Apa yang kau
lakukan?”
Selagi hendak merintangi orang memindahkan
batu, ia dengar gadis itu telah berseru: “Kak-bok-kau berubah menjadi Hang-kim-liong
!”
Seketika Kwe Hu dan kedua saudara Bu
tercengang, pikir mereka: “Aneh, darimana iapun tahu cara perubahan barisan
batu ini?”
Karena suaranya membawa perbawa, seketika
merekaturut perintah dan memindahkan batu yang
tadinya sudah kacau berantakan segera berubah lain lagi.
Terkejut dan gusar Kim-lun Hoat-ong,
tiba-tiba ia membentak : “Kau anak perempuan inipun berani mengacau di sini?”
Tapi lagi-lagi gadis itu berseru beberapa
istilah tentang perubahan2 barisan batu yang semuanya cocok dengan apa yang
diajarkan Oey Yong pada Yo Ko tadi.
Mendengar orang bisa berteriak dengan betul
dan teratur tiada ubahnya seperti pimpinan Oey Yong sendiri, Kwe Hu dan kedua
Bu menjadi girang, dengan bersemangat mereka geser batu dan tampaknya segera
Kim-lun Hoat-ong akan terkurung lagi di dalam.
Punggung Hoat-ong sudah ketimpa batu tadi, ia
coba tahan lukanya itu dengan Lwekangnya yang tinggi, meski seketika belum
berbahaya, tapi tidak kecil penderitaannya, maka tak sanggup lagi ia menendangi
batu pula, Betapapun ia memang seorang tokoh terkemuka, ia tidak
menjadi bingung dalam keadaan bahaya, ia tahu bila telat sebentar lagi hingga
terjeblos pula dalam barisan batu, bukan saja Oey Yong tak jadi ditangkapnya,
bahkan ia sendiri bisa-bisa tertangkap malah.
Walau kelihatan Oey Yong menggeletak di tanah
tak berkutik, asal melangkah maju beberapa tindak segera dapat menawannya, tapi
keselamatan diri sendiri jauh lebih penting, maka cepat ia putar rodanya,
tiba-tiba ia pura-pura menghantam ke atas kepala Bu Siu-bun.
Dalam keadaan terluka parah sebenarnya
Kim-lun Hoat- ong tak punya tenaga lagi, asal Siu-bun berani menangkis mungkin
roda besinya akan terlepas dari tangan, namun Bu Siu-bun sudah jeri, mana
berani ia tangkis serangan itu, lekas-lekas ia buang batu yang hendak
dipindahnya terus menyelinap masuk barisan batu.
Sesaat Kim-lun Hoat-ong terbingung di
tempatnya, pikirnya bergolak: “Kalau kesempatan ini di-sia-siakan, mungkin
kelak sukar lagi diketemukan. Apa memang Thian melindungi Tay Song (ahala Song Raya) dan tugasku
harus gagal begini? Tampaknya banyak sekali bibit2 muda dikalangan Bu-lim di
daerah Tionggoan, melulu beberapa muda-mudi ini saja sudah pandai dalam segala
hal dan tak boleh dipandang enteng, agaknya ksatria2 dari Mongol dan Tibet
masih jauh kalau dibandingkan mereka!”
Karena itu ia menghela napas dan sesal diri,
tiba-tiba ia putar tubuh terus melangkah pergi. Tapi baru belasan tindak,
mendadak terdengar suara gemerenceng riuh, roda besinya terjatuh, tubuhnya pun
terhuyung-huyung.
Terkejut sekali si Darba, “Suhu!” teriaknya
cepat sambil memlburu maju memayangnya dan menanya pula : “Kenapa kau, Suhu?”
Kim-lun Hoat-ong mengerut kening tak
menjawab, ia gunakan tangan menahan di atas pundak Darba, habis ini barulah
bersuara pelahan: “Sayang, sungguh sayang, marilah kita pergi!”
Sementara seorang jagoan Mongol telah
membawakan kuda Hoat-ong, namun karena lukanya yang parah hampir-hampir tiada
tenaga buat naik ke atas kuda kalau tidak Darba menaikkan sang guru ke atas
kudanya, kemudian rombongan merekapun kabur ke arah timur.
Setelah tolong semua orang, si gadis baju
hijau tadi perlahan-lahan keluar dari gundukan batu, ketika berlalu disamping
Yo Ko yang menggeletak di tanah itu, tiba-tiba ia berhenti, ia ragu-ragu apa
harus periksa luka orang tidak, ia berpikir sejenak, akhirnya ia berjongkok
juga untuk memeriksa lukanya karena pukulan Kim-lun Hoat-ong tadi.
Tatkala itu hari sudah gelap, untuk bisa
melihat wajah orang dengan jelas terpaksa ia menunduk dekat, ia lihat kedua
mata Yo Ko terpentang lebar, pandangannya kabur tak bersemangat pipinya merah
dan napasnya memburu, tampaknya tidak ringan lukanya itu.
Dalam keadaan remang-remang tak sadar
tiba-tiba Yo Ko melihat sepasang mata bersinar halus berada di dekat mukanya,
mirip seperti sinar mata Siao-liong-li bila lagi pandang padanya, begitu halus
hangat dan begitu kasih sayang, tanpa tertahan ia pentang tangan mendadak terus
peluk tubuh orang sambil berteriak : “Kokoh, O, Kokoh, Ko-ji terluka, janganlah
kau tinggalkan aku begitu saja!”
Sungguh tak pernah diduga si gadis baju hijau
itu bahwa orang akan merangkulnya, keruan ia malu dan gugup, ia sedikit
merontak, karena itu dada Yo Ko yang terluka menjadi sakit, ia berteriak
merintih.
Si gadis tak meronta lagi, dengan suara
pelahan ia berkata: “Aku bukan Kokohmu, lekas lepaskan aku!”
Tapi dengan mata tak berkedip Yo Ko masih
pandang sepasang mata bola si gadis. “Kokoh, O, Kokoh, jangan kau tinggalkan
aku, ak… aku adalah kau punya Ko-ji!” tiba-tiba ia memohon.
Hati si gadis menjadi luluh, tapi tetap
dijawabnya dengan halus : “Aku bukan Kokoh-mu.”
Karena hari sudah gelap, maka wajah si gadis
yang jelek seram itu tenggelam ditelan kegelapan, hanya sepasang matabolanya
yang kelip2 bersinar Yo Ko masih terus tarik tangannya dan memohon lagi: “Ya, ya, kaulah
Kokoh!”
Karena dipeluk tiba-tiba oleh seorang pemuda
dan tangannya digenggam kencang pula, gadis itu malu tidak kepalang hingga
seluruh tubuhnya panas dingin, ia bingung cara bagaimana harus dilakukannya.
Tak lama kemudian mendadak Yo Ko jernih
kembali pikirannya, ketika diketahui di hadapannya bukan Siao-liong-li, ia
menjadi kecewa, pikirannya pepet lagi dan akhirnya jatuh pingsan.
Gadis itu terkejut, ia lihat Kwe Hu dan kedua
saudara Bu lagi sibuk mengerumuni Oey Yong dan tiada yang mau gubris Yo Ko, ia
pikir luka pemuda ini sangat parah, kalau tidak dicekoki “Kiu-hoa-giok-loh-wan”
(pil sari sembilan warna bunga), mungkin jiwanya tak tertolong lagi, Keadaan
terpaksa, iapun tak hiraukan adat istiadat lagi, lekas-lekas ia angkat pinggang
Yo Ko, dengan setengah tarik dan setengah seret ia bawa Yo Ko keluar dari
barisan batu itu.
Hendaklah diketahui bahwa bukanlah Kwe Hu
terlalu kejam dan tak berbudi, soalnya ibunya terluka parah karena tenaga
goncangan Kim-lun Hoat-ong tadi dan menggeletak tak bisa bangun, cinta antara
anak dan ibu sudah tentu Yo Ko harus dikesampingkan dahulu, Sedang kedua
saudara Bu jelas tak mau urus Yo Ko.
Gadis itu memayang Yo Ko keluar hutan Iebat
itu, kuda kurus milik Yo Ko memang cerdik dan kenal majikan, cepat ia mendekati
mereka. Setelah Yo Ko dinaikkan kudanya, mengingat diri sendiri masih gadis, si
nona tak mau bersatu tunggangan, maka tali kendali kuda dituntunnya dan ia berjalan kaki sendiri.
Keadaan Yo Ko tempo-tempo sadar,
kadang-kadang remang-remang lagi, tempo-tempo ia merasa gadis disampingnya ini
adalah Siao-liong-li hingga berteriak girang, tapi kadang-kadang tahu juga
orang bukan Kokoh yang dirindukannya itu hingga ia menjadi sedih, tubuhnya
menggigil kedinginan.
Entah berapa lamanya sudah, ketika tiba-tiba
terasa olehnya bau harum segar menembus luka di dadanya melalui kerongkongannya
dan rasanya menjadi nyaman luar biasa, perlahan-lahan iapun pentang matanya, ia
menjadi heran dan terkejut, ternyata dirinya sudah rebah di atas sebuah
ranjang, tubuhnya berlapiskan selimut pula, ia hendak bangun duduk, mendadak
tulang dadanya kesakitan, nyata ia masih belum boleh bergerak ia lihat di depan
jendela satu gadis benbaju hijau dengan tangan kiri menahan kertas di
atas meja dan tangan kanan memegang pit lagi menulis sesuatu dengan tenang.
Gadis itu duduk mungkur hingga tak kelihatan
mukanya, tapi melihat potongan tubuhnya yang langsing, pinggangnya ramping,
tentu orangnya juga amat cantiknya.
Tempat beradanya sekarang ternyata ruangan
dari sebuah rumah gubuk beratap aIang2, tapi cara mengaturnya ternyata sangat
rajin dan necis, di dinding sebelah timur tergantung sebuah lukisan wanita
cantik sedang bersolek dan beberapa lukisan pemandangan sedang dinding barat
dihiasi seperangkap lukisan tulisan.
Dalam herannya Yo Ko tak sempat menikmati
benda-benda seni itu, ia lihat asap dupa mengepul dari sebuah anglo di suatu
meja kecil, ia tak tahu kamar orang kosen siapa atau pujangga yang mana?
Teringat olehnya pertarungan di barisan batu
di hutan lebat dengan Kim-lun Hoat-ong dan terluka, kenapa sekarang bisa berada
disini, seketika ia menjadi bingung tak mengarti, ia coba meng-ingat-ingat,
lapat-lapat dapat diiingat dirinya waktu itu ber-tiarap di atas kuda dan ada
orang menuntun
kuda itu, orang itupun seorang perempuan ia
lihat gadis didepannya ini lagi menulis penuh perhatian, ia merebah di atas
ranjang, dengan sendirinya tak tahu apa yang sedang ditulisnya, tapi melihat
gaya tangannya yang ber-gerak2 dengan manisnya dan bagus luar biasa. Keadaan
kamar itu sunyi senyap, dibanding pertarungan sengit di barisan batu itu kini
seakan-akan berada di suatu dunia lain.
Meski Yo Ko sudah mendusin, tapi tak berani
bersuara mengganggu si gadis itu, maka ia terus rebah diam-diam.
Sekonyong-konyong pikiran Yo Ko tergerak
lagi, ia kenali si gadis baju hijau di hadapannya ini bukan lain adalah gadis
yang beberapa kali mengirim berita peringatan padanya dalam perjalanan tempo hari dan belakangan
ber-sama-sama menolong Liok Bu-siang itu, ia menjadi heran, bukan sanak bukan
kadang, kenapa gadis ini begitu baik terhadapku ?
Terpikir akan itu, tak tahan lagi tiba-tiba
ia berseru: “Eh, cici, kiranya kau lagi-lagi yang menolong jiwaku.”
Gadis itu berhenti menulis, tapi tak menoleh,
hanya dengan suara halus ia menjawab: “Tak dapat dikatakan menolong jiwamu, aku
hanya kebetulan lewat di situ dan melihat Hwesio Tibet itu berbuat se-wenang2,
pula kau terluka…” - sampai disini kepalanya me-nunduk2 malu.
“Cici,” kata Yo Ko lagi, aku… aku…” - tapi
karena tergoncangnya perasaan, seketika tenggorokannya serasa tersumbat hingga
tak sanggup meneruskan lagi.
“Hatimu baik, tak pikirkan jiwa sendiri dan
menolong orang lain, aku hanya kebetulan saja bisa membantu sedikit padamu, ini
terhitung apa?” demikian kata gadis itu.
“Kwe-pekbo berbudi karena pernah membesarkan
aku, dia ada kesulitan, sudah semestinya aku membantu, tapi aku dan cici…”
“Aku bukan maksudkan Kwe-pekbomu, tapi aku
maksudkan Liok Bu-siang, adik dari keluarga Liok itu,” potong si gadis.
Sudah lama nama Liok Bu-siang tak pernah
terpikir lagi oleh Yo Ko, kini mendengar orang menyebutnya, cepat iapun
menanya: “Eh, ya, apakah nona Liok baik-baik saja? Lukanya sudah sembuh bukan?”
“Terima kasih atas perhatianmu,” sahut gadis
itu, “lukanya sudah lama sembuh, nyata kau masih belum lupa padanya.”
Mendengar lagu suara orang seperti sangat rapat
hubungannya dengan Liok Bu-siang, maka Yo Ko bertanya lagi: “Entah hubungan
apakah antara cici dan nona Liok ?”
Tapi gadis itu tak penjawab, ia tersenyum dan
berkata: “Tak perlu kau panggil aku cici terus, umurku belum setua kau.” ia
merandek sejenak, lalu dengan tertawa disambungnya: “Ha, entah sudah berapa
kali memanggil “Kokoh”, kini hendak merubahnya mungkin agak terlambat.”
Muka Yo Ko menjadi merah, ia menduga waktu
dirinya terluka dan dalam keadaan tak sadar tentu telah salah anggap orang
sebagai Siao-liong-Ii dan terus2an memanggil “Kokoh”
padanya, boleh jadi ada pula perkataan2
diluar batas, makin pikir makin tak enak perasaannya.
“Kau… kau tidak marah bukan?” tanyanya
kemudian.
“Sudah tentu aku tak marah, bolehlah kau
rawat lukamu tenang-tenang di sini,” sahut si gadis tertawa, “Nanti bila lukamu
sudah sembuh, boleh segera kau pergi mencari kokoh-mu.”
Beberapa kata-kata itu diucapkannya dengan
begitu halus dan ramah, sama sekali berbeda dengan gadis2 lain yang dikenal Yo
Ko, kedengarannya begitu nyaman dan segar,
rasanya bila gadis ini berada di sampingnya,
segalanya menjadi aman dan damai, ia tidak lincah dan nakal seperti Liok
Bu-siang, juga tidak secantik tapi tinggi hati seperti Kvve Hu.
Pula tidak sama dengan Yali Yen yang gagah
terus terang atau Wanyan Peng yang lemah dan harus dikasihani Apalagi watak
Siao-liong-li lebih-lebih lain daripada yang lain, mula-mula ia bisa sedingin
es, tapi akhirnya karena pengaruh cinta asmara iapun tidak segan-segan ikat
janji sehidup semati, wataknya itu sesungguhnya terlalu aneh dan extrim.
Hanya si gadis baju hijau inilah ternyata
sangat ramah tamah dan prihatin, pintar meladeni orang, setiap kata-katanya
selalu memikirkan kepentingan Yo Ko, ia tahu pemuda ini merindukan “Kokoh”,
lantas ia menghiburnya agar rawat lukanya baik-baik dan supaya lekas sembuh dan
segera pergi men-carinya.
Begitulah sesudah ia ucapkan kata-kata tadi,
kembali ia angkat pit dan menulis lagi.
“Cici, siapakah she-mu yang mulia?” tanya Yo
Ko.
“Ada apa kau tanya ini itu, lekas kau rebah
yang tenang dan jangan berpikir yang tidak-tidak lagi,” sahut si gadis.
“Baiklah,” kata Yo Ko, “memangnya akupun tahu
percuma bertanya, wajahmu saja tak mau perlihatkan padaku, jangankan namamu.”
“Parasku sangat jelek, toh bukannya kau tak
pernah melihatnya,” sahut gadis itu menghela napas.
“Tidak, tidak, hal itu disebabkan kau memakai
kedok kulit,” ujar Yo Ko.
“Kalau wajahku secantik Kokohmu, buat apa aku
memakai kedok ?” kata si gadis.
Mendengar orang puji kecantikan
Siao-liong-Ii, senang sekali Yo Ko. “Darimana kau tahu kokoh ku cantik? Apa kau
pernah melihat dia?” tanyanya.
“Tak pernah aku melihatnya,” kata gadis itu.
“Tapi begitu kau rindu padanya, dapat dibayangkan pasti dia wanita cantik nomor
satu di jagat ini.”
“Jika kau pernah melihat dia, pasti kau akan
lebih memuji kecantikannya,” ujar Yo Ko gegetun.
Kata-kata Yo Ko ini kalau didengar Kwe Hu
atau Liok Bu-siang pasti akan dibalas dengan sindiran dan olok-olok, tapi gadis
ini ternyata sangat jujur, ia malah berkata: “Ya, hal itu tak perlu di-sangsikan
lagi.” - Habis berkata kembali ia menunduk menulis pula.
Yo Ko termangu-mangu sejenak memandangi
langit kelambunya, tak tahan lagi ia berpaling dan memandang potongan tubuh
orang yang ramping itu dari belakang, “Cici, apa yang kau tulis? Apa sangat penting?”
tanyanya pula.
“Aku lagi melatih tulisan,” sahut si gadis.
“Kau memakai tulisan gaya apa?” tanya Yo Ko.
“Ah, tulisanku terlalu jelek, mana bisa
dibilang gaya apa segala?” kata si gadis.
“Kau suka merendah diri saja, aku menduga
pasti tulisanmu sangat indah,” kata Yo Ko.
“Aneh, darimana kau bisa menduganya?” sahut
gadis itu tertawa.
“Gadis sepintar kau ini, pasti gaya tulisanmu
pun lain dari pada yang lain,” ujar Yo Ko. “Cici, bolehkah tulisanmu itu
diperlihatkan padaku.”
Gadis itu tertawa lagi, “Ah, tulisanku
sekali-kali tak bisa dilihat orang, nanti bila lukamu sudah sembuh, aku masih
harus minta petunjukmu,” demikian katanya.
Diam-diam Yo Ko malu diri, karena itu juga ia
sangat berterima kasih pada Oey Yong yang telah mengajarnya membaca dan menulis
di Tho-hoa-to dulu, kalau waktu itu ia tidak giat belajar, jangan kata
membedakan tulisan bagus atau jelek, mungkin sampai kini ia akan tetap buta
huruf.
Setelah termenung-menung sebentar, ia merasa
dadanya rada sakit, lekas-lekas ia jalankan Lwekangnya hingga darah jalan
lancar, perlahan-lahan ia merasa segar kembali dan akhirnya iapun tertidur.
Waktu ia mendusin, hari sudah gelap, gadis
itu telah taruh nasi dan lauk pauk di atas meja teh yang terletak ditepi
ranjangnya agar si Yo Ko dahar sendiri.
Lauk-pauk itu hanya sebangsa sayur mayur,
tahu, telur dan beberapa potong ikan, tapi cara mengolahnya ternyata sangat
lezat sekaligus Yo Ko habiskan tiga mangkok penuh nasi ke dalam perutnya tanpa
berhenti, habis itu barulah ia memuji berulang-ulang.
Meski muka gadis itu memakai kedok kulit
hingga tak kelihatan sesuatu perubahan emosinya, tapi dari sinar matanya
tertampak juga, menyorot cahaya yang senang.
Besok paginya keadaan luka Yo Ko tambah
baikan, gadis itu ambil sebuah kursi dan duduk di depan ranjang untuk menambal
bajunya yang compang-camping tak terurus, semuanya ia tambal dengan baik.
“Orang secakap kau kenapa sengaja pakai baju
serombeng ini?” kata si gadis kemudian.
Sembari berkata iapun berjalan keluar, waktu
kembali, ia membawakan satu blok kain hijau, ia ukur menurut baju Yo Ko yang
sobek itu dan di-potongnya untuk membuatkan baju baru.
Dari lagu suara nona ini dan perawakan serta
tingkah lakunya, umurnya tentu tidak lebih 18 -19 tahun saja, tapi terhadap Yo
Ko bukan saja mirip kakak terhadap adik, bahkan penuh kasih seorang ibu kepada
anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar