Selasa, 13 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 35



Kembalinya Pendekar Rajawali 35

Mendengar itu, senang sekali rasa hati Yo Ko, dalam keadaan demikian seumpama Oey Yong suruh dia kerjakan apa, dapat dipastikan tanpa tawar lagi akan dilakukannya, Maka tak pikir lagi segera ia samber tongkat pemukul anjing terus lari keluar barisan,batu-batu itu.
“Hayo, Hoat-ong, bila kau berani, marilah kita bertempur 300 jurus !” demikian Yo Ko lantas menantang, Memangnya Kim-lun Hoat-ong lagi kuatir mereka main gila di dalam barisan batu-batu itu untuk membokong dirinya, kini melihat Yo Ko keluar menantang, keruan kebetulan baginya,
Segera ia angkat roda besinya terus menghantam. ia kuatir Yo Ko lari masuk lagi ke dalam gundukan batu maka setelah dua gebrakan, segera ia cegat jalan mundur si Yo Ko dengan tujuan memaksa pemuda ini jauh meninggalkan barisan batu itu.
Tak ia duga baru saja Yo Ko mempelajari Pak-kau-pang- hoat dan sekarang juga lantas dipraktekkan, nyata ilmu tongkat pemukul anjing ini memang heibat luar biasa dengan segala gaya memukul, menjojoh, menyandung, menyabet dan macam-macam lagi, karena gegabah hingga sedikit meleng,
segera paha Kim-lun Hoat-ong kena ditoyor sekali oleh tongkat bambu Yo Ko, meski ilmu silatnya sangat tinggi dan cepat bisa tutup jalan darahnya hingga tidak terluka, namun terasa juga sakit sekali.
Karena kecundang ini, ia tak berani ayal lagi, roda besinya berputar cepat, ia lawan Yo Ko sepenuh perhatian, meski lawannya kini hanya pemuda belasan tahun, tapi ia justru seperti menghadapi musuh tangguh, seakan-akan melawan seorang tokoh silat maha lihay.
Dan karena orang bertempur sungguh-sungguh, Yo Ko segera kewalahan, sekalipun hebat Pak-kau pang-hoat, tapi baru dipelajari lantas digunakan, betapapun juga belum leluasa dimainkannya, lekas-lekas ia gunakan gaya “hong” atau menutup untuk menahan serangan roda orang, berbareng ia geser langkah menerobos ke sini ke sana. Melihat pemuda ini hendak menerjang keluar, Kim-lun
Hoat-ong pikir kebetulan baginya, maka berulang-ulang iapun mundur hendak pancing Yo Ko jauh meninggalkan barisan batu, Siapa tahu baru belasan tindak ia mundur, mendadak ia kesandung sebuah batu besar, ternyata tanpa terasa ia sendiri malah terpancing masuk ke dalam Loan-ciok-tin.
Harus diketahui bahwa setiap langkah Yo Ko selalu turut ajaran Oey Yong tadi, ia bertindak menurut duduk Pat-kwa yang aneh, hanya beberapa kali ia menggeser dan arahnya sudah berganti, semakin ia menerjang maju, semakin masuk ke dalam barisan batu, Dan karena asyik menempur orang,
seketika Kim-lun Hoat-ong, kena diselomoti,waktu ia sadar, namun sudah terjeblos di dalam Loan-ciok-tin itu.
Ia pikir bisa celaka, ia dengar Oey Yong berulang kali lagi berseru: “Cu-jiok pindah Jing-liong, Soan-wi berubah Li-wi, It-bok ganti Kui-cui,” Apa yang disebut ini adalah nama tempat kedudukan yang harus dituju Yo Ko dalam barisan batu itu.
Berbareng itu, Bu-si Hengte dan Kwe Hu serentak memindahkan batu-batu besar dan mengurung rapat musuh di tengah-tengah.
Terkejut sekali Kim-lun Hoat-ong karena perubahan hebat itu, pikirnya hendak berhenti buat periksa keadaan sekitarnya, tapi tongkat bambu Yo Ko justru selalu mengganggu, Pak-kau-pang-hoat ini belum cukup kuat buat menempurnya secara berhadapan, tapi untuk mengacaukan pikirannya justru sangat tepat.
Sementara itu Kim-lun Hoat-ong beberapa kali kesandung batu lagi hingga berdirinya tak mantap, ia tahu barisan batu-batu itu sangat lihay, asal kejeblos terlalu lama, makin putar makin kacau jadinya.
Dalam keadaan bahaya, mendadak Kim-lun Hoat-ong menggertak sekali, ia keluarkan Ginkang dan melompat keatas gundukan batu, Dengan berada di atas gundukan batu seharusnya tidak terkurung lagi oleh barisan itu, tapi anehnya barisan batu itu justru bisa mengacaukan arah, bila lari ke
timur dan menyangka bisa keluar, tahu-tahu dari timur sampai barat dan dari selatan ke utara tetap ber-putar-putar dan akhirnya hanya putar kayun terus di suatu lingkaran kecil hingga tenaga habis, akhirnya menyerah tak berdaya. Dalam pada itu dilihatnya Yo Ko telah ayun tongkatnya memukul betisnya, terpaksa Kim-lun Hoat-ong melompat turun ke tanah datar lagi, ia putar rodanya balas menghantam.
Setelah belasan jurus lagi, cuaca sudah mulai gelap hingga makin menambah seramnya barisan batu itu, dalam keadaan demikian sekalipun Kim-lun Hoat-ong memiliki kepandaian setinggi langit mau-tak-mau iapun berkuatir.
Mendadak menjadi nekat, ketika kedua kakinya menyapu kuat, lebih dulu sebuah batu besar lebih 20 kati kena didepak ke udara, menyusul sebuah batu besar lain terbang lagi ke angkasa, ia bergerak cepat, kedua kakinya pun bergantian menendang hingga barisan batu itu seketika pecah berantakan.
Terkejut luar biasa Oey Yong berlima, Lekas-lekas mereka berkelit akan timpaan batu-batu terbang dari atas itu. Kini kalau Kim-lun Hoat-ong mau lari keluar barisan sebenarnya tidak susah, tapi dari terserang ia segera balas menyerang, sekali tangan mengulur, kontan Oey Yong hendak ditangkapnya.
Cepat Yo Ko jojoh punggung orang dengan tongkatnya, ketika Hoat-ong ayun roda besinya menangkis ke belakang, sementara telapak tangannya juga sudah sampai di atas pundak Oey Yong. Kalau mau sebenarnya Oey Yong bisa hindarkan diri dengan sedikit mundur, tapi didengarnya di
belakang samberan angin yang keras, dari udara sebuah batu besar lagi menimpa ke arah punggungnya, terpaksa ia keluarkan Kim-na-jiu-hoat, ilmu menangkap dan melawan, ia papaki tangan Hoat-ong terus memegangnya kencang malah.
“Bagus !” seru Hoat-ong, ia biarkan tangannya dipegang Oey Yong, ketika orang hendak membetot mendadak ia barengi menarik dengan tenaga raksasanya.
Kalau dalam keadaan biasa, tidak susah bagi Oey Yong untuk melepaskan diri, tapi kini ia tak bisa keluarkan tenaga, maka terdengarlah ia menjerit orangnya lantas jatuh juga.
Terperanjat sekali Yo Ko, tak dihiraukan lagi mati hidup sendiri, ia menubruk maju terus merangkul kedua kaki Kim-lun Hoat-ong hingga keduanya sama-sama terbanting roboh.
Betapapun juga Kim-lun Hoat-ong memang jauh lebih tinggi ilmu silatnya, belum tubuhnya menggeletak telapak tangan kanan dengan tipu pukulan berat telah hantam kena dada Yo Koi hingga pemuda ini terpental bagai bola.
Tapi pada saat itu juga, sebuah batu besar terakhir yang terbang ke udara oleh tendangan Hoat-ong tadi justru menimpa turun juga, maka terdengarlah suara “bluk” yang keras, dengan tepat punggung Hoat-ong sendiri kena tertimpa.
Betapa hebat tenaga tumbukan batu itu, sungguhpun Lwekang Hoat-ong amat tingginya juga tak tahan, meski ia masih bisa keluarkan tenaga untuk menendang pergi batu itu, tapi setelah sempoyongan beberapa kali, akhirnya ia roboh ke depan.
Begitulah, hanya sekejap saja batu bertebaran dan barisan berantakan Oey Yong, Yo Ko dan Kim-lun Hoat-ong bertiga sama-sama roboh terluka.
Di luar barisan batu si Darba dan para jagoan Mongol serta Kwe Hu dan Busi Hengte di dalam barisan sama-sama terkejut, segera yang diluar lari masuk hendak menolong.
Tenaga Darba besar luar biasa, pula diantara jagoan Mongol itu ada beberapa orang yang kuat, sudah tentu Kwe Hu dan kedua Bu cilik tak bisa melawannya.
Mendadak tertampak Kim-lun Hoat-ong berdiri sambil sempoyongan, ketika rodanya bergerak hingga menerbitkan suara nyaring, wajahnya putih pucat, tiba-tiba ia menengadah dan bergelak tertawa, suaranya seram membikin orang mengkirik.
“Selama hidupku belum pernah aku menderita luka sedikitpun menghadapi musuh siapa saja, tak nyana hari ini aku melukai diriku sendiri,” kata Hoat-ong, suaranya serak berat. Habis ini, kembali tangannya mengulur hendak mencengkeram Oey Yong lagi.
Meski Yo Ko kena dipukul sekali di dadanya dan cukup parah, tapi demi nampak Oey Yong terancam bahaya, sambil merangkak segera ia ayun pula tongkatnya menangkis tangan musuh, dan karena sedikit keluar tenaga ini, tak tahan lagi darah menyembur keluar dari mulutnya.
“Sudahlah, Ko-ji, kita akui kalah saja, tak perlu adu jiwa lagi, kau jaga dirimu saja baik-baik,” ujar Oey Yong sedih.
Sementara dengan pedang terhunus Kwe Hu menjaga disamping ibunya.
“Kau lekas lari dulu, Hu-moay, paling penting beritahukan ayahmu saja,” bisik Yo Ko pelahan.
Tapi pikiran Kwe Hu sudah kusut, sekalipun tahu kepandaian diri sendiri terlalu rendah, tapi mana tega ia tinggalkan sang ibu? Dalam pada itu sedikit ayun roda besinya, tahu-tahu pedang Kwe Hu terpental terbentur roda Kim-lun Hoat-ong, terlihatlah sinar putih terbang mendadak dan masuk ke dalam hutan.
Selagi Kim-lun Hoat-ong hendak dorong pergi Kwe Hu buat tangkap Oey Yong, tiba-tiba didengarnya suara seruan seorang perempuan: “Tahan dulu !”
Menyusul mana sesosok bayangan hijau tahu-tahu melompat keluar dari dalam hutan terus samber pedang Kwe Hu yang sedang me-layang2 itu, beberapa kali loncatan lagi, cepat sekali orangnya sudah sampai di antara gundukan batu itu.
Melihat wajah orang seram luar biasa, tiga bagian seperti manusia, tujuh bagian mirip setan, selama hidupnya belum pernah melihat wajah orang begitu aneh dan jelek, seketika Kim-lun Hoat-ong tercengang, “Siapa kau?” iapun membentak.
Orang perempuan itu tidak menjawab, ia berjongkok terus mendorong satu batu besar hingga melintang di tengah-tengah Hoat-ong dan Oey Yong, kemudian buka suara : “Apakah kau ini Kim-lun Hoat-ong dari Tilbet yang tersohor itu?” - Meski wajahnya jelek, tapi suaranya ternyata amat merdunya.
“Ya, betul dan kau siapa?” sahut Hoat-ong.
“Aku hanya seorang anak dara tak bernama, sudah tentu kau tak kenal aku,” sahut gadis itu. Sembari berkata, kembali ia geser satu batu lainnya ke samping.
Sementara itu dalam hutan rimba gelap gulita, tiba-tiba tergerak pikiran Hoat-ong, ia membentak cepat: “Apa yang kau lakukan?”
Selagi hendak merintangi orang memindahkan batu, ia dengar gadis itu telah berseru: “Kak-bok-kau berubah menjadi Hang-kim-liong !”
Seketika Kwe Hu dan kedua saudara Bu tercengang, pikir mereka: “Aneh, darimana iapun tahu cara perubahan barisan batu ini?”
Karena suaranya membawa perbawa, seketika merekaturut perintah dan memindahkan batu yang tadinya sudah kacau berantakan segera berubah lain lagi.
Terkejut dan gusar Kim-lun Hoat-ong, tiba-tiba ia membentak : “Kau anak perempuan inipun berani mengacau di sini?”
Tapi lagi-lagi gadis itu berseru beberapa istilah tentang perubahan2 barisan batu yang semuanya cocok dengan apa yang diajarkan Oey Yong pada Yo Ko tadi.
Mendengar orang bisa berteriak dengan betul dan teratur tiada ubahnya seperti pimpinan Oey Yong sendiri, Kwe Hu dan kedua Bu menjadi girang, dengan bersemangat mereka geser batu dan tampaknya segera Kim-lun Hoat-ong akan terkurung lagi di dalam.
Punggung Hoat-ong sudah ketimpa batu tadi, ia coba tahan lukanya itu dengan Lwekangnya yang tinggi, meski seketika belum berbahaya, tapi tidak kecil penderitaannya, maka tak sanggup lagi ia menendangi batu pula, Betapapun ia memang seorang tokoh terkemuka, ia tidak menjadi bingung dalam keadaan bahaya, ia tahu bila telat sebentar lagi hingga terjeblos pula dalam barisan batu, bukan saja Oey Yong tak jadi ditangkapnya, bahkan ia sendiri bisa-bisa tertangkap malah.
Walau kelihatan Oey Yong menggeletak di tanah tak berkutik, asal melangkah maju beberapa tindak segera dapat menawannya, tapi keselamatan diri sendiri jauh lebih penting, maka cepat ia putar rodanya, tiba-tiba ia pura-pura menghantam ke atas kepala Bu Siu-bun.
Dalam keadaan terluka parah sebenarnya Kim-lun Hoat- ong tak punya tenaga lagi, asal Siu-bun berani menangkis mungkin roda besinya akan terlepas dari tangan, namun Bu Siu-bun sudah jeri, mana berani ia tangkis serangan itu, lekas-lekas ia buang batu yang hendak dipindahnya terus menyelinap masuk barisan batu.
Sesaat Kim-lun Hoat-ong terbingung di tempatnya, pikirnya bergolak: “Kalau kesempatan ini di-sia-siakan, mungkin kelak sukar lagi diketemukan. Apa memang Thian melindungi Tay Song (ahala Song Raya) dan tugasku harus gagal begini? Tampaknya banyak sekali bibit2 muda dikalangan Bu-lim di daerah Tionggoan, melulu beberapa muda-mudi ini saja sudah pandai dalam segala hal dan tak boleh dipandang enteng, agaknya ksatria2 dari Mongol dan Tibet masih jauh kalau dibandingkan mereka!”
Karena itu ia menghela napas dan sesal diri, tiba-tiba ia putar tubuh terus melangkah pergi. Tapi baru belasan tindak, mendadak terdengar suara gemerenceng riuh, roda besinya terjatuh, tubuhnya pun terhuyung-huyung.
Terkejut sekali si Darba, “Suhu!” teriaknya cepat sambil memlburu maju memayangnya dan menanya pula : “Kenapa kau, Suhu?”
Kim-lun Hoat-ong mengerut kening tak menjawab, ia gunakan tangan menahan di atas pundak Darba, habis ini barulah bersuara pelahan: “Sayang, sungguh sayang, marilah kita pergi!”
Sementara seorang jagoan Mongol telah membawakan kuda Hoat-ong, namun karena lukanya yang parah hampir-hampir tiada tenaga buat naik ke atas kuda kalau tidak Darba menaikkan sang guru ke atas kudanya, kemudian rombongan merekapun kabur ke arah timur.
Setelah tolong semua orang, si gadis baju hijau tadi perlahan-lahan keluar dari gundukan batu, ketika berlalu disamping Yo Ko yang menggeletak di tanah itu, tiba-tiba ia berhenti, ia ragu-ragu apa harus periksa luka orang tidak, ia berpikir sejenak, akhirnya ia berjongkok juga untuk memeriksa lukanya karena pukulan Kim-lun Hoat-ong tadi.
Tatkala itu hari sudah gelap, untuk bisa melihat wajah orang dengan jelas terpaksa ia menunduk dekat, ia lihat kedua mata Yo Ko terpentang lebar, pandangannya kabur tak bersemangat pipinya merah dan napasnya memburu, tampaknya tidak ringan lukanya itu.
Dalam keadaan remang-remang tak sadar tiba-tiba Yo Ko melihat sepasang mata bersinar halus berada di dekat mukanya, mirip seperti sinar mata Siao-liong-li bila lagi pandang padanya, begitu halus hangat dan begitu kasih sayang, tanpa tertahan ia pentang tangan mendadak terus peluk tubuh orang sambil berteriak : “Kokoh, O, Kokoh, Ko-ji terluka, janganlah kau tinggalkan aku begitu saja!”
Sungguh tak pernah diduga si gadis baju hijau itu bahwa orang akan merangkulnya, keruan ia malu dan gugup, ia sedikit merontak, karena itu dada Yo Ko yang terluka menjadi sakit, ia berteriak merintih.
Si gadis tak meronta lagi, dengan suara pelahan ia berkata: “Aku bukan Kokohmu, lekas lepaskan aku!”
Tapi dengan mata tak berkedip Yo Ko masih pandang sepasang mata bola si gadis. “Kokoh, O, Kokoh, jangan kau tinggalkan aku, ak… aku adalah kau punya Ko-ji!” tiba-tiba ia memohon.
Hati si gadis menjadi luluh, tapi tetap dijawabnya dengan halus : “Aku bukan Kokoh-mu.”
Karena hari sudah gelap, maka wajah si gadis yang jelek seram itu tenggelam ditelan kegelapan, hanya sepasang matabolanya yang kelip2 bersinar Yo Ko masih terus tarik tangannya dan memohon lagi: “Ya, ya, kaulah Kokoh!”
Karena dipeluk tiba-tiba oleh seorang pemuda dan tangannya digenggam kencang pula, gadis itu malu tidak kepalang hingga seluruh tubuhnya panas dingin, ia bingung cara bagaimana harus dilakukannya.
Tak lama kemudian mendadak Yo Ko jernih kembali pikirannya, ketika diketahui di hadapannya bukan Siao-liong-li, ia menjadi kecewa, pikirannya pepet lagi dan akhirnya jatuh pingsan.
Gadis itu terkejut, ia lihat Kwe Hu dan kedua saudara Bu lagi sibuk mengerumuni Oey Yong dan tiada yang mau gubris Yo Ko, ia pikir luka pemuda ini sangat parah, kalau tidak dicekoki “Kiu-hoa-giok-loh-wan” (pil sari sembilan warna bunga), mungkin jiwanya tak tertolong lagi, Keadaan terpaksa, iapun tak hiraukan adat istiadat lagi, lekas-lekas ia angkat pinggang Yo Ko, dengan setengah tarik dan setengah seret ia bawa Yo Ko keluar dari barisan batu itu.
Hendaklah diketahui bahwa bukanlah Kwe Hu terlalu kejam dan tak berbudi, soalnya ibunya terluka parah karena tenaga goncangan Kim-lun Hoat-ong tadi dan menggeletak tak bisa bangun, cinta antara anak dan ibu sudah tentu Yo Ko harus dikesampingkan dahulu, Sedang kedua saudara Bu jelas tak mau urus Yo Ko.
Gadis itu memayang Yo Ko keluar hutan Iebat itu, kuda kurus milik Yo Ko memang cerdik dan kenal majikan, cepat ia mendekati mereka. Setelah Yo Ko dinaikkan kudanya, mengingat diri sendiri masih gadis, si nona tak mau bersatu tunggangan, maka tali kendali kuda dituntunnya dan ia berjalan kaki sendiri.
Keadaan Yo Ko tempo-tempo sadar, kadang-kadang remang-remang lagi, tempo-tempo ia merasa gadis disampingnya ini adalah Siao-liong-li hingga berteriak girang, tapi kadang-kadang tahu juga orang bukan Kokoh yang dirindukannya itu hingga ia menjadi sedih, tubuhnya menggigil kedinginan.
Entah berapa lamanya sudah, ketika tiba-tiba terasa olehnya bau harum segar menembus luka di dadanya melalui kerongkongannya dan rasanya menjadi nyaman luar biasa, perlahan-lahan iapun pentang matanya, ia menjadi heran dan terkejut, ternyata dirinya sudah rebah di atas sebuah ranjang, tubuhnya berlapiskan selimut pula, ia hendak bangun duduk, mendadak tulang dadanya kesakitan, nyata ia masih belum boleh bergerak ia lihat di depan jendela satu gadis benbaju hijau dengan tangan kiri menahan kertas di atas meja dan tangan kanan memegang pit lagi menulis sesuatu dengan tenang.
Gadis itu duduk mungkur hingga tak kelihatan mukanya, tapi melihat potongan tubuhnya yang langsing, pinggangnya ramping, tentu orangnya juga amat cantiknya.
Tempat beradanya sekarang ternyata ruangan dari sebuah rumah gubuk beratap aIang2, tapi cara mengaturnya ternyata sangat rajin dan necis, di dinding sebelah timur tergantung sebuah lukisan wanita cantik sedang bersolek dan beberapa lukisan pemandangan sedang dinding barat dihiasi seperangkap lukisan tulisan.
Dalam herannya Yo Ko tak sempat menikmati benda-benda seni itu, ia lihat asap dupa mengepul dari sebuah anglo di suatu meja kecil, ia tak tahu kamar orang kosen siapa atau pujangga yang mana?
Teringat olehnya pertarungan di barisan batu di hutan lebat dengan Kim-lun Hoat-ong dan terluka, kenapa sekarang bisa berada disini, seketika ia menjadi bingung tak mengarti, ia coba meng-ingat-ingat, lapat-lapat dapat diiingat dirinya waktu itu ber-tiarap di atas kuda dan ada orang menuntun
kuda itu, orang itupun seorang perempuan ia lihat gadis didepannya ini lagi menulis penuh perhatian, ia merebah di atas ranjang, dengan sendirinya tak tahu apa yang sedang ditulisnya, tapi melihat gaya tangannya yang ber-gerak2 dengan manisnya dan bagus luar biasa. Keadaan kamar itu sunyi senyap, dibanding pertarungan sengit di barisan batu itu kini seakan-akan berada di suatu dunia lain.
Meski Yo Ko sudah mendusin, tapi tak berani bersuara mengganggu si gadis itu, maka ia terus rebah diam-diam.
Sekonyong-konyong pikiran Yo Ko tergerak lagi, ia kenali si gadis baju hijau di hadapannya ini bukan lain adalah gadis yang beberapa kali mengirim berita peringatan padanya dalam perjalanan tempo hari dan belakangan ber-sama-sama menolong Liok Bu-siang itu, ia menjadi heran, bukan sanak bukan kadang, kenapa gadis ini begitu baik terhadapku ?
Terpikir akan itu, tak tahan lagi tiba-tiba ia berseru: “Eh, cici, kiranya kau lagi-lagi yang menolong jiwaku.”
Gadis itu berhenti menulis, tapi tak menoleh, hanya dengan suara halus ia menjawab: “Tak dapat dikatakan menolong jiwamu, aku hanya kebetulan lewat di situ dan melihat Hwesio Tibet itu berbuat se-wenang2, pula kau terluka…” - sampai disini kepalanya me-nunduk2 malu.
“Cici,” kata Yo Ko lagi, aku… aku…” - tapi karena tergoncangnya perasaan, seketika tenggorokannya serasa tersumbat hingga tak sanggup meneruskan lagi.
“Hatimu baik, tak pikirkan jiwa sendiri dan menolong orang lain, aku hanya kebetulan saja bisa membantu sedikit padamu, ini terhitung apa?” demikian kata gadis itu.
“Kwe-pekbo berbudi karena pernah membesarkan aku, dia ada kesulitan, sudah semestinya aku membantu, tapi aku dan cici…”
“Aku bukan maksudkan Kwe-pekbomu, tapi aku maksudkan Liok Bu-siang, adik dari keluarga Liok itu,” potong si gadis.
Sudah lama nama Liok Bu-siang tak pernah terpikir lagi oleh Yo Ko, kini mendengar orang menyebutnya, cepat iapun menanya: “Eh, ya, apakah nona Liok baik-baik saja? Lukanya sudah sembuh bukan?”
“Terima kasih atas perhatianmu,” sahut gadis itu, “lukanya sudah lama sembuh, nyata kau masih belum lupa padanya.”
Mendengar lagu suara orang seperti sangat rapat hubungannya dengan Liok Bu-siang, maka Yo Ko bertanya lagi: “Entah hubungan apakah antara cici dan nona Liok ?”
Tapi gadis itu tak penjawab, ia tersenyum dan berkata: “Tak perlu kau panggil aku cici terus, umurku belum setua kau.” ia merandek sejenak, lalu dengan tertawa disambungnya: “Ha, entah sudah berapa kali memanggil “Kokoh”, kini hendak merubahnya mungkin agak terlambat.”
Muka Yo Ko menjadi merah, ia menduga waktu dirinya terluka dan dalam keadaan tak sadar tentu telah salah anggap orang sebagai Siao-liong-Ii dan terus2an memanggil “Kokoh”
padanya, boleh jadi ada pula perkataan2 diluar batas, makin pikir makin tak enak perasaannya.
“Kau… kau tidak marah bukan?” tanyanya kemudian.
“Sudah tentu aku tak marah, bolehlah kau rawat lukamu tenang-tenang di sini,” sahut si gadis tertawa, “Nanti bila lukamu sudah sembuh, boleh segera kau pergi mencari kokoh-mu.”
Beberapa kata-kata itu diucapkannya dengan begitu halus dan ramah, sama sekali berbeda dengan gadis2 lain yang dikenal Yo Ko, kedengarannya begitu nyaman dan segar,
rasanya bila gadis ini berada di sampingnya, segalanya menjadi aman dan damai, ia tidak lincah dan nakal seperti Liok Bu-siang, juga tidak secantik tapi tinggi hati seperti Kvve Hu.
Pula tidak sama dengan Yali Yen yang gagah terus terang atau Wanyan Peng yang lemah dan harus dikasihani Apalagi watak Siao-liong-li lebih-lebih lain daripada yang lain, mula-mula ia bisa sedingin es, tapi akhirnya karena pengaruh cinta asmara iapun tidak segan-segan ikat janji sehidup semati, wataknya itu sesungguhnya terlalu aneh dan extrim.
Hanya si gadis baju hijau inilah ternyata sangat ramah tamah dan prihatin, pintar meladeni orang, setiap kata-katanya selalu memikirkan kepentingan Yo Ko, ia tahu pemuda ini merindukan “Kokoh”, lantas ia menghiburnya agar rawat lukanya baik-baik dan supaya lekas sembuh dan segera pergi men-carinya.
Begitulah sesudah ia ucapkan kata-kata tadi, kembali ia angkat pit dan menulis lagi.
“Cici, siapakah she-mu yang mulia?” tanya Yo Ko.
“Ada apa kau tanya ini itu, lekas kau rebah yang tenang dan jangan berpikir yang tidak-tidak lagi,” sahut si gadis.
“Baiklah,” kata Yo Ko, “memangnya akupun tahu percuma bertanya, wajahmu saja tak mau perlihatkan padaku, jangankan namamu.”
“Parasku sangat jelek, toh bukannya kau tak pernah melihatnya,” sahut gadis itu menghela napas.
“Tidak, tidak, hal itu disebabkan kau memakai kedok kulit,” ujar Yo Ko.
“Kalau wajahku secantik Kokohmu, buat apa aku memakai kedok ?” kata si gadis.
Mendengar orang puji kecantikan Siao-liong-Ii, senang sekali Yo Ko. “Darimana kau tahu kokoh ku cantik? Apa kau pernah melihat dia?” tanyanya.
“Tak pernah aku melihatnya,” kata gadis itu. “Tapi begitu kau rindu padanya, dapat dibayangkan pasti dia wanita cantik nomor satu di jagat ini.”
“Jika kau pernah melihat dia, pasti kau akan lebih memuji kecantikannya,” ujar Yo Ko gegetun.
Kata-kata Yo Ko ini kalau didengar Kwe Hu atau Liok Bu-siang pasti akan dibalas dengan sindiran dan olok-olok, tapi gadis ini ternyata sangat jujur, ia malah berkata: “Ya, hal itu tak perlu di-sangsikan lagi.” - Habis berkata kembali ia menunduk menulis pula.
Yo Ko termangu-mangu sejenak memandangi langit kelambunya, tak tahan lagi ia berpaling dan memandang potongan tubuh orang yang ramping itu dari belakang, “Cici, apa yang kau tulis? Apa sangat penting?” tanyanya pula.
“Aku lagi melatih tulisan,” sahut si gadis.
“Kau memakai tulisan gaya apa?” tanya Yo Ko.
“Ah, tulisanku terlalu jelek, mana bisa dibilang gaya apa segala?” kata si gadis.
“Kau suka merendah diri saja, aku menduga pasti tulisanmu sangat indah,” kata Yo Ko.
“Aneh, darimana kau bisa menduganya?” sahut gadis itu tertawa.
“Gadis sepintar kau ini, pasti gaya tulisanmu pun lain dari pada yang lain,” ujar Yo Ko. “Cici, bolehkah tulisanmu itu diperlihatkan padaku.”
Gadis itu tertawa lagi, “Ah, tulisanku sekali-kali tak bisa dilihat orang, nanti bila lukamu sudah sembuh, aku masih harus minta petunjukmu,” demikian katanya.
Diam-diam Yo Ko malu diri, karena itu juga ia sangat berterima kasih pada Oey Yong yang telah mengajarnya membaca dan menulis di Tho-hoa-to dulu, kalau waktu itu ia tidak giat belajar, jangan kata membedakan tulisan bagus atau jelek, mungkin sampai kini ia akan tetap buta huruf.
Setelah termenung-menung sebentar, ia merasa dadanya rada sakit, lekas-lekas ia jalankan Lwekangnya hingga darah jalan lancar, perlahan-lahan ia merasa segar kembali dan akhirnya iapun tertidur.
Waktu ia mendusin, hari sudah gelap, gadis itu telah taruh nasi dan lauk pauk di atas meja teh yang terletak ditepi ranjangnya agar si Yo Ko dahar sendiri.
Lauk-pauk itu hanya sebangsa sayur mayur, tahu, telur dan beberapa potong ikan, tapi cara mengolahnya ternyata sangat lezat sekaligus Yo Ko habiskan tiga mangkok penuh nasi ke dalam perutnya tanpa berhenti, habis itu barulah ia memuji berulang-ulang.
Meski muka gadis itu memakai kedok kulit hingga tak kelihatan sesuatu perubahan emosinya, tapi dari sinar matanya tertampak juga, menyorot cahaya yang senang.
Besok paginya keadaan luka Yo Ko tambah baikan, gadis itu ambil sebuah kursi dan duduk di depan ranjang untuk menambal bajunya yang compang-camping tak terurus, semuanya ia tambal dengan baik.
“Orang secakap kau kenapa sengaja pakai baju serombeng ini?” kata si gadis kemudian.
Sembari berkata iapun berjalan keluar, waktu kembali, ia membawakan satu blok kain hijau, ia ukur menurut baju Yo Ko yang sobek itu dan di-potongnya untuk membuatkan baju baru.
Dari lagu suara nona ini dan perawakan serta tingkah lakunya, umurnya tentu tidak lebih 18 -19 tahun saja, tapi terhadap Yo Ko bukan saja mirip kakak terhadap adik, bahkan penuh kasih seorang ibu kepada anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar